SURAT PERINTAH KERJA : DPRD KLUNGKUNG : SEKWAN:027/V/BAG.HUKUM/KPA/SETWAN/2015 FH UNUD : 1752A/UN.14.1.11/KS.00.00/2015
TIM PENYUSUN: 1. Prof. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, SH, M.Hum 2. Dr. I Nyoman Suyatna, SH,MH 3. Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH,MH 4. Cok Istri Diah Widyantari Pradnya Dewi, SH,MH
DAFTAR ISI
TIM PENYUSUN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN A. URGENSI NASKAH AKADEMIK DALAM PERANCANGAN PRODUK HUKUM
1
DAERAH B. LATAR BELAKANG MASALAH
11
C. IDENTIFIKASI MASALAH
53
D. TUJUAN DAN KEGUNAAN NASKAH AKADEMIK
54
E. METODE
55
1. Tipe Penelitian
55
2. Pendekatan Masalah
59
3. Bahan Penelitian
60
4. Langkah Penelitian
61
5. Analisis Hasil Penelitian
66
6. Desain Penelitian
BAB II. KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS A. KERANGKA TEORITIK PERUBAHAN PERDA PENDIRIAN PDAM 1. Teori Validitas Norma 2. Teori Badan Hukum 3. Teori Legislasi, Fungsi, dan Tujuan Hukum 4. Teori Koherensi dan Norma Sebagai Suatu Sistem 5. Teori Perancangan Norma Produk Legislasi
B. KARAKTERISTIK PDAM KLUNGKUNG 1. Karaktersitik Pasar PDAM 2. Karakteristik Sumberdaya PDAM 3. Karakteristik Kelembagaan PDAM 4. Karakteristik Produk PDAM
67
5. Karakteristik Pengelolaan PDAM
C. KARAKTERISTIK MASALAH PDAM 1. Masalah Kebutuhan dan Daya Beli Pasar PDAM 2. Masalah Sumber Daya PDAM 3. Masalah Kelembagaan PDAM 4. Karakteristik Masalah Produk PDAM 5. Karakteristik Masalah Pengelolaan PDAM 6. Karakteristik Masalah Konstruksi Norma Pengaturan PDAM D. KARAKTERISTIK KEBUTUHAN PEMECAHAN MASALAH PDAM E. KARAKTERISTIK KONSEP PENGATURAN PDAM F. KARAKTERISTIK KONSTRUKSI NORMA YANG DIBUTUHKAN UNTUK MEMECAHKAN MASALAH PDAM
BAB III. DASAR, RUANG LINGKUP, DAN MATERI KEWENANGAN PEMERINTAH
75
KABUPATEN KLUNGKUNG DALAM PENGATURAN PDAM A. KARAKTERISTIK PENGATURAN PDAM 1. Landasan Konstitusional 2. Pengaturan oleh Pemerintah 3. Pengaturan oleh Pemerintah Daerah 4. Pelingkupan Materi Pengaturan B. KARAKTERISTIK DASAR, RUANG LINGKUP, DAN MATERI KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN KLUNGKUNG DALAM MENGATUR PDAM 1. Undang-Undang Nomor [ ] Tentang Pemerintahan Daerah 2. Undang-Undang BUMD
BAB IV. LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS A. LANDASAN FILOSOFIS 1. Landasan Filosofis Hukum 2. Landasan Filosofis Keilmuan Ilmu Hukum
B. LANDASAN SOSIOLOGIS
86
C. LANDASAN YURIDIS D. KONSTRUKSI JUDUL E. KONSTRUKSI KONSIDERANS MENIMBANG F. KONSTRUKSI KONSIDERANS MENGINGAT G. KONSTRUKSI MATERI DAN NORMA PENGATURAN PDAM 1. Konstruksi Azas Pengaturan 2. Konstruksi Materi Pengaturan
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN LAMPIRAN 1: RANPERDA PDAM LAMPIRAN 2: SPK LAMPIRAN 3: SURAT TUGAS DEKAN FH UNUD
86
BAB I PENDAHULUAN
F. URGENSI NASKAH AKADEMIK DALAM PERANCANGAN PRODUK HUKUM DAERAH Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mendefinisikan Naskah Akademik (NA) sebagai naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. Naskah Akademik dalam perancangan produk legislasi diperlukan untuk dua alasan: pertama, untuk memenuhi persyaratan epistemelogi dalam perancangan norma; dan kedua, untuk mencegah berbagai masalah fungsi dan pewujudan tujuan norma yang timbul akibat kekosongan landasan tersebut. Syarat epistemelogi perancangan norma mencakup: (a) syarat obyektivitas; (b) syarat rasionalitas; dan (c) syarat kontekstual. Pemenuhan ketiga syarat ini bertujuan untuk mencegah problem obyektivitas norma, problem rasionalitas norma, dan problem kontekstual norma. Problem obyektivitas norma adalah problem obyektif-tidaknya atau sesuai/tidak konstruksi (struktur dan rumusan) norma dengan karakter obyek pengaturan yang diatur dalam norma. Problem obyektivitas norma muncul dari akibat kelemahan kapasitas epistemelogis
perancang produk legislasi dan intervensi kepentingan legislator atau pihak lainnya terhadap produk legislasi yang dirancang. Problem
rasionalitas
norma
adalah
problem
valid-tidaknya
norma
berdasarkan uji keberdasaran, uji kebersumberan, dan uji konsistensi antara norma produk legilasi dengan norma peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yang menjadi dasar atau sumber dari norma produk yang dibentuk. Problem rasionalitas norma juga menyangkut wajar/tidaknya dan adil/tidaknya norma suatu produk legislasi diukur dari persyaratan moral, nilai sosial budaya, kemanusiaan, dan nilai-nilai historis politik, sosial, dan ekonomi yang dianut Negara (ideologi) dan masyarakat. Problem kontekstual norma adalah problem sesuai/tidaknya norma dengan ekspektasi masyarakat, yaitu harapan masyarakat yang merupakan hasil dari proses atau interaksi komunitas. Landasan teoritik mencakup konstruksi teori, konsep, dan persyaratan landasan lainnya yang dipersyaratkan sebagai landasan dalam perancangan struktur dan rumusan norma. Hakekat naskah akademik dalam perancangan produk legislasi adalah landasan teoritik perancangan produk tersebut. Dalam perancangan produk legislasi daerah, landasan demikian itu dipersyaratkan dalam bentuk persyaratan pengadaan naskah akademik, yaitu suatu naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum yang diselenggarakan dalam rangka perancangan suatu produk legislasi. Lampiran I angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menentukan bahwa naskah akademik adalah hasil penelitian atau pengkajian hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, terhadap suatu masalah tertentu dalam
rangka pengaturan masalah tersebut melalui Undang-Undang atau Peraturan Daerah sebagai solusi terhadap masalah tersebut dan bentuk upaya untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat. Pengertian ini melahirkan konsep, bahwa naskah akademik merupakan: a. naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum; b. penelitian terhadap masalah tertentu dan solusinya; c. hasil penelitian dan pengkonstruksian masalah dan pemecahannya merupakan bahan untuk mengkonstruksikan norma hukum untuk mengatur masalah dan pemecahan masalah tersebut; dan d. dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Definisi tersebut mengandung konsep bahwa suatu penelitian hukum dalam penyusunan naskah akademik merupakan penelitian yang diselenggarakan karena ada suatu masalah yang memerlukan pemecahan dan pemecahan masalah itu hanya dapat dilakukan melalui pengaturan (hukum). Karena itu, suatu penelitian hukum yang diselenggarakan dalam rangka penyusunan naskah akademik haruslah dimulai dengan eksplorasi dan pendeskripsian masalah yang sedang dihadapi masyarakat, untuk kemudian diidentifikasi dan didefinisikan, selanjutnya dicarikan konstruksi teoritik pemecahannya. Hasil pemecahan masalah ini digunakan sebagai bahan dan dasar pengkonstruksian norma untuk mengendalikan potensi dan mengatur penyelenggaraan pemecahan masalah tersebut. Berdasarkan ketentuan dan konsep tersebut, materi penelitian ini disusun berdasarkan model konstruksi penelitian untuk pemecahan masalah (problem solving based) sesuai dengan epistemelogi perancangan produk legislasi yang berkembang
sangat pesat belakangan ini. Penelitian hukum dalam penyusunan naskah ini difokuskan pada obyek-obyek berikut: a. Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung No. 11 Tahun 1990 Pendirian PDAM dengan peraturan perundang-undangan yang baru. b. Dampak penyelenggaraan tugas dan wewenang PDAM apabila Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung No. 11 Tahun 1990 Pendirian PDAM tidak direvisi. Konstruksi korelasi obyek penelitian dengan hasil dan kegunaan hasil penelitian dalam penyusunan naskah akademik ini dapat digambarkan sebagai berikut: KONSTRUKSI KORELASI OBYEK PENELITIAN DENGAN HASIL DAN KEGUNAAN HASIL PENELITIAN NO
OBYEK PENELITIAN
1
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG TENTANG PENDIRIAN PDAM DAMPAK PENYELENGGARAAN TUGAS DAN WEWENANG PDAM APABILA PERATURAN DAERAH NO. 11 TAHUN 1990 TIDAK DIREVISI.
2
HASIL YANG DIHARAPKAN Deskripsi urgensi PDAM
KEGUNAAN HASIL PENELITIAN
tentang Memberikan perubahan penjelasan perlunya perubahan Peraturan Daerah
Deskripsi tentang Dasar Argumentasi dampak negatif masalah-masalah pelayanan PDAM dalam dengan tidak penyelenggaraan dirubahnya Peraturan pelayanan PDAM Daerah No. 11 Tahun yang belum optimal 1990. di Kab. Klungkung.
Untuk keperluan pertanggungjawaban ilmiah, penelitian hukum dalam rangka penyusunan naskah ini menggunakan pendekatan hukum normatif
(structural normative approach),1 hukum fungsional (functional approach)2 dan pendekatan
hukum
dengan
orientasi
kebijakan
(policy-oriented
approach). 3Penggunaan pendekatan ini mencakup penggunaan teori, konsep, metode penelitian, dan model analisis yang dibangun berdasarkan pendekatan tersebut. Lampiran I angka 2.1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menentukan bahwa bagian Pendahuluan suatu naskah akademik memuat latar belakang, sasaran yang akan diwujudkan, identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan, serta metode penelitian. Berdasarkan ketentuan tersebut, bagian Pendahuluan dari Naskah Akademik ini secara berturut-turut menyajikan: a. latar belakang masalah dan sasaran yang akan diwujudkan; b. identifikasi masalah; c. tujuan dan kegunaan penyusunan landasan teoritik; serta d. metode penelitian.
Lampiran I angka 2.1.A. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menentukan bahwa latar belakang memuat pemikiran dan alasan-alasan perlunya penyusunan naskah akademik sebagai acuan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tertentu. Latar belakang menjelaskan mengapa pembentukan Peraturan Daerah memerlukan suatu kajian yang mendalam dan komprehensif mengenai teori atau pemikiran ilmiah yang berkaitan dengan materi muatan Rancangan Peraturan
1
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Transaction Publishers, New Brunswick, 2006,
h. 29. 2George
Whitecross Paton, A Text-Book of Jurisprudence, Clarendon Press, Oxford, 1951, h. 20. Lihat: lung-chu Chen, An Introduction to Contemporary International Law: A Policy Oriented Perspective, Yale University Press, New York, 1989, h. ix. Lihat Juga: Myres S. McDougal and W. Michael Reisman, International Law in Policy-Oriented Perspective, dalam R. St. Johnston and J. Macdonald Douglas, The Structure and Process of International Law: Essays in Legal Philosophy, Doctrine and Theory, Martinus Nijhoff Publishers, The Hague, 1983, h. 103. 3
Daerah yang akan dibentuk. Pemikiran ilmiah tersebut mengarah kepada penyusunan argumentasi filosofis, sosiologis serta yuridis guna mendukung perlu atau tidak perlunya penyusunan Rancangan Peraturan Daerah. Lampiran I angka 1.B. menentukan bahwa identifikasi masalah memuat rumusan mengenai masalah apa yang akan ditemukan dan diuraikan dalam naskah akademik. Pada dasarnya identifikasi masalah dalam suatu naskah akademik mencakup 4 (empat) elemen pokok masalah, yaitu: a. Permasalahan apa yang dihadapi dalam pelaksanaantugas dan kewenangan dari PDAM selama ini. b. Mengapa perlu Rancangan Peraturan Daerah Perubahan Atas Pendirian PDAM sebagai dasar pemecahan masalah tersebut. c. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah, dalam hal ini Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung. d. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dari pengaturanRancangan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung.
Lampiran I angka 1.C. menentukan bahwa tujuan dan kegunaan penyusunan naskah akademik sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dirumuskan sebagai berikut: a. Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas dan fungsi PDAM Kabupaten Klungkung selama ini. b. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi permasalahan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, dalam hal ini permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan pembentuk Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung. c. Merumuskan
pertimbangan
atau
landasan
filosofis,
sosiologis,
yuridis
pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah, dalam hal ini Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung. d. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah, dalam hal ini sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung tentang Perubahan Atas Peraturan
Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung. Kegunaan penyusunan naskah akademik adalah sebagai acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah, dalam hal ini Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung. Lampiran I angka 1.D. menentukan bahwa penyusunan naskah akademik pada dasarnya merupakan kegiatan penelitian yang harus diselenggarakan berdasarkan metode penyusunan naskah akademik yang berbasis pada metode penelitian hukum.Penelitian hukum dapat dilakukan dengan menggunakan metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris.Metode yuridis empiris dikenal juga dengan penelitian sosiolegal. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder berupa Peraturan Perundangundangan, putusan pengadilan, perjanjian, kontrak, atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan referensi lainnya. Metode yuridis normatif dapat dilengkapi dengan wawancara, diskusi (focus group discussion, FGD), dan rapat dengar pendapat. Metode yuridis empiris atau sosiolegal adalah penelitian yang diawali dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap Peraturan Perundang-undangan (normatif) yang dilanjutkan dengan observasi yang mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data faktor non hukum yang terkait dan yang berpengaruh terhadap Peraturan Perundangundangan yang diteliti. Berdasarkan dua model metode itu, metode penelitian yang
digunakan di dalam penyusunan buku ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan hukum normatif struktural, pendekatan hukum normatif fungsional, dan pendekatan hukum dengan orientasi kebijakan. Berdasarkan standar normatif itu, bagian Pendahuluan dari Naskah Akademik ini menyajikan: a. latar belakang masalah; b. identifikasi masalah; c. tujuan dan kegunaan penyusunan landasan teoritik; dan d. metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan landasan teoritik.
G. LATAR BELAKANG MASALAH Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Klungkung adalah perusahaan daerah milik Pemerintah Daerah Kabupaten Klungkung yang didirikan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung (selanjutnya: Perda PDAM 1990). Perusahaan daerah ini menyelenggarakan pelayanan air bersih di Kabupaten Klungkung dengan menggunakan sumber daya air yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Klungkung. Total pelanggan yang dilayani Perusahaan Daerah Air Minum Klungkung (selanjutnya: PDAM), data pelanggan per 2013, adalah 23.176 pelanggan, tersebar di empat kecamatan. Produksi air bersih per tahun 2013 adalah 9.567.350 m3 dengan jumlah tersalur ke masing-masing kecamatan antara lain, kecamatan Nusa Penida 410.419 m3,
kecamatan Banjarangkan 782.316 m3, kecamatan Klungkung 3.056.026 m3 dan kecamatan Dawan 671.841 m3.4 Perda PDAM 1990 mengatur tentang: pendirian, tempat kedudukan, organ perusahaan,
tugas
dan
wewenang
organ
perusahaan,
pengangkatan
dan
pemberhentian, dan kepegawaian [Pasal 2, Pasal 4, Pasal 9, Pasal 16, Pasal 25 dari Peraturan Daerah No. 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung). Perda ini telah berlaku selama 25 (dua puluh lima) tahun, sementara itu kehidupan sosial masyarakat telah berubah, demikian juga berbagai aspek dari kehidupan itu, sehingga keberadaan Perda ini perlu disesuaikan dengan perubahan itu. Alasan perubahan ini juga berasal dari kehadiran berbagai produk peraturan perundang-undangan yang baru, seperti: Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1998 tentang banetuk Hukum Badan Usaha Milik Daerah, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang bahkan telah dibatalkan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013,5 Peraturan Menteri BUMN Nomor: Per-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian PDAM, yang mengakibat Perda PDAM 1990 memerlukan penyesuaian terutama karena: (a) alasan validitas Perda, yang lebih jauh berpengaruh terhadap validitas tindakan perusahaan; dan (b) kinerja
4Ibid 5 Pembatalan ini memberlakukan kembali Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Sumber Daya Air. Lihat Amar Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013, 17 September 2015 angka 5.
