MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 130/PUU-XIII/2015
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA PEMERIKSAAN PENDAHULUAN (I)
JAKARTA RABU, 11 NOVEMBER 2015
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 130/PUU-XIII/2015 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana [Pasal 14 huruf b, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) Pasal 139 dan Pasal 14 huruf i] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Choky Risda Ramadhan 2. Carlos Boromeus Beatrix Tuah Tennes 3. Usman Hamid, dkk. ACARA Pemeriksaan Pendahuluan (I) Rabu, 11 November 2015, Pukul 14.11 – 15.07 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) Aswanto 2) Maria Farida Indrati 3) Suhartoyo Hani Adhani
(Ketua) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Choky Risda Ramadhan B. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Muhammad Isnur 2. Ihsan Zikri
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 14.11 WIB 1.
KETUA: ASWANTO Sidang dalam Perkara 130/PUU-XIII/2015 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Saudara Pemohon, silakan diperkenalkan siapa yang hadir?
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD ISNUR Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang. Saya Muhammad Isnur, Kuasa Hukum Pemohon. Sebelah kanan saya, Choky Risda Ramadhan Prinsipal Pemohon. Sebelah kiri saya, Ihsan Zikri Kuasa Hukum Pemohon. Terima kasih, Yang Mulia.
3.
KETUA: ASWANTO Baik. Permohonan Saudara kami sudah pelajari, tapi Saudara tetap diberi kesempatan untuk mempresentasikan atau menyampaikan garis-garis besar dari permohonan Saudara. Garis-garis besarnya berarti ini kan ada 27 halaman ya, enggak usah dibacakan semua, yang mana yang dianggap oleh Saudara sangat penting untuk dipresentasikan. Silakan.
4.
KUASA HUKUM PEMOHON: IHSAN ZIKRI Baik. Mohon izin, Yang Mulia. Kepada Yang Mulia Ketua Mahkamah Konstitusi. Dengan hormat, untuk dan atas nama Choky Risda Ramadhan, Carlos Boromeus Beatrix Tuah Tennes, Usman Hamid, dan Andro Supriyanto. Kesemuanya Warga Negara Indonesia yang khusus permohonan ini diwakili oleh Alghiffari Aqsa, dkk., disebut sebagai Pemohon. Pendahuluan. Secara etimologis, kata prosecution berasal dari Bahasa Latin, prosecutes, yang berarti dari bahasa pro dan sequi yang dapat dipahami sebagai proses perkara dari awal hingga berakhir. Sehingga apabila pemaknaan kata penuntutan dikaitkan dengan peran kejaksaan dalam suatu sistem peradilan pidana, maka kejaksaan seharusnya dipandang sebagai dominus litis, yaitu pengendali proses perkara dari tahapan awal penyidikan sampai dengan pelaksanaan proses eksekusi suatu putusan. 1
Asas dominus litis yang dimiliki oleh kejaksaan telah dibatasi cakupan kewenangannya sejak diberlakukan KUHAP yang menganut adanya prinsip diferensiasi fungsional yang mengotak-ngotakkan wewenang antara subsistem penyidikan dan penuntutan. Sekalipun KUHAP menganut diferensiasi fungsional, asas dominus litis yang dimiliki oleh kejaksaan pada tahap penyidikan tidak serta-merta hilang. Kejaksaan tetap mempunyai suatu wewenang untuk melakukan pengawasan secara horizontal terhadap penyidikan yang bertujuan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum yang berpotensi melanggar hak asasi manusia. Pelaksanaan pengawasan horizontal terdapat … merupakan suatu pengawasan aktif antara penuntut umum dan penyidik, akan tetapi mekanisme pengawasan horizontal ini masih mengandung permasalahan-permasalahan mendasar. Jika merujuk pada ketentuan Pasal 14 huruf b KUHAP, prapenuntutan seolah-olah hanya dilakukan apabila ada kekurangan pada penyidikan. Frasa ini menandakan prapenuntutan seolah-olah bukan sebagai bagian integral dari sistem peradilan pidana terpadu yang merupakan suatu keharusan dan memosisikan penuntut umum dapat berperan … dan tidak memosisikan penuntut umum dapat berperan secara aktif dari awal tahapan penyidikan, tapi hanya pada akhir penyidikan. Begitu pula pada pengaturan Pasal 109 ayat (1) KUHAP dan ayat (2) yang … yang menyimpan dua permasalahan besar. Yang pertama adalah tidak adanya penegasan bahwa pelaksanaan SPDP merupakan suatu kewajiban dalam sistem peradilan pidana terpadu dan tidak adanya kejelasan kapan penyidik wajib memberi tahu penuntut umum saat telah melakukan penyidikan. Ketidakjelasan prapenuntutan juga terga … terkandung dalam norma Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP terkait frasa dalam waktu tujuh dari dan dalam waktu 14 hari yang tidak memberikan pemaknaan tegas akan berapa kali mekanisme dalam pasal a quo dapat dilakukan. Perumusan norma Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan situasi bolak-balik berkas di antara penyidik dan penuntut umum lebih dari satu kali atau bahkan berulang kali tanpa balasan yang jelas … tanpa batasan yang jelas. Praktik bolak-balik berkas tanpa batas waktu, pada akhirnya akan merenggut hak atas kepastian hukum warga negara yang bertentangan dengan Pasal 28D Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Para Pemohon dalam perkara ini tergabung dari berbagai elemen, meliputi peneliti, aktivis, dan juga sekaligus korban dari ketidakjelasan koordinasi fungsional penyidik dan penuntut umum. Berharap melalui permohonan ini, dapat turut aktif dalam memperbaiki sistem peradilan pidana di Indonesia guna menjamin kepastian hukum dalam proses peradilan pidana untuk mencegah adanya perlakuan diskriminatif dan tentu mengharapkan tercapai cita-cita konstitusi yang menginginkan 2
