Edisi Desember 2002
Masalah Tanah Hak Ulayat atas Hutan dan Pengaturan Kompensasi Pemakaiannya Kajian SK Bupati Manokwari No.244/02 Bupati Tabanan : “Dengan Otonomi Daerah Pelayanan harus Semakin Baik, Cepat dan Dapat Didekatkan pada Masyarakat” Hak Ulayat, Masalah Psikologis Pertanahan MASALAH HAK ULAYAT DI ERA OTONOMI DAERAH Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999
Raperda Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Pemutusan Kebijakan SENGKETA TANAH Penghambat Kepastian Usaha Data Statistik Perda KPPOD Gambar Sampul : PT. Freeport Indonesia. Foto isi diambil dari internet dengan fasilitas http://www.google.com/ & Alain Compost.
Masalah Tanah Mencoba berempati dengan menempatkan diri sebagai orang lain untuk menjiwai perasaannya terhadap sesuatu hal, pasti tidak bisa persis merasakannya. Namun kalau kita berandai andai sebagai orang yang dirugikan haknya dalam hal pertanahan, katakanlah sebagai orang yang pernah memiliki suatu lahan namun puluhan tahun lalu, lahan kita tersebut terpaksa harus kita berikan ke pihak lain – yang dipaksakan penguasa atas nama pembangunan – tanpa kompensasi yang memadai atau bahkan mungkin tanpa kompensasi sama sekali; tidaklah sukar untuk mengatakan bahwa kita merasa sakit hati. Bisa dipastikan, sebagian besar orang yang merasa dirugikan tentu akan menuntut haknya bila kesempatan memungkinkannya untuk itu. Di sisi lain seandainya kita seorang profesional yang mengelola unit usaha dengan aset lahan yang luas, perkebunan atau pertambangan misalnya, di saat berkutat untuk survive dalam suatu kompetisi bisnis yang luar biasa, tiba tiba dihadapkan pada tuntutan pengembalian aset lahan tersebut; bukanlah suatu hal yang mudah untuk menyikapinya, terlebih karena kita juga gelap soal asal muasal pertanahan itu. Buah reformasi mendorong orang atau kelompok orang yang dirugikan oleh penguasa masa lalu meminta haknya (atas tanah) dikembalikan, dengan segala bunganya. Sementara itu ‘pemilik’ hak yang menguasainya saat ini mempertahankan haknya dengan dukungan dokumen dokumen formal yang dimilikinya. Mekanisme ganti rugi kadangkala terjadi sebagai cara yang acapkali disebut win win solution, meskipun seringkali semu. Namun tidak kurang saling ngotot terjadi yang berbuah kontra produktif loose loose solution. Mungkin elok kalau hukum bisa menjadi penengah, sayangnya hukum bisa tidak berdaya ketika harus menghadapi tidak hanya ukuran hitam putih pasal pasal hukum namun harus juga rela menerima realitas kompleks sosial politik budaya masyarakatnya. Ukuran adil atas putusan lembaga peradilan bisa sangat absurd, terlebih bila sistem dan para aktornya jauh dari ukuran layak secara profesional. Satu hal yang barangkali bisa menjadi patokan bersikap adalah: mulai dari kenyataan saat ini yang ada. Tata kehidupan masyarakat modern mensyaratkan kepastian termasuk kepastian kepemilikan hak atas lahan. Bahwa saat ini dan untuk kebutuhan ke depan, diperlukan semacam kodifikasi lahan, pemetaan yang jelas atas kepemilikan, termasuk tanah adat/ulayat. Minimalisasi potensi konflik antar warga, warga dengan unit usaha, warga dengan negara, dengan cara ini merupakan pilihan rasional yang mesti dikerjakan. Yang harus dihindari adalah pola pola pemaksaan untuk maksud ini; mungkin lama dan meletihkan prosesnya namun untuk tidak terjebak ke permasalahan yang sama di masa datang, cara pemetaan yang baik perlu melibatkan berbagai komponen yang relevan. Bahwa ada beberapa kasus tanah yang masih perlu dikelola dengan mekanisme adatpun termasuk pilihan yang tidak boleh diharamkan. Peran negara (melalui mekanisme pemerintahan), para pemuka adat yang masih ada, dunia usaha, komunitas intelektual, dll., sangat perlu selain untuk menyumbangkan pemikirannya, juga untuk meminimalisir kemungkinan vested interest yang tidak semestinya. Ulasan masalah tanah edisi ini dari beberapa tinjauan mencoba sedikit menggambarkan persoalan krusial yang sangat perlu perhatian. Tidak banyak waktu bagi penyelenggara negara untuk menginisiasi pembenahan bila kepentingannya adalah ketentraman & kemakmuran rakyat, kepastian usaha, kondusifnya sosial politik; sebaliknya masih akan banyak waktu bila ukurannya adalah permainan psikologis politik masa, popularitas politikus dan oknum birokrat, serta rente ekonomi guna menggembungkan pundi pundi pribadi atau kelompok. Itulah pekerjaan rumah bersama, sudah kuno untuk latah berlepotan kubangan dengan menuding kesalahan masa lalu, terpenting apa yang bisa kita perbuat sekarang. Kelak jangan sampai para pemimpin nasional dan lokal di usia tuanya baru tau bahwa tidak ada satupun kontribusi positifnya bagi bangsanya, dan sadar bahwa negara telah dijalankan langsung oleh rakyatnya dan beberapa gelintir pemimpin informal masyarakat. (pap)
Penerbit : Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Alamat Redaksi : Sekretariat KPPOD, Plaza Great River, 12th floor, Jl. HR. Rasuna Said Kav. X-2 No.1, Jakarta 12950, Phone : 62-21-5226018, 5226027, Fax : 62-21-5226027, E-mail :
[email protected], http://www.kppod.org/ Dewan Pengurus KPPOD : Bambang Sujagad, Anton J. Supit, Bambang PS Brodjonegoro, P. Agung Pambudhi, Aburizal Bakrie, Sofjan Wanandi, Adnan Anwar Saleh, Hadi Soesastro, Sri Mulyani Indrawati, Djisman Simandjuntak, Susanto Pudjomartono, Sjarifuddin, Aco Manafe, dan Taufik L. Redaksi : P. Agung Pambudhi, Sigit Murwito, Robert Endi. Tata Letak : F. Sundoko. Iklan dan Distribusi : M. Regina Retno B.
1
Hak Ulayat atas Hutan dan Pengaturan Kompensasi Pemakaiannya Kajian SK Bupati Manokwari No.244/02
I. Kilasan Kebijakan dan Regulasi Nasional Wacana seputar eksistensi masyarakat hukum adat, hak ulayat (atas hutan), atau tentang pentingnya negara mengakui keduanya, telah menjadi bahan perdebatan panjang di negeri ini. Sejak masa kolonial sampai saat diberlakukannya kebijakaan otonomi daerah sekarang ini, wacana tersebut acap muncul dan menjadi isu kebijakan (policy issue) setiap rezim dan orde kekuasaan. Dalam kerangka itu, hadir pula satu wacana kontra untuk menandinginya, yakni menyangkut hak menguasai negara (HMN). Demikianlah, dalam era kolonial, melalui instrumen Domein Verklaring 1870, dibuat suatu regulasi yang cukup akomodatif terhadap kepentingan masyarakat adat. Masyarakat adat dipersilahkan terlebih dahulu menentukan hak kepemilikannya atas sejumlah tanah, sedangkan hak negara (HMN) dibatasi karena hanya boleh menguasai atau memiliki sumber-sumber agraria yang tidak bertuan. Politik hukum agraria ini jelas memprioritaskan hak penduduk asli, lebih-lebih menyangkut hak membuka hutan (Maria Ruwiastuti, 1997). Memasuki masa kemerdekaan, preferensi kebijakan pun berganti. Di sini negara diposisikan sebagai pangkal dari hak atas sumber-sumber agraria, dengan hak menguasai negara (HMN) yang dominan. Hak negara ini mendapat pengabsahan legalnya dari sumber hukum tertinggi, yakni UUD 1945, di mana diatur bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” (Pasal 33 ayat 3). Seterusnya, oleh UU tentang Pokok-Pokok Agraria (UU No. 05/60) HMN itu dijabarkan lebih lanjut, dengan bobot kekuasaan yang juga memberat kepada negara. Di sini negara dipandang sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat, sehingga bumi dan kekayaan alam yang terkandung di
2
dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara. Mainstream serupa juga terdapat dalam sejumlah UU yang lainnya. Dalam UU yang mengatur pertambangan (UU No. 11/67), sebagai misal, ditegaskan bahwa ”Semua bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia ……… adalah kekayaan nasional Bangsa Indonesia, dikuasai dan dipergunakan oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” (pasal 1). Artinya, meskipun di dalam tanah yang dikelola oleh masyarakat adat terdapat bahanbahan galian, mereka tidak memiliki kewenangan untuk mempergunakannya karena hak menguasai seluruh bahan galian tambang itu ada pada negara. Demikian pula dalam UU tentang Pokok Kehutanan (UU No.05/67) sebelum akhirnya direvisi menjadi UU No.41/99 - ditetapkan pembagian status hutan sebagai hutan milik dan hutan negara (pasal 2). Hutan milik adalah hutan yang berada di atas tanah milik orang lain, dan selebihnya diklaim sebagai hutan negara. Menyangkut hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat, sebagaimana tertera dalam penjelasan umum UU ini, merupakan bagian dari hutan negara
karena hutan-hutan itu tumbuh di atas tanah hak ulayat (bukan tanah hak milik orang). Pada konteks ini, maka HPH pun bisa saja diberikan di atas tanah-tanah hak ulayat milik masyarakat adat tersebut. Arus balik dengan mulai diperhatikannya eksistensi masyarakat adat, hak ulayat dan pengakuan negara atasnya terjadi seiring mengemukanya tuntutan penerapan kebijakan otonomi daerah pasca kejatuhan rezim Orde Baru. Di daerah, tendensi kelokalan dan bahkan pengerasan identitas mulai terlihat sosoknya; sementara pada level nasional perubahan regulasi mulai digagas (melahirkan UU No.22/99 tentang Pemerintahan Daerah, UU No.41/99 tentang Kehutanan, Permen Agraria No.05/99 tentang Pedomaan Penyelesaian Maalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, dsb). Namun perlu segera ditambahkan, meski jauh lebih akomodatif terhadap eksistensi masyarakat adat dan hak ulayat, berbagai produk regulasi baru ini belum sepenuhnya bebas dari sifat penguasaan negara (HMN). UU No. 41/99, misalnya, malah mendefenisikan hutan adat (sebagai wujud penting kekuasaan masyarakat adat) sebagai “hutan negara yang berada dalam
