MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 109/PUU-XIII/2015 PERKARA NOMOR 110/PUU-XIII/2015
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN DPR DAN AHLI PRESIDEN (VI)
JAKARTA KAMIS, 12 NOVEMBER 2015
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 109/PUU-XIII/2015 PERKARA NOMOR 110/PUU-XIII/2015 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [Pasal 45 ayat (1)] dan Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana [Pasal 46 ayat (2)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON PERKARA NOMOR 109,110/PUU-XIII/2015 1. Otto Cornelis Kaligis ACARA Mendengarkan Keterangan DPR dan Ahli Presiden (VI) Kamis, 12 November 2015 Pukul 14.15 – 16.19 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Anwar Usman Patrialis Akbar Aswanto Wahiduddin Adams I Dewa Gede Palguna Suhartoyo Manahan MP Sitompul
Yunita Rhamadani Saiful Anwar
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota)
Panitera Pengganti Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Kuasa Hukum XIII/2015:
Pemohon
Perkara
Nomor
109
dan
110/PUU-
1. Muhammad Rullyandi 2. Mety Rahmawati B. Pemerintah: 1. Heni Susila Wardoyo 2. Nasrudin 3. Rulita 4. Jaya 5. Tri Rahmanto C. Ahli dari Pemerintah: 1. Oka Mahendra 2. Zainal Arifin Mochtar D. Pihak Terkait (KPK): 1. Setiadi 2. R. Natalia Kristianto
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 14.15 WIB 1.
KETUA: ANWAR USMAN Kita mulai. Bismillahirrahmaanirrahiim. Sidang Perkara Nomor 109/PUU-XIII/2015 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang dan salam sejahtera untuk kita semua. Pemohon, dipersilakan siapa yang hadir?
2.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 109,110/PUUXIII/2015: MUHAMMAD RULLYANDI Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Kami hadir Pemohon, saya Muhammad Rullyandi dan sebelah saya Mety Rahmawati.
3.
KETUA: ANWAR USMAN Baik. Dari DPR tidak ada. Dari Kuasa Presiden, silakan.
4.
PEMERINTAH: HENI SUSILA WARDOYO Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Yang Terhormat dan Yang Mulia Ketua dan Anggota Hakim Konstitusi. Izinkah kami memperkenalkan diri. Pemerintah hadir, saya sendiri Heni Susilo Wardoyo. Kedua, Bapak Dr. Nasrudin, Ibu Rulita, dan ada Pak Jaya dan Pak Tri. Selain itu, Pemerintah menghadirkan dua Ahli, Yang Mulia, Bapak Oka Mahendra dan yang satu Bapak Zainal Arifin. Terima kasih, Yang Mulia.
5.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Dari Pihak Terkait, silakan.
6.
PIHAK TERKAIT: SETIADI Assalamualaikum wr. wb. Terima kasih, Yang Mulia. Kami dari Pihak Terkait KPK, saya sendiri Setiadi, di sebelah kiri saya Natalia, kemudian ada dua orang lagi masih dalam perjalanan, Yang Mulia karena tadi koordinasi dengan saksi ahli. Terima kasih.
1
7.
KETUA: ANWAR USMAN Baik. Jadi, agenda persidangan hari ini adalah untuk mendengarkan keterangan dua Ahli dari Kuasa Presiden, yang satu berada di Yogyakarta, ya. Ya, baik. Ya, kita ini … sumpah dulu yang ada di ruang sidang. Silakan, Pak Oka. Mohon kesediaan Yang Mulia Pak Palguna.
8.
PEMERINTAH: HENI SUSILA WARDOYO Agama Hindu.
9.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Ada … Pak Oka, mohon ikuti lafal sumpah yang saya tuntunkan. “Om atah paramawisesa. Saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya. Om santi, santi, santi om.”
10.
AHLI BERAGAMA HINDU BERSUMPAH: Om atah paramawisesa. Saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya. Om santi, santi, santi om.
11.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Terimakasih.
12.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih, Yang Mulia. Mohon kembali ke tempat duduk. Untuk Yogyakarta, sudah dihubungkan?
13.
AHLI DARI PEMERINTAH: ZAINAL ARIFIN MOCHTAR Baik, Yang Mulia.
14.
KETUA: ANWAR USMAN Baik. Ahli kita … ini … sumpah dulu, ya. Dipersilakan untuk mengambil tempat. Ya, sudah ada juru sumpah. Mohon kesediaan Yang Mulia Pak Wahiduddin.
2
15.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Kepada Pak Zainal, ahli untuk mengikuti lafal yang saya tuntunkan.
16.
AHLI DARI PEMERINTAH: ZAINAL ARIFIN MOCHTAR Baik, Yang Mulia.
17.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.”
18.
AHLI BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
19.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih, Ahli. Kita dengar dulu keterangan yang di Jakarta di ruang sidang ya, baru berikutnya nanti di Yogyakarta Pak Zainal.
20.
AHLI DARI PEMERINTAH: ZAINAL ARIFIN MOCHTAR Baik, Yang Mulia.
21.
KETUA: ANWAR USMAN Dipersilakan Ahli Pak Oka Mahendra.
22.
AHLI DARI PEMERINTAH: OKA MAHENDRA Yang terhormat Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Konstitusi. Pemohon dan/atau Kuasanya, yang mewakili Pemerintah, para hadirin yang saya hormati. Ketua Dewan Direktur Transparansi Internasional, Dr. Peter (suara tidak terdengar jelas) menyatakan korupsi adalah salah satu tantangan terbesar dalam abad kita dan harus kita hadapi. Akibat langsung korupsi bukan saja memperparah kemiskinan rakyat, melainkan
3
juga kian memperlemah lembaga-lembaga demokrasi kita seperti dikemukakan oleh Dr. Oscar Ariasances [Sic!] menerima hadiah Nobel. Korupsi memang merusak perkembangan demokrasi, menghambat prestasi lembaga-lembaga masyarakat, menghambat pengunaan sumber daya nasional secara optimal, memperparah patologi birokrasi, dan menghalangi pertumbuhan pasar yang sehat, serta pada gilirannya menghambat pembangunan kesejahteraan rakyat. Bangsa Indonesia sejak era reformasi telah memperkuat komitmennya dalam memberantas korupsi untuk menciptakan pemerintahan yang lebih adil, efektif, efisien, guna mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemberantasan korupsi memang bukan hal yang mudah. Diperlukan pendekatan yang bersifat holistic yang melibatkan semua pelaku utama untuk menggalang potensi antikorupsi dalam masyarakat guna memangkas korupsi sampai ke akarakarnya. Selain itu, pembentukan badan antikorupsi yang independent, kepemimpinan politik yang memiliki visi, strategi, dan program aksi yang jelas dan tegas untuk pemberantasan korupsi dengan dukungan masyarakat dan sektor swasta yang termotivasi untuk bersinergi dalam upaya pemberantasan korupsi sangat penting peranannya dalam memberantas korupsi yang semakin meluas dan meningkat. Dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang untuk selanjutnya disebut KPK. Pembentukan KPK dilatarbelakangi oleh tekad kuat bangsa Indonesia untuk meningkatkan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. Menurut Pasal 3 Undang-Undang KPK, KPK adalah lembaga negara, sekali lagi kami ulangi adalah lembaga negara, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independent dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. KPK secara spesifik diamanatkan oleh Undang-Undang KPK untuk menjalankan fungsi dalam mandat antikorupsi yang memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi. Dalam penjelasan umum alinea kedua Undang-Undang KPK antara lain dikemukakan meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana, tidak saja pada kehidupan perekonomian nasional, tapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak ekonomi rakyat dan karena itu semua, maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.
4
Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independent, serta bebas dari kekuasaan mana pun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional, serta berkesinambungan. Badan antikorupsi dalam hal ini KPK akan berhasil mengemban mandate antikorupsi yang ditentukan dalam undang-undang jika memiliki; 1. Dukungan politik pada tingkat tertinggi dalam pemerintahan. 2. Kemandirian politik dan operasional untuk menyelidiki bahkan di tingkat tertinggi dalam pemerintahan. 3. Kekuasan yang memadai untuk mengakses dokumentasi dan untuk menanyai para saksi. 4. Kepemimpinan yang dilihat memiliki integritas tertinggi. Independency KPK dan kemandirian KPK harus kita kawal khususnya kemandirian politik dan operasional untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan perkara tindak pidana korupsi khususnya tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggaraan negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat dan/atau menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar. Tindak pidana korupsi yang menjadi fokus kewenangan KPK adalah tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh white collar criminal establishment, yaitu kelompok penjahat priayi yang cukup cerdik untuk tidak ditangkap dengan memadukan kejahatan dan usaha yang bersih sebagaimana dikemukakan oleh SH. Alatas ketika mengulas pendapat Morton mengenai peranan integrative sang pemimpin dalam melakukan tindak pidana korupsi di Amerika. Sejalan dengan semangat revolusi mental yang dicanangkan Presiden Joko Widodo, seruan Sances perlu kita simak dan laksanakan. Ia mengatakan, “Waktunya telah tiba bagi kita untuk menghidupkan potensi kita dan melenyapkan godaan korupsi. Marilah kita jujur kepada sejarah dan mulai mempersiapkan masa depan. Sekaranglah momentum yang tepat untuk melenyapkan godaan korupsi, untuk meningkatkan upaya pemberantasan korupsi. Bukan untuk melakukan upaya sistematis, terencana, dan masif untuk memberantas KPK yang diberi tugas oleh undang-undang untuk melakukan kordinasi supervisi, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, tindakan pencegahan, tindak pidana korupsi, dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.” Jika tidak, ramalan Joyoboyo berikut akan 5
menjadi kenyataan. Baik 66 ramalan Joyoboyo mengatakan, “Wong doro uro-uro, durjono soyo sempurno.” Yang artinya, pengkhianat termasuk koruptor bernyanyi, durjana semakin sempurna. Kemudian dalam bait 95 diungkapkan, “Tunggak jarak mrajak, tunggak jati mati.” Yang artinya, benih kejahatan merajalela termasuk kejahatan korupsi dan benih kebaikan mati. Tanda-tandanya terlihat dari perkembangan pemberantasan korupsi di Indonesia dalam 10 tahun terakhir ini yang tidak terlalu menggembirakan. Pada tahun 2005, indeks persepsi korupsi Indonesia berada pada skor 2,2 dari skala 10. 10 tahun kemudian 2014 IPK Indonesia hanya merangka skor 1,2 menjadi 3,4 atau 34 dari skala 100. Dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional tahun 2010-2014, IPK Indonesia ditargetkan menjadi 5 atau 50 dari skala 100. Kami yakin bahwa Ketua, Wakil Ketua Hakim Konstitusi Yang Mulia, dan seluruh hadirin yang hadir pada ruangan ini tidak ingin membiarkan, “Wong doro uro-uro, durjono soyo sempurno.” Selanjutnya, izinkan saya menyampaikan pandangan terhadap Pasal 45 Undang-Undang KPK yang dikaitkan dengan beberapa pasal lainnya, antara lain Pasal 39 ayat (1), Pasal 39 ayat (3), Pasal 43 Undang-Undang KPK. Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang KPK selengkapnya menentukan, “Penyelidikan, penyidikan, penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku dan berdasarkan UndangUndang Nomor 32 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1999.” Frasa kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 merupakan lex specialis sehingga berlaku asas lex speciali derogat legi generalis. Menurut Bagir Manan, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan asas lex specialis derogat legi generalis. Yang pertama, ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur dalam aturan khusus tersebut karena aturan hukum khusus merupakan pengecualian dari aturan hukum umum. Kedua, ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis. Yang ketiga, ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum atau rezim yang sama dengan lex generalis. Ketentuan yang dikecualikan dari hukum ... aturan hukum umum dalam hal ini Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHP, yang akan dibahas pada kesempatan ini antara lain tentang Penyelidikan dan Penyidikan. Mengenai penyelidik, Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 menentukan, “Penyelidik adalah penyelidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK.” Pasal 43 ayat (1) tersebut, dalam 6
teori perundang-undangan memuat kaidah kewenangan. Menurut Bruggink kaidah kewenangan menetapkan antara lain, oleh siapa dengan melalui prosedur yang mana kaidah perilaku ditetapkan. Pasal tersebut menentukan perbuatan mengangkat dan memberhentikan penyelidik pada KPK dilakukan oleh KPK, dengan kata lain KPK diberi kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan penyelidik pada KPK. Dasar legitimasi seorang menjadi penyidik pada KPK adalah adanya putusan pengangkatan dari KPK. Pada ayat (2) pasal tersebut ditentukan penyelidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi penyelidikan tindak pidana korupsi. Ketentuan ini menegaskan bahwa penyelidik pada KPK mempunyai fungsi khusus, yaitu melaksanakan penyelidikan tindak pidana korupsi. Pasal 39 ayat (3) Undang-Undang KPK menentukan, “Penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai KPK diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai pada KPK.” Pasal 39 ayat (3) Undang-Undang KPK dalam kategori Bruggink memuat kaidah kualifikasi, memberikan persyaratan yang harus dipenuhi seorang untuk dapat melakukan perbuatan tertentu dalam hal ini melakukan perbuatan penyelidikan atau penyidikan. Artinya dalam hal penyelidik dan penyidik penuntut umu KPK berasal dari instansi kepolisian dan kejaksaan, maka yang bersangkutan harus diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai KPK. Ketentuan tersebut tidak mengharuskan bahwa penyelidik dan penyidik pada KPK dari pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, tetapi ketentuan tersebut mengharuskan yang bersangkutan diberhentikan sementara agar tidak terjadi konflik kepentingan dan penyelidik serta penyidik KPK tersebut sepenuhnya dapat melaksanakan tugas berdasarkan perintah serta bertindak untuk dan atas nama KPK, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang KPK. Mengenai penyidik, Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang KPK menentukan, penyidik adalah penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Pasal 41 ayat (1) ini seperti halnya Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang KPK memuat kaidah kewenangan. Kaidah kewenangan ini menetapkan antara lain oleh siapa kaidah perilaku ditetapkan. Pasal 45 secara jelas menentukan bahwa perbuatan mengangkat dan memberhentikan penyidik pada KPK dilakukan oleh KPK. Dengan kata lain, KPK diberi kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan penyidik pada KPK. Dasar (suara tidak terdengar jelas) seorang sah menjadi penyidik pada KPK adalah adanya keputusan pengangkatan dari KPK. Pasal 45 ayat (2), dalam Pasal 45 ayat (2) ditentukan, “Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi penyidikan tindak pidana korupsi.” Ketentuan ini juga menegaskan bahwa penyidik pada KPK 7
