3 TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Analisis Kebijakan Kebijakan adalah suatu peraturan yang mengatur atau mengubah suatu kondisi ke kondisi yang lebih baik (Murtadi 1999). Manusia menetapkan suatu kebijakan merupakan upaya manusia untuk mengetahui dan mengatasi sesuatu. Kebijakan dapat dibedakan menjadi kebijakan publik (public policy) dan kebijakan pribadi (privat policy). Salah satu kebijakan publik adalah pengelolaan perikanan tangkap. Mustodidjaja (1992) mendefinisikan bahwa kebijakan publik merupakan suatu keputusan untuk mengatasi masalah tertentu, kegiatan tertentu atau untuk mencapai tujuan tertentu yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang secara formal dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Menurut Hogwood dan Gun (1984) kebijakan publik adalah tindakan kolektif yang diwujudkan melalui kewenangan pemerintah yang legitimasi untuk mendorong, menghambat, melarang atau mengatur tindakan pribadi (individu atau lembaga swasta). Kebijakan publik memiliki dua ciri pokok, yaitu: (1) dibuat atau diproses oleh lembaga pemerintahan atau berdasarkan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah; dan (2) bersifat memaksa atau berpengaruh terhadap tindakan pribadi masyarakat luas (public). Kebijakan privat adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga swasta dan tidak bersifat memaksa kepada orang lain atau lembaga lain. Analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumentasi untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalahmasalah kebijakan. Analisis kebijakan adalah suatu bentuk analisis yang
menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga memberi landasan bagi pembuat kebijakan dalam mengambil keputusan (Dunn 1998). Analisis kebijakan dilakukan untuk menentukan alternatif kebijakan terbaik guna mengatasi permasalahan atau untuk mencapai sejumlah tujuan yang diinginkan. Metode analisis kebijakan diambil dari dan memadukan elemen-elemen dari berbagai disiplin: ilmu politik, sosiologi, psikologi, ekonomi, filsafat. Analisis kebijakan sebagian bersifat deskriptif, diambil dari disiplin-disiplin tradisional (misalnya ilmu politik) yang mencari pengetahuan tentang sebab dan akibat dari kebijakan-kebijakan publik. Namun analisis kebijakan juga bersifat normatif; tujuan lainnya adalah menciptakan dan melakukan kritik terhadap klaim pengetahuan tentang nilai kebijakan publik untuk generasi masa lalu, masa kini dan masa mendatang (Dunn, 1998) Hogwood dan Gunn (1984) membagi dua proses perumusan suatu kebijakan, yaitu studi kebijakan dan analisis kebijakan. Studi kebijakan dipergunakan untuk menggambarkan proses pengetahuan tentang suatu kebijakan atau proses kebijakan itu sendiri. Di dalam studi kebijakan terdapat beberapa aktivitas yaitu studi isi kebijakan dan studi evaluasi kebijakan sebagaiman Gambar 2 berikut.
Gambar 2 Bentuk penyusunan kebijakan publik (Hogwood dan Gunn 1984).
18
Analisis kebijakan tidak hanya membatasi diri pada pengujian-pengujian teori deskriptif umum maupun teori-teori ekonomi, karena masalah-masalah kebijakan cukup kompleks. Oleh karena itu, teori-teori semacam ini sering gagal untuk memberikan informasi yang memungkinkan para pengambil keputusan mengendalikan dan memanipulasi proses kebijakan. Analisis kebijakan juga menghasilkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah. Selain itu, analisis kebijakan juga menghasilkan informasi mengenai nilai-nilai dan arah tindakan yang lebih baik. Dengan demikian, analisis kebijakan meliputi evaluasi maupun anjuran kebijakan. Dunn (1998) menyebutkan bahwa analisis kebijakan adalah jenis analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sehingga dapat menjadi dasar bagi para pengambil kebijakan dalam menguji pendapat mereka. Kata “analisis” digunakan dalam pengertian yang paling umum yang secara tidak langsung menunjukkan penggunaan intuisi dan pertimbangan yang mencakup tidak hanya pengujian kebijakan dalam pemecahan terhadap komponen-komponen tapi juga merencanakan dan mencari sintesa atas alternatif-alternatif baru. Aktivitas ini meliputi sejak penelitian untuk memberi wawasan terhadap masalah yang mendahului atau untuk mengevaluasi program yang sudah selesai. Terdapat 3 pendekatan dalam analisis kebijakan, yaitu: (1) pendekatan empiris, (2) pendekatan evaluatif dan (3) pendekatan normatif.
3.2 Pengelolaan Perikanan Dalam Ketentuan Umum Bab I pasal 1 ayat 7 Undang-undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan
informasi,
analisis,
perencanaan,
konsultasi,
pembuatan
19
keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.
3.3 Pembangunan Berkelanjutan Istilah berkelanjutan berasal dari Bahasa Inggris yaitu “sustainability”. Istilah ini sebetulnya bukan istilah baru. Di bidang kelautan dan perikanan istilah ini telah lama digunakan, yaitu maximum sustainable yield dan maximum sustainable catch. Istilah ini menunjukan besarnya hasil atau tangkapan maksimum yang dapat diperoleh secara lestari (Supardi 2003). Dengan kata lain, agar pemanfaatan sumber daya lestari, maka laju pemanfaatan itu harus lebih kecil atau sama dengan laju proses pemulihan sumber daya tersebut. Akhir-akhir
ini,
istilah
berkelanjutan
digunakan
untuk
konsep
pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang. Konsep pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi, dan sosial (Munasinghe 2002). Kebutuhan yang dimaksud disini adalah kebutuhan untuk kelangsungan hidup hayati dan kebutuhan untuk kehidupan manusiawi. Kebutuhan untuk kelangsungan hidup hayati adalah kebutuhan yang paling esensial, meliputi udara, air dan pangan yang harus tersedia dalam jumlah dan kualitas yang memadai untuk dapat hidup sehat. Sedangkan kebutuhan untuk kehidupan manusiawi mempunyai arti untuk menaikan martabat dan status sosial (Supardi 2003).
20
Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali dipublikasikan oleh The World Concervation Strategy pada tahun 1980 di Gland, Swiss dan menjadi pusat pemikiran untuk pembangunan dan lingkungan. Pada WCS tersebut pembangunan
berkelanjutan
didefinisikan
sebagai
berikut
: Sustainable
development – maintenance of essential ecological processes and life support systems, the preservation of genetic diversity, and the sustainable utilization of species and ecosystems. Definisi lain yang terkenal dikemukakan oleh World Commission on Environtment and Development (WCED) 1978, yang dikenal pula dengan nama Komisi Bruntland, adalah “pembangunan yang memenuhi generasi kini tanpa membahayakan generasi mendatang untuk dapat memenuhi sendiri kebutuhan mereka” (Budiharsono, 2006). Komisi tersebut terdiri dari banyak perwakilan dari negara maju dan berkembang serta melakukan pertemuan terbuka di berbagai negara. Dengan menjelaskan pengertian pembangunan berkelanjutan serta menerangkan
implikasi
dibaliknya,
Komisi
Bruntland
kemudian
mengidentifikasikan tujuh tujuan penting untuk kebijakan pembangunan dan lingkungan. Ketujuh tujuan tersebut, yaitu: (1) Memikirkan kembali makna pembangunan. (2) Merubah kualitas pertumbuhan (lebih menekankan pada pembangunan dari pada sekedar pertumbuhan). (3) Memenuhi kebutuhan dasar akan lapangan kerja, makanan, energi, air dan sanitasi. (4) Menjamin
terciptanya
keberlanjutan
pada
satu
tingkat
pertumbuhan
penduduk tertentu. (5) Mengkonversi dan meningkatkan sumber daya. (6) Merubah arah teknologi dan mengelola resiko.
21
(7) Memadukan pertimbangan lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan keputusan. Menindaklanjuti publikasi Our Common Future, banyak upaya telah dilakukan untuk mengembangkan pedoman dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Hal ini dikarenakan, tanpa pedoman atau prinsip, tidak mungkin menentukan
apakah
suatu
kebijakan
atau
kegiatan
dapat
dikatakan
berkelanjutan, atau apakah suatu prakarsa konsisten dengan pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan tujuan kebijakan dan lingkungan di atas, selain dapat meningkatkan kualitas hidup manusia, pembangunan juga mendukung prinsipprinsip kehidupan yang berkelanjutan. Adapun prinsip-prinsip tersebut yaitu: (1) menghormati dan memelihara komunitas kehidupan, (2) memperbaiki kualitas hidup manusia, (3) melestarikan daya hidup dan keragaman bumi, (4) menghindari sumber daya - sumber daya yang tidak terbarukan, (5) berusaha tidak melampaui kapasitas daya dukung bumi, (6) mengubah sikap dan gaya hidup orang per orang, (7) mendukung kreativitas masyarakat untuk memelihara lingkungan sendiri, (8) menyediakan kerangka kerja nasional untuk memadukan upaya pembangunan pelestarian, dan (9) menciptakan kerja sama global (Supardi 2003). Dalam pembangunan berkelanjutan terdapat tiga komponen utama yang sangat diperhitungkan yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan (Gambar 3). Setiap komponen tersebut saling berhubungan dalam satu sistem yang dipicu oleh kekuatan dan tujuan. Sektor ekonomi untuk melihat pengembangan sumber daya manusia, khususnya melalui peningkatan konsumsi barang-barang dan jasa pelayanan. Sektor lingkungan difokuskan pada perlindungan integritas sistem ekologi. Sektor sosial bertujuan untuk meningkatkan hubungan antar manusia, pencapaian aspirasi individu dan kelompok, dan penguatan nilai serta institusi (Munasinghe 2002).
22
Gambar 3 Bentuk pembangunan berkelanjutan yang didukung dengan kerangka trans-disiplin (Munasinghe 2002). Munasinghe (2002) menyatakan konsep pembangunan berkelanjutan harus berdasarkan pada empat faktor, yaitu: (1) terpadunya konsep “equity” lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan keputusan; (2) dipertimbangkan secara khusus aspek ekonomi; (3) dipertimbangkan secara khusus aspek lingkungan; dan (4) dipertimbangkan secara khusus aspek sosial budaya. Dahuri (2001) menyatakan ada tiga prasyarat yang dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan yaitu: keharmonisan spasial, kapasitas asimilasi, dan pemanfaatan berkelanjutan. Dari Gambar 3 mengindikasikan bagaimana menggabungkan kerangka “sustainomics”,
dan
dasar
hubungan
pengetahuan
trans-disiplin,
akan
mendukung pendugaan komprehensif dan keseimbangan trade-off dan sinergi yang mungkin terjadi dalam pembangunan berkelanjutan antara dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Keseimbangan juga diperlukan dalam pembangunan
secara
tradisional.
Pendekatan
dalam
pembangunan
berkelanjutan terus berkembang seiring kemajuan jaman, sehingga perlu adanya
23
perubahan-perubahan
yang
disesuaikan
dengan
tempat.
