MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 136/PUU-XIII/2015 PERKARA NOMOR 137/PUU-XIII/2015
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN DPR, DPD, DAN AHLI PEMOHON (IV)
JAKARTA KAMIS, 14 APRIL 2016
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 136/PUU-XIII/2015 PERKARA NOMOR 137/PUU-XIII/2015 PERIHAL − −
Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah [Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 15 ayat (1) beserta Lampiran Matriks] terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah [Pasal 9 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 11 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 12 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 13 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 14 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 15 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 17 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 21, Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 251 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (8)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
PEMOHON − −
Kasman Lassa (Perkara Nomor 136/PUU-XIII/2015) Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), Pemerintah Daerah Kabupaten Batubara, Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh, dkk (Perkara Nomor 137/PUU-XIII/2015)
ACARA Mendengarkan Keterangan DPR, DPD, dan Ahli Pemohon (IV) Kamis, 14 April 2016 Pukul 11.47 – 14.04 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6)
Arief Hidayat Patrialis Akbar Maria Farida Indrati Aswanto I Dewa Gede Palguna Wahiduddin Adams
Rizki Amalia Syukri Asy’ari
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 136/PUU-XIII/2015: 1. Andie H. Makassau 2. Najamuddin Laganing 3. D. B. Lubis B. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 137/PUU-XIII/2015: 1. Andi Syafrani 2. Yupen Hadi 3. Mellisa Anggraini C. Pemerintah: 1. Hotman Sitorus 2. Yunan Hilmy 3. Julianto Dimas Saputro D. DPD: 1. Akhmad Muqowam 2. Nono Sampono E. Ahli dari Pemohon Perkara Nomor 136/PUU-XIII/2015: 1. Jalaluddin 2. Christian Rongko F. Ahli dari Pemohon Perkara Nomor 137/PUU-XIII/2015: 1. M. Ryaas Rasyid 2. Indra Perwira
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.47 WIB 1.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Bismillahirrahmaanirrahiim. Sidang dalam Perkara Nomor 136 dan 137/PUU-XIII/2015 dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Saya cek kehadirannya terlebih dahulu. Perkara Nomor 136, Pemohon, hadir? Silakan. Silakan.
2.
KUASA HUKUM PEMOHON 136/PUU-XIII/2015: ANDIE H. MAKASSAU Ya, terima kasih. Yang Mulia, dari 136/PUU-XIII/2015 hadir Kuasanya, saya sendiri Andie H. Makassau. Di sebelah saya, sudah ada D. B. Lubis, S.H. Sebelah saya lagi, Saudara Rasyid Ruppa, S.H. Sebelah lagi, Saudara Najamuddin Laganing. Di samping itu juga, Yang Mulia pada hari ini juga dihadiri oleh beberapa kepala SKPD dari Kabupaten Donggala. Terima kasih.
3.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Terima kasih. Perkara 137/PUU-XIII/2015?
4.
KUASA HUKUM SYAFRANI siang.
PEMOHON
137/PUU-XIII/2015:
ANDI
Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat
Perkara 137/PUU-XIII/2015 dalam hal ini Kuasa Hukum, saya sendiri Andi Syafrani. Sebelah kanan saya Yupen Hadi, dan kami didampingi dari Mellisa Anggraini. Dan hadir juga Yang Mulia, Prinsipal kami di belakang, Ketua Umum APKASI, yaitu juga Bupati Tanah Bumbu, kemudian ada Bupati Batubara, Bupati Kapuas, Bupati Lombok Utara, Wakil Bupati Karangasem, Wakil Bupati Kediri, Wakil Bupati Lampung Selatan, dan juga ada beberapa dari Pemerintah Daerah, Yang Mulia, yang hadir di sini dari Lampung Selatan, Muara Enim, Banjarnegara, kemudian Kolaka Utara, serta ada dari Kulon Progo, Majalengka. Demikian, Yang Mulia.
iii
5.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Terima kasih. Dari DPR tidak hadir. Dari DPD, silakan.
6.
DPD: AKHMAD MUQOWAM Terima kasih. Assalamualaikum wr. wb. Yang Mulia Para Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya hormati. Kami dari DPD datang dua orang. Pertama, Akhmad Muqowam Ketua Komite I, lalu yang kedua adalah Bapak Nono Sampono Anggota Komite I mendapat amanat dari Pimpinan DPD. Terima kasih.
7.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Pak Muqowam. Dari Pemerintah yang mewakili Presiden, saya persilakan.
8.
PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS Terima kasih, Yang Mulia. Pemerintah hadir diwakili Yunan Hilmy, Direktur Litigasi. Saya sendiri Hotman Sitorus dan Julianto Dimas Saputro. Terima kasih, Yang Mulia.
9.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Terima kasih. Sebelum saya mulai, perlu saya sampaikan. Yang pertama, permohonan maaf dari Majelis karena kita baru saja selesai menerima courtesy call dari Komisi II Republik Indonesia. Jadi, tadi mulai pukul 09.00 WIB baru selesai pada pukul 11.30 WIB, kemudian kita langsung menuju ke sini. Untuk itu, saya mohon maaf pada Pemohon, dan DPD, dan Pemerintah, serta Ahli yang datang ke sini. Karena kita memulai persidangan ini agak lambat dari apa yang diagendakan dan selama ini memang tidak terjadi karena yang sangat urgent untuk persiapan Pilkada, Komisi II meminta bertemu dengan kita untuk … apa namanya … membahas hal-hal yang sudah diputuskan oleh Mahkamah, apakah harus diakomodasikan atau tidak. Kemudian yang kedua, pada kesempatan persidangan ini, semestinya Pleno, tapi tidak bisa kuorum karena ada tiga orang Hakim yang karena sesuatu hal tidak bisa menghadiri karena acaranya penting, sehingga tiga Hakim izin tidak mengikuti persidangan, sehingga Pleno ini kemudian kita ubah menjadi Sidang Panel yang diperluas karena tidak mengambil keputusan, ya, maka ini sah menurut hukum, selama tidak 2
mengambil keputusan apa pun. Kalau mendengarkan keterangan saksi, kemudian mendengarkan keterangan DPD, itu tetap sah. Dan untuk itu, saya mohon persetujuan pada Pemohon dan semua pihak yang hadir apakah bisa disetujui untuk tetap kita bersidang dengan menggunakan Panel yang diperluas. Perkara 137/PUU-XIII/2015 tetap setuju? 10.
KUASA HUKUM SYAFRANI
PEMOHON
137/PUU-XIII/2015:
ANDI
Setuju, Yang Mulia. 11.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Perkara 136/PUU-XIII/2015?
12.
KUASA HUKUM PEMOHON 136/PUU-XIII/2015: ANDIE H. MAKASSAU Setuju, Yang Mulia.
13.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Setuju. Dari DPD bisa dilanjutkan?
14.
DPD: AKHMAD MUQOWAM Setuju.
15.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Dari Pemerintah?
16.
PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS Setuju, Yang Mulia.
17.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Kalau begitu, kita mulai. Sebelum mulai, saya mohon untuk maju ke depan. Ada dua orang Ahli dari Pemohon 136/PUU-XIII/2015 dan dua orang Ahli dari Perkara 137/PUU-XIII/2015. Mohon untuk maju ke depan untuk diambil sumpahnya terlebih dahulu.
3
Yang pertama, Dr. Jalaluddin, (suara tidak terdengar jelas) S.H., M.H. Kemudian yang kedua, Pak Christrian Rongko untuk Perkara 136/PUU-XIII/2015. Kemudian untuk Perkara 137/PUU-XIII/2015, Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid. M.A. Dan yang kedua, Dr. Indra Perwira, S.H., M.H. Yang kesemuanya tiga orang, Pak Jalaluddin, Pak Ryaas Rasyid, dan Pak Indra beragama Islam, sedangkan Pak Christian beragama Kristen. Saya persilakan untuk … ini semuanya Ahli. Rohaniwan Kristen supaya mendampingi. Baik. Saya persilakan, Yang Mulia Pak Wahiduddin untuk mengambil sumpah Ahli yang beragama Islam. 18.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Baik, kepada Ahli untuk mengikuti lafal yang saya tuntunkan. “Bismilahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.”
19.
AHLI BERAGAMA ISLAM: Bismilahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.
20.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih. Prof. Maria, mohon berkenan untuk menyumpah Pak Christian.
21.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, ikuti saya. “Saya berjanji sebagai Ahli, akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong saya.”
22.
AHLI BERAGAMA KRISTEN: Saya berjanji sebagai Ahli, akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong saya.
4
23.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Terima kasih.
24.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih. Silakan duduk kembali. Sebelum saya mulai, saya minta konfirmasi dan penegasan ini kepada Pemohon 136/PUU-XIII/2015. Pemohon 136/PUU-XIII/2015 mengajukan bukti tambahan P-19, P-20, P-21, dan P-22. Ini sebetulnya tidak perlu menjadi bukti tambahan, ya. P-19 itu Pokok-Pokok Pikiran Pemohon. Kemudian P-20 Tanggapan Pemohon atas Keterangan Pihak ... Keterangan Presiden. Presiden itu bukan Pihak Terkait, ya, Presiden itu adalah pihak yang berwenang untuk membuat peraturan perundangan bersama dengan DPR dan DPD dalam kasus perkara ini. Jadi, ini nanti bisa dijadikan bahan pada waktu anu ... menyusun kesimpulan, ya. Nanti ditambahkan dalam kesimpulan.
25.
KUASA HUKUM PEMOHON 136/PUU-XIII/2015: ANDIE H. MAKASSAU Siap (...)
26.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Silakan ada, ya. Kemudian bukti P-21 dan P-22 itu tidak perlu menjadi bukti karena ini curriculum vitae Ahli Pemohon. Itu hanya kita minta untuk … apa ... mengetahui apakah Pemohon itu mengajukan betul-betul ahli, ya. Jadi, curriculum vitae ini untuk kita mengetahui persis apa kompetensi ahli yang diajukan, jadi bukan bukti.
27.
KUASA HUKUM PEMOHON 136/PUU-XIII/2015: ANDIE H. MAKASSAU Siap, Yang Mulia.
28.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, oleh karena itu, ini semua 4 ini enggak usah dijadikan bukti.
29.
KUASA HUKUM PEMOHON 136/PUU-XIII/2015: ANDIE H. MAKASSAU Baik. 5
30.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, sehingga tidak perlu disahkan dalam persidangan.
31.
KUASA HUKUM PEMOHON 136/PUU-XIII/2015: ANDIE H. MAKASSAU Baik.
32.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, ya. Baik, kita mulai dengan mendengarkan Keterangan DPD dalam perkara yang diajukan oleh Pemohon 136/PUU-XIII/2015 dan 137/PUUXIII/2015. Saya persilakan, siapa yang akan membacakan? Pemohonnya, di podium. Silakan.
33.
DPD: AKHMAD MUQOWAM Assalamualaikum wr. wb.
34.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Sebelum membacakan, bisa saya sela. Untuk pasal-pasal yang dikutip, saya kira tidak perlu dibacakan.
35.
DPD: AKHMAD MUQOWAM Baik.
36.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Hanya inti dari itu saja karena ini banyak kutipan pasal-pasalnya, semua pihak dianggap telah mengetahui, ya.
37.
DPD: AKHMAD MUQOWAM Baik, Yang Mulia.
38.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Saya persilakan.
6
39.
DPD: AKHMAD MUQOWAM Bahkan 136/PUU-XIII/2015 pun tidak perlu saya bacakan karena termasuk di dalam bagian 137/PUU-XIII/2015.
40.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Sama, ya?
41.
DPD: AKHMAD MUQOWAM Ya.
42.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, kalau begitu saya persilakan, Pak Muqowam. Ini senior saya di Undip ini. Silakan, Pak Muqowam.
43.
DPD: AKHMAD MUQOWAM Baik. Assalamualaikum wr. wb. Keterangan DPD RI atas Permohonan Uji Materiil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam Perkara Nomor 136/PUU-XIII/2015 dan Perkara 137/PUU-XIII/2015. Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Yang saya hormati Wakil Pemerintah, Para Ahli, dan Pemohon. Berdasarkan surat panggilan sidang dari Panitera Mahkamah Konstitusi Nomor 135 dan seterusnya, tanggal 22 Maret 2015, DPD dalam Sidang Paripurna tanggal 11 April telah menugaskan Komite I DPD RI yang selanjutnya dalam Sidang Pleno Komite I tanggal 12 April 2016, menugaskan kepada Pimpinan Komite I beserta anggota. Drs. Akhmad Muqowam, Beni Ramdani, Letjen Purnawirawan ... Marinir (Purn.) Dr. Nono Sampono, M.Si. Dalam hal ini baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas nama DPD RI yang selanjutnya disebut DPD RI. Sehubungan dengan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang diajukan oleh: 1. Asosiasi Himpunan Kabupaten/Kota yang diwakili oleh Mardani H. Maming dan Prof. Dr. H. M. Nurdin Abdullah. 2. Pemda Kabupaten Batubara. Dan seterusnya sampai dengan 7
46. Pemerintah Daerah Kabupaten Sopeng, Provinsi Sulawesi Selatan yang diwakili oleh Wakil Bupati Sopeng. 47. Ibnu Jandi, S.Sos., M.M., Warga Negara Indonesia (Pemohon 47). Selanjutnya disebut Para Pemohon. Dengan ini, DPD menyampaikan keterangan terhadap Pemohon Pengujian Undang-Undang Pemda terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Perkara 136/PUUXIII/2015 dan 137/PUU-XIII/2015 sebagai berikut. A. Ketentuan Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang Dimohonkan Pengujian terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, saya tidak bacakan. Saya bacakan sedikit, Pasal 9 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 11 ayat (1), (2), (3), kemudian Pasal 12 ayat (1), (2), (3), Pasal 13 ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 14 ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 15 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 16 ayat (1), (2), Pasal 17 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 21, Pasal 27 ayat (1), (2), Pasal 28 ayat (1) dan (2), Pasal 251 ayat (2), (3), dan (4), ketentuan sebagaimana di atas secara konstitusional dianggap merugikan kepentingan Pemohon yang bersifat spesifik, aktual, dan potensial, serta bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya yang berkaitan dengan ketentuan: a. Pasal 18 ayat (1). b. Pasal 18 ayat (2). c. Pasal 18 ayat (5). d. Pasal 18 ayat (6). e. Pasal 18A ayat (1). f. Pasal 18A ayat (2). g. Pasal 24A ayat (1). h. Pasal 28C ayat (2). i. Pasal 28D ayat (1). B. Kerugian Konstitusional Pemohon atas Berlakunya Undang-Undang Pemerintahaan Daerah. Parameter kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang, sebagaimana diuraikan dalam Putusan MK Nomor 06/PUU-III/2005 dan 011/PUU-V/2007 harus memenuhi lima syarat. Para Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa berlakunya pasal tersebut yang saya sampaikan telah menimbulkan kerugian konstitusional secara spesifik, aktual, dan potensial yang pokoknya sebagai berikut. a. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan seterusnya.
