SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 | DISKURSUS
Tinjauan Kritis terhadap Peraturan Menteri PUPR Nomor 01/PRT/M/2015 Yanto Horas Mangihut Manurung
[email protected] Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
Abstrak Tulisan ini memuat bahasan tentang peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia yang terkandang saling berbenturan, sehingga sering menimbulkan kebingungan dalam implementasinya. Adapun peraturan perundangan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Nomor 01 Tahun 2015 Tentang Bangunan Gedung Cagar Budaya Yang Dilestarikan. Permasalahannya adalah apakah peraturan perundangan ini telah satu nafas dengan Undang-Undang Republik Indonesia No 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Tulisan ini dibuat bukanlah bermaksud untuk saling mempertentangkan kedua Peraturan Perundangan tersebut, namun lebih bertujuan sebagai bahan diskusi kepada para pelestari cagar budaya untuk memberikan pemikiran yang cemerlang tentang pelestarian cagar budaya sehingga pelestarian cagar budaya kedepannya akan menuju kearah yang semakin baik . Kata-kunci : Hukum, Undang Undang Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010, Peraturan Menteri PUPR Nomor 1 Tahun 2015, Pelestarian Cagar Budaya.
Pendahuluan Menangani, mengenali, dan melestarikan warisan budaya yang dianggap signifikan telah mulai diperlakukan secara sungguh-sungguh. Kesungguhan ini dapat kita lihat dari telah banyaknya negara yang telah mengatur penanganan itu dengan perundang-undangan, baik yang bersifat nasional maupun internasional. Sejalan dengan itu, pelestarian cagar budaya di Indonesia dengan paradigma barupun sudah diundangkan sejak tahun 2010 dalam bentuk Undang-Undang Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Didalam undang-undang yang terbaru ini dinyatakan bahwa masyarakat memiliki hak yang cukup besar untuk dapat memberikan makna atas warisan budaya yang dimilikinya, dan masyarkat juga memiliki hak untuk memberikan keputusan atas pengelolaannya. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa cagar budaya saat ini harus dapat memberikan kesejahteraan dan meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia itu sendiri. Salah satu tolok ukur dari kesejahteraan masyarakat di Indonesia adalah terciptanya pembangunan disegala aspek kehidupan masyarakat. Akibatnya adalah sejak Indonesia merdeka, pembangunan gedung-gedung barupun selalu bermunculan yang tentunya akan “menggeser” bahkan melenyapkan bangunan-bangunan bersejarah di atas permukaan tanah Negara Indonesia ini. Bangunan gedung yang merupakan buah karya manusia dibuat untuk menunjang kebutuhan hidup manusia, baik sebagai tempat bekerja, usaha, pendidikan, sarana olahraga, dan rekreasi serta sarana lain sesuai kebutuhan masyarakat. Pesatnya pembangunan saat ini, disamping membawa Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | C 103
Tinjauan Kritis Terhadap Peraturan Menteri PUPR Nomor 01/PRT/M/2015
dampak positif yaitu peningkatan dalam hal kesejahteraan masyarakat, juga membawa dampak negatif yaitu menimbulkan berbagai pelanggaran. Bangunan gedung sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak, perwujudan, produktifitas, dan jati diri manusia. Oleh karena itu perlunya penyelenggaraan bangunan perlu diatur dan dibina demi kelangsungan dan peningkatan serta penghidupan masyarakat, sekaligus untuk mewujudkan bangunan gedung yang fungsional, andal, berjati diri, serta seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya. Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam penyelanggaraan bangunan gedung, setiap bangunan gedung harus memenuhi pesyaratan admisnistrasi dan teknis bangunan gedung, serta harus diselenggarakan secara tertib. Bangunan gedung yang merupakan buah karya manusia dibuat untuk menunjang kebutuhan hidup manusia, baik sebagai tempat bekerja, usaha, pendidikan, sarana olahraga, dan rekreasi serta sarana lain sesuai kebutuhan masyarakat. Pesatnya pembangunan saat ini, disamping membawa dampak positif yaitu peningkatan dalam hal kesejahteraan masyarakat, juga membawa dampak negatif yaitu menimbulkan berbagai pelanggaran. Bangunan gedung sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak, perwujudan, produktifitas, dan jati diri manusia. Oleh karena itu perlunya penyelenggaraan bangunan perlu diatur dan dibina demi kelangsungan dan peningkatan serta penghidupan masyarakat, sekaligus untuk mewujudkan bangunan gedung yang fungsional, andal, berjati diri, serta seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya. Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam penyelanggaraan bangunan gedung, setiap bangunan gedung harus memenuhi pesyaratan admisnistrasi dan teknis bangunan gedung, serta harus diselenggarakan secara tertib. Peraturan yang terkait dengan Pengaturan Hukum Bangunan Gedung di Indonesia Bangunan gedung di Indonesia telah diatur dalam dasar hukum yang kuat, yaitu dalam bentuk undang-undang yang memiliki aturan pelaksanaan berupa peraturan pemerintah. Undang-undang dimaksud adalah UU No 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung yang diundangkan dan mulai berlaku pada tanggal 16 Desember 2002. Sebagai aturan pelaksanaannya, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005, tentang Peraturan Pelaksanaan UU No 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung yang ditetapkan mulai berlaku pada tanggal 10 September 2005, dan selanjutnya pada tanggal 18 Februari 2015, kembali Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2015 yang mengatur tentang Bangunan Cagar Budaya Yang Dilestarikan, dan Undang Undang Republik Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. a.
UU No 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung
Didalam Undang-Undang No 28 Tahun 2002 Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa bangunan gedung diselenggarakan berlandaskan asas kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan, serta keserasian bangunan gedung dengan lingkungannya. Dengan membaca kedua pasal di atas dapat kita ketahui bahwa Undang-Undang No 28 Tahun 2002 ini mengatur fungsi bangunan gedung, persyaratan bangunan gedung, penyelenggaraan bangunan C 104 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Yanto HM Manurung
gedung termasuk hak dan kewajiban pemilik dan pengguna bangunan-bangunan gedung pada setiap tahap penyelenggaraan bangunan gedung, ketentuan tentang peran masyarakat dan pembinaan oleh pemerintah, sanksi, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup. Keseluruhan maksud dan tujuan pengaturan tersebut dilandasi asas kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan, dan keserasian bangunan gedung dengan lingkungannya, bagi kepentingan masyarakat yang berperikemanusiaan dan berkeadilan. Masyarakat diupayakan untuk terlibat serta aktif bukan hanya dalam rangka pembangunan dan pemanfaaatan gedung untuk kepentingan mereka sendiri, tetapi juga dalam meningkatkan pemenuhan persyaratan bangunan gedung dan tertib penyelenggaraan bangunan gedung pada umumnya. Dalam menghadapi kemajuan teknologi, perlu adanya penerapan seimbang dengan tetap mempertimbangkan nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat dan karakteristik arsitektur dan lingkungan yang telah ada, khususnya nilai-nilai kontekstual, tradisional, spesifik, dan bersejarah. Sejalan dengan nilai-nilai yang harus dipenuhi tersebut, maka terminologi pelestarian juga disebutkan dalam undang-undang ini, pada pasal 1 ayat (7) dinyatakan Pelestarian adalah kegiatan perawatan, pemugaran, serta pemeliharaan bangunan gedung dan lingkungannya untuk mengembalikan keandalan bangunan tersebut sesuai dengan aslinya atau sesuai dengan keadaan menurut periode yang dikehendaki. b. Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 2005 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU No 28 Tahun 2002 Dalam melaksanakan penyelenggaraan terhadap bangunan gedung maka dibentuklah Tim ahli Bangunan Gedung yang ditetapkan oleh bupati atau walikota, kecuali untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta ditetapkan oleh Gubernur, sedangkan untuk bangunan gedung fungsi khusus ditetapkan oleh Menteri dengan masa kerja tim ahli bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 1 (satu) tahun, kecuali masa kerja tim ahli bangunan gedung fungsi khusus diatur lebih lanjut oleh Menteri. Keanggotaan tim ahli bangunan gedung bersifat Ad hoc, independen, objektif dan tidak mempunyai konflik kepentingan yang terdiri atas unsur-unsur perguruan tinggi, asosiasi profesi, masyarakat ahli, dan instansi pemerintah yang berkompeten dalam memberikan pertimbangan teknis di bidang bangunan gedung, yang meliputi bidang arsitektur bangunan gedung dan perkotaan, struktur dan konstruksi, mekanikal dan elektrikal, pertamanan/lanskap, dan tata ruangdalam/interior, serta keselamatan dan kesehatan kerja serta keahlian lainnya yang dibutuhkan sesuai dengan fungsi bangunan gedung. Adapun bentuk dari penyelenggaraan Bangunan Gedung tersebut meliputi kegiatan pembangunan, pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran. Dalam artikel ini yang dibahas secara khusus adalah mengenai pelestarian. c. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia No 1/PRT/M/2015 Untuk melengkapi Peraturan Pemerintah yang telah dibuat oleh Kementerian PUPR sebelumnya yaitu Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No 28 Tahun 2002. Pada tanggal 18 Februari 2015 kembali Kementerian PUPR mengeluarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia No 1/PRT/M/2015 Tentang Bangunan Cagar Budaya Yang Dilestarikan yang dibuat sebagai acuan bagi penyelenggara bangunan gedung cagar budaya yang dilestarikan, bertujuan agar bangunan gedung cagar budaya yang dilestarikan memenuhi persyaratan bangunan gedung, persyaratan pelestarian, dan tertib penyelenggaraan. Adapun pasal-pasal yang lebih ditekankan yaitu; Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | C 105
Tinjauan Kritis Terhadap Peraturan Menteri PUPR Nomor 01/PRT/M/2015
Pasal 1 (1) Bangunan gedung cagar budaya adalah bangunan gedung yang sudah ditetapkan statusnya sebagai bangunan cagar budaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang cagar budaya. (11) Tim Ahli Cagar Budaya adalah kelompok ahli pelestarian dari berbagai bidang ilmu yang memiliki sertifikat kompetensi untuk memberikan rekomendasi penetapan, pemeringkatan, dan penghapusan cagar budaya. (12) Tim Ahli Bangunan Gedung Cagar Budaya, yang selanjutnya disingkat TABG-CB, adalah tim yang terdiri atas tim ahli bangunan gedung dan tenaga ahli pelestarian bangunan gedung cagar budaya untuk memberikan pertimbangan teknis dalam tahap persiapan, perencanaan teknis, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pembongkaran bangunan gedung cagar budaya dalam rangka Izin Mendirikan Bangunan, perubahan Izin Mendirikan Bangunan, Sertifikat Laik Fungsi, rencana teknis perawatan dan rencana teknis pembongkaran bangunan gedung. TABG-CB merupakan pengembangan dari tim ahli bangunan gedung yang telah ada atau dibentuk baru yang bertugas membantu pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi untuk DKI Jakarta, atau menteri untuk bangunan cagar budaya dengan fungsi khusus. Adapun keanggotaan dari tim ini terdiri atas tim ahli bangunan gedung dan tenaga pelestarian yang pemebentukan dan masa penugasannya mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan Tim Ahli Bangunan Gedung. d.
Undang Undang Republik Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Selain Undang Undang tentang Bangunan Gedung, maka yang tidak boleh kita kesampingkan apabila kita akan membahas tentang cagar budaya, khususnya cagar budaya yang terdapat diperkotaan adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, di dalam beberapa pasal di dalam undang-undang ini menyinggung tentang cagar budaya yaitu yang terdapat pada; Pasal 4 Penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan Pasal 5 (1) Penataan ruang berdasarkan sistem terdiri dari atas sistem wilayah dan sistem internal perkotaan (2) Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budi daya (3) Penataan ruang berdasarkan wilayah administratif terdiri atas penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota (4) Penataan ruang berdasarkan kegiatan kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan perkotaan dan penataan ruang kawasan perdesaan. Penjelasan Pasal 5 (2) Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan merupakan komponen dalam penataan ruang baik yang dilakukan berdasarkan wilayah administratif, kegiatan kawasan, maupun nilai strategis kawasan. C 106 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Yanto HM Manurung
Yang termasuk dalam kawasan lindung adalah: a. b. c.
d.
e.
kawasan yang memberikan pelindungan kawasan bawahannya, antara lain, kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, dan kawasan resapan air; kawasan perlindungan setempat, antara lain sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, dan kawasan sekitar mata air; kawasan suaka alam dan cagar budaya, antara lain, kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan berhutan bakau, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, cagar alam, suaka margasatwa, serta kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan; kawasan rawan bencana alam, antara lain, kawasan rawan letusan gunung berapi, kawasan rawan gempa bumi, kawasan rawan tanah longsor, kawasan rawan gelombang pasang, dan kawasan rawan banjir; dan kawasan lindung lainnya, misalanya taman buru, cagar biosfer, kawasan perlindungan satwa, dan terumbu karang.
