MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 40 /PUU-XIII/2015
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN AHLI PEMOHON (V)
JAKARTA RABU, 10 JUNI 2015
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 40/PUU-XIII/2015 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [Pasal 32 ayat (1) huruf c dan Pasal 32 ayat (2)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Bambang Widjojanto ACARA Mendengarkan Keterangan Ahli Pemohon (V) Rabu, 10 Juni 2015, Pukul 11.42 – 13.10 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Anwar Usman Aswanto I Dewa Gede Palguna Manahan Malontige Pardamean Sitompul Patrialis Akbar Suhartoyo Wahiduddin Adams
Sunardi
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Bambang Widjojanto B. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Boedi Wijardjo 2. Abdul Fickar Hadjar 3. Muji Kartika Rahayu 4. Asfinawati 5. Bahrain van Halen C. Pemerintah: 1. Budijono 2. Tri Rahmanto D. Ahli dari Pemohon: 1. Saldi Isra 2. Eddy O.S. Hiariej
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.42 WIB 1.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Sidang Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang dan salam sejahtera untuk kita semua. Ya, pertama-tama kami mohon maaf pada Pemohon, Pihak Pemerintah, dan Ahli, sidang ini tertunda karena ada beberapa perkara yang mau tidak mau kami harus tuntaskan di RPH tadi. Jadi, sekali lagi mohon maaf. Sesuai dengan agenda persidangan hari ini adalah untuk mendengarkan keterangan ahli dari Pemohon, namun sebelumnya dipersilakan untuk memperkenalkan diri lagi siapa saja yang hadir? Silakan, Pemohon.
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: ABDUL FICKAR HADJAR Terima kasih, Pak ... Yang Terhormat Majelis. Kami hadir ada enam orang, antara lain Saudara Boedi Wijardjo, kemudian Saudara Bambang Widjojanto, kemudian saya sendiri Abdul Fickar Hadjar, kemudian Muji Kartika Rahayu, kemudian Asfinawati, dan Bahrain van Halen. Itu Kuasa Hukum semuanya. Dan hari ini ... oh ya, saya lupa yang satu Pemohon, Pemohon Prinsipal. Oke. Itu, Pak Majelis.
3.
KETUA: ANWAR USMAN Dari Kuasa Presiden? Silakan.
4.
PEMERINTAH: BUDIJONO Terima kasih, Yang Mulia. Dari Pemerintah hadir, saya Budijono dan Saudara Tri Rahmanto. Terima kasih, Yang Mulia.
5.
KETUA: ANWAR USMAN Di meja kami ada dua nama yang diajukan sebagai Ahli, Prof. Eddy Hiariej dan Prof. Saldi Isra. Dipersilakan maju ke depan untuk diambil sumpahnya dulu.
1
6.
KUASA HUKUM PEMOHON: ABDUL FICKAR HADJAR Majelis, sebelum dimulai, selain dua ahli ini, nanti jam 12.00 WIB ada satu lagi.
7.
KETUA: ANWAR USMAN Oh, menyusul, ya?
8.
KUASA HUKUM PEMOHON: ABDUL FICKAR HADJAR Menyusul. Terima kasih.
9.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, lihat perkembangannya nanti. Ya, mohon kesediaan Pak Wahiduddin.
10.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDDUDIN ADAMS Untuk Ahli, untuk mengikuti lafaz sumpah yang saya ucapkan. ”Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.”
11.
PARA AHLI YANG BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.
12.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih. Mohon kembali ke tempat. Ya, untuk yang pertama kita dengarkan keterangan dari Prof. Eddy Hiariej, silakan ke mimbar.
13.
KUASA HUKUM PEMOHON: ABDUL FICKAR HADJAR Keperluan setelah ini, maka minta Prof. Saldi lebih dahulu.
14.
KETUA: ANWAR USMAN Oh, begitu ya, Prof. Saldi dulu, baik. Silakan, Prof. Saldi.
2
15.
AHLI DARI PEMOHON: SALDI ISRA Terima kasih, Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan, Kuasa Pemohon, Wakil Pemerintah, dan Hadirin sekalian yang berbahagia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang dan salam sejahtera untuk kita semua. Om swastiastu. Pertama, sebelum saya membacakan keterangan ini, saya minta dahulu bukan karena akan meninggalkan ruangan, Yang Mulia, tapi lebih kepada disiplin ilmu. Jadi, tata negara atau perundang-undangan baru nanti pidananya. Sebab kalau pidananya duluan agak terbalik nanti menyampaikan keterangan ini. Apa yang saat ini dialami oleh lembaga antirasuah yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK sesungguhnya sudah pernah diperkirakan akan terjadi sejak memasuki tahun 2015. Pada harian Kompas, tanggal 8 Januari 2015, melalui artikel yang berjudul, “2015 Tahun Kritis KPK,” saya menulis salah satu analisis bahwa tantangan eksternal yang akan dihadapi KPK adalah gangguan yang bertujuan untuk menurunkan laju upaya pemberantasan korupsi yang semakin menguat. Analisis itu didasarkan pada fakta bahwa dalam usianya yang memasuki tahun ke-12, pemberantasan korupsi oleh KPK telah menyentuh orang-orang penting, baik di lembaga legislatif, ekeskutif, bahkan institusi penegak hukum. Dengan demikian, kekuatan yang terus berupaya menahan laju langkah KPK kian besar, sehingga kekuatan perlawanan balik. Langkah pemberantasan korupsi pun makin menguat. Kekhawatiran tersebutlah saat ini yang berkelindan dan berhimpun menjadi satu kekuatan padu mengerus ene … energi pemberantasan korupsi yang dihela oleh KPK. Serangan balik yang menggunakan kuasa dan kewenangan yang ada pada institusi penegak hukum seperti kepolisian menjadi alat yang cukup ampuh merusak setidak-tidaknya mengganggu agenda nasional pemberantasan korupsi yang mulai terkonsolidasi di bawah koordinasi KPK. Menggunakan kekuatan tersebut, serangan terhadap KPK betulbetul ampuh dengan menggunakan instrumen penetapan Pimpinan KPK sebagai tersangka sejumlah upaya penindakan KPK pun menjadi tersendat, bahkan terancam berhenti. Langkah perlawanan balik itu terlihat seperti telah sesuai dengan prosedur dan aturan hukum yang berlaku. Di permukaan, semuanya terlihat bagai sesuatu proses hukum normal saja. Namun, esensi tersiratnya memperlemah upaya pemberantasan korupsi. Tidak hanya itu, semua tindakan tersebut dilakukan seolah-olah mempunyai dasar pijakan hukum yang kuat. Sulit untuk menyatakan langkah menetapkan dua Pimpinan KPK sebagai tersangka sebagai sebuah tindakan … sebagai bukan upaya penghambat kerja KPK. Sebab 3
semuanya dengan mudah dapat dipahami. Hanya saja agenda tersebut terselamatkan karena terbungkus secara rapi dengan mengatasnamakan penegakkan hukum. Celah-celah hukum yang tersedia dimanfaatkan begitu rupa, hingga perlawanan terhadap KPK terlihat sebagai sesuatu yang normal saja. Celah yang dimaksud adalah pemanfaatan pasal pemberhentian sementara Pimpinan KPK karena berstatus tersangka. Dengan menggunakan celah Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi banyak pihak di lembaga ini benar-benar terencam dengan proses hukum yang kelihatannya benar. Dalam ketentuan tersebut diatur bahwa dalam hal Pimpinan KPK menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya. Sebagai penegak hukum, sangat mungkin penyidik menggunakan ruang yang tersedia dalam Pasal 32 ayat (2) tersebut untuk melumpuhkan KPK dan menetapkan pimpinannya sebagai tersangka dengan tindak pidana sekalipun tindakan tersebut amat sumir. Dengan jalannya itu saja, Pimpinan KPK harus sudah berhenti sementara dari jabatannya begitu ditetapkan sebagai tersangka. Ketentuan tersebut bagi Pemohon perkara konstitusi ini, norma Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang KPK dinilai telah melanggar hak konstitusional Pemohon, sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Sebab bila rumusan norma dengan tanpa batasan tindak pidana kejahatan apa saja yang dapat dijadikan alasan untuk memberhentikan sementara telah menyebabkan setiap pimpinan rawan dan potensial dikriminalisasi dalam melaksanakan tugas-tugas pemberantasan korupsi. Kerawanan tersebut semakin kuat ketika KPK melakukan penindakan terhadap pihak-pihak yang sedang memegang jabatan atau pengaruh pada institusi penegak hukum. Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan. Kuasa Pemohon, Pemerintah, dan Pemohon Prinsipal, serta Hadirin sekalian yang berbahagia. Berhenti sementara sebagai Pimpinan KPK karena menjadi tersangka untuk tindak pidana kejahatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang KPK pada dasarnya memiliki semangat yang amat baik. Dimana ketentuan tersebut sesungguhnya menghendaki agar setiap Pimpinan KPK memiliki standar moral tinggi dan Pimpinan KPK seolah-olah adalah seseorang atau manusia “sempurna” dengan tanpa ada toleransi melakukan kejahatan sekecil apapun. Artinya ketika berstatus tersangka, Pimpinan KPK harus meninggalkan jabatannya. Pada saat yang sama, tingginya standar moral bagi Pimpinan KPK yang ditentukan undang-undang juga ditujukan agar KPK menjadi lembaga terpercaya dalam melaksankan tindakan luar biasa atau extra ordinary action dalam memberantas korupsi.
