==============dikirim untuk Harian Kedaulatan Rakyat============== Semangat Sumpah Pemuda, Masihkah Diperlukan? Oleh Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd
HARI ini bangsa dan rakyat Indonesia memperingati peristiwa yang terjadi pada 28 Oktober 1928, yaitu sumpah pemuda. Waktu itu, sejarah mencatat betapa masingmasing kelompok pemuda menginginkan adanya persatuan dan kesatuan di antara seluruh bangsa Indonesia. Peristiwa tersebut menjadi begitu monumental, sehingga dijadikan sebagai salah satu tonggak kebangkitan rasa nasionalisme kebangsaan. Peristiwa 28 Oktober 1928 lebih mentengarai betapa masyarakat-bangsa Indonesia yang memiliki kurang lebih 358 suku bangsa, dan 200 sub-suku bangsa pada awal-awal kehadiran negara ini menginginkan format berbangsa yang satu, berbahasa satu dalam lingkup tanah air yang satu, Indonesia. Artinya, masa itu para elit pemegang kebijakan pada masing-masing “bangsa”, menyadari perlunya persatuan di antara perbedaan “bangsa” yang mereka miliki. Berputarnya roda sejarah, serta menguatnya pelbagai fenomena yang mengarah pada disintegrasi pada beberapa etnis belakangan ini, maka masihkah perlu didengungkan sumpah pemuda ini? Atau biarlah sejarah terus berlanjut, dan kita menunggu apa yang akan terjadi, qua sera sera. Identitas Etnis, Suatu Kesadaran Psikologis Menyadari bahwa saat ini tidak ada lagi sekat antar bangsa-bangsa di dunia, dan setiap bangsa di dunia akan dengan mudah melihat “dapur” dan “rumah tangga” bangsa lainnya. Pada ujung-ujung globalisasi ini adalah rentannya pengaruh antar bangsa
1
terhadap bangsa lainnya di dunia. Terkait dengan kuatnya pengaruh antar bangsa ini hampir-hampir tidak lagi dijumpai bangsa yang “asli” sebagaimana dahulu. Saat ini, kita dengan mudah menemukan kebudayaan asing pada setiap bangsa yang ada di dunia, dan parahnya pengaruh terkuat muncul dari negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang. Pada posisi tersebut akan sangat penting untuk memunculkan identitas diri untuk tiap-tiap etnis di dunia, agar tidak terjadi lost identity. Rotheram & Karen (1994) mengungkap bahwa proses-proses pembentukan identitas sangat diwarnai oleh etnisitas, yaitu identifikasi seseorang individu dengan kelompok sosial yang lebih besar pada basis nenek moyang/keturunan yang sama, ras, agama, bahasa atau kebangsaan asli. Paparan Rotheram & Karen ini secara tidak langsung ingin mengungkap bahwa pembentukan identitas seseorang akan banyak bergantung dari mana asal yang bersangkutan, dan dengan begitu identitas antara seseorang dengan orang lainnya akan secara signifikan berbeda. Merujuk pada paparan di atas, maka akan dengan mudah dinyatakan bahwa sudah menjadi sifat dasar (sunatullah) bahwa identitas seseorang akan berbeda dengan orang lain. Bahkan adanya perbedaan itulah yang menjadikan identitas antara seseorang dengan orang lainnya. Beda, dapat berarti “lain”, dan hendaknya arti tersebutlah yang mengemuka, sehingga “beda” antara etnis satu dengan etnis lain, sebagai hukum alam. Belakangan ini yang muncul adalah makna “tidak sama” –dan berkonotasi negatif- untuk memaknai beda. Beda selalu identik tidak sama, dan ukuran tidak sama adalah “saya” –yang mempresentasi identitas diri seseorang, etnis, golongan, ras, agama, dan lain-lain-. Mengingat ukurannya adalah “saya” sebagai diri yang subjektif, dan bukan “kita” sebagai diri yang objektif, maka yang terjadi adalah, beda berarti tidak sama 2
dengan “saya”, dan karena tidak sama dengan “saya”, maka itu tidak baik, jelek. Nuansa pemaknaan seperti di atas, cenderung syarat politis. Secara psikologis, kesadaran akan identitas diri (entah etnis, ras, agama, atau apapun namanya) merupakan kesadaran yang harus dimiliki oleh setiap individu. Kesadaran ini penting untuk membedakan individu satu dari individu lainnya, terlebih saat ini betapa globalisasi telah menjadikan seluruh wajah bangsa di muka dunia menjadi mirip satu sama lainnya. Dalam kajian psikologis sebenarnya identitas etnik, merupakan hal biasa dalam fenomena berbangsa, dan bukan hal yang istimewa. Setiap kita harus memiliki kesadaran dari mana kita berasal, baik secara etnis ataupun secara geografis, lebih dari itu adalah pada masing-masing individu hendaknya selalu ada keinginan untuk tetap menjunjung budaya etnis tersebut. Persoalannya akan menjadi lain, tatkala kesadaran tersebut diblow-up secara politis, yang pada ujung-ujungnya