MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 42/PUU-XIII/2015
PERIHAL PENGUJIAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA PEMERIKSAAN PENDAHULUAN (I)
JAKARTA KAMIS, 9 APRIL 2015
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 42/PUU-XIII/2015 PERIHAL Pengujian Rancangan Undang-Undang Tahun 2015 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang [Pasal 7 huruf g dan Pasal 45 ayat (2) huruf k] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
PEMOHON 1. Jumanto 2. Fathor Rasyid ACARA Pemeriksaan Pendahuluan (I) Kamis, 9 April 2015 Pukul 14.01 – 14.42 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) Patrialis Akbar 2) Aswanto 3) I Dewa Gede Palguna Cholidin Nasir
(Ketua) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 42/PUU-XIII/2015: 1. Yusril Ihza Mahendra 2. Sururudin 3. Gugum Ridho Putra B. Pemohon Perkara Nomor 42/PUU-XIII/2015: 1. Jumanto
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 14.01 WIB 1.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Bismillahirrahmanirahim. Sidang Perkara Nomor 42/PUU-XIII/2015 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Terlebih dahulu dipersilakan kepada Pemohon untuk memperkenalkan diri siapa yang hadir walaupun kita sudah sangat kenal, tapi ini kan, direkam. Silakan, Pak Yusril.
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: YUSRIL IHZA MAHENDRA Terima kasih, Yang Mulia. Pemohon Prinsipal ada di sebelah kanan saya, ini Pak Jumanto, sebenarnya ada dua Pemohon Prinsipal Pak Jumanto dan Pak Fathor Rasyid, tapi Pak Fathor Rasyid berhalangan hadir, tapi Pak Jumanto hadir pada kesempatan ini. Kami bertiga ini adalah Kuasa Hukumnya, saya sendiri adalah Yusril Ihza Mahendra, kemudian Saudara Sururudin, kemudian Gugum Ridho Putra. Demikian, Yang Mulia.
3.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Ya, terima kasih. Ini perkaranya hebat betul ini Pak Yusril langsung turun tangan ini. Baiklah, walaupun kami sudah membaca permohonan yang diajukan ke Mahkamah, ada baiknya pada saat ini Kuasa Hukum untuk menyampaikan secara singkat dan padat langsung pada pokok permohonan, alasannya apa, kemudian petitumnya apa. Jadi, baik posita maupun petitum mengenai kewenangan Mahkamah dan legal standing enggak usah lagi, langsung pada pokok permohonan saja. Silakan.
4.
KUASA HUKUM PEMOHON: YUSRIL IHZA MAHENDRA Terima kasih, Yang Mulia. sebagaimana lazimnya dalam sidang pendahuluan ini kami mohon saran-saran, petunjuk, dan pendapat dari Para Yang Mulia untuk kami memperbaiki dan menyempurnakan permohonan ini. Sampai pada hari ini sebenarnya kami sudah merenungkan kembali isi dari permohonan ini dan terpikir dalam pikiran kami untuk melakukan penyempurnaan dan perbaikan atas permohonan ini, dan untuk itu kami mohon pertimbangan dan masukan dari Para Yang Mulia.
