MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 90/PUU-XIII/2015
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN AHLI/SAKSI PIHAK TERKAIT (VII)
JAKARTA SELASA, 27 OKTOBER 2015
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 90/PUU-XIII/2015 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang [Pasal 69] terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. R. J. Soehandoyo ACARA Mendengarkan Keterangan Ahli/Saksi Pihak Terkait (VII) Selasa, 27 Oktober 2015, Pukul 11.15 – 12.48 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Arief Hidayat Aswanto Anwar Usman Patrialis Akbar Wahiduddin Adams Suhartoyo I Dewa Gede Palguna Maria Farida Indrati Manahan MP Sitompul
Yunita Rhamadani
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti i
Pihak yang Hadir: A. Kuasa Hukum Pemohon: 1. M. Arifsyah Matondang 2. Raja M. Rizali Nasution B. Pemerintah: 1. Heni Susila Wardoyo 2. Nasrudin 3. Arie Eko Yulierti 4. Hanifa 5. Rusdi Hadi Teguh C. Pihak Terkait: 1. Fithriadi 2. Muhammad Yusuf 3. Muhammad Salman D. Ahli dari Pihak Terkait: 1. Ramelan 2. Yunus Husein
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.15 WIB 1.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Bismillahirrahmaanirrahiim. Sidang dalam Perkara Nomor 90/PUUXIII/2015, dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Pemohon, yang hadir siapa?
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: M. ARIFSYAH MATONDANG Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera bagi kita semua. Kami dari Pemohon, yang hadir selaku Kuasa Hukum dari Bapak R. J. Soehandoyo, yaitu saya sendiri M. Arifsyah Matondang, S.H., M.H., dan Raja M. Rizali Nasution, S.H. Terima kasih, Yang Mulia.
3.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Dari DPR tidak hadir. Dari Pemerintah yang mewakili Presiden, saya persilakan.
4.
PEMERINTAH: HENI SUSILA WARDOYO Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Dari Pemerintah hadir, saya sendiri Heni Susila Wardoyo. Di sebelah kiri, Bapak Nasrudin. Kemudian berikutnya, Bapak Rusdi Hadi Teguh. Kemudian, Ibu Hani … Arie Eko Yulierti dan Ibu Hanifa. Beliau adalah JPN dari Kejaksaan Agung. Terima kasih, Yang Mulia.
5.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Pihak Terkait?
6.
PIHAK TERKAIT: MUHAMMAD YUSUF Terima kasih, Ketua. Assalamualaikum wr. wb. Saya sendiri Muhammad Yusuf (Kepala PPATK), sebelah saya Saudara Fithriadi. Dan kami membawa dua Ahli, yaitu Dr. Yunus Husein dan Dr. Ramelan. Terima kasih.
1
7.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Terima kasih, Pak Muhammad Yusuf. Pak Dr. Ramelan, kemarin juga belum disumpah, ya? Belum. Baik, saya persilakan, Pak Dr. Ramelan dan Pak Dr. Yunus Husein, untuk maju ke depan, diambil sumpahnya terlebih dahulu. Yang Mulia Pak Dr. Wahiduddin, saya persilakan untuk memandu jalannya sumpah.
8.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Kepada Ahli, untuk mengikuti lafal yang saya ucapkan. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.”
9.
AHLI BERAGAMA ISLAM: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.
10.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Silakan kembali ke tempat. Pihak Terkait Pak Muhammad Yusuf, siapa terlebih dahulu yang akan memberikan keterangan?
11.
PIHAK TERKAIT: MUHAMMAD YUSUF Terima kasih, Ketua. Sesuai dengan surat kami, maka Dr. Yunus Husein terlebih dahulu.
12.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Saya persilakan, Pak Yunus. Kemudian, nanti disusul Pak Ramelan.
13.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: YUNUS HUSEIN Terima kasih atas kesempatan yang diberikan. Majelis Hakim Konstitusi yang saya hormati dan hadiri sekalian. Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi dan salam sejahtera buat kita semua.
2
Sesuai dengan permintaan dari PPATK kepada saya untuk memberikan keterangan Ahli terkait Pengujian Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang diajukan oleh Soehandoyo … Pak Soehandoyo, perkenankan saya menyampaikan pendapat hukum sesuai dengan keahlian saya di bidang hukum pidana dan bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Mengenai masalah apakah tindak pidana asal harus dibuktikan terlebih dahulu, ada beberapa alasan yang membuktikan bahwa tindak pidana asal dari tindak pidana (suara tidak terdengar jelas) itu tidak perlu, tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu. Ada sejumlah alasan. Alasan pertama, ini terkait dengan alasan kedua, yaitu kalau kita melihat sistem pembuktian kita yang negatief wettelijk di 183 KUHAP, “Untuk bisa menghukum seseorang, hakim harus yakin bahwa berdasarkan dua alat bukti yang sah benar-benar terjadi tindak pidana … ada tindak pidana dan benar-benar terdakwa yang melakukan.” Dan kalau ini dipenuhi, kemudian sampai dengan putusan itu inkracht, baru diproses tindak pidana pencucian uangnya sudah tentu makan waktu yang lama. Apalagi, kalau tindak pidana asalnya terjadi di negara lain. Menunggu putusan inkracht di negara lain, sudah tentu butuh proses yang juga sangat-sangat lama. Alasan berikutnya adalah terkait dengan Pasal 75 Undang-Undang TPPU yang memerintahkan, “Apabila dalam menyidik tindak pidana asal (suara tidak terdengar jelas) crime ditemukan adanya TPPU, maka penyidik harus menggabungkan keduanya sebagai gabungan tindak pidana concursus realis, yaitu pidana asal dan TPPU.” Tidak ada kewajiban, katakanlah harus membuktikan terlebih dahulu pidana asal, baru TPPU-nya diproses, tidak ada ketentuan seperti itu. Dalam ketentuan lain di 141 KUHAP juga menyebutkan bahwa penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu dakwaan. Berdasarkan pasal-pasal tersebut di atas, jelaslah bahwa tidak ada kewajiban untuk membuktikan terlebih dahulu memisahkan proses ini, tapi bisa digabungkan secara bersamasama dan nanti semuanya akan dibuktikan di pengadilan. Alasan selanjutnya, terkait dengan yurisprudensi. Sudah terlalu banyak yurisprudensi mengenai masalah ini, ada 136 kasus yang sudah inkracht, dimana menunjukkan tidak wajib dibuktikan tindak pidana asal terlebih dahulu. Seratus tiga puluh enam jumlah yang sangat banyak, sehingga tidak bisa diabaikan begitu saja. Contohnya misalnya di dalam perkara Bank Global dengan terhukum Ie Mien Sumardi yang dihukum melakukan tindak pidana pencucian uang karena menukarkan uang hasil kejahatan. Pelaku tindak pidana asalnya adalah Irawan Salim, Presiden Direktur Bank Global yang menggelapkan uang Bank Global sebesar Rp60 miliar. Kemudian, Rp20 miliar dia minta tolong tukarkan pada Ie Mien Sumardi, pada money 3
changer PT YXL di Jalan Gunung Sahari. Ie Mien Sumardi tertangkap dan diproses, akhirnya di Jakarta Pusat, dan Ketua Majelis Cicut Soetiarso, dia dihukum 7 tahun. Di tingkat banding, dihukum 5 tahun, dikurangi karena dia tidak menikmati. Orang yang membantu menukarkan hasil kejahatan sudah dipidana dan sudah inkracht. Sementara pelaku pidana asalnya yang namanya Irawan Salim, sampai hari ini tidak pernah tertangkap. Ya, ini bukti bahwa untuk memproses pidana TPPU tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Jadi, sudah ada 136 yurisprudensi, ini seharusnya menjadi perhatian, tidak bisa diabaikan begitu saja. Alasan berikutnya, terkait dengan pembalikan beban pembuktian yang ada di Pasal 77 dan 78. Dalam pembalikan bahan pembuktian, terdapat diberikan kesempatan untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal tindak pidana. Ketidakmampuan dia membuktikan bahwa asal … asetnya berasal dari tindak pidana, mendudukkan aset itu berasal dari sumber yang tidak sah, sekaligus juga membuktikan bahwa telah terjadi tindak pidana asal. Jadi, eksistensi pidana asal itu sudah ada. Kalau terdakwa tidak bisa membuktikan bahwa asetnya berasal dari sumber yang sah. Alasan selanjutnya, kelima, yaitu saya ingin membandingkan dengan Pasal 480 KUH Pidana yang mengatur tentang panadahan. Untuk memeriksa perkara penadahan, tidak perlu pelaku tindak pidana asal, misalnya pencurian, misalnya, ditangkap terlebih dahulu dan sudah terlalu banyak juga yurisprudensi yang memproses, yang menghukum pelaku penadahan tanpa perlu menangkap atau menghukum dulu si pencuri barang tadahan itu. Alasan yang keenam adalah … di banyak negara, baik civil law maupun common law, baik dari bahan-bahan tertulis, maupunlah dasardasar pertanyaan kami langsung kepada hakim atau ahli di … yang berasal dari negara-negara ini. Misalnya, terkait dengan Belanda, kami pernah bertanya kepada dua Hakim Agung Mr. Buruma dan Mr. Kijzer, Kijzer itu Hakim Agung Belanda yang lahir di Garut kebetulan. Waktu itu bersama Pak Muladi saya bertanya, “Apakah perlu dibuktikan terlebih dahulu?” Jawabannya, “Tidak perlu.” Dan di halaman-halaman terakhir dari tayangan ini, akan terlihat bahwa banyak sekali negara-negara yang memiliki ketentuan yang sama dengan di Belanda. Misalnya di tayangan di bagian belakang, praktik di negara lain, di Inggris misalnya, Austria, Belanda sendiri bunyinya, “It is not necessary to prove that funds or property are the proceeds of a specific criminal offence.” Jadi Inggris, Austria, Belanda, Spanyol, Hongkong, Meksiko, Malaysia, Georgia, dan masih banyak negara lainnya yang memiliki ketentuan bahwa tindak pidana asal tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu.