perusahaan dalam mwujudkan tujuan-tujuan pengelolaan air minum berdasarkan berbagai regulasi yang baru. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian PDAM mengatur berbagai ketentuan baru tentang organ perusahaan dan kepegawaian, seperti: komponen organ perusahaan; dasar penentuan jumlah Direksi dan Dewan Pengawas, yang sekaligus mengubah nomenklatur Badan Pengawas menjadi Dewan Pengawas; persyaratan, pengangkatan, masa jabatan, dan pemberhentian Direksi dan Dewan Pengawas; tugas wewenang Direksi dan Dewan Pengawas; kepegawaian; persyaratan, mengangkatan, dan pensiun pegawai; penghasilan dan tunjangan Direksi, Dewan Pengawas, dan Pegawai; dan materi lainnya yang jauh berbeda dengan komponen, tugas, dan kewenangan organ perusahaan sebagaimana diatur di dalam Perda PDAM 1990. Untuk alasan demikian itu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Klungkung memandang perlu melakukan perubahan terhadap Perda PDAM 1990, mencakup 5 (lima) alasan: pertama, pelayanan pengadaan air minum merupakan salah satu upaya pemenuhan kebutuhan dasar rakyat yang perlu diselenggarakan dengan baik agar kebutuhan rakyat demikian itu dapat terpenuhi dengan baik; kedua, pemenuhan kebutuhan rakyat terhadap air minum dan pelayanan pengadaan air minum merupakan bagian dari kewajiban konstitusional Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pelayanan public dalam pemenuhan hak-hak konstitusional rakyat atas pemenuhan kebutuhan dasar; ketiga, Perda PDAM 1990 ditetapkan pada tahun 1990 dan telah berlaku selama 25 (dua puluh lima) tahun sehingga tidak mampu lagi memenuhi berbagai kebutuhan yang timbul dari akibat perubahan
sosial dan perubahan kebutuhan masyarakat yang berkembang sangat pesat dan bersifat multidimensional; keempat, selama dua puluh lima tahun itu telah terbit berbagai produk regulasi yang berpengaruh terhadap validitas Perda PDAM 1990, yang lebih jauh berpengaruh terhadap validitas tindakan PDAM sebagai perusahaan daerah, yang potensial menimbulkan berbagai masalah hukum yang dapat mempenagruhi kinerja dan akuntabilitas perusahaan; kelima, PDAM sebagai satusatunya perusahaan daerah yang bergerak dalam bidang pelayanan pengadaan air bersih harus mampu menyelenggarakan pelayanan publik dalam bidang pengadaan air bersih sesuai dengan harapan masyarakat berdasarkan kinerja yang memenuhi syarat tata kelola perusahaan yang baik (good coprporate governance), sehingga pelayanan pengadaan air minum dapat menyeimbangkan kepentingan antara perlindungan dan ketersediaan sumber daya air dalam rangka penyelenggaraan pelayanan yang berkelanjutan dengan kebutuhan air minum masyarakat pada sisi lainnya. Lima alasan itu merupakan alasan mendasar yang mendorong Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Klungkung mengusulkan perubahan Perda PDAM 1990. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menentukan berbagai persyaratan dalam pembentukan dan perubahan peraturan perundang-undangan, antara lain: (a) syarat kajian teoritik dan praktik empiris; (b) syarat analisis peraturan perundang-undangan; (c) syarat landasan filosofis, sosilogis, dan yuridis;
(d) syarat jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan undangundang, peraturan daerah provinsi, atau peraturan daerah. Pemenuhan syarat-syarat itu bertujuan untuk: (a) pencegahan problem epistemelogis perancangan produk hukum daerah; (b) mencagah masalah validitas, kekosongan dan tumpang tindih kewenangan; (c) mencegah masalah legitimasi dan validitas produk hukum daerah; dan (d) mencegah problem fungsi dan pewujudan tujuan produk hukum daerah yang dibentuk. Berdasarkan persyaratan dan tujuan pemenuhan persyaratan itu, maka penelitian dalam penyusunan naskah kademik ini diarahkan pada penelitian terhadap empat masalah, yaitu: (a) landasan teoritik dan praktik empiris sebagai landasan perubahan Perda PDAM 1990; (b) dasar kewenangan, lingkup materi kewenangan, dan materi kewenangan Pemerintah Kabupaten Klungkung dalam melakukan perubahan terhadap Perda PDAM 1990 berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (c) landasan filosofis, sosilogis, dan yuridis perubahan Perda PDAM 1990; dan (d) jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan Perda PDAM yang akan dibentuk.
H. IDENTIFIKASI MASALAH Berdasarkan latar belakang demikian itu, maka penelitian hukum dalam rangka penyusunan naskah akademik ini akan difokuskan empat rumusan masalah, yaitu:
a. Bagaimanakah landasan teoritik dan praktik empiris sebagai landasan perubahan Perda PDAM 1990? b. Bagaimanakah dasar kewenangan, lingkup materi kewenangan, dan materi kewenangan Pemerintah Kabupaten Klungkung dalam melakukan perubahan terhadap Perda PDAM 1990 berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku? c. Bagaimanakah landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis perubahan Perda PDAM 1990? d. Bagaimanakah jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan Perda PDAM yang akan dibentuk?
I. TUJUAN DAN KEGUNAAN NASKAH AKADEMIK Penyusunan naskah akademik ini bertujuan untuk memberikan landasan ontologis, epistemelogis dan aksiologis terhadap Perda yang akan dirancang. Karena itu, tujuan penelitian dalam penyusunan naskah akademik ini mencakup: (1) Merumuskan landasan teoritik dan praktik empiris sebagai landasan perubahan Perda PDAM 1990. (2) Merumuskan dasar kewenangan, lingkup materi kewenangan, dan materi kewenangan Pemerintah Kabupaten Klungkung dalam melakukan perubahan terhadap Perda PDAM 1990 berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Merumuskan landasan filosofis, sosilogis, dan yuridis perubahan Perda PDAM 1990.
(4) Merumuskan jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan Perda PDAM yang akan dibentuk. Kegunaan hasil penelitian ini adalah ketersediaan informasi dan bahan-bahan penyusunan
Rancangan
Peraturan
Daerah
Kabupaten
Klungkung
tentang
Perusahaan Daerah Air Minum.
J. METODE 1. Tipe Penelitian Penelitian ini merupakan tipe penelitian hukum normatif, yaitu suatu penelitian yang memfokuskan penelitian terhadap masalah hukum dalam sifat tektualnya. Penelitian ini mencakup penelitian terhadap masalah norma hukum, baik asal-usul, konstruksi normanya, validitas, keberadaannya dalam korelasi dengan norma lainnya, maupun penerapan dan penegakannya. Penelitian ini memfokuskan penelusuran terhadap beberapa aspek norma, yaitu: a. dasar pengkonstruksian norma, konsep pengkonstruksian norma; b. aspek dasar kewenangan; dan c. aspek pengkonstruksian norma. Aspek yang pertama mencakup: penelitian terhadap urgensi perubahan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung serta pengkajian tentang masalah dampak tidak dirubahnya Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990
tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung. Penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum normatif dalam cakupan meliputi ketiga variannya, yaitu: penelitian hukum normatif struktural, penelitian hukum normatif fungsional, dan penelitian hukum normatif kontekstual. Obyek penelitian ini adalah karakteristik obyek pengaturan dan masalah dampak peredaran dan penyalahgunaan narkoba sebagai dasar pengkonstruksian konsep pengaturan dan pengkonstruksian norma pengaturan yang diasumsikan sebagai faktor penentu fungsi dan keberhasilan fungsi dalam mewujudkan tujuan hukum. Dengan demikian, kendatipun memusatkan penelitian dan pembahasan pada norma, penelitian ini bukanlah penelitian hukum normatif sebagaimana diperkenalkan oleh Kelsen (normative structural), melainkan kombinasi antara penelitian hukum normatif dalam pengertian hukum
normatif
struktural,
hukum
normatif
fungsional
sebagaimana
diperkenalkan oleh Pound (normative functional), dan hukum normatif kontekstual sebagaimana diperkenalkan oleh McDougal. Model penelitian McDougal dipergunakan sebagai instrument untuk meneliti karakteristik obyek penelitian, termasuk karakteristik masalah pengelolaan, karakteristik kebutuhan pemecahan masalah pengelolaan, dan kebutuhan konsep pengaturannya. Model penelitian Kelsen digunakan dalam mengidentifikasi kewenangan, dan model penelitian Pound digunakan dalam mengidentifikasi karakteristik konstruksi struktur dan substansi norma pengaturan.
Penelitian ini berinduk pada penelitian hukum fungsional (functional research of law) atau penelitian hukum normatif fungsional (normative functional)-nya Roscoe Pound6 dan McDougal dalam kombinasi dengan model penelitian hukum normatif strukturalnya Kelsen. Esensi model penelitian Pound dan McDougal adalah korelasi antara obyek pengaturan dengan konsep dan konstruksi norma pengaturan sebagai aspek-aspek norma yang satu sama lain saling mempengaruhi dan menentukan fungsi dan capaian tujuan hukum. Konsistensi antara keseluruhan aspek itu merupakan dasar untuk menghasilkan produk hukum yang berkualitas dan mengemban fungsi–fungsinya, dan fungsi hukum yang berkualitas merupakan dasar pewujudan tujuan hukum secara baik. Sementara esensi model penelitian Kelsen adalah model uji validitas, yaitu uji terhadap keberdasaran pada dan kebersumberan norma kepada norma yang lebih tinggi yang akan menentukan validitas norma yang dibentuk. Bentuk penelitian ini, dengan demikian, adalah: a. uji konsistensi konsep pengaturan, konstruksi struktur dan substansi norma pengaturan dengan karakteristik obyek pengaturan dan karakteristik kebutuhan pengaturan; dan b. konstruksian dasar dan substansi kewenangan pengaturan sebagai instrumen uji validitas terhadap konstruksi norma dalam pengaturan Rancangan Ibid. Di Indonesia, model ini diperkenalkan oleh Mochtar Kusumaatmadja dengan namape nelitian hukum pembangunandan pembangunan hukum. Di Amerika, model ini dikembangkan oleh Myres S. McDougal dan Harold D. Lasswell dengan nama ”model penelitian hukum dengan orientasi kebijakan hukum” (a policy-oriented approach), yang kemudian dipopulerkan oleh para penganut aliran New Heaven School. Bandingkan: Lung-chu Chen, An Introduction to Contemporary International Law: A Policy Oriented Perspective, Yale University Press, New York, 1989, h. ix. Baca juga: Myres S. McDougal and W. Michael Reisman, International Law in Policy-Oriented Perspective, dalam R. St Johnston and J. Macdonald Douglas, The Structure and Process of International Law: Essays in Legal Philosophy, Doctrine and Theory, Martinus Nijhoff Publishers, The Hague, 1983, h. 103. 6
Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung tentang Perusahaan Daerah Air Minum;
2. Pendekatan Masalah Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif fungsional (functional normative approach), normatif struktural (structural normative approach), dan normatif konstruktif dan kontekstual (policy-oriented research).7 Pendekatan ini merupakan pendekatan penelitian hukum yang seharusnya digunakan dalam proses legislasi di Indonesia mengingat kultur hukum Indonesia (civil law system) dan kebutuhan-kebutuhan pengaturan yang lebih obeyktif dan kontekstual. Fungsi pendekatan tersebut dalam pelaksanaan penelitian ini adalah: a. Pendekatan hukum kontekstual digunakan dalam penelitian terhadap karakteristik obyek penelitian, karakteristik masalah pengelolaan obyek, karakteristik kebutuhan pemecahan masalah pengelolaan obyek, dan karakteristik konsep pengaturan obyek; b. Pendekatan hukum normatif struktural digunakan sebagai dasar untuk menjelaskan dasar, ruang lingkup dan substansi kewenangan Pemerintah Pendekatan hukum dengan orientasi kebijakan melihat hukum sebagai bagian proses otoritatif pengambilan kebijakan yang berkelanjutan (continuing otoritative process of decision making) dimana substansi hukum dipandang sebagai bentuk transformasi substansi kebijakan yang ada dan diciptakan mendahului hukum, yang pada gilirannya akan menjadi sumber dari hukum dan kebijakan organik dan teknis yang akan dilahirkannya. Penguatan fungsi hukum, menurut pendekatan ini, dapat dilakukan melalui pengendalian substansi kebijakan atau hukum dalam proses kebijakan atau proses hukum. Pengendalian ini dilakukan dengan cara melakukan analisis konstruktif dan kontekstual terhadap bahan-bahan substansi kebijakan. Hubungan hukum dengan kebijakan dipandang sebagai suatu bentuk korelasi berkesinambungan dari tahap input, proses, output, dan feedback yang selanjutnya akan menjadi input. Ibid., h. 113. 7
Daerah dalam melakukan pengaturan terhadap perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung. c. Pendekatan hukum normatif konstruktif dan fungsional digunakan sebagai dasar untuk menjelaskan korelasi konstruksi struktur dan substansi norma dengan
konstruksi
konsep
pengaturan,
korelasi
konstruksi
konsep
pengaturan dengan karakteristik kebutuhan pengaturan, dan korelasi kebutuhan pengaturan dengan karakterisitik obyek pengaturan dan karakteristik masalah pengelolaan obyek pengaturan. 3. Bahan Penelitian Penelitian ini menggunakan ketiga jenis bahan hukum, yaitu: bahan hukum primer (primary legal source), bahan hukum sekunder (secondary legal materials). Bahan hukum primer
(domestik) yang digunakan mencakup: undang-
undang (statutes passed by legislatures); peraturan atau keputusan-keputusan pemerintah (decrees and orders of executives); kebijakan atau keputusan administratif yang dibuat oleh lembaga-lembaga administratif (regulations and rulings of administrative agencies). Bahan hukum sekunder domestik yang digunakan, mencakup: literatur standar (text-books); risalah-risalah hukum (treatises); commentaries; restatements; terbitan-terbitan hukum periodik yang digunakan sebagai acuan bagi praktisi, pengajar, dan mahasiswa (periodicals which explain and describe the law for the practicioner, the scholar and the student)..
Penelitian pendahuluan telah dilakukan pada perpustakaan umum dan perpustakaan hukum, seperti: Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana dan ekplorasi melalui internet. 4. Langkah Penelitian Penelitian hukum dengan orientasi kebijakan (configurative approach) memiliki beberapa ciri-ciri sebagai berikut: (1) bahwa penelitian pertama-tama harus menentukan titik pijak penelitian dalam perspektif manusia sebagai suatu keseluruhan, memisahkan titik pijak antara penelitian yang dilakukan oleh akademisi dan pembuat kebijakan, dan untuk tujuan penyadaran, termasuk juga proses pengambilan kebijakan, mengembangkan teori tentang hukum (theory about law), dan tidak sematamata teori hukum (not merely theory of law); (2) harus membuat peta penelitian, baik yang sifatnya menyeluruh maupun khusus, berkenaan dengan suatu kebijakan otoritatif yang efektif untuk suatu proses komunitas dan masyarakat yang lebih luas yang mendapat pengaruh dari kebijakan tersebut atau sebaliknya mempengaruhi kebijakan tersebut; (3) harus merumuskan seperangkat nilai tujuan yang komprehensif dari ketentuan hukum, yang dapat diwujudkan dalam konteks proses sosial, dalam tingkatan abstraksi dan ketepatan apapun yang mungkin diperlukan dalam penelitian maupun perumusan kebijakan; (4) harus memerinci seluruh cakupan tugas-tugas intelektual yang diperlukan untuk proses pemecahan masalah berkenaan dengan hubungan saling mempengaruhi
antara
hukum
internasional
dengan
proses
sosial
internasional, dan harus menentukan prosedur-prosedur ekonomi yang bersifat khusus dan efektif untuk setiap kerja tersebut.8
Penentuan titik pijak penelitian sangat penting untuk memudahkan perumusan masalah, perumusan tujuan, dan pelaksanaan tugas-tugas keintelektualan, untuk menjaga keutuhan penelitian. Pembuatan peta penelitian yang komprehensif namun tetap memperhatikan detail, sangat penting untuk memudahkan peneliti merumuskan fokus utama penelitian, cara memandang hukum dan cara menempatkannya dalam konteks proses sosial, karena akan sangat mempengaruhi cara merumuskan masalah, penentuan prioritas masalah yang akan diteliti, dan menentukan tugas intelektualitas yang hendak dipikul dalam kaitan dengan pengembangan keilmuan dan pemecahan suatu masalah.
Perumusan tujuan pengaturan
publik yang bersifat mendasar dan mempunyai sifat nyata sangat penting untuk menentukan bahwa suatu penelitian kebijakan dan hukum dilakukan untuk kepentingan bersama dan keadilan bagi masyarakat sebagai suatu keseluruhan, bukan untuk kepentingan komunitas yang lebih besar atau yang lebih kecil, komunitas yang lebih kuat atau lebih lemah. Penentuan tanggungjawab intelektual sangat penting untuk efek praktis dan pemecahan masalah dari hasil penelitian tersebut dalam rangka perlakuan kebijakan dan hukum yang lebih efektif dalam proses sosial. MacDougal merumuskan lima tahap penelitian hukum dengan orientasi kebijakan yaitu: 8Macdougald,
op.cit, h. 114.
