ISSN 1978-6506
Terakreditasi LIPI No. 507/Akred/P2MI-LIPI/10/2012
Vol. 5 No. 3 Desember 2012
MERENGKUH PENGAKUAN
Jurnal Yudisial
Vol. 5
No. 3
Hal. 241-343
I
Jakarta Desember 2012
ISSN 1978-6506
MITRA BESTARI
Segenap pengelola Jurnal Yudisial menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas sumbangsih Mitra Bestari yang telah melakukan review terhadap naskah Jurnal Yudisial Edisi Desember 2012. Semoga bantuan mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT. 1. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum.
(Pakar Hukum Filsafat dan Pidana)
2. Dr. Anton F. Susanto, S.H., M.Hum.
(Pakar Metodologi Hukum dan Etika)
3. Dr. Yeni Widowati, S.H., M.Hum.
(Pakar Hukum Hukum Pidana)
4. Prof. Dr. Marwan Mas, S.H., M.H.
II
(Pakar Hukum Pidana)
DISCLAIMER
J
urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal ini beredar pada setiap awal April, Agustus, dan Desember, memuat hasil kajian/riset atas putusanputusan pengadilan oleh jejaring peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten. Penerbitan jurnal ini bertujuan untuk memberi ruang kontribusi bagi komunitas hukum Indonesia dalam mendukung eksistensi peradilan yang akuntabel, jujur, dan adil, yang pada gilirannya ikut membantu tugas dan wewenang Komisi Yudisial Republik Indonesia dalam menjaga dan menegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim. Isi tulisan dalam jurnal sepenuhnya merupakan pandangan independen masingmasing penulis dan tidak merepresentasikan pendapat Komisi Yudisial Republik Indonesia. Sebagai ajang diskursus ilmiah, setiap hasil kajian/riset putusan yang dipublikasikan dalam jurnal ini tidak pula dimaksudkan sebagai intervensi atas kemandirian lembaga peradilan, sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya. Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat pada halaman akhir jurnal. Alamat Redaksi: Gedung Komisi Yudisial Lantai 3 Jalan Kramat Raya Nomor 57 Jakarta Pusat Telp. 021-3905876, Fax. 021-3906215 Email:
[email protected]
III
TIM PENYUSUN
Penanggung Jawab : Drs. Muzayyin Mahbub, M.Si. Pemimpin Redaksi : Drs. Patmoko (Bidang Studi Ekonomi dan Pembangunan) Penyunting
: 1. Hermansyah, S.H., M.Hum. (Bidang Hukum Ekonomi/Bisnis)
2. Onni Rosleini, S.H., M.Hum., M.Si. (Bidang Hukum Pidana)
3. Heru Purnomo, S.H. (Bidang Ilmu Hukum)
4. Imran, S.H., M.H. (Bidang Ilmu Hukum Pidana)
5. Asep Rahmat Fajar, S.H., M.A. (Bidang Sosiologi Hukum)
6. Suwantoro, S.E., M.M. (Bidang Ekonomi dan Komputer) 7. Duke Arie W, S.H., M.H. (Bidang Hukum Tata Negara)
Redaktur Pelaksana : Dinal Fedrian, S.IP. Sekretariat
Arnis Duwita Purnama, S.Kom. : 1. Sri Djuwati
2. Yuni Yulianita, S.S.
3. Romlah Pelupessy, S.E.
4. Ahmad Baihaki, S. Kom.
5. Arif Budiman. S.Sos.
6. Drs. Adi Sukandar
7. Aran Panji Jaya, S.T.
8. Nur Agus Susanto, S.H., M.M.
Desain Grafis & Fotografer : Widya Eka Putra, A.Md.