4
Kita sudah tentu … karena sumbernya banyak dari standar internasional, maka ketentuan kita mirip, boleh dibilang kompatibel dengan ketentuan-ketentuan di negara lain tersebut. Alasan ketujuh. UNODC, United Nations Office on Drug and Crime yang berkedudukan di Wina, beserta IMF pernah mengeluarkan yang namanya Model Legislation on Money Laundering and Financing of Terrorism, baik untuk negara civil law, maupun negara common law. Dalam pedoman ini disebutkan bahwa … ini alasan ketujuh, “In order to prove the illicit of origin of the proceeds, it shall not be required,” tidak boleh dipersyaratkan, “To obtain the conviction of the predicate offences,” untuk adanya pemidanaan terhadap pidana asal. Untuk negara common law juga, sejalan dengan itu, yang kuranglebih berbunyi, “In order to prove the proceeds of crime, it shall not be necessary that there be a conviction for the offence that has generated the proceeds.” Ini pedoman yang dikeluarkan oleh UNODC dengan IMF. Dan kalau kita lihat di halaman-halaman belakang, ada beberapa konvensi-konvensi internasional, standar internasional, misalnya … misalnya terkait dengan UNCAC, United Nations Convention Against Corruption mengatakan, “Money-laundering offences established in accordance with this article are understood to be independent and autonomus offences and that a prior conviction for the predicate offence is not necessary … prior conviction for the predicate offence is not necessary to establish the illicit nature or origin of the assets laundered.” Kemudian, Financial Action Task Force on Money Laundering yang banyak anggotanya dari negara-negara maju juga. Dalam rekomendasi tiga menyebutkan, “When proving that property is the proceeds of crime, it should not be necessary that a person be convicted of a predicate offence.” Selanjutnya, Council of Europe, The Second Council of Europe measure is the Convention on Laundering, Search, Seizure, and Confiscation of the Proceeds from Crime and on the Financing of Terrorism menyebutkan, “Without it being necessary to establish precisely which offence.” Jadi, bukan hanya pedoman UNODC, IMF, juga beberapa sarana internasional UNCAC, United Nations Convention Against Corruption yang sudah kita ratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Kemudian FATF, lembaga yang merupakan standard setters di dalam aturan-aturan mengenai pencucian uang dan terus financing, juga memberikan pedoman yang sama. Alasan selanjutnya adalah tadi terkait dengan yurisprudensi yang sudah begitu banyak. Saya ingin mengutip beberapa pertimbangan hakim, misalnya dalam Putusan Perkara Djoko Susilo di Pengadilan Tipikor Jakarta. Antara lain, disebutkan karena terdakwa tidak dapat membuktikan ini di sidang pengadilan ya bahwa harta kekayaan tersebut bukan merupakan hasil tindak pidana, sebagaimana dimaksud dalam 5
Pasal 35 undang-undang yang lama. Oleh karenanya, Majelis Hakim berpendapat bahwa harta kekayaan terdakwa tersebut patut diduga merupakan hasil tindak pidana. Dengan demikian, unsur yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana telah terpenuhi dalam perbuatan terdakwa. Dengan demikian, tampak jelas bahwa dengan tidak mampunya terdakwa membuktikan asal usul kekayaannya, menunjukkan eksistensi tindak pidana asalnya sudah ada dan sudah dibuktikan di pengadilan. Masih banyak lagi putusan-putusan yang pertimbangannya mirip seperti itu, yang menunjukkan bahwa pembuktian itu dilakukan di pengadilan. Dan ketidakmampuan terdakwa membuktikan asal usul asetnya, menunjukkan bahwa itu berasal dari sumber yang tidak sah dan menunjukkan juga bahwa keberadaan tindak pidana, eksistensi pidana asal itu juga sudah … sudah ada. Majelis Hakim yang saya hormati. Terakhir, alasan yang ingin saya sampaikan adalah Putusan Mahkamah Konstitusi sendiri atas Perkara Nomor 77/PUU-XIII/2014 yang diajukan oleh Pemohonnya Pak Akil Mochtar seingat saya, yang pada pokoknya menurut Mahkamah Konstitusi bahwa mengenai tindak pidana pencucian uang yang menurut Pasal 69 tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Jadi, sudah ada putusan sebelumnya, sehingga untuk menjaga konsistensi putusan, sudah tentu ini juga akan menjadi perhatian. Demikianlah keterangan yang dapat saya sampaikan. Terima kasih atas perhatian Bapak-Bapak sekalian. Assalamualaikum wr. wb. 14.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Pak Yunus Husein. Berikutnya, Pak Dr. Ramelan saya persilakan.
15.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: RAMELAN Bismillahirrahmaanirrahiim. Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan. Perkenankanlah saya untuk menyampaikan pandangan saya selaku Ahli dalam Permohonan Uji Materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh Saudara R. J. Soehandoyo, S.H., M.H., yang telah terdaftar dalam Register Perkara Nomor 90/PUU-XIII/2015. Pertama, saya akan kemukakan bahwa dalil Pemohon mengenai pokok permohonan yang menyatakan bahwa pembuktian tindak pidana asal bisa bersama-sama dengan tindak pidana pencucian uang bila seseorang atau beberapa orang adalah masing-masing diduga melakukan keduanya, tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian 6
uang. Tetapi, bila antara pelaku tindak pidana asal dan berlaku tindak pidana pencucian uang yang merupakan follow up crime-nya adalah orang yang berbeda dan disidang secara terpisah, maka dalam hal ini harus membuktikan tindak pidana asalnya. Karena bila tindak pidana asal tidak terbukti, maka tidak mungkin ada tindak pidana pencucian uang yang merupakan follow up crime-nya. Menurut hemat kami, pendapat tersebut merupakan penafsiran yang keliru terhadap Ketentuan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Ketentuan Pasal 69 Undang-Undang TPPU menegaskan rezim anti-pencucian uang di Indonesia. Bahwa tindak pidana pencucian uang adalah tindak pidana yang berdiri sendiri, sehingga terdapat perbedaan yang nyata, antara tindak pidana asal (predicate crime) dengan tindak pidana pencucian uang. Pandangan ini membawa konsekuensi pada kemungkinan menjadikan tindak pidana pencucian uang, sebagai tindak pidana yang terpisah dari tindak pidana asal, dan karenanya dapat menjatuhkan pidana kepada pelakunya secara terpisah pula. Hal ini disebabkan karena kepentingan yang dilindungi berbeda, antara tindak pidana asal dengan tindak pidana pencucian uang. Kepentingan menjatuhkan pidana dalam tindak pidana pencucian uang adalah untuk kepentingan penyelenggaraan keadilan, serta kepentingan untuk terciptanya tatanan ekonomi internasional dan nasional. Sedangkan kepentingan pemidana tindak pidana asal adalah untuk kepentingan penyelenggaraan keadilan. Sekalipun tindak pidana pencucian uang merupakan delik yang berdiri sendiri, tetapi secara meteriil, tidak dapat dipisahkan keberadaannya dengan tindak pidana asal. Tidak ada tindak pidana pencucian uang kalau tidak ada tindak pidana asal. Tindak pidana asal merupakan salah satu fakta yang terpenting, untuk terjadinya tindak pidana pencucian uang. Oleh karena itu, dalam tataran praktis, tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang ini, selalu didakwakan secara kumulatif. Memperhatikan latar belakang pemilihan tersebut, maka dalam perkara tindak pidana pencucian uang selalu diawali oleh tindak pidana asal. Adapun pelaku tindak pidana asal bisa terdiri dari dua macam: 1) Pelaku tindak pidana asal adalah sama orangnya dengan pelaku tindak pidana pencucian uang. 2) Dan/atau pelaku tindak pidana asal berbeda orangnya dengan pelaku tindak pidana pencucian uang. Berkaitan dengan masalah unsur nomor dua tersebut, pelaku tindak pidana asal yang berbeda orangnya dengan pelaku tindak pidana pencucian uang, Ketentuan Pasal 69 Undang-Undang TPPU, sangat relevan penerapannya, yaitu: 1) Kompleksitas tindak pidana pencucian uang, baik modus operandinya, maupun lingkup penerapan yurisdiksi hukumnya yang melibatkan beberapa negara, berhubung tindak pencucian uang 7
adalah termasuk kejahatan terorganisasi dan bersifat transnasional. Jika pemeriksaan penyidikan, penuntutan, dan sidang peradilan harus menunggu pembuktian pelaku tindak pidana asal, pelaku ... maka pelaku tindak pidana pencucian uang, maupun harta kekayaan yang disita, tidak dapat segera diputus. Bahkan mungkin selamanya tidak akan dapat diputus karena pelaku tindak pidana ... tindak pidana asal yang berada di luar negeri, tidak dapat ditangkap atau diketemukan. 2) Kriminaslisasi pencucian uang dilandasi oleh suatu paradigma pemberantasan kejahatan. Hasil kejahatan adalah darah segar untuk terjadinya kejahatan baru. Menghentikan pendanaan akan mengehentikan kejahataan. Jadi, tindak pidana pencucian uang itu adalah menyuburkan kejahatan-kejahatan baru. Sehingga karenanya, pelaku tindak pidana pencucian uang dikriminalisasi (suara tidak terdengar jelas) tindak pidana. 3) Alasan ketiga, pola pemberantasan secara konvensional adalah menangkap pelakunya lebih dulu. Pola pemberantasan kejahatan melalui kriminalisasi pencucian uang adalah menangkap atau menyita harta kekayaan hasil kejahatan, baru dicari pelaku tindak pidana asalnya, sehingga pemuat kejahatan dapat menjadi lebih efektif dan lebih efisien. Pola tindak ... pemberantasan tindak pidana pencucian uang adalah pola pemberantasan kejahatan dari hilir ke hulu. Kalau tindak pidana konvensional, dari hilir ke hulu. Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka dalil Pemohon yang menyatakan bahwa pembuktian pelaku pencucian uang tidak dapat dilakukan jika pelaku tindak pidana asalnya orang lain belum dibuktikan sudah selayaknya untuk dikesampingkan. Alasan kedua, ketentuan norma hukum Pasal 69 Undang-Undang TPPU tidak bertentangan dengan hak asasi manusia. Karena norma tersebut memberikan kesempatan kepada terdakwa tindak pidana pencucian uang untuk melakukan pembelaan diri, yaitu: a. Apabila pelaku tindak pidana asalnya adalah orang yang sama dengan pelaku tindak pidana pencucian uang, pembuktian tindak pidana asalnya dapat dilakukan bersama-sama dengan tindak pidana pencucian uang dalam bentuk dakwaan kumulatif. b. Apabila pelaku tindak pidana asalnya adalah orang lain, orang yang berbeda dengan pelaku tindak pidana pencucian uang, maka pemeriksaannya tidak harus menunggu pembuktian tindak pidana asalnya. Terdakwa pelaku tindak pidana pencucian uang masih memiliki kesempatan untuk membela diri, yaitu menggunakan haknya, sebagaimana diatur dalam Pasal 77 dan Pasal 78 UndangUndang TPPU. Terdakwa dapat membuktikan bahwa harta kekayaan yang diterima dari orang lain tersebut berupa bukan merupakan hasil tindak pidana. Dengan demikian, hak pembelaan diri terdakwa masih diberikan perlindungan dengan memberi kesempatan untuk
8
membuktikan bahwa harta kekayaan diperolehnya dari orang lain, bukan berasal dari kejahatan. Penafsiran Ketentuan Pasal 69 Undang-Undang TPPU tersebut mutatis mutandis dengan yurisprudensi yang berlaku di kita, yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor 79K/Kr/1958, tanggal 9 Juli 1958 yang menyatakan bahwa tidak ada peraturan yang mengharuskan bahwa si pencuri harus dituntut dan dihukum lebih dulu untuk menghukum seseorang tentang penadahan. Bahwa dalam hal ini telah dipandang cukup dengan telah terbuktinya ada orang yang kecurian barang-barang yang berasal dari pencurian itu terdapat pada si penadah. Yurisprudensi ini juga kita temukan di dalam (suara tidak terdengar jelas) tanggal 5 Desember 1927 yang kira-kira menyatakan bahwa perbuatan penadahan harus dilakukan oleh orang lain dan bukan pelaku dari kejahatan, sehingga barang dapat diperolehnya. Untuk penghukuman barang penadahan, tidak perlu adanya suatu penunjukan lebih lanjut, maksudnya ini pembuktian lebih lanjut dari orang yang melakukan kejahatan, asalkan sudah jelas bahwa barang tersebut berasal dari kejahatan. Adanya penunjukan atau pembuktian itu tidak perlu untuk menunjuknya ... menunjukkan adanya kesengajaan ... adanya kesengajaan dari penadah. Jelaslah bahwa Ketentuan Pasal 69 Undang-Undang TPPU tidak bertentangan dengan hak asasi manusia, tidak menghalangi proses peradilan yang adil atau layak, masih berpegang pada prinsip due process of law. Memperhatikan alasan-alasan Pemohon dalam mengajukan uji materi judicial review, sesungguhnya permohonan tersebut dilandasi oleh ketakutan, kekhawatiran mengatasi proses penyidikan perkara pidana, sehingga membuat penafsiran seolah-olah Pasal 69 UndangUndang TPPU melanggar hak asasi manusia atau bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Jika Pemohon sudah mengetahui tindak pidana asal dari tindak pencucian uang sudah diputus bebas, putusan mana mempunyai kekuatan hukum yang pasti, Pemohon tidak perlu takut menghadapinya. Seperti tadi saya katakan, tidak ada tindak pidana pencucian uang kalau tidak ada tindak pidana asalnya. Berdasarkan alasan tersebut, saya berpendapat bahwa Pemohon uji materi Pasal 69 Undang-Undang TPPU yang diajukan oleh Pemohon adalah merupakan penafsiran yang keliru bukan karena normanya yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Norma Pasal 69 Undang-Undang TPPU tidak melanggar hak asasi manusia dan karenanya tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Demikianlah keterangan saya dan terima kasih atas perhatian Yang Mulia. Wassalamualaikum wr. wb.