Secara
ideal
pembangunan berkelanjutan tujuannya sangat tidak tersentuh. Oleh karena itu, berdasarkan konsep-konsep pembangunan berkelanjutan, pemanfaatan sumber daya pesisir dan lautan harus memperhatikan dimensi ekonomi, sosial, lingkungan, dan hukum. Hal ini berguna untuk menjamin keberlanjutan sumber daya pesisir dan lautan yang efisien dan efektif (Munasinghe 2002). Munasinghe (2002) lebih lanjut menyatakan bahwa perkembangan dimensi ekonomi seringkali dievaluasi dari makna manfaat yang dihitung sebagai kemauan untuk membayar (willingnes to pay) terhadap barang dan jasa yang dikonsumsi. Konsep modern dari keberlanjutan ekonomi adalah mencari untuk memaksimalkan aliran pendapatan atau konsumsi yang dapat menghasilkan. Efisiensi ekonomi memainkan peranan dalam memastikan alokasi sumber daya dalam produksi dan efisiensi konsumsi yang memaksimalkan pemanfaatan. Menurut
Charles
(2001)
konsep
pembangunan
berkelanjutan
mengandung aspek : (1) Keberlanjutan ekologi: memelihara keberlanjutan stok/biomass sehingga melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas ekosistem dengan perhatian utama. (2) Keberlanjutan sosio-ekonomi: memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu. Mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan perhatian keberlanjutan. (3) Keberlanjutan komunitas: keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat haruslah menjadi perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan. (4) Keberlanjutan kelembagaan: menyangkut pemeliharaan aspek finansial dan administrasi yang sehat sebagai prasyarat ketiga pembangunan perikanan.
24
Gambar 4 Bentuk segitiga pembangunan berkelanjutan (Charles 2001).
Dalam kaitan dengan kebijakan pemerintah, agar segenap tujuan pembangunan berkelanjutan ini dapat tercapai, maka dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekonomi diperlukan kebijakan ekonomi (dalam hal ini kebijakan perikanan tangkap) yang meliputi intervensi pemerintah secara terarah, pemerataan pendapatan, penciptaan kesempatan kerja, dan pemberian subsidi bagi kegiatan pembangunan yang memerlukannya. Dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekologi, strategi yang perlu ditempuh adalah partisipasi masyarakat dan swasta.
3.4 Kebijakan Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki sumber daya ikan yang sangat besar baik ditinjau dari segi kualitas maupun kuantitas. Potensi lestari sumber daya ikan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,26 juta ton per tahun yang terdiri atas potensi di perairan wilayah Indonesia sekitar 4,40 juta ton per tahun dan perairan ZEE Indonesia sekitar 1,86 juta ton per tahun. Berdasarkan pengelompokan jenis ikan, maka potensi perikanan pelagis besar 1,05 juta ton,
25
pelagis kecil 3,24 juta ton, demersal 1,79 juta ton, dan udang 0,08 juta ton (DKP dan PKSPL 2001). Sumber daya ikan bisa diperbaharui, namun sumber daya ikan mempunyai batas-batas tertentu. Apabila sumber daya ikan dimanfaatkan tanpa batas atau tidak rasional serta melebihi batas optimal (MSY), maka dapat mengakibat kerusakan dan terancamnya kelestarian (Tribawono, 2002). Oleh karena itu, untuk menciptakan pemanfaatan yang berkelanjutan, maka diperlukan suatu kebijakan terpadu untuk mengelola sumber daya ikan. Menurut Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, pada Pasal 1 butir disebutkan bahwa sumber daya ikan adalah potensi semua jenis ikan. Sedangkan pada butir 4 disebutkan bahwa ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Sebagaimana yang tertuang dalam penjelasan Undangundang No. 31 Tahun 2004, yang dimaksud dengan "jenis ikan" adalah: (1)
Pisces (ikan bersirip);
(2)
Crustacea (udang, rajungan, kepiting, dan sebangsanya);
(3)
Mollusca (kerang, tiram, cumi-cumi, gurita, siput, dan sebangsanya);
(4)
Coelenterata (ubur-ubur dan sebangsanya);
(5)
Echinodermata (tripang, bulu babi, dan sebangsanya);
(6)
Amphibia (kodok dan sebangsanya);
(7)
Reptilia (buaya, penyu, kura-kura, biawak, ular air, dan sebangsanya);
(8)
Mammalia (paus, lumba-lumba, pesut, duyung, dan sebangsanya);
(9)
Algae (rumput laut dan tumbuh-tumbuhan lain yang hidupnya di dalam air); dan
(10) Biota perairan lainnya yang ada kaitannya dengan jenis-jenis tersebut di atas
26
Besarnya potensi sumber daya ikan di atas disertai dengan kompleksitas permasalahan, baik struktural maupun fungsional, khususnya pada era pemerintahan orde baru yang sentralistik. Hal ini dicerminkan dengan kemiskinan yang masih melilit masyarakat nelayan. Padahal laut Indonesia menyimpan potensi sumber daya ikan yang sangat besar. Adrianto dan Kusumastanto (2004) mengatakan bahwa paling tidak ada tiga hal yang menjadi penyebab ketidakseimbangan dalam pembangunan perikanan Indonesia, yaitu: (1) masih rendahnya muatan teknologi di sektor kelautan dan perikanan, yang dicerminkan dengan 87% perikanan tradisional; (2) lemahnya pengelolaan; dan (3) masih kurangnya
dukungan
ekonomi-politik.
Dengan
demikian,
agar
tercipta
pembangunan perikanan berkelanjutan maka diperlukan kebijakan perikanan. Menurut Jones
(1977),
kebijakan
perikanan
adalah
serangkaian
keputusan yang saling berhubungan yang dibuat oleh seorang aktor perikanan berkenaan dengan pemilihan tujuan dan cara untuk mencapai tujuan dalam situasi yang dikuasai oleh aktor atau kelompok tersebut. Lebih lanjut Jones (1977) menyatakan kebijakan perikanan adalah suatu keputusan pemerintah untuk memecahkan masalah-masalah negara atau masyarakat nelayan. Kebijakan (policy) adalah rangkaian konsep dan azas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan untuk meningkatkan sasaran pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan merupakan suatu proses mengoptimalkan manfaat sumber daya alam dan sumber daya manusia yakni dengan cara menyerasikan aktivitas manusia sesuai dengan kemampuan daya dukung sumber daya alam. Perairan laut bersifat milik bersama (common resources ), sehingga siapa pun dapat memanfaatkan sumber daya hayati yang ada didalamnya. Menurut Smith dan Marahuddin (1986), menyatakan bahwa istilah ‘milik bersama’ merupakan pembagian hak-hak milik atas sumber daya
27
dimana beberapa pemilik mempunyai hak yang sama untuk menggunakan sumber daya ikan tersebut. Agar tidak terjadi konflik diantara pemanfaat laut, maka perlu dibuat peraturan perundang-undangan perikanan, baik yang berlaku secara lokal, nasional, regional maupun internasional. Dengan demikian, pengelolaan perikanan merupakan upaya yang dinamis, yaitu sesuai dengan perspektif para stakeholder yang senantiasa berkembang. Sebagai implikasi dari perkembangan perspektif tersebut, penyesuaian atau perubahan dapat terjadi pada tujuan, strategi dan kegiatan pengelolaan perikanan. Pada awalnya pengelolaan perikanan cenderung hanya bertujuan melestarikan sumber daya ikan. Namun pada perkembangan selanjutnya, tujuan ini semakin luas dengan adanya keprihatinan terhadap para pelaku utama, sehingga pengelolaan perikanan harus juga menguntungkan mereka. Pada saat kekayaan alam dianggap sebagai milik rakyat maka muncul perhatian agar sumber daya ikan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat luas. Oleh karena itu, pengelolaan perikanan saat ini bertujuan untuk melestarikan sumber daya ikan dan kondisi lingkungan, memaksimumkan manfaat ekonomi sumber daya ikan, dan memastikan diterapkannya keadilan terhadap para pengguna yang telah memanfaatkan sumber daya alam milik umum tersebut (Sondita 2004). Dengan tujuan-tujuan tersebut, kegiatan perikanan diharapkan berkelanjutan. Sementara itu, kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan ialah keputusan
dan
tindakan
pemerintah
untuk
mengarahkan,
mendorong,
mengendalikan dan mengatur pembangunan perikanan dan kelautan guna mewujudkan tujuan pembangunan nasional (Simatupang 2001). Kebijakan ini harus dipandang dalam konteks pembangunan nasional yang tujuannya tidak hanya untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan saja tetapi kesejahteraan seluruh rakyat. Ini berarti bahwa kebijakan pengelolaan perikanan dan kelautan
28
termasuk ke dalam kategori kebijakan publik, dilakukan oleh pemerintah dan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat luas. Untuk mewujudkan keberhasilan pencapaian pengembangan kawasan pesisir, maka penanganan kawasan ini perlu memperhatikan pembangunan yang berorientasi kepada (DKP dan PKSPL 2001): (1) Kebijakan yang didasarkan kepada kesesuaian dengan adat istiadat dan budaya setempat. (2) Berbasis kepada masyarakat. (3) Berwawasan lingkungan dengan pengelolaannya yang berdasarkan pada azas lestari dan berkelanjutan. (4) Tidak diskriminatif terhadap semua pelaku pembangunan dan stakeholder di kawasan pesisir, namun mempunyai jiwa kepeloporan dalam pembangunan. Menurut Charles (2001), terdapat tiga komponen kunci dalam sistem perikanan berkelanjutan, yaitu: (1) sistem alam (natural system ) yang mencakup ikan, ekosistem, dan lingkungan biofisik; (2) sistem manusia (human system) yang mencakup nelayan, sektor pengolah, pengguna, komunitas perikanan, lingkungan sosial/ekonomi/budaya; dan (3) sistem pengelolaan perikanan (fishery management system ) yang mencakup perencanaan dan kebijakan perikanan, manajemen perikanan, pembangunan perikanan, dan penelitian perikanan. Dengan demikian, dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa sistem perikanan adalah sistem yang kompleks. Kompleks didefinisikan apabila sistem tersebut memiliki sejumlah unsur yang terkait satu sama lain secara dinamik maupun statis (Charles 2001). Selanjutnya Charles (2001) mengungkapkan, bahwa dalam prakteknya, keragaman sistem perikanan bersumber dari beberapa hal, yaitu: (1) banyaknya tujuan dan seringkali menimbulkan konflik antar tujuan; (2) banyaknya spesies dan interaksi antar spesies dalam konteks level tropik; (3)
29
banyaknya kelompok nelayan beserta interaksinya dengan sektor rumah tangga dan komunitas; (4) banyaknya jenis alat tangkap dan interaksi antar mereka; (5) struktur sosial dan pengaruhnya terhadap perikanan; (6) dinamika informasi perikanan dan diseminasi; (7) dinamika interaksi antara sumber daya ikan, nelayan dan lingkungan; (8) ketidakpastian dalam masing-masing komponen sistem perikanan. Sementara itu, menurut Bailey (1988), kebanyakan penangkapan ikan di daerah pantai di Asia Tenggara sedang mendekati atau telah melampaui ambang penangkapan yang menjadi syarat bagi pemanfaatan maksimum , karena peningkatan-peningkatan luar biasa dalam usaha penangkapan ikan selama dua dasawarsa terakhir ini. Jumlah nelayan kecil yang terus meningkat dan digunakannya alat penangkap ikan yang sangat efektif seperti pukat harimau telah menciptakan suatu ancaman yang serius terhadap sumber daya ikan yang cukup rentan ini. Ada pengakuan yang semakin besar akan perlunya menetapkan rencana-rencana pengelolaan yang efektif atas penangkapan ikan di daerah pantai guna menjamin terpeliharanya hasil-hasil yang tinggi untuk jangka panjang. Menurut Azis et al. (1998), wilayah penangkapan ikan di Laut Jawa diindikasikan telah mengalami over fishing pada berbagai jenis stok sumber daya ikan seperti udang, ikan pelagis kecil, dan cumi-cumi. Beberapa hal yang mempengaruhi terjadinya over fishing, yaitu jumlah nelayan, jumlah armada penangkapan, serta jumlah dan jenis alat tangkap yang dipakai dalam perikanan tangkap di suatu wilayah perairan. Penangkapan ikan dengan metode tidak ramah lingkungan akan mempercepat terjadinya over fishing karena kegiatan penangkapan yang semakin tidak selektif dan terjadinya kerusakan habitat sebagai akibat dari metode penangkapan yang merusak. Namun alat tangkap
