MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 123/PUU-XIII/2015 PERKARA NOMOR 130/PUU-XIII/2015
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN DPR (VIII) DAN MENDENGARKAN KETERANGAN DPR DAN AHLI PIHAK TERKAIT (VII)
JAKARTA SENIN, 16 MEI 2016
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 123/PUU-XIII/2015 PERKARA NOMOR 130/PUU-XIII/2015 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana [Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2)] dan Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana [Pasal 14 huruf b, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 139 dan Pasal 14 huruf i] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON PERKARA NOMOR 123/PUU-XIII/2015 Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) PEMOHON PERKARA NOMOR 130/PUU-XIII/2015 1. Choky Risda Ramadhan 2. Carlos Boromeus Beatrix Tuah Tennes 3. Usman Hamid, dkk. ACARA Mendengarkan Keterangan DPR (VIII) dan Mendengarkan Keterangan DPR dan Ahli Pihak Terkait (VII) Senin, 16 Mei 2016, Pukul 14.12 – 16.20 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Arief Hidayat Aswanto Suhartoyo Wahiduddin Adams Patrialis Akbar Manahan MP Sitompul I Dewa Gede Palguna
Achmad Edi Subiyanto Hani Adhani
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon Perkara Nomor 123/PUU-XIII/2015: 1. Syaugi Pratama 2. Victor Santoso Tandiasa 3. Lintar Fausi B. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 130/PUU-XIII/2015: 1. Ichsan Zikri 2. Adery Ardan C. Pemerintah: 1. A. S. Djuwita 2. Ryan Palasi 3. M. Fadil Djohari 4. Surdiyanto 5. Hotman Sitorus D. Pihak Terkait: 1. Indrawan Dovandi 2. Narendra Jatna 3. Sis Mulyono 4. Agung Makbul
(Persatuan Jaksa Indonesia) (Persatuan Jaksa Indonesia) (Polri) (Polri)
E. Ahli Pihak Terkait Polri: 1. Pujiyono 2. Teuku Nasrullah
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 14.12 WIB 1.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Sidang dalam Perkara Nomor 123/PUU-XIII/2015 dan 130/PUUXIII/2015 dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Pemohon 123, hadir?
2.
PEMOHON PERKARA NOMOR 123/PUU-XIII/2015: SYAUGI PRATAMA Terima kasih, Yang Mulia. Pemohon 123 dari Forum Kajian Hukum dan Konstitusi hadir, Yang Mulia.
3.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. 130/PUU-XIII/2015?
4.
PEMOHON PERKARA NOMOR 130/PUU-XIII/2015: ICHSAN ZIKRI Hadir, Yang Mulia, Kuasa Hukum Ichsan Zikri dan Adery Ardan.
5.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. DPR tidak hadir karena bersamaan dengan reses dan ada surat tertanggal 10 Mei yang ditandatangani oleh Kepala Badan Keahlian DPR atas nama pimpinan DPR. Dari Pemerintah yang mewakili Presiden?
6.
PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS Terima kasih, Yang Mulia. Pemerintah hadir diwakili Ibu A. S. Djuwita, Bapak M. Fadil Djohari, Bapak Ryan Palasi dari Kejaksaan Agung. Saya sendiri Hotman Sitorus dan Pak Surdiyanto dari Kementerian Hukum dan HAM. Terima kasih, Yang Mulia.
7.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Dari Pihak Terkait? Silakan.
1
8.
PIHAK TERKAIT (PERSATUAN JAKSA INDONESIA): NARENDRA JATNA Narendra Jatna, Pak, dari Persatuan Jaksa Indonesia, satu lagi Pak Indrawan Dovandi di depan, Pak.
9.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Pihak Terkait satunya dari Polri saya persilakan.
10.
PIHAK TERKAIT (POLRI): AGUNG MAKBUL Baik, terima kasih, Yang Mulia. Dari Pihak Terkait Polri hadir, satu, saya sendiri Kombespol Agung Makbul dan Kombespol Sis Mulyono. Terima kasih.
11.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Agenda kita pada siang hari ini semestinya mendengarkan juga keterangan dari DPR karena DPR tidak hadir, juga sudah memberikan keterangan secara tertulis. Jadi sudah diterima keterangan tertulis dari DPR, ya, baik. Kemudian Pihak Terkait I atau Pihak Terkait II ini yang mengajukan ahli? Satu, ya? Dari Kepolisian yang mengajukan ahli?
12.
PIHAK TERKAIT (POLRI): AGUNG MAKBUL Betul. Yang Mulia.
13.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, kalau begitu ini ada dua ahli Pak Dr. Pujiyono sudah hadir, kemudian satunya Teuku Nasrullah?
14.
PIHAK TERKAIT (POLRI): AGUNG MAKBUL Teuku Nasrullah tadi terakhir kami kontak di depan Gedung Pariwisata.
15.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, sudah hampir sampai, ya?
2
16.
PIHAK TERKAIT (POLRI): AGUNG MAKBUL Ya, hampir sampai, Pak.
17.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, kalau begitu sebelum kita dengar keterangannya akan kita sumpah terlebih dahulu, tapi sebelumnya kita tanyakan dulu pada Pemohon Perkara 130. Pemohon 130 mengajukan bukti tambahan P-20 sampai dengan P-27, ya?
18.
PEMOHON PERKARA NOMOR 130/PUU-XIII/2015: ICHSAN ZIKRI Ya, Yang Mulia.
19.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, sudah diverifikasi untuk itu disahkan, ya, P-20 sampai dengan P-27 tambahan bukti dari Perkara 130 yang diajukan oleh Pemohon. Betul, ya?
20.
PEMOHON PERKARA NOMOR 130/PUU-XIII/2015: ICHSAN ZIKRI Betul, Yang Mulia.
21.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Disahkan. KETUK PALU 1X Kalau begitu kita minta Pak Pujiyono silakan maju ke depan untuk diambil sumpahnya. Mohon berkenan Yang Mulia Pak Dr. Wahiduddin.
22.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Baik, pada Ahli untuk mengikuti lafal yang saya tuntunkan. “Bismillahirrahmanirahim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.”
3
23.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT (POLRI): PUJIYONO Bismillahirrahmanirahim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
24.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, terima kasih. Silakan Pak Pujiyono untuk duduk kembali. Ini saya menanyakan pada Pihak Terkait, ada juga keterangan tertulis dari Ahli yang disampaikan oleh Dr. Chairul Huda, ini dari Pihak Terkait Polri atau siapa?
25.
PIHAK TERKAIT (POLRI): AGUNG MAKBUL Dari Polri.
26.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Dari Polri, ya. Oke.
27.
PIHAK TERKAIT (POLRI): AGUNG MAKBUL Jadi seluruhnya tiga.
28.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ada tiga ahli.
29.
PIHAK TERKAIT (POLRI): AGUNG MAKBUL Dua yang hadir di sini dan satu tertulis.
30.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, baik. Ya, sudah diterima keterangan Ahli dari Dr. Chairul Huda secara tertulis yang diajukan oleh Pihak Terkait Polri. Terima kasih. Baik sambil menunggu Pak Nasrullah kita dengar terlebih dahulu keterangan Ahli dari Pak Pujiyono, saya persilakan di mimbar.
31.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT (POLRI): PUJIYONO Terima kasih, Yang Mulia. Bismillahirrahmanirahim. Assalamualaikum wr. wb. Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, dalam Pemeriksaan Perkara Nomor 130/PUU4
XIII/2015. Yang saya hormati Para Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait dalam Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Perkenanlah saya untuk memberikan suatu keterangan Ahli berdasarkan ilmu dan pengetahuan saya yang di dalam sistematikanya akan saya bagi dalam dua tahap, yang pertama pendahuluan, dan yang kedua analisis dan pandangan Ahli. Untuk menyingkat dari penjelasan saya, maka saya akan langsung masuk pada uraian mengenai analisis dan pandangan Ahli. Yang Mulia Majelis Hakim yang saya hormati, Pemerintah, DPR, dan Para Pemohon, serta Pihak Terkait. Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan berkaitan dengan pengujian Pasal 14 huruf b, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 139, dan Pasal 14 huruf i Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang dipandang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 1. Sehubungan pertanyaan apakah Pasal 14 huruf b sepanjang frasa
apabila terdapat kekurangan dalam penyidikan telah menimbulkan adanya perlakuan yang berbeda terhadap tersangka dalam proses peradilan pidana dan menunjukan tidak ada kewajiban bagi penuntut umum, sehingga prapenuntutan dilakukan hanya dalam kondisi terhadap kekurangan dan penyidikan?
2. Sehubungan ketentuan Pasal 109 ayat (1) KUHAP, apakah penyidikan batal demi hukum apabila SPDP tidak disampaikan oleh penyidik kepada penuntut umum? 3. Sehubungan dengan ketentuan Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 139 juncto Pasal 14 huruf i KUHAP dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena sering menimbulkan praktik bolak-balik berkas perkara tanpa batas waktu sehingga dianggap tidak ada kepastian, sehingga perlu memberikan kewenangan pemeriksaan tambahan kepada penuntut umum. Berkaitan dengan tiga persoalan yang saya sebutkan tadi, perkenankan saya untuk memberikan suatu analisis terhadap persoalan poin 1 dan poin 3. Pembaharuan hukum acara pidana dari HIR ke KUHAP menghasilkan perubahan pendekatan dari arbiter proses ke due process of law. Dimana bahwa perubahan tersangka sebagai subjek kemudian menjadi objek … dari objek menjadi subjek. Adanya penghargaan terhadap HAM, keseluruhan harkat, martabat manusia dalam hal ini adalah harkat martabat dari pelaku tindak pidana. Akan tetapi juga terhadap rancang bangun kewenangan subsistem di dalam penegakan hukum pidana, yaitu dengan dilakukannya asas diferensiasi fungsional dan desain prosedur. Dimana 5
dalam prosedur proses dibagi menjadi tiga prosedur yaitu praajudikasi, ajudikasi, dan pos ajudikasi. Kewenangan penegakan hukum dibagi habis secara paralel ke dalam subsistem peradilan pidana, antara kewenangan fungsi penyidikan (opsporing) atau investigation di antaranya penyidik kepolisian sebagai penyidik utama, fungsi penuntutan (vervolging) atau prosecution utamanya Jaksa Penuntut Umum, fungsi pemeriksaan atau fungsi mengadili dan fungsi pelaksanaan pidana. Prinsip dasar asas (…) 32.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Saya … sebentar, Pak. Pak Nasrullah silakan maju ke depan. Silakan Pak Pujiyono.
33.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT (POLRI): PUJIYONO Prinsip dasar asas diferensiasi fungsional ada garis batas pembagian kewenangan yang tegas, masing-masing instansi penegak hukum, kewenangan penyidikan dan penuntutan dijalankan oleh lembaga tertentu dan dihindari adanya rangkap fungsi. Artinya, setiap fungsi ada pelaksana dan penanggung jawabnya. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 menempatkan kepolisian sebagai pengemban fungsi penyidikan yang utama seperti tersebut di dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP. Sedangkan lembaga kejaksaan atau penuntut umum mengemban fungsi penuntutan, sebagaimana tersebut di dalam Pasal 18 KUHAP. Kewenangan penyidikan lebih dekat dengan aktifitas investigasi, pengumpulan barang bukti, menemukan tersangka. Sedangkan penuntut umum lebih dekat dengan aktifitas membuat konstruksi yuridis atas fakta, realitas hasil penyidikan (suara tidak terdengar jelas) dan melakukan pembuktian di persidangan. Pembedaan kewenangan tersebut seharusnya bukan dimaknai sebagai pemisahan kewenangan sebagai separation of power yang tersekat-sekat atau terkotak-kotak yang menimbulkan ego sektoral. Akan tetapi harus dilihat sebagai pembagian kekuasaan sebagai division of power. Fungsi penyidikan dan penuntutan harus dirasakan sebagai satu tarikan nafas dalam penegakan hukum, sehingga pemikiran yang bersifat pragmental dan egosentris harus dihindarkan. Hubungan koordinasi fungsional dan instansional penyidik dan penuntut umum dalam pelaksanaan penyidikan harus didasari hubungan kesetaraan, kesederajatan, dan ikatan tujuan yang sama di dalam menyukseskan fungsi penuntutan.
