MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 33/PUU-XIII/2015 PERKARA NOMOR 34/PUU-XIII/2015 PERKARA NOMOR 37/PUU-XIII/2015 PERKARA NOMOR 38/PUU-XIII/2015
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN PRESIDEN DAN DPR (III)
JAKARTA RABU, 22 APRIL 2015
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 33/PUU-XIII/2015 PERKARA NOMOR 34/PUU-XIII/2015 PERKARA NOMOR 37/PUU-XIII/2015 PERKARA NOMOR 38/PUU-XIII/2015 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang [Pasal 1 angka 6 serta Pasal 7 huruf r dan huruf s], [Pasal 1 angka 6 serta Pasal 7 huruf r], [Pasal 7 huruf r dan penjelesan Pasal 7 huruf r], dan [Pasal 7 huruf s] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON PERKARA NOMOR 33/PUU-XIII/2015 1.
Adnan Purichta Ichsan
PEMOHON PERKARA NOMOR 34/PUU-XIII/2015 1.
Aji Sumarno
PEMOHON PERKARA NOMOR 37/PUU-XIII/2015 1.
Lanosin bin Hamzah
PEMOHON PERKARA NOMOR 38/PUU-XIII/2015 1.
Ali Nurdin
ACARA Mendengarkan Keterangan Presiden dan DPR (III) Rabu, 22 April 2015 Pukul 14.02 – 15.35 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Arief Hidayat Anwar Usman Aswanto I Dewa Gede Palguna Maria Farida Indrati Patrialis Akbar Suhartoyo Wahiduddin Adams
Rizki Amalia Sunardi Yunita Rhamadani Mardian Wibowo
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti Panitera Pengganti Panitera Pengganti Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 33/PUU-XIII/2015: 1. Heru Widodo 2. Aan Sukirman 3. Dhimas Pradana 4. Supriyadi Adi B. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 34/PUU-XIII/2015: 1. Mappinawang 2. Sofyan Sinte C. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 37, 38/PUU-XIII/2015: 1. Andi Syafrani 2. MA Fernandez 3. Yupen Hadi D. Pemerintah: 1. Budijono 2. Tri Rahmanto 3. Saiful Bahri 4. Zudan Arif Fakhrulloh E. DPR: 1. Didik Mukrianto 2. Dahlia Bahnan 3. Irna Gusvita F. Kuasa Hukum Pihak Terkait Perkara Nomor 33/PUU-XIII/2015: 1. Andi Muhammad Asrun 2. Vivi Ayunita Kusumandari 3. Al Latifa Fadia
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 14.02 WIB 1.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Sidang dalam Perkara Nomor 33/PUU-XIII/2015, 34/PUUXIII/2015, 37/PUU-XIII/2015, dan 38/PUU-XIII/2015 dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Saya cek kehadirannya dulu. Pemohon Perkara Nomor 33/PUUXIII/2015?
2.
KUASA HUKUM PEMOHON 33/PUU-XIII/2015: HERU WIDODO Hadir, Yang Mulia, Kuasanya.
3.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih. Perkara Nomor 34/PUU-XIII/2015?
4.
KUASA HUKUM PEMOHON 34/PUU-XIII/2015: MAPPINAWANG Hadir, Yang Mulia. Dua orang Kuasa.
5.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih. Perkara Nomor 37/PUU-XIII/2015?
6.
KUASA HUKUM SYAFRANI
PEMOHON
37,
38/PUU-XIII/2015:
ANDI
Hadir, Yang Mulia. Nomor 37/PUU-XIII/2015, Nomor 38/PUUXIII/2015. 7.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih. XIII/2015, ya?
8.
KUASA HUKUM SYAFRANI
Nomor
PEMOHON
37/PUU-XIII/2015, 37,
Nomor
38/PUU-XIII/2015:
38/PUUANDI
Ya, Yang Mulia.
1
9.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Kemudian, DPR?
10.
DPR: DIDIK MUKRIANTO Terima kasih, Yang Mulia. DPR hadir, Didik Mukrianto dan didampingi dua staf kesejkenan Dahlia Bahnan dan Irna Gusvita, Yang Mulia. Terima kasih.
11.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Pak Didik. Dari Pemerintah yang mewakili presiden yang hadir siapa?
12.
PEMERINTAH: BUDIJONO Terima kasih, Yang Mulia. Dari Pemerintah hadir, saya Budijono dari Kementerian Hukum dan HAM. Selanjutnya, Bapak Saiful Bahri dari Kementerian Dalam Negeri. Ya, selanjutnya Bapak Prof. Dr. … Prof. Zudan yang sekaligus akan membacakan keterangan Bapak Presiden. Di belakang juga ada dari Kementerian Dalam Negeri. Terima kasih, Yang Mulia.
13.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Terima kasih, Pak Budi. Kemudian ada Pihak Terkait dalam Perkara Nomor 33/PUUXIII/2015. Saya persilakan.
14.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: AL LATIFA (…)
15.
Kami dari Pihak Terkait dalam Perkara Nomor 33/PUU-XIII/2015
KETUA: ARIEF HIDAYAT Itu tolong dinyalakan itu! Belum … mati lagi. Ya, sudah hidup. Jangan dipencet-pencet lagi.
16.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: AL LATIFA Terima kasih, Yang Mulia. Kami dari Pihak Terkait dalam Perkara Nomor 33/PUU-XIII/2015. Kami mewakili T.R. Keumangan, S.H., M.H. Saya Al Latifa Fadia. Sebelah kanan saya, Vivi Ayunita Kusumandari. 2
Sebalah kanan saya, Pak Andi Muhammad Asrun. Terima kasih, Yang Mulia. 17.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Teirma kasih. Ini perkara ini kita gabung karena objeknya sama meskipun persoalan isu konstitusionalitasnya beda-beda, tapi karena objeknya sama, maka kita gabung dalam rangka untuk efisiensi dan efektivitas persidangan di Mahkamah. Para pihak, agenda kita pada siang … sore hari ini adalah mendengarkan keterangan yang akan disampaikan oleh DPR dan Presiden yang juga sudah hadir, maka kesempatan yang pertama saya persilakan DPR Pak Didik untuk menyampaikan keterangannya terlebih dahulu.
18.
DPR: DIDIK MUKRIANTO Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang dan salam sejahtera untuk kita semuanya. Yang kami muliakan, Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia beserta segenap Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Yang kami hormati, Wakil dari Pemerintah, Pemohon, dan Pihak Terkait. Izinkanlah kami segenap Pimpinan Komisi III dan beberapa Anggota Komisi III, termasuk saya Didik Mukrianto berdasarkan Keputusan Pimpinan DPR RI Nomor 341/P … 341/Pim/I/2014-2015 dalam hal ini baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak untuk sama … untuk dan atas nama DPR RI untuk memberikan keterangan terkait dengan permohonan uji material atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilu … Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang atas permohonan dari Adnan Purichta Ichsan , S.H. yang diwakili oleh Kuasa Hukumnya yaitu Heru Widodo, S.H., M.Hum., dan kawan-kawan dalam Perkara Nomor 33/PUUXIII/2015. Pemohon Aji Sumarno, S.I., P.M.M. yang diwakili Kuasa Hukumnya yaitu Mappinawang, S.H. dan kawan-kawan dalam Perkara Nomor 34/PUU-XIII/2015. Kemudian, Pemohon Lanosin, S.T. bin H. Hamzah yang diwakili oleh Kuasa Hukumnya yaitu Andi Syafrani, S.H., M.CCL, dan kawankawan dalam Perkara Nomor 37/PUU-XIII/2015 dan terakhir Pemohon dari Dr. Ali Nurdin, M.Si. yang diwakili oleh Kuasa Hukumnya yaitu Yupen
3
Hadi, S.H. dan kawan-kawan dalam Perkara Nomor 38/PUU-XIII/2015 yang diaj … 2015. Terkait dengan hal tersebut di atas, perkenankanlah kami dari DPR RI menyampaikan keterangan-keterangan sebagai berikut. Mengenai kedudukan hukum atau legal standing Pemohon pada prinsipnya DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis Hakim Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum atau tidak, sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Tentang Pengujian atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 DPR RI memberikan keterangan sebagai berikut. 1. Bahwa Pemohon dalam Perkara 33/PUU-XIII/2015 menyatakan bahwa Pasal 1 angka 6 tentang Perubahan Pasal 7 huruf r dan huruf s Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 telah merugikan hak konstitusionalnya dan bersifat diskriminatif kepadanya. Pemohon beranggapan demikian karena di dalam permohonannya mengakui bahwa dirinya mempunyai ayah yang menjabat sebagai Bupati Gowa, sehingga dapat dikatakan juga Pemohon adalah anak dari seorang pejabat petahana, sehingga merasa hak konstitusional dirugikan dengan berlakunya pasal a quo. Pemohon dalam permohonannya juga merasa telah diberlakukan secara diskriminatif dalam keberlakuan Pasal 1 angka 6 tentang Perubahan Pasal 7 huruf r dan huruf s Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, sehingga menurut Pemohon pasal a quo bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai tambahan untuk memperkuat permohonannya, Pemohon juga menyatakan bahwa pasal a quo juga bertentangan dengan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia atau Undang-Undang HAM sebagaimana penjabarannya dalam Pasal 27 dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Adapun Pasal 1 angka 3 Undang-Undang HAM menyatakan diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan kepada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dalam kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Pemohon juga mengakui bahwa dalam Pasal 28G Undang-Undang Dasar 1945 diatur mengenai pembatasan yang menyatakan bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam 4
