9
2
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Wilayah Kepulauan Menurut Wikipedia (2007), wilayah kepulauan atau yang sering disebut
dengan archipelago, didefinisikan sebagai serangkaian atau sekelompok daratan non benua yang yang muncul dan tersebar dipermukaan laut sebagai akibat dari adanya proses geologi. Dengan perkataan lain karakteristik wilayah kepulauan, dapat digambarkan sebagai sekelompok luasan daratan yang terfragmentasi satu dengan lainnya oleh jarak dan lautan dengan ukuran luasnya yang sangat bervariasi. Jika daratan yang trefragmentasi oleh jarak dan lautan tersebut memiliki luas dibawah 2.000 km2, maka menurut UNESCO (1991), daratan dimaksud dikategorikan sebagai pulau kecil, ukurannya yang relatif kecil dan tata letaknya yang cenderung terpisah oleh laut, mengindikasikan akan adanya permasalahan dalam pengelolaan pulau kecil yang umumnya terkait dengan, terbatasnya lahan darat, rendahnya aksesibilitas,
ketergantungan,
serta
rentannya
pulau
kecil
terhadap
perubahan. (Pelling & Uitto, 2001)
2.1.1 Ukuran Yang Relatif Kecil (Smallness) Meskipun menurut beberapa literatur batasan ukuran pulau kecil bervariasi, Pemerintah Indonesia melalui SK Menteri Kelautan dan Perikanan No.41 Tahun 2000 (DKP, 2001) telah memberikan batasan pulau kecil sebagai pulau yang memiliki luas (A) kurang atau sama dengan 10.000 km2, sedangkan Bengen (2003) cenderung menyetujui batasan yang dikemukakan oleh UNESCO (1991) yang mendefinisikan pulau kecil sebagai pulau yang memiliki luas kurang atau sama dengan 2.000 km2, bahkan Bengen (2003) mengemukakan bahwa pulau dengan luas kurang atau sama dengan 100 km 2 dikategorikan sebagai pulau sangat kecil. Sedangkan menurut UndangUndang Republik Indonesia Nomor 27, Tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Republik
Indonesia
Nomor
PER.16/MEN/2008,
tentang
Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, disebutkan
10
bahwa Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya. Menurut Kusumastanto (2003), Ukurannya yang kecil, terkait dengan terbatasnya ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan seperti air tawar, vegetasi, tanah, ekosistem pesisir dan satwa liar, sehingga pada gilirannya akan berpengaruh terhadap daya dukung pulau-pulau kecil tersebut didalam
menopang
kehidupan
manusia
serta
segenap
kegiatan
pembangunan yang ada. Hal yang sama dikemukakan oleh Briguglio (2002), yang menyatakan bahwa, ukuran yang kecil (smallness) sering dikaitkan dengan kurangnya keragaan sumberdaya lahan daratan, serta rendahnya hubungan antar industri yang dimiliki oleh pulau kecil. Oleh karenanya pulau kecil cenderung mengimpor energi dan makanan dari luar wilayahnya dalam rangka memenuhi kebutuhan pertumbuhannya. Keterbatasan lahan dan rendahnya hubungan antar industri juga menyebabkan pulau kecil memiliki tingkat
diversivikasi
usaha
yang
relatif
sangat
rendah.
Sebagai
konsekuensinya pulau kecil memiliki peluang pasar yang relatif sangat sempit dan terbatas karena tidak memiliki pilihan atau alternatif produk lain yang dapat
diekspor
kewilayah-wilayah
lain
dalam
rangka
meningkatkan
pendapatan wilayahnya.
2.1.2 Keterpencilan (Remoteness) Menurut Purwadarminta (1976), kata keterpencilan (remoteness) diartikan sebagai suatu lokasi yang jaraknya relatif jauh untuk dapat di jangkau, atau suatu lokasi yang karena tata letak dan bentuk sebarannya, tidak mudah untuk di capai oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun
belum
ada
kuantifikasi
yang
secara
jelas
mendefinisikan
keterpencilan dari pulau-pulau kecil, akan tetapi dalam perspektif yang sama kuantifikasi dari definisi keterpencilan ini kemudian oleh Worldbank (2004) digambarkan sebagai kemampuan akses relatif (index) dari suatu lokasi terhadap beberapa fasilitas umum yang tersedia disekitarnya berdasarkan variabel : jarak (D), waktu tempuh (T), serta moda transportasi (M) yang diperlukan untuk mencapai fasilitas-fasilitas umum tersebut.
Lebih jauh
11
dijelaskan bahwa secara operasional ukuran variabel jarak dikategorikan sebagai (0) untuk jarak 0 km dari lokasi, (1) untuk jarak 1 km, (2) untuk jarak 5 km, (3) untuk jarak 20 km, (4) untuk jarak 100 km, dan (5) untuk jarak diatas 100 km. sedangkan ukuran variabel moda transportasi dikategorikan sebagai (1) untuk jalan kaki, (2) untuk kendaraan, (3) untuk kapal laut, dan (4) untuk kapal terbang, demikian halnya dengan ukuran variabel untuk waktu tempuh yang besifat kontinyu. Menurut Worldbank (2004), formulasi umum yang dipergunakan untuk menggambarkan tingkat keterpencilan dari masingmasing variabel tersebut adalah : ~
X
X i X min X max X min
……………………………………………………. ….. .(1)
Dimana, Xi = ukuran keterpencilan dari suatu lokasi (i), sedangkan Xmin dan Xmax = ukuran keterpencilan minimum dan maksimum dari lokasi-lokasi yang ada terhadap fasilitas umum yang tersedia. Normalisasi dari ketiga nilai variabel tersebut diatas selanjutnya digambarkan dalam suatu tingkatan keterpencilan lokasi dalam bentuk sebaran nilai dari 0 yang artinya tidak terpencil atau nilai yang diasosiasikan sebagai nilai minimal yang dihasilkan oleh setiap variabel. Sebaliknya nilai 1 yang berarti sangat terpencil diasosiasikan sebagai nilai maksimal yang dihasilkan oleh setiap variabel. Lebih jauh dikemukakan oleh Briguglio (2002), bahwa karena sifat-sifat geografisnya yang cenderung terpisah oleh lautan (Remoteness), maka pulau kecil memiliki tingkat aksesibilitas yang cenderung rendah terhadap pusatpusat pertumbuhan. Hal ini biasanya terkait dengan biaya ekstra tinggi yang harus dikeluarkan persatuan unit transportasi, terutama untuk pulau-pulau kecil yang secara ekonomis tidak terjangkau oleh sistem transportasi yang ada. Konsekuensi dari kondisi ini selain berakibat terhadap tidak menentunya proses suplai energi dan makanan yang dibutuhkan pulau-pulau kecil tersebut dalam pertumbuhannya, juga mengakibatkan pulau-pulau kecil tersebut menjadi semakin terpencil. Keterpencilan juga diartikan sebagai suatu daerah yang terisolasi dari pusat pertumbuhan maupun dari daerah lain akibat tidak memiliki atau kekurangan sarana perhubungan sehingga menghambat pertumbuhan daerah tersebut (DPU, 2011) .
12
2.1.3 Ketergantungan (Dependence) Menurut Fauzi (2002), selain smallness dan remoteness, terdapat beberapa sifat khas dari pulau kecil yang juga harus dipertimbangkan dalam melakukan penilaian ekonomi sumberdaya pulau-pulau kecil. Sifat-sifat tersebut adalah ketergantungan (dependence) dan kerentanan (vulnerability). Sifat ketergantungan pulau-pulau kecil ini pada dasarnya terbentuk sebagai tuntutan atas sifat-sifat dasar dari pulau-pulau kecil seperti “smallness” dan “remoteness”.
Kondisi
tersebut
menunjukkan
adanya
keterbatasan
sumberdaya darat pulau kecil serta adanya hambatan jarak dan laut yang memisahkannya. Dengan demikian dalam rangka pertumbuhannya pulau kecil sangat membutuhkan bantuan dari wilayah lain atau dari pulau lain yang dianggap
mampu
mendukung
pulau
kecil
tersebut
sesuai
dengan
kebutuhannya. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa karena keterbatasan
fisiknya
pulau-pulau
kecil
cenderung
memiliki
tingkat
ketergantungan yang tinggi terhadap wilayah lain diluarnya yang diharapkan dapat
memberikan
dukungan
secara
fungsional
dalam
rangka
pertumbuhannya.
2.1.4 Kerentanan (Vulnerable) Pelling dan Uito (2002), mengemukakan bahwa kaidah dasar kerentanan pulau-pulau kecil sangat dipengaruhi oleh karakteristik pulau itu sendiri
seperti
halnya
smallness
dan
remoteness
yang
kemudian
memunculkan dependence. Dalam operasionalisasinya karakteristik pulaupulau kecil ini disatu sisi mengekspose isu-isu pengelolaan seperti permasalahan sosial, ekonomi dan lingkungan yang bersifat eksternal. Sedangkan di sisi lain secara internal karakteristik ini juga dapat digambarkan sebagai kondisi aktual dari pulau-pulau kecil yang ada dengan segala kemampuannya untuk bertahan, mengatur, dan beradaptasi terhadap dampak
eksternal
yang
muncul
sebagai
akibat
dari
tereksposenya
permasalahan-permasalahan yang ada. Secara skematis interaksi antara pengaruh eksternal terhadap kemampuan internal dari suatu pulau-pulau kecil
13
kemudian digambarkan sebagai suatu desain struktur kerentanan pulau-pulau kecil sebagaimana ditunjukkan melalui Gambar 1 berikut ini.