Indonesia menjadi negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dan seterusnya. Kedudukan hukum Para Pemohon. Bahwa Pasal 14 huruf b, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138, Pasal 139, dan Pasal 14 huruf i telah menyebabkan nilai tidak terwujudnya sistem peradilan pidana yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan nilainilai due process of law, tidak terkontrolnya subjektivitas penyidik dalam melaksanakan kewenangannya, terutama terkait penilaian fakta-fakta, bukti-bukti, dan melakukan upaya paksa, tidak efektifnya koordinasi fungsional antara penyidik dan penuntut umum, tidak maksimalnya peran penuntut umum dalam meneliti hasil penyidikan, dan tidak adanya peran aktif penuntut umum selaku pengendali penanganan perkara. Dalam proses penyidikan dan tentunya semua hal tersebut akan bertentangan dengan hak konstitusional Para Pemohon berupa adanya jaminan kepastian hukum dan perlindungan dari perlakuan diskriminatif, khususnya dalam proses peradilan pidana. Bahwa berlakunya pasal-pasal tersebut telah menimbulkan kerugian yang dialami oleh Para Pemohon atau paling tidak berpotensi dialami oleh Para Pemohon, berupa hambatan terpenuhinya sistem peradilan pidana yang berlandaskan nilai-nilai due process of law, mengalami kesewenang-wenangan dalam proses penyidikan berupa pengenaan upaya fakta tanpa dasar hukum yang jelas, dilanggarnya hak-hak sebagai tersangka, ketidakjelasan kelanjutan penanganan perkara yang tidak dihentikan oleh penyidik dan namun juga tidak dilanjutkan ke tahap penuntutan, dimungkinkannya seseorang dituntut berdasarkan hasil penyidikan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan uraian di atas, terdapat hubungan sebab-akibat antara kerugian hak konstitusional Pemohon dengan berlakunya pasalpasal KUHAP yang diuji dalam permohonan ini. Karena pemberlakuan pasal-pasal yang diuji dalam permohonan ini telah menyebabkan atau setidak-tidaknya berpotensi mengakibatkan terlanggarnya hak konstitusional Para pemohon. Atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dan bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif tersebut, sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 5.
KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD ISNUR Tambahan, Yang Mulia. Pertama, dengan ini Pemohon mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 14 huruf h, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 139 dan Pasal 14 huruf i Undang-Undang Nomor 8 Tahun 3
1981, tentang Hukum Acara Pidana, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209 terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kami mengajukan permohonan petitum dalam permohonan ini: 1. Menyatakan Para pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. 2. Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya. 3. Menyatakan Pasal 14 huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sepanjang frasa apabila terdapat kekurangan pada penyidikan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 4. Menyatakan Pasal 14 huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sepanjang frasa memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak ditafsirkan memberi petunjuk dalam rangka penyidikan. 5. Menyatakan Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak ditafsirkan wajib memberitahukan telah dimulainya penyidikan dalam jangka waktu 1 hari setelah dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan dan mengakibatkan penyidikan menjadi batal demi hukum tanpa pemberitahuan penyidikan pada penuntut umum. 6. Menyatakan Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang ditafsirkan hanya berlangsung 1 kali. 7. Menyatakan Pasal 139 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak ditafsirkan segera dan tidak lebih dari 20 hari dan meliputi kewenangan untuk melakukan pemeriksaan tambahan. 8. Menyatakan Pasal 14 huruf i Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan Pasal i ayat … Pasal 1 ayat 4
(3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang ditafsirkan meliputi … melengkapi berkas perkara tertentu dan melakukan pemeriksaan tambahan. Demikian permohonan kami, Yang Mulia pada pokoknya. 6.
KETUA: ASWANTO Baik.
7.
KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD ISNUR Ya, terima kasih.
8.
KETUA: ASWANTO Sesuai dengan undang-undang, pada sidang pendahuluan pertama, sebagaimana yang diatur di Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Hakim wajib memberi nasihat kepada Pemohon. Ini adalah sidang pendahuluan pertama, sehingga menjadi kewajiban kami menurut undang-undang untuk memberikan nasihat. Nah, sebelum masuk ke permasalahan yang terkait dengan persyaratan-persyaratan permohonan, saya ingin melakukan klarifikasi, di Surat Kuasa. Ya, Surat Kuasa Khusus Saudara, itu ada 24 nama yang diberi kuasa. Tapi dari 24 nama yang diberi kuasa, yang menandatangani … menandatangani Surat Kuasa itu ada kalau enggak salah cuma 9. Artinya, kan kesepakatan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa itu diwujudkan dalam bentuk penandatanganan Surat Kuasa. Nah, ini ada beberapa orang yang tidak menandatangani. Kalau ini satu, dua, lima … tidak semua menandatangani ya. Demikian juga dalam permohonan Saudara. Saudara mencantumkan 23 nama. Jadi kalau di Surat Kuasa ada 24 nama, lalu di permohonan Saudara ada 23 nama. Ada satu yang tidak masuk, kalau enggak salah Saudara Ricky. Dan itu juga tidak menandatangani semua, gitu. Nah, ini perlu ketegasan Saudara. Apakah tetap memasukkan semua nama itu sebagai kuasa, walaupun mereka tidak menandatangani? Artinya, ketika mereka belum menandatangani, sebenarnya kan dia belum menerima kuasa, gitu. Nah, demikian juga dalam permohonan Saudara. Yang … yang dimasukkan di dalam permohonan Saudara adalah yang menerima kuasa dan menandatangani surat permohonan itu. Enggak usah dicantumkan semua nama, lalu mereka tidak menandatangani. Artinya, kalau masuk namanya, lalu mereka tidak menandatangani, kemudian bisa melakukan
