MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 111/PUU-XIII/2015
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2009 TENTANG KETENAGALISTRIKAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN DPR, AHLI PEMOHON, DAN AHLI PRESIDEN (VI)
JAKARTA RABU, 25 NOVEMBER 2015
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 111/PUU-XIII/2015 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan [Pasal 10 ayat (2), Pasal 16 ayat (1) huruf d dan huruf e, Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (5), dan Pasal 56 ayat (2)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja PT PLN (Persero) ACARA Mendengarkan Keterangan DPR, Ahli Pemohon, dan Ahli Presiden (VI) Rabu, 25 November 2015 Pukul 14.09 – 15.10 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Arief Hidayat Anwar Usman Aswanto Suhartoyo I Dewa Gede Palguna Maria Farida Indrati Wahiduddin Adams Patrialis Akbar Manahan MP Sitompul
Ida Ria Tambunan
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Eko Sumantri B. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Muhammad Fandrian Hadistianto 2. Ari Lazuardi C. Ahli dari Pemerintah: 1. Supriadi Legino D. Pemerintah: 1. Heni Susila Wardoyo 2. Pamudji Slamet 3. Nasrudin 4. Sujatmiko E. DPR: 1. I Putu Sudiartana
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 14.09 WIB 1.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Bismilahirrahmaanirrahiim. Sidang dalam Perkara Nomor 111/PUU-XIII/2015 dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Pemohon hadir lengkap?
2.
KUASA HUKUM HADISTIANTO
PEMOHON:
MUHAMMAD
FANDRIAN
Lengkap, Yang Mulia. 3.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, baik. DPR hadir, Pak Putu?
4.
DPR: I PUTU SUDIARTANA Lengkap, Yang Mulia.
5.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, soalnya kemarin enggak hadir, sekarang hadir jadi lengkap, Pak Putu. Dari Pemerintah yang mewakili Presiden, saya persilakan.
6.
PEMERINTAH: HENI SUSILA WARDOYO Baik, Yang Mulia. Hadir dari Kementerian Hukum dan HAM dan dengan ketenagalistrikan, beliau ... kami perkenalkan Pak Pamudji. Kemudian Bapak Sujatmiko (Sesdikjen Ketenagalistrikan) dan Pak Nasrudin. Demikian, Yang Mulia, terima kasih.
7.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Kemudian perlu saya sampaikan, ada surat kepada Mahkamah. Satu, untuk meminta menjadi Pihak Terkait dari Persatuan Pegawai PT Indonesia Power. Kemudian dua, dari Federasi Sektor Umum Indonesia, ini minta untuk menjadi Pihak Terkait atas dasar permohonan ini, maka diputuskan pada persidangan yang berikutnya bisa menjadi Pihak Terkait untuk hadir dan memberikan keterangan dalam persidangan ini. 1
Baik, pada siang hari ini kita hanya akan mendengarkan keterangan Ahli dari Presiden. Sebetulnya ada permintaan dari Pemohon untuk menghadirkan ahli, tapi tidak anu, ya ... gimana? 8.
KUASA HUKUM HADISTIANTO
PEMOHON:
MUHAMMAD
FANDRIAN
Mohon maaf, Yang Mulia. Ahli yang kami coba hadirkan hari ini berhalangan secara teknis, jadi pada persidangan kali ini kami tidak menghadirkan ahli. 9.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Nah, kalau begitu bisa nanti secara tertulis saja, ya.
10.
KUASA HUKUM HADISTIANTO
PEMOHON:
MUHAMMAD
FANDRIAN
Baik, Yang Mulia. 11.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Sama karena bisa dengan tertulis. Baik, kita akan mendengarkan keterangan dari DPR dulu. Pak Putu, saya persilakan. Kemudian nanti berikutnya keterangan Ahli dari Presiden.
12.
DPR: I PUTU SUDIARTANA Assalamualaikum wr. wb. Sejahtera bagi kita semua. Om swastiastu nama Siwa Budha. Yang Terhormat Yang Mulia yang kami hormati, Bapak Presiden yang diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM, Menteri ESDM, Staf Ahli DPR RI yang membidangi hukum, Para Saksi Ahli, dan Para Pemohon yang kami banggakan. Hari ini saya membacakan pandangan dari DPR RI. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atas permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Perkara Nomor 111/PUU-XIII/2015, Jakarta, 25 November 2015. Kepada Yang Terhormat Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia di Jakarta. Berdasarkan keputusan Pimpinan DPP Republik Indonesia Nomor 341/Pimpinan/I/2014-2015, tanggal 28 November 2014 telah menugaskan pimpinan dan anggota Komisi III DPR RI yaitu Dr. H. Aziz Syamsudin, Trimedya Panjaitan, Desmond Junaidi Mahesa, Benny Kabur Harman, Mulfachri Harahap, dan I Putu Sudiartana, A442, 2
dalam hal ini baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas nama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang selanjutnya disebut DPR sehubungan dengan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan atau untuk selanjutnya disebut Undang-Undang Ketenagalistrikan yang diajukan oleh Saudara Adri dan Eko Sumatri, warga negara Indonesia, untuk selanjutnya disebut Pemohon. Dengan ini DPR menyampaikan keterangan terhadap Pemohon pengujian atas Undang-Undang Rumah Susun terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Perkara Nomor 113/PUU-XIII/2015 sebagai berikut. 13.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Saya sela sebentar, Pak Putu. Ini dalam Perkara 113/PUUXIII/2015 ini … berkenaan dengan pengujian norma Ketenagalistrikan, bukan rumah susun. Nomornya Perkara Nomor 111/PUU-XIII/2015.
14.
DPR: I PUTU SUDIARTANA Oh, izin, salah sebut saya, Perkara Nomor 111/PUU-XIII/2015, ya.
15.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, baik.
16.
DPR: I PUTU SUDIARTANA Izin. Terima kasih, Yang Mulia. Keterangan DPR RI terhadap dalil Para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam permohonan a quo, DPR RI dalam penyampaian pandangan terlebih dahulu menguraikan mengenai kedudukan hukum (legal standing) dapat dijelaskan sebagai berikut. Terhadap kedudukan hukum (legal standing) tersebut, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum atau legal standing atau tidak sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007. Pengujian atas Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (5), dan Pasal 56 ayat (2) dalam Undang-Undang Ketenagalistrikan terhadap permohonan pengujian beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut.
