IMPLEMENTASI PERATURAN BERSAMA KOMISI YUDISIAL 02/PB/P.KY/IX/2012 DAN MAHKAMAH AGUNG 02/PB/MA/IX/2012 TERHADAP PERILAKU HAKIM Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh : Ahmad Haidar Muiny NIM : 1111048000054
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H / 2015 M
ABSTRAK
AHMAD HAIDAR MUINY, NIM: 1111048000054, Implementasi Peraturan Bersama Mahkamah Agung No.02/PB/MA/IX/2012 dan Komisi Yudisial No.02/PB/P.KY/IX/2012 Terhadap Perilaku Hakim, Strata satu (S1), Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 1436 H / 2015 M. ix + 82 halaman. Skripsi ini membahas tentang permasalahan tentang kode etik dan perilaku hakim yang ada di Indonesia. yaitu penerapan Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial terhadap perilaku hakim. Adapun tujuan penelitian ini sebagai berikut, (1) Untuk mengetahui kode etik dan perilaku hakim yang telah diputuskan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial melalui peraturan bersama. (2) Untuk mengetahui bagaimana efektifitas peraturan bersama Mahkamah Agung dan Komisi yudisial dalam mengawasi kode etik dan perilaku hakim. (3) Untuk mengetahui penerapan peraturan bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial terhadap hakim yang melanggar. Metode penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kepustakaan bersifat normatif. Normatif artinya penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum objektif (norma hukum), yaitu mengadakan penelitian terhadap masalah hukum dan perilaku yang ada di masyarakat. Kesimpulan dari analisis yang dilakukan adalah Kode etik profesi merupakan inti yang melekat pada suatu profesi, ialah kode perilaku yang memuat nilai etika dan moral. Hakim dituntut untuk profesional dan menjunjung etika profesi. Pelanggaran atas suatu kode etik profesi tidaklah terbatas sebagai masalah internal lembaga peradilan, tetapi juga merupakan masalah masyarakat.
Kata Kunci
: Implementasi Peraturan Bersama Terhadap Perilaku Hakim
Pembimbing
: H. Syafrudin Makmur, SH., MH.
Daftar Pustaka : Tahun 1994 sampai Tahun 2014
iv
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم
Segala puji dan syukur ke-Hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis, Alhamdulillahi Robbil „alamin
terucap
dengan
ikhlas
segala
rasa
syukur
kepada-Nya
atas
terselesaikannya skripsi ini oleh penulis. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada Nabi besar kita Nabi Muhammad SAW. Dengan penuh rasa tulus penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, akan tetapi skripsi ini merupakan hasil usaha dan upaya yang maksimal. Tidak sedikit hambatan, ujian dan kesulitan yang penulis temui. Banyak hal yang tidak dapat dilampirkan didalam skripsi ini karena keterbatasan pengetahuan dan waktu. Namun patut dan selalu disyukuri atas pengalaman suka duka yang didapatkan dalam penulisan skripsi ini. Penulis sangat berterimakasih, tanpa motivasi dari pembimbing dan semua pihak yang mendukung penelitian ini, penelitian ini tidak dapat terselesaikan. Pada kesempatan kali ini izinkanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat: 1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. 2. Bapak Dr. Djawahir Hejjazziey, SH, MA, MH., Ketua Prodi Ilmu Hukum. 3. Bapak Arip Purqon, MA., Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum.
v
4. Bapak H. Syafrudin Makmur, SH., MH., Dosen Pembimbing penulis yang selalu sabar dalam membimbing penulis dan selalu membantu serta memotivasi penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. 5. Bapak Ahmad Bahtiar, M.Hum., Dosen Pembimbing Akademik penulis dari semester awal hingga semester akhir perkuliahan. 6. Kedua orang tua penulis bapak H. Fahrul Fuadi, Spd. dan ibu Dra. Hj. Tuti Ulwiyah, M.H. yang selalu mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis, memberikan motivasi, doa dan selalu mendukung penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang Perguruan Tinggi Negeri. 7. Kepada seluruh keluarga besar almarhum Drs. Ahmad Amin dan al marhum K.H. Irsyad Muiny S.H yang telah memberikan semangat, motivasi, dan doa kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 8. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Program Studi Ilmu Hukum. 9. Seluruh kawan-kawan Program Studi Ilmu Hukum terutama kawan-kawan seperjuangan konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara 2011. 10. Semua sahabat penulis dari Program Studi Ilmu Hukum angkatan 2011 B, teman-teman dari Pusat Studi Hukum Kelembagaan Negara, dan temanteman KKN yang tidak bisa penulis sebutkan satu-satu. Atas semua jasa, dukungan dan bantuan dari semua pihak yang telah disebutkan diatas penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan selalu mendoakan semoga Allah SWT memberikan balasan kebaikan yang
vi
berlipat ganda atas kebaikan dan ketulusan semua pihak yang turut serta membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Semoga Allah SWT selalu memeberikan Rahmat dan Hidayah-Nya serta mencurahkan kasih sayang-Nya kepada kita semua. Amin Allahuma Amin.
Jakarta, Juni 2015
Ahmad Haidar Muiny
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ..............................................................................
i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iii ABSTRAK ......................................................................................................... iii KATA PENGANTAR ....................................................................................... iv DAFTAR ISI ...................................................................................................... vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..........................................................................
1
B. Rumusan Masalah dan Pembatasan Masalah ..........................................
7
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ...............................................................
8
D. Kerangka Teoritis ...................................................................................
9
E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ........................................................ 13 F. Metode Penelitian.................................................................................... 15 G. Sistematika Penulisan ............................................................................ 18 BAB II LEMBAGA KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA A. Mahkamah Agung (MA) ........................................................................ 20 B. Mahkamah Konstitusi (MK) ................................................................... 22 C. Lembaga Pendukung Kekuasaan Kehakiman ......................................... 32 BAB III KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG DAN KOMISI YUDISIAL A. Tugas dan Wewenang Mahkamah Agung ............................................ 34
vii
B. Tugas dan Wewenang Komisi Yudisial .................................................. 42 C. Korelasi Antara Kewenangan Mahkamah Agung Dengan Komisi Yudisial Terhadap Kode Etik Perilaku Hakim…………………….. …………. 48 BAB IV IMPLEMENTASI PERATURAN BERSAMA KOMISI YUDISIAL DAN MAHKAMAH AGUNG A. Tindakan Mahkamah Agung Dalam Menangani Kode Etik dan Perilaku Hakim ...................................................................................................... 54 B. Tindakan Komisi Yudisial Dalam Menangani Kode Etik dan Perilku Hakim ..................................................................................................... 57 C. Analisis Implementasi Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 Terhadap Kasus Hakim Agung Achmad Yamanie dan Kasus Hakim Vica Natalia………………………………………………………………….59 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................................. 77 B. Saran-Saran ............................................................................................. 79 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 80
viii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Implementasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah penerapan atau pelaksanaan dalam sebuah pekerjaan.1 Dalam kode etik hakim, hakim dituntut untuk bersikap adil, jujur, arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati, dan bersikap professional. Semua hal tersebut demi mewujudkan keadilan sepenuhnya yang ada di Indonesia. Dalam kaitannya dengan hal ini hakim tidak hanya dituntut untuk memutuskan sebuah perkara dengan hanya menggunakan undang-undang saja tapi juga menggunakan yurisprudensi. Cerminan perilaku hakim yang harus senantiasa berlandasakan pada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, adil, bijaksana, berwibawa, berbudi luhur dan jujur, ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang melandasi prinsip-prinsip pedoman hakim dalam bertingkah laku sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketaqwaan tersebut akan mendorong hakim untuk berperilaku baik dan penuh tanggung jawab sesuai tuntunan agama masing-masing.2
1
Hoetomo M.A, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, cet-ke 1, (Mitra Pelajar: Surabaya, 2005), h.196 2
Pedoman Perilaku Hakim, (Kepaniteraan Mahkamah Agung RI : Jakarta, 2008), h. 2
1
2
Untuk melaksanakan suatu fungsi, pada semua lini dalam setiap bidang pada dasarnya terdapat beberapa unsur pokok, yaitu : tugas, yang merupakan kewajiban dan kewenangan. Aparat, orang yang melaksanakan tugas tersebut. Lembaga, yang merupakan tempat atau wadah yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana bagi aparat yang akan melaksanakan tugasnya. Bagi seorang aparat, mendapatkan tugas merupakan mendapatkan kepercayaan untuk dapat mengemban tugas dengan baik dan harus dikerjakan dengan sebaiknya. Untuk mengerjakan tugas tersebut akan terkandung sebuah tanggung jawab dalam melaksanakan dan mengerjakan tugas tersebut. Tanggung jawab dapat dibedakan menjadi 3 hal yakni : moral, teknis profesi dan hukum. Tanggung jawab hukum merupakan tanggung jawab yang menjadi beban aparat untuk melaksanakan tugasnya sesuai dengan ramburambu hukum yang telah ada, dan wujud dari pertanggung jawaban ini merupakan sebuah sanksi. Sementara itu tanggung jawab moral merupakan tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai, norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kehidupan yang bersangkutan (kode etik profesi). Hal inilah yang menyebabkan terbentuknya sistem peradilan yang diharapkan dapat membuat keseimbangan sosial dan kedamaian didunia ini. Namun perlu kita sadari aparat-aparat hukum juga merupakan seorang manusia yang memiliki kekurangan dan memiliki kesalahan yang tidak dapat dipungkiri. Beberapa tekanan terkadang dapat membuat seseorang melakukan hal-hal yang kadang tidak sesuai maka dari itu diperlukannya kode etik dalam menjalankan sebuah profesi.
3
Mahkamah Agung (MA) adalah lembaga Negara yang menjalankan kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi. MA adalah lembaga yang “merdeka”, artinya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya dalam menyelenggarakan peradilan untuk menegakan hukum dan keadilan. MA merupakan puncak perjuangan keadilan bagi setiap warga negara, karena MA sebagai Peradilan Tertinggi Negara dari badan-badan peradilan yang berada di bawahnya, termasuk peradilan khusus yang banyak dibentuk sekarang ini.3 Sejarah berdirinya Mahkamah Agung RI tidak dapat dilepaskan dari masa penjajahan atau sejarah penjajahan di bumi Indonesia ini. Hal mana terbukti dengan adanya kurun-kurun waktu, dimana bumi Indonesia sebagian waktunya dijajah oleh Belanda dan sebagian lagi oleh Pemerintah Inggris dan terakhir oleh Pemerintah Jepang. Oleh karenanya perkembangan peradilan di Indonesia pun tidak luput dari pengaruh kurun waktu tersebut. Pada tahun 1807 Mr. Herman Willem Deandels diangkat menjadi Gubernur Jenderal oleh Lodewijk Napoleon untuk mempertahankan jajahanjajahan Belanda di Indonesia terhadap serangan-serangan pihak Inggris. Deandels banyak sekali mengadakan perubahan-perubahan di lapangan peradilan terhadap apa yang diciptakan oleh VOC, diantaranya pada tahun 1798 telah mengubah Raad van Justitie menjadi Hooge Raad. Kemudian tahun 1804 Betaafse Republiek telah menetapkan suatu Piagam atau
3
Philipus M Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, cet-ke 10, (Gajah mada University Press : Yogyakarta, 1994) h. 13
4
Regeringsreglement buat daerah-daerah jajahan di Asia. Dalam Pasal 86 Piagam tersebut, yang merupakan perubahan-perubahan nyata dari zaman pemerintahan Daendels terhadap peradilan di Indonesia, ditentukan sebagai berikut : “Susunan pengadilan untuk bangsa Bumiputera akan tetap tinggal menurut hukum serta adat mereka. Pemerintah Hindia Belanda akan menjaga dengan alat-alat yang seharusnya, supaya dalam daerah-daerah yang langsung ada dibawah kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda sedapatdapatnya dibersihkan segala kecurangan-kecurangan, yang masuk dengan tidak diketahui, yang bertentangan dengan tidak diketahui, yang bertentangan degan hukum serta adat anak negeri, lagi pula supaya diusahakan agar terdapat keadilan dengan jalan yang cepat dan baik, dengan menambah jumlah pengadilan-pengadilan negeri ataupun dengan mangadakan pengadilan-pengadilan pembantu, begitu pula mengadakan pembersihan dan pengenyahan segala pengaruh-pengaruh buruk dari kekuasaan politik apapun juga.” Piagam tersebut tidak pernah berlaku, oleh karena Betaafse Republiek segera diganti oleh Pemerintah Kerajaan, akan tetapi ketentuan di dalam “Piagam” tidak sedikit memengaruhi Deandels di dalam menjalankan tugasnya. Komisi Yudisial (KY) merupakan lembaga yang akan berperan dalam proses seleksi hakim agung dan melakukan pengawasan para hakim. Melalui Komisi Yudisial, diharapkan proses seleksi hakim agung lebih objektif dan transparan, dan moralitas serta kejujuran para hakim akan semakin terawasi. Keberadaan Komisi Yudisial diperlukan sebagai bagian dari perbaikan peradilan akibat kegagalan sistem yang telah ada untuk menciptakan pengadilan yang lebih baik. Sehingga dapat mendukung dan memperkuat
5
lembaga pengadilan dan kemajuan pelaksanaan peradilan.4 Sejarah Pembentukan Komisi Yudisial Berawal pada tahun 1968 muncul ide pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) yang berfungsi untuk memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan akhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan,
promosi,
pindahan
rumah,
pemberhentian
dan
tindakan/hukuman jabatan para hakim. Namun ide tersebut tidak berhasil dimasukkan dalam undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman. Baru kemudian tahun 1998 muncul kembali dan menjadi wacana yang semakin kuat dan solid sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim, yang tentunya memerlukan pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri agar cita-cita untuk mewujudkan peradilan yang jujur, bersih, transparan dan profesional dapat tercapai. Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001 yang membahas amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disepakati beberapa perubahan, penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk di dalamnya Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
4
Thohari, A Ahsin, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, cet-ke 1, (ELSAM :
Jakarta, 2004) h. 23
6
Berdasarkan pada amandemen ketiga itulah dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disahkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2004. Setelah melalui seleksi yang ketat, terpilih 7 (tujuh) orang yang ditetapkan sebagai anggota Komisi Yudisial periode 2005-2010 melalui Keputusan Presiden tanggal 2 Juli 2005. Selanjutnya pada tanggal 2 Agustus 2005, ketujuh anggota Komisi Yudisial mengucapkan sumpah dihadapan Presiden, sebagai awal memulai masa tugasnya. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh A. Ahsin Thohari, di bebarapa negara, Komisi Yudisial muncul sebagai akibat dari salah satu atau lebih dari lima hal sebagai berikut: Lemahnya monitoring secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman, karena monitoring hanya dilakukan secara internal saja. Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) dalam hal ini Departemen Kehakiman– dan kekuasaan kehakiman (judicial power). Kekuasaan kehakiman dianggap tidak mempunyai efisiensi dan efektivitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan persoalanpersoalan teknis non-hukum. Tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan kurang memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus. Pola rekruitmen hakim selama ini dianggap terlalu bias dengan masalah politik, karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga-lembaga politik, yaitu presiden atau parlemen.5
1. 2.
