SENI BUDAYA YOGYAKARTA
Oka, Pastu, dan Bali yang Digugat Nyastra di Yogya: Bersastra Kita Bahagia
VOLUME XI NOMOR 2/2016
SENI BUDAYA YOGYAKARTA
VOLUME XI NOMOR 2/2016
EDITORIAL
2 Perempuan, Seni, dan Kita
JENDELA
4 Oka, Pastu, dan Bali yang Digugat 20 Nyastra di Yogya: Bersastra Kita Bahagia 28 Gunung Padang, Kisah Prabu Siliwangi dan Lemuria
34 Seni (yang) Berjenis Kelamin? 38 Performativitas Tubuh Siti Dan Setyo Karya: Tiarma Sirait
Penanggungjawab Umum Drs. Umar Priyono, M.Pd. Penanggungjawab Teknis Drs. Diah Tutuko Suryandaru Penanggungjawab Anggaran Dra. Siswati Penanggungjawab Distribusi Dian Widowati L., SH Penanggungjawab Redaksional Kuss Indarto Sekretariat Suroto, Bejo, Wahyudi, Juiyus W., Joko Setiawan
Redaktur Suwarno Wisetrotomo Stanislaus Yangni Satmoko Budi Santoso Editor Dra. V. Retnaningsih Desainer Maria Inarita Uthe Viki Restina Bela Fotografer Suprayitno Rudi Subagyo, Lukito
Diterbitkan oleh Taman Budaya Yogyakarta Jl. Sriwedani No. 1 Yogyakarta 55123 Telp: (0274) 523512, 561914 Fax: (0274) 580771 Email:
[email protected] Website: www.thewindowofyogyakarta.com
Diproduksi di Yogyakarta Kertas kaver: Feltmark Pure White, Isi: Matte Paper Huruf: Leelawadee, HelveticaNeueLight, Adobe Garamond Pro Ilustrasi: www.freepik.com, www.freevectormaps.com Matajendela, majalah seni budaya terbit selama tiga bulan sekali. Redaksi menerima tulisan dari penulis, kritikus dan pemerhati seni budaya.
EDITORIAL
Perempuan, Seni, dan Kita
A
da apa dengan perempuan? Mengapa terus-menerus dijadikan ‘topik’ percakapan, inspirasi pencitaan seni, dan tema pengkajian/ penelitian? Dari perspektif laki-laki, agak sulit menjawab pertanyaan itu (ada apa dan mengapa) karena demikian kompleksnya sosok perempuan ini. Pernyataan laki-laki, di samping mudah diprasangkai, juga mudah tergelincir ke dalam kubangan bias gender. Meskipun hal itu, kepleset pada kebias-an, juga sering terjadi pada pernyataan dan aktivitas para perempuan sendiri. Saya setuju dengan pendapat yang mengatakan, “Sesungguhnya gender dan kelamin adalah dua hal yang berbeda. Sementara kelamin merujuk pada alat kelamin yang terberi secara biologis sejak lahir, gender merupakan konstruksi sosial-budaya yang dilekatkan pada perbedaan kelamin” (Hendri Yulius, Tempo, 18-24 April 2016, hlm.110). Pandangan (laki-laki) yang berpotensi bias disebabkan karena konstruksi sosial-budaya yang terbentuk. Pada perempuan, Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan sejumlah kemuliaan sekaligus keterbatasan pada mereka. Jumlah perempuan di muka bumi terus tumbuh secara signifikan. Pencapaian prestasi dan reputasi pada sejumlah sosok, mengguncang dunia. Eksistensi para perempuan terus 4
bergeser seiring dengan zaman yang terus bergerak. Namun demikian, ketidakadilan bahkan kekerasan yang menimpa sebagian sosok lainnya, sungguh mencemaskan, bahkan kadang melampaui akal sehat. Data Majalah Tempo (Edisi Khusus Hari Kartini, 18-24 April 2016) dengan tajuk utama “Perempuan-perempuan Penembus Batas” berikut ini patut kita simak. Penduduk Indonesia 2015, berjumlah 254,9 juta; terdiri atas 126,8 juta, perempuan; dan 128,1 juta, lakilaki. Kekerasan terhadap perempuan terus meningkat, seperti data pada 2014, terdapat 293.220 kasus. Tempo juga mengungkap data yang timpang antara laki-laki dan perempuan terkait ‘angka pengangguran terbuka usia 15 tahun ke atas’, pendidikan, angka kematian ibu yang kesemuanya memosisikan perempuan lebih rendah (jumlah pengangguran perempuan lebih besar, akses pendidikan lebih kecil, angka kematian ibu masih tetap tinggi. Namun demikian, Tempo juga memaparkan sejumlah sosok yang bersinar dan menginspirasi karena pencapaian mereka, antara lain; Sri Mulyani (Managing Director dan Chief Operating Officer Bank Dunia), Susi Susanti (peraih emas Olimpiade pertama Indonesia tahun 1992), Butet Manurung (mendirikan sekolah
rimba pada 2003, dan masuk Asia Time Magazine Hero pada 2004), Retno Marsudi (Menteri Luar Negeri), Susi Pudjiastuti (Menteri Kelautan dan Perikanan), Tri Rismaharini (Walikota Surabaya), termasuk sejumlah peneliti, perawat, dokter, desainer fesyen, seniman, kurator (Alia Swastika), desainer interior, angota tim SAR, guru di daerah terpencil, dan sebagainya. Pada pekerjaan yang lebih terbuka, yakni di dunia kesenian atau industri kreatif, perempuan, saya duga, juga tidak lebih banyak daripada laki-laki, dalam hal mengambil peran-peran strategis. Akan tetapi pentingkah jumlah? Tentu saja penting, karena terkait dengan persoalan representasi. Akan tetapi mendiskusikan ‘peran-peran yang dimainkan’ berikut ‘gagasan-gagasan yang ditawarkan’, termasuk ‘kekuatan inspirasi yang menggerakkan’ akan menjadi lebih menarik. Dunia seni berpeluang besar digunakan oleh para perempuan untuk menyatakan pendapat-pendapat kritis terkait kehidupan, ketidakadilan, kekerasan, situasi sosial, ekonomi, politik, budaya, melalui karya dan aktivitas seni. Melati Suryodarmo misalnya, dengan karyakarya performance art yang bertumpu pada ‘tubuh dan daya tahan tubuh’ memberikan pencerahan kepada khalayak luas, bahwa
tubuh dapat digunakan untuk menyatakan pendapat tentang ‘daya’ ketika berhadapan dengan kuasa/kekuasaan yang merepresi. Ria Papermoon melalui Teater Boneka yang ia dirikan bersama pasangannya, Iwan Effendi, misalnya, dengan boneka dan cerita, ia dapat menyuarakan derita psikologis karena kehilangan (seseorang) akibat dari kekerasan sebuah rezim. Suara yang ia bawa ke berbagai penjuru dunia, dan diterima sebagai media katarsis dan pencerahan bagi penontonnya. Suara perempuan – melalui seni – menghadirkan perspektif yang lebih subtil, sublim, dengan sepenuh empati, atau gugatan-gugatan yang lembut tetapi tajam, yang seringkali luput dari mata pandang dan cara ungkap para laki-laki. Deretan contoh ini masih dapat kita tambahkan, jika kita mengamati dari dekat para perempuan pekerja di wilayah industri kreatif. Para perajin batik di Kulon Progo, juga di Bantul misalnya, hampir semuanya dilakukan dan dimotori oleh para perempuan. Mereka berhasil membangun industri batik dengan baik, memiliki manajemen yang rapi, dan mampu merekrut pekerja yang tidak sedikit. Pada ranah ini, mereka pantas disebut sebagai para penggerak ekonomi, yang memiliki dampak nyata bagi kepastian berputarnya
roda kehidupan rumah tangga masingmasing.
Artika Sari Dewi) dalam film Opera Jawa (2006), garapan Garin Nugroho.
Tentu saja tak ada persoalan yang spesifik terkait perempuan, seni, dan industri kreatif. Kesenian atau karya-karya seni dan karya-karya kreatif untuk ranah industri semestinya mampu melampaui perkara-perkara jenis kelamin, seperti yang diisyaratkan oleh Stanislaus Yangni (Sius) melalui esai Seni (yang) Berjenis Kelamin. Tetapi lebih jauh dari persoalan itu adalah bagaimana para perempuan (sesungguhnya juga para laki-laki) mampu menginspirasi banyak orang melalui olah kreasinya.
Tema utama yang diusung oleh Mata Jendela pada nomor ini semoga dapat menginspirasi kita semua, terutama dalam hal bagaimana memandang dan mendiskusikan secara kritis perihal relasi perempuan dan laki-laki hari ini. Persoalan –persoalan ketimpangan itu adalah persoalan kita semua. Gadis Arivia, pendiri Jurnal Perempuan dan Dosen Filsafat FIB Universitas Indonesia, mengakhiri tulisan kolomnya yang agak panjang dengan sedikit muram, “Kartini hidup seratusan tahun yang lalu. Kini di zaman Internet pun kebanyakan perempuan masih mengalami situasi yang sama, diri yang tidak autentik atau diri yang terbelah” (Tempo, 18-24 April 2016). Benarkah?
Mata Jendela nomor ini juga menyajikan liputan panjang oleh Satmoko Budi Santosa, tentang sosok, pemikiran, proses kreatif dan karya-karya penulis Oka Rusmini (melalui esai Oka, Pastu, dan Bali yang Digugat). Sosok perempuan penulis ini dengan teguh muncul melalui pemikiran dan tulisan-tulisan yang demikian kuat menggugat (budaya) Bali secara tajam. Oka muncul dari lingkungan sosial-masyarakat yang didominasi laki-laki. Sebuah esai lain yang menarik dibaca adalah tulisan Kris Budiman, Doktor Ilmu Kajian Budaya dan Media, Dosen di Universitas Gadjah Mada, yang menelisik ikhwal tubuh Setyo dan Siti (diperankan oleh Martinus Miroto dan
Suwarno Wisetrotomo, Redaksi
Volume XI Nomor 2/2016 | matajendela
5
JENDELA
Oka, Pastu, dan Bali yang Digugat Satmoko Budi Santoso
Cerpen Pastu
P
ERCAYAKAH kau bahwa di dunia ini tidak ada kebahagiaan? Setiap kebahagiaan yang aku petik, harus kubayar mahal dengan siksaan penderitaan? Benarkah hidup sekejam itu? Hidup hanya bisa menguliti, menyamak, juga menuangkan beragam racun ke seluruh nafasku. Juga ke pori-pori darah. Lalu, di mana harus aku cari kebahagiaan? Adakah seseorang telah menanam pohon kebahagiaan? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang mengepung masa kanak-kanakku. Aku tumbuh dan tetap hidup, berharap menemukan pohon kebahagiaan. Mungkin seseorang telah menanamnya, sementara aku tidak tahu di mana pohon itu ditanam? Kalau aku temukan pohon itu, aku akan cabut, lalu kutanam di jantungku, agar akar-akarnya mampu mengaliri darahku. Dan, beragam pastu, kutukan yang mengaliri pori-pori darah perempuanku akan lenyap. ***
6
BELAKANGAN ini aku hobi sekali berdiri di depan cermin. Rumah kecilku pun kusulap penuh kaca. Aku hobi sekali memandang diriku melakukan beragam aktivitas. Di ruang tamu kupasang kaca besar. Aku bisa menyaksikan tubuhku, tampangku yang bermalasan-malasan di sofa sambil minum teh atau kopi, lengkap dengan camilan. Di ruang makan, kupasang juga kaca besar. Aku bisa menonton diriku menghirup juice buah setelah senam atau yoga. Di ruang tidur justru lebih parah! Sekeliling dinding kamar tidur kupasangi kaca. Jadi aku suka melihat diriku tertidur santai, kadang sampai terkantuk-kantuk. Dinding kamar mandi pun kupasangi kaca semua. Aku bisa melihat seluruh tubuhku yang telanjang. Ternyata masih indah untuk usia menjelang 40 tahun. “Kamu kan nggak pernah beranak, tidak heran tubuhmu indah. Kamu bisa
menghabiskan banyak waktu untuk merawat tubuh. Gaji di kantor besar. Rumah ada. Mobil ada. Kurang apa?” Aku terdiam. Setiap sahabatku berkata dengan penuh nada iri pada kehidupan yang sedang kunikmati. Apakah aku bahagia dengan kelajanganku? Aku juga pernah bertanya pada karibku itu, “Apakah perkawinan membuatmu bahagia?” “Aku yang bertanya padamu,” jawabnya ketus. Kalau sahabat perempuanku sudah merengut seperti itu, aku hanya diam, sambil mengunyah salad buah pelan-pelan. Aku tahu, belakangan ini dia pasti baru diteror. Penyakit musiman yang kunamakan “teror rumah perkawinan”. Sebetulnya mau kunamakan “teror cinta”. Teror yang membuatnya sedih, gelisah. Kecemburuan, ketidakpuasan, putus asa, entah menu apa lagi yang terus keluar dari mulutnya. Sepertinya bagi si lajang model aku ini, perkawinan itu jadi makhluk buas yang siap mencabik dan memakanku hidup-hidup. Iiiih!
Kalau dia dalam kondisi seperti itu, akulah korbannya. Seharian dia hanya merokok saja. Atau datang pagi-pagi sambil membawa minuman alkohol dosis tinggi, lalu maboklah dia! Namun, meski seminggu dia kost di rumahku, suaminya tak pernah meneleponnya. Juga tidak mencarinya. Aneh sekali, kan? Aku menyayanginya. Bagiku, pertemananku dengannya yang sudah kami mulai sejak duduk di bangku SMP begitu tulus. Tak tergantikan. Namanya Cok Ratih, putri tunggal seorang pemilik hotel di Kuta, Ubud, dan entah di mana lagi. Yang pasti, sejak mengenalnya, aku pun ikut mapan karena Cok Ratih menganggapku sebagai saudara satusatunya. Bagiku, kehadiran Cok Ratih dalam hidupku membuat aku percaya bahwa ada hal yang layak dipercaya dalam hidup ini. Persahabatan. Kata orang-orang, Cok Ratih egois. Bagiku tidak. Dia memberikan apa saja yang dia punya untukku. Cok Ratih mengajari aku
berbagi. Hubungan kami terus terjalin begitu erat. Saking eratnya, banyak teman mengira ada yang salah dengan hubungan kami. Tapi kecurigaan mereka terbantahkan ketika Cok Ratih terlihat sering menggandeng I Made Pasek Wibawa. Semua orang pun mengira, Pasek (begitu aku dan Cok Ratih memanggil lelaki yang berprofesi sebagai dokter itu), akan berbagi cinta. Aku dan Cok Ratih hanya tertawa. Hubungan mereka berdua begitu alot. Keluarga besar Cok Ratih menentang hubungan itu. Orangtuanya juga. Tetapi Cok Ratih nekat. “Hari gini masih ada sekat-sekat manusia. Kasta, derajat. Memuakkan! Hidup ini sudah rumit, kenapa masih dibuat rumit?” papar Cok Ratih santai. Cok Ratih memang bangsawan. Keluarganya tidak kurang harta, juga tidak kurang martabat. Perempuan itu keras kepala. Akhirnya dia pun hamil di luar nikah. Terpaksalah orangtuanya mengawinkannya. “Kalau nggak hamil dulu, pasti ortuku nggak setuju,” katanya terkekeh. Bagi Cok
Ratih, hidup begitu ringan dan tenang. Tak ada beban. Mungkin karena itulah persahabatan kami langgeng. Menurut orang-orang, aku perempuan yang terlalu serius. Bagiku, itu penilaian yang salah. Aslinya aku hanyalah perempuan yang takut melakukan kesalahan. Karena setiap kesalahan yang kuperbuat akan menimbulkan dampak psikologis yang begitu dalam bagi pertumbuhanku menjadi perempuan. Tiga bulan setelah menikah, Cok Ratih mengalami keguguran hebat. Usia kandungannya hampir tujuh bulan. Pendarahan yang tidak ada hentinya. Satu bulan dia dirawat di rumah sakit khusus. Berkali-kali tidak sadar. Hyang Jagat, begitu luar biasanya tubuh perempuan. Hanya untuk memuntahkan seorang manusia saja begitu sulitnya? Aku menggigil. Kubayangkan tubuhku digelendoti gumpalan daging hidup yang siap memakan seluruh isi tubuhku. Hyang Jagat. Hyang Jagat!
