PURNAMA SALURA
1 / 29
C
A
T
A
2 / 29
T
A
N
Dulu dan Sekarang Bandara ini sudah semakin ramai. Sudah ada penerbangan dari dan ke luar Indonesia. Saya teringat dahulu ketika diadakan sayembara, bandara ini hanya diprediksi untuk melayani penerbangan domestik saja. Tak heran jika sekarang dilakukan perluasan di sanasini. Sayangnya perluasan yang dilakukan masih bersifat tambal-sulam. Bentuk atap julang-ngapak dengan ujung cagak-gunting yang saya rancang dalam sayembara dulu masih tersisa sebagian. Jika dibandingkan dengan beberapa atap yang ada sekarang, julang-ngapaknya tampak kecil sekali. Rasanya sulit membaca pola rancangan bandara yang sekarang ini. Mungkin karena rancangan perluasannya hanya berlandas pada dorongan kebutuhan pragmatik semata. Ketika melakukan presentasi sebagai pemenang sayembara, saya telah mengusulkan untuk mempertimbangkan bagaimana tahap rancangan diproyeksikan untuk limabelas sampai duapuluh tahun ke depan. Saat itu pejabat tertinggi daerah beserta staffnya mungkin menganggap saya berkhayal. Bahkan salah satu kepala dinas yang membawahi urusan ini memberikan prediksi yang berlawanan dari gambaran saya. Alhasil saya tak mendapat dukungan sama sekali. Mereka tetap menggunakan preliminary-design yang saya rancang untuk sayembara. Hanya saja kemungkinan perluasannya tidak disertakan. Sangat disayangkan pada proses pembuatan workingdrawings banyak sekali perubahan prinsipil yang 3 / 29
C
A
T
A
4 / 29
T
A
N
mereka lakukan. Hasil kerja pelaksanaannya pun menurut saya tak baik benar. Begitulah cara kerja mereka yang cenderung hanya berhenti pada tahap mediocre. Perilaku macam inilah yang saya amati belum banyak berubah pada para penyelenggara proyek di negeri kita saat ini.Perilaku yang selalu mengedepankan nilai pragmatik yang pas-pasan. Konon Istilah Pragmatisme berasal dari kata Yunani pragma yang berarti perbuatan, tindakan. Jadi pragmatisme itu berarti ajaran atau paham yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Paham ini memandang bahwa kebenaran itu adalah pada kegunaan atau kadang manfaat. William James mengutarakan bahwa paham ini mengukur kebenaran suatu ide dengan kegunaan praktis yang dihasilkannya. Tentu dalam rangka bahwa pemenuhan kebutuhan manusia. Hanya sayangnya kebutuhan ini berada dalam konteks yang instingtif. Di sini dapat dikatakan bahwa paham pragmatis meletakkan instingtif di atas pemikiran intelektual. Dapat juga dikatakan bahwa kegunaan yang didasari insting lebih diperhatikan ketimbang keputusan akal yang rasional. Saya sedang menunggu seorang kawan lama dari Belanda. Ia akan datang dengan pesawat dari Singapura. Dahulu ia tetangga kami. Dia merupakan kawan dekat saya sejak kecil. Kami selalu berdua kesana kemari. Orang menyebut kami bagai sepasang sandal yang selalu saja bersama-sama. Selepas sekolah menengah ia pindah ke Belanda mengikuti ibunya. Kala itu kami berpisah dan menggendong rasa sedih berkepanjangan. Tapi itu dulu dan masa itu sudah berlalu. Saya ingat ketika itu 5 / 29
C
A
T
A
6 / 29
T
A
N