3
a. Bahwa mengingat arti penting tenaga listrik bagi negara dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam segala bidang dan sejalan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, sehingga dalam rangka untuk tetap mengacu secara konstitusional sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (2) tersebut, maka dalam Undang-Undang Ketenagalistrikan Nomor 30 Tahun 2009 seperti dinyatakan dalam penjelasan umum undangundang a quo bahwa usaha penyediaan listrik dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan menetapkan kebijakan pengaturan pengawasan dan melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik. b. Bahwa berdasarkan Risalah Rapat Kerja Rancangan Undang-Undang tentang Ketenagalistrikan dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral pada hari Kamis, tanggal 16 Juli 2007, dalam pemaparan Direktorat Jenderal Listrik dan Pengembangan Energi/Dirjen LPE mengenai Pokok-Pokok Rencana Undang-Undang tentang Ketenagalistrikan, latar belakang dibentuknya undang-undang a quo sejalan dengan keinginan Mahkamah Konstitusi mengenai diperlukannya suatu undang-undang yang baru tentang ketenagalistrikan yang dapat dipakai sebagai landasan dalam mewujudkan penyediaan tenaga listrik dalam jumlah yang cukup, keandalan dan baik, berkualitas, dan harga yang wajar yang tentunya dilakukan secara efisien dan transparan demi meningkatkan kesejahteraan rakyat. c. Bahwa terbentuknya undang-undang a quo ada prinsipnya untuk mengatur penyelenggaraan pembangunan ketenagalistrikan yang hendak menjamin ketersediaan listrik dalam jumlah yang cukup, kualitas yang baik, dan harga yang wajar dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) undangundang a quo. Hal tersebut juga muncul sebagai suatu reaksi dari kelemahan undang-undang sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 yang sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan keadaan dan perubahan dalam kehidupan masyarakat, khususnya mengenai kemandirian dana dan kemampuan bersaing dalam era keterbukaan. d. Bahwa landasan pembentukan rancangan undang-undang tentang ketenagalistrikan telah mempertimbangkan landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis yaitu:
4
1.
Landasan filosofis. Bahwa usaha penyediaan tenaga listrik merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga usaha penyediaan listrik dikuasai oleh negara. Dengan demikian, negara melalui Pemerintah memiliki mekanisme untuk mengatur, memelihara, dan menggunakan tenaga listrik sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Di samping Pemerintah mengatur, membina, dan mengawasi sektor ketenagalistrikan, Pemerintah juga menyelenggarakan usaha penyediaan tenaga listrik dan dilaksanakan melalui BUMN. 2. Landasan yuridis. Bahwa dasar hukum penyusunan Rencana Undang-Undang tentang Ketenagalistrikan ini adalah diamanati oleh Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” 3. Landasan sosiologis. Bahwa tenaga listrik mempunyai fungsi sosial, oleh karena itu pengelolaan usaha penyediaan tenaga listrik memberikan manfaat sosial yaitu di satu sisi masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan tenaga listrik dan di sisi lain memiliki kewajiban untuk menjaga kelangsungan penyediaan tenaga listrik. e. Bahwa dalam mewujudkan pembangunan nasional, maka usaha penyediaan usaha tenaga listrik dikuasai oleh negara dan penyediaannya perlu terus ditingkatkan sejalan dengan perkembangan pembangunan agar tersedia tenaga listrik dalam jumlah yang cukup merata dan bermutu, sehingga tujuan dimungkinkan partisipasi dari badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, atau koperasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik adalah untuk meningkatkan kemampuan negara dalam menyediakan tenaga listrik terutama terhadap wilayah yang belum mendapatkan pelayanan tenaga listrik. Dalam latar belakang historis lahirnya Pasal 11 undang-undang a quo dijelaskan dalam Risalah Rapat Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang tentang Ketenagalistrikan Komisi VII DPR RI dengan Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Listrik Energi/Dirjen ESDM hari Senin, tanggal 19 Mei 2008 yaitu jadi kita berpikir dalam konsep seperti ini bahwa memang untuk penyediaan tenaga listrik itu adalah dilakukan atau tanggung jawab Pemerintah. Pemerintah dalam menyelenggarakan ini tidak bisa … akan menugaskan BUMN untuk melaksanakan BUMN ini yang nanti akan memenuhi kecukupan tenaga listrik. Jadi, unsur kewenangan ada di BUMN ini. Jadi, pada prinsipnya ini adalah Pemerintah nanti kepada BUMN, kemudian tentu di tempat-tempat di mana BUMN itu tidak mampu atau katakanlah ada unsur otonomi daerah yang mana … dimana koperasi atau swasta maupun BUMD bisa ikut serta di dalam penyelenggaraan atau penyediaan tenaga listrik ini. 5
f. Bahwa Pasal 11 ayat (2) menjamin adanya perwujudan penguasaan negara melalui badan usaha milik negara yang mana diberikan prioritas utama untuk melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. Sebelumnya, Pasal 11 ayat (1) UndangUndang Nomor 30/2009 membuka ruang bagi partisipasi tidak hanya oleh BUMN, tetapi juga bagi BUMD, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat dalam hal adanya wilayah yang belum mendapatkan pelayanan tenaga listrik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) undang-undang a quo yang mengatur bahwa untuk wilayah yang belum mendapatkan pelayanan listrik, Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangan memberikan kesempatan kepada badan usaha milik daerah, badan swasta, atau koperasi sebagai penyelenggara usaha penyediaan tenaga listrik terintegrasi. Ketentuan Pasal 11 ayat (3) undang-undang a quo memberi kesempatan pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik bagi badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, atau koperasi hanya terhadap wilayah yang belum mendapatkan pelayanan tenaga listrik. Hal ini sejalan dengan ketentuan menimbang huruf b undangundang a quo. Hal tersebut menjadi alternatif yang sangat tepat dalam menjawab keberlangsungan penyediaan tenaga listrik tanpa mengurangi peran negara untuk mengatur pelaksanaannya. Dan ini penting untuk lebih meningkatkan kemampuan negara dalam penyediaan tenaga listrik, sehingga memberikan pula kesempatan kepada badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat untuk berpartisipasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik. BUMN selaku pemegang prioritas pertama pelaksanaan penyediaan tenaga listrik dapat bekerja sama dengan pihak pelaku usaha lainnya dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat akan listrik. Jadi, kaitan antara Pasal 10 dan Pasal 11 harus dimaknai penafsiran secara keliru Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2). Hal tersebut sesungguhnya telah sejalan pula dengan amanat Pasal 33 ayat (4) yang berbunyi, “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi keadilan, keberlanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional.” g. Bahwa dalam risalah Rapat Kerja Rancangan Undang-Undang tentang Ketenagalistrikan dengan menteri ESDM pada hari Kamis, tanggal 16 Juli 2007 dikatakan bahwa rancangan undang-undang itu prinsip struktur bisnis tenaga listrik sama dengan Undang-Undang Nomor 15 yaitu prinsip monopoli terintegrasi vertikal. Tapi persaingan usaha dapat dilakukan, diimplementasikan kalau ada suatu daerah yang memang secara teknis dan ekonomis bisa dilaksanakan. Bahwa sesuai dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 30/2009, maka pada prinsipnya pengelolaan tenaga listrik dalam Undang-Undang 6