hutan adat”. Atau Permen No.05/99, dalam penilaian sebagian pihak, justru melanggar asas utama dalam pengakuan hak ulayat masyarakat adat yakni selfidentification, karena secara sepihak menetapkan keberadaan hak-hak ulayat masyarakat adat di daerah tertentu (Abdul Haris Semendawi, 2001). II. SK Bupati Manokwari No. 244/02 (Standar Pemberian Kompensasi Bagi Masyarakat Adat atas Kayu yang Dipungut pada Areal Hak Ulayat) Perda ini merupakan pengaturan lebih lanjut pada level kabupaten dari aturan serupa yang telah ditetapkan oleh pemerintah propinsi (SK Gubernur Irian Jaya No.50/01). Sedangkan melihat konsideran atau acuan yuridisnya, perda ini menyandar kepada produk-produk hukum sebelum otonomi daerah saat ini berlaku (UU No.05/60 dan UU No.12/69) maupun sesudahnya (UU No.22/99, UU No.41/99, PP No.25/00, Kepmen Agraria No.05/99, dan sebagainya). Sebagai landasan pengaturan pasalpasalnya, dalam Perda ini hak ulayat diartikan sebagai “kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat adat tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus”. Sedangkan masyarakat hukum adat (masyarakat setempat) adalah “kelompok orang warga RI yang tinggal di dalam atau di sekitar hutan dan yang memiliki ciri sebagai suatu komunitas yang didasarkan pada kekerabatan, kesamaan mata pencarian yang berkaitan dengan hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal bersama serta faktor ikatan komunitas lainnya” (Pasal 1 tentang Ketentuan Umum). Terhadap legalitas pemanfaatan hutan pada areal hak ulayat masyarakat adat akan disahkan dalam bentuk SKSHH sebagai dokumen milik Departemen Kehutanan, dan kepada para subyek pemanfaat akan dikenakan biaya kompensasi sebagai pengganti resiko menurunnya kualitas hutan, hilangnya akses dengan hutan sebagai lapangan kerja karena adanya dampak eksploitasi, dll. Besarnya biaya kompensasi ini berdasar pada perhitungan realisasi penjualan / penggunaan kayu
bulat (gelondongan), seperti kayu merbau berupa biaya kompensasi bagi siapa pun (Rp 25.000/m3), non merbau (Rp 10.000/ yang mendapat hak pengusahaan hutan m3), kayu indah (Rp 50.000/m3) dan di areal hak ulayat. Mengapa pemerintah kayu bakau (Rp 1.000/m3). Angka-angka Kabupaten Manokwari tidak lebih dulu ini sudah mencakup biaya penggunaan membuat aturan pendahulu (Perda) lahan, jalan, base camp, pohon dan menyangkut pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, dan seterusnya segi per material pembuatan jalan (Pasal 4). Selanjutnya, biaya kompensasi segi seperti menyangkut biaya kompensasi sejumlah di atas diberikan kepada pihak semacam ini? Bahkan pengidentifikasian pemilik hak ulayat / hak adat yang masyarakat adat, melalui sebuah SK ditetapkan berdasarkan hasil musyawarah Bupati, baru dan hanya dilakukan dalam a d a t . Na m u n Dengan adanya ketentuan biaya kaitannya dengan penentuan pihak kompensasi bagi pungutan kayu penentuan pihak k e b e r a d a a n hutan di suatu areal hak ulayat, y a n g b e r h a k masyarakat adat eksploitasi hutan oleh para untuk menerima atas hak ulayat pemegang HPH, HPHH dan IPK kompensasi. Ketiadaan pada areal kerja maupun hak penguasaan negara HPH. HPHH, tidak lagi sama sekali menafikan aturan umum IPK dan pemilik keberadaan masyarakat adat di s e m a c a m d i atas juga akan y a n g b e r h a k sekitarnya. menyulitkan menerima pembayaran hak ulayat ditetapkan melalui kita untuk mengetahui apakah di suatu Keputusan Bupati, berdasarkan hasil tempat / daerah otonom terdapat hak musyawarah adat dan memperhatikan ulayat masyarakat hukum adat. Pada hal, masukan dari Camat, pemegang HPH, saat ini tidak sedikit warga masyarakat yang disinyalir mengatasnamakan warga Masyarakat Adat setempat, dll. Menyangkut pemanfaatannya, Perda masyarakat hukum adat mengajukan ini mewajibkan bahwa biaya kompensasi tuntutan ganti rugi yang tidak berdasar itu sepenuhnya dipergunakan bagi atas terpakainya hutan oleh para pemegang kepentingan masyarakat adat setempat, HPH, HPHH atau IPK. Ini adalah sebuah berbentuk kegiatan peningkatan ekonomi, sisi samping yang potensial membawa pengembangan kelembagaan adat, efek tanggungan bagi para pelaku bisnis pembangunan desa, pembangunan fasilitas di suatu daerah. Kasus-kasus pendudukan umum, pendidikan dan keagamaan. lahan usaha oleh warga setempat, dengan Pilihan setiap program berdasarkan klaim sebagai tanah adat misalnya, telah hasil musyawarh adat. Semuanya ini, menjadi bukti bahwa ketiadaan suatu dari hal pembayaran sampai kepada aturan-pendahulu yang mengidentifikasi sasaran pemanfaatannya, berjalan dibawah masyarakat adat yang diakui secara hukum pengawasan dan pembinaan Bupati dan (melalui Perda) akan kontraproduktif bagi Dinas Kehutanan Kabupaten Manokwari. aktivitas bisnis. UU No.41/99 maupun Permen 05/99 secara dini telah merasakan betapa III. Sebuah Problem Utama Secara umum kehadiran SK Bupati ini pentingnya pengidentifkasian kelompok bisa dikatakan positif dan penting bagi masyarakat adat ini. Bahkan secara perlindungan eksistensi masyarakat adat eksplisit dikatakan dalam kedua regulasi dan hak ulayatnya atas hutan. Dengan nasional itu untuk menggunakan cara adanya ketentuan biaya kompensasi penelitian (oleh pemda, para pakar bagi pungutan kayu hutan di suatu hukum adat, perguruan tinggi, LSM dll), areal hak ulayat, eksploitasi hutan oleh termasuk pembuatan peta dasar lokasi para pemegang HPH, HPHH dan IPK dan batas-batas geografisnya, untuk maupun hak penguasaan negara tidak pada akhirnya ditetapkan dalam suatu lagi sama sekali menafikan keberadaan peraturan daerah (Perda). Cara kerja inilah yang absen dalam pembuatan SK Bupati masyarakat adat di sekitarnya. Namun pada sisi kekurangannya, SK No. 244/02 ini.** (ndi) ini tidak cukup komprehensif mengatur perlindungan masyarakat adat dan hak ulayat tersebut. Muncul kesan, bahwa instrumen perlindungan terpenting adalah
3
“Dengan Otonomi Daerah Pelayanan harus Semakin Baik, Cepat dan Dapat Didekatkan pada Masyarakat” Tabanan terbentuk pada abad ke-14 ketika kerajaan dari Jawa memperluas daerahnya di Bali dan mereka berdiam di daerah ini. Sejalan dengan keinginan untuk memperluas wilayahnya maka terjadi konflik dengan kerajaan Mengwi. Tabanan hampir menguasai seluruh Mengwi, tetapi meningkatnya ketertarikan Belanda terhadap Bali, dan penolakan terhadap keingingan Tabanan untuk memimpin Mengwi, maka Kerajaan Tabanan berakhir pada tahun 1906 dengan dipenjarakan dan dibunuhnya raja dan anaknya. Pada era otonomi daerah ini Kabupaten Tabanan terdiri dari 8 kecamatan, 113 Desa/kelurahan. Dengan luas wilayah 839,33 km2, 23.836 ha (35%) merupakan lahan sawah dan 60.097 ha (65%) bukan lahan sawah. Lahan sawah yang cukup luas, dan dengan curah hujan tertinggi yaitu sekitar 875 mm, menjadikan Tabanan berkembang sebagai daerah sentra pertanian dan pemasok hasil pertanian terbesar untuk kebutuhan pangan Pulau Bali. Dari sektor pertanian ini masyarakat dan Pemda Tabanan memperoleh sebagian besar penghasilannya. Sektor pertanian memberikan kontribusi terbesar terhadap perekonomian daerah. Pada tahun 2000, PDRB Kabupaten Tabanan yang sebesar Rp.1,465,138.51 Juta, 38,02%-nya disumbang dari sektor pertanian, yang mencakup sub sektor taman bahan makanan sebesar Rp.369,211.39 juta (25.20%), tanaman perkebunan Rp.68,471.27 Juta (4,67%), serta Peternakan & Hasilhasilnya Rp.113,590.03 Juta (7,75%), Sumbangan terbesar kedua adalah dari pariwisata yaitu sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran sebesar 23.06%, disusul sektor jasa-jasa sebesar 16.65%, sisanya sebesar 23,27% terbagi untuk sektor pertambangan, industri, bank dan lainnya. Melihat potensi yang dimiliki daerahnya, N. Adi Wiryatama.S.Sos, selaku Bupati Tabanan, menegaskan, “Untuk peningkatan dan pemberdayaan perekonomian rakyat, kami berupaya untuk me-
4
ningkatkan nilai tambah sektor pertanian, agribisnis, industri kecil, peran koperasi dan pengusaha kecil, serta meningkatkan agrowisata”. Wajar jika Wiryatama mengarahkan pembangunan daerahnya kepada sektor-sektor tersebut karena dilihat dari struktur ekonominya, sektor-sektor tersebut merupakan penopang utama perekonomian daerah. Tragedi bom di Legian, Kuta, Bali tanggal 22 Oktober lalu berdampak negatif terhadap industri pariwisata dan perekonomian masyarakat Bali pada umumnya. Kunjungan wisatawan asing yang turun secara drastis sejak kejadian tersebut, tak ayal juga mempengaruhi sektor pertanian di Tabanan yang merupakan daerah sentra pertanian, agro wisata yang menjadi pemasok terbesar konsusi pangan masyarakat Bali dan penunjuang kegiatan wisata di Bali. Selama ini sektor pertanian yang dikembangkan di Tabanan masih berorientasi lokal, belum berorientasi ekspor. Menyikapi hal tersebut Pemda Tabanan sedang mencari alternatif pengembangan sektor andalan. Pengembangan sektor pertanian yang selama ini masih berorientasi lokal akan dikembangkan beberapa subsektor pertanian yang lebih berorientasi ekspor dan tidak terpengaruh oleh situasi tadi, seperti Perkebunan Ceng-
