KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL Jalan Insinyur Sutami Nomor 36A Surakarta 57126 Telepon (0271) 648379 Faksimile (0271) 635103 http://www.hiuns.wordpress.com
UJIAN KOMPETENSI DASAR 4 SEMESTER GASAL 2014/2015 Mata Kuliah Dosen Penguji Hari/ Tanggal Sifat Ujian Waktu Pengumpulan
: : : : :
Metode Penelitian Hubungan Internasional Muhammad Qobidl `Ainul Arif, M.A. Senin, 1 Desember 2014 Take Home Examination Rabu, 10 Desember 2014 (di Kantor Jurusan HI)
Buatlah artikel ilmiah dalam bentuk essai mengenai rencana skripsi anda dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Judul rencana skripsi disesuaikan dengan penjurusan/konsentrasi studi HI UNS, yakni: 1) Diplomasi Publik & Mediasi. Perihal perundingan dan kesepakatan dengan bangsabangsa lain baik bilateral maupun multilateral dan forum-forum internasional. Ditekankan pada preventive diplomacy (diplomasi pencegahan) dan cultural diplomacy (diplomasi kebudayaan) dengan melakukan dan mengusahakan diplomasi pada tingkat negara (first track diplomacy) sampai pada tingkat non-negara (second track diplomacy) dengan bangsa lain). 2) Hubungan dan Kerjasama Internasional. Perihal rumusan, analisa dan tawaran pemecahan masalah-masalah hubungan & kerjasama internasional; pembangunan dan pengembangan hubungan & kerjasama internasional; analisa badan-badan pembuat keputusan internasional; termasuk hukum-hukum, aturan-aturan main dalam perundingan dan perjanjian internasional. 2. Memuat latar belakang dan rumusan masalah serta kerangka analisa (konsep atau teori yang akan digunakan sesuai dengan desain penelitian). 3. Tulisan diketik rapi sesuai ketentuan penulisan dalam “Seri Artikel Internal CISMEST no.1, font Cambria 11, spasi 1, jarak antar paragraf 6 pts. Gunakan teknik pengutipan sesuai ketentuan. 4. Bobot penilaian: latar belakang dan rumusan masalah (40), kerangka analisa (40), teknik penulisan ilmiah (20). 5. Pengumpulan lembar jawab melewati batas waktu, total nilai dikurangi 10 poin tiap harinya. =o0o=
Contoh Lembar Jawab UKD 3 MPHI Nama : Muhammad Qobidl ‘Ainul Arif NIM
: D0411978
Ttd
:
STUDI EKSPLANATIF DUKUNGAN PEMERINTAH AS TERHADAP DENSUS 88 DI INDONESIA TAHUN 2003-2004
LATAR BELAKANG & RUMUSAN MASALAH erorisme sudah ada sejak 2000 tahun yang lalu. Kata teroris dan terorisme berasal dari bahasa latin ‘terrere’ yang berarti membuat bergetar1. Oleh karena itu setiap aktivitas terorisme pasti menimbulkan perasaan ketakutan dan menggetarkan hati para korbannya. Terorisme menjadi sebuah alat dimana pihak yang lemah akan dapat membuat perhitungan dengan pihak yang lebih kuat. Terorisme menawarkan hasil yang sangat menga-gumkan, yakni berupa kemampuan untuk memunculkan perasaan ketakutan, kewaspadaan dan penderitaan dengan harapan adanya pembuatan perjanjian atas tuntutantuntutan yang diinginkan2. Meskipun belum ada tafsir universal terhadap istilah terorisme, namun fakta terkini menunjukkan bahwa terorisme telah menjadi isu terbesar di dunia. Sangat mungkin bahwa seorang teroris di suatu daerah akan dianggap sebagai seorang pejuang kebebasan di daerah lain. Dalam beberapa kasus, label teroris bahkan disematkan kepada setiap individu atau kelompok yang berusaha untuk menentang hegemoni dari sebuah negara yang mendominasi percaturan dunia. Dalam beberapa tahun belakangan ini, banyak media dan perdebatan politik memusatkan