Ketenagalistrikan dilaksanakan secara terintegrasi yakni meliputi pembangkitan tenaga listrik, transmisi tenaga listrik, distribusi tenaga listrik, atau penjualan tenaga listrik, yang mana usaha penyediaannya dilakukan oleh satu badan usaha dalam satu wilayah usaha meskipun dalam undang-undang disebutkan kalimat dapat dilakukan secara terintegrasi. Dalam Pasal 10 ayat (2) undang-undang a quo karena undang-undang a quo menganut dua (2) sistem dalam struktur usaha ketenagalistrikan sebagaimana dijelaskan dalam risalah rapat kerja rancangan undang-undang tentang ketenagalistrikan dengan menteri ESDM pada tanggal 16 Juli 2007 yaitu kalau Undang-Undang Nomor 20 bahwa struktur bisnis itu harus kompetisi karena kompetisi dia tidak boleh dari hulu ke hilir dilakukan oleh satu badan usaha, tapi harus ada pemisahan atau lebih populer di mata SP PLN sebagai unbundling. Menganut 2 sistem ada yang kompetisinya harus unbundling, tapi ada juga yang terintegrasi vertikal, jadi ada 2 sistem tadi. Untuk sistem yang berkompetisi ada pembangkit dan transmisi distribusi penjualan, agen penjualan, pengelola pasar, dan pengelola sistem. Dan di wilayah nonkompetisi itu sama dengan di UndangUndang Nomor 15, di dalam rancangan yang baru ini kita membuang usaha-usaha yang berkaitan dengan kompetisi, sehingga yang ada di dalam rancangan itu adalah pembangkitan transmisi, distribusi, dan juga penjualan, dimana sebetulnya distribusi walaupun sistem monopoli bisa dipisah dengan urutan penjualannya. Jadi, seperti yang berlaku sekarang seperti itu, dimana PLN ada yang namanya APJ (Area Pelayanan Jaringan), itu adalah usaha distribusi dan ada AP (Area Pelayanan) yang mengurusi langsung kepada konsumen. Jadi, kalau APJ itu kaitannya tadi dengan perbaikan gangguan pengembangan jaringan atau AP itu urusannya billing dan juga pelayanan kepada konsumen. h. Bahwa ketenagalistrikan dibagi menjadi dua yaitu usaha penyediaan tenaga listrik dan usaha penunjang tenaga listrik. Pasal 8 undangundang a quo, usaha penyediaan tenaga listrik dibagi menjadi pembangkitan tenaga listrik, transmisi tenaga listrik, distribusi tenaga listrik, dan/atau penjualan tenaga listrik. Pasal 10 ayat (1) undangundang a quo, mengoperasikan dan pemeliharaan instalasi tenaga listrik tidak termasuk ke dalam usaha penyediaan tenaga listrik. Oleh karena itu, kegiatan pengoperasian dan pemeliharaan dikategorikan ke dalam jenis usaha penunjang tenaga listrik. Jenis usaha penunjang dan Pasal 16 ayat (1) undang-undang a quo, keterkaitan erat dengan pengaturan mengenai hal-hal teknis, sehingga di dalam Pasal 16 ayat (1) undang-undang a quo diatur sedemikian rinci yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Artinya bahwa dalam rangka efisiensi penyediaan tenaga listrik yang cukup dan bermutu, maka pembagian jenis usaha penunjang sebagaimana dijelaskan dalam suatu langkah yang sejalan dengan tujuan dibentuknya undang-undang a quo, hal 7
ini tercermin dari pemaparan Dirjen LPE Kementerian ESDM dalam Risalah Rapat Kerja Rencana Undang-Undang Ketenagalistrikan pada tanggal 16 Juli 2007 yang isinya, “Usaha jasa penunjang dan industri penunjang tenaga listrik dimana masing-masing sesuai dengan perkembangan zaman ada kekhususan perusahaan-perusahaan jasa penunjang mengenai bidang atau lingkup usahanya masing-masing, mulai dari konsultasi, pembangunan, dan pemasangan pengujian instalasi, pemeliha … pemeliharaan, penelitian, dan pengembangan diklat dan usaha lain yang terkait.” i. Bahwa sebagaimana dijelaskan oleh Dirjen LPE Kementerian ESDM Rapat Tim Kecil Panja Rencana Undang-Undang Ketenagalistrikan pada pa … pada tanggal 13 dan 14 Februari 2009, “Harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik yang ditetapkan berdasarkan prinsip usaha yang sehat merupakan berkonsekuensi logis dari kemungkinan peran serta badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat dalam usaha penyediaan tenaga listrik.” Tarif tenaga listrik untuk konsumen yang dapat ditetapkan secara berbeda di setiap daerah dalam suatu wilayah usaha juga merupakan konsekuensi dari prinsip otonomi daerah, dimana Pemerintah Daerah memiliki wewenang dalam mengatur harga jual, sewa, jaringan tenaga listrik, dan tarif tenaga listrik untuk konsumen. Namun … namun demikian, Pemerintah masih memiliki kewenangan dalam penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen dan pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang ditetapkan oleh Pemerintah sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) huruf j undang-undang a quo dan penetapan persetujuan harga jual-beli tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik dari pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang ditetapkan oleh Pemerintah Pasal 5 ayat (1) huruf k undang-undang a quo. Hal ini berarti bahwa meskipun ditetapkan berdasarkan prinsip usaha yang sehat dan dapat berbeda di setiap daerah dalam satu wilayah usaha, Pemerintah tetap ikut berperan dalam melakukan pengawasan dan pengaturan yang sesuai dengan konsep penguasaan negara dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sejatinya dengan konsep kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah tersebut, maka meskipun harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik diterapkan berdasarkan prinsip usaha yang sehat, namun tidak perlu meragukan kuatnya peran negara melalui Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam hal memegang kontrol untuk mengatur penyelenggaraan keseter … ketersediaan tenaga listrik bagi masyarakat, termasuk soal tarif harga jual dan sewa jaringan tenaga listrik sesuai dengan kewenangan, jadi peran negara tetap kuat. Hal ini dipandang telah selaras dengan Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan, “Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan 8
sumber daya alam, dan sumber daya lainnya antara Pemerintah pusat dalam … dan Pemerintah Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selarasnya berdasarkan undang-undang.” Bahwa berdasarkan pada hal-hal yang telah dikemukakan, maka ketentuan Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (5), dan Pasal 56 ayat (2) undang-undang a quo sama sekali tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18A ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 33 ayat (2), Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Demikianlah keterangan DPR RI kami sampaikan untuk menjadi bahan pertimbangan bagi Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, memutus, dan mengadili perkara a quo ini. Saya I Putu Sudiartana A-442 Komisi III DPR RI Fraksi dan … Fraksi Partai Demokrat mewakili DPR RI mengucapkan terima kasih. Assalamualaikum wr. wb. Om shanti, shanti, shanti om. 17.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Pak Putu Sudiartana. Yang berikutnya saya persilakan untuk maju ke depan Dr. Ir. Supriadi Legino untuk diambil sumpahnya terlebih dahulu. Ini di sini Pak Supriadi beragama Islam, betul? Silakan. Yang Mulia, Bapak Dr. Wahiduddin Adams saya persilakan.
