i
UPAYA HUKUM KASASI DALAM KASUS dr. DEWA AYU (Tinjauan Yuridis Putusan Mahkamah Agung Nomor. 365K/PID/2012)
SKRIPSI
Diajukan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum paada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Disusun Oleh : AMRI HIDAYAT NIM. E1A010212
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2014
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul: UPAYA HUKUM KASASI DALAM KASUS dr. DEWA AYU (Tinjauan Yuridis Putusan Mahkamah Agung Nomor. 365 K/Pid/2012) Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain. Dan apabila terbukti saya melakukan Pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas.
Purwokerto, 24 November 2014
AMRI HIDAYAT NIM. E1A010212
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : UPAYA HUKUM KASASI DALAM KASUS dr. DEWA AYU (Tinjauan Yuridis Putusan Mahkamah Agung Nomor 365K/Pid/2012). Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini, penulis banyak menghadapi tantangan dan hambatan. Akan tetapi dengan rahmat Allah SWT dan bantuan dari berbagai pihak, maka tantangan dan hambatan tersebut dapat teratasi. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan puji syukur kepada Allah SWT kepada semua pihak khususnya kepada : 1. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, serta selaku Pembimbing Akademik dari penulis yang telah memberikan semangat dan doanya yang tulus untuk penulis agar selesainya skripsi ini dan lulus dari Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto; 2. Bapak Pranoto, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing I/ dosen penguji I, yang telah membimbing skripsi penulis dari awal sampai selesainya skripsi penulis;
3. Ibu Handri Wirastuti Sawitri, S.H.,M.H., selaku dosen pembimbing II/ dosen penguji II, yang telah membimbing skripsi penulis dari awal sampai selesainya skripsi penulis; 4. Bapak Dr. Hibnu Nugroho,S.H.,M.H., selaku dosen penguji III yang telah memberikan saran-saran yang membantu penulis dalam menyempurnakan skripsi penulis; 5. Sutambah dan Kobsah, orang tua dari penulis yang telah memberikan semangat dan doanya yang tulus untuk penulis agar selesainya skripsi ini dan lulus dari Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto; 6. Jajaran dewan guru Bapak H. Abdul Madjid Malik, Bapak Chamid, Bapak H. Gunawan Afiranto, Bapak Khoeron, yang telah banyak memberikan ilmu dan bimbingannya dari awal sampai dengan akhir penulis menyelesaikan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; 7. Sahabat penggiat budaya Dwanda Julisa Sistyawan, S.H., dan, Hendi Yudha Putra serta rekan yang lain, yang telah memberikan dukungan dan berbagi ilmu dan pengalaman selama penulis kuliah di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; 8. Semua teman-teman angkatan 2010 khususnya Kelas C tercinta yang selalu memberikan dorongan dan semangat bagi penulis selama kuliah; 9. Akang-akang serta Mba-mba di Himpunan Mahasiswa Pecinta Alam Yudhistira Fakultas Hukum Unsoed Angkatan Tirta Bhaskara, Angkatan Tebing Putih,
Angkatan Sangga Purnama, Angkatan Cahaya Senja, Angkatan Akar Kelana, Angkatan Bintang Fajar, Angkatan Surya Kusuma, Rekan-rekan Angkatan Tunas Bumi, Angkatan Wadas Sumerep serta Angkatan Sinar Bulan, yang telah memberikan dukungan dan ilmunya serta pengalaman selama penulis kuliah dan berproses di HMPA Yudhistira Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi penyusunan, penulisan maupun materi di dalamnya, namun dengan segala kerendahan hati penulis mohon maaf sekaligus sumbang saran maupun kritik konstruktif yang sifatnya membangun dari pembaca sangat penulis harapkan untuk memacu semangat penulis dalam menulis. Akhir kata semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi semua pihak, khususnya bagi penulis sendiri sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Wassalamua’alaikum Wr. Wb
Purwokerto, 24 November 2014
Amri Hidayat NIM. E1A010212
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................
i
HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI ..............................................................................................
ii
ABSTRAK ABSTRACT BAB I : PENDAHULUAN........................................................................
1
A. Latar Belakang ......................................................................
1
B. Rumusan Masalah ..................................................................
5
C. Tujuan Penelitian ...................................................................
5
D. Kegunaan Penelitian ..............................................................
5
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ............................................................
7
A. Pengertian, Tujuan dan Asas Hukum Acara Pidana ................
7
B. Putusan Dalam Tindak Pidana .................................................
21
1. Pengertian Putusan .................................................................
21
iii
2. Macam-Macam Putusan Dalam KUHAP ..............................
23
C. Upaya Hukum ..........................................................................
34
1. Pengertian Upaya Hukum ......................................................
34
2. Bentuk-bentuk Upaya Hukum ...............................................
35
3. Upaya Hukum Kasasi ............................................................
41
D. Kesalahan Menurut Hukum Pidana..........................................
47
1. Pengertian Kesalahan .............................................................
47
2. Kealpaan Menyebabkan Matinya Orang ...............................
48
E. Kejahatan pemalsuan Surat ......................................................
51
F. Kriminal Malpraktik.................................................................
53
1. Pengertian Kriminal Malpraktik ............................................
53
2. Dokter dalam Melaksanakan Profesi Medik ..........................
55
BAB III : METODE PENELITIAN ........................................................
59
A. Metode Pendekatan ................................................................
59
B. Spesifikasi Penelitian .............................................................
60
C. Sumber Data ..........................................................................
60
D. Metode Pengumpulan Data ....................................................
62
E. Metode Penyajian Data .........................................................
63
F. Metode Analisa Data .............................................................
63
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ......................
64
A. Hasil Penelitian ......................................................................
64
B. Pembahasan ...........................................................................
119
iv
BAB V : PENUTUP ..................................................................................
162
A. Kesimpulan ............................................................................
162
B. Saran .....................................................................................
163
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ABSTRAK
Mahkamah Agung (MA) dalam Putusan No.365 K/Pid/2012, memvonis dr. Dewa Ayu dkk. selama 10 bulan penjara, menganulir vonis bebas yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Manado dalam Putusan No.90/Pid.B/2011/PN.Mdo. Rumusan masalah yang diangkat adalah pertimbangan hakim dalam kedua putusan tersebut. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan spesifikasi perskriptif analitis. Pengadilan Negeri Manado berpendapat Pasal 359 KUHP mengandung unsur karena kesalahannya (unsur subjektif) dan menyebabkan orang mati (unsur objektif). Berdasarkan fakta-fakta di persidangan, keterangan saksi-saksi dan keterangan Para Terdakwa bahwa dakwaan kelalaian ini unsur kelalaian dalam menjalankan tugas profesi medik adalah tidak terbukti menurut hukum. Mahkamah Agung dalam pertimbangannya para Terdakwa lalai untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu. Para Terdakwa telah melakukan penyimpangan kewajiban. Pengaturan mengenai Tindak Pidana malpraktek belum diatur secara terperinci oleh undang-undang, maka saran dari peneliti adalah majelis hakim dalam memberikan putusan terhadap perkara malpraktek diharapkan kedepan selain mempertimbangkan adanya alat-alat bukti sebagaimana diatur dalam KUHAP, juga mempertimbangkan sumber hukum tak tertulis dan azas-azas umum berdasarkan kepatutan masyarakat, selain itu juga melihat Yurisprudensi yang telah ada dan dipakai sebagai sember hukum.
Kata Kunci: pertimbangan hakim, karena kesalahannya menyebabkan orang mati, melakukan tindakan atau tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu.
ABSTRACK
The Supreme Court ( MA ) in Decision 365 K/Pid/2012, convicted dr. Dewa Ayu et al. for 10 months in prison, annulled acquittal rendered by the District Court of Manado in Decision 90/Pid.B/2011/PN.Mdo. The both consideration in the decision of judges was the formulation of the issues. This research was a normative juridical with perskriptif analytical specifications. Manado District Court argued Article 359 of the Criminal Code because it contains elements of the guilt (subjective element) and caused the dead (objective element). Based on the facts in the trial, witnesses and testimony that the defendant's negligence charges of negligence of duty medical profession is not legally proven. The Supreme Court in consideration of the defendant fails to perform any act or not do something specific action to certain patients in certain circumstances. The defendant has made a deviation obligation. Setting of the crime of malpractice has not been regulated by law, so the advice of researcher is the judges in giving judgment to next malpractice cases are expected in addition to consider the evidence which set in the Criminal Code, also consider the source of the unwritten laws and the general principles based on the propriety of the community, but it also saw the existing jurisprudence and used as legal cracked .
Keywords: consideration of judge, because mistakes cause people die, act or not do something certain action
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dokter adalah seorang yang ahli di bidang medik, namun sebagai manusia dokter pun tidak terhindar dari kesalahan. Berbuat kesalahan itu manusiawi (to err is human). Pada umumnya adanya dugaan malpraktik medik (alegal medical malpractice) adalah akibat dari suatu tindakan medik yang dilakukan oleh seorang dokter, ternyata keadaan pasien bahkan menjadi tambah buruk, menderita kesakitan, menjadi lumpuh, jatuh ke dalam koma, ataupun sampai meninggal. Mengamati pemberitaan media massa akhir-akhir ini, terlihat peningkatan dugaan kasus malpraktik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan diagnosis dokter yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya gugatan-gugatan malpraktik tersebut dan semuanya berangkat dari kerugian psikis dan fisik korban. Mulai dari kesalahan diagnosis dan pada gilirannya mengimbas pada kesalahan terapi hingga pada kelalaian dokter pasca operasi pembedahan pada pasien (alat bedah tertinggal didalam bagian tubuh), dan faktor-faktor lainnya. Kasus malpraktik merupakan tindak pidana yang sangat sering terjadi di Indonesia. Malpraktik pada dasarnya adalah tindakan tenaga profesional
2
yang bertentangan dengan Standar Operasional Prosedur (SOP), kode etik, dan undang-undang yang berlaku, baik disengaja maupun akibat kelalaian yang mengakibatkan kerugian dan kematian pada orang lain. Biasanya malpraktik dilakukan oleh kebanyakan dokter di karenakan salah diagnosa terhadap pasien yang akhirnya dokter salah memberikan obat. Sudah banyak contoh kasus yang malpraktik yang terjadi di beberapa rumah sakit, salah satunya adalah kasus dr. Dewa Ayu, dr. Hendy Siagian, dan dr. Hendri Simanjuntak di Manado yang kasusnya telah bergulir sampai ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung (MA) memvonis dr. Dewa Ayu dkk selama 10 bulan penjara karena kealpaan dr. Ayu dkk yang mengakibatkan kematian pasien Siska Makatey. Dalam Putusan Nomor 365 K/Pid/2012, majelis kasasi yang dalam pertimbangannya menyatakan para terdakwa karena kelalaiannya mengakibatkan kematian pasien. Ketiga dokter tersebut dijatuhi hukuman 10 bulan penjara oleh MA setelah sebelumnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Manado, Sulawesi Utara. Dasar dakwaan MA dalam memvonis tersebut adalah menilai salah dan benarnya dokter Ayu dalam melakukan tindakan medis dan prosedur medis. Terhadap putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan baik pada tingkat pertama maupun tingkat kasasi dalam kasus ini memang sangat menarik, karena akan muncul 2 (dua) pendapat yakni bahwa putusan pada tingkat pertama adalah sudah benar karena memang ini bukanlah criminal malpractice, karena itu maka dr. Dewa Ayu dan kedua rekannya dijatuhi putusan bebas.
3
Dalam sistem peradilan pidana, hakim dalam memberikan putusan berdasarkan Pasal 1 angka (11) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa: “Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan selama persidangan, kesalahan terdakwa sebagaimana didakwakan oleh jaksa penuntut umum tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP). “Tidak terbuktinya secara sah dan meyakinkan karena1 Ketiadaan bukti minimum yang ditetapkan oleh undang-undang (sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah), misalnya hanya ada keterangan seorang saksi saja atau satu petunjuk atau keterangan terdakwa saja, dan tidak dikuatkan oleh alat bukti lain; atau bukti minimum tersebut telah dipenuhi, akan tetapi pengadilan tidak yakin atas kesalahan terdakwa.” Putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor 90/Pid.B/2011/PN.MDO, yang mana dalam putusannya, hakim menyatakan bahwa para terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dalam dakwaan Kesatu Primair dan Subidair, dakwaan Kedua, dan dakwaan Ketiga Primair dan Subsidair, serta membebaskan para terdakwa dari semua dakwaan (vrijspraak). Dalam hal hakim menjatuhkan putusan bebas, berdasar ketentuan Pasal 191 ayat (3) KUHAP jika terdakwa ada dalam status tahanan, diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali karena adanya alasan yang sah untuk terdakwa perlu tetap ditahan. 1
Soedirjo, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, Akademika Pressindo, Jakarta, 1985, hlm. 58.
4
Terhadap putusan bebas ini, berdasarkan ketentuan Pasal 67 KUHAP tidak dapat dilakukan upaya hukum banding maupun kasasi sebagaimana diatur dalam Pasal 244 KUHAP. Atas putusan yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Manado tersebut, jaksa penuntut umum mengajukan upaya hukum di tingkat Kasasi dan permohonan Kasasi tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Agung beralasan bahwa sebagai peradilan tertinggi yang mempunyai tugas untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan undang-undang di seluruh wilayah negara diterapkan secara tepat dan adil, dan Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Nomor 365 K/Pid/2012 telah menganulir putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor 90/Pid.B/2011 dan menjatuhkan putusan Pidana kepada para terdakwa masing-masing 10 (sepuluh) bulan penjara. Berdasarkan pada Yurisprudensi, bahwa putusan bebas dapat dimintakan Kasasi apabila dianggap putusan bebas yang dijatuhkan adalah putusan bebas tidak murni, karena dalam perkara besar dan penting, atau perkara-perkara yang ramai diperbincangkan dan menyita perhatian publik adanya putusan bebas kadang tidak bisa diterima oleh jaksa penuntut umum dan juga sulit diterima oleh masyarakat. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk mengadakan penelitian tentang suatu putusan bebas yang dianggap sebagai putusan bebas tidak murni dan apa yang menjadi pertimbangan majelis hakim kasasi sehingga memberikan vonis pemidanaan terhadap kasus yang sebelumnya telah diberikan putusan bebas,
5
dengan judul: UPAYA HUKUM KASASI DALAM KASUS dr. DEWA AYU (Tinjauan Yuridis Putusan Mahkamah Agung Nomor. 365 K/Pid/2012)
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana
pertimbangan
hakim
dalam
putusan
Nomor
90/Pid.B/2011/PN.MDO sehingga menjatuhkan putusan bebas terhadap dr. Dewa Ayu? 2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 365 K/Pid/2012 sehingga menjatuhkan putusan pidana terhadap dr. Dewa Ayu? C. Tujuan Bertitik tolak dari permasalahan tersebut di atas, tujuan dari penelitian yang akan dilakukan ini adalah : 1. Untuk
mengetahui
pertimbangan
hakim
dalam
putusan
Nomor
90/Pid.B/2011/PN.MDO sehingga menjatuhkan putusan bebas terhadap dr. Dewa Ayu 2. Untuk
mengetahui
pertimbangan
hakim
dalam
putusan
Nomor
365K/Pid/2012 sehingga menjatuhkan putusan pidana terhadap dr. Dewa Ayu. D. Manfaat Penelitian Dengan melihat tujuan dari penelitian ini, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat :
6
1. Manfaat teoritis Sebagai sumber informasi ilmiah yang dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya dalam penyelesaian sengketa hukum kesehatan. Karena memang masihlah sangat dibutuhkan masukan yang jelas mengenai bagaimanakah penyelsaian sengketa kesehatan yang terkait dokter dengan pasien. Pihak Ikatan Dokter Indonesia menyatakan bahwa setiap sengketa dokter dengan pasien diselesaikan melalui Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK), namun ada pendapat bahwa penyelesaian semacam ini tidaklah transparan dan memenuhi rasa keadilan karena adanya spirit the corps antara sesama dokter. 2. Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah masukan bagi aparat penegak hukum, salah satunya bagi hakim agar dalam memperhatikan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan, karena meskipun si terdakwa melakukan kelalaian walaupun itu dalam hal menjalankan tugasnya harus diperhatikan sudah sesuai prosedurkah tindakan yang dilakukan oleh terdakwa ketika menjalankan tugasnya.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian, Tujuan, dan Asas Hukum Acara Pidana Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Untuk mewujudkan pernyataan tersebut di atas, melalui TAP MPR Nomor: IV/MPR/1978, pemerintahan mengadakan usaha peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan mengadakan pembaharuan kodifikasi serta unifikasi hukum dalam rangkuman pelaksanaan secara nyata dari Wawasan Nusantara. Pembangunan hukum nasional salah satu diantaranya adalah di bidang Hukum Acara Pidana dengan tujuan agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan, dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan UUD 1945.2
2
Lihat konsideran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
8
1. Pengertian Hukum Acara Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) lahir setelah hampir 36 tahun Negara Republik Indonesia merdeka. Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Hukum Acara Pidana disebut juga hukum pidana formil, hal ini untuk membedakan dengan hukum pidana materiil.3 Hukum Pidana materiil atau Hukum Pidana sendiri berisi petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat dipidananya suatu perbuatan, petunjuk tentang orang yang dapat dipidana, dan aturan tentang pemidanaan, mengatur tentang kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan. Sedangkan hukum pidana formil mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana, jadi berisi acara pidana.4 “Menurut Poernomo5, hukum pidana tidak dapat dilakukan apabila tidak ada aturan beracara yaitu untuk proses perkara pidana dan menentukan suatu keputusan menjatuhkan sanksi pidana atau keputusan lain kepada seseorang yang terbukti atau tidak terbukti melakukan perbuatan pidana dengan kesalahannya. Secara singkat dapat dilaksanakan melalui hukum acara pidana. Hukum acara pidana sendiri secara esensial dalam perkara pidana dapat dibedakan menjadi hukum acara pidana formil dalam arti hukum beracara pidana dan dalam arti hukum acara pidana materiil dalam arti pembuktian dari perkara pidana.” “Menurut Wirjono Projodikoro6 bahwa hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, maka dari itu merupakan suatau rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badanbadan pemerintahan yang berkuasa yaitu kepolisian, kejaksaan, dan
3
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1996, hlm 7. Muhammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hlm 1. 5 Endang Sri Lestari, “Pembuktian Tindak Pidana Korporasi Pada Kasus Kabut Asap di Pekanbaru (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan M.A.R.I No. 275TU/811K/Pid/2002)”, (Skripsi Hukum Acara Pidana, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, 2007), hlm. 10 6 Andi Hamzah, Loc.Cit 4
9
pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.” Dalam pembagian hukum pidana antara publik dan hukum privat, maka hukum acara pidana digolongkan dalam hukum publik. Sebagai bagian dari hukum publik, hukum acara pidana sering diartikan secara sempit dan secara luas. Arti sempit dari hukum acara pidana adalah berjalan apabila terjadi dugaan adanya pelanggaran terhadap undang-undang pidana materiil, sedangkan dalam arti luas apabila dipandang dari segi tugas, wewenang, kewajiban, dan hal-hal dari orang yang bersangutan dengan penyidikan, penuntutan dan mengadili delik, maka ia termasuk dalam hukum tata negara dan hukum administraasi negara. 7 Menurut R. Soesilo8, hukum acara pidana itu erat kaitannya dengan hukum pidana, bahkan hukum acara pidana itu pada hakekatnya termasuk dalam pengertian hukum pidana. Kumpulan dari seluruh tindak-tindak pidana dinamakan hukum pidana, yaitu hukum pidana yang berupa materi atau materiil dan dinamakan hukum pidana materiil. Hukum pidana materiil lawannya hukum pidana formil. Hukum pidan formil adalah kumpulan peraturan-peraturan hukum yang memuat ketentuan-ketentuan mengatur soal sebagai berikut: a. Cara bagaimana harus mengambil tindakan-tindakan jikalau ada sangkaan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana, cara bagaimana mencari kebenaran-kebenaran tentang tindak pidana apakah yang telah dilakukan; b. Setelah ternyata, bahwa ada suatu tindak pidana yang dilakukan, siapa dan cara bagaimana harus mencari, menyelidik atau menyelidiki orang-orang yang disangka bersalah terhadap tindak pidana itu, cara menangkap, menahan dan memeriksa orang itu; c. Cara bagaimana mengumpulkan barang-barang bukti, memeriksa, menggeledah badan dan tempat-tempat lain serta menyita barangbarang itu, untuk membuktikan kesalahan tersangka; d. Cara bagaimana pemeriksaan dalam sidang pengadilan terhadap terdakwa oleh hakim sampai dapat dijatuhkan pidana; e. Oleh siapa dengan cara bagaimana putusan penjatuhan pidana itu harus dilaksanakan dan sebagainya, atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa yang mengatur tentang cara bagaimana 7 8
Ibid, hlm 20. R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Politea, Bogor, 1995, hlm 3.
10
mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materiil, sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu dapat dilaksanakan. “Menurut Van Bemmelen9, ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana. Hukum acara pidana dilukiskan sebagai berikut: a. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran; b. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu; c. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pelaku dan kalau perlu menahannya; d. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut; e. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidan atau tindakan tata tertib; f. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut; g. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib itu.” Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981) tidak menjelaskan apakah hukum acara pidana itu. Hanya diberikan devinisi-devinisi dari beberapa bagian hukum acara pidan seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledan, penangkapan, penahanan dan lain-lain sebagaiman disebutkan di dalam Pasal 1 KUHAP. 2. Tujuan Hukum Acara Pidana Setiap peraturan yang dibuat pasti mempunyai tujuan tertentu yang hendak dicapai, begitu pula hukum acara pidana dibuat juga mempunyai tujuan yang hendak dicapai yaitu suatu keadilan. Sedangkan baik dan buruknya suatu tujuan akan mempengaruhi kualitas suatu peraturan atau undang-undang, oleh
9
Andi Hamzah, Op.Cit. hlm 17-18
11
karena itu realisasi pelaksanaan akan menjadi tolak ukur keberhasilan suatu tujuan, semakin baik tujuan yang hendak dicapai maka semakin baik pula keadilan yang diperoleh masyarakat. Pedoman pelaksanaan KUHAP memberi penjelasan tentang tujuan hukum acara pidana sebagai berikut: “Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan”.10 Menurut van Bemmelen11 mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana, yaitu sebagai berikut: a. Mencari dan menemukan kebenaran b. Pemberian keputusan oleh hakim c. Pelaksanaan keputusan.
3. Asas Hukum Acara Pidana Pengertian asas dalam hukum acara pidana adalah dasar patokan hukum yang mendasari KUHAP dalam menjalankan hukum. Asas ini akan menjadi pedoman bagi semua orang termasuk penegak hukum, serta orang-orang yang berkepentingan dengan hukum acara pidana. KUHAP dilandasi oleh asas atau prinsip hukum tersebut diartikan sebagai dasar patokan hukum sekaligus merupakan tonggak pedoman bagi instansi jajaran aparat penegak hukum dalam menerapkan pasal-pasal KUHAP. 10 11
Ibid, hlm. 18. Ibid, hlm 19.
12
Mengenai hal tersebut, bukan hanya kepada aparat hukum saja, asas atau prinsip yang dimaksud menjadi patokan dan landasan, tetapi juga bagi setiap anggota masyarakat yang terlibat dan berkepentingan atas pelaksanaan tindakan yang menyangkut KUHAP.12 Makna asas-asas hukum adalah merupakan ungkapan hukum yang bersifat umum, pada sebagian berasal dari kesadaran hukum serta keyakinan kesusilaan atau etis kelompok manusia dan pada sebagian yang lain berasal dari dasar pemikiran dibalik peraturan perundang-undangan serta yurisprudensi.13 Asas-asas penting yang terdapat dalam hukum acara pidana yaitu: 1. Peradilan Cepat, Sederhana, Dan Biaya Ringan Asas ini telah dirumuskan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menghendaki agar pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia berpedoman kepada asas: cepat, sederhana, dan biaya ringan. Tidak bertele-tele dan berbelit-belit. Apabila jika keterlambatan penyelesaian kasus terhadap hukum dan martabat manusia. Asas ini mencerminkan adanya perlindungan hak asasi manusia sekalipun orang tersebut berada dalam kedudukan sebagai tersangka atau terdakwa. Walaupun dalam kondisi dibatasi kemerdekaannya karena ditangkap kemudian ditahan, namun orang tersebut tetep memperoleh kepastian bahwa
12
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 35. 13 Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidana Dan Penegakan Hukum Pidana. Liberty, Yogyakarta, 1993, hlm. 46
13
tahapan-tahapan pemeriksaan yang dilaluinya memiliki batas waktu dan dijamin undang-undang. Asas ini menghendaki adanya peradilan yang efektif dan efesien, sehingga tidak memberikan penderitaan yang berkepanjangan kepada tersangka atau terdakwa disamping kepastian hukum terjamin. Asas ini juga terdapat dalam Penjelasan Umum butir 3 huruf e KUHAP yang merumuskan: “Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus ditetapkan secara konsekuen dalam seruluh tingkat peradilan”. Beberapa ketentuan KUHAP sebagai penjabaran asas peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan antara lain tersangka atau terdakwa berhak: 1). Segera mendapat pemeriksaan dari penyidik; 2). Segera diajukan kepada penuntut umum oleh penyidik; 3). Segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum; 4). Berhak segera diadili oleh pengadilan. Menurut Andi Hamzah,14 Asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yang dianut didalam KUHAP sebenarnya merupakan penjabaran Undang-Undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim) merupakan bagian hak-hak manusia. Begitu pula peradilan bebas, jujur, dan tidak memihak yang ditonjolkan dalam undang-undang tersebut. 2. Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumtion of innocence) Asas ini disebut dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 14
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 10-11.
14
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan dalam Penjelasan Umum butir 3 c KUHAP, yang merumuskan:15 “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, Wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”. Asas praduga tak bersalah menjadi salah satu bukti penghargaan KUHAP pada hak asasi manusia. Cara-cara pemeriksaan tersangka atau terdakwa yang semula bersifat inquisitoir menjadi aqusatoir. Menurut M. Yahya Harahap, sebagaimana dikutip oleh Taufik Makarao dan Suhasril, mengemukakan:16 Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis penyidikan dinamakan “Prinsip Akusator”. Prinsip akusator menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan adalah subyek bukan sebagai objek pemeriksaan karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat dan martabat harga diri, yang mejadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah kesalahan (tindak pidana) yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa, karena itulah pemeriksaan ditujukan. 3. Asas Oportunitas Dalam hukum acara pidana dikenal suatu badan yang khusus diberi wewenang untuk melakukan penuntutan pidana kepengadilan yang disebut penuntut umum. Di Indonesia penuntut umum disebut juga jaksa (Pasal 1 butir a dan b serta Pasal 137 dan seterusnya KUHAP). Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum. Asas oportunitas adalah hak yang dimiliki oleh penuntut umum untuk menuntut
15
atau tidak
Ibid., hlm. 34. Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hlm. 3. 16
15
menuntut seseorang kepengadilan. Di Indonesia wewenang ini hanya diberikan kepada kejaksaan. A.Z. Abidin Farid,17memberikan perumusan asas oportunitas adalah Asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau koperasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum. Andi Hamzah18 menjelaskan lebih lanjut sebagai berikut: “Menurut asas oportunitas penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan delik jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum. Jadi demi kepentingan umum, seseorang yang melakukan delik tidak dituntut.” Mengenai kriteria kepentingan umum dalam pedoman pelaksanaan KUHAP dijelaskan adalah didasarkan untuk kepentingan negara dan masyarakat dan bukan kepentingan pribadi. 4. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum Pemeriksaan pengadilan yang terbuka untuk umum dapat dilihat dalam Pasal 153 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP sebagai berikut: “Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”. Pasal 153 ayat (4) KUHAP menyebutkan: “Tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum”. Mengenai asas pemeriksaan persidangan terbuka untuk umum, M. Yahya Harahap19 berpendapat: 17 18
Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 17. Ibid., hlm. 16.
16
“Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menetapkan pemeriksaan perkara yang terdakwanya anak-anak dilakukan dengan pintu tertutup. Sebab jika dilakukan terbuka untuk umum akan membawa akibat psikologis yang lebih parah kepada jiwa dan batin si anak.” Asas ini memberikan makna bahwa tindakan penegakan hukum di Indonesia harus dilandasi oleh jiwa persamaan dan keterbukaan serta adanya penerapan sistem musyawarah dan mufakat. I. Sumantri20 menjelaskan lebih lanjut sebagai berikut: “Asas terbuka untuk umum ini memang tepat karena persidangan dapat dihadiri oleh umum, sehingga dapat menjamin obyektifitas peradilan dan tujuannya memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi terdakwa. Di lain pihak juga ditentukan pengecualian apabila kesusilaan dan terdakwanya anak-anak.” Hakim dapat menetapkan apakah suatu sidang dinyatakan seluruhnya atau sebagian tertutup untuk umum yang artinya persidangan dilakukan di belakang pintu tertutup. Pertimbangan tersebut diserahkan sepenuhnya kepada hakim yang melakukan hal itu berdasarkan jabatannya atau atas permintaan penuntut umum dan terdakwa. Saksi pun dapat mengajukan permohonan agar sidang tertutup untuk umum dengan alasan demi nama baik keluarganya. 5. Semua Orang Diperlakukan Sama Di Depan Hukum (Equality Before the Law) Asas yang umum dianut di negara-negara yang berdasarkan hukum ini tegas tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Penjelasan Umum butir 3 a KUHAP. Penjelasan Umum butir 3 a KUHAP merumuskan:
19
M. Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 56. I. Sumantri, Pembahasan Perkembangan Pembangunan Nasional Tentang Hukum Acara Pidana, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 1996, hlm. 18. 20
17
“Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum tidak mengadakan perbedaan perlakuan”. Sedangkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman merumuskan: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Ketentuan-ketentuan di dalam KUHAP mendasarkan pada asas ini, sehingga tidak ada satu pasal pun yang mengarah pada pemberian hak-hak istimewa pada suatu kelompok dan memberikan ketidakistimewaan kepada kelompok lain. Menurut Andi Hamzah,21Asas ini menegaskan bahwa sebagai Negara Hukum maka dihadapan hukum semua orang sama dan sederajat. Bagaimanapun kedudukan manusia itu sama di mata hukum yang dijunjung tinggi oleh negara Indonesia sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
6. Tersangka atau Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum Asas tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum terdapat pada Pasal 54 KUHAP yang menyatakan bahwa: “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini”. Ketentuan asas ini berkaitan dengan hak dari seseorang yang tersangkut dalam suatu perkara pidana untuk dapat mengadakan persiapan bagi
21
Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 19.