30
legal juga tetap menyebabkan over fishing jika penerapan effort dilakukan melebihi kapasitas yang mungkin bagi stok sumber daya dalam melakukan pemulihan (DKP 2003). Terjadinya
penangkapan
secara
berlebihan
disebabkan
oleh:
(1) meningkatnya jumlah penduduk sehingga meningkatkan tekanan terhadap sumber daya, termasuk perikanan tangkap; (2) sumber daya ikan bersifat akses terbuka sehingga setiap orang berhak untuk melakukan penangkapan secara bebas dan; (3) gagalnya manajeman perikanan` (DKP 2003a). Laju eksploitasi sumber daya ikan yang tinggi dan melebihi daya dukungnya berdampak langsung terhadap keberlanjutan ketersediaan sumber daya, mempercepat proses kerusakan sumber daya ikan dan menurunnya pertumbuhan ekonomi jangka panjang dengan cepat dan tidak dapat dihindari. Model pembangunan di masa mendatang tidak lagi sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan perikanan berkelanjutan. Menurut Gulland (1983), indikator terjadinya over fishing ditunjukkan dengan menurunnya ukuran ikan yang ditangkap, dan makin menurunnya CPUE. Berkurangnya jumlah dan komposisi spesies ikan merupakan indikator integritas biotik ekosistem perairan. Hal ini diakibatkan selain oleh penangkapan berlebih juga oleh adanya tekanan terhadap perairan sehubungan dengan pemanfaatan lahan di wilayah pesisir terutama konversi kawasan mangrove menjadi tambak dan sebagainya. Sumber daya ikan perlu dikelola secara baik untuk menjamin kelestariannya. Sumber daya ikan memiliki kelimpahan yang terbatas, sesuai daya dukung habitatnya. Sumber daya ikan dikenal sebagai sumber daya milik bersama yang rawan over fishing (Monintja dan Yusfiandayani 2001). Menurut Boer dan Azis (1995), salah satu tugas pengelola sumber daya ikan adalah menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) atau Total Allowable
31
Catch (TAC) yang akan didistribusikan menjadi porsi nasional (Domestic Harvesting Capacity/DHC). Besarnya TAC biasanya dihitung berdasarkan nilai hasil tangkapan maksimum lestari (MSY). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan dari seluruh potensi sumber daya ikan tersebut sebesar 5.01 juta ton per tahun atau sekitar 80% dari potensi lestari (DKP 2002). Dengan asumsi bahwa pemerintah sepenuhnya dapat mengendalikan kondisi over fishing dan jumlah nelayan, maka menurut Nikijuluw (2002) pemerintah dapat mengambil beberapa bentuk kebijakan dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan. Beberapa tindakan pengelolaan perikanan dalam melakukan pengendalian sumber daya, diantaranya yaitu: pengendalian terhadap masukan (input controls), pengendalian keluaran (output controls), tindakan teknik (technical measures), pengelolaan berbasis ekologi (ecologically based management), dan instrumen ekonomi tidak langsung (indirect economic instruments) (Charles 2001).
3.4.1 Pengendalian terhadap masukan (input controls) Ide dasar input controls adalah mengatur upaya tangkapan (fishing effort). Beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam input controls, diantaranya yaitu: (1) Pembatasan masukan (limiting entry) (2) Pembatasan kapasitas kapal (limiting the capacity per vessel) (3) Pembatasan intensitas operasi (limiting the intensity of operation) (4) Pembatasan waktu penangkapan (limiting time fishing) (5) Pembatasan lokasi penangkapan (limiting the location of fishing)
3.4.2 Pengendalian terhadap keluaran (output controls) Ketika input controls fokus pada pembatasan berbagai komponen upaya tangkapan, output controls fokus pada seluruh tangkapan yang diambil dari stok
32
ikan. Beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam output controls, diantaranya yaitu: (1) Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (total allowable catch) (2) Kuota individu (individual quota) (3) Kuota masyarakat (community quota) (4) Pengendalian (escapement controls)
3.4.3 Tindakan teknik (technical measures) Beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam tindakan teknik, diantaranya yaitu: (1) Pembatasan alat tangkap (gear restrictions) (2) Kebijakan ini pada dasarnya ditujukan untuk melindungi sumber daya ikan dari penggunaan alat tangkap yang bersifat merusak atau destruktif. Disamping itu, kebijakan ini juga dapat dilakukan dengan alasan sosial politik untuk melindungi nelayan yang menggunakan alat tangkap yang kurang atau tidak efisien. (3) Pembatasan ukuran (size limits) (4) Bentuk kebijakan ini pada hakekatnya lebih ditujukan untuk mencapai atau mempertahankan struktur umur yang paling produktif dari stok ikan.
Hal ini
dilakukan dalam rangka memberi kesempatan pada ikan yang masih muda untuk tumbuh, dan bertambah nilai ekonominya serta kemungkinan berproduksi sebelum ikan tersebut ditangkap. Kebijakan ini akan berdampak pada komposisi hasil tangkapan dan ukuran individu ikan yang tertangkap. Penerapan kebijakan ini secara tunggal (tidak diikuti oleh kebijakan lain), akan mengakibatkan tidak terkontrolnya jumlah hasil tangkapan, karena jumlah kapal yang melakukan penangkapan tidak terkontrol. (5) Penutupan kawasan (closed area)
33
(6) Kebijakan ini pada dasarnya mempunyai pengertian menghentikan kegiatan penangkapan ikan di suatu perairan. Kebijakan ini dapat bersifat permanen, atau dapat juga berlaku dalam kurun waktu tertentu. Dampak dari kebijakan ini relatif sama dengan kebijakan penutupan musim. Dalam hal ini terdapat beberapa negara yang menerapkan kebijakan ini untuk kapal ikan dengan ukuran tertentu dan atau alat tangkap tertentu. (7) Penutupan musim (closed season) (8) Penutupan musim penangkapan ikan merupakan pendekatan pengelolaan sumber daya ikan, yang umumnya dilakukan di negara dimana sistim penegakan hukumnya sudah maju. Pelaksanaan pendekatan ini didasarkan pada sifat sumber daya ikan yang sangat tergantung pada musim, dan sering kali hanya ditujukan pada satu spesies saja dalam kegiatan perikanan yang bersifat multi species. Beddington dan Ratting diacu dalam Nikijuluw (2002) mengemukakan adanya dua bentuk penutupan musim, yaitu : (1) Penutupan musim penangkapan ikan pada waktu tertentu, untuk memungkinkan ikan melakukan aktivitas pemijahan & berkembang biak (2) Penutupan kegiatan penangkapan ikan dengan alasan sumber daya ikan telah mengalami degradasi dan ikan yang ditangkap semakin sedikit. Oleh karena itu, dilakukan kebijakan ini untuk membuka peluang pada sumber daya ikan yang masih tersisa untuk memperbaiki populasinya.
3.4.4 Pengelolaan berbasis ekologi (ecologically based management) Pengelolaan berbasis ekologi merupakan salah satu metoda alternatif untuk pengelolaan ekosistem sumberdaya ikan. The Ecosystem Principles Advisory Panel (EPAP), menyatakan bahwa pengelolaan berbasis ekologi mengemban sedikitnya empat aspek utama, yaitu: (1) interaksi antara target species dengan predator, kompetitor dan spesies mangsa; (2) pengaruh musim
34
dan cuaca terhadap biologi dan ekologi ikan; (3) interaksi antara ikan dan habitatnya; dan (4) pengaruh penangkapan ikan terhadap stok ikan dan habitatnya, khususnya bagaimana menangkap satu spesies yang mempunyai dampak terhadap spesies lain di dalam ekosistem (Wiyono 2006). Selanjutnya
Wiyono
(2006)
menjelaskan
bahwa
pada
tataran
pelaksanaan, EBM sering dikaitkan dengan marine protected area (MPA), yang didefinisikan sebagai suatu wilayah yang populasi sumberdayanya bebas eksploitasi. Tujuan MPA adalah untuk melindungi sumber daya dari eksploitasi agar sumber daya tersebut pulih kembali. Disamping meningkatkan ukuran ikan, MPA juga diharapkan mampu mengembalikan stok sumber daya yang telah rusak. Khususnya bagi pengelolaan perikanan di Indonesia, mereka secara tegas mengusulkan untuk mengganti metoda pendekatan pengelolaan perikanan yang selama ini didasarkan pada nilai MSY dengan MPA.
3.4.5 Instrumen ekonomi tidak langsung (indirect economic instruments) Dalam mengelola sumber daya ikan, pemerintah dapat pula mengambil kebijakan-kebijakan yang bersifat tidak langsung. Kebijakan ini pada umumnya berkaitan erat dengan biaya dan harga, diantaranya adalah sebagai berikut : 1) Penerapan Pajak dan Subsidi Penerapan pajak maupun subsidi pada hakekatnya adalah kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah, dan akan berpengaruh pada struktur biaya produksi. Pencabutan atau penurunan pajak serta pemberian subsidi akan memberikan pengaruh pada semakin rendahnya biaya produksi, dari sini diharapkan akan mampu meningkatkan kesejahteraan nelayan pada tingkat produksi yang sama. Sebaliknya, pengenaan pajak serta pencabutan subsidi akan berdampak pada meningkatnya biaya produksi, dan hal ini dapat
35
mempengaruhi kesejahteraan nelayan, termasuk kelestarian sumber daya ikan. 2) Strategi Harga dan Pemasaran Kebijakan ini adalah bentuk lain dari upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan para nelayan. Sistem pemasaran serta harga yang baik akan memberikan dampak peningkatan pada kesejahteraan nelayan, dan pada akhirnya diharapkan akan berdampak pula pada semakin ringannya tekanan terhadap sumber daya ikan yang ada. Hal ini disebabkan strategi harga dan pemasaran yang tepat, dapat berdampak pada perolehan harga ikan yang optimal dan pada akhirnya akan memberikan pendapatan yang optimal pula.
3.5 Kebijakan Pemerintah Dalam Lampiran Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 18/Men/2002 tentang Rencana Strategis Pembangunan Kelautan dan Perikanan Tahun 2001-2004, disebutkan bahwa Departemen Kelautan dan Perikanan sebagai suatu organisasi perikanan yang bertanggung jawab melaksanakan sebagian tugas pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan. Lembaga ini memiliki tugas pokok dalam membantu presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan dalam bidang kelautan dan perikanan. Adapun fungsinya antara lain adalah melakukan: (1) Penetapan kebijakan di bidang kelautan dan perikanan untuk mendukung pembangunan secara makro. (2) Penetapan pedoman pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam di bidang kelautan dan perikanan. (3) Pengaturan tata ruang perairan di luar 12 mil.
