ISSN 0216-4329 TERAKREDITASI NO : 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
Vol. 34 No. 1, Maret 2016
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN (Ministry of Environment and Forestry) BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI Research Development and Innovation Agency PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN Forest Product Research and Development Center BOGOR - INDONESIA
ISSN 0216-4329 NO : 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
Vol. 34 No. 1, Maret 2016 Jurnal Penelitian Hasil Hutan adalah publikasi ilmiah di bidang anatomi, fisik mekanik, teknologi serat, komposit, biodeteriorasi dan pengawetan bahan berlignoselulosa, teknologi pengeringan hasil hutan, penggergajian dan pemesinan kayu, pengolahan hasil hutan kayu dan bukan kayu, pengolahan kimia dan energi hasil hutan, keteknikan hutan dan pemanenan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Jurnal ini terakreditasi oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai Majalah Berkala Ilmiah (Akreditasi No. 42/AU3/P2MI-LIPI/07/2015). Jurnal ini dipublikasikan pertama pada tahun 1984 dan terbit empat kali dalam satu volume setiap tahun. Journal of Forest Product Research is a scientific publication reporting research findings in the field of anatomy, physical and mechanical, fiber technology, composite, biodeterioration and preservation of lignocellulosic materials, forest products drying technology, wood sawing and machining, wood and non wood forest products processing, chemical and forest product energy processing, forest engineering and wood and non wood forest products harvesting. This journal has been accredited by Indonesian Institute of Science (LIPI) as a Scientific Periodical Magazine (Accreditation Number 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015). This journal was first published in 1984 and issued four numbers in one volume every year. Pelindung (Condescendent )
: Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan
Dewan Redaksi (Editorial Board)
:
Ketua (Editor in chief) Anggota (Members)
: Prof. Dr. Gustan Pari (P3HH-Pengolahan Kimia dan Energi Hasil Hutan) 1. Prof. Dulsalam (P3HH-Keteknikan Hutan) 2. Prof. Dr. Adi Santoso (P3HH-Pengolahan Hasil Hutan) 3. Ir. Jamal Balfas, M.Sc (P3HH-Pengolahan Hasil Hutan) 5. Dr. Krisdianto (P3HH-Pengolahan Hasil Hutan) 6. Dr. Djarwanto (P3HH-Pengolahan Hasil Hutan) 7. Dr. I.M. Sulastiningsih (P3HH-Pengolahan Hasil Hutan) 8. Ir. Totok K. Waluyo, M.Si (P3HH-Pengolahan Hasil Hutan Bukan Kayu) 9. Dr. Wahyu Dwianto (LIPI- Pemanfaatan Hasil Hutan) 10. Dr. Ganis Lukmandaru (UGM-Teknologi Hasil Hutan) 11. Dr. Andi Denti Yuniati (UNHAS-Struktur dan Kualitas Kayu) 12. Dr. Tati Herlina (UNPAD-Kimia Murni) 13. Dr. Yuni Krisyuningsih Krisnandi (UI- Kimia) 14. Dr. Ragil Widyorini (UGM-Pengolahan Kayu) 15. Dr. Lina Karlina Sari (IPB-Sifat Fisik Mekanik Kayu) 16. Dr. Anne Hadiyane (ITB-Hasil Hutan Bukan Kayu) 17. Dr. Syamsul Falah (IPB-Biofarmaka) 18. Dr. Iyus Hermawan (ITI-Teknik Mesin)
Mitra Bestari (Peer Reviewer)
: 1. Prof. Dr. Subyakto (LIPI-Pengolahan Hasil Hutan) 2. Prof. Dr. Bukhari (ITB-Pengolahan Kimia) 3. Prof. Dr. Yusuf Sudohadi (IPB-Bio Komposit) 4. Prof. Dr. Sumi Hudiyono (UI-Biokimia) 5. Prof. Dr. Elias (IPB-Pemanenan Hasil Hutan) 6. Prof. Dr. T. A. Prayitno (UGM-Teknologi Hasil Hutan) 7. Prof. Dr. Wasrin Syafii (IPB-Kimia Hasil Hutan) 8. Prof. Dr. Unang Supratman (UNPAD-Pengolahan Kimia) 9. Prof. Dr. Musrizal Muin (UNHAS-Teknologi Hasil Hutan) 10. Prof. Dr. Imam Wahyudi (IPB-Sifat dan Kualitas Kayu) 11. Prof. Dr. Naresworo Nugroho (IPB-Keteknikan Kayu) 12. Prof. Dr. Sulaeman Yusuf (LIPI-Pengawetan Kayu) 13. Dr. Wawan Hermawan (IPB-Rekayasa Mesin dan Biosistem)
Sekretariat Redaksi (Editorial Secretariat) : Ketua (Chairman) : Kepala Bidang Kerjasama dan Diseminasi Anggota (Members) : 1. Ir. Erna Rushernawati 2. Deden Nurhayadi, S.Hut. 3. Sophia Pujiastuti
Diterbitkan oleh (Published by): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan (Forest Product Research and Development Center) Alamat (Address) : Jl. Gunung Batu 5, Bogor 16610, Indonesia Telepon (Phone) : (0251) 8633378 Fax (Faximile) : (0251) 8633413 E-mail :
[email protected],
[email protected] website : www.pustekolah.org (www.pustekolah.litbang.dephut.go.id) Jurnal elektronik (E-journal ) : http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPHH Percetakan (Printing Company)
: CV. Sinar Jaya, Bogor
ISSN 0216 - 4329 TERAKREDITASI NO : 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
Vol. 34 No. 1, Maret 2016
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN (Ministry of Environment and Forestry) BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI Research Development and Innovation Agency PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN Forest Product Research and Development Center BOGOR - INDONESIA
UCAPAN TERIMA KASIH Dewan Redaksi Jurnal Penelitian Hasil Hutan mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada mitra bestari (peer reviewers) yang telah mencermati naskah yang dimuat pada edisi Vol. 34 No. 1, Maret 2016 : 1. 2. 3. 4.
Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudohadi, M.Agr. (Bio-Komposit - Fakultas Kehutanan, IPB) Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr. (Kimia Hasil Hutan - Fakultas Kehutanan, IPB) Prof. Dr. Ir. Elias, M.Sc. (Pemanfaatan Sumberdaya Hutan - Fakultas Kehutanan, IPB) Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, M.S. (Sifat dan Kualitas Kayu - Fakultas Kehutanan, IPB)
ISSN 0216 - 4329 NO : 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
Vol. 34 No. 1, Maret 2016 DAFTAR ISI (CONTENTS) 1. PEMBUATAN BIOETANOL DARI NIRA NIPAH DENGAN ALAT HASIL REKAYASA TIPE P3HH-1 (Manufacturing of Bioethanol from Nypa fruticans Sap with P3HH-1 Engineered Equipment) Djeni Hendra, Sri Komarayati & Heru S. Wibisono ...........................................................................................
1 - 10
2. KARAKTERISTIK BIODIESEL BIJI BINTARO (Cerbera manghas L) DENGAN PROSES MODIFIKASI (Characteristics of Biodiesel of Bintaro Seed (Cerbera manghas L.) by Modification Process) Djeni Hendra, Santiyo Wibowo, Novitri Hastuti, & Heru S.Wibisono ............................................................
11 - 21
3. PENYEMPURNAAN TEKNIK PENYADAPAN RESIN PINUS DENGAN METODE KUAKAN (Improvement of Pine Resin Tapping with Quare Method) Ika Nugraha Darmastuti, Gunawan Santosa, & Juang R. Matangaran ...........................................................
23 - 32
4. KOMPOSISI KIMIA DAN KETAHANAN 12 JENIS ROTAN DARI PAPUA TERHADAP BUBUK KAYU KERING DAN RAYAP TANAH (Chemical Composition and Resitance of Twelve Kinds of Rattan from Papua Agianst Powder Post-Beetle and Subterranean Termite Jasni, Gustan Pari & Titi Kalima ..........................................................................................................................
33 - 43
5. PENGARUH KADAR EKSTENDER TEPUNG BIJI ALPUKAT TERHADAP MUTU KAYU LAPIS DAMAR (Agathis alba Foxw) (The Effect of Avocado Seed Flour as Extender in Varying Contents on Damar (Agathis alba Foxw Plywood) M. I. Iskandar & Achmad Supriadi .......................................................................................................................
45 - 50
6. KETAHANAN 45 JENIS KAYU INDONESIA TERHADAP RAYAP KAYU KERING DAN RAYAP TANAH (The Resistance of 45 Indonesian Wood Species Against Dry-Wood Termites and Subterranean Termites) Mohammad Muslich & Sri Rulliaty .......................................................................................................................
51- 59
7. KARAKTERISTIK BIO-OIL DARI LIMBAH INDUSTRI HASIL HUTAN MENGGUNAKAN PIROLISIS CEPAT (Characteristics of Bio-oil Made of Forest Products Waste by Fast Pyrolysis Process) Santiyo Wibowo ......................................................................................................................................................
61 - 76
8. FAKTOR KONVERSI LIMBAH PEMANENAN KAYU HUTAN TANAMAN DAN RENDEMEN PENGOLAHAN SERPIH KAYU (Wood Waste Conversion Factors on Forest Plantations Harvesting and Chips Yield Processing) Soenarno & Wesman Endom ...............................................................................................................................
77 - 88
iii
Vol. 34 No. 1, Maret 2016
ISSN 0216 - 4329
Kata kunci yang digunakan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin atau biaya
ABSTRAK UDC (OSDC) 630*892.9 Djeni Hendra, Sri Komarayati & Heru S. Wibisono (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan) Pembuatan Bioetanol dari Nira Nipah dengan Alat Hasil Rekayasa Tipe P3HH-1 J. Penelit. Has. Hut. Maret. 2016, Vol. 34 No. 1, hlm. 1 - 10
UDC (OSDC) 630* 892.61 Ika Nugraha Darmastuti, Gunawan Santosa, & Juang R. Matangaran (Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Fakultas Kehutanan, Kampus IPB Dramaga Bogor 16680) Penyempurnaan Teknik Penyadapan Resin Pinus dengan Metode Kuakan J. Penelit. Has. Hut. Maret. 2016, Vol. 34 No. 1, hlm. 23 - 32
Penelitian ini bertujuan membuat alat pengolah bioetanol dengan bahan baku nira nipah. Alat rekayasa terdiri dari dua buah reaktor. Reaktor pertama berfungsi sebagai alat pasteurisasi, sakarifikasi, dan fermentasi. Reaktor kedua berfungsi sebagai alat destilasi. Ujicoba alat menghasilkan rendemen nira nipah sebesar 13,5% dan kadar bioetanol antara 70-94,5%.
Penyadapan resin pinus yang berlebihan berupa ukuran kuakan yang terlalu lebar dan dalam serta menggunakan stimulansia anorganik menyebabkan pohon menjadi rusak dan mudah tumbang. Salah satu cara untuk mengurangi kerusakan pohon dan meningkatkan produksi resin pinus adalah dengan memodifikasi teknik penyadapan.
Kata kunci: Alat rekayasa, bioetanol, nira nipah, reaktor, rendemen
Kata kunci: Jumlah dan lebar kuakan, kerusakan pohon, metode kuakan, penyadapan resin pirus, stimulansia organik
UDC (OSDC) 630*89 Djeni Hendra, Santiyo Wibowo, Novitri Hastuti, & Heru S. Wibisono (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor) Karakteristik Biodiesel Biji Bintaro (Cerbera manghas L) dengan Proses Modifikasi J. Penelit. Has. Hut. Maret. 2016, Vol. 34 No. 1, hlm. 11 - 21
UDC (OSDC) 630* 845.52 Jasni, Gustan Pari (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan), & Titi Kalima (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan) Komposisi Kimia dan Ketahanan 12 Jenis Rotan dari Papua terhadap Bubuk Kayu Kering dan Rayap Tanah J. Penelit. Has. Hut. Maret. 2016, Vol. 34 No. 1, hlm. 33 - 43
Penelitian bertujuan mengkarakterisasi biodiesel dari biji bintaro (Cerbera manghas L.) dengan memodifikasi proses pembuatannya, meliputi perlakuan awal bahan baku, modifikasi teknik degumming dengan penambahan katalis asam fosfat dan bentonit, proses esterifikasi dengan katalis metanol asam yang dilanjutkan dengan penambahan zeolit, proses transesterifikasi dengan katalis metanol basa. Hasil pengujian sifat fisiko-kimia biodiesel biji bintaro telah sesuai dengan standar biodiesel Indonesia (SNI 04-71822006).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi kimia dan ketahanan 12 jenis rotan terhadap kumbang bubuk rotan kering dan rayap tanah. Hasil penelitian menunjukkan selulosa tertinggi pada jenis rotan Calamus pachypus W.J. Bake (52,82%) dan terendah rotan Calamus longipina Becc. (42,29%). Lignin tertinggi pada rotan Calamus zebrianus Becc. (33,37%) dan terendah rotan Calamus vitiensis Warb.ex.Beccari (21,00%) Ketahanan terhadap kumbang bubuk termasuk kelas I ( 2 jenis), kelas II (3 jenis), kelas III (4 jenis), kelas IV (1 jenis) dan kelas V (2 jenis). Ketahanan terhadap rayap tanah kelas I (3 jenis), kelas II (5 jenis), kelas III (2 jenis), kelas IV (1 jenis), dan kelas V (1 jenis).
Kata kunci: Biodiesel, bintaro, sifat treatment
fisiko-kimia, pre-
Kata kunci: Rotan, komposi kimia, ketahanan, bubuk rotan kering, rayap tanah
v
UDC (OSDC) 630* 832.2 M. I. Iskandar & Achmad Supriadi (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan) Pengaruh Kadar Ekstender Tepung Biji Alpukat Terhadap Mutu Kayu Lapis Damar (Agathis alba Foxw.) J. Penelit. Has. Hut. Maret. 2016, Vol. 34 No. 1, hlm. 45 - 50
UDC (OSDC) 630* 892.6 Santiyo Wibowo (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan) Karakteristik bio-oil dari limbah industri hasil hutan menggunakan pirolisis cepat J. Penelit. Has. Hut. Maret. 2016, Vol. 34 No. 1, hlm. 61 - 76
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kadar ekstender terhadap keteguhan rekat kayu lapis damar. Bahan ekstender yang digunakan berupa tepung biji alpukat dengan kadar 10%, 20%, dan 30% dari bobot perekat cair Urea Formaldehida (UF). Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kadar air kayu lapis 7,46% kerapatan 0,48 g/cm3, dan keteguhan rekat 11,77. Kadar air dan keteguhan rekat kayu lapis memenuhi Standar Nasional Indonesia. Kadar ekstender berpengaruh sangat nyata terhadap keteguhan rekat. Makin tinggi kadar ekstender, keteguhan rekat kayu lapis cenderung berkurang. Kayu lapis damar yang memiliki nilai keteguhan rekat terbaik yang menggunakan ekstender kadar 10%.
Tujuan penelitian adalah mendapatkan informasi teknik pembuatan bio-oil dengan bahan baku limbah biomasa industri hasil hutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen liquid tertinggi diperoleh dari serbuk kayu mahoni pada suhu 550oC yang menghasilkan liquid lebih tinggi dibandingkan dengan kulit kayu mahoni dan sludge kertas, dengan karakteristik; rendemen liquid 25% dengan rendemen bio-oil sebesar 5%, kadar fenol 3,66, pH 2,98, 3 bobot jenis 1,092 g/cm , nilai kalor 9,28 MJ/kg. Bio-oil yang dihasilkan didominasi oleh asam asetat dan fenol. Kata kunci: Bahan bakar alternatif, bio-oil, limbah pirolisis cepat
Kata kunci: Ekstender, perekat, tepung biji alpukat, kayu lapis, kayu damar
UDC (OSDC) 630* 845.52 Mohammad Muslich & Sri Rulliaty (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan) Ketahanan 45 Jenis Kayu Indonesia Terhadap Rayap Kayu Kering dan Rayap Tanah J. Penelit. Has. Hut. Maret. 2016, Vol. 34 No. 1, hlm. 51 - 59
UDC (OSDC) 630* 331 Soenarno & Wesman Endom (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan) Faktor Konversi Limbah Pemanenan Kayu Hutan Tanaman dan Rendemen Pengolahan Serpih Kayu J. Penelit. Has. Hut. Maret. 2016, Vol. 34 No. 1, hlm. 77 - 88
Empat puluh lima jenis kayu Indonesia diuji sifat ketahanan alami terhadap rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus light.) dan terhadap rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 6 jenis kayu termasuk sangat tahan (kelas I), 11 jenis tahan (kelas II) dan sisanya 28 jenis termasuk kelas awet rendah (kelas III, IV dan V) terhadap Cryptotermes cynocephalus Light, sementara 7 jenis kayu termasuk sangat tahan (kelas I) , 14 jenis tahan (kelas II), dan sisanya 24 jenis tidak tahan (kelas III, IV dan V) terhadap Coptotermes curvignathus Holmgren. Jenis kayu yang tahan terhadap rayap kayu kering belum tentu tahan terhadap rayap tanah, dan sebaliknya jenis kayu yang tahan terhadap rayap tanah belum tentu tahan terhadap rayap kayu kering.
Penelitian bertujuan untuk mendapatkan faktor konversi dan rendemen pengolahan kayu serpih dari limbah kayu pemanenan kayu akasia (Acacia mangium), ekaliptus (Eucalyptus pellita), dan waru (Hibiscus similis). dari satuan staple meter (Sm) atau berat (ton) menjadi satuan 3 volume m . Faktor konversi limbah kayu akasia untuk 1 Sm sama dengan 0,35 m3 atau 1 ton sama dengan 1,98 m3 dan ekaliptus 1 Sm sama dengan 0,48 m3 atau untuk 1 ton sama dengan 1,41 m3 sedangkan 1 Sm limbah kayu waru sama dengan 0,34 m3 dan untuk 1 ton sama dengan 1,95 m3. Rendemen pengolahan chips limbah kayu A. mangium dan E. pellita adalah 94% sedangkan H. similis adalah 90%. Kata kunci: Faktor konversi, limbah kayu, serpih kayu, rendemen, pemanenan, hutan tanaman
Kata kunci: Ketahanan, jenis kayu Indonesia, rayap kayu kering, rayap tanah
vi
Vol. 34 No. 1, March 2016
ISSN 0216 - 4329
Keywords given are free terms. Abstracts may be reproduced without permission or charge
ABSTRACT UDC (OSDC) 630*892.9 Djeni Hendra, Sri Komarayati & Heru Wibisono (Forest Product Research and Development Center) Manufacturing of Bioethanol from Nypa fruticans Sap with P3HH-1 Engineered Equipment J. of Forest Products Research. March. 2016, Vol. 34 No. 1, pp. 1 - 10
UDC (OSDC) 630*892.61 Ika Nugraha Darmastuti, Gunawan Santosa, Juang R. Matangaran (Forest Management Studies Program, Faculty of Forestry, Campus IPB, Bogor - 16680) Improvement of Pine Resin Tapping with Quare Method J. of Forest Products Research. March. 2016, Vol. 34 No. 1, pp. 23 - 32
This research is intended to make bioethanol cultivating tool from Nypa Fruticans sap raw materials. The engineering tool is consisted of 2 reactors. The first reactor is used for pasteurization, sacarification and fermentation tools. Reactor two is used as distillation tool. Trying using this tool in processing Nypa Fruticans sap yielded of 13.5% bioethanol with concentration between 70-94.5%.
Overtapping of pine resin interms of quare which is too wide and deep and the use of anorganic stimulant may cause tree damage and increase the risk of tree to fall. Modification of tapping technique may reduce the damage of trees and increase production of pine resin. Keywords: Damage of tree, quare method, organic stimulant, pine resin tapping, the number and width of quare
Keywords:Engineering tool, bioethanol, Nypa Fruticans sap, reactor, yield UDC (OSDC) 630*89 Djeni Hendra, Santiyo Wibowo, Novitri Hastuti, Heru S.Wibisono (Forest Product Research and Development Center, Bogor) Characteristics of Biodiesel of Bintaro Seed (Cerbera manghas L) by Modification Process J. of Forest Products Research. March. 2016, Vol. 34 No. 1, pp. 11 - 21
UDC (OSDC) 630*845.52 Jasni, Gustan Pari (Forest Product Research and Development Center, Bogor), Titi Kalima (Forest Research and Development Center, Bogor) Chemical Composition of 12 Rattan Species from Papua and Its Resistance Against Powderpost Beetle and Subterranean Termite J. of Forest Products Research. March. 2016, Vol. 34 No. 1, pp. 33- 43
The objective of this study is to characterize biodiesel from Bintaro's seed (Cerbera manghas L) by modifying process. Modification process include: pretreatment on raw materials, the modification of degumming technique by addition of phosphoric acid catalys and followed by the addition of bentonite, esterification by methanol acid catalyst and followed by addition of zeolite, the transesterification process by methanol bases catalyst. The results exhibited that physico-chemical properties of biodiesel from Bintaro's seeds met to Indonesian Standard of Biodiesel (SNI 04-71822006).
The aim of this research is to determine the chemical composition of 12 rattan species, their resistance against powder-post beetle and subterranean termite. The highest cellulose content in Calamus pachypus rattan ( 52.82%), while the lowest cellulose content in Calamus zebrianus rattan (42.29%). The highest lignin content was recorded in Calamus zebrianus rattan (33.37%), and the lowest in Calamus vitiensis rattan (21.00%). Two rattans species studied were calssified into class I against powder post beetle, three species as class II, four species as class III, one species as class IV, and two species as class V. Based on the test against subterranean termites, three species were classified as class I, five species as class II, two species as class III, one species as class IV, and one species as class V.
Keywords:Biodiesel, bintaro, psycho-chemical properties, pretreatment
Keywords: Twelve rattan species, Papua, chemical composition, resistance, powder post beetle, subterranean termites
vii
UDC (OSDC) 630*832.2 M. I. Iskandar & Achmad Supriadi (Forest Product Research and Development Center) The Effect of Avocado Seed Flour as Extender in Varying Contents on Damar (Agathis alba Foxw) Plywood J. of Forest Products Research. March. 2016, Vol. 34 No. 1, pp. 45 - 50
UDC (OSDC) 630* 892.6 Santiyo Wibowo (Forest Product Research and Development Center) Characteristics of Bio-oil Made of Forest Products Waste by Fast Pyrolysis Process J. of Forest Products Research. March. 2016, Vol. 34 No. 1, pp. 61 - 76 The purpose of this study is to get information on production technology of bio-oil from waste of forest industry using fast pyrolysis. The results showed that highest bio-oil produced by mahogany wood o with treatment at 550 C, with the following characteristics; yields of liquid was 25% and bio-oil yields 5 %, phenol 3.66, pH 2.98, specific gravity 1.092 g/cm3, heating value 9.28 MJ/kg. Bio-oil produced by this process predominantly composed of acetic acid and phenols.
This research aimed to look into how the contents of extender in the plywood affected its internal bonding strength. The plywood was assembled from dammar (Agathis alba Foxw) wood plies. For the extender, it used the flour of avocado seeds in varying contents at consecutively 10%, 20%, and 30%, each based on Urea Formaldehida (UF) liquid adhesive weight. Result revealed that in average the plywood moisture content, density, and internal bonding strength were 7.46%, 0.48 g/cm3, 11.77 kg/cm2, respectively. The moisture content and bonding strength as such could entirely satisfy the Indonesia's National Standard. The varying extender contents affected significantly the plywood's bonding strength, wereby the greater the content the the lower the strength. The plywood with the greatest bonding strength was the one with 10% extender.
Keywords: Alternative & fuels, bio-oil, waste, fast pyrolysis
Keywords: Extender, UF adhesive, fluor of avocado seeds, plywood, dammar wood plies UDC (OSDC) 630*845.52 Mohammad Muslich & Sri Rulliaty (Forest Product Research and Development Center) The Resistance of 45 Indonesian Wood Species Against Dry-Wood Termites and Subterranean Termites J. of Forest Products Research. March. 2016, Vol. 34 No. 1, pp. 51 - 59
UDC (OSDC) 630*331 Soenarno and Wesman Endom (Forest Product Research and Development Center) Wood Waste Conversion Factors on Forest Plantations Harvesting and Chips Yield Processing J. of Forest Products Research. March. 2016, Vol. 34 No. 1, pp. 77 - 88
Forty five of Indonesian wood species were tested against to drywood termites (Cryptotermes cynocephalus Light.) and subterranean termites (Coptotermes curvignathus Holmgreen.). Results revealed that out of the 45 investigated wood species 6 were classified as very highly durable wood (class I), 11 higly durable (class II), and the rest i.e. 28 species were classified into lower durability performance (i.e. classes III, IV and V). to Cryptotermes cynocephalus Light. Testing results against Coptotermes curvignathus Holmgreen show that 7 species are categorise highly resistant (durable class I), 14 specier are resistant (durable class II) and the remaining 24 specier are grouped into low durable grade (III, IV and V). The results also showed that wood with high natural durability against dry wood termites is not necessarily resistant to subterranean termites and vice versa.
The research aims to determine the conversion factor of wood waste timber harvesting and chips yield of akasia (Acacia mangium), ekaliptus (Eucalyptus pellita), and waru (Hibiscus similis) from staple meters (Sm) or weight (Ton) into m3. Acacia wood waste conversion factor for 1 Sm is equal to 0.35 m3 or 1 Ton is equal to 1.98 m3 and eucalyptus 1 Sm equal to 0.48 m3 or 1 Ton is equal to 1.41 m3 and 1 Sm same hibiscus wood waste with 0.34 m3 and for 1 Ton is equal to 1.95 m3. The chips yield of the processing waste wood of A. mangium and E. pellita is 94% while H. similis is 90%. Keywords: Conversion factor, waste wood, chips, yield, harvesting, forest plantations
Keywords: Resistance, Indonesian wood species, dry-wood termites, subterranean termites
viii
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 1-10 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
PEMBUATAN BIOETANOL DARI NIRA NIPAH DENGAN ALAT HASIL REKAYASA TIPE P3HH-1 (Manufacturing of Bioethanol from Nypa fruticans Sap with P3HH-1 Engineered Equipment) Djeni Hendra, Sri Komarayati & Heru S. Wibisono 1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor 16610, Telp. 0251-8633378, Fax. 0251-86333413 E-mail :
[email protected] Diterima 19 Januari 2015, Direvisi 6 Agustus 2015, Disetujui 1 Oktober 2015
ABSTRACT High consumption of fossil fuel causes energy crisis since its reserve is decreasing. This fact stimulates many studies to find out alternative energy as fossil fuels substitute. Bioethanol is considered as one of the most important source of alternative energy extracted from plants. This research is aimed to provide tool engineering required in producing bioetanol from Nypa fruticans sap. The engineering is consisted of two reactors. The first reactor can be used for pasteurization, sacarification and fermentation. The important second reactor is used as a distillation unit. The tool engineering has important advantage by using SSF (Simultaneous Sacarification and Fermentation) technique. By using this technique, process of pasteurization and fermentation can be carried out in one reactor. However the low level of bioethanol flow rate becomes the weakness of this tool . The yield of Nypa fruticans sap was about 13.5% and the bioethanol content of 70-94.5% with an average of 84.8%. The yield of bioethanol distillation can be improved through the dehidration process. Bioethanol content can be increased from 94.5% to 98.5% by the dehidration process. Keywords: Tool engineering, bioethanol, Nypa fruticans sap, biofuels ABSTRAK Meningkatnya konsumsi bahan bakar fosil sedangkan cadangannya semakin menurun menyebabkan terjadinya krisis energi. Hal ini memicu penggalian energi alternatif sebagai pengganti energi fosil tersebut. Bioetanol merupakan salah satu energi alternatif yang berasal dari bahan nabati. Penelitian ini bertujuan membuat alat/mesin pengolah bioetanol dari bahan nira nipah. Alat rekayasa yang dibuat terdiri dari 2 buah reaktor. Reaktor I berfungsi sebagai alat pasteurisasi, sakarifikasi dan fermentasi. Reaktor II berfungsi sebagai alat destilasi. Keunggulan alat ini terdapat pada penggunaan teknik Simultaneous Sacarification and Fermentation (SSF) dimana proses pasteurisasi dan fermentasi dapat dilakukan pada 1 reaktor. Laju alir uap bioetanol masih berlangsung lambat menjadi kelemahan alat ini. Rendemen nira nipah hasil ujicoba sebesar 13,5% dan kadar bioetanol berkisar antara 70-94,5% dengan rata-rata sebesar 84,8%. Hasil destilasi bioetanol dapat ditingkatkan melalui proses dehidrasi. Melalui proses dehidrasi kadar bioetanol 94,5% dapat meningkat menjadi 98,5%. Kata kunci: Rekayasa alat, bioetanol, nira nipah, bahan bakar nabati I. PENDAHULUAN Krisis energi yang melanda dunia khususnya bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbaharui telah memacu untuk mendapatkan energi alternatif pengganti bahan bakar tersebut. Konsumsi bahan bakar fosil diperkirakan akan meningkat 57% dari tahun 2002 hingga 2025
sedangkan cadangan minyak bumi semakin berkurang akibat eksploitasi dan pemakaian oleh industri yang semakin berkembang. Berdasarkan laporan dari Congressional Research Service (CRS) kepada komisi energi, jika tidak ada perubahan pola konsumsi, cadangan minyak bumi hanya cukup untuk 30–50 tahun lagi (Prihandana & Hendroko, 2007). 1
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 1-10
Untuk menghadapi semakin berkurangnya cadangan minyak bumi dan semakin tingginya konsumsi bahan bakar minyak, Pemerintah Indonesia menerbitkan Instruksi Presiden No.1 tahun 2006 tanggal 25 Januari 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai alternatif bahan bakar. Salah satu bahan bakar alternatif adalah bioetanol yang merupakan bahan bakar nabati berasal dari tanaman kehutanan dan perkebunan. Produksi bioetanol dapat dilakukan dengan menggunakan alat rekayasa. Rekayasa alat pengolah bioetanol perlu didesain sedemikian rupa guna menghasilkan kualitas (kadar bioetanol) dan kuantitas bioetanol (rendemen). Tulisan ini mempelajari rekayasa alat pembuat bioetanol. Alat pengolah bioetanol yang dibuat menggunakan sistem Simultaneous Sacarification and Fermentation (SSF). Sistem SSF memiliki keuntungan dalam hal proses dan desain. Sistem SSF memungkinkan untuk melakukan 3 proses sekaligus dalam 1 reaktor, yaitu sakarifikasi, pasteurisasi, dan fermentasi. Alat rekayasa akan diujicoba dengan menggunakan bahan baku nira nipah. Nira nipah merupakan salah satu bahan baku yang berpotensi untuk diolah menjadi bioetanol. Total komposisi kimia nira nipah adalah 19,5% berat, terutama terdiri dari sukrosa, glukosa , dan fruktosa (Tamunaidu, 2013). Tamunaidu (2013) dalam Chairul (2013) juga menyatakan bahwa potensi pohon nipah dapat menghasilkan 0,4 sampai 1,2 liter nira nipah per pohon per hari. Sampai saat ini pengolahan bioetanol nira nipah masih sebatas pada skala laboratorium. Vernandos (2008) melakukan proses fermentasi nira nipah sebanyak 300 ml dan Sodiq (2011) melakukan fermentasi nira nipah sebanyak 8.000 ml. Berdasarkan informasi tersebut, maka diperlukan rekayasa alat untuk mengolah bioetanol pada skala yang lebih besar. II. BAHAN DAN METODE A. Lokasi dan Waktu Penelitian Rekayasa alat pengolah bioetanol dan uji coba dilakukan di Laboratorium Pengolahan Kimia dan Energi Hasil Hutan, Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor. Pengambilan bahan baku nira nipah dan informasi yang berkaitan dengan kegiatan rekayasa alat dilakukan di Jawa Tengah. 2
B. Bahan dan Peralatan Bahan yang digunakan dalam rekayasa alat pengolah bioetanol adalah 2 tabung stainless steel SS 304 dengan tebal 1,5 mm, band heater, thermocouple, temperatur control, kabel listrik, dan kawat katoda stainless steel untuk las listrik. Sedangkan bahan yang digunakan untuk produksi bioetanol adalah nira nipah sebanyak 50 liter dan ragi (Saccharomyces cerevisiae). Peralatan diantaranya adalah mesin potong besi, mesin las listrik, mesin bubut, mesin bor, timbangan analitik, timbangan kasar, gelas ukur 100 ml, 250 ml, dan 1000 ml, erlemeyer, alat ukur kadar gula (brix meter), alat ukur kadar alkohol (alcohol meter), dan termometer. C. Prosedur Kerja 1. Pengerjaan rekayasa alat pengolah bioetanol adalah sebagai berikut: a. Rancang bangun reaktor untuk proses pasteurisasi, sakarifikasi yang dipergunakan juga sebagai alat untuk proses pasteurisasi dan fermentasi bahan baku bioetanol (Gambar 1) b. Rancang bangun reaktor destilasi dan 2 kondensor untuk mendinginkan uap etanol menjadi cairan (Gambar 3) c. Pengerjaan pengelasan dan perakitan rangka meja reaktor untuk pemasakan (pasteurisasi), dan reaktor untuk destilasi dan pembuatan 2 alat pendingin (condensor). d. Pengerjaan pembentukkan 2 plat stainless steel menjadi bentuk tabung, tabung bagian dalam dengan ukuran Ø 380 mm, tinggi 600 mm yang dililit oleh band heater dan tabung luar dengan ukuran Ø 440 mm, tinggi 600 mm sesuai dengan gambar rancang bangun. e. Pengerjaan pengelasan tutup atas reaktor, pemasangan kran pada corong masuknya bahan baku, pemasangan kran untuk mengeluarkan bahan baku dan perakitan dudukan electromotor untuk pengadukkan bahan baku. f. Pengerjaan pembentukkan 2 plat stainless steel menjadi bentuk tabung dalam dengan ukuran Ø 380 mm, tinggi 600 mm dan tabung luar dengan ukuran Ø 500 mm, tinggi 600 mm sesuai dengan gambar rancang bangun. g. Pengerjaan dan pemasangan electric heater di bagian dinding bawah tabung.
Pembuatan Bioetanol dari Nira Nipah dengan Alat Hasil Rekayasa Tipe P3HH-1 (Djeni Hendra, Sri Komarayati & Heru Wibisono)
h. Pembuatan, p engerjaan pengelasan dan perakitan 2 tabung pendingin uap etanol panas
(condensor) yang dilengkapi dengan temperatur controler di tabung ke 1.
Gambar 1. Rancang bangun reaktor pengolahan bahan baku bioetanol (Reaktor 1) Figure 1. The reactor design of bioethanol raw materials process (Reactor 1) Keterangan (Remarks): 1. Corong pemasukan (Entering funnel) 2. Motor pengaduk ¼ HP 3 phase (Electromotor ¼ HP 3 phase) 3. Tabung bagian dalam (Inner tube) 4. Pelindung pemanas (Shield of band heater) 5. Dudukan tabung (reaktor) (Tube holder) 6. Kotak panel (Box panel) 7. Kran pengeluaran bahan (Faucet of materials output)
Gambar 2. Reaktor 1 untuk pengolahan bahan baku bioetanol Figure 2. Reactor 1 for processing raw materials of bioethanol Keterangan (Remarks): 1. Corong pemasukan bahan (Entering material funnel) 2. Motor pengaduk ¼ HP 3 Phase (Electromotor ¼ HP 3 Phase) 3. As pengaduk (Bar mixer) 4. Inverter (Inverter) 5. Pemanas (Band heater) 6. Pengontrol panas (Thermocontrol) 7. Baling-baling pengaduk bahan (Propeller of material mixer)
3
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 1-10
Gambar 3. Rancang bangun reaktor 2 dan pendingin destilasi bioetanol Figure 3. Reactor design 2 and condensor of bioethanol distillation Keterangan (Remarks): 1. Tiang pendingin (Condensor support) 2. Pengukur suhu di reaktor destilasi (Thermocontrol on distillation reactor) 3. Tabung luar berisi air (Outer tube that contain of water) 4. Petunjuk level air (Water level) 5. Pengukur suhu condensor 1 (Thermocontrol on condensor 1) 6. Pendingin 1 (Condensor 1) 7. Pendingin 2 (Condensor 2) 8. Corong pemasukan bahan baku (Entering raw material funnel) 9. Tabung/ reaktor bagian dalam (bahan baku) (Inner tube/reactor) 10. Kotak panel (Box panel) 11. Kran untuk pengeluaran sisa destilasi (Faucet for distillation residu output) 12. Kran untuk pemasukkan air (Faucet for water input)
Gambar 4. Reaktor 2 destilasi bahan baku bioetanol Figure 4. Reactor 2 for bioethanol raw materials distillation Keterangan (Remarks): 1. Corong pemasukan bahan (Raw materials input funnel) 2. Thermometer reactor (Thermometer of reactor)
4
Pembuatan Bioetanol dari Nira Nipah dengan Alat Hasil Rekayasa Tipe P3HH-1 (Djeni Hendra, Sri Komarayati & Heru Wibisono)
3. Pengeluaran uap air panas (Hot steam output) 4. Jacket air (Water jacket) 5. Level control air panas (Level of hot water control) 6. Pengeluaran sisa destilasi etanol (Ethanol distillation residu output) 7. Kotak panel (Box panel) 8. Kran untuk mengeluarkan air pemanas (Faucet for issuing hot water) 9. Tabung bagian dalam (Inner tube) 10. Pipa laju alir uap etanol ke kondensor (Ethanol flowrate pipe to condensor)
Gambar 5. Dua tabung pendingin (condensor) Figure 5. Two tubes of condensor Keterangan (Remarks) : 1. Kontrol themometer (Thermometer control) 2. Pipa sekat bentuk spiral untuk pendingin berisi air di condensor 1 (Spiral shape of insulation pipe for cooler that contain of water in condensor 1) 3. Pipa sekat bentuk spiral untuk laju alir uap bioethanol (Spiral shape of insulation pipe for steam flow rate of bioethanol) 4. Pipa input uap etanol (Input pipe of ethanol steam) 5. Pipa pemasukan air untuk mendinginkan uap etanol di condensor 1 (Water input pipe for cooling ethanol steam on condensor 1) 6. Pipa pengeluaran air pada condensor 2 (Water output pipe on condensor 2) 7. Pipa pengeluaran air pada condensor 1 (Water output pipe on condensor 1) 8. Pipa pemasukan air pada condensor 2 (Water input pipe on condensor 2) 9. Pipa output etanol (Ethanol output pipe)
2. Uji coba alat pengolah bioetanol a. Cairan nira nipah segar sebanyak 50 liter, diukur pH dan kadar gula, kemudian di masukkan ke dalam reaktor pemasakan (reaktor I) melalui corong pemasukan bahan cairan. b. Reaktor dipanaskan dalam keadaan tertutup selama 10 menit pada suhu 50-60oC, kemudian didinginkan tanpa menggunakan alat sampai pada suhu 28oC.
c. Dilakukan pengaturan pH dengan penambahan larutan amonium hingga pH 5,5 sambil diaduk. d. Ditambahkan ragi (Saccharomyces cerevisiae) dengan rasio 2 g/100 ml untuk 1 reaktor fermentor sebanyak 2% (b/v). e. Nira nipah difermentasi dengan suhu 28oC dalam reaktor fermentor, dan diaduk setiap 6 (enam) jam sekali selama 3 menit. f. Setelah proses fermentasi (72 jam), nira nipah 5
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 1-10
dipindahkan ke dalam reaktor destilasi (reaktor II) yang dilengkapi alat pendingin (condensor). g. Reaktor destilasi dipanaskan pada suhu 7880oC. h. Destilat etanol yang dihasilkan diukur rendemen dan kadar etanol. D. Analisis Data Analisis data hasil uji coba ditabulasi kemudian dievaluasi dan dianalisis keunggulan dan kelemahan alat hasil rekayasa. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Rekayasa Alat Pengolah Bioetanol Alat rekayasa yang dibuat terdiri dari 2 buah reaktor. Reaktor pertama berfungsi sebagai alat pasteurisasi, sakarifikasi dan fermentasi. Reaktor kedua berfungsi sebagai alat destilasi. Reaktor pertama dipergunakan untuk proses pasteurisasi cairan nira, akan tetapi bisa dipergunakan untuk proses sakarisasi atau hidrolisis pada suhu 40–50oC sambil diaduk dengan putaran konstan selama 48 jam, selain itu fungsi reaktor pertama dapat dipergunakan untuk proses fermentasi.