Volume XI Nomor 2/2016 | matajendela
7
Di tengah situasi berat seperti ini, Pasek diam-diam mulai merayuku. Dia terlihat genit. Menjijikkan. Berkali-kali dia menawarkan diri untuk mengantar pulang, menjemput, atau makan siang denganku. Aku tidak melihat keprihatinan di matanya. Lelaki apakah yang telah dikawini sahabatku itu? Sementara Cok Ratih telah meninggalkan kebangsawanannya. Hubungan baik dengan keluarga besarnya pun putus karena dia menikah dengan lelaki yang tidak sederajat. Begitu banyak yang dikorbankan untuk cinta.
apa pun yang telah dan akan kulakukan. Aku mudah patah dan kecewa.
Aku pernah menyiramkan segelas besar wine ke wajah Pasek ketika dia berusaha memepetkan tubuhnya ke tubuhku pada acara gala dinner di sebuah perusahaan milik sahabatku. Semua orang menatap kami. Aku pun meninggalkan ruangan itu.
Kakiang adalah seorang lelaki tua yang sangat dihormati. Dia ahli membuat pratima, benda-benda suci yang disakralkan di pura-pura. Kematian Ibu membuat Kakiang linglung. Makin hari kesehatannya menurun. Aku pun kemudian kehilangan Kakiang. Lelaki tua yang pandai menyanyikan kidung-kidung indah itu lebih suka berbicara sendiri, juga menjadi penyendiri. Kakiang pun akhirnya mati gantung diri di kamarnya.
Yang membuat aku makin panas, Pasek menyebar gosip bahwa akulah yang tertarik padanya. Ya, Hyang Jagat. Senista itukah aku? Tertarik pada lelaki menjijikkan seperti Pasek? Aku memang lajang, kadang-kadang rindu memiliki kekasih. Pengalaman hidup mengajarkanku, jangan pernah mengusik dan bermain api dengan lelaki milik perempuan lain. Bagaimana kalau Cok Ratih tahu? Siapa yang akan dipercaya? Aku atau suaminya? Aku memejamkan mata. Makin hari, keinginanku untuk kawin makin jauh. *** NAMAKU Dayu Cenana. Cenana berarti kayu cendana. Kayu yang keras. Entah bagaimana dan kenapa keluarga besarku memberi nama Cenana. Kupikir nama itulah yang membuat hidupku jadi pelik. Keras. Aku jarang sekali merasa puas pada 8
Semua bermula dari Aji, ayahku. Sejak ditugaskan mengambil spesialis mata, lelaki itu tidak pernah pulang ke rumah. Dia kecantol seorang janda beranak dua. Ibuku, Dayu Westri jadi stres berat. Dia sering menjerit-jerit tengah malam, lalu memesan arak, mabuk, muntah. Akhirnya ibuku bunuh diri dengan menyilet nadinya menggunakan pisau tatah milik Kakiang, kakekku, ayah dari ibuku.
Tinggallah aku dengan Nini, perempuan sudra kebanyakan yang dikawini Kakiang. Nama asli perempuan itu Ni Luh Made Ragi. Karena menikah dengan Kakiang, bangsawan dari kasta tertinggi, Brahmana, Nini pun berganti nama menjadi Jero Tunjung. Aku memanggil perempuan tua cantik itu Nini, yang berarti nenek. Dari dialah aku belajar banyak bahwa semua harus diselesaikan sendiri, tidak boleh mengeluh, tidak boleh menunda pekerjaan, selalu bersyukur pada leluhur. Dan yang membuatku berpikir, Nini berkali-kali menasihati, menjadi perempuan itu jangan pernah menyakiti perempuan lain. Sekecil
apa pun tidak boleh! “Kalau Tugeg menyakiti perempuan lain, Hyang Widhi akan memuntahkan seluruh pastu, kutukannya padamu!” kata-katanya selalu terdengar penuh amarah. Makin dewasa aku makin paham arti kata-kata itu. Pengalamanku juga mengajarkan betapa sakitnya dikhianati. Makanya, jangan mengkhianati. Perempuan sudra itulah yang membuatku mandiri. Dia hidupi aku, satu-satunya cucu miliknya dengan cinta yang aneh. Bagiku dia terlalu keras mendidikku. Setelah dia mati, baru kusadari bahwa perempuan itulah yang membuatku berani bertanggung jawab pada pilihan-pilihan hidup yang kuambil. Dia yang membiayai sekolahku, karena sejak kecantol janda itu, Aji tidak pernah pulang lagi. Aku telah kehilangan figur Aji pada usia 6 tahun, kehilangan Ibu pada usia 7 tahun, kehilangan Kakiang pada usia 8 tahun. Begitu banyak kematian memberi aroma bagi pertumbuhanku sebagai Dayu Cenana. Belum lagi kematian binatang peliharaanku, bunga-bungaku, juga beberapa teman bermain dan sekolahku. Aku tumbuh dari kematian yang datang hampir setiap tahun. Aku terus dikepung rasa sunyi. Tetapi Nini telah membekaliku dengan kehidupan yang, setelah kupikir-pikir, luar biasa. Aku dibesarkan lahir-batin hanya oleh seorang perempuan. Perempuan tua cantik itu senang sekali melakukan ritual-ritual yang tidak biasa. Mandi bunga setiap purnama, bulan terang dan penuh. Tidur dengan kain kafan bila datang tilem, bulan mati dan langit jadi gelap, seolah mati.
Setiap Selasa-Kamis, biasanya dia hanya makan nasi putih dan minum air putih. Kadang-kadang pada hari tertentu, Kajeng Kliwon, dia mandikan tusuk kondenya, keris, dan beragam batu-batu antik, lalu airnya dipakai untuk memandikan aku. Mungkin karena beragam pantangan yang dilakoninya, dia tumbuh makin kuat, makin cantik, dan bagiku dia luar biasa. Perempuan yang sangat menikmati hidupnya dengan kebenaran miliknya. “Jadi perempuan itu harus bisa menghormati diri sendiri,” katanya suatu hari sambil menghaluskan bata menjadi serbuk. Nini tidak pernah gosok gigi dengan odol. Setiap pagi dia menumbuk bata merah. Juga kumur dengan air garam. Giginya kuat. Kelak, ketika kematian menggiringnya, giginya masih utuh. Aku tidak pernah tahu berapa usianya ketika mati. Karena dialah satu-satunya pelingsir, perempuan yang dituakan di Griyaku, mati paling akhir. Bisik-bisik sempat kudengar, Niniku memiliki ilmu pengeleakan, ilmu hitam. Bagiku gosip itu murahan. Nini tidak pernah mengajariku hal-hal aneh. Yang kutahu, entah benar entah tidak, seseorang yang memiliki ilmu pengeleakan bisa menjelma jadi api, babi, angsa, atau binatang lainnya. Aku hidup dengan Nini berpuluh-puluh tahun. Bahkan aku paham betul lekuk tubuhnya karena kami sering mandi di kali atau pancuran sawah. Airnya bening dan membuatku betah berlamalama. Nini dengan sabar menunggui aku mandi sambil menggosok tubuhnya yang sawo matang dengan lumpur sawah, atau menggosok daki-dakinya dengan batu kali. Nini tidak suka mandi dengan
sabun. Katanya aneh, licin, dan membuat badannya gatal. Ketika Nini mati, aku pun memilih tinggal dan berkarier di luar rumah keluarga besar. Aku tidak pernah menginginkan perkawinan. Aku hanya menginginkan persahabatan yang tulus. Sampai kini, aku masih virgin. Memang terdengar kampungan. Aku menikmati hari-hari yang terus berjalan dan menguras usiaku. Begitulah aku hidup. Sejak muda, aku tidak tahu rasanya patah hati. Memulai mencintai lelaki pun aku takut. Setiap ada lelaki yang mengatakan cinta padaku, aku demam. Seminggu aku migren. Apalagi kalau lelaki itu telah kuanggap sahabat baik. Tak ada cinta yang bisa kurasakan. Yang kubutuhkan adalah perhatian yang tulus, teman dialog, juga sesekali bermanja. Bagiku, cinta lelaki dan perempuan sama dengan seks. Aku tak mau hamil, melahirkan anak, karena aku takut anak yang lahir dari rahimku mengalami nasib seperti aku. Atau bahkan jadi lebih buruk! Aku menggigil. Dibunuh oleh pikiranpikiranku sendiri. Keringat mengalir dari dahi, ketiak, dan seluruh tubuh. *** TELEPON genggamku berdering. “Apa?! Kapan?!” Aku berteriak histeris. Tubuhku limbung. Menjelang tengah malam, aku tersadar. Aku terbaring di lantai dekat pintu masuk kamar mandi, hanya ditutupi handuk. Cahaya bulan membangunkankan. Hari ini purnama? Aku bergegas bangun, menyalakan lampu. Aku takut dikepung gelap. ***
TAK ada upacara ngaben, pembakaran mayat. Hari ini, Cok Ratih dititipkan di ibu pertiwi, tanah lembab. Tubuh perempuan itu hampir tak kukenali lagi. Membengkak dan busuk. Cairan terus menetes dari tubuhnya. Tak ada lagi rona kecantikan di mayatnya. Sudah seminggu dia terbujur kaku di dalam kamar mandi kamar tidurnya. Tanpa diketahui lelakinya. Lelaki yang konon dicintainya. Sahabatku mati. Berkorban untuk cinta, tanpa pernah mendapatkan cinta yang sesungguhnya. Lelaki itu tak ada di rumah, bahkan tak pernah tahu istrinya telah menjerat lehernya dengan tali. Polisi yang menemukan tubuh Cok Ratih telah membusuk. Desa Adat memberinya sangsi, mayatnya tak boleh diaben karena Cok Ratih mati salah pati, mati bunuh diri. Mati yang salah! Menurut konsep agama. Kutelan kegetiran itu. Apakah Tuhan tahu? Apa alasannya sahabatku yang riang dan bersemangat itu menjerat leher dan mengiris nadinya? Apakah Tuhan mau mengerti dan menerima alasannya? Aku tak lagi bisa menangis. Ketika upacara penguburan itu selesai. Apakah Tuhan masih akan menghukum Cok Ratih? Perempuan yang mengorbankan seluruh hidupnya untuk mendapatkan cinta dari seorang lelaki? Lelaki yang tidak pernah cukup dengan satu cinta? Selama ini Cok Ratih terus-menerus berusaha menyembuhkan lukaku. Katanya, kehidupan perempuan baru disebut sempuna jika sudah kawin. Perkawinan membuat perempuan sadar arti menjadi istri, juga arti menjadi ibu. Tapi kalau Volume XI Nomor 2/2016 | matajendela
9
nyatanya kawin malah bikin susah dan rumit, apakah perkawinan masih bisa dijadikan alasan bahwa pohon kebahagiaan itu hanya bisa ditemukan di dalam rumah perkawinan? Aku bertambah menggigil. Menatap langit yang makin muram. Apakah ini pertanda suasana kematianku kelak semuram warna langit petang ini? *** Denpasar, 1 September 2009, Diambil dari buku kumpulan cerpen Oka Rusmini, Akar Pule (Jakarta: Grasindo, 2012). Puluhan cerpen telah lahir dari lentik jari Oka Rusmini. Tentu saja, sebagian di antaranya sudah dibukukan. Salah satu kumpulan cerpen yang memuat karya Oka Rusmini adalah Akar Pule (Penerbit Grasindo, Jakarta, 2012). Ada 10 cerpen di dalam buku kumpulan cerpen ini, hampir semuanya berbicara tentang keperempuanan. Misalnya, dalam hal dilema perempuan di tengah adat dan tradisi yang lumayan ketat yang ada di Bali. Salah satu cerpen Oka Rusmini yang memikat di dalam buku ini adalah berjudul Pastu yang berarti kutukan. Cerpen ini adalah salah satu cerpen yang cukup kuat menggambarkan mengenai dilema perempuan dalam meraih kebahagiaan melalui perkawinan. Inti cerita di dalam cerpen ini adalah adanya tokoh “aku” yang sejak muda belum tahu bagaimana rasanya patah hati memandang adanya kebahagiaan melalui jalur perkawinan sebagaimana yang dijalani sahabatnya yang bernama Cok Ratih. Sayangnya, idealisasi pandangan mengenai kebahagiaan sebagaimana yang 10
diangankan tokoh “aku” tersebut buyar dan kandas, karena apa yang dijalani sahabatnya adalah merupakan kehancuran dalam berumah tangga. Bahkan, yang membuat tokoh “aku” begitu heran, ternyata di dalam kehidupan berumah tangga sahabatnya, suami sang sahabat sampai pernah menggoda dan merayu tokoh “aku”. Sebenarnya, tokoh “aku” sangat berharap sahabatnya bisa meraih kebahagiaan sejati bersama suaminya, apalagi melihat proses perkawinan mereka yang penuh perjuangan, tidak disetujui pihak orang tua si perempuan yang masih mempertimbangkan kasta atau derajat sosial, dan terpaksa segera dinikahkan karena hamil duluan. Namun, apa mau dikata, proses pernikahan yang penuh perjuangan tersebut seperti hanya dijalani secara main-main oleh sang suami. Akhirnya, suatu hari, Cok Ratih pun ditemukan telah meninggal dengan cara bunuh diri, ia menjerat lehernya dengan tali. Tragis sekali, karena peristiwa itu juga tak diketahui suaminya, padahal sudah seminggu terbujur kaku di kamar tidur. Berdasarkan aturan adat Bali, maka jika ada yang meninggal karena salah pati, mati bunuh diri, mayatnya pun tidak di-aben. Pesan moral yang cukup menarik dari cerpen Pastu ini di antaranya adalah bahwa bisa saja perempuan mengorbankan hidupnya untuk lelaki yang dicintainya meskipun lelaki yang dicintainya itu belum tentu merasa cukup jika hanya mendapatkan cinta dari satu perempuan. Sebagai penulis cerpen, di dalam akhir cerita, Oka Rusmini menyisipkan kalimat yang mengundang jawab, yang jelas bernada gugatan terhadap kebahagiaan: ... kalau nyatanya kawin malah bikin susah
dan rumit, apakah perkawinan masih bisa dijadikan alasan bahwa pohon kebahagiaan itu hanya bisa ditemukan di dalam rumah perkawinan? Memang, tema cerpen sebagaimana yang dikerjakan oleh Oka Rusmini di dalam cerpen Pastu tersebut bukanlah tema yang sangat istimewa. Boleh dikata, tema cerpennya tersebut adalah tema umum yang dalam kenyataan hidup sehari-hari sangat mudah dijumpai. Namun, ketika tema tersebut berada di tangan Oka Rusmini, ada nuansa lain yang ia berikan dan menjadi bernilai memikat. Pertama, dalam hal aspek intrinsik karya sastra dari segi teknik penceritaan, Oka Rusmini cenderung menggunakan bahasa yang lugas, bahkan cenderung blak-blakan. Tentu saja, hal ini cukup membedakan dengan cara bercerita cerpenis-cerpenis perempuan lainnya yang ada di Indonesia. Misalnya, Nenden Lilis A dan Ratna Indraswari Ibrahim yang meskipun cerpennya berbasis realisme namun pemilihan diksi yang ada cenderung halus atau santun. Pada cerpen-cerpen Oka Rusmini setidaknya terwakili oleh cerpen Pastu, pemilihan diksi yang ada cenderung vulgar. Misalnya, Oka cenderung memilih diksi kawin jika dibandingkan dengan menikah. Kalimatkalimatnya yang tersusun sebagai alur semenjak paragraf awal juga bernuansa dan bernada menghentak-hentak sehingga sah jika terasumsikan bernilai gugatan. Simak pembuka cerpen Pastu berikut ini: percayakah kau bahwa di dunia ini tidak ada kebahagiaan? Setiap kebahagiaan yang aku petik, harus kubayar mahal dengan siksaan penderitaan? Benarkah hidup sekejam itu? Hidup hanya bisa menguliti, menyamak,
Oka Rusmini (berkacamata) bersama salah seorang penggemarnya sedang menunjukkan buku-buku karyanya. Sumber: Foto Dokumentasi Facebook
Oka Rusmini. Sumber: Foto Dokumentasi Oka Rusmini
...........................