SMALL ISLANDS
Pengaruh Lingkungan kuat
Exposure
Environment Factors
Resources Potentials and Disadvantage
Ukuran Kecil
Ekonomi Skala Kecil
Sensitivitas
Economic Exposures
Economic Factors
System Responses
Economic Remoteness
Kekuatan Terbatas
Economic of Natural Disaster
Terpencil
Potential Social Problem Social Factors Demographic Problem
Characteristic
Exposure
Sustainable Policies
INDICATORS
Demografi
Resilience
Vulnerability Index
Characteristic
Adjustments & Adaptations
Risks & Impacts
Actual Conditions
Sensitivitas
Resilience
Sumber : Pelling dan Uito (2002)
Gambar 1. Desain Struktur Kerentanan Pulau-Pulau Kecil
Dalam Gambar 1. diatas, Pelling dan Uito (2002), menjelaskan bahwa jika kemampuan internal untuk bertahan (resilience) dari suatu pulau kecil kemudian dihadapkan dengan dampak eksternal yang disebabkan oleh tereksposenya isu atau permasalahan dari pulau-pulau kecil tersebut sebagaimana dijelaskan pada paragraf sebelum ini, maka akan didapat suatu batas pengaruh yang muncul terhadap sistem respon pulau yang diukur sebagai suatu tingkat kepekaan (sensitivity) pulau-pulau kecil tehadap pengaruh eksternal maupun internal tersebut, yang selanjutnya dianggap sebagai
batas
kritis
(critical
path)
yang
dapat
diperbolehkan
agar
pemanfaatan atau eksploitasi dari pulau-pulau kecil dapat terus berkelanjutan. Ukuran sensitivitas inilah yang kemudian dipakai sebagai dasar didalam melakukan “pengelolaan wilayah pulau-pulau kecil”.
14
2.2
Pengelolaan Wilayah Pulau-Pulau Kecil Sebagaimana telah dijelaskan dalam sub-bab sebelum ini, bahwa
karena karakteristik pulau-pulau kecil yang cenderung rentan terhadap dampak eksternal, maka menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27, Tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, disebutkan bahwa konsep dasar pengembangan wilayah pulau-pulau kecil haruslah memperhatikan faktor ketahanan pulau-pulau kecil itu sendiri sebagai obyek sekaligus sasaran dari upaya pengembangan wilayah pulaupulau kecil tersebut. Sehubungan dengan itu, maka perlu diketahui lebih rinci tentang kebijakan apa saja yang bisa dilakukan dalam rangka pengembangan pulau-pulau kecil beserta upaya pengendalian dampak eksternalitas yang dihasilkannya. Dengan melihat implikasi dari kebijakan pengembangan dan pengendalian pulau-pulau kecil dimaksud diharapkan dapat diketahui aspekaspek apa saja yang berpengaruh dalam suatu sistem perwilayahan pulaupulau kecil yang berkelanjutan.
2.2.1 Kebijakan Pengembangan Dalam skala individual, diketahui bahwa akibat keterbatasannya, kondisi ekonomi dan sosial pulau-pulau kecil cenderung rendah, oleh sebab itu dikatakan oleh Kusumastanto (2003), bahwa pengembangan pulau kecil harus mampu menciptakan suatu proses transformasi sosial maupun ekonomi, sehingga masyarakat di pulau-pulau kecil dapat benar-benar diberdayakan secara ekonomi, sosial dan budaya. Oleh karenanya kebijakan pengembangan pulau-pulau kecil sebaiknya lebih ditekankan kepada kekuatan sumberdaya lokal yang bertujuan untuk : (1) mengurangi biaya transportasi, (2) terjadinya proses diversivikasi produk yang tinggi, yang dapat menyebabkan terjadinya perdagangan antar satu daerah dengan yang lainnya karena ada keragaman produk, (3) menciptakan produk berbasiskan masyarakat dan pengetahuan lokal, sehingga tercipta interdependensi ekonomi lokal dalam konteks ekonomi global. Melalui pengembangan ekonomi lokal diharapkan dapat meningkatkan semangat masyarakat, hubungan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat.
15
Sejalan dengan pemikiran diatas, Rustiadi (2007), mengemukakan tentang pentingnya mengembangkan sektor-sektor basis pada wilayah dengan
mayoritas
masyarakat
seperti
petani
lahan
kering,
nelayan
(perikanan), dan kehutanan. Dengan demikian selain dapat mengurangi kemiskinan masyarakat lokal (pulau-pulau kecil), diharapkan upaya ini dapat juga mengurangi dampak transformasi struktur ekonomi dari pertanian ke industri atau jasa yang terlalu cepat, dan cenderung menyebabkan adanya dominasi oleh pendatang sehingga masyarakat lokal termarjinalisasi. Dalam skala wilayah, diketahui bahwa wilayah pulau-pulau kecil cenderung terfragmentasi oleh jarak dan lautan. Sebagai akibatnya dalam skala ini kecenderungan terjadinya disparitas wilayah adalah cukup tinggi bahkan sangat signifikan. Kondisi ini akan menciptakan adanya ketidakadilan atau ketimpangan dalam pembangunan wilayah pulau-pulau kecil tersebut. Disatu sisi ada pulau-pulau kecil yang tingkat pertumbuhannya tinggi disisi lain ada juga pulau-pulau kecil yang tingkat pertumbuhannya sangat rendah. Menurut Rustiadi (2007), untuk mengurangi disparitas wilayah, maka kebijakan yang perlu diambil adalah meningkatkan kapasitas dan hiraki pelayanan sesuai dengan hukum nodalitas, dimana selalu akan terjadi aliran dari wilayah belakang (hinterland) ke pusat (center). Sehingga diharapkan dapat mengurangi dampak aliran sumberdaya dan nilai tambah asimetrik, yang dapat berupa kebocoran wilayah (regional leakages) ataupun backwash. Langkah
strategis
pada
pulau-pulau
kecil
dapat
dilakukan
melalui
pengembangan pusat-pusat pelayanan permukiman/kota kecil/menengah, serta pengembangan fasilitas (urban function centers). Peningkatan kapasitas pelayanan terkait dengan pemenuhan infrastruktur dasar akan menjamin akses masyarakat terhadap air bersih, energi, komunikasi, informasi, layanan pendidikan, kesehatan, dan interaksi sosial-ekonomi. Ditambahkan pula oleh Rustiadi (2007) tentang perlunya pengaturan struktur jaringan transportasi/komunikasi yang meminimalkan pola dendritik dan memaksimalkan pola network. Struktur transportasi/komunikasi yang bersifat denritik akan mendorong interaksi yang asimetris sehingga posisi kawasan tertinggal (seperti pulau-pulau kecil) makin lemah dan sebaliknya
16
sistem aliran network mendorong interaksi yang lebih simetris sehingga posisi “tawar” kawasan tertinggal menjadi lebih kuat. Ilustrasi perbandingan networking struktur ruang disajikan pada Gambar 2 berikut ini.
Sumber : Rustiadi (2007)
Gambar 2. Struktur transportasi berpola denritik dan network system
Hal yang sama dikemukakan oleh Kusumastanto (2003), bahwa dalam rangka
membuka
keterisolasian
pulau-pulau
kecil,
maka
kebijakan
pengembangan ekonomi lokal di pulau-pulau kecil perlu ditunjang oleh kebijakan pengembangan jaringan angkutan laut guna mengembangkan potensi sumberdaya yang dimilikinya serta mempermudah aliran barang dan jasa diantara pulau-pulau kecil yang ada.
2.2.2 Kebijakan Pengendalian Kusumastanto (2003), mengemukakan bahwa banyaknya kendalakendala yang muncul sebagai akibat dari karakteristik pulau-pulau kecil, tidak berarti
pulau
kecil tidak dibangun
atau
dikembangkan,
tetapi pola
pembangunannya harus mengikuti pola kaidah-kaidah pengembangan pulaupulau kecil yang berkelanjutan. Susilo (2003), mengemukakan bahwa sebagai bahagian dari sumberdaya pesisir dan lautan, maka konsep keberlanjutan pengembangan pulau-pulau kecil pada dasarnya mengacu kepada konsep keberlanjutan pembangunan wilayah pesisir dan lautan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka visi pembangunan pulau-pulau kecil sebagaimana di jelaskan oleh Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (P3K, 2000) disatu sisi lebih diarahkan pada optimalisasi pemanfaatan ruang dan sumberdaya dalam
17
rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi wilayah, sedangkan disisi lain lebih diarahkan pada bagaimana menjamin keberlanjutan pemanfaatan itu sendiri sebagai suatu kebijakan pengendalian pembangunan. Beller et al. (1990) dalam Susilo (2003), mengemukakan bahwa keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil sangat bergantung pada berapa lama penduduknya dapat mempertahankan kondisi berikut ini :
Energi, air dan sumberdaya lainnya yang tersedia didalam rangka memenuhi aktifitas di pulau-pulau kecil tersebut.
Sistem alami atau penggantinya mampu menangani atau menyerap semua limbah yang ditimbulkan, dan juga mampu memberikan jasa dukungan kehidupan seperti udara bersih, air bersih yang bernilai ekonomi.
Teknologi
yang
tepat
untuk
mempertahankan
semua
sistem
pendukungnya dapat berjalan
Mampu dan cukup fleksibel hidup dalam lingkungan yang baru ditimbulkan oleh pembangunan.
Ekosistem cukup kompleks untuk berhadapan dengan keadaan darurat dan bencana alam.
Nilai yang berguna dalam perdagangan barang dan jasa secara domestik dan internasional serta nilai yang memberikan kontribusi ketahanan hidup dari planet ini.
Pemerintah dan masyarakat mau mengambil langkah yang diperlukan untuk menceghah kerusakan lingkungan di daratan maupun sumber daya lautan
Sedangkan menurut Rustiadi (2007), untuk pulau-pulau dengan kiriteria luas 10 – 100 km2, atau sangat kecil, terpencil, tidak berpenduduk dan tidak ada akses dari dan ke pulau tersebut, maka pengembangannya sebaiknya diarahkan pada upaya maksimisasi fungsi ekosistemnya dan
18
kaitannya dengan mitigasi bencana. Oleh karena itu, strategi pengembangan pulau-pulau kecil yang terpencil lebih kepada aspek konservasi dan mitigasi bencana, yang meliputi (1) Perlindungan keanekaragaman hayati sebagai kawasan konservasi, serta pemantapan regulasi kawasan konservasi melalui regulasi, (2) Peningkatan partisipasi masyarakat lokal dan pemangku kepentingan lainnya dalam pengelolaan kawasan konservasi, (3) Peningkatan upaya pengawasan dan penegakan hukum, (4) Identifikasi potensi bencana pada pulau-pulau kecil dan peningkatan kewaspadaan masyarakat terhadap bencana, (5) Pemanfaatan teknologi peringatan dini dan mitigasi bencana, (6) Peningkatan upaya rehabilitasi ekosistem.
