4. PERILAKU TEKUK BAMBU TALI 4.1. Pendahuluan Dalam bidang konstruksi secara garis besar ada dua jenis konstruksi rangka, yaitu konstruksi portal (frame) dan konstruksi rangka batang (truss). Pada konstruksi portal, baik portal bidang, maupun portal ruang, komponen-komponennya dihubungkan secara jepit, sehingga beban yang diterima batang berupa beban tarik, tekan dan momen. Pada konstruksi rangka batang, komponen-komponennya dihubungkan melalui sambungan sendi, sehingga komponen-komponennya hanya menerima beban tarik atau tekan tanpa momen. Konstruksi rangka batang ruang sebagai pengembangan dari konstruksi rangka batang bidang. Pada umumnya komponen yang menerima beban tekan disebut batang tekan dan komponen yang menerima beban tarik disebut batang tarik. Batang tekan merupakan bagian yang cukup penting dalam perhitungan konstruksi, karena perhitungan batang tekan tidak hanya tergantung pada luas penampang dan kuat tekannya saja. Kekuatan batang
tekan harus memperhitungkan bentuk
penampang serta panjang batang. Pada batang pendek, dimana tidak ada kemungkinan terjadi tekuk, kehancuran terjadi akibat dilampauinya tegangan tekan ijin bambu. Pada batang tekan yang panjang, kekuatan batang tergantung bukan hanya pada tegangan tekan, tetapi juga pada modulus elastisitas, panjang batang dan dimensi penampang. Pada batang yang panjang, kegagalan dapat terjadi, walaupun tegangan ijin belum terlampaui. Kerusakan ini terjadi karena tekuk. Pada konstruksi baja dan konstruksi kayu, untuk menghitung besarnya gaya tekuk yang dapat diterima suatu batang dilakukan dengan memasukkan faktor tekuk yang sudah tersedia dalam bentuk tabel. Pada konstruksi bambu, tabel tersebut belum tersedia, sehingga perlu dilakukan penelitian khusus mengenai perilaku tekuk bambu.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kelangsingan batang bambu tali dengan gaya tekan maksimum yang dapat diterima. Dengan memperhitungkan faktor keamanan akan dibuat grafik kecenderungan
hubungan antara kelangsingan
batang dengan tegangan tekuk ijin. Selanjutnya, dibuat tabel yang memuat faktor tekuk
(ω) untuk masing-masing kelangsingan batang (λ) yang akan menjadi dasar perhitungan tekuk pada batang tekan bambu, terutama bambu tali.
Bahan dan Metoda Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah bambu tali (Gigantochloa apus Kurz) berumur lebih dari tiga tahun yang berasal dari daerah Depok, dengan diameter luar 40 + 5 mm dan 60 + 5 mm dengan panjang masing-masing 50 cm, 70 cm dan 90 cm. Setiap perlakuan menggunakan 8 ulangan. Peralatan yang digunakan adalah gergaji, jangka sorong dan pita ukur serta blangko dan alat tulis. Pengujian gaya kritis dilakukan dengan menggunakan alat Universal Testing Machine merk Baldwin, di Laboratorium Keteknikan Kayu, Fakultas Kehutanan IPB. Metodologi 1. Pengukuran Setelah sampel selesai disiapkan, dilakukan pengukuran
dimensi bambu
sesuai dengan standar ISO: N22157.-2004 (Laboratory Manual on Testing Methods for Determination of Physical and Mechanical Properties of Bamboo) yang meliputi : -
Pengukuran panjang (L), masing-masing sampel diukur panjangnya di empat tempat, lalu dirata-ratakan
-
Pengukuran diameter luar (D), empat kali pada masing-masing sampel; yaitu dua kali pada masing-masing ujung, nilainya kemudian dirata-ratakan.
-
Pengukuran diameter dalam (d) dilakukan empat kali pada masing-masing sampel; yaitu dua kali pada masing-masing ujung, kemudian nilainya dirataratakan
Berdasarkan data panjang batang, diameter luar dan diameter dalam dapat dihitung luas penampang (A), momen inersia (I), jari-jari kelembaman (r) serta angka kelangsingan (λ) dengan persamaan :
44
A=
I= r=
λ=
1 π ( D 2 − d 2 ) .............................................................................. (4.1.) 4 1 π ( D 4 − d 4 ) ............................................................................... (4.2.) 64 I A
L r
..............................................................................
(4.3.)
...............................................................................
(4.4.)
