MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 75/PUU-XIII/2015
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN KOMNAS HAM DAN KEJAKSAAN AGUNG (VI)
JAKARTA SELASA, 8 SEPTEMBER 2015
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 75/PUU-XIII/2015 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia [Pasal 20 ayat (3) beserta Penjelasan] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Paian Siahaan 2. Yati Ruyati ACARA Mendengarkan Keterangan Komnas HAM dan Kejaksaan Agung (VI) Selasa, 8 September 2015 Pukul 11.09 – 13.38 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Anwar Usman Maria Farida Indrati Aswanto I Dewa Gede Palguna Wahiduddin Adams Patrialis Akbar Suhartoyo Manahan MP Sitompul
Yunita Rhamadani
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Chrisbiantoro 2. Muhammad Burhanuddin 3. Tioria Pretty 4. Ruyati Darwin 5. Haris Azhar 6. Feri Kusuma B. Pemerintah: 1. Heni Susila Wardoyo C. Komnas HAM: 1. Siti Noor Laila D. Kejaksaan Agung: 1. Abdul Kadirun 2. Maruli Hutagalung 3. Muhammad Sunarto 4. Muhammad Fadil 5. Sugeng Purnomo 6. Toto
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.09 WIB
1.
KETUA: ANWAR USMAN Sidang Perkara Nomor 75/PUU-XIII/2015 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang dan salam sejahtera untuk kita semua. Agenda Persidangan hari ini adalah Mendengarkan Keterangan dari Komnas HAM dan Kejaksaan. Namun sebelumnya, dipersilakan kepada Pemohon, siapa saja yang hadir?
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: HARIS AZHAR Assalamualaikum wr. wb. Terima kasih, Pimpinan Majelis. Hari ini kami dari Para Pemohon yang hadir, sebelah kiri saya Chrisbiantoro. Saya sendiri Haris Azhar. Sebelah kanan saya Burha … Muhammad Burhanuddin. Berikutnya, Penggugat Ibu Ruyati Darwin. Sampingnya ada Tioria Pretty. Dan di paling ujung, Feri Kusuma. Terima kasih.
3.
KETUA: ANWAR USMAN Terima kasih, dari Pemohon, ya, benar. Dari DPR ada surat pemberitahuan bahwa mereka telah mengajukan keterangan tertulis. Dari Kuasa Presiden, silakan siapa saja?
4.
PEMERINTAH: HENI SUSILA WARDOYO Baik, Yang Mulia. Kebetulan kami sendiri, Heni Susila Wardoyo. Terima kasih.
5.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, dari Kejaksaan masih dalam perjalanan, ada pemberitahuan. Dari Komnas HAM, silakan siapa saja yang hadir?
6.
KOMNAS HAM: SITI NOOR LAILA Siti Noor Laila.
1
7.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Ada mik (…)
8.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Pakai mik biar direkam.
9.
KETUA: ANWAR USMAN Biar terekam.
10.
KOMNAS HAM: SITI NOOR LAILA Saya Siti Noor Laila, Wakil Ketua Komnas HAM.
11.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik, terima kasih. Sambil menunggu kehadiran dari Pihak Kejaksaan, dipersilakan kepada Komnas HAM untuk memberikan keterangan. Silakan, Bu, di mimbar.
12.
KOMNAS HAM: SITI NOOR LAILA Baik, terima kasih, Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Kami dari Komnas HAM memberikan keterangan ad informandum tindak lanjut penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM yang berat, disampaikan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi pada hari Selasa, 8 September 2015. Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Atas surat panggilan sidang yang disampaikan oleh Panitera Mahkamah Konstitusi kepada Ketua Komnas HAM untuk diminta keterangannya sebagai ad informandum dalam Sidang Pleno Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang berkenaan dengan materi muatan Pasal 20 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Bersama ini disampaikan keterangan tertulis Komnas HAM. I. Kewenangan Komnas HAM Melakukan Penyelidikan Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat. Yang Mulia, Kewenangan Komnas HAM melakukan penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM yang berat diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan HAM.
2
“Penyelidikan terhadap pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.” Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia telah melakukan penyelidikan terhadap 10 peristiwa pelanggaran HAM yang berat sesuai dengan kewenangan yang dimiliki, seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Komnas HAM menjadi satusatunya Komisi Negara yang mempunyai kewenangan melakukan penyelidikan untuk menentukan ada atau tidaknya peristiwa pelanggaran HAM yang berat. Seperti diketahui bersama, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM merupakan perubahan dari Perpu Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM. Sejak dikeluarkannya Perpu Nomor 1 Tahun 1999 yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, Komnas HAM telah menyelidiki 10 kasus dengan perincian sebagai berikut. 1. Kasus Timor Timur 1999. Laporan hasil penyelidikan telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung pada 31 Januari 2000. Kasus ini telah disidik oleh Kejaksaan Agung dan diperiksa pengadilan dan telah sampai tingkat kasasi. Satu terdakwa dinyatakan bersalah. 2. Kasus Tanjung Priok 1984. Laporan hasil penyelidikan telah disampaikan kepada Kejaksaan Agung pada 7 Juli 2000. Telah dilakukan penyidikan dan diperiksa pengadilan dan telah sampai tingkat kasasi. Semua terdakwa dinyatakan bebas. 3. Kasus Peristiwa Abepura Tahun 2000. Laporan dikirimkan ke Kejaksaan Agung pada 17 Mei 2001. Kasus telah disidik dan ditetapkan 2 terdakwa, yaitu Drs. Daud Sihombing dan Brigjen. Johny Wainal Usman. Dua terdakwa telah diperiksa oleh Pengadilan HAM, keduanya dibebaskan. 4. Kasus Trisakti Semanggi I dan Semanggi II. Laporan penyelidikan telah disampaikan ke Kejaksaan Agung pada 29 April 2002. Kejaksaan Agung belum melakukan penyidikan dan penuntutan. 5. Kasus Mei 1998. Laporan penyelidikan telah disampaikan ke Kejaksaan Agung pada 19 September 2003. Kejaksaan Agung belum melakukan penyidikan dan penuntutan. 6. Kasus Wasior (Juni 2001, Oktober 2002) dan Wamena (2003). Laporan penyelidikan telah disampaikan ke Kejaksaan Agung pada 3 September 2004. Kejaksaan Agung belum melakukan penyidikan dan penuntutan. 7. Kasus Penghilangan Paksa 1997-1998. Laporan penyelidikan telah disampaikan ke Kejaksaan Agung pada 3 September 2006. Kejaksaan Agung belum melakukan penyidikan dan penuntutan. 3
8. Kasus Talangsari 1989. Laporan penyelidikan telah disampaikan ke Kejaksaan Agung pada 16 September 2008. Kejaksaan Agung belum melakukan penyelidikan dan penuntutan. 9. Kasus Penembakan Misterius 1982-1985. Laporan penyelidikan telah disampaikan ke Kejaksaan Agung pada 20 Juli, September 2012. Kejaksaan Agung belum melakukan penyidikan dan penuntutan. 10. Kasus Tragedi 1965-1966. Laporan penyelidikan telah disampaikan ke Kejaksaan Agung pada 20 Juli 2012. Kejaksaan Agung belum melakukan penyelidikan dan penuntutan. Selama 13 tahun terjadi bolak-balik, 7 berkas hasil penyelidikan pelanggaran HAM yang berat antara Komnas HAM dengan Jaksa Agung tanpa ada titik temu lengkap terkait … lengkap atau tidak lengkapnya hasil penyelidikan tersebut. Pengembalian 7 berkas penyelidikan disampaikan oleh Jaksa Agung terakhir kali pada 6 Juni 2014 disertai dengan petunjuk-petunjuk formil dan materiil untuk dipenuhi oleh Komnas HAM. Berkas perkara tersebut posisinya saat ini berada di Jaksa Agung, Komnas HAM telah mengembalikannya disertai dengan jawaban atas petunjuk dari Jaksa Agung pada 17 Juli 2014. Sesuai dengan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan HAM, penyelidik mempunyai waktu 30 hari sejak tanggal diterimanya untuk melengkapi kekurangan yang disampaikan oleh penyidik. Yang Mulia, proses pengembalian berkas hasil penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM yang berat tidak terlepas dari adanya ketidaksepahaman antara penyelidik dan penyidik dalam menafsirkan tugas dan wewenang masing-masing sesuai dengan yang diamanatkan dalam Undang-Undang Pengadilan HAM. a. Petunjuk Formil tentang Kewajiban Penyelidik atau Penyelidik ad hoc untuk Disumpah. Salah satu petunjuk formil yang disampaikan penyidik untuk dapat dipenuhi oleh penyelidik adalah melakukan sumpah terhadap penyelidik atau penyelidik hoc. Jika belum mengucapkan sumpah, petunjuk ini ada di semua berkas hasil penyelidikan pelanggaran HAM yang berat yang dikembalikan oleh penyidik. Komnas HAM berpendapat bahwa sumpah bagi penyelidik atau penyelidik ad hoc tidak dilakukan karena undang-undang tidak mewajibkan diambilnya sumpah bagi penyelidik atau penyelidik ad hoc. Kewajiban pengambilan sumpah sebelum menjalankan tugas hanya diberlakukan bagi 4
penyidik ad hoc sesuai Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, selanjutnya sumpah bagi penuntut umum sesuai Pasal 23 ayat (3) dan bagi hakim sesuai Pasal 30. Undang-Undang tersebut juga mengatur soal lafal sumpah atau janjinya, baik bagi penyidik, penuntut umum, dan Hakim. Semua tim ad hoc yang pernah dibentuk Komnas HAM antara lain Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM Timor-Timur, Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran HAM Tanjung Priok, Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM Abepura, Tim Ad Hoc Kerusuhan Mei 1998, Tim Ad Hoc Trisakti Semanggi I-Semanggi II, Tim Ad Hoc Penghilangan Orang Secara Paksa, Tim Ad Hoc Talangsari berjalan tanpa proses pengambilan sumpah bagi penyelidik atau penyelidik ad hoc. Bahkan Jaksa Agung tidak pernah mempersoalkan sumpah jabatan dalam beberapa penyelidikan, antara lain dalam peristiwa Timor-Timur, peristiwa Tanjung Priok, dan peristiwa Abepura yang sudah diperiksa di Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta dan Pengadilan HAM Makassar. Kewajiban membuat Berita Acara, sebagaimana tertuang dalam Pasal 75 KUHAP merupakan tugas dan kewajiban penyidik. Hal ini secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 8 KUHAP yang berbunyi, “Penyidik membuat Berita Acara tentang pelaksanaan tindakan, sebagaimana telah dimaksud dalam Pasal 75 dan tidak mengurangi ketentuan lain dalam undang-undang ini.” Kewajiban penyidik akan hal ini juga dapat dilihat pada Pasal 121 KUHAP yang menyatakan, “Penyidik atas kekuatan sumpah jabatannya segera membuat Berita Acara yang diberi tanggal dan memuat tindak pidana yang dipersangkakan dengan menyebut waktu, tempat tinggal tersangka, dan/atau saksi keterangan mereka, catatan mengenai akta dan/atau benda, serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara.” Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dalam Pasal mengatur … dalam Pasal 10 mengatur, “Dalam hal tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini, hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana.” Dari ketentuan tersebut dapat diartikan bahwa baik penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan harus berdasarkan KUHAP. Dalam KUHAP hanya didapati satu pasal, yakni Pasal 121 yang mewajibkan penyidik dalam membuat Berita Acara harus atas kekuatan sumpah jabatan, seperti telah dijelaskan di atas. Penyidik dalam hal ini
5
adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan untuk perkara pidana tertentu adalah jaksa. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk menemukan tersangkanya dan hasilnya dirumuskan dalam Berita Acara. Penyidik harus mengucapkan sumpah terlebih dahulu karena Berita Acara hasil penyidikan, penyelidikan akan menjadi satu-satunya dasar bagi jaksa untuk melakukan penuntutan dan merupakan dasar penting bagi pemeriksaan di pengadilan. Oleh karena itu, benar bahwa penyidik harus mengucapkan sumpah lebih dulu. Sehingga hasil penyelidikan tersebut merupakan Berita Acara yang mempunyai kekuatan yustisiabilitas dan hal ini terjamin dengan disumpahnya lebih dahulu petugas penyidik, lain dengan tugas penyelidikan. b. Petunjuk Materiil untuk Melakukan Pemeriksaan terhadap Pelaku. Petunjuk materiil yang dilakukan oleh penyidik salah satunya adalah agar penyelidik atau penyelidik ad hoc memeriksa dan melampirkan Berita Acara pemeriksaan pelaku atau orang yang diadukan. Petunjuk tersebut merujuk pada Penjelasan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan HAM yang mengatur mengenai penyelidikan pelanggaran HAM yang berat. Pasal 1 ayat (5) KUHAP menentukan, “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.” Berdasarkan pasal … pada Pasal tersebut di atas, jelas bahwa tugas penyelidikan adalah sebatas mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Hasil penyelidikan tidak dirumuskan bagian dari penyidikan. Konsentrasi kegiatan diarahkan kepada peristiwanya, bukan siapa pelakunya. Hasil penyelidikan tidak dapat menjadi dasar penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan, tidak mempunyai nilai hukum yang menentukan yustisiabilitas, lain dengan penyidikan. Oleh karenanya, Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak memuat ketentuan perlunya penyelidik ad hoc untuk disumpah. Hal ini berbeda dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang memuat ketentuan penyidik ad hoc harus mengucap … harus mengucapkan sumpah. Dan dari pasal itu, menjadi lebih tegas karena menyebutkan hasil penyidik dan jaksa penuntut umum ad hoc yang harus mengucapkan sumpah. Seperti diketahui, penyidik dan jaksa 6
penuntut umum karier telah mengucapkan sumpah saat pengangkatannya. Sementara Pasal 18 ayat (2) yang mengatur hasil penyelidik ad hoc tidak diwajibkan kepadanya untuk mengucapkan atau disumpah lebih dahulu karena memang demikian yang berlaku bagi penyelidik. Apabila dalam Berita Acara pemeriksaan oleh polisi dilakukan berdasarkan sumpah jabatan, dalam hal ini polisi dalam kapasitas sebagai seorang penyidik, bukan penyelidik, sekalipun kedua tugas tersebut berada di tangan polisi. c. Petugas … Petunjuk Materiil untuk Melakukan Pemeriksaan Ahli. Penyidik menyampaikan petunjuk materiil untuk dapat dipenuhi oleh Komnas HAM sebagai penyelidik. Salah satunya adalah … maaf, salah satunya adalah melakukan pemeriksaan ahli untuk didengar keterangannya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 19 ayat (1) huruf g menyebutkan bahwa untuk mendatangkan ahli dalam hubungannya dengan penyelidikan, maka dilakukan atas perintah penyidik. Perlu kami beritahukan kepada Saudara Jaksa Agung bahwa tindakan mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan hanyalah merupakan salah satu dari beberapa tindakan lain yang juga harus atas perintah penyidik. Hal ini secara jelas dapat dilihat dalam Ketentuan Pasal 19 ayat (1) huruf f yang berbunyi, “Dalam melaksanakan penyelidikan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, penyelidik berwenang: (f) memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya.” Berkaitan dengan hal tersebut di atas, KPP HAM telah mengirimkan surat sebanyak dua kali kepada Kejaksaan Agung berkenaan dengan permintaan resmi dari penyelidik kepada penyidik untuk membuat surat perintah kepada penyelidik guna melakukan tindakan penyelidikan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 19 ayat (1) huruf g, untuk lebih jelasnya, hal ini dapat dilihat dalam Bab I Sub Bab I.9 butir 38, halaman 13 dari Laporan Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Trisakti Semanggi I dan Semanggi II, tertanggal 20 Maret 2002. Namun hingga akhir pelaporan, surat yang disampaikan oleh penyelidik tidak memperoleh tanggapan resmi dari pihak Kejaksaan Agung. Dua hal tersebut di atas merupakan salah satu petunjuk yang disampaikan oleh penyidik untuk dipenuhi, dan petunjuk tersebut selalu berisi petunjuk yang sama sejak pertama kali
7
II.
