ISSN 0216-4329 E-ISSN 2442-8957
TERAKREDITASI NO : 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
Vol. 34 No. 3, September 2016
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN (Ministry of Environment and Forestry) BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI (Research Development and Innovation Agency) PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN (Forest Product Research and Development Center) BOGOR - INDONESIA
ISSN 0216-4329 E-ISSN 2442-8957 TERAKREDITASI NO : 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
Vol. 34 No. 3, September 2016 Jurnal Penelitian Hasil Hutan adalah publikasi ilmiah di bidang anatomi, fisik mekanik, teknologi serat, komposit, biodeteriorasi dan pengawetan bahan berlignoselulosa, teknologi pengeringan hasil hutan, penggergajian dan pemesinan kayu, pengolahan hasil hutan kayu dan bukan kayu, pengolahan kimia dan energi hasil hutan, keteknikan hutan dan pemanenan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Jurnal ini terakreditasi oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai Majalah Berkala Ilmiah (Akreditasi No. 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015). Jurnal ini dipublikasikan pertama pada tahun 1984 dan terbit empat kali dalam satu volume setiap tahun. Journal of Forest Product Research is a scientific publication reporting research findings in the field of anatomy, physical and mechanical, fiber technology, composite, biodeterioration and preservation of lignocellulosic materials, forest products drying technology, wood sawing and machining, wood and non wood forest products processing, chemical and forest product energy processing, forest engineering and wood and non wood forest products harvesting. This journal has been accredited by Indonesian Institute of Science (LIPI) as a Scienti c Periodical Magazine (Accreditation Number 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015). This journal was first published in 1984 and issued four numbers in one volume every year. Pelindung (Condescendent )
: Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan
Dewan Redaksi (Editorial Board) Ketua (Editor in chief) Anggota (Members)
: Prof. Dr. Gustan Pari (P3HH-Pengolahan Kimia dan Energi Hasil Hutan) 1. Prof. Dulsalam (P3HH-Keteknikan Hutan) 2. Prof. Dr. Adi Santoso (P3HH-Pengolahan Hasil Hutan) 3. Ir. Jamal Balfas, M.Sc (P3HH-Pengolahan Hasil Hutan) 4. D.r Krisdianto(P3HH-Pengolahan Hasil Hutan) 5. D.r Djarwanto(P3HH-Pengolahan Hasil Hutan) 6. D.rI.M. Sulastiningsih(P3HH-Pengolahan Hasil Hutan) 7. Ir. Totok K. Waluyo, M.Si(P3HH-Pengolahan Hasil Hutan Bukan Kayu) 8. D.r Wahyu Dwianto(LIPI- Pemanfaatan Hasil Hutan) 9. D.r Ganis Lukmandaru(UGM-Teknologi Hasil Hutan) 10. D.rAndi Detit Yunia nti(UNHAS-Struktur dan Kualitas Kayu) 11. D.rTati Herlina(UNPAD-Kimia) 12. D.rYuni Krisyuningsih Krisnandi (UI- Kimia) 13. D.rRagil Widyorini(UGM- Pengolahan Kayu) 14. D.rLina Karlina Sari(IPB- Sifat Fisik Mekanik Kayu) 15. D.rAnne Hadiyane(ITB-Hasil Hutan Bukan Kayu) 16. Dr. Syamsul Falah (IPB-Biofarmaka) 17. Dr. Iyus Hermawan (ITI-Teknik Mesin)
Mitra Bestari (Peer Reviewer)
: 1. Prof. Dr. Subyakto (LIPI-Pengolahan Hasil Hutan) 2. Prof. Dr. Bukhari (ITB-Pengolahan Kimia) 3. Prof. Dr. Yusuf Sudohadi (IPB-Bio Komposit) 4. Prof. Dr. Sumi Hudiyono (UI-Biokimia) 5. Prof. Dr. Elias (IPB-Pemanenan Hasil Hutan) 6. Prof. Dr. T. A. Prayitno (UGM-Teknologi Hasil Hutan) 7. Prof. Dr. Wasrin Syafii (IPB-Kimia Hasil Hutan) 8. Prof. Dr. Unang Supratman (UNPAD-Pengolahan Kimia) 9. Prof. Dr. Musrizal Muin(UNHAS-Teknologi Hasil Hutan) 10. Prof. Dr. Imam Wahyudi(IPB-Sifat dan Kualitas Kayu) 11. Prof. Dr. Naresworo Nugroho(IPB-Keteknikan Kayu) 12. Prof. Dr. Sulaeman Yusuf(LIPI-Pengawetan Kayu) 13. Dr. Wawan Hermawan (IPB-Rekayasa Mesin dan Biosistem)
Sekretariat Redaksi (Editorial Secretariat) Ketua (Chairman) : Dr. Ir. Agus Djoko Ismanto, MDM Anggota (Members) : 1. Ir. Erna Rushernawati 2. Deden Nurhayadi, S.Hut. 3. Sophia Pujiastuti
Diterbitkan oleh (Published by): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan (Forest Product Research and Development Center) Alamat (Address) : Jl. Gunung Batu 5, Bogor 16610, Indonesia Telepon (Phone) : (0251) 8633378 Fax (Faximile) : (0251) 8633413 E-mail :
[email protected];
[email protected] website : www.pustekolah.org (www.pustekolah.litbang.dephut.go.id) Jurnal elektronik (E-journal ) : http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPHH Percetakan (Printing Company)
: CV. Sinar Jaya, Bogor
ISSN 0216 - 4329 E-ISSN 2442 - 8957 TERAKREDITASI NO : 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
Vol. 34 No. 3, September 2016
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN (Ministry of Environment and Forestry) BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI (Research Development and Innovation Agency) PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN (Forest Product Research and Development Center) BOGOR - INDONESIA
UCAPAN TERIMA KASIH Dewan Redaksi Jurnal Penelitian Hasil Hutan mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada mitra bestari (peer reviewers) yang telah mencermati naskah yang dimuat pada edisi Vol. 34 No. 3, September 2016 : 1. 2. 3. 4.
Prof. Dr. Wasrin Syafii, (Kimia Hasil Hutan - Fakultas Kehutanan, IPB) Prof. Dr. Imam Wahyudi, (Sifat dan Kualitas Kayu - Fakultas Kehutanan, IPB) Prof. Dr. Subyakto, (Pengolahan Hasil Hutan - LIPI) Prof. Dr. Yusuf Sudohadi, (Bio Komposit - Fakultas Kehutanan, IPB)
ISSN 0216 - 4329 E-ISSN 2442 - 8957 TERAKREDITASI NO : 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
Vol. 34 No. 3, September 2016 DAFTAR ISI (CONTENTS) 1. KARAKTERISTIK BALOK BAMBU LAMINA SUSUN TEGAK DARI BILAH BAMBU ANDONG (Gigantochloa pseudoarundinacea (Steud.) Widjaja) (Characteristics of Laminated Bamboo Beam Made of Vertically Glued Andong Bamboo (Gigantochloa pseudoarundinacea (Steud.) Widjaja) Strips) I.M. Sulastiningsih, Adi Santoso, & Krisdianto ...................................................................................................
167 - 177
2. KEAWETAN ALAMI 57 JENIS KAYU INDONESIA DENGAN PENGUJIAN DI BAWAH NAUNGAN (Natural Durability of 57 Indonesian Wood Species Tested under the Shade) Jasni ..........................................................................................................................................................................
179 - 188
3. PENGARUH KATALIS NiO DAN NiOMoO TERHADAP PERENGKAHAN MINYAK CANGKANG BIJI JAMBU METE (The Influence of NiO and NiOMoO Catalyst for Hidrocracking of Cashew Nut Shell Liquid) Lisna Efiyanti & Darma Santi ................................................................................................................................
189 - 197
4. PEMANFAATAN ASAP CAIR KAYU PINUS (Pinus merkusii Jungh. & de Vriese) SEBAGAI KOAGULAN GETAH KARET (Utilization of Pine Wood (Pinus merkusii Jungh. & de Vriese) Smoke Liquid as Natural Latex Coagulant) Santiyo Wibowo, Gustan Pari, & R. Esa Pangersa Gusti ...................................................................................
199 - 205
5. HUBUNGAN ANTARA KADAR EKSTRAKTIF DENGAN SIFAT WARNA PADA KAYU TERAS JATI (Correlation between Extractive Content and Colour Properties in Teak Heartwood) Ganis Lukmandaru ................................................................................................................................................
207 - 216
6. REKAYASA PROSES SINTESIS PIPERONAL KULIT LAWANG (Cinnamomum culilawan Blume) SEBAGAI PREKURSOR OBAT KANKER (Modification of Synthesis Process of Lawang’s Bark (Cinnamomum culilawan Blume) as Cancer Drug Precursor) Imanuel Berly Delvis Kapelle, Tun Tedja Irawadi, Meika Syahbana Rusli, Djumali Mangunwidjaja, & Zainal Alim Mas'ud ............................................................................................................................................
217- 229
7. PENGGUNAAN Phanerochaete chrysosporium PADA PENGOLAHAN PULP BIO-SEMI-MEKANIS KAYU TERENTANG (Campnosperma auriculata Hook.f) (Application of Phanerochaete chrysosporium on Biochemimechanical Pulping Process of Terentang Wood (Campnosperma auriculata Hook.f)) Yeni Aprianis, Denny Irawati, & Sri Nugroho Marsoem ...................................................................................
231 - 239
8. PENGARUH PENAMBAHAN NATRIUM BISULFIT DAN PENCUCIAN ETANOL BERTINGKAT TERHADAP KUALITAS TEPUNG PORANG (Amorphophallus muelleri Blume) (The Effect of Natrium Bisulfite Addition and Ethanol Dehydration to the Quality of Porang (Amorphophallus muelleri Blume) Flour ) Gunawan Pasaribu, Totok K. Waluyo, Novitri Hastuti, Gustan Pari, & Emma Sahara ..................................
241 - 248
9. STRUKTUR ANATOMI ENAM JENIS KAYU ASAL PAPUA (Anatomical Properties of Six Wood Species from Papua) Andianto & R. Esa Pangersa Gusti .......................................................................................................................
249 - 260
iii
ISSN 0216 - 4329 E-ISSN 2442 - 8957
Vol. 34 No. 3, September 2016
Kata kunci yang digunakan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin atau biaya
ABSTRAK UDC (OSDC) 630*892.83 I.M. Sulastiningsih, Adi Santoso, & Krisdianto (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan) Karakteristik Balok Bambu Lamina Susun Tegak dari Bilah Bambu Andong (Gigantochloa pseudoarundinacea (Steud.) Widjaja) J. Penelit. Has. Hut. Sept. 2016, Vol. 34 No. 3, hlm. 167 - 177
UDC (OSDC) 630*892.7 Lisna Efiyanti (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan), Darma Santi (Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Papua) Pengaruh Katalis NiO dan NiOMoO terhadap Perengkahan Minyak Cangkang Biji Jambu Mete J. Penelit. Has. Hut. Sept. 2016, Vol. 34 No. 3, hlm. 189 - 197
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh komposisi lapisan terhadap sifat balok bambu lamina (BBL) tiga lapis susun tegak dari bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinacea (Steud.) Widjaja). BBL tiga lapis dibuat dengan 6 macam komposisi lapisan termasuk BBL dengan lapisan dalam kayu manii (Maesopsis eminii Engl.) atau sengon (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & J.W Grimes). BBL dibuat dengan menggunakan perekat isosianat (Water Based PolymerIsocyanate, WBPI). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat fisis dan mekanis BBL sangat dipengaruhi oleh komposisi lapisan penyusun BBL.
Tulisan ini mempelajari potensi minyak cangkang kulit biji jambu mete (Cashew Nut Shell Liquid) sebagai sumber alternatif bioenergi non pangan. Tulisan ini juga mempelajari pengaruh katalis yang digunakan dalam reaksi hidrorengkah CNSL menjadi bioenergi. Secara khusus menggunakan dua jenis zeolit alam aktif sebagai katalis, yaitu NiO dan NiOMoO pada temperatur 450oC, dengan rasio umpan/ katalis 2 dan 4. Bioenergi yang diperoleh dalam fase liquid dengan komponen bensin, diesel, dan minyak berat dianalisis menggunakan kromatografi gas spektometri massa (GCMS). Kata kunci: Bioenergi, kulit biji jambu mete (CNSL), katalis, perengkahan, diesel, gasolin
Kata kunci: Balok bambu lamina, bilah bambu susun tegak, andong, manii, sengon, isosianat UDC (OSDC) 630*841.1 Jasni (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan) Keawetan Alami 57 Jenis Kayu Indonesia dengan Pengujian di bawah Naungan J. Penelit. Has. Hut. Sept. 2016, Vol. 34 No. 3, hlm. 179 - 188
UDC (OSDC) 630*892.9 Santiyo Wibowo, Gustan Pari, & R. Esa Pangersa Gusti (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan) Pemanfaatan Asap Cair Kayu Pinus (Pinus merkusii Jungh. & de Vriese) sebagai Koagulan Getah Karet J. Penelit. Has. Hut. Sept. 2016, Vol. 34 No. 3, hlm. 199 - 205
Lima puluh tujuh jenis kayu Indonesia diuji keawetan alaminya di luar ruangan di bawah naungan. Contoh uji berukuran 20x10x2,5 cm diletakkan di atas batako disusun secara acak, dan ditutup plastik kasa sebagai naungan. Pengamatan dilakukan setelah satu tahun pengujian dengan cara menilai persentase kerusakan contoh uji yang disebabkan oleh organisme perusak kayu. Hasil penelitian menunjukkan empat jenis kayu termasuk kelas I, 16 jenis kayu kelas II, 15 jenis kayu kelas III, tiga jenis kayu kelas IV dan 19 jenis kayu kelas V.
Tujuan penelitian adalah mengetahui efektivitas cuka kayu pinus sebagai koagulan lateks dan karakteristiknya. Cuka kayu yang digunakan yaitu mentah dan hasil penyulingan dengan konsentrasi masing-masing 5%, 10%, 15%, dan 20%. Karet lateks yang diperlakukan dengan asap cair mentah menghasilkan sifat fisikokimia terbaik dan memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk kualitas karet. Kata kunci: Cuka kayu, koagulan, lateks, kualitas, sifat fisikokimia
Kata kunci: Keawetan alami, luar ruangan bawah naungan, kerusakan, lima kelas awet
v
UDC (OSDC) 630*812.11 Ganis Lukmandaru (Departemen Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada) Hubungan antara Kadar Ekstraktif dengan Sifat Warna pada Kayu Teras Jati J. Penelit. Has. Hut. Sept. 2016, Vol. 34 No. 3, hlm. 207 - 217
UDC (OSDC) 630*861.1 Yeni Aprianis (Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan), Denny Irawati & Sri Nugroho Marsoem (Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada) Penggunaan Phanerochaete chrysosporium pada Pengolahan Pulp Bio-semi-mekanis Kayu Terentang (Campnosperma auriculata Hook.f) J. Penelit. Has. Hut. Sept. 2016, Vol. 34 No. 3, hlm. 231 - 239
Penelitian ini bertujuan untuk memantapkan korelasi antara warna kayu dengan kadar ekstraktif bagian teras terluar kayu jati. Sampel kayu diambil dari dua lokasi hutan tanaman Perum Perhutani. Secara keseluruhan, parameter kecerahan (L*) dari CIE-L*a*b* dan dari ISO (W) memberikan korelasi terbaik dengan kadar ekstraktif etanol-benzena (r = - 0,54 dan 0,50, secara berturutan).
Tulisan ini mempelajari penggunaan Phanerochaete chrysosporium terhadap perubahan komponen kimia kayu terentang dan kebutuhan energi refining. Pengolahan pulp semimekanis menggunakan konsentrasi NaOH 4%. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan P. chr ysosporium menyebabkan kehilangan berat serpih 15,95-21,31% dan meningkatkan kadar selulosa hingga 6,77%. Inkubasi selama lima minggu menurunkan kadar lignin hingga 22,97% dan menghemat energi refining sebesar 22,7%.
Kata kunci: Tectona grandis, ekstraktif, sifat warna, CIE-Lab, teras
Kata kunci: Lama inkubasi, Phanerochaete chrysosporium, biopulping, terentang
UDC (OSDC) 630*892.4 Imanuel B.D. Kapelle (Pascasarjana TIP, Institut Pertanian Bogor), Tun Tedja Irawadi & Zainal Alim Mas'ud (FMIPA Kimia, Institut Pertanian Bogor), Meika Syahbana Rusli & Djumali Mangunwidjaja (TIP, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor) Rekayasa Proses Sintesis Piperonal Kulit Lawang (Cinnamomum culilawan Blume) sebagai Prekursor Obat Kanker J. Penelit. Has. Hut. Sept. 2016, Vol. 34 No. 3, hlm. 217 - 229
UDC (OSDC) 630*892.6 Gunawan Pasaribu, Totok K. Waluyo, Novitri Hastuti, Gustan Pari & Emma Sahara (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan) Pengaruh Penambahan Natrium Bisulfit dan Pencucian Etanol Bertingkat terhadap Kualitas Tepung Porang (Amorphophallus muelleri Blume) J. Penelit. Has. Hut. Sept. 2016, Vol. 34 No. 3, hlm. 241 - 248 Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan derajat putih dan kadar glukomanan tepung porang melalui penambahan natrium bisulfit dan perendaman dengan etanol. Porang dikumpulkan dari Nganjuk, Jawa Timur dan diuji kualitasnya serta dicampur dengan natrium bisulfit dan direndam dalam ethanol. Hasil penelitian menunjukkan penambahan natrium bisulfit dapat meningkatkan derajat putih tepung porang sebesar 6,59%. Pencucian etanol secara bertingkat dapat meningkatkan kadar glukomanan dari 12,86 menjadi 38,11%. Kandungan Fe dan Ca tepung porang sebelum dan setelah perlakuan tidak jauh berbeda, sehingga proses pencucian dengan etanol tidak mengurangi kadar zat besi dan kalsium dari tepung porang.
Piperonal sebagai prekursor obat kanker (analog kurkumin) dapat disintesis dari ekstrak kulit pohon lawang (Cinnamomum culilawan Blume) dengan rendemen 65,63 % dan kemurnian 100% melalui beberapa tahapan proses antara lain; isolasi minyak atsiri, isolasi safrol, isomerisasi safrol, dan sintesis piperonal. Kata kunci: Prekursor obat kanker, minyak kulit lawang, sintesis, piperonal, safrol
Kata kunci: Porang, derajat putih, glukomanan, natrium bisulfit, etanol UDC (OSDC) 630*811 Andianto & R. Esa Pangersa Gusti (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan) Struktur Anatomi Enam Jenis Kayu Asal Papua J. Penelit. Has. Hut. Sept. 2016, Vol. 34 No. 3, hlm. 249 - 260 Tulisan ini mempelajari struktur anatomi enam jenis kayu asal Papua. Noktah antar pembuluh berumbai serta keberadaan druse terdapat pada ketapang. Saluran getah atau tanin terdapat pada kayu pala hutan. Kristal prismatik dalam sel parenkim aksial, serta jari-jari dalam dua ukuran yang jelas terdapat pada kayu bipa dan kelumpang. Kristal prismatik pada parenkim aksial berbilik ditemukan pada kayu manggis. Noktah antar pembuluh berumbai dan bentuk parenkim paratrakea jarang terdapat pada kayu lancat. Kata kunci: Struktur anatomi, ketapang, pala hutan, bipa, kelumpang, manggis, lancat
vi
ISSN 0216 - 4329 E-ISSN 2442 - 8957
Vol. 34 No. 3, September 2016
Keywords given are free terms. Abstracts may be reproduced without permission or charge
ABSTRACT UDC (OSDC) 630*892.83 I.M. Sulastiningsih, Adi Santoso, & Krisdianto (Forest Products Research and Development Center) Characteristics of Laminated Bamboo Beam Made of Vertically Glued Andong Bamboo (Gigantochloa pseudoarundinacea (Steud.) Widjaja) Strips J. of Forest Products Research. Sept. 2016, Vol. 34 No. 3, pp. 167 - 177
UDC (OSDC) 630*892.7 Lisna Efiyanti (Forest Products Research and Development Center), Darma Santi (Chemistry Department, FMIPA, Papua University) The Influence of NiO and NiOMoO catalyst for Hidrocracking of Cashew Nut Shell Liquid J. of Forest Products Research. Sept. 2016, Vol. 34 No. 3, pp. 189 - 197 This paper observes the potency of cashew nut shell liquid as an alternative non-food bioenergy source using catalytic cracking method. The effect of catalyst used in hydrocracking of CNSL into bioenergy was investigated. It focused specifically on two type of natural activated zeolite as catalysts: NiO and NiOMoO at temperature reaction of 450oC, and feed catalyst ratio of 2 and 4. Bioenergy of CNSL in liquid-phase, which were predominantly by gasoline, diesel oil, and heavy oil, was further analyzed using Gas Chromatography Mass Spectrometry (GCMS).
The objective of the study was to determine the effect of various layer compositions on the properties of 3-layer vertically glued laminated bamboo beam (LBB) made of andong bamboo (Gigantochloa pseudoarundinacea (Steud.) Widjaja). Three-layer LBBs were manufactured with six different layer compositions, including bamboo combination with planks of manii (Maesopsis eminii Engl.) or sengon (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & J.W Grimes as the core layer. The LBB was manufactured using Water Based PolymerIsocyanate (WBPI) adhesive. Results showed that the physical and mechanical properties of LBB were significantly affected by the layer composition.
Keywords: Bioenergy, Cashew Nut Shell Liquid, catalyst, cracking, diesel, gasoline
Keywords: Laminated bamboo beam, vertically glued strips, andong, manii, sengon, isocyanate UDC (OSDC) 630*841.1 Jasni (Forest Products Research and Development Center) Natural Durability of 57 Indonesian Wood Species Tested under the Shade J. of Forest Products Research. Sept. 2016, Vol. 34 No. 3, pp. 179 - 188
UDC (OSDC) 630*892.9 Santiyo Wibowo, Gustan Pari, & R. Esa Pangersa Gusti (Forest Products Research and Development Center) Utilization of Pine Wood (Pinus merkusii Jungh. & de Vriese) Smoke Liquid as Natural Latex Coagulant J. of Forest Products Research. Sept. 2016, Vol. 34 No. 3, pp. 199 - 205
The natural durability of fifty seven Indonesian wood species were investigated outdoor under coverage. Initially, wood specimens prepared from each species with dimension of 20x10x2.5 cm were placed randomly on top of the bricks. It was covered with crated-plastic sheets which served as protecting shades. Observation was conducted one year afterwards included evaluating the percentage of deteriorated wood specimen due to wood-destroying organisms. Further scrutiny on each class revealed that four wood species belonged to class I, 16 wood species class II, 15 wood species class III , three wood species class IV, and 19 wood species were classified as class V.
The aim of this study was to determine the effectiveness of using smoke liquid as a latex coagulant and characteristics of the treated latex. The smoke liquid solutions consisted of the crude and the distillate smoke liquid in various concentrations of 5, 10, 15 and 20%. Rubber latex treated with the crude smoke liquid produced the best physicochemical properties and could meet requirements of the Indonesian National Standard for rubber quality (SNI). Keywords: Smoke liquid, coagulant, latex, quality, physico-chemical properties
Keywords: Natural durability, coverage outdoor, deterioration, five classes
vii
UDC (OSDC) 630*812.11 Ganis Lukmandaru (Forest Products Technology Department, Faculty of Forestry, Gadjah Mada University) Correlation between Extractive Content and Colour Properties in Teak Heartwood J. of Forest Products Research. Sept. 2016, Vol. 34 No. 3, pp. 207 - 217
UDC (OSDC) 630*861.1 Yeni Aprianis (Forest Tree Fiber Technology Research Institute), Denny Irawati & Sri Nugroho Marsoem (Forest Products Technology Department, Faculty of Forestry, Gadjah Mada University) Application of Phanerochaete chrysosporium on Biochemimechanical Pulping Process of Terentang Wood (Campnosperma auriculata Hook.f) J. of Forest Products Research. Sept. 2016, Vol. 34 No. 3, pp. 231 - 239
This study aimed to establish the correlation between wood colour and extractive content in the outer heartwood part of teak. The samples were from trees in two locations of Perum Perhutani forest plantations. In general, the best correlations were measured between brightness parameters from CIE-L*a*b* or ISO (W) with ethanol-benzene extractive contents (r = - 0.54 or 0.50, respectively).
This paper studies the application of Phanerochaete chrysosporium on the changes of chemical components and energy refining consumption of terentang. Four percent of NaOH was used in chemi-mechanical process. Results showed that P. chrysosporium significantly affected the weight loss, chemical properties, and refining energy consumption. The P. chrysosporium caused wood chips weight loss by 15.95-21.31% and increased alpha-cellulose content up to 6.77%. Five weeks incubation decreased lignin content up to 22.97% and could save energy refining up to 22.7%.
Keywords: Tectona grandis, extractives, colour properties, CIE-Lab, heartwood
Keywords: Incubation period, Phanerochaete chrysosporium, biopulping, terentang UDC (OSDC) 630*892.4 Imanuel B.D. Kapelle (Graduate Student, TIP Bogor Agriculture University), Tun Tedja Irawadi, Zainal Alim Mas'ud (Chemictry Dept., FMIPA, Bogor Agricultural University), Meika Syahbana Rusli, Djumali Mangunwidjaja (TIP, Faculty of Agriculture Technology, Bogor Agricultural University) Modification of Synthesis Process of Lawang’s Bark (Cinnamomum culilawan Blume) as Cancer Drug Precursor J. of Forest Products Research. Sept. 2016, Vol. 34 No. 3, pp. 217 - 229
UDC (OSDC) 630*892.6 Gunawan Pasaribu, Totok K. Waluyo, Novitri Hastuti, Gustan Pari, & Emma Sahara (Forest Products Research and Development Center) The Effect of Natrium Bisulfite Addition and Ethanol Dehydration to the Quality of Porang (Amorphophallus muelleri Blume) Flour J. of Forest Products Research. Sept. 2016, Vol. 34 No. 3, pp. 241 - 248 The objective of this study was to improve the flour whiteness and glucomannan content of porang flour by adding natrium bisulfite and soaking with ethanol. Porang collected from Nganjuk, East Java was quality tested and mixed with natrium bisulfite then rinse in ethanol repetitively. Results showed that the addition of sodium bisulfite improved the whiteness of porang flour for about 6.59%. Ethanol dehydration was able to improve glucomannan content from 12.86% to 38.11%. Fe and Ca content of mixed porang flour showed no significant difference.
Piperonal as a precursor of cancer drug (Curcumin analogues) could be synthesized from extract of the lawang (Cinnamomum culilawan Blume) bark with yield of 65.63% and purity of 100% through multiple stages, among others; isolation of essential oils, safrole isolation, safrole isomerization, and synthesis of piperonal. Keywords: Precursor of cancer drug, lawang oils, synthesis, piperonal, safrole
Keywords: Porang, whiteness, glucomannan, natrium bisulfite, ethanol
UDC (OSDC) 630*811 Andianto and R. Esa Pangersa Gusti (Forest Products Research and Development Center) Anatomical properties of six wood species from Papua J. of Forest Products Research. Sept. 2016, Vol. 34 No. 3, pp. 249 - 260 This paper observes anatomical properties of six wood species originated from Papua. Vestured pits and druses were observed in ketapang. Tannin tubes were observed on pala hutan. Prismatic crystals in axial parenchyma cell and rays of two distinct sizes were found on bipa and kelumpang. Prismatic crystals in chambered axial parenchyma cells were observed on manggis. Vestured pits and scanty paratracheal parenchyma were found on lancat. Keywords: Wood anatomical properties, ketapang, pala hutan, bipa, kelumpang, manggis, lancat
viii
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 167-177 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
KARAKTERISTIK BALOK BAMBU LAMINA SUSUN TEGAK DARI BILAH BAMBU ANDONG (Gigantochloa pseudoarundinacea (Steud.) Widjaja) (Characteristic of Vertically Glued Laminated Bamboo Beam Made of Andong (Gigantochloa pseudoarundinacea (Steud.) Widjaja) Bamboo Strips) I.M. Sulastiningsih, Adi Santoso, & Krisdianto Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Jl. Gunung Batu No 5. Bogor 16610 Telp 0251-8633378, Fax 0251-8633413 E-mail:
[email protected] Diterima 18 Agustus 2015, Direvisi 28 Januari 2016, Disetujui 18 Februari 2016
ABSTRACT The objective of the study was to determine the effect of various layer compositions on the properties of 3-layer vertically glued laminated bamboo beam (LBB). Bamboo strips for LBB fabrication were prepared from mature culms (± 4 years old) of andong bamboo (Gigantochloa pseudoarundinacea (Steud.) Widjaja) collected from private gardens in West Java. The strips were pre-treated by soaking them in 7% boron solution for four hours. Three-layer LBBs were manufactured with six different layer compositions, including bamboo combination with wood planks of manii (Maesopsis eminii Engl.) or sengon (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & J.W. Grimes) as the core layer. The LBB was manufactured using Water Based Polymer-Isocyanate (WBPI) adhesive. The glue spread and cold pressing time applied were 250 g/m2 and one hour, respectively. Results showed that the average density, moisture content, thickness 3 swelling, and width expansion of LBB were 0.65 g/cm ; 11.1%; 2.09%; and 1.99%, respectively. No delamination occurred in all samples using WBPI adhesive, which indicates high bonding quality. The average bonding strength and percentage bamboo failure (dry test) of LBB were 61.6 kg/cm2 and 90%, respectively. The physical and mechanical properties of LBB were significantly affected by the layer composition. The presence of wood laminates as the core layer of LBB and the cross wide orientation of the core layer decreased mechanical properties of LBB. On the contrary, the presence of cross-layer in LBB structure increased dimensional stability of the produced LBB.Three-layer thick laminated bamboo beam made of vertically glued andong bamboo strips with various constituted layer composition and all constitued layers laminated together in parallel grain direction had strength values comparable to those of class II of solid wood strength, eventhough the core layer was made of sengon or manii planks. Keywords: Laminated bamboo beam, vertically glued strips, andong, manii, sengon, isocyanate ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh komposisi lapisan terhadap sifat balok bambu lamina (BBL) tiga lapis susun tegak. Jenis bambu yang digunakan adalah bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinacea (Steud.) Widjaja) berumur sekitar empat tahun yang diperoleh dari tanaman rakyat di Jawa Barat. Bilah bambu andong yang digunakan untuk membuat BBL diberi perlakuan pendahuluan dengan jalan direndam dalam larutan boron 7% selama empat jam. Lapisan dalam atau lapisan inti BBL dikombinasikan dengan kayu manii (Maesopsis eminii Engl.) atau sengon (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & J.W. Grimes). Lapisan inti BBL direkat sejajar dan tegak lurus terhadap lapisan luar sehingga diperoleh enam macam komposisi lapisan. Balok bambu lamina dibuat dengan menggunakan perekat isosianat (water based polymer-isocyanate, WBPI) dengan berat labur perekat 250 g/m2 permukaan, dikempa dingin dengan lama pengempaan satu jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kerapatan, kadar air, pengembangan tebal, dan pengembangan lebar BBL berturut-turut adalah 0,65g/cm3; 11,1%; 2,09%; dan 1,99%. Kualitas perekatan BBL yang dibuat dengan perekat isosianat (WBPI) cukup baik yang ditunjukkan oleh tidak terjadinya delaminasi pada semua contoh uji delaminasi. Nilai rata-rata DOI : http://doi.org/10.20886/jphh.2016.34.3.167-177
167
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 167-177
keteguhan rekat dan persentase kerusakan bambu (uji kering) berturut-turut adalah 61,6 kg/cm2 dan 90%. Sifat fisis dan mekanis BBL sangat dipengaruhi oleh komposisi lapisan penyusun BBL. Penggunaan kayu dan lapisan silang sebagai lapisan tengah atau inti BBL menurunkan sifat mekanis BBL tetapi meningkatkan kestabilan dimensi BBL yang dihasilkan khususnya pengembangan lebar. BBL tiga lapis yang dibuat dari susunan bilah bambu andong secara tegak dengan berbagai komposisi lapisan penyusun dan semua lapisan penyusunnya direkat sejajar serat memiliki kekuatan setara dengan kayu kelas kuat II meskipun lapisan intinya kayu manii atau sengon. Kata kunci: Balok bambu lamina, bilah bambu susun tegak, andong, manii, sengon, isosianat I. PENDAHULUAN Pemanfaatan bambu secara tradisional memiliki nilai tambah yang rendah, karena umumnya dilakukan dengan teknologi sederhana dan digunakan oleh masyarakat lokal setempat (Recht & Wetterwald, 1992). Pemanfaatan bambu dengan teknologi modern seperti campuran tekstil, alkaloid, makanan, obat-obatan dan teknologi lamina telah dilakukan oleh beberapa negara seperti Tiongkok, Korea Selatan, Jepang, dan India (Zehui, 2007). Macam produk pengolahan bambu yang telah dikembangkan dengan menerapkan teknologi laminasi antara lain berupa bambu lapis (ply-bamboo), papan bambu lamina untuk lantai, panel dinding, mebel dan barang kerajinan dari bambu lamina (Recht & Wetterwald, 1992; Nugroho & Ando, 2001). Bambu lamina dapat dijadikan substitusi bahan pembuat mebel dan konstruksi dalam ruangan. Tiongkok merupakan salah satu negara yang mengembangkan berbagai variasi mebel dari bambu lamina (Zehui, 2007). Penggunaan bambu lamina untuk bahan mebel juga dapat diperkenalkan di sentra kerajinan mebel di Indonesia, namun penggunaan bambu lamina belum mendapat pasar dalam perdagangan mebel di Indonesia karena harganya masih relatif mahal. Salah satu strategi untuk mengurangi biaya produksi pembuatan bambu lamina adalah dengan memanfaatkan kayu cepat tumbuh sebagai kombinasi lapisan penyusun bambu lamina. Penggunaan lapisan bambu sebagai lapisan luar papan atau balok dari kayu cepat tumbuh dapat meningkatkan kualitas kayu tersebut baik kekuatan maupun penampilannya karena lapisan bambu memiliki kekuatan yang tinggi dan corak penampilan serat yang bagus dan unik dengan adanya buku pada bilah bambu penyusun lapisan bambu komposit (Sulastiningsih & Santoso, 2014). 168
Penelitian pemanfaatan bambu sebagai bahan alternatif untuk substitusi kayu telah banyak dilakukan dengan berbagai macam produk bambu komposit. Penelitian penggunaan kayu sebagai lapisan bagian tengah bambu lamina telah dilakukan oleh Sulastiningsih, Nurwati, dan Santoso (2005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa papan bambu lamina dengan lapisan tengah kayu mangium atau kayu tusam setara dengan kayu kelas kuat II (dua). Di samping itu produk bambu lamina kombinasi kayu dapat meningkatkan penggunaan kayu yang memiliki sifat inferior sebagai sumber bahan baku kayu pertukangan berkualitas karena pada produk komposit tersebut lapisan yang memerlukan kekuatan tinggi adalah lapisan luar yaitu lapisan bambu, sedangkan kayu yang berfungsi sebagai lapisan tengah kurang menyangga beban pada titik tengah netral. Bambu lamina adalah suatu produk yang dibuat dari beberapa bilah bambu atau pelupuh bambu yang direkat dengan arah serat sejajar (Qisheng, Shenxue, & Yongyu 2002). Hasil perekatan bilah atau pelupuh bambu tersebut berupa papan atau balok bambu yang dapat diatur ukuran tebal, lebar dan panjangnya. Dalam pemanfaatan bambu lamina sebagai komponen mebel dan konstruksi bangunan, diperlukan bambu lamina dengan ketebalan lebih dari 4 cm berupa balok lamina. Dimensi lamina dengan ketebalan lebih dari 4 cm diperlukan untuk pembuatan komponen mebel yang memerlukan pembubutan seperti kaki untuk meja, kursi, lemari atau tempat tidur yang berbentuk bundar, serta komponen bangunan antara lain kusen, rangka daun pintu, dan tiang utama yang memerlukan dimensi bahan yang cukup tebal seperti balok kayu. Tujuan penelitian adalah mengetahui karakteristik balok bambu lamina susun tegak kombinasi dari bilah bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinacea (Steud.) Widjaja) dan kayu cepat tumbuh jenis sengon (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & J.W. Grimes) dan manii (Maesopsis eminii Engl.).
Karakteristik Balok Bambu Lamina Susun Tegak dari Bilah Bambu Andong (Gigantochloa pseudoarundinacea) (I.M. Sulastiningsih, Adi Santoso, & Krisdianto)
II. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinacea (Steud.) Widjaja), kayu sengon (Falcataria mollucana (Miq.) Barneby & J.W. Grimes) dan kayu manii (Maesopsis eminii Engl.) yang dikumpulkan dari daerah Jawa Barat. Perekat yang digunakan adalah perekat komersial isosianat yang termasuk Water Based Polymeric Isocyanate (WBPI) untuk kempa dingin. Bahan lain adalah bahan pengawet berupa larutan boron (boraks dan asam borat). B. Metode Penelitian 1. Penyiapan bilah bambu Batang bambu yang lurus dan tidak bercacat dipotong-potong menjadi beberapa bagian dengan panjang 1,25 m. Bambu kemudian dibelah dengan bagian ujung (bagian yang diameternya lebih kecil) sebagai acuan lintasan pembelahan dengan menggunakan alat belah bambu. Bilah bambu hasil pembelahan selanjutnya diserut pada bagian atas dan bawah sehingga diperoleh permukaan bilah yang rata. Untuk mencegah terjadinya kerusakan pada bilah bambu akibat serangan bubuk maka dilakukan pengawetan bilah bambu menggunakan larutan boron 7% dengan cara rendaman dingin selama empat jam dengan target 3 retensi 6 kg/m . Cara membuat larutan bahan pengawet dan penetapan retensi bahan pengawet mengikuti Martawijaya dan Barly (2010). Larutan boron 7% dibuat dengan cara melarutkan 700 gram campuran boraks (420 gram) dan asam borat (280 gram) ke dalam air sebanyak 9300 gram atau setara dengan 9,3 liter. Bilah yang sudah diawetkan kemudian dikeringkan dengan sinar matahari hingga kadar airnya mencapai +12%. 2. Pembuatan papan bambu Pembuatan papan bambu sebagai lapisan penyusun balok bambu lamina dilakukan dengan merekatkan bilah bambu secara tegak. Bilah bambu yang digunakan untuk menyusun papan bambu yang berfungsi sebagai lapisan silang memiliki panjang 16 cm. Tebal papan bambu yang diperoleh dengan merekatkan beberapa bilah bambu secara tegak sama dengan lebar bilah bambu penyusunnya, sehingga ukuran papan bambu yang diperoleh adalah 125 cm x 16 cm x
2 cm. Perekatan beberapa bilah bambu menjadi papan bambu dilakukan dengan menggunakan perekat isosianat dengan berat labur 250 g/m2 dan waktu kempa selama satu jam dengan tekanan 50 foot pounds atau 67,8 Nm. Proses pengempaan dilakukan dengan menggunakan klem dan besarnya tekanan diukur dengan menggunakan torsimeter. 3. Pembuatan papan kayu Dolok kayu manii dan sengon berumur lebih dari 5 tahun dengan diameter lebih dari 30 cm dan panjang 260 cm dibelah dengan menggunakan gergaji pita untuk mendapatkan papan dengan ketebalan 3 cm. Papan yang dihasilkan kemudian dikeringudarakan hingga kadar airnya mencapai ±15%, selanjutnya dibelah dengan lebar ±16 cm kemudian diserut dan diampelas hingga diperoleh ketebalan yang ditargetkan ±2 cm. Untuk meningkatkan keawetan kayu manii dan sengon maka selanjutnya papan kayu sengon dan kayu manii masing-masing diawetkan dengan larutan boron 7% dengan cara rendaman dingin dengan 3 target retensi 6 kg/m dan lama perendaman bervariasi antara 24 jam sampai 48 jam tergantung dari waktu pencapaian target retensi. Cara membuat larutan bahan pengawet dan penetapan retensi bahan pengawet mengikuti Martawijaya dan Barly (2010). Penetapan retensi bahan pengawet dilakukan dengan cara mengukur volume kayu yang diawetkan dan menimbang berat contoh uji sebelum dan sesudah diawetkan. Papan yang sudah diawetkan kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari hingga kadar airnya mencapai ±12%. Papan yang sudah kering kemudian dipotong dengan ukuran panjang 125 cm dan 16 cm. 4. Pembuatan balok bambu lamina (BBL) BBL yang dibuat memiliki target dimensi 125 cm x 16 cm x 6 cm (p x l x t). Kayu manii dan sengon sebagai kombinasi lapisan penyusun BBL digunakan secara tunggal atau tidak ada campuran jenis kayu. BBL dibuat dengan 6 variasi komposisi lapisan (K) yaitu: BBL 3 lapis, semua lapisan berupa papan bambu dan disusun sejajar serat (K1); BBL seperti K1 tetapi lapisan dalam disusun menyilang terhadap lapisan luar (K2); BBL 3 lapis seperti K1 tetapi lapisan dalam dari kayu manii (K3); BBL 3 lapis seperti K3 tetapi lapisan dalam disusun menyilang terhadap lapisan luar (K4); BBL 3 lapis seperti K1 tetapi lapisan dalam dari 169
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 167-177
Tabel 1. Komposisi lapisan balok bambu lamina Table 1. Layer compositions of laminated bamboo beams
Kode (Code) K1
Komposisi lapisan (Layers composition) Semua lapisan papan bambu dan direkat sejajar serat (All layers are consisted of bamboo boards and glued in parallel grain direction)
K2
Semua lapisan papan bambu, akan tetapi lapisan tengah direkat tegak lurus terhadap lapisan luar (All layers are bamboo boards but the core layer is glued perpendicular to the outer layers)
K3
Semua lapisan direkat sejajar serat, lapisan luar papan bambu dan lapisan tengah kayu manii (All layers are glued in parallel grain direction, the outer layers are bamboo boards and the core layer is manii board or plank)
K4
Lapisan luar adalah papan bambu direkat sejajar serat, sedangkan lapisan tengah kayu manii direkat tegak lurus terhadap lapisan luar (Outer layers are bamboo boards while the core layer is made of manii boards or planks glued perpendicular to the outer layers )
K5
Semua lapisan direkat sejajar serat, lapisan luar papan bambu dan lapisan tengah kayu sengon (All layers glued in parallel grain direction, the outer layers are bamboo boards and the core layer is made of sengon board or plank)
K6
Lapisan luar adalah papan bambu direkat sejajar serat, sedangkan lapisan tengah kayu sengon direkat tegak lurus terhadap lapisan luar (Outer layers are bamboo boards while the core layer is made of sengon boards or planks glued perpendicular to the outer layers)
kayu sengon (K5); BBL 3 lapis seperti K5 tetapi lapisan dalam disusun menyilang terhadap lapisan luar (K6). BBL dibuat dengan menggunakan perekat isosianat dengan berat labur 250 g/m2 dan dikempa dingin selama satu jam dengan tekanan 50 foot pounds atau 67,8 Nm. BBL yang sudah jadi kemudian dikondisikan dalam ruangan 170
Skema (Scheme)
dengan suhu dan kelembaban sama dengan kondisi lingkungan sekitarnya selama minimum 1 minggu sebelum dilakukan pengujian sifat fisis dan mekanisnya. Komposisi lapisan penyusun BBL disajikan pada Tabel 1. Untuk masingmasing perlakuan dibuat BBL sebanyak 3 buah.