2. Pengujian Tekuk
Pengujian tekuk dilakukan dengan meletakkan buluh bambu dalam posisi tegak kemudian sampel diberi beban tekan dengan kecepatan konstan sampai mencapai beban maksimum. Beban maksimum yang terjadi, tepat sebelum batang tersebut mengalami tekuk dicatat sebagai beban kritis (Pcr). Untuk melihat pola tekuk yang terjadi, pembebanan dapat dilanjutkan. 3. Perhitungan Tegangan Kritis
Tegangan kritis didefinisikan sebagai tegangan tekan maksimal rata-rata terhadap luas penampang. Tegangan kritis merupakan hasil bagi beban kritis terhadap luas penampang. Selanjutnya tegangan kritis digambarkan dalam grafik terhadap kelangsingan batang (λ). Analisa Data 4.4.1. Panjang Tekuk (Lk)
Pola tekuk suatu batang sangat tentukan oleh jenis tumpuan pada ujung-ujung batang tersebut. Untuk itu dalam perhitungan struktur, panjang tekuk harus dihitung berdasarkan jenis tumpuan, karena panjang tekuk besarnya tidak selalu sama dengan panjang batang, seperti dapat dilihat pada Gambar 4.1. Pada konstruksi rangka batang ruang serta pada proses pengujian tekuk di laboratorium, tumpuan pada kedua ujung batang merupakan tumpuan sendi, seperti pada Gambar 4.1.(a). Hal ini berarti panjang tekuk (Lk) sama dengan panjang batang yang diuji. 45
Lk =0,7 L
Lk = L
Lk = L/2 Lk =2 L
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 4.1. Panjang Tekuk (Lk) dengan tumpuan yang berbeda-beda. (Sumber : Popov, 1984)
4.4.2. Persamaan Euler dan Pembatasannya
Pengujian perilaku tekuk bambu dilakukan untuk mengetahui beban tekan maksimal yang dapat ditahan oleh batang langsing. Analisa dilakukan dengan rumus Euler:
Pcr = σcr =
π 2 .E.I Lk
2
........................................................................................... (4.6.)
Pcr π 2 .E.I = 2 A Lk . A
dengan : σcr = Tegangan kritis (kg/cm2) Pcr = Gaya tekan maksimum (kg) E = Modulus elastisitas (kg/cm2) L = Panjang tekuk (cm) r
= Jari-jari inersia (cm)
I = Momen inersia (cm4) A = luas penampang (cm2)
46
Dengan mensubstitusikan Persamaan (4.3.) ke dalam Persamaan 4.6, maka diperoleh Persamaan :
σcr = karena λ =
π 2 .E Lk
2
.r 2 ......................................................................................... (4.7)
L , maka Persamaan (4.7.) dapat dituliskan, sebagai berikut : r
σcr =
π 2 .E .............................................................................................. (4.8.) λ2
Dari persamaan di atas terlihat bahwa untuk menurunkan rumus-rumus Euler untuk tekuk, dipergunakan nilai modulus elastisitas (E). Hal ini menunjukkan bahwa dalam perhitungan tekuk, diasumsikan bahwa batang tekan tersebut berada dalam keadaan elastis. Mengingat bahwa perhitungan nilai E
diperoleh dengan melihat
perbandingan tegangan dan regangan (strain) dalam keadaan proposional, maka Persamaan 4.8. hanya berlaku pada keadaan yang hubungan tegangan dan regangannya linier. Dari Gambar 4.2.(b) terlihat bahwa nilai λminimal terjadi pada keadaan saat tegangan mencapai tegangan maksimal proposional yaitu pada titik A dalam Gambar 4.2.(a).
λbatas Gambar 4.2. (a) diagram tegangan-regangan, (b) tegangan kritis terhadap kelangsingan
47
Dalam mempelajari bahan pada keadaan elastis, maka perlu diperhatikan hukum Hooke tentang hubungan tegangan dan regangan (ε). Dengan melihat Persamaan 4.8. bersama dengan Hukum Hooke, maka : Persamaan (4.8.) σcr
π 2 .E = 2 λ
σ p = ε .E
Hukum Hooke
π 2 .E ε .E = 2 λ π2 ε= 2 λ
Sehingga Hukum Hooke dapat dituliskan sebagai berikut :
π2 σ p = 2 .E , sehingga diperoleh angka kelangsingan λ
λbatas = π .
E
σp
................................................................................. (4.9.)
