1
IMPLIKASI FATWA DSN-MUINO.85/DSN-MUI/XII/2012 TERHADAP TRANSAKSI IJARAH MUNTAHIYA BITTAMLIK Luluk Farida1 Achmad Zaky, MSA.,AK.,SAS.,CMA.,CA2 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan implikasi yang timbul dari Fatwa DSN-MUI No.85/DSN-MUI/XII/2012 pada akad Ijarah Muntahiya Bittamlik. Penelitian ini menganalisis praktik akad Ijarah Muntahiya Bittamlik terhadap pedoman yang mengaturnya yaitu Fatwa DSN-MUI No.27/DSN-MUI/III/2002 dan PSAK 107 tentang Akuntansi Ijarah. Metode penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan studi kepustakaan. Hasiltemuan pada penelitian ini menunjukkan bahwa Fatwa DSN-MUI No.85/DSN-MUI/XII/2012 memang sangat diperlukan oleh transaksi yang menggunakan Wa’ad khususnya transaksi Ijarah Muntahiya Bittamlik karena mampu mendatangkan manfaat yaitu kepastian hukum dan terjaminnya keberlangsungan akad. Namun dampak lain yang timbul setelah penerbitan Fatwa DSN-MUI No.85/DSN-MUI/XII/2012 yaitu akad Ijarah Muntahiya Bittamlik berisiko Ta’alluq dan berpotensi memenuhi kriteria jual beli bersyarat. Merujuk pada PSAK 107 ternyata Fatwa DSN-MUI No.85/DSNMUI/XII/2012 juga mengakibatkan ada risiko terpenuhinya kriteria Capital Lease pada akad Ijarah Muntahiya Bittamlik. Kata Kunci: Fatwa DSN-MUI No.85/DSN-MUI/XII/2012, Wa’ad, Ijarah Muntahiya Bittamlik, PSAK 107 ABSTRACT Purpose of this research is to explain implication of Fatwa DSN-MUI No.85/DSN-MUI/XII/2012 on Ijarah Muntahia Bittamlik’scontract by analizing practical issue on Ijarah Muntahia Bittamlik’scontract based on law Fatwa DSNMUI No.27/DSN-MUI/III/2002 and PSAK 107 about accounting on Ijarah. Method used in this research is descriptive based on literature study. This research found that Fatwa DSN-MUI No.85/DSN-MUI/XII/2012 is necessary by transaction used Wa’ad in partucular on Ijarah Muntahia Bittamlik’scontract because it is able to bring the benefits that is presence of law and continuity of akad. But in other effect Fatwa DSN-MUI No.85/DSN-MUI/XII/2012 made Ijarah Muntahia Bittamlik’scontract has some risks wich called Ta’alluq and potential fullfilment of conditional trade. Refer to PSAK 107Fatwa DSN-MUI No.85/DSN-MUI/XII/2012 also resulted fullfilment criteria of capital lease on Ijarah Muntahia Bittamleekcontract. Keywords: Fatwa DSN-MUI No.85/DSN-MUI/XII/2012, Wa’ad, Ijarah Muntahiya Bittamlik, PSAK 107
2
PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan perekonomian di Indonesia dewasa ini ternyata kian membaik yang ditandai adanya peningkatan investasi dari pemerintah pada tahun 2015 (Ariyanti, 2015). Lebih lanjut Ariyanti (2015) menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mampu dicapai pada tahun 2015 di kuartal III dan IV adalah 4,73 dan 4,9. Menurut Debuti Gubernur Bank Indonesia Warjiyo (2015) salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan perekonomian Indonesia ini adalah adanya stimulus fiskal yang diberikan pemerintah Indonesia. Didukung dengan data yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada tahun 2015 mengenai pertumbuhan salah satu produk pembiayaan lembaga keuangan syariah yang mengalami pertumbuhan sejak tahun 2011 hingga sekarang, yaitu akad Ijarah. Akad Ijarah adalah transaksi sewa-menyewa manfaat dari sebuah obyek yang diperjanjikan tanpa adanya perpindahan hak kepemilikan atas obyek yang disewakan tersebut (Antonio, 2001). Data statistik Bank Indonesia pada tahun 2011 menyajikan bahwa pembiayaan lembaga keuangan syariah yang menggunakan akad Ijarah berjumlah 7.345 transaksi. Tahun 2014 pembiayaan menggunakan akad Ijarah masih mengalami kenaikan yang bagus dengan total transaksi 11.620. Data diatas membuktikan bahwa lembaga keuangan syariah kini semakin dipercaya oleh masyarakat jika dilihat dari jumlah pembiayaan yang dilakukan oleh bank syariah mengalami kenaikan khusunya pada akad Ijarah.Mingka (2013) menjelaskan bahwa pengembangan produk akad tunggal bank syariah kini sangatlah perlu karena tuntutan zaman dan akhirya produk multi akad yang menjawab apa yang dibutuhkan masyarakat. Akad Ijarah Muntahiya Bittamlikadalah pengembangan akad Ijarahyang berupa akad sewa dan diakhiri dengan perpindahan hak kepemilikan obyek sewa dari pemilik kepada penyewa (Ascarya, 2007). Pedoman yang digunakan untuk melaksanaan pembiayaan dengan akad Ijarah Muntahiya Bittamlik adalah Fatwa DSN-MUI No.27/DSN-MUI/III/2002 tentang Ijarah Muntahiya Bittamlik dan PSAK 107 terkait Ijarah. Ketentuan kedua pada Fatwa DSN-MUI No.27/DSNMUI/III/2002 ternyata menjelaskan bahwa perjanjian pemindahan hak milik yang akan dilakukan ketika masa Ijarah berakhir menggunakan Wa’ad dengan ketentuan Wa’ad yang digunakan tidak boleh mengikat pada kedua belah pihak. Pernyataan serupa juga terdapat pada PSAK 107 yang menegaskan bahwa akad yang digunakan untuk pemindahan hak kepemilikan pada akad Ijarah Muntahiya Bittamlikadalah Wa’ad yang sifatnya tidak mengikat. Namun jika hukum pelaksanaan akad Wa’ad yang terdapat pada akad Ijarah Muntahiya Bittamlik tidak mengikat ternyata menimbulkan kekhawatiran pada pihak yang melaksanakan akad Ijarah Muntahiya Bittamlik. Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Arwan (2009) yaitu jika akad pemindahan kepemilikan bersifat tidak mengikat maka ada risiko akad Ijarah Muntahiya Bittamlik tidak berjalan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan yaitu Fatwa DSN-MUI No.27/DSN-MUI/III/2002 maupun PSAK 107 tepatnya pihak yang berakad yaitu pemilik barang merasa tidak memiliki kewajiban untuk mengalihkan hak kepemilikan obyek sewa kepada penyewa dan penyewa tidak memiliki kewajiban untuk membeli obyek sewa dari pemilik, padahal tujuan adanya akad Ijarah Muntahiya Bittamlik adalah sewa yang diakhiri dengan
3
pemindahan hak kepemilikan atas obyek sewa.Seperti aplikasipenggunaan akad Ijarah Muntahiya Bittamlik pada produk lembaga keuangan syariah Musyarakah Mutanaqisha. Dalam akad Musyarakah Mutanaqisha yang kini digunakan sebagai produk unggulan dalam pembiayaan Kredit Pemilikan Runah (KPR), proses pemindahan kepemilikan obyek sewa kepada penyewa menggunakan akad Ijarah Muntahiya Bittamlik. Oleh karena itu, kejelasan mengenai hukum pelaksanaan Wa’ad sangat diperlukan. TINJAUAN PUSTAKA Fatwa DSN-MUI No. 85/DSN-MUI/XII/2012 Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia(DSN-MUI) mengeluarkan FatwaNo.85/DSN-MUI/XII/2012 yang membahas tentang janji dalam transaksi keuangan dan bisnis syariah. Fatwa tentang janji ini dikeluarkan pada 21 Desember 2012. Alasan yang mendasari DSN-MUI mengeluarkan Fatwa No.85/DSN-MUI/XII/2012, yang pertamaadalah janji (Wa’ad) sering muncul pada transaksi keuangan dan bisnis yang bersifat tunggal, paralel dan/atau dalam transaksi yang multi akad1.Kedua, menurut DSN-MUI para fuqaha berbeda pendapat tentang hukum melaksanakan janji. Fatwa DSN-MUI No.85/DSN-MUI/XII/2012 menyatakan bahwa janji (Wa’ad) adalah pernyataan dari satu pihak untuk melaksanaakan suatu hal yang baik pada pihak lain yang hukumnya mengikat (wajib dilaksanakan) dan pihak yang diberi janji (Mau’ud) boleh memaksa pihak yang menyatakan janji (Wa’id) untuk melaksanakan janjinya. Dalam melaksanakan janjinya atau menagih janji kedua belah pihak harus tetap mengikuti aturan agama islam maupun ketentuan yang telah ditetapkan pada fatwa ini. Wa’ad Pada sub bab sebelumnya telah membahas mengenai pentingnya pedoman yang mengatur tentang wa’ad karena banyaknya pihak yang menggunakan akad wa’ad dalam transaksi sehari-harinya. Dalam bab ini peneliti akan mebahas mengenai pengertian wa’ad. Secara bahasa dan istilah fuqaha,Wa’ad adalah pernyataan seseorang kepada orang lain tentang sesuatu yang akan dikerjakan dimasa yang akan datang baik itu pekerjaan baik maupun sebaliknya (Seman, 2008). Mahzab maliki menjelaskan bahwa Wa’ad akan digunakan pada perkaraperkara tabarru’. Ditinjau dari hukum islam Wa’adberarti janji. Fatwa DSN-MUI No.85/DSN-MUI/XII/2012 mengartikanWa’ad adalah kehendak dari satu pihak untuk melakukan sesuatu yang baik pada pihak lain dimasa yang akan datang. Jika Wa’ad telah disepakati maka pihak yang menyatakan janji harus memenuhi janjinya karena hukumnya wajib, bahkan pihak yang menyatakan janji boleh dipaksa memenuhi janjinya oleh pihak yang diberi janji, namun tetap harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan (Tirmidzi:1272). . Hybrid Contract Wa’ad yang telah dibahas apada bab sebelumnya ternyata banyak diaplikasikan pada transaksi multi akad (Mingka, 2013) hal ini karena multi akad merupakan kombinasi beberapa akad produk syariah yang telah ada. Dalam fiqih kontemporer Hybrid Contract disebut juga sebagai Al-‘Uqud Al Murakkabah atau 1
Secara Syar’i akad adalah hubungan antara ijab dan qabul menggunakan cara yang dihalalkan oleh syariat dan berhubungan secara langsung(Azzam,2010).