5
komplain nanti. “Oh, saya tidak setuju dengan permohonan … saya tidak menerima kuasa ini,” gitu. Itu yang pertama, ya? Selanjutnya, saya persilakan Yang Mulia Prof. Maria, untuk menyampaikan nasihat. 9.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Terima kasih, Pak Ketua. Yang pertama, di sini siapa yang menjadi Pemohonnya sebetulnya? Prinsipalnya siapa? Karena di sini, saya melihat ada yang menyatakan bahwa ada empat orang, ya, Choky Risda Ramadhan, Carlos Boromeus Beatrix Tuah Tennes, Usman Hamid, dan Andro Supriyanto. Tetapi kemudian, dikatakan di sini, apakah dia sebagai perorangan warga negara atau dia merupakan … di sini ada MAPI, ya? Apakah dia per orang warga negara atau dia merupakan suatu badan hukum yang itu, ya? Itu mesti dilihat itu. Kemudian, hal-hal yang merupakan bahwa Anda atau Pemohon merupakan orang yang berhak untuk mengajukan permohonan ini karena hak konstitusionalnya terlanggar. Anda belum jelas menjelaskan, kenapa keempat prinsipal ini mengatakan adanya hak konstitusional yang terlanggar itu, ya? Jadi, itu yang perlu dilihat kembali, yang perlu dijelaskan. Kemudian, kalau dalam pasal-pasal yang diajukan. Pasal 109, itu dulu pernah diajukan, ya? Yang pasal yang lainnya belum. Nah, kemudian, juga kita melihat di sini. Anda terlalu banyak menguraikan teori-teori dan sebagainya, tapi tidak fokus bahwa sebetulnya hak konstitusional apa yang terlanggar? Sedangkan kalau kita melihat di sini, yang kita pertentangkan adalah rumusan dalam pasalpasal tersebut yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Jadi, kita tidak mengadili kasus konkret, tapi kerugian konkret yang bisa diajukan sebagai landasan permohonan itu. Sebenarnya Anda harus menjelaskan, kenapa Anda bisa mengajukan permohonan ini? Sehingga, legal standing-nya itu diterima, ya? Kemudian, mengenai tanda tangan, tadi sudah. Kemudian, untuk petitumnya. Mestinya, Anda tidak perlu menyatakan, “Yang satu, Para Pemohon memiliki kedudukan hukum.” Ya, itu nanti yang pertama itu tidak perlu dirumuskan atau diajukan. Tapi kemudian yang kedua, “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya.” Nah, kemudian, untuk yang 3, 4, 5, 6, dan seterusnya, Anda tinggal mengatakan bahwa pasal ini bertentangan dengan UndangUndang Dasar Tahun 1945, tidak perlu lagi disebut Undang-Undang Dasar Tahun 1945, pasal berapa. Tidak perlu itu semuanya. Jadi, semuanya diubah seperti itu.
6
Dan kemudian, di akhir petitum Anda, Anda mestinya menambahkan juga kalimat, “Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.” Dan juga kalimat, “Ex aequo et bono. Kalau Majelis mempunyai pendapat lain, maka mohon pengadilan yang seadil-adilnya, putusan yang seadiladilnya.” Itu yang perlu Anda rumuskan kembali, ya? Jadi, tolong kerugian konstitusional Anda dijelaskan lebih nyata, sehingga betul-betul Anda memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan ini, ya? Terima kasih. 10.
KETUA: ASWANTO Baik, Yang Mulia. Saya undang, Yang Mulia Bapak Dr. Suhartoyo, silakan.
11.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Terima kasih, Yang Mulia Pak Ketua. Saya tambahkan ya, Para Kuasa. Jadi, di samping nanti supaya disinkronkan antara Surat Kuasa kalian, dengan Anda, dengan permohonannya, nanti supaya tidak terjadi persoalan di masalah legal standing. Karena Anda duduk di situ kan karena pondasinya kan sebenarnya Surat Kuasa itu. Kecuali, Anda yang mengujikan … mengajukan pengujian untuk kepentingan Anda-Anda sendiri, tidak ada persoalan, tapi karena mendapat kuasa, ya harus seperti disampaikan Pak Ketua tadi supaya dipenuhi. Kemudian sistematika, saya, dari hasil telaah Mahkamah sudah dipandang memenuhi sistematikanya. Cuma masalah substansi, barangkali … saya juga perlu tambahkan, khususnya berkaitan dengan alasan permohonan para Pemohon, dikaitkan dengan petitum itu secara substansial bahwa kita cermati petitum angka tiga coba, yang satu, dua, tadi kan sudah disampaikan. Yang satu tidak perlu mempunyai kedudukan hukum itu, kemudian di angka tiga itu kalau Para Pemohon di dalam Pasal 14 huruf b itu minta supaya frasa apabila terdapat kekurangan pada penyidikan tidak mempunyai kekuatan mengikat, Pasal 14 huruf b itu, tetapi kenapa di permohonan nomor 4, petitum angka 4 mengatakan bahwa frasa memberi petunjuk dalam rangka penyidikan tetap … meskipun awalnya memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan, kemudian diminta supaya dimaknai memberi petunjuk dalam rangka penyidikan, ya, paham ya? Artinya, kalau di satu sisi Para Kuasa Pemohon mengatakan bahwa kalau terdapat kekurangan pada penyidikan dianggap inkonstitusional, tidak mempunyai kekuatan mengikat, kenapa masih diperlukan adanya petunjuk dalam rangka penyidikan yang merupakan 7
