MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 20/PUU-XIII/2015
PERIHAL PENGUJIAN FORMIL DAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN PRESIDEN DAN DPR (III)
JAKARTA SELASA, 10 MARET 2015
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 20/PUU-XIII/2015 PERIHAL Pengujian Formil dan Materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial [Pasal 81] terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Abda Khair Mufti 2. Agus Humaedi Abdillah 3. Muhammad Hafidz, dkk. ACARA Mendengarkan Keterangan Presiden dan DPR (III) Selasa, 10 Maret 2015 Pukul 11.11 – 11.55 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Arief Hidayat Anwar Usman Muhammad Alim Maria Farida Indrati Patrialis Akbar Wahiduddin Adams Aswanto Suhartoyo I Dewa Gede Palguna
Ery Satria Pamungkas
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Muhammad Hafidz 2. Chairul Eillen Kurniawan 3. Riyanto 4. Muhammad Robin 5. Wawan Suryawan B. Pemerintah: 1. Ruslan Irianto Simbolon 2. Sahat Sinurat 3. Budiman 4. Nasrudin
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.11 WIB 1.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Bismillahirrahmaanirrahiim. Sidang dalam Perkara Nomor 20/PUU/ … maksud saya 20/PUU-XIII/2015 dengan ini dimulai dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Saudara Pemohon, yang hadir siapa?
2.
PEMOHON: MUHAMMAD HAFIDS Ya, terima kasih, Yang Mulia. Kami hadir dari sebelah kanan saya yang paling ujung adalah Wawan Suryawan (Pemohon IX), kemudian secara berurutan adalah Muhammad Robin (Pemohon VI), saya sendiri Muhammad Hafidz (Pemohon III), kemudian Chairul Eillen (Pemohon IV), dan terakhir Riyanto (Pemohon VII). Terima kasih.
3.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. DPR tidak hadir. Dari Pemerintah yang mewakili Presiden, yang hadir siapa?
4.
PEMERINTAH: NASRUDIN Terima kasih, Yang Mulia. Dari Pemerintah mewakili Presiden, hadir. Dari ujung sebelah kiri saya, Pak Ruslan Irianto Simbolon (Dirjen PHI dan Jamsos Kemenaker) yang sekaligus yang akan membacakan keterangan Presiden. Selanjutnya, Pak Sahat Sinurat (Direktur PPHI), Pak Budiman (Kepala Biro Hukum), dan saya sendiri (Nasrudin). Terima kasih, Yang Mulia.
5.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Agenda pada Sidang Pleno hari ini adalah mendengarkan keterangan Presiden dan DPR. Karena DPR tidak hadir, maka agendanya adalah mendengarkan keterangan Presiden. Saya persilakan yang akan memberikan keterangan, Pak Dirjen.
1
6.
PEMERINTAH: RUSLAN IRIANTO SIMBOLON Yang Terhormat, Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau yang mewakili, Para Pemohon. Assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera bagi kita semua dan selamat siang. Pertama-tama kami mengucapkan terima kasih kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang telah memberikan kesempatan kepada Pemerintah untuk memberikan keterangan dan penjelasan terkait permohonan uji materiil UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh Para Pemohon. Untuk itu kami mohon izin kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk membacakan keterangan Presiden atas permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Yang bertanda tangan di bawah ini. 1. Yasonna H. Laoly (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia). 2. M. Hanif Dhakiri (Menteri Ketenagakerjaan). Dalam hal ini baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri, bertindak untuk dan atas nama Presiden Republik Indonesia yang dalam hal ini disebut sebagai Pemerintah. Perkenankanlah kami menyampaikan keterangan Presiden Republik Indonesia baik lisan maupun tertulis yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan atas permohonan pengujian (constitutional review) ketentuan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, terhadap ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selanjutnya disebut Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang dimohonkan oleh Abda Kahir Mufti dan kawan-kawan yang selanjutnya disebut Para Pemohon. Sesuai registrasi di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIII/2015 tanggal 22 Januari 2015 dengan perbaikan permohonan tanggal 16 Februari 2015. Selanjutnya, perkenankanlah Pemerintah menyampaikan keterangan atas permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 sebagai berikut. Sebelum Pemerintah menyampaikan keterangan terkait norma materi muatan yang dimohonkan untuk diuji oleh Para Pemohon, Pemerintah terlebih dahulu menyampaikan landasan filosofis UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004 sebagai berikut. Pertama. Bahwa Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mempunyai banyak dimensi serta keterkaitan, dimana 2
