MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 117/PUU-XIII/2015
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN DPR DAN AHLI PEMOHON (IV)
JAKARTA SELASA, 10 NOVEMBER 2015
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 117/PUU-XIII/2015 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan [Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 30 ayat (2)] juncto Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Ashwin Pulungan 2. Waryo Sahru 3. AA. Suwargi, dkk. ACARA Mendengarkan Keterangan DPR dan Ahli Pemohon (IV) Selasa, 10 November 2015 Pukul 11.15 – 12.35 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Arief Hidayat Anwar Usman Suhartoyo I Dewa Gede Palguna Wahiduddin Adams Patrialis Akbar Manahan MP Sitompul
Ery Satria Pamungkas
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Syuratman Usman 2. Rojikin 3. Sigit Pambudi B. Ahli dari Pemohon: 1. Dwi Cipto Budinuryanto 2. Ibnu Sina Chandranegara C. Pemerintah: 1. Heni Susila Wardoyo 2. Fauziah 3. Yuliesnoor 4. Tri Handono 5. Joko Supriyanto 6. Sapta Priyana Amin 7. Rulita
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.15 WIB 1.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Bismillahirrahmaanirrahiim. Sidang dalam Perkara 117/PUU-XIII/2015 dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum.
Nomor
KETUK PALU 3X Pemohon, siapa yang hadir? Silakan. 2.
KUASA HUKUM PEMOHON: SYURATMAN USMAN Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum wr. wb. BapakBapak, Ibu-Ibu sekalian, dari Pemohon, hari ini agendanya Saksi Ahli dan Saksi Fakta, Yang Mulia.
3.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Enggak, yang hadir siapa dulu?
4.
KUASA HUKUM PEMOHON: SYURATMAN USMAN Oke baik, saya bacakan. Saksi Ahli ada dua, yaitu Bapak drh. Dwi Cipto Budinuryanto. Lalu yang kedua, Bapak Ibnu Sina Chandranegara, S.H., M.H. Lalu Saksi-Saksi Fakta, Yang Mulia, perlu kami bacakan?
5.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Enggak, yang hadir dari Pemohon siapa?
6.
KUASA HUKUM PEMOHON: SYURATMAN USMAN Oke, baik, baik, terima kasih. Kuasa dari Pemohon adalah saya sendiri Syuratman Usman, S.H. Lalu yang sebelah kanan saya, Rojikin, S.H. Lalu yang sebelah kanan lagi adalah Sigit Pambudi, S.H. Terima kasih.
7.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Itu yang banyak Prinsipal, ya?
1
8.
KUASA HUKUM PEMOHON: SYURATMAN USMAN Betul, betul, Yang Mulia.
9.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Itu harus dikenalkan, Ahli nanti saya sudah baca itu.
10.
KUASA HUKUM PEMOHON: SYURATMAN USMAN Baik, Yang Mulia.
11.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya.
12.
KUASA HUKUM PEMOHON: SYURATMAN USMAN Baik.
13.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Dari DPR tidak hadir, bersamaan dengan waktu reses, ada surat dari Sekretariat Jenderal yang menyatakan tidak bisa hadir karena bersamaan dengan reses. Dari Presiden? Yang mewakii Presiden? Dari Pemerintah yang hadir siapa? Saya persilakan.
14.
PEMERINTAH: HENI SUSILA WARDOYO Terima kasih, Yang Mulia. Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum wr. wb. Yang Mulia Ketua dan Anggota Mahkamah Konstitusi, Hadirin yang berbahagia sekalian. Pejabat yang ditugasi oleh kementerian, kami perkenalkan dari Direktorat Jenderal Perternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian. Dari ujung, Ibu Fauziah, kemudian berikutnya Ibu Yuliesynoor, kemudian Bapak Tri Handono, kemudian Bapak Sapta Priyana Amin, kemudian Bapak Joko Supriyanto, dan saya sendiri Heni Susila Wardoyo, dan kemudian Ibu Rulita. Terima kasih.
15.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Saya bahagia ini bisa melihat seragam itu lagi, lama tidak melihat seragam Korpri.
2
Baik, agenda kita pada pagi hari ini adalah mendengarkan keterangan Ahli dari Pemohon, sudah hadir dua orang Ahli, Pak Dwi Cipto Budinuryanto, saya persilakan untuk maju. Pak Ibnu Sina Chandranegara, saya persilakan maju untuk diambil sumpahnya terlebih dahulu. Keduanya beragama Islam, silakan. Mohon berkenan, Yang Mulia Dr. Wahiduddin untuk mengambil sumpah para Ahli. 16.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Kepada para Ahli, untuk mengikuti lafal yang saya ucapkan. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.”
17.
AHLI BERAGAMA ISLAM: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.
18.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih, Yang Mulia. Silakan kembali ke tempat. Saudara Pemohon, siapa dulu yang akan didengar keterangannya?
19.
KUASA HUKUM PEMOHON: SYURATMAN USMAN Yang pertama Pak Dwi dulu, Yang Mulia.
20.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, baik. Silakan, Pak Dwi, nanti berikutnya Pak Ibnu Sina.
21.
KUASA HUKUM PEMOHON: SYURATMAN USMAN Pak Ibnu, ya.
22.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, silakan, Pak Dwi. Bisa menggunakan mimbar di sebelah kiri atau di sebelah kanan.
3
23.
AHLI PEMOHON: DWI CIPTO BUDINURYANTO Bismillahirrahmaanirrahiim. Yang saya muliakan Ketua dan Anggota Mahkamah Konstitusi, para sahabat kami dari perwakilan Pemerintah, teman-teman Peternak. Mohon izin, saya menyampaikan beberapa hal terkait Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 18. Saya berdiri di sini sebenarnya ditunjuk, ditunjuk oleh Dekan Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran. Jadi saya ingin menyampaikan beberapa hal. Yang pertama ... ada dua hal, yang pertama, Permohonan Pengujian Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan Jo Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009. Dan yang kedua terkait Pengujian Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009. Jadi mungkin, Bapak ... atau Yang Terhormat sudah memegang keterangan dari saya, tertulis, begitu. Saya ingin menggarisbawahi bahwa peternakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 adalah definisinya peternakan dan kesehatan hewan dapat diselenggarakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dilaksanakan secara tersendiri dan/atau melalui integrasi dengan budi daya tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, kehutunan … kehutanan, maaf, atau bidang lainnya yang terkait. Definisi dari peternakan adalah segala urusan yang berkaitan dengan sumber daya fisik, benih, bibit dan/atau bakalan, pakan, alat, dan mesin peternakan, budi daya ternak, panen, pascapanen, pengelolaan, pemasaran, dan pengusahaannya. Dengan melihat definisi ini, sebetulnya peternakan adalah suatu sektor yang sangat besar, gitu, sehingga mungkin pengaturannya harus apa tuh … jelas, gitu. Bab II pasal … Bab II Pasal 2 dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 mengatur tentang asas di mana di sana: (1) Peternakan dan kesejahteraan hewan dapat diselenggarakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dilaksanakan setelah … tersendiri dan/atau melalui integrasi dengan budi daya tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, kehutanan atau bidang lainnya yang terkait. Nah, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), itu ada istilah integrasi, integrasi. Integrasi di sana diistilahkan sebagai pembauran, hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat. Tapi di sana juga disebutkan ada dua kata integrasi; integrasi horizontal, yaitu pembauran dengan pihak atau badan yang sederajat dan integrasi vertikal, pembauran dengan pihak atau badan yang berada di atas atau lebih tinggi, gitu. Dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 … Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, materi 4