IV
PENGANTAR
J
MERENGKUH PENGAKUAN
urnal terakreditasi menjadi status baru Jurnal Yudisial yang diterbitkan Komisi Yudisial. Status ini melekat seiring penyerahan sertifikat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nomor 507/Akred/P2MI-LIPI/10/2012 pada tanggal 30 Oktober 2012. Sertifikat itu telah menetapkan Jurnal Yudisial sebagai majalah ilmiah terakreditasi sejak 1 Oktober 2012 dan berlaku selama tiga tahun mendatang. Dalam terminologi Bahasa Indonesia, pengakuan bermakna pengesahan, yang memiliki persamaan kata dengan akreditasi, legalisasi, dan pengukuhan. Dalam kerangka tulisan ini, definisi akreditasi sebagai penilaian dan pengakuan lembaga pemerintah/pemangku otorisasi terhadap status hasil karya ilmiah. Status “terakreditasi” juga identik sebagai pernyataan kepada publik jika memenuhi standar mutu yang sudah ditetapkan. Pengakuan dengan label akreditasi ini hasil kerja keras dari pengelola, mitra bestari, dan dewan penyunting tanpa terkecuali. Tidak mudah untuk merengkuh akreditasi lantaran LIPI telah menetapkan beragam prasyarat ketat yang harus dipenuhi tanpa proses tawarmenawar. LIPI dan Kemendiknasbud, dua lembaga yang memiliki otoritas akreditasi majalah ilmiah, telah menetapkan standar baru tahun ini dengan hasil akhir, terakreditasi atau tidak terakreditasi. Penilaian itu berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya kategori akreditasi terbagi dalam tiga kelompok, A, B, dan C. Alhamdulillah, meski pengajuan ini baru pertama kali dilakukan, dan memperoleh nilai 78.25 dan menyandang status majalah ilmiah terakreditasi. Hasil itu patut disyukuri lantaran tidak sedikit majalah ilmiah harus rela “bersabar” lantaran belum memenuhi syarat yang ditetapkan dalam pengajuan akreditasi. Lantas, apa makna penting dari akreditasi ini? Pertama, sebagai bentuk pengakuan lembaga publik terhadap seluruh proses dan hasil karya Jurnal Yudisial sehingga menempatkannya sejajar dengan penerbitan serupa yang terlebih dulu menyandang status akreditasi. Kedua, kontribusi nyata Jurnal Yudisial dalam pengembangan khasanah ilmu pengetahuan khususnya kajian putusan hakim di tanah air. Keberadaan Jurnal Yudisial diharapkan mampu membawa misi sebagaimana amanat termaktub dalam UUD 1945. Status akreditasi mengandung makna tanggung jawab. Makna itu hanya menyisakan satu pilihan yaitu tetap menjaga dan mempertahankan mutu Jurnal Yudisial sesuai dengan syarat yang sudah ditetapkan. Di akhir kata, selaku Pemimpin Redaksi mengucapkan terima kasih kepada pengelola, mitra bestari dan penulis sehingga Jurnal Yudisial edisi kali ini dapat hadir di hadapan Anda. Terima kasih
Tertanda Pemimpin Redaksi Jurnal Yudisial
V
DAFTAR ISI
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012
ISSN 1978-6505
PRINSIP KEHATI-HATIAN DAN KERUGIAN POTENSIAL DALAM PERKARA TATA USAHA NEGARA TERKAIT LINGKUNGAN HIDUP ............................................................ Kajian Putusan Nomor 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT Liza Farihah & Femi Angraini, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok DISPARITAS HUKUMAN DALAM PERKARA PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN ...................................... Kajian terhadap Putusan Nomor 590/Pid.B/2007/PN.Smg dan Nomor 1055/Pid.B/2007/PN.Smg. Wahyu Nugroho, Fakultas Hukum Universitas Sahid, Jakarta PENGUATAN ARGUMENTASI FAKTA-FAKTA PERSIDANGAN DAN TEORI HUKUM DALAM PUTUSAN HAKIM .................................. Kajian Putusan Nomor 181 K/Pid/2007/MA Marwan Mas, Fakultas Hukum Universitas 45, Makassar PEMIHAKAN HAKIM TERHADAP KEADILAN SUBSTANTIF DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH .......... Kajian Putusan Nomor 44/PDT/2011/PTY Bambang Sutiyoso, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
241
261
283
298
DOKTRIN PATEN DALAM SENGKETA APPLE MELAWAN SAMSUNG .................................................................... 316 Kajian Putusan Pengadilan Den Haag 396057/KG ZA 11-730 Riko Fajar Romadhon & M. Fathan Nautika, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok MENCARI JARUM ‘KAIDAH’ DI TUMPUKAN JERAMI ‘YURISPRUDENSI’ .......................................................................... 331 Kajian Putusan Nomor 777 K/Pid.Sus/2009 Shidarta, Fakultas Humaniora Universitas Bina Nusantara, Jakarta
VI
JURNAL YUDISIAL ISSN 1978-6506.....................................................................
Vol. 5 No. 3 Desember 2012
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya. UDC 341.64: 349.601
UDC 343.23
Farihah L & Angraini F (Fakultas Hukum,
Nugroho W (Fakultas Hukum, Universitas Sahid,
Universitas Indonesia, Depok)
Jakarta)
Prinsip Kehati-hatian dan Kerugian Potensial
Disparitas Hukuman dalam Perkara Pidana
dalam Perkara Tata Usaha Negara Terkait
Pencurian Dengan Pemberatan
Lingkungan Hidup
Kajian Putusan Nomor 590/Pid.B/2007/PN.Smg
Kajian Putusan Nomor 71/G.TUN/2001/PTUN-
dan Nomor 1055/Pid.B/2007/PN.Smg.