Karakteristik Balok Bambu Lamina Susun Tegak dari Bilah Bambu Andong (Gigantochloa pseudoarundinacea) (I.M. Sulastiningsih, Adi Santoso, & Krisdianto)
5. Pengujian sifat fisis dan mekanis Pengujian sifat fisis BBL meliputi kadar air, kerapatan, pengembang an tebal dan pengembangan lebar dilakukan menurut Standar Amerika (ASTM D 1037-93, ASTM 1995a) dengan beberapa modifikasi, sedangkan pengujian keteguhan tekan BBL dilakukan menurut Standar Amerika (ASTM D 3501-94, ASTM 1995b). Pengujian delaminasi, keteguhan rekat dengan uji geser blok dan keteguhan lentur dilakukan menurut Standar Jepang untuk kayu lamina (JAS, MAFF, Notification No. 234, JPIC 2003). Pengujian keteguhan rekat BBL dilakukan dalam kondisi kering. Hasil pengujian sifat mekanis BBL dibandingkan dengan klasifikasi kelas kuat kayu Indonesia (Oey, 1990) untuk mengetahui kelas kekuatan BBL yang dihasilkan. C. Analisis Data Data hasil pengujian sifat fisis dan mekanis BBL dianalisis secara statistik dengan menggunakan rancangan percobaan acak lengkap (Sudjana, 1980). Sebagai perlakuan adalah komposisi lapisan penyusun BBL (6 macam). Banyaknya ulangan 3 buah papan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengujian sifat fisis dan mekanis BBL dengan berbagai komposisi lapisan disajikan pada Tabel 2. Untuk mengetahui pengaruh komposisi lapisan terhadap sifat fisis dan mekanis BBL dilakukan analisa keragaman dan hasilnya disajikan pada Tabel 3, sedangkan hasil uji bedanya tercantum dalam Tabel 4. Kadar air rata-rata BBL yang dibuat dari bambu andong dengan berbagai komposisi lapisan adalah 11,13% (Tabel 2). Kadar air BBL ini memenuhi persyaratan kadar air untuk produk panel kayu pada umumnya, karena nilainya kurang dari kadar air maksimum yang diperkenankan untuk produk panel kayu di Indonesia yaitu 14%. Tabel 2 juga menunjukkan kerapatan BBL yang dibuat dengan berbagai perlakuan berkisar antara 0,58 g/cm3 hingga 0,75 g/cm3 dengan rata-rata 0,65 g/cm3. Hasil analisa keragaman pada Tabel 3 menunjukkan bahwa komposisi lapisan penyusun BBL sangat mempengaruhi kerapatan BBL yang dihasilkan. Kerapatan rata-rata BBL dengan lapisan tengah kayu lebih rendah dibanding dengan kerapatan BBL yang semua lapisannya bambu, tetapi lebih tinggi dibanding dengan
Tabel 2. Nilai rata-rata sifat fisis dan mekanis balok bambu lamina Table 2. Average values of physical and mechanical properties of laminated bamboo beam No.
Komposisi lapisan (Layer compositions)
Sifat (Properties) K1
1.
Kadar air (Moisture content , %)
2.
Kerapatan (Density,
3.
Pengembangan tebal (Thickness swelling, %) Pengembangan lebar (Width expansion,%) Keteguhan rekat uji kering (Dry test bonding strength, kg/cm2) Delaminasi (Delamination, %) Modulus patah (Modulus of rupture, kg/cm2) Keteguhan tekan (Compression strength, kg/cm2)
4. 5. 6. 7. 8.
g/cm3)
K2
K3
K4
K5
K6
11,1
10,9
11,1
11,2
11,3
11,2
0,75
0,75
0,61
0,61
0,58
0,58
1,98
2,64
1,77
2,13
1,79
2,25
2,40
1,28
2,48
1,62
2,58
1,56
91,9 (80)* 0 958,3
46,4 (100)* 0 684,9
75,2 (100)* 0 805,6
45,4 (100)* 0 432,5
80,5 (90)* 0 806,8
30,2 (90)* 0 429,1
646,8
547,7
483,3
427,6
522,6
437,9
Keterangan (Remarks) : Keterangan K1-K6 mengacu pada Tabel 1 (Descriptions for K1-K6 are related to those in Table 1), *= Angka dalam kurung adalah kerusakan bambu (Numbers in parentheses represent bamboo failure)
171
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 167-177
kerapatan kayu utuh yang digunakan sebagai lapisan tengah BBL. Hal ini terjadi karena dalam produk komposit, kerapatan bahan penyusun, perekat dan proses pengempaan sangat menentukan kerapatan produk akhir komposit yang dihasilkan. Hasil penelitian Permatasari (2011) menunjukkan bahwa kerapatan rata-rata balok laminasi kayu sengon 6 lapis dengan tebal 12 cm adalah 0,29 g/cm3, sedangkan kerapatan rata-rata balok laminasi kayu manii 6 lapis dengan tebal 12 cm adalah 0,57 g/cm3. Sementara itu hasil penelitian Supartini (2012) menunjukkan bahwa balok laminasi kayu manii tebal 5 cm dengan jumlah lapisan 3 sampai 5 memiliki kerapatan rata-rata 0,42 - 0,43 g/cm3. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diketahui bahwa kerapatan bambu komposit dengan lapisan tengah kayu sengon atau kayu manii dalam penelitian ini memiliki kerapatan yang jauh lebih tinggi dibanding dengan balok laminasi melulu kayu sengon atau melulu kayu manii. Pengembangan tebal BBL dengan berbagai komposisi lapisan berkisar antara 1,77 - 2,64%. Hasil analisa keragaman pada Tabel 3 menunjukkan bahwa komposisi lapisan sangat berpengaruh nyata terhadap pengembangan tebal BBL. BBL yang lapisan tengahnya disusun tegak lurus terhadap lapisan luar memiliki nilai pengembangan tebal yang lebih tinggi dibanding dengan yang lapisan tengahnya disusun sejajar dengan lapisan luar. Pengembangan tebal rata-rata BBL dari bambu andong adalah 2,09%.
Sementara itu hasil penelitian sebelumnya (Sulastiningsih et al., 2005) menunjukkan bahwa papan bambu lamina 3 lapis yang dibuat dari bilah bambu andong dengan perekat tanin resorsinol formaldehida dan perekatan bilah bambu dilakukan secara mendatar memiliki nilai pengembangan tebal rata-rata 1,03%. Hasil penelitian Supartini (2012) yang mempelajari karakteristik balok kayu laminasi bersilang (Cross Laminated Timber atau CLT) dari kayu cepat tumbuh menunjukkan bahwa pengembangan tebal balok CLT dari kayu manii yang dibuat menggunakan perekat isosianat, masing masing untuk balok CLT 3 lapis, 5 lapis, dan 7 lapis berturut turut adalah 3,74%, 4,68%, dan 4,97%. Pengembangan tebal produk bambu komposit lainnya seperti Parallel Strand Lumber (PSL) 7 lapis yang dibuat dari bambu Dendrocalamus stricus dengan perekat fenol formaldehida adalah 2,85% (Ahmad & Kamke, 2011). Produk bambu komposit berupa papan untai dari bambu moso ( P hy l l o s t a c hy s p u b e s c e n s ) m e m i l i k i n i l a i pengembangan tebal sebesar 10% setelah contoh uji direndam dalam air dingin selama 24 jam (Sumardi, Suzuki, & Ono, 2006). Pengembangan tebal bambu komposit 4 lapis yang dibuat dari pelupuh (zephyr) bambu moso dan direkat dengan perekat berbahan dasar resorsinol bervariasi antara 11,90% – 12,40% (Nugroho & Ando, 2001). Berdasarkan informasi di atas maka BBL dari bambu andong hasil penelitian ini baik yang semua lapisannya dari bambu maupun yang lapisan tengahnya kayu dan direkat dengan
Tabel 3. Nilai F hitung pengaruh komposisi lapisan terhadap sifat balok bambu lamina Table 3. Calculated F values of the effect of layer compositions on laminated bamboo beam properties No.
Sifat (Properties)
1. 2. 3. 4.
Kadar air (Moisture content, %) Kerapatan (Density, g/cm3) Pengembangan tebal (Thickness swelling,%) Pengembangan lebar (Width expansion,%) Modulus patah (Modulus of rupture, kg/cm2) Keteguhan tekan (Compression strength, kg/cm2) Keteguhan rekat uji kering ( Dry test bonding strength, kg/cm2)
5. 6. 7.
F hitung (Fcalculated) 0,30tn 104,95** 6,95* 14,53**
F Tabel (F Table ) α = 5% α = 1% 3,11 5,06 3,11 5,06 3,11 5,06 3,11 5,06
88,97*
3,11
5,06
18,24** 29,1**
3,11 3,11
5,06 5,06
Keterangan (Remarks): * = nyata (Significant); ** = sangat nyata (Highly significant); tn = tidak nyata (Not significant)
172
Karakteristik Balok Bambu Lamina Susun Tegak dari Bilah Bambu Andong (Gigantochloa pseudoarundinacea) (I.M. Sulastiningsih, Adi Santoso, & Krisdianto)
Tabel 4. Hasil uji beda nyata jujur (BNJ) sifat balok bambu lamina Table 4. Honestly significant difference (HSD) result on the properties of laminated bamboo beam Sifat (Properties)
Nilai rata-rata yang dibandingkan (Comparison of mean values) K3 K4 K2 K1 0,61 0,61 0,75 0,75
Kerapatan (Density, g/cm3)
K5 0,58
K6 0,58
Pengembangan tebal (Thickness swelling, %)
K3 1,77
K5 1,79
Pengembangan lebar (Width expansion, %)
K2 1,28
K6 1,56
Keteguhan rekat uji kering ( Dry test bonding strength, kg/cm2)
K6 30,2
K4 45,4
K2 46,4
Modulus patah (Modulus of rupture, MOR, kg/cm2)
K6 429,1
K4 432,5
Keteguhan tekan (Compression strength, kg/cm2)
K4 427,6
K6 437,9
K1 1,98
K4 2,13
K4 1,62
K1 2,40
K6 2,25
K2 2,60
K3 2,48
K5 2,58
K3 75,2
K5 80,5
K1 91,9
K2 684,9
K3 805,6
K5 806,8
K1 958,3
K2 547,7
K3 483,3
K5 522,6
K1 646,8
Keterangan (Remark): _____ = Tidak berbeda nyata (Not significant difference)
perekat isosianat mempunyai sifat kestabilan dimensi yang cukup baik karena nilainya sekitar 2%, sementara itu persyaratan pengembangan tebal maksimum untuk produk komposit lainnya seperti papan partikel dan papan serat adalah 12%. Nilai pengembangan lebar BBL dengan perekat isosianat berkisar antara 1,28 - 2,58% dengan rata-rata 2,0%. Hasil analisa keragaman pada Tabel 3 menunjukkan bahwa komposisi lapisan sangat berpengaruh nyata terhadap pengembangan lebar BBL yang dihasilkan. Nilai pengembangan lebar BBL yang lapisan tengahnya disusun tegak lurus terhadap lapisan luar lebih kecil dibanding dengan yang lapisan tengahnya disusun sejajar dengan lapisan luar. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya (Sulastiningsih, Ruhendi, Massijaya, Darmawan, & Santoso, 2014). Hasil uji beda pada Tabel 4 menunjukkan bahwa pengembangan lebar BBL yang lapisan tengahnya disusun tegak lurus terhadap lapisan luar berbeda nyata dengan BBL yang semua lapisannya disusun sejajar. Pengembangan lebar
rata-rata BBL dengan lapisan tengah disusun tegak lurus terhadap lapisan luar adalah 1,49% sedangkan yang lapisan tengahnya disusun sejajar terhadap lapisan luar adalah 2,49%. Secara keseluruhan pengembangan lebar rata-rata BBL dari bambu andong adalah 1,99%. Sementara itu Sulastiningsih dan Santoso (2012) mengemukakan bahwa papan bambu lamina tiga lapis yang dibuat dari bilah bambu andong yang direkat secara mendatar menggunakan perekat urea formaldehida memiliki pengembangan lebar bervariasi antara 2,04 - 2,70% dengan rata-rata 2,38%. Hasil penelitian Ir mon (2005) menunjukkan bahwa pengembangan lebar balok kayu sengon dengan laminasi bambu betung adalah 1,8% (2 lapis bambu dengan pasak) dan 3,54% (2 lapis bambu tanpa pasak). Keteguhan rekat BBL yang dibuat dengan berbagai komposisi lapisan serta direkat dengan perekat isosianat berkisar antara 30,2 kg/cm2 sampai 91,9 kg/cm2 dengan rata-rata 61,6 kg/cm2. Hasil analisa keragaman pada Tabel 3 menunjukkan bahwa komposisi lapisan sangat berpengaruh terhadap keteguhan rekat BBL yang 173
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 167-177
dihasilkan. BBL yang semua lapisannya direkat sejajar serat memiliki keteguhan rekat yang lebih tinggi dibandingkan dengan BBL yang lapisan tengahnya disusun tegak lurus terhadap lapisan luar. Di samping itu BBL dengan lapisan tengah kayu memiliki keteguhan rekat yang lebih rendah dibandingkan BBL yang semua lapisannya bambu. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dari hasil uji beda pada Tabel 4. Keteguhan rekat BBL yang semua lapisannya disusun sejajar serat memenuhi persyaratan kualitas perekatan kayu lamina menurut Standar Jepang (JAS. MAFF. Notification No. 234 Glued Laminated Timber JPIC 2003) karena nilai keteguhan geser tekan dan persentase kerusakan bambunya berturut-turut tidak kurang 2 dari 55 kg/cm dan 70%. Kualitas perekatan BBL tidak hanya dilihat dari nilai keteguhan rekat atau keteguhan geser saja tetapi dilihat juga besarnya persentase kerusakan bambu. Keteguhan rekat BBL dengan lapisan tengah tegak lurus terhadap lapisan luar juga cukup baik karena meskipun nilai keteguhan 2 rekatnya kurang dari 55 kg/cm tetapi nilai kerusakan bambunya cukup tinggi yaitu berkisar antara 80% hingga 100%. Di samping itu kualitas perekatan BBL dapat dinilai dari hasil uji delaminasi. Berdasarkan hasil uji delaminasi pada Tabel 2 dapat diketahui bahwa BBL hasil penelitian ini yang dibuat dengan berbagai komposisi lapisan, semuanya memiliki kualitas perekatan yang baik karena tidak ada bagian yang mengelupas pada seluruh garis rekat contoh uji delaminasi BBL tersebut, yang ditunjukkan oleh nilai delaminasi = 0 cm atau 0%. Modulus patah (MOR) BBL yang dibuat dengan berbagai perlakuan berkisar antara 429,1 2 2 kg/cm hingga 958,3 kg/cm dengan rata-rata 2 686,2 kg/cm . Hasil analisa keragaman pada Tabel 3 menunjukkan bahwa komposisi lapisan penyusun BBL berpengaruh nyata terhadap keteguhan lentur BBL yang dihasilkan. BBL dengan lapisan tengah disusun tegak lurus terhadap lapisan luar memiliki nilai MOR lebih rendah dibanding dengan BBL yang lapisan tengahnya disusun sejajar terhadap lapisan luar. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dari hasil uji beda pada Tabel 4. Jika dibandingkan dengan klasifikasi kelas kuat kayu Indonesia (Oey, 1990), berdasarkan nilai keteguhan lenturnya maka BBL 3 lapis hasil penelitian ini yang semua lapisannya disusun 174
sejajar serat, baik yang semua lapisannya bambu maupun yang lapisan tengahnya kayu, setara 2 dengan kayu kelas kuat II (725 – 1100 kg/cm ), sedangkan BBL yang lapisan tengahnya disusun tegak lurus terhadap lapisan luar setara dengan 2 kayu kelas kuat IV (360 – 500 kg/cm ) untuk yang lapisan tengahnya kayu, hingga kelas kuat III (500 2 – 725 kg/cm ) untuk BBL yang semua lapisannya bambu. Keteguhan lentur balok bambu lamina dengan lapisan tengah disusun tegak lurus terhadap lapisan luar lebih rendah dibanding balok bambu lamina dengan semua lapisan disusun sejajar berturut-turut sebesar 29% (semua lapisan papan bilah bambu andong susun tegak), 46% (lapisan tengah kayu manii), dan 47% (lapisan tengah kayu sengon). Penggunaan kayu manii atau kayu sengon sebagai lapisan tengah balok bambu lamina menurunkan keteguhan lentur balok bambu lamina tersebut sebesar 16% (semua lapisan sejajar) dan 37% (lapisan tengah tegak lurus lapisan luar) dibanding balok bambu lamina dengan semua lapisan papan bilah bambu andong susun tegak. Hasil pengujian keteguhan lentur rata-rata kayu utuh (solid wood) manii, sengon dan bilah bambu andong yang sudah diawetkan dan yang digunakan dalam penelitian ini berturut-turut 2 2 adalah 445 kg/cm ; 326,4 kg/cm ; dan 1163,7 2 kg/cm . Berdasarkan data pada Tabel 2 dapat diketahui bahwa keteguhan lentur balok bambu lamina 3 lapis dengan semua lapisan bilah bambu andong susun tegak dan semua lapisan direkat 2 sejajar serat nilainya (958,3 kg/cm ) lebih rendah 18% dibanding keteguhan lentur bilah bambu 2 andong (1163,7 kg/cm ) yang digunakan sebagai elemen penyusun balok bambu lamina. Hal ini terjadi karena kekuatan balok bambu lamina dipengaruhi oleh kualitas hasil perekatan antar bilah bambu. Ketidaksempurnaan hasil perekatan antar bilah bambu dan antar lapisan dapat menurunkan kekuatan balok bambu lamina yang dihasilkan. Sementara itu penggunaan lapisan bambu sebagai lapisan luar balok bambu lamina kombinasi dengan kayu, menaikkan keteguhan lentur kayu utuh yang digunakan sebagai penyusun balok bambu lamina sebesar 81% (sengon) dan 141% (manii). Hasil penelitian Yoresta (2014) menunjukkan bahwa balok glulam kayu pinus tebal 5 cm dengan jumlah lapisan berbeda memiliki rata-rata MOR berturut-turut sebesar 41,29 MPa atau 420,75
Karakteristik Balok Bambu Lamina Susun Tegak dari Bilah Bambu Andong (Gigantochloa pseudoarundinacea) (I.M. Sulastiningsih, Adi Santoso, & Krisdianto) 2
2
kg/cm (2 lapis); 47,06 MPa atau 479,54 kg/cm (3 2 lapis); 60,25 MPa atau 613,95 kg/cm (4 lapis); dan 2 50,96 MPa atau 519,28 kg/cm (5 lapis). Sementara itu Supartini (2012) mengemukakan bahwa cross laminated timber dari kayu manii dengan jumlah lapisan 3 sampai 5 memiliki modulus patah (MOR) berkisar antara 343,31 - 393,59 2 kg/cm . Correal dan Lopez (2008) menyatakan bahwa MOR bambu lamina yang dibuat dari bilah bambu Guadua angustifolia Kunt. dan direkat dengan perekat polivinil asetat (PVA) adalah 81,9 2 Mpa atau 835 kg/cm setara dengan kayu kelas kuat II. Sementara itu hasil penelitian Nordin et al. (2005) menunjukkan bahwa bambu lamina 3 lapis yang dibuat dari bilah bambu samantan (Gigantochloa scortechinii) umur 4 tahun menggunakan perekat PVAc dengan berat labur perekat 2 250 g/m memiliki nilai MOR sebesar 78,56 MPa 2 atau 800,9 kg/cm , setara dengan kayu kelas kuat II. Papan bambu lamina 3 lapis yang dibuat dari bilah bambu andong dan direkat dengan perekat tanin resorsinol formaldehida memiliki 2 nilai MOR sebesar 1241 kg/cm (Sulastiningsih et al., 2005), sedangkan yang direkat dengan perekat 2 urea formaldehida adalah 1236 kg/cm , setara dengan kayu kelas kuat I (Sulastiningsih & Santoso, 2012). Keteguhan tekan BBL yang dibuat dengan berbagai komposisi lapisan berkisar antara 427,6 2 2 kg/cm hingga 646,8 kg/cm dengan rata-rata 496 2 kg/cm . Hasil analisa keragaman pada Tabel 3 menunjukkan bahwa keteguhan tekan BBL sangat dipengaruhi oleh komposisi lapisan penyusunnya. BBL 3 lapis yang dibuat dari bilah bambu andong dengan perekatan bilah dilakukan secara tegak, dan semua papan penyusunnya (3 lapis) direkat sejajar serat memiliki keteguhan tekan lebih tinggi 2 (546,1 kg/cm ) dibanding BBL 3 lapis dengan lapisan tengahnya disusun tegak lurus atau 2 menyilang terhadap lapisan luar (418,4 kg/cm ). Penggunaan kayu manii atau kayu sengon sebagai lapisan tengah balok bambu lamina menurunkan keteguhan tekan balok bambu lamina tersebut sebesar 22 - 25% jika menggunakan kayu manii sebagai lapisan tengah, dan sebesar 19 - 20% jika menggunakan kayu sengon sebagai lapisan tengah, dibanding balok bambu lamina dengan semua lapisan (3 lapis) papan bilah bambu andong susun tegak.
Hasil penelitian Sulastiningsih dan Nurwati (2009) menunjukkan bahwa keteguhan tekan papan bambu lamina(PBL) 3 lapis dan 5 lapis yang dibuat dari bilah bambu tali (Gigantochloa apus), direkat dengan tanin resorsinol formaldehida dan 2 dicampur ekstender 20%, berat labur 170 g/m serta dikempa dingin selama 4 jam, memiliki nilai 2 keteguhan tekan sebesar 564,8 kg/cm (3 lapis) 2 dan 518,8 kg/cm (5 lapis), sedangkan yang dibuat dari bilah bambu mayan (Gigantochloa robusta) memiliki nilai keteguhan tekan sebesar 572 2 2 kg/cm (3 lapis) dan 503,2 kg/cm (5 lapis). Papan bambu lamina tersebut setara dengan kayu kelas kuat II. Irmon (2005) melaporkan bahwa keteguhan tekan sejajar serat balok laminasi kayu sengon dengan jarak pasak 5 cm berturut-turut adalah 185 2 2 kg/cm (tanpa laminasi bambu), dan 234 kg/cm (dengan laminasi bambu 2 lapis). Berdasarkan informasi tersebut maka dapat diketahui bahwa penggunaan lapisan bambu sebagai lapisan luar balok laminasi kombinasi bambu dan kayu meningkatkan keteguhan tekan balok laminasi dari kayu yang digunakan. Supartini (2012) mengemukakan bahwa cross laminated timber dari kayu manii dengan jumlah lapisan 3, 4 dan 5 memiliki nilai keteguhan tekan 2 sejajar serat sebesar 154,08 - 169,52 kg/cm . Sementara itu hasil penelitian ini menunjukkan bahwa BBL 3 lapis dari bilah bambu andong dengan lapisan tengah kayu manii memiliki nilai keteguhan tekan sejajar serat sebesar 427,6 - 483,3 2 kg/cm sedangkan yang menggunakan lapisan tengah kayu sengon memiliki nilai keteguhan 2 tekan sejajar serat sebesar 437,9 - 522,6 kg/cm . Dengan demikian BBL 3 lapis dari bambu andong hasil penelitian ini yang dibuat dengan berbagai komposisi lapisan penyusun, semuanya setara dengan kayu kelas kuat II (dua) karena 2 nilai keteguhan tekannya lebih dari 425 kg/cm . Rittironk dan Elnieiri (2008) mengemukakan bahwa papan bambu lamina (Laminated bamboo lumber, LBL) yang dibuat dari susunan bilah bambu secara mendatar atau horisontal memiliki nilai keteguhan tekan sebesar 87,9 MPa atau 896,1 2 kg/cm , sedangkan yang bilahnya disusun secara tegak atau vertikal memiliki nilai keteguhan tekan 2 sebesar 84,l7 MPa atau 863,5 kg/cm ; kedua macam LBL tersebut setara dengan kayu kelas kuat I (satu) karena nilai keteguhan tekannya lebih 2 dari 650 kg/cm . 175
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 167-177
IV. KESIMPULAN Balok bambu lamina (BBL) 3 lapis yang dibuat dari susunan bilah bambu andong secara tegak dan direkat menggunakan perekat isosianat dengan berbagai komposisi lapisan penyusun kombinasi dengan kayu, memiliki nilai rata-rata 3 kadar air 11,1%, kerapatan 0,65 g/cm , kualitas perekatan cukup baik dengan nilai rata-rata keteguhan rekat dan persentase kerusakan bambu 2 berturut-turut 61,6 kg/cm dan 90%, serta kestabilan dimensi yang cukup baik dengan nilai pengembangan tebal 2,09% dan pengembangan lebar 1,99%. Penggunaan lapisan silang pada lapisan dalam BBL menurunkan nilai keteguhan lentur dan keteguhan tekan BBL akan tetapi meningkatkan kestabilan dimensi BBL yang dihasilkan. Berdasarkan nilai keteguhan lentur, secara keseluruhan BBL 3 lapis yang dibuat dari susunan bilah bambu andong secara tegak dan direkat menggunakan perekat isosianat dengan berbagai komposisi lapisan penyusun kombinasi dengan kayu dan semua lapisan penyusunnya direkat sejajar serat, setara dengan kayu kelas kuat II, sedangkan yang lapisan tengahnya direkat tegak lurus terhadap lapisan luar, setara dengan kayu kelas kuat III (lapisan tengah bambu andong) dan kelas kuat IV (lapisan tengah kayu manii atau sengon). Keteguhan tekan BBL 3 lapis yang dibuat dari susunan bilah bambu andong secara tegak dan direkat menggunakan perekat isosianat dengan berbagai komposisi lapisan penyusun kombinasi dengan kayu, baik yang semua lapisannya direkat sejajar maupun yang lapisan tengahnya direkat tegak lurus terhadap lapisan luar, setara dengan kayu kelas kuat II (dua). DAFTAR PUSTAKA Ahmad, M., & Kamke, F.A. (2011). Properties of parallel strand lumber from Calcutta bamboo (Dendrocalamus strictus). Wood Science Technology, 45, 63-72. American Society for Testing and Materials (ASTM). (1995a). Standard test methods for evaluating properties of wood-based fiber and particle panel materials. (ASTM D 1037-93). 176
American Society for Testing Materials (ASTM). (1995b). Standard test methods for wood-based structural panels in compression. (ASTM D 3501-94). Correal, J., & Lopez, L. (2008). Mechanical properties of Colombian glued laminated bamboo. Dalam Xiao et al. (Eds.) Modern bamboo structures. Conference proceedings of the first International Conference on Modern Bamboo Structures (ICBS-2007) (pp.121127), Changsa, China. Irmon. (2005). Pengaruh jumlah lamina bambu betung terhadap sifat fisis mekanis balok laminasi kayu sengon dengan sambungan pasak. (Skripsi Sarjana). Institut Pertanian Bogor, Bogor. Japan Plywood Inspection Corporation (JPIC). (2003). Japanese agricultural standard for glued laminated timber. JAS, MAFF. (Notification No. 234: 2003). Tokyo: Japan Plywood Inspection Corporation. Martawijaya, A. & Barly. (2010). Pedoman pengawetan kayu untuk mengatasi jamur dan rayap pada bangunan rumah dan gedung. Bogor: IPB Press. Nugroho, N., & Ando, N. (2001). Development of structural composite products made from bamboo II: fundamental properties of laminated bamboo board. Journal of Wood Science, 47(3), 237-242. Nordin K., Wahab R., Jamaludin M.A., Bahari S.A., Zakaria M.N. (2005). Strength properties of glued laminated bamboo (Gigantochloa scortechinii) strips for furniture. Dalam J.E. Winandy, R.W. Wellwood & S. Hiziroglu (Eds.). Using Wood Composites as a Tool for Sustainable Forestry. Proceedings of Scientific Session 90. XXII IUFRO World Congress “Forests in the Balance”. August 8-13. 2005. hlm.83 – 85. Brisbane, Australia. Oey, D.S. (1990). Berat jenis dari jenis-jenis kayu Indonesia dan pengertian beratnya kayu untuk keperluan praktek. Pengumuman Nr. 13. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor. Permatasari, R.J. (2011). Karakteristik balok laminasi dari kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L.)
Karakteristik Balok Bambu Lamina Susun Tegak dari Bilah Bambu Andong (Gigantochloa pseudoarundinacea) (I.M. Sulastiningsih, Adi Santoso, & Krisdianto)
Nielson), manii (Maesopsis eminii Engl.) dan akasia (Acacia mangium Willd.) (Skripsi Sarjana). Institut Pertanian Bogor, Bogor. Qisheng, Z., Shenxue, J., & Yongyu, T. (2002). Industrial utilization on bamboo. Technical Report 26, International Network for Bamboo and Rattan (INBAR), China. Recht, C. & Wetterwald, M.F. (1992). Bamboos. Portland Oregon: Timber Press. Rittironk, S. & Elnieiri, M. (2008). Investigating laminated bamboo lumber as an alternate to wood lumber in residential construction in the United States. Dalam Xiao et al. (Eds.) Modern Bamboo Structures. Conference proceedings of the first International Conference on Modern Bamboo Structures (ICBS-2007) (pp.83-96), Changsa, China. Sulastiningsih, I.M., Nurwati, & Santoso, A. (2005). Pengaruh lapisan kayu terhadap sifat bambu lamina. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 23 (1), 15-22. Sulastiningsih, I.M., & Nurwati (2009). Physical and mechanical properties of laminated bamboo board. Journal of Tropical Forest Science, 21(3), 246-251. Sulastiningsih, I.M., & Santoso, A. (2012). Pengaruh jenis bambu, waktu kempa dan perlakuan pendahuluan bilah bambu terhadap sifat papan bambu lamina. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 30(3), 198-206.
Sulastiningsih, I.M., Ruhendi, S., Massijaya, M.Y., Darmawan, I.W., & Santoso, A. (2014). Pengaruh komposisi arah lapisan terhadap sifat papan bambu komposit. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 32(3), 221-232. Sulastiningsih, I.M., & Santoso, A. (2014). Bambu komposit sebagai material alternatif pensubstitusi kayu pertukangan berkualitas. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan 2013. Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasi Hutan (hal. 57-74). Bogor. Sumardi, I., Suzuki, S., & Ono, K. (2006). Some important properties of strandboard manufactured from bamboo. Forest Products Journal, 56(6), 59-63. Supartini. (2012). Karakteristik cross laminated timber dari kayu cepat tumbuh dengan jumlah lapisan yang berbeda. (Master Thesis). Sekolah Pascasarjana: Institut Pertanian Bogor, Bogor. Yoresta, F.S. (2014). Studi eksperimental perilaku lentur balok glulam kayu pinus (Pinus merkusii). Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis, 12(1), 33-38. Zehui, J. (2007). Bamboo and rattan in the world. China: China Forestry Publishing House.
177
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 179-188 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
KEAWETAN ALAMI 57 JENIS KAYU INDONESIA DENGAN PENGUJIAN DI BAWAH NAUNGAN (Natural Durability of 57 Indonesian Wood Species Tested under the Shade) Jasni Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Jl. Gunung Batu No 5. Bogor 16610 Telp. 0251-8633378, Fax. 0251-8633413 E-mail:
[email protected] Diterima 12 Februari 2015, Direvisi 30 September 2015, Disetujui 13 November 2015
ABSTRACT Natural durability of 57 wood species originated from several regions in Indonesia was investigated outdoor under coverage. Initially, wood specimens were prepared from each species with dimension of 20 cm (length), 10 cm (width) and 2.5 cm (thickness). Specimens were placed on top of the bricks to avoid direct contact with soil, arranged randomly, and covered with crated-plastic sheets which served as protecting shades. Such experiment was conducted in research forest, Cikampek, West Java. Observation was conducted one year afterwards included evaluating the percentage of deteriorated wood specimens due to wood-destroying organisms. Results showed that after a year, 57 wood species could be categorized into five classes. Further scrutiny on each class revealed that four wood species belonged to class I (very durable); 16 wood species were class II (durable), 15 wood species class III (fairly durable), three wood species class IV (non-durable), and 19 wood species were classified as class V (perishable). Keywords: Natural durability, coverage outdoor, deterioration, five classes ABSTRAK Lima puluh tujuh jenis kayu dari berbagai daerah di Indonesia diuji keawetan alaminya di luar ruangan di bawah naungan. Contoh uji berukuran 20 cm (panjang); 10 cm (lebar); 2,5 cm (tebal) dipersiapkan dari masing-masing jenis. Contoh uji diletakkan di atas batako agar tidak berhubungan langsung dengan tanah, selanjutnya disusun secara acak, dan ditutup plastik kasa sebagai naungan. Pengujian keawetan alami tersebut dilaksanakan di hutan penelitian Cikampek, Jawa Barat. Pengamatan dilakukan setelah satu tahun pengujian dengan cara menilai persentase kerusakan contoh uji yang disebabkan oleh organisme perusak kayu. Hasil penelitian menunjukkan setelah satu tahun pengujian, 57 jenis kayu dapat dikelompokkan ke dalam lima kelas keawetan. Hasil pencermatan menunjukkan empat jenis kayu termasuk kelas I (sangat awet), 16 jenis kayu kelas II (awet), 15 jenis kayu kelas III (sedang), tiga jenis kayu kelas IV (tidak awet), dan 19 jenis kayu kelas V (sangat tidak awet). Kata kunci: Keawetan alami, luar ruangan bawah naungan, kerusakan, lima kelas awet I. PENDAHULUAN Keawetan kayu adalah ketahanan kayu terhadap serangan organisme perusak kayu yang biasanya berasal dari kelompok jamur, serangga dan binatang laut. Martawijaya (1996) menyatakan bahwa setiap jenis kayu memiliki daya tahan yang berlainan terhadap organisme perusak kayu; DOI : http://doi.org/10.20886/jphh.2016.34.3.179-188
satu jenis kayu tahan terhadap jamur belum tentu tahan terhadap rayap. Selanjutnya dinyatakan bahwa organisme perusak kayu seperti jamur dan serangga lainya dapat hidup dan berkembang dengan subur di daerah tropis sehingga keawetan kayu menjadi lebih penting artinya untuk daerah tropis. Dinyatakan pula dari 4000 jenis kayu terdapat di Indonesia, hanya lebih kurang 15% 179
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 179-188
termasuk kelas awet tinggi (I dan II) dan sisanya 85% terdiri dari kayu yang kurang atau tidak awet termasuk kelas III-IV dan V. Menurut Sumarni dan Roliadi (2002), keawetan kayu ditentukan oleh berbagai hal, antara lain tempat dimana kayu tersebut dipasang. Keawetan suatu jenis kayu akan berbeda jika digunakan di bawah atap dan di luar ruangan yang berhubungan dengan tanah lembap, atau jika digunakan di laut. Perbedaan keawetan ini terjadi karena jenis organisme yang menyerangnya berlainan, kayu yang sama dapat awet terhadap rayap belum tentu awet terhadap binatang laut atau jamur pelapuk. Pengujian keawetan kayu di lapangan terbuka dilakukan dengan cara uji kuburan (graveyard test). Sumarni dan Muslich (2004) melaporkan bahwa dari 52 jenis kayu yang diuji dengan cara uji kuburan, 33 jenis termasuk kelas awet V (63,4%), 17 jenis kelas awet IV (32,6%), 2 jenis kelas awet III (3,8%) dan tidak ada yang berkeawetan tinggi (kelas I dan II). Muslich dan Rulliaty (2013) melaporkan bahwa 50 jenis kayu yang diuji kuburan, 28 jenis termasuk kelas awet V, 15 jenis kelas IV dan 7 jenis kelas III. Cara pengujian kuburan dilakukan dengan membenamkan setengah panjang contoh uji ke dalam tanah. Pengujian di
luar ruangan tidak berhubungan dengan tanah dan di bawah naungan belum banyak dipublikasikan. Penelitian di bawah naungan pernah di laporkan oleh Tsunoda et al. (2000), Tsunoda, Byrne, Morris, dan Grice (2004), dan Tsunoda (2005) dan namun penelitian tersebut ditujukan pada efikasi produk kayu komposit MDF, OSB dan kayu lapis yang sudah diawetkan dengan bahat pengawet asam borat. Efikasi bahan pengawet bertujuan mencari efektifitas bahan pengawet yang digunakan untuk ketahanan kayu sehingga kayu dapat bertahan lama terhadap serangan organisme perusak, sedangkan pengujian ketahanan alami kayu di luar ruangan di bawah naungan belum dilakukan. Tulisan ini mempelajari pengujian kayu alami di luar ruangan di bawah naungan terhadap 57 jenis kayu yang tumbuh di Indonesia. II. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat Bahan penelitian berupa 57 jenis kayu (Tabel 1) yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, batako, plastik kasa, dan paku. Peralatan yang digunakan yaitu gergaji dan spidol.
Tabel 1. Jenis kayu yang dipelajari digunakan pada penelitian Table 1. Studied wood species No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 180
Nama lokal (Local name) Akasia Kabesak Damar Kemiri Jabon Nangka Ki bugang Mimba Nurai Pasang/ Ki hiur Kisereh Ki banen Sonokeling Simpul lilin Medang Keruing Dahu Eboni Cangkring Sengon
Nama Botani (Botanical name) Acacia mangium Willd. Acacia leuocophloea Willd. Agathis hamii M.Dr. Aleurites moluccana Willd. Anthocephalus cadamba Miq. Artocarpus heterophyllus Lamk. Arthrophyllum diversifolium Bl. Azadirachta indica A. Juss. Cananga odorata Hook.f.et Th. Castanopsis acuminatissima A.DC. Cinnamomum parthenoxylon (Jack) Meissn. Crypteronia paniculata Blume. Dalbergia latifolia Roxb. Dillenia obovata Hoogl. Dehaasia firma Bl. Dipterocarpus crinitus Dyer Dracontomelon dao (Blanco) Merr. et. Rolf. Diospyros pilosanthera Blanco Erythrina fusca Lour. Falcataria molucana (Miq.)
Asal kayu (Wood origin) Jawa Barat Kupang Sulawesi Jawa Barat Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Barat Jawa Barat Aceh Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Tengah Banten Kalimantan Jawa Barat Jawa Barat Papua Jawa Barat Jawa Barat
Keawetan Alami 57 Jenis Kayu Indonesia dengan Pengujian di bawah Naungan (Jasni)
Tabel 1. Lanjutan Table 1. Continued No. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56 . 57.
Nama lokal (Local name) Pangsor Mangir Gmelina Karet Waru Merbau Khaya Kempas Lamtoro Huru gading Manii Cempaka Mangga Mindi Sempayang Lara Balsa Ki langir Petai Sungkai Tusam Jengkol Putat Sonokembang Bayur Ki sampang Trembesi Kenari Mahoni Meranti merah Jati Ketapang Tempeas Suren Timo Pelelawan Laban
Nama Botani (Botanical name) Ficus callosa Willd. Ganophyllum falcatum Bl. Gmelina moluccana Back. Hevea brasiliensis Muel.Arg. Hibiscus macrophyllus Roxb. Intsia bijuga O. Ktze. Khaya anthotheca (Wielw.) C.BC. Koompassia malaccensis Maing Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit. Litsea odorifera Val. Maesopsis eminii Engl. Magnolia candollei (Blume) H.Keng. Mangifera indica L. Melia azedarach L. Melicope lunu-ankeda (Gaerth). T. G. Hartley Metrosideros petiolata Kds. Ochroma grandiflora Rowlee. Othophora spectabilis Bl. Parkia speciosa Hassk. Peronema canescens Jack. Pinus merkusii Jungh. et de Vr. Pithecellobium rosulatum Kosterm. Planchonia valida Bl. Pterocarpus indicus Willd. Pterospermun diversifolium Bl. Prunus javanica Miq. Samanea saman Merr. Santiria laevigata Bl. Swietenia macrophylla King. Shorea almon Foxw. Tectona grandis L. F. Terminalia belerica Roxb. Teysmanniodendron sympliciodes Kosterm. Toona sureni Merr. Timonius timon Merr. Tristania maingayi Duthie. Vitex pubescens Vahl.
B. Metode Penelitian 1. Pembuatan contoh uji Setiap jenis kayu dipotong menjadi ukuran panjang 20 cm x lebar 10 cm x tebal 2,5 cm, masing masing jenis memiliki ulangan 5 buah (potongan kayu); lalu dibiarkan beberapa waktu di dalam ruang terbuka hingga mencapai kadar air kering udara. Kadar air kering udara yang dimaksud berkisar antara 12–18%.
Asal kayu (Wood origin) Banten Jawa Barat Jawa Barat Jambi Jawa Barat Papua Jawa Barat Sumatera Selatan Jawa Tengah Jawa Barat Jawa Barat Banten Jawa Tengah Jawa Barat Banten Sulawesi Banten Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Barar Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Barat Jawa Tengah Jambi Banten Banten Jambi Jawa Tengah Kalimantan Jawa Tengah Papua Kalimantan Jawa Barat Kupang Kalimantan Jawa Tengah
2. Pemasangan contoh uji di lapangan Pada lantai tanah dipasang batako (40 cm x 20 cm x 10 cm) (Gambar 1a); di atas batako dipasang contoh uji yang jenis kayunya diacak sebanyak 275 buah (Gambar 1b); kemudian ditutup dengan plastik kasa (Gambar 1c). Cara ini disebut metode di bawah naungan karena ditutupi plastik kasa (Tsunoda, 2004).
181
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 179-188
Tabel 2. Derajat serangan atau derajat kerusakan organisme perusak kayu secara visual Table 2. The degree of attack or the degree of damage visually wood destroying organisms Kelas (Class) Keawetan (Durability) I Sangat awet (Very durable) II Awet (Durable) III Agak Awet (Fairly durable) IV Tidak Awet (Non durable ) V Sangat tidak awet (Extremely non durable)
1a
1b
1c Gambar 1. Pengujian di bawah naungan Figure1. Under shades test Keterangan (Remarks): a. Susunan batako (Brick stuffs) b. Penyusunan kayu di atas batako (Wood samples are arranged on briks) c. Penutupan plastik kasa (Grated plastic sheet covering)
3. Pengamatan contoh uji Pengamatan dilakukan setelah satu tahun pengujian disesuaikan dengan siklus musim panas dan hujan. Parameter yang diamati meliputi derajat serangan atau kerusakan pada setiap jenis kayu mengacu pada SNI 7207 (2014) (BSN, 2014) yang dimodifikasi dalam Tabel 2. 182
C. Analisis Data Data kerusakan kayu (%) dianalisa dengan rancangan acak lengkap berfaktor tunggal. Sebagai faktor (perlakuan) pada rancangan tersebut adalah 57 jenis kayu. Dari masing-masing jenis kayu, dilakukan pemeriksaan kerusakannya
Keawetan Alami 57 Jenis Kayu Indonesia dengan Pengujian di bawah Naungan (Jasni)
terhadap masing-masing jenis dimana secara representatif berbentuk potongan kayu dengan ulangan (R) sebanyak 5 kali (tiap potongan kayu). Sekiranya pengaruh faktor/perlakuan (T) nyata, maka analisis dilanjutkan dengan uji jarak/beda nyata jujur (BNJ). Hasil uji BNJ selanjutnya dalam bentuk nilai skor, dimana semakin tinggi skor, maka semakin kecil kerusakan kayu (%) atau dengan perkataan lain kayu tersebut semakin tahan terhadap serangan organisme perusak kayu, dan sebaliknya jika nilai skornya rendah kerusakannya besar (Ott, 1994; Steel & Torrie, 1993). Nilai skor tersebut berikut urutannya mulai dari yang tertinggi hingga yang terendah, selanjutnya digunakan sebagai dasar penyusunan klasifikasi kayu, dimana ditetapkan menjadi 5 kelas yaitu kelas I, II, III, V, dan V mengacu pada SNI 01-7207 (2006). III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisa statistik persentase kerusakan 57 jenis kayu di lapangan menunjukkan bahwa jenis kayu berpengaruh nyata terhadap persentase kerusakan (Tabel 3). Dengan uji jarak (BNJ) yang merupakan telaahan lebih lanjut dari uji
F dapat ditentukan beberapa nilai skor. Nilai skor tersebut dipakai untuk evaluasi urutan nilai kerusakan. Rincian hasil manipulasi nilai skor menjadi 5 kelas untuk penggolongan kayu (57 jenis), berikut aspek-aspek terkait disajikan pada Tabel 4. Sedangkan hasil keawetan 57 jenis kayu dari persentase kerusakan (dalam bentuk transformasi akar %) disajikan pada Tabel 5. Selanjutnya dari Tabel 2 dapat ditentukan distribusi jenis kayu menurut kelas keawetan berdasarkan persentase kerusakan kayu, dalam bentuk transformasi arcsin akar % (Tabel 3). Hasil pencermatan rincian jenis pada masingmasing kelas keawetan 57 jenis kayu, berdasarkan persentase kerusakan tersebut, disajikan pada (Lampiran 1). Kerusakan kayu tertinggi didapatkan pada kayu pangsor (Ficus callosa), kemiri (Aleurites molucana), karet (Hevea brasiliensis), ki sampang (Melicope lunu-ankeda), sengon (Falcataria moluccana), tusam (Pinus merkusii), trembesi (Samanea saman), ki banen (Crypteronia paniculata) dan lamtoro (Leucaena leucocephala.); kesemua jenis kayu ini kerusakannya mencapai 100%. Sebaliknya, kerusakan kayu terendah (0%) terjadi pada kayu lara (Metrosideros petiolata) dan merbau (Intsia bijuga).