perhatiannya terhadap masalah terorisme. Hal tersebut dipicu oleh adanya serangan fantastis para teroris ke daratan Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001 yang mengukir sejarah sebagai serangan pertama terhadap wilayah daratan AS yang terjadi semenjak Perang Dunia Kedua. Sembilan belas teroris yang berafiliasi kepada sebuah kelompok teroris bernama Al Qaeda di Afganistan dituduh berada dibalik skenario terhadap serangan ini. ‘Pertunjukan’ dimulai ketika para teroris, yang bekerja dalam sebuah tim beranggota 4 hingga 5 orang, membajak 4 pesawat terbang komersial pada pagi hari tanggal 11 September 2001. Tim pembajak pertama dan kedua menabrakkan dua pesawat terbang ke arah menara kembar World Trade Center (WTC) di New York. Satu pesawat untuk masing-masing gedung. Gedung kemudian runtuh dan hancur luluh lantak menewaskan ribuan orang. Tim pembajak ketiga mena-brakkan pesawat terbang ke arah Pentagon, markas besar tentara AS di Arlington, Virginia. Tim pembajak keempat sepertinya juga mengarahkan pesawat untuk menghan-curkan sebuah target di daerah Washington, D.C., namun para penumpang di dalam pesawat menyadari apa yang sedang terjadi dan kemudian melawan para pembajak. Pesawat keempat ini jatuh di sebuah desa di 1
Abdul Wahid, et.al., Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum (Bandung: Refika Aditama, 2004),
2
Bruce Hoffman, “Terrorism,” dalam Microsoft Encarta Encyclopedia, 2004 ed.
22.
Pennsylvania. Selain menewaskan kesembilan belas pembajak, tragedi 11/9 telah membunuh 2.973 orang serta 24 orang dilaporkan hilang dan diperkirakan meninggal3. “America under Attack,” begitulah tema siaran CNN pada tanggal 11 September 2001. CNN melaporkan seluruh perkembangan pasca tragedi 11/9 dalam kurun 24 jam dan memasang tulisan “America under Attack” di bawah layar televisi. Di hari itu seluruh warga Amerika Serikat mempertontonkan semangat perjuangan, heroisme, patriotis-me, simpati, kedermawanan dan persatuan nasional yang belum pernah terlihat sebelumnya. Sebagai reaksi atas serangan 11/9 tersebut, Presiden George W Bush segera mendeklarasikan bahwa Amerika Serikat berada dalam keadaan perang. Namun perang yang telah dideklarasikan ini bukanlah perang konvensional. Sebuah perang dengan musuh yang tidak jelas dan tidak terlihat dimana belum pernah dibahas sebelumnya dalam hukum internasional. Perang bentuk baru ini dinamakan ‘Perang Melawan Terorisme’ dengan target utama Al Qaeda sebagai organisasi yang bertanggung jawab atas serangan 11 September dan juga kepada setiap individu, organisasi dan pemerintahan yang melindungi dan mendukung para anggota Al Qaeda. Bush menekankan bahwa pioritas utama pemerin-tahannya adalah melakukan kampanye untuk memerangi terorisme. Seluruh pemerintahan di dunia diberikan ultimatum untuk memutuskan apakah mereka akan berdiri bersama Amerika Serikat dalam barisan kampanye anti terorisnya, atau menghadapi kemarahan Amerika. Ultima-tum ini kemudian hari dikenal sebagai ‘Doktrin Bush’. Bush mengatakan bahwa Amerika Serikat tidak hanya akan menargetkan perangnya terhadap organisasi teroris, tetapi juga kepada setiap pemerintahan yang mendukung para teroris. “Setiap negara di seluruh dunia sekarang harus memutuskan,” ucap Bush. “Apakah kalian bersama kami atau bersama para teroris. Mulai hari ini, setiap negara yang terus melindungi atau mendukung