36
(4) Penetapan kebijakan dan pengaturan eksplorasi, konservasi, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam perairan di wilayah laut diluar 12 mil, termasuk perairan nusantara dan dasar lautnya serta Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan landas kontinennya. (5) Penetapan kebijakan dan pengaturan batas-batas maritim yang meliputi batas-batas daerah otonom di laut dan batas-batas ketentuan hukum laut internasional. (6) Pemberian ijin di bidang kelautan dan perikanan, di wilayah luar 12 mil, termasuk perairan nusantara dan dasar lautnya, serta Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan landas kontinennya. Over fishing secara simultan disebabkan oleh baik armada perikanan tangkap skala industri (industrial fisheries), perikanan sekala kecil (artisanal fisheries), perikanan yang bersifat rekreasional maupun komersial, penangkapan oleh nelayan asing maupun lokal, dan penangkapan dengan menggunakan alat tangkap yang illegal maupun legal. Perikanan skala kecil menjadi sensitif karena eksploitasi biasanya dilakukan di sekitar pantai yang menjadi wilayah kritis bagi keberlanjutan stok sumber daya. Perikanan skala besar yang sangat potensial sebagai penyebab over fishing terutama karena lemahnya penegakkan hukum dan aturan-aturan terhadap jalur-jalur penangkapan ikan berdasarkan ukuran effort. Sistem manajemen perikanan konvensional saat ini masih berpedoman pada: (1) pembatasan volume hasil tangkapan; (2) pembatasan alat tangkap (ukuran mata jaring), (3) pembatasan effort (jumlah alat tertentu). Menurut Fauzi dan Anna (2005) dari hasil analisis ekonomi sumber daya didapatkan kondisi perairan pesisir yang sangat padat. Hal ini dapat terjadi karena perikanan bersifat quasi open accees. Untuk efisiensi pemanfaatan sumber daya ikan harus melakukan rasionalisasi armada penangkapan dengan membatasi jumlah armada. Pengaturannya yaitu kapasitas 0 – 10 GT izin
37
operasinya tetap di perairan pesisir hingga 4 mil. Untuk kapasitas 20 – 30 GT sebaiknya diarahkan beroperasi ke perairan yang berjarak lebih dari 12 mil. Jalur penangkapan ikan bertangung jawab disajikan pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2 Jalur-jalur penangkapan ikan berdasarkan SK Menteri Pertanian No.607/1976 Jalur penangkapan
Tertutup bagi
0 – 3 mil
Kapal penangkapan ikan bermesin dalam (Inboard) berukuran diatas 5 GT atau berkekuatan di atas 10 DK; semua jenis jaring Trawl, jaring pukat (Purse Seine), jaring lingkar (Gillnet), jaring hanyut tongkol (Drift gill net) dan jaring (pukat) di atas 120 meter panjang rentang (Saine Nets Longer)
3 – 7 mil
Kapal penangkap ikan inboard berukuran di atas 25 GT atau berkekuatan di atas 25 GT atau berkekuatan di atas 50 DK; jaring Trawl dasar berpanel (Otter Board) yang panjang taliris atas/ bawahnya di atas 12 meter, jaring trawl melayang (Pelagic Trawl), jaring trawl yang di tarik 2 kapal (Pair Trawl), dan pukat cincin yang panjangnya di atas 300 meter
7 – 12 mil
Kapal penangkap ikan inbord berukuran di atas 100GT atau berkekuatan di atas 200 DK; jaring trawl dasar dan melayang berpanel (Otter Board) yang panjang tali ris atas/ bawahnya di atas 20 meter, pair trawl, dan pukat cincin yang panjangnya di atas 600 meter.
12 – 200 mil
Pair trawl, kecuali di perairan Samudra Indonesia
Dalam konsep pembangunan perikanan berkelanjutan sebagaimana diamanatkan FAO melalui perikanan yang bertanggung jawab (code of conduct for responsible fisheries) dan kelestarian sumber daya ikan dengan cara memanfaatkannya seoptimum mungkin, menjadi fokus perhatian dunia. Upaya perencanaan kebijakan dan pengelolaan sumber daya ikan secara komprehensif dan berhasil guna, hendaknya ditindak-lanjuti dengan penyiapan pembangunan yang baik. Dengan pengelolaan yang tepat dan optimal, maka diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat nelayan (Purbayanto et al. 2004).
38
Sumber daya ikan itu sangat penting bagi pembangunan yang berbasis sumber
daya
(resource-based
development).
Tanpa
sumber
daya,
pembangunan perikanan tidak akan ada. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya ikan adalah jantungnya pembangunan perikanan. Jika ada upaya untuk mengelola sumber daya ikan, secara implisit hal tersebut berarti menyusun langkah-langkah untuk membangun perikanan. Sebab itu, tujuan mengelola sumber daya sering juga disamakan dengan tujuan pembangunan perikanan (Nikijuluw 2002). Di kawasan Asia Tenggara, tujuan sosial dan ekonomi seringkali bertentangan dalam pengelolaan penangkapan ikan daerah pantai. Di negara yang pemerintahannya menekankan tujuan-tujuan ekonomi, kebijaksanaan ditujukan untuk menjamin persediaan ikan yang memadai dengan harga yang dapat dijangkau oleh para konsumen lokal, guna meningkatkan pendapatan valuta asing dari sektor produk-produk perikanan seperti udang, dan untuk meningkatkan efisiensi ekonomi (tingkat keuntungan) dalam sektor perikanan (Bailey 1988). Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) adalah salah satu hasil kesepakatan dalam konferensi FAO pada tanggal 31 Oktober 1995 untuk menyusun petunjuk teknis perikanan bertanggung jawab. Tata laksana ini menjadi azas dan standar internasional mengenai pola perilaku praktek bertanggung jawab dalam pengusahaan sumber daya perikanan dengan maksud untuk
menjamin
terlaksananya
aspek
konservasi,
pengelolaan
dan
pengembangan efektif sumber daya hayati akuatik berkenaan dengan pelestarian ekosistem dan sumber daya hayati (DKP, 2003a). Kebijakan dan perencanaan perikanan merupakan elemen paling kritis dalam sistem pengelolaan perikanan. Efektivitas pengelolaan perikanan
39
didasarkan pada tujuan sosial dan melalui penggunaan kebijakan serta perangkat birokrasi yang sesuai (Charles 2001). Perikanan tangkap merupakan kegiatan ekonomi yang mencakup penangkapan/pengumpulan hewan dan tanaman air yang hidup di laut secara bebas. Pengembangan usaha perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Terdapat beberapa aspek yang berpengaruh dalam kegiatan perikanan tangkap untuk dikembangkan di suatu kawasan konservasi, antara lain: (1) aspek biologi, berhubungan dengan sediaan sumber daya ikan, penyebarannya, komposisi ukuran hasil tangkapan dan spesies, (2) aspek teknis, berhubungan dengan unit penangkapan, jumlah kapal, fasilitas penanganan di kapal, fasilitas pendaratan dan fasilitas penanganan ikan di darat, (3) aspek sosial, berkaitan dengan kelembagaan dan tenaga kerja serta dampak usaha terhadap nelayan, dan (4) aspek ekonomi, berkaitan dengan hasil produksi dan pemasaran serta efisiensi biaya operasional yang berdampak kepada pendapatan bagi stakeholders (Charles 2001).
3.6 Aspek Pengelolaan Daerah Penangkapan Ikan Meskipun sumber daya ikan mempunyai sifat dapat pulih tetapi mudah mengalami
kemunduran
akibat
adanya
gangguan-gangguan
lingkungan
termasuk kegiatan penangkapan yang berlebihan. Berdasarkan hal tersebut, maka perlindungan sumber daya ikan terhadap upaya penangkapan yang lebih harus dilakukan secara seksama, dan dengan selalu mengikuti perkembangan tingkat eksploitasi dari sumber daya ikan tersebut. Pengalihan daerah penangkapan ikan perlu dilakukan apabila produksi hasil tangkapan di perairan daerah-daerah penangkapan tersebut telah melebihi
40
potensi lestari, untuk itu diperlukan daerah penangkapan baru yang belum terjangkau banyak oleh nelayan. Pemanfaatan sumber daya ikan yang berkelanjutan menuntut pemanfaatan yang tidak melebihi ambang batas dari daya replika dan reproduksi dari sumber daya ikan dalam periode waktu tertentu. Oleh karena itu, laju pemanfaatan sumber daya ikan tidak boleh lebih dari ambang pulih (potensi lestari). Dalam bidang perikanan tangkap, pedoman tingkat penangkapan suatu stok ikan tidak boleh melebihi 80% dari nilai MSY. Menurut DKP (2003b), konsep dasar program sistem intensif CCRF adalah: (1) Pemeliharaan dan perlindungan ekosistem perairan. (2) Pengembangan organisasi, manajemen, dan kelembagaan. (3) Pengembangan teknologi alat penangkap ikan yang selektif dan ramah lingkungan. (4) Peningkatan pemahaman terhadap penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan. (5) Peningkatan mutu hasil perikanan. (6) Peningkatan keselamatan dan keamanan aktifitas penangkapan ikan. (7) Integrasi perikanan tangkap dengan pengelolaan kawasan pesisir. Menurut DKP (2003b), dalam pemanfaatan sumber daya ikan yang bertanggung jawab (responsible fisheries) harus mengedepankan prinsip-prinsip kehati-hatian (precautionary approach) baik dalam pengelolaan, penelitian, teknologi, dan introduksi spesies. Dalam pendekatan
kehati-hatian ini
perhitungan ketidakpastian dalam sistem perikanan dan kebutuhan mengambil tindakan dengan pengetahuan yang terbatas. Maksud diberlakukannya CCRF dalam sub sektor perikanan tangkap adalah untuk menjamin konservasi, pengelolaan dan pengembangan efektif sumber daya hayati perairan melalui
41
perlindungan ekosistem dan keragaman hayati. Oleh karena itu harus memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut : (1) Pertimbangan akan kebutuhan generasi mendatang dan menghindari perubahan-perubahan yang secara potensial tidak pulih. (2) Identifikasi sebelumnya tentang akibat yang tidak diinginkan dan langkahlangkah yang akan menghindari atau memperbaikinya dengan segera. (3) Setiap langkah-langkah perbaikan yang diperlukan harus mencapai tujuannya segera. (4) Jika dampak yang mungkin timbul dari pemanfaatan sumber daya ikan adalah tidak pasti, maka prioritas harus diberikan pada melestarikan kapasitas produksi dari sumber daya tersebut. (5) Kapasitas pemanenan dan pengolahan harus sepadan dengan tingkat perkiraan lestari sumber daya dan bahwa peningkatan kapasitas harus dipertahankan apabila produktivitas sumber daya sangat tidak pasti. (6) Semua kegiatan penangkapan ikan harus mempunyai otoritas terlebih dahulu dan mengacu pada tinjauan ulang secara berkala. (7) Perlu sebuah kerangka hukum dan kelembagaan yang ditetapkan bagi pengelolaan perikanan. (8) Penempatan yang tepat dari beban bertanggung jawab pembuktian yang memuaskan dengan cara mengikuti syarat-syarat sebelumnya.