18.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Untuk Ahli, ikuti lafal yang saya tuntunkan. “Bismillahirrahmanirahim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.”
19.
AHLI BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
20.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Yang Mulia. Silakan kembali ke tempat. Baik, saya persilakan Pak Supriadi untuk memberikan keterangan. Sebelum memberikan keterangan, perlu saya sampaikan ini makalahnya banyak halaman, kemudian lampiran artikelnya saya kira tidak perlu disampaikan, kita sudah bisa membaca nanti, ya. Silakan.
9
21.
AHLI DARI PEMERINTAH: SUPRIADI LEGINO Bismillahirrahmaanirahiim. Assalamualaikum wr. wb. Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan, rekan-rekan dari Pemohon, BapakBapak yang mewakili Pemerintah. Perkenankanlah saya menyampaikan pendapat saya mengenai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan berkaitan dengan Perkara Nomor 111/PUU-XIII/2015 tentang Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan manajemen dan juga berpengalaman 30 tahun dalam dunia ketenagalistrikan, saya akan mengemukakan pandangan saya dari sudut manajemen yang saya beri Judul Penerapan Konsep Manajemen dalam Memaksimalkan Pelayanan Ketenagalistrikan. Izinkan saya menyampaikan sedikit teori untuk memberikan ilustrasi yang saya sebut evolusi dan revolusi organisasi. Greiner dengan artikelnya yang berjudul “Evolution and Revolution as Organization Grow”, menggambarkan dinamika organisasi sesuai dengan kebutuhan lingkungan merupakan suatu siklus yang berkembang melalui kreativitas si pendiri organisasi seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini yang mungkin saya jelaskan secara singkat. Di sini gambar ini menggambarkan bahwa suatu organisasi itu berkembang mengikuti perubahan lingkungan sejalan dengan usia dan perkembangan volume atau besarnya organisasi tersebut. Ketika masih kecil, scoop bisnisnya masih kecil, semuanya masih bisa diurus sendiri, mungkin untuk memudahkan di sini saya memberikan ilustrasi sederhana seperti yang saya tulis dalam buku saya. Ini suatu kisah ... mohon maaf kalau ada nama yang sama, perjalanan bisnis Ibu Sani yang membuka usaha kue brownies. Pada tahap awal usaha, Ibu Sani mengerjakan sendiri hampir seluruh proses pekerjaan, mulai dari belanja, membuat adonan, memasak, memasarkan, sekaligus mengendalikan keuangan. Pada tahap ini, usaha berkembang melalui kreativitas atau entrepreneurship dari pemilik usaha, sehingga belum memerlukan adanya struktur organisasi yang permanen, jadi di sini grow true creativity. Seiring dengan berjalannya waktu, kue brownies Ibu Sani yang memiliki kelezatan yang khas semakin terkenal, sehingga jumlah pelanggannya semakin banyak, akibatnya Ibu Sani dengan jumlah pembantunya yang terbatas semakin kewalahan dan keluhan pelanggan mulai banyak, baik karena pesanan yang terlambat atau kualitas yang menurun. Karisma entrepreneur Ibu Sani yang sudah mencoba menambah pegawai tidak sanggup menyelesaikan masalah karena pembagian tugas yang semrawut dan koordinasi yang tidak jelas. Di sini terjadi crisis of leadership. Dan tentunya Ibu Sani melakukan perubahan. 10
Nah, kondisi tersebut diperburuk dengan semakin banyaknya penjual brownies yang meniru brownies Ibu Sani, sehingga pelanggan setia Ibu Sani mulai beralih kepada pengusaha brownies yang lain yang menjanjikan pelayanan yang lebih baik. Ibu Sani menyadari perubahan lingkungan yang terjadi dan akhirnya dapat mengakhiri krisis leadership tersebut setelah mengalah dan memberikan tugas memimpin perusahaan kepada seorang manajer yang mampu mengelola organisasi besar. Pekerjaan mulai dibagi-bagi berdasrkan fungsi, mulai dari pembuatan resep, pembuat adonan, pembakaran, pemasaran, dan seterusnya. Ini disebut functional structure. Peraturan dan standar kerja disusun dan diterapkan secara ketat. Disiplin dalam penggunaan anggaran dan pengelolaan persediaan ditegakkan. Dan hampir semua keputusan harus minta persetujuan kantor pusat. Perbaikan kepemimpinan dan manajemen tersebut membuat pertumbuhan bisnis Ibu Sani akhirnya normal kembali. Pelanggan loyal Ibu Sani mulai kembali memesan, bahkan pelanggan baru semakin bertambah seiring dengan perluasan daerah pemasaran ke berbagai daerah di Indonesia. Sayangnya spesialisasi melalui fungsi ini melahirkan permasalahan yang tidak kasat mata. Unit-unit berbasis fungsi menjadi terisolasi dari para pelanggannya, sehingga bagian produksi semakin terpisahkan dari konsumennya. Staf dan pegawai mulai resah, khususnya mereka yang sejak awal berdirinya usaha brownis Ibu Sani telah merasakan kebebasan. Usaha Ibu Sani kembali mengalami krisis, sekarang disebut krisis otonomi, dan satu demi satu para pegawai yang selama ini loyal mulai berpindah, bekerja di tempat para pesaing. Sebenarnya cabang usaha brownies Ibu Sani semakin meluas. Tapi situasi kerja yang tidak menyenangkan membuat pegawai acuh tak acuh, sehingga mengakibatkan turunnya kualitas pelayanan brownies Ibu Sani dan keluhan pelanggan kembali menumpuk dan pelanggan satu per satu meninggalkan brownies Ibu Sani. Menyadari perubahan lingkungan tersebut, kembali pihak manajemen mengubah strategi dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Para manajer di daerah diberi kebebasan untuk mengambil keputusan, sehingga situasi kerja kembali bergairah dan pertumbuhan kembali normal. Tetapi lama kelamaan otonomi tersebut semakin tidak terkendali. Terjadi krisis, sekarang crisis of control karena banyak manajer cabang yang terlalu kreatif dan melakukan ekspansi bisnis tanpa arahan dari pusat. Akibatnya kualitas produksi dan pelayanan bervariasi dan beberapa cabang mulai mengalami kerugian. Organisasi kembali harus mengalami revolusi dengan membentuk struktur organisasi yang terdiri dari kelompok-kelompok terpusat yang bertugas meningkatkan kontrol dan koordinasi antar unit yang disebut segmented structure. Mesin birokrasi mulai dijalankan dan para manajer cabang sekarang harus mendapatkan persetujuan dari pusat, sehingga para pejabat di pusat 11