18
pembelaannya maupun untuk mendapatkan nasehat atau penyuluhan tentang jalan yang dapat ditempuhnya dalam menegakan hak-haknya sebagai tersangka atau terdakwa. Bantuan hukum dalam KUHAP tidak terdapat penjelasan atau definisi mengenai pengertian bantuan hukum. M. Yahya Harahap,22 menjelaskan mengenai bantuan hukum diatur dalam Pasal 74 KUHAP, dimana didalamnya diatur tentang kebebasan yang sangat luas yang didapat oleh tersangka atau terdakwa. Kebebasan tersebut antara lain: a) Bantuan hukum dapat diberikan saat tersangka ditangkap atau ditahan; b) Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan; c) Penasehat hukum dapat menghubungi tersangka atau terdakwa pada tingkat pemeriksaan pada setiap waktu; d) Pembicaraan antara penasehat hukum dan tersangka atau terdakwa tidak didengar oleh penyidik dan penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan Negara; e) Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasehat hukum guna kepentingan pembelaan; f) Penasehat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka atau terdakwa. The Internasional Convenant on Civil and Political Rights article 14 sub 3d kepada tersangka atau terdakwa diberikan jaminan sebagai berikut: “to be tried in his presence and to defend himself in person or through legal assistance of his own choosing, to be inform, if he does not have legal assistance, of his right, and to have legal assistance assigned to him, in any case where the interests justice so require, and without payment by him in any such case if he does not have sufficient means to pay for it.” (Diadili dengan kehadiran terdakwa, membela diri sendiri secara pribadi atau dengan bantuan penasehat hukum menurut pilihannya sendiri, diberi tahu tentang hak-haknya ini jika ia tidak mempunyai penasehat hukum dan ditunjuk penasehat hukum untuk dia jika untuk kepentingan peradilan perlu untuk itu, dan jika ia tidak mampu membayar penasehat hukum ia dibebaskan dari pembayarannya).” 23 22
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Jilid 1 dan Jilid II), Pustaka Kartini, Jakarta, 1998, hlm. 21. 23 Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 20.
19
7. Asas Akusatoir Dan Inkisitoir (Accusatoir dan Inquisitoir) Asas akusatoir dalam KUHAP tidak menjadikan pengakuan tersangka sebagai salah satu dari jenis alat bukti. Pengakuan yang digariskan dalam KUHAP yang demikian menunjukan bahwa KUHAP menganut asas akusatoir yaitu menempatkan kedudukan tersangka sebagai subyek pemeriksaan. Asas inkisitoir yaitu kedudukan tersangka atau terdakwa merupakan obyek pemeriksaan sehingga pengakuan tersangka atau terdakwa menjadi hal yang sangat penting untuk diperoleh penegak hukum. dalam hal ini kedudukan tersangka sangat lemah dan tidak menguntungkan karena tersangka masih dianggap sebagai barang atau objek yang harus diperiksa. Pada asas inkisitoir pemeriksaan bersifat rahasia atau tertutup. Asas akusatoir memperlakukan tersangka atau terdakwa yang manusiawi bukan berarti menghilangkan ketegasan yang menyebabkan tersangka atau terdakwa tidak menghormati proses penegakan hukum. Dengan menggunakan ilmu bantu penyidikan seperti psikologis, kriminalistik, psikiatri dan kriminologi maka penyidik tetap akan dapat memperoleh hasil penyidikan yang memadai. “Menurut Andi Hamzah,24Asas inkisitoir berarti tersangka dipandang sebagai objek pemeriksaan yang masih dianut oleh HIR untuk pemeriksaan pendahuluan. Sama halnya dengan Ned. Sv. yang lama yaitu tahun 1828 yang direvisi tahun 1885. Sejak tahun 1926 yaitu berlakunya Ned. Sv. yang baru di negeri Belanda telah dianut asas gematigd accusatoir yang berarti asas bahwa tersangka dipandang sebagai pihak pada pemeriksaan pendahuluan dalam arti terbatas, yaitu pada pemeriksaan perkara-perkara politik berlaku asas inkisitoir.” 24
Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 22.
20
8. Pemeriksaan Hakim Yang Langsung Dan Lisan Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Sidang pengadilan melakukan pemeriksaan secara langsung kepada terdakwa atau orang lain yang terlibat, dengan mengadakan pembicaraan secara lisan, berupa tanya jawab dengan majelis hakim. Pemeriksaan perkara pidana antara para pihak yang terlibat dalam persidangan harus dilakukan dengan berbicara satu sama lain secara lisan agar dapat diperoleh keterangan yang benar dan yang bersangkutan tanpa tekanan dari pihak manapun. Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan diatur dalam Pasal 154 KUHAP yang menyatakan sebagai berikut: (1) Hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk dan jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas. (2) Jika dalam pemeriksaan perkara terdakwa yang tidak ditahan tidak hadir pada hari sidang yang telah ditetapkan, hakim ketua sidang meneliti apakah terdakwa sudah dipanggil secara sah. (3) Jika terdakwa dipanggil secara tidak sah, hakim ketua sidang rnenunda persidangan dan memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya. (4) Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi. (5) Jika dalam suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa dan tidak semua terdakwa hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan. (6) Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya. (7) Panitera mencatat laporan dari penuntut umum tentang pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (6) dan menyampaikannya kepada hakim ketua sidang.
21
Mengenai asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan, M. Yahya Harahap25 berpendapat: “Pasal 153 ayat (2) huruf a KUHAP menegaskan ketua sidang dalam memimpin sidang pengadilan, dilakukan secara langsung dan lisan. Tidak boleh pemeriksaan dengan perantara tulisan baik terhadap terdakwa maupun saksi-saksi. Kecuali bagi mereka yang bisu atau tuli, pernyataan dan jawaban dapat dilakukan secara tertulis. Prinsip pemeriksaan dalam persidangan dilakukan secara langsung berhadap-hadapan dalam ruang sidang. Semua pernyataan dilakukan dengan lisan dan jawaban atau keteranganpun disampaikan dengan lisan, tiada lain untuk memenuhi tujuan agar persidangan benar-benar menemukan kebenaran yang hakiki. Sebab dari pemeriksaan secara langsung dan lisan, tidak hanya keterangan terdakwa atau saksi saja yang dapat didengar dan diteliti, tetapi sikap dan cara mereka memberikan keterangan dapat menentukan isi dan nilai keterangan.” Pengecualian dari asas langsung dan lisan adalah kemungkinan putusan dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa (in absentia), yaitu dalam acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 213 KUHAP, yang merumuskan: “Terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat untuk mewakilinya di sidang”. B. Putusan Dalam Tindak Pidana 1.
Pengertian Putusan Muara dari seluruh proses persidangan perkara pidana adalah
pengambilan keputusan hakim atau sering disebut juga dengan istilah “Putusan Pengadilan” atau “Putusan Akhir” atau lebih sering disebut juga dengan istilah “Putusan” saja.26
25
M. Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 113. Al. Wisnubroto, Praktek Peradilan Pidana: Proses Penanganan Perkara Pidana, Galaxy Puspa Mega, Jakarta, 2002, hlm. 119. 26
22
Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan.27 Berdasarkan ketentuan Pasal 182 ayat (1) KUHAP, apabila pemeriksaan sidang dinyatakan selesai, tahap proses selanjutnya adalah penuntutan, pembelaan, dan jawaban atas pembelaan. Ketika proses ini telah selesai, maka hakim ketua menyatakan “pemeriksaan dinyatakan ditutup”. Apabila
pemeriksaan
dinyatakan
ditutup,
hakim
mengadakan
musyawarah terakhir untuk menjatuhkan putusan. Bentuk putusan yang akan dijatuhkan tergantung dari hasil musyawarah berdasarkan surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam persidangan di sidang pengadilan. Pasal 1 angka 11 KUHAP menyatakan banwa : “Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dan segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Proses atau cara pengambilan putusan diawali setelah hakim ketua sidang dinyatakan pemeriksaan ditutup, dan seterusnya hakim akan mengadakan musyawarah. Berdasarkan ketentuan Pasal 182 KUHAP untuk menentukan putusan, hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan mulai dari hakim yang paling muda sampai hakim yang paling tua, sedangkan yang terakhir hakim ketua akan menyatakan pendapatnya.
27
Laden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan dan Pengadilan Negeri, Upaya Hukum dan Eksepsi), Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 129.
23
Hasil musyawarah majelis hakim merupakan permufakatan bulat, namun jika telah benar-benar diupayakan tetapi tetap tidak dapat mencapai suatu permufakatan bulat maka akan ditempuh dua cara yaitu: 1. Putusan diambil dengan suara terbanyak (Voting) 2. Putusan yang dipilih adalah hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa. Proses penyusunan materi muatan perlu mencermati ketentuan Pasal 182 ayat (4) KUHAP yang pada pokoknya menyatakan bahwa musyawarah majelis hakim dalam menyusun putusan harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang. Proses pengambilan keputusan tersebut dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk itu yang sifatnya rahasia. Putusan Pengadilan Negeri dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau pada hari yang lain, yang sebelumnya harus diberitahukan kepada penuntut umum dan terdakwa atau penasehat hukum terdakwa. Berdasarkan ketentuan Pasal 195 KUHAP, semua putusan sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum. 2. Macam-Macam Putusan Dalam KUHAP Pasal 1 angka 11 KUHAP menyatakan banwa : “Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dan segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Ketentuan Pasal 1 angka 11 KUHAP diatas, Putusan Pengadilan Negeri yang dijatuhkan terhadap suatu perkara pidana bisa terbentuk sebagai berikut:
24
1) Putusan pemidanaan Putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP. Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang dikemukakan dalam pasal pidana yang didakwakan kepada terdakwa.28 Pasal 193 ayat (1) KUHAP: “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana” Berdasarkan Pasal 193 ayat (1) KUHAP, penjatuhan putusan pemidanaan terhadap terdakwa didasarkan pada penilaian pengadilan. Jika pengadilan berpendapat dan menilai terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, pengadilan menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa. Atau dengan kata lain bahwa apabila menurut pendapat dan penilaian pengadilan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan tindak pidana yang didakwakan kepadanya sesuai dengan sistem pembuktian dan asas batas minimum pembuktian yang telah ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP. Menurut M. Yahya Harahap,29 Putusan yang menjatuhkan hukuman pemidanaan kepada seseorang terdakwa tidak lain daripada putusan yang berisi perintah untuk menghukum terdakwa sesuai dengan ancaman pidana yang sisebut dalam pasal yang didakwakan.
28
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 354. 29 Ibid.
25
Hakim dalam menjatuhkan berat ringannya hukuman pidana yang dijatuhkan kepada teerdakwa adalah bebas, artinya memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana antara hukuman minimum dan maksimum sesuai dengan pasal pidana yang didakwakan. Namun, titik tolak hakim dalam menjatuhkan pidana harus didasarkan kepada ancaman pidana yang disebutkan dalam pasal pidana yang didakwakan dan seberapa besar kesalahan terdakwa dalam perbuatan tindak pidana yang dilakukannya. Hakim dalam hal menjatuhkan putusan pemidanaan, dapat menentukan salah satu dari macam-macam hukuman yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP yaitu salah satu dari hukuman pokok dalam Pasal 10 KUHP yakni: Pidana terdiri atas: a. Pidana pokok 1. Pidana mati; 2. Pidana penjara; 3. Pidana kurungan; 4. Pidana denda; 5. Pidana tutupan. b. Pidana tambahan 1. Pencabutan hak-hak tertentu; 2. Perampasan barang-barang tertentu; 3. Pengumuman putusan hakim. Hakim dalam menjatuhkan putusan juga harus melihat status terdakwa dalam tahanan atau tidak, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 193 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa: a. Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 KUHAP terdapat alasan cukup untuk itu. b. Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan putusannya, dapat menetapkan terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alasan cukup untuk itu.
26
2) Putusan yang membebaskan terdakwa Putusan pembebasan atau sering juga disebut putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa: “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”. Penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana. Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa, harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat buti yang sah. Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Berdasarkan dengan Pasal 183 KUHAP diatas, pembentuk undangundang mencantumkan macam-macam alat bukti yang sah sebagaimana tercantum pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa: Alat bukti yang sah ialah: a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk;
27
e. Keterangan terdakwa; 3) Putusan lepas dari segala tuntutan Putusan lepas dari segala tuntutan diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang menyatakan: “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan képada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”. M. Yahya Harahap,30 berpendapat banwa Putusan lepas dari segala tuntutan, terdakwa bukan dibebaskan dari ancaman pidana tetapi dilepaskan dari penuntutan.
Terdakwa yang diputus lepas dari segala tuntutan hukum harus segera dibebaskan dari tahanan, sesuai dengan Pasal 191 ayat (3) KUHAP yang menyatakan: “Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), terdakwa yang ada dalam status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali karena ada alasan lain yang sah terdakwa perlu ditahan” Terdakwa yang diputus lepas dari segala tuntutan hukum harus segera dibebaskan dari tahanan, kecuali ada alasan lain. perintah untuk membebaskan terdakwa dari tahanan dilakukan oleh jaksa setelah putusan diucapkan dan laporan tertulis mengenai perintah tersebut dilampiri surat penglepasan yang diserahkan kepada Ketua Pengadilan selambat-lambatnya dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam.31
30 31
Ibid., hlm. 352. Ibid., hlm. 353-354.
28
4) Putusan Bebas Putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang merumuskan bahwa: “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”. M. Yahya Harahap,32 berpendapat mengenai putusan bebas bahwa: “Putusan bebas, berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (vrijspraak)”. Vrijspraak adalah salah satu dari beberapa putusan hakim yang berisi pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, manakala perbuatan terdakwa dianggap tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. 33 Jadi putusan hakim yang mengandung suatu pembebasan terdakwa karena peristiwa-peristika yang disebutkan dalam surat dakwaan, setelah diadakan perubahan atau penambahan selama persidanagan, bila ada sebagian atau seluruh dinyatakan oleh hakim yang memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan dianggap tidak terbukti.34 Penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana. Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan seseorang terdakwa harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. 32
Ibid., hlm. 347. Djoko Prakoso, Kedudukan Justisiabel dalam KUHAP, Ghalia Indonesi, Jakarta, 1986, hlm. 270. 34 Ibid. 33
29
Putusan bebas ditinjau dari asas pembuktian Pasal 183 KUHAP merumuskan sebagai berikut:35 “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya” Menurut Martiman Prodjohamidjojo,36 Pasal 183 KUHAP mengandung; 1. Sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah 2. Dasar-dasar alat bukti yang sah itu keyakinan hakim, yakni bahwa : a. Tidak terjadi; b. Terdakwa telah bersalah. Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP, terkandung dua asas mengenai pembuktian yaitu: 1) Asas minimum pembuktian yaitu asas bahwa untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; 2) Asas pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif yang mengajarkan suatu prinsip hukum pembuktian bahwa disamping kesalahan terdakwa cukup terbukti harus pula diikuti keyakinan hakim akan kebenaran kesalahan terdakwa; Ditinjau dari asas pembuktian Pasal 183 KUHAP, pembentuk undangundang telah menentukan macam alat bukti secara limitatif sebagaimana tercantum pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Jadi agar dapat menjadi alat bukti yang sempurna yang dapat menjatuhkan suatu hukuman harus ada kesesuaian
35
Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 254. Martiman Prodjohamidjojo, Sistem pembuktian dan Alat-Alat bukti, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 12. 36
30
antara alat bukti dengan alat bukti yang lain sehingga mampu menciptakan keyakinan hakim terhadap kesalahan terdakwa atas tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Penjelasan putusan bebas selain diatur dalam Pasal 191 KUHAP, juga dapat diperluas dengan syarat-syarat putusan pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan hukum yang diatur dalam KUHP. Didalam KUHP, Buku Kesatu Bab III terdapat beberapa pasal yang menghapuskan pemidanaan terhadap seorang terdakwa. Jika pada diri seseorang terdakwa terdapat hal-hal atau keadaan yang ditentukan dalam pasal-pasal KUHP yang bersangkutan, hal-hal atau keadaan itu merupakan alasan yang membebaskan terdakwa dari pemidanaan,37 antara lain Pasal 44 KUHP, Pasal 45 KUHP, Pasal 48 KUHP, Pasal 49 KUHP dan Pasal 50 KUHP. Terdakwa yang diputus bebas harus segera dibebaskan dari tahanan sesuai Pasal 191 ayat (3) yang menyatakan bahwa: “Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), terdakwa yang ada dalam status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali karena ada alasan lain yang sah terdakwa perlu ditahan”. Majelis hakim dalam amar putusannya menyebutkan “memerintahkan terdakwa dibebaskan dari tahanan”. Hal ini telah sesuai dengan Pasal 191 ayat (3) KUHAP. Perintah untuk membebaskan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (3) KUHAP segera dilaksanakan oleh Jaksa setelah putusan 37
M. Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 348-349.
31
diucapkan. Laporan tertulis mengenai pelaksanaan perintah tersebut yang dilampiri
surat
pelepasan
disampaikan
kepada
ketua
pengadilan
yang
bersangkutan selambat-lambatnya dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam (Pasal 192 ayat (1) dan (2) KUHAP). Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2001 tentang Pembuatan Ringkasan Putusan Terhadap Perkara Pidana yang Terdakwannya Diputus Bebas atau Dilepas Dari Segala Tuntutan, menyatakan bahwa: “Terhadap perkara pidana yang terdakwanya ditahan dan diputus dengan amar putusan yang menyatakan terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan (vrijspraak) atau dilepas dari segala tuntutan (ontslag van alle rechtsvervolging) dengan perintah agar terdakwa segera dikeluarkan dari tahanan pada saat putusan diucapkan didepan sidang terbuka untuk umum harus sudah ada setidak-tidaknya ringkasan putusan (extract vonis) atau setidak-tidaknya segera setelah putusan tersebut diucapkan agar segera dibuat ringkasan putusan (extrack vonis) guna dapat segera dieksekusi oleh Jaksa dalam kedudukannya selaku eksekutor dari putusan Hakim”. Putusan hakim yang menjatuhkan putusan bebas tidak dapat dimintakan upaya hukum biasa, dalam hal ini yaitu upaya hukum banding dan kasasi. Hal ini sesuai dengan Pasal 67 KUHAP dan Pasal 244 KUHAP. Pasal 67 KUHAP: “Terdakwa atau Penuntut Umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hakim dan putusan pengadilan dalam acara cepat”. Pasal 244 KUHAP: “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”.
32
Berdasarkan ketentuan kedua pasal diatas, dapat diketahui bahwa untuk putusan bebas tidak dapat dimintakan upaya hukum banding maupun kasasi sebagai upaya hukum biasa. Djoko prakoso,38 berpendapat: “Mengenai putusan bebas/Vrijspraak tidak dapat diajukan permohonan kasasi, hal ini diatur secara tegas dalam undang-undang (Pasal 244 KUHAP), tetapi pasal ini dapat diterobos dengan Keputusan Menteri Kehakiman RI: M 14-P.W, 07, 03 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang terdapat dalam Pasal 19 yang menyatakan: “Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding tetapi demi situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi”. Pendapat diatas sesuai dengan ketentuan Pasal 259 ayat (1) KUHAP yang menyatkan bahwa: “Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh Jaksa Agung”. Kasasi adalah suatu alat hukum yang merupakan wewenang dari Mahkamah Agung untuk memeriksa kembali putusan-putusan dari pengadilanpengadilan terdahlu, dan ini merupakan peradilan terakhir. Tujuan dari kasasi ialah untuk menciptakan kesatuan peneraan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang-undang atau keliru dalam penerapan hukum.
38
Djoko Prakoso, Op. Cit., hlm. 288.
33
M. Yahya Harahap berpendapat,39 ada beberapa tujuan utama upaya hukum kasasi yaitu: 1. Koreksi terhadap kesalahan putusan pengadilan bawahan. Salah satu tujuan kasasi adalah memperbaiki dan meluruskan kesalahan penerapan hukum, agar hukum bener-benar diterapkan sebagaimana mestinya serta apakan cara mengadili perkara benar-benar dilakukan menurut ketentuan undang-undang. 2. Menciptakan dan membentuk hukum baru. Selain tindakan koreksi yang dilakukan oleh Mahamah Agung dalam peradilan kasasi, adakalanya tindakan koreksi itu sekaligus menciptakan hukum baru dalam bentuk yurisprudensi. 3. Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum, tujuan lain dari pemeriksaan kasasi, adalah mewujudkan kesadaran “keseragaman” penerapan hukum atau unified legal frame work dan unified legal opinion. Dengan adanya putusan kasasi yang menciptakan yurisprudensi, akan mengarahkan keseragaman pandangan dan titik tolak penerapan hukum, serta dengan adanya upaya hukum kasasi, dapat terhindar kesewenangan dan penyalahgunaan jabatan oleh para hakim yang tergoda dalam memanfaatkan kebebasan kedudukan yang dimilikinya. Kasasi demi kepentingan hukum adalah upaya hukum luar biasa.40 Hal ini dikarenakan kasasi demi kepentingan hukum diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan hanya terbatas pada putusan Pengadilan Negeri dan Putusan Pengadilan Tinggi. M. Yahya Harahap,41 berpendapat bahwa: “Pada hakikatnya kasasi demi kepentingan hukum tidak berbeda tujuannya dengan permohonan kasasi biasa, sama-sama bertujuan untuk memperbaiki kesalahan penerapan hukum, keteledoran cara pelaksanaan peradilan menurut ketentuan undang-undang, serta mencegah terjadinya tindakan pengadilan yang melampaui batas wewenangnya. Bertitik tolak dari tujuan koreksi ini, alasan kasasi demi kepentingan hukum pun sama dan sejajar dengan kasasi biasa seperti yang telah dirinci dalam Pasal 252 ayat (1). Akan tetapi, kalau bertitik tolak dari perkataan demi kepentingan hukum, berarti tidak hanya terbatas kepada kesalahan yang disebut Pasal 253 ayat (1). Bahkan meliputi segala segi yang menyangkut 39
M. Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 539-542. Ibid., hlm. 608. 41 Ibid., hlm. 612-613. 40
34
kepentingan hukum. Baik yang menyangkut pemidanaan, barang bukti, biaya perkara, penilaian pembuktian, dan sebagainya. Penjabat yang berwenang mengajukan kasasi demi kepentingan hukum diatur dalam Pasal 259 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa: “Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetep dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh Jaksa Agung” Berdasarkan ketentuan Pasal 259 ayat (2) KUHAP, putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan terdakwa. Selain itu kasasi demi kepentingan hukum hanya dapat diajukan satu kali saja.
C. Upaya Hukum 1. Pengertian Upaya Hukum Mengenai pengertian upaya hukum, secara normatif diatur di dalam Bab I Pasal 1 angka 12 KUHAP, yang mana menyebutkan: “Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Undang-undang menyediakan upaya hukum bagi terdakwa maupun penuntut umum, yakni apabila pihak-pihak tersebut merasa tidak puas akan kualitas putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan atau putusan tersebut dirasakan tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan. Terkait dengan upaya hukum tersebut, maka keadilan yang relevan dalam hal ini yakni terwujudnya keadilan sosial yang secara inheren disebut dengan
35
keadilan Pancasiila, yakni dengan berpijak pada keadilan distributif sebagai landasannya dengan melalui sarana keadilan korektif. 2. Bentuk-bentuk Upaya Hukum KUHAP membedakan upaya hukum biasa dan luar biasa. Upaya hukum biasa merupakan Bab XVII sedangkan upaya hukum luar biasa Bab XVIII. Upaya hukum dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu: 1. Upaya hukum biasa yang terbagi atas: a. Banding; b. Kasasi. 2. Upaya hukum luar biasa yang terbagi atas: a. Kasasi demi kepentingan hukum; b. Peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Perbedaan antara upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa adalah terletak pada: a. Upaya hukum biasa diajukan terhadap putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan upaya hukum luar biasa diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; b. Upaya hukum biasa tidak memerlukan syarat-syarat yang bersifat khusus atau syarat-syarat tertentu, dalam hal upaya hukum luar biasa hanya dapat diajukan apabila terpenuhi syarat-syarat tertentu; c. Upaya hukum biasa tidak selamanya diajukan ke Mahkamah Agung, sedangkan upaya hukum luar biasa diajukan ke Mahkamah Agung dan
36
diperiksa serta diputus oleh Mahkamah Agung sebagai instansi pertama dan terakhir.42
a. Upaya Hukum biasa Upaya hukum biasa merupakan upaya hukum yang dimintakan terhadap putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Upaya hukum biasa terdiri dari dua bagian, bagian kesatu tentang Pemeriksaan Banding dan bagian kedua tentang Pemeriksaan Kasasi. 1. Pemeriksaan Tingkat Banding Banding merupakan upaya yang dapat diminta oleh pihak yang berkepentingan, supaya putusan pengadilan tingkat pertama diperiksa lagi dalam peradilan tingkat banding. Disamping itu, banding merupakan upaya hukum yang dibenarkan oleh undang-undang dan sifat dari upaya hukum banding adalah upaya hukum biasa, ditinjau dari segi yuridis, upaya hukum banding adalah hak yang diberikan undang-undang kepada pihak-pihak yang berkepentingan.43 Hal tersebut dapat dilihat di dalam perumusan Pasal 67 KUHAP yang menyatakan: “Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama” Adapun putusan pengadilan yang bisa diajukan banding adalah putusan pengadilan tingkat pertama, yakni44: a. Putusan yang bersifat pemidanaan dalam acara biasa; 42 43 44
Muhammad Taufik Makarao dan Suhasril, Op,Cit., hlm 190. M. Yahya Harahap, Op, Cit., hlm 451. Ibid, hlm 194.
37
b. Putusan pemidanaan dalam acara singkat; c. Putusan yang menyatakan dakwaan tidak dapat diterima dalam acara biasa dan singkat; d. Putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum dalam perkara acara biasa dan singkat; e. Putusan dalam perkara acara cepat yang menyangkut perampasan kemerdekaan terdakwa. f. Putusan pengadilan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidik atau penuntutan. Pasal 233 ayat (1) KUHAP apabila ditelaah dan dihubungkan dengan pasal 67 KUHAP maka dapat disimpulkan bahwa semua putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding ke Pengadilan Tinggi oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu atau penuntut umum dengan beberapa pengeecualian sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 67 KUHAP. Sebagaimana diatur dalam Pasal 233 ayat (2) KUHAP, permintaan banding boleh diterima oleh panitera pengadilan negeri dalam waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir. Apabila tenggang waktu sebagaimana dimaksud Pasal 233 ayat (2) KUHAP ini sudah lewat tanpa diajukan permintaan banding oleh yang bersangkutan, maka yang bersangkutan dianggap menerima putusan. 2. Pemeriksaan Tingkat Kasasi Kasasi adalah salah satu upaya dalam rangkaian penegakan hukum yang bertujuan untuk memperoleh kepastian hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran yang hidup di tengah masyarakat. Kasasi yang berarti pembatalan itu hanya ada pada Mahkamah Agung selaku Pengadilan Negara Tertinggi. Kasasi hanya dilakukan apabila sudah tidak ada upaya hukum lain yang masih dapat ditempuh. Pembatalan itu dilakukan terhadap putusan pengadilan penilai
38
fakta yang dinilai tidak sesuai dengan undang-undang dan hukum yang berlaku. Tujuannya adalah untuk tercapainya keadilan dan kebenaran serta kesatuan dan kesamaan penerapan hukum di seluruh wilayah negara. Untuk mewujudkannya, apabila perlu Mahkamah Agung dengan putusan Kasasinya dapat menciptakan hukum.45 Kasasi berasal dari Perancis. Kata asalnya adalah casser artinya memecah. Suatu putusan hakim dibatalkan demi untuk mencapai kesatuan peradilan. Semula berada ditangan raja beserta dewannya yang disebut conseil du roi. Setelah revolusi yang meruntuhkan kerajaan prancis, dibentuk suatu badan khusus yang tugasnya menjaga kesatuan penafsiran hukum, jadi merupakan badan antara yang menjembatani pembuat undang-undang dan kekuasaan kehakiman. Pada tanggal 21 Agustus 1790 di bentuk letribunal de casstion dan pada tahun 1810 de Cour de cassation telah terorganisasi dengan baik. Kemuadian lembaga kasasi ditiru pula negeri Belanda yang pada gilirannya dibawa ke indonesia.46
b. Upaya Hukum Luar Biasa Upaya hukum luar biasa tercantum didalam Bab XVIII KUHAP, yang terdiri atas dua bagian : 1) Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum 2) Peninjauan Kembali Putusan Pengadialan yang Telah Melaporkan Kekuatan Hukum Tetap. 45
H.M Silaban, Kasasi Upaya Hukum Acara Pidana, Jakarta, Sumber Ilmu Jaya, 1997,
hlm 1. 46
Soedirjo, Kasasi dalam Perkara Pidana, Op, Cit., hlm 1
39
1. Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum Permohonan kasasi demi kepentingan hukum dapat diajukan oleh Jaksa Agung karena jabatannya dalam perkara perdata maupun tata usaha negara yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tingkat Banding di semua lingkungan Peradilan. Permohonan kasasi demi kepentingan hukum dapat diajukan hanya satu kali. Dan putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak-pihak yang berperkara, artinya ialah tidak menunda pelaksanaan putusan dan tidak mengubah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.47 Menurut pasal 259 ayat (1) KUHAP Jaksa Agung dapat mengajukan satu kali permohonan kasasi terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan selain daripada Mahkamah Agung, demi kepentingan hukum. Selanjutnya Pasal 259 ayat (2) mengemukakan, putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan. Dari ketentuan pasal ini maka kita dapat mengambil patokan yang dapat digunakan, yaitu: a. Tidak menjatuhan putusan pemidanaan atas putusan pembebasan; b. Putusan pidana kasasi demi kepentingan hukum tidak bisa lebih berat daripada pidana yang telah dijatuhkan;
47
H.M Silaban, Op, Cit., hlm 399.
40
c. Tidak boleh mencabut hak perdata terdakwa jika hal itu tidak terdapat dalam putusan yang dikasasi.48 Pada umumnya sama saja dengan kasasi biasa, kecuali dalam kasasi demi kepentingan hukum ini penasehat hukum tidak lagi dilibatkan.
2. Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap. Pasal 263 ayat (1) KUHAP menentukan, terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Pasal 263 ayat (2) KUHAP menyatakan, permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar berikut. 1) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau lepas dar segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. 2) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, tetapi hal keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; 3) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan atau suatu kekeliruan yang nyata. Pasal 263 KUHAP tidak menyebutkan siapa saja yang dapat mengajukan peninjauan kembali. Namun jika merujuk ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, bahwa yang dapat mengajukan peninjauan kembali adalah
48
Muhammad Taufik Makarao dan Suhasril, Op, Cit., hlm 229
41
terdakwa atau ahli warisnya, maka adalah sangat tidak mungkin karena terdakwa justru menghindari pemidanaan, sehingga pasal ini secara tersirat memberikan kesempatan kepada jaksa penuntut umum sebagai instansi yang membuat surat dakwaan mengajukan peninjauan kembali, sebab suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti, tetapi tidak diikuti dengan suatu pemidanaan. Jaksa penuntut umum yang mewakili masyarakat merasa tidak puas atas putusan tanpa pemidanaan.49 Adapun putusan peninjauan kembali dapat berupa berikut ini: a) Permintaan dinyatakan tidak dapat diterima; b) Putusan yang membenarkan alasan pemohon; c) Putusan yang dijatuhkan tidak boleh melebihi putusan semula.50
3. Upaya Hukum Kasasi Berdasarkan esensi Pasal 244 KUHAP dan pendapat kalangan doktrina, bahwa upaya hukum kasasi merupakan suatu hak yang dapat dipergunakan atau dikesampingkan oleh terdakwa atau penuntut umum. Apabila terdakwa atau penuntut umum tidak menerima putusan yang dijatuhkan pengadilan tingkat bawahnya maka dapat mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung terhadap pelaksanaan dan penerapan hukum yang telah dijalankan oleh pengadilan
dibawahnya
kecuali
terhadap
putusan
yang
mengandung
pembebasan.51
49
Ibid, hlm 232-233 Ibid, hlm 235-236 51 Ni Nengah Adiyaryani, “Upaya Hukum Kasasi Oleh Jaksa Penuntut Umum Terhadap Putusan Bebas (Vrijspraak) Dalam Sistem Peradilan Indonesia”(Thesis Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro,2010), hlm 6. 50
42
Alasan pengajuan Kasasi telah ditentukan secara limitatif oleh undangumdamg yaitu di dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Alasan kasasi sebagaimana dimaksud Pasal 253 ayat (1) KUHAP terdiri dari: a. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau tidak diterapkan sebagaimana mestinya; b. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; c. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas kewenangannya. Putusan pengadilan mana yang dapat diajukan permohonan kasasi adalah diatur dalam Pasal 244 KUHAP. Menurut ketentuan Pasal 244 KUHAP putusan perkara yang dapat diajukan permohonan kasasi adalah semua putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan, kecuali terhadap putusan: i.