mempunyai fungsi khusus, yaitu melaksanakan penyidikan tindak pidana korupsi yang menjadi kewenangan KPK. Bapak Ketua Mahkamah Konstitusi, Wakil Ketua serta Hakim Konstitusi yang saya hormati. Untuk memahami konteks penafsiran Pasal 45 Undang-Undang KPK mengenai pengangkatan penyidik, maka perlu juga membandingkan dengan pasal-pasal yang terkait, yakni mengenai pengangkatan penyelidik dan penuntut umum yang diatur dalam Pasal 43 dan Pasal 51 Undang-Undang KPK. Apabila kita cermati, maka terlihat jelas bunyi ketentuan Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) sama persis dengan bunyi Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) maupun Pasal 51 ayat (1) dan ayat (2) kecuali untuk frasa jabatan dan fungsinya. Pasal 43 menentukan penyidik. Pasal 45 untuk penyidik ... penyidik. Sedangkan Pasal 51 untuk penuntut umum. Namun demikian secara khusus Pasal 51 Undang-Undang KPK menambahkan satu ayat, yaitu ayat (3) yang secara tegas menyebutkan penuntut sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah jaksa penuntut umum. Di sini kami kemukakan perbandingan antara Pasal 45, Pasal 43, dan Pasal 51 yang nanti akan kami serahkan naskahnya kepada Pimpinan yang kami muliakan. Apabila dikomparasikan dengan Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang KPK bahwa penuntut umum pada KPK adalah jaksa penuntut umum, maka tergambar jelas maksud penyusun undang-undang. Rumusan penuntut umum pada KPK adalah jaksa penuntut umum, harus dimaknai secara jelas terbatas yang berarti merujuk pada Pasal 1 butir 1 UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Di sana ditentukan jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak, terutama sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana. Dengan demikian apabila penyusun undang-undang hendak mengkonstruksikan rumusan bahwa penyidik adalah penyidik pada instansi kepolisian, maka perumusan pasal tentang penyidik akan indentik dengan rumusan Pasal 51 ayat (3) dengan perubahan sepenuhnya. Sehingga seharusnya Pasal 45 juga memuat ayat (3) yang menyatakan, “Penyidik sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah penyidik pada kepolisian.” Namun kenyataannya tidaklah demikian. Dalam Pasal 45 hanya terdapat dua ayat, tidak terdapat tambahan ayat (3), sebagaimana dalam Pasal 51 ayat (3). Sebaliknya, apabila ketentuan Pasal 39 ayat (3) Undang-Undang KPK dijadikan dasar penafsiran bahwa penyidik harus dari instansi kepolisian yang diberhentikan sementara, maka tafsiran tersebut dengan sendirinya telah kehilangan logika sistematis karena ketentuan ayat tersebut juga berlaku terhadap penuntut pada KPK. Artinya apabila ketentuan Pasal 39 ayat (3) diartikan sebagai aturan limitatif terhadap 8
pengangkatan penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang harus berasal dari kepolisian dan kejaksaan, maka sudah pasti pembuat undang-undang tidak perlu lagi mencantumkan ketentuan Pasal 51 ayat (3) karena sudah cukup terakomodasi dengan Pasal 39 ayat (3). Oleh karenanya ketentuan Pasal 39 ayat (3) haruslah ditafsirkan secara otentik tanpa kehilangan logika sistematis. Dengan demikian, Pasal 39 ayat (3) dihubungkan dengan Pasal 43, Pasal 45, dan Pasal 51 memiliki pengertian bahwa KPK berwenang mengangkat penyelidik dan penyidik dari sumber manapun sepanjang memenuhi syarat yang ditentukan dalam Undang-Undang KPK. Namun dalam hal ini KPK hendak mengangkat penyelidik, penyidik dari kepolisian, maka sebelum diangkat terlebih dahulu haruslah diberikan kesetaraan. Sedangkan terkait Pasal 51 karena terdapat pembatasan pada ayat (3), maka KPK hanya dapat mengangkat penuntut umum dari kejaksaan dan sebelum diangkat terlebih dahulu harus diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud Pasal 39 ayat (3). Tidak ada satu pasal pun dalam Undang-Undang KPK yang dapat dimaknai bahwa penyidik KPK harus berasal dari instansi kepolisian. Ketua Mahkamah Konstitusi, Wakil Ketua, dan Hakim Konstitusi, serta hadirin yang saya muliakan. Selanjutnya perkenankan saya menyampaikan pandangan mengenai korelasi antara Pasal 45 UndangUndang KPK dengan kewenangan KPK mengangkat pegawai KPK. Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang KPK menentukan pegawai KPK sebagaimana dimaksud Pasal 21 ayat (1) huruf c adalah WNI yang karena keahliannya diangkat sebagai pegawai KPK. Pegawai KPK dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c Undang-Undang KPK adalah sebagai pelaksana tugas KPK, tentunya termasuk tugas-tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Syaratnya untuk bisa diangkat sebagai pegawai KPK adalah WNI, memiliki keahlian yang diperlukan sebagai pelaksana tugas KPK. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan pegawai KPK diatur lebih lanjut dengan keputusan KPK sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (3) UndangUndang KPK. Perlu ditambahkan bahwa KPK telah memiliki sistem manajemen sumber daya manusia KPK yang diatur dalam peraturan pemerintah Nomor 63 Tahun 2005, sistem manajemen tersebut digunakan untuk mengorganisasikan fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia yang berbasis kompetensi dan kinerja guna mendukung penyampaikan tujuan KPK. Sistem manajemen SDM KPK tersebut meliputi fungsi-fungsi perencanaan, rekrutmen dan seleksi, pendidikan, pelatihan, pengembangan SDM, manajemen kinerja, kompensasi, hubungan kepegawaian, pemberhentian fungsional pekerja, dan audit sumber daya manusia. Melalui sistem manajemen KPK tersebut di atas diharapkan dapat menghasilkan pegawai KPK yang memiliki kompetensi yang tinggi 9
sebagai pelaksana tugas, antara lain dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Kewenangan KPK untuk mengangkat pegawai KPK, untuk mengangkat penyidik dan penyelidik dapat dipahami dengan menggunakan metode penafsiran sistematis atau logis dan teologis atau sosiologis. Pembentukan KPK sebagai badan khusus untuk memberantas korupsi harus dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dari landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi sebagaimana tertuang dalam ketetapan MPR Nomor 11/MPR Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. KPK dimaksudkan sebagai badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independent, serta bebas dari kekuasaan mana pun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dalam mengemban kemasyarakatan untuk menyelenggarakan penyelenggara negara yang bebas dan bersih dari KKN. Dalam konteks ini adalah logis jika KPK diberi wewenang untuk mengangkat sendiri penyelidik, penyidik KPK agar KPK dapat memerangi korupsi secara optimal, intensif, efektif, profesional, dan berkesinambungan. Penyelidik dan penyidik sebagai pegawai KPK merupakan ujung tombak dalam pengungkapan tindak pidana korupsi, terutama tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum dan penyelenggara negara. Independensi dan kebebasan KPK dalam melaksanakan tugasnya memberantas korupsi akan terpasung tanpa diberi kewenangan sendiri untuk mengangkat penyelidik dan penyidik KPK. KPK menjadi tergantung atau tidak bebas dari kekuasaan lembaga lain yang dapat mempengaruhi independensinya. Ini bukanlah menjadi tujuan pembentukan KPK, perlu ditambahkan bahwa pegawai KPK mempunyai kedudukan khusus yang berbeda dari pegawai lainnya karena mereka menjadi bagian dari KPK sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang KPK yang menentukan KPK sebagaimana dimaksud Pasal 3 terdiri atas: 1. Pimpinan KPK. Terdiri atas 5 orang anggota KPK. 2. Tim penasihat yang terdiri dari 4 orang anggota. 3. Pegawai KPK sebagai pelaksana tugas. Pada era globalisasi sekarang ini kita perlu mempertimbangkan based practice yang dianut di negara-negara lain dalam soal ini. Singapura, Malaysia, Hongkong, bahkan Timor Leste yang baru saja merdeka, Siera Lion memberikan kewenangan pada badan anti korupsi di negara tersebut untuk mengangkat sendiri penyidik yang bukan berasal dari kepolisian negara tersebut. Alasan yang mengemuka dalam international based practice tentang kewenangan badan anti korupsi 10
untuk mengangkat sendiri penyidik ialah tingkat dan modus operandi tindak pidana korupsi yang semakin canggih dan mengalami proses internasionalisasi perlu diimbangi dengan tingkat kompetensi dan latar belakang keahlian penyidik yang beragam sejalan dengan perkembangan tindak pidana korupsi. Salah satu klausul dalam Principles on Anti Corruption Agencies yang diprakarsai oleh UNDP dan UNDOC yang disetujui oleh lebih dari 100 lembaga anti korupsi sedunia menyatakan, “Authority over human resources: Anti Corruption Agencies shall have the power to recruit and dismiss their own staff according to internal clear and transparent procedures.” Indonesia yang telah merativikasi United Nations Convention Against Corruption dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 wajib melaksanakan konvensi tersebut secara bertanggung jawab, termasuk melaksanakan ketetapan Pasal 6 juncto Pasal 36 yang menentukan, “The necessary materials resources and specialized staff, as well as the training that such staff may require to carry out their functions, should be provided.” Hakim Mahkamah Konstitusi yang kami muliakan. Selanjutnya perkenankan saya menyampaikan beberapa hal mengenai pandangan saya tentang Pasal 46 Undang-Undang KPK yang juga dimohonkan pengujian ke hadapan Yang Mulia Mahkamah Konstitusi. Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang KPK menentukan dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terhitung sejak tanggal penetapan tersebut, prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundangundangan lain tidak berlaku berdasarkan undang-undang ini. Dalam penjelasannya dikemukakan, yang dimaksud dengan prosedur khusus adalah kewajiban memperoleh izin bagi tersangka pejabat negara tertentu untuk dapat dilakukan pemeriksaan. Ketentuan tersebut merupakan lex specialis karena itu untuk melakukan pemeriksaan pejabat negara tertentu yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK tidak memerlukan izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan lain. Ketentuan khusus tersebut merupakan salah satu upaya strategis untuk optimalisasi dan efektivitas pemberantasan korupsi yang tersangkanya pejabat negara dengan menghilangkan hambatan-hambatan prosedural karena statusnya sebagai pejabat negara. Ketentuan tersebut sejalan dengan prinsip persamaan di hadapan hukum sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 27 ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dan ketentuan tersebut juga sesuai dengan Pasal 36 UNCAC yang telah dirativikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2008 yang antara lain menentukan badan atau badan-badan atau orang-orang tersebut wajib diberi kebebasan yang diperlukan sesuai dengan prinsip dasar 11
sistem hukum negara peserta agar supaya dapat melaksanakan fungsi mereka secara efektif tanpa pengaruh dan tekanan yang tidak seharusnya. Lagi pula Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang KPK menjamin bahwa pemeriksaan tersangka tidak mengurangi hak-hak tersangka. Pasal 46 Undang-Undang KPK tidak berpotensi apalagi nyata-nyata merugikan hak konstitusional seseorang. Karena itu, perlu dicermati dengan seksama legal standing Pemohon untuk melakukan permohonan pengujian pasal tersebut karena adanya kerugian konstitusional yang nyata dan faktual. Sebelum menyerahkan keterangan Ahli ini kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi dalam rangka … maka dalam rangka memperingati Hari Pahwalan 10 November dua hari yang lalu, izinkan saya mengajak hadirin untuk hening sejenak. Marilah kita transformasikan semangat para pahlawan yang telah berhasil mengusir penjajah demi kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia, menjadi bentuk perjuangan baru, memerangi korupsi yang sudah menjadi musuh bersama bangsa Indonesia, dan mengancam kehidupan bangsa di segala bidang. Akhirnya, tidak lupa saya mengucapkan terima kasih atas perhatian Para Hakim Konstitusi yang kami muliakan, Para Hadirin yang saya hormati. Sekiranya ada tutur kata yang kurang berkenan, secara tulus saya mohon dimaafkan. Terima kasih. 23.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih, Pak Oka. Kita dengarkan keterangan dari Yogya, Pak Dr. Zainal.
24.
AHLI DARI PEMERINTAH: ZAINAL ARIFIN MOCHTAR Ya, baik, Yang Mulia.
25.
KETUA: ANWAR USMAN Silakan.
26.
