MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 19/PUU-XIII/2015
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP UNDANGUNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA PEMERIKSAAN PENDAHULUAN (I)
JAKARTA SELASA, 3 FEBRUARI 2015
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 19/PUU-XIII/2015 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa [Pasal 67 ayat (1) dan Pasal 71] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Ongkowijoyo Onggowarsito ACARA Pemeriksaan Pendahuluan (I) Selasa, 3 Februari 2015 Pukul 14.14 – 14.57 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) Maria Farida Indrati 2) Muhammad Alim 3) I Dewa Gede Palguna Sunardi
(Ketua) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Ongkowijoyo Onggowarsito B. Kuasa Hukum Pemohon 1. Fahmi H. Bachmid 2. Imam Asmara Hakim
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 14.14 WIB 1.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Sidang dalam Perkara Nomor 19/PUU-XIII/2015 dinyatakan dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Ya, siang hari ini kita akan melakukan sidang pendahuluan tentang pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, khususnya Pasal 67 ayat (1) dan Pasal 71. Ya untuk pertama kali saya mohon kepada Pemohon menjelaskan siapa yang hadir di sini?
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: FAHMI H. BACHMID Terima kasih, Majelis Hakim Yang Mulia. Yang hadir saya sendiri Fahmi H. Bachmid, dan di samping kanan saya Imam Asmara Hakim, dan sebelah kiri saya adalah Pemohon Prinsipal Pak Ongkowijoyo Onggowarsito. Terima kasih, Majelis Hakim Yang Mulia.
3.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, terima kasih. Karena ini merupakan sidang pendahuluan makanya saya mohon kepada Pemohon untuk menjelaskan secara singkat apa yang dimohonkan dalam persidangan ini.
4.
KUASA HUKUM PEMOHON: FAHMI H. BACHMID Terima kasih, Majelis Hakim Yang Mulia. Saya akan menerangkan tentang … pertama kali tentang legal standing dari pada Pemohon. Bahwa Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia sebagaimana terbukti dengan adanya kartu tanda penduduk dan sekaligus dia juga menjabat sebagai Direktur Utama PT Indiratex Spindo yakni badan hukum Indonesia. Selanjutnya bahwa Pemohon adalah salah satu pihak yang diputus dalam putusan arbitrase internasional pada tanggal 14 Desember 2012 yaitu Putusan The International Cotton Association yang ada di Liverpool, yang putusannya didaftarkan pada tanggal 5 Mei di tahun 2014 di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dan Pemohon baru mengetahui adanya pendaftaran tersebut pada tanggal 14 Agustus
1
tahun 2014. Jadi, 3 bulan setelah didaftarkan baru Pemohon mengetahui adanya pendaftaran putusan arbitrase internasional. Selanjutnya kerugian Pemohon. Bahwa Pemohon sebagai termohon eksekusi dalam putusan arbitrase internasional merasa diperlakukan yang tidak sama dihadapan hukum, serta tidak mendapatkan rasa keadilan, dimana pihak badan hukum asing yang mendaftarkan putusan arbitrase internasional tidak dibatasi waktu untuk mendaftarkannya, sedangkan Pemohon dibatasi waktu 30 hari untuk mengajukan pembatalan atas adanya pendaftaran putusan arbitrase internasional di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selanjutnya berdasarkan prinsip keadilan dan asas persamaan kedudukan dalam hukum, hak Pemohon untuk diperlakukan sama dihadapan hukum serta untuk mendapatkan keadilan tidak terakomodir oleh undang-undang yang diajukan untuk diuji materiil. Sehingga dalam hal ini Pemohon merasa dizalimi atas undang-undang tersebut. Dengan demikian adanya undang-undang yang di satu sisi mengatur adanya ketentuan yang tidak membatasi waktu bagi pihak badan hukum asing untuk mendaftarkan atau deponir adanya putusan internasional. Namun di satu sisi mengatur adanya ketentuan yang melarang dilakukannya pembatalan putusan arbitrase melebihi waktu 30 hari sudah mencederai rasa keadilan dan Pemohon diperlakukan tidak sama dihadapan hukum dengan berlakunya Pasal 67 ayat (1) dan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Bahwa pembatasan waktu untuk pembatalan putusan arbitrase dengan tidak ditentukannya batas akhir penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase oleh arbiter atau kuasanya, setidak-tidaknya mengabaikan prinsip dan nilai keadilan materiil