1
Sedianya, memang kami hanya memohon untuk menguji norma Pasal 7 huruf g dan Pasal 45 ayat (2) dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 pada waktu permohonan ini didaftarkan waktu itu undangundang ini belum diundangkan, jadi sudah disetujui bersama oleh DPR dan presiden, tapi belum dituangkan dalam lembaran negara dan karenanya belum diberi nomor, dan sekarang sudah diberi nomor yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yaitu tentang Perubahan UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pengesahan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang. Pasal 7 huruf g ini secara esensi sebenarnya sudah dua kali diuji di Mahkamah Konstitusi, tetapi oleh karena kedua undang-undang itu sudah dicabut, menjadi tidak jelas apakah secara mutatis mutandis kemudian berlaku kepada undang-undang baru yang menjadi hukum positif sekarang ini atau tidak. Oleh karena itu, pengujian ini kami rasakan perlu untuk dilakukan. Intinya adalah bahwa Pasal 7 itu rupanya terkait juga huruf g, terkait juga dengan huruf h setelah kami cermati sekarang ini setelah permohonan ini didaftarkan kepada Mahkamah Konstitusi. Kalau kita perhatikan ketentuan di dalam Pasal 7 huruf g itu mengatakan bahwa warga negara yang dapat menjadi calon gubernur- calon wakil gubernur, calon bupati-calon wakil bupati, serta calon walikota dan calon wakil walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut. g. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih. h. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Kalau kami renungkan kedua item huruf g dan h ini, seperti ada yang kontradiksi. Pertanyaannya adalah kalau huruf g mengatakan tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih. Pertanyaannya, bisakah huruf h itu sekonyong-konyong dijatuhkan pada seseorang? Ada seseorang tidak ada hujan, tidak ada angin tiba-tiba dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Apakah orang itu punya utang, lalu dicabut hak pilihnya? Tidak mungkin. Apakah orang itu berkelahi di jalan, dicabut hak pilihnya? Apakah orang itu mengkritik Presiden Jokowi tiap hari, lantas dicabut hak pilihnya oleh pengadilan? Tidak mungkin. Tidak mungkin huruf h itu dilaksanakan kecuali dia terkait dengan huruf g. Orang itu pernah diadili dan dijatuhkan pidana, baru dicabut hak pilihnya. Kelihatannya huruf g itu memang hanya ada pada UndangUndang Republik Indonesia. Kami bandingkan dengan Undang-Undang 2
Kerajaan Thailand dan Undang-Undang Kerajaan Malaysia. Saudara Anwar Ibrahim sebagai satu contoh, diadili dengan tuduhan melakukan sodomi. Dijatuhi pidana 6 tahun penjara dan diberi hukum tambahan tidak boleh aktif dalam politik selama 5 tahun. Demikian juga kepada Saudara Thaksin Shinawatra yang juga Perdana Menteri Thailand, dijatuhi pidana plus hukuman tambahan tidak boleh aktif dalam politik sekian tahun. Dalam konteks kita, biasa terjadi pada pengadilan militer. Ada anggota TNI penembak perang sampai mati atau melakukan desersi, dihukum 5 tahun penjara plus dicabut haknya untuk menjadi anggota TNI. Jadi, itu diputuskan melalui pengadilan. Pengadilanlah satu-satunya institusi yang bisa menjatuhkan hukuman pada seseorang, bukan undang-undang. Undang-undang hanya norma. Undang-undang adalah huruf-huruf, norma-norma di dalam satu teks peraturan perudangundangan. Tapi undang-undang in concreto dijalankan hanya oleh pengadilan. Bisakah undang-undang menghukum orang? Itu hanya ada undang-undang kita. Orang tidak boleh menjadi calon bupati, wakil, gubernur, walikota, dan para wakil. Undang-undanglah yang menghukum. Undang-undang mengatakan tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam penjara 5 tahun atau lebih. Tapi pengadilan tidak pernah mencabut hak orang itu melakukan ... dalam ... tidak pernah dicabut hak pilihnya dalam putusan pengadilan, tapi undang-undang memberikan ketentuan seperti itu. Sepertinya undang-undang telah menghukum seseorang sebelum pengadilan menghukum orang yang bersangkutan. Jadi, kami melihat ada kontradiksi antara g dan h dan seyogianya g dan h itu karena ada ketidakpastian hukum karena bertabrakan seperti itu, mestinya dibatalkan karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UndangUndang Dasar Tahun 1945 tentang kepastian hukum. Yang kedua juga, ternyata setelah kami kaji ulang, ketentuan Pasal 7 huruf g di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 itu bertabrakan dengan penjelasannya. Mungkin penjelasannya itu diilhami oleh Putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya. Jadi kalau di dalam huruf g itu tegas mengatakan tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih. Jadi karena diancam 5 tahun atau lebih, mutlak tidak bisa ikut, tapi penjelasannya seolah-olah menganulir batang tubuh Pasal 7 huruf g itu. Penjelasannya mengatakan persyaratan ini tidak berlaku bagi seorang yang telah selesai menjalani pidananya terhitung 5 tahun sebelum yang bersangkutan ditetapkan sebagai bakal calon dalam pemilihan jabatan publik yang dipilih dan seterusnya. 3
Kalau kita lihat secara formil dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, ya? Lupa saya, Undang-Undang Penggantian Perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 itu tentang pembentukan (...) 5.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Ya, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
6.