Mahkamah Agung sendiri, dan
ii.
Putusan bebas
Berkaitan dengan putusan bebas tidak dapat diajukan permohonan kasasi, dalam prakteknya ketentuan Pasal 244 KUHAP ini telah disingkirkan oleh Mahkamah Agung secara centra logem, yakni praktek dan penerapan hukum yang secara terang-terangan bertentangan dengan undang-undang.52 Sejarah penerobosan terhadap larangan Pasal 244 KUHAP ini malah datangnya dari pihak eksekutif sendiri dalam hal ini adalah Departemen Kehakiman, yakni dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 10 Desember 1983 No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Keputusan ini dibarengi dengan Lampiran Keputusan 52
M.Yahya Harahap, Op,Cit., hlm 544
43
dengan tanggal dan nomor yang sama. Pada angka 19 lampiran dimaksud terdapat penegsan yang berupa pedoman: a. Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; b. Tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi. Selang 5 (lima) hari setelah adanya Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983, yakni pada tanggal 15 Desember 1983 lahir Yurisprudensi
pertama
dalam
Putusan
Mahkamah
Agung
Reg.
No.
275K/Pid/1983. Untuk mengetahui siapa yang berhak mengajukan permohonan kasasi, di dalam Pasal 244 KUHAP disebutkan yang berhak adalah terdakwa, dan/atau penuntut umum baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersamaan. Terdakwa saja secara sendirian dapat mengajukan permohonan kasasi, demikian juga halnya dengan penuntut umum. Namun tidak menutup kemungkinan baik terdakwa maupun penuntut umum sama-sama mengajukan permohonan kasasi. Kalau melihat perumusan Pasal 244 KUHAP, maka pasal ini mengesampingkan asas terdakwa berhak didampingi penasihat hukum. Namun melihat ketentuan Pasal 54 KUHAP yang menegaskan tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selam dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan. Jadi mengacu pada ketentuan Pasal 54 KUHAP terdakwa berhak menunjuk kuasanya untuk mengurus kepentingannya mengajukan permohonan kasasi.
44
Mengenai tanggang waktu pengajuan permohonan kasasi, diatur dalam Pasal 245 ayat (1) KUHAP yang menegaskan: 1) Permohonan Kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera Pengadilan Negeri yang telah memutus perkara pada tingkat pertama 2) Permohonan diajukan dalam waktu 14 hari sesudah putusan pengadilan yang berhak dikasasi diberitahukan kepada terdakwa. Terlambat dari batas waktu 14 hari, mengakibatkan hak untuk mengajukan permohonan kasasi menjadi gugur sebagaimana ditegaskan Pasal 246 ayat (2) M. Yahya Harahap53 menjelaska apabila permohonan kasasi diajukan terlambat dari tenggang waktu 14 hari, dengan sendirinya menurut hukum: 1. Haknya untuk mengajukan kasasi gugur; 2. Terdakwa dianggap menerima putusan; 3. Untuk itu panitera membuat akta penerimaan putusan. Apabila permohonan kasasi benar-benar telah memenuhi syarat formal yang ditentukan Pasal 244, 245, dan 248 KUHAP, maka permohonan kasasi adalah sah. Berarti dari segi formal permohonan kasasi dapat diterima. Jika secara formal permohonan kasasi dapat diterima, barulah Mahkamah Agung berwenang memeriksa pokok perkara atau mengenai hukum yang bersangkutan dengan kasasi. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 245 KUHAP dimana apabila Mahkamah Agung setelah memeriksa permohonan kasasi berpendapat permohonan telah memenuhi syarat formal sebagaimana ditentuka Pasal 245, 246, dan 248 KUHAP barulah Mahkamah Agung dapat memeriksa mengenai hukumnya serta memutuskan untuk menolak atau mengabulkan.54 Pasal 254 KUHAP merumuskan bahwa dalam hal Mahkamah Agung memeriksa permohonan kasasi karena telah memenuhi ketentuan sebagaimana
53 54
Ibid, hlm 549-550 Ibid, hlm 584.
45
dimaksud dalam Pasal 245, 246, dan 247 KUHAP mengenai hukumnya Mahkamah Agung dapat memutus menolak atau mengabulkan permohonan kasasi. Pemeriksaan kasasi dilakukan apabila keberatan yang diajukan oleh pemohon kasasi masih dalam wewenang pemeriksaan kasasi yang telah diatur dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP, yaitu mengenai penerapan hukum, cara mengadili, dan pelampauan wewenang. Diluar ketentuan pasal 253 ayat 1 KUHAP, menurut putusan Mahkamah Agung No: 864 K/Pid/1986, apabila dalam putusan yang bersangkutan terdapat hal-hal yang bertentangan, maka hal itupun dapat dijadikan alasan kasasi. Dalam putusan tersebut Mahkamah Agung menyatakan bahwa telah terdapat hal-hal yang bertentangan dalam putusan Pengadilan Tinggi, yakni terdakwa dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari. segala dakwaan, akan tetapi barang bukti dalam perkara tersebut dinyatakan dirampas untuk negara. Dalam hal pemeriksaan alat bukti, alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 185 sampai dengan 189 KUHAP dapat saja dipertimbangkan dalam pemeriksaan kasasi. Namun yang dipertimbangkan bukan penilaian atas alat bukti itu, tetapi apakah judex fictie telah menggunakan peraturan hukum yang mengatur alat bukti, atau apakah telah menggunakan pengaturan hukum itu sebagaimana mestinya dalam menilai dan mengunakan alat bukti untuk menentukan putusannya.55
55
M.H Silaban, Op, Cit, hlm 233.
46
Dalam pemeriksaan kasasi tidak jarang alat-alat bukti ini dibahas, dan berdasarkan pembahsan itu ternyata ada permohonan dikabulkan. Pasal 254 KUHAP menyebutkan bahwa; “Dalam hal Mahkamah Agung memeriksa permohonan kasasi karena telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245, Pasal 246 dan Pasal 247 mengenai hukumnya Mahkamah Agung dapat memutus menolak atau mengabulkan permohonan kasasi” Selanjutnya dalam Pasal 256 KUHAP disebutkan; “Jika Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254, Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan yang dimintakan kasasi dan dalam hal itu berlaku ketentuan Pasal 255” Pasal 255 ayat (1) KUHAP menyebutkan; “Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya, Mahkamah Agung Mengadili sendiri perkara tersebut” Berdasarkan pada ketentuan KUHAP, putusan Mahkamah Agung hanya berupa menolak atau mengabulkan permohonan kasasi. Namun pada dasarnya putusan Mahkamah Agung dapat diperinci sebagai berikut: 1. Putusan yang menyatakan kasasi tidak dapat diterima; 2. Putusan yang menolak permohonan kasasi; 3. Putusan yang mengabulkan permohonan kasasi. Dalam menentukan berat ringannya hukuman yang dijatuhkan, hakim selalu mendasarkan pada pertimbangan ada atau tidaknya dan seberapa banyaknya keadaaan yang memberatkan dan meringankan sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP. Hakim bebas untuk menentukan seberapa berat hukuman yang akan dijatuhkannya asalkan masih dalam batas
47
paling rendah satu hari (Pasal 12 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (1) KUHP), dan paling tinggi adalah selama maksimal hukuman sebagaimana diatur dan diancam dalam pasal yang didakwakan. D. Kesalahan Menurut Hukum Pidana 1. Pengertian Kesalahan Kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, dapat disamakan dengan pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana; didalamnya terkandung makna dapat dicelanya (verwijtbaarheid) si pembuat atas perbuatannya. Jadi, orang bersalah melakukan sesuatu tindak pidana berarti bahwa dapat dicela atas perbuatannya. Kesalahan dalam arti yang luas, meliputi: 1. Kesengajaan; 2. Kelalaian/ kealpaan (culpa); 3. Dapat dipertanggungjawabkan; Kesalahan dalam arti seluas-luasnya memuat unsur-unsur, antara lain: 1. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pelaku (schuldfahigkeit atau zurechnungsfahigkeit). 2. Hubungan batin antara si pelaku dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa), ini disebut bentuk-bentuk kesalahan. 3. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf dan alasan pembenar. Jika ketiga unsur tersebut terpenuhi maka orang atau pelaku yang bersangkutan bisa dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggungan jawab
48
pidana, sehingga bisa dipidana. Oleh karena itu harus diingat bahwa untuk adanya kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya (pertanggungan jawab pidana) orang yang bersangkutan harus pula dibuktikan terlebih dahulu bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum. Kalau ini tidak terpenuhi, artinya jika perbuatannya tersebut tidak melawan hukum maka tidak ada perlunya untuk menerapkan kesalahan kepada si pelaku. Sebaliknya seseorang yang melakukan perbuatan yang melawan hukum tidak dengan sendirinya mempunyai kesalahan, artinya tidak dengan sendirinya dapat dicela atas perbuatan itu. Maka dari itu, kita harus senantiasa menyadari akan adanya 2 (dua) keadaan (yang saling berpasangan dan terkait) dalam syarat-syarat pemidanaan ialah adanya: 1. Dapat dipidananya perbuatan, atau memenuhi sifat melawan hukum (strafbaarheid van het feit). 2. Dapat dipidananya pelaku atau terpenuhinya unsur kesalahan (strafbaarheid van de persoon).
2. Kealpaan Menyebabkan Matinya Orang Pasal 359 KUHP merumuskan: “Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang mati, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun” Perbuatan dengan mana karena salahnya sehingga menyebabkan orang lain meninggal dunia oleh pembentuk undang-undang diatur di dalam Buku II Bab XXI Pasal 359, 360, dan 361 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang rumusannya di dalam bahasa Belanda berbunyi sebagai berikut:
49
“Hij aan wiens schuld de dood van een ander te wijten is, wordt gestraft met gevangenisstraf van ten hoogste een jaar of hechteins van ten hoogste negen maanden”56 yang artinya: “Barangsiapa karena salahnya menyebabkan meninggalnya orang lain, dipidana dengan pidana penjara selamalamanya satu tahun atau pidana kurungan selama-lamanya sembilan bulan” Dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1960 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Lembaran Negara Tahun 1960 No. 1, ancaman-ancaman pidana yang ditentukan dalam Pasal 359 KUHP diatas itu telah diperberat,57 sehingga rumusan yang ada saat ini sebagaimana diatur di dalam Pasal 359 KUHP adalah berbunyi sebagai berikut: “Barangsiapa karena salahnya menyebabkan meninggalnya orang lain, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan selama-lamanya satu tahun.” Dari rumusan Pasal 359 KUHP tersebut di peroleh sejumlah unsurunsur yang dapat kita bagi menjadi :58 1) Unsur-unsur Subjektif pada Pasal 359 KUHP tersebut, yaitu “karena kesalahannya”. 2) Unsur-unsur Objektif pada Pasal 359 KUHP tersebut, yaitu “menyebabkan orang mati” Unsur karena salahnya merupakan unsur subjektif yang melekat pada sikap batin terdakwa dalam melakukan perbuatannya. Undang-undang sendiri tidak memberikan penjelasannya tentang apa yang dimaksud dengan schuld atau culpa tersebut. Memorie Van Toelichting hanya menjelaskan sedikit tentang arti 56 57 58
109.
ENGELBRECHT, De Wetboeken hlm 1352. P.A.F. Lamintang, Op, Cit, hlm 176. H.A.K Moch Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus, Alumni, Bandung, 1986, hlm
50
dari culpa yang mengatakan bahwa “schuld is de zuivere tegenstelling van opzet aan de eene kant, van toeval aan de andere zijde” yang artinya schuld (culpa) itu di satu pihak merupakan kebalikan yang murni dari opzet dan di lain pihak ia merupakan kebalikan dari kebetulan.59 “Van Hammel dalam pendapatnya yang dikutip oleh Lamintang, 60 menyebutkan bahwa schuld sebenarnya terdiri dari 2 (dua) unsur, masing-masing yaitu “het gemis aan de nodige voor zienigheid” atau kurangnya perhatian terhadap kemungkinan yang dapat timbul, dan “het gemis aan de nodige voorzichtigheid” atau tidak adanya kehati-hatian yang diperlukan.” Schuld atau kesalahan atau kelalaian atau kulpa menurut ilmu pengetahuan mempunyai 2 (dua) syarat:61 1) Perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan kurang hati-hati atau kurang waspada. 2) Pelaku harus dapat membayangkan timbulnya akibat karena perbuatan yang dilakukannya dengan kurang hati-hati itu. Penentuan kesalahan ini ditentukan bahwa meskipun pelaku dapat membayangkan akibat yang mungkin terjadi kaarena perbuatannya itu, ia tidak melakukan tindakan-tindakan atau usaha-usaha untuk mencegah timbulnya akibat. Apabila pelaku berhati-hati atau waspada ia akan melakukan tindakantindakan terlebih dahulu guna mencegah timbulnya suatu akibat itu yang sebelumnya telah dibayangkan. 62
59 60 61 62
P.A.F Lamintang, Op,Cit., hlm 178 Ibid H.A.K Moch Anwar, Op,Cit., hlm 110 Ibid
51
Tindak Pidana karena salahnya menyebabkan matinya orang lain sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 359 KUHP merupakan suatu culpoos misdrijf atau suatu kejahatan yang harus dilakukan “tidak dengan sengaja”. Arrest Hoge Raad tanggal 14 Nopember 1921 menyebutkan: “Mededaderschap aan een culpoos misdrijf is ook aanwezig, wenner de door ieder der daders geplegde handelingen of verzuimen, tezamen, en in onderling verband, het door de wet niet gewilde gevold hebben teweggebracht. Rechtstreekse of bewuste samenwerking is hievoor niet vareist” Yang artinya : “turut melakukan suatu culpoos misdrijf itu dapat terjadi jika tindakan-tindakan atau kelalaian-kelalaian dari tiap-tiap peserta secara bersama-sama dan secara timbal balik telah menyebabkan timbulnya akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang. Untuk adanya mededaderschap ini tidak disyaratkan adanya kerjasama yang sifatnya langsung atau disadari”.63 “Lamintang64 menyebutkan bahwa kata mededaderschap diterjemahkan dengan kata “turut melakukan”. Bentuk delneming atau keturutsertaan kedua yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) angka 1 KUHP itu ialah medeplegen atau turut melakukan. Karena dalam bentuk keturutsertaan ini seorang pelaku dan seorang atau beberapa orang yang turut melakukan tindak pidana yang dilakukan oleh pelakunya, maka bentuk keturutsertaan ini juga disebut mededaderschap.” Apabila beberapa orang secara bersama-sama telah melakukan tindak pidana, maka tiap-tiap peserta dalam tindak pidana yang bersangkutan harus dipandang sebagai mededader dari peserta atau dari peserta-peserta yang lain di dalam tindak pidana.65
63
H.R. 14 November 1921, N.J. 1992 hal 179, W. 10842 dalam P.A.F. Lamintang, Op,
Cit, hlm 188. 64 65
hlm 588
P.A.F. Lamintang, Op, Cit, hlm 189. P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Penerbit Sinar Baru, Bandung, 1984
52
E. Kejahatan Pemalsuan Surat Pasal 263 ayat (1) berbunyi sebagai berikut : “Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara selama 6 tahun” Pasal 263 ayat (1) mengandung 2(dua) jenis perbuatan yang dilarang yaitu membuat surat palsu dan memalsukan surat. Kejahatannya disebut pemalsuan surat. Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 263 ayat (1) adalah sebagai berikut: Unsur obyektif: a. Membuat surat palsu, b. Yang dapat: 1. Menerbitkan sesuatu hak; 2. Menerbitkan suatu perjanjian (perikatan) 3. Menimbulkan pembebasan suatu hutang 4. Diperuntukkan guna menjadi bukti atas sesuatu hal Unsur Subyektif: Dengan maksud: a. Untuk mempergunakan atau memakai surat itu: Seolah-olah asli dan tidak palsu; b. Pemakaian atau penggunaan surat itu dapat menimbulkan kerugian66 Membuat surat palsu adalah menyusun surat atau tulisan pada keseluruhannya. Adanya surat ini karena dibuat secara palsu. Surat ini mempunyai tujuan untuk menunjukkan bahwa surat itu seakan-akan berasal dari orang daripada penulisnya. 66
Moch Anwar, hlm 188-189.
53
Salah satu unsur objektif dari ketentuan Pasal 263 ayat (1) adalah adanya surat itu adalah diperuntukkan guna menjadi bukti atas sesuatu hal. Terhadap sifat ini diadakan pembatasan, yaitu berdasarkan sifatnya harus memiliki kekuatan pembuktian. Ketentuan diperuntukkan guna pembuktian harus menimbulkan akibat kekuatan pembuktian, akibat kekuatan pembuktian mana harus didasarkan atas sesuatu kekuasaan/kewenangan yang dapat memberikan kekuatan pembuktian pada beberapa jenis surat tertentu.67 F. Kriminal Malpraktik 1. Pengertian Kriminal Malpraktik Secara umum, pelayanan kesehatan dapat dibedakan dalam 2 (dua) macam yaitu pelayanan kedokteran (medical services) dan pelayanan kesehatan publik (public health services). Indonesia sebagai suatu negara yang berlandaskan hukum, maka sesuai dengan sifat dan hakikatnya, peranan hukum sangatlah besar peranannya dalam mengatur setiap hubungan hukum yang timbul. Pada hakikatnya hukum menghendaki adanya penetaan hubungan antara manusia, termasuk juga hubungan antara dokter dengan pasien, sehingga kepentingan masing-masing dapat terjamin dan tidak ada yang melanggar kepentingan pihak lain.68 Berkaitan dengan penyebutan istilah/terminologi hukum “legal term” yang digunakan dan berlaku di Indonesia, yakni Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, didalamnya sengaja tidak menggunakan istilah
67
Ibid, hlm 191. Veronica Komalawati, Peranan Informed Concent Dalam Transaksi Terapeutik, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm 73. 68
54
“malpraktik pidana”, karena terjemahan secara harfiahnya adalah dari kata criminal malpractice. Ini berarti ada malpraktik perdata atau civil malpractice. Kepustakaan menyebutkan dengan menggunakan beberapa terminologi yaitu
malpractie,
malpraxis,
legal
malpractice,
medical
malpractice,
maltreatment, malum, atau bahkan malum in se. Jelas yang dimaksudkan didalamnya adalah dalam kaitannya dengan hukum kedokteran atau medical malpractice.69 Soerjono Soekanto,70 berpendapat bahwa yang dimaksud dengan malpraktik adalah kelalaian-kelalaian yang terjadi dalam praktik pelayanan kesehatan. Menurut Yusuf Hanafiah,71 malpraktik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat ketrampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Berbeda dengan beberapa pengertian diatas, diantara para ahli belum ada kesepakatan tentang pengertian malpraktik tersebut, diantaranya adalah pendapat Guwandi72 yang menyatakan bahwa: “Malpraktik adalah tidak sama dengan kelalaian. Kelalaian memang masuk dalam arti malpraktik, tetapi didalam malpraktik tidak selalu harus terdapat unsur kelalaian. Malpraktik mempunyai pengertian lebih 69
Periksa Black’s Law Dictionary, 5th edition, West Publishing Co., St. Paul Minn., 1979, hlm 861-865 yang menyebutkan malpraxis malpractice sebagai “unskillful management or treatment, particulary applied to the neglect or unskillfull management of a physician, surgeon, or aphothecacy”. 70 Soerjono Soekanto dan Herkutanto, Pengantar Hukum Kesehatan, Remadja Karya, Bandung, 1987, hlm 153 71 Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran, dan Hukum Kesehatan (Edisi 3), Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1998, hlm 87. 72 Guwandi, Kelalaian Medik (Medical Negligence), Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 2004, hlm 21.
55
luas daripada negligence (kelalaian). Karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktik juga mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (intentional, dolus, opzettelijk) dan melanggar undang-undang. Dalam arti kesengajaan tersirat adanya motif (mens rea, guilty mind), sedangkan arti negligence lebih berintikan ketidaksengajaan (culpa), kurang teliti, kurang hati-hati, acuh, sembrono, sembarangan, tak peduli dengan kepentingan orang lain, namun yang timbul bukanlah sebagai tujuan.” Berbicara
tentang
kehati-hatian,
Hermien
Hadiati
Koeswadji73
berpendapat: “Batasan pengertian tentang kurang penghati-hatian yaitu bahwa untuk menentukan apakah seseorang itu telah berbuat tidak hai-hati adalah kalau orang itu dapat berbuat lain agar akibat yang dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan hukuman itu tidak timbul. Dalam keadaan demikian maka yang menjadi tolok ukur adalah pikiran dan kemampuan orang itu untuk menentukan apakah apakah setiap orang yang termasuk kategori yang sama dengan itu, dan dalam kondisi serta dengan sarana akan berbuat lain. Apabila orang lain yang termasuk dalam kategori yang sama itu akan berbuat sama dengan dirinya maka dapat dikatakan ada suatu kealpaan/kelalaian. Namun sebaliknya, bila orang lain tersebut akan berbuat lain dengan apa yang dilakukannya itu, maka dapat dikatakan bahwa ia telah berbuat kurang hati-hati, lalai, alpa.” 2. Dokter dalam Melaksanakan Profesi Medik Sehubungan dengan adanya risiko yang cukup tinggi yang erat kaitannya dengan tanggungjawab dokter selaku profesional, maka besar kemungkinan dilakukan upaya untuk mengalihkan resiko melalui berbagai cara, antara lain dengan persyaratan eksonerasi yaitu pembatasan tanggung jawab. 74 Untuk itu perlu dipahami terlebih dahulu sifat tanggung jawab hukum dokter dalam pelayanan medik dalam hal antara tindakan dokter dan sejauh mana dokter dapat dimintakan pertanggungjawaban atas tindakannya dalam 73
Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan Hukum dalam mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak), Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1998, hlm 142. 74 Veronica Komalawati, Op.Cit. hlm 93.
56
menjalankan profesi medik. Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan diantaranya: a) Persetujuan Atas Dasar Informasi (Informed Concent) Pada hakikatnya persetujuan atas dasar informasi atau lebih dikenal dengan istilah informed concent merupakan alat untuk memungkinkan penentuan nasib sendiri yang berfungsi dalam praktek dokter. Secara konkret informed concent adalah untuk setiap tindakan baik yang bersifat diagnostik maupun terapeutik, pada asasnya senantiasa diperlukan persetujuan pasien yang bersangkutan. Ketentuan Umum Pasal 2 Peraturan Menteri Kesehatan No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 menyatakan bahwa semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien, harus mendapat persetujuan. Persetujuan tersebut diberikan oleh pasien setelah mendapat informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta resiko yang ditimbulkannya. Informed concent dapat dinyatakan secara lisan, bahkan dapat dinyatakan dengan sikap menyerah pada prosedur yang telah dispesifikasikan. Selanjutnya di dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran disebutkan : (1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan; (2) Persetujuan sebagaimana dimaksudkan ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap; (3) Penjelasan sebagaimana dimaksud ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup: a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis; b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan; c. Alternatif tindakan lain dan resiko;
57
d. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan; (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan; b) Tanggung jawab Dokter Dalam Melaksanakan Profesi Medik Berkaitan dengan dokter melakukan suatu kesalahan/kelalaian medik yang mana bukan disebabkan karena praktek yang buruk/jelek melainkan karena tidak diikutinya prosedur medik, maka harus diketahui bahwa seseorang itu dapat dikatakan mampu bertanggung jawab apabila dipenuhi 3(tiga) hal yaitu: 1) Dapat menginsafi makna yang senyatanya dari perbuatannya; 2) Dapat menginsafi perbuatannya itu tidak dipandang patut dalam pergaulan masyarakat; dan 3) Mampu untuk menentukan niat/kehendaknya dalam melakukan perbuatn tersebut.75 c) Dokter sebagai salah 1 (satu) pihak di dalam perkara pidana Dalam
hal
dimana
dokter
menjadi
salah
1
(satu)
pihak
(kesalahan/kelalaian dokter dalam menjalankan tugas profesi) ketika sudah masuk dalam proses persidangan, akan muncul kesulitan ketika saksi ahli untuk perkara ini juga adalah dokter. Sebetulnya keterangan ahli disini juga dapat diberikan pada saat pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengingast sumpah. “Van Bemmelen76 menyatakan dokter pun dapat dikenakan unsur schuld, karena yang dimaksudkan dengan schuld dalam bidang hukum pidana itu hanyalah schuld yang in foro civil disebut sebagai culpa lata atau grove schuld atau kesalahan-kesalahan yang sifatnya menyolok saja. 75
Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Pidana Lingkungan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm 45. 76 Ibid, hlm 185.
58
Jika kesalahan seperti itu dihubungkan dengan tindakan yang perlu dilakukan oleh seorang dokter dalam jabatannya, kiranya dari dokter tersebut orang menghendaki bahwa ia bukan hanya harus memiliki cara berfikir, pengetahuan atau kebijaksanaan yang lebih baik dibandingkan dengan cara berfikir, pengetahuan atau kebijaksanaan yang dimiliki orang awam pada umumnya, akan tetapi dari dirinya orang juga mengharapkan bahwa ia akan berbuat sesuai dengan kepandaian dan pengetahuan yang ia miliki, seperti yang akan dilakukan oleh rekanrekan sejawatnya pada umumnya dalam hal mereka itu menghadapi masalah yang sama dalam keadaan yang sama pula.” Jika tindakan yang dilakukan seorang dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran, maka tidak bisa masuk dalam kriminal malpraktik, maka ia hanya melakukan malpraktek etik77, dan bukanlah suatu kelalaian sebagaimana dimaksud di dalam hukum pidana.
77
Yusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1999, hlm. 89.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan Penelitian ini menggunakan tipe pendekatan kasus (case approach) yang merupakan pendekatan yang bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Terutama mengenai kasuskasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam Yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian78 tentang Putusan Mahkamah Agung Nomor 365 K/Pid/2012 Terpidana dr. Dewa Ayu, dr. Hendri Siagian dan dr. Hendy Simanjuntak terkait upaya hukum kasasi yang diajukan terhadap putusan bebas.
B. Metode Penelitian Masalah yang akan diteliti ruang lingkupnya di bidang hukum, yaitu hukum sebagai aturan hidup manusia untuk dapat mewujudkan ketertiban dan keadilan. Sebagai aturan hidup manusia huku itu bersifat normatif, yang terdiri dari norma-norma (kaidah, patokan, ketentuan) yang tertulis dalam bentuk perundang-undangan dan yang tidak tertulis dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan berperilaku yang tetap dalam bentuk hukum adat yang hidup dalam masyarakat.79
78
Johnnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2006, hlm. 321. 79 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid I Cetakan III, Pustaka Kartini, Jakarta, 1985, hlm. 387.
60
C. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi yang diguakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi penelitian preskriptif. Ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum.80 Analitis karena kemudian akan dilakukan analisis terhadap berbagai aspek yang diteliti dengan asas hukum, kaidah hukum dan berbagai pengertian hukum yang berkaitan dengan penelitian ini. . Analitis berarti kemudian akan dilakukan analisis terhadap berbagai aspek yang akan diteliti dengan asas hukum kaedah hukum, dan berbagai pengertian hukum yang berkaitan dengan penelitian ini.81 Dimana hal itu merupakan kegiatan pendahuluan yang sangat mendasar. Sebelum menemukan norma hukum in contreto haruslah diketahui lebih dahulu hukum positif apa yang berlaku.82 Konsepsi legistis-positivistis, yang mengemukakan bahwa hukum itu identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat negara yang berwenang. D. Jenis dan Sumber Data Penelitian masalah ini menggunakan data sekunder yaitu data-data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan hasil dokumentasi penelitian orang lain
80
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Media Group, Jakarta, 2011,
81
Ronny Hanatijo, Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia, Jakarta, 1998, hlm
hlm. 22. 97-98. 82
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, hlm. 120-121
61
dalam bentuk buku-buku ilmu hukum83. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat
secara
umum
(Perundang-undangan)
atau
mempunyai kekuatann mengikat bagi pihak-pihak berkepentingan (seperti : kontrak, konvensi, dokumen hukum)”84 yang berhubungan dengan masalah yang diteliti untuk selanjutnya dikaji senagai satu kesatuan yang utuh. Penelitian menggunakan bahan hukum primer yang terdiri dari: a. Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. b. Peraturan Perundang-undangan, yaitu: i. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana; ii. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; iii. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; iv. Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
83
Hilmawan Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar maju, Bandung, 1995, hlm. 65. 84 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 82.
62
v. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman; 2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti : a) Putusan Mahkamah Agung Nomor 365 K/Pid/2012 Terpidana dr. Dewa Ayu, dr. Hendri Siagian dan dr. Hendy Simanjuntak. b) Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
585/PER/Menkes/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik. 3)
Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, semisal kamus hukum.
E. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan pengambilan data dari tempat objek, sehingga antara das sollen dan das sein saling memiliki keterkaitan. Metode Kepustakaan adalah cara pengumpulan data dengan melakukan mencari, mencatat, menginventarisasi dan mempelajari data– data yang berupa bahan–bahan pustaka dan literatur. F. Metode Pengolahan Data Seluruh data yang diperoleh melalui studi kepustakaan akan diolah secara reduksi, merangkum dan memfokuskan hal-hal yang pokok dan penting dari sekumpulan bahan hukum, sehingga menjadi ringkas, disusun secara sistematis dan mudah dipahami. Sebelumnya dilakukan proses Editing yaitu memeriksa data
63
yang diperoleh untuk menjamin apakah data itu dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan kenyataan. G. Metode Penyajian Data Pengumpulan bahan hukum dulakukan dengan inventarisasi, kemudian dicatat sesuai dengan relevansinya berkaitan dengan materi yang menjadi objek penelitian yang selanjutnya dipelajari dan dikaji sebagai suatu kesatuan yang utuh. Dalam penelitian ini data akan disajikan dalam bentuk teks naratif, yaitu suatu penyajian data dalam bentuk uraian secara sistematis, logis dan rasional sesuai dengan masaalh dan tujuan utama penelitian. H. Metode Analisa Data Data penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Dalam analisis kualitatif digunakan model analisis isi . Pada analisis ini tidak menggunakan alat statistik, akan tetapi dilakukan dengan membaca tabeltabel, grafik-grafik, atau angka-angka yang tersedia kemudian melakukan uraian dan penafsiran.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Dunia ilmu sudah sejak lama merintis disiplin baru sebagai cabang dalam ilmu hukum, yaitu hukum kedokteran atau hukum medik sebagai terjemahan dari “medical law” untuk membedakannya dengan hukum kesehatan “health law”. Memang pada saat ini negara kita belum memiliki hukum kedokteran yang dalam arti tersusun dalam suatu undang-undang tersendiri. Produk hukum yang ada barulah hukum kesehatan yang dimuat dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Bagaimana halnya dengan Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, undang-undang ini sudah mengatur dunia kedokteran secara keseluruhan. Hanya saja didalamnya belum diatur secara tegas tentang bagaimanakah penyelesaian sengketa medik dalam hal tindakan dokter yang dikualifisir sebagai criminal malpractic. Di dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran tidak dijelaskan sejauh mana proses hukum berperan dalam penyelesaian sengketa medik. Di dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran disebutkan: “Untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran, dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia”
65
Selanjutnya di dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran dinyatakan: “Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia” Merujuk pada pengaturan diatas, bahwa ketika ada tindakan dokter atau dokter gigi yang yang karena tindakannya itu sehingga muncul pengaduan dari pasien, maka penyelesaiaanya adalah dilakukan secara intern dunia kedokteran. Putusan bersalah atau tidaknya dokter yang melakukan kesalahan juga ada pada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Secara konsepsi hukum, ini tidak menimbulkan masalah karena memang MKDKI adalah lembaga yang independen. Namun di dalam praktek penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh MKDKI menimbulkan masalah di masyarakat. Muncul banyak putusan dari MKDKI yang sifatnya lebih menguntungkan pihak dokter. Disisni dipertanyakan seberapa jauh MKDKI bisa berlaku independen dalam menjalankan tugasnya. Bahkan bisa kita lihat dalam kasus dr. Dewa Ayu dkk. yang mana mengakibatkan kematian atas pasien Siska Makatey, dan dalam putusannya dr. Dewa Ayu dkk. diputus tidak terbukti telah melakukan criminal malpractic. Kasus dr. Dewa Ayu dkk. ini awalnya sudah diselesaikan oleh Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) dan diputuskan bahwa perbuatan dr. Dewa Ayu hanyalah bersifat pelanggaran etik kedokteran. Karena dirasa kurang transparan dan kurang memenuhi rasa keadilan maka diajukan pengaduan ke Pengadilan
66
Negeri Manado, dan kasus ini pun bergulir sampai tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Hasil penelitian ini mendasarkan pada data sekunder yakni Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (M.A.R.I) dalam perkara Nomor 365K/Pid/2012, dan diperoleh data sebagai berikut: 1. Terdakwa (1) Nama lengkap
: dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani;
Tempat lahir
: Denpasar;
Umur/tanggal lahir
: 35 tahun/ 23 April 1975;
Jenis kelamin
: Perempuan;
Kebangsaan
: Indonesia;
Tempat tinggal
:Jalan
Parigi
VII
No.10,
Malalayang, Kota Manado; Agama
: Hindu;
Pekerjaan
: Dokter;
(2) Nama lengkap
: dr. Hendri Simanjuntak;
Tempat lahir
: Riau;
Umur/tanggal lahir
: 35 tahun/ 14 Juli 1975;
Jenis kelamin
: Laki-laki;
Kebangsaan
: Indonesia;
Kecamatan
67
Tempat tinggal
:Kelurahan
Malalayang
Satu
Barat,
Lingkungan I, Kecamatan Malalayang Kota Manado; Agama
: Kristen Protestan;
Pekerjaan
: Dokter;
(3) Nama lengkap
: dr. Hendy Siagian;
Tempat lahir
: Sorong;
Umur/tanggal lahir
: 28 tahun/14 Januari 1983;
Jenis kelamin
: Laki-laki;
Kebangsaan
: Indonesia;
Tempat tinggal
:Kelurahan Bahu, Lingkungan I Kecamatan Malalayang, Kota Manado;
Agama
: Kristen Protestan;
Pekerjaan
: Dokter;
2. Duduk Perkara Pada tanggal 10 April 2010 pada pukul 22.00 WITA Siska Makatey menjalani operasi Cito Secsio Sesaria bertempat di Ruangan Operasi Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandouw Malalayang Kota Manado. Dalam operasi tersebut dilakukan oleh masing-masing dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III).
68
Bahwa pada waktu melakukan operasi cito secsio sesaria terhadap korban Siska Makatey yaitu pada saat korban Siska Makatey sudah tidur terlentang di atas meja operasi kemudian dilakukan tindakan asepsi anti septis pada dinding perut dan sekitarnya, selanjutnya korban ditutup dengan kain operasi kecuali pada lapangan operasi dan saat itu korban telah dilakukan pembiusan total. Selama operasi berlangsung, dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) sebagai dokter yang melakukan operasi mengiris dinding perut lapis demi lapis sampai pada rahim milik korban kemudian bayi yang berada di dalam rahim korban diangkat dan setelah bayi diangkat dari dalam rahim korban, rahim korban dijahit sampai tidak terdapat pendarahan lagi dan dibersihkan dari bekuan darah, selanjutnya dinding perut milik korban dijahit. Adapun dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) sebagai asisten operator I (satu) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) sebagai asisten operator II (dua) membantu untuk memperjelas lapangan operasi yang dilakukan oleh dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) sebagai pelaksana operasi/operator yang memotong, menggunting dan menjahit agar lapangan operasi bisa terlihat
agar
mempermudah operator yaitu dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) dalam melakukan operasi. Sebelum operasi cito secsio sesaria terhadap korban dilakukan, Para Terdakwa tidak pernah menyampaikan kepada pihak keluarga korban tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk termasuk kematian yang dapat terjadi terhadap diri korban jika operasi cito secsio sesaria tersebut dilakukan terhadap
69
diri korban dan Para Terdakwa sebagai dokter yang melaksanakan operasi cito secsio sesaria terhadap diri korban tidak melakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan jantung, foto rontgen dada dan pemeriksaan penunjang lainnya sedangkan tekanan darah pada saat sebelum korban dianestesi/ dilakukan pembiusan, sedikit tinggi yaitu menunjukkan angka 160/70 (seratus enam puluh per tujuh puluh) dan pada waktu kurang lebih pukul 20.10 WITA, hal tersebut telah disampaikan oleh saksi dr. Hermanus J. Lalenoh, Sp. An. pada bagian Anestesi melalui jawaban konsul kepada bagian kebidanan bahwa pada prinsipnya disetujui untuk dilaksanakan pembedahan dengan anestesi resiko tinggi, oleh karena itu mohon dijelaskan kepada keluarga segala kemungkinan yang bisa terjadi, tetapi pemeriksaan jantung terhadap korban dilaksanakan setelah pelaksanaan operasi selesai dilakukan kemudian pemeriksaan jantung tersebut dilakukan setelah dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) melaporkan kepada saksi Najoan Nan Waraouw sebagai Konsultan Jaga Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan bahwa nadi korban 180 (seratus delapan puluh) x per menit dan saat itu saksi Najoan Nan Waraouw menanyakan kepada dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) jika telah dilakukan pemeriksaan jantung/EKG (Elektri Kardio Graf atau Rekam Jantung) terhadap diri korban, selanjutnya dijawab oleh dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) tentang hasil pemeriksaan adalah Ventrikel Tachy Kardi (denyut jantung sangat cepat) dan saksi Najoan Nan Waraouw mengatakan bahwa denyut nadi 180 (seratus delapan puluh) x per menit bukan Ventrikel Tachy Kardi (denyut jantung sangat cepat) tetapi Fibrilasi (kelainan irama jantung).
70
Sejak dibawa masuk ke rumah sakit, keadaan umum korban adalah lemah dan status penyakit korban adalah berat, dan korban tidak langsung ditangani melainkan hanya diberikan resap untuk membeli obat sampai 4 kali. Namun keadaan korban bukan malah membaik tetapi malah kian memburuk, sampai pada akhirnya pada pukul 08.00 WITA pihak keluarga minta dilakukan operasi. Namun pihak rumah sakit menolak melakukan operasi karena persyaratan administratif dari rumah sakit belum dipenuhi. Setelah ada pihak keluarga yang datang dan menyelesaikan persyaratan administratif dengan pihak rumah sakit, langsung diberitahukan kalau operasi terhadap Siska Makatey telah selesai dilakukan dan pihak keluarga tidak tahu menahu kalau operasi sudah dilakukan. Pihak keluarga Siska Makatey mendapatkan kabar dari Rumah Sakit Malalayang pada pukul 22.00 WITA bahwa pasien atas nama Siska Makatey telah meninggal dunia setelah melalui proses persalinan dengan operasi Cito Secsio Sesaria, namun bayi dalam kandungan korban dapat diselamatkan. Berdasarka hasil pemeriksaan forensik, kematian korban Siska Makatey adalah diakibatkan karena pada diri korban terjadi emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung. Korban Siska Makatey meninggal dunia berdasarkan Surat Keterangan dari
Rumah
Sakit
Umum
Prof.
Dr.
R.
D.
Kandou
Manado
No.
71
61/VER/IKF/FK/K/VI/2010, tanggal 26 April 2010 dan ditandatangani oleh dr. Johannis F. Mallo, SH. SpF. DFM. yang menyatakan bahwa: a. Korban telah diawetkan dengan larutan formalin, melalui nadi besar paha kanan; b. Lama kematian si korban tidak dapat ditentukan, oleh karena proses perubahan pada tubuh korban setelah kematian “Thanatologi” sebagai dasar penilaian, terhambat dengan adanya pengawetan jenazah. Sesuai dengan besarnya rahim dapat menyatakan korban meninggal dalam hari pertama setelah melahirkan; c. Tanda kekerasan yang ditemukan pada pemeriksaan tubuh korban : 1. Pada Pasal 1 IV (a) adalah kekerasan tumpul sesuai dengan tanda jejas sungkup alat bantu pernapasan. 2. Pada Pasal 1 angka IV (b) dan pasal dua angka romawi ayat tiga adalah kekerasan tajam sesuai tindakan medik dalam operasi persalinan. 3. Pada pasal 1 angka IV (c) adalah kekerasan tajam sesuai dengan tanda perawatan medis sewaktu korban hidup. 4. Pada pasal 1 angka IV (d) adalah kekerasan tajam sesuai tanda perawatan pengawetan jenazah. d. Udara yang ditemukan pada bilik kanan jantung korban, masuk melalui pembuluh darah balik yang terbuka pada saat korban masih hidup. Pembuluh darah balik yang terbuka pada korban terjadi pada pemberian
72
cairan obat-obatan atau infus, dan dapat terjadi akibat komplikasi dari persalinan itu sendiri. e. Sebab kematian si korban adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung 3. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Para terdakwa diajukan ke persidangan di Pengadilan Negeri Manado dengan dakwaan yang disusun secara komulasi yang dibarengi dengan dakwaan alternatif atau subsidair sebagai berikut: Kesatu : PRIMAIR : Para Terdakwa, masing-masing dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) baik secara bersama-sama maupun bertindak sendiri-sendiri, pada hari Sabtu tanggal 10 April 2010, pada waktu kurang lebih pukul 22.00 WITA atau setidaktidaknya pada waktu lain dalam tahun 2010, bertempat di Ruangan Operasi Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandouw Malalayang Kota Manado atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain yang masih termasuk dalam Daerah Hukum Pengadilan Negeri Manado, telah melakukan, menyuruh lakukan dan turut serta melakukan perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain yaitu korban Siska Makatey, perbuatan
73
tersebut dilakukan Para Terdakwa dengan cara dan uraian kejadian sebagai berikut : Pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut di atas, dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) sebagai dokter pada Rumah Sakit Prof. Dr. R. D. Kandou Manado melakukan operasi cito secsio sesaria terhadap korban Siska Makatey yaitu pada saat korban Siska Makatey sudah tidur terlentang di atas meja operasi kemudian dilakukan tindakan asepsi anti septis pada dinding perut dan sekitarnya, selanjutnya korban ditutup dengan kain operasi kecuali pada lapangan operasi dan saat itu korban telah dilakukan pembiusan total. Sebagai operator, dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) mengiris dinding perut lapis demi lapis sampai pada rahim milik korban kemudian bayi yang berada di dalam rahim korban diangkat dan setelah bayi diangkat dari dalam rahim korban, rahim korban dijahit sampai tidak terdapat pendarahan lagi dan dibersihkan dari bekuan darah, selanjutnya dinding perut milik korban dijahit. Saat operasi dilakukan, dr. Hndry Simanjuntak (Terdakwa II) sebagai asisten operator I (satu) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) sebagai asisten operator II (dua) membantu untuk memperjelas lapangan operasi yang dilakukan oleh dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I) sebagai pelaksana operasi/operator yang memotong, menggunting dan menjahit agar lapangan operasi bisa terlihat agar mempermudah operator yaitu dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) dalam melakukan operasi.
74
Sebelum operasi cito secsio sesaria terhadap korban dilakukan, Para Terdakwa tidak pernah menyampaikan kepada pihak keluarga korban tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk termasuk kematian yang dapat terjadi terhadap diri korban jika operasi cito secsio sesaria tersebut dilakukan terhadap diri korban dan Para Terdakwa sebagai dokter yang melaksanakan operasi cito secsio sesaria terhadap diri korban tidak melakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan jantung, foto rontgen dada dan pemeriksaan penunjang lainnya sedangkan tekanan darah pada saat sebelum korban dianestesi/ dilakukan pembiusan, sedikit tinggi yaitu menunjukkan angka 160/70 (seratus enam puluh per tujuh puluh) dan pada waktu kurang lebih pukul 20.10 WITA, hal tersebut telah disampaikan oleh saksi dr. Hermanus J. Lalenoh, Sp. An. pada bagian Anestesi melalui jawaban konsul kepada bagian kebidanan bahwa pada prinsipnya disetujui untuk dilaksanakan pembedahan dengan anestesi resiko tinggi, oleh karena itu mohon dijelaskan kepada keluarga segala kemungkinan yang bisa terjadi, tetapi pemeriksaan jantung terhadap korban dilaksanakan setelah pelaksanaan operasi selesai dilakukan kemudian pemeriksaan jantung tersebut dilakukan setelah dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I) melaporkan kepada saksi Najoan Nan Waraouw sebagai Konsultan Jaga Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan bahwa nadi korban 180 (seratus delapan puluh) x per menit dan saat itu saksi Najoan Nan Waraouw menanyakan kepada dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I) jika telah dilakukan pemeriksaan jantung/ EKG (Elektri Kardio Graf atau Rekam Jantung) terhadap diri korban, selanjutnya dijawab oleh dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I) tentang
75
hasil pemeriksaan adalah Ventrikel Tachy Kardi (denyut jantung sangat cepat) dan saksi Najoan Nan Waraouw mengatakan bahwa denyut nadi 180 (seratus delapan puluh) x per menit bukan Ventrikel Tachy Kardi (denyut jantung sangat cepat) tetapi Fibrilasi (kelainan irama jantung). Berdasarkan hasil rekam medis No. 041969 (nol empat satu sembilan enam sembilan) yang telah dibaca oleh saksi ahli dr. Erwin Gidion Kristanto, SH. Sp. F. bahwa pada saat korban masuk RSU (Rumah Sakit Umum) Prof. R. D. Kandou Manado, keadaan umum korban adalah lemah dan status penyakit korban adalah berat. Dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) sebagai dokter dalam melaksanakan operasi cito secsio sesaria terhadap korban Siska Makatey, lalai dalam menangani korban pada saat masih hidup dan saat pelaksaanaan operasi sehingga terhadap diri korban terjadi emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung. Akibat perbuatan dari Para Terdakwa, korban Siska Makatey meninggal dunia berdasarkan Surat Keterangan dari Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandou Manado No. 61/VER/IKF/FK/K/VI/2010, tanggal 26 April 2010 dan ditandatangani oleh dr. Johannus F. Mallo, SH. SpF. DFM. yang menyatakan bahwa :
76
a. Korban telah diawetkan dengan larutan formalin, melalui nadi besar paha kanan; b. Lama kematian si korban tidak dapat ditentukan, oleh karena proses perubahan pada tubuh korban setelah kematian (Thanatologi) sebagai dasar penilaian, terhambat dengan adanya pengawetan jenazah. Sesuai dengan besarnya rahim dapat menyatakan korban meninggal dalam hari pertama setelah melahirkan; c. Tanda kekerasan yang ditemukan pada pemeriksaan tubuh korban : 1. Pada pasal satu angka romawi ayat empat (a) adalah kekerasan tumpul sesuai dengan tanda jejas sungkup alat bantu pernapasan. 2. Pada pasal satu angka romawi ayat empat (b) dan pasal dua angka romawi ayat tiga adalah kekerasan tajam sesuai tindakan medik dalam operasi persalinan. 3. Pada pasal satu angka romawi ayat empat (c) adalah kekerasan tajam sesuai dengan tanda perawatan medis sewaktu korban hidup. 4. Pada pasal satu angka romawi ayat empat (d) adalah kekerasan tajam sesuai tanda perawatan pengawetan jenazah. d. Udara yang ditemukan pada bilik kanan jantung korban, masuk melalui pembuluh darah balik yang terbuka pada saat korban masih hidup. Pembuluh darah balik yang terbuka pada korban terjadi pada pemberian cairan obat-obatan atau infus, dan dapat terjadi akibat komplikasi dari persalinan itu sendiri.
77
e. Sebab kematian si korban adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung (Visum Et Repertum terlampir dalam berkas perkara). Perbuatan Para Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 359 KUHP Jis. Pasal 361 KUHP, Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP. SUBSIDAIR : Para Terdakwa, masing-masing dr. Dewa Ayu (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) baik secara bersama-sama maupun bertindak sendiri-sendiri, pada hari Sabtu tanggal 10 April 2010, pada waktu kurang lebih pukul 22.00 WITA atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam tahun 2010, bertempat di Ruang Operasi Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandouw Malalayang Kota Manado atau setidaktidaknya pada suatu tempat lain yang masih termasuk dalam Daerah Hukum Pengadilan Negeri Manado, telah melakukan, menyuruh lakukan dan turut serta melakukan perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain yaitu korban Siska Makatey, perbuatan tersebut dilakukan Para Terdakwa dengan cara dan uraian kejadian sebagai berikut: Pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut di atas, dr. Dewa Ayu (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III)
sebagai dokter pada Rumah Sakit Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado melakukan operasi cito secsio sesaria terhadap korban Siska Makatey yaitu pada saat korban Siska Makatey sudah tidur terlentang di atas meja operasi
78
kemudian dilakukan tindakan asepsi anti septis pada dinding perut dan sekitarnya, selanjutnya korban ditutup dengan kain operasi kecuali pada lapangan operasi dan saat itu korban telah dilakukan pembiusan total. Dokter Dewa Ayu (Terdakwa I) mengiris dinding perut lapis demi lapis sampai pada rahim milik korban kemudian bayi yang berada di dalam rahim korban diangkat dan setelah bayi diangkat dari dalam rahim korban, rahim korban dijahit sampai tidak terdapat pendarahan lagi dan dibersihkan dari bekuan darah, selanjutnya dinding perut milik korban dijahit. Saat operasi dilakukan, dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) sebagai asisten operator I (satu) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) sebagai asisten operator II (dua) membantu untuk memperjelas lapangan operasi yang dilakukan oleh dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) sebagai pelaksana operasi/operator yang memotong, menggunting dan menjahit agar lapangan operasi bisa terlihat agar mempermudah operator yaitu dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) dalam melakukan operasi. Pada saat sebelum operasi cito secsio sesaria terhadap korban dilakukan, Para Terdakwa tidak pernah menyampaikan kepada pihak keluarga korban tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk termasuk kematian yang dapat terjadi terhadap diri korban jika operasi cito secsio sesaria tersebut dilakukan terhadap diri korban dan Para Terdakwa sebagai dokter yang melaksanakan operasi cito secsio sesaria terhadap diri korban tidak melakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan jantung, foto rontgen dada dan pemeriksaan penunjang lainnya sedangkan tekanan darah pada saat sebelum
79
korban dianestesi/ dilakukan pembiusan, sedikit tinggi yaitu menunjukkan angka 160/70 (seratus enam puluh per tujuh puluh) dan pada waktu kurang lebih pukul 20.10 WITA, hal tersebut telah disampaikan oleh saksi dr. Hermanus J. Lalenoh, Sp. An. pada bagian Anestesi melalui jawaban konsul kepada bagian kebidanan bahwa pada prinsipnya disetujui untuk dilaksanakan pembedahan dengan anestesi resiko tinggi, oleh karena itu mohon dijelaskan kepada keluarga segala kemungkinan yang bisa terjadi, tetapi pemeriksaan jantung terhadap korban dilaksanakan
setelah
pelaksanaan
operasi
selesai
dilakukan
kemudian
pemeriksaan jantung tersebut dilakukan setelah dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) melaporkan kepada saksi Najoan Nan Waraouw sebagai Konsultan Jaga Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan bahwa nadi korban 180 (seratus delapan puluh) x per menit dan saat itu saksi Najoan Nan Waraouw menanyakan kepada dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) jika telah dilakukan pemeriksaan jantung/ EKG (Elektri Kardio Graf atau Rekam Jantung) terhadap diri korban, selanjutnya dijawab oleh dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) tentang hasil pemeriksaan adalah Ventrikel Tachy Kardi (denyut jantung sangat cepat) dan saksi Najoan Nan Waraouw mengatakan bahwa denyut nadi 180 (seratus delapan puluh) x per menit bukan Ventrikel Tachy Kardi (denyut jantung sangat cepat) tetapi Fibrilasi (kelainan irama jantung) dan saksi Najoan Nan Waraouw mengatakan bahwa kondisi pasien (korban Siska Makatey) jelek dan pasti akan meninggal. Berdasarkan hasil rekam medis No. 041969 (nol empat satu sembilan enam sembilan) yang telah dibaca oleh saksi ahli dr. Erwin Gidion Kristanto, SH. Sp. F. bahwa pada saat korban masuk RSU (Rumah Sakit Umum) Prof. R.
80
D. Kandou Manado, keadaan umum korban adalah lemah dan status penyakit korban adalah berat. Dokter Dewa Ayu (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III)
sebagai dokter dalam melaksanakan
operasi cito secsio sesaria terhadap korban Siska Makatey, lalai dalam menangani korban pada saat masih hidup dan saat pelaksaanaan operasi sehingga terhadap diri korban terjadi emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung. Akibat perbuatan dari Para Terdakwa, korban Siska Makatey meninggal dunia berdasarkan Surat Keterangan dari Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandou Manado No. 61/VER/IKF/FK/K/VI/2010, tanggal 26 April 2010 dan ditandatangani oleh dr. Johannis F. Mallo, SH. SpF. DFM. yang menyatakan bahwa : a. Korban telah diawetkan dengan larutan formalin, melalui nadi besar paha kanan; b. Lama kematian si korban tidak dapat ditentukan, oleh karena proses perubahan pada tubuh korban setelah kematian (Thanatologi) sebagai dasar penilaian, terhambat dengan adanya pengawetan jenazah. Sesuai dengan besarnya rahim dapat menyatakan korban meninggal dalam hari pertama setelah melahirkan; c. Tanda kekerasan yang ditemukan pada pemeriksaan tubuh korban :
81
1. Pada pasal satu angka romawi ayat empat (a) adalah kekerasan tumpul sesuai dengan tanda jejas sungkup alat bantu pernapasan. 2. Pada pasal satu angka romawi ayat empat (b) dan pasal dua angka romawi ayat tiga adalah kekerasan tajam sesuai tindakan medik dalam operasi persalinan. 3. Pada pasal satu angka romawi ayat empat (c) adalah kekerasan tajam sesuai dengan tanda perawatan medis sewaktu korban hidup. 4. Pada pasal satu angka romawi ayat empat (d) adalah kekerasan tajam sesuai tanda perawatan pengawetan jenazah. d. Udara yang ditemukan pada bilik kanan jantung korban, masuk melalui pembuluh darah balik yang terbuka pada saat korban masih hidup. Pembuluh darah balik yang terbuka pada korban terjadi pada pemberian cairan obat-obatan atau infus, dan dapat terjadi akibat komplikasi dari persalinan itu sendiri. e. Sebab kematian si korban adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung (Visum et Repertum terlampir dalam berkas perkara). Perbuatan Para Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 359 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. atau : Kedua :
82
Para Terdakwa, masing-masing dr. Dewa Ayu (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) baik secara bersama-sama maupun bertindak sendiri-sendiri, pada hari Sabtu tanggal 10 April 2010, pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut dalam dakwaan Kesatu di atas, dengan sengaja telah melakukan, menyuruh lakukan dan turut serta melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik (SIP), perbuatan tersebut dilakukan Para Terdakwa dengan cara dan uraian kejadian sebagai berikut: Pada saat korban Siska Makatey sudah tidur terlentang di atas meja operasi kemudian dilakukan tindakan asepsi anti septis pada dinding perut dan sekitarnya, selanjutnya korban ditutup dengan kain operasi kecuali pada lapangan operasi dan saat itu korban telah dilakukan pembiusan total. Dokter. Dewa Ayu (Terdakwa I) mengiris dinding perut lapis demi lapis sampai pada rahim milik korban kemudian bayi yang berada di dalam rahim korban diangkat dan setelah bayi diangkat dari dalam rahim korban, rahim korban dijahit sampai tidak terdapat pendarahan lagi dan dibersihkan dari bekuan darah, selanjutnya dinding perut milik korban dijahit. Saat operasi dilakukan, dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) sebagai asisten operator I (satu) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) sebagai asisten operator II (dua) membantu dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) sebagai pelaksana operasi yang memotong, menggunting dan menjahit agar lapangan operasi bisa terlihat agar mempermudah operator yaitu dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I) dalam melakukan operasi.
83
Pada saat sebelum operasi cito secsio sesaria terhadap korban dilakukan, Para Terdakwa tidak melakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan jantung, foto rontgen dada dan lain-lain sedangkan tekanan darah pada saat sebelum korban dianestesi/ dilakukan pembiusan, sedikit tinggi yaitu menunjukkan angka 160/70 (seratus enam puluh per tujuh puluh) dan pemeriksaan jantung terhadap korban dilaksanakan setelah pelaksanaan operasi selesai dilakukan kemudian pemeriksaan jantung tersebut dilakukan setelah dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) melaporkan kepada saksi Najoan Nan Waraouw sebagai Konsultan Jaga Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan bahwa nadi korban 180 (seratus delapan puluh) x per menit dan saat itu saksi Najoan Nan Waraouw menanyakan kepada dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) jika telah dilakukan pemeriksaan jantung/ EKG (Elektri Kardio Graf atau Rekam Jantung) terhadap diri korban, selanjutnya dijawab oleh dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) tentang hasil pemeriksaan adalah Ventrikel Tachy Kardi (denyut jantung sangat cepat) dan saksi Najoan Nan Waraouw mengatakan bahwa denyut nadi 180 (seratus delapan puluh) x per menit bukan Ventrikel Tachy Kardi (denyut jantung sangat cepat) tetapi Fibrilasi (kelainan irama jantung). Berdasarkan hasil rekam medis No. 041969 (nol empat satu sembilan enam sembilan) yang telah dibaca oleh saksi ahli dr. Erwin Gidion Kristanto, SH. Sp. F. bahwa pada saat korban masuk RSU (Rumah Sakit Umum) Prof. R. D. Kandou Manado, keadaan umum korban adalah lemah dan status penyakit korban adalah berat.
84
Dokter Dewa Ayu (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III)
sebagai dokter dalam melaksanakan
operasi cito secsio sesaria terhadap korban Siska Makatey, Para Terdakwa hanya memiliki sertifikat kompetensi tetapi Para Terdakwa tidak mempunyai Surat Ijin Praktik (SIP) kedokteran dan tidak terdapat pelimpahan/persetujuan untuk melakukan suatu tindakan kedokteran secara tertulis dari dokter spesialis yang memiliki Surat Ijin Praktik (SIP) kedokteran/ yang berhak memberikan persetujuan sedangkan untuk melakukan tindakan praktik kedokteran termasuk operasi cito yang dilakukan oleh Para Terdakwa terhadap diri korban, Para Terdakwa harus memiliki Surat Ijin Praktik (SIP) kedokteran. Akibat perbuatan dari Para Terdakwa, korban Siska Makatey meninggal dunia berdasarkan Surat Keterangan dari Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandou Manado No. 61/VER/IKF/FK/K/VI/2010, tanggal 26 April 2010 dan ditandatangani oleh dr. Johannis F. Mallo, SH. SpF. DFM. yang menyatakan bahwa : a. Korban telah diawetkan dengan larutan formalin, melalui nadi besar paha kanan; b. Lama kematian si korban tidak dapat ditentukan, oleh karena proses perubahan pada tubuh korban setelah kematian (Thanatologi) sebagai dasar penilaian, terhambat dengan adanya pengawetan jenazah. Sesuai dengan besarnya rahim dapat menyatakan korban meninggal dalam hari pertama setelah melahirkan; c. Tanda kekerasan yang ditemukan pada pemeriksaan tubuh korban :
85
1. Pada Pasal 1 angka IV (a) adalah kekerasan tumpul sesuai dengan tanda jejas sungkup alat bantu pernapasan. 2. Pada Pasal 1 angka IV (b) dan pasal dua angka romawi ayat tiga adalah kekerasan tajam sesuai tindakan medik dalam operasi persalinan. 3. Pada Pasal 1 angka IV (c) adalah kekerasan tajam sesuai dengan tanda perawatan medis sewaktu korban hidup 4. Pada Pasal 1 angka IV (d) adalah kekerasan tajam sesuai tanda perawatan pengawetan jenazah. d. Udara yang ditemukan pada bilik kanan jantung korban, masuk melalui pembuluh darah balik yang terbuka pada saat korban masih hidup. Pembuluh darah balik yang terbuka pada korban terjadi pada pemberian cairan obat-obatan atau infus, dan dapat terjadi akibat komplikasi dari persalinan itu sendiri. e. Sebab kematian si korban adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung (Visum Et Repertum terlampir dalam berkas perkara). Perbuatan Para Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 76 Undang-Undang RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. atau :
86
Ketiga : PRIMAIR : Para Terdakwa, masing-masing dr. Dewa Ayu (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) baik secara bersama-sama maupun bertindak sendiri-sendiri, pada hari Sabtu tanggal 10 April 2010, pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut dalam dakwaan Kesatu dan Kedua di atas, telah melakukan, menyuruh lakukan dan turut serta melakukan perbuatan membuat secara palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu dan jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, perbuatan tersebut dilakukan Para Terdakwa dengan cara dan uraian kejadian sebagai berikut: Berawal setelah terdapat indikasi untuk dilakukan operasi cito secsio sesaria pada waktu kurang lebih pukul 18.30 WITA terhadap korban Siska Makatey, dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) menyerahkan surat persetujuan tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi kepada korban Siska Makatey untuk ditandatangani oleh korban yang disaksikan oleh dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) dari jarak kurang lebih 7 (tujuh) meter, dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan saksi dr. Helmi kemudian berdasarkan surat persetujuan tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi tersebut, dr. Dewa
87
Ayu (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) melakukan operasi cito secsio sesaria terhadap diri korban. Setelah dilaksanakan operasi cito secsio sesaria terhadap diri korban yang dilakukan oleh dr. Dewa Ayu (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) mengakibatkan korban meninggal dunia karena terjadi emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung pada diri korban, berdasarkan Surat Keterangan dari Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandou Manado No. 61/VER/IKF/FK/K/VI/2010, tanggal 26 April 2010 dan ditandatangani oleh dr. Johannis F. Mallo, SH, Sp.F., DFM. (VER terlampir dalam berkas perkara). Ternyata tanda tangan korban yang berada di dalam surat persetujuan tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi yang diserahkan oleh dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) untuk ditandatangani oleh korban tersebut berbeda dengan tanda tangan korban yang berada di dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Askes kemudian setelah dilakukan pemeriksaan oleh Laboratorium Forensik Cabang Makassar dan berdasarkan hasil pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik pada tanggal 09 Juni 2010 NO.LAB. : 509/DTF/2011, yang dilakukan oleh masing-masing lelaki Drs. Samir, S.St. Mk., lelaki Ardhani Adis, S. Amd dan lelaki Marendra Yudi L., SE., menyatakan bahwa tanda tangan atas nama Siska Makatey alias Julia Fransiska Makatey pada dokumen bukti adalah tanda tangan karangan/ “Spurious Signature“ (Berita Acara
88
Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Dokumen terlampir dalam berkas perkara). Perbuatan Para Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. SUBSIDAIR : Para Terdakwa, masing-masing dr. Dewa Ayu (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) baik secara bersama-sama maupun bertindak sendiri-sendiri, pada hari Sabtu tanggal 10 April 2010, pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut dalam dakwaan Kesatu, Kedua dan Ketiga Primair di atas, dengan sengaja telah melakukan, menyuruh lakukan dan turut serta melakukan perbuatan memakai surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah benar dan tidak dipalsu dan jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian, perbuatan tersebut dilakukan Para Terdakwa dengan cara dan uraian kejadian sebagai berikut: Berawal setelah terdapat indikasi untuk dilakukan operasi cito secsio sesaria pada waktu kurang lebih pukul 18.30 WITA terhadap korban Siska Makatey, dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) menyerahkan surat persetujuan tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi kepada korban Siska Makatey untuk ditandatangani oleh korban yang disaksikan oleh dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) dari jarak kurang lebih 7 (tujuh) meter, dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan saksi dr. Helmi kemudian berdasarkan surat persetujuan tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi tersebut, dr. Dewa
89
Ayu (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) melakukan operasi cito secsio sesaria terhadap diri korban. Setelah dilaksanakan operasi cito secsio sesaria terhadap diri korban yang dilakukan oleh dr. Dewa Ayu (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) mengakibatkan korban meninggal dunia karena terjadi emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung pada diri korban, berdasarkan Surat Keterangan dari Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandou Manado No. 61/VER/IKF/FK/K/VI/2010, tanggal 26 April 2010 dan ditandatangani oleh dr. Johannis F. Mallo, SH, Sp.F., DFM. (VER terlampir dalam berkas perkara). Ternyata tanda tangan korban yang berada di dalam surat persetujuan tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi yang diserahkan oleh dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) untuk ditandatangani oleh korban tersebut berbeda dengan tanda tangan korban yang berada di dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Askes kemudian setelah dilakukan pemeriksaan oleh Laboratorium Forensik Cabang Makassar dan berdasarkan hasil pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik pada tanggal 09 Juni 2010 NO.LAB. : 509/DTF/2011, yang dilakukan oleh masing-masing Drs. Samir, S.St. Mk., Ardani Adhis, S. Amd dan Marendra Yudi L., SE., menyatakan bahwa tanda tangan atas nama Siska Makatey alias Julia Fransiska Makatey pada dokumen bukti adalah tanda
90
tangan karangan/ “Spurious Signature“ (Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Dokumen terlampir dalam berkas perkara). Perbuatan Para Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. 4. Pembuktian di Persidangan a.