berkas hasil penyelidikan pelanggaran HAM yang berat dikembalikan kepada Komnas HAM untuk dilengkapi. Dua, frasa kurang lengkap hasil penyelidikan pelanggaran HAM yang berat. Yang Mulia, mendasarkan pada penjelasan sebelumnya, mengenai definisi penyelidikan berdasarkan KUHAP Pasal 1 ayat (5), maka tugas Komnas HAM sebagai penyelidik pelanggaran HAM yang berat sudah selesai dilaksanakan terhitung ketika berkas hasil penyelidikan pelanggaran HAM yang berat diserahkan kepada Jaksa Agung seperti yang diatur dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Pengadilan HAM. Komnas HAM sebagai penyelidik hanya berwenang untuk mencari dan menemukan satu peristiwa yang diduga sebagai peristiwa pelanggaran HAM yang berat agar ditindaklanjuti kepada tahap penyidikan. Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan HAM, yang menyebutkan bahwa dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan, sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 hari sejak tanggal diterimanya hasil penyelidikan, penyelidik wajib melengkapi kekurangan tersebut. Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, menyatakan bahwa dalam ketentuan ini dimaksud kurang lengkap adalah belum cukup memenuhi unsur pelanggaran HAM yang berat untuk ditindaklanjuti untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan. Seluruh petunjuk Jaksa Agung dalam semua berkas hasil penyelidikan pelanggaran HAM yang berat, tidak menyatakan bahwa temuan Komnas HAM sebagai hasil penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM yang berat belum cukup memenuhi unsur pelanggaran HAM yang berat, khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Oleh karena itu, pengembalian berkas hasil penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM yang berat tidak mendasar. Mendasarkan pada penjelasan tersebut, petunjuk yang diberikan oleh jaksa agung selaku penyelidik … selaku penyidik pelanggaran HAM yang berat, seharusnya lebih menitikberatkan pada pemenuhan unsur-unsur pelanggaran HAM yang berat. Dalam hal kekurangan yang bersifat administratif dan tidak menyeluruh vide petunjuk Jaksa Agung dalam Perkara Peristiwa Talangsari, Surat Nomor R056/A/F.6/06/2014, tanggal 6 Juni 2014 8
dapat ditindaklanjuti atau dilengkapi pada tahap penyidikan, tidak harus mengembalikan berkas penyelidikan kepada penyidik. Yang Terhormat Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, demikianlah keterangan yang dapat kami berikan. Atas perhatiannya, diucapkan terima kasih. 13.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih. Silakan kembali dulu ke tempat duduk. Ya, sambil menunggu dari Kejaksaan Agung sampai saat ini belum hadir, dipersilakan dari meja Hakim, mungkin ada yang ingin mengajukan pertanyaan? Ya, Yang Mulia Pak Palguna.
14.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Terima kasih, Yang Mulia. Baik, saya kira, Komnas HAM sudah mengetahui ya apa yang dimintakan oleh ... atau peristiwa yang dialami oleh Pemohon. Oleh karena itu, saya tidak perlu mengulang lagi bagaimana peristiwa bolakbalik antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM. Saya cuma ingin menggarisbawahi satu hal saja dari pernyataan atau dari keterangan dari Komnas HAM ini. Yang di halaman 2 saya kasih halaman karena di aslinya tidak ada halaman, di lembar kedua pada bagian terakhir. Selama 13 tahun terjadi bolak-balik, 7 ... 7 berkas hasil penyelidikan pelanggaran HAM yang berat antara Komnas HAM dengan Jaksa Agung, tanpa ada titik temu terkait lengkap atau tidak lengkapnya hasil penyelidikan tersebut. Saya ingin mendalami pernyataan ini begini, Ibu Siti ya. Tidak ada titik temu itu dalam kaitannya dengan persoalan sampai di mana batas Kewenangan Komnas HAM, di mana batas kewenangan Komnas HAM berakhir, dan di mana batas kewenangan Kejaksaan Agung dimulai? Ataukah tidak ada titik temu mengenai pengertian atau ruang lingkup penyelidikan itu sendiri yang menjadi persoalan? Misalnya konkretnya begini. Kalau memang itu tidak lengkap, itu menyangkut bukti, apakah itu memang tugas penyelidik atau tugas penyidik? Misalnya begitu ya. Ataukah misalnya tidak lengkap dalam pengertian untuk menyatakan telah terjadi atau tidak terjadi pelanggaran HAM yang berat, titik temu pada yang ... bagian yang mana ini yang dimaksud yang tidak pernah ada antara Komnas HAM dan kejaksaan itu, sehingga bolak-balik tujuh berkas itu, ya? Itu ... itu pertanyaan saya. Dengan demikian, kiranya akan menjadi terang apabila dari Pihak Komnas HAM sekarang ini memberikan keterangan mengenai soal itu dan mungkin nanti juga dari pihak Kejaksaan, kami akan menanyakan soal yang sama mengenai soal ini, sehingga akan menjadi lebih jelas 9
sesungguhnya di mana letak persoalan ini berada. Karena ini yang kemudian lalu “dipersalahkan” oleh Pemohon itu adalah ketentuan dari undang-undangnya yang mengatur soal ini. Kami khawatir kalau ini adalah persoalan perbedaan penafsiran. Nah, itu yang kami mau sampaikan kepada Ibu Siti. Terima kasih, Yang Mulia. 15.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih. Yang Mulia Pak Patrialis, silakan.
16.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Ya. Saya juga ingin mendapatkan satu gambaran dari Komnas HAM. Jadi, dengan bolak-baliknya penanganan kasus pelanggaran ... yang dugaan pelanggaran HAM Berat tadi, itu kan menunjukan bahwa penyelesaian masalah dugaan pelanggaran HAM Berat itu tidak mudah, kan begitu, faktanya demikian. Apakah juga pernah Komnas HAM memikirkan, ya, memikirkan satu alternatif lain dengan rekomendasi-rekomendasi dari Komnas HAM dalam menyelesaikan masalah pelanggaran HAM ini, apakah peradilan HAM itu satu-satunya yang diharapkan ataukah juga ada keinginan untuk mencoba semacam menyelesaikanlah, ya, menyelesaikan pelanggaran HAM. Jadi tidak hanya peradilan, ultimum remedium, ya, the last resort itu, lembaga peradilan. Apalagi kan ternyata di beberapa negara-negara selain dari Indonesia yang tidak pakai Pancasila, mereka bisa menyelesaikan. Nah, saya ingin tahu dari Komnas HAM ini bagaimana? Apa satu-satunya hanya dituju harus pengadilan, harus pengadilan, ternyata ini kan enggak selesai? Nah, sehingga isu terhadap masalah pelanggaran HAM ini tidak pernah berhenti di negara kita ini. Kita juga pernah mendengar konsep rekonsiliasi, ya kan, jadi bukan ansicht judicial. Saya hanya ingin mendapat gambaran dari pikiran Komnas HAM bagaimana? Terima kasih.
17.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, masih ada, Yang Mulia Prof. Aswanto.
18.
HAKIM ANGGOTA: ASWANTO Terima kasih, Yang Mulia. Ibu yang mewakili Komnas HAM, ya. Saya ingin … apa ... yang mungkin bisa konkret gitu, ya, ini soal bolak-balik.
10
Dalam soal bolak-balik perkara antara penyelidik dan penyidik. Komnas HAM sebagai penyelidik, lalu Kejaksaan ... Jaksa Agung sebagai penyidik, apakah bolak-baliknya itu disebabkan karena memang tidak bisa dipenuhi petunjuknya? Kan ketika Komnas menyerahkan ke penyidik kan ada petunjuk situ, ini lengkapi ini, gitu. Dan kalau misalnya itu tidak apa ... katakanlah itu sudah dilengkapi oleh Komnas HAM. Lalu kemudian, tidak ... kenapa tidak bisa jalan kalau misalnya Komnas HAM sudah memenuhi petunjuknya penyidik, dalam hal ini Jaksa Agung? Atau mungkin makna titik temu tadi adalah apakah petunjuknya yang berubah dan bertambah? Misalnya pada pengembalian pertama misalnya, Jaksa Agung memberikan petunjuk, tolong dilengkapi ini. Mungkin Komnas HAM sudah melengkapi, lalu kemudian dikembalikan, lalu berubah lagi yang diminta untuk dilengkapi? Apakah seperti itu atau memang yang pertama tadi, petunjuk pertama enggak bisa dilengkapi? Dan kalau bisa ada contoh gitu dari tujuh kasus itu, ya. Terima kasih, Yang Mulia. 19.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, masih ada tambahan dari Yang Mulia.
20.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Saya juga ingin menambahkan, dengan berlarut-larut seperti dikatakan tadi, apakah ini juga merupakan satu indikasi sangat sulit memenuhi atau mencari bukti-bukti, dokumen-dokumen yang sudah begitu lama, ya. Apalagi kalau kita lihat dalam Undang-Undang HAM kita, terutama dalam peradilan HAM Berat itu, kalau pelanggaran HAM Berat masa lalu itu kan harus ada rekomendasi dari Dewan Perwakilan Rakyat. Kita tahu beberapa kali DPR juga pernah membuat pansus-pansus, ya, terhadap dugaan pelanggaran-pelanggaran HAM. Itu bagaimana di Komnas HAM menanggapi hasil-hasil pansus itu? Apakah yang sudah direkomendasikan, yang sudah diputuskan dalam pansus-pansus DPR, terus tetap Komnas HAM mengatakan ya ini harus tetap jalan? Atau memang ya sudah, gitu? Bagaimana coba?
21.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, dipersilakan untuk menanggapi tiga pertanyaan. Oh, masih ada? Masih ada satu lagi dari Yang Mulia Pak Suhartoyo.
22.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Terima kasih, Pak Ketua.
11
Ibu Siti, sedikit lagi dari saya tambahan. Kalau saya cermati, barangkali pencermatan saya ini tidak pas, tapi bisa juga perlu dipertimbangkan untuk apakah hal itu benar adanya, ya. Karena begini, kalau saya cermati bahwa ketika Komnas HAM mempunyai argumen bahwa kewenangannya pada titik atau pada batas penyelidikan, sehingga ketika dikaitkan dengan ruang lingkupnya hanya sebatas menemukan peristiwanya, sehingga di situ ada sebenarnya yang ada sesuatu yang sangat esensial yang menurut saya ditinggalkan. Kalau dari penyelidikan pihak Komnas HAM, misalnya menemukan peristiwa, saya kira tidak hanya pada sampai pada titik menemukan peristiwa dan korbannya, sebenarnya kalau memang bisa menemukan pelakunya, dari Komnas HAM sebenarnya juga harus ditegaskan dan tidak perlu raguragu. Karena barangkali itu yang kemudian menjadi persoalan yang mendasar di bagian penyidik sana di Kejaksaan Agung, memang sebenarnya kami juga pengin sangat mendengar, pengin mendengar sekali dari pihak Kejaksaan Agung ini. Apakah masing-masing kedua lembaga ini kemudian ada ... sangat ada kendala psikologis untuk menentukan siapa sih sebenarnya pelaku ini? Sebenarnya masingmasing barangkali sebenarnya punya gambaran. Kalau memang dari penyidik dalam hal ini Komnas HAM punya gambaran bahwa a, b, c, sebutkan saja, kemudian toh nanti ditindaklanjuti oleh bagian atau di tingkat kewenangan penyidik, itulah yang menentukan, apakah ditemukan adanya tersangka apa tidak, kan di sana nanti, berdasarkan bukti-bukti yang cukup, sehingga .... tapi kalau masih, istilahnya sesuatu yang dalam karung yang tidak tampak siapa pelakunya, ya pasti itu akan mungkin tidak cukup tujuh kali, mungkin akan seterusnya seperti itu. Terlebih sekarang apa yang dimohonkan Pemohon barangkali ketika dicukupkan pun, misalnya ini ada pertimbangan dari Mahkamah bahwa disertai dengan petunjuk yang jelas misalnya. Petunjuk yang jelas itu kalau sampai pada titik pelakunya siapa, sementara Komnas HAM apalah daya tangan tak sampai atau memang ada keragu-raguan di sana, juga enggak bakal ketemu sampai kapan pun. Memang harus ada keberanian, Ibu, dari penyelidik itu. Tidak mungkin kan menemukan peristiwa menemukan korbankorban ada beberapa korban sudah kita ketahui, salah satu orang tuanya kemarin jadi saksi. Yang pelakunya itu, mestinya paling tidak kalau tidak bisa menyebutkan secara konkret personalnya, kan paling tidak yang mendekati, apakah lembaganya apakah ... apakah itu juga sudah disampaikan Komnas HAM ketika menyampaikan hasil penyelidikan ke penyidik? Barangkali bisa dijelaskan, Ibu, di sini supaya nanti sebenarnya kalau ada Kejaksaan Agung, bisa … jangan saling lempar kalau di depan ada dua pihak yang ... ada kan saling bisa memberikan pertanggungjawaban sebenarnya. Barangkali itu, Yang Mulia. Terima kasih.