4
dalam bahasa Indonesia adalah multi akad. Hybrid Contract adalah kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu muamalah yang menggabungkan dua akad atau lebih menjadi satu dalam sebuah transaksi sehingga hak dan kewajiban yang dihasilkan menjadi akibat hukum dari satu akad baru tersebut. Hammad (2005) mengartikan Hybrid Contract adalahkesepakatan dua pihak untuk melaksanaakan suatu akad yang mengandung dua akad atau lebih seperti jual beli dengan sewa menyewa, hibah, wakalah, muzara’ah, sahraf (penukaran mata uang), syirkah, mudharabah dan lainnya yang berakibat hukum baru yang dihasilkan menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Ijarah Secara bahasa Ijarah adalah nama bagi Al-ajru yang berarti imbalan atas suatu pekerjaan ( )اﻟﺠﺰاء ﻋﻠﻰ اﻟﻌﻤﻞdan pahala ()اﻟﺜﻮاب.Ijarah berasal dari kata Al Ajru yang bermakna ganti, sehingga Ijarah diartikan sebagai akad yang mengambil manfaat suatu barang dengan jalan penggantian (Sabiq,1987:7). Dengan pengertian tersebut berarti yang disewakan hanya jasa baik manfaat dari suatu barang ataupun manfaat dari tenaga kerja dengan ketentuan obyek yang disewakan tidak berkurang sama sekali serta selama obyek tersebut digunakan tidak mengalami perubahan ataupun musnah. Ijarah Muntahiya Bittamlik Salah satu bentuk pengembangan akad Ijarahadalah akadIjarahMuntahiyah Bittamlik. Secara bahasa IjarahMuntahiyah Bittamlik berasal dari kata Alijarahyang berarti upah dan Al-tamlik yang berarti menjadikan orang lain memiliki sesuatu. Sedang menurut istilah Al-tamlik memiliki arti kepemilikan atas obyek (benda atau manfaat) baik ada imbalan maupun tidak.Pada dasarnya akad Ijarah Muntahiya Bittamlik adalah istilah yang baru yang tidak terdapat pada kalangan fuqaha terdahulu. Ijarah Muntahiya Bittamlik adalah perpaduan akad Ijarah dan jual beli. Dari sisi Ijarah, perbedaan Ijarah Muntahiya Bittamlik terdapat pada adanya opsi untuk membeli barang diakhir periode akad. Dari sisi jual beli, perbedaan Ijarah Muntahiya Bittamlik terletak pada adanya penggunaan manfaat barang terlebih dahulu menggunakan akad Ijarah sebelum akad jual beli dilaksanaakan. Hal mencolok yang membedakan antara akadIjarahdan akad IjarahMuntahiyah Bittamlik adalah terdapat perpindahan hak milik dari aset yang disewakan di akhir masa sewa pada akad IjarahMuntahiyah Bittamlik sedang pada akad Ijarahtidak terdapat perpindahan kepemilikan atas aset yang disewakan.Karim (2006) menjelaskan bahwa IjarahMuntahiyah Bittamlik merupakan gabungan dari dua akad, yaitu akad jual beli (Al-ba’i) dan akad sewamenyewa (Ijarah) yang diakhir masa sewa ada perpindahan kepemilikan melalui hibah atau jual beli. PSAK 107 Mengenai Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik Terkait dengan akad Ijarah dan Ijarah Muntahiya Bittamlik yang dibahas pada sub bab sebelumnya oleh peneliti, serta merupakan fokus pada penulisan ini maka sekarang peneliti akan mengulas mengenai pedoman yang mengatur terkait pelaporan yang harus disajikan jika suatu entitas menggunakan akad Ijarah dan akad Ijarah Muntahiya Bittamlik.Sesuai dengan fokus tema pennelitian yang membahas mengenai akad Ijarah Muntahiya Bittamlik sejak tahun 2009 Ikatan Akuntansi Indonesia mengeluarkan PSAK 107 tentang Ijarah yang menggantikan pedoman sebelumnya yaitu PSAK 59 tentang bank syariah. Dalam PSAK 107 pedoman mengenai perlakuan akuntansi akad Ijarah dan Ijarah Muntahiya
5
Bittamlik dibahas lebih mendetail dan terperinci dan PSAK 107 ini ditujukan bagi entitas yang melakukan transaksi Ijarah. Namun ruang lingkup PSAK 107 ini adalah segala pembiayaan selain obligasi yang menggunakan akad Ijarah. PSAK 107 menjelaskan bahwa Ijarah adalah akad yang digunakan untuk memindahkan hak guna (manfaat) atas suatu obyek sewa dalam waktu yang ditentukan dengan imbalan pembayaran sewa tanpa adanya pemindahan kepemilikan obyek sewa tersebut atau secara akuntansi transaksi ini disebut Operating Lease. Sedangkan akad Ijarah Muntahiya Bittamlik adalah akad sewa-menyewa antara pemilik obyek dengan penyewa disertai opsi perpindahan kepemilikan sesuai perjanjian yang disepakati. Transaksi perpindahan kepemilikan yang terdapat pada akad Ijarah Muntahiya Bittamlik menggunakan Wa’ad yang tidak mengikat. Dalam transaksi ini, harga obyek sewa yang disepakati sesuai nilai wajar obyek dan disepakati oleh kedua belah pihak yang memiliki pengetahuan yang wajar mengenai sebuah transaksi ekonomi. Namun untuk penentuan biaya perolehan obyek sewa pada akad Ijarah, bila obyek sewa masuk pada kategori aset tetap maka mengacu pada PSAK 16 tentang Aset Tetap. Jika masuk pada kategori aset tidak berwujud maka mengacu pada PSAK 19 Tentang Aset Tidak berwujud. Sangadah (2007) memaparkan bahwa Al-Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-Tamlik adalah transaksi sewa beli yang sesuai dengan ketentuan syariah yang mana aplikasinya adalah memadukan akad sewa dan akad beli yang diakhiri dengan pengalihan kepemilikan dari pemilik barang kepada penyewa dengan menggunakan dua cara, yaitu hibah dan jual beli. Diakhir penelitiannya Sangadah menjelaskan bahwa untuk kemaslahatan umat di Klaten, perpindahan kepemilikan yang dilakukan diakhir akad menggunakan hibah lebih diutamakandan akad ini harus dijelaskan diawal kepada penyewa. Bello dan Hassan (2013) menulis jurnal yang berjudul The Scope and Aplication of Wa’ad, Muwa’adah and Wa’dan in Islamic Finance. Dalam tulisannya Bello dan Hassan dan hassan menjelaskan mengenai ruang lingkup dan aplikasi Wa’ad, Muwa’adah dan Wa’dan. Bello dan hassan menjelaskan bahwa Wa’adadalah janji kepada pihak lain yang akan dilakukan dimasa yang akan datang dan berkaitan dengan hal yang baik. Razali (2008) membahas mengenai konsep penggunaan wa’ad pada transaksi ekonomi misalnya, Murabahah, Syirkah Mutanaqisha, Ijarah, Takaful dan seterusnya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Razali iniberfokus pada konsep wa’ad dalam hukum islam dan aplikasinya dalam praktik yang salah satu akad yang diulas mengenai penggunaan wa’ad pada akad Ijarah Muntahiyah Bittamlik. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Penelitian ini merupakanpenelitiandeskriptifdengan menggunakanpendekatan studi kepustakaan(library research). Pertimbangan pemilihan jenis ini karena dalam penelitian ini peneliti akan memulai dengan menggambarkan praktik akad Ijarah Muntahiya Bittamlik sebelum adanya Fatwa No.85/DSN-MUI/XII/2012. Selanjutnya peneliti akan menguraikan serta menganalisis keterkaitan Fatwa No.85/DSN-MUI/XII/2012 pada akadIjarah Muntahiya Bittamlik. Setelah itu hasil analisis ini dapat digunakan oleh pembuat kebijakan yang terkait untuk melakukan penyempurnaan kebijakan.