juga menuangkan beragam racun ke seluruh napasku. Juga ke pori-pori darah. Lalu, di mana harus aku cari kebahagiaan? Cara bercerita sebagaimana yang dikembangkan Oka Rusmini tersebut, rupanya memang sudah menjadi karakter cerpen-cerpennya. Itulah salah satu penanda atau identitas kreatif dan estetik Oka Rusmini. Kedua, sisi memikat di dalam cerpencerpen buah tangan Oka Rusmini karena kemampuannya mengolah konflik dalam bingkai adat Bali. Cerpen Pastu menjadi memikat jelas karena tertopang oleh latar cerita di Bali, yang membuat pembaca bisa bertamasya dalam jelajah eksplorasi kebudayaan yang ada di Indonesia. Pembaca pun bisa belajar mengenai pengetahuan silsilah atau hal lain yang bersangkut paut dengan budaya Bali. Secara eksplisit, misalnya, Oka Rusmini memasukkan diksi Hyang Jagat, dayu, kakiang, nini, tugeg, tilem, pengeleakan, dan yang lain, yang tentu saja sudah disertai artinya. Hal ini, bisa saja membuat pembaca merasa puas karena serasa
berselancar di dalam kultur keseharian di Bali. Pengalaman jelajah atas pengetahuan diksi kultur Bali itu mengantar pembaca memahami dengan jelas benturan dan dinamika konflik yang ada di dalam kehidupan masyarakat Bali. Yang tak kalah menggugah, di dalam menyisipkan tokohtokoh saudara tokoh “aku” di dalam cerpen Pastu, Oka sengaja memilih tokoh-tokoh yang sehari-harinya akrab dengan dunia supranatural atau mistisisme yang ada dan berkembang di Bali. Inilah yang membuat cerpen Pastu telah menjadi cerpen yang utuh dalam menerima kontradiksi kultural sehari-hari masyarakat Bali. Jika secara langsung membaca cerpen Pastu ini, juga akan terasa betapa pesan moral yang dibawa ternyata bisa beragam, lebih dari satu. Di antara yang beragam itu, misalnya, betapa mulianya perasaan dan tubuh kedirian perempuan. Bagi para aktivis feminisme, jika membaca cerpen Oka Rusmini ini, bisa saja akan merasa terwakili perjuangannya. Meskipun tidak secara eksplisit, namun nuansa verbal pembelaan Oka terhadap eksistensi kemuliaan perasaan dan tubuh Volume XI Nomor 2/2016 | matajendela
11
Pesan moral yang cukup menarik dari cerpen Pastu ini di antaranya adalah bahwa bisa saja perempuan mengorbankan hidupnya untuk lelaki yang dicintainya meskipun lelaki yang dicintainya itu belum tentu merasa cukup jika hanya mendapatkan cinta dari satu perempuan.
perempuan adalah sangat serius. Meski begitu, cerpennya juga bisa saja membuka penafsiran secara sederhana: betapa perasaan dan tubuh kedirian perempuan bukanlah obyek mainan guna dieksploitasi dengan mudah oleh laki-laki. Sudah selayaknya perasaan dan tubuh kedirian perempuan mendapatkan perlakuan atas haknya untuk tidak disakiti. Oleh sebab
alur, dan aspek lainnya di dalam cerpen Pastu telah digarap dengan baik sehingga menjadikan Pastu sebagai sebuah keutuhan cerpen yang kukuh. Kreasi pendekatan realisme yang diemban semakin memperkuat Pastu sehingga mempunyai nuansa daya dobrak perjuangan atas feminisme. Memang, karya sastra yang lahir bisa tidak perlu dihubung-hubungkan
dan mengambil hipotesa bahwa Oka Rusmini adalah perempuan Bali yang sudah tak lagi terbelakang dalam mendudukkan perspektif kesetaraan gender. Simak kutipan paragraf yang ada di dalam cerpen Pastu berikut ini yang bisa ditafsirkan mempunyai daya dobrak atas perjuangan kesetaraan gender:
itu, juga bisa dikatakan bahwa secara umum Oka Rusmini telah mengerjakan cerpen-cerpen yang mempunyai ideologi kuat. Cerpen-cerpennya tidak jatuh hanya sekadar menjadi bernilai klise, yang sekadar bernilai rengekan perempuan di dalam penjara rumah tangga semata.
dengan si penulis atau pengarangnya sebab bisa saja ketika karya sastra sudah lahir maka si penulis atau pengarang tersebut “telah mati.” Namun, ada kalanya, sebagai pembaca, kita penasaran juga untuk mengait-kaitkan hasil karya sastra tertentu dengan kehidupan si penulis yang bersangkutan.
“Hari gini masih ada sekat-sekat manusia. Kasta, derajat. Memuakkan! Hidup ini sudah rumit, kenapa harus dibuat rumit?” papar Cok Ratih santai. Cok Ratih memang bangsawan. Keluarganya tidak kurang harta, juga tidak kurang martabat. Perempuan itu keras kepala...”
*** Boleh dikata, keseluruhan aspek intrinsik dan ekstrinsik baik tema, setting cerita, 12
Untuk itu, boleh jadi, melalui cerpen Pastu ini, pembaca akan mengorek lingkungan kehidupan si penulis yang bersangkutan
Ya, ternyata semakin dalam dibaca dan dimaknai, cerpen Pastu ini mempunyai banyak visi dan misi ideologis yang secara estetik terkemas rapi di dalam cerpen.
Novel Oka yang diinggriskan. Sumber: Foto Dokumentasi Oka
Novel Oka dalam Bahasa Indonesia. Sumber: Foto Dokumentasi Oka ...........................
Selain soal tawaran daya dobrak kesetaraan gender yang tersurat secara eksplisit tersebut, Oka Rusmini juga terus berupaya menggali dan menawarkan kedalaman pemaknaan atas sejumlah nilai kultural. Hal itu bisa dibaca melalui deskripsi nilai pengetahuan yang secara tidak langsung membuat pembaca akan belajar mengenai seluk-beluk dunia nama atau istilah dalam struktur atau silsilah keluarga masyarakat Bali. Simak kutipan paragraf berikut ini yang membuat kita akan mengerti jurus lihai Oka Rusmini dalam mengenalkan pengetahuan mengenai silsilah dalam struktur keluarga masyarakat Bali. Ia kemas secara rapi menjadi metafor yang bagus guna menggambarkan sosok dan perangai tokoh tertentu: ... Namaku Dayu Cenana. Cenana berarti kayu cendana. Kayu yang keras. Entah
bagaimana dan kenapa keluarga besarku memberi nama Cenana. Kupikir nama itulah yang membuat hidupku jadi pelik. Keras. Aku jarang sekali merasa puas pada apa pun yang telah dan akan kulakukan. Aku mudah patah dan kecewa... Simak pula kutipan paragraf berikut ini: ... Kakiang adalah seorang lelaki tua yang sangat dihormati. Dia ahli membuat pratima, benda-benda suci yang disakralkan di pura-pura. Kematian Ibu membuat kakiang linglung. Makin hari kesehatannya menurun. Aku pun kemudian kehilangan kakiang. Lelaki tua yang pandai menyanyikan kidung-kidung indah itu lebih suka berbicara sendiri, juga menjadi penyendiri. Kakiang pun pada akhirnya mati gantung diri di kamarnya...
Volume XI Nomor 2/2016 | matajendela
13
Di dalam cerpen Pastu ini pula, kita juga akan mengerti betapa banyak makna yang ditawarkan sebagai kunci kejutan cerita. Kunci kejutan cerita itu bisa diungkapkan
merupakan satu strategi bercerita, seni bercerita tersendiri yang khas. Bisa saja Anda sebagai pembaca yang kritis kelak akan terinspirasi dengan cara membangun
tidak?” Memang, setidaknya bagi saya, jika ditanya begitu dalam memberlakukan pembacaan terhadap cerpen Pastu, maka ending di dalam cerpen Pastu justru biasa
oleh Oka Rusmini melalui metafor-metafor yang indah. Memang, Oka Rusmini juga bisa memainkan kunci kejutan cerita justru melalui tragisme perjalanan hidup sejumlah tokoh. Cok Ratih yang meninggal secara bunuh diri, kakiang pun meninggal secara bunuh diri pula. Oleh sebab itu, imaji kekejian di dalam perjalanan sejumlah tokoh di dalam cerpen ini merayap secara perlahan dan pasti, terus menggiring dan mengunci mata pembaca sebagai kejutan. Tentu saja, hal semacam ini juga
dan menggiring serta mengunci kejutan atas cerita dengan cara semacam ini. Bagaimanapun, fiksi yang baik adalah yang juga mempunyai pertaruhan the art of fiction, kehadirannya dalam memuat aspek seni bercerita juga semestinya teruji.
saja. Ending-nya adalah kalimat yang bernilai solilokui, bertanya pada diri sendiri: aku bertambah menggigil. Menatap langit yang makin muram. Apakah ini pertanda suasana kematianku kelak semuram warna langit petang ini?
Banyak orang percaya bahwa akhir cerita adalah salah satu kunci kejutan yang harus dibuat bagus. Tentu saja ukuran bagus ini sangat relatif. Sering kita dengar orang berujar, “Ending-nya bagaimana? Menarik
Namun, bagi saya, ending yang biasa tersebut, sangat tertutupi oleh seni bercerita yang khas yang telah dibangun secara lihai oleh Oka Rusmini, yang bisa ulang-alik dari paparan mengenai gugatan tokoh
14
Kumpulan cerpen Oka Rusmini. Sumber: Foto Dokumentasi Oka ...........................
“aku” terhadap kebahagiaan, masuk ke kisah kebahagiaan yang berakhir tragis yang dialami sahabatnya, masuk lagi ke kisah perjalanan hidup tokoh “aku” dalam struktur keluarga Bali, dan kembali ke gugatan personal tokoh “aku” atas kebahagiaan melalui teknik ending yang bersolilokui tersebut. Memang, saya bersetuju, jika sastrawan Nirwan Dewanto pernah mengungkap bahwa salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam penciptaan karya sastra adalah pada persoalan “kriya kata”. “Kriya kata” ini dalam pemahaman yang sederhana adalah sebuah upaya membangun kalimat yang memang terkonsep, baik tokoh,diksi, rima, alur, dan aspek lainnya sehingga sebagai cerita mempunyai keunikan dan kekhasan yang menggugah. Tentu, bagi si penulis yang bersangkutan perlu kemahiran tersendiri dalam menyusun bangunan “kriya kata” tersebut sehingga dalam kenyataannya pembaca bisa “terombang-
ambing” dalam tingkat penasaran dan keterkejutan yang tinggi ketika membaca tuntas, sekali duduk. Itulah yang rupanya selalu diatraksikan Oka Rusmini di dalam membangun keutuhan fiksi yang ditulisnya. Tampak secara gamblang, sebagai penulis ia berupaya keras mewujudkan konsep, teknik bercerita, diksi, alur, atau aspek apa pun menjadi tidak sia-sia dan sungguh bermakna. Kalimat demi kalimat dalam bangunan fiksinya adalah juga tawaran atas sublimitas “dunia dalam” kaum hawa, yang sudah mampu mengartikulasikan isi hati dan tidak sekadar menahan jeritan atau lenguhan, yang cara berpikirnya sudah sebegitu modernis. Sebuah potret fiksi dalam dunia kesusastraan Indonesia yang juga telah beranjak dewasa, bukan fiksi yang hanya berisi keluh kesah perempuan saja.
Menengok Proses Kreatif Dalam hal melahirkan karya, Oka Rusmini menganggap bahwa semua karya yang dihasilkannya baik yang bergenre cerpen, puisi, novel, maupun naskah drama, mempunyai tingkat kesulitan yang berbeda. Hanya saja, analoginya, ibarat seorang ibu, maka karya-karyanya adalah anak-anaknya. Ia mencintai mereka dengan cara-cara dan perlakuan berbeda tetapi dengan takaran cinta yang sama. Seperti ibu yang mencintai anak-anaknya. Boleh dikata, hasil karya yang dilahirkan Oka selalu bisa menjadi kontroversi atau perbincangan hangat di ranah publik sastra yang luas. Misalnya saja, sampai ada yang menganggap Oka adalah pejuang kesetaraan kasta. Setidaknya, dari sejumlah hasil penelitian sejumlah sarjana sastra yang menelaah karya sastra buah tangan Oka, di antaranya ada yang mendekati dengan perspektif seperti itu. Tentu saja, itu sah-sah saja. Tiada batas dalam hal Volume XI Nomor 2/2016 | matajendela
15
interpretasi. Meskipun kalau hal semacam itu ditanyakan kepada Oka, ia bisa saja hanya tersenyum dan mempunyai pendapat berbeda yang juga bernilai sah. Ia justru bisa heran kenapa ia dikatakan menulis tentang kasta? Menurut Oka Rusmini, sebenarnya, sejak awal secara konseptual yang ia tuliskan ia fokuskan dalam hal perspektif gender, terutama kesejajaran posisi perempuan dan lelaki di dalam budaya Bali. Tentu saja, lahan garapan estetik semacam itu, bukanlah lahir dari unsur dendam budaya setempat. Justru ia ingin menunjukkan kebanggaan menjadi orang Bali. Bagi Oka, orang Bali adalah satu-satunya masyarakat yang sangat verbal menghormati bumi ini. Buktinya pohon pun memiliki cara untuk
diprosesi dengan upacara. Bukankah itu indah? Orang Bali adalah komunitas yang sangat menghargai alam, jauh sebelum orang-orang menanamkan jargon: cintai lingkungan Anda. Di mata Oka, masyarakat Bali memang terdiri dari kasta-kasta, tapi bukan itu sebenarnya yang menjadi fokus utama lahan estetika yang ia kembangkan. Hal ini penting digarisbawahi sebagai perhatian bersama, sebab betapa pun sah dan bebasbebas saja, antara asumsi (penilaian) pembaca dan konsep kreatif pengarang bisa saja sebenarnya bertentangan. Sejak awal Oka menulis, ia mencoba mencatat beragam budaya-budaya Bali, yang ia tawarkan pada pembaca yang mana yang harus dipangkas, yang mana
harus dipertahankan. Diakuinya, hal ini memerlukan proses panjang. Dalam laku proses kreatifnya, kadang Oka menyayangkan kalau orang hanya melihat persoalan kasta semata. Buku-bukunya banyak melahirkan sarjana, namun dianggapnya tidak ada yang melihat dalam angle sebagai dokumen budaya. Sebenarnya ini bisa dilihat dari nama tokoh yang ia gunakan, itu semua nama-nama khas Bali yang makin hari makin tergerus. “Tak ada satu pun para sarjana itu bisa melihatnya. Ini mengerikan, karena terlihat pembacaan mereka pada karya-karya bermuatan ‘kultur’ masih sangat lemah,” tutur Oka.
“Tak ada satu pun para sarjana itu bisa melihatnya. Ini mengerikan, karena terlihat pembacaan mereka pada karyakarya bermuatan ‘kultur’ masih sangat lemah,” tutur Oka.
16
daerah lain yang mempunyai visi sejenis dengannya. Sebagaimana harapannya sendiri terhadap dunia sastra, ia ingin dunia sastra Indonesia tidak lagi berjalan di tempat. Bagi Oka, kita masih kurang menghargai karya-karya sastra yang khas Indonesia (memiliki muatan kultur). Harusnya, lembaga seperti Badan Bahasa berani membeli karyakarya yang dinilai memperkaya kecintaan dan informasi tentang budaya Indonesia, dibanding menyediakan dana puluhan juta untuk penelitian. Menurut Oka, bisa saja membeli buku-buku pengarang yang sudah teruji karyanya, lalu disebarkan pada siswa-siswa di seluruh Indonesia. Apalagi Badan Bahasa mempunyai Balai Bahasa di masing-masing daerah. Sayang kalau tidak difungsikan dengan benar.
Oka dan anaknya. Sumber: Foto Dokumentasi Oka ...........................