4
Selain itu, citra demikian juga menghendaki agar Pimpinan KPK memiliki integritas dan menjadi contoh bagi penyelenggara lainnya. Hanya saja, di balik semangat baik norma Pasal 32 ayat (2) UndangUndang KPK ini tersimpan bom waktu yang dapat meledakkan kerjakerja besar KPK. Bom waktu itu akan menjadi aktif saat langkah pemberantasan korupsi diarahkan pada lembaga penegak hukum. Dengan kewenangan penyidikkan yang dimiliki kepolisian sebagai penegak hukum misalnya, ketentuan tersebut potensial dimanfaatkan untuk mengganggu KPK. Caranya sederhana, dengan alasan hukum yang sangat mungkin dicari-cari, menetapkan Pimpinan KPK sebagai tersangka … sebagai tersangka. Apa yang terjadi dengan KPK sejak awal tahun 2015 merupakan bukti nyata betapa efektifnya bekerja bom waktu Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang KPK. Dua Pimpinan KPK diberhentikan sementara setelah ditetapkan sebagai tersangka dugaan tindak pidana yang terjadi jauh sebelum keduanya terpilih menjadi Pimpinan KPK. Dalam kasus yang menimpa Pemohon misalnya, dugaan yang sesungguhnya telah dikonfirmasi ketidakbenarannya ketika proses seleksi Pimpinan KPK tahun 2011. Bahkan dugaan tindak pidana yang dituduhkan telah pula diklarifikasi bersangkutan secara langsung kepada publik melalui media cetak maupun elektronik saat seleksi Pimpinan KPK. Artinya, dengan ditetapkan sebagai tersangka dugaan tindak pidana yang amat sumir saja, seorang Pimpinan KPK dapat berhenti sementara. Fakta ini sebetulnya mengkonfirmasi bahwa Pasal 32 ayat (2) UndangUndang KPK tidak saja menyimpan maksud baik, melainkan juga mengandung titik lemah mendasar yang justru dapat mengancam dan sekaligus membahayakan keinginan kolektif bangsa ini memberantas korupsi dengan membentuk lembaga khusus bernama KPK. Bahkan bila diletakkan dalam konteks politik hukum pembentukkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, celah yang tersedia dalam Pasal 32 ayat (2) ini amat mungkin melumpuhkan KPK sebagai institusi extra ordinary dalam menghambat laju praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagai salah satu amanah sentral era reformasi. Paling tidak bentangan fakta yang menimpa KPK sejak pertengahan Januari 2015 lebih dari cukup untuk membuktikan kebenaran penilaian ini. Artinya, sekiranya tidak segera ditutup ketentuan Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dapat mengancam dan mengubur masa depan KPK yang dalam batas-batas tertentu dapat juga mengancam masa depan agenda pemberantasan korupsi. Terkait dengan ancaman tersebut Jon ST Quah dalam bukunya Curbing Corruption in Asian Countries An Impossible Dream? Tahun 2003 menyatakan bahwa lembaga-lembaga anti korupsi sebagai ujung tombak perang melawan korupsi salah satunya kunci utamanya keberadaannya harus didukung produk legislasi komprehensif yang memungkinkan lembaga ini optimal dalam desain besar pemberantasan korupsi. 5
Menggunakan pandangan tersebut, Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dapat dikatakan telah menjadi celah besar yang potensial mengganggu agenda pemberantasan korupsi yang dimanfaatkan … diamanatkan kepada KPK. Tidak hanya itu, bila dikaitkan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan, kondisi ini sulit mencapai kedayagunaan dan kehasilgunaan, sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 huruf e Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Selain menjadi bom waktu bagi KPK dengan segala kelemahan Pasal 32 ayat (2) dengan tentu juga menjadi ancaman sekalugs teror bagi setiap orang yang menjadi Pimpinan KPK pasal tersebut akan menjadi hantu yang dapat menyebabkan Pimpinan KPK berpikir dua kali ketika hendak menindak elit-elit pada lembaga penegak hukum atas sangkaan melakukan korupsi. Padahal, kehadiran KPK adalah untuk menyeret pelaku korupsi kakap yang selama ini belum pernah tersentuh penegak hukum konvensional. Bahkan, pembentukan KPK membawa misi besar lainnya, yaitu untuk membersihkan lembaga penegak hukum termasuk kepolisian. Dengan pengalaman terbaru tanpa memberi batasan pada gilirannya ketentuan tersebut berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan sekaligus menjadi ancaman pemberantasan korupsi. Saat yang sama ketentuan dimaksud akan dapat menyebabkan tidak adanya kepastian dan sekaligus perlindungan hukum bagi setiap orang yang menjadi Pimpinan KPK dalam melaksanakan tugas sesuai dengan Undang-Undang KPK. Bila dikaitkan dengan kondisi hari ini mereka yang berniat mewakafkan diri, mereka mengabdi di KPK, sangat mungkin berpikir ulang mencalonkan atau mengajukan diri dalam proses seleksi Pimpinan KPK yang saat ini yang tengah berlangsung. Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan. Dengan menyadari kelemahan yang terkandung dalam Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang KPK tidak ada pilihan lain kecuali menutupnya. Pilihan tersebut mesti diambil untuk menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi masa yang akan datang. Upaya menutup kelemahan dimaksud bukan dalam bentuk membatalkan keberadaan Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang KPK, melainkan dengan cara memberikan penafsiran terhadap batasanbatasan makna dan/atau ruang lingkup jenis tindak pidana kejahatan yang dimaksudkan dalam pasal tersebut. Langkah pembatasan berkisar pada penentuan secara tegas ruang lingkup, waktu, serta jenis tidak pidana kejahatan yang dapat dijadikan dasar atau alasan untuk memberhentikan sementara Pimpinan KPK. Pilihan dimaksud akan merupakan langkah bijak sebab jalan tersebut tidak akan menciderai upaya untuk tetap menjaga standar moral yang mesti dimiliki Pimpinan KPK. Pada saat yang sama juga dapat memberi kepastian bagi keberlanjutan agenda pemberantasan korupsi 6
dan kepastian hukum yang adil bagi warga negara yang telah mewakafkan waktu mereka untuk menjadi Pimpinan KPK. Dalam hal itu … ini perlu ditekankan kembali bahwa pembatasan tersebut sematamata untuk memastikan menutup celah hukum yang terdapat dalam norma hukum KPK tersebut tidak disalahgunakan untuk menyerang balik upaya-upaya membersihkan lembaga-lembaga penegak hukum dari praktik korupsi. Dalam konteks itu yang dilakukan adalah pemilahan antara jenis tindak pidana kejahatan yang dapat menjadi alasan pemberhentian sementara Pimpinan KPK dan tidak pidana kejahatan yang diberikan ruang bagi KPK untuk memilih tetap bertahan jabatannya sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau mengundurkan diri sejak ditetapkannya sebagai tersangka. Lalu dengan pemilahan ini, apakah dimaksudkan untuk menurunkan standar moral yang harus dimiliki Pimpinan KPK? Tentu tidak demikian. Sebagaimana disampaikan sebelumnya pemilahan ini semata-mata untuk mencegah agar kerja-kerja pemberantasan korupsi tidak diganggu oleh hanya dengan hanya suatu tuduhan melakukan tindak pidana umum yang belum tentu dapat didukung oleh bukti-bukti permulaan yang cukup. Dalam hubungannya dengan standar moral pimpinan KPK, biila seandainya Pimpinan KPK ditetapkan sebagai tersangka untuk tidak pidana selain yang ditentukan maka pilihan mengundurkan diri atau tetap bertahan pada jabatan dipulangkan pada sikap Pimpinan KPK yang bersangkutan. Mengapa pemilahan tersebut menjadi penting? Pertama, dengan adanya pemilahan, KPK dapat diproteksi dari serangan balik yang mengatasnamakan hukum. Seupaya kriminalisasi terhadap Pimpinan KPK tak mudah dilakukan. Kedua, pemberantasan korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum akan lebih memiliki kepastian, sebab keberanian Pimpinan KPK juga ditopang norma hukum yang mendukung. Di saat yang sama, perlawanan oknum aparat penegak hukum dengan memanfaatkan institusi penegak hukum yang memiliki kewenangan penyidikan juga dapat diantisipasi. Ketiga, pemilahan jenis kejahatan dapat meredam upaya teror terhadap Pimpinan KPK dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi terutama ketika menyentuh institusi penegak hukum. Keempat, memberikan pilihan kepada Pimpinan KPK untuk menentukan sikap ketika ditetapkan sebagai tersangka untuk jenis tindak pidana kejahatan yang tidak dikategorikan sebagai alasan berhenti sementara. Hal mana disamping menjadi salah satu indikator tingkat standar moral Pimpinan KPK, pilihan dimaksud juga menjadi salah satu cara mempertahankan sikap jika penetapan tersangka dilakukan untuk tujuan menghambat upaya pemberantasan korupsi. 7
Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan. Lebih dari itu, pemilahan terhadap jenis tindak pidana diperlukan pula untuk menjamin bahwa asas praduga tidak bersalah sebagai salah satu wujud konkret dari hak atas jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, dan perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dihormati. Tanpa adanya batasan tentang jenis atau ruang lingkup tindak pidana yang dapat dijadikan alasan pemberhentian sementara. Setiap pimpinan KPK akan menjadi orang yang paling rentan untuk dilanggar haknya. Terutama saat menjalankan tugas-tugas penindakan berisiko tinggi. Kerentanan yang dimaksud amat potensial meruntuhkan KPK sebagai institusi yang ide pembentukannya adalah untuk memberantas korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa di negeri ini. Kerentanan yang terkandung dalam Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang KPK sesungguhnya telah berada dalam ranah, menegasikan hak asasi manusia yang dijamin Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Lebih dari itu, penegasian yang dimaksud semakin terang dan jelas ketika Undang-Undang KPK tidak menentukan limitasi waktu atau sampai kapan atau berapa lama status berhenti sementara dapat disematkan pada Pimpinan KPK yang menjadi tersangka. Dalam praktik pemberhentian justru berlangsung hingga berakhir masa jabatan Pimpinan KPK. Dalam konteks ini status tersangka tidak langsung … secara tidak langsung telah menjadi alasan memberhentikan Pimpinan KPK secara tetap. Hal ini semakin menguatkan bahwa ketentuan Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang KPK telah memicu munculnya ketidakpastian hukum. Dengan tidak adanya kepastian serta tidak diadopsinya asas praduga tidak bersalah, ketentuan Undang-Undang KPK dimaksud tentunya harus dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Terkait dengan hal di atas, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 133/PUU-VII/2009 sebuah norma yang tidak mengandung asas praduga tidak bersalah secara expressis verbis ketentuan tersebut melanggar norma Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Itu dikatakan dalam putusan Mahkamah tersebut. Dalam konteks ini karena Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang KPK telah mengabaikan asas praduga tidak bersalah dan persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan, maka ketentuan ini patut dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai untuk jenis tindak pidana kejahatan tertentu yang juga diberlakukan untuk jabatan tinggi … jabatan lainnya. Majelis Hakim yang saya muliakan. Untuk tujuan memberikan kepastian yang adil bagi warga negara yang menjadi pimpinan KPK. Memastikan diadopsinya asas praduga tidak bersalah, memberikan proteksi terhadap langkah penindakan dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan elit dan untuk menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi. Pembatasan terhadap tindak pidana kejahatan yang dijadikan 8
alasan untuk memberhentikan Pimpinan KPK harusnya dilakukan. Salah satu jalannya adalah memberikan penafsiran baru terhadap Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang KPK. Sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang sejak awal concern benar mengawal kerja korupsi, sudah selayaknya Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran baru terhadap Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang KPK guna memberikan proteksi agar norma tersebut tidak lagi digunakan untuk melemahkan KPK. Selain itu, penafsiran dengan membatasi makna frasa tersangka tindak pidana kejahatan juga merupakan jalan cerdas menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi yang mulai terseok-seok. Demikianlah keterangan ini disampaikan. Semoga dapat membantu Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia dalam memeriksa dan memutus permohonan ini demi menyelamatkan KPK dan sekaligus menyelamatkan masa depan agenda pemberantasan korupsi. Atas perhatiannya, saya ucapkan terima kasih. Wabillahitopikwalhidayah wassalamualaikum wr. wb. Selamat siang. Om shanti, shanti, shanti, om. 16.
KETUA: ANWAR USMAN Terima kasih Prof. Saldi. Selanjutnya Prof. Eddy Hiariej, silakan.
17.
AHLI DARI PEMOHON: EDDY O.S. HIARIEJ Assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera, selamat siang, om swastiastu. Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia izinkan saya untuk membaca pendapat hukum terkait pengujian Pasal 32 ayat (2) UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Saya memulai keterangan ini dengan mengutip pidato pengukuhan Prof. Heijder dari Universiteit van Amsterdam dengan judul Kritieke Zones in De Strafrechtswetwnschappen. Dimana dalam pidato pengukuhan itu, Heijder mengatakan bahwa dalam metodologi pemikiran hukum pidana modern ada tiga fase pemikiran hukum pidana, yang mana salah satu fase dari ketiga fase tersebut adalah pemikiran berdasarkan refleksi filsafati. Mengapa ini menjadi penting? Karena dengan refleksi filsafati ini, kemudian akan diukur apakah suatu ketentuan yang berisi rumusan delik atau suatu ketentuan yang memuat aturan pidana, apakah dia menyimpang ataukah tidak dari tujuan dan fungsi hukum pidana itu sendiri? Tujuan hukum pidana selain melindungi kepentingan individu dari kesewenang-wenangan negara, juga bertujuan melindungi masyarakat dari kejahatan. Tujuan ini berpegang pada postulat le salut du people est 9
la supreme loi yang berarti hukum tertinggi adalah perlindungan. Sedangkan fungsi hukum pidana selain melindungi kepentingan hukum, juga memberikan keabsahan bagi negara dalam rangka menjalankan fungsi kepentingan hukum dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang. Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Penetapan seseorang sebagia tersangka, berikut segala tindakan hukum, termasuk upaya paksa terhadapnya berada dalam ranah hukum acara pidana yang berlandaskan due process of law sebagai prinsip yang berlaku universal. Due process ini lahir dari amanademen kelima dan ke-14 konstitusi Amerika untuk mencegah penghilangan atas kehidupan, kebebasan, dan hak milik oleh negara tanpa suatu proses hukum. Due process menghasilkan prosedur dan substansi perlindungan terhadap individu. Setiap prosedur dalam due process menguji dua hal. Yang pertama, apakah penegak hukum telah menghilangkan kehidupan, kebebasan, dan hak-hak dari para tersangka? Dan yang kedua, jika menggunakan prosedur, apakah prosedur yang ditempuh sudah sesuai dengan due process? Bila dihubungkan dengan tujuan dan fungsi hukum pidana, maka due process bertujuan untuk melindungi individu dari kesewenangwenangan negara dalam menjalankan fungsi melindungi kepentingan hukum. Dalam konteks yang demikian, tidaklah berlebihan apa yang dikemukakan oleh Jerome Scolnick dalam Justice Without Trial. Bahwa hukum acara pidana dimaksudkan untuk mengontrol aparat penegak hukum dari kesewenang-wenangan. Konsep perlindungan hukum ini dapat dilihat secara in abstracto dan in concreto. Perlindungan in abstracto mengandung makna bahwa suatu substansi kaidah hukum memberikan perlindungan. Sedangkan perlindungan hukum in concreto mengandung arti bahwa praktik penegakan hukum memberikan perlindungan. Dapat saja suatu kaidah hukum, dia tidak memberikan perlindungan secara in abstracto, tetapi secara in concreto ada perlindungan dalam praktik. Atau sebaliknya … apa … substansi suatu kaidah hukum itu memberi perlindungan secara in abstracto, tetapi secara in concreto tidak ada perlindungan hukum. Paling tidak ada dua parameter yang dapat dijadikan ukuran untuk menyatakan, apakah perlindungan hukum in abstracto dikandung oleh suatu norma hukum? Pertama, apakah norma itu menjamin kepastian hukum? Dan kedua, apakah suatu norma bersifat diskriminatif? Kedua parameter tersebut bersifat kumulatif. Artinya, jika salah satu saja parameter tidak terpenuhi, maka dapat dikatakan bahwa norma hukum tersebut tidak memberikan perlindungan hukum secara in abstracto. Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 berbunyi bahwa dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan diberhentikan dari jabatannya. Tidaklah memberikan perlindungan hukum secara in abstracto terhadap individu 10
karena tidak memberikan kepastian hukum dan bersifat diskriminatif. Oleh karena itu, ketentuan a quo secara mutatis mutandis bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Apa argumentasi? Pertama, penetapan tersangka berdasarkan Pasal 1 butir 14 KUHAP hanyalah berdasarkan bukti permulaan. Hal ini pada dasarnya merupakan perwujudan dari sunrise principle dalam sistem peradilan pidana. Artinya, seseorang yang diduga melakukan tindak pidana sesegera mungkin dinyatakan sebagai tersangka dan diproses secara hukum untuk secepatnya diajukan ke pengadilan. Landasan filsafat di prinsip tersebut agar pelaku kejahatan tidak lolos begitu saja dari jeratan hukum. Sebagai penyeimbang, sunrise principle dalam sistem peradilan pidana juga dikenal sunset principle, artinya jika seseorang yang telah dinyatakan sebagai tersangka dalam penyidikan lebih lanjut, tidak ditemukan bukti permulaan yang cukup atau bukti yang cukup, maka perkara tersebut segera dihentikan. Landasan filsafati dari sunset principle agar jangan sampai menghukum orang yang tidak bersalah. Oleh karena itu, seseorang yang berstatus sebagai tersangka, harus tetap dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan menyatakan bahwa dia bersalah. Apabila seseorang dinyatakan sebagai tersangka, harus diberhentikan dari jabatannya, selain melanggar asas praduga tidak bersalah juga mengekang hak asasi manusia yang dijunjung tinggi dalam due process of law. Konsekuensi lebih lanjut, jaminan terhadap kepastian hukum diabaikan. Terlebih jika penetapan tersangka itu dilakukan atas dugaan suatu tindak pidana yang terjadi sebelum orang tersebut memegang suatu jabatan publik, in casu a quo orang tersebut disangkakan melakukan suatu tindak pidana yang terjadi sebelum yang bersangkutan menjabat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Kedua, masih berkaitan dengan kepastian hukum, seyogianya pasal a quo ditafsirkan secara restriktif bahwa Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan diberhentikan sementara dari jabatannya jika dan hanya jika kejahatan tersebut dilakukan pada saat yang bersangkutan menjabat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Interprestasi yang demikian adalah logis, sistematis, dan historikal sebab untuk menjabat pimpinan pemberantasan korupsi melalui seleksi berjenjang yang sangat ketat dengan melibatkan partisipasi public, tentunya rekam jejak orang tersebut juga ditelusuri. Jika orang tersebut memiliki masalah hukum, semestinya panitia seleksi dan DPR tidak memilih yang bersangkutan sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketiga, kalimat yang menyatakan, “Menjadi tersangka tindak pidana kejahatan.” Dalam pasal a quo bersifat sangat diskriminatif bila 11