pemuat … materi muatan peraturan perundangan harus mencerminkan asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, Bhinneka Tunggal Ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban, dan kepastian hukum dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Jadi, kalau disimak dari sana, sebetulnya Bab II Pasal 2 ayat (1) yang di sana ada frasa melalui integrasi dengan budi daya tanaman pangan dan seterusnya, itu tidak mencerminkan apa yang ada di dalam aturan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Seperti itu. Nah, kemudian … nah, dengan memerhatikan hal tersebut di atas, dalam hal ini Pasal 2 dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Asas, sepertinya ini ada tumpang-tindih … tumpang-tindih. Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) itu ada tumpang-tindih terkait dengan masalah asasnya, asas … asas ini. Nah, integrasi dan bidang lainnya dalam frasa integrasi dengan budi daya tanaman pangan hortikultura dan sebagainya, itu kalau menurut saya, itu barangkali bisa diganti dengan kemitraan, gitu, kemitraan. Karena nanti di pasal-pasal berikutnya juga masalah kemitraan itu … apa namanya itu … dijelaskan. Sementara masalah integrasi, itu tidak ada penjelasannya di pasal-pasal berikutnya, gitu. Hal tersebut sejalan dengan Pasal 31 … Pasal 31 bisa saya sebutkan ayat (1), “Peternak dapat melakukan kemitraan usaha di bidang budi daya ternak berdasarkan perjanjian yang saling memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan, serta berkeadilan.” Pasal 31 ayat (2), “Kemitraan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan antarpeternak, antarpeternak, dan perusahaan peternak,” kemudian, “(c) antara peternak dan perusahaan bidang lain, (d) antara perusahaan peternakan dan pemerintah atau pemerintah daerah.” Ayat (3), “Pemerintah dan pemerintah daerah dapat melakukan pembinaan kemitraan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan memerhatikan ketentuan peraturan perundangan di bidang kemitraan usaha,” gitu. Nah, itu jadi alasan kenapa frasa integrasi itu barangkali bisa … apa … bisa diganti, gitu. Nah, dalam praktik budi daya ternak unggas, kita mengenal ada istilah integrasi vertikal. Dalam integrasi vertikal itu, dalam terminologi ilmu ternak, itu dia berarti menguasai dari hulu sampai hilir, gitu. Nah, dalam hal ini kalau kita tidak hati-hati, integrasi vertikal ini berpotensi untuk merugikan peternak, terutama peternak kecil, gitu. Nah, tentu ini tidak sesuai … jadi, ada ketidaksesuaian antara asas dan tujuan yang diinginkan oleh undang-undang tersebut, gitu. Nah, praktik budi daya integrasi vertikal ini barangkali mungkin bisa diatur di … mungkin di PP-nya atau apa begitu. Kalau di … diatur di 5
dalam undang-undang, tentu kurang sesuai kalau menurut saya. Karena pertama tadi, asasnya juga tidak … apa itu ... tidak sesuai, gitu, sesuai dengan ... maksud saya, Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Nah, jika budi daya integrasi vertikal tersebut tidak diatur, ini juga akan melanggar Pasal 3, mungkin barangkali bisa saya jelaskan di sana, saya bacakan di sana. a. Mengelola sumber daya hewan secara bermartabat, bertanggung jawab, dan berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. b. Mencukupi kebutuhan pangan, barang, jasa, asal hewan secara mandiri, berdaya saing, berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan peternak dan masyarakat menuju pencapaian ketahanan pangan nasional. c. Melindungi, mengamankan, dan/atau menjamin wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari ancaman yang dapat mengganggu kesehatan atau kehidupan manusia, hewan, tumbuhan, lingkungan, dan sebagainya. D dan C mungkin tidak perlu saya bacakan. Nah, integrasi itu berpotensi, Pak Ketua, dan potensi itu sudah kelihatannya nampaknya nyata begitu karena industri, seperti industriindustri peternakan yang melakukan integrasi vertikal, itu lebih menguntungkan pada korporasi, dimana korporasi itu lebih banyak dominasinya dari pihak (suara tidak terdengar jelas). Nah, ini yang mungkin harus diatur, dicarikan jalan tengah, sehingga peternak dapat tadi, bisa makmur gitu, sejahtera dan sebagainya, berdaya saing, berkelanjutan, dan sebagainya. Ini yang susah kalau yang 80% dari peternak besar itu terlalu dominan, sehingga punya potensi mematikan usaha peternakan kecil, gitu. Nah, memang integrasi vertikal itu kalau para praktisi, pasti inginnya ke arah sana, gitu, ke arah ... apa … karena memang menguntungkan, gitu, menguntungkan. Tapi kalau di Indonesia barangkali kurang tepat, gitu, dan ini ada bukti juga empiris ... katakanlah kalau kita bandingkan, ya. Pada saat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 itu disahkan, gitu, posisinya katakanlah dengan Thailand, katakanlah Thailand. Thailand tahun 2009 itu biaya untuk … apa ... atau mungkin mulainya dari produksi saja, produksi daging yang setara dengan siap masak tahun 2009 Thailand itu 1,2 juta, Indonesia itu sudah 1,4 gitu artinya ... maaf terbalik, Indonesia 1,2, Thailand 1,4 itu tahun 2009. Posisi tahun 2004, itu Indonesia produksinya menjadi 1,6 juta ton, Thailand 1,5 juta ton, padahal Thailand itu 30% lebih itu ekspor gitu. Sementara kalau di Indonesia, praktis tidak mengekspor gitu, apa tidak mengekspor produksi daging katakanlah, dalam hal ini adalah Broiler. 6
Hal itu menunjukkan bahwa 80% yang selama ini menghidupi atau mencukupi kebutuhan Indonesia, ini tidak kompetitif sebenarnya, tidak kompetitif. Nah, ini didukung dengan data bahwa cost of ... untuk DOC harga DOC, Indonesia itu 0,38 Dollar gitu, Thailand itu hanya 0,16 Dollar gitu. Jadi, dua setengah kali lipat kita itu, jadi ini menunjukkan bahwa kita itu mungkin DOC-nya itu tidak efisien. Kemudian, biaya produksinya juga sama, Indonesia itu 0,8 Dollar, Thailand 0,5 Dollar gitu. Jadi begini, kalau industri yang besar tadi itu … apa ... menentukan secara dominan mulai dari hulu sampai hilir, itu ternyata juga tidak kompetitif, gitu, tidak kompetitif, kalau misalnya katakanlah dibandingkan dengan negara-negara lain yang se-ASEAN saja, se-ASEAN saja, itu tidak cukup kompetitif, sehingga mungkin, sekarang mungkin strateginya harus dibalik begitu. Mungkin kalau diatur, industri dalam negeri bisa lebih kompetitif. Artinya kalau industri dalam negeri, basisnya adalah usaha peternakan rakyat atau katakanlah yang menengah-menengah itu, bukan yang katakanlah beberapa perusahaan besar, gitu. Ya, jadi dalam konteks Pasal 2 tersebut, saya mengusulkan, ya, saya usul mungkin bisa dipertimbangkan saya kira, gitu. Yang pertama, tadi integrasi dan seterusnya tadi bisa diganti dengan dan/atau kemitraan, itu yang pertama. Kemudian yang kedua, yang ayat (2)-nya masih tentang asas, kemitraannya dihapus begitu. Karena kemitraannya sudah ditaruh di ayat (1), gitu, jadi itu sejalan itu. Kemudian, Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009, budi daya dapat diselenggarakan oleh perorangan warga negara Indonesia atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Kemudian ayat (2)-nya yang ini di … apa ... dipermasalahkan oleh teman-teman para peternak adalah perorangan Warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan kerja sama dengan pihak asing sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal dan peraturan undang-undang lain yang terkait. Nah, fakta di lapangan ini agak susah ini … apa … agak susah diterapkan karena ternyata kita itu katakanlah untuk unggas ya, belum untuk ternak yang lain, kita bicara tentang unggas karena ini rekanrekan. Saat ini PMA integrator menguasai hampir 80% dan kita tahu bahwa integrator tadi itu ya pasti akan lebih efisien dibanding dengan peternak-peternak kecil yang lainnya karena 2 hal. Yang pertama, bibit DOC-nya memang dia importir begitu, kebanyakan importir. Kemudian yang kedua, pakan dan sebagainya, sehingga peternak-peternak mandiri dan sebagainya karena dia juga sebagian mengambil dari … apa … PMA integrator maupun … apa … yang nonintegrator, sehingga praktis 7
mereka kalau diadu di lapangan mereka akan kalah, sehingga banyak peternak kecil itu yang gulung tikar. Nah, ini barangkali yang bisa di … apa … diatur kembali karena jadi tidak berdaya saing, gitu. Daya saing yang dimaksudkan adalah kemampuan suatu usaha untuk dapat tumbuh dan berkembang secara normal di antara perusahaan-perusahaan lainnya sebagai pesaing dalam satu bidang usaha. Nah, daya saing ini yang mungkin … apa itu … tidak tercermin dari Pasal 30 ayat (2). Sehingga kami mengusulkan sebetulnya kalau ayat (2) itu dihilangkan, itu juga tidak akan … apa itu … tidak akan memengaruhi karena toh di pasal berikutnya itu bisa … bisa di-cover, gitu, bisa di-cover dari Pasal 31, gitu. Pasal 31 sebagaimana yang tadi sudah saya sampaikan. Jadi tanpa Pasal 30 ayat (2), itu … apa namanya itu … usaha peternakan menurut saya, itu bisa lebih sehat sebenarnya, lebih sehat. Nah, dengan memerhatikan hal tersebut, itu kami pada dasarnya untuk Pasal 30 ayat (2), itu langsung saja ke Pasal 31. Pasal 31 tadi, mengatur tentang usaha kemitraan, kemudian mengatur tentang pembinaan kemitraan, dan sebagainya, dan sebagainya. Saya kira dari saya cukup, Yang Mulia. Terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya. Wassalamualaikum wr. wb. 24.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Waalaikumsalam. Terima kasih, Pak Dwi, silakan duduk kembali. Pak Chandra, silakan.
25.