Terhadap apa yang ditulis Oka selama ini memang bisa saja ada pihak yang tidak bisa menerima, seolah-olah ia antikasta. Pandangan seperti ini bisa saja dimanfaatkan oleh orang-orang yang punya kepentingan politis. Namun Oka tidak peduli, yang jadi impiannya, perempuan Bali punya tempat dan kedudukan sejajar dengan lelaki. Dalam laku proses kreatifnya pula, Oka mengaku bahwa ia tidak mempunyai pengarang idola. Ia memang suka beberapa buku namun tidak mempunyai pengarang fanatik. Semua pengarang bagus, karena ia belajar banyak juga dari mereka. Ia menulis budaya karena memang ada yang harus dikritisi. Ia juga rindu lahir pengarang-pengarang dari
“Saya tahu dana itu ada. Harapannya, tentu Badan Bahasa mampu bergerak seperti itu, syukur kalau berani memberi hadiah ratusan juta untuk pengarang yang dedikasinya memang bisa dipertanggungjawabkan. Kita juga punya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Penghargaan ratusan juta tidak masalah, beli buku-buku yang bermuatan lokal juga bukan masalah. Daripada buat proyek ini-itu yang tidak jelas. Itu impian saya terhadap penghargaan untuk pengarang Indonesia,” tukas Oka. Salah satu kunci sukses proses kreatif Oka Rusmini adalah pekerjaannya sebagai wartawan di Bali Post yang ia anggap mampu menolong dalam melihat masyarakat Bali yang sedang berubah dengan detail. Data dan fakta ada di depannya secara gamblang. Sebegitu jauh, secara personal, ia tergolong sebagai penulis Volume XI Nomor 2/2016 | matajendela
17
yang tidak memiliki ritual khusus untuk menulis, sebab sudah dengan sendirinya ia setiap hari mencatat dan mendokumentasi hal-hal yang dirasa mengganggu perhatian. Oka sadar, menulis aspek budaya (apalagi yang selalu dikaitkan dengan agama) selalu bernilai sensitif. Oleh sebab itulah, dengan mengkemas menjadi fiksi, info budaya yang ada di dalam fiksi tersebut akan lebih indah sampai kepada pembaca dibandingkan dengan teks-teks riset yang bernilai membosankan. Oka sendiri merasakan untuk semakin mengasah kemampuan proses kreatifnya agar tidak tumpul ia bisa mengombinasikan antara menjadi tipe penulis kamar dan komunitas. Ia justru heran jika ada pengarang yang berlagak seperti seorang dukun yang menunggu wahyu, tidak bekerja, tidak bersosialisasi. Ia bekerja, menjadi ibu, istri, sama dengan perempuan-perempuan biasa yang dililit beragam tanggung jawab domestik dan ekonomi. Ia juga bergaul dengan beragam komunitas tidak hanya komunitas budaya. Tentu ia punya temanteman yang dianggapnya luar biasa. Aspek tradisi perlu terus diambil dan digali untuk memperkenalkan budaya Indonesia pada generasi baru. Kedisiplinan menulis yang dilakukan Oka memang terbilang mengagumkan. Salah satu buktinya, mampu melahirkan novel Kenanga yang ia tulis sewaktu SMA. Menengok Kiprah dan Biografi Oka Sebagaimana sudah diketahui, Oka Rusmini adalah penulis karya sastra yang mencakup semua genre karya sastra, baik puisi, cerpen, novel, maupun naskah drama. Ia juga menulis cerita anak dan esai. Dilahirkan di Jakarta, 11 Juli 1967, demikianlah ia menghabiskan masa 18
kecilnya di kota metropolitan, ibu kota Republik Indonesia itu. Barulah semenjak remaja, di usia SMP, ia pindah ke Pulau Dewata di Bali. Karya-karya Oka Rusmini memberi pengaruh yang besar bagi dunia sastra Indonesia dan juga dunia. Hal ini bisa dilihat dari produktivitas karyanya dan juga kiprah sosialnya di medan sastra Indonesia dan dunia. Karya-karya sastra buah tangan Oka Rusmini yang telah dilahirkannya di antaranya adalah Monolog Pohon (1997), Tarian Bumi (2000), Sagra (2001), Kenanga (2003), Patiwangi (2003), Warna Kita (2007), Pandora (2008), Tempurung (2010), dan Akar Pule (2012). Forum-forum internasional yang pernah diikutinya di antaranya Ubud Writers and Readers Festival, Pulpit Poet 21st Century di Jakarta, pernah pula menjadi penulis tamu di University of Hamburg,
Salah satu buku kumpulan puisi Oka Rusmini. Sumber: Foto Dokumentasi Oka ...........................
persoalan yang dihadapi oleh perempuan Bali, baik itu agama, budaya, dan tradisi. Oka Rusmini dengan jeli dan kritis melihat persoalan yang paling mendera perempuan, yakni tubuh perempuan yang menjadi muasal sasaran utama dari kuasa patriarki yang memarjinalkan peran sosial dan kultural perempuan.
Salah satu buku Oka Rusmini. Sumber: Foto Dokumentasi Oka ...........................
Jerman. Festival Sastra Winternachten di Belanda dan Singapore Writer Festival juga pernah diikutinya. Selain itu, ada sejumlah tonggak prestasi yang juga bisa dicatat dalam karier kepengarangannya. Misalnya, Majalah Femina pernah memberikan anugerah berupa Penghargaan Cerpen Terbaik kepadanya untuk karya yang berjudul Putu Menolong Tuhan (1994). Majalah Femina juga memberikan penghargaan untuk novelnya yang berjudul Sagra. Karya cerpennya Pemahat Abad juga masuk sebagai kumpulan karya cerpen terbaik yang pernah diberikan Majalah Horison. Melalui novel Tarian Bumi ia pun mendapatkan penghargaan dari Depdiknas (2003). Di samping itu, melalui novel Tempurung meraih penghargaan S.E.A. Write Award 2012 dari Kerajaan Thailand. Sebagaimana karyanya yang lain, novel Tempurung ini adalah novel yang mengangkat pelbagai
Dalam lapangan kesusasteraan Asia Tenggara, S.E.A.Write Award atau Southeast Asian Writers Award merupakan perhelatan penghargaan setiap tahun yang diselenggarakan sejak 1979, untuk penyair dan penulis di kawasan Asia Tenggara. Pemenang tahun 2012 adalah Wipas Srithong (Thailand), Suchen Christine Lim (Singapura), Oka Rusmini (Indonesia), Duangxay Luangphasy (Laos), Ismail Kassan (Malaysia), Trung Dinh Trung (Vietnam), Charlson Ong (Filipina), dan Pengiran Haji Mahmud bin Pengiran Damit, nama pena Mahmudamit (Brunei). Dipilihnya Bangkok sebagai tuan rumah pertemuan sastra internasional terkait dengan terpilihnya Bangkok sebagai World Book Capital pada 2013 oleh Unesco, organisasi pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan Perserikatan Bangsa-bangsa. Menurut sebagian besar penulis Thailand, Unesco memilih kota Bangkok karena tempat lahirnya S.E.A.Write Award tersebut. Sebagaimana kebanyakan perempuan lainnya, Oka Rusmini kecil tumbuh dalam disiplin menulis buku harian yang ketat. Ia pun gemar dengan beragam jenis buku semenjak usia dini. Apalagi latar sosial dan ekonomi keluarganya memang mendukung pengadaan stok pengetahuan berupa buku-buku. Boleh jadi sebuah keberuntungan tersendiri Volume XI Nomor 2/2016 | matajendela
19
bagi Oka Rusmini karena ia dilahirkan di dalam lingkungan keluarga yang secara sosial mempunyai kasta tinggi, yakni brahmana. Hanya saja, yang menarik dari perkembangan karya sastra buah tangan Oka Rusmini adalah betapa progresivitas tema eksistensial di dalam karya-karyanya juga mengedepan begitu hebat. Di dalam karya-karyanya, eksistensi seseorang dalam konteks tubuh personal dan tubuh sosial ia eksplorasi habis-habisan. Karya-karyanya jelas menyiratkan pertanyaan mengenai arti kesejajaran antara laki-laki dan perempuan, antara manusia dan alam, hubungan dekat antara manusia dan agama, sampai pada hubungan yang kompleks antara manusia dan budaya yang melingkupinya. Membaca karya-karyanya, siratan perenungan atas sejumlah pertanyaan yang berjalan mencari arti kesejajaran dan beragam hubungan sebagaimana disebutkan di atas membuat pembaca menjadi tergugah. Menjadi ikut merenungkan relasi atau hubunganhubungan eksistensial tersebut. Kegemarannya menulis secara serius semenjak remaja pada akhirnya mempertajam amatan Oka Rusmini terhadap lingkungan, terhadap kehidupan sosial, budaya, agama, dan apa pun yang tumbuh di sekitarnya. Oka Rusmini adalah tipe manusia kreatif yang tepat dalam menyalurkan bakat menulisnya. Di era remaja, di masa SMP di SMPN 1 Denpasar, ia juga beruntung mempunyai guru yang bernama GM Sukawidana, yang mengetahui potensi atau bakat terpendam kegemaran menulis di buku harian. Oka Rusmini yang di masa remaja mempunyai kecenderungan introvert, sesudah bergabung dengan sanggar seni yang ada di sekolahnya, ia semakin dikenal.
20
Ia pun menjadi kerap memublikasikan karya-karyanya ke koran lokal yang ada di Bali yaitu Bali Post. Di masa SMP pula, salah satu tonggak karya kolektifnya bersama teman-temannya adalah dengan menerbitkan buku berjudul Rindu Anak Mendulang Kasih pada 1987. Seiring perjalanan waktu, menginjak usia SMA, Oka Rusmini semakin yakin dengan karier kepenulisannya. Apalagi semenjak lulus SMA ia diterima untuk kuliah di Fakultas Sastra Universitas Udayana Bali. Tak diragukan lagi bahwa orientasi kepenulisannya dalam karya sastra semakin mengerucut. Dan setelah lulus kuliah, secara resmi ia menjadi wartawan Bali Post. Kini, ia pun menduduki jabatan sebagai redaktur sastra koran tersebut. Untuk bisa mencapai karier kepengarangan yang mapan seperti sekarang, tentu saja tapakan perjalanan kepengarangan Oka Rusmini penuh dinamika. Meskipun ia lahir dari sejarah keluarga yang berkasta tinggi, terfasilitasi hidupnya, namun dalam hal pilihan kreativitas sesungguhnya tidak begitu disetujui keluarga besarnya. Orang tuanya lebih mengharapkan Oka Rusmini bisa menempuh karier di dunia kedokteran. Namun, keteguhan pilihannya yang keras atas dunia kepengaranganlah yang membuat ia tetap gigih menekuni karier sebagai penulis. Tilikan sekilas atas petilan riwayat kepengarangan Oka Rusmini tersebut memang membuatnya menyadari bahwa dalam menulis selalu mempunyai tingkatan kesulitan yang berbeda. Kesemua itu teratasi dengan baik karena ia memang mempunyai naluri yang kuat sebagai wartawan, sebagai pencatat dan pendokumentasi peristiwa yang ada di
... Sebuah pesta dimulai. Perempuan dan laki-laki menanam manusia di rahim bumi. “Kau ikut? Menjadi petani? Beternak manusia?” Lelaki itu datang bercucuran air mata. Setumpuk kitab terbuka menyiram tubuhku. Mana tubuhnya? Matanya tinggal serpihan kecil. Ibunya telah
masyarakat, yang ia transformasi dalam bentuk fiksi. Salah satu keberuntungan besar yang dirasakan Oka Rusmini adalah bahwa ketika ia tumbuh sebagai remaja di Bali, kakek dan neneknya memberikan referensi yang begitu dalam mengenai aspek yang berkaitan dengan kesejarahan kaum bangsawan Bali, ragam kitab kuno, ragam ilmu gaib, sampai pada seni penguasaan pembuatan arca-
menanam impian keliaran dengan dongeng yang terus berputar tentang lapar tanah-tanah yang dipagari ulat-ulat. “Dia telah membunuh seorang perempuan dan dua anaknya.” Kubuka meja. Sebuah permainan mulai digelar. Aku terjebak. Dan makin rajin membakar usia.
arca. Dalam keseharian, ia pun bertemu dengan upacara adat yang amat bernuansa mistis, kenyataan hidup sehari-hari yang membelit, tentu menjadikan semakin matang jika diolah menjadi basis inspirasi kepengarangan. Berbagai benturan kehidupan manusia Bali dan budayanya, manusia Bali dan agamanya, manusia Bali dan lingkungannya, ia olah sedemikian rupa menjadi karya yang memikat. Terlebih
lagi ia adalah sosok perempuan. Sebagai perempuan tentu banyak objek cerita menarik yang bisa ia kerjakan. Oleh sebab itulah, kontras yang selalu mengedepan di dalam karya-karyanya adalah soal perambahan benturan antara hak hidup perempuan Bali yang wajar sebagaimana perempuan lainnya namun terkungkung oleh adat maupun sistem patriarkhi yang menguat di Bali. Untuk itu jugalah ia tetap harus menuliskannya, itulah tugas kebersamaan hidup yang bagi Oka tidak sekadar bernilai orientasi komersialisme, tetapi yang lebih penting adalah mendiskusikan, menggedor paradigma pembaca, mengajak pembaca berpikir kritis. Simak kutipan puisi bergaya prosa berjudul Kupu-kupu karya Oka Rusmini berikut ini: ... Sebuah pesta dimulai. Perempuan dan laki-laki menanam manusia di rahim bumi. “Kau ikut? Menjadi petani? Beternak manusia?” Lelaki itu datang bercucuran air mata. Setumpuk kitab terbuka menyiram tubuhku. Mana tubuhnya? Matanya tinggal serpihan kecil. Ibunya telah menanam impian keliaran dengan dongeng yang terus berputar tentang lapar tanah-tanah yang dipagari ulat-ulat. “Dia telah membunuh seorang perempuan dan dua anaknya.” Kubuka meja. Sebuah permainan mulai digelar. Aku terjebak. Dan makin rajin membakar usia. Dalam amatan Oka Rusmini pula,
persoalan perspektif kasta di Bali, sejak era 1990-an, menurutnya sudah mulai bergeser. Dulu kondisinya sama dengan di Jawa, betapa darah biru menjadi bernilai amat spesial dalam kehidupan sosial yang luas. Tetapi, menurut Oka Rusmini, “Uniknya Bali, orang-orang bangsawan (orang Bali menyebutnya tri wangsa: brahmana ksatria, dan wesia) di Bali masih dihormati sepanjang mereka juga bisa menempatkan diri di tengah kemajemukan masyarakat. Bagi saya, semua kebudayaan itu sama, segala sesuatu yang membuat ‘ribet’ akan tergerus zaman. Pada novel Tempurung hal itu bisa dilihat, yang saya buat ketika beragam hal sudah menjejal Bali.” Tak kenal lelah Oka Rusmini terus menyosialisasikan karya-karyanya yang juga sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, baik Inggris, Jerman, Jepang, Swiss, dan yang lain. Tentu, itu belum puncak, karena ia masih punya harapan bisa divisualisasikan juga misalnya menjadi film. Menjadikan Bali sebagai wacana yang terbuka sebagai basis gagasan tentu amat bagus untuk terus didialektikakan ke publik yang lebih luas. Meskipun dulu keluarganya tidak merestui Oka Rusmini menggeluti dunia sastra secara serius, namun anak dari ayah Ida Bagus Gede dan ibu Ida Ayu Werdi serta istri dari sastrawan dan kurator senirupa Arif Bagus Prasetyo ini bagaimana pun telah membuktikan diri sebagai pejuang literasi yang handal. Komitmen kuat Oka Rusmini terus berjalan hingga sekarang, hingga menulis benar-benar menjadi pilihan merdeka atas jalan hidupnya. Tentu saja, bukan bernilai sebagai sebuah pastu. Sebuah kutukan. Satmoko Budi Santoso, Redaksi
Volume XI Nomor 2/2016 | matajendela
21
Nyastra di Yogya: 1 Bersastra Kita Bahagia Aprinus Salam
W
alaupun belum ada penelitian tentang frekuensi kegiatan sastra di Indonesia, barangkali bisa dikatakan bahwa kegiatan sastra di Yogya merupakan kegiatan paling padat di Indonesia. Kegiatan itu meliputi jumlah karya yang terbit, kegiatan baca puisi dan cerpen, musikalisasi puisi, teaterisasi cerpen atau novel, monolog, workshop sastra, diskusi, seminar-seminar, berbagai lomba penulisan sastra, hingga aksi-aksi insidental baca puisi di pemancingan, pinggir jalan, baca cerpen di candi-candi, dan sebagainya. Kantong-kantong seni dan sastra di Yogya antara lain Tembi, Komunitas Malioboro, Komunitas PKKH, PSK, IAIN, UAD, Rumah Budaya EAN, juga, hampir di setiap perguruan tinggi memiliki komunitas sastra. Hal tersebut belum terhitung komunitas teater, yang sangat berimpitan dengan sastra. Berdasarkan catatan terdapat sekitar 5281 organisasi/komunitas seni (terutama seni tradisi), termasuk sastra di Yogya. Ada 261 penghargaan untuk seniman dan budayawan, 487 seniman dan budayawan, dan puluhan perlombaan penulisan ataupun baca puisi atau cerpen. Orang-orang yang terlibat juga ribuan, mulai dari mereka yang masih sangat remaja hingga mereka yang sudah berumur 70 tahunan. Yang paling aktif, dan saya ingin memberi penghargaan kepada beliau antara lain Tegoeh Ranusastra yang hampir berumur 70 tahun. Prof. Djoko Pradopo, penyair senior, yang kini berumur 76 tahun, setahun belakangan ini sudah cukup jarang terlihat di acara sastra. Biasanya beliau selalu hadir berkendara motor, duduk mengikuti dengan khusuk. Bambang Darto, Fajar Suharno, sekali-sekali masih kelihatan. Dengan rambut yang memutih berkibar, beliau-beliau masih memberi energi positif kepada kehidupan sastra di Yogya. Beberapa sastrawan dan penyair/penggila sastra dari Magelang, Klaten, Purworejo, Purwokerto, Solo, dan sejumlah kota yang cukup berdekatan dengan Yogya, banyak di antara mereka yang berusaha menyempatkan diri nyastra di Yogya. Tulisan ini mencoba membicarakan beberapa hal, antara lain, bagaimana suasana nyastra di Yogya; siapa saja mereka yang aktif; topik diskursif apa yang berkembang; dan bagaimana kemungkinan “ruang batin” nyastra di Yogya.