atau substansial, prinsip negara hukum yang menjamin hak seseorang/badan hukum untuk memperjuangkan keadilan dan diperlakukan yang sama dihadapan hukum. Tentang pokok-pokok permohonannya, Majelis Hakim. Bahwa di dalam Pasal 67 ayat (1) permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Bahwa ketentuan di atas tentang pelaksanaan putusan arbitrase internasional merugikan hak konstitusional Pemohon selaku pihak termohon eksekusi, yakni perlakuan yang tidak sama di muka hukum antara pihak pemohon eksekusi dan pihak termohon eksekusi, sebab ketentuan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 atau Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak mengatur tentang tenggang waktu, kapan seharusnya putusan arbitrase internasional didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sebagaimana yang dialami oleh Pemohon. Dimana putusan Arbitrase Internasional ICA tanggal 14 Desember 2012 2
didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 5 Mei 2014 atau didaftarkan satu tahun 5 bulan setelah diputuskan oleh Lembaga Arbitrase Internasional ICA. Selain itu ketentuan Pasal 67 ayat (1) sampai Pasal 71 tidak mensyaratkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk melakukan pemberitahuan adanya pendaftaran, penyerahan putusan arbitrase internasional kepada pihak-pihak yang terlibat dalam arbitrase tersebut. Mengakibatkan pihak yang dirugikan atau yang dikalahkan oleh putusan arbitrase internasional tidak mempunyai hak hukum untuk mengajukan pembatalan. Sebagaimana yang dialami oleh Pemohon, yakni pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional ICA tanggal 14 Desember 2012 didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 5 Mei 2014 dan diberitahukan kepada Pemohon pada tanggal 14 Agustus 2014. Atau diberitahukan setelah 3 bulan putusan didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pendaftaran dan penyerahan arbitrase internasional tanpa batas waktu, mengakibatkan ketidakpastian hukum karena Pihak Pemohon pelaksanaan putusan arbitrase internasional bisa kapan saja mendaftarkan putusannya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan bahkan ada yang didaftarkan lebih dari satu tahun setelah diputuskan oleh lembaga arbitrase internasional, dan ini bisa menimbulkan ketidakpastian hukum, baik bagi Pemohon maupun badan hukum yang ingin melakukan hubungan hukum dengan Pemohon. Pendaftaran dan penyerahan putusan arbitrase internasional yang tidak ditentukan batas waktu kontras dengan ketentuan pendaftaran dan penyerahan arbitrase nasional yang secara tegas membatasi sampai dengan 30 hari sejak putusan diucapkan. Hal ini menujukkan adanya perlakuan yang berbeda antara pihak-pihak yang terlibat antar abiter internasional dengan pihak-pihak yang terlibat dalam arbiter internasional, dalam hal ini subyek hukum, perorangan atau badan hukum, khususnya Indonesia mendapatkan perlakuan berbeda dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase, mengingat pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupu internasional dilaksanakan mengacu pada tengang waktu sejak putusan diserahkan, didaftarkan sebagaimana ditentukan Pasal 59 sampai dengan Pasal 71 yang menentukan dan seterusnya. Saya lanjut pada halaman 32, Majelis Hakim Yang Mulia. Pada halaman 18. Tiga. Bahwa perlakuan yang berbeda dalam hal pendaftaran atas pelaksanaan putusan arbitrase antara arbitrase internasional dan arbitrase nasional. Pada arbitrase nasional pendaftaran dibatasi 30 hari dan pada internasional tidak dibatasi waktu, sudah merugikan hak konstitusional Pemohon dengan adanya ketentuan yang diatur dalam Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 67 ayat (1) merupakan bukti adanya perbedaan bagi pihak ... para pihak badan hukum Indonesia yang 3