(1) klarifikasi tujuan (goal clrarification); (2) pendeskripsian kecenderungan kebijakan masa lalu (the description of past trends in decision); (3) pengidentifikasian faktor-faktor yang berpengaruh (identification of conditioning factors); (4) analisis dan perumusan proyeksi dan prediksi (projection and prediction); (5) penemuan dan evaluasi alternatif kebijakan (the invention and evaluation of policy alternatives).9
Model tersebut mencakup 3 ciri dasar, yaitu: (1) klarifikasi tujuan, yang mencakup: pemetaan latar belakang masalah, pelingkupan dan perumusan masalah, dan perumusan tujuan penelitian; (2) pendeskripsian kondisi kebijakan yang sedang berlaku; (3) analisis, perumusan hasil, dan penemuan alternatif pemecahan masalah. Model tersebut dapat ditransformasikan kedalam model penelitian hukum dan kebijakan, baik yang mempunyai sifat murni internasional, nasional, maupun yang menunjukkan sifat campuran diantara keduanya. Model penelitian hukum dengan orientasi kebijakan ini dipergunakan sebagai model dasar penelitian ini. Alasannya adalah: (1) obyek penelitian ini merupakan obyek yang berada pada konteksnya, yaitu masyarakat tempat di mana produk legislasi itu akan ditetapkan;
9
Macdougald, ibid., h. 124-128.
(2) masalah belum dirubahnya Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung; (3) Perda merupakan produk hukum yang harus dibangun sesuai dengan karakteristik obyeknya dan karakteristik kebutuhan konteksnya; (4) pendekatan ini tidak menutup peluang untuk menggunakan pendekatan lain untuk menyempurnakan hasil penelitain, dalam penelitian ini pendekatan ini dikombinasi dengan pendekatan hukum normatif strukturalnya Kelsen.
5. Analisis Hasil Penelitian Hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan metode analisis norma dan obyek norma, analisis struktur (validitas) norma dan analisis konteks dan fungsional norma hukum. Analisis struktur dan substansi norma menggunakan analisis konstruksi
(uji konsistensi dan koherensi) dan analisis konteks (uji
konsistensi) norma. Hasil-hasil penelitian yang telah dikelompokkan secara terstruktur, sesuai dengan struktur materi (obyek) penelitian, sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian, dianalisis sesuai dengan sifat komponen masalah dan tujuannya.
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS Standar materi bab ini ditentukan dalam Lampiran I angka 2 UUP3. Bagian ini memuat uraian mengenai materi yang bersifat teoretis, asas, praktik, perkembangan pemikiran, serta implikasi sosial, politik, dan ekonomi, keuangan negara dari pengaturan dalam suatu Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Bagian ini mencakup: (a) Kajian teoretis. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma. Analisis terhadap penentuan asas-asas ini juga memperhatikan berbagai aspek dan
bidang kehidupan terkait dengan Peraturan Perundang-undangan yang akan dibuat, yang berasal dari hasil penelitian. (b) Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan yang dihadapi masyarakat. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Undang-Undang atau Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan negara.
A.
KAJIAN TEORITIS
a. Landasan Teoritik Perubahan Perda PDAM 1990 Alinea ke - 4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945), menyatakan: “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…………….”. Frasa melindungi seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum mencerminkan suatu kerangka teoritik tentang kewajiban konstitusional Pemerintahan Negara, termasuk Pemerintah Daerah, untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum, termasuk penyediaan air minum atau air besih, dengan tetap memperhatikan kelestarian sumber daya air dlam rangka penyelenggaraan penyediaan air bersih yang berkelanjutan. Indonesia yang merupakan negara hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar NRI 1945, mengedepankan penyelenggaraan pemerintahan negara, termasuk ke dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik berdasarkan
hukum
atau
peraturan
perundang-undangan.
Secara
teoritik,
pemikiran “negara hukum” Eropa Kontinental dimulai oleh pemikiran Imanuel Kant, kemudian dikembangkan oleh J.F Stahl. Pemikiran negara hukum tersebut, dipengaruhi oleh pemikiran Ekonom Adam Smith. Julius Friedrich Stahl, mengemukakan 4 unsur sebagai ciri negara hukum, yakni: (1) Tindakan pemerintah berdasarkan Undang-undang (Legalitas) (2) Perlindungan HAM, (3) Pemisahan Kekuasaan, (4) Adanya peradilan administrasi10. Ciri-ciri negara hukum sebagaimana dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl dalam menguraikan “Konsep Negara Hukum” (Rechtstaat), berbeda dengan konsep negara hukum Anglo Saxon yakni The Rule of Law. Secara konseptual “the rule of law” dalam Dictionary of Law, diartikan sebagai “principle of government that all persons and bodies and the government itself are equal before and answerable to the law and that no person shall be punished without trial”.11 Kemudian A.V Dicey mengemukakan unsurunsur konsep The Rule of law, yakni; (1) supremacy of law, (2) equality before the law, (3) the constitution based on individual rights.12 Terlepas dari perkembangan pemikiran negara hukum yang sangat pesat, yang melahirkan berbagai gagasan tetang penyelenggaraan kehidupan negara berdasarkan atas hukum, terdapat kesamaan pada kedua sistem hukum itu 10 11
Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty, Jogjakarta, 1993, h.28 PH. Collin, Dictionary of Law, Fourth Edition, Bloomsbury Publishing Plc, London. 2004,
P.266 12 A.V Dicey, Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution, Fifth edition, London, Macmillan And Co., Limited New York: The Macmillan Company, 1987, p. 179-187
berkenaan dengan penempatan hukum dalam penyelenggaraan negara, yaitu bahwa hukum harus diletakkan sebagai dasar seluruh perilaku negara. Pemikiran negara hukum ini menjadi jastifikasi teoritis dalam pembentukan Peraturan Daerah dalam mengatur tentang perubahan Perda PDAM 1990. Eksistensi peraturan daerah ini akan menjamin dan melindungi hak rakyat atas ketersediaan air bersih di satu sisi dan perlindungan serta penyelamatan sumber daya air pada sisi lainnya, sebagai bentuk pemenuhan syarat terhadap asas legalitas dalam negara hukum “rechtstaat”, yang mensyaratkan bahwa bentuk perlindungan itu harus diatur dalam instrumen hukum, yaitu undang-undang, dan untuk di daerah berupa Peraturan Daerah. Peraturan daerah itu merupakan legitimasi hukum bagi pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang akutabel, yaitu pelayanan publik berdasarkan atas hukum. A. Hamid S. Attamimi13 menyatakan bahwa teori perundang-undangan berorientasi pada tujuan untuk menjelaskan dan menjernihkan pemahaman pembentuk, pelaksana, penegak, serta masyarakat terhadap materi undang-undang dalam sifat kognitif. Pemikiran ini menekankan pada pemahaman terhadap hal-hal yang mendasar. Oleh sebab itu dalam membuat peraturan daerah, perlu dipahami kharakter
norma
dan
fungsi
peraturan
daerah
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Peraturan daerah merupakan peraturan perundangundangan. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya: UP3) menentukan bahwa Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat 13 A. Hamid S. Attamimi dalam H. Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu PerundangUndangan Indonesia, Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, 1998,h. 14-15.
norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Peraturan daerah merupakan penjabaran Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar NRI 1945, yang menggunakan frasa “dibagi atas”, lebih lanjut diatur sebagai berikut: Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan aerah, yang diatur dengan undang-undang. Frasa “dibagi atas” ini menunjukkan bahwa kekuasaan negara terdistribusi ke daerah-daerah, sehingga memberikan kekuasaan kepada daerah untuk mengatur rumah tangganya. Karenanya hal ini menunjukkan pemerintah daerah memiliki fungsi regeling (mengatur). Dengan fungsi tersebut, dilihat dari sudut pandang “asas legalitas” (tindak tanduk pemerintah berdasarkan hukum) memperlihatkan adanya kewenangan pemerintah daerah untuk membentuk peraturan daerah. Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, mengartikan Peraturan Daerah Kabupaten adalah Peraturan Perundangundangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten dengan persetujuan bersama Bupati. Jimly Asshidiqqie mengatakan peraturan tertulis dalam bentuk ”statutory laws” atau ”statutory legislations” dapat dibedakan antara yang utama (primary legislations) dan yang sekunder (secondary legislations). Menurutnya primary legislations juga disebut sebagai legislative acts, sedangkan secondary dikenal dengan
istilah ”executive acts”, delegated legislations atau subordinate legislations. 14 Peraturan daerah merupakan karakter dari legislative acts, sama halnya dengan undangundang. Oleh sebab itu hanya peraturan daerah dan undang-undang saja yang dapat memuat sanksi. Teori penjenjangan norma (Stufenbau des rechts), menurut Hans Kelsen15 bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (Grundnorm). Selain Hans Kelsen, Hans Nawiasky juga mengklasifikasikan norma hukum negara dalam 4 (empat) kategori pokok, yaitu Staatsfundamentalnorms (Norma fundamental negara), Staatsgrundgesetz (aturan dasar/pokok negara), Formell Gesetz (undang-undang formal) dan Verordnung & Autonoe Satzung (Aturan pelaksana dan Aturan otonom).16 Sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia dipengaruhi oleh pemikiran Hans Kelsen, sebagaimana tercermin dalam Pasal 7 ayat (1) UUP3, yang menentukan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Jimly Asshidiqqie, Perihal Undang-Undang, Cetakan Ke II, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, h. 10 15 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Penerbit Kanisius, Jogjakarta, 1998, h.25 16 Hamid Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analis: Keputusan Presiden Yang Berfungsi Peraturan Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita V, Disertasi PPS Universitas Indonesia, 1990, h. 287 14
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Pengaturan demikian menunjukkan bahwa peraturan yang dibentuk atau berada dibawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dengan kata lain peraturan dibawah bersumber pada aturan yang lebih tinggi. Melihat ketentuan diatas Peraturan Daerah Provinsi pada huruf f, sehingga pembentukannya harus mengacu pada peraturan perundang-undangan sebagaimana tercantum pada huruf a sampai dengan e. Teori dan metode legislasi, dari perspektif substansial hukum, menurut Seidmann, mencakup 2 tujuan yaitu: pertama, untuk memberikan jastifikasi terhadap produk yang dibuat; dan kedua, untuk mendapatkan panduan dalam penyusunan laporan penelitian dari sisi fakta dan logika (facts and logic), yaitu untuk menyusun jastifikasi rasio berdasarkan pengalaman (reason informed by experience), yang mengakibatkan detail substansi suatu rancangan undang-undang menjadi sebagaimana ditampilkan dalam rancangan.17 Teori Seidmann ini merupakan dasar untuk memberikan jastifikasi teoritik terhadap suatu produk legislasi dan panduan teoritik berkenaan dengan kegiatan perancangan produk legislatif.
17
Ida Bagus Wyasa Putra, op.cit., h. 124.
Teori legislasi dalam kategori sebagai panduan penelitian hukum (legislative theory’s categories as a guide to research) adalah teori tentang cara melakukan identifikasi dan cara menjelaskan masalah perilaku (identifies and explain problematic behaviors) berkenaan dengan: (a) ketentuan yang dibuat dan akan diberlakukan terhadap masyarakat yang akan terkena aturan (the rule addressed to the role occupant); (b) perilaku masyarakat yang terkena aturan yang diharapkan oleh para pelaksana aturan (the implementing agenciy’s expected behaviors); (c) seluruh sumber dan faktor non-hukum yang bersifat menghambat dari keadaan lingkungan dan lokasi pemberlakuan hukum yang bersifat khas (all non-legal constraints and resources of the actors’ location-specific environment) yang menghambat bekerjanya aturan.18 Teori legislasi kategori kedua dari Seidman berkenaan dengan posisi aturan dalam korelasi dengan perilaku masyarakat. Kategori tersebut dapat digunakan untuk menyusun HIPOTESIS SEBAB (causal hypotheses), sesuatu yang sangat diperlukan dalam perancangan produk legislasi yang efektif (necessary to design effective legislative measures). Teori legislasi merumuskan kategori tersebut dalam kategori yang lebih sempit, yaitu: Rule, Opportunity, Capacity, Communication, Interest, Process, dan Ideology (ROCCIPI).19 Kategori itu diklasifikasikan atas dua kelompok, yaitu; (a) faktor subyektif; dan (b) faktor obyektif. Faktor subyektif adalah faktor subyek hukumnya. Faktor ini mencakup kepentingan (interests atau incentives), yaitu persepsi masyarakat terhadap
Ibid., h. 4.15. Susunan huruf ROCCIPI bersifat tidak mutlak. Susunan ini hanya digunakan untuk memudahkan para drafter untuk mengingat. Komponen huruf itu jauh lebih penting dan tidak boleh diabaikan/ditiadakan. Seidmann, op.cit., h. 4.15. 18 19
siapa ketentuan itu dibuat dan diberlakukan (role occupants) berkenaan dengan tindakan yang mereka lakukan berdasarkan pertimbangan biaya dan kemanfaatan yang akan diperoleh (costs and benefits), baik insentif material maupun non-material, seperti penghargaan terhadap seseorang di dalam kelompoknya (power and referencegroup esteem). Ideologi (Ideology: values and attitude) merupakan kategori kedua dari kategori perilaku subyektif seseorang, yang menjadi motivasi seseorang melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu. Motivasi ini merupakan motivasi yang tidak bertolak dari kepentingan.20 Analisis terhadap faktor ini merupakan analisis terhadap perilaku orang-perorang dalam struktur institusi yang sudah ada. Faktor obyektif adalah faktor ketentuannya. Faktor ini mencakup: (a) ketentuan (Rules); (b) peluang (Opportunity); (c) kemampuan (Capacity); (d) komunikasi (Communication); dan (e) proses (Process). Komponen Rules merupakan komponen yang berkaitan dengan pertanyaan: mengapa orang berperilaku tertentu dibawah suatu ketentuan hukum, tidak hanya berkenaan dengan satu ketentuan (a single rule), melainkan ketentuan dalam arti perangkat atau keseluruhan (a whole cage of laws).21 Faktor Opportunity berkenaan dengan peluang seseorang untuk berperilaku sesuai dengan perintah ketentuan yang dibuat. Apakah lingkungan tempat ketentuan itu akan diberlakukan memungkinan perlaku yang diperintahkan. Ketidaksesuaian antara perilaku yang diperintahkan dengan lingkungan tempat
Ibid., 4.16. Lima faktor yang menentukan perlaku seseorang di bawah skema hukum: (a) rumusan normanya kabur atau bermakna ganda (vague or ambiguously); (b) beberapa ketentuan memerintahkan melakukan tindakan yang dapat menimbulkan masalah (command problematic behaviours); (c) ketentuan tidak menyediakan alas an atau sebab tindakan demikian itu; (d) ketentuan yang ada membolehkan perlaku yang tidak transparan, tidak dapat dipertanggungjawabkan, dan nonpartisipatif (non-transparent, unaccountable, non-participatory); atau (e) ketentuan memboleh tindakan diskresi yang tidak diperlukan dalam pemecahan masalah perilaku bermasalah. Ibid., h. 418. 20 21
perilaku itu dilakukan merupakan pemicu korupsi. Faktor Capacity berkenaan dengan kemampuan role occupant untuk bertindak sesuai perintah undang-undang. Communication merupakan faktor komunikasi antara pelaksana aturan dengan role occupant dalam hal role occupant berperilaku menyimpang dengan ketentuan yang berlaku. Komunikasi ini bertujuan mencari sebab-sebab ketidaktaatan itu. Process merupakan faktor yang berkaitan dengan kriteria dan prosedur standar yang ditetapkan ketentuan yang berlaku. Dalam hal terjadi penyimpangan perilaku, pelaksana hukum harus memeriksa ketepatan kriteria dan prosedur standar yang ditetapkan.22 Panduan perancangan produk legislasi ini mensyaratkan suatu eksplorasi obyektif, analisis pada aturannya (analisis rumusan normanya, analisis lingkungan aturannya, analisis kemampuan sasaran aturannya, analisis komunikasi sosialnya, dan analisis kriteria dan standar prosedurnya), untuk membuat agar suatu produk legislasi dapat berfungsi dengan baik pasca penetapannya. Dikotomi fakta (FACTS) dengan logika (LOGIC) sebagaimana digunakan Seidmann
sebagai
dasar
konstruksi
berfikir
dalam
penyusunan
teorinya,
mengandung bahaya tersendiri dibandingkan dikotomi kenyataan (REALITIY) dengan pikiran (MIND).23 Mind and reality memiliki kandungan makna yang lebih luas dari komponen Seidmann. MIND adalah konstruksi substantif yang lebih luas dibanding LOGIC. MIND adalah rumah besar dari LOGIC. Atau, LOGIC merupakan kandungan dari MIND. REALITIY merupakan rumah besar dari
22 23
Ibid., 4.17-4.20. Ibid, 127.