JKT
Jurnal Yudisial 2012 5(3), 261-282
Jurnal Yudisial 2012 5(3), 241-260
Disparitas hukuman dalam perkara pidana
Manusia sebagai makhluk hidup tidak dapat
merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari
dipisahkan dengan lingkungan hidupnya karena
terhadap vonis apapun. Namun hal tersebut
kesinambungan kehidupan manusia tersebut
akan menimbulkan masalah ketika perbedaan
bergantung pada lingkungan hidup. Oleh karena
tersebut tidak beralasan. Penulis menemukan
itu, setiap orang diberikan hak untuk berperan
terjadi disparitas hukuman dalam tindak pidana
aktif dalam perlindungan dan pengelolaan
pencurian dengan pemberatan atas putusan hakim
lingkungan hidup demi menjamin pemenuhan
No. 590/Pid.B/2007/PN.Smg dan putusan No.
hak atas lingkungan tersebut. Salah satu bentuk
1055/Pid.B/2007/PN.Smg. Beberapa hasil kajian
perwujudan hak aktif tersebut adalah dengan
terhadap kedua putusan ini terungkap antara
mengajukan gugatan ke PTUN apabila terdapat
lain: (1) kedua putusan menunjukkan hakim
Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak sesuai
dalam perkara pencurian dengan pemberatan atas
dengan prinsip perlindungan dan pengelolaan
kedua putusan ini kurang memperhatikan faktor-
lingkungan
hidup. Aparat
penegak
hukum
faktor kriminogen yang ada di masyarakat, tidak
kehati-hatian
dalam
bersandarkan kepada tujuan pemidanaan yang
penegakan hukum lingkungan untuk mencegah
mengarahkan narapidana sebagai sarana untuk
terjadinya kerusakan lingkungan yang tidak dapat
memperbaiki perilakunya, dan masih kental
dipulihkan. Prinsip kehati-hatian dipergunakan
pola pikir positivistis atau legistis, yaitu dengan
dalam menetapkan kerugian potensial yang
digunakannya teori pencegahan khusus dan
ditimbulkan oleh suatu keputusan tata usaha
menerapkan sistem residivis; (2) dalam sudut
negara yang berkaitan dengan lingkungan.
pandang hakim dan kalangan akademisi, disparitas
membutuhkan
prinsip
(Liza Farihah & Femi Angraini) Kata kunci: lingkungan hidup, prinsip kehatihatian, kerugian potensial.
putusan hakim pada perkara pencurian dengan pemberatan dalam konteks kedua putusan tersebut tidak mungkin dapat dihilangkan, paling tidak diminimalisasi dengan cara mempertimbangkan pedoman yang berkaitan dengan hal-hal yang
VII
bersifat perbuatan lahiriah dan hal-hal yang
Kata kunci: argumentasi, fakta hukum, teori
bersifat subjektif seperti motivasi dan kesengajaan,
hukum, putusan hakim.
juga memperhatikan akibat dari perbuatan, bobot kejahatan, cara melakukan, sikap batin (kesalahan),
UDC 349.422
dan relevansi dengan hakikat delik. Hakim jangan
Sutiyoso B (Fakultas Hukum, Universitas Islam
hanya mengacu pada pertimbangan formal.
Indonesia, Yogyakarta)
(Wahyu Nugroho)
Pemihakan Hakim Terhadap Keadilan Subtantif
Kata kunci: disparitas hukuman, pencurian dengan
dalam Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Tanah
pemberatan, sistem peradilan pidana.
