Berdasarkan kenampakkan umum dari kurva-kurva log sumur (electrofasies) pada masing-masing sumur beserta marker-marker sikuen yang telah diketahui, dapat diinterpretasi bahwa secara umum, perkembangan karbonat dimulai pada saat akhir dari HST sebagai karbonat build-up (cathc-up kemudian keep-up). Hal ini ditandai dengan kenampakan pola funnel-shape dan blocky pada log GR. Di atas endapan ini berkembang endapan TST yang didominasi oleh kehadiran karbonat give-up. Hal ini ditunjukkan dengan adanya pola log bell-shape. Pada akhir TST, perkembangan karbonat berhenti dan sedimentasi berubah menjadi sedimen klastik. Hal ini memungkinkan adanya drowning-unconformity. Perkembangan karbonat Formasi Parigi di daerah penelitian secara umum digambarkan pada Gambar 3.13 Berdasarkan Analsis biostratigrafi, stratigrafi sikuen dan elecrofacies, dapat diperoleh kesimpulan antara lain batuan karbonat Formasi Parigi di daerah penelitian di endapakan pada lingkungan sub-litoral pada Akhir Miosen. Porositas yang cukup baik pada interval Formasi Parigi berada di tengah-tengah formasi yaitu pada batuan karbonat build-up HST bagian atas yang berbatasan langsung dengan marker Sequence Boundary dan diendapkan endapan TST di atasnya.
3.3. Pengikatan Data Sumur pada Seismik-3D (Well Seismic Tie) Data check shot merupakan data berupa pengikatan data sumur terhadap data seismik yang pada teknisnya adalah penentuan batas atas dan bawah formasi (dalam satuan meter) yang diikatkan pada interval seismik (dalam satuan milidetik) dengan mengunakan data-data survey. Data check shot pada masing-masing sumur dapat dijadikan patokan mengenai posisi batas atas dan bawah Formasi Parigi pada seismik. Akan tetapi, dikarenakan adanya perbedaan fasa gelombang seismik antara permukaan dengan lapisan yang berada di bawah permukaan serta adanya pengaruh dari heterogenitas dari batuan, maka diperlukan koreksi untuk mengetahui reflector-reflector pada seismik yang tepat sebelum melakukan interpretasi seismik-3D secara menyeluruh. Pengikatan data sumur merupakan sebuah metode yang digunakan untuk mengetahui posisi marker pada seismik. Pengikatan dilakukan mula-mula dengan 29
mengetahui posisi batas atas dan bawah suatu formasi berdasarkan litologinya pada masing-masing sumur. Dua data log utama yang digunakan untuk pengikatan data sumur adalah log sonic dan log density. Adapun langkah-langkah pengerjaan pengikatan ini tergambar dalam ilustrasi dibawah ini.
Gambar 3.14 Hal-hal yang dilakukan dalam pengikatan data sumur Extract wavelet dilakukan dengan metode well based yaitu dengan menghitung jumlah wavelet pada interval waktu tertentu sehingga kita bisa mengetahui wavelet pada masing-masing sumur agar bisa digunakan untuk pembuatan Synthetic Seismogram (composite seismic trace). Setelah itu, maka dilakukanlah convolution. Pada tahap ini, pertama-tama, log sonic dikonversi menjadi log kecepatan. Log kecepatan ini dikalikan dengan log density menjadi log Acoustic Impedance. Dari log Acoustic Impedance inilah diperoleh log Reflectivity yang menjadi dasar pembuatan log Syntetic Seismogram (composite seismic trace).
30
Gambar 3.15 Ilustrasi pembuatan Syntetik seismogram (composite seismic trace) (Sukmono, 2008) Log Syntetic Seismogram ini akan dikorelasikan dengan seismogram yang ada pada seismik yaitu pada titik pada in-line dan cross-line tempat sumur berada. Korelasi ini
dilakukan
dengan
tujuan
mencari
reflector
dalam
seismik
yang
disesuaikan/dikorelasikan dengan Seismic trace yang terdapat pada seismik-3D. Korelasi ini dilakukan sampai memperoleh nilai koefisien korelasi yang paling tinggi. Hasil dari
korelasi ini adalah posisi marker pada seismik dalam satuan mili detik. Hasil well seismic tie ini diperlihatkan dengan Gambar 3.16 serta Lampiran-4.