FACTS, atau FACTS merupakan kandungan teknis/detail dari REALITY. Konstruksi ini melahirkan konstruksi pembahasan yang berbeda: rentang pembahasan Mind dan Reality beranjak dari analisis FILOSOFIS, lanjut ke analisis ILMU (TEORI), sampai pada analisis KONSEP, dan berhenti pada analisis TEKNIS PERANCANGAN (KONSISTENSI KONSTRUKSI dan KOHERENSI SUBSTANSI norma). Analisis Seidmann mulai dari analisis ILMU (TEORI) dan langsung ke TEKNIS PERANCANGAN (ROCCIPI). Perbedaan konstruksi berfikir tesebut menimbulkan akibat terhadap penajaman arah dan hasil analisis Seidman. Teori Seidmann merupakan dasar untuk memberikan jastifikasi teoritik terhadap suatu produk legislasi dari segi ROCCIPI (Rule, role Occupant, occupant Capacity, Communication, Interest, Procedure, Ideology), sedangkan dalam korelasi Mind and Reality bermaksud memberikan landasan teoritik terhadap perancangan produk legislasi dalam konteks KONSISTENSI LOGIC dari NORMA dan KOHERENSI SUBSTANTIF dari NORMA. Analisis ROCCIPI mengabaikan karakteristik obyek (obyek pengaturan) suatu pengaturan. Fokus analisis ROCCIPI adalah komponen tertentu dari pengaturan,
yaitu
perilaku
masyarakat
yang
diatur.
Analisis
ROCCIPI
memfokuskan analisis pada tiga substansi norma, yaitu: subyek, rumusan norma, kriteria dan prosedur standar yang diatur dalam norma. Fokus ini merupakan konsekuensi dari titik berangkat konstruksi berfikir Seidmann yang berangkat dari sisi teknis dari bilah kajian filsafat (LOGIC dan FACTS), dan bukan aspek nilainya (MIND dan REALITY). Fokus analisis ini dapat membahayakan suatu produk
legislasi dari soal KONSISTENSI KONSTRUKSI NORMA dan KOHERENSI SUBSTANSI NORMA. Teori Seidman dapat digunakan sebagai alat untuk penajaman konstruksi berfikir Mind and Reality dalam menyusun teori legislasi dalam konteks pengaturan suatu obyek yang memiliki karakter khas. Analisis teoritik ini memberikan gambaran bahwa teori legislasi Seidmann tidak memadai untuk digunakan sebagai dasar untuk merancang suatu produk legislasi yang obyek pengaturannya memiliki karakteristik tertentu. Pemaksaan penggunaan teori legislasi Seidman dalam perancangan produk legislasi dengan obyek demikian itu dapat menimbulkan ancaman serius terhadap KONSISTENSI LOGIKA NORMA dan KOHERENSI SUBSTANSI NORMA. Untuk mengatasi kelemahan ini, penelitian ini menggunakan teori korelasi dan konsistensi obyek, konsep pengaturan, dengan konstruksi norma, yang lebih jauh akan menentukan kualitas fungsi norma dan capaian tujuan pengaturan. Teori ini mencakup: (1) DEFINISI dan KONSEP HUKUM berkenaan dengan OBYEK yang akan diatur dalam suatu produk legislasi merupakan PRASYARAT MUTLAK dalam perancangan suatu produk legislasi, terutama yang mengatur obyek yang karakteristik; (2) DEFINISI dan KONSEP HUKUM tentang obyek yang diatur dalam suatu produk
legislasi
merupakan
satu-satunya
DASAR
KEILMUAN
untuk
membangun
atau
menyusun
KONSTRUKSI
STRUKTUR
NORMA
dan
MERUMUSKAN SUBSTANSI NORMA.24
Berdasarkan teori ini, maka perancangan suatu produk legislasi harus dimulai dari identifikasi terhadap karakteristik obyek yang akan diatur untuk kemudian
dipergunakan
sebagai
dasar
untuk
mengkonstruksikan
konsep
pengaturan dan selanjutnya pengkonstruksian norma pengaturan. Dengan model perancangan seperti ini, berbagai persoalan inkonsistensi logika antara norma pengaturan dengan obyeknya dapat dicegah dan dihindarkan.
2. Kajian Asas Secara yuridis Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dituangkan dalam Pasal 5 UUP3, meliputi asas: a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan. Yang dimaksud “asas kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, bahwa setiap jenis
24 Konstruksi teoritik ini telah digunakan dalam beberapa penelitian terhadap bahan-bahan dan landasan legislasi. Ida Bagus Wyasa Putra, op.cit., h. 129.
Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk
Peraturan
Perundang-Undangan
yang
berwenang.
Peraturan
Perundang-Undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang. Kemudian “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan. “Asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-Undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Selanjutnya yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-Undangan dibuat karena memang benarbenar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-Undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-Undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. “Asas keterbukaan” adalah bahwa
dalam
perencanaan,
Pembentukan
penyusunan,
Peraturan
pembahasan,
Perundang-undangan pengesahan
atau
mulai
dari
penetapan,
dan
pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan
masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dari asas-asas dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut jika digunakan untuk mengkaji Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung tentang Perusahaan Daerah Air Minum maka dapat diidentifikasikan sebagai berikut : (1) Asas Kejelasan Tujuan, bahwa tujuan dari Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung tentang Perusahaan Daerah Air Minum, adalah berupaya mengharmonisasi dengan aturan yang lebih tinggi serta menciptakan iklim good coporate governance dalam perusahaan daerah air minum. (2) Kelembagaan atau Pejabat Pembentuk yang tepat, bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung tentang Perusahaan Daerah Air Minum dibentuk oleh Bupati dan DPRD Kabupaten Klungkung. (3) Kesesuaian antara jenis, hirarki, dan materi muatan, bahwa pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung tentang Perusahaan Daerah Air Minum, memperhatikan jenis, hirarki dan materi muatan. (4) Dapat dilaksanakan, alasan filosofis perlunya Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Klungkung
dimaksudkan
untuk
tentang
Perusahaan
meningkatkan
Daerah
kesejahteraan
dan
Air
Minum
memenuhi
ini hak
masyarakat untuk mendapatkan air yang bersih. Alasan sosiologis perlunya Peraturan Daerah tersebut dalam rangka peningkatan pelayanan PDAM. (5) Kedayagunaan dan kehasilgunaan, bahwa Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung tentang Perusahaan Daerah Air Minum berdayaguna
dan berhasilguna untuk meningkatkan pelayanan PDAM dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar masyarakat akan air bersih. (6) Kejelasan rumusan, bahwa pembentukan Peraturan Daerah ini memperhatikan sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. (7) Keterbukaan, Pembentukan Peraturan daerah ini mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan partisipatif. Sedangkan dalam Pasal 6 UUP3, menentukan bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas: a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j.
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Asas-asas itu menjadi pedoman bagi pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung tentang Perusahaan Daerah Air Minum. Penjabaran asas-asas Pasal 6 UUP3 adalah: a. Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat. b. Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan
harus
mencerminkan
pelindungan
dan
penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. c. Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. d. Yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. e. Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan
Perundang-Undangan
senantiasa
memperhatikan
kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
f. Yang dimaksud dengan “asas Bhineka Tunggal Ika” adalah bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. g. Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan
harus
mencerminkan
keadilan
secara
proporsional bagi setiap warga Negara. h. Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. i. Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. j.
Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara. Disamping asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
terdapat beberapa asas dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang patut dijadikan referensi, yang terdapat dalam beberapa ketentuan, diantaranya: Pasal 337 ayat (1) :
“Perusahaan umum Daerah dapat melakukan restruksturisasi untuk menyehatkan perusahaan umum Daerah agar dapat beroperasi secara efisien, akuntabel, transparan, dan profesional.”
Pasal 344 ayat (2) : Pelayanan publik diselenggarakan berdasarkan pada asas: a. kepentingan umum; b. kepastian hukum; c. kesamaan hak; d. keseimbangan hak dan kewajiban; e. keprofesionalan; f. partisipatif; g. persamaan perlakuan/tidak diskriminatif; h. keterbukaan; i. akuntabilitas; j. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan; k. ketepatan waktu; dan l. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan. Dengan demikian dalam penyusunan Perda PDAM pengganti Perda PDAM 1990 asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut dijadikan pedoman dalam perumusannya.
B. KAJIAN PRAKTIK EMPIRIK Kabupaten
Klungkung
merupakan
dataran
pantai
sehingga
potensi
perikanan laut. Panjang pantainya sekitar 90 Km yang terdapat di Klungkung daratan 20 Km dan Kepulauan Nusa Penida 70 Km. Permukaan tanah pada umumnya tidak rata, bergelombang bahkan sebagian besar berupa bukit-bukit terjal yang kering dan tandus. Hanya sebagian kecil saja merupakan dataran rendah.Tingkat kemiringan tanah diatas 40 % (terjal) adalah seluas 16,47 Km2 atau 5,32% dari Kabupaten Klungkung.
Bukit dan gunung tertinggi bernama Gunung Mundi yang terletak di Kecamatan Nusa Penida. Sumber air adalah mata air dan sungai hanya terdapat di wilayah daratan Kabupaten Klungkung. Air sungai ini mengalir sepanjang tahun. Sedangkan di Kecamatan Nusa Penida sama sekali tidak terdapat sungai. Sumber air di Kecamatan Nusa Penida adalah mata air dan air hujan yang ditampung dalam cubang oleh penduduk setempat. Kabupaten Klungkung termasuk beriklim tropis. Bulan-bulan basah dan bulan-bulan kering antara Kecamatan Nusa Penida dan Kabupaten Klungkung daratan sangat berbeda. Wilayah Kabupaten Klungkung terbagi atas 4 Kecamatan, yaitu: (1) kecamatan Klungkung; (2) Banjarangkan; (3) Dawan; dan (4) kecamatan Nusa Penida. Kecamatan Klungkung merupakan kecamatan terkecil dari 4 (empat) Kecamatan yang ada di Kabupaten Klungkung, dengan batas-batas: di sebelah Utara Kabupaten Karangasem; sebelah Timur Kecamatan Dawan; sebelah Barat Kecamatan Banjarangkan dan sebelah Selatan dengan Selat Badung; dengan luas 2.095 Ha, secara persis semua terletak di daerah daratan pulau Bali. Kecamatan Banjarangkan merupakan Kecamatan yang terletak paling Barat dari 4 (empat) Kecamatan yang ada di Kabupaten Klungkung, dengan batas-batas, sebelah Utara Kabupaten Bangli, sebelah Timur Kecamatan Klungkung, sebelah Barat Kabupaten Gianyar dan sebelah Selatan Selat Badung, dengan luas 45,73 Km². Secara administrasi Kecamatan Banjarangkan terdiri dari 13 Desa, 55 dusun, 26 Desa Adat, dalam usaha untuk memajukan perekonomian di wilayah ini telah didukung dengan beberapa sarana seperti, pasar umum, koperasi, KUD, dan bank, RPD yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memajukan perekonomian desa.
Kecamatan Dawan merupakan Kecamatan yang terletak paling Timur dari 4 (empat) Kecamatan yang ada di Kabupaten Klungkung dengan batas-batas, sebelah Utara dan Timur Kabupaten Karangasem, sebelah Barat Kecamatan Klungkung dan sebelah Selatan Samudra Hindia dengan luas 37,38 Km ². Menurut penggunaannya luas wilayah Kecamatan Dawan terdiri 16,21 % lahan sawah, 17,26 % lahan tegalan, 35,50 % lahan perkebunan, 6,93 % lahan pekarangan 0,21 % kuburan dan lainnya 23,89 %. Kecamatan Nusa Penida terdiri dari tiga kepulauan yaitu pulau Nusa Penida, Pulau Lembongan dan Pulau Ceningan, terdiri dari 16 Desa Dinas, Dengan Jumlah Penduduk 46,749 Jiwa (8.543 KK). Pulau Nusa Penida bisa ditempuh dari empat tempat yaitu lewat Benoa dengan menumpang Quiksilver/Balihai ditempuh +1 jam perjalanan, lewat Sanur dengan menumpang perahu jarak tempuh + 1,5 Jam perjalanan. Lewat Kusamba dengan menumpang Jukung jerak tempuh +1,5 jam perjalanan. sedangkan kalau lewat Padangbai dengan menumpang Kapal Boat yang jarak tempuh + 1 jam perjalanan. Secara umum kondisi Topografi Nusa Penida tergolong landai sampai berbukit.Desa - desa pesisir di sepanjang pantai bagian utara berupa lahan datar dengan kemiringan 0 - 3 % dari ketinggian lahan 0 - 268 m dpl.Semakin ke selatan kemiringan lerengnya semakin bergelombang. Demikian juga pulau Lembongan bagian Utara merupakan lahan datar dengan kemiringan 0- 3% dan dibagian Selatan kemiringannya 3-8 %.Sedangkan Pulau Ceningan mempunyai kemiringan lereng bervariasi antara 8-15% dan 15-30% dengan kondisi tanah bergelombang dan berbukit. Mata pencaharian penduduk adalah pertanian dan sektor perikanan merupakan mata pencaharian utama oleh
6,68% tersebar pada desa-desa pesisir yaitu Suana, Batununggul, Kutampi Kaler, Ped dan Desa Toyapakeh. Di Pulau Lembongan 16,80% penduduk bergerak dibidang perikanan, dan Ceningan 12,88% mengingat kondisi dan topografi daerah maka yang cocok dikembangkan adalah Sektor Pertanian, dan Sektor Pariwisata. Kabupaten Klungkung memiliki permukaan tanah yang pada umumnya tidak rata, bergelombang bahkan sebagian besar berupa bukit-bukit terjal yang kering dan tandus dan hanya sebagian kecil yang berupa daratan. Tingkat kemiringan tanah di atas 40⁰ yang berarti terjal dengan luas 16,47 km2 atau sekitar 5,23 % dari luas kabupaten. Penggunaan lahan di Kabupaten Klungkung sebagian besar digunakan sebagai lahan bukan sawah yaitu seluas 27.655 Ha (terdiri atas lahan kering seluas 27.650 Ha dan lahan lainnya 5 Ha), sedangkan lahan sawah seluas 3.845 Ha. Klungkung daratan dan Kepulauan Nusa Penida mempunyai pantai sepanjang
97,6 km yang
merupakan potensi
perekonomian laut dengan
pengembangan budidaya rumput laut dan penangkapan ikan laut. Jumlah dan distribusi penduduk Kabupaten Klungkung selama 5 tahun setiap tahunnya mengalami peningkatan.Jumlah kepala keluarga juga bertambah setiap tahunnya. Penyebaran penduduk di empat kecamatan di Kabupaten Klungkung
tidak
merata,
yaitu
73,96 %
berada di
daratan
Klungkung
(Banjarangkan, Dawan dan Klungkung) sedangkan 26,04 % berada di Kepulauan Nusa Penida (Nusa, Penida, Lembongan dan Ceningan). Klungkung mempunyai sumber air yang berasal dari sungai dan mata air. Sungai hanya terdapat di Klungkung daratan yang mengalir sepanjang tahun,
sedangkan sumber air di Kecamatan Nusa Penida bersumber dari mata air dan air hujan, air hujan tersebut ditampung di dalam bak penampungan yang disebut cubing yang dibuat oleh penduduk setempat. Curah hujan di Kabupaten Klungkung setiap bulan bervariasi dari 0 mm samapi dengan 349 mm. Kecamatan Banjarangkan merupakan daerah dengan ratarata curah hujan tertinggi yaitu sebesar 211,50 mm dengan rata-rata hari hujan setiap bulannya sebesar 11,67 hari. Curah hujan terendah terjadi di Kecamatan Nusa Penida dengan rata-rata curah hujan sebesar 75,75 mm dan rata-rata hari hujan 5,58 hari. Kabupaten Klungkung tidak banyak mempunyai sumber mata air besar yang dapat langsung digunakan oleh masyarakat.Sumber produksi yang tersedia adalah mata air dan sumur bor yang didistribusikan menggunakan pompa dan gratifikasi.Sumber daya air yang tersedia seperti sungai belum tergarap secara optimal, padahal Kabupaten Klungkung merupakan daerah hilir beberapa sungai besar yang ada di Bali. Berdasarkan data yang ada, terdapat 14 sungai yang melalui Kabupaten Klungkung yaitu: NO
NAMA SUNGAI Tukad Bubungan Tukad Unda Tukad Telaga Waja Tukad Belatung Tukad Rangka Tukad Lantang Tukad Samu Tukad Pulo Tukad Anyar Tukad Menanga
PANJANG (M) 6000 24.000 33.000 24.000 33.600 32.800 32.800 33.600 31.400 30.000
Tukad Jinah Tukad Bubuh Tukad Bilok Tukad Melangit
30.000 32.600 32.600 32.600
Klungkung yang memiliki visi “Unggul dan Sejahtera” mengandung pengertian wilayah Kabupaten Klungkung yang memiliki sumber-sumber daya yang unggul (lebih tinggi dari wilayah lainnya) dengan masyarakatnya yang aman sentosa. Menciptakan Klungkung yang Unggul dan Sejahtera juga mengandung pengertian usaha menciptakan keunggulan di sektor tertentu guna menciptakan masyarakat yang cukup pangan, sandang, papan dan kualitas hidupnya meningkat secara lahir batin menuju suatu peradaban manusia yang unggul, sosial ekonomi yang lebih baik, atau yang lebih modern sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945. “Klungkung yang Unggul” dimaksudkan terwujudnya Klungkung sebagai pusat pengembangan kegiatan kesenian dan budaya unggulan daerah yang didukung oleh kualitas SDM dan sumber sumber daya keunggulan lokal meliputi pengembangan pusat pasar Bali Timur, menjadikan RSUD Klungkung sebagai pusat rujukan Bali Timur dan pengembangan potensi sosial ekonomi Nusa Penida sebagai kawasan Wisata terpadu. Klungkung yang Sejahtera diwujudkan melalui peningkatan kesejahteraan sosial dan kesejahteraan ekonomi serta daya saing daerah
seluruh
masyarakat
Kabupaten
Klungkung
meliputi
peningkatan
pendapatan perkapita, penurunan angka kemiskinan, danpeningkatan IPM (peningkatan derajat kesehatan, mutu pendidikan dan paritas daya beli).