Kajian Putusan Nomor 44/PDT/2011/PTY Jurnal Yudisial 2012 5(3), 298-315
UDC 343.153 Mas M (Fakultas Hukum, Universitas 45, Makassar) Penguatan Argumentasi Fakta-fakta Persidangan dan Teori Hukum dalam Putusan Hakim
Tulisan ini mengkaji putusan hakim tingkat banding di Pengadilan Tinggi Yogyakarta dalam perkara perdata Nomor
44/PDT/2011/PTY
terkait sengketa kepemilikan tanah. Pengkajian putusan dilakukan secara komprehensif, dengan
Kajian Putusan Nomor 181 K/Pid/2007/MA
mencermati
Jurnal Yudisial 2012 5(3), 283-297
yang digunakan, pertimbangan hukum, amar
Membangun citra dan wibawa hakim tidak terlepas dari kualitas putusannya yang harus dibarengi dengan pemahaman ilmu hukum yang luas. Hakim harus mampu menilai dan menganalisis faktafakta yang terungkap dalam sidang mengenai kesalahan terdakwa, kemudian dituangkan dalam pertimbangan hukum yang dilandasi teori hukum, doktrin, dan asas hukum. Untuk memenuhi harapan tersebut, hakim tidak boleh mengabaikan struktur filosofis, juridis, dan sosiologis dalam memeriksa dan memutus perkara, karena dapat menimbulkan kerusakan terhadap keseluruhan sistem yang akan dijalankan. Kemandirian hakim dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan tidak boleh hanya dinilai dari aspek ketepatan penerapan hukumnya saja, tetapi juga harus memperhatikan dan memahami rasa keadilan, kebenaran, dan nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
kasus
posisinya,
dasar
hukum
putusannya dan selanjutnya dilakukan analisis dengan merujuk pada data primer dan sekunder. Berdasarkan hasil penelitian, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan. Pertama, putusan hakim secara umum telah mengikuti prosedur hukum acara perdata yang berlaku dan dapat membuktikan unsur-unsur yang ada dalam gugatan atau jawaban gugatan dengan berpedoman pada bukti-bukti yang diatur dalam hukum acara perdata. Kedua, putusan hakim telah mencerminkan penalaran hukum yang logis dalam pertimbangan hukumnya dan telah berupaya menggali nilai-nilai nonyuridis yang ada dalam masyarakat. Meskipun demikian, harus diakui dalam putusan tersebut belum sepenuhnya
mengakomodasi
sumber-sumber
hukum secara lengkap, misalnya yurisprudensi dan doktrin. Terakhir, hakim banding dalam sikapnya ternyata lebih berpihak pada keadilan substantif dibandingkan keadilan prosedural. Hal ini dapat
(Marwan Mas)
terlihat ketika akta jual beli tanah dalam kasus ini dianggap tidak sah dan memiliki kekuatan hukum
VIII
karena akta jual beli Nomor 299/2008 yang dibuat
(Rico Fajar Romadhon & M. Fathan Nautika)
di hadapan Notaris/PPAT itu diperoleh dengan
Kata kunci: doktrin paten, kebaruan, langkah
surat kuasa mutlak yang substansinya bertentangan
inventif, utilitas.
dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1992.(Bambang Sutiyoso) Kata
kunci:
kepemilikan
tanah,
UDC 342.352: 340.14 keadilan
Shidarta (Fakultas Humaniora, Universitas Bina
substantif.
Nusantara, Jakarta) Mencari Jarum ‘Kaidah’ di Tumpukan Jerami
UDC 342.72/.73
‘Yurisprudensi’
Romadhon RF & Nautika MF (Fakultas Hukum,
Kajian Putusan Nomor 777 K/Pid.Sus/2009
Universitas Indonesia, Depok)
Jurnal Yudisial 2012 5(3), 331-343
Doktrin Paten dalam Sengketa Apple Melawan
Ada demikian banyak putusan hakim yang diberi
Samsung
label
Kajian Putusan Pengadilan Den Haag 396057/
harus
KG ZA 11-730
‘yurisprudensi’. memuat
yurisprudensi
yang
mengandung
kaidah
Sebuah
penemuan hukum di dalamnya. Selain itu, kaidah
Jurnal Yudisial 2012 5(3), 316-330
yurisprudensi itupun harus memiliki nilai tambah
Sengketa paten yang menyita perhatian publik
bagi khazanah sumber-sumber formal hukum.
di akhir tahun 2011 sampai 2012 adalah perkara
Dalam tulisan ini, secara arbiter telah dipilih satu
antara Samsung melawan Apple. Sengketa dua
putusan Mahkamah Agung yang di dalam situs
perusahaan raksasa tersebut telah memasuki
resmi MA dinyatakan sebagai yurisprudensi.
ranah persidangan di berbagai negara seperti di
Oleh karena tidak ditemukan rumusan kaidah
Inggris, Belanda, Korea Selatan, dan Amerika
yurisprudensinya,
Serikat. Putusan pengadilan terhadap sengketa itu
dilakukan upaya identifikasi terhadap kaidah
berbeda satu dengan yang lain, di beberapa negara
tersebut. Hasil dari identifikasi tersebut paling
memutuskan memenangkan Samsung, dan di
tidak telah menemukan empat proposisi yang
beberapa negara lain memenangkan Apple. Salah
termuat dalam premis mayor sejumlah silogisme
satu putusan pengadilan yang menjadi kajian
dan keempat proposisi ini dapat dianggap sebagai
dalam tulisan ini ialah putusan Pengadilan Den
kaidah yurisprudensi tersebut. Sayangnya, kaidah-
Haag 396957/KG ZA 11-730 terkait klaim paten
kaidah yang teridentifikasi inipun belum mampu
yang memenangkan Apple. Putusan ini menjadi
menunjukkan kualitas suatu yurisprudensi karena
kajian yang menarik lantaran berdasarkan doktrin-
ketiadaan penemuan hukum yang berkontribusi
doktrin yang ada ketiga klaim paten Apple tidak
signifikan bagi khazanah sumber formal hukum.
memenuhi unsur kebaruan, langkah inventif, dan
maka
dalam
tulisan
ini
(Shidarta)
utilitas. Sebagaimana putusan hakim, Samsung
Kata kunci: yurisprudensi, kaidah yurisprudensi,
dianggap telah melanggar EP 868 milik Apple
penemuan hukum.
sehingga ponsel pintar keluaran Samsung dilarang beredar di pasaran Belanda.