Barang Bukti Barang bukti yang diajukan dalam pemeriksaan perkara Para Terdakwa
adalah berupa berkas catatan medis No. cm. 041969 atas nama Siska Makatey yang terdiri dari: 1. 2. 3. 4.
PT. Asuransi Kesehatan Indonesia Results Siska Yulian Makatey ; Surat pernyataan telah dirawat ; Rekam jantung Siska Makatey 2004 ; Surat konsul 10 April 2010 RSU Prof. Kandou Manado (poliklinik obstetri status obstetrikus) ; 5. Catatan pemasukan dan pengeluaran cairan form 0014 ; 6. Instruksi post operasi ; 7. Surat konsul ke bagian anastesiologi ; 8. Rekam jantung ; 9. Laporan operasi ; 10. Kurva suhu dan nadi, serta catatan khusus ; 11. Dinas kesehatan Kota Manado Puskesmas Bahu/ surat rujukan ibu hamil atas nama Siska Makatey ; 12. Ringkasan masuk dan keluar Siska Makatey ; 13. Lembaran masuk dan keluar Siska Makatey ; 14. Klinical Patway Siska Makatey ; 15. Surat persetujuan tindakan khusus dan surat persetujuan pembedahan dan anastesi tanggal 10 April 2010 ; 16. Diagnosa akhir Siska Makatey ; 17. Resume keluar Siska Makatey ; 18. Surat pengantar pulang (tidak ada catatan) ; 19. Iktisar waktu pulang (tidak ada catatan ) ; 20. Anamnesis utama Siska Makatey ;
91
21. Anamnesis kebidanan Siska makatey ; 22. Pemeriksaan kebidanan I Siska Makatey ; 23. Pemeriksaan kebidanan II Siska Makatey ; 24. Resume masuk Siska Makatey ; 25. Portograf Siska Makatey ; 26. Lembaran observasi persalinan Siska Makatey ; 27. Lembaran observasi persalinan Siska Makatey ; 28. Lembaran observasi persalinan Siska Makatey ; 29. Laporan persalinan I Siska Makatey ; 30. Laporan persalinan IIa Siska Makatey ; 31. Lembaran catatan harian dokter (tidak ada catatan) ; 32. Hasil pemeriksaan laboratorium (tidak ada catatan) ; 33. Catatan pemasukan dan pengeluaran cairan (tidak ada catatan) ; 34. Hasil pemeriksaan radiologi kedokteran nuklir, dan lain-lain (tidak ada catatan); 35. Nifas (tidak ada catatan); 36. Catatan perawat intensif (tidak ada catatan) ; 37. Catatan dan instruksi dokter (tidak ada catatan) ; 38. Pelaksanaan proses keperawatan pengkajian data (tidak ada catatan) ; 39. Lembaran untuk penempelan surat (tidak ada catatan) ; 40. Catatan obat oral dan per enteral (tidak ada catatan) ; 41. Catatan perawat bidan (Siska Makatey) ; 42. 1 (satu) lembar foto copy sertifikat kompetensi dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani yang telah dilegalisir oleh Pengadilan Negeri Manado ; 43. 1 (satu) lembar foto copy sertifikat kompetensi dr. Hendry Simanjuntak yang telah dilegalisir oleh Pengadilan Negeri Manado; 44. 1 (satu) lembar foto copy sertifikat kompetensi dr. Hendy Siagian yang telah dilegalisir oleh Pengadilan Negeri Manado b. Keterangan Saksi Saksi-saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah sebanyak 2 (dua) orang yang telah didengar keterangannya dibawah sumpah masing-masing di muka persidangan yang pada pokoknya sebagai berikut: 1. Saksi dr. Hermanus J. Lalenoh, Sp.An.
92
Menerangkan bahwa pada prinsipnya kami setuju untuk dilaksanakan pembedahan dengan anestesi resiko tinggi, oleh karena ini adalah operasi darurat maka mohon dijelaskan kepada keluarga resiko yang bisaterjadi "darurat"/ sebelum operasi atau "post"/ usai operasi. Penyebab udara masuk dari setiap pembuluh darah balik yang terbuka yaitu dari infus atau dari suntikan obat tetapi dalam kepustakaan dikatakan udara yang masuk dari pembuluh darah balik ini hanya bisa menyebabkan kecelakaan penting yang kalau dia di atas 25 mg dan kalau di bawah tidak akan menyebabkan apa-apa, kemudian dalam kenyataan pemberian obat dari infus tidak pernah masuk udara karena dari suntik disposible untuk masuk udara, selanjutnya dari kepustakaan yang saksi baca dan saksi dapat dalam pendidikan saksi yaitu kemungkinan yang bisa juga adalah terutama dalam operasi persalinan bahkan di dalam aturan dikatakan bahwa udara bisa masuk sering terjadi pada operasi bedah saraf dengan posisi pasien setengah duduk bisa terjadi pada saat dia terkemuka itu udara bisa masuk, pada bagian kebidanan yang bisa sering terjadi bukan saja pada sectio sesaria tetapi juga pada kuretase bahkan dalam laporan kasus yaitu untuk hubungan intim dimana suami memakai oral itu bisa terjadi masuk udara, kasus ini memang jarang tetapi bisa saja terjadi, jadi pada waktu bayi lahir plasenta terangkat pembuluh darah itu terbuka yaitu pembuluh darah arteri/ pembuluh darah yang pergi yang warna merah dan pembuluh darah balik/ arteri yang warna hitam, jadi kemungkinan udara yang masuk berdasarkan hasil visum et repertum bisa saja terjadi dari beberapa hal tadi, selanjutnya tugas anestesi dalam hal ini telah selesai karena pasien/ korban
93
sudah membuka mata dan bernapas spontan kecuali jika saat pasien sebelum dirapihkan semua kemudian meninggal maka masih merupakan tugas dan tanggung jawab dari anestesi dan kebidanan. 2. Saksi Prof. Dr. Najoan Nan Waraouw, Sp.OG. Menerangkan bahwa Terdakwa I (satu) mengatakan bahwa operasi terhadap pasien/ korban telah selesai dilaksanakan dan pada saat operasi dilakukan yaitu sejak sayatan dinding perut pertama sudah mengeluarkan darah hitam, selama operasi dilaksanakan kecepatan nadi tinggi yaitu 160 (seratus enam puluh) x per menit , saturasi oksigen hanya berkisar 85 % (delapan puluh lima persen) sampai dengan 87 % (delapan puluh tujuh persen), setelah operasi selesai dilakukan kecepatan nadi pasien/ korban adalah 180 (seratus delapan puluh) x per menit dan setelah selesai operasi baru dilakukan pemeriksaan EKG/ periksa jantung yang dilakukan oleh bagian penyakit dalam dan saksi menanyakan apakah sudah dilakukan pemeriksaan jantung karena saksi berpikir keadaan ini penyebabnya dari jantung serta dijawab oleh Terdakwa I (satu) sementara dilakukan pemeriksaan dan hasilnya sudah ada yaitu bahwa pada penderita terjadi "Ventrikel Tachy Kardi" (denyut nadi yang cepat) tetapi saksi mengatakan bahwa itu bukan "Ventrikel Tachy Kardi" (denyut nadi yang cepat) jika denyut nadi sudah di atas 160 x per menit tetapi "Fibrilasi" yaitu pertanda bahwa pada jantung terjadi kegagalan yang akut dan pasti pasien akan meninggal karena biasanya kegagalan akut itu karena "emboli" (penyumbatan pembuluh darah oleh suatu bahan seperti darah, air ketuban, udara, lemak, trombus dan komponenkomponen lain) serta pasien/ korban pasti meninggal,
94
selanjutnya dikabarkan bahwa pada waktu kurang lebih pukul 22.20 WITA, pasien/ korban dinyatakan meninggal dunia oleh bagian penyakit dalam. c.
Keterangan Ahli Dikaitkan dengan Pasal 183 KUHAP, keterangan ahli yang berdiri
sendiri tanpa didukung oleh alat bukti lain tidaklah cukup dan tidak memadai untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Begitu juga apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menegaskan satu saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip ini pun berlaku bagi keterangan ahli. Bahwa keterangan seorang ahli pun tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, melainkan harus disertai alat bukti lain. “Pasal 184 ayat (1) KUHAP menetapkan keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah. Keterangan ahli ini oleh pembuat undang-undang ditempatkan pada urutan kedua setelah keterangan saksi. Hal ini menandakan bahwa keterangan ahli merupakan keterangan yang harus diperhitungkan dalam dunia pembuktian. Mengingat juga dalam ranah ilmu hukum baik pidana, perdata, tata negara maupun hukum internasional pendapat ahli merupakan salah satu sumber hukum yang diakui secara internasional meskipun dalam penerapannya keterangan ahli harus dipandang tidak dapat berdiri sendiri dan harus didukung dengan alat-alat bukti lain.”85 Pasal 1 angka (28) KUHAP memberikan pengerian mengenai keterangan ahli sebagai berikut: “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan” Mengenai keterangan ahli yang diberikan dalam sidang pengadilan diatur dalam ketentuan Pasal 186 KUHAP yaitu: “Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan” 85
Endang Sri Lestari, Op. Cit, hlm 175.
95
Melihat pada pengaturan di dalam Pasal 1 angka (28) KUHAP dan Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP dan Pasal 186 KUHAP, maka agar keterangan ahli dapat bernilai sebagai alat bukti yang sah dan mempunyai nilai pembuktian dalam mencari kebenaran materiil guna menetapkan keyakinan hakim bahwa benar terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan serta dapat dipertangagungjawabkan. Menurut M. Yahya Harahap,86 secara hukum seseorang baru dikatakan ahli apabila: a. Memiliki pengetahuan khusus atau spesialis di bidang ilmu pengetahuan tertentu sehingga orang itu benar-benar kompeten (competent) di bidang tersebut; b. Spesialis itu bisa dalam bentuk skill karena latihan (training) atau hasil pengalaman; c. Sedemikian rupa spesialisasi pengetahuan, kecakapan, latihan atau pengalaman yang demikian, sehingga keterangan dan penjelasan yang diberikan dapat membantu menemukan fakta melebihi kemampuan pengetahuan umum orang biasa. Jaksa Penuntut Umum di dalam persidangan pada perkara ini menghadirkan 2 (dua) orang ahli dan telah memberikan keterangan dibawah sumpah sesuai dengan keahliannya, yang pada pokoknya sebagai berikut: 1) Saksi Ahli dr. Robby Willar, Sp.A. Menerangkan bahwa pada saat plasenta keluar, pembuluh darah yang berhubungan dengan plasenta terbuka dan udara bisa masuk dari plasenta tetapi tidak berpengaruh terhadap bayi karena sebelum plasenta dikeluarkan bayi sudah dipotong/ bayi lebih dulu keluar kemudian tali pusat/ plasenta dipotong. 2) Saksi Ahli Johannis F. Mallo, SH. Sp.F. DFM.
86
M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm 789-790
96
Menerangkan bahwa bahwa infus dapat menyebabkan emboli udara tetapi kecil kemungkinan dan hal tersebut dapat terjadi karena efek venturi, kemudian kapan efek venturi terjadi yaitu korban meninggal dunia pukul 22.20 WITA, infus 20 tetes = 100cc/menit, operasi dilakukan pukul 20.55 WITA, anak lahir pukul 21.00 WITA dalam hal ini udara sudah masuk terlebih dulu kemudian dilaksanakan operasi, maka 30 menit sebelum pelaksanaan operasi sudah terdapat 35 cc udara. d. Keterangan Terdakwa i. Terdakwa I, dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani Dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I) adalah peserta program pendidikan dokter spesialis di Universitas Samratulangi Manado sejak tahun 2007 sampai sekarang. Terdakwa I sudah memiliki Surat Tanda Registrasi sejak tahun 2002, adapun yang menjadi dasar Terdakwa dapat melakukan operasi adalah kompetensi dari Universitas Samratulangi. Bahwa pada saat Terdakwa I melakukan tindakan operasi belum memiliki Surat Ijin Praktek (SIP), Surat Ijin Praktek untuk PPDS diurus oleh Dekan Fakultas Kedokteran. Surat Ijin Praktek Terdakwa baru diurus oleh Dekan Fakultas Kedokteran setelah kasus ini terjadi. Pada tanggal 10 April 2010 jam 09.00. WITA korban Siska Makatey dibawa ke Rumah Sakit Umum Prof. Kandou Malalayang dengan surat rujukan dari Puskesmas Bahu untuk melahirkan anak kedua lalu dibawah ke kamar bersalin dan diperiksa USG dan hasil dalam keadaan baik dan dilaporkan kepada konsuler dan diusahakan melahirkan normal. Pada saat korban masuk rumah
97
sakit Prof.Kandou Malalayang belum ada tanda-tanda untuk dioperasi tetapi posisi bayi tinggi, biasanya pada pembukaan 7 cm bayi bisa lahir. Pada jam 18.00 WITA pembukaan lengkap tetapi posisi bayi tetap tinggi dan hal tersebut dilaporkan kepada dokter konsuler dan dokter konsuler menyarankan supaya melahirkan secara normal dengan cara posisi korban dimiringkan dan ditunggu sampai 30 menit tidak ada kemajuan dan pada jam 18.30 WITAdikonsultasikan dengan bagian anastesi dan bagian anastesi memberikan persetujuan operasi dan pada jam 20.55 WITA operasi dimulai. Terdakwa I sudah lebih dari 100 (seratus) kali melakukan operasi Cito, dan pada saat korban dioperasi Terdakwa I sebagai operator, Terdakwa II dan Terdakwa III sebagai asisten operasi. Pada saat sayatan pertama keluar darah berwarna hitam, Terdakwa menghentikan sebentar dan mengatakan kepada suster Anitang Lengkong korban kekurangan oksigen da selanjutnya Suster Anitang Lengkong mengatakan cepat-cepat saja operasi karena oksigen dan alat pernafasan sudah terpasang dengan baik. Bayi lahir pada jam 21.00 WITA yakni 5 (lima) menit setelah sayatan pertama dan kondisi bayi saat itu sangat buruk kesehatannya, setelah bayi lahir dilakukan penutupan. Kematian korban (Siska makatey) bukanlah efek dari operasi yang Terdakwa dilakukan. Selama Terdakwa I melakukan operasi tidak pernah menemui kejadian seperti yang dialami korban Siska Makatey. Berkaitan dengan Visum Et Repertum atas nama korban Siska Makatey bukan kewenangan Terdakwa. Adapun ditemukannya emboli ketuban terjadi pada persalinan dan komplikasi dari persalinan adalah robekan rahim.
98
Berkaitan dengan pelaksanaan operasi cito terhadap korban, Korban (Siska Makatey) dalam kamar operasi dalam keadaa sadar, dan saat dilakukan operasi, pada saat sayatan pertama keluar darah dan warnanya hitam berarti korban (Siska Makatey ) kekurangan oksigen dan Terdakwa menyampaikan kepada Anita Lengkong dari bagian anastesi dan oleh Anita Lengkong mengatakan operasi supaya dilanjutkan. Alasan Terdakwa I memilih operasi dilanjutkan karena saat itu dalam rahim ada bayi yang harus diselamatkan, kalau operasi dihentikan persalinan tidak dapat dilakukan pasien dan bayi pasti meninggal, kalau pada saat operasi tidak dilakukan maka Terdakwa I dapat dikenakan sangsi sesuai UndangUndang No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Setelah kejadian meninggalnya korban (Siska Makatey) Terdakwa I melaporkan kepada pihak rumah sakit dan dilakukan mediasi dan akhirnya dari bagian kebidanan telah memberikan uang sebesar Rp. 50.000.000.-(lima puluh juta rupiah) kepada keluarga korban sebagai rasa turut berduka cita.
ii. Terdakwa II, dr. Hendry Simanjuntak Terdakwa I dalam pelaksanaan operasi terhadap korban (Siska Makatey) adalah sebagai asisten I, Terdakwa II sebagai chif residen dan Terdakwa III sebagai asisten II. Terdakwa II bertugas membantu jalannya operasi memberisihkan darah yang keluar saat sayatan. Operasi terhadap korban dilakukan pada jam 20.55 WITA, yang mana korban (Siska Makatey) adalah pasien rujukan dari Puskesmas Bahu. Sebalum melakukan pemeriksaan, Terdakwa I telah membaca surat rujukan korban (Siska
99
Makatey) dan riwayat persalinannya buruk. Memang benar dalam hal ini yang menentukan operasi adalah Terdakwa I sebagai chif residen. Langkah melakukan operasi terhadap korban Siska Makatey diambil karena persalinannya tidak maju. Peran Terdakwa II dalam melakukan operasi terhadap korban Siska Makatey adalah memegang kapas untuk menghentikan darah dan menarik benang. Operasi sempat dihentikan oleh Terdakwa I karena keluar darah hitam karena oksigen kurang dan Terdakwa I memberitahukan kepada bagian anastesi, bahwa oksigen yang baik dan cukup itu diatas 96 persen. Terdakwa II tidak mengetahui secara pasti apa penyebab oksigen kurang. Operasi sempat dihentikan selama 1(satu) menit dan Anita Lengkong mengatakan agar operasi tetap dilanjutkan. Bahwa sebagai pertimbangan untuk melanjutkan
operasi
terhadap
korban
Siska
Makatey
adalah
untuk
menyelamatkan bayi dalam kandungan korban (Siska Makatey). Lamanya operasi kurang lebih 5 (lima) menit dan kemudian dilakukan penutupan dan menjahit dan pada saat operasi selesai dilaporkan oleh Terdakwa I selaku chif residen, dan pada akhirnya korban meninggal di ruang perawatan.
iii. Terdakwa III, dr. Hendy Siagian Bahwa tugas Terdakwa III dalam operasi tersebut sebagai asisten II, menyedot/membersihkan darah yang keluar dari luka operasi, Terdakwa I sebagai operator, melakukan sayatan, menjahit, dan Terdakwa II adalah membantu operator. Operasi dimulai pada pukul 20.55 WITA dan selesai pukul 22.55 WITA. Sebelum dan sesudah dilakukan operasi, operasi Terdakwa I telah
100
melapor kepada bagian kebidanan. Terdakwa III juga melihat Terdakwa I konsultasi dengan dr. Najoan dari monitor. Terdakwa III 2 (dua) kali bertemu dengan keluarga korban, pertama pada jam 6.00 WITA dan kedua pada jam 6.30 WITA dan memberitahukan kepala bayi tinggi, tidak bias lahir normal, kemungkinan akan dioperasi, dan saat itu ibu korban mengatakan kasihan, dan Terdakwa III katakana siapkan darah dan menyodorkan kepada ibu korban (Siska Makatey) surat persetujuan operasi, dan yang lebih dahulu menanda tangani surat persetujuan operasi adalah korban kemudian ibu korban. Korban (Siska Makatey) pada saat menanda tangani surat persetujuan operasi dalam posisi miring dan bisa menulis. Terdakwa III pada saat bertemu ibu korban (Siska Makatey) ada menjelaskan resiko operasi, tunggu setengah jam lagi ada resep dan siapkan darah. Tugas Tim Dokter operasi selesai setelah penjahitan dan diserahkan kepada bagian pemulihan dan korban meninggal dunia di ruang pemulihan.
5. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Manado tanggal adalah sebagai berikut : 1. Menyatakan Para Terdakwa masing-masing dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III), terbukti secara sah dan meyakinkan, telah bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 359 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP;
101
2. Menjatuhkan hukuman terhadap Para Terdakwa, masing-masing dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III), dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan; 3. Menyatakan barang bukti berupa Berkas catatan medis No.CM.041969 atas nama Siska Makatey Tetap dilampirkan dalam berkas perkara; 4. Menetapkan agar kepada Para Terdakwa dibebani membayar biaya perkara masing-masing sebesar Rp.3.000,- (tiga ribu rupiah)
6. Putusan Pengadilan Negeri a. Pertimbangan Hukum Hakim Menimbang, Majelis Hakim mempertimbangkan apakah segala sesuatu yang terungkap dalam persidangan perkara ini baik dari keterangan saksi-saksi, keterangan ahli baik yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum maupun diajukan oleh para Terdakwa/Penasihat Hukumnya maupun ahli yang dimintakan oleh Majelis
Hakim,
surat-surat
keterangan
para
Terdakwa,
setelah
menghubungkannya satu sama lain, sejauh manakah fakta-fakta hokum yang terungkap dalam persidangan dapat menjadi penilaian hukum dari Majelis Hakim dalam menentukan apakah perbuatan para Terdakwa telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana yang terdapat dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut dan untuk itu Majelis Hakim akan mempertimbangkan lebih dahulu dakwaan Kesatu Primair yaitu Pasal 359 KUHP Jis Pasal 361 KUHP, Jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Pasal 359 KUHP berbunyi sebagai berikut :
102
“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun” Pasal 361 KUHP berbunyi sebagai berikut : “Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan, dan Hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan” Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP berbunyi sebagai berikut : “Dipidana sebagai pelaku tindak pidana : mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan” Delik sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 359 KUHP Jis Pasal 361 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : Ad. 1. Unsur Barang siapa : Pengertian barang siapa adalah kata ganti orang, yang lazimnya dipergunakan dalam setiap perumusan pasal-pasal tindak pidana dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau dengan kata lain dapat diartikan pula sebagai subjek pelaku delik. Dalam perkara ini tidak ada orang lain yang dijadikan sebagai Terdakwa (subjek pelaku delik) selain Terdakwa I dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, Terdakwa II dr. Hendry Simanjuntak dan Terdakwa III dr. Hendy Siagian. Dengan demikian menurut Majelis Hakim unsur barang siapa dalam perkara ini telah terpenuhi menurut hukum.