Dalam upaya pembangunan Klungkung kedepan, ditetapkan beberapa Misi yang diantaranya: 1. Penguatan dan peningkatan eksistensi adat budaya Bali. 2. Meningkatkan kualitas dan daya saing sumber daya manusia Kabupaten Klungkung. 3. Peningkatan
kesejahteraan
sosial
melalui
pemberdayaan
ekonomi
masyarakat. 4. Meningkatkan
perekonomian
yang
berbasis
kerakyatan
dengan
mengedepankan kosepsi kemitraan. 5. Terciptanya kepastian hukum agar terwujud ketentraman dan ketertiban masyarakat. 6. Mewujudkan pemerintahan yang baik berdasarkan prinsip good coorporate governance. 7. Pengembangan jasa layanan kepada masyarakat yang lebih baik. 8. Mewujudkan pembangunan daerah yang selaras dan seimbang. 9. Pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup dalam pemanfaatannya yang berkelanjutan. 10. Penyediaan
sarana
dan
prasarana
wilayah
yang
mengakomodir
perkembangan wilayah dan kebutuhan masyarakat. 11. Penguatan stabilitas politik dan keamanan di seluruh wilayah Kabupaten Klungkung.
Pada misi yang ketujuh (7), terkait pengembangan jasa layanan kepada masyarakat yang lebih baik, dapat ditujukan pada pelayanan penyediaan air bersih.Penyediaan air bersih dilayani oleh Perusahaan Daerah Air Minum Air Minum (PDAM) Kabupaten Klungkung. Jumlah pelanggan air minum Kabupaten Klungkung terbanyak ada di Kecamatan Klungkung.Karena banyaknya jumlah
penduduk dan merupakan pusat pemerintahan. Sedangkan pelanggan terendah terdapat di kecamatan Nusa Penida.25 Sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah, Pemerintah Kabupaten Klungkung telah mempunyai kebijakan berkaitan dengan pengelolaan kawasan mata air, antara lain sebagai berikut: a) Mencegah dilakukan kegiatan budidaya di sekitar mata air yang dapat mengganggu fungsi mata air (terutama sebagai sumber air baku) b) Pengendalian kegiatan yang telah ada di sekitar mata air c) Radius pengamaan sekitar mata air dapat lebih kecil dari 200 meter hanya bagi banguan/kegiatan terkait dengan dengan pengamanan dan pemanfaatan mata air secara terkendali, serta tidak mengganggu mata air. Pembangunan prasarana air bersih telah menjadi salah satu prioritas pengembangan sektoral Pemerintah kabupaten Klungkung, hal ini dapat dilihat dari kebijakan pengembangan sistem penyediaan air bersih sebagai berikut: a) Kebijakan Pengembangan Sistem Prasarana Air Bersih di Wilayah Klungkung Daratan b) Peningkatan pelayanan air bersih baik di perkotaan maupun di pedesaan dengan mengadakan perluasan jaringan termasuk rehabilitasi jaringan yang sudah tidak sesuai lagi; c) Sistem pelayanan Klungkung daratan memanfaatkan Mata Air Tohpati, Mata Air Bangbang, Mata Air Rendang, Mata Air Bajing, Sumur Bor Sema Agung dan Sumur Bor Pikat;
25
199
Badan Pusat Statistik Kabupaten Klungkung, 2014, Klungkung Dalam Angka 2014, h. 198-
d) Pengembangan
estuary
dam
Tukad
Unda
untuk
melayani/memenuhi
kebutuhan air di wilayah SARBAGITAKU (Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan dan Klungkung. e) Kebijakan Pengembangan Sistem di Wilayah Klungkung Kepulauan f) Pengembangan sistem prasarana air bersih di Nusa Penida jangka pendek, melalui:
Pengembangan teknologi cubang untuk wilayah yang tidak terlayani sistem utama.
Evaluasi Catudaya
g) Optimalisasi layanan sistem utama yang meliputi:
Peningkatan pelayanan Mata Air Guyangan dan Mata Air Tabanan;
Peningkatan pelayanan Sistem penida
h) Pengembangan sistem prasarana air bersih di Nusa Penida jangka panjang, melalui:
Pengembangan sistem guyangan yang potensial untuk dijadikan sistem utama (induk) sedangkan sistem lainnya adalah merupakan sistem pendukung. Sistem pendukung dapat dihidupkan apabila ternyata terjadi peningkatan permintaan yang luar biasa dan terjadi penurunan debit Mata Air Guyangan, sehingga sistem induk tidak dapat menyokong sistem secara keseluruhan.
Pelayanan dari sistem Guyangan harus dipadukan dengan sistem yang telah ada sebelumnya dengan kata lain melakukan koneksi Sistem Guyangan dengan jaringan local.
i) Pengembangan Sistem Prasarana air bersih di Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan, melalui:
Pemanfaatan air
tanah dengan pembuatan sumur
bor/gali dan
pembuatan sistem penyediaan air bersih secara parsial meliputi, Jungut Batu (Tukad Pangkung), Desa Lembongan (sekitar kantor desa) dan Pulau Ceningan;
Pengembangan dan membangun jaringan pipa dari Pulau Nusa Penida;
Penanganan dengan sistem jaringan (osmosis) atau destilasi;
Pengambilan air dengan Ponton.
BAB III ANALISIS DAN EVALUASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
Bab III yang berjudul tentang Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundangundangan ini, menekankan pada upaya untuk menghindari konflik norma ketika peraturan daerah ini dilaksanakan. Judul tersebut menampakkan 2 proposisi, yakni Analisis Peraturan Perundang-undangan dan Evaluasi Peraturan Perundangundangan. Secara gramatikal, “analisis” diartikan sebagai berikut26 : a. penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dsb) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya, dsb); b. penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antarbagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan;
26 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi Keempat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008 h. 58
c. penyelidikan kimia dengan menguraikan sesuatu untuk mengetahui zat bagiannya dsb; penjabaran sesudah dikaji sebaik-baiknya; d. pemecahan persoalan yang dimulai dengan dugaan akan kebenarannya;
Keempat pengertian diatas, mendeskripsikan tentang konsep “analisis atau analisa” itu sendiri. Huruf a dan b, merupakan deskripsi yang tepat sebagai kajian guna mencari esensi sumber dari aturan yang akan dibuat dengan mendasarkan pada aturan yang lebih tinggi. Mengenai “evaluasi” secara gramatikal berarti penilaian27. Tindakan melakukan penilaian terhadap peraturan perundang-undangan berkaitan dengan menilai apakah rancangan peraturan daerah yang akan dibentuk ini bertentangan atau tidak dengan aturan yang lebih tinggi. Beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyusunan Peraturan Daerah tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung,adalah : 1) Undang-Undang No. 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur 2) Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (karena Putusan MK membatalkan seluruh ketentuan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air) 3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme 4) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 5) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah 6) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1998 Tentang Bentuk Hukum Badan Usaha Milik Daerah 7) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian PDAM. 27Ibid,
h. 384
Kedelapan peraturan perundang-undangan diatas memiliki keterkaitan dengan rancangan peraturan daerah Kabupaten Klungkung tentang Perubahan Atas Perda PDAM. Guna menjamin harmonisasi dan sinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Maka akan dijabarkan lebih lanjut analisa dan evaluasi peraturan perundang-undangan tersebut. 1. Undang-Undang No. 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur Pasal 1. (1) Wilayah : 1. Daerah Swapraja Buleleng. 2. Daerah Swapraja Jembrana; 3. Daerah Swapraja Badung; 4. Daerah Swapraja Tabanan; 5. Daerah Swapraja Gianyar; 6. Daerah Swapraja Klungkung; 7. Daerah Swapraja Bangli; 8. Daerah Swapraja Karangasem; 1 sampai dengan 8 dimaksud dalam Staatsblad 1946 No. 143 masing-masing dibentuk sebagai daerah-daerah tingkat II, termasuk dalam Daerah tingkat I Bali, dengan diberi nama-nama: 1. Daerah tingkat II Buleleng; 2. Daerah tingkat II Jembrana; 3. Daerah tingkat II Badung; 4. Daerah tingkat II Tabanan; 5. Daerah tingkat II Gianyar; 6. Daerah tingkat II Klungkung; 7. Daerah tingkat II Bangli. 8. Daerah Tingkat II Karangasem Dengan adanya pengaturan dari Undang-Undang No. 69 Tahun 1958 mengenai Daerah tingkat II Klungkung sebagai daerah Swapraja memberikan legitimasi dari eksistensi kabupaten Klungkung. Dengan demikian, kabupaten Klungkung memiliki wewenang dalam menetapkan Peraturan Daerah.
2. Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (karena Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 membatalkan seluruh ketentuan dalam UndangUndang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air) Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 terdapat beberapa ketentuan yang menjadi acuan dari eksistensi PDAM, yaitu: Pasal 3 (1) Air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalanmya seperti dimaksud dalam Pasal 1 angka 3, 4 dan 5 Undangundang ini dikuasai oleh Negara. (2) Hak menguasai oleh Negara tersebut dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang kepada Pemerintah untuk : a. Mengelola serta mengembangkan kemanfaatan air dan atau sumbersumber air; b. Menyusun mengesahkan, dan atau memberi izin berdasarkan perencanaan dan perencanaan teknis tata pengaturan air dan tata pengairan; c. Mengatur, mengesahkan dan atau memberi izin peruntukan, penggunaan, penyediaan air, dan atau sumber-sumber air; d. Mengatur, mengesahkan dan atau memberi izin pengusahaan air, dan atau sumber-sumber air; e. Menentukan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum dan hubungan-hubungan hukum antara orang dan atau badan hukum dalam persoalan air dan atau sumber-sumber air;
Pada Pasal 3 ayat (1) memberikan pemahaman bahwa Air yang menyangkut kemaslahatan hidup bangsa harus dikuasai oleh negara.Kemudian Pemerintah menentukan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum dan hubunganhubungan hukum antara orang dan atau badan hukum dalam persoalan air dan atau sumber-sumber air. Pasal 4, menentukan: Wewenang Pemerintah sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 Undang- undang ini, dapat dilimpahkan kepada instansi-instansi Pemerintah,
baik Pusat maupun Daerah dan atau badan-badan hukum tertentu yang syaratsyarat dan cara-caranya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan Pasal 3 dan 4 ini menjadi dasar hukum dari eksistensi PDAM dalam rangka mengelola penyediaan air bersih.
3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Pasal 2 Penyelenggara Negara meliputi: b. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; c. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; d. Menteri; e. Gubernur; f. Hakim; g. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundanganyang berlaku; dan h. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya denganpenyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundanganyang berlaku. Dalam bagian Penjelasan angka 7, menyatakan yang dimaksud dengan “pejabat lain yang memiliki fungsistrategis” adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya didalammelakukan penyelenggaraan negara rawan terhadap praktekkorupsi, kolusi, dan nepotisme, yang meliputi:Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya padaBadan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha MilikDaerah; dan lainnya. Salah satu organ dalam PDAM adalah Direksi, oleh sebab itu dalam menjalankan wewenangnya harus tunduk pada Undang-Undang ini. Pasal 3 Asas-asas umum penyelenggaraan negara meliputi: 1. Asas Kepastian Hukum; 2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;
3. 4. 5. 6. 7.
Asas Kepentingan Umum; Asas Keterbukaan; Asas Proporsionalitas; Asas Profesionalitas; dan Asas Akuntabilitas.
Dikarenakan dalam Peraturan Daerah terdapat celah adanya tindakan yang menyebabkan kurangnya efektifitas dari penyelenggaraan PDAM di Kabupaten Klungkung karena adanya kekosongan norma pada hal-hal yang bersifat strategis demi mewujdukan tertib penyelenggaraan negara dan profesionalitas, maka perlu Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung.
4. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 mensyaratkan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di perlukan Naskah Akademik yang harus dilampirkan dalam Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan
Peraturan
pembentukannya
harus
Daerah
Kabupaten/Kota.
menggunakan
asas-asas
Disamping Pembentukan
itu
Peraturan
Perundang-undangan yang baik, sebagai pedoman, asas tersebut meliputi: a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan.
dalam
Selain itu ada asas yang dimuat dalam materi muatan dalam sebuah peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas: pengayoman; kemanusiaan; kebangsaan; kekeluargaan; kenusantaraan; bhinneka tunggal ika; keadilan; kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Dengan demikian pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung tentang Perusahaan Daerah Air Minum, harus menggunakan undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai dasar.
5. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Esensi Undang-Undang Pemerintahan Daerah, menekankan pada asas otonomi daerah. Dimana asas otonomi daerah ini bersentuhan dengan hak, wewenang, dan kewajibandaerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiriUrusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakatsetempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian kewenangan pusat telah dilimpahkan kepada daerah, dalam hal pemenuhan hak asasi manusia sebagaimana dijamin oleh Konstitusi termasuk dalam penyediaan air bersih. Dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah ini juga mengatur beberapa hal terkait dengan BUMD, yang patut diperhatikan dalam pembentukan Peraturan Daerah Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung, diantaranya :
1) Pasal 331 ayat (4) Pendirian BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)bertujuan untuk: a. memberikan manfaat bagi perkembangan perekonomianDaerah pada umumnya; b. menyelenggarakan kemanfaatan umum berupapenyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu bagipemenuhan hajat hidup masyarakat sesuai kondisi,karakteristik dan potensi Daerah yang bersangkutanberdasarkan tata kelola perusahaan yang baik; dan c. memperoleh laba dan/atau keuntungan. 2) Pasal 335 ayat (1), menentukan : Organ perusahaan umum Daerah terdiri atas kepala daerahselaku wakil Daerah sebagai pemilik modal, direksi dandewan pengawas. Dalam ketentuan ini tepat menjadi rujukan dalam perubahan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung, yang terkait dengan hal: a) Istilah dalam Peraturan Daerah No. 11 Tahun 1990 masih menggunakan Badan Pengawas. b) Dalam Peraturan Daerah No. 11 Tahun 1990 hanya menunjukkan organ PDAM adalah Direksi dan Dewan Pengawas. Sehingga Bupati sebagai Ketua Dewan Pengawas. Padahal di dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, menekankan pada Bupati sebagai pemilik modal. 3) Pasal 337 ayat (1), menentukan: Perusahaan umum Daerah dapat melakukanrestruksturisasi untuk menyehatkan perusahaan umumDaerah agar dapat beroperasi secara efisien, akuntabel,transparan, dan profesional. Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung, dalam rangka restrukturisasi dengan merevisiketentuan yang terkait dengan organ PDAM, sehingga mampu beroperasi secara efisien, akuntabel, transparan dan professional. 6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1998 Tentang Bentuk Hukum Badan Usaha Milik Daerah Dalam Peraturan Menteri ini terdapat suatu ketentuan yang terkait dengan Perubahan atas Peraturan Daerah tentang Pendirian PDAM yaitu: Pasal 2 yang menentukan : Bentuk Hukum Badan Usaha Milik Daerah dapat berupa Perusahaan Daerah (PD) atau Perseroan Terbatas (PT).
Dengan adanya ketentuan dalam Pasal 2 tersebut, maka menjadi pertimbangan dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Perubahan Atas Peraturan Daerah No. 11 Tahun 1990 dalam hal status BUMD dari PDAM.
7. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian PDAM. Ketentuan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri ini menjadi rujukan dalam perubahan organ dan Kepegawaian PDAM secara keseluruhan. Kajian yang komprehensif telah dilakukan pada Bab I.
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
Pemikiran akan landasan filosofis, sosiologis dan yuridis merupakan aktualisasi dari teori Keberlakun Hukum (Gelding Theory). Teori ini didasari pada pemahaman bahwa perundang-undangan yang baik harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu syarat filosofis, sosiologis dan yuridis. Implementasi dari teori keberlakuan
hukum
ini,
telah
menjadi
bagian
dari
salah
satu
asas
PembentukanPeraturan Perundang-undangan yang baik, yang diatur dalam Pasal 5 huruf d Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yaitu asas dapat dilaksanakan. Lebih lanjut beberapa asas lainnya yang diatur di dalam Pasal 5 UndangUndang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan wajib mendasarkan pada :
a. b. c. d. e. f. g.
Kejelasan tujuan Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat Kesesuaian antara jenis,hirarkhi dan materi muatan Dapat dilaksanakan Kedayagunaan dan kehasilgunaan Kejelasan rumusan Keterbukaan
Disamping asas-asas tersebut dalam Pasal 5, asas lainnya yang juga harus terkandung pada peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan adalah : a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.