2.2.3 Aspek Pengembangan Mengacu pada penjelasan sub-bab sebelumnya yang berkaitan dengan kebijakan pengembangan dan pengendalian pulau-pulau kecil, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa untuk dapat menjaga keberlanjutannya, pengembangan pulau-pulau kecil harus memenuhi kriteria-kriteria atau aspekaspek keberlanjutan yang oleh Dahuri et al (1996), kemudian dikategorikan kedalam 4 dimensi, yaitu dimensi ekologis, sosial ekonomi budaya, sosial politik, hukum dan kelembagaan. Ditjen P3K (2000) dalam Susilo (2003), juga
mengemukakan
hal
yang
sama.
Sedangkan
Chua
(2006),
mengemukakan konsep keberlanjutan pembangunan pesisir dan lautan pada dasarnya meliputi empat dimensi yaitu, Ekonomi, Sosial, Ekologi dan Fisik. Dalam buku Pedoman Penataan Ruang dan Modul Terapan yang diterbitkan oleh Departemen Pekerjaan Umum, Tahun 2007, ke empat dimensi tersebut dijabarkan sebagai berikut : (1)
Dimensi Ekonomi, berkaitan dengan potensi lokasi, sumberdaya alam, sumberdaya
manusia,
dan
sumberdaya
buatan
yang
dapat
dikembangkan secara lebih efisien. (2)
Dimensi Sosial, berkaitan dengan kondisi sosial budaya masyarakat yang mendukung atau menghambat pengembangan wilayah.
19
(3)
Dimensi
Fisik
dan
Lingkungan,
berkaitan
dengan
karakteristik
sumberdaya alam berdasarkan kemampuan dan kesesuaian lahan, sehingga penggunaannya dapat dilakukan secara optimal sesuai dengan keseimbangan ekosistem. Jika secara substantial dimensi-dimensi keberlanjutan pembangunan pesisir dan laut tersebut di atas kemudian secara lebih rinci diintegrasikan dengan
apa
yang
menjadi
tujuan
atau
ukuran
dari
suatu
sistem
pengembangan wilayah seperti dikemukakan oleh Rustiadi et al. (2004), maka indikasi kinerja dari masing-masing dimensi tersebut dapat diukur berdasarkan kriteria : (1) produktifitas, efisiensi dan pertumbuhan, (2) pemerataan keberimbangan dan keadilan, (3) keberlanjutan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Manuwoto (2004), dimana ukuran dari tercapainya suatu
tujuan
pengembangan
wilayah
pada
dasarnya
dapat
dilihat
berdasarkan tingkat efisiensi, equity, enforcebility, insentif perbaikan dan morality dari suatu sistem perwilayahan. Pendapat diatas diperkuat melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang menyebutkan bahwa pengembangan wilayah pulau-pulau kecil selayaknya berasaskan pada keberlanjutan, konsistensi, keterpaduan, kepastian hukum, kemitraan, pemerataan,
peran
serta
masyarakat,
keterbukaan,
desentralisasi.
akuntabilitas, dan keadilan. Mengacu pada penjelasan karakterisitik pulau-pulau kecil serta aspek pengembangan sebagaimana di jelaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27, Tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, maka salah satu upaya yang perlu dilakukan didalam pengembangan pulau-pulau kecil adalah melalui pendekatan perwilayahan. Pendekatan perwilayahan menjadi hal yang sangat penting, karena pendekatan ini merupakan suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pulau-pulau kecil.
20
2.2.4 Pendekatan Perwilayahan Menurut Nugroho dan Dahuri (2004), wilayah diartikan sebagai suatu area geografis yang memiliki ciri tertentu dan merupakan media bagi segala sesuatu untuk berlokasi dan berinteraksi. Kata ciri tertentu memiliki arti penting dan kritis karena berkaitan dengan fungsi yang menjadi tujuan dari suatu upaya perwilayahan atau dibentuknya suatu wilayah. Lebih jauh, Rustiadi (2004), mengemukakan bahwa pada dasarnya kata wilayah atau region digunakan sebagai suatu penekanan atas adanya karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi dan komponen-komponen di dalam suatu unit wilayah, sehingga batas dan sistemnya sangat ditentukan oleh aspek fungsional tersebut. Menurut Ulman (1956), karakteristik hubungan fungsional antar wilayah sebagaimana dimaksud di atas, dibedakan dalam tiga kategori yaitu : proses hubungan yang bersifat Complementarity, Intervening Opportunity dan Transferability diantara pulau-pulau tersebut (Gambar 3).
Sumber : Ulman (1956)
Gambar 3. Karakteristik Hubungan Antar Wilayah
Proses Complementarity, adalah hubungan yang terjadi antara dua wilayah sebagai akibat adanya suatu proses saling melengkapi satu dengan lainnya, dimana wilayah yang satu men-suply demand dari wilayah lainnya. Proses Intervening Opportunity, adalah hubungan yang terjadi antara satu wilayah dengan wilayah lainnya sebagai akibat adanya tawaran yang lebih menguntungkan dibandingkan wilayah lainnya. Proses Transferability, adalah
21
hubungan yang terjadi antar dua wilayah sebagai akibat adanya infrastruktur yang menghubungkan kedua wilayah tersebut. Rondineli (1985), secara fungsional kemudian mengklasifikasikan tipologi dari karakteristik keterkaitan antar wilayah kedalam 7 kelompok kriteria keterkaitan utama perkembangan spasial, yang mencakup keterkaitan fisik, ekonomi, pergerakan penduduk, teknologi, interaksi sosial, pelayanan jasa, politik dan administrasi. Secara lebih detail ke tujuh tipe beserta elemen pendukung dari karakteristik hubungan antar wilayah dimaksud diperlihatkan melalui (Tabel 1). Tabel 1. Keterkaitan utama dalam perkembangan spasial No 1.
Tipe Keterkaitan Fisik
Elemen Jaringan transportasi sungai dan air Ketergantungan ekologi Aliran modal & Pola Pemasaran Keterkaitan produksi ke depan dan kebelakang
2.
Keterkaitan Ekonomi
data lateral Aliran bahan mentah dan setengah jadi Pola komsumsi dan belanja Aliran komoditas secara lintas sektoral dan lintas regional
3.
Keterkaitan Pergerakan Penduduk
Migrasi permanen atau temporer yang melakukan perjalanan dalam rangka kerja Ketergantungan teknologi
4.
Keterkaitan teknologi
Sistem migrasi Sistem telekomunikasi Pola kunjungan
5.
Keterkaitan Interaksi Sosial
Pola kekerabatan Kegiatan ritual dan keagamaan Interaksi kelompok dan sosial Jaringan aliran energy
6.
Keterkaitan Pelayanan Jasa
Jaringan kredit dan finansial Jaringan pendidikan dan pelatihan Sistem pelayanan kesehatan Sistem pelayanan transportasi Hubungan struktural
7.
Keterkaitan politik administrasi dan Organisasi
Aliran budget pemerintah Ketergantungan organisasi Pola pengawasan kewenangan Materi keputusan politik informal
Sumber : Rondinelli (1985)
22
Dalam banyak hal karakteristik keterkaitan antar wilayah sebagaimana dimaksud, berkaitan dengan suatu hubungan saling mempengaruhi secara vertikal seperti wilayah yang memiliki hiraki lebih tinggi dengan wilayah yang memiliki hirarki lebih rendah, wilayah kota dengan desa, wilayah produksi dengan wilayah bahan mentah, wilayah yang memberikan pelayanan dengan wilayah yang dilayani (Pradhan, 2003). Hubungan secara vertikal ini juga sekaligus menggambarkan akan adanya faktor ketertarikan (attractiveness) secara potensial yang dimiliki oleh setiap wilayah sehingga mengakibatkan adanya proses pergerakan dalam ruang (spatial movement) yang dicirikan melalui adanya perpindahan penduduk atau barang serta jasa dari satu wilayah menuju wilayah lainnya. Sehubungan dengan adanya proses perpindahan sebagaimana dimaksud diatas, maka lebih jauh dikemukan pula oleh Pradhan (2003) bahwa hubungan antar wilayah tidak pernah terjadi tanpa adanya sarana dan prasarana penghubung diantara mereka. Dalam perspektif pulau kecil, pergerakkan antar wilayah sebagaimana dimaksud oleh Rondinelli (1985), kemudian dianalogikan sebagai fungsi keterkaitan yang mengakibatkan berpindahnya penduduk dari pulau asal sesuai dengan daya tarik yang ditawarkan oleh pulau tujuan, sehingga berdampak terhadap daya dukung pulau-pulau tujuan yang umumnya merupakan pusat pertumbuhan (Tarigan, 2004). Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Jika menurut Peraturan
Republik
Indonesia
Nomor
PER.16/MEN/2008, tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dikatakan bahwa daya dukung pulau-pulau tujuan adalah digambarkan sebagai kemampuan pulau-pulau kecil untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain, maka sesuai dengan UU.RI. No.27 Tahun 2007, maka sudah seharusnya tujuan pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya pulau-pulau kecil diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial secara berkelanjutan. Disebutkan juga dalam UU.RI. No.27 Tahun 2007, bahwa pada dasarnya tujuan dari pengembangan wilayah pulau-pulau kecil harus dapat melindungi,
mengkonservasi,
merehabilitasi,
memanfaatkan,
dan
memperkaya Sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem
23
ekologisnya secara berkelanjutan. Lebih lanjut dijelaskan dalam UU.RI. No.27 Tahun 2007, bahwa melalui pendekatan perwilayahan ini diharapkan dapat ditentukan arah penggunaan sumber daya untuk setiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan pulau-pulau kecil yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Mengacu pada penjelasan diatas diketahui ada tiga komponen utama yang penting dalam pendekatan perwilayahan yaitu komponen interaksi, komponen pertumbuhan dan komponen keberlanjutan.