12
23.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Dipersilakan untuk menanggapi dari empat Yang Mulia tadi, silakan.
24.
KOMNAS HAM: SITI NOOR LAILA Baik, terima kasih, Yang Mulia. Dari pertanyaan yang pertama, terkait dengan bolak-baliknya berkas yang terus-menerus hingga pada terakhir bulan Juni 2014. Ada beberapa hal yang memang menjadi perbedaan persepsi antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung terkait dengan pertama adalah soal hukum formil yang disampaikan bahwa penyelidik harus di bawah sumpah. Di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, tidak ada yang mengatur … sama sekali tidak ada yang mengatur terkait dengan penyelidik harus melakukan sumpah. Nah, petunjuk itulah yang kemudian kami sampaikan kepada Jaksa Agung bahwa proses 3 kasus sebelumnya juga tidak ada … tidak dilakukan sumpah, tidak menjadi persoalan. Kemudian, 7 berkas yang … apa … yang masih sekarang dalam proses di Kejaksaan Agung, tentu kami juga menolak untuk melakukan sumpah karena memang tidak ada yang mengatur terkait dengan bahwa Komnas HAM atau penyelidik atau penyelidik ad hoc untuk dilakukan sumpah. Nah, itu yang … apa … selalu petunjuk itu selalu ada, berkali-kali itu selalu itu yang disampaikan petunjuknya. Kemudian yang kedua, terkait dengan … apa … yang ditanyakan juga soal pelaku. Nah, tentu Komnas HAM karena kewenangannya melihat pada persoalan … apa … peristiwanya. Tapi sesungguhnya kalau kemudian dibaca berkas yang hasil penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM, maka beberapa keterangan saksi sesungguhnya menyebutkan nama. Tapi kan di Komnas HAM tidak bisa menyebutkan sebagai pelaku karena baru diduga terjadinya pelanggaran HAM yang berat. Nah, tapi kalau dibaca, mungkin kalau diperlukan, nanti kami bisa memberikan beberapa … apa … hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Komnas HAM yang secara lengkap. Di situ sebenarnya beberapa keterangan dari saksi menyebutkan nama yang diduga sebagai pelaku. Tapi, tentu kami Komnas HAM tidak bisa menyatakan bahwa mereka adalah tersangka atau … apa … pelakunya, begitu. Nah, ini … apa … yang itu karena masuk kemudian pada kewenangan penyidik. Kemudian, terkait dengan … terkait dengan soal belum pernah ada petunjuk yang disampaikan oleh Jaksa Agung untuk melakukan melengkapi atas … apa … kurang lengkapnya dari sebuah peristiwa itu, yang diduga sebagai pelanggaran HAM yang berat. Jadi, justru itu yang malah tidak pernah ada. Dan mungkin nanti kalau Majelis Yang Mulia memerlukan beberapa surat-menyurat antara Kejaksaan Agung dan 13
Komnas HAM, kami juga bisa susulkan kepada Majelis untuk dipelajari sebagai berikut. Kemudian, penyelesaian pelanggaran HAM memang di dalam undang-undang sendiri, dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2006 juga membuka peluang untuk dilakukan tidak hanya pada proses yudisial, tapi juga KKN yang harus diatur di dalam undang-undang. Nah, kalau kita mau perbandingkan juga, di negara-negara hampir semua penyelesaiannya berbeda-beda. Jadi, tidak ada penyelesaian yang tunggal dalam persoalan pelanggaran … penyelesaian pelanggaran HAM Berat. Di beberapa negara terjadi perbedaan juga. Nah, kemudian di Indonesia, di Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 sesungguhnya juga membuka peluang untuk dilakukan dengan cara rekonsiliasi yang harus dibuat di dalam bentuk undang-undang, yang sampai sekarang setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang KKR, sampai sekarang belum ada Undang-Undang KKR yang baru. Nah, sehingga di dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang pada saat itu membatalkan Undang-Undang KKR, sebenarnya juga ada peluang Pemerintah bahwa Presiden boleh melakukan langkah politik untuk penyelesaian pelanggaran HAM Berat. Nah, tentu inisiatif ini kemudian juga harus datang dari Pemerintah karena Mahkamah Konstitusi memerintahkan kepada Presiden Republik Indonesia untuk menyelesaikan melalui langkah politik. Jadi, tentu Komnas HAM tidak semata-mata hanya berpikir pada jalan judicial, tapi juga nonjudicial. Nah, tapi jalan nonjudicial yang dimandatkan oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 adalah melalui Undang-Undang KKR. Putusan MK melalui kebijakan politik Presiden, tidak ada mandat kepada Komnas HAM untuk melakukan langkahlangkah di luar judicial. Sehingga tentu kemudian … apa … kami tidak bisa mengambil inisiatif terlebih dahulu untuk melakukan langkahlangkah penyelesaian di luar nonjudicial. Kemudian, terkait dengan petunjuk … tadi kami sampaikan dari petunjuk … apa ... Jaksa Agung bahwa terkait dengan … apa ... formilnya di bawah sumpah, itu yang kami … apa ... memang tidak bersedia untuk melaksanakan karena tidak ada landasan undang-undang yang mengharuskan Komnas HAM, penyelidik, atau penyelidik ad hoc dilakukan di bawah sumpah. Karena di dalam Undang-Undang Nomor 26, yang harus di bawah sumpah adalah penyidik, penuntut umum, dan hakim. Jadi itu yang bisa kami sampaikan (...) 25.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Itu Ibu yang DPR tadi, DPR?
14
26.
KOMNAS HAM: SITI NOOR LAILA Yang apa?
27.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR DPR, rekomendasi DPR.
28.
KOMNAS HAM: SITI NOOR LAILA Yang rekomendasi DPR. DPR RI merekomendasi pada satu kasus penghilangan orang secara paksa yang berkirim surat kepada Presiden Republik Indonesia, pada waktu itu masih periode Pak Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera membentuk pengadilan ad hoc, yang sampai sekarang telah terjadi pergantian presiden, tapi itu belum dilaksanakan. Kemudian, juga ada persoalan dalam konteks … apa ... proses politik yang dilakukan, Mahkamah Konstitusi juga … apa ... tidak menyarankan untuk DPR tidak masuk pada materinya, tapi sebenarnya lebih pada dorongan politik untuk mendorong Pemerintah menyelesaikan pelanggaran HAM-nya. Karena yang lalu, dalam rekomendasi DPR RI, itu disampaikan bahwa kasus ini masuk pada pelanggaran HAM, kasus itu tidak masuk pelanggaran HAM. Nah, ini yang kemudian di … apa ... mintakan ke MK dan kemudian sudah di … apa ... sudah diperjelas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi. Maaf saya nomornya lupa, tapi bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tidak … apa ... meminta kepada DPR RI untuk tidak masuk pada materinya, tetapi lebih kepada memberikan dukungan politik untuk penyelesaian pelanggaran HAM-nya. Jadi, itu yang bisa kami sampaikan dan hanya satu rekomendasi dari DPR RI, yakni kasus penghilangan orang secara paksa. Terima kasih.
29.
KETUA: ANWAR USMAN Baik, terima kasih. Kebetulan dari Kejaksaan Agung sudah hadir, dipersilakan untuk menyampaikan keterangannya. Siapa yang mewakili? Oh, kenalkan diri dulu sebelum memberikan keterangan siapa saja yang hadir, Pak? Disampaikan dulu, diperkenalkan di situ ya, siapa saja yang hadir?
30.
KEJAKSAAN AGUNG: ABDUL KADIRUN Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum wr. wb. Majelis Mahkamah Konstitusi yang saya hormati, mohon izin, dan mohon maaf tadi agak terlambat karena ada suatu hal di kantor juga.
15
Perlu kami kenalkan, saya Abdul Kadirun, Pak, selaku Dir. Tata Usaha Negara. Di sebelah saya, Pak Maruli Hutagalung, Direktur Penyidikan. Bapak Sugeng Purnomo, Koordinator di Dinsus. Bapak Muhammad Sunarto, di Datun. Pak Toto di Dinsus, Kasubdit. Dan JPN yang paling sebelah kiri Muhammad Fadil. 31.
KETUA: ANWAR USMAN Baik, terima kasih. Langsung di podium.
32.
KEJAKSAAN AGUNG: ABDUL KADIRUN Keterangan Jaksa Agung Republik Indonesia selaku Pihak Terkait atas Permohonan Pengujian Pasal 20 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kepada Yang Terhormat Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Dengan hormat, yang bertanda tangan di bawah ini: Nama: H. M. Prasetyo, S.H., selaku Jaksa Agung Republik Indonesia. Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Jaksa Agung Republik Indonesia, berdasarkan Surat Perintah tanggal 8 September 2015 Nomor: Sprint 062/A/JA/09/2015, dengan hormat kami menyampaikan keterangan sebagai Jaksa Agung Republik Indonesia selaku Pihak Terkait atas Permohonan Pengujian Pasal 20 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia yang dimohonkan oleh: 1. Paian Siahaan. Lahir di Balige, tanggal 18 Maret 1947. Agama Kristen. Pensiunan. Kewarganegaraan Indonesia. Beralamat di RT 003/RW 001 Kelurahan Beji Timur, Kecamatan Beji, Depok, Jawa Barat, untuk selanjutnya disebut Pemohon Pertama. 2. Yati Ruyati. Lahir di Bandung, tanggal 3 Maret 1946. Pekerjaan pengurus rumah tangga. Warga Negara Indonesia. Beralamat Kampung Jembaran RT 001/RW 002 Kelurahan Penggilingan, Kecamatan Cakung, Jakarta, untuk selanjutnya disebut Pemohon Kedua. Yang dalam permohonan ini memberikan kuasa kepada Haris, S.H., Sarjana Hukum, Magister Hukum, Chrisbiantoro, S.H., L.LM., Yati Andriyani, S.H., Muhammad Burhanuddin, S.H., M.H., Feri Kusuma, S.H., dan Tioria Pretty adalah Tim Kuasa Hukum korban pelanggaran HAM Berat yang berdomisili di Komisi untuk orang hilang dan tindak kekerasan, Jalan Borobudur No. 14 Menteng, Jakarta.
16
Masing-masing berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Mei 2015 bertindak untuk dan atas nama Pemohon untuk mengajukan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM terhadap Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya, disebut sebagai Pemohon sesuai dengan Register di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Nomor 75/PUU-XIiI/2015, tanggal 6 Juli Tahun 2015. Selanjutnya, perkenankan Jaksa Agung menyampaikan keterangan tertulis atas permohonan pengujian a quo sebagai berikut. Sebelum membahas materi pokok perkara yang dimintakan untuk uji materi kepada Mahkamah Konstitusi terkait Permohonan Pengujian Pasal 20 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ke hadapan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk selanjutnya disebut dengan Mahkamah, terlebih dahulu perlu dibahas beberapa hal sebagai berikut. a. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berwenang untuk mengadili dan memutus Permohonan Pengujian Pasal 20 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi. Apakah Para Pemohon memiliki hak konstitusional yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang tersebut? In casu Pasal 20 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia. Berdasarkan Ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sehingga Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon di hadapan Mahkamah Konstitusi. Adapun alasan uji materi Para Pemohon sebagai berikut. 1. Bahwa objek permohonan pengujian ini adalah muatan dalam Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Peradilan HAM sepanjang frasa kurang lengkap dan seterusnya yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut, “Dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut kepada penyelidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dalam waktu 30 hari sejak tanggal diterimanya hasil penyelidikan, penyidik wajib melengkapi kekurangan tersebut.” 2. Bahwa Jaksa Agung terus memberikan berkas hasil penyelidikan kepada Komnas HAM sehingga 6 kali, yakni berkas perkara: 1) Peristiwa Trisakti, Semanggi I Tahun 1998 dan Semanggi II Tahun 1999, 17
3.
4.
5.
6.
7.
2) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, 3) Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, 4) Peristiwa Talangsari, 5) Peristiwa 1965-1966, 6) Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, dan 7) Peristiwa Wasior dan Wamena Papua (nonretroaktif). Berdasarkan jawaban Jaksa Agung dalam setiap pernyataan di atas, terlihat Jaksa Agung menafsirkan frasa kurang lengkap, mencakup syarat materiil dan syarat formil mulai dari belum cukup bukti memenuhi unsur pelanggaran HAM yang berat, sehingga belum terbentuknya peradilan HAM ad hoc, sementara Komnas HAM terus menyerahkan kembali hasil penyelidikan mereka kepada Kejaksaan Agung karena merasa tugas mereka sebagai penyelidik telah selesai, yakni menentukan ada atau tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran HAM Berat. Bahwa frasa kurang lengkap Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan HAM, sebagai berikut, “Dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) masih kurang lengkap. Penyelidik … ulangi, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut kepada penyelidik disertai petunjuk yang jelas, sebagaimana Pasal 8 dan Pasal 9 untuk dilengkapi dalam waktu 30 hari sejak tanggal diterimanya hasil penyelidikan … penyidikan wajib melengkapi kekurangan tersebut. Bahwa Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang Pengadilan HAM beserta penjelasan kedua pasal tersebut, mendefinisikan unsurunsur tindak pidana kejahatan genosia dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang maka keduanya dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang Pengadilan HAM. Oleh karena secara tersirat frasa kurang lengkap dibatasi secara limitatif, yaitu memenuhi unsur-unsur pelanggaran HAM yang berat, sebagaimana Pasal 8 … Pasal 8 dan Pasal 9 beserta penjelasan kedua pasal tersebut, namun Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan HAM tidak memberikan penjelasan dan penekanan yang tegas bahwasanya frasa kurang lengkap harus mengacu kepada unsur-unsur pelanggaran HAM yang berat dalam Pasal 8 dan Pasal 9 undang-undang tersebut, yakni syarat materiil. Multitafsir yang berujung pada perbedaan penafsiran antara para penegak hukum ini telah mengakibatkan Para Pemohon dirugikan hak konstitusional selama 13 tahun. Menurut Para Pemohon, Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan HAM dan penjelasan pasalnya telah merugikan hak konstitusional Para Pemohon yang diberikan dalam Pasal 20D ayat 18
(1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. 8. Bahwa multitafsir frasa kurang lengkap dalam pasal dan penjelasan pasal tersebut berujung bolak-balik selama kurun waktu 13 tahun telah mengakibatkan kerugian konstitusional berupa hak untuk mendapatkan kepastian hukum sesuai Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, termasuk kepastian hukum untuk mendapatkan hak-hak selaku korban dan keluarga korban pelanggaran HAM Berat, yakni hak restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi. 9. Bahwa frasa kurang lengkap pada Pasal 20 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan HAM bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena: a) Ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 deklarasi prinsip-prinsip dasar keadilan bagi korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan Resolusi Majelis Umum PBB 40/34, 29 November 1985 untuk dijamin dan dilindungi oleh negara. b) Bahwa selama 13 tahun telah dilakukan upaya-upaya untuk mendorong Kejaksaan Agung, Komisi DPR RI untuk melindungi hasil penyelidikan Komnas HAM ke tahap penyidikan. c) Akibat ketidakjelasan penafsiran, menyebabkan perbedaan tafsir mengakibatkan tidak mendapat kemudahan dalam memperoleh keadilan. 10. Frasa kurang lengkap dalam Pasal 20 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Peradilan HAM bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena ketentuan nondiskriminasi dalam Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sebagaimana UndangUndang Nomor 39, Undang-Undang Nomor 99 tentang HAM. b. Para Pemohon mengalami perbedaan terkait dengan tidak kunjung selesainya proses peradilan atas pelanggaran HAM karena bolak-balik (…) 33.
