KORAN PANJI T E G A S
D A N
B E R A N I
Edisi 3 | Vol. I | Tahun 2 /2015
Tutup Bisnis Pelacuran di Solo ! Foto : Gang Tempat Mangkal Pelacur di Kestalan
SOLO -Malam itu langit terlihat cerah. Udara juga terasa sejuk. Seperti biasa, di sekitaran hotel daerah Stasiun Balapan danKantor Radio Repubik Indonesia (RRI) para perempuan berdandan menor nangkring diatas sepeda motor dengan pakaian minim. Mereka terlihatberjejer di gang-gang kecil, ada juga yang duduk-duduk tepat didepan hotel kelas melati didaerah itu. Tangan kirinya memegang rokok, sesekali ia melempar senyum dan menyapa setiap laki-laki yang lewat didepannya. Malam itu malam Minggu, jumlah pelacur yang terlihat di kawasan itu sangat banyak, tidak seperti
malam-malam biasa. Salah seorang pelacur, sebut saja SR (bukan nama sebenarnya), sudah menjajakan tubuhnya hampir lima tahun. Wanita asal Klaten tersebut sering mangkal disekitar Stasiun Balapan tepatnya di Hotel Ar. Reporter Koran Panji sempat mengorek sejumah informasi dari pelacur tersebut. Kebutuhan ekonomi menjadi alasan klise setiap pelacur jika ditanya mengapa dirinya rela menjual diri. Namun, ada informasi menarik, ternyata tidak semua pelacur menjajakan diri karena masalah ekonomi. Ada juga yang melakukan perbuatan tersebut karena gaya
Bersambung ke hal. 4 . . .
Saksi Bisu Masjid dan TK di Wilayah Kelabu BANJARSARI -Seperti biasa setiap pagi suasana di bangunan itu ramai dikunjungi. Suara lucu anak-anak yang bernyanyi dan bermain manja seolah menjadi ciri tersendiri. Ya disitulah berdiri sebuah Taman Kanak-Kanak (TK) yang berjuang sekuat tenaga mendidik anak-anak agar menjadi generasi dambaan hati. Namun ternyata pendidikan anak yang menjadi harapan bagi semua orang tersebut harus diracuni dengan kondisi lingkungan yang ada. Bersambung ke hal. 7
Foto : Masjid Asy Syiar di Kawasan Pelacuran RRI Kestalan
02
KORAN PANJI Edisi 3 Volume 1 2014
Aparat Seakan Tutup Mata & Telinga Terkait Keberadaan Prostitusi BANJARSARI -Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta sepertinya tidak peduli dengan menjamurnya bisnis prostitusi di kota Solo, hal ini dibuktikan dengan tidak adanya sebuah program yang diberikan kepada para pelacur atau pengelola hotel. Baik berupa penyuluhan terlebih sanksi hukum. DR (inisial_red) salah seorang pengelola yang tak mau disebut dirinya sebagai germo menjelaskan, tak ada langkah positif yang dilakukan pemerintah kota Solo terkait program pembinaan untuk pengentasan. “Beberapa tahun ini belum ada langkah positif yang dilakukan pemkot Solo terkait pelacur disini,”ujar DR yang juga mengelola 5 hotel dan memiliki pelacur 30 an orang. Senada dengan DR, AC salah seorang tangan kanan DR menjelaskan hanya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) saja yang peduli dengan mbak-mbak e (sebutan lain pelacur). Meski program yang diberikan hanya sekedar program penyuluhan kesehatan. “Selain penyuluhan kesehatan, LSM tersebut juga menyediakan alat kontrasepsi (kondom) gratis yang diletakkan di meja resepsionis hotel. Sudah hanya itu,” terangnya. Kecewa dan jengkel juga ia sampaikan saat para pelacur yang terkena razia ditangkap dan dimasukkan ke panti rehabilitasi yang terletak di daerah Laweyan. Sebab, tempat rehabilitasi tersebut sangat tidak layak dihuni. Mulai dari kelebihan kapasitas hingga tak ada program pembinaan yang jelas. “Coba dilihat, setiap mbak-mbak e yang keluar dari panti rehabilitasi REDAKSI
Foto : Hotel di Kestalan yang Menyediakan Pelacur, Siang dan Malam pasti kembali lagi jadi pelacur. Berarti kan bisa dikatakan gagal rehabilitasi tersebut,” keluhnya. Panti rehabilitasi memang ditakuti para pelacur yang tertangkap, sebab banyak yang bercerita kondisi panti tak ubahnya seperti penjara. Sayangnya saat reporter Koran Panji mencoba untuk mengklarifikasi terkait hal ini, tak ada satupun pejabat dinas yang mau diwawancarai bahkan untuk ijin masuk saja dilarang. Tak hanya minimnya kebijakan pemerintah kota Surakarta. Ulah nakal para oknum aparat kepolisian yang diduga meminta jatah uang kepada para germo ataupun pelacur juga menjadi persoalan tersendiri. Reporter Koran Panji pernah melihat suatu malam ada mobil patroli yang masuk di gang tempat dimana para pelacur mangkal. Anehnya bukannya para pelacur lari menyelamatkan diri namun si pelacur tersebut malah mengambil selembar uang dari sakunya dan langsung diberikan kepada oknum petugas tersebut.