AHLI DARI PEMERINTAH: ZAINAL ARIFIN MOCHTAR Izinkan, Yang Mulia, saya menyampaikan keterangan Ahli. Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera dan om swastiastu. Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya hormati. Pihak DPR dan Pemerintah yang saya hormati. Pemohon atau
12
Kuasa Hukum Pemohon yang saya hormati. Hadirin sekalian yang saya hormati. Pada dasarnya, permohonan ini didasarkan atas dalil bahwa terjadi pelanggaran atas Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dengan adanya ketentuan yang mengatakan bahwa penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada KPK diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai pada KPK. Sehingga Pemohon mendalilkan bahwa terjadi pelanggaran atas dirinya yang telah dilakukan melalui penegakan hukum oleh aparat KPK yang tidak sah oleh karena tidak berasal dari kepolisian dan kejaksaan. Dalam pandangan saya selaku Ahli dalam kaitan ini pada kedua perkara, saya hanya berfokus pada kapasitas saya yaini … yakni, pada persoalan mengenai penyidik, penyelidik, dan penuntut umum independent tersebut. Dalam hal membedah dan merumuskan argumen konstitusional sebuah aturan, kembali saya menggunakan pandangan Philip Bobbitt Tahun 1991 yang dikenal dengan teori six modalities of constitutional argument. Yakni historical, yakni berbasis pada keinginan pembentuk undang-undang. Yang kedua adalah tekstual, melihat kepada bunyi teks secara langsung, struktural. Yang ketiga, berbasis kepada integrasi peraturan dengan aturan yang di bawahnya dan struktur ketatanegaraan. Doktrinal, berbasis pada doktrin teoritik maupun praktik yang ada. Yang kelima, etikal merujuk pada komitmen moral dan etos konstitusi, dan yang keenam, yakni prudencial atau menghitung pada cost and benefits pada fungsi sosial melalui aturan tersebut. Pertama, kita membahas dari sudut pandang historical. Jika dilacak secara historic, paling tidak melalui risalah, sesungguhnya tidak ditemukan dengan detail apa sebenarnya yang menjadi kehendak para pembentuk undang-undang ketika merumuskan aturan tersebut sehingga berbunyi menjadi seperti sekarang, yang ada hanyalah orangorang yang dulunya menjadi ahli, aloman atau mantan anggota DPR yang kemudian merasa tahu dan menjelaskan posisi tentang klausula dari undang-undang tersebut. Tentu saja ini sangat sulit untuk disebutkan tafsiran paling otentik atau yang sering disebut dengan teori original intens karena lagi-lagi sulit untuk menemukan dengan detail maksud pembentuk undang-undang melalui penelusuran risalah. Sepanjang penelusuran saya melalui risalah yang sangat tidak rapi, memang terdapat adanya usulan-usulan yang menyatakan bahwa KPK isinya adalah jaksa dan polisi pilihan, semisal melalui rapat panja dan tim perumus di sekitar bulan November dan Desember. Akan tetapi pada saat yang sama, juga terdapat usulan bahwa sesungguhnya harusnya KPK berisi orang-orang yang jauh lebih independent termasuk untuk penyidiknya. Akan tetapi, satu hal yang pasti dan tanpa perdebatan berarti adalah kesepakatan untuk menyemaikan nilai-nilai 13
status extraordinary pada KPK, sehingga secara tafsiran historik sangat mungkin untuk dimaknai dalam kerangka tersebut, yakni bahwa KPK adalah dimaksudkan untuk melakukan langkah-langkah luar biasa dalam penegakan hukum anti korupsi, dan langkah luar biasa itu disemaikan kewenangan-kewenangan yang luar biasa yang di luar dari kebiasaankebiasaan yang ada dan selama ini sudah gagal. Hal ini dilihat dari penjelasan Undang-Undang KPK yang mengatakan bahwa untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independent, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional, serta berkesinambungan. Yang kedua, izinkan saya menyampaikan secara tekstual. Secara tekstual sederhananya dijaminkan oleh Pasal 45 Undang-Undang KPK bahwa penyidik adalah penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Ayat (2)-nya menyatakan “Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi dan penyidikan tindak pidana korupsi.” Bunyi pasal yang sama disematkan pada penyelidik maupun penuntut umum dan seperti yang dikatakan oleh Ahli sebelumnya, khusus penuntut umum ada tambahan pada ayat (3)-nya yang menyatakan itu adalah penuntut sebagai jaksa. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka diperoleh setidaknya empat unsur. 1. Penyidik dan penyelidik adalah penyidik dan penyelidik dari KPK, bukan penyidik dan penyelidik dari lembaga lain. 2. Penyidik dan penyelidik tersebut diangkat oleh KPK. 3. Sebagai konsekuensi dari diangkat oleh KPK, maka juga diberhentikan oleh KPK, dan. 4. Mereka tersebut melaksanakan fungsi-fungsi yang disemaikan di dalam Undang-Undang KPK dalam hal tindak pidana korupsi. Adapun ketentuan pada Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang KPK yang menegaskan bahwa penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada KPK diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai KPK, sangat mudah dipahami bahwa ini bagian dari transisi awal, yakni ketika KPK dari baru dibentuk dan belum memiliki penyidik, penyelidik, dan penuntut umum sendiri sebagaimana yang dimaksudkan oleh pasal-pasal yang saya maksudkan di atas. Tidak hanya itu, akan ada komplikasi administrasi bagi para komisioner tatkala penerjemahan pasal tersebut diterjemahkan secara lurus melalui Pasal 39 ayat (2). Misalnya, jika pegawai KPK yang menyelenggarakan tugas dan fungsi para komisioner selaku penyidik, penyelidik, dan penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam undangundang harus dari kepolisian dan kejaksaan, maka bagaimana dengan 14
komisioner KPK yang menjadi pemegang wewenang utama dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan umum tetapi bukan berasal dari kejaksaan dan kepolisian, apakah dengan menerima logika itu ingin mengatakan bahwa komisioner KPK juga harus hanya terdiri dari kepolisian dan kejaksaan. Ini juga bisa dilihat dari relasi antara komisioner dan pegawai KPK. Komisioner KPK adalah pemegang utama dari tugas undangundang sedangkan pegawai adalah pelaksana tugas dari wewenang para komisioner tersebut. Tentu ketentuan ini menunjukkan bahwa pegawai yang diangkat oleh KPK merupakan pelaksana tugas-tugas KPK yang diberikan oleh Pasal 6 Undang-Undang KPK, namun pegawai yang dimaksud hanya melaksanakan tugas yang berarti tidak menimbulkan wewenang seperti yang ditegaskan pada Pasal 7 sampai Pasal 14 Undang-Undang KPK. Pasal-pasal tersebut merupakan penjabaran pelaksanaan tugas KPK sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 6 Undang-Undang KPK yang di dalam pelaksanaannya melahirkan suatu wewenang yang tidak diberikan kepada pegawai KPK. Apakah mungkin status penyidik yang seakan-akan wajib dari kejaksaan dan kepolisian. Sedangkan komisionernya yang notabene adalah pemegang utama penyidik … kewenangan penyidik, malah bukan dari kejaksaan dan kepolisian. Hal yang tentu saja tidak mungkin dan oleh karena menjadi komisioner KPK sangat terbuka kesempatan bagi siapa pun tanpa harus dari kejaksaan dan kepolisian sebagaimana yang dimaksudkan di dalam Undang-Undang KPK. Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya hormati, pihak DPR, Pemerintah yang saya hormati, Pemohon, dan Kuasa Hukum yang saya hormati, hadirin sekalian yang saya hormati. Yang ketiga, saya menggunakan logika struktural. KPK adalah lembaga negara independent yang masuk dalam kerangka cabang kekuasaan keempat, misalnya menggunakan corak pandang (suara tidak terdengar jelas) tahun 2003. Pada titik ini penolakan terhadap KPK seringkali diinisiasi dengan cara berpikir bahwa KPK adalah lembaga ad hoc. Yang karena lembaga ad hoc dan sangat mungkin dibubarkan, secara administrasi tidak perlu mengangkat penyidik sendiri. Ini adalah pandangan yang banyak digunakan, sayangnya dengan cara … dengan cara yang sangat serampangan. Jika membaca detail yang mengatakan bahwa Undang-Undang KPK bahwa KPK itu sementara adalah penafsiran atas Undang-Undang KPK yang menyatakan bahwa KPK adalah trigger mechanism bagi kejaksaan dan kepolisian. Padahal tentu hal ini tidak dapat dibenarkan oleh karena beberapa alasan. Pertama, di antara penjelasan juga terdapat penggunaan frasa bahwa KPK adalah lembaga yang bekerja secara berkesinambungan. Hal ini dapat dilihat pada bagian penjelasan Undang-Undang KPK yang 15
menekankan bahwa untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independent, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional, serta berkesinambungan, yang kemudian saya beri tanda tebal. Makna kata berkesinambungan rasanya sudah sangat cukup untuk menjelaskan bahwa KPK adalah lembaga mandiri sebagaimana lembaga negara independent lainnya di republik ini. Kedua, persoalan ad hoc atau tidaknya, bukan lagi yang utama karena pada hakikatnya semua lembaga di republik ini bisa jadi bersifat sementara tatkala dasar hukumnya kemudian dilakukan perubahan. Dahulu kala Dewan Pertimbangan Agung adalah lembaga permanen yang ada di Undang-Undang. Akan tetapi seiring Amandemen UndangUndang Dasar, lembaga ini kemudian menghilang dan digantikan oleh Dewan Pertimbangan Agung. Karenanya tidak ada jaminan bagi lembaga apa pun dapat dipandang sebagai sangat permanen. Sehingga dapat dijadikan alasan untuk tidak melakukan rekrutmen penyidik, penyelidik, sendiri karena bersifat kesementaraannya. Haruslah diingat, sebagai negara indepenen, KPK mempunyai self regulatory body, mempunyai sifat self regulatory body untuk menjamin keberadaan dan pola kerjanya. Makanya tatkala undang-undang menyatakan bahwa penyidik adalah penyidik yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK sendiri dan diatur menurut peraturan KPK, hal inilah yang dapat menjadi dasar bagi doktrin self regulatory body untuk menjelaskan secara detail mengenai keabsahan dan pengangkatan penyidik tersebut. Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya hormati, Pihak DPR, Pemerintah yang saya hormati, Pemohon atau Kuasa Hukum yang saya hormati, hadirin sekalian yang saya hormati. Keempat, secara doktrinal. Semisal melalui teori ataupu n putusan hakim yang terdahulu. Secara doktrin, harus dipahami bahwa lembaga negara independent memiliki independensi dalam beragam tingkatan. Tidak hanya dalam hal kelembagaan, tetapi juga seharusnya secara fungsional. Karenanya penyidik haruslah secara personal maupun fungsional adalah independent. Membiarkan penyidik berasal dari kejaksaan dan kepolisian semata, tentu akan sangat mungkin mengurangi kadar independensi tersebut. Menenurskan pola itu juga akan memberikan atau melanjutkan kesetiaan ganda karena pada saat yang sama, penyidik dan penyelidik tersebut juga tetap memiliki karir yang harus kembali ke lembaga asalnya sehingga terjadi kesetiaan ganda, setidaknya ini terjadi dalam beberapa kasus yang melibatkan KPK dan lembaga penegak hukum lainnya.
16
Kelima, dari sudut pandang etikal. Secara etis, kita berbicara tentang bagaimana menguatkan lembaga anti korupsi dengan mengurangi ketergantungan pada lembaga-lembaga yang selama ini gagal melaksanakan penegakan hukum anti korupsi sehingga menjadi alasan dibentuknya KPK. Tentu kita sedang mendorong ke arah konflik kepentingan tatkala penyidik dari kepolisian dan kejaksaanlah yang menjadi salah satu target … karena penyidik dari kepolisian dan kejaksaan inilah yang menjadi salah satu target dari pembersihan gejala koruptif. Sudahlah cukup praktik koordinasi supervisi di KPK yang menjadi gambaran betapa tidak berjalan efektifnya oleh karena problem orang KPK yang berasal dari kepolisian dan kejaksaan yang mensupervisi atasannya di kejaksaan dan kepolisian. Seperti yang dilakukan riset yang kami lakukan pada beberapa waktu lalu bersama dengan ICW, terdapat fakta bahwa koordinasi dan supervisi di KPK tidak dapat berjalan optimal salah satunya oleh karena pengkoordinasi dan supervisi juga adalah bawahan di kejaksaan dan kepolisian. Ketika mereka harus berhadapan dengan atasannya atau kandidat atasannya di kejaksaan dan kepolisian, itu membuat mereka tidak bisa melaksanakan tugas koordinasi dan supervisi secara optimum. Dan keenam dan terakhir, sudut pandang prudensial. Sederhananya, kita sedang berbicara tentang cost and benefit dari suatu hal. Pada tingkatan ini, jika kemudian KPK harus dari kejaksaan dan kepolisian dengan menggunakan logika (suara tidak terdengar jelas), maka tentu saja pemborosan anggaran yang luar biasa jika kemudian harus mengadakan suatu lembaga baru di luar kejaksaan dan kepolisian untuk mengurus hal yang juga penyidiknya, penyelidiknya dari kejaksaan dan kepolisian. Karenanya pada hakikatnya, menjadi lembaga yang sama saja dengan kejaksaan dan kepolisian yang kemudian karena gagal, diubah, dan kemudian dibuat menjadi lembaga baru, yakni KPK. Makanya, harus diingatkan kembali bahwa KPK adalah ikhtiar bangsa dalam melawan korupsi. Kejaksaan dan kepolisian yang telah gagal selama ini, sehingga itulah menjadi alasan dilahirkannya KPK. Ada kekuatan hukum di sana oleh karena perintah Tap MPR, ada juga perintah UNCIC yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Nah, jika semua itu konsepnya disamakan saja, maka tentu saja lagi-lagi dapat dikatakan, “Percuma membentuk KPK dengan pembiayaan yang luar biasa, tatkala kewenangan-kewenangan yang disematkan cenderung sama dengan kejaksaan dan kepolisian.” Kesimpulan. Dengan teori six modalities of constitutional argument yang saya sampaikan tadi, kita tidak dapat menampikkan pentingnya bahwa harusnya penyidik, penyelidik KPK adalah independent. Apalagi untuk lembaga yang di dalam putusan MK terdahulu telah dinyatakan constitutionally important. KPK adalah ikhtiar bangsa dalam mengurangi korupsi. Pembentuknya haruslah dalam form 17
yang luar biasa agar dapat dipakai melawan korupsi secara optimum. Apakah tidak ada kesalahan dalam konsep KPK? Tentu saja mungkin. Tetapi, inilah ijtihad bangsa yang jika benar, dua pahala. Dan jika keliru, satu pahala. Demikian, keterangan ini. Semoga dapat memberikan perspektif dalam pengujian undang-undang yang diujikan tersebut. Assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera. Om shanti shanti shanti om. 27.