31
3.4. Penafsiran Data Seismik-3D (Seismic Picking) Interpretasi data seismik-3D dilakukan berdasarkan pada data sumur yang telah diikatkan pada data seismik-3D dengan metoda well seismic tie. Penarikan batas atas maupun batas bawah Formasi Parigi (seismic picking) dilakukan berdasarkan kesamaan reflektor pada seismiknya. Dengan kata lain, penarikan batas atas Formasi Parigi dilakukan pada reflektor peak, sedangkan batas bawah Formasi Parigi pada reflector zero-crossing. Penarikan marker-marker pada seismik ini dilakukan dengan interval 10 in-line dan 10 cross-line. Untuk memudahkan korelasi penarikan batas atas dan bawah Formasi Parigi pada penampang seismik, maka dibuatlah penampang seismik yang melewati keenam sumur (Gambar-3.17). Hasil penarikan batas-batas Formasi Parigi pada data seismik-3D digunakan untuk
diekstrapolasi dan dijadikan peta struktur waktu.
33
3.5. Pembuatan Peta Struktur Waktu (Time-structure-map) Untuk memperoleh gambaran mengenai bawah permukaan, diperlukan peta struktur kedalaman. Langkah awal yang dilakukan untuk membuat peta struktur kedalaman adalah dengan membuat peta struktur waktu. Pembuatan peta struktur waktu dilakukan dengan mengekstrapolasi hasil dari penarikan horizon dan patahan (seismic picking). Peta struktur waktu untuk batas atas dan bawah Formasi Parigi diperlihatkan pada Gambar 3.18 dan Gambar 3.19 3.6. Pembuatan Peta Struktur Kedalam (Depth Structure map) Peta struktur kedalaman dibuat dengan melakukan operasi aritmatik peta yaitu perkalian antara peta struktur waktu dengan peta kecepatan interval. Pembuatan peta kecepatan interval dilakukan dengan menganalisa kecepatan terlebih dahulu. Analisa kecepatan ini dilakukan dengan mengetahui kecepatan interval yaitu kecepatan gelombang seismik yang bergerak dari permukaan sampai pada batas atas dan bawah Formasi Parigi yang diperoleh dari data check-shot. Dari kecepatan interval yang telah diketahui dari masing-masing sumur, dilakukanlah ekstrapolasi sehingga menghasilkan peta kecepatan interval (Gambar 3.20- Gambar 3.21). Peta kecepatan interval yang telah dihasilkan dari ekstrapolasi tersebut dikalikan dengan peta struktur waktu sehingga menghasilkan peta struktur kedalaman. Peta struktur kedalaman batas atas dan bawah Formasi Parigi diperlihatkan pada Gambar 3.22 dan Gambar 3.23. Untuk melihat seberapa akurat peta struktur kedalaman yang telah dihasilkan, dilakukanlah analisis residu yang mununjukan selisih kedalaman batas-batas formasi pada sumur dengan kedalaman batas-batas formasi pada peta kontur struktur kedalaman (Tabel-3.3). Berdasarkan hasil analisis ini diperoleh selisih rata-rata antara batas-batas formasi pada sumur dengan batas-batas formasi pada peta struktur kedalaman adalah antara satu sampai dua meter. Dalam tahapan ini, jika memiliki selisih kedalaman yang cukup berarti, maka seharusnya dilakukan pengurangan atau penambahan ketinggian datum pada peta struktur kedalaman sesuai dengan selisih yang diperoleh. Akan tetapi, karena selisih yang diperoleh tidak cukup berarti dibandingkan dengan ketebalan yang dimiliki oleh Formasi Parigi, maka penambahan atau pengurangan ini tidak dilakukan. 35