IX
JURNAL YUDISIAL ISSN 1978-6506.....................................................................
Vol. 5 No. 3 Desember 2012
The Descriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge UDC 341.64: 349.601
UDC 343.23
Farihah L & Angraini F (Fakultas Hukum,
Nugroho W (Fakultas Hukum, Universitas Sahid,
Universitas Indonesia, Depok)
Jakarta)
Precautionary Principle and Potential Damage in
Disparity of Sentencing in the Criminal Case of
a Case of State Administrative Decision Related
Theft Under Aggravating Circumstances
to Environment
Analyses on Decisions Number 590/Pid.B/2007/
An Analysis
on
Decision
Number
71/G.
PN.Smg and Number 1055/Pid.B/2007/PN.Smg
TUN/2001/PTUN-JKT (Org. Ind)
(Org. Ind)
Jurnal Yudisial 2012 5(3), 241-260
Jurnal Yudisial 2012 5(3), 261-282
Human beings as living creatures cannot be
Disparity of sentencing in criminal case is hardly
separated with their environment on which our life
to be avoided. The problem of disparity emerges
and well-being depend. Therefore, every person
when there is not supported with enough and
is given a right to active role in environmental
appropriate reasons as revealed by the author
protection and management in order to ensure the
in court decisions Number 590/Pid.B/2007/
fulfillment of his/her right to environment. One
PN.Smg and Number 1055/Pid.B/2007/PN.Smg
way to embrace the right is by filing a lawsuit to the
in the criminal case of theft under aggravating
state administrative court in case an administrative
circumstances. The author of this article concludes
decision is not in accordance with the principles
that: (1) both verdicts show that the judges did
of environmental protection and management.
not pay enough attention to criminogenic factors
The precautionary principle becomes essential for
existing in society as well as to the punishment
officials who enforce the environmental law to
objective as a means to behavior rehabilitation. On
prevent any irreversible damage. Such a principle
the other hand, judges all appeared to contribute
is also an instrument in determining potential
to a mind-set characterized by a desire to follow
damages caused by state administrative decisions
legal positivism or legism. They preferred to
related to the environment.
impose special precaution theory and apply recidivist system. (2) In the perspectives of those
(Liza Farihah & Femi Angraini)
judges and some academics, the disparity on the
Keywords: environment, precautionary principle,
cases of theft under aggravating circumstances
potential damage.
may not be eliminated, but at least, it is still possible to be minimized. The minimization can be done by considering the guidelines in terms of physical actions and subjective factors such as motivation and intention. Other considerations
X
are the consequences of action, crime weighting,
judge-made law.
crime modus operandi, attitude, and the nature of crime. Hopefully, judges will never ponder formal
UDC 349.422
consideration only.
Sutiyoso B (Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta)
(Wahyu Nugroho) Keywords:
Judges’ Unfairness Regarding the Substantive
disparity of sentence, theft under
aggravating
circumstances,
criminal
Justice in a Land Ownership Dispute
justice
system.
An Analysis on Decision Number 44/PDT/2011/ PTY (Org. Ind)
UDC 343.153
Jurnal Yudisial 2012 5(3), 298-315
Mas M (Fakultas Hukum, Universitas 45,
This article discusses a land ownership dispute
Makassar)
revealed in decision of the Yogyakarta’s Appealate
Strenghtening the Argument on Legal Facts and
Court Number 44/PDT/2011 PTY. The author
Legal Theories in Judge-Made Laws
scrutinizes all aspects of the decision ranging from
An Analysis on Decision Number 181 K/Pid/2007/
the fundamentum petendi, legal basis, petitum up
MA (Org. Ind)
to the dictum and enriches his analyses by using
Jurnal Yudisial 2012 5(3), 283-297
both primary and secondary data. He concludes that: (1) in general, this decision has been in line
Improving the image and authority of judges
with all essentials of civil procedural law and the
has something to do with the quality of their
panel of judges has been succesful to disclose
decisions that must be coupled with a broad
all elements of the arguments either those of
understanding of legal science. Judges must be
the plantiff or of the defendant; (2) the decision
able to assess and analyze the facts as revealed
shows the implementation of appropriate legal
during the trial regarding defendant’s fault,
reasoning and the ability to explore living values
then pour them in legal reasoning based on the
in our society. Unfortunately, the panel of judges
right legal theories, doctrines, and principles. To
still presents it based upon a lack of references
meet these expectations, judges must not ignore
like precedential decisions and/or legal doctrines.