frasa yang ada di dalam Pasal 14B juga? Artinya, ini coba dicermati lagi, ya. Jangan kemudian nampak tidak konsisten kalau memang … semangatnya sebenarnya kan apa sih, ini apa memang ada keinginan setiap pelimpahan berkas perkara dari penyidikan itu dianggap sudah lengkap, sehingga tidak boleh penuntut umum kemudian menyatakan masih ada yang kurang? Tapi di dalam Pasal … Pasal 138 ayat (1), itu kan Anda minta yang dari 7 hari karena tidak ada konsistensi dengan 14 hari ketika penyidik penuntut umum menerima berkas dari penyidik dalam waktu 7 hari, harus segera memberi petunjuk kepada… harus segera mempelajari. Dan dalam waktu 14 hari sudah memberikan berkas itu dikembalikan pada penyidik, apa saja yang kurang. Artinya kalau kaitannya dengan Pasal 138, mestinya Pasal 14 ini kenapa harus dinyatakan inkonstitusional tentang frasa apabila terdapat kekurangan pada penyidikan, artinya itu kan saling memperkuat sebenarnya, tapi kalau itu kemudian dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, adanya pendapat penuntut umum bahwa hasil penyidikan itu masih kurang, mestinya Pasal 138 dinyatakan juga inkonstitusional. Tapi nanti apakah kemudian setiap penyidikan ketika dikembalikan … bukan dikembalikan, dilimpahkan ke penuntut umum (suara tidak terdengar jelas) sudah dianggap lengkap, ini perlu konsisten … nanti diperlu konsistensi, nanti dicermati petitum anda nomor tiga itu, dan nomor empat antara 14B dengan 14B juga. Yang satu bahwa supaya apabila terdapat kekurangan pada penyidikan ini dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat, berarti dihilangkan itu. Ya kan? Tapi kenapa di petitum angka 4 masih penuntut umum memberi petunjuk dalam rangka penyidikan? Artinya, berkas itu dimungkinkan untuk dikembalikan. Karena konteksnya memberi petunjuk. Coba nanti dicermati supaya kita … supaya nanti permohonan ini ada … apa … konsitensi tadi. Kemudian juga dikaitkannya dengan Pasal 138, kalau Pasal 138 itu memang Adik-Adik ini masih bisa menolerir … mentolerir bahwa pengembalian berkas perkara ini diperbolehkan, meskipun ini sekali lagi dipertentangkan dengan permohonan Anda di yang angka 3. Di angka 6 ini mestinya yang dari 7 hari ke 14 hari yang tidak konsisten tadi menurut Anda, saya lihat di alasan permohonan, supaya dimaknai satu kali. Nah, satu kali ini seperti apa? Karena dalam tataran empirik kan, pengembalian berkas kenapa mesti bolak-balik itu, itu memang di satu sisi mungkin menyebabkan proses penyidikan, proses berjalannya suatu perkara itu menjadi tersendat-sendat dan itu ada ruang yang kemungkinan kalau kita boleh menduga-duga, tapi sebenarnya kita kan tidak boleh bahwa itu ada kesengajaan misalnya diperlambat. Tapi sebenarnya kalau Anda juga hanya memberi batasan waktu satu kali, apakah juga firm? Kalau berkas dari penyidik dikembalikan ke penuntut umum, bukan dikembalikan, diserahkan ke penuntut umum kemudian dikembalikan ke penyidik lagi 8
dari yang 7 hari, 14 hari, kemudian hanya dipaham … dimaknai 1 kali, itu apakah sudah cukup 1 kali itu apa Anda-Anda pandang cukup? Karena dalam perkara-perkara yang cukup pelik, dalam perkara-perkara yang dimensi perkaranya cukup sulit dan mungkin perkara-perkara yang cukup menyedot perhatian masyarakat karena perkaranya perkara besar, itu jangankan sekali loh, beberapa kali saja masih ndak cukup. Makanya memang benar, di satu sisi kalau secara pragmatis AdikAdik ini punya pandangan bahwa itu kemudian potensi ketidakadanya pasti … ketidakpastian … adanya kepastian hukum karena bolak-balik berkas, tapi sebenarnya ada hakikat yang di situ yang sangat esensial bahwa di situ memang terhadap perkara-perkara tertentu yang memang perkara itu pembuktiannya cukup sulit dan perlu dilakukan ekspose … eksplorasi terhadap nuansa perkaranya itu sendiri, itu juga jangankan sekali, beberapa kali saja enggak cukup. Coba, apakah pernah Anda juga ikut menangani perkara yang sejak di tingkat penyidikan? Pernah selama jadi lawyer? 12.
KUASA HUKUM PEMOHON: IHSAN ZIKRI Mohon izin untuk me (…)
13.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Nanti … nanti ditanggapi. Jawab dulu yang tadi. Pernah apa sering menangani perkara ikut mendampingi Prinsipal yang pernah punya perkara bolak-balik berkas itu?
14.
KUASA HUKUM PEMOHON: IHSAN ZIKRI Ya.
15.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Nah, itu. Itu harus dimaknai bahwa memang dimensi perkara itu sendiri memang … belum kalau nanti Anda-Anda juga berposisi sebagai pelapor. Apakah Anda juga rela punya perkara? Begitu dilakukan penyidikan, Anda sebagai pelapor atau prinsipal, Anda sebagai pelapor, begitu hasil penyidikan sudah cukup diserahkan ke penuntut umum hanya sekali, kemudian belum tentu apa yang dimintakan penuntut umum itu sudah dipenuhi. Kembalikan lagi sekali sudah … penuntut umum punya tanggung jawab yang sangat besar. Ketika perkara ini sudah berani membuat surat dakwaan dan kemudian dilimpahkan ke pengadilan, dia sudah mempertaruhkan jabatan. Ketika perkara itu kemudian tidak terbukti di persidangan, ya secara hukum mestinya harus begitu. Kalau tidak terbukti, harus bebas. 9