6
Tidak adanya pembatasan berapa kali bolak-balik berkas dari penyidik ke penuntut umum dan sebaliknya, berpotensi kasus terkatungkatung tanpa kepastian hukum. Kemungkinan bolak-balik kasus bisa disebabkan oleh persoalan kompleksitas teknis dan yuridis, sehingga perlu pembatasan beberapa kali berkas bolak-balik. Untuk perlindungan tersangka dan kepastian hukum, penuntut umum perlu mengambil sikap terhadap berkas tersebut diserahkan kepada penyidik dengan memberikan perintah untuk menghentikan penyidikan atau dengan mengambil sikap memberikan keputusan untuk menghentikan penuntutan. Secara konseptual, dipandang dari sudut kebijakan, prinsip diferensiasi fungsional jika terjadi kekurangsempurnaan hasil penyidikan oleh penyidikan, penuntut umum mengembalikan berkas perkara dengan memberikan petunjuk untuk penyempurnaan penyidikan adalah sudah benar dan tepat karena kewenangan penyidikan memang ada pada penyidik. Penuntut umum tidak memiliki kewenangan secara aktif … kewenangan penyidikan secara aktif, kecuali memberikan petunjuk penyempurnaan penyidikan secara pasif. Akan timbul overlapping kewenangan penyidikan dan menyalahi prinsip diferensiasi fungsional. Dan pada akhirnya, akan menimbulkan revalitas atau perebutan kewenangan penyidikan jika penuntut umum juga memiliki kewenangan untuk melengkapi berkas perkara dengan melakukan penyidikan tambahan. Usulan untuk memberikan kewenangan kepada penuntut umum, melakukan penyidikan dalam mengatasi terjadinya bolak-balik berkas perkara dengan kewenangan melengkapi berkas (suara tidak terdengar jelas) melakukan penyidikan atau pemeriksaan tambahan bukan solusi yang tepat. Sebab, hal demikian bertentangan dengan prinsip diferensiasi fungsional, menyalahi hakikat. Mengapa kasus tersebut bolak-balik? Karena adanya kerumitan kasus atau persoalan dari persoalan teknis dan yuridis yang dihadapi bersama antara penyidik dan penuntut umum. Tentunya, hal demikian juga bertentangan dengan prinsip di dalam Pasal 50 ayat (2) tentang hak tersangka agar perkaranya segera diajukan di pengadilan. Karena terhadap berkas yang sudah sempurna pun, penuntut umum masih melakukan pemeriksaan penyidikan. Sehingga juga otomatis bertentangan dengan asas peradilan cepat atau (suara tidak terdengar jelas). Keputusan penghentian kasus adalah merupakan sikap bersama antara penyidik dan penuntut umum karena telah melalui proses pemberian petunjuk dan upaya penyempurnaan berkas, akan tetapi tidak berhasil. Sehingga, sangat berkeadilan jika perkara tidak dibiarkan menggantung tanpa status yang jelas. Hal ini pun bersesuaian dengan hakikat asas in dubio pro reo. 7
Secara sosiologis, pemberian kewenangan penyidikan kepada penuntut umum dapat berujung pada mengendornya kinerja keseriusan penyidik dalam melakukan penyidikan. Karena semaksimal apa pun penyidikan telah dilakukan, toh akhirnya akan disidik ulang oleh penuntut umum. Penuntut umum tentunya juga akan mengalami overload atau pelampoan bebas … beban. Karena selain menjalankan fungsi penuntutan, sekaligus juga menjalani fungsi penyidikan. Berdasarkan uraian di atas, ketentuan Pasal 14 huruf b, Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 139, dan Pasal 14 huruf i Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana murni merupakan persoalan atau kecatatan penormaan, bukan murni merupakan persoalan atau kecatatan kenormaan dari sudut kebijakan formulasi. Akan tetapi, merupakan persoalan implementatif, khususnya persoalan koordinasi. Sepanjang berkaitan dengan tidak adanya batasan waktu dan beberapa kali bolak-baliknya berkas, sehingga berpotensi berkas terkatung-katung dan merugikan tersangka, bisa dilakukan perubahan norma dalam perundang-undangan, yang mana merupakan kewenangan lembaga legislatif. Analisis dan pendapat Ahli terhadap ketentuan poin 2. Dalam perspektif pembaharuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan atau SPDP, sebagaimana diatur di dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP adalah merupakan bentuk mekanisme kontrol yang bersifat horizontal, yaitu kontrol antarlembaga di subsistem dalam sistem peradilan pidana, yaitu kontrol dari sistem … dari penuntut umum terhadap penanganan kasus atau penyidik … penyidikan yang dilakukan oleh penyidik. Selain itu, SPDP juga merupakan pintu awal dasar-dasar kerja sama dan koordinasi fungsional instansional sekaligus bentuk keterbukaan penyidik atas perkara yang ditangani kepada penuntut umum. Dengan adanya SPDP, memungkinkan sejak awal penuntut umum bisa memantau, berkomunikasi, bahkan memberikan masukan sebagai komunikasi informal dalam proses penyidikan. Melihat redaksi norma Pasal 109 ayat (1) KUHAP, tidak dapat disangkal bahwa pemberitahuan itu bersifat wajib menyangkut masalah kapan pemberitahuan dilakukan? Secara tegas disebutkan, yaitu pada saat penyidik memulai melakukan penyidikan. Persoalan yang tidak jelas adalah menyangkut cara penyampaian dan batas waktu pemberitahuan. Kapan dikatakan saat penyidikan telah dimulai? Meskipun norma dan penjelasan tidak memberikan kejelasan, saya berpendapat bahwa pemberitahuan itu harus bentuknya tertulis sebagai tertib administrasi dan harus dilakukan secepat mungkin setelah penyidik memulai melalukan pemeriksaan terhadap tersangka. Berdasarkan petunjuk pelaksanaan angka 3, lampiran Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M14PW0703 Tahun 1983, pengertian mulai 8
melakukan penyidikan adalah jika kegiatan penyidikan sudah dilakukan upaya paksa oleh penyidik berupa pemanggilan secara projusticia penangkapan, penahanan, pemeriksaan, penyitaan, dan sebagainya. Hal demikian juga sesuai dengan hasil kerja Mahkamah Agung … Rapat Kerja Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan Departemen Kehakiman dengan (suara tidak terdengar jelas) Indonesia pada tanggal 15 sampai dengan 19 Februari 1982. Sehubungan dengan ketentuan Pasal 109 ayat (1) KUHAP. Apakah penyidikan batal demi hukum apabila SPDP tidak disampaikan oleh penyidik kepada penuntut umum? Menurut pendapat saya adalah tidak benar. Secara umum di dalam peradilan kita, tidak mengenal yang disebut dengan sanksi process will, yaitu sanksi dalam penyelenggaraan proses peradilan yang mengakibatkan proses batal demi hukum. Dalam hukum positif, memang kita jumpai khususnya di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 … 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, memang dikenal adanya sanksi proses will berupa proses batal demi hukum yaitu dalam hal pemeriksaan peradilan anak tanpa dilakukan dengan adanya penelitian kemasyarakatan atau litmas. Hal demikian tercantum secara tegas di dalam ketentuan Pasal 60 ayat (4). Dalam hal laporan penelitian kemasyarakatan sebagai dimaksud ayat (3) tidak dipertimbangkan hakim, maka putusan dinyatakan batal demi hukum. Kebijakan tersebut diterapkan terhadap hal yang khusus dan sangat urgent dalam hal ini untuk menjamin, memastikan perlindungan hak anak dalam penyelenggaraan proses peradilan pidana anak. Sedangkan dalam kaitan ini persoalan SPDP adalah merupakan persoalan administrasi, persoalan pengawasan horizontal, sehingga menurut hemat saya tidak ada alasan yang urgent sebagaimana diatur dalam UndangUndang SPPA dan kalau toh akan dilakukan penyempurnaan tentunya harus melalui mekanisme perubahan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam upaya menegakkan hukum, penegak hukum sebagai representasi kepentingan masyarakat tentunya harus diberikan ruang dan tidak secara ketat dibatasi oleh aturan yang membelenggu gerak penegakkan hukum. Karena di dalam prinsip KUHAP yang harus kita pahami bersama bahwa KUHAP meletakkan upaya perlindungan HAM bagi tersangka maupun terdakwa dalam kerangka kesimbangan dengan kepentingan umum. Sehingga menurut hemat saya kelalaian dan kesalahan administrasi atau persoalan memuat administrasi tidak seharusnya mengakibatkan proses hukum itu batal atau batal demi hukum. Demikian, keterangan ini saya sampaikan, semoga berfungsi, bermanfaat bagi Yang Mulia Majelis Hakim memberikan putusan yang benar dan adil. Hormat saya Pujiyono. Wassalamualaikum wr. wb.
9
34.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Waalaikumussalam wr. wb. Terima kasih, Pak Pujiyono. Silakan duduk terlebih dahulu. Berikutnya Pak Nasrullah ke depan untuk diambil sumpahnya terlebih dahulu. Mohon berkenan Yang Mulia Pak Wahid untuk mengambil sumpah.
35.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Baik. Saksi Pak Teuku Nasrullah. Untuk mengikuti lafal yang saya tuntunkan. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.”
36.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT (POLRI): TEUKU NASRULLAH: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
37.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Yang Mulia. Langsung Pak Nasrullah untuk bisa memberikan keterangan di podium.
38.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT (POLRI): TEUKU NASRULLAH Terima kasih. Selamat siang. Assalamualaikum wr. wb.
39.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Waalaikumussalam wr. wb.
40.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT (POLRI): TEUKU NASRULLAH Pertama sekali saya mohon maaf kepada Majelis Yang Mulia ini karena saya terlambat, semata-mata karena terjadi kemacetan yang luar biasa di luar prediksi saya. Yang kedua, saya sampaikan bahwa saya baru sempat membuat makalah kemarin, sehingga mungkin tidak terlalu bisa dikatakan sebuah karya tulis ilmiah, tetapi saya berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai hal-hal yang dipermasalahkan di dalam persidangan ini. 10
Saya mulai saja, makalah ini saya berikan judul Sumbang
Pemikiran dari Pensiunan Pengajar Mata Kuliah Hukum Acara Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Terkait Beberapa Pasal Dalam Kuhap Di Hadapan Mahkamah Konstitusi. Ketika Devisi Hukum Mabes
Polri meminta saya untuk memberikan keterangan tentang pengetahuan saya di bidang hukum pidana formil atau hukum acara pidana di hadapan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, dengan tegas jelas dan pasti saya katakan kepada Kadivkum bahwa saya hanya berkenan memberikan keterangan dengan syarat keterangan saya itu objektif tidak berpihak di dasarkan pada prinsip-prinsip keilmuan atau doktrin, merujuk kepada persoalan-persoalan praktik yang selama ini menjadi hambatan di dalam penegakkan hukum, tidak demi kepentingan sempit institusi atau profesi tertentu baik pengacara, penyidik, penuntut umum maupun hakim. Tetapi semata-mata demi kepentingan bangsa dan negara yang bermanfaat bagi anak cucu di kita ke depan. Alhamdulillah syarat tersebut diterima oleh Pimpinan Mabes Polri. Adapun beberapa pemikiran saya terkait pasal-pasal dalam KUHAP yang dipermasalahkan adalah sebagai berikut. 1. Pasal 14 huruf b dan huruf i Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Bunyinya sebagai berikut, “Penuntut umum mempunyai wewenang, b, mengadakan prapenuntutan apabila kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 10 ayat (3) dan ayat (4) dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik. i, mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini.” Penjelasan atas pasal tersebut sebagai berikut, penjelasan dari saya. 1. Pada rezim berlakunya HIR sebagai hukum acara pidana belum diterapkan prinsip diferensial fungsional antaraparat penegak hukum secara tegas. Sehingga, dalam hal hasil sebuah penyidikan dari penyidik ditemukan adanya kekurangsempurnaan, maka penuntut umum dapat saja melengkapi kekurangan tersebut dengan melakukan penyidikan tambahan atau lanjutan. Namun, dengan berlakunya KUHAP yang menerapkan prinsip diferensial fungsional secara tegas, seluruh fungsi penyidikan termasuk penyidikan tambahan dan penyidikan lanjutan hanya bisa dilakukan oleh penyidik. Dengan demikian, apabila hasil penyidikan terdapat kekurangan, hanya penyidiklah yang berwenang melengkapinya. Oleh karena itulah diatur Pasal 110 KUHAP agar hasil penyidikan tersebut dapat digunakan sebagai bahan yang sungguh-sungguh kuat, cukup bukti, dan relatif sempurna dalam menyusun surat dakwaan dan pembuktiannya di depan pengadilan nanti.
11
2. Pasal 14 huruf b dan Pasal 110 KUHAP tersebut konsekuensi yuridis dan merupakan pasal turunan dari diterapkannnya prinsip diferensial fungsional. Oleh karena itu, kalaupun ada permasalahan, letak permasalahannya bukan pada pasal tersebut tetapi pada prinsip atau sistem yang dianut KUHAP. 3. Prinsip atau sistem diferensial fungsional yang ketat tersebut oleh Tim Penyusun RUU KUHAP yang baru, kebetulan kami salah satu anggota timnya, dianggap terdapat beberapa kelemahan dalam mencapai sistem peradilan pidana terpadu, sehingga perlu dibenahi. Oleh karena itulah, tim penyusun menerapkan sebuah sistem yang melibatkan penuntut umum atau jaksa secara aktif sejak dimulainya penyidikan dengan memberikan arahan-arahan dan koordinasi maksimum dalam rangka … dalam proses penyidikan dengan cara … nantinya kalau RUU KUHAP itu sudah disahkan, organisasi kejaksaan pun harus berubah tentu akan dibentuk nanti jaksa zone, jaksa wilayah. Nah, sehingga ketika penyidikan dimulai, SPDP disampaikan, maka saat itu juga harus jaksa wilayah tersebut diturunkan kepada penyidik untuk memberikan koodinasi-koordinasi dan arahan-arahan dalam rangka penyidikan tersebut. 4. Apakah kelemahan dalam sistem tersebut dapat dibenahi dengan cara parsial dengan me-review pasal-pasal tertentu saja? Secara umum, tim penyusun sepakat bahwa perubahan satu dua pasal saja tanpa membenahi sistem yang dianut akan menyebabkan terjadinya kekacauan yang serius bagi hukum acara berujung kepada hukum acara yang tak bersistem. II. Pasal 109 ayat (1) KUHAP. 1. Ayat (1) dalam hal penyidik telah melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. Penjelasan saya, salah satu tujuan utama dari adanya kewajiban pemberitahuan tersebut adalah agar pihak kejaksaan atau penuntut umum dapat mempersiapkan institusinya untuk melakukan koordinasi dengan penyidik dalam hal penyidik melakukan penyidikan. 2. Sebenarnya pembentuk undang-undang menginginkan pemberitahuan tersebut dilaksanakan segera. Nah, makna segera yang sesungguhnya diinginkan oleh pembentuk undang-undang adalah dalam arti seketika pada kesempatan pertama, itu makna segera, setelah surat perintah penyidikan atau sprindik diterbitkan. Namun karena dalam batang tubuh dan penjelasan pasal tersebut tidak ditentukan jangka waktu yang pasti, maka dalam praktik celah hukum tersebut telah dijadikan sebagai salah satu pertimbangan bagi penyidik untuk tidak segera menyampaikan SPDP kepada penuntut umum dengan alasan agar ketika perkara tersebut harus dihentikan karena tidak cukup bukti atau bukan tindak pidana, tidak perlu harus gelar perkara di hadapan kejaksaan atau penuntut umum. Bahkan 12