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Pembatasan tersebut menurut Pemohon semata-mata dilakukan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil dengan mempertimbangkan 4 hal yaitu moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Bahwa Pemohon dalam perkara a quo memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia untuk menyatakan bahwa Pasal 1 angka 6 tentang Perubahan Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya karena telah merugikan hak konstitusionalnya, dan bersifat diskriminatif kepadanya. Adapun pasal a quo adalah pasal yang telah ada sejak keberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, atau Undang-Undang Pilkada sebelumnya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015. Terhadap pendapat Pemohon sebagaimana diuraikan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. Ketentuan Pasal 1 angka 6 tentang Perubahan Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 muncul dari usulan Pemerintah sebagaimana revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang melahirkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 sejak awal adalah usulan dari Pemerintah. Semangat dari norma ini adalah untuk membatasi terjadinya dinasti politik yang selama ini marak terjadi di negeri kita. Dinasti politik dapat dipahami sebagai strategi politik untuk tetap menjaga kekuasaan dengan cara mewariskan kekuasaan yang telah digenggam kepada orang lain yang masih merupakan kalangan sanak keluarga dan kutipan ini didasarkan kepada Wasisto Raharjo Jati, Revivalisme Kekuatan Familisme dalam Demokrasi: Dinasti Politik di Aras Lokal. Berbagai gejala yang mendasari terbentuknya suatu dinasti dapat dianalisa dari dua hal. Pertama, macetnya kaderisasi politik dalam menjaring calon kepala daerah yang berkualitas, sehingga menciptakan pragmatisme politik dengan mendorong kalangan sanak keluarga kepala daerah untuk menjadi pejabat publik. Kedua, konteks masyarakat yang menjaga adanya kondisi status quo di daerahnya yang menginginkan kepala daerah untuk berkuasa dengan cara mendorong kalangan keluarga atau orang dekat kepala 5
daerah menggantikan petahana. Bahwa petahana atau incumbent dalam kaitannya dengan permohonan Perkara Nomor 33/PUU-XIII/2015 adalah H. Ichsan Yasin Limpo, S.H., M.H., selaku Bupati Kabupaten Gowa yang telah menjabat selama dua periode masa jabatan mulai dari tahun 2005 hingga saat ini. Hubungan Pemohon sebagai anak kandung dari petahana adalah tidak memenuhi persyaratan calon sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 6 tentang perubahan Pasal 7 huruf r UndangUndang Nomor 8 Tahun 2015 karena Pemohon memiliki konflik kepentingan dengan petahana yaitu memiliki hubungan garis keturunan satu tingkat lurus ke bawah yaitu sebagai anak dari petahana. Adapun pasal ini tidaklah menghilangkan hak konstitusi maupun bersifat diskriminatif terhadap Pemohon karena jika dicermati terhadap jawaban dalam penggalan akhir dari Pasal 1 angka 6 tentang Perubahan Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang berbunyi, “Kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan.” Maksud dari penggalan kalimat tersebut adalah tidak menutup hak secara keseluruhan bagi kerabat petahana, tetapi diberikan jeda satu periode pemerintahan saja, sehingga pada periode berikutnya kerabat petahana tersebut boleh ikut dalam mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah. Jeda satu periode juga dimaksudkan agar kerabat petahana yang mencalonkan tidak mendapatkan keuntungan, baik langsung maupun tidak langsung dari petahana yang masih menjabat pada periode masa jabatan tersebut. Selain itu, Pasal 1 angka 6 tentang Perubahan Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 juga memiliki arti bahwa kerabat petahana boleh saja maju di daerah lain dimana petahana di daerah tersebut bukanlah merupakan keluarga mereka. Berdasarkan uraian di atas, DPR berpendapat. Tidak benar permohonan Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 1 angka 6 tentang Perubahan Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sehingga merugikan hak konstitusionalnya dan bersifat diskriminatif. Dalil Pemohon yang mempertentangkan Pasal 1 angka 6 tentang Perubahan Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 dengan Pasal 28J Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah tidak tepat karena justru pasal a quo bertujuan menghindarkan adanya pihak yang diuntungkan, baik langsung maupun tidak langsung dalam pilkada karena memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan, dan/atau garis keturunan dengan petahana. Hal ini sesuai dengan suatu prinsip hukum dan keadilan yang dianut secara universal yang menyatakan tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran
6
yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain. Pengaturan mengenai dinasti politik dalam Undang-Undang Pilkada justru adalah langkah progresif yang positif karena UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 pengaturan ini belumlah ada, sehingga terjadi dinasti politik di berbagai daerah. Sebagaimana adagium terkenal dari Lord Acton bahwa power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely. Bahwa berkaitan dengan pengujian Pasal 1 angka 6 tentang Perubahan Pasal 7 huruf s Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, DPR memberikan keterangan sebagai berikut. Bahwa yang dipersoalkan dari Para Pemohon pada ketentuan Pasal 1 angka 6 tentang Perubahan Pasal 7 huruf s Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 adalah kenapa pada calon yang berasal dari Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan pegawai negeri sipil harus mengundurkan diri sejak ditetapkannya sebagai calon? Begitu pula bagi calon yang menjabat pada Badan Usana Milik Negara atau Badan Usana Milik Daerah harus berhenti sejak ditetapkan sebagai calon, sedangkan pada calon yang menjabat sebagai Anggota DPR, Anggota DPD, maupun DPRD cukup memberitahukan pencalonannya masing-masing kepada Pimpinan DPR, Pimpinan DPD, dan Pimpinan DPRD, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 6 tentang Perubahan Pasal 7 huruf s Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang menyatakan bahwa warga negara Indonesia yang dapat menjadi calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon walikota dan calon wakil walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut. Memberitahukan pencalonannya sebagai gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi Anggota DPR, kepada Pimpinan DPD bagi Anggota DPD, atau kepada DPRD bagi Anggota DPRD. Bahwa terhadap yang dipersoalkan oleh Pemohon, DPR berpendapat bahwa ketiga syarat pencalonan, yakni huruf s, huruf t, dan huruf i … huruf u ini, memang dibedakan dengan alasan posisi calon yang berasal dari Anggota DPR, Anggota DPD, maupun DPRD berbeda dengan posisi calon yang berasal dari TNI dan Kepolisian Republik Indonesia, serta pegawai negeri sipil. Hal yang sama juga berbeda untuk calon yang memiliki jabatan pada BUMN atau BUMD. Alasan pembedaannya adalah dikarenakan jabatan Anggota DPR, Anggota DPD, maupun DPRD adalah jabatan politik yang diperoleh melalui proses pemilihan umum secara langsung oleh rakyat, sehingga mekanisme pengunduran dirinya pun harus disebabkan oleh alasanalasan yang bersifat khusus, sedangkan jabatan TNI, Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai negeri sipil, Pejabat BUMN, atau BUMD
7
adalah jabatan profesi yang sifatnya profesional dan merupakan pilihan karier. Pilkada juga merupakan suatu aktivitas dari proses demokrasi yang tidak terlepas dari penyelenggaraan pemilu karena pilkada memiliki output yakni pejabat politik bukan memilih pejabat administratif. Oleh karenanya, tidak bisa dipersamakan tanpa pembedaan antara calon yang berasal dari Anggota DPR, Anggota DPD, maupun DPRD dengan calon yang berasal dari TNI, Kepolisian Negara Republik Indonesia, PNS, Pejabat BUMN, atau BUMD, sehingga tidak relevan, Pemohon dalam perkara a quo memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia untuk menyatakan bahwa Pasal 1 angka 6 tentang Perubahan Pasal 7 huruf s Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Anggota DPR, Anggota DPRD, maupun DPD sejak ditetapkan sebagai calon. Demikian, keterangan DPR RI ini kami sampaikan sebagai bahan pertimbangan Majelis Hakim Yang Mulia untuk mengambil keputusan. Dan tanpa mengurangi rasa hormat kami kepada Majelis Hakim Yang Mulia, Wakil Pemerintah, Pemohon, dan Pihak Terkait, dengan seizin Majelis Hakim Yang Mulia, kami memohon izin untuk meninggalkan ruangan ini setelah membacakan ini karena memang masih ada agenda di DPR yang harus kami lanjutkan. Dengan, kami sampaikan. Akhirulkalam, billahi taufik wal hidayah, wassalamualaikum wr. wb. 19.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Terima kasih, Pak Didik yang telah memberikan keterangan mewakili DPR. Keterangan tertulis kalau sudah siap bisa diserahkan ke Majelis, ya. Sebelum meninggalkan tempat, ada beberapa hal yang mungkin akan disampaikan oleh Hakim, tapi bisa saja nanti dijawab secara tertulis, tapi mohon untuk bisa dicatat terlebih dahulu, sebelum meninggalkan. Barang lima menit, begitu. Kami mohon untuk bisa bersedia untuk mendengarkan … ada? Saya persilakan, Yang Mulia.