AHLI PEMOHON: IBNU SINA CHANDRANEGARA Assalamualaikum wr. wb. Yang Terhormat Majelis Hakim Konstitusi, representasi Pemerintah, DPR, dan Pemohon. Perkenankan saya menyampaikan keterangan sehubungan dengan Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, khususnya berkenaan dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 30 ayat (1). Melihat suatu norma hukum dalam tatanan konstitusi, undangundang, maupun peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya, perlu dipahami bahwa semua norma memiliki jangkauan validitas yang berbeda. Norma yang terkandung dalam konstitusi jelas memiliki perbedaan norma yang termaktub di dalam undang-undang, begitu pula apa yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya. Ketika jangkauan validitasnya berbeda, maka dalam hal norma yang mempunyai daya validitas yang lebih sempit akan mendasari validitas yang lebih luas. Selain itu, norma yang mempunyai validitas 8
yang lebih besar adalah dasar bagi norma yang … norma yang lebih sempit. Terlepas dari dasar hukum yang mahsyur mendasari konsepsi validitas norma, sesungguhnya melihat bahwa kesenjangan antara harapan dan realita menjadikan celah bagi sebuah penilaian yang menghasilkan sebuah skor, penilaian konstitusional atau inkonstitusional dalam peradilan. Apabila dipahami lebih jauh bahwa ketika penilaian yang dilakukan oleh hakim atau validitas konstitusional dalam suatu norma menjadi salah satu instrumen. Akan tetapi, peradilan norma tidak hanya melihat semata-mata berkenaan dengan tekstual hierarki, maupun kesenjangan bahasa peraturan perundang-undangan semata. Penilaian terhadap realita yang ada akan memberikan postur tambahan bagi hakim dalam memberikan penilaian suatu norma. Apabila melihat MK sebagai peradilan yang memiliki … yang mengadili norma abstrak, bukan berarti tidak berarti kerugian konkret tidak dipertimbangkan sebagai alasan mengadili. Kedudukan norma yang abstrak, yang memosisikan benda mati yang dianggap dapat merekonstruksi kenyataan adalah daya tawar bagi peradilan untuk bersikap dan mengadili kenyataan yang telah ada untuk dikonstruksikan sebagai kenyataan yang diharapkan ada. Masalah ini yang mungkin timbul adalah apabila kenyataan yang diharapkan tidak menjadi kenyataan. Lalu di saat yang bersamaan, membentuk Putusan MK adalah final dan mengikat. Keadaan ini adalah masalah lain yang mungkin bisa dipikirkan dan bisa dipecahkan pada pembahasan. Akan tetapi, pertimbangan itulah yang kemudian MK dapat diharapkan berpihak terhadap kenyataan yang ada. Dibandingkan dengan ketentuan normatif yang ada. Apabila meninjau permasalahan konstitusional dalam ketentuan a quo yang dipertanyakan konstitusionalitasannya, maka fokus adalah apakah pasal a quo memberikan perlindungan, sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 28C dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Mengapa Pasal 28C dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945? Hal ini didasari bahwa permasalahan konstitusional yang diklaim oleh Pemohon adalah pasal a quo memang memenuhi konsep kartelisasi dan monopoli yang cenderung melanggar Pasal 28C dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Ketentuan dasar konstitusional yang digunakan Pemohon sebagai batu uji, saat ini telah hidup tidak semata-mata melalui konstitusi, namun juga melalui judicial activism, yang … yang dalam hal ini Pasal 28C telah berkembang melalui beberapa putusan MK lainnya, seperti Putusan Nomor 15/PUU-V/2007, Putusan Nomor 29/PUU-V/2007, Putusan Nomor 008/PUU-IV/2006, Putusan Nomor 14, 17/PUU-V/2007, dan Putusan Nomor 15/PUU-V/2007. Dan untuk Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, telah berkembang dalam Putusan 9
Nomor 005/PUU-I/2003, Putusan Nomor 055/PUU-II/2004, Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006, Putusan Nomor 008/PUU-IV/2006, Putusan Nomor 12, 16, 19/PUU-IV/2006, Putusan Nomor 25/PUU-IV/2006, dan Putusan Nomor 15/PUU-VI/2008. Terkait dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2009 menentukan bahwa peternakan dan kesehatan hewan dapat diselenggarakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dilaksanakan secara tersendiri dan/atau melalui integrasi … integrasi dengan budi daya tanaman pangan (hortikultura), perkebunan, perikanan, kehutanan, atau bidang lainnya yang terkait. Bahwa adanya frasa atau melaui integrasi dengan budi daya tanaman pangan (hortikultura), perkebunan, perikanan, kehutanan, atau bidang lainnya yang terkait dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut, maka berkonsekuensi lahirnya peternak industri besar yang memungkinkan adanya penyatuan penguasaan, sekaligus yang dapat melakukan usaha dari hulu sampai hilir. Dari mulai pembibitan (day old chick), budi daya, hingga pengadaan pakan. Adalah beralasan apabila ketentuan norma tersebut dianggap upaya kartelisasi peternakan di Indonesia. Hal ini didasari beberapa hal: 1. Bahwa norma tersebut berada dalam Bab Asas dan Tujuan. Akan tetapi, norma tersebut sesungguhnya menjelaskan mengenai ruang lingkup pemaknaan pengusaha … penguasa … penguasaan peternakan dan kesehatan hewan. Perihal asas dan tujuan dijabarkan melalui … melalui ayat (2) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009, sehingga membaca arah dan tujuan pembentukan undang-undang tersebut terdapat dalam pasal-pasal tersebut. 2. Berdasarkan isi ketentuan tersebut, maka undang-undang a quo menilai bahwa peternakan dan kesehatan hewan adalah entitas bisnis, yang di mana negara hanya memberikan posisi regulator tanpa memberikan perlindungan hukum atas peternak yang diusahakan oleh rakyat atau skala kecil. 3. Bahwa posisi, sebagaimana dijabarkan dalam poin kedua, akan tampak ketika membaca dan membandingkan ketentuan norma serupa dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan yang telah digantikan oleh undang-undang a quo dijaminkan bahwa dalam menyelenggarakan usaha-usaha tersebut pada ayat (1) dan (2) pasal ini, Pemerintah mendorong dan mengutamakan terlaksananya swadaya rakyat yang bersangkutan. Dalam lingkup asas dan tujuan. Ketentuan yang demikian ini, jelas memberikan posisi lebih atas sikap dan keberpihakan pembentuk undang-undang terhadap maksud pembentukannya.
10
Berkenaan dengan ketentuan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30 ayat (1) ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009, mendudukan pelaku budi daya ternak adalah: a. Orang yang … orang per orang Warga Negara Indonesia. b. Korporasi, baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum Indonesia. Dengan kata lain, pihak asing, orang perseorangan, maupun korporasi tidak dibolehkan atau dilarang melalukan usaha peternakan di negara Indonesia. Akan tetapi, pada Pasal 30 ayat (2) diberikan posisi untuk melakukan usaha di bidang peternakan, termasuk budi daya peternakan unggas melalui kerja sama dengan Warga Negara Indonesia yang harus bersesuaian dengan ketentuan penanaman modal dan peraturan perundang-undangan lainnya. Apabila merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, maka untuk budi daya ayam dan babi diperbolehkan penanaman modal mencapai 49%. Oleh karena itu, meskipun Pasal 29 ayat (5) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 menjelaskan bahwa Pemerintah berkewajiban untuk melindungi usaha peternakan dalam negeri dari persaingan tidak sehat di antara pelaku pasar. Pasal 32 ayat (1) undang-undang a quo menjelaskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah mengupayakan agar sebanyak mungkin warga masyarakat menyelenggarakan budi daya ternak. Pasal 36 ayat (5) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 menjelaskan, “Pemerintah berkewajiban untuk menciptakan iklim usaha yang sehat bagi hewan, atau ternak, dan produk hewan.” Dan Pasal 76 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 menjelaskan, “Pemberdayaan peternak dilakukan dengan memberikan kemudahan, meliputi penciptaan iklim usaha yang kondusif dan/atau meningkatkan (suara tidak terdengar jelas) perusahaan, maka tidak akan mungkin norma tersebut terealisasi apabila korporasi, sebagaimana dimaksud Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 yang beriintegrator melakukan budi daya komersial yang hasil panennya dijual kepada pasar dalam negeri dan pasar tradisional yang justru akan mematikan peternak rakyat. Seharusnya, hasil produksi dari kandang komersial korporasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) undang-undang a quo dijual pada pasar internasional. Hal ini semakin menjelaskan suatu bukti bahwa banyak korporasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 hanya memanfaatkan potensi pasar dalam negeri yang justru akan mematikan peternak rakyat. Hal sebagaimana diuraikan di atas, menunjukkan bahwa UndangUndang Nomor 18 Tahun 2009 mempunyai aura yang berbeda apabila dihadapkan dengan Pasal 28C dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang 11
Dasar Tahun 1945. Aura yang berbeda adalah berkaitan dengan perlindungan hukum atas peternak yang kemudian telah ada dan tumbuh atas sarana Pasal 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1997 yang telah ada sebelumnya, yakni peternak rakyat. Yang Terhormat Majelis Hakim konstitusi, representasi Pemerintah, DPR, dan Pemohon. Disadari bahwa usaha peternakan rakyat di negeri ini sebagian besar masih bersifat subsistem, dengan ciri skala usaha yang kecil dan tidak ekonomis dan dilakukan dengan cara tradisional dengan teknologi sederhana. Pada umumnya, ternak merupakan aset hidup dalam tata kehidupan masyarakat peternak. Ternak bukan merupakan komoditi bisnis, tapi berfungsi pada status sosial masyarakat atau juga merupakan sumber tenaga kerja. Akibatnya, peternak rakyat akan menjual ternaknya jika mereka memerlukan uang tunai. Oleh karenanya, fluktuasi dan gejolak harga ternak biasanya terjadi bersamaan dengan terjadinya gejolak kebutuhan sosial atau keluarga, terutama pada kegiatan hari-hari besar keagamaan, sosial, dan kebudayaan. Atas dasar kondisi tersebut, jika pemenuhan konsumsi … kebutuhan konsumen yang dari tahun ke tahun terus menigkat, seiring dengan peningkatan kesejahteraan, maka diperlukan suatu sistem industri peternakan yang tangguh dan mapan. Namun demikian, timbul pertanyaan, sanggupkah usaha peternakan rakyat di negeri ini memenuhi kebutuhan konsumen akan produk-produk peternakan? Sebab dalam perjalanannya selama puluhan tahun, fluktuasi harga produk peternakan cukup memprihatinkan, misalnya harga daging sapi yang tidak kunjung turun, demikian pula halnya produk susu hasil produksi peternakan sapi perah. Fluktuasi harga telur dan daging ayam yang sangat tajam, sehingga semuanya cukup menggangu perkembangan perekonomian negara. Apabila kita melihat sejarah perkembangannya, usaha peternakan sapi potong, sapi perah, domba, dan kambing, sebagian besar dikuasai oleh peternakan rakyat, kecuali ayam ras. Keseluruhan usaha ini, selama ini kondisi peternakan rakyat seolah tidak beranjak, bahkan cenderung berjalan di tempat, yaitu skala usaha yang tetap kecil dan masih tetap tradisional. Demikian juga halnya terjadi pada usaha peternakan ayam ras yang sebagian besar volumenya dikuasai oleh industri. Sedangkan pada usaha peternakan rakyat, pada umumnya peternak merupakan buruh di kandangnya sendiri. Mereka menjadi peternak yang sepenuhnya tergantung pada korporasi, bukan lagi peternak yang mampu berusaha mandiri. Melihat kondisi tersebut di atas, pertanyaannya adalah apakah peternak rakyat ini akan mampu bergerak ke arah industri peternakan yang mandiri dan mampu meningkatan kesejahteraan peternak ataukah
12
tetap menjadi status … atau menjadi status quo sebagai akibat dari ketradisionalannya? Ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal a quo menunjukkan bahwa peternak yang kemudian hadir dan mampu menguasai (suara tidak terdengar jelas), sebagaimana dimaksud, jelas akan mendudukkan peternak rakyat dalam posisi yang sulit. Karena dengan hukum, menentukan posisi yang sama, padahal tidak mungkin disamakan. Bahwa sulitnya berkembang industri peternakan yang berbasis sistem agrobisnis di negeri ini didasarkan kepada kalahya daya saing produk industri peternakan jika dihadapkan dengan usaha peternakan rakyat. Sebab sebagian besar usaha peternakan rakyat hampir tidak pernah menghitung seluruh biaya produksinya. Sementara industri peternakan, menghitung seluruh komponen biayanya. Alhasil industri peternakan akan kalah bersaing di pasar atau sebaliknya, akibat dari pengembangan industri peternakan yang memanfaatkan peternakan rakyat sebagai bagian dari penyebar risiko dalam suatu sistem usaha. Atau para industri peternakan memanfaatkan skala kecil sebagai pendukung industri besarnya, mereka tidak mungkin akan menjadi industri dan harus tetap merupakan bagian dari sistem industri, sehingga peternakan rakyat malah menjadi sulit untuk mengembangkan usahanya. Terlepas dari sebab atau akibat tidak atau sulitnya berkembang peternakan rakyat yang mungkin pula disebabkan oleh kehadiran peternak besar, yang kemudian diberikan perlindungan hukum tanpa menciptakan segmentasi pasar. Merujuk kepada Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 berdasarkan tafsiran Mahkamah melalui Putusan Nomor 15/PUUVII/2008, maka Mahkamah menyatakan bahwa keadilan bukanlah selalu berarti diperlakukan sama terhadap setiap orang, keadilan berarti memperlakukan sama terhadap hal yang memang sama, dan memperlakukan berbeda terhadap hal yang memang berbeda. Sehingga justru menjadi tidak adil apabila terhadap hal-hal yang berbeda diperlakukan sama. Peletakan fondasi yang demikian itu bukanlah berjalan di bawah pijakan konstitusi Indonesia sendiri. Dalam perkembangannya, isu-isu konstitusional serupa terjadi pada kasus pengujian konstitusionalitas norma di Mahkamah Agung Amerika Serikat, seperti kasus Lior Horev v. Minister of Communications/Transportation pada tahun 1997, kasus McGee Vs Attorney General tahun 1974, dan kasus Griswold vs Connecticut tahun 1965. Yang bahwa memang memandang equalty justice atau equalty before the law harus menggunakan quality bukan a quantity, sehingga perlindungan hukum akan diciptakan berdasarkan asumsi keadilan atas kualitas subjek hukum, bukan kuantitas subjek hukum.