Tapi bagi jaksa yang menyidangkan, jangankan konduite, kadangkadang pangkat pun bisa … jabatan dicopot, itu betul. Makanya sangat strict sekali ketika penuntut umum menerima berkas dari penyidik untuk kemudian di P-21 tahap 2 kemudian dibuatkan surat dakwaan, itu sangat strict bangat. Karena jaksa juga enggak mau dia akan bernasib konyol. Nah, kembali kepada posisi Adik-Adik kalau sebagai pelapor tadi, apakah juga mendapatkan kepastian hukum dan mendapatkan rasa keadilan kalau berkas hanya cukup sekali, kemudian sudah diserahkan ke penuntut umum, sementara penuntut umum menganggap berkas itu belum lengkap, belum bisa dilimpahkan ke pengadilan, tidak bakal keluar P-21. Jaksa juga enggak akan keluarkan SP3, jadi berkas itu menjadi tidur, terkatung-katung. Apa itu yang Anda Adik-Adik inginkan? Sementara ingin kepastian hukum, tapi di dalamnya ada sesuatu yang susah untuk dipenuhi kalau hanya diberi ruang satu kali tadi. Sekali lagi. Bahwa berkas itu bolak-balik saja masih … masih … hanya memang saya juga menghargai semangat Para Pemohon ini, Kuasa ini, memang penginnya semua itu harus ada kepastian. Jangan kemudian berkas itu bolak-balik yang tidak jelas, kemudian banyak merugikan pencari keadilan. Saya juga menghargai itu, tapi juga harus dipahami bahwa penuntut umum yang menerima berkas itu juga taruhannya sangat berat tanggung jawabnya ketika … itu ya. Jadi angka 3, 4, dan 6 ini supaya di … apa … dicermati kembali. Kalau memang masih lembaga pengembalian berkas itu masih dimungkinkan, ya angka 3 itu bagaimana? Di satu sisi, Anda mengatakan inkonstitusional, tapi kok di satu sisi di angka 4-nya memberi petunjuk. Jadi apa yang diberi petunjuk kalau itu sudah dinyatakan inkonstitusional, ya berarti frasa itu kan tidak ada, sudah hilang, kekurangan itu sudah tidak jadi persoalan lagi di pasal itu. Oke, paham ya 3, 4, dan 6? Kemudian yang angka 5, ini saya enggak tahu ya dulu sudah pernah diajukan memang di hasil kajian Mahkamah. Apakah dulu dikabulkan apa tidak, tapi Adik-Adik bisa mempelajari supaya nanti kalau memang ini sama persis, ya untuk apa membuang energi kan? Coba nanti cari referensi putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 109, apakah hasilnya ketika pengujian itu diajukan oleh Pemohon yang terdahulu. Memang semangatnya juga sangat bagus ini. Saya juga setuju sih sebenarnya, tapi kalau satu hari pun juga, Anda juga terlalu strict. Tapi memang banyak SPDP itu dikeluarkan setelah akhir-akhir penyidikan itu, bahkan perkara mau dilimpahkan, sekarang baru penyidikan, SPDP itu dikirim. Kami juga sering dengar, tapi persoalannya jangan kemudian diberi harga mati satu hari, gitu lho. Karena kita juga harus mengidentifikasi bahwa apakah setiap perkara yang sudah dimulai penyidikan itu, itu dalam arti bahwa secara yuridis penyidikan yang 10
sebenarnya. Coba, penyidikan yang sebenarnya seperti apa? Jangan setiap polisi melakukan panggilan, kemudian menetapkan … kadangkadang menetapkan tersangkanya belakangan, calon tersangka pun masih menjadi saksi. Apakah itu sudah masuk domain penyidikan atau masih penyelidikan? Sehingga ada titik yang jelas dari mana berangkatnya tenggang waktu yang Anda minta satu hari, meskipun menurut saya satu hari itu enggak logis dong. Itu dari titik mana harus berangkat, gitu lho? Ini … ini bagus, saya juga … tapi nanti kita pelajari lagi di putusan Mahkamah Konstitusi yang dulu apa ya. Saya juga Hakim baru, jadi belum tahu nanti … jangan Anda juga hanya buang-buang energi. Kalau misalnya Anda punya angle yang berbeda, mau tetap diajukan, ya silakan. Memang ini banyak menjadi ruang bahwa penyidik-penyidik sering menyalahgunakan SPDP itu, sedangkan SPDP itu kan fungsinya untuk fungsi control sebenarnya, secara horizontal atau apa pun namanyalah. Karena penuntut umum dengan dimulainya SPDP itu juga akan menjadi control bahwa penyidik polisi di dalam melakukan penyidikan itu tidak kemudian “bermain-main”. Artinya, ketika perkara sudah dilakukan penyidikan, ya firm harus dilimpahkan ke penuntut umum, ya kan. Banyak perkara yang dilakukan penyidikan entah bagaimana-bagaimana, apakah pelapor mencabut laporannya meski itu bukan delik aduan misalnya, Pasal 359. Kalau zaman dulu Pasal 359, sekarang pasal berapa itu? 100 berapa yang kelalaian itu menyebabkan orang lain mati itu? Itu hanya berapa persen dari 100 perkara, mungkin enggak ada 10%-nya itu. Orang sudah disidik, sudah … tapi berkas enggak pernah dilimpahkan. Karena apa? Ada lembaga restorative justice itu yang bisa kemudian ada perdamaian, meskipun perdamaian 359 itu tetap tidak menghapuskan tuntutan. Ruang-ruang itu saya … menurut saya bagus ini, tapi ya coba dikaji kembali dengan pasal … eh sori, dengan putusan yang sudah ada itu. Kemudian Pasal 139 juga, kewenangan untuk melakukan 139 itu .. nah, ini sebenarnya pada tahap penyidikan sudah pengembalian yang terakhir sebenarnya, ini ada ini 139 ini, tapi Anda juga minta ini di … supaya dibatasi 20 hari. Dua puluh hari itu dari mana? Dua puluh hari itu dari yang sudah ada yang satu kali di 138 tadi, apakah ini tersendiri ini? Dua puluh hari dari Pasal 139 ini, apakah ini pengembangan dari … berarti kemudian jadi tidak konsisten lagi, berarti boleh dari … lebih dari sekali, boleh dong? Jadi, pada saat pengembalian terakhir sebelum dilimpahkan ke pengadilan, penyidik dalam waktu Anda minta 20 hari, itu penuntut umum bisa melakukan pemeriksaan tambahan yang diminta ini atau kewenangan itu untuk melakukan pemeriksaan tambahan. Artinya, pemeriksaan tambahan itu tidak mengembalikan berkas ke penyidik, tapi penuntut umum bisa melakukan pemeriksaan tambahan tersendiri. Memang praktiknya selama ini juga seperti itu sebenarnya.
