MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 136/PUU-XIII/2015 PERKARA NOMOR 137/PUU-XIII/2015
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN DPR DAN AHLI/SAKSI PEMOHON (V)
JAKARTA KAMIS, 28 APRIL 2016
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 136/PUU-XIII/2015 PERKARA NOMOR 137/PUU-XIII/2015 PERIHAL − −
Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah [Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 15 ayat (1) beserta Lampiran Matriks] terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah [Pasal 9 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 11 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 12 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 13 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 14 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 15 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 17 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 21, Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 251 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (8)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
PEMOHON − −
Kasman Lassa (Perkara Nomor 136/PUU-XIII/2015) Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), Pemerintah Daerah Kabupaten Batubara, Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh, dkk (Perkara Nomor 137/PUU-XIII/2015)
ACARA Mendengarkan Keterangan DPR dan Ahli/Saksi Pemohon (V) Kamis, 28 April 2016 Pukul 14.05 – 16.35 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Anwar Usman Patrialis Akbar Maria Farida Indrati Aswanto I Dewa Gede Palguna Wahiduddin Adams Suhartoyo Manahan MP Sitompul
Rizki Amalia Syukri Asy’ari
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon Perkara Nomor 136/PUU-XIII/2015: 1. Kasman Lassa B. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 136/PUU-XIII/2015: 1. Andie H. Makassau 2. D. B. Lubis C. Pemohon Perkara Nomor 137/PUU-XIII/2015: 1. Ben Brahim S. Baha 2. Mohamad Muraz D. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 137/PUU-XIII/2015: 1. Andi Syafrani 2. Yupen Hadi 3. Mellisa Anggraini 4. Rivaldi 5. Muhammad Ali Fernandez 6. Fazlur Rohman E. Pemerintah: 1. Hotman Sitorus 2. Yunan Hilmy 3. Wahyu Wijaya F. Saksi dari Pemohon Perkara Nomor 136/PUU-XIII/2015: 1. Ramli Abdul Karim 2. M. Fajar Panggagao 3. Samsu Alam G. Ahli dari Pemohon Perkara Nomor 137/PUU-XIII/2015: 1. Rifqinizamy Karsayuda 2. Abrar Saleng H. Ahli dari Pemohon Perkara Nomor 137/PUU-XIII/2015: 1. Edy Alwi 2. Isar Dasuki Tasim
3. Ilham 1. Abdul Rachman
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 14.05 WIB 1.
KETUA: ANWAR USMAN Sidang Perkara Nomor 136 dan 137/PUU-XIII/2015 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, om swastiastu. Dipersilakan Pemohon Nomor 136 memperkenalkan diri, siapa saja yang hadir?
2.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIII/2015: ANDIE H. MAKASSAU
NOMOR
136/PUU-
Baik, terima kasih, Yang Mulia. Kami dari PUU Nomor 136, saya sebagai Kuasa Andie H. Makassau. Sebelah saya Saudara D.B. Lubis. Terima kasih. 3.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, Nomor 137?
4.
KUASA HUKUM PEMOHON XIII/2015: ANDI SYAFRANI
PERKARA
NOMOR
137/PUU-
Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, salam sejahtera untuk kita semua. Kami dari Pemohon, hadir Kuasa Hukum, saya Andi Syafrani, Yupen Hadi, Mellisa Anggraini, Rivaldi, dan Muhammad Ali Fernandez, serta Fazlul Rohman. Hadir juga Prinsipal kami di sini Bupati Kapuas, kemudian ada Walikota Sukabumi, dan ada juga beberapa dari Pemerintahan Kabupaten yaitu Muara Enim, Tangerang, Batubara, Lampung Selatan, Banjarnegara, dan Majalengka, Yang Mulia. Demikian, terima kasih. 5.
KETUA: ANWAR USMAN hadir?
Baik. Dari DPR berhalangan. Silakan Kuasa Presiden, siapa yang
ii
6.
PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS Terima kasih, Yang Mulia. Pemerintah hadir diwakili Bapak Yunan Hilmy. Saya sendiri Hotman Sitorus, kemudian Wahyu Wijaya. Terima kasih, Yang Mulia.
7.
KETUA: ANWAR USMAN Baik, di meja Hakim, Pemohon Nomor 136 mengajukan tiga orang Saksi, ya?
8.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIII/2015: ANDIE H. MAKASSAU
NOMOR
136/PUU-
Betul, Yang Mulia. 9.
KETUA: ANWAR USMAN Kemudian untuk Perkara Nomor 137, Pemohon mengajukan dua Ahli dan empat Saksi?
10.
KUASA HUKUM PEMOHON XIII/2015: ANDI SYAFRANI
PERKARA
NOMOR
137/PUU-
Benar, Yang Mulia. 11.
KETUA: ANWAR USMAN Nah, jadi ini cukup banyak, nanti ya bisa di-manage sedemikian rupa baik Saksi maupun Ahli, ya, cukup memberikan keterangan yang, y,a tidak terlalu panjang. Yang penting, ya, singkat tapi jelas. Sebelumnya dipersilakan maju ke depan untuk diambil sumpahnya dulu Para Saksi dan Ahli. Silakan ke depan. Pak Ramli Abdul Karim, Pak Fajar Panggagao, Pak Samsu Alam. Kemudian untuk Perkara Nomor 137, Pak Edy Alwi, Drs. Isar Dasuki Tasim, Pak Ilham, Pak Abdul Rachman, A.Td. Ya, semua beragama Islam, ya. Untuk Ahli, Pak Dr. M. Rifqi. Kemudian, Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng. Ya, mohon kesediaan Yang Mulia Pak Wahid untuk memimpin sumpah.
12.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Baik, untuk Ahli terlebih dahulu. Untuk mengikuti lafal yang saya tuntunkan.
2
“Bismillahirrahmaanirrahiim.” Kita ulang, ya. Dengan Ahli yang dua saja, Pak Rifqinizamy dan Prof. Abrar Saleng. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.” 13.
PARA AHLI BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
14.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Baik, untuk Saksi tujuh, ya. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya.”
15.
PARA SAKSI BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya.
16.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih. Dipersilakan kembali ke tempat. Ya, saya tawarkan ke Pemohon, apakah saksi dulu atau ahli dulu?
17.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIII/2015: ANDIE H. MAKASSAU
NOMOR
136/PUU-
Kami kembalikan kepada Yang Mulia Mahkamah. 18.
KETUA: ANWAR USMAN Baik. Sama, ya, Terserah Mahkamah? Baik. Kalau begitu, saksi dulu, ya. Saksi untuk Perkara Nomor 136, Pak Ramli Abdul Karim, dipersilakan ke mimbar. Ya, apakah akan dipandu atau gimana? Dengan pertanyaan?
3
19.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIII/2015: ANDIE H. MAKASSAU (…)
20.
NOMOR
136/PUU-
Siap, Yang Mulia. Tentunya kami ingin menanyakan beberapa hal
KETUA: ANWAR USMAN Ya, itulah dipandu. Ya, silakan.
21.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIII/2015: ANDIE H. MAKASSAU
NOMOR
136/PUU-
Baik. Baik, Pak Drs. Abdul Karim sebagai Saksi Fakta yang dimohonkan oleh … dimajukan oleh Pemohon PUU Nomor 136. Ada … dalam diskusi kita, ada beberapa hal yang berkaitan dengan fakta-fakta di lapangan, khususnya yang berkaitan ... yang permohonan kami, yaitu materi muatan Pasal 14 dan Pasal 15 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014. Menurut pandangan Saudara, apa yang terlihat di situ, yang Saudara bisa sampaikan di persidangan ini? 22.
SAKSI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 136/PUU-XIII/2015: RAMLI ABDUL KARIM Baik, terima kasih. Para Hakim yang kami hormati, kami sebagai Saksi Fakta di lapangan, sesuai dengan apa yang kami alami di sana. Bahwa dengan ditariknya berapa … urusan itu, yang kami rasakan adalah di daerah, terutama khususnya daerah pemekaran baru. Semangat otonomi itu, ruh otonomi itu hilang, Pak. Itu bukan hanya terasa pada kami sebagai staf. Kebenaran saya sebagai Saksi Fakta di sini, sedikit punya latar belakang pengalaman. 30 tahun saya sebagai aparatur di pemerintah dan sudah pensiun kemarin, 2010. Sampai hari ini, masih di daerah. Jadi, faktanya, saya berapa dinas … saya sebagai kepala dinas, juga kepala badan, terasa betul, Pak. Bahwa ruh daripada otonomi itu hilang, Pak. Dan yang ada adalah kalau di lapangan, di kantor pada staf yang kami lihat, kebenaran kami sudah pensiun, Pak, tapi masih sering ke … melihat situasi di kantor. Anak-anak itu, Pak, ya, kayak ayam sakit itu, Pak. Jadi, di sini betul-betul yang terasa di lapangan selain mungkin pendapatan oke, Pak, kami tahu. Bahwa ada subsidi per desa itu, tapi bukan itu, Pak. Tapi, kemudian adalah jiwa pengabdian itu hilang, Pak. Saya kebenaran memang kemarin sebagai kepala dinas pertambangan. Saya lihat betul perbedaannya, Pak.
4
Jadi, sebagai fakta lapangan, sebagai saran barangkali sedikit, Pak. Mohon maaf, kami tidak punya latar belakang. Banyak masalah hukum, tapi kalau masalah praktik di lapangan bukan cukup, tapi alhamdulillah 30 tahun saya di negara ini dengan 12 jabatan. Di provinsi, Pak, jabatan kami di kabupaten pemekaran itu delapan. Dimulai dari sebagai kepala BKD, kepala otonomi desa, kemudian kepala perkreditan di koperasi, kemudian kepala BPM, kemudian kepala dinas, kepala BPM lagi. Paling terakhir, saya adalah sebagai sekretaris dewan daerah tingkat II. Artinya, bukan saya apa-apa, tapi saya memahami, saya melihat. Kesempatan ini, terima kasih sekali. Kami akan memberikan sedikit apa yang kami ketahui. Dan kami menonton di televisi bahwa ruh daripada otonomi itu hilang, Pak, di daerah. Dan kita khawatir adanya nanti euforia-euforia yang macam-macam, Pak, motifnya. Kita tidak bisa. Jadi, kesempatan ini pada Majelis Yang Terhormat, sebagai Mahkamah Konstitusi yang mengawasi negara ini dari berbagai sudut sebagai payung yang terbesar, kami mohon dengan hormat. Dari daerah yang terpencil, yang Bapak-Bapak belum mungkin sampai di sana. Kami merasakan betul, Pak. 23.
KETUA: ANWAR USMAN Ya.
24.
SAKSI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 136/PUU-XIII/2015: RAMLI ABDUL KARIM Barangkali itu yang kami sampaikan. Untuk sementara seperti itu.
25.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Apa lagi? Cukup, ya?
26.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIII/2015: ANDIE H. MAKASSAU
NOMOR
136/PUU-
Baik. Saya kira cukup, Yang Mulia. 27.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Silakan kembali ke tempatnya.
28.
SAKSI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 136/PUU-XIII/2015: RAMLI ABDUL KARIM Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. 5
29.
KETUA: ANWAR USMAN Selanjutnya, Pak Fajar Rangga. Ya, silakan. Silakan dipandu.
30.
PEMOHON PERKARA NOMOR 136/PUU-XIII/2015: D.B LUBIS Baik, Majelis Hakim Yang Mulia. Saudara Saksi Fakta, sebagai seorang pengusaha di bidang pertambangan atau galian C, silakan Saudara Saksi memaparkan. Apa permasalahan yang Saudara hadapi ketika persoalan ini ditarik ke provinsi? Ketika seluruh kewenangankewenangan yang perizinan ditarik ke provinsi. Apa masalah yang Saudara hadapi? Karena Saudara ditampilkan dalam kaitan sebagai fakta untuk mengungkap, apa fakta yang Saudara hadapi di lapangan? Silakan.
31.
SAKSI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 136/PUU-XIII/2015: M. FAJAR PANGGAGAO Ya, terima kasih. Mahkamah Konstitusi Yang Mulia kami hormati dan seluruh Peserta Sidang yang kami muliakan. Sebelum kami menyampaikan, pertama-tama, kami ingin menjelaskan bahwa nama kami Muhammad Fajar Panggagao. Bahwa benar, apa yang disampaikan … yang dipertanyakan kepada kami. Kami sebagai pengusaha lokal yang merasa terpanggil karena selama ini ketika kami melakukan pengurusan izin, kami di pingpong ke sana ke mari. Ketika kami melakukan pengurusan izin CV atas nama Fajar Jaya, sesuai dengan nama kami sendiri. Itu oleh Dinas Pertambangan Kabupaten Donggala di arahkan ke provinsi, sebaliknya begitu kami ke provinsi, kembali belum ada petunjuknya dan sebagainya, kembalikan ke kabupaten. Jadi, kami bingung sebagai pengusaha, mau ke mana kami ini? Selanjutnya, melihat dari perkembangan terhadap UndangUndang Nomor 23 tersebut, maka kami dalam hal ini melihat proses pengurusan izin menjadi panjang, yang tadinya kami mendapatkan dukungan dari masyarakat, rekomendasi camat, rekomendasi desa, rekomendasi dari pertambangan, maupun dari rekomendasi bupati, dan nantinya akan mendapat rekomendasi pertambangan lagi di provinsi, sampai akhirnya mendapatkan SK dari Gubernur. Ini kan sesuatu yang menjadikan panjang pengurusannya dalam pengurusan izin. Belum lagi kawan-kawan dan teman-teman kami khususnya dari daerah yang jauh dari ibukota provinsi, sangat merasakan persoalan ini. Yang akhirnya bolak-balik dan diping-pong ke sana ke mari. Inilah persoalan-persoalan yang menurut hemat kami sebagai pengusaha. Semakin … setiap perubahan pemimpin, berubah lagi peraturan dan perundang-undangan. Kami bukan menajdi pengusaha yang tidak taat 6
hukum, tapi kami bingung di bawa ombang-ambing oleh banyaknya perundang-undangan. Oleh karena itu, Bapak Hakim yang kami muliakan. Melalui kesempatan ini, berikan ruang yang tidak terlalu menyulitkan, tapi menjadi ketaatan bagi kami dalam pengurusan usaha di negeri ini. Berikut, Bapak Hakim yang kami muliakan. Kami juga bukan hanya sekadar sebagai pengusaha. Pada pilkada 2013 juga kami mencalonkan diri dan insya Allah 2018 ke dapan kami juga akan mencalonkan diri pada pilkada di Kabupaten Donggala. Masalah yang kami hadapi dan ini mohon maaf, bukan kami lelucon di gedung sangat hikmat ini. Ketika kami bersosialisasi di masyarakat, banyak masyarakat maupun LSM menertawai kami. Bapak ini menghayal, urusan yang Bapak sampaikan itu urusan gubernur bukan lagi urusan bupati. Jadi, menimbulkan kekecewaan kami ketika melakukan sosialisasi di hadapan masyarakat. Menjelaskan terhadap bagaimana nantinya ke depan untuk memperbaiki negeri kami sendiri atau daerah kami sendiri. Tapi kami ditertawai oleh sekelompok masyarakat dan orang-orang tertentu, mohon maaf, Pak. “Bapak mungkin mimpi, Pak.” Saya bertanya, “Apa alasan Anda seperti itu?” Dia menyebutkan bahwa urusan yang Bapaka sebutkan semua sudah urusan gubernur, bukan lagi urusan bupati. “Malahan, kalau … Bapak coba undang-undang itu, Bapak hanya tinggal urus panas bumi, sehingga membuat kepala dan hati kami menjadi panas, Pak.” Tapi di tempat ini tidak seperti itu. Mohon maaf, Pak Hakim. Oleh karena itu, dalam pengurusan izin yang kami alami seperti ini tentunya menambah panjang dari prosesnya. Bagaimana nawacita Bapak Presiden kita menginginkan untuk mempermudah, bukan berarti kita tidak taat akan hukum. 32.