menjadi sangat berkuasa. Di sini terjadi crisis of red tape atau melalui banyak meja. Besarnya cakupan pekerjaan dan banyaknya unit bisnis yang memerlukan koordinasi mengakibatkan lambatnya pengambilan keputusan dan banyaknya waktu yang terbuang untuk rapat, mengkaji strategi, mengalokasikan sumber daya, dan mengevaluasi kinerja setiap unit. Proses birokrasi yang bertele-tele tersebut banyak mengecewakan pelanggan yang akhirnya kembali lari kepada kompetitor. Tahapan terakhir dari siklus evolusi dan revolusi organisasi tersebut adalah proses debirokratisasi organisasi dengan back to basic (kembali ke asal). Struktur organisasi kembali dipangkas dan bisnis yang tidak relevan dijual, sentralisasi kebijakan dihapus dan pegawai didorong untuk berorientasi kembali kepada hasil, tidak semata-mata pada prosedur. Majelis Hakim Konstitusi yang saya hormati, ilustrasi di atas menunjukkan bahwa suatu organisasi harus dinamis dan adaptif terhadap lingkungan bila ingin mempertahankan pertumbuhan dan kualitas pelayanan serta produksinya. Apa yang disampaikan Greiner pada buku yang ditulis pada tahun 1998 itu bisa dikembangkan lagi dengan apa yang kita lihat sekarang walau baru kepemilikan. Kepemilikan tidak lagi harus berbentuk aset fisik, tapi juga sudah berubah menjadi saham. Model investasi juga sudah berkembang seperti yang kita kenal ada franchise, license, dan kepemilikan saham publik. Dinamika organisasi seperti ilustrasi di atas, sejalan dengan contingency theory atau teori ketergantungan yang awalnya dilandasi oleh suatu hipotesa bahwa keberhasilan organisasi ditentukan oleh kemampuan internalnya dalam menyeleraskan diri dengan kebutuhan lingkungan yang dapat berubah setiap saat. Istilah ini diperkenankan oleh Lawrence and Lorsch tahun 1967 yang berpendapat bahwa kecepatan dan tingkatan perubahan lingkungan akan berdampak kepada pengembangan kemampuan organisasi. Semakin beragam kondisi lingkungan yang memengaruhi organisasi, semakin tinggi pula tingkat keberagaman atau differentiation dari struktur yang diperlukan. Saya menyitir pakar berikutnya yang menekankan perlunya perhatian kepada lingkungan eksternal dalam mendesain suatu strategi organisasi. Katz and Kahn dari University of Michigan ya, dalam bukunya The Social Psychology of Organizations, mengkritisi organisasi … teori organisasi tradisional yang hanya melihat organisasi sebagai sistem tertutup yang mengabaikan pengaruh lingkungan. Sistem tertutup juga terlalu mengutamakan pendekatan internal yang bersifat fungsional. Secara akademis, sistem tersebut hanya memperhatikan aspek psikologi para pelaku di dalam organisasi tersebut dan mengabaikan aspek sosial sebagai pengaruh lingkungan di luar organisasi. Katz and Kahn menekankan agar para praktisi organisasi, termasuk organisasi sektor publik, menggunakan pendekatan sistem 12
terbuka (open system), sehingga berbagai dilema birokrasi yang saat ini dialami oleh hampir semua organisasi sektor publik dapat diatasi. Izinkan saya sekarang masuk kepada pengelolaan usaha ketenagalistrikan. Ilustrasi cerita Ibu Sani dan contingency theory organisasi tersebut, menunjukkan bahwa untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif, maka setiap organisasi harus dapat selalu mengikuti dinamika perubahan lingkungan, termasuk juga organisasi yang mengelola ketenagalistrikan. Hal ini juga berlaku untuk pelayanan publik, ya yang dalam hal ini ketenagalistrikan. Artinya bahwa dinamika atau perubahan dalam menerapkan ilmu manajemen, termasuk bentuk organisasi dan pembagian tugas kewenangan, bisa dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas organisasi tersebut. Saya ingin menyampaikan beberapa contoh perubahan lingkungan yang memengaruhi PT PLN Persero sebagai BUMN yang dipercaya Pemerintah mengelola listrik. Di sisi hulu, misalnya, sumber energi listrik berasal hampir sepenuhnya … dulu-dulunya ya, sampai 20 tahun yang lalu yang disebut hulu itu adalah yang berasal dari bumi, air, dan seisinya yang awalnya didominasi oleh pembangkit berbahan bakar minyak dan tenaga air yang saat itu masih murah. Dengan berkurangnya cadangan minyak, maka PLN mulai beralih ke gas bumi dan panas bumi yang akhirnya juga sudah semakin sulit didapat, sehingga saat ini PLN sangat bergantung kepada batubara yang masih energi fosil dan cadangan juga semakin terbatas. Kemudian, pemahaman mengenai apa yang disebut listrik pun sudah mulai meluas karena energi listrik tersebut bukan lagi berasal semata-mata dari bumi, air, dan seisinya, tapi bisa juga didapat dari langit seperti matahari dan angin, bahkan dari sampah dan limbah, termasuk juga proses kimiawi seperti yang terjadi pada baterai, itu juga listrik. Pemerintah sebagai penyelenggara negara yang menguasai listrik, tentunya harus berupaya menjalankan berbagai instrumen manajemen dalam mengelola ketenagalistrikan ini apabila ingin secara cepat dan merata memanfaatkan energi listrik untuk sebesar-besarnya kemampuan rakyat. Itu tambahan komentar saya. Dan apa yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 ini? Bertujuan untuk meningkatkan kemampuan negara dan aparatnya untuk mempercepat penyediaan tenaga listrik secara merata kepada seluruh masyarakat, termasuk mereka yang tinggal di daerah-daerah yang belum mendapatkan listrik dari negara melalui PT PLN Persero. Jadi, undang-undang ini justru merupakan representasi dari peranan negara dalam mengembangkan … dalam pengembang … maaf, dalam mengemban amanah konstitusi khususnya dalam mengelola energi listrik untuk keperluan hajat hidup orang banyak dengan cara yang lebih efektif dan seefisien mungkin dengan menerapkan kaidahkaidah manajemen dan organisasi yang baik. 13