13
Oleh karena itu, kehadiran peradilan norma memang sejatinya dimaksudkan untuk mengawal makna tekstual maupun makna kontekstual atas norma tersebut. Paradigma yang lahir, ini membawa posisi bahwa Mahkamah adalah peradilan untuk mengawal nilai-nilai yang semestinya tetap ideal. Dan adalah kewajiban sebuah peradilan norma untuk bersikap yang demikian dikarenakan ada maksud untuk menjaga wibawa sebuah konstitusi. Tafsiran-tafsiran tekstual dan kontekstual yang dibangun dalam setiap putusan, akan menafikan keadaan yang ada ataupun keluhan karena postur Mahkamah, yang demikian ini membedakan jelas antara pembentukan hukum-hukum maupun penegakkan hukum, sehingga pemisahan yang tegas akan menentukan Mahkamah sebagai pengawas sistem hukum maupun pengawas sistem keadilan yang dikehendaki oleh konstitusi. Akan tetapi, apabila dalam keadaan yang senyatanya memosisikan Mahkamah bahwa Mahkamah seharusnya harus melihat suatu keadaan yang nyata, kemudian ditimbulkan oleh adanya suatu norma dalam undang-undang, sifat putusan MK yang final dan mengikat juga merupakan pertimbangan bagi Hakim dalam pengambilan keputusan apabila memilih tidak ideal, yakni tidak hanya sekadar menguji norma, tapi menilai validitas norma atas sebab akibat yang ditimbulkan atas berlakunya norma. Ketukan palu atas putusan yang diambil tidak hanya akan berdampak pada para pihak, namun juga para semua warga negara yang terikat dengan hukum yang hendak diputuskan. Keadaan ini akan memosisikan bahwa Mahkamah perlu melihat aspek nonyuridis sebagai karpet merah dalam pengambilan putusan ke depannya. Demikian keterangannya disampaikan, Terima kasih. Wassalamualaikum wr.wb. 26.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Waalaikumsalam. Terima kasih, Pak Chandra. Berikutnya, saya tanya pada Pemohon, apakah Pemohon akan … masih akan memperdalam atau menanyakan apa yang sudah disampaikan oleh ahli atau sudah cukup?
27.
KUASA HUKUM PEMOHON: SYURATMAN USMAN Kami kira cukup, Yang Mulia.
28.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Cukup?
14
29.
KUASA HUKUM PEMOHON: SYURATMAN USMAN Cukup jelas penjelasannya.
30.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Dari Pemerintah, dari yang mewakili Presiden, saya persilakan.
31.
PEMERINTAH: HENI SUSILA WARDOYO Baik, Yang Mulia. Barangkali ini sedikit saja untuk kedua Ahli. Tadi pada prinsipnya adalah Ahli berpendapat bahwa ada antara Pasal 31 ayat (1) dengan ayat (2) itu sepertinya ada seperti kontradiksi, begitu. Tadi disampaikan di penjelasan Ahli yang pertama, di kalimat terakhir itu, apabila Pasal 31 … 30 ayat (1) itu tidak diatur atau tidak ada ayat (2), maka mungkin penerapannya itu akan bisa lebih maksimal. Intinya seperti itu yang kami tangkap. Nah, terhadap pernyataan itu, apakah sesungguhnya Ahli melihat Ketentuan Pasal 30 ayat (1) mengandung kontradiksi atau nilai kontradiksi dengan ayat (2)-nya itu? Nah, makna lebih sehat itu, itu kan persoalan masalah penerapan sesungguhnya di dalam implementasi di lapangan, nah sehingga apakah itu disamakan arti dengan … katakanlah permohonan Pemohon yang menyatakan bahwa terjadi kontradiksi norma. Mungkin itu, Yang Mulia. Terima kasih.
32.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Dari meja Hakim? Yang Mulia, saya persilakan Pak Palguna.
33.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Terima kasih, Yang Mulia Pak Ketua. Saya mulai dari Ahli Pak siapa tadi?
34.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Pak Dwi.
35.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Ya, Pak Dwi Cipto. Begini, Pak. Apa betul dalam peternakan itu ada terminologi integrasi yang demikian? Sebab kalau konteks kalimat dalam pasal yang berbicara tentang integrasi itu, nampaknya tidak dimaksudkan demikian. 15
Bagaimana kita mengetahui maksud pembentuk undang-undang? Kita liha di penjelasan dari undang-undang itu ya, ini supaya … ini saja ya, bukan berarti … apa … coba, di penjelasan umum itu tegas disebutkan, ya. Dalam rangka memanfaatkan dan melestarikan keanekaragaman hayati tersebut, diselenggarakan peternakan dan kesehatan hewan secara sendiri maupun terintegrasi dengan budi daya tanaman pertanian, perkebunan, perikanan. Jadi kalau tidak ada … kalau kita berpikir secara a contrario sebaliknya misalnya, apakah Bapak menghendaki bahwa misalnya peternakan harus ternak sendiri, sehingga orang yang mengusahakan ternak, kemudian budi daya lainnya harus dinyatakan sebagai perbuatan yang terlarang? Apakah itu maksudnya? Misalnya ada petani kita … ya nanti, nanti dijawab, Pak, ya. Ada petani kita, pada saat yang sama, dia juga seorang peternak, pada saat yang sama dia juga adalah pengusaha misalnya apa … pertanian apa yang justru memanfaatkan misalnya kotoran ternak untuk budi daya tanaman itu. Bunga umpamanya, yang sekarang mulai orang mencintai hasil tanaman organik misalnya yang didapat dari hasil ternak itu. Apakah itu mau dikatakan sebagai hal yang terlarang? Kalau misalnya tidak ada pasal ini yang memberikan dasar? Karena dia dapat diselenggarakan secara terintegrasi. Jangan diartikan yang vertikal seperti tadi yang Bapak maksud dalam istilah peternakan itu, tapi dalam konteks (suara tidak terdengar jelas) undang-undang sebagaimana yang dijelaskan dalam penjelasan umum, apakah Bapak mau mengatakan itu juga sesuatu yang tidak dikehendaki atau tidak boleh dilakukan? Misalnya ada peternak kita yang mampu begitu? Itu satu ya, Pak. Yang kedua, ya persoalan ini ya, soal modal. Nah, misalnya kita … ini cuma untuk mengetahui ya. Saya ndak tahu kondisi lapangan, ya. Kami … tentu Hakim Konstitusi tidak … ada ndak di antara kami yang merangkap peternak ini? Rasanya ndak ada itu. Kami tidak mengetahui itu. Misalnya kondisi lapangan bagaimana? Kami ndak tahu. Apakah peternak kita itu sudah sedemikian mampunya, sehingga misalnya untuk mengembangkan budi daya ternak, kita harus menolak modal asing? Misalnya begitu. Jangan diartikan Mahkamah setuju ini. Cuma kita untuk menguji fakta lapangan dan konstruksi berpikir kita, Ahli ya. Oleh karena itulah, pembentuk undang-undang melihat di ayat (2) pasal berapa itu, 31 ya, dapat bekerja sama. Pengutamaannya kan ada di ayat (1), Pak. Kalau pengusaha Indonesia, Warga Negara Indonesia, dia di … silakan mengusahakan mau pakai badan hukum atau tanpa berbadan hukum, silakan. Jadi kalau sudah punya modal, peternak kita silakan menggunakan itu, mau berbadan hukum mau tidak, itu undangundang menjamin. Nah, justru ketika modal asing mau masuk, dia harus tunduk pada hukum Indonesia dengan berbadan hukum itu. Jadi, kalau misalnya kontruksi berpikir saya yang keliru menafsirkan itu, tolong dijelaskan. 16