Ad. 2. Unsur karena kesalahannya menyebabkan matinya orang lain : Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa yang dijadikan dasar oleh Majelis Hakim dalam pemeriksaan perkara ini untuk menentukan apakah
103
perbuatan para Terdakwa bersalah atau tidak adalah perbuatan para Terdakwa yang dirumuskan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam surat dakwaannya tersebut. Jaksa Penuntut Umum halaman 2 alinea 5 yang berbunyi sebagai berikut : “Bahwa pada saat sebelum operasi Cito secsio sesaria terhadap korban dilakukan para Terdakwa tidak pernah menyampaikan kepada pihak keluarga tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk termasuk kematian yang dapat terjadi terhadap diri korban jika operasi Cito secsio sesaria tersebut dilakukan terhadap diri korban dan para Terdakwa sebagai dokter yang melaksanakan operasi cito secsio sesaria terhadap diri korban tidak melakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan jantung foto rontgen dada dan pemeriksaan penunjang lainnya ………dst” Kelalaian para Terdakwa dalam menangani operasi terhadap korban (Siska Makatey) dapat terbaca juga dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum halaman 3 alinea 3 yang berbunyi sebagai berikut : “Bahwa dr. Dewa Ayu (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) sebagai dokter dalam melaksanakan Operasi Cito Secsio Sesaria terhadap korban Siska Makatey, lalai dalam menangani korban pada saat masih hidup dan saat pelaksanaan operasi sehingga terhadap diri korban terjadi emboli udara yang masuk kedalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung” Menimbang, berdasarkan keterangan saksi-saksi dr. Helmy, Anita Lengkong, dr. Hermanus J. Lalenoh,Sp.An dan dihubungkan dengan keterangan Terdakwa I, Terdakwa II dan Terdakwa III sebagaimana yang telah diuraikan diatas, menurut Majelis Hakim adalah bersesuaian satu dengan yang lainnya tentang hal bahwa para Terdakwa sebelum melakukan operasi Cito Secsio Sesaria terhadap korban telah menyampaikan kepada pihak keluarga tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk termasuk kematian yang dapat terjadi
104
terhadap diri korban jika operasi Cito Secsio Sesaria tersebut dilakukan terhadap diri korban walaupun hal tersebut dibantah oleh ibu korban Julian Mahengkang dan ayah korban Anselmus Makatey. Menimbang oleh karena Julian Mahengkang (ibu korban) dan Anselmus Makatey (ayah korban) telah menyatakan surat persetujuan operasi tertanggal 10 April 2010 tersebut adalah benar, berarti pula menurut Majelis Hakim pernyataan keluarga korban yang mengatakan para Terdakwa dalam melaksanakan operasi Cito Secsio Sesaria terhadap korban (Siska Makatey) tidak menjelaskan tentang resiko operasi tidak cukup beralasan. Menimbang, adanya
penjelasan sangat
erat
kaitannya
dengan
persetujuan untuk dilaksanakannya operasi, hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 45 ayat (1), (2), (3), (4) Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran : (1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan ; (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap (3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kuranganya mencakup a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis ; b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan ; c. Alternatif tindakan lain dan risikonya ; d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan ; (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan ; Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas menurut Majelis Hakim, Jaksa Penuntut Umum tidak dapat membuktikan kebenaran dalil
105
dakwaannya tentang hal para Terdakwa tidak pernah menyampaikan kepada pihak keluarga tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk termasuk kematian yang dapat terjadi terhadap diri korban jika operasi Cito Secsio Sesaria dilakukan terhadap diri korban (Siska Makatey). Berdasarkan keterangan saksi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum yaitu saksi Prof.dr. Najoan Nan Waraouw, keterangan ahli yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dr. Erwin Kristanto,S.H, S.PF, dr. Johanis F. Mallo, SH,Spt, DFM sebagaimana keterangannya tersebut diatas Majelis Hakim dapat mengambil kesimpulan bahwa dalam operasi cito secsio sesaria (darurat) tidak diperlukan pemeriksaan penunjang terhadap pasien in casu korban (Siska Makatey) sehingga dengan demikian pula menurut Majelis Hakim perbuatan para Terdakwa sebagai dokter yang dalam melaksanakan operasi cito secsio sesaria terhadap diri korban (Siska Makatey) yang tidak melakukan pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan jantung, foto rontgen, dada dan pemeriksaan penunjang lainnya bukanlah merupakan suatu kelalaian. Menimbang, bahwa Pasal 1 angka 14 Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, dan Pasal 1 angka 13 Peraturan Menteri Kesehatan
No.512/MENKES/PER/IV/2007
tentang
Izin
Praktek
dan
Pelaksanaan Praktek Kedokteran berbunyi sebagai berikut : “Majelis kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah Lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sangsi” Menimbang, bahwa dari uraian-uraian tersebut diatas menurut Majelis Hakim untuk dijadikan sebagai ukuran bahwa para Terdakwa telah melakukan
106
kelalaian didalam melakukan operasi cito secsio seaseria terhadap korban (Siska Makatey) sehingga terhadap diri korban (Siska Makatey) terjadi emboli udara yang masuk dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk kedalam paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung adalah apabila dalam penanganan operasi tersebut tidak sesuai dengan SOP (Standard Operasional Prosedur) dan yang menilai telah terjadi kesalahan dalam penanganan operasi tersebut adalah Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKEK). Berdasar pada uraian-uraian keterangan saksi, keterangan ahli sebagaimana dikemukakan diatas Majelis Hakim tidak melihat adanya buktibukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum maupun oleh para Terdakwa/ Penasehat Hukumnya, untuk dapat dijadikan ukuran bahwa para Terdakwa didalam menangani operasi cito section caeseria tidak sesuai dengan SOP sehingga menyebabkan kematian korban (Siska Makatey) dan hal tersebut dikuatkan pula oleh hasil sidang Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI Wilayah Sulawesi Utara No.006/IDI-WIL/SULUT/MKEK/II/2011 tanggal 24 Februari 2011. Menimbang, bahwa oleh karena salah satu unsur dari dakwaan kesatu primer tidak terbukti menurut hukum maka dengan sendirinya pula para Terdakwa haruslah dinyatakan dibebaskan dari dakwaan kesatu primer tersebut yaitu melanggar Pasal 359 KUHP Jis Pasal 361 KUHP, Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, maka dengan dibebaskannya para Terdakwa dari dakwaan kesatu primer
107
maka kepada para Terdakwa haruslah dibebaskan pula dari dakwaan kesatu subsider yaitu melanggar Pasal 359 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Karena para Terdakwa oleh Majelis Hakim telah dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaan alternative kesatu primer dan dakwaan kesatu subsider dan dibebaskan dari dakwaan kesatu primer dan subsider tersebut, maka Majelis Hakim akan mempertimbangkan dakwaan alternative kedua sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum yaitu perbuatan para Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 76 Undang-Undang R.I No. 29 Tahun 2004 tentang Prakter Kedokteran Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Terhadap dakwaan alternative kedua pada dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut yaitu perbuatan para Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam Pasal 76 Undang-Undang R.I No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, bahwa terhadap ketentuan yang diatur dalam Pasal 76 Undang-Undang R.I No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek kedokteran sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi No.4/ PVV-V/2007 tanggal 19 Juni 2007 atas permohonan dr. Anny J.S. Tandyaril Sarwono, Sp.An, SH, dr. Pranomo Sp.PD, Prof. Dr. R.M. Padmo Sartjojo, dr. Bambag Tutuko, dr. Charina, dr. Rama Tjandra, Sp.OG, H. Chanada S. Chasani, SH yang amarnya berbunyi sebagai berikut : - Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan untuk sebagian. - Menyatakan Pasal 75 ayat (1) dan Pasal 76 sepanjang mengenai kata-kata “penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau” dan Pasal 79 sepanjang mengenai kata-kata “kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau “serta Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata “atau huruf e “UndangUndang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran. - Menyatakan Pasal 75 ayat (1) dan Pasal 76 sepanjang mengenai kata-kata “penjara paling lama 3 (Tiga) tahun atau dan Pasal 79 sepanjang
108
mengenai kata-kata “kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau “serta Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata-kata atau huruf e ” UndangUndang No. 29 tahun 2004 Tentang prektek Kedokteran tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh karena dakwaan alternatif kedua melanggar Pasal 76 UndangUndang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, sudah bukan merupakan tindak pidana sehingga dengan demikian kepada para Terdakwa harus dibebaskan pula dari dakwaan alternative kedua yaitu Pasal 76 UndangUndang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran tersebut. Karena para Terdakwa dibebaskan dari dakwaan alternative kedua maka Majelis Hakim akan mempertimbangkan dakwaan alternative ketiga primer perbuatan para Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Pasal 263 ayat (1) KUHP berbunyi sebagai berikut : “Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara selama 6 tahun” Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP berbunyi sebagai berikut : “Dipidana sebagai pelaku tindak pidana mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan” Bahwa yang dipersoalkan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam hal ini adalah tanda tangan korban yang berada didalam surat persetujuan tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anastesi yang diserahkan oleh dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) untuk ditanda tangani oleh korban tersebut
109
berbeda dengan tanda tangan korban yang berada didalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan kartu Askes kemudian setelah dilakukan pemeriksaan oleh laboratorium Forensik Cabang Makasar dan berdasarkan hasil pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik pada tanggal 9 Juni 2010 No.Lab:509/DTF/2011, yang dilakukan oleh masing-masing Drs. Samir. S.st mk, Ardani Adhis, S.Amd dan Marendra Yudi L,SE menyatakan tanda tangan atas nama Siska Makatey Alias Julia Fransiska Makatey pada dokumen bukti adalah tanda tangan karangan “spurious signature” (Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik). Menimbang,
bahwa
surat
persetujuan
tindakan
khusus,
surat
persetujuan pembedahan dan anastesi tertanggal 10 April 2010, menurut Majelis Hakim surat tersebut nanti dapat dikatakan palsu apabila setelah dapat diketahui/dibuktikan siapa yang menandatangani diatas nama Siska Makatey didalam surat yang dimaksud. Dalam pemeriksaan perkara ini Majelis tidak menemukan adanya alat-alat bukti terutama alat bukti berupa keterangan saksi yang melihat ataupun menyatakan yang menandatangani diatas nama korban didalam surat persetujuan tindakan khusus, surat persetujuan pembedahan dan anastesi tertanggal 10 April 2010, adalah salah satu dari para Terdakwa. Dengan demikian menurut Majelis Hakim Surat Persetujuan Tindakan Khusus, Surat Persetujuan Pembedahan dan Anastesi tertanggal 10 April 2010 tersebut belum dapat dikatakan surat tersebut adalah palsu. Menimbang, bahwa oleh karena unsur membuat surat palsu atau memalsukan surat tidak terpenuhi menurut hukum maka para Terdakwa haruslah dibebaskan dari dakwaan alternative ketiga primair yaitu melanggar Pasal 263
110
ayat (1) Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Selanjutnya akan dipertimbangkan dakwaan alternative ketiga subsidair perbuatan para Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Pasal 263 ayat (2) KUHP berbunyi sebagai berikut: “Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa degan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu seolah-olah sejati” Sebagaimana telah dipertimbangkan diatas dalam dakwaan Alternatif ketiga primer menurut Majelis Hakim surat persetujuan tindakan khusus, surat persetujuan pembedahan dan anastesi tertanggal 10 April 2010 tersebut tidak dapat dikatakan surat tersebut adalah palsu menurut Majelis Hakim para Terdakwa haruslah dinyatakan tidak terbuti telah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan alternative ketiga subsidair yaitu melanggar Pasal 263 ayat (2) Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dan kepada para Terdakwa haruslah dibebaskan dari dakwaan alternative ketiga subsidair tersebut. Menimbang,
bahwa
berdasarkan
keseluruhan
pertimbangan-
pertimbangan diatas maka para Terdakwa haruslah dibebaskan dari semua dakwaan Jaksa Penuntut Umum yaitu: Dakwaan kesatu Primair melanggar pasal 359 KUHP Jis Pasal 361 KUHP, Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, subsidair melanggar Pasal 359 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, Dakwaan Kedua Pasal 76 Undang-Undang R.I No. 29 Tahun 2004 tentang praktek Kedokteran Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, Dakwaan Ketiga Primair melanggar pasal 263
111
ayat (1) KUHP Jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, subsidair melanggar Pasal 263 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. b. Putusan Hakim Pengadilan Negeri Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana diuraikan diatas, maka Majelis Hakim memberikan putusan sebagai berikut: 1. Menyatakan Terdakwa I dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, Terdakwa II dr. Hendry Simanjuntak dan Terdakwa III dr. Hendy Siagian, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dalam dakwaan Kesatu Primer dan subsidair, dakwaan kedua dan dakwaan ketiga primer dan subsidair. 2. Membebaskan Terdakwa I, Terdakwa II dan Terdakwa III oleh karena itu dari semua dakwaan (Vrijspraak). 3. Memulihkan hak para Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. 4. Menetapkan barang bukti tetap terlampir dalam berkas perkara. 5. Membebakan biaya perkara ini kepada Negara.
7. Putusan Mahkamah Agung a. Pertimbangan Hukum Hakim Agung Menimbang terhadap pengajuan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas yang telah dijatuhkan pada pengadilan tingkat pertama, Mahkamah Agung berpendapat bahwa Pasal 244 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) menentukan bahwa terhadap putusan perkara pidana yang diberikan
112
pada tingkat terakhir oleh Pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, Terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas. Akan tetapi, Mahkamah Agung berpendapat bahwa selaku badan peradilan tertinggi yang mempunyai tugas untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan Undang-Undang di seluruh wilayah Negara diterapkan secara tepat dan adil, Mahkamah Agung wajib memeriksa apabila ada pihak yang mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan bawahannya yang membebaskan Terdakwa, yaitu guna menentukan sudah tepat dan adilkah putusan Pengadilan bawahannya itu. Selanjutnya, mendasarkan pada yurisprudensi yang sudah ada apabila ternyata putusan Pengadilan yang membebaskan Terdakwa itu merupakan pembebasan murni sifatnya, maka sesuai ketentuan Pasal 244 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) tersebut, permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima. Namun sebaliknya apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang dimuat dalam surat dakwaan dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya suatu unsur perbuatan yang didakwakan, atau apabila pembebasan itu sebenarnya adalah merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau apabila dalam menjatuhkan putusan itu Pengadilan telah melampaui batas kewenangannya (meskipun hal ini tidak diajukan sebagai alasan kasasi), Mahkamah Agung atas dasar pendapatnya
113
bahwa pembebasan itu bukan merupakan pembebasan yang murni harus menerima permohonan kasasi tersebut. Alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi / Jaksa Penuntut Umum pada pokoknya adalah Judex Facti telah salah menerapkan hukum karena seharusnya Majelis Hakim dapat mempertimbangkan unsur subyektif maupun unsur obyektif berdasarkan alat-alat bukti yang sah daIam perkara ini yaitu keterangan saksi-saksi, bukti surat, petunjuk serta keterangan Terdakwa. Berdasarkan keterangan para saksi dan para ahli tersebut di atas maka Para Terdakwa telah melakukan tindakan kedokteran dan telah menimbulkan kerugian terhadap korban yaitu korban meninggal dunia, sehingga dengan demikian maka unsur-unsur sebagaimana yang telah didakwakan oleh kami Jaksa/ Penuntut Umum dalam Surat Dakwaan tersebut telah terpenuhi menurut hukum. Berbicara menngenai adanya unsur "kelalaian" telah disebutkan di dalam keterangan saksi yaitu Prof. Dr. Najoan Nan Waraouw, Sp.OG., bahwa Terdakwa I (satu) melaporkan ketuban pasien/ korban sudah dipecahkan di Puskesmas dan jika ketuban sudah pecah berarti air ketuban sudah keluar semua, selanjutnya sejak Terdakwa I (satu) mengawasi korban pada pukul 09.00 WITA sampai dengan pukul 18.00 WITA tindakan yang dilakukan oleh Terdakwa I (satu) hanya pemeriksaan tambahan dengan "USG (Ultrasonografi)" dan sebagian tindakan medis yang telah dilakukan tidak dimasukkan ke dalam rekam medis dan Terdakwa I (satu) sebagai ketua residen yang bertanggung jawab saat itu tidak mengikuti seluruh tindakan medis beserta rekam medis termasuk
114
Terdakwa I (satu) tidak mengetahui tentang pemasangan infus yang telah dilakukan terhadap korban. Namun ternyata pada pukul 18.30 WITA tidak terdapat kemajuan persalinan pada korban, Terdakwa I (satu) melakukan konsul dengan konsulen jaga dan setelah mendapat anjuran, Terdakwa I (satu) mengambil tindakan untuk dilakukan cito secsio sesaria, kemudian Terdakwa I (satu) menginstruksikan kepada saksi dr. Helmi untuk membuat surat konsul ke bagian anestesi dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap dan setelah mendapat jawaban konsul dari saksi dr. Hermanus J. Lalenoh, Sp.An. yang menyatakan bahwa pada prinsipnya setuju untuk dilaksanakan pembedahan dengan anestesi resiko tinggi, oleh karena ini adalah operasi darurat maka mohon dijelaskan kepada keluarga resiko yang bisa terjadi sebelum operasi atau usai operasi. Maka Terdakwa I (satu) menugaskan kepada dr. Hendy Siagian (Terdakwa Ill) untuk memberitahukan kepada keluarga pasien/ korban tetapi ternyata hal tersebut tidak dilakukan oleh Terdakwa III (tiga) melainkan Terdakwa III (tiga) menyerahkan informed consent/ lembar persetujuan tindakan kedokteran tersebut kepada korban yang sedang dalam posisi tidur miring ke kiri dan dalam keadaan kesakitan dengan dilihat oleh dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I) dari jarak kurang lebih 7 (tujuh) meter, dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dari jarak kurang lebih 3 (tiga) meter sampai dengan 4 (empat) meter juga turut diketahui dan dilihat oleh saksi dr. Helmi tetapi temyata tanda tangan yang tertera di dalam lembar persetujuan tersebut adalah tanda tangan
115
karangan sesuai dengan hasil pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik pada tanggal 09 Juni 2010 NO. LAB: 509/DTF/2011, yang dilakukan oleh masingmasing lelaki Drs. Samir, S.St. Mk., lelaki Ardani Adhis, S. A.Md. dan lelaki Merendra Yudi L. SE., menyatakan bahwa tanda tangan atas nama Siska Makatey alias Julia Fransiska Makatey pada dokumen bukti adalah tanda tangan karangan/ Spurious Signature. Selanjutnya korban dibawa ke kamar operasi pada waktu kurang lebih pukul 20.15 WITA dalam keadaan sudah terpasang infus dan pada pukul 20.55 WITA dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) sebagai operator mulai melaksanakan operasi terhadap korban dengan dibantu oleh dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) sebagai asisten operator I (satu) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) sebagai asisten operator II (dua). Selama pelaksanaan operasi kondisi nadi korban 160 (seratus enam puluh) x per menit dan saat sayatan pertama mengeluarkan darah hitam sampai dengan selesai pelaksanaan operasi, kemudian pada pukul 22.00 WITA setelah operasi selesai dilaksanakan kondisi nadi korban 180 (seratus delapan puluh) x per menit dan setelah selesai operasi baru dilakukan pemeriksaan EKG/ periksa jantung oleh bagian penyakit dalam, selanjutnya berdasarkan keterangan Ahli Johannis F. Mallo, SH. Sp.F. DFM. bahwa 30 menit sebelum pelaksanaan operasi sudah terdapat 35 cc udara di dalam tubuh korban. Pada saat pelaksanaan operasi, Terdakwa I (satu) melakukan sayatan sejak dari kulit, otot, uterus serta rahim dan pada bagian-bagian tersebut terdapat pembuluh darah yang sudah pasti ikut terpotong dan saat bayi lahir, plasenta
116
keluar/terangkat sehingga pembuluh darah yang berhubungan dengan plasenta yaitu pembuluh darah arteri dan pembuluh darah balik terbuka dan udara bisa masuk dari plasenta, kemudian berdasarkan hasil Visum et Repertum disebutkan bahwa udara yang ditemukan pada bilik kanan jantung korban, masuk melalui pembuluh darah balik yang terbuka pada saat korban masih hidup. Pembuluh darah balik yang terbuka pada korban terjadi pada pemberian cairan obat-obatan atau infus, dan dapat terjadi akibat komplikasi dari persalinan itu sendiri. Sebab kematian si korban adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung. Akibat tindakannya itu, dengan demikian Para Terdakwa telah lalai untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu, Para Terdakwa telah melakukan penyimpangan kewajiban, Para Terdakwa telah menimbulkan kerugian dengan tindakan kedokteran yang telah dilakukan oleh Para Terdakwa terhadap korban, Para Terdakwa telah menimbulkan suatu hubungan sebab akibat yang nyata yaitu terdapatnya tindakan kedokteran dari Para Terdakwa dengan suatu keadaan korban yang dikatakan darurat sejak tidak terdapat kemajuan persalinan pada pukul 18.30 WITA tetapi yang seharusnya sejak korban datang dengan surat rujukan dari Puskesmas dan masuk ke ruang Instalasi Rawat Darurat Obstetrik keadaan korban sudah dapat dikatakan darurat,
117
kemudian sejak diketahuinya ketuban dari korban yang telah pecah sejak di Puskesmas. Selain itu, rekam medis yang tidak dibuat sepenuhnya dalam setiap tindakan medis yang dilakukan, pemasangan infus dengan jenis obat yang tidak diketahui oleh Para Terdakwa sampai dengan dikeluarkannya resep obat secara berulang kali hingga ditolak oleh pihak apotik, tidak terdapatnya koordinasi yang baik di dalam tim melakukan tindakan medis, terdapatnya informed consent/lembar persetujuan tindakan kedokteran. Para Terdakwa berpendapat bahwa tindakan kedokteran yang dilakukan adalah tindakan darurat, tidak adanya tindakan persiapan jika korban secara tibatiba mengalami keadaan darurat seperti EKG/pemeriksaan jantung baru dilakukan setelah korban selesai dioperasi dengan kondisi gawat, yang seharusnya seluruh tindakan medis dan tindakan kedokteran yang dilakukan oleh Para Terdakwa tersebut sebelumnya telah dapat dibayangkan dengan cara berpikir, pengetahuan atau kebijaksanaan sesuai pengetahuan, keahlian dan moral yang dimiliki oleh Para Terdakwa berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) sehingga seluruh tindakan kedokteran yang dilakukan oleh Para Terdakwa tersebut telah menimbulkan kerugian terhadap korban yaitu korban meninggal dunia. Bahwa alasan-alasan kasasi Jaksa/ Penuntut Umum dapat dibenarkan karena dengan pertimbangan sebagai berikut : i.
Judex Facti salah menerapkan hukum, karena tidak mempertimbangkan dengan benar hal-hal yang relevan secara yuridis, yaitu berdasarkan hasil
118
rekam medis No. No. 041969 yang telah dibaca oleh saksi ahli dr. Erwin Gidion Kristanto, SH. Sp.F. bahwa pada saat korban masuk RSU (Rumah Sakit Umum) Prof. R. D. Kandou Manado, keadaan umum korban adalah lemah dan status penyakit korban adalah berat; ii.
Para Terdakwa sebelum melakukan operasi cito secsio sesaria terhadap korban dilakukan, para terdakwa tanpa menyampaikan kepada pihak keluarga korban tentang kemungkinan yang dapat terjadi terhadap diri korban;
iii.
Perbuatan Para Terdakwa melakukan operasi terhadap korban Siska Makatey yang kemudian terjadi emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru kemudian terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung;
iv.
Perbuatan
Para
Terdakwa
mempunyai
hubungan
kausal
dengan
meninggalnya korban Siska Makatey sesuai Surat Keterangan dari Rumah Sakit
Umum
Prof.
Dr.
R.
D.
Kandou
Manado
No.
61/VER/IKF/FK/K/VI/2010, tanggal 26 April 2010; Hal-hal yang memberatkan: 1. Sifat dari perbuatan Para Terdakwa itu sendiri yang mengakibatkan korban meninggal dunia. Hal-hal yang meringankan: 1.
Para Terdakwa sedang menempuh pendidikan pada Program Pendidikan Dokter Spesialis Universitas Sam Ratulangi Manado;
119
2.
Para Terdakwa belum pernah dihukum.
b. Putusan Hakim Mahkamah Agung Berdasarkan pertimbangan hukum diatas, Hakim Mahkamah Agung memberikan putusan sebagai berikut: 1. Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Jaksa/ Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Manado tersebut. 2. Membatalkan
putusan
Pengadilan
Negeri
Manado
Nomor
90/PID.B/2011/PN.MDO tanggal 22 September 2011 ; MENGADILI SENDIRI 1. Menyatakan Para Terdakwa : dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siaagian (Terdakwa III) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain”. 2. Menjatuhkan pidana terhadap Para Terdakwa dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siaagian (Terdakwa III) dengan pidana penjara masing-masing selama 10 (sepuluh) bulan. 3. Menetapkan barang bukti berupa Berkas catatan medis No.CM.041969 atas nama Siska Makatey Tetap dilampirkan dalam berkas perkara. 4. Membebankan Para Termohon Kasasi/ Para Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dan dalam tingkat kasasi ini ditetapkan masing-masing sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).
120
B. Pembahasan 2. Pertimbangan Hukum Hakim sehingga Menjatuhkan Putusan Bebas pada Perkara Nomor 90/Pid.B/2011/PN.Manado Putusan bebas atau disebut Vrijspraak juga diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang merumuskan bahwa: “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa dakwa diputus bebas”. M. Yahya Harahap,87 berpendapat mengenai putusan bebas bahwa Putusan bebas, berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (vrijspraak)”. Vrijspraak adalah salah satu dari beberapa putusan hakim yang berisi pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, manakala perbuatan terdakwa dianggap tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. 88 Jadi putusan hakim yang mengandung suatu pembebasan terdakwa karena peristiwa-peristiwa yang disebutkan dalam surat dakwaan, setelah diadakan perubahan atau penambahan selama persidanagan, bila ada sebagian atau seluruh dinyatakan oleh hakim yang memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan dianggap tidak terbukti.89 Inti dari putusan bebas adalah terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Putusan perkara Nomor 90/Pid.B/2011/PN.Manado, terdakwa 87
M Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 347. Djoko Prakoso, Op. Cit., hlm. 270. 89 Ibid. 88
121
didakwa dengan dakwaan yang disusun secara Kumulasi yang dibarengi dengan dakwaan alternatif atau subsidair yaitu : Kesatu: Primair: Pasal 359 KUHP Jis. Pasal 361 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP; Subsidair: Pasal 359 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP; Atau, Kedua: Primair: Pasal 76 Undang-Undang RI No.29 Tahun 2004 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP; Atau, Ketiga: Primair: Pasal 263 ayat (1)KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Subsidair: Pasal 263 ayat (2)KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP; Perbuatan dengan mana karena salahnya sehingga menyebabkan orang lain meninggal dunia oleh pembentuk undang-undang diatur di dalam Buku II Bab XXI Pasal 359, 360, dan 361 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang rumusannya di dalam bahasa Belanda berbunyi sebagai berikut: “Hij aan wiens schuld de dood van een ander te wijten is, wordt gestraft met gevangenisstraf van ten hoogste een jaar of hechteins van ten hoogste negen maanden”90 yang artinya:
90
ENGELBRECHT, De Wetboeken hlm 1352.
122
“Barangsiapa karena salahnya menyebabkan meninggalnya orang lain, dipidana dengan pidana penjara selamalamanya satu tahun atau pidana kurungan selama-lamanya sembilan bulan” Dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1960 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Lembaran Negara Tahun 1960 No. 1, ancaman-ancaman pidana yang ditentukan dalam Pasal 359 KUHP diatas itu telah diperberat,91 sehingga rumusan yang ada saat ini sebagaimana diatur di dalam Pasal 359 KUHP adalah berbunyi sebagai berikut: “Barangsiapa karena salahnya menyebabkan meninggalnya orang lain, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan selama-lamanya satu tahun” Dari rumusan Pasal 359 KUHP tersebut di peroleh sejumlah unsurunsur yang dapat kita bagi menjadi :92 1. Unsur-unsur Subjektif pada Pasal 359 KUHP tersebut, yaitu “karena kesalahannya”. 2. Unsur-unsur Objektif pada Pasal 359 KUHP tersebut, yaitu “menyebabkan orang mati” Unsur “barang siapa” adalah orang atau manusia selaku subjek hukum yang mampu bertanggung jawab atas perbuatannya, dalam hal ini adalah terdakwa manusia yang normal yang tidak menderita kelainan jiwa sehingga mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya apabila dikaitkan dengan sehingga mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya apabila dikaitkan dengan fakta-fakta yang terdapat dalam persidangan. Terdakwa dalam hal ini 91 92
109.
P.A.F. Lamintang, Op, Cit, hlm 176. H.A.K Moch Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus, Alumni, Bandung, 1986, hlm
123
adalah dr. Dewa Ayu (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III). Oleh karena itu unsur “barang siapa” telah terpenuhi. Unsur “karena salahnya”, unsur ini merupakan unsur subjektif yang melekat pada sikap batin terdakwa dalam melakukan perbuatannya. Undangundang sendiri tidak memberikan penjelasannya tentang apa yang dimaksud dengan schuld atau culpa tersebut. Memorie Van Toelichting hanya menjelaskan sedikit tentang arti dari culpa yang mengatakan bahwa “schuld is de zuivere tegenstelling van opzet aan de eene kant, van toeval aan de andere zijde” yang artinya schuld (culpa) itu di satu pihak merupakan kebalikan yang murni dari opzet dan di lain pihak ia merupakan kebalikan dari kebetulan.93 “Van Hammel dalam pendapatnya yang dikutip oleh Lamintang,94 menyebutkan bahwa schuld sebenarnya terdiri dari 2 (dua) unsur, masing-masing yaitu “het gemis aan de nodige voor zienigheid” atau kurangnya perhatian terhadap kemungkinan yang dapat timbul, dan “het gemis aan de nodige voorzichtigheid” atau tidak adanya kehati-hatian yang diperlukan.” Schuld atau kesalahan atau kelalaian atau kulpa menurut ilmu pengetahuan mempunyai 2 (dua) syarat:95 1. Perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan kurang hati-hati atau kurang waspada. 2. Pelaku harus dapat membayangkan timbulnya akibat karena perbuatan yang dilakukannya dengan kurang hati-hati itu.
93 94 95
P.A.F Lamintang, Op,Cit., hlm 178 Ibid H.A.K Moch Anwar, Op,Cit., hlm 110
124
Penentuan kesalahan ini ditentukan bahwa meskipun pelaku dapat membayangkan akibat yang mungkin terjadi kaarena perbuatannya itu, ia tidak melakukan tindakan-tindakan atau usaha-usaha untuk mencegah timbulnya akibat. Apabila pelaku berhati-hati atau waspada ia akan melakukan tindakantindakan terlebih dahulu guna mencegah timbulnya suatu akibat itu yang sebelumnya telah dibayangkan.96 Tindak Pidana karena salahnya menyebabkan matinya orang lain sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 359 KUHP merupakan suatu culpoos misdrijf atau suatu kejahatan yang harus dilakukan “tidak dengan sengaja”. Arrest Hoge Raad tanggal 14 Nopember 1921 menyebutkan: “Mededaderschap aan een culpoos misdrijf is ook aanwezig, wenner de door ieder der daders geplegde handelingen of verzuimen, tezamen, en in onderling verband, het door de wet niet gewilde gevold hebben teweggebracht. Rechtstreekse of bewuste samenwerking is hievoor niet vareist” Yang artinya : “turut melakukan suatu culpoos misdrijf itu dapat terjadi jika tindakan-tindakan atau kelalaian-kelalaian dari tiap-tiap peserta secara bersama-sama dan secara timbal balik telah menyebabkan timbulnya akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang. Untuk adanya mededaderschap ini tidak disyaratkan adanya kerjasama yang sifatnya langsung atau disadari”.97 “Lamintang98 menyebutkan bahwa kata mededaderschap diterjemhkan dengan kata “turut melakukan”. Bentuk delneming atau keturutsertaan kedua yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) angka 1 KUHP itu ialah medeplegen atau turut melakukan. Karena dalam bentuk keturutsertaan ini seorang pelaku dan seorang atau beberapa orang yang turut melakukan tindak pidana yang dilakukan oleh pelakunya, maka bentuk keturutsertaan ini juga disebut mededaderschap.”
96
ibid H.R. 14 November 1921, N.J. 1992 hal 179, W. 10842 dalam P.A.F. Lamintang, Op, Cit, hlm 188. 98 P.A.F. Lamintang, Op, Cit, hlm 189. 97
125
Apabila beberapa orang secara bersama-sama telah melakukan tindak pidana, maka tiap-tiap peserta dalam tindak pidana yang bersangkutan harus dipandang sebagai mededader dari peserta atau dari peserta-peserta yang lain di dalam tindak pidana.99 Unsur karena kesalahannya dapat dilihat pada kasus dr. Dewa Ayu dkk ini, dalam mana secara bersama-sama ketiganya yakni dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendy Siagian, dan dr. Hendri Simanjuntak yang mana masingmasing dr. Dewa Ayu bertugas sebagai operator yang melakukan operasi, kemudia dr. Hendy Siagian dan dr. Hendri Simanjuntak masing-masing sebagai asisten operator I dan II. Dokter Dewa Ayu sebagai operator merupakan dader atau pembuat tindak pidana. Adapun dr. Hendy Siagian dan dr. Hendri Simanjuntak keduanya sebagai asisten operator maka perbuatan keduanya dikualifisir sebagai mededader atau turut melakukan sebagaimana dimaksud dalam bentuk delneming atau keturutsertaan kedua yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) angka 1 KUHP. Para terdakwa secara bersama-sama melakukan operasi cito secsio sessaria terhadap korban Siska Makatei, dan sebelum dilakukannya operasi tidak dilakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan jantung, foto rontgen dada dan lain-lain sedangkan tekanan darah pada saat sebelum korban dianestesi/ dilakukan pembiusan, sedikit tinggi yaitu menunjukkan angka 160/70 (seratus enam puluh per tujuh puluh) dan pemeriksaan jantung terhadap korban 99
hlm 588
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Penerbit Sinar Baru, Bandung, 1984
126
dilaksanakan
setelah
pelaksanaan
operasi
selesai
dilakukan
kemudian
pemeriksaan jantung tersebut dilakukan setelah dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) melaporkan kepada saksi Najoan Nan Waraouw sebagai Konsultan Jaga Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan bahwa nadi korban 180 (seratus delapan puluh) x per menit dan saat itu saksi Najoan Nan Waraouw menanyakan kepada dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) jika telah dilakukan pemeriksaan jantung/ EKG (Elektri Kardio Graf atau Rekam Jantung) terhadap diri korban, selanjutnya dijawab oleh dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) tentang hasil pemeriksaan adalah Ventrikel Tachy Kardi (denyut jantung sangat cepat) dan saksi Najoan Nan Waraouw mengatakan bahwa denyut nadi 180 (seratus delapan puluh) x per menit bukan Ventrikel Tachy Kardi (denyut jantung sangat cepat) tetapi Fibrilasi (kelainan irama jantung). Unsur “menyebabkan matinya orang” adalah melihat pada unsur objektif yang merupakan akibat dari perbuatan yang mana karena kurang hatihati atau kurang waspada. Matinya telah terjadi karena perbuatan yang dilakukan secara kurang hati-hati dan kematian tersebut tidak dikehendaki. Pokok permasalahan dalam perkara ini adalah pertama para terdakwa dianggap lalai karena tidak memberitahukan akan adanya resiko yang dihadapi ketika dilakukannya operasi cito secsio sesaria terhadap korban maupun keluarga korban. Berdasarkan keterangan saksi-saksi dan alat bukti yang diajukan dalam persidangan bahwa menurut keterangan saksi-saksi dari keluarga korban yaitu Julian Mahengkang dan Anselmus Makatey masing-masing menyatakan
127
menerima surat permohonan persetujuan operasi terhadap korban Siska Makatey dari Terdakwa III, namun memang tidak diberikan penjelasan mengenai resiko dilakukannya operasi. Para saksi juga mengetahui adanya tanda tangan Siska Makatey dalam surat persetujuan operasi tersebut. Saksi yang dihadirkan dari pihak dokter yaitu dr. Helmi, Anita Lengkong, dan dr. Hermanus J. Lalenoh, Sp. An., menyebutkan penjelasan oleh Terdakwa III tentang resiko dilakukannya operasi telah disampaikan pada keluarga korban dan langkah dilakukannya operasi terhadap korban juga telah sesuai prosedur dan melalui pertimbangan tim medis. Menimbang,
bahwa
berdasarkan
keterangan
saksi-saksi
dan
dihubungkan dengan keterangan Terdakwa I, Terdakwa II dan Terdakwa III sebagaimana yang telah diuraikan diatas, menurut Majelis Hakim adalah bersesuaian satu dengan yang lainnya tentang hal bahwa para Terdakwa sebelum melakukan operasi Cito Secsio Sesaria terhadap korban (Siska Makatey) ada menyampaikan kepada pihak keluarga tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk termasuk kematian yang dapat terjadi terhadap diri korban jika operasi Cito Secsio Sesaria tersebut dilakukan terhadap diri korban walaupun hal tersebut dibantah oleh keluarga korbaan. namun berdasarkan alat bukti yaitu surat persetujuan operasi tertanggal 10 April 2010, masing-masing Julien Mahengkeng (ibu korban) dan Anselmus Makatey (ayah korban) telah menyatakan surat persetujuan operasi tertanggal 10 April 2010 tersebut adalah benar.