(a)
Spesifikasi reaktor pertama. - Kapasitas : 60 liter - Diameter tabung luar : 440 mm - Diameter tabung dalam : 380 mm - Tinggi tabung : 650 mm - Bahan : Stainless steel 304 tebal 1,5 mm - Pengaduk : Electromotor ¼ Hp, 3 Phase - Pemanas reaktor: Band heater 3000 watt, 220 volt. - Kotak panel: Inventer, temperatur kontrol digital dan kontaktor. Fungsi reaktor kedua dan pendingin (condensor) adalah untuk proses pemisahan komponen berdasarkan titik didihnya. Titik didih etanol murni adalah 78oC sedangkan titik didih air adalah 100oC. Dengan memanaskan larutan pada suhu antara 78-80oC akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap dan dilakukan kondensasi akan dihasilkan etanol cair dengan kadar yang tinggi. Reaktor kedua berfungsi sebagai alat untuk memanaskan cairan hasil fermentasi berdasarkan titik didihnya dengan spesifikasi sebagai berikut : - Kapasitas reaktor : 60 liter - Diameter tabung dalam : 380 mm - Diameter tabung luar : 500 mm - Tinggi tabung : 600 mm
(b)
Gambar 6. Prototipe alat pengolah bioetanol Figure 6. The prototype of bioethanol cultivating tools Keterangan (Remarks) : a. Alat pasteurisasi, sakarifikasi, dan fermentasi, (Pasteurization, sakarification, and fermentation equipmwnts) b. Alat destilasi (Distillation equipment)
6
Pembuatan Bioetanol dari Nira Nipah dengan Alat Hasil Rekayasa Tipe P3HH-1 (Djeni Hendra, Sri Komarayati & Heru Wibisono)
- Bahan : Stainless steel 304, tebal 1,5 mm - Pemanas : Heater immersion 3.000 Watt, 220 volt 1 phase. - Dilengkapi dengan: Box panel, temperatur control, thermocouple, kran pengisian air, dan kran pengeluaran sisa bahan. Pendingin (condensor) uap etanol dibuat 2 buah, dengan fungsi satu sama lainnya berbeda : - Diameter : 4 inchi - Tinggi : 127 cm - Bahan kondensor : Stainless steel 304 - Pipa penyekat : Ø ½ inc Stainless steel 304 - Dilengkapi dengan temperatur kontrol di pendingin 1 Pendingin 1 berfungsi sebagai tempat terjadinya pemisahan antara uap air dan uap etanol, laju alir uap air akan turun kembali karena terhalang oleh kisi kisi bola kaca, sedangkan uap etanol akan terus menerobos ke pendingin 2. Fungsi dari pipa penyekat adalah untuk laju alir air pendingin yang sewaktu waktu dialirkan jika temperatur pendingin 1 sudah terlalu panas. Pendingin 2 berfungsi untuk mendinginkan laju alir uap etanol yang masuk ke dalam pipa penyekat menjadi etanol cair dengan kadar tinggi. Telah dilakukan perbaikan pada reaktor 2, yaitu pipa yang menuju ke kondensor 1 telah diperpendek dan posisi kondensor (pendingin) diturunkan agar tidak menghambat proses laju alir uap etanol yang dihasilkan. B. Uji Coba Pembuatan Bioetanol dari Nira N ipah Menggunakan R eaktor H asil Rekayasa Alat pengolah bioetanol hasil rekayasa, meng gunakan teknik SSF (Simultaneous Sacarification and Fermentation). Proses SSF memiliki kelebihan dalam hal efisiensi proses, dimana
proses pasteurisasi dan fermentasi dapat dilakukan pada satu reaktor, sehingga reaktor yang dibutuhkan lebih sedikit. Menurut Dahlan, Sari, & Ismadyar (2009) nira nipah mengandung sukrosa sebanyak 13-17%, ini merupakan suatu bahan yang sangat potensial untuk diolah menjadi bioetanol. Nira nipah yang diuji coba sebanyak 50 liter, diukur pH serta kadar gula. Berdasarkan hasil pengukuran, didapat data cairan nira awal yang tersaji pada Tabel 1. Nira nipah dengan pH 6,05 ditambahkan larutan amonium hingga pH mencapai 5,5 lalu dipanaskan (pasteurisasi) pada suhu 45 oC. Pasteurisasi bertujuan membunuh organisme yang merugikan (bakteri, virus, protozoa, dan lain-lain). Setelah mencapai suhu pasteurisasi, kemudian didinginkan sampai suhu 26-28oC dan ditambahkan ragi (Saccharomyces cerevisiae) sebanyak 2% (b/v) untuk di fermentasikan pada suhu ruang (26-28oC) selama 72 jam. Proses fermentasi dimaksudkan untuk mengkonversi glukosa (gula) menjadi etanol. Pada proses fermentasi, ragi yang digunakan adalah Saccharomyces cerevisiae karena jenis ini dapat berproduksi tinggi, toleran terhadap alkohol yang cukup tinggi (12-18% v/v), tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 24-32oC. Putra dan Amran 2009 menyatakan bahwa Saccharomyces cereviseae mempunyai daya fermentasi yang tinggi terhadap glukosa, fruktosa, galaktose, maltose dan mempunyai daya tahan dalam lingkungan di kadar alkohol yang relatif tinggi serta tahan terhadap mikroba lain pembuatan bioetanol dari nira nipah dalam skala menengah dengan kapasitas 70 liter (50 liter nira nipah) dengan kondisi pH 4,5 dan waktu fermentasi 36 jam dengan menggunakan ragi Saccharomyces cerevisiae menghasilkan konsentrasi bioetanol 14% (Chairul, 2013). Dalam skala yang lebih kecil/laboratorium, pembuatan bioetanol dari
Tabel 1. Karakteristik awal bahan baku nira nipah Table 1. Nypa fruticans sap raw material’s characteristics Data (Data) Volume (volume) pH (pH) Kadar gula (glucose level) Kadar Alkohol (alcohol level)
Nilai (Value) 50 liter 6,05 14% 0% 7
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 1-10
Tabel 2. Hasil destilasi bioetanol dengan alat hasil rekayasa Table 2. Result of bioethanol distillation with engineering tools Hasil destilasi (ml) (Distillation yield)
Kadar bioetanol (%) (bioethanol content)
453
83,5
521 455 494 448
83,5 84,0 87,0 88,0
406 433 430 430
89,0 91,0 93,0 94,5
430 430 400 375 300 250 250 250
90,0 86,0 84,0 83,0 80,0 80,0 75,0 70,0
nira nipah dengan kapasitas 8 liter dengan menggunakan ragi Sacc h aromyces cerevisiae menghasilkan konsentrasi bioetanol 12% (Sodiq, 2011). Setelah proses fermentasi, tahapan selanjutnya dilakukan destilasi. Destilasi bertujuan memisahkan air dan etanol berdasarkan titik didihnya. Titik didih etanol murni adalah 78oC sedangkan titik didih air adalah 100oC. Dengan memanaskan larutan pada suhu rentang 78–80oC akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap. Kadar bioetanol hasil destilasi dari penggunaan alat hasil rekayasa tersaji pada Tabel 2. Pengukuran kadar alkohol menggunakan alkoholmeter. Langkah-langkah pengukuran menggunakan alkoholmeter (Feryanto, 2007) adalah dengan memasukkan destilat sebanyak 100 ml ke dalam gelas ukur, kemudian alkoholmeter dicelupkan ke dalam destilat. Batas yang tercelup pada permukaan destilat menunjukkan kadar alkohol pada sampel yang diuji. Dari hasil uji coba pembuatan bioetanol dengan reaktor hasil 8
rekayasa, ternyata menunjukkan hasil kadar etanol yang beragam, berkisar antara 70-94,5% akan tetapi ada kenaikan kadar etanol tertinggi pada pengambilan sampel ke 9 yaitu 94,5% (Tabel 2). Etanol mencapai kadar tertinggi tersebut diduga bahwa suhu pada pendingin 1 berada pada suhu optimum dimana etanol dapat terpisah dengan uap air secara maksimal. Pada pengambilan sampel ke 17 kadar bioetanol yang dihasilkan hanya sebesar 70%. Nilai ini mengindikasikan bahwa laju alir uap etanol ke kondensor 1 terpengaruh oleh suhu yang terlalu tinggi sehingga proses pemisahan etanol dengan uap air tidak berjalan optimal. Dapat diketahui bahwa kadar etanol 70% terdapat kandungan air yang terbawa oleh etanol pada saat proses pemisahan. Untuk mengatasi suhu laju alir uap etanol terlalu tinggi hal ini perlu segera diturunkan suhunya dengan cara mengalirkan air ke kondensor 1 agar suhu pada kondensor 1 berada di bawah suhu 90oC, sehingga diperoleh kadar etanol yang maksimal.
Pembuatan Bioetanol dari Nira Nipah dengan Alat Hasil Rekayasa Tipe P3HH-1 (Djeni Hendra, Sri Komarayati & Heru Wibisono)
Tabel 3. Hasil dehidrasi bioetanol Table 3. Result of bioethanol dehidration Kadar bioetanol awal (%) (The first of bioethanol content)
Kadar bioetanol akhir (%) (The last of bioethanol content)
80,0 83,0 91,0 93,0 94,5
89,0 91,0 95,0 97,5 98,5
Kadar bioetanol hasil uji coba belum mencapai standar untuk substitusi bahan bakar premium, akan tetapi dapat ditingkatkan kadarnya melalui proses dehidrasi. Prinsip proses dehidrasi tidak jauh berbeda dengan cara destilasi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, secara umum kadar bioetanol mengalami kenaikan setelah dilakukan dehidrasi (Tabel 3). Untuk bioetanol awal dengan kadar 80% naik menjadi 89% setelah di dehidrasi. Selain itu, sampel dengan kadar etanol 94,5% jika didehidrasi akan naik kadarnya menjadi 99,5%. Hasil ujicoba alat rekayasa menghasilkan rendemen bioetanol sebesar 13,5%. Kelebihan alat hasil rekayasa dapat digunakan untuk bahan baku dalam bentuk cairan (nira) dan maupun padatan (empulur sagu, empulur sawit, limbah kayu). Untuk bahan padatan (bahan berlignoselulosa) berbeda cara pengolahannya. B ahan padat an di pr ose s d e ng an c ara sakarifikasi/hidrolisis pada suhu 50oC selama 48 jam sambil diaduk pada putaran konstan. Selain itu, karena prinsip alat ini menggunakan teknik SSF, maka dapat melakukan dua proses sekaligus, yaitu pasteurisasi atau sakarifikasi dan fermentasi. Selain memiliki kelebihan, alat pengolah bioetanol hasil rekayasa ini memiliki beberapa kelemahan pada reaktor 1 (pasteurisasi dan fermentasi). Reaktor 1 ini tidak bisa digunakan secara kontinyu, hanya bisa untuk satu kali proses saja. Artinya, untuk proses fermentasi berikutnya baru bisa dilakukan ketika proses fermentasi yang sedang berjalan telah selesai. Sehingga harus menunggu proses fermentasi yang sedang berlangsung selesai terlebih dahulu, baru bisa memulai lagi untuk proses fermentasi selanjutnya. Karena prinsip alat hasil rekayasa ini menggabungkan dua proses pada satu reaktor, yaitu pasteurisasi dan fermentasi.
Pada reaktor 2, laju alir bioetanol menuju condensor 1 masih berjalan lambat, Hal ini disebabkan karena tempat laju alir uap etanol ke condensor 1 pipanya terlalu panjang. Untuk penyempurnaan alat tersebut, panjang pipa perlu dipotong + 10 cm, dengan mengurangi panjang pipa tersebut, diharapkan uap etanol akan cepat naik ke pipa dan kemudian akan masuk ke condensor 1 sehingga proses destilasi bioetanol akan berlangsung lebih cepat.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Alat rekayasa pengolah bioetanol terdiri dari kedua reaktor. Reaktor pertama dirancang menggunakan teknik SSF (Simulataneous Sacarification and Fermentation) yang berfungsi sebagai alat fermentasi, sakarifikasi dan pasteurisasi. Reaktor kedua berfungsi sebagai alat destilasi. Reaktor kedua memiliki 2 pendingin (condensor). Pendingin 1 berfungsi sebagai pemisah antara uap air dan uap etanol sedangkan pendingin 2 berfungsi untuk mendinginkan uap etanol yang masuk ke dalam pipa penyekat menjadi etanol cair dengan kadar tinggi. Hasil ujicoba alat rekayasa menunjukkan bahwa alat rekayasa dapat memproduksi bioetanol nira nipah dengan kadar sebesar 70-94,5% dan rendemen sebesar 13,5%. B. Saran Perlu dibuat alat dehidrasi untuk meningkatkan kadar bioetanol, sehingga kadar bioetanol 99,5%, dapat dipergunakan sebagai bahan substitusi bensin premium selain itu perlu dibuat 9
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 1-10
beberapa alat fermentor agar proses destilasi bioetanol bisa kontinyu. DAFTAR PUSTAKA Chairul, S.M. & Yenti (2013). Pembuatan bioetanol dari nira nipah menggunakan Sacharomyces cereviceae. Jurnal Teknobiologi, IV(2), 105 – 108. Dahlan, M.H., Sari, D.D., & Ismadyar. (2009). Pemekatan n ira n ipah menggunakan membran selulosa asetat. Jurnal Teknik Kimia Universitas Sriwijaya, 5(2), 21-27. Feryanto, D. (2007). Pengukuran alkoholmeter. http//www.alkoholmeter/meterlak.com. Diakses tanggal 22 Desember 2014. Prihandana, R., Hendroko, R. & Nuramin, M. (2007). Menghasilkan biodiesel murah. Jakarta: Agro Media Pustaka.
10
Putra, A.E. & Amran H. (2009). Pembuatan bioetanol dari nira siwalan secara fermentasi fase cair menggunakan fermipan. Semarang: Jurusan Teknik Kimia, Universitas Diponegoro. Sodiq, M. (2011). Fermentasi skala nira nipah skala p lot m enjadi b ioethanol m eng gunakan Saccharomyces cere visiae. Pekanbar u: Universitas Riau. Tamuniadu, P. & Saka, S. (2013). Comparative study of nutrient supplements and natural i norganic c omponents in e thanolic fermentation of nypa sap. Journal of The Japan Institute of Energy, 92, 181-186. Vernandos, A & Huda, N. (2008). Fermentasi n ira n ipah m enjadi etanol m enggunakan Saccharomyces cere visiae. Pekanbar u: Universitas Riau.
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 11-21 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
KARAKTERISTIK BIODIESEL BIJI BINTARO (Cerbera manghas L) DENGAN PROSES MODIFIKASI (Characteristics of Biodiesel of Bintaro Seed (Cerbera manghas L) by Modification Process) Djeni Hendra, Santiyo Wibowo, Novitri Hastuti, & Heru S.Wibisono Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor 16610, Telp (0251) 8633378, Fax (0251) 86333413 e-mail :
[email protected] Diterima 23 Januari 2015, Direvisi 1 Juni 2015, Disetujui 16 Juni 2015
ABSTRACT Biodiesel is a diesel fuel made from vegetable oils extracted from various forest plants. This paper studies the characteristics of biodiesel made from Bintaro's seed (Cerbera manghas L.) by modified process. The modification process includes pretreatment and degumming processes. In the pretreatment process, modification includes raw material's treatment such as steaming, washing, drying and compressing. Degumming modification process includes addition of phosphoric acid catalyst, then bentonite; esterification by methanol acid catalyst and followed by addition of zeolite; the transesterification process by methanol bases catalyst. Results show that physico-chemical properties of biodiesel made from Bintaro's seeds including acid value, density, iod number, viscosity and ester-alkyl content met to Indonesian National Standard (SNI) on Biodiesel. Keywords: Biodiesel, bintaro seed, modified process, pre-treatment, degumming ABSTRAK Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif yang diperoleh dari ekstraksi bagian tanaman. Tulisan ini mempelajari karakteristik biodiesel yang dibuat dari biji bintaro (Cerbera manghas L.) dengan proses yang dimodifikasi. Modifikasi proses meliputi perlakuan awal (pre-treatment) dan proses degumming. Perlakuan awal meliputi pengukusan, pencucian, pengeringan, dan pengempaan. Modifikasi proses degumming berupa penambahan katalis asam fosfat, kemudian bentonit; proses esterifikasi dengan katalis metanol asam yang dilanjutkan dengan penambahan zeolit; proses transesterifikasi dengan katalis metanol basa. Hasil penelitian menunjukkan sifat fisiko-kimia biodiesel dari biji bintaro berupa bilangan asam, berat jenis, bilangan iod, kekentalan, dan kadar alkil ester telah sesuai dengan Standar Nasional Indonesia tentang kualitas biodiesel. Kata kunci: Biodiesel, biji bintaro, modifikasi proses, perlakuan awal, degumming I. PENDAHULUAN Bahan bakar minyak (BBM) merupakan bahan energi yang paling banyak dikonsumsi. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa konsumsi BBM Indonesia pada tahun 2011 mencapai 365 juta SBM (Setara Barrel Minyak) atau setara dengan
32,7% (dengan biomassa) dan 43,6% (tanpa biomassa) dari total konsumsi energi final seluruhnya (Pusdatin ESDM, 2012). Permasalahan pemakaian BBM yang berasal dari minyak bumi adalah karena sifatnya yang tidak dapat dipulihkan (non renewable). Oleh karena itu perlu disubstitusi oleh bahan bakar yang dapat dipulihkan antara lain yang berasal dari 11
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 11-21
400
Fuel
350 Biomass
300 250 200
Coal
150
Natural Gas Electricity
100 50
LPG
Other Petroleum Product Briquette
0 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Gambar 1. Konsumsi energi final per jenis energi 2000-2010 Figure 1. Final consumption of energy per type of energy 2000-2010 (Sumber: Pusdatin ESDM, 2012)
tanaman pertanian atau kehutanan yang dikenal dengan minyak nabati. Penggunaan minyak nabati sebagai bahan bakar langsung masih menemui beberapa kendala seperti nilai viskositas yang besar dan menyebabkan proses pembakaran tidak sempurna, nilai bilangan asam yang tinggi dan berpengaruh terhadap mesin, serta residu karbon yang ditinggalkan pada mesin injektor. Berbagai kendala yang masih ditemui dalam pemanfaatan minyak nabati sebagai bahan bakar tidak menghalangi penyempurnaan pada proses pembuatannya. Penyempurnaan atau modifikasi dilakukan dengan penambahan zat kimia tertentu untuk menurunkan bilangan asam, atau dengan pengenceran minyak dengan pelarut, emulsifikasi atau pirolisis untuk menurunkan viskositas. Pembuatan biodiesel umumnya menggunakan katalis asam cair seperti HCl, H2SO4 atau H3PO4. Hasil penelitian Sudradjat, Hendra, dan Setiawan (2012) menunjukkan karakteristik minyak biodiesel bintaro yang menggunakan H3PO4 16% dan 32% pada proses degumming telah menghasilkan biodiesel dengan bilangan asam yang memenuhi SNI 04-7182-2006 yakni masingmasing sebesar 0,76 mg basa/g dan 0,56 mg basa/g. Penggunaan asam fosfat pada proses degumming yang berada di atas angka 10% dirasa belum efisien karena konsentrasinya relatif masih tinggi. Penggunaan asam yang tinggi juga tidak ekonomis dan memerlukan proses pencucian yang lebih lama. Untuk itu perlu modifikasi pada 12
proses pembuatan biodiesel untuk meminimalisir penggunaan asam namun mampu menghasilkan biodiesel yang berbilangan asam rendah dan sesuai dengan persyaratan standar biodiesel Indonesia (BSN, 2006). Tulisan ini mempelajari pembuatan biodiesel biji bintaro menggunakan modifikasi proses dengan penambahan bentonit saat degumming dan zeolit saat esterifikasi. Penambahan bentonit dan zeolit (katalis padat) diharapkan dapat membantu penurunan bilangan asam dari minyak (crude) biji bintaro. Modifikasi dengan penambahan bentonit dan zeolit ini diharapkan menghasilkan biodiesel dengan nilai bilangan asam rendah dan mengurangi pemakaian asam fosfat (konsentrasi kurang dari 5%). Penambahan bentonit saat degumming dan zeolit saat esterifikasi dalam proses pembuatan biodiesel biji bintaro ini diharapkan dapat membantu menurunkan bilangan asam biodiesel karena sifatnya yang basa, sehingga biodiesel bintaro yang dihasillkan memiliki nilai bilangan asam yang memenuhi standar biodiesel Indonesia. II. BAHAN DAN METODE A. Lokasi Penelitian Penelitian pembuatan biodiesel dari biji bintaro (Cerbera manghas L.) dilakukan di Laboratorium Pengolahan Kimia dan Energi Hasil Hutan, Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor.
Karakteristik Biodiesel Biji Bintaro (Cerbera manghas L) dengan Proses Modifikasi (Djeni Hendra, Santiyo Wibowo, Novitri Hastuti, & Heru S.Wibisono)
B. Bahan dan Peralatan Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji buah bintaro yang diperoleh dari daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Bahan kimia yang digunakan antara lain metanol teknis, etanol pa, asam klorida teknis, air suling, asam asetat, natrium tio sulfat, kalium yodida, natrium hidroksida, kalium hidroksida, phenol phtaelin (PP) dan lain-lain. Peralatan yang digunakan antara lain mesin pengepres biji sistem semi kontinyu dan pres hidrolik manual, alat destilasi, kompor listrik, pengaduk (stirer), desikator, penangas air, labu ukur, pH meter, piknometer, erlenmeyer asah, timbangan kasar, neraca sartorius, oven, pendingin tegak, pipet, corong pemisah, dan viscometer. C. Prosedur Kerja 1. Ekstraksi minyak Ekstraksi biji bintaro dilakukan dengan proses sebagai berikut: biji yang telah dikupas, dikukus, dikeringkan, dan digiling halus kemudian dipres menggunakan mesin kempa hidraulik (manual) kapasitas 8 kg untuk bahan baku diatas 10 kg menggunakan mesin pres sistem ekstruder semi kontinyu dengan kapasitas 50 kg/jam. 2. Perlakuan degumming Perlakuan degumming pertama yaitu mereaksikan minyak mentah (crude oil) dengan larutan H3PO4 pada konsentrasi 0,5%, 1% dan 1,% (v/v), dipanaskan pada suhu antara 60-70oC selama 30 menit sambil diaduk, dilanjutkan perlakuan degumming kedua yaitu minyak bersih (refined oil) ditambahkan dengan bentonit 1% ;1,5% dan 2%. 3. Proses esterifikasi Proses esterifikasi menggunakan campuran metanol teknis dengan katalis HCl. Proses esterifikasi kali ini menggunakan katalis dari campuran metanol teknis dengan HCl. Jumlah metanol yang ditambahkan pada saat proses esterifikasi yaitu 10%, 15%, dan 20% yang dicampur dengan 1% HCl. Campuran metanol dan HCl lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer leher tiga kapasitas 2000 ml yang berisi minyak. Erlenmeyer leher tiga dilengkapi dengan kondensor untuk mengkondensasi uap metanol agar masuk kembali ke dalam erlenmeyer, sehingga minyak dengan katalis metanol asam akan bereaksi dengan sempurna. Campuran
direaksikan pada suhu 60oC selama 1 jam. Campuran dipisahkan, kemudian ditambahkan zeolit dengan konsentrasi 0,5% ; 1% dan 1,5%. Selanjutnya campuran tersebut dimasukkan ke dalam wadah sentrifugal dan diputar selama 5 menit dengan kecepatan 800 rpm, dan selanjutnya minyak dipisahkan dari endapannya. 4. Proses transesterifikasi Proses transesterifikasi digunakan campuran metanol teknis dengan katalis KOH dimasukan ke dalam erlenmeyer leher tiga kapasitas 2000 ml yang berisi minyak dengan waktu reaksi selama 30 menit pada suhu 60oC. Jumlah katalis metanol teknis yang ditambahkan pada saat transesterifikasi dihitung berdasarkan nisbah molar 10%, 15% dan 20% (v/v) terhadap volume minyak dan ditambahkan katalis basa (KOH) dengan konsentrasi 0,2%; 0,4%, dan 0,6%. Reaksi transesterifikasi berlangsung selama 30 menit pada suhu 60oC. Setelah reaksi transesterifikasi selesai, biodiesel yang terbentuk dimasukkan ke dalam wadah sentrifugal dan selanjutnya diputar selama 5 menit dengan kecepatan 800 rpm. 5. Pencucian dan pemurnian minyak biodiesel Minyak biodiesel dicuci menggunakan larutan asam asetat 0,5% (jika larutan terlalu basa), dilanjutkan pencucian dengan menggunakan air hangat sebanyak 30% dari minyak biodiesel (metil ester). Pemurnian minyak dilakukan dengan cara memanaskan minyak pada 110oC sambil diaduk sampai kadar air dalam minyak memenuhi persyaratan standar biodiesel SNI 04-7182-2006 yaitu maksimum sebesar 0,05%. Minyak biodiesel dimurnikan dengan cara dipanaskan sampai penampakan minyak jernih dan tidak ada busa diatas permukaan minyak. 6. Analisis sifat fisiko-kimia biodiesel Analisis meliputi sifat fisiko-kimia biodiesel sesuai standar SNI 04-7182-2006 antara lain: kadar air dan sedimen, viskositas, densitas, abu tersulfatkan, bilangan iod, bilangan penyabunan, bilangan asam, gliserol bebas, titik nyala, bilangan setana, dan rendemen biodiesel. D. Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif yaitu membandingkan hasil dengan standar dari SNI 04-7182-2006 tentang biodiesel. 13
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 11-21
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Ekstraksi Minyak 1. Rendemen Rendemen minyak mentah biji bintaro yang dihasilkan dengan pengepresan sistem hidraulik manual sebesar 38,78% dengan penampakan fisik minyak berwarna kuning agak gelap. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyakny a kandungan gum (getah) atau lendir yang terdiri dari fosfatida, protein, karbohidrat dan resin yang terkandung dalam minyak mentah (crude oil). Hasil penelitian Sudradjat et al. (2012) menunjukkan rendemen minyak bintaro berkisar antara 36-41% dengan 2 kali pengempaan. Rendemen minyak bintaro ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan rendemen minyak jarak pagar (Jathropa curcas) yang berkisar 29-48% dengan 3 kali pengempaan (Sudradjat, Marsubowo, & Yuniarti, 2009). a. Sifat Fisiko Kimia Minyak Mentah Bintaro. Berdasarkan Tabel 1, sifat fisiko kimia minyak mentah bintaro belum seluruhnya telah memenuhi standar Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari nilai bilangan asamnya yang masih tinggi yaitu sebesar 6,33 mg basa/g. Kadar air dan sedimen serta viskositas kinetik minyak mentah bintaro belum memenuhi SNI 04-7182-2006 tentang biodiesel (BSN, 2006).
Bilangan asam minyak mentah bintaro masih jauh lebih tinggi dibandingkan biodiesel minyak kepuh (Sterculia foetida) sebesar 3,15 mg basa/g, namun lebih rendah dibandingkan dengan bilangan asam minyak murni kemiri sunan (Aleurites trisperma) sebesar 13,26 mg basa/g dan minyak jarak pagar (Jathropa curcas L.) sebesar 88,3 mg basa/g. (Sudradjat et al., 2010; Hendra, 2014; Sudradjat, et al., 2009). Untuk itu minyak mentah bintaro memerlukan beberapa perlakuan untuk menurunkan nilai bilangan asamnya. Viskositas kinematik minyak mentah bintaro masih belum memenuhi standar biodiesel Indonesia. Viskositas merupakan kunci penting parameter biodiesel. Viskositas yang tinggi akan menyebabkan masalah pada performa mesin dan menyisakan deposit karbon yang tinggi pada mesin. Peningkatan viskositas berhubungan dengan semakin panjangnya rantai asam lemak tak jenuh (Unsaturated Fatty Acid/UFA) sedangkan penurunan viskositas seiring dengan banyaknya jumlah ikatan rangkap pada rantai asam lemak tak jenuh. Biodiesel dengan kandungan Poli-Unsaturated Fatty Acid (PUFA, asam lemak tak jenuh lebih dari 1) yang tinggi akan memiliki nilai viskositas yang lebih tinggi (Almeida, Garcia-Moreno, Guadix, & Guadix, 2015). Viskositas yang rendah juga akan mempermudah aliran bahan bakar dalam pompa mesin injeksi (Suhartanta & Arifin, 2008).
Tabel 1. Karakteristik sifat fisiko kimia minyak mentah Bintaro Table 1. Characteristics of phsyco-chemical properties of crude Bintaro No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
14
Parameter (Parametre) Densitas (Density) Viskositas kinematik pada 40oC (Kinematic viscosity at 40C ) Kadar air dan sedimen (Water content and sediment) Bilangan Iod (Iod number) Kadar abu (Ash content) Bilangan asam (Acid number) Rendemen (Yield) Penampakan minyak (Oil performance)
Satuan (Unit) kg/m3
Hasil (Result) 910
mm2/s (cSt)
6,63
2,3 - 6,0
%
2,48
Maks 0,05
g I2/100 g
74,10
Maks. 115
%
0,51
-
mg basa/g
6,33
Maks.0,80
%
38,78
-
-
Kuning
-
SNI 04-7182-2006 850-890
Karakteristik Biodiesel Biji Bintaro (Cerbera manghas L) dengan Proses Modifikasi (Djeni Hendra, Santiyo Wibowo, Novitri Hastuti, & Heru S.Wibisono)
Tabel 2. Komposisi asam lemak dalam minyak mentah Bintaro Table 2. Fatty acid composition of crude Bintaro Komponen (Component) Asam Miristat (C14:0) Asam Palmitat (C16:0) Asam stearat (C18) Asam Oleat (C18:1) Asam Linoleat (C18:2) Asam Linolenat (C18:3) Asam Arachidat (C20) Asam Erukat (C20:1) Asam behenat (C22:0) Asam Lignoserat (C 24)
Minyak mentah bintaro (Bintaro crude oil) 19,68 5,33 38,13 14,19 0,19 -
Sumber (Source) : Sudradjat et al. (2012)
Komposisi asam lemak minyak bintaro didominasi oleh kandungan asam lemak seperti asam oleat, asam palmitat, dan asam linoleat (Tabel 2). Asam lemak ini adalah hasil hidrolisis enzim lipase yang ada di dalam biji bintaro. Saat biji terkelupas, enzim akan bersinggungan dengan sel yang mengandung minyak di dalam biji dan ter jadi proses hidrolisis. Hidrolisis ini menghasilkan asam lemak dan gliserol (Ketaren, 2005). Komposisi lengkap asam lemak dari minyak mentah bintaro seperti pada Tabel 2. Kandungan asam lemak yang dominan pada minyak mentah bintaro merupakan asam lemak jenuh berupa asam palmitat sebesar 19,68% dan asam stearat sebesar 5,33%. Asam lemak tak jenuh berupa asam oleat 38,13% dan asam linoleat 14,19%. Kandungan asam palmitat dan asam oleat minyak mentah bintaro lebih tinggi dibandingkan minyak mentah jarak pagar dan nyamplung. Untuk kandungan asam linoleat minyak mentah bintaro lebih rendah dibandingkan jarak pagar dan nyamplung (Sudradjat et al., 2012). Kandungan asam lemak tak jenuh (oleat dan linoleat) yang tinggi pada minyak bintaro menyebabkan viskositas minyak mentah bintaro juga tinggi yaitu sebesar 6,63 cSt. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Almeida et al. (2015) yang membuat biodiesel dari limbah minyak ikan, minyak sawit dan limbah minyak goreng. Kandungan PUFA (asam lemak tak jenuh lebih dari 1) limbah minyak ikan sebesar 26,1% menghasilkan nilai viskositas paling tinggi
dibandingkan dengan biodiesel dari minyak sawit yang mengandung PUFA 10% dan biodiesel dari limbah minyak goreng dengan kandungan PUFA 24,3%. B. Proses Degumming Proses ini merupakan tahap pemisahan getah dari minyak. Degumming dilakukan dengan 2 tahap yaitu degumming I dengan penambahan asam fosfat dan degumming II dengan penambahan bentonit. Hal ini dilakukan untuk menurunkan nilai FFA di dalam minyak bintaro. Adapun hasil proses degumming seperti pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3, kadar FFA dan bilangan asam minyak bintaro menurun setelah degumming I dan II. Penambahan H3PO4 1% menghasilkan minyak dengan bilangan asam terendah yaitu 4,15 mg basa/g. Minyak ini kemudian ditambahkan bentonit 1,5%. Hasil pada Tabel 3 menunjukkan penambahan bentonit mampu menurunkan bilangan asam yang semula 4,15 mg basa/g menjadi 2,28 mg basa/g. Nilai bilangan asam ini lebih rendah dibandingkan dengan nilai bilangan asam hasil degumming minyak bintaro tanpa bentonit dengan penambahan H3PO4 32% yakni sebesar 4,01 mg basa/g (Sudradjat et al., 2012). Modifikasi pada degumming II dengan penambahan bentonit mampu membantu penyerapan asam yang digunakan saat degumming I dan asam yang terkandung di dalam minyak. Hal ini dikarenakan bentonit merupakan material penyerap dengan beberapa keunggulan. Bentonit yang digolongkan ke dalam mineral lempung 15
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 11-21
Tabel 3. Nilai FFA Minyak Bintaro pada Proses Degumming I dan II Table 3. Rate of FFA of Bintaro's oil on Degumming I and II
H3PO4
0,50% 1,00% 1,5%
Bilangan asam deguming I (mg basa/g) (Acid number of degumming I) (mg bases/g) 5,32 4,15 4,60
Bentonit (Bentonite) (%)
Bilangan asam deguming II (mg basa/g) (Acid number of degumming II (mg bases/g)
% Asam Lemak Bebas (% FFA )
1,00 1,50 2,00
3,49 2,28 3,45
1,74 1,14 1,72
Keterangan (Remarks) : FFA : Free Fatty Acid
dapat digunakan sebagai katalis dalam pembuatan biodiesel. Penggunaan bentonit sebagai katalis ini disebabkan sifat bentonit yang stabil terhadap panas, memiliki luas permukaan yang tinggi, serta kemampuan pertukaran ionnya. Kation antar lapisan dari bentonit dapat ditukar dengan berbagai jenis kation organik (Aghabarari & Dorostkar, 2014). Mineral lempung kationik diketahui memiliki sifat adsorben yang baik dan dapat digunakan untuk menjerap senyawa organik di dalam air (Wu et al., 2001 dalam Jeenpadipat & Tungasmita, 2013). Kadar FFA pada penambahan H3PO4 1% dan bentonit 1,5% menunjukkan kadar FFA terendah dibandingkan perlakuan lainnya yaitu sebesar 1,14%.