keterkaitan itu tidak hanya berkaitan dengan kepentingan tenaga kerja, khususnya pekerja buruh baik sebelum, selama, dan sesudah bekerja, tetapi juga berkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Kedua. Bahwa pada dasarnya hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja buruh dan keterkaitan serikat pekerja, serikat buruh, dalam hal-hal tertentu dimaksudkan untuk keberlangsungan hubungan kerja yang kekal dan langgeng, serta harmonis. Dengan perkataan lain, masing-masing pihak berupaya sekuat tenaga agar hubungan kerja senantiasa berlangsung rukun dan harmonis sampai batas waktu yang ditentukan, sehingga tidak terjadi pemutusan hubungan kerja sebelum saatnya tiba. Pemutusan hubungan kerja memang sering menjadi awal penderitaan bagi pekerja dan keluarganya. Terkait sumber kehidupan keluarga yang tentunya juga berdampak terhadap kelangsungan proses produksi di perusahaan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat. Oleh karena itulah, undang-undang menegaskan agar pengusaha, pekerja buruh, serikat pekerja, serikat buruh dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja, Pasal 151 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Karena di samping mengganggu proses produksi, juga menjadi penyebab hilangnya sumber nafkah keluarga bagi pekerja. Ketiga. Dalam pelaksanaan hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja buruh dapat terjadi pemutusan hubungan kerja yang disebabkan karena adanya pelanggaran ketentuan dalam peraturan perundangundangan atau syarat-syarat kerja sebagaimana yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Dalam proses berlangsungnya hubungan kerja, pemutusan hubungan kerja seperti itu ada kalanya sulit dihindari. Maka apabila pengusaha tetap bersikeras akan hendak melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja buruh, pengusaha yang bersangkutan diwajibkan untuk merundingkan maksud pemutusan hubungan kerja tersebut dengan serikat pekerja, serikat buruh, apabila pekerja buruh yang bersangkutan menjadi anggota serikat pekerja, serikat buruh. Atau langsung dengan pekerja buruh yang bersangkutan apabila tidak menjadi anggota serikat pekerja, serikat buruh. Sehingga pelaksanaan pemutusan hubungan kerja hanya diselesaikan secara internal atau bipartite. Keempat. Bahwa tidak dapat dipungkiri sering terjadi gagalnya perundingan, dengan kata lain bahwa dalam perundingan penyelesaian pemutusan hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja buruh tidak tercapai dan apabila tidak mencapai kesepakatan, pengusaha hanya dapat melakukan pemutusan hubungan kerja dengan pekerja buruh setelah memperoleh penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dengan perkataan lain, pengusaha tidak dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja buruh secara 3
sepihak atau semena-mena tanpa adanya kesepakatan atau perjanjian bersama, atau penetapan, atau izin dari instansi yang berwenang, dalam hal ini Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial atau pengadilan hubungan industrial. Kelima. Jika proses pemutusan hubungan kerja tanpa perjanjian bersama atau penetapan sebagaimana tersebut di atas tidak dilalui, maka pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pengusaha terhadap pekerja buruh menjadi batal demi hukum atau null and void, Pasal 155 ayat (1) juncto Pasal 154 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Keenam. Bahwa mekanisme proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 dapat dilakukan berjenjang melalui berbagai alternatif penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Dimulai dari perundingan bipartite di internal perusahaan antara pengusaha dengan pekerja buruh. Apabila dalam perundingan bipartite tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian selanjutnya dapat memilih mekanisme tripartite melalui mediasi atau konsiliasi ataukah memilih lembaga arbitrase yang bersifat final dan binding. Dalam hal salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak dapat menerima hasil mediasi atau konsiliasi, maka atas dasar anjuran yang tidak memenuhi harapan salah satu atau kedua belah pihak tersebut dapat mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial dan bahkan hingga kasasi ke Mahkamah Agung. Ketentuan ini telah memberikan keleluasaan dan kesempatan kepada para pihak untuk menggunakan alternatif mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang tersedia untuk mendapatkan penyelesaian secara cepat, tepat, adil, dan murah. Ketujuh. Dengan pertimbangan-pertimbangan dimaksud di atas, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 mengatur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang disebabkan oleh. a. Kelalaian atau ketidakpatuhan salah satu atau para pihak dalam melaksanakan ketentuan normatif yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan perselisihan hak. b. Perbedaan pendapat atau kepentingan mengenai keadaan ketenagakerjaan yang belum diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau hak normatif dari peraturan perundang-undangan yang kita kenal dengan perselisihan kepentingan. c. Pengakhiran hubungan kerja yang dikenal dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja. d. Perbedaan pendapat antarserikat pekerja, serikat buruh dalam satu perusahaan mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat
4