128
Berdasarkan uraian diatas, menurut Majelis Hakim pernyataan Julien Mahengkeng (ibu korban) dan Anselmus Makatey (ayah korban) yang mengatakan para Terdakwa dalam melaksanakan operasi Cito Secsio Sesaria terhadap korban (Siska Makatey) tidak menjelaskan tentang resiko operasi tidak cukup beralasan. Bahwa menurut Majelis Hakim adanya penjelasan sangat erat kaitannya dengan persetujuan untuk dilaksanakannya operasi. Hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan pasal 45 ayat (1), (2), (3), (4) Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran bahwa: (1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan ; (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap ; (3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kuranganya mencakup a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis ; b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan ; c. Alternatif tindakan lain dan risikonya ; d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan ; (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan ; Selain hal tidak diberitahukannya resiko operasi, para terdakwa juga dianggap lalai karena tidak melakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan jantung, foto rontgen dada dan pemeriksaan penunjang lainnya sebelum dilakukannya operasi terhadap korban Siska Makatey. Berdasarkan keterangan saksi yaitu Prof. dr. Najoan Nan Waraouw, dan setelah mendengarkan keterangan ahli dr. Erwin Gidion Kristanto, S.H.,S.PF, dr. Johanis F. Mallo, S.H.,S.Pt,.DFM bahwa operasi ada 2 (dua) jenis yaitu operasi terencana dan operasi segera (Cito). Adapun bedanya antara operasi terencana
129
dan operasi segera (Cito) adalah dari sisi kepentingan, operasi terencana itu apakah benar harus dilakukan, dan harus ada persetujuan pasien atau keluarganya sedangkan operasi cito sifatnya segera untuk menyelamatkan jiwa dan tidak harus ada persetujuan. Selain itu, pada operasi Cito (Darurat) tidak harus dilakukan pemeriksaan pendukung. Berdasarkan uraian-uraian diatas, yakni berdasar pada keterangan saksi yaitu saksi Prof.dr. Najoan Nan Waraouw, serta keterangan ahli dr. Erwin Gidion Kristanto, S.H.,S.PF, dan dr. Johanis F. Mallo,S.H.,S.Pt,DFM Majelis Hakim berpendapat bahwa dalam operasi cito secsio sesaria (darurat) tidak diperlukan pemeriksaan penunjang terhadap pasien in casu korban (Siska Makatey) sehingga dengan demikian pula menurut Majelis Hakim perbuatan para Terdakwa sebagai dokter yang dalam melaksanakan operasi cito secsio sesaria terhadap diri korban (Siska Makatey) yang tidak melakukan pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan jantung, foto rontgen dada dan pemeriksaan penunjang lainnya bukanlah merupakan suatu kelalaian. Dakwaan kelalaian yang ketiga adalah bahwa para terdakwa dianggap lalai dalam menangani korban pada saat masih hidup dan saat pelaksanaan operasi sehingga terhadap diri korban terjadi kembali udara yang masuk kedalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk keparu-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung dan berujung pada meninggalnya korban (Siska Makatey).
130
Berdasarkan Surat Keterangan dari Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandou Manado No. 61 / VER / IKF / FK / K / VI / 2010, tanggal 26 April 2010 Visum Et Repertum atas nama Julia F. Makatey yang ditanda tangani oleh dr. Johanis F. Mallo, S.H.,S.Pt. DFM., bahwa operasi cito secsio sesaria yang dilakukan terhadap diri korban yang dilakukan oleh dr. Dewa Ayu (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) mengakibatkan korban meninggal dunia karena terjadi emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung pada diri korban. Berdasarkan uraian diatas, para terdakwa dianggap lalai karena tidak menjalankan tugasnya sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang telah ditetapkan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) maupun Peraturan perundangan yang berlaku. Berdasarkan Pasal 1 angka 10 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.512/MenKes/PER/IV/2007
tentang
izin
praktek
dalam
melaksanakan praktek kedokteran menyebutkan: “Standard prosedur operasional adalah suatu perangkat instruksi/langkahlangkah yang dilakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu, dimana standard prosedur operasional memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan consensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standard profesi.”
131
Joseph H. King Jr.100 sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto dan Herkutanto menyebutkan: “Mengenai standar perawatan atau standar profesional tidaklah mudah menentukannya. Oleh karena itu, dalam penentuan tolak ukurnya itu diajukan beberapa permasalahan terlebih dahulu. Setelah masalahmasalah itu terjawab barulah dapat dilakukan identifikasi terhadap standarisasi perawatan atau standar profesional tersebut.” Berdasarkan keterangan ahli dr. Johanis F. Mallo, S.H.,S.Pt.DFM., dipersidangan mengatakan penyebab korban (Siska Makatey) meninggal dunia adalah karena masuknya udara dalam bilik kanan jantung yang menghambat udara masuk paru-paru dan terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung, yang mana udara masuk kedalam bilik kanan jantung korban sebelum operasi dilakukan karena terjadi pelebaran pembuluh darah yang disebabkan oleh reaksi tubuh. Kematian korban tidak ada hubungannya dengan tindakan operasi yang dilakukan oleh para terdakwa. Berdasarkan keterangan saksi Prof. dr. Najoan Nan Waraouw di persidangan mengatakan bahwa tindakan operasi yang dilakukan para Terdakwa sudah sesuai prosedur dan ternyata anak dari korban selamat dan kematian korban (Siska Makatey) diluar jangkauan. Melihat alat-alat bukti dalam persidangan yakni Putusan dari lembaga kedokteran yang berwenang menilai apakah tindakan dokter dalam menjalankan tugasnya telah sesuai dengan prosedur atau melanggar standar operasional prosedur yakni Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK), setelah membaca dan mempelajari Hasil Sidang Majelis Kehormatan Etika Kedokteran
100
Soerjono Soekanto dan Herkutanto, Pengantar Hukum Kesehatan, Bandung, Remadja Karya, 1987, hlm 159.
132
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Sulawesi Utara No. 006/IDIWIL /SULUT /MKEKII/ 2011 tanggal 24 Pebruari 2011 yang ditanda tangani oleh Prof. Dr. R. L. Lefrandt, S.PJP-(K) sebagai ketua, Prof. Dr. Max Mantik, S.PA(K) sebagai sekertaris dan juga mempertimbangkan Visum Et Repertum atas nama Julia F. Makatey tertanggal 26 April 2010 yang ditanda tangani oleh dr. Johanis F. Mallo, S.H.,S.Pt.,DFM. Berdasarkan
uraian-uraian
keterangan
saksi,
keterangan
ahli
sebagaimana dikemukakan diatas Majelis Hakim tidak melihat adanya buktibukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum maupun oleh para Terdakwa/ Penasehat Hukumnya, untuk dapat dijadikan ukuran bahwa para Terdakwa didalam menangani operasi cito sectio ceseria tidak sesuai dengan SOP sehingga menyebabkan kematian korban (Siska Makatey) dan hal tersebut dikuatkan pula oleh hasil sidang Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI Wilayah Sulawesi Utara No.006/IDI-WIL/SULUT/MKEK/II/2011 tanggal 24 Februari 2011. Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka majelis hakim berkesimpulan bahwa dakwaan para terdakwa telah melakukan kelalaian dalam menjalankan tugasnya sebagai profesi medik, sehingga mengakibatkan meninggalnya pasien (Siska Makatey) adalah tidak terbukti menurut hukum. Dengan demikian maka para terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan kesatu primair yang mana unsur melawan hukumnya adalah karena kelalaian dalam menjalankan tugasnya sehingga menimbulkan kematian pada orang lain. hal itu sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 359 KUHP Jis Pasal 361 KUHP, Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
133
Dakwaan kesatu primer yang didakwakan kepada para terdakwa yaitu melanggar Pasal 359 KUHP Jis Pasal 361 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP merupakan pasal pemberatan dari pasal yang didakwakan dalam dakwaan kesatu subsider yaitu melanggar Pasal 359 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, karena kelalaian yang menyebabkan kematian pada orang lain itu dijalankan dalam melaksanakan profesinya. Maka dengan dibebaskannya para Terdakwa dari dakwaan kesatu primer yaitu melanggar Pasal 359 KUHP Jis Pasal 361 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, maka para terdakwa haruslah juga dibebaskan dari dakwaan kesatu subsider yaitu melanggar Pasal 359 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Dakwaan kesatu telah gugur, maka akan dipertimbangkan dakwaan alternatif yang kedua yakni perbuatan para terdakwa sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana dalam Pasal 76 Undang-Undang R.I No. 29 Tahun 2004 tentang Prakter Kedokteran Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Adapun Pasal 76 Undang-Undang R.I No. 29 Tahun 2004 tentang Prakter Kedokteran berbunyi sebagai berikut : “Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktek kedokteran tanpa memiliki surat izin praktek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah)” Berdasarkan dakwaan kedua tersebut, dan didengarkan keterangan saksi-saksi dalam persidangan yaiut dr. Hermanus J. Lalenoh, Sp.An., Prof. dr. Najoan Nan Waraouw, yang mana menyatakan bahwa para Terdakwa sebenarnya adalah peserta didik Program Pendidikan Dokter Spesialis di Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi tetapi bertindak sebagai tenaga
134
medis karena sudah memiliki Surat Tanda Registrasi (STR). Dalam hal ini, peserta pendidikan program dokter spesialis para Terdakwa tidak wajib memiliki surat ijin praktek karena sudah memiliki Surat Tanda Registrasi dokter dan sudah bisa melakukan tindakan kedokteran. Namun demikian seorang dokter tetap wajib memiliki sirat ujun praktek walaupun sudah mendapatkan STR. Peserta pendidikan program dokter spesialis para Terdakwa tidak wajib memiliki surat ijin praktek karena sudah memiliki Surat Tanda Registrasi dokter dan sudah bisa melakukan tindakan kedokteran. Proses pengajuan perijinan dokter PPDS adalah Surat Tanda Registrasi
diajukan oleh Dekan Fakultas
Kedokteran kepada Kepala Dinas Kesehatan Kota Manado untuk diterbikan ijin praktek secara kolektif, yang menjadi dasar Dekan Fakultas Kedokteran mengajukan permohonan ijin kolektif untuk dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis adalah Peraturan Menteri Kesehatan No.512 tahun 2007. Terdakwa I sudah mengurus Surat Ijin Praktek pada tahun 2010 sebagai dokter umum. Ketua Program Study Kebidanan dan kandungan di Universitas Sam Ratulangi adalah Prof. dr. Najoan Nan Waraouw sendiri dan para Terdakwa belum diusulkan untuk mendapatkan Surat Ijin Praktek (SIP) oleh Dekan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kota Manado. Berdasarkan keterangan ahli yang dihadirkan dalam persidangan dr. Johanis F. Mallo, S.H.,S.Pt.DFM., menyatakan berkaitan dengan persoalan SIP adalah bahwa untuk dokter PPDS Surat Ijin Prakteknya dilakukan oleh Dekan Fakultas Kedokteran dengan membuat usulan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Dinas Kesehatan menerbitkan Surat Ijin Praktek secara
135
kolektif. Jika Dekan Fakultas Kedokteran tidak mengusulkan Ijin Praktek dokter PPDS kepada Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota itu merupakan suatu kelalaian. Namun jika ada 10 (sepuluh) dokter PPDS oleh Dekan Fakultas Kedokteran tidak melaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota para dokter PPDS tersebut tidak berkewajiban mengurusnya. Berdasarkan keterangan para saksi dan keterngan ahli diatas maka tindakan para terdakwa menjalankan tugas praktek kedokteran walaupun belum memiliki Surat Ijin Praktek bukanlah sebuah pelanggaran Prosedural karena para terdakwa adalah peserta didik dalam Program Pendidikan Dokter Spesiaalis kebidanan dan Kandungan Universitas Samratulangi, sehingga mereka bertindak sebagai peserta didik dan tindakan melakukan operasi yang para terdakwa lakukan sudah dikonsultasikan dengan tim medis dan dokter jaga. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No.4/PVV-V/2007 tanggal 19 Juni 2007 atas permohonan dr. Anny J. S. Tandyaril Sarwono, Sp. An, S.H, dr. Pranomo SP.PD, Prof. Dr. R.M. Padmo Sartjojo, dr. Bambang Tutuko, dr. Charina, dr. Rama Tjandra, SP.Og, H. Chanada Chasani, S.H. mengenai ketentuan yang diatur dalam Pasal 76 Undang-Undang R.I No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek kedokteran sudah ada putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut : a. Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan untuk sebagian; b. Menyatakan Pasal 75 ayat (1) dan Pasal 76 sepanjang mengenai katakata “penjara” paling lama 3 (tiga) tahun atau dan Pasal 79 sepanjang mengenai kata-kata “kurungan” paling lama 1 (satu) tahun atau serta Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata atau huruf e Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 116, Tambahan Lembaran Negara
136
Republik Indonesia No.4431 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. Menyatakan Pasal 75 ayat (1) dan Pasal 76 sepanjang mengenai katakata penjara paling lama 3 (Tiga) tahun atau dan Pasal 79 sepanjang mengenai kata-kata kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau serta Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata-kata atau huruf e UndangUndang No. 29 tahun 2004 Tentang prektek Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No.116 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.4431 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; d. Menolak permohonan para pemohon untuk selebihnya; e. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimanamestinya Berdasarkan uraian-uraian diatas menurut Majelis Hakim dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum kepada para Terdakwa sebagaimana dakwaan alternative kedua melanggar Pasal 76 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, sudah bukan merupakan tindak pidana sehingga dengan demikian kepada para Terdakwa harus dibebaskan pula dari dakwaan alternative kedua yaitu Pasal 76 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran. Para terdakwa dibebaskan dari dakwaan kesatu dan kedua, maka akan dipertimbangkan dakwaan ketiga primair yakni perbuatan para terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana pada Pasal 263 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Pasal 263 ayat (1) KUHP berbunyi sebagai berikut : “Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara selama 6 tahun”
137
Pasal 263 ayat (1) mengandung 2(dua) jenis perbuatan yang dilarang yaitu membuat surat palsu dan memalsukan surat. Kejahatannya disebut pemalsuan surat. Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 263 ayat (1) adalah sebagai berikut: Unsur obyektif: c. Membuat surat palsu, d. Yang dapat: 1. Menerbitkan sesuatu hak; 2. Menerbitkan suatu perjanjian (perikatan) 3. Menimbulkan pembebasan suatu hutang 4. Diperuntukkan guna menjadi bukti atas sesuatu hal Unsur Subyektif: Dengan maksud: c. Untuk mempergunakan atau memakai surat itu: Seolah-olah asli dan tidak palsu; d. Pemakaian atau penggunaan surat itu dapat menimbulkan kerugian101
Membuat surat palsu adalah menyusun surat atau tulisan pada keseluruhannya. Adanya surat ini karena dibuat secara palsu. Surat ini mempunyai tujuan untuk menunjukkan bahwa surat itu seakan-akan berasal dari orang daripada penulisnya. Salah satu unsur objektif dari ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHP adalah adanya surat itu adalah diperuntukkan guna menjadi bukti atas sesuatu hal. Terhadap sifat ini diadakan pembatasan, yaitu berdasarkan sifatnya harus memiliki kekuatan pembuktian. Ketentuan diperuntukkan guna pembuktian harus menimbulkan akibat kekuatan pembuktian, akibat kekuatan pembuktian mana
101
Moch Anwar, hlm 188-189.
138
harus didasarkan atas sesuatu kekuasaan/kewenangan yang dapat memberikan kekuatan pembuktian pada beberapa jenis surat tertentu.102
Melihat unsur-unsur yang ada di dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP, yang pertama bahwa adanya unsur “barang siapa”, melihat sebagaimana uraian sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan barang siapa adalah mereka yang menjadi subjek hukum dan dianggap melakukan tindak pidana, dengan demikian maka unsur pertama ini menurut hukum telah terpenuhi. Unsur kedua adalah “Unsur membuat surat palsu atau memalsukan surat”, yang dipersoalkan adalah tanda tangan korban yang berada didalam surat persetujuan tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anastesi yang diserahkan oleh dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) untuk ditanda tangani oleh korban tersebut berbeda dengan tanda tangan korban yang berada didalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan kartu Askes kemudian setelah dilakukan pemeriksaan oleh laboratorium Forensik Cabang Makasar dan berdasarkan hasil pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik pada tanggal 9 Juni 2010 No.Lab:509/DTF/2011, yang dilakukan oleh Drs. Samir. S.St M.K, Ardani Adhis, S. A.Md dan lelaki Marendra Yudi L,S.E menyatakan tanda tangan atas nama Julia Fransiska Makatey pada dokumen bukti adalah tanda tangan karangan /spurious signature. Dengan kata lain para terdakwa dianggap telah melakukan pemalsuan dengan tujuan diperuntukkan sebagai bukti atas sesuatu hal yakni dilakukannya operasi. Namun majelis hakim berpendapat bahwa mengenai keaslian tanda tangan dari korban (Siska Makatey) pada surat persetujuan tindakan medik adalah 102
Ibid, hlm 191.
139
harus dianggap benar sejauh tidak dapat dibuktikan sebaliknya bahwa memang bukanlah korban sendiri yang membubuhkan tanda tangan pada surat persetujuan tindakan medik tersebut. Berdasarkan uraian diatas, maka unsur pemalsuan surat adalah tidak terbukti menurut hukum, maka unsur yang lainnya tidak perlu dibuktikan lagi. Majelis Hakim selanjutnya mempertimbangkan dakwaan alternative ketiga subsidair yakni perbuatan para Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Pasal 263 ayat (2) KUHP menyebutkan: “Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa degan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolaholah sejati, jika pemakaian surat itu seolah-olah sejati” Mendasarkan pada uraian diatas, surat persetujuan tindakan khusus, surat persetujuan pembedahan dan anastesi tertanggal 10 April 2010 tersebut tidak dapat dikatakan surat tersebut adalah palsu menurut Majelis Hakim para Terdakwa haruslah dinyatakan tidak terbuti telah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan alternative ketiga subsidair yaitu melanggar Pasal 263 ayat (2) Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dan kepada para Terdakwa haruslah dibebaskan dari dakwaan alternative ketiga subsidair tersebut. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum hakim tersebut, terdakwa dijatuhkan putusan bebas sesuai dengan Pasal 191 ayat (1) KUHAP. hal ini sesuai dengan pendapat M. Yahya Harahap,103 mengenai putusan bebas dapat ditinjau dari beberapa segi yaitu:
103
M. yahya Harahap, Loc. Cit.
140
1). Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Semua alat bukti yang diajukan di persidangan baik berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan petunjuk, serta pengakuan terdakwa sendiri tidak dapat membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Artinya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, karena menurut penilaian hakim semua alat bukti yang diajukan tidak cukup atau tidak memadai, atau; 2). Pembuktikan kesalahan yang didakwakan tidak memenuhi batas minimum pembuktian. Misalnya, alat bukti yang diajukan hanya satu orang saksi. Dalam hal ini, selain tidak memenuhi batas minimum pembuktian juga bertentanagan dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menegaskan unnus testis nullus testis atau satu orang saksi bukan saksi; 3). Putusan bebas disini bisa juga didasarkan atas penilaian, kesalahan yang terbukti itu tidak didukung oleh keyakinan hakim jadi sekalipun secara formal kesalahan terdakwa dapat dinilai cukup terbukti, namun nilai pembuktian yang cukup ini akan lumpuh apabila tidak didukung oleh keyakinan hakim. Dalam keadaan penilaian seperti ini, putusan yang akan dijatuhkan pengadilan adalah membebaskan terdakwa dari tuntutan hukum.104 Majelis hakim dalam pembuktian perkara ini telah sesuai dengan sistem pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif (negatief wettelijk) yang merupakan sistem pembuktian dalam KUHAP. 105 Maksud dari sistem pembuktian ini adalah teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim (Conviction-in time). Sistem ini, terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang, serta dibarengi dengan keyakinan hakim.106 Pasal 183 KUHAP yang mengatur tentang sistem pembuktian negative wettelijk menyatakan bahwa: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh 104
Ibid., hlm. 348. Ibid., hlm. 132. 106 Ibid., hlm. 278. 105
141
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Menurut Martiman Prodjohamidjojo,107 Pasal 183 KUHAP mengandung; 1. Sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah 2. Dasar-dasar alat bukti yang sah itu keyakinan hakim, yakni bahwa : a. Tidak terjadi; b. Terdakwa telah bersalah. Alat bukti dalam perkara ini yaitu keterangan beberapa saksi (2 orang) dan mendengarkan keterangan ahli (2 orang) dalam perkara ini, keterangan para terdakwa, serta barang bukti berupa berkas catatan medis No. cm. 041969 atas nama Siska Makatey dan hasil pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik pada tanggal 9 Juni 2010 No.Lab:509/DTF/2011. Hal ini telah sesuai dengan alat bukti yang sah yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa: Alat bukti yang sah ialah: a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa; Terdakwa dalam perkara ini diputus bebas, karena majelis hakim menjatuhkan putusan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidanagan dengan memeriksa beberapa alat bukti dan hakim berkeyakinan bahwa dalam hal melakukan tindakan medis berupa operasi cito secsio sesaria para terdakwa tidaklah melakukan kelalaian karena perbuatan para terdakwa sudah sesuai dengan SOP dan sesuai kewajiban dan tanggungjawab etika kedokteran. Selain itu
107
Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit., hlm. 12.
142
adanya pemalsuan tanda tangan korban (Siska Makatey) tidak dapat dibuktikan bahwa tanda tangan tersebut adalah palsu.
2. Pertimbangan Hukum Hakim Sehingga Menjatuhkan Putusan Pemidanaan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 365 K/Pid/2012 Ketentuan Pasal 244 KUHAP menyebutkan bahwa: “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas” Ketentuan dalam Pasal 244 KUHAP ini secara nyata telah menutup segala pintu upaya hukum bagi putusan bebas. Namun berkaitan dengan putusan bebas tidak dapat diajukan permohonan kasasi, dalam prakteknya ketentuan Pasal 244 KUHAP ini telah disingkirkan oleh Mahkamah Agung secara centra logem, yakni praktek dan penerapan hukum yang secara terang-terangan bertentangan dengan undang-undang.108 Sejarah penerobosan terhadap larangan Pasal 244 KUHAP ini malah datangnya dari pihak eksekutif sendiri dalam hal ini adalah Departemen Kehakiman, yakni dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 10 Desember 1983 No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Keputusan ini dibarengi dengan Lampiran Keputusan dengan tanggal dan nomor yang sama. Pada angka 19 lampiran dimaksud terdapat penegsan yang berupa pedoman: 1) Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; 108
M.Yahya Harahap, Op,Cit., hlm 544
143
2) Tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi. Selang 5 (lima) hari setelah adanya Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983, yakni pada tanggal 15 Desember 1983 lahir yurisprudensi pertama dalam putusan Mahkamah Agung yang menerima dan mengabulkan permohonan kasasi terhadap putusan bebas yakni dalam putusan Mahkamah Agung Reg. No. 275K/Pid/1983. Berdasarkan
pada
Yurisprudensi
diatas,
Djoko
prakoso,109
berpendapat: “Mengenai putusan bebas/Vrijspraak tidak dapat diajukan permohonan kasasi, hal ini diatur secara tegas dalam undang-undang (Pasal 244 KUHAP), tetapi pasal ini dapat diterobos dengan Keputusan Menteri Kehakiman RI: M 14-P.W, 07, 03 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang terdapat dalam Pasal 19 yang menyatakan: “Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding tetapi demi situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi”. Permohonan kasasi diajukan oleh penuntut umum dengan alasan bahwa putusan bebas itu bukan bebas murni. Dalam meninjau apakah pembebasan itu merupakan “pembebasan yang murni” ataukah “pembebasan yang tidak murni” Mahkamah Agung dalam Putusannya tanggal 28 Agustus No. 68 K/Kr/1965 berpendapat bahwa persoalan yang diputus oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dalam perkara ini bukanlah mengenai pembuktian melainkan mengenai penilaian tindak pidana sebagaimana harus dianggap ternyata menurut
109
Djoko Prakoso, Op.Cit, hlm. 288.
144
pemeriksaannya, sehingga pembebasan para terdakwa tersebut diatas merupakan suatu pembebasan yang tidak murni (verkapte onslag van rechtsvervoeling)110. Dalam hal putusan pengadilan yang membebaskan terdakwa itu sifatnya merupakan pembebasan murni maka permohonan kasasi harus dinyatakan ditolak. Namun sebaliknya apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang dimuat dalam surat dakwaan dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya suatu unsur pidana yang didakwakan, atau apabila pembebasan itu sebenarnya adalah merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau apabila dalam menjatuhkan putusan itu pengadilan telah melampaui batas kewenangannya, Mahkamah Agung atas dasar pendapatnya bahwa pembebasan tersebut bukanlah pembebasan murni, maka permohonan kasasi harus diterima.111
Berdasarkan pada uraian-uraian diatas, maka Mahkamah Agung menerima
permohonan
kasasi
terhadap
putusan
bebas
No.
90/Pid.B/2011/PN.Mdo yang diajukan oleh penutut umum dengan alasan bahwa hakim tingkat pertama dalam menjatuhkan putusan adalah memberikan interpretasi yang tidak benar sehingga tuduhan itu dianggap tidak terbukti. Proses pemeriksaan dalam kasasi, walaupun pemeriksaan dilakukan atas berkas perkara, namun sebagaimana telah ditentukan oleh Pasal 253 ayat (3) KUHAP, apabila diperlukan Mahkamah Agung dapat mendengar sendiri keterangan terdakwa atau saksi atau penuntut umum. 110
Soedirjo, Kasasi dalam Perkara Pidana (sifat dan fungsi), Op.Cit, hlm.79-80. Lihat Pertimbangan hukum hakim Mahkamah Agung dalam Putusan No. 365K/Pid/2012 111
145
Majelis hakim setelah membaca berkas-berkas yang bersangkutan, majelis hakim mempertimbangkan unsur subyektif maupun unsur obyektif berdasarkan alat-alat bukti yang sah daIam perkara ini yaitu keterangan saksisaksi, bukti surat, petunjuk serta keterangan Terdakwa serta mempelajari putusan
Pengadilan
Negeri
Manado
dengan
register
perkara
No.
90/Pid.B/2011/PN.Mdo maka majelis hakim kasasi berpendapat Judex Facti salah menerapkan hukum, karena tidak mempertimbangkan dengan benar halhal yang relevan secara yuridis, yaitu berdasarkan hasil rekam medis No. 041969 yang telah dibaca oleh saksi ahli dr. Erwin Gidion Kristanto, SH. Sp.F. bahwa pada saat korban masuk RSU (Rumah Sakit Umum) Prof. R. D. Kandou Manado, keadaan umum korban adalah lemah dan status penyakit korban adalah berat. “M.H. Silaban menyebutkan,112 Setiap putusan pengadilan harus memenuhi persyaratan sebagaimana telah ditentukan oleh undangundang. Secara terperinci persyaratan tersebut dimuat dalam Pasal 197 KUHAP, yang mana tidak terpenuhinya syarat-syarat sebagaimana telah ditentukan, itu akan mengakibatkan putusan batal demi hukum. Salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan yang dijadikan dasar putusan. Dalam kasus dr. Dewa Ayu ini, majelis hakim mempelajari alat-alat bukti berupa: 1) Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Askes atas nam Julia Fransiska Makatey; 2) Dokumen hasil pemeriksaan Laboratorium Forensik Cabang Makassar dan berdasarkan hasil pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik pada
112
M.H. Silaban, Op.Cit, hlm 173.