Tabel 3. Analisis keragaman (berpola model acak lengkap) persentase kerusakan kayu Table 3. Analysis of variance (with completely randomized pattern) on the percentage of wood deterioration Sumber keragaman (Source of variation)
Total (Total) Jenis kayu (Wood species) Sisa (Residual) Rata-rata (Average) Satuan (Unit) C.V (%) D0,05
db (df )
284 56 228
Jumlah kuadrat (Sums of squares) 248230,03 209268,36 38961,68
Kuadrat tengah (Mean squares) 373694 170,88 47,88 Arcsin Ѵ % 27.3013 34.007
F-hitung (F-calculated)
21,87**
F-tabel (F-table)
1,32
Keterangan (Remarks): ** = Nyata pada taraf (Significant at) α = 0.01 (99%) C.V = Koef. Keragaman (Coeff. of variation) db (df) = derajat bebas (Degree of freedom) D0.05 = Nilai kritis uji jarak beda nyata jujur (Critical value of the honestly significant difference range test) Arcsin akar % = transformasi nilai percentase (%) menjadi arcsin (Transformation of the percentage value into arcsin of square root for %)
183
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 179-188
Tabel 4. Klasifikasi keawetan kayu (57 jenis) Table 4. Classification of wood durability (57 species) No. 1. 2. 3. 4. 5.
Kerusakan kayu (Wood deterioration) Interval skor Arcsin akar % % (Score intervals) 12,70-15,63 0-15,27 ≤ 6,94 9,78-12,70 32,28-15,27 6,95-28,55 6,85- 9,78 51,57-32,28 28,56-61,40 3,93- 6,85 59,22-51,57 61,41-73,85 1,00- 3,93 90,00-59,22 ≥ 73,85
Kelas (Class) I II III IV V
Keawetan (Durability) Sangat awet (Very durable) Awet (Durable) Agak awet (Fairly durable) Tidak awet (Non-durable) Sangat tidak awet (Extremely non-durable)
Keterangan (Remarks): Arcsin akar % = transformasi nilai percentase (%) menjadi arcsin (transformation of the percentage value into arcsin of square root for %)
Tabel 5. Keawetan 57 jenis kayu Indonesia ditinjau dari persentase kerusakan Table 5. Durability of 57 Indonesian wood species, based on the percentage of wood deterioration
No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31.
184
Jenis kayu (Wood species)
Acacia mangium Acacia leocophloea Agathis hamii Aleurites moluccana Anthocephalus cadamba Artocarpus heterophyllus Arthophyllum diversifolium Azadirachta indica Cananga odorata Castanopsis acuminatissima Cinnamomum parthenoxylon Cryptoronia paniculata Dalbergia latifolia Dillenia obovata Dehaasia firma Dipterocarpus crinitus Dracontomelon dao Diospiros pilosanthera Erythrina fusca Falcataria molucana Ficus callosa Ganophyllum falcatum Gmelina moluccana Hevea brasiliensis Hibiscus macrophyllus Intsia bijuga Khaya anthoteca Koompassia malaccensis Leucaena leucocephala Litsea odorifera Maesopsis eminii
Kerusakan kayu (Deteriorated wood) % Transf. Arcsin akar % 76 66,87 72 59,43 51 46,03 100 90,00 46 45,59 26 29,81 98 86,31 66 54,88 14 21,39 24 29,04 5 12,92 100 90,00 32 34,39 39 40,94 14 21,39 10 18,44 74 60,47 14 21,80 68 59,02 100 90,00 100 90,00 33 34,99 96 84,69 100 90,00 26 30,18 0 0,00 74 62,35 24 29,03 100 90,00 37 37,42 90 81,00
Keawetan (Durability) Tingkatan (Grade )
Skor (Score)
Kelas (Class)
abcde abcdefg efghijkl a efghijkl fghijklmn ab bcdefghij jklmn fghijklmn lmn a efghijklm efghijkl jklmn klmn abcdefg jklmn abcdefgh a a efghijklm ab a fghijklmn n abcdef fghijklmn a efghijklm abcd
3 3,5 8,5 1 8,5 10 1.5 6 12 10 13 1 9 8,5 12 12,5 3,5 12 4,5 1 1 9 1,5 1 10 14 3 10 1 9 2,5
V V III V III II V IV II II I V III III II II V II IV V V III V V II I V II V III V
Kelas awet (Durability class Oey) III III IV V III II-III V III V III IV I-II III II III II-III II (I-IV) IV-V V III V V III I-II III-IV III-IV IV
Keawetan Alami 57 Jenis Kayu Indonesia dengan Pengujian di bawah Naungan (Jasni)
Tabel 5. Lanjutan Table 5. Continued
No.
Jenis kayu (Wood species)
32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57.
Magnolia candollei Mangifera indica Melia azedarach Melico lunu-ankeda Metrosideros petiolata Ochroma grandiflora Othophora spectabilis Parkia speciosa Peronema canescens Pinus merkusii Pithecellobium rosulatum Planchonia valida Pterocarpus indicus Pterospermun diversifolium Prunus javanica Samanea saman Santiria laevigata Swietenia macrophylla Shorea almon Tectona grandis Terminalia belerica Teysmanniodendron sympliciodes Toona sureni Timonius timon Tristania maingayi Vitex pubescens
Kerusakan kayu (Deteriorated wood) % Transf. Tingkatan Arcsin (Grade ) akar % 12 20,18 klmn 64 56,36 abcdefghi 37 37,37 efghijklm 100 90,00 a 0 0,00 n 2 5,17 mn 40 39,20 efghijkl 92 82,15 abc 21 26,66 ghijklmn 100 90,00 a 54 47,70 defghijk 25 27,73 ghijklmn 11 19,32 klmn 84 66,69 abcde 56 48,27 cdefghijk 100 90,00 a 49 47,59 defghijk 33 34,86 efghijklm 90 81,00 abcd 46 41,68 efghijkl 45 44,24 efghijkl 18 24,87 ijklmn 19 25,19 hijklmn 40 39,10 efghijklm 10 17,62 klmn 10 17,97 klmn
Keawetan (Durability) Skor (Score)
Kelas (Class)
12,5 5 9 1 14 13,5 8,5 2 10,5 1 7.5 10,5 12,5 3 7 1 7.5 9 2,5 8,5 8,5 11.5 11 9 12,5 12,5
II IV III V I I III V II V III II II V III V III III V III III II II III II II
Kelas awet (Durability class Oey) II V IV-V I V V IV III-II II-III II- (I-IV) V IV IV I-(II) IV IV-V IV-V I I
Keterangan (Remarks): *) Tingkatan ditentukan dari hasil uji beda nyata jujur/BNJ (Grade was determined from results of honestly significan difference/HSD test): a > b > c > d > e > e > f > g > h > i > j > k > l > m > n; Skor diperoleh dari hasil manipulasi uji BNJ (Scores obtained from the manipulation of the HSD-test results): a = 1, b = 2, c = 3, ……, l = 12, m = 13, n = 14.; Arcsin akar % = transformasi nilai percentase (%) menjadi arcsin (transformation of the percentage value into arc sin of square root for %); Oey = Menurut Oey (1990)/According to Oey (1990)
Hasil nilai skor (Tabel 3), merupakan suatu cara untuk menentukan jenis kayu mana yang berpotensi kerusakan tinggi atau kerusakan rendah. Semakin tinggi nilai skor suatu jenis kayu, maka kayu tersebut semakin tahan terhadap kerusakan organisme perusak kayu (tingkat kerusakan semakin kecil), dan sebaliknya untuk nilai skor yang semakin rendah, maka kayu tersebut tidak tahan terhadap kerusakan organisme perusak. Pada penelitian ini tidak ditentukan organisme yang merusaknya baik serangga maupun jamur. Nandika (2015) menyebutkan secara umum kayu paling disukai
rayap terutama rayap tanah yang paling ganas, dan masih didominasi oleh Coptotermes sp. Selanjutnya Nandika, Rismayadi, dan Diba (2003) menyatakan bahwa kayu banyak diserang rayap, karena kayu mengandung selulosa yang menjadi makanan utama rayap. Sumarni (2004) menyatakan kandungan selulosa dalam kayu berkisar 40-50%, sedangkan Rachman dan Jasni (2013) menyatakan kayu daun lebar mengandung selulosa 40-44 % dan kayu daun jarum 44%. Sumarni dan Muslich (2004) melaporkan bahwa keawetan 52 jenis kayu berdasarkan pengujian kuburan (graveyard test) di kebun 185
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 179-188
Percobaan Cikampek, 49 jenis dengan nilai kerusakan mencapai 94% diserang rayap tanah, hanya 3 jenis saja diserang jamur, dimungkinkan pula kerusakan oleh rayap tanah untuk pengujian 57 jenis kayu yang dilakukan dengan cara naungan ini, sebagaimana lokasinya sama hanya cara pengujiannya yang berbeda. Selanjutnya hasil penelitian kuburan (graveyard) yang dilakukan Muslich dan Rulliaty (2013) di kebun percobaan Cikampek terhadap 50 jenis kayu, 28 jenis (56%) termasuk kelas awet V, 15 jenis (30%) termasuk kelas awet IV, dan 7 jenis (14%) kelas awet III. Disamping itu organisme yang menyerang didominasi rayap Coptotermes sp., Microtermes sp., Macrotermes sp., dan Odontotermes sp. Sebelumnya, hasil penelitian yang pernah dilakukan di Kecamatan Cikampek ditemukan beberapa jenis rayap tanah antara lain Odontotermes grandiceps Holmgren, Microtermes inspiratus Kemner, Macrotermes gilvus Hagen, Capritermes latignathus Holmgren, Odontotermes javanicus Holmgren dan Schedorhinotermes javanicus Kemner (Sumarni & Ismanto, 1988). Berdasarkan hasil klasifikasi keawetan 57 jenis kayu terhadap organisme perusak kayu atas dasar persentase kerusakan menunjukkan bahwa sebanyak 4 jenis termasuk sangat awet (kelas I), 16 jenis termasuk awet (kelas II), 15 jenis termasuk agak awet (kelas III), 3 jenis termasuk tidak awet (kelas IV) dan 19 jenis termasuk sangat tidak awet (Kelas V). Sebagai pembanding dicantumkan pula kelas awet setiap jenis menurut Oey (1990). Sumarni dan Muslich (2004) menyatakan bahwa klasifikasi Oey dalam menetapkan keawetan tidak didasarkan kepada pengujian, hanya mempergunakan data berdasarkan pada etiket herbarium yang tercatat pada waktu pengumpulan jenis kayu tersebut dimana data diperoleh berdasarkan keterangan penduduk di sekitar hutan tempat jenis pohon tersebut tumbuh, kemudian dicocokkan dengan pengalaman umum mengenai sifat kayu serta dicocokkan dengan data dari berbagai sumber. Kalau dibandingkan data keawetan kayu yang dilaporkan Oey maka dapat terjadi beberapa perbedaan kelas keawetan kayu, karena laporan percobaan belum berdasarkan hasil pengujian secara laboratorium dan hasil pengujian lapangan. Oleh sebab itu wajar jika terdapat perbedaan dalam hasil klasifikasi di antara kedua metode ini. Hasil penelitian klasifikasi keawetan jenis kayu terhadap organisme perusak kayu di lapangan 186
dengan cara naungan ada 22 jenis kayu yang berbeda dengan klasifikasi Oey Djoen Seng (1990). Jenis kayu yang mempunyai kelas keawetan III, IV dan V dalam pemakaianya perlu diawetkan terlebih dahulu untuk memperpanjang umur pakainya (Martawijaya & Barly, 2010). IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian keawetan 57 jenis kayu Indonesia terhadap organisme perusak kayu di lapangan menunjukkan bahwa 4 jenis atau 7,02 % termasuk kelas awet I; 16 jenis atau 28,07% termasuk kelas awet II; 15 jenis atau 26,32% termasuk kelas awet III; 3 jenis atau 5,26 % termasuk kelas awet IV dan 19 jenis atau 33,33% termasuk kelas awet V. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terima kasih kepada koordinator sifat dasar kayu dan non kayu Drs. M. Muslich yang telah membantu dalam menyediakan sampel kayu. DAFTAR PUSTAKA Martawijaya, A., & Barly (2010). Pedoman pengawetan kayu untuk mengatasi jamur dan rayap pada bangunan rumah dan gedung. Bogor: IPB Press. Martawijaya, A. (1996). Keawetan kayu dan faktor yang mempengaruhinya. Petunjuk Teknis. 47 hal. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan (47 hal.). Muslich, M. & Rulliaty, S. (2013). Keawetan lima puluh jenis kayu terhadap uji kuburan dan uji di Laut. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 31(4), 250-257. Nandika, D., Rismayadi, Y. & Diba, F. (2003). Rayap: Biologi dan pengendaliannya. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Nandika, D. (2015). Satu abad perang melawan rayap. Workshop Mitigasi Bahaya Serangan Rayap pada Bangunan Gedung. Jakarta
Keawetan Alami 57 Jenis Kayu Indonesia dengan Pengujian di bawah Naungan (Jasni)
16 April 2015. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Oey, D.S. (1990). Berat jenis-jenis kayu Indonesia dan pengertian beratnya kayu untuk ke p e r l u a n p r a k t e k ( Te r j e m a h a n ) . Pengumuman Nr. 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor. Ott, L. (1994). Statistical methods and data analysis. (4th Ed.) Boston, USA: Duxbury Press. Rachman, O., & Jasni. (2013). Rotan: Sumberdaya, sifat dan pengolahannya. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Standar Nasional Indonesia (SNI). (2014) Uji ketahanan kayu terhadap organisme perusak kayu (SNI 7207-2014). Badan Standarisasi Nasional. Steel, R.G.D., & Torrie, J.H. (1993). Prinsip dan prosedur statistika. Terjemahan dari Principles and procedures of statistics, oleh Bambang Sumantri. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Sumarni, G. & Ismanto, A. (1988). Intensitas serangan dan komunitas rayap tanah di Kecamatan Cikampek. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 5(4), 211-126. Sumarni, G., & Roliadi, H. (2002). Daya tahan 109 jenis kayu Indonesia terhadap rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren). Buletin Penelitian Hasil Hutan, 20(3), 177-185.
Sumarni, G. (2004). Keawetan kayu terhadap serang ga. Upaya menuju efisiensi penggunaan kayu. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Jakarta. Sumarni, G., & Muslich, M. (2004). Keawetan 52 jenis kayu Indonesia. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 22(1), 1-8. Tsunoda, K., Adachi, A., Yoshimura, T., Byrne, T., Morris, P.I., & Grace, K. (2000). Resistance of borat-treated lumber to subterranean termites under protected, above-ground conditions. The 31st Annual Meeting of International Research Group on Wood Preservation. Kailua-Kona, Hawaii, USA. IRG/WP 00-30239. Tsunoda,K., Byrne, A., Morris P.I., & Grace, K. (2004). Performance of borate-treated lumber in a protected, above-ground fields th test in Japan. The 35 Annual Meeting of International Research Group on Wood Preservation. Ljubbljana, Slovenia. IRG/WP 04-30344. Tsunoda, K. (2005). Biological resistance of wood-based composites under protected above ground conditions. The 36th Annual Meeting of International Research Group on Wood Preservation. Bangalore, India. IRG/WP 05-20312.
187
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 179-188
Lampiran 1. Distribusi jenis kayu menurut kelas keawetan (atas dasar persentase kerusakan) Apendix 1. Distribution of wood species in accordance with their durability classes (based on their the percentage of wood deterioration) Kelas (Class)*
Jumlah jenis kayu (Number of wood species)
I
4
II
16
III
15
IV
3
V
19
Jumlah (Total)
57
Distribusi jenis kayu (Distribution of wood species) Jenis kayu (Wood species)
Persentase (Percentage), %
Kisereh (Cinnamomum parthenoxylon), balsa (Ochroma grandiflora), lara (Metrosidores petiolata) dan merbau (Intsia bijuga) Sono kembang(Pterocarpus indicus), Cempaka (Magnolia condollii ), waru (Hibiscus macrophyllus), tempeas (Teysmanniodendron sympliciodes), suren (Toona sureni), laban (Vitex pubescen), putat (Planchonia valida), sungkai (Peronema canescens), nurai (Cananga odorata), pasang (Castanopsis acuminatissima), nangka (Artocarpus heterphyllus), medang (Dehaasia firma), pelawan (Tristania maingayi ), kempas (Koompassia malaccensis), keruing (Dipterocarpus crinitus), dan eboni (Diospyiros pilosanthera) Jengkol (Pithecellobium rosulatum), simpul lilin (Dillenia obovata), huru gading (Litsea odorifera), mindi (Melia azedarach), mangir (Ganophyllum falcatum), mahoni (Swietenia macrophylla), sonokeling (Dalbergia latifolia), jabon (Anthocephalus cadamba), jati (Tectona grandis), kibanen (Crypteronia paniculata), ki sampang (Prunus javanica), ki langir (Ortophora spectabilis), ketapang (Terminalia belerica), kenari (Santiria laevigata), damar (Agathis hamii), dan timo (Timonius timon) Mimba (Azadirachta indica), mangga ( Mangifera indica ) dan cangkring (Erythrina fusca) Manii (Maesopsis eminii), khaya (Khaya anthoteca), acasia (Acacia mangium), gmelina (Gmelina moluccana), petai (Parkia speciosa), pangsor (Ficus callosa), kemiri (Aleurites molucana ), dahu (Dracontomelon dao), karet (Hevea brasiliensis), sampayang (Melicope lunu-ankeda), sengon (Falcataria moluccana), tusam (Pinus merkusii), trembesi (Samanea saman), lamtoro (Leucaena leucocephala), bayur (Pterospermum diversifolium), ki bugang(Arthrophyllum diversifolium, meranti merah (Shorea almon), dan kabesak (Acasia leucophloea)
7,02
Keterangan (Remarks): * Lihat Tabel 2 (Please refer to Table 2).
188
28,07
26,32
5,26 33,33
100
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 189-197 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
PENGARUH KATALIS NiO DAN NiOMoO TERHADAP PERENGKAHAN MINYAK CANGKANG BIJI JAMBU METE (The Influence of NiO and NiOMoO catalyst for Hydrocracking of Cashew Nut Shell Liquid) 1
Lisna Efiyanti & Darma Santi
2
1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor, 16610 Telp. 0251-8633378, Fax. 0251-8633413 2 Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Papua Jl. Gunung Salju Amban Manokwari (Kp. 98314) Papua Barat E-mail:
[email protected] Diterima 4 Maret 2015, Direvisi 14 Desember 2015, Disetujui 21 Januari 2016
ABSTRACT Bioenergy is new and renewable alternative energy which is currently developed enthusiastically. Bioenergy could be produced by catalytic cracking method, which is cracking carbon chain to raise energy fraction. This paper observes potential non-food bioenergy of cashew nut shell liquid as an alternative bioenergy source using catalytic cracking method. The effect of impregnated-metals Nikel and Molibdenum catalyst used in hydrocracking of Cashew Nut Shell Liquid (CNSL) into bioenergy was investigated. It focused specifically on two type of natural activated zeolite catalysts: NiO and NiOMoO at o temperature reaction of 450 C and ratio feed catalyst of 2 and 4. Catalysts characterization was conducted according to a gravimetric method to determine acidity of catalyst; Spectroscopy FT-IR analysis to get distribution of active site catalyst; X-Ray Diffraction (XRD) analysis to observe crystalinity of catalyst; and Gas Sorption Analyzer (GSA) to measure surface area, porosity and total of pore volume. Bioenergy of CNSL in the liquid-phase, which were predominantly by gasoline, diesel oil, and heavy oil, was further analyzed using Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS) to determine the compound energy fraction qualitatively and quantitatively. The result showed that the NiOMoO (natural activated zeolite) provided an optimal performance with liquid product conversion was about 65-75%, and selectivity gasoline as well as diesel fraction was about 37-47% and 22-31%, respectively. Keywords: Bioenergy, Cashew Nut Shell Liquid, catalyst, cracking, diesel, gasoline ABSTRAK Bioenergi merupakan salah satu energi baru dan terbarukan yang sedang marak dikembangkan. Bioenergi dapat diproduksi dengan cara perengkahan katalitik untuk memecah ikatan karbon menjadi fraksi energi. Tulisan ini mempelajari potensi minyak cangkang kulit biji jambu mete (Cashew Nut Shell Liquid/CNSL) sebagai sumber alternatif sumber bioenergi non pangan dengan cara perengkahan katalitik menggunakan katalis berbasis logam-pengemban. Tulisan ini juga mempelajari pengaruh katalis terimpregnasi logam Nikel dan Molibdenum yang digunakan dalam reaksi hidrorengkah CNSL menjadi bioenergi. Secara khusus menggunakan dua jenis katalis zeolit alam o aktif, yaitu NiO dan NiOMoO pada suhu 450 C, dengan rasio umpan/katalis 2 dan 4. Katalis dikarakterisasi menggunakan metode gravimetri untuk menentukan keasaman katalis; Fourier Transform Infra Red Spectrofotometer (Spektrofotometer FT-IR) untuk mengetahui distribusi situs asam katalis; X-Ray Difraction (XRD) untuk melihat kristalinitas katalis; serta Gas Sorption Analyzer (GSA) untuk mengetahui luas permukaan, porositas dan volume pori dari katalis. Bioenergi yang diperoleh dalam fase liquid dengan komponen bensin, diesel, dan minyak berat dianalisis menggunakan
DOI : http://doi.org/10.20886/jphh.2016.34.3.189-197
189
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 189-197
kromatografi gas - spektrometri massa (GC-MS) untuk mengetahui kandungan fraksi energi secara kualitatif maupun kuantitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa katalis NiOMoO bekerja optimal dengan konversi produk cair sebesar 65-75% dengan selektivitas produk bensin sebesar 37-47% dan diesel sebesar 22-31%. Kata kunci: Bioenergi, cangkang biji jambu mete (CNSL), katalis, perengkahan, diesel, gasolin I. PENDAHULUAN Terbatasnya ketersediaan bahan bakar yang berasal dari fosil menyebabkan harga minyak bumi dunia mengalami kenaikan, yaitu hingga mencapai di atas US$ 70 per barel. Menanggapi kenyataan ini, pemerintah telah menetapkan untuk meningkatkan peran energi terbarukan menjadi sekitar 20% pada 2025 sedangkan peran minyak bumi sebagai sumber energi akan dikurangi dari 52% menjadi 20% (Sudrajat, Pawoko, Hendra, & Setiawan, 2010). Berbagai penelitian dalam pencarian sumber energi terbarukan terus dikembangkan, diantaranya yang berasal dari minyak nabati, seperti minyak kelapa, minyak kedelai, minyak kelapa sawit dan minyak yang berasal dari biji-bijian tanaman perkebunan. Berdasarkan laporan Srivastava dan Prasad (2000), minyak atau lemak yang berasal dari tumbuhan dan lemak hewan, serta produk turunannya mempunyai kemungkinan manfaat sebagai bahan baku energi terbarukan sebagai pengganti bahan bakar diesel. Sumber energi yang kini dikembangkan diarahkan pada sumber non pangan, agar tidak terjadi kompetisi dan berdampak pada ketahanan pangan nasional. Minyak cangkang kulit biji jambu mete (Cashew Nut Shell Liquid/CNSL) merupakan minyak nabati yang berwarna coklat kental kemerahan dan didapat dari hasil ekstraksi atau pengepresan cangkang kulit biji mete. Minyak ini memiliki kandungan utama yaitu asam anarkadat yang bersifat korosif dan pada umumnya tidak banyak digunakan oleh masyarakat (Ketaren dalam Efiyanti & Trisunaryanti 2014). Persebaran tanaman ini cukup banyak terutama di daerah Indonesia bagian Timur serta pada lahan kering, hal ini dikarenakan tanaman ini tahan panas dan dapat hidup di lahan marginal sehingga dapat juga digunakan sebagai tanaman pada rehabilitasi lahan (Efiyanti &Trisunaryanti, 2014). Pengolahan tanaman jambu mete masih terbatas pada pengolahan kacang mete yang 190
merupakan buah sejati dari tanaman jambu mete, sedangkan biji semu dan cangkang kulit biji mete hanya sebagai limbah yang kurang dimanfaatkan secara optimal. CNSL juga mengandung senyawa kardol, kardanol serta alkhylpenolic yang sering digunakan pada industri perekat. Senyawa tersebut terdiri dari campuran unsur yang mempunyai berbagai rantai gugus alkil tidak jenuh (Cahyaningrum, Setyawati, & Nur, 2006). Destilat residu dari CNSL juga dapat digunakan sebagai bahan partikel tahan gesekan dan perekat kampas rem pada industri otomotif. Selain dari beberapa kegunaan CNSL yang telah disebutkan sebelumnya, minyak nabati tersebut juga dapat digunakan sebagai bahan baku bioenergi melalui reaksi perengkahan (Santi, 2013). Dengan berkurangnya ikatan rangkap dari hasil hidrorengkah akan diperoleh kualitas produk yang lebih baik (Cakici, Yanik, Karayildirim, & Anil, 2004). Reaksi perengkahan pada CNSL memerlukan bantuan katalis agar dapat mempercepat laju reaksi dan meningkatkan selektifitas produk yang terbentuk. Pada reaksi ini digunakan katalis heterogen dengan mengimpregnasikan logam Nikel dan Molibdenum ke dalam bahan penyangga yaitu zeolit. Logam Nikel dan Molibdenum dipilih karena memiliki orbital d yang kosong sehingga dapat berikatan dengan hidrogen dan memutus ikatan rangkap. Molibdenum sebagai promotor dalam impregnasi bilogam akan membentuk pori eksternal pada permukaan padatan zeolit. Sedangkan zeolit dipilih karena ketersediaan yang banyak, luas permukaan dan ukuran pori yang besar (Putra, 2012). Katalis biasanya terbentuk dari beberapa komponen yaitu inti aktif katalis, promotor dan penyangga sehingga perpaduan beberapa komponen tersebut akan menambah sifat katalis menjadi lebih baik. Proses konversi CNSL menjadi bionergi dilakukan melalui reaksi hidrorengkah katalisis dengan mengkaji dua jenis katalis, yaitu unilogam (NiO/ZAA) dan katalis
Pengaruh Katalis NiO dan NiOMoO Terhadap Perengkahan Cashew Nut Shell Liquid (Lisna Efiyanti & Darma Santi)
bilogam (NiOMoO/ ZAA). Pengembanan logam telah banyak digunakan agar efektifitas katalis meningkat, salah satunya ialah logam Ni (Nugrahaningtyas, Widjonarko, & Wijaya, 2005) dan Mo (Alsobaai, Zakaria, & Hammed, 2007). Impregnasi bilogam telah dipelajari oleh Rodiansono (2005) menggunakan katalis NiMo/zeolit alam aktif (ZAA). Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan produk berupa bioenergi alternatif berbahan dasar CNSL dengan katalis berbasis logam-zeolit yang merupakan sumber daya alam Indonesia, sehingga dapat juga menjadi bioenergi alternatif ramah lingkungan yang sekarang sedang digalakkan pemerintah. Pada akhirnya produk yang dihasilkan juga diharapkan dapat memberikan sumbangsih terhadap upaya pencarian energi alternatif yang merupakan program pemerintah dewasa ini. II. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah seperangkat alat oksidasi, reaktor fix-bed, saringan 250 mesh, Buchner filter, seperangkat alat gelas, microwave, GC HEWLETT PACKARD 5890 series II. Bahan yang digunakan antara lain adalah CNSL, zeolit alam asal Klaten, asam klorida, Ni(NO 3 ) 2 .6H 2 O (p.a.Merck), (NH4)6Mo7O24.4H2O (TOSOH, Japan), aquabidest, piridin, dan AgNO3. B. Metode Penelitian 1. Pembuatan katalis NiO/ ZAA dan NiOMoO/ ZAA Zeolit alam dipreparasi dengan digerus dan diayak menggunakan saringan berukuran 250 mesh. Kemudian zeolit tersebut dicuci dan o dikeringkan dalam oven bersuhu 120 C selama 1 jam. Proses aktivasi zeolit dilakukan dengan cara melarutkan zeolit dalam larutan HCl 3M. Hasil pelarutan tersebut dicuci dan disaring kemudian dioven kembali pada temperatur 100o 120 C. Zeolit aktif yang sudah didapat diimpregnasi dengan logam Nikel (Ni) dan Molibdenum (Mo) menggunakan metode impregnasi basah. Sebanyak 0,92 g logam Mo dilarutkan ke dalam air kemudian ditambahkan 100 g zeolit alam dan direfluks pada suhu 90°C
dalam waktu 2 jam sehingga diperoleh katalis Mo/ZA. Kemudian impregnasi logam Nikel dilakukan dengan melarutkan 2,47 g nikel ke dalam larutan air yang telah berisi 100g zeolit aktif dan ditambahkan katalis Mo/ZA yang sudah dibuat sebelumnya, sehing ga katalis NiOMoO/ZAA terbentuk dengan logam Mo sebagai promotor katalis. Campuran larutan kemudian direfluks pada suhu 90°C selama 2 jam yang kemudian di keringkan dalam oven pada suhu 120°C dan dikalsinasi menggunakan microwave 550 watt selama 15 menit . Untuk membentuk padatan katalis dalam bentuk oksidanya, maka dilakukan proses oksidasi dengan mengalirkan oksigen selama 1 jam. Pembuatan katalis NiO/ZAA dilakukan dengan cara yang sama dengan perbandingan Ni 1% b/b terhadap zeolit tanpa ditambahkan promotor logam Mo. 2. Karakterisasi katalis a. Penentuan keasaman berdasarkan adsorpsi piridin. Pengukuran keasaman katalis dilakukan dengan mengalirkan uap piridin selama 24 jam pada temperatur kamar ke dalam sampel zeolit. Perhitungan keasaman katalis dilakukan dengan menghitung selisih berat sampel katalis sebelum dan sesudah adsorpsi. Perhitungan keasaman zeolit menggunakan Persamaan 1. K=
-W ) WW -W ) M x 1000 ........................(1) 3
2
2
1
Keterangan : K = keasaman zeolit (mmol/g zeolit) W1 = berat cawan porselen kosong (g) W2 = berat cawan setelah berisi zeolit (g) W3 = berat cawan dan zeolit setelah adsorpsi (g) M = berat molekul basa piridin (g/mol)
b. Analisis katalis menggunakan XRD (X-Ray Diffraction) Katalis dianalisis kristalinitas dan kandungan utama mineral menggunakan alat XRD. Pada penelitian ini digunakan XRD Shimadzu tipe XRD-6000. Adapun kondisi operasi pada analisis tersebut adalah sebagai berikut: X-ray tube : Cu (1,54060 A) Voltage : 40,0 kV Current : 30,0 mA Step size : 0,0200 deg Count time : 0,24 detik 191
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 189-197
Tabel 1. Kondisi Operasi GC-MS Table 1. GC-MS operating conditions
Parameter (Parameter )
Kondisi (Condition)
Temperatur awal oven (Temperature) Waktu awal (Start time) Kenaikan temperatur oven (Temperature rise) Temperatur akhir (Final temperature) Detektor (Detector ) Temperatur detector (Detector temperature) Temperatur injector (Injector temperature) Gas pembawa (Carrier gas ) Aliran total (Total flow ) Jumlah sampel (Sample number ) Kolom (Coloumn) Panjang kolom (Coloumn length)
: 50 °C : 2 menit : 10 C/menit : 280 °C : FID (Flame Ionization Detector ) : 300 °C : 280 °C : He (Helium) : 40mL/menit : 0,2μL : HPS (5% Phenyl Methyl Siloxane ) : 30 meter
c. Perengkahan katalitik CNSL Proses perengkahan CNSL menjadi fraksi energi dilakukan dengan menggunakan reaktor fixed-bed. Kondisi operasi reaktor yang digunakan adalah pada temperatur 450°C, rasio berat umpan/katalis 2 dan 4 dengan laju alir H2=20 ml/menit. Produk hasil perengkahan terdiri dari fraksi gas, cair dan padat (kokas). Produk dalam bentuk fraksi cair kemudian dianalisis menggunakan gas chromatography-mass spectroscopy (GC-MS). Analisis GC-MS tersebut dipakai untuk menghitung fraksi gasoline, minyak diesel dan minyak berat. Jenis dan kondisi operasi GC yang digunakan adalah Shimadzu GC HEWLETT PACKARD 5890 series II dengan kondisi operasi sebagaimana Tabel 1. Produk gas dan kokas hanya dihitung berat hasil produknya, sedangkan produk cair dianalisa lebih lanjut untuk menghitung selektivitas produk menggunakan GC-MS. Dengan analisa ini, maka dapat dihitung perkiraan produk fraksi gasoline, minyak diesel serta minyak berat yang di dapat pada akhir reaksi. Penentuan konversi produk cair menggunakan rumus pada Persamaan 2.
Penentuan konversi produk padat (kokas) menggunakan rumus pada Persamaan 3. Kkokas = Wk1– Wk2x 1000% ...................(3) Ws Keterangan: Kkokas = konversi produk kokas (% b/b) Wk1 = berat katalis sebelum di oksidasi Wk2 = berat katalis sesudah dioksidasi Ws = berat CNSL/umpan yang habis terpakai = berat CNSL awal (g)-berat CNSL akhir(g)
Kcair =
Wc x 1000 % ............................(2) Ws
Keterangan: Kcair = konversi produk cair (% b/b) Wc = produk cair (g) Ws = berat CNSL awal – berat CNSL akhir (g) 192
Penentuan konversi produk gas menggunakan rumus pada Persamaan 4. Kgas = 100% – (Kcair – Kkokas) ................(4) Keterangan: Kgas = konversi produk gas (% b/b) Kcair = konversi produk cair (% b/b Kkokas = konversi produk kokas (% b/b) Selektivitas fraksi bahan bakar gasolin, minyak diesel, dan minyak berat berdasarkan konversi produk cair yang dihasilkan, dihitung menggunakan Persamaan 5. Selectivitas (%)
Hasil fraksi bahan bakar berdasarkan luas area GC-MS 100
x Kcair ..(5)
Sebagai pembanding, proses hidrorengkah (tanpa katalis zeolit) juga dilakukan menggunakan kondisi yang sama seperti dengan penggunaan katalis. Hasilnya dilakukan pula perhitungan terhadap konversi produk cair, padat (kokas) dan gas serta selektivitasnya.
Pengaruh Katalis NiO dan NiOMoO Terhadap Perengkahan Cashew Nut Shell Liquid (Lisna Efiyanti & Darma Santi)
C. Analisis Data Data dianalisa secara deskriptif (rataan) menggunakan program Microsoft Excel 2010. III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Keasaman (absorpsi piridin, mmol/g) Acidity (pyridine absorption, mmol/g)
Keasaman katalis yang terukur pada penelitian ini merupakan nilai keasaman yang terdapat pada permukaan katalis, hal ini dikarenakan piridin merupakan basa yang berukuran molekul cukup besar yaitu 79 g/mol sehingga sulit masuk ke dalam pori katalis. Proses absorpsi ini dilakukan untuk melihat banyaknya jumlah situs aktif pada katalis serta menentukan kekuatan situs aktif pada permukaan katalis tersebut. Nilai keasaman pada katalis sangat mempengaruhi aktifitas katalis dalam peruntukannya sebagai katalis perengkahan, dikarenakan dalam reaksi perengkahan diperlukan katalis yang memiliki situs asam aktif yang banyak agar produk cair dapat terbentuk dengan optimal. Berdasarkan Gambar 1, hasil analisa keasaman menggunakan absorpsi piridin menunjukkan bahwa proses aktivasi zeolit dan impregnasi logam baik Nikel maupun Molibdenum meningkatkan keasaman katalis. Hal ini dimungkinkan karena pada zeolit alam tanpa perlakuan, masih terdapat banyak
pengotor yang menyumbat pori sehingga basa piridin tidak dapat diserap zeolit dengan baik, sedangkan pada zeolit yang telah diaktivasi pengotor yang menyumbat pori telah berkurang karena bantuan aktivasi sehingga pori menjadi lebih terbuka dan dapat menyerap basa piridin dengan lebih baik. Begitupun juga pada penambahan logam baik Ni maupun Mo, logam nikel memiliki orbital d kosong sehingga dapat menyediakan situs aktif bagi katalis, dan Mo bertindak sebagai promotor pada katalis yang menjadikan sifat keasaman katalis menjadi lebih besar lagi dibanding tanpa promotor. S p e k t r a F T- I R u n t u k k a t a l i s Z A A menunjukkan perubahan puncak serapan setelah adsorpsi piridin (Gambar 2). Berdasarkan Tanabe (1981) kekuatan situs asam dapat diketahui secara kualitatif dari puncak serapan pada daerah -1 panjang gelombang 1300-1650 cm . Pada katalis NiOMoO/ZAA puncak serapan yang terjadi tidak mengalami penambahan setelah absorpsi piridin, yaitu terdapat satu serapan pada daerah bilangan gelombang 1635,64 dengan kenaikan harga intensitas dari 14,72 (sebelum adsorpsi piridin) menjadi 18,03 (setelah adsorpsi piridin). Pada katalis NiO/Zeolit alam sebelum adsorpsi piridin terdapat puncak pada bilangan gelombang 1635,64 saja, sedangkan pada katalis NiO/Zeolit alam setelah adsorpsi piridin, terdapat
Jenis Katalis (Type of catalyst) Keterangan (Remarks): * Data dari (Data from) Santi dan Trisunaryanti (2011)
Gambar 1. Keasaman katalis berdasarkan absorpsi basa piridin Figure 1. Catalyst acidity based on pyridine base absorption 193
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 189-197
T r a n s m i t a n c e (a.u)
*
e)e *
f)f
(Wave number, l/cm)
Keterangan (Remarks) : * Santi dan Trisunaryanti (2011)
Gambar 2 Spektra FT-IR katalis (a) ZAA sebelum interaksi dengan piridin, (b) ZAA setelah interaksi dengan piridin, (c) NiOMoO/ZAA sebelum interaksi dengan piridin *), (d) NiOMoO/ZAA setelah interaksi dengan piridin* (e) NiO/ZAA sebelum interaksi dengan piridin, (f) NiO/ZAA setelah interaksi dengan piridin Figure 2 FT-IR spectra of catalyst a) ZAA before interaction with pyridine, b) ZAA after interaction with pyridine, c) NiOMoO/ZAA before interaction with pyridine,d) NiOMoO/ZAA after interaction with pyridine*, e) NiO/ZAA before interaction with pyridine, f) NiO/ZAA after interaction with pyridine
250
202,735
200 132,63
150 100 50
16,296
21,2919 0,165
Keterangan (Remarks): Rerata jejari pori (Average pore radius)
138,44
22,645 0,1412
0.157
0 ZAA
Luas permukaan spesifik (Specific surface, m2/g)
NiO/ZAA NiOMoO/ZAA*
Volume pori (Pore volume, cc/g) * Data dari Santi dan Trisunaryanti (2011 Jenis katalis (Type of catalyst)
Gambar 3. Data luas permukaan spesifik, rerata jejari pori dan volume pori pada jenis katalis Figure 3. Data of specific surface area, average pore radius and average pore volume of catalyst types
194
Pengaruh Katalis NiO dan NiOMoO Terhadap Perengkahan Cashew Nut Shell Liquid (Lisna Efiyanti & Darma Santi)
penambahan puncak yaitu pada bilangan gelombang 1635,64, 1581,65 dan 1442,25 cm-1. Penambahan puncak serapan ini dimungkinkan karena dengan adanya perlakuan adsoprsi piridin maka situs asam yang tidak nampak dalam puncak-puncak absorpsi sebelumnya kemudian menjadi dapat terlihat. Proses absorpsi piridin melibatkan situs asam yang ada di permukaan baik permukaan dari pori eksternal maupun internal padatan katalis. Gambar 3 menunjukkan bahwa terjadi perubahan luas permukaan, rerata jejari pori serta volume pori pada katalis sesudah diberi perlakuan. Luas permukaan pada zeolit yang telah diaktivasi memiliki nilai yang lebih besar dibanding luas permukaan zeolit yang diberi pengembanan logam baik NiO maupun NiOMoO pada zeolit, artinya setelah perlakuan pengembanan logam, nilai luas permukaan cenderung menurun. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh terjadinya penutupan permukaan zeolit oleh logam yang diembankan, sehingga luas permukaan yang terhitung oleh alat semakin kecil. Namun pada nilai rerata jejari pori mengalami peningkatan setelah diberikan perlakuan pengembanan logam Ni maupun Mo pada zeolit, dikarenakan terjadinya pembukaan pori oleh proses kalsinasi dan oksidasi, namun pori-pori tersebut tertutup oleh logam yang diembankan sehingga nilai total volume pori setelah perlakuan pengembanan logam mengalami penurunan.
Hasil pengolahan data ditunjukkan pada Gambar 4 yang memberikan gambaran bahwa hasil perengkahan CNSL menghasilkan 3 jenis produk berfasa cair, gas dan padat (kokas). Distribusi ketiga macam komponen produk berbeda-beda bergantung pada jenis kondisi operasi perengkahan yang digunakan. Produk utama yang diharapkan pada perengkahan ini adalah produk cair yang kemungkinan berisi fraksi-fraksi energi. Pada perengkahan tanpa perlakuan katalis (termal) produk cair yang terbentuk hanya sebesar 29,71% dan produk gas 70,29%, hal ini menunjukkan bahwa perengkahan secara termal tidak optimal karena produk yang terbentuk mayoritas adalah produk gas, sedangkan produk utama yang diinginkan adalah produk cair. Perengkahan termal hanya mengandalkan pemecahan rantai ikatan karbon menggunakan suhu tanpa penambahan katalis, sehingga proses reaksi tidak berjalan lebih cepat dan optimal. Pada perlakuan penambahan katalis NiO/ZA rasio umpan/katalis 2 produk cair yang terbentuk 59,09%, produk gas 36,55% dan kokas sebesar 4,36%, sedangkan untuk rasio 4 mengalami kenaikan jumlah produk cair yang di dapat yaitu sebesar 69,86%. Hal ini menunjukkan bahwa pada reaksi perengkahan, katalis berpengaruh terhadap komposisi produk yang di dapat. Dengan bertambahnya katalis diasumsikan akan menambah situs aktif katalis, maka produk cair yang di dapat juga akan semakin banyak.