pekerjaan yang dikenal dengan perselisihan antarserikat pekerja, serikat buruh dalam satu perusahaan. Dari uraian dan penjelasan sebagaimana tersebut di atas, menurut Pemerintah dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 selain dalam rangka untuk pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 juga dalam rangka memudahkan pekerja buruh untuk memperoleh hak-haknya. Dengan perkataan lain Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 telah sejalan dengan amanat konstitusi, utamanya dalam memberikan nilai-nilai keadilan dan kepastian hukum bagi pekerja buruh itu sendiri. Terhadap dalil Para Pemohon yang pada intinya menganggap ketentuan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui gugatan kontentiosa justru menghilangkan kewajiban pengusaha yang sesungguhnya berinisiatif untuk melakukan pemutusan hubungan kerja dan apabila pengusaha tidak mengajukan gugatan pemutusan hubungan kerja ke pengadilan hubungan industrial, maka buruh akan kehilangan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum atas hubungan kerjanya sehingga buruh akhirnya dipaksa untuk mengajukan gugatan. Terhadap anggapan Para Pemohon, Pemerintah menerangkan sebagai berikut. 1. Bahwa dalam permohonannya Para Pemohon yang menguraikan keberatannya atas beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, namun dalam petitumnya Para Pemohon meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk memutus dan memeriksa ketentuan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 untuk dimaknai. Sehingga menurut Pemerintah terhadap dalil Para Pemohon tersebut tidak ada korelasinya dan Para Pemohon tidak jelas dan tegas apa yang sebenarnya yang diinginkan atau obscuur libel. 2. Bahwa maksud dari ketentuan Pasal 81 undang-undang a quo adalah kompetensi relatif dari perselisihan hubungan industrial antara pekerja buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja. Adalah pengadilan industrial pada pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja buruh bekerja. Artinya, ketentuan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tersebut menyimpang atau mengesampingkan asas umum dalam hukum acara perdata yang diatur dalam Pasal 118 ayat (1) HIR dan Pasal 142 RBG bahwa gugatan atau tuntutan diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat orang tergugat berdomisili. Sementara persoalan yang dimohonkan oleh Para Pemohon untuk diuji adalah masalah gugatan PHK atau permohonan PHK ke pengadilan hubungan industrial setelah melalui tahap perundingan bipartite dan tahap lembaga 5
tripartite khusus mediasi atau konsiliasi. Dengan demikian antara ketentuan Pasal 81 dengan permasalahan gugatan ke pengadilan hubungan industrial yang dimohonkan oleh Para Pemohon tidak ada kaitan dan hubungan, sehingga permohonan Para Pemohon kabur atau obscuur libel. 3. Bahwa permohonan Para Pemohon juga mengaitkan antara Pasal 81 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 dengan Pasal 151 dan Pasal 152 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang antara satu dengan yang lainnya berbeda konteks. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 adalah merupakan hukum formil dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang merupakan hukum materiil, sementara Para Pemohon menguji Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 dalam hal ini Pasal 81 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 dengan menggunakan batu uji dalam ketentuan pasal-pasal Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, artinya tidak menguji Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 atau Pasal 81 terhadap Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 28D ayat (1). 4. Bahwa dalam proses pengajuan gugatan yang diatur dalam UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004 dilakukan setelah melalui tahapan perundingan bipartite dan tahap pemerantaraan tripartite oleh mediator atau konsiliator, dan tahap berikutnya adalah gugatan diajukan ke pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri setempat vide Pasal 81 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Dalam arti mekanisme berperkara di pengadilan hubungan industrial ini semua dilakukan dengan pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, namun setelah gugatan tersebut masuk di pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri setempat dapat dimohonkan untuk dilakukan pemeriksaan dengan acara biasa, sebagaimana dimaksud Pasal 89 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 atau pemeriksaan dengan acara cepat, sebagaimana dimaksud Pasal 98 UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004. Dengan demikian pelaksanaan pemeriksaan dengan acara biasa atau pemeriksaan dengan acara cepat ditentukan oleh permohonan Para Pemohon setelah pengajuan gugatan dimaksud. Jika penggugat mengajukan permohonan untuk diperiksa dengan acara cepat sebagaimana dimaksud Pasal 98 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 maka hakim dapat memenuhi permohonan tersebut, namun jika tidak dikabulkan maka terhadap gugatan tersebut dilaksanakan pemeriksaan dengan acara biasa. Selain hal-hal tersebut di atas Pemerintah juga menyampaikan hal-hal sebagai berikut. 1. Bahwa proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 dapat dilakukan melalui berbagai alternatif penyelesaian, dimulai dengan perundingan bipartite antara pengusaha dengan pekerja buruh dan apabila tidak 6
2.