20.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Terima kasih, Yang Mulia Pak Ketua. Pak Didik Mukrianto yang mewakili DPR, tadi sudah dijelaskan, terutama yang berkenaan dengan Pasal 7 huruf r dan penjelasannya tentang masalah pertahanan mengenai kepala daerah. Saya ingin pendapat DPR, juga berkaitan dengan pertahanan ini, bagaimana pendapat DPR tentang calon Presiden? Kan kalau memang 8
kepala daerah dibatasi pertahanan, calon Presiden bagaimana? Itu saja, Pak Didik. Terima kasih. 21.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Yang Mulia yang lain? Cukup? Ya, baik. Pak Didik bisa dijawab secara tertulis, silakan.
22.
DPR: DIDIK MUKRIANTO Baik, Yang Mulia. Terima kasih. ini pertanyaannya cukup menarik dan menggelitik dan insya Allah akan kami kaji secara komprehensif dan utuh dan akan kami sampaikan kepada Majelis Hakim, Yang Mulia. Secara tertulis. Demikian, Yang Mulia. Terima kasih.
23.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih, Pak Didik. Saya persilakan kalau ada acara untuk meninggalkan persidangan ini. Sekali lagi, terima kasih. Berikutnya, saya persilakan dari Pemerintah siapa yang akan membacakan? Baik, Prof. Silakan.
24.
PEMERINTAH: ZUDAN ARIF FAKRULLAH Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum wr. wb. Yang Mulia Ketua dan anggota Majelis Mahkamah Konstitusi. Izinkanlah saya untuk membacakan keterangan Presiden atas permohonan pengujian UndangUndang Nomor 8 Tahun 2015 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada kesempatan yang berbahagia ini, izinkanlah saya untuk membacakan ini, yang bertanda tangan di bawah ini, Cahyo Kumolo, Menteri Dalam Negeri. Yasonna H Laoly, Menteri Hukum dan HAM. Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Presiden Republik Indonesia, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri yang selanjutnya disebut Pemerintah, untuk menyampaikan keterangan, baik lisan maupun tertulis yang merupakan satu kesatuan utuh dan tidak terpisahkan atas permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. Yang dimohonkan oleh Heru Widodo, pada Perkara Nomor 33/PUU-XIII/2015 sebagai Kuasa Hukum Adnan Purichta Ichsan, Mappiwanang. Dalam Perkara Nomor 34/PUU-XIII/2015 yang di … selaku Kuasa Hukum Aji Sumarno, Andi Syafriani. Perkara Nomor 37/PUU-XIII/2015 selaku Kuasa Hukum Lanosin dan Yupen Hadi. Pada Perkara 38/PUU-XIII/2015 selaku Kuasa Hukum Dr. Ali Nurdin.
9
Pokok permohonan dari Para Pemohon adalah adanya diskriminasi yang dinormakan … yang dimunculkan dalam norma pada Pasal 7 huruf r dan Pasal 7 huruf s. terkait dengan permohonan para Pemohon ini mengenai legal standing Para Pemohon, Pemerintah menyerahkan kepada Yang Mulia Mahkamah untuk menilai apakah memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 51 atau tidak. Terhadap seluruh permohonan Pemohon, izinkanlah Pemerintah menyampaikan beberapa pertimbangan-pertimbangan dan diskusidiskusi pada saat merumuskan norma-norma dimaksud. Pertama. Bahwa pilkada merupakan salah satu pilar demokrasi sebagai perwujudan kedaulatan rakyat, guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis untuk memilih pimpinan daerah yang kapabel, legitimate, dan akseptabel, sehingga diharapkan dapat terwujudnya pemerintahan yang mendapatkan dukungan yang kuat dari rakyat, mampu mentransformasikan pemikiran dan ide menjadi programprogram pemerintahan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat dan dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, diperlukan upaya dari seluruh komponen bangsa untuk menjaga kualitas pilkada agar dapat menjadi pilkada yang subtantif dan berintergritas tinggi. Arah politik hukum pilkada di atas hanya dapat diwujudkan oleh seluruh pemangku kepentingan dan seluruh komponen bangsa apabila saling memahami dan mendukung agar pelaksanaan pilkada sesuai aturan perundangundangan dan menghormati hak-hak politik setiap warga negara, sehingga kita menyadari upaya memperbaiki kualitas pelaksanaan pilkada, sehingga hasil-hasilnya berkualitas merupakan bagian dari proses penguatan demokrasi serta mewujudkan tata pemerintahan yang lebih efektif dan efisien. Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi, sebagaimana kita ketahui tahun ini akan dilaksanakan pilkada langsung dan serentak pada tanggal 9 Desember pada 269 daerah otonom. Hal ini merupakan sebuah peristiwa hukum yang besar dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Pemerintah menyadari bahwa kita harus menata kembali mekanismenya, membenahi regulasinya, dan membangun integritas dan perilaku penyelenggaraan pilkada partai politik dan pasangan calon agar pilkada dapat terselenggara tidak hanya dari aspek prosedural, tetapi jauh lebih dalam dari itu adalah membangun pilkada yang lebih substantif, berintegritas, aman, lancar, dan terpilih kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mampu mensejahterakan rakyatnya dan memajukan daerahnya. Ketentuan yang ada dalam undang-undang a quo merupakan komitmen politik untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan dan kualitas hasil pilkada. Tentu saja hal ini merupakan penjabaran dari Pasal
10
18 ayat (4) yang mengatur mengenai penyelenggaraan pilkada secara demokratis. Bagi Pemerintah, norma yang menjadi objek permohonan a quo merupakan salah satu jalan keluar yang dipilih oleh pembentuk undangundang untuk menjawab berbagai masalah yang selama ini terjadi dan menyebabkan masalah-masalah lain dalam pilkada, sehingga pilkada tersebut tidak berlangsung secara fairness. Politik dinasti dan petahana, Pemerintah mengakui memang sejak pembahasan merupakan salah satu isu krusial yang memerlukan diskusi cukup lama. Politik dinasti ini tidak dapat dipisahkan dari konsep petahana. Memang di dalam Undang-Undang Nomor 8 tidak diberikan ketentuan umum tentang apa yang dimaksud dengan petahana. Oleh karena itu, izinkanlah saya menjelaskan original inten atau maksud asli dari pembentuk undang-undang bahwa petahana adalah pejabat yang sedang menduduki jabatan pada saat tahapan pilkada sedang berlangsung. Perlu kita ketahui bersama bahwa tahapan pilkada dalam kondisi normal mulai dilaksanakan kurang lebih 6 bulan sebelum habis masa jabatan kepala daerah. Dalam kondisi normal, tahapan pilkada tersebut berlangsung ketika kondi … ketika jabatan kepala daerah itu belum habis. Berbeda dengan tahapan dalam pilkada serentak ini yang mana ada yang dimundurkan tahapannya dan ada yang dimajukan dari jadwal yang seharusnya. Ketika harus dimajukan atau harus dimundurkan, maka perlu diangkat pejabat kepala daerah. Kalau kita lihat dari aspek konsepsi, sesungguhnya petahana merupakan istilah yang pada mulanya muncul dalam pemilihan umum presiden yang ditujukan untuk menggambarkan kontestan yang tengah memegang jabatan politik dan mencalonkan diri kembali dalam pemilihan yang sedang berlangsung, baik untuk mempertahankan jabatannya ataupun untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi. Terkait dengan politik dinasti, beberapa pertimbangan yang diajukan oleh Pemerintah pada saat pembahasan di DPR antara lain. 1. Bahwa politik dinasti ini diatur sedemikian rupa karena petahan mempunyai akses terhadap kebijakan dan akses terhadap alokasi anggaran, sehingga dapat memberikan keuntungan pribadi untuk memenangkan pemilihan kepala daerah atau memenangkan kelompok-kelompoknya. Dalam praktik, hal yang paling banyak dilakukan oleh petahana adalah memperbesar dana hibah, dana bantuan sosial, program kegiatan yang diarahkan ke dalam upaya memenangkan salah satu pasangan calon. 2. Petahana secara alamiah memiliki berbagai fasilitas dan tunjangan yang melekat kepada dirinya, sehingga untuk melaksanakan tugas dan fungsinya, fasilitas dan tunjangan itu melekat terus-menerus, sehingga dalam banyak hal kita sering melihat ada banyak spanduk yang menuliskan program-program dan menuliskan kegiatan-
11