Esterifikasi dilakukan pada minyak bintaro yang diketahui memiliki kadar FFA terkecil saat proses degumming. Esterifikasi juga dimodifikasi dengan penambahan zeolit sebesar 0,5%; 1% dan 1,5%. Adapun hasil esterifikasi minyak bintaro seperti pada Tabel 4. Pada proses esterifikasi ini berlangsung reaksi antara metanol dengan asam lemak membentuk senyawa ester dan melepas molekul air. Metanol dipilih sebagai alkohol pereaktan karena sifatnya yang polar dan memiliki struktur atom karbon terpendek dalam golongan alkohol. Penggunaan metanol mampu mempercepat reaksi metanolisis dengan asam lemak (Fangrui Ma et al., 1999 dalam Yuliani, Primasari, Rachmaniah, & Rachimoellah 2014). Penambahan asam kuat seperti HCl dalam konsentrasi yang relatif kecil dapat mempercepat hidrolisis asam lemak (katalis). Penambahan zeolit pada esterifikasi berfungsi sebagai katalis padat untuk menurunkan bilangan asam. Zeolit merupakan mineral aluminosilikat mikro. Zeolit memiliki mikropori yang seragam dengan karakteristik spesifik sehingga dapat digunakan sebagai
C. Esterifikasi Esterifikasi merupakan salah satu tahapan dalam pembuatan biodiesel yang bertujuan untuk menurunkan bilangan asam lemak bebas pada minyak nabati yang digunakan untuk bahan baku pada pembuatan biodiesel. Tabel 4. Hasil esterifikasi minyak Bintaro Table 4. Result of Bintaro's oil esterification Bilangan asam sebelum esterifikasi (mg basa/g) (Acid number before esterification) (mg bases/g)
Konsentrasi metanol (Methanol contentration) (%)
2,28 2,28 2,28
10 15 20
16
Konsentrasi HCl (HCl concentration) (%)
Penambahan zeolit (Zeolite addition) (%)
Bilangan asam setelah eterifikasi (mg basa/g) (Acid number after esterification) (mg bases/g)
1 1 1
0,50% 1,00% 1,50%
1,55 1,46 1,24
Karakteristik Biodiesel Biji Bintaro (Cerbera manghas L) dengan Proses Modifikasi (Djeni Hendra, Santiyo Wibowo, Novitri Hastuti, & Heru S.Wibisono)
katalis selektif dan adsorben (Yuan-Wang, JongLee, & Hung Chen, 2014a). HCl sebagai katalis cair akan teradsorb pada zeolit sebagai katalis padat. Mekanisme ini tentu saja mampu mempercepat reaksi dan menurunkan bilangan asam karena HCl sebagai katalis dan asam pada minyak akan terserap oleh zeolit sebagai adsorben. Efektifitas penggunaan zeolit sebagai katalis padat dipengaruhi oleh kristalinitas zeolit dan pH (Yuan-Wang, Ho-Wang, Lung-Chuang, Hung-Chen, & Jong-Lee, 2014b). Pemanfaatan zeolit dalam proses yang menggunakan katalis memberikan beberapa keunggulan yaitu memudahkan proses pemisahan dari produk cair, dapat digunakan ulang sehingga memiliki daya regenerasi yang baik, dan meminimalisir tingkat keracunan dan korosif saat proses berlangsung (Shu, Yang, Yuan, Qing, & 2007). Proses esterifikasi menghasilkan produk dengan dua lapisan yang sangat berbeda, sehingga mudah dipisahkan. Lapisan atas adalah gliserol dan sisa metanol asam. Lapisan bagian bawah adalah campuran metil ester dan pengotor yang selanjutnya didekantasi (aging) minimal 3 jam agar terjadi pengendapan gliserol secara sempurna. Keberhasilan proses esterifikasi ditentukan oleh beberapa parameter diantaranya adalah penurunan viskositas, densitas dan bilangan asam. Dalam studi kali ini penurunan bilangan asam tertinggi pada minyak yang diberi metanol dan zeolit dalam konsentrasi terbesar,masing-masing sebesar 20% dan 1,5%. Pada kondisi ini penurunan bilangan asam menjadi 1,24 mg basa/g dari kondisi awal 2,28 mg basa/g. Nilai bilangan asam ini lebih rendah dibandingkan nilai bilangan asam minyak bintaro hasil esterifikasi tanpa
penambahan zeolit yaitu sebesar 2,99 mg basa/g (Sudradjat et al., 2012). Hasil penelitian Sudradjat et al. (2009) menunjukkan penggunaan zeolit aktivasi dengan konsentrasi 3% (b/b) dari berat minyak pada esterifikasi menghasilkan biodiesel jarak pagar (Jathropa curcas L.) dengan nilai bilangan asam rendah. Hal ini menunjukkan penggunaan zeolit sebagai katalis padat dapat membantu penurunan bilangan asam. D. Transesterifikasi Minyak bintaro yang ditransesterifikasi selanjutnya adalah minyak hasil esterifikasi. Hasil proses transesterifikasi minyak bintaro seperti pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5 di atas, dapat diketahui bahwa penambahan katalis metanol dan KOH pada konsentrasi terbesar yakni 20% untuk metanol dan 0,6% untuk KOH, mampu menurunkan bilangan asam menjadi 0,47 mg basa/g dan menghasilkan rendemen sebesar 79,80%. Bilangan asam minyak bintaro hasil transesterifikasi ini lebih rendah dibandingkan nilai bilangan asam minyak bintaro hasil transesterifikasi tanpa modifikasi proses (tanpa penambahan bentonit dan zeolit) yakni sebesar 0,56 mg basa/g (Sudradjat et al., 2012). Pada proses transesterifikasi ini lemak dan minyak yang belum terhidrolisis pada proses esterifikasi sebelumnya dihidrolisis oleh penambahan metanol. Reaksi transesterifikasi pada proses pembuatan biodiesel digambarkan sebagai berikut : katalis Trigliserida + metanol Metil ester asam lemak (biodiesel) + gliserol
Tabel 5. Bilangan asam minyak Bintaro sebelum dan sesudah transesterifikasi Table 5. Acid number of Bintaro's oil before and after transesterification Bilangan asam sebelum transesterifikasi (mg basa/g) (Acid value before transesterification) (mg bases/g)
Konsentrasi metanol (Methanol concentration) (%)
Katalis KOH (KOH catalyst) (%)
1,24 1,24 1,24
10 15 20
0,2% 0,4% 0,6%
Bilangan asam sesudah transeterifikasi (mg basa/g) (Acid value after transesterification) (mg bases/g) 0,78 0,72 0,47
Rendemen (Yield) (%)
82,50 81,90 79,80
17
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 11-21
Penambahan KOH sebagai katalis mampu menurunkan nilai bilangan asam minyak bintaro. Penambahan katalis basa mampu menghilangkan permukaan karbonat dan kelompok hidroksil sehingga meningkatkan reaksi transesterifikasi (Zhang, Chen, Yang, & Yan, 2010). Hasil penelitian Sudradjat, Yogie, Hendra, dan Setiawan (2010a ) menunjukkan minyak kepuh hasil transesterifikasi menggunakan metanol dan KOH pada rasio 20:1 memiliki bilangan asam sebesar 0,36 mg basa/g. E. Pemurnian minyak biodiesel Pemurnian biodiesel dilakukan agar tidak ditemukan bahan pengotor dan air yang dapat menurunkan mutu biodiesel. Rendemen tertinggi dari biodiesel bintaro setelah pemurnian dihasilkan pada proses transesterifikasi yang menggunakan penambahan campuran katalis metanol 10% (v/v) dan KOH 0,2% (b/v) yaitu sebesar 82,50%. Rendemen terendah terdapat pada campuran katalis metanol 20% (v/v) dan KOH 0,6% (b/v) yaitu sebesar 79,80%, Perbedaan rendemen biodiesel ini dipengaruhi oleh faktor katalis, suhu, pencucian dan kandungan minyak dan nilai bilangan asam minyak mentahnya. Minyak biodiesel bintaro yang sudah dimurnikan dianalisis sifat fisiko kimianya. Hasil analisis minyak bintaro hasil pemurnian seperti pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel 6 di atas, diketahui bahwa hampir seluruh aspek fisiko kimia minyak biodiesel bintaro telah memenuhi standar Indonesia tentang biodiesel (BSN, 2006). Kadar air minyak bintaro belum memenuhi persyaratan, namun demikian bilangan asam minyak bintaro setelah proses transesteri-fikasi dapat turun hingga 0,47 mg basa/g dari nilai bilangan asam minyak mentahnya sebesar 6,33 mg basa/g. Nilai
bilangan asam ini lebih rendah dibandingkan nilai bilangan asam biodiesel bintaro tanpa proses modifikasi proses yaitu sebesar 0,56 mg basa/g (Sudradjat et al., 2012). Bilangan asam yang tinggi menunjukkan kandungan asam lemak di dalam minyak. Kandungan asam yang tinggi dapat menimbulkan sifat korosif pada mesin. Bilangan asam pada minyak mentah penting dianalisis karena walaupun bilangan asam pada biodiesel bintaro sudah rendah, tetapi masih ada kemungkinan terbentuknya asam-asam rantai pendek akibat proses oksidasi hasil dekomposisi senyawa peroksida dan hidroperoksida. Hal ini akan mempengaruhi proses penyimpanan biodiesel dan dapat menurunkan mutu biodiesel. Densitas menunjukkan nisbah berat persatuan volume dari suatu cairan pada suhu tertentu, hasil penelitian skala laboratorium menunjukkan bahwa nilai densitas minyak biodiesel bintaro tertinggi terdapat pada perlakuan transesterifikasi dengan campuran katalis metanol 20% (v/v) dan KOH 0,6 % (b/v), yaitu sebesar 870 kg/m3. Nilai densitas ini memenuhi standar biodiesel Indonesia. Densitas yang tinggi akan meningkatkan keausan mesin, tingginya emisi, dan dapat merusak komponen mesin yang berhubungan dengan laju alir minyak biodiesel. Viskositas biodiesel dipengaruhi oleh panjangnya rantai asam lemak dan jumlah ikatan rangkap di dalamnya. Semakin banyak ikatan rangkap pada rantai asam lemak akan menambah viskositas biodiesel yang dihasilkan. Ikatan rangkap pada asam lemak terdapat pada asam lemak tak jenuh (UFA). Dengan demikian, kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi memungkinkan nilai viskositas biodiesel semakin tinggi (Almeida et al., 2015). Menurut persyaratan standar biodiesel Indonesia nilai viskositas kinematik yang diperbolehkan adalah 1,9–6,0 mm2/s (cSt) pada suhu 40oC. Viskositas minyak
Tabel 6. Sifat Fisiko Kimia Minyak Bintaro Hasil Pemurnian Table 6. Pshyco-chemical properties of bintaro oil purified Bilangan asam (mg basa/g) (Acid value) (mg bases/g)
Densitas (Density) (kg/m3)
Kadar air (Moist.conten t) (%)
Bilangan iod (Iod number) (g I2/100g)
Viskositas (Viscosity) (cSt)
Kadar ester alkil (Ester-alkyl conten) (mg KOH/g)
Bilangan penyabunan (Saponification) (mg KOH/g)
Bilangan setana (Setana number)
Bintaro
0,47
870
0,22
78,45
3,30
102,45
178,95
59,15
SNI biodiesel (SNI 04-71822006)
Maks. 0,80
850-890
Maks. 0,05
Maks. 115
2,3-6,0
Min. 96,5
-
Min. 51
Pembanding (Comparison)
18
Karakteristik Biodiesel Biji Bintaro (Cerbera manghas L) dengan Proses Modifikasi (Djeni Hendra, Santiyo Wibowo, Novitri Hastuti, & Heru S.Wibisono)
bintaro hasil pemurnian setelah proses modifikasi sebesar 3,30 cSt telah memenuhi standar biodiesel Indonesia. Nilai viskositas minyak bintaro ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan nilai viskositas minyak bintaro tanpa modifikasi yaitu sebesar 2,93 cSt. Bilangan Iod menunjukkan banyaknya ikatan rangkap dua di dalam asam lemak penyusun biodiesel (Ketaren, 2005). Bilangan iod biodiesel bintaro hasil pemurnian setelah modifikasi proses sebesar 78,45 gr I2/100 gr. Nilai ini memenuhi standar biodiesel Indonesia. Bilangan iod biodiesel bintaro ini lebih tinggi dibandingkan dengan bilangan iod biodiesel bintaro tanpa modifikasi proses yaitu sebesar 74,32 gr I2/100 gr (Sudradjat et al., 2012). Mesin diesel dengan bahan bakar biodiesel yang memiliki bilangan Iod lebih besar dari 115 gr I2/100 gr akan membentuk deposit di lubang saluran injeksi, cincin piston, dan kanal cincin piston. Keadaan ini disebabkan lemak ikatan rangkap mengalami ketidak-stabilan akibat suhu panas sehingga terjadi reaksi polimerisasi dan terakumilasi dalam bentuk karbonasi atau pembentukan deposit (Pasae, Jalaluddin, Harlim, & Pirman, 2010). Kadar air minyak bintaro masih perlu diturunkan untuk mencapai persyaratan standar Indonesia. Kadar air dalam minyak biodiesel dapat mempercepat proses reaksi hidrolisis yang akan meningkatkan bilangan asam. Pada suhu rendah, air dapat menyulitkan pemisahan biodiesel murni pada proses blending. Kandungan air yang tinggi dalam minyak nabati akan menyebabkan terjadinya hidrolisis yang akan menaikkan kadar asam lemak bebas dalam minyak nabati. Fukuda, Kondo, dan Noda (2001), menyatakan bahwa keberadaan air yang berlebihan dapat menyebabkan sebagian reaksi berubah menjadi reaksi saponifikasi antara asam lemak bebas hasil hidrolisis minyak dengan katalis basa yang akan menghasilkan sabun. Sabun akan mengurangi efisiensi katalis sehingga meningkatkan viskositas, terbentuk gel dan menyulitkan pemisahan gliserol dengan metil ester. Kadar ester alkil dihitung sebagai selisih antara bilangan asam dan bilangan penyabunan. Meskipun tidak menunjukkan jumlah senyawa ester sebenarnya, tetapi secara teoritis bilangan ini dapat memperkirakan jumlah asam organik yang sebenarnya sebagai ester.
Bilangan setana merupakan parameter kemampuan biodiesel untuk menghasilkan pembakaran dan mencerminkan kemampuan biodiesel untuk menghasilkan pembakaran pada kondisi mesin dingin (Cao & Zang, 2015). Nilai bilangan setana dipengaruhi oleh struktur kimia asam lemak penyusun biodiesel yakni posisi dan konfigurasi ikatan rangkap pada asam lemak. Konfigurasi asam lemak dalam metil ester akan menghasilkan nilai bilangan setana yang berbeda dengan konfigurasi butil ester, isobutil ester ataupun propil ester (Knothe, 2014). Bilangan ini menunjukkan besarnya waktu pengapian dihitung dari mesin injeksi hingga ke mesin pembakaran pada mesin diesel. Bilangan setana biodiesel hasil pemurnian setelah modifikasi proses sebesar 59,15. Nilai ini memenuhi standar biodiesel Indonesia.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN Sifat fisiko kimia minyak biodiesel bintaro telah memenuhi standar Indonesia (BSN-2006) kecuali untuk kadar air. Modifikasi proses pembuatan biodiesel bintaro dengan penambahan bentonit 1,5% saat degumming dan zeolit 1,5% saat esterifikasi dan proses transesterifikasi disertai penambahan campuran katalis metanol 20% (v/v) dan KOH 0,6 % (b/v) mampu menurunkan bilangan asam minyak bintaro dari 6,33 mg basa/g menjadi 0,47 mg basa/g. Bilangan asam ini memenuhi SNI 047182-2006. DAFTAR PUSTAKA Aghabarari, B., & Dorostkar, M. (2014). Modified bentonite as catalyst for esterification of oleic acid and ethanol. Journal of Taiwan Institute of Chemical Engineers, (867), 1-6. Almeida, V.F., Garcia-Moreno, P.J., Guadix, A., & Guadix, E.M. (2015). Biodiesel production from mixtures of waste fish oil, palm oil and waste frying oil: Optimization of fuel properties. Fuel Processing Technology, (133), 152-160. 19
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 11-21
Canaki, M & Gerpen, J.V. (2001). Biodiesel from oils and fats with hight free fatty acids. Trans Am Soc Automotive Engine, 44, 1429-1436 Cao, L & Zhang, S. (2015). Production and characterization of biodiesel derived from Hodgsonia macrocarpa seed oil. Applied Energy, (146), 135-140. Fukuda, H., Kondo, A., & Noda, H. (2001). Biodiesel fuel production by transesterification of oil. Journal of Bios and Bioeng, 92, 405-416. Hendra, D. (2014). Pembuatan biodiesel dari biji kemiri sunan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 32 (1), 37-45. Jeenpadiphat, S., & Tungasmita, D.N. (2013). Acid-activated pillar bentonite as a novel catalyst for the esterification of high FFA oil. Powder Technology, (237), 634-640. Ketaren, S. (2005). Minyak dan lemak pangan. Jakarta: UI Press. Ketaren, S. (2008). Pengantar teknologi minyak dan lemak pangan. Jakarta: UI Press. Knothe, G. (2014). A comprehensive evaluation of the cetane numbers of fatty acid methyl esters. Fuel, (119), 6-13. Krause, R. (2001). Bio and alternative fuels for mobility. Dalam enhancing biodiesel development and use. Proceedings of the International Biodiesel Workshop, Tiara Convention Center, Medan. 24 Oktober 2001. Ditjen Perkebunan, Departemen Pertanian. Jakarta. Pasae, Y., Jalaluddin, N., Harlim, T., & Pirman. (2010). Pembuatan ester metil dan ester isopropil dari minyak kepoh sebagai produk antara aditif biodiesel. Jurnal Industri Hasil Pertanian, 5(2), 98-103. Pusat Data dan Informasi (PDI) ESDM. (2012). Kajian supply demand energi. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Jakarta. Shu, Q., Yang, B., Yuan, H., Qing, S., & Zhu, G. (2007). Synthesis of biodiesel from soybean oil and methanol catalyzed by zeolite beta modified with La3+. Catalysis Communications (8), 2159-2165. 20
Sudradjat, R., Marsubowo, A., & Yuniarti, K. (2009). Pengaruh penggunaan zeolit sebagai katalis dalam proses esterifikasi terhadap rendemen dan kualitas biodiesel asal minyak jarak pagar (Jatropha curcas L.). Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 27 (3), 256-266. Sudradjat, R., Yogie, S., Hendra, D., & Setiawan, D. (2010a). Pembuatan biodiesel biji kepuh dengan proses transesterifikasi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 28 (2), 145-155. Sudradjat, R., Sahirman, Suryani, A., & Setiawan, D. (2010b). Proses transesterifikasi pada pembuatan biodiesel menggunakan minyak nyamplung (Calophyllum innophyllum L.) yang telah dilakukan esterifikasi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 28(2), 184-198. Sudradjat, R., Hendra, D., & Setiawan, D. (2012). Teknologi pengolahan biodiesel dari biji bintaro. Laporan Hasil Penelitian Tahun 2012. Bogor: Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor. Suhartanta & Arifin, Z. (2008). Pemanfaatan minyak jarak pagar sebagai bahan bakar alternatif mesin diesel. Jurnal Penelitian Saintek, 13(1), 19-46. Standardisasi Nasional Indonesia (SNI). (2006) : Biodiesel ( SNI 04-7182-2006 ). Badan Standardisasi Nasional. Yuan-Wang, Y., Jong-Lee, D., & Hung-Chen, B. (2 01 4a) . L ow -A l ze ol it e be ta as heteregenous catalyst in biodiesel production from microwave-assisted transesterification of triglycerides. Energy Procedia (61), 918-921. Yuan-Wang, Y., Ho-Wang, H., Lung-Chuang, T., Hung-Chen, B., & Jong-Lee, D. (2014b). Biodiesel produced from catalyzed transesterification of triglycerides using ion-exchanged zeolite beta and MCM-22. Energy Procedia, (61), 933-936. Yuliani, F., Primasari, M., Rachmaniah, O., & Rachimoellah, M. (2014). Pengaruh katalis asam (H2SO4) dan suhu reaksi pada reaksi esterifikasi minyak biji karet (Hevea brasiliensis) menjadi biodiesel. Artikel. [ t e r h u b u n g b e r k a l a ] . https://www.academia.edu/4788860/Pen
Karakteristik Biodiesel Biji Bintaro (Cerbera manghas L) dengan Proses Modifikasi (Djeni Hendra, Santiyo Wibowo, Novitri Hastuti, & Heru S.Wibisono)
garuh_Katalis_Asam_H2SO4_dan_Suhu _Reaksi_pada_Reaksi_Esterifikasi_Minyak _Biji_Karet_Hevea_brasiliensis_menjadi_ Biodiesel_oleh. Diunduh pada 18 Desember 2014.
Zhang, J., Chen, S., Yang, R., Yan, & Y. (2010). Biodiesel production from vegetable oil using heteregoneous acid and alkaly catalyst. Fuel, (89), 2939-2944.
21
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 23-32 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
PENYEMPURNAAN TEKNIK PENYADAPAN RESIN PINUS DENGAN METODE KUAKAN (Improvement of Pine Resin Tapping with Quare Method) Ika Nugraha Darmastuti1, Gunawan Santosa2, & Juang R. Matangaran2 1)
Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Fakultas Kehutanan IPB 2) Staf Pengajar Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Fakultas Kehutanan, Kampus IPB Darmaga, Bogor-16680 E-mail :
[email protected] Diterima 9 Agustus 2014, Direvisi 21 Mei 2015, Disetujui 14 Agustus 2015
ABSTRACT Overtapping of pine resin in terms of quare size which is too wide and deep and the use of anorganic stimulant may cause tree damage and increase the risk of tree to fall. Modification of tapping technique may reduce the damage of trees and increase the production of pine resin. The modification should consider several aspects of economical, ecological, social, and technical. The objectives of the research were to determine the width and number of quare on each tree, the appropriate type of organic stimulant, and also cost analysis of the modified tapping technique. The results showed that different type of tapping such as width and number of quare per tree significantly gave different resin production. However, different types of organic stimulant and its interaction with number and width of quare was not correlated significantly with resin production. Modification of tapping techniques and the use of organic stimulant had direct influences on the cost and profit. Keywords: Damage of tree, quare method, organic stimulant, pine resin tapping, the number and width of quare ABSTRAK Penyadapan resin pinus yang berlebihan berupa ukuran kuakan yang terlalu lebar dan dalam serta menggunakan stimulansia anorganik menyebabkan pohon menjadi rusak dan mudah tumbang. Salah satu cara untuk mengurangi kerusakan pohon dan meningkatkan produksi resin pinus adalah dengan memodifikasi teknik penyadapan. Modifikasi teknik penyadapan dilakukan dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi, sosial dan teknis. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan informasi lebar dan jumlah kuakan per pohon yang paling optimal, jenis stimulansia organik yang tepat, serta menganalisis biaya dari modifikasi teknik penyadapan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik penyadapan berupa perbedaan jumlah kuakan per pohon dan lebar sadapan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap produksi resin. Akan tetapi, perbedaan jenis stimulansia organik dan interaksinya dengan jumlah serta ukuran kuakan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi resin yang dihasilkan. Selain itu, modifikasi teknik penyadapan dan stimulansia berpengaruh terhadap biaya dan pendapatan dari pihak pengelola. Kata kunci: Jumlah dan lebar kuakan, kerusakan pohon, metode kuakan, penyadapan resin pinus, stimulansia organik I. PENDAHULUAN Resin pinus merupakan oleoresin yang dihasilkan dari pohon Pinus sp. Resin pinus memiliki banyak kegunaan, yaitu sebagai bahan baku untuk
pembuatan gondorukem, sabun, perekat, cat, dan bahan kosmetik (Atmosuseno & Duljapar, 1996). Jenis Pinus yang mendominasi di Indonesia adalah Pinus merkusii, daerah penyebarannya yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan 23
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 23-32
seluruh Jawa (Martawijaya, Kartasujana, Kadir, & Prawira, 2005). Resin pinus merupakan komoditas yang memiliki jumlah permintaan tinggi di pasar lokal dan internasional. Delapan puluh persen produksi gondorukem dan terpentin dialokasikan untuk kebutuhan ekspor ke Eropa, India, Korea Selatan, Jepang, dan Amerika (Perhutani, 2011). Tegakan pinus di pulau Jawa sebagian besar dikelola oleh Perum Perhutani, akan tetapi kondisi tegakannya sangat memprihatinkan. Hal ini dikarenakan dilakukan penyadapan resin secara berlebihan, yaitu ukuran kuakan yang terlalu lebar dan dalam serta menggunakan stimulansia anorganik. Penggunaan stimulansia anorganik akan merusak pohon karena komponen utamanya adalah asam sulfat dan asam nitrat. Selain menurunkan produksi resin pinus, akibat dari penyadapan yang berlebihan adalah pemulihan luka sadapan membutuhkan waktu lama serta pohon menjadi mudah tumbang (Matangaran, 2006). Penyadapan resin pinus yang optimal adalah suatu pemanfaatan yang mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi, sosial, dan teknis (Dulsalam, Idris, & Tinambunan, 1998). Aspek ekonomi yaitu mampu meningkatkan pendapatan. Aspek ekologi adalah kelestarian pohon dan tegakan. Aspek sosial, yaitu dapat menambah lapangan peker jaan dan dapat diterima masyarakat. Serta secara teknis mudah diaplikasikan. Salah satu cara untuk mengurangi kerusakan pohon adalah mengurangi luas luka sadapan. Penelitian sebelumnya, telah dilakukan di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) dengan metode bor. Luka sadapan yang dihasilkan dengan metode bor lebih kecil dibandingkan kuakan. Berdasarkan pengamatan di Plot Penelitian Permanen HPGW, lubang bor pada pohon pinus mulai menutup setelah satu tahun dari pelukaan awal, sehingga sangat baik diterapkan dari aspek ekologis. Akan tetapi, produksi resin yang dihasilkan dengan metode bor cenderung menurun (Purnawati, 2014) sedangkan dengan metode kuakan terus meningkat kemudian stabil (Darmastuti, 2011). Selain itu, penyadap di Indonesia telah terbiasa menggunakan metode kuakan, karena kadukul (alat untuk metode kuakan) lebih ringan dibawa dan mudah digunakan serta biayanya lebih murah, dibandingkan dengan metode bor (Purnawati, 2014).
24
Penelitian ini merupakan modifikasi dari teknik penyadapan kuakan dan bor dengan tujuan untuk mengambil segi positif dari dua metode tersebut. Selain teknik penyadapan, penelitian ini juga memodifikasi stimulansia organik yang digunakan. Sejak tahun 2011, HPGW telah menggunakan stimulansia ETRAT dalam kegiatan penyadapan resin pinus. Stimulansia ETRAT berisi bahan aktif ethylene dan asam sitrat yang mampu meningkatkan produksi resin dua kali lipat dibandingkan stimulansia anorganik (Darmastuti, 2011). Penelitian penggunaan stimulansia lainnya dilakukan oleh Lekha dan Sharma (2013) pada penyadapan resin P. roxburghii di India. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penggunaan etephon 10% dan H2SO4 20% merupakan kombinasi yang dapat meningkatkan produksi resin pinus. Penggunaan asam sitrat dapat meningkatkan produksi resin karena mampu menggantikan asam sulfat yang bersifat menghidrolisis sel-sel parenkim (Matangaran, Santosa, & Aziz, 2012). Pada penelitian ini digunakan pula asam asetat (cuka) karena sifatnya yang mirip dengan asam sitrat, yaitu merupakan asam lemah yang diduga dapat meningkatkan produksi resin pinus. Tujuan penelitian ini untuk menentukan lebar dan jumlah kuakan per pohon yang optimal, jenis stimulansia yang tepat, serta biaya penyadapan yang relatif murah. II. BAHAN DAN METODE A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juni 2014, di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi, Jawa Barat. Penelitian dilakukan di blok khusus untuk penelitian, yaitu Blok Cikatomas pada ketinggian 691–715 mdpl. Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) terletak pada 106°48'27''BT sampai 106°50'29''BT dan -6°54'23''LS sampai -6°55'35''LS dengan ketinggian 460–715 m dpl. Klasifikasi iklim HPGW menurut Schmidt dan Ferguson termasuk tipe B dan banyaknya curah hujan tahunan berkisar antara 1600–4400 mm. Suhu udara maksimum di siang hari 29°C dan minimum 19°C di malam hari.
Penyempurnaan Teknik Penyadapan Resin Pinus dengan Metode Kuakan (Ika Nugraha Darmastut, Gunawan Santosa, Juang R. Matangaran)
B. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan adalah cat kayu, spidol permanen, dan stimulansia organik yaitu F2 (bahan aktif: ethylene dan asam sitrat) dan F3 (bahan aktif: etephon dan asam asetat). Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pita ukur, kadukul ukuran lebar 6 cm dan 2 cm, mal sadap lebar 6 cm dan 2 cm, talang sadap, paku, palu, golok, kuas, sprayer, kantong plastik ukuran 12 cm x 25 cm, kalkulator, timbangan digital, software Minitab 15, kamera digital dan alat tulis. C. Prosedur Kerja Prosedur kerja dilakukan melalui langkah sebagai berikut:. 1. Pengambilan data kondisi umum lokasi penelitian; 2. Pengambilan data penelitian meliputi: a). Penetapan petak lokasi penelitian; b). Pemilihan pohon contoh dilakukan dengan memilih pohon contoh sebanyak 50 pohon dengan kondisi sehat dan berdiameter ≥ 30 cm; c). Penelitian pendahuluan dilakukan pada 50 pohon, dengan ketentuan sebagai berikut: (1) metode kuakan, dan pada setiap pohon dibuat satu kuakan tanpa pemberian stimulansia, (2) ukuran kuakan awal lebar 6 cm, tinggi 6 cm dan kedalaman 1,5 cm, (3) pemanenan resin pinus pada penelitian pendahuluan dilakukan 3 kali, dengan periode panen dan pembaharuan luka setiap 3 hari sekali setinggi 0,5 cm, (4) berdasarkan data pendahuluan, dari 50 diambil 40 pohon contoh untuk penelitian utama dengan menghilangkan pohon pencilan; dan d). Penelitian utama dilakukan pada 40 pohon contoh yang dihasilkan dari penelitian pendahuluan. Penyadapan resin dilakukan dengan cara: (1) menggunakan metode kuakan berukuran lebar 6 cm (saat ini diterapkan di HPGW) dan 2 cm (ditampilkan pada Lampiran 3), (2) tinggi awal sadapan adalah 6 cm sedangkan pada pembaharuan sadapan adalah 0,5 cm setiap 3 hari sekali, (3) kedalaman kuakan adalah 1,5 cm. Pengambilan data dilakukan sebanyak 10 kali dengan periode pembaharuan luka sadapan, pemanenan, dan pemberian stimulansia setiap 3 hari sekali, (4) stimulansia yang digunakan berupa stimulansia organik F2 (ETRAT) dan F3 dan diberikan dengan cara disemprotkan pada bidang sadapan sebanyak 1
kali (0,5 mL/kuakan untuk lebar kuakan 6 cm dan 0,3 mL/kuakan untuk lebar kuakan 2 cm), dan (5) penyemprotan dilakukan dengan mengatur nozzle pada sprayer sehingga jumlahnya sesuai dengan ukuran kuakan. D. Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap faktorial 4 x 2. Faktor pertama ialah lebar dan jumlah kuakan yang terdiri atas 4 taraf, yaitu: 1). Lebar kuakan 6 cm dan jumlah sadapan 2 kuakan/ pohon, 2). Lebar kuakan 2 cm dan jumlah sadapan 6 kuakan/ pohon, 3). Lebar kuakan 2 cm dan jumlah sadapan 4 kuakan/ pohon, 4). Lebar kuakan 2 cm dan jumlah sadapan 2 kuakan/ pohon. Faktor kedua ialah jenis stimulansia organik yang terdiri atas 2 taraf, yaitu: 1). Stimulansia F2 (bahan aktif: ethylene dan asam sitrat), 2). Stimulansia F3 (bahan aktif: etephon dan asam asetat). Ulangan pada masing-masing kombinasi perlakuan sebanyak 5 pohon. Pengambilan data produksi resin dilakukan sebanyak 10 kali panen. E. Analisis Data Data produktivitas resin diolah menggunakan software Minitab 15. Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh faktor perlakuan ukuran dan jumlah kuakan serta faktor jenis stimulansia terhadap peningkatan produksi resin pinus maka dilakukan analisis ragam (A N NOVA). Selanjutnya, dilakukan uji Tukey atau Honestly Significant Difference (HSD) untuk menentukan perlakuan yang berbeda nyata. F. Perhitungan Biaya Penyadapan Perhitungan biaya dirancang dari pihak pengelola HPGW, yaitu meliputi pendapatan dan pengeluaran pada masing-masing alternatif kombinasi perlakuan. Pendapatan dihitung dari produksi penyadapan resin pinus yang dihasilkan, sedangkan biaya yang dikeluarkan adalah penyediaan talang, plastik, stimulansia, dan upah penyadap. Upah penyadap dihitung berdasarkan hasil panen resin yang didapatkan. Asumsi perhitungan berdasarkan lama waktu penelitian, yaitu sepuluh kali panen resin dan 40 pohon contoh (5 pohon ulangan pada masing-masing perlakuan). 25
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 23-32
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Lebar dan Jumlah Kuakan terhadap Produksi Resin Analisis data dengan menggunakan ANNOVA memperlihatkan bahwa terdapat pengaruh yang nyata (p |<| 0,05) dari faktor jumlah dan lebar kuakan terhadap produksi resin, sedangkan untuk jenis stimulansia tidak terdapat pengaruh yang nyata. Selain itu, tidak terdapat interaksi antara faktor jumlah dan lebar kuakan serta jenis stimulansia terhadap produksi resin (Lampiran 1). Berdasarkan Uji Tukey, terdapat perbedaan yang nyata pada produksi resin yang dihasilkan dari perlakuan jumlah dan lebar kuakan (ditampilkan pada Tabel 1). Hal ini sejalan dengan penelitian Cahyono, Prakosa, Yuliantoro, dan Siswo (2011) yaitu adanya perbedaan yang nyata pada hasil produksi resin yang dihasilkan dari modifikasi teknik penyadapan (lebar kuakan: 4, 6, 8, 10, dan 12 cm; jumlah 1 dan 2 kuakan/pohon). Produksi resin yang dihasilkan oleh perlakuan Bf2,
Bf3, dan Cf3 lebih tinggi dibandingkan Af2 (kontrol). Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) menggunakan sistem sadapan kuakan dengan jumlah 2 kuakan/ pohon, lebar 6 cm dan stimulansia F2 (ETRAT), sehingga perlakuan Af2 merupakan kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dengan luas sadapan yang sama belum tentu menghasilkan jumlah produksi resin yang sama. Produksi resin dari perlakuan Bf2 lebih tinggi dibandingkan Bf3, Af2, dan Af3, walaupun keempatnya memiliki luas sadapan yang sama (132 cm2). Perbedaan produksi resin disebabkan adanya respon pohon yang berbeda untuk lebar dan jumlah sadapan yang berbeda. Pohon dengan jumlah luka sadapan yang lebih banyak dan tersebar dengan ukuran kuakan lebih kecil akan memiliki peluang menghasilkan resin yang lebih banyak dibandingkan dengan sadapan pada dua sisi saja walaupun lebar kuakannya lebih besar. Berdasarkan data penelitian, terdapat variasi hasil resin yang dihasilkan masing-masing kuakan pada setiap pohon. Hal ini dikarenakan saluran resin
Tabel 1 Hasil produksi resin pada masing-masing perlakuan Table 1 Resin yield production in each treatments
Keterangan (Remarks): Huruf superscript yang berbeda pada kolom “rata-rata resin” menunjukkan nilai yang berbeda nyata berdasarkan uji Tukey (α=5%) (Different superscript in the "resin average" column indicates values are significantly different based on Tukey test (α=5%))
26
Penyempurnaan Teknik Penyadapan Resin Pinus dengan Metode Kuakan (Ika Nugraha Darmastut, Gunawan Santosa, Juang R. Matangaran)
pada pohon pinus yang tersebar secara tata baur (Pandit & Ramdan, 2002). Akan tetapi, peningkatan luas sadapan berkorelasi positif terhadap produksi resin (r |=| 0,79). Hasil tersebut sama dengan penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu adanya korelasi positif antara peningkatan luas bidang sadapan dengan produksi resin baik dengan metode kuakan ataupun bor (Cahyono et al., 2011; Sukarno, Hardiyanto, Marsoem, & Naiem, 2013; Lekha & Sharma, 2013). Semakin luas bidang sadapan maka lebih banyak saluran resin yang terpotong sehingga resin yang dihasilkan semakin banyak (Matangaran, 2006; Sukadaryati, 2014). B. Pengaruh Jenis Stimulansia terhadap Produksi Resin Lampiran 1 menunjukkan bahwa jenis stimulansia tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi resin berdasarkan ANNOVA (p |>| 0,05). Selain itu, juga tidak terdapat interaksi antara perlakuan lebar kuakan dan jumlah kuakan/pohon dengan perbedaan jenis stimulansia. Akan tetapi, dari hasil rata-rata, perlakuan dengan menggunakan stimulansia F3 menghasilkan produksi resin lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan stimulansia F2, yaitu berturut-turut (68,4±13,7) g/pohon/panen dan (67,6±25,4) g/pohon/panen. Stimulansia F2 berisi bahan aktif berupa ethylene dan asam sitrat. Sedangkan stimulansia F3 merupakan modifikasi dari F2, yaitu adanya asam cuka yang menggantikan asam sitrat. Asam cuka dipilih karena merupakan asam lemah, dan merupakan salah satu senyawa yang diperlukan dalam biosintesis ethylene (Wattimena, 1988). Penggunaan asam cuka mampu menggantikan asam sitrat, yang dicirikan dengan hasil produksi resin pada perlakuan F3 lebih tinggi dibandingkan F2, walaupun tidak berbeda nyata. Etephon, yaitu senyawa 2-chloroethylphosphonic acid bersifat mudah terurai di dalam air atau jaringan tanaman. Senyawa tersebut akan bercampur dengan cairan sel tanaman dan melepaskan ethylene (Lukman, 1995). Menurut Wattimena (1988), ethylene merupakan hormon yang berperan untuk merangsang keluarnya resin. Pada tanaman, ethylene dapat terbentuk secara alami, akibat pelukaan, kekeringan, polusi udara, gangguan mekanis, dan serangan mikroorganisme
(Kozlowski & Pallardy, 1997). Oleh karena itu, pelukaan yang terus menerus pada pinus, selain dapat membentuk saluran resin traumatis (Pandit & Kurniawan , 2008) , juga merangsang pembentukan ethylene (endogenous). Ethylene exogenous dari stimulansia F2 dan F3 merangsang ethylene endogenous di dalam pohon pinus untuk mul ai be r adap tas i d en g an m e kan ism e metabolisme sekunder. C. Kelebihan dan Kekurangan Modifikasi Teknik Penyadapan berdasarkan Aspek Ekonomi, Sosial, Ekologi, dan Teknis Kuakan dengan jumlah 6, lebar 2 cm (perlakuan Bf2 dan Bf3) berdampak pada peningkatan seluruh komponen biaya, yaitu upah penyadap, biaya stimulansia, talang, dan plastik. Namun, dari segi pendapatan, perlakuan Bf2 dan Bf3 menghasilkan keuntungan tertinggi, yaitu Rp 64.078 dan Rp 52.411. Hal ini dikarenakan produksi resin yang dihasilkan dengan jumlah 6 kuakan dan lebar 2 cm lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Peng gunaan stimulansia F3 membutuhkan biaya stimulansia yang lebih banyak dibandingkan dengan stimulansia F2. Akan tetapi, rata-rata keuntungan pada perlakuan dengan menggunakan stimulansia F3 lebih tinggi dibandingkan dengan stimulansia F2. Perhitungan biaya penyadapan pada masingmasing perlakuan ditampilkan pada Lampiran 2. Penyadapan yang diterapkan di HPGW sejak dahulu adalah metode kuakan, sehingga dari aspek sosial, mudah diterima dan diadaptasi oleh penyadap. Berdasarkan aspek ekologi, dengan adanya pengurangan ukuran lebar kuakan dari 6 cm menjadi 2 cm, maka dapat mengurangi luka sadapan pada pohon. Hal ini dapat mengurangi potensi terkena hama dan penyakit serta pohon tumbang. Selain itu, dengan memperkecil lebar kuakan diduga akan mempersingkat waktu pemulihan luka sadapan, walaupun diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengamati waktu pemulihan luka sadapan tersebut. Jika ukuran sadapan pada pohon dapat dikurangi, maka dapat menghemat bidang sadapan per pohon dan waktu pemulihan luka, yang pada akhirnya penyadapan dapat dilakukan se cara ber kelanju tan. Berdasarkan wawancara dengan petugas lapangan saat menggunakan alat kadukul ukuran lebar 2 cm, dari aspek teknis tidak ada kesulitan dalam 27
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 23-32
Tabel 2 Perbandingan aspek ekonomi, ekologi, sosial, dan teknis Table 2 Comparations of economical, ecological, social and technical aspects
penggunaan di lapangan serta alat terasa lebih ringan. Akan tetapi, dengan adanya perubahan lebar dan jumlah kuakan, maka waktu kerja penyadapan bertambah, karena penyadap mengeluarkan waktu lebih banyak untuk menyadap dan memanen resin dari pohon satu ke pohon lainnya. Perhitungan waktu penyadapan meliputi waktu pemanenan resin, pelukaan pohon, penyemprotan stimulansia, pemasangan plastik penampung resin dan perpindahan antar kuakan dalam satu pohon. Perbandingan aspek ekonomi, ekologi, sosial, dan teknis dari masingmasing perlakuan ditampilkan pada Tabel 2. D. Pemilihan Ukuran dan Jumlah Kuakan serta Stimulansia yang Paling Tepat Pengurangan ukuran lebar kuakan dari 6 cm menjadi 2 cm dengan jumlah 6 kuakan per pohon (perlakuan Bf2 dan Bf3) menghasilkan produksi resin yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan Af2 dan Af3 (lebar 6 cm, jumlah kuakan 2). Luas permukaan luka total sadapan per pohon pada empat perlakuan tersebut adalah sama, yaitu 132 cm2, namun menghasilkan produksi resin yang berbeda nyata pada uji Tukey (Tabel 1). Selanjutnya, perlakuan Af2 dan Af3 menghasilkan 28
produksi resin yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan Cf2 dan Cf3, walaupun luas total sadapan per pohon berbeda. Oleh karena itu, walaupun dari segi ekonomi, keuntungan tertinggi adalah perlakuan Bf2 dan Bf3, namun secara ekologi lebih baik jika luas luka sadapan per pohon semakin kecil. Produksi resin yang dihasilkan dari perlakuan Cf3 lebih tinggi dibandingkan perlakuan Cf2, walaupun keduanya memiliki luas sadapan per pohon sama. Selain itu, perlakuan Cf3 juga menghasilkan produksi resin dan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan Af2 dan Af3, walaupun luas sadapan per pohon dari perlakuan Af2 dan Af3 lebih besar dibandingkan Cf3. Selanjutnya, perlakuan Cf3 dipilih karena secara teknis memerlukan waktu kerja lebih sedikit dibandingkan perlakuan Bf2 dan Bf3. Mayoritas penyadap memiliki pekerjaan lain, yaitu bertani setelah menyadap. Apabila waktu kerja bertambah dan mengganggu pekerjaan bertani, penyadap akan enggan mengaplikasikan alternatif perlakuan tersebut. Oleh karena itu, perlakuan Cf3 merupakan alternatif ukuran, jumlah kuakan, dan jenis stimulansia terbaik yang dapat digunakan berdasarkan pertimbangan keempat aspek, yaitu ekonomi, ekologi, sosial, dan teknis.