diputus dalam putusan arbitrase nasional dengan Pemohon badan hukum Indonesia yang diputus dalam putusan arbitrase internasional. Dan perbedaan yang sangat kontras, yang diatur dalam Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 67 ayat (1) oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 sebagaimana tersebut di atas merupakan bukti telah terjadi pelanggaran terahadap Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menentukan, “Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Pemohon berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dalam negara hukum. Bahwa secara yuridis Undang-Undang Dasar Tahun 1945 memberikan jaminan yang sangat kuat bagi pengakuan terhadap hakhak asasi manusia. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28D ayat (1) menyediakan instrumen berupa hak dan pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, dimana dinyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Norma konstitusi di atas mencerminkan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang berlaku bagi seluruh manusia secara universal. Dalam kualifikasi yang sama, setiap manusia termasuk di dalamnya Pemohon. Namun pada kenyataanya, apa yang dialami oleh Pemohon, yakni adanya pendaftaran putusan arbitrase internasional dapat dilakukan kapan saja, tanpa batas waktu yang jelas, sehingga bisa didaftarkan setahun kemudian, lima tahun kemudian, dan/atau kapan saja sesuka pihak yang dimenangkan atas adanya putusan arbitrase internasional. Sebagaimana yang dialami oleh Pemohon. Syarat untuk mengajukan pembatalan atas adanya putusan arbitrase internasional yang sudah didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dibatasi 30 hari setelah didaftarkan, sehingga mengakibatkan hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum dan jaminan rasa keadilan yang sama, tidak didapatkan dengan adanya ketentuan Pasal 67 ayat (1) dan ketentuan Pasal 71 Undang-Undang Arbitrase. Pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana yang dimaksud di atas juga mencakup pengakuan jaminan dan perlindungan atas asas-asas hukum yang berlaku universal tidak didapatkan oleh Pemohon. Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menimbulkan ketidakpastian hukum, mengakibatkan tercederai rasa keadilan dan persamaan di depan hukum. Bahwa ketentuan yang diatur dalam Pasal 67 ayat (1) menimbulkan ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum karena di dalam undang-undang tidak diatur batas akhir penyerahan pendaftaran putusan arbitrase internasional. Jikapun ada, maka yang diatur adalah 4
hanya batas akhir pengajuan pembatalan atas putusan arbitrase internasional dan batas akhir waktu pendaftaran pada putusan arbitrase nasional. Apabila mencermati pasal-pasal yang ada di dalam UndangUndang Nomor 30 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, BAB 6 sampai BAB 7, hanya Pasal 67 ayat (1) yang tidak dibatasi oleh tenggang waktu, sedangkan beberapa ketentuan yang lainnya dibatasi dengan tenggang waktu. Untuk itu Pemohon akan kutip dan kami anggap terbacakan. Bahwa dengan fakta yuridis tersebut di atas, Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang tidak menentukan secara tegas batas waktu kapan tenggang akhir pendaftaran putusan arbitrase internasional, akibatnya pasal tersebut dapat ditafsirkan kapanpun putusan arbitrase internasional dapat diserahkan, didaftarkan, dan hal ini mengakibatkan ketidakpastian hukum, serta membuktikan terjadinya perbedaan perlakuan di hadapan hukum bagi Pemohon sebagai pihak yang ada dalam putusan arbitrase internasional dengan badan hukum asing yang mendaftarkan putusan arbitrase internasional. Serta terjadi perbedaan perlakuan hukum antara Pemohon sebagai badan hukum Indonesia sebagai pihak dalam putusan arbitrase internasional dengan badan hukum Indonesia lainnya sebagai para pihak yang diputus dalam putusan arbitrase nasional. Dengan demikian Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, oleh karenanya secara yuridis Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menjadi inkonstitusional jika tidak memiliki penafsiran yang pasti bahwa sebagaimana uraian di atas karena tidak ada ketentuan dalam Pasal 67 ayat (1) yang mengatur pembatasan waktu pendaftaran bagi putusan arbitrase internasional untuk didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mengakibatkan putusan arbitrase internasional bisa didaftarakan kapan saja seperti yang dialami oleh Pemohon, di mana putusan arbitrase internasional didaftarkan satu tahun lima bulan setelah diputuskan. Hal ini juga dialami oleh beberapa badan hukum Indonesia. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum bagi Pemohon, serta adanya perlakuan yang tidak sama bagi Pemohon karena untuk badan hukum asing bisa kapan saja mendaftarkan putusan arbitrase internasional di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, serta perlakuan yang tidak sama, dimana bagi badan hukum yang menjadi pihak dalam putusan arbitrase nasional secara tegas ditentukan waktu pendaftaran putusan arbitrase nasional dibatasi 30 hari sejak diputuskan. Maka Pasal 67 ayat (1) menjadi pasal yang inkonstitusional bertentangan dengan Pasal 1 ayat 5