kegiatan yang di dalamnya ada gambar incumbent atau nama incumbent yang terkait dengan pemilihan pada saat itu. 3. Karena sedang menjabat, maka petahana memiliki keunggulan terhadap program-program, terhadap kegiatan-kegiatan yang seluruhnya atau sebagian dapat diarahkan untuk memenangkan dirinya atau memenangkan dinastinya. 4. Yang banyak pula terkait dengan netralitas PNS, maka petahana mempunyai akses yang lebih besar untuk memobilisasi PNS untuk memberikan dukungan yang menguntungkan kepada dirinya. Oleh karena itu, di dalam Undang-Undang Pilkada ada pengaturan petahana dilarang untuk memutasi pegawai 6 bulan sebelum habis masa jabatan dan kepala daerah yang terpilih dilarang memutasi PNS enam bulan setelah … dalam jangka waktu enam bulan setelah dilantik ini dalam rangka untuk menjaga agar birokrasi tetap terjaga. Yang perlu pula Pemerintah sampaikan adalah di dalam relasi di masyarakat, kedudukan antara keluarga petahana dengan kedudukan calon yang lain tidaklah berada dalam kondisi yang equal. Kedudukan petahana dipandang memiliki akses dan sumber daya yang lebih tinggi terhadap keadaan atau potensi yang dimiliki negara dan potensi yang dimiliki oleh swasta karena kedudukannya, maka petahana beserta keluarganya dapat memperoleh keuntungan yang lebih, baik dari aspek fasilitas maupun dukungan dari kelompok-kelompok yang saya sebutkan tadi, baik dari institusi negara maupun swasta walaupun secara hukum hal ini kadang-kadang sulit untuk dibuktikan. Ketentuan untuk menjalankan atau melaksanakan pilkada secara fairness inilah yang mendorong Pemerintah untuk mengatur ketentuan Pasal 7 huruf r agar kontestasi politik berjalan secara equal. Agar bisa berjalan equal, maka diaturlah dengan ketentuan satu periode berikutnya baru boleh untuk mengajukan diri di dalam pilkada di wilayah yang sama. Sesungguhnya, Yang Mulia, apabila sistem pengawasan Bawaslu, sistem pengawasan inspektorat, sisten pengawasan BPKP sudah bisa berjalan dengan baik, pembatasan-pembatasan terhadap hak-hak politik ini sesungguhnya tidak perlu dilakukan. Namun dalam fenomena politik dan kondisi sosiologis, Pemerintah melihat untuk membangun fairness di dalam pelaksanaan pilkada ketika sistem pengawasan belum bisa berjalan optimal, inilah the second base policy yang ditempuh oleh pemerintah agar ke depan kontestasi politik ini berjalan secara fair. Ada satu hasil survei yang menarik yang dilakukan oleh IFES dan lembaga survei Indonesia terhadap dinasti politik, masyarakat memberikan respons 64% masyarakat menyatakan politik dinasti berdampak negatif, 9% menyatakan berdampak positif, 7% menyatakan tidak berdampak, dan 38% menjawab tidak tahu. Upaya yang dilakukan Pemerintah dengan merumuskan norma Pasal 7 huruf r semata-mata untuk upaya memutus mata rantai dinasti 12
politik, tindakan koruptif, dan tindakan penyalahgunaan wewenang. Namun hal ini disadari oleh Pemerintah bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan karena banyak sekali upaya-upaya yang ingin tetap melestarikan politik dinasti dan upaya-upaya untuk melaksanakan pilkada tidak dalam keadaan yang fairness. Kemudian terhadap ketentuan Pasal 7 huruf s, perkenankanlah Pemerintah menyampaikan mengapa pertimbangannya dilakukan perbedaan sebagaimana antara PNS, TNI, POLRI, dan pegawai di BMUN, BUMD dengan anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pertimbangan yang pertama untuk jabatan-jabatan di PNS, TNI, POLRI, BUMN, dan BUMD tidak ada jangka waktunya, tidak ada ditulis secara eksplisit masa jabatan PNS itu berapa tahun TNI, POLRI itu berapa tahun, tetapi untuk masa jabatan DPR, DPD, dan DPRD adalah lima tahun. Pemerintah menghormati masa jabatan yang sudah dirumuskan secara normatif di dalam undang-undangnya. Yang kedua, sifat pekerjaan DPR, DPD, dan DPRD adalah kolektif kolegial, sehingga ketika ditinggal oleh salah satu anggotanya, sistem besarnya tidak terganggu. Hal ini berbeda dengan posisi PNS, TNI, dan POLRI yang jabatannya terikat dengan pelaksanaan jabatan dan tugas secara individual apabila ditinggal pasti untuk sementara waktu akan terjadi persoalan di dalam institusinya. Inilah benang merah yang dapat kami sampaikan. Namun demikian dalam aspek kesetaraan dan keadilan memang kita perlu mempertimbangkan agar aspek fairness antara PNS, TNI, POLRI, dengan anggota DPR, DPD, dan DPRD dapat berjalan sebagaimana yang seharusnya equality-nya dapat terwujud. Oleh karena itu, kami mohon Ketua dan Majelis Mahkamah Konstitusi dapat mempertimbangkan kembali apakah norma ini sudah sesuai dengan konstitusi ataukah konstitusional bersyarat. Kesimpulan. Berdasarkan seluruh keterangan yang kami sampaikan tadi, kami mohon Yang Mulia Ketua dan Hakim Majelis Mahkamah Konstitusi untuk dapat memberikan putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya. Atas perhatian Yang Mulia Ketua dan Anggota Mahkamah Konstitusi, kami ucapkan terima kasih. Wabillahi taufik wal hidayah, wassalamualaikum wr. wb. 25.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih Prof. Zudan. Dari meja Hakim, ada yang ... Pak Patrialis, Yang Mulia. Silakan.
26.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Terima kasih, Pak Ketua. Yang Mulia. Prof. Zudan, mewakili Presiden, ada beberapa hal yang melatarbelakangi kebijakan ini diambil, 13
sudah disampaikan tadi. Tentu latar belakang itu tidak bisa dilepaskan sama sekali dari pengalaman, kenyataan-kenyataan yang kita alami. Saya ingin mengetahui data dari Pemerintahan sampai pada kesimpulan tadi. Pertama, berapa jumlah calon kepala daerah yang ada hubungannya dengan petahana per periode? Kita juga belum lama ya, melakukan pilkada langsung ini, berapa jumlahnya yang ada kaitannya dengan petahana? Kemudian yang kedua, dari yang ada relasinya dengan petahana, seperti yang dirumuskan oleh undang-undang, berapa persentasenya atau jumlahnya yang sukses menjadi kepala daerah dan juga berapa yang gagal menjadi kepala daerah, padahal dia juga adalah petahana? Bahkan juga ada kepala daerah yang masih menjabat. Jadi, tidak ada kaitan dengan petahana, tapi berkaitan dengan dirinya sendiri, maksud saya tadi tidak ada kaitan keluarga, tapi berkaitan dengan petahana itu sendiri, berapa jumlahnya yang sukses dan berapa yang gagal? Karena kita tahu tidak sedikit juga petahana yang gagal, jangankan keluarganya dia sendiri juga gagal, kan juga ada seperti itu. Data ini sangat penting. Kenapa presiden bisa pada kesimpulan seperti yang disampaikan tadi. Itu satu. Yang kedua. Terakhir berkenaan dengan masalah TNI, PNS, Polri, dan juga berkaitan dengan anggota DPR, anggota DPRD, dan anggota DPD. Saya ingin memisahkan lembaga ini dalam dua pertanyaan. Pertama, berkaitan dengan TNI, Polri, dan PNS. Tadi Pemerintah mengatakan itu harus dilihat dari perspektif fairness, tetapi juga dikatakan ada perpektif keadilan. Nah, ini saya ingin pendalaman yang dimaksudkan oleh statement terakhir dari Pemerintah itu, apa maksudnya? Apakah perspektif keadilan mesti kita korbankan dengan mengutamakan perspektif fairness? Yang ketiga yang berkaitan dengan anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD yang sama-sama punya term masa tugas 5 tahun. Tadi juga berkaitan dengan masa tugas 5 tahun, kenapa anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD tidak harus mundur? Tidak dibatasi juga posisi mereka ya, jadi banyak juga yang berspekulasi, padahal jelas itu juga akan mengganggu kinerja yang bersangkutan. Paling tidak, pada saat yang bersangkutan harus mempersiapkan diri dan berkampanye habis-habisan, pasti itu menganggu kinerja. Apakah hal ini bisa ditoleransi? Saya minta fairness dari Pemerintah untuk melakukan penilaian itu, juga jadi fairness itu bukan hanya kepada petahana, tetapi juga kepada lembaga-lembaga yang memiliki peran mewakili rakyat, toh mereka mewakili rakyat, mewakili daerah kan, juga tidak sedikit biayanya, korbannya, juga persoalan-persoalan politik yang berjalan di negara kita ini, jadi fairness yang mana yang dimaksudkan? Jadi kalau kita ingin bicara harus tuntas. 14
Jadi, kami ingin Pemerintah memberikan jawaban yang tegas. Saya kira mungkin tertulis saja karena ini agak panjang. Terima kasih, Yang Mulia. 27.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Yang Mulia. Ada lagi dari Prof. Aswanto, kemudian yang terakhir dari Pak Palguna. Silakan, Yang Mulia.
28.
HAKIM ANGGOTA: ASWANTO Terima kasih, Ketua. Yang mewakili presiden, ada poin yang penting menurut saya yang dikemukakan tadi adalah persoalan equal. Di samping itu berdasarkan pemaparan tadi ya, mudah-mudahan saya tidak salah tangkap, tapi yang saya tangkap itu bahwa sebenarnya pembatasan-pembatasan ini, itu sifatnya sementara saja. Artinya ketika lembaga-lembaga yang diberi tugas atau kewajiban untuk melakukan pengawasan sudah berjalan dengan baik, mestinya tidak perlu lagi pengawasan itu. Artinya lebih lanjut bahwa sebenarnya prinsip melakukan pembatasan itu tidak bersifat … apa ... berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi oleh lembaga-lembaga tadi. Nah, kalau bisa ini bisa ... kalau bisa ya, saya kira terserah mau dijawab langsung atau tertulis. Kalau bisa ini di … apa ... coba dielaborasi, sehingga kita bisa meyakini bahwa memang dengan adanya petahana itu bisa terjadi hal yang tidak equal karena kalau kita melihat bahwa sebenarnya ini bukan kesalahannya ... kesalahannya petahana, ini kan karena lembaga-lembaga yang ditugasi untuk bekerja melakukan pengawasan tidak maksimal, lalu kemudian ada yang menjadi korban, yang menjadi korban adalah keluarganya petahana, gitu. Nah, apakah tidak justru sebaliknya bahwa di situ justru terjadi hal yang tidak equal, ya. Terserah Pak ... Prof, dijawab sekarang atau dijawab tertulis. Kita serahkan sepenuhnya ke Prof. Terima kasih, Yang Mulia.