KUASA HUKUM PEMOHON: YUSRIL IHZA MAHENDRA Oh, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan itu jelas dikatakan bahwa penjelasan itu tidak boleh mengandung norma. Penjelasan itu hanya menjelaskan saja supaya orang membaca norma di dalam batang tubuh menjadi mengerti apa yang dimaksud di dalam pasal itu atau sekadar memberikan contoh supaya norma dipahami. Tapi tidak bisa batang tubuh mengatur seperti ini. Itu seperti dianulir oleh penjelasan, itu pun menimbulkan suatu kontradiksi yang kiranya juga dapat dipersoalkan kaitannya dengan Pasal 28D tentang kepastian hukum. Lebih daripada itu juga selain yang sudah diuraikan di sini, ada hal-hal yang kami juga mohon saran dan pendapat dari Para Yang Mulia. Adalah mengenai huruf ... Pasal 7 huruf g itu sendiri yaitu karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih. Ya, ini kan, kita tahu ancaman, sementara kita tahu pada umumnya di dalam KUHP kita itu kan, hanya ada ancaman ... apa namanya ... selama-lamanya, selama-lamanya dan bisa diterapkan yang paling minimum. Seperti juga di dalam KUHP dikatakan minimum 1 hari, selama-lamanya 15 tahun atau karena hal-hal tertentu menjadi 20 tahun. Nah, dalam praktik, bisa saja orang itu sebenarnya diancam 5 tahun penjara, tapi praktiknya ketika dilihat kesalahannya memang tidak begitu besar, lalu hakim memutuskan cuma dihukum tiga bulan penjara, tapi karena ancamannya 5 tahun atau lebih, maka orang itu sudah terkena ketentuan di dalam Pasal 7 huruf g ini. Nah, inilah hal-hal yang kami renungkan kembali, apakah memang … mudah-mudahan cukup alasan, nanti ke argumen diperbaiki bahwa ketentuan Pasal 7 huruf g dan h dan ketentuan Pasal 45 ayat (2) huruf k ya, memang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 atau tidak. Adapun petitum di dalam permohonan ini tegas-tegas kita mengatakan bahwa kita berkeinginan supaya norma ini dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan kemudian tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Walaupun seperti 4
saya katakan tadi, secara substansi sudah pernah dulu diputuskan 2 kali kalau tidak salah oleh Mahkamah Konstitusi dan putusannya pun memang agak berbeda dari putusan pertama dan putusan yang kedua, mudah-mudahan agak berbeda lagi dengan putusan yang ketiga yang dimohon sekarang ini. Mudah-mudahan dikabulkan, pasal itu dinyatakan memang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan kemudian dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Hal lain yang … apakah bisa ditambahkan atau tidak dalam argumen posita kita ini adalah apakah norma seperti ini, norma Pasal 7 huruf g itu, dia sejalan atau tidak sebenarnya dengan folisofi pemasyarakatan kita? Kan, filosofi pemasyarakatan kita itu kan, mendidik orang supaya jadi orang baik, tidak lagi menghukum orang itu, menyiksa orang itu supaya jera, tapi supaya orang itu insaf, supaya orang itu menjadi orang baik terus sudah ber-akhlakul karimah terus dikeluarkan dari LP jadi orang baik, kembali hidup di masyarakat sebagaimana layaknya seorang warga negara yang baik. Kan, itu tujuan filosofi pemasyarakatan kita itu. Tapi Pasal 7 huruf g itu kan sepertinya filosofi pemasyarakatan sudah enggak ada artinya? Orang ini sudah dihukum … katakanlah diancam 5 tahun, dihukum 2 tahun, baik kelakuannya dikasih remisi, kena PB, setahun kemudian sudah dikeluarkan dari LP. Seyogianya kan, orang itu sudah diterima menjadi warga negara yang baik karena sudah dididik di LP itu, itu sudah jadi orang baik, sudah kembali ke tengahtengah masyarakat. Tapi sepertinya ketentuan ini Pasal 7 huruf g ini seperti tidak mengakui sistem pemasyarakatan kita dan seperti tidak juga mengakui apa yang susah payah dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan dalam rangka mendidik warga binaan supaya menjadi orang yang baik. Nah, hal-hal inilah yang kami ingin tambahkan. Mohon saran dan pendapat dari Yang Mulia, bagaimana sebaiknya permohonan ini kami sempurnakan dan perbaiki, mengingat sudah ada putusan MK sebelumnya. Walaupun itu menyangkut undang-undang yang berbeda, ini ada undang-undang baru, normanya hampir sama, apakah ini memang perlu kita tambah-tambahkan seperti apa yang kami sampaikan tadi? Demikian, Yang Mulia. Terima kasih. 7.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Ya. Terima kasih, Pak Yusril. Kalau berkenan, kami ingin mendapatkan satu lagi gambaran relasi dengan kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon. Kayaknya ini belum dikaitkan tadi, kalau nilai-nilai filosofinya sudah kelihatan betul. Ini kenapa Pemohon ini mengajukan permohonan ini? Mungkin bisa ditambahkan sedikit.