9
16.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Waalaikumsalam wr. wb. Terima kasih, Pak Ramelan. Berikutnya sekarang dari Pihak Terkait, apakah ada yang akan dimintakan penjelasan lebih lanjut atau dimintakan klarifikasi pada dua Ahli?
17.
PIHAK TERKAIT: MUHAMMAD YUSUF Terima kasih, Ketua dan Majelis yang kami hormati. Mengingat keterangan kedua Ahli sudah cukup jelas dan terang, maka kami tidak perlu menanyakan apa pun. Terima kasih.
18.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Dari Pemohon, ada yang akan disampaikan?
19.
KUASA HUKUM PEMOHON: M. ARIFSYAH MATONDANG Terima kasih, Yang Mulia. Kami akan mengajukan beberapa pertanyaan.
20.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Silakan. Kepada pertanyaannya.
21.
Ahli,
supaya
di-collect
dulu
pertanyaan-
KUASA HUKUM PEMOHON: M. ARIFSYAH MATONDANG Kepada Bapak ... kepada Ahli Dr. Yunus Husein. Tadi sesuai dengan pendapat Ahli yang menyatakan tindak pidana asal yang melahirkan TPPU harus ada, tetapi tidak harus dibuktikan terlebih dahulu, hal ini sesuai dengan ... kalau saya ini sesuai dengan pasal ... penjelasan Pasal 2, dimana adanya asas kriminal ganda. Mengenai tentang hal ini, bagaimana menurut pendapat Ahli apabila mengenai tindak pidana tersebut pelakunya berbeda antara tindak pidana asal dan tindak pidana TPPU-nya? Kalau tindak pidana asalnya pelakunya sama, mungkin bisa sesuai dengan kata Ahli tadi, Pasal 75 kumulatif, tapi faktanya perkara displit, satu untuk pelaku TPPU adalah orang yang berbeda antara tindak pidana asal, dimana tindak pidana asal itu hanya bisa dilakukan oleh orang bank, tidak mungkin dilakukan oleh orang luar bank. Dan ini pelaku tindak pidana asalnya sudah diputus bebas. Kalau tadi Ahli mengatakan bahwa itu kriminal ganda, kan tadi harus ada tindak pidana asalnya, bagaimana kalau seandainya itu putus bebas di orang yang berbeda tersebut? 10
Yang kedua, Pasal 69 ini seperti saya kemarin tanya kepada ahli juga, ini seperti bola liar, tergantung penyidik mau dibawa ke mana, gitu. Dalam suatu hal, dimana fakta ini, saya bicara fakta sedikit, baru nanti ini, di dalam perkara ini, klien kami adalah sebagai pelapor, kemudian ada tindak pidana asalnya sudah dibuktikan, kami melapor tindak pidana pencucian uang, tapi kami dilapor balik tindak pidana pencucian uang. Nah, PPATK sudah turun, tapi sayang, diberi keterangan sepotong, akhirnya keterangannya berbeda ... akhirnya memberatkan klien kami. Tapi dalam perkara yang sama, kami juga sudah melaporkan ke Mabes Polri. Ada pihak pemegang saham lain melapor ke Mabes Polri dan PPATK sudah diperiksa, ternyata lebih dahsyat uang yang di-TPPUkan itu. Dari Rp88 miliar yang kita ... yang diputus di Pengadilan Negeri Kendari, ternyata kurang-lebih Rp500 miliar, silakan cross-check ke PPATK, dan PPATK sudah jadikan saksi dalam perkara tersebut, itu dengan ... dengan terlapor Tommy Jingga Cs. Silakan nanti PPATK untuk mengecek apakah benar. Nah, pertanyaan kami, kalau Pasal 69 ini seperti yang saya bilang tadi bola liar, itu kan tergantung penyidik, kami tidak pernah bahwa ingin mengatakan dihentikan. Kita ... menurut saya … kami, itu kenapa tidak mencontoh, kemarin kami menganalogikan Perma Nomor 1 Tahun 1956, di dalam Pasal 69, itu kan tidak ada kata penyelidikan, penyelidikannya bisa tetap berjalan. Dalam praktiknya, apabila ada perkara pidana, perkara perdata pun ada juga, itu sekarang ini bukan hanya berkaitan dengan hak milik, tapi kalau berkaitan dengan perkara yang sama, itu dihentikan dulu perkara pidananya. Dalam arti, bukan ditingkatkan ... tetap disidik di penyelidikan, tapi penyidikan dan penuntutannya dihentikan sampai adanya putusan di perkara pidana. Nah, ini memang di dalam praktiknya, ada penafsiran berbedabeda tentang di tingkat mana putusan tersebut harus di perkara perdata tersebut. Nah, dalam beberapa praktik, kami sudah mengalami juga itu, itu ketika ada putusan di pengadilan negeri saja, itu bisa diterbitkan SP3 atau dilanjutkan, begitu. Nah, maksud kami, mengajukan uji ini bukan untuk sama sekali menghapus pasal tersebut kalau memang enggak terbukti untuk menghapus itu, kami hanya ingin perlakuan yang adil bagi seorang yang dituduh sebagai pelaku tindak pidana tersebut, gitu lho. Apakah ... bagaimana pendapat Ahli kalau saya menganalogikan dengan Perma tersebut? Hentikan dulu penyidikannya … penyelidikannya jalan, gitu loh, penyelidikannya jalan. Ini untuk kedua ... pertanyaan kedua ini untuk kedua Ahli. Untuk ... yang ketiga untuk Pak Ramli (...)
11
22.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ramelan.
23.
KUASA HUKUM PEMOHON: M. ARIFSYAH MATONDANG Ramelan, maaf. Tentang TPPU, Ahli tadi mengatakan bahwa tidak mungkin tidak ada tindak pidana asal dalam tindak pidana pencucian uang, kalau tidak salah begitu kan tadi. Pidana asalnya. Tidak ada pidana asalnya, itu sudah terbukti sebenarnya dalam beberapa perkara, tapi itu tadi karena Pasal 69 ini jadi bola liar, pertanyaan saya, tadi sebenarnya sudah tercover pertanyaan juga di ini, tapi saya hanya ingin penegasan tentang kalau seandainya tindak pidana asalnya tidak terbukti, kenapa harus dipaksakan adanya TPPU? Dan perlu diketahui juga bahwa dalam klien ini, ketika diputus bebas, klien kami langsung ditetapkan sebagai tersangka. Jadi bukan ini, jadi ini sudah jalan dulu tindak pidana asalnya. Itu tadi Pasal 69 ini kan jadi bola liar, bagaimana kalau menurut pendapat Ahli tentang ini? Terima kasih, Yang Mulia.
24.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Dari Pemerintah? Cukup?
25.
PEMERINTAH: HENI SUSILA WARDOYO Cukup jelas, Yang Mulia.
26.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Dari meja Hakim? Yang Mulia Pak Suhartoyo, kemudian Yang Mulia Prof. Aswanto. Pak Suhartoyo terlebih dahulu, silakan.
