Lex Administratum, Vol. III/No. 7/Sep/2015 KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR TAHUN 19451 Oleh : Magdalena E. J. Sarkol2
yang di tetapkan oleh Mahkamah Konstitusi harus dilaksanakan dan direalisasikan dengan sebaik-baiknya. Kata Kunci: Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Pengujian Undang-Undang, UUD 1945
ABSTRAK Keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi dalam kehidupan negara-negara modern dianggap sebagai fenomena baru dalam mengisi sistem ketatanegaraan yang sudah ada dan mapan. Bagi negara-negara yang mengalami perubahan dari otoritarian menjadi demokrasi, pembentukan Mahkamah Konstitusi menjadi sesuatu yang urgen karena ingin mengubah atau memperbaiki sistem kehidupan ketatanegaraan lebih ideal dan sempurna, khususnya dalam penyelenggaraan pengujian konstitusional terhadap undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi sebagai hukum dasar tertinggi negara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, memahami dan menjelaskan kewenangan Mahkamah Konstitusi dan hasil putusan Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Putusan peradilan khususnya Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang sebagai sebuah upaya untuk dapat mewujudkan negara hukum yang demokratis. Putusan Mahkamah Konstitusi juga menjadi titik tolak atau sandaran para pemohon yang dirugikan hak-hak konstitusional. Putusan Mahkamah Konstitusi selain menyatakan atau menerangkan sesuatu yang nyata-nyata menjadi hukum, sekaligus meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum baru. Putusan Mahkamah Konstitusi sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum, secara yuridis mempunyai kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutorial sehingga harus dipatuhi dan dilaksanakan. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar merupakan suatu proses di dalam menegakkan negara hukum dan demokrasi sehingga untuk menciptakan hal yang demikian, setiap putusan
PENDAHULUAN Gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi tidak lain merupakan dorongan dalam penyelenggaraan kekuasaan dan ketatanegaraan yang lebih baik. Paling tidak ada empat hal yang melatarbelakangi dan menjadi pijakan dalam pembentukan Mahkamah Konstitusi, yaitu 1). Sebagai Implikasi dari paham Konstitusionalisme; 2). Mekanisme checks and balances; 3). Penyelenggaraan negara yang bersih; dan 4). Perlindungan terhadap hak asasi manusia.3 Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga Negara yang berfungi menangani perakara tertentu dibidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konsitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintah negara yang stabil, dan juga merupaka koreksi terhadap pengalaman kehidupan Ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap Konstitusi. Ciri-ciri negara hukum dalam berdemokrasi hendak diwujudkan secara nyata, antara lain adalah melalui perubahan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) dan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, suatu momentum yang sangat penting bagi kehidupan ketatanegaraan di Indonesia. Salah satu susbtansi penting dari perubahan itu adalah adanya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berdiri sendiri dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, antara lain berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a UU No. 24 Tahun 2003 tentang 3
1
Artikel Tesis. Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Wulanmas A.P.G. Frederik, SH, MH; Dr. Emma V. T. Senewe, SH, MH 2 Mahasiswa pada Pascasarjana Unsrat, NIM. 1223208035
66
A. Fickar Hadjar dkk. (Tim Perumus/Penyusun, Pokokpokok Pikiran dan rancangan Undang-undang Mahkamah Konstitusi, KRHN dan Kemitraan, Jakarta, 2003, hlm.3.