Karena itu yang belum mampu saya pahami dari penjelasan Bapak tadi. Di mana kemudian potensinya merugikannya itu? Yang … anunya. Kan saya melihat dari kacamata niat pembentuk undang-undang yang sebagaimana saya baca dari ketentuan pasalnya, kemudian dari penjelasan umumnya. Itu yang tampak dari saya. Koreksi saya kalau misalnya itu adalah keliru atau jelaskan bagaimana itu menjadi keliru? Pengutamaan yang … yang pertama diberikan adalah kepada warga negara, menurut ayat (1)-nya bahkan diberikan keutamaan, enggak perlu berbadan hukum, perorangan saja tanpa badan hukum boleh. Nah, kalau tidak mampu boleh modal asing masuk, tapi dengan syarat Anda harus pakai badan hukum Indonesia dan harus tunduk pada ketentuan hukum Indonesia. Misalnya kalau ketentuan itu ditolak, apakah Bapak juga hendak mengatakan bahwa oke, modal asing enggak usah masuk lewat ini, peternak kita sudah cukup. Apakah itu maksudnya atau bagaimana? Itu ini ya, pertanyaan saya untuk ahli Pak Dwi. Untuk Ahli yang kedua Pak Chandranegara. Saya harus mengakui, saya sulit memahami apa yang Anda maksudkan dengan keterangan ini ya, sulit saya memaknai sebenarnya. Karena saya berpikir tadinya Anda akan menerangkan persoalan pertentangan ini dengan Undang-Undang Dasar, tapi yang banyak Anda terangkan adalah soal manajemen pemasaran dan sebagainya. Saya mau tanya di ininya, dari konstruksi berpikir pembuat undang-undang, tadi di … di mana … bagaimana Saudara Ahli bisa menerangkan kepada Mahkamah dengan jelas ya, dengan jelas karena ini sidang terbuka ya, supaya publik juga tahu dengan jelas kontradiksi antara ketentuan yang dimohonkan ketentuan permohonan ini dengan konstitusi. Karena itu yang belum … belum kami tangkap dari … dari … dari anu Saudara, kecuali Saudara menjelaskan tentang makna keadilan substantive yang ada di putusan Mahkamah Konstitusi lalu diperbandingkan dengan putusan Mahkamah Agung di Amerika Serikat, misalnya soal bahwa perbedaan perlakuan itu tidak sama, bukan berarti tidak adil kalau memang keduanya berbeda, ya, memperlakukan sama untuk hal yang sama dan memperlakuan berbeda untuk hal yang berbeda, itu adalah asas keadilan. Tapi di sisi yang lain, saya tidak melihat ada sesuatu yang kontekstual dari keterangan Saudara Ahli yang bisa menjelaskan, membantu Pemohon maksudnya, membantu Pemohon untuk meyakinkan Mahkamah bahwa ketentuan undangundang yang dimohonkan pengujian ini memang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Jadi, itu yang saya belum bisa tangkap dari … dari ininya, dari keterangan Saudara Ahli ya. Tolong dijelaskan dengan bahasa yang mungkin lebih sederhana, supaya bisa dipahami oleh publik karena ini sekali lagi di sidang terbuka, di mana ketentuan pertentangan itu bisa Saudara lihat? Terima kasih, Pak Ketua Yang Mulia. 17
36.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih. Yang Mulia Pak Wahiduddin, saya persilakan.
37.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Terima kasih, Yang Mulia Pak Ketua. Saya ingin mendapat penegasan dari kedua Ahli. Pertama dalam petitum dari Pemohon, ini baik yang Pasal 2 ayat (1) maupun Pasal 30 ayat (2) ingin menekankan inkonstitusional bersyarat bahwa kata integrasi itu mengandung dampak monopoli pengusahaan peternakan nasional apabila … maka bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Kemudian Pasal 30 ayat (2) juga, itu kata kerja sama itu mengandung dampak monopoli pengusahaan peternakan nasional. Jadi, dua kata itu sebetulnya di petitum dari Pemohon setelah perbaikan ini, beda dengan waktu pertama ya. Waktu pertama memang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar untuk menyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat, tapi ini inkonstitusional bersyarat. Jadi, tekanannya bahwa frasa atau kata integrasi bukan lagi kata yang di bidangnya itu, bidang terkait, tapi integrasi di Pasal 2 ayat (1), kemudian di kerja sama itu, kata itu dianggap punya dampak nanti monopoli. Dari Ahli yang pertama, ini mengusulkan kata integrasi itu diganti dengan kemitraan. Nah, apakah jadi pas nanti untuk bahwa dengan … apa … mengganti kata integrasi, kemitraan, maka Pemohon yang ingin mengatakan bahwa integrasi itu jangan nanti berarti monopoli pengusahaan. Ini supaya tegas terkait dengan petitum dari Pemohon itu. Jadi, bukan mengganti kata integrasi dengan kemitraan, tapi bahwa baik kata integrasi ataupun kata kemitraan dari Saudara itu jangan sampai ini mengandung dampak monopoli pengusahaan. Nah, ini minta ketegasan. Kemudian yang Ahli yang kedua. Ini tadi bahkan jauh menyinggung masalah hasil panen yang dijual supaya tidak dalam pasar dalam negeri dan pasar tradisional, tapi dijual ke pasar internasional. Saya kira, ini sudah tidak dalam artian menjelaskan dari pasal-pasal a quo yang di … apa … mohonkan. Bahkan di sini, ya sudah disinggung bahwa di undang-undang, Peraturan Pemerintah ya, pelaksana UndangUndang Pasar Modal ... penanaman modal kita, kan ada yang terbuka dan yang tertutup ya, close list ya, tertutup. Nah ini, kalau dihubungkanhubungkan dengan Pasal 32 ayat (1), kemudian Pasal 36, ya, sebetulnya bisa dihadang di sini. Kenapa tidak di Peraturan Pemerintah tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Terbuka itu di sini, di ... dihadangnya? Karena semangat dari isi Pasal 32, Pasal 36, ya sebetulnya ya untuk melindungi para peternak rakyat itu. Mengapa tidak itu di penanaman modal ini? Karena ini terkait dengan pihak asing kan, baik perorangan maupun badan hukum asing. Itu pun di sini disebut dapat 18
kan, itu dapat kan? Tapi pasal-pasal berikutnya kan, sebetulnya sangat … apa ... memberikan perlindungan di peternakan rakyat itu. Ya, mengapa tidak di PP itu? Lebih banyak di … apa ... dimasukkan agar dia menjadi daftar yang tertutup atau yang sangat ketat sekali. Jadi tidak lalu melebar melalui, bagaimana hasil panennya itu dijual di dalam pasar dalam negeri dan tradisional yang ... yang dilarang, tapi untuk di pasar internasional, tapi pengusahaan di daftar PP Nomor 20 ... PP Nomor 39 Tahun 2014 ya, tentang … apa ... bidang usaha yang cocok, itu bidang usaha yang terbuka. Nah, di sana kan lebih mudah pengubahan peraturan pemerintah itu dan perubahan beberapa ketentuannya itu. Demikian, terima kasih. 38.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Yang Mulia. Saya ikut menambahkan pertanyaan, nanti setelah terkumpul, baru dijawab. Pada Ahli yang pertama. Saudara di dalam keterangannya menyinggung juga berkaitan misi Undang-Undang Dasar di bidang ekonomi, saya mencoba mengikuti jalan detail Ahli. Saudara mengatakan bahwa peternakan itu bisa dimasukkan sebagai salah satu subbidang yang menguasai hajat hidup orang banyak. Karena peternakan menguasai hajat hidup orang banyak, maka Saudara mengatakan ini saya mencoba mengikuti jalan pikiran, itu harus dikuasai negara dan kalaupun itu diberikan pengelolaannya bukan oleh negara, maka diberikan kepada rakyat, kan gitu pola pikirnya. Jangan diberikan kepada sektor swasta, bahkan sektor asing, kan gitu kekhawatiran Anda. Tapi, kalau kita melihat pasal-pasalnya, apakah memang ada kecenderungan pasal yang diujikan kedua pasal itu? Itu berpotensi untuk bisa menjauhkan sektor peternakan dari penguasaan oleh rakyat, penguasaan oleh negara menjadi dikuasai oleh asing. Karena Pemohon itu di dalam positanya menyampaikan bahwa undang-undang ini, khususnya pasal yang diujikan cenderung mengarah ke konsep kartelisasi. Konsep monopoli, bahkan bisa dilakukan penyelendupan berdasarkan pasal tadi, tapi sebetulnya di ayat (1)-nya jelas. Tadi sudah disampaikan oleh Yang Mulia Hakim Pak Palguna, sebetulnya memang ini diberikan dulu ke orang Indonesia. Kalau tidak bisa, baru dapat bekerja sama dengan pihak asing, tapi pihak asing harus tunduk pada Indonesia, sebetulnya ada sisi itu. Tapi, apakah Saudara bisa menjelasakan lebih lanjut, memperdalam penjelasannya? Apa bisa mengarah ke itu, monopoli, kartelisasi, sehingga menjauhkan dari penguasaan negara dan rakyat Indonesia, sehingga sektor peternakan yang menurut Anda dimasukkan menguasai hajat hidup orang banyak, itu bisa dikuasai asing, ya?