KETUA: ANWAR USMAN Itu dan seterusnya itu sampai ke angka III ya … itu dilewati saja. Jadi, langsung ke … III ya, Penjelasan Jaksa Agung atas Permohonan Pengujian. Nah, langsung ke situ. Tadi hanya pengulangan saja dari … apa … isi petitum permohonan Pemohon. Nah, dilewati saja, Pak. Halamannya tidak ada ini. Oh, ya, halaman 10 kalau sudah ditulis ini, III.
19
34.
KEJAKSAAN AGUNG: ABDUL KADIRUN III.
35.
Penjelasan Jaksa Agung atas Permohonan Pengujian.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, silakan.
36.
KEJAKSAAN AGUNG: ABDUL KADIRUN Permohonan Pengujian Pasal … Pasal 20 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asas terhadap Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa sebelum Jaksa Agung memberikan keterangan atas materi yang dimohonkan untuk diuji, perkenankanlah Jaksa Agung RI menyampaikan hal-hal sebagai berikut. 1. Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Deklarasi tentang Hak Asasi Manusia, Ketetapan MPR-I Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak … tentang Hak Asasi Manusia harus dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab sesuai dengan falsafah yang terkandung dalam pasal … Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan asas-asas hukum internasional. 2. Bahwa dalam melaksanakan Ketetapan MPR-RI Nomor XVIII/MPR/1998 dilakukan dengan cara pemberian perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia melalui pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Pengadilan HAM, serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Untuk melaksanakan ketetapan tersebut perlu dibentuk Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang merupakan perwujudan tanggung jawab Bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di samping hal tersebut, pembentukan Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia juga mengandung suatu misi pengemban tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan deklarasi universal Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta yang terdapat dalam berbagai instrumen hukum lainnya yang mengatur Hak Asasi Manusia yang telah disahkan dan/atau diterima oleh Negara Republik Indonesia. 3. Bahwa bertolak dari perkembangan hukum, baik ditinjau dari kepentingan nasional maupun dari kepentingan internasional, maka untuk menyelesaikan masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dan mengembalikan keamanan dan perdamaian Indonesia, 20
perlu dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia yang merupakan pengadilan khusus bagi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Dengan merealisasikan terwujudnya Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam bentuk Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 4. Pembentukan Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut. 1) Peraturan perundang-undangan yang berlaku, belum dapat menjangkau setiap pelanggaran HAM Berat. Karena rumusan pelanggaran HAM Berat tidak sama dengan perumusan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 2) Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat merupakan extraordinary crime dan berdampak pada secara luas, baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana, serta menimbulkan kerugian, baik materiil maupun immateriil. 3) Terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat diperlukan langkah-langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang bersifat khusus. Kekhususan dalam penanganan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah: (a) diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut umum ad hoc, dan hakim ad hoc, (b) diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan dari pengaduan atau pengaduan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (c) diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan, (d) diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi, (e) diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kedaluwarsa bagi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. 4) Mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat seperti genosida dan kejahatan terhadap pemeriksaan yang berdasarkan hukum internasional dapat digunakan asas retroaktif sebagai perlindungan Hak Asasi Manusia itu sendiri, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi, “Dalam menjalankan hak dan keabsahannya … kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral 21
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketentuan umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Oleh karena itu, undang-undang ini juga mengatur pengadilan HAM ad hoc untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini. Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden dan berada di lingkungan peradilan umum. 5) Bahwa sehubungan dengan anggapan Pemohon dalam permohonannya yang mendalilkan Ketentuan Pasal 20 ayat (3) dan penjelasannya yang menyatakan 20 ayat (3), “Dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 hari sejak diterimanya hasil penyidik … penyelidikan, penyidik wajib melengkapi kekurangan tersebut. Penjelasan ayat (3), “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan kurang lengkap adalah belum cukup memenuhi unsur pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang dilanjutkan ke tahap untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan.” Ketentuan di atas oleh para Pemohon bertentangan dengan Ketentuan Pasal 28D ayat (1), 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Terhadap dalil dari Para Pemohon tersebut, Jaksa Agung memberikan keterangan sebagai berikut. Bahwa perlu dijelaskan pengertian dari penyelidikan dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2000 adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. Adapun pelaksanaan penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia diatur di dalam Pasal 18, yaitu ayat (1), penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, (2) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam melakukan penyelidikan, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan unsur masyarakat. Alasan penyelidikan harus dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dimaksudkan untuk menjaga objektivitas hasil penyelidikan karena lembaga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia adalah lembaga yang bersifat independen. Bahwa berdasarkan penjelasan sebelumnya, dijabarkan bahwa terhadap perkara pelanggaran HAM Berat penanganannya berbeda dengan perkara pidana pada umumnya, yang antara lain dalam hal acara 22
penyelidikan menurut KUHAP diintrodusir dengan motivasi perlindungan hak asasi manusia dan pembatasan ketat terhadap penggunaan upaya paksa, di mana upaya paksa baru digunakan sebagai tindakan terpaksa dilakukan penyelidikan mendahului tindakan lain, yaitu untuk menentukan apakah suatu peristiwa yang diduga tindak pidana dapat dilakukan penyidikan atau tidak. Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, penyidikan itu dapat dimulai, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 yang menyatakan dalam hal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berpendapat bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup, telah terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat, maka kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan kepada penyidik. Adapun untuk sampai kepada kesimpulan bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia harus didasarkan pada hasil penilaian terhadap informasi atau data-data yang diperoleh oleh Komisi Nasional. Bahwa dengan mengadakan penyelidikan, maka penyelidik harus mempunyai pengetahuan tentang unsur-unsur atau ketentuan tentang pelanggaran hak asasi manusia yang berat, seperti tercantum dalam Ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Pengadilan HAM, hal itu diperlukan untuk menentukan apakah telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia dan siapa pelakunya. Bila penyelidik kurang menguasainya, maka arah penyelidikan menjadi kurang terarah dan tidak menentu, yang memungkinkan untuk menghasilkan suatu kesimpulan yang keliru. Dengan hasil penyelidikan yang baik dan telah disusun secara rinci, sehingga penyelidik berkesimpulan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia, maka penyelidik melaporkan hasil penyelidikan itu kepada penyidik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) undangundang a quo, yaitu dalam hal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berpendapat bahwa bukti permulaan yang cukup telah terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat, maka kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan pada penyidik. Bahwa yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana bahwa seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Dalam melakukan penyelidikan tetap dihormati asas praduga tidak bersalah, sehingga hasil penyelidikan bersifat tertutup, tidak disebarluaskan sepanjang menyangkut nama-nama yang diduga melanggar hak asasi manusia yang berat sesuai dengan ketentuan Pasal 92 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Bahwa setelah penyelidik membertahukan tentang akan dilakukan penyelidikan berdasarkan kesimpulan yang telah disampaikan kepada penyidik, maka dalam tempo paling lama 7 hari kerja setelah kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyerahkan seluruh hasil penyelidikan kepada penyidik.
23
Tentang Ketentuan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tidak bertentangan dengan undang-undang … dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Bahwa ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta diperlakukan yang sama di hadapan hukum.” Bahwa dalam penyelidikan pelanggaran hak asasi manusia apabila penyidik berpendapat hasil penyelidikan yang telah dilakukan oleh penyelidik masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut pada penyidik … penyelidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dalam waktu 30 hari sejak tanggal diterima hasil penyelidikan, penyelidik wajib melengkapi kekurangan tersebut. Bahwa frasa kurang lengkap pada Pasal 20 ayat (3) UndangUndang Pengadilan HAM dipertegas dalam Ketentuan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang berbunyi, “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan kurang lengkap adalah belum cukup mengenai unsur pelanggaran hak asasi manusia yang berat untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan. Bahwa Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Peradilan Hak Asasi Manusia sudah cukup memberikan batasan yang secara limitatif yang dimaksud dengan kurang lengkap adalah belum cukup mengenai unsur pelanggaran hak asasi manusia. Dengan demikian, frasa kurang lengkap pada Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia tidak bersifat multitafsir. Oleh karena itu, anggapan para Pemohon yang menyatakan frasa kurang lengkap pada Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah multitafsir merupakan dalil yang tidak benar. Karena walaupun tidak menambah dan memasukkan frasa yang jelas, sebagaimana Pasal 8 dan Pasal 9 pada Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia hal tersebut tidak akan mengurangi makna bahwa frasa kurang lengkap memiliki pengertian yang sama, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 20 ayat (3) UndangUndang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Justru dengan menambah dan memasukkan frasa yang jelas sebagaimana Pasal 8 dan Pasal 9 pada Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia seperti yang dimohonkan Para Pemohon, maka bunyi pasal menjadi berlebihan yang maknanya sama sekali tidak mengubah esensi dari bunyi Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang telah ada. Demikian pula jika Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia dilakukan perubahan dan ditambah 24
redaksinya dengan frasa sebagaimana unsur-unsur tindak pidana yang dijelaskan pada pasal dan penjelasan Pasal 8 dan Pasal 9 justru berbunyi pasal menjadi berlebihan, sementara maknanya sama sekali tidak mengubah esensi dari bunyi Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang telah ada. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dipahami bahwa Ketentuan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia justru memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum, serta perlakuan sama di hadapan hukum dengan adanya frasa kurang lengkap dan pengembalian hasil penyelidikan kepada penyidik karena faktor kurang lengkap, justru supaya penyelidikan pelanggaran HAM benar-benar memenuhi persyaratan untuk ditindaklanjuti dengan penyidikan. Dengan demikian, Ketentuan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia sama sekali tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Tentang Ketentuan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia tidak bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan, “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” Bahwa frasa kurang lengkap pada Ketentuan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan frasa kurang lengkap pada Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, justru membuktikan agar penyelidikan yang dilakukan Komisi Penyelidik dituntut untuk benar-benar menentukan perbuatan pelanggaran hak asasi manusia. Adanya frasa kurang lengkap pada Pasal 20 ayat (3) UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan frasa kurang lengkap pada Penjelasan Pasal 20 ayat (3) UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia merupakan sarana agar hasil penyelidikan pelanggaran HAM secara yuridis dapat mengungkap dan menemukan siapa pelaku perbuatan pelanggaran HAM, sehingga kelengkapan berkas perkara sebagai syarat formil dan pemenuhan alat bukti, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25
184 KUHAP sebagai syarat formil … ulangi sebagai syarat materiil harus terpenuhi secara lengkap. Dengan demikian, adanya frasa kurang lengkap pada Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan frasa kurang lengkap pada Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia membuktikan pasal dan penjelasannya menjunjung tinggi persamaan dan keadilan, baik pada pelaku-pelaku pelanggaran hak asasi manusia maupun korban dan keluarganya. Oleh karena itu, maka Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia tidak bertentangan dengan Ketentuan Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Tentang Ketentuan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia tidak bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan Pasal 28I ayat (2) 1945 menyebutkan, “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif, atas dasar apa pun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” Sebagaimana telah diuraikan dan dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa frasa kurang lengkap atau Pasal 20 ayat (3) UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan frasa kurang lengkap, pada Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM bahwa Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM telah memberikan jaminan dan kepastian hukum, serta perlakuan sama di hadapan hukum. Bahwa frasa kurang lengkap pada Pasal 20 ayat (3) UndangUndang Pengadilan HAM dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dengan mengembalikan hasil penyelidikan HAM kepada penyelidik, supaya penyelidikan pelanggaran HAM Berat tersebut dilengkapi, hal ini menandakan bahwa Undang-Undang Pengadilan HAM menerapkan perlakuan hukum yang tidak bersifat diskriminatif terhadap siapa saja. Bahwa frasa kurang lengkap, pada penjelasan Pasal 20 ayat (3) UndangUndang Pengadilan HAM dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) UndangUndang Pengadilan HAM membuktikan Undang-Undang Pengadilan HAM, tersebut menjunjung tinggi persamaan hak dan kedudukan dan tidak bersifat diskriminatif setiap orang dalam hukum. Dengan mengingat perkara pelanggaran HAM Berat dapat dilakukan oleh sebuah organisasi atau perorangan yang memiliki kekuasaan, sehingga kejaksaan dan Komnas HAM harus betul-betul 26
serius dan bekerja keras dalam menentukan dan ... dalam menemukan dan menentukan pelaku sebenarnya dalam proses penyelidikan pelanggaran HAM karena sifatnya sebagai tindak pidana kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime). Dengan demikian, maka Ketentuan Pasal 20 ayat (3) UndangUndang Pengadilan HAM dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) UndangUndang Pengadilan HAM tidak bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Berdasarkan uraian di atas, terhadap dalil Para Pemohon yang menganggap ketentuan a quo telah merugikan hak konstitusionalnya karena frasa kurang lengkap bersifat diskriminatif ... bersifat limitatif dan multitafsir, sehingga menimbulkan ketidakpastian adalah dalil yang tidak benar. Kesimpulan. Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Kejaksaaan Agung Republik Indonesia memohon kepada Yang Mulia Ketua Majelis, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, memutus permohonan Pengujian Ketentuan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan HAM dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan HAM terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut. 1. Menyatakan Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara a quo. 2. Para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing). 3. Menolak permohonan pengajuan ... pengujian yang diajukan Para Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan Para Pemohon ... pengujian Para Pemohon tidak dapat diterima. 4. Menerima keterangan Kejaksaan Agung untuk seluruhnya. 5. Menyatakan Ketentuan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun demikian, apabila Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya. Atas perhatian Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, diucapkan terima kasih. Jakarta, 8 September 2015. Jaksa Agung Republik Indonesia H. M. Prasetyo. Terima kasih.