5
8.
KUASA HUKUM PEMOHON: YUSRIL IHZA MAHENDRA Banyak kami bisa pertajam nanti legal standing atau kedudukan hukum dari Pemohon ini. Beliau ini beberapa kali menjadi anggota DPRD di Jawa Timur dari PKB, dari PKNU, tapi ya, kena musibah dipidana lalu kemudian kena PB, bebas. Begitu juga Pemohon Prinsipal lainnya, Pak Fathor Rasyid juga pernah menjadi pejabat negara kita, jadi wakil ya. Ya, mantan Ketua DPRD Jawa Timur. Jadi beliau ini kalau dilihat wajahnya ini masih potensial jadi bupati atau jadi walikota, begitu. Paling tidak begitulah. Nanti kan, bulan Juli ini sudah mau pilkada, siapa tahu beliau ini didukung sama PKB jadi calon bupati atau walikota di ... Calon Bupati Situbondo, misalnya begitu, kan. Tapi beliau terhalang karena beliau pernah dipidana dan ancamannya itu lebih dari 5 tahun dan kalau kita lihat juga dalam putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya kan, menimbulkan ... masih kurang jelas juga apakah beberapa syarat-syarat yang dibuat oleh MK sebelumnya itu adalah kumulatif ataukah memang satu demi satu? Antara lain mengatakan misalnya kalau orang itu terus terang mengakui di depan umum bahwa pernah dipidana terus bersaing. Tapi ada surat dari Panitera Mahkamah Konstitusi malah mengatakan itu kumulatif. Nah, ini juga menimbulkan keragu-raguan ketidakpastian di KPUD-KPUD di daerah-daerah untuk dalam hal menerima calon ... apa namanya ... pendaftaran pilkada ini, apalagi ini bulan Juli sudah dimulai pendaftaran pilkada ini mudah-mudahan ini akan membuat terang masalah ini, jadi kedua Pemohon Prinsipal ini sebenarnya memberikan kontribusi juga kalau ada putusan MK lebih dulu sebelum bulan Juli, mudah-mudahan akan memperjelas dan mempermudah pekerjaan KPUD di daerah-daerah berhubungan dengan hal yang agak kurang begitu jelas sebenarnya sampai hari ini. Demikian, Yang Mulia.
9.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Baik, Pak Yusril. Jadi, akhirnya memang kita … apa … sangat memahami, ada juga keinginan untuk melakukan rekonstruksi kembali beberapa hal tadi, itu kita persilakan sepenuhnya kepada Pemohon, Kuasa Hukum ya, untuk melengkapi itu. Namun, ada beberapa hal juga karena ini merupakan kewajiban kami untuk memberikan masukanmasukan kalau istilah Pak Yusril tadi, nasihat ya. Jadi, ada beberapa hal yang memang ingin kami sampaikan untuk lebih menyempurnakan permohonan ini. Pertama, saya silakan kepada Pak Yang Mulia Bapak Prof. Aswanto.
6
10.