KETUA: ANWAR USMAN Ya. Terima kasih, Pak Dr. Zainal. Dari Kuasa Presiden, apakah ada hal-hal yang ingin ditanyakan atau didalami dari keterangan kedua Ahli? Silakan.
28.
PEMERINTAH: HENI SUSILA WARDOYO Cukup, Yang Mulia.
29.
KETUA: ANWAR USMAN Cukup. Dari Pemohon?
30.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 109,110/PUUXIII/2015: METY RAHMAWATI Oke, baik. Terima kasih, Majelis. Dalam hal ini, kami akan menanggapi mengenai koreksian saja. Ada beberapa, yaitu pada halaman 3 mengenai Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di sini, yang kami tahu adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Dan mungkin Saudara Ahli bisa jelaskan. Oh, sebelumnya di halaman 4 juga ada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang KPK. Sedangkan yang di sini kami uji adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Mungkin typoerror saja. Selebihnya, di halaman 9, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Mungkin Saudara Ahli bisa menjelaskan itu undang-undang tentang apa? Dan di bawahnya, ada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2008. Itu undang-undang tentang apa? Terima kasih.
31.
KETUA: ANWAR USMAN Ya. Dari (…) 18
32.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 109,110/PUUXIII/2015: MUHAMMAD RULLYANDI Masih ada, Yang Mulia, izin.
33.
KETUA: ANWAR USMAN Oh, ya. Silakan.
34.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 109,110/PUUXIII/2015: MUHAMMAD RULLYANDI Ya. Mohon maaf, Yang Mulia.
35.
KETUA: ANWAR USMAN Ya.
36.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 109,110/PUUXIII/2015: MUHAMMAD RULLYANDI Pertanyaan kami, dari Pemohon kepada dua Ahli yang dihadirkan dari Pihak Presiden. Yang pertama bahwa memerangi hukum, dalam pandangan kami dan di era reformasi saat ini, dengan adanya demokrasi partisipatori dan melibatkan peran serta demokrasi menuju gagasan konstitusional, tidak hanya dari sudut pandang aparat penegak hukum. Karena sejatinya, undang-undang yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang masih bisa diperdebatkan manakala ada norma-norma yang bertentangan dengan konstitusi. Maka dari itu, izinkan saya menyampaikan pepatah Belanda. Zachte helmeesters makende stinkende wonden, tabib yang ragu dan lemah menjadi luka kian membusuk. Artinya apa? Ketika melihat suatu kegaduhan dalam suatu konstelasi hukum, maka sejatinya kita sebagai pihak yang berkepentingan dalam rangka mewujudkan supremasi hukum sesuai dengan paradigma konstitusional, paradigma nilai-nilai Pancasila, sebagaimana terkandung pada preambule Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka tentu juga harus dimaknai dalam persepsi hermeneutic constitutional. Artinya (…)
37.
KETUA: ANWAR USMAN Ini langsung saja … sebentar!
19
38.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 109,110/PUUXIII/2015: MUHAMMAD RULLYANDI Ya.
39.
KETUA: ANWAR USMAN Langsung saja ditanggapi atau didalami apa yang disampaikan oleh Beliau, ya? Silakan.
40.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 109,110/PUUXIII/2015: MUHAMMAD RULLYANDI Ya. Artinya, gagasan perlindungan hak atas hak konstitusional, hak kepastian hukum, dan perlindungan hukum yang dijamin dalam Pasal 28D, itu menjadi wujud nyata, dimana leitstern atas cita hukum yang kita hubungkan dalam undang-undang a quo ini ketika Pasal 45 ayat (1) dalam undang-undang ini menjadi perdebatan yuridis. Nah, oleh karena itu, kami pertama-tama, kalau digunakan perspektif tafsir … apa namanya … struktural dalam teori tafsir konstitusi, maka hadirnya lembaga KPK pertama-tama di dalam konsideran, kita lihat di dalam Undang-Undang KPK itu ada menyatakan lembaga pemerintah. Sedangkan yang dimaksud dengan lembaga pemerintah dalam tindak pidana korupsi, dalam hal itu pada dibentuknya undang-undang tersebut adalah kepolisian salah satunya. Nah, kalau kita hubungkan secara sistematis dalam Pasal 39, itu dikatakan penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada KPK diberhentikan sementara. Apa makna hukum diberhentikan sementara? Apakah Undang-Undang KPK ini yang dijawab oleh konsideran lembaga pemerintah sebagai main state’s organ, kita kembali kepada pendekatan penafsiran interpretasi dari Logemann ya. Jadi Logemann juga menyatakan dalam bukunya, “Het staatsrecht van Indonesie: het formele systeem,” dia mengatakan, “Norma hukum tata negara ruang lingkupnya ada tiga.” Pertama adalah installing, yang kedua adalah bevoegheid (kewenangan), yang ketiga adalah onderlijk. Pertama installing (pembentukannya), kalau dikaji dari perspektif historis, filosofis, maka kedudukan KPK adalah dia lembaga yang membantu, lembaga pemerintah yaitu kepolisian. Dan manakala Pasal 39 itu tidak termasuk yang dikecualikan dalam norma Pasal 39 ayat (1), kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tahap selanjutnya adalah proses konstitusional. Penyidik yang dimaksud dalam Pasal 39 haruslah diangkat kembali supaya mendapat legalitas formilnya, administratifnya. Oleh karena itu, kalau saya membaca secara sistematis, norma hukum Pasal 45 ayat (1) adalah merupakan bersifat administratif, hanya 20
melegalkan formalitas ketika implementasi penyidik yang diambil dari sebuah kepolisian dan diperintahkan oleh konsideran Undang-Undang KPK itu sendiri, maka penyidik tersebut harus di angkat kembali untuk di tempatkan disebuah instansinya. Nah, sehingga baru dia mendapatkan kewenangannya (bevoegheid). Nah, kalau saya melihat bab … maaf bagian ketiga penyidikan itu memuat dua ayat, ayat pertama mengenai subjektum kriterium. Siapa subjek penyidik? Tidak ada kata-kata penyidik independent, yang ada adalah penyidik. Istilah penyidik kalau kita cari dalam undang-undang ini, Pasal 39 mengatakan dengan jelas. KUHAP itu diberlakukan sepanjang belum ditentukan pengecualianpengecualian. Artinya, maksud dari kata penyidik adalah penyidik yang diatur dalam KUHAP Pasal 6 ayat (1). Sedangkan penyidik itu baru bisa mendapat kewenangan penyidikan, kalau norma hukum primernya sudah terpenuhi, siapa subjektumnya? Kalau tidak terpenuhi subjektumnya, kriterium subjektum, maka norma Pasal 45 ayat (2) tidak bisa dijalankan. Otomatis akan terjadi contradictio in terminis, dan itulah maka kalau kita lihat dalam perspektif aliran non original dan hermeneutik konstitusional, cita hukum yang digambarkan dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebgaimana Mahkamah Konstitusi sudah memuat rangka konseptual tentang apa yang dimaksud due procces of law adalah melindungi hak tersangka, hak terdakwa, dan terpidana secara seimbang dalam penegakan hukum pidana. Artinya di sini, tidak bisa seseorang diberlakukan sewenangwenang, dan itu bertentangan dengan prinsip asas kepastian hukum, asas legalitas. Bahkan dalam hukum pidana sendiri tidak bisa orang dihukum kalau belum ada aturan yang mengatur. Nah, oleh karena itu, pertanyaan saya adalah bagaimana Saudara Ahli merumuskan konsep yang dimaksud dengan relasi Pasal 39 ayat (3), kemudian dihubungkan dengan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) dan dalam kerangka konsideran, yaitu yang dimaksud dengan lembaga pemerintah? Nah, itu pertanyaan pertama. Kemudian pertanyaan kedua, kami melihat bahwa KPK merupakan bagian dari sistem penegakan hukum. Stelsel (Ahli menggunkan bahasa asing) dia merupakan sistem adalah keseluruhan yang terangkai. Karena itu sistem penegakan hukum dalam kualifikasi lex specialis tindak pidana khusus juga mengandung lembaga-lembaga tertentu, yang ditunjuk oleh undang-undang, bisa kepolisian, bisa KPK. Nah, dalam kaitan hubungan antarorgan itu, maka koordinasi dalam undang-undang itu dimaksud, apakah sebagai justifikasi atau membenarkan bahwa sebetulnya yang dimaksud dengan penyidik KPK adalah sebetulnya yang berlandaskan pada norma hukum formilnya, KUHAP Pasal 6 ayat (1). Nah (…)
21
41.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, pertanyaannya?
42.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 109,110/PUUXIII/2015: MUHAMMAD RULLYANDI Mungkin saya hanya menyatakan bahwa saat ini tentu bukan hanya setiap warga negara yang tunduk pada ketentuan undangundang, tetapi juga semua aparat penegak hukum yang paling utama karena uitvoering van een wettelijk voorschrift wajib melaksanakan ketentuan undang-undang. Karena kalau dia menyimpangi aturan ketentuan undang-undang, maka sesungguhnya negara kita ini bukanlah negara berdasarkan hukum, maka bisa disimpulkan negara berdasarkan machtstaat. Mungkin itu, Yang Mulia. Terima kasih.
43.
KETUA: ANWAR USMAN Baik. Dari Pihak Terkait, KPK ada yang ingin didalami?
44.
PIHAK TERKAIT: SETIADI Cukup, Yang Mulia.
45.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Terima kasih. Dari meja Hakim? Ya, dari Yang Mulia Pak Palguna.
46.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Ya, saya … terima kasih, Yang Mulia Pak Ketua. Saya mau konfirmasi kepada Saudara Ahli, Dr. Zainal Arifin ya, pertama. Masih bersama kami, ya?
47.
KETUA: ANWAR USMAN Dari Yogyakarta masih dengan MK?
48.
AHLI DARI PEMERINTAH: ZAINAL ARIFIN MOCHTAR Masih, Yang Mulia. Terima kasih.
22
49.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih.
50.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Ini, saya sudah … ya saya mencermati apa yang Saudara sebut sebagai six modalities of constitutional argument. Ini pertanyaan apakah make sense saja. Yang pertama, ini kebetulan kan dari six modalities itu ketemu di ujung yang sama, gitu kan. Dari … pada penafsiran yang sama. Andaikata di antara salah satu dari modality yang digunakan itu terdapat pertentangan, Saudara dan mana yang akan lebih diutamakan? Apakah historis, tekstual, structural, doctrine, ethical, atau prudential? Itu pertanyaan yang pertama. Terus yang kedua, saya jadi tertarik dengan pernyataan Saudara Ahli. Kalau saya rangkaikan dengan kesimpulan dan keteranganketerangan yang Saudara sampaikan dalam ulasan yang menarik mengenai six modalities itu, justru Saudara ingin tampaknya ingin mengatakan bahwa karena ini di awal pembentukan, maka sesungguhnya unsur kepolisian dalam penyidikan itu atau unsur penelusuran dari unsur kejaksaan itulah yang sifatnya sementara. Yang ke depan itu justru dia harus memiliki penyidik dan penuntut sendiri. Apakah benar demikian maksud Saudara? Saya mau minta konfirmasi hal itu saja karena ini ya … apa namanya … ini tentu untuk menguji konsistensi pernyataan Saudara tentang six modalities itu ya, dari pernyataan itu. Jadi dua pertanyaan itu untuk Saudara Ahli. Saya kira untuk Pak Oka, saya ndak mempunyai pertanyaan. Terima kasih.
51.
KETUA: ANWAR USMAN Baik. Dari sebelah kiri, Yang Mulia Pak Suhartoyo.