27
37.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih. Mohon kembali ke tempat dulu. Dari meja Hakim mungkin ada pertanyaan? Ya, mulai dari ujung dulu, Yang Mulia Pak Suhartoyo, silakan.
38.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Terima kasih, Pak Ketua Yang Mulia. Memang tadi kami menunggu-nunggu kehadiran Bapak-Bapak ini. Jadi ketika pertanyaan dari Majelis tadi sudah diajukan, sebenarnya cukup satu pertanyaan, tapi seperti yang disampaikan oleh Bapak-Bapak tadi karena ada persoalan-persoalan yang harus diselesaikan, sehingga kehadirannya menjadi terlambat. Saya ingin tahu dulu, yang hadir ini ada tidak di bagian atau direktorat yang khusus mengenai masalah HAM ini? Ada, di bagian apa itu, Pak? Pencet, Pak! Pencet! Biar kami dengar semua.
39.
KEJAKSAAN AGUNG: TOTO Kasubdit HAM Berat pada Jampidsus.
40.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Ada, Pak, siapa? Siapa, Pak, namanya, Pak?
41.
KEJAKSAAN AGUNG: TOTO Pak Toto.
42.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Pak Toto?
43.
KEJAKSAAN AGUNG: TOTO Ya.
44.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Ketika ada persoalan yang kemudian berkas bolak-balik, Bapak sudah dinas di situ? Belum?
28
45.
KEJAKSAAN AGUNG: TOTO Kami baru satu tahun, ya.
46.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Baru satu tahun?
47.
KEJAKSAAN AGUNG: TOTO Ya.
48.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Tapi Bapak tahu persis persoalan-persoalan yang dipersoalkan sekarang ini?
49.
KEJAKSAAN AGUNG: TOTO Tahu persis (...)
50.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Tahu (...)
51.
KEJAKSAAN AGUNG: TOTO Untuk pengembalian P-19, baru yang terakhir.
52.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO P-19?
53.
KEJAKSAAN AGUNG: TOTO Ya.
54.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Jadi kalau dari penyidik ke penyidik, juga ada P-19?
55.
KEJAKSAAN AGUNG: TOTO Ada.
29
56.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Ada. Ada, Pak?
57.
KEJAKSAAN AGUNG: TOTO Ada karena belum memenuhi unsur formil materiil.
58.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Ya. Itu kan biasa dari penuntut ke penyidik.
59.
KEJAKSAAN AGUNG: TOTO Ya.
60.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Yang selama ini Anda praktikkan.
61.
KEJAKSAAN AGUNG: TOTO Ya.
62.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Kalau dari penyidik ke penyidik juga menggunakan P-19 juga?
63.
KEJAKSAAN AGUNG: TOTO Tentu, Pak.
64.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Tentu?
65.
KEJAKSAAN AGUNG: TOTO Ya.
66.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Baik. Kalau demikian, kalau kita kaitkan dengan persoalan yang sekarang kita buka di persidangan ini, ada persoalan di Pasal 20 ayat (3) yang sebenarnya secara norma, sebenarnya persoalannya bahwa ketika 30
berkas itu belum lengkap, penyidik mengembalikan dengan diberi petunjuk untuk dilengkapi, ya kan? 67.
KEJAKSAAN AGUNG: TOTO Ya.
68.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Sampai di situ kita paham, ya. Tapi, yang diminta Pemohon ini adalah di ... di ... agar kalau belum lengkap, diberi petunjuk yang jelas. Jadi, penambahannya hanya petunjuk yang jelas itu, tapi frasa yang ada dalam norma yang sudah ada, petunjuk untuk dilengkapi. Artinya, sebenarnya secara esensial enggak ada persoalan di situ, artinya secara substansi kalau ada semangat yang sama sebenarnya antara untuk dilengkapi petunjuk yang belum lengkap itu dengan apa yang tidak jelas supaya dijelaskan kekurangannya, sebenarnya sama, itu sebenarnya. Jadi, Bapak-Bapak kan sebenarnya kalau mau menganalogkan P18, P-19, P-20 yang selama ini Bapak bolak-balik dari penuntut umum ke kepolisian yang biasanya selalu rigit, jelas, kenapa dalam hal ini kalau benar tadi apa yang disampaikan Ibu dari Komnas HAM, yang sebenarnya sudah mengilustrasikan bahwa sesuai dengan keterangan saksi-saksi sudah mengarah kepada pelaku, bahkan sudah ditunjukkan pelakunya berdasarkan saksi-saksi di situ. Sehingga ketika dikaitkan dengan keterangan Bapak tadi bahwa ada persoalan dengan unsur-unsur barang siapa atau seseorang sebagai pelaku, saya kira tidak match, ya, apa yang dipersoalkan, apa yang disampaikan Ibu dari Komnas HAM dengan apa yang disampaikan di dalam keterangannya tadi. Saya kira yang sangat mendasar di situ. Kalau unsur-unsur berikutnya, saya kira bisa dielaborasi dari peristiwa pidana ... peristiwa yang disimpulkan oleh penyelidik. Saya kira, persoalannya adalah pada unsur barang siapanya itu atau seseorang itu yang menjadi ganjaran sekarang di sini, itu berdasarkan pencermatan saya, mudah-mudahan pencermatan saya itu tidak salah. Tolong ini dicatat, Pak, nanti benar enggak dengan dokumendokumen yang ada di Kejaksaan Agung itu bahwa sebenarnya persoalan yang menjadi kendala utama sekarang ini adalah karena belum ditemukannya pelaku versi penyidik, sedangkan versinya Komnas HAM berdasarkan keterangan saksi-saksi sudah mengarah kepada pelakunya kan, Bu? Nih, Komnas HAM ada di sini, Pak. Mana yang benar ini sekarang? Sehingga sebenarnya tinggal elaborasi, dokumen ada, kemudian korban ada, unsur apalagi sebenarnya kalau saya kembalikan bahwa sebenarnya Bapak-Bapak ini kan biasa menganalogkan dengan pengembalian berkas dari penyi ... penuntut umum ke penyidik dari P-16 sampai P-21, sebenarnya kenapa ini tidak dianalogkan kalau hanya tidak 31
memenuhi unsur, seperti secara material belum memenuhi unsur, secara formal karena penyelidiknya tidak disumpah? Eh, sepertinya sepele lho itu, Pak. Hanya penyelidik, kemudian dipersoalkan, materialnya unsur-unsur belum terpenuhi, apa unsur-unsur yang dimaksudkan di situ? Itu sebenarnya kalau itu belum dijelaskan yang dimaksud adalah unsur-unsur itu barang siapa seseorang, jelaskan saja bahwa yang diminta adalah ini. Hanya kekhawatirannya kalau ternyata kesimpulan Komnas HAM sudah mengarah kepada pelaku, hanya Kejaksaan “belum” mau menindaklanjuti atau berani untuk menindaklanjuti. Kalau dugaan saya ini benar, tapi mudah-mudahan ada masalah lain yang memang mendasar, tapi itu yang sebenarnya dikehendaki oleh Komnas HAM, apa yang mendasar itu? Barangkali itu, Pak, yang menjadi hal yang sangat krusial yang ... kalau memang unsur barang siapa atau seseorang tidak bisa dipenuhi, ya, buka saja di publik bahwa perkara ini tidak cukup bukti, selesaikan. Jangan kemudian masyarakat ini digantungkan dengan persoalanpersoalan yang saling menyembunyikan. Karena kalau memang tidak cukup bukti, mau diapakan? Terutama tidak ditemukan pelakunya, hanya persoalannya bagaimana kok tidak satu bahasa, gitu lho? Barangkali itu, Pak, yang pesan saya dari Mahkamah supaya Kejaksaan Agung juga bisa memberi penjelasan kepada publik sebenarnya apa? Karena ini persoalan-persoalan nasional, jadi apa yang menjadi persoalan yang dimaksud belum cukup unsur-unsur secara materiil? Secara formilnya apa juga dasarnya Kejaksaan Agung mempersoalkan bahwa penyelidik itu harus disumpah? Kalau secara universal, ya penyidik yang harus disumpah itu. Nah, kalau penyidik itu dasar hukumnya di mana? Jelaskan kepada publik, barangkali lebih fair dan kita juga Mahkamah ini juga tidak menjadi tumpuan para pencari keadilan yang sebenarnya ada sesuatu yang buntu di sana. Atau mungkin perlu duduk satu meja, komunikasikan yang intensif antara Komnas HAM dengan ... seperti Bapak dengan ... ketika menjadi penuntut umum dengan kepolisian kan biasa duduk satu meja itu, kenapa tidak dianalogkan seperti itu untuk memudahkan dan ini demi kepentingan bangsa, Pak? Itu saja, Pak Ketua, barangkali. Terima kasih. 69.
KETUA: ANWAR USMAN Terima kasih, Yang Mulia Pak Suhartoyo. Pak Aswanto.
70.
HAKIM ANGGOTA: ASWANTO Terima kasih, Yang Mulia Ketua. Bapak-Bapak dari Kejaksaan yang mewakili Jaksa Agung, ketika mendengar dan membaca apa yang disampaikan tadi, saya menjadi ... 32
apa ... ada ... apa ... saya berkeyakinan sebenarnya bahwa persoalan bolak-balik perkara itu, itu bisa diselesaikan, begitu. Dari paparan yang disampaikan bahwa Kejaksaan Agung juga menyadari bahwa pelanggaran berat hak asasi manusia itu adalah kejahatan yang masuk kategori extraordinary crimes. Oleh sebab itu, harus ada keseriusan untuk menyelesaikannya. Ini yang Bapak paparkan di lembar satu lembar sebelum terakhir itu. Nah, ini penting menyambung apa yang disampaikan oleh Yang Mulia tadi, ini penting, Pak. Karena memang agak berbeda penegakan pelanggaran berat hak asasi manusia itu dengan penegakan hukum secara konvensional. Pelanggaran berat hak asasi manusia penegakannya tidak berhenti di negara, tetapi bisa sampai ke internasional. Dan ketika sampai di internasional, sanksinya bukan kepada siapa-siapa, bukan kepada lembaga yang tidak melaksanakan, tetapi kepada kita seluruh rakyat Indonesia. Ketika ada indikasi bahwa ada ketidakmampuan atau ada ketidakinginan (unable and unwilling) internasional bisa mengambil alih, Pak. Nah, ini saya kira kita punya persepsi yang sama bahwa Kejaksaan juga serius. Tadi dari Komnas HAM menyampaikan bahwa ketika di bolak-balik itu, tidak pernah ada petunjuk apanya yang kurang. padahal sebenarnya kalau kita coba lihat filosofinya Undang-Undang Nomor 26, Undang-Undang Nomor 26 memang agak unik, Pak. Jadi Undang-Undang Nomor 26 ini kan dia sebagai undang-undang materiil juga sekaligus sebagai undang-undang formil, tetapi ada ... apa namanya ... ada jaring pengamannya lagi soal formilnya sepanjang tidak diatur di Undang-Undang Nomor 26, itu bisa ke KUHAP. Jadi sebenarnya kalau menganalogikan tadi misalnya, ada P-19, P-20, P-21 gitu yang mestinya diikuti dengan petunjuk, Pak. Tadi Komnas HAM mengatakan kami enggak pernah diberi petunjuk, pokoknya enggak lengkap, enggak lengkap. Padahal filosofinya ini kan Komnas HAM, Jaksa Agung sebagai penyelidik itu adalah satu kesatuan, maksud saya sebagai penyidik itu adalah satu kesatuan. Nah, ini penting mungkin Bapak jelaskan, apakah betul ada norma yang bermasalah, sehingga ... apa ... sehingga terjadi bolak-balik itu atau ini soal miss komunikasi saja, gitu. Supaya kami yakin bahwa ini memang persoalan implementasi atau ini persoalan norma, itu yang mungkin Bapak bisa ... Bapak-Bapak bisa jelaskan bahwa ya memang menurut persepsi Bapak-Bapak bahwa ada persoalan, ada persoalan dari normanya gitu. Misalnya soal penyumpahan penyidik ... penyelidik tadi. Nah, kalau ini tidak jelas di sini, kita bisa merujuk ke ini, Pak. Kita bisa merujuk ke KUHAP. Bahkan di dalam instrumen internasional HAM kalau ada instrumen dalam negeri yang tidak lengkap, ada instrumen domestik yang tidak lengkap, itu kita bisa merujuk ke internasional, instrumen-instrumen internasioal tentang HAM. Misalnya, di dalam undang-undang tidak jelas apa yang dimaksud dengan sistematis dan 33
meluas, itu kita bisa merujuk ke instrumen internasioal, satu-satunya instrumen yang mengatur itu adalah Rwanda, Statuta Rwanda. Statuta Rwanda bisa kita rujuk, Pak. Nah, ini saya kira, tolong Bapak jelaskan di mana letak persoalan? Karena tadi Komnas HAM juga mengatakan bahwa sampai sekarang tidak ada kesepahaman antara Komnas HAM dengan Kejaksaan, baik dalam soal formil maupun materiil. Mungkin Bapak bisa fokus di situ. Terima kasih, Yang Mulia. 71.
KETUA: ANWAR USMAN Berikut, Yang Mulia Pak Wahiduddin.
72.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Terima kasih, Yang Mulia. Kita bersyukur ini Komnas HAM sudah ada dan juga Kejaksaan Agung. Saya ingin mengutip apa yang disampaikan oleh Komnas HAM yang menyatakan bahwa seluruh petunjuk Jaksa Agung dalam semua berkas hasil penyidikan pelanggaran HAM yang berat tidak menyatakan bahwa temuan Komnas HAM sebagai hasil penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM yang berat belum cukup memenuhi unsur pelanggaran hak asasi manusia yang berat, khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan, menurut Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Oleh karena itu, pengembalian berkas hasil penyidikan peristiwa HAM Berat yang tidak berdasar. Mendasarkan pada penjelasan tersebut, petunjuk yang diberikan oleh Jaksa Agung selaku penyidik pelanggaran HAM yang berat, seharusnya lebih menitikberatkan pada pemenuhan unsur-unsur pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Dalam hal kekurangan yang bersifat administratif dan tidak menyeluruh, vide petunjuk Jaksa Agung dalam Peristiwa Talangsari (suara tidak terdengar jelas) dapat ditindaklanjuti atau dilengkapi pada tahap penyidikan, tidak harus mengembalikan berkas penyidikan kepada penyidik, begitu. Nah, ini memang di undang-undang pasal yang dimohonkan pengujian, ini di bagian penyelidikan di Bab Hukum Acara dan sekuennya memang masih dalam kewenangan Komnas HAM, tapi dia sudah melangkah untuk bagian berikutnya penyidikan. Jadi, sebetulnya pasal yang diuji ini, ya berhubungan ya, atau istilah perundang-undangan itu ada (suara tidak terdengar jelas) bepalingen-nya, sudah mendekati hubungan di antara kedua ini. Nah, dari norma yang dimohonkan, nampaknya yang justru dipersoalkan ini boleh jadi ini pada implementasi dari hubungan kerja, boleh kita katakan penyidik dan penyelidik ini.
