RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 17/PUU-XIV/2016 Kewenangan Daerah dan Penyediaan Tenaga Listrik I.
PEMOHON Mohammad Sabar Musman .…………………… selanjutnya disebut Pemohon.
II.
OBJEK PERMOHONAN Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan selanjutnya disebut UU 30/2009;
III.
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Pemohon menjelaskan, bahwa ketentuan yang mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: 1. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”; 2. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”; 3. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;”
IV.
KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON Pemohon adalah perorangan warganegara Indonesia yang merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
V.
NORMA-NORMA YANG DIAJUKAN UNTUK DI UJI (1) NORMA MATERIIL - Pasal 3 UU 30/2009 (1) Penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah berlandaskan prinsip otonomi daerah.
-
-
(2) Untuk penyelenggaraan penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik. Pasal 4 UU 30/2009 (1) Pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dilakukan oleh badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah. (2) Badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat dapat berpartisipasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik. (3) Untuk penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan dana untuk: a. kelompok masyarakat tidak mampu; b. pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik di daerah yang belum berkembang; c. pembangunan tenaga listrik di daerah terpencil dan perbatasan; dan d. pembangunan listrik perdesaan. Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU 30/2009 (1) Kewenangan Pemerintah di bidang ketenagalistrikan meliputi: a. penetapan kebijakan ketenagalistrikan nasional; b. penetapan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagalistrikan; c. penetapan pedoman, standar, dan kriteria di bidang ketenagalistrikan; d. penetapan pedoman penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen; e. penetapan rencana umum ketenagalistrikan nasional; f. penetapan wilayah usaha; g. penetapan izin jual beli tenaga listrik lintas negara; h. penetapan izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk badan usaha yang: 1. wilayah usahanya lintas provinsi; 2. dilakukan oleh badan usaha milik negara; dan 3. menjual tenaga listrik dan/atau menyewakan jaringan tenaga listrik kepada pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang ditetapkan oleh Pemerintah; i. penetapan izin operasi yang fasilitas instalasinya mencakup lintas provinsi; j. penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen dari pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang ditetapkan oleh Pemerintah; k. penetapan persetujuan harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik dari pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang ditetapkan oleh Pemerintah; l. penetapan persetujuan penjualan kelebihan tenaga listrik dari pemegang izin operasi yang ditetapkan oleh Pemerintah; m. penetapan izin usaha jasa penunjang tenaga listrik yang dilakukan oleh badan usaha milik negara atau penanam modal asing/mayoritas sahamnya dimiliki oleh penanam modal asing;
-
n. penetapan izin pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk kepentingan telekomunikasi, multimedia, dan informatika pada jaringan milik pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik atau izin operasi yang ditetapkan oleh Pemerintah; o. pembinaan dan pengawasan kepada badan usaha di bidang ketenagalistrikan yang izinnya ditetapkan oleh Pemerintah; p. pengangkatan inspektur ketenagalistrikan; q. pembinaan jabatan fungsional inspektur ketenagalistrikan untuk seluruh tingkat pemerintahan; dan r. penetapan sanksi administratif kepada badan usaha yang izinnya ditetapkan oleh Pemerintah (2) Kewenangan pemerintah provinsi di bidang ketenagalistrikan meliputi: a. penetapan peraturan daerah provinsi di bidang ketenagalistrikan; b. penetapan rencana umum ketenagalistrikan daerah provinsi; c. penetapan izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk badan usaha yang wilayah usahanya lintas kabupaten/kota; d. penetapan izin operasi yang fasilitas instalasinya mencakup lintas kabupaten/kota; e. penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen dari pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang ditetapkan oleh pemerintah provinsi; f. penetapan persetujuan harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik untuk badan usaha yang menjual tenaga listrik dan/atau menyewakan jaringan tenaga listrik kepada badan usaha yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah provinsi; g. penetapan persetujuan penjualan kelebihan tenaga listrik dari pemegang izin operasi yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah provinsi; h. penetapan izin pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk kepentingan telekomunikasi, multimedia, dan informatika pada jaringan milik pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik atau izin operasi yang ditetapkan oleh pemerintah provinsi; i. pembinaan dan pengawasan kepada badan usaha di bidang ketenagalistrikan yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah provinsi; j. pengangkatan inspektur ketenagalistrikan untuk provinsi; dan k. penetapan sanksi administratif kepada badan usaha yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah provinsi. Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU 30/2009 (1) Sumber energi primer yang terdapat di dalam negeri dan/atau berasal dari luar negeri harus dimanfaatkan secara optimal sesuai dengan kebijakan energi nasional untuk menjamin penyediaan tenaga listrik yang berkelanjutan. (2) Pemanfaatan sumber energi primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan dengan mengutamakan sumber energi baru dan energi terbarukan.
B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 − Pasal 33 ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945 (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. VI.