3.
4.
5.
Masih menurut A. Ahsin Thohari, tujuan pembentukan Komisi Yudisial adalah: 1.
Melakukan monitoring yang intensif terhadap lembaga peradilan dengan cara melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas5
Thohari, A Ahsin, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, cet-ke 1, (ELSAM : Jakarta, 2004), h. 54
7
luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal saja. Monitoring secara internal dikhawatirkan menimbulkan semangat korps (l‟esprit de corps), sehingga objektivitasnya sangat diragukan. Menjadi perantara (mediator) antara lembaga peradilan dengan Departemen Kehakiman. Dengan demikian, lembaga peradilan tidak perlu lagi mengurus persoalan-persoalan teknis non-hukum, karena semuanya telah ditangani oleh Komisi Yudisial. Sebelumnya, lembaga peradilan harus melakukan sendiri hubungan tersebut, sehingga hal ini mengakibatkan adanya hubungan pertanggungjawaban dari lembaga peradilan kepada Departemen Kehakiman. Hubungan pertanggungjawaban ini menempatkan lembaga peradilan sebagai subordinasi Departemen Kehakiman yang membahayakan independensinya. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas lembaga peradilan dalam banyak aspek, karena tidak lagi disibukkan dengan hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan aspek hukum seperti rekruitmen dan monitoring hakim serta pengelolaan keuangan lembaga peradilan. Dengan demikian, lembaga peradilan dapat lebih berkonsentrasi untuk meningkatkan kemampuan intelektualitasnya yang diperlukan untuk memutus suatu perkara. Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen. Di sini diharapkan inkonsistensi putusan lembaga peradilan tidak terjadi lagi, karena setiap putusan akan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari Komisi Yudisial. Dengan demikian, putusan-putusan yang dianggap kontroversial dan mencederai rasa keadilan masyarakat dapat diminimalisasi kalau bukan dieliminasi.6
2.
3.
4.
Meminimalisasi terjadinya politisasi terhadap rekruitmen hakim, karena lembaga yang mengusulkan adalah lembaga hukum yang bersifat mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan lain, bukan lembaga politik lagi, sehingga diidealkan kepentingan-kepentingan politik tidak lagi ikut menentukan rekrutmen hakim yang ada.
B. Rumusan Masalah dan Batasan Masalah 1.
Batasan Masalah 6
Thohari, A Ahsin, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, cet-ke 1, (ELSAM : Jakarta, 2004), h. 64
8
Pengawasan kode etik hakim yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sudah terlalu luas, oleh karena itu pembahasan penulisan ini dibatasi hanya pada implementasi Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial terhadap perilaku hakim. 2.
Rumusan Masalah a.
Bagaimana kewenangan Mahkamah Agung 02/PB/MA/IX/2012 dan Komisi Yudisial 02/PB/P.KY/IX/2012 dalam peraturan bersama?
b.
Apakah Mahkamah Agung 02/PB/MA/IX/2012 dan Komisi Yudisial
02/PB/P.KY/IX/2012
sudah
menerapkan
peraturan
bersama terhadap hakim yang melanggar?
C.
Tujuan dan Manfaat penulisan 1.
Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan ini secara umum untuk mengetahui implementasi atau penerapan peraturan bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dalam hal menangani perilaku hakim dalam menjalani tugas yang diembannya. Sedangkan secara khususnya, penilitian ini bertujuan untuk : a.
Untuk mengetahui kode etik dan perilaku hakim yang telah diputuskan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial melalui keputusan bersama.
9
b.
Untuk mengetahui bagaimana efektifitas peraturan bersama Mahkamah Agung dan Komisi yudisial dalam mengawasi kode etik dan perilaku hakim.
c.
Untuk mengetahui penerapan peraturan bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial terhadap hakim yang melanggar.
Manfaat Penulisan
2.
Adapun manfaat penulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan hakim dibidang kode etik dan perilaku hakim.
D.
Kerangka Teoritis Sesuai dengan prinsip bahwa negara Indonesia menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of power), dengan sistem pemisahan kekuasaan ini lembaga negara menjadi kekuasaan yang dinisbatkan sebagai fungsi lembaga negara yang sederajat dan saling mengendalikan satu sama lainnya.7 Maka lembaga negara mempunyai kewenangan yang terpisah dari dengan lembaga negara lainnya. Hal ini dimaksudkan agar tidak adanya monopoli kekuasaan terhadap kewenangan lembaga negara lain, sesuai dengan prinsip checks and balances. Pemerintahan pada awalnya dibentuk untuk menghindari keadaan dimana sebuah wilayah yang dihuni oleh manusia mengalami
7
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, diterbitkan atas kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unversitas Indonesia, 2004, h. 58
10
serba kekacauan.8 Dalam rangka pelaksanaan pekerjaan dan untuk mencapai tujuan dari pemerintah yang telah direncanakan maka perlu ada pengawasan, karena dengan pengawasan tersebut, maka tujuan yang akan dicapai dapat dilihat dengan berpedoman rencana yang telah ditetapkan terlebih dahulu oleh pemerintah. Sebagaimana pendapat Situmorang dan Juhir mengemukakan agar terciptanya aparat yang bersih dan berwibawa yang didukung oleh suatu sistem manajemen pemerintah yang berdaya guna dan berhasil guna serta ditunjang oleh partisipasi masyarakat yang konstruksi dan terkendali dalam wujud pengawasan masyarakat (control social) yang obyektif, sehat dan bertanggung jawab. Dapat diketahui bahwa pada pokoknya tujuan pengawasan adalah membandingkan antara pelaksanaan dan rencana serta instruksi yang telah dibuat, untuk mengetahui ada tidaknya kesulitan, kelemahan atau kegagalan serta efisiensi dan efektivitas kerja dan untuk mencari jalan keluar apabila ada kesulitan, kelemahan dan kegagalan atau dengan kata lain disebut tindakan korektif.9 Pendapat ini terbukti jika sebuah lembaga negara tidak melakukan pengawasan terhadap para pekerjanya maka akan ada kelemahan dan kegagalan dalam kinerja lembaga tersebut. Dalam mengelola pemerintahan secara baik dan benar, pemerintah hendaknya jangan hanya sebagai penjaga malam yang memetingkan 8
Ryaas Rasyid, Makna Pemerintahan : tinjauan dari segi etika dan kepemimpinan, cetke 2, (PT. Yarsif Watampone : Jakarta, 1997),h. 1 9
Titik Triwulan T, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, cet-ke 3, ( Prenada Media Group : Jakarta, 2011), h.452- 454
11
ketertiban tetapi juga jangan lupa pada ketentraman dan kesejahteraan jadi jangan hanya mampu berkuasa tetapi juga mampu untuk melayani, oleh karena itu disebut sebagai pemerintah yang baik dan benar atau dengan kata lain good governance dan cleant government. Menurut Sumendar, ilmu pemerintahan sebagai badan yang penting dalam rangka pemerintahannya, pemerintah musti memperhatikan ketentraman dan ketertiban umum, tuntutan dan harapan serta pendapat rakyat, kebutuhan dan kepetingan masyarakat, pengaruh lingkungan, pengaturan, komunikasi, peran serta seluruh lapisan masyarakat, serta keberadaan legitimasi. Dan menurut Munasef, ilmu pemerintahan adalah suatu ilmu yang dapat menguasai dan memeimpin serta menyelidiki unsur-unsur dinas, berhubungan dengan keserasian ke dalam hubungan antar dinas-dinas itu dengan masyarakat yang kepentingannya diwakili dinas tersebut.10 Kepastian hukum adalah apa yang berusaha dipertahankan teori hukum tradisional, dengan sadar atau pun tidak.11 Kepastian hukum merupakan suatu hal yang hanya bisa dijawab secara normatif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bukan sosiologis, tapi kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi10
Inu Kencana Syafie, Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia, cet-ke 1, (PT. Refika Aditama : Bandung, 2003), h. 6 11
130.
Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum, cet-ke 1, (Nusa Media : Bandung, 2010), h.
12
tafsir) dan logis dalam arti menjadi sistem norma dengan norma yang lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian. Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.12 Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu
12
158.
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, cet-ke 5, (Kencana : Jakarta, 2008), h.
13
dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu13.
E.
Tinjauan (Review) Studi Terdahulu Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, penulis akan menyertakan beberapa hasil penilitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan kajian materi yang akan dibahas, sebagai berikut: Sumber pembahasan ini diambil dari buku Kode Etik Hakim, penulis Wildan Suyuthi Mustofa, dari penerbit Kencana yang membahas tentang kode etik dan perilaku hakim. Adapun skripsi yang pernah membahas seputar kode etik dan perilaku hakim diantaranya adalah:
No. Aspek Perbandingan a. Judul Skripsi
1.
Studi Terdahulu Pengawasan Perilaku Hakim Oleh Majelis Kehormatan
Hakim
Dalam
Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia. b. Fokus
Bagaimana aturan-aturan mengenai perilaku dan
kode
menegakkan
13
etik
hakim
kehormatan
dalam dan
rangka
keluhuran
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, cet-ke 1, (Citra Aditya Bakti : Bandung, 1999), h. 23.
14
martabat
hakim,
pengawasan terhadap
serta
majelis
perilaku
bagaimana
kehormatan
hakim
dalam
cara hakim sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia. c. Waktu/Tempat
2.
a. Judul Skripsi
Universitas Andalas, Padang 2011 Komisi Yudisial Dalam Mengawasi Hakim Persepektif Peradilan Islam.
b. Fokus
Komisi yudisial dalam pengawasan putusan, administrasi, dank ode etik hakim harus sesuai dengan peradilan islam yang selama ini telah dijalankan dari mulai Rasul dan para sahabatnya, yaitu menjunjung tinggi keadilan bagi masyarakat luas.
c. Waktu/Tempat
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta 2013
Sebagai pertimbangan sekaligus pembeda, penulisan yang akan diangkat oleh penulis adalah cakupan pembahasan skripsi yang lebih fokus mengenai
penerapan
peraturan
bersama
Mahkamah
Agung
No.
02/PB/MA/IX/2012 dan Komisi Yudisial No. 02/PB/P.KY/IX/2012 terhadap permasalahan kode etik dan perilaku hakim.
15
F.
Metode Penelitian Metode penelitian adalah suatu cara
yang digunakan untuk
memecahkan permasalahan dan sebagai pedoman untuk memperoleh hasil penelitian yang mencapai tingkat kecermatan dan ketelitian yang dapat dipertanggungjawabkan. 1. Jenis dan Sifat Penelitian Metode penelitian merupakan metode ilmiah untuk mendapatkan tujuan dan kegunaan tertentu. Indikasi hendaknya sebuah penelitian dapat diukur dari sisi : rasionalitas, empris, dan sistematis, rasionalitas artinya penelitian dilakukan dengan cara yang masuk akal sehingga terjangkau oleh penalaran manusia, sementara empiris metode yang digunakan dengan cara indra manusia, dan sitematis artinya proses penelitian tersebut menggunakan langkah-langkah yang bersifat logis. menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan know-how dalam ilmu hukum yang bersifat perspektif, bukan sekedar know-about. Sebagai kegiatan knowhow penilitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi. Di sinilah dibutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah hukum, melakukan penalaran hukum, menganalisis masalah yang dihadapi dan kemudian memberikan pemecehan atas masalah tersebut.14 2.
Pendekatan Yang Dipakai
14
Peter Mahmud Marzuki, Penilitian Hukum, cet-ke 5, (Kencana Prenada Media Group : Jakarta, 2013), h. 60.