34
Nah, di dalam Pasal 20, ini tadi yang diuji adalah masalah kurang lengkap, lengkapi, sebetulnya ini terkait 1 hal, petunjuk untuk dilengkapi. Nah, petunjuk ini seperti yang disampaikan oleh Komnas HAM, saya ingin mendapat gambaran petunjuk ini apakah ada ketentuannya, SOPnya? Biasanya kita di kalangan itu ada juknis, juklak, nah sehingga ada pedomannya, sehingga berganti pimpinan, berganti apa ada yang kita pedomani, apalagi ini sudah 12 tahun mungkin yang kasubdit yang sekarang ya masih di daerah atau baru menanjak pegawai baru, ya Jaksa baru. Jadi, apakah ada petunjuknya? Yang disebut petunjuk untuk dilengkapi. Apakah ada SOP-nya, Peraturan Jaksa Agung? Atau ada juknis, juklaknya? Nah, sehingga bisa dipedomani di dalam untuk melengkapi ketentuan yang disebutkan pasal a quo ini. Yang kedua, berapa kali sebetulnya … apa … petunjuk itu dalam kasus ini diberikan? Dibalikkan, kasih petunjuk lagi, kasih petunjuk lagi. Kan mestinya kalau bisa 1 meja, bisa 1 kehendak, ini bisa dilakukan. Berapa kali sebetulnya itu dilakukan? Kan tujuannya agar dilengkapi sampai lengkap, bukan lalu agar dibolak-balik, tapi agar lengkap, kan, yang selama ini nampaknya bolak-balik. Kan agar dilengkapi, untuk dilengkapi, kan upaya untuk melengkapi. Nah, ini bagaimana ininya nih dalam kasus ini? Apakah ada komunikasi, diskusi, duduk 1 meja? “Oh, ini kurang lengkapnya, mari kita lengkapi,” dan lain sebagainya. Nah, ini mohon penjelasan khusus terkait ini. Jadi, sebetulnya tidak saja kurang lengkap atau dilengkapi, tapi petunjuk untuk dilengkapi. Betul-betul memberi petunjuk ya, tidak tunjuk-tunjuk. Jadi, memberi petunjuk, begitu. Nah, untuk dilengkapi supaya lengkap. Ini kan tujuannya ke sana agar supaya sekuen acaranya berlanjut ke penyidikan. Ini kan Pasal 20 masih dalam penyelidikan, nanti Pasal 21-nya sudah penyidikan, ini menuju ke sana … apa … sekuen pelaksanaan dari hukum acaranya. Saya pikir seperti disampaikan oleh Yang Mulia sebelumnya, kalau duduk 1 meja, betul-betul memberi petunjuk untuk melengkapi, tidak akan timbul atau terlalu lama sampai sekarang 12 tahun lebih ini, ya. Jadi, itu yang ingin mohon penjelasan karena terkait jadi pernyataan dari Komnas HAM tadi. Dan dalam praktiknya itu, apakah ada juknisnya, juklaknya, berapa kali terhadap kasus ini, sebetulnya bagaimana proses tunjuk-menunjuk untuk melengkapi itu? Sehingga terang-benderang kita mendapat keterangan Komnas HAM dan Jaksa Agung. Saya kira terima kasih. 73.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih. Berikutnya, Yang Mulia Pak Palguna.
35
74.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Terima kasih, Yang Mulia Pak Ketua. Bapak-Bapak dari Kejaksanaan Agung. Saya mencoba mengembalikan pola pikir kita kepada prinsip yang berlaku dalam integrated criminal justice system. Walaupun di sini untuk berlaku untuk persoalan extraordinary crime yang juga diakui oleh Bapak tadi dari Kejaksaan. Kalau kita berpikir dari sudut pandang itu, maka sesungguhnya tugas penyelidik itu adalah ringkasnya dia sampai batas menemukan ada tidaknya pelanggaran HAM Berat. Kalau kita bertugas penyelidik menemukan itu. Tugas penyidiklah kemudian untuk membuat terang tindak pidana itu dan menemukan pelakunya, baru kemudian selanjutnya pasal penuntutan, dan pengadilan, dan seterusnya, kan begitu kalau kita berpikir dari konteks integrated criminal justice system. Oleh karena itu, dari pemahaman saya ... nah, ini mohon dikoreksi kalau siapa tahu saya yang keliru. Sebenarnya kalau untuk menemukan bukti yang cukup itu bukan bebannya bukan ada pada pihak penyelidik, itu adalah tanggung jawab penyidik untuk menentukan ininya, menemukan alat buktinya dan menemukan pelakunya. Oleh karena itu, maka yang menjadi beban penyelidik dalam hal ini Komnas HAM karena ini agak berbeda dengan tindak pidana biasa, karena Komnas HAM khusus diberikan tugas untuk melakukan penyelidikan. Kalaupun ada petunjuk yang hendak diberikan kepada Komnas HAM adalah untuk menunjukkan ... bukan untuk menunjukkan ... untuk menemukan pelakunya sampai pada ini, tapi petunjuk untuk menemukan, atau penjelasan untuk menemukan, atau membuat terang bahwa untuk meyakinkan bahwa memang telah terjadi pelanggaran HAM yang berat. Andai kata pikiran kita adalah seperti itu, dalam pikiran saya kok enggak perlu rasanya bolak-balik ini, tinggal persoalannya sekarang adalah seperti yang disampaikan oleh Yang Mulia tadi Pak Suhartoyo. Bagi Kejaksaan kemudian yang menjadi penyelidik sekaligus penuntut nanti ini, apakah memang ada atau tidak, atau cukup bukti atau tidak untuk melanjutkan itu? Sebagai penyidik harus membuat kesimpulan, tidak cukup bukti, ya sudah, hentikan perkaranya, misalnya. Yang penting pencari keadilan kemudian menemukan kejelasan akan ke mana arah dari sesuatu yang di awalnya diduga sebagai adanya pelanggaran HAM Berat itu? Nah, saya kira itu yang kami inginkan dari Mahkamah ini adalah keterangan dari Bapak-Bapak dari Kejaksaan Agung setelah kami juga menanyakan hal yang mirip kepada Komnas HAM tadi, sehingga apa yang kemudian kita lihat bukan hanya ... bukanlah berita tentang bolakbaliknya, atau dalam bahasa Pemohon barangkali saling lemparnya antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM, belum lagi nanti ada campur 36
tangan memang itu secara politis memang undang-undang mengharuskan adanya campur tangan “politik” dari DPR, itu menjadi tambah rumit masalah lalu kan. Kalau ini saja bagian yang ini bisa diselesaikan antara dua lembaga ini, saya kira sebagian dari persoalan sudah mudah kita lihat, ada di mana sesungguhnya letak persoalannya, nah nanti tinggal persoalan kalau ini memang ada menyangkut memerlukan persetujuan DPR karena itu merupakan persyaratan, ya, kita lalu bisa terang melihat “Oh, ini persoalan kesungguhannya ada di mana? Atau ketidaksungguhannya ada di mana?” Saya kira begitu nantinya, Pak. Sebab begini, saya yakin Pemohon ini sesungguhnya tidak ingin mempersoalkan norma undang-undang ini, tidak mempersoalkan undang-undang ini, ya. Sebab tadi sudah disampaikan oleh Yang Mulia Pak Suhartoyo, “Andai kata semangat undang-undang diganti seperti yang dimau oleh Pemohon pun, sebenarnya itulah sebenarnya semangat yang ada dalam rumusannya sekarang.” Cuma penafsiran praktiknya di lapangan, kok jadi kayak ada masalah, gitu, sampai Pemohon memerlukan adanya penegasan bahwa disertai dengan petunjuk yang jelas tentang kekurangan itu. Padahal ya semangatnya dari norma itu ya ada, ya, ada seperti yang sekarang ini, gitu. Nah, itulah yang saya atau yang kami mohonkan keterangan dari Bapak-Bapak yang mewakili dari Kejaksaan Agung, sehingga mudahmudahan dengan ini teranglah kiranya perkara ini untuk masa yang akan datang, begitu, ya. Ya, bagaimananya penyelesaiannya nanti. Terima kasih, Yang Mulia. 75.
KETUA: ANWAR USMAN Baik. Oh, masih ada tambahan. Silakan, Yang Mulia.
76.
HAKIM ANGGOTA: ASWANTO Terima kasih, Yang Mulia. Ini minta klarifikasi ke Komnas HAM. Saya masih ingat dulu kasus ... ada beberapa kasus yang sudah disidik, sudah diselidiki oleh Komnas HAM, tapi kemudian Jaksa Agung tidak mau melakukan penyidikan karena kasus itu terjadi sebelum ada Undang-Undang Nomor 26. Yang artinya menjadi kewenangan Peradilan HAM Ad Hoc, sementara Pasal 43 sudah menjelaskan bahwa mekanisme pembetukan Peradilan HAM Ad Hoc itu adalah usul DPR kepada Presiden. Sehingga Jaksa Agung mengatakan, “Jangan-jangan saya sudah melakukan penyidikan, itu sudah pro justitia, lalu kemudian peradilannya enggak dibentuk.” Jaksa Agung mengatakan, “Saya nanti yang disalahkan.” Nah, untuk itu, klarifikasi apakah kasus-kasus yang mulai nomor 4 tadi di halaman 2 itu 4, 5, 6, 7, 8, 9, itu sudah ada mekanisme untuk … sudah 37
jalan mekanismenya untuk mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc ke Presiden. Karena saya khawatir kalau itu mungkin itu yang menyebabkan Jaksa Agung tidak mau melakukan penyidikan. Terima kasih, Yang Mulia. 77.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Dipersilakan. Atau mungkin ini, Komnas HAM dulu ada satu pertanyaan tambahan tadi, silakan.
78.
KOMNAS HAM: SITI NOOR LAILA Baik, terima kasih, Yang Mulia. Ada 3 kasus dari 7 berkas yang … yang sudah dilakukan penyelidikannya oleh Komnas HAM. Tapi, saya … apa … mohon maaf, saya lupa persisnya. Tapi, ada 3 kasus yang sudah dibahas di dalam DPR RI. Kemudian, satu yang diputuskan oleh DPR RI bahwa ada atau terjadi unsur pelanggaran HAM Beratnya, yaitu kasus penghilangan orang secara paksa. Kemudian, DPR RI sudah membuat rekomendasi ke Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. Jadi itu yang … apa … yang bisa kami sampaikan. Tapi untuk 2 kasus yang lain … apa … nanti kami susulkan kalau diperlukan.
79.
HAKIM ANGGOTA: ASWANTO Mbak, itu kan terjadi sebelum ada Putusan MK. Setelah ada uji materi terhadap Pasal 43, kan DPR berdasarkan putusan itu. DPR tidak boleh masuk ke substansi, apakah ini pelanggaran atau tidak. DPR hanya secara administratif harus meneruskan itu. Itu ya, betul ya, Bu, ya?
80.
KOMNAS HAM: SITI NOOR LAILA Jadi … apa … saya ingin melanjutkan. Jadi … apa … kemudian MK memang … apa … memberikan batasan kepada DPR RI untuk tidak masuk pada materi kasusnya. Jadi, cukup pada mendorong … apa … dilakukannya pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc. Nah, berdasarkan pada pengalaman 3 kasus yang sudah disidangkan, itu pembentukan pengadilan HAM … penyidikan, itu tidak menunggu pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc. Jadi Pengadilan HAM Ad Hoc itu dibentuk setelah penyelidikan … penyidikan selesai. Jadi, sesungguhnya sudah ada beberapa yurisprudensi kalau pihak Kejaksaan Agung mau belajar dari 3 kasus yang sudah disidangkan. Itu, terima kasih.
38
81.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Silakan dari Kejaksaan Agung, siapa yang akan menyampaikan? Ya, pakai mik, Pak.
82.
KEJAKSAAN AGUNG: TOTO Sebenarnya, bukan hanya berkas perkara ini bolak-balik. Namun demikian, kami juga sudah berulang kali koordinasi atau duduk bersama, terakhir kira-kira 2 bulan yang lalu. Dan memang akan terus dilakukan koordinasi untuk penyelesaian 7 kasus ini. Namun demikian, supaya umum atau masyarakat mengetahui, barangkali perlu saya sampaikan cuplikan petunjuk yang katanya tadi tidak ada, ini saya berikan sebagai berikut. Bahwa terjadinya bolak-baliknya berkas perkara penyelidikan dari Kejaksaan Agung ke Komnas HAM tersebut disebabkan karena petunjuk yang disampaikan oleh Jaksa Agung, baik formil maupun materiil belum dipenuhi. Ini, Pak, kata kuncinya. Karena nanti kami sebagai penyidik sekaligus penuntut umum, itu yang akan menyidangkan di persidangan ad hoc. Kemudian bahwa disadari menyangkut perkara HAM merupakan perkara yang sangat kompleks dan waktu terjadinya relatif sudah lama, untuk itu penyelesaiannya perlu diupayakan dengan duduk bersama antara Kejaksaan Agung dengan Komnas HAM, serta dipandang perlu melibatkan instansi yang terkait. Ini juga sudah kita lakukan. Kemudian bahwa penyelesaian penanganan Kasus HAM Berat dapat ditempuh dengan cara rekonsiliasi. Jadi rekonsiliasi juga salah satu penyelesaian antara Pemerintah dengan keluarga korban. Untuk itu, perlu didorong segera disahkan Undang-Undang KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi). Hal ini pun di tingkat menteri juga sudah kita laksanakan berulang kali, baik di Kejaksaan Agung maupun di tempat yang lain. Kemudian, perlu saya tambahkan mungkin yang setelah UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000, khususnya Kasus Wamena-Wasior. Itu juga sudah kita sepakati bahwa itu untuk di … apa namanya … diprioritaskan juga. Kemudian, untuk penyelesaian perkara HAM Berat tersebut yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, perlu adanya Pengadilan HAM Ad Hoc sesuai dengan Ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Ad Hoc yang mengatakan, “Pelanggaran HAM Berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus Pengadilan HAM Ad Hoc yang dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keppres RI.”