1 Istilah Bersastra Kita Bahagia saya pinjam dari ungkapan sahabat saya penyair pengelana Mas Bambang Eka Prasetya. Dia akan mengunjungi/menghadiri acara sastra di manapun, sejauh bisa dia jangkau, baik naik motor ataupun naik kereta api, bahkan pernah juga naik sepeda.
22
Nyastra di Yogya Seperti telah disinggung, kegiatan sastra itu meliputi acara panggung sastra, diskusi/ seminar/workshop, penulisan/penerbitan karya. Akan tetapi, istilah nyastra yang saya maksud adalah suatu kegiatan/acara baca puisi atau cerpen, atau musikalisasi puisi, atau mungkin ada diskusinya. Sangat jarang kegiatan seperti itu bisa dilakukan pada siang hari, karena, biasanya, yang namanya nyastra itu malam hari. Apakah malam lebih nyastra daripada siang? Itulah sebabnya, kalau bisa, jangan menyelenggarakan acara baca cerpen atau puisi pada pagi hari atau siang. Nyastra di Yogya itu yang paling penting bisa kumpul-kumpul. Kemudian, ketika berkumpul itu bisa ngobrol tentang kesehatan, keris, akik, hotel, makanan, lalu-lintas, sepak bola, hantu, hingga tetek mbengek lainnya. Pada umumnya, mereka jarang bicara politik atau ekonomi. Bukan mereka tidak mengetahui atau mencermati masalah ekonomi atau
politik, tetapi mereka tidak cukup tertarik mempersoalkan itu sebagai bahan diskusi.
Emha Ainun, Linus Suryadi, Kuntowijoyo, selintas-selintas akan bermunculan.
Hal tersebut tampaknya, ketika ia menjadi sastrawan atau seniman, mereka ingin terlihat independen. Tampaknya mereka sangat hati-hati atau menghindar bicara politik, karena khawatir jika mereka terlihat berafilisasi dengan partai politik. Dalam tradisi sastra Yogya, afiliasi seniman terhadap politik memang agak tabu, walau belakangan ini banyak juga seniman dan sastra Yogya menjadi corong partai politik tertentu.
Di antara yang paling memikat kalau sedang bercerita, tentulah Emha. Beliau, kalau sedang membicarakan Umbu, maka kosa kata kekaguman pada presiden Malioboro itu keluar. “Umbu itu, orangnya seperti elang, matanya seperti elang, jangkung, berpakaian atas bawah “blue jeans biru”, rambut gondrong klimis. Jangan tanya dia kaya atau misikin. Dia itu pangeran, Umbu itu nama pangeran, kudanya ratusan di kampungnya. Dia nyimpan uangnya di tanah”. Mungkin Emha bisa membicarakan itu hingga pagi.
Dari berkumpul itu, sebagian bernostalgia tentang kehidupan sastra pada tahun 1970an, atau 1980-an. Mereka yang senior, ketika berbicara tentang sastra Yogya tahun 1960-an akhir hingga 1980-an, bukan mau pamer kejayaan, tapi lebih sebagai satu proses “transfer” ideologi untuk menjadi seniman. Maka, nama-nama Umbu Landu, Umar Kayam, Rendra, Putu Wijana, Subagio Sastrowardoyo, Sapardi DD,
Kadang, saya melihat tidak penting apa yang terjadi di pangung acara, tidak penting bagaimana seseorang membaca puisi atau cerpen, tidak penting puisi atau cerpen apa yang dibacakan. Mereka akan dilihat sekilas, kemudian yang hadir berbicara kembali dengan teman di samping, atau kembali memainkan gejetnya. Mungkin Volume XI Nomor 2/2016 | matajendela
23
ada satu dua yang mengambil foto untuk di uploud. Situasi itu pun diketahui oleh para pemanggung. Mereka yang baca puisi dan cerpen, tidak akan tersinggung jika ketika mereka aksi, tidak ada yang cukup memperhatikan. Bagi mereka yang manggung bisa kumpul itu adalah kenikmatan. Biasanya, acara nyastra itu diikuti semacam diskusi karya. Tidak ada pembicaraan yang serius dalam diskusi tersebut, pun tidak ada kritik yang tajam. Biasanya diskusi hanya bersifat formalitas, basa-basi, dan sedikit memuji. Jika ada pembicara yang melakukan kritik, maka biasanya pembicara itu nanti tidak diminta lagi jadi pembicara. Itulah sebabnya, dari kebiasaan nyastra ini, tradisi kritik di Yogya tidak cukup berkembang. Bukan saja yang melakukan kritik menjadi sangat sungkan, tetapi penulisnya juga tidak terbiasa dikritik. Implikasinya, karya sastra di Yogya hampir tidak pernah mendapatkan kritik yang penting. Ideologi kebersahajaan, yang penting nulis, sedikit bisa dibaca dan mendatangkan kegembiraan (dan kebahagian), sudah cukuplah. Memang, 24
karena acara nyastra yang terlalu padat, saya menduga kegiatan yang padat tersebut mengurangi produktifitas para sastrawan. Mungkin sebagian tetap produktif, tetapi tentu menjadi sedikit berbeda jika sebuah karya sastra ditulis dengan kesuntukan yang penuh. Namun, bukan berarti tidak ada sastrawan dan buku sastra yang unggul di Yogyakarta. Beberapa sastrawan seperti Agus Noor, Dahlia Rasyad, adalah pengarang Yogya dan karyanya memenangkan sejumlah perlombaan. Tampaknya, proses kreatif mereka melalui mekanisme tersendiri. Bukan bagian dari mereka yang senang nyastra dan kumpul-kumpul, atau ngumpulnya di tempat lain. Artinya, terdapat juga mekanisme elitisasi dan berbau eksklusif, tetap ada yang menganggap bahwa nyastra kumpul-kumpul itu tidak penting. Beberapa Profil Secara ekonomi, seniman dan sastrawan yang nyastra di Yogya tidak cukup mengggembirakan. Walaupun mereka bisa hidup pantas, bisa menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi, tetapi secara keseluruhan hidup mereka sangat bersahaja.
Mutmainah Mutu Sumber: Dokumentasi Tembi News Berita dan Rumah Budaya
Lukni Maulana Sumber: Dokumentasi Tembi News Berita dan Rumah Budaya ...........................
Implikasinya, karya sastra di Yogya hampir tidak pernah mendapatkan kritik yang penting.
Iman Budi Santoso, salah seorang empu penyair Yogya, hingga kini hidup ngontrak kamar/kos di bilangan selatan Yogya. Akan tetapi, dari wajahnya, terlihat selalu bahagia, sehat, dan produktif menulis puisi dan berbagai tulisan. Mustofa W Hasyim, yang jika ikut lomba puisi dan pasti menang, selalu ke mana-mana diantar naik motor atau justru berjalan kaki. Budi Sarjono, penulis 40-an novel dan sekitar 300-an cerpen, selalu hadir tepat waktu di setiap acara sastra dan selalu tersenyum. Beberapa sastrawan yang lebih muda, seperti halnya Toto Sugiarto dan Satmoko, kesederhanaan dan kebersahajaan hidupnya bisa dilihat dari penampilan mereka. Toto Sugiarto tampak seperti orang kurang percaya diri, dan selalu merasa bersalah, tetapi kita tahu banyak orang yang sayang kepadanya karena mereka orang yang jujur, sedikit pendiam, dan tidak pernah memperlihatkan kekecewaan terhadap kehidupan. Terdapat semacam ideologisasi untuk para seniman, sastrawan, dan budayawan di Yogya untuk tidak terlalu mengindahkan harta duniawi. Ideologisasi itu tampaknya sudah dimulai dari generasi Subagio Sastrowardoyo dan Umar Kayam. Kita tahu, hingga akhir hayatnya, nama sebesar Umar Kayam, misalnya, yang pernah menjabat sebagai Dirjen RTF, dan Guru Besar di UGM, maka ketika beliau meninggal, beliau meninggal sebagai orang yang sederhana dan bersahaja. Ideologisasi menolak duniawi itu bahkan mengkristal pada generasi Persada Studi Klub. PSK (tahun 1970-an hingga 1980-an awal) melakukan berbagai proses ideologisasi dengan berbagai laku membentuk para
seniman dan sastrawan Yogya menjadi berkarakter, dalam pengertian menjadi seorang yang sabar, mau bekerja keras, jujur, dan fokus. Ideologisasi itu tampaknya masih secara “turun temurun” dirasakan pada acara nyastra di Yogya.2 Belum lama berselang, misalnya, dalam suatu acara nyastra, Emha kembali menggarisbawahi; Pekerjaan sastra itu pekerjaan rohaniah. Penyangga nilai-nilai peradaban itu ada pada hal-hal yang dikerjakan oleh para sastrawan dan penyair. Sebagai pekerjaan rohaniah, kadang, dan hampir pasti, tidak dihargai oleh duniawiah. Tapi harus ada yang mengerjakan pekerjaan rohaniah itu, dan itu hukumnya wajib. Nah, yang Anda kerjakan itu menyebabkan dunia tidak batal hidupya”.3 Dalam acara-acara nyastra sejenis, sering dihadiri anak-anak muda, dengan muka berseri-seri, berharap mendapat fatwa dari para empu sastra Yogya, dan nanti selesai acara dengan malu-malu kucing mereka minta foto bareng. Saya tahu, itulah kesempatan Iman Iman Budi Santoso untuk sedikit menjadi seleb. Kalau Emha memang selebriti dia itu. Hal penting yang ingin disampaikan adalah bahwa proses ideologisasi dan karakterisasi secara
2 Untuk pembicaraan ini lihat buku Persada Studi Klub dalam Arena Sastra Indonesia (2015), tulisan Saeful Anwar. 3 Diskusi kecil dalam peringatan meninggalnya Ragil Suwarna Pragolapati, Korrie Layun Rampan, dan Adhi Supho di Rumah Budaya EAN, pada 26 November 2015.
Volume XI Nomor 2/2016 | matajendela
25
sangat signifikan telah, tengah, dan terus berlangsung. Tahun 1980-an akhir hingga 1990-an dan 2000-an, generasi baru bermunculan, baik mereka yang sempat berguru langsung pada sastrawan PSK ataupun berguru dalam komunitas-komunitas nyastra di perguruan tingginya masing-masing. Maka bermunculan nama-nama seperti Hamdy Salad, Mathori A Elwa, Otto, Ahmad Syaibuddin Alwi (almarhum), Abdul Wachid, Toto Sugiarto, dan sebagainya. Ideologisasi dan proses kreatif terjadi di komunitas nyastra masing-masing. Tampaknya, kepenyairan dan perpuisian di Yogya lebih kuat daripada prosanya. 26
Hal itu bisa dibuktikan bahwa kita bisa dengan mudah menyebut puluhan atau ratusan penyair, tetapi mengalami kesulitan untuk menyebut belasan penulis prosa. Di antara sastrawan generasi 1990-an hingga 2000-an yang disebut di atas adalah para penyair. Mathori sempat berguru langsung dengan Ahmaddun dan Emha Ainun. Kebanyakan puisi generasi 1990-an hingga 2000-an bernafas sufis.4 Sekarang Mathori tampak semakin nyufi dengan karakter yang matang, juga tampak lebih ikhlas.
4 Untuk penjelasan yang mendalam tentang ini lihat Aprinus Salam dalam Oposisi Sastra Sufi, Yogyakarta: LKiS, 2003.
Diskusi Sastra PKKH Badrul Munir Chair Sumber: http://pkkh.ugm.ac.id/diskusi-sastrapkkh-badrul-munir-chair/ ...........................
Bila ada lomba penulisan sastra (puisi dan prosa), maka bisa dipastikan jumlah yang menulis puisi tiga atau empat kali lipat dibanding prosa. Pengalaman menjadi juri puisi, maka muka-muka baru selalu bermunculan dan sebagian puisi relatif remaja dan penuh dengan puisi cinta picisan dan/atau cinta buta. Saya tidak terlalu optimis dengan mekanisme ini, karena, sejauh yang bisa saya ingat, sangat jarang mereka bisa bertahan menjadi
Hampir tidak ada cerpen yang memberikan “pengalaman baru”, apalagi cerpen yang berkadar ekstasi, yang bikin gemetar dan sakau.
penyair jika mekanisme yang mereka tempuh adalah mekanisme lomba. Akan tetapi, tentu bukan itu yang penting. Mekanisme lomba diharapkan justru pada upaya-upaya pencapaian, bukan pada regenerasi itu sendiri. Sementara itu, berdasarkan pengalaman menjadi juri, cerpen yang berbobot juga semakin langka. Banyak yang menekankan maksud cerita daripada bercerita itu sendiri. Kecenderungan lain, cerita disampaikan dalam narasi atau dialog. Secara substansi, cerita berkisar pada persoalan pengalaman sehari-hari yang tidak cukup layak diceritakan karena secara relatif semua orang mengalami.