29.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih. Saya persilakan, Yang Mulia Pak Palguna.
30.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Ya, cuma satu permintaan saja, Yang Mulia Pak Ketua. Prof. Zudan, kami minta ... saya kira hasil kajian dari pemerintah pasti ada hasil studi perbandingan karena kalau tidak salah ada satu studi juga, rata-rata dari negara-negara yang sedang mengalami proses transisi demokrasi begini itu pasti akan menghadapi hal-hal seperti ini. Apakah 15
sekiranya nanti ini, mohon kalau ada hasil studi itu dilampirkan bersama dengan keterangan Pemerintah gitu, ya karena ... karena kita misalnya baik, baik negara yang proses demokrasinya baru menjadi gitu ya, dalam proses menjadi, maupun yang sudah mapan. Misalnya kalau di Amerika Serikat kenapa dinasti Kennedy tidak menjadi persoalan misalnya, bahkan ada jadi jaksa agung, ada jadi presiden, sekaligus ada jadi senator umpamanya begitu, sehingga apa yang namanya prinsip fairness dan sekaligus yang tadi disampaikan oleh Pemerintah tentang prinsip equal treatment begitu kepada sesama calon itu bisa kemudian lebih dipahami kalau kita didukung oleh hasil studi itu. Saya kira itu saja permintaan dari saya, Yang Mulia. Terima kasih. 31.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Ada tambahan sedikit, Pak Ketua.
32.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Saya persilakan.
33.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Ya, Prof. Zudan, kalau kita melihat semangat bahkan konstitusionalitas yang ada dalam konstitusi kita mengenai Presiden ... mengenai Presiden, justru cara berpikirnya agak terbalik. Bahwa seorang calon Presiden, seorang Presiden yang sedang menjabat dapat mencalonkan kembali untuk menjadi presiden yang akan datang untuk satu kali masa jabatan. Artinya petahana sendiri diberikan kesempatan, tergantung rakyat untuk menentukan apakah dia sukses apa tidak, kan begitu. Hillary Clinton sekarang mencalonkan diri menjadi presiden meskipun dia adalah sekarang pejabat, tapi bukan sebagai seorang presiden, tapi dia adalah pembantu presiden contohnya. Yang terakhir, saya ingin juga Pemerintah dalam perspektif fairness tadi mengemukakan hal-hal yang positif terhadap petahana ini. Bagaimana kalau seseorang di daerah itu, katakanlah kepala daerahnya sukses besar luar biasa dan masyarakat cinta kepada mereka, kemudian juga penggantinya demikian, calon penggantinya, apakah ini akan kita buang hanya gara-gara ada kaitan dengan petahana? Apakah ini tidak semacam berselingkungan dengan stamp bahwa petahananya ini enggak bagus gitu, seperti yang disampaikan tadi. Coba nilai-nilai positifnya juga disampaikan, kalau kita melihat masalah kan, ada negatif, ada positif, sehingga kita bisa menggali keadaan yang sebenarnya karena ini dari Pemerintah ini, dari Pemerintah. Kecuali kalau memang Pemerintah menginginkan, “Ya,
16
sudahlah, presiden juga enggak boleh lagi, keluarganya yang akan datang, segala macam.” Presiden kan, enggak kita ... enggak kita batasi. Saya kira itu. Terima kasih, Pak Ketua. 34.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Yang Mulia. Terakhir dari saya, saya mencoba untuk menggali lebih dalam dari latar belakang dari kenapa kok, muncul Pasal 7 huruf r dan huruf s? Apakah yang terpikirkan oleh saya dari aspek filosofis teoritis ini juga muncul pada waktu pembahasan pasal-pasal ini? Saya melihat begini, itu nanti tolong bisa diperdalam penjelasan dari Pemerintah karena Pemerintah mempunyai seluruh kemampuan untuk bisa mengutarakan secara lebih mendalam dibanding DPR sekarang ini. Ini untuk menambah wawasan Hakim supaya bisa memutus dengan sebaik-baiknya. Kita tahu bahwa dalam sistem hukum itu kan, ada struktur, ada substansi, ada kultur. Kita sudah membangun struktur yang baik di bidang kepemiluan, di bidang pengisian jabatan, baik itu jabatan-jabatan mulai dari presiden, dalam hal ini jabatan kepala daerah. Begitu juga substansinya, kita sudah mampu bangun, tetapi kultur hukum yang harus dibangun yang harus mengikuti dari struktur dan substansi hukum itu dirasa oleh pemerintah apakah memang sudah betul mengikuti asasasas yang sudah dicetuskan atau sudah dituliskan secara eksplisit di dalam substansi hukumnya. Tadi apa yang disampaikan oleh pemerintah itu sebetulnya keinginan untuk membangun kultur hukum supaya muncul bahwa dalam berkompetisi mengisi jabatan kepala daerah itu muncul fairness, muncul tidak menghalalkan segala cara, bersaing secara sehat, kan begitu sebetulnya. Nah, ini belum dipunyai oleh masyarakat kita, baik masyarakat pemilih konsituen maupun yang akan mencalonkan yang akan berkompetisi dalam pengisian jabatan ini, sehingga perlu muncul pasal-pasal ini, gitu lho. Kalau itu sudah muncul ada kultur hukum, kita itu berkompetensi ... berkompetisi harus secra fairness, tidak menghalalkan segala cara, tidak itu mati hidup, tapi ini sekadar untuk mengisi jabatan yang itu merupakan pengabdian akhirnya kalau tidak terpilih kita juga siap kalah, siap menang, itu kan, kultur hukum yang harus diikuti oleh orang yang berkompetisi, termasuk rakyat sebagai konsituen. Tapi karena tidak, maka dikhawatirkan akan memunculkan ketidakseimbangan yang tadi dikatakan equal tadi. Apakah ada sisi itu pada waktu digagas munculnya pasal-pasal itu? Kita akan menggali lebih dalam karena harus kita lakukan secara komprehensif, tidak sekadar ini konstitusionalitas, tapi kita harus mampu membangun sistem hukum kepemiluan, sistem hukum pengisian jabatan-jabatan ini secara lebih baik ke depan. Saya kira kita minta 17
penjelasan yang lebih mendalam dari aspek yang saya sampaikan tadi. Saya persilakan dari pihak pemerintah tanggapannya, kalau memang harus tertulis saya persilakan tertulis, tapi kalalu bisa dijawab sekarang saya persilakan. 35.