KETUA: ANWAR USMAN Ya.
33.
SAKSI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 136/PUU-XIII/2015: M. FAJAR PANGGAGAO Itu lah sementara saran dari kami, dari pengusaha.
34.
KETUA: ANWAR USMAN Baik, baik. Jadi, ya, intinya sudah bisa ditangkap oleh Majelis, ya. Silakan berikutnya. Pak Samsu Alam. Ya, silakan dipandu.
7
35.
PEMOHON PERKARA NOMOR 136/PUU-XIII/2015: D.B LUBIS Saudara Samsu Alam. Sebagai staff ahli bupati yang pernah menjadi Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Donggala. Silakan Saudara Saksi memaparkan apa permasalahan-permasalahan yang dialami oleh kabupaten/kota jika sekiranya kemudian kewenangankewenangan ini diambil alih atau ditarik oleh provinsi? Silakan, Pak.
36.
SAKSI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 136/PUU-XIII/2015: SAMSU ALAM Terima kasih banyak. Assalamualaikum wr. wb. Bapak Ketua dan Anggota Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia. Saya perlu sampaikan dulu bahwa saya pernah menjabat kepala dinas pada periode 27 Maret 2013 sampai 31 Desember 2015 dan sekarang menjadi staff ahli bupati bidang kemasyaratakan dan sumber daya manusia. Yang perlu mungkin saya tambahkan penjelasan. Yang pertama, urusan-urusan perizinan. Perkenankan saya mengajukan contoh. Contoh yang ingin saya ajukan yang saya alami sampai hari ini, walaupun saya sudah staff ahli, yaitu permohonan izin usaha pertambangan batuan galian C seluas 9,3 hektar diajukan oleh Saudara Koh Hendrik pada bulan Agustus 2014. Kemudian, dialihkan ke pemerintah provinsi sampai hari ini belum selesai dan pengusahanya mengeluh kepada saya. Padahal kreteria urusan tersebut, kalau sesuai dengan ayat (4) Pasal 13 menurut saya akan lebih efektif diselesaikan di pemerintah kabupaten. Karena kaitannya urusan pemerintahan yang lokasinya berada dalam kabupaten/kota, urusan pemerintahan yang penggunanya dalam kebupaten/kota, urusan pemerintahan yang manfaat dan dampak negatifnya hanya dalam daerah kabupaten/kota, dan urusan pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien dikelola oleh pemerintah daerah kabupaten/kota. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 23 ini berdasarkan pengalaman saya. Karena saya dinas pertambangan sejak tahun 1997. Belum pernah disosialisasikan secara rinci sebagaimana contoh UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara yang ditetapkan 12 Januari 2009. Saat itu saya masih menjabat Eselon IV dan dilibatkan langsung sampai ke Jakarta tentang sosialisasi, sehingga masa sosialisasi kurang lebih empat tahun sampai 12 Januari 2009. Artinya, masa empat tahun ini transfer informasi antara pelaku pemerintahan pegawai dan tingkat dari tingkat staf sampai atasan itu terjadi sekalipun ada penggantian pejabat. Tetapi Undang-Undang Nomor 23 yang saya alami ditetapkan disahkan justru pada saat Pemerintah Kabupaten Donggala ini sedang sibuk berkonsentrasi melakukan evaluasi terhadap IUP yang terbit sebelum 2014, sesuai dengan kesepakatan yang ditandatangani bersama 8
pada bulan Februari 2014 antara semua pemerintah kabupaten/kota seSulawesi Tengah bersama dirjen sumber daya mineral dan KPK. UndangUndang 23 ini menurut saya terkesan seolah-olah sebagai kejutan yang tiba-tiba muncul dan harus dilaksanakan. Saya kira itu informasi penting dari saya. Wassalamualaikum wr. wb. 37.
HAKIM KETUA: ANWAR USMAN Waalaikumsalam wr. wb. Ya, silakan kembali ke tempat. Lanjut ke Saksi Nomor 137, Pak Edy Alwi. Saya persilakan.
38.
SAKSI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 137/PUU-XIII/2016: EDY ALWI Assalamualaikum wr. wb. Yang saya hormati Bapak Hakim yang dimuliakan. Sebelumnya saya memperkenalkan diri saya, Pak. Nama saya Edy Alwi. Saya Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia atau NSI Kabupaten Batubara, Pak. Yang Mulia Bapak Hakim yang kami hormati. Di sini saya menjelaskan penduduk Kabupaten Batubara itu, Pak, lebih kurang 400.000 jiwa. Terdiri dari tujuh kecamatan dan lima kecamatannya, Pak, di bibir pantai berbatasan dengan Selatan Malaka. Garis pantai kami 63 km, Pak. Yang bekerja sebagai nelayan lebih kurang 10% sampai 15%, jadi populasi penduduk Kabupaten Batubara, berarti lebih kurang 30.000 jiwa yang mengharapkan nasib di tengah lautan. Nelayan Batubara ini setiap hari menggantungkan hidupnya di laut, terutama nelayan tradisional, Pak, yang zonanya 0 sampai 4 mil. Setelah turunnya Undang-Undang Nomor 23 ini, Pak, nelayan tradisional ini sangat terganggu dan tersingkirkan, Yang Mulia. Maka di sini timbullah masalah bagi nelayan kami ini. Banyaklah nelayan yang berskala besar di atas 50 gt dan juga alat-alat tangkap yang dilarang sesuai Permen 02 Tahun 2011 mencari ikan di 0, … 4 mil ini. Maka kami nelayan tradisional sangat terganggu. Akibatnya, Pak, terjadi bentrok fisik sesama nelayan ini sampai ada terjadi bakar-bakaran di laut, sehingga sampai jatuh korban. Dikarenakan tidak ada lagi pengawasan dari kabupaten. Sebelum turun Undang-Undang Nomor 23 untuk zona 4 mil ini, Pak, diawasi, dijaga oleh dinas kelautan kabupaten terutama kabupaten kami, Pak, Kabupaten Batubara. Setelah diterbitkan undang-undang ini, maka wewenang kabupaten sudah tidak ada lagi. Pengawasan penindakan adalah wewenang provinsi. Sedangkan jarak Kabupaten Batubara ke provinsi 160 km, Pak. Sehingga sulitlah bagi kami nelayan untuk menyampaikan sesuatu yang terjadi di laut.
9
Bagaimana pula nasib saudara-saudara kami nelayan di Pulau Nias, Pak? Sekali mengadukan ke provinsi itu menghabiskan uang Rp5.000.000,00., Pak. Nelayan ini hanya hidup untuk sehari-sehari, mencari … melaut untuk hari ini. Besok mencari untuk hari ini. Dengan banyaknya alat tangkap yang dilarang beroperasi di zona 4 mil ini, maka banyaklah nelayan yang tertangkap di zona perbatasan, Pak. Karena ikan di zona 4 mil ini sudah dikacau aduk oleh seluruh alat tangkap, sehingga sering terjadi nelayan kami tertangkap di Malaysia. Sampai saat ini, Pak, nelayan kami masih ada berada di negara tetangga. Akibat mereka, ikan yang di zona 4 mil ini sudah tidak ada lagi, Pak, maka dia berani melaut ke sana, sehingga tertangkap di perbatasan. Selama hari ini suatu pengawasan oleh kabupaten kami, setiap ada masalah kami selalu mengadukan ke pak bupati atau kepala dinas kelautan juga ke DPRD. Tapi sekarang, Pak, kami sudah hampir pasrah karena terlalu jauhnya. Dan kapal patroli tak pernah ada, Pak, di lautan kami ini. Dulu ada kabupaten, dulunya, tapi setelah dicabut … diterbitkan undang-undang ini maka kapal patroli itu sudah bersandar di dermaga. Di sini kami atas Nelayan Tradisional Kabupaten Batubara, dari hati nurani kami yang paling dalam, Pak, memohon kepada Yang Mulia Bapak Hakim, tolonglah kami ini. Tinjau kembali, Pak, undang-undang ini. Serahkan kembali zona 4 mil ini kepada kabupaten di seluruh Indonesia, Pak, bukan di Batubara saja. Karena di sinilah tempat tergantunganya hidup nelayan tradisional. Yang Mulia Bapak Hakim dari hati nurani Bapak-Bapak sekalian kami serahkan masalah ini. 39.
KETUA: ANWAR USMAN Ya.
40.
SAKSI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 137/PUU-XIII/2016: EDY ALWI Terima kasih, Pak. Assalamualaikum. wr. wb.
41.
KETUA: ANWAR USMAN Waalaikumsalam wr. wb. Ya, selanjutnya Pak Drs. Isar Dasuki.
42.
SAKSI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 137/PUU-XIII/2016: ISAR DASUKI TASIM Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum wr. wb. Bapak Ketua Mahkamah, Bapak, dan Ibu Para Anggota yang saya muliakan. Pertama 10
perkenalkan saya, Isar Dasuki Tasim, guru yang mendapat tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah pada SMA Negeri 5 Kabupaten Tangerang. Pada kesempatan yang mulia ini perkenankan saya menyampaikan apa yang saya ketahui tentang pengelolaan satuan pendidikan tingkat SD, SMP, SMA, dan SMK. Pertama, sejak Orde Baru Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah Nomor 5 Tahun 1974 pengelolaan sekolah telah terbagi menjadi dua kewenangan. SD berada di bawah Menteri Dalam Negeri waktu itu pemerintah daerah dan SMP, SMA, dan SMK berada dalam kewenangan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di kanwil provinsi. Dapat dibayangkan untuk mengurus satu orang siswa yang mutasi atau pindah sekolah harus ke kanwil di provinsi. Tentu hal ini tidak efektif. Bergulirnya Era Reformasi memberikan angin segar untuk pemerintah daerah di dalam pengelolaannya melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Pengelolaan pendidikan SD, SMP, SMA, dan SMK berada dalam kewenangan pemerintah kabupaten/kota dan terakhir UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa kewenangan pengelolaan pendidikan menjadi terbagi … terbagi-bagi, perguruan tinggi oleh pusat. SMA, SMK oleh provinsi. Serta SD dan SMP menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Hal ini tentu mencederai semangat reformasi 1998, apalagi sebagai pelaksana di lapangan tidak pernah mendapatkan sosialisasi tentang perubahan pengelolaan satuan pendidikan sebelum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 diundangkan. Bukan persoalan tidak setuju pengalihan pengelolaan SMA, SMK ke provinsi, tetapi mampukah provinsi mengelola sekolah yang jumlahnya banyak di seluruh kabupten/kota? Sebab hal ini pernah saya sampaikan dalam sosialisasi implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 pada kesempatan tanya jawab dengan nara sumber. Ketika itu saya tanyakan apa dasar pemikiran dari penarikan pengelolaan SMA dan SMK ke provinsi? Apakah pemerintah kabupate/kota tidak berhasil dalam pengelolaannya atau merupakan kegagalan dari reformasi? Sebab saya katakan juga bahwa di Kabupaten Tangerang, di mana saya berada, pada Era Orde Baru hanya terdapat tujuh SMA negeri yang terletak di wilayah kewedanaan. Ada tujuh kewedanaan, ada satu-satu sekolah. Sekarang sejak tahun 2000 sampai sekarang hampir seluruh kecamatan memiliki SMA negeri. 29 SMA negeri dan SMK di Era Orde Baru hanya memiliki satu SMK negeri. Saat ini sudah memiliki 12 SMK negeri, belum termasuk SMA negeri di wilayah Kota Tangerang dan Tangerang Selatan yang merupakan wilayah pemekaran. Jawaban dari narasumber, “Ini sudah menjadi kewenangan pemerintah pusat dan sudah menjadi undang-undang. Suka tidak suka harus diikuti. Kalau 11
menolak ada salurannya melalui,” hari ini, “Di judicial review ke MK.” Saat ini sudah ada 47 kabupaten/kota yang mengajukan judicial review ke MK. Kebetulan saya diminta untuk jadi Saksi. Yang Mulia, pernyataan ini perlu dipertimbangkan sebagai pengalaman Saksi. Kedua. Dampak administrasi yang ditimbulkan dari pengalihan pengelolaan SMA dan SMK negeri ke provinsi sangat tidak efektif dan tidak efisien terutama dari segi jarak yang jauh dan pengurusan administrasi siswa dalam hal mutasi siswa dan administrasi guru lainnya. Ketiga. Hal yang dapat merugikan masyarakat, orang tua, dan orang tua adalah digulirkannya pendidikan gratis yang sudah diprogramkan oleh beberapa kabupaten/kota khususnya di Kabupaten Tangerang ada Kartu Pintar Kabupaten Tangerang sebesar Rp1.000.000,00 per siswa dalam satu tahun. Anggaran kurang lebih Rp7 miliar setahun. Yang tentunya akan menjadi masalah baru bagi pemerintah provinsi. Keempat. Tunjangan daerah bagi guru honorer yang jumlahnya ribuan akan menjadi persoalan juga bagi pemerintah provinsi. Di Kabupaten Tangerang ada kurang lebih 3.350 guru sukuan, belum termasuk daerah lain. Kelima. Persoalan PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) setiap tahunnya selalu menjadi pekerjaan rumah satuan pendidikan dan dinas pendidikan yang tidak pernah selesai. Setiap tahun ada saja persoalan, hal ini menjadi rentang kendali yang panjang bila dikelola oleh provinsi. Keenam. Muatan lokal yang telah diberikan oleh provinsi menjadi tidak efektif karena tidak disiapkan dulunya terlebih dahulu, khususnya rampak bedug, peralatan yang sudah disiapkan menjadi tidak bisa dipakai karena gurunya bukan dalam bidang keahlian. Ketujuh. Pengelolaan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) memerlukan komitmen khusus karena menyiapkan generasi yang siap pakai dalam dunia usaha dan dunia industri. Oleh karenanya, kewenangan pemerintah kabupaten/kota sangat dibutuhkan untuk percepatan akses bantuan dan anggaran. Berdasarkan uaraian di atas sudah selayaknya pengelolaan SMA dan SMK masih berada dalam kewenangan pemerintah kabupaten/kota, melihat rentang kendali yang panjang dan luasnya wilayah kabupaten/kota yang ada di wilayah provinsi akan menambah permasalahan baru dalam lingkup pendidikan. Biarkanlah pengelolaan pendidikan provinsi seperti yang sudah berjalan saat ini, suatu kemunduran bila pengelolaan SMA dan SMK menjadi kewenangan pemerintah provinsi, kemunduran bagi birokrasi dan akan menghambat proses kegiatan dalam kesehariannya, walaupun ada perwakilan di kabupaten/kota, kenapa tidak dioptimalkan keberadaan dinas pendidikan di kabupaten/kota, bukan memperpendek birokrasi malah memperpanjang birokrasi.
12
43.
KETUA: ANWAR USMAN Saksi jadi pengalaman Bapak apa yang dialami itu saja.
44.
SAKSI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 137/PUU-XIII/2016: ISAR DASUKI TASIM Ya.
45.
KETUA: ANWAR USMAN Jadi itu merupakan wilayahnya ahli itu yang seperti itu.
46.
SAKSI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 137/PUU-XIII/2016: ISAR DASUKI TASIM Ya, ya.
47.
KETUA: ANWAR USMAN Ya.
48.
SAKSI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 137/PUU-XIII/2016: ISAR DASUKI TASIM Itu pengalaman.
49.
KETUA: ANWAR USMAN Ya.
50.
SAKSI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 137/PUU-XIII/2016: ISAR DASUKI TASIM Ya, demikian yang dapat saya sampaikan, semoga menjadi pertimbangan Bapak.
51.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik.
52.
SAKSI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 137/PUU-XIII/2016: ISAR DASUKI TASIM Assalamualaikum wr. wb. 13
53.
KETUA: ANWAR USMAN Walaikumsalam wr. wb. Baik, terima kasih. Berikutnya Pak Ilham, silakan.
54.