2.3
Komponen Interaksi Spasial Tamin (2003), menyatakan bahwa fenomena pergerakan antar wilayah
sangat berkaitan dengan adanya faktor-faktor spesifik dari suatu wilayah yang mampu memicu terjadinya aliran perpindahan penduduk, barang atau jasa dari wilayah asal (origin) menuju suatu wilayah tujuan (destination). Dengan demikian secara umum mekanisme interaksi spasial pada prinsipnya berupaya menjelaskan secara terukur hubungan antara sistem tata guna lahan (kegiatan) dan sistem prasarana transportasi (jaringan) terhadap sistem arus lalu lintas (pergerakkan). Lebih lanjut Tamin (2003), mendeskripsikan fenomena hubungan tersebut diatas sebagai suatu sebaran pergerakan yang ditimbulkan oleh adanya bangkitan dan tarikan pergerakan yang merupakan fungsi tata guna lahan dari wilayah asal dan wilayah tujuan serta tingkat kemudahan pencapaian wilayah tujuan dari wilayah asal. Secara umum kuantifikasi sebaran pergerakkan dimaksud mengacu pada persamaan Hukum Gravitasi Newton berikut :
Fij k
MiM j
…………………………………………………………… (2)
Dij2
dimana, (Fij) adalah daya tarik menarik antara dua massa benda (Mi dan Mj) yang terpisah dalam jarak (Dij) tertentu. Lebih lanjut persamaan di atas dalam penelitian ini kemudian dikembangkan dalam bentuk Model Gravitasi Kendala Ganda, Model Entropi Interaksi Spasial, dan Pola Interaksi Spasial.
24
2.3.1 Model Gravitasi Kendala Ganda Dengan menganalogikan variabel Massa Mi dan Mj pada persamaan (2) tersebut, sebagai jumlah penduduk wilayah asal Oi (Origin) dan tujuan Dj
(Destination); serta
Jaraki-j sebagai jarak antara wilayah tersebut, yang
dinotasikan dengan dij, maka daya tarik antara wilayah tersebut kemudian dapat digambarkan sebagai banyaknya perjalananan Tij dari wilayah asal ( i ) yang memilih untuk menuju wilayah tujuan ( j ), sehinggga secara matematis formulasinya kemudian dapat ditulis sebagai berikut : …………………………………………………….… (3)
Tij G Oi D j d ijb
Jika jumlah wilayah yang menjadi tujuan (j) lebih dari satu, sebagaimana diperlihatkan dalam Matriks Asal dan Tujuan (MAT) pada Gambar 4, maka mengacu pada persamaan (3) di atas, probabilita banyaknya perjalanan dari wilayah asal satu ke wilayah tujuan dua (P12) sebanding dengan banyaknya perjalanan dari wilayah asal satu ke wilayah tujuan dua (T12) dibagi banyaknya perjalananan dari wilayah asal satu ke seluruh wilayah tujuan (T12 +T13). Destination (j)
2 d12 = d21
d23 = d32 T23 T32
T21 1
T13 T31 d13 = d31
3
Origin (i)
T12
Wilayah
1
2
3
∑
1
0
T12
T13
O1
2
T21
0
T23
O2
3
T31
T32
0
O3
∑
D1
D2
D3
T
Sumber : Tarigan (2009)
Gambar 4. Matiks Asal Tujuan (MAT) Perjalanan Antar Wilayah
Secara matematis formulasi dari (P12) dimaksud selanjutnya dapat ditulis sebagai persamaan berikut :
T12 G O1 D2 d12b P12 T12 T13 G O1 D2 d12b G O1 D3 d13b
…………………
(4)
Persamaan di atas kemudian dapat disederhanakan menjadi :
P12
D2 d12b D j d1jb
; j 2 dan 3
………………………………………… (5)
25
Jika,
1 A1 ; j 2 dan 3 D j d1jb
………………………………………… (6)
Maka,
P12 A1 D2 d12b
……………………………………………………… (7)
Jika, banyaknya perjalanan dari wilayah asal satu ke wilayah tujuan dua (T12), dapat diketahui melalui persamaan berikut :
T12 O1 P12
……………………………………………………… (8)
Maka dengan mensubtitusikan persamaan (7) kedalam persamaan (8), persamaan (T12) diatas, menjadi : T12 A1 O1 D2 d12b
………………………………………………….. (9)
Dengan demikian secara umum formulasi banyaknya perjalanan Tij dari wilayah asal ( i ) ke wilayah tujuan ( j ) kemudian dapat ditulis sebagai persamaan berikut :
Tij Ai Oi D j d ijb
………………………………………………… (10)
Persamaan diatas disebut sebagai model gravitasi kendala tunggal (single constraint gravity model) yang mempertimbangkan kendala pada wilayah asal ( i ). Dalam kenyataannya wilayah tujuan ( j ), juga memiliki kendala didalam menerima banyaknya perjalanan dari wilayah asal ( i ). Sehingga mengacu pada persamaan (10) di atas, probabilita banyaknya perjalanan dari wilayah asal satu yang dapat diterima oleh wilayah tujuan dua (P12), sebanding dengan banyaknya perjalanan ke wilayah tujuan dua yang berasal dari wilayah asal satu (T12) dibagi banyaknya perjalananan ke wilayah tujuan dua yang berasal dari seluruh wilayah asal (T12+T32). Secara matematis formulasi dari (P12) tersebut selanjutnya dapat ditulis sebagai persamaan berikut ini.
P12
T12 A1 O1 D2 d12b b T12 T32 A1 O1 D2 d12b A3 O3 D2 d 32
……………… (11)
Persamaan di atas kemudian dapat disederhanakan menjadi :
A1 O1 d12b P12 Ai Oi d i2b
; i 1 dan 3
……………………………………. (12)
26
Jika,
1 B2 ; i 1 dan 3 Ai Oi d i2b
…………………………………...... (13)
Maka, P12 A1 O1 B2 d12b
……………………………………………………. (14)
Jika, banyaknya perjalanan dari wilayah asal satu yang dapat diterima di wilayah tujuan dua (T12), dapat diketahui melalui persamaan berikut :
T12 D2 P12
…………………………………………………………....... (15)
Maka dgn mensubtitusikan persamaan (14) kedalam persamaan (15), persamaan (T12) diatas, menjadi : T12 A1 O1 B2 D2 d12b
……………………………………………… (16)
Sebagaimana diperlihatkan pada gambar 1.6 yang menunjukkan adanya proses timbal balik dari setiap wilayah yang berinteraksi, maka selain menerima banyaknya perjalanan dari wilayah asal satu dan tiga, wilayah tujuan dua juga mendistribusikan perjalanan ke wilayah asal satu dan tiga. Dengan demikian, mengacu pada persamaan (16), probabilita banyaknya perjalanan dari wilayah tujuan dua ke wilayah asal satu (P21), sebanding dengan banyaknya perjalanan dari wilayah tujuan dua ke wilayah asal satu (T21) dibagi banyaknya perjalananan dari wilayah tujuan dua ke seluruh wilayah asal (T23 +T21). Secara matematis formulasi (P21) dimaksud selanjutnya dapat ditulis sebagai persamaan berikut ini :
P21
T21 G O1 D2 d12b b T21 T23 G O1 D2 d12b G O3 D2 d 32
……………….… (17)
Persamaan di atas kemudian dapat disederhanakan menjadi :
P21
O1 d12b Oi d i2b
; i 1 dan 3
……………………………………...... (18)
Jika,
1 B2 ; i 1 dan 3 Oi d i2b
…………………………………………. (19)
27
Maka
P21 B2 O1 d12b
………………………………………………………. (20)
Jika, banyaknya perjalanan dari wilayah tujuan dua ke wilayah asal satu (T21), dapat diketahui melalui persamaan berikut :
T21 D2 P21
………………………………………………………. (21)
Maka dengan mensubtitusikan persamaan (20) kedalam persamaan (21), persamaan (T21) di atas, menjadi : T21 B2 O1 D2 d12b
………………………………………………….. (22)
Karena wilayah asal ( i ) juga memiliki kendala di dalam menerima banyaknya perjalanan dari wilayah tujuan ( j ), maka mengacu pada persamaan (22) di atas, probabilita banyaknya perjalanan dari wilayah tujuan dua yang dapat diterima oleh wilayah asal satu (P21), sebanding dengan banyaknya perjalanan ke wilayah asal satu yang berasal dari wilayah tujuan dua (T21) dibagi banyaknya perjalananan ke wilayah asal satu yang berasal dari seluruh wilayah tujuan (T21+T31). Secara matematis formulasi dari (P21) tersebut selanjutnya dapat ditulis sebagai persamaan berikut ini.
P21
T21 B2 O1 D2 d12b T21 T31 B2 O1 D2 d12b B3 O1 D3 d13b
…………….… (23)
Persamaan diatas kemudian dapat disederhanakan menjadi :
B2 D2 d12b P21 B j D j d1jb
; j 2 dan 3
…………………………………
(24)
Jika,
1 A1 ; j 2 dan 3 B j D j d1jb
………………………………...… (25)
Maka P21 A1 B2 D2 d12b
…………………………………………………. (26)
Jika, banyaknya perjalanan dari wilayah tujuan dua yang dapat diterima di wilayah asal satu (T21), dapat diketahui melalui persamaan berikut :
T21 O1 P21
……………………………………………………… (27)
28
Maka dengan mensubtitusikan persamaan (26) kedalam persamaan (27), persamaan (T21) di atas, menjadi : T21 A1 O1 B2 D2 d12b
………………………………………………. (28)
Berdasarkan persamaan (16) dan (28), maka formulasi banyaknya perjalanan Tij dari wilayah asal ( i ) menuju wilayah tujuan ( j ) sesuai dengan kendala wilayah asal maupun kendala wilayah tujuan, dapat ditulis sebagai persamaan model gravitasi kendala ganda (double contraint gravity model) sebagaimana diperkenalkan oleh Lee, pada tahun 1970 yaitu :
Tij Ai Oi B j D j d ijb
……………………………………………….. (29)
dimana, Ai
B
j
D j d ijb
1
= Koefisien faktor pendorong (push factor) dari
wilayah asal i Bj
A O d i
i
b 1 ij
= Koefisien faktor penarik (pull factor) wilayah
tujuan j
T T
Oi
Dj
dij
= Jarak antara wilayah asal i dengan wilayah tujuan j (km)
ij
= Banyaknya perjalanan dari wilayah asal i (orang per tahun)
ji
= Banyaknya perjalanan ke wilayah tujuan j (orang per tahun)
Dari persamaan (29) diatas nampak bahwa didalam (Ai) terkandung pengertian (Bj), demikian juga sebaliknya didalam (Bj) terkandung pengertian (Ai). Ini berarti bahwa nilai (Ai) dan nilai (Bj) saling mempengaruhi satu dengan lainnya dalam suatu tingkatan keseimbangan tertentu sesuai dengan karakter dari wilayah asal ( i ) dan wilayah tujuan ( j ) yang membentuknya. Dengan demikian melalui model ini, faktor gaya dorong (push factor) dan faktor gaya tarik (pull factor) dari wilayah-wilayah yang diteliti dapat teridentifikasi baik dari sudut pandang wilayah tujuan maupun wilayah asal. Dalam menghitung Tij, maka besarnya keseimbangan nilai (Ai) dan nilai (Bj) dapat didekati dengan melakukan iterasi. Proses iterasi dimaksud dijelaskan melalui Gambar 5..