Lex Administratum, Vol. III/No. 7/Sep/2015 Mahkamah Konstitusi. Sebelum perubahan UUD 1945 tidak jelas pranata hukum yang mengatur hak menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 baik yang berkenaan dengan lembaga negara yang berwenang menguji, tata cara pengujiannya, maupun hukum acaranya. Bahkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen hal ini tidak diatur, sehingga terjadi kekosongan hukum tentang hak uji konstitusionalitas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Dalam praktik yang terjadi selama ini relative banyak ditemui undang-undang yang secara substansial bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang berdasar pada pilar kedaulatan rakyat. Hak uji Konstitusional yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu upaya membatasi kekuasaan negara dan bertujuan untuk melindungi hak asasi warga negara dengan cara menilai apakah suatu undangundang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, sangat penting bagi Indonesia untuk meningkatkan dan mewujudkan negara hukum demokrasi yang konstitusional melalui Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara dan peradilan yang berwenang untuk melakukan pengendalian dan perlindungan dengan hak uji Konstitusionalitas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi dalam kehidupan negara-negara modern dianggap sebagai fenomena baru dalam mengisi sistem ketatanegaraan yang sudah ada dan mapan. Bagi negara-negara yang mengalami perubahan dari otoritarian menjadi demokrasi, pembentukan Mahkamah Konstitusi menjadi sesuatu yang urgen karena ingin mengubah atau memperbaiki sistem kehidupan ketatanegaraan lebih ideal dan sempurna, khususnya dalam penyelenggaraan pengujian konstitusional (constitutional review) terhadap undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi sebagai hukum dasar tertinggi negara. .4 Berdasarkan latar belakang sejarah pembentukkannya, keberadaan Mahkamah
Konstitusi sendiri pada awalnya adalah untuk menjalankan wewenang pengujian undangundang. Munculnya kewenangan ini sendiri dapat dipahami sebagai perkembangan hukum dan politik ketatanegaraan modern. 5 Mekanisme pengujian undang-undang ini sendiri dimaksudkan untuk melakukan pengujian suatu produk perundang-undangan terhadap undang-undang yang lebih tinggi oleh lembaga peradilan tertentu. Pengujian undangundang (judicial review) sendiri di Indonesia dilaksanakan oleh dua lembaga peradilan yang berbeda, yakni Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang terhadap Undang – Undang Dasar, sedangkan Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undangundang. 6 Kewenangan menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 secara teoritis atau praktis, menjadikan Mahkamah Konsitusi sebagai lembaga pengontrol dan penyeimbang dalam penyelenggaraan kekuasaan negara, sehingga dapat mencegah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh legislative dan eksekutif dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Apakah penerapan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undangundang terhadap UUD 1945 sesuai atau tidak sesuai dengan konsep negara hukum yang demokratis. PERUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana Dasar Kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai Lembaga Negara 2. Bagaimana Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 METODOLOGI PENELITIAN Penulisan memakai jenis penelitian deskriptif untuk menjawab rumusan masalah berdasarkan analisis yang dilakukan dengan berbagai sumber data yang ada. Penelitian hukum normatif (legal research) menjadi 5
4
H Iriyanto A. Baso Ence, op.cit hlm. viii
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010) hlm. 3 6 Pasal 24A ayat (1) UUD 1945
67
Lex Administratum, Vol. III/No. 7/Sep/2015 pilihan untuk analisa data sekunder yang berupa peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, dan pendapat para sarjana. Penelitian hukum normatif, yaitu mencakup penelitian terhadap asas-asas dan teori-teori hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi vertical dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum.7 Penelitian hukum normatif sebagai senjata utama dalam hal analisis secara kualitatif sebagai pendukung (normatifkualitatif) untuk mempertajam analisis karena datanya yang bersifat kualitattif. Penelitian hukum normatif menjadi inventarisasi hukum positif, demi usaha menemukan asas dasar doktrin dalam hukum positif. Hal yang paling penting juga atas penelitian normatif adalah usaha penemuan hukum secara konkrit yang sesuai untuk diterapkan guna penyelesaian perkara hukum. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berdasarkan ketentuan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk : 1). Pengujian Terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Pengujian Peraturan perundang-undangan dapat dibagi berdasarkan yang melakukan pengujian, objek peraturan yang diuji, dan waktu pengujian. Dilihat dari segi subjek yang melakukan pengujian, pengujian dapat dilakukan oleh hakim, pengujian oleh lembaga legislatif, 8 maupun pengujian oleh lembaga eksekutif. Pengujian oleh lembaga legislatif yang dilakukan dalam kapasitas sebagai lembaga yang membentuk dan membahasa serta menyetujui undang-undang (bersama dengan Presiden), pengujian oleh lembaga eksekutif dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga eksekutif. Sri Soemantri dan Harun Alrasid mendefinisikan pengujian formil sebagaimana yang dikemukakan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Sri Soemantri menjelaskan bahwa 7 8
Abdul Latif, Penelitian Hukum Normatif,…..Op.Cit
68
yang dimaksud dengan hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislative seperti undang-undang misalnya, terjelma melalui cara-cara sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. Harun Alrasid mengemukakan bahwa hak menguji material ialah mengenai kewenangan pembuat Undang-Undang dan apakah isinya bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi. 2). Memutus Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Yang Kewenangannya Diberikan Oleh Undang-Undang Dasar. Mengenai peradilan sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara dapat dikemukakan sebagai berikut; Pertama, subjek yang bersengketa (subjectum litis) haruslah lembaga negara menurut UUD 1945. Kedua, objek yang dipersengketakan (objectum litis) adalah pelaksanaan kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945. Ada tiga pengertian lembaga negara yang biasanya dipahami dalam percakapan ketatanegaraan sehari-hari. Dalam kaitannya dengan perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, yang lebih penting untuk diperhatikan adalah apakah lembaga negara yang bersangkutan mendapat kewenangan dari UUD 1945 atau tidak? Jika lembaga atau subjek hukum organisasi yang bersangkutan mendapatkan kewenangannya dari UUD 1945, dan apabila dalam pelaksanaannya timbul sengketa dengan lembaga lain, maka sengketa yang demikian itulah yang disebut sebagai sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara.9 3).