SAKSI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 137/PUU-XIII/2016: ILHAM Bismilahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum wr. wb. Nama saya Ilham. Dari Desa Tanggung Baru Tengah, Kecamatan Tambun Catur, Kabupaten Kapuas. Yang ingin saya sampaikan di sini adalah pengalaman saya mengurus izin tambang galian C dari IUP eksplorasi ke IUP operasi produksi. Yang Mulia, di desa kami Desa Bender Mekar ada satu tambang galian C, yang mana kami sudah memiliki IUP eksplorasi yang sudah diterbitkan oleh Pak Bupati Kabupaten Kapuas. Untuk memproduksi dan menjualnya kami harus memiliki izin operasi produksi, maka dari itu saya mengurus diminta masyarakat untuk mengurus izin tersebut dengan biaya dari iuran masyarakat. Pada sekitar bulan September 2015, saya bersama dua orang teman anggota masyarakat datang ke kabupaten … datang ke Dinas Pertambangan Kabupaten Kapuas untuk mengurus izin operasi produksi. Namun, Yang Mulia, kata Dinas Pertambangan Kabupaten Kapuas, “Proses mengurus izin tersebut harus ke provinsi karena ada peraturan baru.” Di situ saya, Yang Mulia, kaget, “Kenapa saya jauh-jauh dari desa jam 06.00 berangkat ke kabupaten, jarak sekitar empat jam, ditambah lagi ke provinsi sekitar empat jam.” Di situ saya baru sampai jam 15.00, Yang Mulia. Bahkan kita jarang sekali ke provinsi. Jadi kita ke sana mencari kantor ... kantor dinas pertambangan provinsi hampir setengah jam, Yang Mulia, baru ketemu. Setelah saya ketemu ke sana saya tanya, “Ada enggak BapakBapak Dinas Pertambangan?” Kata mereka, “Dia ada rapat keluar.” Nah di situ saya pulang ke desa lagi. Saya minta di situ nomor hp-nya, Yang Mulia, yang ada di ... lalu, sekitar satu minggu saya ke sana lagi, membawa berkas yang ada. Kata mereka, “Ini belum lengkap, Pak Ilham.” “Ya, nanti saya per … lengkapi.” Pulang lagi saya ke desa, sekitar satu minggu saya ke sana lagi, sudah selesai. “Maaf, Pak Ilham kami ingin mengecek ke lapangan Sempian lagi.” Kata saya, “Pak, kemarin dinas pertambangan kabupaten sudah mengecek ke lapangan, kenapa mau di cek lagi?” “Takutnya saya karena peraturan baru kami takut disalahkan.” Malah saya bersyukur, Yang Mulia. “Tapi, Pak Ilham, kalau perjalanan dinas kami tidak ditanggung pak gubenur. Berarti Pian yang tanggung.” “Ya, nanti saya bilang ke masyarakat.” 14
Setelah satu minggu, “Ya,” kata masyarakat, “Ada uangnya.” Saya kembali lagi ke provinsi, “Berapa,” kata saya, “perjalanan dinasnya?” “Rp3.500.000,00, satu orang.” Saya sangka cuma satu orang atau dua orang, tahu-tahunya enam orang, Yang Mulia, yang berangkat. Setelah hampir Rp20.000.000,00, Yang Mulia. “Ya, enggak apaapa yang penting kan kita agar cepat mendapatkan izin produksi.” Setelah sampai ke orang dinas pertambangan provinsi, sampai ke Pelabuhan Supit saya cairkan. Kata yang punya speed, “Pak Ilham, ini ongkosnya Rp2.000.000,00.” “Siapa yang kasih?” “Nah, kita belum tahu.” Jadi kita bilang lagi sama dinas pertambangan provinsi, “Sampean, Pak Ilham, yang kasih ongkos speed-nya.” Waduh nambah lagi, Yang Mulia, uangnya. Ya, enggak apa-apa, Yang Mulia, kan kita (suara tidak terdengar jelas), yang penting kita mau dapat izin operasi produksi. Nah, setelah cek ke lapangan, selesai, lalu kami diminta lagi, baru saja, Yang Mulia, disuruh membayar reklamasi jaminan penanaman pohon sebesar Rp10.000.000,00. Ya, kami kasih lagi, ya enggak apaapa. Dari dulu sampai sekarang kami tunggu, tidak ada titik terang dan kejelasannya, Yang Mulia. Di mana sampainya izin kami? Saya sedih, Yang Mulia, balik ke desa karena saya harus mempertanggungjawabkan ke masyarakat, apa saya bilang. Dia pasti nanya, “Gimana Pak Ilham izin kita?” Ya, kita apa boleh buat, kita bilang, “Belum.” 55.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Berapa lama itu, sudah berapa lama?
56.
SAKSI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 137/PUU-XIII/2016: ILHAM Sekitar 6-7 bulan, sudah mulai di September (...)
57.
KETUA: ANWAR USMAN Lihat depan.
58.
SAKSI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 137/PUU-XIII/2016: ILHAM 2015. Sampai sekarang 2016 bulan April. Itu saja, Yang Mulia, yang dapat saya sampaikan. Salah dan khilaf tolong banyak-banyak minta maaf dengan Yang Mulia. 15
59.
KETUA: ANWAR USMAN Baik. Ya, terima kasih, Pak Ilham. Selanjutnya Pak Abdul Rachman, terakhir untuk Saksi.
60.
SAKSI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 137/PUU-XIII/2016: ABDUL RACHMAN Bismilahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum wr. wb. Yang Terhormat Bapak Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Pertama-tama ingin memperkenalkan diri. Nama saya Abdul Rachman, selaku Kepala Dinas Perhubungan Kota Sukabumi. Mohon izin akan memaparkan mengenai kebijakan pengoperasian terminal penumpang oleh pemerintah daerah. Sebagaimana diketahui bahwa terminal merupakan bagian dari simpul jaringan lalu lintas dan angkutan jalan sebagai perwujudan dari rencana induk jaringan lalulintas dan angkutan jalan. Sebagaimana dalam ... amanah dalam Undang-Undang Nomor 22 bahwa pemerintah daerah wajib membuat suatu rencana induk jaringan LLAJ, di mana di terminal merupakan salah satu simpul dari jaringan lalu lintas dan angkutan jalan di daerah tersebut dan harus terintegrasi antara terminal dari berbagai tipe yang telah ditetapkan berdasarkan kualifikasi tipe pelayanannya. Kita mengetahui ada tiga tipe pelayanan terminal. Terminal tipe A untuk operasional angkutan antar kota antar provinsi, dalam provinsi dan angkutan kota, terminal tipe B untuk angkutan dalam provinsi dan angkutan kota, dan terminal tipe C untuk operasional angkutan kota. Untuk meningkatkan integrasi antarterminal tersebut kami dari pemerintah daerah khususnya di dinas perhubungan membentuk suatu unit pelaksana teknis terminal yang mengelola ketiga tipe pelayanan tersebut dalam satu komando untuk mempermudah pengaturan operasionalisasi, sehingga berdampak positif bagi peningkatan pelayanan kepada masyarakat di daerah. Contoh, dalam penanganan arus mudik lebaran, natal, dan tahun baru UPT terminal secara terkoordinatif dan sigap melayani masyarakat yang menggunakan fasilitas terminal untuk perpindahan moda angkutannya. Termasuk apabila dalam penanganan tersebut ada permasalahan yang harus cepat tertangani, misalnya kekurangan armada, kami dari dinas perhubungan ujung tombaknya UPT terminal secara sigap mengatasi kekurangan armada tersebut melalui koordinasi dengan divisi organda dan pengurus-pengurus bus yang berada dalam satu komando kami. Namun, saat ini dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, ke tiga tipe tersebut dibedakan berdasarkan kewenangannya. Tipe A oleh pemerintah pusat, 16
tipe B oleh provinsi, dan kami hanya menangani untuk pemerintah kota tipe C untuk angkutan kota oleh pemerintah kota. Maka kami mengkhawatirkan tatanan yang kami sudah bangun dan berdampak positif bagi peningkatan pelayanan kepada masyarakat di sektor transportasi akan sulit dipertahankan. Karena ketika pelayanan tersebut yang kami integrasikan dalam satu komando tadi, terbagi dalam wilayah kewenangannya. Tipe A harus berkoordinasi dengan pemerintah pusat terlebih dahulu. Tipe B harus berkoordinasi dengan pemerintah provinsi yang memiliki rentan kendali yang jauh dan terpisah, sehingga terbayang manakala nanti terjadi permasalahan tentang operasionalisasi di terminal seperti yang tadi kami contohkan untuk pengaturan natal, dan tahun baru, lebaran yang cukup kompleks dan sulit akan lama dalam antisipasi apabila nanti ada permasalahannya dan masyarakat sendiri di daerah kami sendiri yang pada akhirnya nanti akan menyalahkan pemerintah daerah karena memang locus permasalahan yang terjadi di daerah. Dan masyarakat tidak tahu bahwa sebenarnya dalam UndangUndang Nomor 23 itu sudah terpisah dan kita hanya menangani angkutan kota, terminal angkutan kota, tidak lagi menangani angkutan ... apa ... terminal tipe A dan terminal tipe B, ini yang akan berdampak nantinya ke depan apabila undang-undang diberlakukan. Di sisi lain, dalam melaksanakan keterpaduan atau integrasi simpul transportasi kami dari Pemerintah Kota Sukabumi sejak tahun 2001 sudah merencanakan adanya relokasi terminal tipe A, tipe B yang lebih representatif dengan membebaskan untuk tipe A kita sudah membebaskan sekitar 5 hektare dan untuk tipe B kita sudah membebaskan 6.000 meter. Untuk tipe B, Alhamdulillah, sudah terbangun dan beroperasi. Untuk tipe A direncanakan tahun ini akan beroperasi. Sebagaimana diketahui, Yang Mulia, untuk membangun tersebut, membangun terminal tipe A tersebut kami sudah menghabiskan biaya kurang lebih Rp100 miliyar untuk pembebasan tanah dan pembangunan fisiknya, artinya itu kami dari pemerintah daerah sudah berupaya untuk mengatur sedemikian rupa pola transportasi yang terintegrasi antara simpul transportasi lainnya dan sudah mengeluarkan biaya yang cukup banyak walaupun memang kami dari pemerintah kota kami sendiri memiliki keterbatasan yang ... anggaran yang ada, namun pada akhirnya kita sudah mengeluarkan anggaran yang banyak dan kewenangan itu akhirnya dicabut, diambil alih oleh pemerintah pusat, kami tidak lagi memiliki kewenangan tersebut. Untuk itu, Yang Mulia, kami menilai pengambilalihan pengelolaan terminal oleh pusat dan provinsi, tipe A oleh pusat dan tipe B oleh provinsi, kami menilai sudah melenceng dari semangat otonomi daerah yang dicanangkan sejak tahun 1999. Kebijakan pengelolaan terminal oleh pusat dipastikan bakal berdampak terhadap kebijakan dan mekanisme pengelolaan oleh pemerintah daerah (...) 17
61.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Itu ... apa ... belum terjadi itu kan. Saksi itu sebenarnya sesuatu yang pernah terjadi, tapi ya sudahlah. Sudah, bisa dipahami apa yang ingin disampaikan, ya.
62.
SAKSI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 137/PUU-XIII/2016: ABDUL RACHMAN Terima kasih, Yang Mulia.
63.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, sudah cukup.
64.
SAKSI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 137/PUU-XIII/2016: ABDUL RACHMAN Assalamualaikum wr. wb.
65.
KETUA: ANWAR USMAN Waalaikumussalam wr. wb. Lanjut ke Ahli untuk Perkara 137, Pak Dr. M. Rifqy. Silakan.