29
Hitung Dj.dij-b
Tentukan Nilai Ai = 1
Hitung Bj setiap zona dgn Ai = 1
Ya
Hitung Ai atas dasar nilai Bj yg didapat Apakah Ai yg didapat berbeda dgn Ai sebelumnya Tidak
Hitung kemungkinan interaksi antara setiap pasangan zona ; ( Prij = Ai . Bj . Dij-1 ) Hitung interaksi antara setiap pasangan zona ; ( Tij = Oi . Prij )
Gambar 5. Diagram Alir Gravitasi Kendala Ganda (Lee, 1980)
2.3.2 Pola Interaksi Spasial Pola interaksi spasial pada dasarnya merupakan proses identifikasi kerangka interaksi spasial yang tersusun sebagai akibat adanya aliran perpindahan penduduk, barang atau jasa dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Jika aliran ini didefinisikan sebagai suatu vektor yang memiliki besaran dan arah pergerakan tertentu didalam ruang, maka distribusi aliran (flow) dalam ruang sebagaimana dimaksud di atas, pada akhirnya akan membentuk suatu pola interaksi dari wilayah-wilayah tersebut. Dalam bentuk suatu
formulasi
matematis
sederhana,
hubungan
interaksi
tersebut
dianalogikan melalui formula Gravitasi Newton sebagaimana diperlihatkan pada persamaan (2) dan (3). Secara dinamis dan kontinyu, pergerakan ini mengindikasikan akan adanya suatu bentuk arah aliran penduduk, barang ataupun jasa dalam kapasitas tertentu untuk setiap satuan waktu tertentu (Sij), sehingga formulasi model Gravitasi Newton pada persamaan (2) tersebut kemudian dapat ditulis sebagai berikut :
30
Tij G Oi D j S ij1
………………………………………………….… (30)
Menurut Tobler (1976), pergerakan diantara dua wilayah ( i ke j ) dapat digambarkan sebagai variabel-variabel yang terkait dalam usaha perjalanan seseorang melintasi danau dengan mempergunakan perahu (Gambar 6).
Sij
r Oi
Dj
Cij dij
Sumber : Tobler (1976)
Gambar 6. Model Matematis Pola Gerakan Antar Dua Wilayah
Variabel tersebut antara lain: kecepatan mendayung perahu ( r ), kecepatan arus yang membantu (Cij), jarak tempuh (dij), dan waktu tempuh (Sij ), dimana (dji = dij), (Cji = -Cij), sehingga kecepatan aliran (Vij cenderung lebih besar Vji) dan sebaliknya waktu tempuh (Sij cenderung lebih kecil Sji). Hal ini diperlihatkan melalui formulasi berikut ini : Vij (r Cij )
S ij
d ij (r Cij )
dan V ji (r Cij )
dan S ji
d ij (r Cij )
………………………………… (31) ………………………………… (32)
Persamaan (31) dan (32) di atas menunjukan bahwa dengan kecepatan aliran yang lebih besar menuju suatu wilayah, maka dengan jarak yang sama menuju wilayah tersebut akan dihasilkan waktu tempuh yang lebih singkat. Selanjutnya dengan mengeliminasi jarak yang sama diantara dua wilayah yang berinteraksi (dji = dij) tersebut dan mensubtitusikan waktu
31
tempuh (Sji dan Sij) dari masing-masing wilayah asal dan tujuan, maka persamaan arah aliran dapat ditulis sebagai berikut ini: d ij S ij (r Cij ) dan d ij S ji (r Cij )
………………………...… (33)
Sehingga,
Cij
r ( S ij S ji )
….……………………………………………….... (34)
( S ij S ji )
Persamaan (33) di atas menunjukan bahwa dengan jarak yang sama, titik berat arah aliran akan cenderung bergerak kearah wilayah yang memiliki waktu tempuh relatif lebih singkat. Sedangkan dengan mensubstitusikan persamaan (33) kedalam persamaan (34), maka persamaan besarnya aliran perpindahan penduduk, barang atau jasa antar wilayah (Tij) kemudian dapat ditulis sebagai berikut :
Tij
G Oi D j (r Cij ) d ij
dan T ji
G Oi D j (r Cij )
……….. (35)
d ij
Dengan mengeliminasi variable-variabel yang sama pada persamaan diatas, seperti G, Oi, Dj, dan dij, maka persamaan besarnya aliran perpindahan penduduk, barang dan jasa antar wilayah asal dan tujuan (Tij) kemudian dapat ditulis sebagai berikut
Tij
T ji (r Cij ) r Cij
……………………………………………………..… (36)
Jika variabel (Cij), dikeluarkan sebagai solusi dari persamaan ini, maka persamaan arah aliran perpindahan penduduk, barang dan jasa antar wilayah asal dan tujuan kemudian dapat ditulis sebagai berikut :
Cij
r (Tij T ji ) Tij T ji
……………………………………………….......… (37)
Persamaan (37) menunjukkan bahwa aliran terjadi sebagai akibat adanya perbedaan
potensial
wilayah
yang
disebabkan
oleh
karena
jumlah
perpindahan penduduk, barang atau jasa dari wilayah asal dan wilayah tujuan berbeda sehingga selain faktor ketersediaan sarana untuk berpindah, maka selisih beda potensial diantara besarnya perpindahan dimaksud pada
32
akhirnya akan menentukan arah dan besarnya aliran perpindahan dari suatu wilayah ke wilayah lainnya. Berdasarkan persamaan (37) di atas, maka dalam persepktif ruang dua dimensi, Tobler (1976), mengidentifikasikan pola interaksi spasial sebagai suatu pola yang terbentuk oleh karena adanya aliran perpindahan penduduk, barang atau jasa antara suatu wilayah asal dan tujuan melalui formulasi berikut ini.
1 n Ci n 1 j 1 j i
Tij T ji Tij T ji
1 [( X j X i ), (Y j Yi )] d ij
….…………… (38)
Dimana : Ci
=
Vektor aliran perpindahani dari i ke j
Tij ,Tji
=
Besar pergerakkan dari wilayah i ke j dan sebaliknya
dij
=
Jarak euclidian dari i ke j
(Xi ,Yi)
=
Koordinat geografis (longitude, latitude)
n
=
Jumlah interaksi dari i ke j ; dimana j = 1…n
Wi
=
Titik Berat Arah Aliran dari i ke j
Dengan mencoba memasukan matriks interaksi wilayah berukuran (10x10) dari 10 titik wilayah yang tersebar dalam ruang sebagai contoh dari keberadaan pulau-pulau kecil, maka melalui persamaan di atas, dapat dipetakan pola aliran yang terjadi dari suatu pulau kecil menuju pulau kecil lainnya sebagaimana diperlihatkan melalui Gambar 7. Disamping pola aliran yang memperlihatkan arah pergerakan antar pulau, maka berdasarkan arah dan besarnya aliran dari pulau asal maupun tujuan, dapat teridentifikasi hirarki atau tingkatan perwilayahan yang ditunjukan melalui adanya polarisasi arah vektor aliran pada titik-titik tertentu. Dengan demikian selain interaksi pulau-pulau kecil dalam sistem gugus pulau, diketahui pula interaksi antar gugus pulau dalam suatu wilayah yang lebih besar. Sedangkan efek batas dapat diketahui berdasarkan interpolasi titik berat ( Wi ) arah aliran dan besarnya aliran yang formulasinya oleh Tobler (1976) ditulis sebagai berikut :
33
Tij T ji 1 1 n Ci Wi [( X j X i ), (Y j Yi )] n 1 j 1 Tij T ji d ij
…………….… (39)
j i
Dimana secara grafis formulasi ini diproyeksikan dalam bidang dua dimensi sebagaimana ditunjukkan melalui Gambar 8.