52.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Terima kasih, Pak Ketua. Ini sedikit substansi … saya substansi saja ke Pak Oka dan juga nanti ke Pak Zainal Mochtar. Begini, Pak Oka. Kalau Bapak tadi mengkomparasikan antara Pasal 43, 45, dan 51, memang di situ secara tegas bahwa baik penyelidik, penyidik, dan penuntut umum adalah masing-masing penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diberhentikan, diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Artinya, kalau kemudian khusus untuk penyidik yang bukan dari penuntut umum yang dari kepolisian atau kita bicara … saya batasi dulu 23
khusus dari kepolisian saja. Artinya, kalau kita mau membedakan bahwa Bapak berpendapat bahwa ini bukan berarti kemudian yang diangkat diberhentikan itu mesti dari kepolisian atau pun dari kejaksaan. Artinya, bisa saja dari luar tapi tetap prosedurnya diberhentikan dan diangkat oleh KPK. Kalau menurut saya, ada sedikit yang berbanding terbalik, bagaimana kalau dengan yang diangkat itu dari penuntut umum, Pak? Bukan dari penuntut umum, tentang penuntut umum. Penuntut umum memang hanya satu dan tidak terpisah-pisahkan, tapi juga berlaku bahwa diberhentikan dan diangkat seperti juga penyidik dan penyelidik. Apakah kalau penuntut umum yang notabene adalah jaksa, KPK tidak punya kewenangan untuk mengangkat? Kalau tidak punya kewenangan untuk mengangkat, kenapa tidak ada penjelasan-penjelasan dalam pasal atau dalam ayat selanjutnya dalam pasal yang bersangkutan itu bahwa oleh karena jaksa memang hanya satu, tidak terpisah-pisahkan. Kalau ada warning itu, tentunya khusus untuk jaksa berlaku khusus. Tapi kalau penyidik, kenapa tidak harus dari kepolisian? Kalau jaksa penuntut umum kan tidak bisa bukan dari jaksa, Pak. Saya mohon penjelasan Bapak soal ini. Kemudian yang kedua, Bapak tadi menjelaskan tentang Pasal 46 hanya ayat (1), Pak, ayat (2) menurut Bapak tidak ada legal standing. Tapi sebenarnya justru itu yang sebenarnya dibawa oleh Pemohon dalam sidang Mahkamah ini. Kalau ayat (1)-nya kan jelas itu Bapak diberlakukan secara khusus itu karena sifat keistimewaan dan extraordinary-nya kewenangan yang dimiliki KPK, tapi persoalan yang general adalah hak-hak seorang tersangka itu lho, Pak, yang melekat pada ayat (1) ketika seseorang itu ditetapkan menjadi tersangka. Sudah dia tidak perlu ada izin dari pejabat yang berwenang, bisa dari presiden ataukah yang lain, tapi kenapa hak tersangka yang tadi Bapak katakan tidak punya legal standing? Tapi menurut saya terlepas punya legal standing apa tidak, tapi bagi Mahkamah perlu tahu, Pak. Bagaimana pendapat Bapak mengenai hak-hak tersangka yang dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) itu supaya Bapak juga bisa komprehensif itu, artinya secara adil juga memberikan penjelasan di sidang Mahkamah ini, jangan hanya Pasal 46 ayat (1) saja yang … yang itu secara sederhana memang semua orang bisa memahami. Tapi yang Pasal 46 ayat (2) apakah kemudian itu harusnya merujuk ke KUHAP hak-hak tersangka yang … kalau yang diminta Pemohon untuk diberikan penangguhan penahanan padahal hak tersangka itu kan banyak sekali, bisa juga tidak hanya penangguhan mungkin juga pengalihan penahanan, pembantaran, hak untuk tidak persidangannya dilakukan secara cepat … segera atau secara cepat. Itu artinya segera diperiksa segala macam itu haknya tersangka, tapi yang diminta hanya satu. Tapi persoalannya yang saya tanyakan adalah bagaimana pendapat Bapak tentang hak-hak tersangka itu, apakah tetap secara general itu juga mestinya merujuk ke KUHAP? Kalau 24
juga harus merujuk KUHAP, bagaimana apakah kemudian ada enggak inkonsistensi antara penyidik … kembali ke penyidik tadi yang diatur di dalam Pasal 45 Undang-Undang KPK Nomor 30 Tahun 2002 dengan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang KUHAP Nomor 8 Tahun 1981? Bagaimana, Pak, kalau dikembalikan ke … memang ini lex specialis. Saya juga sepaham, Pak, tapi ketika tidak diatur secara khusus dan bahkan tidak ada di situ, apa tidak kembali kepada hukum acara yang umum yang konvensional, Pak? Itu ya, dua pertanyaan untuk Pak Oka. Kemudian untuk Pak Zainal Mochtar bahwa begini Pak Zainal ya, mungkin kita sepakat semua bahwa memang kewenangan KPK karena apa yang menjadi tugas yang sifatnya luar biasa memang harus diberi kewenangan yang sifatnya juga luar biasa. Termasuk tadi Bapak singgung bahwa termasuk harus diisi oleh orang-orang yang sebenarnya mempunyai kemampuan yang luar biasa juga, artinya disamping independent tadi. Nah, sebenarnya kriteria-kriteria itu sebenarnya kalau konon kita cermati, tapi konon itu juga masih bisa dipertanyakan dan didiskusikan Pak Zainal bahwa konon KPK itu memang “harus diisi” penyidik-penyidik dari kepolisian itu memang yang pertama adalah soal kompetensi, Pak, kompetensi, kemampuan. Nah, kemudian ketika yang bersangkutan kemudian direkrut oleh KPK di situlah kemudian masuk lembaga yang mestinya mempunyai … mempunyai tugas dan kewenangan yang imparsial, artinya dia betul-betul independent sesuai dengan wadahnya, artinya di KPK-nya itu, nah itulah kemudian diberi pintu masuk dengan diberhentikan dan diangkat oleh KPK itu. Sehingga terputus dengan lembaga originalnya. Bagaimana pendapat, Bapak? Menurut saya, artinya juga ini menjadi klop ketika memang secara sosiologis filosofis bahwa memang penyidik yang dimaksudkan dalam Undang-Undang KPK ini sebenarnya kalau dikaitkan dengan soal kompetensi, kemampuan, dan kemudian dibuat supaya independent tadi sebenarnya Pasal 6 ayat (1) KUHAP itu, Pak Zainal Mochtar. Coba saya minta pandangan Bapak supaya forum ini menjadi kita ini punya persepsi yang paling tidak mengarah kepada yang samalah. Kalau seperti ini terus, saya kira kemarin juga pak guru besar kita Pak Prof. Astawa itu meskipun itu ahlinya Pemohon itu mengatakan bahwa di pengadilan negeri Jakarta Selatan itu ada hakim yang satu menyatakan bahwa hakim praperadilan bahwa penyidik KPK itu sah, yang satu memutus bahwa penyidik KPK tidak sah, dan itu diputus dalam waktu yang tidak terlalu lama intervalnya itu. Ini hanya salah satu contoh sederhana yang mungkin bisa menjadi bahan renungan kita juga. Terima kasih, Pak Ketua. 53.
KETUA: ANWAR USMAN Berikut, Yang Mulia Pak Wahiduddin.
25
54.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Baik. Terima kasih, Pak Ketua. Saya ingin ke Pak Zainal Arifin Mochtar. Beberapa di persidangan memang terkait dengan KPK, ahli Pak Zainal selalu menyebut KPK itu juga apakah itu idealnya, atau seharusnya, atau memang ada di dalam penafsiran undang-undang, dia merupakan self regulatory body, artinya badan yang juga membuat aturan tersendiri. Nah, ini kita kaitkan nanti pertama tentu tentang jenis hierarkhinya, ini di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Nah yang kedua, banyak yang terakit dengan kedudukan penyidik ini terkait dengan kepegawaian yang di dalam pengaturan KPK, ini disebut sistem manejemen sumber daya manusia. Dan di sini juga sudah diatur tentang baik pegawai negeri yang dipekerjakan , kemudian yang diangkat ... kemudian yang diangkat lagi oleh ... oleh KPK, pada waktu yang lalu memang saya menanyakan kepada Pihak Terkait KPK, terhadap penyidik yang berasal dari Polri, kemudian diangkat di KPK, apakah itu juga mereka disumpah? Ya, menurut keterangan mereka, ya disumpah. Saya tidak terlalu jauh apakah ada berita acara, sumpahnya sebagai apa? Karena sumpah sebagai penyidik, dia sudah ada waktu di instansi asal. Nah, apa makna dari Pasal 45 ayat (1) di ... diangkat dan diberhentikan? Karena saya coba melihat beberapa ketentuan di KPK itu, tidak ada SOP atau apa tentang penyumpahan pegawai yang diangkat dari instansi asal itu, kalau yang diangkat langsung sebagai pegawai tetap yang bukan dari instansi asal itu, ya, tentu dapat. Tapi apakah mereka karena sudah diberhentikan, lalu diangkat lagi, sumpahnya sebagai penyidik atau apa? Nah ini yang berikutnya yang ke depan, mungkin kita akan mulai sekarang. Sistem kepegawaian kita dengan undang-undang baru, Undang-Undang ASN (Aparatur Sipil Negara) yang menyatakan bahwa tentu hanya terdiri dari dua unsur. Pertama, pegawai negeri sipil. Yang kedua, pegawai pemerintah dan perjanjian kerja. Dan ini diatur oleh undang-undang, dan akan banyak terjadi perubahan secara signifikan tentang apa … desain pegawai negeri kita ke depan. Yang menyebutkan bahwa jabatan itu hanya tiga kategori, jabatan pimpinan tinggi, itu yang dulu disebut eselon I, II, dan eselon I dan II terutama, pimpinan tinggi pratama, madya, dan utama. Yang kedua, jabatan administrasi. Yang ketiga, jabatan fungsional. Nah di jabatan fungsional ini termasuk penyidik ini adalah jabatan fungsional di pegawai negeri. Nah ini menurut perspektif dari Pak Zainal, sistem manajemen sumber daya manusia di KPK, apakah dengan konsep self regulatory body itu, dia boleh menyimpang dari induk apa ... desain kepegawaian negeri terkait pegawai negeri itu dari Undang-Undang Aparatur Sipil Negara. Ini terutama ke depan karena akan berubah sekali. Karena dasar pijakan dari peraturan KPK itu masih pada Undang-Undang 26
Kepegawaian yang lama, dan ini akan banyak sekali saya kira akan ... akan terjadi perubahan-perubahan, nah ini tentu mulai sekarang akan ke depan karena penataan dari pegawai di KPK yang diangkat dan akan diberhentikan oleh KPK. Terima kasih. 55.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, masih ada dari Yang Mulia Pak Patrialis, silakan.
56.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Ya, terima kasih, Yang Mulia Ketua. Ini pada Pak Oka dan Pak Zainal ya, saya kira relevan dua-duanya. Ketika kita bicara masalah KPK, sudah ada satu pemahaman bagi seluruh penyelenggara negara maupun masyarakat bahwa KPK memang adalah merupakan lembaga yang independent. Banyak ciri-ciri independent yang melekat di Lembaga KPK, salah satu diantaranya adalah pola rekrutmen Pimpinan KPK yang dilakukan dengan pola tersendiri melalui panitia seleksi yang begitu panjang, baik pansel maupun juga persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat yang juga melalui proses seleksi kembali secara tidak langsung. Jadi lapisan seseorang untuk menjadi pimpinan KPK ini memang sangat berat ya, bahkan berlapis-lapis baru bisa lolos menjadi pimpinan KPK dan baru bisa disahkan oleh ... diangkat oleh presiden, jadi memang luar biasa. Berkaitan dengan itu, tadi juga dikatakan bahwa untuk pelaksana dari penyelenggaraan tugas-tugas KPK, maka di KPK juga ada pegawai yang diangkat oleh KPK. Pertanyaannya adalah apakah dengan UndangUndang KPK yang antara lain tadi juga dinyatakan ini ada perbedaan presepsi antara Pemohon juga dengan Ahli bahwa dengan adanya penyidik dari KPK ... dari kepolisian yang sampai hari ini justru masih mendominasi, apakah dengan adanya penyidik dari kepolisian ini bisa dikatakan mengganggu independent dari KPK walaupun undang-undang mengatakan bahwa penyidik dari KPK itu adalah penyidik, ya, yang di dalam KUHAP itu kita mengetahui bahwa penyidik itu adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tetapi dari penafsiran yang disampaikan oleh Ahli dan memang sekarang faktanya memang ada bahwa penyidik yang dimaksudkan oleh KPK itu adalah penyidik yang tidak hanya dari kepolisian tetapi juga penyidik yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Nah, pertanyaan saya adalah dengan adanya penyidik dari KPK ... dari kepolisian itu menjadikan lembaga ini tidak independent? Begitu juga dengan rekrutmen pegawai lainnya dari KPK, terutama merekamereka yang berstatus sebagai PNS kita mengetahui bahwa rekrutmen pegawai negeri sipil itu tidak lagi dilakukan oleh masing-masing instutisi kementerian, tetapi sudah dilakukan oleh Menpan. 27
Pertanyaan yang ketiga adalah dengan penafsiran yang disampaikan oleh kedua Ahli yang menyatakan bahwa penyidik KPK itu adalah penyidik yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK, apakah Para Ahli bisa juga mengatakan bahwa pada saatnya nanti KPK tidak butuh lagi penyidik dari kepolisian karena memang KPK menganggap dan Para Ahli menganggap bahwa penyidik itu adalah penyidik yang diangkat oleh KPK, even tidak berasal dari pihak kepolisian? Ini saya ingin mendalami ini, ya, supaya perdebatan yang begitu panjang terhadap KPK yang sangat eksis sekarang ini mungkin bisa paling tidak persidangan ini bisa memberikan kontribusi yang cukup besar nanti dalam putusan-putusannya. Saya kira demikian, Ketua. Terima kasih. 57.
KETUA: ANWAR USMAN Baik, mungkin Pak Oka lebih dulu. Silakan, Pak.
58.