tidak jarang dalam tindak pidana tertentu yang masuk kategori tindak pidana umum, bukan delik aduan maksud saya, pada tahap penyidikan antara pelapor dengan terlapor atau tersangka bisa tercapai perdamaian yang berujung pada kehendak dari pelapor untuk mencabut laporannya dan ingin penyidikan segera atau penyidikan tersebut di … tidak diteruskan. Nah, di sinilah salah satu kesulitan dari aspek yuridis ditemukan untuk menghentikan perkara tersebut demi kepentingan hukum. Karena perdamaian tersebut tidak termasuk dalam kategori demi kepentingan hukum. Namun, apabila perkara tersebut belum disampaikan SPDP, penyidik lebih leluasa menghentikan penyidikan tersebut dengan gelar internal asalkan benar-benar antara pelapor dan terlapor sudah tercapai kesepakatan damai. Dalam KUHAP yang berlaku sekarang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tidak dikenal beberapa alasan penghentian perkara yang sudah diadopsi oleh berbagai negara maju di dunia, seperti damage has been seattle, kerugian telah terselesaikan. Sehingga, baik penyidik maupun penuntut umum tidak mempunyai ruang secara yuridis untuk menghentikan perkara atas perdamaian para pihak meskipun kerugian korban sudah tergantikan seutuhnya. Tim penyusun RUU KUHAP dengan merujuk dan melihat tren hukum acara pidana modern yang berkembang di berbagai negara telah merumuskan di dalam Pasal 42 ayat (2) dan ayat (3) bahwa penuntut umum demi kepentingan umum, bukan lagi kepentingan hukum, demi kepentingan umum maupun dengan alasan-alasan tertentu berwenang menghentikan penuntutan jika: a. Tindak pidana yang dilakukan bersifat ringan. Ini misalnya seorang nenek mencuri sepotong roti yang untuk dimakan. Bukan … ini tidak … maksud saya bukan tindak pidana tipiri tapi tindak pidana itu bersifat ringan. Itu bisa saja dihentikan. Seperti kasus nenek yang mencuri buah kakao itu, ya. Nah, kemudian. b. Tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. c. Tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda. d. Umur tersangka pada waktu melakukan tindak pidana diatas 70 tahun. Dan, e. Kerugian telah tergantikan, sudah diganti. Nah, penerapan hak untuk menghentikan ke … demi kepentingan umum ini hanya bisa dilakukan tentu dengan syarat-syarat yang diatur di dalam RUU KUHAP. 5. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, pertanyaan mendasarnya adalah apakah perlu diatur dengan tegas tentang batasan waktu untuk menyampaikan SPDP tersebut? Merujuk kepada fakta yang sering kita temukan dalam praktik peradilan selama ini pengaturan kepastian batasan waktu dari penyidik tersebut sangat diperlukan. 13
Namun, berapa lama selang waktu sejak terbitnya sprindik dengan SPDP tersebut secara mutlak harus memperhatikan kesiapan dari penyidik untuk mempersiapkan administrasi penyidikan atau mindik. Tanpa mempertimbangkan kesulitan-kesulitan teknis, geografis, dan birokratis dari penyidik penetapan batas waktu tersebut akan cenderung menempatkan penyidik pada pelanggaran-pelanggaran yang sangat potensial terjadi. 6. Dalam Pasal 13 ayat (1) RUU KUHAP batasan waktu tersebut diatur sebagai berikut. Ayat (1), dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan dan menemukan suatu peristiwa yang diduga keras merupakan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Penyidik memberitahukan tentang dimulainya penyidikan tersebut kepada penuntut umum dalam waktu paling lambat dua hari. (2) dalam melaksanakan penyidikan, penyidik berkoordinasi, berkonsultasi, dan meminta petunjuk kepada penuntut umum agar kelengkapan berkas perkara dapat segera dipenuhi, baik formil maupun materiil. 7. Kelonggaran batasan waktu SPDP, dapat saja ditambah. Maksud saya, melebihi dari dua hari tadi. Dengan … sesuai dengan kelayakan dan kepatutan, asalkan ada kepastian waktu sebagai pedoman. Hal ini mengingat kelonggaran batasan waktu SPDP tersebut tidak menyangkut upaya paksa. Kalau terkait dengan upaya paksa batasan waktu itu harus saklek, ya, harus ada perhitungan. Sedangkan SPDP ini kan hanya persyaratan administratif perlu ada kelonggarankelonggaran dengan mempertimbangkan kesiapan penyidik untuk adminitrasi penyidikannya. III. Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Pasal 138 ayat (1), “Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik, segera mempelajari dan menelitinya dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik, apakah hasil penyidikan sudah lengkap atau belum.” Penjelasan pasal tersebut: 1. Pasal 138 ayat (1) ini kelihatannya tidak sinkron dengan Pasal 110 ayat (4). Dalam Pasal 138 ayat (1) disebutkan, “Jangka waktu pemberitahuan adalah 7 hari.” Namun, dalam Pasal 110 ayat (4), “Jangka waktu pengembalian berkas diperlonggar menjadi 14 hari.” Pertanyaannya adalah kalau dalam jangka waktu 7 hari itu tidak … tidak ada pemberitahuan, apakah dianggap sudah lengkap? Padahal di ayat berikutnya diatur tentang jangka waktu pengembalian berkas. Nah, saya sependapat antara Pasal 138 ayat (1) dengan Pasal 110 ayat (4) perlu diselaraskan, meskipun yang satu digunakan istilah pemberitahuan dan yang lain menggunakan istilah pengembalian berkas. Pasal 138 ayat (2), “Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik, disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk 14
dilengkapi dalam waktu 14 hari sejak penerimaan berkas, penyidik harus menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum.” Jadi ada batas waktu dari penyidik mengembalikan berkas kepada penutut umum. Ini suatu pengaturan yang menurut hemat kami, Tim RUU KUHAP, sama sekali tidak logis karena kadangkala penyidik di dalam melengkapi berkas tersebut sesuai dengan petunjuk penuntut umum, memanggil ahli saja, ahli tersebut bisa menunda sampai dua minggu untuk berkenan hadir kepada penyidik untuk menambahkan. Jadi, apa ... pekerjaan melengkapi berkas tersebut tidak bisa dibatasi oleh jangka waktu dan menurut yang kami lakukan penelitian di berbagai negara di dunia, pengembalian berkas tersebut bahkan bisa berjalan kadang-kadang sampai bertahunan untuk bisa diungkap kembali perkara itu. Penjelasannya begini, penetapan batas waktu bagi penyidik untuk melengkapi berkas penyidikan sebagaimana petunjuk penuntut umum, menurut saya sebuah kekeliruan yang sangat sulit dipertanggungnjawabkan secara praktik peradilan. Oleh karena itu, melakukan koreksi atas Pasal 100 ... Pasal 138 ayat (2) sangat perlu dilakukan agar tidak membuat suatu aturan yang sama sekali tidak bisa diterapkan. Praktik bolak-balik perkara dari penyidik kepada penuntut umum sampai berkali-kali adalah suatu keadaan yang sangat nyata dan sangat nyata tergangunya asas peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya murah. Akhirnya kita melihat suatu fakta, puluhan ribu perkara-perkara yang menguap begitu saja, yang sering juga disebut dengan perkara dark case atau dark number. Tim RUU penyusun KUHAP telah melihat kenyataan ini, sebagai suatu permasalahan hukum acara pidana yang harus dibenahi. Oleh karena itu, di dalam RUU KUHAP diatur bolak-balik perkara hanya satu kali. Pada pengembalian berkas kedua dari penyidik kepada penutut umum, dalam hal hasil penelitian penuntut umum masih perlu dilengkapi kembali berkas tersebut, maka penutut umum sendiri akan melengkapi berkas tersebut dengan melakukan pemeriksaan tambahan kepada saksi-saksi, ahli, dan tersangka. Dalam arti begini, setelah penyidik selesai me-BAP, menyiapkan berkas perkara, dikirim kepada penuntut umum, penuntut umum mempelajari, kalau belum lengkap dikembalikan lagi kepada penyidik untuk dilengkapi. Setelah dilengkapi oleh penyidik, dikembalikan kepada penutut umum dan apabila penuntut umum saat itu melihat masih belum lengkap, maka Tim RUU menganggap itu langsung dilengkapi sendiri oleh penyi ... penuntut umum, tidak perlu balik lagi. Hanya misalnya pemeriksaan saksi, pemeriksaan ahli tambahan, pemeriksaan tambahan-tambahan itu bisa dilengkapi sendiri. Kecuali terkait tindakan-tindakan yang membutuhkan kegiatan kepolisian, maka penuntut umum dapat meminta kepada penyidik untuk melakukan kelengkapan tadi. 15
Nah, bahkan setelah perkara dilimpahkan ke pengadilan, ini kita lihat di berbagai negara setelah perkara dilimpahkan ke pengadilan, penuntut umum masih dimungkinkan untuk meminta bantuan penyidik dalam rangka memperkuat pembuktian. Sering ditemukan bahwa dalam proses persidangan ternyata ada kelemahan-kelemahan dari penuntut umum yang sebenarnya bisa dilengkapi dengan dia berkoordinasi kepada penyidik. Namun, selama ini tidak boleh. Nah, ke depan kita harapkan itu dibolehkan di dalam RUU KUHAP. Demikian sekulumit pemikiran dari saya dalam rangka sumbang pemikiran untuk kepentingan bangsa dan negara demi proses penegakan hukum yang lebih baik di kemudian hari untuk kita, anak-anak kita, dan cucu-cucu kita. Amin ya rabbal alamin. Jakarta, 16 Mei 2016. Tertanda Teuku Nasrullah. Terima kasih. Assalamualaikum wr. wb. 41.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Waalaikumsalam wr. wb. Terima kasih, Pak Teuku Nasrullah, silakan duduk kembali. Baik, sekarang saya tanya pada Pihak Terkait, apakah masih ada yang perlu dimintakan klarifikasi atau penjelasan lebih lanjut pada Ahlinya?
42.
PIHAK TERKAIT (POLRI): AGUNG MAKBUL Terima kasih, Yang Mulia. Dari Pihak Terkait, penjelasan yang diungkapkan tadi atau dijelaskan oleh Ahli, dari Pihak Terkait cukup.
43.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Cukup?
44.
PIHAK TERKAIT (POLRI): AGUNG MAKBUL Ya.
45.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Dari Pihak Terkait kedua?
46.
PIHAK TERKAIT (PERSATUAN JAKSA INDONESIA): NARENDRA JATNA Izin, Yang Mulia, kami ada pertanyaan untuk Ahli.
16
47.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Silakan.
48.
PIHAK TERKAIT (PERSATUAN JAKSA INDONESIA): NARENDRA JATNA Baik, terima kasih, Yang Mulia. Yang pertama untuk ... pertanyaan untuk Ahli Bapak Pujiyono, sehubungan soal diferensiasi fungsional tadi dalam penjelasan disebutkan bahwa sudah dibagi secara terpisah penyidikan dengan penuntutan, padahal kita juga tahu di dalam KUHAP juga ada penyidik melakukan penuntutan untuk tidak pidana ringan. Jadi saya lihat apakah hasil analisisnya pendapat Ahli ini konsisten dengan apa yang dimaksud dengan diferensiasi fungsional? Karena dalam KUHAP juga menyebutkan penyidik untuk tindak pidana ringan dapat melakukan penuntutan atas kuasa penuntut umum. Itu yang kesatu. Yang kedua soal pengeritan penyidikan dengan penuntutan karena menurut pemahaman kami, ini mohon penjelasan dari Ahli. Ahli menyampaikan soal opsporing dan vervolging. Karena menurut pemahaman kami opsporing adalah seperti lebih bersifat analisis sebelum adanya upaya paksa, itu penyidikan. Sedangkan vervolging sendiri itu bisa dimaksudkan penyidikan atau juga penuntutan karena berkaitan dengan upaya paksa. Karena menurut pemahaman kami dalam standar internasional tidak ada upaya paksa tanpa sepengetahuan jaksa. Kemudian yang ketiga. Masalah apakah SPDP sah atau tidak? Saya (suara tidak terdengar jelas) pada Ahli, katanya tidak punya pengaruh karena hanya bersifat (suara tidak terdengar jelas). Namun, di kejaksaan tanpa adanya SPDP, maka pihak kejaksaan negeri tidak mungkin menunjuk jaksa peneliti. Saya ambil contoh jadi akan sangat menyulitkan bagi kejaksaan apabila tidak ada SPDP, misalnya ada perpanjangan penahanan tentu tidak bisa ditanya apa pendapat jaksa peneliti atas usulan perpanjangan penahanan atau lebih jauh lagi apabila ada penghentian penyidikan tapi tanpa ada SPDP, tentu sebagai kepala kejaksaan negeri, misalnya, akan sulit menanyakan apa pendapat jaksa penelitinya karena tidak pernah ditunjuk jaksa peneliti. Jadi SPDP di dalam kejaksaan akan menduduki posisi sangat penting karena tanpa ada SPDP tidak mungkin seorang kepala kejaksaan negeri menurut jaksa peneliti yang untuk mengawal adanya berkas perkara. Saya juga ... kemudian yang kelima ini. Soal tadi Ahli menyampaikan bahwa untuk anak sudah bisa karena kesalahan proses, maka bisa membatalkan dakwaan seperti putusan yang kemarin. Yang dalam ... dalam teori common law system ini dikenal dengan (suara tidak terdengar jelas). Nah, pertanyaan saya bagi Ahli, apakah menurut pendapat Ahli yang KUHAP ini sudah sesuai atau tidak? Karena Ahli juga menyampaikan bahwa untuk anak itu bisa membatalkan. Jadi sebetulnya 17
yang mana idealnya, yang ada di KUHAP apa yang ada di peradilan anak? Selanjutnya, pertanyaan untuk Ahli berikutnya Pak Teuku Nasrullah yang kebetulan dengan kami sama-sama Tim Perancang RUU KUHAP. Jadi pertanyaan saya hanya satu saja. Jadi berkaitan dengan Pasal 14 huruf b dalam KUHAP karena dalam tim juga kita menemukan, apakah ... ini saya menanyakan pendapat Ahli, mengapa di dalam RUU KUHAP kemudian diubah strukturnya, komposisinya. Jadi saya menanyakan dengan Ahli Nasrullah, apakah yang KUHAP ini sudah sesuai ideal dan sejalan dengan standar-standar yang berlaku universal? Demikian. Terima kasih, Yang Mulia. 49.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Pihak Terkait dari Persatuan Jaksa Indonesia. Sekarang dari Pemohon 130?
50.
PEMOHON PERKARA NOMOR 130/PUU-XIII/2015: ICHSAN ZIKRI Ada, Yang Mulia.
51.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Silakan.
52.
PEMOHON PERKARA NOMOR 130/PUU-XIII/2015: ICHSAN ZIKRI Yang Mulia, mohon izin untuk mempermudah kami menyampaikan pertanyaan dengan sebelumnya menunjukan video, Yang Mulia, untuk mempermudah memberikan gambaran.
53.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Waktunya video-nya lama atau sebentar?
54.
PEMOHON PERKARA NOMOR 130/PUU-XIII/2015: ICHSAN ZIKRI Sebentar, Yang Mulia. Hanya rekaman wawancara saja.
55.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Berapa menit itu? 18
56.
PEMOHON PERKARA NOMOR 130/PUU-XIII/2015: ICHSAN ZIKRI Hanya 30 detik kurang lebih.
57.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, silakan.
58.
PEMOHON PERKARA NOMOR 130/PUU-XIII/2015: ICHSAN ZIKRI Sudah saya berikan file-nya.
59.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Bisa ditayangkan. Rekaman videonya berupa ini, ya? Silakan.
60.
PEMOHON PERKARA NOMOR 130/PUU-XIII/2015: ICHSAN ZIKRI Suaranya, Yang Mulia?
61.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Suaranya tolong diperbesar. Ya yang dipentingkan suaranya, bukan gambarnya. Bisa di ... nanti kita cek kembali karena suaranya tidak bisa keluar. Menurut Pemohon ini suaranya bagaimana? Pak Kapolda menjelaskan apa ini?