6
Jenis dan Sumber Data Data yang diperoleh peneliti berupa kalimat, kata, skema maupun gambar (Sugiono, 2005:14). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan data sekunder. Data sekunder adalah informasi yang diperoleh secara tidak langsung seperti data yang diperoleh dari buku, karya ilmiah dan dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diteliti (Putra,2013). Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ilmiah pengumpulan data yang diperlukan dilakukan dengan prosedur yang sitematis. Metode yang dipilih pun sangat bergantung pada masalah yang akan dipecahkan oleh peneliti (Sepyarini,2010).Data dan informasi yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah, peneliti menggunakan teknik dan alat pengumpulan data studi kepustakaan. Rangkaian kegiatan yang dilakukan dalam studi kepustakaan ini meliputi, pengidentifikasian secara sistematis, penemuan, dan analisis dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan masalah penelitian (Sevilla,1993). 3.3 Teknis Analisis Data Penelitian ini menggunakan penelitian deskriftif sehingga analisis data yang dilakukan lebih menekankan pada pembahasan data yang mampu didapatkan. Selanjutnya peneliti mengambil kesimpulan dari hasil analisis yang sudah digabungkan menjadi perpaduan kalimat yang dapat dipahami secara utuh dan menyeluruh (Zeid,2004). Kegiatan ini dilakukan agar peneliti mampu membatasi masalah yang ditemukan dan dapat menyusun data secara rapi sehingga kesimpulan yang didapatkan mampu untuk menjawab pokok permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Tahapan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti dijabarkan sebagi berikut : 1. Pemahaman terhadap akad Ijarah Muntahiya Bittamlik dan Fatwa No.85/DSN-MUI/XII/2012 dengan studi kepustakaan. 2. Pemahaman terhadap implementasi Wa’ad pada praktik akad Ijarah Muntahiya Bittamlik. 3. Analisis implementasi Fatwa No.85/DSN-MUI/XII/2012 terhadap akad Ijarah Muntahiya Bittamlik 4. Analisis kesesuaian yaitu mempertemukan konsep ideal akad Ijarah Muntahiya Bittamlik terhadap Fatwa No. 27/DSN-MUI/III/2002 dan PSAK No. 107 setelah Fatwa No.85/DSN-MUI/XII/2012 3.5 Kerangka Berfikir Supaya memudahkan memberikan gambaran terhadap alur pemikiran dalam penelitian ini maka peneliti membuat kerangka berfikir yang tertera pada gambar 3.1 sebagai berikut: PEMBAHASAN URGENSIWA’ADDALAM IMPLEMENTASI TRANSAKSI SYARIAH Dengan kompleksitas transaksi ini mendoronglembaga keuangan syariahuntuk mengembangkan modelHibryd Contract untuk memenuhi kebutuhan masyarakat modern yang beranekaragam (Mingka,2013). Dengan model Hibryd Contract lembaga keuangan syariah mampu mengkombinasikan beberapa akad menjadi satu akad untuk mempermudah melakukan transaksi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Beberapa produk lembaga keuangan syariah yang sedang
6
7
dikembangkan saat ini ternyata mengandung beberapa akad didalamnya yang saat ini dinamakan multi akad. Bello dan Hassan (2013) memberi contoh beberapa akad pada produk lembaga keuangan syariah yang menggunakan Wa’ad adalah: 1. Kartu Kredit Syariah mengandung akad: Ijarah, Qard, dan Kafalah 2. Obligasi Syariah mengandung akad: Mudharabah atau Ijarah dan Wakalah. Beberapa ada yang disertai akad Kafalah atau Wa’ad 3. Islamic Swap mengandung akad: Tawarruq, Bai’, Wakalah, Sharf dan beberapa ada yang disertai dengan Wa’ad 4. Murabahah dengan pesanan 5. Musyarakah Mutanaqishah mengandung akad Ijarah dan Musyarakah/ Syirkah disertai Wa’ad, 6. Ijarah Muntahiya Bittamlik mengandung akad Ijarah dan Jual beli atau hibah dengan menggunakan Wa’addan seterusnya. Sebagian besar dari contoh transaksi multi akad yang disebutkan diatas ternyata penggunaan akad Wa’addalam bertransaksi sangatlah mendominasi. Hal ini membuktikan bahwa dalam transaksi multi akad keberadaan Wa’ad sangat penting agar transaksi yang dilakukan bisa berjalan sesuai dengan ketentuan yang mengaturnya. Sebagai contoh yang akan ditampilkan oleh peneliti adalah penggunaan wa’ad dalam transaksi Obligasi syariah. Fatwa No. 32/DSN-MUI/IX/2002 mengartikan obligasi syariah sebagai,“Surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk mebayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/fee/margin serta mebayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo”. Adapun akad yang dapat digunakan untuk penerbitan obligasi syariah dijelaskan pula dalam Fatwa No. 32/DSN-MUI/IX/2002 yaitu : 1. Mudharabah 2. Musyarakah 3. Salam 4. Istishna’ 5. Ijarah Berikut ini adalah contoh skema alur akad obligasi syariah yang menggunakan akad mudharabah yang ditampilkan pada gambar sebagai berikut: Alur Akad Obligasi Syariah Menggunakan akad Mudharabah
8
Sumber: Nurhayati & Wasilah (2013) Macam macam obligasi syariah yang disebutkan pada Fatwa No. 32/DSNMUI/IX/2002 ada yang menggunakan akad wa’ad untuk mengikat pihak yang berakad dalam memperjual belikan hak istimewa yang dimilikinya ketika obligasi yang dijadikan obyek transaksi mengalami jatuh tempo (Sholihin, 2010). Selain transaksi obligasi syariah, transaksi multi akad yang juga menggunakan akad wa’ad untuk menyempurnakan akadnya adalah akad Musyarakah Mutanaqisha. Dalam Fatwa DSN-MUI No. 73/DSN-MUI/XI/2008 Musyarakah Mutanaqishah diartikan sebagai musyarakah dengan menggunakan sistem pengurangan porsi kepemilikan dari salah satu mitra kepada mitra yang lainnya akibat pembelian porsi syarik secara bertahap. Selama masa akad berlangsung, salah satu syarik memanfaatkan obyek barang sehingga terdapat akad ijarah didalamnya. Ketika masa akad berakhir maka mitra yang porsi kepemilikannya semakin berkurang harus menjual obyek kepada mitra yang porsi kepemilikannya besar sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati diawal. Transaksi yang digunakan untuk mengalihkan kepemilikan ini menggunakan wa’ad didepan agar tidak ada pihak yang dirugikan selama berlangsungnya akad. Agar lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar dibawah ini yang menjadikan rumah sebagai obyek akad. Alur Akad Musyarakah Mutanaqisha
Sumber: Wiroso (2011) Sebelum tahun 2012 penggunaan Wa’adbaik yang terdapat pada transaksi multi akad maupun yang berdiri sendiri hanya sebatas perjanjian dibawah tangan2. Padahal peran Wa’ad untuk menjamin keberlangsungan akad sangatlah penting. Keberadaan Wa’ad bermanfaat untuk mengikat pihak yang berakad agar kedua belah pihak bisa menjalankan akad sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Namun sifat Wa’ad selama ini masihlah dibawah tangan hal ini karena belum ada peraturan maupun pedoman yang mengatur Wa’ad harus dilaksanakan. Bahkan sesuai Fatwa DSN-MUI No.27/DSN-MUI/III/2002 tentang akadIjarah Muntahiya Bittamlik ada pernyataan yang menyatakan bahwa Wa’ad yang digunakan dalam akad akadIjarah Muntahiya Bittamli tidak boleh mengikat pada pihak yang berakad sesuai kutipan isi Fatwa DSN-MUI No.27/DSN-MUI/III/2002 yaitu, “janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad Ijarah adalah 2