AHLI DARI PEMERINTAH: OKA MAHENDRA Yang Mulia, yang ke ... Hakim Konstitusi. Yang pertama, ingin kami tanggapi dari Pemohon. Memang ada beberapa kesalahan ketik, nanti akan kita koreksi. Yang dimaksud di situ adalah Undang-Undang tentang Ratifikasi, United Nations Convention Against Corruption. Itu nanti kita akan perbaiki, begitu juga yang lain-lainnya. Terima kasih atas koreksinya. Kemudian mengenai lembaga pemerintah dalam konsideran huruf b. Di situ jelas yang dimaksud lembaga pemerintah bukanlah KPK di situ. Di situ adalah lembaga-lembaga yang sebelum lahirnya Undang-Undang KPK itu melakukan penyidikan, penyelidikan terhadap tindak pidana korupsi. Itu ... itu yang dimaksud lembaga pemerintah. Nah, sedangkan KPK sendiri itu dalam pasal disebut adalah lembaga negara yang bersifat independent, jadi statusnya itu lembaga negara independent. Dan saya perlu mengakui bahwa memang di dalam undang-undang itu tidak ada istilah penyidik independent, enggak ada, itu tidak ada. Tetapi karena pegawai-pegawai KPK itu melaksanakan tugas KPK, salah satu di antaranya adalah tugasnya melakukan penyelidikan, penyidikan. Nah, KPK sendiri lembaga independent. Oleh karena itu, tidaklah salah kalau dikatakan KPK juga berhak untuk mempunyai penyidik yang diangkat sendiri oleh KPK karena undang-undangnya mengatakan bahwa KPK itu diberikan kewenangan untuk mengangkat pegawai KPK. Mengangkat (suara tidak terdengar jelas) pegawai KPK yang syaratnya hanya dua. Satu, WNI. Yang kedua, memiliki keahlian yang diperlukan. Kalau dia memiliki keahlian di bidang penyelidikan dan penyidikan, itu bisa diangkat oleh KPK. Itu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. 28
Mengenai Pasal 39 Tahun 1945 saya tidak hanya terbatas menghubungkan Pasal 39 Tahun 1945, tapi juga menghubungkannya dengan independensi KPK Pasal 3, juga dihubungkan dengan Pasal 21, Pasal 21 di situ KPK terdiri dari pimpinan, tim penasihat, dan pegawai KPK sebagai pelaksana tugas. Pelaksana tugas itu artinya apa? Dia melaksanakan tugas-tugas penyelidikan, penyidikan, kan itu. Karena tugas KPK antara lain itu, melakukan tugas koordinasi, supervisi, dan macam-macam, tapi di sini yang kita bahas ini adalah di bidang penyidikan dan penyelidikan. Untuk itu, KPK diberikan kewenangan mengangkat, bahkan sudah diatur dalam peraturan pemerintah. Yang berikutnya dari Yang Mulia Pak Suhartoyo, apakah diberhentikan sementara itu yang berasal dari polisi, itu diberhentikan sementara? Jadi yang berasal dari polisi itu diberhentikan sementera karena dimungkinkan juga KPK itu mengangkat yang dari kepolisian, penyidik dari kepolisian. Dalam hal dia dalam kepolisian dipersyaratkan oleh Undang-Undang KPK supaya dia berhenti sementara, diberhentikan sementara untuk mencegah jangan sampai terjadi conflict of interest atau kemungkinan juga jangan sampai dikomando oleh instansi asalnya. Kenapa penuntut umum itu diatur secara agak berbeda sedikit? Karena sebagaimana Bapak Yang Mulia Pak Suhartoyo juga kemukakan bahwa Undang-Undang Kejaksaan mengatakan jaksa itu adalah satu, bentuknya satu, sedangkan di institusi lain tidak ada ketentuan seperti itu. Oleh karena itulah di dalam Pasal 51 ayat (3) ditentukan di situ, disebutkan bahwa adalah jaksa itu adalah jaksa penuntut umum, ada ayat (3), sedangkan yang lain-lainnya itu tidak ada ayat (3)-nya. Ayat (3)-nya itulah yang membedakan penyidik dengan penuntut umum. Mengenai hak tersangka, Pasal 46 ayat (2) itu bahkan justru didiamkan hak tersangka. Walaupun soal perizinan di ayat (1) dikecualikan, diperlakukan lex specialis, tapi mengenai hak-hak tersangka itu tidak dikurangi, itu sudah jelas sekali, expressive verbis dikatakan dalam Pasal 46 bahwa tidak mengurangi hak tersangka. Karena di sini tidak ada aturan khusus hak tersangka mana yang ditentukan, artinya hak tersangka yang ada di lex generalis. Itu menurut pemahaman kami. Sedangkan dari Pak Patrialis, ini memang pertanyaannya agak menggoda ini, apakah penyidik kepolisian itu akan mengganggu independensi KPK? Ini mesti hati-hati jawabnya ini karena Pak Patrialis ini kita tahulah siapa Beliau ini sebelum jadi hakim konstitusi memang mantan anggota DPR, jadi kita mesti hati-hati. Nah, kalau KPK digantungkan sepenuhnya kepada penyidik dari satu instansi itu akan mengurangi independensinya karena dia tidak ada bebas, dia akan diatur oleh instansi yang punya penyidik, beri atau tidak, tarik atau tidak, siapa yang akan diberikan, yang terbaik atau yang tidak. Padahal undangundang ini menginginkan bahwa KPK itu mempunyai fungsi-fungsi koordinasi, supervisi, bahkan dalam penjelasan dikatakan sebagai superbody. Oleh karena itu, memerlukan penyidik-penyidik yang memiliki 29
keahlian dalam berbagai bidang. Itu seperti halnya juga yang kami temukan ketika melakukan studi banding ke Hongkong dalam rangka pembahasan rancangan undang-undang tentang KPK ini, itu pemerintah melakukan studi banding ke beberapa negara, antara lain saya mendapat tugas ke Hongkong dengan beberapa teman-teman dari ada satu pengacara, ada dari transparansi internasional dan dari berbagai instansi lain. Nah, di situ penyidik-penyidiknya itulah penyidik yang memiliki keahlian dalam berbagai bidang karena kejahatan korupsi itu tidak hanya dari satu jenis kejahatan saja, tetapi sudah beraneka ragam, apalagi dalam zaman kemajuan sekarang ini macam-macam modus operandi maupun cara-cara orang melakukan korupsi dan jenis-jenis korupsi itu juga beragam. Oleh karena itu, diperlukan ahli-ahli dalam berbagai bidang, nah inilah yang ... apa namanya ... bisa diangkat atau dapat diangkat oleh KPK. Itu di dalam Undang-Undang KPK Pasal 22 itu dikatakan bahwa ... Pasal 24 KPK berhak untuk mengangkat pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi karena keahliannya, jadi termasuk orangorang yang memiliki keahlian untuk mengurangi ketergantungan KPK kepada institusi lain. Kalau kita biarkan terus KPK tergantung pada institusi lainnya, maka independensinya itu hanya impian belaka. Apakah tidak butuh penyidik dari kepolisian? Ini tentunya tidak bisa kita katakan hitam-putih ini bahwa dengan sudah ada penyidikpenyidik yang diangkat sendiri lalu tidak butuh. Ini saya kira sesuai dengan dinamika yang ada di KPK. Jadi, adanya politik kepolisian itu toh kalau dia dari penyidik kepolisian kan diberhentikan sementara dari jabatannya di kepolisian maupun di kejaksaan, itu dia diberhentikan. Jadi, saya tidak mau mengatakan bahwa butuh, tidak butuh, tapi tergantung pada dinamika perkembangan yang dihadapi oleh KPK pada suatu momentum tertentu. Saya kira demikian, Yang Mulia. Terima kasih. 59.
KETUA: ANWAR USMAN Terima kasih, Pak Oka. Dari Yogya, Pak Dr. Zainal, silakan.
60.
AHLI DARI PEMERINTAH: ZAINAL ARIFIN MOCHTAR Menyampaikan, Yang Mulia, izinkan saya mau sampaikan bahwa setelah saya sampaikan ini barangkali saya harus langsung meninggalkan tempat karena ada apa … ada acara ngajar yang sudah tertunda agak lama karena apa … seharusnya dari pukul tadi, pukul 14.00, pukul 15.00-an tadi.
30
61.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik silakan.
62.
AHLI DARI PEMERINTAH: ZAINAL ARIFIN MOCHTAR Izinkan (…)
63.
KETUA: ANWAR USMAN Terima kasih.
64.
AHLI DARI PEMERINTAH: ZAINAL ARIFIN MOCHTAR Terima kasih, Yang Mulia. Terima kasih, Yang Mulia. Yang pertama, pertanyaan dari Pemohon soal lembaga pemerintah. Saya sepakat dengan Pak Oka, Pemohon salah membaca atau Kuasa Pemohon salah membaca dengan detail penjelasan UndangUndang KPK. Di dalam penjelasan bait keenam kalau tidak salah, ada di situ jelas dikatakan KPK adalah lembaga negara. Di Pasal 3 juga UndangUndang KPK jelas mengatakan itu lembaga negara. Ada perbedaan panjang antara lembaga negara dan lembaga pemerintah, tentu saja. Dan lembaga pemerintah yang dimaksud di dalam yang dimaksudkan itu tentu berbeda dengan yang … yang dimaksudkan oleh Pemohon. Yang kedua, makna kata KPK membantu, mungkin Pemohon harus memahami bagaimana lahirnya lembaga negara independent, bukan hanya sekedar di Indonesia, tapi di Amerika sejak tahun 1900-an memang sifatnya selalu dikatakan auxiliary karena dia membantu untuk urusan tertentu, tetapi tidak berarti membantu kelembagaan kepolisian, dia membantu kerja negara di dalam konteks keseluruhan. Itu yang dimaksudkan dengan kata state auxiliary body. Yang paling menarik adalah ketika Pemohon menggunakan tafsiran tematis atau tafsiran apa … kalau dalam Bahasa Arab tafsiran maudhu'i, menggunakan frasa yang sama untuk saling menjelaskan. Tetapi Pemohon kelihatannya lupa dengan adanya Pasal 25 ayat (5) … Pasal 21 ayat (5). Di dalam Pasal 21 ayat (5) di situ disampaikan bahwa komisioner KPK yang lima orang itu juga penyidik dan penuntut umum. Kalau Anda tafsirkan tematik kata penyidik dan penuntut umum di dalam UndangUndang KPK semua merujuk pada KUHAP, hanya penyidik dan penuntut umum yang dimaksud dalam sistem pidana biasa, maka selesai. KPK isinya cuma jaksa. Cuma jaksa bisanya. Kenapa? Karena pimpinan KPK itu sekaligus penuntut … penuntut umum, penuntut, dan penyidik.