PEMERINTAH: ZUDAN ARIF FAKRULLAH Terima kasih, Yang Mulia. Beberapa hal nanti harus kami sampaikan secara tertulis karena terkait dengan data dan hasil-hasil kajian berupa naskah akademik, nanti akan kami cari kembali karena memang kita sudah menyusunnya itu enam tahun yang lalu. Pilkada ini sudah disusun kira-kira tahun 2009. Yang Mulia, memang di dalam kita menyusun undang-undang pilkada itu mempertimbangkan perspektif empiris selama 10 tahun terakhir. Sebagaimana kita ketahui pilkada itu secara langsung 2005 dimulai, kemudian mempertimbangkan perspektif sosiologis, mempertimbangkan perspektif pemerintahan, juga mempertimbangkan perspektif konstitusionalitas. Dari aspek politik dan pemerintahan, kita melihat saat ini banyak sekali yang maju kaitannya antara bapaknya gubernur, anaknya menjadi bupati dan walikota. Suaminya maju di kabupaten A, istrinya atau saudaranya di kabupaten A dan B, kakaknya gubernur. Dalam perspektif pemerintahan di Indonesia, hubungan antara gubernur dan bupati/walikota itu sangat erat, misalnya di dalam evaluasi APBD, evaluasi perda, pajak dan retribusi, evaluasi tata ruang. Dengan adanya hubungan yang sangat erat antara gubernur dan bupati, maka kita memang harus melihat ketika sedang berlangsung pilkada gubernur, maka hibah dan bansos itu besar sekali, dan di dalam praktiknya ditujukan kepada kantung-kantung yang dapat memenangkan dirinya, nanti akan kami sampaikan kepada Yang Mulia data-datanya, misalnya jumlah kepala daerah yang ada hubungannya dengan petahana, sampai yang maju tahap kedua, sampai kemudian yang petahana di tahap satu berhasil kemudian mencalonkan ke tahap kedua masih menjadi kepala daerah, tetapi akhirnya menjadi terpidana karena kasus tindak pidana korupsi. Nah, itu datanya di Kementerian Dalam Negeri sangat lengkap, ada 340 gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang bermasalah hukum. Nanti akan kami laporkan. Yang Mulia, pada saat pembahasan Undang-Undang Pilkada ini, muncul pada waktu itu pemikiran untuk TNS … maaf, PNS, TNI, dan Polri, sesungguhnya tidak harus mundur pada saat pencalonan, tetapi mundur pada saat sudah terpilih, ini. Jadi, tidak dipotong haknya untuk maju. Sama halnya dengan DPRD, DPRD juga tidak harus mundur, tapi cukup memberitahukan, maka yang kami anggap di sini, DPRD itu baru mundur karena tidak boleh rangkap jabatan sebagai kepala negara atau 18
… maaf, sebagai pejabat negara atau sebagai pejabat daerah, maka yang DPRD, DPD, dan DPR RI baru mundur ketika terpilih, maka pada waktu pembahasan, pemerintah itu mengusulkan untuk PNS, TNI, dan Polri baru mundur juga setelah yang bersangkutan ditetapkan sebagai pemenang pilkada. Baru di situlah mundurnya, itu untuk menjamin fairness dan keadilannya. Memang benar, Yang Mulia, ada kinerja yang terganggu atau yang dalam pembahasan itu Pemerintah menyoal bahwa anggota DPR, DPD, dan DPRD, itu kontrak politiknya 5 tahun. Kalau ingin menjalani etika politiknya, maka ketika dia sudah berkontrak sosial dengan rakyat, maka dia tidak boleh mundur karena dia harus menyelesaikan yang dipilih oleh rakyat itu secara penuh dalam waktu 5 tahun kecuali dia mengundurkan diri karena sakit, karena alasan keluarga, di luar alasan untuk pindah menduduki jabatan yang lain. Tetapi, dalam pembahasan dengan DPR, ini tidak disetujui. Jadi, ada dinamika-dinamika politik yang kalau Pemerintah melihat itu ada hidden agenda. Kalau kita berbicara jujur, pesaing terberat dari politisi adalah birokrasi, maka untuk menutup akses agar kompetitornya berkurang, maka di Undang-Undang ASN, di undang-undang … ini langsung dipotong akses untuk birokrasi untuk mendaftar. Jadi, ini memang menjadi pertimbangan yang tadi pendapat Pemerintah, keterangan Presiden, itu minta ini untuk dikaji kembali apakah harus inkonstitusional atau konstitusional bersyarat karena di situlah letak dinamika politik yang muncul pada saat pembahasan. Kemudian yang disampaikan Prof. Aswanto, nanti kami elaborasi secara lebih mendalam. Namun memang ini yang dirasakan pada saat ini. Pada saat di Pemerintah, kita sudah berpendapat kalau pengawasannya bagus, maka tidak perlu pembatasan terhadap hak politik warga negara ini dilakukan. Tetapi secara empiris, Bapak dan Ibu, pengawasan oleh Bawaslu, pengawasan oleh pemerintah yang lebih tinggi, Inspektorat BPKP, kemudian … apa … Gakkumdu (Penegakan Terpadu), itu juga tidak dapat berlangsung secara optimal. Bahkan dalam banyak perspektif, seringkali ketika lembaga ini diam, sebenarnya sedang bertindak untuk menguntungkan yang kuat. Sesungguhnya netral adalah berpihak kepada pihak yang kuat. Berdiam sesungguhnya adalah pihak yang sedang memperoleh keuntungan ini, maka ke depan, bagi Pemerintah … kalau sistem pengawasan kita di dalam hukum kepemiluan ini sudah berjalan optimal, maka ke depan, pembatasan hak-hak politik warga negara ini bisa jadi sudah harus dihilangkan. Kalau kita melihat di berbagai negara, Yang Mulia Pak Hakim Palguna, Amerika Serikat, India, Thailand, Pakistan, itu tidak ada politik dinasti. Banyak dari kelompok keluarga Gandhi, keluarga Nehru, dari Thailand itu kakak, besok adiknya jadi palestin … jadi perdana menteri. Di Pakistan juga demikian, tetapi kultur kita memang ketika berlangsung 19
di daerah … kalau presiden memang agak berbeda karena presiden tidak ada lagi hubungan dengan lembaga pemerintahan yang lebih tinggi seperti yang tadi kami sampaikan dalam perspektif pemerintahan, posisi kabupaten/kota sangat tergantung posisi provinsinya. Apalagi, Yang Mulia, sekarang ada dana percepatan provinsi. Dana dari provinsi diberikan dalam bentuk hibah kepada kabupaten/kota masing-masing yang besarnya sangat tergantung kepada legal policy yang dimiliki oleh gubernur. Ini instrumen-instrumennya memang belum terbangun secara lebih rapi. Jadi, kalau memang dilihat aspek positif dan negatifnya tentu saja ada dan aspek positifnya tentu saja ada bagi petahana atau keluarganya misalnya, dia akan dapatkan dukungan politik yang lebih luas bagi dirinya, itu tentu saja sangat menguntungkan. Di dalam penyelenggaraan pemerintahan, Yang Mulia, kita membedakan dua hal, petahana yang dia maju untuk dirinya sendiri dan politik dinasti karena politik dinasti banyak yang terjadi ketika yang bersangkutan itu sudah tidak maju petahananya, habis pada periode kedua dan ada saudaranya yang akan mau naik, baik istri maupun yang lain. Dan bangsa kita atau oknum bangsa kita itu paling cerdik menyiasati aturan. Ketika di dalam undang-undang ini tidak diatur seseorang yang berhenti di tengah jalan itu masih incumbent atau tidak karena konsepsinya adalah petahana adalah pejabat yang sedang menduduki jabatan ketika pilkada sedang berlangsung, maka ada kepala daerah untuk memuluskan dinastinya, dia mundur dari jabatannya. Ini adalah perspektif yang dapat terbaca secara cair dalam dimensi politik dan pemerintahan untuk memuluskan keluarganya yang akan dimajukan, sehingga dia tidak terkena dimensi norma petahana dan politik dinasti karena yang bersangkutan sudah tidak duduk dalam jabatan ini. Kemudian, memang menarik yang disampaikan oleh Pak Patrialis, konstitusional atas presiden itu memang agak berbeda dimensinya karena di dalam presiden tidak ada layer pemerintahan di atasnya karena di Indonesia layer tertingginya adalah di presiden, kalau ini yang kita jaga betul adalah hubungan antara kabupaten dengan provinsinya. Bapak dan Ibu, di Indonesia banyak sekali untuk secara sementara kami sampaikan datanya, di Lampung itu yang hubungan petaha … politik dinastinya besar, di Banten, kemudian yang sekarang terjadi itu di Sulawesi Utara itu banyak, kemudian di wilayah Sumatera itu banyak yang terjadi, itu di Sumatera Selatan, itu banyak terjadi. Dan ini perlu untuk kita rapikan kembali agar fairness-nya atau ketika berkompetisi dua-duanya atau seluruh pasangannya berawal dari nol. Walaupun dari kurvanya mereka dimulai dari lima, semuanya berawal dari lima. Inilah fairness yang ingin kita bangun. Yang terakhir, Yang Mulia Prof. Arief, memang yang hendak dibangun oleh pemerintah bersama DPR pada waktu itu adalah pilkada 20
yang substantif dan berintegritas. Tentu saja ini adalah problem kultural yang kita hadapi terus-menerus karena ternyata hampir kita … catatan kami 96% yang kalah itu tidak pernah legowo menerima kekalahannya. Berarti dari aspek kulturalnya pilkada belum bisa membangun sebuah sistem ketika kita kalah kita akan mengatakan, “Ya sudah, kita akan bertanding lima tahun yang akan datang. Pertandingannya sudah selesai, kita akan bangun kompetisi untuk lima tahun yang akan datang.” Oleh karena itu, di dalam Undang-Undang Pilkada ini pemerintah sangat mendorong bagaimana agar seluruh penyelenggaraan pemerintahan, partai politik itu mempunyai karakter yang berintegritas. Salah satu pasalnya mengatur misalnya, kalau ada pasangan calon yang membayar kepada partai politik untuk dukungan suaranya, maka pencalonannya akan dibatalkan dan partai politik itu kehilangan haknya untuk mencalonkan di lima tahun yang akan datang. Ini bagian-bagian untuk membangun kualitas pilkada dan hasilnya, sehingga pilkada tidak selalu terkesan mahal karena ketika pilkada mahal, investasi politiknya tinggi, maka upaya untuk memperoleh kembali uang yang sudah diinvestasikan akan mendorong kepala daerah masuk ke dalam persoalan-persoalan hukum. Nah, ini Yang Mulia, nanti selengkapnya kami akan elaborasikan secara tertulis agar lebih lengkap. Terima kasih. 36.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Oh, masih ada Pak Wakil? Pak Patrialis? Pak Wakil dulu, saya persilakan.
37.
HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN Saya sedikit saja. Jadi, memang sangat menarik ini. Ada satu hal ya, yang ingin saya ketahui dari paparan tadi, jawaban dari pertanyaan. Apakah pihak Kemendagri pernah melakukan evaluasi atau ya, semacam penelitian begitu, dari sekian banyak kepala daerah yang berada dalam lingkungan dinasti politik itu untuk menilai sejauh mana tingkat keberhasilan dari para kepala daerah yang berada dalam lingkaran itu dibandingkan dengan kepala daerah di luar itu. Itu satu. Kemudian yang kedua, tadi begitu banyak ya kepala daerah yang tersangkut kasus, terutama kasus korupsi, sekitar 340. Juga apakah pernah dilakukan penelitian atau evaluasi dari sekian banyak yang tersangkut kasus korupsi itu? Lebih banyak mana yang berada dalam lingkaran dinasti politik dengan yang berada di luar lingkaran dinasti? Terima kasih, Yang Mulia.
