Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 AKIBAT HUKUM HAK MEWARIS ANAK DI LUAR PERKAWINAN DITINJAU DARI KITAB UNDANGUNDANG HUKUM PERDATA1 Oleh : Fahmi Saus2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana aturan hukum Perdata mengenai hak mewaris anak dari suatu perkawinan dan bagaimana akibat hukum yang ditimbulkan dari adanya hak mewaris anak di luar perkawinan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif maka dapat disimpulkan: 1. Seorang anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan biologis yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan akan menyandang status dan kedudukan di mata hukum berdasarkan perkawinan orang tuanya. Suatu perkawinan yang sah akan melahirkan seorang anak yang memiliki status dan kedudukan yang sah di mata hukum, sedangkan seorang anak yang lahir dari suatu hubungan yang tidak sah tanpa adanya perkawinan yang sah, maka anak tersebut akan menyandang status sebagai anak luar kawin. 2. Hak mewaris anak di luar perkawinan berdasarkan asas perkawinan monogami yang dianut oleh BW (Burgerlijke Wetboek) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 dan asas pengakuan mutlak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 280 BW (Burgerlijke Wetboek). Sehingga BW menganut prinsip bahwa hubungan keperdataan antara anak luar kawin dengan orang tua biologisnya tidak terjadi dengan sendirinya. Pengakuan dari kedua orang tua biologisnya. Kedudukan anak luar kawin di dalam hukum secara realitas adalah lebih rendah dibanding dengan anak sah, dengan pengertian bagian waris yang diterima oleh anak luar kawin lebih kecil dibandingkan dengan anak sah. Kata kunci: Hak mewaris, anak di luar perkawinan. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Hukum Waris pada intinya merupakan peraturan yang mengatur tentang perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain. Intinya adalah peraturan yang mengatur akibat-akibat hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaan yang berwujud: perpindahan kekayaan si pewaris dan akibat hukum perpindahan tersebut bagi para ahli waris, baik dalam hubungan antara sesama ahli waris maupun antara mereka dengan pihak ketiga.3 Pewaris merupakan orang yang meninggalkan dunia dengan meninggalkan harta kekayaan, Sedangkan ahli waris yaitu mereka-mereka yang menggantikan kedudukan si pewaris dalam bidang Hukum Kekayaan, karena meninggalnya pewaris. Sedangkan warisan yaitu kekayaan yang berupa kompleks aktiva dan pasiva si pewaris yang berpindah kepada para ahli waris. Hubungan di luar nikah dapat mengakibatkan kelahiran seorang anak. Anak yang lahir dari hubungan tersebut disebut anak luar kawin. Menurut Pasal 43 ayat (1) Undangundang Perkawinan, anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya,4 Oleh karena status anak tersebut menurut hukum hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya semata, maka yang wajib memberikan nafkah anak tersebut adalah ibunya dan keluarga ibunya saja.5 Ketentuan dari hal tersebut, anak luar kawin tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan pria yang membenihkan (bapak biologis), dengan hanya mempunyai hubungan perdata dari garis ibunya, maka anak luar kawin mendapat perlindungan dari undang-undang, artinya semenjak ia dilahirkan mendapat ibu dari wanita yang melahirkannya. Sebaliknya wanita itu tidak dapat menghindar bahwa yang dilahirkan bukan anaknya, dalam akta kelahiran anak yang demikian, dicatat bahwa anak tersebut dilahirkan dari seorang perempuan. Berbeda dengan anak sah, dalam akta kelahiran 3
1
Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Donald A. Rumokoy, SH. MH; Prof. Dr. Wulanmas A. P. G. Frederik, SH. MH; Dr. Donna O. Setiabudhi, SH. MH 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 110711024
96
Wahyono Darmabrata, Asas-asas Hukum Waris Perdata, Cet. 1, Jakarta, 1994, hal. 2. 4 Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan. 5 http://kerinci.kemenag.go.id/2013/06/22/status-anakdi-luar-nikah-dalam-kompilasi hukum-islam/ Di unduh pada tanggal 7 september
Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 dicatat dilahirkan dari perkawinan suami isteri yang sah. Kemudian konsekuensi lainnya, dengan adanya hubungan seperti dimaksud, maka anak luar kawin berhak mewarisi dari ibunya dan keluarga ibunya. Jika ibunya meninggal ia tampil sebagai ahli waris. Begitu pula kalau ibunya meninggal dulu dari neneknya, anak luar kawin berhak menggantikan kedudukan ibunya mewarisi sewaktu neneknya meninggal. Bagaimana dengan bapak biologis anak luar kawin tersebut, apakah masih ada tempat untuk membuat hubungan perdata dengan anak itu. Berdasarkan uraian tersebut kiranya menarik untuk dikaji aspek hukum dari hak mewaris anak yang dihasilkan dari hubungan luar nikah, untuk kemudian dianalisis dan dituangkan dalam bentuk skripsi. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah aturan hukum Perdata mengenai hak mewaris anak dari suatu perkawinan? 2. Bagaimanakah akibat hukum yang ditimbulkan dari adanya hak mewaris anak di luar perkawinan ? C. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang termasuk jenis penelitian normatif, di mana didalamnya penulis meneliti dan mempelajari norma yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan ataupun norma yang mengatur tentang proses dan akibat hukum yang ditimbulkan terhadap hak mewaris anak dari suatu perkawinan dan hak mewaris bagi anak di luar perkawinan sehingga dalam pelaksanaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. PEMBAHASAN A. Aturan Hukum Perdata Mengenai Hak Mewaris Anak Dari Suatu Perkawinan Apabila diteliti ketentuan dalam KUH Perdata terdapat lembaga pengakuan anakanak luar kawin sebagaimana diatur pada Buku Kesatu Bab Kedua Belas Bagian Ketiga. Lembaga ini dapat digunakan, mengingat Pasal 66 Undang-undang Perkawinan masih memberi peluang, bahwa sepanjang belum diatur dalam KUH Perdata masih berlaku. Dengan demikian
Undang-undang Perkawinan yang tidak mengatur lembaga pengakuan anak luar kawin, maka lembaga yang ada dalam KUH Perdata tidak dicabut dan dapat diberlakukan. Berdasarkan Pasal 280 KUH Perdata, dengan melakukan perbuatan pengakuan terhadap anak luar kawin, timbul hubungan perdata antara bapak dengan anak tersebut. Pengakuan dapat dilakukan dengan akta yang dibuat oleh pegawai catatan sipil dan harus dicatat dalam jihat akta kelahiran si anak (Pasal 281 ayat (2) KUH Perdata). Sehubungan dengan masalah pengakuan ini, apabila terjadi salah satu kejahatan dalam Pasal 285 sampai dengan Pasal 288, Pasal 294 atau Pasal 285 KUHP dan saat berlangsungnya kejahatan itu bersesuaian dengan saat kehamilan perempuan terhadap siapa kejahatan itu dilakukan, maka berdasarkan Pasal 287 ayat (2) KUH Perdata atas tuntutan mereka yang berkepentingan, si terdakwa dapat dinyatakan sebagai bapak si anak tersebut.6 Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa BW menganut suatu asas bahwa anak luar kawin baru mempunyai hubungan hukum dengan orang tuanya, setelah orang tuanya mengakui anak tersebut. Asas tersebut dapat disimpulkan Pasal 280, 282, ayat 2, 285, 286 BW. Asas ini jelas berbeda dengan ketentuan yang berlaku dalam Hukum Islam dan Hukum Adat. Menurut asas yang berlaku dalam hukum Islam dan hukum adat anak luar kawin otomatis mempunyai hubungan dengan ibunya, tanpa perlu adanya pengakuan dari si ibu.7 Demikian pula ketentuan dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut asas yang berlainan dengan BBW yakni seorang anak mempunyai hubungan hukum langsung dengan ibu kandungnya. Dengan demikian mungkin terjadi bahwa seorang anak secara yuridis tidak mempunyai ayah maupun ibu, yaitu dalam hal, baik ayah maupun ibunya tidak atau lalai melakukan pengakuan terhadap anak luar kawinnya. Si anak memang mempunyai ayah dan ibu biologis, tetapi secara yuridis mereka tidak mempunyai hak dan kewajiban apa-apa terhadap anaknya. Di negeri Belanda sendiri 6 7
Gatot Supramono, Loc.Cit, hal.91. Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal. 73.