80
Konversi (%b/b) Conversion (%w/w)
70
Keterangan (Remarks): Termal (Thermal)
60 50
NiO/ZAA (2) 40
NiO/ZAA (4)
30
NiOMoO/ZAA (2) *) Santi & Trisunaryanti (2011)
20
NiOMoO/ZAA (4) *) Santi & Trisunaryanti (2011)
10 0 Cair (Liquid)
Gas (Gas)
Kokas (Coke)
Gambar 4. Distribusi komposisi produk pada berbagai jenis katalis dan kondisi reaksi o dengan laju alir 20 mL/menit, temperatur 450 C Figure 4. The distribution of product composition in several type of catalyst and condition with o hydrogen rate 20mL/min, temperature of 450 C
195
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 189-197
60 Selektivitas (%) Selectivity, %)
50 40
Keterangan (Remarks): Termal (Thermal)
30 20
NiO/ZAA (2)
10
NiO/ZAA (4)
0 Bensin (Gasoline, %)
Diesel (Diessel, %)
Minyak berat (Heavy oil, %)
NiOMoO/ZAA (2) *) Santi & Trisunaryanti (2011) NiOMoO/ZAA (4) *) Santi & Trisunaryanti (2011)
Gambar 5. Selektivitas katalis terhadap fraksi bensin, diesel, dan minyak berat Figure 5. Catalyst selectivity of gasoline, diesel and heavy oil fraction D i s t r i b u s i ko m p o n e n p r o d u k p a d a perengkahan menggunakan katalis bilogam NiOMoO/zeolite dengan logam Mo sebagai promotor menunjukkan bahwa produk cair yang dihasilkan berkisar 65% pada rasio 2, dan 75% pada rasio katalis 4. Ini berarti bahwa penggunaan katalis dengan kombinasi 2 logam berhasil menjadikan reaksi berjalan dengan lebih optimal. Hal ini juga sesuai dengan sifat keasaman katalis yang sebelumnya telah dibahas untuk masingmasing katalis, sehingga semakin kuat sifat keasaman katalis dan semakin banyak katalis yang digunakan dalam reaksi maka hasil konversi produk cair yang terbentuk akan semakin besar. Hasil ini dapat dijelaskan oleh pernyataan Gheit, Awadallah, El-Kosy, dan Mahmoud (2008) bahwa penggunaan anion molibdat sebagai prekursor menyebabkan Mo akan banyak menempatkan dirinya pada permukaan paling luar pengemban. Logam ini akan sulit masuk ke dalam pengemban, kemudian bersinggungan menjadi agregat yang lebih besar dan membentuk pori eksternal. Pori eksternal yang terbentuk menyebabkan data rerata jejari pori meningkat (Gambar 3). Pori eksternal yang terbentuk ini akan berpotensi menyumbang situs asam pada permukaan eksternal katalis sehingga nilai keasaman permukaan akan meningkat (Gambar 1). Peningkatan keasaman ini juga dipengaruhi oleh keberadaan logam Ni yang akan cenderung masuk ke dalam pori dalam padatan pengemban. Selain mengukur kemampuan katalis melalui konversi produk hasil perengkahan, dilakukan juga pengukuran selektivitas katalis terhadap reaksi (Gambar 5). Selektivitas katalis ditunjukkan oleh seberapa besar jenis produk cair yang dapat diperoleh (bensin, diesel dan minyak berat). Dalam penelitian ini, selektivitas katalis dihitung 196
berdasarkan % area bensin, diesel dan minyak berat pada kromatogram GC-MS. Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa penggunaan katalis dapat meningkatkan selektivitas produk bensin dan diesel yang diinginkan. Hal ini ditunjukkan dengan bertambahnya % fraksi bensin dan diesel serta berkurangnya % fraksi minyak berat yang terbentuk pada akhir reaksi. Dari Gambar 5, dapat dilihat bahwa fraksi bensin yang diperoleh dalam perengkahan CNSL memiliki hasil optimal pada penggunaan katalis bilogam NIOMoO/ZAA dengan rasio 4, yaitu sebesar 47,35%. IV. KESIMPULAN Minyak nabati CNSL memiliki potensi sebagai bahan baku fraksi energi. Penggunaan katalis dengan pengembangan logam Nikel dan logam Molibdenum dapat meningkatkan sifat keasaman, aktivitas dan selektivitas katalis terhadap produk yang terbentuk. Katalis NiOMoO/zeolit alam aktif bekerja optimal dengan konversi produk cair sebesar 65-75% dengan selektivitas produk bensin sebesar 37-47% dan diesel sebesar 2231%. DAFTAR PUSTAKA Alsobaai, A.M.R., Zakarian, & Hammed B.H. (2007). Hydrocracking of gas oil over NiW, Ni-Mo, Co-Mo catalyst supported on USY zeolite. Aiser, 3(3), 91-98. Cakici, A.I., Yanik, J., Karayildirim, S.U.T., & Anil, H. (2004). Utilization of red mud as catalyst in conversion of waste oil and waste, J. Mater Cycles Waste, 6(1), 20-26.
Pengaruh Katalis NiO dan NiOMoO Terhadap Perengkahan Cashew Nut Shell Liquid (Lisna Efiyanti & Darma Santi)
Cahyaningrum, A.T., Setyowati, & Nur, A. (2006). Ekstraksi cashew nut shell liquid dari biji jambu mete. Ekuilibrium, 5(1), 40-45. Efiyanti, L., & Trisunaryanti, W. (2014). Hidrorengkah katalitik minyak kulit biji jambu mete (CNSL) menjadi fraksi bensin dan diesel. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 32(1), 71-81. Gheit, A.K.A., Awadallah, A.E., El-Kossy, S.M., & Mahmoud, A.L.H. (2008). Effect of Pd or Ir on the catalytic performance of Mo/H-ZSM-5 during the non-oxidative conversion of natural gas to petrochemicals. Journal of Natural Gas Chemistry, 17, 337–343. Hayne, K. (1987). Tumbuhan berguna Indonesia Jilid III. Badan Litbang Kehutanan Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya. Terjemahan dari: Nuttige Planten Van Indonesie. Putra, R.A. (2012). Hidrogenasi minyak jarak dengan menggunakan katalis nikel zeolit alam pada tekanan rendah untuk pembuatan asam 1-2 hidroksistearat. (Skripsi Sarjana). Universitas Indonesia, Jakarta. Nugrahaningtyas, K.D., Widjonarko, D.M., & W i j a y a , D. ( 2 0 0 5 ) . E f e k t i v i t a s pengembanan monometal (Ni, Mo) dan
bimetal (NiMo) pada zeolit alam aktif. Prosiding Seminar Nasional Kimia XIV. 17 S e p t e m b e r 2 0 0 5 . F M I PA U G M Yogyakarta. Rodiansono. (2005). Aktivitas katalis Ni-Mo/Zeolit dan Ni-Mo/Zeolit-Nb 2 O 5 untuk reaksi hidrorengkah sampah plastik PP menjadi fraksi bensin.T (Master Tesis). FMIPA UGM Yogyakarta. Santi, D. & Trisunaryanti, W., (2011). Preparasi, karakterisasi dan uji aktivitas katalis NiOMoO/zeolit alam aktif dalam reaksi hidrorengkah minyak kulit jambu mete (Anacardium occidentale). Prosiding Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia III. Jurusan PMIPA FKIP UNS Surakarta. Srivastava, A., & Prasad, R. (2000). Trigliceride – Based Diesel Fuels. Renewables Suistainable Energy Rev. 4, 111 – 114. Sudrajat, R., Pawoko, E., Hendra, D. & Setiawan, D. (2010). Pembuatan biodiesel dari biji kesambi (Schleichera oleosa L.), Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 28(4), 358-379. Tanabe, K. (1981). In Catalysis : Science and Technology, vol. 2, (J.R., Anderson and M. Boudart (eds). Berlin: Springer Link.
197
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 199-205 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
PEMANFAATAN ASAP CAIR KAYU PINUS (Pinus merkusii Jungh. & de Vriese) SEBAGAI KOAGULAN GETAH KARET (Utilization of Pine Wood (Pinus merkusii Jungh. & de Vriese) Smoke Liquid as Natural Latex Coagulant) Santiyo Wibowo, Gustan Pari, & R. Esa Pangersa Gusti Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No.5, Bogor 16610 Telp. 0251-8633378, Fax. 0251-8699413 E-mail:
[email protected] Diterima 23 Juli 2014, Direvisi 11 Mei 2015, Disetujui 29 April 2016
ABSTRACT Smoke liquid is a liquid obtained from smoke condensation during charcoal firing process. The main content of the smoke liquid is acetic acid, hence, can be used as an alternative latex coagulant. Acid in vinegar can reduce the pH of latex and cause the latex to coagulate rapidly. This paper determines effectiveness of using smoke liquid as a latex coagulant and characteristics of the treated latex. The smoke liquid in this study was derived from pine wood. The smoke liquid solutions consisted of the crude smoke liquid and the diluted solution in various concentrations of 5, 10, 15 and 20%. The smoke liquid solution was then each poured into a container of latex. Testing was undergone by observing latex coagulating time, coagulate condition, texture, color, odor and homogenity. The most effective smoke liquid which produced the best latex based on its performances was then taken for further testing of physico-chemical properties which included dry rubber content, plasticity retention index (PRI), initial plasticity (Po), final plasticity (Pa), dirt content, ash content, volatile matter content (Vm), and nitrogen content. Results were then compared with the conventional use of formic acid as a control coagulant. The result showed that the crude and distillate smoke liquid solutions with concentration of 10% produced the best coagulantperformances than the other solutions. Rubber latex treated with the crude smoke liquid produced the best physico-chemical properties and could meet requirements of the Indonesian National Standard (SNI) for Rubber Quality. Keywords: Smoke liquid, coagulant, latex, quality, physico-chemical properties ABSTRAK Cuka kayu merupakan cairan hasil kondensasi asap yang keluar pada proses pengarangan. Cuka kayu bersifat asam dengan kandungan utamanya adalah asam asetat sehingga dapat digunakan sebagai alternatif koagulan getah karet (lateks). Asam dalam cuka kayu dapat menurunkan pH lateks hingga berada pada titik isoelektrik yang menyebabkan protein polar menjadi netral sehingga lateks cepat menggumpal. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektifitas pemanfaatan cuka kayu sebagai koagulan lateks dan karakteristik lateks hasil koagulasinya. Cuka kayu yang digunakan sebagai koagulan pada penelitian ini berasal dari batang pohon Pinus. Jenis cuka kayu yang digunakan yaitu cuka kayu mentah (crude) dan cuka kayu hasil penyulingan dengan konsentrasi masing-masing 5%, 10%, 15%, dan 20%. Cuka kayu tersebut dicampurkan ke dalam wadah berisi lateks. Uji deskriptif lateks dilakukan dengan mengamati waktu penggumpalan karet, kondisi penggumpalan, tekstur, warna, bau, dan homogenitas. Jenis dan konsentrasi cuka kayu yang menghasilkan getah karet paling baik diambil untuk dilakukan pengujian sifat fisiko-kimia. Parameter pengujian sifat fisiko kimia meliputi kadar karet kering, Plasticity Retention Index (PRI), plastisitas awal (Po), plastisitas akhir (P1), kadar kotoran, kadar abu, kadar zat menguap (Vm), dan kadar nitrogen, lalu dibandingkan dengan koagulan asam format sebagai DOI : http://doi.org/10.20886/jphh.2016.34.3.199-205
199
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 199-205
kontrol. Hasil penelitian menunjukkan cuka kayu crude dan cuka kayu hasil penyulingan dengan konsentrasi 10% menghasilkan mutu penampilan lateks yang paling baik dibandingkan yang lainnya. Getah karet dengan perlakuan koagulasi menggunakan cuka kayu crude menghasilkan sifat fisiko-kimia paling baik dan memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). Kata kunci: Cuka kayu, koagulan, lateks, kualitas, sifat fisiko-kimia I. PENDAHULUAN Teknologi pembuatan arang yang tetap berkembang sampai saat ini adalah cara sederhana yaitu dengan penimbunan tanah, pengarangan dengan drum, dan cara pirolisis. Pirolisis adalah proses pembakaran tidak sempurna bahan yang mengandung karbon komplek yang tidak teroksidasi menjadi CO2. Pada saat pirolisis terjadi, energi panas mendorong terjadinya oksidasi sehingga molekul karbon yang komplek terurai sebagian besar menjadi karbon atau arang (Kinoshita, 2001 dalam Wibowo, 2009). Selain diperoleh arang, dihasilkan juga cuka kayu yang merupakan cairan hasil kondensasi asap yang keluar pada proses pengarangan. Cuka kayu ini lazim juga disebut sebagai asap cair. Beberapa penelitian mengenai pemanfaatan hasil pirolisis antara lain adalah arang aktif sebagai bahan pemucat atau penjernih minyak atau air, sebagai penyerap emisi formaldehida, penyerap hidrogen sulfida (H2S) dan sebagai pupuk tanaman (Pari, Nurhayati, & Hartoyo, 2000; Marwati, 2005; Gani, 2007; Darmawan, 2008, Guo et al., 2007), kemudian cuka kayu sebagai bahan pengawet makanan seperti mie, daging, ikan, dan penghilang bau (Gumanti, 2006; Simon, Celle, Palme, Meler, & Anklam, 2005). Manfaat dari arang dan cuka kayu perlu dikembangkan ke dalam bentuk yang mudah diaplikasikan oleh masyarakat. Cuka kayu bersifat asam sehingga dapat diaplikasikan sebagai koagulan karet. Penambahan asam ini bertujuan untuk menurunkan pH lateks hingga berada pada titik isolektriknya yang menyebabkan protein polar menjadi netral dan dapat berdekatan sehingga akhirnya menyatu membentuk gumpalangumpalan dan membeku (Goutara, 1985). Bahan penggumpal yang umumnya digunakan oleh perkebunan besar adalah asam semut (asam format). Bahan penggumpal lain seperti air buahbuahan, iles-iles, dan pupuk Triple Sulfur Phosphate ( TSP ) banyak digunakan oleh 200
masyarakat, namun hasilnya tidak baik dan tidak dianjurkan. Selama ini penggunaan asam semut dinilai memberatkan dikarenakan harganya yang cukup tinggi. Oleh karena itu diperlukan suatu alternatif bahan koagulan yang memiliki kualitas bekuan yang sama dengan asam semut serta harga yang ekonomis. Salah satu alternatif koagulan tersebut adalah cuka kayu. Balai Penelitian Karet Sembawa menunjukkan cuka kayu dapat digunakan pada proses pengolahan karet sebagai bahan koagulan dan pengendali bau (malador) (Solichin, 2007). II. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan yaitu cuka kayu yang berasal dari batang kayu jenis Pinus merkusii Jungh & de Vriese. Getah karet diperoleh dari Rumpin, Jawa Barat. Peralatan yang digunakan antara lain drum, gelas piala, timbangan, labu pendingin, dan wadah koagulasi. B. Metode Penelitian Kegiatan penelitian diawali dengan membuat cuka kayu. Batang kayu dipotong menjadi bagian kecil berukuran panjang 15 cm dan lebar 5 cm. Potongan tersebut dimasukkan ke dalam drum dan disusun rapi. Proses pembakaran potongan kayu dilakukan selama 30 menit ditandai dengan timbulnya asap tebal. Drum ditutup hingga rapat kemudian asap dialirkan melewati buku bambu basah (bambu yang baru ditebang) sebagai kondensor yang dilubangi pada titik tertentu. Tetesan asap cair atau cuka kayu yag jatuh ditampung ke dalam wadah. Cuka kayu ini ditandai sebagai cuka kayu mentah (crude). Sebagian crude disuling untuk mendapatkan cuka kayu baru yang bersih dari tar. Cuka kayu ini ditandai sebagai cuka kayu hasil penyulingan. Penyulingan dilakukan menggunakan labu pendingin selama 4-5 jam. Cuka kayu crude dan
Pemanfaatan Cuka Kayu dari Batang Pohon Pinus (Pinus merkusii Jungh. & de Vriese) sebagai Koagulan Getah Karet (Santiyo Wibowo, Gustan Pari, & R. Esa Pangersa Gusti )
cuka kayu hasil penyulingan kemudian diaplikasikan dengan cara merendam getah karet di dalam wadah. Konsentrasi cuka kayu yang digunakan masing-masing 5, 10, 15, dan 20%. C. Analisis Data Getah karet yang telah dikoagulasi diamati waktu peng gumpalan karet, kondisi penggumpalan, tekstur, warna, bau, dan homogenitas. Hasil koagulasi yang memberikan kualitas penampilan getah yang paling baik diuji sifat fisiko-kimianya mengikuti Standar Indonesia Ruber (SIR) di Laboratorium Pengujian Pusat Penelitian Karet, Bogor meliputi kadar karet kering, Plasticity Retention Index (PRI), plastisitas awal (Po), plastisitas akhir (P1), kadar kotoran, kadar abu, kadar zat menguap (Vm) dan kadar nitrogen. Pengujian sifat fisiko-kimia getah karet juga dilakukan terhadap getah karet tanpa perlakuan (control) dan karet dengan perlakuan koagulan asam format sebagai pembanding. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Aplikasi Cuka Kayu sebagai Kogulan Aplikasi cuka kayu dilakukan dengan memasukkan cuka kayu (crude, dan cuka kayu hasil penyulingan) ke dalam wadah berisi lateks segar.
Kemudian campuran tersebut diamati secara deskriptif (visual). Hasil pengamatan koagulasi karet secara lengkap disajikan pada Tabel 1. Hasil pengamatan menunjukkan cuka kayu crude pada semua level konsentrasi mampu menggumpalkan karet. Hal sebaliknya terjadi pada cuka kayu cuka kayu hasil penyulingan; penggumpalan getah karet yang terjadi hanya sedikit pada semua level konsentrasi (Tabel 1). Hal ini diduga karena pada cuka kayu hasil penyulingan terjadi pengurangan kandungan asam asetat akibat proses penyulingan. Penggumpalan atau koagulasi merupakan suatu peristiwa perubahan fase sol ke fase gel. Cuka kayu dapat menggumpalkan lateks dikarenakan mengandung asam asetat. Kandungan asam asetat dalam cuka kayu dapat menurunkan pH sampai pada titik isolistrik. Pada titik ini lateks tidak memiliki lagi gaya tolak-menolak hingga akhirnya menyebabkan penggumpalan (Hendra, Waluyo, & Sokanandi, 2014). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa konsentrasi cuka kayu yang diberikan berbanding lurus dengan waktu penggumpalan. Waktu penggumpalan terbaik terdapat pada crude dengan konsentrasi 10% (2 menit), sedangkan pada cuka kayu hasil penyulingan dengan tingkat konsentrasi 10%, waktu penggumpalannya adalah 4 menit, lebih lama dari cuka kayu crude. Hasil ini tidak berbeda dengan penelitian Hendra et al. (2014).
Tabel 1. Hasil pengamatan koagulasi karet menggunakan cuka kayu Table 1. Observations result of latex coagulant using smoke liquid Jenis cuka kayu (Type of smoke liquid)
Waktu pembekuan karet Konsentrasi (menit) (Concentration, %) (Coagulation time, minutes)
Kondisi penggumpalan (Conditions of coagulation)
Homogenitas (Homogenity)
Tekstur (Texture)
Warna (Colour)
Bau (Odour)
Mentah
5
3
++
*
Lunak
putih
tidak berbau
(Crude)
10
2
++
***
Lunak
putih
tidak berbau
15
2
++
***
Lunak
putih
tidak berbau
20
3
++
***
Lunak
putih
tidak berbau
Cuka kayu hasil penyulingan
5
8
+
*
Lunak
putih
tidak berbau
(Destilated smoke liquid)
10
4
+
**
Lunak
putih
tidak berbau
15
4
+
**
Lunak
putih
tidak berbau
20
4
+
**
Lunak
putih
tidak berbau
Keterangan (Remarks) : + sedikit menggumpal (slightly coagulated); ++ menggumpal (coagulated); * karet dan air tidak terpisah (Latex and water strongly not separated); ** karet dan air sedikit terpisah (Latex and water slightly not separated); *** karet dan air terpisah sempurna (Latex and water strongly separated)
201
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 199-205
Konsentrasi tinggi mengindikasikan kandungan asam asetat yang lebih banyak. Semakin banyak kandungan asam asetat berdampak semakin cepatnya asam bekerja menurunkan pH lateks sehingga waktu penggumpalan menjadi semakin cepat. Dalam hal kondisi penggumpalan, cuka kayu crude memiliki kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan cuka kayu hasil penyulingan. Sebagian besar lateks yang diberi perlakuan cuka kayu crude membentuk gumpalan dan menyisakan sedikit air. Sedangkan pada lateks yang diberi perlakuan cuka kayu hasil penyulingan hanya mampu menggumpalkan separuh lateks. Pada crude dan cuka kayu hasil penyulingan terdapat kesamaan pada parameter tekstur, warna dan bau yaitu gumpalan bertekstur lunak, berwarna putih dan tidak berbau (Tabel 1). B. Analisis Sifat Fisiko-Kimia Lateks Hasil Koagulasi Hasil pengamatan visual menunjukkan koagulasi lateks menggunakan cuka kayu crude dan cuka kayu hasil penyulingan pada konsentrasi
10% masing-masing memberikan hasil yang paling baik dalam hal waktu penggumpalan. Kedua jenis lateks hasil koagulasi menggunakan cuka kayu ini diuji sifat fisiko-kimia guna mengetahui apakah penggunaan cuka kayu sebagai koagulan menghasilkan kualitas lateks yang lebih baik atau tidak lebih baik dibandingkan koagulan yang umum digunakan. Analisis sifat fisiko-kimia koagulasi lateks menggunakan cuka kayu secara lengkap disajikan pada Tabel 2. Kadar karet kering adalah kandungan padatan karet per satuan berat yang dihitung dalam satuan persen. Kadar karet kering penting untuk diketahui karena digunakan sebagai pedoman penentuan harga. Semakin tinggi nilai kadar karet kering semakin baik lateks tersebut (Saputera, Agustina, & Rangkai, 2011). Hasil penelitian menunjukkan nilai kadar karet kering getah karet yang diberi koagulan cuka kayu baik crude maupun cuka kayu hasil penyulingan lebih tinggi dibandingkan dengan getah karet yang diberi koagulan asam format. Koagulan cuka kayu crude memberikan kualitas paling baik (51,38%) dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan lainnya (Tabel 2).
Tabel 2. Analisis sifat fisiko-kimia koagulasi karet menggunakan cuka kayu Table 2. Physico-chemical properties analysis of latex coagulant using smoke liquid
Parameter (Parameter)
Kadar karet kering (Dry rubber content, %) PRI (Plasticity retention index) Plastisitas awal (Po)
(Initial plasticity) Plastisitas akhir (Pa)
(Final plasticity) Kadar kotoran (Dirt contet, %) Kadar abu (Ash content, %) Kadar Vm (Volatile matter content, %) Kadar nitrogen (Nitrogen content, %)
Hasil penelitian (Research results) Getah karet Getah karet dengan koagulan dengan koagulan cuka kayu hasil cuka kayu mentah penyulingan (Latex using crude (Latex using smoke liquid) destilated smoke liquid)
Getah karet tanpa perlakuan apapun (kontrol) (Latex without treatment, control
Getah karet dengan koagulan asam format (Latex using formic acid)
SNI karet*) (Indonesian standard of Rubber)
51,38
47,23
44,45
42.53
-
69,5
29,6
55,8
Tacky
Min. 60
52,5
54
64,5
42.5
Min. 30
36,5
16
36
Tacky
-
0,02
0,01
0,03
**
Maks 0,10
0,14
0,19
0,58
2,25
Maks 0,75
0,22
0,20
0,65
0,14
Maks 0,80
0,23
0,20
0,34
0,26
Maks 0,60
Sumber (source) : *) SNI 06-1903 (2000)
202
Perbandingan (Comparisons)
Pemanfaatan Cuka Kayu dari Batang Pohon Pinus (Pinus merkusii Jungh. & de Vriese) sebagai Koagulan Getah Karet (Santiyo Wibowo, Gustan Pari, & R. Esa Pangersa Gusti )
Plasticity Retention Index (PRI) adalah ukuran dari besarnya plastisitas karet mentah sebelum 0 dan sesudah pengusangan pada suhu 140 C selama 30 menit. Nilai PRI dapat menunjukkan ketahanan karet terhadap degradasi oksidasi pada suhu tinggi. Bila PRI rendah mengindikasikan karet mudah teroksidasi dan sebaliknya (Bateman, 1963). Hasil penelitian menunjukkan getah karet yang diberi perlakuan koagulasi cuka kayu crude mengalami peningkatan nilai kadar karet kering (69,5) dibandingkan dengan getah yang tidak diberi perlakuan apapun atau kontrol (55,8). Hal ini mengindikasikan cuka kayu crude sebagai koagulan dapat meningkatkan mutu atau nilai tambah lateks. Pemberian cuka kayu crude sebagai koagulan juga memenuhi SNI 06-1903 (2000) SIR yang mensyaratkan nilai PRI untuk karet spesifikasi teknis minimal bernilai 60 (Tabel 2). Plastisitas awal (Po) menunjukkan ukuran plastisitas karet yang secara tidak langsung memperkirakan panjangnya rantai polimer molekul atau berat molekul karet (Solichin, 1991). Hasil penelitian menunjukkan getah karet yang diberi perlakuan koagulasi dengan cuka kayu baik crude (52,5) maupun cuka kayu hasil penyulingan (54) memiliki nilai Po yang lebih baik dibandingkan dengan getah karet yang diberi koagulasi dengan asam format (42,5), namun tidak lebih baik dibandingkan dengan getah karet yang tidak diberikan perlakuan apapun (kontrol). Secara keseluruhan nilai Po getah memenuhi SNI 06-1903 (2000) yang mensyaratkan nilai Po minimal 30. Hal berbeda terjadi pada nilai plastisitas akhir (Pa) dimana getah karet tanpa perlakuan atau kontrol (36) tidak jauh berbeda dengan getah karet yang diberi perlakuan koagulasi dengan cuka kayu crude (36,5) (Tabel 2). Kotoran pada lateks umumnya berupa tatal kayu, batang atau ranting yang ikut bersama lateks, dedaunan, tanah, pasir serta pengotor yang berasal dari bahan koagulan yang digunakan (Burhanudin, 1995). Hasil penelitian menunjukkan kadar kotoran getah karet yang diberi perlakuan koagulasi dengan cuka kayu hasil penyulingan memiliki nilai yang paling baik (0,01) dibandingkan dengan cuka kayu crude maupun kontrol. Hal ini diduga oleh kondisi awal getah karet yang bersih ditunjang dengan cuka kayu hasil penyulingan yang sudah bersih dari tar. Namun secara umum kadar kotoran getah karet yang diberi perlakuan
koagulasi dengan cuka kayu memenuhi SNI 061903 (2000) yang mensyaratkan kadar kotoran maksimal sebesar 0,10 (Tabel 2). Kadar abu di dalam karet memberikan gambaran mengenai jumlah bahan mineral yang terdapat di dalamnya, seperti oksida karbonat, magnesium, kalsium, silika dan unsur lainnya. Bahan-bahan di dalam karet yang meninggalkan abu dapat mengurangi sifat dinamik dari vulkanisat karet alam (Burhanudin, 1995). Hasil penelitian menunjukkan kadar abu getah karet yang diberi perlakuan cuka kayu crude memberikan nilai kadar abu yang paling rendah (0,14) dibandingkan perlakuan lainnya. Secara umum, getah karet hasil koagulasi dengan cuka kayu baik crude maupun cuka kayu hasil penyulingan memenuhi persyaratan SNI 06-1903 (Tabel 2). Kadar zat menguap (volatile matter/Vm) adalah kadar air yang masih terkandung di dalam karet mentah yang telah dikeringkan. Kegunaannya untuk memastikan karet yang dihasilkan telah dikeringkan secara sempurna. Karet yang kurang kering selama proses pengeringan akan menghasilkan Vm yang tinggi. Hasil penelitian menunjukkan kadar Vm getah karet dengan koagulasi menggunakan asam format menghasilkan nilai yang lebih baik dibandingkan dengan kogaulasi cuka kayu, namun masih dalam level yang memenuhi persyaratan SNI 06-1903 (2000) (Tabel 2). Lateks mengandung komponen sitoplasma sel tanaman baik berupa senyawa karet maupun senyawa non karet. Senyawa non karet utama dalam lateks adalah protein. Protein merupakan makromolekul yang mengandung nitrogen, karbon hidrogen dan oksigen. Keberadaan protein di dalam lateks mempengaruhi sifat dinamis lateks karena sifatnya polar dan hidrofilik (suka air). Semakin rendah kadar protein atau nitrogen di dalam lateks, semakin baik sifat dinamisnya (Nakade, Kuga, Hayashi, Tanaka, 1997). Hasil penelitian menunjukkan lateks dengan perlakuan koagulasi cuka kayu hasil penyulingan (0,20) dan crude (0,23) memiliki nilai kadar nitrogen yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol dan asam format. Hal ini mengindikasikan penggunaan cuka kayu sebagai koagulan karet mampu menurunkan nilai kadar nitrogen pada lateks lebih baik dibandingkan koagulan asam format (Tabel 2).
203
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 199-205
IV. KESIMPULAN Cuka kayu yang berasal dari batang pohon pinus (Pinus merkussi Jungh. & de Vriese) dapat digunakan sebagai alternatif koagulan di industri pengolahan karet. Penggunaan cuka kayu sebagai koagulan menghasilkan lateks dengan tekstur lunak, berwarna putih dan tidak berbau. Kondisi penggumpalan dan tingkat homogenitasnya relatif baik dengan lama waktu penggumpalan yang relatif singkat. Penggunaan cuka kayu sebagai koagulan dapat meningkatkan nilai KKK dan plastisitas akhir lateks jauh lebih baik dibandingkan asam format. Begitupun nilai PRI karet hasil koagulasi menggunakan cuka kayu crude merupakan yang terbaik. Karet hasil koagulasi menggunakan cuka kayu juga dinilai memiliki sifat dinamis yang lebih baik daripada lateks hasil koagulasi dengan asam format. Hal ini ditandai dengan rendahnya kadar nitrogen. Secara umum untuk proses pengolahan karet berikutnya, parameter yang dinilai yaitu kadar karet kering dan PRI. Semakin tinggi nilai kadar karet kering dan PRI semakin baik mutu karet. Dari uraian diatas, penggunaan cuka kayu crude sebagai koagulan paling direkomendasikan karena menghasilkan karet yang paling baik mutunya. DAFTAR PUSTAKA Bateman, L. (1963). The chemistry and physics of rubber-like substances. London: McLaren and Sons Ltd. Burhanudin, A. (1995). Penentuan analisis Standard Indonesian Rubber (SIR). In House Training, Pengolahan Lateks Pekat dan Karet Mentah (1). Bogor: Balai Penelitian Teknologi Karet. Darmawan, S. (2008). Sifat arang aktif tempurung kemiri dan pemanfaatannya sebagai penyerap emisi formaldehida papan serat berkerapatan s e d a n g . ( M a s t e r Te s i s ) . P r o g r a m Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Gani, A. (2007). Konversi sampah organik menjadi komarasca (kompos-arang aktif-asap cair) dan aplikasinya pada tanaman daun dewa. 204
(Disertasi). Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Goutara. (1985). Dasar pengolahan karet. Bogor: Agro Industri Press. Gumanti, F.M. (2006). Kajian sistem produksi cuka kayu hasil penyulingan asap tempurung kelapa dan pemanfaatannya sebagai alternatif bahan pengawet mie basah. (Skripsi Sarjana). FPIK, Insitut Pertanian Bogor. Guo, J., Luo, Y, Lua, A.C., Chi, R., Ychen, Bao, X., & Xiang, S. (2007). Adsorption of hydrogen sulphide (H2S) by activated carbons derived from oil-palm shell. Carbon, 45, 330-336. Hendra, D., Waluyo, T.K., & Sokanandi, A. (2014). Karakteristik dan pemanfaatan asap cair dari tempurung buah bintaro (Carbera manghas Linn.) sebagai koagulan getah karet. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 32(1), 27-35. Marwati, T. (2005). Kajian proses adsorpsi dan pengkelatan pada pemucatan minyak daun cengkeh. (Master Tesis). Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nakade, S., Kuga, A., Hayashi M., & Tanaka, Y., (1997). Highly purified natural ruber IV : preparation and characteristics of gloves and condoms. Tokyo: The New Rubber Material Research Concortium Japan. Pari, G., Nurhayati, T., & Hartoyo. (2000). Kemungkinan pemanfaatan arang aktif kulit kayu Acacia mangium Willd untuk pemurnian minyak kelapa sawit. Buletin Penelitian Hasil Hutan, 18(1), 40-53. Saputera, H., Agustina, M., & Rangkai, Y.A. (2011). Uji penggunaan berbagai jenis koagulan terhadap kualitas bahan olah karet (Hevea brasiliensis). Jurnal Agripeat, 12(2), 4752. Simon, R., Calle, B., Palme, S., Meler, D., & Anklam, E. (2005). Composition and analysis of liquid smoke flavouring primary products. Journal Food Science, 24(1), 143148. Solichin, M. (1991). Faktor-faktor yang mempengaruhi viskositas mooney dalam pengolahan SIR 3CV. Lateks, 6(2), 67-75.
Pemanfaatan Cuka Kayu dari Batang Pohon Pinus (Pinus merkusii Jungh. & de Vriese) sebagai Koagulan Getah Karet (Santiyo Wibowo, Gustan Pari, & R. Esa Pangersa Gusti )
Solichin, M. (2007). Penggunaan asap cair deorub dalam pengolahan RSS. Jurnal Penelitian Karet, 25 (1), 1-12. Standar Nasional Indonesia (SNI). (2000). Standard Indonesian Rubber. (SNI 061903-2000). Badan Standardisasi Nasional.
Wibowo, S. (2009). Karakteristik tempurung biji nyamplung (Calophyllum inophyllum Linn) dan aplikasinya sebagai adsorben minyak nyamplung. (Master Tesis ) . Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
205
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 207-216 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
HUBUNGAN ANTARA KADAR EKSTRAKTIF DENGAN SIFAT WARNA PADA KAYU TERAS JATI (Correlation between Extractive Content and Colour Properties in Teak Heartwood) Ganis Lukmandaru Departemen Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Jl. Agro No. 1 Bulaksumur, Sleman, Telp./Fax. 0274-550541 E-mail:
[email protected] Diterima 2 Februari 2015, Direvisi 4 Agustus 2015, Disetujui 13 Juli 2016
ABSTRACT Beside for its high natural durability and resistancy of weather properties, teak (Tectona grandis) wood is also valued for its beautiful grain and colour. Theoretically, wood colour is highly affected by extractive content, particularly in the heartwood. Identification of correlation between wood colour and extractive content was determined through wood colour and extractive measurements on the outer part of heartwood zone. The wood samples were collected from two locations of Perum Perhutani forest plantations, i.e. KPH Randublatung (35 trees, age class III-IV) and KPH Purwakarta (32 trees, age class VI). Samples were cut from bottom part of the trees and then ground into powder measuring of 40-60 mesh. The wood colour properties(CIE-L*a*b, CIE-L*C*h, CIE-X*Y*Z, Munsell Colour Chart and ISO Brightness) were then measured. Solubility of the teak wood extractives were determined by extracting the powder in ethanol-benzene and hot water respectively. Results showed that the range of colour properties were L*= 40-62; a* = 30 11; b* = 19-31; C* = 20-31; h = 70-82; X= 10-25; Y= 8-23; Z=4-13; H=5-8; V =3-8; C =3-6; and W (ISO Brightness) = 4-12. Different sample location resulted in different trends of correlation between colour properties and extractive contents. No significant correlation was found between extractive solubles in hot water and colour parameters. In general, the best correlations were encountered between brightness parameters from CIE-L*a*b* or ISO with ethanolbenzene extractive contents (r=- 0.54 or 0.50, respectively). Keywords: Tectona grandis, extractives, colour properties, CIE-Lab, heartwood ABSTRAK Kayu jati (Tectona grandis) selain dikenal dengan keawetan alami dan ketahanan terhadap cuaca yang tinggi juga dihargai karena gambaran serat dan warna kayu yang bagus. Secara teoritis, warna kayu banyak dipengaruhi oleh kadar ekstraktif khususnya di bagian kayu terasnya. Dalam penelitian ini untuk memantapkan korelasi antara warna kayu dan kadar ekstraktif, penentuan dengan berbagai metode pengukuran warna dilakukan pada bagian teras terluar. Sampel kayu diambil dari bagian pangkal pohon dari dua lokasi hutan tanaman Perum Perhutani, yaitu KPH Randublatung (35 pohon, kelas umur III-IV) dan KPH Purwakarta (32 pohon, kelas umur VI). Dengan serbuk ukuran 40-60 mesh, kemudian diukur sifat warna (CIE-L*a*b, CIE-L*C*h, CIE-X*Y*Z, Munsell Color Chart, dan kecerahan ISO) dan kadar ekstraktifnya (etanol-benzena, air panas, dan total). Nilai rerata kadar ekstraktif etanol benzena (10,80 %) dan total (12,62 %) serta koefisien variasi (26,3 %) pada jati dari Purwakarta lebih tinggi dibandingkan jati dari Randublatung. Kisaran sifat warna yang diperoleh adalah L* = 40-62; a* = 3-11; b* = 19-31; C* = 20-31; h0= 70-82; X = 10-25; Y= 8-23; Z = 4-13; H = 5-8; V = 3-8; C = 3-6; dan W (ISO brightness) = 4-12. Lokasi yang berbeda memberikan kecenderungan yang berbeda pada korelasi sifat warna dan kadar ekstraktifnya. Tidak ada korelasi nyata antara kelarutan dalam air panas dengan parameter warna. Secara keseluruhan, parameter kecerahan (L*) dari CIE-L*a*b* dan dari ISO DOI : http://doi.org/10.20886/jphh.2016.34.3.207-216
207
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 207-216
(W) memberikan korelasi terbaik dengan kadar ekstraktif etanol-benzena (r = -0,54 dan 0,50 secara berturutan). Kata kunci: Tectona grandis, ekstraktif, sifat warna, CIE-Lab, teras I. PENDAHULUAN Kayu jati dikenal keunggulannya selain karena keawetan alami serta ketahanan cuaca yang tinggi juga karena penampakan permukaan kayunya baik warna maupun seratnya. Menurut Bhat (1999), terdapat 4 kelompok warna dari habitat aslinya : 1) kuning-coklat keemasan (tipikal), 2) kuning coklat lebih gelap, 3) abu-abu coklat seragam (dihasilkan dari pohon yang tumbuh tidak lebih besar dari tahap tiang) dan 4) kuning ringan seragam. Warna kayu jati dari beberapa lokasi berbeda telah dikuantifikasi dalam berbagai penelitian sebelumnya (Bhat, Thulasides, Florence, & Jayaraman, 2005; Kokutse, Stokes, Bailleres, Kokou, & Baudasse, 2006; Lukmandaru, 2009a; Moya & Berrocal, 2010) yang menunjukkan variasi sangat lebar bergantung geografis, umur, abnormalitas, dan laju pertumbuhan. Warna kayu berbeda secara lebar tidak hanya diantara spesies tetapi juga dalam satu pohon (Liu, 2005; Nishino, 1998) merupakan faktor penting dalam menentukan penggunaan khusus seperti furnitur dan vinir dekoratif yang sangat penting untuk atribut pemasaran. Sifat warna pada kayu teras tidak diragukan lagi disebabkan kadar ekstraktif di dalamnya, dimana karakter maupun jumlah ekstraktif akan berpengaruh (Hon & Minemura, 2001). Sifat warna telah dipakai untuk memprediksi sifat kayu lainnya seperti ketahanan terhadap rayap atau jamur (Amusant, Beauchene, Fournier, Janin, & Thevenon, 2004; Gierlinger et al. 2004a; Kijidani et al. 2012; Lukmandaru, 2011) dan dihubungkan dengan pengaruh pengeringan (Mottonen et al., 2002), dan perlakuan panas (Johansson & Moren, 2006) terhadap warna kayu. Gierlinger et al. (2004a) menyatakan bahwa warna kayu dan kadar ekstraktif merupakan sifat yang bisa diwariskan sehingga melalui pemuliaan tanaman dapat dipilih kayu dengan warna tertentu dengan harapan untuk meningkatkan ketahanan alami kayu terhadap jamur karena berkorelasi dengan kadar ekstraktifnya. Penelitian kadar ekstraktif dan sifat warna pada jati selama ini 208
hanya dengan jumlah sampel terbatas untuk menjelaskan fenomena tertentu dan tidak didesain secara khusus untuk mencari korelasi antara kedua sifat tersebut. Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi hubungan antara sifat warna dan kadar ekstraktif pada jati melalui pengukuran pada kayu teras yang berasal dari dua lokasi yang berbeda dan umur yang berbeda diharapkan untuk mendapatkan hubungan secara lebih umum. Sejauh ini, sistem koordinat CIE-L*a*b* dari International Commision on Illumination (CIE) paling banyak digunakan dalam pengukuran sifat warna kayu karena kemudahan dalam penafsirannya. Pada penelitian ini penentuan sifat warna juga dilakukan dengan beberapa sistem pengukuran untuk mengetahui metoda terbaik yang berkaitan erat dengan kadar ekstraktifnya. II. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat Sampel penelitian ini terdiri dari dua kelompok jati berdasarkan asalnya, yaitu KPH Purwakarta (jenis tanah latosol) dan KPH Randublatung (jenis tanah grumusol) di hutan tanaman Perhutani. Pada KPH Purwakarta, diambil sampel pada kelas umur VI sebanyak 32 pohon, sedangkan di KPH Randublatung diambil sampel dari 35 pohon pada KU III-IV. Pada setiap pohon, bagian teras luarnya digergaji dalam bentuk blok kayu di bagian pangkal bebas banirnya. Selanjutnya pada bagian teras dipilih pada kayu yang sehat dan bebas doreng kemudian dibuat serbuk berukuran 40-60 mesh untuk pengukuran warna dan kadar ekstraktifnya. B. Metode Penelitian 1. Penentuan Kadar Ekstraktif Ekstraksi serbuk (2 g setara berat kering tanur) dilakukan secara berturutan dengan pelarut etanol-benzena (1:2, v/v) (ASTM, 1984a) melalui ekstraktor soxhlet selama 6 jam dan dilanjutkan dengan ekstraksi air panas selama 3 jam pada penangas air dengan suhu 100 °C (ASTM, 1984b).