16
Atas dasar itu pembahasan pokok dalam penulisan ini menggunakan sebuah metode kajian buku atau normatif maka penulis menggunakan pendekatan
undang-undang
(statute
approach),
pendekatan
konsep
(conceptual approach), dan pendekatan historis (historical approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang berkaitan dengan kode etik atau perilaku hakim. Pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep aturan perundang-undangan tentang kode etik dan perilaku
hakim. Pendekatan historis dilakukan untuk
mengetahui sejarah tentang undang-undang yang mengatur tentang permasalahan kode etik dan perilaku hakim yang ada di Indonesia. 3.
Bahan dan Sumber Penelitian a.
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer meliputi perundangan-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim.15 Dalam penelitian ini yang termasuk dalam bahan hukum primer adalah UUD 1945, Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang- Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang amandemen Undang-Undang Mahkamah Agung, Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia No. 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/IX/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode Etik Hakim Dan Pedoman Perilaku Hakim. 15
Peter Mahmud Marzuki, Penilitian Hukum, cet-ke 5, (Kencana Prenada Media Group : Jakarta, 2013), h. 181.
17
b.
Bahan Hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan komentarkomentar atas putusan pengadilan.
c.
Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang dipandang perlu.16
4.
Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan metode pengumpulan data melalui studi dokumen/ kepustakaan (library research) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang berkaitan dengan kode etik dan perilaku hakim, peraturan perundangundangan
yang terkait dengan kode etik dan perilaku hakim. pendapat
sarjana, surat kabar, artikel, kamus dan juga berita yang penulis peroleh dari internet. 5.
Metode Pengolahan dan Analisa Data Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan analisis secara deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif yaitu metode analisa data yang mengelompakan dan menyeleksi data yang diperoleh dari berbagai sumber kepustakaan dan peristiwa konkrit yang menjadi objek penelitian, kemudian dianalisa secara interpretative menggunakan teori maupun hukum positif yang telah dituangkan, kemudian secara induktif ditarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang ada. 16
Peter Mahmud Marzuki, Penilitian Hukum, cet-ke 5, (Kencana Prenada Media Group : Jakarta, 2013), h. 183.
18
6.
Pedoman Penulisan Skripsi Penulisan dan penyusunan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Cet. 1. 2012.”
G. Sistematika Penulisan Adapun dalam penulisan proposal skripsi ini, Penulis membaginya ke dalam lima bab sebagai berikut: BAB I
:
PENDAHULUAN Dalam Bab I ini terdiri dari uraian mengenai latar belakang permasalahan, pokok permasalahan, maksud dan tujuan penulisan, manfaat penulisan, kerangka teori dan kerangka konseptual, metodologi penulisan dan sistematika penulisan skripsi.
BAB II
:
LANDASAN TEORI Dalam Bab II ini terdiri dari uraian yang menjelaskan kajian konsepsi yang merupakan dasar dari etika profesi hukum atau kode etik profesi.
BAB III
:
KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG DAN KOMISI YUDISIAL Dalam Bab III ini terdiri dari uraian mengenai persamaan dan perbedaan kewenangan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dalam menangani kode etik dan perilaku hakim.
19
BAB IV
:
IMPLEMENTASI PERATURAN BERSAMA KOMISI YUDISIAL DAN MAHKAMAH AGUNG Dalam Bab IV ini terdiri dari uraian hasil analisis yang dikembangkan serta berkaitan dengan teori pada Bab II dan Bab III. Kemudian analisis atas Peraturan Bersama Komisi Yudisial 02/PB/P.KY/IX/2012 dan Mahkamah Agung 02/PB/MA/IX/2012 dikaitkan dengan penerapan Peraturan Bersama terhadap perilaku hakim.
BAB V
:
PENUTUP Dalam Bab V ini penulis akan menyimpulkan materi karya ilmiah dari pokok permasalahan dan memberikan saransaran yang berguna bagi negara Indonesia, lembaga atau instansi terkait serta masyarakat luas.
BAB II LEMBAGA KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA
A.
Mahkamah Agung (MA) Mahkamah
Agung
(MA)
adalah
lembaga
Negara
yang
menjalankan kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi. MA adalah lembaga yang “merdeka”, artinya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya dalam menyelenggarakan peradilan untuk menegakan hukum dan keadilan. MA merupakan puncak perjuangan keadilan bagi setiap warga negara, karena MA sebagai Peradilan Tertinggi Negara dari badan-badan peradilan yang berada di bawahnya, termasuk peradilan khusus yang banyak dibentuk sekarang ini.17 Mahkamah Agung menurut Ketentuan umum Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Beberapa kewenangan Mahkamah Agung dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut : Mahkamah Agung adalah pemegang Kekuasaan Peradilan bersama Mahkamah Konstitusi dengan tugas dan kewenangan masingmasing yang berbeda. tentang Kekuasaan Kehakiman.“Kekuasaan 17
Philipus M Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, cet-ke 10, (Gajah mada University Press : Yogyakarta, 1994) h. 13
20
21
Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan Peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.18 Mahkamah Agung adalah pemegang Kekuasaan Peradilan bersama Mahkamah Konstitusi dengan tugas masing-masing yang berbeda. Badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi Badan Peradilan dalam Lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.19 Pasal tersebut menjelaskan bahwa Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi melaksanakan Kekuasaan Kehakiman. Mahkamah Agung membawahi badan Peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Dan Peradilan Tata Usaha Negara.Mahkamah Agung membawahi suatu Pengadilan Khusus. Pengadilan Khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.20 yang dimaksud dengan “Pengadilan Khusus” antara lain adalah Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Hubungan Industrial Dan Pengadilan Perikanan yang 18
Pasal 18 Undang-Undang No 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
19
Pasal 25 ayat 1 Undang-Undang No 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman 20
pasal 27 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
22
berada di ingkungan Peradilan Umum, serta Pengadilan Pajak yang berada di lingkungan peradilan tata usaha negara. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Mahkamah Agung berwenang: a. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentukan lain. b. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. c. Kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang. Mahkamah Agung dapat dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan dan tempat pengajuan peninjauan kembali (PK) 21.
B.
Mahkamah Konstitusi (MK) Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan
diadopsinya
ide
MK
(Constitutional
Court)
dalam
amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 21
pasal 20 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
23
2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20. Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat. DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan UndangUndang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.22
22
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=1 diakses tanggal 3 Juli 2015 hari jumat, pukul 16:00
24
Ada empat kewenangan dan satu kewajiban Mahkamah Konstitusi yang telah ditentukan dalam UUD 1945 perubahan ketiga Pasal 24C ayat (1) yaitu:23
1. Menguji (judicial review) undang-undang terhadap UUD. 2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. 3. Memutuskan pembubaran partai politik. 4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 5. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga memiliki kewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh presiden dan wakil presiden menurut UUD.
Dengan demikian ada empat kewenangan dan satu kewajiban konstitusional bagi Mahkamah Konstitusi. Pengadilan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan pengadilan tinggal pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Artinya, tidak ada upaya hukum lain atas putusan Mahkamah Konstitusi, seperti yang terjadi pada pengadilan lain. Kasus-kasus yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi antara lain yaitu: 1. Perselihan Hasil Pemilihan Umum.
23
Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, cet-ke 1, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 111
25
Pemilihan umum bertujuan untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Preisden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peserta Pemilihan Umum itu ada tiga, yaitu pertama, pasangan calon presiden/wakil presiden, kedua, partai politik peserta pemilihan umum anggota DPR dan DPRD, dan ketiga, (perorangan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sedangkan penyelenggara pemilihan umum adalah Komisi Pemilihan Umum yang diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (PANWASLU). Apabila timbul perselisihan pendapat antara peserta pemilihan umum dengan penyelenggara pemilihan umum, dan perselisihan itu tidak dapat diselesaikan sendiri oleh para pihak, maka hal itu dapat diselesaikan melalui proses peradilan di Mahkamah Konstitusi.24 Yang menjadi persoalan yang diselesaikan di Mahkamah Konstitusi adalah soal perselisihan perhitungan perolehan suara pemilihan umum yang telah dtetapkan dan diumumkan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum, dan selisih perolehan suara dimaksud berpengaruh terhadap kursi yang diperebutkan. Jika terbukti bahwa selisih peroleh suara tersebut tidak berpengaruh terhadap peroleh kursi yang diperebutkan, maka perkara yang dimohonkan akan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
24
Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
26
Jika selisih yang dimaksud memang berpengaruh, dan bukti-bukti yang diajukan kuat dan beralasan, maka permohonan dikabulkan dan perolehan suara yang benar ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi sehingga perolehan kursi yang diperebutkan akan jatuh ke tangan pemohon
yang
permohonannya
dikabulkan.
Sebaliknya,
jika
permohonan tidak beralasan atau dalil-dalil yang diajukan tidak terbukti, maka permohonan pemohon akan ditolak. Ketentuanketentuan ini berlaku baik untuk pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD, maupun untuk pasangan capres/cawapres. 2. Pembubaran Partai Politik Kebebasan Partai politik dan berpartai adalah cermin kebebasan berserikat yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, setiap orang, sesuai ketentuan Undang-Undang bebas mendirikan dan ikut serta dalam kegiatan partai politik. Karena itu, pembubaran partai politik bukan oleh anggota partai politik yang bersangkutan
merupakan
tindakan
yang
bertentangan
dengan
konstitusi atau inkonstitusional. Untuk menjamin perlindungan terhadap prinsip kebebasan berserikat itulah maka disediakan mekanisme bahwa pembubaran suatu partai politik haruslah ditempuh melalui prosedur peradilan konstitusi. Yang diberi hak “standing” untuk menjadi pemohon dalam perkara pembubaran partai politik adalah Pemerintah, bukan orang per orang atau kelompok orang. Yang berwenang memutuskan benar
27
tidaknya dalil-dalil yang dijadikan alasan tuntutan pembubaran partai politik itu adalah Mahkamah Konstitusi.25 Dengan demikian, prinsip kemerdekaan berserikat yang dijamin dalam UUD tidak dilanggar oleh para penguasa politik yang pada pokoknya juga adalah orang-orang partai politik lain yang kebetulan memenangkan pemilihan umum. Dengan mekanisme ini, dapat pula dihindarkan timbulnya gejala dimana penguasa politik yang memenangkan pemilihan umum memberangus partai politik yang kalah pemilihan umum dalam rangka persaingan yang tidak sehat menjelang pemilihan umum tahap berikutnya. 3. Penuntutan Pertanggungjawaban Presiden/Wakil Presiden Perkara penuntutan pertanggungjawaban presiden atau wakil presiden dalam istilah resmi UUD 1945 dinyatakan sebagai kewajiban Mahkamah Konstitusi untuk memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya. Atau perbuatan tercela atau pendapat DPR bahwa Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan Wakil Pesiden. 26 Dalam hal ini, harus diingat bahwa Mahkamah Konstitusi bukanlah lembaga yang memberhentikan Presiden atau Wakil Presiden. Yang memberhentikan dan kemudian memilih penggantinya 25
Pasal 28 jo Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
26
Pasal 7A juncto Pasal 7B UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
28
adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Mahkamah Konstitusi hanya memutuskan apakah pendapat DPR yang berisi tuduhan (a) bahwa Presiden atau Wakil Presiden telah melanggar hukum, (b) bahwa Presiden atau Wakil Presiden telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden atau Wakil Presiden, terbukti benar secara konstitusional atau tidak. Jika terbukti, Mahkamah Konstitusi akan menyatakan bahwa pendapat DPR tersebut adalah benar dan terbukti, sehingga atas dasar itu, DPR dapat melanjutkan langkahnya untuk mengajukan usul pemberhentian atas Presiden atau Wakil Presiden tersebut kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sejauh menyangkut pembuktian hukum atas unsur kesalahan karena melakukan pelanggaran hukum atau kenyataan bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden telah tidak lagi
memenuhi
syarat
sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945, maka putusan Mahkamah Konstitusi itu bersifat final dan mengikat. DPR dan MPR tidak berwenang mengubah putusan final MK dan terikat pula untuk menghormati dan mengakui keabsahan putusan MK tersebut. Namun, kewenangan untuk meneruskan tuntutan pemberhentian ke MPR tetap ada di tangan DPR, dan kewenangan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang bersangkutan tetap berada di tangan MPR. Inilah yang banyak dipersoalkan orang karena ada saja kemungkinan bahwa MPR ataupun MPR tidak meneruskan proses
29
pemberhentian itu sebagaimana mestinya, mengingat baik DPR maupun MPR merupakan forum politik yang dapat bersifat dinamis. Akan tetapi, sejauh menyangkut putusan MK, kedudukannya sangat jelas bahwa putusan MK itu secara hukum bersifat final dan mengikat dalam konteks kewenangan MK itu sendiri, yaitu memutus pendapat DPR sebagai pendapat yang mempunyai dasar konstitusional atau tidak, dan berkenaan dengan pembuktian kesalahan Presiden/Wakil Presiden sebagai pihak termohon, yaitu benar-tidaknya yang bersangkutan terbukti bersalah dan bertanggungjawab. 4. Pengujian Undang-Undang dan Pemisahan MK dan MA Kewenangan terakhir dan yang justru yang paling penting dari keempat kewenangan ditambah satu kewajiban (atau dapat pula disebut kelima kewenangan) yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah kewenangan menguji konstitusionalitas undang-undang. Tanpa harus mengecilkan arti pentingnya kewenangan lain dan apalagi tidak cukup ruang untuk membahasnya dalam makalah singkat ini, maka dari kelima kewenangan tersebut, yang dapat dikatakan paling banyak mendapat sorotan di dunia ilmu pengetahuan
adalah
pengujian
atas
konstitusionalitas
UU.