Daerah A-C pada Gambar 4.2.(a) juga merupakan daerah elastis yang tidak linier, oleh karena itu pada daerah itu persamaan Euler tetap berlaku, tetapi nilai E berubah-ubah dan dapat dinyatakan sebagai garis singgung pada grafik tegangan-regangan. Nilai ini biasa dinyatakan sebagai Et yang nilainya berubah-ubah, sehingga persamaan Eulernya dapat dinyatakan dalam persamaan :
σcr =
π 2 .Et λ2
............................................................................ (4.10.)
Pada daerah tersebut nilai σcr dapat digambarkan sebagai garis lengkung R-S pada gambar 4.2.(b). Selanjutnya pada tiang pendek tidak terjadi tekuk. Rumitnya persamaan tegangan kritis untuk kolom menengah dan pendek, menimbulkan banyak persamaan pendekatan, baik untuk baja, aluminium maupun kayu. Pendekatan tersebut pada umumnya mengarah pada hubungan σcr terhadap λ berbentuk linier. Salah satunya adalah persamaan Tetmayer yang digunakan untuk batang pendek dan menengah. Pada perhitungan konstruksi kayu di Indonesia Persamaan Tetmayer dan Euler digunakan dalam mendesain batang tekan. Dengan menggunakan batasan angka
48
kelangsingan 100, maka persamaan untuk menghitung tegangan kritis yang biasa digunakan :
σ cr = σ tk − 2λ
untuk 0 < λ < 100 ....................................................... (4.11.)
π 2 .E = 2 λ
untuk λ > 100 .......................................................... (4.12.)
σ cr
4.4.3. Tegangan tekuk ijin
Tegangan tekuk ijin yang dijadikan dalam perhitungan diperoleh dengan menggunakan persamaan yang biasa digunakan yaitu :
σ cr . ijin =
σ cr faktorkeamanan .keamanan Faktor
................................................................ (4.13.)
Berbeda dengan perhitungan tegangan ijin umumnya yang menggunakan angka konstan untuk faktor keamanan, pada perhitungan tegangan tekuk ijin digunakan faktor keamanan yang berbeda-beda yang besarnya tergantung pada angka kelangsingan (λ). Pada daerah dimana λ ≤ λbatas, nilai faktor keamanannya konstan. Selanjutnya untuk daerah λ > λbatas, digunakan nilai yang berubah-ubah. Pada konstruksi kayu di Indonesia, dengan mengasumsikan λbatas = 100, nilai faktor keamanan untuk λ ≤ 100 digunakan nilai faktor keamanan = 3,5. Selanjutnya, untuk λ >100, digunakan nilai yang bertambah secara linier, sehingga nilai faktor keamanan untuk λ = 250, faktor keamanan = 5. Secara grafis nilai faktor keamanan dapat
Faktor Kemanan
dilihat pada Gambar 4.3. 5 4 3 2 0
50
100
150
200
250
L/r
Gambar 4.3. Nilai Faktor keamanan terhadap kelangsingan (l/r = λ)
4.4.4. Faktor Tekuk
Dalam perhitungan konstruksi, untuk menghitung besarnya gaya tekuk yang dapat dipikul, digunakan persamaan : 49
σ cr =
P.ω ≤ σ tk dengan : P = Gaya tekan ........................................................ A
(4.14.)
ω = Faktor tekuk Pada perhitungan kayu dan baja, dimana biasanya digunakan kolom yang langsing (λ kecil), nilai ω dapat dicari dari tabel yang tersedia berdasarkan nilai λ. Untuk mempermudah perhitungan batang tekan pada konstruksi bambu perlu dibuat tabel nilai ω untuk masing-masing nilai λ. Nilai ω merupakan perbandingan antara tegangan tekuk ijin terhadap besarnya tegangan tekan ijin. Dalam perhitungan konstruksi kayu nilai ω dibatasi hanya sampai λ = 150, oleh karena itu dalam perhitungan faktor tekuk analisa dibatasi sampai pada batas tersebut. 4.5. Hasil dan Pembahasan 4.5.1. Tegangan Kritis berdasarkan Hasil Penelitian
Pengujian tekuk dilakukan menggunakan sekitar seratus sampel dengan kelangsingan yang berbeda-beda. Angka kelangsingan diperoleh berdasarkan perhitungan dengan Persamaan 4.4. dengan memasukan dimensi masing-masing sampel (data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9). Berdasarkan perhitungan data yang diperoleh besarnya beban kritis serta dimensi batang, diperoleh hasil yang dapat dilihat pada Gambar 4.4.