Penyempurnaan Teknik Penyadapan Resin Pinus dengan Metode Kuakan (Ika Nugraha Darmastut, Gunawan Santosa, Juang R. Matangaran)
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Teknik penyadapan berupa perbedaan jumlah kuakan per pohon dan lebar sadapan berpengaruh nyata terhadap produksi resin. Sedangkan perbedaan jenis stimulansia tidak berpengaruh nyata terhadap produksi resin yang dihasilkan. Selain itu, tidak terdapat interaksi antara teknik penyadapan yaitu perbedaan jumlah kuakan per pohon dan lebar sadapan dengan jenis stimulansia terhadap produksi resin. Modifikasi teknik penyadapan dan stimulansia berpengaruh terhadap biaya penyadapan dan keuntungan yang diperoleh. Perlakuan Cf3 (lebar kuakan 2 cm, jumlah 4 kuakan/pohon, dan stimulansia F3 dengan bahan aktif etephon dan asam asetat) merupakan alternatif terbaik dari pertimbangan aspek ekonomi, ekologi, sosial, dan teknis. B. Saran
Penelitian Hasil Hutan, 16(1), 1–16. Kozlowzki T.T., & Pallardy S.G. (1997). Physiology of woody plants. US: Academic Press. Lekha, C. & Sharma, K.R. (2013). Tapping of Pinus roxburghii (Chir Pine) for oleoresin in Himachal Pradesh, India. Advances in Forestry Letter, 2(3), 51–55. Lukman. (1995). Pengaruh penggunaan bahan penutup stimulan yang dikombinasikan dengan s istem sadap HLE terhadap produksi karet. Jurnal Penelitian Karet, 13(1), 11–20. Martawijaya A., Kartasujana, I., Kadir K., & Prawira S.A. (2005). Atlas kayu Indonesia Jilid II. Bog or : Badan Penelitian dan Pengembang-an Kehutanan. Departemen Kehutanan. Matangaran J.R. (2006). Catatan untuk penyadap resin pinus. Duta Rimba, 1(8), 22–23.
Perlunya mengimplementasikan pengurangan lebar dan jumlah kuakan di lapangan menjadi lebar 2 cm dan jumlah 4 kuakan per pohon serta menggunakan stimulansia dengan bahan aktif etephon dan asam asetat untuk mengoptimalkan produksi resin atas pertimbangan aspek ekonomi, ekologi, sosial dan teknis.
Matangaran J.R., Santosa G., & Aziz F. (2012). Peningkatan produktivitas resin pinus melalui penggunaan stimulansia cairan jeruk nipis dan lengkuas. Jurnal Ilmu Teknologi Hasil Hutan, 5(1), 29–31.
DAFTAR PUSTAKA
Pandit I.K.N., & Kurniawan D. (2008). Struktur kayu: Sifat kayu sebagai bahan baku dan ciri diagnostik kayu perdagangan Indonesia. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.
Atmosuseno B.S., & Duljapar K. (1996). Kayu komersil. Jakarta: Penebar Swadaya. Cahyono S.A., Prakosa D., Yuliantoro D., & Siswo. (2011). Produksi resin tusam pada berbagai ukuran dan jumlah kowakan. Buletin Hasil Hutan, 17(2),136–141. Darmastuti I.N. (2011). Pengaruh penggunaan stimulansia organik dan zat pengatur tumbuh (ZPT) terhadap produktivitas penyadapan resin pinus di Hutan Pendidikan Gunung Walat. (Skripsi Sarjana). Institut Pertanian Bogor, Bogor. Dulsalam, M.M., Idris, & Tinambunan D. (1998). Produksi dan biaya penyadapan resin tusam dengan sistem bor: Studi kasus di PT Inhutani IV Sumatera Barat. Buletin
Pandit I.K.N., & Ramdan H. (2002). Anatomi kayu: pengantar sifat kayu sebagai bahan baku. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.
Perhutani. (2011). Gondorukem jadi bisnis yang m enjanjikan. http://perumperhutani. com/2011/10. Diakses 1 April 2014. Purnawati R.R. (2014). Produktivitas penyadapan resin pinus dengan metode bor tanpa pipa [Skripsi Sarjana]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sukadaryati. (2014). Pemanenan resin pinus menggunakan tiga cara penyadapan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 32(1), 62–70. Sukarno A., Hardiyanto E.B., Marsoem S.N., & Naiem M. (2013). Hubungan perbedaan ukuran mata bor terhadap produksi resin Pinus merkusii Jungh et de Vriese. Journal PAL, 4(1), 38–42. 29
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 23-32
Sumarmadji, Tistama R., & Siswanto. (2004). Protein-protein spesifik yang diinduksi oleh etefon pada beberapa klon tanaman karet. Jurnal Penelitian Karet, 22(2), 57–69.
30
Wattimena G.A. (1988). Zat pengatur tumbuh tanaman. Bogor: IPB Press.
Penyempurnaan Teknik Penyadapan Resin Pinus dengan Metode Kuakan (Ika Nugraha Darmastut, Gunawan Santosa, Juang R. Matangaran)
Lampiran 1. Analisis ragam (ANNOVA) terhadap produksi resin Appendix 1. Analysis of varriance (ANNOVA) on pine production
Lampiran 2. Perhitungan biaya penyadapan Appendix 2. Cost calculation of tapping Produksi resin (Resin production)
Upah penyadap (Tapper wages)
Biaya stimulansia (Cost of stimulant)
Biaya talang (Cost of tins)
Biaya plastik (Cost of plastic)
Pendapatan dari Penjualan resin (Revenue from resin sold)
(gram)
(Rp)
(Rp)
(Rp)
(Rp)
(Rp)
(Rp)
0
1
2
3
4
5
6
Af2
3.410
5.456
196
2.200
500
51.150
42.798
Bf2
5.105
8.168
354
2.475
1.500
76.575
64.078
Cf2
2.910
4.656
236
1.650
1.000
43.650
36.108
Df2
2.090
3.344
118
825
500
31.350
26.563
Af3
3.355
5.368
202
2.200
500
50.325
42.055
Bf3
4.235
6.776
363
2.475
1.500
63.525
52.411
Cf3
3.525
5.640
242
1.650
1.000
52.875
44.343
Df3
2.560
4.096
121
825
500
38.400
32.858
Perlakuan (Treatments)
Keterangan (Remarks): 0 = produksi resin (resin production) 1 = upah penyadap (tapper wages)/kg x (0)/1000 2 = jumlah penggunaan stimulansia (quantity of stimulant) /1000 x Harga stimulansia (price of stimulant) /liter (litre) 3 = jumlah seng talang (quantity of tins) x harga seng talang (price of tins) 4 = jumlah plastik (quantity of plastic) x harga plastik (price of plastic) 5 = (0) gram/1000 x harga jual resin (price of resin) (Rp/kg) 6 = (5) - (1 + 2 + 3 + 4)
Keuntungan (Profit)
Asumsi (Assumption): Upah penyadap (tapper wages) = Rp 1.600/kg Harga stimulansia (price of stimulant ) F2= Rp 3.929/ liter (litre), F3= Rp 4.034/ liter (litre) Harga talang kuakan (price of tins) lebar (width) 6 cm= Rp 220/ talang (tins), lebar (width) 2 cm= Rp 82,5/ talang (tins) Harga plastik (price of plastic) = Rp 50/plastik ( plastic) Harga jual resin (price of resin) = Rp 15.000/ kg
31
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 23-32
Lampiran 3
Gambar 1. Perlakuan dengan lebar kuakan 2 cm Figure 1. Treatment with quare width of 2 cm
Gambar 2. Lebar kuakan 2 cm Figure 2. Width of quare 2 cm
32
Gambar 3. Lebar kuakan 6 cm Figure 3. Width of quare 2 cm
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 33-43 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
KOMPOSISI KIMIA DAN KETAHANAN 12 JENIS ROTAN DARI PAPUA TERHADAP BUBUK KAYU KERING DAN RAYAP TANAH (Chemical Composition and Resitance of Twelve Rattan Species from Papua Against Powder Post-beetle and Subterranean Termite Jasni1, Gustan Pari1 & Titi Kalima2 1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No.5, Bogor 16610, Telp. (0251) 8633378, Fax. (0251) 8633413 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Jl. Gunung Batu No.5, Bogor 16610, Telp. (0251) 8633234, Fax. (0251) 8638111 E-mail:
[email protected] Diterima 14 Januari 2015, Direvisi 7 April 2015, Disetujui 28 April 2015
ABSTRACT Rattan is spiny climbing palms, which is mostly utilized for furniture. This paper determines the chemical composition of 12 rattan species from Papua and its resistance against powderpost beetle (Dinoderus minutus Fabr.) and subterranean termite (Coptotermes curvignathus Holmgren). Chemical composition tested includes cellulose, lignin and starch contents. Cellulose content was determined by Norman and Jenkins method, while lignin content was determined based on the Indonesian National Standards (SNI 14-0492-1989 and SII-70-1979). Rattan resistance against powder post beetles and subterranean termites according to Indonesian Standard SNI 01-7207-2006. Results show that the highest cellulose content was found in somi-1 rattan (Calamus pachypus WJ Baker & al) of 52.82%, while the lowest cellulose content was found in longipina rattan (Calamus zebrianus Becc) which constitutes 42.29% cellulose content. The highest lignin content was recorded in endow rattan (Calamus zebrianus Becc) which was 33.37%, and the lowest was recorded in itoko rattan (Calamus vitiensis Warburg) which was about 21.00%. Two rattans studied were classified into class I against powder post beetle, and three of them were c lassified as class II. Four rattan species falls into class III and one species classified as class IV, and the other two species were classified as class V against powder post beetle. Based on the test against subterranean termites, three rattan species were classified as class I, five species as class II, two species as class III, one species as class IV, and one species as class V. Rattan species which was classified into III, IV, and V classes need to be preserved to enhance its service life. Keywords: Rattan, chemical composition, resistance, powder post beetles, subterranean termites ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi kimia dan ketahanan 12 jenis rotan terhadap kumbang bubuk rotan kering (Dinoderus minutus Fabr) dan rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren). Kandungan selulosa dianalisa berdasarkan metode Norman & Jenkins, lignin berdasarkan SNI 14-0492-1989 dan SII-70-1979. Ketahanan bubuk kayu kering dengan menggunakan contoh uji berukuran panjang 2,5 cm dan diameter diatas 12 mm. Ketahanan terhadap rayap tanah dengan menggunakan contoh uji berukuran panjang 2,5 cm dan diameter diatas 12 mm. Untuk pengujian rayap tanah mengacu pada SNI 01-7207-2006. Parameter yang diamati untuk komposisi kimia adalah selulosa, lignin dan pati. Sedangkan untuk ketahanan terhadap kumbang bubuk dan rayap tanah adalah persentase penurunan berat rotan dan persentase jumlah kumbang bubuk dan rayap yang hidup. Disamping itu dilakukan pula pengamatan secara subyektif terhadap derajat serangan kumbang bubuk
33
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 33-43
dan rayap tanah terhadap rotan. Hasil penelitian menunjukkan kadar selulosa tertinggi pada jenis rotan somi 1 (Calamus pachypus WJ Bake al.) 52,82% dan terendah rotan longipina (Calamus longipina Becc) 42,29%. Lignin tertinggi pada rotan endow (Calamus zebrianus Becc) 33,37% dan terendah rotan itiko (Calamus vitiensis Warburg) 21,00%. Untuk ketahan terhadap kumbang bubuk termasuk kelas I ( 2 jenis), kelas II (3 jenis), kelas III ( 4 jenis), kelas IV ( 1 jenis) dan kelas V ( 2 jenis). Untuk ketahanan terhadap rayap tanah kelas I (3 jenis), kelas II ( 5 jenis), kelas III ( 2 jenis), kelas IV (1 jenis) dan kelas V (1 jenis). Dalam penggunaan rotan kelas ketahanan III, IV dan V diperlukan proses pengawetan untuk memperpanjang umur pakai. Kata kunci: Rotan, komposi kimia, ketahanan, bubuk rotan kering, rayap tanah I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara paling kaya akan sumberdaya rotan dengan 314 jenis. Sedangkan Filipina 70 jenis, Semenanjung Malaysia 146 jenis, Thailand 71 jenis, Brunei 150 jenis dan Lao PDR 37 jenis (Dransfield, 1974; Vongkaluang, 1984; Salita, 1984; Sumarna, 1986; Mogea, 1990; Nangkat, Morni, Ahmad, & Kalat, 1997; Evans, Sengdata, Viengkang, & Tammavong, 2001. Rachman & Jasni, 2013). Indonesia sebagai penghasil rotan terbesar di dunia, 85% bahan baku di seluruh dunia berasal dari Indonesia, sisanya dari negara Filipina, Vietnam dan negara Asia lainya (Retraubun, 2013). Total nilai ekspor produk rotan tahun 2012 mencapai USD 206,67 juta yang terdiri dari rotan furnitur senilai USD 151,64 juta dan rotan kerajinan/anyaman sebesar 51,03 juta. Pasar luar negeri rotan asal Indonesia untuk HS 46012 (Basket work, Wicker work & Other Article Made Directly to Shape From Rattan) pada tahun 2012 adalah Belanda USD 11,6 juta (27,02%), Amerika Serikat USD 6,6 juta (15,39%), Korea Selatan senilai USD 4,2 juta (9,76%), Jerman USD 3,6 juta (8,43%) dan Belgia USD 2,4 juta (5,6%) dan beberapa negara lainnya meliputi Inggris, Jepang, Swedia, Perancis dan Australia (Warta Ekspor, 2013). International Network for Bamboo and Rattan (INBAR) pada tahun 1993 menyatakan bahwa masalah utama pemanfaatan rotan adalah serangan hama kumbang bubuk (powder post beetle). Nilai suatu jenis rotan dan produk rotan lainya sangat ditentukan oleh ketahanan rotan dari organisme perusak rotan antara lain kumbang bubuk dan rayap (Rachman & Jasni (2013).
34
Selanjutnya Rachman dan Jasni (2013), melaporkan bahwa dalam memanfaatkan jenisjenis rotan perlu diperhatikan sifat dasar antara lain komponen kimia. Komponen kimia ini dapat mempengaruhi proses pengolahan, yaitu pembelahan, pembengkokan, dan pemutihan serta ketahanan terhadap organisme perusak. Penelitian kimia palma termasuk rotan pada umumnya sangat sedikit dilakukan dan tidak seimbang dengan penelitian taksonomi (Natalie & Dransfiel d, 1987). Terkait dengan uraian sebelumnya, tulisan ini memaparkan informasi komposisi kimia dan ketahanan 12 jenis rotan yang berasal dari Papua terhadap bubuk kayu kering (Dinoderus minutus Fabr.) dan rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren). II. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat Bahan baku rotan yang digunakan sebanyak 12 jenis rotan dengan diameter > 12 mm berasal dari Papua. Jenis rotan tersebut disajikan pada Tabel 1. Alat yang digunakan untuk analisa komponen kimia rotan antara lain: soklet, gelas ukur, gelas piala, labu pisah, erlenmeyer, pipet, oven, penangas air, timbangan cawan petridish 10 cc, dan oven. Bahan kimia yang digunakan untuk analisa sifat kimia rotan antara lain benzene, KI, etanol, aseton, H2SO4 72%, HCl pekat pa 36 %, natrium karbonat, kaliam dikromat, natrium hidroksida, sodium clorit, asam sitrat, CuSO4.5H2O, natrium thiosulfat dan aquades. Penelitian sifat ketahanan rotan digunakan kumbang bubuk rotan Dinoderus minutus Fabr. dan rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren.
Komposisi Kimia dan Ketahanan 12 Jenis Rotan dari Papua Terhadap Bubuk Kayu Kering dan Rayap Tanah (Jasni, Gustan Pari & Titi Kalima)
Tabel 1. Jenis rotan yang dipelajari Table 1. Studied rattan species No
Nama daerah (Local name)
Nama Botani (Botanical name) *
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Somi 1 Fertilis Rotan B Kore Endow Rotan A Zipely/ rotan hioh Itoko Davone Auriensi/mirr Somi Longipina
Calamus pachypus WJ Baker al. Calamus fertilis Becc Calamus humbolatianus Becc. Calamus warbugii K.Schum. Calamus zebrianus Becc. Calamus elmerianus Becc. Korthalsia zeppelii Burret Calamus vitiensis Warburg Korthalsia brassii Becc. Calamus auriensis Becc. Calamus heterocanthus Zipp. Calamus longipina K.Schum & Lauterb
Keterangan (Remarks):*Berdasarkan herbarium rotan 1913, Puslitbang Hutan. Dransfield & Manokaran, 1996. William & Dransfield, 2006 (*Based on rattan herbarium 1913, Conservation Research and Development Centre. Dransfield & Manokaran ,1996. William & Dransfield, 2006).
B. Metode 1. Penetapan komponen kimia rotan Penetapan kadar selulosa dilakukan menurut metode Norman dan Jenkins (Wise, 1944). Penetapan kadar lignin dilakukan mengacu SNI 14-0492-1989 dan penetapan kadar pati mengacu SII-70-1979. 2. Ketahanan rotan a. Pengujian ketahanan terhadap kumbang bubuk rotan kering (Dinoderus minutus Fabr.) Contoh uji berukuran panjang 2 cm dan lebar tergantung diameternya. Pada salah satu sisi terlebar dipasang semprong kaca berdiameter 1,3 cm dan tinggi 3 cm. Kemudian ke dalam semprong kaca tersebut dimasukkan kumbang bubuk dewasa yang sehat dan aktif sebanyak 10 ekor. Contoh uji berikut semprong dan bubuk
tersebut dimasukkan ke dalam tabung plastik berdiameter 4 cm dan tinggi 7 cm, kemudian ditutup. Pengamatan dilakukan setelah 5 minggu pengujian berlangsung. Pengurangan berat contoh uji setelah dibiarkan selama 5 minggu dipakai sebagai ukuran untuk menetapkan daya tahan terhadap bubuk. Pengamatan dilakukan setelah 5 minggu pengujian dan ditentukan persentase pengurangan berat, jumlah kumbang bubuk yang hidup dan derajat serangan. Untuk menentukan ketahanan rotan digunakan klasifikasi ketahanan rotan terhadap kumbang bubuk (Dinoderus minutus Fabr) mengacu pada klasifikasi ketahanan yang disusun Jasni dan Roliadi (2011) (Tabel 2) sedangkan derajat serangan mengacu SNI 01-7207-2006 (Tabel 3).
Tabel 2. Klasifikasi ketahanan rotan terhadap bubuk Dinoderus minutus Farb. Table 2. Resistance classes of rattan to powder post beetle (Dinoderus minutus Farb) Kelas (Class) I II III IV V
Penurunan berat (Weight loss), % < 0,8 0,81 – 1,34 1,35 – 1,99 2 – 2,76 2,76
Ketahanan (Resistance) Sangat tahan (Very resistance) Tahan (Resistant) Sedang (Moderately resistant) Tidak tahan (Non-resistant) Sangat tidak tahan ( Susceptible)
Sumber (Source): Jasni & Roliadi (2011)
35
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 33-43
Tabel 3. Derajat serangan Table 3. Degree of powder post beetle No 1 2 3 4 5
Kondisi contoh uji (Condition of sample)
Nilai (Score)
Tidak ada serangan (No attacked); 0-5% Serangan ringan (Slight attaced); 6-15% Serangan sedang (Moderately attacked) 16-35% Serangan hebat (Severely attacked); 36-50% Serangan sangat berat (Very severely attacked); >50%
0 40 70 90 100
Sumber (Source): SNI 01-7207-2006
b. Pengujian ketahanan terhadap rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren.). Contoh uji berukuran panjang 2,5 cm dan lebar tergantung diameternya dimasukkan ke dalam jampot, diletakan dengan cara berdiri pada dasar jempot dan menyentuh dinding jampot. Ke dalam jampot dimasukkan 200 gram pasir lembab yang mempunyai kadar air +7% dibawah kapasitas menahan air (water holding capacity). Selanjutnya ke dalam setiap jampot dimasukkan rayap tanah sebanyak 200 ekor, kemudian contoh uji tersebut disimpan di tempat gelap selama 4 minggu. Setiap minggu aktivitas rayap dalam jampot diamati dan masing-masing jampot ditimbang. Jika kadar air pasir turun 2% atau lebih, maka ke dalam jampot tersebut ditambahkan air secukupnya sehingga kadar airnya kembali seperti semula metode ini mengacu pada SNI 01-7207-2006. Pengamatan dilakukan setelah 4 minggu pengujian dan ditentukan persentase pengurangan berat, jumlah rayap yang hidup dan derajat serangan. Untuk menentukan ketahanan rotan digunakan klasifikasi ketahanan rotan terhadap terhadap rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren) mengacu pada klasifikasi ketahanan yang disusun Jasni dan Roliadi (2010) yang membagi daya tahan menjadi 5 kelas (Tabel 4) sedangkan derajat serangan mengacu SNI 017207-2006 (Tabel 3).
C. Analisis Data Untuk mengetahui perbedaan ketahanan setiap jenis kayu terhadap rayap maupun bubuk pada 12 jenis rotan dilakukan sidik ragam (ANOVA). Data jumlah rayap yang hidup (Natalitas) dari persen ditransformasi ke Arcsin√% dan untuk mengetahui perbedaan dilakukan uji Duncan (Steel & Torrie, 1993). III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Komponen Kimia Rotan Hasil analisa komponen kimia 12 jenis rotan seperti tercantum pada Tabel 5. Kadar selulosa tertinggi pada rotan somi 1 (52,82%) dan terendah rotan longipina (42,29%) Tabel 5. Rachman dan Jasni (2013) menyatakan selulosa berasal dari fotosintesa, berbentuk rantai panjang yang tersebut tersusun pada dinding sel rotan. Oriantasi rantai selulosa ini pada satu bagian tersusun rapat (daerah kristalin) dan pada bagian lain tersusun tidak teratur (daerah amorf). Daerah amorf inilah yang mudah dimasuki atau mengeluarkan air sehingga rotan mengembang dan mengerut. Rotan muda banyak terdapat daerah amorf sehingga mudah keriput. Kadar selulosa dalam rotan berkisar 39 - 60%. Semakin tinggi kadar
Tabel 4. Klasifikasi daya tahan rotan terhadap rayap tanah Table 4. Resistance classes of rattan to subterranean termite Kelas (Class) I II III IV V
Pengurangan berat (Weight loss), % < 17 17 – 24 24,1 – 31,7 31,8 – 39,8 >39,8
Sumber (Source): Jasni & Roliadi (2010)
36
Ketahanan (Resistance) Sangat tahan (Very resistance) Tahan (Resistant) Sedang (Moderately resistant) Tidak tahan (Non-resistant) Sangat tidak tahan ( Susceptible)
Komposisi Kimia dan Ketahanan 12 Jenis Rotan dari Papua Terhadap Bubuk Kayu Kering dan Rayap Tanah (Jasni, Gustan Pari & Titi Kalima)
Tabel 5. Komposisi kimia 12 jenis rotan Table 5. Chemical composition of twelve kinds of rattan No
Jenis rotan (Rattan species)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Somi 1 (Calamus pachypus) Fertilis (Calamus fertilis) Rotan B (Calamus humbolatianus ) Kore (Calamus warbugii Endow (Calamus zebrianus ) Rotan A (Calamus elmerianus) Zipely/ hioh (Korthalsia zeppelii) Itoko (Calamus vitiensis) Davone (Korthalsia brassii) Auriensi /mirr(Calamus auriensis ) Somi (Calamus heterocanthus) Longipina (Calamus longipina)
Selulosa (Cellulosa, %)
Lignin ( Lignin, %)
Pati (Starch, %)
52,82 52,03 48,10 47,85 47,76 47,76 44,39 44,31 43,43 43,31 43,18 42,29
28,93 32,30 23,72 27,10 33,37 33,37 27,52 21,00 28,89 29,03 28,18 30,3
24,12 24,29 23,26 25,58 23,32 25,08 26,33 24,15 25.00 23,15 23,22 24,39
selulosa maka keteguhan lentur tinggi dan makin kaku, karena makin tinggi kadar selulosa dalam mikrofibril makin kristalin. Kristalinitas selulosa rotan lebih rendah dibandingkan kayu karena kadar selulosa rotan kurang dari 60%, sedangkan kayu mempunyai kadar selulosa berbentuk kristalin dimana bagian tersebut mengakibatkan kekakuan kayu (Rowell, 1984 dalam Rachman, 1996; Jasni, Krisdianto, Kalima, & Abdurachman, 2012). Disamping itu selulosa juga merupakan makanan utama rayap (Tarumingkeng, 1971). Rotan somi 1 mempunyai kadar selulosa 52,82% dan rotan fertilis 52,03%, hal ini berarti rotan tersebut lebih lentur dibandingkan rotan lainya karena kandungan selulosa lebih tinggi (Tabel 5). Hasil penelitian ini sama dengan rotan teretes (Demonorops oblonga Blume), rotan susu (Daemonorops macroptera Miquel) Becc.), pelah (Daemonorops rubra Reinw ex Blume), sigisi (Calamus orthostachys Warburg ex Becc.), dan batang (Daemonorops robusta Warburg) kandungan selulosa > 50%, yaitu 51 - 55%. ( Jasni, Damayanti, & Kalima, 2007, 2012; Rachman & Jasni, 2013). Rotan B, kore, endow, dan rotan A mempunyai kadar selulosa berkisar 47,76 – 48,10%, sehingga rotan ini dapat disetarakan dengan rotan komersial lainya seperti rotan hoa (Calamus didymocarpus Warb. ex Becc.) dan rotan wira (Daemonorops fissa Blume) yang kadar selulosanya berkisar 48 – 48,23%. Selanjutnya, rotan zipely, itoko, davone auriensi, somi dan longipina
dapat pula disetarakan dengan rotan komersial seperti balubuk (Calamus burchianus), tohiti ( Calamus inops Becc . ), seel ( Daemonorops malanochaetes Blume) dan tangkalang (Daemonorops didymophylla Becc.) dengan kadar selulosa berkisar 42,35 – 45% (Jasni et al., 2007, 2012; Rachman, 1996; Winarni & Jasni, 2011; Rachman & Jasni, 2013). Kadar lignin, tertinggi rotan endow, rotan A (33,37%) dan terendah rotan itoko (21%). Rachman dan Jasni (2013) menyatakan lignin dalam rotan berkisar 18 -35%. Lignin berfungsi sebagai bahan pengikat antar sel dalam bahan rotan yang memberikan kekuatan kepada rotan. Haygreen dan Bowyer (1993) menyatakan bahwa lignin dan selulosa pada kayu terdapat pada setiap lapisan dinding sel dan diantara sel dalam dinding sel, lignin sangat erat hubungannya dengan selulosa yang berfungsi untuk memberi kekuatan pada sel. Selanjutnya Rawell dan Jerrold (1983) dan Suminar (1990) menyatakan, senyawa lignin terdapat pada dinding sel maupun daerah antar sel, berfungsi sebagai perekat, pengeras, dan pelindung sehingga kayu menjadi kaku, dan mampu menahan tekanan mekanis yang besar. Jenis kayu berkadar lignin tinggi dapat menghambat degradasi enzimatik mikrofibril sehingga menghambat serangan organisme perusak kayu. Semakin tinggi lignin dalam kayu atau rotan maka semakin tinggi pula daya tahan terhadap serangan serangga perusak. Sedangkan 37
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 33-43
menurut Nasa (1989), kadar lignin mempunyai hubungan yang sangat erat dengan keteguhan lentur. Makin tinggi kadar lignin dalam rotan makin tinggi pula keteguhan lenturnya atau makin kaku rotan tersebut. Kandungan zat lignin juga dapat mempengaruhi ketahanan rotan. Rotan fertilis, rotan endow, rotan A dan rotan longipina mengandung kadar lignin lebih dari 30%, berarti rotan ini lebih kuat dibandingkan jenis rotan lainya. Jenis rotan tersebut dapat disetarakan dengan rotan komersial yaitu rotan hoa (Calamus didymocarpus Warbs. ex. Becc. Selanjutnya rotan somi1, kore, zipely, davone, auriense dan somi dapat disetarakan dengan rotan komersial rotan seel (Daemonorops malanochaetes Warb. ex Becc.) yang kadar ligninnya (27,2%). Sedangkan rotan itoko yang mengandung kadar lignin terkecil (21%), dapat disetarakan dengan rotan komersial tohiti (Calamus inops Becc.), batang (Calamus zolingerii Becc.), tretes (Calamus heteroideus Blume), sigisi (Calamus orthostachys Warbug ex Becc.) dan noko (Calamus koordesianus Becc.) dengan kandungan ligninnya berkisar 21 – 21,90% (Jasni et al., 2007, 2010, 2012; Rachman & Jasni, 2013). Kadar pati (Tabel 5), tertinggi pada rotan zipely (26,33%) dan terendah aurience (23,15%). Pati adalah cadangan karbohidrat yang merupakan makanan utama bagi serangga perusak kayu atau rotan. Semakin tinggi kandungan pati dalam kayu atau rotan maka semakin rentan rotan terhadap serangan kumbang bubuk. Bubuk betina tidak akan meletakkan telur dan tidak akan memilih jenis kayu yang kandungan patinya lebih rendah dari 3% , karena pati merupakan makanan utama bagi bubuk tersebut (Technical Release National Pest Control Assosiation, 1961; Nurdjito, 1985; Sumarni & Jasni, 1989). B. Ketahanan Rotan Ketahanan rotan adalah ketahanan terhadap serangan organisme perusak yang melakukan perusakan secara alami pada substrat rotan. Organisme perusak rotan adalah berupa jamur dan serangga. Serangga antara lain rayap dan kumbang bubuk. 1. Ketahanan terhadap kumbang bubuk Dinoderus minutus Fabr. Parameter yang digunakan untuk menilai ketahanan rotan terhadap kumbang bubuk adalah 38
pengurangan berat rotan, jumlah kumbang bubuk yang hidup (natalitas) dan derajat serangan hasilnya terlihat pada Tabel 6. Untuk mengetahui perbedaan pengurangan berat dan jumlah kumbang bubuk yang hidup dilakukan sidik ragam. Hasilnya untuk pengurangan berat F hitung 10,42 > F tabel 1,99 dan untuk jumlah bubuk yang hidup F hitung 5,89 > F tabel 1,99. Hasil pengujian menunjukkan ada perbedaan yang nyata pada penurunan berat dan jumlah kumbang bubuk yang hidup pada 12 jenis rotan, maka untuk mengetahui perbedaan antar jenis rotan tersebut dilakukan uji beda Duncan (Tabel 6). Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa penurunan berat tertinggi adalah pada rotan kore 3,82 % termasuk kelas V, sedangkan yang terendah rotan somi dengan pengurangan berat 1,01 % termasuk kelas I. Rotan kore, rotan zipely dan rotan davone termasuk kelas V, karena menurut klasifikasi ketahanan terhadap kumbang bubuk (Dinoderus minutus), kelas ketahan V apabila pengurangan berat berkisar > 2,76%, sedangkan rotan ini pengurangan beratnya berkisar 2,95 – 3,85%. Kalau dihubungkan dengan kadar pati (Tabel 5), kandungan pati pada rotan kore, zipely dan davone cukup tinggi berkisar 25-26,33%. Sebagaimana pati merupakan makan serangga kumbang bubuk (Nurjito 1985). Untuk rotan kore, zipely dan davone dapat disetarakan dengan rotan komersial paku (Calamus exilis Griffith) dan rotan bulu (Calamus hispidulus Becc) rotan ini termasuk kelas V (Jasni, Damayanti, Kalima, Malik, & Abdurachman, 2010. Rachman & Jasni, 2013). Rotan A pengurangan beratnya 2,55%, berdasarkan klasifikasi ketahanan bubuk Dinoderus minutus, termasuk kelas IV, sedangkan berdasarkan klasifikasi ketahanan rotan penurunan berat rotan kelas IV berkisar 1,99 – 2,76%. Rotan A ini dapat pula disetarakan dengan rotan komersial yaitu rotan sabut (Daemonorops sabut Becc.) karena rotan ini termasuk kelas ketahan IV. Untuk rotan somi 1, fertilis, itoko dan longipina termasuk kelas III (Tabel 6), karena pengurangan beratnya berkisar 1,94 – 2,31%, sedangkan dalam klasifikasi ketahanan rotan penurunan berat rotan kelas III berkisar 1,34 – 1,98%. Martawijaya (1996), kayu yang mempunyai keawetan rendah seperti kelas awet V, IV dan III perlu diawetkan untuk memperpanjang umur pakai kayu, seperti juga dengan rotan maupun bambu apabila mempunyai
Komposisi Kimia dan Ketahanan 12 Jenis Rotan dari Papua Terhadap Bubuk Kayu Kering dan Rayap Tanah (Jasni, Gustan Pari & Titi Kalima)
Tabel 6. Rata-rata ketahanan dua belas jenis rotan terhadap kumbang bubuk Table 6. Durability average of twelve rattan species against powder post beetle attack
No.
1. 2. 3.