Pengujian atas Undang-Undang dilakukan dengan tolok ukur Undang-Undang Dasar. Pengujian dapat dilakukan secara materiel atau formil. Pengujian materiel menyangkut pengujian atas materi
30
UU, sehingga yang dipersoalkan harus jelas bagian mana dari UU yang bersangkutan bertentangan dengan ketentuan mana dari UUD. Yang diuji dapat terdiri hanya 1 bab, 1 pasal, 1 kaimat ataupun 1 kata dalam UU yang bersangkutan. Sedangkan pengujian formil adalah pengujian mengenai proses pembentukan UU tersebut menjadi UU apakah telah mengikuti prosedur yang berlaku atau tidak. Sejarah pengujian (judicial review) dapat dikatakan dimulai sejak kasus Marbury versus Madison ketika Mahkamah Agung Amerika Serikat dipimpin oleh John Marshall pada tahun 1803. Sejak itu, ide pengujian UU menjadi populer dan secara luas didiskusikan dimana-mana. Ide ini juga mempengaruhi sehingga „the fouding fathers‟ Indonesia dalam Sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945 mendikusikannya secara mendalam. Adalah Muhammad Yamin yang pertama sekali mengusulkan agar MA diberi kewenangan untuk membanding undang-undang.27 Akan tetapi, ide ini ditolak oleh Soepomo karena dinilai tidak sesuai dengan paradigma yang telah disepekati dalam rangka penyusunan UUD 1945, yaitu bahwa UUD Indonesia itu menganut sistem supremasi MPR dan tidak menganut ajaran „trias politica‟
27
Republik Indonesia, Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 26 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Sekretariat Negara RI, Jakarta, 1995, hal.295
31
Montesquieu, sehingga tidak memungkinkan ide pengujian UU dapat diadopsikan ke dalam UUD 1945.28 Namun, sekarang, setelah UUD 1945 mengalami perubahan 4 kali, paradigma pemikiran yang terkandung di dalamnya jelas sudah berubah secara mendasar. Sekarang, UUD 1945 tidak lagi mengenal prinsip supremasi parlemen seperti sebelumnya. Jika sebelumnya MPR dianggap sebagai pelaku kedaulatan rakyat sepenuhnya dan sebagai penjelmaan seluruh rakyat yang mempunyai kedudukan tertinggi dan dengan kekuasaan yang tidak terbatas, maka sekarang setelah Perubahan Keempat UUD 1945 MPR itu bukan lagi lembaga satu-satunya sebagai pelaku kedaulatan rakyat.29 Karena Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, maka di samping MPR, DPR dan DPD sebagai pelaku kedaulatan rakyat di bidang legislatif, kita harus pula memahami kedudukan Presiden dan Wakil Presiden juga sebagai pelaku kedaulatan rakyat di bidang eksekutif dengan mendapatkan mandat langsung dari rakyat melalui pemilihan umum. Di samping itu, karena sejak Perubahan Pertama sampai Keempat, telah terjadi proses pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke tangan DPR,30 maka mau tidak mau kita harus
28
Republik Indonesia, Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 26 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Sekretariat Negara RI, Jakarta, 1995, hal 303-306. 29
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
30
Pasal 5 ayat (1) juncto Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
32
memahami bahwa UUD 1945 sekarang menganut prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan judiktif dengan mengandaikan adanya hubungan „checks and balances‟ antara satu sama lain. Oleh karena itu, semua argumen yang dipakai oleh Soepomo untuk menolak ide pengujian undang-undang seperti tergambar di atas, dewasa ini, telah mengalami perubahan, sehingga fungsi pengujian undang-undang itu tidak dapat lagi dihindari dari penerapannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia di bawah UUD 1945.
C.
Lembaga Pendukung Kekuasaan Kehakiman Lembaga pendukung kekuasaan kehakiman yang ada di Indonesia yaitu Komisi Yudisial (KY), Komisi Yudisial adalah Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh konstitusi (constitutionally based power). Artinya, sebagai lembaga negara yang bersifat mandiri dalam tugasnya Komisi Yudisial sebagaimana telah ditentukan dalam UUD, kewenanganya Komisi Yudisial juga diberikan dan diatur dalam UUD. Kewenangannya yang mengekslusifkan dan membedakan Komisi Yudisial dari lembaga-lembaga lain. Dengan konstruksi demikian, Komisi Yudisial memiliki legitimasi yuridis amat kuat dalam struktur ketatanegaraan.
33
Pada hakekatnya, tugas utama Komisi Yudisial adalah mewujudkan
Kekuasaan
Kehakiman
yang
merdeka
melalui
pencalonan Hakim Agung serta pengawasan terhadap Hakim yang trasparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku Hakim. dengan tugas dan wewenang tersebut, keberadaan Komisi Yudisial memiliki arti penting dan peranan strategis dalam perkembangan ketatanegaraan dewasa ini karena segala ketentuan dan kebijakan yang dibuat penyelenggara Negara dapat diukur dalam kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Wewenang konstitusional Komisi Yudisial tersebut secara khusus diatur dalam pasal 24B ayat 1 UUD 1945 pasca amandemen. Pasal 24B ayat 1 perubahan UUD 1945 tersebut merangkum sekaligus, fungsi, tugas dan wewenang Komisi Yudisial dalam wujud rumusan umum. Berdasarkan pokok pengaturan tersebut, UU No.22 tahun 2004 menjabarkan tugas strategis Komisi Yudisial melalui pasal 13 yang menyatakan
bahwa,
Komisi
Yudisial
mempunyai
wewenang
mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat erta menjaga perilaku hakim.31 31
Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan, dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, cet-ke 1, (Prestasi Pustaka: Jakarta, 2007), h. 151-152.
BAB III KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG DAN KOMISI YUDISIAL
A.
Tugas dan Wewenang Mahkamah Agung Menurut Pasal 22 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman adalah: a. Mahkamah Agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan. b. Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.32 Dalam Pasal tersebut Mahkamah Agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada Lembaga Negara dan Lembaga Pemerintahan dan terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak bersangkutan
dapat
mengajukan
peninjauan
kembali
yang kepada
Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Peran Mahkamah Agung dalam pengajuan Hakim Konstitusi diatur Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, 32
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
34
35
Hakim Konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden.33 dalam hal ini Mahkamah Agung berhak untuk mengajukan 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi. 1. Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Agung a.
Pengangkatan Hakim Agung Terdapat beberapa perbedaan antara pengangkatan Hakim Agung
sebelum reformasi, dan setelah reformasi, dengan amandemen UUD 1945.Pada masa Orde Lama proses pengangkatan (rekrutmen) Hakim Agung melibatkan ketiga lembaga tinggi negara yaitu eksekutif (Presiden) dan Menteri Kehakiman, Yudikatif (MA) dan Legislatif (DPR). Aturan ini khusus ditetapkan bagi pemilihan Hakim Agung, sedangkan dalam pemilihan hakim biasa hanya melibatkan pihak yudikatif dan eksekutif. Dalam Pasal 4-11 Ayat (2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) ditetapkan bahwa Ketua, Wakil Ketua dan hakim Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden atas anjuran DPR dari sekurang-kurangnya 2 (dua) calon bagi tiap-tiap pengangkatan. Pengangkatan (pemilihan) Hakim Agung pada masa orde lama meski melibatkan lembaga negara lainnya yakni DPR, namun keputusan akhir tetaplah berada di tangan eksekutif (Presiden).
33
Pasal 34 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
36
Setelah tahun 1998, terjadi reformasi, kata “reformasi” tiba-tiba menjadi
hangat
dibicarakan.
“Reformasi
ekonomi”,
“reformasi
struktural”, dan “reformasi politik” menjadi bahan diskusi berbagai kalangan, baik kalangan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), kampus,
hingga rakyat jelata. Pada intinya, semua pihak
mendambakan reformasi yang segera agar dapat keluar dari himpitan krisis ekonomi pada saat itu34 dan diantaranya reformasi dalam bidang hukum. Menurut Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, bentukbentuk reformasi hukum dikelompokkan menjadi 7 (tujuh), yaitu35 1.
Kajian Dan Forum Ilmiah;
2.
Perancangan Peraturan;
3.
Implementasi Peraturan;
4.
Pelatihan Hukum;
5.
Advokasi Dan Kesadaran Masyarakat;
6.
Lembaga Hukum; dan
7.
Penyusunan Rencana. Reformasi hukum tersebut salah satunya dituangkan dalam bentuk
amandemen UUD Republik Indonesia 1945. Setelah Amandemen, 34
Satya Arinanto, Reformasi Hukum, Demokrasi, dan Hak-hak Asasi Manusia, Hukum dan Pembangunan,nomor 1-3, Tahun XXVIII, Januari-Juni 1998, h. 124-125. 35
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Peta Reformasi Hukum di Indonesia
1999-2001: Transisi di Bawah Bayang-bayang Negara, (Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia : Jakarta, 2002), h. 35.
37
mekanisme rekruitmen Hakim Agung berbeda dari hakim biasa. Calon Hakim Agung diseleksi oleh Komisi Yudisial dan diajukan untuk mendapatkan persetujuan DPR sebagaimana mestinya. Menurut ketentuan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945,yang berbunyi : “Calon Hakim Agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden” Definisi profesi secara singkat adalah sebuah sebutan untuk jabatan pekerjaan, di mana orang yang menyandangnya dianggap mempunyai keahlian khusus yang diperoleh melalui training dan pengalaman kerja.36 Terminologi profesi paralel dengan profesionalitas yang dicirikan dengan tiga karakter penting. Pertama, keterkaitan profesi tersebut dengan disiplin ilmu yang dipelajarinya dan karenanya bersifat khusus. Kedua, mempunyai kemampuan merealisasikan teori-teori ilmunya dalam ranah praktis dengan baik. Ketiga, mempunyai banyak pengalaman kerja.37 Adanya keterlibatan DPR dalam proses pengangkatan Hakim Agung tersebut juga berkaitan dengan kepentingan untuk menjamin adanya akuntabilitas (public accountability) dalam pengangkatan, dan juga dalam pemberhentian Hakim Agung. bagaimanapun juga, pengakuan akan penting dan sentralnya prinsip independensi peradilan (the independence of judiciary) sebagai Negara Hukum modern haruslah diimbangi dengan 36
E. Soemaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-norma bagi Penegak Hukum,cet-ke 1, (Penerbit Kanisius : Yogyakarta, 1995), h. 32. 37
E. Soemaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-norma bagi Penegak Hukum, cet-ke 1, (Penerbit Kanisius : Yogyakarta, 1995), ., h. 33-34.
38
penerapan prinsip akuntabilitas publik. karena itu, fungsi partisipasi publik dipandang penting, dan hal itu terkait dengan fungsi di DPR, bukan di KY sebagai lembaga teknis yang bersifat administratif. Cara perekrutan hakim, Mahkamah Agung dapat disebut multivoters model karena melibatkan banyak pihak. UUD 1945 menegaskan peran Komisi Yudisial sebagai panitia tetap seleksi MA yang hasil akhirnya ditentukan oleh pilihan Komisi III DPR. Presiden hanya menerbitkan keputusan pengangkatan Hakim Agung. KY mengimbangi Presiden dan DPR meski anggota KY diangkat oleh presiden dengan persetujuan DPR. b. Pemberhentian Hakim Agung Hakim Agung juga dapat diberhentikan di tengah jabatannya. Komisi Yudisial berwenang untuk mengevaluasi dan menilai setiap hakim agung. Dalam hal terjadi pelanggaran kode etika, maka terhadap hakim agung yang bersangkutan dikenakan sanksi etika sebagaimana mestinya. Dalam hal hakim agung melakukan pelanggaran yang berat, baik pelanggaran etika maupun pelanggaran hukum, yang menyebabkannya terancam sanksi pemberhentian, maka usul pemberhentian itu diajukan oleh Komisi Yudisial untuk mendapatkann persetujuan atau penolakan dari DPR sebagaimana mestinya. Apabila DPR menyetujui usul pemberhentian itu barulah usul itu diajukan kepada Presiden untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Apabila DPR menyatakan menolak usul pemberhentian tersebut, maka
39
sanksi pemberhentian yang diusulkan oleh Komisi Yudisial tidak dapat dilaksanakan, dan Komisi Yudisial wajib mengadakan penyesuaian terhadap keputusannya menyangkut Hakim Agung yang bersangkutan dengan sebaik-baiknya. Maksud dibentuknya Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja dan kemungkinan pemberhentian hakim. Semua ini dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan serta keluhuran martabat dan perilaku hakim.38 Jika usul pemberhentian Hakim Agung itu mendapat persetujuan DPR, maka Komisi Yudisial segera mengajukan usul itu kepada Presiden untuk ditetapkan secara administratif dengan Keputusan Presiden. Untuk mengsi kekosongan itu, Komisi Yudisial segera mengajukan usul calon pengganti kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan sebelum diajukan kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai Hakim Agung sebagaimana mestinya. Untuk menghadapi kemungkinan kekosongan jabatan semacam ini, sebaiknya, Komisi Yudisial telah memiliki daftar bakal calon Hakim Agung yang dicadangkan dari proses seleksi yang sudah dilakukan sebelumnya. Dengan demikian, kekosongan dalam jabatan Hakim Agung dapat dicegah dengan sebaik-baiknya di masa mendatang. 38
Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, cet-ke 2, (Pusat Studi HukumTata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia : Jakarta, 2002), h. 42.