Namun, hal penting dari cerpen/prosa adalah cara atau teknik bercerita. Banyak cerpen terjebak pada konvensi-konvensi yang sudah sangat dikenali sehingga eksplorasi diksi, sintaksis, alur, penokohan, bahkan tema, hampir tidak dijumpai. Hampir tidak ada cerpen yang memberikan “pengalaman baru”, apalagi cerpen yang berkadar ekstasi, yang bikin gemetar dan sakau. Atau, mungkin saya perlu melihat secara lain, bahwa memang begitulah tuntutan zaman. Generasi sastra baru bermunculan dengan wajah populer dan easy going. Zaman semakin mudah, generasi baru tidak mengalami “kesukaran” hidup yang membuat mereka harus menderita, dan
kritisisme yang semakin ditumpulkan oleh kenyamanan. Selain itu, ruang-ruang semakin dikonstruksi oleh kapitalisme sehingga imajinasi menerobos ruang baru sulit dilakukan. Diskursif Novel Yogya Beberapa penulis senior masih menulis seperti Budi Sarjono dan Joko Santoso. Yang menarik adalah kecenderungan untuk “menulis ulang” hal-hal yang berbau sejarah di satu sisi, dan hal-hal mistis di sisi yang lain. Dengan beberapa novel yang termasuk belakangan, Budi Darjono menulis Nyai Gowok dan Sang Nyai 1 dan 2, dan sejumlah novel lainnya. Sementara itu, Joko Santoso menulis Sihir Pembayun, Maria Zaitun, dan sebagainya. Untuk generasi Volume XI Nomor 2/2016 | matajendela
27
1990-an dan 2000-an, antara lain Toto Sugiarto, dan diikuti Rahmad Widodo yang belakangan menulis prosa/novel. Beberapa karya Toto Sugiarto antara lain Semar Mesem, dan lain-lain. Sementara itu, R. Widodo menulis Gadis-Gadis Amangkurat. Seperti telah disinggung, tidak ada yang istimewa dari hal pencapaian teknis. Kelebihan yang bisa disebut adalah keberanian mereka untuk memberikan tafsir yang berbeda terhadap sejarah mainstream. Kecenderungan tafsir yang jauh berbeda dari sejarah hegemonik tersebut juga telah diperlihatkan oleh Ananta Toer dengan novel Arok Dedes-nya. Kemudian, sebagian dari kita mulai mengira-ngira, dan menjadi kabur, batas mana yang benar dan mana. Atau, kita tidak lagi mempersoalkan mana yang benar dan mana yang melenceng. Sejarah menjadi bahan cerita
itu sendiri. Sejarah menjadi bahan untuk peralatan politik dan perkelahinan wacana. Persoalannya, kenapa pilihan sesuatu yang berbau, bahkan sebagian eksplisit, terhadap hal-hal sejarah, menjadi pilihan dominan bagi sastrawan Yogya. Ada beberapa kemungkinan. Pertama, ini pilihan strategis untuk menata kekecewaan terhadap keterlanjuran sejarah yang mengharu-biru. Dalam menata kekecewaan tersebut, hal-hal yang bersifat emosional dan subjektif, mereka yang disalahkan dan mungkin dikalahkan, mendapat pembelaan. Asumsinya, kalau sejarah berjalan seperti yang difiksikan tersebut, maka kita tidak hidup seperti sekarang ini. Kemunginan kedua, berkaitan dengan hal pertama, sebagai upaya negosiasi dan rekonsiliasi. Memang sejarah tidak bisa
ditarik mundur dan disetel ulang, tetapi paling tidak ada upaya peredaan emosional terhadap implikasi sejarah sehingga sangat mungkin berbagai hal permusuhan dan dendam dapat diminimalkan untuk menuju rekonsiliasi yang lebih menyamankan hidup. Ketiga, hal sejarah juga berkaitan dengan “penelusuran” kembali sesuatu yang bersifat identitas, karakter, dan kepribadian. Secara keseluruhan situasi itu apa yang kemudian disebut sebagai politik identitas. Hal ini juga berkaitan dengan diskursif besar yang diusung negara, misalnya dengan teman besar kembali ke tradisi lokal, pun apa yang kemudian disebut kearifan lokal. Sementara itu, kecenderungan hal-hal mistis juga menarik menjadi perhatian. Dalam kesempatan ini, cukuplah saya
Zaman semakin mudah, generasi baru tidak mengalami “kesukaran” hidup yang membuat mereka harus menderita, dan kritisisme yang semakin ditumpulkan oleh kenyamanan.
28
Diskusi Sastra PKKH Gunawan Maryanto Sumber: http://pkkh.ugm.ac.id/diskusi-sastrapkkh-gunawan-maryanto/
...........................
katakan bahwa beberapa novel yang sempat saya cermati seperti karya Budi Sarjono an Jako Santoso, pengarang lebih mendempatkan dirinya sebagai orang yang berusaha bertahan menjadi orang tradisi, di tengah terpanaan modernitas. Sebagai kasus, hal-hal mistis diupayakan hidup berdampingan dengan modernitas. Secara alur, kejadian mistis dimanfaatkan untuk pengembangan alur. Itu artinya, dalam beberapa sisi, pengarang lebih
senang bertahan dalam ketradisian dan kemistisannya untuk melihat modernitas. Bersastra Kita Bahagia Dengan demikian, pertaruhan sastra Yogya, tidak dalam konteks lomba, bukanlan pertaruhan pencapaian. Baik dalam berpuisi, maupun berprosa, nyastra dalam pengertian eksternal jauh lebih penting daripada karya sastra itu sendiri. Bahwa bersastra itu memang ingin mendapatkan kebahagiaan adalah muara bersama yang ingin dicapai. Sambil berseloroh mereka akan mengatakan arep golek opo meneh toh.
mendapat kabar ada beberapa pihak yang merasa tidak nyaman/kurang bahagia dengan acara tersebut. Karena alasan bahwa kita semua ingin nyaman dan bahagia, maka acara tersebut pun digeser topik dan tempatnya. Begitulah sastra dan nyastra di Yogya, situasi kebahagian bersama jauh lebih penting daripada sastra itu sendiri. Maka, demikianlah, kenikmatan bersastra apa lagi yang engkau dustakan…. Aprinus Salam, penikmat sastra, kepala Pusat Studi Kebudayaan (PSK), dan dosen Pasca Sarjana FIB UGM.
Kita juga punya pengalaman. Beberapa waktu selang, ketika akan menyelenggarakan sastra waria, kita Volume XI Nomor 2/2016 | matajendela
29
Gunung Padang, Kisah Prabu Siliwangi dan Lemuria Fandy Hutari
Konon di tempat ini dahulu akan didirikan istana Raja Siliwangi. Istana ini harus selesai dibangun dalam satu hari satu malam, tetapi sampai matahari terbit dan ayam berkokok istana belum juga selesai, maka tempat ini lalu diberi nama padang atau siang, maksudnya kesiangan (Bintarti, 1981: 28).
S
ENJA turun perlahan, saat saya sampai di Dusun Gunung Padang, Karyamukti, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, setelah menempuh perjalanan 8 kilometer dari Stasiun Lampegan, menggunakan jasa ojek. Sebelum malam menyergap, saya mencari rumah penduduk, untuk sekadar bermalam dan melepas lelah. Esok, saya akan mendaki ke atas Gunung Padang. Sebuah situs megalitikum terbesar, yang gerbangnya hanya berjarak 200 meter dari rumah penduduk tempat saya menginap.
Situs megalitikum Gunung Padang berdiri kokoh 885 meter di atas permukaan laut. Sejatinya, situs ini bukan gunung, tapi sebuah bukit. Untuk naik ke puncak, ada dua tangga yang bisa dipilih pengunjung. Satu tangga yang agak landai, berjarak 300 meter ke arah puncak. Dua tangga curam dengan batuan yang tak rata, berjarak 185 meter ke arah puncak. Perjuangan mendaki anak tangga terbayar tuntas ketika melihat hamparan batu purba yang indah berserak di puncak. Mirip suasana dalam serial animasi The
Flintstones. Ada lima teras di puncak Gunung Padang. Setiap teras diisi batuan berbentuk balok, umumnya berpenampang segi lima. Susunannya ada yang tertata mirip ruang-ruang, ada yang berantakan tak terpola. Di teras kedua, saya bertemu salah seorang pemandu dari Forum Peduli Situs Gunung Padang, Zaenal. Telusur teras-teras “Setiap teras mempunyai fungsi dan peranan masing-masing. Kalau (teras satu) ini salah satu kegiatan di bidang ritual,” kata Zaenal.“Jenis batuannya andesit.”
Sumber: http://travelling-qu.blogspot. co.id/2013/07/objek-wisata-situs-gunungpadang.html#.V2SnYVLRuM8
30
Zaenal mengatakan, bangunan di Gunung Padang yang berpola dibangun pada masa Megalitikum. Lalu, kerajaan-kerajaan di tatar Sunda memanfaatkan situs ini sebagai tempat ritual. Di sini, ada ruang yang dibatasi bebatuan. Dan, ada pula batu-batu yang menumpuk, mirip gunung kecil. Ruang yang dibatasi bebatuan itu, kata Zaenal, dahulu dimanfaatkan untuk ritual. “Itu di pojok batu dolmen,” kata Zaenal menunjuk sebuah batu besar yang bagian atasnya agak datar, dan berwarna kecokelatan. Menurut dia, dolmen itu digunakan sebagai tempat menaruh sesaji. Sedangkan bebatuan yang menumpuk mirip gunung kecil itu, penduduk lokal menyebutnya gunung masigit. “Indikasi masigit sendiri kalau kita ibaratkan salah satu tempat yang mereka anggap disucikan diganti dengan ritual atau beribadah.” Dalam bahasa Sunda, masigit berarti masjid. Di teras pertama ini, ada dua batu balok yang tergeletak berdekatan, dan menarik perhatian pengunjung. Batu ini, bila diberikan ketukan keras, akan mengeluarkan bunyi. Jika diketuk berkalikali, bunyinya mirip alat musik gamelan.
“Itu batu untuk mengiringi kegiatan ritual mereka di zaman dahulu,” katanya. “Kalau kita lihat posisi panjang dan tebalnya memengaruhi mengeluarkan suara, dipukul secara berurutan tangga nadanya memang kedengaran.” Zaenal mengatakan, bunyi di batu itu karena kadar besi yang sangat tinggi. Bebatuan berbentuk balok banyak menumpuk di dinding teras dua. Puingpuing batu itu, kata Zaenal, untuk menyangga teras kedua. Hal ini merupakan teknik supaya mempertahankan batuan yang ada di atasnya. “Dia juga sudah mengenal sistem kuncian, jepitan, dan pelekat. Dan menggunakan semen purba,” kata dia. Di bagian tengah, ada batuan berjejer menuju ke atas, mirip anak tangga. Namun, kondisinya sudah agak rusak, dan bentuknya tak lagi terlihat jelas. “Dulu untuk ke teras dua bisa melewati tangga yang tengah. Batu yang berdirinya itu gerbangnya,” kata Zaenal. Menariknya, anak tangga ini segaris dari bagian awal teras pertama hingga teras terakhir. Tangga tersebut, tak bisa dinaiki sekarang. Pengunjung hanya bisa melalui tangga buatan atau jalan kecil menanjak di sebelah kanan dan kiri badan teras kedua.
Di teras kedua, panorama indah akan terlihat. Di teras ini, bebatuan berserak di bawah sebuah pohon besar yang rindang. Ada beberapa batu yang berdiri berjejer. Zaenal menuturkan, di sini dahulu dijadikan tempat untuk mengadakan pertemuan. Di batas antara teras kedua dan ketiga, ada sebuah batu yang berukir. Mirip senjata tradisional Pasundan, kujang. “Kalau kajian secara arkeologi ini benarbenar dibentuk. Sudah ada campur tangan manusia,” kata Zaenal. Menurutnya, kujang tersebut ada hubungannya dengan keberadaan Kerajaan Pajajaran. Di teras ketiga ada satu batu besar yang juga membentuk cengkeraman tangan (mirip tangan harimau), tumit, dan tongkat. “Ini tapak maung. Ini dibentuk secara sengaja sebagai tanda bahwa tempat ini pernah dimanfaatkan oleh kerajaan mereka.” Di teras keempat, batuannya sangat jarang. Hamparan rumput dan sedikit batu saja yang ada di sudut teras. “Di situ tadinya ada salah satu batu yang digunakan untuk ujian (kekuatan). Masyarakat lokal menyebutnya batu kanuragaan,” kata Zaenal. Saat saya ke sana, batu tersebut tak ada. Sebab, kata Zaenal, sedang dibawa oleh para peneliti. Berat batu itu, kata Zaenal, sekitar 60
Volume XI Nomor 2/2016 | matajendela
31
kilogram. Batu tersebut diamankan, karena takut rusak atau menjadikan pengunjung percaya dengan benda mati. Di teras kelima yang merupakan teras terakhir, terdapat bebatuan yang berada tepat di tengah. “Masyarakat menyebutnya batu singgasana,” kata Zaenal. Menarik, mendengar pernyataan Zaenal yang menyebutkan, di dekat batuan ini orangorang bisa melihat jelas perjalanan bulan dan bintang dengan sangat bagus. “Untuk teman-teman astronom, lebih tertarik melakukan riset di sini.” Menurut Zaenal, di sini juga ada batu yang tak bisa terdeteksi kompas. Batu itu, kata dia, sedang “diamankan” oleh tim peneliti. Luas situs Gunung Padang sendiri sekitar 4 ribu meter persegi. Namun, sesungguhnya, jika seluruh bangunan ini digali tuntas, kata Zaenal, bisa mencapai 29 hektare. Menariknya lagi, situs ini diapit oleh 5 gunung kecil, yakni Gunung Batu di utara, 32
Gunung Karuhun di barat, Gunung Empet dan Gunung Melati di selatan, dan Gunung Pasir Malang di timur. Orientasinya mengarah ke Gunung Gede-Pangrango. Dari teras kedua, pemandangan Gunung Gede-Pangrango akan terlihat sangat jelas, dan mengarah lurus. Kisah Prabu Siliwangi dan Lemuria Menjelang malam, saya bertemu dengan Nanang. Pria berusia 41 tahun ini adalah Juru Pelihara Situs Gunung Padang. Nanang sudah banyak menyimpan kisah di punden berundak hasil karya moyang kita dahulu. Dia sudah menjadi “abdi” Gunung Padang sejak 1996 lalu. Nanang tak menampik banyak orang yang datang ke situs ini untuk ritual hingga sekarang. Menurutnya, ritual ini sebagai aktivitas spiritual untuk mengkaji naluri kita. Dia juga berkisah soal sebuah batu yang membekas cengkeraman, juga tumit. Menurut dia, itu merupakan tapak maung.
“Maung itu sebuah singkatan, ‘manusia unggul’. Itu jejak manusia unggul,” katanya. Nanang yang sangat percaya pada mistisme—bukan mitos—ini mengungkap, manusia unggul itu meninggalkan cekungan 9.9 sendiri, katanya, merupakan unsur kesempurnaan dan angka tertinggi. Dia yakin, manusia unggul ada hubungannya dengan Wali Songo. Namun, beberapa masyarakat meyakini, tapak maung itu adalah jejak Prabu Siliwangi. Prabu Siliwangi merupakan tokoh besar di tanah Sunda. Dia adalah Raja Pajajaran, dan memerintah pada 1482 hingga 1521. Nanang, merujuk pada tokoh masyarakat di Gunung Padang, mengatakan bukit itu pernah dimanfaatkan oleh Prabu Siliwangi. “Saya yakin, ada perubahan fungsi. Mulai dari bukit masigit (bukit kecil berhampar batu di teras satu), singgasana raja itu (batuan mirip kursi di teras lima), termasuk ukiran kujang, tapak maung, mungkin di era itu adanya.”
Sumber: http://www.goodreads.com/book/ show/3010034-atlantis---the-lost-continentfinally-found
Sumber: http://www.goodreads.com/book/ show/3010034-atlantis---the-lost-continentfinally-found
Sumber: http://changepublications.com/buku/ buku-baru/item/323-situs-gunung-padangmisteri-dan-arkeologi ...........................
Perihal batu yang membentuk balokan ratarata sekitar 1,5 meter di situs ini, Nanang mengatakan, itu semua terjadi karena proses alam. “Hasil dari ilmu geologi yang saya kaji, di bawah Gunung Padang ini dulunya, ribuan tahun yang lalu, ada kawah berapi. Kawah berapi tersebut, dulu mengeluarkan lava magma. Mencair, meleleh naik ke atas. Tapi belum sampai ke atas, lava tersebut membeku, terkena atmosfer, mendingin. Sehingga lava tersebut membentuk batubatu balokan yang bentuknya beraneka ragam,” kata dia. Kemudian, menurutnya, batu-batu itu diolah oleh nenek moyang di sekitar Gunung Padang. “Mereka angkut, mereka patah-patahkan, mereka konsep dibangun, benteng-benteng ini, tangga-tanggauntuk naik,” katanya. “Gunung Padang ini perpaduan, buatan alam dan manusia. Buatan alam batunya, buatan manusia struktur bangunannya.”
Soal batu musik yang mengeluarkan nada mirip gamelan jika dipukul, yang ada di teras satu, Nanang mengatakan, batu tersebut bernama batu boning dan batu kecapi. “Itu dalam saya yakin ada hubungan dengan Prabu Siliwangi. Bahkan jauh sebelumnya memang sudah ada,” kata Nanang. Nanang menuturkan, batu itu dimanfaatkan sebagai iringan musik ritual seniman-seniman olah suara. “Menepuk dengan jari di malam hari, mereka mengalunkan batu itu, menimbulkan irama sambil bernyanyi.” Konon, menurutnya, ketika Gunung Padang belum ramai, terdengar bunyi-bunyi seperti gamelan berirama, sekitar 3 kilometer dari puncak.
memiliki peradaban tinggi, tapi hancur karena bencana besar dalam karyanya Timeaeus dan Critias. Pada 2010 lalu, sebuah buku yang ditulis profesor asal Brazil Arysio Santos berjudul Atlantis: The Lost Contonent Finally Found (2010) juga sempat menghebohkan dunia. Dalam buku itu, Santos menulis, “pertama adalah Atlantis Lemuria yang sebenarnya (Ibu yang Perawan) yang terletak di Indonesia dan dihancurkan oleh bencana Toba pada 75 ribu tahun lalu. Kedua adalah Atlantis yang sebenarnya (Putra) dihancurkan oleh letusan Krakatau pada 11.600 tahun lalu di akhir zaman es pleistosen” (Santos, 2010: 99).