terorisme akan dianggap oleh Amerika Serikat sebagai rezim musuh.”4 Bush memberikan dua pilihan yang berat bagi masya-rakat dunia: bersama AS atau bersama para teroris. Hanya ada hitam dan putih tanpa kemungkinan adanya warna lain. Bahkan, Washington tidak akan menolerir sikap negara yang berada dalam posisi ‘non-blok’ atau ‘bebas dan aktif’ sekalipun. Meski sebagian besar reaksi negara-negara di dunia terhadap Doktrin Bush tampak serupa, dimana mereka mendukung dan memilih untuk bergabung bersama Amerika, namun ada tujuh negara yang menolak Doktrin Bush - mereka kemudian dijuluki sebagai ‘the axis of evil’ atau ‘negara poros setan’ – yakni: Kuba, Iran, Irak, Libya, Korea Utara, Sudan dan Siria. Sangat mengejutkan tatkala menyimak fakta bahwa kepala pemerintahan yang pertama kali mengunjungi Amerika Serikat pasca 11 September adalah Megawati Sukarnoputri, Presiden Republik Indonesia. Seminggu setelah tragedi 11 September, Presiden dari negara berpenduduk muslim terbesar di dunia ini mengunjungi Gedung Putih untuk memberikan ucapan bela sungkawa kepada warga AS. Dengan demikian otomatis ia telah menjadi sekutu pertama AS dalam perang melawan terorisme di Asia. Megawati sepertinya tidak terpengaruh dengan ucapan Presiden Bush beberapa jam setelah tragedi 11/9 ketika George Bush menggunakan kata ‘Crusade’ (Perang Salib) sebagai simbol perang melawan terorisme yang, tentu saja, terasa menyakitkan bagi pemeluk agama Islam. Putri dari mendiang Presiden Sukarno, seorang presiden yang anti Amerika, telah menunjukkan kepada dunia bahwa akan jauh lebih aman berdiri di belakang Amerika daripada mengambil resiko bersembunyi bersama para teroris. Masya-rakat dunia tengah menyaksikan 3 Tom Gjelten, “September 11 Attacks,” dalam Microsoft Encarta Encyclopedia, 2004 ed. Lihat juga “September 11, 2001,” dalam Wikipedia: The Free Encyclopedia. 4 Gjelten, loc. cit.
bahwa Indonesia tidak lagi cukup bernyali untuk menggunakan landasan pijak politik luar negerinya yang sangat terkenal selama perang dingin yakni ‘politik luar negeri bebas aktif’. Lalu, apa keuntungan bagi Indonesia dengan bergabung dalam aliansi perang melawan terorisme ini? John Gershman, direktur Global Relations Program in Interhemispheric Resource Center menunjukkan data yang cukup mengejutkan bahwa ‘wortel’ AS telah mengalir ke Indonesia sekitar 500 juta dollar AS (http://www.fpif.org). Uang sebanyak ini adalah hadiah awal bagi pemerintah Indonesia sekaligus sebagai sebuah tanda bagi hubungan baru Indonesia – AS dalam perang melawan terorisme. Pemerintah Indonesia baru benar-benar terlibat secara total dalam barisan koalisi bentukan AS dalam perang melawan terorisme tersebut setelah terjadinya tragedi Bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002. Di hari itu beberapa anggota Jema’ah Islamiyah – sebuah organisasi teroris yang mempunyai sel di negara-negara Asia Tenggara dan dipercaya menerima dukungan Al Qaeda – meledakkan sebuah bom truk di luar sebuah diskotek di pulau dewata Bali. Ledakan bom menewaskan sekitar 200 orang dan melukai 300 orang lebih. Jumlah korban terbesar adalah turis yang berasal dari Australia5. Serangkaian bom lain yang didalangi para teroris juga terjadi setelah Bom Bali seperti bom di Hotel JW. Marriot Jakarta tahun 2003 dan bom di Kedutaan Besar Australia pada tahun 2004. Bom Bali dan pengeboman lainnya yang terjadi hampir di seluruh Indonesia telah meyakinkan pemerintahan Megawati untuk mendeklarasikan perang terhadap terorisme. Akhirnya Megawati menemukan momentum yang tepat untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah no. 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Peraturan ini kemudian hari disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai Undang-undang Anti Terorisme no. 15 tahun 2003. Tidak berselang begitu lama setelah peraturan tersebut diundangkan, polisi kemudian berhasil menangkap sekitar 200 tersangka teroris. Hampir seluruh otak pelaku aksi terorisme utama seperti pelaku Bom Bali, Bom Hotel Marriot dan Bom Kedutaan Besar Australia telah berhasil ditangkap dan diproses ke pengadilan. Para aparat penegak hukum, diplomat dan agen intelijen dari Amerika Serikat, Australia dan Eropa menjuluki Indonesia sebagai ”cerita kesuksesan yang luar biasa” dalam perang melawan terorisme6. Dalam rangka mendukung perang melawan terorisme di Indonesia tersebut, pada tanggal 26 Agustus 2004, Polda Metro Jaya meresmikan berdirinya pasukan khusus untuk melindungi Ibu Kota dari aksi-aksi terorisme bernama ‘Detasemen Khusus 88 Anti Teror’. Seorang pejabat senior Polda Metro Jaya mengatakan bahwa pasukan sejenis akan dibentuk pada tingkat provinsi di seluruh Polda di Indonesia. Sebuah harian di Singapura, The Straits Times, melaporkan bahwa Densus 88 adalah pasukan elit anti teror dalam tubuh kepolisian Indonesia yang dibangun dengan bantuan finansial dan pelatihan dari Amerika Serikat. Densus 88 Anti Teror, disebut juga sebagai Delta 88, disponsori oleh program Anti-Terrorism Assistance (ATA) yang berasal dari inisiatif Washington. Gedung Putih telah setuju untuk memberikan 12 juta dollar AS untuk pelatihan Densus 88 sebagai bantuan awal. Mr. Gary Lang, manajer program ATA, mengatakan bahwa 6 juta dollar berikutnya dapat dicairkan pada tahun 2005. Sebagai tambahan atas bantuan finansial tersebut, pemerintah AS juga memberikan bantuan berupa persen-jataan elit dan peralatan komunikasi. Gluck-17 handguns, AR-10 sniper rifles, Remington 870 shotguns dan M4 sub-machine guns untuk melengkapi persenjataan Densus 887.
5 6
2005.
Dennis Piszkiewicz, Terrorism’s War with America. (London: Greenwood Press, 2003), 138. Raymond Bonner, “News Analysis: Indonesia hailed for effort on terrorism,” The New York Times, 16 November
7 Robert Go, Jakarta Swat Team Ready for Action (diakses tanggal 21 Februari 2006); dari http://www.indonesiahouse.org/focus/militer/2003/12/121903Jakarta_SWAT_team_ready_ for_action.htm.
Menurut Departemen Luar Negeri AS, di sepanjang tahun 2003 kepolisian Indonesia telah menerima pelatihan investigasi dan teknik reaksi cepat dalam rangka mening-katkan kemampuan mereka dalam menghadapi terorisme. Pada bulan Juli, sebanyak 30 anggota kepolisian Indonesia telah menerima pelatihan intensif anti terorisme selama 15 minggu yang disponsori oleh ATA. Pada bulan Oktober, 24 anggota kepolisian Indonesia berhasil lulus dari kursus reaksi cepat (Crisis Response (SWT) course) dan 15 anggota kepolisian lulus dari kursus kontra aksi peledakan (Explosive Incident Countermeasure course). Para anggota kepolisian Indonesia menerima pelatihan dalam tiga kelas yang diselenggarakan di pusat pelatihan yang berada sekitar 30 mil di selatan Jakarta. Pusat pelatihan ini dilengkapi dengan “shot house” bagi simulasi penyanderaan, lintasan lari dan fasilitas lainnya yang berasal dari bantuan AntiTerrorism Assistance (ATA). Lulusan anggota kepolisian Indonesia dari kursus-kursus diatas kemudian hari menjadi anggota inti detasemen khusus anti teror yang pertama kali dimiliki Indonesia. Pasukan ini berjuluk ‘Detasemen Khusus 88 Anti Teror’. Menurut keterangan resmi Departemen Luar Negeri AS, angka ‘88’ dalam nama ’Densus 88’ tersebut dianggap sebagai angka keberuntungan dan juga melambangkan bunyi suara yang mirip dengan ‘ATA’ (eighty eight)8. Anti-Terrorism Assistance (ATA) sebagai kontributor Densus 88 adalah sebuah program kerja sama antara pemerintah AS dan aparat penegak hukum pemerintah asing. Program ini telah berhasil melatih sebanyak 36.000 polisi asing dan para petugas keamanan dari 142 negara di seluruh dunia sebagai kekuatan kontra terorisme. Kongres AS menyetujui program ini sejak tahun 1983 sebagai bagian dari inisiatif dalam usaha melawan terorisme internasional9. ATA adalah program asistensi khusus yang memberikan pelatihan militer dan keamanan. Seluruh pelatih dalam program ATA adalah orang Amerika, rata-rata instruktur berasal dari purnawirawan polisi atau tentara AS. Pelatihan dalam ATA mirip seperti pelatihan yang diberikan kepada unit reaksi cepat SWAT. Negara yang bergabung dalam program ini akan menerima persenjataan yang sangat istimewa. Brigadir Jendral Pranowo Dahlan, komandan Densus 88, mengatakan “Senjata-senjata ini belum pernah kami miliki sebelumnya. Seseorang akan menyadari bahwa ia berada dalam posisi yang istimewa dengan memiliki pasukan elit ini.”10 Negara-negara yang bergabung dalam program Anti-Terrorism Assistance (ATA) harus terlebih dahulu melengkapi beberapa persyaratan, termasuk catatan dalam permasalahan hak asasi manusia. Sesuai bab 8 bagian 2 dari Foreign Assistance Act (FAA) pasal 573 (b) mempersyaratkan persetujuan Asisten Menteri Luar Negeri untuk Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Perburuhan dalam menentukan negara-negara yang berhak menerima program ATA dan ketika menentukan jenis bantuan yang akan diberikan melalui program ini11. Meskipun pertimbangan hak asasi manusia merupakan bagian dari persyaratan bagi negara-negara yang hendak bergabung dalam progam ATA, namun secara mengejutkan kepolisian Indonesia dapat menerima sejumlah dana, pelatihan dan persenjataan melalui program ini. Fenomena ini sangat mengejutkan mengingat pada waktu itu Indonesia sebetulnya secara formal masih dalam kondisi embargo militer dan persenjataan sebagai akibat dari pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia di Timor Timur. Jika kita menengok kembali beberapa tahun ke belakang, embargo militer dan persenjataan kepada pemerintah Indonesia diakibatkan tekanan masyarakat internasional atas tragedi pembantaian warga sipil di Santa Cruz, Dili pada tahun 1991. Tekanan publik memaksa Amerika untuk memberikan embargo militer dan persenjataan sebagai sanksi bagi TNI yang telah 8 U.S. Department of State, Patterns of Global Terrorism (diakses tanggal 21 Februari 2006); dari http://www.iwar.org.uk/cyberterror/resources/patterns-of-global-terrorism/31948.pdf. 9 Ibid. 10 Go, loc. cit. 11 Latin America Working Group Education Fund, Anti-Terrorism Assistance (ATA) (diakses tanggal 1 Juni 2006); dari http://www.ciponline.org/facts/ata.htm.
membunuh lebih dari 270 warga sipil dalam sebuah demonstrasi di Santa Cruz, Timor Timur. Sebagai hasil langsung dari tekanan massa pada level akar rumput (grassroot), maka Kongres AS memangkas bantuan program pelatihan militer International Military Education and Training (IMET) pada bulan Oktober 1992. Peraturan ini kemudian menjadi Undang-undang sebagai bagian dari APBN Amerika Serikat tahun 1993 (Fiscal Year 1993) Foreign Operations Appropriations Act serta diundangkan kembali pada APBN 1994 dan APBN 199512. Pada bulan Juli 1993, Departemen Luar Negeri AS, di bawah tekanan Kongres, menerapkan embargo persenjataan dengan melarang pengiriman pesawat tempur buatan AS F-5 fighter planes dari Yordania ke Indonesia karena prihatin terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Indonesia. Di awal tahun 1994, Departemen Luar Negeri AS melarang penjualan persenjataan ringan dan perlengkapan pengendali kerusuhan kepada Indonesia. Sementara itu pada tahun 1995 dan 1996 pemerintah AS memperluas cakupan embargo termasuk bagi pengiriman helikopter dan kendara-an militer pengangkut personil13. RUMUSAN MASALAH Hubungan militer dan persenjataan yang tidak normal antara Indonesia dan AS terus berlangsung hingga tahun 2005. AS baru mencabut embargo bagi pelatihan militer pada bulan Februari 2005 dan mencabut embargo persenjataan pada bulan Mei 2005. Dengan demikian, dukungan AS dalam pelatihan militer dan pengiriman persenjataan bagi Detasemen Khusus 88 Anti Teror pada tahun 2003 dan 2004 menjadi sebuah fenomena janggal serta pertanyaan yang amat serius. Dengan demikian, rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dinyatakan sebagai berikut: Mengapa AS mendukung pelatihan militer dan pengiriman persenjataan bagi Detasemen Khusus 88 pada tahun 2003-2004 sementara waktu itu Indonesia masih dalam status embargo militer dan persenjataan? KERANGKA ANALISA Penulis menggunakan dua kerangka teori sebagai guidance dalam menjawab persoalan, yakni teori tentang pengambilan keputusan dalam situasi krisis atau biasa dikenal sebagai Decision-Making in Crisis theory serta teori aliansi. Berikut akan dijelaskan satu persatu. 1. Teori pengambilan keputusan dalam situasi krisis (decision-making in crisis theory) Terminologi krisis berasal dari bahasa Yunani krinein yang berarti berpisah. Dalam istilah medis, krisis adalah keadaan serius pada diri pasien antara hidup dan mati. Sedangkan dalam istilah politik internasional, situasi seperti itu mungkin digambarkan dalam keadaan antara perang dan damai. Para sarjana dan analis politik internasional telah menyusun definisi krisis yang lebih spesifik. Paling tidak ada tiga alternatif definisi yang perlu mendapatkan perhatian, yakni krisis sistem (systemic crisis), krisis konfrontasi internasional (international confrontation crisis) dan krisis negara pada para level pengambil keputusan (governmental decision-making crisis). Dalam definisi krisis yang ketiga, fokus perhatiannya adalah pada suatu negara. Governmental decision-making crisis melazimkan adanya kejadian atau even pemicu sebagai stimulus yang menyebabkan situasi tidak menguntungkan bagi para pengambil kebijakan (policymakers) dan para konstituennya. Definisi krisis ini menekankan pada adanya beberapa elemen dari keadaan yang biasanya dihadapi oleh para pengambil kebijakan. 12 Frida Berrigan, Indonesia at the Crossroads: U.S. Weapons Salaes and Military Training. (diakses tanggal 21 Februari 2007); dari http://www.worldpolicy.org/projects/arms/reports/indo101001.htm. 13 Ibid.
Menurut Charles F. Herman, terdapat tiga elemen dalam sebuah situasi krisis, yakni: tingkat ancaman yang tinggi (high threat), waktu yang mendesak (short time) dan keterkejutan (surprice). Lebih spesifik lagi sebuah keadaan dikatakan sebagai krisis manakala terdapat kombinasi antara tingkat ancaman yang tinggi terhadap kepentingan dasar (basic goals) para pembuat kebijakan, waktu yang mendesak sebelum keadaan yang tidak diinginkan terjadi dan bertambah buruk, serta muncul sebagai sebuah kejutan (yakni tidak adanya prediksi bahwa keadaan seperti itu akan muncul)14. Perbeda-an antara situasi krisis dan situasi lainnya dalam politik internasional digambarkan dalam kubus situasional seperti terdapat dalam Gambar 1. Dalam menjelaskan perilaku krisis para pembuat kebijakan, Charles A McClelland menerangkan bahwa para analis perilaku krisis telah memfokuskan perhatian pada lima pendekatan: (1) definisi krisis; (2) klasifikasi tipe krisis; (3) studi terhadap tujuan, akhir dan target dalam situasi krisis; (4) pengambilan keputusan dalam bayang-bayang situasi krisis; dan (5) manajemen krisis15. F
G + Fall of China
Japanese Treaty +
+ Berlin (1961)
B Khrushchev’s Ouster +
+ Greece/ Turkey (1947)
Admit CPR to UN +
C
French Withdraw Fleet +
+ Quemoy (1958)
Indian Arms Request +
+ Berlin Blockade
U-2 +
E
A
+ Cuban Missiles
Stanleyville Hostages +
+ Korean Attack
Hungarian Uprising +
H
D
Gambar 1. Kubus situasional Charles F. Hermann menggambarkan tiga dimensi ancaman (threat), waktu pengambilan keputusan (decision time) dan ketersadaran (awareness) dengan ilustrasi situasi-situasi dari perspektif para pengambil keputusan di AS. Dengan menggunkan teori pengambilan keputusan dalam situasi krisis, penulis bermaksud menjelaskan bahwa dukungan pemerintah AS terhadap Densus 88 merupakan hasil dari situasi krisis dalam tubuh pemerintahan AS pasca tragedi 11 September. Tragedi 11/9 atau The Black September adalah serangan terburuk dari ‘musuh’ AS ke daratan Amerika yang baru terjadi semenjak Perang Dunia Kedua dimana serangan ini menjadi sebuah ancaman serius bagi tujuan nasional AS yang utama, yakni keamanan nasional-nya. Tragedi 11/9 telah menimbulkan krisis keamanan di daratan Amerika dan kepanikan di seluruh lapisan masyara-kat. Kebijakan
14 Charles F. Hermann, “Crisis,” in The Oxford Companion to Politics of the World, ed. Joel Krieger (New York: Oxford University Press, 1993), 205-206. 15 James E. Dougherty and Robert L. Pfaltzgraff, Jr., Contending Theories of International Relations (New York: Harper Collins Publishers, Inc., 1990), 489.
pemerintah AS selanjutnya amatlah dipenga-ruhi oleh perilaku krisis dari para pengambil kebijakan di dalamnya. 2. Teori aliansi Menurut Robert E. Osgood, aliansi adalah sebuah “komunitas perang yang bersifat laten, berdasarkan kerja sama yang dibuat diluar kesepakatan formal dan masing-masing pihak yang ikut serta di dalamnya harus terus saling bakerja sama untuk menjaga sikap saling percaya atas peran masing-masing dalam sebuah tugas tertentu”16. Dengan demikian, aliansi biasanya muncul dengan adanya sebuah konflik atau dengan adanya ancaman akan hadirnya sebuah konflik17. Stephen M. Walt menjelaskan latar belakang pendirian sebuah aliansi dalam teori pembentukan aliansi “balance-of-threat.” Walt berargumen bahwa negara pada dasarnya hanya memusatkan perhatian pada keamanannya sendiri. Oleh karena itu, negara cenderung berperilaku mencari keamanan dari sebuah ancaman daripada mencari kekuatan (power). Sebagai hasilnya, negara cenderung berperilaku mengimbangi (balancing) terhadap kekuatankekuatan yang mengancamnya dengan membentuk sebuah aliansi untuk melawan mereka18. Meski demikian, Randall L. Schweller mengritisi teori Walt dengan meluncurkan teori baru sebagai penyempurna teori Walt di muka. Schweller berargumen bahwa kemun-culan sebuah aliansi adalah karena adanya negara-negara yang bersifat status quo. Schweller memberikan ilustrasi bahwa negara-negara status quo selayaknya memiliki karakteristik seekor ‘singa’ (lions). Schweller kemudian berargumen bahwa negara-negara status quo tersebut cenderung membentuk aliansi untuk dapat terus melanggengkan segala sesuatu yang telah mereka miliki (self-preservation). Schweller berargumen bahwa kekuatan-kekuatan yang telah mapan akan bergabung dalam koalisi status quo ini meskipun ketika itu mereka merupakan pihak yang kuat dalam percaturan politik internasional. Sebuah aliansi negara-negara yang mapan dalam konteks ini akan muncul secara otomatis sebagai alat untuk memelihara dan melang-gengkan segala sesuatu yang telah dimiliki (self-preservation)19. Dengan menggunakan teori aliansi sebagaimana dipaparkan tadi, penulis ingin menjelaskan bahwa perang melawan terorisme benar-benar telah membuat pemerintah AS merasa terancam dan kurang percaya diri sehingga mereka berusaha membangun sebuah aliansi dengan pemerintah Indonesia tanpa mempedulikan kebijakan pemerintahan AS sebelumnya terhadap Indonesia dalam masalah embargo militer dan persenjataan. Sebagai konsekuensi dari aliansi tersebut kemudian pemerintah AS mendukung (mensupport) pendirian Detasemen Khusus 88 Anti Teror dalam tubuh Polri. Di sisi lain, Indonesia sepakat untuk bergabung dengan aliansi AS melawan terorisme dan menerima bantuan pemerintah AS dalam pendirian Densus 88 karena situasi ketidakamanan setelah serangkaian bom mengguncang beberapa tempat di wilayah Indonesia. Sebagaimana dijelaskan oleh George F. Liska bahwa suatu negara akan bergabung ke dalam sebuah aliansi karena menginginkan keamanan, stabilitas serta status20.
16 Dougherty and Pfaltzgraff, op. cit., 450. diambil dari Robert E. Osgood, Alliances and American Foreign Policy (Baltimore: Johns Hopkins Press, 1968), 19. 17 Dougherty and Pfaltzgraff, loc. cit. diambil dariJ. David Singer and Melvin Small, “Alliance Aggregation and the Onset of War, 1815-1945,” dalam Alliances: Latent War Communities in the Contemporary World , ed. Francis A. Beer (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1970). 18 Stephen M. Walt, “Testing Theories of Alliance Formation: The Case of Southwest Asia,” International Organization, Vol 42, No. 2 (1988): 275-316. 19 Randall L. Schweller, “Bandwagoning for Profit: Bringing the Revisionist State Back,” International Security, Vol. 19, No. 1, 72-107. 20 Dougherty and Pfaltzgraff, loc. cit.
DAFTAR PUSTAKA Bonner, Raymond. “News Analysis: Indonesia hailed for effort on terrorism.” The New York Times. 16 November 2005. Berrigan, Frida. Indonesia at the Crossroads: U.S. Weapons Salaes and Military Training. (diakses tanggal 21 Februari 2007); dari http://www.worldpolicy.org/projects/arms/reports/indo101001.htm. Dougherty, James E dan Robert L. Pfaltzgraff, Jr. Contending Theories of International Relations New York: Harper Collins Publishers, Inc., 1990. Gjelten, Tom. “September 11 Attacks.” Microsoft Encarta Encyclopedia, 2004 ed. Go, Robert. Jakarta Swat Team Ready for Action (diakses tanggal 21 Februari 2006); dari http://www.indonesiahouse.org/focus/militer/2003/12/121903Jakarta_SWAT_team_ready_ for_action.htm. Hermann, Charles F. “Crisis.” The Oxford Companion to Politics of the World, ed. Joel Krieger New York: Oxford University Press, 1993. Hoffman, Bruce. “Terrorism.” Microsoft Encarta Encyclopedia, 2004 ed. Latin America Working Group Education Fund. Anti-Terrorism Assistance (ATA) (diakses tanggal 1 Juni 2006); dari http://www.ciponline.org/facts/ata.htm. Piszkiewicz, Dennis,.Terrorism’s War with America. London: Greenwood Press, 2003. Schweller, Randall L. “Bandwagoning for Profit: Bringing the Revisionist State Back,” International Security. Vol. 19, No. 1, 72-107. U.S. Department of State. Patterns of Global Terrorism (diakses tanggal 21 Februari 2006); dari http://www.iwar.org.uk/cyberterror/resources/patterns-of-global-terrorism/31948.pdf. Wahid, Abdul, et.al. Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum. Bandung: Refika Aditama, 2004. Walt, Stephen M. “Testing Theories of Alliance Formation: The Case of Southwest Asia.” International Organization. Vol 42, No. 2 (1988): 275-316.