paras ibunya cantik nian. Kakek dan nenek dari garis ibunya memang orang Belanda asli yang tinggal di Indonesia. Rumah mereka dahulu besar sekali, bergaya imperial kolonial Belanda. Ayahnya adalah salah satu pejabat kota dari Belanda yang diperbantukan pada pemerintah Indonesia. Ibunya dan kawan saya ini sudah dilahirkan di Indonesia. Tetapi kulitnya tetap putih bersih memikat. Lewat electronic-mail ia menyatakan maksudnya untuk melihat rumah peninggalan ayahnya. Sebagian rumah tersebut sekarang menjadi perpustakaan yang dikelola oleh yayasan yang didirikan oleh almarhum ayahnya. Ia meminta saya untuk mengantarkannya sekaligus melihat kemungkinan perkembangan bangunan tersebut. Ia datang. Dari jauh perawakannya terlihat tak banyak berubah, dandanannya menurut saya agak berlebihan. Berdiri dikejauhan ia tampak mencolok dibanding penumpang lainnya. Dari dekat raut cantiknya masih ada. Kulitnya masih tetap putih. Belum berubah seperti yang ia ceritakan sehabis berlibur dan berjemur. Ia datang berdua dengan asistennya. Seorang wanita muda berkulitputih yang juga warganegara Belanda. Melihat ia berdiri ditengah bandara ini saya berpikir : Bandara ini relatif belum begitu lama saya rancang, tapi perubahannya sudah sedemikian banyak. Walaupun saya yang membuat pra-rancangan bandara ini, tapi tak ada kelekatan saya pada bangunan ini. Bahkan ada rasa bersalah yang saya rasakan. Karena pada sayembara ada beberapa symbol dan icon yang saya nyatakan sebagai elemen lokal. Dan para pejabat 7 / 29
C
A
T
A
8 / 29
T
A
N
saat itupun menganggap bahwa hal itu memang demikian adanya. Banyak bangunan pemerintahan yang dirancang sesudah sayembara saat itu lalu ikut mengedepankan elemen-elemen tersebut di atas. Saya merasa bersalah karena lama sesudah itu saya melakukan studi mendalam tentang arsitektur lokal tersebut. Dan ternyata elemen yang saya nyatakan dulu itu sama sekali bukan elemen lokal. Keterlanjuran yang keliru ini berjalan cukup lama bahkan sampai sekarang. Sepanjang pengetahuan yang saya peroleh berdasarkan penelitian, arsitektur Sunda bersifat sangat akomodatif. Ini berarti tindakan untuk mematerialkan atau mewujudkan konsep masyarakat Sunda menjadi bentuk arsitektur sangat bebas tergantung dari konteksnya. Arsitektur masyarakat Sunda didaerah pegunungan didominasi oleh bangunan panggung (lantai naik dari tanah sekitar 50 cm). Sementara di daerah pesisir bangunan tipe ngupuk (menempel ke tanah). Meskipun demikian dari susunan maupun material bentukan yang berbeda masih tetap terdapat zona yang berangkat dari konsep dasar yang sama. Pada denah ke dua bangunan ini konsep sineger-tengah yang menciptakan pola-tiga jelas masih digunakan. Jika saja riset tentang symbol dan icon elemen lokal banyak dilakukan, tentu para arsitek dan pengelola kota setempat akan mempunyai opsi yang lebih lengkap. Bandara ini memang telah berubah dalam waktu yang cukup singkat, sementara itu kawan saya yang relatif lama sekali tidak saya temui, rasanya ia tak banyak berubah. Berbeda dengan bandara ini. 9 / 29
C
A
T
A
10 / 29
T
A
N
Mungkin karena ada rasa kelekatan antara kami sehingga kami tak peka akan perubahan yang terjadi.
Kaleidoskop story Ia duduk disebelah saya dikursi belakang mobil. Tak henti-hentinya ia mengoceh dalam bahasa Belanda. Mungkin dia pikir saya masih fasih juga berbahasa Belanda. Padahal perbendaharaan kata bahasa Belanda yang ada dalam kepala saya sudah tak banyak lagi. Dia meminta agar kendaraan ini melewati jalan dimana ada tempat kita bersekolah bersama dahulu. Tepat didepan sekolah kami berhenti. Bangunan sekolah jaman dahulu itu masih berdiri tegar, hanya tampak sepi. Mungkin karena hari ini hari libur. Kami masuk kedalam gerbang lalu menelusuri jalan menuju sebuah kelas. Ia duduk di bangku belakang kelas tersebut, sayapun ikut duduk disampingnya. Kursi ini terasa sempit sekali sekarang. Padahal dahulu rasanya cukup lega untuk kita berdua. Ia bertanya apakah saya masih ingat guru sejarah kita saat itu? Sementara ia sibuk merekam mengambil gambar dengan kamera canggihnya, saya masih duduk terpaku dikursi kami dahulu yang kayunya masih mengkilat tapi tampak tua sekali.Saya bertanya dalam hati. Apakah sejarah itu? Apakah guna belajar sejarah itu? Adakah gunanya sejarah yang kita hapalkan dulu itu? Apakah gunanya belajar sejarah arsitektur? Saya mencoba mengamati bangunan sekolah ini. Lantainya berada sembilan puluh sentimeter dari 11 / 29