31
Artinya, yang bisa mengerjakan dua-duanya itu pada saat bersamaan, ya hanya jaksa. Enggak ada lagi yang lain. Makanya kalau menggunakan tafsiran tematis seperti yang digunakan Pemohon, itu agak keliru kalau hanya menghubungkan antara pasal begitu saja, lalu disambungkan dengan KUHP. Karena ada Pasal 25 … Pasal 21 ayat (5) yang mengatakan bahwa kelima komisioner itu juga penyidik dan penuntut umum. Nah, kalau diterjemahkan begitu, maka selesai. Malah KPK dikatakan hanya satu-satunya dari jaksa karena penuntut umum kalau Anda mau kaitkan lagi seperti yang dinyatakan Pemohon dikaitkan dengan Pasal 51 ayat (3), ya selesai, penuntut umum hanya jaksa. Berarti dari kepolisian pun tidak bisa bekerja sebagai penuntut umum sebagaimana kalau yang itu yang dimaksudkan mau letterlijk bicara soal tafsiran sistematis. Makanya saya sendiri mengatakan bahwa tafsiran ini adalah tafsiran yang sangat terbuka sesungguhnya. Tidak mungkin menafsirkan secara tertutup seperti yang dimaksudkan oleh Pemohon. Sangat mungkin untuk ditafsirkan Pasal 39 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan Pasal 45 adalah kesempatan untuk KPK untuk mengambil penyidiknya sendiri. Bahwa ditentukan khusus untuk kejaksaan dan kepolisian, maka KPK melakukan proses administratif untuk hal itu, yaitu pemberhentian sementara dan kemudian pengangkatan … pemberhentian yang sementara di kepolisian dan pengangkatan oleh KPK, serta pemberhentiannya kemudian. Itu yang pertama. Yang kedua, dari pertanyaan Pak Palguna … Hakim Yang Mulia Pak Palguna. Jika ada penafsiran berbeda antara enam konteks itu, itu memang menarik. Saya sendiri mengatakan bahwa dan ini disebutkan oleh Edward Mcqueeney sebenarnya, dia mengatakan bahwa ini sangat bergantung pada corak atau ideologi seorang hakim, selesai. Saya mencontohkan di Amerika saja. Kalau di Amerika, perdebatan paling panjang sebenarnya terjadi antara kaum konservatif dengan liberal. Kaum konservatif di Amerika biasanya berdiri di antara dua kaki yang paling utama, yaitu originalis, dia bicara soal original inten dan lain sebagainya, kembali ke maksud pembentuk undang-undang, atau kemudian dia berdiri di konteks tekstual, teksnya bunyinya apa itu saja. Nah, biasanya berlawanan dengan kaum yang sedikit liberal, yang biasanya cara pandanganya adalah non originalis atau non tekstual. Jadi non originalis itu tidak melihat hanya sekadar kepada teks, tidak melihat sekadar kepada original inten karena dianggap original inten itu adalah kesepakatan ketika dibentuk dulu, kita berbeda sekarang dan living constitution seharusnya mengadopsi itu. Yang kedua adalan non tekstual, kita tidak hanya melihat pada teks tapi tujuan, bukan hanya apa yang termaktub tapi juga (suara tidak terdengar jelas) heit, jadi semacam apa kegunaan, apa substansi, apa kemudian yang mau dicapai dari peraturan tersebut. 32
Nah, saya mempersilakan bagi Yang Mulia sembilan Hakim Konstitusi, sembilan pintu kebenaran di Mahkamah Konstitusi untuk berayun di antara dua apa ... dua sudut pandang besar itu, kalau mau pakai pembagian dua sudut pandang sebagaimana dituliskan oleh justice rehnquist di dalam cord divided, pertarungan antara kaum konservatif dengan kaum liberal. Nah, silakan saya tidak akan pernah menghakimi hakim yang berdiri di posisi konservatif atau berdiri di wilayah liberal karena itu adalah bagian dari ideologi yang tidak mungkin bisa ditolak begitu saja. Nah, yang kedua pertanyaan dari Yang Mulia Pak Palguna. Penafsiran apakah ... saya ingin mengatakan bahwa Pasal 39 malah sesungguhnya ingin mengatakan bahwa di situlah kesementaraan. Saya mengatakan ini menggunakan penafsiran yang sedikit agak terbuka. Saya ingin mengatakan bahwa Pasal 39 itulah yang dapat digunakan untuk menafsirkan ketika awal pembentukan KPK dibentuk, ketika mereka belum memiliki penyidik, penyelidik, dan penuntut umum maka kemudian bisa dipakai. Kemudian sekarang ketika mereka sudah sedikit established, maka pintunya tetap bisa dua, pintunya tetap bisa dari kepolisian, kejaksaan, dan pintunya tentu saja non kepolisian dan kejaksaan. Bayangan saya sederhananya adalah di KPK nanti akan ada penyidik yang sementara karena memang pinjaman dari kepolisian atau kejaksaan, ada juga penyidik yang fully adalah pegawai di KPK, perlakuannya sama, hanya saja pemberhentiannya nanti mereka akan pulang sebagaimana peraturan Kapolri ... saya lupa peraturannya Kapolri soal pengangkatan penyidik di KPK, nanti diatur di situ. Sedangkan full yang “independent”, independent yang dimaksudkan dalam UndangUndang KPK sepemahaman saya itu akan diatur oleh KPK berdasarkan peraturan KPK. Nah, pertanyaan berikutnya dari Yang Mulia Hakim Yang Mulia Pak Suhartoyo. Soal ... saya setuju, Yang Mulia bahwa memang terjadi sudut pandang yang sudah berbeda ini. Ada hakim yang mengatakan penyidik boleh independent, ada yang tidak bahkan tidak sekadar itu, ada penerjemahan Pasal 77 soal praperadilan pun kan ada dua. Lalu kemudian Hakim Yang Mulia sembilan Hakim Konstitusi kemudian mendudukkan bahwa Pasal 77 bisa jadi pintu masuk untuk melakukan praperadilan penetapan tersangka, selesai. Itu adalah bagian dari yang saya sebut menjadi constitutional adjudication, bagaimana pandangan konstitusi Mahkamah Konstitusi kemudian meletakkan hukum yang sebenarnya. Nah, saya sebenarnya hanya tinggal menunggu, kami menunggu apa kemudian yang ingin dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan penafsiran karena memang sayangnya, saya melakukan riset yang cukup mendalam terhadap risalah Undang-Undang KPK, kita di tahun 2001-2002 sampai tahun 2004 memang kita tidak terlalu mendalam menguatkan yang namanya risalah, sehingga risalah itu 33
cenderung kacau-balau dan tidak ada yang tunggal, kebanyakan juga tidak mendalam. Nah, yang paling menarik dari pertanyaan Yang Mulia Pak Suhartoyo adalah soal kompetensi. Saya mengatakan benar kompetensi tentu penting karena bagian kepolisian dan kejaksaan sudah punya kompetensi khusus soal penyidikan, penyelidikan, dan juga penuntutan. Akan tetapi kompetensi ini bukan suatu hal yang tidak bisa dipelajari, artinya melalui proses sekolah, melalui proses apa ... proses pelatihan, proses ... ada yang dari selain kejaksaan dan kepolisian, itu bisa menjadi penyidik, penyelidik, dan penuntut umum di KPK sepanjang melalui proses pendidikan. Nah, mungkin inilah yang harus dilihat dalam aturan KPK, apakah memang ada pendidikan yang mendalam untuk menjadi penyidik, penyelidik, dan penuntut umum di KPK. Apakah ada sumpah seperti yang dipertanyakan oleh Pak Wahiduddin Adams tadi. Itu bisa setahu saya, seingat saya nanti bisa dicek oleh ke Pihak Terkait (suara tidak terdengar jelas) KPK, setahu saya mereka punya peraturan soal tata cara rekrutmen penyidik, seingat saya. Saya lupa nomornya tapi itu ada peraturan internalnya, nanti silakan di apa ... dikonfirmasi ke penyidik ... ke apa ... Pihak Terkait, yakni KPK. Kembali ke Yang Mulia Pak Wahiddudin Adams. Pertanyaan soal self regulatory body. Saya sepakat, Yang Mulia bahwa sebenarnya lembaga negara independent itu adalah cabang keempat. Saya menggunakan teori yang dianut oleh (suara tidak terdengar jelas). Dia mengatakan bahwa tidak mungkin lagi melihat konstitusi atau melihat tiga negara itu hanya tiga cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif. Karena pada faktanya, ratusan negara sudah membentuk yang namanya lembaga negara independent yang salah satu cirinya adalah mandiri dan itu dicantumkan di dalam undang-undang, bebas dari kekuasaan manapun. Makanya dia ini menjadi lembaga negara independent. Dalam konteks lembaga negara independent. Kalau pakai teorinya Jimly Assidiqie, dia mengatakan bahwa ini adalah lembaga campur sari. Karena kemudian dia mencampur kewenangan eksekuti, legislatif, dan judikatif, dia bisa membentuk aturan. Nah, memang PR terbesar kita, saya setuju dengan Pak Yang Mulia Wahiduddin Adams. PR terbesar kita adalah kita belum menentukan dengan detail di manakah posisi peraturan lembaga negara independent ini. Apakah dia sederajat di wilayah mana, dia bisa menegasikan yang mana, sejauh mana. Saya hanya menggunakan doktrin untuk menjawab itu bahwa yang bisa diatur secara lebih detail oleh self regulatory body atau lembaga yang memiliki kewenangan itu adalah kewenangan-kewenangan yang sudah diberikan oleh undang-undang. Tentu saja dia tidak bisa mengangkangi undangundang pembentukannya. Tetapi sepanjang undang-undang lex specialis yang menentukan kewenangannya, nah kewenangan itu bisa 34
diterjemahkan secara lebih mendetail. Bahwa terjemahannya bisa jadi berlawanan dengan undang-undang yang generalis, bisa jadi, karena dia berasal dari turunan undang-undang lex spesialis-nya yakni UndangUndang KPK-nya. Pertanyaan yang berikutnya dari Pak Wahiduddin Adams. Klarifikasi berikutnya soal kepegawaiannya. Sampai sekarang masih ada pemahaman terhadap Undang-Undang ASN yang sedikit berbeda. Banyak yang masih memandang bahwa Undang-Undang ASN tidaklah sepenuhnya berlaku untuk seluruh lembaga negara di … untuk seluruh … karena bahasa dalam Undang-Undang ASN jelas mengatakan bahwa ini masih pada … lebih banyak pada wilayah pemerintahan. Ada dua pendapat, ada dua perbedaan melihat Undang-Undang ASN. Ada yang mengatakan bahwa itu tunduknya pada wilayah pemerintahan yang itu berbeda di tingkat lain. Walaupun ada yang mengatakan itu harus dipandang menyeluruh. Tapi ketika dipandang menyeluruh memang ada kesulitan-kesulitan tersendiri yang tidak mudah untuk disesuaikan dengan Undang-Undang ASN. Contohnya adalah bagaimana dengan hakim-hakim. Bagaimana dengan hakim ad hoc yang kemudian tidak termasuk dalam komposisi Undang-Undang ASN sebagai komposisikomposisi tertentu. Nah, makanya yang ingin saya katakan bahwa memang masih butuh. Di dalam buku yang saya tulis soal dinamika lembaga negara independent, saya mengatakan bahwa memang masih ada PR tertentu sebagai akibat lahirnya lembaga negara independent ini, masih ada PRPR besar. Contohnya seperti yang saya katakan tadi, bagaimana dengan peraturannya, tingkatnya seperti apa. Bagaimana dengan kepegawaiannya. Karena kalau kepegawaiannya tunduk pada ke-PNS-an, sebagaimana kemudian penanggung jawabnya Menteri ASN, itu sama saja dengan mengatakan bahwa mereka kembali tidak menjadi bebas dari campur tangan pengaruh kekuasaan manapun. Padahal lembaga negara independent dimaksudkan untuk bebas dari campur tangan kekuasaan manapun. Yang terakhir, pertanyaan dari Yang Mulia Pak Patrialis Akbar. Ini memang pertanyaan yang menarik. Apakah KPK akan tidak independent ketika ada kepolisian dan kejaksaan? Saya ingin mengatakan dalam dua rahah. Pertama adalah, kalau semuanya ful dari kejaksaan dan kepolisian, potensi itu menjadi sangat tinggi. Potensi ketidakindependent-nan itu menjadi sangat tinggi. Potensi karena mereka akan memiliki yang namanya kesetiaan ganda. Pada saat yang sama dia harus berpegang kepada KPK. Pada saat yang lain, dia masih tetap akan kembali karena hanya pemberhentian sementara, dia tetap akan kembali ke asalnya. Karena kembali ke asalnya, otomatis akan sangat sulit bagi dia karena dia tahu dalam kurun waktu tertentu dia akan kembali. Akan sangat sulit bagi dia untuk bisa independent ketika
35
menangani khususnya kasus-kasus yang berkaitan dengan kejaksaan dan kepolisian. Nah, yang kedua, yang kedua. Kita belajar dari fakta yang sudah terjadi. Fakta yang sudah terjadi bisa juga di-search di berbagai media. Betapa sering kemudian kepolisian atau kejaksaan ingin menarik penyidiknya secara tiba-tiba. Itu terjadi dalam beberapa perkara, saya tidak usah sebutkan di sini tapi kemudian bisa dilihat. Nah, kalau itu dibiarkan, saya ingin mengatakan bahwa kalau ini terus dibiarkan kejaksaan dan kepolisian memonopoli penyidik, penyelidik, dan yang lain-lainnya di KPK, maka sangat mungkin KPK kemudian akan tergantung dan kemudian tersandera. Tatkala KPK sedang menyelidiki sesuatu perkara yang berkaitan dengan kejaksaan dan kepolisian misalnya, lalu tiba-tiba penyidiknya semua ditarik seperti kejadiankejadian yang terjadi. Pada tahun 2000 … lupa saya, 2013 seingat saya untungnya kemudian Presiden SBY kala itu memerintahkan untuk menyelesaikan itu, dan sedikit bisa selesai. Tetapi dengan ketiadaan aturan seperti sekarang, sangat berpotensi itu akan kembali terulang. Hanya akan menjadi siklikal, hanya akan terulang mengikuti dengan dinamika KPK sedang menangani perkara apa. Nah, saya ingin mengatakan bahwa inilah saatnya Mahkamah Konstitusi membebaskan. Membebaskan KPK dari potensi tersebut. Potensi tersebut memang potensi, tetapi potensi yang dalam batas penalaran yang wajar sangat mungkin menjadi aktual, khususnya ketika kasus-kasus yang ditangani KPK itu berkaitan dengan kejaksaan dan kepolisian. Saya pikir itu, Yang Mulia. 65.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Pak Zainal (…)
66.
AHLI DARI PEMERINTAH: ZAINAL ARIFIN MOCHTAR Ya, Yang Mulia.
67.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Saya mau minta klarifikasi satu hal tentang masalah independent yang disebutkan tadi. Apakah independensi itu dimaksudkan adalah terhadap lembaganya? Ataukah dalam rekrutmen pegawainya? Ataukah independent dalam kelembagaan, sekaligus rekrutmen pegawainya? Minta ketegasan.
36
68.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, silakan, Pak Dr. Zainal. Ini ada satu lagi … ada satu lagi dari Yang Mulia Pak Aswanto.
69.
HAKIM ANGGOTA: ASWANTO Tambahan sedikit, Pak Dr. Zainal. Di dalam Pasal 24 ayat (2) ada frasa adalah WNI yang karena keahliannya diangkat sebagai pegawai pada KPK. Itu ada frasa di Pasal 24 ayat (2). Nah, kalau kita melakukan tafsir yang tertutup, menggunakan istilahnya Pak Zainal tadi, keahlian karena ini berkaitan dengan penyidik, maka mungkin yang dimaksud adalah orang yang sudah paham tentang ilmu penyidikan. Tetapi, apakah itu berarti bahwa semua penyidik sudah memahami bidang? Karena secara faktual, tindak pidana korupsi sudah merambah ke semua bidang. Apakah tidak bisa dimaknai bahwa keahlian yang dimaksud di situ adalah keahlian substantif dari masing-masing bidang tadi, yang sudah menjadi lahan tindak pidana korupsi? Mohon pandangan Pak Zainal.
70.
KETUA: ANWAR USMAN Ya. Silakan, Pak Dr. Zainal.
71.