11
Coba, Anda pernah enggak mengikuti pelimpahan berkas tahap dua dari penyidik ke penuntut umum? Itu penyerahan berkas perkara, penyerahan tersangkanya, penyerahan barang bukti, ya kan? Di situ juga ada pemeriksaan yang dilakukan pemeriksaan tambahan oleh penuntut umum. Sehingga ini sebenarnya, ya sebenarnya sudah ... sudah secara empirik sudah ada. Cuma kalau kemudian dikaitkan dengan Pasal 139 sudah memenuhi persyaratan yang dimaknai segera dan tidak lebih dari 20 hari meliputi atau lebih-kurang pemeriksaan tambahan, malah lama dong 20 hari hanya pemeriksaan tambahan? Sedangkan penuntut umum ketika menerima berkas pelimpahan tahap dua itu, hari itu juga langsung pemeriksaan tambahan. Anda minta malah 20 hari, meskipun ini paling lama ya. Tidak lebih dari 20 hari, padahal hari pertama pelimpahan itu, coba Anda perhatikan. Kalau Adik-Adik pernah mendampingi klien, ada tahap dua pelimpahan itu, kan langsung ada pemeriksaan tambahan. Barangkali yang Anda maksud, mungkin tambahan-tambahan yang sifatnya substansial. Tapi kalau ... kalau masih kurang, tidak mungkin penuntut umum itu menerima tahap dua itu. Tidak mungkin menerima P-21, mengeluarkan P-21. Sebenarnya permintaan Anda ini juga berlebihan, pemeriksaan tambahan selama paling lebih lama dua hari ... 20 hari ini juga tidak ... sebenarnya tidak ... agak tidak rasional karena tidak mungkin kalau sampai ada pemeriksaan tambahan yang substansial 20 hari diberi waktu ini kalau masih ada kekurangan. Karena kalau ada kekurangan, pasti tidak akan keluar P-21 dan tahap dua. Ya kan? Coba cermati lagi ini. Jangan nanti kemudian overlapping dengan ... kemudian ya, ini yang 14 ini tadi kaitannya dengan yang ... yang ... yang 14 … eh, yang 3 dan 4 juga ini. Coba nanti kalau memang itu inkonsistusional tidak boleh ada kekurangan, supaya itu dinyatakan inkonstitusional, kenapa ada 14I, 14B. 14B pun dipecah menjadi dua bagian oleh Para Pemohon itu. Dimintakan di petitum angka 4 dan yang i di angka 8, tapi ya … coba, nanti kalau enggak jelas, ditanyakan ya nanti, Anda-Anda punya kesempatan untuk ... terima kasih, Yang Mulia. 16.
KETUA: ASWANTO Terima kasih. Saudara Pemohon ya, sudah banyak masukan. Ini secara garis besar memang kita bisa menangkap apa yang Saudara minta ya. Cuma, ini di bagian pendahuluan itu terlalu banyak … apa ... menguraikan hal-hal yang sebenarnya tidak fokus pada apa yang Saudara minta, gitu lho. Nah mungkin menurut saya, ini lebih bagus kalau bisa di … apa ... difokuskan misalnya, Pasal 14 huruf b misalnya, Pasal 14 huruf b dan huruf I, itu Saudara bisa mengurai bahwa dengan adanya norma ini, kerugian konstitusional yang dialami oleh Para Pemohon, itu adalah bla, bla. Dan kalau bisa, Saudara juga menguraikan bahwa dengan 12
dihapuskannya atau tidak adanya norma itu, maka tidak akan terjadi lagi kerugian. Sehingga kelihatan causal verband-nya antara norma yang Saudara minta untuk diuji dengan apa yang dialami oleh Para Pemohon. Dan harus menjadi catatan bahwa kerugian yang dimaksud bukan kerugian materi, tapi kerugian konstitusional. Dan ya ... untuk me ... meyakinkan kita dan lebih mudah memahami, ya, ini pasal … apa ... misalnya Pasal 14 huruf b, huruf c, normanya ini yang menyebabkan kami dirugikan ini, jika diuji dengan norma yang ada di dalam UndangUndang Dasar, sehingga tidak perlu terlalu panjang gitu lho. Dan sebenarnya permohonan itu tidak lazim menggunakan pendahuluan. Coba Saudara lihat nanti di Pasal 31 Undang-Undang MK kan jelas, permohonan itu sistematisnya bagaimana, memuat identitas para pihak, dan ... kan sudah sering ya beracara di MK ya? Sudah sering ya? Nanti coba lihat lagi, kembali lagi buka berkas-berkas yang Saudara sudah pernah ajukan, bahkan kalau perlu yang berkas-berkas dari Pemohon-Pemohon yang lain, sehingga Saudara bisa melihat bahwa ternyata sistematisasi sebenarnya yang sesuai dengan undang-undang adalah ini. Bisa mengerti ya? Ada yang mau disampaikan? 17.