Penerapan konsep manajemen yang efektif ini tertuang dalam Asas dan Tujuan Pembangunan Ketenagalistrikan untuk Undang-Undang 30 Bab II Pasal 2 ayat (1) seperti yang tadi dibacakan oleh Pak Putu. Salah satu cara meningkatkan efektivitas dan kualitas pekerjaan, menurut seorang Ahli Organisasi, Henry Mintzberg adalah dengan mengelompokkan pekerjaan sejenis yang disebut grouping agar pekerjaan tersebut bisa ditangani lebih baik oleh para spesialis yang memiliki kompetensi di bidangnya. Dalam usaha penyediaan tenaga listrik, proses pekerjaan secara vertikal bisa dikelompokkan mulai dari pembangkitan, transmisi, distribusi, dan juga retail (penjualan) yang masing-masing membutuhkan keahlian sumber daya manusia yang berbeda. Dengan pengelompokkan tersebut, maka perencanaan dan pengalokasian tenaga kerja bisa lebih terarah, sehingga produktivitas bisa lebih meningkat. Namun demikian, apabila volume bisnis masih kecil, seperti pada saat awal Ibu Sani berbisnis dan jumlah pelanggannya masih terkendali, usaha penyediaan tenaga listrik juga dapat dilakukan secara terintegrasi, mulai dari pembangkitan sampai dengan penjualan. Pengelompokan keahlian juga perlu dilakukan secara horizontal karena proses bisnis dalam usaha penyediaan tenaga listrik juga membutuhkan kegiatan penunjang yang membutuhkan tenaga ahli sumber daya manusia dengan kompetensi dan spesialisasi yang berbeda dengan kegiatan yang terkait langsung denga produksi, mulai pembangkitan sampai dengan penjualan. Kegiatan penunjang tersebut mencakup berbagai kegiatan, mulai dari perencanaan, pengoperasian sampai dengan pengendalian mutu. Mengantisipasi ini, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, membagi … seperti ditulis dalam Pasal 16 kegiatan tersebut menjadi kegiatan yang pertama konsultasi, itu membutuhkan SDM yang kompetensinya bidang perencanaan, engineering dan mampu membuat studi kelayakan yang baik. Untuk pembangunan dan pemasangan orang proyek juga harus dikerjakan oleh SDM yang mengerti mengenai konstruksi. Untuk pemeriksaan dan pengujian instalasi suatu proyek yang selesai juga harus dilakukan SDM yang memiliki kompetensi pengujian. Pengoperasian, pemeliharaan, penelitian, pendidikan, dan seterusnya semua juga memiliki kekhasan, keunikan yang harus dikerjakan oleh yang memiliki kompetensi-kompetensi di bidangnya. Usaha ketenagalistrikan tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan peralatan teknik yang presisi dan memiliki risiko yang tinggi, sehingga diperlukan industri penunjang termasuk pabrikan yang memproduksi pembangkit sampai dengan alat-alat rumah tangga atau pemakai. Itu juga diantisipasi dalam Undang-Undang Ketenagalistrikan ya, industri penunjang. Selanjutnya, saya ingin memberikan suatu gambaran bagaimana pentingnya prinsip gotong royong, kebersamaan dalam 14
menyelenggarakan usaha ketenagalistrikan ini. Kebutuhan yang terus meningkat, tambahan kapasitas pembangkit selama 10 tahun mendatang untuk seluruh Indonesia adalah 70 giga watt, lebih besar dari kapasitas yang terpasang sekarang atau ekuivalen dengan 7 giga watt per tahun. Berbagai upaya khusus telah dilakukan Pemerintah dalam mengantisipasi meningkatnya kebutuhan energi listrik ini. Mulai dari pencanangan program percepatan dan diversifikasi 10.000 megawatt tahap 1, dilanjutkan dengan 10.000 megawatt tahap 2, dan akhir-akhir ini Pemerintah mencanangkan suatu program raksasa 35.000 megawatt. Itu semua adalah untuk menjawab kebutuhan tenaga listrik. Pertanyaannya, bagaimana dan siapa yang akan melaksanakan pekerjaan raksasa untuk memenuhi kebutuhan energi listrik tersebut? Tak dapat dipungkiri, ya bahwa PT PLN Persero merupakan satusatunya BUMN yang paling besar serta memiliki SDM yang paling lengkap dan berpengalaman dalam mengelola usaha ketenagalistrikan di negeri ini. Namun, sebesar dan sehebat apa pun suatu organisasi, akan memiliki keterbatasan yang disebabkan oleh perubahan dan pengaruh lingkungan bisnis, dalam hal BUMN juga termasuk aspek legal, masalah keuangan, dan ketersediaan dan kemampuan sumber daya lainnya. Sebagai contoh, organisasi BUMN seperti PLN yang orangnya tadi hebathebat, sangat bergantung dari kondisi keuangan negara, sehingga harus mempertanggungjawabkan akuntabilitasnya kepada masyarakat pembayar pajak dan tentunya hal ini menjadi dilema karena di satu sisi harus melayani masyarakat dengan cepat dan berkualitas, tapi di lain pihak geraknya dibatasi karena harus mentaati aturan dan prosedur yang semakin lama semakin banyak berkembang biak. Hal ini terlihat pada pelaksanaan proyek percepatan 10.000 megawatt tahap satu yang sepenuhnya dilaksanakan oleh PLN dan ternyata pada pelaksanaannya menghadapi berbagai kendala, sehingga terlambat jauh dari rencana. Saya ingin menyampaikan … menyitir … maaf … Pasal 33 ayat (4), “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan.” Kebersamaan. Kemudian, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional. Itulah sebabnya prinsip gotong- royong saya tekankan di sini. Nah, belajar dari pengalaman tadi, kita … maaf … kita mempunyai dua pilihan, pilihan pertama tetap menyerahkan seluruh persoalan usaha ketenagalistrikan kepada PLN sebagai satu-satunya BUMN yang diberi tugas untuk mengolah listrik dari hulu sampai hilir, utama sampai penunjang. Sebagai konsukuensinya ya, Pemerintah harus memperkuat berbagai sumber daya PLN, termasuk ketersediaan pendanaan yang tentunya hal ini sulit dijamin karena sangat tergantung dengan kondisi keuangan negara.