19
Saya kembali mengingatkan di Mahkamah ini menguji, sinkronisasi, konsistensi antara undang-undang, atau pasal, atau ayat, atau frasa dengan Undang-Undang Dasar, tapi Saudara lebih banyak mengupas sebetulnya harmonisasi antarpasal yang satu dengan pasal yang lain, kemudian Anda akhirnya malah menemukan istilah integrasi lebih tepat istilahnya kemitraan, dan sebagainya itu, ya. Malah kalau itu diganti kemitraan, itu malah menimbulkan masalah, enggak nyambung, begitu. Ini pemahaman saya dan ternyata juga para Hakim ini masih mempersoalkan itu, sehingga enggak tahu apa yang dimaksud. Kemudian yang kedua dari Ahli hukumnya, Pak Chandra, saya juga melihat ... coba ditunjukkan pada kita, apakah betul kedua pasal itu pasal yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945? Di mananya? Secara lebih tajam, lebih konkret? Karena saya berdasarkan keterangan Anda yang disampaikan ini, saya belum melihat itu. Karena kan Pemohon ini harus dibantu oleh Ahli untuk menjelaskan bahwa ini pasal yang diujikan ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sehingga Mahkamah yakin, oh, ya ini bertentangannya di sini, dari pembacaan Ahli yang didatangkan oleh Pemohon, kan begitu yang diinginkan. Tapi, kita tidak bisa melihat itu, maka kita minta tolong dijelaskan pada kita, supaya apa yang diajukan oleh Pemohon itu betulbetul bisa meyakinkan pada kita bahwa ini adalah pertentangan antara Undang-Undang Dasar Tahun 1945, khususnya pasal kedua itu, dua pasal itu, dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Nah, batu ujinya atau landasan atau dasar konstitusionalnya dengan menggunakan pasal Undang-Undang Dasar Tahun 1945, khususnya Pasal 28C dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Itu sebetulnya sederhana sekali penjelasan itu, sehingga kita menjadi teryakini oleh keterangan Ahli. Saya persilakan siapa dulu? Pak Dwi Cipto atau Pak Chandra, sama saja. Silakan, siapa dulu. 39.
AHLI PEMOHON: DWI CIPTO BUDINURYANTO Baik, barangkali saya akan menjawab dari yang Bapak Arief Hidayat dulu karena tadi, bagaimana kaitannya dengan undang-undang itu? Di halaman 5 sebetulnya kita sudah menuliskan bahwa dominasi PMA itu berpotensi untuk melanggar Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
40.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Apakah itu dengan pasal dua yang diujikan ini atau UndangUndang PMA-nya yang jadi masalah?
20
41.
AHLI PEMOHON: DWI CIPTO BUDINURYANTO Dua-duanya, Pak. Karena nanti kan, undang-undang itu kan nanti kan pintu masuk untuk PMA, untuk ... apa ... katakanlah tadi monopoli atau kartel, dan sebagainya.
42.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Apakah karena itu sudah terjadi praktiknya, kemudian karena Undang-Undang PMA ini kan sudah ada sebelumnya. Dikarenakan keterbukaannya PMA, bukan karena pasal ini yang mengatakan dapat, yang mana?
43.
AHLI PEMOHON: DWI CIPTO BUDINURYANTO Ya, indikasi ke arah sana sudah terjadi sebenarnya, Pak Ketua.
44.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terjadi sebelum adanya undang-undang ini kan?
45.
AHLI PEMOHON: DWI CIPTO BUDINURYANTO Ya, betul.
46.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Lha, berarti kan kalau undang-undang ini, bukan masalah di undang-undang ini, tapi itu masalah di dalam Undang-Undang PMA yang kebetulan sampai hari ini belum ada yang mengujikan di sini.
47.
AHLI PEMOHON: DWI CIPTO BUDINURYANTO Ya, benar. Tapi undang-undang, itu kalau secara sosiologis itu sudah tidak bisa dipertahankan atau katakanlah di lapangan sudah (...)
48.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Yang tidak bisa dipertahankan itu Undang-Undang PMA-nya atau undang-undang ini?
49.
AHLI PEMOHON: DWI CIPTO BUDINURYANTO Undang-undang ini karena itu pintu masuk untuk tadi, masuknya pemodal asing. 21
50.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Masuknya pemodal asing itu sudah dimulai sejak masuknya Undang-Undang Tahun 1967 lho, kalau ini kan undang-undang ini baru tahun 2009.
51.
AHLI PEMOHON: DWI CIPTO BUDINURYANTO Tapi dalam beberapa tahun terakhir, kan kasus itu kan jadi sangat tinggi, gitu.
52.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, silakan nanti coba Saudara ... anu ... dijelaskan, nanti kita yang menilai.
53.
AHLI PEMOHON: DWI CIPTO BUDINURYANTO Baik, terima kasih, Yang Mulia. Jadi dalam Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, itu saya sitir, perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional. Jadi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009, ini dalam beberapa hal, itu kurang bisa ... apa ... menjaga atau mengawal prinsip-prinsip tadi. Misalnya katakanlah seperti masalah integrasi tadi, saya masuk ke integrasi itu. Sebetulnya, tadi Bapak dari Pemerintah tadi yang mempertanyakan tentang kerancuan tadi, ya. Sebetulnya di dalam ayat (2)-nya, ayat (2) sebetulnya kemitraan itu kan sudah ada juga di antara beberapa asas yang lain, gitu. Jadi kalau kemitraan itu ditarik ke ayat (1), sebetulnya tidak ada kontradiksi antara ... apa ... kemitraan dengan integrasi, sejauh integrasi yang dimaksud adalah integrasi horizontal, begitu. Dalam praktik di lapangan, integrasi horizontal yang mungkin bisa dianalogkan dengan kemitraan, itu tidak terjadi atau sering jadi masalah, begitu. Di lapangan, lebih yang sering muncul adalah integrasi vertikal. Jadi, penguasaan dari (…)
54.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Maaf, saya potong, Pak.
22
55.
AHLI PEMOHON: DWI CIPTO BUDINURYANTO Ya, silakan.
56.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Kalau Bapak kan … gini, kita … kita bicara normanya, ya.
57.
AHLI PEMOHON: DWI CIPTO BUDINURYANTO Ya.
58.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Kita bukan bicara kira-kiranya, ya. Coba Bapak perso … Bapak baca norma yang … yang dibaca ini, ya. Pasal berapa itu? Pasal 30 ayat (2), kalau ndak … ya. Ndak, Pasal 2 … Pasal 2-nya itu. Kan Pasal 2, kan yang Bapak persoalkan, kan?
59.
AHLI PEMOHON: DWI CIPTO BUDINURYANTO Ya.
60.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA “Peternakan dan kesehatan hewan dapat diselenggarakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dilaksanakan secara tersendiri dan/atau melalui integrasi dengan budi daya tanaman.” Coba kata sekarang kita ganti sesuai dengan saran Bapak. Kata integrasi itu kita ganti dengan kemitraan. Cocok enggak dengan kalimat berikutnya?
61.
AHLI PEMOHON: DWI CIPTO BUDINURYANTO Kalimat berikutnya, maksudnya di ayat berikutnya?
62.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Ndak, bukan, di … di kata itu. Kata integrasi itu kita ganti sekarang sesuai dengan saran Bapak dengan kemitraan.
63.
AHLI PEMOHON: DWI CIPTO BUDINURYANTO Ini usulan, tentu bisa dipertimbangkan.
23
64.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Bukan, bukan. Saya mau menguji logikanya saja.
65.
AHLI PEMOHON: DWI CIPTO BUDINURYANTO Ya.
66.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Gitu lho, maksud saya. Kalau kata ini, diganti dengan kemitraan, nyambung ndak dengan maksud pasal ini?
67.
AHLI PEMOHON: DWI CIPTO BUDINURYANTO Jadi gini, jadi Pasal 2 ayat (1) menjadi peternakan dan kesejahteraan hewan dapat diselenggarakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dilaksanakan secara tersendiri dan/atau (…)
68.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Kemitraan?
69.
AHLI PEMOHON: DWI CIPTO BUDINURYANTO Kemitraan (titik).
70.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Ndak, kan ndak bisa titik (.) begitu. Kan ini konteksnya dengan kalimat berikutnya. Itu Bapak ngarang pasal sendiri namanya, kalau begitu.
71.
AHLI PEMOHON: DWI CIPTO BUDINURYANTO Mengusulkan, bukan mengarang.
72.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Bukan, bukan. Kalau mengusulkan … maaf, saya ingin menerangkan. Maaf, Pak Ketua. Saya ingin menerangakan, Mahkamah Konstitusi itu tidak boleh merumuskan norma, Pak, yang kalau mau mengusulkan itu, kalau mau perubahan undang-undang, itu di DPR. Kalau kami di sini, cuma bisa 24
mencoret atau memberikan pemaknaan. Kalau memberikan pemaknaan, misalnya tentu yang masuk akal sesuai dengan konteks kalimat. Kalau itu kami ganti dengan kemitraan, jadi ndak nyambung dengan berikutnya. Gitu lho, Pak. Maksud saya itu. Itu anunya. Padahal, kemitraan tersendiri itu sudah diatur di pasal berikutnya, kan? Kan ada bisa diatur secara kemitraan dan sebagainya, gitu kan? Nah, yang … yang mau saya jelaskan di sini, itu yang saya ingin membuktikan apa yang saya sampaikan tadi bahwa kata integrasi yang dimaksud di sini itu adalah bersama-sama dengan, itu barangkali yang dimaksud dalam pembentukan kalimat … undang-undang yang kalau inikan. Jadi, itu yang saya maksud kan, kalau bersama-sama dengan. Makanya kalau kata integrasi itu misalnya tidak ada, (suara tidak terdengar jelas) nanti peternak kita yang mempunyai kemampuan misalnya untuk mengelola peternakan, sekaligus misalnya pertanian yang lain, justru jadi dilarang dengan … dengan tidak adanya ketentuan ini, gitu lho. Maksud Bapak mau menolong Pemohon, akhirnya jadi menjerumuskan. Supaya tidak begitu, makanya saya mengingatkan. Itu maksud saya. Jadi, kalau … justru kata integarasi di sini niatnya memang untuk melindungi. Kalau saya lihat dari ketentuan pasalnya dan dari penjelasan umumnya yang saya bacakan tadi. Penjelasan umum di alinea kedua. “Dalam rangka memanfaatkan dan melestarikan keanekaragaman hayati tersebut, diselenggarakan peternakan dan kesehatan hewan secara tersendiri maupun terintegrasi dengan budi daya tanaman yang lain,” itu lho, konteksnya. Tapi kalau ada konteks integrasi dalam pengertian yang memang seperti itu, pasti bukan di sini tempatnya. Pasti bukan di sini tempatnya, yang seperti Bapak maksudkan. Artinya, kalau ada praktik integrasi yang seperti Bapak cemaskan tadi, integrasi vertikal itu, pasti bukan karena pasal ini, gitu lho, maksud saya. Pasti ada ketentuan yang lain. Dan kalau itu sepanjang menyangkut praktik lapangan, itu berarti berkaitan dengan persoalan penegakan hukum. Jadi maksud saya, jangan karena kesalahan norma yang lain atau karena kesalahan praktik yang lain, norma yang sudah benar, yang maksudnya untuk melindungi petani itu jangan itu yang kemudian di … dicoret, kan malah jadi menjerumuskan supaya itu tidak terjadi. Maksud saya itu, Pak Ketua. Mohon maaf. Terima kasih. 73.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Silakan. Teruskan penjelasannya.