ALASAN-ALASAN PEMOHON UNDANG-UNDANG A QUO BERTENTANGAN DENGAN UUD 1945 1. Bahwa krisis listrik sejak tahun 2004 sebagai akibat dari pemerintah pusat yang melepaskan tanggung jawabnya dalam penyediaan energi yang ekonomis untuk rakyat dengan dalih adanya otonomi daerah, Peran PT. PLN sebagai pemegang kuasa usaha kelistrikan atau (PKUK) dipreteli dalam UU 30/2009 ini, sementara ketentuan dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 UU 30/2009 seakan-akan peran otonomi daerah ingin diberdayakan namun menurut Pemohon pada kenyataannya tidak, dan berpotensi untuk memecah belah kepentingan bangsa; 2. Pemohon mendalilkan bahwa banyak hal yang terjadi dalam hal pemanfaatan tenaga listik diantaranya telah terjadi krisis listrik di luar pulau jawa, PLTD PLN di luar Jawa sudah tidak efisien, inkompetensi kewenangan daerah di bidang utilitas listrik, PLN seharusnya PSO bukan subsidi, subsidi listrik adalah subsidi BBM PLTD PLN, sumber energy primer minyak impor adalah barang mewah; 3. Bahwa ketentuan Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 UU 30/2009 mencampur adukkan inkompetensi kewenangan pemerintah daerah (menurut Pemohon bertindak sebagai konsumen) dengan kompetensi PLN sebagai perusahaan utilitas publik ketenagalistrikan yang tugasnya melayani pemerintah daerah. Seharusnya negara memberikan tambahan kewenangan anggaran fungsi kemanfaatan umum bagi PLN bukan menghilangkan fungsi PKUK dari PLN sebagai utilitas publik; 4. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU 30/2009 adalah produk undang-undang yang bertentangan dengan asas efisiensi berkeadilan, karena sumber energi primer jenis bahan bakar minyak sudah tidak ekonomis, sejak tahun 2004 Indonesia telah menjadi pengimpor mintak dan BBM, sehingga BBM menjadi barang mewah untuk disubsidi dengan naiknya harga minya dunia. Maka penggunaan BBM sebagi pembangkit listrik harus segera dikurangi secara terprogram dn terukur; 5. Menurut Pemohon Pemerintah lemah dalam memberikan dukungan kepada PLN sebagai utilitas publik, alasan pemerintah yang menyebutkan bahwa Pemerintah tidak memiliki uang yang cukup untuk membangun system
ketenagalistrikan tidak beralasan, mengingat kenyataannya subsidi listrik dalam bentuk subsidi BBM pembangkit itu adalah uang rakyat yang seharusnya dikelola dengan baik dengan asas efisiensi berkeadilan. VII. PETITUM 1. Menyatakan menerima permohonan Pemohon; 2. Menyatakan bahwa permohonan Pemohon dikabulkan; 3. Memohon agar fungsi PLN sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) tetap dipertahankan sesuai UU Nomor 15/1985 tentang Ketenagalistrikan dan diperkuat dengan fungsi kemanfaatan umum dan Public Service Obligation (PSO) sesuai UU Nomor 23/2003 tentang BUMN Pasal 66 ayat (1) untuk mencapai cita-cita ketahanan energy dan ketahanan nasional, persatuan Indonesia sesuai amanat konstitusi RI UUD 1945; 4. Menyatakan materi muatan UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan ini sebagian atau keseluruhan bertentangan dengan tujuan Pasal 33 UUD 1945 ayat (2) dan ayat (4), karena telah menjadi alat pemecah belah bangsa dengan prinsip otonomi daerah dan peran BUMD daerah yang tidak mencerminkan tanggung jwab negara dalam penyelesaian krisis energy primer BBM dan krisis moneter Indonesia dimana bangsa Indonesia sejak Tahun 2004 telah menjadi net pengimpor minyak bumi, situasio melemahnya nilai tukar rupiah turun drastic seperlimabelas kali lipat terhadap dollar Amerika dari tahun 1980-1998, ketidakekonomisan operasi pembangkit PLTD PLN secara komersial, kondisi kritis kelistrikan luar pulau JAwa didominasi oleh PLTD yang tidak ekonomis, pemberlakuan subsidi BBM pengbangkit PLTD PLN dimana kegiatan ini terbulti tidak efisien dan tidak berkeadilan;\ 5. Menyatakan materi muatan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan saling bertentangan karena mencampur-adukkan otonomi daerah, peran BUMD daerah dengan menghilangkan peran PLN sebagai PKUK yang selama 70 tahun sejak Indonesia merdeka telah terbukti mampu melayani kebutuhan otonomi daerah dengan sumber daya manusia PLN sebagai PKUK yang telah tersebar di pelosok kepulauan nusantara. Muatan tersebut terkandung dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) secara keseluruhan atau setidak-tidaknya sebagian dari undang-undang ini tidak mendukung tercapainya tujuan sesuai Pasal 33 UUD 1945 ayat (2) dan ayat (4) dan karenanya Pasal-pasal atau sebagian dari pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 6. Menyatakan materi muatan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan saling bertentangan karena mencampur-adukkan otonomi daerah, peran BUMD yang tidak efektif dan tidak efisien dalam bidang utilitas Kelistrikan Publik dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 6 ayat (1) dan ayat
(2) secara keseluruhan atau setidak-tidaknya sebagian dari undangundang ini tidak mendukung tercapainya tujuan sesuai Pasal 33 UUD 1945 ayat (2) dan ayat (4) dan karenanya Pasal-pasal atau sebagian dari pasalpasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 7. Memerintahkan kepada Pemerintah RI Cq. Presiden RI dan DPR RI untuk mencabut dan menyatakan tidak berlaku materi muatan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan yang tercantum Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) atau sebagian dari pasal-pasal tersebut karena materi undang-undang ini menambahkan dan mencampur-adukkan peran organisasi otonomi daerah dan BUMD yang tidak akan efektif dan efisien dalam dunia Utilitas Listrik Publik, dan ini akan menjauhi tujuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945; 8. Menyatakan materi muatan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan bertentangan denga Pasal 33 UUD 1945 karena dalam materi muatan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945 dan karenanya muatan materi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, atau; 9. Memerintahkan kepada Pemerintah RI Cq. Presiden RI dan DPR untuk mencabut dan menyatakan tidak berlaku seluruh atau sebagian materi muatan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan; Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadiladilnya (ex aequo et bono).