27.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Terima kasih, Pak Ketua Yang Mulia. Saya ada beberapa ... minta pandangan dari dua Ahli, Pak Yunus Husein dan Pak Ramelan. Kalau saya mencermati keterangan kedua Ahli tadi, sepertinya firm, ya. Artinya bahwa kalau Pak Yunus menganalogkan atau menyitir dengan membawa ke pintu masuk di Pasal 75, saya kira enggak ada persoalan karena akhirnya pada ... akhirnya akan disidangkan bersama-sama seperti yang disampaikan Pak Ramelan dengan dakwaan kumulatif. Kumulatif pasti yang pertama itu dakwaan yang pertama itu adalah pidana asal dulu, baru dakwaan yang kedua, TPPU-nya. Saya kira enggak ada masalah kepada yang terhormat kedua Ahli. 12
Hanya persoalannya, memang ... demikian juga saya tambahkan dulu, analog yang 480, 480 bisa juga kalau kita hampir samakan dengan hasil temuan dari PPATK, misalnya. Itu seperti yang disampaikan Yang Mulia Pak … eh, Yang Terhormat Pak Ramelan tadi, kalau itu menunggu pidana asalnya ketemu, akan memakan proses yang lama kalau dianalogkan 480 temuan PPATK, misalnya. Atau temuan barang yang tidak bertuan yang berupa uang bisa diduga bahwa itu dari hasil tindak kejahatan, Pasal 2 misalnya, yang dibawa oleh seseorang yang kemudian Pak Yunus analogkan kasus Bank Global. Saya kira juga firm enggak ada persoalan, Pak. Hanya sekarang yang memang menjadi “keresahan” barangkali itu ada benarnya juga apa yang disampaikan Pemohon tadi. Meskipun Pemohon juga terlalu berlebihan kalau mengatakan bahwa kasusnya ini sudah bebas, kemudian terlalu cepat Pak Soehandoyo diproses, sebenarnya juga belum inkracht kok. Kenapa bisa jalan bersama-sama juga? Siapa tahu penyidik juga punya program, sambil menunggu putusan Mahkamah Agung, proses penyidikan juga berjalan. Soal nanti dibuktikan terlebih dahulu apa tidak, sebenarnya Kuasa Pemohon ya, itu bisa nanti pada saat persidangan. Jadi, saya kira, juga kita enggak boleh terlalu cepat berpendapat bahwa penyidik dari Pak … tersangka Pak Pemohon ini juga terlalu buruburu atau bagaimana karena memang itu bisa disamakan dengan pasal … dipersamakan seperti pintu masuknya Pasal 75 tadi ataukah juga bisa juga tidak usah menunggu atau menunggu itu kebijakan dari penyidik sepenuhnya. Tapi, Pak Ramelan pada akhir keterangannya juga menjelaskan, tidak perlu ada yang ditakutkan kalau nanti ternyata putusan inkrachtnya adalah bebas, sudah selesailah Pak Soehandoyo itu sebenarnya. Ini saya mempertegas apa yang disampaikan oleh Pak Ramelan tadi. Cuma begini, Pak Yunus dan Pak Ramelan, keresahan dari Pemohon, itu juga mungkin bisa mewakili keresahan dari barangkali beberapa mungkin warga negara juga yang hak konstitusionalnya bisa terusik juga, bagaimana dengan kalau tidak ada pintu masuknya, Pak Yunus dan Pak Ramelan? 75 tidak ada, 480 juga tidak ada, temuan PPATK juga tidak ada, tapi ada kecurigaan memang, dia ini seorang pejabat yang patut dicurigai karena dari segi … dari … apa … perspektif penghasilan, profilnya, itu memang jauh. Mestinya ini … nah, ini hanya salah satu contoh dan itu merupakan kekhawatiran-kekhawatiran yang realistis juga yang harus kita cermati. Jadi, Pasal 69 itu apakah murni berdiri sendiri seperti yang selama ini di … apa … dipersepsikan oleh pihak yang menyetujui bahwa tidak perlu dibuktikan dulu ataukah Pasal 69 itu bergantung dengan pasal lainnya, Pasal 2, Pasal 75, yang mekanismenya nanti ada Pasal 77, Pasal 78 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Itu juga proses daripada
13
harus dibuktikan dulu, Pasal 77, Pasal 78 tentang pembalikan beban pembuktian itu. Itu saya kira firm kalau itu, Pak, Pak Yunus. Saya mohon pandangan saja ini, bagaimana kalau di luar Pasal 75, kemudian yang di-explore ke Pasal 77, Pasal 78, kemudian 480 di luar itu bagaimana? Apakah bisa nanti ini menjadi pintu masuk untuk abuse of power, kata Pak Yunus juga pernah menyetujui itu, tidak boleh ada kesewenang-wenangan. Mohon pandangan kedua Ahli. Terima kasih, Yang Mulia. 28.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, terima kasih. Prof. Aswanto, saya persilakan.
29.
HAKIM ANGGOTA: ASWANTO Terima kasih, Yang Mulia. Pada Dr. Ramelan dan Pak Dr. Yunus Husein. Saya mulai dulu dari Pak Yunus. Ada yang menarik di halaman 3, ya, halaman 3 keterangan tertulis ini. Bapak menyitir Pasal 75 Undang-Undang TPPU bahwa penyidik tindak pidana bisa menggabungkan dan menggunakan … apa … metode penanganan concursus, begitu. Nah, ini untuk kejelasan saja, apakah metode concursus itu, baik concursus idealis, concursus realis, maupun voortgezette handeling, itu bisa diterapkan ketika dalam satu tindak pidana pelakunya berbeda, begitu atau pelakunya tidak satu orang, gitu. Misalnya, si A, si B, si C, terlibat dalam sebuah tindak pidana, apakah dengan tiga subjek hukum ini bisa kita lakukan concursus … teori concursus itu? Dan saya kira ini kalau yang ini, saya kira Bapak … mungkin yang Bapak maksud ini kan concursus realis gitu, Pak, ya? Nah, ini untuk … untuk Pak Dr. Yunus. Saya kira kita sudah paham semua apa yang dimaksud dengan concursus itu, ya. Cuma pertanyaan saya, bisa enggak diterapkan bukan satu pelakunya, tetapi pelakunya banyak? Karena selama ini dalam konteks concursus, itu kan ketika satu subjek hukum melakukan banyak tindak pidana. Daripada disidik secara bertahap, digabung saja sekalian. Bahkan teorinya adalah diambil tindak pidana yang paling tinggi hukumannya, ditambah dengan sepertiga dari tindak pidana-tindak pidana yang lain. Nah, pertanyannya tadi, bagaimana kalau subjek hukumnya atau pelakunya banyak orang gitu, tidak satu? Itu untuk Pak Dr. Yunus. Nah, Pak Dr. Ramelan. Saya kira menarik, banyak … banyak hal yang menarik Bapak sampaikan tadi yang saya tangkap. Misalnya, Bapak juga menyadari bahwa mestinya ada tindak pidana asal. Tapi saya kira, ya secara normatif memang kalau kita lihat Pasal 69, itu kan memang dimungkinkan. Nah, ini yang menurut saya ada … ada apa namanya …
14
ada kontra di dalam, itu menurut paham saya ya, Pak, ya. Ada inkonsistensi di dalam undang-undang ini. Pada sisi lain dikatakan bahwa tindak pidana pencucian uang itu adalah tindak pidana yang berasal dari tindak pidana. Bahkan tindak pidananya sudah ditentukan, sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 2 ayat (1). Tetapi kemudian di Pasal 69 memang, ya tidak perlu. Padahal ada … ada kata, ada frasa tindak pidana di sana, Pak. Nah, ini mungkin saya kira kita sependapat, kita tidak … saya kira kita zero tolerance terhadap pembera … terhadap korupsi. Tapi ini mungkin perlu dibenahi, Pak. Saya kira ini untuk pembenahan. Saya ingin memastikan bagaimana tafsir Bapak terhadap frasa patut diduganya merupakan hasil tindak pidana yang ada di dalam Pasal 3? Pasal 3 itu setiap orang yang menempatkan dan seterusnya, patut diduganya merupakan hasil tindak pidana. Dan saya kira secara universal, orang akan memaknai bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana adalah suatu perbuatan yang sudah mendapat kekuatan hukum tetap dari pengadilan bahwa itu adalah tindak pidana. Mohon … apa … klarifikasi dari Bapak dan saya kira ini kita harus punya … punya tanggung jawab yang sama, Pak, untuk melakukan pembenahan, sehingga jangan terjadi dalam suatu undang-undang ada … ada apa namanya … ada kontra antara pasal lain dan pasal lainnya, Pak, ya. Terima kasih, Yang Mulia. 30.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih. Saya persilakan, Ahli. Siapa dulu, Pak Yunus atau Pak Ramelan? Saya persilakan. Ya, silakan, Pak Remelan.
31.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: RAMELAN Terima kasih, Yang Mulia. Saya akan menanggapi dulu pertanyaan Pemohon, yaitu mengenai bagaimana apabila pelakunya berbeda, tadi. Sebenarnya pertanyaan ini ditanyakan kepada Pak Yunus, kalau kasus perkaranya displit. Masalah split atau digabungkan, itu sebenarnya masalah teknis penyidikan atau teknis penuntutan. Jadi, bukan karena … bukan karena Pasal 69 atau pasal ini, bukan. Jadi, di dalam … kalau pelakunya tindak pidana lain dan pelakunya … pelaku tindak pidana misalnya adalah orang lain, pelaku tindak pidana cuci uangnya berbeda, pasti harus di-split, (suara tidak terdengar jelas) pasti harus di-split.