97
Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 dengan adanya perubahan perundangundangan, kini dianut asas yang lain di mana dengan kelahiran seorang anak, demi hukum timbullah hubungan hukum antara ibu dan anaknya. Ketentuan tersebut agaknya sama dengan yang terdapat dalam hukum perkawinan di Indonesia. Klaassen dan Eggens mengatakan bahwa menurut Pasal 33.b BW Belanda Baru dengan dilakukannya pengakuan maka akan timbul hubungan hukum antara ayah dan anak luar kawinnya. Dengan demikian secara ipso facto tersimpul bahwa hubungan hukum dengan ibunya tidak memerlukan pengakuan lebih dahulu, tetapi dengan diundangkannya Kinderwet tahun 1947, maka di negeri Belanda sekarang dianut asas di mana hubungan hukum otomatis ada antara anak luar kawin dengan ibu kandungnya. Hubungan hukum dengan ayahnya tetap baru ada apabila si ayah memberikan pengakuan kepada anak luar kawin tersebut. Jadi, seakan-akan hubungan darah baru ada dengan ayahnya, setelah si anak luar kawin diakui oleh ayahnya. Menurut Kollewijn ketentuan tersebut dinilai sebagai suatu ketentuan hukum yang terasa aneh, namun demi kepentingan hukum hal itu diperlukan. 8 Dikatakan bahwa seakan-akan hubungan darah dengan ayahnya baru ada, setelah anak luar kawin tersebut diakui, karena masih menjadi persoalan apakah pengakuan merupakan bukti adanya hubungan darah, ataukah ia merupakan perbuatan hukum yang menimbulkan hubungan kekeluargaan? Kedua ketentuan tersebut dapat menimbulkan konsekuensi yang berbeda. Apabila diterima ketentuan mengenai keharusan adanya pengakuan dan bahwa pengakuan tersebut adalah merupakan bukti adanya hubungan hukum, maka di sini diterima suatu pendapat bahwa hubungan hukum itu sendiri sebenarnya sudah ada, hanya belum dapat dibuktikan, dan untuk itu perlu adanya pengakuan. 9 Jadi di sini pengakuan mempunyai sifat declaratief, dan yang demikian asasnya berlaku mundur, yaitu 8
Kollewijin sebagaimana dikutip oleh Pitlo, Unieregional Privatrecht in Nederlands-Indonesiache Unie, dimuat dalam Gedenkboeek 28 Oktober 1949, hal. 295. 9 J. Andy Hartanto, Loc.Cit, hal. 27.
98
mundur sampai pada saat dilahirkannya si anak luar kawin. 10 Apabila kita mengikuti pendapat yang kedua, yaitu bahwa pengakuan merupakan perbuatan hukum, maka pengakuan tersebut merupakan unsur constitutief, artinya perbuatan tersebut menimbulkan sesuatu yang baru, yang sebelumnya tidak ada, yaitu hubungan hukum antara anak luar kawin dan orang tua yang mengakui.11 Persoalan yang pernah muncul dalam hubungannya dengan pendapat tersebut adalah apakah orang dapat mengakui orang lain yang lebih tua sebagai anaknya? Apabila kita mengikuti pendapat pertama yang menyatakan bahwa pengakuan hanya bersifat declaratief saja, maka peristiwa seperti tersebut di atas tidak mungkin terjadi, karena pengakuan di sini adalah pernyataan mengenai peristiwa yang benar-benar terjadi, jadi sudah ada peristiwanya. Dengan lain perkataan seorang anak tidak dapat diakui oleh orang lain selain daripada bapaknya (dulu juga ibunya). 12 Pengakuan oleh orang tua di Indonesia, selain daripada orang yang sungguh-sungguh bapaknya tidak boleh. 13 Anak-anak yang diakui secara sah mempunyai hubungan hukum dengan orang tua yang mengakuinya. Hal ini berarti bahwa hubungan antara orang tua yang mengakui dengan anak yang diakui diatur oleh hukum. Beberapa uraian di atas dapat ditarik suatu prinsip hukum bahwa hubungan hukum antara anak luar kawin dengan ayah/ibu yang mengakuinya bersifat terbatas, dalam arti hubungan tersebut hanya ada antara si anak luar kawin dengan ayah/ibu yang mengakui saja, tidak sampai meliputi hubungan hukum dengan anggota keluarga yang lain (dari ayah/ibunya yang mengakui). 14 Bagi anggota keluarga yang lain, si anak luar kawin adalah orang lain, karenanya mereka tidak mempunyai hak waris atas warisan keluarga sedarah ayah/ibu yang 10
Hartono Soeryo Pratiknyo, Hukum Waris Tanpa Wasiat, Seksi Notariat FH UGM, 1982, hal. 39. 11 Ibid. 12 Kho Tjay Sing, Hukum Perdata Jilid I : Hukum Keluarga (diktat lengkap), Universitas Diponegoro, Semarang, 1982, hal. 401, 402. 13 Ibid, hal. 405. 14 J. Andy Hartanto, Loc.Cit, hal. 29.
Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 mengakui (Pasal 872 BW). Terhadap asas tersebut ada kekecualiannya, yaitu dalam hal anggota keluarga sedarah sah dari ayah/ibu yang mengakui meninggal tanpa meninggalkan sanak saudara dalam derajat yang masih memberikan hak kepada mereka untuk mewaris dan juga tidak meninggalkan suami/isteri maka anak luar kawin, dengan mendahului Negara, maka berhak untuk menarik seluruh warisan bagi mereka (Pasal 873 BW). B. Akibat Hukum Hak Mewaris Anak di Luar Perkawinan Menyangkut hal anak luar kawin sebagai pewaris, artinya anak luar kawin tersebut yang meninggal dunia, pada asasnya anak luar kawin dianggap sebagai pewaris biasa dan sama dengan pewaris lain. Dalam hal ini berlaku Buku Kedua Bab XII, Bagian I tentang Ketentuan Umum dan Bagian II tentang Pewarisan Keluarga Sedarah.15 Sebagai ahli waris anak luar kawin merupakan kelompok tersendiri, tidak termasuk dalam golongan ahli waris menurut undang-undang. Anak luar kawin yang diakui dapat mewaris bersama-sama dengan golongan I, dengan golongan II, III, dengan golongan IV dan dengan golongan yang perderajatannya berbeda. Hal ini sesuai dengan sistem keutamaan berdasarkan pembagian golongan yang dikenal dalam KUH Perdata. Besar bagian anak luar kawin tergantung dengan siapa atau dengan golongan mana anak luar kawin tersebut mewaris. Anak luar kawin diakui sepanjang perkawinan ayah dan ibu yang melahirkannya maka pengakuan tersebut tidak boleh merugikan suami atau isteri, dengan siapa ia terikat dalam perkawinan serta anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Menurut Pasal 285 BW pengakuan yang diberikan sepanjang perkawinan tidak boleh merugikan isteri dan anak-anak dari perkawinan, pada waktu mana pengakuan tersebut diberikan.16 Hasil revisi Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata 15 16
Ibid, hal. 36. Ibid, hal. 46.
dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Berdasarkan rumusan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa hubungan keperdataan antara si anak dengan pihak ibu terjadi secara otomatis demi hukum, namun hubungan keperdataan dengan pihak ayah tidak terjadi dengan sendirinya.17 Pihak-pihak yang berkepentingan harus membuktikan terlebih dahulu bahwa si laki-laki yang dianggapnya sebagai ayah biologis itu benar-benar adalah ayahnya. Contoh Kasus yang dapat diungkap melalui penelitian ini, seperti pada Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materiil UU Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974) yang diajukan Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim yang meminta puteranya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono agar diakui sebagai anak almarhum Moerdiono, mantan Menteri Sekretaris Negara di era Presiden Soeharto, memicu perseteruan antara dirinya dengan keluarga almarhum 18 Moerdiono. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU 24/2003 untuk mengajukan perkara konstitusi si pemohon harus memiliki kedudukan hukum (legal standing), sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: 1. Perorangan warga Negara Indonesia;
17
Penjelasan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 18 Mahkamah Konstitusi, RI, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Nomor 46/PUU-VIII/2010. uji materiil UU Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974) yang diajukan Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim. Jakarta, 2010.