the philosophical, juridical, and sociological
In this case, the panel takes the substantive justice
structures in examining and deciding cases.
into account rather than procedural justice. This
Ignoring the above mentioned aspects will terribly
preference can be seen as the panel of judges
affect to the functions of the overall legal system.
ignores the validity of the notary public’s deed
Independence of judges in the hearing and passing
Number 2999/2008 in which it was conveyed
decisions should not only be viewed from the
based on the absolute power of attorney that is
aspect of accuracy in applying the legal basis, but
considered against the Home Affairs Minister’s
also from the full attention to and understanding
Instruction Number 14 Year 1992.
of justice, truth, and living laws.
.(Bambang Sutiyoso)
(Marwan Mas) Keywords:
Keywords: land ownership, substantive justice.
argument, legal fact, legal theory,
XI
UDC 342.72/.73
UDC 342.352: 340.14
Romadhon RF & Nautika MF (Fakultas Hukum,
Shidarta (Fakultas Humaniora, Universitas Bina
Universitas Indonesia, Depok)
Nusantara, Jakarta)
Patent Doctrines in the Apple VS Samsung
Looking for a Needle in a Haystack: a Struggle to
Dispute
Find Out ‘Norms of Precedent’
An Analysis on the Den Haag Court Number
An Analysis on Decision Number 777 K/Pid.
396057/KG ZA 11-730 (Org. Ind)
Sus/2009 (Org. Ind)
Jurnal Yudisial 2012 5(3), 316-330
Jurnal Yudisial 2012 5(3), 331-343
The patent case between Apple versus Samsung
There are so many judge-made laws regarded as
has attracted a lot of attention in late 2011 to 2012.
precedential decisions. Any precedential decision
This huge case between the two most well-known
should contain certain norms derived through a
companies occurred in some countries such as in
law-making process (rechtsvinding). Such norms
the United Kingdom, South Korea, United States
of precedent should contribute ‘added values’ to the
of America, the Netherlands, and many others.
collection of formal legal sources. In this article,
The verdicts also varied in respective countries,
the author arbitrary chooses one of supreme-court
some of them were won by Apple and others by
decisions downloaded from the official website of
Samsung. The focus of this article is about the
the Indonesian Supreme Court (MA). The decision
patent claim as revealed in the verdict of The
has been labelled as ‘precedential decision’ but
Hague’s Court Number 396957/KG ZA 11-730
without any statement of the precedential norm.
that was won by Apple. The issue is interesting
Having identified the decision, the author of this
since three claims of Apple were incompatible for
article provides at least four propositions depicted
patent protection, i.e. novelty, inventive steps, and
from all major premises of four syllogisms. These
utility. Samsung was considered faulty because
propositions can be considered norms of precedent.
it has infringed Apple’s EP 868 so Samsung’s
Regrettably, all of them fail to demonstrate the
smartphones are prohibited in the Netherland’s
quality of a precedential decision since the lack
market.
of law-making contribution to the formal legal
(Rico Fajar Romadhon & M. Fathan Nautika) Keywords: steps, utility.
sources. (Shidarta)
patent doctrine, novelty, inventive Keywords:
precedential
percedent, law making.
XII
decision,
norm
of
PRINSIP KEHATI-HATIAN DAN KERUGIAN POTENSIAL DALAM PERKARA TATA USAHA NEGARA TERKAIT LINGKUNGAN HIDUP Kajian Putusan Nomor 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT
PRECAUTIONARY PRINCIPLE AND POTENTIAL DAMAGE IN A CASE OF STATE ADMINISTRATIVE DECISION RELATED TO ENVIRONMENT An Analysis on Decision Number 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT Liza Farihah & Femi Angraini Fakultas Hukum Universitas Indonesia Kampus Universitas Indonesia, Depok 16424 Email:
[email protected],
[email protected] Diterima tgl 11 November 2012/Disetujui tgl 23 November 2012 ABSTRAK
Abstract
Manusia sebagai makhluk hidup tidak dapat
Human beings as living creatures cannot be
dipisahkan dengan lingkungan hidupnya karena
separated with their environment on which our life
kesinambungan
tersebut
and well-being depend. Therefore, every person
bergantung pada lingkungan hidup. Oleh karena itu,
is given a right to active role in environmental
setiap orang diberikan hak untuk berperan aktif
protection and management in order to ensure the
dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
fulfillment of his/her right to environment. One way
hidup demi menjamin pemenuhan hak atas
to embrace the right is by filing a lawsuit to the
lingkungan tersebut. Salah satu bentuk perwujudan
state administrative court in case an administrative
hak aktif tersebut adalah dengan mengajukan
decision is not in accordance with the principles
gugatan ke PTUN apabila terdapat Keputusan Tata
of environmental protection and management.