3.7 Partisipasi Masyarakat Untuk mencapai pemanfaatan sumber daya ikan secara berkelanjutan dan demi menghindari apa yang umumnya dikenal dengan “tragedi milik bersama”, pengelolaan harus dilakukan secara bersungguh-sungguh. Umumnya diasumsikan bahwa pengelolaan sumber daya ikan adalah tanggung jawab pemerintah. Sebaliknya pengguna atau mereka yang memanfaatkan sumber
42
daya terdiri dari nelayan, koperasi nelayan, masyarakat desa pantai, perusahaan swasta dan asing, merasa tidak memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya ikan (Bailey 1988). Peran serta mengandung arti: (1) kegiatan atau pernyataan untuk ikut mengambil bagian dalam suatu kegiatan; (2) kerjasama dalam suatu hubungan yang saling menguntungkan. Peran serta dalam pengelolaan lingkungan berarti peran serta seseorang atau sekelompok masyarakat dalam proses pemanfaatan, pengendalian dan penilaian lingkungan baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan dengan memberikan masukan berupa pikiran, tenaga, waktu, keahlian , modal dan atau materi, serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pengelolaan lingkungan. Besarnya manfaat lingkungan yang dapat dinikmati oleh pelaku peran serta sangat tergantung pada mutu sumbangannya dalam pengelolaan lingkungan. Sementara itu besar dan mutu sumbangannya dalam pengelolaan sangat tergantung pada tingkat kemampuan serta tingkat kesempatan yang diperoleh untuk berperan serta dalam proses pengelolaan lingkungan tersebut (Bailey 1988). Pengelolaan sumber daya ikan sebagai pedoman dalam pengelolaaan perikanan tangkap yang merupakan alat untuk memacu produktivitas dan evaluasi serta pengawasan. Menurut Bailey (1988), sasaran-sasaran sosial dalam pengelolaan industri penangkapan ikan akan meningkatkan penciptaan kesempatan kerja dan hasil yang wajar bagi jumlah terbesar mereka yang membutuhkan pekerjaan. Kriteria ini menguntungkan kebijakan yang mendukung unit-unit produksi ukuran kecil yang mempekerjakan lebih banyak orang dalam jumlah yang cukup besar per satuan investasi, yang mengakibatkan pembagian pendapatan yang lebih luas dan lebih wajar, dan penyebaran pemilikan modal bagi banyak rumah tangga.
43
Pentingnya pelibatan masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan
pengelolaan
perikanan
tangkap,
yaitu:
(1)
langkah
awal
mempersiapkan masyarakat untuk menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat setempat terhadap program pengelolaan perikanan tangkap yang dilaksanakan; (2) sebagai alat untuk memperoleh informasi mengenai kebutuhan, kondisi dan sikap masyarakat setempat; dan (3) masyarakat mempunyai hak urun rembuk dalam menentukan program pengelolaan lingkungan yang akan dilaksanakan di wilayah mereka (Nikijuluw 2002).
3.8 Dasar Hukum Pengelolaan Perikanan Tangkap 3.8.1 Hukum internasional 1) United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut atau yang juga dikenal dengan UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea) banyak mengatur mengenai pengelolaan perikanan. UNCLOS 1982 ditandatangani oleh 119 negara di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982 yang terdiri dari 17 bab, 320 pasal dan 9 lampiran serta beberapa resolusi pendukungnya. Peristiwa ini merupakan puncak dari kegiatankegiatan United Nation Sea-Bed Committee dan Konferensi PBB. Sebagai suatu perangkat hukum laut yang baru, di samping mencerminkan hasil usaha masyarakat
internasional
untuk
mengkodifikasikan
ketentuan-ketentuan
internasional yang telah ada, UNCLOS 1982 ini juga menggambarkan suatu perkembangan
yang
progresif
(progresive development)
dalam
hukum
internasional. Di dalam UNCLOS 1982, pengaturan hal-hal yang berkaitan dengan perikanan dimasukan ke dalam Bab 5 tentang Zona Ekonomi Eksklusif. UNCLOS 1982 menetapkan berbagai aturan untuk perlindungan dan pemanfaatan dari
44
sumber-sumber perikanan dalam Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) serta hak-hak dan kewajiban negara pantai dalam kaitan dengan sumber-sumber hayati tersebut. Pada Pasal 61 UNLOS 1982 diatur mengenai negara pantai (coastal state) yang harus menentukan jumlah tangkapan sumber kekayaan hayati yang diperbolehkan di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), yang didasarkan pada bukti ilmiah terbaik (the best scientific evidence) agar terhindar dari kegiatan eksploitasi yang berlebihan. Tindakan-tindakan tersebut bertujuan dalam memelihara atau memulihkan populasi jenis yang dapat dimanfaatkan pada tingkat yang dapat menjamin hasil maksimum yang lestari. Aturan selanjutnya adalah mengenai kegiatan kerjasama penangkapan ikan di ZEE. Pada Pasal 62 UNCLOS 1982 disebutkan bahwa bagi negara pantai yang tidak mempunyai kemampuan dalam memanfatkan sumber daya ikan dari alokasi yang ditetapkan, maka negara pantai dapat memberikan kesempatan kepada negara lain untuk turut serta dalam pemanfaatan sumber daya ikan tersebut. Biasanya, hal ini dilakukan dengan mengadakan bentuk kerjasama penangkapan ikan pada ZEE dengan suatu perjanjian khusus. UNCLOS 1982 juga mengatur mengenai persediaan ikan pada ZEE yang berada di dua negara atau lebih. UNCLOS 1982 menghendaki untuk diadakannya persetujuan internasional di dalam dua hal, yaitu: pertama, apabila sumber daya ikan berada di dalam ZEE dari dua negara pantai atau lebih, dan kedua, dalam hal sumber daya ikan berada di dalam ZEE serta di laut di luar ZEE, maka negara pantai dan negara penangkap ikan dapat mengadakan persetujuan melalui organisasi regional perihal pengaturan konservasi dan pengembangan dari stok tersebut (Pasal 63 UNCLOS 1982). Selain itu, secara jelas UNCLOS 1982 mengatur mengenai pengelolaan berbagai jenis sumber daya ikan, yaitu: (1) jenis ikan yang bermigrasi jauh (highly
45
migratory species), (2) mamalia laut (marine mammals), (3) persediaan jenis ikan anadrom (anadromous stockls), (4) jenis ikan katadrom (catadromous species ), (5) jenis sedenter (sedentary species).
2) Agenda 21 Agenda 21 adalah satu dari tiga dokumen yang disepakati dalam Konferensi Lingkungan Hidup dan Pembangunan PBB (United Nations Conference on Environment and Development/UNCED) dan telah diadopsi oleh 178 negara, termasuk Indonesia. Konferensi yang diselenggarakan di Rio de Jeneiro, Brazil pada tanggal 3 sampai 14 Juni 1992 ini merupakan pertemuan lanjutan negara-negara yang berorientasi pada penyelematan bumi, sehingga konferensi ini dikenal dengan sebutan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi. Sesuai dengan hasil kesepakatan negara-negara dalam UNCED, konsep pembangunan
berkelanjutan
(sustainibility
development)
harus
diimplementasikan oleh negara-negara melalui hukum lingkungan nasionalnya masing-masing.
Secara
konseptual,
pembangunan
berkelanjutan
harus
dilaksanakan berlandaskan kemitraan antara negara maju dengan negara berkembang untuk dapat menyelaraskan pembangunan dengan perlindungan lingkungan. Salah satu keluaran yang dihasilkan pada konferensi tersebut adalah Rio Declaration on Environment and Development atau disebut Rio Principles, berisikan 27 prinsip, yaitu: (1) Prinsip Pertama. Manusia merupakan sasaran utama pembangunan berkelanjutan, sehingga manusia berhak memperoleh kehidupan yang layak dan produktif yang serasi dengan alam. (2) Prinsip Kedua. Setiap negara, berdasarkan piagam PBB dan prinsip-prinsip hukum internasional, diakui memiliki kedaulatan penuh untuk memanfaatkan
46
sumberdaya alam mereka, sesuai dengan kebijakan bidang lingkungan dan pembangunan masing-masing dan juga berkewajiban menjaga agar kegiatan yang
berlangsung
di
dalam
wilayahnya
atau
berada
di
bawah
pengawasannya tidak menimbulkan kerusakan lingkungan negara lain atau wilayah di luar batas wilayah nasional negara-negara. (3)
Prinsip Ketiga. Hak pembangunan harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga memenuhi kebutuhan pembangunan dan lingkungan hidup, baik bagi generasi masa kini dan masa depan.
(4)
Prinsip Keempat. Perlindungan lingkungan harus diperhitungkan sebagai bagian terpadu proses pembangunan, tidak dapat dipandang sebagai suatu yang terpisah.
(5)
Prinsip Kelima. Kerjasama internasional dalam rangka pemberantasan kemiskinan, prasyarat perwujudan pembangunan berkelanjutan, untuk mengurangi kesenjangan batas hidup layak (standard of living).
(6)
Prinsip Keenam. Prioritas dan perlakuan utama bagi negara-negara berkembang dan negara-negara terbelakang dan rawan lingkungan hidupnya.
(7)
Prinsip Ketujuh. Setiap tingkat tanggung jawab negara-negara
dalam
usaha pelestarian, perlindungan dan pemulihan kondisi dan keterpaduan ekosistem bumi, berbeda-beda sesuai dengan
pengrusakan yang
ditimbulkannya. (8)
Prinsip Kedelapan. Penghapusan pola produksi maupun konsumsi yang tidak layak dan peningkatan kependudukan yang tepat.
(9)
Prinsip
Kesembilan.
Kerjasama
antar
pemerintah
dalam
rangka
peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, peningkatan pembangunan, penyesuaian, pemberesan dan alih teknologi.
47
(10) Prinsip
Kesepuluh.
Peningkatan
kesempatan
masyarakat
untuk
memperoleh informasi lingkungan, termasuk konsumsi bahan berbahaya di sekitar mereka, serta partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan. (11) Prinsip Kesebelas. Pemberlakuan ketentuan lingkungan secara efektif. Penetapan persyaratan baku mutu lingkungan dan standar lain yang seimbang antara pembangunan dan perlindungan lingkungan, sesuai kondisi setempat. (12) Prinsip Keduabelas. Pembebanan persyaratan lingkungan dalam bidang perdagangan, yang bertujuan memperbaiki lingkungan, tidak boleh dianggap sebagai perdagangan tidak jujur. (13) Prinsip Ketigabelas. Penyusunan hukum tentang denda dan ganti rugi, baik secara nasional maupun internasional, oleh setiap pemerintah negara untuk keperluan perlindungan hak-hak korban pencemaran atau kerusakan lingkungan lainnya. (14) Prinsip Keempatbelas. Pencegahan peralihan bahan perusak lingkungan dari satu negara ke negara lainnya oleh setiap pemerintah. (15) Prinsip Kelimabelas. Penerapan pendekatan preventif dalam masalah lingkungan hidup sesuai kemampuan masing-masing negara. (16) Prinsip Keenambelas. Penerapan prinsip ”pencemar harus menanggung kerugian
yang
timbul
akibat
pencemaran
yang
dibuatnya”
untuk
meningkatkan swadaya biaya-biaya lingkungan. (17) Prinsip Ketujuhbelas. Penerapan wajib AMDAL terhadap setiap kegiatan yang potensial dampak. (18) Prinsip Kedelapanbelas. Setiap pemerintah hendaknya memberitahukan secara dini kemungkinan bahaya lingkungan yang bersifat tiba-tiba. Setiap negara berusaha membantu negara lainnya dalam mengatasi masalah tersebut.
48
(19) Prinsip
Kesembilanbelas.