keh, Kopi, Kakao, Salak dan sebagainya. Untuk itu melalui instansi terkait pemda telah mengembangkan sentra-sentra pertanian seperti sentra cengkeh, sentra kopi, sayur, salak, kakao dan lain-lain. Kedepannya sentra-sentra pertanian ini akan dikembangkan untuk kegiatan agrowisata. Selain mempengaruhi pertumbuhan sektor-sektor perekonomian yang sudah ada, peristiwa ledakan bom di Legian tersebut juga mempengaruhi upaya peningkatan investasi di daerah ini. Padahal sebelumnya dalam upaya peningkatan investasi ke daerah ini pemda telah melakukan berbagai promosi ke berbagai negara dengan berbagai cara, serta perbaikan terhadap sejumlah infrastruktur penunjang lainnya. Untuk kepentingan promosi, yang sedang dikembangkan saat ini adalah dengan membuat web site yang memuat berbagai informasi tentang daerah ini. Kendala lain yang saat ini juga dihadapi oleh Kabupaten Tabanan adalah infrastruktur fisik yaitu penyediaan air bersih, telepon, dan terutama mengenai jalan masih perlu mendapat perhatian khusus dan lebih serius. Wiryatama sangat menaruh perhatian besar pada upaya peningkatan perekonomian desa. Untuk itu dalam perbaikan infrastruktur jalan
lebih difokuskan pada upaya perbaikan infrastruktur jalan di daerah pedesaan guna menggerakkan perekonomian masyarakat desa. “Ketersediaan dan kondisi jalan di beberapa wilayah Tabanan saat ini dapat mempengaruhi perekonomian masyarakat petani di pedesaan. Untuk itu saat ini telah dikerjakan proyek pengaspalan jalan, antara lain dari Lalanglinggah - Dusun Pengreregan - Desa Lumbung, dan ruas jalan Bonian - Desa Antap menuju Dusun Semaja dan Desa Antosari, yang keduanya berada di wilayah Kecamatan Selemadeg. Yang lain adalah jalan jurusan Kutuh - Riang, dan jalan Subamia - Wanasari, wilayah Kecamatan Tabanan. Dari peninjauannya di beberapa proyek pengaspalan jalan di Kecamatan Tabanan. Proyek sudah bisa berjalan sesuai dengan bestek, kendati di beberapa bagian masih perlu disempurnakan”, demikian penjelasan Wiryatama. Menurut Wiryatama dengan pelaksanaan otonomi daerah pelayanan kepada masyarakat harus semakin baik, cepat dan dapat didekatkan pada masyarakat. Dikatakannya pula bahwa dia tidak senang kalau ada stafnya yang bekerja asal bapak senang (ABS). Terhadap laporan dan keluhan masyarakatnya, dia tidak tinggal diam dan seringkali melihat secara langsung kondisi fisik proyek di lapangan. Dalam peninjauannya di lapangan, seperti baru-baru ini dilakukan di Kecamatan Selemadeg, yaitu proyek pengaspalan jalan dari Desa Lalanglinggah - Dusun Pengreregan dan Jalan Antap - Semaja, orang nomor satu di Tabanan ini melihat hasil pekerjaan para pemborong terkesan amburadul dan asal-asalan. Kedua proyek itu menelan dana yang sebagian dari swadaya masyarakat dan APBD Tabanan sekitar Rp 451 juta. Jalan tersebut sepintas nampak sangat mulus. Namun ketika dicek dengan jalan kaki, Adi Wiryatama merasakan kejanggalan-kejanggalan. Setelah dicek dengan mencongkel jalan yang telah ditumbuhi rerumputan terlihat kalau proyek pengaspalan jalan dilakukan dengan asal-asalan, sangat jauh menyimpang dari bestek yang disepakati sebelumnya. Wiryatama menegaskan bahwa pemborong yang tidak bisa mengerjakan proyek sesuai kesepakatan pada saat tender, akan diberi sanksi ‘’Bila perlu tahun 2003, mereka kita tidak perkenankan untuk mengikuti tender,’’ tegasnya. Disamping pembangunan ekonomi, Pemda Tabanan juga terus mengupay-
akan peningkatan kualitas hidup masyarakatnya, yakni melalui peningkatan pendidikan, kesehatan, dan lingkungan hidup masyarakat. “Kondisi pendidikan masyarakat di Tabanan saat ini masih cukup rendah, kesejahteraan dan kesehatan masyarakat juga perlu ditingkatkan”, ungkap Wiryatama. Fasilitas kesehatan di Tabanan ada 19 buah Puskesmas, 71 Puskesmas Pembantu, dan 732 Posyandu, satu buah RSUD tipe C dengan 150 buah tempat tidur, dan 2 buah RS milik swasta, dengan kapasitas 25 tempat tidur dan 34 buah tempat tidur. Sementara itu untuk penanganan masalah lingkungan hidup Pemda Tabanan melakukan kerjasama dengan daerahdaerah lain di sekitarnya. Wiryatama menegaskan, “Kerjasama yang saling menguntungkan dalam pembangunan daerah, khususnya dalam pemanfaatan teknologi tepat guna dengan daerah lain atau negara lain perlu dilakukan, karena ketidaktersediaan dan kelebihan sumber daya dapat terkompensasi pemenuhannya dari atau ke daerah dan negara lain”. Saat ini Kabupaten Tabanan bekerjasama dengan Pemkot Denpasar, Pemkab Badung, dan Gianyar untuk pembangunan proyek pengolahan sampah dengan memanfaatkan teknologi canggih yang dibiayai oleh Bank Dunia. Pembangunan proyek untuk mengolah sampah hasil pembuangan satu kota dan tiga kabupaten di Bali, rencananya akan berlokasi di dusun Manduh, Desa Sembung Gede, sekitar 10 km Selatan kota Tabanan. “Pembangunan itu bertujuan untuk pengolahan sampah yang sebelumnya menjadi masalah masyarakat di Bali pada umumnya sehingga bisa bermanfaat setelah diolah menjadi pupuk kompos untuk mendukung pertanian. Dengan pembangunan proyek tersebut akan membuka sejumlah lapangan pekerjaan bagi masyarakat, serta perbaikan lingkungan alam sekitarnya”, demikian diungkapkan oleh Wiryatama. Sayangnya warga sekitar lokasi rencana pembuangan dan pengolahan sampah terpadu tersebut umumnya menolak proyek ini dengan alasan lingkungannya kelak menjadi tidak nyaman. Kerjasama empat daerah di Bali yang disebut “Sarbagita” ini akhirnya batal dibangun di Tabanan, dan kemungkinan akan dialihkan ke wilayah Kabupaten Badung. Padahal menurut Wiryatama bila proyek tersebut berlokasi di Tabanan maka akan dapat memberikan nilai tambah bagi
masyarakat Tabanan. Permasalahan lain yang juga masih mengganjal dalam pelaksanaan otonomi daerah di Tabanan adalah belum adanya persamaan persepsi tentang penerapan otonomi daerah, serta Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang masih relatif kecil sehingga belum dapat memenuhi kebutuhan minimal Pemerintah Kabupaten. Saat ini juga masih banyak Perda Kabupaten Tabanan yang masih berdasarkan UU No.5/1974 yang belum dapat disesuaikan dengan UU No.22/1999. Untuk meningkatkan PAD Pemda Tabanan mengambil beberapa langkah dan stategi, yakni memperbaharui Perda yang berpeluang meningkatkan PAD, menggali sumber-sumber pendapatan baru dan tidak memberatkan masyarakat dengan menerapkan program mencari dan mendata setiap hari (Gerakan Mentari) terhadap potensi Daerah, serta meningkatkan peran serta masyarakat dan LSM dalam pengawasan dan penyajian informasi investasi yang terbuka. Menyinggung kesiapan putra daerah berpartisipasi dalam pembangunan, Wiryatama berujar, “Putra daerah siap berpartisipasi dan tentunya sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia, kita tidak terlalu Daerahisme, setiap warga negara yang berprestasi dan mau mengabdi kepada daerah diberikan kesempatan dan dilibatkan semaksimal mungkin”. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan di daerah dilakukan dengan terus mendorong pelaksanaan pembangunan secara swadaya dengan memberikan bantuan dana stimulan, serta memberikan perhatian pada masyarakat yang berprestasi dalam peningkatan swadaya. “Semangat masyarakat berswadaya semakin tinggi”. Sebagai contoh pembangunan Pura, dan jalan di berberapa wilayah Tabanan merupakan swadaya masyarakat. Masyarakat yang menyediaan material secara gotong royong, setiap tahun menyisihkan dana. Dalam pengerjaan masyarakat sendiri juga yang melaksanakan, sementara Pemda hanya menyediakan peralatan teknis, dan tenaga teknis. Disamping berkat dorongan dari pemda, keberhasilan Pemda Tabanan dalam meningkatkan partisipasi masyarakat juga dipengaruhi oleh nilainilai budaya dan tradisi gotong-royong yang masih kental mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat Tabanan. Git. (Hasil wawancara dengan Bupati Tabanan, dirangkai dengan sumber lainnya)
5
Hak Ulayat, Masalah Psikologis Pertanahan Freddy Hertanto *)
Reformasi sudah berlangsung sejak 1998 saat Indonesia menghadapi perubahan kekuasaan dari militarian ala Suharto menjadi demokrasi ala reformasi Indonesia. Proses perjalanan perubahan bangsa yang bercita – cita memerdekakan rakyatnya secara total, baik moril maupun materiil. Perubahan yang bersifat memanjakan rakyat sebagai salah satu cara pembagian kekuasaan yang diharapkan bisa menjelaskan konsep Dari Rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, sebuah motto sistem politik kenegaraan yang sudah mendarah daging di bumi pertiwi ini, paling tidak hal yang selalu berulang diajarkan di sekolah-sekolah Indonesia sejak dari masa-masa akhir penjajahan. Penerjemahan konsep tersebut sudah bisa kita lihat dalam Undang – undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar pokok-pokok Agraria, dimana mencerminkan keinganan luhur dalam berusaha mensejahterakan rakyat dengan mengubah peraturan Agraria yang bersifat “Kolonial” milik pemerintah Belanda dengan UU 5/1960 yang bernafaskan Pancasila. Fenomena kebangsaan yang selalu mengingatkan untuk melindungi yang “ekonomis lemah”. Perubahan yang dilandasi perlunya “Kepastian Hukum” yang berkedudukan tinggi di struktur Negara Republik Indonesia sebagaimana penjelasannya yang selalu mengacu pada Pasal 33 UUD 1945. Jelas pula dikatakan bahwa pelaksanaan Undang-undang ini bermaksud mengatur kepemilikan tanah dan memimpin penggunaanya.