62.
PEMOHON PERKARA NOMOR 130/PUU-XIII/2015: ICHSAN ZIKRI Sebentar. Kita punya transkripnya, Yang Mulia.
63.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, silakan. Apa yang disampaikan oleh Pak Kapolda?
64.
PEMOHON PERKARA NOMOR 130/PUU-XIII/2015: ICHSAN ZIKRI Mulia.
Saya mohon izin menyampaikan pernyataan dari Kapolda, Yang
19
65.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, silakan.
66.
PEMOHON PERKARA NOMOR 130/PUU-XIII/2015: ICHSAN ZIKRI Ini terkait dengan salah satu perkara yang ditangani oleh Kapolda ... oleh Polda Metro Jaya yang saat ini prosesnya masih dalam tahap bolak-balik berkas perkara (...)
67.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Kasus Jessica, ya?
68.
PEMOHON PERKARA NOMOR 130/PUU-XIII/2015: ICHSAN ZIKRI Kasus Jessica, Yang Mulia.
69.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Silakan.
70.
PEMOHON PERKARA NOMOR 130/PUU-XIII/2015: ICHSAN ZIKRI Kapolda mengatakan bahwa kasusnya dipraperadilankan agar ada kepastian hukum jika dari pihak kepolisian sudah pasti kasus ini di-P21kan. Kemudian KUHAP karya agung bangsa kita di dalamnya tidak ada satupun yang menjelaskan kewajiban penyidik untuk mencari dua alat bukti karena tugas penyidik hanya mengumpulkan barang bukti dan barang bukti yang ada itu yang kita naikkan di pengadilan. Ketiga, harusnya hakim yang memutus itu sesuai dengan teori hukum pidana yang ada supaya ada kepastian hukum. Keempat, saat ini pengaturannya ada bias dan telah terjadi pergeseran hukum, maka penyidik jadi mengumpulkan dua alat bukti. Kemudian wartawan menanyakan, “Apakah telah ada duduk bersama dengan Kejaksaan terkait kasus Jessica?” “Duduk bersama dengan Kejaksaan memang seharusnya dari pertama sejak penyidikan sudah menempel, itu idealnya. Namun, masalahnya kan kita ada aturan-aturan tertulis di masing-masing institusi sehingga itu yang menghambat, sehingga kita harus mempersamakan persepsi itu.” Pertanyaanya (...) 20
71.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Sekarang silakan.
72.
PEMOHON PERKARA NOMOR 130/PUU-XIII/2015: ICHSAN ZIKRI Pertanyaannya begini untuk Saudara Ahli Pak Tengku Nasrullah dan Pak Pujiyono. Yang pertama, bagaimana pandangan dari Ahli terkait pernyataan Kapolda Metro terkait mekanisme prapenuntutan tersebut yang pada intinya memper ... mengangkat isu bolak-balik berkas perkara, mengangkat bolak-balik berkas perkara dan penyidik meminta agar kejaksaan menerima berkas perkara tersebut. Pertama pertanyaannya adalah apa penyebab dari terjadinya bolak-balik berkas perkara tersebut? Terlepas dari kompleksitas dari masing-masing perkara, tapi kita bicara secara general, permasalahan berkas ... bolak balik berkas perkara terjadi karena apa? Apakah ada kaitannya dengan peran jaksa yang memang dalam proses prajudikasi berperan pasif? Karena sepanjang yang saya ingat memang proses penetapan tersangka dalam kasus tersebut dilakukan sebelum adanya penyerahan berkas perkara ke kejaksaan. Jadi proses penetapan tersangka dilakukan dari ... murni dari kepolisian. Lalu yang kedua untuk Ahli ... mohon maaf, Yang Mulia, pertanyaan tadi untuk kedua Ahli.
73.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, he em.
74.
PEMOHON PERKARA NOMOR 130/PUU-XIII/2015: ICHSAN ZIKRI Pertanyaan kedua untuk Ahli Pak Pujiyono. Kalau saya tidak salah orang, Pak, mohon maaf sebelumnya, saya sempat membaca disertasi Bapak yang ... mohon maaf kalau saya orang, tapi kalau saya tidak salah disertasi berjudul Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana Dalam Perspektif Kemandirian Kekuasaan Kehakiman yang salah satu sarannya menyatakan bahwa perlu ada reposisi terhadap lembaga kewenangan penyidikan dalam wadah tersendiri, sehingga tidak terjadi pluralisme penyidik. Pertanyaan saya adalah mengapa perlu ... mengapa Bapak sampai kepada kesimpulan perlu adanya lembaga penyidikan sendiri, perlu ada reposisi lembaga penyidikan tersendiri, dan di mana peran penuntut umum dalam reposisi tersebut? Lalu yang ketiga untuk Ahli Bapak Teuku Nasrullah. Saya tertarik dengan analisa Bapak tadi yang menyatakan bahwa mungkin permohonan ini sebagai upaya parsial dalam memperbaiki sistem 21
peradilan pidana dan berpotensi menimbulkan kekacauan. Saya ingin menyampaikan beberapa data, yaitu sepanjang 2012 sampai 2014 ada kurang lebih 250.000 perkara yang disidik tanpa diberitahukan ke penuntut umum dari total kurang lebih 600.000 perkara yang disidik, 250.000 di antaranya tidak diberitahukan. Dan terdapat 47.000 perkara yang hilang, hilang dalam artian dalam proses prapenuntutan tidak ada kejelasan, tidak ada kejelasan setelah dikembalikan oleh penuntut umum penyidik tidak mengembalikan lagi. Dan angka tersebut 250.000 perkara yang tidak diberitahukan ke penuntut umum dan 47.000 perkara yang tidak dikembalikan setelah diberi pentunjuk, hanya 2.000 perkara diantaranya yang dihentikan. Kami berpendapat bahwa di sini ada permasalahan yang … yang besar dan begitu juga yang seperti Ahli singgung tadi bahwa praktik tidak menyampaikan SPDP ada kaitannya dengan masalah damai. Damai dalam artian damai yang tentunya bukan ada dikoridor Pasal 109 KUHAP kalau saya tidak salah. Pertanyaannya adalah bagaimana pandangan Ahli apabila isu terkait SPDP dan berkas perkara ini, apabila nanti Mahkamah mengabulkan terkait dengan diwajibkannya pemberian SPDP, diberikannya ruang transparansi dan akuntabilitas dalam penyidikan, dalam bentuk adanya peran aktif penuntut umum, sehingga tidak ada lagi monopoli kewenangan dalam penyidikan, dan juga adanya pembatasan bolak balik berkas perkara. Apakah … apabila ada perbaikan itu, menurut Ahli akan memberikan perbaikan dalam sistem peradilan pidana kita? Karena saya lihat dari dua pendapat Ahli ada keinginan untuk memperbaiki terkait isu bolak-balik berkas perkara dengan memberikan batasan. Tapi saya tidak … tidak mendengar dengan jelas ada pernyataan dari Ahli yang berkaitan dengan perbaikan komponen pendukung dari bolak-balik berkas perkara tersebut, yaitu seperti yang dinyatakan oleh Pihak Terkait Persatuan Jaksa tadi terkait dengan pemberian SPDP karena berkaitan dengan hubungan koordinasi penyidik penuntut umum dan juga memberikan ruang bagi penuntut umum dalam proses penyidikan. Cukup, Yang Mulia. 75.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Dari Pemerintah, cukup?
76.
PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS Cukup, Yang Mulia.
22
77.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Sekarang yang terakhir dari meja Hakim. Ada? Dari pojok dulu. Silakan, Yang Mulia Pak Patrialis Akbar.
78.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Terima kasih, Pak Ketua. Saya ingin memperdalam saja karena dari dua Ahli ada hal yang perlu dipertajam, penegasan mengenai diferensial fungsional. Konsep diferensiasi ini sebetulnya bagaimana si Pak Nasrullah dan juga Pak Pujiyono, ya? Kalau menurut Pak Pujiyono tadi diferensial fungsional itu, ya, “Jaksa enggak boleh lagi, tidak diperkenankan untuk melakukan pemeriksaan tambahan karena itu tugas penyidik, maka kejaksaan harus mengembalikan.” Tapi kalau Pak Nasrullah bilang, “Boleh,” walaupun konsep awalnya sama adalah diferensiasi fungsional. Ini kan dua Ahli dalam persidangan ini kami ingin dengar yang mana yang sebenarnya ini, ya? Karena walaupun kami akan bisa juga memberikan satu kesimpulan, ya, dengan pemahaman masing-masing kita. Tapi ini ingin penegasan dari pemahaman kedua Ahli yang menurut saya cukup lumayan berbeda penafsirannya itu, dalam satu sisi, gitu, tapi semangat bahwa keduanya harus berkoordinasi, ya. Yang kedua, Pak Nasrullah tadi mengatakan, “Terhadap persoalan SPDP, jadi kalau SPDP itu sudah dilakukan, sudah diberitahukan oleh kepolisian kepada kejaksaan, dan pada saat kepolisian ingin memberhentikan suatu perkara,” itu menurut Pak Nasrullah, “Harus digelar bersama.” Nah, ingin … saya ingin dipertajam lagi kondisi seperti itu. Karena ternyata tadi juga Pemohon mengatakan, kemudian Pak Nasrullah sendiri dalam praktik juga tentu dalam praktik banyak mengalami … banyak sekali perkara-perkara yang tadi dipersoalkan. Ini sebetulnya bagaimana? Kemudian, meskipun agak keluar sedikit dari permohonan Pemohon tapi ini ada kaitan dengan disampaikan oleh Pak Nasrullah mengenai suatu perkara bisa dihentikan antara lain adalah perkara yang diancam dengan pidana … yang bersifat ringan, antara lain ada ancaman empat tahun … empat tahun, ya. Ya, ini agak mengejutkan juga, empat tahun. Kemudian juga bahwa sudah ada diganti kerugian itu, kerugian yang dialami. Apakah ini termasuk kerugian dalam perkara-perkara yang merugikan keuangan negara? Itu saja. Terima kasih.
79.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Yang Mulia Dr. Suhartoyo.
23
80.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Ya. Terima kasih, Pak Ketua Yang Mulia. Untuk Pak Puji dan Pak Nasrullah, ya. Begini, Bapak-Bapak. Kalau seharusnya melihat SPDP ini … ini konteks SPDP dulu. Karena ada beberapa pertanyaan dari saya mungkin lima atau enam, tapi mungkin nanti saya persingkat. Seharusnya SPDP itu kan tidak semata-mata dilihat dari perspektif, semata-mata fungsi koordinasi antara penyidik dan penuntut umum. Seharusnya kalau dalam perspektif perlindungan hak asasi manusia, artinya siapa pun yang terlibat di situ harus mendapat perlindungan. Dari perspektif terlapor tentunya fungsi SPDP adalah bahwa yang bersangkutan sudah mengetahui bahwa laporannya sudah ada penanganan secara yuridis yang dimulai oleh penyidik dengan dimulainya penyidikan itu. Dari perspektif terlapor tentunya juga lebih sangat mendasar barangkali dia bisa mengupayakan bentuk-bentuk pembelaan, ya tentunya tersangka bisa kemudian mencari Pak Nasrullah juga untuk membuat surat kuasa, kan barangkali. Dari titik itulah artinya kepentingan-kepentingan hak asasi seorang tersangka sudah mulai juga harus diperhatikan. Kemudian, dari perspektif penyidik juga itu sudah momentum bagi seorang penyidik bahwa penyidik sudah memulai dengan melakukan proses-proses pengumpulan bukti-bukti, kemudian menemukan peristiwa pidananya, dan meskipun peristiwa pidana yang menemukan penyelidik, tapi pasti penyidik akan menemukan kembali, akan mempertegas kembali, bagaimana sih peristiwa pidana yang ada, kemudian menemukan pelakunya, KUHAP seperti itu. Artinya, kalau kemudian juga ini kalau … apalagi kalau dikaitkan dengan apa yang disampaikan Pak kapolda tadi, ngeri saya mendengar. Masa seorang kapolda bisa, ya, berkomentar bahwa itu bukan tugas kepolisian untuk menemukan dua alat bukti, itu kan … tapi, ya itu. Karena beliau juga pejabat bisa berpendapat, mungkin kita di persidangan ini pun juga bebas untuk berpendapat. Tapi paling tidak seharusnya bahwa tugas menemukan dua alat bukti, kemudian untuk menjadi dasar menetapkan tersangka itu adalah mutlak adalah kepolisian. Jadi, tidak bisa menghindar dari itu. Kalau kemudian … tapi kasus Jessica ini, bagi Pemohon juga, ini juga menjadi jawaban bahwa permohonan Anda itu lho bahwa case by case itu tidak bisa bahwa perkara bolak-balik berkas itu kemudian selalu serta-merta dipersalahkan. Artinya, memang ada perkara yang luar biasa, pembuktiannya sangat sulit, sangat rumit. Memang itu bisa ditemukan nanti kalau Adik-Adik sudah sering melakukan pendampingan, apalagi sudah jadi penyidik, atau sudah jadi jaksa, nanti jadi hakim baru jadi lawyer, begitu. Yang sering mendampingi baru tahu teknik-teknik penemuan apa itu … hakikat pembuktian yuridisnya itu luar biasa sulit kalau perkara-perkara yang memang … saya pernah membaca di media 24