Hubungan antara Kadar Ekstraktif dengan Sifat Warna pada Kayu Teras Jati (Ganis Lukmandaru)
Ekstrak yang diperoleh ditimbang dan dikeringkan pada oven selama 1 jam pada suhu 100°C sesudah pelarutnya diuapkan. Kadar ekstraktif terlarut etanol-benzena (KEEB) dan kadar kelarutan dalam air panas (KEA) dihitung berdasarkan berat awal serbuk dalam kondisi kering tulang. Kadar ekstraktif total (KET) dihitung dari penjumlahan antara KEEB dan KEA. 2. Pengukuran Warna Untuk menghindari perbedaan geometris, sampel untuk pengukuran warna diambil dari serbuk kayu kering angin. Pengukuran warna dilakukan pada bermacam sistem pengukuran: 0 CIE (CIE-L*a*b*, CIE-L*C*h , dan CIE-XYZ), Munsell Color Chart, dan kecerahan ISO melalui alat spektrofotometer NF777 (Nippon Denshoku Ind. Co Ltd.). Kondisi pengukuran: diameter bukaan 6 mm, pencahayaan A (sinar lampu), sumber cahaya tungsten halogen, dan interval pengukuran 20 nm pada spektrum cahaya tampak (400-700 nm). Pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali tiap sampel, rerata dari pengukuran tersebut dihitung sebagai parameter warna yang berbeda. Berikut penjelasan parameter pengukuran berdasarkan sistem pengukuran warnanya dari beberapa referensi (Darmaprawira, 2002; CIE, 1976; Munsell Color, 1976) : 1. CIE-L*a*b* = nilai L* (kecerahan) dengan skala 0 (hitam) ~ 100 (putih); a* (kemerahan) dengan skala + (merah) dan (-) untuk hijau; b* dengan skala (+) untuk kuning dan (-) untuk biru. 2. CIE-L*C*h0 = nilai L* (kecerahan) dengan skala 0 (hitam) ~ 100 (putih); C* (kroma) yang menunjukkan tingkat kejenuhan/saturasi suatu corak warna dengan skala semakin besar berarti kadar warna putih pada suatu warna menjadi semakin sedikit atau jenuh; h° menunjukkan corak warna dalam sudut dengan skala 0 = merah, 90° = kuning, 180° = hijau, 270° = biru, dan kembali ke 0° lagi. 3. CIE-XYZ = nilai X dan Z menunjukkan corak warna fiktif (tidak dapat direalisasikan) atau merupakan nilai turunan matematis yang tidak mewakili warna tertentu; nilai Y menunjukkan kecerahan dimana semakin tinggi nilainya maka semakin cerah. 4. Munsell Color Chart = nilai H (hue) menunjukkan corak warna yang dibagi menjadi
lima warna utama = R (merah), Y (kuning), G (hijau), B (biru) dan P (ungu) beserta lima warna pertengahan diantara lima warna utama (YR, GY, BG, PB, dan RP) dengan skala 1-10; V (value) menunjukkan kecerahan dengan skala 0-10 dari 0 untuk hitam murni sampai 10 untuk putih murni; C (chroma) menunjukkan tingkat kejenuhan/saturasi suatu corak warna dimana semakin besar nilainya berarti semakin jenuh dengan skala dari 0 untuk warna yang kurang intens sampai skala yang bervariasi bergantung pada kepekatan yang bisa dicapai suatu warna. 5. Kecerahan ISO (W) = merupakan standar Eropa untuk mengukur kecerahan pada panjang gelombang 457 nm dalam kondisi standar dengan skala 0 (hitam) - 100 (putih). C. Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif, sedangkan korelasi Pearson digunakan untuk menilai keeratan hubungan antara parameter yang diteliti. Seluruh perhitungan statistik menggunakan program SPSS versi 16.0. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kadar Ekstraktif Hasil pengukuran pada kadar ekstraktif teras jati pada dua lokasi penelitian diringkas pada Tabel 1. Kisaran dari kadar ekstraktif dalam penelitian ini masih dalam kisaran normal jati dari Indonesia (Lukmandaru, 2009a; Syafii, 2000) tetapi di bawah nilai jati India (Bhat et al., 2005) pada nilai KEEB. Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa kisaran kadar ekstraktif bervariasi cukup lebar meski dalam satu populasi hutan tanaman yang diperlihatkan dari data standar deviasi atau koefisien variasinya. Hal ini terlihat khususnya pada KEA yang koefisien variasinya melebihi 20% terutama pada jati dari KPH Purwakarta. KEEB atau KET yang diperoleh dari KPH Purwakarta lebih tinggi reratanya dibandingkan jati KPH Randublatung yang diduga karena perbedaan kelas umur (Lukmandaru, 2009b). Faktor tempat tumbuh diduga juga berpengaruh karena perbedaan jenis tanah seperti halnya penelitian Syafii (2000) yang membandingkan jati di Jawa Barat dan Jawa Timur. Kecenderungan 209
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 207-216
Tabel 1. Ringkasan data kadar ekstraktif di bagian teras luar kayu jati pada dua lokasi di hutan Perhutani Table 1. Data summary of extractive content of teak in the outer heartwood part from two locations in Perhutani forest
Kadar Ekstraktif (Extractive content)
Randublatung (n = 35) Min (Min)
Maks (Max)
Rerata (Sd) [Average (Sd)]
KEEB
6,09
11,71
KEAP KET
1,14 7,90
3,19 14,93
Purwakarta (n = 32) KV (%) (CV,%)
Min (Min)
Maks (Max)
Rerata (Sd) [Average (Sd)]
KV (%) (CV,%)
8,64 (1,64)
18,9
6,62
16,24
10,80 (2,85)
26,3
1,92 (0,48) 10,57 (2,12)
25,0 20,0
0,28 8,27
4,10 19,22
1,82 (0,85) 12,62 (3,69)
46,7 19,2
Keterangan (Remarks): KV(CV) = koefisien variasi (coefficient of variation), Sd = standar deviasi (deviation standard), min = minimum (minimum), maks = maksimum (maximum) KEEB = kadar ekstraktif etanol-benzena (ethanol-benzene extractive content), KEAP = kelarutan dalam air panas (solubility in hot water), KET = kadar ekstraktif total (total extractive content)
perbedaan kadar ekstraktif juga diamati oleh Bhat et al. (2005) pada jati India dan Weindeisen et al. (2003) pada jati Panama dengan jumlah sampel terbatas yang membandingkan pengaruh tempat tumbuh berdasarkan curah hujannya. Dalam eksperimen ini, di kedua lokasi penelitian ini curah hujannya tidaklah berbeda jauh karena Purwakarta merupakan daerah bayangan hujan atau tidak seperti di beberapa daerah lain di Jawa Barat yang curah hujannya relatif tinggi. B. Sifat Warna Hasil pengukuran pada sifat warna teras jati pada dua lokasi penelitian diringkas pada Tabel 2. Pada sifat warna, secara umum jika dibandingkan dengan kadar ekstraktifnya, kisaran nilainya relatif lebih sempit bila dilihat dari koefisien variasinya. Kisaran lebar terlihat pada parameter kemerahan a* (Randublatung), kecerahan ISO, serta nilai X, Y, dan Z dari CIE-XYZ. Dari reratanya, parameter kecerahan jati Purwakarta lebih gelap dari Randublatung bila dilihat dari lebih rendahnya nilai L* atau Y pada sistem CIE maupun nilai V pada sistem Munsell dan kecerahan ISO (W) dalam kisaran yang lebih sempit. Nilai rerata kekuningan b*, kroma C*, corak warna h, dan Z pada jati Randulatung lebih tinggi dalam kisaran yang bervariasi daripada jati Purwakarta. Kecenderungan sebaliknya didapatkan pada nilai a*. Nilai rerata pada parameter lainnya (X , H dan
210
C dalam Munsell) tidaklah banyak berbeda antara kedua lokasi tersebut. Hal ini berarti jati Randublatung selain lebih pucat, juga lebih kuning dan kurang jenuh/pekat dibandingkan jati Purwakarta. Selain karena umur, perbedaan kedua sifat warna warna kayu juga karena tempat tumbuh. Penelitian sebelumnya oleh Moya dan Berrocal (2010); Wilkins dan Stamp (1990); Nelson, Moeglin, dan Wahlgren (1969) mengindikasikan sifat warna dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan atau perlakuan silvikultur. Warna kayu berbeda secara lebar tidak hanya di antara spesies tetapi juga dalam satu pohon (Liu, 2005; Nishino, 1998). Dibandingkan penelitian sebelumnya pada jati Indonesia, nilai sifat warna yang diperoleh masih dalam kisaran penelitian sebelumnya (Lukmandaru, 2009a; 2009b). Pada sistem pengukuran CIE-L*a*b*, apabila dibandingkan dengan sifat warna jati dari India (Bhat et al., 2005), Costa Rica (Moya & Berrocal, 2010), serta jati dari Togo (Kokutse et al., 2006), maka nilai kecerahan L* dan kekuningan b* jati Indonesia masih dalam kisaran, tetapi nilai kemerahannya (a*) lebih rendah dibandingkan jati dari Togo dan Costa Rica. Pada sistem Munsell, apabila dibandingkan dengan jati India (Thulasidas et al., 2006), diperoleh nilai jati Indonesia pada corak warna (H) dan kecerahan (V) yang lebih rendah sedangkan nilai kroma (C) sedikit lebih tinggi.
Hubungan antara Kadar Ekstraktif dengan Sifat Warna pada Kayu Teras Jati (Ganis Lukmandaru)
Tabel 2. Ringkasan data pada sifat warna di bagian teras luar kayu jati pada dua lokasi di hutan Perhutani Table 2. Data summary of colour properties of teak in the outer heartwood part from two locations in Perhutani forest Sifat warna (Colour characteristics)
Min (Min)
Randublatung (n = 35) Maks Rerata (Sd) (Max) (Average (Sd))
CIE-L*a*b* L* a* b*
47,33 3,85 22,70
61,30 9,23 28,85
CIE-L*C*h0 C* 23,74 h0 70,14 CIE-XYZ X 13,05 Y 9,54 Z 4,75 Munsell Color Chart H (Y/R) 5,4 V 4,0 C 4,40 Kecerahan ISO W 4,16
KV (%) (CV (%))
Min (Min)
Purwakarta (n = 32) Maks Rerata (Sd) (Max) (Average (Sd))
55,40 (2,32) 7,07 (1,29) 26,31 (1,34)
4,1 18,1 5,0
40,49 7,00 19,20
57,93 10,23 30,21
50,61 (3,66) 8,34 (0,90) 25,40 (2,13)
7,2 10,7 8,3
30,03 81,27
27,25 (1,33) 74,95 (2,73)
4,8 3,6
20,59 68,93
31,24 75,27
26,75 (2,16) 71,79 (1,73)
8,0 2,4
24,07 22,22 12,45
18,84 (2,65) 17,09 (2,73) 9,05 (1,61)
14,0 15,9 17,7
10,94 8,44 4,65
24,07 21,75 12,03
18,94 (2,82) 15,97 (3,02) 8,29 (1,92)
14,88 18,9 23,1
8,0 5,5 5,20
6,80 (0,69) 4,83 (0,37) 4,75 (0,25)
10,5 7,6 5,26
5,20 3,50 3,90
7,41 5,40 5,80
6,28 (0,59) 4,67 (0,41) 4,87 (0,46)
9,3 8,7 9,4
11,40
8,09 (1,55)
19,1
4,10
10,61
7,32 (1,70)
23,1
KV (%) (CV (%))
Keterangan (Remarks): KV(CV) = koefisien variasi (coefficient of variation), Sd = standar deviasi (deviation standard), min = minimum (minimum), maks = maksimum (maximum) L* = kecerahan (brightness), a* = kemerahan (redness), b* = kekuningan (yellowness), C* = kroma, (chrome), h0 = corak warna (hue), H = corak warna (hue), V = kecerahan (brightness), C = kroma (chrome), W = kecerahan (brightness)
C. Hubungan Sifat Warna d an Kadar Ekstraktif Kayu Jati Hubungan sifat warna dan kadar ekstraktif teras jati disajikan secara terpisah berdasarkan lokasinya (Tabel 3 dan 4), serta penggabungan data dari kedua lokasi (Tabel 5). Pada jati Randublatung, derajat korelasi terbaik didapatkan antara kecerahan L* dan KEEB (r= 0,60) atau kecerahan W dengan KEEB (r=-0,54). Parameter kecerahan lainnya seperti nilai Y dan C pada Munsell juga memberikan pola yang sama. Kecenderungan yang sama juga didapatkan antara KEEB dengan KET dengan derajat korelasi yang lebih kecil. Korelasi nyata antara KEEB dengan sifat lainnya (a*, b*, h0, X, dan Z) juga ada meski nilainya lebih kecil sedangkan tidak ada korelasi nyata antara KEAP dengan sifat warna. Korelasi tersebut diartikan bahwa semakin tinggi KEEB atau KET maka warna teras kayu akan semakin gelap, merah, tetapi berkurang kekuningannya (korelasi negatif pada b* dan h0). Berbeda dengan jati Randublatung, pada jati di Purwakarta, derajat
korelasi tertinggi didapatkan antara KEEB dengan nilai kroma (C) (r=0,57) kemudian pada sistem kecerahan ISO (W) dan nilai Z dengan nilai r=-0,47. Korelasi tersebut dinterpretasikan sebagai semakin tinggi KEEB maka warna teras akan gelap dan semakin pekat. Korelasi nyata juga didapatkan antara KET dengan nilai a*. Perbedaan lainnya antara kedua lokasi tersebut adalah jumlah yang berkorelasi nyata antara sifat warna dan kadar ekstraktif tidak sebanyak pada jati Randublatung. Persamaannya adalah tidak ada korelasi nyata antara KEAP dengan sifat warna. Apabila data kedua lokasi digabung dan dikorelasikan (Tabel 5), maka terlihat beberapa korelasi nyata yang kecenderungannya lebih mirip pada jati di Randublatung dimana banyak korelasi nyata secara moderat diamati. Nilai korelasi tertinggi diamati pada parameter kecerahan ISO (W) dengan KEEB (r=-0,54 atau kecerahan L* dan KEEB (r=-0,50). Di luar kecerahan, nilai tertinggi didapatkan antara nilai Z dengan KEEB (r=-0,50), sedangkan antara KET dengan sifat warna meskipun terdapat korelasi 211
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 207-216
Tabel 3. Koefisien korelasi Pearson (r) untuk sifat warna dan kadar ekstraktif di bagian teras luar kayu jati pada KPH Randublatung (35 pohon) Table 3. Coefficient of Pearson's correlation (r) of colour properties and extractive content of teak in the outer heartwood part from KPH Randublatung (35 trees) Parameter warna (Colour parameter) L* a* b* C* h0 X Y Z H V C W
Kadar Ekstraktif Etanol benzena (Ethanol-benzene extractive content) -0,60* 0,39* -0,34** -0,02 -0,47* -0,47** -0,48** -0,48** -0,42* -0,53** -0,11 -0,54**
Kadar Terlarut Air Panas (Solubility in hot water) 0,07 0,01 0,10 0,12 0,01 -0,17 -0,18 -0,19 0,27 -0,16 0,06 -0,18
Kadar Ekstraktif Total (Total extractive content) - 0,54** 0,36* -0,28 -0,17 -0,43** -0,47** -0,49** -0,49** -0,45** -0,52** 0,08 -0,54**
Keterangan (Remarks) : lihat Tabel 2, * = berbeda nyata pada taraf uji 1 %, ** = berbeda nyata pada taraf uji 5 % (see Table 2, * = significant at the 1 % level , ** = significant at the 5 % level)
Tabel 4. Koefisien korelasi Pearson (r) untuk sifat warna dan kadar ekstraktif di bagian teras luar kayu jati pada KPH Purwakarta (32 pohon) Table 4. Coefficient of Pearson's correlation (r) of colour properties and extractive content of teak in the outer heartwood part from KPH Purwakarta (32 trees) Kadar Ekstraktif Etanol Kadar Terlarut Air Kadar Ekstraktif Total Parameter warna benzena (Ethanol-benzene Panas (Solubility in hot (Total extractive content) (Colour parameter) extractive content) water) L* -0,21 -0,14 -0,22 a* 0,24 0,15 0,36* b* 0,30 0,15 0,24 C* 0,32 0,16 0,27 h0 0,008 -0,04 -0,17 X -0,20 -0,16 -0,13 Y -0,25 -0,19 -0,17 Z -0,47** -0,28 -0,34 H 0,05 -0,09 -0,07 V -0,18 -0,17 -0,14 C 0,57** 0,23 0,45** W -0,47* -0,28 -0,34 Keterangan (Remarks): Lihat Tabel 2 dan (see Table 2 and 3)
nyata, derajat korelasinya relatif lebih rendah. Tidak diamati adanya korelasi antara sifat warna dengan KEAP. Bila diasumsikan sistem CIEL*a*b paling banyak dipakai dalam pengukuran warna, berikut contoh korelasi antara kecerahan L* dan KEEB digambarkan dalam diagram pencar apabila semua data dari dua lokasi digabungkan (Gambar 1). Dari diagram terlihat bahwa semakin tinggi kadar ekstraktif maka 212
kecerahan kayu semakin rendah atau lebih gelap. Hal ini mudah dipahami karena semakin banyak ekstraktif akan membuat teras menjadi lebih gelap. Selanjutnya bisa dilihat ada 6 titik di atas dan 5 titik di bawah garis kecenderungan sehingga derajat korelasi tidaklah sebesar yang diperkirakan. Semua titik di luar kecenderungan tersebut berasal dari jati Purwakarta yang mengindikasikan bahwa lebih sulit memprediksi
Hubungan antara Kadar Ekstraktif dengan Sifat Warna pada Kayu Teras Jati (Ganis Lukmandaru)
Tabel 5. Koefisien korelasi Pearson (r) untuk sifat warna dan kadar ekstraktif pada kayu teras jati di KPH Randublatung dan Purwakarta (total 67 pohon). Table 5. Coefficient of Pearson's correlation (r) of colour properties and extractive content of teak in the outer heartwood part from KPH Randublatung and Purwakarta (total of 67 trees). Kadar Ekstraktif Etanol benzena (Ethanol-benzene extractive content) -0,49** 0,42** 0,001 0,09 -0,39** -0,33** -0,37** -0,50** -0,28* -0,35** 0,42* -0,54**
Parameter warna (Colour parameter) L* a* b* C* h0 X Y Z H V C W
Kadar Terlarut Air Panas (Solubility in hot water) -0,03 0,05 0,14 0,15 0,01 -0,15 -0,17 -0,23 -0,13 -0,15 0,18 -0,23
Kadar Ekstraktif Total (Total extractive content) -0,40** 0,40** 0,02 0,11 -0,36** -0,27* -0,31* -0,41** -0,29* -0,30* 0,35** -0,43**
Kadar ekstraktif etanol-benzena (%)
Keterangan (Remarks): lihat Tabel 2 (Note : see Table 2)
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 35
40
45 50 55 Kecerahan (L*)(unit pengukuran)
60
65
Gambar 1. Hubungan antara nilai kecerahan (L*) dan kadar ekstraktif terlarut etanol-benzena Figure 1. Correlation between brightness index (L*) and extractive content of ethanol-benzene solubles
KEEB dari nilai kecerahannya dari lokasi tersebut. Hal ini juga ditegaskan dalam Tabel 2 yang menunjukkan korelasi rendah antara kecerahan dan KEEB di Jati Purwakarta (r=-0,21). Sifat warna kayu tidak diragukan lagi disebabkan oleh jumlah dan mutu zat ekstraktif dalam kayu tersebut (Hon & Minemura, 2001). Dalam beberapa studi, senyawa fenolat di dalam zat ektraktif berkaitan dengan warna kayu pada beberapa spesies (Burtin, Jay - Allemand, Charpentier, & Janin, 1998; Dellus, Scalbert, & Janin 1997; Kondo & Imamura, 1985). Adanya perbedaan derajat korelasi nyata antara KEEB
dengan beberapa parameter sifat warna menunjukkan bahwa tidak semua komponen ekstraktif berpengaruh terhadap warna. Di lain pihak, tidak adanya korelasi antara sifat warna dengan KEAP menunjukkan kurangnya kadar senyawa fenolat seperti tanin atau zat warna lainnya yang terlarut air panas. Hal ini menunjukkan senyawa fenolat sebagian besar sudah terekstrak oleh etanol-benzena. Tujuan lain dari penelitian ini adalah ingin mengetahui sejauh mana perbedaan derajat korelasi antara kadar ekstraktif dan sifat warna pada tempat tumbuh dan umur yang berbeda. 213
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 207-216
Perbedaan kecenderungan korelasi antara sifat warna dan kadar ekstraktif antara Randublatung dan Purwakarta mengindikasikan tidak hanya kuantitas ekstraktif kedua populasi yang berbeda (Tabel 1) tetapi juga kualitas ekstraktifnya dalam hal ini senyawa fenolat. Penelitian pada kadar fenolat jati yang dihubungkan dengan sifat warnanya sayangnya masih terbatas karena penelitian mengenai kadar ekstraktif jati selama ini adalah untuk menghubungkan dengan keawetan alaminya (Lukmandaru & Takahashi, 2009; Thulasidas & Bhat, 2007; Haupt et al., 2003). Perbedaan kadar fenolat pada spesies yang sama untuk tempat tumbuh yang berbeda sebelumnya diamati pada Larix sp. (Gierlinger, 2004b). Untuk itu, perlu dieksplorasi lebih lanjut kadar fenolat antar kedua tempat tumbuh tersebut untuk menjelaskan perbedaan kecenderungan yang ada antara kadar ekstraktif dan sifat warna. Seperti halnya kadar ekstraktif di jati, dalam level komponen ekstraktifnya juga belum diketahui pengaruh secara pasti senyawa fenolat yang umumnya dari golongan kinon (Sandermann & Simatupang, 1966) terhadap sifat warna kayunya. Pigmen kinon alami umumnya berwarna kuning, oranye atau merah dan terkadang berwarna hijau atau bahkan hitam (Harborne & Turner, 1984). Derajat korelasi yang diperoleh dalam eksperimen kali ini lebih kecil daripada yang diperoleh oleh Lukmandaru (2009b) pada sampel jati normal dan jati doreng dimana didapatkan derajat korelasi tinggi antara KEEB dengan kecerahan (r=-0,97) dan kekuningan (r=-0,94). Perbedaan tersebut diduga karena kisaran relatif lebar antara jati doreng dan normal pada sifat warna atau kadar ekstraktifnya dibandingkan dalam penelitian ini yang dibatasi pada jati normal dengan jumlah sampel lebih besar serta lebih tingginya kadar tektokinon khususnya di bagian doreng (Lukmandaru, Ashitani, Takahashi, 2009). Tektokinon sendiri merupakan komponen yang berwarna kuning. Penelitan pada spesies lain, misalnya pada pada vinir kayu Eucalyptus pilularis, Yazaki, Collins, dan Mc. Combe (1994) memperoleh korelasi kuat antara indeks kemerahan dengan KEA. Selain itu juga diukur korelasi kuat antara kemerahan dengan kadar senyawa fenolat pada kayu teras Larix sp. (Gierlinger et al., 2004a). Di lain pihak, pada teras mangium, hanya korelasi yang moderat (r=-0,51) didapatkan antara nilai L* dengan kadar ekstraktif 214
terlarut metanol (Lukmandaru, Sayudha, Gustomo, Prasetya, 2011). Meski terdapat perbedaan kecenderungan korelasi antara kedua populasi, parameter kecerahan dari sistem CIE-L*a*b* atau ISO merupakan parameter terbaik dalam memperkirakan kadar ekstraktif jati khususnya ekstraktif terlarut etanol-benzena. Di lain pihak, KEAP atau KET tidaklah memberikan korelasi yang lebih bagus dibanding KEEB. Bhat et al., (2005) dengan jumlah sampel terbatas mendapatkan kecenderungan warna teras jati yang pucat (kecerahan dan kekuningan rendah) dan kadar ekstraktif rendah diasosiasikan dengan ketahanan terhadap jamur lebih rendah. Untuk itu, pada program pemuliaan tanaman melalui seleksi pohon, nilai kecerahan teras kayu jati bisa dipakai sebagai indikator awal dalam menentukan keawetan alami kayu jati. IV. KESIMPULAN Nilai kadar ekstraktif etanol benzena dan total serta koefisien variasi pada jati dari KPH Purwakarta lebih tinggi reratanya dibandingkan jati KPH Randublatung. Teras jati Purwakarta lebih gelap, tetapi kemerahan dan kekuningannya lebih rendah dari Randublatung. Lokasi yang berbeda memberikan kecenderungan yang berbeda pada korelasi sifat warna dan kadar ekstraktifnya. Secara keseluruhan, parameter kecerahan (L*) dari CIE-L*a*b* atau dari ISO memberikan korelasi terbaik dengan kadar ekstraktif etanol-benzena (r = - 0,54 dan 0,50). Pendekatan hubungan dengan pengukuran kadar fenolat dari ekstrak jati perlu dilakukan untuk kemungkinan mendapatkan derajat korelasi yang lebih kuat. DAFTAR PUSTAKA American Society for Testing & Materials. (1984a). Standard test method for alcohol-benzene solubility of wood. (D 1107-84). Philadelphia, PA : ASTM. American Society for Testing & Materials. (1984b). Standard test method for water solubility of wood. (D 1110-84). Philadelphia, PA : ASTM.
Hubungan antara Kadar Ekstraktif dengan Sifat Warna pada Kayu Teras Jati (Ganis Lukmandaru)
Amusant, N., Beauchene, J., Fournier, M., Janin, G., & Thevenon, M.F. (2004). Decay resistance in Dicorynia guianensis Amsh.: Analysis of inter-tree and intra-tree variability and relations with wood color. Annals of Forest Science, 61, 373–380. Bhat, K.M., Thulasidas, P.K., Florence, E.J.M., & Jayaraman, K. (2005). Wood durability of home-garden teak against brown-rot. Trees, 19, 654 – 660. Bhat, K.M. (1999). Is fast grown teak inferior in wood quality – An appraisal of wood figure (colour, grain, texture) from plantations of high input management. Wood News, 9, 48–49. Burtin, P., Jay-Allemand, C., Charpentier, J., & Janin, G. (1998). Natural wood colouring process in Juglans sp. (J. nigra, J. regia and hybrid J. nigra 23 x J. regia) depends on native phenolic compounds accumulated in the transition zone between sapwood and heartwood. Trees, 12, 258 - 264. Commission Internationale de l'Eclairage. (CIE) (1976). Colorimetry. Publication No. 15.2. Darmaprawira, S. (2002). Warna, teori dan kreativitas penggunaannya. Bandung: Penerbit ITB. (edisi ke-2). Dellus, V., Scalbert A., & Janin, G. (1997). Polyphenols and color of Douglas-fir heartwood. Holzforschung, 51, 291-295. Gierlinger, N., Jacques, D., Gardner, M., Wimmer, R., Schwanninger, M., & Rozenberg, P. (2004a). Colour of Larch heartwood and relationships to extractives and brown-rot decay resistance. Trees, 18, 102 – 108. Gierlinger, N., Jacques, D., Schwanninger, M., Wimmer, R., & Paques, L.E. (2004b). Heartwood extractives and lignin content of different larch species (Larix sp.) and relationships to brown-rot decay-resist. Trees ,18, 230–236. Harborne, J.B,. & Turner, B.L. (1984). Plant chemosystematics. London: Academic Press. Haupt, M., Leithoff, H., Meier, D., Puls, J., Richter, H.G., & Faix, O. (2003). Heartwood
extractives and natural durability of plantation-grown teakwood (Tectona grandis L.) – A case study. Holz als Roh-und Werkstoff, 61, 473–474. Hon, D.N.S. & Minemura, N. (2001). Colour and Discoloration. Dalam D.N.S. Hon & N. Shiraishi (Eds.). Wood and Cellulosic Chemistry. New York: Marcel Dekker. Johansson, D. & Morén, T. (2006). The potential of colour measurement for strength prediction on thermally treated wood. Holzund Roh Werkstoff, 64, 104–110. Kijidani, Y., Sakai, N., Kimura, K., Fujisawa, Y., & Hiraoka, Y. (2012). Termite resistance and c o l o r o f h e a r t wo o d o f H i n o k i (Chamaecyparis obtusa) trees in 5 half-sib families in a progeny test stand in Kyushu, Japan. Journal of Wood Science, 58, 471–478. Kokutse, A.D., Stokes, A., Bailleres, H., Kokou, K., & Baudasse, C. (2006). Decay resistance of Togolese Teak (Tectona grandis L.) heartwood and relationship with colour. Trees, 20, 219 - 223. Kondo, R. & Imamura, H. (1985). The chemistry of the color of wood. I. The phenolic components of Hazenoki (Rhus succedanea L.) and their dyeing properties. Mokuzai Gakkaishi, 31, 927-934. Liu, S., Loup, C., Gril, J., Dumonceaud, O., Thibaut, A., & Thibaut, B. (2005). Studies on European Beech (Fagus sylvatica L.). Part 1:Variations of wood color parameters. Annals of Forest Science, 62, 625–632. Lukmandaru, G. (2009a). Sifat kimia dan warna kayu teras jati pada tiga umur berbeda. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis, 7, 1 – 7. Lukmandaru, G. (2009b). Pengukuran kadar ekstraktif dan sifat warna pada kayu teras Jati doreng (Tectona grandis). Jurnal Ilmu Kehutanan, 3, 67-73. Lukmandaru, G. (2011). Variability in the natural termite resistance of plantation Teak wood and its relations with wood extractive content and color properties. Indonesian Journal of Forestry Research, 8(1), 17-31. 215
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 207-216
Lukmandaru, G., & Takahashi, K. (2009). Radial distribution of quinones in plantation teak (Tectona grandis L.f.). Annals of Forest Science , 66, 605.
Nishino, Y., Janin, G., Chanson, B., Détienne, P., Gril, J., & Thibaut, B. (1998). Colorimetry of wood specimens from French Guiana. Journal of Wood Science, 44, 3–8
Lukmandaru, G., Ashitani, T., & Takahashi, K. (2009). Color and chemical characterization of partially black-streaked heartwood in teak (Tectona grandis L.f.). Journal of Forestry Research, 61, 377-380.
Sandermann, W., & Simatupang, M.H. (1966). On the chemistry and biochemistry of teakwood (Tectona grandis L.f.). Holz als Rohund Werkstoff , 24, 190–204.
Lukmandaru, G., Sayudha, I.G.N.D., Gustomo, L.S., & Prasetyo, V.E. (2011). Pengukuran kadar ekstraktif dan sifat warna kayu Acacia mangium dari lima provenans. Prosidings Seminar Nasional MAPEKI XIII Tahun 2010. Bali: Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia. (Hal 372-380). Möttönen, V., Alvila, L., & Pakkanen, T.T. (2002). CIE L*a*b*measurements to determine the role of felling season, log storage and kiln drying on coloration of Silver Birch wood. Scandinavian Journal of Forest Research, 17, 179–191. Moya, R., & Berrocal, A. (2010). Wood colour variation in sapwood and heartwood of young trees of Tectona grandis and its relationship with plantation characteristics, site, and decay resistance. Annals of Forest Science, 67, 109. Munsell Color Company. (1976). Munsell book of color. Baltimore : Munsell Color. Nelson, N.D., Maeglin, R.R., & Wahlgren, H.E. (1969). Relationship of Black Walnut wood color to soil properties and site. Wood Fiber, 1, 29–37. Niamké, F.B., Amusant, N., Charpentier, J.P., Chaix, G., Baissac, Y., Boutahar, N., Adima, A.A., Coulibaly, S.K., & Allemand, C.J. (2011). Relationships between biochemical attributes (non-structural carbohydrates and phenolics) and natural durability against fungi in dry teak wood (Tectona grandis L. f.). Annals of Forest Science, 68, 201–211.
216
Sumthong, P., Romero-González, R.R., & Verpoorte, R. (2008). Identification of antiwood rot compounds in teak (Tectona grandis L.f.) sawdust extract. Journal of Wood Chemistry and Technology, 28, 247 - 260. Syafii, W. (2000). The basic properties of Indonesia teakwood at various age classes. Proceedings of the 3rd International Wood Science Symposium. Kyoto: JSPS-LIPI. Thulasidas, P.K., & Bhat, K.M. (2007). Chemical extractive compounds determining the brown-rot decay resistance of teak wood. Holz als Roh-und Werkstoff, 65, 121–124. Thulasidas, P.K., Bhat, K.M., & Okuyama, T. (2006). Heartwood colour variation in home garden Teak (Tectona grandis) from wet and dry localities of Kerala India. Journal of Tropical Forest Science, 18, 51-54. Wilkins, A.P. & Stamp, C.M. (1990). Relationship between wood colour, silvicultural treatment and rate of growth in Eucalyptus grandis Hill (Maiden). Wood Science and Technology, 24, 297 - 304. Windeisen, E., Klassen, A., & Wegener, G. (2003). On the chemical characterisation of plantation Teakwood from Panama. Holz als Roh- und Werkstoff, 61, 416 – 418. Yazaki, Y., Collins, P.J., & McCombe, B. (1994). Variations in hot water extractives content and density of commercial wood veneers from Blackbutt (Eucalyptus pilularis). Holzforschung, 48 (Suppl.), 107-111.
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 217-229 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
REKAYASA PROSES SINTESIS PIPERONAL DARI KULIT LAWANG (Cinnamomum culilawan Blume) SEBAGAI PREKURSOR OBAT KANKER (Modification of Synthesis Process of Lawang’s Bark (Cinnamomum cullilawan Blume) as a Cancer Drug Precursor) 1,4
2
3
Imanuel Berly Delvis Kapelle , Tun Tedja Irawadi , Meika Syahbana Rusli , 3 2 Djumali Mangunwidjaja , & Zainal Alim Mas'ud 1
TIP FATETA, Institut Pertanian Bogor, Kimia FMIPA, Institut Pertanian Bogor 3 TIP FATETA, Institut Pertanian Bogor 4 Kimia FMIPA, Universitas Pattimura E-mail:
[email protected]
2
Diterima 20 Oktober 2015, Direvisi 31 Maret 2016, Disetujui 7 Juni 2016
ABSTRACT Piperonal as a precursor of cancer drug (Curcumin analogues) can be synthesized from extract of lawang’s bark (Cinnamomum culilawan Blume) with multiple stages, among others: isolation of essential oils, isolation safrole, safrole isomerization, and synthesis of piperonal. Essential oils were isolated from the bark of lawang (the water content of 46.2%) using a water distillation system with 1/3 volume of high boiler for five hours. Isolation of safrole from lawang bark oils was performed using NaOH solution and purified using reduced pressure distillation system at a temperature of 90-123°C / 1 mmHg. The safrole isomerization was undergone using alkali catalyst (KOH) without solvent at a temperature of 120°C for 8 hours. Oxidation of isosafrol was performed using KMnO4 in acidic conditions using a KTF tween 80 at a temperature below 30°C, and purified using silica gel. Results of isolation yield 0.94% with 14 components were determined through GC-MS, including 67.35% eugenol, safrole 13.96%, 12.61% methyl eugenol, 4-terpineol sineol 1.79% and 1.55%. The isolated safrole yield of 17.21% with purity testing and identification using FTIR, 1HNMR and GCMS confirmed the product was safrole. The isomerization obtained yield of 77.56% with GC analysis indicated compounds of cis-isosafrole and trans-isosafrole. The results of oxidation obtained yield of 65.63% with a purity of 100% by GCMS and the 1H-NMR indicated the product is piperonal. Keywords: Precursor of cancer drug, lawang oils, synthesis, piperonal, safrole ABSTRAK Piperonal sebagai prekursor obat kanker (analog kurkumin) dapat disintesis dari ekstrak kulit pohon lawang (Cinnamomum culilawan Blume) dengan beberapa tahapan antara lain; isolasi minyak atsiri, isolasi safrol, isomerisasi safrol, dan sintesis piperonal. Minyak atsiri diisolasi dari kulit kayu lawang (kadar air 46,20%) menggunakan sistem destilasi air dengan volume 1/3 dari tinggi ketel selama lima jam. Isolasi safrol dari minyak kulit lawang dilakukan menggunakan larutan NaOH dan dimurnikan menggunakan sistem destilasi pengurangan tekanan pada suhu 90-123°C/1 mmHg. Isomerisasi safrol dilakukan menggunakan katalis alkali (KOH) tanpa pelarut pada suhu 120°C selama 8 jam. Oksidasi isosafrol dilakukan dengan menggunakan KMnO4 dalam suasana asam dengan bantuan KTF tween 80 pada temperatur <30°C dan proses pemurnian menggunakan silica gel. Hasil isolasi minyak atsiri diperoleh minyak dengan rendemen 0,94% dengan 14 komponen yang diuji dengan GC-MS diantaranya eugenol 67,35%, Safrol 13,96%, metil eugenol 12,61% ,4-terpineol 1,79%, dan sineol 1,55%. Hasil isolasi safrol dengan rendemen 17,21% diuji kemurnian dan identifikasi menggunakan FTIR, 1H-NMR dan GCMS menunjukkan produk merupakan safrol. Hasil isomerisasi diperoleh rendemen 77,56 % yang diuji DOI : http://doi.org/10.20886/jphh.2016.34.3.217-229
217
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 217-229
menggunakan GC terdiri dari cis-isosafrol dan trans-isosafrol. Hasil oksidasi diperoleh rendemen 65,63 % dengan kemurnian 100% berdasarkan GCMS dan data 1H-NMR menunjukkan produk merupakan piperonal. Kata kunci: Prekursor obat kanker, minyak kulit lawang, sintesis, piperonal, safrol I. PENDAHULUAN Kanker merupakan salah satu penyebab kematian yang paling sering terjadi dan semakin bertambah. Sifat resistensi terhadap obat yang digunakan semakin tinggi saat ini sehingga kebutuhan akan obat semakin bertambah. Kebutuhan akan obat kanker saat ini dapat dipenuhi dari berbagai sumber, diantaranya sintesis kimia, semi sintesis, tumbuh-tumbuhan, hewan dan mikroorganisme. Obat kanker dari bahan alam yang telah dilaporkan memiliki aktivitas sebagai antikanker adalah kurkumin dari temulawak. Senyawa kurkumin merupakan serbuk berwarna kuning dari tanaman Curcuma longa (Linn) yang memiliki aktivitas sebagai anti kanker (Xiang, Li, Yin, & Zhang, 2012; Moorthi & Kathiresan, 2013; Qian et al., 2015). Kurkimin sebagai senyawa kemopreventif yang bertujuan untuk memperlambat, memblokade atau mengembalikan proses karsinogenesis (Johnson & Mukhtar, 2007). Ketersediaan bahan tersebut lebih baik dari kurkumin sehingga perlu dilakukan sintesis analog kurkumin yang telah diuji aktivitas sebagai antikanker (Anand, Chitra, Sonia, Kunnumakkara, & Aggarwal, 2008; Thomas et al., 2010; Zhang et al., 2011). Senyawa analog (homolog) kurkumin merupakan senyawa yang memiliki kemungkinan sifat farmakologis yang sama atau bahkan lebih baik bila dibandingkan dengan senyawa induk (Yang, Yue, Sing, & Pfeffer, 2013). Pengaruh aktivitas tersebut dipengaruhi oleh subtituen dan struktur dari senyawa analog kurkumin. Berdasarkan data hubungan struktur aktivitas menunjukkan bahwa subtituen yang memiliki sifat penarik elektron di cincin benzen yang memberikan efek farmakologi (Zhao et al., 2010). Bahan alam yang memiliki cincin dioxolane yang bersifat sebagai penarik elektron serta memiliki aktivitas sebagai antikanker adalah piperine (Soliman, 2005; Bezerra et al., 2006). Safrol merupakan salah satu senyawa yang memiliki cincin dioxolina yang sama dan telah 218
digunakan sebagai prekursor obat MDMA (Stojanovska et al., 2013) dan MDP2P (Cox, Klass, Morey, & Pigou, 2006). Safrol terdapat dalam minyak kulit lawang dengan presentase 21,0% (Sastrohamidjojo, 2014). Minyak kulit lawang merupakan salah satu minyak atsiri yang terdapat di wilayah Indonesia Timur khususnya Maluku dan Papua. Minyak kulit lawang diperoleh dari destilasi kulit kayu tanaman lawang (Cinnamomum culilawan Blume) dengan rendemen 1,49–3,80% (Ketaren, 1985). Pada proses pemisahan minyak kulit lawang menghasilkan dua produk yaitu eugenol dan safrol (Kapelle & Rosmawati, 2010). Safrol pada suhu kamar merupakan minyak yang tidak berwarna, tetapi dapat berubah menjadi kuning jika terkena sinar matahari, akan tetapi pada temperatur rendah safrol merupakan kristal berwarna putih, mempunyai bau sasafras dan rasa pedas (Villegas, Catalan, Venegas, Garcia, & Altamirano, 2011). Safrol dapat dikonversi menjadi isosafrol dengan menggunakan reaksi isomerisasi. Isomerisasi safrol menjadi isosafrol menggunakan metode yang sama dengan isomerisasi eugenol menjadi isoeugenol. Isomerisasi eugenol menjadi isoeugenol dilakukan pertama kali oleh Tiemann pada tahun 1891 dengan menggunakan sistim KOH alkoholis. Isomerisasi safrol dapat dianalogkan dengan isomerisasi olefin, safrol akan mengalami perubahan struktur karena pengaruh basa, sehingga akan terjadi perpindahan ikatan rangkap dari rantai lurus ke arah mendekati cincin benzen dalam posisi terkonjugasi. Adanya penambahan molekul H2O ke dalam reaksi akan berpengaruh terhadap kepolaran pelarutnya. Molekul H2O akan lebih polar daripada etilen glikol, sehingga adanya molekul H2O akan menurunkan kecepatan reaksi isomerisasi safrol. Karena air berpengaruh pada kecepatan reaksi, maka kondisi percobaan dilakukan dalam keadaan bebas air. Mekanisme reaksi isomerisasi melalui zat antara (intermediate) yaitu terbentuknya karbokation yang merupakan penentu laju reaksi (Sastrohamidjojo, 2004).
Rekayasa Proses Sintesis Piperonal dari Kulit Lawang (Cinnamomum culilawan Blume) sebagai Prekursor Obat Kanker (Kapelle, I.B.D., Irawadi, T.T.I., Rusli, M.S., Mangunwidjaja, D., & Mas'ud, Z.A.)