disiapkan alat penangkalnya. Hak Ulayat sudah dituangkan dalam UU No. 5/1960 pasal 3 yang menyebutkan “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakatmasyarakat hukum adapt, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingannasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undangundang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.” Mari kita coba melihat pasal-pasal tersebut, …..mengingat ketentuanketentuan pasal 1 dan 2. mempelajari pasal-pasal tersebut secara garis besar dapat disimpulkan bahwa Undang – Undang No.5/1960 pasal 1 menunjukkan struktur kepemilikan lahan di bumi pertiwi ini. Gamblang di jelaskan bahwa Bumi, Air dan ruang angkasa bangsa Indonesia termasuk kekayaan alam didalamnya merupakan Kekayaan Nasional atas karunia Tuhan Yang Maha Esa. Pasal 2 menjelaskan: Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menunjukkan bahwa seluruh Bumi, Air dan ruang angkasa termasuk kekayaanya dikuasai oleh Negara dan Negara diberi wewenang dalam mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut. Negara diberi wewenang untuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang Hak ulayat angkasa dan berwewenang menentukan Inilah fenomena demokrasi yang sedang hubungan hukum-hukum tentang dialami bangsa berusia 52 tahun, sebuah agraria serta digunakan untuk mencapai poin penting yang sebenarnya sudah sebesar-besar kemakmuran rakyat
6
dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur. Negara juga berwewenang memberi kuasa pada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional, menurut ketentuan-ketentuan pemerintah. Dari perhatian tersebut diatas jelas tersurat sebuah kekuasaan Negara (pemerintah) atas seluruh bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia. Yang menjadi masalah selanjutnya adalah sebagaimana besar kebijakan pemerintah menggunakan wewenang atas kuasa bumi, air dan ruang angkasa untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat? Disinilah munculnya The Missing Link. Rantai yang terputus antara Rakyat dan Negara Pemerintah sebagai penyelengara Negara berwewenang penuh menentukan penggunaan atas bumi, air dan ruang angkasa. Dus berarti apa yang sudah dilakukan Orde Baru pun sesuatu yang legal saat itu, sesuatu yang masih dalam koridor mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam pola kebijakan Orde baru. Hal ini harus disadari oleh penempatan kewenangan perundangundangan sebagai dasar hukum yang berlaku. Penguasaan tanah-tanah rakyat dengan
keterpaksaan ganti rugi yang kurang memadai, memang telah melanggar Undang-undang ini. Kepemilikan atas perseorangan atau sekelompok orang atau badan hukum jelas dibolehkan sesuai pasal-pasal 2 ayat (2) dan (3), pasal 9 ayat (2) dan pasal 10 ayat (1) dan (2) serta pasal-pasal yang menjelaskan kegunaan hak pemilikan atas tanah, air dan ruang angkasa. Pendaftaran tanah, pengalihan kepemilikan juga diatur dalam Undangundang, sehingga timbul kondisi sebagai berikut berdasar kelompok besar masyarakat Indonesia: 1. Pada diri rakyat, sudah 32 tahun pemilik bumi pertiwi ini merasakan tekanan yang terus menerus dari sisi politik, sehingga fear yang ditimbulkan menjadikan rakyat seolah mandul dan kehilangan semangat patriotik yang ada dalam dirinya. Kungkungan pelaksanaan Pelita demi pelita memang kadang menggusur pelataran nafkah mereka. Muncul sakit hati karena lahannya diambil paksa penguasa. Sakit hati ini yang kemudian muncul sebagai aksi beberapa daerah untuk memisahkan diri dari NKRI saat reformasi bergulir sebagian besar menuntut pengembalian tanah-tanah adat mereka. 2. Pada diri Swasta/Pengusaha/badan hukum, sebagai komponen bangsa yang bekerja mencari nafkah dari dunia bisnis, sebagian merasakan “Special treatment” dari penguasa Orde Baru, Ini yang menimbulkan kecemburuan skala Nasional serta tumbuhnya konflik pertanahan yang mengutarakan ketimpangan Ganti rugi masa lalu dan dapat membahayakan kepentingan Nasional. 3. Pemerintah, sebagai penyelenggara Negara, badan tertinggi inilah yang bertanggung jawab terbesar dalam menentukan arah kebijakan yang seharusnya berjuang mencapai sebesarbesar kemakmuran rakyat.
Perbedaan pandangan atas aturan perundang-undangan ini disebabkan karena lemahnya peran Public Relation pemerintah dalam menjelaskan kepentingan Nasional . Banyak hal yang menjadi konflik saat ini disebabkan lemahnya penjelasan pemerintah kepada rakyatnya. Sudah banyak Ganti Rugi Baru yang dikeluarkan dalam kasus pertanahan, sehingga Kepmen Negara Agraria No.
5/1999 sebaiknya digunakan sebagai acuan penelitian atas keberadaan Masyarakat Adat, Hukum Adat atau eksistensi Adat tertentu sehingga ganti rugi tersebut tidak disalah gunakan oleh Politikus Oppotunist yang mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Pemerintah yang bersifat mendidik dan jelas dalam metoda penerapannya sehingga tidak menimbulkan distorsi kepentingan yang merugikan rakyat banyak. Disisi lain, badan hukum/pengusaha wajib menjalankan fungsi kenegaraannya dengan memberi kesempatan kerja bagi penduduk sekitar dalam rangka mencapai kemakmuran rakyat dengan menggunakan hak atas hasil bumi, air dan ruang angkasa sesuai hak guna usaha yang dimiliki, sehingga peran serta masyarakat luas baik rakyat adat, rakyat sekitar, pendatang dan pengusaha mampu menjalankan Community Development dengan benar. P e m b e r i a n kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar sudah harus menjadi prioritas guna memberi kesempatan yang lebih luas bagi masyarakat dalam merasakan pembagian kesempatan dalam mengelola hasil bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia. Harapan akan membaiknya taraf hidup rakyat dapat dikembangkan melalui kerjasama erat antara rakyat dan badan hukum pemilik Hak Guna Usaha dengan dibentuknya Koperasi – koperasi disekitar lingkungan tempat Hak Guna Usaha diberikan. Bentuk pelatihan dan penjelasan pengembangan ilmu pengetahuan pada penduduk sekitar atau bahkan rakyat adat akan sangat membantu kelangsungan hidup penduduk dan juga memudahkan perusahaan dalam menciptakan tenaga kerja trampil. Memang dibutuhkan Bonding yang bertujuan membangun masyarakat, masyarakat yang mandiri dan secara bersama-sama dengan pemerintah dan pengusaha mengerjakan tanah, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia untuk sebesar-besar kepentingan rakyat Indonesia dalam mencapai kemakmuran berkeadilan sesuai cita-cita bangsa. Jujurlah bangsaku, Jayalah Negeriku.
Visi Kedepan yang diharapkan Dibutuhkan kerja ekstra keras untuk kembali menerangkan secara Jujur dan berwibawa kepada rakyat bahwa sebagai bangsa, kesalahan Orde Baru adalah konsekuensi sejarah yang harus diterima dan untuk kemudian diperbaiki menuju masyarakat adil makmur. Menggunakan hak atas bumi, air dan ruang angkasa untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tidak ada lagi pemaksaan kehendak. Kedewasaan berbangsa dan bernegara menjadi satu-satunya jaminan atas kelangsungan hidup Indonesia. Maka sudah sepantasnyalah kita sebagai warga negara mulai menerapkan apa yang sudah dicanangkan. Kalau Negara sudah bertitah bahwa Hak Guna Usaha diberikan pada satu badan hukum dengan jangka waktu tertentu harus dipatuhi sebagai keputusan Reference: 1. Undang-undang No 5 tahun 1960 rakyat Indonesia yang berdaulat. Tentunya 2. Peraturan menteri Negara agraria No. 5 tahun 1999. dengan dibarengi penjelasan kebijakan *) Staf KPEN - KADIN INDONESIA
7
8
MASALAH HAK ULAYAT DI ERA OTONOMI DAERAH Masalah hak ulayat pada masa otonomi daerah saat ini, seringkali muncul seiring dengan semakin terbukanya masyarakat dan masa reformasi. Hal ulayat yang dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah menjadi salah satu persoalan mendasar yang perlu mendapatkan perhatian dan solusi yang tepat. Jika masalah ini tidak diselesaikan, ,maka akibat yang ditimbulkan akan menghambat terlaksannya otonomi daerah, terutama yang berkaitan dengan penciptaan iklim investasi di daerah, yang disebabkan ketidakstabilan kondisi di daerah. Berbagai masalah dan tuntutan masyarakat adat yang seringkali terjadi akhir-akhir ini di daerah sangat kental berlatar belakang pada menumpuknya persoalan ketidakadilan, pelanggaran hak asasi manusia dan masyarakat, serta penyalahgunaan kekuasaan dan pengingkaran terhadap eksistensi hakhak masyarakat hukum adat itu sendiri yang dilakukan pemerintahan masa lalu. Hal itu tampak mulai dari kebijakan yang mendasari terjadinya penggusuran atau pengambilalihan secara paksa tanahtanah ulayat dan hutan-hutan masyarakat hukum adat dengan mengatasnamakan kepentingan umum atau kepentingan bangsa dan negara, sampai kepada kepentingan individu atau kelompok. Sebagai contoh, masalah kepemilikan adat yang muncul seiring dengan diberikannya izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanam Industri (HTI) yang mendominasi penguasaan hampir selruh hutan dan tanah ulayat masyarakat hukum adat di Indonesia. Pengambilalihan hak ulayat tersebut berdasarkan UU No. 5 Tahun 1967 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kehutanan yang pada
intinya menempatkan semua hutan dalam wilayah Republik Indonesia, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dalam kekuasaan negara. Kasus yang terjadi di Desa Kebon Cau, berupa pengambilalihan oleh orang lain tanah hak ulayat warga Baduy (komunitas masyarakay di pedalaman Kabupaten Lebak) menjadi hak milik pribadi, dapat dijadikan contoh. Padahal, tanah hak ulayat warg aBaduy tersebut telah disahkan melalui Perda Kabupaten Lebak No. 32/2001 pada bulan Agustus 2001. Pada masa otonomi daerah ini, UU No. 5 Tahun 1967 tersebut secara tegas sudah tidak berlaku lagi dan digantikan dengan undang-undang kehutanan yang baru, yaitu UU No. 41 Tahun 1999. Bahkan, Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Negara (BPN) mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Agararia/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Peneyelesaian Masalah Hak Ulayat
Masyrakat Hukum Adat. Melalui UU tersebut, pemerintah mengakui dan ingin menghidupkan kembali keberadaan hakhak masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah dan hutan ulayat. Berdasarkan peraturan menteri tersebut, hak ulayat adalah kewenanganan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat sumberdaya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun-temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebutt dengan wilayah yang bersangkutan. Hanya saja, menurut Prof. Boedi Harsono, Guru Besar Hukum Agraria UI, UU kehutanan tersebut masih terkesan setengah hati. Ada bab khusus mengenai Hukum Masyarakat Hukum Adat, akan tetapi tidak tampak menyebut hak ulayat
9