HAKIM ANGGOTA: ASWANTO Terima kasih, Yang Mulia Ketua. Para Pemohon ya, ada dua Pemohon Prinsipalnya, membaca permohonan yang diajukan memang nampaknya agak panjang, tapi di bagian belakang juga ada ringkasannya, sehingga kita lebih mudah memahami. Namun, dibandingkan antara membaca dan sesudah mendengar penjelasan secara lisan dari Prof. Yusril saya kira menjadi lebih terang lagi, sehingga yang perlu kami sarankan adalah apa yang disampaikan secara lisan tadi, ada beberapa hal yang menurut saya belum masuk memang di dalam permohonan ini, kiranya itu dijadikan sebagai … apa ... argumen-argumen yang bisa memperkuat dan mempertajam, antara lain soal teori tentang pemidanaan menurut saya, tadi Pak Yusril menyinggung soal ketentuan Pasal 7G dan Pasal 7H, ya. Ini mungkin perlu diperkaya lagi dengan teori bahwa ini bisa dikualifikasi sebagai sebuah tindakan yang mungkin mengarah ke pelanggaran HAM karena di dalam teori hukum pidana kan, “Tidak boleh satu tindak pidana dijatuhkan dua hukuman.” Gitu. Nah ini mungkin perlu diperkaya, sehingga bisa lebih meyakinkan, tidak boleh ada double track kan, di dalam sistem penghukuman kita. Dan termasuk dari sisi hak asasi manusia, mungkin perlu dielaborasi lagi bahwa ketika seseorang sudah dijatuhi pidana dan sudah melaksanakan pidana tersebut, apakah masih harus dihukum lagi? Dengan tidak diberikan kesempatan untuk ikut berpartisipasi di dalam pemerintahan? Misalnya sebagai calon seperti yang Bapak sampaikan tadi. Itu menurut saya perlu dielaborasi. Berikutnya. Perlu juga dielaborasi mungkin Mahkamah tadi, Pemohon sudah menyampaikan ada ... ada tiga perkara malah di catatan saya ini, ada Perkara Nomor 11, Perkara Nomor 17 Tahun 2003, dan Perkara Nomor 4 Tahun 2009. Yang ... apa … yang dimohonkan ketika itu ya, substansinya sama dengan sekarang yaitu Pasal 7 ... Pasal 7 huruf g ini ya, Pasal 7 huruf g itu substansinya sama dengan atau paling tidak mendekati dengan tiga permohonan itu, sehingga mungkin supaya lebih meyakinkan lagi Mahkamah, pertimbangan-pertimbangan hukum yang ada pada tiga perkara itu bisa dielaborasi, sehingga ya, sebenarnya menurut saya mestinya norma ini enggak muncul lagi, gitu. Norma ini tidak muncul lagi kalau kita melihat tiga putusan itu, tetapi kelihatannya teman-teman pembuat undang-undang mengabaikan ... mengabaikan apa … putusan Mahkamah Konstitusi. Nah, ini mungkin ini juga perlu di ... tadi, Pemohon menyampaikan bahwa apakah putusan yang Nomor 11, Perkara Nomor 17 Tahun 2003, Perkara Nomor 4 Tahun 2009 sesudah peraturan atau sesudah undang-undangnya berubah, masih tetap mengikat. Ini mungkin perlu dikaji … apa … perlu dielaborasi lebih jauh lagi bahwa Mahkamah kan sebenarnya tidak menguji pasal, gitu. 7
Mahkamah menguji norma, sehingga ditaruh mana pun norma itu, di undang-undang mana pun ditempatkan, di pasal mana pun ditempatkan, ketika norma itu sudah dinyatakan bertentangan dengan UndangUndang Dasar Tahun 1945, mestinya tidak dipasang lagi di undangundang yang ... undang-undang lain, gitu. Karena putusan ... apa ... di samping tidak menguji norma, putusan kita kan, sifatnya erga omnes, gitu, sehingga mestinya tidak terulang lagi itu, tidak muncul lagi norma ini. Nah, ini mungkin perlu ... sebenarnya dari penjelasan lisan tadi itu lebih konkret, gitu. Mungkin Pak Yusril belum terlibat dalam menyusun ini, baru asisten yang menyusun, sehingga ada perbedaan antara yang di ... apa ... disampaikan secara oral tadi dengan yang ada di dalam ... apa ... di dalam konsep permohonan yang kami terima. Saya kira itu saja saran karena pada prinsipnya kami bisa menangkap secara jelas apa yang diinginkan oleh Pemohon, tinggal memperkaya lagi, bahkan kalau perlu di-back up oleh teori-teori, sehingga kami bisa lebih yakin, gitu. Dari saya cukup, Yang Mulia. 11.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Terima kasih, Pak Aswanto. Silakan, Yang Mulia Pak Palguna.