C
A
T
A
12 / 29
T
A
N
tanah. Ada selasar selebar tiga meter mengelilingi setiap kelas. Temboknya satu-batu (tebal 25 cm). Tinggi langit-langitnya hampir lima meter. Ada bouven-licht dekat langit-langit. Ini bukan bangunan modern, ini bangunan kolonial dengan gaya indies. Dahulu saya sama sekali tak tahu jenis bangunan ini. Rupanya pelajaran sejarah arsitekturlah yang mengenalkan ciri-ciri gaya sebuah bangunan pada saya. Pelajaran sejarah arsitektur juga yang mengisikan pengetahuan kedalam benak saya tentang bagaimana orang Belanda saat itu melakukan aktivitas keseharian mereka. Kami sekarang berada di depan kantor kepala sekolah. Seorang ibu tua membukakan pintu. Mungkin melihat kawan saya berkulit putih, ia menyapa kami dalam bahasa Inggris. Kawan saya memperkenalkan diri. Ibu tua itu tampak kaget. Ia menjawab dengan bahasa Belanda. Lalu mereka berdua berpelukan. Terharu melihatnya, tapi sungguh saya sudah tidak ingat siapa ibu tua ini. Ternyata ibu tua ini adalah guru magang pada waktu kami bersekolah dahulu. Mereka bercakap-cakap gembira. Nostalgia. Mereka bercerita tentang kejadian waktu dulu. Tentang siapa guru ilmu bumi, ilmu hitung dan beberapa pelajaran favorit kawan saya. Tampaknya ini hanya sebuah kaleidoskop. Deskripsi kegiatan dari tahun ketahun. Sebuah ingatan yang diputar kembali. Saya bertanya dalam hati, apakah ini juga sejarah? Bukankah masa lalu sering disebut sejarah? Adakah guna mengingat-ingat kejadian masa lalu? Apakah bernostalgia merupakan bagian dari 13 / 29
C
A
T
A
14 / 29
T
A
N
sejarah juga? Saya lalu teringat buku yang dikarang oleh Ferdinand de Saussure. Ia menguraikan tentang sinkronik dan diakronik. Kedua pokok ini sering kali dikaitkan dengan ilmu kesejarahan dalam arsitektur. Padahal jika kita membaca maksud utama pencetusnya di atas, kedua pokok itu sama sekali tak ada hubungannya dengan sejarah. Levi-Strauss adalah seorang pakar kebudayaan (antropologi) dari Perancis yang juga bersandar pada paham strukturalis. Menurutnya setiap kata dan kebudayaan dimanapun berada selalu mempunyai struktur. Karena struktur inilah kita dapat belajar kata dan adat istiadat dengan mudah. Kita lalu dapat berkomunikasi pada setiap bangsa yang berbeda-beda. Sejalan dengan De Saussure menurutnya kata dan kebudayaan dapat berubah seiring waktu. Tapi struktur tak pernah berubah. Perubahan atau transformasi inilah yang dapat dibaca lewat cara melihatnya dari tahun ketahuan (diakronik) lalu mencoba menguraikan mengapa terjadi perubahan (sinkronik). Dua konsep yang pada awalnya diperkenalkan Ferdinand de Saussure seorang ahli linguistik yang berasal dari negara yang sama ini kerap juga digunakan dalam arsitektur. Bahkan beberapa pakar arsitektur sering keliru. Mereka berpendapat bahwa konsep sinkronik dan diakronik memang berasal dari disiplin ilmu arsitektur. Menggunakan cara pandang Levi-Strauss membuat saya bisa memahami bahwa nostalgia mungkin hanya berada pada sisi diakronik. Tak banyak yang dapat dipetik dari sisi sinkroniknya. 15 / 29
C
A
T
A
16 / 29
T
A
N
Mungkin karena lebih berisi cerita kaleidoskop dari tahun ketahun atau sering disebut dengan story.