(3) dan Pasal 28D ayat (1) karena tidak ada penjelasan maupun tafsir yang pasti atas Pasal 67 ayat (1) tersebut. Bahwa apabila Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dapat terjadi kekosongan hukum mengenai kepastian hukum pelaksanaan putusan arbitrase nasional. Maka demi keadilan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum atas berlakunya UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 terhadap diri Pemohon, untuk itu Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk dapat memberikan tafsir atas Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 agar menjadi konstitusional. Dengan demikian Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 adalah conditionally unconstitutional atau inkonstutional bersyarat jika ditafsrikan bahwa tenggang waktu penyerahan pendaftaran putusan arbitrase internasional dibatasi dengan tenggang waktu sama dengan batas waktu pendaftaran bagi putusan arbitrase nasional, dan batas tenggang waktu upaya hukum pembatalan, yakni 30 hari untuk mencegah Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menjadi conditionally uncontitutional, maka pasal tersebut harus ditafsirkan bahwa ketika penyerahan pendaftaran atau deponir oleh arbiter atau kuasanya harus dibatasi dengan tenggang waktu, yakni 30 hari setelah diputuskan oleh lembaga arbiter internasional. D. Pasal 71 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menimbulkan ketidakpastian hukum, serta mengakibatkan tercederai rasa keadilan dan persamaan di depan hukum. Bahwa di dalam ketentuan BAB 6 bagian kedua tentang putusan arbitrase internasional baik Pasal 67 sampai Pasal 71 tidak terdapat frasa yang dalam batas waktu tertentu mewajibakan kepada Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk segera memberitahukan adanya pendaftaran penyerahan putusan arbitrase internasional oleh arbiter atau kuasanya kepada pihak atau termohon eksekusi yang ada di Indonesia. Mengakibatkan perlakuan yang tidak sama dalam hukum acara dan merugikan kepentingan hukum termohon eksekusi untuk dapat melakukan upaya hukum pembatalan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 71. Hal ini sebagaimana yang dialami oleh Pemohon, yakni pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional ICA di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 5 Mei 2014, terdaftar di bawah Nomor 03/PDT/ARB/IN/2014/PN.Jakarta Pusat dan baru diberitahukan kepada Pemohon pada tanggal 14 Agustus 2014. Dengan kata lain diberitahukan 3 bulan setelah didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sedangkan bagi Pemohon untuk melakukan upaya hukum pembatalan dibatasi waktu hanya 30 hari
6
setelah putusan arbiterase internasional didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Bahwa kewajiban memberitahukan adanya deponir atau pendaftaran putusan kepada para pihak dalam perkara dan mendengar serta memberikan kesempatan yang sama merupakan tujuan dan citacita hukum. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman selanjutnya akan disebut UUK. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Bahwa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1), maka penyelenggaraan peradilan dimaksudkan untuk menegakkan hukum dan keadilan yang berarti fungsi peradilan adalah menegakkan hukum dan keadilan. Pengadilan yang berfungsi untuk menegakkan hukum dan keadilan wajib mengadili menurut hukum dan tidak membeda-bedakan orang. Berdasarkan asas ini, maka semua manusia dipandang sama secara umum. Asas ini dikenal dengan equality before the law. Karena pada dasarnya hukum acara perdata ingin melindungi para pencari keadilan dengan menempatkan kedua belah pihak sama di hadapan hukum. Bahwa Pasal 71 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menentukan permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran Putusan Arbitrase kepada panitera pengadilan negeri. Namun, tidak ada satu pun dalam Pasal 67 sampai Pasal 71 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dan penjelasannya yang mengatur kewajiban bagi Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memberitahukan kepada pihak