dibandingkan dengan sejumlah ketentuan perundang-undangan yang mengatur pemberhentian terhadap pejabat publik yang dilakukan melakukan … diduga melakukan suatu tindak pidana. Tidak ada pembatasan terkait tindak pidana kejahatan dalam pasal a quo membawa konsekuensi tindak pidana kejahatan apapun yang dilakukan oleh Pimpinan KPK dan yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka harus diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai Komisioner. Majelis Yang Mulia. Saya lalu memberikan ilustrasi, kalau ada seorang Pimpinan KPK ini tidak memberikan makan yang cukup kepada binatang peliharaan, dia harus diberhentikan dari jabatan sementara sebagai Komisioner Pimpinan KPK. Karena itu diatur dalam Pasal 302 KUHP, meskipun ancaman pidananya hanya tiga bulan, tapi dikualifikasikan sebagai kejahatan. Sehingga saya harus menyatakan sekali lagi bahwa ketentuan itu sangat diskriminatif. Bandingkan dengan ketentuan Pasal 7A Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang mengatur secara rinci kualifikasi tindak pidana yang dapat digunakan untuk memberhentikan seorang presiden dan wakil presiden, yakni hanya tindak pidana penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya. Demikian pula ketentuan terhadap anggota BPK, anggota Komisi Yudisial yang diberhentikan karena melakukan suatu tindak pidana yang diancam dengan pidana mati. Perbedaan lainnya juga jelas terlihat dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang menyatakan kepala daerah diberhentikan sementara, jika yang bersangkutan berstatus sebagai terdakwa tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perbedaan pengaturan yang demikian, menunjukkan adanya diskriminatif karena tidak ada perlakuan yang sama di depan hukum. Seyogianya, harus ada pembatasan terhadap tindak pidana kejahatan yang dilakukan, lazimnya hanya sebatas tindak pidana korupsi, terorisme, pelanggaran berat hak asasi manusia, dan narkotika. Hal ini karena kejahatan-kejahatan tersebut adalah kejahatan luar biasa yang memiliki sifat dan karekter sebagai kejahatan internasional. Pembatasan lainnya juga dapat ditujukan terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 10 tahun ke atas. Hal ini memperlihatkan tingkat keseriusan dari kejahatan tersebut. Dalam konteks Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tindak pidana yang diancam pidana penjara lebih dari 10 tahun adalah tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara dan tindak pidana kejahatan terhadap nyawa. Keempat, diskriminasi lainnya bahwa dalam pasal a quo tidak diatur mengenai tindakan pemolisian. Hal ini berbeda dengan sejumlah ketentuan undang-undang terkait tindakan pemolisian terhadap pejabat publik. Tindakan pemolisian terhadap Hakim Agung, Hakim Konstitusi, anggota BPK, dan anggota KY, dilakukan dengan perintah Jaksa Agung 12
setelah terlebih dulu mendapat persetujuan tertulis Presiden. Prosedur yang demikian, tidak berlaku dalam hal tertangkap tangan melakukan suatu tindak pidana. Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kiranya Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan, Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya,” bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, pasal a quo harus dibatalkan dan dinyatakan tidak berlaku kecuali ditafsirkan bahwa tindak pidana yang dimaksud dalam pasal a quo adalah tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, tindak pidana narkotika, dan tindak pidana pelanggaran berhak asasi manusia, serta tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara, atau tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 10 tahun ke atas. Demikian keterangan Ahli dari kami, kurang dan lebihnya kami mohon maaf. Wabillahitaufikwalhidayah wassalamualaikum wr. wb. Selamat siang, salam sejahtera. Om shanti, shanti, shanti, om. 18.
KETUA: ANWAR USMAN Terima kasih, Ahli. Dari Kuasa Pemohon, apakah ada hal-hal yang ingin didalami atau ditanyakan? Silakan.
19.
KUASA HUKUM PEMOHON: ABDUL FICKAR HADJAR Dari Kuasa Hukum tidak ada pertanyaan, tapi Prinsipal barangkali ada yang ingin dikemukakan.
20.
KETUA: ANWAR USMAN Baik, silakan.
21.
PEMOHON: BAMBANG WIDJOJANTO Terima kasih, Majelis. Saya ingin bertanya, mohon izin dari Majelis untuk Prof. Eddy. Ada argument yang selalu dibangun bahwa pengaturan Pasal 32 ayat (2) itu dibuat secara dikriminatif dengan sengaja, tapi ditujukan untuk melindungi kehormatan dari komisi … dari Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. In casu dalam kasus saya bukan masa jabatan … penggunaan kewenangan dalam masa jabatan tetapi justru di luar itu yang sudah dijelaskan, sebenarnya itu seharusnya sudah bisa dipakai sebagai titik tolak.
13
Nah, apa pendapat Prof. Eddy atau penjelasan lanjut dari Ahli bahwa ini sengaja didiskriminasi tapi bermaksud untuk tujuan yang luhur? Walaupun di dalam praktiknya, keluhuran tujuan itu sekarang sedang dipertanyakan atau setidak-tidaknya diperdebatkan. Karena Prof. Saldi tadi mengatakan, “Itu bisa digunakan sebagai celah yang justru tidak hanya mendekontruksi atau mendelegitimasi jabatan itu tapi juga mendekontruksi … apa namanya … lembaga dan bahkan programprogram anti korupsi.” Mohon pendapat lebih lanjut mengenai hal ini. Terima kasih. 22.
KETUA: ANWAR USMAN Cukup? Baik. Dari Kuasa Presiden, ada yang ditanyakan?
23.
PEMERINTAH: BUDIJONO Cukup, Yang Mulia.
24.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, cukup. Dari meja Hakim? Ya, ada dari Yang Mulia Prof. Palguna.
25.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Terima kasih Yang Mulia Pak Ketua. Saya mau menanyakan satu hal, mungkin untuk kedua Ahli, ya. Tapi saya … dari mulai Prof. Eddy dulu, Prof. Eddy Hiariej dulu. Memang menarik kalau kita berbicara tentang hukum pidana karena ada beberapa hal yang khususnya berkait dengan kasus ini yang kemudian yang jadi perbincangan. Dari filosofi hukum pidana yang tadi disampaikan, ya melindungi individu dari kesewenang-wenangan negara tapi juga melindungi masyarakat dari kejahatan. Apakah ada semacam asas umum, gitu, untuk melibatkan tempus delicti dalam pengaturan norma yang berkaitan dengan kebijakan kriminalisasi, kebijakan pemidanaan terhadap seseorang? Nah. Dan … artinya yang bersifat umum, ya. Apakah itu merupakan … bisa jadikan … merupakan asas yang bersifat umum, bisa digunakan, tempus delicti itu, sebagai alasan untuk membuat kebijakan kriminalisasi tertentu, kebijakan pemidanaan tertentu dalam suatu negara yang demokratis, gitu lho? Satu. Kemudian yang kedua, masih juga berkaitan dengan hukum pidana ini. Apakah dalam suatu tindak pidana … dalam suatu, ya … suatu tindak pidana yang berkait dengan jabatan tertentu, yang berkait dengan jabatan tertentu, apakah juga lazim ada suatu perlakuan khusus ya terhadap jabatan itu, khususnya kalau dikaitkan dengan dua konsep 14
mala dalam hukum pidana ini, apakah itu hanya berlaku untuk yang disebutkan sebagai mala in se ataukah juga itu berlaku untuk yang mala prohibita? Itu untuk Prof. Eddy, saya menanyakan itu. Kemudian untuk Prof. Saldi. Memang menarik ya dari … dari … dari ini … ya ada sebenarnya kesamaan antara kedua Ahli yaitu sebenarnya hendak memberikan penafsiran dengan membatasi makna frasa tersangka tindak pidana kejahatan itu. Itu sebenarnya yang menyamakan dari kedua ini. Tetapi konteksnya sekarang saya melihat dari aspek hukum tata negaranya dari Prof. Saldi ini. Kecuali dalam hal impeachment presiden … kecuali dalam hal impeachment presiden karena presiden … dalam sistem presidensial kita tahu kenapa impeachment itu ada kan di situ ditulis sebagai exception clause dari sistem presidensial kan karena itu mau mengecualikan prinsip yang sebenarnya … karena di dipilih langsung oleh rakyat, maka dia sebenarnya rakyatlah yang boleh memberhentikan gitu, tapi kalau dia melaksanakan hal tertentu dia juga bisa di apa … tanpa … tanpa rakyat sendiri yang menurunkannya, gitulah kira-kira. Nah, apakah memang bisa kita memperbandingkan secara persis pengecualian semacam itu dengan pengecualian dalam jabatan-jabatan publik lainnya dalam … dalam sistem ketatanegaraan negara yang demokratis? Karena ini adalah berlaku khusus untuk yang sistem presidensial. Mungkin dari saya itu saja, Yang Mulia Pak Ketua. Terima kasih. KETUA: ANWAR USMAN Baik. Selanjutnya Yang Mulia Pak Suhartoyo. HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Baik. Terima kasih, Pak Ketua. Sedikit pertanyaan dari saya atau barangkali pandangan dari Para Ahli, boleh Prof. Saldi, atau salah satu dengan Prof. Eddy, atau dua-duanya. Barangkali kalau undang-undang ini tadi dipersepsikan ada pengingkaran terhadap asas praduga tidak bersalah, apakah anggapan itu tepat ketika ternyata bahwa di situ masih ada toleransi bahwa ternyata pemberhentian seorang pimpinan ini masih sifatnya sementara? Jadi, tentunya masih ada step-step yang ketika nanti dalam proses peradilan ke depan nanti memang yang bersangkutan tidak terbukti, ini siapapun orangnya, tentunya kan bisa kemudian pemberhentian sementara itu dicabut dan … jadi pemaknaan asas praduga tidak bersalah bukan serta-merta kemudian menjadi tidak ada di dalam undang-undang ini menurut … coba kita diskusi. Coba saya mohon pemahaman, boleh Prof. Saldi, boleh juga Prof. Eddy.