Pentingnya Sejarah Arsitektur Kami sekarang sudah berada di rumah ayahnya. Bangunan ini masih berdiri tegak, terawat. Tentu saja demikian karena memang masih digunakan untuk perpustakaan. Beberapa pegawai ada yang bekerja dihari libur ini. Rupanya ingin menyambut kawan saya. Bangunan buatan arsitek Belanda ini terdiri dari dua masa utama. Tipikal rumah Belanda saat itu. Masa induk dilengkapi dengan masa penunjang yang bersambung dengan masa induk. Masa penunjang ini berisi kamar dapur, gudang, kamar mandi, wc, dan kamar pembantu. Sedangkan masa induk digunakan untuk rumah keluarga. Masa penunjang sering disebut dengan paviljoen atau zusters huis.Itu istilah jaman dahulu. Saya tak pernah berpikir mengapa mereka menamai seperti itu. Lagi pula tak banyak orang yang tahu istilah itu sekarang. Paviljoen ini dahulu digunakan ayahnya untuk berkantor. Saya pernah sesekali diajak masuk ke dalam kantor ayahnya. Seingat saya ada alat pemutar piringan hitam, radio-saloon dulu kami berdua menyebutnya. Ayahnya sangat suka sekali memutar piringan hitam yang berisi lagu klasik dengan volume yang sangat kencang sampai terdengar ke rumah induk. 17 / 29
C
A
T
A
18 / 29
T
A
N
Kadang jika ayahnya sedang pergi jauh untuk tournee, kawan saya mengajak saya untuk mendengarkan lagu dari piringan hitam “the beatles”. Kala itu empat pemuda gondrong berponi yang berasal dari liverpool Inggris sangat terkenal di seantero jagat, termasuk juga di Indonesia. Kami berduapun pernah tergila-gila dengan lagu dan gaya pakaian mereka. Radio-Saloon itu masih ada, masih terletak di tempat yang sama di sebelah jendela. Saya baru saja tahu jika radio-saloon ini ternyata buatan Philips sebuah perusahaan elektronik asal Belanda. Kawan saya menatap radio-saloon itu lalu mencoba untuk memutar tombol on-of-nya. Tapi tak mau menyala, ia lalu mengelus-elus permukaannya yang terbuat dari kayu mahogany berwarna coklat tua. Dia berkata bahwa banyak barang bersejarah di sini….Bersejarah? Saya pikir itu hanyalah barang-barang sentimentil yang mengingatkan masa kecilnya. Bangunan induk ini dihiasi oleh kolom dengan gaya Corinthian. Gaya yang datang dari Yunani dan ditiru begitu saja oleh para pendatang dari Belanda. Empire style. Berbeda sekali dengan gaya bangunan sekolah yang kita datangi siang tadi. Para ahli arsitektur konservasi menyebutnya sebagai Indische stijl. Gaya ini mencoba mencampurkan gaya dan teknologi arsitektur yang datang dari Belanda dengan gaya setempat. Baik bangunan sekolah maupun bangunan bekas rumah tinggal, keduanya dirancang oleh arsitek Belanda. Tapi tentu dalam tahun pembuatan yang berbeda. 19 / 29
C
A
T
A
20 / 29
T
A
N
Bangunan rumah di mana kami berada sekarang berumur lebih dari seratus tahun. Sedangkan bangunan sekolah kami berumur sekitar tujuhpuluh tahunan. Konon kala itu di Belanda sedang ramainya politik etis. Dimana sebagian anggota dewan perwakilan rakyatnya menentang penjajahan pemerintah kolonial yang hanya mengambil keuntungan dari daerah jajahannya. Para penentang ini mengusulkan langkah etis dengan harus menyelenggarakan pendidikan dan balas budi bagi bangsa yang berada di Nusantara. Rupanya dalam konteks itulah arsitek ternama di Belanda bernama HP Berlage menghimbau agar para arsitek yang akan membangun di Nusantara tidak meniru atau memindahkan bangunan-bangunan yang ada di Belanda. Para arsitek diminta untuk mengedepankan ciri spesifik Hindia Belanda. Tampaknya sejak saat itulah gaya Indis mulai diperkenalkan di Nusantara. Lamunan terhenti. Kawan saya mengajak masuk keruang yang khusus diperuntukkan baginya. Dahulu fungsi ruangan ini adalah kamar tidurnya. Ruangannya berukuran lima kali enam meter. Tanpa kamar mandi, yang ada hanya sebuah washtafel dengan cermin di atasnya. Tipikal bangunan saat itu. Hal ini disebabkan belum muncul teknologi septictank dan rembesan. Setiap rumah hanya mengandalkan selokan pembuangan di belakang rumah. Dahulu sering disebut dengan brand gang. Wajar jika daerah kamar wandi dan wc selalu berada di area belakang rumah, agar dekat dengan brand-gang. Sampai sekarangpun masih tersisa isitilah ingin ikut ke 21 / 29
C
A
T
A
22 / 29
T
A
N