Proses oksidasi isosafrol menghasilkan piperonal merupakan reaksi oksidasi alkena, dimana produk yang dihasilkan tergantung pada kondisi reaksi dan struktur alkena yang digunakan. Reaksi oksidasi dilakukan dengan menggunakan KMnO4 sebagai pengoksidasi dalam sistem dua fasa yaitu air dan fasa organik, maka untuk meningkatkan reaksi ditambahkan katalis transfer fase (Sastrohamidjojo, 2004). Reaksi katalis transfer fasa berlangsung pada dua tahap, yaitu tahap pertama transfer satu reaktan dari fasa yang normal ke fase yang kedua. Tahap yang kedua adalah reaksi antara reaktan yang ditransfer dengan reaktan pada fase kedua dan reaksi akan berjalan terus menerus sampai tidak ada lagi reaktan yang akan ditransfer. Berdasarkan uraian tersebut maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menghasilkan piperonal dari tanaman kulit lawang (Cinnamomum culilawan Blume) sebagai prekursor obat kanker analog kurkumin dengan tahapan proses isolasi minyak atsiri dari tanaman lawang, isolasi safrol, isomerisasi, dan oksidasi. II. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat Bahan yang akan digunakan pada penelitian ini antara lain: kulit tanaman lawang (Cinnamomum culilawan Blume), silika gel biru, kalium hidroksida, dietil eter, petroleum eter, asam asetat glasial, asam sulfat, diklorometana, metanol, natrium hidroksida, natrium sulfat anhidrat, polisorbat (Tween 80), kalium permanganat, kertas saring Whatman 42, indikator universal, akuades. Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain satu set alat penyulingan minyak atsiri, alat refluks, hot plate, spektrofotometer inframerah, kromatografi gas spektrometri massa (GC-MS), evaporator Buchi, spektrofotometer HNMR dan alat gelas. B. Metode Penelitian 1. Destilasi minyak atsiri Kulit pohon tanaman lawang yang diperoleh dari pohon dengan umur ± 6 tahun dipotong sepanjang satu cm kemudian ditimbang sebanyak 1000 g. Ketel penyulingan diisi air hingga melebihi batas saringan, kulit lawang yang telah dirajang dimasukkan dan diletakkan
di atas saringan. Setelah semua siap, ketel penyulingan ditutup dan dipanaskan menggunakan hot plate. Pada tahap selanjutnya air yang menguap akan membawa partikel-partikel minyak dan keluar dalam bentuk uap yang kemudian dialirkan melalui pipa ke alat pendingin. Di dalam alat pendingin terjadi pengembunan dan uap air yang bercampur minyak akan mencair kembali. Selanjutnya dialirkan ke alat pemisah untuk memisahkan minyak atsiri dari air. Jika hasil pemisahan belum terpisah dengan baik maka dilakukan pemisahan ulang. Penyulingan dilakukan selama 5 jam. Minyak yang dihasilkan dikumpulkan lalu dianalisis komponen penyusunnya dengan menggunakan GCMS. 2. Isolasi safrol Ke dalam erlenmeyer ukuran 1 L dimasukkan 137,42 g (125 mL) minyak kulit lawang dan ditambahkan 40 g NaOH dalam 300 mL akuades. Campuran diaduk sampai terbentuk dua lapisan, dan kemudian lapisan atas dipisahkan. Lapisan bawah diekstraksi dua kali dengan 100 mL petrolium eter dan ditambahkan pada lapisan atas, selanjutnya dicuci dengan aquades hingga netral dan dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrat. Petrolium eter dipisahkan menggunakan evaporator dan dilakukan destilasi dengan pengurangan tekanan. Kemurnian diuji dengan kromatografi gas dan struktur ditentukan dengan 1 H-NMR dan IR. 3. Isomerisasi safrol Ke dalam labu leher tiga ukuran 500 mL yang telah dilengkapi dengan pengaduk magnet, termometer, pendingin bola dan tabung yang berisi gel biru dimasukkan 71,56 g (0,44 mol) safrol dan 50 g (0,89 mol) KOH. Campuran direfluks pada suhu 120°C selama 6 jam, didinginkan, kemudian ditambahkan 250 mL akuades. Larutan kemudian diekstrak dengan dietil eter. Hasilnya dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrous dan dietil eter, dipisahkan menggunakan evaporator dan dilakukan destilasi dengan pengurangan tekanan. Kemurnian diuji dengan GC dan struktur ditentukan dengan FTIR dan 1H-NMR. 4. Sintesis piperonal Ke dalam labu leher tiga 250 mL dimasukkan 2,97g isosafrol (0,02 mol), 100 mL aquades, 2 mL 219
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 217-229
asam asetat glacial, 15 mL asam sulfat 50%, 100 mg twin 80 dan 100 mL diklorometan. Selanjutnya padatan KMnO4 sebanyak 9,79 g (0,062 mol) ditambahkan sekitar 500 mg setiap o menit, suhu dipertahankan di bawah 30 C dengan menempatkan dalam penangas es. Setelah KMnO4 ditambahkan, labu dipanaskan perlahanlahan pada suhu 40°C sampai warna ungu KMnO4 hilang (15 menit), kemudian larutan didinginkan selama beberapa menit dan terbentuk endapan MnO2,. Endapan MnO2 kemudian disaring menggunakan silika gel. Larutan hasil pemisahan kemudian dituangkan kedalam corong pisah dan kedua lapisan dipisahkan. Lapisan air (lapisan atas) diekstrak dengan diklorometan (2 x 30 mL). Semua lapisan organik digabung, kemudian dicuci dengan 2 x 30 mL akuades. Lapisan organik dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrous, disaring
dan dievaporasi. Ke dalam residu hasil evaporasi ditambahkan larutan NaOH 20% dan campuran diaduk selama 30 menit. Selanjutnya campuran diekstrak dengan diklorometan, dicuci dengan akuades, dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrous dan dievaporasi kembali. Rekristalisasi dilakukan dengan menggunakan pelarut methanol. Hasil yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan 1 GC, FTIR, dan H-NMR. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Isolasi Minyak Atsiri dari Kulit Lawang Rendemen minyak kulit kayu lawang (Gambar 1a) yang didestilasi dengan air selama 5 jam sebesar 0,94%. Menurut Ketaren (1985) minyak
Gambar 1. a. Kulit pohon lawang, b. Minyak lawang, c. Safrol, d. Isosafrol, e. Piperonal Figure 1. a. Lawang bark, b. lawang oil, c. Safrole, d. Isosafrol, e. Piperonal)
Eugenol
Safrol Metil eugenol 4-terpineol Sineol
Gambar 2. Spektra GC-MS minyak kulit lawang Figure 2. GCMS spectra of cullilawan oils 220
Rekayasa Proses Sintesis Piperonal dari Kulit Lawang (Cinnamomum culilawan Blume) sebagai Prekursor Obat Kanker (Kapelle, I.B.D., Irawadi, T.T.I., Rusli, M.S., Mangunwidjaja, D., & Mas'ud, Z.A.)
kulit lawang diperoleh dari destilasi uap kulit kayu lawang adalah sebesar 1,49 - 3,80%. Rendemen yang diperoleh rendah disebabkan karena bahan baku yang digunakan masih dalam kondisi basah dengan kadar air 46,20%. Hasil identifikasi minyak kulit lawang menggunakan GC-MS diperoleh 14 komponen dengan data presentasi kemurnian: eugenol 67,35%, safrol 13,96%, metil eugenol 12,61% ,4-terpineol 1,79% dan sineol 1,55% (Gambar 2). B. Isolasi Safrol Safrol dapat dipisahkan dari campuran dengan menggunakan pereaksi basa NaOH, dimana eugenol dan komponen fenolik yang lain akan bereaksi dengan NaOH membentuk garam yang larut dalam air. Hasil reaksi akan terbentuk dua lapisan yang dapat dipisahkan. Lapisan safrol yang tidak larut dalam air berada pada bagian atas campuran. Safrol yang diperoleh kemudian dimurnikan dengan menggunakan sistem destilasi fraksinasi pengurangan tekanan. Hasil destilasi fraksinasi pengurangan tekanan pada suhu 90-123°C/1 mmHg, diperoleh safrol pada fraksi II dengan rendemen 17,21%. Sifatsifat dari safrol yang dihasilkan adalah berbentuk cairan bening, berbau harum, tidak larut dalam air
tetapi larut dalam etanol, kloroform dan eter (Gambar 1b). Analisis safrol deng an menggunakan kromatografi gas diperoleh safrol dengan kemurnian 89,186% (Gambar 4). Spektrum inframerah dari safrol (Gambar 5) menunjukan pita serapan pada daerah 3000-2800 cm-1 yang merupakan serapan Csp3-H, hal ini diperkuat oleh munculnya serapan pada 1442,7 cm-1 untuk –CH2- (metilen). Serapan rentangan C=C aromatik muncul pada serapan 1608,5 cm-1 dan didukung oleh serapan pada daerah 31503000 cm-1 yang merupakan pita serapan untuk =Csp2-H (aromatik). Pita serapan pada daerah 1247,9 cm-1 dan 1041,5 cm-1 menunjukan rentangan C-O-C (eter) didukung dengan pita masing-masing 916,1 cm-1 dan 808,1cm-1. Analisis safrol dan interpretasi spektrum 1H-NMR-60 MHz (δ : ppm) adalah sebagai berikut: δ = 3,2 ppm (d, -CH2-), δ = 5,0 ppm (d=CH2), δ = 5,5 – 6,2 ppm (m, =CH-), δ = 5,9 ppm (s, -O-CH2-O-), dan δ = 6,8 ppm (m, 3H Ar) (Gambar 6). Analisis safrol dengan menggunakan spektrum massa memberikan keterangan sebagai berikut (m/z): 39, 51, 63, 77, 91, 104, 119, 131, dan 162 [C10H10O2]+ (puncak dasar). Dari hasil identifikasi dapat disimpulkan bahwa produk yang dihasilkan merupakan safrol dengan berat molekul 162 g/mol dan struktur kimia seperti pada Gambar 3.
O H2C O
H C C H2
CH2
Gambar 3. Struktur kimia safrol Figure 3. Chemical structure of safrole
Safrol
Gambar 4. Spektra GC safrol Figure 4. GC spectra of safrole 221
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 217-229
Gambar 5. Spektra FTIR safrol Figure 5. FTIR spectra of safrole
1
Gambar 6. Spektra H-NMR safrol Figure 6. 1H-NMR spectra of safrole C. Isomerisasi Safrol Isomerisasi safrol menjadi isosafrol dapat dilakukan pada sistem tanpa pelarut dengan menggunakan KOH pada suhu 120°C selama 8 jam dan diperoleh rendemen 77,56%. Sifat-sifat yang dihasilkan isosafrol adalah cairan kuning muda kental dan berbau harum (Gambar 1c). Safrol dapat dikonversi menjadi isosafrol dengan menggunakan reaksi isomerisasi menggunakan katalis basa (Gimeno, Besacier, Bottex, Pujourdy, & Thozet, 2005). Safrol akan mengalami perubahan struktur karena pengaruh basa, 222
sehingga akan terjadi perpindahan ikatan rangkap dari rantai lurus ke arah mendekati cincin benzen dalam posisi terkonjugasi (Sastrohamidjojo, 2004). Mekanisme reaksi isomerisasi safrol melalui zat antara karbokation yang merupakan penentu laju reaksi dan menentukan produk isomer yang terbentuk (Cox, Klass, Morey, & Pigouy, 2008). Mekanisme yang terjadi diperkirakan adalah sebagai berikut: Tahap pertama adalah pengambilan atom Hα alil oleh basa sehingga terbentuk karbanion yang terstabilkan oleh pengaruh resonansi (Gambar 7).
Rekayasa Proses Sintesis Piperonal dari Kulit Lawang (Cinnamomum culilawan Blume) sebagai Prekursor Obat Kanker (Kapelle, I.B.D., Irawadi, T.T.I., Rusli, M.S., Mangunwidjaja, D., & Mas'ud, Z.A.)
Tahap kedua adalah perpindahan ikatan rangkap dilanjutan dengan protonasi menghasilkan dua kemungkinan struktur yaitu cisisosafrol dan trans-isosafrol (Gambar 8). Analisis dengan menggunakan kromatografi gas (Gambar 9) diperoleh cis-isosafrol pada puncak ke-3 dengan waktu retensi 3,375 menit (15,40%) dan trans-isosafrol pada puncak ke-5
dengan waktu retensi 3,700 menit (69,34%). Isomerisasi trans-isosafrol lebih stabil bila dibandingkan dengan cis-isosafrol. Spektrum inframerah dari isosafrol (Gambar 10) menun-1 jukan serapan pada daerah 3000-2800 cm yang merupakan serapan Csp3-H. serapan rentangan -1 C=C aromatik muncul pada 1608,5 cm . Pita serapan Csp2-H (aromatik) muncul pada daerah
Gambar 7. Mekanisme tahap 1, reaksi isomerisasi Figure 7. Mechanism of phase 1, isomerization reaction
Gambar 8. Mekanisme tahap 2, reaksi isomerisasi Figure 8. Mechanism of phase 2, isomerization reaction
Trans -isosafrol Cis-isosafrol
Gambar 9. Spektra GC isosafrol Figure 9. GC spectra of isosafrol 223
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 217-229
3150 – 3000 cm-1. Kesimpulan ini didukung oleh adanya pita tajam dengan kekuatan sedang pada 1490,9 cm-1. Serapan pada 1247,9–1091,6 cm-1 menunjukan rentangan C-O-C. Analisis dengan 1 H-NMR-60 MHz (δ : ppm) adalah sebagai berikut: δ = 1,8 ppm (d, -CH2), δ = 5,9 ppm (s, -O-
CH2-O-), δ = 6,3 ppm (d, -CH=), dan δ = 6,7 – 6,9 ppm (d, H Ar) (Gambar 11). Dari hasil identifikasi dapat disimpulkan bahwa produk yang dihasilkan merupakan isosafrol dan struktur kimia seperti pada Gambar 12.
Gambar 10. Spektra FTIR isosafrol Figure 10. FTIR spectra of isosafrole
1
Gambar 11. Spektra H-NMR isosafrol 1 Figure 11. H-NMR spectra of isosafrole
O H2C O
H C C H
CH3
Gambar 12. Struktur kimia isosafrol Figure 12. Chemical structure of isosafrole 224
Rekayasa Proses Sintesis Piperonal dari Kulit Lawang (Cinnamomum culilawan Blume) sebagai Prekursor Obat Kanker (Kapelle, I.B.D., Irawadi, T.T.I., Rusli, M.S., Mangunwidjaja, D., & Mas'ud, Z.A.)
D. Sintesis Piperonal Reaksi sintesis piperonal atau disebut juga oksidasi ikatan rangkap yang terdapat pada gugus alil dalam isosafrol. Oksidasi dapat dilakukan dengan menggunakan kalium permanganat dalam suasana asam dengan bantuan katalis transfer fasa polisorbat (tween 80). Tujuan penggunaan tween 80 yaitu untuk meningkatkan hasil reaksi antara isosafrol dan kalium permanganat dalam sistim dua fasa yaitu fasa air dan fasa organik (diklorometan). Kedua lapisan tersebut tidak dapat bercampur sehingga reaksi hanya terjadi pada daerah antara permukaan kedua lapisan tersebut. Kalium permanganat larut dalam air sehingga akan berada dalam fasa air sedangkan isosafrol larut dalam diklorometan dan akan berada dalam fasa organik. Ion permanganat akan terdistribusi pada fasa organik dengan kemampuan rendah, sehingga KTF tween 80 akan memindahkan ion MnO4 dari fasa air ke fasa H2C
H2C
O
O QK+MnO4-
organik. Dengan demikian reaksi akan terjadi pada fasa organik maupun pada daerah antar permukaan kedua lapisan. Adanya oksigen pada rantai polimer (-O-CH2CH2-) pada KTF tween 80 mampu menangkap kation K+ dari garam KMnO4. Anion MnO4- akan terikat di sekitar K+ yang terperangkap oksigen pada rantai polimer dan akhirnya terbawa dalam fasa organik dan reaksi oksidasi akan terjadi. Penggunaan asam asetat glasial adalah sebagai pelarut katalis tween 80, hal ini dimaksudkan untuk menambahkan kelarutan dari KTF tween 80 sehingga semakin banyak katalis yang larut dalam fasa organik maka semakin banyak juga KMnO4 yang ikut terlarut dalam fasa organik. Dengan demikian reaksi oksidasi isosafrol akan menghasilkan hasil yang maksimal. Reaksi oksidasi isosafrol menjadi piperonal dengan adanya KTF tween 80 (Q) dapat dilihat pada Gambar 13.
O
O
+
CH3COOH CH=CH-CH3
+
MnO2
+
Q
COH fasa organik fasa air
QK+
+
MnO4-
K+MnO4-
+
Q
Gambar 13. Reaksi oksidasi isosafrol menjadi piperonal dengan bantuan KTF Figure 13. The oxidation reaction of iso-safrole to produce piperonal with KTF
Gambar 14. Mekanisme reaksi sintesis piperonal tahap 1 Figure 14. The mechanism of the synthesis reaction of piperonal stage 1
225
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 217-229
Penambahan kalium permanganat sebagai oksidator dilakukan secara bertahap agar reaksi dapat terkendali karena reaksi bersifat eksotermis dan suhu dipertahankan di bawah 30°C untuk mencegah terjadinya oksidasi lebih lanjut menjadi karboksilat yang tidak diharapkan. Reaksi oksidasi dibagi menjadi 2 kelompok yaitu oksidasi ikatan π tanpa pemutusan ikatan σ dan pemutusan ikatan π dengan pemutusan ikatan σ (Fessenden & Fessenden, 1992). Oksidasi ikatan rangkap pada alkena KMnO4 encer akan menghasilkan diol. Kedua gugus OH pada senyawa diol terletak pada sisi yang sama dan mekanisme reaksi melalui bentuk ester siklik mangan (Morrison, 1987). Mekanisme reaksi oksidasi isosafrol dipekirakan seperti Gambar 14. Diol yang dihasilkan kemudian mengalami oksidasi lanjutan menghasilkan piperonal dan endapan MnO2 (Gambar 15). Proses penyaringan endapan MnO2 dilakukan dengan menggunakan bantuan vakum agar dapat diperoleh produk yang
lebih maksimum. Untuk memperoleh piperonal dengan kemurnian tinggi dapat dilakukan dengan cara menambahkan basa NaOH dengan tujuan untuk mengubah asam karboksilat (asam piperonal yang mungkin terjadi) menjadi natrium karboksilat yang larut dalam air. Dengan demikian piperonal dapat diperoleh dalam keadaan yang lebih murni. Sifat piperonal yang dihasilkan berupa kristal putih (Gambar 1e) dan berbau harum, tidak larut dalam air tetapi larut dalam metanol (t.l = 50,1 oC). Hasil rekristalisasi dengan menggunakan metanol diperoleh piperonal dengan rendemen 65,63 % dan kemurnian 100% (Gambar 16). Spektrum inframerah dari piperonal diperoleh adanya rentangan C=C aromatik yang muncul pada serapan 1604,7 cm-1 didukung oleh serapan diatas 3000 cm-1 sebagai serapan Csp2-H (aromatik). Daerah serapan antara 3000-2800 cm-1 yang menunjukan adanya serapan C sp3 -H yang diperkuat oleh adanya serapan 1448,9 cm-1 dan
Gambar 15. Mekanisme reaksi sintesis piperonal tahap 2 Figure 15. The mechanism of the synthesis reaction of piperonal stage 2
Gambar 16. Spektra GC piperonal Figure 16. GC spectra of piperonal 226
Rekayasa Proses Sintesis Piperonal dari Kulit Lawang (Cinnamomum culilawan Blume) sebagai Prekursor Obat Kanker (Kapelle, I.B.D., Irawadi, T.T.I., Rusli, M.S., Mangunwidjaja, D., & Mas'ud, Z.A.)
1
Gambar 17. Spektra H-NMR piperonal Figure 17. 1H-NMR spectra of piperonal O H2C O O
C H
Gambar 18. Struktur kimia piperonal Figure 18. Chemical structure of piperonal -1
1357,8 cm untuk gugus metilen (-CH2-). Gugus aldehid ditunjukkan oleh adanya serapan lemah -1 -1 kembar pada daerah 2711,7 cm dan 2781,2 cm yang sangat khas untuk senyawa aldehid. Hal ini -1 diperkuat oleh serapan 1689,5 cm yang menunjukkan gugus karbonil. Pita serapan 1249,8 -1 -1 -1 cm , 1099,3 cm dan 1037,6 cm menunjukkan senyawa eter (C-O-C). Selain itu hilangnya ikatan rangkap pada isosafrol ditandai dengan hilangnya -1 serapan pada daerah 962,4 cm . 1 Analisis piperonal dengan H-NMR menghasilkan spektrum dengan puncak (δ) sebagai berikut (ppm): δ = 5,9 ppm (d, -O-CH2-O-), δ = 6,9 ppm (d, 1H Ar), δ = 7,2 ppm (d, 2H Ar), dan δ = 9,9 ppm (d, CH=O). Petunjuk dari data 1HNMR yang merupakan petunjuk kuat terjadinya oksidasi pada ikatan rangkap isosafrol adalah puncak δ = 9,9 ppm yang merupakan proton aldehid yang tidak terlindungi karena efek induksi dari atom oksigen karbonil yang bersifat elektronegatif (Gambar 17). Dari hasil identifikasi dapat disimpulkan bahwa produk yang dihasilkan merupakan piperonal dengan berat molekul 150 g/ mol dan struktur kimia seperti pada Gambar 18.
IV. KESIMPULAN A. Kesimpulan Prekursor obat kanker analog kurkumin dapat disintesis dari pohon kulit lawang (Cinnamomum culilawan Blume) dengan beberapa tahapan antara lain isolasi minyak atsiri (0,94%), isolasi safrol (17,21%), isomerisasi (77,56%) dan oksidasi isosafrol diperoleh piperonal 65,63%. B. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang ada, maka perlu dilakukan optimasi proses untuk tahapan isolasi minyak atsiri, tahapan proses isolasi safrol dari minyak kulit lawang, tahapan isomerisasi safrol dan tahapan oksidasi guna meningkatkan rendemen hasil. DAFTAR PUSTAKA Anand, P., Chitra. S., Sonia, J., Kunnumakkara, A.B., & Aggarwal, B.B. (2008). Curcumin 227
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 217-229
and cancer: An ''old-age” disease with an ''age-old” solution. Cancer Letter, 267, 133–164.
novel approach to target and treat multidrug-resistant cancers. Journal of Medical Hypotheses and Ideas, 7, 15–20.
Bezerra, B.D., Castro, F.O., Alves, A.P.N.N., Pessoa, C., Moraes, M.O., Silveira, E.R., Lima, M.A.S., Elmiro, F.J.M., & CostaLotufo, L.V. (2006). In vivo growthinhibition of Sarcoma 180 by piplartine and piperine, two alkaloid amides from piper. Brazilian Journal of Medical and Biological Research, 39, 801-807.
Qian, Y., Zhong, P., Liang, D., Xu, Z., Skibba, M., & Zeng, C. (2015). A newly designed curcumin analog y20 mitigates cardiac injury via anti-inflammatory and antioxidant actions in obese rats. PLoS ONE, 10(3), e0120215.
Cox, M., & Klass, G. (2006). Synthesis byproducts from the Wacker oxidation of safrole in methanol using r-benzoquinone and palladium chloride. Forensic Science International, 164, 138–147. Cox, M., Klass, G., Morey, S., & Pigou, P. (2008). Chemical markers from the peracid oxidation of isosafrole. Forensic Science International, 179, 44-53. Fessenden, R.J.D., & Fessenden, J.S. (1992). Kimia organik. (Jilid I, Edisi Ketiga). Jakarta: Penerbit Erlangga. Gimeno, P., Besacier, F., Bottex, M., Dujourdy, L., & Thozet, H.C. (2005). A study of impurities in intermediates and 3,4m e t hy l e n e d i ox y m e t h a m p h e t a m i n e (MDMA) samples produced via reductive amination routes. For ensic Science International, 155, 141–157. Johnson, J.J. & Mukhtar, H. (2007). Curcumin for chemoprevention of colon cancer. Cancer Letters, 255, 170–181. Kapelle, I.B.D., & Rosmawati. (2010). Sintesis khalkon 3-(3”,4”-metilendioksi)2‟hidroksifenil prop-2-enon dari minyak kulit lawang. Journal of Pharmaceutical Science “Media Farmasi”, 9, 57-67. Ketaren, S. (1985). Pengantar teknologi minyak atsiri. Jakarta : Balai Pustaka. Morrison, B. (1987). Organic chemistry. New York: Allyn and Bacon, Inc. Moorthi, C., & Kathiresan, K. (2013). Curcumin–piperine/curcumin–quercetin/ curcumin–silibinin dual drug-loaded nanoparticulate combination therapy: A 228
Sastrohamidjojo, H. (2004). Kimia minyak atsiri. Yogyakarta: UGM Press. Soliman, G. (2005). Effect of curcumin, mixture of curcumin and piperine and curcum (turmeric) on lipid profile of normal and hyperlipidemic rats. The Egyptian Journal of Hospital Medicine, 21, 145–161. Stojanovska, N., Fu, S., Tahtouh, M., Kelly, T., Beavis, A., & Kirkbride, K.P. (2013). A review of impurity profiling and synthetic route of manufacture of methylamphetamine, 3,4methylenedioxymethylamphetamine, amphetamine, dimethylamphetamine and p-methoxyamphetamine. Forensic Science International, 224, 8–26. Thomas, S.L., Zhao, J., Li, Z., Lou, B., Du, Y., Purcell, J., Snyder, J.P., Khuri, F.R., Liotta, D., & Fu, H. (2010). Activation of the p38 pathway by a novel monoketone curcumin analog, EF24, suggests a potential combination strategy. Journal Biochemical Pharmacology, 80, 1309–1316. Villegas, A.M., Catalan, L.E., Venegas, I.M., Garcia, J.V., & Altamirano, H.C. (2011). New catechol derivatives of safrole and their antiproliferative activity towards breast cancer cells. Molecules, 16, 4632-4641. Xiang, Y.M., Li, Y., Yin, H., & Zhang, J. (2012). Curcumin: updated molecular mechanisms and intervention targets in human lung cancer. International Journal of Molecular Sciences, 13, 3959-3978. Yang, C.H., Yue, J., Sims, M., & Pfeffer, L.M. (2013). The curcumin analog EF24 targets NF-kB and miRNA-21, and has potent anticancer activity in vitro and in vivo. PLoS ONE, 8(8), e71130.
Rekayasa Proses Sintesis Piperonal dari Kulit Lawang (Cinnamomum culilawan Blume) sebagai Prekursor Obat Kanker (Kapelle, I.B.D., Irawadi, T.T.I., Rusli, M.S., Mangunwidjaja, D., & Mas'ud, Z.A.)
Zhao, C., Yang, J., Wang, Y., Liang, D., Yang, X., Li, X., Wu, J., Wu, X., Yang, S., Xiaokun, Li., & Liang, G. (2010). Synthesis of monocarbonyl analogues of curcumin and their effects on inhibition of cytokine release in LPS-stimulated RAW 264.7 macrophages. Journal Bioorganic & Medicinal Chemistry, 18, 2388–2393.
Zhang, Q., Zhong, Y., Yan, L.N., Sun, X., Gong, T., & Zhang, Z.R. (2011). Synthesis and preliminary evaluation of curcumin analogues as cytotoxic agents. Journal Bioorganic & Medicinal Chemistry Letters, 21, 1010–1014.
229
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 231-239 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
PENGGUNAAN Phanerochaete chrysosporium PADA PENGOLAHAN PULP BIO-SEMI-MEKANIS KAYU TERENTANG (Campnosperma auriculata Hook.f)* (Application of Phanerochaete chrysosporium on Biochemimechanical Pulping Process of Terentang Wood (Campnosperma auriculata Hook.f)) 1
2
2
Yeni Aprianis , Denny Irawati , & Sri Nugroho Marsoem 1
Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan, Jl. Raya Bangkinang-Kuok, Km. 9, Bangkinang, Riau 2 Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada Jl. Agro No. 1, Bulaksumur, Yogyakarta E-mail:
[email protected] Diterima 13 Agustus 2015, Direvisi 22 April 2016, Disetujui 16 Agustus 2016
ABSTRACT Terentang wood (Campnosperma auriculata Hook.f) is relatively low in specific gravity (0.3), hence its utilization as pulp by chemi-mechanical is an alternative process. Energy consumption was reduced by applying lignin degrading fungi (Phanerochaete chrysosporium) as pretreatment in the chemi-mechanical process. This paper examines the effects of P. chrysosporium incubation periods into chemical components and energy refining consumption of terentang wood. Four percent of NaOH was used in the chemi-mechanical process, and incubation periods studied were 0 (control), 3, 4 and 5 weeks. Results showed that P. chrysosporium significantly affected the weight loss, chemical properties, and refining energy consumption of terentang wood pulping process. Wood chip weight loss was about 15.9521.31% and alpha-cellulose raised up to 6.77%. Five weeks incubation time decreased lignin content up to 22.97% and saved the refining energy up to 22.7%. Keywords: Incubation period, Phanerochaete chrysosporium, biopulping, terentang ABSTRAK Kayu terentang (Campnosperma auriculata Hook.f) memiliki berat jenis rendah (0,3), sehingga salah satu alternatif pemanfaatannya menjadi pulp adalah dengan proses semi-mekanis. Pengurangan konsumsi energi pada proses kimia-mekanis dilakukan menggunakan jamur pendegradasi lignin (Phanerochaete chrysosporium) sebagai perlakuan awal. Pengolahan pulp semi-mekanis menggunakan NaOH 4% dan masa inkubasi 0 (kontrol), 3, 4, dan 5 minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan P. chrysosporium berpengaruh nyata terhadap kehilangan berat, kandungan kimia, dan kebutuhan energi refining. Kehilangan berat serpih kayu berkisar 15,95-21,31% dan peningkatan kadar selulosa mencapai 6,77%. Inkubasi selama lima minggu menurunkan kadar lignin hingga 22,97% dan menghemat energi refining sebesar 22,7%. Kata kunci: Lama inkubasi, Phanerochaete chrysosporium, biopulping, terentang, I. PENDAHULUAN Secara umum, kayu dengan berat jenis rendah lebih cocok digunakan sebagai bahan baku pulp
semi-mekanis karena penguraian seratnya (refining) lebih mudah (Cameron, 2004). Kayu terentang memiliki berat jenis 0,30 lebih rendah dari berat jenis kayu mangium 0,69. Jika proses pulping kayu
*) Bagian dari tesis Magister of Science pada Fakultas Kehutanan, UGM, 2015
DOI : http://doi.org/10.20886/jphh.2016.34.3.231-239
231
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 231-239
mangium tergolong mudah, berdasarkan perbedaan berat jenisnya, maka kayu terentang akan lebih mudah dalam proses pulpingnya (Raphy, Anoop, Aruna, Sheena, & Ajayghosh, 2011). Pengolahan pulp semi-mekanis merupakan kombinasi perlakuan kimia ringan dan proses mekanis. Kelemahan dari proses kimia-mekanis ini adalah penggunaan energi yang cukup tinggi untuk proses refining. Salah satu cara mengurangi kebutuhan energi pada pengolahan pulp semimekanis adalah dengan memberi perlakuan awal menggunakan jamur pendegradasi lignin (biopulping) sebelum pemasakan. Perlakuan jamur dapat mengurangi kebutuhan energi refining dan penggilingan pada kayu spruce sebesar 30% dan kayu Carpinus betulus sebesar 43% (Scott, Akhtar, Swaney, & Houtman, 2002; Kasmani, Talaeipour, Hemmasi, Mahdavi, & Samariha, 2012). Proses biopulping biasanya dilakukan dengan menggunakan jamur pendegradasi lignin seperti Phanerochaete chrysosporium (Kasmani et al., 2012) dan Ceriporiopsis subvermispora (Ferraz, Parra, Freer, Baeza, & Rodriquez, 2000). Jamur P. chrysosporium lebih banyak menyerang jenis kayu daun lebar, sedangkan C. subvermispora lebih banyak menyerang kayu daun jarum, sehingga proses biopulping kayu daun lebar disarankan menggunakan P. chrysosporium (Ferraz et al., 2000). Selain itu, P. chrysosporium memiliki kemampuan hidup pada kisaran suhu yang lebar yaitu 25-40oC (Singh & Chen, 2008; Kasmani et al., 2012). Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, lama inkubasi jamur pada proses biopulping biasanya adalah 1-16 minggu (Mendonca, Ferraz, Kordaschia, & Koch, 2004; Pujirahayu & Marsoem, 2006; Yang, Zhan, Wang, & Fu, 2008; Istikowati & Marsoem, 2009; Husaini et al., 2011; Kasmani et al., 2012). Proses biodegradasi kayu dalam proses biopulping merupakan fungsi dari lama waktu inkubasi (Ferraz et al., 2000; Hataka & Hammel, 2010). Semakin lama waktu inkubasi, semakin baik hasil biopulpingnya, seperti proses biopulping kayu randu (Ceiba pentandra) dilaporkan memerlukan waktu inkubasi jamur P. chrysosporium optimal 40 hari untuk lignin terdegradasi, sehingga kadar ligninnya berkurang sebesar 12,34% (Istikowati & Marsoem, 2009). Tulisan ini mempelajari penggunaan jamur P. chrysosporium terhadap kehilangan berat, perubahan kandungan kimia, dan kebutuhan energi refining pada pulp semi-mekanis kayu terentang. 232
II. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan adalah kayu terentang yang berasal dari Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau, sebanyak tiga pohon sebagai ulangan. Isolat jamur P. chrysosporium American Type Culture Collection (ATCC) 34541 diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi, Pusat Antar Universitas (PAU), Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk perlakuan biopulping. Bahan kimia untuk analisa kimia kayu, antara lain: asam sulfat (H2SO4), asam asetat glasial (CH3COOH), etanol (C2H5OH), natrium klorida (NaClO2), NaOH, aseton (CH3COCH3) teknis, dan aquades. Bahan kimia untuk pengolahan pulp semimekanis menggunakan NaOH 4%. Disk refiner (KRK seri 0407064) digunakan untuk menggiling pulp sebagai perlakuan mekanis. B. Metode Penelitian Persiapan bahan baku diawali dengan pembuatan serpih berukuran 2 cm x 2 cm x 0,2 cm, kemudian diukur kadar airnya. Sebanyak 200 g BKT (Berat Kering Tanur) serpih terentang dimasukkan ke dalam plastik dan direndam dengan air selama 16 jam, kemudian ditiriskan. Serpih yang telah direndam selanjutnya disterilisasi menggunakan autoclave pada suhu O 121 C selama 30 menit (Mendonca et al., 2004). Persiapan suspensi jamur diawali dengan perbanyakan jamur P. chrysosporium menggunakan media PDA sebanyak 30 tabung reaksi, kemudian ditempatkan pada inkubator bersuhu 27oC selama 7 hari. Pengambilan miselia pada setiap tabung reaksi dilakukan dengan menambahkan 15 mL aquades steril yang mengandung dextrose 1%, kemudian dikocok agar media terpisah. Suspensi miselia yang digunakan untuk mendegradasi kayu terlebih dahulu dihitung koloni spora menggunakan hemacytometer. Jumlah spora pada penelitian ini adalah 1,70 x 109 spora/mL. Sebanyak 10 mL suspensi miselia yang mengandung dextrose 1% dimasukkan pada serpih steril, kemudian diinkubasi selama 3, 4, dan 5 minggu. Pemilihan waktu inkubasi tersebut berdasarkan uji pendahuluan, dimana inkubasi 3-5 minggu menunjukkan pertumbuhan jamur sudah mulai merata (Gambar 1). Sebanyak 3 g serpih inokulasi ditentukan kadar airnya, kemudian
Penggunaan Phanerochaete chrysosporium pada Pengolahan Pulp Bio-semi-mekanis Kayu Terentang (Yeni Aprianis, Denny Irawati, & Sri Nugroho Marsoem)
diperoleh Berat Kering Tanur (BKT) setelah inokulasi dan dihitung kehilangan berat sesuai Persamaan 1. Serpih tanpa suspensi jamur merupakan serpih kontrol. Kehilangan berat (%) = W1 – W2 x 100 % ....... (1) W1
Keterangan (Remarks): W1 = berat kering tanur sebelum inokulasi jamur W2 = berat kering tanur setelah inokulasi jamur Serpih perlakuan dan kontrol dianalisa kandungan kimianya. Analisa kadar lignin Klason berdasarkan SNI 0492 (2008), kadar holoselulosa mengacu pada metode Browning (1967), kadar αselulosa sesuai pengujian dalam SNI 01-1309 (1989), dan penentuan hemiselulosa merupakan perhitungan selisih holoselulosa dengan α-selulosa. Pengolahan pulp semi-mekanis diawali dengan serpih perlakuan dan kontrol sebanyak 100 g direndam menggunakan NaOH 4% (1:10) selama 15 menit, kemudian dimasak menggunakan rotary digester pada suhu 120oC selama 30 menit. Serpih dicuci dan diuraikan seratnya menggunakan disk refiner. Refining dilakukan sebanyak dua kali penggilingan (Haroen, 2008; Bierman, 1996). Selama proses refining dicatat waktu yang dibutuhkan, untuk menghitung kebutuhan energi sesuai dengan Persamaan (2) (Johansson, 2011). C. Analisis Data Semua perlakuan dan pengujian diulang sebanyak 3 kali, kemudian data yang diperoleh dianalisis varian dan jika berbeda nyata
dilanjutkan dengan uji Tukey-HSD (Honestly significant difference) pada taraf 5%. .................... (2) K = Pmx t Keterangan: K = Konsumsi energi refining spesifik (kWh/ton) P = kekuatan refiner (kW) = 0,2 kW t = waktu (jam) -4 m = berat serpih = 100 g = 10 ton. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kehilangan Berat Rerata persentase kehilangan berat serpih terentang selama inkubasi 3, 4, dan 5 minggu dapat dilihat pada Tabel 1. Rerata kehilangan berat serpih terentang pada lama inkubasi 3 minggu menunjukkan nilai yang berbeda dengan lama inkubasi 4 dan 5 minggu, namun lama inkubasi 4 minggu mempunyai nilai yang sama dengan 5 minggu. Lama inkubasi mempunyai hubungan positif dengan kehilangan berat. Semakin lama inkubasi maka semakin banyak kehilangan berat serpih terentang. Hal ini menandakan semakin banyak komponen kimia kayu yang terdegradasi. Komponen kimia kayu yang terdegradasi oleh beberapa jamur busuk putih adalah senyawa lignin dan hemiselulosa (Istek, Sivrikaya, Eroglu, & Gulsoy, 2005). Kehilangan berat pada lama inkubasi 3, 4, dan 5 minggu berturut-turut adalah 15,95; 20,29; dan 21,31% (Tabel 1). Lama inkubasi 4 dan 5 minggu mempunyai kehilangan berat yang lebih besar
Tabel 1. Rerata kehilangan berat serpih terentang setelah inokulasi P. chrysosporium (n=3) Table 1. The average weight loss after P. chrysosporium inoculation (n=3) Lama inkubasi (minggu) Period of incubation (weeks)
Berat awal (Initial weight, g)
3 4 5
200
Berat akhir (Final weight, g)
Kehilangan berat (Weight loss, %)
168,11
15,95±0,00a
159,41
20,29±1,16b
159,37
21,31±0,22b
Keterangan (Remarks) : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji Tukey p ≤ 0,05 (Numbers followed by the same letter are non-significantly different, Tukey's test p ≤ 0.05)
233
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 231-239
3 minggu (3weeks)
4 minggu (4 weeks)
5 minggu (5 weeks)
Gambar 1. Pertumbuhan miselia P. chrysosporium pada serpih terentang Figure 1. The growth of P. chrysosporium mycelia on terentang wood chips dibandingkan dengan lama inkubasi 3 minggu. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan miselia jamur yang semakin luas dan banyak setelah 4 dan 5 minggu, sehingga aktivitas degradasinya juga semakin tinggi, seperti yang terlihat pada Gambar 1. Menurut Kirk, Richard, dan John (1992) enzim peroksidase (MnP/Mangan peroksidase dan LiP/Lignin Peroksidase) yang berperan dalam proses degradasi lignin disekresikan sebanding dengan pertumbuhan miselia. Jenis kayu yang berbeda bila diinokulasikan dengan jamur dapat menghasilkan kehilangan berat yang berbeda meskipun jenis jamur yang diinokulasikan adalah sama. Serpih hornbeam (Carpinus betulus) yang diinokulasi jamur P. chrysosporium selama 4 minggu memiliki persentase kehilangan berat 18,56% (Kasmani et al., 2012). Selain hornbeam, kayu jati bagian gubal yang telah diinokulasi jamur P. chrysosporium selama 60 hari mengalami kehilangan berat 10,61% (Koyani & Rajput, 2014). Nilai kehilangan berat kedua jenis kayu tersebut lebih kecil dibandingkan dengan kehilangan berat serpih terentang. Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan berat jenis kayu tersebut. Kayu dengan berat jenis rendah memiliki pori yang lebih besar atau lebih banyak dibandingkan kayu dengan berat jenis tinggi. Berat jenis kayu gubal jati dan hornbeam berturut-turut adalah 0,64-0,70 (Pertiwi, 2014)
234
dan 0,45-0,71 (Samariha, 2011), sedangkan berat jenis terentang pada penelitian ini adalah 0,3. B. Kandungan Kimia Kayu Terentang Rerata komponen kimia kayu sebelum dan setelah perlakuan inokulasi dengan jamur P. chrysosporium selama 3, 4, dan 5 minggu serta perubahan yang terjadi ditunjukkan pada Tabel 2 dan Tabel 3. Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan lama inkubasi berpengaruh nyata terhadap kandungan lignin, holoselulosa, α-selulosa, dan berpengaruh tidak nyata terhadap hemiselulosa. Perbandingan kadar α-selulosa dengan kadar lignin merupakan perbandingan kadar aktual untuk kedua komponen ini. Serpih yang diberi perlakuan jamur memiliki perbandingan αselulosa terhadap lignin lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa jamur menggunakan lignin yang lebih banyak dibandingkan α-selulosa untuk pertumbuhan miselia (Irawati et al., 2012). Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan dengan P. chrysosporium mengakibatkan penurunan kadar lignin bila dibandingkan kontrol. Secara statistik kadar lignin serpih terentang setelah perlakuan lama inkubasi 3, 4, dan 5 minggu memiliki nilai yang tidak berbeda nyata. Artinya tidak ada lagi penurunan kadar lignin yang signifikan setelah inkubasi 3 minggu. Hal ini juga terjadi pada kayu
Penggunaan Phanerochaete chrysosporium pada Pengolahan Pulp Bio-semi-mekanis Kayu Terentang (Yeni Aprianis, Denny Irawati, & Sri Nugroho Marsoem)
Tabel 2. Kandungan kimia (%) dan perbandingan C/L kayu terentang (n=3) Table 2. The chemical component (%) and C/L ratio of terentang wood (n=3) Lama inkubasi (minggu) (Incubation period, weeks) Kontrol/control 3 4 5 HSD 5%
Lignin (L)
Holoselulosa (Holocellulose)
Alfa selulosa (Alpha cellulose) (C)
Hemiselulosa (Hemicellulose)
32,71±1,92b
43,26±1,06a
37,6±2,05a
1,32
26,36±3,61a
81,02±0,65a 89,70±6,66b
46,19±1,03b
43,51±7,67a
1,75
25,33±0,33a
81,05±2,26a
45,28±0,48ab
35,76±2,39a
25,20±1,53a
76,94±0,59a
44,64±0,27ab
32,31±0,83a
6,66
9,27
2,06
-
1,78 1,77 -
Perbandingan C/L(C/L ratio)
Keterangan (Remarks) : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji Tukey p ≤ 0,05 (Numbers followed by the same letter are non-significantly different, Tukey's test p ≤ 0.05)
Tabel 3. Perubahan komponen kimia setelah inokulasi P. chrysosporium (%) Table 3. Chemical content change of terentang chips after P. chrysosporium inoculation (%) Lama inkubasi (minggu) (Incubation period, weeks) 3 4 5
Lignin
Holoselulosa (Holocellulose)
Alfa selulosa (Alpha cellulose)
Hemiselulosa (Hemicellulose)
-19,41 -22,56 -22,97
+10,72 +0,04 -5,03
+6,77 +4,67 +3,18
+15,72 -4,89 -14,07
Keterangan (Remarks): tanda minus (negative) (-) = pengurangan persentase kandungan kimia (reduction of chemical content) tanda positif (positive) (+) = peningkatan persentase kandungan kimia (increase of chemical content)
Fagus orientalis, dimana kadar lignin tidak lagi mengalami penurunan setelah diinkubasi dengan P. chrysosporium selama lebih dari 20 hari hingga 60 hari (Istek et al., 2005). Fenomena kedua jenis kayu tersebut mengindikasikan bahwa jamur P. chrysosporium tidak selektif terhadap lignin di atas inkubasi 20 hari. Beberapa penelitian terdahulu pada kayu sengon, randu, dan hornbeam yang diinkubasi selama 30 hari dengan jamur P. chrysosporium menunjukkan pengurangan kadar lignin yang berbeda. Sengon mengalami pengurangan kadar lignin sebesar 8,20% (Pujirahayu & Marsoem, 2006), sedangkan randu mengalami pengurangan kadar lignin sebesar 9,60% (Istikowati & Marsoem, 2009), dan hornbeam mengalami pengurangan kadar lignin sebesar 18,56% (Talaeipour et al., 2010; Kasmani et al., 2012). Nilai degradasi lignin kayu sengon, randu, dan hornbeam lebih kecil bila dibandingkan dengan hasil penelitian ini (Tabel 2 dan Tabel 3).