dalam pasal-pasal dan penjelasannya yang sebenarnya adalah merupakan objek pengaturan terbatas pada masyarakat hukum adat dalam kawasan hutan dan Dinyatakan dalam pasal 67, masyarakat hukum adat, sepanjang menur ut kenyataannya masih ada dan masyarakat yang ada di dalam dan di sekitar hutan. Pada pasal 67 disebutkan bahwa masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, berhak: a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari bagi masyarakat adat yang bersangkutan. b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang. c. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Suatu masyarakat hukum adat diakui keberadaannya jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain: 1. Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap). 2. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya.. 3. Ada wilyah hukum adat yang jelas. 4. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati. 5. Masih mengadakan pungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pengertian hukum adat sendiri adalah keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang mempunyai wibawa (match) serta pengaruh (involved) dan yang dalam pelaksanaannya berlaku serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati. Dalam perkembangannya, masyarakat hukum adat mengalami perubahanperubahan. Hukum adat itu tidak statis, tetapi bersifat dinamis mengikuti perkmbangan masyarakat. Adanya hak
10
ulayat, tergantung adanya masyarakat hukum adat yang menjadi pendukung hak dan kewajiban. Apabila kenyataannya, hukum adat tidak ada lagi maka pendukung hak ulayat itupun tidak ada. Yang menjadi persolan sekarang adalah bagaimana memastikan bahwa di suatu tempat atau daerah terdapat hak ulayat masyarakat hukum adat. Dengan era keterbukaan seperti saat ini, terdapat warga masyarakat yang mengajukan tuntutan ganti rugi dengan mengatasnamakan warga masyarakat hukum adat, namun tuntutannya tidak berdasar dan tidak m-5asuk akal. Ada yang dengan emosional menduduki dan merebutnya kembali tanpa melalui proses perundingan. Kasus tersebut pernah terjadi di Jayapura. Rumah penduduk, kantor pemerintah/swasta, gedung sekolah, rumah ibadat, hotel, kantor DPRD, lahan transmigrasi, jalan umum, stadion olahraga, dermaga laut, dan bandara diklaim oleh warga sebagai tanah ulayat. Karena tidak ada satu kesepakatan yang mengikat kedua pihak, maka dalam jangka waktu tertentu masyarakat adat menuntut lagi hak yang sama. Bahkan, apabila salah satu anggota suku itu mendapat bagian ganti rugi yang tidak proporsional ia dapat menggugat kembali. Sayangnya, dana yang diterima sebagai ganti rugi hak ulayat tidak dimanfaatkan untuk tujuan produktif. Dana yang diterima warga masyarakat habis dalam waktu yang singkat. Bahkan bisa terjadi tidak hanya satu suku yang mengklaim atas tanah yang sama. Hal tersebut memang sulit dibuktikan selain karena mereka terpinggirkan, juga karena keturunan yang ada tidak lagi menguasai perihal tanah ulayat. Selain itu, di atas wilayah terseburt telah berdiri berbagai bangunan pabrik dan industri-industri yang sangat luas. Secara formal, memang tidak mudah untuk membuktikan ada tidaknya hak ulayat masyarakat hukum adat di suatu daerah. Untuk menyelesaikan hal ini, UU Kehutanan memberikan cara penyelesaiannya. Di dalam UU tersebut
disebutkan bahwa untuk mengetahui secara pasti keberadaan hakulayat masyrakat adat tersebut, apakah ada atau tidaknya di suatu tempat atau daerah, yaitu dengan melakukan suatu penelitian. Pelaksanaan penelitian itu dilakukan oleh pemerintah daerah setempat dengan mengikutsertakan para pakar hukum adat atau tenaga perguruan tinggi, masyarakat hukum adat yang ada di daerah setempat, lembaga swadaya masyarakat dan instansiinstansi yang mengelola sumber daya alam, misalnya instansi kehutanan atau pertambangan jika tanah ulayat itu diperkirakan meliputi tanah yang ada hutan atau tambangnya. Karena itu, perlu dilakukannya penelitian yang melibatkan tim ahli dari instansi terkait seperti LSM, lembaga bantuan hukum, badan pertanahan, ketua adat dari setiap suku, pemerintah daerah, ahli hukum agraria, dan perwalian masyarakat adat. Penelitian tersebut untuk menegaskan hak ulayat dari satu suku sehingga tidak terjadi saling mengklaim antara satu suku dengan suku yang lain atas wilayah yang sama. Dengan demikian, berdasarkan undang-undang, yang berkewenangan mengukuhkan atau meniadakan keberadaan masyarakat hukum adat, termasuk hak-hak ulayat di dalamnya, adalah dengan menetapkan Perda. Perda itu disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian yang dilakukan, aspirasi masyarakat, dan tokoh masyarakat (adat) setempat yang ada di daerah otonom tersebut.. Selain itu, untuk menyelesaikan kasus-kasus tanah ulayat yang marak belakangan ini, pemerintah daerah dapat melakukan dialog dengan masyarakat dan mengutamakan pendekatan-pendekatan yang bijaksana dan persuasif terhadap semua pihak yang terlibat dalam kasus. Kecuali dalam hal mengambil suatu keputusan yang telah jelas bukti-buktinya dan telah memenuhi unsur rasa keadilan masyarakat setempat, pemerintah daerah dituntut harus dengan tegas dan bertanggung jawab mengambil keputusan tersebut.
Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 Sebagai pengakuan pemerintah atas hak ulayat masyarakat adat, maka ditetapkan Peraturan Menteri Agraria (Permenag) No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan ini mengakui adanya hak ulayat adat serta mengatur bagaimana mekanisme penyelesaian terhadap sengketa-sengketa tanah yang melibatkan masyarakat adat. Di dalam peraturan ini disebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun-temurun. Sedangkan tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Daerah adalah daerah otonom yang berwenang melaksanakan urusan pertanahan sebagaimana dimaksud dalam UU No 22/1999 tentang Pemerintah Daerah. Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila
memenuhi tiga syarat. Pertama, terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuanketentuan persekutuan tersebut dalam
kehidupan sehari-hari. Kedua, terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidup sehari-hari. Ketiga, terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh warga persekutuan hukum tersebut. Pihak-pihak yang melakukan penelitian apakah masih adanya hak ulayat di suatu daerah adalah Pemda setempat dengan mengikutsertakan pakar hukum adat yang ada di daerah bersangkutan, lembaga swadaya masyarakat, dan instansi yang mengelola sumber daya alam. Keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada, dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi, dan apabila memungkinkan,
menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah. Pelepasan tanah ulayat untuk keperluan pertanian dan sebagainya, memerlukan hak guna usaha atau hak pakai. Ini dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu sehingga sesudah jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah itu tidak digunakan atau telantar, hak guna usaha atau hak pakai yang bersangkutan dihapus. Pe n g g u n a a n s e l a n j u t n y a dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada sesuai ketentuan. Adanya ketentuan atas dilakukannya penelitian oleh pemerintah ini dianggap tidak tepat oleh banyak kalangan. Dengan asumsi seperti itu, maka pemerintah memakai konsep pemberian hak. Pemberian itu berarti semua hak itu adalah milik pemerintah. Mereka yang berwenang untuk memberikan atau tidak memberikan suatu hak. Ini berbeda jika pemerintah mengakui hak masyarakat adat, artinya pemerintah bukanlah sumber segala hak tapi mereka hanya mengakui keberadaan masyarakat adat. Di dalam bagian ketentuan penutup tentang pengaturan disebutkan bahwa hal-hal yang teknis akan diatur dalam peraturan daerah. Dengan ketentuan ini dikhawatirkan akan menjadi masalah kalau pemerintah daerah menetapkan tidak ada masyarakat hukum adat di daerah. Maka dengan sendirinya tidak akan ada pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat.
11
MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS INDONESIA Menghasilkan lulusan yang siap pakai baik di pemerintahan maupun dunia usaha dalam bidang perencanaan ekonomi dan kebijakan publik MEMBUKA KELAS SETIAP TAHUN di bulan September (kelas pagi) dan di bulan September & Februari (kelas Sore) A. REGULER PAGI - 4 Semester (bisa 3 semester) ,Perkuliahan di kampus UI - Depok Biaya : Rp. 6.000.000,- /semester (untuk tahun akademik 2002/2003) B. EKSEKUTIF SORE - 3 semester, Perkuliahan di kampus UI – Salemba Raya 4 Jakarta Pusat Biaya : Rp. 8.500.000,- /semester, termasuk makan malam (untuk tahun akademik 2002/2003)
I. Persyaratan: 1. Lulusan S1 dari berbagai disiplin ilmu 2. Mengikuti Test Potensi Akademik, TOEFL/EPT dan Test wawancara. 3. Lulusan Fakultas terakreditasi A oleh BAN (Badan Akreditasi Nasional) dengan IPK ³ 3 tidak perlu TPA II. Pendaftaran : - Gelombang I : Bulan Oktober s/d bulan November setiap tahunnya * - Gelombang II : Bulan April s/d bulan Juni setiap tahunnya * Biaya pendaftaran sebesar Rp. 300.000,-.* Formulir pendaftaran dapat diperoleh di : Program Pascasarjana UI Salemba ,Telp. (021) 3100059, 3146737. Fax.(021) 322269 *Jadwal dan biaya pendaftaran sewaktu-waktu dapat berubah
Informasi lebih lanjut silakan menghubungi : Sdr.Nurul Istiana/Sdr. Rahma/Sdr. Aminah - Gedung MPKP-FEUI, Kampus UI Depok Telp. (021) 78880745 / 46 . Fax. (021) 78880747 Homepage : www.mpkp.org Email :
[email protected]
12
ACADEMIC PAPER
Raperda Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Pemutusan Kebijakan I. UMUM UU Otonomi Daerah memuat Perubahan format politik dan pemerintahan dari yang bersifat sentralistik otoriter dan struktur ekonomi yang kapitalistikexploitatif menuju pada sistem komunikasi dan distribusi kekuasaan secara sehat dan fair, sistem politik yang menjamin mekanisme chek and balance, adanya akuntabilitas pemerintahan, Supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia, serta terbangunnya struktur ekonomi yang adil. Inti otonomi daerah tidak terletak pada bentuk negara melainkan bentuk implementasi cita-cita demokrasi, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh unsur bangsa. Otonomi daerah tidak bisa dipandang secara terpisah dari agenda demokratisasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk mencapai cita-cita itu maka diperlukan aturan yang jelas dan seimbang untuk mengatur secara sistematis, prosedural dan efektif serta efisien pelibatan publik atau masyarakat dalam setiap kebijakan publik. Aturan tentang partisipasi publik merupakan langkahlangkah logis untuk menjawab kebutuhan masyarakat yang semakin cerdas, kritis dan maju. Adanya aturan atau perda partisipasi publik juga akan memayungi pihak Eksekutif dan Legislatif untuk bekerja profesional, prosedural dan dapat diterima Publik atau Masyarakat. Juga Publik atau Masyarakat dapat menyampaikan aspirasinya sesuai dengan koridor atau rambu-rambunya, tidak hanya demodemo/mobilisasi massa yang tidak sinergis dan temporer (demonstrasi/mobilisasi massa kadang rawan conflik). Peraturan Daerah juga akan menjamin publik atau masyarakat dapat berpartisipasi dalam pemerintahan sesuai dengan porsinya masing-masing. Sehingga kedepan terwujudkannya pemerintahan yang demokratis adil dan manusiawi dapat menjadi kenyataan bukan hanya impian.