Jenis rotan (Rattan species)
Somi 1 (Calamus pachypus) Fertilis (Calamus fertilis) Rotan B (Calamus humbolatianus ) 4. Kore (Calamus warbugii) 5. Endow (Calamus zebrianus) 6. Rotan A (Calamus elmerianus) 7. Zipely (Korthalsia zippelii) 8. Itoko (Calamus vitiensis ) 9. Davone (Korthalsia brassii) 10. Auriensi (Calamus auriensis) 11. Somi (Calamus heterocanthu) 12. Longipina (Calamus longipina)
Penurunan berat (Weight loss), %
Kelas Ketahanan (Resistance class)
Natalitas, (Survival), %
X ± Sd * 2,31± 1,48 cde 1,48 ± 0,95efg 1,27 ± 0,95 fg
III III II
X ± Sd * 32 ± 14,29 bcd 34 ± 3,30 bcd 26 ± 3,64 cde
3,82 ± 0,87 a 1,16 ± 1,57 fg 2,55 ± 0,31 bcd 2,95 ± 1,83 bc 1,94 ± 2,76 efd 3,19 ± 0,68 ab 1,20 ± 0,74 fg 1,01 ± 0,63 g 1,98 ± 1,46 dfe
V II IV V III V I I III
30 ± 10,43 bcde 18 ± 3,64 bcd 44 ± 3,16 ab 46 ± 7,85 ab 40 ± 5,90 abc 52 ± 8,73 a 14 ± 4,45 e 14 ± 11,52 e 34 ± 5,63 bcd
Derajat serangan (Degree of attack) Kerusakan Nilai (Damage),% (Score) 21 21,6 13
70 70 40
23,4 6,4 21 30 21 31 7,8 10 22
70 40 70 70 70 70 40 40 70
Keterangan (Remarks): *Nilai rata-rata diiukti huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata (Mean value followed by the same letter means not significan different). Sd = Simpangan baku ( Standard deviation).
kelas awet rendah perlu diawetkan terlebih dulu sebelum dilakukan proses lanjutan. Rotan somi 1, fertilis, itoko dan longipina dapat disetarakan dengan rotan komersial yaitu rotan semabu (Calamus scipionum Loureiro), tretes (Calamus heteroideus Blume). Rotan endow dan B, pengurangan beratnya berkisar 1,16 – 1,72% maka termasuk kelas II sedangkan dalam klasifikasi ketahanan rotan penurunan berat rotan kelas II berkisar 0,82 – 1,33%. Rotan ini cukup tahan terhadap serangan kumbang bubuk dan rotan ini dapat disetarakan dengan rotan komersial yaitu alubuk (Calamus burchianus Becc), batang (Calamus zolingerii Becc.) dan lacak (Daemonorps crinita Blume). Rotan ini termasuk kelas ketahanan II terhadap kumbang bubuk Dinoderus minutus Fabar (Jasni et al., 2007. 2010. Rahman & Jasni, 2013). Untuk rotan aurienci dan rotan somi termasuk kelas I, penurunan berat rotan akibat seragan kumbang bubuk berkisar 1,01 – 1,20%. Berdasarkan klasifikasi ketahanan terhadap kumbang bubuk termasuk rotan kelas I, pengurangan berat akibat serangan kumbang bubuk Dinoderus minutus Fabr adalah < 0,81%. Selain pengurangan berat, jumlah kumbang bubuk yang hidup (natalitas) juga merupakan
salah satu faktor penentu ketahanan rotan. Berdasarkan Tabel 6, kumbang bubuk yang hidup pada rotan davone (52%). Kalau dihubungkan dengan kadar pati yang merupakan makanan utama kumbang bubuk Dinoderus minutus, maka kandungan pati pada rotan davone ini cukup tinggi yaitu 25% dan juga termasuk kelas ketahanan V (Tabel 6). Sedangkan natalitas terendah adalah pada rotan auriensi dan rotan somi yaitu 14 %. Jika dihubungkan dengan kadar pati yang merupakan makanan utama kumbang bubuk Dinoderus minutus, maka kandungan pati pada rotan aurience dan somi ini cukup rendah yaitu 23,15 – 23,22% dan juga termasuk kelas ketahanan I (Tabel 6). Salah satu parameter penentu ketahanan rotan terhadap kumbang bubuk adalah derajat serangan. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 6), kerusakan yang tertinggi pada rotan davone (31%) dengan nilai 70 (kerusakan sedang) dan terendah pada rotan aurience (7,8%,) dengan nilai 40 (kerusakan sedikit). Jasni (1996) menyatakan, selain kandungan kimia rotan, maka struktur anatomi rotan juga berpengaruh terhadap ketahanan rotan terhadap serangan kumbang bubuk. Struktur anatomi yang berpengaruh pada 39
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 33-43
Tabel 7. Rata-rata ketahanan 12 jenis rotan terhadap serangan rayap tanah Table 7. Durability average of twelve rattan species against subterranean termites
No
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Jenis rotan (Rattan species) Somi 1(Calamus pachypus) Fertilis (Calamus fertilis) Rotan B (Calamus humbolatianus) Kore (Calamus warbugii ) Endow (Calamus zebrianus) Rotan A (Calamus elmerianus) Zipely (Korthalsia zeppelii) Itoko (Calamus vitiensis ) Davone (Korthalsia brassii ) Auriensi (Calamus auriensis) Somi (Calamus heterocanthus) Longipina (Calamus longipina)
Penurunan Berat (Weight loss),%
Kelas Ketahanan (Resistance class)
Natalitas (Survival),%
24,18 ± 1,50 d 16,16 ± 1,57 f 36,18 ±1,77 b
III I IV
71,1 ± 0,14 b 41,9 ± 0,72 e 86,5 ± 1,98 a
21,34 ± 1,63 de 16,88 ± 2,76 f 47,24 ± 3,24 a 17,69 ± 1,33 ef 15,37 ± 2,81 f 28,92 ± 4,20 c 17,30 ±0,93 ef 18,06 ±0,99 ef 17,12 ± 1,41 ef
II I V II I III II II II
59,7 ± 2,29 23,9 ± 0,77 84,0 ± 1,96 68,6 ± 2,56 17,0 ± 4,05 84,4 ± 2,53 46,4 ± 0,37 52,9 ± 1,10 68,9 ± 4,19
c g a b h a e d b
Derajat serangan (Degree of attack) Kerusakan Nilai (Damage), (Score) % 23,4 70 10 40 21 70 20 6,8 24 20 12 22 19,4 17,8 17,4
70 40 70 70 70 70 70 70 70
Keterangan (Remarks): * Nilai rata-rata diiukti huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata (Mean value followed by the same letter means not significan different). Sd = Simpangan baku (Standard deviation)
derajat serangan adalah ukuran pori, seperti metasilim, phloim, protosilim dan rongga sel lainya. Semakin besar pori maka semakin mudah bubuk meletakkan telurnya, sehingga jumlah kumbang bubuk yang menyerang rotan akan semakin banyak pula, dengan demikian derajat serangan kumbang bubuk pun akan meningkat. 2. Ketahanan terhadap rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren) Parameter yang digunakan untuk menilai ketahanan rotan terhadap rayap tanah adalah pengurangan berat rotan, jumlah rayap yang hidup (natalitas) dan derajat serangan hasilnya terlihat pada Tabel 7. Untuk mengetahui perbedaan pengurangan berat dan jumlah rayap yang hidup dilakukan sidik ragam. Hasilnya untuk pengurangan berat F hitung 43,81 > F tabel 1,99 dan untuk jumlah rayap yang hidup F hitung 199,26 > F tabel 1,99. Hasil pengujian menunjukkan ada perbedaan penurunan berat dan jumlah rayap yang hidup pada 12 jenis rotan, maka untuk mengetahui perbedaan antar jenis rotan tersebut dilakukan uji beda Duncan (Tabel 7). Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa penurunan berat tertinggi adalah rotan A (47,24%) termasuk kelas V. Kalau dihubungkan 40
dengan kadar selulosa, rotan A mengandung selulosa tidak terlalu tinggi yaitu 47,76% . Selulosa merupakan makanan utama rayap, namun lingkungan cukup mempengaruhi kehidupan rayap seperti suhu, kelembaban serta air (Tarumingkeng, 1971 ; Supriana, 1983). Sedangkan pengurangan berat terendah adalah rotan itoko dengan pengurangan berat 15,37% termasuk kelas I. Berdasarkan klasifikasi ketahanan terhadap rayap tanah rotan dengan pengurangan beratnya > 39,8% termasuk kelas V dan apabila pengurangan beratnya < 17% termasuk kelas ketahanan I. Hasil penelitian sebelumnya rotan Plectocomiopsis mira (J. Dranf.) dan Korthalsia lacionosa (Griffith ex Martius) termasuk kelas V terhadap rayap tanah (Jasni & Roliadi, 2010; Rachman & Jasni, 2013). Selanjutnya rotan itoko dapat disetarakan dengan rotan manau (Calamus manan Miquel) dan semambu (Calamus scipionum Loureiro), karena rotan ini termasuk kelas ketahan I. Untuk rotan B dengan pengurangan beratnya 36,18% termasuk kelas IV, berdasarkan klasifikasi ketahanan rotan terhadap rayap tanah. Rotan B dapat disetarakan dengan rotan komersial yaitu rotan Balubuk (Calamus burchianus Becc.), tarumpu (Calamus muricatus Becc) dan jernang (Daemonorop draco Blume).
Komposisi Kimia dan Ketahanan 12 Jenis Rotan dari Papua Terhadap Bubuk Kayu Kering dan Rayap Tanah (Jasni, Gustan Pari & Titi Kalima)
Rotan tersebut termasuk kelas IV terhadap rayap tanah (Jasni & Rolihadi, 2011; Rachman & Jasni, 2013). Selanjutnya rotan somi I dan rotan davone mempunyai penurunan berat berkisar 24,18 – 28,92% termasuk kelas III, karena berdasarkan klasifikasi kelas ketahanan rotan terhadap rayap tanah. Sebagaimana dilaporkan Martawijaya (1996), kayu maupun rotan yang mempunyai kelas awet atau kelas ketahanan III, IV dan V, harus diawetkan sebelum menjadi produk untuk memperpanjang umur pakai kayu atau rotan, sedangkan yang termasuk kelas I dan II tidak perlu diawetkan. Selanjutnya rotan kore, rotan zipely, aurience, somi dan longipina termasuk kelas II, karena pengurangan beratnya berkisar 17,12 – 21,34% (Tabel 7). Rotan kore, zipeli, aurience, somi dan longipina dapat disetarakan dengan rotan komersial yaitu rotan seuti (Calamus ornatus Blume) dan tohiti (Calamus inops Becc.), karena rotan ini termasuk kelas ketahanan II terhadap rayap tanah (Jasni & Rolihadi, 2011; Rachman & Jasni, 2013). Selain pengurangan berat, jumlah rayap tanah yang hidup (Natalitas) juga merupakan salah satu faktor penentu ketahanan rotan. Berdasarkan Tabel 7, jumlah rayap tanah yang hidup terbanyak pada rotan B (86,5%) dan sedikit adalah rotan itoko (17%). Kalau dihubungkan dengan kadar selulosa yang merupakan makanan utama rayap, maka kandungan selulosa pada rotan B cukup tinggi juga adalah 48,10% dan termasuk kelas ketahanan IV (Tabel 6). Sedangkan natalitas terendah adalah pada rotan itoko yaitu 17%. Jika dihubungkan dengan kadar selulosa yang merupakan makanan utama rayap, maka kandungan selulosa pada rotan itoko yaitu 44,31% dan juga termasuk kelas ketahanan I (Tabel 6). Tarumingkeng (1971) menyatakan makanan utama rayap adalah kayu dan bahan-bahan lain yang mengandung selulosa. Selulosa dicerna oleh rayap dengan bantuan protozoa simbiotik yang terdapat dalam saluran pencernaan rayap. Selanjutnya Sumarni dan Ismanto (1989) menyatakan bahwa rayap Cryptotermes cynocephalus Light disamping makan selulosa sebagai makanan utama juga makan lignin. Berdasarkan hal demikian setiap jenis rotan mempunyai kandungan selulosa dan lignin yang berbeda,
maka daya hidup rayap juga akan berbeda. Perbedaan itu terlihat pada Tabel 7, jumlah hidup rayap (natalitas) dari 12 jenis rotan yang diteliti berkisar dari 27 - 86%. Sebagaimana diketahui rayap juga mempunyai sifat kanibal, yaitu rayap memakan rayap yang sudah lemah. Selain pengurang berat dan jumlah rayap hidup (natalitas), parameter penentu ketahanan rotan lainnya adalah derajat serangan. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 7), kerusakan yang tertinggi adalah pada rotan A (24%) dengan nilai 70 (kerusakan sedang) dan terendah pada rotan endow (6,8%,) dengan nilai 40 (kerusakan sedikit). Derajat serang an berhubungan dengan pengurangan berat contoh uji akibat diserang rayap, semakin tinggi pengurangan berat tentu kerusakan akan terjadi lebih besar. Pada rotan A pengurangan berat 47,24%, kelas ketahan V dan kerusakan 24%, rotan endow pengurangan berat 16,88% kelas ketahanan I, berarti ada hubungan derajat serangan atau kerusakan dengan penurunan berat IV. KESIMPULAN Rotan somi 1 (Calamus pachypus WJ. Baker al.) mengandung selulosa tertinggi yaitu 52,82% dan terendah pada rotan longipina (Calamus longipina K.Schum & Lauterb.) yaitu 42,29%. Kandungan lingnin tertinggi terdapat pada rotan endow (Calamus zebrianus Becc) dan rotan A ( Calamus elmirianus Becc) yaitu 33,37% dan terendah rotan itoko (Cakamus vitiensis Becc.) yaitu 21%. Kandungan pati tertinggi terdapat pada rotan zipely (Korthalsia zippelii Blume) yaitu 26,33%, terendah rotan aurience (Calamus aurience Becc.) yaitu 23,15%. Uji ketahan 12 jenis rotan terhadap kumbang bubuk (Dinoderus minutus Fabr.) menghasilkan kelas ketahanan I (2 jenis), kelas ketahanan II (3 jenis), kelas ketahanan III (4 jenis), kelas ketahanan IV (1 jenis) dan kelas ketahanan V (2 jenis). Uji ketahanan rotan terhadap rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren.) menghasilkan kelas ketahanan I (3 jenis), kelas II (5 jenis), kelas III (2 jenis), kelas II (2 jenis) dan kelas V (1 jenis). Untuk rotan yang mempunyai kelas ketahanan III, IV dan V, agar diawetkan untuk memperpanjang umur pakai rotan.
41
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 33-43
DAFTAR PUSTAKA Dransfield, J. (1974). A short guide to rattan. Biotrop/TF/74/128 Bogor, Indonesia. (69 hal.). Dransfield, J. & Manokaran, N. (1996). Rotan. Sumber daya nabati Asia Tenggara. PROSEA: Universitas Gadjah Mada Press. Evans, T.D., Sengdata, K., Viengkham, O.V., & Tammavong, B, (2001). A field gude rattans of Lao PDR. Royal Botanic Garden, Kew. Great Britain. Haygreen, J.G. & Bowyer, J.L. (1993). Hasil hutan dan ilmu kayu. The Iowa State University Press, oleh Sutjipto A. Hadikusumo & Soenardi Prawirohatmojo. Fakultas Kehutanan. Yogyakarta: Gajah Mada university Press. Internatioan Network for Bamboo and Rattan (INBAR). (1993). Research needs for ha r vest technology and utilization . In te r n at io n al Ne ws L e t te r. N0 . 1 . March/November. Jasni. (1996). Struktur anatomi batang dan kandungan kimia rotan serta pencegahan sesrangan bubuk Dinoderus minutus Fabr. pada beberapa jenis rotan. (Tesis Master). Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Depok. Jasni, Damayanti, R. & Kalima, T. (2007). Atlas rotan Indonesia Jilid I. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Jasni, Damayanti, R., Kalima, T., Malik, J. & Abdurachman. (2010). Atlas rotan Indonesia Jilid II. Bogor: Pusat penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutan an dan Pengolahan Hasil Hutan. Jasni & Roliadi, H. (2010). Daya tahan 25 jenis rotan terhadap rayap tanah. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 28(1), 55-65. Jasni & Roliadi, H. (2011). Daya tahan 16 jenis rotan terhadap bubuk rotan (Dinoderus minutus Fabr.). Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 29(2),115-127. Jasni, Krisdianto, Kalima, T., & Abdurachman. (2012). Atlas rotan Indonesia Jilid 3. Bogor.
42
Pusat P enelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Jasni, Krisdianto & Abdurachman. (2013). Beberapa jenis rotan kurang dikenal sebagai alternatif bahan baku mebel. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan tahun 2012. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Martawijaya, A. (1996). Keawetan kayu dan faktor yang mempengaruhinya. Petunjuk Teknis. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Menon, K.D. (1979). Rattan. A Report of workshop held in Singapore, IDRC, Ottawa, Canada. 57 pp. Mogea, J. P. (1990). Potensi dan penyebaran jenis – jenis rotan di Indonesia khususnya di Sulawesi. Makalah Diskusi Hasil Penelitian Rotan. Departemen. Kehutanan – IDRC, Jakarta. Nangkat, N., Morni, H.H., Ahmad, J.H.H.A. & Kalat, A. (1997). The rattans of Brunei Darusalam. Forestry Department, Brunei Darussalam and Royal Botanic Gardens, Kew, UK. Ministry of Industry and Primary Resources Brunei Darussalam. Natalie, Uhl, W. & Dransfield, J. (1987). Genera Palmarum a classification of palm. Kansas: Allen press, Lawrence. Nurjito, A.W. (1985). Kumbang bubuk kayu kering Bostrychidae. Fauna Indonesia, 3(1-2). Nasa, I.M. (1989). Studi perbandingan beberapa sifat fisik, mekanik dan kimia antara rotan bubuai (Plectocomia elongata Bl) dengan rotan manau (Calamus manan Bl). (Skripsi Sarjana). Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor. Rachman.O.(1996). Peranan sifat anatomi, kimia dan fisis terhadap mutu rekayasa rotan. (Disertasi Doktor). Program Pasca sarjana IPB, Bogor.
Komposisi Kimia dan Ketahanan 12 Jenis Rotan dari Papua Terhadap Bubuk Kayu Kering dan Rayap Tanah (Jasni, Gustan Pari & Titi Kalima)
Rachman.O. (2000). Protokol pengujian pelengkungan rotan utuh. Laboratorium pengerjaan kayu. Puslitbang Teknologi Hasil Hutan, Bogor. (Tidak diterbitkan).
Sumarni, G. & Ismanto, A. (1989). Uji pilih makanan rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Light.). Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 6(4), 235-237.
Rachman O., & Jasni. (2013). Rotan. Sumberdaya, sifat dan pengolahannya. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Sumarni, G & Jasni.(1989). Pengaruh pengeringan terhadap daya hidup dan intensitas serangan bubuk kayu kering Heterobostrychus aequalis Wat pada kayu pulai (Alstonia scholaris R.Br.). Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 6(3), 178-181.
Rawell, R.M. & Jerrold, E.W. (1983). The chemistry of solid wood. Washington. DC: American Chemistry Society. Retraubun, A.SW. (2013). Hilirisasi industri rotan menjadi komitmen utama Kementrian Perindustrian. Membangun Pertumbuhan Indus tri yang Terbesar di Kawasan Regional. Media informasi Industri Mebel dan Kerajinan Nasional, 32-33. Standar Industri Indonesia (SII).(1979). Mutu dan cara uji tepung gaplek. (SII-070-1979 ). Departemen Perindustrian Repu b lik Indonesia. Salita, A.A. (1984). Rattan industry of the Philipinnes. Proceeding Rattan Seminar , Kualakumpur. The Rattan Information Center. Standar Nasional Indonesia (SNI).(1989). Cara uji kadar lignin dan Pulp (Metode Klason). (SNI 14-0492-1989 ) . Badan Standarisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia (SNI). (2006). Uji ketahanan kayu dan produk kayu terhadap organisme perusak kayu. (SNI 01-7207-2006). Badan Standardisasi Nasional (BSN). Steel, R.G.D & Torrie, J.H. (1993). Prinsip dan prosedur statistic. Terjemahan dari Principles and procedures of statistic, oleh Bambang Sumantri. Institut Pertanian Bogor. Jakarta: Gramedia pustaka Utama. Suminar, S. (1990). Kimia kayu. Bogor. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat Institut Pertanian.
Sumarna, Y. (1996). Pengenalan umum tentang rotan di Indonesia. Himpunan Diklat Kursus Penguji Rotan. Jilid I. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Supriana, N. (1983). Ekologi rayap perusak kayu. Proceeding Pertemuan Ilmiah Pengawetan Kayu Tahun 1983. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Tarumingkeng, R.C. (1971). Biologi dan pengenalan rayap perusak kayu Indonesia, Laporan. LPHH. No. 138. Technical Release National Pest Control Association (1961). Lyctid powder-post beetle their biologyand control. Number 19-61: 17. Vongkaluang, I. (1984). Rattan in Thailand. Proceeding Rattan Seminar, Kuala Lumpur. The Rattan Information Center. Warta Ekspor. (2013). Identifikasi r otan . Pengembangan Produk Mebel Rotan Indonesia. Hal 7-9. Winarni, I & Jasni. (2011). Komponen kimia dan ketahanan empat jenis rotan. Jurnal Hasil Hutan, 29(1), 1-9. William, J. B. & Dransfield, J. (2006). Palm new Diterjemahkan oleh Ary P. Kein. Royal botanic gardens, Kew. Wise, L.E. (1944). Wood chemistry. New York: Reinhold Publisher Corporation.
43
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 45-50 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
PENGARUH KADAR EKSTENDER TEPUNG BIJI ALPUKAT TERHADAP MUTU KAYU LAPIS DAMAR (Agathis alba Foxw) (The Effect of Avocado Seed Flour Content as an Extender in Damar (Agathis alba Foxw.) Plywood) M. I. Iskandar & Achmad Supriadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor Telp. (0251) 8633378, Fax. (0251) 8633413 E-mail :
[email protected] Diterima 20 Februari 2015, Direvisi 8 April 2015, Disetujui 17 April 2015
ABSTRACT The addition of extender in the adhesive mixture may reduce the cost of gluing in the plywood manufacture. The extender addition should not reduce the plywood quality in term of internal bonding. This paper examines the use of avocado seeds flour as an extender in the manufacture of damar plywood (Agathis alba Foxw.). Based on the total mixture weight, the seeds flour was grouped into three concentrations of 10%, 20% and 30%. The main adhesive used was Urea Formaldehyde (UF) and parameters tested includes moisture content, density and internal bonding strength. Results show that the average of plywood moisture content, density and internal bonding strength were 7.46%, 0.48 g/cm3, 11.77 kg/cm2, respectively. The moisture content and bonding strength of damar plywood meets the Indonesian National Standard (SNI). The maximum bonding strength was achieved by plywood with an extender of 10% avocado seed's flour. The variation of extender contents shows the pattern of the greater the extender content the the lower the internal bonding strength. Keywords: Adhesive extender, flour of avocado seeds, damar plywood, internal bonding, SNI ABSTRAK Penambahan bahan pengeras (extender) pada campuran bahan perekat mengurangi biaya perekatan pada pembuatan kayu lapis. Penambahan pengeras seharusnya tidak mengurangi kualitas kayu lapis dalam hal ini keteguhan rekat. Tulisan ini mempelajari penggunaan tepung biji alpukat sebagai bahan pengeras pada pembuatan kayu lapis dari kayu damar (Agathis alba Foxw.) Berdasarkan berat total perekat tepung biji alpukat dikelompokkan dalam tiga konsentrasi yaitu 10%, 20% dan 30% dari bobot perekat cair. Perekat yang digunakan adalah perekat Urea Formaldehida (UF) dan parameter yang diuji adalah kadar air, berat jenis, dan keteguhan rekat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kadar air kayu lapis damar adalah 7,46%, kerapatan 0,48 g/cm3, dan keteguhan rekat 11,77 kg/cm2. Kadar air dan keteguhan rekat kayu lapis damar memenuhi standar baku mutu dalam Standar Nasional Indonesia (SNI). Keteguhan rekat tertinggi dicatat dari pengujian kayu lapis dengan bahan pengeras tepung biji alpukat dengan konsentrasi 10%. Kadar bahan pengeras berpengaruh nyata terhadap keteguhan rekat kayu lapis, semakin tinggi kadar pengeras, keteguhan rekat kayu lapis cenderung berkurang. Kata kunci: Bahan pengeras, tepung tepung biji alpukat, kayu lapis damar, keteguhan rekat, SNI I. PENDAHULUAN Pada industri kayu lapis, selain kayu sebagai bahan baku digunakan pula perekat sebagai bahan pembantu yang berfungsi merekatkan lembaran-
lembaran venir menjadi kayu lapis. Jenis perekat yang biasa digunakan pada industri kayu lapis di Indonesia adalah Urea Formaldehida (UF) untuk kayu lapis interior dan Fenol Formaldihida (FF) untuk kayu lapis eksterior. Perekat merupakan 45
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 45-50
faktor yang turut menentukan mutu kayu lapis, dimana adonan perekat yang digunakan mempengaruhi mutu kayu lapis yang dibuat. Untuk menghemat pemakaian perekat, dapat ditambahkan ekstender kedalam perekat tersebut, sehingga dapat mengurangi biaya penggunaan perekat. Pencampuran ekstender diharapkan tidak akan mengurangi kemampuan dan kekuatan daya rekat dari perekat yang digunakan. Dalam tulisan ini disajikan hasil penelitian pengaruh kadar ekstender terhadap keteguhan rekat kayu lapis damar (Agathis alba Foxw.). Bahan ekstender yang digunakan berupa tepung biji alpukat dengan kadar bervariasi yaitu 10 %, 20 %, dan 30 % masing-masing dari bobot perekat cair. Variasi penggunaan kadar ekstender bertujuan agar dapat diketahui kayu lapis yang dihasilkan dari berbagai kadar ekstender tersebut yang memenuhi persyaratan keteguhan rekat kayu lapis Indonesia dan mengetahui kadar ekstender yang menghasilkan kayu lapis dengan keteguhan rekat terbaik. II. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat Venir yang digunakan dalam penelitian ini adalah venir kupas dari kayu damar (Agathis alba Foxw) sebanyak 200 lembar dengan ukuran panjang 20 cm, lebar 20 cm dan tebal 1,5 mm serta kadar air 10%. Perekat yang digunakan adalah Urea Formaldehida (UF) berasal dari PT Pamolite Adhesive Indsutry (PAI) Probolinggo, dengan spesifikasi kenampakan putih bening, kekentalan 1,2 poise, pH 10 dan resi content 40,
semuanya pada suhu 30oC. Bahan ekstender yang digunakan adalah biji alpukat, sekitar 500 g berupa tepung. Peralatan yang digunakan meliputi viscosimeter, oven, gelas ukur, timbangan, thermometer, alat uji geser tarik, gergaji mesin meja, mesin kempa panas dan dingin, caliper, kuas, pengaduk dan lain-lain. B. Metode 1. Persiapan bahan ekstender Biji alpukat dijemur sampai mencapai kadar air kering udara. Kemudian dikeringkan di oven sampai mencapai kadar air 12%. Setelah itu digiling menjadi berupa tepung, disaring menggunakan penyaring berukuran 200 mesh dan hasilnya disimpan dalam kantong plastik. 2. Pembuatan campuran perekat Komposisi perekat yang digunakan dalam penelitian dibuat dengan mencampur bahanbahan seperti tercantum pada Tabel 1. Pencampuran bahan dilakukan melalui tahapan sebagai berikut : a. Perekat UF dimasukkan ke dalam gelas ukur b. Ditambahkan bahan ekstender masing-masing sebanyak 10%, 20% dan 30% dari berat campuran perekat, kemudian diaduk secara perlahan sampai merata. Penambahan air pada setiap komposisi perekat terus dilakukan sambil diukur menggunakan viscosimeter sampai campuran mencapai kekentalan 18-20 poise. c. Kemudian pada campuran yang tersebut ditambahkan pengeras (Amonium klorida) sebanyak 0,5 g, lalu diaduk kembali hingga merata. Campuran ini siap untuk digunakan.
Tabel 1. Bahan ramuan yang dicampur ke dalam perekat urea formaldehida Table 1. Ingredient stuffs as mixed into the urea formaldehyde adhesive No 1 2 3
Perekat urea formaldehida (Urea formaldehyde adhesive) Ekstender (Extender) Pengeras (Hardener), ammonium klorida Jumlah
46
Kadar bahan ekstender (Extender contents, %)
Komponen (Stuffts) 10 100
20 100
30 100
10 0,5
20 0,5
30 0,5
110,5
120,5
130,5
Pengaruh Kadar Ekstender Tepung Biji Alpukat Terhadap Mutu Kayu Lapis Damar (Agathis alba Foxw.) (M. I. Iskandar & Achmad Supriadi)
3. Pembuatan kayu lapis Pembuatan kayu lapis dilakukan melalui tahapan sebagai berikut : a. Venir ukuran 20 cm x 20 cm diampelas agar mempunyai permukaan halus, kemudian dikeringkan dalam oven sampai mencapai kadar air 10%. b. Permukaan venir dilaburi dengan campuran perekat dengan berat labur 170 g/m2 atau 13,6 g untuk setiap lembar kayu lapis berukuran 20 cm x 20 cm. c. Susun venir yang telah selesai dilabur secara bersilangan tegak lurus, dikempa dingin selama 10 menit dan dilanjutkan dengan kempa panas pada suhu 110oC selama 3 menit. 4. Pembuatan contoh uji kadar air, kerapatan dan keteguhan rekat Pembuatan contoh untuk pengujian mutu kayu lapis yang meliputi kadar air, kerapatan dan keteguhan rekat kayu lapis tersebut dilakukan 14 hari setelah kayu lapis selesai dibuat. Prosedur pengujian menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 01-5008.2-2000).
C. Analisis Data Untuk mengetahui pengaruh kadar ekstender terhadap kadar air, kerapatan keteguhan rekat kayu lapis damar, maka dilakukan sidik ragam dengan rancangan acak lengkap dengan percobaan factorial (Sudjana, 2004). Sebagai perlakuan adalah kadar ekstender yang terdiri dari 3 tingkat yaitu 10%, 20% dan 30% dengan banyaknya ulangan 4 buah. Nilai rata-rata keteguhan rekat kayu lapis dibandingkan dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) mengenai mutu kayu lapis. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan program Minitab (Hendradi, 2006). III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengujian mutu kayu lapis disajikan pada Tabel 2. Untuk mengetahui pengaruh kadar ekstender terhadap mutu kayu lapis damar dilakukan analisis keragaman dan hasilnya disajikan pada Tabel 3.
Tabel 2. Nilai rata-rata mutu kayu lapis damar Table 2. Mean values of damar plywood quality No
1 2 3
Parameter mutu (Quality parameter)
Kadar ekstender (Extender contents), % 10 7,48 0,48 12,91
Kadar air (Moisture content), % Kerapatan (Density), g/cm3 Keteguhan rekat (Internal bonding), g/cm2
8
20 7,46 0,46 11,79
7,48
7,46
7,45
10
20
30
30 7,45 0,45 10,61
Rata-rata (Means) 7,46 0,48 11,77
7 6 5 4 3 2 Kadar ekstender (%)
Gambar 1. Histogram kadar air kayu lapis damar Figure 1. Histogram of moisture content of damar plywood 47
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 45-50
14 12 10 8 6 4 2 0 20
10
30
Kadar ekstender (%)
Gambar 2. Histogram keteguhan rekat kayu lapis damar Figure 2. Histogram of bonding strength of damar plywood Tabel 3. Analisis keragaman pengaruh kadar ekstender terhadap mutu kayu lapis damar Table 3. Analysis of variance on the effect of ekstender contents on damar plywood quality No. 1
2
3
Parameter mutu (Quality parameter)
db (df)
Kadar air (Moisture content), % Kadar ekstender (Extender contents) Galat (Error) Kerapatan (Density), g/cm3 Kadar ekstender (Extender contents) Galat (Error) Keteguhan rekat ( Internal bonding ), g/cm2 Kadar perekat (Extendercontents) Galat (Error)
Kuadrat tengah (Mean squares)
F hitung (F calc.)
2 9
0,0008 0,0413
0,02
2 9
0,000058 0,00005
1,17
2 9
5,2910 0,0312
169,78**
Keterangan (Remarks) : db (df) = derajat bebas (degree of freedom) ** = sangat nyata (highly significant)
Kadar air kayu lapis damar yang dibuat berkisar antara 7,01% hingga 7,81% dengan rata-rata 7,46% (Tabel 2). Dengan demikian kayu lapis damar tersebut semuanya memenuhi persyaratan SNI 01-5008.2-2000, (2002), karena nilainya di bawah 14%. Secara statistik kadar ekstender tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air kayu lapis damar (Tabel 3). Kerapatan kayu lapis damar yang dibuat berkisar antara 0,47 g/cm3 hingga 0,49 g/cm3 dengan rata-rata 0,48 g/cm3 (Tabel 2). Nilai kerapatan sebagian kayu lapis damar hasil penelitian ini sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan berat jenis kayu damar (0,48 g/cm3), disebabkan adanya lapisan perekat dan terjadinya pemadatan pada saat pengempaan venir dibuat kayu lapis. SNI tidak mensyaratkan besarnya 48
kerapatan untuk kayu lapis. Makin tinggi kadar ekstender pada masing-masing bahan, semakin tinggi kerapatan. Akan tetapi secara statistik tidak ada pengaruh nyata kadar ekstender terhadap kerapatan kayu lapis damar (Tabel 3). Keteguhan rekat kayu lapis damar yang dibuat berkisar antara 10,61 g/cm3 hingga 12,91 g/cm2 2 dengan rata-rata 11,77 g/cm (Tabel 2). Dengan demikian keteguhan rekat kayu lapis damar tersebut semuanya memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia karena nilainya lebih dari 7 kg/cm2. Hasil sidik ragam pada Tabel 3 menunjukkan kadar ekstender berpengaruh sangat nyata terhadap keteguhan rekat kayu lapis damar. Hasil uji beda lebih lanjut menunjukkan terdapat perbedaan sangat nyata nilai keteguhan rekat kayu lapis damar antar masing-masing kadar
Pengaruh Kadar Ekstender Tepung Biji Alpukat Terhadap Mutu Kayu Lapis Damar (Agathis alba Foxw.) (M. I. Iskandar & Achmad Supriadi)
Tabel 4. Uji beda terhadap rata-rata keteguhan rekat kayu lapis pada tiga variasi kadar ekstender Table 4. Difference test on the means of plywood's bonding strength of three extender contents variation No 1
Parameter mutu (Quality parameter) Keteguhan rekat (Bonding strength), kg/cm2
Perbandingan nilai rata-rata (Comparison between means) P1 12,91 c
P2 11,79 b
P3 10,61 a
Keterangan (Remarks): P = Kadar ekstender (Extende rcontent); P1 = 10%; P2 = 20%; dan P3 = 30% bahan tepung biji alpukat. Huruf yang tidak sama, berbeda nyata (Different letter is significant difference)
Tabel 5. Hubungan antara kadar ekstender (X, %) dengan keteguhan rekat kayu lapis (Y, kg/cm2) Table 5. Relation between of extender content (X, %) and bonding strength (Y, kg/cm2) of the plywood Uraian (Description) Hubungan (Relationship) F hitung (F calculation) R2 (Koefisien determinasi/Determination coefficient) S (Simpangan baku/Standard deviation)
ekstender. Makin banyak penambahan ekstender pada ramuan perekat, keteguhan rekat kayu lapis semakin menurun (Tabel 4). Hal ini terjadi karena makin tingginya kadar ekstender dalam campuran perekat, maka makin sedikit jumlah Urea Formaldehida per satuan luas permukaan venir. Hasil ini serupa dengan hasil penelitian Santoso dan Sutigno (2004) yang meneliti tentang Pengaruh tepung gaplek dan dekstrin sebagai ekstender perekat Urea Formaldehida terhadap keteguhan rekat kayu lapis kapur, Santoso et al. (2010) yang meneliti Pengaruh kadar ekstender dan waktu kempa terhadap sifat fisis mekanis LBV dengan perekat Phenol Formaldehida, Sari, Rosidah, dan Rahman (2008) yang meneliti tentang penggunaan tepung buah nipah (Nyfa fruticans Wurmb) sebagai ekstender pada perekat Urea Formaldehid untuk papan partikel, Siruru (2006) tentang Pengaruh ekstender dan bahan pengisi perekat tentang Pengaruh tepung gaplek dan dekstrin sebagai ekstender perekat Urea Formaldehida terhadap keteguhan rekat kayu lapis kapur terhadap delaminasi papan blok. Kayu lapis damar yang memiliki nilai keteguhan rekat terbaik adalah dengan ekstender kadar 10%. Untuk mengetahui hubungan antara kadar ekstender dengan keteguhan rekat kayu lapis
Nilai (Value) Y = 14,07 – 0,11 X 374,52 0,97 0,168075
damar, dilakukan sidik regresi (Tabel 4). Hasilnya adalah Y = 14,07 – 0,11 X (Tabel 5). Hubungan tersebut berupa regresi linier. Nilai koefisien regresi bertanda negatif. Hal ini berarti makin tinggi kadar ekstender, keteguhan rekat kayu lapis makin rendah dan sebaliknya. Nilai F 374,52 menunjukkan bahwa kadar ekstender berpengaruh sangat nyata terhadap keteguhan rekat kayu lapis, R2 sebesar 0,97 menunjukkan bahwa variabel kadar ekstender dapat menjelaskan variabel keteguhan rekat sebesar 97%. Hubungan regresi pada penelitian ini serupa dengan hasil penelitian Santoso dan Sutigno (2004) tentang Pengaruh tepung gaplek dan dekstrin sebagai ekstender perekat Urea Formaldehida terhadap keteguhan rekat kayu lapis kapur, dan Wahyuningsih (1985) tentang pengaruh campuran sagu dan bungkil biji karet sebagai ekstender urea formaldehida terhadap keteguhan rekat kayu lapis meranti merah. IV. KESIMPULAN Kayu lapis damar yang dibuat memiliki ratarata kadar air 7,46 %, kerapatan 0,48 gr/cm3 dan keteguhan rekat 11,77 gr/cm2 . Kadar air dan 49
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 45-50
keteguhan rekat kayu lapis yang dibuat semuanya memenuhi Standar Nasional Indonesia. Kadar ekstender berpengaruh sangat nyata terhadap keteguhan rekat kayu lapis. Makin tinggi kadar ekstender, semakin menurun keteguhan rekat kayu lapis damar. Hubungan antara kadar ekstender dengan keteguhan rekat berupa regresi linier yang dinyatakan sebagai Y = 14,07 – 0,11 X. Kayu lapis damar dengan kadar ekstender 10 % memiliki nilai keteguhan rekat terbaik. DAFTAR PUSTAKA Standard Nasional Indonesia (SNI). (2002). (SNI 01-5008.2-2000). Kayu lapis penggunaan umum. Badan Standardisasi Nasional. Hendradi, T.C. (2006). Statistik six sigma dengan Minitab. Panduan cerdas inisiatif kualitas. Yogyakarta: Andi Offset. Santoso, A., Hadi, Y.S., & Juliati, R. (2010). Pengaruh kadar ekstender dan waktu
50
kempa terhadap sifat fisis mekanis LBV dengan perekat phenol formaldehida. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 28(4), 380-393. Santoso, A. & Sutigno, P. (2004). Pengaruh tepung gaplek dan dekstrin sebagai ekstender perekat Urea Formaldehida terhadap keteguhan rekat kayu lapis kapur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 22(2), 61-68. Sari, M.N., Rosidah & Rahman, Y.M. (2008). Jurnal Ilmu Kehutanan, 2(1), 48-54. Siruru, H. (2006). Pengaruh ekstender dan bahan pengisi perekat Urea Formaldehida terhadap delaminasi papan blok. Jurnal Agroforestri, 1(3), 19-25. Sudjana, (2004). Desain dan analisis eksperimen. Bandung: Tarsito. Wahyuningsih, E. (1985). Pengaruh campuran sagu dan bungkil biji karet sebagai ekstender Urea Formaldehida terhadap keteguhan rekat kayu lapis meranti merah. (Skripsi Sarjana). Fahutan IPB, Bogor.