15
Tanpa mengurangi penghargaan kepada para pegawai PLN yang telah berupaya, berpikir, dan bekerja keras dalam menjalankan amanat tersebut, namun pada kenyataannya pemenuhan kebutuhan energi listrik selalu tertinggal dari … mungkin tidak selalulah ya, banyak tertinggal dari yang diharapkan. Dari sisi kuantitas, masih banyak daerah yang belum terlistriki. Dari sisi kualitas, daerah yang terlistriki pun masih banyak yang mengalami pemadaman dan tegangan yang tidak memenuhi standar. Kemudian juga dalam pembangunan proyek 10.000 megawatt misalnya, PLN tidak berhasil memenuhi target seperti yang direncanakan. Sekali lagi saya tekankan bahwa ketidakmampuan PLN dalam memenuhi kebutuhan listrik secara cepat dan merata ini adalah masalah pemilihan strategi organisasi. Tidak terkait dengan kemampuan individu para pegawai PLN. Tentunya bisa saja kita bersikukuh atas pilihan ini dengan konsekuensi penyediaan dan pelayanan tenaga listrik yang diwarnai oleh banyaknya gangguan dan terlambatnya proyek-proyek pembangunan ketenagalistrikan seperti yang terjadi selama ini. Sebagai pemegang amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945, tentunya Pemerintah tidak bisa membiarkan kekurangan dalam pelayanan kebutuhan tenaga listrik ini terus berlangsung. Pemerintah harus berupaya untuk mencapai tujuan pendayagunaan listrik untuk meningkatkan kesejahteraan dan mencerdaskan kehidupan bangsa secara baik dan merata di seluruh pelosok tanah air. Untuk itu, Pemerintah berupaya memperbaiki strategi dan proses (suara tidak terdengar jelas) penyediaan dan pelayanan tenaga listrik ini dengan menerapkan kaidah-kaidah manajemen dan bisnis yang lebih tepat dan efisien tanpa harus melepaskan mandat Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Salah satu strategi yang dipilih untuk mempercepat penyediaan dan memperbaiki tingkat pelayanan secara berkelanjutan ini adalah dengan memperluas keterlibatan berbagai potensi masyarakat secara gotong royong, termasuk badan usaha milik daerah, swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat seperti tertuang dalam Undang-Undang 30 Pasal 11. Namun demikian, Pemerintah tetap mempertahankan asas penguasaan pengelolaan ini melalui proses perizinan, prosedur jual-beli, dan penetapan tarif yang tetap dipegang oleh Pemerintah. Keterlibatan swasta dalam usaha penyediaan tenaga listrik ini sebetulnya telah dimulai sejak masih berlakunya Undang-Undang 15 Tahun 1985. Dengan adanya kontribusi dari pengembangan swasta, contohnya di Paiton, Suralaya, Tanjung Jati, dan beberapa pembangkit skala menengah lainnya. Dapat dibayangkan, tanpa kehadiran pembangkit yang dikelola swasta tersebut, kondisi sistem perlistrikan di Pulau Jawa tentunya akan mengalami defisit, ya. 16
Dan keberadaan pihak swasta tersebut sampai saat tidak mengganggu peranan PLN sebagai pembeli tunggal karena telah diikat dengan rambu-rambu perjanjian jual-beli yang menunjukkan eksistensi PLN sebagai wakil negara dalam penguasaan usaha pembangkitan tenaga listrik tersebut. Berdasarkan pengalaman tersebut, Pemerintah memperluas keterlibatan partisipasi swasta dalam percepatan penyediaan tenaga listrik seperti tercermin dalam rencana umum penyediaan tenaga listrik yang secara transparan membagi sebagian peranan untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik tersebut kepada pihak swasta yang besarnya disesuaikan dengan kemampuan sumber daya Pemerintah. Majelis Hakim Konstitusi yang saya hormati, izinkan saya menekankan bahwa yang dimaksud dengan swasta di sini tidak berarti pengusaha raksasa, apakah itu dari lokal maupun dari luar yang memiliki dan membutuhkan modal yang besar. Partisipasi swasta juga meliputi para pengusaha kecil dan menengah, termasuk para kontraktor, instalasi … instalatir ya, dan koperasi yang tersebar di seluruh kabupaten kota sampai ke desa. Untuk itulah, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 memberi peluang bagi pengusaha kecil koperasi dan swadaya masyarakat untuk bersama-sama mengembangkan usaha ketenagalistrikan. Sebagai contoh walaupun hasilnya belum banyak dan prosesnya masih melakukan perbaikan, Pemerintah telah membuka peluang bagi pengusaha swasta lokal untuk menjadi pembangkit skala kecil, mikrohidro, dan energi terbarukan lainnya seperti energi matahari, sampah, dan angin. Untuk mengimbangi pemilik modal raksasa dalam dan luar negeri yang saat ini menjadi pengembang pembangkit listrik swasta, izinkan kami menyampaikan urun pemikiran berupa artikel yang berjudul “Listrik Kerakyatan yang Ramah Lingkungan” yang menawarkan alternatif solusi penyediaan tenaga listrik di daerah-daerah terpencil yang melibatkan ribuan pengembang yang berasal dari pengusaha kecil dan koperasi yang disebar di seluruh pedesaan. Di Indonesia ada sekitar 70.000 pedesaan. Kalau setiap desa itu setengah MW saja, berarti totalnya sama juga 35.000 MW. Tapi syaratnya harus dilaksanakan secara bersamaan dan gotong royong. Keberadaan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 telah membuka peluang untuk pemerataan listrik dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Program ini juga merupakan solusi untuk mengenai … menangani daerah krisis listrik dan mengurangi pemakaian BBM karena sumber energinya berasal dari matahari dan limbah organik. Itu yang saya tulis dalam artikel saya. Kalau membangun PLTU itu yang 1.000 MW, 5 tahun paling cepat. Saya orang proyek, Pak, saya tahu. Tapi kalau membangun PLTS dan sampai … enggak sampai 1 tahun selesai. Kalau dikalikan 1.000 tempat, selesai juga krisis daerah itu dan insya 17