Setiap
pemerintah
hendaknya
memberi
peringatan dini dan setepat mungkin serta informasi lainnya yang sepatutnya kepada negara-negara tetangganya yang terancam dampak negatif yang bersifat antar wilayah. (20) Prinsip Keduapuluh. Pengakuan peran serta wanita dalam pembangunan berkelanjutan. (21) Prinsip Keduapuluh Satu. Penggalangan semangat dan kreativitas generasi muda dalam rangka menumbuhkan kemitraan global. (22) Prinsip Keduapuluh Dua. Kewajiban pemerintah untuk menghormati tradisi, pengetahuan dan peran penduduk asli dalam pengelolaan lingkungan dan pembangunan, memelihara jatidiri, kebudayaan dan kepentingan mereka. (23) Prinsip KeduapuluhTiga. Keharusan perlindungan lingkungan hidup milik bangsa tertindas atau terjajah. (24) Prinsip Keduapuluh Empat. Perlindungan lingkungan hidup pada masa perang. (25) Prinsip Keduapuluh Lima. Perdamaian, pembangunan dan perlindungan lingkungan merupakan masalah saling berkaitan. (26) Prinsip Keduapuluh Enam. Kewajiban penyelesaian sengketa lingkungan secara damai. (27) Prinsip
Keduapuluh
Tujuh.
Pelaksanaan
prinsip-prinsip
deklarasi
berdasarkan kerjasama pemerintah dan anggota masyarakat, berdasarkan itikad baik, semangat kemitraan bersama.
3) Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas (1993) UNCLOS 1982 mensyaratkan kewajiban semua negara yang memanfaatkan sumber daya ikan di laut lepas untuk saling bekerja sama dalam menciptakan
49
kelestarian sumberdaya ikan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 117 dan Pasal 118. Oleh karenanya, untuk menciptakan kelestarian tersebut, maka pada tanggal 24 November 1993 FAO menetapkan Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessel on the High Seas (FAO Compliance Agreement 1993). Tujuan ditetapkannya aturan hukum internasional yang hanya berisi 16 pasal ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar praktik penangkapan ikan di laut lepas (high seas) dan menerapkan langkah-langkah konservasi sumber daya hayati laut dengan meningkatkan peranan organisasi perikanan multilateral. Prinsip-prinsip umum dalam FAO Compliance Agreement 1993, yaitu: (1) Laut lepas terbuka untuk semua negara atau laut lepas bukan merupakan suatu wilayah kedaulatan negara manapun, sehingga setiap negara mempunyai kebebasan untuk melakukan penangkapan ikan di laut lepas. (2) Kewajiban setiap negara di laut lepas adalah menjaga kelestarian sumberdaya ikan dengan cara melakukan kerjasama dengan negara-negara lain dalam pelestarian sumberdaya ikan. (3) Konsevasi dan pengelolaan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di laut lepas harus berdasarkan pada prinsip pembangunan berkelanjuutan. Adapun materi pokok FAO Compliance Agreement 1993 diantara yaitu: (1) eberlakuan dari perjanjian atau aplikasi. (2) Tanggung jawab dari negara bendera kapal. (3) Pencatatan kapal-kapal nelayan. (4) Kerjasama internasional. (5) Pertukaran informasi. (6) Kerjasama dengan negara-negara berkembang. (7) Hubungan perjanjian dengan negara-negara yang tidak menjadi anggota. (8) Penyelesaian sengketa.
50
4) Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) 1995 yang dikeluarkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) ditetapkan dalam suatu konferensi yang diselenggarakan pada tanggal 31 Oktober 1995. CCRF dimulai pada pertemuan Committee on Fisheries (COFI) bulan Maret 1991 yang memunculkan rekomendasi penting agar FAO membangun sebuah konsep perikanan yang bertanggung jawab (responsible fisheries) (Adrianto, 2005). Munculnya CCRF 1995 tidak lepas dari dorongan kedua konferensi, yaitu KTT Bumi 1992 dan Konferensi Perikanan Internasional yang berlangsung sebulan sebelum pelaksanaan KTT Bumi 1992. CCRF 1995 merupakan buku petunjuk yang sangat berguna bagi seluruh masyarakat perikanan internasional, sehingga setiap negara dituntut untuk menyusun kebijakan perikanan yang berbekelanjutan (sustainable fisheries). Dalam Pasal 1 ayat (2), disebutkan bahwa CCRF 1995 dapat menjadi pedoman bagi stakeholders perikanan dalam menetapkan kebijakan atau tindakan-tindakan yang berkaitan dengan eksploitasi, konservasi, pengolahan hasil dan pemasaran sumberdaya perikanan. Hal ini dikarenakan, CCRF 1995 disusun dengan merujuk berbagai aturan konservasi internasional yang relevan, seperti Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982, Agenda 21 dan Prinsip-prinsip Deklarasi Rio 1992, serta kebijakan internasional lainnya. Sedangkan dalam hubungannya dengan perdagangan perikanan, CCRF 1995 merujuk pada perjanjian World Trade Organizational (WTO) sebagaimana tercantum pada Pasal 6 ayat (14). Secara garis besarnya, CCRF 1995 mengatur enam tema besar permasalahan perikanan, yaitu pengelolaan perikanan (fisheries management), operasi perikanan (fisheries operation), pembangunan budidaya perikanan (aquaculture development), integrasi pengelolaan perikanan hingga wilayah
51
pesisir (integration of fisheries into coastal area management), praktik-praktik perdagangan dan pasca-panen (post-harvesting practices and trade), dan penelitian perikanan (fisheries research). Dalam Pasal 6, tertuang prinsip-prinsip umum (general principles) yang harus dijadikan pedoman dalam setiap aktivitas perikanan, yaitu: (1) Negara dan para pengguna (users) sumberdaya hayati harus melestarikan ekosistem perairan; (2) Pengelolaan perikanan harus mendorong terciptanya pelestarian kualitas, keragaman, dan kuantitas persediaan sumberdaya yang memadai bagi generasi sekarang dan masa depan, dalam konteks jaminan ketersediaan pangan, pengentasan kemiskinan, dan pembangunan berkelanjutan. (3) Negara harus mencegah terjadinya kegiatan penangkapan ikan yang berlebih (overfishing) dan melampaui kapasitas perikanan; (4) Keputusan tentang pengelolaan dan konservasi sumberdaya perikanan harus didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terbaik (the best scientific evidence); (5) Negara dan organisasi yang melakukan pengelolaan perikanan, baik dalam tingkatan regional maupun sub-regional harus melakukan pendekatan kehatihatian (precautionary aprroach); (6) Seleksi terhadap penggunaan alat tangkap harus lebih dibangun dan dilaksanakan; (7) Pemanenan, penanganan, pengolahan dan distribusi ikan dan produk perikanan harus dilakukan dengan cara-cara tertentu, sehingga akan menjaga nilai gizi, kualitas dan keamanan produknya, mengurangi sampah serta meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan; (8) Semua habitat ikan di laut dan ekosistem air tawar, seperti hutan basah, hutan mangrove, terumbu karang, danau, rawa, daerah pemijahan serta daerah pembesaran harus dilindungi dan direhabilitasi;
52
(9) Negara harus menjamin agar kepentingan sumber daya perikanan, termasuk kebutuhan akan kelestarian sumberdaya, diperhitungkan dalam berbagai bentuk penggunaan wilayah pesisir dan mengintegrasikannya dalam pengelolaan, perencanaan dan pembangunan; (10) Sesuai kemampuannya masing-masing dan berdasarkan pada hukum internasional, negara harus menjamin pemenuhan dan penegakan tindakan pengelolaan dan konservasi serta mekanisme yang efektif untuk memantau dan mengontrol aktivitas kapal ikan, termasuk ke dalamnya adalah kerangka kerja organisasi pengelolaan dan pelestarian perikanan baik tingkat regional maupun sub-regional; (11) Negara yang mengizinkan kapal-kapal ikan beroperasi di wilayahnya harus melakukan pengawasan yang efektif terhadap aktivitas kapal-kapal tersebut guna menjamin pelaksanaan CCRF 1995; (12) Sesuai kemampuannya masing-masing dan berdasarkan pada hukum internasional, perjanjian internasional atau kesepakatan lainnya, negara harus melakukan kerjasama di tingkat sub-regional, regional, dan global dalam organisasi pengelolaan perikanan untuk mendorong pengelolaan dan konservasi, menjamin perikanan yang bertanggung jawab, dan menjamin perlindungan serta pelestarian yang efektif sumberdaya hayati akuatik; (13) Sejauh dimungkinkan oleh hukum nasionalnya, negara harus menjamin proses pengambilan keputusan yang transparan dan tepat waktu dalam menyelesaikan masalah-masalah yang mendesak. Berdasarkan pada ketepatan prosedur, negara harus memfasilitasi konsultasi dan partisipasi yang efektif dari pihak industri, pekerja perikanan, organisasi lingkungan dan organisasi lainnya dalam pembuatan keputusan tentang pembangunan hukum dan kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan, pembangunan, bantuan dan pinjaman internasional;
53
(14) Perdagangan internasional pada ikan dan produk perikanan harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip, hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang tercantum pada perjanjian WTO dan perjanjian internasional lainnya yang relevan. Negara harus menjamin agar kebijakan, program-program serta praktik-parktik mereka yang berkaitan dengan perdagangan ikan dan produk perikanan tidak menimbulkan hambatan dalam perdagangan, degradasi lingkungan atau dampak sosial yang negatif, termasuk masalah gizi; (15) Negara harus bekerjasama untuk mencegah terjadinya sengketa. Semua sengketa yang berkaitan dengan praktek dan kegiatan perikanan harus diselesaikan tepat waktu, damai dan kerjasama, sesuai dengan perjanjian internasional atau kesepakatan antar para pihak. Kalau pun penyelesaian sengketa ditunda, negara yang bertikai harus membuat kesepakatan sementara yang bersifat praktis, tanpa harus mengabaikan upaya pelestarian sengketa secara final; (16) Pengakuan terhadap arti penting pekerja perikanan dan nelayan dalam memahami pengelolaan dan pelestarian sumber daya perikanan, negara harus meningkatkan kesadaran perikanan yang bertanggung jawab melalui pelatihan dan pendidikan. Negara harus menjamin pekerja perikanan dan nelayan terlibat dalam penyusunan kebijakan dan proses pelaksanaannya, juga memfasilitasi pelaksanaan CCRF 1995; (17) Negara harus menjamin fasilitas dan perlengkapan perikanan serta semua aktivitas perikanan yang aman, sehat, terbuka, kondisi kehidupan dan pekerjaan yang adil, serta memenuhi standar internasional yang telah ditetapkan oleh organisasi internasional yang relevan; (18) Dengan adanya pengakuan terhadap pentingnya sumbangan nelayan kecil dalam penyediaan lapangan kerja, pendapatan dan keamanan pangan,
54
negara harus melindungi hak pekerja perikanan dan nelayan, khususnya nelayan yang tergolong nelayan subsisten; (19) Negara harus mempertimbangkan budidaya air, termasuk budidaya berbasis perikanan, sebagai sarana mendukung diversifikasi pangan dan pendapatan. Namun demikian, negara harus menjamin penggunaan sumberdaya yang bertanggung jawab, menjaga dampak terhadap lingkungan dan komunitas masyarakat lokal.
