Badan Tenaga Nuklir Nasional JAKARTA Yth.: Bp. Kepala BadanTenaga Nuklir Nasional
Nomor :
GUNTINGAN BERITA /HM 01/HHK 2.1/2015
Hari, tanggal
Jumat, 5 Januari 2015
Sumber Berita
http://teknologi.kompasi ana.com/terapan/2015/0 1/05/kenapa-belumpakai-pltn-700532.html
Hal. Kol.
Jakarta, Januari 2015 Copy dikirim kepada Yth.: 1. Deputi Bidang Sains dan Aplikasi Teknologi Nuklir 2. Deputi Bidang Teknologi Energi Nuklir 3. Deputi Bidang Pendayagunaan Teknologi Nuklir
Bagian Humas, Biro Hukum, Humas, dan Kerja Sama 4. 5.
Sekretariat Utama BGAC-melalui PAIR
pembentukan sumber dayanya pun sudah cukup baik. Masalah indisiplintas yang seringkali menjadi sorotan dapat dikendalikan. Ditambah lagi, BATAN sudah mampu untuk melakukan fabrikasi bahan bakar nuklir sendiri, sehingga mengurangi ketergantungan terhadap produsen bahan bakar nuklir. Termasuk kemampuan untuk melakukan pengayaan Uranium tingkat rendah, yang ditemukan oleh Yudiutomo Imardjoko dan Kusnanto, dua kolega dari Program Studi Teknik Nuklir UGM. Lantas, kalau sudah seperti ini, kenapa lagi PLTN belum masuk dalam rencana energi Indonesia? Menurut Yudiutomo, masalah krisis listrik di Indonesia itu gara-gara politik dan salah urus. Dalam pandangan penulis, masalah politik ini setidaknya ada empat faktor. Pertama, faktor pencitraan. Pejabat politik Indonesia banyak terkenal dengan usaha pencitraannya yang hebat dan mempertahankan posisinya dengan pencitraan tersebut. Ketika ada kebijakan yang membuat citranya turun, seringkali pejabat tersebut akan tergoncang posisinya. Kemungkinan besar para pejabat pemerintahan tidak mau membuat “kebijakan tidak populer” berupa pendirian PLTN, utamanya setelah kecelakaan Fukushima, yang bisa membuat citranya turun di mata masyarakat. Padahal, kalau mau dilihat, sebenarnya rakyat tidak begitu peduli dengan apa listrik bisa dihasilkan. Mereka hanya ingin tahu mereka mendapatkan listrik secara kontinu dengan harga murah, mau pakai pembangkit apapun. Kedua, faktor visi. Pembangunan satu reaktor daya nuklir tidak bisa makan waktu sebentar, paling tidak butuh 7-8 tahun. Sementara, satu periode kepemimpinan hanya selama 5 tahun. Sehingga, jika pembangunan PLTN dimulai pada periode sekarang, maka baru akan selesai pada periode pemerintahan berikutnya. Dengan kata lain, pemerintah sekarang tidak akan bisa “menikmati” hasil dari kebijakan tersebut. Alasan ini jelas sekali alasan yang sangat konyol dan sama sekali tidak punya visi, termasuk visi energi di masa depan. Ketidakadaan visi energi masa depan ini juga terlihat dengan ingin dihabiskannya dulu sumber energi yang ada sekarang, sebelum beralih ke nuklir. Sehingga seolah-olah egoisitas pemerintah ingin menyatakan bahwa generasi masa depan tidak punya hak untuk menikmati sumber energi yang sudah dimiliki saat ini. Ketiga, faktor luar negeri. Rencana kerjasama nuklir Indonesia adalah dengan Rusia. Sementara itu, Indonesia memiliki hubungan yang erat dengan Amerika, sebagai “negara satelit” yang selalu menuruti kebijakan negara utamanya. Persaingan antara Rusia dan Amerika adalah hal yang tidak bisa dipungkiri, yang termasuk pula dalam pertarungan ideologi antara Sosialisme dengan Kapitalisme. Ada kemungkinan bahwa Amerika tidak suka kalau “negara satelit”-nya bekerjasama dengan saingannya, sehingga bisa jadi mereka mengintervensi kebijakan pemerintah dalam hal ini. Keempat, faktor asas. Menurut Haryono Budi Santosa, dosen Teknik Nuklir UGM, asas dasar pemerintahan era saat ini melandaskan diri pada faktor ekonomi, menganggap ekonomi adalah masalah mendasar dari persoalan-persoalan yang ada di dalam negeri. Lebih jauh lagi, bisa dilihat kebijakan pemerintah Jokowi yang berusaha melakukan pengetatan anggaran, termasuk menghemat APBN. PLTN, di sisi lain, membutuhkan investasi awal yang cukup besar, bisa berkisar 20-30 Trilyun untuk satu unitnya. Kemungkinan hal ini juga jadi pertimbangan bagi pemerintah untuk “menunda” program PLTN. Sehingga, akhirnya digunakanlah PLTU Batu Bara yang sangat tidak ramah bagi bumi. Mengacu pada landasan ekonomi negara ini, tampaknya pemerintah tidak mau repot-repot mempersoalkan efek lingkungan dan kemanusiaan yang terjadi akibat penggunaan batu bara. Fenomena ini mencirikan negara yang menganut kapitalisme tulen, dimana yang dipikirkan utamanya adalah masalah ekonomi dan abai terhadap masalah-masalah lain. Kalau faktor-faktor ini masih terus menjerat pemerintah, maka bisa jadi PLTN di Indonesia hanya akan jadi mimpi. Dari aspek teknologi, kita tidak ada masalah. Sumber daya manusia juga. Bahkan rakyat pun sudah menjerit-jerit dengan listrik yang sering byar-pet sementara tarif dasarnya dinaikkan lagi tahun demi tahun. Tinggal keputusan di tangan pemerintah, apakah mau terjebak dalam kepentingan-kepentingan tidak perlu, yang sebagian besarnya diakibatkan landasan sistem kapitalisme yang sudah mengakar di Indonesia, atau mau melakukan perubahan revolusioner untuk menghilangkan faktor-faktor penghambat terbangunnya PLTN di atas dan menggantinya dengan landasan yang tepat dan visioner? Kalau terlalu lamban dalam berpikir, lama-lama Indonesia akan benar-benar mengalami krisis listrik akut, sebagaimana diperkirakan beberapa pakar bahwa krisis tersebut bisa terjadi pada tahun 2018. Lalu, sebagaimana dinyatakan Djarot Wisnubroto, Kepala BATAN, bahwa PLTN bukanlah pilihan terakhir. Sebab, jika PLTN menjadi pilihan terakhir, Indonesia keburu gelap gulita.