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 51-59 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
KETAHANAN 45 JENIS KAYU INDONESIA TERHADAP RAYAP KAYU KERING DAN RAYAP TANAH (The Resistance of 45 Indonesian Wood Species Against Dry-Wood Termites and Subterranean Termites) Mohammad Muslich & Sri Rulliaty Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Jl. Gunung Batu No. 5. Bogor Telp/Fax (0251) 8633378-8633413 E-mail :
[email protected] Diterima 20 Mei 2015, Direvisi 11 Oktober 2015, Disetujui 11 September 2015
ABSTRACT Natural durability of forty five wood species collected from several forest regions in Indonesia was tested against drywood termites (Cryptotermes cynocephalus Light.) and subterranean termites (Coptotermes curvignathus Holmgreen). Natural durability tests against dry-wood termites and subterranean termites were conducted based on Indonesian standard SNI 7207:2014. Results show that six wood species are classified as very durable wood (class I), eleven wood species are durable (class II), and 28 species belong to the low durability classes (class III, IV and V) against dry wood termites (C. cynocephalus Light.). Similar tests against substeranean termites (C. curvignathus Holmgreen) reveal that seven wood species are classified into highly resistant (durable class I), 14 wood species are resistant (durable class II), and the remaining 24 wood species belong to durability class of III, IV, and V. The testing results indicate that wood with high natural durability against dry wood termites is not necessarily resistant to subterranean termites and vice versa. Keywords: Resistance, 45 Indonesian wood species, dry-wood termites, subterranean termites ABSTRAK Empat puluh lima jenis kayu yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia diuji sifat ketahanan alaminya terhadap rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Light.) dan rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgreen). Pengujian ketahanan terhadap rayap tanah dan rayap kayu kering dilakukan sesuai dengan metode SNI 7207:2014. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 45 jenis kayu yang dipelajari, enam jenis dari 45 jenis kayu yang diteliti tergolong sangat tahan (kelas awet I), 11 jenis tahan (kelas awet II) dan sisanya 28 jenis masuk ke dalam kelas awet rendah (III, IV dan V) terhadap C. cynocephalus Light. Hasil pengujian ketahanan terhadap C. curvignathus Holmgreen menunjukkan tujuh jenis tergolong sangat tahan (kelas awet I), 14 jenis tahan (kelas awet II), dan sisanya 24 jenis masuk ke dalam kelas awet rendah (III, IV dan V). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa jenis kayu yang tahan terhadap rayap kayu kering belum tentu tahan terhadap rayap tanah, dan sebaliknya. Kata kunci: Ketahanan, 45 jenis kayu Indonesia, rayap kayu kering, rayap tanah I. PENDAHULUAN Di Indonesia terdapat kurang lebih 4.000 jenis kayu (Martawijaya, Kartasujana, Kadir, & Prawira, 2004), dan Oey (1990) mengatakan hanya sekitar 15-20% jenis kayu yang tahan terhadap organisme
per usak. Tingkat ketahanan jenis kayu dikelompokkan dalam lima kelas awet yaitu: sangat tahan (kelas I), tahan (kelas II), sedang (kelas III), tidak tahan (kelas IV) dan sangat tidak tahan (kelas V) terhadap serangan jamur, rayap dan bubuk kayu kering (Oey, 1990). Klasifikasi 51
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 51-59
inilah yang sampai sekarang masih digunakan sebagai pegangan untuk memperkirakan ketahanan alami kayu terhadap organisme perusak. Padahal klasifikasi tersebut bukan berdasarkan pada hasil penelitian, melainkan hanya berdasarkan pada informasi yang tertera pada herbarium hasil pengamatan di lapangan atau hasil wawancara dengan penduduk di sekitar tempat pohon tersebut tumbuh yang dicocokkan dengan data dari berbagai sumber penelitian lain (Martawijaya et al., 2014). Masyarakat dalam memilih kayu untuk keperluan tertentu, seperti jati, resak, keruing, balau kamper, medang, meranti, mahoni dan sebagainya hanya berdasarkan pengalaman atau kebiasaan yang diperoleh secara turun-temurun. Pengetahuan mengenai sifat kayu dan kemungkinan pemanfaatannya belum banyak diketahui, sehingga kurang berminat untuk mencari jenis kayu yang lain. Jenis-jenis kayu yang biasa dipakai masyarakat seperti resak, keruing dan balau dewasa ini makin terbatas dan tidak seimbang dengan kebutuhan yang makin meningkat. Untuk memenuhi keperluan tersebut, harus dicari penggantinya baik dengan kayu yang berasal dari hutan alam atau yang ditanam oleh masyarakat. Rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Light.) dan rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgreen) merupakan organisme perusak kayu yang banyak ditemukan di Indonesia. Rayap kayu kering merusak kayu yang tidak berhubungan dengan tanah, sedangkan rayap tanah merusak kayu yang berhubungan dengan tanah (Oey, 1990). Kedua jenis rayap tersebut tidak hanya merusak bahan bangunan, akan tetapi juga merusak pintu, jendela, mebel, dan barang kerajinan. Sehubungan dengan hal tersebut, pengetahuan mengenai ketahanan kayu terhadap kedua organisme perusak tersebut sangat diperlukan. Hal ini akan membantu dalam memilih jenis kayu yang sesuai dengan peruntukannya. Beberapa penelitian pengujian organisme perusak secara laboratories yang telah dilakukan diantaranya Martawijaya dan Sumarni (1978) menguji dan mengklasifikasikan ketahanan 90 jenis kayu Indonesia terhadap rayap kayu kering. Pengujian 28 jenis kayu terhadap rayap subteran secara laboratories juga telah dilakukan oleh Supriana (1983). Sumarni dan Muslich (2008) telah melakukan penelitian ketahanan 25 jenis 52
kayu andalan setempat terhadap rayap kayu kering dan rayap tanah, dilanjutkan penelitian Muslich dan Rulliaty (2011) mengenai kelas awet 15 jenis kayu andalan setempat terhadap rayap kayu kering, rayap tanah dan penggerek kayu di laut. Selain di laboratorium, ketahanan kayu terhadap organism perusak juga dilakukan secara semi laboratories maupun di lapangan. Untuk penelitian pengujian ketahanan terhadap organism perusak secara semi laboratories telah dilakukan oleh Martawijaya et al. (1973) yaitu ketahanan 56 jenis kayu terhadap rayap kayu kering. Untuk penelitian di lapangan berupa percobaan uji kuburan (graveyard test) juga telah dilakukan olen Martawijaya (1988) terhadap 31 jenis kayu yang termasuk dalam 13 kelompok dalam suku Dipterocarpaceae. Pengujian di lapangan juga telah dilakukan oleh Sumarni dan Muslich (2004), terhadap 52 jenis kayu Indonesia, dan Muslich dan Rulliaty (2013) terhadap 50 jenis kayu dengan uji kuburan. Hasil yang diperoleh dari penelitian secara laboratories, semi laboratories dan uji kuburan pada jenis kayu yang sama mempunyai tingkat ketahanan yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan perbedaan mendasar pada metode pengujian yang dipakai, secara laboratories dilakukan dengan cara memaksa organisme tertentu untuk menyerang kayu yang diuji dengan kondisi laboratorium yang terkontrol. Pengujian di lapangan beberapa parameter lingkungan tidak terkontrol sehingga beberapa jenis organisme berbeda secara bebas menyerang kayu yang diuji. Masing-masing dari metode pengujian yang dilakukan mempunyai kelebihan dan kekurangan, namun masing-masing dapat dipakai sebagai penentu kelas awet dan perlu tidaknya kayu tersebut harus diawetkan untuk keperluan tertentu. Tulisan ini menyajikan ketahanan 45 jenis kayu Indonesia terhadap rayap kayu kering dan rayap tanah. Pengujian dilakukan dalam skala laboratorium menurut standar pengujian SNI 7207:2014. II. BAHAN DAN METODE Bahan yang digunakan berupa 45 jenis kayu yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia yaitu Jawa Barat (21 jenis), Kalimantan Timur (10 jenis, Papua (8 jenis), dan Nusa Tenggara (6 jenis)
Ketahanan 45 Jenis Kayu Indonesia Terhadap Rayap Kayu Kering dan Rayap Tanah (Mohammad Muslich & Sri Rulliaty)
Tabel 1. Empat puluh lima jenis kayu Indonesia yang diteliti Table 1. Forty five Indonesian wood species studied No.
Tahun Koleksi (Year collectiaon)
No. Koleksi (Collection number)
Nama daerah (Local name)
Nama botanis (Botanical name)
Suku (Family)
Asal kayu (Origins of wood)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45.
2009 2009 2009 2010 2010 2010 2010 2010 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2012 2012 2012 2012 2012 2012 2012 2012 2012 2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013 2014 2014 2014 2014 2014 2014 2014 2014 2014 2014 2014
34352 34353 34354 34355 34356 34359 34360 34361 34362 34363 34364 34365 34369 34370 34371 34372 34373 34374 34381 34382 34383 34384 34385 34386 34387 34388 34389 34396 34397 34398 34399 34400 34401 34402 34403 34404 34405 34406 34409 34410 34411 34412
Pendan Meranti kuning Balau Keruing Keruing Keruing Resak Meranti Pangsor Jering Petai Manii Balsa Eboni Litsea Beunying Ki cauk Huru manuk Ki renghas Ki bonen Ki hampelas Kabesak Timo Binong Jaranan Ki bugang Sempur lilin Cangcaratan Ki pasang Ki langir Palam Memina Wagha Wala Bungbulang Hamirung Jaha Ki acret Pasang taritih Pendan belah Parashorea Kandis Kriwek Injuwatu Mayela
Parashorea malaanonan (Blanco) Merr. Shorea mojongensis P.S. Aston Shorea superba Symington Dipterocarpus pachyphyllus Meijer Dipterocarpus stellatus Vesque Dipterocarpus. glabrigemmatus P.S. Aston Vatica nitens King Shorea hopeifolia Symington Ficus callosa Willd. Pithecellobium rosulatum Kosterm. Parkia speciosa Hassk Maesopsis eminii Engl. Ochroma grandiflora Rowlee Diospyros pilosanthera Blanco Litsea ledermanii Tesch. Ficus fistulosa Reinw. Pisonia umbellifera (Forst) Seem. Litsea monopetala Pers. Buchanania arborescens Blume Crypteronia paniculata Blume. Ficus ampelas Burm f. Acacia leucophloea Willd. Timonius sericeus Tetrameles nudiflora R. Br. Rhus taitensis Guillemin. Arthrophyllum diversifolium Bl. Dillenia obovata Hoogl. Lithocarpus sundaicus Bl. Prunus javanica Miq. Othophora spectabilis Bl. Haplolobus sp. Pimeleodendron amboinicum Hassk. Archidendron jiringa Jack Nelson Planchonia valida Blume Premna tomentosa Willd Vernonia arborea Ham. Terminalia arborea K. et V.) Spathodea campanulata Beauv. Lithocarpus elegans Blume Parashorea tomentella (Sym.) Meijer Parashorea smythiesii Wyatt. Pentaphalangium parviflorum Mastixiodendron pachyclados Melch. Pleiogynium timoriense Artocarpus glaucus Bl.
Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Moraceae Mimosaceae Mimosaceae Rhamnaceae Bombacaceae Ebenaceae Lauraceae Moraceae Nyctaginaceae Lauraceae, Anacardiaceae Crypteroniaceae Moraceae Mimosaceae Rubiaceae Datiscaceae Anacardiaceae Araliaceae Dilleniaceae Fagaceae Rosaceae, Sapindaceae Burseraceae Euphorbiaceae Fagaceae Lecythidaceae Verbenaceae Compositae Combretaceae Bignoneaceae, Fagaceae. Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Guttiferae Rubiaceae Anacardiaceae Moraceae
Kalimantan Timur Kalimantan Timur Kalimantan Timur Kalimantan Timur Kalimantan Timur Kalimantan Timur Kalimantan Timur Kalimantan Timur Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Papua Papua Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat NTB NTB Papua Papua Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Papua Papua NTB NTB Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Kalimantan Timur Kalimantan Timur Papua Papua NTB NTB
yang disajikan dalam Tabel 1. Untuk mengetahui berat jenis masing-masing jenis kayu dilakukan dengan membandingkan berat dan volume kayu dalam keadaan kering udara dengan kadar air sekitar 15%. Masing-masing contoh uji diambil dari bagian batas teras dan gubal dipilih secara acak,
sedangkan cara pengujiannya sebagai berikut: A. Daya Tahan Terhadap Rayap Kayu Kering Contoh uji kayu yang digunakan sebanyak 10 kali ulangan dengan ukuran 5 cm x 2,5 cm x 2,5 cm. Pada salah satu sisi yang terlebar dipasang 53
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 51-59
tabung gelas yang berdiameter 1,8 cm dengan tinggi 3,5 cm. Ke dalam tabung gelas dimasukkan 50 ekor kasta pekerja rayap kayu kering yang sehat dan aktif, Tabung gelas yang sudah berisi rayap selanjutnya disimpan di tempat yang gelap selama 12 minggu SNI 7207:2014 (BSN, 2014). Pada akhir pengujian ditetapkan persentase mortalitas rayap pada masing-masing contoh uji dan ditetapkan juga derajat serangannya dengan menggunakan skala sebagai berikut: 0 = utuh (tidak diserang) 40 = sedikit 70 = sedang 90 = hebat 100 = hebat sekali dengan catatan bahwa bekas gigitan tipis pada permukaan kayu (surface nibbles) tidak dianggap sebagai serangan nyata (Martawijaya & Sumarni, 1978). Daya tahan kayu terhadap rayap kayu kering ditetapkan berdasarkan persentase rayap yang hidup pada akhir pengujian. Kelas daya tahan terhadap rayap kayu kering ini ditetapkan juga berdasarkan penurunan berat kayu dalam %. Di samping itu dapat juga dilakukan klasifikasi berdasarkan derajat serangannya menurut standar SNI 7207-2014 (BSN, 2014). B. Daya Tahan Terhadap Rayap Tanah Contoh uji sebanyak 10 kali ulangan, berukuran 2,5 cm x 0,5 cm x 0,5 dimasukkan ke dalam jampot dengan cara berdiri pada dasar jampot dan disandarkan sedemikian rupa sehingga salah satu bidang terlebar contoh uji tersebut menyentuh dinding jampot. Ke dalam jampot dimasukkan pasir sebanyak 200 g yang mempunyai kadar air 7% di bawah kapasitas menahan air (water holding capacity). Selanjutnya ke dalam setiap jampot dimasukkan 200 ekor rayap yang sehat dan aktif terdiri dari 90% pekerja, kemudian jampot yang sudah berisi rayap disimpan ditempat gelap selama 4 minggu. Setiap minggu aktivitas rayap di dalam jampot diamati dan dicatat serta masing-masing jampot ditimbang. Jika kadar air pasir turun 2% atau lebih, maka ke dalam jampot tersebut ditambahkan air secukupnya sehingga kadar air kembali seperti semula SNI 7207:2014 (BSN, 2014). Pada akhir pengujian ditetapkan persentase mortalitas rayap pada masing-masing contoh uji dan ditetapkan juga derajat serangannya dengan 54
menggunakan skala seperti pada daya tahan terhadap rayap kayu kering. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengujian terhadap rayap kayu kering (C. cynochephallus Light.) dan rayap tanah (C. curvignathus Holmgreen) dapat dilihat pada Tabel 2. Sebagai pembanding dicantumkan pula kelas awet menurut Oey (1990). Data lengkap hasil pengujian pengurangan berat, jumlah rayap yang hidup dan derajat serangan sebagai dasar penetapan kelas awet dapat dilihat pada Lampiran 1. Tabel 2 menunjukkan bahwa dari 45 jenis kayu yang diuji, ada 6 jenis (13,3%) yang tergolong sangat tahan terhadap rayap kayu kering atau masuk dalam kelas awet I, 11 jenis (24%) tahan atau kelas awet II dan sisanya 28 jenis (62,2%) tidak tahan atau masuk kelas awet III, IV, dan V. Jenis kayu yang masuk dalam kelas awet I dan II, bila pemakaiannya tidak berhubungan dengan tanah tidak perlu diawetkan, sedangkan untuk jenis kayu yang masuk kelas III, IV, dan V, meskipun penggunaannya pada tempat yang tidak berhubungan dengan tanah tetap perlu diawetkan. Terhadap rayap tanah, ada 7 jenis (15,5%) yang tergolong sangat tahan atau masuk dalam kelas awet I, 14 jenis (31,1%) tahan atau kelas awet II, dan sisanya 24 jenis (53,3%) termasuk tidak tahan atau kelas III, IV, dan V. Jenis-jenis kayu yang masuk kelas awet I dan II, meskipun digunakan pada tempat yang berhubungan dengan tanah tidak perlu diawetkan, sedangkan jenis kayu yang masuk kelas III, IV, dan V dalam penggunaannya di tempat yang berhubungan dengan tanah harus diawetkan. Jenis-jenis kayu yang tergolong tahan terhadap rayap kayu kering dan rayap tanah terdiri dari keruing (D. pachyphyllus, D. stellatus, dan D. glabrigemmatus), resak (Vatica nitens), huru manuk (Litsea monopetala), kabesak (Acacia leucophloea), memina (Pimeleodendron amboinicum), wagha (Archidendron jiringa), kandis (Pentaphalangium parviflorum), kriwek (Mastixiodendron pachyclados), injuwatu (Pleiogynium timoriense), dan mayela (Artocarpus glaucus). Kayu-kayu tersebut cocok digunakan pada tempat yang berhubungan maupun tempat yang tidak berhubungan dengan tanah. Eboni (Diospyros pilosanthera), juga termasuk jenis kayu yang sangat tahan terhadap kedua
Ketahanan 45 Jenis Kayu Indonesia Terhadap Rayap Kayu Kering dan Rayap Tanah (Mohammad Muslich & Sri Rulliaty)
Tabel 2. Ketahanan alami 45 jenis kayu Indonesia terhadap rayap kayu kering dan rayap tanah Table 2. Natural durability of 45 Indonesian wood species against dry-wood termites and subterranean termites No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45.
Jenis kayu (Wood species) Pendan (Parashorea malaanonan (Blanco) Merr.) Meranti kuning (Shorea mojongensis P.S. Aston) Balau (Shorea superba Symington) Keruing (Dipterocarpus pachyphyllus Meijer) Keruing (Dipterocarpus stellatus Vesque ) Keruing (Dipterocarpus glabrigemmatus P.S. Aston) Resak (Vatica nitens King) Meranti (Shorea hopeifolia Symington) Pangsor (Ficus callosa Willd.) Jering (Pithecellobium rosulatum Kosterm.) Petai (Parkia speciosa Hassk) Manii (Maesopsis eminii Engl.) Balsa (Ochroma grandiflora Rowlee) Eboni (Diospyros pilosanthera Blanco) Litsea (Litsea ledermanii Tesch.) Beunying (Ficus fistulosa Reinw.) Ki cauk (Pisonia umbellifera (Forst) Seem.) Huru manuk (Litsea monopetala Pers.) Ki renghas (Buchanania arborescens Blume) Ki bonen (Crypteronia paniculata Blume.) Ki hampelas (Ficus ampelas Burm f.) Kabesak (Acacia leucophloea Willd.) Timo (Timoneus sericeus) Binong (Tetrameles nudiflora R. Br.) Jaranan (Rhus taitensis Guillemin) Ki bugang (Arthrophyllum diversifolium Bl.) Sempur lilin (Dillenia obovata Hoogl.) Cangcaratan (Lithocarpus sundaicus Bl.) Ki pasang (Prunus javanica Miq.) Ki langir (Othophora spectabilis Bl.) Palam (Haplolobus sp.) Memina (Pimeleodendron amboinicum Hassk.) Wagha (Archidendron jiringa Jack Nelson) Wala (Planchonia valida Blume ) Bungbulang (Premna tomentosa Willd.) Hamirung (Vernonia arborea Ham.) Jaha (Terminalia arborea K. et V.) Ki acret (Spathodea campanulata Beauv.) Pasang taritih (Lithocarpus elegans Blume) Pendan belah (Parashorea tomentella (Sym.) Meijer) Parashorea (Parashorea smythiesii Wyatt.) Kandis (Pentaphalangium parviflorum) Kriwek (Mastixiodendron pachyclados Melch.) Injuwatu (Pleiogynium timoriense) Mayela (Artocarpus glaucus Bl.)
organisme perusak tersebut, namun dalam penggunaannya lebih diutamakan untuk vinir indah dan mewah. Untuk ki cauk (Pisonia umbellifera), meskipun kayu tersebut tahan
Berat Jenis (Specific gravity)
Kelas kuat (Strength class)
0,46 0,43 0,76 0,77 0,77 0.80 0,81 0,60 0,33 0,75 0,45 0,42 0,20 0,85 0,50 0,47 0,38 0,54 0,58 0,54 0,45 0,73 0,68 0,25 0,64 0,48 0,64 0,63 0,70 0.67 0,63 0,48 0,73 0,80 0,59 0,38 0,41 0,27 0.70 0,66 0,50 0,68 0,74 0,75 0,72
III III II II II II II III IV II III III V II III III IV III III III III II II V II III II II II II II III II II III IV III V II II III II II II II
Kelas awet (Durability class) Cryptoter Coptotermes Oey (1990) mes V V IV V V IV III II III-II I I III I I III I I III I I II-III V V IV-III V V V V V III-II V V V V V IV IV V V I I II-III V V IV V V V II II V II II III/IV II IV IV-V III II IV III III V II II III II III IV V III V III II V III II V III II III III II III IV III III IV V III III/IV II I V II II III II II-III IV III III-IV III IV V III III III III IV V II III III III IV III II II II II III II II III I I I-II
terhadap kedua organisme perusak, akan tetapi bila telah kering akan mengalami penyusutan yang luar biasa sehingga tidak baik digunakan untuk keperluan apapun. 55
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 51-59
Tabel 2 juga menunjukkan bahwa jenis kayu yang tahan terhadap serangan rayap kayu kering belum tentu tahan terhadap rayap tanah, dan demikian juga sebaliknya. Kayu balau (Shorea superba), ki bonen (Crypteronia paniculata), jaranan ( Rhus taitensis ) , k i bugang ( Arth r ophyllum diversifolium), sempur lilin (Dillenia obovata), cangcaratan (Lithocarpus sundaicus), dan wala (Planchonia valida) tahan terhadap rayap tanah akan tetapi tidak tahan terhadap rayap kayu kering. Sebaliknya ki renghas (Buchanania arborescens), timo (Timonius sericeus), dan pasang taritih (Lithocarpus elegans) tahan terhadap rayap kayu kering tetapi tidak tahan terhadap rayap tanah. Hasil yang diperoleh juga menunjukkan bahwa kayu-kayu dengan kelas awet I dan II cenderung mempunyai berat jenis yang tinggi. Kayu keruing (Dipterocarpus glabrigemmatus), BJ 0,80 dan resak (Vatica nitens), BJ 0,81 sangat tahan terhadap rayap kayu kering maupun rayap tanah, sedangkan pendan (Parashorea malaanonan), BJ 0,46, meranti kuning (Shorea mojongensis), BJ 0,43, pangsor (Ficus callosa), BJ 0,33, manii (Maesopsis eminii), BJ 0,42 sangat tidak tahan terhadap rayap kayu kering maupun rayap tanah. Pernyataan tersebut sebenarnya kurang tepat, karena hubungan berat jenis dengan keawetan kayu tidak berlaku umum atau kurang nyata. Kayu mayela (Artocarpus glaucus) dengan berat jenis 0,72 ternyata lebih tahan terhadap rayap kayu kering dan rayap tanah bila dibandingkan dengan kayu kriwek (Mastixiodendron pachyclados), injuwatu (Pleiogynium timoriense), balau (Shorea superba), dan wala (Planchonia valida) yang mempuyai nilai berat jenis yang lebih tinggi. Lebih-lebih pada kayu ki cauk (Pisonia umbellifera) yang mempunyai berat jenis relatif kecil 0,38, ternyata tahan terhadap rayap kayu kering dan rayap tanah (kelas awet II). D e mi k ia n j ug a de n g a n k ay u m e m i na (Pimeleodendron amboinicum) yang sangat tahan (kelas I) terhadap rayap kayu kering dan tahan (kelas II) terhadap rayap tanah, padahal berat jenisnya hanya 0,48. Menurut Oey (1990), hubungan antara berat jenis dan keawetan kayu hanya terbatas pada jenis dalam satu genus saja. Variasi keawetan dalam suku yang sama dapat disebabkan adanya perbedaan banyaknya zat ekstraktif dan perbedaan dalam kerapatan kayu. Sampai
56
seberapa jauh hubungan dengan kenaikan zat ekstraktif belum diketahui dengan pasti. Jenis kayu yang mempunyai kerapatan tiggi dan memiliki banyak zat ekstraktif yang bersifat racun akan lebih tahan. Muslich dan Sumarni (2006), mengatakan bahwa species yang berat jenisnya tinggi dan masih dalam satu genus, akan mempunyai kelas awet yang lebih tinggi atau sama. Sebagai contoh pada penelitian ini adalah Shorea superba (0,76) yang lebih tahan daripada S. hopeifolia (0,60) dan S. mojongensis (0,43). S. superba termasuk kelas awet III terhadap rayap kayu kering dan kelas awet II terhadap rayap tanah, sedangkan S. hopeifolia dan S. mojongensis termasuk kelas awet V terhadap rayap kayu kering maupun terhadap rayap tanah. Jenis-jenis kayu tersebut masih dalam satu famili maupun satu genus. Backer (1975) membuktikan bahwa ternyata yang lebih berpengaruh terhadap keawetan kayu adalah zat ekstraktifnya. Apabila ada dua pilihan jenis kayu, maka organisme perusak akan cenderung memilih kayu yang lebih lunak. Tabel 2 disamping menunjukkan perbedaan ketahanan kayu terhadap rayap kayu kering dan rayap tanah, juga memperlihatkan adanya perbedaan kelas awet yang disusun oleh Oey (1990). Pada rayap kayu kering ada 23 kelas awet yang berbeda, sedangkan pada rayap tanah juga 23 kelas awet yang berbeda dengan jenis kayu yang berbeda. Perbedaan kelas awet tersebut, dapat dimaklumi karena kelas awet kayu yang disajikan dalam tulisan ini didasarkan atas hasil pengujian pada kondisi laboratorium, sedangkan klasifikasi kelas awet kayu yang disusun Oey (1990) berupa metode pencatatan data yang tercantum pada label herbarium pada waktu pengumpulan jenis kayu yang bersangkutan. Catatan tersebut dibuat berdasarkan keterangan penduduk sekitar hutan tempat pohon tersebut tumbuh yang kemudian dicocokkan dengan data dari berbagai sumber. Kelas awet yang ditetapkan oleh Oey (1990) tidak didasarkan pada hasil pengujian di laboratorium. Sehubungan dengan hal tersebut, tentunya dapat dimaklumi bila ada perbedaan hasil di antara keduanya. Dengan demikian, hasil yang diperoleh dalam menyusun klasifikasi ketahanan kayu selain tergantung pada organisme yang menyerang, juga tergantung pada metode yang dipakai.
Ketahanan 45 Jenis Kayu Indonesia Terhadap Rayap Kayu Kering dan Rayap Tanah (Mohammad Muslich & Sri Rulliaty)
IV. KESIMPULAN Jenis-jenis kayu yang termasuk tahan terhadap rayap kayu kering dan rayap tanah terdiri dari keruing (D. pachyphyllus, D. stellatus, dan D. glabrigemmatus), resak (V. nitens), huru manuk (L. monopetala), kabesak (A. leucophloea), memina (P. amboinicum), wagha (A. jiringa ), kandis (P. parviflorum), kriwek (M. pachyclados), injuwatu (P. timoriense), dan mayela (A. glaucus). Jenis-jenis kayu yang tahan terhadap rayap kayu kering belum tentu tahan terhadap rayap tanah, dan sebaliknya jenis-jenis kayu yang tahan terhadap rayap tanah belum tentu tahan terhadap rayap kayu kering. Hubungan berat jenis dengan keawetan kayu tidak berlaku umum atau kurang nyata, hanya terbatas pada jenis dalam satu genus. DAFTAR PUSTAKA Becker, G. (1975). Termites and fungi. International Symposium (November 12-13), Berlin Dahlem. Organismen Und Holz. Martawijaya, A., (1988). Pengaruh umur pohon terhadap keawetan kayu jati (Tectona grandis L.f.). Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Laporan No. 6. Martawijaya, A., Kadir, K., & Kartasujana, I, (1973). Note on the resistance of several wood species againts dry wood termites Cryptotermes specs. Forest Products Research Insitute, Research Note No. 1. Martawijaya, A., Kartasujana, I., Kadir, K., & Prawira, S.A. (2014). Atlas kayu Indonesia Jilid IV. Bogor: Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan.
Martawijaya, A., & Sumarni, G. (1978). Resistance of a number of Indonesian wood species againts Cr yptotermes cynocephalus Light. Laporan No. 129, Bogor. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Muslich, M., & Rulliaty, S. (2013). Keawetan lima puluh jenis kayu terhadap uji kuburan dan uji di laut. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 31 (4), 250-257. Muslich, M , & Sumarni, G. (2006). Keawetan 25 jenis kayu Dipterocarpaceae terhadap penggerek di laut. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 24(3), 191-200. Muslich, M., & Rulliaty, S. (2011). Kelas awet 15 jenis kayu andalan setempat terhadap rayap kayu kering, rayap tanah dan penggerek di laut. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 29(1), 6777. Oey, D. S. (1990). Berat jenis dari jenis-jenis kayu Indonesia dan Pengertian beratnya kayu untuk keperluan praktek. Pengumuman No. 3. Bogor: Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Panshin, A.J., & de Zeeuw, C. (1980). Textbook of wood technology. (14th ed). Mc Graw-Hill Book Co. pp. 351-402. Standar Nasional Indonesia (SNI). (2014). Uji ketahanan kayu terhadap organisme perusak kayu. (SNI 7207-2014). Badan Standardisasi Nasional. Sumarni, G., & Muslich, M. (2008). Kelas awet 25 jenis kayu andalan setempat Jawa Barat dan Jawa Timur terhadap penggerek kayu di laut. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 26(1), 7080. Sumarni, G., & Muslich, M. (2004). Keawetan 52 jenis kayu Indonesia. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 22 (1), 1-8.
57
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 51-59
58
Ketahanan 45 Jenis Kayu Indonesia Terhadap Rayap Kayu Kering dan Rayap Tanah (Mohammad Muslich & Sri Rulliaty)
59
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 61-76 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
KARAKTERISTIK BIO-OIL DARI LIMBAH INDUSTRI HASIL HUTAN MENGGUNAKAN PIROLISIS CEPAT (Characteristics of Bio-oil Made of Forest Products Waste by Fast Pyrolysis Process) Santiyo Wibowo Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor Tlp. (0251) 8633378, Fax. (0251) 8633413 E-mail :
[email protected] Diterima 3 Februari 2015, Direvisi 25 Februari 2015, Disetujui 3 Agustus 2015
ABSTRACT Petroleum consumption is increasing, while the supply is continuously depleted. Currently, the alternative biofuel such as bioethanol, biodiesel and bio-oil have been developing from various natural sources, including forest product's waste. This paper studies the characteristic of bio-oil made of wastes from forest industries by fast pyrolysis process. Mahogany wood powder, bark and paper sludge were heated in the temperatures of 400oC, 450oC, 500oC, and 550oC to produce bio-oil. Results show that bio-oil can be produced from all three materials studied. Mahogany wood powder which was heated at 550oC produces the highest liquid yield of 25%, yields of bio-oil is 5 %, phenol 3.66%, pH 2.98, specific gravity 1.092 g/cm3, heating value 9,28 MJ/kg. The fast pyrolysis process produces bio-oil which is predominantly composed of acetic acid and phenols. Keywords: Alternative fuel, bio-oil, waste, fast pyrolysis ABSTRAK Konsumsi minyak bumi semakin meningkat, sementara cadangannya semakin menurun. Saat ini, biofuel alternatif seperti bioetanol, biodiesel dan bio-minyak telah berkembang dari berbagai sumber alami, termasuk limbah hasil hutan. Tulisan ini mempelajari karakteristik bio-oil yang terbuat dari limbah dari industri kehutanan dengan proses pirolisis cepat. Serbuk kayu mahoni, kulit kayu mahoni dan sludge kertas dipanaskan pada suhu 400oC, 450oC, 500oC, dan 550oC untuk menghasilkan bio-oil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bio-oil dapat diproduksi dari ketiga bahan tersebut. Serbuk kayu mahoni yang dipanaskan pada 550oC menghasilkan rendemen liquid tertinggi sebesar 25%, rendemen bio-oil sebesar 5%, fenol 3,66%, pH 2,98, berat jenis 1,092 g/cm3, nilai kalor 9,28 MJ/kg. Proses pirolisis cepat menghasilkan bio-oil yang sebagian besar didominasi oleh asam asetat dan fenol. Kata kunci: Bahan bakar alternatif, bio-oil, limbah, pirolisis cepat I. PENDAHULUAN Kebutuhan bahan bakar minyak Indonesia dari tahun ke tahun terus naik, pada tahun 1995 : 15,84 juta kilo liter, tahun 2000 : 21,39 juta kilo litter, tahun 2005 : 27,05 juta kilo liter, pada tahun
2011 sebesar 39,23 juta kiloliter (Outlook Energy Indonesia, 2011) dan pada tahun 2012 sebesar 45 juta kililiter (Solopos, 2014). Diperkirakan pada tahun 2020 mendatang, Indonesia akan menjadi negara importir bahan bakar minyak (BBM) secara besar-besaran, (Reksowardoyo,
61
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 61-76
2005). Dari kilang minyak lama, Indonesia pada waktu ini masih mampu memproduksi BBM sebesar 8,7 triliun kubik per hari dan akan terus menurun produksinya. Kekurangan suplai bahan bakar ditutupi oleh kebijakan impor minyak yang akan mengurangi devisa negara. Selain itu terdapat kenaikan harga minyak mentah yang pada tahun 2009 adalah US$ 90, akan naik secara linier menjadi US$ 200 pada tahun 2030 (Indonesia Energy Outlook, 2011). Hal ini akan semakin memberatkan APBN apabila tidak segera diatasi. Permasalahan pemakaian BBM minyak bumi adalah karena sifatnya yang tidak dapat dipulihkan (non renewable), oleh karena itu perlu disubstitusi oleh bahan bakar yang dapat dipulihkan antara lain yang berasal dari tanaman pertanian atau kehutanan. Salah satunya adalah bio-oil atau dikenal juga sebagai pyrolysis oil atau biocrude, yang terbuat dari berbagai bahan berligno selulosa melalui teknologi pirolisis yaitu teknologi degradasi termal pembuatan arang (karbonisasi), tanpa udara (oksigen) dalam proses pembuatannya, dan berlangsung pada suhu 400-700oC. Proses pirolisis bio-oil dapat dilakukan dengan cara lambat (slow pyrolysis), cepat (fast pyrolysis), dan sangat cepat (flash pyrolysis) menggunakan fix bed reactor, circulating, bubbling fluidized bed reactor, ablatif pyrolisis dan free fall reactor (Senzos, 2003; Onay & Kockar, 2003; Luo, Wang, & Cen, 2005; Mohan, Pittman & Steele, 2006; Ucar & Karagoz, 2009; Ellens & Brown, 2012). Bio-oil merupakan senyawa oksigenat organik yang berbeda-beda dan tidak seperti bahan bakar minyak bumi pada umumnya. Hal ini karena tingginya kadar air, sekitar 15-20% yang berfungsi juga sebagai pengikat ratusan molekul yang berbeda yang disebut sebagai emulsi mikro. Crude bio-oil dapat digunakan sebagai pemanas rumah tangga atau boiler untuk pengeringan dan dapat di up grade menjadi bahan bakar yang mempunyai nilai kalor yang lebih tinggi dan dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan dalam industri kimia (oleo-kimia), seperti petroleum fuel (Sudradjat & Hendra, 2011). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi pembuatan bio-oil dari limbah industri kehutanan menggunakan teknik pirolisis cepat dengan alat free fall reactor dan karakteristik bio-oil yang dihasilkan. 62
II. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk kayu mahoni, kulit kayu mahoni, dan sludge kertas. Bahan kimia yang digunakan antara lain metanol, etanol, asam klorida, air suling, asam asetat, natrium tio sulfat, kalium yodida, natrium hidroksida, dan kalium hidroksida. Peralatan yang digunakan antara lain mesin pembuat serbuk kayu, saringan, reaktor pirolisis bio-oil free fall pyrolisis, penampung larutan bio-oil, penampung partikulat, alat distilasi, pengaduk (stirer), desikator, pH meter, piknometer, erlenmeyer asah, neraca, dan oven. B. Prosedur Penelitian 1. Persiapan bahan Bahan baku kayu dan kulit mahoni diambil dari Ciamis dan sludge kertas diambil di Bandung Jawa Barat, selanjutnya dikeringkan menggunakan oven pada suhu 80oC sampai kering. Selanjutnya serbuk gergaji diseragamkan ukurannya yaitu antara 60 – 80 mesh dengan kadar air 11%. 2. Pembuatan bio-oil a. Penelitian pendahuluan untuk mengetahui nilai rendemen Reaktor dipanaskan sampai mencapai suhu sesuai perlakuan 400oC, 450oC, 500oC, dan 550oC. Setelah suhu tercapai selanjutnya serbuk kayu dengan ukuran 60-80 mesh dan 80-100 mesh, dimasukkan ke dalam reaktor. Cairan yang keluar dihitung rendemennya. b. Penelitian utama Hasil optimum ukuran yang terbaik dari penelitian pendahuluan dilanjutkan yaitu dengan 3 jenis limbah biomassa; serbuk kayu mahoni, sludge kertas dan kulit kayu mahoni dan 4 level suhu; 400oC, 450oC, 500oC, dan 550oC. c. Pemurnian bio-oil Bio-oil yang ada dalam penampungan masih kotor, oleh karena itu masih harus dimurnikan dengan menggunakan kertas saringan. 3. Pengujian Pengujian dilakukan terhadap sifat fisiko-kimia yaitu : rendemen (arang SNI 01-1682-1996, cairan atau liquid bio-oil, dan gas), berat jenis, pH (SNI
Karakteristik Bio-oil dari Limbah Industri Hasil Hutan Menggunakan Pirolisis Cepat (Santiyo Wibowo)
06-2413-1991), kadar fenol (SNI 06-2469-1991), nilai kalor (calorimeter bomb), daya nyala (Wibowo, 2013) dan sifat kimia menggunakan GCMS. C. Analisis Data Analisis data pada penelitian pendahuluan dilakukan secara deskriptif dan tabulasi. Perlakuan yang dilakukan dalam penelitian utama terdiri dari 2 faktor yaitu : Faktor jenis bahan baku (A) dengan 3 jenis bahan baku; serbuk mahoni (A1), kulit kayu mahony (A2) dan sludge (A3), dan faktor suhu pirolisis (B) dengan 4 level yaitu 400oC (B1), 450oC (B2), 500oC (B3), dan 550oC (B4). Pengujian statistik menggunakan rancangan percobaan acak lengkap faktorial, 2 kali ulangan. Jumlah total kombinasi perlakuan adalah 3 x 4 x 2 = 24 (Sudjana, 1980). Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut: Yijk = +i + j + ()ij + ijk Yijk = Hasil pengamatan untuk faktor A level ke-i, faktor B level ke-j, pada ulangan kek = Rataan umum i = Pengaruh faktor A pada level ke-i j = Pengaruh faktor B pada level ke-j ()ij = Interaksi antara A dan B pada faktor A level ke-i, faktor B level ke-j
ijk
= Galat percobaan untuk faktor A level kei, faktor B level ke-j pada ulangan/ kelompok ke-k Jika hasil analisis sidik ragam menunjukkan perbedaan nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan (Sudjana 1980).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui pengaruh ukuran serbuk terhadap rendemen liquid yang dihasilkan. Penelitian dilakukan pada serbuk gergaji dengan ukuran 6080 dan 80-100 mesh dengan suhu 400, 450 500oC dan 550oC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa serbuk gergaji dengan ukuran lolos ayakan 60 mempunyai rendemen lebih tinggi dibandingkan serbuk gergaji dengan ukuran lolos ayakan 80. Pada serbuk dengan ukuran yang lebih halus (lolos ayakan 80 tertahan di 100 mesh), terjadi penggumpalan pada saat keluar dari screw feeder menuju reaktor pemanas, yang menyebabkan serbuk tidak terbakar sempurna. Sedangkan pada ukuran 60 mesh, terbakar dengan baik dan serbuk tidak menggumpal. Bahan baku yang masuk ke dalam reaktor pirolisis akan langsung terbakar dan menghasilkan gas dan asap yang mengandung uap
30 28 26 24 22 20
60 mesh
18
80 mesh
16 14 12 10 400
450
500
550
Suhu (Temperature), OC
Gambar 1. Rendemen cairan yang dihasilkan pada suhu 400-550 oC pada ukuran serbuk 60 dan 80 mesh Figure 1. The yield of liquid produced at temperatures 400-550°C in 60 and 80 mesh 63
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 61-76
air. Hal ini diduga pada ukuran serbuk yang lebih halus (80 mesh), asap yang dihasilkan akan kontak dengan bahan baku yang masuk berikutnya yang menyebabkan serbuk terionisasi sehingga bermuatan negatif (-) dan serbuk dapat menempel pada dinding atas reaktor yang bermuatan positif (+), karena adanya listrik pemanas di dinding reaktor. Banyaknya serbuk halus yang menempel dapat menyebabkan screw feeder tersumbat. Hal ini dibuktikan dengan adanya asap yang keluar melalui screw feeder. Sedangkan pada ukuran serbuk 60 mesh, meskipun ada kontak dengan asap yang dihasilkan, akan tetapi karena serbuk berukuran lebih besar sehingga akan lebih ditarik oleh gaya grafitasi menuju wadah penampung arang.