8
b. Bahwa Ketentuan Pasal 9 beserta pasal-pasal turunannya memuat konsep otonomi daerah, namun merupakan otonomi terbatas, bukan otonomi luas. c. Alasan mengapa Para Pemohon menyatakan bahwa otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 23 merupakan undangundang terbatas karena terdapat pembagian urusan pemerintahaan secara kategoris, yaitu absolut, konkuren, dan pemerintah pusat dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, sehingga menurut Pemohon hampir-hampir tidak ada lagi ruang terbuka bagi pemerintah daerah kabupaten/kota dalam pengurusan sendiri rumah tangganya, kecuali sudah ditentukan dalam undang-undang, dan peraturan pemerintah, serta peraturan Presiden. d. Bahwa supervisi dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren yang dilakukan oleh pemerintah daerah secara tegas ditentukan dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. e. Pembatasan lainnya menurut Pemohon, pemerintah daerah dan DPRD tidak memiliki kewenangan untuk melaksanakan fungsi untuk pengelolaan sumber daya alam, sehingga berimplikasi pada sumber pendapatan dan keuangan daerah masing-masing. f. Pemerintah daerah dan DPRD jika mengeluarkan kebijakan, maka kebijakan tersebut harus sesuai dengan norma, standar, kriteria, dan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. C. Keterangan DPD RI terhadap Dalil Para Pemohon. Sebagaimana diuraikan dalam permohonan a quo, DPD menyampaikan keterangan sebagai berikut. 1. Kewenangan MK. 2. Kedudukan Hukum. Berdasarkan hal tersebut, berkaitan dengan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon DPD RI berpandangan: a. Bahwa terkait kualifikasi untuk bertindak sebagai Pemohon, Pemohon 1, yaitu APKASI dan pengajuan permohonan a quo dalam pandangan DPD tidak memiliki legal standing karena APKASI bukan sebagai badan hukum publik yang mewakili daerah dalam perkara a quo. b. Bahwa terkait dengan kualifikasi untuk bertindak sebagai Pemohon, Pemohon 2 sampai dengan Pemohon 46 dalam pengajuan permohonan a quo dalam pandangan DPD memiliki legal standing, oleh karenanya dapat sebagai Pemohon. c. Bahwa terkait dengan kualifikasi untuk bertindak sebagai Pemohon, Pemohon 47 tidak memenuhi kualifikasi sebagai Pemohon karena tidak merepresentasikan secara langsung kepentingan daerah sebagai badan hukum publik dan tidak 9
adanya kerugian yang ditimbulkan atau yang akan timbul dengan perkara a quo pada dirinya. d. Bahwa terkait dengan adanya hak dan/atau kewenangan hak konstitusional dari Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya suatu undang-undang, berdasarkan persyaratan yang telah ditentukan oleh MK, sebagaimana termaktub dalam putusan MK, menurut pandangan DPD, Pemohon 2 sampai dengan 46 memenuhi persyaratan dan oleh karenanya dapat sebagai Pemohon. Namun demikian, jika Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpandangan lain, DPD RI akan menghormati dan tunduk pada putusan Majelis. 3. Pengajuan Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Terhadap permohonan pas … pengujian materi sebagaimana tersebut saya sebutkan di awal, DPD menyampaikan keterangan sebagai berikut. a. Bahwa di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Konsekuensi logis sebagai negara kesatuan adalah dibentuknya pemerintahan Negara Indonesia sebagai pemerintahan nasional untuk pertama kalinya dan kemudian pemerintah nasional tersebutlah yang kemudian membentuk daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang kemudian dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa pemerintahan daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan as … tugas pembantuan. Yang dimaksud dengan asas otonomi berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Pemda adalah prinsip dasar penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasar otonomi daerah. Sedangkan pengertian tugas pembantuan berdasar ketentuan Pasal 1 angka 11 adalah penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah provinsi kepada kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah provinsi. Dalam rangka menjalankan asas otonomi dan tugas pembantuan tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya yang dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam 10
negara kesatuan, kedaulatan hanya ada pada pemerintah negara atau pemerintah nasional dan tidak ada kedaulatan pada daerah. Oleh karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan kepada daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan daerah akan tetap ada di tangan pemerintah pusat. Dan karena itu, perwujudan penyerahan semua urusan otonomi seluas-luasnya kepada daerah adalah keniscayaan, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat … urusan pemerintah pusat. Dalam hal ini DPD berpandangan bahwa pengaturan pelaksanaan otonomi daerah tersebut diatur dalam undang-undang pemerintah daerah beserta lampira … di dalam undang-undang pemerintahan daerah. (Kata beserta lampirannya yang ditu … yang tidak terpisahkan dihapus.) b. Bahwa terkait dengan pembagian urusan atau kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah Pasal 18A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dalam undang-undang dan dilaksanakan secara adil dan selaras. Pengaturan hubungan wewenang tersebut lebih jauh diatur dalam Undang-Undang 23, sebagaimana diubah dengan UndangUndang 9 Tahun 2015 dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) undang-undang tersebut dinyatakan bahwa daerah kabupaten/kota selain berstatus sebagai daerah, juga merupakan wilayah administratif yang menjadi wilayah kerja bagi bupati, walikota dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di wilayah daerah kabupaten/kota. Yang dimaksud dengan urusan pemerintahan umum berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (5) Undang-Undang 23 adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Presiden dalam menjalankan urusan pemerintahan dilaksanakan oleh menteri negara dan penyelenggaraan pemerintah daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan mensejahterakan masyarakat. Selain urusan pemerintahan umum berdasarkan Pasal 9 ayat (1), (2), (3) Undang-Undang Dasar … Undang-Undang 23 tersebut dikenal adanya urusan pemerintahan absolut dan urusan pemerintahan konkuren. Urusan pemerintahan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pusat … pemerintah pusat, yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, dan fiskal, serta agama. Adapun urusan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dan 11
pemerintah daerah dan kabupaten/kota. Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang 23 urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke daerah menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah. Makna kata diserahkan dalam ketentuan ayat ini, menurut pandangan DPD bahwa pada hakikatnya urusan tersebut merupakan urusan pusat, namun dalam rangka menjalankan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan, sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 5 ayat (4) Undang-Undang 23, pemerintah pusat menyerahkan atau membagi sebagian urusan kepada pemerintah daerah. Hal inilah menjadi pelaksanaan otonomi daerah jika pemerintah pusat tidak membagi urusan pemerintahan dengan pemerintah daerah, maka pemerintah … pemerintahan menjadi sentralistik dan mencederai asas otonomi daerah. c. Bahwa berdasarkan alasan sebagaimana diuraikan dalam huruf a dan b di atas, jika dikaitkan dengan permohonan perkara a quo ketentuan Pasal 9 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 11 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 12 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 13 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 14 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 15 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 16 ayat (1), ayat (2), Pasal 17 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 21, Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 251 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dan ayat (8) pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat. d. Berdasarkan … Bahwa berdasarkan alasan sebagaimana diuraikan dalam huruf a dan b di atas, jika berkaitan dengan permohonan a quo Pasal 14 ayat (2) pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku. Jadi, saya ulangi. d. Bahwa berdasarkan alasan sebagaimana diuraikan dalam huruf a dan b di atas, jika berkaitan dengan permohonan a quo Pasal 14 ayat (2) pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku. Demikian keterangan DPD kami sampaikan. Terima kasih. Kami sampaikan untuk menjadi bahan pertimbangan bagi Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, memutus, dan mengadili perkara a quo dan dapat memberikan putusan sebagai berikut. 1. Menerima keterangan DPD secara keseluruhan. 2. Menyatakan Pasal 9 dan seterusnya, kecuali Pasal 14 ayat (2). Keseluruhan, kecuali Pasal 14 ayat (2).
12
3. Menyatakan Pasal 14 ayat (2) … 3. Menyatakan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku. 4. Apabila Mahkamah … apabila Mahkamah berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya. Hormat kami, Dewan Perwakilan Daerah Akhmad Muqowam, B52, Letjen TNI Marinir Purnawirawan Dr. Nono Sampono, M.Si., B-118. Saya izin, Yang Mulia. Kami mohon berdiri, Pak Nono. Terima kasih, wassalamualaikum wr. wb. 44.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Waalaikumsalam wr. wb. Terima kasih, Pak Muqowam yang telah membacakan keterangan dari DPD. Untuk keterangan dalam Perkara Nomor 136 dan Nomor 137 yang tidak dibacakan, dianggap telah dibacakan dalam persidangan ini. Kemudian yang berikutnya, akan kita dengar keterangan Ahli dari Pemohon Nomor 136 dan Nomor 137. Kita mulai dari Perkara Nomor 136. Saya persilakan, masing-masing Ahli maksimal menggunakan waktu 10 menit dan makalah yang ada dianggap telah disampaikan secara utuh dan secara keseluruhan. Saya persilakan dimulai terlebih dahulu dari Bapak Dr. Jalaluddin. Saya persilakan.
45.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 136/PUU-XIII/2015: JALALUDDIN Assalamualaikum wr. wb.
46.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Waalaikumsalam wr. wb.
47.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 136/PUU-XIII/2015: JALALUDDIN Salam sejahtera untuk kita sekalian. Yang saya hormati, Yang Mulia Majelis Mahkamah. Pada kesempatan ini, perkenankanlah saya membacakan sekelumit pendapat hukum sebagai keterangan Ahli Pemohon berkenaan dengan pengujian materi norma Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 15 ayat (1), beserta matriks sub urusan pada lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 13
Sebelum memberi keterangan, Ahli Pemohon terlebih dahulu saya memberi pengantar bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan jantung dan jiwa Negara Republik Indonesia. Dalam kedudukan demikian, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat memberi tahu kepada kita apa maksud pembentukan Negara Republik Indonesia, bagaimana citacitanya, apa yang ingin dilakukannya, serta asas-asas kehidupan yang terdapat di dalamnya yang sudah barang tentu akan menjadi panduan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang timbul dalam khusus dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, lebih penyelenggaraan pemerintahan pemerintahan daerah. Sejak Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah telah mengalami pasang-surut, mengikuti pasang-surut perkembangan kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia. Hal ini ditandai dengan telah terjadinya beberapa kali pergantian dan perubahan undang-undang tentang pemerintahan daerah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Hadirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai undang-undang yang baru mengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, membuat roda pemerintahan kabupaten/kota mengalami turbulensi, sehingga mengguncang sebagian besar lingkungan pemerintahan daerah di Indonesia, khususnya lingkungan pemerintahan kabupaten/kota, dimana yang dahulu menjadi kewenangan yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tapi setelah berlakunya UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebagian besar urusan yang berkenaan dengan kelautan, kehutanan, dan SDM telah menjadi wewenang pemerintah pusat dan pemerintah provinsi, sedangkan pemerintah kabupaten/kota hanya menerima bagi hasil dari pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Keadaan demikian, Pemohon dalam kapasitasnya sebagai Pemerintah Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah melihat dan merasakan bahwa rumusan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 15 ayat (1) bertentangan dengan Ketentuan Pasal 18 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk menentukan rumusan pasal-pasal tersebut di atas yang menjadi pokok permohonan Pemohon, supaya tepat sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka terlebih dahulu kita harus menggali kehendak Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengenai bangunan hukum dan struktur politik, serta susunan pemerintahan negara. Hal ini sesuai 14
dengan pendapat pakar yang menyatakan bahwa satu konstitusi terdiri dari pranata peraturan yang tinggi atau peraturan-peraturan untuk membuat peraturan-peraturan di bawahnya. Dengan demikian, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selain menjadi sumber dan dasar hukum berlakunya peraturan perundang-undangan di bawahnya, juga UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan garis besar, arah, isi Undang-Undang Pemerintahan Daerah di Indonesia. Yang Mulia Mahkamah Konstitusi yang saya hormati. Tibalah pada satu pertanyaan, apakah materi muatan norma rumusan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 15 ayat (1) beserta matriks sub urusan pada lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2), Pasal 18 ayat (5), dan Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945? Untuk memberi jawaban dan keterangan atas pertanyaan hukum tersebut di atas, yang menjadi pokok permohonan Pemohon dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 136/PUU-XIII/2016, saya memulai dengan keterangan atau penjelasan ini berangkat dari sebuah teori bahwa negara tidak lain adalah bangunan hukum, negara hukum dikonstruksikan selain sebagai bangunan hukum, juga sekaligus sebagai struktur politik, sehingga bangunan hukum yang dibuat selain sesuai dengan kebutuhan masyarakat, juga harus tercermin dalam susunan pemerintahan negara. Jika konsisten dengan teori ini, maka pola pikir pembentukan hukum, khususnya peraturan perundang-undangan, lebih khusus pada pembentukan undang-undang pemerintahan daerah di Indonesia harus sesuai prinsip-prinsip. Pertama bahwa substansi pembentukan norma di dalam undangundang pemerintahan daerah harus mencerminkan bangunan negara, bentuk negara, susunan negara, dan sistem pemerintahan yang telah ditentukan lebih dahulu dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua, pembentukan Undang-Undang Pemerintahan Daerah selain mempunyai dasar-dasar yuridis, harus dengan saksama mempertimbangkan dasar-dasar filosofis, dan kemasyarakatan tempat kaidah tersebut akan berlaku. Ketiga, pembentukan undang-undang pemerintahan daerah selain mengatur keadaan yang ada, juga harus mempunyai jangkauan masa depan. Yang keempat, pembentukan undang-undang pemerintahan daerah, bukan sekadar menciptakan instrumen kepastian hukum, tetapi instrumen keadilan dan kebenaran. Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya hormati, berikut penjelasan dari beberapa prinsip ini. Prinsip yang 15
menekankan bahwa substansi pembentukan norma di dalam UndangUndang Pemerintahan Daerah harus mencerminkan bangunan negara, bentuk negara, susunan negara, dan sistem pemerintahan, yang telah ditentukan lebih dahulu dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi, “Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik.” Kata negara kesatuan (einheitsstaat) tidak ada negara di dalam negara. Menunjukkan bentuk pemerintahan (regeringsvorm) Negara Republik Indonesia. Sedangkan kata berbentuk republik, menunjukkan bentuk negara, the staatsvorm Indonesia. Bentuk negara (the staatsvorm) mengamati negara dari luar (outward looking). Negara dilihat dari wujud yang utuh, manakala Negara Republik Indonesia diamati secara outward looking dari sudut pandang bentuk negara, maka negara terdiri dari 2 lapisan, membujur secara horizontal. Lapisan atas adalah pemerintah pusat, sedangkan pada lapisan bawah terdapat pemerintahan daerah yang terdiri dari daerah-daerah otonom, provinsi, dan kabupaten/kota yang tersebar di sepanjang wilayah nusantara. Sedangkan lembaga-lembaga tinggi negara lain, seperti halnya MPR, DPR, BPK, MA, MK, tidak nampak. Baru terjelma manakala lembaga-lembaga negara itu diamati dari sudut pandang bentuk pemerintahan (regeringsvorm). Pendekatan dari sudut pandang bentuk pemerintahan, mengamati negara dari dalam (inward looking). Menyelidiki status kewenangan, serta hubungan antara satu … antara suatu alat pelengkapan negara lainnya. Dari ketentuan dan penjelasan tersebut di atas, dapat dimengerti bahwa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Pemerintah daerah merupakan bentuk negara (the staatsvorm). Pemerintah daerah menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diadakan dalam kaitan desentralisasi. Desentralisasi merupakan bagian dari bentuk negara (the staatsvorm Republik Indonesia). Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia adalah desentralisasi. Saya ulangi. Negara kesatuan (einheitsstaat), menurut UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah desentralisasi, bukan sentralisasi. Dengan demikian, bangunan Negara Indonesia menghendaki pembagian kekuasaan. Ditinjau dari segi pembagian kekuasaan, pemencaran kekuasaan, pemudaran kekuasaan, organisasi pemerintah itu dibagi menurut garis horizontal dan vertikal. Pembagian kekuasaan secara horizontal didasarkan atas sifat tugas yang berbeda-beda jenisnya. Yang menimbulkan berbagai macam lembaga di dalam suatu negara. Sedangkan pembagian kekuasaan secara vertikal, melahirkan 2 garis hubungan antara pusat dan daerah dalam sistem desentralisasi, dekonsentrasi, dan (suara tidak terdengar jelas). 16
Dengan demikian pula, susunan Pemerintah Indonesia tercermin dalam susunan Negara Indonesia. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Yakni Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik yang diwujudkan dalam bentuk desentralisasi. Selanjutnya, susunan Negara Indonesia dijabarkan dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerahdaerah provinsi, dibagi atas kabupaten dan kota, dan tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Singkatnya, dapat dikatakan bahwa untuk mewujudkan atau pelaksanaan desentralisasi, maka Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten/kota. Yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah. Artinya bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari daerah provinsi, daerah kabupaten/kota, dan pemerintahannya terdiri dari pemerintahan, pemerintah pusat. Pemerintahan pemerintah daerah provinsi, pemerintahan pemerintah kabupaten/kota. Susunan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1), dan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (…) 48.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Mohon maaf, Pak Jalaluddin. Bisa dipersingkat?
49.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 136/PUU-XIII/2015: JALALUDDIN Baik, Prof. Terima kasih, Prof. Susunan Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1), dan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia merupakan kerangka hukum. Di mana dari sudut pandang bentuk pemerintahan (regeringsvorm), maka norma Undang-Undang Pemerintahan harus meliputi semua tugas dan fungsi pemerintahan. Sedangkan dari sudut pandang bentuk negara (staatsvorm) yakni desentralisasi, maka norma Undang-Undang Pemerintahan Daerah harus mencerminkan dan melingkupi semua tindakan … tingkatan pemerintahan, yakni pemerintah pusat, daerah provinsi, dan daerah kabupaten/kota. Hal ini sesuai dengan keterangan pemerintah melalui kuasanya pada persidangan tanggal 21 Maret 2016, yang tercatat dalam risalah persidangan. Bahwa pemerintah daerah kabupaten/kota adalah bagian yang tidak terpisahkan 17
dari pemerintah pusat dan juga pemerintah daerah provinsi. Berarti bahwa sistem pemerintahan Negara Indonesia manakala dilihat sudut pandang bentuk negara, yaitu pelaksanaan desentralisasi, maka terlihat atau tergambar dalam hubungan tiga poros lapisan tingkatan pemerintahan antara pemerintah dengan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Saya persingkat. Dengan demikian, dari segi prinsip yang menekankan bahwa substansi pembentukan norma di dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah harus mencerminkan bangunan negara, bentuk negara, susunan negara (suara tidak terdengar jelas) pemerintahan, yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Maka, redaksional norma Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi, dan sumber daya mineral dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena bangunan normanya … bangunan normanya tidak meliputi dan tidak sebangun dengan susunan tingkat pemerintahan secara keseluruhan, yaitu pemerintah pusat, daerah provinsi, dan kabupaten/kota, sehingga menimbulkan diskriminasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Padahal, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan penjelasan di atas, menghendaki bahwa pelaksanaan desentralisasi harus sampai pada tingkat pemerintahan daerah kabupaten/kota. Pasal ini seharusnya berbunyi, “Penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi, dan sumber daya mineral dibagi antara pemerintah pusat, daerah provinsi, dan daerah kabupaten/kota.” Demikian pula halnya redaksional norma Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, yang menyatakan bahwa urusan pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang di … berkaitan dengan pengolaan minyak dan gas bumi menjadi kewenangan pemerintah pusat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena bangunan normanya tidak meliputi dan tidak sebangun dengan susunan tingkatan pemerintahan secara keseluruhan, yaitu pemerintah pusat, daerah provinsi, dan kabupaten/kota, sehingga menimbulkan diskriminasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Padahal, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan penjelasan di atas, menghendaki bahwa penyelenggaraan desentralisasi harus sampai pada tingkatan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Pasal ini harusnya berbunyi, “Urusan pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan 18
pengelolaan minyak dan gas bumi dibagi antara pemerintah pusat, daerah provinsi, dan daerah kabupaten/kota.” Yang Mulia Majelis Mahkamah yang saya hormati. Prinsip yang menekankan bahwa pendukung … pembentukan norma Undang-Undang Pemerintahan Daerah selain mempunyai dasar-dasar yuridis, harus dengan saksama mempertimbangkan dasar-dasar filosofis dan kemasyarakatan tempat kaidah tersebut akan berlaku. Artinya bahwa dalam pembentukan norma Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 15 ayat (1), harus sesuai dengan dasar-dasar yuridisnya, yakni sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (2), ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 18 ayat (2) ditentukan bahwa pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. 50.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Dua menit lagi, Pak.
51.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 136/PUU-XIII/2015: JALALUDDIN Baik.
52.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Sudah habis mestinya. Silakan terus.
53.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 136/PUU-XIII/2015: JALALUDDIN Baik. Dalam pengertian kemandirian daerah seperti tersebut di atas, memungkinkan pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Sebagai konsekuensi logis sebagai negara kesatuan, menjadi peraturan daerah sebagai subsistem hukum nasional. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, redaksional norma Pasal 14 ayat (1), ayat (3) bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena ketentuan tersebut menghilangkan sebagian hak konstitusional daerah kabupaten/kota untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan melaksanakan otonomi yang seluasluasnya. Saya kira mungkin itu, Majelis. Saya dianggap (suara tidak terdengar jelas) dibacakan. 19
Demikian keterangan Ahli Pemohon dibuat sebagai sharing dan bahan pertimbangan Majelis Mahkamah dalam perkara ini. Semoga Allah SWT memberi petunjuk bagi kita sekalian. Terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb. 54.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Waalaikumsalam wr. wb. Terima kasih, Pak Dr. Jalaluddin. Makalahnya belum disampaikan ke Kepaniteraan, ya? Nanti untuk … silakan duduk. Petugas, tolong nanti diambil. Berikutnya, Pak Christian. Kalau bisa, dianu ya, dipersingkat maksimal 10 menit. Karena kita pukul 14.00 WIB nanti harus ada sidang kembali. Silakan, Pak Christian.
55.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 136/PUU-XIII/2015: CHRISTIAN RONGKO Assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera bagi kita semua. Yang Mulia Majelis Mahkamah. Pertama-pertama, perkenankanlah saya menyampaikan hormat yang setinggi-tingginya kepada Yang Mulia Mejelis Mahkamah atas perkenanaan memberikan saya kesempatan selaku Ahli Pemohon untuk memberi keterangan dalam persidangan Yang Mulia ini. Sehubungan dengan permohonan Pemohon, Pengujian UndangUndang Materi Muatan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3) dan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang dipandang tidak bersesuaian dengan Pasal 18 UndangUndang Dasar Tahun 1945. Keterangan Ahli Pemohon sebagai berikut. Satu. Mencermati Pasal 18 ayat (1) sampai dengan (7), pada intinya adalah mengatur hak-hak konstitusional yang meliputi struktur secara (suara tidak terdengar jelas) dari daerah yang terdiri dari daerah provinsi dan daerah kabupaten dan kota. Yang Kedua. Juga mencermati … kedua, dalam mengatur dan penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka lahirlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang merupakan pengganti dari staatsblad Nomor 329 Tahun 1903 yang notebene adalah produk pemerintah Colonial Belanda yang kemudian dipandang tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat Proklamasi 17 Agustus dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, otonomi dilaksanakan melalui asas desentralisasi. Kemudian seiring dengan perjalanan waktu, dibawa panji-panji gerakan reformasi, lalu terjadi perubahan dalam ketatanegaraan kita melalui Amandemen UndangUndang Dasar Tahun 1945 yang diikuti dengan lahirnya Undang-Undang 20
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Dearah yang kemudian telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dimana asas otonomi lebih dikonkretkan lagi dalam arti yang luas-luasnya. Vide … vide Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dengan titik berat otonomi daerah pada kabupaten dan kota melalui pelimpahan penyerahan urusan wajib dan urusan pilihan yang memungkinkan asas otonomi daerah kabupatan dan kota terselenggara, termasuk di dalamnya penyerahaan urusan sumber daya alam berupa urusan kehutanan, kelautan serta energi, dan sumber daya mineral. Empat. Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 15 ayat (1) jelas tidak sejalan dengan jiwa, semangat, maksud, dan tujuan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang diatur dalam Pasal 18. Ketentuan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mencabut kewenangan urusan kehutanan, urusan kelautan, serta energi, dan sumber daya mineral dari wewenang kabupatan/kota yang sebelumnya menjadi sumber daya potensial kabupaten/kota telah memandulkan pelaksanaan otonomi daerah kabupaten dan kota sebagai … secara esensial tercermin dalam ji … sebagaimana tercermin dalam jiwa dan semangat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 5 tersebut. Enam. Menjadi sangat esensial karena jika Pasal 18 UndangUndang Dasar Tahun 1945 ada hak konstitusional yang meliputi: 1. Hak wilayah yang disebut daerah disebutkan dalam Pasal 1. 2. Hak membentuk pemerintahan disebutkan di dalam Pasal 2. 3. Hak membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD tersebut di dalam Pasal 3. 4. Hak berotonomi yang seluas-luasnya tersebut di dalam Pasal 5. 5. Hak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lainnya. Tentang tata cara dan bagaimana hak sebagaimana Ahli uraikan di atas, yang diatur dengan undang-undang pada Pasal 7 UndangUndang Dasar Tahun 1945 dalam praktiknya melahirkan serangkaian Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah, yaitu seperti yang kami sebutkan tadi, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1924[Sic!], dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Bahwa dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang termuat di dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3), jelas dan nyata bahwa terjadi pelemahan hak konstitusional berotonomi yang seluas-luasnya bagi kabupaten/kota karena dari 3 urusan yang ditarik yang meliputi kehutanan, kelautan, serta mineral dan batubara menjadi urusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah 21
provinsi, berimplikasi … kami ulangi, berimplikasi pada pelayanan masyarakat dan pembiayaan daerah kabupaten dan kota. Dari segi pelayanan masyarakat akan mengakibatkan mata rantai pengurusan legalitas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat menjadi lebih panjang, baik dari segi administrasi maupun dari segi geografis. Sementara dasar pertimbangan pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah adalah … mohon maaf … mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Sembilan. Dari segi pembiayaan daerah, dari 3 urusan kehutanan, kelautan, serta mineral dan batubara, terdapat sekian banyak peraturan daerah kabupaten dan kota yang mengatur tentang pajak daerah dan retribusi daerah, walaupun dengan segala hormat bahwa keterangan ini tidak dimaksudkan untuk mendiskripsikan adanya kerugian materiil bagi kabupaten dan kota, semata-mata dimaksudkan untuk menggambarkan adanya korelasi yang nyata antara kerugian material dengan kerugian hak konstitusional. Yang Mulia Mahkamah, dengan demikian Ahli berpendapat bahwa ketentuan Pasal 14 ayat (1), ayat (2) … kami ulangi, ayat (1) dan ayat (3) tidak mencerminkan secara utuh roh dan jiwa yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya yang dimuat di dalam Pasal 18 ayat (1) sampai dengan (7). Yang Mulia Hakim Mahkamah, selaku Ahli Pemohon, saya berpendapat … kami ulangi, tentunya bagi Pemohon, sebagai pemerintah daerah kabupaten yang sangat berkepentingan dalam pemberdayaan potensi daerah, khususnya potensi sumber daya alamnya, akan mengalami atau setidak-tidaknya dapat menimbulkan kerugian dari aspek kerugian materiil dan aspek … dan dari aspek penumpukan dan perhimpunan pendapat … pendapatan asli daerah atau PAD. Demikian keterangan kami selaku Ahli. Kiranya dapat menjadi pencermatan dan kajian Yang Mulia Majelis Mahkamah secara saksama. Terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb. 56.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Waalaikumsalam. Terima kasih, Pak Christian Rongko. Silakan duduk kembali. Berikutnya saya persilakan, Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid.
57.
KUASA HUKUM PEMOHON 136/PUU-XIII/2015: ANDIE H. MAKASSAU Sedikit interupsi, Yang Mulia.
22
58.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Siapa interupsi? Ada apa?
59.
KUASA HUKUM PEMOHON 136/PUU-XIII/2015: ANDIE H. MAKASSAU Saya. 136, Yang Mulia. Kami hanya meminta penegasan yang diucapkan oleh Ahli tadi pada poin 6.
60.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Enggak usah. Nanti, nanti! Nanti ada kesempatannya.
61.
KUASA HUKUM PEMOHON 136/PUU-XIII/2015: ANDIE H. MAKASSAU Baik.
62.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Sekarang, Pak … Prof. Silakan, Prof.
63.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 137/PUU-XIII/2015: M. RYAAS RASYID Terima kasih, Bapak Ketua Mahkamah, Bapak dan Ibu Para Anggota yang saya muliakan. Saya sudah mencoba mencoret beberapa bagian, memberi tanda supaya itu saya tidak usah saya bacakan. Mudah-mudahan saya bisa memenuhi standar waktu yang ditetapkan. Bismillahirrahmaanirrahhiim. Assalamualaikum wr. wb. Izinkan saya mengucapkan terima kasih yang tulus atas kehormatan yang diberikan kepada saya untuk menyampaikan pendapat di Majelis yang mulia ini sehubungan dengan gugatan yang disampaikan oleh Asosiasi Pemerintah Kabupaten seluruh Indonesia dan yang lainnya atas pasalpasal yang terkandung dalam materi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Saya mengikuti dari jauh perkembangan proses pembahasan RUU di DPR sampai saat disahkannya RUU menjadi undang-undang yang kemudian diberi Nomor 23 Tahun 2014. Saya mengatakan dari jauh. Karena walaupun pada masa proses itu berlangsung, posisi saya sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Presiden di dalam Bidang Pemerintahan dan Refomasi Birokrasi, seyogianya diperintahkan oleh Presiden atau setidaknya diminta oleh Menteri Dalam Negeri agar ikut terlibat dalam perumusan RUU atau 23
sekurang-kurangnya ikut serta dalam proses pembahasan di Komisi II DPR Republik Indonesia sebagai bagian dari tim pemerintah. Namun dalam kenyataan, hal itu tidak terjadi. Sebagai mantan Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah, Departemen Dalam Negeri, Ketua Tim Reformasi Politik dan Pemerintahan yang telah melahirkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menjadi dasar dimulainya era otonomi daerah hasil reformasi, Menteri Otonomi Daerah yang pertama dan terakhir, mantan Anggota Komisi II DPR Republik Indonesia dan Anggota Wantimpres Bidang Pemerintahan dan Reformasi Birokrasi, saya sama sekali tidak diajak memperkuat tim pemerintah dalam proses perumusan pembahasan RUU Pemda Pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 … tahun 2004, maaf. Bapak Ketua dan Para Anggota Majelis yang saya muliakan. Saya merasa perlu terlebih dahulu menyampaikan hal posisi saya selama proses perumusan RUU dan pembahasannya di DPR sebagai titik awal dari pandangan yang akan saya sampaikan di hadapan Sidang Mahkamah Yang Mulia ini. Saya menilai bahwa substansi materi yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang berkenaan dengan penarikan kewenangan dari kabupaten/kota ke provinsi mengandung setidaknya 4 kekeliruan yang fatal, yaitu berangkat dari asumsi yang salah tentang kekuasaan pemerintah pusat, melanggar etika pemerintahan, mencederai semangat otonomi daerah, dan menciptakan ketidakpastian dalam pelayanan publik di tingkat kabupaten/kota. Perkenankan saya menjelaskan 4 kekeliruan itu secara singkat. Satu. Asumsi pemerintah pusat yang menganggap bahwa kekuasaan pemerintahan semuanya bersumber dari pemerintah pusat yang diklaim sebagai representasi tunggal dari negara dan karena itu menjadi hal yang wajar kalau pemerintah pusat mendelegasikan kewenangan ke daerah atau menariknya kembali sesuai kepentingan negara yang didefinisikan secara sepihak adalah sesuatu yang keliru, ahistoris, dan menggambarkan arogansi kekuasaan yang berlebihan. Keliru karena negara mencakup seluruh komponen kekuasaan yang bekerja baik di pusat maupun di daerah sebagai satu sistem organisasi yang kebijakan-kebijakannya bertujuan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Pemerintah daerah adalah bagian dari pemerintahan negara yang harus bekerja secara harmonis dengan pemerintah pusat untuk mencapai tujuan negara. Bahwa ada pembagian kekuasaan atau kewenangan antara pusat dan daerah, itu tidak berarti bahwa pemerintah pusat bisa secara monopolistic mengatur distribusi kekuasaan. Sumber kekuasaan bukan semata-mata dari pemerintah pusat. Secara historis, ratusan tahun sebelum Negara Republik Indonesia dibentuk pada tanggal 18 Agustus tahun 1945, negara ini sudah ada kekuasaan … di tanah ini sudah ada 24
kekuasaan-kekuasaan lokal sebagai political entities yang menyebar dan melaksanakan kekuasaan di wilayahnya masing-maisng. Kedatangan penjajah dan kekuasaan penjajah yang tertanam selama ratusan tahun pun, tetap mengakui eksistensi kekuasaan lokal itu dan kewenangan domestik, terutama yang berkenaan dengan tanah yang melekat padanya. Kemerdekaan negeri ini adalah hasil perjuangan dan pengorbanan seluruh rakyat Indonesia, tidak terkecuali mereka berada di wilayahwilayah yang sekarang kita sebut daerah. Pembentukan negara pada tanggal 18 Agustus tahun 1945 adalah kulminasi dari perjuangan semesta yang telah membawa sangat banyak korban nyawa, harta, dan air mata, menumpahkan darah bangsa di mana-mana. Panitia persiapan usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia dan komite-komite nasional yang dibentuk setelah itu, juga tidak sepi dari kehadiran kontribusi mereka yang merupakan perwakilan daerah-daerah di seluruh wilayah bekas jajahan Belanda. Founding fathers negara ini datang dari berbagai daerah. Ringkasnya, pembentukan negara ini adalah hasil sebuah kompromi yang kemudian menjadi kesepakatan yang bersifat nasional. Apa yang kemudian kita kenal sebagai daerah dan pemerintah daerah, walaupun secara administrasi dibentuk oleh pemerintah pusat, bukanlah wilayah taklukan dan sama sekali tidak bangkit dari ketiadaan. Mereka sudah ada sebelum Republik Indonesia lahir, suara mereka dalam membahas kemaslahatan pemerintahan tak seyogianya dikesampingkan dengan alasan pemerintah pusat adalah pemilik kekuasaan dan kekuasaan yang ada di daerah semata-mata karena pemberian pusat. Asumsi keliru ini sudah dibantah dan dikoreksi oleh tim yang saya pimpin pada tahun 1999 ... 1998-1999 dengan mengubah asumsi dasar hubungan kekuasaan pusat daerah. Sebagai ketua tim pemerintah yang maju ke DPR membawa RUU pemerintahan daerah untuk mengganti Undang-Undang Pemda 574, pada waktu itu saya menjelaskan bahwa pada dasarnya kekuasaan pemerintahan bersumber dari rakyat karena itu akar kekuasaan terletak di daerah-daerah, di mana rakyat berdiam. Kekuasaan pemerintah pusat adalah apa yang dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan undang-undang yang menjabarkan maksud Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Asumsi lebih lanjut menegaskan bahwa semua bidang kekuasaan yang tidak menjadi wewenang pemerintah pusat, sebagaimana diatur dalam UndangUndang Dasar Tahun 1945 dan undang-undang turunannya, otomatis merupakan kewenangan pemerintah daerah, provinsi, dan kabupaten/kota. Pembuat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 mengasumsikan bahwa semua kewenangan pemerintahan pada dasarnya milik pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden sebagai kepala negara. Apa
25
yang diserahkan ke daerah hanyalah bagian kewenangan yang bersifat teknis yang disebut urusan. Asumsi ini bertolak dari filosofis kekuasaan dalam kultur Jawa lama yang meyakini bahwa pada dasarnya kekuasaan harus berkumpul di satu tangan, tidak bisa dibagikan. Tapi, konsep kekuasaan lama itu acuannya adalah sistem kerajaan, di mana raja adalah pemilik kekuasaan tunggal. Filosofi ini tidak sejatinya berlaku dalam konteks terbentuknya Negara Republik Indonesia dan lebih tidak relevan lagi diterapkan dalam sistem demokrasi yang kita anut. Keputusan pemerintah pusat untuk kembali mengambil asumsi lama yang ahistoris dan terbukti telah melahirkan sistem pemerintahan sentralistik, yaitu 6574 patut dipertanyakan karena lahir justru di era desentralisasi. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 adalah sebuah bentangan peta jalan raya sentralisasi yang sangat nyata. Para pembuat undang-undang seolaholah lupa bahwa sistem sentralisasi yang berlangsung selama 25 tahun berlakunya rezim Undang-Undang Nomor 574 telah memandulkan daya prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah dan masyarakat di daerah. Melemahkan tanggung jawab daerah dalam membangun wilayah dan masyarakatnya, serta merendahkan harga diri masyarakat daerah akibat terbatas atau tiadanya ruang partisipasi yang bermartabat bagi mereka dalam ikut menentukan masa depannya. Semua tergantung pada perhatian dan anugerah pemerintah pusat. Para pejabat daerah terjangkit mentalitas rendah diri, mengemis bantuan ke pusat dan melayani pejabat pusat yang berkunjung ke daerah. Keadaan ini telah dikoreksi oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Yang kedua. Pelanggaran atas etika pemerintahan terjadi dalam keseluruhan proses pembuatan RUU dan penetapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Pemerintah pusat tidak pernah memberi penjelasan secara komprehensif tentang alasan penarikan kewenangan dari kabupaten/kota. Perlu dicatat bahwa kelahiran naskah RUU ini tidak melalui proses kajian, tidak pernah dikonsultasikan dengan pemerintah kabupaten/kota yang justru akan terkena dampak atas pelaksanaannya dan tidak pernah disosialisasikan ke masyarakat sebelum di bahas di DPR. Maka, tidak heran kalau setelah diterbitkan dan baru diketahui oleh pemerintah kabupaten/kota mereka terkaget-kaget, seolah-olah di suatu pagi mereka bangun dari tidur, tiba-tiba sebagian dari kewenangan yang selama ini mereka laksanakan sirna begitu saja tanpa alasan. Secara etis, sejatinya niat pemerintah pusat untuk mengubah letak kewenangan dimulai dengan kajian tentang pelaksanaan setiap kewenangan itu, apakah terjadi kekeliruan yang berdampak luas, di mana letak kekeliruan itu terjadi, apa penyebabnya. Dari situ bisa dibuat kesimpulan dan solusinya, apakah perlu dilakukan koreksi dalam kebijakan secara spesifik atau perlu dilakukan pergeseran kewenangan melalui undang-undang. Apa pun solusi yang akan diputuskan, harus 26
didukung oleh serangkaian hasil kajian tentang dampaknya terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan layanan publik di daerah. Tahap selanjutnya adalah mengonsultasikan hasil kajian dan secara rencana solusinya dengan semua stakeholder pemerintahan daerah. Di forum konsultasi itu, pemerintah kabupaten/kota bisa diberi pemahaman tentang niat pemerintah pusat mengubah letak kewenangan, sekaligus menerima masukan dari pemerintah kabupaten/kota sebagai respons atas rencana perubahan itu. Dengan demikian, terjadi proses pengkondisian yang dapat memuluskan implementasi undang-undang yang akan lahir, forum konsultasi ini sekaligus menunjukkan penghargaan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Bukankah pemerintahan ini adalah suatu kesatuan organisasi yang seyogianya berjalan seiring saling menghargai, saling mendukung, dan saling memperkuat terhadap satu sama lain. Apa yang menghalangi pemerintah pusat untuk berjiwa besar duduk bersama dengan pemerintah kabupaten/kota, juga dengan para gubernur merumuskan solusi atas permasalahan yang dihadapi. Kalau pikiran terbuka dan jiwa besar para pemimpin pemerintah ini menjadi landasan berkonsultasi di antara mereka, maka proses potensi konflik di antara mereka pasti akan dapat dieliminir. Ketiga. Penarikan kewenangan tanpa alasan-alasan objektif dari kabupaten/kota adalah satu kebijakan yang mencederai prinsip otonomi daerah, buah Reformasi 1998. Prinsip ini adalah saling mempercayai dalam hubungan pusat daerah. Penarikan kewenangan dari kabupaten/kota tanpa alasan yang jelas dari pusat melalui undangundang adalah simbol ketidakpercayaan pusat terhadap daerah. Perlu disegarkan kembali ingatan kita bahwa konsensus tentang otonomi daerah tahun 1998 yang kemudian tertuang ke dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 adalah meletakkan titik berat otonomi daerah ... otonomi pada kabupaten/kota, prinsip otonomi seluas-luasnya diwujudkan melalui pemberian otonomi penuh kepada kabupaten/kota. Spirit ini tidak lagi dipelihara oleh pembuat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Dengan undang-undang ini, kewenangan pemerintah kabupaten/kota semakin menyempit, sehingga otomatis daya prakarsa dan kreativitas mereka akan menurun. Pertanyaan kemudian menggelitik pikiran kita, ke mana arah perjalanan otonomi ini akan menuju? Bagaimana penyelenggara pemerintahaan dan peranan publik bisa maksimal terwujud kalau di internal pemerintah sendiri terjadi tarik ulur kewenangan yang tiada henti-hentinya? Keempat. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 itu secara serta-merta telah menciptakan ketidakpastian di beberapa bidang layanan publik yang kewenangannya ditarik dari kabupaten/kota, tiba-tiba saja seluruh proses perizinan di sektor pertambangan, kehutanan, dan kelautan yang selama ini dikelola pemerintah kabupaten/kota harus dihentikan, tiba-tiba saja pembinaan terhadap 27
sekolah-sekolah SMU dan SMK bersama para gurunya, serta pengawasan atas tenaga kerja, terlepas dari pemerintah kabupaten/kota. Saya menerima banyak masukan betapa sejumlah provinsi kewalahan memikirkan, bagaimana mengelola tambahan personel yang jumlahnya ribuan dari dinas-dinas yang dihapuskan di seluruh kabupaten/kota dalam provinsi itu? Bagaimana menyediakan ruang kantor untuk menampung mereka yang harus masuk ke dinas provinsi, lengkap dengan pemindahan seluruh arsip dan dokumen-dokumen yang ada? Bagaimana menyediakan anggaran untuk tunjangan mereka yang selama ini ditanggung oleh APBD kabupaten/kota? Bagaimana melanjutkan program-program sekolah SMU dan SMK gratis yang selama ini menjadi beban APBD kabupaten/kota? Bagaimana melayani permohonan izin usaha pembinaan dan pengawasan atas seluruh operasi bidang pertambangan, kelautan, kehutanan di seluruh wilayah provinsi? Di kabupaten/kota sendiri terjadi kebingungan tentang apa yang harus mereka lakukan dalam fase transisi. Sampai saat ini, Bapak Majelis Hakim, sampai saat ini menjelang dua tahun berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 belum lahir satu pun peraturan pemerintah yang dapat menjadi acuan pelaksanaannya. Terjadi kevakuman dan stagnansi yang panjang. Implementasi ke depan pun belum tentu terjamin akan berlangsung mulus. Akan ada kelelahan dan komplain masyarakat yang selama ini cukup berurusan dengan pemerintah kabupaten/kota di bidang-bidang layanan yang ditarik itu karena harus melalui jalan panjang ke provinsi. Spirit otonomi yang diletakkan di kabupaten/kota untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan sudah dengan sendirinya hilang. Bertolak dari deskripsi dan argumen yang saya sajikan secara singkat di atas, saya sampaikan pada kesimpulan sederhana bahwa Undang-Undang Nomor 23 sepanjang menyangkut penarikan kewenangan dari kabupaten/kota adalah sebuah langkah yang keliru. Undang-undang ini tidak menyelesaikan masalah yang selama ini mungkin ada di daerah, tapi justru menciptakan masalah baru. Uraian saya yang sepenuhnya berangkat dari sudut pandang pemerintahan, tentu tidak bisa membuktikan adanya pertentangan atau pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang tertulis, sebagaimana yang nanti telah dan akan disampaikan oleh ahli yang memang berlatar belakang ilmu hukum. Tapi kalau kita sepakat bahwa konstitusi tidak terbatas pada apa yang tertulis dan pemaknaan atas dapat dilihat dari spektrum yang lebih luas yang bergerak beyond the return constitution, maka sisi negatif yang saya lihat melekat pada proses kelahiran dan substansi undang-undang ini, kiranya jelas telah membawa beban yang berat dalam upaya membangun pemerintahan yang baik.
28
Demikian pandangan saya, semoga dapat memberi inspirasi kepada Bapak dan Ibu para Hakim Mahkamah Yang Mulia ini tentang potensi terganggunya proses pengelolaan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat di daerah jika pasal-pasal tentang penarikan kewenangan dari kabupaten/kota tidak dibatalkan oleh Mahkamah. Saya memohon maaf jika dalam penyampaian saya terjadi kesalahan atau menimbulkan rasa tidak enak di antara para hadirin. Wassalamualaikum wr.wb. 64.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Waalaikumsalam. Terima kasih, Prof. Ryaas Rasyid. Saya persilakan duduk kembali. Yang terakhir, Pak Dr. Indra Perwira saya persilakan. Waktunya sama, supaya seefisien menggunakan waktunya.
65.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 137/PUU-XIII/2015: INDRA PERWIRA Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera buat kita semua. Saya langsung pada pokok-pokoknya saja, Yang Mulia. Pasal 18, 18A, dan 18B Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sesungguhnya merupakan reaksi dan koreksi terhadap politik hukum masa orde baru dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, khususnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di daerah. Saya ingin menekan ada judul Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Pemerintahan di Daerah, Bukan Pemerintahan Daerah. Dari judul itu dapat dipahami kalau subjek yang diatur bukan pemerintah daerah, melainkan pemerintah, dalam hal ini presiden dalam menjalankan pemerintahaannya di daerah. Dan bagaimana programprogram pemerintah pusat itu dijalankan di daerah? Untuk itu, negara dibagi dalam beberapa tingkat wilayah, yaitu mulai wilayah provinsi, wilayah kabupaten/kota, sampai wilayah kecamatan. Setiap wilayah itu dipimpin oleh seorang kepala wilayah, mulai dari gubernur, bupati, walikota, dan camat. Sementara untuk daerah otonom, dibagi dalam dua tingkat, yaitu daerah tingkat satu yang dipimpin oleh kepala daerah tingkat satu dan daerah tingkat dua yang dipimpin oleh seorang kepala daerah tingkat dua. Akan tetapi, daerah otonom tersebut dalam kenyataan menjalankan otonomi yang semu, otonomi yang pura-pura. Karena kenapa? Karena kepala ... jabatan kepala daerah itu dirangkap oleh kepala wilayah. Kita masih ingat sebutannya gubernur itu merangkap kepala daerah tingkat I. Jadi, komando Presiden kepala pemerintahan … 29
sebagai kepala pemerintahan kepada daerah otonom melalui apa yang dikenal dengan asas dekonsentrasi disampaikan melalui Menteri Dalam Negeri yang diteruskan kepada gubernur kemudian kepada bupati, walikota sampai kepada camat, yang kemudian harus mempertanggungjawabkan tugas-tugasnya itu secara berjenjang, mulai dari camat, ke bupati, ke gubernur, dan seterusnya. Yang Mulia, sistem demikian terbukti dalam sejarah menjadikan pemerintahan itu sangat sentralistik, serta membunuh kreativitas dan inisiatif daerah, sebab hampir semua aspek seperti kewenangan, keuangan, pelayanan umum, dan sumber daya alam semua diatur oleh pemerintah pusat. Daerah hanya menjalankan program-program pembangunan yang ditetapkan pemerintah pusat dan pada masa akhir orde baru, kita sadari bahwa pola pembangunan demikian justru melahirkan kesenjangan antardaerah, ini sebuah fakta sejarah. Oleh sebab itu, pada perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945 MPR mengembalikan ide dasar NKRI sesuai dengan cita-cita proklamasi. Membangun daerah, bukan didasarkan pada apa yang dipikirkan pemerintah pusat, baik untuk daerah itu, tetapi harus sesuai dengan kebutuhan daerah. Siapa yang paham kepentingan daerah? Yaitu daerah sendiri, bukan pemerintah pusat. Penyeragaman yang biasa dijalankan pada masa orde baru, sekarang haram hukumnya, itu menurut Pasal 18A ayat (1). Untuk itu, pemerintah daerah harus menjalankan otonomi seluas-luasnya, seperti dinyatakan dalam Pasal 18 ayat (5). Istilah wilayah, konsep wilayah, tidak dikenal lagi dalam UndangUndang Dasar 1945. Kalau bahasa saya, haram sekarang ini bicara tentang wilayah, melainkan hanya daerah dan gubernur, bupati, walikota digunakan sebagai sebutan kepala daerah. Demikian pula dengan asas dekonsentrasi yang dianggap sebagai jalan bagi sentralisasi tidak lagi dikenal dengan sengaja, dihapus dalam Undang-Undang Dasar. Pasal 18 ayat (2) hanya menegaskan 2 asas, yaitu asas otonomi dan tugas pembantuan. Dengan demikian, Yang Mulia, jika memahami bangunan negara kesatuan Republik Indonesia hanya berhenti pada Pasal 1, niscaya akan menimbulkan kesesatan. Pasal 1 harus dibaca senafas dengan Pasal 18, apalagi jika kita merujuk pada sejarah terbentuknya NKRI seperti yang pernah disampaikan oleh Prof. Ryaas Rasyid. Hari ini pun, kami di Bandung Kabupaten merayakan ulang tahun yang 360, itu berarti sudah ada sebelum wilayah … sebelum Republik ini berdiri. Sebagai satuan masyarakat hukum adat, sebagai satuan pemerintahan, mereka sudah dulu exist. Dan itu tidak bisa nafikan hanya dengan sebuah Pasal 1, yang menurut saya itu terlalu sesat kalau hanya memahami pada Pasal 1. Karena itu, saya kira, memahaminya itu satu persis dengan Pasal 18. Karena itulah di dalam lambang negara kita tertulis Bhinneka 30
Tunggal Ika, yang menurut Prof. (suara tidak terdengar jelas) itu sebagai kesatuan di dalam perbedaan, perbedaan di dalam kesatuan. Itulah hakikat NKRI. Dan di situ saya berani mengatakan NKRI harga mati dalam pengertian yang demikian. Majelis Yang Mulia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang kita persoalkan sekarang, anehnya mengangkat kembali dasar pemikiran dan gagas dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 74, yaitu suatu gagasan yang justru kita ganyang pada masa reformasi. Kemiripan itu dapat kita lihat pada Pasal 5 Undang-Undang 23 Tahun 2014 ayat (1), Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Kemudian, kekuasaan pemerintahan sebagai dimaksud ayat (1) diuraikan dalam berbagai urusan pemerintahan, saya loncat ke ayat (4)-nya. Penyelenggaraan urusan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di daerah, dilaksanakan berdasarkan asas dekonsentrasi … dekonsentrasi, desentralisasi, dan tugas pembantuan. Jadi di sini kalau kita konsisten lebih benar Undang-Undang 5/74 konsisten, judulnya pemerintahan di daerah. Konsepnya persis sama, menyelenggarakan urusan pemerintah sebagai yang dimaksud pada ayat (1), (2) di daerah, dilaksanakan berdasarkan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Padahal di dalam Pasal 18 ayat (7) itu mengamanatkan bahwa yang harus diatur bukanlah tugas-tugas pemerintah pusat di daerah, melainkan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam Pasal 18 ayat (7) itu. Sususan dan tata cara penyelenggaraan pemerintah daerah diatur di dalam undang-undang. Jadi, ini sudah salah amanat, salah mengertikan amanat dari Undang-Undang Dasar 1945. Majelis Yang Mulia, dalam bangunan NKRI bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar seperti yang ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, seharusnya dimaknai sebagai tanggung jawab Presiden untuk menjamin pelaksanaan Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 8B … Pasal 18B karena menurut saya itulah salah satu tugas konstitusional dari Presiden. Sebagai penutup, izinkan saya untuk menilai bahwa dari dasar pemikirannya saja, Undang-Undang 23 Tahun 2014 ini bertentangan secara konsep, secara keseluruhan dalam Pasal 18 … dengan Pasal 18A dan Pasal 18B Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Oleh sebab itu, tidak heran jika banyak dari pasal-pasalnya yang juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, contohnya yang dipersoalkan tadi Pasal 14. Terakhir, Majelis Hakim. Saya menilai, ini bukan persoalan soal legal standing Pemohon APKASI, ini persoalan serius, yaitu persoalan … menurut saya itu, pergeseran dari Undang-Undang Dasar. Jadi, apakah
31
… siapa pun legal standing, kita menghadapi suatu bom waktu yang suatu saat itu akan meledak lagi. Terima kasih, wassalamualaikum wr. wb. 66.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Waalaikumsalam wr. wb. Terima kasih, Pak Dr. Indra Perwira. Sekarang sampai pada giliran dari Pemohon Nomor 136, ada yang akan dipersoalkan?
67.
KUASA HUKUM PEMOHON 136/PUU-XIII/2015: ANDIE H. MAKASSAU Siap, Yang Mulia.
68.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Atau menanyakan?
69.
KUASA HUKUM PEMOHON 136/PUU-XIII/2015: ANDIE H. MAKASSAU Ya, Yang Mulia mulai … Yang Mulia Majelis Mahkamah, kami hanya minta konfirmasi dari pencermatan pointes 6, penegasan Ahli Pemohon tadi. Itu ada sebutan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, kemudian pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima, itu vide Pasal 1, apakah yang dimaksudkan itu ayat barang kali? Terima kasih, Yang Mulia.
70.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Itu dari Ahli siapa itu tadi?
71.
KUASA HUKUM PEMOHON 136/PUU-XIII/2015: ANDIE H. MAKASSAU Christian Rongko, Pak.
72.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Pak Christian.
32
73.
KUASA HUKUM PEMOHON 136/PUU-XIII/2015: ANDIE H. MAKASSAU Mungkin yang dimaksudkan ayat itu, Pak. Karena Pak … dia itu kaitannya dengan Pasal 18.
74.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, nanti dikumpulkan dulu. Silakan. Jadi, bisa ya sekarang? Silakanlah, mumpung … masih … ini sederhana kok. Silakan, Pak Christian. Betul?
75.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 136/PUU-XIII/2015: CHRISTIAN RONGKO Baik, terima kasih, Yang Mulia. Benar, koreksi yang disampaikan oleh Kuasa Pemohon.
76.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya.
77.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 136/PUU-XIII/2015: CHRISTIAN RONGKO Bahwa itu maksudnya bukan pasal, tetapi ayat. Terima kasih.
78.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ayat, ya. Baik. Terima kasih. Ada lagi, Pemohon, atau cukup?
79.
KUASA HUKUM PEMOHON 136/PUU-XIII/2015: ANDIE H. MAKASSAU Cukup, Yang Mulia.
80.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Pemohon Nomor 137?
33
81.
KUASA HUKUM SYAFRANI
PEMOHON
137/PUU-XIII/2015:
ANDI
Terima kasih, Yang Mulia. Ada pertanyaan yang akan kami sampaikan kepada Ahli kami. 82.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, dikompilasi dulu Para Ahli, supaya semuanya … bisa selesai, baru dijawab. Silakan.
83.
KUASA HUKUM SYAFRANI
PEMOHON
137/PUU-XIII/2015:
ANDI
Yang pertama, Yang Mulia, terkait dengan konsep otonomi seluasluasnya yang ditegaskan di dalam konstitusi. Kami ingin mendapatkan pandangan dari dua Ahli ini dalam dua perspektif yang berbeda. Pak Prof. Ryaas dalam perspektif politik dan otonomi daerah dan Pak Indra dalam perspektif Hukum Tata Negara tentang tafsiran dari otonomi yang seluas-luasnya. Dan kemudian, pertanyaannya adalah apakah normanorma yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 23 ini bisa kita sebut sebagai otonomi yang seluas-luasnya atau ini adalah kalau bahasa kami di Pemohon ini adalah otonomi fiktif atau otonomi terbatas. Itu yang pertama. Yang kedua. Paradigma yang dianut di dalam undang-undang ini seperti yang disampaikan oleh dua orang Ahli kami tadi, ini adalah paradigma yang sideback, gitu ya. Karena ternyata mengambil kembali paradigma Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang sudah kita revisi, bahkan kita tolak bersama-sama dalam proses reformasi pada tahun 1998. Dan paradigma ini kemudian diturunkan dalam konsep yang tadi disebut oleh Prof. Ryaas dengan nama pembagian urusan yang di dalam undang-undang ini. Inilah awal dari distorsi persoalan otonomi daerah kita ketika persoalan kewenangan atau ke … apa namanya … kebebasan otonomi daerah ini disebut hanya sebagai semacam urusan. Nah, di dalam undang-undang ini di Pasal 9 disebutkan ada tiga pembagian urusan pemerintahan. Yang pertama, asbolut. Yang kedua adalah konkuren. Yang ketiga adalah umum. Nah, terkait dengan tiga jenis pembagian urusan ini dan juga turunan-turunannya yang pasal-pasalnya kami ujikan di sini, pertanyaannya adalah apakah ketiga jenis pembagian urusan ini, bagaimana pendapat Ahli dalam perspektif masing-masing melihat pembagian urusan ini dikaitkan dengan teori residu yang merupakan landasan filosofis dan normatif yang ada di dalam Undang-Undang Dasar kita terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah? Sehingga kita bisa melihat. 34
Kalau kami di sini mendalilkan bahwa dari perspektif dramatikal dan leksikal, konkuren, concurrent dalam Bahasa Inggrisnya, artinya adalah membagi-bagi. Ketika menggunakan istilah concurrent saja, menurut kami ini sudah bertabrakan dengan istilah otonomi. Karena otonomi itu artinya adalah kemandirian, kebebasan pengaturan, bukan membagi-bagi yang ujungnya dalam perspektif concurrent ini adalah artinya ini kami pemerintah pusat punya kewenangan, kami bagi, kami concur kepada pemerintah daerah. Dan menurut kami ini adalah sebuah kesalahan yang sangat fatal karena secara leksikal, apalagi secara paradigma tadi sudah bertentangan dengan konsepsi yang ada di dalam Undang-Undang Dasar. Nah, kami minta pandangan dua orang Ahli dalam perspektifnya masing-masing. Terima kasih, Yang Mulia. 84.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, baik. Terima kasih. Dari DPD, ada yang akan ditanyakan atau cukup? Cukup. Dari Pemerintah?
85.
PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS Pemerintah cukup, Yang Mulia.
86.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Cukup. Sekarang yang dari meja Hakim, ada? Satu, silakan dari Yang Mulia Dr. Palguna.
87.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Ya, terima kasih, Yang Mulia. Pertanyaan saya singkat saja satu, baik Pak Prof. Ryaas maupun Pak Dr. Indra Perwira, senior saya di Unpad dulu. Begini, memang persoalan otonomi ini kan seperti yang disampaikan oleh Para Ahli, bahkan konon kabarnya 3 negara yang dianggap sebagai champion dalam bidang otonomi itu Inggris, Perancis, dan Belanda itu juga mengalami problem dalam tarik menarik ... apa ... kewenangan ini. Yang menjadi soal begini, Pak Ryaas, sebagai arsitek dari ide sebenarnya sangat progresif dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 itu dan juga Pak Indra, begini. Dalam doktrin atau ajaran rumah tangga yang kita anut ini, ajaran rumah tangga yang seluas-luasnya yang berangkat dari keinginan mendemokratisasikan daerah dan kemudian urusan yang lebih dekat, lebih cepat, dan tentu saja lebih sederhana, itu gagasannya adalah sangat mulia. Nah, dikaitkan dengan 35
ajaran rumah tangga yang dianut, tatkala ide itu tidak berjalan, secara ajaran rumah tangga, secara doktriner apa peran dari pemerintah pusat dalam kaitannya, katakanlah ada daerah yang gagal misalnya dalam menjalankan tatkala itu tidak tercapai? Barangkali itu saja pertanyaan saya untuk kedua Ahli. Terima kasih, Pak Ketua. 88.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Yang Mulia Pak Dr. Patrialis Akbar, saya persilakan.
89.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Terima kasih, Yang Mulia Pak Ketua. Pak Ryaas atau Pak Indra, ya. Kita masih ingat bahwa salah satu tuntutan Reformasi 1998-1999, itu antara lain berkenaan dengan adanya otonomi daerah, pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya karena memang sebelumnya, sejarahnya, kita sudah paham bahwa ketimpangan antarpembangunan di daerah itu jauh sekali berbeda, sehingga salah satu tuntutan yang penting itu adalah otonomi yang seluas-luasnya. Dan kita ingat, Pak Ryaas, kita bersama-sama membicarakan itu, bahkan ... oleh karena itu, maka khusus konstitusi kita bicara tentang masalah pemerintahan daerah Pasal 18 secara luas dan gamblang. Tetapi, di dalam penyelenggaraan pemerintahan negara ini meskipun otonomi itu adalah bagian dari sesuatu yang absolut mesti dilaksanakan, tetapi tentu konsepnya harus selalu terikat dengan NKRI. Oleh karena itu, Pasal 18 ayat (1) memulai penyelenggaraan otonomi daerah itu digambarkan dengan adanya keterikatan dengan NKRI. Jadi tidak bisa melepaskan diri, ya, apalagi dalam Pasal 1 ayat (1), kita adalah Negara Republik 18 ayat (1) adalah bicara tentang masalah bagaimana NKRI itu dibagi, bukan terdiri atas. Yang berkembang waktu itu pembicaraan kita adalah bahwa NKRI itu justru sudah ada terlebih dahulu. Begini, Pak Indra, gambarannya untuk mengokohkan NKRI, maka dia tidak terdiri atas, tapi dibagi atas. Jadi kalau dia sudah ada, baru dibagi. Kalau terdiri atas, dia bisa memisahkan diri. Itu ... apa namanya ... kesungguhan kita di dalam NKRI dan otonomi daerah. Bahkan 5 pasal bicara tentang masalah NKRI di dalam konstitusi kita. Nah, kaitan dengan ini, termasuk apa yang dipersoalkan oleh Para Pemohon ini, barangkali yang lebih penting lagi di samping penyelenggaraan otonomi yang seluas-luasnya, yang konon belakangan ini justru yang menjadi masalah adalah ternyata di beberapa daerahdaerah penyelenggaraan otonomi daerah itu justru malah menjadi soal yang dalam tanda kutip “ada persoalan dengan NKRI”. Contoh, tadi 36
disampaikan oleh Pak Indra mengenai masalah izin pertambangan, izinizin pertambangan, tapi justru belakangan ini justru malah dimaknai menjadi lain. Bahwa ketika otonomi diberikan kepada daerah berkaitan dengan persoalan pertambangan, tapi justru pertambanganpertambangan itu malah luar biasa dengan begitu mudah diberikan kepada para pemodal-pemodal di dalam pemilihan kepala daerah. Dan itu sangat banyak sekali, sehingga ada dalam tanda kutip “sesuatu keadaan yang berbahaya adalah sumber daya alam itu cepat tergadai”. Bahkan kepala-kepala daerah itu harus segera mengembalikan bagaimana modal mereka, bisa kembali para pemodal-pemodal ini. Itu satu fakta yang juga tidak bisa kita lupakan dalam sejarah perjalanan bangsa kita ini. Mungkin rambu-rambunya yang paling penting dikemukakan. Bahwa otonomi daerah yang diberikan seluas-luasnya, begitu juga dengan tugas pembantuan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Mungkin rambu-rambunya adalah bagaimana keutuhan NKRI itu tidak terganggu dan kedaulatan negara juga tidak terganggu? Ini sangat penting. Jadi bukan berarti otonomi seluas-luasnya, bebas sebebasbebasnya. Ya, jadi kalau saya enggak salah, ini salah satu latar belakang yang juga pernah disampaikan oleh Pemerintah. Kenapa terjadi seperti ini? Meskipun Pak Ryaas mengatakan prosesnya undang-undang ini juga kurang terbuka, ya. Tidak banyak mendapatkan masukan-masukan. Nah, saya ingin mendapat gambaran kepada 2 Ahli, rambu-rambu ini. Sehingga kita bisa menafsirkan keinginan. Salah satu contoh misalnya di forum ini juga ada pemerintah daerah yang mengajukan permohonan. Memang sangat ironis menurut pandangan saya pribadi. Daerah yang kaya raya sumber daya alam, yang bisa memberikan kontribusi besar terhadap APBN di negara ini, tapi justru listriknya mati terus, padam. Karena memang mereka tidak diberikan keleluasaan. Ini memang ironis sebetulnya, ya. Mungkin saya berbeda dari bagian ... apa … masyarakat-masyarakat yang lain. Menurut saya itu memang ironis. Tetapi justru … tetapi di sisi lain kita juga harus mengikat NKRI dan keutuhan negara ini. Jangan sampai mudah digadaikan. Saya minta pandangannya. 90.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Silakan, Prof.
91.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Terima kasih, Pak Ketua. Saya mohon pada Bapak Ryaas Rasyid dan Pak Permana. Di dalam pelaksanannya ataupun teori, penyelenggaraan pemerintahan itu 37
tidak bisa 100% sentralistik ataupun 100% desentralistik. Permasalahannya yang ada pada negara kita adalah pada waktu kita melaksanakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, orang mengatakan bahwa sangat sentralistik, semua ke pusat, begitu. Sehingga dengan adanya reformasi, kemudian kita mengatakan otonomi dan itu seluasluasnya. Walaupun dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dikatakan, “Otonomi itu dalam kerangka negara kesatuan,” sehingga sebetulnya enggak luas, lepas, begitu. Tetapi dalam pelaksanaannya, maka pada pelaksanaan UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999, yang terjadi adalah terbentuknya rajaraja kecil. Sehingga kelihatannya kewenangan itu loss ke daerah dan tidak ada daerah yang sangat kaya sumber daya alamnya. Bisa dia menjadi daerah yang sangat makmur, tapi ada daerah yang lain yang bisa tertinggal dan tidak punya apa-apa. Nah, sehingga orang mengatakan, begitu kita masuk ke dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, orang mengatakan ini katanya otonomi diberikan, dilepas, tapi ekornya ditarik kembali, begitu. Kemudian ini berlangsung lagi, orang tidak puas dan kemudian kita menuju kepada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Kalau kita melihat seperti ini, sebetulnya di mana kesalahan kita dalam melaksanakan atau dalam membuat suatu peraturan ini, suatu undang-undang. Di mana ada desentralisasi dan desentralisasi ini bisa berimbang, sehingga baik pusat dan daerah ini menjadi semua dimakmurkan, begitu. Karena orang kalau mengatakan pemerintah pusat itu orang masih melihat yang pusat itu adalah Jakarta. Padahal, kita kan sebetulnya tidak seperti itu, itu ya. Tadi dikatakan bahwa daerah-daerah itu sudah hidup dulu, (suara tidak terdengar jelas) ini kan. Nah, bagaimana dengan kemudian kewenangan-kewenangan yang diberikan? Kalau dulu dikatakan kewenangan yang wajib dilaksanakan oleh kabupaten/kota, gitu. Semua kewenangan itu ke sana. Nah, sekarang dengan urusan pemerintahan. Di mana letaknya supaya 2 ini berimbang, sehingga baik pusat dan daerah ini mempunyai kesamaan, kesejahteraan? Memang kalau dulu di dalam lampiran ini, itu maksudnya di dalam peraturan pemerintah. Tapi sekarang dilampirkan di dalam undang-undang ini, sehingga langsung terlihat. Kalau ini tidak cocok, kemudian orang langsung ke MA, MK. Kalau dulu itu kan di Peraturan Pemerintah, sehingga pengujiannya ke Mahkamah Agung. Ini tidak begitu terlihat, tapi begitu ini masuk di dalam Lampiran UndangUndang Nomor 23, ini langsung terlihat dan kemudian pengujian itu langsung terjadi. Nah, saya mohon penjelasan di mana kira-kira sebaiknya kita melihat pada 2 sisi ini, baik pusat dan daerah, desentralisasi dan sentralisasi yang kemudian bisa membuat sejahtera seluruh rakyat Indonesia? Terima kasih, Pak Ketua. 38
92.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, saya ada tambahan sedikit ini, mumpung ketemu Prof. Ryaas Rasyid. Ada hal yang sangat menarik. Kalau kita bicara masalah teoretik kemudian kita aplikasikan ke Indonesia. Sebetulnya secara teoretik, kan ada 2 teori kan yang kita bisa ungkap di sini. Ada kutub negara kesatuan dan ada kutub federasi. Kita tidak usah mendikotomikan 2 itu. Tapi, ini kita tarik garis linier, satuan dan federasi. Saya menempatkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Nomor 5 Tahun 1979 itu di kutub kesatuan yang ekstrem di sini. Kemudian kita tempatkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 itu sudah ke arah … bergeser ke arah kutub federasi. Otonomi seluasluasnya yang di dalam praktik sampai bupati, walikota dipanggil gubernur untuk rapat, enggak datang. Terus kemudian, mobilnya menteri lebih jelek daripada mobil bupati, itu kan kan juga … masak ini negara begitu sih? Kan ada hierarki. Bupati-bupati bisa pakai Land Cruiser yang harganya Rp2 miliar lebih, sedangkan menteri saja mobilnya masih biasa, jelek-jelek gitu, ya. Atau ketua lembaga tinggi negara, mobilnya malah hampir terbakar, begitu. Ini mobil yang saya pakai, itu kemarin hampir terbakar karena sudah lima tahun lebih dipakai. Itu kan hal yang … pergeseran-pergeseran itu membawa akibat yang semacam ini, kan? Nah, sekarang dicoba melalui undang-undang yang berikutnya. Geser lagi, agak ke tengah. Kan sebetulnya tengah, ini yang paling anu … nah, ada hal-hal yang menarik di sini. Apakah betul-betul kita bisa mengarah … tadi yang disampaikan oleh Prof. Maria? Ada keseimbangan. Keseimbangan itu dalam arti … tadi sudah disinggung, dalam pengertian yang filosofis. Kemudian, dalam pengertian yang sosiologis dan normatifnya itu kita buat supaya seimbang. Ya, ini kita negara kesatuan. Memang yang dipraktikkan 574, 579, Bhineka Tunggal Ika itu enggak nyambung karena ini sangat sentralistik. Sedangkan kalau kita geser sampai ke federasi, itu tadi sudah keluar dari konsep negara kesatuan, sebagaimana Pasal 1 ayat (1)-nya. Nah, kita bisa agak geser-geser, gitu. Nah, proses geser-geser ini, itu mohon kita bisa mendapat komentar, pencerahan dari Pak Ryaas atau Pak Indra bisa menambahkan. Saya beri waktu pada Beliau masingmasing bisa lima menit, begitu. Karena … tapi kalau kita dibutuhkan, bisa mohon keterangan tertulis supaya kita bisa memperoleh wawasan, sehingga kita bisa mengkaji ini untuk memutuskan yang sebaik-baiknya, ya. Karena anu … kita berkepentingan sekali. Dan saya kira, Ahli Prof. Ryaas Rasyid, Pak Indra, dan yang lain-lain, Pak Jalaluddin, dan Pak Christian, saya kira concern dengan bagaimana kita harus membangun negeri ini? Ada keseimbangan antara kewenangan pemerintah pusat dan daerah.
39
Karena nyatanya, begitu dipraktikkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 itu, arahnya kemudian bisa lepas. Pak Ryaas pada waktu itu sebagai menteri, pakai mobil, “Oh, kalah sama bupati-bupati karena punya duit sendiri, PAD-nya tinggi. Oh, belinya mobil sembarangan dia itu, ya.” Ya, itu kan enggak … mestinya enggak boleh dalam etika bernegara, gitu. Ya, ini yang harus kita anukan bersama, ya. Ada menteri sekarang yang hanya pakai Innova. Datang ke daerah, bupatinya naik Land Cruiser yang luar biasa. Alasannya karena daerahnya bergunung-gunung. Karena di Jakarta halus, maka naik bajaj saja sudah cukup. Begitu, kan? Nah, ini mohon komentar dari Prof. Ryaas Rasyid terlebih dahulu, kemudian Pak Indra atas dasar pertanyaan-pertanyaan ini. Terima kasih. 93.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 137/PUU-XIII/2015: M. RYAAS RASYID Terima kasih, Bapak Ketua dan Anggota Majelis yang saya muliakan. Waktunya cuma lima menit, ya, saya bingung juga. Tapi, saya mau jawab dulu Kuasa Pemohon ini. Jadi, sebenarnya, ya, langsung saja, yang berlaku itu adalah pemisahan … apa … pembagian kewenangan, gitu sebenarnya. Jadi, setelah kita memperkenalkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 itu, jelas sekali kita rumuskan bahwa semua kewenangan pada dasarnya ada di daerah. Kecuali, yang menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan menurut undang-undang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Lalu, keluar undang … keluar PP Nomor 25 waktu itu tahun 2000, masih saya yang pimpin. Itu … di situ diuraikan, “Apa kewenangan-kewenangan pusat dan provinsi di daerah ... di luar … dalam rangka otonomi daerah di luar kewenangan mutlak yang sudah diatur dalam undang-undang?” Itu diuraikan dalam PP Nomor 25 Tahun 2000 waktu itu. Ini tidak sempat lagi mereka sebut-sebut. Nah, pada waktu itu, saya sudah mengatakan. Ini untuk menjawab semua ke … pertanyaan lain, “Mengapa ini kebablasan?” Pada waktu itu, saya sudah mengajukan usulan kepada Gusdur. Bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 itu, kita membutuhkan setidak-tidaknya 70 PP dari sekian banyak perpres sebagai guidance. Ini semua tidak pernah dilakukan, tidak pernah turun, maka di daerah menafsirkan sendiri, itu. Ini kesalahan pemerintah pusat. Nah, waktu itu, Bapak Hakim, saya dipindahkan dari Menteri Otonomi Daerah dan kantor saya ditutup menjadi Menpan, sebelum implementasi otonomi daerah. Implementasi itu tahun 2001, saya dipindahkan tahun 2000. Agustus 2000, saya jadi Menpan, kantor saya ditutup, itu. Otonomi daerah menjadi liar. Sejak itu, oleh sebenarnya pemerintah pusat mengambil prakarsa diam-diam untuk menarik kembali kewenangan-kewenangan itu, padahal belum … jadi, prakarsa 40
Kementerian Dalam Negeri, nanti saya sebutkan siapa menterinya, itu sudah ada keluar untuk mengubah Undang-Undang Nomor 22 itu sebelum implementasi 2001. Kenapa, Pak? Ini kan sesuatu yang dahsyat. Memindahkan kewenangan dari pusat ke daerah, itu menghilangkan banyak kenyamanan, Pak. Otoritas berkurang, penghormatan berkurang. Dulu kan disembah-sembah orang ke daerah itu. Pejabat Eselon III Depdagri itu kalau ke daerah, dulu dicium tangannya, Pak. Karena dia menentukan segala sesuatu, daerah itu ndak punya apa-apa. Nah, ini hilang semua. Kantor Depdagri sepi kalau itu dilaksanakan undang-undang itu. Tidak ada lagi orang datang mengurus urusan. Itu yang bikin stres mereka. Jadi, ini soal kehilangan kekuasaan, Pak. Itu yang pelan-pelan ditarik kembali. Sebenarnya Undang-Undang Nomor 32 itu sudah terjadi desentralisasi. Ini tahap lanjutan, dari desentralisasi itu. Jadi semua kewenangan itu, kecuali yang ditetapkan sebagai kewenangan pemerintah pusat dan provinsi, otomatis menjadi kewenangan daerah. Kita mengantisipasi timbulnya masalah-masalah di lapangan yang memerlukan penanganan pemerintah dan itu tidak perlu menunggu undang-undang. Otomatis itu melekat pada urusan rumah tangga daerah. Kira-kira begitu. Urusan itu, ini kata-kata urusan ini, jadi Undang-Undang Nomor 22 itu jelas berbicara mengenai kewenangan. Istilah kewenangan hilang sama sekali dengan Undang-Undang Nomor 32 dan Undang-Undang Nomor 23 ini. yang ada adalah urusan, urusan itu adalah aspek teknis dari kewenangan. Maka, benar tadi kutipan Pak Indra itu. Jadi, seolaholah kewenangan semua ada di pusat, kecuali beberapa urusan dalam kewenangan itu yang secara teknis dilaksanakan di dearah. Ini egoisme pusat ini sangat nampak di situ. Maaf, Pak. Saya ini sebagian besar karier saya di pusat, Pak. Tapi saya tahu perilakunya mereka. Ya, ini soal kekuasaan, Pak. Yang tidak bisa dibagi tadi itu yang saya gambarkan, tidak bisa dibagi. Karena itu memang enak, itu, Pak. Itu menghasilkan macam-macam kebaikan itu. Hanya saya saja yang goblok, Pak. Punya kekuasaan besar saya limpahkan semua kekuasaan itu ke daerah. Mereka itu kalau bisa mengumpulkan kekuasaan. Saya menyusul ini kan dalam kekuasaan, ketika saya susun sebuah undang-undang. Dan saya bilang kepada Pak Sarwan, “Pak, ini kalau undang-undang terjadi, kantor kita akan sepi, kekuasaan kita berkurang.” Jawaban Pak Sarwan sebagai Menteri, “Teruskan, Pak Ryaas, kalau itu baik buat Republik.” Saya teruskan. Dan itulah yang kita perjuangkan di DPR, mungkin beberapa di antara kita di sini termasuk Pak Patrialis ada di DPR waktu itu, ketika saya membawa rancangan undang-undang itu. Dan itu disetujui oleh DPR dengan sangat cepat pada waktu itu. Karena masuk dalam pikiran mereka, perlu ada perubahan, gitu. Jadi tadi Pak Dewa, ya? Mengenai apa ini, demokrasi di daerah, betul sekali. Bahwa ini memang … apa … kalau ide ini tidak berjalan, apa 41
yang bisa dilakukan oleh pemerintah pusat? Ini soal kemampuan melaksanakan, Pak. Jadi otonomi daerah itu tidak bisa dibiarkan jalan sendiri. Tugas pemerintah pusat semua kementerian dalam bidangnya masing-masing, wajib memonitor pelaksanaan tanggung jawab bidang mereka yang dilimpahkan ke daerah. Mereka wajib mensupervisi, membimbing, mereka wajib mengoreksi itu. Ini tidak dilaksanakan semua. Yang ada cuma teriak-teriak, “Ini daerah kebablasan! Ini daerah tidak tahu diri,” dan segala macam. Itu ada punya tanggung jawab. Ini kan kebijakan nasional, bukan daerah yang bikin undang-undang ini, yang bikin itu pusat. “Kenapa Anda lepas tangan?” Begitu. Jadi kalau ada kesalahan dalam praktiknya, itu bisa ditegur, Pak. Secara spesifik bisa, ditarik kewenangan di kabupaten tertentu, jadi tidak sekaligus seluruhnya, begitu. Kalau ada penyelewengan di kabupaten itu dan dianggap kewenangan disalahgunakan secara terus menerus, ke kabupaten itu dicabut. Bukan tiba-tiba undang-undangnya diubah, hanya karena sejumlah sample yang ditemukan yang terjadi penyimpangan, begitu. Karena itu, akan menimbulkan keguncangan-keguncangan. Mungkin saya agak berlebihan, ya, tapi saya sebentar akan menjelaskan kenapa saya berlebihan, gitu. Pak Patrialis, saya mengerti apa yang Bapak maksud, ya. Memang terikat dengan NKRI, tapi sekarang kita bicaralah, apa sih yang mengganggu NKRI dan kewenangan-kewenangan itu? Ya, di mana gangguannya terhadap NKRI? Itulah mungkin penyalahgunaan kekuasaan biasa saja, itu kan bisa dihukum, ada hukumannya. Kalau semua izin-izin pertambangan dan sebagainya itu penyelewengan, kan ada aturannya yang bisa menghukum mereka. Saya kira sudah ada beberapa yang kena hukuman mengenai itu, yang tidak berarti bahwa harus kewenangan secara serentak ditarik semua. Ya, saya mengerti yang dimaksud oleh Bapak, gitu. Jadi, NKRI itu memang harus diamankan, siapa yang mau dilepas oleh NKRI ini? Daerah-daerah itu rugi juga, Pak, kalau sampai terjadi gangguan-gangguan terhadap stabilitas negara, gitu. Justru kalau otonomi tidak dilaksanakan dengan benar, justru kalau daerah tidak punya harga diri, tidak punya kemampuan diberikan ruang untuk berkreasi, dan tidak punya kesempatan untuk berbakti kepada negara ini, tidak bisa menikmati hasil-hasil dari mereka sendiri. Nah, itu yang bisa menimbulkan kekecewaan. Saya baru pulang dari Kalimantan Timur kemarin, Pak. Ketemu dengan Pak Awang Faroek. Ya, Pak Awang Faroek itu seorang yang reformis dan sangat cerdas kalau menurut saya di antara para gubernur. Itu masih ngomong di muka … di muka forum di mana saya hadir. Menggambarkan ketimpangan antara kontribusi Kalimantan Timur ke keuangan negara dengan diterima balik oleh mereka. Gubernur masih
42
duduk, Pak, masih … sudah bisa complain, dia manusia biasa, dia melihat ketidakadilan, gitu lho. Nah, jadi kalau kita mau lebih ekstrem lagi, jangan lupa, Pak. PRRI, Permesta, semua itu bukan mau merdeka semuanya, itu kan complain mereka. Oleh karena daerah tidak berdaya, hasil-hasil diambil semua ke Jakarta. Ya, itu masih diperdebatkan oleh para ahli sejarah dan ahli politik. Apakah PRRI dan Permesta itu semua pemisahan diri? Tidak. Dia mengklaim seluruh wilayah, bukan separatis itu, tapi mereka ketidakpuasaan terhadap pembagianitu. Maka itu, sebenarnya kalau kita mau mempercepat ini, kepuasaan ini, ya, dengan otonomi. Nanti diawasi. Nanti kalau ada yang salah, ya, dihukum jangan dibiarkan begitu. Nah, ini kan kemampuan pengawasan pusat yang tidak ada, yang ada cuma kemampuan ngomel dan tiba-tiba kerena punya kekuasaan diubah undang-undang, itu. Nah, ini kan tidak mau sibuk, memang otonomi itu bikin repot Jakarta, dia mesti terus-menerus mengikuti itu, terus-menerus mengawasi, terus-menerus memperingatkan, terusmenerus membina supaya mereka paham. Jadi dibiarkan mereka, korupsi segala macam terjadi di sana dibiarkan saja, ada … yang penting ditangkap. Ini sebagai suatu ilustrasi saja, Pak. Mendagri enggak (suara tidak terdengar jelas), bangga sekali menyampaikan bahwa sudah 300 bupati yang ditangkap. Anda yang gagal tidak bisa membuat mereka tidak ditangkap. Masa bupati tidak bisa diawasi, tidak bisa diberi peringatan? Kenapa Anda bangga dengan penangkapan itu? Berarti pemerintahan kita tidak berjalan dengan baik, berarti pembinaan pemerintah itu tidak berjalan. Itu bukan suatu kebanggaan, itu aib. Kenapa mereka harus ditangkap? Kita memimpin mereka, gitu. Jadi, ini contoh ekstrem saja, bagaimana pemerintahan nasional itu kadang-kadang tidak tahu apa yang dia gagal melakukan, tapi dia melempar kesalahan itu kepada pihak lain. Ilustrasi, Pak Patrialis, ya. Saya baru pulang dari Sulawesi Selatan juga, saya ini banyak jalan akhir-akhir ini, Pak. Pak, tahu enggak, kabupaten-kabupaten di Sulsel yang selama ini membina petani rumput laut itu, Pak, pusing semua, Pak. Ya, kan harus pindah ke provinsi, gitu. Mereka ini andalannya di rumput laut. Sekarang tidak ada kewenangan sama sekali, tidak bisa mengawasi pantai. Orang nanti bom ikan, mesti provinsi yang turun tangan, kabupaten ndak bisa. Ya, pemboman ikan, perusakan biota laut, perusakan lingkungan, bupati mengatakan, “Saya tidak punya tanggung jawab.” Apalagi nanti Bapak bicara mengenai hutan yang terbakar, sebentar lagi kalau musim kemarau, bupati akan mengatakan, “Saya ndak punya apa-apa mengenai itu,” mungkin juga dia yang suruh bakar kalau dia jengkel. Kita enggak tahu kan perasaan orang. Ya, Ibu Maria. Betul, Bu. Memang itu salah satu cap yang diberikan kepada dua-dua itu, dia melahirkan raja-raja kecil, Bu. Orang 43
lupa bahwa di Jakarta banyak raja-raja besar, Pak. Menteri-menteri dan segala macam itu, ya. Jadi, ini ya kasihanlah mereka itu, sudah kerja setengah mati, dicurigai lagi kan. Kembali lagi jawabannya adalah tidak ada pengawasan, tidak ada supervisi, tidak ada evaluasi dari pusat. Mestinya Depdagri itu tugasnya itu, sibuk terus-menerus memonitor daerah, terus-menerus mengawasi, terus-menerus memperingatkan kalau ada kekeliruan dalam penyelenggaraan pemerintahan, ini ndak ada, ya. Dulu saya sebelum reformasi pun, saya Dirjen PUOD, Pak. Dirjen PUOD itu sekarang menjadi 4 direktorat jenderal baru. Ini juga aneh. Dulu cuma satu, Pak, namanya PUOD. Sekarang 4 direktorat jenderal, kependudukan, kewenangan daerah, pemerintahan umum, dan pemerintahan daerah. Ya, itu pun tidak bisa mengawasi dan tidak bisa mengambil supervisi. Dulu saya sendiri saja, itu bisa saya monitor semua dan bisa saya … apa … tanpa harus blusukan, Pak. Saya cuma monitor berdasarkan laporan, berdasarkan ini. Banyak sekali kasus yang kita selesaikan di Jakarta karena kita monitor. Ya, ini malas sekali memonitor. Saya enggak tahu apa yang terjadi. Jadi kembali lagi, Undang-Undang Nomor 23 ini adalah puncak untuk sementara puncak dari desentralisasi, ini sebenarnya suatu yang haram. Seharusnya otonomi itu dari waktu ke waktu semakin besar, semakin banyak kekuasaan diserahkan ke daerah, urusan domestik, ya. Biar mereka lebih bertanggung jawab, bukan semakin hari semakin kecil. Nanti pemerintah pusat ini jadi pecundang terus, tidak bisa mengikuti lagi perkembangan global, habis waktunya mengurusi urusan-urusan domestik, habis waktunya mengurusi tetek-bengek yang sebenarnya sudah bisa diurus oleh daerah. Seharusnya dari waktu ke waktu kita membina pemerintah daerah itu semakin mampu, semakin mampu, semakin kita tambahkan kewenangannya, kan begitu. Ada yang dasar itu pemerintah pusat bisa punya waktu yang cukup untuk bermanuver di arena yang lebih luas. Arena global. Kita bangsa besar, Pak, nomor 3 terbesar di dunia, tapi kita ndak (suara tidak terdengar jelas) dalam pertarungan global. Kita ndak punya apa-apa, dilecehkan setiap saat. Kenapa? Kita terlalu sibuk jadi jago kandang. Ini urusan kandang kan bisa diurus oleh daerah. Kita bermainlah sebagai bangsa yang besar di dunia ini. Ini kenapa? Kita tidak punya waktu, bukan kita tidak pintar. Kita pintar, Pak, tapi waktu kita sibuk mengurus urusan-urusan yang sebenarnya bisa diurus oleh daerah. Terjadilah keadaan seperti sekarang ini, panik terus, panik terus. Setiap ada perkembangan baru, kita panik. Kita ndak punya kemampuan untuk mengelola globalisasi ini dengan benar, antara lain sebabnya karena kita tidak mau memberikan kewenangan yang cukup kepada kabupaten dan mengawasi pelaksanaannya. Jadi seharusnya, pemerintah pusat itu hanya mengurus soal-soal strategis, Pak. Masalah-masalah yang besar, masalah-masalah strategis 44
ya. Daerah, mengurus soal-soal domestik, sepanjang itu masuk dalam kategori yang bisa diawasi dan bisa disupervisi. Pak Ketua, negara kesatuan 574 federasi, betul. 2299 memang cenderung ke federasi, itu betul, ya. Sebenarnya waktu itu, ya, sebenarnya waktu, Pak, karena saya membuat ini undang-undang, sebenarnya waktu itu kami mau bikin di provinsi letak otonomi itu. Dengan harapan itu lebih mudah mengonsultasikan resources, lebih mudah dikoordinasikan oleh Pemerintah pusat. Tapi waktu itu, Pak, ini maaf kalau ini mohon jangan dicatat kalau ada wartawan, waktu itu, Pak, tentara enggak setuju, ya, tentara enggak setuju. Alasannya, ini mengancam kita. Kita-kita bisa jadi federal kalau semua provinsi menjadi otonom. Karena itu adalah berbakat untuk menjadi negara bagian. Kalau kabupaten itu tidak mungkin, diapa-apain pun tidak mungkin mengancam NKRI, Pak. Ya mau dikasih senjata juga ke sana ndak mungkin bisa berontak, mati konyol dia. Tidak ada kabupaten di Indonesia yang punya potensi untuk memecah NKRI ini. Tapi, Bapak, waktu itu ya, tentara mengingatkan kita. Kalau sampai provinsi, ya, maka itu bisa dalam jangka panjang bisa berbalik. Itulah yang kami ikuti, itulah yang kami ikuti. Itu, Pak. Jadi ini yang terjadi. Tetapi, Undang-Undang Nomor 22 itu adalah suatu terobosan besar, Pak. Tanpa itu, kita itu waktu sudah mau rusak kita, Pak. Itu kekecewaan luar biasa kepada pusat, ya. Jadi ini obatnya waktu itu, ada obatnya. Bahwa itu tidak seluruhnya sukses, saya juga merasa menyesal, ya, saya juga merasa menyesal, ya. Oleh karena apa? Mereka tidak paham, Pak. Maaf saja, banyak orang di Jakarta tidak paham apa itu filosofinya otonomi daerah, apa sebenarnya tujuan otonomi daerah itu, bagaimana mengelolanya, bagaimana mencegah kalau terjadi penyimpangan. Ini semua enggak ada sama mereka, gitu. Jadi, itulah yang sesungguhnya menurut saya menyebabkan terjadi excessive … behavior excessive action dari daerah-daerah, itu saya benarkan. Wong, bagaimana? Mereka baru tiba-tiba punya kewenangan, gitu loh. Jadi, ada beberapa kombinasi yang membuat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak bisa maksimal. Pertama terjadi program pemerintahan, pemerintah pusat lemah, tiba-tiba masuk mereka. Ya, mereka dari berbagai sumber masuk dengan semangat besar, punya kekuasaan besar. Yang kedua, mereka didampingi oleh anggota-anggota DPRD, maaf ini, Pak Patrialis. Pada waktu tahun 1999 itu DPRD kita sudah tahulah kita sudah tahu dia punya posisi dan kualitas, gitu. Ini juga bikin rancu, Pak. Kita kasih dia kewenangan di Undang-Undang Nomor 22 bahwa bupati, walikota, gubernur jika pertanggungjawaban tahunannya mereka ditolak dua kali berturut-turut, mereka bisa mengusulkan pemberhentian. Itu kan maksudnya supaya kalau ada bupati, walikota, gubernur yang macam-macam, yang aneh-aneh, yang merusak, jangan tunggu lima tahun baru diberhentikan, tambah banyak kerusakan nanti. 45
Dia bisa diberhentikan pada tahun itu juga. Tapi waktu pikiran kita waktu itu DPRD itu hebat-hebat, bagus-bagus. Ternyata yang masuk, Pak, itu Pak, setengah preman. Tiba-tiba bupati, walikota, gubernur belum bacakan pertanggungjawaban, mereka sudah mengumumkan di koran bahwa kita akan mengelola pertanggungjawaban bupati. Dia belum baca, dia sudah mau tolak. Jadi, ini pemerasan, Pak. Jadi memang, ya saya mengakui bahwa Undang-Undang Nomor 22 tidak berjalan dengan baik, tapi distorsi itu bukan karena UndangUndang Nomor 22, tapi karena perilaku politik di sektor yang di luar kontrol Undang-Undang Nomor 22 itu. Dan terutama di DPRD pada waktu itu, banyak sekali kerusakan yang mereka lakukan. Makanya, itulah yang menjadi alasan tahun 2004 itu pemilihan kepala daerah dipindahkan ke … ke rakyat langsung, ya. Memang korupsi berhenti di DPR dalam beberapa batas. Korupsinya pindah tempat saja, gitu. Nah, itu yang kita alami sekarang. Saya kira itu, Bapak, sekadar penjelasan dari saya. Terima kasih banyak dan saya mohon maaf. 94.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Pak, sebentar, Pak Ketua. Jadi, Pak Ryaas, makanya saya mengaitkan cita-cita refomasi tadi otonomi daerah. Kalau saya melihat, kuncinya itu adalah otonomi seluasluasnya itu boleh, syaratnya satu saja, jangan berbahaya untuk NKRI, itu saja.
95.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 137/PUU-XIII/2015: M. RYAAS RASYID Saya itu setuju, Pak. Dalam Undang-Undang Nomor 22 juga begitu, Pak. Implementasinya ini, Pak Patrialis, Pak Hakim, implementasinya. Dan pada tataran itu, banyak kelemahan pada pemerintah pusat. Ya, memang harus serius … harus serius orang menjadi pemerintah pusat, Pak. Dia harus mau repot, harus mau betulbetul terus-menerus memonitor, ini kan semua karena merasa kecolongan, Pak. Terjadilah semua tadi yang Bapak bilang sebagai ancaman terhadap NKRI itu. Ya, sebenarnya ya kalau mau juga dibatasi kewenangan di bidang pertambangan, dibatasi saja dengan memasukkan misalnya analisa Amdal dari Kementerian Lingkungan, analisa … apa … macam-macam itu ekonomi, ya analisa semuanya untuk melengkapi itu. Untuk pertambangan sebenarnya itu, bahkan ada kewenangan Kementerian Kehutanan dulu, saya enggak tahu kalau sekarang, itu dia melepaskan hak-hak atas lahan itu. Itu berarti pemerintah pusat tahu. Mestinya kalau dia anggap itu berbahaya, dia kan bisa menolak, tidak memberikan 46
pelepasan hak. Kalau tidak ada pelepasan hak, tidak bisa dapat pertambangan. Itu, itu yang kait-mengaitnya itu, Pak. Jadi, saya kira dikontrol dengan cara begitu, ya. Saya kira, Pak NKRI ini ancamannya bukan dari otonomi daerah dari sektor-sektor lain yang akan saya bicarakan di forum lain, Pak, ya. Terus terang, Pak, kalau saya mau bicara terus terang saya tadi bicara dengan Pak … Pak Indra, ya, saya sebetulnya sangat takut dengan Republik ini, Pak, ini bisa bubar, tapi bukan karena otonomi daerah, Pak, tapi karena alasan yang lain. Bapak tunggu-tunggu saja. Ini missmanage, Pak, secara keseluruhan, missmanage, ya. Sebenarnya kalau bukan karena pertolongan Tuhan, ini Republik sudah bangkrut, tapi Tuhan sangat kasihan sama kita, mungkin banyak … masih banyak doa dari kita-kita ini dari para Hakim yang masih diterima oleh Tuhan, Pak. Secara teori sudah hancur. Terima kasih. 96.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Terima kasih, Prof Ryaas. Ya, akibat gerhana total itu, Pak. Silakan, Pak Indra, waktunya tolong bisa diefisien.