3.
4.
5.
6. 7.
mencapai kesepakatan dalam perundingan bipartite tersebut, penyelesaian selanjutnya dapat memilih melalui mediasi atau konsiliasi ataukah arbitrase. Dalam hal salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak dapat menerima hasil mediasi atau konsiliasi maka dapat mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial dan bahkan hingga kasasi ke Mahkamah Agung, kecuali jika memilih arbitrase. Maka sifat putusannya inkracht atau final and binding. Ketentuan ini telah memberikan keleluasaan dan kesempatan kepada para pihak untuk menggunakan alternatif penyelesaian perselisihan yang tersedia. Untuk mendapatkan penyelesaian secara cepat, tepat, adil, dan murah. Bahwa lembaga peradilan tetap menjadi pilihan utama penyelesaian konflik dan penemuan kebenaran bila para pihak tidak mencapai kesepakatan atau perjanjian bersama melalui lembaga nonlitigasi atau bipartite dan tripartite. Kehadiran lembaga peradilan dalam kehidupan masyarakat tidak hanya sekadar menerima dan menyelesaikan sengketa. Akan tetapi mengandung makna filosofis yang lebih dalam dari itu, yakni pengadilan bertindak sebagai wali bagi masyarakat dan lembaga yang mempunyai kewenangan untuk memberi putusan. Bahwa apabila pengusaha tidak mengajukan permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja. Pekerja buruh akan kehilangan jaminan perlindungan dan kepastian hukum. Sehingga pekerja buruh akhirnya dipaksa untuk mengajukan gugatan. Menurut Pemerintah, Para Pemohon keliru dalam menafsirkan undang-undang a quo. Justru dengan adanya ketentuan ini, memberikan kepada Para Pemohon untuk mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum. Bahwa apabila Para Pemohon ingin menggugat ke pengadilan hubungan industrial diberikan kesempatan untuk berperkara di pengadilan hubungan industrial. Para Pemohon tidak dikenai biaya termasuk biaya eksekusi yang nilai gugatannya dibawah Rp150.000.000,00 vide Pasal 58 undang-undang a quo. Bahwa pengadilan hubungan industrial memakai hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini vide Pasal 57 undang-undang a quo. Selanjutnya Para Pemohon juga bisa mengajukan kuasa khusus apabila gugatannya melibatkan lebih dari satu penggugat dengan cara kolektif vide Pasal 84 Undang-Udnang a quo. Oleh karena itu, terhadap anggapan Para Pemohon yang mendalilkan ketentuan Pasal 81 undang-undang a quo, tidak memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum adalah keliru. Justru dengan diaturnya mekanisme beracara di pengadilan hubungan industrial dalam undang-undang a quo, Para Pemohon diberikan kesempatan
7
untuk dapat memperoleh hak-haknya dengan adil di depan pengadilan. Kesimpulan. 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 adalah merupakan hukum formil dalam rangka memberi kesempatan kepada pencari keadilan untuk mendapatkan keadilan atas perselisihan hubungan industrial antara pengusaha dengan pekerja buruh. 2. Bahwa permohonan Para Pemohon terdapat inkonsistensi antara posita dan petitumnya karena Para Pemohon tidak menetapkan secara jelas batu uji yang dijadikan dasar permohonannya. 3. Bahwa permohonan Para Pemohon tidak jelas, tidak tegas, dan kabur (obscuur libel) karena Para Pemohon mencampuradukkan dan mempertentangkan antara Pasal 81 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 dengan Pasal 152 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 4. Bahwa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 telah memberikan jaminan perlindungan, kepastian hukum, dan nilai-nilai keadilan bagi pekerja buruh untuk memperoleh hakhaknya. Petitum. Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas. Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian atau constitutional review ketentuan a quo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dapat memberikan putusan sebagai berikut. 1. Menolak permohonan pengujian Para Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). 2. Menerima keterangan Presiden secara keseluruhan. 3. Menyatakan ketentuan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Atas perkenan dan perhatian Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, kami ucapkan terima kasih. Jakarta, 10 Maret 2015. Kuasa Hukum Presiden Republik Indonesia, Menteri Ketenagakerjaan (M. Hanif Dhakiri), tertanda. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Yasonna H. Laoly), tertanda. Sekian dan terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb. Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, demikian penjelasan dari Pemerintah. Terima kasih.