Beberapa orang percaya, Gunung Padang adalah sisa dari peradaban maju masa lalu, hasil karya bangsa Atlantis. Bahkan, banyak yang mengatakan, Gunung Padang merupakan pusat peradaban dunia. Filsuf sohor dari Yunani, Plato, pernah menyinggung perihal Atlantis yang sudah
Ilmuwan lainnya, Stephen Oppenheimer juga pernah menulis Eden in the East: Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara (2010). Oppenheimer mengatakan, Sundaland (termasuk Sumatra, Kalimantan, dan Jawa) merupakan tempat peradaban masyarakat Nusantara yang kini telah tenggelam. Volume XI Nomor 2/2016 | matajendela
33
..., tim yang salah satu anggotanya merupakan arkeolog Universitas Indonesia,, Ali Akbar ini, membuktikan usia Gunung Padang lebih tua. Bahkan lebih uzur ketimbang Piramida Giza di Mesir.
Peristiwa banjir besar yang terjadi berkalikali pada 14.500, 11.500, dan 8.400 tahun yang lalu telah membuat peradaban Sundaland punah. Budayawan Tori Heru Saksono merupakan salah seorang yang juga percaya Gunung Padang ada hubungannya dengan peradaban tinggi di masa silam. “Batubatu ini didirikan tidak sembarangan. Ini memerlukan perhitungan. Dengan perhitungan, batu ini memiliki energi. Dia bentuk energi itu sedemikian rupa, terkumpul atau bagaimana, hingga kalau bertemu energi itu bisa menghasilkan energi listrik,” kata Tori saat saya temui di teras kedua menjelang malam. Menurutnya, batu-batu purba di Gunung Padang merupakan generator di masa lalu. “Kalau kita berbicara seperti itu, mungkin cara kita berbeda untuk membangkitkan energi atau listrik. Mereka mengenal biolistrik apalagi listrik magnetik, mereka sudah mengerti itu. Hanya cara mereka berbeda, tidak seperti kita.” Lalu, siapa yang dimaksud mereka dalam pernyataan Tori tadi? “Coba Anda berpikir zaman dulu. Apakah tidak mungkin ada pendaratan manusia-manusia dari Planet Nibiru? Apa tidak mungkin? Bangsa Lemuria itu sekarang pertanyaan saya lenyap ke mana?” kata dia. “Apakah tidak mungkin bangsa Nibiru atau Mu (Lemuria) landing di situ (menunjuk Gunung GedePangrango). Coba sedikit mengkhayal. Semua khayalan kok.” Berdasarkan sebuah informasi, bangsa Lemuria merupakan peradaban kuno yang muncul sebelum Atlantis. Para peneliti memperkirakan Lemuria ada pada 75.000
34
SM hingga 11.000 SM. Kedua peradaban ini hancur karena bencana gempa bumi dan air bah yang dahsyat. Hingga kini, letak benua Lemuria masih kontroversi. Namun, banyak peneliti meyakini, lokasinya ada di Samudera Pasifik, sekitar Indonesia sekarang. Ada yang beranggapan, bangsa Lemuria mengungsi ke sebuah planet di tata surya. Tori yakin, batu-batu Gunung Padang ini merupakan teknologi kreasi Bangsa Lemuria. Tori juga meyakini situs Gunung Padang didirikan saat zaman Mesopotamia. Batu-batu Gunung Padang, menurut Tori, menghasilkan energi listrik. “Tenaga listrik dimanfaatkan untuk apa? Mereka punya pesawat tanpa bahan bakar kok. Kekuatan ini bisa untuk energi. Pesawat mereka tidak menggunakan energi bensin, bukan juga nuklir,” kata dia. Namun, peradaban tinggi di masa lampau yang katanya dibangun oleh Bangsa Lemuria dan Atlantis, harus diteliti lebih jauh lagi. Hingga kini, bukti-bukti nyata adanya Bangsa Lemuria dan Atlantis belum bisa dipastikan. Temuan Tim Terpadu Riset Mandiri Penelitian dan penemuan situs ini pun memiliki runut yang panjang.Semasa negeri ini di bawah pemerintahan kolonial, Gunung Padang sudah dilaporkan dalam Buletin Dinas Kepurbakalaan, Rapporten van de Oudheidkundige Dienst, pada 1914. Kemudian, sejarawan Belanda N.J. Krom menyinggung keberadaan situs ini pada 1949.Jauh setelah itu, pada 1979 situs ini ditemukan kembali oleh warga lokal. Di tahun tersebut, dilakukan penelitian oleh Direktorat Perlindungan dan
Pembinaan Peninggalan Sejarah (Ditlinbinjarah) dan peninjauan oleh Pusat Penelitian arkeologi Nasional (Puslit Arkenas).Pada 1982, Arkenas melakukan penelitian lanjutannya. Melalui surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 139/M/1998, pada 1998 situs ini ditetapkan sebagai benda cagar budaya. Situs ini kembali menjadi buah bibir, dan sempat membuat wisatawan membludak pada 2012. Di 2011, Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana Alam era Susilo Bambang Yudhoyono, Andi Arief, meyakini ada sejenis piramida di bawah Gunung Padang. Hal tadi sontak membuat rasa penasaran orang membucah.Awal 2011, Tim Katastropik Purba bentukan Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana Alam tengah meneliti patahan gempa Cimandiri—melintas dari Pelabuhan Ratu sampai Padalarang melewati Gunung Padang—yang jaraknya 4 kilometer dari Gunung Padang.Tim tidak menemukan adanya intrusi magma di bawah permukaan Gunung Padang. Saat dilakukan survei lebih lanjut, tim ini yakin bahwa Gunung Padang adalah bukit yang dibentuk oleh manusia. Tim ini juga menemukan pasir kerakal sungai yang diduga sebagai peredam guncangan gempa. Lalu, penelitian pun dilanjutkan dengan melibatkan sebuah tim dari bidang ilmu arkeolog dan geolog, yang dinamakan Tim Terpadu Riset Mandiri. Menurut salah seorang warga, Epin, setelah penelitian tersebut Gunung Padang ramai dikunjungi wisatawan.Hingga saat ini, menurutnya, wisatawan yang plesir bisa mencapai sekitar 20 ribu setiap bulan. “Tahun 2012-an malah kalau jalan lewat sini susah. Banyak
sekali orang yang datang,” kata dia. Tim Terpadu Riset Mandiri mulai bekerja pada 2012 lalu. Mereka meneliti dengan detail misteri bukit batu tersebut menggunakan analisis georadar, geolistrik, pengeboran, serta tomografi yang dilakukan hingga Juli 2013.Banyak hal yang mencengangkan. Misalnya saja, tim yang salah satu anggotanya merupakan arkeolog Universitas Indonesia, Ali Akbar ini, membuktikan usia Gunung Padang lebih tua. Bahkan lebih uzur ketimbang Piramida Giza di Mesir. Dalam bukunya, Situs Gunung Padang, Misteri dan Arkeologi (2013), Ali Akbar menulis, berdasarkan hasil uji carbon dating (C14) Laboratorium BATAN di kedalaman 3,5 meter materi paleosoil pada 2012, menunjukkan usia 4.700 SM. Lalu, laboratorium internasional Beta Analytic Miami merilis hasil lebih mencengangkan. Usia lapisan di kedalaman 5 hingga 12 meter mencapai 14.500 hingga 25.000 SM (Akbar, 2013: 4-5). Dari sini Gunung Padang menarik perhatian dunia. Belum lagi, berbagai temuan yang masih kontroversial, seperti semen purba yang bisa mengikat batu-batu purba pada 2011 dan 2012, logam yang kemungkinan alat pemotong Maret 2013, batu mirip kujang pada September 2014, batu bulat yang bisa berputar (rolling stones Gunung Padang) pada September 2014, dan koin pada September 2014. Dari hasil riset Tim Terpadu Riset Mandiri yang ditulis Ali dalam bukunya, Gunung Padang berfungsi sebagai tempat, semacam kuil untuk upacara keagamaan. Menurut Ali, agama yang dianut
masyarakatnya sesuai dengan perkiraan tahun pembuatannya tergolong animisme, yakni pemujaan terhadap roh atau jiwa di dunia gaib yang menentukan kehidupan manusia. “Lebih khusus, animisme yang dianut adalah pemujaan terhadap roh yang bersemayam di kekuatan alam tertentu, dalam hal ini di Gunung Gede dan Pangrango.Gunung Gede dan Pangrango dalam konteks Gunung Padang merupakan ekofak yang menjadi sentral pemujaan bagi masyarakat masa lalu,” tulis Ali (2013: 152). Batas suci bangunan keagamaannya, yakni sungai Cimanggu di utara, sungai Cikuta di timur, dan sungai Cipangulaan di barat (2013: 157). Pada 2014, melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 023/M/2014 tentang Gunung Padang sebagai situs cagar budaya peringkat nasional, situs ini ditetapkan jadi situs cagar budaya nasional. Ali Akbar pun berencana mendaftarkan situs ini sebagai warisan budaya dunia. *** Malam makin larut. Udara dingin semakin menggigit. Tak ada bulan yang menggelantung di langit. Suasana semakin senyap. Saya pamit ke Tori, dan memutuskan turun menapaki anak tangga yang landai, dengan bimbingan cahaya kecil dari telepon seluler. Meninggalkan bukit batu purba yang menawarkan panorama yang sangat indah. Meninggalkan segala kisah misterius yang masih belum tersingkap. Fandy Hutari, wartawan dan penulis. Tinggal di Jakarta.
Volume XI Nomor 2/2016 | matajendela
35
Seni (yang) Berjenis Kelamin? Refleksi bagian pertama Stanislaus Yangni
A
gustus 2007 buku “Indonesian Women Artists: The Curtain Opens” diluncurkan bersamaan dengan pameran “perupa perempuan” berjudul INTIMATE DISTANCE di Galeri Nasional Indonesia. Ada 34 seniman (perempuan) yang diikutsertakan di sana. Peristiwa itu memunculkan pertanyaan besar di benak saya. Ketika ada penyebutan “seniman perempuan,” tidakkah yang terjadi bahwa “definisi” itu memperkuat pembedaan jenis kelamin? Alih-alih “maju” (atau secara politis “melegitimasi” ruang yang dilakukan dari perempuan untuk perempuan), tampaknya, ukurannya kembali pada hal ikhwal jenis kelamin, bukan pada karya yang dihasilkan. Pendek kata, di hadapan seni bahkan, perempuan tampak “me-liyan-kan” diri – sebelum bicara urusan karya. Hampir sepuluh tahun setelah itu, kini, saya bertemu dengan hal yang masih sama: pameran perupa perempuan. Tak hanya 36
nama, bahkan, karya-karya mereka pun kadangkala cenderung mengangkat apa yang secara umum “disepakati” sebagai perempuan itu; semacam domestifikasi yang mungkin (telah) diamini. Kendati juga tak semua. Banyak karya yang muncul juga merupakan kritik atas dunia yang lebih luas, namun nama “perupa perempuan” menjadikan isu itu seakan-akan berasal dari “kacamata” perempuan. Isu-isu tersebut jadi berjenis kelamin, dan karya seni pun, lewat pameran, jadi berjenis kelamin, hingga hal-hal yang tampak sebagai perempuan itu menjadi/dijadikan tidak biasa dan terkesan lebih “layak” untuk dilihat. Tulisan ini mencoba mengkritisi keberadaan pameran seni rupa yang mengusung seniman perempuan (bukan tema, bukan isu), melainkan peserta pameran yang kesemuanya perempuan, menggunakan sebutan pameran perupa perempuan, juga isinya menyangkut perempuan. Pendek kata, pameran seni yang mengatasnamakan
perempuan, di antaranya ada “Pameran 5 Pelukis Perempuan Kota Bogor,” “Pameran 15 Perupa Perempuan, Begadang Neng pada 2013,” “April 2013 – JIA XIANG -21 perempuan perupa dan dosen seni rupa dengan tema “Seni, Perempuan dan Pendidikan” (April 2013) di galeri Universitas Maranatha Bandung – dan yang baru-baru ini serupa dengan itu, Bumbon, 2016 di Sangring Art Space Jogja. Selain itu, ada pula Pameran Seni Lukis FEMMENINE, pameran 9 perupa perempuan di Ludens Artspace & Emma Management Mei 2015, Wani To Wanita pameran 50 mahasiswi UNS IKIP Solo, 2015, kemudian ada Pameran seni rupa perempuan Indonesia-Perancis: A ROOM OF HER OWN – Dimensi Art Gallery, Surabaya 2015, Pameran “Membatalkan keperempuanan” sangkring 2012, pameran 11 perupa perempuan, “Women Lead” Art Exhibition di Jogja Village Inn kerjasama dengan galeri Iris 2015, pameran 10 perempuan bertajuk
Poster Wani Ditata Project Sumber: Dokumentasi Sius
Kletik-kletikan karya Trien Iin Afriza Sumber: Dokumentasi Sius ...........................
MOTHER. DAUGHTER. SISTER: An Endless Conversation 2014 di Rumata Art Space Makassar. Ada lagi yang cukup besar-besaran dan berbasis riset atas Darma Wanita era Orde Baru, yaitu Wani Ditata Project 2015 yang kesemua pesertanya juga perempuan. Kendati tidak menyebut “perempuan” pun, tapi isinya mengena: orang yang melihatnya bisa mengatakan “ini perempuan.” Tulisan ini tidak akan menelaah satu-satu isi pameran itu, namun, lebih melihat pada persoalan betapa seksisnya seni ketika ia dinamai perempuan (untuk meng-ada-kan diri di balik seni yang dianggap laki-laki). Ketika ia dinamai, perempuan menjadi sesuatu yang tidak biasa lagi – ia, nama itu, berfungsi politis, sebagai pembeda. Ini ironis, juga dilematis. Begitulah, muncul karya berupa mainan anak-anaknya, baju-baju, bunga-bunga, pakaian dalam, dan sebagainya yang seakan melegitimati apa yang dinamakan sebagai “dunia
perempuan.” Isinya pun antara lain perihal perempuan yang superhero, perempuan yang mampu membagi waktu antara karir dan keluarga, perempuan yang bisa lebih dari laki-laki, perempuan yang kuat, dan sebagainya. Tapi persoalannya bukan pada benda-benda tersebut, melainkan caranya mewujudkan (cara bicara mengenai keperempuanan) yang dilematis. Mengapa? Sebab jika pameran atas nama “perupa perempuan” dengan karya demikian, tidakkah perempuan sendiri yang melegitimasi “stereotipe” perempuan, yang notabene merupakan (bahasa) laki-laki (yang selama ini) menamai mereka? Ini juga yang agaknya terjadi pada Hari Kartini, juga bahkan Hari Ibu 22 Desember. Banyak pameran bernama perempuan untuk merayakan terutama 21 April itu. Komunitas Dunia 22 Ibu yang pameran bertajuk PANDORA di Bentara Budaya Jakarta pada 2016, di antaranya, juga Pameran Lukisan 8 Perempuan di
Balai Budaya Jakarta hasil kerjasama Media Indonesia dengan Galeri Saraswati pada 22 Desember 2015. Kartini tidak lagi bisa dilihat sebagai “perayaan” bagi bebasnya sekat-sekat pikiran, melainkan jadi “perayaan” jenis kelamin perempuan: apa-apa yang perempuan seakan-akan dikembalikan ke yang dianggap asalinya: memasak, memakai kebaya (berdandan), dan berkarir, satu tambahan agar njamani. Hari Kartini seperti mau mengatakan diamdiam: “Ini lho perempuan yang “superhero” bisa melakukan hal-hal domestik sekaligus bekerja di luar rumah. Demikianlah perempuan ideal (mungkin versi laki-laki yang telah diinternalisasi perempuan): bisa membagi waktu – perempuan ideal versi bahasa masa kini. Tapi dengan begitu, bukankah Hari Kartini akhirnya mengafirmasi pula bahasa “patriarki” (mengenai perempuan masa kini yang ideal) itu? Secara politis perempuan berusaha punya posisi dengan cara membedakan diri, “Inilah perempuan,” menjadi Liyan Volume XI Nomor 2/2016 | matajendela
37
bagi laki-laki, tapi di sisi lain, cara berbicara mereka tak beranjak dari bahasa dengan logika “kesamaan,” “kesetaraan,” “identitas” dan perihal “ruang yang ingin direbut.” Melawan yang sekaligus afirmatif. Hingga yang tertinggal hanya “pernyataan” implisit “aku perempuan” dengan bahasa laki-laki. Dengan memberi isi “jenis kelamin” pada kesenian – atau dalam konteks ini kalau perdebatannya jatuh pada dua kubu, yaitu laki-laki dan perempuan, sangat mungkin akan terjadi begini: di dalam karya yang diklaim perempuan, bukankah mereka para perempuan sebenarnya sedang memproblematisasi dirinya sendiri atas dasar “rumusan masalah” yang datang dari dunia laki-laki? Tidakkah mereka jadi “jubir” atas kebingungannya laki-laki atas perempuan, dunia “alien” yang selalu
Dengan kata lain, perempuan memang bicara dengan ‘suara’ perempuan, namun dengan kata dan cara bicara lakilaki. Ia seperti tertinggal, hanya menjadi jejak dari setiap kata yang keluar.