15
Kemudian yang kedua, barangkali kan semua sepakat ya bahwa Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini memang diberi kewenangan yang extra ordinary dan sasaran pun juga perbuatanperbuatan pidana yang sifatnya extra ordinary juga, termasuk bahkan lembaganya pun harus dipandang seperti itu juga. Jadi, ketika kita sepakat bahwa lembaganya pun harus seperti itu makanya antisipasiantisipasi, warning-warning, supaya personal-personal yang ada di situ pun harus bagaimana sifatnya juga “luar biasa” tentunya pemaknaan bahwa undang-undang ini memang harus diberlakukan luar biasa, artinya tidak seperti undang-undang yang lainnya pun mestinya kan harus bisa dipahami. Jadi, ketika di situ ada Pimpinan KPK yang seharusnya … ini kan benar tadi saya juga sepakat bahwa perlu dipertanyakan kenapa ini persoalan-persoalan yang sebelum yang bersangkutan menjabat kok, artinya ketika dalam proses menjabat ini mestinya kan yang bersangkutan terhindar dari perbuatan sekecil apa pun yang dipandang bisa sebagai dugaan tindak pidana. Karena memang extra ordinary, baik kelembagaannya maupun fungsi kewenangan dan tugasnya tadi, termasuk sasaran tindak pidana yang menjadi sasaran dari pada lembaga KPK ini. Mohon pandangan dari kedua Ahli. Terima kasih, Pak Ketua. 26.
KETUA: ANWAR USMAN Ya. Selanjutnya Yang Mulia Pak Patrialis.
27.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Terima kasih, Yang Mulia Pak Ketua. Saya ke Prof. Eddy. Pendalaman secara pidana. Bahwa Pasal 32 ayat (2) undang-undang a quo dinyatakan ini bersifat diskriminasi ya, bersifat diskriminasi, yaitu dengan adanya pemberhentian sementara bagi Pimpinan KPK. Pertanyaannya adalah bagaimana sebaiknya kalau misalnya Pimpinan KPK yang dinyatakan sebagai tersangka, apakah sebaiknya Pimpinan KPK yang bersangkutan tetap melaksanakan tugas-tugas yang diamanatkan kepadanya secara normal ataukah dikualifikasi diberhentikan sementara terhadap dugaan melanggar tindak pidana tertentu? Ini perlu pendalaman. Sebab semua tindak pidana tentu tidak sama ya, tapi kalau kita menyamaratakan seperti yang disampaikan tadi. Bagaimana menurut Ahli apakah memang harus begitu? Yang kedua, berkenaan dengan pemberhentian sementara ini, apakah ini hanya sebaiknya ... apakah ini hanya berlaku hanya untuk Pimpinan KPK saja, tapi apakah juga sebaiknya berlaku bagi pimpinan lembaga-lembaga negara lainnya? Sebab kalau kita melihat tugas, fungsi, dan kewenangan lembaga-lembaga negara lainnya, di sisi tugasnya itu juga boleh dikatakan luar biasa juga, juga bukan tugas 16
sembarangan, ya kan. Semua lembaga negara mempunyai fungsi yang luar biasa. Nah ini bagaimana? Terus di dalam paparan tadi halaman 5 mengenai diskriminasi itu, menurut Ahli supaya tidak terjadi diskriminasi itu bagaimana? Supaya tidak terjadi diskriminasi. Katakanlah misalnya semua lembaga-lembaga negara ini, anggota-anggota lembaga negara sudah diatur tentang masalah tindakan pemolisian, di sini contohkan terhadap Hakim Agung, Hakim Konstitusi, anggota BPK, dan lain sebagainya. Bagaimana halnya apabila penegak hukum diberikan kewenangan lex specialis oleh undang-undang, apakah lex specialis itu bisa dilaksanakan secara mandiri ataukah juga memperhatikan adanya aturan tindakan pemolisian yang diberlakukan kepada anggota lembagalembaga negara lainnya? Ya, saya kira itu saja. Terima kasih. 28.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, masih ada. Yang Mulia Pak Wahiddudin, silakan.
29.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDDUDIN ADAMS Terima kasih, Yang Mulia. Saya ingin ke Prof. Saldi. Di petitum Pemohon memang mencantumkan untuk adanya pembatasan ruang lingkup jenis, waktu, dan norma untuk pemberhentian sementara, dan ini juga disampaikan beberapa argumentasi oleh Ahli. Undang-undang a quo ini dibentuk pada tahun 2002, dengan semangat yang sangat tinggi untuk pemberantasan korupsi dan juga pemberian kewenangan, serta hal-hal yang merupakan khusus (lex specialis) kepada KPK, sehingga termasuk Pasal 32 ayat (2) itu juga hampir semua Ahli menyatakan bahwa memang itu dimaksudkan untuk ketinggian marwah, derajat dari Komisioner KPK itu. Dan dari keterangan beberapa Ahli, serta dari Presiden, dan DPR, pada perkembangan persidangan. Ini sejak persiapan, kemudian perencanaan, pembahasan, perumusan, sampai pengundangan undang-undang itu, ketentuan Pasal 32 ayat (2) itu tidak pernah disinggung, dipersoalkan, termasuk wacana untuk membatasi ruang lingkup jenis waktu dan norma itu. Baik di risalah-risalah yang sempat kita baca tidak ada. Karena mungkin ya itu tadi semangatnya tinggi sekali. Dan pada sidang yang lalu kita tanyakan pada pelaku juga, tidak pernah bahkan ketika telah diundangkan, dan ketika disebarluaskan, disosialisasikan tidak pernah dimunculkan. Mengapa tidak ada pembatasan lingkup, waktu, dan norma ini? Sehingga dikatakan kalau bom waktu, ketika kasus in terjadi baru ketahuan ini rupanya ada ... ada masalah, bahkan Prof. Saldi sendiri mengetahui bahwa ini ketika menulis tahun 2015, ketika 13 tahun yang lalu ini tidak pernah disebut-sebut nanti akan ada bom waktu, gitu. Jadi ketika 2015, kalau pun sekarang disebutkan “bomnya itu nampak”, Prof. 17
Saldi menulis bulan Januari mengatakan, “Wah ini, akan kelihatan bom waktunya.” Nah, ini sepanjang 13 tahun ini tidak pernah, jadi dipersoalkan bahwa ini nanti akan terjadi hal-hal yang terkait dengan kriminalisasi dan lain sebagainya. Nah ini padahal sudah jalan 13 tahun, gitu kan. Kemudian yang kedua, yang ingin saya penegasan dari Prof. Saldi ... Prof. Saldi tadi bahwa ruang lingkup jenis, waktu, itu dalam rangka kita kepastian hukum yang adil, sebagai Pimpinan KPK. Namun ada hal yang di ... perlu dijelaskan karena ada petitum yang tadinya sebetulnya normanya pasti diberhentikan sementara dari jabatannya, lalu diusulkan dapat diberhentikan sementara. Jadi sudah ada ruang lingkupnya dibatasi, waktunya dibatasi, jenis limitasi, lalu dapat lagi diberhentikan sementara. Nah, apakah kata dapat ini justru ruang lagi ketidakpastian di tengah kita sudah batasi nanti? Tapi ada normanya dapat diberhentikan dari beberapa matrik tindakan-tindakan terhadap beberapa pejabat negara selama ini baru kali ini ada kata dapat diberhentikan sementara, selama ini diberhentikan sementara, diberhentikan tetap, kata-kata dapat ini baru ini kita temukan. Mohon penegasan. Terima kasih. 30.
KETUA: ANWAR USMAN Baik ... oh, masih ada, Yang Mulia Prof. Aswanto.
31.