KUASA HUKUM PEMOHON: IHSAN ZIKRI Mohon izin untuk menyampaikan beberapa hal, Yang Mulia. Pertama, terkait dengan masukan dari Yang Mulia Suhartoyo tadi, terkait … memang kami, sebelumnya kami berterima kasih atas masukan yang diberikan, kami juga menyadari bahwa di dalam permohonan kami masih terdapat kekurangan-kekurangan yang mungkin mengakibatkan perbedaan pandangan atau kebingungan dalam ... dalam mencermati apa sebenarnya yang kami inginkan. Tapi secara keseluruhan, secara general, secara garis besar yang ... melalui pasal-pasal yang kami ingin ajukan uji materi, seperti yang tadi sudah disebutkan juga oleh Yang Mulia Suhartoyo bahwa penuntut umum memang memiliki peranan penting dalam proses penyidikan karena dia adalah orang yang menentukan akan menuntut atau tidak menuntut. Dan proses ... proses itu, proses penuntut umum memilih untuk melakukan penuntutan atau tidak melakukan penuntutan adalah melalui mekanisme prapenuntutan yang di dalamnya ada masalah bolak-balik berkas. Terkait permasalahan ini, yang kami lihat adalah memang dalam kegiatan kami sehari-hari di LBH Jakarta dalam melakukan bantuan hukum bagi masyarakat miskin, seringkali proses bolak-balik berkas perkara inilah yang menjadi permasalahan mendasar, kenapa? Karena peran penuntut umum sebagai pengendali perkara, sebagai dominus litis menjadi terbatas hanya sekadar formalitas. Formalitas dalam artian ada kealpaan penuntut umum sebagai pengendali perkara untuk benar-benar mengawasi proses penyidikan, untuk turut serta, untuk benar-benar 13
fokus untuk mengarahkan penyidikan, mengingat penuntut umum adalah pihak yang paling berkepentingan dalam proses penuntutan. Akan tetapi, melalui norma-norma yang ada dan dalam pelaksanaannya, penuntut umum justru memiliki peran yang begitu kecil, yang dibatasi hanya sebatas berkas perkara. Dalam artian, berkas perkara penyidikan hanya itulah yang menjadi acuan penuntut umum dalam menentukan melakukan penuntutan atau tidak. Yang kami harapkan di sini adalah adanya peran penuntut umum sebagai dominus litis yang lebih substansial. Dalam artian, benar-benar mampu mengarahkan penyidikan, mampu mengendalikan suatu perkara dalam ar ... mengingat bahwa penyidik ... penyidik dalam melakukan fungsinya melakukan penyidikan adalah bertujuan untuk melakukan penuntutan. Dan kami berpendapat bahwa penuntut umum sebagai pengendali perkara sudah sepatutnya untuk ikut serta dalam ... sejak awal proses penyidikan tersebut. Bukan berarti penuntut umum akan subordinat dengan penyidik, melainkan penuntut umum di sini harus memberikan porsi lebih aktif dalam penyidikan, agar suatu proses penyidikan ke penuntutan bisa ... bisa integrated, bisa harmonis, bisa sinkron, dan pemahaman penuntut umum menjadi holistic, bukan hanya sebatas berkas perkara, tapi juga mengetahui fakta yang ada. Dan bahkan bila memungkinkan, penuntut umum sejak awal demi efektivitas, mampu memberikan arahan. Dan itu kenapa kami berpendapat bahwa bolak-balik berkas perkara itu cukup hanya satu kali. Dengan asumsi bahwa apabila penuntut umum dalam tahap penyidikan sudah aktif mengarahkan sebagai pengendali perkara, maka tidak perlu lagi dia hanya menunggu ada penyerahan berkas, lalu mengoreksi, dan diperbaiki. Kalau bisa sejak awal penuntut umum bisa mengarahkan penyidikan, tentunya akan lebih sesuai dengan prinsip sederhana, cepat, dan biaya murah. Itu yang (...) 18.
KETUA: ASWANTO Baik. Saya kira, Saudara juga mesti melihat Undang-Undang Kejaksaan. Di dalam proses bolak-balik perkara, ketika misalnya P-18, P19, itu kan jaksa memberikan petunjuk gitu. Bahkan di Undang-Undang Kejaksaan, kan kalau bolak-balik itu dan penyidik dari kepolisian sudah menganggap ini adalah penyidikan maksimal, jaksa kan bisa melakukan penyidikan tambahan. Nah, coba nanti Saudara kaitkan dengan itu, Saudara kaitkan dengan … tidak hanya semata melihat pasal yang ada di dalam KUHAP karena yang Saudara persoalkan adalah soal kewenangan penuntutan, maka perlu juga Saudara melihat norma yang mengatur secara khusus mengenai jaksa itu, ya. Dan perlu juga Saudara urai, misalnya tadi SPDP, ya, surat pemberitahuan dimulainya penyidikan, yang Saudara 14
mengatakan, tadi Saudara katakan bahwa ini seringkali … apa ... bahkan mungkin, ya, ini bisa bertahun-tahun itu bolak-baliknya, gitu. Bahkan mungkin banyak hal-hal yang tidak diinginkan bisa timbul di situ karena bolak-baliknya perkara itu, bolak-baliknya perkara. Tadi Yang Mulia Pak Suhartoyo menyampaikan bahwa sebenarnya SPDP itu kan menjadi alat kontrol bagi jaksa, bagi jaksa untuk mengikuti perkembangan satu kasus. Tapi memang ada problem karena SPDP itu seperti Beliau sampaikan tadi, biasanya disampaikan bersamaan dengan penyerahan tersangka malah, padahal filosofinya SPDP itu kan polisi sebagai penyidik menyampaikan ini ada kasus, kami mau mulai penyidikan, sehingga jaksa nanti bisa mengontrol. “Eh, dulu ada kasus yang kamu lapor, ke mana itu?” Ini yang saya kira perlu Saudara elaborasi juga dengan UndangUndang Kejaksaan dan termasuk Saudara juga coba di … apa ... disampaikan secara detail bahwa sebenarnya kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon ketika itu bolak-balik adalah bla, bla, bla, sehingga kami bisa yakin bahwa memang apa yang Saudara minta untuk diuji ini memang beralasan, begitu ya. Masih ada lagi? Ada tambahan? 19.
KUASA HUKUM PEMOHON: IHSAN ZIKRI Izin menambahkan sedikit, Yang Mulia.
20.
KETUA: ASWANTO Ya.
21.
KUASA HUKUM PEMOHON: IHSAN ZIKRI Terkait dengan ... betul bahwa SPDP ini kami melihat bahwa SPDP ini adalah pintu masuk dari mekanisme check and balances dalam suatu proses penyidikan, tapi memang permasalahannya selain dari SPDP yang tidak disiplin diberikan saat memulai penyidikan, permasalahan juga timbul. Memang penuntut umum memiliki kewenangan untuk mengawasi penyidikan secara substansial melalui mekanisme P18/P19. Akan tetapi, prasyaratnya adalah apabila penyidik menyerahkan berkas perkara, akan timbul permasalahan saat penyidik tidak menyerahkan berkas perkara. Jadi yang kami soroti adalah keikutsertaan penuntut umum tidak maksimal dalam proses penyidikan (...)
22.