Pengayoman Kemanusiaan Kebangsaan Kekeluargaan Kenusantaraan Bhineka Tunggal Ika Keadilan Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan Ketertiban dan Kepastian hukum dan/: Keseimbangan,Keserasian dan keselarasan
Untuk mewujudkan materi muatan
peraturan perundangan di atas
diperlukan dasar untuk menjadi pijakan tentang dibentuknya sebuah peraturan perundangan. Asas-asas peraturan perundangan di atas memberikan pemahaman bahwa
setiap
Pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan
harus
memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
4.1 Landasan Filosofis
Joeniarto28, mengatakan nilai filosofis, suatu peraturan perundang-undangan harus mencerminkan nilai keadilan dan kepastian. Disamping itu syarat filosofis berkaitan dengan cita hukum “rechtsidee”. Esensi dari landasan filosofis ini juga dapat ditemukan pada eksistensi Pasal 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan,
yang
menentukan
“Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara. Hal ini dimaksudkan dengan adanya kebijakan semacam itu, maka kehendak the founding fathers kita yang termaktub dalam pembukaan bisa terwujud. Tujuan didirikannya
Perusahaan Daerah Air Minum adalah untuk
memberikan manfaat dan memenuhi kebutuhan masyarakat daerah akan air bersih demi tercapainya kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945, bahwa Pemerintah Daerah mempunyai hak untuk menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lainnya untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan, bahwa Peraturan Daerah
merupakan
suatu
produk
yang
menjadi
sarana
legislasi
dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Metode dan tata cara pembangunan daerah satu dengan yang lainnya sangat berbeda, begitu juga dengan karakteristik serta geografis suatu daerah juga sangat mempengaruhi nilai-nilai yang terkandung di dalam masyarakat, seperti social budaya, adat istiadat, ekonomi dan nilai lainnya. Dengan mengenal lebih jauh nilainilai yang terkandung dalam masyarakat serta mengenal kondisi geografis wilayah 28 Joeniarto, Selayang Pandang Tentang Sumber Sumber Hukum Tata Negara Di Indonesia, Yogyakarta, Liberty, Jogyakarta, 1980, cet II, h.15.
suatu daerah, pemerintah melalui perusahaan daerah air minum dapat memberikan pelayanan yang optimal dan merata kepada seluruh masyarakat. Pemerintah Kabupaten Klungkung sudah memiliki Peraturan Daerah tentang Perusahaan Daerah Air Minum, untuk mengakomodasi perkembangan yang terjadi dalam masyarakat dan mengoptimalkan pelayanan PDAM bagi masyarakat di Kabupaten Klungkung, maka diperlukan adanya Perda Perubahan Atas Perda No 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung.
4.2 Landasan Sosiologis Berkaitan dengan syarat sosiologis, Robert Seidman dan Ann Seidman,29 mengatakan kelemahan utama dalam suatu peraturan perundang-undangan dewasa ini yaitu kegagalannya mengungkap dengan jelas hubungan sebab akibat antara Undang-Undang
(norma-norma
hukum)
dengan
kenyataan
sosial
dan
pembangunan. Dengan demikian syarat ini menekankan pada adanya relasi antara kebijakan yang dibuat dan kenyataan di masyarakat. Berdasarkan
amanat
Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik
IndonesiaTahun 1945 itu, Pemerintah mempunyai kewajiban melaksanakan kebijakan untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan jumlah usaha yang dapat membantu masyarakat dalam menciptakan pekerjaan sendiri. Proses penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang ranperda
wajib
memberikan
keikutsertaan
masyarakat
melalui
partisipasi
masyaraka. Roscoe Pound mengemukakan pada fungsi hukum sebagai alat untuk 29 Ann Seidman, Robert Seidman, Penyusunan RUU Dalam Perubahan Masyarakat Yang Demokratis, Penyunting, Yohanes Usfunan cs., Elips, Jakarta, 2002, h.30.
merubah masyarakat (law as atool of social engineering), menyatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan hukum yang hidup di dalam
masyarakat30. Pemikiran ini diawali oleh penelitian untuk memberikan dasar ilmiah pada proses penentuan hukum (legal policy making). Kabupaten Klungkung wilayahnya terbagi menjadi dua, yaitu wilayah daratan yang terdiri dari tiga kecamatan dan wilayah laut yaitu Kepulauan Nusa Penida, terpisahnya wilayah Kabupaten Klungkung menyebabkan berbeda juga ketersediaan air bersih bagi masyarakatnya.Faktor geografis dan topografi wilayah amat menentukan hal tersebut, sehingga PDAM belum mampu memberikan pelayanan ke semua kelurahan/desa yang ada di Kabupaten Klungkung khususnya yang terletak di Kecamatan Nusa Penida. Kabupaten Klungkung tidak mempunyai banyak sumber mata air besar yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, tapi memiliki sungai yang merupakan daerah hilir dari beberapa sungai besar yang ada di Bali, namun sungai-sungai yang merupakan sumber daya air tersebut belum tergarap secara optimal. Perbedaan luas wilayah dan kepadatan antara satu kecamatan yaitu Nusa Penida dan tiga kecamatan lainnya dapt dikatakan sebagai salah satu faktor belum meratanya pelayanan yang dapat diberikan oleh PDAM, mengingat beberapa kelurahan/desa yang belum dapat menikmati pelayanan PDAM terletak di kecamatan Nusa Penida. Jadi dengan dibentuknya Perda Perubahan ini diharapkan
30 Lili Rasjidi & Arief Sidharta, Filsafat Hukum – Mashab dan Refleksinya, PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 1988, h.8
mampu
memenuhi
kebutuhan
semua
masyarakat
akan
air
bersih
demi
kelangsungan hidup seluruh masyarakat.
4.3 Landasan Yuridis Persyaratan yuridis “juridische gelding” sangat penting dalam pembuatan Undang-undang. Menurut, Bagir Manan31hal-hal penting yang harus diperhatikan : Pertama, keharusan adanya pemberian wewenang dari pembuat peraturan perundang-undangan. Setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang. Kalau tidak peraturan perundang-undangan itu batal demi hukum “van rechtwegeneitig”. Dianggap tidak pernah ada dan segala akibatnya batal secara hukum. Kedua, keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundangundangan dengan materi yang diatur, terutama kalau diperintahkan oleh perundang-undangan tingkat lebih tinggi atau sederajat. Ketiga, keharusan mengikuti tata cara tertentu. Apabila tata cara tersebut tidak diikuti, peraturan perundang-undangan mungkin batal demi hukum. Misalnya keharusan Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD. Keempat, keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Dengan demikian dalam Pembentukan Rancangan Peraturan Daerah ini, maka harus menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, adapun yang menjadi hirarki Peraturan perundang-undangan adalah Undang-Undang Dasar, TAP MPR, Undang-Undang/Perppu, PP, Perpres, Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota. Pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung maka harus didasarkan pada aturan yang lebih tinggi. Untuk mewujudkan tujuan hukum yang 31
Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundangan Di Indonesia, Indo Hill, Co. Jakarta, 1992, h.152.
baik juga, diperlukan penyesuaian dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan asas materi muatan peraturan perundang-undangan yang telah diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menentukan bahwa DPRD kabupaten/kota mempunyai tugas dan wewenang untuk membentuk Perda kabupaten/kota bersama-sama dengan bupati/wali kota berdasarkan ketentuan Pasal 154 ayat (1) butir a. Ketentuan tersebut dapat menjadi rujukan untuk DPRD membentuk Perda. Disamping itu juga mendasarkan pada Undang-Undang No. 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme serta Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1984 tentang Pengairan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dapat dijadikan landasan dalam pembentukan Perda Perubahan. Begitu pula Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1984 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Perusahaan Daerah di Lingkungan Pemerintah Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1998 tentang Bentuk Hukum Badan Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2006 tentang Pedoman Teknis
dan Tata Cara Pengaturan Tarif Air Minum Perusahaan Daerah Air Minum, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah Air, dan ketentuan terkait lainnya juga dapat dijadikan sebagai dasar bagi pembentukan Perda Perubahan atas Perda Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung. Berdasarkan uraian di latar belakang, yang menunjukkan adanya kekosongan norma dalam peraturan daerah, maka perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung No. 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum dalam rangka menjamin kepastian hukum.
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN 5.1 Sasaran yang akan Diwujudkan Dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, naskah akademik harus merumuskan sasaran yang akan diwujudkan dari penetapan sebuah peraturan
perundang-undangan.
Sehubungan
dengan
itu,
dalam
upaya
penyusunan Naskah Akademik Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung No. 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum (Ranperda PDAM) akan dijabarkan tentang sasaran yang akan diwujudkan. Sasaran yang akan diwujudkan dari Rancangan Peraturan Daerah ini, adalah: 1. Penyelenggaraan organ PDAM Kabupaten Klungkung yang efektif, professional, transparan dan akuntabilitas. 2. Mewujudkan Penyelenggaraan PDAM yang berdasarkan prinsip Good Corporate Governance
3. Memberikan kepastian hukum sebagai solusi dalam mengatasi kekosongan hukum yang ada dalam Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung No. 11 Tahun 1990. 5.2 Arah dan Jangkauan Pengaturan Arah
dari
pengaturan
Rancangan
Peraturan
Daerah
Kabupaten
Klungkung tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah No. 11 Tahun 1990 tentang Perusahaan Daerah Air Minum, adalah mengubah celah-celah tindakan penyalahgunaan wewenang dan kesewenang-wenangan yang dikarenakan kekosongan hukum dalam Peraturan Daerah.
5.3 Ruang Lingkup Materi Muatan Ruang lingkup materi muatan dalam Peraturan Daerah tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung No. 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum, adalah: KETENTUAN Mekanisme Pemilihan Dirut Kembali Syarat Dirut dapat dipilih kembali Direksi
Tentang Uji kelayakan terhadap calon Direktur Utama
Perlunya evaluasi “kinerja” Dirut yang lama Persyaratan 1) Kualifikasi pendidikan, 2) usia, 3) pengalaman kerja, 4) lulus pelatihan manajemen air minum, 5) batasan berapa kali menjabat sebagai Direksi, bersedia bekerja penuh waktu 6) tidak terikat hubungan keluarga dengan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah atau Dewan Pengawas atau Direksi lainnya sampai derajat ketiga menurut garis lurus atau kesamping termasuk menantu dan ipar;
7) lulus uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh tim ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. Prosedur Pengangkatan Direksi Pengaturan Rangkap Jabatan Direksi Tugas dan Wewenang Direksi Penghargaan terhadap Direksi Mekanisme Pemberhentian Direksi Istilah Badan Pengawas Dewan Pengawas
Tanpa Persetujuan Gubernur
Dewan Pengawas
Syarat calon anggota Dewan Pengawas
Dewan Pengawas Dewan Pengawas
Larangan memiliki hubungan keluarga antara dewan pengawas dengan direksi Kewenangan
Dewan Pengawas
Jumlah Dewan Pengawas
Dewan Pengawas
Kepegawaian PDAM
Batasan berapa kali masa jabatan anggota Dewan Pengawas. tidak mengatur kriteria pengangkatan anggota Dewan Pengawas tugas dan wewenang Dewan Pengawas tidak komprehensif. Mekanisme pemberhentian anggota Dewan Pengawas. Mekanisme Pengangkatan
Kepegawaian PDAM
Kedudukan hukum, gaji, pensiun
Kepegawaian PDAM
Cuti
Kepegawaian PDAM
Penghargaan dan Tanda Jasa kepada Pegawai PDAM Kewajiban dan larangan pegawai PDAM
Dewan Pengawas Dewan Pengawas Dewan Pengawas
Kepegawaian PDAM Kepegawaian PDAM Kepegawaian PDAM
Larangan rangkap jabatan Tugas dan Wewenang Direksi Pemberian insentif kepada Direksi Konsekuensi Direksi tidak hadir dalam persidangan Dewan Pengawas. Dirubah menjadi Dewan Pengawas Batas usia Dewan Pengawas
Pelangggaran dan pemberhentian pegawai PDAM. Dana Pensiun Pegawai
BAB VI PENUTUP
Standar materi Bab ini ditentukan di dalam Lampiran I angka 6 UUP3. Bab penutup terdiri atas subbab simpulan dan saran. Simpulan memuat rangkuman pokok pikiran yang berkaitan dengan praktik penyelenggaraan, pokok elaborasi teori, dan asas yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya. A. KESIMPULAN
1. Alinea ke - 4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945), mencerminkan suatu kerangka teoritik tentang kewajiban konstitusional Pemerintahan Negara, termasuk Pemerintah Daerah, untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum, termasuk penyediaan air minum atau air besih, dengan tetap memperhatikan kelestarian sumber daya air dalam rangka penyelenggaraan penyediaan air bersih yang berkelanjutan. Eksistensi peraturan daerah ini akan menjamin dan melindungi hak rakyat atas ketersediaan air bersih di satu sisi dan perlindungan serta penyelamatan sumber daya air pada sisi lainnya, sebagai bentuk pemenuhan syarat terhadap asas legalitas dalam negara hukum “rechtstaat”, yang mensyaratkan bahwa bentuk perlindungan itu harus diatur dalam instrumen hukum, di daerah berupa Peraturan Daerah. Peraturan daerah itu merupakan legitimasi hukum bagi pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang akutabel, yaitu pelayanan publik berdasarkan atas hukum. Upaya perlindungan hak rakyat yang dimplementasikan dalam bentuk pelayanan
dilakukan melalui
pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai cerminan konstruktif dari bentuk negara, negara berdasarkan atas hukum. Peraturan perundang-undangan yang dibentuk harus taat asas dan taat materi pengaturan sebagaimana diatur di dalam UUP3. 2. Secara empiris kondisi kabupaten Klungkung yang secara topografis berbukitbukit, memiliki sumber air terbatas, yaitu pada mata air dan sungai yang terdapat di wilayah daratan Kabupaten Klungkung. Berbeda dengan di Kecamatan Nusa Penida sama, yang sumber air nya berasal dari mata air dan air
hujan yang ditampung dalam cubang oleh penduduk setempat. Dengan kondisi topografi seperti itu, maka diperlukan kebijakan-kebijakan inovatif oleh PDAM dalam meningkatkan pelayanan akan kebutuhan air bersih bagi masyarakat kabupaten Klungkung seluruhnya. Ditambah dengan adanya kebijakan prioritas pemerintah daerah kabupaten Klungkung yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan mata air serta pembangunan prasarana air bersih. Kondisi demikian menyebabkan pentingnya peningkatan pelayanan melalui pengaturan organisasi PDAM dalam hal struktur kelembagaan yang tepat, mengatur hak dan kewenangan dari pengurus serta mekanisme pengawasan. Hal ini dalam rangka mewujudkan good corporate governance dalam PDAM. Sehingga esensi dari Rancangan Peraturan Daerah tentang PDAM yang merupakan perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung No. 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum dalam mewujudkan optimalisasi pelayanan akan air bersih dapat terwujud. 3. Evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan menghasilkan fakta hukum yang menunjukkan bahwa UU Pemda dan Permendagri No. 2 Tahun 2007
tentang
Organ
dan
Kepegawaian
PDAM
menyediakan
alokasi
kewenangan yang menentukan bahwa struktur, ruang lingkup, dan materi pengaturan organisasi PDAM. Undang-Undang No. 23/2014 menentukan agar pendirian BUMD, bertujuan untuk: a. memberikan manfaat bagi perkembangan perekonomianDaerah pada umumnya; b. menyelenggarakan kemanfaatan umum berupapenyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu bagipemenuhan hajat hidup masyarakat sesuai kondisi,karakteristik dan potensi Daerah yang bersangkutanberdasarkan tata kelola perusahaan yang baik; dan
c. memperoleh laba dan/atau keuntungan. Sedangkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian PDAM menjadi rujukan dalam perubahan organ dan Kepegawaian PDAM secara keseluruhan. 4. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian PDAM diharuskan untuk membentuk Perda kabupaten Klungkung terkait perubahan Peraturan Daerah Klungkung No. 11 Tahun 1990 tentang
Pendirian
Perusahaan
Daerah
Air
Minum.
Dalam
rangka
penyelenggaraan organ PDAM Kabupaten Klungkung yang efektif, professional, transparan dan akuntabilitas. Serta Mewujudkan Penyelenggaraan PDAM yang berdasarkan prinsip Good Corporate Governance B. SARAN 1. Pemerintah Daerah Kabupaten Klungkung disarankan untuk membentuk Perda Kabupaten sesuai dasar kewenangan dan materi kewenangan sebagaimana ditentukan oleh UU Pemda dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian PDAM. 2. Perlunya pemilahan substansi Naskah Akademik dalam suatu Peraturan Perundang-undangan atau Peraturan Perundangundangan di bawahnya.