Memutus Perselisihan Tentang Hasil Pemilihan Umum. Menurut ketentuan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah jo UndangUndang tentang Pemilihan Umum yang sekarang berlaku, pemilihan Kepala Daerah memang belum atau tidak didefinisikan sebagai pemilihan umum. Ketentuan yang demikian itu juga dapat dianggap sesuai dengan ketentuan eksplisit yang diatur dalam Pasal 22E UUD 9
Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara 068/SKLNII/2004 tanggal 12 November 2004
Lex Administratum, Vol. III/No. 7/Sep/2015 1945, sehingga karenanya Mahkamah Konstitusi tidak menyatakannya bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.10 Dalam perselisihan hasil pemilu, para peserta pemilu itu dapat saja tidak puas atas hasil pemilihan umum yang ditetapkan oleh penyelenggara pemilihan umum, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU). Jika mereka tidak puas, maka mereka dapat mengajukan permohonan perkara kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Undang- Undang tentang Pemilihan Umum, dan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi.11 Setiap peserta pemilu dan penyelenggara pemilu dilihat sebagai satu kesatuan institusi, yaitu institusi parta politik, institusi pasangan calon presiden dan wakil presiden, institusi calon DPD, dan institusi KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu. Oleh karena itu, pengurus wilayah partai politik ataupun KPU Daerah dilihat sebagai bagian dari institusi badan hukum partai politik yang berperkara di Mahkamah Konstitusi. Hubungan antara KPU Pusat dengan KPU Daerah dan demikian pula hubungan antara Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai politik dengan Pengurus Wilayah Provinsi atau Pengurus Cabang di tingkat Kabupaten dianggap sebagai persoalan internal masingmasing KPU atau Partai Politik yang bersangkutan. 4). Memutus Pembubaran Partai Politik. “Partai Politik adalah Pilar Demokrasi Perwakilan. Karena itu perlembagaannya dan eksistensinya dilindungi oleh UUD 1945 sebagai pencerminan dari prinsip kemerdekaan berserikat (freedom of association)”.12 Oleh sebab itu, tidak boleh ada partai politik yang dibubarkan dengan sewenang-wenang oleh para penguasa. Lagipula proses penyelenggaraan pemerintahan, baik dilingkungan lembaga legislative maupun 10
Putusan dalam Berita Negara Tahun 2005 Soedarsono, Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal Demokrasi,Jakarta,2005 12 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran PartaI Politik dan Mahkamah Konstitusi, Konpress, Jakarta, 2005 11
eksekutif dipimpin oleh orang-orang yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum. Para pejabat yang dipilih melalui pemilihan umum itu adalah Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), serta Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kecuali untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), semua pejabat tersebut dipilih dengan keterlibatan peran penting dari partai-partai politik. Partai Politik tidak boleh dibubarkan oleh siapapun, kecuali melalui proses peradilan dan pembubarannya diputuskan oleh pengadilan. Partai Politik tidak boleh dibubarkan hanya karena kehendak politik para pemimpim politik yang dipilih menduduki jabatan-jabatan politik yang menentukan seperti; Presiden atau Anggota DPR. Jika mereka diperbolehkan membubarkan partai politik, itu berarti bahwa partai politik sebagai suatu kekuatan politik dapat dibubarkan oleh kekuatan politik lain yang menguasai kursi di Parlemen atau Jabatan Eksekutif. Partai Politik yang berkuasa karena menang pemilu bisa saja membubarkan partai politik yang kalah dalam rangka memberangus persaingan politik dalam pemilu berikutnya. Untuk membatasi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan untuk memberangus lawan politik seperti itu, maka pembubaran partai politik tidak boleh dilakukan oleh aparat pemerintah yang berada di bawah baying-bayang lembaga parlemen. “Satu-satunya lembaga yang diperkenankan oleh UUD 1945 untuk memutuskan pembubaran partai politik adalah Mahkamah Konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945”.13 5). Memberikan Putusan Atas Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945. “Kewenangan kelima yang juga dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi adalah memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