kalau tidak salah, coba dari Kejaksaan Tinggi DKI itu minta bukti bahwa siapa yang memasukkan racun itu di dalam gelas. Bagaimana bisa polisi dengan mudah mencari itu? Kalau sudah tahu itu … tahu orangnya, saya kira sudah tidak perlu perpanjangan penahanan berkali-kali, ya Pak Nasrullah, ya, mungkin sudah langsung kapan itu P21. Itulah yang mungkin barangkali luar biasa sulitnya pembuktian perkara Jessica. Ini salah satu ilustrasi saja. Dari perspektif tadi, Pak … kemudian, dari Jaksa, ya otomatis untuk bagaimana kemudian secara eksternal ikut mengawasi karena memang apa yang disampaikan Adik-Adik tadi bahwa kemudian ada persoalan-persoalan bahwa nanti perkara itu tidak jadi perkara karena ada ‘damai-damai.’ Kemudian, menurut saya bahwa kalau dari kajian itu mestinya SPDP itu menjadi sangat wajib dan tidak hanya kepada penuntut umum. Meskipun juga pihak-pihak yang ada di situ mestinya harus mendapatkan … tapi saya minta tanggapan Bapak-Bapak bagaimana. Kemudian yang kedua, Pak Nasrullah dan Pak Puji, ini saya juga melihat ada perbedaan keterangan Bapak-Bapak bahwa kalau Pak Puji mengatakan bahwa kapan momentum SPDP itu mestinya tepat diberikan? Pak Puji mengatakan bahwa ketika dilakukan penyidikan yang berupa … di situ dikaitkan dengan ketika sudah dimulai adanya upaya paksa. Ini sangat kontradiksi dengan apa yang disampaikan oleh Pak Nasrullah bahwa oleh karena SPDP ini bukan salah satu bagian dari upaya paksa semestinya meskipun wajib, tapi bisa memberi … diberi kelonggaran-kelonggaran. Artinya, saya juga minta penegasan dari Pak Puji dan Pak ini kok … kalau Pak Puji bahwa ketika sudah dilakukan pemanggilan projusticia, penangkapan, penahanan, penyitaan, dan sebagainya, itulah SPDP dijadikan sebagai momentum untuk segera diterbitkan dan diberikan kepada penuntut umum. Sedangkan sebenarnya kan, kalau tidak salah kan seseorang itu belum dilakukan upaya paksa saja yang berupa penangkapan, penahanan, penyitaan, dan lain sebagainya, penyidikan biasanya sudah berjalan di depan. Justru itulah penyidikan itu dimulai ketika tersangka belum ada. Karena memang tugas penyidikan adalah mengumpulkan bukti, kemudian dari bukti itu ditemukan dua alat bukti, dan diketahui pelakunya. Jadi, proses penyidikan itulah kemudian baru dimulai untuk mencari pelaku daripada tindak pidana yang disangkakan itu. Jadi, sudah mulai di depan itu sebelum ditemukan tersangkanya. Bahkan semestinya dari titik dimulainya penyidikan untuk mengumpulkan bukti-bukti itu, sebelum sampai pada titik menemukan tersangka, itu semestinya sudah ada SPDP, terlepas dari bahwa fungsi SPDP itu masih pro-kontra. Kita mengatakan bahwa itu hanya untuk jaksa, kalau saya ini kan untuk perlindungan HAM, ya untuk semuanya. Itu mesti biasanya Pak Nasrullah punya konsep bagaimana paradigmna sekarang itu mestinya harus lebih sensitif. Ya, kita kalau hanya untuk jaksa, ya kadang-kadang di 25
kejaksaan juga tidak begitu anu ya, meskipun ini ada Ikatan Jaksa juga belum tentu kemudian ketika sudah ada SPDP … jaksa itu punya secara fisik ikut langsung turun, kan tidak, tidak. Ketika kemudian sudah ada diskusi-diskusi, konsultasi-konsultasi atau gelar perkara biasanya baru di situlah keterlibatan penuntut umum itu baru dimulai. Tapi kalau hanya selembar surat SPDP saja, itu seperti yang disampaikan adik-adik itu bahwa ada berapa ribu SPDP yang kemudian berkasnya tidak sampai karena memang mungkin karena SPDP fungsinya hanya melakukan proses penyidikan, sementara belum tentu ketemu bukti-bukti yang diperlukan dan tersangkanya ketemu. Jadi, jangan kemudian SPDP itu juga dijadikan alasan untuk menagih, bukan. Karena SPDP itu baru dimulai adanya penyidikan, belum sampai pada titik di tengah menemukan bukti-bukti … dua alat bukti, apalagi sampai di terakhir menemukan tersangka atau pelakunya. Jadi, kadang-kadang kita salah anu … salah kaprah bahwa ketika sudah ada SPDP itulah seharusnya sudah ada tersangkanya dan apalagi sudah ada pemberkasan, itu yang kemudian menjadi tidak confirm kalau AdikAdik mengajukan data-data itu. Ada SPDP sekian, kok yang jadi berkas sekian. Itu boleh itu untuk … untuk apa … untuk kita supaya lebih semangat, tapi kalau kemudian angka-angka itu menjadi pembanding, saya kira tidak. Kemudian yang terakhir sajalah, Pak … Pak … kebanyakan nanti Pak Nasrullah dan Pak Puji. Bagaimana pandangan Bapak-Bapak kalau tentang bolak-balik berkas ini tetap dimaknai sebagaimana yang ada di KUHAP sekarang. Termasuk tersangka yang tidak dilakukan penahanan, Pak. Kalau yang ditahan kan firm, ya. Di kepolisian itu 20 kali 20, minta perpanjangan 30 ke kejaksaan, kemudian di pengadilan juga gitu. Jangan kemudian pakai Pasal 29 karena ini diancam dengan pidana … eh, Pasal 29 ya, Pak? Sembilan tahun ke atas, kemudian bisa minta pengajuan ke pengadilan, ke pengadilan tinggi. Artinya, bagaimana kalau cukup dibatasi tanpa disertakannya Pasal 29, Pak Nasrullah dan Pak Puji, coba. Artinya, ini kita bisa di tengah-tengah. Tidak harus berpanjang-panjangan sekali dengan perpanjangan alasan Pasal 29 KUHAP, tapi juga tidak terlalu cepat karena terhadap (suara tidak terdengar jelas) yang sulit. Pembuktiannya juga mungkin bisa diakomodir dengan waktu yang saya maksud tadi. Barangkali itu. Kemudian yang … yang anak tadi, Pak. Memang anak itu memang agak sensitif. Jadi, memang meskipun tidak batal demi hukum, tapi putusan yang tidak menyertakan litmas memang juga bisa dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Jadi, jangankan tidak mempertimbangkan litmas, tidak ada litmas yang dari … dari kanwil hukum dan HAM yang suka turun ke lembaga pemasyarakatan, kalau tidak disertakan itu sudah Mahkamah Agung juga menggariskan bahwa itu batal demi hukum putusannya nanti. Tapi itu tambahan saja. Saya minta tanggapan Bapak berdua. Terima kasih, Pak Ketua. 26
81.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Sebelah … Pak Pal cukup? Ya, silakan, Prof.
82.
HAKIM ANGGOTA: ASWANTO Terima kasih, Yang Mulia. Ini dua Ahli, apalagi Pak Nasrullah ini kan Tim Penyusun Rancangan KUHAP. Ah, kita perlu memperoleh banyak informasi. Tadi dua Ahli sudah menyampaikan berbagai hal. Saya ingin ke Pak Pujiyono dulu. Tadi Pak Puji menyampaikan bahwa dalam konteks integrated criminal justice system semua sudah dibagi mulai dari pre adjudication, adjudication, and post adjudication. Lalu kemudian ada diferensiasi fungsional di sana. Nah, kalau kita mencoba menafsir seperti itu, berarti memang pada tahapan peradilan pidana mulai dari pre adjudication, adjudication, dan post adjudication itu seolah-olah memang putus, gitu. Padahal kalau yang kita menyimak apa yang disampaikan oleh Pak Nasrullah tadi setelah melakukan studi banding di beberapa negara, bahkan kasus yang sudah diperiksa di depan persidangan pun jaksa penuntut umum masih bisa meminta bantuan kepolisian. Nah, ini saya kira perlu kita mendapat informasi bahwa dalam konteks integrated criminal justice system memang sebenarnya ini adalah satu-kesatuan bahwa kepolisian sebagai penyelidik, penyidik, jaksa penuntut pengadilan. Nah, ini kalau tidak sampai kepada katakanlah tidak sampai kepada tujuan peradilan, yaitu memberi sanksi yang bersalah dan membebaskan yang tidak bersalah ini kan kegagalan bukan pada salah satu … pada salah satu apa namanya … salah satu bagian, yaitu polisi, jaksa, atau salah satu lembaga. Tetapi ini adalah kegagalan sistem. Nah, ini mohon pandangan Pak dua Ahli. Itu yang pertama. Yang kedua, soal SPDP. Ini memang sebagaimana yang disampaikan oleh Pak Nasrullah ini kita mengalami problem banyaknya kasus-kasus yang tadi menggunakan istilah dark number. Padahal sebenarnya secara filosofi, kenapa perlu koordinasi antara kepolisian dan kejaksaan bahkan dengan pengadilan ini karena kita punya tanggung jawab untuk menyampaikan kepada lembaga internasional setelah adanya CAT (Committee Against Torture), Indonesia berkewajiban menyampaikan semua kasus-kasus yang terjadi di negara kita. Nah, ini kalau SPDP itu dinapikkan dan tidak ada koordinasi, ini bisa berbahaya nanti. Misalnya, laporannya kepolisian, laporannya kejaksaan ke Komite CAT itu berbeda, berapa jumlah kasus yang terjadi di negara kita. Ini berbahaya ini, dan ini penting, penting sekali karena kaitannya dengan banyak hal yang berkaitan dengan itu, berkaitan dengan apa namanya ... investor, investor sekarang kalau mau menanam modalnya di suatu negara tidak perlu datang di negara itu cukup melihat laporan 27
kejahatannya, laporan tindak pidananya. Sehingga, menurut saya ini memang, Pak Nasrullah barangkali sebagai perancang, ini perlu didesain sehingga betul-betul kita tidak kehilangan apa ... kehilangan kesempatan. Karena kalau laporannya polisi mengenai jumlah tindak pidananya yang terjadi, laporannya jaksa mengenai tindak pidana yang terjadi itu berbeda, itu kepercayaan bangsa menjadi berkurang, dan berimplikasi kepada para investor untuk menanam modalnya di negara kita. Ini saya kira perlu Pak Nasrullah sebagai Perancang KUHAP untuk mengantisipasi itu. Cukup, Yang Mulia. 83.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih, Yang Mulia. Saya persilakan dulu Pak Pujiyono dulu atau Pak Nasrullah? Banyak pertanyaan yang bisa di anu tapi bisa disarikan apa yang menjadi pertanyaan atau permintaan untuk mengklarifikasi. Silakan, Pak Pujiyono.
84.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT (POLRI): PUJIYONO Ya. Terima kasih, Yang Mulia Ketua Majelis. Banyak pertanyaan dan bunyi semangat yang sama, yaitu untuk bagaimana dalam upaya kita memberikan suatu perlindungan terhadap pelaku tindak pidana di dalam proses peradilan, tetapi suatu hal juga kalau kita mengacu pada KUHAP seperti yang saya kemukakan di depan memang juga pemuliaan hak itu harus diletakkan juga di dalam konsep perlindungan HAM masyarakat. Jadi ini satu hal yang harus kita apa ... ingatkan kembali, sehingga nanti ada suatu pemikiran yang balance sehingga tidak ada satu pemikiran yang terus kemudian seakan-akan di situ fokus pada individu pelaku tindak pidana yang notabene adalah satu bagian dari warga negara. Baik, banyak hal yang tadi ditujukan kepada saya terutama dari Bapak Ikatan Jaksa Indonesia. Yang pertama tadi berkaitan dengan menyangkut masalah prinsip diferensiasi fungsional yang saya katakan tadi bahwa kalau kita mengacu pada desain KUHAP dalam diferensi fungsional memang kekuasaan itu dibagi habis, ya, ada penanggung jawab dari masing-masing lembaga di dalam sistem peradilan pidana, dari mulai kewenangan penyidikan, penuntutan, kemudian pemeriksaan pengadilan maupun pelaksanaan pidana. Terus tadi bagaimana apakah tidak mengingkari suatu realitas pengakuan dalam KUHAP bahwa polisi pun bisa melakukan fungsi (suara tidak terdengar jelas) secara langsung atas kekuasaan jaksa. Ya, itu sifatnya memang bersifat eksepsional, tetapi kalau kita berbicara secara umum dan itupun dibatasi untuk kasus-kasus yang sangat ringan dalam hal ini konteks kecelakaan lalu lintas, itu. Tapi kalau 28
kita lihat di dalam KUHAP, ya, itu kita coba kritisi di dalam ketentuan Pasal 284 KUHAP, ya, dimana pasal itu adalah sebagai pasal transitoir, satu-satunya pasal yang sebetulnya memberikan penegasan secara tajam bahwa KUHAP menganut asas diferensiasi fungsional. Dimana di dalam Pasal 284 KUHAP itu penuntut umum dalam hal ini kejaksaan diberikan kewenangan melakukan penyidikan khusus untuk tindak pidana-tindak pidana tertentu dan itu dibatasi oleh satu batasan waktu tertentu, yaitu ada masa transisi dua tahun. Makna dari itu sebetulnya apa? Maknanya yang kita bisa tangkap sebetulnya adalah ide pembuat undang-undang dalam KUHAP ini memang kemudian menata, membagi prinsip keuangan di dalam tanggung jawab lembaga-lembaga yang memang ada. Terus ini saya kaitkan dengan tadi pertanyaan dari Pemohon yang berkaitan dengan rekonstruksi sistem peradilan pidana yang melihat dari gagasan saya dalam disertasi saya tadi. Bahwa konsekuensi dari diferensiasi fungsional ini secara tegas sebetulnya memang ada ‘pengkotak-kotakan.’ Bahwa kewenangan penyidikan itu dilakukan sepenuhnya kalau kita melihat dalam Pasal 6 di situ, hanya kepolisian dan PPNS. Ini kita melihat dari desain KUHAP. Artinya apa? Di luar dari lembaga itu memang sebetulnya tidak ada lagi kewenangan untuk melakukan penyidikan. Ini kita secara umum melihat di KUHAP. Meskipun nanti secara khusus kita melihat banyak penyidikpenyidik yang sebetulnya juga mengemban fungsi yang lain. Seperti yang sekarang masih terjadi yang dilakukan oleh Kejaksaan untuk tindak pidana khusus, yaitu selain dia sebagai penuntut juga sebagai penyidik. Tetapi kalau kita melihat penegasan di dalam Pasal 284, sebenarnya adalah bahwa kewenangan penyidikan yang diberikan kepada kejaksaan itu bersifat transitoir. Tapi persoalannya dalam politik hukumnya kemudian bahwa kewenangan yang bersifat transitory itu kemudian menjadi suatu kewenangan yang diberlakukan. Itu muncul di dalam Undang-Undang tentang Kejaksaan dan kemudian kewenangankewenangan yang lain. Menurut pandangan saya, hal demikian itu tentunya bertentangan dengan ide dasar desain itu. Terus tapi berkaitan dengan pertanyaan dan juga dari Yang Mulia Bapak Patrialis Akbar dan juga Prof. Ahmad. Ini kan menjadi suatu kesatuan sistem, ya. Jadi pembagian kewenangan memang terpisah, tetapi mereka harus berjalan di dalam satu kerangka sistem. Tadi di awal berkaitan dengan fungsi penyidikan dan penuntutan ini saya katakan ini merupakan satu tarikan nafas. Artinya apa? Kalau kita dekati dalam kerangka sistem peradilan pidana. Di dalam kerangka sistem peradilan pidana terjadi bulliesm, satu kesatuan integrated. Tidak hanya yang bersifat basically system tetapi juga abstract system. Dimana masing-masing subsistem mengemban satu fungsi yang sama yaitu golnya upaya penegakan hukum pidana secara integrated. Artinya apa? mestinya sekalipun sudah terbagi secara habis dan merata tadi, tentunya tidak boleh muncul ada sekat-sekat 29