termohon eksekusi. Yang ada di negeri Indonesia yang tercantum dalam putusan arbitrase internasional tentang adanya pendaftaran putusan arbitrase internasional telah didaftarkan. Untuk memberikan kesempatan yang sama bagi pihak yang berkepentingan untuk mengajukan upaya hukum pembatalan dan memperhatikan apa yang dialami oleh Pemohon, dimana pendaftaran putusan terjadi pada 5 Mei 2014 dan diberitahukan kepada Pemohon pada tanggal 14 Agustus, sedangkan hak yang diberikan Pasal 71 kepada Pemohon hanyalah 30 hari setelah didaftarkan putusan arbiterase internasional tersebut. Sedangkan hak bagi pihak yang mendaftarkan diberi hak yang tanpa batas untuk kapan saja bisa mendafarkan putusannya. Hal ini mengakibatkan ketidakpastian hukum dan tercederai rasa keadilan serta Pemohon merasa tidak mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan 7
hukum akibat diberlakukannya Pasal 71 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Dengan demikian Pasal 71 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UndangUndang Dasar Tahun 1945. Oleh karenanya secara yuridis, Pasal 71 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Bahwa apabila Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 71 Undang-Undang Dasar … Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka dapat terjadi kekosongan hukum. Maka, demi kepastian hukum dan demi keadilan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum atas berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 terhadap diri Pemohon, untuk itu Pemohon mohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk dapat memberikan tafsir atas Pasal 71 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dengan menyatakan konstitusional bersyarat. Diartikan bahwa Pasal 71 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138 adalah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 secara bersyarat, yaitu konstitusional sepanjang dimaknai 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera pengadilan negeri tersebut diberitahukan kepada termohon eksekusi. Selanjutnya kami … petitumnya yang pertama menyatakan. 1. Menerima dan mengabulkan permohonan pengujian Pasal 67 ayat (1) dan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872 terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Menyatakan Pasal 67 ayat (1) dan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. 3. Menyatakan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
8
Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat dan menganggap Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat dan berlaku, mohon agar Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dapat memberikan tafsir konstitusional terhadap Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan menyatakan konstitusional bersyarat. Diartikan bahwa Pasal 67 ayat (1) huruf d Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat, yaitu konstitusional sepanjang dimaknai putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat paling lambat 30 hari sejak tanggal putusan arbitrase dijatuhkan. Menyatakan Pasal 71 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 38 … tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat dan menganggap Pasal 71 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat dan berlaku, mohon agar Majelis Hakim Konstitusi dapat memberikan tafsir konstitusional terhadap Pasal 71 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan menyatakan konstitusional bersyarat. Diartikan Pasal 71 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138 adalah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 secara bersyarat, yaitu konstitusional sepanjang dimaknai 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera pengadilan negeri tersebut diberitahukan kepada termohon eksekusi. Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan seadil-adilnya. Hal-hal yang belum terbaca kami anggap sudah terbacakan. Terima kasih Majelis Hakim Yang Mulia. 5.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, terima kasih. Ya, permohonan pendahuluan ini, sidang ini kita diwajibkan oleh undang-undang untuk memberikan nasihat kepada Pemohon terhadap apa yang sudah diajukan dalam permohonan ini. Yang pertama, saya akan melihat kepada permohonan ini, yaitu satu, halaman 2 tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi. Pada nomor 9