DAFTAR BACAAN Buku Literatur : A.V Dicey, 1987, Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution, Fifth edition, London, Macmillan And Co., Limited New York: The Macmillan Company, p. 179-187
Ann Seidman, Robert Seidman, 2002, Penyusunan RUU Dalam Perubahan Masyarakat Yang Demokratis, Penyunting, Yohanes Usfunan cs., Elips, Jakarta Badan Pusat Statistik Kabupaten Klungkung, 2014, Klungkung Dalam Angka 2014 Bagir Manan, 1992, Dasar-Dasar Perundangan Di Indonesia, Indo Hill, Co. Jakarta Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi Keempat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. George Whitecross Paton, 1951, A Text-Book of Jurisprudence, Clarendon Press, Oxford, h. 20. H. Rosjidi Ranggawidjaja, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, Penerbit CV Mandar Maju, Bandung. Hamid Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analis: Keputusan Presiden Yang Berfungsi Peraturan Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita V, Disertasi PPS Universitas Indonesia. Hans Kelsen, 2006, General Theory of Law and State, Transaction Publishers, New Brunswick. Jimly Asshidiqqie, 2011, Perihal Undang-Undang, Cetakan Ke II, RajaGrafindo Persada, Jakarta Joeniarto, 1980, Selayang Pandang Tentang Sumber Sumber Hukum Tata Negara Di Indonesia, Yogyakarta, Liberty, Jogyakarta, cet II Lili Rasjidi & Arief Sidharta, 1988, Filsafat Hukum – Mashab dan Refleksinya, PT Remaja Rosda Karya, Bandung Lung-chu Chen, 1989, An Introduction to Contemporary International Law: A Policy Oriented Perspective, Yale University Press, New York. Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-undangan, Penerbit Kanisius, Jogjakarta Moh. Mahfud MD, 1993, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty, Jogjakarta Myres S. McDougal and W. Michael Reisman, International Law in Policy-Oriented Perspective, dalam R. St Johnston and J. Macdonald Douglas, The Structure and Process of International Law: Essays in Legal Philosophy, Doctrine and Theory, Martinus Nijhoff Publishers, The Hague, 1983. PH. Collin, 2004, Dictionary of Law, Fourth Edition, Bloomsbury Publishing Plc, London. Peraturan Perundang-undangan : Undang-Undang No. 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur
Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (karena Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 membatalkan seluruh ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1998 Tentang Bentuk Hukum Badan Usaha Milik Daerah Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian PDAM. Amar Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013, 17 September 2015 angka 5. Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung.
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR [ ] TAHUN [ ] TENTANG PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM [TIRTA MAHOTTAMA] DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KLUNGKUNG, Menimbang
:
a. bahwa Perusahaan Daerah Air Minum [Tirta Mahottama] merupakan Perusahaan Daerah yang melakukan pelayanan publik dalam pemenuhan air minum sebagai kebutuhan dasar masyarakat; b. bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan keadaan, sehingga perlu diganti; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Daerah Tentang Organ dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum.
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1655); 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2387); 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587); Sebagaimana telah diubah beberapa kali dan perubahan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan
4.
5.
6.
7.
Lembaran Negara Republik Indonesia 5679); Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3046); Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 5234); Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum.
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG dan BUPATI KLUNGKUNG
MEMUTUSKAN: Menetapkan:
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG TENTANG PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM [TIRTA MAHOTTAMA] BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 1. Bupati adalah Bupati Klungkung. 2. DPRD adalah DPRD Klungkung. 3. Perusahaan Daerah Air Minum [Tirta Mahottama] yang selanjutnya disingkat PDAM-TM adalah Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Klungkung. 4. Direksi adalah Direksi PDAM-TM. 5. Dewan Pengawas adalah Dewan Pengawas PDAM-TM. 6. Jasa produksi adalah laba bersih setelah dikurangi dengan penyusutan, cadangan tujuan dan pengurangan yang wajar dalam perusahaan. 7. Konsumen adalah Pihak pelanggan jasa PDAM-TM
Pasal 2 PDAM-TM ini adalah PDAM yang didirikan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung. BAB II MODAL Pasal 3 (1) Modal PDAM-TM bersumber pada: a. Penyertaan modal Daerah; b. Pinjaman; c. Hibah; dan d. Sumber modal lainnya. (2) Sumber modal lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurf d, mencakup: a. Kapitalisasi cadangan; b. Keuntungan revaluasi asset; dan c. Agio saham. Pasal 4 (1) Bupati menyertakan modal secara periodik pada PDAM-AT. (2) Usulan penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berdasarkan: a. penilaian DPRD; b. usulan penambahan modal dari PDAM-AT berdasarkan kebutuhan riil operasional PDAM-AT. (3) Dalam hal penambahan modal berdasarkan usulan PDAM-AT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, usulan disampaikan oleh Direktur PDAM-AT kepada Bupati.
BAB III ORGAN PDAM Bagian Kesatu Umum
Pasal 5 (1) PDAM didukung dengan organ dan kepegawaian. (2) Organ PDAM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. Bupati selaku pemilik modal; b. Dewan Pengawas: dan c. Direksi. Bagian Kedua Direksi Paragraf 1 Jumlah Direksi, Calon, Persyaratan, Uji Kelayakan, Pengangkatan Direksi, Masa Jabatan Direksi Pasal 6 (1) Jumlah Direksi ditetapkan berdasarkan jumlah pelanggan PDAM dengan ketentuan: a. 1 (satu) orang Direksi untuk jumlah pelanggan sampai dengan 30.000; b. paling banyak 3 (tiga) orang Direksi untuk jumlah pelanggan dari 30.001 sampai dengan 100.000; dan c. paling banyak 4 (empat) orang Direksi untuk jumlah pelanggan di atas 100.000. (2) Penentuan jumlah Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dilakukan berdasarkan asas efisiensi dan efektivitas pengurusan dan pengelolaan PDAM. Pasal 7 (1) Calon Direksi dapat berasal dari PDAM atau luar PDAM. (2) Batas usia Direksi yang berasal dari luar PDAM pada saat diangkat pertama kali berumur paling tinggi 50 (lima puluh) tahun. (3) Batas usia Direksi yang berasal dari PDAM pada saat diangkat pertama kali berumur paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun. Pasal 8 Persyaratan Calon Direksi, mencakup: a. mempunyai pendidikan Sarjana Strata 1(S-1): b. mempunyai pengalaman kerja 10 tahun bagi yang berasal dari PDAM atau mempunyai pengalaman kerja minimal 15 tahun mengelola perusahaan bagi yang bukan berasal dari PDAM yang dibuktikan dengan surat keterangan (referensi) dari perusahaan sebelumnya dengan penilaian baik; c. lulus pelatihan manajemen air minum di dalam atau di luar negeri yang telah terakreditasi dibuktikan dengan sertifikasi atau ijazah; d. membuat dan menyajikan proposal mengenal visi dan misi PDAM; e. bersedia bekerja penuh waktu:
f. tidak terikat hubungan keluarga dengan Bupati/Wakil Bupati atau Dewan Pengawas atau Direksi lainnya sampai derajat ketiga menurut garis lurus atau kesamping termasuk menantu dan ipar; dan g. lulus uji kelayakan dan kepatutan.
(1)
(2) (3) (4) (5) (6)
Pasal 9 Setiap Calon Direksi yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c untuk dapat diangkat sebagai Direksi harus mengikuti uji kelayakan dan kepatutan. Uji kelayakan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh tim ahli. Tim ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditunjuk oleh Bupati. Tim ahli menyelenggarakan uji kelayakan dan kepatutan sesuai dengan standar operasional prosedur yang ditetapkan oleh Bupati. Tim ahli menyampaikan hasil uji kelayakan dan kepatutan kepada Bupati. Bupati memberitahukan hasil uji kelayakan dan kepatutan kepada DPRD. Pasal 10 (1) Bupati mengangkat Direksi atas usul Dewan Pengawas dan memperhatikan saran dari DPRD. (2) Pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
Pasal 11 (1) Direksi yang berjumlah paling banyak 3 (tiga) atau paling banyak 4 (empat) orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dan huruf c, seorang diantaranya diangkat sebagai Direktur Utama. (2) Pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan penilaian terbaik atas hasil uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan oleh Bupati terhadap seluruh Direksi. (3) Bupati memberitahukan hasil uji kelayakan kepada DPRD.
Pasal 12 (1) Masa jabatan Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c selama 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. (2) Pengangkatan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila Direksi terbukti mampu meningkatkan kinerja PDAM dan pelayanan kebutuhan air minum kepada masyarakat setiap tahun. (3) Jabatan Direksi berakhir pada saat yang bersangkutan berumur paling tinggi 60 (enam puluh) tahun. Pasal 13
(1) Direksi dilarang memangku jabatan rangkap. (2) Jabatan rangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mencakup: a. jabatan struktural atau fungsional pada instansi/lembaga Pemerintah Pusat dan Daerah; b. anggota Direksi pada BUMD lainnya, BUMN, dan badan usaha swasta; c. jabatan yang dapat menimbulkan benturan kepentingan pada PDAM; dan/atau d. jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Direksi tidak boleh mempunyai kepentingan pribadi secara langsung atau tidak langsung yang dapat menimbulkan benturan kepentingan pada PDAM. Paragraf 2 Tugas dan Wewenang Pasal 14 Tugas Direksi, mencakup: a. menyusun perencanaan, melakukan koordinasi dan pengawasan terhadap seluruh kegiatan operasional PDAM; b. membina pegawai; c. mengurus dan mengelola kekayaan PDAM; d. menyelenggarakan administrasi umum dan keuangan; e. menyusun Rencana Strategis Bisnis 5 (lima) tahunan (business plan/corporate plan) yang disahkan oleh Kepada Daerah melalui usul Dewan Pengawas. f. menyusun dan menyampaikan Rencana Bisnis dan Anggaran Tahunan PDAM yang merupakan penjabaran tahunan dari Rencana Strategis Bisnis (business plan/corporate plan) kepada Bupati melalui Dewan Pengawas; dan g. menyusun dan menyampaikan laporan seluruh kegiatan PDAM.
(1) (2)
(3)
(4)
(5) (6)
Pasal 15 Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf g terdiri dari Laporan Triwulan dan Laporan Tahunan. Laporan Triwulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari laporan kegiatan operasional dan keuangan yang disampaikan kepada Dewan Pengawas. Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari laporan keuangan yang telah diaudit dan laporan manajemen yang ditandatangani bersama oleh Direksi dan Dewan Pengawas, disampaikan kepada Bupati; Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan paling lambat 120 (seratus dua puluh) hari setelah tahun buku PDAM ditutup untuk disahkan oleh Bupati paling lambat dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah diterima. Direksi menyebarluaskan Laporan Tahunan melalui media masa paling lambat 15 (lima betas) hari setelah disahkan oleh Bupati. Anggota Direksi atau Dewan Pengawas yang tidak menandatangani Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disebutkan alasannya secara tertulis.
Pasal 16 Direksi dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 mempunyai wewenang: a. mengangkat dan memberhentikan pegawai PDAM berdasarkan Peraturan Kepegawaian PDAM; b. menetapkan susunan organisasi dan tata kerja PDAM dengan persetujuan Dewan Pengawas; c. mengangkat pegawai untuk menduduki jabatan di bawah Direksi; d. mewakili PDAM di dalam dan di luar pengadilan; e. menunjuk kuasa untuk melakukan perbuatan hukum mewakili PDAM; f. menandatangani Laporan Triwulan dan Laporan Tahunan; g. menjual, menjaminkan atau melepaskan aset milik PDAM berdasarkan persetujuan Bupati atas pertimbangan Dewan Pengawas; h. melakukan pinjaman, mengikatkan diri dalam perjanjian, dan melakukan kerjasama dengan pihak lain dengan persetujuan Bupati atas pertimbangan Dewan Pengawas dengan menjaminkan aset PDAM. Pasal 17 Untuk mendukung kelancaran pengelolaan PDAM, Direksi dapat diberikan dana representatif paling banyak 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah penghasilan Direksi dalam 1 (satu) tahun.
Paragraf 3 Penunjukan Pejabat Sementara
(1)
(2) (3) (4)
Pasal 18 Apabila sampai berakhirnya masa jabatan Direksi, pengangkatan Direksi baru masih dalam proses penyelesaian, Bupati dapat menunjuk/mengangkat Direksi yang lama atau seorang Pejabat Struktural PDAM sebagai pejabat sementara. Pengangkatan pejabat sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati. Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku paling lama 6 (enam) bulan. Pejabat sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan. Paragraf 4 Penghasilan, Jasa Pengabdian, dan Cuti
(1) (2)
(3) (4)
(5)
(1) (2)
(3)
(4)
Pasal 19 Penghasilan Direksi terdiri dari gaji dan tunjangan. Tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. tunjangan perawatan/kesehatan yang anak termasuk istri/suami dan anak; dan b. tunjangan lainnya. Dalam hal PDAM memperoleh keuntungan, Direksi memperoleh bagian dari jasa produksi. Besarnya gaji, tunjangan, dan bagian dari jasa produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Bupati setelah memperhatikan pendapat Dewan Pengawas dan kemampuan PDAM. Jumlah seluruh biaya untuk penghasilan Direksi, penghasilan Dewan Pengawas, penghasilan pegawai dan biaya tenaga kerja lainnya tidak boleh melebihi 40% (empat puluh per seratus) dari total biaya berdasarkan realisasi Anggaran Perusahaan Tabun Anggaran yang lalu.
Pasal 20 Direksi setiap akhir masa jabatan dapat diberikan uang jasa pengabdian Besarnya uang jasa pengabdian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bupati berdasarkan usul Dewan Pengawas dan kemampuan PDAM. Direksi yang diberhentikan dengan hormat sebelum masa jabatannya berakhir dapat diberikan uang jasa pengabdian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan syarat telah menjalankan tugasnya paling sedikit 1 (satu) tahun. Besarnya uang jasa pengabdian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) didasarkan atas perhitungan lamanya bertugas dibagi masa jabatan dikalikan penghasilan bulan terakhir.
Pasal 21 (1) Direksi memperoleh hak cuti, meliputi: a. cuti tahunan; b. cuti besar; c. cuti sakit; d. cuti karena alasan penting atau cuti untuk menunaikan lbadah haji; e. cuti nikah; f. cuti bersalin; dan g. cuti di luar tanggungan PDAM. (2) Direksi yang menjalankan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap diberikan penghasilan penuh kecuali cuti di luar tanggungan PDAM. (3) Pelaksanaan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Bupati dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Paragraf 5 Pemberhentian
Pasal 22 (1) Direksi berhenti karena: a. masa jabatannya berakhir; dan/atau b. meninggal dunia. (2) Direksi diberhentikan karena: a. permintaan sendiri; b. reorganisasi; c. melakukan tindakan yang merugikan PDAM; d. melakukan tindakan atau bersikap yang bertentangan dengan kepentingan Daerah atau Negara; e. mencapai batas usia 60 (enam puluh) tahun; dan f. tidak dapat melaksanakan tugasnya. (3) Pemberhentian Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Bupati. Pasal 23 (1) Direksi yang diduga melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf c dan huruf d diberhentikan sementara oleh Bupati atas usul Dewan Pengawas untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan. (2) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bupati disertai dengan alasan dan diberitahukan kepada yang bersangkutan.
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 24 Paling lambat 1 (satu) bulan sejak pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Dewan Pengawas melakukan sidang yang dihadiri oleh Direksi untuk menetapkan yang bersangkutan diberhentikan atau direhabilitasi. Dewan Pengawas melaporkan kepada Bupati hasil sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai bahan bagi Bupati untuk memberhentikan atau merehabilitasi. Apabila dalam persidangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direksi tidak hadir tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dianggap menerima hasil sidang Dewan Pengawas. Apabila perbuatan yang dilakukan oleh Direksi merupakan tindak pidana dengan putusan bersalah dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang bersangkutan diberhentikan dengan tidak hormat. Bagian Ketiga Dewan Pengawas
Paragraf 1 Jumlah, Calon, Persyaratan, Uji Kelayakan, Pengangkatan, Masa Jabatan Dewan Pengawas
Pasal 25 (1) Jumlah anggota Dewan Pengawas ditetapkan berdasarkan jumlah pelanggan dengan ketentuan: a. paling banyak 3 (tiga) orang untuk jumlah pelanggan sampai dengan 30.000; dan b. paling banyak 5 (lima) orang untuk jumlah pelanggan di atas 30.000. (2) Penentuan jumlah Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan asas efisiensi pengawasan dan efektivitas pengambilan keputusan. Pasal 26 (1) Dewan Pengawas berasal dari unsur pejabat pemerintah daerah, profesional dan/atau masyarakat konsumen. (2) Batas usia Dewan Pengawas paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun. (3) Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Bupati. Pasal 27 (1) Persyaratan calon anggota Dewan Pengawas, mencakup: a. menguasai manajemen PDAM; b. menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugasnya; dan c. tidak terikat hubungan keluarga dengan Bupati/Wakil Bupati atau Dewan Pengawas yang lain atau Direksi sampai derajat ketiga baik menurut garis lurus atau kesamping termasuk menantu dan ipar. (2) Pengangkatan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati. Pasal 28 Anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) diangkat seorang sebagai Ketua merangkap anggota dan seorang sebagai Sekretaris merangkap anggota dengan Keputusan Bupati. Pasal 29 (1) Masa jabatan anggota Dewan Pengawas paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. (2) Pengangkatan kembali anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan kinerja dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan Direksi dan kemampuan PDAM dalam meningkatkan kinerja pelayanan air minum kepada masyarakat. Paragraf 2 Tugas dan Wewenang Pasal 30 Dewan Pengawas mempunyai tugas:
a. melaksanakan pengawasan, pengendalian dan pembinaan terhadap pengurusan dan pengelolaan PDAM; b. memberikan pertimbangan dan saran kepada Bupati diminta atau tidak diminta guna perbaikan dan pengembangan PDAM antara lain pengangkatan Direksi, program kerja yang diajukan oleh Direksi, rencana perubahan status kekayaan PDAM, rencana pinjaman dan ikatan hukum dengan pihak lain, serta menerima, memeriksa dan atau menandatangani Laporan Triwulan dan Laporan Tahunan; dan c. memeriksa dan menyampaikan Rencana Strategis Bisnis (business plan/corporate plan), dan Rencana Bisnis dan Anggaran Tahunan PDAM yang dibuat Direksi kepada Bupati untuk mendapatkan pengesahan. Pasal 31 Dewan Pengawas dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, mempunyai wewenang: a. menilai kinerja Direksi dalam mengelola PDAM; b. menilai Laporan Triwulan dan Laporan Tahunan yang disampaikan Direksi untuk mendapat pengesahan Bupati; c. meminta keterangan Direksi mengenai pengelolaan dan pengembangan PDAM; dan d. mengusulkan pengangkatan, pemberhentian sementara, rehabilitasi dan pemberhentian Direksi kepada Bupati. Pasal 32 (1) Untuk membantu kelancaran tugas Dewan Pengawas dapat dibentuk Sekretariat Dewan Pengawas dengan Keputusan Ketua Dewan Pengawas. (2) Sekretariat Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beranggotakan paling banyak 3 (tiga) orang dan dibebankan pada Anggaran PDAM. (3) Pembentukan Sekretariat Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) memperhatikan efisiensi pembiayaan PDAM. Paragraf 3 Penghasilan dan Jasa Pengabdian Pasal 33 Dewan Pengawas diberikan penghasilan berupa uang jasa. Pasal 34 (1) Ketua Dewan Pengawas merangkap anggota menerima uang jasa paling banyak 45% (empat puluh lima per seratus) dari gaji Direktur Utama. (2) Sekretaris Dewan Pengawas merangkap anggota menerima uang jasa paling banyak 40% (empat puluh per seratus) dari gaji Direktur Utama. (3) Setiap anggota Dewan Pengawas menerima uang jasa paling banyak 35% (tiga puluh lima per seratus) dari gaji Direktur Utama.