KETUA: ASWANTO Oke, saya kira, justru itulah yang kita minta nanti di perbaikan, sehingga kita bisa lebih mudah memahami, Saudara bisa fokus ke situ, 15
sehingga kita bisa melihat secara mudah bahwa memang ada kerugian konstitusional yang dialami oleh para Pemohon ini, ya. Ada tambahan? 23.
KUASA HUKUM PEMOHON: IHSAN ZIKRI Yang Mulia, mohon, saya ada satu pertanyaan tadi terkait yang Pasal 14. Karena dalam Pasal 14 ini memang ada dua frasa yang kami uji, lalu tadi memang sempat dibahas bahwa ada ... ya, ada dua poin dalam satu pasal tersebut yang kami uji, yaitu terkait frasa apabila terdapat kekurangan pada penyidikan dan frasa memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan. Maksud kami dalam petitum nomor 3, itu adalah frasa apabila terdapat kekurangan pada penyidikan, dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum karena fungsi prapenuntutan tersebut bukan bersifat komplementer, dalam artian itu harus ada. Jadi untuk frasa yang kami ujikan dalam petitum 3 memang kami berharap itu dihapuskan. Tapi untuk dalam petitum 4, terkait frasa memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan, kami minta agar ditafsirkan. Kenapa? Karena fungsi prapenuntutan agar tidak hanya sebatas penyempurnaan. Menyempurnakan kan berarti barangnya sudah ada dan diperbaiki. Kami ingin agar dalam proses prapenuntutan, penuntut umum dapat aktif memberi petunjuk dalam penyidikan. Jadi konteksnya bukan penyempurnaan, tapi memberi petunjuk. Apakah dimungkinkan atau?
24.
KETUA: ASWANTO Baik, ada tambahan, Yang Mulia?
25.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Ya, sedikit, Yang Mulia. Itu yang tadi saya sampaikan bahwa antara permohonan Anda di petitum angka 3 dan angka 4, sebenarnya itu kan satu norma itu, 14B itu kan. Kalau di awal Anda tidak sepakat bahwa terdapat kekurangan pada penyidikan ini Anda tidak sepakat dan supaya dihilangkan dalam pasal itu, kenapa kok Anda masih kemudian memberi tolelir tentang ketika penuntut umum beri petunjuk, itu dalam konteks itu memberi petunjuk dalam rangka penyidikan, bukan penyempurnaan. Artinya, apa yang diberikan dalam konteks penyidikan kalau kekurangan itu minta Anda hapuskan? Berarti, di situ dianggap tidak ada … pernah ada kekurangan dong? Itu yang sebenarnya saya minta Adik-Adik supaya cermati, apakah masih mau ... kalau betul-betul cermati, kan ini ada kontradiksi antara permohonan Anda di angka 3 dan 4 itu, tapi ya semua dikembalikan kepada para Pemohon, para Kuasa yang punya domain untuk itu. Kalau mau terus, ya silakan saja. Panel ini kan hanya sifatnya memberi saran 16
dan nasihat, sepanjang itu mau diterima, ya bagus, tidak pun tidak mengikat. Kemudian yang pasal-pasal lain tadi bukan Panel Hakim tidak sepakat, tapi supaya itu dipertajam. Seperti Anda minta supaya SPDP itu satu hari, meskipun sudah pernah diputus MK, putusannya enggak tahu seperti apa, tapi kalau itu tetap mau diluncurkan, berangkat dari mana satu hari itu? Penyidikan itu seperti apa? Apakah panggil saksi-saksi itu sudah dimulai penyidikan, panggil calon tersangka yang masih mengumpulkan bukti, dua alat bukti itu juga sudah proses penyidikan, sehingga SPDP itu harus berangkat dari titik itu? Atau ketika seseorang sudah ditetapkan sebagai tersangka, harus dikeluarkan SPDP? Jadi supaya satu hari dari mana itu supaya itu juga jelas kalau memang ini mau diajukan, tapi tetap saya minta supaya itu diperhatikan putusan MK yang dulu seperti apa. Kemudian 20 hari tadi yang tambahan tadi, berarti kan itu jaksa kalau tidak boleh menyempurnakan, berarti kan dia juga boleh melakukan penyidikan tambahan kan? Nah, itu. Itu yang menurut saya dikaitkan dengan tataran empirik susah ini, karena apa? Kalau perkara itu belum lengkap, tidak mungkin akan keluar P-21 dan tahap dua itu. Ini logikanya begitu yang harus dibangun, tapi ya coba saja. Karena memang dalam praktik juga, kejaksaan masih juga sering menambah BAP, meskipun sudah tahap dua, ya kan? Meskipun sebelum dilimpah ke pengadilan. Tapi juga jangan lupa bahwa itu juga enggak cukup buat 20 hari, kalau jaksa suruh panggil-panggil saksi lagi. Tersangka, tersangka ya kalau dalam tahanan. Kalau misalnya di luar tahanan, 20 hari apa cukup? Pikirkan dulu … pikirkan kembali, ya. 26.
KETUA: ASWANTO Baik. Kami sudah melaksanakan amanat Pasal 39 ayat (2), memberikan nasihat kepada Saudara. Terserah kepada Saudara, apakah itu mau diakomodasi dalam rangka perbaikan atau tetap pada permohonan yang ada sekarang. Nah, Saudara punya kesempatan 14 hari untuk melakukan perbaikan. Sekarang tanggal 11 ya, hari Rabu, 11 November 2015. 14 hari ke depan, berarti hari Selasa, tanggal 24 November 2015, pukul 10.00 WIB. Jadi, waktu Saudara 14 hari. Tapi kalau Saudara mau memperbaiki sebelum sampai tanggal itu dan mau memasukkan, silakan. Itu lebih bagus lagi. Tapi kalau juga tidak mau memperbaiki, ya tidak apa. Kita akan lihat nanti pada sidang selanjutnya dan untuk sidang selanjutnya, Saudara tinggal menunggu pemberitahuan resmi dari Mahkamah.
17
Baik, sidang hari ini selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 15.07 WIB Jakarta, 12 November 2015 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
18