yang tajam yang itu merupakan cerminan dari ego sektoral dari masingmasing lembaga dan itulah yang sebetulnya terjadi. Dan dapat kami informasikan dari beberapa realitas di lapangan yang saya sering berkecimpung bersinggungan dengan teman-teman penyidik maupun dengan teman-teman kejaksaan. Di banyak daerah, persoalan-persoalan pembatasan yuridis itu sebetulnya juga melebur, meluber. Ketika ada hubungan baik, ada hubungan koordinasi yang sangat bagus antara penyidik dengan penuntut. Jadi kalau berpikirnya parsial, tentunya hanya nunggu ketika itu ada kekurangan baru diberikan petunjuk dengan mekanisme prapenuntutan. Tetapi di dalam praktik, di beberapa daerah yang saya temukan. Ketika SPDB berjalan, di situ ada hubungan kohesif antara penyidik dengan penuntut untuk bersama-sama di dalam visi yang sama untuk menyelesaikan, baik penyidikan yang kemudian bermuara pada penuntutan. Dan dalam pengalaman saya, sering dihadirkan oleh rekanrekan penyidik dan juga penuntut umum khususnya di Semarang. Ketika mereka terjadi ada semacam kayak katakanlah satu pandangan yang berbeda. Kemudian menghadirkan pihak kampus untuk dalam gelar perkara mencoba untuk bicara. Nah, ini kan sebetulnya realitas ini bukan persoalan realitas pembatasan-pembatasan secara deal di dalam undang-undang itu, tetapi lebih sebetulnya adalah desain di dalam koordinasi itu yang mesti harus kita perdalam. Sesempurna aturan apapun kalau tidak dijalankan dengan itikad baik seperti itu, saya yakin tidak akan bisa dijalankan. Dan tadi sekaligus saya jawab berkaitan dengan menyangkut SPDB memang perlu untuk melindungi tersangka biar tidak terkatung-katung, bolak-balik terus. Ini harus ada satu batasan. Kapan? Tadi diusulkan satu kali, Pak Nasrullah, ya, yang dalam konsep ya. RUU KUHAP, ya, dua kali itu ya. Itu satu sisi memang memberikan kepastian. Tetapi satu hal, kalau kita melihat realitas di dalam penyidikan. Penyidikan adalah suatu proses kalau tadi Prof. Ahmad sudah sangat menjelaskan kepada kita. Aktifitas yang dilakukan sebetulnya adalah aktifitas untuk mencari, menemukan. Kemudian menetapkan seorang tersangka, sehingga kasus itu juga sebagai kasus pidana. Persoalannya kemudian adalah tergantung dari case by case. Dan saya sangat sependapat, itu tidak bisa dibatasi dengan … apa … batasan limit waktu. Persoalannya kemudian adalah ini adalah persoalan-persoalan teknis, realitas di lapangan. Karena asumsi yang ada selama ini adalah ini adalah permainan dari penyidik. Mestinya kalau ini sebagai permainan penyidik, tentunya ada mekanisme penindakan secara transparan. Tetapi kalau kita berbicara dalam konteks itu adalah kesulitan dalam menemukan realitas kasus, saya sangat sependapat tadi antara satu case dengan case yang berbeda-beda. Saya menemukan kasus di Jawa Tengah ini. Seorang jaksa sampai … eh, seorang penyidik sampai frustasi, terusan, minta ini sudah 30
dipenuhi, ganti minta seperti ini, ganti seperti ini. Ada satu kasus. Ketika diminta … bahwa coba mintakan keterangan kepada ahli mengenai apa yang dimaksud dengan kekerasan? Apakah hanya kekerasan fisik atau psikis? Ketika ditemukan di situ juga, oh, kekerasan tidak hanya fisik tapi psikis, sudah dimunculkan. Ternyata minta lagi bahwa harus orang yang mengetahui, witness, secara langsung mengenai kejadian. Nah, padahal ini dalam proses pencarian ada empat orang tersangka, yang satu melarikan diri, yang satu itu agak gila, yang dua ini memang yang diproses. Yang satu ini masih buron sampai sekarang tidak ketangkap. Ini menjadi satu persoalan ketika hubungan antara subsistem itu bersifat egosentris. Ini menjadi satu persoalan. Saya tidak yakin bahwa ketika nanti katakanlah ketentuan-ketentuan yang akan dibuat limitatif dan itu membatasi dari gerak penyidik, saya justru mengkhawatirkan jangan sampai banyak kasus-kasus yang sebetulnya bermuara dari kesulitan teknis dan problem yuridisnya harus tandas karena faktor batasan limitasi. Makanya, saya wanti-wanti dari awal tadi. Di dalam meletakkan pemahaman penghargaan terhadap HAM pelaku tindak pidana, harus diletakkan di dalam konteks HAM kepentingan masyarakat secara umum. Ini … ini yang … yang menjadi satu persoalan kita bersama. Berikutnya, yang berkaitan dengan tanggapan mengenai sebab SPDP bolak-balik. Tadi sedikit sudah saya singgung. Terus, tadi juga dari Pemohon mengatakan … menyajikan suatu data yang cukup bombastis, begitu, ya. Dan tadi sudah sangat … apa … detail dijelaskan oleh Yang Mulia Anggota Majelis. Bahwa sangat salah kaprah kalau kita hanya menuntut dari SPDP itu seakan-akan 100% harus muncul di dalam record di dalam kejaksaan. Nah, tentunya tidak bisa seperti itu. Ada suatu teori yang dikemukakan oleh Goldstein. Goldstein mengatakan bahwa di dalam penegakan hukum pidana, tidak mungkin bahwa penegakan hukum ini akan mengangkat semua tindak pidana yang terjadi di dalam masyarakat secara full enforcement. Yang bisa dilakukan adalah yang actual enforcement. Yang aktual itu, yang bagaimana? Yang aktual itu adalah yang tadi kaitannya bisa ditemukan ada dua alat bukti pendukung untuk menetapkan tersangkanya, jelas kasusnya, kemudian bisa dilimpahkan. Tetapi persoalan-persoalan yang dikatakan oleh Goldstein, “Ada persoalan-persoalan hukum itu sendiri.” Kalau kita berbicara menyangkut masalah hukum pidana, ada pembatasanpembatasan, baik itu hukum acara maupun itu hukum pidana materiil yang tidak memungkinkan semua tindak pidana yang ada, semua tindak pidana yang telah dilaporkan, itu harus bermuara ke pengadilan. Sehingga, Goldstein mengatakan, “Sangat tidak … sangat mustahil ketika kita menuntut secara full enforcement, apalagi total enforcement mengenai semua kejahatan tindak pidana yang ada dalam masyarakat.” Karena apa? Dari segi aspek hukum pidana, kita mengenal adanya yang namanya nebis in idem. Bagaimana kalau satu tindak pidana itu dilaporkan? Padahal sudah ada putusan yang tetap orang itu … oleh 31
perbuatan yang sama. Tentunya, kasus ini akan berhenti dan tidak dimungkinkan dituntut kemudian. Bagaimana dengan adanya kedaluwarsa? Bagaimana orang dilaporkan, kemudian tersangkanya meninggal dunia? Belum lagi dengan menyangkut nanti tindak pidana delik aduan. Ini adalah pembatasan-pembatasan dari aspek hukum pidana materiil. Belum lagi, nanti yang berkaitan dengan hukum acara. Nah, persoalan-persoalan seperti ini, tentunya harus kita sadari bersama bahwa semangat untuk memberikan perlindungan terhadap pelaku tindak pidana itu adalah semangat yang ada dalam KUHAP dan semangat kita semua. Tetapi menurut hemat saya, itu tidak boleh. Kemudian, di dalam persepsi kita ini karena kita sering melihat adanya permainan oknum, kemudian di generalisasi, berfikir kita adalah berfikir dari aspek yang negatif. Padahal realitas yang terjadi kompleksitasnya tidak semudah itu. Sehingga, tadi tetap saya katakan bahwa kebijakan yang akan kita ambil bahwa satu sisi kita muliakan hak-hak dari tersangaka, tetapi juga dalam konteks perlindungan hak masyarakat secara umum. Hak itu dilakukan di dalam real penegakkannya oleh aparat penegak hukum. Ini … ini menjadi satu catatan (suara tidak terdengar jelas) terakhir dari saya. Saya ingin tanggapin satu hal yang berkaitan dengan menyangkut masalah tadi, Pemohon mengatakan, “Terkait dengan menyangkut masalah rekontruksi penyidikan.” Bahwa kalau kita beberbicara menyangkut sistem peradilan pidana di Indonesia. Kita mengakui selama ini bahwa yang namanya sistem peradilan pidana adalah sistem penegakkan hukum pidana, di dalamnya terdapat subsistem-subsistem, dari mulai sistem penyidikan, penuntutan, sistem peradilan, memeriksa perkara, pelaksana pi … pidana. Kalau kita kritisi sebetulnya yang baru ada, itu adalah subsistem penuntutan dan subsistem pemeriksaaan, yaitu sistem pengadilan. Tetapi subsistem penyidikan, ini lembaganya tidak ada. Yang ada adalah aparat pengemban fungsi penyidikan. Maka kalau Pemohon mambaca dalam disertasi saya, maka kemudian bahwa ini harus direkontruksi. Maka, di situ saya usulkan, di lain … selain ada kontruksi apa … rekontruksi tentang struktur juga rekontruksi tentang subsistem dan kulturnya. Berkaitan dengan rekontruksi tentang struktur hukumnya, maka perlu dibentuk satu lembaga penyidikan. Itu kan di KUHAP sudah ada polisi, polisi itu hanya sebagian pengemban fungsi penyidikan. Karena realitasnya di tempat kita ini ada KPK sampai TNI Angkatan Laut pun punya kewenangan penyidikan. Nah, kalau ide ini direalisasikan sebetulnya tidak ada lagi cicak, buaya dan sebagainya. Karena mereka sudah menyatu di dalam lembaga penyidikan yang selama ini belum terbangun. Yang kedua, berkaitandengan lembaga pelaksana pidana. Di Indonesia ini kalau kita berbicara subsistem yang keempat, yaitu subsistem pelaksana pidana seakan-akan berbicara identik dengan 32
lembaga pemasyarakatan. Padahal kalau kita lihat di dalam jenis sanksi pidana, lembaga pemasyarakatan hanyalah pelaksana dari pelaksana pidana berupa pidana perampasan kemerdekaan. Sedangkan untuk denda, dilaksanakan oleh kejaksaan. Yang terkait dengan pidana mati, dilaksanakan oleh regu tembak. Begitupun jenis yang lain. Nah, makanya ketika ada beberapa pakar mengatakan bahwa sistem peradilan pidana Indonesia itu subsistemnya, ya, polisi, jaksa, hakim, LP. Ini adalah suatu realitas yang mengederhanakan keadaan. Karena realitasnya tidak seperti itu dan itu adalah menurut saya adalah suatu kesalahan konsep. Yang betul kalau kita berbicara menyangkut sistem peradilan pidana yang bersifat integrated itu, ya, integrated dari subsistem pengemban fungsi penyidikan, penuntutan, fungsi pemeriksaan, pengadilan, dan fungsi pelaksana pidana. Nah, kalau kita berbicara lagi menyangkut integrated tentunya dari aspek diferensial, diferensial fungsional di bagi secara habis, tetapi mereka terikat di dalam satu tujuan. Maka sering disebut sistem peradilan pidana itu sebagai purposive system, sistem yang bertujuan. Polisi berdarah-darah menyidik. Jaksa begitu serius membuat surat dakwaan. Hakim memeriksa, mengadili, dan seterusnya. Upaya dalam yang terakhir adalah bermuara bagaimana menekan satu tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat. Ini satu persoalan kita. Jadi, saya sangat berpendapat tadi. Bahwa kalau ada kegagalan itu bukan kegagalan subsistem, walaupun itu secara subsistem itu juga bisa dilihat. Kita menganut model mekanisme ban berjalan. Fungsi (…) 85.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Bisa agak dipersingkat Pak Puji?
86.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT (POLRI): PUJIYONO Oh, inggih. Ini yang terakhir. Fungsi di dalam sistem peradilan pidana, tidak bisa masing-masing subsistem menonjolkan sebagai fungsi kunci. Walaupun yang saya lihat nanti dalam RUU KUHAP kelihatannya akan menempatkan lembaga pengadilan sebagai kuncinya, di mana nanti P21 sudah tidak ada lagi, Pak Nasrullah, ya, kelihatannya, ya. Karena tadi bisa diperbaiki lagi di dalam fungsi di pemeriksaan pengadilan. Tetapi kalau kita melihat dari desain bangun yang sekarang ada itu adalah sebetulnya model sistem ban berjalan. Penyidikan ini akan menentukan fungsi penuntutan. Penuntutan akan menentukan fungsi pemeriksaan dan juga pelaksanaan pidana. Ketika di sini lemah, fungsi penuntutan juga akan lemah. Ibaratnya orang masak, nah ini sangat bagus sekali dalam RUU KUHAP itu ditangkap dengan sangat benar. Ibaratnya orang masak, maaf, kalau dalam oknum penyidik sebetulnya kasusnya ini ibaratnya masakan itu masakan lodeh tapi bumbunya 33
dikasih bumbu gudeg, masuk di kejaksaan, ya nanti jadi gudek, munculnya pun akan gudek, akhirnya keliru, seperti itu. Dan itu ditangkap sangat bagus oleh pembuat RUU KUHAP. Kemudian ini enggak bisa dibiarkan. Dalam pengalaman saya waktu saya aktif di badan konsultasi hukum, saya mendampingi suatu klien sampai hakim marah, “Eh Saudara Jaksa, kenapa Saksi ini justru bukan sebagai tersangka utama?” Karena sejak awal itu sudah didesain dari awal. Nah, ini karena apa? Pemikiran-pemikiran yang bersifat parsial. Kalau tadi kembali pada ide untuk pembatasan, sekali lagi satu sisi untuk memberikan kepastian dan perlindungan itu ya. Tetapi jangan sampai … saya pesankan sekali, itu akan memberangus dari langkahlangkah yang sebenarnya di dalam pengungkapan satu kasus pidana. Saya rasa itu, Yang Mulia, dan saya barangkali menjawabnya secara simultan dan tidak secara satu per satu kami jawab. Terima kasih. Assalamualaikum wr. wb. 87.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Waalaikumsalam wr. wb. Terima kasih, Pak Pujiyono. Pak Nasrullah, sama.