21
38.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terakhir, saya persilakan, Pak Patrialis.
39.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Terima kasih, Pak Ketua. Saya ingin data lagi, Prof., walaupun nanti saya juga akan coba baca. Tadi dikatakan bahwa ketentuan mengenai pilkada ini sebetulnya sudah dirancang sejak enam tahun lalu. Betul, ya? Kita ketahui bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 ini, ini kan adalah berasal dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015. Nomor 1 Tahun 2015 itu adalah berasal dari Perpu Nomor 1 Tahun 2014. Saya ingin komparasi, apakah di dalam undang-undang yang dibatalkan oleh perpu sudah memuat program petahana ini? Karena ini kan, tadi katanya Pemerintah berpikirnya sejak dari jauh hari, sedangkan undang-undang ini adalah berasal dari Perpu. Ya, kan? Jadi, saya minta komparasinya. Tapi nanti saya juga akan baca. Tapi ini lebih konkret dari Pemerintah. Itu satu. Kita juga ingin mengetahui, apakah ini hanya semangat muncul tiba-tiba dengan Perpu atau memang sudah program Pemerintah? Yang kedua. Tadi dikatakan relasi antara bupati, walikota dengan gubernur itu sangat dekat sekali, bahkan juga ada dana-dana yang sudah disiapkan oleh provinsi untuk bisa dibagikan. Saya ingin tanya, menurut Pemerintah apakah pembagian dana-dana kepada seluruh kabupaten/kota yang ada di provinsi itu sudah terprogram jauh-jauh hari atau dadakan? Yang kedua, apakah distribusi itu hanya bisa dilakukan sendiri oleh gubernur? Bukankah pemerintah daerah itu unsurnya ada dua yaitu kepala daerah dan DPRD. Tentu berkenaan dengan distribusi anggaran kepada bupati, walikota harus mendapat persetujuan DPRD yang isinya adalah beraneka ragam partai politik. Kan, begitu? Nah, saya juga minta data, tolong dijelaskan nanti datanya adanya pemberian anggaran oleh gubernur kepada bupati, walikota tanpa prosedur itu. Ini untuk memperkuat apa yang disampaikan oleh Pemerintah. Apa betul sedemikian? Kemudian, tadi saya juga sama dengan Prof., ya. Mau bicara, sebetulnya kan, di dalam sistem demokrasi kita, baik pemilu maupun pemilukada langsung ini, kita kan, sudah ada memberikan kepercayaan kepada lembaga-lembaga pemerintahan atau lembaga negara ya, di dalam penyelenggaraan ini, baik lembaga negara maupun lembagalembaga pemerintahan seperti tadi ada KPU, ada Bawaslu, DKPP, Gakkkumdu yang Mahkamah sendiri sudah merumuskan fungsi mereka masing-masing. Kalau Pemerintah saja pesimis melihat persoalan tidak maksimalnya peran dan fungsi masing-masing lembaga itu, terus bagaimana negara kita ke depan? Apa betul seperti itu? 22
Dan terakhir, saya cukup menyimak tadi bahwa berkenaan dengan PNS, TNI, Polri baru mundur setelah mereka terpilih menjadi kepala daerah dan itu adalah bagian dari upaya pemerintah. Tapi kelihatannya, pemerintah kalah dengan DPR. Ini asumsi saya sementara, kesimpulannya. Lho, kan kita ketahui kalau itu adalah bagian dari prinsip yang akan diperjuangkan oleh pemerintah, bukankah peran pemerintah tidak kalah penting dibandingkan dengan DPR ketika membuat undangundang. Bahkan pada saat sidang paripurna pun pemerintah mengatakan tidak setuju dengan satu titik atau satu koma, maka undang-undang itu enggak bisa menjadi undang-undang, sistem demokrasi kita kan, begitu. Meskipun Pasal 20 ayat (1) itu adalah fungsi legislasi di DPR, tapi ayat (2) nya dong, harus bersama-sama DPR, kan begitu? Saya minta klarifikasi lebih lanjut tentang masalah perjuangan dan semangat pemerintah itu. Terima kasih, Pak Ketua. 40.
PEMERINTAH: ZUDAN ARIF FAKRULLAH Mohon izin, Ketua.
41.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Saya persilakan.
42.
PEMERINTAH: ZUDAN ARIF FAKRULLAH Nanti kalau ada rekan-rekan yang akan menambahkan, saya dengan senang hati. Tentu saja dari Yang Mulia Anwar Usman nanti akan kami cari datanya karena ini terkait data yang sensistif tentang tipikor yang ada di luar petahana dengan yang ... yang di luar politik dinasti dengan yang ada di politik dinasti. Kemudian mengenai rancangan undang-undang ini, memang ini bergulir terus menerus, nanti akan kami sampaikan rancangan yang awal karena dulu kita ingin pilkada langsung, kemudian muncul pilkada setengah langsung, provinsi lewat DPRD kabupaten dipilih oleh DPRD, disetujui oleh DPR, kemudian keluar … yang terakhir pilkada langsung, sekarang keluar yang seperti sekarang ini. Jadi, memang tahapannya akan sangat banyak ini. Kemudian tidak ada, Yang Mulia, pembagian alokasi dana dari gubernur ke kabupaten/kota yang tanpa melalui prosedur dengan DPRD karena semua masuk di dalam Perda APBD, tapi tentu saja di dalam pembahasannya selalu ada … di kabupaten/kota maupun provinsi selalu ada bargaining position, DPRD minta hibah bansos, gubernur minta alokasi percepatan dana untuk provinsi ke kabupaten/kota. Di dalam 23
dinamika politik hal itu sering kali terjadi, saya kira seperti pertanyaan yang terakhir ketika Pak Patrialis menanyakan, “Kok, pemerintah sepertinya kalah?” Memang dalam proses pembahasannya pun seperti putusan Mahkamah Konstitusi yang terdahulu bahwa pendapat Pemerintah dan pendapat DPR itu dimnya harus satu-satu, sampai sekarang belum terwujud. Sebenarnya secara konstitusional kalau kita berbicara dalam forum yang mulia ini, seluruh pembahasan undang-undang kita itu bisa jadi tidak sah karena pembahasan undang-undang harus dengan DPR bersama Presiden, Presiden diwakili oleh para menteri, menteri memberi kuasa kepada Eselon I, sedangkan di DPR undang-undangnya dibahas oleh DPR dan isi DPR adalah alat kelengkapan, tetapi pembahasannya dilakukan dengan pendapat fraksi-fraksi. Fraksi sesungguhnya bukan alat kelengkapan, tapi mekanisme berhimpunnya para anggota, maka kalau kita dengan pendekatan yang sangat ketat yang sangat rigid, tentu saja akan timbul persoalan karena tidak mungkin ini pemerintah satu suara. Putaran pertama, sembilan fraksi bicara satu-satu yang masingmasing pendapatnya berbeda-beda, Pemerintah menilai yang DPR itu yang mana suaranya. Ini menjadi kesulitan yang sejak reformasi ini berjalan terus menerus dan dalam banyak hal pemerintah bukan kalah, Yang Mulia, lebih banyak mengalah agar proses-proses politik tetap bisa berjalan agar undang-undang tetap jadi. Bayangkan kalau pada waktu itu Undang-Undang Pemda yang dipecah jadi tiga, Undang-Undang Desa sudah jadi, Undang-Undang Pemdanya sudah jadi, bagaimana kalau Undang-Undang Pilkada tidak jadi? Padahal isi Undang-Undang Nomor 32 sudah dipotong-potong isinya, maka mau tidak mau ini harus jadi dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Inilah dinamika-dinamika politik yang terjadi di dalam pembahasan undang-undang itu yang saya kira di dalam bernegara Mahkamah Konstitusi mempunyai peran yang sangat besar untuk bersama-sama membangun negara ini dari aspek legalitas dan pembentukan produk-produk legislasinya agar bisa menjadi lebih baik. Yang Mulia, nanti selebihnya akan kami jawab secara tertulis. Terima kasih. 43.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih Prof. Zudan yang telah mewakili pemerintah memberikan keterangan. Keterangan tambahan yang tertulis juga kita harapkan sebagai dokumen dari persidangan ini. Agenda kita pada sore hari ini sudah selesai, tapi sebelum saya akhiri, saya mau menanyakan pada Pemohon 37/PUU-XIII/2015 mengajukan alat bukti yang belum disahkan pada persidangan pendahuluan, ya? Pemohon 37/PUU-XIII/2015 mengajukan bukti P-1 sampai dengan P-6? 24
44.
KUASA HUKUM SYAFRANI
PEMOHON
37,
38/PUU-XIII/2015:
ANDI
Ya, Yang Mulia. 45.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Betul, disahkan, ya. KETUK PALU 1X Kemudian Pemohon 38/PUU-XIII/2015 mengajukan bukti P-1 sampai dengan P-13 betul?
46.