66.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 137/PUU-XIII/2016: RIFQINIZAMY KARSAYUDA Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, salam sejahtera. Majelis Hakim Majelis Konstitusi yang Ahli muliakan, pertama-tama Ahli mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan Yang Mulia untuk menyampaikan pandangan Ahli perihal keberadaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagaimana dimohonkan Pemohon dalam Perkara Nomor 137/PUU-XII/2015. Dalam kesaksian Ahli ini, Ahli ingin mengemukakan tiga hal pokok terkait permohonan uji meteriil undangundang a quo sebagaimana dimohonkan Pemohon. Pertama, keberadaan perihal ... mohon maaf, keberadaan ketentuan perihal pembagian urusan pemerintahan antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang Ahli nilai mencederai asas otonomi seluas-luasnya. Kedua, penarikan kewenangan kabupaten/kota dalam undang-undang a quo berimplikasi pada tercederainya hak konstitusional warga negara. Dan ketiga, pembatalan peraturan daerah tanpa memberi ruang adanya 18
upaya hukum melalui lembaga yustisi, sebagaimana diatur dalam undang-undang a quo, berpotensi melabrak kaidah-kaidah negara hukum, sebagaimana telah ditegaskan di dalam konstitusi kita. Majelis Hakim yang Ahli hormati dan Ahli muliakan. Ketentuan Pasal 18 ayat (2) juncto Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan keberadaan pemerintahan daerah memiliki hak konstitusional untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi. Ketentuan ini menjadi tereduksi dengan keberadaan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 khususnya Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17, pasal-pasal a quo membagi urusan pemerintahan berdasarkan urusan pemerintahan absolute konkuren dan urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan absolut ialah segala urusan yang menjadi kewenangan absolut pemerintah pusat yang terdiri atas politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter, fiscal, nasional, agama, dan yustisi, vide Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Ketentuan ini telah ada sejak keberadaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang yang kerap disebut sebagai tonggak lahirnya otonomi daerah di Indonesia. Di luar urusan pemerintahan absolut adapula urusan pemerintahan konkuren, urusan ini oleh Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 diletakkan sebagai dasar pelaksanaan otonomi dalam undang-undang ini. Sedangkan urusan pemerintahan umum didefinisikan sebagai urusan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan atau dengan kata lain urusan pemerintahan umum ialah dasar bagi hadirnya tugas pembantuan, sebagaimana diamanahkan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Keberadaan urusan konkruen yang meletakkan urusan pemerintahan dilaksanakan bersama-sama antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota menjadikan otonomi yang diamanahkan konstitusi menjadi tidak lagi dilaksanakan secara penuh. Seluruh urusan pemerintahan tak ada lagi yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota secara otonom, sebagaimana makna otonomi dimaksud secara letterlecht. Jika dalam urusan pemerintahan absolute, seluruh urusan dilakukan oleh pemerintah pusat. Dalam urusan pemerintahan umum kewenangannya juga berada di tangan pemerintah pusat dalam hal ini Presiden, maka sejatinya di luar dua urusan itu kewenangan untuk mengatur dan mengurus berbagai urusan pemerintahan yang tersisa atau residual power menjadi kewenangan daerah berdasarkan asas otonomi. Majelis Hakim yang Ahli muliakan. Pada posisi demikian kehendak konstitusi di dalam Pasal 18 ayat (5) untuk menghadirkan otonomi yang 19
seluas-luasnya dengan cara memberikan ruang seluas-luasnya kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya, tidak mungkin bisa dilaksanakan. Pada pihak lain pembagian urusan pemerintahan konkruen dimaksud nyata-nyata tidak dapat dilaksanakan dengan secara otonom, lantaran hagemoni pusat atas kewenangan yang menjadi dasar satusatunya daerah bisa mengelola kewenangannya ini bisa diatur sedemikian rupa pula oleh pusat melalui undang-undang ini. Hal ini terlihat misalnya dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang menegaskan wewenang pemerintah pusat atas urusan pemerintahan konkruen yaitu. a. Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan dan, b. Melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Ketentuan di atas menunjukkan bahwa pembagian urusan pemerintahan konkruen yang jika didesantralis … didesantralisasikan akan menjadi dasar otonomi daerah sepenuhnya bergantung pada pemerintah pusat. Pusat dapat mengambil sepenuhnya, mendisentralisasikan kepada provinsi, mendisentralisasikan kepada kabupaten/kota, atau bahkan menggunakan dekosentrasi. Secara lebih jelas manifestasi pembagian urusan pemerintahan konkruen dapat dilihat pada lampiran undang-undang a quo yang secara kuantitatif memberikan porsi yang amat kecil dan terbatas terhadap urusan pemerintahan yang dapat dilakukan oleh kabupaten/kota. Majelis Hakim konstitusi yang Ahli muliakan. Sejarah pembentukan konstitusi menyiksakan … menyisakan banyak hikmah, salah satu hikmah pentingnya ialah hadirnya konsensus dari para pembentuk konstitusi kita untuk melahirkan suatu bentuk negara kesatuan yang disentralistik. Konsensus ini dibangun atas kesadaran penuh bahwa Indonesia ialah suatu banga yang sejatinya terdiri dari Kebhinekaan atau kemajemukan. Kebhinnekaan itu harus terus diberi ruang dalam negara yang kelak akan terbentuk. Kebhinekaan hanya bisa tumbuh jika ia tak dipaksa untuk disamaratakan karenanya bangunan negara kesatuan yang dalam banyak praktiknya di negara lain cenderung sangat sentralistik, tak dapat digunakan bagi bangunan Indonesia yang berbhineka. Konsensus di atas sekaligus mengakhiri debat panjang para almarhum-almarhum perumus konstitusi kita dalam Sidang-Sidang BPUPKI dan PPKI pada tahun 1945 yang hendak membentuk negara federalis pada satu pihak dan negara kesatuan pada pihak lain kala itu. Atas pandangan demikianlah Undang-Undang Dasar 1945 merumuskan bentuk negara kesatuan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1). Namun, di pihak lain Undang-Undang Dasar 1945 juga memberikan ruang bagi daerah berdasarkan hak asal-usul dan 20
keistimewaannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Komitmen untuk menghadirikan negara kesatuan yang desentralistik itu sekarang terbentur dengan kehadiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, sebagaimana dimohonkan Pemohon. Dalam undang-undang a quo, keinginan untuk mensentralisasikan kekuasaan atau setidak-tidaknya membatasi kewenangan yang dimiliki daerah amat terlihat. Pengingkaran atas konsesus pendiri bangsa melalui perumusan konstitusi di awal kemerdekaan itu bukan hanya berpotensi pada semakin panjangnya mata rantai birokrasi dan buruknya pelayanan publik, melainkan bisa jadi pula akan melahirkan pemerintahan yang cenderung sewenang-wenang. Bahkan bukan tidak mungkin bisa turut serta menghadirkan bibit-bibit disintegrasi nasional. Majelis Hakim Konstitusi yang Ahli muliakan. Kalau kita mengingat sejarah pula, maka salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah keinginan untuk mengubah sistem pemerintahan yang sentralistik menjadi disentralistik. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang kala itu sebagai lembaga tertinggi negara melalui ketetapannya Nomor 15/MPR/1998 yang mengatur tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia mengakui bahwa pembangunan daerah adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang harus dilaksanakan melalui otonomi daerah, pengaturan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah pada masa Orde Baru belum dilaksanakan secara proporsional sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi keadilan dan pemerataan. Sekali lagi, Yang Mulia, hal-hal tersebutlah yang turut menyumbang hadirnya Gerakan Reformasi 1998 dengan harapan agar terjadi perbaikan yang signifikan dalam konteks hubungan pusat dan daerah. Spirit TAP MPR a quo adalah ilham bagi hadirnya amandemen konstitusi, khususnya Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang saat ini berlaku. Majelis Hakim Konstitusi yang Ahli muliakan. Keberadaan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 yang menarik banyak kewenangan kabupaten/kota juga melabrak kehendak konstitusi untuk menjamin hakhak konstitusional warga negara sebagaimana diatur dalam UndangUndang Dasar Tahun 1945 dimaksud. Hak untuk hidup secara layak, misalnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2) juncto Pasal 28E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tergerus lantaran banyak warga negara yang tak dapat lagi mempertahankan 21
atau bahkan meraih hidup yang layak. Sebagai contoh, para nelayan locus tempat tinggal dan usahanya di setiap kabupaten tak dapat lagi meminta bantuan atau menerima bantuan dari pemerintah kabupaten lantaran berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 pemerintah kabupaten tak lagi memiliki kewenangan di bidang kelautan. Begitu pula dengan keluhan warga negara yang mengurus perizinan pertambangan galian C, ada Saksi Fakta yang mengatakan itu tadi. Mereka harus mengurusnya ke provinsi yang jaraknya tak sedekat dengan pengurusan ke kabupaten tempat mereka tinggal. Warga negara yang hendak berusaha di bidang pertambangan galian C rata-rata adalah mereka yang secara ekonomi tidaklah terlalu mapan. Majelis Hakim Konstitusi yang Ahli muliakan. Hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan layanan pendidikan yang baik, sebagaimana dijamin dalam konstitusi Pasal 28C ayat (1) juncto Pasal 31 juncto Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga tercederai. Program pendidikan gratis yang dicanangkan banyak kabupaten/kota dari sekolah dasar hingga SLTA, kini hanya dapat dilakukan hingga tingkat SLTP. Kewenangan pengelolaan pendidikan menengah atas berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Peralihan kewenangan itu membuat banyak pemerintah provinsi tak mampu mengalokasikan anggaran sektor pendidikannya untuk menghadirkan pendidikan gratis pada level SLTA bagi seluruh siswa di wilayah provinsinya. Pada titik itulah, Yang Mulia, hak konstitusional warga negara, khususnya bagi mereka yang tidak mampu menjadi masalah. Majelis Hakim Konstitusi yang Ahli muliakan. Persoalan terakhir yang menjadi perhatian pokok Ahli dalam permohonan Pemohon ke Mahkamah Yang Mulia ini adalah soal pembatalan peraturan daerah oleh pejabat eksekutif, dalam hal ini gubernur bagi perda kabupaten/kota dan Menteri Dalam Negeri bagi perda provinsi. Mekanisme pembatalan dimaksud hanya dapat dikoreksi melalui upaya administratif, berupa sanggahan kepada menteri dalam negeri dalam hal perda kabupaten/kota dan Presiden dalam hal perda provinsi, sebagaimana diatur dalam Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Dalam teori perundang-undangan, pengujian oleh lembaga eksekutif atau executive review bukanlah sesuatu yang baru, bahkan menjadi kebutuhan di banyak negara. Sebagaimana kita ketahui, fungsi dari executive review ialah untuk memastikan bahwa pembuatan peraturan perundang-undangan yang menjadi otoritas unit eksekutif yang lebih rendah tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, termasuk peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh unit pemerintahan … mohon maaf, oleh unit eksekutif yang berwenang melakukan review dimaksud. Kendati demikian, executive review hanyalah salah satu instrumen pengujian peraturan 22
perundang-undangan selain judicial review. Keberadaan executive review tidak dapat menggeser posisi judicial review, sebaliknya keberadaan judicial review dapat saja menegasikan keberadaan executive review. Judicial review di dalam suatu negara yang menegaskan diri sebagai negara hukum sebagaimana penegasan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah syarat tegaknya negara hukum itu sendiri. Peraturan perundang-undangan hanya layak diuji oleh suatu lembaga yustisi, dengan kata lain suatu produk hukum hanya absah jika diuji melalui institusi hukum bernama peradilan. Itulah nafas utama negara hukum, sebagaimana diajarkan pula dalam berbagai teori pemencaran dan/atau pemisahan kekuasaan yang berujung pada pentingnya fungsi saling kontrol, saling imbang (check and balances) dalam cabang-cabang kekuasaan negara. Majelis Hakim Konstitusi yang Ahli muliakan. Keberadaan Pasal 251 undang-undang a quo selain melabrak logika dan bangunan negara hukum Indonesia sebagaimana amanah Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga menegasikan peran dan fungsi Mahkamah Agung sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undangundang, sebagaimana amanah Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam daripada itu, peraturan daerah adalah suatu produk hukum yang bukan hanya berisi tindak lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, peraturan daerah dapat pula berisi kekhasan dan kebutuhan lokal dalam kerangka otonomi. Perda juga dibentuk oleh kepala daerah dan DPRD yang keduanya dipilih melalui pemilu yang diselenggarakan secara langsung, dengan kata lain perda dibentuk berdasarkan asas kedaulatan rakyat karena dibentuk oleh lembaga eksekutif dan legislatif yang dibentuk melalui pemilu sebagai implementasi kedaulatan rakyat. Dalam konteks yang terakhir ini, Yang Mulia, secara formil pembentukan perda adalah hasil manivestasi kedaulatan rakyat yang dilakukan melalui kepala daerah dan DPRD setempat. Kedaulatan rakyat sebagaimana kita ketahui merupakan amanah Pasal 1 ayat (2) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada pihak lain secara materiil perda merupakan formulasi hukum atas kebutuhan dan kekhasan lokal masing-masing daerah karenanya ketika muatan materinya dianggap bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi atau dengan kepentingan umum misalnya, maka pengujiannya tak dapat hanya dilakukan secara administratif sebagaimana karakter executive review dibanyak tempat di belahan bumi ini. Pengujian atas hal tersebut idealnya diberikan pula kepada lembaga yustisi melalui judicial review. Majelis Hakim Konstitusi yang Ahli muliakan. Atas ketiga pokok persoalan yang telah Ahli uraikan di atas, Ahli berpandangan bahwa 23
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 terutama perihal tiga hal yang Ahli kemukakan dapat dibuktikan inkonstitusionalitasnya. Ia bersifat inkonstitusional bukan hanya karena materi muatan yang melabrak sejumlah asas, prinsip, dan norma dalam konstitusi, namun jauh lebih dalam keberadaan undang-undang a quo juga merupakan bentuk pengingkaran konsensus para pendiri bangsa, para almarhum-almarhum pendiri dan perumus konstitusi untuk menghadirkan Indonesia sebagai negara kesatuan yang disentralistik, sebagai jawaban atas karakter Indonesia, karakter negara kita sebagai negara kesatuan yang majemuk atau berbhineka. Akhirnya Ahli mengucapkan banyak terima kasih atas kesempatan ini. Ahli amat memahami bahwa Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi memiliki pengetahuan dan pemahaman yang jauh lebih mendalam atas hal ini. Namun demikian, Ahli berharap apa yang Ahli sampaikan dapat memberikan perspektif positif dalam konteks kita semua menyelamatkan masa depan Indonesia, menyelamatkan masa depan hubungan pusat dan daerah negara kita di masa yang akan datang. Bilahitaufik walhidayah assalamualaikum wr. wb. 67.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih. Terakhir, Bapak Prof. Dr. Abrar Saleng, silakan.
68.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 137/PUU-XIII/2015: ABRAR SALENG Bismillahirrahmanirahim. Assalamualaikum wr. wb. Yang saya hormat Hakim Mahkamah, yang saya hormati Pemohon dan Termohon, yang saya hormati Para Hadirin sekalian. Perkenankanlah saya menyampaikan pokok-pokok pikiran saya terkait dengan Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terhadap konstitusi. Yang pertama, saya ingin memberikan apresiasi juga kepada Pemerintah dan DPR RI yang sudah bekerja keras dalam mengkaji, menyusun, membuat, dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Ya, kemudian diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ini menimbukan pro-kontra di dalam masyarakat dan penyelenggaraan pemerintahan. Hari ini saya sebagai Ahli khusus terkait dengan pengalihan kewenangan pengelolaan sumber daya alam dari pemerintah kabupaten/kota ke pemerintah pusat dan sebagian ke pemerintah provinsi. Perlu kita menyadari bahwa dalam ilmu hukum bukan saja yang mendapatkan kewenangan baru yang harus dilindungi oleh hukum, akan tetapi yang kehilangan kewenangan juga harus dilindungi. Artinya, harus ada dasar, dan harus ada kesepakatan, dan 24
diharapkan ada keikhlasan. Siapapun yang kehilangan kewenangan tanpa ikhlas pasti akan mempertanyakan, mengapa kewenangan itu hilang dan bagaimana kewenangan itu bisa dikembalikan? Apalagi kewenangan yang hilang itu tidak berdasarkan norma konstitusi dan asas-asas hukum yang ada. Pertanyaan itu hanya bisa dijawab oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Dasar konstitusional otonomi daerah. Tadi sudah dijelaskan bahwa Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia dibagi atas daerahdaerah provinsi, yang mana daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten/kota. Yang tiap-tiap provinsi kabupaten/kota itu mempunyai pemerintahan daerah. Dulu orang sering memperdebatkan, sebenarnya tidak ada provinsi tanpa kabupaten dan semua kabupaten itu adalah provins. Tapi kenapa mesti dipertentangkan? Bukankah Indonesia ini sudah 71 tahun merdeka. Ini saja bolak-balik dipersoalkan. Berarti persoalan Indonesia kapan selesai? Dan kita tidak yakin apakah Indonesia itu memang sudah ada karena ini persoalannya dibolak-balik. Kemudian Pasal 18 ayat (2) mengamanahkan pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Inilah yang menjadi dasar konstitusional kita di dalam pemerintahan daerah. Kemudian, Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar mengamanahkan pemerintah daerah menjalankan otonomi seluasluasnya. Kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ini terbalik. Seakan-akan di situ dikatakan pemerintah pusat menjalankan pemerintahannya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undangundang diberikan kepala daerah. Sering kita mengatakan dulu waktu perdebatan kalau otonomi daerah itu sama dengan muamalah dalam agama. Semua bisa dilakukan kecuali yang dilarang. Sedangkan sentralistik itu bersifat ibadah. Semua dilarang kecuali diperintahkan. Undang-Undang Nomor 23 ini kembali ke sentralistik. Semua bisa dilakukan oleh pemerintah pusat kecuali yang diberikan kepada pemerintah daerah. Ini menyalahi asas konstitusi. Kemudian otonomi daerah hanya ada dalam negara kesatuan dan titik berat otonomi daerah adalah pada pemerintah kabupaten/kota. Tidak ada otonomi daerah dalam negara federal. Kenapa? Karena kita dibangun atas keberagaman dan daerah itu tidak mesti harus sama dan mempunyai karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu, harus dihormati perbedaan-perbedaan itu. Kemudian dasar konstitusional otonomi pengelolaan sumber daya alam. Pasal 18 ayat (2) menyebutkan bahwa hubungan keuangan pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya
25
lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur, dilaksanakan secara adil, selaras berdasarkan undang-undang. Ini apa namanya … amanat konstitusi sejalan dengan sunatullah. Penciptaan alam ini oleh Allah SWT itu adalah dalam keadaan seimbang dan tidak pernah tuhan menyesal terhadap ciptaannya itu. Dan ini juga diamanatkan oleh konstitusi bahwa perlu ada perimbangan keseimbangan antara level-level pemerintahan, antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Dan kalau terjadi ketidakseimbangan atau ada yang mendapat porsi yang lebih besar daripada yang lain, maka pasti akan menimbulkan ketidakseimbangan, dan ketidakseimbangan itu biasanya akan menimbulkan ketidakpastian, dan ketidakpastian itu biasanya akan menimbulkan keresahan, dan keresahan itu bisa menimbulkan kerusuhan atau prahara sosial terutama di dalam pengelolaan sumber daya alam. Otonomi daerah hanya ada dalam negara kesatuan dan titik berat otonomi daerah adalah pemerintah kabupaten/kota. Otonomi pengelolaan yang saya maksud di sini adalah pengaturan, pengurusan, dan pengawasan. Pengusahaan dan pemanfaatan sumber daya alam adalah suatu tuntutan reformasi penyelenggaraan pemerintahan. Mungkin kita masih ingat bahwa dalam Era Orde Baru, sebelum Era Revormasi. Banyak daerah kaya tapi rakyatnya miskin. Banyak daerah kaya tapi sarana dan prasarananya tidak memadai. Oleh karena itu, dengan otonomi pengelolaan sumber daya alam 10 tahun yang lalu luar biasa kemajuan daerah. Karena dia sendiri yang mengatur, mengurus wilayahnya sendiri sesuai dengan esensi dan filosofi otonomi daerah. Kemudian tatanan wilayah dan kewenangan. Keseimbangan antara wilayah dengan kewenangan yang dipersoalkan sekarang adalah ada wilayah, tidak ada kewenangan. Yang seharusnya ada wilayah, ada kewenangan. Itu baru mengurus diri. Undang-Undang Nomor 23 mengakui bahwa ada wilayah kabupaten/kota, tetapi tidak memberi kewenangan untuk mengelola wilayah, terutama tiga hal itu di dalam Pasal 14 ayat (1), kelautan, kehutanan, energi, dan sumber daya mineral. Sehingga kalau wilayah ini tidak diberi kewenangan, sehingga tidak ada pengaturan, tidak ada pengurusan, dan tidak ada pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya alam, maka jangan salahkan pemerintah daerah karena tidak mempunyai kewenangan. Dan fakta di lapangan sekarang, banyak bupati, kepala daerah, walikota yang apatis, masa bodoh, silakan urus izin mu di provinsi, tetapi kalau ada penderitaan, tanggung jawab bupati. Ada kerusuhan, ada kerusakan lingkungan, yang pertama menderita adalah rakyatnya bupati. Sekalipun rakyat bupati juga adalah rakyat gubernur. Kewenangan berisi pengaturan, penerbitan izin, pembinaan, dan pengawasan di dalam wilayah pengelolaan sumber daya alam. Ini sejak 26
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sampai lahirnya Undang-Undang Nomor 23 ini, ini sudah berjalan harmonis antara level pemerintahan. Bahkan di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 itu sudah tercipta namanya kalau bupati mau mengeluarkan izin, maka harus berkonsultasi dengan gubernur dan menteri. Sebaliknya kalau menteri mau mengeluarkan izin karena lintas provinsi, maka menteri harus berkoordinasi dengan gubernur, dengan bupati. Polanya adalah berkonsultasi ke atas, berkoordinasi ke bawah. Artinya, tidak boleh ada izin satu pun izin yang dikeluarkan di mana pun levelnya, apakah bupati, atau gubernur, atau menteri, tidak diketahui oleh tiga level pemerintahan. Tapi dengan Undang-Undang Nomor 23 ini bisa gubernur mengeluarkan izin, bupati tidak tahu. Apalagi dengan kewenangan yang sudah … sering saya mengatakan sudah pernah diberikan, lalu hilang. Kalau orang sudah sering enak, lalu dilarang enak, itu pasti menimbulkan pertentangan-pertentangan atau perlawanan. Pengelolaan sumber daya alam dalam tatanan wilayah kabupaten/kota menjadi kewenangan kabupaten/kota, itu diatur di dalam Pasal 13. Pengelolaan sumber daya alam yang keberadaannya lintas kabupaten menjadi kewenangan provinsi. Tetapi di Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 disebutkan bahwa khusus kehutanan, kelautan, dan energi, dan sumber daya mineral, kewenangan kabupaten tidak ada. Padahal keberadaannya di kabupaten. Ini nanti jadi persoalan. Dan ini juga dalam grafik mengatakan bahwa investasi sekarang berkurang datang karena urusannya perizinan di gubernur, tetapi usahanya di kabupaten/kota. Ini ada yang tidak harmonis. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ini menimbulkan ketidakharmonisan antara pemerintahan di setiap level pemerintahan. Itu belum ke masyarakatnya yang harus mengurus izin berdasarkan fakta-fakta tadi yang disampaikan oleh Teman-Teman. Kemudian, Pasal 14 ayat (1), ayat (3) juncto Pasal 15 ayat (1) bertentangan dengan norma konstitusi Pasal 18 ayat (2) yang berkaitan dengan level pemerintahan dengan lima … dan Pasal 18A terhadap keadilan, keselarasan, dan keseimbangan di dalam pemanfaatan sumber daya alam. Ketentuan di dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tersebut di atas, tidak memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota di bidang kehutanan, kelautan, energi, dan sumber daya mineral. Persoalannya sekarang, undangundang tentang pesisir dan pulau kecil yang mengatur 4 mil laut, Undang-Undang tentang Pertambangan Nomor 4 Tahun 2009, UndangUndang tentang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 masih berlaku dan belum dicabut dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 23. Sehingga sekarang ini menimbulkan kebingungan di masyarakat. Bukan saja masyarakat yang bingung, tetapi pemerintah … penyelenggara pemerintahan juga bingung. 27
Faktanya sekarang, provinsi atau gubernur mempunyai kewenangan terhadap perizinan, tapi tidak dibarengi dengan petunjuk pelaksanaan atau juknis. Sebaliknya, bupati yang perangkapnya lengkap, sumber daya manusianya siap, tapi tidak diberikan kewenangan. Sehingga, apa yang dikatakan tadi itu Pak Ilham, istilahnya ditimpung … apa … dan sebagainya, itu … itu terjadi. Dan ini, Undang-Undang Nomor 14 ini sudah hampir dua tahun. Sampai hari ini juga PP-nya belum lahir. Mudah-mudahan sebelum PP lahir ini, norma kewenangan yang hilang itu dikembalikan kepada kabupaten/kota. Undang-Undang Pemerintahan Daerah, sebelumnya UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota dalam tiga urusan yang saya sebutkan tadi. Pertanyaannya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga mengacu pada konstitusi yang sama. Jadi, ada dua undang-undang sudah berlaku, berjalan 10 tahun, konstitusinya juga sama dengan Pasal 18 dan 23 juga konstitusinya sama. Pertanyaannya, kapan persoalan ini selesai? Implikasi hukum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Majelis Hakim Yang Mulia, ada lima saya sebutkan di sini. Pertama, bertentangan dengan prinsip otonomi daerah, yang katanya mempermudah pelayanan, memperpendek jarak antara pemerintah sebagai pelayan dengan masyarakat sebagai pidah yang dilayani, efisien, efektif, dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk mempercepat kesejahteraan masyarakat di daerah. Faktanya di lapangan, masyarakat yang punya sumber daya alam atau kabupaten yang mempunyai sumber daya alam, sekarang tidak ada usaha hanya karena izin yang pengurusannya sangat jauh dari tempat sumber daya alam itu berada. Kemudian, yang kedua. Secara tegas dan eksplisit, menghilangkan kedudukan dan kewenangan kabupaten/kota sebagai subjek yang dapat mengelola sumber dayanya sendiri di bidang kehutanan, kelautan, energi, sumber daya mineral. Artinya, khusus tiga sektor ini, kabupaten/kota itu sudah tidak ada di dalam peta Republik Indonesia. Yang ketiga. Menimbulkan kebingungan, baik bagi rakyat maupun bagi penyelenggara pemerintah. Sebab, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ini, baik secara filosofis maupun norma, bertentangan dengan berbagai undang-undang sektoral yang sampai hari ini masih berlaku karena belum dicabut oleh undang-undang yang baru. Keempat. Mengurangi minat investor pengelolaan sumber daya alam karena perizinan di provinsi dan di kementerian, tetapi kegiatan usaha ada di wilayah kabupaten/kota. Implikasi kelima. Bupati, walikota apatis alias masa bodoh. Tidak efektif melakukan pengawasan dan kontrol karena izin dikeluarkan oleh gubernur. 28
Konstitusi mengamanatkan keseimbangan antara level pemerintahan. Makna Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 telah menempatkan posisi yang seimbang antara pemerintah provinsi dengan pemerintahan kabupaten/kota dalam hal pengaturan wilayah masing-masing berdasarkan prinsip otonomi. Keseimbangan ini harus dimaknai dan dipahami hanya dalam konteks sama-sama sebagai pemerintah daerah, bukan dalam posisi, misalnya, ukuran kewilayahan. Dalam posisi seperti ini, maka adalah sangat wajar, adil, dan patut, jika kemudian pemerintah kabupaten/kota diberikan kewenangan secara proporsional dalam pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di wilayahnya. Prinsip keseimbangan ini bukan saja pada equal political liberty. Akan tetapi, berlaku juga pada equal social and economic resources sebagai amanah Pasal 28A Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang mengatakan, “Setiap orang berhak untuk hidup dan mengusahakan hidup dan kehidupan.” Keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam. Bahwa Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 juga mengamanatkan hubungan keuangan pelayanan umum pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. Jadi, menurut Ahli, kalau kewenangan itu dihilangkan di dalam pengelolaan sumber daya alam, maka bertentangan dengan konstitusi karena tidak ada kesimbangan dan tidak ada keadilan. Posisi dan porsi yang sesuai atau sama antarlevel pemerintahan untuk menghasilkan keserasian, ketentuan Pasal 14 ayat (1) dan (3) dan Pasal 15 ayat (1) lampiran y, bb, dan lampiran cc Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2015 tidak ditemukan adanya keseimbangan dan kesesuaian dalam hal pengelolaan sumber daya alam. Kalau kita baca lampirannya itu, Pak, kolom satu banyak, kolom dua banyak, kolom tiga tidak ada. Itu baru kolomnya. Penghapusan hak, kewenangan, dan keterlibatan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam urusan pemerintahan konkuren khususnya dalam pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya secara pasti telah mengakibatkan adanya ketimpangan, ketidaksamaan, ketidaksesuaian, dan akibatnya ketidakadilan bagi daerah. Bahwa pemerintah daerah kabupaten/kota lebih dekat secara emosional, kultural, dan material, serta rasa berhak atas pengelolaan pengaturan pengurusan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada dalam wilayahnya. Saya mau menyampaikan bahwa ada asas hukum di dalam pengelolaan sumber daya alam yang mengatakan, “Orang yang dekat dengan sumber daya alam harus lebih dahulu sejahtera dibanding dengan orang yan jauh dari sumber daya alam.”
29
Kemudian, secara logis jika ada bencana alam, kerusakan, dan dampak lingkungan yang menimbulkan penderitaan bagi masyarakat, maka masyarakat dan pemerintah daerah kabupaten/kota lah yang pertama kali akan merasakannya. Jadi, kalau ada enaknya, pertama jadi harus enak, ada susahnya maka dia juga harus pertama menerima dan merasakan penderitaannya. Jangan dibalik enaknya diambil gubernur dan pusat, penderitaannya dikasih bupati. Kondisi dan posisi yang demikian, apakah adil pemerintah daerah kabupaten/kota sama sekali tidak dilibatkan dan diberikan kewenangan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam lainnya? Penerapan prinsip justitia est ius suum cuique tribuere, keadilan diberikan kepada tiap orang menjadi haknya. Yang seyogyanya juga menjiwai Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Majelis Hakim Yang Mulia. Tibalah pada kesimpulan. Yang pertama, amanah konstitusi dalam Bab 6 tentang Pemerintahan Daerah adalah pembagian wilayah yang pembagian kewenangan secara simbang. Keseimbangan adalah dasar keadilan antara pusat dan daerah dan antardaerah. Penghilangan atau pengebirian kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan sumber daya alam yang hanya didasari pada asumsi dan kekhawatiran pembuat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 agar tidak menciptakan raja-raja kecil dan berpotensi menyalahgunakan kewenangan dan pertimbangan lingkungan adalah sangat tidak berasalan dan tidak cukup untuk dijadikan dasar untuk melakukan pelanggaran terhadap konstitusi, Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (5), dan (6) Pasal 18A ayat (2). Pasal 14 ayat (1) dan (3), dan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 selain setelah secara nyata melanggar konstitusi juga telah mengakibatkan kemunduran dalam otonomi daerah, terutama otonomi pengelolaan sumber daya alam di kabupaten/kota. Dan kembali lagi pada masa pemerintahan sentralistik, rakyat daerah sebagai penonton kesejahteraan dan penerima atau penanggung penderitaan. Pasal 14 ayat (1) dan (3), dan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 berimplikasi pada … dan berpotensi menimbulkan penderitaan bagi daerah kabupaten/kota, terutama daerah yang memiliki sumber daya alam. Sehingga bertentangan dengan amanat konstitusi Pasal 28A, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupan.” Yang selaras dengan amanat Pasal 33 ayat (3) yang menjamin pengusaaan negara atau sumber daya alam untuk dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kewenangan daerah kabupaten/kota atas pengelolaan sumber daya alam kehutanan, kelautan, dan energi dan sumber daya mineral adalah hak konstitusional yang harus dikembalikan. Karena
30
kabupaten/kota lah yang bersentuhan langsung dengan rakyat dan bertanggung jawab langsung dengan kesejahteraan rakyat. Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menimbulkan kebingungan, bukan saja bagi warga negara akan tetapi penyelenggara pemerintah di daerah akibatnya menciptakan ketidakpastian yang berpotensi menciptakan keresahan pada akhirnya memicu kerusuhan atau prahara sosial di daerah. Bahkan daerah-daerah kaya bisa menciptakan disintegrasi bangsa. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sudah mengatur dengan harmonis kewenangan antara level pemerintahan dalam pengelolaan sumber daya berdasarkan konstitusi yang sama. Namun, tafsir pembuat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 berbeda. Semua itu saya kembalikan kepada Majelis Yang Mulia. Sekian dan terima kasih. Wabillahitaufikwalhidayah, wassalamualaikum, wr. wb. 69.
KETUA: ANWAR USMAN Ya. Terima kasih, Prof. Tausiahnya yang cukup padat. Para Pemohon, masih ada waktu ya sekitar … kita jam kerjanya sampai jam 16.00, ya. Jadi masih ada waktu sekitar 15-20 menit. Sekiranya masih ada yang ingin didalami, khususnya terkait dengan keterangan dua orang Ahli tadi.
70.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIII/2015: ANDIE H. MAKASSAU
NOMOR
136/PUU-
NOMOR
136/PUU-
Izin, Yang Mulia. 71.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, silakan.
72.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIII/2015: ANDIE H. MAKASSAU
Dari PUU 136, kebetulan pada persidangan hari ini hadir Prinsipal kami Saudara Drs. Kasman Lassa, S.H. (Bupati Donggala). Beliau minta waktu 5 menit untuk menyampaikan beberapa hal yang sudah dituangkan secara tertulis dalam 2,5 halaman. Kalau diizinkan, kami (…) 73.
KETUA: ANWAR USMAN Begini, nanti diserahkan saja secara tertulis atau dilampirkan dalam kesimpulannya, ya. Kalau mau memperdalam ke Ahli sih, silakan, 31
tapi kalau untuk keterangan tambahan, nanti bisa disampaikan secara tertulis dan dilampirkan dalam kesimpulan nanti. Kalau mau memperdalam apa yang disampaikan oleh kedua Ahli tadi, silakan. Tapi itu … ya, silakan. Pak, tanya ke Ahli, ya. Kalau untuk itu, kalau untuk apa yang disampaikan, nanti disampaikan saja ke Majelis nanti, ndak usah dibacakan. Ya, mungkin ada yang ingin disampaikan terkait dengan keterangan Ahli tadi. Kalau untuk keterangan itu nanti bisa diserahkan secara tertulis saja. Ya, silakan. 74.
PEMOHON PERKARA NOMOR 136/PUU-XIII/2015: KASMAN LASSA Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum wr. wb. Selamat sore, salam sejahtera buat kita sekalian, om swastiastu. Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah yang kami hormati. Pada kesempatan ini saya sebagai Bupati Donggala setelah mencermati apa yang disampaikan oleh Ahli sepertinya sama dengan apa yang diutarakan oleh Para Ahli tadi, sehingga insya Allah apa yang menjadi pokok-pokok pikiran kami dari Pemerintah Daerah Kabupaten Donggala pada persidangan di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang terkait dengan gugatan pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 insya Allah diperdalam melalui Ahli. Terima kasih, Yang Mulia. Wassalamualaikum wr. wb.
75.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Terima kasih. Dari 137? Silakan. Ada?
76.