Penting bahwa cita-cita masyarakat yang diterjemahkan dengan sangat beragam adil dan makmur khususnya Boyolali oleh berbagai kelompok masyarakat. dapat diwujudkan secara bertahap. Dalam era perjuangan reformasi, masyarakat sipil seringkali diterjemahkan II. LANDASAN FILOSOFIS melalui dikotomi: sipil vs militer. Dalam Otonomi Daerah harus dilihat sebagai era transisi sekarang ini banyak kelompok upaya perekat bangsa. Otonomi Daerah masyarakat memaknai masyarakat sipil sebagai manifestasi dari Demokrasi sebagai pemaknaan dikotomi antara adalah Otonomi sebagai perwujudan komunitas negara dengan komunitas kedaulatan rakyat. Otonomi diartikan warga. secara luas sebagai perwujudan dari unsur kebinekaan dengan menghormati Penerjemahan yang kedua ini nilai-nilai universal (HAM, Demokrasi, mempunyai ciri dasar yang nampaknya keadilan gender, dan good governance). mirip dengan yang pertama, yakni pada Otonomi sebagai keniscayaan geopolitik implikasi atas rencana tindakannya dan geokultural adalah pencerminan yang terlihat dari pemilihan term-term semangat kemandirian/keswadayaan. aktifitasnya seperti ‘bargain’ atau tawar menawar atau bahkan ‘perlawanan’. III. LANDASAN HUKUM Undang-Undang Nomor 22 Tahun Pemaknaan masyarakat sipil melalui 1999 Tentang Pemerintah Daerah dikotomi-dikotomi semacam itu ternyata memuat klausul tentang keterlibatan banyak mengundang persoalan baru. masyarakat yaitu pasal 92 ayat (1) Persoalan pertama adalah munculnya dalam penyelenggaraan Kawasan medan perseteruan. Pengorganisiran Perkotaan, Pemerintah Daerah perlu sipil dimaknai sebagai upaya untuk mengikutsertakan masyarakat dan pihak melakukan perlawanan terhadap militer swasta, (2) pengikutsertaan masyarakat, maupun komunitas pemerintah utamanya sebagaimana dimaksud dalam ayat Eksekutif dan Legislatif. (1), merupakan upaya pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan Persoalan yang lain muncul sebagai perkotaan, (3) pengaturan mengenai implikasi dari adanya medan perseteruan kawasan perkotaan ditetapkan dengan itu. Dengan munculnya semangat perundang-undangan. perlawanan itu maka aspek komunikasi atau dialog menjadi hilang. Dalam posisi UU NO 28 Tahun 1999 mengatur tidak ada dialog maka sesungguhnya tentang Penyelenggara Negara yang yang terjadi adalah pemaksaan kehendak Bersih dan Bebas dari KKN. Peraturan kelompok satu terhadap kelompok Pemerintah Republik Indonesia Nomor lainnya. 68 Tahun 1999 mengatur tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dengan begitu maka diperlukan dalam Penyelenggaraan Negara. Peraturan p e m a k n a a n b a r u a k a n a p a y a n g peraturan ini secara eksplisit menjamin dinamakan masyarakat sipil atau civil terjadinya partisipasi publik dalam proses society. Masyarakat sipil perlu dimaknai penyelenggaraan negara. sebagai tatanan masyarakat dengan segala tata nilai di dalamnya. Kata kunci untuk memahami pemaknaan ini adalah IV. RASIONAL supremasi sipil dan good governance. Artinya Masyarakat Sipil atau civil society tatanan masyarakat dimana birokrasi dan adalah istilah yang dipahami dan legislative benar-benar mengabdi kepada
13
warga. Dengan begitu birokrasi/eksekutif dan legislative bersama warga melakukan aktifitas bersama dalam kerangka untuk mewujudkan tata kepemerintahan yang baik untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Implikasi dari pemaknaan masyarakat sipil sebagai tatanan dan tata nilai seperti itu mengimplikasikan perlunya prasyarat dasar untuk dipenuhi. Prasarat dasar tersebut yang pertama adalah perlunya kesepemahaman sikap akan pentingnya perilaku demokratik warga termasuk di dalamnya perangkat eksekutif dan legislative. Perilaku demokratik itu adalah perilaku penghormatan atas individu satu dengan individu lainnya dengan didasari rasa hormat tetapi tidak kehilangan pegangan dasar untuk tetap bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah serta mana yang adil dan mana yang tidak adil. Perilaku demokratik ini akan mengantarkan semua unsur dalam tata kepemerintahan untuk secara bersama sama mewujudkan keadilan. Perilaku demokratik perlu wujudkan melalui dialog-dialog multi stakeholder untuk kebijakan yang lebih baik dan lebih adil. Warga melakukan dialog secara horizontal maupun vertikal sehingga kebijakan-kebijakan yang diputuskan pada dasarnya adalah ‘agreement’ bersama dengan pemutus kebijakan yang lebih memposisikan sebagai fasilitator. Masalah klasik tata pemerintahan dalam hubungannya dengan warga pada dasarnya adalah masalah sumber daya dan proses distribusi sumber daya. Masalah itu umumnya disebabkan adanya peraturan-peraturan yang tidak mampu mengakomodasi keadilan proses distribusi sumber daya tersebut. Untuk itu diperlukan perda yang mendorong terjadinya pengaturan mekanisme-mekanisme internal dalam eksekutif, legislatif maupun kelompok-kelompok warga sehingga bisa memberikan rasa keadilan. Dengan adanya mekanisme mekanisme yang lebih aspiratis dan akomodatif terhadap aspirasi warga akan terjadi perubahan perilaku dan etos komponen pemutus kebijakan menjadi demokrat-demokrat lokal. Perda Partisipasi adalah pilihan logis sebagai
14
media yang mencerdaskan warga Menuju ditetapkan jadi menjadi APBD harus ada keadilan bersama. Perda Partisipasi akan waktu yang diberikan pada publik untuk memberikan jalan keluar atas banyak mengkritisinya. Adanya Ruang Public Accountability masalah yang ada dalam governance. yakni ruang dimana publik bisa terlibat Diberlakukannya Perda Partisipasi dalam monitoring dan evaluasi. Dalam di Boyolali akan mendorong effektifitas ruang ini publik atau masyarakat diikutkan tata pemerintahan. Realitas maupun dalam menilai kebijakan yang sedang stigma bahwa birokrasi boros, eksekutif dilaksanakan. Dengan pelibatan itu publik curang, legislative tidak bisa dipercaya, atau masyarakat bisa mengetahui hasil, warga ingin memisahkan wilayah dan dampak, atau implikasi dari kebijakan bergabung ke daerah lain, akan hilang yang sedang dilaksanakan. Ruang ini bisa berupa akses akan pelaporan secara dengan sendirinya. transparan dari sebuah pelaksanaan Partisipasi publik sejalan dengan kebijakan publik. Dengan adanya ruang ruang itu maka amanat UU No. 22 & 25 Th. 1999, serta diatur dalam PP No 68 tahun 1999 bisa warga bersama pemutus kebijakan akan dimaknai sebagai upaya desentralisasi secara bersama sama menemukan masalah pemerintahan atau perubahan kebijakan dasar dalam Tata Pemerintahan dan publik dari pola sentralistik (dua ruang melakukan upaya jalan keluarnya secara eksekutif, legislatif ) dan top down menjadi bersama-sama. sistem bottom-up dan partisipatoris. Kaidah-kaidah dasar yang bisa digunakan V. S K E N A R I O TATA C A R A sebagai indikator-indikator tentang PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PEMUTUSAN KEBIJAKAN pelaksanaan partisipasi publik adalah: Secara piramidik pemutusan kebijakan Adanya ruang untuk kampanye seharusnya merupakan wilayah konsensus publik yakni ruang dimana sebuah tiga ruang eksekutif, legislatif dan warga/ rancangan kebijakan publik pada tahap masyarakat. Berikut ini adalah skenario pengusulan untuk pembahasan harus yang perlu dimaterialkan dalam Peraturan dikampanyekan secara luas kepada publik Daerah sehingga terjadi institusionalisasi atau disosialisasikan kepada publik. Dan komunikasi demokratik di daerah. Dengan public harus memiliki draft atau clausual adanya institusionalisasi itu keputusantentang rancangan sebuah kebijakan keputusan di tingkat lokal menjadi tersebut. Aktifitas ini bisa berbentuk legitimate dengan didukung utamanya pemuatan draft di media massa, pembagian oleh komponen warga. draft, clausal, usulan kebijakan dll. Satu contoh : publik atau masyarakat harus tahu dan harus memilik draft tentang draft Raperda, RAPBD, Renstra dsb. Adanya ruang public hearing yakni Ruang dimana sebuah kebijakan publik pada tahap pembahasan harus ada ruang dialog, sharing, brainstorming antara pemutus kebijakan dengan publik. Ruang Skenario I Public Complain bisa dilakukan lebih Inisiatif Perda dari Executive dari satu kali. Ruang ini pada dasarnya digunakan untuk menjaring ide, masukan, 1. Kajian dinas, badan, lembaga, kantor harapan dan pertimbangan pertimbangan 2. Kampanye publik 3. Konsultasi dengan obyek kebijakan atas kebijakan yang sedang dibahas. dengan melibatkan Agt Dewan Adanya ruang Public Complain yakni ruang dimana sebuah kebijakan 4. Narak dan Raperda di serahkan kepada Bupati publik sebelum dan sesudah ditetapkan harus ada jangka waktu yang diberikan 5. Bupati memberikan pertimbangan atau langsung menyerahkan ke DPRD kepada public untuk mengkritisi, usulan perubahan atau tambahan draft product 6. DPRD membahas I kebijakan yang akan ditetapkan atau akan 7. DPRD melakukan Public Hearing dijalankan. Satu contoh: RAPBD sebelum 8. Pembahasan II