Kadar holoselulosa kayu terentang setelah diberi perlakuan jamur P. chrysosporium selama 3 minggu berbeda dengan lama inkubasi 4 minggu, sedangkan kadar holoselulosa kayu terentang setelah diberi perlakuan jamur P. chrysosporium selama 4 minggu mempunyai nilai sama dengan 5 minggu dan kontrol (Tabel 2). Hal ini disebabkan karena jamur terlebih dahulu mendegradasi lignin sehingga persentase holoselulosa pada kayu meningkat. Pada penelitian ini diduga jamur P. chrysosporium ATCC 34541 yang digunakan memiliki sifat simultan dalam mendegradasi dinding sel kayu, yang menyebabkan adanya penurunan kadar holoselulosa. Jamur busuk putih dapat mempunyai pola simultan (non selektif) terhadap degradasi sel, artinya jamur busuk putih selain mendegradasi lignin, juga dapat mendegradasi selulosa dan hemiselulosa (Gamauf, Metz, & Seiboth, 2007). Selain pola simultan, jamur busuk putih juga memiliki pola yang hanya selektif 235
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 231-239
mendegradasi lignin. Pola pembusukan jamur busuk putih adalah tergantung pada strain jamur dan substrat yang digunakan (Gamauf et al., 2007). Waktu inkubasi yang semakin lama menyebabkan penurunan kadar holoselulosa yang besar, sehingga kadar holoselulosa menjadi semakin rendah (Tabel 2 dan Tabel 3). Setelah inkubasi 3 dan 4 minggu persentase kadar holoselulosa lebih tinggi 0,04-10,72% dibanding kontrol, namun setelah diinkubasi selama 5 minggu terjadi penurunan kadar holoselulosa sebesar 5,03%. Hal ini disebabkan jamur mulai mengkonsumsi karbohidrat yang ada pada kayu disaat ketersediaan glukosa 1% semakin berkurang dengan meningkatnya waktu inkubasi. Nilai kadar holoselulosa serpih terentang setelah diinkubasi selama 3, 4, dan 5 minggu dengan jamur P. chrysosporium berkisar antara 76,94-89,70%. Hasil penelitian Istikowati dan Marsoem (2009) pada kayu randu yang diinkubasi selama 20, 30, dan 40 hari dengan jamur yang sama mempunyai kadar holoselulosa sebesar 75-76,7%. Nilai kadar holoselulosa serpih terentang lebih besar dibandingkan dengan kayu randu. Hal ini disebabkan oleh perbedaan jenis kayu/substrat yang digunakan dan tingkat keselektifan jamur terhadap lignin. Persentase kadar α-selulosa kontrol (43,26%) lebih rendah dibandingkan dengan kadar αselulosa setelah diberi perlakuan inkubasi 3, 4, dan 5 minggu yaitu berturut-turut 46,19%; 45,28%; dan 44, 64%. Tingginya kadar α-selulosa pada 3 minggu dikarenakan jamur ini lebih selektif mendegradasi lignin pada inkubasi 3 minggu, sehingga persentase α-selulosa meningkat, namun diatas 3 minggu kemampuan mendegradasi lignin berkurang, sehingga jamur memperoleh makanan gula dari selulosa. Tingginya persentase kadar αselulosa merupakan hal yang diinginkan dalam pengerjaan pulp. Bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, kayu randu dan sengon yang diberi perlakuan P. chrysosporium mengalami penurunan persentase kadar α -selulosa (Istikowati & Marsoem, 2006; Pujirahayu & Marsoem, 2009). Hal ini diduga disebabkan inokulasi P. chrysosporium pada kayu randu dan sengon tanpa adanya penambahan nutrisi glukosa, sehingga pada proses inkubasi selulosa juga ikut
236
terdegradasi. Hasil penelitian Singh dan Chen (2008) menyatakan bahwa dengan penambahan glukosa 1% (b/v) dapat meningkatkan kinerja enzim lignolitik. Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan P. chrysosporium berpengaruh tidak nyata terhadap kadar hemiselulosa, walaupun kadar hemiselulosa terentang cenderung menurun sebesar 14,07% setelah inkubasi selama 5 minggu (Tabel 3). Penurunan kadar hemiselulosa terjadi pada lama inkubasi 4 dan 5 minggu. Hal ini disebabkan pada lama inkubasi tersebut jamur membutuhkan karbohidrat, karena ketersediaan glukosa 1% semakin berkurang dengan meningkatnya lama inkubasi. Persentase kadar hemiselulosa berpengaruh tidak nyata setelah perlakuan P. chrysosporium merupakan sesuatu yang diinginkan dalam pengolahan pulp, artinya hemiselulosa tidak mengalami perubahan dengan adanya perlakuan P. chrysosporium selama 5 minggu. Hemiselulosa berperan pada kekuatan tarik kertas (Fengel & Wegener, 1995). Penurunan kadar hemiselulosa serpih terentang lebih kecil dibandingkan dengan sengon. Menurut Widjaya et al. (2003) sengon yang diinkubasi P. chrysosporium selama 30 hari memiliki pengurangan kadar hemiselulosa sebesar 25%. Aplikasi P. chrysosporium pada terentang untuk keperluan bahan baku pulp lebih baik bila dibandingkan dengan hasil penelitian Istikowati dan Marsoem (2006), Pujirahayu dan Marsoem (2009), Widjaya, Adriyani, dan Pratami (2003) pada kayu sengon maupun randu. Hal ini dikarenakan persentase kehilangan lignin dan peningkatan kadar α-selulosa lebih besar bila dibandingkan kayu sengon dan randu. Selain disebabkan oleh perbedaan jenis kayu juga disebabkan adanya penambahan nutrisi glukosa pada serpih terentang. C. Energi Refining Proses refening merupakan penguraian serat (selulosa) dari ikatan lignin melalui mekanis. Pada pengolahan pulp semi-mekanis, rerata kebutuhan energi refining dan penghematan energi dapat dilihat pada Tabel 4. Kebutuhan energi refining pada kontrol memiliki nilai sama dengan perlakuan lama inkubasi 3 minggu dan lebih besar bila dibandingkan dengan sampel yang telah diberi
Penggunaan Phanerochaete chrysosporium pada Pengolahan Pulp Bio-semi-mekanis Kayu Terentang (Yeni Aprianis, Denny Irawati, & Sri Nugroho Marsoem)
Tabel 4. Rerata kebutuhan energi refining dan penghematan energi Table 4. The average of refining energy requirement and energy saving Lama inkubasi (minggu) (Incubation period, weeks)
Energi refining (Refining energy, kWh/ton)
Penghematan energi (Energy saving, %)
Kontrol/control 3
37,52 ± 2,57 a 37,38 ± 1,63 a
0,37
4
29,52 ± 2,26 b
21,32
5
29,00 ± 1,67 b
22,70
HSD 5%
5,09
-
Keterangan (Remarks) : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji Tukey p ≤ 0,05 (Numbers followed by the same letter are non-significantly different, Tukey's test p ≤ 0.05)
perlakuan jamur dengan lama inkubasi 4 dan 5 minggu. Hal ini dikarenakan serpih kayu belum diurai oleh jamur sehingga serpih masih keras. Namun pada sampel yang telah diinkubasi jamur selama 4 dan 5 minggu, kebutuhan energinya menjadi semakin sedikit. Adanya perbedaan antara kandungan lignin dan kebutuhan energi refining pada setiap periode inkubasi disebabkan oleh perlakuan NaOH sebelum refining, meskipun pada taraf konsentrasi yang sama. Lama inkubasi memiliki korelasi negatif terhadap energi refining, semakin lama waktu inkubasi maka energi yang dibutuhkan untuk proses refining semakin kecil. Sampel yang telah diinkubasi selama 5 minggu hanya membutuhkan energi refining sebesar 29,00 kWh/ton atau turun 22,70% dari kondisi kontrol. Akan tetapi nilai penghematan energi ini lebih kecil dibandingkan yang dilaporkan Scott et al. (2002) yaitu sebesar 30%. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan jenis kayu maupun jenis jamur yang digunakan. IV. KESIMPULAN Penggunaan P. chrysosporium pada pengolahan pulp bio-semi-mekanis kayu terentang telah memberikan keuntungan berupa penghematan energi dalam proses refining, walaupun membutuhkan waktu untuk inkubasi. Perlakuan P. chrysosporium dapat menghemat energi refining hingga 22,70%.
DAFTAR PUSTAKA Bierman, C.J. (1996). Handbook of pulping and papermaking (2nd ed.). California: Academic Press. Browning, B.L. (1967). Methods of wood chemistry II. New York: Wisconsin Interscience. Cameron, J.H. (2004). Mechanical pulping. Pulping. Elsevier Ltd. Fengel, D., & Wegener, G. (1995). Kimia, ultrastruktur, reaksi-reaksi kayu. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ferraz, A., Parra, C., Freer, J., Baeza, J., & Rodríguez, J. (2000). Characterization of white zones produced on Pinus radiata wood chips by Ganoderma australe and Ceriporiopsis subvermispora. World Journal of Microbiology and Biotechnolog y , 16 (7), 641–645. http://doi.org/10.1023/A:100898152147 9. Gamauf, C., Metz, B., & Seiboth, B. (2007). Degradation of plant cell wall polymers by fungi. Envir onmental and Micr obial Relationships - The Mycota IV, 325–340. Haroen, W.K. (2008). Pulp Termo Mekanis (TMP) dan Kimia Termo Mekanis (CTMP) dari limbah batang kenaf. Tropical Wood Science and Technology, 6(2), 69-74. Hatakka, A., & Hammel, K.E. (2010). Fungal biodegradation of lignocelluloses. Dalam 237
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 231-239
M. Holrichter (Eds). The Mycota X industrial nd applications (2 ed.). Berlin: Springer. (Hal. 319-340). Husaini, A., & Fisol, F. (2011). Lignocellulolytic enzymes produced by tropical white rot fungi during biopulping of Acacia mangium wood chips. Journal of Biochemical Technology, 3(2), 245–250. Johansson, L., Hill, J., Gorski, D., & Axelsson, P. (2011). Improvement of energy efficiency in TMP refining by selective wood disintegration and targeted application of chemicals. Nordic Pulp and Paper Research Jour nal, 26(01), 031–046. http://doi.org/10.3183/NPPRJ-2011-2601-p031-046. Irawati, D., Hayashi, C., Takashima, Y., Wedatama, S., Ishiguri, F., Lizuka, K., Yoshizawa, N., & Yokota S. (2012). Cultivation of the edible mushroom based substrate made of theree Indonesian commersial plantation species, Falcataria moluccana, Shorea sp., and Tectona grandis. Micologia Aplicada International, 24(2), 33-41. Istek, A., Sivrikaya, H., Eroglu, H., & Gulsoy, S.K. (2005). Biodegradation of Abies bornmulleriana (Mattf.) and Fagus orientalis (L.) by the white rot fungus Phanerochaete chrysosporium. International Biodeterioration and Biodegradation, 55(1), 63–67. http://doi.org/10.1016/j.ibiod.2004.07.00 2. Istikowati, W.T., & Marsoem, S.N. (2009). Pengaruh inokulasi jamur Phanerochaete chrysosporium Burds terhadap kimia kayu randu (Ceiba pentandra Gaertn). Sains dan Terapan Kimia, 3(2), 144-153. Kasmani, J.E., Talaeipour, M., Hemmasi, A.H., Mahdavi, S., & Samarihad, A. (2012). Biochemimechanical pulping of hornbeam chips with Phanerochaete chrysosporium. BioResources, 7(1), 1016–1028. Kirk, T.K., Burgess, R., & Koning Jr., J. (1992). Use of fungi in pulping wood: An overview of biopulping research. Frontiers in Industrial Mycology SE - 7, 99–111. http://doi.org/ 10.1007/978-1-4684-7112-0_7. 238
Koyani, R.D., & Rajput, K.S. (2014). Light microscopic analysis of Tectona grandis L.f. wood inoculated with Irpex lacteus and Phanerochaete chrysosporium. European Journal of Wood and Wood Products, 72(2), 157–164. http://doi.org/10.1007/s00107-0130763-7. Mendonca, R., Ferraz, A., Kordsachia, O., & K o c h , G. ( 2 0 0 4 ) . C e l l u l a r U Vmicrospectrophotometric investigations on pine wood (Pinus taeda and Pinus elliottii) delignification during biopulping with Ceriporiopsis subvermispora (Pilat) Gilbn. & Ryv. and alkaline sulfite/anthraquinone treatment. Wood Science and Technology, 38(7), 567–575. http://doi.org/10.1007/s00226004-0252-6. Pertiwi, Y.A.B. (2014). Sifat keawetan alami, pencuacaan, dan efektifitas bahan pengawet boron pada kayu jati hutan rakyat. (Tesis Master). Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pujirahayu, N., & Marsoem, S.N. (2006). Efisiensi pemasakan bio-kraft pulp kayu sengon dengan jamur Phanerochaete chrysosporium. Agro Sains, 19(2), 201-209. Raphy, K.M.M., Anoop, E.V., Aruna, P., Sheena, V. V. , & A j a y g h o s h , V . ( 2 0 1 1 ) . Provenancevariation in wood chemical properties of Acacia mangium Willd. and Acacia auriculiformis Cunn., grown in a wet humid site in Thrissur district of Kerala, South India. Journal Indian Academy Wood Science, 8(2), 120-123. Samariha, A. (2011). Effect of altitude on growth rate and physical properties of hornbeam wood (case study in Mashelak forest of Iran). World Applied Sciences Journal, 13(9), 2057-2059. Scott, G.M, Akhtar, M., Swaney, R.E., & H o u t m a n , C . J. ( 2 0 0 2 ) . R e c e n t developments in biopulping technology at Madison. WI. Dalam Viikari & R. Lantto (Eds.). Biotechnology in the pulp and paper Industry, Elsevier Science B.V. (Hal. 61-71). Singh, D., & Chen, S. (2008). The white-rot fungus Phanerochaete chrysosporium: conditions for
Penggunaan Phanerochaete chrysosporium pada Pengolahan Pulp Bio-semi-mekanis Kayu Terentang (Yeni Aprianis, Denny Irawati, & Sri Nugroho Marsoem)
the production of lignin-degrading enzymes, Applied Microbiology and Biotechnolog y, 81, 399–417. http://doi.org/10.1007/s00253-0081706-9 Standar Nasional Indonesia (SNI). (1989). Cara uji kadar selulosa alfa, beta dan gamma dalam pulp kayu (SNI 14-0444-1989 ) . Badan Standardisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia (SNI). (2008). Pulp dan kayu - Cara uji kadar lignin (Metode Klason) (SNI 0492-2008). Badan Standardisasi Nasional. Talaeipour, M., Hemmasi, A.H., Kasmani, J. E., Mirshokraie, S. A., & Khademieslam, H. (2010). Effects of fungal treatment on
structural and chemical features of hornbeam chips. BioResources , 5 (1), 477–487. Widjaya, A., Adriyani, S., & Pratami, A.A. (2000). Study of biodelignification on sengon and pine using white rot fungus Phanerochaete chrysosporium for develoment of pulp and paper industries in Indonesia. Diakses dari http://www.digilib.its.ac.id., 12 November 2003. Yang, Q., Zhan, H., Wang, S., & Fu, S. (2008). Biomodification of Eucalyptus chemithermomechanical pulp. Frontiers of Chemical Engieering in China, 2(1), 28-33. http://doi.org/10.1007/s11705-0080007-2.
239
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 241-248 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
PENGARUH PENAMBAHAN NATRIUM BISULFIT DAN PENCUCIAN ETANOL BERTINGKAT TERHADAP KUALITAS TEPUNG PORANG (Amorphophallus muelleri Blume) (The Effect of Natrium Bisulfite Addition and Ethanol Dehydration to the Quality of Porang (Amorphophallus muelleri Blume) Flour) Gunawan Pasaribu, Totok K. Waluyo, Novitri Hastuti, Gustan Pari, & Emma Sahara Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor 16610 Telp. 0251-8633378, Fax. 0251-8699413 E-mail:
[email protected] Diterima 20 Januari 2016, Direvisi 17 Maret 2016, Disetujui 19 Agustus 2016
ABSTRACT Porang (Amorphophallus muelleri Blume) is an alternative food sources from forest. Porang grows under forest canopy and potentially developed to improve food security. Naturally harvested porang contains high oxalate and less glucomannan. This paper observes possible quality improvement of porang flour in term of whiteness and glucomannan content. Porang collected from Nganjuk, East Java was quality tested and mixed with natrium bisulfite then rinse in ethanol repetitively. Results showed that the addition of sodium bisulfite improved the whiteness of porang flour for about 6.59%. Ethanol dehydration proces was able to improve glucomannan content from 12.86% to 38.11%. Fe and Ca content of mixed porang flour showed no significant difference. Porang flour from Nganjuk contained of 1,6-AnhydroBeta-D-Glucopyranose; 1,2,3,4-Cyclopentanetetrol,(1.alpha., 2.beta., 3.beta., 4.alpha.); cyclopropyl carbinol; aceticacid(CAS)ethylicacid; and hexadecanoic acid. Keywords: Porang, whiteness, glucomannan, natrium bisulfite, ethanol ABSTRAK Porang (Amorphophallus muelleri Blume) merupakan sumber pangan alternatif yang berasal dari hutan. Porang tumbuh di bawah tegakan hutan dan memiliki prospek sebagai sumber pangan alternatif untuk ketahanan pangan. Porang yang dipanen secara alami mengandung oksalat tinggi dan glukomanan rendah. Tulisan ini mempelajari kemungkinan peningkatan kualitas porang terutama derajat keputihan dan kandungan glukomanan. Porang dikumpulkan dari Nganjuk, Jawa Timur dan diuji kualitasnya serta dicampur dengan natrium bisulfit dan direndam dalam ethanol. Hasil penelitian menunjukkan penambahan natrium bisulfit dapat meningkatkan derajat putih tepung porang sebesar 6,59%. Pencucian etanol secara bertingkat dapat meningkatkan kadar glukomanan dari 12,86 menjadi 38,11%. Kandungan Fe dan Ca tepung porang sebelum dan setelah perlakuan tidak jauh berbeda. Komponen kimia utama porang asal Nganjuk adalah 1,6-Anhydro-Beta-D Glucopyranose; 1,2,3,4-Cyclopentanetetrols,(1.alpha.,2.beta.,3.beta., 4.alpha.); cyclopropyl carbinol; asam asetat(CAS)asam ethylic; dan asam hexadecanoic. Kata kunci: Porang, derajat putih, glukomanan, natrium bisulfit, etanol
DOI : http://doi.org/10.20886/jphh.2016.34.3.241-248
241
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 241-248
I. PENDAHULUAN Ketahanan pangan menjadi perhatian yang utama, mengingat kontribusinya dalam mendukung pembangunan nasional. Ketahanan pangan akan mempengaruhi kualitas sumber daya manusia sebagai subjek pembangunan nasional. Produksi tanaman pangan utama seperti beras, jagung dan kedelai cenderung mengalami penurunan akibat perubahan iklim, bencana alam, serangan hama penyakit dan menurunnya luas dan produktivitas lahan pertanian. Di sisi lain luas lahan cenderung tetap bahkan semakin berkurang, sementara jumlah penduduk semakin meningkat. Upaya peningkatan produksi tanaman pangan secara intrinsik melalui pemuliaan tanaman dan pembudidayaan tanaman pangan organik belum mencapai jumlah produksi yang sepadan dengan budidaya tanaman pangan yang bersumber dari anorganik, meskipun dapat meningkatkan mutu bahan pangan dan cenderung ramah lingkungan (Purnomo, 2007). Di samping produksi tanaman pangan yang cenderung konstan, ketahanan pangan juga menghadapi mutu bahan pangan yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan kualitas bahan pangan impor. Di sisi lain, hutan juga menyediakan berbagai jenis bahan pangan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Jenis pangan tersebut antara lain aren, bambu, gadung, porang, jamur, nipah, sagu, suweg, dan terubus (Permenhut No. 35, 2007). Porang sudah cukup lama dikenal oleh masyarakat, terutama di wilayah Jawa Timur. Komoditi ini kurang berkembang dikarenakan dalam pemakaiannya memerlukan perlakuan khusus untuk menghilangkan kandungan oksalatnya. Dari segi budi daya, tanaman porang relatif mudah dikembangkan karena tidak mempersyaratkan kondisi tapak yang khusus. Dari segi pengolahan, masih banyak dialami kendala untuk mendapatkan kualitas yang sesuai dengan permintaan pasar. Porang yang memiliki kadar glukomanan yang tinggi baik untuk diet dan kesehatan (Puslitbang Porang Indonesia, 2013). Purwadaria et al. (2002) menyebutkan bahwa Indonesia mengekspor tepung dari umbi porang seharga 4,5 US$ per kg, namun mengimpor glukomanan murni seharga 250 US$ per kg. Perbedaan yang besar antara harga ekspor dan
242
impor ini dikarenakan kualitas glukomanan impor jauh lebih baik dilihat dari kandungan, viskositas dan warna tepungnya yang putih. Peningkatan kualitas tepung porang dapat dilakukan dengan pencucian bertingkat dan enzimatis untuk mendapatkan kadar glukomanan yang tinggi (Mulyono, 2010). Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas tepung porang yang diperoleh dari petani tradisional porang Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur dengan pencucian bertingkat menggunakan etanol dalam berbagai variasi konsentrasi dan waktu perendaman untuk meningkatkan kadar glukomanan. Etanol digunakan karena dapat menghilangkan kalsium oksalat dari umbi porang yang menyebabkan rasa gatal dan jika mengendap di dalam ginjal akan menimbulkan kerusakan hati (Puslitbang Porang Indonesia, 2013). Penambahan natrium bisulfit dengan kadar tertentu juga dianalisis untuk melihat peningkatan derajat putih (kecerahan) tepung porang. II. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah chip (keripik) porang asal Kabupaten Nganjuk yang diperoleh dari petani tradisional yang membudidayakan porang. Bahan kimia yang digunakan antara lain natrium bisulfit, etanol, air destilasi. Persiapan bahan baku dilakukan dengan penjemuran tepung porang di bawah sinar matahari dan dibersihkan dari kotoran. Alat penelitian yang digunakan antara lain bejana gelas, oven, timbangan analitik, pipet, tabung pyrex, GCMS, dan alat bantu analisis lainnya seperti alat pengukur tingkat kecerahan warna Precise color reader WR-10. B. Metode Penelitian 1. Karakterisasi tepung porang Karakterisasi tepung porang dilakukan sebelum dan sesudah (hasil terbaik) pemberian perlakuan. Karakterisasi tepung porang meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat/nilai kalori, kandungan Fe, dan Ca (SNI 7939, 2013).
Pengaruh Penambahan Natrium Bisulfit dan Pencucian Etanol Bertingkat terhadap Kualitas Tepung Porang (Amorphophallus muelleri Blume) (Gunawan Pasaribu, Totok K. Waluyo, Novitri Hastuti, Gustan Pari & Emma Sahara)
2. Perendaman dengan natrium bisulfit (Tahap I) Penambahan/perendaman natrium bisulfit dilakukan dengan variasi 0,5%, 0,75%, dan 1% dengan waktu 10 menit, 15 menit, dan 20 menit (Gambar 1). Setiap perlakuan dilakukan sebanyak tiga kali ulangan dan diuji derajat putihnya. Hasil uji derajat putih terbaik yang dilanjutkan untuk penelitian Tahap II (pencucian bertingkat menggunakan etanol). 3. Pencucian bertingkat menggunakan etanol (Tahap II) Tepung porang dengan derajat putih paling tinggi (pada perendaman dengan bisulfit/tahap I)
kemudian dicuci/direndam secara bertingkat dengan etanol 30%, 40%, dan 50 % (Gambar 2) dengan variasi waktu yang berbeda (2 jam, 3 jam, dan 4 jam). Tepung porang dengan kadar glukomanan tertinggi setelah perlakuan dibandingkan dengan kadar glukomanan tepung porang awal. Pengukuran kadar glukomanan mengikuti Standar Nasional Indonesia mengenai serpih porang (SNI 7939:2013). Kadar glukomanan tepung porang Nganjuk hasil penelitian dibandingkan dengan tepung komersial milik PT X di Surabaya, Jawa Timur dan standar dalam SNI 7939 (2013).
Gambar 1. Skema uji perendaman dengan natrium bisulfit Figure 1. The scheme of natrium bisulfite soaking Keripik Porang terpilih (Porang chips selected)
Pencucian dengan etanol 30 % selama 2 jam, 3 jam, 4 jam (Dipping with ethanol 30% in 1 hour, 2 hour, 3 hour)
Pencucian dengan etanol 40 % selama 2 jam, 3 jam, 4 jam (Dipping with ethanol 30% in 1 hour, 2 hour, 3 hour)
Pencucian dengan etanol 50 % selama 2 jam, 3 jam, 4 jam (Dipping with ethanol 30% in 1 hour, 2 hour, 3 hour)
Gambar 2. Skema pencucian bertingkat menggunakan ethanol Figure 2. Ethanol dehydration of porang flour 243
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 241-248
C. Analisis Data 1. Analisis Komponen Kimia Untuk mengetahui komponen kimia yang terkandung dalam tepung porang dilakukan analisis menggunakan alat Gas Chromatography Mass Spectrometry (GCMS) Pyrolisis. Persentase terbesar dari hasil analisis tersebut ditabulasi sebagai komponen kimia utama tepung porang asal Nganjuk. 2. Analisis Data Penelitian Tahap I dianalisis dengan Uji perbandingan rata-rata dan Tahap II menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan jumlah ulangan tiga kali. Banyaknya penambahan larutan natrium bisulfit dan konsentrasi etanol dianalisis hasil mutu tepungnya dan dibandingkan dengan kondisi tepung awal. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Tepung Porang Karakterisasi tepung porang asal Nganjuk dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah terjadi perbedaan karakteristik tepung porang setelah melalui perendaman dengan natrium bisulfit dan pencucian bertingkat menggunakan etanol. Hasil karakterisasi tepung porang seperti pada Tabel 1. Pada Tabel 1 diketahui bahwa terjadi perubahan karakteristik tepung porang sebelum dan sesudah perlakuan. Setelah melewati
perendaman dengan natrium bisulfit dan pencucian bertingkat menggunakan etanol, tepung porang mengalami peningkatan kadar air, kadar lemak dan kadar karbohidrat, dan penurunan kadar abu dan kadar protein. Peningkatan kadar karbohidrat pada tepung porang ini bisa diakibatkan penambahan kadar air pada saat pencucian mengunakan etanol. Air yang ada pada larutan etanol menyebabkan ekstraksi karbohidrat yang kemudian teranalisis pasca pencucian. Air dapat melarutkan amilosa yaitu fraksi pati yang diketahui merupakan larut air (Harkin & Rowe, 1971; Whistler & Paschall, 1984). Sementara itu, senyawa lemak diketahui akan mudah terekstrak oleh pelarut non polar. Etanol yang memiliki rantai karbon non polar dan polar dikenal sebagai pelarut semi polar (Harkin & Rowe, 1971). Penambahan etanol pada perlakuan diduga sebagai penyebab bertambahnya kadar lemak pada tepung porang. Peningkatan kadar air pada tepung setelah perlakuan diakibatkan penambahan air pada larutan etanol saat pencucian. Kadar lemak tepung porang dari Nganjuk sebesar 3,44%. Kadar ini lebih rendah dibandingkan dengan kadar lemak pada tepung jagung sebesar 3,99-5,46%. Namun demikian kadar protein dari tepung jagung lebih tinggi dibandingkan tepung porang (Badan Litbang Pertanian, 2015). Kadar Fe dan Ca mengalami penurunan setelah perlakuan. Hal ini dikarenakan penambahan etanol pada pencucian bertingkat yang mengandung air ikut mengekstrak mineral
Tabel 1. Karakterisasi tepung porang Table 1. Characterization of porang flour No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 244
Parameter (satuan) (Parameter) (unit) Kadar air (moisture content ,%) Kadar abu (ash content, %) Kadar protein (protein content, %) Kadar lemak (lipid content, %) Kadar karbohidrat (carbohydrate content, %) Kadar Fe (Fe, %) Kadar Ca (Ca, %)
Sebelum perlakuan (Before treatments)
Sesudah perlakuan (After treatments)
SNI 7939:2013 (Kelas mutu I/ First grade)
9,56 5,13 9,96 3,44 71,83
10,59 3,37 8,24 3,77 73,91
≤ 13 % ≤4% -
0,04 1,12
0,03 0,85
-
Pengaruh Penambahan Natrium Bisulfit dan Pencucian Etanol Bertingkat terhadap Kualitas Tepung Porang (Amorphophallus muelleri Blume) (Gunawan Pasaribu, Totok K. Waluyo, Novitri Hastuti, Gustan Pari & Emma Sahara)
yang terkandung di dalam tepung porang. Penurunan kandungan Fe dan Ca tepung porang sebelum dan setelah perlakuan tidak jauh berbeda, sehingga dapat dijelaskan bahwa proses kimiawi yang dilakukan tidak akan mengurangi kadar zat besi dan kalsium dari tepung porang. Fe merupakan zat besi yang penting bagi tubuh manusia, kekurangan zat ini akan menyebabkan potensi anemia. Mineral Ca (kalsium) juga penting bagi pertumbuhan dan kesehatan gigi dan tulang. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 913/Menkes/SK/VII/2002 tentang angka kecukupan gizi bagi bangsa Indonesia menyebutkan bahwa konsumsi zat besi untuk usia 20-45 tahun berkisar 13-26 mg per hari dan ditambah kurang lebih sebanyak 2 mg untuk ibu hamil dan menyusui. Untuk Ca sebanyak 500 mg per hari dengan tambahan sebanyak 400 mg bagi ibu hamil dan menyusui (Kep Menkes, 2002). Kandungan Fe dan Ca pada tepung porang yang lebih tinggi dibandingkan dengan tepung terigu, memungkinkan konsumsi tepung porang dapat menjadi alternatif pemenuhan kebutuhan zat besi dan kalsium (Depkes, 1996 dalam Siregar, 2011). B. Perendaman Natrium Bisulfit Untuk mendapatkan warna tepung porang yang lebih putih/cerah dilakukan perendaman dengan natrium bisulfit dengan variasi
konsentrasi dan waktu perendaman. Hasil pengukuran derajat putih (kecerahan) seperti pada Tabel 2. Pada Tabel 2 diketahui bahwa derajat putih tepung porang sebelum perlakuan sebesar 63,69% dapat meningkat sampai 67,89% pada konsentrasi 1% selama 10 menit. Penambahan natrium bisulfit memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) pada peningkatan derajat putih tepung porang asal Nganjuk. Hasil analisis keragaman seperti disajikan pada Tabel 3 menunjukan bahwa lama perendaman tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai derajat putih. Perendaman dengan natrium bisulfit dapat mencegah reaksi pencokelatan pada proses pengolahan tepung porang. Menurut Prayudi (1988), pencegahan reaksi pencokelatan ini ialah dengan mencegah aktivitas fenolase itu sendiri. Dua inhibitor yang banyak digunakan adalah sulfit dan vitamin C. Natrium bisulfit dapat berikatan dengan Cu (kofaktor yang mengefektifkan enzim) sehingga proses kerja enzim dapat terhambat. Penambahan NaHSO3 yang semakin meningkat akan menghambat reaksi pencokelatan lebih baik sehingga derajat putih dapat meningkat. Natrium bisulfit dapat menjadi inhibitor pencokelatan pada tepung yang tersusun dari monomer sakarida, karena natrium bisulfit menurunkan fasa α amilosa yang diduga kuat menjadi penyebab browning pada tepung (Husniati & Adi, 2010). Tepung porang hasil perendaman dengan natrium
Tabel 2. Uji derajat putih (tingkat kecerahan) tepung porang asal Nganjuk Table 2. Whiteness (brightness) test of porang flour from Nganjuk Perlakuan (Treatments) Natrium Bisulfit (Natrium bisulfite, %)
Waktu (menit) (Time, minutes)
Derajat putih (Whiteness, %)
Kontrol
-
63,69
0,5
10 15 20 10 15 20 10 15 20
63,97 65,15 65,01 66,29 62,93 65,15 67,89 66,33 66,32
0,75 1,0
Keterangan (Remarks) : Rataan dari 3 ulangan (Average of three replications)
245
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 241-248
Tabel 3. Analisis ragam penambahan natrium bisulfit pada porang Nganjuk Table 3. Analysis of variance of natrium bisulfite addition to porang flour from Nganjuk Sumber keragaman (Source) Perlakuan (Model) Galat (Error) Total (Total)
DB (DF) 9 20 29
JK (Sum of Square)
JKT (Mean Square)
F (F calculated )
P (Probability)
6,621 0,664
9,97
0,000
59,592 13,280 72,872
Keterangan (Remarks): DB=derajat bebas; DF= degree of freedom; JK=jumlah kuadrat; JKT=jumlah kuadrat total; F= F hitung; P=probabilitas
bisulfit 1% selama 10 menit dilanjutkan untuk pencucian bertingkat menggunakan etanol. Derajat putih/kecerahan merupakan salah satu parameter kualitas tepung porang. Masalah utama dalam pengolahan makanan kering dari bahan yang mengandung karbohidrat tinggi adalah terjadinya reaksi pencokelatan (browning). Reaksi pencokelatan terjadi pada saat pengeringan dan mengakibatkan munculnya warna cokelat. Pada pengeringan tepung jagung, warna putih pati jagung dapat berubah menjadi cokelat. Menurut Desrosier (1988), pencokelatan non enzimatik terjadi pada saat bahan mendapat perlakuan panas dalam keadaan lembap.
C. Pencucian Bertingkat Menggunakan Etanol Tepung porang dengan derajat putih (tingkat kecerahan) terbaik pada tahap 1 dilanjutkan untuk pencucian bertingkat menggunakan etanol dengan variasi konsentrasi dan waktu pencucian. Hasil lengkap seperti pada Tabel 4. Hasil penelitian pencucian bertingkat pada tepung porang asal Nganjuk dapat meningkatkan kadar glukomanan dari 12,86% menjadi 38,11%. Kadar glukomanan hasil pencucian bertingkat lebih rendah dari pencucian bertingkat yang dilakukan oleh Mulyono (2010) namun penggunaan etanol dengan konsentrasi yang lebih kecil. Hasil
Tabel 4. Hasil pencucian bertingkat tepung porang asal Nganjuk menggunakan etanol Table 4. Ethanol dehydration results of porang flour from Nganjuk No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Perlakuan (Treatments) Kontrol Etanol 30%, 2 jam Etanol 30%, 3 jam Etanol 30%, 4 jam Etanol 30%, 4 jam; Etanol 40%, 2jam Etanol 30%, 4 jam; Etanol 40%, 3jam Etanol 30%, 4 jam; Etanol 40%, 4jam Etanol 30%, 4 jam; Etanol 40%, 2jam; Etanol 50%, 2jam Etanol 30%, 4 jam; Etanol 40%, 2jam; Etanol 50%, 3jam Etanol 30%, 4 jam; Etanol 40%, 2jam; Etanol 50%, 4jam Tepung komersial PT. X, Jawa Timur Standar glukomanan SNI 7939:2013 (kelas mutu I) Standar glukomanan SNI 7939:2013 (kelas mutu II) Standar glukomanan SNI 7939:2013 (kelas mutu III)
Keterangan (Remarks) : Rerata dari 3 ulangan (Average of three replications)
246
Kadar Glukomanan (%) (Glucomannan content) 12,86 13,45 27,02 38,11 8,68 4,26 4,39 7,92 8,90 15,70 23,03 ≥ 25
20-25 15-20
Pengaruh Penambahan Natrium Bisulfit dan Pencucian Etanol Bertingkat terhadap Kualitas Tepung Porang (Amorphophallus muelleri Blume) (Gunawan Pasaribu, Totok K. Waluyo, Novitri Hastuti, Gustan Pari & Emma Sahara)
Tabel 5. Komponen kimia tepung porang Table 5. Chemical components of porang flour Komponen (Components)
No. 1. 2. 3. 4. 5.
1,6-ANHYDRO-BETA-D-GLUCOPYRANOSE 1,2,3,4-Cyclopentanetetrol, (1.alpha.,2.beta.,3.beta.,4.alpha.) Cyclopropyl carbinol Acetic acid (CAS) Ethylic acid Hexadecanoic acid
penelitian Mulyono (2010), melakukan pencucian bertingkat dengan etanol dengan proses pengadukan kontinyu dapat meningkatkan kadar glukomanan. Pada penelitian ini tidak dilakukan proses pengadukan kontinyu untuk melihat efektivitas dan efisiensi proses. Pencucian meng gunakan etanol dilakukan untuk menghilangkan kadar kalsium oksalat yang menyebabkan gatal serta untuk rekristalisasi glukomanan pada tepung porang (Pusat Litbang Porang, 2013). Di samping itu, dugaan rendahnya kadar glukomanan pada tepung porang asal Nganjuk ini diakibatkan oleh proses esktraksi yang kurang sempurna oleh etanol. Etanol sebagai koagulan belum menggumpalkan glukomanan secara sempurna, sehingga kadar glukomanan yang teranalisis menjadi lebih kecil (Nindita, Amalia, & Hargono, 2012). Ekstraksi glukomanan juga dipengaruhi oleh kondisi pH dan temperatur yang akan mempengaruhi dispersi glukomanan di dalam air (Jian, Chai-Siu, & Yong-Wu, 2015). Pada penelitian ini faktor pH dan temperatur belum diperhatikan saat proses pencucian menggunakan etanol. Meskipun masih tergolong rendah, namun teknik yang dilakukan penelitian ini telah mampu meningkatkan kadar glukomanan tepung porang awal dan hasilnya lebih tinggi dari tepung porang komersil dari PT. X, Surabaya, Jawa Timur. Hal lain yang mempeng ar uhi kadar glukomanan adalah tingkat kehalusan tepung yang dibuat. Pada penelitian ini tepung porang hanya dapat dihaluskan sampai ukuran 60-80 mesh dengan menggunakan blender. D. Analisis Komponen Kimia Hasil analisis komponen kimia tepung porang seperti pada Tabel 5.
% 15,80 14,02 9,11 8,93 0,88
Komponen kimia utama porang asal Nganjuk merupakan turunan kelompok karbohidrat dan lemak. Asam dekanoat merupakan salah satu jenis asam lemak. Senyawa ini diketahui berpotensi sebagai media pengontrol kadar gula darah pada penderita diabetes. Gu dan Silverman (2011) meneliti sintesis asam amino dan decanoic acid sebagai agen anti kanker. IV. KESIMPULAN Penambahan natrium bisulfit pada tepung porang dapat meningkatkan derajat putih tepung porang Nganjuk 6,59%. Pencucian bertingkat dengan etanol pada tepung porang asal Nganjuk dapat meningkatkan kadar glukomanan dari 12,86 menjadi 38,11%. Kandungan glukomanan tepung porang dari Nganjuk tidak berbeda dengan kandungan glukomanan dari yang dihasilkan dari pabrik pengolahan tepung porang PT. X, Surabaya, Jawa Timur. Proses pencucian dengan etanol tidak mengurangi kadar zat besi dan kalsium dari tepung porang. Komponen kimia utama porang asal Nganjuk adalah 1,6-Anhydro-Beta-D-Glucopyranose; 1,2,3,4cyclopentanetetrol(1.alpha.,2.beta.,3.beta.,4.alpha.); cyclopropyl carbinol; aceticacid(CAS)ethylicacid dan hexadecanoic acid. DAFTAR PUSTAKA Badan Litbang Pertanian. (2015). Technology of instant corn flour. Leaflet. Bogor: Badan Litbang Pertanian. Desrorier, N.W. (1988). Teknologi pengawetan pangan. Cetakan I (terj.: Harjo, M.M.). Jakarta: UI Press. 247
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 241-248
Gu, W. & Silverman, R.B. (2011). Synthesis of (S)2-Boc-Amino-8-(R)-(tert butyldimethylsilanyloxy) decanoic acid, a precursor to the unusual amino acid residue of the anticancer agent microsporin B. Tetrahedron Letters 52, 5438-5440. Harkin, J.M & Rowe, J.W. (1971). Bark and its possible uses. Research Note. Forest Products Laboratory, Wisconsin: USDA. 2-21. Husniati & Adi, W.A. (2010). Analisis fasa dan struktur mikro pada tepung tapioka dengan penambahan natrium metabisulfit. Jurnal Sains Materi Indonesia, 13,(2), 83-89. Jian, W., Chai-Siu, K., & Yong Wu, J. (2015). Effects of pH and temperature on colloidal properties and molecular characteristic of konjac glucomannan. Carbohydrate Polymers, 134, 285-292. Keputusan Menteri Kesehatan. (2002). Angka kecukupan gizi bagi bangsa Indonesia. (SK Kemenkes No. 913/Menkes/SK/VII/ 2002) Mulyono, E. (2010). Peningkatan mutu tepung iles-iles ( Amor phophallus oncophyllus ) Peningkatan mutu tepung iles-iles (Amorp. oncophyllus sebagai bahan pengelastis mi dan pengental melalui teknologi pencucian bertingkat dan enzimatis kapasitas produksi 250 k umbi/hari. Laporan Akhir Penelitian. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Nindita, I., Amalia, N., & Hargono. (2012). Ekstraksi glukomanan dari tanaman ilesiles (Amorphopalus oncophyllus) dengan pelarut air dan penjernih karbon aktif. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri, 1,(1), 59-63.
248
Peraturan Menteri Kehutanan. (2007). Hasil hutan bukan kayu. (Permenhut No. 35, 2007). Prayudi, R. J. (1988). Pengaruh perlakuan perendaman NaHSO3 dan vitamin C dalam mencegah reaksi pencoklatan selama ekstraksi pati sagu (Metroxylon sp.). (Skripsi Sarjana). Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Purnomo, D. (2007). Kebutuhan pangan, ketersediaan lahan pertanian dan potensi tanaman. Pidato pengukuhan guru besar ekologi tanaman Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. 24 November 2007. Purwadaria, H.K., Syarif, A.M., Bukhori, Widyotomo, S., Arifin, M.A., & Sulyaden. (2002). Pengembangan proses fraksinasi untuk meningkatkan mutu tepung iles-iles (konjac flour) untuk ekspor. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pusatlitbang Porang Indonesia. (2013). Modul diseminasi budidaya dan pengembangan porang (Amorphopallus muelleri Blume) sebagai salah satu potensi bahan baku lokal. Malang: Universitas Brawijaya. Siregar, R.J.H. (2011). Pengaruh perbandingan tepung terigu pada roti. Diakses dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123 456789/22564/4/Chapter%20II.pdf. Standardisasi Nasional Indonesia. (SNI). (2013). Serpih Porang. (SNI 7939-2013. Badan Standarisasi Nasional . Whistler, R.L. BeMiller J.N. & Paschall, E.F. (1984). Starch: Chemistry and technology. Toronto. Tokyo: Academic Press. Inc.