Usaha Negara yang tidak sesuai dengan prinsip
The precautionary principle becomes essential
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
for officials who enforce the environmental law to
Aparat penegak hukum membutuhkan prinsip
prevent any irreversible damage. Such a principle
kehati-hatian dalam penegakan hukum lingkungan
is also an instrument in determining potential
untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan
damages caused by state administrative decisions
yang tidak dapat dipulihkan. Prinsip kehati-hatian
related to the environment.
dipergunakan dalam menetapkan kerugian potensial
Keywords: environment, precautionary principle,
kehidupan
manusia
yang ditimbulkan oleh suatu keputusan tata usaha negara yang berkaitan dengan lingkungan.
potential damage.
Kata kunci: lingkungan hidup, prinsip kehati-hatian, kerugian potensial. Prinsip Kehati-Hatian dan Kerugian Potensial (Liza Farihah & Femi Angraini)
| 241
I.
PENDAHULUAN
penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan UUD NRI 1945 secara tegas menjamin masyarakat. bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi seluruh rakyat Indonesia. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 28H hidup yang menjadi kewajiban negara, pemerintah, UUD NRI 1945 yang menyatakan “Setiap orang dan seluruh elemen masyarakat menjadi hal berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat penting sebagai upaya mencegah terjadinya tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup pencemaran dan kerusakan lingkungan. Upaya yang baik dan sehat serta berhak memperoleh tersebut dilakukan melalui tindakan perencanaan, pelayanan kesehatan”. Hal ini menunjukkan pemanfaatan, pengendalian, pengawasan, serta bahwa lingkungan merupakan hal yang sangat penegakan hukum. Pengelolaan lingkungan esensial bagi kehidupan manusia sehingga hidup memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, hak atas lingkungan tersebut diletakkan dalam dan budaya serta perlu dilakukan berdasarkan kerangka hak asasi manusia. Hak atas lingkungan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, tersebut kemudian melandasi pembentukan desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan peraturan perundang-undangan lainnya yaitu UU terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan, Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan sehingga lingkungan hidup Indonesia harus Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) yang dilindungi dan dikelola dengan baik (Syahrin, menggantikan UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang 2011). Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), PP Manusia sebagai makhluk hidup dan Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai lingkungan hidupnya merupakan hal yang tidak Dampak Lingkungan (AMDAL), dan peraturan dapat dipisahkan. Lingkungan hidup mencakup lainnya. seluruh lingkungan alam seperti lingkungan UUPLH memberikan hak yang tidak hanya fisik, biologi, dan sosial. Definisi lingkungan berupa hak pasif sebagai hak warga negara yang hidup menurut UUPPLH yang menyempurnakan menjadi kewajiban negara untuk dipenuhi tetapi definisi dalam UUPLH sebagai “Kesatuan ruang juga memberikan hak aktif untuk melakukan dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. hidup, termasuuk manusia dan perilakunya, yang Ketentuan mengenai hak aktif maupun pasif ini mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan tercermin dari bunyi Pasal 5-7 Bab III UUPLH perikehidupan, dan kesejahteraan manusia tersebut. Hak aktif setiap warga negara dapat serta makhluk hidup lain”. Definisi lingkungan terlihat dari pengaturan Pasal 5 ayat (3) UUPLH hidup yang diberikan UUPLH tidak secara yaitu setiap orang mempunyai hak untuk berperan tegas menyebutkan pengaruh terhadap “alam itu dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sendiri”. yang kemudian dipertegas dalam Pasal 7 UUPLH Berdasarkan definisi lingkungan hidup tersebut. Hak aktif masyarakat lainnya juga dapat baik yang diberikan UUPLH atau UUPPLH, terlihat dalam Pasal 37 UUPLH yang memberikan dapat dilihat bahwa lingkungan hidup merupakan hak kepada masyarakat untuk mengajukan suatu sistem yang mencakup keseluruhan gugatan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke 242 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 241 - 260