15
Sama bagaimana nanti pembuktiannya, ya? Lalu membuktikan TPPU-nya ini pada saat tidak punya (suara tidak terdengar jelas), kan harus … harus dari terdakwa tindak pidana asal. Itu yang dimaksud kepentingan pembuktian itu. Tetapi kalau tindak pidana asalnya bersama-sama dengan … sama dengan pelakunya sama dengan tindak pencucian uang, nah itu semestinya harus kumulatif sekaligus. Kalau kita bicara masalah efisiensi peradilan cepat, murah, dan sederhana. Itu sebenarnya, Yang Mulia, itu pendapat saya. Jadi, memang kalau kita pikir secara … saya maaf, agak menyimpang sedikit. Ada beberapa perkara yang tindak pidananya dilakukan bersama-sama, korupsi misalnya, itu sering di-split. Ya, sering di-split. Nah, padahal sebenarnya, kalau digabungkan, ini lebih efektif dan lebih efisien. Split yang perkara itu sebenarnya kalau tindak pidananya bersama-sama, itu Pasal 55 ya, Pasal 55 KUHP, dalam turut serta. Itu kan sebenarnya, kalau di-split, yang bersama-sama ini kan waktu menjadi saksi, dia itu secara tidak langsung disuruh dia ngaku perbuatannya sendiri kan, di situ, dipaksa (suara tidak terdengar jelas). Ini sebenarnya kalau dilihat dari aspek pelanggaran HAM, mestinya ada ini, tapi dalam Pasal 55 juga sering terjadi harus tidak mungkin disatukan, gitu. Ya, karena kekurangan alat bukti dan sebagainya, tapi kalau alat bukti cukup, mestinya bisa bersama-sama. Ini saya agak menyimpang dari masalah ini. Jadi saya (suara tidak terdengar jelas) tadi, kalau jawaban terhadap Pemohon tadi. Kalau tindak pidana asalnya berbeda dengan (suara tidak terdengar jelas) ya harus di-split. Karena bagaimana membuktikan pelaku tindak pidana pencucian uang kalau tidak minta saksi dari tindak pidana asal? Sementara pelaku tindak pidana asal kadang-kadang tidak perlu pembuktian pelaku tindak pidana pencucian uang, kan begitu. Ya kan, tidak mesti pelaku tindak pidana pencucian uang. Orang yang dagang narkotik misalnya atau dia (suara tidak terdengar jelas) narkotik kirim oleh si A di Indonesia, kan enggak perlu dia tahu dilakukan bersama-sama. Nah, itu saran saya ini. Nah, mengenai permasalahan dikatakan bahwa Pasal 69 ini sebagai bola liar, dan kalau dikaitkan dengan bola liar, ya, inilah yang saya kemukakan tadi apa yang dimohonkan oleh Pemohon ini sebenarnya bukan masalah uji materiil tentang Pasal 69, masalah penafsiran. Jadi menurut saya tidak, bukan kompetensi Mahkamah Konstitusi, ini (suara tidak terdengar jelas) peradilan umum, menurut saya begitu. Jadi tidak bisa di ... harus di … apa ... laporannya ditangkap … ada laporannya ditanggapi (suara tidak terdengar jelas) itu adalah masalah teknik penyidikan, ya, teknik penyidikan. Nah, kalau dikatakan tadi ada perkara perdata dan perkara pidana, ini ada yurisprudensi mengatakan bahwa setiap perkara mempunyai dua aspek pidana dan perdata, dan karena itu, penuntutan 16
perkara pidana tidak harus menunggu … apa ... ditangguhkan dulu perkara perdatanya, tidak, tidak harus. Ada penangguhan itu, ya, kalau bahwa salah satu unsur untuk pembuktian tindak pidananya ini digantungkan pada pembuktian di perkara perdata. Misalnya dituduh menggelapkan barang warisan. Nah, apakah ini si pewaris itu, ahli waris yang lain masih berat dan tidak, sehingga dia dikatakan sebagian memiliki barang itu, itu bisa ditunda, bisa ditunda. Kalau tidak, enggak bisa, ini ada yurisprudensi (suara tidak terdengar jelas) seperti itu, seperti saya tangani kasus, dulu kasus korupsi Arthaloka, itu ada aspek perdata ada aspek pidana, dua-duanya disidangkan terpisah, ya, gitu, kasus gedung Arthaloka dengan PT Taspen dulu (suara tidak terdengar jelas), gitu. Jadi ... kemudian kepada saya ditanyakan tindak pidana asal terbukti bebas, ya, apa masih kalau tidak terbukti kenapa masih dibutuhkan TPPU? Saya sudah jelaskan tadi, tidak ada TPPU kalau tidak ada tindak pidana asal, dan tindak pidana asal pun harus yang disebut dalam Pasal 2. Kalau tindak pidana tidak disebut dalam Pasal 2, bukan pencucian uang. Itu yang seperti yang saya katakan tadi, ini kaitannya juga seperti pendapat saya juga. Oleh karena itu, di dalam surat dakwaan, walaupun ada Pasal 69 tidak harus dibuktikan, tapi di dalam dakwaan harus disebut, misalnya (suara tidak terdengar jelas) tindak pidana pencucian uang cukup yang berasal dari korupsi, misalnya, bisa, cukup dari tindak pidana perbankan bisa. Ini juga (suara tidak terdengar jelas) yurisprudensi dalam kasus tindak pidana pencucian uang yang diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Siapa … saya minta maaf, tindak pidana asal yang kaitannya dengan ... bukan, kaitannya dengan uang Busri, ya, uang Busri. Itu dalam anotasi saya yang saya buat dulu, itu dinyatakan bahwa si terdakwa yang TPPU ini menerima uang hasil dari kejahatannya dilakukan bersama-sama dengan kasus dana pensiun Busri. Ceritanya dana pensiun ini disuruh investasi ke BII, di BII Gunung Sahari kalau enggak salah, ini dipalsukan anunya ... depositonya ini, sehingga bisa dicairkan. Nah, pelaku tindak pidana pemalsuan tadi disidangkan di Jakarta Pusat, yang sidang TPPU-nya disidangkan di Pengadilan Jakarta Selatan. Putusan hakim menyatakan bahwa tidak perlu harus dibuktikan dan ternyata tindak pidana asalnya ini sudah disidangkan di Pengadilan Jakarta Pusat dalam perkara tindak pidana perbankan. Nah, itu salah satu contoh bahwa sebenarnya pembuktiannya seperti itu. Jadi, kenapa saya bilang kalau sudah bebas, tidak perlu dibuktikan. Nah, bahwa sekarang ada penyidik … ya maaf saya … tentu, ini tidak dalam kompetensi saya bahwa saya memberikan keahlian ini di Mahkamah Konstitusi dalam praktik peradilan umum ini mestinya. Kalau sudah bebas, ya nanti diajukan. Kalau penyidiknya melanggar … melanggar norma-norma penyidikan, adukan ke institusinya. Kalau nanti dia juga di sidang pengadilan, ajukan 17
pembuktian bahwa perkara itu tidak ada tindak pidana asalnya. Secara singkatnya, saya hanya mengatakan demikian. Nah, kemudian mengenai Pasal 75, Yang Mulia Pak Suhartoyo tadi. Dikatakan (suara tidak terdengar jelas) mengenai pada dakwaan kumulatif TPA pertama, kedua, TPPU. Kalau PPATK ada mulai dari hasil kesehatan, bagaimana kalau memulai dari hasil kesehatan ini yang menyangkut pejabat yang kekayaannya tidak seimbang dengan penghasilan. Begitu ya, Yang Mulia. 32.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Hanya contoh saja yang Bapak Ramelan.
33.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: RAMELAN Dalam hal ini kalau dia merujuk pada Pasal 75, ya tetap tindak pidana asal harus dibuktikan. Tetap tindak pidana yang harus dibuktikan. Kalau itu pelakunya pejabat, sebenarnya ya, pejabat. Tindak pidana asalnya dari mana? Pasal 12B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bisa didakwakan, bisa disidik. Dikatakan Pasal 12B itu gratifikasi harus lapor dalam waktu 30 hari. Kalau tidak lapor, maka dianggap penyuapan. Kalau nilainya Rp10.000.000,00 ya, kalau nilainya Rp10.000.000,00, itu terdakwanya harus … eh, jaksa harus membuktikan. Tetapi kalau lebih dari Rp10.000.000,00, terdakwa yang membuktikan bahwa itu terbalik. Nah, mestinya di sana kalau saya sarankan karena kan Pasal 12B kalau itu pejabat negara. Dia harus membuktikan bahwa harta ini adalah diperoleh dari hasil … bukan dari hasil kejahatan. Ini pandangan saya tentang (suara tidak terdengar jelas) seperti yang tetap harus dibuktikan. Kemudian, Yang Mulia Pak Aswanto. Mungkin saya ingin katakan kalau TPPU-nya ya, ini sebenarnya tidak ada … bukan inkonstitusional sebenarnya. Jadi saya sudah katakan tadi tetap harus dibuktikan. Cuma kalau tindak pidana asalnya pelakunya orang lain, tidak perlu. Kalau … kalau pelaku … misalnya pelaku tindak pidana pencucian uang ya harusnya dibuktikan, ini pandangan saya. Jadi kalau yang orang lain seperti Pasal 48 tadi. Nah, bagaimana kalau pelakunya orang bersama-sama, a, b, c, pelakunya lebih 3. Ya harus dilihat ini kasus-kasus. Kalau dia dilakukan secara bersama-sama melakukan tindak pidana asal, bersama-sama berarti Pasal 55 di sini ya. Kemudian katakanlah misalnya yang mencuci uang hanya 1 orang, itu. Tentu yang dakwaannya kumulatif, yang bersama-sama tetap dibuktikan concursus realis, concursus idealis. Yang tindak pidana cuci uangnya hanya yang terima uang saja sesuai dengan unsur tindak pidana.