13
Ibid
69
Lex Administratum, Vol. III/No. 7/Sep/2015 menurut Undang-Undang Dasar 1945”. 14 Mekanismen demikian ini biasa disebut dengan istilah impeachment atau pemakzulan. Aslinya “to impeach” artinya meminta pertanggung jawaban. Jika tuntutannya terbukti, maka hukumannya adalah ”removal from office”atau pemberhentian, tetapi baru bersifat penuntutan atas dasar pelanggaran hukum yang dilakukan oleh presiden dan/atau wakil presiden. Pelanggaran yang dimaksud adalah pelanggaran hukum sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar. Jika pelanggaran demikian dilakukan oleh warga negara biasa, maka warga negara itu diadili oleh pengadilan biasa. Akan tetapi, karena warga negara yang melakukan pelanggaran yang dimaksud di sini bersifat istimewa, yaitu menduduki jabatan presiden dan wakil presiden maka proses peradilannya dilakukan melalui forum khusus, yaitu Mahkamah Konstitusi. Karena itu, forum pengadilan di Mahkamah Konstitusi dalam perkara pemakzulan ini pada pokoknya adalah semacam forum istimewa bagi warga negara yang menduduki kedua jenis jabatan tersebut. Pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi yang dimaksudkan dalam kajian ini dibatasi pada pengujian undang-undang yang putusannya dibacakan dari awal Januari 2004 hingga akhir Desember 2004, sebagaimana yang termuat dalam Himpunan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Tahun 2004 yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum, secara yuridis mempunyai kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian dan kekuatan eksekutorial. Ketiga kekuatan putusan ini sudah lama dikenal dalam Hukum Acara Perdata pada umumnya.15 Putusan dalam pengujian undangundang, secara teknis yuridis bersifat declaratoir-constitutif. Artinya, putusan
14
Hamdan Zoelva, Impeacment Presiden; Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945, Konpress, Jakarta, 2005 15
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, Budi Utama, Jakarta, 2010, hlm 76.
70
Mahkamah Konstitusi selain menyatakan atau menerangkan sesuatu yang nyata-nyata menjadi hukum, sekaligus meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum baru. Berdasarkan sistem pengujian konstitusional tercakup dua tugas pokok. Pertama, untuk menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan perimbangan peran atau interplay antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan lembaga peradilan (judiciary). Dengan kata lain, constitutional review dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pendayagunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan. Kedua, untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin dalam konstitusi. PENUTUP Kesimpulan Mahkamah Konstitusi dalam mewujudkan negara hukum Indonesia yang demokratis melalui pelaksanaan kewenangan menurut Undang-Undang Dasar 1945 menunjukkan : a. Pengujian undang-undang yang dilakukan dalam kasus perkara pengujian undangundang, pada intinya membuktikan unsur negara hukum yang menjamin pengakuan dan perlindungan HAM (Persamaan di depan hukum) yang tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. b. Sengketa kewenangan lembaga negara, untuk memenuhi unsur checks and balances sebagai implementasi pemisahan kekuasaan, agar kewenangan lembaga negara tidak menimbulkan kekacauan dalam wujud negara hukum dan kepentingan rakyat banyak. c. Sengketa hasil pemilihan umum, memenuhi unsur negara hukum yang demokratis, yaitu adanya pemerintahan yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum secara langsung. d. Pembubaran partai politik dan Kewajiban Mahkamah Konstitusi memberi putusan yang diminta oleh DPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden belum ada. Namun, tidak berarti Mahkamah Konstitusi tidak