25
74.
AHLI PEMOHON: DWI CIPTO BUDINURYANTO Ya, mohon maaf, Bapak I Dewa Gede Palguna. Mungkin saya bisa sedikit menambahkan. Kami persilakan nanti untuk menilainya, gitu. Ya, jadi dalam praktik itu, Pak, tadi katakanlah praktik di lapangan, integrasi vertikal, Pak, ya, itu … itu lebih menonjol, Pak, di … di lapangan, Pak. Itu yang … ya, saya menduga … menduga pasal tersebut.
75.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Nah, itu (…)
76.
AHLI PEMOHON: DWI CIPTO BUDINURYANTO Sebentar, mohon maaf.
77.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Ndak, ndak, begini. Bapak setuju ndak kalau saya mengatakan seperti yang saya tadi itu? Bahwa peternak kita yang mampu misalnya di samping mengusahakan peternakan, dia juga bisa mengusahakan pertanian yang lain?
78.
AHLI PEMOHON: DWI CIPTO BUDINURYANTO Oh, setuju sekali, Pak.
79.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Lah, itu yang maksud pasal ini. Maksud saya itu.
80.
AHLI PEMOHON: DWI CIPTO BUDINURYANTO Setuju sekali. Hanya dalam praktik, itu ada sedikit masalah, Pak, di masalah itu. Masalahnya begini, Pak. Di dalam integrasi vertikal, itu kecenderungan menggunakan bibit itu sangat terbatas, Pak. Katakanlah strain, kalau di unggas itu. Hanya menggunakan tiga atau empat strain, gitu. Padahal Indonesia itu penuh dengan keanekaragaman hayati. Kalau keanekaragaman hayati tadi itu … apa … kalah dengan praktik integrasi vertikal, itu akan menghambat … apa … pengembangan keanekaragaman hayati di Indonesia, gitu.
26
81.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Kami bisa me … me … anu … memahami kecemasan itu dan sungguh-sungguh kami paham dengan kecemasan itu. Tapi, seperti yang disampaikan Pak Ketua tadi, apakah itu penyebabnya undang-undang ini atau enggak? Itu yang jadi … kan pertanyaan Pemohon kan itu. Undangundang inikah penyebab dari keadaan yang Bapak cemaskan itu ataukah undang-undang lain justru? Seperti misalnya, Undang-Undang Penanaman Modal, misalnya. Kan praktik itu seperti itu bisa terjadi kalau dia menguasai persentase modal yang lebih besar, kan?
82.
AHLI PEMOHON: DWI CIPTO BUDINURYANTO Ya.
83.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Sehingga yang lokal menjadi tidak berkutik, kan itu? Apakah ini yang menyebabkan undang-undang ini, gitu lho maksudnya yang dari Pak Ketua tadi tanyakan itu, Pak.
84.
AHLI PEMOHON: DWI CIPTO BUDINURYANTO Ya, tentu nanti Bapak ada … apa ... saksi fakta barangkali yang bisa menjelaskan lebih baik. Terima kasih, Pak.
85.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Masih ada dari Yang Mulia Pak Wahiduddin belum dijawab tadi?
86.
AHLI PEMOHON: DWI CIPTO BUDINURYANTO Saya kira masih sama tadi … apa ... masalah integrasi, Pak, ya.
87.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Petitumnya Pemohon, yaitu agar integrasi itu tidak lalu nanti artinya monopoli pengusahaan, artinya tidak sejalan ini dengan apa yang diajukan oleh Pemohon di dalam petitumnya dengan usul yang Saudara Ahli kemukakan. Karena dengan kemitraan, ini beda, artinya yang di petitum dengan yang diajukan oleh … apa ... Ahli tadi, tadi sudah disinggung juga oleh Hakim Yang Mulia Pak Palguna, gitu. Jadi apakah memang itu yang diusulkan atau justru menguatkan apa yang diajukan oleh Pemohon? Saya minta ketegasan untuk tadi itu, ya. 27
88.
AHLI PEMOHON: DWI CIPTO BUDINURYANTO Baik, Pak Wahiduddin yang saya hormati. Jadi kalau integrasi yang dimaksudkan di dalam ayat (2) tadi adalah integrasi horizontal, saya sangat bisa memahami, gitu. Dalam praktik di lapangan yang terjadi adalah integrasi vertikal, itu yang jadi masalah yang dirasakan oleh para peternak itu, tidak ada yang salah dengan … apa … penjelasan tadi, sangat baik bunyinya gitu, tapi di lapangan itu (...)
89.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS (Suara tidak terdengar jelas) saja karena petitum itu konstitusional bersyarat, sementara dari Ahli hanya ubah saja kata integrasi menjadi kemitraan, jadi tidak usah konstitusional bersyarat begitu, yang Saudara sampaikan begitu kan?
90.
AHLI PEMOHON: DWI CIPTO BUDINURYANTO Ya.
91.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Frasa atau kata integrasi diganti dengan kemitraan. Kalau dari Pemohon, kata integrasi itu konstitusional bersyarat jangan nanti maknanya artinya berdampak monopoli pengusahaan, itu ya. Jadi minta tegas saja (suara tidak terdengar jelas) cukup kata integrasi diganti dengan kemitraan tidak inkonstitusional bersyarat, seperti dimohonkan oleh Pemohon dalam petitumnya, gitu.
92.
AHLI PEMOHON: DWI CIPTO BUDINURYANTO Ya, saya masih berketetapan bahwa integrasi dan seterusnya itu ... walaupun tadi itu kita ... kalau ada aturannya, saya masih berkeyakinan bahwa ... dua hal, ya, Pak, sebenarnya. Integrasi itu bisa diganti dengan kemitraan. Atau kalau memang integrasi tadi masih ada kata integrasi, itu integrasi yang sifatnya horizontal, dimana nuansa … apa ... kemitraannya lebih menonjol dibanding integrasi vertikal. Namun demikian, saya kembalikan ke Majelis Yang Terhormat untuk (...)
93.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, baik, terima kasih. Silakan Pak Chandra.
28
94.
AHLI PEMOHON: IBNU SINA CHANDRANEGARA Berkenaan dengan pertanyaan yang diajukan, sebetulnya ada dua hal. Bahwa pertanyaan tersebut pertanyaan mengenai kejelasan keterangan dan kemudian tadi Pak Majelis Hakim Pak Wahiduddin bicara mengenai penanaman modal. Bahwa yang saya maksudkan dalam keterangan ini memang melihat bahwa ada sebuah keadaan nyata, berdasarkan hasil riset juga bahwa ada sebuah keadaan nyata bahwa integrasi yang dimaksudkan dalam undang-undang ini menghasilkan sebuah akibat yang berbeda, yaitu ya, tadi integrasi vertikal, sehingga mengakibatkan monopoli yang kemudian di dalam permohonan Pemohon itu berasumsi bahwa mengakibatkan adanya sebuah monopoli dan kartelisasi atas undangundang tersebut. Oleh karena itu, berkaitan dengan Pasal 28D ayat (1) yang kemudian dijelaskan tadi bahwa telah berkembang. Bahwa memang sebuah ketentuan hukum ternyata seringkali memberikan ... tidak sepenuhnya memberikan perlindungan hukum atas subjek hukum yang kemudian antara subjek hukum yang kemudian lahir pasca undangundang tersebut dengan yang sebelumnya, sehingga apa yang dikhawatirkan oleh Pemohon berkenaan dengan Pasal 2 dan Pasal 30 tersebut adalah berkenaan dengan perlindungan terhadap peternak yang tidak bisa kemudian bersaing dengan pola yang integrasi vertikal sebagaimana disampaikan sebelumnya, sehingga apa yang disampaikan oleh saya adalah berbicara mengenai bahwa ternyata norma yang kemudian disusun melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009, itu menghasilkan dampak yang berbeda pasca pengujiannya, ditambah dengan celah-celah lain yang kemudian diatur dalam misalnya tadi disampaikan oleh Majelis bahwa memang Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2014 membuka keran tersebut, ditambah hal tersebut, sehingga Pasal 2 dan sebagai objek pengujian memang kemudian bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1) ... tidak bertentangan, cuma tidak memberikan perlindungan terhadap Pemohon atau (suara tidak terdengar jelas), sehingga mereka mengusulkan konstitusional bersyarat dalam keterangannya, sehingga apa yang disebutkan tadi, apakah kemudian secara langsung, apakah bertentangan dengan UndangUndang Dasar, memang Pasal 28D itu menunjukkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum yang adil. Dalam perlindungan hukum tersebutlah yang kemudian dalam Pasal 2 ayat (1) berkaitan dengan integrasi menghasilkan perlindungan yang berbeda dengan undang-undang yang sebelumnya.