18
Jadi prinsipnya begini, Pak. Bahwa penerapan hukum pidana itu adalah sebenarnya penerapan unsur-unsur pasal-pasal tindak pidana, jadi itu. Kalau didakwakan menyembunyikan … menyimpan uang hasil kejahatan, yang diduga hasil kejahatan dari Pasal 2. Yang unsurnya masih dibuktikan. Menyembunyikan, menyimpan, atau mengirim. Nah, kadang-kadang begini, ini kesalahan jaksa nih dalam menyusun surat dakwaan. Untuk surat dalam pasal itu kadang-kadang sebenarnya sifatnya alternatif. Menyembunyikan, menyimpan, mengirimkan, berbeda, atau menerima misalnya, kan berbeda. Kadang-kadang ini ditulis semua. Nah, itu saya itu teknis dalam dakwaan saja, (suara tidak terdengar jelas) berbeda. Jadi, kalau ini ada terjadi bersama-sama di sini, kemudian maka ini sebenarnya masalah bersama-sama, bukan masalah concursus. Kalau masalah concursus ini, concursus idealis atau concursus realis, sebenarnya yang menjadi persoalan kalau boleh saya kemukakan adalah pelaku tindak pidananya dan tindak pidana yang satu sama. Nah, itu baru persoalan … ini concursus realis atau concursus idealis, gitu, Pak. Jadi saya korupsi, duitnya saya … setelah saya simpan, saya deposito, jadi seperti perbuatannya seperti ada 2. Nah, apakah deposito dimaksud unsur memperkaya diri atau masuk unsur menyembunyikan dalam tindak pidana cuci uang. Lah, ini dalam praktik, tentu sangat sulit saya akui memang. Tapi, sebenarnya (suara tidak terdengar jelas), kita harus melihat pada pasal concursus realis, concursus idealis. Kalau mengikuti pandangan setelah 1932 bahwa teori perbuatan … teori perbuatan immateriil, maka perbuatan itu harus dilihat ada kepentingan hukum dilanggar, enggak? (Suara tidak terdengar jelas) mengatakan, “Kalau ada dua kepentingan hukum yang dilanggar, maka di situ ada concursus realis. Kalau concursus dalam satu kepentingan hukum dilanggar, maka dia tidak … tidak … apa namanya … jadi concursus idealis.” Dia contohkan orang … orang yang mengemudikan kendaraan malam hari tanpa SIM ya, tanpa SIM. Ada dua kepentingan hukum yang dilanggar. Yang tanpa lampu … mengemudikan kendaraan malam hari tanpa lampu, kepentingannya ada pada kendaraan. Sedang dia mengemudikan tanpa SIM, kepentingan hukumnya pada si pengemudi. Lah, itu setelah tahun 1932, itu termasuk dalam concursus realis. Itu, Pak. Jadi, yang berikutnya mengenai patut diduganya. Jadi, seperti dikatakan (suara tidak terdengar jelas). Bahwa ini adalah pro parte dolus pro parte culpa. Istilahnya setengah dolus, setengah culpa. Kalau dilihat dari teori pemidanaan, sebenarnya inilah … ini setengah sengaja, setengah alpa. Setengah sengaja, setengah alpa itu, sebenarnya kalau kita anut teori dualistis (suara tidak terdengar jelas), itu merupakan pertanggungjawaban pidana. Kalau (suara tidak terdengar jelas) teori dualistis itu memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggung jawab pidana. Jadi, actus reus dengan actus … mens rea. 19
Nah, ini kalau saya terus terang saja. Saya menganut pandangan (suara tidak terdengar jelas). Dan sudah saya praktikkan, saya menjadi jaksa. Itu pemikiran yang sangat mudah sistematiknya. Jadi, kalau melihat kasus, kita jangan berbicara orang itu dihukum atau tidak? Kita berbicara orang ini perbuatannya memenuhi unsur tindak pidana, apa tidak? Itu. Kalau memenuhi unsur tindak pidana bahwa dia terbukti melakukan tindak pidana. Lah, kalau sudah terbukti melakukan tindak pidana, apakah dia bisa dipertanggungjawabkan atau tidak? Baru kira bicara itu. Kalau dia tidak dipertanggung … bisa dipertanggungjawabkan karena cacat jiwanya, ya dia harus dilepas dari tuntutan hukum. Nah, (suara tidak terdengar jelas) pidana itu (suara tidak terdengar jelas) kesalahan sama kealpaan. Nah, kesalahan sama kealpaan, ini adalah … sebenarnya adalah masalah batin. Sebenarnya masalah batin. Jadi, orang kan susah membuktikan batin orang. Tetapi dalam praktik atau dalam pandangan (suara tidak terdengar jelas) sendiri, membuktikan unsur batin tadi tetap dari perbuatan lahir. Karena tindak pidana itu isinya dari perbuatan lahir. Misalnya, dalam menduga itu hasil kejahatan, misalnya. Ya, penadahan hasil kejahatan. Terdakwa tahu tidak, orang beli motor yang dari harganya lebih rendah … jauh lebih rendah, tidak ada BPKP, tidak ada STNK, maka dia mestinya sikap batin itu dilihat … dia menduga itu dilihat dari fakta-fakta lahir tadi. Itu sebenarnya di dalam … di dalam praktik seperti ... begitu cara membuktikan unsur ini. Kemudian, juga unsur menduga ini. Unsur menduga ini, misalnya seseorang terima uang dari … ada transfer dari luar negeri yang dia tidak tahu siapa yang transfer, orangnya siapa. Nah, mestinya dia harusnya mengambil tindakan. Mestinya, setidak-tidaknya jangan diterima atau dikembalikan. Kan begitu, Pak? Nah, itu (suara tidak terdengar jelas). Atau dia tahu bahwa temannya yang kirim ini adalah pelaku kejahatan, misalnya. Ya, dia harus tanyakan masalah itu. Pembuktiannya, kalau dia tidak membuktikan. Orang dia enggak tahu, enggak kenal sama orang, kok dia terima uang saja. Maka, unsur patut diduga bisa dibuktikan. Jadi, sekali lagi, sifatnya adalah pembuktiannya dari unsur lahir. Sudah (…) 34.
HAKIM ANGGOTA: ASWANTO Yang Mulia, ada tambahan, Yang Mulia. Ada tambahan sedikit, Pak Ramelan. Tadi Bapak mengatakan bahwa mestinya ada gabungan antara actus reus dan mens rea untuk dikatakan bahwa tindak pidana terwujud. Jadi, ada norma yang dilanggar. Kemudian, pelanggarnya itu adalah orang yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Dan sebenarnya, ada mens reanya itu … di situ adalah ada kesadaran batin untuk sengaja melanggar, gitu.
20
Nah, kalau kita melihat Pasal 3, apakah frasa patut diduga merupakan hasil tindak pidana, itu bisa menjadi elemen atau unsur pasal? Silakan, Pak. 35.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: RAMELAN Ya, Pak. Karena ini masuk di dalam rumus (suara tidak terdengar jelas) di sini. Jadi, kalau kita bicara di sini, unsur ini adalah mendapat, menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan … Pasal 3 atau Pasal 5, Bapak? Pasal 3, ya.
36.
HAKIM ANGGOTA: ASWANTO Pasal 3, Pak.
37.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: RAMELAN Menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri. Nah, ini yang saya bilang, ini jaksa ini sering (suara terdengar tidak jelas) disimpan semua, disalin semua ini yang salah. Karena orang yang … apa … membelanjakan di dalam negeri, dia tidak keluar (suara terdengar tidak jelas) dakwaan itu tidak boleh, jadi unsur-unsur ini unsur alternatif, gitu. Nah, jadi, mestinya jaksa itu harus memilih salah satu karena teori dalam surat dakwaan itu apa yang ditulis dalam dakwaan harus dibuktikan, Pak, jadi harus dibuktikan. Nah, yang kedua, unsur yang kedua adalah harta kekayaan yang diketahuinya patut diduga merupakan hasil tindak pidana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), ini unsur, Pak, harus dibuktikan. Unsur diketahui atau patut diduga, ini alternatif. Jadi, orang itu kalau tidak mengetahui, ya dia menduga, itu, Pak. Nah, biasanya jaksa memang ini harus dibuktikan, harus ditulis patut mengetahui atau patut diduga.
38.
HAKIM ANGGOTA: ASWANTO Cukup, Pak, Terima kasih.
39.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: RAMELAN Jadi … maaf, mungkin satu sisi, hanya dalam tuntutannya dia harus memastikan salah satu seperti hakim, memutuskan satu diketahui atau diduga. Demikian, Yang Mulia. Mohon maaf sekali lagi.
21
40.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Pak Yunus, silakan.
41.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: YUNUS HUSEIN Baik, Terima kasih. Terima kasih atas pertanyaan, Yang Mulia. Pertama dari Pemohon, Pemohon tadi merujuk Pasal 2 menyebut kriminalitas ganda, itu tidak tepat, itu kaitan dengan tindak pidana kalau terjadi di luar negeri, itu baru harus dipenuhi double criminality ya. Tolong dibaca Pasal 2 ayat (1) itu yang kriminalitas ganda itu terkait tindak pidana asal itu terjadi di luar, tidak ada urusan sama perkara ini. Kemudian yang kedua, bebas itu … saya ingin menjawab berdasarkan Pasal 183, “Hakim akan memutus seorang bersalah kalau terbukti ada tindak pidana, pertama, kemudian terbukti terdakwa yang melakukan tindak pidana itu berdasarkan dua alat bukti yang sah.” Jadi bebas itu tergantung, bisa katakanlah pidananya tetap ada, tapi bukan terdakwalah yang melakukan, bisa seperti itu, mungkin orang lain yang melakukan. Apalagi dalam kasus ini bebasnya belum inkracht ya, jadi tergantung … bisa pidananya ada dia tidak dihukum karena memang bukan dia yang melakukan, itu 183 menyebut seperti. Jadi, terkait dengan pidana asal dan TPPU ini (…)
42.
KUASA HUKUM PEMOHON: M. ARIFSYAH MATONDANG Mohon maaf, Yang Mulia. Mengenai kriminalitas ganda tadi saya mengutip dari penjelasan, coba dibuka di penjelasannya.
43.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: YUNUS HUSEIN Penjelasan Pasal?
44.
KUASA HUKUM PEMOHON: M. ARIFSYAH MATONDANG Pasal 2 ayat (1).
45.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: YUNUS HUSEIN Yaitu terkait internasional. Kalau terjadi di luar negeri, itu tidak ada hubungannya sama kasus ini ya.
46.