97.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 137/PUU-XIII/2015: INDRA PERWIRA Terima kasih, Pimpinan. Pertama saya menjawab dari … perkenankan saya menjawab dari Kuasa Hukum. Dengan bangunan Pasal 18 yang saya pahami, maka dalam prinsip otonomi itu ada dua asas, yaitu asas keterpaduan dan asas subsidaritas. Itulah hakikatnya mengunci tadi antara dalam negara kesatuan. Karena sesuai dengan asas itu, apa itu asas keterpaduan bahwa satu daerah itu adalah subsistem dari negara. Sehingga ada persoalan di satu daerah itu pasti mengalami daerah lain, yaitu karena itu keterpaduan harus ininya. Kemudian kalau subsidaritas itu begini urusan atau apa pun kewenangan yang bisa dilaksanakan oleh satuan pemerintahan paling rendah, itu serahkan pada mereka jangan ditarik sama pusat, gitu ya. Jadi, mestinya ya betul kata Prof. Ryaas Rasyid, kalau mungkin ditambah, semakin kuat, semakin mampu ditambah, semakin mampu. Nah, di berapa negara, Pak Palguna, yang bersendikan … apa … membagi itu dengan kewenangan atau urusan, itu selalu jadi spanning, tarik-menarik, kadang-kadang daerah naik, kadang kayak itu. Karena itu, di Scandinavia pembagian otonomi itu dengan pendekatan pembagian itu sudah ditinggalkan, tapi sekarang mereka itu cenderung
47
menyerahkan semua urusan ke daerah, mereka bekerja mengembangkan instrumen pembinaan dan pengawasan tadi. Nah, itu yang sama sekali tidak jalan. Jadi kalau ada persoalan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 bisa saya katakan bahwa sistem pembinaan dan sistem pengawasan di Republik ini tidak pernah jalan, tiba-tiba kok yang dipersoalkan undang-undangnya, bukan yang mengembangkan sistem pengawasan dan pembinaan. Banyak beberapa contoh saja. Saya kadang-kadang sampai ... mohon maaf, Majelis, contoh sederhana. Kan misalkan perda, perda itu ada ... apa ... evaluasi kan, ada tiga perda, ya, APBD, pajak retribusi daerah, dan tata ruang, di situ. Tetapi kemudian Permendagri karena mampu mereka buat Permendagri yang istilah mereka bukan evaluasi, verifikasi. Akhirnya semua perda itu wajib ke sana. Ini tadi karena malas enggak bisa jalan-jalan, enggak bisa mengembangkan sistem, semua perda disetorkan ke Depdagri, ini aneh. Padahal esensinya itu kan sudah mengembangkan ... menambah wewenang yang ditentukan dalam undang-undang, tidak ada wewenang Mendagri untuk membuat verifikasi, itu nambah-nambah saja. Ini contoh bahwa selama ini tidak serius kita membuat ... ada istilahnya dalam otonomi itu namanya oversight authority, di mana pemerintah pusat itu bisa intervensi jika daerah gagal memberikan pelayanan public. Karena memang itulah hakikat tanggung jawab ada di presiden, itu maknanya, bukan ditarik ke pusat. Kalau daerah enggak sanggup, terbukti, baru intervensi harus. Karena pada akhirnya presiden yang bertanggung jawab, ini maknanya. Nah karena itu, ada dua hal yang haram dalam negara kesatuan. Pertama, suatu daerah yang berbentuk staat haram, Pak Patrialis. Itu (suara tidak terdengar jelas) haram, saya (suara tidak terdengar jelas) sangat haram. Kedua adalah keseragaman juga haram. Ini dua hal yang sebetulnya menjadi balancing di dalam sebuah negara kesatuan dengan desentralisasi. Tidak boleh ada negara berbentuk staat dan tidak ada boleh ada keseragaman di lain sisi. Itu mulai prinsipnya. Kemudian soal urusan. Kalau kita merujuk dari Pasal 18 ayat (5), ya, minimal saya bisa pahami kalau Undang-Undang Nomor 32 masih ada urusan absolut dan urusan (suara tidak terdengar jelas), masih saya bisa pahami. Yang saya tidak pahami Undang-Undang Nomor 23 tibatiba muncul urusan pemerintahan umum. Apa dasarnya urusan pemerintahan? Yaitu kewenangan presiden sebagai kepala pemerintahan, saya bawa Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Apa kewenangan presiden sebagai kepala pemerintahan di sini? Tidak saya temukan. Antara lain membuat peraturan pemerintah itu mungkin, ya. Membuat pepres. Ini apa ini? Nah, kalau Majelis lihat, justru di 574 Pasal 81, itu kewenangan kepala wilayah. Jadi, ini membangung kembali rezim wilayah. Mengangkat mayat hidup, zombie yang sudah kita matikan di Undang48
Undang Nomor 57 diangkat lagi di sini. Jadi jelas ini tidak berkonsep sama sekali. Bukan menjawab pertanyaan dari Majelis tadi Pak Patrialis, Pak Palguna, atau Bu Maria, mestinya kan itu yang dicari, bagaimana? Saya kira sebetulnya solusinya sekarang supaya kita tidak spaneng adalah dalam politik hukum otonomi daerah itu justru pusat itu mengembangkan itu yang Pasal 18B, bukan mengatur penyelenggaraan otonomi daerahnya yang diutak-atik, tapi bagaimana hubungan kewenangan, hubungan keuangan, hubungan sumber daya alam karena di situlah esensi dari keadilannya. Sebetulnya bukan kewenangan yang jadi masalah, tetapi masalah porsi dari hubungan-hubungan tadi, pola hubungan, dan itu yang sebetulnya belum tuntas dituntaskan. Itu yang pertama. Kemudian, di mana sih letak keseimbangan? Itu dinamis. Jadi, saya sangat setuju tadi Prof, ke depan itu kan pusat itu teorinya sesuai dengan perkembangan civil society, di mana masyarakat di daerah itu mampu melakukan save regulation, peran negara pun kan sudah berkurang, Pak, begitu ya. Termasuk di daerah. Tapi sekarang dalam politik hukum kita justru di satu sisi kita ingin membangun civil society, tapi ternyata pusat, ya, dengan pemerintah itu semakin intervensi terhadap community-community. Maaf, misalnya kita contoh di seluruh dunia yang namanya dokter, itu punya hukum sendiri dan punya majelis sendiri yang menyelesaikan perkara mereka. Tapi di kita membuat undang-undang begitu banyak, Undang-Undang Kedokteran, praktik rumah sakit, keperawatan, UndangUndang Apoteker, itu menunjukkan negara ini kayaknya mengurus segala sesuatu. Jadi, padahal hakikat otonomi itu kan demokratisasi dan pendewasaan masyarakat supaya terjadi civil society. Betul kata Prof. Ryaas, supaya negara lebih perhatian pada hal-hal yang strategis. Jadi mungkin itu saya katakan bahwa spanning itu terjadi, itu biasa terjadi di seluruh dunia yang masih melihat perimbangan itu pada bobot urusan. Tapi sekarang beberapa negara di Eropa, Eropa Utara itu sudah mulai menggeser konsep mereka mengembangkan sistem pengawasan dan pembinaan, sehingga mereka istilahnya memberikan walaupun tidak enak istilahnya Prof. Ryaas, otonomi diserahkan tetap kendali di pemerintah pusat karena itu hakikat dari kesatuan, ya, dalam hal ini, itu adalah benar. Terima kasih, Majelis. 98.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih, Pak Indra. Memang ada teori. Kalau the force way itu kan negara melepas sama sekali sektor-sektor swasta dan sektor-sektor privat atau otonomi itu dilepaskan. Kemudian ada perkembangan dalam rangka welfare state muncul second way, negara intervensi di setiap aspek kehidupan. Nah, kelihatannya di era globalisasi 49
muncul the third way, mencoba melepas, tapi juga me ... tidak melepaskan sama sekali, itu kan ya ada teori-teori yang semacam ini memang. Baik, sebelum saya akhiri, terima kasih Prof. Ryaas Rasyid. Terima kasih, Pak Indra, begitu juga terima kasih pada Pak Christian dan Pak Jalaluddin yang telah memberikan keterangan sebagai Ahli dalam perkara 136 dan 137 yang tentunya sangat bermanfaat bagi penanganan perkara ini dan bagi kita semua karena sidang-sidang kita adalah sidang yang terbuka, bisa disaksikan oleh seluruh masyarakat. Dan juga risalah ini bisa segera diakses oleh masyarakat luas, sehingga diskusi-diskusi ini tentu sangat bermanfaat. Sebelum saya akhiri, saya akan meminta, apakah Pemohon 136 masih mengajukan ahli atau sudah cukup? 99.
KUASA HUKUM PEMOHON 136/PUU-XIII/2015: ANDIE H. MAKASSAU Ya sebagaimana persidangan yang lalu, kami pernah menyampaikan akan mengajukan tiga ahli, tapi ... akan tetapi kalau Prinsipal kami menganggap dua ini sudah cukup, ya, kami menganggap cukup.
100. KETUA: ARIEF HIDAYAT Bagaimana Prinsipal? Cukup? Saya kira keterangan Ahli meskipun enggak didatangkan langsung oleh Pemohon itu, Prof. Ryaas dan Pak Indra itu juga sudah bisa di.. anukan ... sebagai Ahli. 101. KUASA HUKUM PEMOHON 136/PUU-XIII/2015: ANDIE H. MAKASSAU Baik, Yang Mulia. Kami mengikuti petunjuk yang sudah ada. 102. KETUA: ARIEF HIDAYAT Sudah cukup, ya? 103. KUASA HUKUM PEMOHON 136/PUU-XIII/2015: ANDIE H. MAKASSAU Cukup, Yang Mulia. 104. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Kemudian Perkara 137? 50
105. KUASA HUKUM SYAFRANI
PEMOHON
137/PUU-XIII/2015:
ANDI
Terima kasih, Yang Mulia. Di persidangan sebelumnya, kami sampaikan kami berencana menghadirkan lima orang ahli, Yang Mulia. Namun kami kira, mungkin kami akan menambahkan maksimum dua ahli lagi dalam perspektif yang berbeda. 106. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik kalau begitu (...) 107. KUASA HUKUM SYAFRANI
PEMOHON
137/PUU-XIII/2015:
ANDI
Dan ditambah dengan kami ingin menghadirkan juga karena dari persidangan awal beberapa Majelis Hakim menyampaikan ingin mendapatkan realitas fakta bagaimana penerapan dari undang-undang ini pada saat ini terjadi di lapangan. Karena itu, kami juga ingin menambahkan kalau diperbolehkan empat orang saksi fakta yang menjelaskan beberapa situasi saat ini dalam penerapan undang-undang ini dalam norma-norma yang berbeda, dalam aspek-aspek yang berbeda. Misalnya pada aspek pendidikan, yang kedua pada aspek kelautan, yang ketiga pada aspek pertambangan, dan keempat pada aspek pendidikan, Yang Mulia. 108. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, baik. Jadi, Perkara 137 masih akan dua ahli dan empat saksi, ya. Baik, itu miknya Perkara 136 masih nyala, ada yang akan disampaikan? 109. KUASA HUKUM PEMOHON 136/PUU-XIII/2015: ANDIE H. MAKASSAU Siap, Yang Mulia. Ada tambahan barangkali saksi fakta itu kami memerlukan dua orang lagi yang menghadirkan. 110. KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, begitu. Jadi, Perkara 136 masih saksi ya, fakta. Baik, dua orang, ya. Kalau ini saksi, saya kira 6 bisa kita periksa sekaligus. 2 ahlinya juga bisa pada persidangan yang akan datang, ya.
51
Baik, kalau begitu, masih ada persidangan kembali untuk mendengarkan ahli dan saksi, sekaligus saja didatangkan. Untuk 136 dua orang saksi, dan 137 dua orang ahli dan empat orang saksi, ya. Sidang yang akan datang diselenggarakan Kamis, 28 April 2016 ada pukul 14.00 WIB untuk mendengar keterangan saksi dan ahli yang diajukan oleh Para Pemohon, nanti giliran berikutnya dari Pemerintah atau dari DPD kalau akan mengajukan ahli juga dipersilakan, ya. Baik, sebelum saya akhiri, terima kasih pada Pak Muqom dan Pak Nono yang telah memberikan keterangan. Idealnya setelah memberikan keterangan DPD dan DPR, itu sama juga dengan Pemerintah sebetulnya harus mengikuti persidangan ini secara terus sampai persidangan ini berakhir karena juga diharapkan bisa memberikan kesimpulan akhir dari apa yang terjadi dalam persidangan ini. Ya, tapi biasanya hanya diserahkan pada Pemerintah saja, padahal sebetulnya DPD juga berkepentingan, DPR juga berkepentingan. Kebetulan ini tadi kita juga ketemu Komisi II, kita minta DPR itu juga bisa mengikuti, tahu-tahu protesnya di mass media kalau sudah ada, tapi tidak pernah menghadiri persidangan ini dan kita juga enggak pernah mendengar sebetulnya apa yang dimaui oleh DPR, gitu. Ya, sehingga pada lain waktu kita bisa mendapat keterangan yang sangat lengkap, komprehensif, sehingga kita pun bisa memutus dengan sebaik-baiknya, selurus-lurusnya dan seadil-adilnya berdasarkan konstitusi Republik Indonesia. Baik, sekali lagi Prof. Ryaas, Pak Indra, Pak Christian, dan Pak Jalaluddin terima kasih telah memberikan keterangan di persidangan Mahkamah Konstitusi. 111. KUASA HUKUM SYAFRANI
PEMOHON
137/PUU-XIII/2015:
ANDI
137/PUU-XIII/2015:
ANDI
Yang Mulia? 112. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ada yang disampaikan? 113. KUASA HUKUM SYAFRANI
PEMOHON
Ya, Yang Mulia. Terkait dengan kehadiran DPD, kami dari Pemohon pada dasarnya sangat senang sekali karena ini juga harusnya bisa sampai ke DPD, akan tetapi ketika tadi poinnya yang disampaikan oleh DPD kami lihat ternyata berbeda dengan posisi kami, padahal kami berharap DPD sebagai utusan (...)
52
114. KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, enggak. Yang itu hak DPD, enggak itu (...) 115. KUASA HUKUM SYAFRANI
PEMOHON
137/PUU-XIII/2015:
ANDI
Saya kira ini menjadi catatan juga buat kami untuk melihat kembali struktur DPD, apa hubungan yang mungkin kurang harmonis mungkin barangkali perlu dibangun, sehingga sama-sama (...) 116. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, saya kira itu enggak usah dikomentari. Nanti silakan saja di kesimpulan kalau Anda enggak anu (...) 117. KUASA HUKUM SYAFRANI
PEMOHON
137/PUU-XIII/2015:
ANDI
Ini titipan dari Prinsipal untuk disampaikan, biar penting. Terima kasih, Yang Mulia. 118. KETUA: ARIEF HIDAYAT Enggak itu, tapi DPD kan ikut membuat undang-undang ini, dilibatkan, jadi enggak ada masalah itu, ya. Semuanya jangan anu ... nanti Hakimnya enggak setuju dengan Anda, dikira Hakimnya enggak mendukung Anda, enggak boleh begitu dong. Ya, baik, terima kasih semua. Sidang selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 14.04 WIB Jakarta, 14 April 2016 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004 Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
53