KUASA HUKUM PEMOHON XIII/2015: ANDI SYAFRANI
PERKARA
NOMOR
137/PUU-
Terima kasih, Yang Mulia. Saya kira apa yang telah disampaikan oleh Para Ahli kami tadi semuanya sudah klir, begitu ya, dan memperkuat dalil-dalil kami yang kami ajukan dalam permohonan kami itu kami tidak ada pertanyaan pada dua Ahli. 77.
KETUA: ANWAR USMAN Ya. Dari Kuasa Presiden, ada yang ingin disampaikan?
78.
PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS Terima kasih, Yang Mulia. Pemerintah, cukup.
32
79.
KETUA: ANWAR USMAN Cukup, ya. Baik. Dari meja hakim? Ya, Yang Mulia Pak Palguna dulu. Silakan, Yang Mulia.
80.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Terima kasih, Yang Mulia. Saya senang sekali dua Ahli ini hadir, apalagi ada anak muda satu Dr. Rifqi dengan kejernihannya. Saya nanti ingin bertanya kepada kedua Ahli tapi untuk yang pertama saya cuma ingin anu saja, mungkin apa yang ini bisa dianggap sebagai koreksi supaya ndak ditanggapi salah. Karena ini sidang ini terbuka. Ini untuk Ahli Prof. Abrar, ya. Ini ada pernyataan di kesimpulan pertama di poin … di … apa ini, ya, di bab ke 2 itu, ya. “Penghilangan atau pengebirian kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan SDA yang hanya didasari pada asumsi dan kekhawatiran membuat Undang-Undang 23 Tahun 2014 agar tidak menciptakan raja-raja kecil dan berpotensi menyalahgunakan kewenangan dan pertimbangan lingkungan adalah sangat tidak beralasan dan tidak cukup untuk dijadikan dasar melakukan pelanggaran terhadap konstitusi Pasal 18.” Artinya, perlu pelanggaran yang lebih besar untuk bisa cukup melanggar Undang-Undang Dasar Tahun 1945, bisa diartikan begitu kan secara contrario? Saya kira maksudnya bukan begitu. Oleh karena itu, maka karena ini ditampilkan di slide dan sidang terbuka, ya, nanti diklarifikasi sajalah ininya. Saya kira bukan itu maksudnya, ya. Artinya janganlah itu dijadikan alasan untuk melanggar Pasal 18. Saya kira itu yang maksudnya Ahli, ya. Begini, saya atau kami mungkin di sini sama-sama sedang melakukan studi akademik terhadap undang-undang ini. Karena ini kan tugasnya Hakim Konstitusi, ya, mempelajari ini. Tapi dari kedua keterangan Ahli ini seperti juga kami sedang menelaah perkara ini, kami pun masih bertanya-tanya karena itu kami perlu pandangan kedua Ahli ini. Kalau dibandingkan dengan dua atau sebenarnya sudah pernah berapa kali perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004, kemudian ada perubahan terhadap Undang-Undang yang Nomor 32 Tahun 2004, lalu sekarang muncul undang-undang yang baru. Apakah Ahli melihat ada pergeseran ajaran rumah tangga enggak yang dianut di ketiga undang-undang ini, sehingga menjadi padat terjadinya pergeseran atau tarik-ulur kewenangan seperti? Kita kalau belajar pemerintahan daerah kan kita … dan apalagi kalau kita belajar otonomi daerah kita pasti berangkat dari ajaran rumah tangga yang dianut dulu kan, untuk bisa memetakan mana yang merupakan kewenangan pusat, mana merupakan kewenangan daerah, dan daerah itu apakah akan menganut sistem bertingkat seperti di tiga negara, misalnya Perancis, Inggris, atau Belanda, ataukah daerah 33
itu langsung seperti direct otonomi kepada kabupaten seperti yang dianut undang-undang kita tahun 1999. Itu kan pasti dasarnya … dasarnya pasti ajaran rumah tangga. Karena itu satu untuk menentukan kewenangan, yang kedua untuk menentukan hubungan pusat daerah dalam bidang keuangan, dan hubungan pusat daerah adalah bidang pengawasan. Kan tiga itu esensinya. Nah, yang kami mau tanyakan dari Ahli ini sebenarnya kalau menurut pandangan Ahli ajaran rumah tangga apa yang dianut oleh undang-undang ini, sehingga jadi … katakanlah jadi timbul kekacauan? Paling tidak dalam anggapan Pemohon dulu, ya. Sehingga yang seharusnya dia jadi kewenangan daerah dibalik lagi ke pusat. Yang tadinya sudah baik-baik merupakan kewenangan kabupaten misalnya, jadi kewenangan provinsi, sehingga banyak persoalan yang ditimbulkan ini. Saya kira atau kami menduga itu ada unsur ada sangkut pautnya dengan soal ajaran rumah tangga yang dianut yang mungkin tidak jelas, sehingga menimbulkan problem seperti ini. Itu pertanyaan saya mungkin dijawab oleh kedua Ahli. Terima kasih, Ketua. 81.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, selanjutnya, Yang Mulia Pak Patrialis.
82.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Ya. Terima kasih, Pak Ketua. Ini Para Pemohon ini nampaknya berhasil mendatangkan Ahli yang memang Ahli. Presentasi atau apa yang disampaikan oleh Para Ahli tadi, saya kira tentu ini merupakan bagian satu fakta yang kita alami di dalam negara kita ini, sejak reformasi sampai hari ini, sudah beberapa undang-undang yang diganti, diubah khususnya berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan terutama pemerintahan di daerah. Ini menunjukan satu bukti bahwa kita masih dalam posisi uji coba secara terus-menerus. Bagaimana sih sebetulnya penyelenggaraan pemerintahan yang terbaik khususnya di daerah? Oleh karena itu, setiap undang-undang yang lahir selalu saja memiliki kelemahan-kelemahan dan kelebihan-kelebihan. Tentu posisi kita adalah bagaimana kita memikirkan hal-hal yang positif di dalam beberapa undang-undang yang pernah dilakukan dan itu betul bermanfaat untuk negara kita negara kesatuan, pemerintahan di pusat, provinsi, kabupaten/kota. Ini yang perlu saya kira kita ingin dudukan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, memang memerlukan tambahan pemikiran dari Para Ahli.
34
Kalau saya melihat tadi cara pikir Ahli, kedua Ahli ini, memang semangatnya adalah bagaimana penyelenggaraan pemerintah di daerah itu betul-betul sepenuhnya diberikan kepada kabupaten/kota. Tentu kita harus ingat bahwa di dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, kita mengenal bentuk negara kita negara kesatuan, sistem pemerintahan kita dibagi yaitu pemerintah di tingkat pusat, kekuasaan pemerintahan itu dilakukan oleh seorang Presiden. Kemudian Presiden itu baru hanya bisa mampu melaksanakan pemerintahan kalau memang itu ada provinsi. Provinsi diakui di dalam konstitusi kita. Ada pemerintahannya pemerintahan provinsi, ada pimpinannya adalah gubernur. Demikian juga dibagi lagi pemerintahan di daerah kabupaten/kota dan pimpinannya adalah bupati dan walikota. Tentu ini merupakan satu rangkaian yang enggak bisa kita putus. Sama sekali engggak bisa kita putus. Enggak bisa kita meninggalkan yang satu terus mencoba untuk mengangkat yang lain. Saya setuju dengan apa yang dikatakan oleh Pak Ahli Abrar Saleng tadi ada keseimbangan yang perlu kita pikirkan. Dari sejarah perjalanan pemerintahan di daerah ini, tapi sebelumnya saya mengatakan bahwa otonomi daerah itu memang merupakan suatu keniscayaan, absolutely, dan tidak bisa ditawar. Oleh karena itu, kita merumuskan ke dalam konstitusi. Kita bangga dengan konstitusi kita bahwa dalam rangka keutuhan NKRI semuanya disebut secara jelas di dalam konstitusi. Oleh karena itu, di dalam sejarah perjalanan bangsa kita ini ketika otonomi daerah itu lebih diberikan seluas-luasnya kepada pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi juga tidak punya kewenangan apa-apa. Bahkan pada saat itu ada suatu wacana karena memang permerintah provinsi sudah enggak punya kewenangan apa-apa, bagaimana kalau DPRD di tingkat provinsi dihapuskan karena juga tidak ada manfaatnya. Kan enggak punya kewenangan. Oleh karena itu, agar kabupaten/kota ini juga bisa dikomunikasikan dan diintegrasikan, maka kita membutuhkan yang namanya provinsi. Nah, ketika itu berada pada kabupaten/kota, sejarah mengatakan tidak bisa kita melupakan, kenapa tidak ada istilah raja-raja kecil dari apa namanya ... dari Ahli Abrar. Karena itu adalah sejarah, enggak bis akita melupakan, kalau enggak kalimat itu pasti enggak muncul, kan begitu. Nah, ketika itu bupati enggak ... provinsi gubernur enggak bisa melakukan apa-apa juga. Kalau bupati apa ... walikota dipanggil untuk kordinasi pun juga mereka enggak datang karena kami punya kewenangan, untuk apa itu provinsi? Faktanya kan begitu. Tapi sekarang justru malah lain lagi persoalannya, ya kan. Seperti dikatakan tadi, kewenangan sudah diberikan kabupaten/kota diambil alih oleh provinsi, sehingga masyarakatnya menjadi sulit. Para Saksi tadi sudah mengatakan keadaan seperti itu dan memang begitulah logikanya. Saya 35
setuju bahwa memang sumber daya alam itu diberikan oleh Allah SWT, tidak mungkin berada di situ kalau bukan untuk mensejahterakan rakyat di situ. Itu absolut itu, hukum alam itu. Tapi ternyata kan memang ternyata banyak ... tidak banyak menikmati. Ini perlu saya sampaikan dulu pendahuluan ini, sebelum saya masuk kepada pertanyaan. Supaya visi kita satu, ya, supaya visi kita. Nah, pertanyaan saya adalah menurut Para Ahli, bagaimana sesungguhnya yang terbaik, ya? Pusat tetap merupakan lambang negara kesatuan. Provinsi, sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat juga punya wibawa bisa mengkordinasikan kabupaten/kota dan tidak diabaikan begitu saja. Kemudian daerah kabupaten/kota bisa bergerak lebih dinamis mensejahterakan rakyatnya karena rakyat provinsi itu kan adalah rakyat kabupaten/kota, bagaimana kita bisa mensinergikan ini? Ini yang perlu dipikirkan. Nah, saya minta pikiran Ahli yang lebih jernih melihat situasi seperti ini. Dan bagaimana kalau nanti pada saatnya ketika kewenangan provinsi sudah enggak ada lagi sama sekali, dan Saudara diminta sebagai Ahli oleh Pemohon dari provinsi, bagaimana pikiran Saudara? Ini kedua-dua Ahlinya saya ingin menyampaikan. Jadi coba ditempatkan pada posisi yang memang merupakan satu kesatuan. Itu saja. Terima kasih. 83.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, masih ada dari Yang Mulia Pak Wahiduddin, silakan.
84.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Terima kasih. Pertama, saya ke Pemerintah. Terima kasih ini dari Kemenkumham setia hadir, ya. Kemendagri tidak hadir? Ya ini penting karena Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 ini meskipun ini resmi prakata dari Pemerintah, tapi prakarsanya Kemendagri. Nah, sehingga hal-hal yang berkembang seperti ini penting. Tolong nanti disampaikan. Kenapa? Karena pertama, saya sebelum sampai kepada Ahli, UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 ketika masih undang-undang itu, banyak yang dijucial review itu adalah dulu masalah pemilihan kepala daerah. Sehingga undang-undang itu hampir compang-camping, ya. Nah, lalu menjelang periode ini undang-undang dipecah. UndangUndang Pilkada yang tadinya hanya PP menjadi undang-undang sendiri dan desa yang tadi hanya diatur oleh PP menjadi undang-undang tersendiri. Jadi sudah pecah ini. Bahkan tadinya ada Rancangan UndangUndang tentang Daerah Kepulauan, Rancangan Undang-Undang Daerah Pesisir. Nah, ini yang dibicarakan seperti ini tadi. Karena apa? Karena kalau kita lihat filosofinya dan dasarnya tidak berubah. Ahli-ahli dari kemarin juga mengatakan dasarnya Undang-Undang Dasar Tahun 1945. 36
Konsideran menimbangnya sama bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan masyarakat, mendekatkan pelayanan masyarakat, memberdayakan masyarakat, melindungi masyarakat, partisipasi masyarakat, efisiensi. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 juga itu juga. Undang-Undang Nomor 32 itu juga. Undang-Undang Nomor 23 ini, ya ini juga yang dimuat di sini, sama persis. Pak Ryaas Rasyid kemarin juga. Jadi ini kenapa kok ... nah, sekarang Undang-Undang Nomor 23 ini yang dipersoalkan bukan lagi soal pemilihan kepala daerahnya karena sudah ada sendiri Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, itu juga tidak kalah banyak yang dipersoalkan. Undang-Undang Desa belum. Nah, kemudian yang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini, ini sudah banyak mulai dari masalah pertambangan, kehutanan, kelautan, dikmen, energi tadi ini, jadi ini sangat penting. Teman-teman Kemendagri hadir untuk, ya, melihat ini. Saya … pertanyaan pertama, apakah undang-undang ini sudah jalan hampir dua tahun, PP-nya belum ada, ini apa gara-gara PP pelaksanaannya itu, sehingga baru sekarang ini digugat? Kan tidak begitu keluar langsung digugat. Nah, setelah jalan ketika ada yang dialihkan ke provinsi, ada yang ke pusat, transisinya tidak segera. Nah, sehingga di pingpong itu tadi, sehingga belum jelas pengalihannya ini nanti kan harus ada perda provinsi karena terkait provinsi, kan menyiapkan sumber dayanya dan sekarang saya simak hari ini beberapa koran mengatakan bahwa pengalihan ini untuk dikmen katanya tinggal 10 daerah yang belum siap, berarti 24 daerah sudah siap. Ini rapat Menko Bidang Revolusi Mental, sudah siap katanya pindah. Personil, prasarana, dan dokumentasi. Kan tiga itu, Pak, yang harus dialihkan. Nah, tinggal nanti ini. Berarti ini ada suatu hal yang terjadi dilihat nanti dari segi teorinya, tapi ini setelah hampir dua tahun belum ada PP-nya, lalu orang untuk izin, ya, oper padahal sebetulnya juga diperalihan Undang-Undang Nomor 23 ada, segala peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 yang tidak bertentangan dan belum ada undangundang itu masih dapat diberlakukan, sebetulnya bisa. Tapi kan semuanya akan menjadi masalah karena mungkin APBD-nya sudah ke mana ini kan, ya. Nah, belum lagi tadi siswa sekolah mau pindah lalu ngurus ke provinsi. Jadi transisi dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang di akhir Oktober sampai sekarang 2 tahun ini belum ada, semua mengatakan sedang dalam transisi. Akibat transisi itulah dalam dua bulan ini, ya, bidang-bidang ini diajukan permohonan, ya, pertama karena aspek pelayanannya menjadi terbengkalai. Regulasinya belum jelas. Nah, ini apakah menurut Ahli, ya, tidak hanya masalah-masalah itu tapi karena ini tidak cepat menangani masa mitigasi transisi ini. Nah, sehingga ya keadaannya begini. Nah, ini saya kira pertama. 37
Yang kedua, ya, kepada Para Ahli. Ini Pak Rifqi tadi disebutkan mengenai pengujian peraturan daerah. Nah, kalau yang kewenangan banyak diambil ke atas, tapi kalau kewenangan membatalkan peraturan daerah diturunkan ke bawah. Dulu dengan peraturan presiden kan untuk membatalkan sebuah perda, kalau keberatan baru ke Mahkamah Agung. Ternyata tidak satupun perda yang dibatalkan di peraturan presiden, hanya satu adalah qanun di Aceh. Yang lainnya cukup dengan apa ... Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Peraturan Menteri Keuangan. Nah, sekarang diturunkan yang untuk perda kabupaten/kota itu cukup dibatalkan oleh peraturan gubernur. Ya, mungkin ini melihat karena saking banyaknya sampai 4.000 peraturan daerah yang dianggap bertentangan dengan peraturan lebih tinggi, tidak bersemangat pelayanan, lalu kemudian tidak mempunyai daya saing, dan diskriminatif, ya, mungkin ini. Nah, ini menurut Ahli, terutama terkait ini, apakah justru ini lebih baik? Walaupun, ya, memang nanti kalau mereka keberatan itu tetap ke Mahkamah Agung karena kewenangan Mahkamah Agung menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, kecuali terhadap APBD, kemudian pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang. Nah, ini justru diberikan ke bawah ini karena penguatan dari fungsi pemerintah gubernur sebagai wakil pemerintah pusat itu. Nah, jadi kalau ... apakah ini memang bentuk pengalihan kewenangankewenangan kabupaten/kota tarik provinsi, mungkin nanti lagi dipindahkan. Ini apakah ... ya karena tidak cepat ditangani dengan tindak lanjut peraturannya, lalu yang menimbulkan kesenjangankesenjangan dan transisi-transisi yang menelantarkan ide pokoknya mendekatkan pelayanan masyarakat, melayani masyarakat, melindungi masyarakat. Kalau sepanjang itu cepat pelayannya, ya mungkin nanti kita tidak tahu regulasi bahwa pelayanan itu sistemnya tidak lagi seperti yang lalu. Nah, kemudian juga masyarakat cepat mungkin dengan sistem yang ada, ya mungkin tidak menimbulkan hal-hal yang seperti ini. Sebab tidak mustahil nanti diubah lagi, tarik lagi, begitu. Nah, (suara tidak terdengar jelas) menurut Ahli ini, apakah ya akibat salah satunya, selain teori bahwa ini kewenangan-kewenangan yang disebutkan tadi karena tidak cepat masa transisi ditanggulangi dan kepastian hukum tidak jelas? Peraturannya kan pasti tidak bisa lagi dengan perda kabupaten/kota, harus perda provinsi karena dialihkan provinsi, perdanya belum ada, kantornya pun belum ada, jauh lagi, standar-standar operasionalnya yang memeriksa mestinya satu datang enam, biayanya berapa, gitu kan. Kalau nanti dengan online apakah juga tidak harus seperti ini? Nah, ini saya pertanyakan. Sekali lagi pesan kepada Teman-Teman Kemenkumham, tolong Kemendagri datang untuk melihat karena ini sebagian bisa dijelaskan bahwa peraturan pelaksanaannya, peraturan pemerintah sudah ada apa 38
belum, koordinasi untuk pengalihan-pengalihan itu mana yang lancar mana yang tidak dan apakah sudah siap sebetulnya sehingga bisa menentramkan para pencari keadilan agar pelayannya tidak terganggu, gitu. Terima kasih. 85.