39
Kemudian, pembahasan hasil penelitian 7 berkas perkara HAM Berat sebagai berikut. Tugas dan fungsi penyelidik Komnas HAM Pasal 19 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf g Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dan penjelasannya yang menyatakan, “Pelaksanaan penyelidikan, yaitu: a. Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya perlu diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia yang berat. b. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, serta mencari keterangan dan barang bukti. c. Memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar keterangannya. Jadi, di sini mungkin perlu digarisbawahi bahwa dari tujuh berkas tersebut, dicontohkan umpamanya saksi, tentu harus yang melihat, mendengar, dan seterusnya. Kemudian, d. Memanggil saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya. e. Meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu. f. Memanggil Pihak Terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya. g. Atas perintah penyidik, dapat melakukan tindakan berupa pemeriksaan surat, penggeledahan, dan penyitaan, pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempattempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu, mendatangakan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan.” Kemudian, ditegaskan dalam Pasal 20 ayat (1) sebagai berikut. Dalam hal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, berpendapat bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup, telah terjadi peristiwa, pelanggaran hak asasi manusia yang berat, maka kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan kepada penyidik. Berdasarkan hal-hal tersebut, apabila dikaitkan dengan petunjuk Jaksa Agung RI, sebagaimana tertuang di dalam syarat formil dan materiil tersebut, oleh penyelidik sampai dengan berkas perkara ini dikembliakan ke kejaksaan, masih belum dilengkapi, Pak. Jadi, petunjuk yang diberikan sampai enam kali itu sama sekali belum ada perkembangan untuk dipenuhi. Untuk itu, perlu terhadap petunjuk tersebut harus dipenuhi oleh penyelidik. Berdasarkan … berkaitan dengan sumpah menyangkut sumpah jabatan selaku penyidik, ini jelas Pasal 75 ayat (1) KUHAP menyebutkan, “Berita Acara dibuat untuk setiap tindakan tentang: a. Pemeriksaan tersangka. b. Penangkapan. 40
c. d. e. f. g. h. i. j. k.
Penahanan. Penggeledahan. Pemasukan rumah. Penyitaan benda. Pemeriksaan surat. Pemeriksaan saksi. Pemeriksaan di tempat kejadian. Pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan. Pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam undangundang ini.” Kemudian, tindakan untuk melakukan pemeriksaan bila dikaitkan dengan Pasal 102 ayat (3) KUHAP, wajib dibuat Berita Acaranya dan ditekankan dalam Pasal 75 ayat (2) KUHAP, “Berita Acara dibuat oleh pejabat yang bersangkutan dalam melakukan tindakan tersebut pada ayat (1) dan dibuat atas kekuatan sumpah jabatan.” Hal tersebut sesuai dengan Ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, dalam hal tidak ditentukan lain dalam undangundang ini. Hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana. Sehingga, terhadap penyelidik yang melakukan pemeriksaan, yang dituangkan dalam Berita Acara wajib dilakukan sumpah jabatan ini, Pak. Mengenai siapa yang berwenang melakukan penyelidikan perkara HAM Berat, Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 menyebutkan, “Penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 menyebutkan, “Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan unsur masyarakat.” Menunjuk dengan ketentuan tersebut, jelas bahwa untuk melakukan penyelidikan perkara HAM Berat, harus dibentuk tim penyelildik dengan keputusan Ketua Komnas HAM. Sehingga, siapa yang berwenang memeriksa dan menandatanganinya adalah orang yang tercantum dalam keputusan Komnas HAM menyangkut tim penyelidikan ad hoc. Oleh karena itu, orang yang tidak tercantum dan di luar penyelidik ad hoc tidak berwenang untuk memeriksa dan menandatangani Berita Acara tersebut. Ini di dalam berkas Perkara Nomor 7. Sehingga, mutlak bahwa petunjuk Jaksa Agung RI menyangkut hal ini wajib dipenuhi oleh penyidik. Ini belum dipenuhi juga … penyelidik. Belum dipenuhi, Pak. Mengenai visum et repertum, upaya untuk mendapatkan visum et repertum sesuai dengan Ketentuan Pasal 19 ayat (1) huruf g yang menyebutkan, “Atas perintah penyidik, dapat melakukan tindakan berupa pemeriksaan surat, penggeledahan, dan penyitaan, pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat 41
lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu, mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan.” Sehingga … sehingga, itu dapat disimpulkan bahwa penyelidik dapat mengupayakan atau mendapatkan visum et repertum dengan meminta perintah dari penyidik. Oleh karena itu, pengertian di sini harus diartikan kewenangan penyelidikan tidak ada, akan tetapi penyelidik wajib meminta kepada penyidik untuk dapat diperintahkan melakukan kegiatan tersebut sebagai dasar tindak lanjut atas kegiatan yang dilakukan atau melakukan visum et repertum. Dan perlu diketahui sesuai dengan Penjelasan Pasal 19 UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000, menyebutkan bahwa pelaksanaan penyelidikan dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai rangkaian tindakan Komnas HAM dalam lingkup pro justitia. Demikian juga ditegaskan dalam Pasal 95 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan, “Apabila seseorang yang dipanggil tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangan, maka Komnas HAM dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan Negeri untuk melakukan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Petunjuk mengenai yang akan dijadikan barang bukti untuk disiapkan oleh penyidik. Menurut Pasal 19 ayat (1) huruf b dan huruf f Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, yaitu menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, serta mencari keterangan dan barang bukti dan memanggil Pihak Terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau penyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya. Sehingga mutlak penyelidik mempunyai kewajiban untuk menyediakan surat-surat, buku-buku yang terkait dengan terjadinya perkara HAM Berat. Mengenai petunjuk materiil dari Jaksa Agung RI. Bahwa setelah kami baca dan cermati, terkait petunjuk materiil yang dicantumkan dalam petunjuk yang harus dipenuhi, sehingga berkas perkara ini dikembalikan ke Kejaksaan belum ada yang dipenuhi. Di sini, Pak. Belum ada yang dipenuhi, Pak. Pada pokoknya, ditentukan dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang menyatakan, “Kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 7 huruf b Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 adalah salah satunya perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis.” Yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa: a. Pembunuhan. b. Pemusnahan. c. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisiknya yang melanggar asas-asas ketentuan pokok hukum internasional. 42
Penyiksaan, perkosaan, menghilangkan orang secara paksa yang dalam penjelasannya disebutkan yang dimaksud dengan serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil adalah suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi. Mempedomani hal tersebut, wajib hukumnya. Unsur-unsur tersebut telah ada fakta-fakta yang harus dapat disediakan oleh penyelidik, muaranya telah terjadi bukti permulaan yang cukup tentang terjadinya pelanggaran HAM yang berat. Dan menurut hemat kami, belum dapat disediakan oleh penyelidik. Dalam menerima pelaporan pengaduan, Komnas HAM harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut. a. Pasal 89 ayat (4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam mediasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan perdamaian kedua belah pihak. Penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli. Pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan. Penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya. Penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia kepada DPR untuk ditindaklanjuti. Pasal 91 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu: 1. Pemeriksaan atas pengaduan kepada Komnas HAM tidak dilakukan atau dihentikan apabila tidak memiliki bukti awal yang memadai, meteri pengaduan bukan masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia, pengajuan diajukan dengan iktikad buruk atau ternyata tidak ada kesungguhan dari pengadu. Terdapat upaya hukum yang lebih efektif bagi penyelesaian materi pengaduan. Sedang berlangsung penyelesaian melalui upaya hukum yang tersedia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2. Mekanisme pelaksanaan kewenangan untuk tidak melakukan atau menghentikan pemeriksaan, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Ditetapkan dengan peraturan tata tertib Komnas HAM. Sehingga terhadap adanya dugaan terjadinya pelanggaran HAM, tidak harus ditindaklanjuti ke penyidikan. Namun dapat dilakukan upaya sebagaimana tersebut di atas. Di bawah ini kami lampirkan secara lengkap rencana petunjuk Jaksa Agung RI disampaikan dengan jawaban dari Komnas HAM sebagai berikut. Namun ini panjang, Pak. Jadi mungkin ndak perlu (…)
43
83.
KETUA: ANWAR USMAN Nanti begini saja, Pak. Kebetulan dalam (…)
84.
KEJAKSAAN AGUNG: TOTO Terus saya tambahkan mungkin, Pak. Untuk SOP, ini sudah ada keputusan … Peraturan Jaksa Agung Nomor 039 tentang Standar Operasional Prosedur Tindak Pidana Khusus. Kemudian juga Keputusan Jaksa Agung Nomor 518, selain tadi formil materiil. Demikian, Pak. Terima kasih.
85.
KETUA: ANWAR USMAN Baik, terima kasih. Nanti apa yang disampaikan tadi, mohon di … bisa diserahkan ke Kepaniteraan, berikut tadi lampiran itu ya. Baik. Ini masih ada pendalaman dari Yang Mulia Pak Suhartoyo. Silakan.
86.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Supaya clear ya, Pak, ya. Apa yang disampaikan tanggapan dari Kejaksaan, artinya Kejaksaan Agung … artinya menambah perimbangan bahwa tenyata memang ada beberapa hal yang oleh Komnas HAM belum ditindaklanjuti. Itu harus kita … kita harus firm di situ, jadi kita harus balance. Tapi memang begini, Bapak-Bapak dari Kejaksaan Agung. Bapak punya power, artinya ada beberapa tindakan dan malah lebih banyak tindakan-tindakan penyelidik yang tidak bisa dilakukan tanpa di-back up oleh penyidik. Bapak katakan tadi bahwa penyidik dalam hal ini pro justitia, tapi apa kemampuannya? Apakah dia bisa secara single gitu melakukan penyitaan, penggeledahan, penahanan atau menemukan orang, kemudian melakukan penagkapan? Bisa? Kan harus (suara tidak terdengar jelas). Itu formulasi yang harus dicari, Pak, supaya ini ketemu bahwa bagaimana ini bisa satu frame bahwa memang tadi sudah disampaikan Yang Mulia yang tadi juga bahwa memang tidak bisa dipisahkan antara penyelidikan dan penyidik … penyelidik dan penyidik ini. Bapak terbiasa dengan penyidik dalam tindak pidana khusus, Tipikor misalnya kan. Polisi juga begitu, penyidik … penyidik jadi satu. Itu memang (suara tidak terdengar jelas) sangat anu. Bahkan kalau sekarang saya tanya ini, siapa yang jadi penyidik di Kejaksaan Agung dalam perkara ini, Pak? Siapa? Bukan, artinya BapakBapak di sini ada yang ikut, enggak? Jadi penyidik, pembantu.
44
87.
KEJAKSAAN AGUNG: TOTO Untuk sekarang belum.
88.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Belum. Kalau penyidiknya kan Jaksa Agung, ditunjuk penyidikpenyidik pembantu, ada enggak personil-personil yang hadir ini?
89.
KEJAKSAAN AGUNG: TOTO Belum, belum.
90.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Nah itu, Pak, artinya perlu sinergitas bahwa tidak bisa … Komnas HAM ini enggak punya power apa-apa. Bapak katakan undang-undang bisa minta bantuan ketua pengadilan untuk memanggil paksa seseorang. (Suara tidak terdengar jelas) juga bagaimana? Apa dia berani menghadapi orang dengan baju sipil gitu kalau enggak di-back up oleh Bapak atau dari kepolisian yang notabene juga harus ada perintah dari penyidik. Tadi Bapak katakan menggunakan istilah penyidik, kan? Eh, menggunakan istilah perintah, kan? Nah itu, Pak. Berarti semua harus yang utama justru motornya di Bapak, apaapa harus diperintah untuk yang sifatnya pro justitia. Sedangkan semua penyelidikan perkara-perkara, apalagi perkara yang besar, perkara tindak pidana umum saja yang biasa, itu perlu power, Pak. Untuk menangkap pencuri saja kalau enggak ada pistol, pencuri sekarang melawan, Pak. Apalagi orang-orang sipil di Komnas HAM yang … maaf … ya, kan. Apalagi ada persoalannya ibu-ibu yang mesti … ya itu, Pak, yang harus dibangun itu seperti itu. Secara normatif apa yang disampaikan Bapak yang dibacakan tadi, kami memahami. Memang seperti yang secara materiil misalnya, Bapak sebutkan harus dipernuhi unsur-unsur. Bapak juga menurut saya kurang tepat mengatakan unsur-unsur itu yang menentukan harus penyelidik. Unsur-unsur itu yang menentukan penyidik, Pak. Bapak terbiasa menerima berkas dari kepolisian, di situ memang sudah digambarkan unsur-unsurnya ini, ini. Karena dia penyidik, Pak. Tapi kalau penyidik dari penyidik hanya dia itu menyimpulkan adanya dugaan berdasarkan bukti permulaan cukup ada dugaan pelanggaran HAM dalam konteks ini. Itu hanya peristiwanya. Disimpulkan, tapi yang break down tetap penyidik, Pak. Yang mengontruksikan tetap penyidik, Pak. Sampai kemudian menetapkan tersangkanya itu. Kita diskusi, Pak. Tapi, barangkali bisa juga nanti dikonsultasikan dengan teman-teman di kantor, apakah benar 45
itu? Kalau Bapak andalkan unsur-unsur itu yang harus membangun Komnas HAM, sampai kapan enggak bakal ketemu, Pak. Terima kasih, Pak. 91.
KETUA: ANWAR USMAN Baik. Ada tambahan lagi dari Yang Mulia Pak Patrialis. Silakan.