Gambar 7. Contoh Kerangka Pola Aliran Antar Pulau berdasarkan matriks interkasi 10 x10
2.4
Gambar 8. Contoh Generalisasi Arah Vektor Aliran berdasarkan titik berat aliran
Komponen Pertumbuhan Widodo (2006), mengemukakan bahwa pembangunan wilayah dalam
pandangan tradisional diartikan sebagai upaya yang dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu wilayah tertentu. PDRB ini pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah (Value Added) yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu daerah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir (neto) yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun, sedang PDRB atas harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung
34
menggunakan harga yang berlaku pada satu waktu tertentu sebagai tahun dasar. Dalam model ini tahun dasar yang digunakan adalah tahun 1993. PDRB atas dasar harga berlaku dapat digunakan untuk melihat pergeseran struktur ekonomi, sedangkan penghitungan atas dasar harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi riil dari tahun ke tahun, di mana faktor perubahan harga telah dikeluarkan. Secara sederhana penghitungan PDRB dapat digambarkan sebagai suatu proses transaksi ekonomi didalam masyarakat yang terdiri atas kelompok produsen dan konsumen. Kelompok produsen menggunakan faktor produksi yang berasal dari kelompok konsumen yang digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa. Kelompok konsumen memiliki faktor produksi tanah, tenaga, modal, dan kewiraswastaan yang diberikan pada perusahaan untuk menerima balas jasa berupa sewa tanah, upah dan gaji, bunga modal dan keuntungan. Jumlah balas jasa faktor produksi ini disebut nilai tambah, yang selanjutnya digunakan oleh konsumen untuk membeli barang dan jasa dari produsen. Transaksi yang berkesinambungan antara kelompok pemakai barang dan jasa, dengan kelompok produsen akan membentuk siklus perekonomian tanpa henti yang bisa membesar dan mengecil sebagaimana ditunjukkan melalui Gambar 9 berikut ini.
a. faktor-faktor produksi (tanah,tenaga,modal & kewiraswastaan) b. barang dan jasa (arus barang)
Rumah Tangga
Dunia Usaha c. balas jasa faktor produksi (upah,bunga,sewa tanah & fee) d. pengeluaran konsumsi (arus uang)
Sumber : Widodo (2006)
Gambar 9. Transaksi Konsumen dengan Produsen
Dalam Gambar 9, juga diperlihatkan bahwa aliran barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan akan sama dengan aliran uang yang
35
diterima oleh rumah tangga, dan juga sama dengan besarnya nilai uang yang dibelanjakan oleh rumah tangga. Mengacu pada proses transaksi di atas, maka pada dasarnya metode pendekatan perhitungan PDRB bisa dilihat dari sudut pandang produksi, pengeluaran dan pendapatan, dimana ketiga metode ini mengkuantifikasikan bahwa jumlah pengeluaran akan sama dengan jumlah barang dan jasa akhir yang dihasilkan dan harus sama pula dengan jumlah pendapatan untuk faktor-faktor produksi. Dari segi produksi, maka jumlah nilai tambah produk regional dihitung sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit-unit produksi yang dimiliki oleh penduduk suatu daerah dalam jangka waktu yang tertentu (satu tahun). Sedangkan nilai tambah dari suatu sektor I (NTi) ini sendiri sangat bergantung pada besarnya nilai output produksi sektor i (NO i) dikurangi besarnya nilai input produksi sektor i (NIi) yang digunakan untuk menghasilkan nilai output produksi sektor i (NOi) tersebut yang secara matematis di formulasikan sebagai berikut : NTi NOi NI i
…………………………………………………......… (40)
Dengan demikian PDRB, daerah dimaksud kemudian dapat dihitung sebagai n
PDRB NTi
…………………………………………………......… (41)
i 1
Sedangkan unit-unit produksi sebagaimana dimaksud di atas dikelompokkan menjadi 9 lapangan usaha atau sektor yaitu: (1) Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan, (2) Pertambangan dan Penggalian, (3) Industri Pengolahan, (4) Listrik, Gas dan Air Bersih, (5) Bangunan, (6) Perdagangan, Hotel dan Restoran, (7) Pengangkutan dan Komunikasi, (8) Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan, (9) Jasa-jasa termasuk jasa pelayanan pemerintah. Dari segi pendapatan, maka pendapatan regional dihitung sebagai jumlah pendapatan (balas jasa) yang diterima oleh faktor produksi yang dimiliki oleh penduduk suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun); Jika w menunjukkan upah, L menunjukkan jumlah tenaga kerja, r
36
menunjukkan suku bunga, K menunjukkan kapital, dan П menunjukkan keuntungan; maka PDRB dari sisi pendapatan dapat dirumuskan:
PDRB (wL) (rK )
………………………………………….…. (42)
Dari segi pengeluaran, maka pengeluaran regional dihitung sebagai jumlah pengeluaran oleh sektor rumah tangga dalam wujud konsumsi (C), pengeluaran oleh sektor swasta dalam wujud investasi (I), pengeluaran oleh pemerintah (G), ekspor bersih (П) suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Dimana П = ekspor (X) dikurangi impor (M), sehingga PDRB dari sisi pengeluaran kemudian dapat dirumuskan sebagai :
PDRB C I G ( X M )
…………………………………………. (43)
Lebih jauh dijelaskan oleh Widodo (2006), bahwa penggunaan PDRB sebagai indikator pembangunan ini terkait dengan kemampuan indikator ini didalam mencerminkan tingkat kemakmuran masyarakat setempat. Dengan kata lain indikator ini memungkinkan kita untuk mengetahui tingkat output yang mampu di produksi sebuah region untuk dikonsumsi atau digunakan oleh penduduknya untuk melakukan investasi. Namun demikian pandangan tradisional ini masih menyisakan permasalahan seperti pengangguran sehingga dalam pandangan modern, selain peningkatan pertumbuhan PDRB, pembangunan juga diartikan sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan lapangan kerja. Dengan kata lain secara umum ukuran keberhasilan suatu pembangunan kemudian dapat dilihat melalui indikator-indikator pertumbuhan seperti PDRB dan Penyerapan Tenaga Kerja.
2.5
Komponen Keberlanjutan Komponen
keberlanjutan
dalam
suatu
model
pengelolaan
perwilayahan pada dasarnya merupakan komponen pembatas dari komponen pertumbuhan wilayah tersebut. Jika eksternalitas dari suatu komponen pertumbuhan digambarkan dengan bertambahnya penduduk, maka dari sudut pandang ekologi, komponen pembatas tersebut sangatlah ditentukan oleh
37
besarnya kebutuhan ekologis dari penduduk akan lahan di wilayah tersebut. Kuantifikasi dari kebutuhan lahan penduduk ini dijelaskan melalui analisis ecological footprint dan bio capacity berikut ini.
2.5.1 Konsep Ecological Footprint Analysis (EFA) Konsep
Ecological
Footprint
Analysis
(EFA)
ini
pertama
kali
dipergunakan sebagai salah satu indikator lingkungan oleh Wackernagel dan Rees pada tahun 1996, dan sampai dengan sekarang indikator ini sudah di implikasikan untuk berbagai keperluan, terutama dalam menjelaskan hubungan antara manusia terhadap lingkungannya (McDonald dan Patterson, 2004). Menurut Rees (2000), Ecological Footprint didefinisikan sebagai luas lahan produktif beserta ekosistem air yang diperlukan untuk memproduksi sumberdaya bagi kebutuhan konsumsi penduduk dan proses penyerapan limbah yang dihasilkan penduduk tersebut. Hal yang sama dikemukakan oleh Wackernagel (2001), yang kemudian mendefinisikan ecological footprint analysis sebagai analisis berbasis lahan yang mengkuantifikasikan besarnya kebutuhan akan lahan yang diperlukan oleh manusia berkaitan dengan intensitas
penggunaan
sumberdaya
oleh
manusia
beserta
akitivitas
pembuangan limbah yang dihasilkannya pada lahan tersebut. McDonald dan Patterson (2004), mengemukakan bahwa konsep ecological footprint ini bisa dilihat sebagai suatu indikator keberlanjutan dalam dua pengertian. Pertama, ecological footprint bisa dipakai untuk mengukur besarnya biaya ecological yang diperlukan oleh suatu lahan didalam memenuhi kebutuhan penduduk akan barang atau jasa yang sifatnya tidak langsung. Kedua, dan merupakan hal yang sangat kontroversial adalah penggunaan ecological footprint sebagai indikator keberlanjutan yang menyamai ide dari daya dukung. Daya dukung dalam ekologi adalah maksimum penduduk yang bisa ditampung oleh suatu luas lahan tertentu. Jika jumlah penduduk melampaui daya dukung lahan dimaksud, maka kondisi ini dikatakan sebagai overshoot. Dalam keadan ini sumberdaya yang tersedia akan menjadi jarang dan penduduk akan mati. Sebaliknya jika jumlah
38
penduduk berada dibawah daya dukung lahan, maka kondisi ini dikatakan sebagai undershoot. Menurut McDonald dan Patterson (2004), metode Ecological Footprint Analysis (EFA), yang dipakai oleh Wackernagel dan Rees, dimulai dengan menyusun matriks antara konsumsi penduduk terhadap kebutuhan lahan, dimana dimensi konsumsi penduduk tersebut mencakup kebutuhan makanan (food), perumahan (housing), transportasi (transportation), barang-barang (goods) dan jasa (services), sementara
untuk dimensi kebutuhan lahan
mencakup lahan energi, lahan pertanian, lahan hutan, lahan peternakan, lahan terbangun dan lahan perikanan. Contoh matriks hubungan antara konsumsi penduduk
dengan kebutuhan lahan sebagaimana diperlihatkan
dalam Tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Contoh Matrix Hubungan antara Konsumsi dengan Kebutuhan Lahan No
KATEGORI
1
FOOD
2
HOUSING
3
TRANSPORTATION
4
GOODS
5
SERVICES
6
WASTE
CROP
FOREST
1.0260
1.5252 2.3001
0.9387
TOTAL
PASTURE
1.9648
1.5205
BUILT-UP
1.4996
SEA 5.0941
TOTAL 9.1449
0.9228
1.5295
4.7523
0.9900
0.9494
1.9394
3.7642
7.5968
2.3001
4.5002
6.8003
1.5205
3.7642
5.2847
7.6411
1.3734
FOSSIL
2.8986
15.4409
2.4789
5.0941
Sumber : Wackernagel (2001)
Dengan demikian Analisis ecological footprint kemudian dapat dikatakan
sebagai analisis
berbasis
lahan
yang
mengkuantifikasikan
besarnya kebutuhan penduduk akan lahan energi, pertanian, peternakan, hutan, terbangun dan perikanan yang harus disediakan untuk mendukung enam kategori utama kebutuhan hidup penduduk seperti kebutuhan makanan, perumahan, transportasi, barang, jasa, dan limbah (Wackernagel 2001; Wackernagel 2005; Kitzes 2007). Lebih lanjut dijelaskan oleh Wackernagel (2001), bahwa kategori kebutuhan lahan untuk ecological footprint dan bio capacity sebagaimana dijelaskan dalam sub-bab sebelum ini antara lain adalah :
39
Lahan Pertanian (crop land), merupakan lahan yang dipergunakan untuk menanam buah-buahan, sayur-sayuran serta tanaman biji-bijian, seperti padi yang dikonsumsi oleh manusia baik secara langsung maupun tidak langsung.