9. DPRD mengesahkan/ menolak Raperda 4. Konsultasi dengan obyek kebijakan dengan melibatkan Agt Dewan dalam sidang Paripurna 10. Penyerahan Perda kepada Bupati 5. Narak dan Raperda di serahkan kepada Bupati untuk disahkan 6. Bupai memberikan pertimbangan atau langsung menyerahkan ke DPRD Skenario II 7. DPRD membahas I Inisiatif Perda dari DPRD 1. Kajian oleh Dewan sesuai TATIB 8. DPRD melakukan Public Hearing 9. Pembahasan II 2. Kampanye publik 3. Konsultasi dengan obyek kebijakan 10. DPRD mengesahkan/ menolak Raperda dalam sidang Paripurna dengan melibatkan Dibalek 4. Pembahasan di dewan I 11. Penyerahan Perda kepada Bupati untuk disahkan 5. DPRD melakukan Public Hearing 6. Pembahasan II Skenario IV 7. Paripurna pengesahan 8. Penyerahan Perda kepada Bupati untuk Inisiatif Perda dari DPRD disahkan 1. Pengusulan oleh warga ke DPRD 2. Kajian oleh Dewan sesuai TATIB 3. Kampanye publik Skenario III 4. Konsultasi dengan obyek kebijakan Inisiatif Perda dari Warga ke Eksekutif 1. Pengusulan oleh warga ke Dibalek dengan melibatkan Dibalek 2. Kajian dinas, badan, lembaga, kantor 5. Pembahasan di dewan I 6. DPRD melakukan Public Hearing 3. Kampanye publik
7. Pembahasan II 8. Paripurna pengesahan 9. Penyerahan Perda kepada Bupati untuk disahkan VI. Penutup Keluarnya perda partisipasi bisa juga dimaknai sebagai islah antara pemerintahan dengan rakyatnya. Sudah saatnya dihentikan caci maki kepada Pemerintah dan Dewan dan sebagai gantinya dilakukan dialog dengan rasa hormat tanpa meninggalkan prinsip dasar untuk tetap bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang adil dan mana yang tidak adil. Sudah saatnya dihentikan mobilisasi dan penghisapan secara sistematis dan sebagai gantinya dilakukan perencanaan bersama melalui dialog dialog sesuai dengan kearifan lokal. Sumber : Milist Kebijakan Partisipatif
15
SENGKETA TANAH Penghambat Kepastian Usaha Se n g k e t a p e r t a n a h a n s e l a l u merupakan masalah yang rumit karena menyangkut kepemilikan sesuatu yang sangat penting nilai ekonomisnya, baik untuk urusan sepetak tanah saja, lebih lebih bila menyangkut lahan yang luas. Masalah lebih pelik ketika hak atas tanah yang dipersengketakan tidak bisa melulu dibuktikan kepemilikannya dengan dokumen sah negara, hak atas tanah ulayat!. Tuntutan tuntutan pemilikan tanah oleh warga, baik yang mengatasnamakan pribadi atau suatu komunitas adat terhadap area yang dikelola unit unit ekonomi, dunia usaha, tidak hanya memusingkan para pelaku usaha, namun juga membuat bingung pemerintah seolah kehilangan pegangan untuk bertindak sebagai pihak yang mempunyai otoritas yang diberikan kepadanya. Di bidang perkebunan, J. Siswanto, Direktur Utama BUMN PT. Perkebunan Nusantara VII membenarkan bahwa industri perkebunan juga tidak luput dari permasalahan permasalahan pertanahan tersebut. Dikemukakannya bahwa setelah pelaksanaan otonomi daerah (OTDA) sebagai salah satu buah reformasi, adalah adanya peningkatan kasus tuntutan hak atas tanah adat/tanah ulayat di sektor perkebunan, termasuk di perusahaan y a n g d i p i m p i n n y a . Um u m n y a tuntutan tersebut terwujud dalam bentuk tuntutan pengembalian lahan, pembayaran ganti rugi, sewa lahan, maupun bagi hasil, yang tidak jarang disertai aksi pendudukan lahan dan penjarahan produksi oleh pihak yang menyatakan berhak atas tanah yang dikelola perkebunan. Sebagai pucuk pimpinan di perusahaannya, J. Siswanto memandang bahwa masalah tersebut tentu harus disikapi perusahaan agar 16
menghasilkan solusi terbaik bagi perusahaan yang dipimpinnya maupun bagi warga. Berbagai pendekatan dilaluinya, misalnya dengan pendekatan persuasif dan musyawarah dengan warga yang menuntut untuk didapatkan kesepahaman tanpa harus melalui proses hukum. Pendekatan ini bisa cukup efektif bila pihak perusahaan maupun warga saling terbuka untuk suatu penyelesaian yang win win solution. Namun bilamana pendekatan musyawarah menemui jalan buntu, seringkali sengketa pertanahan tersebut harus diselesaikan melalui jalur hukum dimana kekuasaan kehakiman yang akan menentukan. Sedangkan untuk kasus kasus khusus tuntutan yang disertai pendudukan lahan (yang karenanya mengganggu aktivitas produksi), atau penjarahan hasil produksi; terpaksa pihak perkebunan meminta bantuan aparat keamanan, selain karena hal tersebut sudah diluar batas kelayakan suatu tuntutan, juga terkadang warga yang menuntut bukan orang yang benar benar berhak atas tanah yang dituntutnya.
Lebih lanjut J. Siswanto menyebutkan bahwa ketidakpastian masalah pertanahan akibat tuntutan tuntutan warga sangat berpengaruh bagi kelanggengan industri perkebunan terutama menyangkut masalah replanting/peremajaan tanaman tua yang HGU (Hak Guna Usaha) nya akan berakhir 5-6 tahun lagi, mengingat usaha perkebunan bersifat multi years dan memerlukan investasi besar. Adanya penjarahan yang menyertai tuntutan pertanahan tersebut tentu juga sangat merugikan dan menghilangkan kesempatan memperoleh laba karena tambahan pengeluaran biaya terutama biaya keamanan dan biaya koordinasi. Menyinggung peran pemerintah dalam kasus pertanahan bisa dikatakan minim karena umumnya hanya disarankan untuk musyawarah dengan yang menuntut atau menempuh jalur hukum; juga selalu hanya dikembalikan ke UUPA (Undang Undang Pokok Agraria) yang isinya antara lain apabila tidak didaftarkan dalam waktu 20 tahun setelah berlakunya UUPA, maka hak ulayat
dan tanah Marga tidak diakui lagi. Kalau masalahnya bisa selesai dengan rujukan UUPA tersebut tentu akan mudah bagi perkebunan karena prinsip pengaturannya sudah jelas; hanya persoalannya karena euforia reformasi yang salah kaprah menyebabkan tuntutan tuntutan warga yang banyak tidak masuk akal. Adakalanya tuntutan sekelompok warga yang telah dipenuhi ganti ruginya, kemudian akan datang sekelompok warga lain yang juga mengaku berhak atas tanah perkebunan, demikian seterusnya. Tanpa adanya dokumen dokumen pendukung tuntutan tersebut sangat menyulitkan untuk menyikapinya. Sebagai praktisi dunia usaha, J. Siswanto menilai bahwa salah satu tujuan OTDA adalah untuk peningkatan potensi daerah melalui investasi dimana daerah daerah diharapkan bisa mengembangkan spesifikasi komoditi unggulan daerahnya. Daerah daerah basis produksi PTPN VII yang umumnya mempunyai komoditi unggulan dari hasil sektor perkebunan harusnya didukung baik oleh pemerintah daerah
setempat maupun pemerintah pusat, untuk peningkatan kinerja dunia usahanya. Misalnya, adanya kepastian waktu penyelesaian dan pengurusan HGU tersebut, peninjauan kembali penentuan biaya perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) yang besarnya disesuaikan dengan NJOP, kepastian kelangsungan dan proteksi atas usaha perkebunan yang padat modal, padat tenaga kerja, dll. Namun sayangnya dalam perangkat perundangan di sektor perkebunan belum ada sinkronisasi secara jelas, kecuali masalah izin investasi dan izin penggunaan lahan dan izin usaha. Bahkan muncul beberapa ekses pelaksanaan OTDA di daerah dengan adanya pungutan daerah yang dianggapnya tidak semestinya seperti: pajak penerangan jalan dengan memakai tenaga pembangkit sendiri (diluar PLN), pajak/retribusi reklame atas kemasan gula (karung), keharusan memberi sumbangan pihak ketiga, pungutan pungutan di jalur distribusi, dll. Dunia usaha jelas keberatan dengan beberapa praktek OTDA di daerah tersebut
yang mengakibatkan peningkatan biaya produksi dan ketidakpastian berusaha. Upaya penyampaian keberatan dikomunikasikan baik ke pemerintah daerah, DPRD, maupun pemerintah pusat melalui departemen atau kementrian terkait. Sayangnya efektifitas upaya itu sebagian besar tidak berhasil terutama permasalahan permasalahan yang diupayakan penyelesaiannya melalui Pemerintah Pusat. Menutup wawancara dengan KPPOD, J. Siswanto mengkhawatirkan bahwa berbagai persoalan yang dikemukakannya di atas menyebabkan peningkatan biaya ekonomi yang mengurangi daya saing produk perkebunan; sehingga karenanya akan semakin kecil kontribusi sektor perkebunan bagi perekonomian baik lokal maupun nasional. Untuk itu perlu kerja sama yang baik antara dunia usaha, masyarakat, pemerintah daerah maupun pemerintah pusat untuk mencapai tujuan yang paling mendasar dari OTDA, peningkatan kesejahteraan rakyat.
17
DATA STATISTIK KOLEKSI PERATURAN DI TINGKAT DAERAH (PERDA, SK. GUBERNUR, SK. BUPATI / WALIKOTA, RANPERDA) NO.