Pembahasan Dalam dasawarsa terakhir ini, masalah pengelolaan sumber daya budaya khususnya warisan budaya perkotaan menjadi bahasan yang menarik. Hal ini terjadi karena banyak orang melihat sumber daya budaya tersebut memiliki potensi yang besar untuk dapat memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat luas, terutama ketika dikaitkan dengan potensi pariwisata dan mempunyai nilai-nilai yang dapat dijadikan identitas suatu bangsa atau suatu daerah dalam era global ini. Hal ini berimbas pada pengembangan penataan bangunan dan lingkungan di kawasan bersejarah atau kawasan yang mempunyai signifikansi sejarah dan budaya. Namun acap kali seringkali menimbulkan masalah apabila pembangunannya tidak dijiwai oleh semangat melestarikan kawasan sejarah/budaya tersebut. Penyelenggaraan penataan bangunan dan lingkungan yang eksesif pada kawasan ini akan dapat menimbulkan kerusakan pada warisan sejarah/budaya yang ada. Guna menghindari masalah tersebut maka penataan bangunan dan lingkungan kawasan tersebut haruslah disertai dengan pelestarian kawasan yang bersangkutan. Membina dan memelihara peninggalan budaya seperti halnya bangunan gedung dan lingkungan bersejarah di kawasan cagar budaya diantaranya dapat dilakukan dengan prinsip konservasi, agar budaya dukungan lingkungannya meningkat untuk kepentingan pendidikan, penelitian, dan pariwisata. Namun banyak orang memiliki persepsi berbeda tentang bagaimana sumber budaya tersebut harus dikelola dan dimanfaatkan. Lebih dari pada itu, banyak orang yang tidak cukup memahami apa hakekat pengelolaan sumber budaya itu, sehingga terciptalah peraturan-peraturan perundangan yang saling berbenturan dalam hal pengelolaan sumber budaya perkotaan tersebut. Salah satu contoh yang dapat kita lihat saat ini adalah adanya Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP) oleh Kementerian PUPR. Dijelaskan oleh Kementerian PUPR, Kota Pusaka adalah kawasan di dalam kota/kabupaten yang dinilai memiliki beragam situs maupun peninggalan yang penting bagi kehidupan komunitas dan masyarakat luas pada umumnya. Beberapa upaya yang telah dilakukan dalam rangka perwujudan kota pusaka ini adalah inisiasi kerjasama dengan Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) yang memiliki keanggotaan hingga 47 pemerintah kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | C 107
Tinjauan Kritis Terhadap Peraturan Menteri PUPR Nomor 01/PRT/M/2015
Kemudian, untuk mewujudkan program yang besar ini maka pada tanggal 18 Februari 2015 Kementerian PUPR mengeluarakan Permen PUPR Nomor 1 Tahun 2015 yang tentunya dibuat untuk mewadahi program tersebut berjalan dan berlandaskan hukum. Pertanyaannya adalah, apakah Peraturan Menteri tersebut telah sesuai dengan amanah Undang-Undang Cagar Budaya No 11 Tahun 2010 ?. Pemahaman yang terbatas dari para ahli, narasumber cagar budaya, dan juga penyusun naskah akademik yang belum tentu mengerti secara detail tentang undang-undang cagar budaya menyebabkan terjadinya “silang sengkarut” antara Permen PUPR Nomor 1 Tahun 2015 dan Undang-Undang Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010. Namun sayangnya Peraturan Menteri PUPR Nomor 1 Tahun 2015 telah terlanjur keluar untuk mengantisipasi Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP) yang sedang digalakkan oleh Kementerian PUPR. Hal ini semakin parah ketika menjadi ‘iming-iming’ bagi kepala daerah kabupaten/kota untuk mengusulkan daerahnya menjadi peserta P3KP, karena rata-rata kabupaten/kota membutuhkan dana pembangunan