8
7.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Pak Dirjen. Selanjutnya, apakah ada pertanyaan, atau pendalaman, klarifikasi yang akan disampaikan oleh Majelis? Oh, silakan, Yang Mulia Pak Dr. Patrialis Akbar dan Yang Mulia Dr. Suhartoyo.
8.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Terima kasih, Pak Ketua Yang Mulia.
9.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Silakan.
10.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Kepada Pemerintah, saya hanya ingin menanyakan. Bagaimana praktiknya dalam menyelesaikan perselisihan antara buruh dan majikan yang sudah disampaikan tadi. Saya lihat dari alurnya, banyak sekali. Ya, tapi itu alternatif ya, Pak, ya? Ya, bipartite, tripartite, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase juga masuk. Praktiknya bagaimana selama ini? Apakah ini memang bisa dilakukan atau langsung masuk ke peradilan hubungan industrial? Ada enggak masalah di dalam praktiknya terhadap penyelesaian ini? Saya ingin tanya ke Pemohon, ya. Ini di-PHK … sudah di-PHK semua, apa belum? Coba!
11.
PEMOHON: MUHAMMAD HAFIDS Belum. Kami pengurus serikat pekerja.
12.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Oh, pengurus serikat pekerja. Saya mau tanya, dari pengalaman Saudara terhadap para buruh yang di-PHK, bagaimana selama ini? Apa memang melalui alur yang disampaikan oleh Pemerintah dengan menyediakan beberapa fasilitas? Atau memang langsung ke peradilan hubungan industrial seperti permohonan Saudara? Silakan, Pemerintah dulu.
13.
PEMERINTAH: RUSLAN IRIANTO SIMBOLON Izin, Yang Mulia. Dalam praktiknya yang kami amati maupun kami lakukan selama ini, semua dapat berlangsung diselesaikan pada tingkat
9
pertama melalui bipartite. Jika nanti dalam bipartite itu ada kesepakatan, nanti yang disebut dengan persetujuan bersama oleh pihak-pihak. Nah namun, apabila dalam kenyataannya ada salah satu pihak yang tidak menerima atas … atau pun kesepakatan bipartite itu, maka bisa meminta kepada mediator untuk dilakukan mediasi. Nah, jika nanti mediasi ini berhasil, tinggal dilaksanakan oleh pihak-pihak. Namun (…) 14.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Mediator itu siapa, Pak?
15.
PEMERINTAH: RUSLAN IRIANTO SIMBOLON Mediator?
16.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Ya, siapa mediatornya?
17.
PEMERINTAH: RUSLAN IRIANTO SIMBOLON Itu pegawai yang diangkat Ketenagakerjaan, Yang Mulia.
18.
dan
ditunjuk
oleh
Menteri
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Di perusahaan itu?
19.
PEMERINTAH: RUSLAN IRIANTO SIMBOLON Di pemerintahan.
20.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Di pemerintahan.
21.
PEMERINTAH: RUSLAN IRIANTO SIMBOLON Dia PNS, Yang Mulia.
22.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Oh, pegawai negeri (…)
10
23.
PEMERINTAH: RUSLAN IRIANTO SIMBOLON Ya.
24.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Yang ditunjuk. Jadi, memang khusus sebagai mediator?
25.
PEMERINTAH: RUSLAN IRIANTO SIMBOLON Mediator, Yang Mulia.
26.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Di Kementerian Tenaga Kerja?
27.
PEMERINTAH: RUSLAN IRIANTO SIMBOLON Yang berada di kabupaten/kota maupun di provinsi, Yang Mulia.
28.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Oh, itu sudah tersedia semuanya?
29.
PEMERINTAH: RUSLAN IRIANTO SIMBOLON Sudah tersedia.