KATEGORI
Jumlah Peraturan
% Kategori / Total % Kategori / Jenis Pajak dan Retribusi Peraturan
% Kategori / Total Peraturan
I. KATEGORI PAJAK DAERAH 1 Pajak & Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air 2 Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 3 Pajak Daerah Umum 4 Pajak Hiburan 5 Pajak Hotel dan Restoran 6 Pajak Komoditi 7 Pajak Parkir 8 Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Permukaan 9 Pajak Penerangan Jalan 10 Pajak Perikanan, Kelautan & Kepelabuhan 11 Pajak Pertambangan 12 Pajak Reklame 13 Pajak Sarang Burung Walet 14 Pajak Televisi 15 Pajak Usaha Sub Total
28
5,81%
1,02%
0,81%
8 15 56 99 7 18 38
1,66% 3,11% 11,62% 20,54% 1,45% 3,73% 7,88%
0,29% 0,54% 2,03% 3,59% 0,25% 0,65% 1,38%
0,23% 0,43% 1,62% 2,86% 0,20% 0,52% 1,10%
64 4 48 65 26 4 2 482
13,28% 0,83% 9,96% 13,49% 5,39% 0,83% 0,41% 100,00%
2,32% 0,15% 1,74% 2,36% 0,94% 0,15% 0,07% 17,50%
1,85% 0,12% 1,39% 1,88% 0,75% 0,12% 0,06% 13,94%
81 137 72 290
27,93% 47,24% 24,83% 100,00%
2,94% 4,97% 2,61% 10,53%
2,34% 3,96% 2,08% 8,39%
9
0,45%
0,33%
0,26%
1 396 26
0,05% 19,97% 1,31%
0,04% 14,37% 0,94%
0,03% 11,46% 0,75%
103 82 32 15
5,19% 4,14% 1,61% 0,76%
3,74% 2,98% 1,16% 0,54%
2,98% 2,37% 0,93% 0,43%
18 119 133 130 122 1
0,91% 6,00% 6,71% 6,56% 6,15% 0,05%
0,65% 4,32% 4,83% 4,72% 4,43% 0,04%
0,52% 3,44% 3,85% 3,76% 3,53% 0,03%
26
1,31%
0,94%
0,75%
51 93 20 14 156 15 18 134 38 2 3 7 12 1 18 186 2 1983
2,57% 4,69% 1,01% 0,71% 7,87% 0,76% 0,91% 6,76% 1,92% 0,10% 0,15% 0,35% 0,61% 0,05% 0,91% 9,38% 0,10% 100%
1,85% 3,38% 0,73% 0,51% 5,66% 0,54% 0,65% 4,86% 1,38% 0,07% 0,11% 0,25% 0,44% 0,04% 0,65% 6,75% 0,07% 71,98%
1,48% 2,69% 0,58% 0,40% 4,51% 0,43% 0,52% 3,88% 1,10% 0,06% 0,09% 0,20% 0,35% 0,03% 0,52% 5,38% 0,06% 57,36%
II. KATEGORI RETRIBUSI DAERAH 1. Tidak Berhubungan Dengan Dunia Usaha 1 Retribusi Administrasi Kependudukan 2 Retribusi Pelayanan Sosial 3 Retribusi Rekreasi dan Olah Raga Sub Total 2. Berhubungan dengan Dunia Usaha 1 Retribusi Angkutan Sungai, Danau & Penyeberangan 2 Retribusi Informasi 3 Retribusi izin Gangguan dan Izin Usaha 4 Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol 5 Retribusi Kehutanan 6 Retribusi Kendaraan Bermotor 7 Retribusi Ketenagakerjaan 8 Retribusi Komoditi 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
18
Retribusi Lingkungan Hidup Retribusi Parkir Retribusi Pasar Retribusi Pelayanan Kesehatan Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah Retribusi Pemanfaatan Air Bawah Tanah Retribusi Pengangkutan, Penyimpanan, & Penimbunan Barang (Darat) Retribusi Penyediaan Administrasi Daerah Retribusi Perikanan dan Pendaratan Kapal Retribusi Perkebunan Retribusi Pertambangan dan Energi Retribusi Pertanahan, Bangunan, dan Retribusi Pertanian Retribusi Perusahaan Air Minum Retribusi Peternakan Retribusi Produksi Usaha Daerah Retribusi Proyek Retribusi Reklame Retribusi Sarang Burung Walet Retribusi Sertifikasi Retribusi Televisi Retribusi Terminal Retribusi Transportasi Retribusi, Bea & Meterai Daerah Sub Total
III 1 2 3 4 5 6
NON PUNGUTAN Perda Non Pungutan Lain APBD Pemerintahan Pola Dasar Pembangunan RUTR USAHA DAERAH Total Non Pungutan
IV SUMBANGAN 1 Total Pajak Total Retribusi 2 3 Total Pajak & Retribusi : 4 Total Non Pungutan 5 Total Sumbangan 6 Total Koleksi Peraturan Tingkat Daerah : NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 2 3 4
KETERANGAN PAJAK RETRIBUSI Non Pungutan Lain APBD Pemerintahan Pola Dasar Pembangunan RUTR USAHA DAERAH Total Non Pungutan Sumbangan Total % Terhadap Total Koleksi Peraturan Perda SK Kep DPRD Ranperda Total % Terhadap Total Koleksi Peraturan
649 442 73 113 10 3 8 649
100% 68% 11% 17% 2% 0% 1% 100%
23,56% 16,04% 2,65% 4,10% 0,36% 0,11% 0,29% 23,56%
53
100%
1,92%
482 2273 2755 649 53 3457
100% 100% 100% 100% 100% 100%
17,50% 82,50% 100,00% 23,56% 1,92% 125,48%
PROPINSI 50 144 92 15 15 1 0 3 126 7 327 9,46% PROPINSI 268 57 1 1 327 9,46%
KABUPATEN 296 1550 234 32 52 6 2 3 329 36 2211 63,96% KABUPATEN 1921 143 0 147 2211 63,96%
KOTA 136 579 116 26 46 3 1 2 194 10 919 26,58% KOTA 815 69 0 35 919 26,58%
12,79% 2,11% 3,27% 0,29% 0,09% 0,23% 18,77% 1,53% 0,00% 13,94% 65,75% 79,69% 18,77% 1,53% 100,00% GRAND TOTAL 482 2273 442 73 113 10 3 8 649 53 3457 100,00% GRAND TOTAL 3004 269 1 183 3457 100,00%
Memasarkan
Andalan Produk Anda hingga pelosok
? Nusantara
!
KPPOD NEWS, tempatnya
media yang menjangkau seluruh nusantara,
disebarkan ke semua pemerintahan Tk. II di Seluruh Indonesia No. 1 2 3 4 5 6 7
Jenis + Penempatan Iklan Full colour 1 (satu) halaman cover belakang luar Full colour 1 (satu) halaman cover belakang dalam Full colour 1 (satu) halaman cover depan dalam Full colour 1 (satu) halaman dalam Full colour 1/2 (setengah) halaman dalam b/w colour 1 (satu) halaman dalam b/w colour 1/2 (setengah) halaman dalam
Tarif Rp. 5.000.000,Rp. 3.000.000,Rp. 3.000.000,Rp. 2.000.000,Rp. 1.000.000,Rp. 1.000.000,Rp. 750.000,-
19
TRAINING FOR TRAINERS Pada bulan Oktober 2002, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bekerjasama dengan LPEM-FEUI mengadakan Training for Trainers (TOT). Acara yang diadakan selama tiga minggu berturut-turut ini merupakan persiapan untuk menyusun silabus yang akan digunakan nantinya pada diklat bagi setiap jenjang jabatan fungsional di pemerintahan. TOT ini dihadiri oleh para staf Bappenas, para pengajar dari Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Universitas Syiahkuala, dan Universitas Hasanudin. Bidang yang dibahas dan yang nantinya akan diajarkan kepaa peserta diklat adalah Perencanaan Spasial, Analisis Daerah dan Regional, Manajemen dan Administrasi Publik, serta Teknik dan Konsep Perencanaan. Setiap minggu, para peserta membahas silabus keempat bidang tersebut dan kemudian dilanjutkan pada minggu berikutnya. Pelatihan diklat nanti diperuntukkan bagi para perencana daerah yang akan naik jenjang jabatan. Jenjang fungsional tersebut adalah Perencana Pertama, Perencana Muda, Perencana Madya, dan Perencana Utama. Materi yang akan diajarkan untuk bidang Perencanaan Spasial meliputi pengertian ruang sebagai sumber daya wilayah dan kota, perencanaan spasial wilayah dan kota, perencanaan kawasan pemukiman dan wilayah, pemanfaatan rencana tata ruang kota dan wilayah, kebijakan spasial kota dan wilayah, serta kerangka spasial program investasi perkotaam dan wilayah. Sedangkan materi yang akan diajarkan untuk bidang Analisis Daerah dan Regional antara lain meliputi pertumbuhan, pemerataan dan kemiskinan, potensi dan pemanfaatan sumber daya daerah, teknik dan metode analisis daerah, analisis perekonomian, keuangan, social budaya dan politik, serta dinamika perubahan dan kebijakan publik. Untuk bidang Manajemen dan Administrasi Publik, materi yang akan diajarkan antara lain pengantar manajemen pembangunan, dasar-dasar penganggaran, sector publik dan swasta, manajemen pembiayaan pembangunan, serta kasusu-kasus manajemen publik. Untuk bidang Teknik dan Konsep Perencanaan, materi yang akan diajarkan antara lain adalah proses perencanaan, jenis-jenis perencanaan, sistem perencanaan, model perencanaan, serta aspek politik dalam perencanaan. Diklat tersebut direncanakan akan diselenggarakan mulai tahun 2003 dan akan diadakan di keempat universitas tersebut. Tak Ada Revisi UU Otonomi Setelah maju mundur selama satu setengah tahun lebih, pemerintah tampaknya menunda rencana revisi UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut Dirjen Otoda, Oentarto Sindung Mawardi pembatalan karena tidak ada keputusan politik untuk merevisi UU tersebut. Keputusan belakang ini cukup menarik akibat pada awal pelaksanaan otonomi daerah Depdagri langsung menyatakan keinginannya untuk merevisi UU itu dan disetujui oleh Komisi II DPR yang membidangi Otonomi dengan alasan pelaksanaan otonomi yang baru berjalan tiga bulan itu sudah kebablasan. (Kontan) Apkasi galang solidaritas Bali Ketua Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Syaukani HR mengungkapkan keprihatinannya terhadap tragedi bom di Legian Bali dan mengatakan pihaknya sepakat untuk membantu pemulihan pariwisata nasional dengan menggalang solidaritas antar Pemkab di Indonesia serta berupaya untuk meningkatkan keamanan di daerah. (Bisnis Indonesia) Aturan Pemilihan Kepala Daerah Akan Masuk UU Otonomi Daerah Pemberlakuan konsep pemilihan presiden secara langsung tahun 2004, nantinya akan diikuti dengan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat dan tidak lagi dilakukan oleh DPRD setempat, demikian penjelasan yang disampaikan oleh Mendagri Hari Sabarno. Menurut Hari, sistem pemilihan langsung kepala daerah ini akan menekan arogansi DPRD setempat dalam hal pemilihan kepala daerah. (Koran Tempo) Zona Bebas Pekerja Anak dan Bebas SPP di Kutai Kertanegara Bupati Kutai Kertanegara, Syaukani H.R. mencanangkan wilayahnya sebagai zona bebas pekerja anak dan zona wajib belajar anak berusia dibawah 15 tahun. Saat ini Pemerintah Kabupaten Kutai Kertanegara sedang menggodok perda wajib belajar bagi anak usia di bawah 15 tahun. Dengan pendapatan daerah sebesar Rp 1,7 Triliun, pemerintah Kab. Kutai Kertanegara pada tahun 2001 mengalokasi dana sebesar Rp 7,6 Miliar untuk mendukung program bebas SPP dan naik menjadi Rp 12 Miliar setahun kemudian. Dana tersebut belum termasuk bea siswa bagi setiap mahasiswa masing-masing Rp 1,2 juta. (Koran Tempo) 20
*Bentuk logo merupakan stylirisasi dari kaca pembesar yang terbentuk atas huruf
KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah) menjadi mnemonic (jembatan keledai) dari pemantau.
*Logo Dengan huruf FrnkGothITC Hvlt Bold berwarna electric blue melambangkan
keteguhan Lembaga dalam menjalankan kegiatan utamanya yaitu melakukan pemantauan dan pengkajian terhadap pelaksanaan otonomi daerah di seluruh Indonesia.
*Huruf O (otonomi) adalah lensa kaca pembesar berbentuk pusaran air berwarna
gradasi biru gelap.
*
Gradasi warna dari pusat pusaran ke arah lingkaran terluar menjadi semakin nyata. Hal ini melambangkan pergeseran dari sistem pemerintahan yang selama ini terpusat lama kelamaan menjadi terdesentralisasi yang sesuai dengan konsep otonomi daerah.