92.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Terima kasih, Pak Ketua. Jadi, baik dari Komnas HAM maupun dari Kejaksaan Agung, saya kira, kita bekerja secara proporsional. Jadi, tentu masing-masing lembaga yang sudah dipercayakan oleh undang-undang, bekerja pada porsinya masing-masing. Saya kira Komnas HAM sebagai satu institusi yang ditunjuk resmi oleh undang-undang tidak ada alasan sama sekali untuk tidak bisa melakukan penyelidikan secara tuntas. Karena memang undang-undang memberikan amanat itu kepada Komnas HAM, bukan kepada Kejaksaan. Kalau Kejaksaan yang melakukan itu, nanti justru malah prosedur untuk melakukan proses awal menjadi salah. Saya menjadi heran kenapa Komnas HAM di dalam persidangan ini berani mengatakan tidak ada petunjuk apa pun, itu tidak benar juga kalau demikian. Tadi kita sebelum Kejaksaan datang, ya tentu kita enggak dapat konfirmasi. Ternyata ada beberapa petunjuk-petunjuk yang diberikan Kejaksaan tidak diikuti. Terus, tiba-tiba menyatakan bahwa Kejaksaan tidak pernah memberikan petunjuk. Ini kan jadi terbuka di dalam persidangan ini. Makanya, Para Pemohon ini mengatakan ini ping-pong, kiri-kanan, kata Komnas HAM Kejaksaan, kata Kejaksaan ke Komnas HAM, ini jadi terbuka masalah ini. Yang saya tanyakan kepada Ibu Siti karena representasi hari ini mewakili Komnas HAM, kenapa beberapa petunjuk-petunjuk yang disampaikan oleh Kejaksaan Agung itu tidak diikuti dan kenapa harus keberatan untuk disumpah? Toh kan enggak sulit kalau memang kita mau. Bahkan untuk menjadi Anggota Komnas HAM, kan juga disumpah, ya sumpah saja. Kenapa kendala itu yang dijadikan masalah seakan-akan ada persoalan? Padahal persoalan kalau memang kita ingin bekerja, kita minta disumpah, ya disumpah dong sebagai pejabat resmi, diberikan oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan, supaya yang melakukan tugas itu dapat dipertanggungjawabkan bahwa pekerjaannya benar, gitu. Kalau dia tidak disumpah, ya tanda tanya juga, janganjangan … meskipun itu bukan pro justitia ya, tetapi memang lembaga yang diamanatkan oleh undang-undang. Itu satu. Yang kedua, saya ingin tahu dari Komnas HAM, kira-kira petunjuk apa yang sulit dipenuhi oleh Komnas HAM atas petunjuk yang diberikan 46
oleh Kejaksaan Agung? Apakah petunjuk itu betul-betul masih dalam ranah Komnas HAM atau memang bukan? Makanya saya katakan kita harus bekerja secara proporsional. Nah, ini yang harus diungkap! Jangan kita hanya mengatakan bahwa kita tidak diberikan petunjuk. Atau memang Ibu Siti enggak pernah tahu tentang masalah petunjuk yang disampaikan oleh Kejaksaan Agung ini? Kan begitu. Begitu juga dengan proses yang saya katakan tadi dari awal, meskipun Mahkamah telah membatalkan Undang-Undang KKR, tetapi Mahkamah ini tidak pernah melarang adanya penyelesaian pelanggaran HAM dengan cara rekonsiliasi. Dari tadi saya sudah mulai ungkap itu, apakah ada proses-proses nonyudisial yang dimungkinkan? Itulah gunanya Komnas HAM, itulah gunanya Komnas HAM untuk membantu masyarakat menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM. Bukan melulu mengadili perkara pelanggaran HAM, tapi ada penyelesaian di luar peradilan, nonyustisial. Jadi, pengadilan itu tidak merupakan satu-satunya penyelesaian akhir. Kalau ada korban dan korban keluarga korban bisa dimediasi, dijembatani oleh Komnas HAM kepada Pemerintah, tentu ini bisa dibicarakan. Apalagi Indonesia ini kan negara berdaulat, tidak semua ketentuan-ketentuan hukum internasional kita ratifikasi. Kita negara berdaulat, statuta roma kita tidak ratifikasi. Kalau ICCPR, ya. Karena itu memang merupakan bagian dari … apa namanya … ketentuan-ketentuan HAM yang justru kita masukkan dalam konstitusi. Tidak hanya undang-undang, tetapi juga dalam konstitusi. Jadi, menurut hemat saya, memang perlu keterbukaan antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung. Dan tentu kita juga minta kepada pihak Kejaksaan Agung, berikanlah petunjuk-petunjuk yang memang kira-kira Komnas HAM memiliki kemampuan, tapi sesuai dengan ketentuan undang-undang. Tentang persoalan Komnas HAM seperti sekarang, saya kira KPK juga tidak kalah pentingnya. KPK juga bukan orang-orang yang mempunyai background the man behind the gun. Enggak juga, ya kan? Tapi, mereka bisa bekerja dengan baik. Kalau memang kita mau, tentu kan bisa koordinasi. Kalau memang dalam penyelidikan dibutuhkan bantuan aparat-aparat yang memang harus mem-back-up itu, secara kenegaraan Komnas HAM memiliki legitimasi, Komnas HAM memiliki legitimasi. Ini saya mohon maaf ya, saya juga dekat dengan temanteman Komnas HAM, saya selalu memberikan dorongan dan bahkan saya mengatakan Presiden SBY pernah mengatakan bahwa negara tidak bermaksud melindungi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara. Kan luar biasa itu. Tapi ini tidak muncul, ini tidak muncul. Nah, ini yang ingin saya sampaikan, tolong dari Komnas HAM juga terbuka ya, terbuka, sampaikan apa adanya, juga jangan kita 47
menyimpan. Karena harapan-harapan masyarakat untuk mencari keadilan terhadap keluarganya yang mati konyol, kan juga ke mana mereka mau teriak? Akhirnya ke MK ini, ya. Walaupun persoalan lebih banyak pada persoalan-persoalan penyelenggaraan kenegaraan ini sebetulnya. Sebetulnya mereka hanya ingin membuka, sebetulnya, enggak ada lagi tempat lain. Nah, di MK ini mungkin agak lebih terbuka situasinya. Saya kira itu, dari Kejaksaan maupun Komnas HAM. Makanya, kita sengaja memanggil, minta keterangan kepada kedua lembaga ini. Seakan-akan persoalannya di situ, dari Ahli juga menyampaikan seperti itu, istilahnya ping-pong, kan gitu. Mudah-mudahan setelah ini … apa namanya ... kedua lembaga kita ini bersinergilah. Jangan masing-masing kita berdiri pada posisi, yang sebetulnya bisa saling bantu-membantu. Terima kasih, Pak Ketua. 93.
KETUA: ANWAR USMAN Terima kasih. Mungkin masih ada tambahan lagi? Untuk Komnas HAM dulu.
94.
KOMNAS HAM: SITI NOOR LAILA Baik, terima kasih, Yang Mulia. Kami … apa ... yang disampaikan oleh Kejaksaan Agung terkait dengan bahwa belakangan ini kami melakukan koordinasi, itu betul. Jadi memang … apa ... beberapa … sudah tiga atau empat kali kami melakukan pertemuan yang dipimpin oleh Menkopolhukam, untuk mendiskusikan terkait dengan penyelesaian pelanggaran HAM Berat masa lalu ini, dimana kami memang sedang melakukan upaya untuk mencari jalan Indonesia. Itu yang kami … apa ... yang kami coba apa buatkan konsepnya, kemudian kami diskusikan. Nah dalam hal ini, memang … apa ... terus terang, Komnas HAM yang justru aktif untuk meminta pertemuan-pertemuan kepada pihak Kejaksaan Agung maupun Menkopolhukam, gitu. Tapi kalau putusan Mahkamah Konstitusi kan sebenarnya memberikan … apa ... memberikan ruang kepada presiden untuk melakukan langkah politik untuk penyelesaian pelanggaran HAM Berat masa lalu … apa ... yang di luar judicial. Kemudian, apa ... yang kami sampaikan terkait dengan tidak adanya petunjuk … apa ... adalah terkait dengan Pasal 20 ayat (3) dan Pasal 9 untuk pemenuhan unsur Pasal 9-nya. Nah, terkait dengan yang lain-lain, tadi kami sudah sampaikan, sudah kami jelaskan bahwa ada ... sebenarnya ada … apa ... paling tidak 4 hal yang di ... yang menjadi persoalan bagi antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung adalah
48
terkait dengan sumpah, kemudian pelaku, soal Pengadilan HAM Ad Hoc, dan kemudian pemeriksaan ahli. Nah, pemeriksaan ahli harus dilakukan dengan izin penyidik, dan kami tidak pernah mendapatkan izin dari penyidik untuk memanggil … apa ... pemeriksaan ahli. Yang terakhir misalnya, pada saat bulan Juli 2014 kalau tidak salah, ketika Bapak Kivlan Zein menyampaikan bahwa tahu persis siapa yang melakukan penculikan dan di mana korbannya. Kemudian kami berinisiatif membentuk tim ... apa tim, untuk pengungkapan tersebut dan kemudian kami meminta izin kepada pengadilan negeri untuk bisa me … apa ... untuk bisa memanggil Pak Kivlan Zein. Karena beberapa kali Pak Kivlan Zein kami panggil dan tidak bersedia hadir, yang hadir kemudian adalah pengacaranya. Dan kemudian tidak hadir belakangan, kami meminta kepada pengadilan negeri untuk mendapatkan izin pemanggilan paksa, kami tidak pernah mendapatkan izin itu. Jadi, Komnas HAM dalam posisi ini tidak pernah tidak melakukan upaya, tapi ada persoalan kewenangan yang sangat terbatas di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, dimana kami sangat bergantung pada pihak penyidik dan pengadilan untuk mendapatkan izin pemeriksaan lebih lanjut yang kami tidak pernah dapatkan, jadi itu persoalan yang harus dihadapi oleh Komnas HAM. Sehingga … apa ... kemudian, sulit dilakukan untuk … apa ... pemeriksaan-pemeriksaan lebih lanjut terkait dengan apa yang diperlukan. Kemudian, terkait dengan ... dengan penyelesaian di luar judicial, memang dimungkinkan. Tadi kami juga sudah disampaikan bahwa penyelesaian pelanggaran HAM Berat ini jalannya tidak tunggal, memang jalannya tidak tunggal, jadi sangat dimungkinkan untuk melakukan … apa ... rekonsiliasi. Maka dasar hukumnya bisa Undang-Undang KKR atau langkah politik yang diambil oleh Presiden. Nah, ketika di RPJMN 20152019, Presiden akan melakukan pembentuk ... akan membentuk Komite Penyelesaian Pelanggaran HAM, kami mendorong untuk itu. Dan kemudian kami me … apa ... memberikan beberapa ... mengajukan beberapa konsep yang kemudian bisa menjadi bahan diskusi bagi … apa ... jajaran Menkopolhukam dan Komnas HAM. Jadi itu yang kami lakukan, jadi Komnas HAM justru yang pada posisi proaktif untuk penyelesaian pelanggaran HAM Berat karena kami tahu bahwa temanteman atau saudara-saudara kita korban, itu akan lebih banyak datang ke Komnas HAM untuk mendesakkan, walaupun berkasnya tahu ... mereka tahu persis bahwa berkasnya ada di Kejaksaan Agung dan mereka juga tahu persis betapa kewenangan terbatas yang dimiliki oleh Komnas HAM. Terima kasih.
49
95.
KETUA: ANWAR USMAN Baik, terima kasih. Tambahan tadi Kejaksaan, silakan.
96.
KEJAKSAAN AGUNG: TOTO Terima kasih. Kami dari Kejaksaan sangat serius untuk menangani perkara HAM Berat ini, terbukti kalau tadi dari Komnas HAM punya inisiatif berulang kali pertemuan dengan menteri ... setingkat menteri, itu tiga kali. Kemudian yang di (suara tidak terdengar jelas) itu juga sudah berulang kali, Pak. Artinya, perlakuan kami diibaratkan penyelidik ini dengan penyidik, kami perlakukan sama seperti halnya dengan penyidik, TNI … apa ... AL atau PPNS, atau bahkan polri. Jadi kita berlakukan sama untuk duduk bersama itu sudah berulang kali, Pak, cuma memang mungkin belum bisa dipenuhi dari persyaratan formil materiil tersebut. Kemudian, kalau ada permintaan tadi dari Komnas HAM, apa benar permintaan ... pernah permintaan tersebut secara tertulis kepada penyidik? Nah, ini yang kalau memang mungkin itu di era sebelum saya, mohon di … apa namanya ... diulangi lagi, begitu. Kemudian, untuk memeriksa ahli sesuai Pasal 1 ... Pasal 19 ayat (1) huruf g, nah ini KUHAP, begitu, Pak. Sementara itu, Pak. Terima kasih.
97.
KETUA: ANWAR USMAN Baik. Ya, sudah pukul 13.30 WIB lewat nih, masih ada sidang. Pemohon, apakah masih akan mengajukan saksi atau ahli?
98.
KUASA HUKUM PEMOHON: HARIS AZHAR Tidak ada.
99.
KETUA: ANWAR USMAN Oh, sudah cukup. Ya, sudah cukup, ya.
100. KUASA HUKUM PEMOHON: HARIS AZHAR Ini apa boleh kita bertanya? 101. KETUA: ANWAR USMAN Enggak, ini kan bukan saksi dan bukan ahli. Nanti keterangan dari Pihak Terkait, baik dari Komnas maupun dari Kejaksaan bisa 50
disampaikan ke kesimpulan. Dalam kesimpulan nanti, apakah ada hal-hal yang perlu dikritisi atau dikomentari. 102. KUASA HUKUM PEMOHON: HARIS AZHAR Pak Ketua, sekali lagi. Hanya ingin memastikan bahwa semua keterangannya bisa kami dapatkan (...) 103. KETUA: ANWAR USMAN Oh, ya. 104. KUASA HUKUM PEMOHON: HARIS AZHAR Terima kasih. 105. KETUA: ANWAR USMAN Ini juga tadi kami minta juga tadi, ya, oleh Kejaksaan, termasuk dari (...) 106. HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Yang lisan bisa, Berita Acaranya bisa diambil. 107. KETUA: ANWAR USMAN He eh, bisa dilihat. Ya, nanti disampaikan, termasuk tadi lampiran dari Kejaksaan. Dari Komnas juga mungkin ada tambahan-tambahan lagi nanti, ya. Dari Kuasa Presiden juga bagaimana? Sudah cukup, ya? Baik. Jadi karena ini persidangan sudah dianggap cukup dan sudah sangat jelas, ya, maka kepada Pemohon dan Kuasa Presiden bisa menyampaikan kesimpulan paling lambat tujuh hari dari sekarang, yaitu Selasa ... eh, hari Rabu, 16 September 2015, pukul 14.00 WIB diserahkan langsung ke Kepaniteraan kesimpulannya. Terima kasih untuk Pihak Kejaksanaan dan Komnas HAM, telah menyampaikan keterangan, ya, secara sangat jelas, ya, mudah-mudahan ada titik temu untuk perbaikan ke depan. Terima kasih.
51
Dengan demikian, sidang selesai dan selanjutnya sidang ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 13.38 WIB Jakarta, 9 September 2015 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
52