Disampaikandalam acara pelatihan Akuntansi dan Keuangan Syariah oleh Achmad Zaky pada 30 Mei 2016 di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang
9
Wa’ad, yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa Ijarah selesai”. Dengan kurangnya peraturan yang mengatur tentang Wa’ad ternyata terdapat beberapa pihak yang berisiko mengalami kerugian akibat ketidakpastian. Dengan adanya ketidakpastian maka ada kemungkinan bahwa hak seseorang akan tidak terbayar karena kurangnya pedoman yang mengaturnya. Fokus pembahasan dalam tulisan ini, peneliti menitikberatkan pada pentingnya keberadaan dan kepastian hukum wa’ad yang terdapat pada akad Ijarah Muntahiya Bittamlik. Dalam akad Ijarah Muntahiya Bittamlik keberadaan wa’ad sangat dibutuhkan karena akan mempengaruhi keberlanjutan pelaksanaan akad perpindahan kepemilikan yang akan dilakukan ketika masa Ijarah berakhir sesuai pedoman yang terdapat pada Fatwa DSN-MUI No.27/DSN-MUI/III/2002 terkait alur pelaksanaan akad Ijarah Muntahiya Bittamlikyang sesuai dengan syariat islam. Pada sub bab selnajutnya akan dikupas lebih dalam mengenai pentingya akad wa’ad dalam transaksi Ijarah Muntahiya Bittamlik. Berbagai alasan telah dikemukakan pada sub bab sebelumnya betapa perlunya wa’ad untuk dilegalkan secara hukum. Salah satu alasan yang dikemukakan adalah karena banyak dari produk lembaga keuangan syariah yang memerlukan wa’ad agar bisa dijalankan sesuai syariat islam dan tidak merugikan pihak manapun yang berakad. Dalam tulisan ini peneliti akan fokus membahas lebih mengenai pentingnya wa’ad pada prinsip Hibryd Contract yang diterapkan dalam akadIjarah Muntahiya Bittamlikyang dilakukan oleh lembaga keuangan syariah untuk menyalurkan dana kepada masyarakat. Ijarah Muntahiya Bittamlikadalah akadsewa-menyewa yang diakhiri masa sewa terdapat akad jual beli atau hibah sesuai dengan kesepakatan diawal ketika akad Ijarah berlangsung(Karim, 2006).Selanjutnya agar dua akad pada transaksi Ijarah Muntahiya Bittamlik berjalan sesuai dengan yang diharapkan maka dewan syariah nasional Indonesia menggunakan akad wa’adsebagai pengikat dan disepakati ketika masa Ijarah dimulai. Wa’ad adalah janji antara kedua subjek yang melakukan akad Ijarah Muntahiya Bittamlikuntuk melakukan kegiatan pemindahan kepemilikan obyek Ijarah dari pemilik obyek kepada penyewa saat masa Ijarah selesai. Kombinasi dua akad pada Ijarah Muntahiya Bittamlikmengakibatkan hukum baru yang muncul, yaitu hak dankewajiban baru yang menjadi satu kesatuandan tidak bisa dipisahkan. Dalam melaksanakan transaksi Ijarah Muntahiya Bittamlik, subjek yang bertransaksi harus bisa memahami dan mengerti serta mentaati prinsip syariah yang telah ditetapkan pada akad Ijarah Muntahiya Bittamlik karena perbedaan antara praktik Ijarah Muntahiya Bittamlik yang sesuai dengan prinsip syariah dan yang dilarangsangatlah tipis. Dalam tulisan ini peneliti menitik beratkan pada penggunakanwa’ad yang tertera pada akad Ijarah Muntahiya Bittamlik.Fatwa DSN-MUI No.27/DSN-MUI/III/2002 menyebutkan secara khusus bahwa wa’ad yang terdapat pada transaksi Ijarah Muntahiya Bittamlik tidak mengikat. Hal ini dijelaskan pada bagian kedua dalam fatwa tersebut sebagai syarat pelaksanaan transaksi Ijarah Muntahiya Bittamlik. Ternyata ketentuan wa’ad tidak mengikat ini menimbulkan penafsiran ganda dimasyarakat khususnya pelaku ekonomi yang menggunakan akad Ijarah Muntahiya Bittamlik untuk melakukan transaksi
10
ekonomi.Pertama,ketidakterikatan itu bisa dimaknai tidak terikat untuk membuat janji pemindahan hak kepemilikan obyek Ijarah Muntahiya Bittamlik diakhir periode akadIjarah, hal ini tidak sesuai dengan prinsip akad Ijarah Muntahiya Bittamlik. Kedua, tidak terikat untuk melaksanakan janji yang sudah disepakati dalam akad Ijarah Muntahiya Bittamlik. Penafsiran seperti ini harusnya tidak terjadi, bila hukum perjanjian yang dibuat diartikan sebagai undang-undang yang mengikat dan harus ditaati (Arwan,2009). Adanya kekuatan hukum adalah syarat yang ditetapkan syara’ agar sebuah akad memiliki kepastian untuk dilakukan. Tujuan akad Ijarah Muntahiya Bittamlik adalah pemindahan hak kepemilikan dari pemilik obyek sewa kepada penyewa saat akad Ijarah berakhir menggunakan jual beli ataupun hibah sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati ketika akad Ijarah dilakukan. Jika opsi yang terdapat pada akad Ijarah Muntahiya Bittamlik tidak mengikat maka akad Ijarah Muntahiya Bittamlik kehilangan makna dan tujuannya bahkan bisa menimbulkan kezaliman. Dengan begitu maka pemberi sewa akan merasa takut ketika penyewa tidak mau melakukan pembelian atau menerima hibah dari barang yang dijadikan obyek transaksi Ijarah Muntahiya Bittamlik padahal barang tersebut memiliki masa ekonomis. Ketika perjanjian sewa berakhir maka umur ekonomisnya pun berkurang karena telah disusutkan selama masa sewa hal ini juga akan mempengaruhi harga jual barang tersebut. Selain itu pihak penyewa akan merasa rugi jika pemberi sewa tidak mau menjual barang yang diperjanjikan ketika masa sewa berakhir karena uang yang telah dibayarkan menjadi sia-sia. dan saat penyewa menginginkan memiliki barang seperti obyek sewa yang dia sewamaka ia harus membayar lebih mahal karenamelakukan akad baru dengan orang lain yangsebelumnya tidak ada perjanjian. Bila makna seperti ini yang dilakukan maka tujuan akad Ijarah Muntahiya Bittamlik tidak tercapai. Transaksi Ijarah Muntahiya Bittamlik yang diharapkan mampu mendatangkan kemaslahatan umat malah akan menyebabkan kerugian terhadap berbagai pihak, khususnya dalam kasus ini adalah pemilik barang dan penyewa. Untuk meghindari hal ini maka DSN-MUI mengeluarkan Fatwa No.85/DSN-MUI/XII/2012yang menjelaskan bahwa Wa’ad wajib dilaksanakan oleh pihak yang berjanji, bahkan pihak yang berjanji boleh dipaksa untuk melaksanakan janjinya. Sesuai bunyi Fatwa No.85/DSN-MUI/XII/2012 pada ketentuan kedua berbunyi, “ janji (Wa’ad) dalam transaksi keuangan dan bisnis syariah adalah mulzim dan wajib dipenuhi (ditunaikan) oleh wa’id dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam fatwa ini”. Mengingat beratnya siksa Allah SWT kepada orang yang tidak melaksanakan janjinya maka dewan syariah nasional Indonesia berupadaya untuk memberikan peraturan secara legal dan dapat memaksa seseorang mematuhinya melalui Fatwa No.85/DSN-MUI/XII/2012. Dengan fatwa ini dewan syariah nasional menghendakiadanya kepastian hukum bahwa janji itu hukumnya wajib untuk dipenuhi baik ketika janji tersebut berdiri sendiri maupun ketika menempel pada transaksi lain yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Dengan demikian implikasi Fatwa No.85/DSN-MUI/XII/2012 pada akad akad Ijarah Muntahiya Bittamlikmemiliki beberapa manfaat maupun risiko. Pertama, manfaat Fatwa No.85/DSN-MUI/XII/2012 adalah adanya kepastian hukum yang bisa mewajibkan pihak yang melakukan perjanjian melaksanakan isi perjanjian yang telah disepakati. Selain itu keberlangsungan akad juga terjamin dengan