KUASA HUKUM PEMOHON 37, 38/PUU-XIII/2015: YUPEN HADI Ya, betul, Yang Mulia.
47.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, belum disahkan juga, ya.
48.
KUASA HUKUM PEMOHON 37, 38/PUU-XIII/2015: YUPEN HADI Belum, Yang Mulia.
49.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Sahkan pada sore hari ini. KETUK PALU 1X Kemudian berikutnya pada persidangan yang akan datang kita sudah mempunyai agenda yang pasti untuk mendengarkan keterangan Pihak Terkait dalam Perkara Nomor 33/PUU-XIII/2015, supaya besok pada persidangan yang akan datang disiapkan keterangan Pihak Terkait. Baik secara lisan nanti disampaikan dan yang secara tertulis juga kita tunggu. Kemudian perkara yang 33/PUU-XIII/2015, 34/PUU-XIII/2015, 37/PUU-XIII/2015, dan 38/PUU-XIII/2015. Apakah mau mengajukan ahli atau saksi? Saya mulai dari Perkara 33/PUU-XIII/2015 dulu silakan. 25
50.
KUASA KUASA HUKUM PEMOHON 33/PUU-XIII/2015: WIDODO
HERU
Terima kasih, Yang Mulia. Perkara Nomor 33/PUU-XIII/2015, kami akan mengajukan ahli. Kami rencanakan ada lima ahli yang ingin kami ajukan di persidangan ini untuk dimintai keterangan dan mohon diperkenankan manakala waktunya cukup bisa diperiksa bersamaan dengan keterangan Pihak Terkait, mengingat kami mendapatkan informasi dari KPU di KPU yang sudah diterbitkan mengenai jadwal penyelenggaraan pilkada serentak. Pendaftaran pasangan calon sudah dimulai tanggal 22 Juli. 51.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, tapi sebelumnya saya inventarisir dulu, ya supaya kita bisa mengagendakan. Perkara Nomor 34/PUU-XIII/2015, mengajukan ahli juga atau saksi?
52.
KUASA HUKUM PEMOHON 34/PUU-XIII/2015: MAPPINAWANG Baik, Yang Mulia. Perkara Nomor 34/PUU-XIII/2015 insya Allah juga akan mengagendakan mengajukan empat ahli.
53.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Empat ahli. Baik, kemudian, Perkara Nomor 37/PUU-XIII/2015?
54.
KUASA HUKUM SYAFRANI
PEMOHON
37,38/PUU-XIII/2015:
ANDI
Insya Allah rencananya dua ahli, Yang Mulia. 55.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Dua ahli Nomor 37/PUU-XIII/2015. Kemudian, Nomor 38/PUUXIII/2015?
56.
KUASA HUKUM PEMOHON 37, 38/PUU-XIII/2015: YUPEN HADI Sama, Yang Mulia. Rencana juga ada dua orang ahli.
57.
KETUA: ARIEF HIDAYAT
26
Dua orang ahli. Baik, ini karena banyak, maka kita harus bisa mengalokasikan secara efisien, efektif dalam persidangan karena ini juga … apa … untuk segera bisa kita selesaikan. Saya tanya, Pemohon 33/PUU-XIII/2015. Lima orang ahli ini keterangannya sama atau tidak? Kalau sama kan, bisa lebih efisien keahliannya. Dari perspektif yang berbeda atau sama? Kalau hanya sekadar memperkuat, kita itu ahlinya satu saja juga cukup. 58.
KUASA KUASA HUKUM PEMOHON 33/PUU-XIII/2015: WIDODO
HERU
Ya, keterangannya berbeda, Yang Mulia. 59.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Berbeda semua?
60.
KUASA KUASA HUKUM PEMOHON 33/PUU-XIII/2015: WIDODO
HERU
Ya. 61.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, gitu ya.
62.
KUASA KUASA HUKUM PEMOHON 33/PUU-XIII/2015: WIDODO
HERU
Tapi nanti kami pertimbangkan masukan dari Yang Mulia. Manakala untuk efisiensi kami bisa. 63.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Karena kualitas keterangan ahli itu tidak diukur dari banyaknya anu … kuantitas keahliannya, tapi dari kualitas keterangannya kan, sebetulnya. Jadi kalau ini misalnya cukup dua, maka kita bisa ada dua kali persidangan. Dua untuk yang Nomor 33/PUU-XIII/2015, 34/PUUXIII/2015. Kemudian dua-dua, untuk yang Nomor 37/PUU-XIII/2015, 38/PUU-XIII/2015 itu dua kali persidangan. Gimana ini? Substansinya sama atau tidak? Karena Hakimnya semuanya juga ahli juga.
27
64.
KUASA KUASA HUKUM PEMOHON 33/PUU-XIII/2015: WIDODO
HERU
Baik, terima kasih, Yang Mulia. Substansinya berbeda, Yang Mulia. Nanti kami akan pertimbangkan dan memang ada beberapa ahli yang sama dengan Perkara Nomor 34/PUU-XIII/2015. 65.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, kalau begitu begini, ya. Dua ahli dari ... anu dulu, Perkara 33/PUU-XIII/2015 dulu, dua ahli ya, kemudian dari perkara yang 34/PUU-XIII/2015 juga dua ahli dulu, ya. Itu dulu yang kita dengarkan, ya, empat orang. Kemudian dari Pemerintah itu juga akan mengajukan ahli atau tidak? Karena yang memberi keterangan juga sudah ahli itu.
66.
PEMERINTAH: ZUDAN ARIF FAKRULLAH Nanti kami dari pemerintah mau menumpang bertanya kepada ahlinya Pemohon saja, Yang Mulia.
67.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, begitu saja, ya. Baik. Untuk Pihak Terkait juga akan mengajukan ahli, Pak Nasrun ... Pak Asrun?
68.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: ANDI MUHAMMAD ASRUN Rencananya, Yang Mulia, kami akan mengajukan dua saksi fakta kemudian dua orang saksi ahli karena ini agak spesifik kasus ini karena menyangkut Aceh, Yang Mulia. Terima kasih.
69.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, jadi dua ahli dan dua saksi fakta ya, saksi, ya. Baik, kalau begitu ini persidangannya terpaksa agak panjang sedikit ini, ya.
70.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Makanya, Yang Mulia Pak Ketua, kita agak ada kontradiksi dengan kemauannya Pemohon.
71.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, kalau maunya cepat, kalau ahlinya (...) 28
72.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Mahkamah enggak mungkin disalahkan kalau trial enggak berjalan karena Anda sendiri yang mengajukan ahli. Ya, harus agak panjang persidangannya.
73.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Percayalah ini Hakim-Hakimnya juga sudah ahli. Baik, kalau begitu ... anu ya ... saya kira dua dari Perkara Nomor 33/PUU-XIII/2015, dua dari Perkara Nomor 34/PUU-XIII/2015, kita dengar terlebih dahulu dengan keterangan dari Pihak Terkait. Nanti berikutnya kita anukan yang seluruhnya. Kalau misalnya giliran yang berikutnya Perkara Nomor 37/PUU-XIII/2015, 38/PUU-XIII/2015 itu sudah memenuhi, maka perkara yang Nomor 33/PUU-XIII/2015 tidak perlu tambah kan, juga sudah bisa begitu. Supaya efisien begitu, ya. Saya kira begitu. Baik, persidangan yang akan datang itu sudah sampai Mei agendanya, jadi sudah panjang sekali yang harus kita ... anukan ... persidangan yang berikutnya akan kita selenggarakan pada hari Rabu, 12 Mei 2015, dengan agenda yang pertama mendengarkan keterangan Pihak Terkait dalam Perkara Nomor 33/PUU-XIII/2015, kemudian dua ahli dari Perkara Nomor 33/PUU-XIII/2015 dan dua orang ahli dari Perkara Nomor 34/PUU-XIII/2015, ya. Sudah bisa di ... anu ya ... baik, kalau begitu dari Pemohon cukup, ya?
74.
KUASA KUASA HUKUM PEMOHON 33/PUU-XIII/2015: WIDODO
HERU
Ada sedikit, Yang Mulia, dari Pemohon? 75.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Bagaimana, Pak Heru?
76.
KUASA KUASA HUKUM PEMOHON 33/PUU-XIII/2015: WIDODO
HERU
Terima kasih, Yang Mulia. Kami mohon diperkenankan untuk mendapatkan salinan keterangan DPR dan Pemerintah pada … setelah sidang. Kemudian, Yang Mulia, ada yang perlu kami klarifikasi, suatu hal. Bahwa setahu Pemohon, permasalahan pemilukada itu ada di bawah Komisi II DPR. Tadi kami melihat yang hadir adalah dari Komisi III. Nah, satu hal yang ingin kami klarifikasi, apakah … supaya nanti tidak terjadi 29
persoalan di belakang hari, Komisi III itu tadi memberikan keterangan di depan persidangan itu sudah mendapatkan surat tugas dari pimpinan? Itu saja, Yang Mulia. 77.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Sudah, ya. Biasanya memang yang ke sini bisa terserah pada DPR, ya? Nanti itu catatan supaya nanti disampaikan, ya? Minta klarifikasi, ya? Baik, kalau begitu sudah cukup. Persidangan selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 15.35 WIB Jakarta, 23 April 2015 Kepala Sub Bagian Risalah,
Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
30