KUASA HUKUM PEMOHON: M. ARIFSYAH MATONDANG Enggak. Kalau di Pasal 2 itu coba dibaca, di situ enggak ada kata luar negeri. 22
47.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: YUNUS HUSEIN Ya, jadi … kriminal ganda itu terkait dengan ini … berdasarkan ini, maka dalam menentukan hasil tindak pidana, undang-undang ini menganut asas kriminalitas ganda/double criminality. Kalau terjadi di luar, misalnya di Singapura judi, bukan pidana dibawa kemari hasilnya, dicuci di sini, enggak bisa dipakai pasal ini karena di sana bukan pidana. Jadi, Anda sebut kriminalitas ganda itu enggak ada hubungannya sama kasus ini, ini kaitan dengan luar negeri/double criminality. Karena disebutkan di Pasal 2 ini atau di luar wilayah Negara Indonesia, itu tolong dibaca ya. Kemudian yang kedua, mengenai bebas tadi ya, tergantung case by case. Bebas tidak selalu … tidak ada tindak pidana. Bisa ada, bisa tidak. Bisa bebas itu karena terjadi pidana, tapi bukan dia yang melakukan, jadi dilihat kasus per kasus. Kembali ke soal pidana asal dan TPPU, baik dilakukan oleh orang lain maupun diri sendiri, menurut pendapat saya, semuanya tetap tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu, dibuktikan bersama-sama di pengadilan. Selanjutnya, mengenai bola liar terkait dengan kasus macam ini, mungkin saya tidak perlu menanggapi kasus yang ada ya. Silakan saja, saya tidak ingin berpendapat mengenai kasus yang ada, bola liar itu orangnya yang liar, bukan pasalnya yang liar sebenarnya. Kemudian, Yang Mulia Pak Suhartoyo, Pasal 75, ya, kemudian dikaitkan 480, kemudian ada temuan PPATK, kemudian dikaitkan dengan keresahan dan segala macam terkait LKHPN, lalu ditanyakan selain pintu masuk 75, 77, 78, 480, adakah pintu masuk yang lain? Sebenarnya, perkara atau tindak pidana pencucian uang ini bukanlah delik aduan ya, delik biasa aja. Tidak harus ada laporan PPATK, tidak harus disidik dulu tindak pidana asal ya. Tapi kalau seandainya penyidik sudah menemukan ada pidana TPP, dia bisa lakukan penyelidikan TPPU itu sendiri. Memang sebagaimana Pak Ramelan menyebutkan tadi, pendekatan TPPU agak berbeda dengan pendekatan konvensional yang memprioritaskan follow the suspect/mengejar orang. TPPU ini dia lebih banyak megejar aset, mengejar uang, sehingga disebut follow the money. Dia meliat dari hilir ke hulu, melihat hasilnya dulu, baru dilihat siapa yang melakukan dan siapa pelakunya. Kalau pendekatan konvensional, lebih banyak melihat orangnya, dipanggil, dibuat Berita Acara. Kemudian kalau cukup alat bukti, dijadikan tersangka. Jadi kalau ditanya, pintu masuknya yang mana? Bisa tergantung dari mana, katakanlah informasi, data, ataupun alat bukti yang ada, bisa terkait perbuatan orang, bisa terkait dengan hasilnya. Sering kali yang terjadi adalah yang ketahuan adalah uangnya dulu, transaksinya yang jumlah besar, misalnya dari laporan PPATK. PPATK tidak pernah tahu 23
pasti ini dari pidana mana. Dia sudah tahu ada banyak uang, lalu penyidiklah yang melakukan penyelidikan tindak pidana apa yang terjadi, baru dilakukan penyidikan oleh penyidik. Majelis, Yang Mulia. Terkait dengan masalah pertanyaan, apakah concursus realis dapat dilakukan oleh pelaku yang berbeda? Kalau suatu tindak pidana, suatu perbuatan, katakanlah ada suatu kepentingan yang dilanggar, melanggar satu undang-undang, terjadi pada satu waktu, pada tempat tertentu, orangnya lebih dari satu, itu sudah tentu disebut penyertaan yang disebut Pak Ramelan tadi, Pasal 55. Tapi kalau seandainya orang yang katakanlah bertiga tadi, dia melakukan perbuatan faith-nya berbeda lebih dari satu, tempatnya berbeda, waktunya berbeda, undang-undang yang dilanggar berbeda, kepentingan yang dilanggar berbeda, kalau menurut saya, tergantung faktanya. Bisa saja concursus realis dilakukan oleh lebih dari satu orang sepanjang faith-nya berbeda, waktu, tempat berbeda, undang-undang berbeda, yang dilanggar … kepentingan yang dilanggar juga … juga berbeda. Jadi, kita lihat case by case, apakah ada concursus realis atau tidak. Kemudian, mengenai istilah patut diduga. Saya ingin mengutip pendapat dari Hakim Ketua Majelis kasus Irawan Salim ya, Pak Cicut Soetiarso. Pada waktu dalam pertimbangan putusan dia menyebutkan, “Jadi pada waktu Irawan Salim menggelapkan uang Bank Global Rp60 miliar, dia simpan di loteng lantai 8. Waktu Ie Mien Sumardi menukarkan uang, uang itu dari loteng diturunkan ke basement. Kemudian ikatan uang yang … ikatakan BI diganti dengan karet gelang. Tidak ada satpam bank, tidak ada mobil bank, tidak ada supir dari bank, hanya mobilnya Ie Mien Sumardi sendiri.” Lalu, Pak Cicut menyebutkan, “Seharusnya Anda menduga dari fakta-fakta tadi, itu hasil pidana. Kalau bukan hasil pidana, kenapa Anda ganti dengan karet gelang? Kenapa Anda sembunyisembunyi? Kenapa enggak pakai pegawai bank, mobil bank, dan segala macam?” Jadi patut diduga ini sangat-sangat tergantung dari fakta yang ada dan seringkali sangat subjektif tergantung pendidikan orang juga. Jadi, kalau pendidikannya tinggi, mungkin dugaannya pasti lebih baik, lebih sensitif. Kalau faktanya katakanlah cukup menarik, misalnya jumlahnya besar, dalam valuta asing misalnya, kemudian dia tidak ada kerjaan, tapi bisa kasih hadiah mobil atau perhiasan. Itu merupakan fakta yang membuat orang bisa menduga bahwa yang diberikan itu adalah atau yang ditransfer adalah hasil-hasil kejahatan. Jadi, saya berpendapat untuk bisa membuktikan adanya tindak pidana asal, tidak harus dengan putusan pengadilan. Contohnya kasus tadi, dia harus menduga berdasarkan fakta-fakta tadi bahwa ini adalah hasil tindak pidana. Kalau menunggu diputus dulu, katakanlah pidana asalnya sampai hari ini, Irawan Salim tidak pernah tertangkap. Dia tidak pernah akan diproses.
24
Bahkan ada satu kasus di mana seorang guru di Jember pernah dilaporkan karena uangnya banyak sekali dalam valuta asing. Waktu ditanya, sang guru ditanya, “Siapa punya uang kok banyak benar ini? Apakah guru punya uang sebanyak begini? Bukankah gaji guru sangat kecil?” Dia bilang, “Ponakan saya.” “Di mana ponakannya?” “Di Jakarta.” “Kerjaannya apa?” “Tukang.” Ternyata setelah dicek oleh polisi, kerjanya tukang. Dia pernah bekerja di Cinere, di rumah salah seorang pejabat Ketua Bapepam waktu itu. Dia mencuri valuta asing. Uang curian ditaruh di Jember. Lalu si guru diproses, dipidana guru ini. Ponakannya yang mencuri uang tadi di rumah pejabat tidak dihukum sampai hari ini. Kenapa enggak dihukum? Karena dia damai dengan penyidik. Damai itu indah katanya. Itu contoh di mana pidana asal tidak harus selalu dibuktikan, tidak harus dihukum. Bisa TPPU itu dihukum yang penting harus ada, harus ada pidana asal, tidak harus dibuktikan terlebih dahulu. Saya kira itu saja jawaban saya. Terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb. 48.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Waalaikumsalam. Tadi Yang Mulia Pak Patrialis jadi? Silakan, tambahan dari Yang Mulia.
49.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Saya ingin memperdalam, Pak Yunus. Sebetulnya kan dari awal kehadiran PPATK maupun Undang-Undang TPPU, ini kan kita selalu bersama-sama kehadiran kelembagaan ini. Saya ingin mendalami mengenai Pasal 77 dan 78 yang disampaikan sebagai alasan keempat oleh Pak Yunus ya. Kehadiran Pasal 77 dan 78 ini pasti atau erat sekali hubungannya dengan Pasal 2 ayat (1) dan itu enggak bisa dipisahkan. Jadi, kehadirannya adalah bagian yang tak terpisahkan dari keberadaan Pasal 2 ayat (1). Ini kan kita bicara masalah pembuktian terbalik. Ini nanti kita diskusikan tersendiri, apakah betul kita sudah memiliki pembuktian terbalik? Karena Undang-Undang Perampasan Aset kan sampai hari ini belum selesai dan itu ditolak terus kan ya? Pertanyaan saya, Pak, ya, bagaimana apabila terdakwa dia tidak bisa membuktikan asal usul, apakah itu sebagian maupun seluruhnya harta kekayaannya. Akan tetapi, di dalam persidangan ternyata tidak dapat ada kualifikasi Pasal 2 ayat (1), seluruh Pasal 2 ayat (1) itu memiliki kualifikasi. Karena ada kualifikasi, maka dia memenuhi delik 25
satu tindak pidana. Tadi Pak Ramelan juga mengatakan, “Apakah memenuhi unsur apa tidak?” Kan begitu, kata Pak Ramelan. Ternyata tidak ada unsur Pasal 2 ayat (1) itu. Ini bagaimana? Padahal Pasal 77, Pasal 78 kualifikasinya harus ada dalam Pasal 2 ayat (1). Apakah ini juga dinamakan, mereka melakukan pencucian uang? Itu satu. Ini agak berat, tapi bagi Pak Yunus mungkin enteng kali ya. Yang kedua, bagaimana kalau seseorang didakwakan oleh seorang ... oleh penuntut umum, katakanlah begitu memiliki harta yang sedemikian besar, tetapi yang didakwakan itu sebetulnya tidak ... tidak seperti itu. Katakanlah dia dikatakan ... didakwakan 100, terdakwa juga bingung dari mana angka 100 itu? Dia punya 10. Bagaimana dia bisa membuktikan yang 90 ini dari mana? Dia pasti tidak bisa buktikan karena memang tidak ada. Apakah ini kualifikasi dari pembuktian terbalik? Apakah … yang ketiga, apakah Pasal 77 dan Pasal 78 itu sebetulnya merupakan bagian dari secara diam-diam merupakan perampasan terhadap aset sipil. Sehingga, sebetulnya kita masih mempertanyakan, apakah betul kita sudah punya pembuktian terbalik? Karena Pasal 77 dan Pasal 78 itu kan memang agak menekankan bahwa wajib ... terdakwa itu wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya itu asal tindak pidana. Sementara dalam Pasal 69 tidak ada kewajiban JPU untuk ke arah situ. Kan begitu Pak Yusuf ... eh, Pak Yunus, ini sahabat saya ini. Jadi kita ingin memperdalam, supaya ini lebih komprehensif. Karena TPPU ini, tadi juga sudah banyak yang mempersolkan dan saya, MK juga sudah sependapat sebetulnya dengah pendapat Pak Yunus, maupun Pak Ramelan. Memang tidak perlu dibuktikan, yang penting kan ada, kan begitu. Nah sekarang tidak jelas, bagaimana mungkin dia kumulatif, Pak Ramelan? Bagaimana dia kumulatif, sementara kualifikasi Pasal 2 ayat (1)-nya enggak ketemu? Kemudian dikumulatifkan ke mana? Tindak pidana yang mana yang mesti harus dibebankan kepada terdakwa? Nah, kalau itu enggak, terus bagaimana dengan uangnya? Yang katakan mungkin lebih. Saya kira itu Pak Ketua. Terima kasih. 50.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Silakan, Pak Yunus.