Lahan Padang Rumput (pasture), merupakan lahan yang berfungsi memproduksi daging dan susu hasil peternakan.
Lahan Hutan (forest), merupakan lahan tanaman pohon atau lahan yang berfungsi memproduksi produk-produk hasil kayu seperti kertas, papan, panel kayu. Lahan hutan juga berfungsi untuk menjaga kestabilan cuaca, siklus hidrologi dan perlindungan biodiversity.
Lahan Tangkap Ikan (fishing ground), merupakan lahan yang berfungsi untuk menghasilkan ikan serta produk-produk makanan laut lainnya.
Lahan Terbangun (built-up land), merupakan lahan yang berfungsi sebagai tempat tinggal manusia dan jalan, lokasi industri, instalasi pembangkit listrik tenaga air dan infrastruktur lainnya.
Lahan Energi (energy land), merupakan lahan yang dibutuhkan untuk menyimpan konsumsi energi yang dibutuhkan. Beberapa tipe dari energi yang dihasilkan antara lain bahan bakar fosil (minyak dan gas), biomass (bahan bakar kayu dan arang). Lahan ini didefinisikan sebagai lahan hutan yang berfungsi menyerap CO2 hasil pembakaran. McDonald dan Patterson (2004), mengemukakan bahwa Wackernagel
dan Rees menggunakan data konsumsi dari setiap kategori kebutuhan penduduk didalam mengestimasi besarnya kategori kebutuhan lahan per orang (perkapita pertahun).
Dimana konsumsi untuk setiap kategori
kebutuhan tersebut di formulasikan sebagai berikut : Konsumsi = Produksi + Import – Export
………...………... (44)
Sedangkan estimasi besarnya kebutuhan lahan dimaksud dilakukan dengan Menghitung Yield Factor (YF) untuk suatu tipe lahan yang spesifik di suatu negara, guna mengukur produktifitas relatif dari lahan tersebut.
40
YF
Yindo. Ydunia
……………………………………………………….… (45)
Dimana, YF
=
Yield Factor
Yindo
=
Yield Indonesia
Ydunia
=
Yield Dunia
Kemudian mengalikan setiap unit konsumsi untuk setiap kategori kebutuhan penduduk, Tonage (T) dengan nilai equivalence factors (EQF), Yield Factor (YF) dan Yield (Y) dari setiap tipe Lahan yang dipergunakan. EF
T YF EQF Y
………………………………………………….... (46)
Dimana, YF
=
Yield Factor
EQF
=
Equivalen Faktor
( g.Ha / Ha )
T
=
Tonnage
( ton )
Y
=
Yield
Selanjutnya dengan membagi luas dari setiap kategori lahan yang dibutuhkan tersebut terhadap rata-rata kebutuhan lahan global, dapat dibandingkan ecological footprint dari berbagai bangsa didunia. Untuk lahan energi perhitungannya dilakukan secara terpisah, Wackernagel et.al, (1999), membedakan antara lima jenis energi, yaitu: gas fosil, fosil cair, fosil padat, kayu bakar dan tenaga air. Lahan energi ini dihitung dengan menilai jumlah luas lahan hutan yang dibutuhkan untuk menyerap CO 2 hasil pembakaran bahan bakar fosil. Selain hutan, maka menurut Wackernagel et.al, (1999), lahan lautan juga diakui memiliki peran didalam menyerap CO 2. Lahan lautan diasumsikan secara global menyerap sekitar 35% emisi CO2.
2.5.2 Konsep Bio Capacity Analysis (BCA) Sebagai
bagian
dari
pendekatan
perwilayahan,
maka
dalam
implikasinya terhadap keberlanjutan, analisis ecologi footprint berhubungan dengan analisis bio capacity atau analisis kapasitas biologi berbasis lahan
41
yang mengkuantifikasikan besarnya kapasitas dari suatu ekosistem didalam memproduksi material biologi yang berguna bagi keperluan manusia (Wackernagel, 2001). Disamping itu bio capacity dapat diartikan juga sebagai kapasitas dari suatu ekosistem didalam menyerap material limbah yang dihasilkan oleh manusia, baik secara alami atau dengan bantuan teknologi. Dengan demikian, Analisis Bio Capacity pada dasarnya merupakan proses kuantifikasi besarnya kapasitas dari setiap jenis lahan yang mampu dihasilkan oleh suatu wilayah. (Wackernagel, 2005); dan (Wackernagel, 2008). Estimasi dari besarnya kapasitas lahan Bio Capacity (BC) dimaksud dilakukan dengan mengalikan luas lahan (A) yang ada terhadap Yield Factor (YF) dan Equivalen Faktor (EQF).
BC A YF EQF
…………………………………………………… (47)
Dimana, YF
=
Yield Factor
BC
=
Biological Capacity
( g.Ha )
A
=
Luas Lahan Existing
( Ha )
EQF
=
Equivalen Faktor
( g.Ha / Ha )
2.5.3 Interaksi antara EF dan BC Interaksi antara Ecological footprint (EF) dan Bio capacity (BC) pada dasarnya ditunjukkan melalui kesamaan hasil konversi dari kedua jenis analisis tersebut dalam suatu kategori lahan yang bersifat universal. Berdasarkan jenis lahan, kategori lahan yang bersifat universal tersebut antara lain adalah : Lahan Pertanian (crop land), Lahan Padang Rumput (pasture), Lahan Hutan (Forest), Lahan Tangkap Ikan, Lahan Terbangun (built-up land), dan Lahan Energi (energy land). Sedangkan berdasarkan satuan unit lahannya, jenis-jenis lahan dimaksud dihitung dalam satuan unit global hektar (gha), dimana satuan ini mengindikasikan akan adanya bahagian dari permukaan bumi yang diperlukan untuk mendukung suatu aktivitas tertentu (Wackernagel, 2001).
42
Secara skematis struktur interaksi dari kedua analisis dimaksud dijelaskan melalui Gambar 10. Dalam gambar tersebut, terlihat bahwa untuk menyamakan hasil pengukuran dalam satuan unit lahan yang sama, perlu dilakukan normalisasi terhadap satuan dari berbagai lahan yang ada dengan menggunakan Equivalence Factor dan Yield Factor. Equivalence Factor, mengkonversi tipe-tipe lahan yang memiliki satuan bersifat spesifik seperti Crop Land, Forest, Pasture, Fishing Ground kedalam satuan unit global hektar (gha) atau global meter persegi (gm2) yang bersifat universal. Sedangkan Yield Factor membandingkan produksi dari suatu tipe lahan yang spesifik dari suatu negara dengan produksi rata-rata dunia untuk tipe lahan yang sama.
lahan crops [ gha ]
/
glob pastures faktor equivln yield pastures X [ t/ha/thn ] [ gha/ha ]
lahan pastures [ gha ]
/
glob timber faktor equivln yield forest X 3 [ m /ha/thn ] [ gha/ha ]
/
glob fishing faktor equivln yield fishing X [ m3/ha/thn ] [ gha/ha ]
/
fuel wood yield [ gj/ha/thn ]
[ t/thn ] pastures [ t/thn ] forest 3
[ m /thn ] fishing [ m3/thn ] energy [ gj/thn ]
X
faktor equivln forest [ gha/ha ]
lahan forest [ gha ] lahan fishing [ gha ] lahan energy [ gha ]
faktor equivln yield fak crops X crops X [ gha/ha ] [-]
exist crops [ ha ]
faktor equivln yield fak exist pastures X pastures X pastures [ gha/ha ] [-] [ ha ] faktor equivln yield fak forest X forest X [ gha/ha ] [-]
exist forest [ ha ]
faktor equivln yield fak fishing X fishing X [ gha/ha ] [-]
exist fishing [ ha ]
Total Lahan Existing [ ha ]
global crops faktor equivln yield crops X [ t/ha/thn ] [ gha/ha ]
Total Biological Capacity [ gha ]
/
Total Ecological Footprint [ gha ]
Konsumsi Net = Produksi + Import - Ekspor
crops
faktor equivln yield fak exist forest X energy X energy [ gha/ha ] [-] [ ha ]
Sumber : Wackernagel (2001)
Gambar 10. Struktur interaksi “ecological footprint dan bio capacity”
Wackernagel et.al (2005), menyusun besarnya nilai equivalen factor dan yield factor untuk masing masing kelas lahan ecological footprint dan bio capacity berdasarkan standar internasional. Standar dimaksud diperlihatkan melalui Tabel 3, dimana dalam standar ini, 10,000 g.m2 atau 1 g.ha didefinisikan sebagai 1 ha lahan (darat dan air) di wilayah penelitian pada tahun tertentu yang setara dengan produktifitas rata-rata dunia seluas 11.2 milyar ha.