11
adanya pedoman hukum yang memaksa wa’ad yang terdapat dalam akad bisa dijalankan sesuai tuntunan islam tentang wajibnya melaksanakan janji. Kedua, selain manfaat yang didapat dari Fatwa No.85/DSN-MUI/XII/2012 ternyata juga terdapat beberapa risiko yang perlu diwaspadai karena menyangkut akad Ijarah Muntahiya Bittamlik bisa menyalahi aturan syariah yang diterapkan sehingga prinsip syariah berisiko tidak diaplikasikan lagi. Berkaitan dengan risiko yang timbul dari Fatwa No.85/DSN-MUI/XII/2012, maka peneliti akan membahasnya lebih dalam pada bab selanjutnya. Implikasi Fatwa DSN MUI No. 85/DSN-MUI/XII/2012 Terhadap Akaddalam Transaksi Syariah Penggunaan wa’ad pada akad Musyarakah Mutanaqishahmemiliki kesamaan sebagaimana akad Ijarah Muntahiya Bittamlikdan Murabahah. Dalam Fatwa DSN-MUI No. 73/DSN-MUI/XI/2008 Musyarakah Mutanaqishahdiartikan sebagaimusyarakah dengan menggunakan sistem pengurangan porsi kepemilikan dari salah satu mitra kepada mitra yang lainnya akibat pembelian porsi syarik secara bertahap. Selama masa akad berlangsung, salah satu syarik memanfaatkan obyek barang sehingga terdapat akad ijarah didalamnya. Pihak yang memanfaatkan barang ini harus membayarujrah dan bagian pendapatan dari sewa milik syarik yang memanfaatkan barang digunakan untuk membeli porsi kepemilikan syarik lainnya. Oleh karena itu, saat akad berakhir salah satu pihak yang membeli porsi kepemilikan pihak yang lain akan memiliki kepemilikan obyek akad secara sempurna. Untuk pengalihan kepemilikan ini, salah satu mitra harus berjanji untuk menjual obyek sewa dan mitra yang lain harus berjanji untuk membelinya. Janji pemindahan kepemilikan inilah yang dinamakan wa’ad. Sebelum Fatwa DSN-MUI No.85/DSN-MUI/XII/2012 diterapkan dalam perjanjian yang disepakati janji pemindahan kepemilikan ini tidak dicantumkan sehingga beberapa akad yang dilaksanakan dalam akad Musyarakah Mutanaqishah terpisah-pisah terutama waktu pelaksanaan akadnya. Namun setelah Fatwa DSN-MUI No.85/DSN-MUI/XII/2012 diterapkan janji pemindahan kepemilikan muncul dalam perjanjian dan mengikat secara hukum. Secara ringkas alur akad Musyarakah Mutanaqishah dapat dilihat sebagai berikut: Alur Akad Musyarakah Mutanaqishah
Sumber: Penulis (2016)
12
Dalam gambar diatas dapat kita lihat alur praktik pelaksanaan akad Musyarakah Mutanaqisha. Yang harus dilakukan pertama dalam akad Musyarakah Mutanaqisha yaitu A dan B melakukan syirkah, contoh kasus diatas adalah pembelian sebuah rumah. Lalu pihak A ingin membeli porsi kepemilikan pihak B melalui akad murabahah ataupun IMBT. Jika opsi pemindahan kepemilikan menggunakan murabahah, maka margin yang diterima dari penjualan obyek kepada A akan dibagi sesuai porsi atau perjanjian ketika Syirkah disepakati. Begitu pula jika menggunakan IMBT, pendapatan sewa dari IMBT akan dibagi bersama sesuai perjanjian. Implikasi Fatwa DSN MUI No. 85/DSN-MUI/XII/2012 Terhadap Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik Tidak berbeda jauh dengan Musyarakah Mutanaqisha,Dewan Syariah Nasional Indonesia menetapkan beberapa aturan terkait praktik akad Ijarah Muntahiya Bittamlikmelalui Fatwa DSN-MUI No. 27/DSN-MUI/III/2002 yang berisi ketentuan akad secara lengkap. Dalam Fatwa DSN-MUI No. 27/DSNMUI/III/2002 dijelaskan bahwa segala ketentuan yang terdapat pada Fatwa No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Ijarah berlaku juga pada Ijarah Muntahiya Bittamlik. Hal ini dikarenakan pada Ijarah Muntahiya Bittamlikterlebih dahulu akan dilakukan akad Ijarah sebelum melaksanakan akad pemindahan kepemilikan melalui jual beli atau hibah. Ketentuan pertama mengenai akad Ijarah adalah tentang rukun dan syarat Ijarah.Naja (2011) menjelasakan bahwa rukun adalah suatu hal yang mutlak harus ada pada sebuah hal, peristiwa, atau tindakan. Sedangkan syarat adalah sesuatu yang tergantung padanya adanya hukum syari’ dan sesuatu ini berada di luar hukum itu sendiri dan ketika sesuatu ini tidak ada maka menyebabkan hukum tersebut tidak sah (Dewi, 2007). Begitu pula ketika ada dua pihak yang akan melakukan sebuah kesepakatan khususnya dalam pembahasan ini akan melakukan transaksi Ijarah. Rukun dan syarat Ijarah yang harus dipenuhi adalah sighat, pihak yang berakad dan obyek yang diijarahkan. Sighat adalah ijab dan qobul berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang melaksanakan akad yaitu pihak yang memberi sewa kepada pihak yang menyewa (pihak yang berakad) baik secara lisan maupun bentuk lain. Sedangkan obyek ijarah adalah manfaat barang dan sewa atau manfaat jasa dan upah. Segala rukun dan syarat harus dipenuhi ketika pihak yang akan melakukan akad Ijarah, karena ketika Ijarah dimulai maka perjanjian Ijarah Muntahiya Bittamlik pun disepakati. Selain rukun dan syarat yang harus diketahui oleh masyarakat ternyata dijelaskan lagi mengenai ketentuan kedua tentang obyek ijarah. Barang yang akan dijadikan obyek ijarah harus memenuhi beberapa ketentuan yang ditetapkan yakni, obyek yang diijarahkan adalah manfaat dari barang atau jasa. Dengan kalimat tersebut sangat jelas bahwa selama masa sewa, penyewa tidak memiliki hak atas barang yang disewakan namun penyewa hanya boleh mengambil manfaat dari barang atau jasa tersebut. Selain itu manfaat atas barang atau jasa yang dijadikan obyek ijarah harus bisa dinilai serta dapat dilaksanakan dalam kontrak dan secara hukum agama bersifat dibolehkan (tidak haram). Selanjutnya manfaat barang yang disewakan harus dikenali secara jelas dan rinci untuk menghilangkan ketidaktahuan yang bisa mengakibatkan saling su’udzon dan berakhir pada perselisihan.