40
Hakim dilarang untuk merangkap jabatan. Yang dimaksud dengan “merangkap jabatan” antara lain: a. Wali, Pengampu, Dan Pejabat Yang Berkaitan Dengan Suatu Perkara Yang Diperiksa Olehnya, b. Pengusaha, dan c. Advokat. Dalam hal Hakim yang merangkap sebagai pengusaha antara lain Hakim yang merangkap sebagai direktur perusahaan, menjadi pemegang saham perseroan atau mengadakan usaha perdagangan lain.39 Di dalam Komisi Yudisial ditegaskan mengenai usul penjatuhan sanksi yang dapat diberikan Komisi Yudisial kepada hakim sesuai dengan tingkat pelanggarannya, yaitu: a.
Teguran tertulis;
b.
Pemberhentian sementara; atau
c.
Pemberhentian.40
Manakala Hakim akan diperiksa Komisi Yudisial, maka menegaskan: “Badan peradilan dan hakim wajib memberikan keterangan atau data yang diminta Komisi Yudisial dalam rangka pengawasan terhadap perilaku hakim dalam jangka waktu paling lambat 14 hari terhitung sejak tanggal permintaan Komisi Yudisial diterima.41
39
Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
40
pasal 23 ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
41
pasal 22 ayat 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
41
Dalam hal badan peradilan atau hakim tidak memenuhi kewajiban tersebut, Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan penetapan berupa paksaan kepada badan peradilan atau hakim untuk memberikan keterangan atau data yang diminta42. Apabila badan peradilan atau hakim telah diberikan peringatan atau paksaan tetapi tetap tidak melaksanakan kewajibannya, maka pimpinan badan peradilan atau hakim yang bersangkutan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundangundangan dibidang kepegawaian.43 Semua keterangan dan data ini bersifat rahasia.44 Sedangkan mengenai ketentuan tata cara pelaksanaan tugas sebagai mana dimaksud pada pasal 22 ayat (1) di atur oleh Komisi Yudisial. Secara universal, kewenangan pengawasan Komisi Yudisial tidak menjangkau Hakim Agung pada Mahkamah Agung, karena Komisi Yudisial adalah merupakan mitra dari Mahkamah Agung dalam melakukan pengawasan terhadap para hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang ada dibawah Mahkamah Agung; Pasal 32 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang berbunyi sebagai berikut : 1. Mahkamah
Agung
melakukan
pengawasan
tertinggi
terhadap
penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman. 42
pasal 22 ayat 5 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
43
pasal 22 ayat 6 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
44
pasal 22 ayat 7 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
42
2. Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan pada Hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya. Mahkamah Agung juga diharapkan meningkatkan pengawasan terutama dengan cara lebih membuka diri dalam merespons kritik, harapan, dan saran dari berbagai pihak. Prinsip kebebasan hakim oleh hakim sendiri harus dimaknai sebagai adanya kewajiban untuk mewujudkan peradilan yang bebas (fair trial) yang merupakan prasyarat bagi tegaknya rule of law. Oleh karena itu, dalam prinsip kebebasan hakim tersebut terkandung kewajiban bagi hakim untuk membebaskan dirinya dari bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau rasa takut akan adanya tindakan balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya, serta tidak menyalah gunakan prinsip kebebasan hakim sebagai perisai untuk berlindung dari pengawasan
B.
Tugas dan Wewenang Komisi Yudisial Komisi Yudisial merupakan organ yang pengaturannya ditempatkan dalam kekuasaan kehakiman, dengan sebagaimana terlihat bahwa Mahkamah Agung diatur dalam pasal 24A, Komisi Yudisial diatur dalam pasal 24A ayat 3 dan pasal 24B. menurut Undang-Undang Dasar 1945 Komisi Yudisial berada dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman,
43
meskipun bukan pelaku kekuasaan kehakiman. Pengaturan yang demikian menunjukkan keberadaan Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan adalah terkait dengan Mahkamah Agung. Akan tetapi, pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 telah menegaskan, bahwa Komisi Yudisal bukan merupakan pelaksan kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai supporting element atau state auxiliary organs.45 Adapun tugas dan Wewenang Komisi Yudisial adalah sebagai berikut; 1. Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung kepada DPR. Komisi Yudisial sebagai pengontrol dan pengimbang (checks and balances) kekuasaan kehakiman, diharapkan mampu menjamin terciptanya perekrutan Hakim Agung yang kredibel dan menjaga kontinuitas hakimhakim yang bertugas di lapangan agar tetap berpegang teguh pada nilainilai moralitasnya sebagai seorang hakim yang harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, jujur, adil, serta menjunjung tinggi nilainilai profesionalisme yang melekat padanya. Wewenang Komisi Yudisial dalam mengusulkan pengangkatan Hakim Agung yang dimaksudkan untuk menghindari terjadinya politisasi perekrutan Hakim Agung. Secara alamiah, kekuasaan politik presiden dan parlemen selalu ingin mendudukan orang-orangnya sebagai Hakim Agung. Komisi Yudisial diharapkan mampu meminimalisasi, kalau bukan mengeliminasi, terjadinya politisasi itu.
45
Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan, dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, cet-ke 1, (Prestasi Pustaka: Jakarta, 2007), h. 117.
44
Sesuai dengan sebutanya sebagai Hakim Agumg, maka persyaratan keanggotaanya harus benar-benar memenuhi syarat yang ideal tentang kualifikasi
hakim
yang
benar-benar
diagungngkan.46
Mengingat
komplesitasnya persyartan, maka proses rekrutmen hakim agung harus dilakukam secara selektif. Di dalam Pasal 15 ayat 2 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 secara jelas diatur, bahwa yang dapat mengajukan calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial antara lain: Mahkamah Agung, Pemerintahan, dan Masyarakat. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan, bahwa calon hakim agung dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu: Hakim Karir dan Hakim Non Karir. Ini membuka kesempatan bilamana dibutuhkan, maka dapat dicalonkan menjadi hakim agung tidak berdasarkan sistem karir kepada Komisi Yudisial. Ada perbedaan persyaratan seseorang yang dapat dicalonkan menjadi hakim agung antar karir dan non karir.47 2. Menegakkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Serta Menjaga Perilaku Hakim. Dalam melaksanakan tugas dan peranannya menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim tersebut, Komisi Yudisial diberi tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim
46
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, cet-ke 1, (FH UII Press : Yogyakarta, 2005), h. 224 47
Pasal 7 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 perubahan atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
45
dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.48 Disamping itu Komisi Yudisialdalam menjalankan peranannya diberi tugas lain yaitu mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi.49 Sebaliknya Komisi Yudisial didalam menjalankan peranannya diberi kewenangan untuk dapat mengusulkan kepada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.50 Jadi untuk menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim Komisi Yudisial diberi beberapa kewenangan antara lain yaitu: pengawasan terhadap perilaku kaim, pengajuan usulan penjatuhan sanksi terhadap hakim, pengusulan penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya. a. Pengawasan Perilaku Hakim Ruang lingkup kewenangan Komisi Yudisial, dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta peilaku hakim, sesungguhnya merujuk kepada code of ethics atau code of conduct. Dikatakan bahwa suatu code of conduct menetapkan tingkah laku atau
48
Pasal 20 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
49
Pasal 21 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
50
Pasal 124 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
46
perilaku hakim yang bagaimana yang tidak dapat diterima. Code of conduct akan mengingatkan hakim mengenai perilaku apa yang dilarang dan bahwa tiap pelanggaran code of conduct mungkin akan menimbulkan sanksi. Setiap hakim harus mengetahui bahwa ia tidak dapat berperilaku di bawah standar yang ditetapkan. Oleh sebab itu etik berbeda dari perilaku yang dilarang. Etik berkenaan dengan harapan atau cita-cita. Etik adalah tujuan ideal yang dicoba untuk dicapai, yaitu untuk sedapat mungkin menjadi hakim yang terbaik.51 b. Mengusulkan Pemberian Sanksi Peranan Komisi Yudisial melakukan pengawasan perilaku hakim dapat dilakukan secara mandiri, karena tidak mempunyai hubungan administrasi, struktural, kolega maupun secara psikologis yang selama ini menjadi menjadi hambatan dalam melaksanakan pengawasan di dalam instansi atau lembaga sendiri. Sebaliknya menegakkan kehormatan dan keluhuran mmartabat serta menjaga perilaku hakim terlihat dari usul penjatuhan sanksi seperti teguran tertulis, pemberhentian sementara atau pemberhentian yang dilakukan oleh Komisi Yudisial bersifat mengikat.52 Selanjutnya usul penjatuhan sanksi tersebut diserahkan oleh Komisi Yudisial kepada 51
Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan, dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, cet-ke 1, (Prestasi Pustaka: Jakarta, 2007), h. 165. 52
Pasal 23 ayat 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
47
Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Namun, usulan tersebut masih dapat dianulir oleh ketentuan yang berbunyi bahwa hakim yang akan dijatuhi sanksi diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri dihadapan Majelis Kehormatan Hakim.53 c. Mengusulkan Pemberian Penghargaan Selain kedua langkah di atas satu hal yang tidak kalah penting dalam menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku para hakim adalah pemberian reward and punishment bagi para hakim yang benar-benar telah menunjukkan kinerja yang baik dan prestasi tinggi yang mampu menjadi teladan bagi lingkungannya. Berkaitan dengan itu, bahwa dalam menjalankan peranannya menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjag perilaku hakim, Komisi Yudisial diberi wewenang untuk dapat mengusulkan kepada
Mahkamah
Agung
atau
Mahakamah
Konstitusi
untuk
memberikan penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.54 ketentuan tersebut cukup logis, hal ini mengingat semakin minimnya para hakim yang mampu menunjukkan kredibilitas dan loyalitas serta perilaku hakim yang terpuji di negeri ini. Kewenangan
Komisi
Yudisial
dalam
menegakkan
dalam
menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku 53
Pasal 23 ayat 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
54
Pasal 24 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
48
hakim pada dasarnya merupakan bentuk kesadaran bahwa pengawasan objektif terhadap kekuasaan kehakiman hanya dapt dilakukan denga cara melibatkan
unsur-unsur
masyarakat
seluas-luasnya,
bukan
hanya
pengawasan secara internal agar terhindar dari semangat korupsi, manipulasi, dan distori.55
C. Korelasi Antara Kewenangan Mahkamah Agung Dengan Komisi Yudisial Terhadap Kode Etik Perilaku Hakim Dalam pasal 24A Undang-Undang kekuasaan kehakiman mengatur tentang Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial diatur dalam pasal 24A ayat 3 dan pasal 24B. Pengaturan yang demikian sekaligus menunjukkan, bahwa menurut Undang-Undang Dasar 1945 Komisi Yudisial berada dalam lingkup kekuasaan kehakiman,meskipun bukan pelaku kekuasaan kehakiman. Pengaturan yang menunjukkan keberadaan Komisi Yudisial dalm sistem ketatanegaran adalah terkait Mahkamah Agung. Akan tetapi, pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 telah menegaskan, bahwa Komisi Yudisial bukan merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai supporting element (unsur penunjang) atau state auxiliary organ (organ penunjang negara), Oleh karena itu, prinsip check and balances (prinsip saling mengimbangi antar lembaga negara) tidak benar jika diterapkan pola hubungan internal
55
Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan, dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, cet-ke 1, (Prestasi Pustaka: Jakarta, 2007), h. 178.
49
kekuasaan kehakiman, karena hubungan check and balances tidak dapat berlangsung antar Mahkamah Agung sebagai principal organ (lembaga utama) dengan Komisi Yudisial sebagai auxiliary organ (lembaga penunjang) Komisi Yudisial bukanlah pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai supporting element dalam rangka mendukung kekuasaan kehakiman yang merdeka, bersih, dan berwibawa, meskipun untuk melaksanakan tugasnya tersebut Komisi Yudisial sendiri pun bersifat mandiri. Oleh karena itu, dalam perspektif yang demikian, hubungan antara Komisi yudisial sebagai supporting organ dan Mahkamah Agung sebagin main organ dalam bidang pengawasan perilaku hakim seharusnya lebih tepat dipahami sebagai hubungan kemitraan (partnership) tanpa mengganggu kemandirian lembaga masing-masing. Terdapat beberapa ketentuan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur korelasi kewenangan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Yaitu pencalonan hakim agung dan pengawasan perilaku hakim.56 a. Pencalonan Hakim Agung Pasal 24A ayat 3 UUD 1945 menyatakan, bahwa Komisi Yudisial berwenang mengusulkan calon hakim agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan. Dan di dalam pasal 24 ayat 4 UUD 1945 56
Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan, dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai
Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, cet-ke 1, (Prestasi Pustaka: Jakarta, 2007), h. 117-119
50
menyatakan ketua dan wakil Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung. Sebagaimana kita ketahui, sebelum dibentuknya Komisi Yudisial, mekanisme pengisian calon hakim agung dan hakim konstitusi berbeda pula. Hakim konstitusi diusulkan Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden, sedangkan hakim agung dipilih melalui fit dan proper test di DPR. Untuk menjaga kemandirian dari Mahkamah Agung, Dibentuklah Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung. Permasalahannya adalah, bahwa Komisi Yudisial hanya merekrut calon sedangkan kewenangan penuh untuk memilih calon tetap berada di tangan DPR. Dengan demikian kedudukan Komisi Yudisial tidak sama dengan DPR yang menyetujui, juga tidak sama dengan Presiden yang menetapkan. Melalui konstruksi demikian, maka kedudukan Komisi Yudisial dalam hal ini adalah lemah, sebab apa yang telah dilakukan Komisi Yudisial melaui proses seleksi calon hakim sewaktu-waktu dapat saja dibatalkan oleh DPR atu Presiden bahkan Mahkamah Agung selaku user, jika timbul indikasi like and dislike dari apa yang dihasilkan oleh Komisi Yudisial.57 b. Pengawasan Perilaku Hakim
57
Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan, dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai
Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945,
cet-ke 1, (Prestasi Pustaka: Jakarta, 2007), h. 119-121.
51
Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, baik Mahkamah Agung dan peradilan dibawahnya serta Mahkamah Konstitusi merupakan kekuasaan yang merdeka58 sehingga dalam melaksanakan kewenangan justisialnya lembaga peradilan tidak dapat diawasi oleh lembaga negara lain. Mekanisme pengawasan dalam lingkungan peradilan, saat ini dilakukan oleh dua lembaga, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Mahkamah Agung yang dibentuk menurut pasal 24 UUD 1945, adalah pemegang kekuasaan kehakiman. Untuk pengawasan terhadap peradilan, oleh pasal 32 UU no.14 tahun 1985, ia diberikan tugas melakukan pengawasan tertinggi atas penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dan jugamengawasi perilaku para hakim di semua lingkungna peradilan. Lembaga kedua adalah Komisi Yudisial. Lembaga ini dibentuk berdasarkan perubahan ketiga UUD 1945, Komisi Yudisial bersifat mandiri dan berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain demi menjaga dan menegakkan kehormatan, martabat, dan perilaku hakim.59 Secara spesifik, pasal 20 UU no 22 tahun 2004 menyatakan upaya menjaga dan menegakkan kehormatan, martabat, dan perilaku hakim dilakukan melalui pengawasan perilaku hakim. Kemudian pasal 22 menguraikan tugas Komisi Yudisial dalam melaksanakan pengawasan itu, yaitu dengan menerima laporan masyarkat tentang perilaku hakim, serta 58
pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945
59
pasal 24B ayat 1 amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945
52
membuat laporan pemeriksaan dan rekomendasi yang disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, dengan tembusan pada Presiden dan DPR. Undang Undang Mahkamah Agung sebernarnya memberikan kewenangan pengawasan terhadap para hakim semata. Selain itu, Mahakamah Agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman, jelaslah fungsi pengawasan di Mahkamah Agung bersifat internal. Pelaksanaa fungsi pengawasan di Mahkamah agung telah berjalan secara bertingkat maupun melekat, melalui pengawasan fungsional dan Dewan Kehormatan Hakim Agung (DKHA). Tapi, berdasarkan penelitian ditemukan, fungsi para pejabat pengawasan di Mahkamah agung dan Pengadilan Tinggi tak berjalan efektif. DKHA yang dibentuk berdasarkan penjelasan umum UU no 35 tahun 1999, dikategorikan sebagia pengawasan internal, sekalipun Mahkamah Agung berpendapat DKHA melakukan fungsi pengawasan eksternal, dan bersifat independen. DKHA pun sudah harus dipertanyakan fungsinya, karena hasil penelitian menujukkan bahwa DKHA tak bekerja secara optimal. Sebagai bukti, tindak lanjut hasil pengawasan lembaga peradilan selama ini cenderung bersifat tertutup, sehingga menimbulkan keraguan atas efektifitas pengawasan oleh Mahkamah Agung. Dengan hadirnya Komisi Yudisial, dapat diposisikan sebagai pengawasan eksternal dan independen Mahkamah Agung dan para hakim di Mahkamah Konstitusi, karena
53
lembaga ini dibentuk dengan persetujuan DPR. Sehingga Mahkamah Agung dapat berkosentrasi menangani kasus-kasus yang saat ini menumpuk. Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial seharusnya dapat bekerja sinergis. Dalam hal ini temuan Komisi Yudisial dapat direspon positif oleh Makamah Agung dengan ikut menindaklanjutinya, demikian sebaliknya mengenai mekanismenya Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dapat duduk bersama menyelesaikan masalah mereka. Jika yang menjadi tujuan aalah tegaknya martabat hakim, kehadiran Komisi Yudisial tak perlu dianggap sebagai pesaing. Justru Mahkamah Agung dapat memanfaatkan Komisi Yudisial untuk membantu menegakkan martabat hakim.60
60
Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan, dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai
Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945,
cet-ke 1, (Prestasi Pustaka: Jakarta, 2007), h. 121-125.
BAB IV IMPLEMENTASI PERATURAN BERSAMA KOMISI YUDISIAL DAN MAHKAMAH AGUNG
A. Tindakan Mahkamah Agung Dalam Menangani Pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Melalui keputusan Mahkamah Agung nomor 215/KMA/SK/XII/2007 tentang petunjuk pelaksanaan pedoman perilaku hakim, Mahkamah Agung bisa melakukan penindakan terhadap hakim yang melanggar melalui Majelis Kehormatan Mahkamah Agung dan Majelis Kehormatan Hakim. Majelis
Kehormatan
Mahkamah
Agung,
adalah
forum
tempat
mengajukan pembelaan diri bagi Hakim Agung yang akan diusulkan untuk diberhentikan tidak dengan hormat atau diberhentikan sementara sebagaimana diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : KMA/057/SK/VI/2006 Tentang Pembentukan, Susunan, dan Tata Kerja Majelis Kehormatan Mahkamah Agung.61 Sementara Majelis Kehormatan Hakim, adalah forum tempat mengajukan pembelaan diri bagi Hakim yang akan diusulkan untuk diberhentikan tidak dengan hormat atau diberhentikan sementara sebagaimana diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
61
Pasal 1 huruf f Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : KMA/058/SK/VI/2006 Tentang Petunjuk pelaksanaan pedoman Perilaku Hakim
54
55
: KMA/058/SK/VI/2006 Tentang Pembentukan, Susunan, dan Tata Kerja Majelis Kehormatan Hakim.62 Dalam menangani pelanggaran kode etik dan perilaku hakim oleh Mahkamah Agung, jika ketua Mahkamah Agung, para wakil ketua Mahkamah Agung dan para ketua muda diduga melakukan pelanggaran Pedoman Perilaku Hakim, maka rapat pimpinan membentuk tim khusus pemeriksa yang terdiri atas 3 (tiga) orang yang diketuai salah seorang wakil ketua dan 2 (dua) orang ketua muda, yang salah seorang diantaranya merangkap sebagai sekretaris tim.63 Kelompok pemeriksa berwenang mengumpulkan data, informasi, dan melakukan pemeriksaan untuk membuktikan kebenaran dugaan pelanggaran tersebut, Kelompok pemeriksa wajib membuat laporan hasil pemeriksaan yang disertai dengan kesimpulan atau pendapat, dan rekomendasi yang disampaikan kepada pimpinan Mahkamah Agung, apabila sanksi yang akan dijatuhkan berupa pemberhentian maka ketua Mahkamah Agung memerintahkan membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Agung atau Majelis Kehormatan Hakim untuk memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan melakukan pembelaan diri sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
62
Pasal 1 huruf g Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : KMA/058/SK/VI/2006 Tentang Petunjuk pelaksanaan pedoman Perilaku Hakim 63
Pasal 8 ayat (1) Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : KMA/058/SK/VI/2006 Tentang Petunjuk pelaksanaan pedoman Perilaku Hakim
56
Di samping hukuman disiplin yang diberikan oleh Mahkamah Agung kepada hakim yang melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim ada juga hukuman yang bersifat ringan dan berat, Dalam hal pelanggaran yang bersifat sedang, terhadap hakim yang melanggar dapat dikenakan tindakan antara lain : a. tidak diperkenankan menangani perkara selama 6 (enam) bulan. b. mutasi ke pengadilan lain tanpa promosi; c. pembatalan atau penangguhan promosi; atau d. didemosi/diturunkan dari jabatan struktural.64 Dalam hal pelanggaran yang bersifat berat, terhadap hakim yang melanggar dapat dikenakan tindakan antara lain : a. tidak diperkenankan menangani perkara paling kurang 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun. b. mutasi ke pengadilan lain tanpa promosi; c. pembatalan atau penangguhan promosi; atau d. didemosi/diturunkan dari jabatan struktural.65 Dan tindakan terhadap hakim agung yang tidak berasal dari hakim karir, Hakim ad hoc pada Mahkamah Agung Republik Indonesia, pada pengadilan tingkat banding dan pengadilan tingkat pertama yang bukan pegawai negeri sipil, yang melakukan pelanggaran dapat dikenakan tindakan antara lain :
64
Pasal 14 ayat (2) Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : KMA/058/SK/VI/2006 Tentang Petunjuk pelaksanaan pedoman Perilaku Hakim 65
Pasal 14 ayat (3) Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : KMA/058/SK/VI/2006 Tentang Petunjuk pelaksanaan pedoman Perilaku Hakim
57
a. dalam hal melakukan pelanggaran ringan, dapat dikenakan tindakan berupa tegoran tertulis oleh pejabat yang berwenang menghukum. b. dalam hal melakukan pelanggaran sedang, dapat dikenakan tindakan berupa tidak diperkenankan menangani perkara selama 6 (enam) bulan. c. dalam hal melakukan pelanggaran berat, dapat dikenakan tindakan berupa Tidak diperkenankan menangani perkara selama paling kurang 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun, atau Diberhentikan.66
B. Tindakan Komisi Yudisial Dalam Menangani Pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Melalui Undang-undang no 18 tahun 2011 perubahan atas UndangUndang 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, Komisi Yudisial bisa melakukan penindakan terhadap hakim yang melanggar kode etik dan perilaku hakim. Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas: a. melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim, b. menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran kode etik dan atau pedoman perilaku hakim,
66
Pasal 15 Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : KMA/058/SK/VI/2006 Tentang Petunjuk pelaksanaan pedoman Perilaku Hakim
58
c. melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran kode etik atau pedoman perilaku hakim secara tertut, d. memutuskan benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran kode Etik atau pedoman perilaku hakim, dan e. mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.67 Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku
hakim oleh hakim. Aparat penegak hukum wajib menindaklanjuti
permintaan Komisi Yudisial.68 Dalam hal dugaan pelanggaran kode etik atau pedoman perilaku hakim dinyatakan terbukti bersalah, maka Komisi Yudisial mengusulkan penjatuhan sanksi terhadap Hakim yang diduga melakukan pelanggaran kepada Mahkamah Agung. Diantaranya sanksi ringan, sedang, dan berat. Sanksi ringan terdiri dari: teguran lisan, teguran tertulis, pernyataan tidak puas secara tertulis. Sementara sanksi sedang terdiri dari: penundaan kenaikan gaji berkala paling lama 1 (satu) tahun, penurunan gaji sebesar 1 (satu) kali kenaikan gaji 67
Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang nomor 18 tahun 2011 perubahan atas UndangUndang 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial 68
Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang nomor 18 tahun 2011 perubahan atas UndangUndang 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
59
berkala paling lama 1 (satu) tahun, penundaan kenaikan pangkat paling lama 1 (satu ) tahun, atau hakim nonpalu paling lama 6 (enam) bulan. Dan sanksi berat terdiri dari: pembebasan dari jabatan structural, hakim nonpalu lebih dari 6 (enam) bulan sampai dengan 2 (dua) tahun, pemberhentian sementara, pemberhentian tetap dengan hak pension, atau pemberhentian tetap tidak dengan hormat.69
C. Analisis Implementasi Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 Terhadap Kasus Hakim Agung Achmad Yamanie dan Kasus Hakim Vica Natalia Urgensi pengawasan terhadap perilaku hakim merupakan hal yang sangat dibutuhkan dalam membangunan peradilan yang dapat dipercaya oleh publik. Selain menyeleksi hakim agung, berdasarkan undang-undang memiliki fungsi pengawasan terhadap perilaku hakim. Secara normatif, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang, mekanisme pengawasan perilaku hakim yaitu: a. Laporan-laporan dari masyarakat, b. Meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim, c. Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim, d. Memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim, dan 69
Pasal 22D Undang-Undang nomor 18 tahun 2011 perubahan atas Undang-Undang 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
60
e. Membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung serta tindasannya kepada Presiden dan DPR. Pelanggaran terhadap perilaku hakim yang serius yakni pelanggaran dengan ancaman hukuman pemecatan, disediakan forum pembelaan diri melalui Majelis Kehormatan Hakim yang terbuka untuk publik. Sidang Majelis Kehormatan Hakim yang terbuka pada saat ini merupakan suatu kemajuan jika dibandingkan dengan proses serupa pada masa lampau yang tertutup dan didominasi oleh Mahkamah Agung. Melalui majelis ini, Hakim bisa diberhentikan dengan hormat dan secara tidak hormat apabila memenuhi syarat-syarat pemberhentian sesuai Pasal 23 ayat 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Upaya untuk menjalankan efektifitas penegakkan kode etik dan perilaku hakim maka Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial mengeluarkan Peraturan Bersama Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Sebelumnya Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sudah mengeluarkan Keputusan
Bersama
Nomor
047/KMA/SKB/IV/2009
dan
02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, namun karena keputusan bersama tersebut belum terlalu berpengaruh terhadap perilaku hakim, maka dikeluarkan peraturan bersama tersebut. Di dalam Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim didasarkan pada prinsip-prinsip yaitu:
61
a. Independensi hakim dan pengadilan b. Praduga tidak bersalah c. Penghargaan terhadap profesi hakim dan pengadilan d. Transparansi; e. Akuntabilitas; f.