Teg Kritis (MPa)
70 60 50 40 30
y = -7,902Ln(x ) + 60,003
20
R2 = 0,633
10 0 0
20
40
60
L/r
80
Gambar 4.4. Tegangan kritis pada berbagai kelangsingan (n = 121) Pada Gambar 4.4. terlihat walaupun secara umum data menyebar, tetapi terlihat kecenderungan bahwa dengan semakin langsing batang, tegangan kritisnya akan semakin kecil. Berdasarkan data pengujian tekuk (Lampiran 9, halaman 107 dan 108) diketahui
50
tegangan kritis terbesar sebesar 44,4 MPa diperoleh pada sampel berdiameter 6 cm dan panjang batang 50 cm dengan λ= 24,61. Tegangan kritis terkecil sebesar 13,3 MPa diperoleh pada sampel berdiameter 4 cm dan panjang batang 90 cm dengan λ = 71,28. Untuk melengkapi data dalam pembuatan garis kecenderungan (trend line) tegangan kritis terhadap kelangsingan, dimasukkan juga data hasil pengujian tekan (Bab 3.); yaitu dua belas sampel uji tekan dipergunakan dengan enam sampel tingginya sama dengan ukuran diameter luar dan enam sampel tingginya dua kali diameter luar. Sampel uji tekan ini mempunyai angka kelangsingan yang berkisar 3,22 sampai 71, 2. Garis kecenderungan yang diperoleh y = -7,9 . Ln(x) + 600 menunjukkan adanya kecenderungan menurunnya tegangan kritis dengan makin besarnya angka kelangsingan batang, dengan nilai R2= 0,633, yang berarti koefisien keragamannya 0,79. 4.5.2. Tegangan Kritis berdasarkan Analisa
Dalam menghitung tegangan kritis secara analitis, maka diperlukan data mengenai tegangan tekan dan modulus elastisitas bambu tali yang diperoleh dari penelitian sifat dasar. Adapun data yang dipergunakan meliputi : a) Tegangan tekan proporsional. Nilai ini diperlukan untuk menghitung batas kelangsingan antara penggunaan Persamaan Euler dengan Persamaan Tetmayer. Nilai yang dipergunakan adalah tegangan maksimum ijin, yaitu 12,7 MPa. (Tabel 3.6.). b) Tegangan tekan karakteristik. Nilai ini dipergunakan untuk menghitung tegangan kritis berdasarkan Persamaan Tetmayer. Mengingat nilai tegangan kritis ini masih belum memperhitungkan faktor keamanan, maka nilai tegangan tekan yang digunakan bukan nilai tegangan tekan ijin, tetapi nilai tegangan tekan karakteristik yang dihitung dengan Persamaan 3.7. Berdasarkan persamaan tersebut, maka diperoleh nilai σtk karateristik = 37,97 – 2,464 x 3,71 = 28,7 MPa. c) Modulus elastistitas (MOE). Nilai modulus elastis digunakan untuk menghitung batas kelangsingan dan tegangan kritis. Nilai MOE yang dipakai adalah nilai keseluruhan yaitu 8.368 Mpa. (Lihat Tabel 3.8) Untuk menghitung tegangan kritis, langkah pertama adalah menghitung batas kelangsingan dengan Persamaan 4.9.
51
E
λbatas = π .
σp
= π
8368 = 80 12,7
Setelah diperoleh nilai batas kelangsingan, maka tegangan
kritis dapat
dihitung dengan menggunakan Persamaan Euler pada λ ≥ λbatas, sedangkan pada daerah λ < λbatas digunakan Persamaan Tetmayer. Pada titik potong yaitu pada λ = 80 dengan kedua persamaan diperoleh nilai tegangan kritis = 12,7 MPa. Teg (MPa)
30 25 20 15 10 5 0 0 50 P/A (MPa)
100 150 200 Teg Tekuk Ijin (MPa) L/r
250
Gambar 4.5. Hubungan tegangan kritis terhadap kelangsingan (analitis)
4.5.3. Faktor Tekuk (ω)
Penentuan faktor tekuk dapat dihitung dengan dua cara, yaitu: (a) secara analitis mengacu pada perhitungan faktor tekuk pada konstruksi kayu yang hasilnya dapat dilihat pada kolom 2 (ωanalitis) Tabel 4.1. (b) dengan mengacu pada hasil penelitian empiris terhadap perilaku tekuk bambu (kolom 3 pada Tabel 4.1.) Dengan menggunakan nilai kuat tekan ijin bambu 12,7 MPa, maka besarnya tegangan tekuk ijin berdasarkan perhitungan analitis dan berdasarkan perhitungan empiris dapat dilihat Gambar 4.6. Dari grafik tersebut terlihat bahwa hasil penelitian empiris cukup aman untuk digunakan, karena pada semua daerah tegangan tekuk ijin lebih kecil dari P/A.