13
Ketentuan kedua yang terdapat pada Fatwa DSN-MUI No. 27/DSNMUI/III/2002 mengenai akad Ijarah Muntahiya Bittamlik berbunyi, “Pihak yang melakukan al-Ijarah Al-Muntahiah bi al-Tamlik harus melaksanakan akad Ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau pemberian, hanya dapat dilakukan setelah masa Ijarah selesai”. Dengan pernyataan tersebut maka telah jelas bahwa waktu pelaksanaan akan Ijarah dan jual beli atau hibah berbeda. Karena perbedaan waktu ini maka perlu adanya upaya untuk menghindari gagalnya akad perpindahan kepemilikan pada akad Ijarah Muntahiya Bittamlik. Solusinya kedua belah pihak harus melakukan kesepakatan yaitu wa’adketika masa Ijarah dimulai yang diterangkan hukum dari wa’ad itu tidak boleh mengikat sesuai dengan isi kutipan fatwa diatas mengenai praktik pelaksanaan akad Ijarah Muntahiya Bittamlik. Skema transaksi akan Ijarah Muntahiya Bittamlik dapat dilihat pada gambar sebagai berikut: Alur Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik
Sumber : Zaky (2014) Seiring berjalannya waktu ternyata banyak sekali permasalahan yang muncul dalam praktik penggunaan wa’adkhususnya dalam tulisan ini adalah wa’ad yang terdapat pada akad Ijarah Muntahiya Bittamlik. Dalam fatwa DSN-MUI No.85/DSN-MUI/XII/2012 dijelaskan bahwa transaksi keuangan bisnis baik yang bersifat tunggal, paralel, dan/atau multi akad sering menggunakan janji di dalamnya. Namun para fuqaha berbeda pendapat tentang hukum yang terdapat pada janji ini sehingga kurang mampu untuk menjamin kepastian hukum pelaku akadnya. Padahal industri keuangan syariah dan masyarakat memerlukan kejelasan hukum menunaikan janji dalam transaksi keuangan dan bisnis untuk menjamin kepastian hukumnya. Akhirnya pemerintah mengeluarkan fatwa tentang wa’ad yaitu Fatwa DSN-MUI No.85/DSN-MUI/XII/2012 yang berbunyi sebagai berikut: Janji (wa’ad) adalah pernyataan kehendak dari seseorang atau satu pihak untuk melakukan sesuatu yang baik (atau tidak melakukan sesuatu yang buruk) kepada pihak lain (mau’ud) dimasa yang akan datang; Mulzim adalah mengikat, dalam arti bahwa wa’id wajib menunaikan janjinya (melaksanakan mau’ud bih), serta boleh dipaksa oleh mau’ud dan/atau pihak otoritas untuk menunaikan janjinya.
14
Pada bab sebelumnya telah dibahas pentingnya Fatwa DSN-MUI No.85/DSNMUI/XII/2012 dikeluarkan, salah satu alasannya yaitu agar terdapat kepastian hukum pada akad-akad yang menggunakan Wa’ad dalam akadnya yang mana akad tersebut digunakan untuk melakukan transaksi dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat terutama lembaga keuangan syariah.Penggunaan Wa’adkini semakin diminati dibuktikan dengan banyaknya lembaga keuangan syariah yang menggembangkan model Hibryd Contractsebagai produk unggulan dalam penyaluran dana kepada masyarakat (Mingka, 3013). Hal ini sesuai dengan pernyataan dari mantan direktur IRTI IRB yaitu, “kombinasi dua akad di zaman sekarang adalah keniscayaan” (Mingka, 2013). Beberapa contoh model Hibryd Contract yang didalamnya mengandung wa’ad adalah Obligasi Syariah, Islamic Swap, Ijarah Muntahiya Bittamlik, dan Musyarakah Mutanaqishah dan lainnya. Dengan adanya ketentuan akad Wa’ad yang hukumnya mengikat pada pihak yang berakad sesuai peraturan yang dikeluarkan DSN-MUI yaitu Fatwa DSNMUI No.85/DSN-MUI/XII/2012 maka pihak-pihak yang mengembangkan model Hibryd Contract semakin merasa aman dan percaya diri karena bisa dipastikan produknya mampu direalisasikan dalam kehidupan nyata bahkan sesuai dengan aturan islam karena sudah dilegalkan oleh pemerintah.Sebelum Fatwa DSN-MUI No.85/DSN-MUI/XII/2012 diterbitkan, kewajiban menunaikan Wa’ad hanyalah berasal dari sisiagama saja karena peraturan melaksanakan janji yang diucapkan dan disepakati hanya bersumber dari Al-Quran, Sunnah Nabi dan ijma’ imam (Bello dan Hassan, 2013). Oleh karena itu, ketika ada pihak yang melanggar janjinya seseorang tidak dapat menuntut karena belum ada landasan hukum yang kuat untuk menuntut atau melakukan tindakan hukum kepadanya. Namun kini dengan keluarnyaFatwa DSN-MUI No.85/DSN-MUI/XII/2012 pihak yang melakukan perjanjian memiliki landasan hukum sebagai penguat perjanjian yang dilakukannya. Dampak lain implementasi Fatwa DSN-MUI No.85/DSNMUI/XII/2012adalah timbulnya dilemayang dirasakan oleh masyarakat terhadap praktik akadIjarah Muntahiya Bittamlik. Lembaga keuangan syariah yang produkproduknya membutuhkan Wa’ad agar bisa berjalan sesuai syariat agama islam dan terhindar dari transaksi yang dilarang oleh agama islam kini menjadi syubhat untuk dilakukan karena ada hal-hal yang berlawanan dengan peraturan awal ketika akad tersebut dikeluarkan. Menurut Karim (2006) suatu akad dikatakan mengalami ketidakpastian hukum ketika subjek yang berakad, obyek yang diakadkan, dan waktu pelaksanaan akad sama.Salah satu akad yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah Ijarah Muntahiya Bittamlik.Titik fokus pembahasan dalam akad Ijarah Muntahiya Bittamlik yang kini menjadi syubhat adalah penggunakan Wa’ad pada perpindahan kepemilikan obyek sewa dari pemilik obyek kepada penyewa. Dengan pelaksanaan janji yang diwajibkan untuk dilaksanakan maka akad pemindahan kepemilikan dalam akad Ijarah Muntahiya Bittamlik bisa diakui di depan saat akad Ijarah dilaksanakan. Praktik seperti ini yang dilarang oleh agama. Fatwa DSN-MUI No. 27/DSN-MUI/III/2002 secara khusus menyebutkan, “janji pemindahan kepemilikan, yang disepakati diawal akad Ijarah adalah wa’d, yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan maka , maka harus ada akad yang pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa Ijarah selesai”.
15
Namun ketika Fatwa DSN-MUI No.85/DSN-MUI/XII/2012 diartikan secara kaku dan dilakukan pemerataan pada seluruh kegiatan yang menggunakan akad Wa’ad, maka ini memiliki risiko tidak sesuai lagi dengan peraturan dalam islam. Secara syar’i dalam Fatwa DSN-MUI No. 27/DSN-MUI/III/2002 menyatakan bahwa perpindahan kepemilikan pemilik obyek Ijarah dan penyewa harus melakukan akad baru, yaitu menggunakan jual beli atau hibah. Dalam akad Ijarah Muntahiya Bittamlik akad jual beli akan dilakukan ketika akad Ijarah berakhir dan opsi jual beli yang terdapat pada akad Ijarah Muntahiya Bittamlik akan terjadi ketika ada kemauan penyewa untuk membeli obyek yang diperjanjikan (Nazir, 2004). Hal ini pun sesuai dengan ketentuan yang tertera pada PSAK No. 107 yang memiliki arti bahwa akad jual beli yang terdapat pada Ijarah Muntahiya Bittamlik berdiri sendiri dan dilakukan pada waktu yang berbeda. Selain itu, pasal 324 ayat (2) KHES menyatakan “akad pemidahan kepemilikan hanya dapat dilakukan setelah masa Ijarah Muntahiya Bittamlik berakhir”. Berdasarkan pernyataan tersebut bisa diartikan bahwa akad jual beli terlepas dari akad Ijarah Muntahiya Bittamlik dan bukanlah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Selain itu, Peraturan Bank Indonesia yaitu pasal 16 huruf (d) No. 7/46/PBI/2005 menegaskan bahwa pemindahan hak milik obyek sewa dilakukan ketika masa Ijarah selesai, meskipun bentuk akad terpisah namun tetap menjadi satu kesatuan yang tergabung pada akad Ijarah Muntahiya Bittamlik. Dengan pengertian bahwa akad Ijarah berpisah secara waktu dengan akad jual beli atau hibah, maka bisa diartikan bahwa kedua akad tersebut tidak saling bergantung, hanya terdapat janji dari pemilik barang bahwa ia akan mengalihkan hak milik barang kepada penyewa ketika masa Ijarah selesai dan janji yang diucapkannya pun tidak memiliki kekuatan hukum untuk menuntutnya bila ia tidak mau melaksanakan janji itu. Namun ketika Fatwa DSN-MUI No.85/DSNMUI/XII/2012dikeluarkan makaWa’ad yang telah disepakati oleh kedua belah pihak mengikatkeduanyan dan wajib ditunaikan. Inilah yang mengakibatkan akad Ijarah Muntahiya Bittamlikmenjadi syubhat,karena berisiko terjadi Ta’alluq, yaitu terjadi ketergantungan dua akad dengan pengertian bahwa akad jual beli adalah akad utama yang ingin dilakukan. Karena menghendaki pembayaran yang tidak kontan makapihak yang melakukan kesepakatan menggunakan akad sewa sebagai syarat agar akad utama bisa terlaksana. Dengan demikian maka Fatwa DSN-MUI No.85/DSN-MUI/XII/2012 tentang janji yang mengikat menimbulkan risiko ketidaksingkronan dengan peraturan awal akad Ijarah Muntahiya Bittamlikpada Fatwa DSN-MUI No. 27/DSN-MUI/III/2002. Jika dipandang dengan sudut pandang lain, salah satunya aspek perjanjian bersyarat dalam jual beli, implementasi Fatwa DSN-MUI No.85/DSNMUI/XII/2012 dikhawatirkan menimbulkan risiko terjadi penjualan bersyarat yang tidak sesuai dengan ketentuan syar’i. Meskipun dalam hal ini masi terdapat perbedaan pandangan fiqih terhadap jual beli bersyarat.Dalam Al-Muslih (2004) kalangan Malikiyah mengatakan bahwa jual beli bersyarat yang dilarang agama yaitu ketika syarat yang diajukan bertentangan dengan konsekuensi akad jual beli, seperti syarat agar tidak menjual lagi barangnya atau tidak menggunakannya. Lebih lanjut Al-Muslih menjelaskan bahwa ulama Hanafiyah mengartikan jual beli bersyarat ialah jual beli yang syaratnya tidak memiliki konsekuensi dalam perjanjian jual beli yang disepakati serta tidak relevan dengan perjanjian tersebut dan hanya memiliki manfaat pada salah satu pihak.