5) Agreement For The Implementation Of The Provisions Of The United Nations Convention On The Law Of The Sea Of 10 December 1982 Relating To The Conservation And Management Of Straddling Fish Stocks And Highly Migratory Fish Stocks (1995) Pola migrasi dan siklus hidup ikan yang bermigrasi jauh (Highly Migratory Fish Stocks) dan bermigrasi terbatas (Straddling Fish Stocks) membuat rentan dalam pemanfaatan sumber daya ikan. Hal ini dikarenakan, pemanfaatan yang berlebihan menyebabkan menurunnya ketersediaan sumber daya ikan. Lebih dari itu, permasalahan ini berujung pada konflik kepentingan antara negara pantai (coastal state) dengan negara penangkap ikan jarak jauh (distant water fisheries nation). Oleh karena itu, diperlukan kerjasama pengelolaan perikanan, baik di tingkat sub-regional, regional maupun global, diharapkan menjadi solusi dalam mengatasi permasalahan perikanan ini. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, pada tahun 1995 PBB menyusun suatu perjanjian baru untuk mengimplementasikan ketentuan UNCLOS 1982, yaitu disahkannya Agreement for the Implementation of the Provision of the UNCLOS of 19 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks (UN Fish Stock Agreement atau UNIA). UN Fish Stock Agreement 1995 merupakan persetujuan multilateral yang mengikat para pihak dalam masalah konservasi
55
dan pengelolaan jenis-jenis ikan yang bermigrasi jauh dan bermigrasi terbatas, sebagai pelaksanaan dari Pasal 63 dan Pasal 64 Konvensi Hukum Laut 1982. UN Fish Stock Agreement 1995 terdiri dari 50 pasal dan dua lampiran, yaitu: (1) Lampiran I: Persyaratan standar dan pertukaran data; (2) Lampiran II: Petunjuk bagi pelaksanaan titik rujuk pencegahan dalam konservasi dan pengelolaan stok ikan yang bermigrasi terbatas dan bermigrasi jauh; (3) Uraian mengenai kewajiban negara-negara anggota berkaitan dengan kapal perikanan
yang
mengibarkan
bendera
yang
melakukan
kegiatan
penangkapan ikan di laut lepas; (4) Memperkenalkan ketentuan yang berkaitan dengan persyaratan bagi negaranegara berkembang; (5) Pengumpulan dan penyajian informasi dan kerjasama penelitian ilmiah; (6) Sistem monitoring, controlling dan surveilance; (7) Persyaratan standar pengumpulan dan pertukaran data. Adapun
prinsip-prinsip
umum
UN
Fish
Stock
Agreement
1995
sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 5, yaitu: (1)
Mengambil tindakan-tindakan untuk menjamin kelestarian jangka panjang stok ikan yang bermigrasi terbatas dengan stok ikan yang bermigrasi jauh dan mendorong tujuan penggunaan optimal mereka;
(2)
Menjamin bahwa tindakan-tindakan tersebut didasarkan pada bukti ilmiah terbaik dan dirancang untuk memelihara atau memulihkan stok ikan pada tingkat yang dapat menjamin hasil maksimum yang lestari;
(3)
Menerapkan prinsip kehati-hatian sesuai dengan Pasal 6;
(4)
Mengukur dampak dari penangkapan ikan, kegiatan manusia lainnya dan faktor-faktor lingkungan terhadap stok target dan spesies yang termasuk
56
dalam ekosistem yang sama atau berhubungan dengan atau tergantung pada stok target; (5)
Apabila diperlukan, mengambil tindakan konservasi dan pengelolaan untuk spesies dalam ekosistem yang sama atau berhubungan dengan atau tergantung pada stok target tersebut, dengan tujuan untuk memelihara atau memulihkan populasi dari spesies tersebut di atas tingkat, dimana reproduksinya dapat sangat terancam;
(6)
Meminimalkan pencemaran, sampah, barang-barang buangan serta tangkapan yang tidak berguna atau alat tangkap yang ditinggalkan, tangkapan spesies yang bukan target (baik spesies ikan maupun bukan spesies ikan), dan dampak terhadap spesies, melalui tindakan yang lazim, pengembangan dan penggunaan yang efektif, alat tangkap dan teknik yang aman secara lingkungan dan murah;
(7)
Melindungi keanekaragaman hayati di lingkungan laut;
(8)
Mengambil
tindakan
untuk
mencegah
atau
mengurangi
kegiatan
penangkapan ikan yang melebihi kapasitas dan untuk menjamin bahwa tingkat usaha penangkapan tidak melebihi tingkat yang sepadan dengan penggunaan lestari sumberdaya ikan; (9)
Memperhatikan kepentingan nelayan pantai dan nelayan subsisten;
(10) Mengumpulkan dan memberikan, pada saat yang tepat data yang lengkap dan akurat mengenai kegiatan-kegiatan perikanan, antara lain posisi kapal, tangkapan spesies target dan non-target, dan usaha penangkapan ikan sebagaimana tercantum di dalam lampiran I, juga informasi dari program riset nasional dan internasional; (11) Mendorong dan melaksanakan riset ilmiah dan mengembangkan teknologi yang tepat dalam mendukung konservasi dan pengelolaan ikan;
57
(12) Melaksanakan dan menerapkan tindakan konservasi dan pengelolaan melalui pemantauan, pengawasan dan pengamatan.
6)
The FAO International Plan of Action (IPOA) 1999 Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini FAO disibukan dengan negosiasi
yang banyak berkaitan dengan masalah pengelolaan perikanan. Pembahasan yang intensif di forum internasional tersebut akhirnya berhasil menyepakati tiga instrumen penting, yaitu (Fontaubert, Charlotte de and Indrani Lutchman, 2003): (1)
IPOA for Reducing Incidental Catch of Seabirds in Longline Fisheries. Tujuan tindakan pengaturan pada bagian ini adalah untuk mengurangi tangkapan sampingan (by catch) alat tangkap longline berupa burungburung laut yang tertangkap karena memakan umpan dalam pancing.
(2)
IPOA for the Conservation and Management of Sharks. Rencana nasional harus didasarkan pada pendugaan rutin terhadap stok ikan dan bisa digunakan untuk menggambarkan perubahan pada beberapa stok. Beberapa tujuan rencana pengelolaan ikan hiu antara lain, yaitu: (1) menjamin kegiatan penangkapan hiu berkelanjutan (2) pendugaan terhadap populasi hiu menentukan dan melindungi habitat kritis dan mengimpmentasikan strategi panen berkelanjutan (3) identifikasi dan perlindungan dari hal-hal yang mengancam stok ikan hiu (4) meminimalisir kecelakaan dalam penangkapan ikan hiu (5) meminimalisir sampah dan buangan dari penangkapan hiu dan (6) meningkatkan penggunaan penuh dari hasil tangkapan ikan hiu.
(3)
IPOA for the Management of Fishing Capacity.
Tujuan utama IPOA
mengenai pengelolaan kapasitas perikanan adalah agar negara dan organisasi regional yang meliputi seluruh dunia mencapai pengelolaan kapasitas perikanan yang efisien, adil dan transaparan.
58
(4)
IPOA to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing. Tujuan IPOA ini untuk memberantas praktik perikanan yang illegal (seperti pencurian ikan, dan kegiatan melawan hukum lainnya), unreported (mencakup unreported, misreported, atau under-reported), dan unregulated (yakni tidak diatur pengelolaannya).
3.8.2 Hukum nasional Undang-undang tentang perlindungan sumber daya ikan di Indonesia telah diterbitkan pada tahun 1914 tentang kerang mutiara, teripang dan bunga karang pada perairan di dalam batas tiga mil dari garis pantai (Monintja, 2006). Pada tanggal 14 September 2004, Undang-undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan diganti oleh Undang-undang No. 31 Tahun 2004. Beberapa alasan dilakukan perubahan diantaranya, yaitu: (1) Menyesuaikan
dengan
perkembangan
ketersediaan,
kelestarian
dan
perkembangan sistem manajemen perikanan nasional dan internasional. (2) Menyesuaikan dengan ketentuan baru peraturan perundang-undangan nasional, seperti Undang-undang No. 22 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti oleh Undang-undang No. 32 Tahun 2004. (3) Penyeimbangan orientasi perikanan tangkap dengan perikanan budidaya. (4) Terdapatnya sejumlah materi penting yang belum terjamah pengaturan, untuk efisiensi pengelolaan perikanan, seperti penelitian dan pengembangan, data dan informasi, pengadilan perikanan, sanksi hukum dan lain-lain. (5) Penyeimbangan sektor perikanan dangan sektor lain yang telah mapan, seperti halnya sektor pertanian, sektor kehutanan, dan lain-lain.
59
Namun demikian, pada intinya, dilakukannya perubahan pada Undangundang No. 9 Tahun 1985 disebabkan masih banyaknya permasalahan yang belum tertampung. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang tertuang dalam konsideran menimbang butir c, bahwa Undang-undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan yang berlaku hingga sekarang belum menampung semua aspek pengelolaan sumber daya ikan dan kurang mampu mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum serta perkembangan teknologi dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan dan oleh karena itu perlu diganti. Ketentuan yang diatur dalam Undang-undang No. 31 Tahun 2004 lebih banyak, dari pada yang tertuang dalam Undang-undang No. 9 Tahun 1985. Pada Undang-undang No. 31 Tahun 2004 terdapat 17 bab dan 111 pasal, sedangkan pada Undang-undang No. 9 Tahun 1985 hanya terdapat 11 bab dan 35 pasal. Berdasarkan Pasal 2 Undang-undang No. 31 Tahun 2004, pengelolaan perikanan
dilakukan
pemerataan,
berdasarkan
keterpaduan,
asas
keterbukaan,
manfaat, efisiensi,
keadilan, dan
kemitraan,
kelestarian
yang
berkelanjutan. Sedangkan tujuan pengelolaan perikanan yang tertuang dalam Pasal 3, yaitu: (1) Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil. (2) Meningkatkan penerimaan dan devisa negara. (3) Mendorong perluasan dan kesempatan kerja. (4) Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan. (5) Mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan. (6) Meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing. (7) Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan. (8) Mencapai pemanfaatan sumber daya ikan secara optimal; dan (9) Menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan tata ruang.
60
Sementara itu, jauh sebelum Undang-undang No. 31 Tahun 2004 ditetapkan, Pemerintah Indonesia banyak mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan beserta turunannya yang mengatur pengelolaan sumber daya ikan. Peraturan perundang-undangan tersebut, meliputi yaitu: (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia. (2) Undang-undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. (3) Undang-undang No. 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982. (4) Undang-undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. (5) Undang-undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia Selanjutnya kebijakan pelaksanaan dari undang-undang diatur dalam empat Peraturan Pemerintah (PP), dimana tiga diantaranya mengatur mengenai usaha perikanan dan sisanya mengatur pengelolaan sumber kekayaan hayati di ZEEI. Keempat PP tersebut, yaitu: (1) Peraturan Pemerintah No.15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Kekayaan Hayati di ZEEI. (2) Peraturan Pemerintah No.15 Tahun 1990 tentang Usaha Perikanan. (3) Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 1993 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No.15 Tahun 1990 tentang Usaha Perikanan. (4) Peraturan Pemerintah No. 141 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1990 tentang Usaha Perikanan. (5) Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan. Selain itu, juga terdapat dua kebijakan umum yang berbentuk Keputusan Presiden (Keppres), yaitu: (1) Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl. (2) Keputusan Presiden No. 85 Tahun 1982 tentang Penggunaan Pukat Udang.
61
Kebijakan pelaksanaan juga tersedia dalam bentuk Keputusan Menteri (SK Menteri) yang mencapai 39 buah, yaitu: (1)
SK Menteri Pertanian
No.