52
Tabel 4.1. Faktor tekuk pada berbagai angka kelangsingan L/r 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
ωanalitis ωempiris 1,13 1,18 1,22 1,27 1,32 1,38 1,44 1,51 1,59 1,68
L/r 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
1,06 1,20 1,30 1,38 1,45 1,51 1,57 1,62 1,67 1,72
ωanalitis ωempiris 1,77 1,88 1,99 2,13 2,28 2,46 2,78 3,12 3,47 3,85
1,76 1,81 1,85 1,89 1,93 1,97 2,01 2,05 2,08 2,12
L/r 105 110 115 120 125 130 135 140 145 150
ωanalitis ωempiris 4,30 4,79 5,31 5,86 6,44 7,06 7,72 8,41 9,13 9,90
2,15 2,19 2,22 2,26 2,29 2,32 2,35 2,39 2,42 2,45
Teg tekuk (MPa)
50 40 30 20 10 0 0
15
30
Ptkn analitis (MPa)
45
60
75
90 105 120 135 150
Ptkn empiris (MPa)
L/r
Gambar 4.6. Hubungan tegangan tekuk ijin terhadap kelangsingan. Selanjutnya dalam perhitungan kekuatan, akan digunakan faktor tekuk berdasarkan hasil penelitian empiris.
4.5.4. Gaya Tekan Kritis (Pcr)
Berdasarkan persamaan 4.12. setelah nilai faktor tekuk (ω) diketahui, besarnya gaya tekan yang dapat diterima buluh bambu dapat dihitung dengan persamaan :
Pcr =
σ tkn . A ..................................................................................(4.15.) ω
Dengan nilai ω yang tergantung dari angka kelangsingan dengan melihat tabel 4.1.
53
4.5.5. Berbagai Bentuk Tekuk
Bentuk tekuk yang terjadi dapat diamati dengan terus melakukan penambahan beban setelah beban maksimal (Pkritis) tercapai. Dari pengamatan visual yang dilakukan tampak bahwa ada berbagai kemungkinan pola tekuk yang dapat terjadi, seperti dapat dilihat pada Gambar 4.7.
(a)
(b) (c) (d) Gambar 4.7. Berbagai pola tekuk yang terjadi
(e)
Pada Gambar 4.7.(a) tekuk yang terjadi sesuai dengan teori tentang silinder berdinding tipis, dimana pada sampel ini tidak terdapat buku di tengah. Sementara pada Gambar 4.7.(b) dan (d) walaupun tidak terdapat buku di tengah sampel, tekuk yang terjadi pada daerah sekitar 1/3 tinggi sampel bukan tekuk lokal (local buckling). Sampel pada Gambar 4.7.(c) batang bambu melendut di sekitar buku. Pada sampel Gambar 4.7.(e) buluh bambu belah pada bagian ujungnya. Pada Gambar 4.7. (a), (b) dan (e) terlihat dengan jelas bahwa sampel belah. Berdasarkan hasil pengamatan serta sesuai dengan teori, bahwa walaupun pada awalnya buluh bambu lurus, jika beban kritis telah terlewati, maka buluh bambu akan mengalami tekuk, dengan proses tekuk seperti yang ditunjukkan pada foto seri (Gambar 4.8).
54
Gambar 4.8. Proses terjadinya tekuk (foto seri/periodik)
4.6. Kesimpulan
Berdasarkan analisa perhitungan dan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat disimpulkan : 1. Berdasarkan hasil perhitungan teoritis dengan mengacu pada Fonrobert et al. (1960) didapat batas kelangsingan batang λ =80 dimana λ < 80 dapat digunakan persamaan Euler, sedangkan jika λ > 80 dapat digunakan persamaan Tetmayer. 2. Berdasarkan penelitian empiris terhadap sekitar 100 sampel diperoleh hubungan antara nilai tegangan kritis terhadap angka kelangsingan yang merupakan fungsi: y = -7,9.Ln (x) + 60, dimana y = tegangan kritis dan x = angka kelangsingan. 3. Dengan membandingkan antara hasil analisa perhitungan analitis (mengacu pada Fonrobert et al.) dan hasil analisa terhadap hasil penelitian, terlihat bahwa data hasil penelitian memberikan hasil yang lebih besar dari nilai analitis, maka hasil analitis aman untuk digunakan dalam perhitungan struktur. 4. Untuk angka kelangsingan λ < 50, nilai ωanalitis < ωempiris dan untuk λ > 50, nilai ωanalitis > ωempiris .
55