99
Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; 3. Badan hukum publik atau privat; atau 4. Lembaga Negara19 Para pemohon dalam pengujian UndangUndang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu: 1. Kedudukannya sebagai para pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003 2. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. 20 Pemohon mengajukan uji materiil terhadap: UUD 1945 Pasal 28 B ayat 1 “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.”
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat 2 “ Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
Pasal 28 B ayat 2 “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Pasal 43 ayat 1 “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Pasal 28 D ayat 1 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Sumber: Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Mahkamah Konstitusi memberikan putusan mengabulkan sebagian permohonan para pemohon. Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan tidak dikabulkan sebab perkawinan yang dicatatkan adalah untuk mencapai tertib administrasi. Pencatatan secara administratif yang dilakukan Negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting
dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh Negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan dapat terselenggara secara tertib dan efisien. Artinya, dengan dimilikinya bukti otentik akta perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam Pasal 55 UU perkawinan yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan adanya akta otentik sebagai bukti.21 Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan dikabulkan karena hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan hampir 50 juta anak di Indonesia tidak memiliki akta kelahiran karena berbagai sebab antara lain karena pernikahan tidak sah atau tercatat di atau kawin siri, angka ini hampir separuh dari total jumlah anak dibawah 5 tahun yang ada di Indonesia. KPAI sangat mengapresiasi putusan MK beberapa waktu lalu yang mengabulkan permohonan uji materiil atas pasal anak diluar pernikahan sah 21
19
Lihat Pasal 5 ayat (1) UU 24/2003 20 Ibid.
100
http://www.bphn.go.id/data/documents/putusan_46puu-viii-2010.pdf di unduh pada tanggal 30 September 2015
Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 dalam UU perkawinan. Menurut ketua Komnas perlindungan Anak Aris Merdeka Sirait, perubahan pada Undang-undang Perkawinan oleh Mahkamah Konstitusi ini akan menjadi landasan hukum yang sah dalam memajukan upaya advokasi bagi anak-anak di luar pernikahan yang sah untuk memperoleh hak keperdataannya. “Jadi putusan MK kemarin memberikan hak keperdataan yang selama ini tidak diakui Negara, maka akta lahirnya itu tidak mencantumkan nama ayah dan tentu ini akan berimplikasi tidak mendapatkan “hak waris” dan tidak bisa mencantumkan siapa bapaknya, di dalam konvensi PBB juga pengakuan keperdataan dalam bentuk identitas nama dan kewarganegaraan itu harus diberikan oleh negara, tidak harus bergantung pada sah tidaknya perkawinan. Tetapi juga sebagai hak konstitusi, hak keperdataan, itu adalah hak yang sangat mendasar dan konstitusional.”22 Ketua Majelis Ulama Indonesia Umar Shihab juga menyambut baik putusan MK ini, menurut Umar, putusan ini bisa menjadi dasar hukum bagi hakim dalam memutuskan sengketa anak. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan. Berdasarkan uraian ini Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan ini harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”23 22
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/inf oumum/ejurnal/pdf/EJurnal_1405_1-JURNAL-PSHK-FHUII.pdf. di unduh pada tanggal 31 agustus 2015 23 Lihat Pasal 43 ayat (1) Tentang Larangan Kawin Kompilasi Hukum Islam