menumbuhkan keinginan untuk menjadikan etnis sebagai bangsa tersendiri, yang terpisah dari desain besar bangsa Indonesia. Dan tatkala muncul konflik antar etnis, -dan tampaknya hal itu sulit sekali dihindari sebagaimana disitir oleh Donald L Horowitz (1985) bahwa konflik berbasis etnis merupakan fenomena yang muncul pada banyak negara- maka secara arif dipecahkan tidak dengan membackup etnis tertentu, tetapi dengan mendudukkan seluruh konflik yang terlibat konflik dalam meja besar secara bersama dan tetap dalam bingkai persatuan. Dari panggung dunia kita dapat saksikan, betapa dukungan pada etnis tertentu –secara sengaja ataupun tidak oleh pihak penguasa- justru akan memperpanjang konflik itu sendiri. Simak saja peristiwa di negara India, Irak, yang kerap terlibat dengan persoalan etnis. 3
Merujuk pada tulisan Liddle (1970) bahwa salah satu kendala integrasi di Indonesia adalah persoalan suku, ras, agama dan geografi yang disebutnya sebagai dimensi horizontal, sedangkan dimensi vertikalnya menurut Liddle adalah adanya perbedaan antara elite dan massa. Tulisan ini diperkuat oleh Toffler (1990) yang memprediksikan bahwa masalah suku bangsa ini akan terus berlanjut hingga akhir abad XXI. Ditambah lagi dengan banyaknya suku bangsa di Indonesia, maka apa yang diungkap Liddle ini menjadi semacam “ancaman” bagi kelangsungan persatuan bangsa Indonesia. Tulisan
Liddle ataupun Toffler dapat dijadikan sebagai bahan renungan
masyarakat bangsa ini secara bersama. Dan jika disimak secara arif, apa yang diindikan oleh Liddle sebenarnya lebih banyak bergantung pada sisi vertikal, dibanding sisi horizontal. Jika persoalan suku, ras, agama ataupun geografis, maka sejarah telah membuktikan
bahwa
perbedaan-perbedaan
tersebut
dapat
dieleminir
dengan
menumbuhkan pelbagai persamaan-persamaan yang dimiliki. Peristiwa 28 Oktober 1928 merupakan salah satu bukti, betapa keinginan untuk mewujudkan negara yang satu, melebihi rasa beda yang dimunculkan suku, ras, agama ataupun geografis yang ada. Sementara itu, sisi vertikal inilah yang terkadang sulit untuk diprediksikan. Kerap terjadi ide awal menjadikan bangsa satu etnis, bukan berasal dari kalangan massa, melainkan dimunculkan para elite pemegang kebijakan di etnis yang bersangkutan. Jika sudah demikian, maka massa dimobilisasi –satu model praktek politik orde baru- untuk bersuara sama seperti yang dirasakan para pemimpinnya. Dengan dalih suara dari bawah –grass root- maka para elite pemimpin etnis mengajukan tuntutan menyempal.
4
Meski kesadaran etnis harus tetap dipertahankan untuk tiap-tiap individu, namun perlu disepakati bahwa hal itu hendaknya tetap dalam nuansa psikologis, dan bukan dalam bingkai politis. Artinya, setiap individu harus memiliki identitas etnis, sebagai cara untuk menunjukkan jati dirinya, dan bukannya memposisikan dirinya berbeda dengan orang lain secara politis. Jika memang pada setiap orang telah memiliki kesadaran yang sama, bahwa identitas diri itu perlu, maka rasanya tidak lagi bermasalah yang bersangkutan dari etnis apa, suku mana, dan agama apa. Berbeda merupakan anugrah besar Tuhan terhadap umatnya, dan Nabi pun berucap, “perbedaan di antara umatku –dan hendaknya tidak dimaknai hanya sekadar pendapat- merupakan rahmat”. Jika ada yang berpendapat, bahwa wacana negara bagian perlu dikembangkan dalam rangka membingkai perbedaan itu. Maka hendaklah disadari, bahwa tidak semua model pemerintahan yang ada di dunia, akan dapat begitu saja diterapkan pada bangsa dan masyarakat Indonesia secara serta merta. Banyak tahapan yang harus dilakukan untuk melempar wacana itu ke masyarakat, sebab tradisi bangsa ini secara khas berbeda dengan tradisi bangsa lain di manapun. Akhirnya, momentum 28 Oktober 2001 sebagai pengulangan 28 Oktober 1928 diharapkan dapat menjadi bahan renungan bagi seluruh masyarakat bangsa ini, terutama bagi mereka-mereka pemegang kebijakan di tiap-tiap etnis yang ada. Apapun pendapat pemimpin, akan menjadi acuan masyarakat untuk bertindak, sehingga para elite diharap untuk tidak sembarang berucap. Muhammad Idrus, dosen FIAI UII Yogyakarta, Kandidat Doktor Psikologi UGM Alamat: Kampus FIAI UII Yogyakarta Jalan Demangan Baru No. 24 Yogyakarta. Telp. 515490, 519004
5
Kepada Yth. Redaktur Opini Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta Jl. P. Mangkubumi Yogyakarta
Pengirim: Muhammad Idrus FIAI UII YOGYAKARTA Jl. Demangan Baru 24 Yk.
6