KETUA: ANWAR USMAN Baik. Jadi diskusi dalam persidangan ini luar biasa, kebetulan memang tadi kalau dua Ahli terutama Prof. memberikan tausiah yang begitu panjang dan jelas, ya, keterangannya dan kebetulan juga dari Majelis Hakim ini memang ada dua orang pelaku sejarah, ya, yang menjadi arsiteknya amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 perubahan, yaitu Yang Mulia Prof. Palguna dan Yang Mulia Pak Patrialis, termasuk dari Yang Mulia Pak Wahiduddin itu adalah manten dirjen perundang-undangan yang memang ahli. Saya menyimak apa yang disampaikan oleh baik kedua ahli dan dari pelaku sejarah tadi, saya itu merasa agak risau, ya. Kalau tadi mendengar keterangan dari Ahli, maka Yang Mulia Pak Patrialis khawatir, maka keberadaan provinsi akan menjadi tidak berarti ini. Bahkan tadi ada ide meniadakan DPRD tingkat I. Malah saya bisa menarik ke atas, ya malah esensi dari negara republik, negara kesatuan, sebagaimana yang diamanatkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mungkin hanya menjadi sebuah kalimat indah yang tidak lagi punya kewenangan. Tapi baiklah, sudahlah, itu ... untuk itulah kita berdiskusi dan meminta pendapat Ahli. Saya hanya ingin menambahkan. Bangunan otonomi daerah yang dikehendaki oleh konstitusi kita, Undang-Undang Dasar Tahun 1945 setelah perubahan itu, sebenarnya yang bagaimana? Itu satu. Yang kedua, apakah dengan ditariknya sebagian kewenangan yang ada di kabupaten/kota dialihkan ke provinsi itu, apakah masih tidak bisa dikatakan bahwa itu juga dalam rangka otonomi? Baik, silakan Para Ahli karena banyak pertanyaan atau permasalahan yang disampaikan, mungkin bisa disampaikan dulu secara singkat, secara lisan, nanti bisa ditambah dengan keterangan tertulis. Silakan. Mungkin Mas Rifqi dulu.
86.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 137/PUU-XIII/2015: RIFQINIZAMY KARSAYUDA Terima kasih, Yang Mulia. Saya ingin menjawabnya tidak satu per satu, saya ingin jawab secara general saja. Satu begini, kalau kita buka lagi risalah pembentukan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dalam Sidang BPUPKI dan PPKI, kita ingat betul waktu itu terjadi dua pendapat yang sama keras. Hatta dan kawan-kawan, termasuk mungkin Nasir, dalam risalah itu sebetulnya ingin negara kita ini federal. Karena apa? Karena negara ini majemuk dan kemajemukan itu tidak boleh dilawan 39
dengan integrasi, tidak boleh dilawan dengan kesamarataan, dan setiap lokal yang memiliki kemajemukan harus dikasih ruang. Maka dari itu kata Hatta, “Sudah majemuk saja,” tapi Soekarno dan kawan-kawan, “Tidak mau majemuk/faderal.” Soekarno berpikir bahwa negara yang baru dibentuk ini kendati majemuk dia harus dipatri dalam satu kesatuan. Dan kita bersyukur kubu Hatta dan kubu Soekarno ini bukan manusia yang ngotot, dia mencari titik tengah, dan titik tengah itu lah yang menghasilkan negara kesatuan di satu pihak, tetapi kekhasan dan keistimewaan juga diberi ruang pada pihak yang lain. Itulah kekhasan Indonesia, negara kesatuan yang disentralistik. Tahun 1945 boleh jadi tren itu tidak banyak, Yang Mulia, dibanyak negara. Tapi Aron Lipards, saya kira, Yang Mulia, paham betul ini, hasil penelitian yang sangat terkenal di 33 negara. Mencek derajat sentralisasi dan disentralisasi 33 negara dalam lebih dari 30 tahun. Membuktikan bahwa semakin ke sini, semakin banyak negara federal yang tetap mempertahankan federalisnya dengan semangat disentralisasi dan begitu pula semakin banyak negara kesatuan yang dulunya sangat sentralistik menjadi disentralistik. Apa alasannya? Alasan yang paling filosofis adalah satu, memutus mata rantai birokrasi yang begitu panjang. Yang kedua alasannya adalah untuk memberikan ruang bagi setiap lokal yang dulunya boleh jadi sama kebutuhannya relatif, belakangan dia berkembang dengan kebutuhannya masing-masing. Bahkan kalau boleh kita jujur yang ketiga di Inggris misalnya atau di Perancis dalam konteks Provinsi Quebec. Di Inggris kita mengenal ada devolution power tahun 1997 yang memberikan devolusi bagi beberapa negara … mohon maaf, beberapa provinsi di Inggris, Wales, Scotland, North Ireland, dan seterusnya. Diberikan itu kenapa? Karena negara provinsi-provinsi ini “ingin melepaskan diri dari United Kingdom” dan pemberian itu nyatanya dibuktikan kalau kita ikuti referendum Skotlandia mungkin satu tahun yang lalu, membuktikan bahwa mayoritas masyarakat Skotlandia ketika diberikan devolution power masih ingin dalam bagian dari United Kingdom, tidak ingin merdeka. Kalau itu dilakukan Tahun 1997 kita boleh berasumsi, itu persis terjadi seperti di Timor Timur pada masa itu. Tiba-tiba diberikan referendum, tidak pernah diberikan otonomi, dan kemudian masyarakat kecewa lalu melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi saya kira ini persoalan yang sangat filosofis, tidak sekedar urusan pembagian pemerintah pusat dan daerah, ini persoalan integrasi dan disintegrasi. Itu satu, Yang Mulia. Yang kedua. Karena negara kita ini memang unik dari awalnya, boleh jadi teori-teori juga kita bangun atas dasar kekhasan dan keunikan itu. Kalau tadi, Yang Mulia I Dewa Gede Palguna, mencoba menanyakan secara spesifik kepada kami, penilaian kami terhadap tiga undangundang pasca reformasi terkait Undang-Undang Pemerintah Daerah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 32 40
Tahun 2004, dan Undang-Undang 23 Tahun 2014, kalau saya harus memilih dan saya harus mengklarifikasikan saya harus mengatakan bahwa Undang Nomor 22 Tahun 1999 itu coraknya memang sangat federalis, sangat disentralistik. Dan Alpa memberikan dua hal penting dalam kontek otonomi, pembinaan dan supervisi. Sehingga kemudian boleh jadi apa yang disebut oleh Prof. Abrar itu muncul dalam prakteknya, raja-raja kecil di daerah. Yang kita perlukan adalah disentralisasikan tetap kita berikan, tapi pembinaan dan pengawasan atau supervisi harus dilakukan. Disitulah peran pusat dalam konteks memberikan pedoman dan pembinaan dan peran provinsi untuk melakukan supervisi dan pengawasan. Peran kabupaten/kota melakukan impelementasi sepanjang terkait dengan urusan-urusan yang bersifat lebih domestik. Saya membaca risalah sidang, Prof. Ryaas, mengatakan … saya kira dalam sidang yang lalu, “Persoalan yang bersifat eksternal, persoalan yang bersifat fundamental, dan persoala yang bersifat independensi yang non domestik, itu diurus oleh pemerintah pusat.” Jadi kalau boleh saya bagi ini, urusan rumah tangga negara kesatuan kita ini, ada dua hal, Pak. Satu yang urusannya domestik atau eksternal, yang domestik ini diotonomkan, menurut pandangan saya, sehingga pemerintah pusat perannya adalah pedoman pembinaan, provinsi pengawasan dan supervise. Kabupaten/kota implementasi. Apa itu yang domestik-domestik? Pendidikan, kesehatan, dan layanan-layanan publik yang langsung diperlukan oleh rakyat, kasih saja ke kabupaten/kota. Miris kita melihat orang mengurus tambang galian C yang mestinya menurut saya, kalau saya jadi bupati … mohon maaf, Pak, saya cukup serahkan itu kepada lurah, kepala desa, paling tinggi kepada camat. Enggak perlu saya ngurus itu, itu persoalan kecil, perizinan galian C. Kalau kita mau bicara tambang secara makro nanti mungkin, Prof. Abrar, mungkin bisa tambahkan, ya. Tambang-tambang besar mineral, batubara, migas, seterusnya, it’s oke berikan itu kepada yang lebih tinggi. Jadi kita harus proporsional melihat ini. Itu urusanurusan domestik, begitu pula dengan urusan pendidikan. Urusan pendidikan menurut saya di luar pendidikan tinggi, bahkan pendidikan tinggi pada titik tertentu berikan saja kepada kabupaten. Sehingga kemudian provinsi dan pusat itu berpikirnya lebih global, lebih eksternal. Politik luar negeri, pertahanan, keamanan letakkan itu kepada pusat, agar pusat tidak terlalu repot untuk kemudian mengurus semua hal, sementara hal-hal yang terkait dengan pentingnya persaingan global dan positioning kita di mata internasional, itu kemudian tidak terlalu terurus dengan baik. Itu satu hal, Pak. Yang kedua. Provinsi menurut saya harus tetap ada dan itu amanat konstitusi. Pemerintahan provinsi itu jelas dalam Pasal 18. Tinggal kita mencari titik tengahnya. Bagaimana negara kesatuan yang desentralistik ini “justru tidak menganut langgam yang sangat 41
federalistik”. Maka dari itu, provinsi tetap berperan untuk mengawasi dan mensupervisi. Kalau ada dulu keluhan gubernur tidak bisa panggil bupati dan walikotanya karena bupati, walikota merasa dia otonom, menurut saya itu yang dibenahi, bukan kemudian kewenangannya diambil dan dengan cara itu kemudian kita ingin katakan bahwa you subordinat kami. Kalau dia lakukan pengawasan, boleh jadi sanksi atas pengawasan itu adalah pencabutan atas urusan-urusan yang diberikan oleh undang-undang. Tapi kemudian, tidak mesti urusan itu diambil tidak kemudian diberikan sama sekali kepada kabupaten/kota. Itu pandangan saya. Dan dalam konstruksi Pasal 18 ayat (1) menurut saya, kita harus meletakkan provinsi, kabupaten/kota itu sebagai sesuatu yang jelas. Provinsi itu adalah wilayah yang di dalamnya ada kabupaten/kota, maka karena itu dia mengurusi hal-hal yang bersifat lintas kabupaten/kota. Kalau urusannya itu ada di kabupaten saja atau di kota saja, biarkan itu kabupaten atau kota itu menyelesaikannya. Tambang galian c di Kabupaten Kapuas biar Kapuas saja, enggak perlu Provinsi Kalimantan Tengah untuk ikut serta. Beda hal kalau kemudian pertambangannya misalnya, skalanya besar, kemudian dia memberi efek ekonomi yang luar biasa, silakan kemudian provinsi ikut serta di situ, tapi juga tidak boleh menegasikan kabupaten/kota. Itu pandangan saya. Yang ketiga, Pak. Apakah karena PP belum keluar, lalu undangundang ini digugat? Saya tidak tahu, tapi setahu saya membaca permohonan Pemohon ini dilakukan sebelum Mahkamah menyidangkan perkara-perkara PHPU pilkada. Jadi, undang-undang ini sudah didaftarkan ke Mahkamah ketika saya ini mengikuti tahun lalu pada bulan Oktober. Jadi, saya kira tidak juga harus menunggu PP-nya dan tidak terlalu terlambat juga Para Pemohon untuk kemudian melakukan permohonan ke Mahkamah ini. Hanya kemudian kita waktu itu sepakat bahwa Mahkamah ingin concern pada persoalan PHPU pilkada lalu kemudian baru sekarang ini menyeruak. Nah, persoalannya sekali lagi itu tidak sesederhana itu menurut saya. Bahkan dalam pengalaman Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sepanjang yang saya tahu hampir tidak ada judicial review yang diajukan ke Mahkamah ini terkait dengan persoalan kewenangan. Yang Mulia Wahiduddin Adams tadi mengatakan yang paling banyak itu soal pilkada, tapi kita juga harus ingat bahwa undang-undang itu kalau boleh saya nilai undang-undang itu hampir ideal, Pak. Otonomi diberikan pengawasan dan supervisi oleh pusat dan provinsi dilakukan kendati bagi penganut mahzab otonomi yang liberal itu dikatakan, “Kepalanya diberikan, kaki ditarik.” Nah, begitulah hakikat NKRI menurut pandangan saya. Enggak boleh liberalitarian, Soekarno dan Hatta saja tidak pernah ngotot kok dalam pembentukan konstitusi kita dulu. Dan karena itu menurut saya enggak boleh ngotot. Nah, yang harus kita ingat adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang 42
menurut saya agak ideal dibandingkan tiga undang-undang ini, UndangUndang 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Itu dulu “dibangun sentralisasinya melalui peraturan pemerintah.” Jadi, undang-undangnya hampir tidak bermasalah karena tidak dibawa ke Mahkamah Konstitusi, PP-nya yang banyak digugat ke Mahkamah Agung karena PP itulah sekarang yang dialihkan menjadi norma-norma dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ini yang memberikan kewenangan sangat limitatif kepada pemerintah kabupaten/kota dan itu bisa kita cek. Saya mohon maaf lupa nomor PP-nya, tapi saya akan memberikan keterangan Ahli secara tertulis untuk memperkaya khazanah kita itu. Terakhir, Pak, kalau perda dibatalkan oleh gubernur dalam konteks kabupaten/kota, dibatalkan oleh Mendagri dalam konteks provinsi saya sepakat betul itu, bahkan executive review bagi saya tidak masalah. Problemnya dalam Pasal 251 undang-undang yang dimohonkan ini tidak ada ruang sama sekali judicial review, di situ problemnya. Beda dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, beda juga dengan Undang-Undang tentang Peraturan Pembentukan Perundang-Undangan. Dan yang paling menyakitkan saya sebagai orang yang belajar hukum tata negara, undang-undang ini melenceng dari semangat Pasal 24 yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk melakukan pengujian undang … peraturan perundang-undangan di bawah undangundang. Karena itu tadi saya membangun argumentasi teoritik, kalau kita masih percaya ini negara hukum, ya silakan saja executive review dilakukan, tapi upaya judicial review ke Mahkamah Agung juga tolong dilakukan. Kenapa, Pak? Karena undang-undang … mohon maaf, perda itu tidak sekadar berisi tentang tindak lanjut peraturan perundangundangan. Kalau itu saya kira clear executive review bisa melakukan review. Tetapi perda itu juga isinya … ini oleh undang-undang tentang peraturan … pembuatan peraturan perundangan, termasuk dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 sendiri, isi yang kedua adalah soal lokalitas dan kekhasan masing-masing daerah. Kalau di tempat saya menganggap ada satu adat-istiadat atau lokalitas yang penting untuk diperdakan, tapi kemudian hal yang dianggap penting oleh kabupaten/kota itu atau oleh provinsi sekali pun itu tidak dianggap penting bahkan dianggap bertentangan oleh gubernur atau Menteri Dalam Negeri dan tidak ada upaya hukum lain selain itu. Lalu bagaimana kita mau mengujinya dalam konteks negara hukum? Jadi ruang judicial review menurut saya itu tetap penting untuk diberikan dan itu dikembalikan. Saya yakin Yang Mulia Hakim Konstitusi sependapat dengan saya soal ini. Jadi ada kealphaan saja menurut saya, ada yang terhapus dari konsepsi yang sebelumnya diberikan, dan mau mempermudah persoalan ini padahal kalau kita cek data di Mahkamah Agung judicial review terkait dengan perda juga jumlahnya tidak terlalu banyak. Itu yang dulu diberikan ruangnya, kenapa itu harus dihapus? 43
Yang kewalahan justru eksekutif review dulu karena diberikan kepada Mendagri dan Mendagri sangat banyak kemudian melakukan review itu. Dan boleh jadi kalau kita mau cek betul bagaimana executive review, kita kesulitan juga karena tidak ada risalah yang menjelaskan bagaimana proses eksekutif review itu, tiba-tiba keluar saja keputusan tata usaha negara yang menyatakan bahwa perda a dibatalkan, dan seterusnya, dan seterusnya. Saya kira itu, Yang Mulia. Mohon maaf atas segala kekurangan saya, mudah-mudahan kita semua punya pandangan sekali lagi seperti Yang Mulia I Dewa Gede Palguna sampaikan dan Yang Mulia Patrialis Akbar sampaikan dalam rangka sejernih-jernihnya untuk meletakkan ini sebagai sesuatu yang proporsional. Bilahitaufikwalhidayah, assalamualaikum wr. wb. 87.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, ada mungkin ini dari Prof. Sambil nanti juga ada keterangan tambahan tertulis nanti, silakan.