Bagaimana tindakan notaris apabila ada anak luar kawin/kuasa/walinya tersebut minta dibuatkan akta keterangan waris sementara ada penyangkalan dari ahli waris yang sah? Melihat dari sisi praktisi notaris yang berwenang untuk membuat suatu keterangan waris, hal ini agak merepotkan, karena untuk membuat suatu keterangan waris diharuskan untuk menerima bukti-bukti otentik berupa akta kelahiran yang menyatakan bahwa anak tersebut merupakan anak sah dari hasil perkawinan kedua orangtuanya. Ada kekhawatiran dalam praktik di masyarakat, tiba-tiba akan bermunculan berbagai kasus sehubungan dengan adanya tuntutan dari anakanak luar kawin yang tidak/belum pernah diakui oleh pewaris, yang menuntut bagian dari warisan tersebut. Berdasarkan KUH Perdata dan UU Perkawinan Surat Keterangan Hak Waris biasanya dibuat oleh Notaris yang berisikan keterangan mengenai pewaris, para ahli waris dan bagianbagian yang menjadi hak para ahli waris berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Anak Luar Kawin dalam BW dan KUH Perdata bisa mendapat bagian waris melalui proses pengakuan yang ditetapkan oleh pengadilan. Walaupun dengan adanya perbuatan hukum pengakuan ini sang anak maksimal mendapat 1/3 bagian waris. Ketika pewaris meninggal, timbulah warisan dan ahli waris. Keberadaan anak luar kawin yang sudah ditetapkan pengadilan tetap akan mendapatkan bagian waris. Apabila ahli waris lain menolak, nama sang ahli waris (anak luar kawin yang mendapatkan pengakuan) sudah
Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 Anak luar kawin berdasarkan putusan MK ini dapat membuktikan dengan ilmu pengetahuan jika anak memiliki hubungan darah dengan ayahnya. Jika ia terbukti berdasarkan ilmu pengetahuan merupakan anak pewaris maka anak tersebut mempunyai hak waris yang sama besarnya dengan ahli waris lainnya. Peraturan pelaksana putusan MK ini belum ada sehingga masih terdapat kekosongan hukum bagaimana anak luar kawin mendapat jaminan ia akan mendapatkan warisannya. Kemajuan yang dibuat putusan MK ini setelah dilakukannya pembuktian melalui ilmu pengetahuan ahli waris lain tidak dapat menyangkal keberadaan anak luar kawin ini. Karena secara ilmu pengetahuan anak luar kawin ini adalah anak dari pewaris.
101
Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 tercatat dan harus dimasukkan dalam surat keterangan waris. Notaris akan mengecek terlebih dahulu berapa jumlah ahli waris yang tercatat oleh Negara. Dengan demikian jika ahli waris di luar anak luar kawin yang mendapat pengakuan menyangkal, surat keterangan waris tidak dapat dibuat
Surat keterangan waris dapat dibuat namun dapat terjadi permasalahan dalam administrasi pengurusan surat keterangan waris.
Sumber: KUHPperdata, Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010
PENUTUP A. Kesimpulan 1. Aturan hukum Perdata mengenai hak mewaris anak dari suatu perkawinan, dengan pertimbangan bahwa perkawinan merupakan dasar terwujudnya pertalian keluarga dan hal ini melahirkan hak dan kewajiban di antara mereka yang termasuk di dalam lingkungan keluarga itu. Seorang anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan biologis yang dilakukan oleh seorang lakilaki dan perempuan akan menyandang status dan kedudukan di mata hukum berdasarkan perkawinan orang tuanya. Suatu perkawinan yang sah akan melahirkan seorang anak yang memiliki status dan kedudukan yang sah di mata hukum, sedangkan seorang anak yang lahir dari suatu hubungan yang tidak sah tanpa adanya perkawinan yang sah, maka anak tersebut akan menyandang status sebagai anak luar kawin. 2. Hak mewaris anak di luar perkawinan berdasarkan asas perkawinan monogami yang dianut oleh BW (Burgerlijke Wetboek) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 dan asas pengakuan mutlak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 280 BW (Burgerlijke Wetboek). Sehingga BW menganut prinsip bahwa hubungan keperdataan antara anak luar kawin dengan orang tua biologisnya tidak terjadi dengan sendirinya. Melainkan dengan pengakuan dari kedua
102
orang tua biologisnya. Kedudukan anak luar kawin di dalam hukum secara realitas adalah lebih rendah dibanding dengan anak sah, dengan pengertian bagian waris yang diterima oleh anak luar kawin lebih kecil dibandingkan dengan anak sah. B. Saran 1. Aturan hukum yang dibuat pemerintah harus dapat memberi perlindungan dan kepastian hukum dan adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan atau juga terhadap kepastian hukum atas hak keperdataan anak luar kawin, terutama yang berhubungan dengan hak mewaris dari anak luar kawin. 2. Pemerintah diharapkan membuat regulasi yang jelas terutama terhadap hak-hak keperdataan dari anak luar kawin, sehingga dalam masyarakat Indonesia tidak akan terjadi lagi permasalahan-permasalahan hukum atau praktik-praktik yang meniskriminasikan/merugikan kepentingan anak-anak luar kawin.