Lex Administratum, Vol. III/No. 7/Sep/2015 melaksanakan fungsi penegakkan konstitusi dalam rangka mewujudkan negara hukum yang demokratis. Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi, khususnya dalam memutus beberapa perkara permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Putusan Mahkamah Konstitusi dapat disimpulkan telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, meskipun dalam sifat putusannya Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang bersifat positive legislature akan tetapi Mahkamah Konstitusi telah berhasil menerapkan hukum progresif yang mencoba melihat sebuah persoalan dari berbagai perspektif dalam rangka untuk mewujudkan sebuah keadilan substantif. Untuk mewujudkan putusan-putusan, Mahkamah Konstitusi yang berwatak implementatif, upaya-upaya yang mendesak untuk dilakukan terutama dalam kerangka perwujudan negara hukum yang demokrasi. Saran Mahkamah Konstitusi didalam menjalankan kewenangannya sangat diharapkan dapat memperbaiki sistem kehidupan ketatanegaraan agar lebih ideal dan sempurna. Pembentukan Mahkamah Konstitusi dilatarbelakangi adanya kehendak untuk membangun pemerintahan yang demokratis dengan checks and balances di antara cabang-cabang kekuasaan, mewujudkan supremasi hukum dan keadilan serta menjamin dan melindungi hak-hak asasi manusia. Adanya Mahkamah Konstitusi memberi harapan baru bagi pencari keadilan di tengah masyarakat yang sedang mengalami krisis kepercayaan kepada institusi peradilan. Oleh karena itu, juga dengan kewenangannya memberikan putusan dapat menunjukkan komitmennya dalam menerapkan kewenangan yang sesuai dengan konsep negara hukum dan mewujudkan idealis negara hukum yang demokratis. Kewenangan menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 oleh Mahkamah Konstitusi merupakan upaya konstitusi didalam menyelamatkan hak-hak
konstitusional para pencari keadilan yang merasa dirugikan dengan terbentuknya undang-undang tersebut, sehingga Mahkamah Konstitusi dengan berdasarkan konsep negara hukum dapat menguji tanpa dipengaruhi oleh apapun dan dari pihak manapun yang memiliki kepentingan politik golongan tertentu. Sehingga sangat diharapkan untuk menindak lanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi dengan memasukkan substansi putusan Mahkamah Konstitusi di dalamnya juga pada seluruh pihak untuk membuat peraturan yang sejalan dengan maklumat Putusan Mahkamah Konstitusi. . DAFTAR PUSTAKA A. Fickar Hadjar dkk. (Tim Perumus/Penyusun, Pokok-pokok Pikiran dan rancangan Undang-undang Mahkamah Konstitusi, KRHN dan Kemitraan, Jakarta, 2003 Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingsrecht) yang dimiliki Hakim dalam Sistem Hukum Indonesia, Raja Grapindo Indonesia, Jakarta, 2005 H Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi, Alumni, Bandung, 2008. H. Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Yang Demokrasi, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2007 Hamdan Zoelva, Impeacment Presiden; Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945, Konpress, Jakarta, 2005 Jimly Asshidiqqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi Pers, 2006 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran PartaI Politik dan Mahkamah Konstitusi, Konpress, Jakarta, 2005 Jazim Hamidi,Mohamad Sinal,Ronny Winarno, Any Suryani, I Ketut Sudantra, Mariyadi, Tunggul Anshari S. Negara, Teori Hukum Tata Negara ”A Turning Point of The State”, Salemba Humanika, Jakarta, 2012. Maruarar Siahaan, Judicial Review, Budi Raya, Jakarta, 2013. Mahfud MD, Judicial Review, Jakarta, 2007. Ni’matul huda, Politik ketatanegaraan Indonesia, FH UII PRES, Jakarta, 2003.
71
Lex Administratum, Vol. III/No. 7/Sep/2015 Soedarsono, Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal Demokrasi,Jakarta,2005 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, Budi Utama, Jakarta, 2010. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010. Perkembangan pemikiran judicial review dari Yunani Kuno dan sebelum abad ke-19 digambarkan oleh Jimly Asshiddiqie, Tahun 2013. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara 068/SKLN-II/2004 tanggal 12 November 2004 Putusan dalam Berita Negara Tahun 2005
72