12.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Terima kasih, Yang Mulia Ketua. Pemohon, Prof. Yusril selaku Kuasa, saya tidak ada tambahan lain kecuali mungkin yang di dalam permohonan masih ada titik-titik itu kan, sekarang sudah ada nomor undang-undangnya, mungkin itu saja. Tetapi yang kedua, supaya kita … jangan-jangan … saya khawatir kita membaca dokumen yang berbeda nanti. Tadi ada uraian dari Kuasa Pemohon dari Prof. Yusril tentang penjelasan ini ... apa namanya ... Pasal 7 huruf g itu, kalau di dalam dokumen yang saya terima, saya enggak tahu dengan yang lain, itu penjelasan yang disampaikan seperti itu tidak ada di sini, Yang Mulia ... Prof. Yusril. Yang Mulia Ketua juga mungkin bisa lihat di ininya, rasanya tidak ada ini di penjelasan Pasal 7 huruf g itu justru di sini mengatakan cukup jelas, saya tidak tahu nanti khawatirnya kalau undang-undang yang berbeda nanti yang diinikan, yang dimaksud oleh Prof. Yusril ini. Itu saya kira itu tambahannya yang dari saya. Kalau alasan mengenai posita, saya kira enggak perlu ditambahkan lagi karena ini sudah sangat panjang, bahkan sampai di belakang pun diperlukan ringkasan. Cuma yang itu tadi ya, betul yang alasan tentang ... apa ... sistem ... apa ... sistem pemasyarakat itu rasanya belum masuk ya, di dalam ... di dalam ... anu ... di dalam permohonan ini, sehingga apa yang terekam di sebagai risalah sidang nanti di sini dengan yang ada di 8
permohonan tentu kita bisa akan bisa menjadikannya sebagai instrumen untuk saling cross-check dengan permohonan dan karena masalahnya kalau tidak ada perbaikan kan, sesuai dengan peraturan Mahkamah Konstitusi, maka yang dianggap sebagai permohonan yang autentik itu adalah yang tertulis yang teregistrasi itu. Kalau dari saya itu saja, Yang Mulia. Saya cuma mohon ... anunya ... bahwa sepanjang menyangkut penjelasan itu rasanya tidak ada dan kalau itu dijadikan argumen karena kalau ... kalau memang nyata-nyata yang kami terima itu adalah yang benar adalah bahwa penjelasan itu tidak ada, mungkin itu tidak dijadikan bagian dari argumen itu. Ya, terima kasih, Pak Ketua. 13.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Ya, terima kasih, Yang Mulia Pak Palguna. Saya juga mau menambahkan yang agak ringan-ringan saja ini, Prof. Yang pertama ya, saya membaca dengan baik ini, ini di dalam permohonannya ini halaman 3 angka 2 itu tertulis Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum. Ini tolong diperbaiki bahwa Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 itu sesungguhnya tentang kekuasaan kehakiman, jadi bukan ini, yang ringan-ringan saja. Yang kedua, sesuai dengan penjelasan yang disampaikan oleh Pak Yusril yang lebih ringkas tadi memang kita bisa menangkap itu, walaupun dalam permohonannya panjang sekali ini. Saya kira, ada baiknya yang berkenaan dengan persoalan legal standing yang terakhir tadi ya, ini lebih jauh kelihatannya kan, ini berkaitan dengan potensi ya, potensi untuk dirugikan menurut penalaran yang wajar, ya. Mana tahu bisa akan menjadi bupati, ini kan, baru potensi, ya kan. Barangkali itu bisa ditekankan, lebih difokuskan posisi terhadap ... apa namanya ... kerugian, potensi kerugian konstitusional itu. Jadi, harus lebih jelas begitu, bagaimana sebetulnya bentuk kerugiannya itu. Kalau kami baca lagi, tadi di sini dikatakan bahwa kerugian konstitusional Pemohon ini memang kelihatannya belum tergambar dengan jelas karena di sini kan, Pemohon menyatakan dengan adanya Pasal 7 itu menjadi terkekang, menjadi terkekang. Apakah ini bisa dimaknai sebagai suatu potensi dengan terkekang itu. Barangkali mungkin agak lebih tajam bahwa justru dengan keberadaan Pasal 7 huruf g betul-betul menghilangkan kesempatan bagi Pemohon. Kalau kita atau saya cermati sebetulnya kan, ini spirit ya, permohonan ini kan, Pemohon juga ingin mengingatkan sebetulnya pembentuk undangundang agar lebih cermat di dalam menyusun undang-undang. Walaupun sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi yang berkenaan dengan ini, tapi ternyata pembuat undang-undang tidak mengakomodasi dengan baik. Ini memang satu persoalan juga bagi kita. Tentu meskipun di dalam ada masalah yang dirasakan di dalam undang-undang karena 9
Mahkamah mengetahui adanya putusan Mahkamah yang sudah cukup jelas walaupun tadi ada juga yang dipertanyakan oleh Prof. Yusril, tentu Mahkamah tidak akan mengabaikan putusan itu di dalam memberikan pertimbangan penilaian-penilaian terhadap permohonan ini. Walaupun semangat Mahkamah sudah ada, tapi undang-undang tidak mengakomodasi dengan baik. Itu memang menjadi perhatian yang serius sebetulnya bagi Mahkamah. Kemudian, terakhir dari saya, semangat untuk kembali, Prof. Yusril ingin memasukkan huruf h yang jelas ada relasinya dengan huruf g, ya tentu kami mempersilakan sepenuhnya, termasuk juga semangat lapas tadi. Walaupun ada semangat lain belakangan untuk tidak memberikan remisi, kan begitu. Tapi alhamdulillah ini mudah-mudahan di dalam permohonan ini juga bisa terungkap sebetulnya hakikat dari keberadaan dari lembaga permasyarakatan itu. Dan kalau memang juga ingin dipersandingkan dengan beberapa referensi di negara-negara asing, ya silakan. Saya kira juga tidak ada salahnya karena memang kita tentu ingin mencari yang terbaik di dalam penyelenggaraan kenegaraan ini secara keseluruhan. Kami kira itu, Prof. Yusril, barangkali ada lagi yang ingin disampaikan, silakan. 14.