1 Anda mengatakan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah Pasal 24C. Saya rasa ini enggak perlu karena Pasal 24C itu untuk semua undang-undang. Jadi, Anda langsung saja Pasal 24C UndangUndang Dasar Tahun 1945, ya. Kemudian yang ketiga, Anda mengatakan bahwa Pasal 7 UndangUndang Nomor 10 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 sudah tidak berlaku lagi, jadi tidak bisa Anda juncto-kan. Nah, ini yang kelima, kemudian mestinya yang terakhir ini bahwa karena Anda menguji Undang-Undang Nomor 30 tadi, maka Mahkamah berwenang untuk menguji itu. Itu yang terakhir. Kemudian saya melihat yang Anda mohonkan kelihatannya adalah kasus konkret dan sudah berlaku. Dan Anda harus pikirkan bahwa kalau kasus konkret dan kemudian kemungkinan ada ketidakpastian hukum yang kemudian menimbulkan undang-undang itu bisa diuji, maka putusan MK juga tidak akan berpengaruh pada kasus konkret yang Anda alami, ya. Nah, kemudian, Anda mempermasalahkan dua pasal tadi, Pasal 67 ayat (1) dan Pasal 71. Kelihatannya uraian Anda lebih jelas daripada permohonan Anda. Karena permohonan Anda diulang-ulang, diserahkan tanggal berapa, kemudian baru diberitahukan tanggal berapa. Kemudian ada Pasal 59 sampai Pasal 71 Anda muat semuanya dan tidak diberikan suatu penjelasan yang meyakinkan Hakim bahwa Anda memang mempunyai kerugian konstitusional. Sebagai legal standing maka harus dilihat bahwa warga negara Indonesia, atau badan hukum publik atau privat, masyarakat adat, atau lembaga negara yang kewenangan konstitusionalnya itu terlanggar. Jadi, mesti melihat pada … di sini sudah ada dilihat sebagai apa … yurisprudensi Mahkamah tentang legal standing, tapi harus dijelaskan apa saja yang langsung terkait dengan klien Anda. Kemudian, kalau Anda menyatakan dalam petitum itu yang satu menerima dan mengabulkan, yang menerimanya kan sudah kita terima, itu harus dihilangkan saja, kemudian mengabulkan. Petitum yang kedua, Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 71 itu bertentangan dengan Pasal 3 ayat (1), dan sebagainya, Anda langsung mengatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 saja. Tapi kemudian seandainya Anda mengatakan Pasal 67 bertentangan ataupun seandainya Mahkamah berpendapat lain maka dimohonkan secara konstitusional bersyarat. MK sebetulnya tidak merupakan positive legislator, tapi kalau ada sesuatu hal yang memang perlu untuk ditafsirkan begitu, maka kemudian kita bisa melakukan seperti itu. Tapi mesti dipikirkan hati-hati, apakah betul bahwa dengan ini kemudian ada dampak postif bagi 10
Pemohon atau apakah permohonan Pemohon ini menguntungkan? Ya, karena tadi saya katakan bahwa kasus konkret kemudian ini diputuskan oleh MK, yang untung mungkin orang yang lain, tapi untuk Anda sendiri tidak, gitu ya. Kalau Pasal 70 … kalau Pasal 6 … Pasal 71 … kalau Pasal 71 ini hilang, apakah juga tidak berdampak juga? Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan berdasarkan putusan arbitrase kepada panitera pengadilan dalam negeri. Kalau ini Anda anggap bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, terus aturannya pakai apa malahan, ya? Nah, jadi ini Anda harus membuat suatu rumusan di mana antara Pasal 67 ayat (1) dan Pasal 71 itu kalau dua-duanya dinyatakan bertentangan atau satu dinyatakan bertentangan, yang satu tidak, kemudian itu ada dampaknya yang positif bagi Pemohon, ya. Kalau saya melihat pada Pasal 71 kalau ini hilang, malah enggak ada aturannya, begitu ya. Itu menurut saya. Saya melihat pada Pasal 71 ini pasti. Tapi apabila Anda kaitkan dengan Pasal 67 mingkin, ya. Tolong dirumuskan kembali sehingga bisa meyakinkan Hakim bahwa walaupun itu kasus konkret, mungkin itu ada dampaknya karena adanya kerugian konstitusional Anda, ya. Saya mohon kepada Yang Mulia Bapak Muhammad Alim. 6.
HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Terima kasih kesempatan yang diberikan oleh Yang Mulia Ibu Ketua kepada saya. Saya mohon maaf, saya punya suara agak parau. Saudara Pemohon, ini saya … saya mau yang pastinya yang mana? Karena yang berperkara itu sebenarnya adalah PT ini lawan di sana. Tetapi PT itu yang memberi kuasa kepada Saudara hanya Saudara Ongkowijoyo Onggowarsito. Padahal di bukti P-3 yang Saudara sendiri ajukan itu banyak, banyak itu direkturnya itu Perseroan Terbatas Indiratex Spindo, di antaranya ada Tuan Encang Onggowarsito, Tuan Eddy Onggowarsito, kemudian ada beberapa di sini, ada sampai tujuh … tujuh orang. Nah, ini yang berperkara kan di arbitrase internasional itu, itu kan PT, bukan … bukan ini yang bersangkutan. Yang memberi kuasa kepada Saudara cuma satu orang. Ini barangkali harus hati-hati, ya. Dan kemudian juga di sini di bagian pertama permohonan Saudara, apakah dia kedudukannya sebagai perseorangan atau kah kedudukannya sebagai direktur PT? Karena di dalam Pasal 51 ayat (1) itu, kan dua-duanya boleh. Perseorangan, boleh. Direktur apa … apa … pimpinan daripada badan hukum publik atau badan hukum privat, boleh. Tetapi kan harus jelas yang mana dia. Ini … ini kalau hanya satu orang, mohon maaf ya karena ini yang berperkara itu adalah PT-nya, ini kan jadi masalah. Tolong, tolong Saudara perhatikan itu. 11
Nah, kemudian jadi apakah permohonan ini perseorangan atau kah direktur PT? Karena ini … ini masalah betul. Kalau … karena yang berperkara ini PT saya lihat ini menurut bukti P-7 yang Saudara kemukakan. Nah, jadi ini kami punya kewajiban memberi nasihat bahwa Anda terima atau tidak, itu urusan lain, ya. Jadi, kami punya kewajiban. Kalau sudah disampaikan, lepas (suara tidak terdengar jelas). Karena bukti P-7 itu Asosiasi Kapas Internasional, putusan arbitrase itu antara PT Indiratex Spindo Indonesia pembeli dan Pemohon, dan Oppersition Enterprise Limited Central Hong Kong. Kan itu yang beperkara. Nah, saya lihat di P-7 yang Saudara kemukakan bahwa Saudara Pemohon ini Ongkowijoyo Onggowarsito hanya salah satu di antara itu. Jadi, dia tidak sendirian. Itu pun dia diwakili oleh Tuan Eddy Onggowarsito untuk diri sendiri dan sekaligus dengan sebagai Kuasa daripada Ongkowijoyo Onggowarsito. Itu, satu. Kedua. Ini kan … mohon maaf ya, sudah tahu bahwa kalau … kalau PT ini kalah, kan gitu. Nah, apakah sudah dimohonkan pembatalan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat? Nah, itu pertanyaan yang pertama. Karena itu prosedurnya di sana. Ini kan Anda menguji undang-undang. Tapi kita tanyakan juga itu. Apa sudah … sudah dibatalkan atau … atau sudah dimohonkan, atau bagaimana, dan siapa yang memohon? Karena ini … PT ini yang anu … saya lihat betul ini di bukti P-7 tidak hanya seorang, lho. Ada tujuh ini di sini … di situ. Ya, oke. Nah, kemudian tadi mengenai kewenangan Mahkamah. Oke, Pasal 24 ayat (1) itu ada menguji undang-undang terhadap undangundang. Kemudian Saudara Pemohon menulis di … di permohonannya itu halaman … halaman … halaman 3 itu Pasal 10 huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, masih ada satu yang Saudara lupa, Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, itu sama juga itu menguji undang-undang terhadap undangundang. Jadi kita kan kekuasaan kehakiman juga jadi kita tunduk juga kepada itu, jadi MK itu adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman. Jadi tolong … tolong disebutkan itu. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Yang Mulia tadi Ibu Ketua, ini tolong jelaskan betul yang mana dia posisi ini Pemohon karena kalau tidak bisa menjadi N.O ... mohon maaf, ya, jadi hati-hati sekali. Cuma sekedar saya ingatkan dalam praktik loh kalau hak itu bisa saja berlarutlarut tidak dituntut kalau kewajiban ditentukan, maka dalam perdata umum ya, perdata umum biar 10 tahun itu baru diminta eksekusi, terserah dia. Malah sebenarnya kalau secara hukum menguntungkan itu yang kalah karena lambat dieksekusi, lama kan dia mengulur waktu namanya tapi kan bukan kesalahan dia, tetapi itu nanti … nanti Saudara pikirkan baik-baik.
12
Nah, sedikit saya masuk kepada petitum yang Saudara kemukakan. Petitum angka 1 itu mengabulkan saja kalau sudah menerima itu pasti dia dikabulkan, kalau tidak dapat diterima kan lain dia punya amar. Ya, jadi mengabulkan permohonan pengujian ... barang kali kan nomor 1 mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya saja, apa yang diujikan sudah kita ketahui. Nanti di ayat (2) Pasal 67 ayat (1) bertentangan dengan ini, ini, ini. Seperti yang diterangkan oleh Yang Mulia tadi, Ibu Ketua, tidak usah menyebutkan pasalnya bertentangan saja dengan Undang-Undang Dasar 1945, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan seterusnya itu. Saya buat sementara, Bunda. 7.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Terima kasih, saya mohon Yang Mulia Bapak I Gede Dewa Palguna.