146
tanggal 09 Juni 2010 NO.LAB. : 509/DTF/2011, yang dilakukan oleh masing-masing lelaki Drs. Samir, S.St. Mk., lelaki Ardani Adhis, S. Amd dan lelaki Marendra Yudi L., SE., 3) Berkas catatan medis No. cm. 041969 atas nama Siska Makatey yang terdiri dari: 1. PT. Asuransi Kesehatan Indonesia results Siska Yulian Makatey; 2. Surat pernyataan telah dirawat; 3. Rekam jantung Siska Makatey 2004; 4. Surat konsul 10 April 2010 RSU Prof. Kandou Manado (poliklinik obstetri status obstetrikus); 5. Catatan pemasukan dan pengeluaran cairan form 0014; 6. Instruksi post operasi; 7. Surat konsul ke bagian anastesiologi; 8. Rekam jantung ; 9. Laporan operasi ; 10. Kurva suhu dan nadi, serta catatan khusus Dinas kesehatan Kota Manado Puskesmas Bahu/ surat rujukan ibu hamil atas nama Siska Makatey ; 11. Ringkasan masuk dan keluar Siska Makatey ; 12. Lembaran masuk dan keluar Siska Makatey ; 13. Klinical Patway Siska Makatey ; 14. Surat persetujuan tindakan khusus dan surat persetujuan pembedahan dan anastesi tanggal 10 April 2010 ; 15. Diagnosa akhir Siska Makatey ; 16. Resume keluar Siska Makatey ; 17. Surat pengantar pulang (tidak ada catatan) ; 18. Iktisar waktu pulang (tidak ada catatan ) ; 19. Anamnesis utama Siska Makatey ; 20. Anamnesis kebidanan Siska makatey ; 21. Pemeriksaan kebidanan I Siska Makatey ; 22. Pemeriksaan kebidanan II Siska Makatey ; 23. Resume masuk Siska Makatey ; 24. Portograf Siska Makatey ; 25. Lembaran observasi persalinan Siska Makatey ; 26. Lembaran observasi persalinan Siska Makatey ;
147
27. Lembaran observasi persalinan Siska Makatey ; 28. Laporan persalinan I Siska Makatey ; 29. Laporan persalinan IIa Siska Makatey ; 30. Lembaran catatan harian dokter (tidak ada catatan) ; 31. Hasil pemeriksaan laboratorium (tidak ada catatan) ; 32. Catatan pemasukan dan pengeluaran cairan (tidak ada catatan) ; 33. Hasil pemeriksaan radiologi kedokteran nuklir, dan lain-lain (tidak ada catatan); 34. Nifas (tidak ada catatan) ; 35. Catatan perawat intensif (tidak ada catatan) ; 36. Catatan dan instruksi dokter (tidak ada catatan) ; 37. Pelaksanaan proses keperawatan pengkajian data (tidak ada catatan) ; 38. Lembaran untuk penempelan surat (tidak ada catatan) ; 39. Catatan obat oral dan per enteral (tidak ada catatan) ; 40. Catatan perawat bidan (Siska Makatey) ; 41. 1 (satu) lembar foto copy sertifikat kompetensi dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani yang telah dilegalisir oleh Pengadilan Negeri Manado ; 42. 1 (satu) lembar foto copy sertifikat kompetensi dr. Hendry Simanjuntak yang telah dilegalisir oleh Pengadilan Negeri Manado; 43. 1 (satu) lembar foto copy sertifikat kompetensi dr. Hendy Siagian yang telah dilegalisir oleh Pengadilan Negeri Manado
Majelis hakim mempertimbangkan alasan dari Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan Permohonan kasasi adalah sebagai berikut: Judex Facti telah salah menerapkan hukum karena seharusnya Majelis Hakim dapat mempertimbangkan unsur subyektif maupun unsur obyektif berdasarkan alat-alat bukti yang sah daIam perkara ini yaitu keterangan saksisaksi, bukti surat, petunjuk serta keterangan Terdakwa, diperoleh fakta bahwa : 1) Berdasarkan keterangan dari saksi dr. Hermanus J. Lalenoh, Sp.An. bahwa jawaban konsul terhadap surat konsul yang dikirim oleh bagian kebidanan kepada bagian anestesi tersebut yang menyatakan : pada prinsipnya kami setuju untuk dilaksanakan pembedahan dengan anestesi
148
resiko tinggi, oleh karena ini adalah operasi darurat maka mohon dijelaskan kepada keluarga resiko yang bias terjadi "darut"/ sebelum operasi atau "post"/ usai operasi. Bahwa penyebab udara masuk dari setiap pembuluh darah balik yang terbuka yaitu dari infus atau dari suntikan obat tetapi dalam kepustakaan dikatakan udara yang masuk dari pembuluh darah balik ini hanya bisa menyebabkan kecelakaan penting yang kalau dia di atas 25 mg dan kalau di bawah tidak akan menyebabkan apa-apa, kemudian dalam kenyataan pemberian obat dari infus tidak pernah masuk udara karena dari suntik disposible untuk masuk udara, selanjutnya dari kepustakaan yang saksi baca dan saksi dapat dalam pendidikan saksi yaitu kemungkinan yang bisa juga adalah terutama dalam operasi persalinan bahkan di dalam aturan dikatakan bahwa udara bisa masuk sering terjadi pada operasi bedah saraf dengan posisi pasien setengah duduk bisa terjadi pada saat dia terkemuka itu udara bisa masuk, pada bagian kebidanan yang bisa sering terjadi bukan saja pada sectio sesaria tetapi juga pada kuretase bahkan dalam laporan kasus yaitu untuk hubungan intim dimana suami memakai oral itu bisa terjadi masuk udara, kasus ini memang jarang tetapi bisa saja terjadi, jadi pada waktu bayi lahir plasenta terangkat pembuluh darah itu terbuka yaitu pembuluh darah arteri/ pembuluh darah yang pergi yang warna merah dan pembuluh darah balik/ arteri yang warna hitam, jadi kemungkinan udara yang masuk berdasarkan hasil visum bisa saja terjadi dari beberapa hal tadi, selanjutnya tugas anestesi dalam hal ini telah selesai karena pasien/ korban sudah membuka mata dan bernapas spontan kecuali jika saat pasien sebelum dirapihkan semua kemudian meninggal maka masih merupakan tugas dan tanggung jawab dari anestesi dan kebidanan. 2) Berdasarkan keterangan dari saksi Prof. Dr. Najoan Nan Waraouw, Sp.OG. bahwa Terdakwa I (satu) mengatakan : operasi terhadap pasien/ korban telah selesai dilaksanakan dan pada saat operasi dilakukan yaitu sejak sayatan dinding perut pertama sudah mengeluarkan darah hitam, selama operasi dilaksanakan kecepatan nadi tinggi yaitu 160 (seratus enam puluh) x per menit , saturasi oksigen hanya berkisar 85 % (delapan puluh lima persen) sampai dengan 87 % (delapan puluh tujuh persen), setelah operasi selesai dilakukan kecepatan nadi pasien/ korban adalah 180 (seratus delapan puluh) x per menit dan setelah selesai operasi baru dilakukan pemeriksaan EKG/ periksa jantung yang dilakukan oleh bagian penyakit dalam dan saksi menanyakan apakah sudah dilakukan pemeriksaan jantung karena saksi berpikir keadaan ini penyebabnya dari jantung serta dijawab oleh Terdakwa I (satu) sementara dilakukan
149
pemeriksaan dan hasilnya sudah ada yaitu bahwa pada penderita terjadi Ventrikel Tachy Kardi (denyut nadi yang cepat) tetapi saksi mengatakan bahwa itu bukan Ventrikel Tachy Kardi (denyut nadi yang cepat) jika denyut nadi sudah di atas 160 x per menit tetapi "Fibrilasi" yaitu pertanda bahwa pada jantung terjadi kegagalan yang akut dan pasti pasien akan meninggal karena biasanya kegagalan akut itu karena emboli (penyumbatan pembuluh darah oleh suatu bahan seperti darah, air ketuban, udara, lemak, trombus dan komponenkomponen lain) serta pasien/ korban pasti meninggal, selanjutnya dikabarkan bahwa pada waktu kurang lebih pukul 22.20 WITA, pasien/ korban dinyatakan meninggal dunia oleh bagian penyakit dalam. 3) Berdasarkan keterangan dari Ahli dr. Robby Willar, Sp.A. bahwa pada saat plasenta keluar, pembuluh darah yang berhubungan dengan plasenta terbuka dan udara bisa masuk dari plasenta tetapi tidak berpengaruh terhadap bayi karena sebelum plasenta dikeluarkan bayi sudah dipotong/ bayi lebih dulu keluar kemudian tali pusat/ plasenta dipotong. 4) Berdasarkan keterangan dari Ahli Johannis F. Mallo, SH. Sp.F. DFM. Bahwa infus dapat menyebabkan emboli udara tetapi kecil kemungkinan dan hal tersebut dapat terjadi karena efek venturi, kemudian kapan efek venturi terjadi yaitu korban meninggal dunia pukul 22.20 WITA, infus 20 tetes = 100 cc/ menit, operasi dilakukan pukul 20.55 WITA, anak lahir pukul 21.00 WITA dalam hal ini udara sudah masuk terlebih dulu kemudian dilaksanakan operasi, maka 30 menit sebelum pelaksanaan operasi sudah terdapat 35 cc udara. Majelis hakim mempelajari berkas keterangan para saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum maupun para saksi yang dihadirkan para terdakwa, serta keterangan para ahli serta mendengarkan keterangan para terdakwa. Berdasar rumusan dalam Pasal 359 KUHP Jis. Pasal 361 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : Ad. 1. Unsur Barang siapa : Pengertian barang siapa adalah kata ganti orang, atau dengan kata lain dapat diartikan pula sebagai subjek pelaku delik. Dalam perkara ini tidak ada
150
orang lain yang dijadikan sebagai Terdakwa (subjek pelaku delik) selain Terdakwa I dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, Terdakwa II dr. Hendry Simanjuntak dan Terdakwa III dr. Hendy Siagian. Dengan demikian menurut majelis hakim unsur barang siapa dalam perkara ini telah terpenuhi menurut hukum.
Ad. 2. Unsur karena kesalahannya menyebabkan matinya orang lain Majelis Hakim berpendapat bahwa adanya unsur unsur kelalaian yang menyebabkan matinya orang lain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 359 KUHP “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun” Unsur “karena salahnya”, unsur ini merupakan unsur subjektif yang melekat pada sikap batin terdakwa dalam melakukan perbuatannya. Undangundang sendiri tidak memberikan penjelasannya tentang apa yang dimaksud dengan schuld atau culpa tersebut. Memorie Van Toelichting hanya menjelaskan sedikit tentang arti dari culpa yang mengatakan bahwa “schuld is de zuivere tegenstelling van opzet aan de eene kant, van toeval aan de andere zijde” yang artinya schuld (culpa) itu di satu pihak merupakan kebalikan yang murni dari opzet dan di lain pihak ia merupakan kebalikan dari kebetulan.113 “Van Hammel dalam pendapatnya yang dikutip oleh Lamintang, 114 menyebutkan bahwa schuld sebenarnya terdiri dari 2 (dua) unsur, masing-masing yaitu “het gemis aan de nodige voor zienigheid” atau kurangnya perhatian terhadap kemungkinan yang dapat timbul, dan “het 113 114
P.A.F Lamintang, Op,Cit., hlm 178 Ibid
151
gemis aan de nodige voorzichtigheid” atau tidak adanya kehati-hatian yang diperlukan.” Schuld atau kesalahan atau kelalaian atau kulpa menurut ilmu pengetahuan mempunyai 2 (dua) syarat:115 1) Perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan kurang hati-hati atau kurang waspada. 2) Pelaku harus dapat membayangkan timbulnya akibat karena perbuatan yang dilakukannya dengan kurang hati-hati itu Mendasarkan pada uraian diatas, maka berdasarkan keterangan dari saksi Prof. Dr. Najoan Nan Waraouw, Sp.OG., yang mana Terdakwa I (satu) melaporkan ketuban pasien/ korban sudah dipecahkan di Puskesmas dan jika ketuban sudah pecah berarti air ketuban sudah keluar semua, selanjutnya sejak Terdakwa I (satu) mengawasi korban pada pukul 09.00 WITA sampai dengan pukul 18.00 WITA tindakan yang dilakukan oleh Terdakwa I (satu) hanya pemeriksaan tambahan dengan USG (Ultrasonografi) dan sebagian tindakan medis yang telah dilakukan tidak dimasukkan ke dalam rekam medis dan Terdakwa I (satu) sebagai ketua residen yang bertanggung jawab saat itu tidak mengikuti seluruh tindakan medis beserta rekam medis termasuk Terdakwa I (satu) tidak mengetahui tentang pemasangan infus yang telah dilakukan terhadap korban. Berdasar fakta di persidangan diketahui ternyata pada pukul 18.30 WITA tidak terdapat kemajuan persalinan pada korban, Terdakwa I (satu) melakukan konsul dengan konsulen jaga dan setelah mendapat anjuran, 115
H.A.K Moch Anwar, Op,Cit., hlm 110
152
Terdakwa I (satu) mengambil tindakan untuk dilakukan cito secsio sesaria, kemudian Terdakwa I (satu) menginstruksikan kepada saksi dr. Helmi untuk membuat surat konsul ke bagian anestesi dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap dan setelah mendapat jawaban konsul dari saksi dr. Hermanus J. Lalenoh, Sp.An. yang menyatakan bahwa pada prinsipnya setuju untuk dilaksanakan pembedahan dengan anestesi resiko tinggi, oleh karena ini adalah operasi darurat maka mohon dijelaskan kepada keluarga resiko yang bisa terjadi sebelum operasi atau usai operasi. Korban dibawa ke kamar operasi pada waktu kurang lebih pukul 20.15 WITA dalam keadaan sudah terpasang infus dan pada pukul 20.55 WITA dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) sebagai operator mulai melaksanakan operasi terhadap korban dengan dibantu oleh dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) sebagai asisten operator I (satu) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) sebagai asisten operator II (dua). Bahwa selama pelaksanaan operasi kondisi nadi korban 160 (seratus enam puluh) x per menit dan saat sayatan pertama mengeluarkan darah hitam sampai dengan selesai pelaksanaan operasi, kemudian pada pukul 22.00 WITA setelah operasi selesai dilaksanakan kondisi nadi korban 180 (seratus delapan puluh) x per menit dan setelah selesai operasi baru dilakukan pemeriksaan EKG/ periksa jantung oleh bagian penyakit dalam, selanjutnya berdasarkan keterangan Ahli dr. Johannis F. Mallo, SH. Sp.F. DFM. bahwa 30 menit sebelum pelaksanaan operasi sudah terdapat 35 cc udara di dalam tubuh korban.
153
Berdasarkan hasil Visum et Repertum disebutkan bahwa udara yang ditemukan pada bilik kanan jantung korban, masuk melalui pembuluh darah balik yang terbuka pada saat korban masih hidup. Pembuluh darah balik yang terbuka pada korban terjadi pada pemberian cairan obat-obatan atau infus, dan dapat terjadi akibat komplikasi dari persalinan itu sendiri. Sebab kematian si korban adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung. Dengan demikian Para Terdakwa lalai untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu, Para Terdakwa telah melakukan penyimpangan kewajiban, Para Terdakwa telah menimbulkan kerugian dengan tindakan kedokteran yang telah dilakukan oleh Para Terdakwa terhadap korban, Para Terdakwa telah menimbulkan suatu hubungan sebab akibat yang nyata yaitu terdapatnya tindakan kedokteran dari Para Terdakwa dengan suatu keadaan korban yang dikatakan darurat sejak tidak terdapat kemajuan persalinan pada pukul 18.30 WITA tetapi yang seharusnya sejak korban datang dengan surat rujukan dari Puskesmas dan masuk ke ruang Instalasi Rawat Darurat Obstetrik keadaan korban sudah dapat dikatakan darurat, kemudian sejak diketahuinya ketuban dari korban yang telah pecah sejak di Puskesmas, rekam medis yang tidak dibuat sepenuhnya dalam setiap tindakan medis yang dilakukan, pemasangan infus dengan jenis obat yang tidak diketahui oleh Para Terdakwa sampai dengan dikeluarkannya resep obat secara berulang kali hingga ditolak
154
oleh pihak apotik, tidak terdapatnya koordinasi yang baik di dalam tim melakukan tindakan medis, terdapatnya informed consent / lembar persetujuan tindakan kedokteran sedangkan Para Terdakwa berpendapat bahwa tindakan kedokteran yang dilakukan adalah tindakan cito / darurat, tidak adanya tindakan persiapan jika korban secara tiba-tiba mengalami keadaan darurat seperti EKG/ pemeriksaan jantung baru dilakukan setelah korban selesai dioperasi dengan kondisi gawat, yang seharusnya seluruh tindakan medis dan tindakan kedokteran yang dilakukan oleh Para Terdakwa tersebut sebelumnya telah dapat dibayangkan dengan cara berpikir, pengetahuan atau kebijaksanaan sesuai pengetahuan, keahlian dan moral yang dimiliki oleh Para Terdakwa berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) sehingga seluruh tindakan kedokteran yang dilakukan oleh Para Terdakwa tersebut telah menimbulkan kerugian terhadap korban yaitu korban meninggal dunia. Berkaitan dengan pemalsuan tanda tangan yang dilakukan oleh para terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana pada Pasal 263 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Pasal 263 ayat (1) KUHP berbunyi sebagai berikut : “Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara selama 6 tahun” Pasal 263 ayat (1) mengandung 2(dua) jenis perbuatan yang dilarang yaitu membuat surat palsu dan memalsukan surat. Kejahatannya disebut
155
pemalsuan surat. Membuat surat palsu adalah menyusun surat atau tulisan pada keseluruhannya. Adanya surat ini karena dibuat secara palsu. Surat ini mempunyai tujuan untuk menunjukkan bahwa surat itu seakan-akan berasal dari orang daripada penulisnya. Salah satu unsur objektif dari ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHP adalah adanya surat itu adalah diperuntukkan guna menjadi bukti atas sesuatu hal. Terhadap sifat ini diadakan pembatasan, yaitu berdasarkan sifatnya harus memiliki kekuatan pembuktian. Ketentuan diperuntukkan guna pembuktian harus menimbulkan akibat kekuatan pembuktian, akibat kekuatan pembuktian mana harus didasarkan atas sesuatu kekuasaan/kewenangan yang dapat memberikan kekuatan pembuktian pada beberapa jenis surat tertentu.116 Melihat unsur-unsur yang ada di dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP, yang pertama bahwa adanya unsur “barang siapa”, melihat sebagaimana uraian sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan barang siapa adalah mereka yang menjadi subjek hukum dan dianggap melakukan tindak pidana, dengan demikian maka unsur pertama ini menurut hukum telah terpenuhi. Unsur kedua adalah “Unsur membuat surat palsu atau memalsukan surat”, yang dipersoalkan adalah tanda tangan korban yang berada didalam surat persetujuan tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anastesi yang diserahkan oleh dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) untuk ditanda tangani oleh korban tersebut berbeda dengan tanda tangan korban yang berada didalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan kartu Askes kemudian setelah dilakukan
116
Ibid, hlm 191.
156
pemeriksaan oleh laboratorium Forensik Cabang Makasar dan berdasarkan hasil pemeriksaan
Laboratoris
Kriminalistik
pada
tanggal
9
Juni
2010
No.Lab:509/DTF/2011, yang dilakukan oleh Drs. Samir. S.St M.K, Ardani Adhis, S. A.Md dan Marendra Yudi L, S.E menyatakan tanda tangan atas nama Julia Fransiska Makatey pada dokumen bukti adalah tanda tangan karangan / spurious signature. Berkaitan dengan hal ini majelis hakim berpendapat kasasi berpendapat sama dengan hakim pad tingkat pertama bahwa mengenai keaslian tanda tangan dari korban (Siska Makatey) pada surat persetujuan tindakan medik adalah harus dianggap benar sejauh tidak dapat dibuktikan sebaliknya bahwa memang bukanlah korban sendiri yang membubuhkan tanda tangan pada surat persetujuan tindakan medik tersebut. Pertimbanagan diatas muncul karena diperoleh fakta bahwa Terdakwa I (satu) menugaskan kepada dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) untuk memberitahukan kepada keluarga pasien/ korban tetapi ternyata hal tersebut tidak dilakukan oleh Terdakwa III (tiga) melainkan Terdakwa III (tiga) menyerahkan informed consent / lembar persetujuan tindakan kedokteran tersebut kepada korban yang sedang dalam posisi tidur miring ke kiri dan dalam keadaan kesakitan dengan dilihat oleh dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) dari jarak kurang lebih 7 (tujuh) meter, dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dari jarak kurang lebih 3 (tiga) meter sampai dengan 4 (empat) meter juga turut diketahui dan dilihat oleh saksi dr. Helmi.
157
Hakim harus mencari alat bukti dalam persidangan melalui alat-alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP sebagaimana disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP “Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa” Dari dua atau lebih alat bukti hakim dapat memperoleh keyakinan akan kesalahan terdakwa. Apakah dalam sidang telah diperoleh sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, bagaimana cara memperolehnya dan bagaimana pula hubungannya satu sama lain sudah diatur dengan undang-undang. Semua ini harus dipertimbangkan hakim dalam putusannya. Perolehan dan penggunaan alat-alat bukti itu harus sesuai dengan peraturan hukum yang mengatur alat bukti yang bisa dinamakan hukum pembuktian. Demikian juga apakah alat bukti itu telah saling bersesuaian sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 185 ayat (6) KUHAP, itu pun termasuk harus dipertimbangkan. Dan apakah pertimbangan-pertimbangan itu telah bersesuaian dan tidak saling bertentangan. Setelah semua itu dipertimbangkan dan telah bersesuaian barulah hakim menentukan keyakinannya bahwa benarbenar telah terjadi tindak pidana dan terdakwalah yang bertanggungjawab. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang mana disebutkan bahwa seorang hanya dapat dijatuhi pidana apabila sebelumnya telah ditentukan dalam undang-undang bahwa perbuatan itu dialarang dan pelakunya diancam dengan pidana. Maka setelah mempertimbangkan alat-alat bukti di dlam persidangan dan dikaitkan dengan unsur delik yang didakwakan, semua unsur-
158
unsur deliknya harus terbukti. Apabila salah satu unsur saja tidak terbukti, maka dakwaan tidak terbukti dan akan mengakibatkan bebasnya terdakwa (Pasal 191 ayat (1) KUHAP). Atau apabila hakim menyatakan unsur delik telah terbukti tetapi pertimbangan tentang terbuktinya unsur itu tidak jelas atau tidak cukup, maka kekurangan itu dapat dijadikan alasan oleh Mahkamah Agung untuk menyatakan tidak terbuktinya unsur itu dan karena itu membatalkan putusan yang bersangkutan. Adanya hukum tidak tertulis dan azas-azas umum berdasarkan kepatutan masyarakat juga harus dipertimbangkan untuk dijadikan alasan dalam suatu putusan pengadilan. Hal itu meliputi azas keadilan, azas umum berdasarkan kepatutan dan kewajaran yang hidup dalam masyarakat. Hukum tidak tertulis yang dimuat dalam ketentuan itu, sebelum terbitnya UndangUndang No. 14 tahun 1970 sudah dikenal dalam Jurisprudensi Indonesia yaitu sejak terbitnya putusan Mahkamah Agung No. 424K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966.117 Disana dinyatakan bahwa suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifat melawan hukum bukan hanya berdasarkan ketentuan dalm perundangundangan, melainkan juga berdasarkan azas-azas keadilan atau azas-azas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum.118 Sejak putusan itu,maka pengadilan di Indonesia telah menganut paham melawan hukum dalam arti materiil disamping melawan hukum dalam arti formil. Dengan paham melawan hukum dalam arti materiil itu, maka hakim dalam putusannya selalu mempertimbangkan faktor azas-azas keadilan, azas 117 118
Lihat Yurisprudensi Indonesia, Tahun 1997, hlm 39. M.H. Silaban, Op.Cit, hlm 191.
159
hukum tak tertulis, azas-azas yang bersifat umum menurut kepatutan dan kewajaran dalam masyarakat.119 Dalam perkara ini, hakim berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum hakim tersebut, terdakwa dijatuhkan putusan bebas sesuai dengan Pasal 193 KUHAP. Hal ini sesuai dengan pendapat M. Yahya Harahap120 bahwa: “Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Sesuai dengan Pasal 193 ayat (1) penjatuhan putusan pemidanaan terhadap terdakwa didasarkan pada penilaian pengadilan. Jika pengadilan berpendapat dan menilai terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, pengadilan menjatuhkan putusan pidana terhadap terdakwa.” Undang-undang
memberikan
kebebasan
kepada
hakim
untuk
menjatuhkan pidana antara hukuman minimum atau maksimum yang diancamkan dalam pasal pidana yang bersangkutan, sesuai dengan apa yang diatur dalam pasal 12 KUHP. Namun demikian, titik tolak hakim menjatuhkan putusan pemidanaan harus didasarkan pada ancaman yang disebutkan dalam pasal pidana yang didakwakan.121 Majelis hakim dalam pembuktian perkara ini telah sesuai dengan sistem pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif (negatief wettelijk) yang merupakan sistem pembuktian dalam KUHAP. 122 Pasal 183 KUHAP yang mengatur tentang sistem pembuktian negative wettelijk menyatakan bahwa:
119 120 121 122
Ibid. M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm 354. Ibid. Ibid., hlm. 132.
160
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Menurut Martiman Prodjohamidjojo,123 Pasal 183 KUHAP mengandung; 1. Sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah 2. Dasar-dasar alat bukti yang sah itu keyakinan hakim, yakni bahwa : a. Tidak terjadi; b. Terdakwa telah bersalah. Alat bukti dalam perkara ini yaitu keterangan beberapa saksi (2 orang) dan mendengarkan keterangan ahli (2 orang) dalam perkara ini, keterangan para terdakwa, serta barang bukti berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Askes atas nam Julia Fransiska Makatey, Dokumen hasil pemeriksaan Laboratorium Forensik Cabang Makassar dan berdasarkan hasil pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik pada tanggal 09 Juni 2010 NO.LAB: 509/DTF/2011, serta Berkas catatan medis No. cm. 041969 atas nama Siska Makatey. Hal ini telah sesuai dengan alat bukti yang sah yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa: Alat bukti yang sah ialah: a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa; Berdasarkan pertimbangan bahwa dr. Dewa Ayu dkk telah melakukan kelalaian dan menyebabkan matinya pasien atas nama Julia Fransiska Makatey yang mana Para Terdakwa telah melakukan pembiaran dengan tidak melakukan
123
Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit., hlm. 12.
161
hal yang seharusnya dilakukan oleh dokter ketika pasien datang meminta pertolongan. Hal itu diperoleh berdasarkan fakta-fakta di persidangan yakni mendasarkan pada keterangan dari saksi Prof. Dr. Najoan Nan Waraouw, Sp.OG., yang mana Terdakwa I (satu) melaporkan ketuban pasien/ korban sudah dipecahkan di Puskesmas dan jika ketuban sudah pecah berarti air ketuban sudah keluar semua, selanjutnya sejak Terdakwa I (satu) mengawasi korban pada pukul 09.00 WITA sampai dengan pukul 18.00 WITA tindakan yang dilakukan oleh Terdakwa I (satu) hanya pemeriksaan tambahan dengan USG (Ultrasonografi) dan sebagian tindakan medis yang telah dilakukan tidak dimasukkan ke dalam rekam medis dan Terdakwa I (satu) sebagai ketua residen yang bertanggung jawab saat itu tidak mengikuti seluruh tindakan medis beserta rekam medis termasuk Terdakwa I (satu) tidak mengetahui tentang pemasangan infus yang telah dilakukan terhadap korban. Majelis hakim kasasi dalam kasus dr. Dewa Ayu berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
diatas,
dalam
Putusan
No.
365K/Pid/2012
membatalkan putusan Pengadilan Negeri Manado No 90/Pid.B/2011/PN.Mdo yang menjatuhkan putusan bebas terhadap dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendy Siagian, dan dr. Hendry Simanjuntak. Majelis Hakim Kasasi mengadili sendiri dan menjatuhkan putusan pemidanaan yakni menjatuhkan vonis 10 bulan penjara terhadap dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendy Siagian, dan dr. Hendry Simanjuntak.
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahsan, maka dapat diambil kesimpulan yaitu: 1) Alasan dari majelis hakim pemeriksa perkara kasus dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendy Siagian, dan dr. Hendry Simanjuntak dalam Putusan No 90/Pid.B/2011/PN.Mdo adalah tindakan para Terdakwa mendiamkan pasien (Siska Makatey) ketika sampai di RSU Prof. Dr. Kandou Malalayang Kota Manado dan tindakan yang dilakukan oleh Terdakwa I hanya pemeriksaan tambahan dengan USG (Ultrasonografi) dan sebagian tindakan medis yang telah dilakukan tidak dimasukkan ke dalam rekam medis dan Terdakwa I sebagai ketua residen yang bertanggung jawab saat itu tidak mengikuti seluruh tindakan medis beserta rekam medis termasuk Terdakwa I tidak mengetahui tentang pemasangan infus yang telah dilakukan terhadap korban adalah bukan merupakan perbuatan yang menyalahi Prosedur tindakan medik dan tidak melanggar etika kedokteran tentang apa yang harus dilakukan seorang dokter dalam menghadapi pasien.
163
2) Pertimbangan ini berbeda dengan majelis kasasi Mahkamah Agung dalam putusannya No. 365K/Pid/2012 yang mana menyatakan bahwa tindakan Para Terdakwa mendiamkan pasien (Siska Makatey) sehingga menyebabkan meninggalnya pasien adalah sebuah tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 359 KUHP. 3) Berkaitan dengan pemalsuan tanda tangan dan pelanggaran praktek kedokteran sebagaimana diatur dalam Pasal 76 Undang-Undang No 24 tahun 2009 tentang Praktek Kedokteran baik Majelis hakim pemeriksa pada tingkat pertama maupun majelis hakim kasasi mempunyai kesepahaman dalam menafsirkan hukumnya. B. SARAN Tindak Pidana malpraktik belum diatur secara terperinci oleh undangundang, maka majelis hakim dalam memberikan putusan terhadap perkara malpraktik diharapkan kedepan selain mempertimbangkan adanya alat-alat bukti sebagaimana diatur dalam KUHAP, juga mempertimbangkan sumber hukum tak tertulis dan azas-azas umum berdasarkan kepatutan masyarakat, juga melihat Yurisprudensi yang telah ada. Walaupun hakim memiliki kebebasan dalam memutuskan suatu perkara, namun untuk menghindari kesalahan penafsiran hukum, ada baiknya adanya Yurisprudensi sebagai sumber hukum juga dipertimbangkan.
DAFTAR PUSTAKA A. Literatur Arrasjid, Chainur .2008. Dasar-dasar Ilmu Hukum. Jakarta : Sinar Grafika. Asikin, Zainal dan Amirudin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hadikusuma, Hilmawan. 1995. Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum. Bandung: Mandar Maju. Hamzah, Andi. 2001. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi. Ghalia Indonesia, Jakarta. ___________. 2004. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi. Sinar Grafika, Jakarta. __________. 2008. Hukum Acara Pidana. Sinar Grafika, Jakarta. Harahap, M Yahya. 2002. Pembahasan Permasalahan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika. ,1985. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jilid I Cetakan III. Jakarta: Pustaka Kartini. Ibrahim Johnny. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing. Iswanto. 2011. Pengantar Ilmu Hukum. Purwokerto: UPT. Percetakan dan Penerbitan Universitas Jenderal Soedirman. Koeswadji, Hermien Hadiati. 1998. Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak). Bandung: Citra Aditya Bakti. Komalawati, Veronica. 2002. Peranan Informed Concent Dalam Transaksi Terapeutik (Persetujuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien). Bandung: Citra Aditya Bakti Lamintang. 1985. Delik-Delik Khusus Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan. Bandung: Binacipta. Makarao, Muhammad Taufik., Suhasril. 2004. Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek. Ghalia Indonesia, Jakarta.
________________________________. 2010. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Prakte. Ghalia Indonesia, Bogor. Marpaung, Laden. 2010. Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan dan Pengadilan Negeri, Upaya Hukum dan Eksepsi. Sinar Grafika, Jakarta. Marzuki, Peter Mahmud. 2011. Penelitian Hukum. Kencana Media Group, Jakarta. Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. Mulyadi, Lilik. 1996. Hukum Acara Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti. Nasir, Mohamad. 1999. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia. Nugroho, Hibnu. 2012. Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Media Prima Aksara, Jakarta. Poernomo, Bambang. 1993. Pola Dasar Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidana Dan Penegakan Hukum Pidana. Liberty, Yogyakarta. Prakoso, Djoko. 1986. Kedudukan Justisiabel dalam KUHAP. Ghalia Indonesia, Jakarta. Prodjodikoro, Wiryono. 2003. Tindak Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. PT Rafika Aditama, Bandung. Prodjohamidjojo, Martiman. 1983. Sistem pembuktian dan Alat-Alat bukti. Ghalia Indonesia, Jakarta. Sumantri, I. 1996. Pembahasan Perkembangan Pembangunan Nasional Tentang Hukum Acara Pidana. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta. Silaban. 1997. Kasasi Upaya Hukum Acara Pidana. Jakarta: Sumber Ilmu Jaya. Soedirjo. 1985. Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana. Jakarta: Akademika Pressindo. . 1985. Kasasi dalam Perkara Pidana (sifat dan fungsi). Jakarta: Akademika Pressindo. Soekanto, Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia. ,dan Herkutanto. Bandung: Remadja Karya.
1987.
Pengantar
HukumKesehatan.
Sudarto. 2013. Hukum Pidana I Edisi Revisi. Semarang : Yayasan Sudarto FH UNDIP. Sunggono, Bambang. 2009. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Widnyana, I Made. 2010. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Fikahati Aneska. Wisnubroto, Al. 2002. Praktek Peradila Pidana: Proses Penanganan Perkara Pidana. Galaxy Puspa Mega, Jakarta. B. Skripsi dan Tulisan Ilmiah Endang Sri Lestari. 2007. “Pembuktian Tindak Pidana Korporasi Pada Kasus Kabut Asap di Pekanbaru (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan M.A.R.I No. 275TU/811K/Pid/2002)”, (Skripsi Hukum Acara Pidana, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman). Ni Nengah Adiyaryani. 2010. “Upaya Hukum Kasasi Oleh Jaksa Penuntut Umum Terhadap Putusan Bebas (Vrijspraak) Dalam Sistem Peradilan Indonesia” (Thesis Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro)
C. Peraturan Perundang-undangan Indonesia.Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) .Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) .Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.