KUASA HUKUM PEMOHON: YUSRIL IHZA MAHENDRA Baik. Terima kasih, Yang Mulia. Yang pertama, yang disampaikan Yang Mulia, Pak Aswanto, itu pun menjadi pertanyaan kami juga. Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Apakah yang diuji ini norma yang bisa ada dalam banyak undang-undang ataukah yang kita uji itu norma di dalam undang-undang tertentu saja? Apakah kalau satu norma yang sama diatur dalam satu undang-undang x, diputus oleh Mahkamah Konstitusi misalnya, dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan dinyatakan tidak punya kekuatan hukum yang mengikat, itu secara mutatis mutandis berlaku juga kepada undang-undang lain yang normanya sama atau tidak? Dalam praktik itu tidak begitu. Misalnya, Undang-Undang Imigrasi, kami uji di sini, ada juga orang lain menguji tentang adanya pasal dalam Undang-Undang Keimigrasian yang mengatakan bahwa pejabat-pejabat yang diberikan kewenangan untuk memohon pencekalan, pencegahan kepada menteri hukum dan HAM, itu mula-mula kan, norma yang mengatakan itu bisa dicegah ke luar negeri selama-lamanya 6 bulan dan sesudah itu dapat diperpanjang setiap 6 bulan. Jadi kan, tiap 6 bulan, 6 bulan, 6 bulan terus sampai yaumil qiyamah orang itu 6 bulan, 6 bulan bisa … tapi kan, Mahkamah membatasi 6 bulan dan sesudah itu diperpanjang selama-
10
lamanya 6 bulan. Artinya, 2x6 bulan setahun enggak boleh orang dicegah lagi. Norma yang sama itu ada di dalam Undang-Undang KPK. KPK itu boleh mencegah orang 1 tahun sekaligus dan sekarang itu dipraktikkan. Jadi, pertanyaan kita mutatis mutandis berlaku atau tidak? Itu menjadi masalah juga. Di dalam Undang-Undang Keimigrasian pun ada yang menguji juga ketika orang itu hanya dalam … apa … bukan tersangka, itu tidak bisa dicegah ke luar negeri. Tapi dalam Undang-Undang KPK, dalam penyelidikan pun sudah bisa orang dicegah. Orang jadi saksi pun sudah bisa dicegah, memang ganjil. Misalnya, saya berdiri di halte bus, menunggu bus, tiba-tiba ada taksi menabrak orang sampai mati, taksinya kabur. Saya dipanggil polisi untuk menjadi saksi, terus saya dicekal. Lah, apa urusannya saya dicekal? Nasib sial saja kenapa saya berdiri di halte itu, enggak ada urusannya dengan saya. Nah, oleh karena itu dalam Undang-Undang Keimigrasian itu dibatalkan oleh MK, saksi enggak bisa dicegah ke luar negeri. Ini Undang-Undang KPK masih dan itu tidak secara mutatis mutandis berlaku pada Undang-Undang KPK. Bagaimana kita memecahkan persoalan ini? Oleh karena itu karena ada keragu-raguan seperti itulah, maka kami mengajukan permohonan ini dengan harapan tidak dinyatakan sebagai satu nebis in idem permohonan ini karena … apa ... substansi normanya bisa sama, tapi ternyata undang-undangnya itu sudah berbeda. Jadi, bagaimana nanti kebijakan dari Mahkamah Konstitusi untuk menyikapi persoalan ini. Lain daripada itu juga adalah yang ingin kami kemukakan di sini mengenai contoh-contoh yang tadi dilakukan di Malaysia dan di Thailand, dan juga dalam hukum pidana militer kita. Nah, bisa enggak itu disinkronkan dengan undang-undang ini bahwa orang itu tidak sertamerta tidak bisa ikut, tidak berhak untuk menjadi calon kepala daerah hanya karena pernah dipidana dengan ancaman 5 tahun, tapi mestinya memang pengadilanlah yang menyatakan begitu. Orang ini dihukum 6 tahun penjara tapi plus dijatuhi hukuman