Sehingga pada penelitian selanjutnya digunakan perlakuan dengan ukuran serbuk lolos ayakan 60. B. Penelitian Utama 1. Rendemen Rendemen produk pirolisis serbuk kayu mahoni, serbuk kulit mahoni dan serbuk sludge pada temperatur 400oC, 450oC dan 500oC dan 550oC menggunakan free fall pyrolisis dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 2 dan 3. Dari hasil analisis diketahui bahwa rendemen arang yang dihasilkan berkisar antara 32,67-53,67% dengan rendemen terbesar diperoleh dari sampel sludge kertas pada perlakuan suhu 400oC dan terkecil diperoleh dari sampel serbuk kayu mahoni pada
Tabel 1. Rendemen produk pirolisis cepat serbuk mahoni, kulit kayu mahoni dan sludge Table 1. Fast Pyrolysis yield of mahogany wood powder, mahogany bark powder and sludge Produk (Product) % Arang (Charcoal)
Cair (Liquid)
Bio-oil (Bio-oil)
Gas (Gas)
64
Sampel (Sample)
Suhu (Temperature), oC 400
450
500
550
Serbuk kayu mahoni (Mahogany wood powder) Kulit kayu mahoni (Mahogany bark powder) Sludge (Sludge)
40,33
36,33
34,67
32,67
42
37,33
36
34
53,67
52,83
51,33
50,67
Serbuk kayu mahoni (Mahogany wood powder) Kulit kayu mahoni (Mahogany bark powder) Sludge (Sludge)
18,68
20,67
23,34
25
10,3
13,07
14,34
16,1
4,6
5,27
6
7,33
Serbuk kayu mahoni (Mahogany wood powder) Kulit kayu mahoni (Mahogany bark powder) Sludge (Sludge)
1,23
1,67
3,7
5
0,93
1,41
2
2,67
0,27
0,37
0,5
0,72
Serbuk kayu mahoni (Mahogany wood powder) Kulit kayu mahoni (Mahogany bark powder) Sludge (Sludge)
41
43
42
42,33
47,8
49,6
49,67
49,9
42
42,67
41,9
41,83
Karakteristik Bio-oil dari Limbah Industri Hasil Hutan Menggunakan Pirolisis Cepat (Santiyo Wibowo)
perlakuan suhu 550oC. Tingginya rendemen arang sludge kertas dapat disebabkan oleh karakteristik bahan sludge yang sudah bercampur dengan lumpur kaolin sebagai bagian dari proses pengolahan kertas. Rendemen gas berkisar antara 41 - 49,9% dengan rendemen terbesar diperoleh pada dari sampel kulit kayu mahoni pada perlakuan suhu 550oC dan terkecil diperoleh dari sampel serbuk kayu mahoni pada perlakuan suhu 400oC. Tinggi rendahnya asap dapat disebabkan oleh perbedaan kandungan kimia dari jenis bahan baku yang digunakan.
Liquid atau cairan hasil pirolisis merupakan gabungan antara produk cair (terdiri dari asam pyrolignic atau cuka kayu) dan fase minyak (tar kayu atau pyrolitic oil) (Sensoz, 2003). Liquid yang dihasilkan berkisar antara 4,6 - 25% dengan rendemen terbesar diperoleh dari serbuk kayu mahoni pada perlakuan suhu 550oC yaitu sebesar 25% dan yang terkecil dihasilkan dari sampel sludge pada suhu 400oC. Rendahnya rendemen cairan sludge diduga disebabkan karakteristik bahan sludge kertas yang sudah melalui proses pengolahan dan penambahan bahan lain seperti
50 45 40 35 30
arang (char)
25
cairan (liquid
20
gas (gas)
15
biooil (biooil)
10 5 0 400
450
500
550 o
Suhu (Temperature), C
Gambar 2. Rendemen produk pirolisis serbuk kayu mahoni Figure 2. Pyrolysis products yield of mahogany wood powder 60 50 40 arang (char) cairan (liquid
30
gas (gas) 20
biooil (biooil)
10 0 400
450
500
550
Suhu (Temperature), oC
Gambar 3. Rendemen produk pirolisis kulit kayu mahoni Figure 3. Pyrolysis products yield of mahogany bark powder 65
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 61-76
60 50 40
arang (char) cairan (liquid
30
gas (gas) 20
biooil (biooil)
10 0 400
450
500
550
Suhu (Temperature), oC
Gambar 4. Rendemen produk pirolisis sludge kertas Figure 4. Pyrolysis products yield of paper sludge kaolin dan zat kimia lainnya sehingga kandungan kimia sludge berkurang. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa faktor suhu dan jenis bahan baku berpengaruh nyata terhadap rendemen biooil. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tidak semua perlakuan berbeda nyata, terdapat perlakuan yang tidak berbeda nyata (Lampiran 2 dan 3). Pada bahan baku kayu mahoni semua perlakuan suhu memberikan hasil berbeda nyata dengan bahan lainnya. Pada kulit kayu mahoni, antara suhu 450oC dan 500oC tidak berbeda nyata tetapi berbeda nyata dengan suhu lainnya. Hal ini
diduga karena karakteristik kulit kayu mahoni yang berbeda dengan bahan lainnya. Sedangkan sludge kertas pada suhu 400oC, 450oC dan 500oC tidak berbeda nyata, hal ini dapat disebabkan oleh karakteristik sludge kertas yang sudah melalui proses pengolahan kimia dan penambahan kaolin sehingga kandungan selulosa dan lignin sudah berkurang. Menurut Mohan, Pittman, dan Steele, (2006) dan Ucar dan Karagoz (2009), rendemen bio-oil tergantung dari jenis bahan baku yang digunakan, kandungan kimia dalam bahan baku, dan peralatan pirolisis serta suhu yang digunakan.
4 3.5 3 3.5
Serbuk kayu (Wood powder) Kulit kayu (Bark powder) Sludge kertas (Paper sludge )
2 1.5 1 0.5 0 400
450 500 Suhu (Temperature),O C
550
Gambar 5. Kadar fenol bio-oil serbuk kayu, kulit kayu mahoni dan sludge kertas suhu 400 – 550oC Figure 5. Bio-oil phenol content of mahogany wood and bar powder, and paper sludge in 400 – 550oC 66
Karakteristik Bio-oil dari Limbah Industri Hasil Hutan Menggunakan Pirolisis Cepat (Santiyo Wibowo)
2. Kadar Fenol Tabel 2 menunjukkan bahwa kadar fenol biooil terendah diperoleh pada sampel sludge kertas dengan suhu 400oC yaitu 2,89% dan kadar fenol tertinggi diperoleh pada sampel serbuk kayu dengan suhu 5 5 0 o C . Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa suhu dan jenis bahan baku berpengaruh nyata terhadap kadar fenol. Sementara itu uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tidak semua perlakuan berbeda nyata, terdapat perlakuan yang tidak berbeda nyata (Lampiran 2 dan 3). Ada kecenderungan bahwa semakin tinggi suhu pirolisis kadar fenol semakin
bertambah besar. Hal ini disebabkan dengan suhu tinggi, kestabilan lignin terurai atau terpecah dari bahan baku dan bercampur dengan cairan hasil pirolisis. Menurut Girard (1992) kandungan fenol dalam cairan hasil pirolisis dipengaruhi oleh kandungan lignin bahan dan suhu pirolisis. Lignin pada dasarnya adalah suatu fenol yang sangat stabil dan sukar dipisahkan dan mempunyai bentuk yang bermacam-macam, sehingga baru akan terurai pada suhu tinggi seperti pada proses pirolisis suhu 300-500oC (Djatmiko, Ketaren, & Setyahartini, 1985; Maga, 1987; Haygreen & Bowyer, 1996).
Tabel 2. Karakteristik bio-oil serbuk kayu dan kulit kayu mahoni dan sludge kertas Table 2. Bio-oil characteristics of mahogany wood and bark powder and paper sludge Parameter (Parameters)
Sampel (Sample)
Fenol (Phenol) %
Serbuk kayu mahoni (Mahogany wood powder) Kulit kayu mahoni (Mahogany bark powder) Sludge (Sludge)
pH
Bj g/cm3
Nilai kalor (Calorific value) MJ/kg
Daya nyala (Flame power)
Suhu (Temperature), oC 400 3,58
450 3,59
500 3,62
550 3,66
3,61
3,63
3,65
3,68
2,97
3,01
3,03
3,06
Serbuk kayu mahoni (Mahogany wood powder) Kulit kayu mahoni (Mahogany bark powder) Sludge (Sludge)
3,22
3,17
3,13
2,98
3,25
3.24
3,21
3,19
3,37
3,35
3,34
3,31
Serbuk kayu mahoni (Mahogany wood powder) Kulit kayu mahoni (Mahogany bark powder) Sludge (Sludge)
1,091
1,091
1,092
1,092
1,089
1,087
1,088
1,088
1,086
1,086
1,087
1,089
Serbuk kayu mahoni Mahogany wood powder) Kulit kayu mahoni (Mahogany bark powder) Sludge (Sludge)
ttd*
ttd
8,97
9,28
ttd
ttd
ttd
ttd
ttd
ttd
ttd
ttd
Serbuk kayu mahoni Mahogany wood powder) Kulit kayu mahoni (Mahogany bark powder)
Lambat (Slow)
Sludge (Sludge)
Tidak menyala (Not flame) Tidak menyala (Not flame)
Lambat (Slow)
Lambat (Slow)
Sedang (Medium flame)
Lambat (Slow)
Lambat (Slow)
Lambat (Slow)
Lambat (Slow)
Lambat (Slow)
Lambat (Slow)
*ttd : tidak terdeteksi (undetected)
67
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 61-76
3. pH Bio-oil Tabel 2 dan Gambar 6 menunjukkan pH biooil serbuk gergaji mahoni, kulit mahoni dan sludge yang berkisar antara 2,98-3,37. pH terendah terapat pada suhu 550oC dengan sampel serbuk kayu mahoni yaitu sebesar 2,98 dan pH tertinggi diperoleh pada sampel sludge kertas pada suhu 400oC yaitu sebesar 3,37. Derajat keasaman bio-oil disebabkan adanya kandungan asam organik yang dihasilkan dalam proses pirolisis. Hasil GCMS (Lampiran 1) menunjukkan adanya asam asetat, asam formic dan asam propanoik. Bio-oil yang dihasilkan dari serbuk kayu lebih asam dibandingkan cairan dari sludge kertas. Hal ini diduga karena perbedaan karakteristik bahan baku, serbuk kayu dan kulit kayu belum mengalami proses pengolahan secara kimia jika dibandingkan dengan sludge kertas yang sudah mengalami proses pengolahan secara kimiawi. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa suhu dan bahan baku serta interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap pH bio-oil. Sementara itu hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tidak semua perlakuan berbeda nyata terdapat perlakuan yang tidak berbeda nyata (Lampiran 2 dan 3). Keasaman bio-oil yang cukup tinggi yaitu antara 2,5 sampai 3,0 (Easterly, 2002), mensyaratkan
penanganan penyimpanan bio-oil menggunakan bahan yang tahan karat, seperti stainless steel, gelas kaca, plastik, dan fiberglass. 4. Bobot Jenis Density atau bobot jenis bio-oil yang diperoleh dari sampel serbuk kayu, kulit kayu mahoni dan sludge kertas pada suhu 400-550oC berkisar antara 1,086-1,092 g/cm3 (Tabel 2). Berdasarkan analisis sidik ragam menunjukkan bahwa faktor suhu dan bahan baku serta interaksi keduanya berpengaruh nyata (Lampiran 2). Sementara itu hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa pada bahan sludge kertas suhu 400oC tidak berbeda nyata dengan suhu 450 dan 500oC tapi berbeda nyata dengan suhu 550oC. Hal ini diduga disebabkan rentang suhu 50-100oC belum berpengaruh terhadap dihasilkannya senyawa dengan berat molekul tinggi, sehingg bobot jenis bio-oil pada rentang suhu 400-500oC relatif sama. Secara umum hasil ini lebih rendah dari penelitian Sensoz (2003) yang menghasilkan density bio-oil kulit kayu Pinus brutia Ten sebesar 1,2 g/cm3. Ini menunjukkan bahwa bio-oil yang dihasilkan menggunakan free fall pyrolisis pada suhu 400550oC, belum banyak menghasilkan fraksi dengan berat molekul tinggi, yang ditunjukkan dengan rendahnya kadar bio-oil yang dihasilkan (Tabel 1).
3.4 3.3 3.2 3.1 Serbuk kayu (Wood powder) Kulit kayu (Bark powder) Sludge kertas (Paper sludge )
3 2.9 2.8 2.7 400
450
500
550
Suhu (Temperature), OC
Gambar 6. pH bio-oil serbuk kayu, kulit kayu mahoni dan sludge kertas suhu 400 – 550oC Figure 6. Bio-oil pH content of mahogany wood and bark powder, and paper sludge in 400 – 550oC
68
Karakteristik Bio-oil dari Limbah Industri Hasil Hutan Menggunakan Pirolisis Cepat (Santiyo Wibowo)
1.093 1.092 1.091 1.09 1.089 Serbuk kayu (Wood powder) Kulit kayu (Bark powder) Sludge kertas (Paper sludge)
1.088 1.087 1.086 1.085 1.084 1.083 400
450
500
550
Suhu (Temperature), OC
Gambar 7. Bobot jenis bio-oil serbuk kayu, kulit kayu mahoni dan sludge kertas suhu 400 – 550 oC. Figure 7. Bio-oil density of mahogany wood and bar powder, and paper sludge in 400 – 550oC 5. Nilai kalor Nilai kalor pembakaran menunjukkan energi kalor yang dikandung dalam tiap satuan massa bahan bakar. Tabel 2 menunjukkan hanya nilai kalor bio-oil dari serbuk kayu mahoni pada perlakuan 500oC dan 550oC yang dapat dideteksi alat calorimeter bomb yaitu 8,97 dan 9,28 MJ/kg, sedangkan perlakuan 400 dan 450oC serta sampel kulit kayu dan sludge kertas tidak terdeteksi nilai kalornya. Hal ini diduga disebabkan oleh rendahnya kadar bio-oil yang dihasilkan dan tingginya kadar air (komponen cuka kayu) di dalam sampel. Hasil penelitian bio-oil sengon dengan proses pirolisis lambat menghasilkan nilai kalor 22,42 MJ/kg (Wibowo, 2013). Sedangkan penelitian Onay dan Kockar (2006) dalam pembuatan bio-oil dari biji rapeseed menghasilkan bio-oil dengan nilai kalor sebesar 37,9 MJ/kg. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan bahan baku dan model alat pirolisis yang digunakan. 6. Daya nyala Pengujian daya nyala dilakukan untuk mengetahui kemampuan bio-oil untuk menyala bila diberi sumber api. Daya nyala bio-oil serbuk kayu mahoni, kulit kayu dan sludge menggunakan free fall pyrolisis dapat dilihat pada Tabel 2. Terdapat sampel yang tidak dapat menyala yaitu sampel kulit kayu dan sludge pada suhu 400oC. Hal ini diduga disebabkan oleh rendahnya kadar bio-
oil dan tingginya kandungan air (cuka kayu) yang terdapat di dalam sampel bio-oil tersebut. Selain itu pada suhu lebih rendah kandungan bahan mudah terbakar lebih rendah dibandingkan biooil yang dihasilkan pada suhu tinggi. Sampel biooil serbuk kayu mahoni suhu 550oC mempunyai kemampuan menyala sedang, sedangkan sampel lainnya termasuk dalam katagori lambat. Kemampuan nyala bio-oil serbuk kayu mahoni, kulit kayu dan sludge kertas masih di bawah kemampuan nyala bio-oil serbuk kayu sengon hasil pirolisis lambat 350-500oC yang semuanya dapat menyala meskipun hanya dalam nyala katagori lambat-sedang (Wibowo, 2013). Hal ini dapat terjadi karena perbedaan bahan baku dan peralatan pyrolisis yang digunakan. 7. Hasil GCMS Komponen kimia bio-oil serbuk kayu mahoni menggunakan proses free fall pyrolysis pada suhu 550oC terdapat 38 komponen, yang didominasi oleh asam asetat, golongan phenol, golongan 1hydroxy 2-Propanone, furfural dan benzene. Komponen kimia bio-oil kulit kayu mahoni pada suhu 550oC terdapat 35 komponen, yang juga didominasi oleh asam asetat, golongan phenol, golongan 1-hydroxy 2-Propanone, furfural dan benzene. Komponen kimia bio-oil sludge kertas menggunakan proses free fall pyrolysis pada suhu 550oC terdapat 34 komponen, yang didominasi 69
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 61-76
oleh asam asetat, 1-hydroxy 2-Propanone, phenol, dan benzene. Dari hasil analisis GCMS (Lampiran 1) dapat dilihat bahwa bio-oil yang dihasilkan dari serbuk kayu, kulit kayu mahoni dan sludge kertas pada suhu 550oC menggunakan proses free fall pyrolysis masih banyak mengandung komponen asap cair seperti asam asetat, propionat dan komponen fenol. Ini tidak berbeda dengan bio-oil yang dihasilkan dari serbuk kayu sengon (Wibowo, 2013). Asam asetat berperan penting dalam produksi etanol di mana dua pertiga energi di dalam etanol berasal dari asam asetat, dan sepertiganya berasal dari penambahan hidrogen (Kanellos, 2009). Fenolatau fenil alkohol (C6H5OH) merupakan zat padat berbentuk kristal yang tidak berwarna dan mudah terlarut baik di dalam air. Fenol memiliki sifat yang cenderung asam, artinya ia dapat melepaskan ion H+ dari gugus hidroksilnya. Dibandingkan dengan alkohol alifatik lainnya, fenol bersifat lebih asam. Terdapat komponen yang termasuk bahan bakar mudah terbakar yaitu 1-hydroxy 2propanone atau aseton, benzene, dan turunan furfural yaitu 1dan 2- furfuril alkohol. Aseton adalah senyawa berbentuk cairan yang tidak berwarna, mudah menguap, mudah terbakar dan mudah larut dalam pelarut polar, mempunyai rumus molekul C3H6O, titik didih 56oC. Aseton digunakan untuk membuat plastik, serat, obat-obatan, dan senyawa-senyawa kimia lainnya. Benzena merupakan senyawa kimia organik berupa cairan tidak berwarna dan mudah terbakar
a
b
serta merupakan salah satu jenis hidrokarbon aromatik siklik dengan rumus kimia C6H6 yang memiliki 6 atom karbon yang membentuk cincin, dengan 1 atom hidrogen berikatan pada setiap 1 atom karbon. Benzena adalah salah satu komponen dalam minyak bumi, dan merupakan salah satu bahan petrokimia yang paling dasar serta pelarut yang penting dalam dunia industri. Benzena mempunyai bilangan oktan yang tinggi, sehingga benzena digunakan juga sebagai salah satu campuran penting pada bensin. Pemanfaatan benzena lainnya adalah sebagai bahan dasar dalam produksi obat-obatan, plastik, bensin, karet buatan, dan pewarna. Terdapat juga turunan furfural yaitu furfuryl alkohol (C5H6O2) yang termasuk bahan mudah terbakar dan telah digunakan sebagai bahan bakar roket. Furfural merupakan zat cair tak berwarna yang termasuk senyawa organik dari golongan furan. Furfural dimanfaatkan dalam industri antara lain pengolahan minyak, pembuatan nilon, pembuatan resin, farmasi,dan lain-lain. Furfural dapat dihasilkan dari limbah pertanian maupun perkebunan seperti tongkol jagung, kulit gandum, sekam padi,ampas tebu, tandan kosong kelapa sawit dengan proses hidrolisis dan destilasi uap menggunakan bantuan asam atau enzim sebagai katalis. Selanjutnya terdapat 2- butanone (C4H8O) yang merupakan cairan tidak berwarna, berbau seperti aseton, mempunyai titik didih 80oC dan sangat mudah terbakar (Fessenden & Fessenden, 1992; Riswiyanto, 2009; Ardiana & Mitarlis, 2012; Pubchem, 2009).
c
d
Gambar 8. Aseton (a), benzena (b), butanone (c), furfuril alkohol (d) Figure 8. Acetone (a), benzene (b), butanone (c), Furfuryl alcohol (d)
70
Karakteristik Bio-oil dari Limbah Industri Hasil Hutan Menggunakan Pirolisis Cepat (Santiyo Wibowo)
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Pembuatan bio-oil dari serbuk kayu, kulit kayu dan sludge menggunakan teknik pirolisis free fall pyrolisis dengan suhu 400–550oC, diperoleh rendemen bio-oil berkisar antara 1–5%, kadar fenol 2,97–3,68%, pH 2,98– 3,37, berat jenis 1,086–1,092 g/cm3, nilai kalor 8,97- 9,28 MJ/kg (hanya sampel serbuk kayu pada suhu 500 dan 550oC), dan daya nyala termasuk dalam katagori tidak terbakar sampai katagori sedang. Bio-oil yang dihasilkan didominasi oleh asam-asam terutama asam asetat, dan fenol serta terdapat beberapa komponen zat yang mudah terbakar yaitu aseton, benzene, dan furfuril alkohol. Perlakuan yang menghasilkan bio-oil tertinggi adalah suhu 550oC dengan bahan baku serbuk kayu mahoni yang mempunyai karakteristik; rendemen liquid 25%, rendemen bio-oil sebesar 5%, kadar fenol 3,66%, pH 2,98, bobot jenis 1,092 g/cm3, nilai kalor 9,28 MJ/kg dan daya nyala lambat. B. SARAN Bio-oil dari limbah biomasa merupakan sumber energi terbarukan yang cukup prospektif sebagai salah satu upaya memanfaatkan limbah industri kehutanan dan pertanian. Meskipun demikian, perlu pemilihan teknik pengolahan yang tepat untuk menghasilkan karakteristik biooil yang memenuhi persyaratan yang ditentukan. Untuk pirolisis free fall reactor disarankan ukuran bahan baku di bawah 80 mesh dan suhu 550oC. Disarankan perlu penelitian lanjutan pembuatan bio-oil dengan memperbaiki kinerja atau memodifikasi alat pirolisis free fall pyrolisis tipe 1, untuk meningkatkan rendemen dan mutu bio-oil yang dihasilkan. DAFTAR PUSTAKA Ardiana, R., & Mitarlis. (2012). Pemanfaatan kulit buah siwalan (Borassus flabellifer L.) sebagai bahan dasar pembuatan furfural. UNESA Journal of C hemistr y , 1 (2) , September 2012.
Brown, R.C. & Holmgren, J. (2012). Fast Pyrolisis and bio-oil upgrading. http://www.ascensionpublishing.com/BIZ/HD50.pdf, diakses 27 Februari 2012. Djatmiko, B., Ketaren, S., & Setyahartini, S. (1985). Pengolahan arang dan kegunaan-nya. Bogor: Agro Industri Press. Easterly J.L. (2002). Assessment of bio-oil as a replacement for heating oil. CONEG Policy Research Center, Inc. Ellens, C.J., & Brown, R.C. (2012). Optimization of a free-fall reactor for the production of fast pyrolysis bio-oil. Bioresources Technology, 103, 374-380. Fessenden, R.J., & Fessenden, J.S. (1992). Kimia organik, Terjemahan oleh Aloysius Hadyana Pudjaatmaka, (Edisi Kedua ). Jakarta: Penerbit Erlangga. Girard, J.P. & Morton, I. (1992). Smoking. Dalam Girard J.P. & I. Morton (Eds). Teknologi of meat and meat products. New York: Ellis Horwood Limited. Hambali, E., Mujdalifah, S., Tambunan, A.H., Pattiwiri, A.W., & Hendroko, R. (2007). Teknologi bioenergi. Jakarta: Agro Media Pustaka. Haygreen, J.G. & Bowyer, J.L. (1996). Hasil hutan dan ilmu k ayu S uatu pe ng a ntar. Hadikusomo S.A., (Penerjemah); Yogyakarta. Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Forest product and wood science, an introduction. Kanellos M. (2009). Fuel from vinegar? Zeachem Gets $34M to Try it Out. http://www. greentechmedia.com/articles/read/fuelfrom-vinegar-zeachem-gets-34m-to-try-itout-5472/, diakses tanggal 3 Desember 2012. Krause, R. (2001). Bio and alternative fuels for mobility. Enhancing biodiesel development and use. Proceedings of the International Biodiesel Workshop, Tiara Convention Center, Medan. 24 Oktober 2001. Ditjen Perkebunan, Departemen Pertanian. Jakarta.
71
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 61-76
Luo, Z., Wang, S. & Cen, K. (2005). A model of wood flash pyrolysis in fluidized bed reactor. Renewable Energy, 30, 377-392.
Standari Nasional Indonesia (SNI). (1996). Arang tempurung kelapa. (SNI 01-1682-1996). Badan Standarisasi Nasional.
Mohan, D., Pittman, Jr., C.U. & Steele, P.H. (2006). Pyrolysis of wood/biomass for biooil: A critical review. Energy and Fuels, 20, 848-889.
Standar Nasional Indonesia (SNI). (1991). Metode pengujian kadar padatan dalam air. (SNI 062413-1991). Badan Standarisasi Nasional.
Onay, O. & Kockar, O.M. (2006). Pyrolysis of rapeseed in a free fall reactor for production of bio-oil. Fuel, 85, 1921–1928. Outlook Energy Indonesia. (2011). Energi masa depan di sektor transportasi dan kelistrikan. Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya dan Energi. Jakarta: BPPT-Press. Pubchem. (2009). 2-butanone. http://pubchem.ncbi. nlm.nih.gov/compound/2-Butanone, diakses 10 Januari 2015. Reksowardoyo, R. P. (2005, November). Melaju kendaraan berkat biji-bijian. Trubus, XXXVI/November 2005 Riswiyanto. (2009). Kimia organik . Jakarta: Erlangga. Samiarso, L. (2001). Indonesian policy on renewable energy development Enhancing biodiesel development and use. Proceedings of the International Biodiesel Workshop, Tiara Convention Center, Medan. 24 Oktober 2001. Jakarta: Ditjen Perkebunan, Departemen Pertanian. Sensoz, S. (2003). Slow pyrolisis of wood bark from Pinus bruti Ten. end product compositions. Jurnal Bioresource Technology, 89, 307-311.
72
Standar Nasional Indoensia (BSN). (1991). Metode pengujian kadar fenol. (SNI 06-24691991). Badan Standarisasi Nasional. Solopos. (2014). Konsumsi BBM. http://www. solopos.com/2013/01/06/konsumsibbm-kebutuhan-terus-meningkat-imporminyak-indonesia-2013-bakalmembengkak -365108, diakses tanggal 30 April 2014. Sudjana. (1980). Disain dan analisis eksperimen. Bandung: Tarsito. Sudradjat, R., & Hendra, D. (2011). Teknologi pengolahan bahan bakar nabati berbasis selulosa dan hemiselulosa (bio-oil). Laporan Hasil Penelitian. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Wibowo, S. (2013). Karakteristik bio-oil serbuk gergaji sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) menggunakan proses pirolisis lambat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 31, 4, 258-270. Ucar, S., & Karagoz, S. (2009). The slow pyrolysis of pomegranate seeds: The effect of temperature on the product yields and biooil properties. Jurnal Analytical Applied Pyrolysis, 84, 151–156.
Karakteristik Bio-oil dari Limbah Industri Hasil Hutan Menggunakan Pirolisis Cepat (Santiyo Wibowo)
73
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 61-76
74
Karakteristik Bio-oil dari Limbah Industri Hasil Hutan Menggunakan Pirolisis Cepat (Santiyo Wibowo)
Lampiran 2. Analisis sidik ragam sifat fisiko-kimia bio-oil Appendix 2 : Analysis of variance of bio-oil No. 1.
2.
3.
4.
Sumber (Source) Rendemen (Yield), % - Suhu (Temperature) - Bahan baku (Material) - Suhu x Bahan baku (Temperature vs Material)
Jumlah kuadrat (Sum of squares)
Kuadrat tengah (Mean square)
F-hitung (F-calculated)
14,528 23,817 7,727
4,843 11,908 1,288
107,446 264,213 28,572
Kadar fenol (Fenol value), % - Suhu (Temperature) - Bahan baku (Material) - Suhu x Bahan baku (Temperature vs Material)
0,022 1,975 0.001
0,007 0,987 0,738
30,188 4139,428 0,629
Kadar pH (pH value), - Suhu (Temperature) - Bahan baku (Material) - Suhu x Bahan baku (Temperature vs Material)
0,048 0,194 0,024
0,016 0,097 0,004
55,435 337,406 13,812
Bobot jenis (Density) - Suhu (Temperature) - Bahan baku (Material) - Suhu x Bahan baku (Temperature vs Material)
9,353E-6 7,152E-5 8,034E-6
3,118E-6 3,576E-5 1,339E-6
3,105 35,613 1,333
75
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 61-76
76
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 77-88 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
FAKTOR KONVERSI LIMBAH PEMANENAN KAYU HUTAN TANAMAN DAN RENDEMEN PENGOLAHAN SERPIH KAYU (Wood Waste Conversion Factors on Forest Plantations Harvesting and Chips Yield Processing) Soenarno & Wesman Endom Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor Tlp. (0251) 8633378, Fax. (0251) 8633413 E-mail :
[email protected] Diterima 28 April 2015, Direvisi 6 Agustus 2015, Disetujui 8 Oktober 2015
ABSTRACT Timber harvesting in forest plantations of PT Korintiga Hutani was undertaken using lenght limitation of 4.10 m and minimum diameter of 10 cm. These limitations have created numerous trunk wastes in the field. Harvesting efficiency improvcement is being considered by converting the wastes into wood chips. However, the company has to pay a provision of forest resources to the goverment for each volumetric unit (m3) of the converting wood wastes. This paper examines conversion factors for estimating conversion values from staple meter (Sm) or weight (ton) into m3 of akasia (Acacia mangium), ekaliptus (Eucalyptus pellita) and waru (Hibiscus similis). Results show that conversion value of 1 Sm A. mangium wood waste is equal to 0.35 m3, or 1 ton of the same waste is equal to 1.98 m3 conversion value of 1 Sm E. Pellita is equald to 0.48 m3, or 1 ton of the waste is equal to 1.41 m3. Conversion value for 1 Sm H. similis is equal to 0.34 m3, or 1 ton of the waste is equal to 1.95 m3. Processing recovery of wood waste into chips is 94% for A. mangium and E. pellita while recovery of H. similis is 90%. Hence, conversion factor of wood chips in relation with the required waste is 1 Sm chips = 0.38 m3 wood waste or 1 ton chips = 2.09 m3 wood waste for A. mangium. Conversion factor for E. pellita is 1 Sm chips = 0.38 wood waste or 1 ton chips = 1.51 m3 wood waste conversion factor for H. similis is 1 Sm chips = 0.39 m3 wood waste or 1 ton chips = 2.16 m3 wood waste. Keywords: Conversion factor, waste wood, chips, yield, harvesting, forest plantations ABSTRAK Pemanenan kayu di HTI PT Korintiga Hutani dilakukan dengan ukuran panjang 4,10 m dan diameter minimal 10 cm sehingga menyebabkan terjadinya limbah kayu. Untuk meningkatkan efisiensi pemanenan maka kayu limbah tersebut akan diolah menjadi kayu serpih. Namun demikian, perusahaan wajib membayar provisi sumberdaya hutan kepada pemerintah yang didasarkan atas satuan volume (m3) limbah kayu yang dimanfaatkan. Tulisan ini mempelajari pendugaan faktor konversi dari staple meter (Sm) atau berat (ton) menjadi m3 dari akasia (Acacia mangium), ekaliptus (Eucalyptus pellita) dan waru (Hibiscus similis). Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk kayu A. mangium nilai konversi 1 Sm sama dengan 0,35 m3 atau 1 ton limbah kayu sama dengan 1,98 m3, sedangkan untuk E. pellita nilai konversi 1 Sm sama dengan 0,48 m3atau untuk 1 ton sama dengan 1,41 m3. Untuk 1 Sm limbah kayu H. similis sama dengan 0,34 m3 dan untuk 1 ton sama dengan 1,95 m3. Rendemen pengolahan chips limbah kayu A. mangium dan E. pellita adalah 94% sedangkan H. similis adalah 90%. Faktor konversi chips terhadap kebutuhan limbah kayu A. mangium (1 Sm chips = 0,38 m3 limbah) atau (1 Ton chips = 2,09 m3 limbah), E. pellita (1 Sm chips = 0,38 m3 limbah) atau (1 ton chips = 1,51 m3 limbah) sedangkan kayu waru (1 Sm chips = 0,39 m3 limbah) atau (1 ton chips = 2,16 m3 limbah). Kata kunci: Faktor konversi, limbah kayu, serpih kayu, rendemen, pemanenan, hutan tanaman 77
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 77-88
I. PENDAHULUAN Jumlah dan luas izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman (IUPHHK-HT) makin meningkat dari 164 unit dengan luas 7,13 juta ha pada tahun 2008 menjadi 254 unit dengan luas mencapai 10,10 juta ha pada tahun 2013 (Kementerian Kehutanan, 2014). Salah satu IUPHHK-HT yang termasuk aktif kegiatan operasionalnya adalah PT Korintiga Hutani. Sesuai surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK. 12/VI-BUHT/2014 tanggal 2 April 2014, luas areal IUPHHK-HTI PT Korintiga Hutani adalah 94.384 Ha. Sistem pemanenan kayu di PT Korintiga Hutani adalah tebang habis dengan permudaan buatan (THPB) dengan menerapkan metode short wood logging. Ukuran panjang sortimen hasil pemanenan kayu adalah 4,10 m dengan minimal diameter 10 cm. Akibatnya, banyak menyebabkan limbah kayu berupa sisa potongan kayu yang ukuran diameternya lebih kecil dari 10 cm dan/atau yang panjangnya kurang dari 4,10 m. Guna meningkatkan efisiensi pemanfaatan kayu maka limbah kayu pemanenan yang selama ini tidak dimanfaatkan akan dibuat menjadi kayu serpih (chips wood) sebagai bahan untuk pengolahan produk kayu pelet (wood pellet). Untuk memanfaatkan limbah kayu tersebut PT Korintiga Hutani wajib membayar provisi sumberdaya hutan (PSDH) kepada pemerintah cq. Kementerian Kehutanan, yang besarannya didasarkan atas satuan volume (m3) limbah kayu yang di manfaatkan ( Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2014). Penentuan PSDH limbah kayu dengan satuan volume m3 secara teknis dan ekonomi tidak praktis. Hal ini karena limbah kayu pemanenan hutan tanaman umumnya berukuran diameter kecil (< 10 cm) dan mempunyai karakteristik banyak ranting serta bentuknya yang tidak lurus. Secara teknis, penetapan pungutan PSDH berdasarkan satuan volume (m3) tidak praktis dan diduga tingkat akurasinya lebih rendah dibandingkan apabila menggunakan satuan berat (Ton). Sedangkan secara ekonomi, menimbulkan tambahan biaya lebih besar untuk mengumpulkan, memotong, menata/menumpuk dan mengukur limbah kayu agar mudah diukur volumenya. Kendatipun, dari aspek sosial dapat menyerap tenaga kerja yang lebih banyak dari masyarakat sekitar kawasan IUPHHK-HT.
78
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka diperlukan faktor konversi limbah kayu dari satuan berat (ton) ke satuan volume (m3). Oleh karena itu, kajian yang menghasilkan hubungan antara volume limbah kayu sebagai bahan input dan hasil pengolahan kayu berupa kayu serpih sebagi output menjadi penting dan mendesak untuk dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan angka faktor konversi limbah kayu dari satuan berat (ton) ke satuan volume (m3) dan rendemen pengolahan menjadi serpih kayu (chips). II. BAHAN DAN METODE A. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Penelitian faktor konversi limbah pemanena kayu hutan tanaman dan rendemen pengolahan chips dilakukan di perusahaan IUPHHK-HT PT Korintiga Hutani di Kabupaten Kota Waringin Barat, Kalimantan Tengah pada bulan Agustus 2014. B. Bahan dan Alat yang Digunakan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan baku kayu berupa limbah pemanenan kayu yang diperoleh dari hutan tanaman akasia mangium (Acacia mangium), ekaliptus (Eucalyptus pellita), dan waru gunung (Hibiscus similis). Limbah tersebut berupa batang kayu dan cabang yang tidak diangkut karena tidak memenuhi persyaratan panjang minimal dan/atau berdiameter kurang dari 10 cm Peralatan yang digunakan adalah mesin chipper mudah dipindahkan (portable chipper), kotak staple meter, spidol, aluminium foil, gergaji rantai, timbangan, parang/golok, palu, dan perlengkapan lapangan (personal use). Untuk memproduksi serpih kayu dari limbah pemanenan kayu digunakan portable chipper “Bandit model 1390XP mobile drum chipper bermesin 84,5 HP dengan kecepatan putaran 1.080 rpm. C. Prosedur Penelitian di Lapangan Prosedur penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder sebagai berikut: 1. Menentukan lokasi limbah kayu yang akan dijadikan sampel.