dari pusat, maka melalui program P3KP para kepala daerah menjadi hiruk pikuk ingin membangun daerahnya, termasuk yang berurusan dengan cagar budaya, padahal belum semua kabupaten/kota memiliki Tim Ahli Cagar Budaya dan memiliki Tenaga Ahli Pelestarian yang tentunya lebih berkompeten dalam memberikan rekomendasi terhadap penanganan cagar budaya perkotaan tersebut. Proses mengurus ‘kecagarbudayaan’ yang sesuai dengan amanat UUCB tidak dipahami secara utuh, mulai filosofi pelestarian hingga praktek penanganan cagar budaya tidak dilakukan secara utuh, yang paling lemah adalah pemahaman tentang keharusan melakukan penelitian tentang Nilai Penting (Significant Value) sebelum menangani cagar budaya jarang sekali dilakukan karena memang tidak paham akan prosedur yang harus dilalui dalam penanganan suatu cagar budaya, hal ini berujung pada kualitas pelestarian cagar budaya yang cenderung menjadi semakin terdegradasi (semakin rusak/ hilang otentisitasnya) Sebagai contoh adalah adanya perbedaan tentang Penetapan Cagar Budaya yang dijelaskan oleh Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 2005 dengan Undang Undang Cagar Budaya No 11 Tahun 2010 tentang penetapan terhadap bangunan cagar budaya berperingkat Nasional. Disebutkan bahwa di dalam PP No 36 Tahun 2005 pasal 84 ayat (1): Bangunan gedung dan lingkungannya sebagai benda cagar budaya yang dilindungi dan dilestarikan merupakan bangunan gedung berumur paling sedikit 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting sejarah, ilmu pegetahuan, dan kebudayaan termasuk nilai arsitektur dan teknologinya. Penjelasan ini menurut saya masih satu nafas dengan Undang-Undang Cagar Budaya. Namun tentang Penetapan Bangunan Gedung yang Dilindungi dan Dilestarikan pada ayat (5) menyatakan Penetapan Bangunan Gedung dan Lingkungannya yang dilindungi dan dilestarikan dilakukan oleh Presiden atas usulan Menteri. Penjelasan ini menurut saya sudah tidak satu nafas dengan Undang-Undang Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa semua penetapan cagar budaya dikeluarkan oleh Bupati/Walikota (sesuai dengan Pasal 33 UU Cagar Budaya). Selain itu, dalam Peraturan Menteri PUPR No 1 Tahun 2015 tersebut muncul istilah baru yaitu Tim Ahli Bangunan Bangunan Gedung Cagar Budaya (TABG-CB) yang secara substansial hanya lah untuk “menyelamatkan” udang-undangnya saja karena diharuskan ada Tenaga Ahli; realitanya proses test dan perekrutannya tidaklah mencerminkan keutuhan pengetahuan pelestarian cagar budaya yang jelas tidak ada sekolahnya dan tidak ada izasahnya, yang berarti belum tentu memiliki kompetensi, demikian juga sebaliknya yang belum memiliki sertifikasi TACB/ TABGCB belum tentu tidak profesional dalam menangani cagar budaya.
C 108 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Yanto HM Manurung
Kesimpulan Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya “silang sengkarut” antara peraturan perundangan yang berlaku di Negara Indonesia saat ini, salah satunya ketentuan hukum yang mengatur tentang Cagar Budaya. Maka untuk mencegah kerusakan cagar budaya yang lebih banyak lagi, terdapat hal-hal yang harus menjadi perhatian kita bersama yaitu: 1.
Prosedur penelitian yang sesuai dengan prinsip-prinsip arkeologi belum bisa “merasuk” dalam Permen PUPR Nomor 1 Tahun 2015, akibatnya capaian kualitas ketika melakukan pelestarian terhadap cagar budaya yang dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum tidak pernah bisa optimal atau ekstrimnya dapat dikatakan merusak cagar budaya.
2.