88.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT (POLRI): TEUKU NASRULLAH Ya, terima kasih.
89.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Silakan, Pak.
90.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT (POLRI): TEUKU NASRULLAH Baik, Pak. Saya coba jawab walaupun tadi Pak Narendra tidak mengajukan pertanyaan kepada saya, tetapi saya menganggap ini sentilan juga kepada saya adalah Pak Narendra ini.
91.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, bisa di … secara (…)
92.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT (POLRI): TEUKU NASRULLAH Ketika dikatakan tadi tipiring, kan penyidik merangkap sebagai tindak pidana umum. Ya. Kalau tipiring ya karena memang diinginkan
34
proses cepat, dia tidak normal. Tetapi di luar tipiring, tidak ada kejadian yang merangkap fungsional tadi, ya. Nah, kemudian saya sependapat, tanpa SPDP tidak bisa ditunjuk tim oleh penuntut umum untuk melakukan koordinasi. Masalahnya adalah setelah ditunjukkan … dibuat SPDP pun koordinasi tidak berjalan. Makna koordinasi selama ini sudah terdekradasi, didekradasi sedemikian rupa bahwa ya sudah nanti kirim saja berkas kepada kami, kami nanti akan memberi petunjuk. Itu dari kacamata penuntut umum, nanti lengkapi sesuai petunjuk. Di kasat mata penyidik, tunggu di sana saja nanti, kan kami juga akan mengirim berkas, Anda pelajari berkas, kasih petunjuk kepada kami. Padahal ketika RUU KUHAP dulu dibuat tahun … sebelum 1981 diinginkan sejak awal koordinasi itu sejak … sedemikian rupa, sudah masuk. Begitu ada SPDP langsung masuk tim penuntut umum di dalam penyidikan itu diberikan arahan-arahan dengan posisi kasus apa yang ada, pasal berapa mau diterapkan, cari bla, bla, bla, bla. Itu tidak berjalan. Oleh karena itu, Tim RUU KUHAP menginginkan perubahan itu. Nah, kemudian ketika ditanyakan kepada saya tadi oleh Pak Narendra, “Mengapa dalam RUU KUHAP perlu diperbaiki Pasal 14? Apakah Pasal 14 sudah ideal?” Pasal 14 itu ideal berdasarkan prinsip yang dila … diterapkan oleh KUHAP yang ada sekarang. Ideal untuk apa namanya … prapenuntutan. Karena tanpa prapenuntutan tidak bisa berjalan. Ideal berdasarkan itu karena sistem yang dianut. Nah, apakah ideal untuk sekarang? Tidak. Pasal 14 itu tidak ideal sekarang. Makanya Tim RUU KUHAP mengubah sampai … mengubahnya sampai ke … sampai filosofinya pun. Filosofinya pun itu diferensial fungsional walaupun mungkin kita pernah melihat bahwa apa yang dimaksud integritas … integrated criminal justice system, sistem peradilan terpadu? Jadi ada fungsi penyidikan, kemudian melekat dengan fungsi penuntutan. Tidak terpisah, melekat begini. Sidang peradilan, penuntut umum juga melekat begini, ada di dalamnya. Tetapi itu tidak jalan, integrated criminal justice system itu tidak jalan. Hanya slogan. Oleh karena itu, harus diperbaiki. Jadi ada pertanyaan-pertanyaan yang bersifat sekarang. Sekarang saya mengatakan tidak ideal. Tapi ingat, jangan lupa, ketika KUHAP itu lahir, saat itu semua orang mengatakan termasuk saya, termasuk dosen saya Almarhum Prof. Oemar Seno Adji mengatakan, “Itu karya agung Bangsa Indonesia saat itu.” By proses kan berjalan, terdapat 1.001 kekurangan yang harus kita benahi, menampik pembenahan. Nah, itulah di situ kita pro kepada kekuasaan. Yang namanya orang sudah memperoleh kekuasaan begitu diotak-atik semua terganggu. Dan selama saya menjadi tim penyusun beberapa peraturan perundang-undangan di Departemen Hukum dan HAM mungkin Pak Wahiduddin, Pak Patrialis Akbar pernah tahu, yang paling susah ini adalah RUU KUHAP karena terlalu banyak subsistem. Subsistem yang harus kita akomodir, bukan 35
lagi saat itu kita berbicara untuk kepentingan bangsa dan negara, tetapi masing-masing subsistem itu berbicara dengan kepentingan instansional yang sempit. Itulah yang saya katakan sulit. Idealnya bagaimana? Sangat susah kalau saya ungkapkan di sini bagaimana KUHAP ke depan yang ideal, sangat susah. Karena banyak subsistem yang tidak ingin tersentuh dengan kekuasaan itu, sehingga ketika kita masukkan sebuah subsistem baru hakim pemeriksa pendahuluan yang dulu kita namakan hakim komisaris, rechter commissaris, kita ganti karena begitu alergi dengan kalimat hakim komisaris, kita ganti sistem hakim pemeriksa pendahuluan. Itu pun salah satu yang menghambat pembahasan RUU KUHAP di DPR sekarang. Nah, sekali lagi saya katakan antara ideal dengan fakta itu suatu yang harus kita pahami, Pak Narendra. Nah, kemudian tadi kan ditanya apa penyebab bolak-balik perkara? Karena sistem yang ada sekarang oleh Teman-Teman itu. Sistem yang ada sekarang yang menurut hemat saya harus dibenahi, tetapi tidak bisa membenahi pasal per pasal, kecuali satu dua pasal ketika diubah tidak terganggu sistem. Kalau misalnya Anda ingin mengubah SPDP harus diberikan dengan jangka waktu tiga hari atau lima hari itu kan tidak akan mengganggu sistem, yang tadinya tidak ada batasan waktu sekarang diterapkan batasan waktu. Sebenarnya pembentuk undang-undang dulu menggunakan kalimat moral dari aparat penegak hukum. Segera pada kesempatan pertama, tetapi makna segera itu di dalam praktik disalahartikan. Ya dua minggu kemudian juga segera, tiga bulan kemudian juga segera. Oleh karena itu, sekarang harus dibenahi dengan kepastian batasan waktu. Nah, dalam batasan waktu yang kami buat di dalam pasal yang saya sebutkan tadi dua hari SPDP itu, terjadilah dialog antara Tim RUU KUHAP dengan teman-teman dari Mabes Polri. Mabes Polri menginginkan sepakat ada batasan waktu, tetapi mbok ya jangan dua hari karena sangat sulit mindiknya selesai dalam dua hari. Kalau kita bilang dua hari di situ nanti akan timbul persoalan ketika dua hari itu tidak bisa diselesaikan, gimana? Nah, saat itu diminta tujuh hari. Saya mengatakan tujuh hari kelamaan, lima hari, tapi ya sudahlah nanti diperjuangkan di DPR saja berapa hari untuk SPDP itu, tapi harus ada batasan waktu tidak boleh terbuka sekali seperti itu. Nah, kemudian Pak Patrialis tadi menanyakan kepada saya juga itu tentang pemeriksaan tambahan antara di KUHAP dengan RUU. Kalau di KUHAP memang tidak boleh ada pemeriksaan tambahan, mengandung prinsip diferensial fungsional. Kalau pun selama ini kejaksaan melakukan pemeriksaan tambahan itu merujuk kepada Undang-Undang Kejaksaan, bukan KUHAP. Nah, masalahnya adalah kita sekarang ini di Indonesia banyak sekali ketentuan undang-undang yang mengatur sebuah kelembagaan di situ terselip hukum acara. Seperti ramai diributkan undang-undang … 36
maaf, sedikit saya melenceng tapi perlu saya sampaikan, UndangUndang KPK sehingga tidak bisa dibahas Undang-Undang KPK sekarang. Karena apa? Di situ ter … begitu banyak hukum acara pidana yang diatur. Kalau saya mengatakan seharusnya Undang-Undang KPK itu hanya mengatur organisasi, kelembagaan KPK, struktur organisasi KPK, bagaimana cara pengangkatan, dan segala macam. Sedangkan hukum acara pidana untuk tindak pidana korupsi harus dibuat sebuah hukum acara pidana yang bersifat khusus tindak pidana korupsi yang berlaku bagi semua kelembagaan penegak hukum yang memberantas korupsi, baik KPK, polisi, jaksa, merujuk sebuah kepada sebuah hukum acara pidana yang sama untuk penanganan kasus korupsi. Jangan sampai saya melakukan korupsi, Pak Puji melakukan korupsi nilainya Rp100 miliar sama-sama. Pak Puji disidik oleh KPK, saya disidik oleh kejaksaan, maka ada disparitas rasa keadilan bagi rakyat, bukan bagi aparat penegak hukum. Beliau rumahnya digeledah dan disita enggak perlu izin pengadilan, kalau saya perlu izin pengadilan. Rekening Beliau diblokir semua enggak perlu izin pengadilan, kalau saya perlu izin pengadilan karena disidik oleh kejaksaan. Ini apakah ada rasa keadilan? Apakah tidak timbul disparitas rasa keadilan bagi rakyat? Saya … jangan bilang bagi kelembagaan, keadilan ini bukan bagi kelembagaan tapi kepada rakyat. Nah, dalam kaitan itulah saya katakana sebaiknya hukum acara tidak diatur di dalam Undang-Undang Kepolisian tidak mengatur hukum acara, mengatur hukum terkait dengan organisasi kepolisian. UndangUndang Kejaksaan tidak mengatur hukum acara, mengatur organisasi kejaksaan. Nah, kemudian di RUU KUHAP nanti apakah boleh? Ya, bolah tadi Pak Patrialis Akbar saya katakana. Nanti setelah berkas selesai disidik oleh penyidik, dikirim kepada kejaksaan, dipelajari, nah begitu dipelajari jika kurang lengkap dikembalikan kepada penyidik. Nah, setelah dilengkapi diserahkan lagi kepada kejaksaan. Nah nanti kalau belum lengkap, tidak dikembalikan lagi ini berkas. Kejaksaan dapat melakukan penyidikan tambahan sendiri, misalnya memanggil saksi-saksi, atau ahli, atau memeriksa tersangka lebih lanjut, silakan, kecuali yang diperlukan tindakan kepolisian. Nah, dengan konsep yang ada di KUHAP sejak penyidikan dimulai dengan adanya SPDP, kejaksaan sudah membentuk jaksa zone segera dikirim seorang jaksa kepada penyidik di situ, di situ langsung terjadi koordinasi, yang ... maaf, saya tidak menggunakan istilah supervisi. Kalau supervisi nanti kesannya sangat tidak enak, bisa-bisa gagal, tapi koordinasi maksimum. Berikan arahan-arahan, pasal berapa ini diterapkan, bukti apa saja yang harus diitukan. Bagaimana membuktikan unsur dari pasal ini sejak awal. Sehingga ketika penyidikan dilakukan, taste kejaksaan sudah muncul di situ.
37
Nah, kalau di berbagai negara di Perancis, misalnya, dalam hasil studi banding yang kami lakukan. Penyidik itu, police judiciary, itu dididik oleh penuntut umum, penuntut umumlah yang membuat kurikulum penyidikan kepada penyidik. Nah, kemudian ketika berjalannya penyidikan, penyidik tidak dianggap cakap penuntut umum berwenang mengganti penyidik. Tapi kan tidak mungkin kita terapkan itu di sini, bisa kacau negara kita kalau itu kita terapkan. Jadi kita ambil yang bisa kita lakukan terlebih dahulu saat ini, ini pun begitu sulit. Nah, kemudian … ya memang begini, Pak, tentang SPDP itu seidealnya benar berdasarkan KUHAP. Saya sampaikan juga sesuai dengan yang diinginkan Pak Suhartoyo, pertanyaan tadi, ini masih dalam pertanyaan Pak Patrialis Akbar. Bahwa kalau sudah SPDP, maka perkara itu sudah tercatat di kejaksaan, maka peran pengawasan horizontal harus berjalan. Ketika perkara itu suatu saat mau dihentikan, idealnya dalam gelar perkara itu harus melibatkan penuntut umum memberikan pendapat-pendapat. Meskipun perkara itu belum beralih menjadi kewenangan penyidik. Tetapi masalahnya adalah bagi penyidik itu menganggap bahwa sebuah kesulitan baru, intervensi dari kejaksaan ke situ. Tapi ya saya menganggap ini kepentingan bagi pelapor dan bagi tersangka sendiri, ya. Nah, praktiknya sekarang kan hanya kalau ada penghentian penyidikan kalau sudah ada SDPD hanya diberitahukan dari penyidik kepada penuntut umum. Padahal saya berharap itu terlibat penuntut umum di situ, kan bagian yang tak terpisahkan yang kita inginkan. 93.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Pak Nasrullah, sedikit.
94.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT (POLRI): TEUKU NASRULLAH Ya.
95.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Bagaimana kalau sebaliknya, ketika penuntut umum ingin menghentikan suatu kasus apakah juga harus bersama-sama dengan penyidik kepolisian?