43
Tabel 3. Equivalen dan Yield Factor Equivalence dan Yield Factors
Equivalence
Yield
Footprint
Factors
Factors
[m2]
[gm2/m2]
[ - ]
Energi Fosil
1.3
Pertanian
2.2
Peternakan
0.5
Hutan
1.3
Terbangun
2.2
Perikanan
0.4
1.3
1.4
Sumber : Wackernagel (2005)
Selain tabel equivalen factor dan yield factor, Wackernagel et.al (2005), juga menetapkan beberapa koefisien konversi yang berkaitan dengan intensitas footprint dari berbagai macam unsur didalam kategori kebutuhan penduduk akan makanan. Konversi dimaksud di jelaskan melalui Tabel 4 berikut ini. Tabel 4. Konversi Kebutuhan Manusia Terhadap Beberpa Jenis Lahan Pertanian
Peternakan
[global m2/kg]
[global m2/kg]
Intensitas Footprint Sayuran, kentang & buah Roti dan produk roti Tepung, beras, mie, sereal jagung Kacang-kacangan Susu, krim, yoghurt krim, asam Es krim, susu beku lainnya Keju, mentega telur daging babi Ayam, kalkun daging sapi Daging kambing, kambing ikan gula minyak sayur margarin Kopi & teh Jus anggur & bir kapas wol Rokok, tembakau lainnya
1.58 8.32 8.32 4.96 23.97 2.32 11.58 23.17 20.77 27.91 18.99 54.68 46.95 121.91 3.43 61.75 61.75 40.14 3.77 1.97 39.27 13.57 Hutan
Intensitas Footprint [global m2/m3] kayu
Sumber : Wackernagel (2005)
6,468.91
1.24 6.22 12.44
32.28 31.12
44
Dengan demikian, implikasi dari kedua analisis ini dalam konsep pembangunan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan, ditunjukkan melalui besarnya nilai perbandingan antara besarnya kebutuhan lahan yang dibutuhkan oleh manusia terhadap besarnya kapasitas lahan yang dapat disediakan oleh lahan pulau-pulau kecil. Suatu pulau dikatakan berlanjut jika nilai perbandingan antara EF/BC ≤ 1, sebaliknya jika nilai perbandingan antara EF/BC > 1, maka pulau dikatakan defisit akan sumberdaya lahan dan tidak
mampu
lagi
mensuplai
semua
kebutuhan
penduduk
secara
berkelanjutan.
2.5.4 Kritik terhadap Konsep Ecological Footprint Costanza dan Moffat (2000), berpendapat bahwa konsep ecological footprint, pada dasarnya merupakan suatu modul pembelajaran yang cukup mudah dan sederhana untuk dipahami,
terutama
berkaitan
dengan
pemanfaatan sumberdaya lahan untuk mendukung kehidupan manusia. Disatu sisi melalui modul ini banyak isu dan permasalahan yang berkaitan dengan pembangunan yang berkelanjutan dapat dikuantifikasikan. Disisi lain modul ini juga memiliki banyak kelemahan terutama dalam mendefinisikan metodologi serta penggunaan variabel yang relative tidak baku. Sehingga output yang di dapat dalam modul ini sangatlah dipengaruhi oleh asumsi dibangun dalam oleh pembuatnya. Selain itu menurut Costanza dan Moffat (2000), dasar yang dipergunakan dari modul EF ini barbasiskan lahan, sehingga didalam mengukur keberlanjutan, lahan dianggap sebagai satu-satunya sumberdaya yang bersifat langka dan tidak tergantikan, sedangkan sumberdaya lain diluar lahan seperti energi surya tidak termasuk dalam sumberdaya langka. Selain itu penggunaan lahan energi hipotesis sebagai media penyerapan CO 2 yang seringkali komposisinya mencapai 50% dari EF itu sendiri masih terus dipertanyakan. Hal ini disebabkan karena banyak media penyerapan CO 2 lainnya dialam ini seperti penenggelaman CO2 kedalam lautan, dan penggunaan energi tenaga angin guna mengurangi emisi CO 2. Hal lain yang tidak ikut diperhitungkan atau dibahas dalam modul EF ini adalah berkaitan
45
dengan penipisan ozon akibat CFC atau pengasaman yang disebabkan oleh SO2 dan NOx , juga dengan limbah non-biodegradable seperti plastik, logam dan racun. McDonald dan Patterson (2004), juga mengkritisi penggunaan faktor kesetaraan yang sifatnya sangat kontroversial dalam membangun ecological footprint, hal ini disebabkan karana modul ini mengasumsikan kualitas semua lahan secara rata-rata global dan cenderung sama, bukan dengan pendekatan local yield, sehingga hal ini menimbulkan problematis karena memproduksi hasil yang tidak sebanding dengan luas lahan sebenarnya yang ditempati oleh penduduk. Lebih lanjut McDonald dan Patterson (2004), juga mengkritisi tentang batas spasial yang merupakan unsur penting dalam mengukur batas ruang ecological footprint yang diwakili oleh sekelompok penduduk, atau berapa jauh jarak ruang yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan ecological footprint dari sekelompok penduduk. Demikian halnya juga dengan skala juga turut berpengaruh terhadap kualitas data yang diharapkan dapat mendukung keperluan perhitungan ecological footprint. Dinamika masa depan, juga berpengaruh terhadap hasil pengukuran ecological footprint, pengaruh dari dinamika ini terkait dengan keberadaan sumber data yang terus berubah dari waktu ke waktu seperti jumlah penduduk, perubahan konsumsi, trend perkembangan teknologi dalam memanfaatkan sumberdaya, termasuk didalam dinamika masa depan adalah perubahan kebijakan-kebijakan pemanfaatan sumberdaya McDonald dan Patterson (2004).
2.5.5 Keberlanjutan Sistem Perikanan. Konsep ecological footprint sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas, dapat juga dimanfaatkan untuk analisis keberlanjutan sistem perikanan, (Wackernagel dan Rees, 1996; Folke, et.al, 1987) dan untuk melihat kinerja alam, khususnya kemampuan ekosistem lokal dan regional (Deutsch, et.al, 2000) seperti yang dilakukan di Pulau Yoron sebagaimana yang dikemukan oleh Adrianto, (2010).
46
Analisis keberlanjutan tersebut berdasarkan estimasi dari wilayah pesisir dan laut yang disesuaikan dengan kondisi perikanan melalui konsumsi makanan berdasarkan indikator ecological footprint. Sementara itu, indikator ecological footprint atau kadang-kadang juga disebut sebagai indikator ecospace pada dasarnya didefinisikan dengan mengacu pada pertanyaan seberapa besar luas lahan produktif atau laut untuk mempertahankan populasi tertentu tanpa batas waktu (Wackernegel dan Rees, 1996; Chambers, et.al., 2001, antara lain). Dalam studi ini, ada dua pendekatan yang digunakan yaitu statis dan dinamis untuk memperkirakan ecological footprint sistem perairan di Pulau Yoron. Konsep ecological footprint pada dasarnya adalah ukuran statis (Moffat, 2000). Dalam pendekatan ini, metodologi yang dikembangkan oleh Wada (1999) adalah menggabungkan detail analisis dari primary productivity requirements (PPR) untuk produksi spesies ikan yang berbeda termasuk hasil tangkapan (Wada dan Lathan, 1998). Tabel 5 Produktivitas Primer Wilayah Perairan No
Wilayah Perairan
Produktivitas Primer (gC/m2/Tahun)
1
Open Ocean System
103
2
Upwelling Systems
973
3
Tropical Shelves
310
4
Non-tropical Shelves
310
5
Coastal and Coral System
890
6
Freshwater Systems
290
Sumber: Pauly and Christensen (1995)
Secara teoritis, sistem perairan dibagi menjadi enam sistem: (1) Sistem Laut Terbuka, (2) Sistem Upwelling, (3) Tropis, (4) Non Tropis, (5) Sistem Perairan Pesisir dan Karang, serta (6) Sistem Perairan Tawar (Pauly dan Christensen, 1995). Namun, untuk kasus perikanan di Pulau Yoron, hanya tiga sistem yang sesuai yaitu (1) Sistem Laut Terbuka, (2) Tropis (termasuk sub-tropis) dan Sistem Perairan Pesisir dan Karang. Setiap sistem memiliki
47
fitur yang disebut dengan Produktivitas Primer (PPR), seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5 (Pauly dan Christensen, 1995). Logika dibalik pendekatan ini, yaitu ikan tertentu dapat ditangkap di sistem perairan laut yang berbeda seperti dalam sistem samudra terbuka, sistem rak tropis atau sistem pantai dan karang. Dengan mengetahui dari mana sistem perairan suatu spesies tertentu dapat ditangkap, perkiraan PPR bisa dilakukan. Referensi tabel pada kelompok ikan berdasarkan sistem perairan serta tingkat rata-rata perairan tropis (TL) sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 6 (Pauly dan Christensen, 1995). Tabel 6. Tingkatan Ikan Tropis yang Digunakan dalam Kasus Perikanan di Pulau Yoron Sistem Perairan
Kelompok Spesis
Sistem perairan laut
Tuna, bonitos, billfishes
4.2
Krill
2.2
Pelagis Kecil
2.8
Misc. teleosteans
3.5
Jacks, mackerel
3.3
Tuna, bonitos, billfishes
4.0
Cumi-cumi, sotong, gurita
3.2
Udang
2.7
Lobster, kepiting dan invertebrate lainnya
2.6
Hiu, pari, chimaeras
3.6
Kerang dan moluska
2.1
Ikan laut
2.8
Ikan herring, ikan sarden and anchovies
3.2
Rumput laut
1.0
Jacks and mackerels
3.3
Diadromous fishes
2.8
Udang
2.6
Krustasea dan invertebrate lainnya
2.4
Kura-kura
2.4
Perairan Tropis
Sistem perairan pesisir dan karang
Sumber: Pauly and Christensen (1995)
Tropic level
48
Formula untuk menghitung PPR untuk spesies i (Pauly and Christensen, 1995) :
………………………………………………. ….. .(48)
Dimana : PPRi = Produktivitas primer yang diperlukan bagi spesies i C = Tangkapan spesies i TL-1 = Tingkat tropik spesies i
Tujuan membagi C dengan 9 adalah untuk mengkonversi basah berat badan ke berat karbon (Wada, 1999). (TL-1) merupakan rata-rata jumlah transfer tingkat tropik dari produksi primer untuk menangkap. Rata-rata efisiensi perpindahan dari setiap transfer adalah 10% (Pauly dan Christensen, 1997; Wada, 1999). Ecological footprint sistem perikanan (oleh sistem akuatik) di Pulau Yoron kemudian dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut (Wada, 1999): ……………………………………………………. ….. .(49)
Dimana EFa
= ecological footprint sistem perairan a
PPRia = Produktivitas primer yang diperlukan spesies i dalam sistem perairan a PPi = Produktivitas primer sistem perairan a Kemudian EF total untuk sistem perikanan dapat dihitung sebagai jumlah dari EFa. Dalam studi ini, memeriksa indikator statis ecological footprint dengan menggunakan data sumberdaya perikanan Pulau Yoron dari tahun 1997 sampai 2002.