16
Al-Muslih (2004) juga menjelaskanulama Hambali menyatakan bahwa jual beli bersyarat yang dilarang adalah jual beli yang syaratnya bertentangan dengan akad dan bertentangan dengan konsekuensi ajaran syariat. Seperti mempersyaratkan adanya bentuk usaha lain, baik itu jual beli lain atau peminjaman. Seperti penjelasan dari ulama Hambali, ketika Fatwa DSN-MUI No.85/DSN-MUI/XII/2012 diterapkan maka pada akad Ijarah Muntahiya Bittamlik juga memiliki syarat jual beli lain yaitu akad pemindahan kepemilikan obyek sewa ketika masa akad Ijarah selesai. Konsep dari Hambali inilah yang membawa akad Ijarah Muntahiya Bittamlik memiliki risiko Ta’alluqdan syubhat untuk dilakukan akibat dari Fatwa DSNMUI No.85/DSN-MUI/XII/2012 yang mewajibkan wa’ad dilaksanakan.Hal ini mengacu pada dalil yang melarang dua perjanjian dalam satu transaksi. Sebelum ada peraturan bahwa melaksanakan akad wa’ad mengikat, masyarakat tidak ragu melaksanakan akad Ijarah Muntahiya Bittamlik. Namun ketika muncul fatwa bahwa wa’ad wajib dilaksanakan maka dalam akad Ijarah Muntahiya Bittamlik akad jual beli atau hibah ketika masa Ijarah selesai merupakan syarat. Namun menurut peneliti akad Ijarah Muntahiya Bittamlik berisiko tidak bisa berdiri sendiri apabila akad wa’ad dituangkan dalam perjanjian yang disepakati ketika akad Ijarah Muntahiya Bittamlik dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan ulama Hambali yaitu mensyaratkan jual beli lain dalam sebuah perjanjian, selain itu juga karena terdapat kesamaan unsur yang membangun akad Ijarah Muntahiya Bittamlik yaitu kesamaan obyek dan subjeknya. Fatwa DSN-MUI No.85/DSN-MUI/XII/2012 menurut peneliti memiliki dampak yaitu unsur waktu pun juga berisiko terjadi bersamaan antara akad sewa dan pemindahan kepemilikan pada akad Ijarah Muntahiya Bittamlik. Padahal Muhammad (2014) menjelaskan bahwa jika dalam satu transaksi memiliki tiga unsur yang sama yaitu subjek, obyek, dan waktu maka akad tersebut masuk kategori Ta’alluq. Dalam transaksi Ijarah Muntahiya Bittamlik yang dapat dipastikan sama ketika akad Ijarah dan pemindahan kepemilikan dilaksanakan adalah subjek akad yaitu pemilik barang dan penyewa serta obyek akad yaitu barang yang disewakan baik itu manfaat barang maupun jasa sesui kesepakatan dari kedua belah pihak. Selanjutnya dengan janji yang mengikat yang terdapat pada akadIjarah Muntahiya Bittamlik mengakibatkan adanya risiko bahwa akad Ijarah dan pemindahan kepemilikan dilakukan secara bersamaan. Peneliti menyakini risiko Ta’alluq semakin besar pada akad Ijarah Muntahiya Bittamlikakibat implikasiFatwa DSN-MUI No.85/DSN-MUI/XII/2012 karena wa’ad yang dituangkan dalam perjanjian tertulis saat Ijarahdisepakati dan sifat dari wa’ad mengikat secara hukum. Risiko Implementasi PSAK 107 tentang Akad IjarahMuntahiya Bittamlik Terhadap Fatwa DSN MUI No. 85/DSN-MUI/XII/2012 Dengan diterapkannya Fatwa DSN-MUI No.85/DSN-MUI/XII/2012 ternyata praktik akad Ijarah Muntahiya Bittamlik memiliki risiko tidak lagi sesuai dengan PSAK 107 tentang akuntansi ijarah. Dalam PSAK 107 dijelaskan bahwa opsi perpindahan kepemilikan yang terdapat pada akad Ijarah Muntahiya Bittamlik hanya akan dilakukan ketika masa sewa berakhir, namun dengan berlakunya Fatwa DSN-MUI No.85/DSN-MUI/XII/2012 memiliki risiko ketidaksesuaian dengan pernyataan tersebut. Karena dengan Fatwa DSN-MUI No.85/DSNMUI/XII/2012 maka status dari akad yang dikerjakaan memiliki risiko mengikat
17
yaitu opsi perpindahan kepemilikan obyek sewa harus dikerjakan oleh pelaku akad yang berbanding terbalik dengan pedoman yang terdapat dalam Fatwa DSNMUI No. 27/DSN-MUI/III/2002 mengenai larangan opsi perpindahan kepemilikan hukumnya mengikat. Selain itu dengan diberlakukannya Fatwa DSN-MUI No.85/DSNMUI/XII/2012 membuat akad Ijarah Muntahiya Bittamlik memiliki risiko sama dengan transaksi Capital Lease (Finence Lease) yang memiliki sifatberbeda dengan ketentuan dalam syariat islam. PSAK No 30 menyatakan bahwa Capital Lease adalah sewa-menyewa yang kegiatannya mengalihkan secara subtansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan obyek sewa.Menurut Smith (1984) sebuah transaksi sewa-menyewa digolongkan Capital Leasejika memiliki satu atau lebih dari sifat dari Capital Leaseyaitu: 1. Ketika masa sewa selesai maka hak milik pindah kepada penyewa 2. Dalam perjanjian yang disepakati harus dicantumkan bahwa penyewa memiliki hak untuk membeli obyek sewa dengan harga yang menguntungkan, yaitu dengan harga dibawah taksiran fair valuenya ketika hak membeli direalisasi ( Opsi Bargain Purchase) 3. Masa sewa lebih besar 75% daripada umur ekonomis obyek sewa (untuk obyek yang belum dimanfaatkan) 4. Ketika sewa dimulai present value dari pembayaran sewa harus lebih dari atau sama dengan 90% daripada harga pasar obyek sewa. Dengan demikian jika wa’ad opsi perpindahan kepemilikan pada akad Ijarah Muntahiya Bittamlik dihukumi mengikat seperti kandungan isi Fatwa DSN-MUI No.85/DSN-MUI/XII/2012 maka hampir pasti ketika masa sewa berakhir obyek sewa langsung menjadi milik penyewa. Hal ini memenuhi sifat dari transaksi Capital Lease yaitu ketika masa sewa berakhir obyek sewa menjadi milik penyewa. Sehingga jika akad Ijarah Muntahiya Bittamlik setelah Fatwa DSNMUI No.85/DSN-MUI/XII/2012berisiko tergolong pada transaksi Capital Lease maka penyewa harus mencantumkan obyek sewa yang diperjanjikan dalam aktivanya dan pada sisi kredit mencantumkan hutang. Lebih jauh lagi dengan merujuk definisi sifat transaksi yang digolongkan Capital Lease diatas maka ada praktik pada akad Ijarah Muntahiya Bittamlik yang memenuhi kriteria sifat Capital Lease dengan modelwa’ad yang mengikat dan secara subtansi yang melakukan akad perpindahan kepemilikan obyek sewa adalah subjek yang sama maka: 1. Syarat pertama pada sifat Capital Leasemengenai perpindahan kepemilikan telah terpenuhi. 2. Syarat kedua sebuah akad digolongkan Capital Lease adalah adanya opsi untuk membeli telah terpenuhi. Secara default pada akad Ijarah Muntahiya Bittamlik memang terdapat opsi untuk membeli obyek sewa di akhir masa sewa sesuai dengan isi pedoman yang terdapat pada PSAK 107 maupun Fatwa DSN-MUI No. 27/DSN-MUI/III/2002 terkait perpindahan kepemilikan obyek sewa.