AHLI DARI PEMERINTAH: ZAINAL ARIFIN MOCHTAR Terima kasih, Yang Mulia. Yang pertama, dari Pak Yang Mulia Patrialis … Pak Patrialis Akbar. Saya kembali ke independensi. Independensi sebagaimana yang ditulis oleh begitu banyak ahli, menjelaskan bahwa independensi tentu saja adalah kelembagaan. Lalu kemudian, secara fungsional. Lalu kemudian, secara personal. Include di dalamnya, tentu saja kalau kita bicara soal kelembagaan, maka ada potensi gangguan terhadap independensi secara kelembagaan. Tetapi pada saat yang sama, kalau kita bicara soal independensi personal, di situ juga akan ada kemungkinan independensi … terganggunya independensi personal oleh karena proses pengangkatan atau proses rekrutmen yang tidak pas. Nah makanya, saya ingin mengatakan bahwa yang harus dilindungi adalah ketiga ranah itu tadi. Ketiga ranah bahwa dia harus independent secara fungsional, independent secara institusional, dan independent secara personal. Karena itulah yang kemudian bisa membuat proses penegakan hukum atau kemudian lembaga negara independent dapat dinyatakan independent se-independentindependent-nya. 37
Yang kedua, pertanyaan dari Yang Mulia Pak … Hakim Pak Aswanto. Saya sangat sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Pak Aswanto. Karena pada hakikatnya, yang dimaktub dalam Pasal 24 ayat (2) ini, ketentuannya adalah WNI dan yang punya keahlian. Sangat mungkin di sana, ada banyak ragam dan jenis keahlian yang sangat dibutuhkan. Penyidik hanyalah salah satunya. Nah, dan penyidik pun, kita ketahui bahwa penyidik itu tidak hanya di wilayah … apa … kepolisian. Ada yang penyidik di tempat lain, kejaksaan, ada PPNS, ada orang-orang, atau pun keahlian itu kemudian bisa dalam proses penajaman, bisa dalam proses penguatan. Sehingga, apalagi sepemahaman saya soal teknik penyidikan, tidak hanya sekadar bicara soal teknisnya, tetapi juga berbicara soal substansinya. Jadi, ketika seorang penyidik, itu seharusnya tidak hanya sekadar memahami teknis mewawancarai, penyidikan, bla, bla, dan lain sebagainya, mencari … mencari bukti, dan lain sebagainya, tetapi juga harus paham substansinya. Artinya, juga dibutuhkan orang yang paham … apa … pertanggungjawaban keuangan negara, orang yang paham perbankan. Sekarang korupsi di wilayah perbankan menjadi besar. Orang yang paham soal … apa … soal teknik. Misalnya, seperti kasus-kasus korupsi yang berkaitan dengan konstruksi. Nah, saya menyetujui 100% apa yang dikatakan Yang Mulia Pak Aswanto. Bahwa pada hakikatnya, keahlian itu tidak mungkin terjemahkan hanya keahlian teknis semata. Bahwa penyidik teknis kepolisian semata, tetapi juga penyidik … keahlian yang lebih bersifat substantif dalam kaitan dengan … apa … wilayah-wilayah pengetahuan yang sangat mendukung pada pemberantasan korupsi secara substansinya, seperti illegal fishing dan berbagai aturan lain. Begitu, Yang Mulia. 72.
KETUA: ANWAR USMAN Baik. Terima kasih. Ahli Pak Dr. Zainal silakan karena ada keperluan mau mengajar, silakan bisa meninggalkan (suara tidak terdengar jelas).
73.
AHLI DARI PEMERINTAH: ZAINAL ARIFIN MOCHTAR Baik, Yang Mulia. Terima kasih. Assalamualaikum wr. wb, salam sejahtera, om shanti shanti om.
74.
KETUA: ANWAR USMAN Waalaikumsalam wr. wb. Kuasa Presiden apa masih ada ahli atau saksi atau sudah cukup?
38
75.
PEMERINTAH: HENI SUSILA WARDOYO Cukup, Yang Mulia.
76.
KETUA: ANWAR USMAN Baik. Terima kasih. Oh ya silakan, Pihak Terkait ada pertanyaan dari Yang Mulia, Bapak Patrialis.
77.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Ini pada Pihak Terkait, saya ingin mendapatkan satu informasi. Bagaimana selama ini di KPK kalau penyidik dari kepolisian katakanlah seperti itu, berakhir masa tugasnya di kepolisian, mungkin sudah habis masa waktunya menjadi polisi, otomatis dia tentu juga berhenti. Kemudian KPK masih membutuhkan, itu bagaimana proses selama ini?
78.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, silakan. Langsung dijawab.
79.
PIHAK TERKAIT: SETIADI Terima kasih. Yang Mulia. Sepengatahuan saya dan juga kebetulan saya sebelumnya dari Bareskrim dan pernah menangani permasalahan terkait dengan penarikan dan juga penempatan anggota Polri khususnya penyidik di KPK satu dua tahun yang lalu. Terkait dengan anggota Polri khususnya penyidik yang ditempatkan di sana, istilahnya ada mengenal kami 2n+1. Di dalam peraturan pemerintah Nomor 63 tahun 2006 kemudian ada perubahan tahun 2012 PP Nomor 103, disebutkan anggota Polri yang ditugaskan istilahnya di dalam KPK adalah pegawai negeri yang dipekerjakan. Ada tiga di dalam PP nomor 103 tahun 2012, yaitu pegawai negeri … pegawai tetap. Pegawai negeri ditugas dipekerjakan dan pegawai tidak tetap. Khusus untuk penyidik dari Polri yang ditempatkan di sana, polanya adalah empat tahun ditugaskan kemudian diperpanjang empat tahun untuk yang pertama, dan dua tahun berikutnya untuk perpanjangan yang kedua. Untuk itu kami juga ingin menjelaskan apa yang … mohon izin Bapak Yang Mulia Ketua Majelis Hakim konstitusi.
80.
KETUA: ANWAR USMAN Silakan.
39
81.
PIHAK TERKAIT: SETIADI Ada tambahan kedua, dari keterangan Pihak Terkait. Terkait dengan pertanyaan pada sidang terdahulu, di sini ada jumlah penyidik Polri sebanyak 41 orang, kemudian ada jumlah penyidik non Polri 47 orang, dan total 88, itu sampai saat ini, yaitu sejak tahun 2003. Terkait dengan itu, masalah penyidik Polri kembali lagi yang ditempatkan di sana setelah selesai menjalani 2n+1 tadi, yang bersangkutan ada dua pilihan. Yang pertama adalah apakah dia akan mengundurkan diri, tentunya dalam hal ini akan diberikan pemberhentian dengan hormat apabila dia sudah memiliki waktu 20 tahun lebih sesuai dengan anggota Polri yang bisa diberhentikan adalah 20 tahun dengan hormat. Namun apabila sebelum 15 tahun, maka pemberhentiannya dengan tidak hormat. Bagaimana statusnya dengan penyidik dia di KPK? Maka KPK akan mengangkat dia sebagai pegawai tetap. Setelah diangkat sebagai pegawai tetap dalam PP 103 Tahun 2012 di situlah akan diangkat menjadi penyidik KPK. Seperti tadi disampaikan oleh Bapak Oka bahwa kenapa KPK boleh atau diizinkan atau dibenarkan menurut undang-undang. Bukan karena perintah yang lain ada by regulated, disebutkan KPK berhak dan berwenang untuk mengangkat. Sedangkan tata cara untuk mengangkat dan memberhentikan pegawai, apakah dia pegawai tetap atau penyidik diatur dalam peraturan komisi, Bapak. Di dalam PP itu sudah jelas menyebutkan demikian.
82.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Itu disumpah kembali, Bapak?
83.
PIHAK TERKAIT: SETIADI Untuk penyumpahan ada dua, Bapak. Yang pertama, Yang Mulia, dia kalau sudah berhenti dari anggota Polri, tentunya dia disumpah sebagai pegawai dahulu. Sebagai pegawai tetap karena statusnya berubah, beralih dari pegawai Polri menjadi pegwai tetap KPK. Kemudian untuk dia sebagai penyidik, karena dia sebelumnya sudah penyidik, dia tidak perlu lagi untuk di … melakukan sumpah penyidik karena dia sudah sebelumnya dia berhenti dari Polri adalah sebagai penyidik. Namun untuk penyidik yang di luar Polri, kalau Bapak mau ikut Yang Mulia menanyakan, dia juga disumpah baik sebagai pegawai tetap, maupun sebagai penyidik sendiri. Kami informasikan secara lisan bahwa tahun 2006 pengangkatan mereka menjadi pegawai calon tenaga fungsional namanya, sebelum ada PP Nomor 63 tahun 2005, itu dilatih di Akademi Kepolisian selama sembilan bulan. Yang Mulia bisa bayangkan selama sembilan bulan 40
mereka dilatih baik secara teknis, taktis, dan tadi substansial. Kemudian tahun 2007 setelah keluarnya PP Nomor 63 tahun 2005 kenapa tadi 2006 adalah sebutannya calon pegawai tenaga personal, sedangkan yang 2007 adalah calon pegawai fungsional karena perbedaan sebelum dan setelah PP Tahun 2005. Mereka yang tahun 2007 pengadaannya dilatih di satuan induk badan intelegen strategis TNI di Cilendek Bogor selama sembilan bulan pula. Jadi kami di dalam pelaksanaan pengangkatan penyidik yang nonPolri, katakanlah penyidik KPK bukan penyidik independen sebegitu rigitnya akan melakukan pengaturan yang jelas, kemudian betul-betul bisa dipertanggungjawabkan baik secara teknis dan substansial. Sementara jawaban kami demikian, Yang Mulia. Terima kasih. 84.
KETUA: ANWAR USMAN Ya. Ada tambahan?
85.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Ya, Pak, minta keterangan. Di peraturan pemerintah tentang SDM yang juga ada perubahan dan 2012 itu, disebutkan bahwa pegawai tetap KPK itu pensiun dalam usia 56 tahun? Ya, di PP itu?
86.
PIHAK TERKAIT: SETIADI Mohon izin, Yang Mulia. Untuk masalah berapa umur yang bersangkutan, kami mohon kepastian apakah ini untuk penyidik atau pegawai tetap? Karena di sini ada dua perbedaan yang jelas. Untuk penyidik yang sudah pensiun dari Polri, katakan demikian, dia usia pensiun di Polda 58. Dia tidak ada … sepengetahuan kami dia masih sebagai penyidik meskipun sudah melewati 56 tahun. Kami masih nanti akan komunikasikan dengan pihak SDM, sumber daya manusia KPK terkait dengan Undang-Undang ASN. Meskipun itu tidak dalam konteks yang dipermasalahkan oleh Pemohon. Terima kasih.
87.
KETUA: ANWAR USMAN Ini ada tambahan dari saya sedikit. Apakah penyidik yang diangkat tadi, ya katakanlah yang non-Polri atau pun yang dari Polri mengajukan pensiun ya, setelah pensiun dari Polri, statusnya di KPK itu sebagai PNS atau bukan? Kalau kita merujuk lagi ke Undang-Undang ASN yang baru tadi sudah disampaikan oleh Yang Mulia Pak Wahiduddin. Silakan.
41
88.
PIHAK TERKAIT: SETIADI Terima kasih, Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi. Sesuai dengan yang tertera di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 kemudian … dan pengaturan khusus pegawai di lingkungan KPK, baik PP 63 Tahun 2005, kemudian dengan PP 103 Tahun 2012 hanya mengenal tiga kategori, yaitu pegawai tetap, pegawai negeri yang dipekerjakan, dan pegawai yang tidak tetap. Untuk yang pegawai tetap itu kalau menurut ketentuan yang kami ketahui karena mereka mendapatkan gaji, fasilitas, dan tunjangan dari pemerintah, kami masih … dapat katakan mereka bukan pegawaipegawai negeri yang disebutkan dalam ASN, namun istilah kami sesuai dengan undang-undang di KPK sendiri tahun 32 tahun 2002 di Pasal 24 ada aturan yang tersendiri khusus untuk pegawai di KPK. Ini yang nanti kami akan konsultasikan kepada Kementerian Aparatur Negara. Apakah kami akan mengganti undang-undang itu? Mohon izin, saya sendiri sebagai kepala biro hukum sudah membuatkan draft, salah satu draft dalam pasal itu akan kami ubah di dalam masalah kepegawaian, khususnya Pasal 24 dan Pasal 25 terkait dengan ASN dan administrasi negara. Karena apabila anggota KPK yang melakukan pelanggaran disiplin, tentu tidak hanya disiplin di internal juga akan kena peraturan yang ada di dalam administrasi pemerintahan. Terima kasih.
89.
KETUA: ANWAR USMAN Sudah cukup, ya. Dari Pihak Terkait KPK, apakah akan mengajukan ahli atau saksi atau sudah cukup?
90.
PIHAK TERKAIT: SETIADI Terima kasih, Yang Mulia. Sesuai dengan yang pernah kami sampaikan beberapa waktu yang lalu, untuk saksi ahli dari Pihak Terkait dari KPK akan kami ajukan dua orang saksi untuk persidangan yang akan datang dan nama-namanya akan kami sampaikan kepada (…)
91.
KETUA: ANWAR USMAN Saksi atau ahli?
92.
PIHAK TERKAIT: SETIADI Maaf, ahli. Ahli, maaf.
42
93.
KETUA: ANWAR USMAN Baik, ya. Nanti CV-nya diserahkan ya di Kepaniteraan. Nah, kalau begitu persidangan selanjutnya ditunda hari Senin, tanggal 23 November 2015, jam 11.00 WIB untuk mendengarkan keterangan DPR masih kita tunggu dan keterangan dua ahli dari Pihak Terkait. Ya, baik. Sudah cukup, ya. Sudah jelas ya kuasa presiden. Kemudian untuk yang terhormat Ahli Pak Oka, silakan … kami menyampaikan terima kasih, terima kasih atas keterangannya. Baik, dengan demikian sidang selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 16.19 WIB Jakarta, 13 November 2015 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
43