HAKIM ANGGOTA: ASWANTO Terima kasih, Yang Mulia. Saya tujukan kepada keduanya atau salah satu siapa nanti yang akan menjelaskan. Pada penjelasan yang dipaparkan oleh Ahli tadi dalam hal ini Bapak Prof. Saldi Isra. Ahli mengatakan bahwa sebenarnya salah satu asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan itu adalah tidak boleh atau dilarang untuk melakukan diskriminasi, gitu. Prof. Eddy juga menyampaikan seperti itu bahwa tidak boleh ada diskriminasi dalam ... baik dalam pembentukan maupun dalam penerapan peraturan perundang-undangan. Saya ingin memberikan perbandingan, kemudian apakah perbandingan itu bisa dikualifikasi sebagai apa ... tindakan diskriminatif? Misalnya di dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi itu berkaitan dengan pemberhentian. Di Pasal 2, saya bacakan, ya, pasal ... Pasal 23 ayat (2), “Hakim Konstitusi diberhentikan tidak dengan hormat apabila. A. Dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara.” Nah, kalau kita coba compare dengan pasal yang diuji, apakah itu bisa dianggap sebagai sebuah … atau di mana letak diskriminasinya? 18
Saya serahkan, apakah ke Prof. Saldi atau Prof. Eddy yang memberi respons. Silakan. Terima kasih, Yang Mulia. 32.
KETUA: ANWAR USMAN Baik, jadi ini terserah kedua Ahli siapa yang lebih dulu memberikan jawaban atau tanggapan. Silakan.
33.
AHLI DARI PEMOHON: SALDI ISRA Terima kasih, Yang Mulia. Ada beberapa pertanyaan yang atau bahan yang bisa kita diskusikan bersama dari Yang Mulia Para Hakim Konstitusi terkait dengan keterangan kami berdua, yang nanti kalau kuat kepidananya akan dijelaskan oleh Prof. Eddy, jadi yang tertinggal akan menjadi tugas Prof. Eddy. Pertama, ini apa ... soal pertanyaan dari Yang Mulia Bapak Palguna, ini soal memberikan penafsiran terhadap Pasal 32 ayat (2) dari aspek hukum tata negara, kecuali dalam soal pemakzulan atau impeachment presiden, apakah bisa diperbandingkan antara impeachment dengan jabatan-jabatan lainnya? Saya melihat begini, Yang Mulia, ini juga mungkin bisa menjawab beberapa pertanyaan lain. Konteks Pasal 32 kita minta untuk diberikan pembatasan itu tidak dengan maksud bisa dibebaskan semuanya. Kalau Komisioner KPK melakukan tindak pidana yang kita sebutkan jenisnya secara jelas dalam masa jabatannya, itu tidak ada ampun untuk soal seperti itu, tapi ditentukan dulu secara jelas. Karena kalau itu yang dilakukan, nah itu bisa tunduk semuanya. Dia bisa diberhentikan sementara dan segala macamnya. Tapi yang jadi masalah kan disoal seperti ini adalah tidak dikecualikan kalau ... tadi Prof. Eddy juga menjelaskan kalau tindak pidana atau tindak pidana yang kecil-kecil. Tadi dicontohkan soal tidak memberi makanan binatang piaraan, kan jadi aneh, bisa saja dicari-cari. Salah seorang komisioner misalnya pulang lebaran, lupa memberi makan binatang piaraannya, pulang lebaran tibatiba dia dijadikan tersangka karena melalaikan binatang peliharaan. Jadi kualifikasi itu menurut saya penting untuk tindak pidana yang memang kita sepakati orang tidak berdebat soal itu dan yang paling penting menurut saya itu di periode masa jabatan. Nah, itu yang paling penting mengkualifikasi. Nah, kalau itu tidak dilakukan menurut saya kejadian hari ini bisa berulang saja, apakah itu bisa dirumuskan? Saya menganggap Majelis ini atau Mahkamah ini yang bisa mempercepat karena salah satu kalau kita melihat dari konteks teori hukum, salah satu yang menyebabkan perubahan norma itu karena ada kebutuhan di tengah masyarakat. Kejadian yang menimpa KPK menurut saya atau beberapa Komisioner KPK itu seolah-olah sekarang kita dihadapkan pada kebutuhan, kalau kita tunggu itu diubah melalui proses revisi atau 19
melalui legislasi itu pasti menunggu waktu yang lama dan Mahkamah Konstitusi memiliki otoritas untuk memberikan soal-soal seperti ini. Jadi tentu tidak semua hal dikecualikan, perlu batasan-batasan ini karena di antara lembaga-lembaga terutama yang ada di wilayah penegakan hukum, saya berpandangan bahwa posisi KPK yang paling krusial. Tadi Yang Mulia Bapak Wahiduddin Adams misalnya kenapa dulu tidak diperdebatkan? Mungkin dulu ini tidak terpikirkan akan bisa muncul seperti ini dan kalaupun saya menulis tahun 2015 itu kan tidak muncul dengan sendirinya tapi merujuk juga perkembangan KPK paling tidak mulai tahun 2008, ada praktik kriminalisasi yang berulang. Nah, itu kemudian yang memicu bahwa ada ancaman eksternal juga, walaupun saya menulis seperti itu saya tidak bayangkan kejadian yang sedahsyat yang diterima oleh orang-orang di KPK baik komisioner maupun para penyidiknya. Nah, oleh karena itu menjadi kebutuhan hukum kita hari ini menjawab persoalan ini karena kita sudah lihat ini celah yang kapan saja bisa dimanfaatkan, kalau soal dalilnya bisa dicari, apalagi dalih. Ini ... ini menurut saya terkait dengan soal Pasal 32. Jadi ini bukan pada titik ... apa namanya ... toleransi dengan ... apa namanya ... klausul pemberhentian sementara. Kalau pemberhentian sementara itu ada juga batas waktunya, kalau tidak selesai akan kembali, tapi ini kan bisa berkepanjangan, prosesnya dari pengadilan tingkat ... proses di penyidiknya, diproses persidangannya bisa bertingkat dan segala macam, jangan-jangan ini bisa jadi strategi juga. Sudahlah jadikan tersangka dulu dan diberhentikan sementara, lalu kemudian prosesnya karena diasumsikan menjadi panjang, diganti dulu. Dan itu sesungguhnya yang terjadi hari ini. Jadi jauh menjadi lebih tepat menurut saya kalau kemudian memang ada kualifikasi soal ini dan mohon maaf saya dulu dengan Yang Mulia Bapak Patrialis kan menjadi pansel hak ... apa namanya ... Komisioner KPK yang tahun 2011. Tindak pidana yang sebetulnya dihadapkan kepada Pemohon Prinsipal itu sudah didiskusikan juga di pansel ketika itu dan sudah diklarifikasi, bahkan dalam proses politik di DPR ini pun sudah diklarifikasi. Jadi kita menganggap ini bukan masalah lagi, tapi tiba-tiba dimunculkan kembali dan itu menggunakan celah yang ada dalam Pasal 32. Makanya menurut saya waktu itu menjadi penting kalau tindak pidananya itu dilakukan sebelum, itu sebaiknya ketika dia/mereka sendang menjadi komisioner tidak diutak-atik dulu. Kalau misalnya ancaman, misalnya, ini kalau tidak diproses sekarang, maka akan habis masa ... akan kedaluwarsanya. Bisa juga diantisipasi, kedaluwarsa itu menjadi hilang sejak dia menjadi komisioner misalnya, lalu kemudian kedaluwarsa hidup lagi setelah dia berhenti menjadi komisioner, jadi bisa diproses lagi setelah itu. Nah, ini kan menjadi semacam politik hukum kita bagaimana mem-protect lembaga yang memang sensitif, sangat krusial, orang20
orang yang masuk ke sana kalau tidak ada jaminan yang pasti janganjangan menjadi mengorbankan dirinya saja. Nah, Yang Mulia, ini menjadi penting disampaikan karena sekarang kan dalam proses seleksi, saya berharap ini kan menjadi sumbangan penting Mahkamah Konstitusi. Kalau kemudian diputuskan ada proteksi seperti yang diminta dengan kualifikasi yang kita minta dan bisa-bisa orang menjadi lebih bersemangat kembali untuk mendaftarkan diri sebagai Komisioner KPK. Jadi saya menganggap ini akan menjadi sumbangan penting dalam proses ini dan kalau ini bisa dipercepat orang mendaftar, orang merasa nyaman, kecuali memang tindak pidana yang dia lalukan dalam proses dan menurut saya itu tidak ada ampun. Bahkan jika perlu kalau tindak pidananya ... apa ... dilakukan ketika dia menjabat itu soal pemberhentian sementara itu bukan kata dapat lagi, Yang Mulia Pak Wahiduddin Adams, tapi memang harus diberhentikan sementara kalau itu dilakukan di masa jabatan komisioner yang bersangkutan. Soal bom waktu saya sudah selesaikan, sudah jawab tadi. Ini bukan karena sesuatu yang muncul sekarang saja, tapi kan sudah beberapa kali kriminalisasi ini terjadi di KPK. Dan kalau tidak salah ini adalah fase yang ketiga. Jadi, hampir sekali apa … bergulir, sekali 4 tahun atau sekali 5 tahun, itu ada proses kriminalisasi di KPK. Jadi, saya menganggap ini kemudian mempersulit untuk bisa dilakukan kriminalisasi itu. Selebihnya agak lebih banyak pidana, jadi saya serahkan kepada Prof. Eddy. Terima kasih, Yang Mulia. 34.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih. Langsung, Prof Eddy.
35.
AHLI DARI PEMOHON: EDDY O.S. HIARIEJ Terima kasih, Yang Mulia. Saya tidak menjawab satu persatu, tetapi secara simultan, baik yang disampaikan oleh Dr. Bambang Widjojanto sebagai Pemohon Prinsipal, kemudian oleh Yang Mulia Dr. I Dewa Gede Palguna, kemudian juga disampaikan pertanyaan oleh Dr. Suhartoyo, Dr. Patrialis Akbar, dan Prof. Aswanto. Yang Mulia, saya tetap berpendapat bahwa ketentuan Pasal 32 ayat (2) ini harus diterjemahkan secara restriktif dalam pengertian menggunakan interpretasi gramatikal, sistematikal, historikal. Bahwa ketentuan Pasal 32 ayat (2) ini dimaksudkan yang bersangkutan melakukan kejahatan pada saat dia menjabat sebagai Komisioner KPK. Dan dalam praktik, pemberhentian sementara yang dilakukan terhadap Chandra M. Hamzah, Bibit Samad Rianto, dan Antasari Azhar adalah tindak pidana yang mereka lakukan pada saat menjabat sebagai komisioner, bukan sebelum-sebelumnya. Mengapa demikian? Tadi sudah 21
dijelaskan, baik di dalam apa … pendapat hukum maupun yang di … disampaikan oleh Prof. Saldi Isra karena ini melalui satu seleksi yang sangat ketat. Mengapa hal ini tidak diprotes atau mengapa memilih orang yang kemudian berperkara? Seharusnya kalau dia ada perkara sebelum seleksi Pimpinan KPK, maka dia sudah … artinya tidak masuk dalam kualifikasi sebagai calon pimpinan. Oleh karena itu, saya membaca, baik di dalam undang-undang lainnya, misalnya di dalam Undang-Undang BPK, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Mahkamah Agung, UndangUndang KY, perumusan norma seperti ini sebetulnya dia dikategorikan sebagai (Ahli menggunakan bahasa asing) kejahatan jabatan. Kejahatan jabatan mempunyai dua pengertian. Yang pertama, dia melakukan kejahatan atas kuasa yang ada padanya. Ini seperti yang pernah dituduhkan kepada Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah karena mereka menyalahgunakan kewenangan sebagai Pimpinan KPK dan bisa saja bukan menyalahgunakan kekuasan yang ada, tetapi melakukan tindak pidana lain, namun pada saat itu dia menjabat sebagai Pimpinan KPK seperti yang dialami oleh Antasari Azhar. Dia waktu itu melakukan apa … dikatakan terlibat dalam tindak pidana pembunuhan, ini bukan merupakan tugas kewenangan Pimpinan KPK, tapi dia melakukan kejahatan itu dalam jabatan dia sebagai Pimpinan KPK, meskipun tidak ada kaitan dengan tugasnya. Sehingga saya katakan, kalau berdasarkan interpretasi sistematikal, logikal, historikal, ini pada saat yang bersangkutan melakukan atau melakukan kejahatan dalam masa jabatannya. Ini terkait pertanyaan yang disampaikan oleh Yang Mulia Dr. I Dewa Gede Palguna. Makna tempus delicti di dalam hukum pidana ada lima hal. Yang pertama, untuk menentukan apakah perbuatan itu sudah dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana ataukah belum. Yang kedua adalah dalam hal menentukan apakah orang itu mampu bertanggung jawab ataukah tidak. Yang ketiga, tempus delicti dimaksudkan apakah orang yang melakukan itu usianya belum cukup umur ataukah tidak. Yang keempat, tempus delicti itu dipentingkan dalam hal penentuan kedaluwarsa. Dan yang kelima, tempus delicti itu dipentingkan untuk mengkualifikasikan suatu adresat. Artinya, kalau itu kejahatan jabatan, maka dikatakan dia melakukan kejahatan adalah pada saat dia menjabat atau menduduki suatu posisi yang penting. Sehingga, itu tadi saya katakan bahwa interpretasi gramatikal, sistematik, historikal, Pasal 32 itu harus diartikan dia melaksanakan atau melakukan kejahatan dalam masa jabatannya, itu yang pertama. Yang kedua adalah mengenai kualifikasi tindak pidana. Sudah tadi Ahli jelaskan bahwa dengan tidak adanya batasan atau kualifikasi tindak pidana mana, ini lalu kemudian menjadi diskriminatif karena ini berbeda secara diameteral dengan apa yang terjadi pada lembaga-lembaga lainnya. 22
Oleh karena itu, saya setuju … Ahli setuju dengan apa yang disampaikan oleh Yang Mulia Dr. Patrialis Akbar bahwa seharusnya ada pengaturan yang sama. KPK ini adalah juga lembaga negara, Komisi Yudisial lembaga negara, kemudian Mahkamah Konstitusinya juga adalah lembaga negara, Mahkamah Agung juga lembaga negara ketika mengatur mengenai orang yang sedang menjalankan fungsi sebagai apa … sebagai pimpinan lembaga itu atau sebagai Hakim Konstitusi, Hakim Agung, maupun komisioner, ini seharusnya mendapat ketentuan hukum yang sama. Jadi, kalau memang tindak pidana itu dibatasi dan saya kira harus dibatasi. Pembatasan itu untuk memperlihatkan tingkat keseriusan dalam melakukan kejahatan. Dan yang kedua, itu dilakukan pada masa jabatan orang yang bersangkutan sedang menjabat atau menduduki jabatan tertentu. Terkait apa yang ditanyakan juga oleh Yang Mulia Dr. I Dewa Gede Palguna bahwa sudah menjadi alasan penghapus pidana bahwa orang yang melaksanakan suatu perbuatan berdasarkan perintah undang-undang atau perintah jabatan, itu merupakan alasan penghapus pidana. Jadi, kalau misalnya dia memperoleh kewenangan itu dari undang-undang sebagai seorang advokat atau sebagai seorang dokter, sebagai seorang anggota DPR, dan kemudian dalam melaksanakan tugas itu selama sesuai dengan kewenangannya, maka dia tidak bisa dijatuhi pidana. Ini, ketentuan ini berlaku universal sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 50 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bahwa barang siapa yang melakukan apa … perbuatan atas perintah jabatan atau perintah undang-undang dalam Pasal 51 kemudian merupakan alasan pembenar atau alasan penghapus pidana. Dan apa yang disampaikan tadi itu benar sekali, biasanya kualifikasi tindak pidana yang kemudian dikhususkan itu bersifat mala in se. Jadi, memang mala in se ini diartikan sebagai recht delicten bahwa perbuatan yang menurut asal-muasalnya itu sudah merupakan suatu kejahatan dan bukan mala prohibita atau berupa suatu pelanggaran atau berupa suatu wet delicten. Celakanya tadi yang Ahli katakan dalam tindak pidana kejahatan menurut Pasal 32 undang-undang a quo, tindak pidana kalau kita lihat dalam Buku II KUHP itu kejahatan ada yang hanya diancam tiga bulan penjara, ada yang hanya diancam denda, tapi kualifikasinya adalah kejahatan. Sehingga, ini sangat luas sekali kalau ini di … diterapkan pada Komisioner KPK pasti bisa diberhentikan dengan mudah hanya karena melakukan perbuatan yang entah itu berupa suatu kesengajaan atau kelalaian, tapi kalau kualifikasinya dalam Buku II KUHP, maka dianggap dia telah melakukan tindak pidana kejahatan. Demikian juga tadi apa yang ditanyakan oleh Yang Mulia Dr. Patrialis Akbar bahwa memang kalau toh ada tindakan pemolisian terhadap pimpinan lembaga negara, maka itu semuanya harusnya sama. Karena ya, sekali lagi equality before the law, kesederajatan di depan hukum, ketika dia pimpinan lembaga negara, termasuk komisioner dari 23
sebuah komisi dianggap sebagai pimpinan lembaga negara, maka tindakan pemolisian itu pun tidak boleh bersifat diskriminatif. Tetapi apa yang ada di … yang diujikan ini memang kita lihat tidak ada tindakan pemolisian yang rinci seperti yang diatur dalam undang-undang lainnya. Kemudian, tadi juga sempat disinggung mengenai asas praduga tidak bersalah. Memang kita mengenal istilah presumption of guilty dan presumption of innocence ini baru sekitar 48 tahun yang lalu, ya dalam bukunya Packer, The Limits of The Criminal Sanction, yang dengan tegas dia mengatakan bahwa sebetulnya yang namanya asas praduga bersalah itu adalah berdasarkan deskriptif normatif yang hanya boleh dimiliki oleh polisi dan jaksa, supaya dia bisa memproses suatu perkara. Selain dari polisi dan jaksa dan terlebih hakim, dia harus tetap berpegang pada presumption of innocence. Dan itu merupakan prinsip umum yang di … ada di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang dipakai adalah mengenai asas praduga tidak bersalah. Saya kira itu saja yang dapat saya sampaikan. Sekian dan terima kasih. 36.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Saya mau memperdalam sedikit pada Prof. Saldi maupun Eddy tentang masalah waktu dan pemberlakuan yang sama kepada lembagalembaga negara. Kalau boleh kita katakan sebetulnya yang memiliki … katakanlah kalau itu betul “KPK memiliki extra ordinary,” sebetulnya MK kan juga extra ordinary juga. Bayangkan, satu undang-undang secara utuh bisa dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Itu kan extra ordinary juga. Cuma persoalannya adalah pola rekrutmennya ini yang memang agak berbeda, kan begitu. Kalau kita menyamakan persyaratan tadi, katakanlah mengenai waktu, mengenai waktu, katakanlah kalau misalnya, lembaga-lembaga negara lain termasuk juga KPK ketika proses seleksi dilakukan, ini tidak hanya untuk KPK, tapi seluruh lembaga-lembaga negara itu, belum terungkap adanya satu tindak pidana, katakanlah kita memberikan kualifikasi terhadap tindak pidana tertentu, tetapi memang pada waktu itu tidak terungkap. DPR sebagai warga negara justru mereka memiliki kehormatan yang luar biasa mampu untuk menentukan bagaimana sistem perjalanan bangsa dan negara ini dalam undang-undang yang memiliki fungsi legislasi, yang proses rekrutmennya tidak seberat proses rekrutmen lembaga-lembaga negara yang lain, yang juga tidak terungkap ke permukaan. Sementara kita ingin menyamakan itu. Bagaimana kondisi ini apabila itu terjadi bahwa tindak pidana yang mereka lakukan itu sesungguhnya jauh sebelum mereka menjabat? Saya ingin bagaimana equality before the law-nya di … diberikan gambaran dalam persidangan ini. Terima kasih.