88.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 137/PUU-XIII/2015: ABRAR SALENG Ya, terima kasih, Pimpinan Majelis Hakim Yang Mulia. Yang pertama dulu saya klarifikasi dari Pak Palguna bahwa mungkin bahasanya itu bahasa Bugis yang di-Indonesiakan, ya. Mohon maaf. Tapi bukan berarti harus memotivasi yang lebih besar lagi, tidak, ya. Saya memang setuju bahwa kesannya kita sekarang undangundang itu selalu kita uji coba. Karena pembentukkannya juga bukan didasari oleh kajian-kajian mendalam, tapi didasari oleh wacana-wacana pejabat. Sehingga lahirlah pasal-pasal emosional di dalamnya dan pelaksanannya juga emosional, tapi inikan menjadi banyak pekerjaan di Mahkamah Konstitusi. Tapi itu tidak bagus karena pertanyaan kita kapan Indonesia ini selesai hanya satu dulu persoalan otonomi daerah? Banyak teori yang kita pelajari, tapi kita juga ada hukum asli Bangsa Indonesia, hukum adat. Kita tidak pernah menengok ke sana selalu kita lihat teori barat. Ada satu teori yang pernah saya pelajari di Padjajaran tahun 1994, yang disebut dengan teori Bandul. Saya enggak tahu masih ... tapi jarang orang pakai teori Bandul itu. Teori Bandul itu artinya otonomi daerah itu tidak mesti serentak, tapi kapan dia harus otonomi, kapan dia provinsi, kapan dia pusat, yang penting keseimbangan itu jalan. Kalau kita sekarang mau menyeragamkan dalam hukum itu, menyeragamkan yang berbeda tidak gampang. Karena dalam hukum keadilan adalah meletakkan persamaan dimana dibutuhkan persamaan, menempatkan perbedaan dimana dibutuhkan perbedaan. 44
Dalam prinsip otonomi daerah adil itu tidak mesti sama karena memang dari sananya berbeda, sehingga ini yang merepotkan kita demi kesatuan Republik Indonesia saya setuju tadi Rifqi. Ini semua undangundang kita hanya takut pecah, Undang-Undang Nomor 22/1999 itu jalan keluar supaya negara-negara kaya tidak ... sori, daerah-daerah kaya tidak membentuk negara pada saat negara itu lemah waktu itu. Jadi kalau Pak Patrialis Yang Mulia dengan Pak Palguna mengatakan, “Yang mana idealnya ini? Dan kapan kita berakhir untuk uji coba?” Saya kira kita sudah pengalaman ini melihat tiga undang-undang yang berkaitan otonomi daerah. Saya kira Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dari sisi pembagian kewenangan itu hampir seide apa yang ada dalam Pasal 18 itu. Sekalipun sebenarnya yang idealnya itu tidak mesti harus sama. Ya, misalnya dalam pengolahan sumber daya alam. Tidak mesti seluruh kabupaten diberikan kewenangan untuk mengelola logam dan batubara, kalau batubaranya atau logamnya cuma sedikit untuk apa diberi kewenangan. Lebih efisien dikelola oleh kabupaten misalnya, atau pusat, tergantung. Kemarin kita berikan semua, sebelumnya ada golongan-golongan bahan galian, ada yang namanya strategis dikelola oleh negara karena berkepentingan untuk perekonomian dan pertahanan negara, itu dasarnya, kemudian ada yang vital yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, dan ada yang non strategis, dan non vital. Dan itu berlangsung sangat harmonis karena daerah yang tidak punya sumber daya alam juga paham bahwa tidak punya, tapi bukan berarti dia tidak punya harus miskin. Daerah-daerah penghasil itulah ada undang-undang pembagian hasil keuangan. Jadi ini. Jadi saya kira Undang-Undang Nomor 32 itu cukup bagus karena dibarengi dengan Undang-Undang 33 tentang Pembagian Bagi Hasil Antara Daerah Penghasil Dengan Daerah Yang Tidak Punya Hasil. Kemudian NKRI, ya. Saya kira gubernur harus tetap ada, Pak. Karena gubernur tanpa bupati repot juga, ya. Cuma persoalannya selalu kita ambil yang praktis. Seperti penyusunan Undang-Undang Nomor 23 ini. Saya lihat alasannya pertama itu karena sudah banyak izin-izin yang tidak terkontrol yang dikeluarkan oleh bupati. Padahal itu mestinya izin secara hukum adalah instrumen pengendalian lingkungan. Tapi justru izin ini bukan menjadi instrumen pengendalian lingkungan. Tapi justru izin ini menjadi bahan surat berharga bagi bupati untuk mengeluarkan izin apalagi menjelang pilkada. Atau sesudah pilkada sebagai bayar hutang. Jadi ini semua hal-hal … makanya tadi saya katakan tidak semua begitu. Tidak cukup alasan untuk mengatakan bahwa harus ditarik ke provinsi dan pusat. Dikatakan ada gubernur yang apa namanya … bupati yang tidak loyal sama gubernur. Tapi saya bisa sampaikan bahwa Gubernur Sulawesi Selatan itu, Pak. Sekalipun bupatinya beda partai dengan gubernurnya, sangat loyal. Bukan karena menakut-nakuti, tapi 45
selalu datang berpidato, “Pak Bupati apapun yang Bapak lakukan itupun juga untuk rakyat saya.” Memang sih sebenarnya yang menjadi persoalan juga sekarang gubernur dan bupati tidak loyal bukan karena pembagian kewenangan, tapi karena partainya berbeda. Kemudian sinergitas, ya, ini Pak Patrialis,. Ini juga sulit ini untuk bersinergi ya. Karena politik itu bersinergi pada saat kepentingan ya. Dan saya kira ini undang-undang ini memang perlu dikaji dari ruang yang bebas dari kepentingan politik. Dan siapa pun yang mengkaji itu lembaga apalah, itu harus diberi ruang yang memang tidak boleh ada intervensi. Tapi kalau dikaji di gedung DPR, pastilah. Kalau sekarang dikaji sekarang ya warnanya merah lah, dulu kuning. Maksud saya untuk membuat undang-undang ini, haruslah dibuat oleh ahli memang perundang-undangan yang mencoba melihat berbagai sudut pandang yang memang kalau perlu dikarantina untuk melihat pure-nya sebuah undang-undag norma itu bisa berlaku dengan baik. Tanpa dia harus mengatakan uji coba. Banyak sekarang undang-undang ditetapkan sebagai pasal dan sebagainya, tetapi nanti pelaksanaannya jadi masalah. Seperti UndangUndang Nomor 23 ini. Dia tidak pernah pikirkan bahwa pemerintah daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 yang sudah sering orgasme selama 10 tahun, tiba-tiba dilarang orgasme, pasti berontak. Kambing saja kalau mau orgasme tidak dapat betina, apalagi bupati. Ya, Pak? Kalau pertanyaannya Pak Yang Mulia Pak Wahiduddin Adams kenapa baru sekarang? Sebenarnya sudah lama, Pak. Tetapi pemerintah daerah takut sama surat edaran Menteri Dalam Negeri, yang mengatakan, “Bupati jangan mengeluarkan izin.” Dan surat Mendagri itu dikirim ke Kejaksaan Agung. Enggak ada bupati, Pak, mau takut sama Jaksa. Sehingga ya itulah undang-undang masih ada tapi tidak dipakai. Orang lebih patuh kepada surat edaran Menteri Dalam Negeri. Padahal surat edaran Mentri Dalam Negeri dalam hierarki norma, tidak ada dalam norma perundang-undangan. Tapi itulah faktanya, Pak. Yang saya katakan tadi apatis, masa bodoh. Diatur dalam undang-undang sektoralnya, tapi tidak digunakan karena takut pada surat edaran. Dan sekali lagi saya sangat sependapat dengan Yang Mulia Pak Wahiduddin bahwa mestinya pemerintah hadir mendengarkan kita di sini. Karena kalau kita menyampaikan lalu tidak didengar … ya saya kira kewajiban mendengar juga perlu ada ya dari pemerintah. Saya enggak tahu apakah ada peraturan Mahkamah Konstitusi itu bahwa ada kewajiban mendengar juga harus ada, ya. Ya? DPR enggak ada ya, Pak. DPR. Jadi saya kira ini hal yang penting. Tentu saya dari segi teori-teori yang kita pernah pelajari memang kita masih cari bentuk. Tetapi saya berpandangan bahwa sesungguhnya ada hukum asli kita bangsa Indonesia yaitu hukum adat. Kalau hukum adat itu dipakai tidak leluasa 46
itu penegak hukum masuk dalam kantor pemerintah. Karena pasti kalau ada hal-hal yang menyimpang, diselesaikan dengan bisik-bisik dan perlu dipanggil koran atau media untuk diekspos. Karena dalam agama mengungkap aib saudara adalah sama dengan mengungkap aib dirinya sendiri. Itulah yang dianggap kritis dan pengertian kritis adalah mengungkap aib orang lain. Terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb. 89.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, masih ada satu saja dari Yang Mulia Pak Patrialis.
90.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Ya, jadi setelah mendengarkan penjelasan Para Ahli terakhir ini, menurut saya ini lebih klir, lebih duduk masalahnya. Begitu saja. Terima kasih.
91.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, betul. Jadi, luar biasa memang ini. Ini tausiah dari dua pakar kita luar biasa, ya, sampai keluar istilah apa tadi … saya enggak usah ulang lagi. Baik, dari Pak Pemohon, ya, ini kelihatan sudah … ya, kalau bagai Majelis ya mungkin sudah cukup jelas, tapi terserah apa masih mau mengajukan ahli/saksi? Cukuplah?
92.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIII/2015: ANDIE H. MAKASSAU
NOMOR
136/PUU-
Ya, terima kasih, Yang Mulia. Dari Nomor 136 cukup untuk saksi fakta juga cukup. 93.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik.
94.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIII/2015: ANDIE H. MAKASSAU
NOMOR
136/PUU-
Pada gilirannya nanti kami akan membuat risalah kesimpulan. 95.
KETUA: ANWAR USMAN Kesimpulan. Baik. Sama ya 137?
47
96.
KUASA HUKUM PEMOHON XIII/2015: ANDI SYAFRANI
PERKARA
NOMOR
137/PUU-
Cukup, Yang Mulia. 97.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Saya tidak bermaksud membatasi haknya.
98.
KUASA HUKUM PEMOHON XIII/2015: ANDI SYAFRANI
PERKARA
NOMOR
137/PUU-
Ya. 99.
KETUA: ANWAR USMAN Dari Kuasa Presiden? Karena dari ini … Pemohon sudah cukup, sudah mau menyampaikan kesimpulan, ya terserah. Silakan. bagaimana?
100. PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS Terima kasih, Yang Mulia. Pemerintah tidak menghadirkan ahli. 101. KETUA: ANWAR USMAN Oh, ya. Berarti memang sudah cukup jelas juga tausiah dari Majelis tadi juga, pelaku sejarah tadi luar biasa. Termasuk dari Ahli tadi dengan kalimat terakhir tadi. Membuka aib orang itu, ya memang bukan hanya sekedar membuka aib diri sendiri, tapi memakan bangkai saudara, gitu. Luar biasa. Nah, ini Beliau sudah keluar hadisnya. Ini ustaz semua. Jadi, Prof. juga nih, setahu saya nih ustaz juga nih. Ya, alhamdulillah. Sama, Mas Rifqy juga ini malah ini saya dengar Calon Sekjen ISMI ini. Mudah-mudahan, amin. Tapi enggak tahu, mungkin sudah ya, sudah sekjen sekarang, ya? Oh, kepala … oh, ya, Kepala Biro Hukum ISMI, ya. Baik, kalau begitu karena persidangannya sudah selesai, maka kepada Para Pemohon dan Kuasa Presiden dipersilakan untuk menyampaikan kesimpulan, paling lambat hari Rabu, tanggal 4 Mei 2016, pukul 14.00 WIB. Termasuk tadi dari Ahli Mas Rifky dan Prof. Ya, kalau ada catatan tambahan untuk melengkapi tausiahnya, ya kami terima kasih. Dan sebelum sidang ini ditutup, sekali lagi Mahkamah menyampaikan terima kasih pada Para Ahli dan Saksi yang telah memberikan keterangan sehingga membuat terang dan jelas perkara ini sebelum Mahkamah mengambil keputusan.
48
Dengan demikian, sidang selesai dan selanjutnya ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 16.35 WIB Jakarta, 29 April 2016 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
49