30.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Jadi, sudah ada … eksistensinya sudah ada itu, ya?
31.
PEMERINTAH: RUSLAN IRIANTO SIMBOLON Sudah, Yang Mulia.
32.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Oke. Terus?
33.
PEMERINTAH: RUSLAN IRIANTO SIMBOLON Nah, jika nanti dalam mediasi ternyata gagal katakanlah, Yang Mulia, nanti pihak bisa mengajukan gugatan atau pun maju ke
11
pengadilan hubungan industrial. Tadi sudah kami jelaskan, memang di dalam penjelasan tadi. Nah, memang yang … Yang Mulia, dapat kami tambahkan informasi. Dalam praktiknya, memang dari sisi waktu yang sering menjadi masalah. Artinya, waktu proses penyelesaiannya yang … yang cukup lama dirasakan, terlebih lagi oleh teman-teman kita para pekerja buruh. Demikian, Yang Mulia. Terima kasih. 34.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Oke, terima kasih. Silakan, dari buruh.
35.
PEMOHON: MUHAMMAD HAFIDS Terima kasih, Yang Mulia. Kami tidak menyangkal apa yang disampaikan oleh Pemerintah secara garis besar maupun tadi yang disampaikan oleh Pak Dirjen. Tapi pada praktiknya, pengusaha seringkali tidak pernah mengajukan permohonan PHK. Karena baik dalam UndangUndang Nomor 13 sebagai hukum materiil, Undang-Undang Ketenagakerjaan maupun hukum formil, tidak ada sanksi bagi pengusaha ketika telah selesai dimediasi, kemudian dia melakukan permohonan … mengajukan permohonan ke pengadilan hubungan industrial. Dari laporan tahunan Mahkamah Agung Tahun 2013, yang saya sangat yakin Kementerian enggak punya data ini bahwa dari 2.991 perkara yang mengajukan buruh karena dia di-PHK sepihak oleh pengusaha itu sebanyak 2.641 perkara, artinya 80% sampai 90% pekerja yang di-PHK sepihak karena pengusahanya tidak mengajukan permohonan, mau tidak mau pekerja mengajukan gugutan ke pengadilan hubungan industrial. Inilah yang membuat kemudian banyak putusan-putusan PHI yang karena yang mengajukan buruh ketidakmampuan buruh beracara dalam menyusun surat gugutan itu yang membuat banyak permohonan ditolak dan di-NO, ini yang menjadi dasar. Pada praktiknya bahwa permohonan PHK yang tadinya inisiatifnya ada di pengusaha itu beralih, buruh yang mengajukan gugatan, sedangkan gugatannya legalistik, menggunakan hukum acara perdata yang sudah sangat dipastikan pembuktian dan segala macamnya buruh tidak punya itu. Demikian, Yang Mulia.
36.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, Dr. Suhartoyo. Silakan, Yang Mulia.
12
37.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Terima kasih, Yang Mulia. Pak Ketua. Pak Dirjen ada … ada sesuatu yang mesti kita agak … agak sportif ya, tidak harus sportif tapi agak sportif mestinya ini. Memang di dalam undang-undang yang 2003 dan yang Undang-Undang 2 yang 2004 itu juga kita harus akui bahwa dua-duanya juga mengandung hukum formil juga. Nah, dua-duanya yang mengandung hukum formil ini memang kalau kita cermati ada benturan lho di situ. Paham tidak Bapak? Paham, ya, barangkali, ya? Karena memang di dalam Pasal 81 itu memang semua empat perselisihan itu diajukan ke PHI kan? Tapi di Pasal 152 Undang-Undang Tahun 2003 itu memang benar untuk PHK khusus PHK ini diajukan melalui gugatan voluntair, itu … ya, kan Pak? Sehingga ada standar ganda dari sini. Kalau di Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 itu sepertinya empat-empat perselisihan diajukan secara gugutan biasa atau contentiosa di peradilan hubungan industrial tapi di 2/2013 … 2003 di Pasal 152 khusus untuk PHK kayaknya dikeluarkan, sehingga itu masuk wilayah gugutan voluntair, sehingga apa yang dikeluhkan Pemohon mestinya diakomodasi dulu di dalam permohonan yang output-nya adalah penetapan kan. Dan itu setelah Mahkamah mempelajari permohonan Pemohon memang ada putusan-putusan dari PHI yang di Tanjung Pinang, ya? Itu … itu enggak seragam, ada yang memang yang lainnya diajukan secara gugatan biasa contentiosa, di Tanjung Pinang meskipun di-NO kalau