38
dianggap misterius? Dan perempuan, dalam setiap “manifesto” “Aku perempuan”nya seakan ingin “menginformasikan” (menjawab), menunjukkan bahwa ini dunia perempuan, tapi di saat yang bersamaan seakan juga tengah menyingkap pertanyaan yang khas laki-laki itu sendiri. Dengan kata lain, perempuan memang bicara dengan ‘suara’ perempuan, namun
Lalu bagaimana caranya beranjak dari (bahasa) patriarki itu jika tidak dengan cara “mempertontonkan” yang dunia perempuan yang notabene itu adalah dunia yang telah ditafsir dengan bahasa simbolik (dunia patriarkal)? Dunia mana yang harus “diajukan” yang tidak termaktub dalam bahasa itu? Masih adakah itu? Apakah ada yang mungkin bisa diubah dari struktur
dengan kata dan cara bicara laki-laki. Ia seperti tertinggal, hanya menjadi jejak dari setiap kata yang keluar. Perempuan seperti sedang “mengulang” pertanyaan dari masalah laki-laki terhadap perempuan, tapi dengan bentuk yang lebih intim seakanakan perempuan mengetahui dan sedang mengungkap dirinya sendiri, kemudian menyuguhkan (jawabannya) dengan bahasa laki-laki (juga).
masyarakat ini jika hanya menunjukkan “aku perempuan” (masih) dengan “bahasa laki-laki?”1 Mungkin, ini bisa menjadi salah satu jalan, yaitu mengoreksi, kalau mungkin
1 Istilah “Bahasa laki-laki” yang dimaksud dalam konteks tulisan ini adalah struktur masyarakat patriarkal, bahasa yang berlaku umum, bukan bahasa laki-laki di mana laki-laki dipandang sebagai jenis kelamin laki-laki.
Artificial View - Tere Sumber: Dokumentasi Sius
Poster Iris Gallery Sumber: Dokumentasi Sius
Gua Garba karya Iriantine Karnaya (2007) Mixed Media 120x95 cm Sumber: Dokumentasi Sius ...........................
mengubah relasi perempuan dengan bahasa dunia ini (simbolik-patriarkal) – dalam konteks ini laki-laki tidak ditekankan sebagai jenis kelamin, tetapi sebagai “bahasa umum” struktur masyarakat yang berlaku untuk komunikasi. Relasi Itu yang agaknya harus ditelaah kembali, kalau mungkin diubah untuk mencari cara bicara dan kata yang lain, bukan diulang kembali lewat karya seni (perempuan). Dan karya seni nampaknya bisa menjadi sebuah tawaran menarik, peluang bagi kita untuk mengeksplorasi dan menemukan berbagai “jenis bahasa” dan cara ungkap. Selain perihal memberi isi “jenis kelamin” pada kesenian, kita bergeser ke ranah yang lebih publik, yaitu soal penyebutan kata “perempuan” di mata publik. Bisa jadi, penyebutan “perempuan” dalam dunia seni itu hanya berfungsi politis sebab pelekatan
identitas “perempuan” kadang-kadang menguntungkan bagi sebagian perempuan karena dengan itu kesempatan terbuka, di mana pada masyarakat patriarkal kini memaklumi, memahami juga bahwa perempuan harus diberi kesempatan untuk berkembang menjadi setara. Ini kenyataan yang tampak baik-baik saja namun ironis. Ia diakui hanya karena ia berjenis kelamin perempuan! Tampaknya masyarakat kita belum berubah. Mereka hanya mahfum.
beranjak melampaui sekumpulan manusia perempuan yang entah sengaja berkumpul seperti sedang menggelar hajat bersama lewat pameran, atau dikumpulkan layaknya Darma Wanita. Stanislaus Yangni, Redaksi
Akhir kata, seni tampaknya bisa menjadi jalan lain, wilayah yang membuka banyak kemungkinan untuk merespon, mengangkat, mengolah dan membenahi lagi bias gender itu. Pendek kata, kesenian, dan seni bisa menjadi jalan untuk melampaui persoalan jenis kelamin - sebab ia pada mulanya, tak mengenal jenis kelamin. Seni sudah semestinya Volume XI Nomor 2/2016 | matajendela
39
Performativitas Tubuh Siti Dan Setyo Kris Budiman
M
anusia adalah subjek-subjek tinubuh (embodied subjects). Perbedaan-perbedaan identitas gender dan seksual, pun segala macam identitas sosial yang lain, terbentuk dan terejawantah sebagai performans yang tinubuh (embodied performance). Demikianlah ungkap Judith Butler dalam Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (1990). Terpicu oleh gagasan ini saya hendak memperbincangkan persoalan identitas gender sebagai performans dan subversi terhadapnya di dalam sebuah film Garin Nugroho, Opera Jawa (2006), yang berkisah tentang sepasang suami-istri bernama Setyo dan Siti (diperankan oleh Martinus Miroto dan Artika Sari Devi). Di dalam film yang meminjam kerangka naratifnya dari sebuah versi Ramayana, khususnya fragmen “Sinta Obong”, ini terdapat dua buah adegan yang akan saya cermati secara lebih terfokus.
40
Adegan yang cukup singkat pada sekuens pembuka film (Seq. 1, Sc. 8), hanya tersusun atas tiga buah shot dengan rangkaian tindakan naratif yang linear, menghadirkan peristiwa Setyo mencumbu Siti (lihat Gambar 1). Peristiwa bermula dari sebuah close-up yang menggambarkan Siti tengah menata konde dan Setyo menemaninya. Berbalut pakaian kasual, tubuh mereka berada dalam pose duduk di lantai dengan posisi Siti di depan dan Setyo di belakang. Dengan posisi demikian, sebagaimana akan terlihat pada shot berikutnya, Setyo dapat lebih aktif dan leluasa merangkul tubuh Siti. Kecuali itu, fitur proksemik lain yang signifikan dan perlu dicatat di sini adalah tinggi-rendah dan jarak yang begitu dekat di antara mereka. Kedekatan spasial ini tentu saja mengungkapkan relasi yang intim di antara keduanya, meskipun posisi tinggi-rendah dapat sekaligus mengindikasikan adanya relasi dominasi dan subordinasi.
Gestur, gerakan, tindakan, dan segenap unsur lain yang terbaca pada tubuh Siti dan Setyo dapat diperlakukan di satu sisi sebagai teks budaya yang menyediakan sarana ekspresi bagi nilai-nilai tertentu, tetapi di sisi lain sekaligus merefleksikan identitas gender yang mereka reproduksi dari sebuah repertoar budaya. Dengan kata lain, reproduksi diskursif atas identitas Siti dan Setyo di dalam adegan ini terjadi lewat pengutipan (citation) atas kategori identitas gender tertentu. Mereka mengutip dan “mementaskan” kembali nilai-nilai yang telah dianggap “sewajarnya” (takenfor-granted) tentang relasi cinta romantik di antara perempuan dan lelaki di dalam sebuah repertoar budaya tertentu. Itulah sebabnya mengapa Butler menyarankan pemahaman atas identitas gender sebagai performativitas yang terkutip, yang terusmenerus direproduksi sebagai pengulangan atas norma-norma yang hegemonik.
Gambar 1. Sumber: Garin Nugroho, Opera Jawa (2006) ...........................
Masih di dalam adegan yang sama, kita menyaksikan tindakan Siti yang menggoda Setyo dengan cara menggigit-gigit ringan sebuah penjepit rambut. Setyo menangapi secara positif dengan menarik penjepit rambut itu perlahan dan membelai lembut bibir Siti. Melalui medium close-up, terlihat bagaimana mereka memproduksi tipe gestur dan gerakan yang sangat khas, yang dapat dikategorikan sebagai sebuah tindakan ‘menari’, sambil melantunkan sepotong tembang (diterjemahkan dari teks aslinya yang berbahasa Jawa, KB), “Aku dan engkau bagaikan Rama dan Sinta / Yang tersingkir dari negerinya sendiri / Yang masih tersisa hanyalah kesetiaan, harapan, dan cinta.” Gestur dan gerakan ini, yang di dalam kajian kinesika tergolong sebagai ilustrator, biasa disebut sebagai nyekithing di dalam wacana tari Jawa. (Catatan: meskipun memiliki kemiripan formal dengan shunya mudra di dalam wacana
Hindu-Buddhis, saya kira, akan terlalu mengada-ada jika makna keduanya dikaitkaitkan). Sesaat kemudian tindakan Setyo berlangsung dalam serangkaian close-up: dia mencium pelipis Siti, pipi, bibir, dan keningnya, lalu bibir dan kening lagi, sementara tangannya terus membelaibelai rambut Siti. Rangkaian tindakan ini dapat dengan mudah ditempatkan ke dalam sebuah modus tindakan aktif/pasif, yakni (Setyo) men-cium dan (Siti) di-cium. Relasi aktif/pasif di sini tiada lain daripada penerjemahan atas relasi kekuasaan yang telah “dituliskan” baik pada tubuh Setyo maupun Siti. Dengan kata lain, kecuali mengekspresikan nilai-nilai kultural seperti yang telah dikatakan sebelumnya, di bagian ini secara khusus tubuh Siti diposisikan sebagai objek hasrat atau lokus kontrol (locus of control) yang bersifat langsung
di hadapan Setyo. Ia diproduksi oleh kekuasaan yang beroperasi dari luar sebagai sesosok tubuh yang patuh (a docile body), jika kita meminjam istilah dari Foucault. Adalah Setyo yang menempati posisi subjektif untuk mengendalikan representasi tubuh Siti seturut dengan tatanan wacana cinta romantik heteroseksual yang dianggap berterima. Berseberangan dengan adegan di atas, sebuah adegan dari sekuens kedua Opera Jawa (Seq. 2, Sc. 3) menghadirkan Siti sebagai subjek yang bukan saja aktif, melainkan juga agresif dalam mengekspresikan hasratnya terhadap Setyo. Adegan yang terbilang panjang ini, seluruhnya tersusun atas sepuluh shot, tentu tidak mungkin dibaca satu demi satu di sini (lihat Gambar 2). Oleh karenanya, pembacaan berikut hanya dikerjakan atas tiga shot pertama yang terdiri dari
Volume XI Nomor 2/2016 | matajendela
41
antar-gender, sekaligus “perlawanan-atasinskripsi” yang terjalin di atas ranjang sebagai sebuah ranah performans yang spesifik.
Gambar 2. Sumber: Garin Nugroho, Opera Jawa (2006) ...........................
serangkaian tindakan naratif yang penuh hasrat—bahkan pakaian mereka pun telah mengatakannya: Setyo dan Siti hanya berkaus dan berkutang merah! Peristiwa bermula dari sebuah long shot atas Siti dan Setyo yang tengah berbaring di atas ranjang. Dapat disimak bagaimana posisi tubuh mereka yang terlentang bersebelahan dapat menciptakan kesejajaran posisi, meskipun peralihan ke dalam rangkaian close-up dengan sudut pandang kamera dari atas (high angle) akhirnya memberikan pemahaman yang bergeser ke dalam modus tindakan yang tidak lagi setara. Pertama, Siti menatap kepada Setyo yang tengah berbaring di sebelahnya; kemudian, dilanjutkan dengan sebuah tindakan aktif Siti meraba dada dan menyibak pakaian Setyo. Modus tindakan ini jelas berpola terbalik dengan sebelumnya. Sekarang Siti memainkan peran sebagai subjek yang aktif (me-) di hadapan Setyo yang pasif dan reseptif (di-). Dengan kata lain, dari sini bisa ditarik sebuah tafsir tentang pembalikan pola relasi yang memberi peluang bagi resistensi atas nilai-nilai kultural tertentu yang meregulasi hubungan 42
Kecuali mengelak dan menutupi wajahnya dengan kaus merah, Setyo nyaris tidak bereaksi apapun. Agaknya, dia mencoba untuk menepis hasratnya atas tubuh Siti. Penyangkalan ini memuncak ketika Setyo bangkit dan berdiri di atas ranjang. Melalui sebuah long shot yang statis dapat terlihat jelas melalui perspektif proksemik bagaimana posisi Siti secara spasial berada persis di belakang dan lebih tinggi daripada Setyo (bandingkan dengan adegan sebelumnya). Dengan posisi demikian, Siti dapat dengan leluasa “menerkam” Setyo dari belakang. Sikap agresif Siti ini ternyata tidak tertahankan lagi oleh Setyo sehingga akhirnya dia beranjak keluar dari kamar. Dengan wajah yang masih tertutupi oleh kain merah, Setyo membawa tubuhnya beringsut keluar. Sejenis gertur yang khas— dalam wacana persilatan dikenal sebagai jurus atau pukulan kuntul—seakan hendak menegaskan lebih jauh upaya defensifnya yang ironis di hadapan Siti. Sementara itu, karena hasratnya terhadap Setyo tidak tersalurkan, Siti mengekspresikan kekecewaannya melalui hentakan-hentakan kaki di atas ranjang. Hentakan-hentakan ini dapat menggugah kita betapa tubuh yang telah terbentuk secara kultural itu masih dapat melakukan perlawanan atasnya. Artinya, tubuh Siti bukan lagi semata-mata sebuah tubuh yang patuh, yang mengungkapkan relasi-relasi dan proses-proses sosial yang bergender (gendered), melainkan juga resistensi atasnya. Di dalam adegan ini tubuh tidak saja berpotensi untuk menyatakan frustrasi seksual Siti, melainkan juga kapasitasnya untuk menempati posisi sebagai subjek
hasrat di dalam jaringan relasi cinta romantik di antara mereka. Dua buah adegan dari Opera Jawa di atas mungkin dapat dijadikan pijakan awal untuk mendiskusikan relasi-relasi identitas gender sebagai performativitas pada beragam genre dan ranah artistik lain. Pendekatan seperti ini memang menyarankan suatu wawasan tentang politik tubuh yang tidak lagi gamblang. Hal ini bukan saja disebabkan oleh perlakuan atas tubuh sebagai sebuah metafora yang berdaging dan tertanam dalam relasi-relasi kekuasaan, melainkan juga karena ia telah menjadi sebuah situs negosiasi. Pada kedua adegan tadi dapat dibaca betapa tubuh Siti dan Setyo, sebagaimana halnya tubuh siapapun, tidak sekadar terjalin dalam relasi dominasi dan subordinasi, tetapi juga menjadi panggung performatif yang niscaya dinegosiasikan dalam proses pembentukan identitas. Kiranya, penelisikan lanjut atas persoalan performativitas tubuh pada beragam produk artistik yang lain, entah itu dari ranah sastra, seni visual, atau seni pertunjukan, akan dapat menyingkap lebih jauh potensi-potensi subversif seni terhadap landasan moralitas gender dan seksual yang telah telanjur mapan. Kris Budiman, seorang penulis dan dosen Program Studi Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tulisan-tulisannya telah banyak dipublikasikan di media. Bukunya yang terbaru adalah Relief Kekasih (2013, kumpulan puisi), Sesudah Ekskavasi (2015, kumpulan puisi) dan Ajang Perseteruan Manusia: Sebuah Kajian Semiotik atas Opera Jawa Garin Nugroho (2016, kajian film).
Volume XI Nomor 2/2016 | matajendela
43
44
Foto: Dokumentasi Taman Budaya Yogyakarta