Kehati-hatian dan Kerahasiaan
g. Obyektivitas h. Efektivitas dan efisiensi i.
Perlakuan yang sama; dan
j.
Kemitraan.70 Dan dari prinsip-prinsip dasar kode etik dan pedoman perilaku hakim
yang di implementasikan dalam 10 aturan perilaku itu berisi penerapannya juga kewajiban dan larangan untuk hakim yaitu: a. Berperilaku adil, b. Berperilaku jujur, c. Berperilaku arif dan bijaksana, d. Bersikap mandiri, e. Berintegritas tinggi, f. Bertanggung jawab, g. Menjunjung tinggi harga diri, h. Berdisiplin tinggi, 70
Pasal 3 ayat 1 Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial
Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim
62
i. Berperilaku rendah hati, dan j. Bersikap profesional.71 Adapun yang dimaksud dengan adil bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian, tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah memberikan perlakuan dan memberi kesempatan yang sama (equality and fairness)
terhadap
setiap
orang.
Oleh
karenanya,
seseorang
yang
melaksanakan tugas atau profesi di bidang peradilan yang memikul tanggung jawab menegakkan hukum yang adil dan benar harus selalu berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan orang. Kejujuran bermakna dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang kuat dan membangkitkan kesadaran akan hakekat yang hak dan yang batil. Dengan demikian, akan terwujud sikap pribadi yang tidak berpihak terhadap setiap orang baik dalam persidangan maupun diluar persidangan. Arif dan bijaksana bermakna mampu bertindak sesuai dengan normanorma yang hidup dalam masyarakat baik norma-norma hukum, norma-norma keagamaan, kebiasan-kebiasan maupun kesusilaan dengan memperhatikan
71
Pasal 4 Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial
Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim
63
situasi dan kondisi pada saat itu, serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya. Mandiri bermakna mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain, bebas dari campur tangan siapapun dan bebas dari pengaruh apapun. Sikap mandiri mendorong terbentuknya perilaku hakim yang tangguh, berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan atas kebenaran sesuai tuntutan moral dan ketentuan hukum yang berlaku. Integritas bermakna sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur dan tidak tergoyahkan. Integritas tinggi pada hakikatnya terwujud pada sikap setia dan tangguh berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas. Integritas akan mendorong terbentuknya pribadi yang berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan mengendapkan tuntutan hati nurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan,serta selalu berusaha melakukan tugas dengan cara-caea terbaik umtuk mencapai tujuan terbaik.72 Bertanggungjawab bermakna kesediaan untuk melaksanakan sebaikbaiknya segala sesuatu yang menjadi wewenang dan tugasnya, serta memiliki keberanian untuk menanggung segala akibat atas pelaksanaan wewenang dan tugasnya tersebut. Harga diri bermakna bahwa pada diri manusia melekat martabat dan kehormatan yang harus dipertahankan dan dijunjung tinggi oleh setiap orang. Prinsip menjunjung tinggi harga diri, khususnya hakim, akan mendorong dan 72
h.149-156
Wildan Suyuthi Mustofa, Kode Etik Hakim, cet. ke-2 (Kencana : Jakarta, 2013),
64
membentuk pribadi yang kuat dan tangguh, sehingga terbentuk pribadi yang senantiasa menjaga kehormatan dan martabat sebagai aparatur Peradilan. Disiplin bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidah-kaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat pencari keadilan. Disiplin tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang tertib di dalam melaksanakan tugas, ikhlas dalam pengabdian dan berusaha untuk menjadi teladan dalam lingkungannya, serta tidak menyalahgunakan amanah yang dipercayakan kepadanya. Rendah hati bermakna kesadaran akan keterbatasan kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan. Rendah hati akan mendorong terbentuknya sikap realistis, mau membuka diri untuk terus belajar, menghargai pendapat orang lain, menumbuh kembangkan sikap tenggang rasa, serta mewujudkan kesederhanaan, penuh rasa syukur dan ikhlas di dalam mengemban tugas. Profesional bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas. Sikap profesional akan mendorong terbentuknya pribadi yang senantiasa menjaga dan mempertahankan mutu pekerjaan, serta berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja, sehingga tercapai setinggi-tingginya mutu hasil pekerjaan, efektif dan efisien.73
73
162
Wildan Suyuthi Mustofa, Kode Etik Hakim, cet. ke-2 (Kencana : Jakarta, 2013), h.159-
65
Setelah berlakunya peraturan bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial terhadap perilaku hakim, penulis dalam hal ini akan membahas tentang kasus yang dialami oleh mantan Hakim Agung yang bernama Achmad Yamanie dan hakim Pengadilan Negeri Jombang yang bernama Vica Natalia. Kasus Hakim Agung Achmad Yamanie sebagai berikut : Hakim Agung Achmad Yamanie resmi diberhentikan secara tidak hormat alias dipecat lantaran terbukti mengubah draf putusan peninjauan kembali (PK) terpidana narkoba Hengky Gunawan. Surat pemberhentian tersebut diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 10 Januari 2013 lalu. Karier Achmad Yamanie sebagai hakim agung akhirnya kandas di ujung palu Majelis Kehormatan Hakim (MKH). Majelis Kehormatan Hakim yang diketuai Prof Paulus Efendi Lotulung menolak pembelaan diri Yamanie sehingga dia diberhentikan secara tidak hormat alias dipecat. Yamanie dianggap terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim lantaran mengubah draf putusan PK, terpidana narkoba Hengky Gunawan dari 15 tahun menjadi 12 tahun penjara. “Menyatakan hakim terlapor (Yamanie, red) terbukti
melanggar
SKB
No.
047/KMA/SKB/IV/2009
dan
No.02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim juncto Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial No.02/PB/MA/IX/2012
dan
No.02/PB/P.KY/IX/2012
tentang
Panduan
Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (PPH),” kata Paulus dalam sidang yang digelar di ruang Wirjono Prodjodikoro MA.
66
Dalam keputusannya, MKH menyinggung hasil pemeriksaan Tim Pemeriksa Mahkamah Agung yang dibentuk berdasarkan surat tugas dari Ketua Mahkamah Agung tertanggal 12 Oktober 2012. Tim Pemeriksa menyimpulkan perbuatan Yamanie yang berinsiatif mengubah konsep putusan dengan tulisan tangan, yang kemudian diketik oleh operator Abdul Halim merupakan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Dalam pembelaannya, Yamanie mengaku pernah didatangi Panitera Pengganti Dwitomo dan operator Abdul Halim. Mereka meminta bantuan Yamanie untuk mengoreksi putusan atas perintah ketua majelis Imron Anwari. “Hakim terlapor juga mengaku membubuhkan tanda tangan mengenai perubahan bagian pertimbangan hukum dalam konsep putusan dengan kalimat „kecuali lamanya pidana akan diperbaiki‟,” papar Suparman membacakan poin-poin pembelaan Yamanie. Sebagai informasi, putusan atas kasus Yamanie merupakan putusan pertama MKH yang mengadili hakim agung. Selama ini, MKH yang merupakan forum pembelaan diri bagi hakim yang direkomendasikan sanksi berat biasanya mengadili hakim-hakim pengadilan tingkat pertama atau banding.74 Jadi mantan Hakim Agung Achmad Yamanie terbukti bersalah dan melanggar Keputusan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia No. 047/KMA/SKB/IV/2009 Dan No. 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim juncto pasal 5 ayat 3 (d) dan pasal 6 ayat 2 (b) Peraturan Bersama Mahkamah 74
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50c73771ae803/achmad-yamanie-dipecat diakses pada tanggal 12 Mei 2015 hari kamis, pukul 13:00
67
Agung
dan
Komisi
Yudisial
No.02/PB/MA/IX/2012
dan
No.02/PB/P.KY/IX/2012 dan diberhentikan secara tidak hormat dari jabatan sebagai hakim agung atau nonpalu selama enam bulan dengan dikurangi tunjangan kinerja (remunerasi) sebesar 100 persen setiap bulannya. Dalam Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial No.02/PB/MA/IX/2012
dan
No.02/PB/P.KY/IX/2012
tentang
Panduan
Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dijelaskan bahwa hakim dilarang menyuruh atau mengizinkan pegawai pengadilan atau pihak-pihak lain untuk mempengaruhi, mengarahkan, atau mengontrol jalannya sidang, sehingga menimbulkan perbedaan perlakuan terhadap para pihak yang terkait dengan perkara.75 dan juga hakim harus berperilaku jujur (fair) dan menghindari perbuatan yang dapat menimbulkan kesan tercela.76 Setelah penulis menjelaskan kasus Hakim Agung Achmad Yamanie selanjutnya yaitu kasus hakim Pengadilan Negeri Jombang Vica Natalia sebagai berikut: Majelis
Kehormatan
Hakim
(MKH)
akhirnya
memutuskan
menjatuhkan sanksi pemberhentian secara hormat dengan hak pensiun terhadap Hakim Pengadilan Negeri Jombang, Vica Natalia. Vica Natalia dinilai terbukti melanggar Keputusan Bersama Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial Tahun 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim 75
Pasal 5 ayat 3d Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi
Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim 76
Pasal 6 ayat 2b Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial
Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim
68
(KEPPH), dan Peraturan Bersama (PB) MA dan KY Tahun 2012 tentang Panduan Penegakan KEPPH gara-gara berselingkuh dengan seorang hakim dan advokat. MKH berkesimpulan hakim terlapor terbukti beberapa kali menerima Gali Dewangga (advokat) di rumahnya pada malam hari, keduanya juga bertemu di Bali pada jam kerja tanpa izin atasannya, dan Vica menulis surat cinta kepada Dewangga. Selain itu Vica Juga bertemu Agung Wijaksono (hakim) di Hotel Borobudur dan berfoto bersama. Ketentuan itu mewajibkan hakim menghindari dan harus berperilaku tidak tercela, hakim wajib menjaga kewibawaan dan martabat lembaga peradilan dan profesi.77 Jadi hakim Pengadilan Negeri Jombang Vica Natalia terbukti bersalah dan melanggar Keputusan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia No. 047/KMA/SKB/IV/2009 Dan No. 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim huruf c butir 3.1 ayat (1), butir 5.1 ayat (1) juncto pasal 9 ayat 4 (a) dan pasal 11 ayat 3 (a) Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial No.02/PB/MA/IX/2012 dan No.02/PB/P.KY/IX/2012. Dalam Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial No.02/PB/MA/IX/2012
dan
No.02/PB/P.KY/IX/2012
tentang
Panduan
Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dijelaskan bahwa kewajiban hakim dalam penerapan berperilaku berintegritas tinggi adalah
77
https://nakimsanwirja.wordpress.com/2014/01/06/inilah-6-hakim-pelanggar-kode-etikdiakses pada tanggal 12 Mei 2015 hari kamis, pukul 13:00
69
hakim harus berperilaku tidak tercela78 dan kewajiban hakim dalam penerapan berperilaku menjunjung harga diri adalah hakim harus menjaga kewibawaan serta martabat lembaga peradilan dan profesi baik di dalam maupun di luar pengadilan.79 Sebagai aturan yang harus dijadikan pedoman bagi seorang hakim, maka
Peraturan
Bersama
No.02/PB/MA/IX/2012
dan
Mahkamah
Agung dan
Komisi
Yudisial
No.02/PB/P.KY/IX/2012
tentang
Panduan
Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim harus diimplementasikan dalam praktik kehidupan sehari-hari, baik dalam konteks menjalankan tugas dalam persidangan, hubungan sesame rekan, hubungan terhadap bawahan atau pegawai, hubungan kemasyarakatan, maupun hubungan keluarga atau rumah tangga. 1.Implementasi Dalam Persidangan a. Dalam persidangan seorang hakim harus bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam hokum acara yang berlaku, dengan memerhatikan asas-asas peradilan yang baik, b. Tidak dibenarkan, menunjukkan sikap memihak atau bersimpati ataupun antipasti kepada pihak-pihak yang beperkara, baik dalam ucapan maupun tingkah laku, 78
Pasal 9 ayat 4a Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial
Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim 79
Pasal 11 ayat 3a Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi
Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim
70
c. Harus bersifat sopan, tegas, dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun perbuatan, d. Harus menjaga kewibawaan dan kekhidmatan persidangan antar lain serius dalam memeriksa, tidak melecehkan pihak-pihak baik dengan kata-kata maupun perbuatan, e. Bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan.80 2. Terhadap Sesama Rekan Hakim dalam tugas pokoknya adalah memeriksa, mengadili, dan menyelaiskan perkara, maka ia akan melaksanakan tugas tersebut dalam bentuk majelis meskipun dimungkinkan untuk melaksanakan persidangan dengan hakim tunggal. Demikian pula sebagai seorang hakim ia tidak akan bias terlepas untuk saling berkomunikasi dengan rekan sesama hakim. Oleh karena itu, terhadap sesama hakim memelihara dan memupuk hubungan kerja sama yang baik antara sesama rekan, ia harus memiliki rasa setia kawan, tenggang rasa dan saling menghargai antara sesama rekan, demikian juga hakim harus memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadaap korps hakim secara wajar, disamping menjaga nama baik dan martabat rekan, baik didalam maupun diluar kedinasan. 3. Terhadap Bahawan atau Pegawai Hakim sebagai penegak hukum haruslah mampu menjadi panutan, maka ia harus mempunyai sifat kepemimpinan, dan dapat membimbing bawahan atau pegawai umtuk mempertinggi pengetahuan. Ia harus mempunyai sikap 80
Wildan Suyuthi Mustofa, Kode Etik Hakim, cet. ke-2 (Kencana : Jakarta, 2013), h.144