18
3. Syarat ketiga yaitu masa sewa akad Ijarah Muntahiya Bittamlik memiliki potensi berumur lebih dari 75% jikaobyeksewa akad Ijarah Muntahiya Bittamlikadalah aset jangka panjangseperti rumah. 4. Syarat terakhir sebuah transaksi akan digolongkan Capital Lease adalah present value harga sewa sama dengan atau lebih besar dari 90% harga obyek sewa. Zaky (2014) menjelaskan bahwa dalam akad Ijarah Muntahiya Bittamlik penentuan harga sewa menggunakan prinsip Nilai Obyek dibagi umur sewa. Nilai Obyek sewa merupakan jumlah dari harga pokok obyek, beban pemeliharaan, dan keuntungan yang ingin diraih. Sehingga ketika akad perpindahan kepemilikan dilakukan nilai obyek sewa sudah nol atau semisal nilai residu obyek. Secara umum present value obyek sewa saat akad ijarah disepakati harga sewa yang disepakati bisa sama atau bahkan melebihi 90%presen value obyek sewa. Jika demikian yang terjadi maka secara subtantif akad Ijarah Muntahiya Bittamlik telah memenuhi empat kriteria sifat transaksi Capital Lease, sehingga ada beberapa perlakuan akuntansi pada akad Ijarah Muntahiya Bittamlik yang harus diganti. Jika sebelumnya ada beberapa tanggungan merupakan tanggungjawab pemilik obyek sewa kini menjadi tanggungan penyewa.Pertama, mengenai biaya perawatan obyek sewa selama masa sewa. Jika merujuk pada PSAK 107 biaya perawatan obyek sewa dibebankan pada pemilik sewa. Namun dengan diterbitkannya Fatwa DSN-MUI No.85/DSN-MUI/XII/2012 maka berisiko biaya perawatan menjadi tanggungan penyewa sesuai dengan ketentuan pada PSAK 30 mengenai tanggungjawab pemilik dan penyewa pada transaksiCapital Lease. Kedua,terkait dengan biaya penyusutan obyek sewa akad Ijarah Muntahiya Bittamlik.Dengan berlakunyaFatwa DSN-MUI No.85/DSNMUI/XII/2012 maka ada risiko akad pemindahan kepemilikan dilakukan ketika awal masa sewa dilaksanakan sehingga pedoman yang berlaku pada Capital Lease tentang pembebanan segala biaya yang berkaitan dengan obyek sewa kepada penyewa juga berlaku pada akad Ijarah Muntahiya Bittamlik.
19
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Nurdianawati Irwani. 2010. Status and Implication of Promise (wa’d) in Contemporary Islamic Banking. Jurnal Ilmiah. Diakses pada 26 April 2016 Al-Albani, Muhammad Nashirudin. 2008. Ringkasan Shahih Muslim. Jakarta: Pustaka As Shunah Al-Mubarakfuri, Muhammad Abdurahman bin Abdurahim. 2001. Sunan Tirmidzi. Kairo: Darul Hadist Al-Muslih. 2004. Fiqh Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta: Darul Haq Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori Kepraktek. Jakarta: Gema Insani Press Ariyanti, Fiki. 2015. Kejar Pertumbuhan Ekonomi 5,2%, BI Siap Beri Stimulus?. Diambil dariKoran Online. http://bisnis.liputan6.com. Di akses pada 29 April 2016 Arwan, Firdaus Muhammad. 2009. Ijarah Muntahiya Bittamlik sebagai Hukum Perjanjian Sewa-Beli dalam Ekonomi Syariah. Jurnal Badilag. http://www.arsip.badilag.net. Diakses pada 13 Febriari 2016 Ascarya. 2007. Akad dan Produk Syari’ah. Jakarta: Raja Grafindo Raya Bello, Shafi’i Abdul Azeez, Rusnibt Hassan. 2013. The Scope And Application Of Wañ Ad, Muwañadah And Wañdan In Islamic Finance. Merit Research Journal of Accounting, Auditing, Economics and Finance. Diakses pada 11 November 2015 Dewan Syariah Nasional MUI. 2000. Fatwa Dewan Syariah Nasional Tentang Ijarah. Jakarta: MUI Dewan Syariah Nasional MUI. 2002. Fatwa Dewan Syariah Nasional Tentang Ijarah Muntahiya Bittamlik. Jakarta: MUI Dewan Syariah Nasional MUI. 2012. Fatwa Dewan Syariah Nasional Tentang Wa’ad. Jakarta: MUI Dewi, Gemala dkk. 2007. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group Ikatan Akuntan Indonesia.2011.Pernyataan Standar akuntansi Keuangan Nomor 16, tentang Aset Tetap. Jakarta: Salemba Empat Ikatan Akuntan Indonesia. 2010. Pernyataan Standar akuntansi Keuangan Nomor 19, tentang Aset Tidak Berwujud. Jakarta: Salemba Empat Ikatan Akuntan Indonesia. 2008. Pernyataan Standar akuntansi Keuangan Nomor 107, tentang Akuntansi Perbankan Syariah. Jakarta: Salemba Empat Karim, Adiwarman A. 2006. Bank Islam Keuangan).Jakarta: Raja Grafindo Persada
(Analisis
Fiqh
dan
20
Mingka, Agustianto. 2013. Hibryd Contract dalam Keuangan Syariah. Diambil dari http://www.agustiantocentre.com. Diakses pada 5 Januari 2016 Naja, Daeng. 2011. Akad Bank Syariah. Yogyakarta: Pustaka Yustisia Nurhayati, Sri dan Wasilah. 2013. Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia. 2013. Jakarta: Bank Indonesia Putra, Andri Ridwansyah B. 2013. Transaksi Jual Beli Kendaraan Melalui Bank Syariah Dengan Menggunakan Akad Murabahah. Skripsi. Makassar: Program Sarjana Universitas Hasanuddin Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunah 13. Terjemahan Kamaluddin A. Marzuki. Bandung: Al Ma’arif Sangadah, Nur Umi. 2007. Pelaksanaan Al-Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-Tamlik Di BMT Harapan Umat Klaten. Skripsi. Yogyakarta: Program Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan kalijaga Sepyarini, Indah Dwi. 2010. Penyelesaian Sengketa Pajak melalui Mutual Agreement Procedure Serta Interaksinya dengan Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan. Skripsi. Jakarta: Program Sarjana Universitas Indonesia Sevilla, C. G. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Penerjemah Alimuddin Tuwu. Jakarta: Universitas Indonesia Press Sholihin, Ahmad Ifham. 2010. Buku Pintar Ekonomi Syariah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2008. Jakarta Wiroso. 2011. Akuntansi Transaksi Syariah. Jakarta: Ikatan Akuntansi Indonesia Zaky, Achmad dkk. 2014. Modul Pelatihan Akuntansi dan Keungan Syariah “Akad dan Akuntansi Transaksi Syariah” Edisi III. IFAS Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Malang: Universitas Brawijaya Zeid, Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia