RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 138/PUU-XIII/2015 Penggunaan Tanah Hak Ulayat untuk Usaha Perkebunan I. PEMOHON 1. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS); 2. Perkumpulan Sawit Watch; 3. Aliansi Petani Indonesia (API); 4. Serikat Petani Indonesia (SPI); 5. Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa); 6. Farmer Initiatives for Ecological Livelihood and Democracy (Field); Kuasa Hukum B.P. Beni Dikty Sinaga, S.H., Henry D. Oliver Sitorus, S.H., Ecoline Situmorang, S.H., dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 15 Oktober 2015. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Pemohon menjelaskan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: -
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945);
-
Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;
-
Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
1
untuk: a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”; -
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur secara hirarki kedudukan Undang-Undang Dasar 1945 lebih tinggi dari undang-undang. Jika terdapat ketentuan dalam undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 maka ketentuan undang-undang tersebut dapat dimohonkan pengujian di Mahkamah Konstitusi.
IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING) Para Pemohon adalah terdiri dari berbagai organisasi non pemerintah (badan hukum privat) yang memperjuangkan hak–hak konstitusional, khususnya di bidang hak atas tanah, keadilan agraria di Indonesia, dan hak atas pangan. V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945 A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN Norma materiil yaitu: 1. Pasal 12: (1) Dalam hal Tanah yang diperlukan untuk Usaha Perkebunan merupakan Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Pelaku Usaha Perkebunan harus melakukan musyawarah dengan Masyarakat Hukum Adat pemegang Hak Ulayat untuk memperoleh persetujuan mengenai penyerahan Tanah dan imbalannya. (2) Musyawarah dengan Masyarakat Hukum Adat pemegang Hak Ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2. Pasal 13: Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Pasal 27 ayat (3): (3) Kegiatan pencarian dan pengumpulan sumber daya genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh orang perorangan atau badan hukum berdasarkan izin Menteri. 2
4. Pasal 29: Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya, atau Pelaku Usaha Perkebunan dapat melakukan pemuliaan tanaman untuk menemukan varietas unggul. 5. Pasal 30 ayat (1): (1) Varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum diedarkan terlebih dahulu harus dilepas oleh pemerintah pusat atau diluncurkan oleh pemilik varietas. 6. Pasal 42: Kegiatan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan apabila telah mendapatkan hak atas tanah dan/atau izin Usaha Perkebunan. 7. Pasal 55: Setiap Orang secara tidak sah dilarang: a. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Lahan Perkebunan; b. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Tanah masyarakat atau Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dengan maksud untuk Usaha Perkebunan; c. melakukan penebangan tanaman dalam kawasan Perkebunan; atau d. memanen dan/atau memungut Hasil Perkebunan 8. Pasal 57: (2) Kemitraan Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pola kerja sama : a. penyedia sarana produksi; b. produksi; c. pengolahan dan pemasaran; d. kepemilikan saham;dan e. jasa pendukung lainnya. 9. Pasal 58 ayat (1): (1) Perusahaan Perkebunan yang memiliki izin Usaha Perkebunan atau izin Usaha Perkebunan untuk budidaya wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% 3
(dua puluh perseratus) dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh Perusahaan Perkebunan. 10. Pasal 58 ayat (2): (2) Fasilitas pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diakukan melalui pola kredit, bagi hasil, atau bentuk pendanaan lain yang disepakati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 11. Pasal 107: Setiap Orang secara tidak sah dilarang: a. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Lahan Perkebunan; b. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Tanah masyarakat atau Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dengan maksud untuk Usaha Perkebunan; c. melakukan penebangan tanaman dalam kawasan Perkebunan; atau d. memanen dan/atau memungut Hasil Perkebunan. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, dipidana dengan penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) 12. Pasal 114 ayat (3): (3) penanaman modal asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, penanam modal asing wajib menyesuaikan setelah masa berlaku hak guna usaha berakhir. B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945. 1. Pasal 18B ayat (2) (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
4
2. Pasal 28A: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. 3. Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2): (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. (2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. 4. Pasal 28D ayat (1): (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. 5. Pasal 28H ayat (2): (2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. 6. Pasal 28I ayat (2) dan ayat (3): (2) Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. (3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. 7. Pasal 33 ayat (3): (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
5
VI. ALASAN PERMOHONAN 1. Pengabaian pranata musyawarah masyarakat adat dan diganti dengan pranata
musyawarah
berdasarkan
mekanisme
peraturan
perundang-
undangan adalah bentuk pelanggaran konstitusi, yaitu tidak mengakui salah satu eksistensi masyarakat adat serta menghalangi jaminan kepastian hukum dengan tidak diakuinya pranata dan perangkat hukum masyarakat adat; 2. Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 dalam perkara Pengujian UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah mengakui keberadaan hukum adat untuk mengatur tata cara hidupnya termasuk teknik bermusyawarah; 3. Keberadaan masyarakat adat tidak melalui penetapan oleh negara atau pemerintah/Pemda, menetapkan
dan
masyarakat
peraturan adat
perundangan melainkan
tidak
memberi
seharusnya pengakuan,
penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat; 4. Frasa “ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” justru merujuk pada legislasi dan regulasi, bukan pada bentuk pengakuan terhadap masyarakat Adat. Frasa tersebut juga tidak ada kejelasan mengenai peraturan perundang-undangan yang harus dirujuk; 5. Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 99/PUU-X/2012 menyatakan bahwa kata “Perorangan” dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan untuk perorangan petani kecil”. Oleh karena itu, secara mutatis mutandis Pasal 27 ayat (3) sepanjang kata “Perorangan” Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan haruslah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan untuk perorangan petani kecil”; 6. Pasal 29 UU a quo tidak memberikan hak kepada perorangan petani kecil untuk melakukan pemuliaan tanaman dalam rangka untuk memperoleh varietas atau benih unggul, sehingga ketentuan pasal tersebut berpotensi menghalangi perorangan petani kecil untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan dalam pemuliaan tanaman;
6
7. Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 99/PUU-X/2012 menyatakan bahwa Pasal 12 ayat (1) UU 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan untuk perorangan petani kecil dalam negeri”, maka secara mutatis mutandis Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang a quo sepanjang kata “Varietas hasil pemuliaan” haruslah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan untuk perorangan petani kecil dalam negeri”; 8. Ketentuan Pasal 42 UU a quo sudah menyimpangi Pasal 4 ayat (2) Undangundang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria karena memberikan wewenang kepada badan usaha untuk mempergunakan tanah tanpa hak atas tanah; 9. Pasal 42 UU a quo tidak singkron dengan ketentuan Pasal 16 Undangundang a quo yang mengatur perusahaan perkebunan dapat melakukan pengusahaan perkebunan setelah diberikan hak atas tanah; 10. Frasa “hak atas tanah dan/atau izin usaha perkebunan“ dalam Pasal 42 Undang-Undang a quo, bagi petani berpotensi menimbulkan perampasan tanah yang dapat menimbulkan konflik; 11. Pasal 21 Undang-Undang 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan yang menyatakan, “Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau asset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan” telah dibatalkan dalam Putusan Nomor 55/PUUVIII/2010. Namun, substansinya muncul kembali di dalam Pasal 55 UndangUndang Perkebunan yang baru (UU a quo), meski dalam frasa yang berbeda yaitu penggunaan frasa “setiap orang secara tidak sah” yang subtansinya sama dengan frasa “penggunaan tanah perkebunan tanpa izin”, 12. Pasal 57 ayat (2) UU a quo lebih mengatur pada pilihan kegiatan yang dikerjasamakan,
bukan
kepada
polanya.
Padahal
ketidakberhasilan
kerjasama sering disebabkan oleh perjanjian pola kerjasama yang dibuat secara sepihak oleh perusahaan;
7
13. Pasal 58 ayat (1) UU a quo tidak jelas apakah pembangunan kebun masyarakat sebesar 20% (dua puluh perseratus) berada di dalam atau di luar areal Hak Guna Usaha; 14. Pasal 58 ayat (2) UU a quo lebih menekankan kesepakatan nantinya akan diatur melalui peraturan perundang-undangan. Seharusnya pasal a quo menekankan pada kesepakatan para pihak dalam kebersamaan, partisipatif, kemandirian, dan kesetaraan; 15. Pasal 107 UU a quo dibandingkan pemidanaan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan hanya terjadi pengurangan pidana penjara dari 5 tahun menjadi 4 tahun dan denda dari paling banyak 5 milyar rupiah menjadi 4 milyar rupiah, serta masih tetap mengesampingkan musyawarah dalam sengketa keperdataan; 16. Penanaman Modal Asing yang melakukan penyesuaian terhadap undangundang a quo sampai Hak Guna Usaha (HGU) habis adalah suatu bentuk pelemahan dari kedaulatan rakyat dan kedaulatan negara yang terwujud dalam hak mengausai negara, karena pemberian fasilitas HGU tidak boleh meniadakan atau mengurangi kewenangan negara untuk menjalankan mandatnya yang diberikan oleh rakyat secara kolektif. Oleh karena itu Pasal 114 ayat (3) UU a quo seharusnya dimaknai “jangka waktu penyesuaian sesuai dengan ketentuan ayat (2). VII. PETITUM 1. Mengabulkan seluruh permohonan pengujian ini; 2. Menyatakan pasal-pasal dibawah ini bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 : 2.1 Pasal 12 ayat (2) sepanjang frasa “dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” Undang Undang Nomor 39 Tahun
2014
tentang
Perkebunan
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 308 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613) bertentangan dengan UUD 1945; 2.2 Pasal 13 sepanjang frasa “ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” Undang Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia 8