01/Kpts/Um/1/1975
tentang
Pembinaan
Kelestarian Kakayaan yang Terdapat dalam Sumber Daya Perikanan Indonesia. (2) SK Menteri Pertanian No. 503/Kpts/Um/9/1980 tentang Langkah-langkah Penghapusan Jaring Trawl Tahap Pertama. (3)
SK Menteri Pertanian No. 123/Kpts/Um/3/1975 tentang Ketentuan Lebar Mata Jaring Purse Seine untuk Penangkapan Ikan Kembung, Layang, Selar, Lemuru, dan Ikan Pelagis Sejenisnya.
(4)
SK Menteri Pertanian No. 769/Kpts/HK210/10/1988 tentang Penggunaan Jaring Lampara Dasar.
(5) SK Menteri Pertanian No. 473a/Kpts/IK.250/6/1985 tentang Penetapan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. (6) SK
Menteri
Pertanian
No.
607/Kpts/Um/9/1976
tentang
Jalur-jalur
Penangkapan Ikan. (7) SK Menteri Pertanian No. 608/Kpts/Um/9/1976 tentang Penetapan Jalur Penangkapan Bagi Kapal-kapal Ikan Milik Perusahaan Perikanan Negara. (8) SK Menteri Pertanian No. 609/Kpts/Um/9/1976 tentang Daerah Penangkapan Kapal Trawl. (9) SK Menteri Pertanian No. 300/Kpts/Um/5/1978 tentang Pemasangan Tanda Pengenal Jalur Penangkapan Ikan Pada Kapal-kapal Ikan. (10) SK
Menteri
Pertanian
No.
475
/Kpts/IK/120/7/1985
tentang
Izin
Penangkapan Ikan oleh Nelayan Asing atau Badan Kebijakan Asing yang Beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
62
(11) SK Menteri Pertanian No. 476/Kpts/IK.120/7/1985 tentang Penetapan Tempat Melapor Bagi Kapal Perikanan yang Beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. (12) SK Menteri Pertanian No. 477/Kpts/IK120/7/1985 tentang Pungutan Perikanan yang Dikenakan Kepada Orang atau Badan Kebijakan Asing yang Melakukan Penangkapan Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. (13) SK Menteri Pertanian No. 438/Kpts/IK120/7/1986 tentang Tambahan terhadap
SK
Mentan
No.477/Kpts/IK120/7/1985
tentang
Pungutan
Perikanan yang Dikenakan kepada Orang atau Badan Kebijakan Asing yang Melakukan Penangkapan Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. (14) SK Menteri Pertanian No. 277/Kpts/IK120/5/1987 tentang Perizinan Usaha dibidang Penangkapan Ikan di Perairan Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. (15) SK Menteri Pertanian No. 417/Kpts/IK.250/6/1988 tentang Pengawasan Pemanfaatan Sumber daya Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. (16) SK Menteri Pertanian No. 477/Kpts/IK120/7/1988 tentang Perubahan Besarnya Pungutan Penangkapan Ikan Bagi Orang atau Badan Kebijakan Asing yang Melakukan Penangkapan Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. (17) SK Menteri Pertanian No. 900/Kpts/IK.250/12/1988 tentang Kewajiban Mengekspor atau Menjual Hasil Tangkapan Kapal Perikanan Asing di Pasar Dalam Negeri. (18) SK Menteri Pertanian No. 815/Kpts/IK 120/11/1990 tentang Perizinan Usaha Perikanan. (19) SK Menteri Pertanian No. 816/Kpts/!K 120/11/1990 tentang Penggunaan Kapal Perikanan Asing dengan Cara Disewa untuk Penangkapan Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
63
(20) SK Menteri Pertanian No. 144/Kpts/IK 410/2/1993 tentang Penetapan Pelabuhan sebagai Pangkalan Bagi Kapal Perikanan Asing yang Disewa Perusahaan Indonesia untuk Menangkap. (21) SK Menteri Pertanian No. 57/Kpts/IK.410/1/1995 tentang Perubahan SK Mentan
No.
144/Kpts/IK.410/2/1993
tentang
Penetapan
Pelabuhan
sebagai Pangkalan Bagi Kapal Perikanan Asing yang Disewa Perusahaan Indonesia untuk Menangkap. (22) SK Menteri Pertanian No. 805/Kpts/IK.120/12/1995 tentang
Ketentuan
Penggunaan Kapal Pengangkut Ikan. (23) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. 45 Tahun 2000 tentang Perizinan Usaha Perikanan. (24) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No.Kep.84 /Men/2000 tentang Pedoman Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu. (25) SK
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
No.
23/MEN/2001
tentang
Produktivitas Kapal Penangkap Ikan. (26) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.45/Men/2001 tentang Pendaftaran Ulang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan. (27) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.46/Men/2001 tentang Pendaftaran Ulang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan. (28) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.47/Me n/2001 tentang Format Perizinan Usaha Penangkapan Ikan. (29) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.46/Men/2001 tentang Pendaftaran Ulang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan. (30) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.60 /Men/2001 tentang Penataan Penyusunan Kapal Perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
64
(31) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep 58/Men/2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Siswasmas dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan. (32) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.2/Men/2002
tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Penangkapan Ikan. (33) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.3/Men/2002 tentang Log Book Penangkapan dan Pengangkutan Ikan. (34) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.10 /Men/2002
tentang
Pedoman Umum Perencanaan PPT. (35) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.12 /Men/2002
tentang
Pendaftaran Ulang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan Tahap Kedua. (36) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep 62 /Men/2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak. (37) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.10/Men/2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan. Selanjutnya juga terdapat kebijakan yang bersifat teknis, sebagai kelanjutan dari kebijakan pelaksanaan diatas, yaitu Keputusan Dirjen Perikanan No.IK 210/DJ.569/1993 tentang Forum Koordinasi Pengendalian dan Pengawasan Pemanfaatan Sumber daya Ikan. (38) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. 38/Men/2003 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan. (39) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per 06/Men/2005 tentang Penggantian Bentuk dan Format Perizinan Usaha Penangkapan Ikan. Seiring dengan berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian digantikan oleh Undang-undang No. 32 Tahun 2004, maka terjadi perubahan kewenangan dalam pengelolaan sumber
65
daya perikanan tangkap, yaitu daerah memiliki kewenangan dalam mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Disamping itu, daerah
juga memiliki beberapa kewenangan
pengelolaan di wilayah laut, yaitu sepanjang 12 mil untuk provinsi dan 3 mil untuk kabupaten/kota yang meliputi: (1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut; (2) pengaturan kepentingan administratif; (3) pengaturan tata ruang; (4) penegakan kebijakan terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; dan (5) bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom yang dijelaskan pada Pasal 2 ayat (3), pemerintah pusat memiliki beberapa kewenangan, meliputi: (1) penetapan kebijakan dan pengaturan eksplorasi, konservasi, pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya alam perairan di
wilayah laut di luar perairan 12 mil, termasuk perairan nusantara dan dasar lautnya serta zona ekonomi ekslusif Indonesia dan landas kontinen Indonesia; (2) penetapan kebijakan dan pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan benda berharga dari kapal tenggelam di luar perairan laut 12 mil; (3) penetapan kebijakan dan pengaturan batas-batas maritim yang meliputi batas-batas daerah otonom di laut dan batas-batas ketentuan kebijakan laut internasional; (4) penetapan standar pengelolaan pesisir pantai dan pulau-pulau kecil; dan (5) penegakan kebijakan di wilayah laut di luar perairan 12 mil dan di dalam perairan 12 mil yang menyangkut hal spesifik serta berhubungan dengan internasional.
66
Sementara itu, kewenangan provinsi di wilayah laut sebagaimana dijelaskan pada Pasal 3 ayat (5), meliputi: (1) penataan dan pengelolaan perairan di wilayah laut provinsi; (2) eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut kewenangan provinsi; (3) konservasi dan pengelolaan plasma nuftah spesifik lokasi serta suaka perikanan di wilayah laut kewenangan
provinsi;
(4)
pelayanan
izin
usaha
pembudidayaan
dan
penangkapan ikan pada perairan laut di wilayah laut kewenangan provinsi; dan (5) pengawasan pemanfaatan sumber daya ikan di wilayah laut kewenangan provinsi.
3.8.3 Kebijakan daerah Kebijakan daerah yang ada adalah Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 8 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Tingkat I Jawa Barat No. 10 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Pelelangan Ikan. Peraturan Daerah ini mengacu pada beberapa peraturan perundangundangan, seperti Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan, Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undangundang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 1957 tentang Penyerahan Sebagian dari Urusan Pemerintah Pusat di Lapangan Perikanan Laut, Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1990 tentang Usaha Perikanan, dan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom. Sementara itu, beberapa peraturan daerah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Indramayu yang berkaitan dengan kegiatan perikanan, diantaranya yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu No. 20 Tahun 2002 tentang Retribusi Usaha Perikanan, Penangkapan Ikan, Pembudidayaan dan
67
Pengolahan Hasil Ikan Laut. Bentuk surat izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Indramayu berdasarkan peraturan daerah ini, yaitu: (1) Ijin Usaha Perikanan (IUP), untuk 5 GT ke bawah dan untuk 6 - 10 GT; (2) Surat Keterangan Penangkapan Ikan (SKPI) untuk masing-masing alat tangkap, (3) Surat Keterangan Pembudidayaan Ikan (SKPBI), (4) Surat Keterangan Pengolahan Hasil Ikan (SKPHI). Peraturan daerah lain yang telah dikeluarkan oleh
Pemerintah
Kabupaten
Indramayu
adalah
Nomor:
556/kep.528-
diskanla/2004 penetapan Pulau Biawak dan sekitarnya sebagai kawasan konservasi dan wisata laut. Berdasarkan penelaahan terhadap peraturan daerah tersebut di atas, terlihat bahwa kebijakan tersebut hanya mengatur tentang kegiatan ekonomi di bidang perikanan atau hanya aspek ekonomi dan sosial, sedangkan aspek ekologi belum mendapat perhatian dari pemerintah daerah. Terdapat tiga aspek yang belum diatur pada periode sentralistik, meliputi: (1) Aspek transparansi dalam mekanisme pengelolaan. (2) Aspek sosialisasi kebijakan dan peraturan perundang-undangan tentang konservasi dan pengelolaan. (3) Aspek industri penangkapan yang mendorong perikanan yang bertanggungjawab. Sedangkan
memasuki
periode
desentralistik,
pemerintah
perlu
menyediakan 11 aspek kebijakan, yang meliputi: (1)
Pemulihan sumber daya yang terancam kepunahan.
(2)
Pencegahan pencemaran lingkungan.
(3)
Pengaturan upaya penangkapan.
(4)
Pengaturan jenis dan ukuran ikan yang boleh ditangkap.
(5)
Pengaturan musim penangkapan.
(6)
Pengaturan zonasi dan jalur penangkapan.
68
(7)
Partisipasi masyarakat.
(8)
Identifikasi stakeholders.
(9)
Kelembagaan.
(10) Pembangunan prasarana perikanan. (11) Pengaturan pendidikan pelatihan dan penyuluhan. Berpijak pada kondisi tersebut, seharusnya kebijakan pengelolaan perikanan ke depan pemerintah daerah harus lebih proaktif sebagaimana yang diamanatkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004, melalui pembuatan kebijakan pelaksanaan berupa peraturan daerah yang melengkapi, menggantikan dan atau menyempurnakan kebijakan pelaksanaan yang dibuat oleh pemerintah pusat. Selain itu, kebijakan pelaksanaan pemerintah pusat dan pemerintah daerah hendaknya konsisten dengan Undang-undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, yaitu mendukung paradigma pembangunan berkelanjutan.
69