24
37.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Kedua Ahli, silakan mungkin singkat karena Majelis akan bersidang lagi pukul 13.30 WIB untuk perkara lain. Silakan.
38.
AHLI DARI PEMOHON: SALDI ISRA Terima kasih, Yang Mulia Hakim Patrialis Akbar. Ini soal kualifikasi, makanya di dalam makalah yang tadi dibacakan, dimungkinkan ada kualifikasi pada saat dan sebelum. Tadi Prof. Eddy juga menyebut. Kalau misalnya, kualifikasi sebelum dan pada saat itu bisa ditentukan secara jelas, paling tidak kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh Komisioner KPK yang tidak terungkap di dalam apa … di dalam proses seleksinya karena ini juga tidak sederhana mengungkap … apa namanya … semua track record calon itu dan itu tidak digunakan untuk jadi bahan kriminalisasi ketika yang bersangkutan menjadi komisioner. Tapi selepas menjadi komisioner, kan ada ruang untuk meneruskan soal-soal begitu. Nah, ini menjadi penting. Karena … apa namanya … kita memang pengalaman di Pansel KPK, kita memang minta kepada banyak penyelenggara untuk berpartisipasi. Tapi waktu yang tersedia itu tidak memungkinkan bisa mengungkap semuanya. Nah, bisa saja dalam perjalanan satu tahun, dua tahun menjadi komisioner ternyata ada perkembangan baru. Perkembangan baru itu menurut saya ditahan sementara sampai yang bersangkutan nanti selesai masa jabatannya, baru dilanjutkan kembali. Tapi kalau yang terjadi di dalam masa jabatan, itu tidak … tidak ada. Paling tidak, kalau dua itu saja, kualifikasi ini saja bisa dikukuhkan oleh Mahkamah Konstitusi ada bantuan, ada … apa namnya … sumbangan penting Mahkamah ini untuk memelihara keberlangsungan orang-orang yang mau mengabdikan atau mewakafkan waktunya di Mahkamah Konstitusi. Kalau tidak, saya kira akan menjadi berat. Kita kan tidak tahu, kayak saya misalnya, jangan-jangan pernah ada melakukan sesuatu yang dikualifikasikan tindak pidana. Tapi karena kita anggap remeh-temeh saja, sesuatu yang tidak … tidak besar, ya kita anggap biasa saja. Misalnya, saya lupa bayar pajak misalnya, itu mungkin serius juga kalau soal bayar pajak. Misalnya, kasus yang dialami oleh salah seorang komisioner. Soal memasukkan orang ke kartu keluarga. Banyak orang yang melakukan seperti itu, Yang Mulia Bapak Patrialis. Saya mungkin kalau pada mahasiswa yang karena keperluan mendadak, bisa saja dia masuk ke kartu keluarga saya. Tapi itu bisa dianggap tindak pidana dan dilakukan sebelumnya. Ini kan kategorinya kecil dilakukan sebelumnya. Kalau kecil dilakukan dalam masa jabatan, masih ada alasan sebetulnya kalau memang mau membuat kualifkasi 25
sebelum dan pada saat. Tapi saya ada posisi saat menjadi komisioner itu hanya saat menunggu dia selesai untuk kemudian dilanjutkan tindak pidananya setelah dia selesai. Makanya saya mengatakan, masa jadi komisioner itu pun harus ditentukan itu masa yang juga tidak dihitung kedaluwarsanya. Jadi, kalau empat tahun ketika dia mulai kedaluwarsanya hilang dan disambung lagi kedaluwarsa itu setelah yang bersangkutan menjadi selesai menjalankan tugas sebagai Komisioner KPK. Jadi, ini kerja paling berisiko. Saya mohon maaf, tadi Yang Mulia Hakim Patrialis menyebut kalau secara politik memang besar. Mahkamah Konstitusi itu bisa membatalkan undang-undang, bisa goncang ini apa … aras perpolitikan nasional. Tapi itu tidak pada keselamatan pribadi, kalau undang-undang yang dibatalkan. Tapi kalau tindak pidana, itu menyangkut pribadi. Nah, makanya saya mengatakan personal yang merasa tidak nyaman karena merasa, “Jangan-jangan ada kesalahan, jangan-jangan ada kesalahan.” Saya saban waktu bisa dikriminalisasi, itu harus diberikan kepastian untuk periode yang bersangkutan menjadi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Terima kasih. 39.
KETUA: ANWAR USMAN Prof. Eddy, silakan.
40.
AHLI DARI PEMOHON: EDDY O.S. HIARIEJ Saya hanya menambahkan sedikit saja yang disampaikan oleh Prof. Saldi, Yang Mulia. Di dalam hukum pidana ada doktrin yang dikenal dengan istilah rusten. Rusten itu dari Bahasa Belanda, artinya istirahat. Kalau kita membuka ketentuan Pasal 81 KUHP itu dikatakan bahwa kedaluwarsa ditundanya ketika terjadi perselisihan yang bersifat prayudisial. Menurut memorie van toelichting yang namanya prayudisial itu artinya di luar perkara pidana, bisa perkara perdata, perkara administrasi, atau perkara di tata usaha negara, ini bisa menunda kedaluwarsa. Yang saya mau ambil untuk menaikkan ini ke dalam derajat teori bisa saja kita mengkualifikasikan bahwa pemberhentian sementara terhadap Pimpinan KPK itu, satu, apabila dia melakukan itu di dalam masa jabatannya atau yang kedua kualifikasi terhadap kejahatan tertentu, tetapi kalau toh itu dilakukan sebelum karena masuk akal juga yang ditanyakan oleh Yang Mulia Dr. Patrialis Akbar mungkin waktu itu belum terungkap, terungkapnya setelah yang bersangkutan menjadi sebagai komisioner maka yang kita pakai adalah mekanisme rusten, mekanisme rusten ini supaya tidak terjadi kedaluwarsa. Sebab bisa saja
26
kemudian setelah yang bersangkutan tidak lagi menjadi komisioner, dia sudah kedaluwarsa, perkara sudah tidak bisa diungkapkan. Oleh karena itu, ketika dia menjabat sebagai suatu pimpinan lembaga negara dan kalau mau adil ini buka saja untuk taraf komisioner, tetapi semua pimpinan lembaga negara. Jadi terhadap perkara-perkara yang terjadi sebelum dia menjabat itu kedaluwarsanya dibantarkan. Ini supaya tidak terjadi pengungkapan kejahatan setelah yang bersangkutan tidak lagi menjabat. Jadi secara doktrin itu dimungkinkan apa yang disampaikan oleh Prof. Saldi. Terima kasih, Yang Mulia. 41.
KETUA: ANWAR USMAN Baik, terima kasih. mengajukan ahli atau saksi?
42.
Untuk
Pemohon
apakah
masih
akan
KUASA HUKUM PEMOHON: ABDUL FICKAR HADJAR Mohon maaf tadi yang direncanakan datang tidak jadi datang, kami mohon waktu satu minggu untuk satu kesempatan lagi. Terima kasih.
43.
KETUA: ANWAR USMAN Baik, berapa orang lagi?
44.
KUASA HUKUM PEMOHON: ABDUL FICKAR HADJAR Tiga, Pak.
45.
KETUA: ANWAR USMAN Oh, tiga.
46.
KUASA HUKUM PEMOHON: ABDUL FICKAR HADJAR Tiga ahli.
47.
KETUA: ANWAR USMAN Tiga ahli, ya, keahliannya sama enggak dengan kedua Ahli ini?
48.
KUASA HUKUM PEMOHON: ASFINAWATI Berbeda, Yang Mulia.
27
49.
KETUA: ANWAR USMAN Beda-beda, oh, ya, baik. Nanti CV-nya diserahkan di Kepaniteraan. Sidang selanjutnya ditunda hari Selasa tanggal 23 Juni 2015, Jam 11.00 WIB untuk mendengarkan keterangan tiga ahli dari Pemohon. Untuk Ahli Prof. Saldi dan Prof. Eddy, Mahkamah mengucapkan terima kasih telah memberikan keterangan yang sangat … apa namanya ... panjang lebar yang menjadi bahan untuk pertimbangan Mahkamah, juga Pemerintah, terima kasih. Dengan demikian sidang selesai dan sidang ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 13.10 WIB Jakarta, 10 Juni 2015 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d. Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
28