Pasal 35 Dalam hal PDAM memperoleh keuntungan, Dewan Pengawas memperoleh bagian dari jasa produksi secara proporsional dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 34. Pasal 36 (1) Besarnya uang jasa dan bagian dari bagian dari jasa produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ditetapkan oleh Bupati. (2) Penetapan uang jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan kemampuan PDAM.
(1) (2) (3)
(4)
Pasal 37 Dewan Pengawas mendapat uang jasa pengabdian. Besarnya uang jasa pengabdian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bupati dengan memperhatikan kemampuan PDAM. Dewan Pengawas yang diberhentikan dengan hormat sebelum masa jabatannya berakhir, mendapat uang jasa pengabdian dengan syarat telah menjalankan tugasnya paling sedikit 1(satu) tahun. Besarnya uang jasa pengabdian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) didasarkan atas perhitungan lamanya bertugas dibagi masa jabatan dikalikan uang jasa bulan terakhir. Paragraf 4 Pemberhentian
Pasal 38 (1) Anggota Dewan Pengawas berhenti karena: a. masa jabatannya berakhir; dan/atau b. meninggal dunia. (2) Anggota Dewan Pengawas diberhentikan karena: a. permintaan sendiri; b. reorganisasi; c. kedudukan sebagai pejabat daerah telah berakhir; d. mencapai batas usia 65 (enam puluh lima) tahun; e. tidak dapat melaksanakan tugas; f. melakukan tindakan yang merugikan PDAM: dan g. melakukan tindakan atau bersikap yang bertentangan dengan kepentingan Daerah atau Negara. (3) Pemberhentian anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Bupati. Pasal 39 (1) Anggota Dewan Pengawas yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf f dan huruf g diberhentikan sementara oleh Bupati.
(2) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati. Pasal 40 (1) Paling lambat 1 (satu) bulan sejak pemberhentian sementara, Bupati melaksanakan rapat yang dihadiri oleh anggota Dewan Pengawas untuk menetapkan yang bersangkutan diberhentikan atau direhabilitasi. (2) Apabila dalam waktu 1 (satu) bulan Bupati belum melakukan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemberhentian sementara batal demi hukum. (3) Apabila dalam persidangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) anggota Dewan Pengawas tidak hadir tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dianggap menerima hasil rapat. (4) Apabila perbuatan yang dilakukan oieh anggota Dewan Pengawas merupakan tindak pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang bersangkutan diberhentikan dengan tidak hormat. BAB IV PEGAWAI Bagian Kesatu Pengangkatan
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 41 Pengangkatan pegawai PDAM harus memenuhi persyaratan: a. Warga Negara Republik Indonesia; b. berkelakuan baik dan belum pernah dihukum; c. mempunyai pendidikan, kecakapan dan keahlian yang diperlukan; d. dinyatakan sehat oleh rumah sakit umum yang ditunjuk oleh Direksi; e. usia paling tinggi 35 (tiga puluh lima) tahun; dan f. lulus seleksi. Pengangkatan pegawai dilakukan setelah melalui masa percobaan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dengan ketentuan memenuhi daftar penilaian kerja setlap unsur paling sedikit bernilal baik. Selama masa percobaan sebagaimana dimasud pada ayat (2) dilakukan penilaian meliputi: a. loyalitas; b. kecakapan; c. kesehatan; d. kerjasama; e. kerajinan; f. prestasi kerja; dan g. kejujuran. Apabila pada akhir masa percobaan calon pegawai tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diberhentikan tanpa mendapat uang pesangon.
Pasal 42 (1) Direksi dapat mengangkat tenaga honorer atau tenaga kontrak dengan pemberian honorarium yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Direksi yang berpedoman pada Upah Minimum Kabupaten. (2) Tenaga honorer atau tenaga kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperbolehkan menduduki jabatan. Pasal 43 (1) Batas usia pensiun pegawai PDAM 56 (lima puluh enam) tahun. (2) Pegawai yang memasuki masa pensiun dapat diberikan kenaikan pangkat pengabdian setingkat lebih tinggi dari pangkatnya dengan ketentuan paling sedikit telah 2 (dua) tahun dalam pangkat terakhir. Bagian Kedua Penghasilan dan Cuti
(1) (2)
(3) (4)
(5)
Pasal 44 Pegawai PDAM berhak atas gaji, tunjangan dan penghasilan lainnya yang sah sesuai dengan pangkat, jenis pekerjaan dan tanggung jawabnya. Tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. tunjangan pangan; b. tunjangan kesehatan; dan c. tunjangan lainnya. Tunjangan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan kepada pegawai beserta keluarganya yang menjadi tanggungan. Tunjangan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengobatan dan/atau perawatan di rumah sakit, klinik dan lain-lain yang pelaksanaannya ditetapkan dengan Keputusan Direksi. Pemberian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan kemampuan PRAM.
Pasal 45 (1) Penyusunan skala gaji pegawai PDAM dapat mengacu pada prinsip-prinsip skala gaji Pegawai Negeri Sipil yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan PDAM. (2) Ketentuan gaji pegawai PDAM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Direksi. Pasal 46 (1) Pegawai yang beristri/bersuami diberikan tunjangan istri/suami paling tinggi 10% (sepuluh per seratus) dari gaji pokok. (2) Pegawai yang mempunyai anak berumur kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, belum mempunyai penghasilan sendiri dan belum menikah, diberikan tunjangan anak sebesar 5% (lima per seratus) dari gaji pokok untuk setiap anak.
(3) Tunjangan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperpanjang sampai umur 25 (dua puluh lima) tahun, dalam hal anak masih bersekolah/kuliah yang dibuktikan dengan surat keterangan dari sekolah/perguruan tinggi. (4) Tunjangan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling banyak untuk 2 (dua) orang anak.
Pasal 47 (1) Pegawai berhak atas jaminan hari tua yang dananya dihimpun dari usaha PDAM atau iuran pegawai PDAM yang ditetapkan dengan Keputusan Direksi. (2) Besarnya tunjangan jaminan hari tua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas perhitungan gaji. Pasal 48 Dalam hal PDAM memperoleh keuntungan, pegawai PDAM diberikan bagian dari jasa produksi sesuai dengan kemampuan keuangan PDAM. Pasal 49 (1) Pegawai yang memiliki nilai rata-rata baik dalam Daftar Penilaian Kerja Pegawai diberikan kenaikan gaji berkala. (2) Apabila yang bersangkutan belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kenaikan gaji berkala ditunda paling lama 2 (dua) tahun. Pasal 50 (1) Pegawai memperoleh hak cuti, meliputi: a. cuti tahunan; b. cuti besar; c. cuti sakit; d. cuti karena alasan panting atau cuti untuk menunaikan lbadah haji; e. cuti nikah; f. cuti bersalin; dan g. cuti di luar tanggungan PDAM. (2) Pegawai yang menjalankan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap diberikan penghasilan penuh, kecuali cuti di luar tanggungan PDAM. (3) Pelaksanaan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Bupati dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Bagian Ketiga Penghargaan dan Tanda Jasa Pasal 51
(1) Direksi memberikan penghargaan kepada pegawai yang mempunyai masa kerja secara terus menerus selama 10 tahun, 20 tahun dan 30 tahun yang besarnya disesuaikan dengan kemampuan PDAM. (2) Direksi memberikan tanda jasa kepada pegawai yang telah menunjukkan prestasi luar biasa dalam pengembangan PDAM. (3) Pemberian penghargaan dan tanda jasa kepada pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Direksi. Bagian Keempat Kewajiban dan Larangan Pasal 52 Setiap pegawai wajib: a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila dan melaksanakan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tabun 1945; b. mendahulukan kepentingan PDAM di atas kepentingan lainnya; c. mematuhi dan mentaati segala kewajiban dan Larangan; dan d. memegang teguh rahasia PDAM dan rahasia jabatan. Pasal 53 Pegawai dilarang: a. melakukan kegiatan yang merugikan PDAM, Daerah dan/atau Negara; b. menggunakan kedudukannya untuk memberikan keuntungan bagi diri sendiri dan/atau orang lain yang merugikan PDAM; dan c. mencemarkan nama baik PDAM, Daerah dan/atau Negara. Bagian Kelima Pelanggaran dan Pemberhentian Pasal 54 (1) Pegawai PDAM dapat dikenakan hukuman. (2) Jenis hukuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. teguran lisan; b. teguran tertulis; c. penundaan kenaikan gaji berkala; d. penundaan kenaikan pangkat: e. penurunan pangkat; f. pembebasan jabatan; g. pemberhentian sementara; h. pemberhentian dengan hormat; dan i. pemberhentian dengan tidak hormat. (3) Pelaksanaan penjatuhan hukuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Direksi. Pasal 55
(1) Pegawai PDAM diberhentikan sementara apabila diduga telah melakukan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dan/atau tindak pidana. (2) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 6 (enam) bulan atau adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas dugaan tindak pidana yang dilakukan. Pasal 56 (1) Pegawai PDAM yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, mulai bulan berikutnya diberikan 50% (lima puluh per seratus) dari gaji. (2) Dalam hal pegawai yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terbukti bersalah, pegawai yang bersangkutan harus dipekerjakan kembali dalam jabatan yang sama dan berhak menerima sisa penghasilan yang belum diterima. (3) Dalam hal pegawai yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbukti bersalah, Direksi memberhentikan dengan tidak hormat. Pasal 57 (1) Pegawai diberhentikan dengan hormat, karena: a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri; c. tidak dapat melaksanakan tugas; d. tidak sehat yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; e. telah mencapai usia pensiun; dan/atau f. reorganisasi. (2) Pegawai yang diberhentikan dengan hormat diberikan pesangon yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Direksi. (3) Pegawai yang diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b pelaksanaannya berlaku pada akhir bulan berikutnya. Pasal 58 Pegawai diberhentikan dengan tidak hormat, karena: a. melanggar sumpah pegawai dan/atau sumpah Jabatan; b. dihukum berdasarkan putusan pengadilan dalam perkara pidana yang telah memperoieh kekuatan hukum tetap; dan/atau c. merugikan keuangan PDAM. BAB V TARIF Bagian Kesatu Dasar Penetapan dan Penggolongan Tarif Pasal 59 (1) Bupati menetapkan tarif PDAM dengan persetujuan DPRD.
(2) Tarif PDAM-AT ditetapkan berdasarkan volume konsumsi air. Pasal 60 (1) Tarif PDAM-AT digolongkan berdasarkan golongan konsumen. (2) Golongan Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mencakup: a. Rumah tangga; b. Badan usaha; c. Desa adat. Bagian Kedua Tarif yang Dibayarkan dan Meteran Air Pasal 61 (1) Konsumen wajib membayar tarif air yang dikonsumsi. (2) Besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada angka penunjuk jumlah konsumsi air pada meteran air.
(1) (2) (3) (4)
(5)
Pasal 62 PDAM-AT memasang meteran air pada setiap konsumen. Lokasi pemasangan meteran air ditentukan oleh PDAM-AT berdasarkan persetujuan konsumen. Biaya pemasangan meteran air dibebankan kepada konsumen. Besarnya biaya pemasangan meteran air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan ketersediaan pipa distribusi air PDAM-AT pada lokasi konsumen. Besarnya biaya pemasangan meteran air sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Direktur. BAB VI DANA PENSIUN
Pasal 63 (1) Direksi dan Pegawai PDAM wajib diikutsertakan pada program pensiun yang diselenggarakan oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan. (2) Penyelenggara program pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas pertimbangan optimalisasi dan kepastian manfaat bagi Direksi dan pegawai PDAM sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Atas pertimbangan efektifitas dan efisiensi penyelenggara program pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan dana pensiun pemberi kerja yang diselenggarakan oleh gabungan PDAM.
BAB VII SANKSI Pasal 64 (1) Konsumen yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) dikenakan sanksi berupa: a. Peringatan tertulis, apabila konsumen tidak memenuhi kewajiban selama 3 (tiga) bulan berturut-turut; b. Penyegelan, apabila konsumen tidak memenuhi kewajiban selama 3 (tiga) bulan berturut-turut terhitung sejak tanggal penerimaan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a; c. Pemutusan saluran, apabila konsumen tidak memenuhi kewajiban selama 5 (lima bulan berturut-turut terhitung sejak tanggal penerimaan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a. (2) Penerimaan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dan huruf b dibuktikan dengan lembar ekspedisi surat. (3) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal konsumen memenuhi kewajiban sebelum batas akhir pengenaan sanksi. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 65 Pada saat Peraturan Daerah ini, Direksi dan Dewan Pengawas PDAM tetap melaksanakan tugas sampai berakhir masa jabatannya. Pasal 66 Direksi, Dewan Pengawas, dan Pegawai PDAM menyesuaikan dengan Peraturan Daerah ini paling lambat 6 (enam) bulan sejak ditetapkan. BAB IX PEMBINAAN Pasal 67 Bupati melakukan pembinaan umum dan pengawasan.
BAB X KETENTUAN PENUTUP
Pasal 68 Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Perusahaan Daerah Air Minum Pemerintah Daerah Tingkat II Klungkung dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 69 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Klungkung.
Ditetapkan di Klungkung Pada tanggal [ ] [bulan] [tahun] BUPATI KLUNGKUNG ttd.
SUWITRA
Diundangkan di Klungkung pada tanggal ………………2015 SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG,
[nama ] LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULUNGKUNG TAHUN 2015 NOMOR ...
PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG
NOMOR [ ] TAHUN 2015 TENTANG ORGAN DAN KEPEGAWAIAN PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM
1. UMUM Pemerintah Kabupaten Klungkung telah mendirikan Perusahaan Daerah Air Minum pada tahun 1990 dengan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1990 tentang Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Klungkung. Perusahaan daerah ini melakukan pelayanan air minum diseluruh wilayah Kabupaten Klungkung, yang merupakan kebutuhan dasar manusia. Perubahan peraturan daerah ini dilakukan sebagai akibat perkembangan berbagai kebutuhan sosial dan ekonomi mengakibatkan Pemerintah Kabupaten Klungkung harus menyesuaikan dengan perkembangan dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Adapun urgensi perubahan peraturan daerah ini dalam hal peningkatan kinerja PDAM dan pelayanan air minum bagi masyarakat kabupaten Klungkung. 2. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12
Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas
Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36 Cukup jelas Pasal 37 Cukup jelas Pasal 38 Cukup jelas Pasal 39 Cukup jelas Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Cukup jelas Pasal 42 Cukup jelas Pasal 43 Cukup jelas Pasal 44 Cukup jelas Pasal 45 Cukup jelas Pasal 46 Cukup jelas Pasal 47 Cukup jelas Pasal 48 Cukup jelas Pasal 49 Cukup jelas Pasal 50 Cukup jelas Pasal 51 Cukup jelas Pasal 52 Cukup jelas Pasal 53 Cukup jelas Pasal 54 Cukup jelas Pasal 55 Cukup jelas Pasal 56 Cukup jelas Pasal 57
Cukup jelas Pasal 58 Cukup jelas Pasal 59 Cukup jelas Pasal 60 Cukup jelas Pasal 61 Cukup jelas Pasal 62 Cukup jelas Pasal 63 Cukup jelas Pasal 64 Cukup jelas Pasal 65 Cukup jelas Pasal 66 Cukup jelas Pasal 67 Cukup jelas Pasal 68 Cukup jelas Pasal 69 Cukup jelas