Faktor Konversi Limbah Pemanenan Kayu Hutan Tanaman dan Rendemen Pengolahan Serpih Kayu (Soenarno & Wesman Endom)
Limbah kayu hutan tanaman
Portable Chipper
Kotak Staple meter (uk.2 Sm)
Kotak Staple meter (uk.2 Sm)
Pengukuran : 1. Volume (m3) 2. Berat (Ton) 3. Kadar Air
Kayu serpih (chips)
Pengukuran : 1. Volume (Sm) 2. Berat (Ton) 3. Kadar Air Faktor konversi limbah
Rendemen chips
Faktor konversi input-output (limbah ke chips)
Gambar 1. Kerangka pikir penghitungan faktor konversi limbah kayu dan rendemen pengolahan kayu serpih Figure 1. Logical frame work for determining of wood waste conversion factor and wood chip processing yield 2. Menyusun limbah berdasarkan jenis kayu (Acacia mangium, Eucalytus pellita, dan Hibiscus similis). 3. Memotong limbah kayu menjadi ukuran panjang 2 m. 4. Memasukkan limbah kayu ke dalam kotak stapel meter berukuran 2 staple meter (Sm), masing-masing jenis kayu sebanyak 5 kali ulangan. 5. Mengeluarkan limbah kayu dari kotak staple meter, kemudian ditimbang beratnya (ton), diukur volumenya (m3) dan kadar airnya (%) dengan menggunakan alat digital moisture tester meter. Selain itu, pada masing-masing jenis contoh limbah kayu juga diambil sampel nya untuk dianalisis kadar air di laboratorium. 6. Setelah ditimbang dan diukur, masing-masing limbah kayu dalam kotak staple meter diolah dengan menggunakan mesin serpih kayu tipe mudah bergerak (mobil chipper) dan dicatat waktu yang diperlukan. 7. Hasil serpih kayu ditampung dalam kota kayu berukuran 2 m x 1 m x 1 m, kemudian diukur volumenya (Sm) dan kadar airnya (%) serta ditimbang berat (ton). Secara skematis, prosedur penelitian dilakukan sebagaimana disajikan pada Gambar 1.
D.Pengambilan Sampel dan Data yang Dikumpulkan Contoh limbah kayu yang diambil di lapangan adalah berdiameter minimal 5 cm yang berasal dari tumpukan limbah batang pohon sisa pemanenan kayu. Pemilihan tumpukan limbah kayu dilakukan secara purposif dan untuk setiap jenis kayu (A. mangium, E. pellita dan H. similis) diambil sebanyak 5 ulangan masing-masing berukuran 2 staple meter (Sm) kemudian ditimbang beratnya (Gambar 2A dan 2B). Untuk mengukur panjang kayu yang tidak lurus (bengkok) dilakukan dengan cara menarik pita meter mengikuti bentuk lengkung dari sortimen kayu. Sedangkan, untuk mengetahui kadar air maka pada setiap contoh kayu diambil sampel secara random dan dibungkus dengan kertas aluminium foil agar air yang teradapat dalam contoh kayu tidak mengalami penguapan. Selanjutnya contoh kayu tersebut diuji di laboratorium. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan. Volume kayu limbah diukur menurut tumpukan staple meter dan hasil pengukuran dinyatakan dalam satuan Sm. Sebelum ditumpuk, limbah kayu sample diukur panjang, diameter pangkal dan ujung serta ditimbang beratnya. 79
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 77-88
A
B
Gambar 2. Pengukuran limbah kayu dalam kotak staple meter (A), dan penimbangan berat limbah kayu (B) Figure 2. Wood waste measurement in the staple meter box (A), and wood waste weighing (B) E. Pengolahan dan Analisis Data Volume kayu limbah dihitung menggunakan rumus “Smalian” sebagaimana diuraikan dalam Moeljono (1974) sebagai berikut: V = ¼ ( D + d)2 x L 2 Di mana : V = volume limbah kayu (m3), D = diameter pangkal (m), d = diameter ujung (m), L = panjang (m), = 3,14 Setelah limbah kayu diolah menjadi chips, selanjutnya diukur kembali volumenya dalam satuan “Sm” dan ditimbang kembali beratnya dalam satuan “ton”. Data hasil pengukuran volume dan berat digunakan untuk menghitung faktor konversi dan rendemen dengan formula sebagai berikut: a. Faktor konversi limbah kayu berdasarkan volume (Fklv) Volume limbah kayu (m3) Fklv = Volume limbah kayu (Sm) b. Faktor konversi limbah kayu berdasarkan satuan berat (Fklb) Berat limbah kayu (ton) Fklb = Volume limbah kayu (m3) c. Faktor konversi input-output berat chips terhadap volume limbah kayu (FKin-out) Berat chips (ton) FKin-out = Volume limbah kayu (m3) 80
d. Rendemen serpih dihitung dengan formula sebagai berikut: Bs R= x 100% Blk Di mana : R = Rendemen (%) Bs = Berat serpih (ton) Blk = Berat limbah kayu (ton) Kadar air dihitung menggunakan rumus (Dumanauw, 1990 dalam Barus, 2004) sebagai berikut: Berat awal–Berat kering tanur Kadar air = x 100% (KA) Berat kering tanur Analisis data untuk mengetahui perbedaan rendemen pengolahan chips dilakukan dengan uji F menggunakan PAWSTAT Versi 18. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Faktor Konversi Limbah Kayu Hasil pengukuran dan perhitungan faktor konversi limbah kayu dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2, sedangkan rekapitulasinya disajikan pada Tabel 1. Dari Tabel 1 tersebut di atas dapat dilihat bahwa faktor konversi limbah kayu A. mangium berdasarkan satuan volume Sm menjadi m³ adalah 0,35 m3/Sm dan menjadi ton adalah 0,18 ton/Sm sedangkan dari satuan berat ton menjadi m3 adalah 1,98 m3/ton. Untuk kayu E. pellita faktor konversi berdasarkan satuan volume Sm menjadi
Faktor Konversi Limbah Pemanenan Kayu Hutan Tanaman dan Rendemen Pengolahan Serpih Kayu (Soenarno & Wesman Endom)
Tabel 1. Nilai rata-rata faktor konversi limbah kayu A. mangium, E. pellita dan H. similis Table 1. The mean value of conversion factor of A. mangium, E. pellita and H. similis
Jenis kayu (Wood species)
Faktor konversi limbah kayu (Conversion factor of wood waste) Berdasarkan satuan berat (According to weigth)
Berdasarkan satuan volume (According to volume)
Kadar air rata-rata (Average moisture content, %)
A. mangium
1 Sm = 0,35 m³
1 Sm = 0,18 Ton
1 Ton = 1,98 m³
31,73
E. pellita
1 Sm = 0,48 m³
1 Sm = 0,34 Ton
1 Ton = 1,41 m³
21,35
H. similis
1 Sm = 0,34 m³
1 Sm = 0,19 Ton
1 Ton = 1,95 m³
27,62
m³ adalah 0,48 m3/Sm dan menjadi ton adalah 0,34 ton/Sm sedangkan dari satuan ton menjadi m³ adalah 1,41 m3/ton. Besarnya nilai konversi kayu akasia dan ekaliptus tersebut lebih kecil dibandingkan dengan yang tercantum dalam Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan Nomor : P.05/VI-BIKPHH/2008 tanggal 10 September 2008, yaitu genus akasia sebesar 0,59 (m3/Sm) dan genus ekaliptus 0,67 (m3/Sm). Perbedaan tersebut diduga diakibatkan oleh faktor karakteristik (diameter dan bentuk) sortimen. Pada penelitian ini sortimen yang diukur merupakan limbah kayu yang mempunyai diameter rataan lebih kecil dan bentuk sortimennya terdapat banyak cabang /ranting. Sedangkan nilai konversi pada Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan Nomor : P.05/VIBIKPHH/2008 didasarkan atas sortimen kayu produksi yang diameter rataannya lebih besar dan batangnya lurus tidak terdapat cabang.ranting. Sortimen kayu berdiameter lebih kecil dan terdapat cabang/ranting maka jumlah batang pada setiap 1 Sm tumpukan menjadi lebih sedikit apabila batang tersebut berdiameter lebih besar dan tidak terdapat cabang/ranting. Untuk limbah kayu H. similis faktor konversi berdasarkan satuan volume Sm menjadi m³ adalah 0,34 m3/Sm dan menjadi ton adalah 0,19 ton/Sm sedangkan dari satuan ton menjadi m³ adalah 1,95 m3/ton. Menurut Darwo, Sasmuko, & Mas’ud (1994) faktor konversi limbah kayu dari satuan ton ke m3 berkisar antara 0,90-1,23 m3/ton tergantung jenis kayu dan kadar air. Makin tinggi kadar air akan semkin rendah nilai factor konversinya. Hasil pengukuran di lapangan, kadar air (KA) rata-rata limbah kayu A. mangium adalah 31,73%, E. pellita adalah 21,35% dan kayu H. similis sebesar 27,62%.
Selama ini cara pengukuran limbah kayu di lapangan dilakukan dalam satuan staple meter (S m ). Namun d emikian, cara tersebut memerlukan tenaga kerja sangat banyak untuk mengumpulkan limbah dan membuat tumpukantumpukan limbah sehingga tidak praktis dan memerlukan waktu lama dan biaya mahal. Dilihat dari segi teknis, biaya dan efisiensi tampaknya cara paling mudah dan praktis untuk pengukuran limbah kayu tersebut adalah dengan satuan berat (ton). Bahkan, hasil pengamatan selama penelitian dilakukan pengukuran berdasarkan satuan berat mempunyai tingkat akurasi yang lebih baik walaupun memerlukan investasi untuk pengadaan timbangan. Hasil pengamatan di lapangan ternyata jenis, bentuk, ukuran dan sifat limbah kayu hutan tanaman sangat bervariatif dan tersebar dalam areal tebangan sehingga sulit diukur langsung dalam satuan m3 (Gambar 3). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa besarnya limbah kayu di hutan tanaman lebih sedikit dibandingkan limbah kayu di hutan alam produksi. Dulsalam dan Roliadi (2011) melaporkan bahwa besarnya limbah pembalakan hutan tanaman kayu Aca c ia mangium berkisar antara 4-6%. Penelitian Puspitasar i (2 005) men yatakan bahwa besarnya limbah kayu di salah satu IUPHHTI adalah 4,36%, terdiri limbah penebangan 1,67%; limbah penyaradan 1,25%; limbah pemuatan di TPn 0,92%; dan limbah pengangkutan 0,52%. Sedangkan besarnya limbah pemanenan kayu di hutan alam berkisar antara 13-25% atau rata-rata 17,87% (Idris, Dulsalam, & Soenarno, 2012). 81
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 77-88
A
B
Gambar 3. Limbah kayu E. pellita (A) A. mangium (B) Figure 3. E. pellita (A) A. mangium (B) wood waste B. Rendemen Pengolahan Chips dan Faktor Konversi 1. Rendemen pengolahan chips Pengolahan limbah kayu menjadi chips dilakukan dengan menggunakan alat portable chipper, selanjutnya hasil chips diukur volumenya dalam satuan “Sm” dan diambil sampelnya untuk ditimbang (Gambar 4 ). Hasil perhitungan rendemen chips dari pengolahan limbah kayu dapat dilihat pada Lampiran 1, sedangkan rekapitulasinya disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan bahwa rendemen limbah kayu berkisar antara 90,21-94% dengan rata-rata 92,77%. Adanya variasi rendemen pengolahan chips diduga diakibatkan oleh sifat kayu, kadar air, dan karakteristik limbah kayu. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa sifat kayu H. similis paling keras dan ulet dibandingkan A. mangium maupun E. pellita. Bahkan, karakteristik limbah kayu H. similis juga paling banyak terdapat cabang
dan ranting dengan bentuk dan ukuran sangat beragam. Ranting-ranting berukuran kecil tersebut dalam proses penyerpihan (chipping) ternyata menjadi limbah berupa potonganpotongan sangat kecil (serbuk) dan terpisah dengan hasil chips. Besarnya rendemen pembuatan chips selain dipengaruhi oleh jenis kayu dan putaran mesin penyerpih (Haroen, 2004) juga peruntukannya dan jenis mesin penyerpih yang digunakan (Peraturan Dirjen Bina Usaha Kehutanan Nomor: P.13/VI-BPHH/2009). Penelitian Supriadi Rachman, dan Iskandar, (2006) menunjukkan bahwa besarnya rendemen pengolahan chips kayu akasia di BKPH Parung Panjang Bogor sebelum disaring 97% dan setelah disaring adalah 53%. Untuk mengetahui perbedaan rendemen pengolahan limbah kayu menjadi chips antara A. mangium, E. pellita dan H. similis dilakukan uji F dengan PAWSTAT, yang hasilnya disajikan pada Tabel 3.
Tabel 2. Rekapitulasi perhitungan rendemen pengolahan chips dari limbah kayu pemanenan hutan tanaman Table 2. Recapitulation of the yield calculation processing of waste wood chips from forest harvesting crops No.
Jenis kayu (Wood species)
Rendemen pengolahan serpih kayu (Chips yield), %
1.
A. mangium
94,00
2.
E. pellita
93,86
3. Rata-rata (Average)
H. similis
90,21 92,77
Kesalahan baku (St. deviation) 82
8,35
Faktor Konversi Limbah Pemanenan Kayu Hutan Tanaman dan Rendemen Pengolahan Serpih Kayu (Soenarno & Wesman Endom)
A
B
C
Gambar 4. Pengolahan limbah kayu menjadi chips dengan portable chipper Figure 4. Wood waste into chips with portable chippers Keterangan (Remarks): A. Penampungan serpih kayu (wood chip storage) B. Pengukuran volume serpih kayu (wood chip volume measurement) C. Penimbangan serpih kayu (weighing of wood chips)
Tabel 3. Hasil uji statistik rendemen pengolahan chips dari berbagai jenis limbah kayu Table 3. The results of statistical tests yield processing chips of various types of wood waste Sumber (Source)
Jumlah kuadrat (Sum of squares)
Derajad bebas (Degrees of freedom)
Jumlah kuadrat rata-rata (Mean square)
Fhitung (Fcal.)
40,194a
2
20,097
0,258
0,777
129103,371
1
129103,371
1654,905
0,000
40,194
2
20,097
0,258
0,777
936,150
12
78,013
Jumlah (Total)
130079,715
15
Jumlah terkoreksi (Corrected Total)
976,345
14
No. Model terkoreksi (Corrected model) Konstanta (Intercept) Topografi (Topography) Kesalahan percobaan (Error)
Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa pada taraf kepercayaan 95% tidak ada perbedaan yang nyata rendemen pengolahan chips antara kayu A. mangium, E. pellita dan H. similis. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa besarnya rendemen pengolahan chips pengolahan limbah pemanenan hutan tanaman adalah 92,77%. 2. Faktor konversi limbah kayu menjadi chips Hasil pengukuran dan perhitungan faktor konversi pengolahan chips dari berbagai limbah kayu pemanenan dapat dilihat pada Lampiran 1
dan Lampiran 2 sedangkan rekapitulasinya disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 tersebut menunjukkan besarnya faktor konversi limbah kayu A. mangium menjadi chips berdasarkan volume (m3/Sm) adalah 0,39 dan satuan berat (m3/ton) sebesar 2,09. Ini dapat diartikan bahwa untuk memperoleh 1 Sm chips A. mangium diperlukan limbah kayu sebanyak 0,39 m3 atau untuk 1 ton chips diperlukan limbah kayu 2,09 m3. Faktor konversi limbah kayu E. pellita menjadi chips berdasarkan volume limbah kayu (m3/Sm) adalah 83
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 77-88
Tabel 4. Rekapitulasi perhitungan faktor konversi pengolahan chips dari limbah kayu hutan tanaman Table 4. Conversion factor recapitulation calculation of wood waste chipping from forest plantatian
No.
Jenis kayu (Wood species)
Berdasar satuan volume
Berdasar satuan berat
(Based on volume )
(Based on weight)
1.
A. mangium
1 Sm chips = 0,39 m³ limbah kayu
1 ton chips = 2,09 m³ limbah kayu
2.
E. pellita
1 Sm chips = 0,38 m³ limbah kayu
1 ton chips = 1,51 m³ limbah kayu
3.
H. similis
1 Sm chips = 0,39 m³ limbah kayu
1 ton chips = 2,16 m³ limbah kayu
0,38 dan satuan berat (m3/ton) adalah 1,51. Hal ini berarti bahwa untuk memperoleh 1 Sm chips E. pellita diperlukan limbah kayu sebanyak 0,38 m3 atau untuk 1 ton chips diperlukan limbah kayu 1,51 m3. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permenlhk) Nomor: P.13/menlhkII/2015 tentang ijin usaha industri primer hasil hutan (IUIPHHK) menyebutkan bahwa IUPHHK-HT diperbolehkan untuk melakukan pengolahan kayu menggunakan mesin yang mudah dipindah (portable machines) di dalam areal konsesi. Namun demikian, IUPHHK-HT yang bersangkutan telah mendapatkan sertifikat pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL) dengan nilai baik. Jenis mesin portable sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain portable band saw atau portable circular saw dan/atau portable rotary peeler atau portable slicer dan/atau portable chipper. Dengan demikian, guna meningkatkan efisiensi pemanfaatan kayu dan nilai tambah maka bagi IUPHHK-HT dapat mengajukan ijin penggunaan mesin portable mesin untuk mengolah kayu limbah pemanenan di dalam konsesi selama memenuhi persyaratan Permenlhk tersebut. Sebelum proses pengolahan, maka limbah kayu pemanenan tersebut harus sudah dibuat laporan hasil produksi (LHP) dan dibayar provisi sumber daya hutan (PSDH), sesuai dengan Permenlhk Nomor: P. 42/menhut-II/2014 dan Permenhut Nomor: P. 15/menlhk-II/2015. 84
Faktor konversi chips dari hasil pengolahan limbah kayu (Conversion factor chips to wood waste processing results)
Faktor konversi limbah kayu H. similis menjadi chips berdasarkan volume (m3/Sm) adalah 0,39 dan satuan berat (m3/ton) adalah 2,16. Ini berarti bahwa untuk mendapatkan 1 Sm chips kayu waru memerlukan limbah kayu sebanyak 0,39 m3 atau untuk 1 Ton chips memerlukan limbah kayu sebanyak 2,16 m3. Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa selama proses chipping limbah kayu H. similis maka mesin chipper seringkali mengalami masalah (macet). Hal diakibatkan karena pemutar pisau (roll mills) sering terlilit oleh kulit kayu. Sebagai pembanding hasil penelitian Supriadi et al., (2006) menunjukkan bahwa faktor konversi rata-rata limbah pemanenan kayu akasia untuk bahan baku chips adalah 1 Sm = 0,4791 m3 = 0,257 ton. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Faktor konversi limbah kayu dari satuan volume (Sm) ke berat (ton) untuk kayu A. mangium, E. pellita dan H. similis berturut-turut sebesar 0,18; 0,34 dan 0,19 sedangkan berdasarkan satuan berat (Ton) ke volume (m3) masing-masing sebesar 1,98; 1,41 dan 1,95. Rendemen pengolahan chips limbah kayu A. mangium dan E. pellita adalah 94% sedangkan H. similis adalah 90%. Faktor konversi input-output
Faktor Konversi Limbah Pemanenan Kayu Hutan Tanaman dan Rendemen Pengolahan Serpih Kayu (Soenarno & Wesman Endom)
dari chips (Sm) terhadap kebutuhan limbah kayu (m3) untuk A. mangium dan E. pellita adalah 0,38 dan untuk H. simillis sebesar 0,39 sedangkan berdasarkan satuan berat chips (ton) terhadap volume kebutuhan limbah kayu (m3) untuk A. mangium, E. pellita dan H. simillis masing-masing adalah 2,09; 1,51 dan 2,16. Guna meningkatkan efisiensi pemanfaatan kayu dan nilai tambah sebaiknya IUPHHK-HT yang telah memenuhi persyaratan Permenlhk No.: P.13/menlhk-II/2015 khususnya PT Korintiga Inhutani mengajukan ijin penggunaan mesin portable untuk mengolah limbah pemanenan kayu. Pengembangan tanaman kayu waru (H. similis) di masa mendatang untuk tujuan bahan baku chips perlu mendapat perhatian dan pertimbangan khusus karena selama proses chipping sering menyebabkan kinerja mesin chipper tidak maksimal. Pengenaan tarif PSDH limbah kayu hutan tanaman sebaiknya didasarkan pada satuan berat (ton) karena lebih praktis, mudah dan akurat. DAFTAR PUSTAKA Barus, J.A. (2004). Penentuan angka konversi dari berat ke volume kayu Eucalyptus urophylla sebagai bahan baku kayu pulp. (Skripsi Sarjana). Program Studi Manajemen Hutan, Jurusan Kehutanan, Universitas Sumatera Utara, Medan. Darwo, Sasmuko S.A. & Mas'ud A.F. (1994). Faktor konversi berat ke volume untuk tujuh jenis kayu. Buletin Balai Penelitian Kehutanan Pematang Siantar, 10(3), 235-246. Dulsalam & Roliadi H. (2011). Faktor eksploitasi hutan tanaman mangium (Acacia mangium Wild) : Studi kasus di PT Toba Pulp Lestari. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 29(2), 87-103. Idris, M.M., Dulsalam & Soenarno. (2012). Revisi faktor eksploitasi untuk optimasi logging. Dalam Dulsalam, G. Pari, H. Rolliadi, Djarwanto & Krisd ianto , (Penyunt.). Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Tahun 2012. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan.
Irman F & Satria. (2012). Rancangan percobaan dan korelasi dan regresi dengan PASWSTAT Versi.18. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Kementerian Kehutanan. ( 201 4 ). Statistik kehutanan Indonesia 201 3 . Jakarta : Kementerian Kehutanan Moeljono, S.B. (1974). Pengantar perkayuan. Pendidikan Industri Kayu Atas (PIKA). Semarang : Yayasan Kanisius. Haroen, W.K. (2004). Pengaruh putaran mesin penyerpih mobile Shipper terhadap ukuran dan kualitas pulp kraft. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bahan Tahun 2004. LIPI, Serpong. Hlm 334-340. Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1990 tentang hak pengusahaan hutan tanaman industri (HTI). Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2014 tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang berlaku pada Kemen terian Ke hutanan. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2014). Permenlhk Nomor: P.42/Menhut-II/2014 tentang Penatausahaan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan tanaman pada hutan produksi. Kementerian Kehutanan. Jakarta. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2015). Permenlhk Nomor: P.15/ Menlhk-II/2014 tentang izin usaha industry primer hasil hutan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta. Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan Nomor: P.13/VI-BIKPHH/2009 tentang rendemen kayu olahan industri primer hasil hutan kayu (IPHHK). Kementerian Kehutanan. Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan Nomor: P.05/VI-BIKPHH/2008 tentang Perubahan Peraturan Dirjen Bina Produksi K e h u t a n a n N o m o r : P. 0 2 / V I BIKPHH/2008 tentang angka konversi 85
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 77-88
volume tumpukan stapel meter (SM) ke dalam volume satuan kubik (M³) kayu bulat kecil (KBK). Kementerian Kehutanan. Puspitasari, D. (2005). Limbah pemanenan dan faktor eksploitasi pada perusahaan HTI : Studi kasus di HPHHTI PT Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan. (Skripsi Sarjana). Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan , I nstitut Pertanian Bogor.
86
Supriadi A., Rachman O. & Iskandar M.I. (2006). Produktifitas dan biaya produksi serpih kayu menggunakan mesin serpih mudah dipindahkan (SMD): Studi Kasus di BKPH Parung Panjang, Bogor. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 24(2), 102-115.
Faktor Konversi Limbah Pemanenan Kayu Hutan Tanaman dan Rendemen Pengolahan Serpih Kayu (Soenarno & Wesman Endom)
Lampiran 1. Hasil Pengukuran Limbah Kayu, Kadar air, dan Chips Appendix 1. Results Measurement of Wood Waste, Moisture Contents and Chips 1. Akasia (Acacia mangium) Ulangan (Replication)
Volume (Sm)
Limbah pemanenan kayu (Wood waste) Berat (Weight, Volume Kadar air (Moisture ton) (m³) content, %)
Volume (Sm)
Chips Berat (Weight, ton)
1
2
0,333
0,714
31,96
1,7
0,325
2
2
0,371
0,780
36,13
2,0
0,374
3
2
0,332
0,594
32,31
1,8
0,317
4
2
0,311
0,516
32,00
1,4
0,243
5
2
0,417
0,886
26,27
2,2
0,408
0,353
0,698
31,73
1,8
0,334
0.042
0,147
3,52
0,3
0,063
Rata-rata (Averages) Kesalahan baku (Std. error) 2. Ekaliptus (Eucalyptus pellita) Ulangan (Replication)
Volume (Sm)
Limbah pemanenan kayu (Wood waste) Berat (Weight, Volume Kadar air (Moisture ton) (m³) content, %)
Volume (Sm)
Chips Berat (Weight, ton)
1
2
0,642
1,026
19,43
2,8
0,640
2
2
0,621
0,967
24,40
2,5
0,614
3
2
0,608
0,884
22,98
2,3
0,578
4
2
0,789
0,998
21,90
2,8
0,736
5
2
0,764
0,965
18,02
2,5
0,629
0,685
0,968
21,35
2,6
0,639
0,085
0,053
2,60
0,2
0,059
Rata-rata (Average) Kesalahan baku (Std. error ) 3. Waru (Hibiscus similis) Ulangan (Replications)
Volume (Sm)
Limbah pemanenan kayu (Wood waste) Berat (Weight, Volume Kadar air (Moisture ton) (m³) content, %)
Volume (Sm)
Chips Berat (Weight, ton)
1
2
0,360
0,610
27,06
1,9
0,318
2
2
0,360
0,780
21,74
1,8
0,309
3
2
0,321
0,680
34,55
1,9
0,347
4
2
0,322
0,510
32,00
1,5
0,269
5
2
0,359
0,780
22,74
1,6
0,310
0,344
0,672
27,62
1,7
0,311
0,040
0,116
5,61
0,2
0,046
Rata-rata (Averages) Kesalahan baku (Std. error)
87
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 1, Maret 2016: 77-88
Lampiran 2. Hasil Pengukuran Faktor Konversi Limbah Pemanenan Kayu, Rendemen dan Faktor Konversi Serpih Kayu Appendix 2. Results Measurement Conversion Factors Waste Wood, Yield and Conversion Factors Chips Wood 1.
Akasia (Acacia mangium) Faktor konversi limbah pemanenan kayu (Conversion factors wood waste) Ulangan (Replication) (m³/Sm) (ton/Sm) (m³/ton)
Rendemen (Yield)
Faktor konversi serpih kayu (Wood chips conversion facto r)
(%)
(m³/Sm)
(m³/ton)
1
0,357
0,167
2,14
97,6
0,420
2,20
2
0,390
0,186
2,10
100,9
0,390
2,08
3
0,297
0,166
1,79
95,6
0,338
1,87
4
0,258
0,156
1,66
78,0
0,369
2,13
5 Rata-rata (Average) Deviasi (Deviation)
0,443
0,209
2,12
97,9
0,406
2,17
0,349
0,176
1,98
94,0
0,386
2,09
0,073
0,021
0,22
9,1
0,033
0,13
2. Ekaliptus (Eucalyptus pellita) Faktor Konversi limbah pemanenan kayu (Conversion factors wood waste) Ulangan (Replication) (m³/Sm) (ton/Sm) (m³/ton)
Rendemen (Yield)
Faktor konversi serpih kayu (Wood chips conversion facto r)
(%)
(m³/Sm)
(m³/ton)
1
0,513
0,321
1,60
99,7
0,366
1,60
2
0,484
0,311
1,56
98,9
0,387
1,57
3
0,442
0,304
1,45
95,1
0,384
1,53
4
0,499
0,395
1,26
93,3
0,356
1,36
5 Rata-rata (Average) Deviasi (Deviation)
0,483
0,382
1,26
82,3
0,386
1,54
0,484
0,342
1,41
93,9
0,375
1,51
0,027
0,043
0,16
7,0
0,014
0,10
3. Waru (Hibicus similis) Faktor Konversi limbah pemanenan kayu (Conversion factors wood waste) Ulangan (Replication) (m³/Sm) (ton/Sm) (m³/ton)
Rendemen (Yield)
Faktor konversi serpih kayu (Wood chips conversion factor)
(%)
(m³/Sm)
(m³/ton)
1
0,305
0,180
1,69
88,5
0,321
1,92
2
0,390
0,180
2,17
85,7
0,433
2,53
3
0,340
0,161
2,12
108,2
0,358
1,96
4
0,255
0,161
1,58
83,5
0,340
1,90
5 Rata-rata (Average) Deviasi (Deviation)
0,390
0,180
2,17
86,4
0,488
2,52
0,336
0,172
1,95
90,2
0,386
2,16
0,058
0,010
0,28
10,1
0,070
0,33
88
PEDOMAN BAGI PENULIS
GUIDELINE FOR AUTHORS
1. Dewan Redaksi Jurnal menerima naskah ilmiah hasil penelitian atau hasil studi dalam bidang keteknikan kehutanan dan pengolahan hasil hutan, yang belum pernah dimuat atau tidak sedang dalam proses untuk dimuat di media lain.
1. Editorial board accept scientific articles related with forest engineering and forest products processing. Manuscript must be genuine, has not been published or being processed for any publication.
2. Dewan Redaksi memiliki wewenang penuh untuk memeriksa dan memperbaiki atau menolak naskah apabila tidak memenuhi persyaratan. Penilaian naskah secara substantif dilakukan oleh Mitra Bestari.
2. Editorial boardis authorized to review the manuscript and possibly discard the manuscript which does not meet scientific journal requirements. Manuscript will be considered and observed by a relevant peer reviewer.
3. Naskah dikirim ke redaksi dalam bentuk soft file dan hard copy ke alamat sekretariat redaksi, yaitu: Jurnal Penelitian Hasil Hutan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu. 5, Bogor,Indonesia. 16610 e-mail:
[email protected].
3. Manuscript in both hard copy and soft file must be sent to the Journal secretariate address i.e: Journal of Forest Product Research Forest Product Research and Development Centre Jl. Gunung Batu. 5, Bogor, Indonesia. 16610 e-mail:
[email protected].
4. Naskah ditulis di atas kertas ukuran A4, tipe huruf Calibri, font 12 dengan 2 spasi. Pada semua sisi kertas dikosongkan 3,5 cm. Jumlah halaman maksimal 25.
4. Manuscript must be written in A4 paper, font Calibri, size 12, double spaced. All side margins are 3.5 cm. Maximum page number is 25.
5. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Inggris dengan menggunakan kaidah penulisan ilmiah.
5. Manuscript must be scientifically written in either Bahasa Indonesia or English.
6. Struktur naskah sekurang-kurangnya tersusun sebagai berikut; a. Judul, b. Nama, instansi, dan alamat e-mail penulis, c. Abstrak, d. Kata kunci, e. Pendahuluan, f. Bahan dan Metode, g. Hasil dan Pembahasan, h. Kesimpulan (Kesimpulan dan Saran), i. Ucapan Terima Kasih (jika perlu), j. Daftar Pustaka dan k. Lampiran (jika perlu).
6. Manuscript must be written according to scientific journal structure: a. Title, b. Authors name, office, and e-mail address details, c. Abstract, d. Keywords, e. Introduction, f. Material and Method, g. Result and Discussion, h. Conclusion (Conclusion and Recommendation), i. Acknowledgement (optional), j. References and k. Appendices (optional).
7. Naskah a. Judul, maksimal 2 baris, dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, huruf kapital, ukuran font 14, dicetak tebal. b. Nama penulis (tanpa gelar akademis), instansi dan alamat penulis ditulis berurutan dengan ukuran font 12. c. Ab s t ra k , d ibua t d alam satu par a g r af menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa lnggris dalam dua bentuk, bentuk pertama maksimal 50 kata dan bentuk kedua maksimal 200 kata. d. Tabel. Judul tabel dan keterangan yang diperlukan ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Inggris dengan jelas dan singkat. Penggunaan tanda koma (,) dan titik (.) di dalam tabel menunjukkan nilai pecahan desimal dan kebulatan seribu disesuaikan dengan format bahasa yang digunakan.
7. Manuscript a. Title, should not exceed two rows, written in Bahasa Indonesia and English, in capital, font size 14, bold. b. Author/s (without academic degree), office and author addresses are written with font size 12. c. Abstract,set in single paragraph Bahasa Indonesia and English in two forms; format-1 maximum 50 words and format-2 maximum 200 words. d. Table caption must be written concisely in both Bahasa Indonesia and English. The use of comma (,) and point (.) must be used in decimal number appropriately according to manuscript language.
e. Gambar: Foto, grafik dan ilustrasi lain yang berupa gambar harus kontras. Setiap gambar diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas dalam Bahasa Indonesia danInggris.
e. Figure: Photos and graphs must be prepared in good contrast. Every figure is numbered and captioned clearly in both Bahasa Indonesia and English.
f. Daftar Pustaka; Pengacuan pustaka diutamakan terbitan lima tahun terakhir dan 80% berasal dari sumber acuan primer. Format Daftar Pustaka mengacu pada model “American Psychological Association (APA)” serta mencantumkan kode Digital Object Identifier (DOI) jika diperoleh dari sumber jurnal online.
f. Reference; References cited should be published five years old or less for majority of reference and 80% from primary source. Referencing must meet the American Psychological Association (APA) style. Reference list must be written alphabetical order includes the Digital Object Identifier (DOI) for online sources.
Penyitiran dalam teks Cangkang buah bintoro mengandung lignoselulosa dan sifat seratnya hampir mirip dengan tempurung kelapa (Iman & Handoko, 2011). atau Iman dan Handoko (2011) menyatakan bahwa cangkang buah bintaro mengandung lignoselulosa dan sifat seratnya hampir mirip dengan tempurung kelapa. Artikel yang ditulis oleh 3 - 5 Penulis Di dalam teks seluruh penulis ditulis untuk pertama kali, kemudian ditulis ‘et al.’ Contoh: Arang aktif dapat dibuat dari bahan organik yang dapat dikarbonisasi seperti kulit kenari (Mariez, Torres, Guzman, & Maestri, 2006) Mariez et al. (2006) menyebutkan bahwa bagian cangkang kulit kenari menghasilkan arang aktif kualitas paling baik. Artikel yang ditulis oleh lebih dari 5 penulis Di dalam teks ditulis nama penulis pertama diikuti ‘et al.’ pada kutipan pertama dan selanjutnya contoh: Berbagai pustaka menyebutkan bahwa kandungan zat ekstraktif dalam kayu berkisar 1 - 30%, tergantung beberapa faktor diantaranya kondisi pertumbuhan pohon dan musim pada saat pohon ditebang (Donegan et al., 2007)
Contoh Penulisan Daftar Pustaka 1. Artikel dalam jurnal ilmiah (1 penulis) (Article in scientific journal (1 author) Endom, W. (2013). Produktivitas dan biaya alat hasil rekayasa dalam pengeluaran kayu jati di daerah curam. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 30(1), 63-74. 2. Artikel dalam jurnal ilmiah (2 - 5 penulis) (Article in the scientific journal (2-5 authors) Kissinger, K., Evrizal, A.M.Z., Latifa, K., Darusman, H. & Iskandar, A. (2013). Penapisan senyawa fitokimia dan pengujian antioksidan ekstrak daun pohon merapat (Combretocarpus rotundatus Miq.) dari hutan kerangas. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 31(1), 9-18. Li-bing Z., Mark, P.S., & Sussane, S.R. (2007). A phylogeny of Anisophylleaceae based on six nuclear and plastid loci: Ancient disjuctions and recent dispersal beetween South America, Africa and Asia. Molecular Phylogenetics & Evolution; Sept 2007, 44(3), 1057–1067, doi: 0.1016/jympev. 2007. 03.002 3. Artikel dalam jurnal ilmiah (lebih dari 7 penulis) (Article in the scientific journal up to 7 authors) Pari, G., Vissing, K., Brink, M., Lonbro, S., Sorensen, H., Overgaard, K., Danborg, K., ... Aagaard, P. (2008) Muscle adaptations to polymetric vs. resistance training in untrained young men. Journal of Strength and Conditioning Research, 22 (6), 1799-1810. 4. Buku teks (1-5 penulis) Text book (1-5 authors) Sudradjat, H.R. (2006). Memproduksi biodiesel jarak pagar. Jakarta: Penebar Swadaya. Muslich, M., Wardani, M., Kalima, T., Rulliaty, S., & Hadjib, N. (2013). Atlas kayu Indonesia (Jilid IV). Bogor: Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. 5. Prosiding (Proceeding) Dulsalam. (2012). Pemanenan kayu ramah lingkungan. Dalam G. Pari, A. Santoso, Dulsalam, J. Balfas, & Krisdianto (Penyunt.), Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan Tahun 2011. Prosiding Seminar Nasional. Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (hal. 102 -114). Bogor. 6. Skripsi, Tesis, atau Disertasi (Thesis or Disertation) Widyati, E. (2006). Bioremediasi tanah bekas tambang batubara dengan sludge industri kertas untuk memacu revegetasi lahan. (Disertasi). Program Pendidikan Doktor: Institut Pertanian Bogor, Bogor. 7. Laporan penelitian (Research report) Djarwanto & Waluyo, T.K. (2013). Teknologi produksi ragi untuk pembuatan bioetanol. Laporan Hasil Penelitian. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. 8. Artikel dari situs internet (Article on the website) Massijaya, M.Y. (2008). Upaya penyelamatan industri pengolahan kayu Indonesia ditinjau dari sudut ketersediaan bahan baku, http://www.fahutan.s5.com/sept/sept006.html, diakses 17 Februari 2010. 9. Artikel dari situs internet (tanpa nama penulis) (Article on the website (anonymous) Departemen Kehutanan. (2008). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan telah melaksanakan penelitian pembuatan biodiesel dari biji nyamplung (Calophylum inophylum L.) tahun 2005-2008. Diakses dari http://www.dephut.go.id/files/ nyamplung_Ind.pdf, pada 7 Oktober 2011.