“Biasa mas bayar pajak,” ujar IN salah seorang pelacur. Biaya untuk jasa perlindungan ternyata juga tak sedikit konon menurut informasi yang beredar dari DR, dalam sebulan ia mengeluarkan biaya hampir 30 juta. Modusnya bermacam-macam ada yang datang ke hotel minta uang langsung atau memanggil para germo untuk mentraktir minum di café yang sekali minumnyamenghabiskan uang jutaan. Belum lagi alasan tak bermutu yang sering dikatakan aparat kepolisian saat tidak berhasil menangkap semua pelacur. Yaitu alasan bocor informasi. Inilah alasan berulangulang yang sering dilontarkan. Sungguh memalukan sebuah institusi resmi pemerintah namun dalam melakuan operasi bisa bocor hingga ke pengelola prostitusi. Patut diduga pasti ada oknum kepolisian yang bekerja sama dengan pengelola prostitusi. Namun ironisnya sampai detik ini tak ada satupun oknum dari aparat kepolisian yang dipenjara karena menjadi backing dari pelacuran Pimpinan Redaksi : Adi Nugroho I Redaksi : Muhammad Siddiq I Fotografer : Ahmad Faishal I Desain & Layout : Dwi Hamdan M Alamat : Jl. Jawa, Timuran, Banjarsari, Surakarta
email :
[email protected]
KORAN PANJI Edisi 3 Volume 1 2014
tersebut. Alhasil operasi pekat dilakukan hanya sekedar rutinitas belaka, untuk memenuhi laporan administrasi kantor. Fakta-fakta yang ditemukan Koran Panji mempertegas bahwa bisnis prostitusi di Kota Solo menjadi mata rantai atas satu komponen (pelaku) dengan komponen pendukung. Yang menjadi pertanyaanya, apakah merebaknya bisnis prostitusi merupakan kesengajaan pemerintah kota dengan pura-pura tutup mata tutup telinga. Atau memang belum ada sebuah langkah strategis untuk menyelesaikan persoalan tersebut ? Tak ada salahnya jika pemerintah Kota Solo mulai merenung dan berfikir serta
bekerja keras untuk segera menghentikan bisnis pelacuran yang semakin memprihatinkan. Jika sebenarnya mau,Pemkot sangat mampu untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Bayangkan, untuk memindahkan ribuan PKL di Monumen 45 ke Pasar Klitikan Notoharjo saja pemerintah berhasil meski dengan merogoh kocek yang cukup dalam.Tentu untuk menghentikan dan mengentaskan pelacuran juga pasti berhasil. Ada banyak cara yang sebenarnya bisa dilakukan secara bersamasama untuk mengentaskan bisnis pelacuran.Diantaranya dengan
03
duduk bersama dengan para ulama dan juga beberapa praktisi untuk membuat langkah strategis. Memang berbicara tentang pelacuran, tidak sepopuler dibanding dengan pembangunan fisik kota, namun sekali lagi pemerintah Kota Solo juga bertanggung jawab terhadap pembangunan moral seluruh masyarakatnya. Karena dengan moral yang baiklah, tentu pembangunan sebuah kota akan berhasil. Jika moralitas masyarakatnya bobrok maka tunggulah kehancuran kota tersebut.[]
Dari Pijat Tenda Hingga Gilingan
Foto : Dua Pelacur Menunggu Pelanggan Diatas Motor
BANJARSARI -Selain prostitusi di kawasan Kantor Radio Republik Indonesia (RRI) dan Stasiun Balapan, ada lagi modus prostitusi di Kota Solo khususnya yang masih berada di Kecamatan Banjarsari. Pertama adalah pijat tenda, dulunya pijat tenda dikenal dengan nama pijat payung. Maksudnya orang yang ingin pijat ditutupi beberapa payung yang tersusun rapi layaknya bentuk tenda. Namun saat ini model payung sudah ditinggalkan dan diganti dengan model tenda biru, tapi masih disebut dengan pijat payung. Luas dari tenda tersebut 1,5 x 2 meter dan memiliki tinggi 2 meter sama seperti ukuruan tenda pada umumya. Namun demikian jumlahnya sampai saat ini semakin