tambahan yaitu 5 tahun tidak boleh aktif dalam politik. Jadi fair, memang ada putusan pengadilan seperti itu. Kan, normanya sekarang ini justru hanya di dalam undangundang, tapi putusan pengadilan tidak pernah menjatuhkan pidana seperti itu pada orang yang bersangkutan. Seperti Pak Jumanto ini dipidana oleh pengadilan sekian tahun penjara, tapi tidak pernah pengadilan menghukum tambahan beliau tidak berhak misalnya untuk menjadi calon bupati atau calon walikota, itu berapa tahun? Nah, kalau kita membaca undang-undang ini ya, sampai selamalamanya beliau ini enggak berhak lagi karena Pasal 7 huruf g tadi itu, padahal mestinya dinyatakan di pengadilan. Nah, mudah-mudahan kalau sekiranya ini dipertimbangkan oleh Mahkamah akan memberikan banyak pengakuan dan penghargaan, penghormatan juga kepada beliau ini 11
sudah pernah menjalani pidana, sudah keluar, menurut sistem kemasyarakatan kita sudah baik. Beliau ini bukan cuma tobat, ini sudah tobatan nasuha beliau ini, tapi enggak bisa, orang sudah tobatan nasuha kan sudah bisa, tapi enggak bisa oleh undang-undang, begitu. Jadi mudah-mudahan ... ini orang PKB, jadi musti tobatan nasuha beliau itu. Jadi, mudah-mudahan ada perubahanlah setelah kita menguji undang-undang ini. Yang terakhir yang disampaikan Yang Mulia Pak Palguna, itu di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pengesahan Perpu itu memang Pasal 7 huruf g itu penjelasannya cukup jelas, Pak, tapi ketika ini diubah di amandemen dengan Undang-Undang Nomor 8, munculah penjelasan Pasal 7 huruf g. Jadi, mungkin yang Bapak baca Undang-Undang Nomor 1-nya. 15.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Tanda … bukti di sini?
16.
KUASA HUKUM PEMOHON: YUSRIL IHZA MAHENDRA Ya, betul. Jadi kami koreksi juga ini, kami perbaiki bahwa yang kami uji ini sebenarnya Undang-Undang Nomor 8, setelah dilakukan perbaikan memang ada penjelasan dari huruf g itu yang saya katakan tadi penjelasan ini kok, sepertinya tabrakan dengan materi batang tubuhnya, begitu. Kami kira itu yang lain-lain kami terima saran perbaikan untuk penyempurnaan permohonan ini dan mudah-mudahan dapat disampaikan pada sidang yang akan datang. Terima kasih, Yang Mulia.
17.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Ya, baik. Jadi, ada beberapa catatan kita, pertama alat bukti yang disampaikan tadi tolong diperbaiki. Jadi, apa yang disampaikan secara lisan sebaiknya sama dengan bukti yang disampaikan di sini, itu satu. Yang kedua, menurut catatan Panitera Bukti P-2 nya belum ada ya, nanti tolong dilengkapi Bukti P-2, sehingga pada persidangan ke depan pada perbaikan kita akan langsung mengesahkan pembuktian, kalaupun misalnya masih ada bukti yang mau ditambahkan silakan ya, walaupun prinsipnya terbuka selama persidangan sebelum diputuskan atau sebelum sidang ditutup, jadi boleh. Jadi kita punya waktu sesuai dengan undang-undang 14 hari kesempatan untuk memperbaiki ini paling lambat itu pada tanggal 22 April 2015 pukul 14.00 WIB, kalau perbaikannya lebih cepat, ya, silakan, tapi itu paling lambat.
12
Dengan demikian kalau memang sudah tidak ada lagi, maka sidang hari ini kita cukupkan dan sidang ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 14.42 WIB Jakarta, 9 April 2015 Kepala Sub Bagian Risalah,
Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
13