Allah dalam … sampai 5 tahun seluruh daerah terpencil sudah bisa terlistriki kalau kita membaca peluang yang dibuka dalam UndangUndang Nomor 30 Tahun 2009 ini. Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia, sebagai penutup izinkan saya menyampaikan keinginan saya sebagai seorang pendidik. Saya mengajar di Sekolah Tinggi Teknik PLN yang merasa prihatin karena tenaga ahli SDM bidang ketenagalistrikan masih belum merata sampai ke daerahdaerah. Saya ingin menggarisbawahi dua kata di dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Setiap orang … misalnya Pasal 28D ayat (2), “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Makanya saya berkeinginan agar ilmu pengetahuan dan kemampuan mengenai ketenagalistrikan ini juga dikuasai oleh sebanyak mungkin masyarakat secara merata, bukan hanya oleh pegawai-pegawai yang ada di BUMN atau pengembang besar swasta. Kemampuan dan pengalaman ketenagalistrikan yang saat ini banyak dimiliki oleh para pegawai PLN termasuk pensiunannya sebaiknya disebarluaskan, disharing, dibagi agar dapat mencerdaskan lebih banyak masyarakat di luar BUMN tersebut. Majelis Hakim Yang Mulia, coba dicek ada … adakah sarjana listrik di setiap kabupaten. Padahal listrik merupakan hajat hidup orang banyak. Pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 juga menyebutkan, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” Dengan demikian, pengelolaan tenaga listrik bagi masyarakat dapat dilaksanakan secara gotong royong dengan lebih mandiri dan berkesinambungan demi tercapainya kesejahteraan. Demikian paparan kami sebagai yang ditunjuk sebagai ahli dari pihak Pemerintah. Mohon maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan. Kami ucapkan terima kasih atas kesempatan ini, khususnya kepada Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia dan juga kepada seluruh yang hadir Pemohon, Bapak Putu dari DPR, dari Pemerintah. Wabillahi taufik Walhidayah. Wasalamualaikum wr. wb. 22.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Walaikum salam. Terima kasih, Pak Supriadi. Silakan duduk kembali. Untuk lampiran artikel dengan judul “Inisiatif Listrik Kerakyatan Yang Ramah Lingkungan” dianggap telah dibacakan, ya. Baik. Yang berikutnya, apakah dari Pemerintah yang mewakili Presiden ada pertanyaan untuk memperdalam apa yang disampaikan 18
oleh Ahli? Dikumpulkan dulu, Pak Supriadi nanti seluruh pertanyaan, nanti dijawab. Silakan. 23.
PEMERINTAH: HENI SUSILA WARDOYO Ya. Terima kasih, Yang Mulia. dari Pemerintah cukup karena memang di statement yang terakhir tadi merupakan kesimpulan. Intinya adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 itu telah memberikan peluang bagi pengusaha kecil, koperasi, swadaya masyarakat untuk bersama mengembangkan usaha. Jadi, ini bukan merupakan monopoli semata-mata. Barangkali inilah bahwa kemudian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 itu telah menjamin sebagaimana atau justru sekaligus membantah apa yang dkhawatirkan oleh Pemohon. Barangkali itu. Terima kasih, Yang Mulia.
24.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Terima kasih. Dari DPR ada Pak Putu, cukup?
25.
DPR: I PUTU SUDIARTANA Ya, Yang Mulia, kira-kira cukup. Terima kasih.
26.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Cukup ya. Baik, dari Pemohon ada?
27.
KUASA HUKUM HADISTIANTO
PEMOHON:
MUHAMMAD
FANDRIAN
Cukup, Majelis. 28.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Cukup, baik. Dari meja Hakim? Cukup juga? Berarti sudah selesai keterangan dari DPR dan keterangan ahli dari Bapak Dr. Ir. Supriadi Legino, MM., M.B.A., M.A. Dan pada kesempatan yang terakhir saya ucapkan terima kasih Pak Supriadi yang telah memberikan keterangan di persidangan Mahkamah Konstitusi. Sebelum saya akhiri persidangan, ada dua hal yang akan saya sampaikan. Saudara Pemohon telah menambahkan alat bukti P-20 sampai dengan P-31, betul?
19
29.
KUASA HUKUM HADISTIANTO
PEMOHON:
MUHAMMAD
FANDRIAN
Benar, Yang Mulia. 30.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Betul. Sudah lengkap ini. Dengan ini disahkan P-20 sampai dengan P-31. KETUK PALU 1X Kemudian yang berikutnya yang kedua, persidangan yang berikutnya saya tanya kepada pihak Presiden yang mewakili Presiden, apakah masih akan mengajukan ahli atau cukup? Cukup? Baik. Kalau begitu, masih ada satu kali lagi persidangan untuk mendengarkan keterangan Pihak Terkait dari PPIP dan FSUI tadi yang saya sebutkan. Sidang yang berikutnya akan diselenggarakan … karena Mahkamah Konstitusi akan mempunyai pekerjaan yang proyek nasional, pilkada serentak, maka persidangan berikutnya diundur agak lama. Sidang yang berikutnya akan diselenggarakan pada hari Rabu, 9 Maret tahun 2016, ya. Kita rehat untuk menangani pilkada terlebih dahulu. Mohon doa restunya supaya Hakimnya tetap sehat, pegawainya sehat, tidak ada yang sakit, dan bisa menyelesaikan pilkada ini sebaik-baiknya, sehingga kita ketemu lagi di hari Rabu 9 Maret 2016 pada pukul 11.00 WIB, dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dari Pihak Terkait. Ada yang akan disampaikan, Pemohon?
31.
KUASA HUKUM HADISTIANTO
PEMOHON:
MUHAMMAD
FANDRIAN
MUHAMMAD
FANDRIAN
Sedikit, Yang Mulia. 32.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Silakan.
33.
KUASA HUKUM HADISTIANTO
PEMOHON:
Kami di persidangan ini juga memohonkan kepada Pihak DPR untuk dapat memberikan fotokopi dari keterangan tertulis (...)
20
34.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, baik.
35.
KUASA HUKUM HADISTIANTO
PEMOHON:
MUHAMMAD
FANDRIAN
Yang baru saja dibacakan. 36.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Pak Putu?
37.
DPR: I PUTU SUDIARTANA Terima kasih, kami akan sampaikan secara tertulis melalui Kuasa Hukum (...)
38.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Nanti diserahkan kepada Kepaniteraan. Ya, nanti ke Kepaniteraan.
39.
DPR: I PUTU SUDIARTANA Ya, terima kasih.
40.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, baik terima kasih Pak Putu Sudiartana, ya. Nanti Pak Putu ini pekerjaanya banyak, itu yang di belakang harus diingat, harus diserahkan keterangan tertulisnya ya, baik.
41.
DPR: I PUTU SUDIARTANA Dilaksanakan, Yang Mulia. Pasti.
21
42.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, baik, Pak Putu Sudiartana, terima kasih. Dari DPR cukup, dari Pemerintah cukup. Saya kira sidang sudah selesai, dengan ini ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 15.10 WIB Jakarta, 26 November 2015 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
22