96.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT (POLRI): TEUKU NASRULLAH Ya, kalau sebuah penyidikan itu. Karena begitu sampai di penuntutan, ketika penuntut umum mau menghentikan perkara itu, kenapa dulu dia P21? “Kalau anda sudah P21, you jelaskan dong 38
sekarang, kenapa you hentikan?” Harus. Dalam rangka pengawasan horizontal demi perlindungan kepada rakyat. Nah, kemudian, Pak Patrialis Akbar yang tadi Bapak tanyakan terkait empat tahun perkara yang bisa dihentikan, kemudian kerugian telah terganti, apakah termasuk warga negara? Tidak. Misalnya ini hanya para pihak tok, bukan negara di sini. Saya menipu Pak Puji, kemudian dituduh dibuat laporan kepolisian, kemudian, “Eh ini dalam rangka restorative justice sebenarnya.” Salah satu pengembangan dari restorative justice. Dan selama ini kan sering sekali penyidik atau penuntut umum, teriak, “Ini kan ada laporan, unsurnya terpenuhi, bagaimana kami dihentikan? Kami tidak ada ruang untuk menghentikan.” Begitu kita serahkan ke pengadilan, “Kok segala perkara orang curi sendal saja dibawa ke pengadilan, kami tidak ada ruang untuk menghentikan.” Maka kita masukkan sebuah ruang di sini untuk menghentikan perkara-perkara ringan, kecil. Walaupun pencurian kan bukan perkara tindak pidana ringan, tapi mencurinya perbuatan yang kecil, hanya sebuah roti, hanya sebuah sendal. Pak, ancamannya tetap maksimum lima tahun lho, bukan sehari itu, tetapi dianggap perkara itu kecil kerugiannya. Dengan perdamaian, si pelapornya pun diberi … berhasil diberi pengertian ini sudah cukup. Dengan diproses dari tahap penyidikan sampai ke penuntutan sudah cukup memberikan pembelajaran kepada yang bersangkutan untuk tidak mengulang perbuatan ini. Demikian juga yang umur 70 tahun tadi ke atas, ya. Tetapi tidak semua pidana yang boleh dihentikan karena umur 70 tahun, ada penguraian nanti, cuma saya tidak bahas itu sekarang. Nah, kemudian, Pak Suhartoyo. Ini, Pak Suhartoyo ini kalau nanya sudah memberikan pendapat sekalian. Beliau berlindung di balik mengajukan pertanyaan dan pendapatnya sangat tajam, dan mencerminkan penguasaan yang luar biasa ini. Tapi Beliau mengatakan SPDP bukan hanya untuk tujuan koordinasi, ada tujuan kepentingan HAM. Saya sependapat, sangat sependapat, cuma Beliau lupa tadi saya (suara tidak terdengar jelas), SPDP itu juga dalam rangka pengawasan horizontal, Pak. Dalam rangka pengawasan horizontal agar hak-hak masyarakat ini tidak dilanggar. Ada pengawasan. Nah, SPDP tidak hanya kepada penuntut umum, Pak, ya. Di RUU KUHAP memang begitu. Nanti dengan adanya hakim pemeriksaan pendahuluan, cuma masalahnya kapan SPDP itu diajukan waktu di RUU KUHAP nanti? Ini dalam draf RUU HUHAP. Setelah turun sprindik, bukan sejak dimulainya penyidikan. Kenapa begitu? Karena di dalam RUU KUHAP tidak ada lagi istilah penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan sudah menyatu di dalam penyidikan, begitu masuk ke penyidikan awalnya dia mulai dengan perbuatan lidik sekarang, itu ada di dalam bagian itu. Jika dianggap ada unsur pidana dari hasil penyidikan awal ada unsur pidana ini kuat dan kemudian telah diperoleh dua bukti
39
permulaan yang cukup, maka terbitlah sprindik. Begitu sprindik terbit, baru saat itu kita hitung kapan diberikan SPDP. Nah, kemudian setelah terbit SPDP itu kepada hakim pemeriksa pendahuluan juga harus disampaikan. Nah, teman-teman dari kepolisian menganggap, “Pak, gimana di daerah-daerah yang terpencil, yang kadang-kadang di satu daerah, di kecamatan, di ... maaf, di Indonesia Timur itu, perjalanan darat saja dari satu kantor polisi, pos polisi ke kota/kabupaten bisa seminggu perjalannya.” Nah, kita mengatakan terlebih dahulu saat itu kita bisa dengan faxs, SMS, whatsapp, atau apapun, telepon, kami sudah melakukan ini agar pihak kejaksaan ... tujuannya apa? Agar pihak kejaksaan segera menurunkan tim jaksa wilayah. Nah, kemudian ... nah, ini, Pak ... Pak Suhartoyo yang buat tadi yang Bapak nanya bagaimana bolak-balik perkara itu, sehingga tidak menghabiskan waktu dan tidak perlu menggunakan penahanan istimewa Pasal 29. Ya, tadi, sejak dimulai penyidikan kejaksaan telah menurunkan tim untuk melakukan koordinasi maksimum, sehingga enggak akan bolak-balik. Sejak awal penyidikan itu sudah masuk pemikiran-pemikiran kejaksaan. Nah, begitu sampai ke jaksa peneliti nanti, ini … penyidikan ini sudah sesuai dengan kebutuhan. Nah, kemudian tadi saya ingin sedikit koreksi pernyataan, pak kapolda. Saya sudah sempat komunikasi dengan beliau. “Pak, apa makna yang Bapak ...” “Begini, Pak Nasrullah. Mana ada dari Pasal 184 KUHAP itu alat bukti di peroleh tahap penyidikan, enggak ada.” Saya juga bengong, tapi beliau punya penjelasan begini, “Keterangan saksi, apa makna keterangan saksi? Apa yang saksi nyatakan di depan sidang pengadilan bukan di depan BAP, itu maknanya.” Kata dia. “Keterangan ahli, apa yang ahli nyatakan di depan sidang pengadilan bukan di BAP. Ini semua kan calon menjadi alat bukti. Keterangan terdakwa? Apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan, bukan keterangan tersangka.” Saya menangkap makna penjelasan dan kemudian bukti petunjuk ini salah kaprah kalau dibilang tahap penyidikan sudah ada petunjuk. Petunjuk itu hanya sebenarnya judicial notice, catatan-catatan hakim dari apa yang diamati di ruang sidang. Petunjuk itu adalah kesesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti surat dan/atau dengan alat bukti keterangan terdakwa di depan sidang pengadilan. Sumbernya hanya tiga, dari keterangan saksi, keterangan terdakwa, dan alat bukti surat, tidak bisa dari ahli, itu sumber apa ... petunjuk. Jadi kalau ada orang bilang petunjuknya sudah banyak, enggak pernah ada petunjuk, hanya hakim yang bisa memperoleh petunjuk. Saya sependapat dengan pemikiran beliau. Jadi perlu kita pahami dalam bahasa apa beliau sampaikan, kemukakan itu.
40
97.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Pak, saya kira juga harus diluruskan juga bahwa bagaimana itu dasar untuk menetapkan tersangka, lho.
98.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT (POLRI): TEUKU NASRULLAH Nah, begini. Beliau ... saya diskusikan beliau begini, “Berarti kami penyidik ini menetapkan tersangka harus kepada berdasarkan bukti permulaan yang cukup,” kata dia. Tapi kan kemudian sudah diubah oleh Mahkamah Konstitusi harus berdasarkan dua alat bukti. Nah, dua alat bukti yang dipahami ini tidak sama dengan dua alat bukti Pasal 184 karena makna dua alat bukti 184 itu apa yang dinyatakan di depan sidang pengadilan. Tapi ini awal, bukti awal yang kami peroleh. Nah, kemudian dalam bolak balik perkara seperti itu, Adik-Adik, saya katakan sering sekali terjadi, Anda mungkin pernah lihat kasus Adrian Waworuntu (Kasus BNI), bolak balik perkara itu berkali-kali sampai Adrian Waworuntu dibawa, dikeluarkan dari tahanan 120 hari lebih, akhirnya P21 dan dihukum seumur hidup, normal itu. Dan itu merujuk kepada KUHAP sekarang karena KUHP sekarang itu belum menegaskan kalimat koordinasi sejak awal dan hanya penyidik yang bisa melengkapi, tidak boleh penuntut umum. Kemudian, Pak Aswanto. Memang benar, Pak Aswanto, di berbagai negara yang kami peroleh kami sempat studi banding ke Jepang, Italy kami pelajari itu juga, Prancis, Amerika. Bahwa di depan sidang pengadilan, fakta ... mungkin Pak Suhartoyo mengerti benar itu bahwa di depan sidang pengadilan banyak sekali ternyata masih bisa diperoleh bukti-bukti lagi, tetapi sistem yang ada sekarang tidak memungkinkan penuntut umum meminta kepada penyidik cari bukti baru lagi, enggak bisa. Tapi ke depan kita buka ruang itu, boleh. Karena ini mencari kebenaran materiil agar hakim pun tidak disesatkan dengan yah kurang bukti, padahal ada, bagaimana nasip korban padahal bukti itu ada karena kita buat sebuah sistem yang di sini lihat ketat, bukti yang ada enggak boleh digunakan lagi. Jadi dibuka ruang itu ke depan. Nah, saya sependapat sekali dengan Pak Aswanto bahwa sekarang ini dengan ICCPR tidak ada lagi hukum acara pidana yang berlaku lokal. Banyak asas-asas yang ada di ICCPR itu berlaku internasional, berlaku di berbagai negara di dunia dan sekarang sudah mengarah kepada permintaan pertanggungjawaban dari kelembagaankelembagaan dunia, di dunia ini, terhadap pengakan hukum di suatu negara. Oleh karena itu, penegakkan hukum sekarang tidak bisa dilepaskan dari globalisasi, penegakan hukum yang harus ada sekarang ini harus merujuk kepada globalisasi. Bahkan yang Pak Suhartoyo 41
mungkin nanti berkenan memberikan masukan kepada saya ketika saya menyampaikan pendapat kalau nanti diminta oleh DPR. Kami diminta bagaimana menyusun sebuah penahanan, konsep penahanan, agar penahanan itu tidak menjadi lagi alat ... maaf, baik oleh penyidik, penuntut umum, hakim, atau para pengacara untuk melakukan negosiasi-negosiasi dalam tanpa kutip. Oleh karena itu, kita mengatur bahwa penahanan penyidik berwenang menahan sendiri lima hari, setelah itu tidak boleh lagi ada penahanan oleh penyidik atau penuntut umum, yang berwenang menahan itu hanya hakim. Kalau pada tahap penyidikan ingin ditahan orang itu harus lewat penetapan hakim, hakim pemeriksa pendahuluan. Jadi penyidik meminta kepada hakim untuk orang ini ditahan, tapi hakim tidak serta-merta kayak sekarang ini kan hakim termasuk Pak Suhartoyo jadi stempel. Tidak punya pilihan karena sudah terpenuhi syarat formil, enggak ditahan ... enggak diperpanjang penahanan, kalau lari salah hakim. Jadi sudah tahan saja selama formil sudah terpenuhi. Nah, yang jadi ke depan itu kita inginkan hakim memanggil si tersangka dan penasihat hukum, “Hai, Tersangka, Penasihat hukum. Ini Penyidik dan Penuntut Umum menginginkan klien Anda ditahan, apa pendapat Anda?” “Pak Hakim, ini orang mau ditahan. Dia harus suntik insulin setiap hari, apakah negara siap? Makannya, nasinya, sanggup enggak menjaga dari gula?” “Penuntut Umum, ini argumentasi Penasihat Hukum. Apa jawabanya You?” Jadi hakim melihat secara objektif, hakim ke depan merujuk kepada adversarial system. Sakin yang tidak berpihak kepada salah satu berada pada titik yang benar-benar di tengah kepada kedua belah pihak. Demikian beberapa pemikiran yang dapat saya sampaikan. Terima kasih, saya mohon maaf kalau ada yang keliru. 99.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, sebelum saya akhiri persidangan, terima kasih kepada Pak Pujiyono dan Pak Teuku Nasrullah yang telah memberikan keterangan di persidangan yang sangat bermanfaat untuk kita semua pada waktu akan memutus perkara ini. Kemudian apakah Pihak Terkait masih akan mengajukan ahli atau sudah cukup?
100. PIHAK TERKAIT (POLRI): AGUNG MAKBUL Dari Pihak Terkait sidang selanjutnya sudah cukup, Pak, tidak ada. 101. KETUA: ARIEF HIDAYAT Sudah cukup, ya. Untuk Pihak Terkait dari Jaksa enggak, ya? 42
102. PIHAK TERKAIT (PERSATUAN JAKSA INDONESIA): NARENDRA JATNA Kami mengajukan satu, Pak. 103. KETUA: ARIEF HIDAYAT ini?
Oh, kok enggak digabungin? Kok enggak digabung sekalian hari
104. PIHAK TERKAIT (PERSATUAN JAKSA INDONESIA): NARENDRA JATNA Karena belum, Pak, waktu itu, Pak. 105. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya kalau gitu tertulis saja, ya. 106. PIHAK TERKAIT (PERSATUAN JAKSA INDONESIA): NARENDRA JATNA Siap, Pak. 107. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, tertulis saja disampaikan bersamaan dengan kesimpulan karena kalau ahlinya satu-satu nanti persidangan kita terlalu lama dan anu … tidak bisa segera kita bahas untuk diputus, ya. Dari Pihak Terkait Persatuan Jaksa, keterangan ahli bisa disampaikan secara tertulis. 108. PIHAK TERKAIT (PERSATUAN JAKSA INDONESIA): NARENDRA JATNA Siap, Yang Mulia. 109. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, baik. Oh Begitu. Ya, ini ada usulan dari Hakim meskipun satu mestinya dari agenda persidangan secara keseluruhan ini sudah ditutup persidangan pada hari ini karena pada waktu sidang yang lalu sudah ditanyakan, apakah dari Pihak Persatuan Jaksa akan mengajukan ahli atau tidak? Waktu itu kalau tidak salah jawabannya, “Tidak akan mengajukan ahli.” Ya kan? Sehingga persidangan kali ini itu dari pihak … 43
Pihak Terkait Kepolisian yang terakhir dua ini saja. Tapi ini … gimana ini? Soalnya agendanya persidangan sudah dan pada waktu kemarin saya mau menutup sidang saya tanyakan. Pihak Terkait Kepolisian mengajukan ahli, tapi pihak Kejaksaan enggak. Bolak-balik begini, kan ini menyulitkan agenda persidangan sebetulnya, ya. Ya, kalau begitu tetap pada keputusan awal, ya, keterangan tertulis saja, ya. Keterangan tertulis karena memang sejak awal tidak akan mengajukan ahli, tapi ini Ahlinya malah sudah dibiayai oleh Kepolisian ini. Anda ikut nimbrung saja sudah. 110. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (POLRI): TEUKU NASRULLAH Tidak, Pak. 111. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, memang enggak. Artinya bisa … bisa sampai sini itu karena niat baik dari Kepolisian. Nah, Persatuan Jaksa kan ikut-ikut nimbrung saja ini. 112. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (POLRI): TEUKU NASRULLAH Ongkos sendiri, Majelis. 113. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, baik. Itu saya yakin itu Pak Nasrullah, enggak pake ongkos karena untuk kepentingan bangsa dan negara, anak, cucu, tadi sudah dikatakan. Baik, kalau begitu persidangan sudah selesai. Saya … sebelum saya akhiri, penyerahan kesimpulan baik dari Pemohon 130 atau yang 123, ya. Saya juga terima kasih kepada Perkara 123 yang mestinya sudah selesai, tapi masih kita undang karena ini satu rangkaian dari apa yang dimohonkan, ya. Baik, penyerahan kesimpulan dari Perkara 123, 130, Pemerintah, dan Pihak Terkait Persatuan Jaksa, maupun Kepolisian bisa diserahkan pada hari Selasa, 24 Mei 2016, pada pukul 14.00 WIB. Saya ulangi, kesimpulan Selasa, 24 Mei 2016, pada pukul 14.00 WIB. Sekali lagi, Pak Nasrullah dan Pak Pujiyono, terima kasih. Sangat bagus keterangan yang disampaikan sehingga bisa memperluas wawasan kita bersama, sekali lagi terima kasih.
44
Sidang selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 16.20 WIB Jakarta, 17 Mei 2016 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
45