Tahun 2014 Nomor 308 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613) bertentangan dengan UUD 1945; 2.3 Pasal 27 ayat (3) sepanjang kata “Perorangan” Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan untuk perorangan petani kecil”; 2.4 Pasal 29 sepanjang kata “dapat” Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai “termasuk perorangan petani kecil”; 2.5 Pasal 30 ayat (1) sepanjang frasa “varietas hasil pemuliaan” UndangUndang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan untuk perorangan petani kecil dalam negeri”; 2.6 Pasal 42 sepanjang frasa “hak atas tanah dan/atau izin usaha perkebunan“
Undang-Undang
Nomor
39
Tahun
2014
tentang
Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai “hak atas tanah dan izin usaha perkebunan“; 2.7 Pasal 55 sepanjang frasa “secara tidak sah” Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2014
tentang
Perkebunan
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 308 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “konflik tanah perkebunan dan pemetan tanah ulayat masyakat hukum telah diselesaikan”; 2.8 Bahwa Pasal 57 ayat (2) sepanjang frasa “pola kerjasama” UndangUndang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308 Tambahan Lembaran 9
Negara Republik Indonesia Nomor 5613) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai “adanya kesepakatan para pihak dalam kebersamaan, partisipasi para pihak, kearifan lokal, dan kemandirian petani pekebun dalam memilih pola kerja sama”; 2.9 Bahwa Pasal 58 ayat (1) sepanjang frasa “dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh Perusahaan Perkebunan” Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai “di dalam areal Hak Atas Tanah Perusahaan Perkebunan”; 2.10 Bahwa Pasal 58 ayat (2) sepanjang frasa “disepakati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2014
tentang
Perkebunan
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 308 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613) bertentangan dengan UndangUndang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai “kesepakatan para pihak dalam kebersamaan, partisipatif, kemandirian, kesetaraan dan sadar akan kemanfaatan pembangunan kebun masyarakat”; 2.11 Pasal 107 sepanjang frasa “secara tidak sah” Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “konflik tanah perkebunan dan pemetan tanah ulayat masyakat hukum telah diselesaikan”; 2.12 Pasal 114 ayat (3) sepanjang frasa “setelah masa berlaku hak guna usaha berakhir” Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “jangka waktu penyesuaian sesuai dengan ketentuan ayat (2)”;
10
3. Menyatakan pasal-pasal dibawah ini tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya : 3.1 Pasal 12 ayat (2) sepanjang frasa “dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2014
tentang
Perkebunan
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 308 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya; 3.2 Pasal 13 sepanjang frasa “ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya; 3.3 Pasal 27 ayat (3) sepanjang kata “Perorangan” Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan untuk perorangan petani kecil”; 3.4 Pasal 29 sepanjang kata “dapat” Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya sepanjang tidak dimaknai “termasuk perorangan petani kecil”; 3.5 Pasal 30 ayat (1) sepanjang frasa “varietas hasil pemuliaan” UndangUndang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan untuk perorangan petani kecil dalam negeri”;
11
3.6 Pasal 42 sepanjang frasa “hak atas tanah dan/atau izin usaha perkebunan“
Undang-Undang
Nomor
39
Tahun
2014
tentang
Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya sepanjang tidak dimaknai “hak atas tanah dan izin usaha perkebunan“; 3.7 Pasal 55 sepanjang frasa “secara tidak sah” Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2014
tentang
Perkebunan
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 308 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya sepanjang tidak dimaknai “konflik tanah perkebunan dan pemetan tanah ulayat masyakat hukum telah diselesaikan” 3.8 Bahwa Pasal 57 ayat (2) sepanjang frasa “pola kerjasama” UndangUndang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya sepanjang tidak dimaknai “adanya kesepakatan para pihak dalam kebersamaan, partisipasi para pihak, kearifan lokal, dan kemandirian petani pekebun dalam memilih pola kerja sama”; 3.9 Bahwa Pasal 58 ayat (1) sepanjang frasa “dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh Perusahaan Perkebunan” Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya sepanjang tidak dimaknai “di dalam areal Hak Atas Tanah Perusahaan Perkebunan”; 3.10 Bahwa Pasal 58 ayat (2) sepanjang frasa “disepakati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2014
tentang
Perkebunan
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 308 Tambahan Lembaran Negara 12
Republik Indonesia Nomor 5613) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya sepanjang tidak dimaknai “kesepakatan para pihak dalam kebersamaan, partisipatif, kemandirian, kesetaraan dan sadar akan kemanfaatan pembangunan kebun masyarakat”; 3.11 Pasal 107 sepanjang frasa “secara tidak sah” Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya sepanjang tidak dimaknai “konflik tanah perkebunan dan pemetan tanah ulayat masyakat hukum telah diselesaikan”; 3.12 Pasal 114 ayat (3) sepanjang frasa “setelah masa berlaku hak guna usaha berakhir” Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya sepanjang tidak dimaknai “jangka waktu penyesuaian sesuai dengan ketentuan ayat (2)”; 4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
13