29
95.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Permisi, Pak Ketua. Saudara, Pak (suara tidak terdengar jelas) ya. Saya cuma ingin menguji ini. Kalau pernyataan Bapak Saudara Ahli itu benar, saya ingin mengujinya seperti ini. Katakanlah undang-undang yang diuji sekarang ini ada ya, tapi tidak ada undang-undang tentang penanaman modal dan tidak ada PP yang pelaksanaan lebih lanjut tadi. Apakah praktik seperti yang Bapak cemaskan itu akan terjadi? Itu saja tes untuk menguji bahwa penyebabnya apakah norma ini ataukah norma undang-undang lain? Itu saja untuk menguji. Kalau misalnya norma itu tidak ada, apakah kejadian yang Bapak cemaskan atau yang sudah terjadi ataukah secara faktual terjadi, ataukah dicemaskan akan terjadi itu akan ada. Coba kalau misalnya … coba Anda bayangkan, tidak ada Undang-Undang Penanaman Modal yang membuka keran itu. Kemudian, berapa persen misalnya bisa masuk, sehingga memungkinkan mereka berkuasa dan tidak ada peraturan pelaksananya. Yang membuka negative list misalnya menjadi boleh masuk gitu. Apakah ada persoalan dengan undang-undang ini? Itu saja pertanyaan saya.
96.
AHLI PEMOHON: IBNU SINA CHANDRANEGARA Saya tidak bisa menduga bahwa kalau itu pun tidak ada … permasalahannya ialah undang-undang yang kemudian diuji kali ini Undang-Undang Peternakan tersebut itu bersejalan dengan UndangUndang Penanaman Modal yang ada. Sehingga kalau kemudian menghasilkan sebuah output, yaitu adanya sebuah pengelolaan atau monopoli dan sebagainya, itu dimungkinkan karena memang keduanya ada. Kalau pun tidak ada … dalam kondisi tidak ada saya tidak bisa menerka hal tersebut.
97.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Bukan, saya ingin menguji … kan kita kan bicara … Anda Ahli hukum kan?
98.
AHLI PEMOHON: IBNU SINA CHANDRANEGARA Ya.
99.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Ya, saya mau bicara tentang … apa … metode penafsiran hukum yang Anda gunakan maksud saya. Kalau saya misalnya Anda menimbulkan demikian itu dengan apa, gitu lho? Kan pertama metode 30
yang kita gunakan untuk melihat penafsiran hukum dalam suatu ketentuan perundang-undang kan pasti penafsiran sistematis berdasarkan teks yang ada di sana kan? Sistematisnya adalah di ayat (1)-nya memberikan ketentuan. Ayat (2)-nya kemudian mengatakan kalau … ayat (1)-nya mengutamakan Warga Negara Indonesia, mau korporasi ataukah perorangan, mau berbadan hukum maupun tidak. Ayat keduanya baru mengatakan, kalau dipandang mapan dapat masuk modal asing. Kan itu cara penafsiran kita yang pertama. Sekarang Undang-Undang Modal Asing enggak ada. Menurut penalaran yang wajar, itu tidak akan terjadi. 100. AHLI PEMOHON: IBNU SINA CHANDRANEGARA Ya, kalau menurut hal yang demikian, itu maka tidak akan terjadi. 101. HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Makanya saya menanyakan, metode penafsiran apa yang Anda gunakan, sehingga Anda tiba pada kesimpulan bahwa ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Itu yang tidak kami temukan di dalam keterangan keahlian Saudara yang dimaksudkan untuk membantu Pemohon, gitu maksud saya. 102. AHLI PEMOHON: IBNU SINA CHANDRANEGARA Menggunakan penafsiran (suara tidak terdengar jelas). Secara tujuan bahwa memang dengan keadaan yang demikian itu, dengan keadaan konstruksi juridis yang ada berkaitan dengan undang-undang tersebut dihadapkan dengan keran-keran lain yang dibuka, maka mungkin menghasilkan yang demikian itu. Sehingga Pemohon mengajukan konstitusional bersyarat dalam keadaan tertentu ketika ditafsirkan itu, menghasilkan keadaan yang monopoli dan kartelisasi, itu sebenarnya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. 103. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih, Pak Chandra dan Pak Dwi. Tapi begini, saya minta Pemohon. Supaya ini bisa clear ya karena … apa … keterangan ini masih hanya … apa namanya … sifatnya dugaan ya. Nah, dugaan yang dianggap oleh Ahli karena undang-undang ini, ya. Hakim masih menanyakan, apakah karena undang-undang ini atau karena undang-undang sebelumnya, Undang-Undang PMA yang menjadi masalah? Kalau tidak ada Undang-Undang PMA, apakah undang-undang ini juga bisa berakibat seperti sekarang? 31
Nah, sekarang saya minta kepada Pemohon, ini Para Prinsipal terutama. Adanya gejala atau trend penguasaan dari sektor hulu sampai ke hilir di bidang peternakan, yang sangat menggejala itu, misalnya begini, penguasaan peternakan di bidang unggas. Itu yang besar-besar itu lahir tahun kapan? Sebelum undang-undang ini atau sesudah undang-undang ini terutama? Kalau sesudah undang-undang ini, itu bisa karena undang-undangnya, bisa karena praktik implementasi yang salah. Kalau itu sebelumnya, berarti bukan karena undang-undang ini, tapi karena keterbukaan liberalisasi penanaman modal di seluruh sektor di Indonesia karena masuknya … adanya Undang-Undang PMA. Coba, itu data penelitian saya kira kalau ini teman-teman Prinsipal saya kira punya. Sehingga betul-betul meyakinkan pada Hakim ya bahwa para peternak ini, itu harus dilindungi karena sebetulnya undang-undang inilah yang menjadi masalah, gitu lho ya. Karena kita minta tolong Ahli mengemukakan apa yang kita inginkan itu tidak bisa dipenuhi. Sehingga saya minta pada Prinsipal, tolonglah ada hasil penelitian atau hasil apa pun yang … data yang ada. Perkembangan peternakan yang ke arah liberalisasi, itu munculnya sebelum undang-undang ini atau sesudah undang-undang ini? Tapi kalau ada sesudah undang-undang ini, itu diakibatkan oleh pasal ini atau karena Undang-Undang PMA? Nah, itu sebetulnya yang diuji itu dimulai dari Undang-Undang PMA dulu baru undang-undang ini, itu yang lebih ideal ya. Saya minta untuk bisa ditambahkan, bisa nanti diserahkan pada waktu sambil sama kesimpulannya, atau bisa … atau kalau mungkin, saksi atau ahli yang lain bisa menjelaskan itu. Itu tolong dianukan … ya. Karena kita sangat berkepentingan untuk itu, ya? Supaya kita betul-betul bisa memberikan putusan yang sangat bermanfaat untuk kepentingan peternakan Indonesia di masa depan. Ya, gitu, ya? Baik. Saya kira itu cukup pada hari ini. Dan sebelum sidang saya akhiri, saya tanya Pemohon. Pemohon, sesuai dengan daftar, akan mengajukan ahli lagi? Coba dipikir. Kalau masih ada ahli lagi, silakan. Tapi, yang terdaftar pada kita sudah ada saksi, ya? Saksi fakta, ya? 104. KUASA HUKUM PEMOHON: SYURATMAN USMAN Oh, betul, Yang Mulia, saksi fakta. 105. KETUA: ARIEF HIDAYAT Berapa jumlahnya?
32
106. KUASA HUKUM PEMOHON: SYURATMAN USMAN Ada 11 orang, Yang Mulia. 107. KETUA: ARIEF HIDAYAT 11 orang? 108. KUASA HUKUM PEMOHON: SYURATMAN USMAN Ya. 109. KETUA: ARIEF HIDAYAT Kalau begitu, kalau bisa, kita dengar separuh dulu, ya? 110. KUASA HUKUM PEMOHON: SYURATMAN USMAN Baik, Yang Mulia. 111. KETUA: ARIEF HIDAYAT Enam orang dulu. 112. KUASA HUKUM PEMOHON: SYURATMAN USMAN Enam orang dulu. 113. KETUA: ARIEF HIDAYAT Pada persidangan yang berikutnya lima orang. Tapi, kalau bisa satu ahli yang bisa menjelaskan sebagaimana kita diskusi tadi, ya? 114. KUASA HUKUM PEMOHON: SYURATMAN USMAN Oke, baik, Yang Mulia. 115. KETUA: ARIEF HIDAYAT Tolong nanti dianukan … pada kita, ya? 116. KUASA HUKUM PEMOHON: SYURATMAN USMAN Baik, Yang Mulia.
33
117. KETUA: ARIEF HIDAYAT Sebelumnya beri curriculum vitae dan disampaikan kepada kita, ya?
keterangan ahlinya
118. KUASA HUKUM PEMOHON: SYURATMAN USMAN Baik, Yang Mulia. 119. KETUA: ARIEF HIDAYAT Itu untuk kepentingan Saudara, bukan untuk kepentingan anu … tapi, Hakim melihat untuk kepentingan nasional, untuk kepentingan Republik Indonesia di masa depan, ya? 120. KUASA HUKUM PEMOHON: SYURATMAN USMAN Baik, Yang Mulia. 121. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Saya ulangi, kita akan mendengar enam ahli … saksi fakta dari Pemohon. Sidang akan diselenggarakan lagi pada hari Selasa, 17 November Tahun 2015, pada pukul 11.00 WIB, dengan agenda mendengarkan keterangan saksi enam orang. Tapi, kalau bisa, ada satu ahli, ya? Baik. Sidang selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 12.35 WIB Jakarta, 10 November 2015 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
34