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 249-260 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
STRUKTUR ANATOMI ENAM JENIS KAYU ASAL PAPUA (Anatomical Properties of Six Wood Species from Papua) Andianto & R. Esa Pangersa Gusti Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor 16610 Telp./Fax: 0251-8633413, 8633378 E-mail:
[email protected] Diterima 16 Desember 2015, Direvisi 15 Juni 2016, Disetujui 30 Agustus 2016
ABSTRACT Anatomical properties is necessary for wood species identification. This paper observes anatomical properties of six wood species originated from Papua. Wood species studied include: ketapang (Terminalia complanata K. Schum.); pala hutan (Gymnacranthera paniculata (A.DC.) Warb.); bipa (Pterygota horsfieldii (R.Br.) Kosterm).; kelumpang (Sterculia shillinglawii F. Muell.); manggis/kandis (Pentaphalangium parviflorum); and lancat/lebani (Mastixiodendron pachyclados (K. Schum) Melch.). Anatomical properties were observed according to IAWA (International Association of Wood Anatomists) checklist. The anatomical main properties observed in ketapang wood were vestured pits, prismatic crystals in non-chambered axial parenchyma cells, and druses. Pala hutan main anatomical properties were the presence of tannin tubes and oil cells which were associated with axial parenchyma. Prismatic crystals in axial parenchyma cells, and rays of two distinct sizes were two main anatomical characteristics of bipa and kelumpang wood. Prismatic crystals in chambered axial parenchyma cells was one of characteristics of manggis wood. Vestured pits and scanty paratracheal parenchyma were two main characteristics of lancat wood. For identification purposes, bipa wood could be distinguished by banded parenchyma; polygonal alternate pits; and prismatic crystals in nonchambered axial parenchyma cells. Keywords: Wood anatomical structure, ketapang, pala hutan, bipa, kelumpang, manggis, lancat ABSTRAK Struktur anatomi kayu merupakan salah satu aspek penting dalam identifikasi jenis kayu. Tulisan ini mempelajari struktur anatomi enam jenis kayu asal Papua yaitu ketapang (Terminalia complanata K. Schum.); pala hutan (Gymnacranthera paniculata (A.DC.) Warb.); bipa (Pterygota horsfieldii (R.Br.) Kosterm.); kelumpang (Sterculia shillinglawii F. Muell.); manggis/kandis (Pentaphalangium parviflorum); dan lancat/ lebani (Mastixiodendron pachyclados (K. Schum) Melch.). Struktur anatomi kayu dipertelakan berdasarkan ciri pengamatan anatomi kayu yang telah ditetapkan oleh IAWA (International Association of Wood Anatomists). Ciri utama kayu ketapang adalah adanya noktah antar pembuluh berumbai, kristal prismatik dalam sel parenkim aksial tak berbilik, serta keberadaan druse. Pada kayu pala hutan, ciri utama yang dijumpai meliputi adanya saluran getah atau tanin serta keberadaan sel minyak yang berasosiasi dengan parenkim aksial. Kristal prismatik dalam sel parenkim aksial, serta jari-jari dalam dua ukuran yang jelas menjadi ciri utama kayu bipa dan kelumpang. Kayu bipa dapat dibedakan melalui keberadaan parenkim pita, noktah antar pembuluh selang-seling bersegi banyak, dan kristal prismatik pada parenkim aksial tak berbilik. Kristal prismatik pada parenkim aksial berbilik menjadi salah satu ciri yang juga ditemukan pada kayu manggis. Adanya noktah antar pembuluh berumbai dan bentuk parenkim paratrakea jarang, menjadi ciri utama kayu lancat. Kata kunci: Struktur anatomi, ketapang, pala hutan, bipa, kelumpang, manggis, lancat
DOI : http://doi.org/10.20886/jphh.2016.34.3.249-260
249
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 249-260
I. PENDAHULUAN Kebutuhan bahan baku industri perkayuan di Indonesia semakin meningkat, hal ini dipertegas oleh Negara (2015) yang menyatakan bahwa konsumsi kayu kebutuhan industri mencapai 866 juta m3, namun pasokan kayu yang dihasilkan dari konsesi berizin hanya 647 juta m3. Semakin sulitnya memperoleh jenis-jenis kayu hutan alam dengan kualitas baik dapat mengakibatkan bergesernya perilaku masyarakat/industri akan permintaan kayu yang cenderung tidak mempertimbangkan segi kualitas. Dewasa ini setiap jenis kayu akan selalu diterima demi memenuhi kebutuhan akan bahan baku. Pada sisi lain, perkembangan teknologi memungkinkan pemanfaatan semua jenis kayu sesuai tujuan pemakaian. Hal ini dapat memicu gencarnya exploitasi sumber bahan baku kayu dari semua jenis yang ada di hutan alam. Salah satu daerah yang memiliki kawasan hutan terluas di Indonesia adalah Papua. Menurut Bapesdalh Papua (2015), luas kawasan hutan Papua berdasarkan Keputusan Menhutbun Nomor 891/Kpts-II/1999 adalah 42,224 juta Ha. Ketersediaan bahan baku kayu di wilayah ini diperkirakan dapat menjamin pasokan kebutuhan kayu skala nasional, dimana hutan alam Papua memiliki sekitar 70 jenis kayu perdagangan (Mambai, 2015). Ketersediaan data ilmiah mengenai sifat jenisjenis kayu yang berasal dari hutan alam di Indonesia belum sepenuhnya tuntas. Data ilmiah terkait sifat anatomi kayu yang ada saat ini sebagian besar merupakan hasil penelitian terhadap jenis-jenis kayu komersial. Sifat dasar berupa struktur dan ciri anatomi sangat diperlukan guna menghindari kekeliruan dalam penentuan pilihan jenis kayu untuk tujuan pemanfaatannya, terutama untuk jenis-jenis kayu non komersial yang belum banyak dikenal. Tabel pengelompokan jenis kayu sebagai dasar pengenaan iuran kehutanan (SK Kemenhut No. 163/Kpts-II/2003) memasukan jenis-jenis kayu perdagangan dalam empat kelompok, yaitu komersial satu meranti/meranti, komersial dua, indah satu dan indah dua. Sedangkan sebagian besar jenis kayu yang bukan termasuk kelompok jenis kayu perdagangan dimasukkan sebagai kelompok rimba campuran. Hal demikian memungkinkan jenis-jenis yang kurang dikenal 250
maupun yang sangat kurang dikenal (Rulliaty. 2014) dianggap sama kualitasnya dengan jenisjenis kayu yang termasuk dalam kelompok rimba campuran. Kekurangan data ilmiah berkaitan dengan ciri-ciri anatomi jenis-jenis kayu kurang dikenal maupun sangat kurang dikenal dapat menyebabkan informasi dan persepsi penggunaan kayu yang salah di masyarakat. Pemahaman ciri anatomi kayu berupa struktur sel-sel penyusunnya sangat penting dalam pemilahan jenis kayu. Dengan demikian pemilihan jenis kayu dapat terhindar dari kekeliruan. Tulisan ini mempelajari struktur anatomi enam jenis kayu yang berasal dari Papua. II. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat Bahan penelitian berupa batang kayu yang di ambil dari diameter pohon setinggi dada dari permukaan tanah (DBH). Sampel kayu diambil dari bagian teras kayu jenis Terminalia complanata K. Schum. (Combretaceae), Gymnacranthera paniculata (A.DC) Warb. (Myristicaceae), Pterygota horsfieldii (R.Br.) Kosterm. (Sterculiaceae), Sterculia shillinglawii F. Muell. (Sterculiaceae), Pentaphalangium parviflorum (Guttiferae) dan Mastixiodendron pachyclados (K. Schum.) Melch. (Rubiaceae) yang berasal dari hutan alam di Kabupaten Manokwari, Papua Barat. Pemilihan jenis pohon di lapangan dilakukan berdasarkan kemampuan tenaga ahli pengenalan jenis serta pengecekan kembali sampel herbarium di Laboratorium Puslitbang Hutan, Bogor. B. Metode Penelitian Pengamatan makroskopis anatomi kayu dilakukan berdasarkan ciri umum yang mudah diamati seperti warna, tekstur, kekerasan, dan arah serat. Pengamatan mikroskopis dilakukan pada bentuk dan susunan sel-sel penyusun kayu seperti antara lain susunan pembuluh, tipe sel parenkim, ada tidaknya saluran interseluler dan kandungan inklusi mineral. Pembuatan preparat sayat dan maserasi untuk pengamatan struktur anatomi dan pengukuran dimensi serat dilakukan dengan metode standar yang mengacu kepada Sass (1961) dan Forest Product Laboratory (FPL) (Rulliaty, 2014). Rata-rata panjang, diameter dan tebal
Struktur Anatomi Enam Jenis Kayu Asal Papua (Andianto & R. Esa Pangersa Gusti)
dinding serat dihitung dari 25 kali pengukuran, sedangkan pengamatan ciri anatomi kayu mengacu pada daftar pengamatan yang telah ditetapkan oleh IAWA Committee (Wheeler, Baas, & Gasson, 1989). III. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertelaan struktur anatomi keenam jenis kayu disajikan dalam deskripsi ciri umum dan ciri anatomi, dilengkapi dengan gambar penampang lintang makroskopis, penampang lintang, radial, dan tangensial secara makroskopis. A. Ketapang (Terminalia complanata) Combretaceae Ciri umum kayu ketapang (T. complanata) berwarna coklat muda kekuningan; perbedaan warna antara gubal dan terasnya tidak jelas; tekstur agak kasar; kayu agak keras; permukaan agak mengkilap; dan arah serat lurus. Lingkar tumbuh
jelas ditandai dengan adanya lapisan serat yang relatif lebih padat. Ciri anatomi diantaranya berupa lingkar tumbuh yang jelas; adanya parenkim tipe aliform; vaskisentrik dan konfluen; inklusi mineral berupa kristal prismatik dalam sel parenkim aksial tak berbilik dan terdapat druse; serta terdapat noktah berumbai. Struktur anatomi T. complanata disajikan pada Gambar 1. Adanya kristal prismatik yang bukan terdapat di dalam sel parenkim melainkan terdapat dalam sel jari jari pada kayu Terminalia spp. dilaporkan oleh Singh, Sharma, dan Sharma (2013). Adanya bentuk parenkim yang berbeda pada jenis ini disampaikan oleh Ruwanpathirana (2014), yaitu bentuk parenkim pita lebih dari 3 sel pada kayu T. bellerica. Sudo (1995b) mendeskripsikan anatomi kayu T. kaernbachii diantaranya memiliki lingkar tumbuh jelas yang ditandai dengan parenkim pita secara periodik; parenkim vaskisentrik hingga seperti sayap, konfluen pendek dan terkadang cenderung pita konfluen panjang. Dikatakan pula terdapat druse dan kristal prismatik dalam parenkim aksial pada T. oreadum.
200 µm
200 µm
1a
b 2
200 µm
c
200 µm
d
Gambar 1. Terminalia complanata K. Schum. Figure 1. Terminalia complanata K. Schum. a. Penampang lintang (Transverse surface, scale 200 µm) b. Penampang lintang (Transverse surface, scale 200 µm) c. Penampang radial (Radial surface, scale 200 µm) d. Penampang tangensial (Tangential surface, scale 200 µm) 251
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 249-260
B. Pala hutan (Gymnacranthera paniculata) Myristicaceae Kayu pala hutan (G. paniculata) yang merupakan anggota famili Myristicaceae ini memiliki ciri umum berupa warna merah kecoklatan; perbedaan warna gubal dengan terasnya tidak jelas; tekstur agak kasar; kayu agak keras; permukaan agak mengkilap; dan arah serat agak berpadu dan bergelombang. Ciri anatomi kayu diantaranya berupa lingkar tumbuh tidak jelas; bidang perforasi bentuk tangga; noktah antar pembuluh berhadapan; parenkim jarang, vaskisentrik, dan terdapat parenkim pita marjinal; ditemui sel minyak bergabung dengan jari-jari serta terdapat saluran getah atau tanin. Struktur anatomi G. paniculata disajikan pada Gambar 2. Keberadaan saluran tanin merupakan ciri khas yang ditemui pada anggota famili Myristicaceae, dan beberapa
jenis anggotanya memiliki sel minyak dan sel muscilage yang terdapat di sekitar parenkim axial dan jari-jari (Wilde, 2000). Selanjutnya dikatakan bahwa jenis kayu anggota famili ini juga memiliki bidang perforasi sederhana dan bentuk tangga, namun pada beberapa jenis, salah satu bidang perforasi ada yang lebih dominan serta noktah antar pembuluh bervariasi mulai dari bentuk tangga hingga berhadapan dan selang-seling. Lingkar tumbuh tidak jelas yang terdapat pada jenis kayu ini juga disinggung oleh Aglua (1995). Selanjutnya dikatakan juga bahwa jenis ini memiliki bidang perforasi bentuk tangga hingga jala; noktah antar pembuluh berhadapan hingga selang-seling; parenkim jarang hingga vaskisentrik dan pita tangensial lebar 2-6 lapis sel; serta terdapat saluran minyak dan saluran tanin dalam sel jari-jari.
200 µm
200 µm
a
b
200 µm 200 µm
c
d
Gambar 2. Gymnacranthera paniculata (A.DC) Warb. Figure 2. Gymnacranthera paniculata (A.DC) Warb. a. Penampang lintang (Transverse surface, scale 200 µm) b. Penampang lintang (Transverse surface, scale 200 µm) c. Penampang radial (Radial surface, scale 200 µm) d. Penampang tangensial (Tangential surface, scale 200 µm)
252
Struktur Anatomi Enam Jenis Kayu Asal Papua (Andianto & R. Esa Pangersa Gusti)
C. Bipa (Pterygota horsfieldii) - Sterculiaceae Jenis yang termasuk ke dalam famili Sterculiaceae adalah Bipa (P. horsfieldii). Kayu bipa memiliki warna coklat muda kekuningan; perbedaan warna antara gubal dan terasnya tidak jelas; tekstur agak halus; kayu agak keras; permukaan agak mengkilap; arah serat agak lurus dan bergelombang. Ciri anatomi kayu bipa di antaranya berupa batas lingkar tumbuh tidak jelas; bidang perforasi sederhana; noktah antar pembuluh selang-seling bersegi banyak; parenkim vaskisentrik dan konfluen serta parenkim pita lebih dari 3 lapis sel; serta lebar jari-jari 2 ukuran. Struktur anatomi P. horsfieldii disajikan pada Gambar 3. Ciri anatomi demikian juga disampaikan oleh Phengklai (1998) yang menyatakan bahwa Pterygota memiliki ciri anatomi berupa lingkar tumbuh tidak jelas;
terdapat parenkim jarang, vaskisentrik, dan pita panjang atau terputus; lebar jari-jari sempit hingga sedang dan jarang yang lebar. D. Kelumpang (Sterculia shillinglawi) Sterculiaceae Kayu kelumpang juga termasuk ke dalam anggota famili Sterculiaceae. Kayu kelumpang berwarna coklat kekuningan dimana beda warna antara gubal dan terasnya tidak jelas; tekstur kasar; kayu agak lunak; permukaan agak kusam dan arah serat lurus. Ciri anatomi jenis kayu kelumpang antara lain berupa bidang perforasi sederhana; noktah antar pembuluh selang-seling; parenkim aliform, vaskisentrik, konfluen dan tersebar dalam kelompok; kristal prismatik dalam sel tegak dan dalam sel parenkim aksial berbilik. Struktur anatomi S. shillinglawi disajikan
200 µ
200 µm
a
b
200 µm
c
a. b. c. d.
200 µm
d
Gambar 3. Pterygota horsfieldii (R.Br.) Kosterm. Figure 3. Pterygota horsfieldii (R.Br.) Kosterm. Penampang lintang (Transverse surface, scale 200 µm) Penampang lintang (Transverse surface, scale 200 µm) Penampang radial (Radial surface, scale 200 µm) Penampang tangensial (Tangential surface, scale 200 µm) 253
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 249-260
200 µm
200 µm
a
b
200 µm 200 µm
c
d
Gambar 4. Sterculia shillinglawii F. Muell. Figure 4. Sterculia shillinglawii F. Muell. a. Penampang lintang (Transverse surface, scale 200 µm) b. Penampang lintang (Transverse surface, scale 200 µm) c. Penampang radial (Radial surface, scale 200 µm) d. Penampang tangensial (Tangential surface, scale 200 µm)
pada Gambar 4). Keberadaan kristal prismatik yang dijumpai di dalam sel parenkim aksial pada kayu kelumpang dipertegas oleh Junior dan Uetimane (2015) dalam penelitiannya terhadap jenis kayu yang sama. Selain itu disebutkan pula adanya parenkim konfluen, sayap hingga aliform, dan parenkim pita dengan lebar lebih dari tiga lapis sel. Terhadap genus yang sama (S. appendiculata), Junior dan Uetimane (2015) juga menemukan ciri anatomi berupa parenkim pita dengan lebar 3-20 sel. Hasil pertelaan Sudo (1995a) terhadap genus yang sama yaitu S. acuta, S. floribunda, dan S. foxworthyi ditemukan ciri anatomi berupa bidang perforasi sederhana; noktah antar pembuluh selang-seling; parenkim pita baik marjinal maupun pita tidak beraturan dengan lebar umumnya 2-4 sel; dan kristal prismatik sering dijumpai dalam parenkim aksial berbilik. 254
E. Manggis (Pentaphalangium parviflorum) Guttiferae Kayu manggis (P. parviflorum) yang merupakan anggota famili Guttiferae memiliki warna kuningcoklat tua dengan perbedaan warna antara gubal dan terasnya tidak jelas; tekstur agak kasar; kayu agak keras; permukaan agak mengkilap; dan arah serat agak lurus. Ciri anatomi diantaranya batas lingkar tumbuh yang tidak jelas; noktah antar pembuluh selang-seling bersegi banyak; parenkim konfluen; serta adanya kristal prismatik yang dijumpai dalam sel baring dan parenkim aksial berbilik merupakan beberapa ciri anatomi yang terdapat pada jenis kayu manggis. Struktur anatomi P. parviflorum disajikan pada Gambar 5. Metcalfe dan Chalk (1950) serta Metcalfe (1983) melaporkan adanya kandungan kristal di dalam sel parenkim aksial berbilik pada beberapa genus anggota famili Guttiferae.
Struktur Anatomi Enam Jenis Kayu Asal Papua (Andianto & R. Esa Pangersa Gusti)
200 µm
a
200 µm
b
200 µm 200 µm
c
a. b. c. d.
d
Gambar 5. Pentaphalangium parviflorum Figure 5. Pentaphalangium parviflorum Penampang lintang (Transverse surface, scale 200 µm) Penampang lintang (Transverse surface, scale 200 µm) Penampang radial (Radial surface, scale 200 µm) Penampang tangensial (Tangential surface, scale 200 µm)
F. Lancat (Mastixiodendron pachyclados) Rubiaceae Kayu lancat (M. pachyclados) yang merupakan anggota famili Rubiaceae memiliki warna kuning coklat muda dengan perbedaan warna antara gubal dan terasnya tidak jelas; tekstur halus; kayu keras; permukaan mengkilap; dan arah serat lurus. Ciri anatomi kayu ini diantaranya adalah batas lingkar tumbuh yang jelas; pembuluh gandaan 2-3; parenkim paratrakea jarang; noktah antar pembuluh selang-seling; bidang perforasi sederhana; lebar jari-jari 1-3 seri; serta kristal prismatik yang dijumpai dalam sel tegak berbilik. Struktur anatomi M. pachyclados disajikan pada Gambar 6. Sel pembuluh berganda 2-3 serta parenkim jarang yang terdapat pada jenis kayu ini juga disampaikan oleh Wiselius (1988).
Masing-masing jenis kayu memiliki struktur anatomi yang khas. Secara lengkap perbandingan struktur anatomi dari keenam jenis kayu asal Papua dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan data tabel Tabel 1 dan Tabel 2, batas lingkar tumbuh terlihat jelas hanya pada jenis kayu ketapang dan kayu lancat sedangkan jenis kayu lainnya tidak jelas. Bidang perforasi bentuk tangga, susunan noktah antar pembuluh berhadapan, adanya tilosis serta sel minyak dan saluran getah/tanin hanya ditemukan pada jenis kayu pala hutan. Lebar sel jari-jari dengan dua ukuran yang jelas dimiliki oleh jenis kayu bipa, kelumpang dan manggis. Serat kayu yang paling tebal dimiliki oleh jenis kayu manggis disusul oleh lancat, pala hutan, ketapang, bipa dan kelumpang. Kecuali kayu pala hutan, kristal ditemui pada semua jenis kayu yang diteliti.
255
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 249-260
200 µm 200 µm
a
b
200 µm 200 µm
c
d
Gambar 6. (Figure 6.) Mastixiodendron pachyclados (K. Schum.) Melch. Figure 6. Mastixiodendron pachyclados (K. Schum.) Melch. a. Penampang lintang (Transverse surface, scale 200 µm) b. Penampang lintang (Transverse surface, scale 200 µm) c. Penampang radial (Radial surface, scale 200 µm) d. Penampang tangensial (Tangential surface, scale 200 µm)
Tabel 1. Perbandingan struktur anatomi Table 1. The comparison of anatomical structure Ciri anatomi (Anatomical features)
Terminalia complanata
A. Batas lingkar tumbuh Jelas (Distinct) (Growth rings) B. Pembuluh (Vessel) 1. Pembuluh bergerombol (Clusters () vessel) 2. Pembuluh gandaan 2-3 (Multiples vessel) 3. Diameter (Diameter, micron) 4. Panjang, mikron (Length, micron) 5. Bidang perforasi Sederhana (Perforation plates) (Simple) 6. Noktah antar pembuluh (Intervessel pit) a. Susunan Selang-seling (Arrangement) (Alternate) b. Berumbai (Vestured)
256
+
Gymnac ranthera paniculata Tidak jelas (Indistinct)
Pterygota horsfieldii
Sterculia shillinglawii
Tidak jelas (Indistinct)
() 2-(3)
Bentuk tangga (Scalariform) Berhadapan (Opposite) -
Tidak jelas (Indistinct)
Penta phalangium parviflorum Tidak jelas (Indistinct)
Mastixio dendron pachyclados Jelas (Distinct)
-
()
-
-
2-3(4)
2-3(4)
2-3
2-(3)
244
296
280
136
478
573
888
1063
Sederhana (Simple)
Sederhana (Simple)
Sederhana (Simple)
Sederhana (Simple)
Selang-seling bersegi banyak (Alternate polygonal) -
Selang-seling (Alternate)
Selang-seling bersegi banyak (Alternate polygonal) -
Selang-seling (Alternate)
-
+
Struktur Anatomi Enam Jenis Kayu Asal Papua (Andianto & R. Esa Pangersa Gusti)
Tabel 1. Lanjutan Table 1. Continued Ciri anatomi (Anatomical features) 7.
Noktah persilangan pembuluh-jari-jari (Cross field pitting)
8. C. 1.
Tilosis (Tylosis) Parenkim (Parenchyma) Paratrakea (Paratracheal)
2.
Apotrakea (Apotracheal)
D. 1.
Jari-jari (Ray) Homoselular (Homocellular) Heteroselular (Heterocellular) Lebar, seri (Width, seriate)
2. 3.
4.
Komposisi (Composition)
Terminalia complanata
Gymnac ranthera paniculata
Dengan halaman yang jelas; serupa dalam ukuran dan bentuk dengan noktah antar pembuluh (With distinct borders; similar to inter vessel pits in size & shape) -
Dengan halaman yang sempit sampai sederhana; noktah horisontal atau vertikal (With reduced borders to simple ; pits horizontal to vertical)
Aliform, vaskisentrik, konfluen (Aliform, vasicentric, confluent)
Jarang, vaskisentrik, pita marjinal atau tampaknya marjinal (Scanty, vasicentric, marginal or marginal bands) -
-
+
Pterygota horsfieldii
Sterculia shillinglawii
Penta phalangium parviflorum
Mastixio dendron pachyclados
Dengan halaman yang jelas; serupa dalam ukuran dan bentuk dengan noktah antar pembuluh (With distinct borders; similar to inter vessel pits in size & shape) -
Dengan halaman yang jelas; serupa dalam ukuran dan bentuk dengan noktah antar pembuluh (With distinct borders; similar to inter vessel pits in size & shape) -
Dengan halaman yang jelas; serupa dalam ukuran dan bentuk dengan noktah antar pembuluh (With distinct borders; similar to inter vessel pits in size & shape) -
Dengan halaman yang jelas; serupa dalam ukuran dan bentuk dengan noktah antar pembuluh (With distinct borders; similar to inter vessel pits in size & shape) -
Vaskisentrik, konfluen (Vasicentric, confluent)
Aliform, vaskisentrik, konfluen (Aliform, vasicentric, confluent)
Konfluen (Confluent)
Tersebar dalam kelompok (Diffuse in aggregates)
-
-
Pita lebih dari 3 lapis sel (Bands more than 3 cells wide)
Jarang (Scanty)
-
-
-
-
-
-
+
+
+
+
+
+
1-3
1-3
1 jalur sel tegak dan atau sel bujur sangkar marjinal (1 row of upright and/square marginal cells)
2 ukuran lebar yang jelas, 1-3 seri, jari-jari besar umumnya 410 seri (Rays of two distinct sizes, 1 to 3 cells wide, larger rays commonly 4 to 10 seriate) Umumnya dengan 2-4 jalur sel tegak atau sel bujur sangkar marjinal (Mostly 2-4 rows of upright or square cells)
2 ukuran lebar yang jelas, 1-3 seri, jari-jari besar umumnya 410 seri (Rays of two distinct sizes, 1 to 3 cells wide, larger rays commonly 4 to 10 seriate) Umumnya dengan 2-4 jalur sel tegak atau sel bujur sangkar marjinal, dengan > 4 jalur sel tegak atau bujur sangkar marjinal (Mostly with 24 rows of upright or
1-3
1 jalur sel tegak dan atau sel bujur sangkar marjinal (1 row of upright and/square marginal cells)
2 ukuran lebar yang jelas, 1-3 seri, jari-jari besar umumnya 410 seri (Rays of two distinct sizes, 1 to 3 cells wide, larger rays commonly 4 to 10 seriate) 1 jalur sel tegak dan atau sel bujur sangkar marjinal (1 row of upright and/square marginal cells)
1 jalur sel tegak dan atau sel bujur sangkar marjinal (1 row of upright and/square marginal cells)
257
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 249-260
Tabel 1. Lanjutan Table 1. Continued Ciri anatomi (Anatomical features)
E. 1.
2. 3. 4. 5. F.
G. H.
Serat (Fiber) Dengan noktah sederhana sampai berhalaman sangat kecil (With Simple to minutely bordered pits) Serat bersekat (Septate fibres) Tebal dinding, mikron (Wall thickness, micron) Diameter lumen, mikron (Diameter of lumina, micron) Panjang, mikron (Length, micron) Inklusi mineral (Mineral inclusion)
Sel minyak (Oil cells) Saluran/Pipa (Tubes)
Keterangan (Remarks) : + ()
258
Gymnac ranthera paniculata
Terminalia complanata
Pterygota horsfieldii
Sterculia shillinglawii
+
Mastixio dendron pachyclados
+
+
+
+
+
-
-
-
+
+
5,14
6,12
3,78
3,44
10,11
7,39
28,21
29,11
18,39
25,45
8,47
19,77
1810
1940
1882
2114
2727
1872
kristal prismatik dalam sel parenkim aksial tak berbilik dan terdapat druse (Prismatic crystals in non chambered axial parenchyma cells and druses present)
-
kristal prismatik ada dalam sel parenkim aksial tak berbilik (Prismatic crystals in non chambered axial parenchyma cells)
kristal prismatik ada dalam sel tegak dan dalam sel parenkim aksial berbilik (Prismatic crystals in upright ray cells and in chambered axial parenchyma cells)
kristal prismatik dijumpai dalam sel baring dan dalam parenkim aksial berbilik (Prismatic crystals in procumbent ray cells and in chambered axial parenchyma cells)
kristal prismatik dijumpai dalam sel tegak berbilik (Prismatic crystals in chambered upright ray cells)
-
+
-
-
-
-
-
Getah atau tanin (Laticifers or tanin)
-
-
-
-
= Ada (Present) = Tidak ada (Absent) = Jarang (Rare)
+
Penta phalangium parviflorum square cells, with more than 4 rows of upright or square cells)
Struktur Anatomi Enam Jenis Kayu Asal Papua (Andianto & R. Esa Pangersa Gusti)
Tabel 2. Kode identifikasi enam jenis kayu dari Papua Table 2. The Identification code of six wood species of Papua No. 1.
Jenis kayu (Wood species ) T. complanata (Ketapang)
Kode ciri kayu * (Wood characteristic code ) 1, 13, 22, 29, 30, 61, 65,79, 80, 83, 97, 106, 141, 144
2.
G. paniculata (Pala hutan)
2, 14, 21, 32, 56, 61, 78, 79, 89, 97, 106, 124, 132
3.
P. horsfieldii (Bipa)
2, 13, 23, 30, 43, 53, 61, 79, 83, 85, 97, 98, 103, 106, 141
4.
S. shillinglawii (Kelumpang)
2, 13, 22, 30, 43, 53, 61, 77, 79, 80, 83, 97, 98, 103, 107, 137, 42
5.
P. parviflorum (Manggis)
2, 13, 22, 30, 43, 54, 61, 65, 83, 97, 98, 103, 107, 138, 142
6.
M. pachyclados (Lancat)
1, 13, 22, 29, 30, 42, 54, 61, 65, 78, 97, 106, 140
Keterangan (Remarks): * Kode penomoran berdasarkan daftar pengamatan IAWA (Numberization code based on IAWA list)
IV. KESIMPULAN Ciri anatomi utama kayu ketapang (T. complanata) berupa lingkar tumbuh jelas; tipe sel parenkim aliform, vaskisentrik dan konfluen; serta adanya kristal prismatik dalam sel parenkim aksial tak berbilik. Keberadaan saluran tanin, serta bidang perforasi bentuk tangga merupakan ciri utama kayu pala hutan (G. paniculata). Noktah antar pembuluh selang-seling bersegi banyak; parenkim vaskisentrik dan konfluen; serta adanya parenkim pita lebih dari 3 lapis sel merupakan ciri utama jenis kayu bipa (P. horsfieldii). Adanya kristal prismatik di dalam sel tegak dan dalam sel parenkim aksial berbilik merupakan ciri anatomi yang ditemukan pada jenis kayu kelumpang (S. shillinglawi). Kristal prismatik dalam sel parenkim aksial berbilik juga ditemukan pada jenis kayu manggis (P. parviflorum). Adanya parenkim jarang (scanty) serta noktah antar pembuluh selang-seling merupakan beberapa ciri anatomi yang khas yang terdapat pada kayu lancat (M. pachyclados). UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Usep Sudarji, Romi, dan Tutiana yang telah membantu dalam proses pembuatan/ pengukuran preparat dan maserasi. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada pimpinan dan segenap jajaran pegawai Balai Penelitian Kehutanan Manokwari atas segala bantuannya. Tidak lupa ucapan terima kasih juga disampaikan
kepada Moh. Muslich dan Sri Rulliaty (Alm.), serta Abdurachman yang bersama-sama turut ke lapangan dalam rangka pengambilan bahan penelitian sifat dasar kayu. DAFTAR PUSTAKA Aglua, A. (1995). Gymnacranthera (A.DC.) Warb. Dalam R.H.M.J. Lemmens, I. Soerianegara, & W.C. Wong. (Eds.): Plant Resources of South-East Asia No 5(2). Timber trees: Minor commercial timbers (h. 255-260). Leiden: Backhuys Publisher. Bapesdalh Papua. (2015). Potensi kehutanan. Pemerintah provinsi Papua. Badan pengelola lingkungan hidup. Diakses Agustus 28, 2016 dari http://bapesdalh.papua.g o.id/ potensi/15/potensi-kehutanan.htm. Junior & Uetimane. (2015). Wood anatomy of Sterculia quinqueloba and Sterculia appendiculata from Mozambique - A comparative approach for identification purposes. Mozambique: Eduardo Mondlane University-Faculty of Agronomy and Forestry-Machipanda. AgroForestry Center. Mambai, B.V. (2015). Persediaan tegakan kayu merbau di alam dan perdagangannya di tanah Papua. WWF Indonesia. Diakses Agustus 28, 2016 dari http://wwww.wwf.or.id/ ?2840/.
259
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 249-260
Metcalfe, C.R. & Chalk, I. (1950). Anatomy of the dicotyledons. (Vol.I). Oxford: The Clarendon press. Metcalfe, C.R. (1983). Wood structure. Dalam C. R. Metcalfe & L. Chalk (Eds.). Anatomy of dicotyledons. (Vol. II, 2nd ed.). Oxford: The Clarendon press. Negara, G. (2015). Industri manfaatkan kayu resmi. Sistim informasi legalitas kayu (SILK). Diakses Agustus 28, 2016 dari silk.dephut.go.id/ index.php/article/vnews/127. Phengklai, C. (1998). Pterygota Schoot & Endl. Dalam M.S.M. Sosef, L.T. Hong & S. Prawirohatmodjo. (Eds.): Plant Resources of South-East Asia No 5(3). Timber trees: Lesserknown timbers (h. 482-484). Leiden: Backhuys Publisher. Rulliaty, S. (2014). Identifikasi dan kualitas serat lima jenis kayu andalan setempat asal Jawa Barat dan banten. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 32(4), 297-312. Ruwanpathirana, N.D. (2014). Use of wood characters in the identification of selected Terminalia species growing in Sri Lanka. Journal of Tropical Forestry and Environment. 4(2), 64-72. Sass, J.E. (1961). Botanical microtechnique. New York: The IOWA State University Press. Singh, M.K., Sharma, M.B. & Sharma, C.L. (2013). Wood anatomical variations in some Terminalia species of Assam. International Journal of Botany and Research (IJBR) 3 (2), 1318.
260
Surat Keputusan Menteri Kehutanan (2003). Pengelompokan jenis kayu sebagai dasar pengenaan iuran kehutanan. (SK. Kemenhut No. 163/Kpts-II/2003). Sudo, S. (1995a). Sterculia L. Dalam R.H.M.J.Lemmens, Soerianegara, I. & Wong, W.C. (Ed.): Plant Resources of SouthEast Asia No 5(2). Timber trees: Minor commercial timbers (h. 423-435). Leiden: Backhuys Publisher. Sudo, S. (1995b). Terminalia L. Dalam R.H.M.J. Lemmens, I. Soerianegara, & W.C. Wong, (Eds.): Plant Resources of South-East Asia No 5(2). Timber trees: Minor commercial timbers (h. 474-492). Leiden: Backhuys Publisher. Wheeler, E.A., Baas, P. & Gasson P.E. (1989). IAWA list of microscopic features for hardwood identification. IAWA Bulletin n.s. 10 (3):219-332. Wilde, de W.J.J.O., (2000). Flora Malesiana. Series ISeed Plants. Myristicaceae (Vol. 14). Dalam P.F. Stevens (Ed). Nationaal Herbarium Nederland. Universiteit Leiden branch. The Netherlands. Diakses April 24, 2015 d a r i h t t p : / / a b. p e n s o f t . n e t / a r t i c l les.php?id=1141. Wiselius, S.I. (1998). Mastixiodendron Melchior. Dalam M.S.M. Sosef, L.T. Hong & S. Prawirohatmodjo (Eds.): Plant Resources of South-East Asia No 5(3). Timber trees: Lesserknown timbers (h. 359-361). Leiden: Backhuys Publisher.
PEDOMAN BAGI PENULIS
GUIDELINE FOR AUTHORS
1. Dewan Redaksi Jurnal menerima naskah ilmiah hasil penelitian atau hasil studi dalam bidang keteknikan kehutanan dan pengolahan hasil hutan, yang belum pernah dimuat atau tidak sedang dalam proses untuk dimuat di media lain.
1. Editorial board accept scientific articles related with forest engineering and forest products processing. Manuscript must be genuine, has not been published or being processed for any publication.
2. Dewan Redaksi memiliki wewenang penuh untuk memeriksa dan memperbaiki atau menolak naskah apabila tidak memenuhi persyaratan. Penilaian naskah secara substantif dilakukan oleh Mitra Bestari.
2. Editorial boardis authorized to review the manuscript and possibly discard the manuscript which does not meet scientific journal requirements. Manuscript will be considered and observed by a relevant peer reviewer.
3. Naskah dikirim ke redaksi dalam bentuk soft file dan hard copy ke alamat sekretariat redaksi, yaitu: Jurnal Penelitian Hasil Hutan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu. 5, Bogor,Indonesia. 16610 e-mail:
[email protected].
3. Manuscript in both hard copy and soft file must be sent to the Journal secretariate address i.e: Journal of Forest Product Research Forest Product Research and Development Centre Jl. Gunung Batu. 5, Bogor, Indonesia. 16610 e-mail:
[email protected].
4. Naskah ditulis di atas kertas ukuran A4, tipe huruf Calibri, font 12 dengan 2 spasi. Pada semua sisi kertas dikosongkan 3,5 cm. Jumlah halaman maksimal 25.
4. Manuscript must be written in A4 paper, font Calibri, size 12, double spaced. All side margins are 3.5 cm. Maximum page number is 25.
5. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Inggris dengan menggunakan kaidah penulisan ilmiah.
5. Manuscript must be scientifically written in either Bahasa Indonesia or English.
6. Struktur naskah sekurang-kurangnya tersusun sebagai berikut; a. Judul, b. Nama, instansi, dan alamat e-mail penulis, c. Abstrak, d. Kata kunci, e. Pendahuluan, f. Bahan dan Metode, g. Hasil dan Pembahasan, h. Kesimpulan (Kesimpulan dan Saran), i. Ucapan Terima Kasih (jika perlu), j. Daftar Pustaka dan k. Lampiran (jika perlu).
6. Manuscript must be written according to scientific journal structure: a. Title, b. Authors name, office, and e-mail address details, c. Abstract, d. Keywords, e. Introduction, f. Material and Method, g. Result and Discussion, h. Conclusion (Conclusion and Recommendation), i. Acknowledgement (optional), j. References and k. Appendices (optional).
7. Naskah a. Judul, maksimal 2 baris, dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, huruf kapital, ukuran font 14, dicetak tebal. b. Nama penulis (tanpa gelar akademis), instansi dan alamat penulis ditulis berurutan dengan ukuran font 12. c. A b s t r a k , d i b u a t d a l a m s a t u p a r a g r a f menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa lnggris dalam dua bentuk, bentuk pertama maksimal 50 kata dan bentuk kedua maksimal 200 kata. d. Tabel. Judul tabel dan keterangan yang diperlukan ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Inggris dengan jelas dan singkat. Penggunaan tanda koma (,) dan titik (.) di dalam tabel menunjukkan nilai pecahan desimal dan kebulatan seribu disesuaikan dengan format bahasa yang digunakan.
7. Manuscript a. Title, should not exceed two rows, written in Bahasa Indonesia and English, in capital, font size 14, bold. b. Author/s (without academic degree), office and author addresses are written with font size 12. c. Abstract, set in single paragraph Bahasa Indonesia and English in two forms; format-1 maximum 50 words and format-2 maximum 200 words. d. Table caption must be written concisely in both Bahasa Indonesia and English. The use of comma (,) and point (.) must be used in decimal number appropriately according to manuscript language.
e. Gambar: Foto, grafik dan ilustrasi lain yang berupa gambar harus kontras. Setiap gambar diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas dalam Bahasa Indonesia danInggris.
e. Figure: Photos and graphs must be prepared in good contrast. Every figure is numbered and captioned clearly in both Bahasa Indonesia and English.
f. Daftar Pustaka; Pengacuan pustaka diutamakan terbitan lima tahun terakhir dan 80% berasal dari sumber acuan primer. Format Daftar Pustaka mengacu pada model “American Psychological Association (APA)” serta mencantumkan kode Digital Object Identifier (DOI) jika diperoleh dari sumber jurnal online.
f. Reference; References cited should be published five years old or less for majority of reference and 80% from primary source. Referencing must meet the American Psychological Association (APA) style. Reference list must be written alphabetical order includes the Digital Object Identifier (DOI) for online sources.
Penyitiran dalam teks Cangkang buah bintaro mengandung lignoselulosa dan sifat seratnya hampir mirip dengan tempurung kelapa (Iman & Handoko, 2011). atau Iman dan Handoko (2011) menyatakan bahwa cangkang buah bintaro mengandung lignoselulosa dan sifat seratnya hampir mirip dengan tempurung kelapa. Artikel yang ditulis oleh 3 - 5 Penulis Di dalam teks seluruh penulis ditulis untuk pertama kali, kemudian ditulis ‘et al.’ Contoh: Arang aktif dapat dibuat dari bahan organik yang dapat dikarbonisasi seperti kulit kenari (Mariez, Torres, Guzman, & Maestri, 2006) Mariez et al. (2006) menyebutkan bahwa bagian cangkang kulit kenari menghasilkan arang aktif kualitas paling baik. Artikel yang ditulis oleh lebih dari 5 penulis Di dalam teks ditulis nama penulis pertama diikuti ‘et al.’ pada kutipan pertama dan selanjutnya contoh: Berbagai pustaka menyebutkan bahwa kandungan zat ekstraktif dalam kayu berkisar 1 - 30%, tergantung beberapa faktor diantaranya kondisi pertumbuhan pohon dan musim pada saat pohon ditebang (Donegan et al., 2007)
Contoh Penulisan Daftar Pustaka 1. Artikel dalam jurnal ilmiah (1 penulis) (Article in scientific journal (1 author) Endom, W. (2013). Produktivitas dan biaya alat hasil rekayasa dalam pengeluaran kayu jati di daerah curam. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 30(1), 63-74. 2. Artikel dalam jurnal ilmiah (2 - 5 penulis) (Article in the scientific journal (2-5 authors) Kissinger, K., Evrizal, A.M.Z., Latifa, K., Darusman, H. & Iskandar, A. (2013). Penapisan senyawa fitokimia dan pengujian antioksidan ekstrak daun pohon merapat (Combretocarpus rotundatus Miq.) dari hutan kerangas. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 31(1), 9-18. Li-bing Z., Mark, P.S., & Sussane, S.R. (2007). A phylogeny of Anisophylleaceae based on six nuclear and plastid loci: Ancient disjuctions and recent dispersal beetween South America, Africa and Asia. Molecular Phylogenetics & Evolution; Sept 2007, 44(3), 1057–1067, doi: 0.1016/jympev. 2007. 03.002 3. Artikel dalam jurnal ilmiah (lebih dari 7 penulis) (Article in the scientific journal up to 7 authors) Pari, G., Vissing, K., Brink, M., Lonbro, S., Sorensen, H., Overgaard, K., Danborg, K., ... Aagaard, P. (2008) Muscle adaptations to polymetric vs. resistance training in untrained young men. Journal of Strength and Conditioning Research, 22 (6), 1799-1810. 4. Buku teks (1-5 penulis) Text book (1-5 authors) Sudradjat, H.R. (2006). Memproduksi biodiesel jarak pagar. Jakarta: Penebar Swadaya. Muslich, M., Wardani, M., Kalima, T., Rulliaty, S., & Hadjib, N. (2013). Atlas kayu Indonesia (Jilid IV). Bogor: Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. 5. Prosiding (Proceeding) Dulsalam. (2012). Pemanenan kayu ramah lingkungan. Dalam G. Pari, A. Santoso, Dulsalam, J. Balfas, & Krisdianto (Penyunt.), Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan Tahun 2011. Prosiding Seminar Nasional. Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (hal. 102 -114). Bogor. 6. Skripsi, Tesis, atau Disertasi (Thesis or Disertation) Widyati, E. (2006). Bioremediasi tanah bekas tambang batubara dengan sludge industri kertas untuk memacu revegetasi lahan. (Disertasi). Program Pendidikan Doktor: Institut Pertanian Bogor, Bogor. 7. Laporan penelitian (Research report) Djarwanto & Waluyo, T.K. (2013). Teknologi produksi ragi untuk pembuatan bioetanol. Laporan Hasil Penelitian. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. 8. Artikel dari situs internet (Article on the website) Massijaya, M.Y. (2008). Upaya penyelamatan industri pengolahan kayu Indonesia ditinjau dari sudut ketersediaan bahan baku, http://www.fahutan.s5.com/sept/sept006.html, diakses 17 Februari 2010. 9. Artikel dari situs internet (tanpa nama penulis) (Article on the website (anonymous) Departemen Kehutanan. (2008). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan telah melaksanakan penelitian pembuatan biodiesel dari biji nyamplung (Calophylum inophylum L.) tahun 2005-2008. Diakses dari http://www.dephut.go.id/files/ nyamplung_Ind.pdf, pada 7 Oktober 2011.