51.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: YUNUS HUSEIN Baik, terima kasih, Pak Patrialis Akbar, Majelis Yang Mulia. Jadi, Pasal 2 di dalam Bahasa Inggris disebut predicate offences atau predicate crimes. Ada tiga cara merumuskan pidana asal ini. Pertama, dengan merinci detail pidana asal itu seperti dilakukan oleh Amerika atau 200 lebih ya. Kemudian ada yang membuat threshold 26
batasan saja, batasan pidana, seperti Australia misalnya batasan setahun ke atas dianggap serious crime yang melahirkan cuci uang. Kita menggunakan perumusan yang sifatnya kombinasi, kita rinci yang kita anggap penting, kemudian di Pasal 2 huruf z disebutkan ada rumusan yang merupakan keranjang sampah, tidak pidana lain. Ya, jadi lain ini semuanya, masuk sebenarnya kalau ancaman hukumannya 4 tahun atu lebih, kenapa 4 tahun? Karena di dalam UN Convention Against Transnational Organized Crime yang disebut serious crime tindak pidana berat adalah 4 tahun ukurannya. Jadi sudah tentu pidana asal itu harus merupakan tindak pidana yang dirinci di sini, atau tidak pidana yang ada, ataupun yang akan ada, yang ancaman hukumannya 4 tahun atau ... atau lebih. Kalau tidak ada tindak pidana ini dilakukan sebagai tindak pidana asal, sudah tentu tidak ada pencucian uang. Misalnya, katakanlah tindak pidana yang ringan-ringan misalnya ya, yang ancamananya di bawah 4 tahun, maka tidak akan mungkin melahirkan pencucian uang karena tidak masuk sebagai predicate crime. Itu yang pertama. Kemudian yang kedua, bagaimana kalau orang tersebut katakanlah didakwa Rp100 miliar tadi ya, asetnya ... sementara dia memiliki hanya 10 saja. Bagaimana membuktikan yang 100? Sebenarnya, ya, dakwaan itu patut dipertanyakan karena yang namanya aset Rp100 miliar tadi harus merupakan hasil tindak pidana, hasil pengembangannya atau instrumentil ... instrumentalitis dari hasilhasil pidana tadi, sesuai dengan Pasal 39 KUHAP. Jadi kalau seandainya hasil tindak pidana itu tidak ada jumlahnya 100, memang dia tidak memiliki hasil pidana (suara tidak terdengar jelas) 100 itu. Ya, dakwaannya berarti tidak ada dasar yang kuat. Dan kalau dia hanya memiliki 10 saja, katakanlah itu sebagai hasil tindak pidana ada nexusnya. Nexus itu ada hubungan antara perbuatan pidana dengan hasilnya itu, itu sajalah yang dapat didakwakan dan kalau seandainya dia tidak dapat buktikan, ya, sudah tentu akan bisa di ... dirampas. Selanjutnya, mengenai pembuktian terbalik yang dikaitkan dengan berbagai pasal tadi, Pasal 2 misalnya dan lain-lain. Sebenarnya pembuktian terbalik ini tidak ... sama sekali tidak melanggar HAM. Kenapa tidak melanggar HAM? Kalau kita lihat rumusan Pasal 3 misalnya, ada subjek pelaku tindak pidana, ada mens rea niat jahatnya, ada actus reus, ada perbuatan yang dilarang. Kemudian ada objek tindak pidana, yaitu hasil kejahatan. Bagi terdakwa hanya diminta membuktikan objeknya saja, hasil tindak pidana saja, sesuai dengan bunyi Pasal 77, terdakwa tidak pernah diminta membuktikan seluruh unsur tadi, hanya satu unsur saja, selebihnya dibuktikan oleh penuntut umum. Jadi, Pasal 77 menyebutkan terdakwa wajib membuktikan harta kekayaannya saja, objeknya saja, unsur lain semuanya penuntut umum yang membuktikan. 27
Ketidakmampuan terdakwa membuktikan asal-usul harta, ya, tidak dapat dijadikan alasan untuk menghukum dia, tidak dapat. Karena apa? Karena untuk bisa menghukum dia sesuai dengan Pasal 183 KUHAP, hakim harus yakin berdasarkan dua alat bukti yang sah bahwa ada tindak pidana. Kemudian memang terdakwa yang melakukan dan unsur-unsur tadi terpenuhi semua. unsur yang sifatnya subjektif, mens rea, kemudian actus reus, perbuatan dilarang, dan objeknya, terdakwa hanya membuktikan objeknya saja yang harus dia buktikan bukan berasal dari tindak pidana. Dan pembuktian terbalik ini sebenarnya sudah dikenal dalam dunia internasional, misalnya di dalam UN Convention Against Corruption ini dikenal. Bahkan di dalam ketentuan yang namanya illicit and (suara tidak terdengar jelas), kalau di Australia namanya unexplained wealt itu dikenal pembuktian terbalik, ya. Sudah ada sekitar 45 negara yang memiliki ketentuan illicit and (suara tidak terdengar jelas), memperkaya secara tidak sah yang semuanya menggunakan pembuktian terbalik, terutama bagi pejabat-pejabat publik yang tidak dapat membuktikan asetnya yang terlalu besar. Jadi kalau ditanya apakah pembuktian terbalik seperti (suara tidak terdengar jelas) Pasal 77, katakanlah bisa merampas hak-hak sipil atau aset-aset mereka, kalau menurut saya, kalau bisa merampas itu harus dibuktikan dulu sesuai dengan Pasal 183. Ada pidana, semua unsur terbukti, dan memang dialah yang melakukan. Saya kira itu jawaban saya, mudah-mudahan menjawab apa yang ditanyakan. Terima kasih. 52.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Sedikit, Pak Ketua. Jadi Pak Yunus, tadi saya ingin mendalami lagi mengenai tindak pidana lainnya itu. Tindak pidana lainnya kan kualifikasinya kan juga enggak jelas … apa ... ya, 4 tahun itu, ya, 4 tahun. Itu pun juga harus dicari-cari dulu kan, dicari-cari dulu apa tindak pidana lainnya itu? Apakah ini juga merupakan bagian yang juga tidak menimbulkan kepastian hukum? Kalau memang ada, kenapa kita tidak tulis saja dalam melengkapi Pasal 2 ayat (1) itu. Itu satu. Yang kedua, saya kira Belanda dan Perancis, itu justru pembuktian terbaliknya ditentang karena mereka menganggap bahwa itu nonself incrimination dan juga melanggar asas presumption of innocence serta juga privacy rights kata Belanda dan Perancis. Memang banyak negara yang memang sudah melakukan pembuktian terbalik seperti itu. Nah, kalau ini terjadi dengan satu … apa namanya ... dinamikadinamika seperti ini, apakah tidak sebaiknya kita menyempurnakan kembali Undang-Undang TPPU kita agar … apa namanya ... faktor subjektivitas mesti kita hindari dalam rangka memberikan satu jaminan
28
privilege rights atau constitutional rights yang dimiliki oleh warga negara kita. Terima kasih. 53.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ada komen lagi, Pak Yunus? Silakan.
54.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: YUNUS HUSEIN Baik, saya ingin menambahkan sedikit. Jadi memang perumusan Pasal 2 kita ini kombinasi antara merinci pidana asal dan membuat satu rumusan terakhir, ya, yang Pasal 2 ayat (1) huruf z, katanya sampah untuk menampung yang lain-lain, ya. Tindak pidana yang ada ataupun nanti yang akan ada. Ini sebenarnya lebih ... lebih fleksibel, cuma pidananya harus ada kalau mau menuntut dengan tindak pidana pencucian uang, ya. Kalau kita tambahkan detail seluruh tindak pidana, mungkin kita bisa kesulitan. Yang kedua, kalau ada perkembangan akan (suara tidak terdengar jelas). Padahal perkembangan cepat sekali di dalam masyarakat. Mengenai pembuktian terbalik memang ada negara yang menentang seperti Amerika misalnya, di konstitusi Amerika disebutkan presumption tidak boleh, presumption. Tapi sebenarnya dia dilakukan hal yang sama, lalu saya pernah tanya sama jaksa di Amerika, namanya Linda Samuel, “Bagaimana cara Anda pakai pembuktian terbalik? Konstitusi Anda melanggar?” “Oh, bisa. Gampang.” Katanya. “Saya tuduh dia, nanti dia harus bantah.” Rebatlle namanya, jadi setelah dia adukan tuduhan yang justu membuktikan dia karena dia harus membantah tuduhan tadi, akhirnya jatuhnya sama juga, dia juga yang harus membuktikan, hanya bedanya inisiatifnya berbeda. Kalau dalam Pasal 77 inisiatifnya dari terdakwa, kalau model Amerika rebatlle itu inisiatifnya dari jaksa penuntut umum, ujung-ujungnya sama juga. Begitu, Pak, terima kasih. Pak Ramelan mungkin mau menambahkan sedikit.
55.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Silakan, Pak Ramelan.
56.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: RAMELAN Terima kasih, Pak Yang Mulia. Saya sedikit saja barangkali, Pasal 778[Sic!] ini hanya berlaku di pengadilan, Pak. Jadi tidak berlaku di tingkat penyidikan, berbahaya kalau di tingkat penyidikan ini berlaku, terlebih penyalahgunaan wewenang dan ini sudah terjadi perdebatan 29
sejak pembahasan undang-undang tindak korupsi tahun 1971, itu yang pertama, mungkin saya sedikit tambahan saja pendapat Pak Umar Senoaji. Kalau di dalam dakwaan, tidak disebut atau di dalam sidang tidak terbukti. Begini, Pak, pembuatan surat dakwaan itu dasarnya adalah hasil penyidikan berkas perkara. Kalau berkas perkaranya tidak ada, ini jaksa dari mana buat ini, gitu? Ini jaksa saya bilang terus terang saja, salah jaksa ini dan ini kosekuensinya mestinya ini dakwaan jadi kabur karena tidak jelas. Itu, Pak. Jadi, kembali lagi itu harus hasil dari penyidikan, hasil penyidikan sudah menyebutkan oh, dia terima uang Rp200 miliar dari hasil korupsi misalnya, misalnya begitu. Kalau dia tidak menyebutkan, kabur, itu. Kalau kemudian ternyata di sidang tidak terbukti bahwa dia memiliki uang Rp100 miliar, tentunya itu juga dipertanyakan penyidikannya, begitu. Di penyidikan tidak diungkap, di sidang tidak terbukti, ya konsekuensinya Hakim harus membebaskan untuk yang sejumlah itu. Itu, Pak, konsekuensinya begitu. 57.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, masih ada, Pak Ramelan?
58.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: RAMELAN Ya, barangkali itu sama semuanya itu.
59.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Cukup, ya?
60.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Jadi ini sudah lama enggak ketemu Pak Yunus saya sama Pak Ramelan.
61.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, terima kasih, Yang Mulia. Terima kasih, Pak Yunus dan Pak Ramelan yang sudah memberikan keterangan Ahli di dalam persidangan kali ini. Seluruh rangkaian persidangan dalam Perkara Nomor 90/PUUXIII/2015 sudah selesai. Yang terkahir sebelum saya akhiri, maka pada Pemohon dan Pemerintah, silakan untuk menyerahkan kesimpulan, kesimpulan bisa diserahkan paling lambat hari Rabu, 4 November 2015, pada pukul 10.00 WIB. 30
Saya ulangi, kesimpulan bisa diserahkan di Kepaniteraan, sudah tidak ada persidangan lagi, Rabu, 4 November 2015 pada pukul 10.00 WIB. Ya, Pihak Terkait juga, saya ulangi juga, Pihak Terkait juga, saya kira itu. Jadi Pemohon, Pemerintah, dan Pihak Terkait bisa mengajukan kesimpulan, sebagaimana yang saya sebutkan tadi, Rabu, 4 November 2015 pada pukul 10.00 WIB. Sidang selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 12.48 WIB Jakarta, 28 Oktober 2015 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
31