Pengertian penelitian (kebudayaan materi) bagi kalangan ilmu arkeologi tentu saja lebih mudah dicerna jika dibandingkan dikalangan ilmu yang ada di Kementerian PUPR (arsitektur, sipil, planologi dsb). Maka dalam pekerjaan pelestarian cagar budaya oleh Kementerian PUPR selalu menjadi sulit dipahami bahkan terkadang penelitian dipandang tidak penting.
3.
Tidak diacunya Undang Undang Cagar Budaya secara utuh di Permen PUPR Nomor 1 Tahun 2015, sehingga saat ini dan nanti pasti akan membingungkan para pelaku pelestarian cagar budaya (khususnya yang berkaitan dengan bangunan dan situs)
4.
Tim penyusunan pedoman adaptasi cagar budaya yang pernah dibentuk oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menghasilkan pedoman yang dimaksud, namun sayangnya pedoman tersebut tidak diterbitkan, dan akhirnya Peraturan Menteri PUPR No 1 Tahun 2015 lebih duluan keluar.
5.
Adanya pasal pembongkaran pada Permen PUPR Nomor 1 Tahun 2015 telah mendahului Undang Undang Cagar Budaya. Walaupun dalam Permen PUPR tersebut menjelaskan bahwa bangunan cagar budaya yang dibongkar adalah bangunan yang telah dihapuskan dari cagar budaya, tapi hal ini bisa saja nantinya akan tidak sinkron dengan pasal-pasal yang terdapat di Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan UUCB No 11 Tahun 2010 yang sampai hari ini belum juga keluar. Hal ini bisa saja terjadi karena di dalam Undang Undang Cagar Budaya sama sekali tidak membahas tentang pembongkaran cagar budaya, baik berupa benda, struktur, bangunan, situs, dan kawasan cagar budaya.
6.
Berdasarkan kekuatan berlakunya undang-undang, maka undang-undang yang lebih tinggi membatalkan/mengenyampingkan undang-undang yang lebih rendah (lex superior derogat lex inferior). Dalam hal ini Permen PUPR Nomor 1 Tahun 2015 secara hierarki kalah oleh Undang Undang Cagar Budaya No 11 Tahun 2010. Begitu pula ketika Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Undang-Udang Cagar Budaya telah dikeluarkan maka peraturan inilah yang seharusnya dijadikan acuan dalam melaksanakan pelestarian cagar budaya, atau dengan kata lain Permen PUPR Nomor 1 Tahun 2015 batal demi hukum.
7.
Seharusnya ada kolaborasi antara Kemendikbud (dalam hal ini yang diampu oleh Direktorat Pelestarian Cagar Budaya) dan kementerian-kementerian lainnya untuk mensinkronkan peraturan perundangan yang dibuat yang terkait dengan cagar budaya, sehingga tidak menimbulkan kebingungan dalam implementasinya yang dapat menimbulkan kotroversi antar lembaga kementerian.
Tentunya tulisan ini merupakan sudut pandang dari penulis terhadap peraturan perundangundangan yang berlaku saat ini. Masukan dan saran diperlukan untuk menutupi kekurangan dan melengkapi tulisan ini. Sekian dan terima kasih. Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | C 109
Tinjauan Kritis Terhadap Peraturan Menteri PUPR Nomor 01/PRT/M/2015
Daftar Pustaka: Dwiyanto, D. (2102). Menyongsong Implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya: Studi Kasus di Provinsi DIY. Dalam Arkeologi Untuk Publik (pp 463-475). Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Mumtazah. (2010). Penyalahgunaan Perizinan Penggunaan Gedung Senayan City Oleh PT. Manggala Gelora Perkasa Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung. Thesis. Depok: Universitas Indonesia Magetsari, N. (2016). Perspektif Arkeologi Masa Kini. Jakarta: Kompas Media Nusantara Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 2005 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang No 28 Tahun 2002 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia No 1/PRT/M/2015 Tentang Bangunan Gedung Cagar Budaya Yang Dilestarikan Undang Undang No 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung Undang Undang Republik Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Undang Undang Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Ramelan, W. & Djuwita, R. (2013). Perlindungan Hukum Cagar Budaya dan Beberapa Permasalahan Pelaksanaan Undang-Undang Cagar Budaya. Dalam Buletin Cagar Budaya (vol 12, pp. 79-93). Jakarta: Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman
Website: http://www.penataanruang.net/detail_b.asp?id=1776
C 110 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017