tidak salah, tapi ini oleh Pemohon dan oleh PHI Tanjung Pinang diajukan secara voluntair. Nah, sekarang begini kalau kita mau sportif, Pak, Pak Dirjen. Kalau ini toh diberi perlindungan kepada kepastian hukum kepada para pekerja, apa yang diminta di Pasal 81 ada penambahan supaya ada kesamaan pandang barangkali, kenapa Pemerintah tidak sepakat saja? Toh ini juga hukum formil yang mengatur bahwa khusus untuk PHK supaya diajukan permohonan kan? Berarti kan gugatan voluntair kan? Ini saya kira hanya anu … justru jalan keluar yang baik menurut saya, tidak standar ganda, kalau kita mengikuti 2004 … 2004, ya? 2004 itu harus gugatan contentiosa, empat-empatnya, tapi kalau 2003 kok satu dikeluarkan harus voluntair itu kan standar ganda, Pak. Itu yang kemudian apakah ini yang kemudian dalam praktiknya pengusaha kemudian ngeles-ngeles supaya … itu enggak … enggak kami enggak akan su’udzon ke sana, ya, tapi barangkali untuk kepastian hukum dan supaya tidak ada standar anu … saya kira Pemerintah coba direnungkan kembali, Pak. Terima kasih.
13
38.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Sebelum dijawab, ada lagi dari Yang Mulia Dr. Palguna, saya persilakan.
39.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Saya tadi sebagian ditanyakan oleh Yang Mulia Hakim Pak Suhartoyo sudah ditanyakan, maka saya ingin mengkonfirmasikan kepada Pemohon, ya. Gini, selama ini Anda kalau kasus yang itu digugatan sebagai perkara contentiosa ya, perkara contentiosa, artinya kalau begitu logikanya misalnya itu beban … bukan hanya soal ini tapi beban pembuktiannya ada pada Anda juga? Itu yang berat. Oke, saya cuma tanya itu. Terima kasih.
40.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Silakan Pemerintah Pak Dirjen, terhadap pertanyaannya Pak Suhartoyo tadi.
41.
PEMERINTAH: RUSLAN IRIANTO SIMBOLON Yang Mulia, terima kasih banyak. Untuk hal dimaksud tadi kami serahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia. Terima kasih.
42.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, cukup kalau begitu. Dari Pemohon, apakah Pemohon akan mengajukan ahli atau saksi?
43.
PEMOHON: MUHAMMAD HAFIDS Ahli, Yang Mulia.
44.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ahli. Berapa ahli yang akan diajukan?
45.
PEMOHON: MUHAMMAD HAFIDS Yang beru kami konfirmasi dua orang ahli.
14
46.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Dua orang ahli, ya. Saksi belum?
47.
PEMOHON: MUHAMMAD HAFIDS Tidak saksi, ahli.
48.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Saksi tidak, ya?
49.
PEMOHON: MUHAMMAD HAFIDS Tidak.
50.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Malah mungkin banyak saksi lho yang bisa memperkuat.
51.
PEMOHON: MUHAMMAD HAFIDS Ya, yang baru kami konfirmasi, baru terima.
52.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya. Ahli, ya?
53.
PEMOHON: MUHAMMAD HAFIDS Termasuk Hakim Tanjung Pinangnya juga mau kami hadirkan.
54.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Dua orang ahli, ya? Baik. Jadi pada persidangan yang akan datang, kita akan mendengarkan keterangan DPR dan dua orang ahli dari Pemohon, ya. Pemohon supaya dua orang ahli ini nanti curiculum vitae-nya diserahkan pada Majelis sebelum persidangan ya. Baik, dari Pemerintah? Kemungkinan juga akan mengajukan ahli atau saksi?
55.
PEMERINTAH: NASRUDIN Nanti setelah ahli dari Pemohon (…)
15
56.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Setelah ahli dari Pemohon? Baik kalau begitu. Pada persidangan berikutnya kita akan mendengarkan keterangan DPR dan dua orang ahli dari Pemohon. Masih ada yang akan disampaikan Pemohon? Cukup? Dari Pemerintah? Cukup, ya. Baik, sidang selesai dan ditutup. Oh, sori. Baik diumumkan Kepaniteraan, silakan. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 11.55 WIB Jakarta, 10 Maret 2015 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d. Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
16