8.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Terima kasih, Yang Mulia Ketua. Saya kita tadi sudah banyak ya, Saudara Pemohon. Dari saya cuma menegaskan dua hal saja. Pertama ini, di bagian depan sebenarnya Saudara sudah bagus menguraikan sarat legal standing itu ya, cuma Anda di situ harus memilih apakah nanti ini ... inikan tadi Yang Mulia Pak Dr. Muhammad Alim juga sudah menyampaikan, ini yang seorang kan PT sebenarnya, jadi sebenarnya yang mau diajukan sebagai pihak yang mempunyai legal standing untuk mengajukan permohonan adalah PT ini berarti dia badan hukum itu, kan? Nah, badan hukum inilah yang harus diuraikan. Nah, apa kerugian dari badan hukum ini? Anda sudah menyebutkan inikan karena bedabeda kan kalau hak perorangan warga negara Indonesia kan beda hak konstitusionalnya dengan badan hukum kan, misalnya kalau badan hukum jelas lah tidak mempunyai … misalnya … kebetulan bukan itu yang dijadikan dalil misalnya, badan hukum kan tidak mempunyai hak untuk menganut keyakinan, gitu, kan beda itu, hanya perorangan yang bisa. Nah, ini badan hukum dia mempunyai hak konstitusional juga apa yang dirugikan itu sebagai badan hukum, itu dulu jelaskan. Nah, tetapi sebelum masuk ke situ Anda harus buktikan siapa yang mempunyai kewenangan untuk bertindak untuk dan atas nama badan hukum ini? Nah, itu. Tadi Yang Mulia Dr. Muhammad Alim menyebutkan kan ini kan banyak ya, kita tahulah kalau badan hukum yang namanya PT kan ada syaratnya dia anu, ya. Di dalam anggaran dasarnya atau anunya kan pasti ada, siapa yang dia berhak bertindak untuk dan atas nama badan hukum ini? Nah, itu dulu disebutkan di sini, itu. Baru dari situ rumusan kerugiannya. Oke.
13
Tadi sudah banyak yang diuraikan, saya hanya menambahkan dua saja. Nah, ini satu soal inkonsistensi saja, Saudara, ya. Coba Anda lihat permohonan Anda di halaman 26 ya, kelanjutan dari kalimat … angka 3 di halaman 25, ya. Coba saya bacakan ya, “Dengan demikian Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 adalah conditionally unconstitutional atau inkonstitusional bersyarat, jika ditafsirkan bahwa tenggang waktu penyerahan pendaftaran putusan arbitrase internasional dibatasi dengan tenggang waktu sama dengan batas tenggang waktu pendaftaran bagi putusan arbitrase nasional dan batas tenggang waktu untuk upaya hukum pembatalan, yakni 30 hari. Untuk mencegah Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menjadi conditionally unconstitutional maka pasal tersebut harus ditafsirkan bahwa ketika penyerahan pendaftaran atau deponir oleh arbiter atau kuasanya harus dibatasi dengan waktu, yakni 30 hari setelah diputuskan oleh lembaga arbitrase internasional.” Nah, sekarang masuk ke petitum, petitum Anda di angka 4 itu mengatakan, “Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat dan menganggap Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dan seterusnya. Tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat dan berlaku mohon agar Majelis Hakim Konstitusi dapat memberikan tafsir konstitusional terhadap Pasal 67 ayat (1) tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan menyatakan konstitusional bersyarat.” Jadi begini maksudnya, tegasnya itu Anda meminta kami untuk memberikan penafsiran bahwa ini adalah konstitusional bersyarat dalam pengertian konstitusional kalau ditafsirkan begini. Ataukah seperti yang diposita yang maksudnya? Anda mengatakan ini unconstitutional jika begini? Yang mana yang sebenarnya yang Anda ini kan ini? Ketegasannya, ya. Itu di … mohon dijelaskan nanti di dalam perbaikan permohonan. Saya dua itu saja, Yang Mulia. Terima kasih. 9.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, terima kasih. Ya, jadi itu tadi yang mesti Anda perbaiki. Apakah Anda mengatakan konstitusional bersyarat itu bertentangan atau tidak bertentangan, tadi. Ya, conditionally inconstitutional atau conditionally unconstitutional? Nah, itu yang harus ini. Dan kemudian juga mengenai legal standing ya dan rumusan-rumusan permohonan yang lebih jelas mengungkapkan. Anda menyebut Pasal 59 sampai Pasal 70. Tapi isinya apa? Ya, kan. Jadi itu. Dari Majelis seperti itu. Ada yang perlu dipertanyakan?
14
10. KUASA HUKUM PEMOHON: FAHMI H. BACHMID Cukup, Majelis. Memang Onggowarsito itu adalah direktur utama yang berhak mewakili untuk dan atas nama (…) 11. KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, itu nanti disebutkan ya. 12. KUASA HUKUM PEMOHON: FAHMI H. BACHMID Nanti saya sebutkan. 13. KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, oke. Anda mempunyai waktu 14 hari untuk mengajukan perbaikan dan disertakan ke Kepaniteraan. Ada yang ditanyakan lagi? Tidak. Kalau tidak ada permasalahan lagi, maka sidang ini saya nyatakan selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 14.57 WIB Jakarta, 3 Februari 2015 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d. Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
15