71
sebagai seorang bapak atau ibu yang baik, serta memelihara sikap kekeluargaan terhadap bawahan atau pengawai dan seorang hakim mampu member contoh kedisiplinan. 4. Terhadap Masyarakat Dalam kehidupan seorang hakim adalah bagian dari masyarakat sekitar, oleh karena itu seorang hakim harus menghormati dan menghargai orang lain, tidak sombong, dan tidak mau menang sendiri.sebagai bagian dari masyarakat, maka hidup sederhana yang dirasakan oleh sebagian besar dari masyarakat juga harus tercermin pada diri hakim. 5. Terhadap Keluarga atau Rumah Tangga a. Menjaga keluarga dari perbuatan-perbuatan tercela, menurut norma-norma hukum kesusilaan, b. Menjaga ketentraman dan keutuhan keluarga, c. Menyesuaikan kehidupan rumah tangga dengan keadaan dan pandangan masyarakat.81 Oleh karena itu, hal yang mendasari diterbitkannya Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial No.02/PB/MA/IX/2012 dan No.02/PB/P.KY/IX/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim adalah sebagaimana dalam konsideran pedoman perilaku hakim yang menyatakan bahwa keadilan merupakan kebutuhan pokok rohaniah setiap orang dan merupakan perekat hubungan sosial dalam bernegara. Pengadilan merupakan tiang utama dalam penegakan hukum dan 81
h.146
Wildan Suyuthi Mustofa, Kode Etik Hakim, cet. Ket-2 (Kencana : Jakarta, 2013),
72
keadilan serta dalam proses pembangunan peradaban bangsa. Tegaknya hukum
dan
keadilan
serta
penghormatan
terhadap
keluhuran
nilai
kemanusiaan menjadi prasyarat tegak martabat dan integritas Negara. Hakim Sebagai figur sentral dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat banyak. Putusan Pengadilan yang adil menjadi puncak kearifan bagi penyelesaian permasalahan hukum yang terjadi dalam kehidupan bernegara. Putusan Pengadilan yang diucapkan dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menunjukkan kewajiban menegakkan keadilan yang dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia dan vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa. Setiap hakim yang dilambangkan dalam kartika, cakra, candra, sari dan tirta merupakan cerminan perilaku Hakim harus senantiasa berlandaskan pada prinsip Ketuhanan Maha Esa, adil, bijaksana berwibawa, berbudi luhur dan jujur. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang melandasi prinsipprinsip pedoman Hakim dalam bertingkah laku, bermakna pengalaman tingkah laku sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketaqwaan tersebut akan mendorong Hakim untuk berperilaku baik dan penuh tanggung jawab sesuai tuntunan agama masing-masing. Seiring dengan keluhuran tugas dan luasnya kewenangan dalam menegakkan hukum dan keadilan, sering muncul tantangan dan godaan bagi para Hakim. Untuk itu,
73
Pedoman Perilaku Hakim merupakan konsekuensi dari kewenangan yang melekat pada jabatan sebagai Hakim yang berbeda dengan warga masyarakat biasa. Pedoman Perilaku Hakim ini merupakan panduan keutamaan moral bagi Hakim, baik dalam menjalankan tugas profesinya maupun dalam melakukan hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan. Hakim sebagai insan yang memiliki kewajiban moral untuk berinteraksi dengan komunitas sosialnya, juga terikat dengan norma-norma etika dan adat kebiasaan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat. Namun demikian, untuk menjamin terciptanya pengadilan yang mandiri dan tidak memihak, diperlukan dukungan sosial yang bertanggung jawab. Selain itu diperlukan pula pemenuhan kecukupan sarana dan prasarana bagi hakim baik selaku penegak hukum maupun sebagai warga masyarakat. Untuk itu, menjadi tugas dan tanggung jawab masyarakat dan Negara memberi jaminan keamanan bagi Hakim dan Pengadilan, termasuk kecukupan kesejahteraan, kelayakan fasilitas dan anggaran. Walaupun demikian, meskipun kondisi-kondisi diatas belum sepenuhnya terwujud, hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan bagi Hakim untuk tidak berpegang teguh pada kemurnian pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai penegak dan penjaga hukum dan keadilan yang memberi kepuasan pada pencari keadilan dan masyarakat. Dari beberapa penjelasan tentang implementasi peraturan bersama tentang kode etik dan perilaku hakim. Al-Qur‟an juga menjelaskan ayat-ayat tentang
74
kode etik dan perilaku hakim, yaitu di dalam surah An Nisaa‟ ayat 58 dan ayat 135, berikut adalah beberapa ayat tentang kode etik dan perilaku hakim:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat” (QS: An Nisaa‟ [4]: 58)
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu
75
sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia (orang yang tergugat atau yang
terdakwa)
kaya
ataupun
miskin,
Maka
Allah
lebih
tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”. (QS: An Nisaa‟ [4]:135)
Dan didalam hadits juga dijelaskan beberapa golongan hakim
ن فِي اننَار ووَاحِد ِ ” انْ ُقضَاة َثهَاثَة اثْنَا: َسهَ َم قَال َ عهَيْ ِو َو َ صهَى انهَ ُو َ ن بريدة فال فال رسىل ْ َع ورجم عرف انحق فهم يقض بو, رجم عرف انحق فقضى بو فهى في انجنة.جنَة َ ْفِي ان ورجم نم يعرف انحق فقضى نهناس عهى جهم فهى في,وجارفي انحكم فهى في اننار )اننار (رواه االربعة وصححو انحاكم Artinya: Dari Buraidah r.a. menceritakan Rasulullah SAW bersabda: ada tiga golongan hakim dua dari padanya akan masuk neraka dan yang satu akan masuk surga, ialah hakim yang mengetahui mana yang benar dan lalu ia memutuskan hukuman dengannya, maka ia akan masuk surga, hakim yang mengetahui mana yang bernar,tetapi ia tidak menjatuhkan hukuman itu atas dasar kebenaran itu, maka ia akan masuk neraka, dan hakim yang tidak mengetahui mana yang benar, lalu ia menjatuhkan hukuman atas dasar tidak tahun ya itu, maka ia akan masuk neraka pula. (H.R. Arba‟ah) Dalam hadist di atas kita dapat mengambil pengetahuan bahwa hakim (qadli) dibagi menjadi tiga golongan:
76
1. Seorang hakim yang mengerti kebenaran yang diajarkan oleh syari‟at islam, dan memutuskan sesuai dengan pengetahuan dan kebenaran tersebut, maka seorang hakim tersebut termasuk orang yang akan selamat dan masuk surga. 2. Seorang hakim yang telah memnuhi kriteria sebagai hakim, tetapi tidak mengaplikasikannya dalam sebuah keputusan yang ia hadapi, maka golongan ini termasuk hakim yang tidak ideal dan masuk neraka. 3. Seorang hakim yang tidak memenuhi kriteria sebagai hakim dan tidak mengetahui kebenaran islam, dan dia memutuskan suatu perkara berdasarkan kebodohan tersebut.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari apa yang telah diuraikan di atas, penulis dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut: 1. Kode etik profesi merupakan inti yang melekat pada suatu profesi, ialah kode perilaku yang memuat nilai etika dan moral. Hakim dituntut untuk profesional dan menjunjung etika profesi. Pelanggaran atas suatu kode etik profesi tidaklah terbatas sebagai masalah internal lembaga peradilan, tetapi juga merupakan masalah masyarakat. 2. Yang dimaksud dengan Hakim adalah seorang Pejabat Negara yang tertinggi dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman dan pada masyarakat dahulu seorang hakim disebut sebagai Wakil Tuhan. Untuk mengatur perilaku Hakim agar terhindar dari perbuatan yang tercela, maka Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial telah membuat peraturam bersama sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial
dengan
Nomor
02/PB/MA/IX/2012
dan
02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim. 3. Dengan keluarnya Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012
77
78
Tentang Panduan Penegakan Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim maka Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial bisa saling mengawasi dan menghukum hakim yang melanggar melalui Mahkamah Kehormatan Hakim. 4. Hakim Vica Natalia dapat dikatakan telah melanggar kode etik dalam hal pelaporan dengan tuduhan berselingkuh dengan banyak lelaki oleh suaminya, sebagaimana putusan dari Majelis Kehormatan Hakim yang memutuskan bahwa hakim Vica Natalia telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap Pasal 9 ayat 4 huruf A dan Pasal 11 ayat 3 huruf A Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012
dan
02/PB/P.KY/09/2012
Tentang
Panduan
Penegakan Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim. Ia dihukum diberhentikan secara hormat dari profesinya sebagai hakim. 5. Hakim Agung Achmad Yamanie terbukti bersalah karena telah mengubah draf putusan PK terpidana narkoba Hengky Gunawan dari 15 tahun menjadi 12 tahun penjara, sebagaimana putusan dari Majelis Kehormatan Hakim yang memutuskan bahwa Hakim Agung Achmad Yamanie telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap Pasal 5 ayat 3 huruf D dan Pasal 6 ayat 2 huruf B Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim. Beliau dihukum diberhentikan secara tidak hormat tanpa tunjangan pensiun dan
79
ini adalah pertama kalinya Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial mengadili Hakim Agung.
B. Saran Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan di atas, maka penulis akan mengemukakan beberapa saran sebagai berikut : 1. Sebaiknya putusan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial tentang kode etik hakim yang telah melanggar (code of conduct) dan telah dikenakan sanksi diumumkan putusan tersebut, sehingga hakim yang lain mengetahuinya dan membuat jera bagi para hakim yang lain yang ingin melanggar. 2. Terhadap Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk mengusulkan kepada pemerintah agar fasilitas hakim disesuaikan dengan pejabat negara yang lainnya agar meminimalisir hakim yang ingin melanggar.
DAFTAR PUSTAKA
Kitab Suci: Al-Qur‟anul Karim Buku-buku: Hoetomo M.A, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Cet-1 Surabaya : Mitra Pelajar, 2005 Pedoman Perilaku Hakim, Jakarta : Kepaniteraan Mahkamah Agung RI, 2008 Hadjon, Philipus M dkk. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cet-10 Yogyakarta : Gajah mada University Press, 1994 A Ahsin, Thohari. Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Cet-1 Jakarta: ELSAM, 2004 Marzuki, Peter Mahmud. Penilitian Hukum, Cet-5 Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013 -------------------------., Pengantar Ilmu Hukum, Cet- 5, Jakarta : Kencana, 2008 Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, diterbitkan atas kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unversitas Indonesia, 2004 -------------------------. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Cet-1, Jakarta : Pusat Studi HukumTata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002 -------------------------. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, Cet-1, Yogyakarta : FH UII Press, 2005 Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Peta Reformasi Hukum di Indonesia 1999-2001: Transisi di Bawah Bayang-bayang Negara, Jakarta : Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2002 Syahuri. Taufiqurrohman., Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Cet-1, Jakarta: Kencana, 2011
80
81
Republik Indonesia, Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 26 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Sekretariat Negara RI, Jakarta, 1995 syafiie, Inu Kencana. Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia, Cet-3 Bandung : PT. Refika Aditama, 2003 Tutik, Titik Triwulan. Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Cet-3 Jakarta : Prenada Media Group, 2011 ----------------------------. Eksistensi, Kedudukan, dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Cet-1 Jakarta : Prestasi Pustaka, 2007 Kelsen, Hans. Pengantar Teori Hukum, Cet-1 Bandung : Nusa Media, 2010 Syahrani, Riduan. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Cet-1 Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999 Arinanto, Satya. Reformasi Hukum, Demokrasi, dan Hak-hak Asasi Manusia, Hukum dan Pembangunan,nomor 1-3, Tahun XXVIII, Januari-Juni 1998 Rasyid, Ryaas. Makna Pemerintahan :Ttinjauan Dari Segi Etika dan Kepemimpinan, cet-ke 2, Jakarta : PT. Yarsif Watampone, 1997 E. Soemaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-norma bagi Penegak Hukum, Cet-1 Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1995
Mustofa, Wildan S. Kode Etik Hakim, Cet-2 Jakarta : Kencana, 2013
Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. ---------------------------.Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Nomor
48
Tahun
2009
Tentang
---------------------------.Undang-Undang Mahkamah Agung.
Nomor
14
Tahun
1985
Tentang
---------------------------.Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.
82
--------------------------- Undang-Undang nomor 18 tahun 2011 perubahan atas Undang-Undang 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia No. 02/PB/MA/IX/2012 Dan 02/PB/P.KY/IX/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode Etik Hakim Dan Pedoman Perilaku Hakim. Keputusan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia No. 047/KMA/SKB/IV/2009 Dan No. 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor KMA/058/SK/VI/2006 Tentang Petunjuk pelaksanaan pedoman Perilaku Hakim
Sumber Internet
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50c73771ae803/achmad-yamaniedipecat diakses pada tanggal 12 Mei 2015 hari kamis, pukul 13:00 http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=1 diakses tanggal 3 Juli 2015 hari jumat, pukul 16:00 https://nakimsanwirja.wordpress.com/2014/01/06/inilah-6-hakim-pelanggar-kodeetik- diakses pada tanggal 12 Mei 2015 hari kamis, pukul 13:00