menurun tak lebih dari 15 pemijat. Mungkin karena layanan pijat plus-plus ini peminatnya kalangan bawah sehingga secara bisnis tak banyak peminatnya. Adalah PM salah seorang pekerja pijat. Ia tinggal di daerah Margorejo dan sudah 7 tahun ia menjalani profesi tukang pijat tenda. Alasan ekonomi yang menjadikannya terjerumus dalam dunia malam. Kepada reporter Koran Panji PM menjelaskan,saat bekerja sebagai tukang pijat ia merasa banyak cobaan yang harus dihadapi, mulai dari preman yang minta uang dan razia dari aparat.
“Seminggu dua kali mas saya kasih uang 10 ribu kepada oknum aparat kepolisian.Ya sebagai uang keamananlah. Jika ada info razia saya sering dikasih tau,” ujar wanita berumur 50 tahun tersebut. Namun ia akan melawan jika ada seorang preman yang meminta uang. “Enak saja minta uang, saya ini bekerja ya susah. Kalau sama preman saya tidak takut kok, saya berani melawan,” tegasnya. Sekali pijat ongkos yang ia tarik 30 ribu, namun jika ingin menambah layanan (berzina) ia meminta tambahan uang 20 ribu. Tapi tidak semua orang mau ia layani. Selain pijat tenda ada juga lokasi prostitusi lain, tepatnya di sebelah timur Terminal Tirtonadi. Ada sebuah gang, disana banyak para pelacur berjejer menjajakan diri. Namun bila dibanding dengan wilayah Kestalan, pelacur di Gilingan masih tergolong dibawahnya.Karena rata-rata di Gilingan usianya lebih tua dan fasilitas hotelnya tidak sebagus wilayah Kestalan.[]
04
KORAN PANJI Edisi 3 Volume 1 2014
BISNIS PROSTITUSI, .......Sambungan dari Hal. 1 hidup. Seperti yang dijelaskan oleh SR, tarifnya sekali melayani adalah 120 ribu. Dalam sehari ia bisa melayani lima pelanggan. Uang bersih yang ia terima setelah dipotong untuk keamanan dan hotel yaitu 100 ribu. Berarti dalam sehari ia bisa membawa pulang 500 ribu. Saat ditanya “Berarti mbak kaya ?” ia menjawab “Iya mas, didesa saya memiliki beberapa sawah, dan ada juga mbak (pelacur) disini yang punya mobil banyak,” ujarnya. Pendapat senada juga disampaikan
beberapa hotel yang berada diwilayah Kelurahan Kestalan tersebut menyediakan pelacur. Modus polisi tidurhingga mati lampu Banyaknya polisi tidur (marka jalan) di kampung daerah Kantor RRI, seolah menjadi ciri bahwa di situ ada pelacur. Marka jalan ini dibuat untuk memperlambat kendaraan petugas, jika ada operasi dari kepolisian. Sehingga saat polisi datang, para pelacur bisa cepat
Foto : Hotel di Salah Satu Lokasi Kestalan yang Dekat Stasiun Balapan
oleh pelacur yang bernama IN yang sering mangkal di hotel TK. Ia berasal dari Jawa Timur, uang yang ia terima sangat banyak namun gaya hidupnya juga tak bisa dikontrol, ibarat mau beli apa tinggal tunjuk sana tunjuk sini. Di kawasan Stasiun Balapan dan Kantor RRI terdapat kurang lebih 10 an hotel. Seperti hotel Ar, KM, MA, KSI, SB, TK, PB, JI, SR dan masih banyak lagi. Hampir semua hotel menyediakan pelacur,ada yang terang-terangan dan sembunyisembunyi. Meski bukan tempat lokalisasi, namun jika dicermati kawasan tersebut pantas disebut lokalisasi, karena hampir 24 jam
melarikan diri karena kendaran aparat terhambat oleh polisi tidur (marka jalan). Namun alasan lain juga ada, diantaranya agar orang yang lewat di kawasan tersebut, berkendara pelan-pelan sehingga para pelacur bisa menawarkan dirinya. Selain menjajakan sendiri, di kawasan ini PPO (calo laki-laki juga banyak dijumpai). Mereka menawarkan kepada para lelaki hidung belang dengan upah antara 10 ribu hingga 20 ribu sekali kencan.Namun ada juga yang kadang nekad mengambil keuntungan yang berlipat
dengan memberikan harga sendiri terhadap orang yang ingin berzina. Cara kerja PPO tak beda jauh dengan cara kerja pelacur ia juga selalu menawarkan setiap orang yang melintas gang-gang tersebut. Bisnis pelacuran didaerah tersebut juga sangat terkoordinir. Hampir di tiap ujung gang, ada seorang laki-laki yang duduk berjaga, sehingga saat operasi kepolisian datang, para lelaki inilangsung memberi kode secara beruntun. Saat ditanya masalah operasi dari kepolisian, SRatau INtidak sedikitpun was-was dan takut. “ Sudah ada yang ngurusi sendiri mas, jika ketangkep. Semua KTP (Kartu Tanda Penduduk) dari PSK disini dikumpulkan dan dibawa oleh orang yang diberi tugas oleh bos (germo.red),” ujarnya sambil mengepulkan asap rokok. Tak hanya itu aparat kepolisian juga terkesan tak berdaya jika melakukan operasi pelacur dikawasan Kelurahan Kestalan. Aparat kepolisian hanya bisa menangkap para pelacur yang nongkrong di pinggir jalan saja. Sedang pelacur yang berada didalam hotel tak bisa ditangkap karena dilindungi oleh karyawan hotel. “Saya katakan kepada pak polisi kalau mau nangkap ya yang di pinggir jalan. Jangan yang didalam hotel juga ditangkap,” ujar AC seorang tangan kanan dari germo yang bernama DR. Sehingga wajar jika operasi pekat kepolisian hanya mampu membawa segelintir pelacur karena yang lain lari kedalam hotel dan dilindungi. Hampir disetiap hotel ada ruang khusus yang digunakan untuk bersembunyi jika ada razia. Selain menyembunyikan, para karyawan antara hotel satu dan
KORAN PANJI Edisi 3 Volume 1 2014
yang lainnya juga saling berkoordinasi. Pernah suatu ketika terjadi operasi pekat dikawasan utara, maka hotel yang berada di bagian barat selatan dan timur saat itu juga langsung mematikan seluruh lampu hotel dan dengan rapat menutup pintu depan. Sehingga bisa dipastikan setiap operasi tidak semua pelacur bisa ditangkap. Kawasan Stasiun Balapan dan Kantor RRI adalah salah satu bagian prostitusi di Kota Solo. Masih banyak lagi jaringan prostitusi yang ada di kota Bengawan ini. Seperti di daerah Gilingan, kemudian salon yang menyediakan bisnis esekesek, jaringan high class yang bisa dipesan hanya dengan panggilan telefon saja dan masih banyak lagi. Dahulu, di Solo terdapat 9 tempat penampungan yang menyediakan PSK dengan harga mahal. Namun tempat-tempat tersebut tutup, setelah salah satu germo yang bernama Koko yang memiliki penampungan pelacur di Kampung
Timuran, Banjarsari, dijebloskan kepenjara pada pertengahan 2011. Jaringan pelacuran milik Koko ini dibongkar oleh Front Pembela Islam (FPI) Kota Surakarta sekitar tahun 2010. Akhirnya 8 tempat yang lain ikut tutup sampai sekarang. Para pelacurnya pun ada yang pindah ke kota lain, namun beberapa pelacurnyajuga ada yang masih berkeliaran di Kota Solo. Kurangseriusnya aparat pemerintah Kota dan kepolisian dalam memberantas pelacuran, adalah salah satu penyebab tumbuh suburnya pelacuran di Solo. Kepolisian sendiri terkesan normatif dalam menindak. Operasi hanya dilakukan jika menjelang bulan Ramadhan. Dan yang sering ditangkap hanya pelacurnya saja. Sedang germo dan mucikari tak tersentuh oleh jeratan hukum.
05
Pemerintah Kota Solo juga demikian. Tidak ada sebuah terobosan yang berkesinambungan terkait bagaimana agar Solo bebas dari pelacur. Anggaran yang diberikan untuk mengadakan pelatihan juga tak begitu banyak. Sehingga tempat Bina Sosial para pelacur yang ditangkap tidak ada pelatihan ketrampilan yang signifikan. Berguru Pada Keberanian Pemerintah Propinsi Jawa Timur Keberanian Pemprov Jawa Timur dan pemerintah Kota Surabaya dalam menutup lokalisasi terbesar se Asia Tenggara Gang Dolly harusnya dijadikan semangat untuk menyelesaikan prostitusi di Solo. Disadari atau tidak sampai detik ini pemerintah Kota Solo hanya fokus pada pembangunan fisik semata, sedang pembangunan moral terkesan tak dipikirkan. []
Laskar Islam Selenggarakan Pengajian Bagi Para Pelacur Kestalan
Foto : Pengajian untuk Para Pelacur yang diselenggarakan Elemen Laskar Islam
BANJARSARI -Saat Pemerintah Kota tak peduli dengan keberadaan para pelacur dan terkesan membiarkan, ternyata ada sebagian dari elemen masyarakat Solo yang masih peduli. Ya, merekalah para laskar pejuang anti maksiat. Kepedulian tersebut diwujudkan dengan diadakannya pengajian yang semua pesertanya adalah pelacur yang selama ini mangkal di wilayah Kelurahan
Kestalan Banjarsari Solo. Hampir 40 an orang hadir dalam pengajian yang diselenggarakan di salah satu Hotel di wilayah Kestalan.Reporter Koran Panji mencoba mengikuti acara tersebut pada Sabtu (4/4/2015). Yuli Sya'ban salah seorang penggagas dalam kegiatan tersebut mengatakan bahwa acara ini dimaksudkan untuk memberikan sentuhan nilai-
06
KORAN PANJI Edisi 3 Volume 1 2014
nilai religi kepada para pelacur, sehingga diharapkan dengan adanya acara ini ada kesadaran dari para pelacur untuk mau bertobat dan akhirnya bisa kembali ke jalan yang benar. “Banyak dari kalangan umat Islam yang belum mengetahui bahwa para pelacur ini juga butuh siraman keislaman, jangan sampai hal ini malah akan dilirik oleh para misionaris gereja sehingga merekamalah dimurtadkan,” terangnya. Kegiatan keagamaan ini sendiri sudah berlangsung untuk kedua kalinya.Dan respon yang didapat sangat baik.Karena para wanita yang selama ini terkesan menjadi “sampah masyarakat” ternyata juga mau diundang untuk datang di acara kajian. Agar lebih terasa dekat secara psikologis, maka dipilihlah penceramah dari kalangan wanita.Yuli akhirnya meminta bantuan dari organisasi wanita Muhammadiyah yaitu Pimpinan Wilayah Aisyiah Jawa Tengah agar mau mengirimkan seorang penceramah. Dan permohonan itu mendapat respon yang cukup baik sehingga dalam dua kegiatan ini pengajian tersebut diisi oleh Ustadzah Kasiaty SH MH. Dalam ceramahnya Ustadzah Kasiaty juga sangat mengusai materi sehingga para peserta kajian juga nampak khusuk mendengarkan.Materi tauhid tentu menjadi awal pengenalan dalam kajian tersebut. Diharapkan dengan lebih mengenal Allah maka akan timbul rasa cinta manusia terhadap Sang Penciptanya dan kedepan tentu akan mau menuruti segala perintah dan laranganNYa. Namun ternyata langkah mulia dalam pengadaan kajian tersebut banyak ditemukan fitnah dan ganjalan. Ada yang mengatakan bahwa pengajian tersebut terkesan paksaan jika para pelacur tidak
Foto : Spanduk Warga Menolak Pelacur di Kampung Mereka
mau ikut pengajian maka para aktivis anti maksiat akan melakukan sweping dan sebagainya. Ada fitnah lagi yang mengatakan bahwa laskar sekarang menjadi backing keamanan di wilayah pelacuran Kestalan. Menanggapi hal tersebut Yuli Sya'ban selaku koordinator acara tak begitu menghiraukannya.Ia meminta agar semua elemen masyarakat untuk datang dan melihat langsung kegiatan tersebut. “Kami melakukan kegiatan ini ikhlas hanya mencari ridho Allah semata tidak ada maksud lain. Kami ingin kota Solo bebas dari adanya praktek pelacuran. Namun jika dalam perjalannya banyak fitnah kami juga tak menghiraukannya kami pesrahkan kepada Allah SWT,” tutupnya. Pelacur Tak Peduli Larangan Warga Pengajian untuk para pelacur yang diselenggarakan aktivis
Islam di salah satu hotel di Kestalan tersebut memang diikuti cukup banyak orang. Tapi ternyata pada saat yang sama, di gang lain para pelacur tetap beroperasi, meski saat itu baru jam 10.00 WIB. Di RT IV RW III Kestalan contohnya, di gang yang terletak di barat Kantor Radio Republik Indonesia tersebut, siang itu tampak berjejer para wanita menunggu pelanggan. Padahal di tiap ujung gang, warga RT setempat sudah memasang spanduk berisi larangan para pelacur mangkal di kampung mereka. Dalam spanduk yang ada di ujung utara dan selatan gang, dan di tengah kampung tertulis “WARGA RT IV RW III MENOLAK KERAS PSK MANGKAL DI TEMPAT INI”. Entah karena tidak bisa membaca atau tidak perduli dengan adanya spanduk tersebut. Para pelacur tetap beroperasi pagi siang malam di Kampung Kestalan tersebut.[]
KORAN PANJI Edisi 3 Volume 1 2014
07
Saksi Bisu,........Sambungan dari Hal. 1 TK Siwi Peni 13, berada disebuah gang kecil di kawasan Kestalan. Sebelah timur dan depannya adalah hotel tempat para pelacur mangkal. Hampir setiap pagi anak-anak yang harusnya bebas menerima pendidikan dengan suasana yang nyaman ternyata harus disuguhi dengan dandanan menor dan vulgar dari para pelacur yang menjajakan diri. Mungkin anak-anak itu tidak paham dengan apa yang dilakukan para perempuan tersebut di depan hotel, namun bisa dipastikan karena setiap hari melihat tentu si anak akan bertanya kepada bapak ibunya ataupun gurunya “Siapa perempuan itu, mengapa memakai baju seperti itu?”dan lain sebagainya. Dan masih banyak lagi pertanyaan yang ada. Jika sekali dua kali si anak bisa diberi alasan yang lain namun jika setiap hari bertemu bisa dipastikan si anak akan paham dengan sendirinya. Jika demikian tentu psikologi anak akan rusak. Hak-hak anak TK yang harusnya belajar degan ceria dan senang harus disuguhi dengan tontonan yang tidak
layak. Belum lagi para pejabat pendidikan yang berhubungan dengan sekolahan tersebut harus mengurungkan niat untuk mengunjungi sekolah karena setiap memarkirkan mobilnya si pelacur tanpa malu-malu menjajakan dirinya. “Ya sampai penilik sekolah kadang malas mas datang ke sini, karena didepan itu sering digoda,” ujar salah seorang guru yang tak mau identitasnya ditulis.
TK tersebut berdiri sudah hampir 10 tahun lamanya, namun tempat yang digunakan TK Siwi Peni ke 13 itu masih mengkontrak sebuah rumah, bukan bangunan milik mereka sendiri. Akibat dari mangkalnya para pelacur, dari tahunketahun jumlah siswanya menurun drastis bahkan di tahun 2015 ini jumlah siswanya tak lebih dari 15 siswa. Hal ini wajar, karena orang tua mana yang mau menyekolahkan
anaknya di wilayah prostitusi kalau tidak karena terpaksa. Ironisnya sampai sekarang pemerintah kota juga tidak mau memberikan solusi terkait keberadaan sekolah tersebut. “Sudah sering mas kami meminta bantuan ke Dinas tapi sepertinya tak ada tanggapan serius,” keluhnya. Selain TK, di Kestalan juga
terdapat bangunan rumah ibadah, Masjid Syiar namanya. Masjid itulah yang menjadi saksi ditengah-tengah bisnis zina. Suara adzan pun seolah menjadi angin lalu, tak ada sedikitpun rasa takut dosa dari pelacur, ppo (makelar), karyawan hotel ataupun pengelola hotel (germo). Masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Menurut informasi yang diperoleh memang niat awal didirikan masjid untuk mendakwahi bagi para pelacur agar sadar. Namun ternyata dalam perjalanannya masjid yang dibangun oleh Radio Republik Indonesia (RRI) tersebut tak mampu membendung bisnis perzinahan di wilayah tersebut. Sangat menyedihkan sekali di samping Masjid tersebut terdapat empat hotel yang semuanya menyediakan jasa pelacuran mereka tak sedikitpun terketuk hati saat kumandang adzan didengarkan. Salah seorang takmir masjid Syiar yang sempat ditemui menceritakan dahulu pernah ada pengajian yang diajar oleh ustadz dari Pondok Al Muayad dan pesertanya para pelacur, namun lambat laun pesertanya berkurang dan akhirnya pengajian itu bubar dengan sendirinya. []
08
KORAN PANJI Edisi 3 Volume 1 2014
Polresta Solo Tangkap 5 Aktivis Anti Miras, Bebaskan Penjual Miras PASAR KLIWON -Kepolisian Resort Surakarta menahan 5 orang aktivis anti miras. Kejadian tersebut berawal saat beberapa aktivis anti miras mendatangi penjual miras yang berada di daerah Gabudan Joyosuran Pasar Kliwon. Rabu (4/3/2015) malam. Awalnya para aktivis anti miras medatangi penjual miras. Setelah ditegur dan dinasehati penjual miras tersebut lantas diminta untuk membuang semua barang dagangannya. Namun ternyata tindakan aktivis anti miras tersebut tidak membuat nyaman para pemabuk / preman yang berada di lokasi kejadian. Akhirnya salah seorang preman melakukan provokasi dengan berteriak yang isinya melecehkan gerakan amar ma'ruf nahi munkar. Provokasi dari para pemabuk memicu perkelahian terjadi. Masyarakat yang terprovokasi akhirnya mulai berkerumun mendatangi lokasi kejadian. Agus Junaidi salah seorang koordinator aktivis anti miras kemudian datang dan mencoba menyeselaikan potensi bentrokan. Tak lama kemudian petugas Dalmas dan sejumlah aparat kepolisian berdatangan. Polisi meminta kepada Agus Junaidi dan beberapa aktivis lain untuk naik ke dalam truk Dalmas. Saat membawa naik para aktivis kedalam truk itulah terjadi kekerasan dari anggota Dalmas disertai caci maki kepada para aktivis.
Foto : Aktivis Anti Miras Agus Junaidi Dikawal Polisi di PN Surakarta
Melihat tingkah Dalmas yang arogan, salah seorang aktivis anti miras, Hudzaifah pun ketakutan dan mencoba lompat dari truk Dalmas. Namun aksi tersebut langsung disambut dengan pukulan dan siksaan anggota Dalmas kepada Hudzaifah hingga tubuhnya pun lebam.Lima aktivis anti miras tersebut lantas dibawa ke Mapolres Surakarta. Namun anehnya penjual miras tersebut tidak dibawa ke kantor polisi dan sampai berita ini diturunkan ia bebas menjalankan aktivitasnya. Agus Junaidi sendiri dimata tokoh Islam Solo dikenal dengan seseorang yang sopan dan taat aturan hukum saat melakukan amar ma'ruf nahi munkar.Agus ia juga merupakan salah seorang
anggota DSKS (Dewan Syariah Kota Surakarta). “Setiap melakukan nahi munkar Agus Junaidi selalu prosedural. Bahkan saat ada anggotanya yang berteriak tidak sopan ia langsung menegurnya,” terang Endro Sudarsono, Humas Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS). Sementara itu, saat ditemui di ruang reskrim Polres Surakarta Agus Junaidi mengatakan ia sebenarnya tidak tahu menahu kejadian tersebut. Dirinya tiba di lokasi setelah bentrokan terjadi. “Saya datang kesana ingin meredam potensi konflik. Dan demi Allah saya tidak melakukan pemukulan terhadap korban,” katanya, Rabu (4/3/2015) malam. Saat ditemui reporter Koran Panji.[]