belakang yang maksudnya ingin ikut menggunakan kamar mandi dan wc. Padahal area kamar mandi dan wc sekarang sudah tidak selalu berada di belakang rumah. Ia bertanya pada saya apakah saya masih mengingat tempat tidurnya? Samar-samar tergambar di benak saya sebuah tempat tidur yang mempunyai empat tiang kayu tempat dudukan kelambu sebagai filter nyamuk yang seringnya bekeliaran. Ya saya masih mengingatnya. Sekarang kamar itu hanya berisi satu set sofa dan meja. Di ujung kamar disebelah washtafel ada meja kerja dan dua buah kursi beroda. Semuanya bergaya modern. Ia mengajak saya duduk disofa disebelah dua buah jendela kaca yang menghadap ke halaman. Kami duduk bersebelahan, Ia membuka blazernya, harum parfum Channel-5 mulai menyergap hidung. Lalu ia mulai berceloteh tentang kelakuan kami berdua yang sering keluar masuk lewat jendela itu. Kami mulai berbincang tentang sejarah. Ia memang ahli sejarah sesuai dengan pendidikannya. Menurutnya sejarah itu selalu memihak, tak pernah netral. Gaung dari Paul Michel Foucault seorang filsuf Perancis yang kerap menuliskan pandangan tentang relasi sejarah dengan kekuasaan rupanya berpengaruh pada kawan saya ini. Ia berpandangan bahwa sejarah adalah sebuah konstruksi sosial yang didalamnya selalu terjalin intrik politik, kecenderungan akan pengaruh kekuasaan dan pat-gulipat antara kekuasaan dengan pengetahuan. Sejarah harus digali kembali, dibongkar agar terbuka seluruh kepalsuannya. 23 / 29
C
A
T
A
24 / 29
T
A
N
Ia berkata dengan penuh semangat, sehingga bulu matanya yang panjang tampak bergoyanggoyang. Saya mulai bingung apakah saya terpana dengan ucapanya atau dengan lirikan matanya. Kali ini ia berkata: Geschiedenis is altijdkulturgebudenheit. Istilah Belandanya sudah mulai muncul. Saya meminta ia menjelaskan apa yang dimaksud. Menurutnya sejarah selalu mempunyai keterikatan yang erat dengan kebudayaan. Ia terseyum lirih, tampaknya ia sadar bahwa saya kesulitan memahami apa yang dikatakannya. Seorang staf kantornya mengetuk pintu dan masuk membawa dua cangkir kopi. Ia lalu memanggil sekretarisnya dan meminta sebuah bungkusan. Ia berkata bahwa secara khusus ia membawakan sultanacookies yang bertaburan kismis di atasnya. Aha…saya masih ingat dahulu neneknya, kami memanggilnya “Oma Deig” sering membakar kue jenis ini untuk kudapan di sore hari. Sambil mengunyah sultana dengan perlahan, saya bertanya padanya : Apakah benar bahwa sejarah harus selalu dilihat dengan pandangan kecurigaan? Matanya kembali berbinar-binar, ia berkata kembali seraya bersetuju dengan Foucault, bahwa sejarah yang ada memang sangat terbatas pada kejadian yang teramat penting maknanya bagi manusia dan kehidupannya. Pada titik itu keberpihakan sangat kental nuansanya. Kesadaran akan historisitas mengantarkan manusia untuk bertanya tentang bagaimana dan mengapa realitas yang kini dan disini daar en maken (ada dan mengada). 25 / 29
C
A
T
A
26 / 29
T
A
N
Perbincangan kami sangat menarik, pikiran saya mulai melayang-layang mencoba mengunyahnya dan merefleksikan perbincangan kami ke dalam praktik berarsitektur. Saya mulai merasa bahwa dalam praktik berarsitektur, preseden dapat dilihat sebagai sejarah. Bagaimana cara menginterpretasikan suatu preseden agaknya menjadi isu yang esensial. Bagaimana menempatkan sejarah dalam kehidupan ke depan adalah salah satu esensi penting dalam perancangan arsitektur. Jika dalam science pelakunya selalu berusaha mencari new explanation, maka arsitek dituntut untuk berusaha menciptakan new form. Dengan demikian dunia kebudayaan tidak akan mandeg, akan selalu berputar ke arah kemajuan. Setelah lama berbincang tentang rencana renovasi rumah yang digunakan sebagai perpustakan dan kantor yayasan, saya mohon diri. Ia memeluk saya dengan sangat erat seakan ia takut tak berjumpa lagi dengan saya. Padahal pada malam harinya kami bertemu kembali dan ketika saya beranjak pulang pada pagi hari berikutnya kami sama sekali tidak membicarakan tentang renovasi rumah dan juga tentang sejarah. Saya tak sempat mengantarkan ia ke bandara. Saya lupa apakah karena kebetulan saya harus pergi ke luar kota, atau karena ia menolak diantar oleh saya. Seingat saya ia berkata bahwa ia tak mau meneteskan air mata perpisahan di depan saya. Saya pikir alasan kedua inilah yang membuat saya mereka-reka alasan pertama di atas. Ternyata ia dan saya membuka dan mengorek kenangan personal. 27 / 29
…..Apakah peristiwa ini dapat dikategorikan sebagai sejarah?
28 / 29
SEJARAH ARSITEKTUR purnamasalura.com 2015
29 / 29