keanekaragaman hayati dan non-hayati yang keseluruhannya mempengaruhi kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Istilah keanekaragaman hayati (biological diversity) merujuk pada tingkat keanekaragaman sumber daya alam yang dimiliki pada daerah tertentu. Istilah ragam hayati mencakup tiga tingkat pengertian berbeda, yaitu: keanekaragaman genetik, keanekaragaman spesies dan keanekaragaman ekosistem (Badan Lingkungan Hidup Bengkulu Utara, 2011: 1-2). Pentingnya keanekaragaman hayati sebagai sumber daya alam bagi kehidupan manusia dan makhluk hidupnya lainnya menjadikannya sangat penting untuk dilindungi dan dilestarikan. Dengan diberikannya peran aktif pada masyarakat untuk mengajukan keberatan maka masyarakat secara tidak langsung ikut pula di dalam proses penegakan hukum, bahkan sejak tahap awal proses pengambilan keputusan. Dengan begitu masyarakat dapat lebih dekat dan terlibat dalam proses pelestarian dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, masyarakat juga ikut serta serta mempertahankan hak asasinya dari rencana kegiatan dan/atau usaha yang dapat merugikannya dan lingkungan Salah satu kasus yang cukup mencolok mengenai penerapan hak aktif ini adalah tindakan yang dilakukan beberapa yayasan yang terlibat dalam perlindungan lingkungan dan konsumen yang mengajukan gugatan atas Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 107/Kpts/KB.430/2/2001 tentang Pelepasan Secara Terbatas Kapas Transgenik Bt DP 56903 sebagai Varietas Unggul dengan Nama NuCOTN 35B (Bollgard) tertanggal 7 Februari 2001. Para Penggugat merasa bahwa surat keputusan tersebut berpotensi memberikan kerugian bagi masyarakat yang diwakili oleh yayasan-yayasan tersebut.
Kasus kapas transgenik tersebut kemudian menjadi sorotan masyarakat luas di awal tahun 2001. Surat keputusan yang menjadi objek gugatan ini menjadi permasalahan karena dikeluarkan tanpa dilengkapi dokumen AMDAL sebagai prasyarat dikeluarkan izin usaha yang seharusnya dipenuhi PT Mngro sebagai pemrakarsa kegiatan. Dokumen AMDAL ini menjadi sangat penting karena kegiatan yang akan dilakukan PT Mngro berkaitan dengan tanaman transgenik yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi lingkungan. Prinsip teknologi transgenik adalah pemindahan satu atau beberapa gen, yaitu potongan DNA yang menyandikan sifat tertentu dari satu makhluk hidup ke makhluk hidup lainnya sehingga makhluk hidup tersebut memiliki sifat tertentu yang tidak dimiliki sebelumnya. Teknologi yang sama digunakan pada kasus kapas transgenik yang merupakan hasil introduksi gen sehingga memiliki sifat-sifat tertentu yang menguntungkan. Terdapat empat karakteristik tanaman kapas transgenik, jenis pertama disebut “kapas Bt” yang toleran terhadap serangga hama sedangkan 3 jenis lainnya toleran terhadap herbisida, Glyphosate (Roundup), Bromoxynil (BXN), dan Sulfonylurea (SU). Salah satu bentuk hasil rekayasa genetis pada tanaman transgenik adalah ketahanan tanaman terhadap CBW, dengan mengintroduksi gen Bt yang berhubungan dengan ketahanan serangga hama hasil isolasi bakteri tanah Bacillus thurigiensis yang dapat memproduksi protein kristal yang bekerja seperti insektisida (insecticidal crystal protein) yang dapat mematikan serangga hama. Jenis kapas yang dikembangkan di daerah Sulawesi Selatan pada awal tahun 2001 ini termasuk jenis kapas Bt yang mematikan bagi serangga hama. Teknologi kapas
Prinsip Kehati-Hatian dan Kerugian Potensial (Liza Farihah & Femi Angraini)
| 243
Bt ini juga memiliki implikasi baik dari segi petani maupun lingkungan itu sendiri.
dan evaluasi. Kemudian, uji coba tersebut akan ditinjau kembali jika berdampak negatif terhadap keamanan hayati, lingkungan, dan kesehatan Petani yang menggunakan teknologi ini manusia. kemudian akan bergantung pada perusahaan besar untuk benih, pupuk, dan obat-obatan Dari pertimbangan ini, majelis hakim melihat yang kemungkinan hanya dapat disediakan oleh bahwa surat keputusan belum menghasilkan perusahaan besar. Implikasi terhadap lingkungan kerugian bagi siapapun. Mengenai dasar gugatan berkaitan dengan risiko dampak lingkungan Penggugat mengenai kerugian potensial akibat yang ditimbulkan karena dapat membahayakan dikeluarkannya surat keputusan tersebut, majelis organisme lainnya hakim menimbang bahwa peradilan tata usaha negara melakukan penilaian yang bersifat a Pada prinsipnya, tanaman kapas ini disisipi posteriori, yaitu setelah terjadinya akibat yang gen khusus yang dapat membunuh serangga secara faktual benar-benar terjadi dan bukannya apabila memakan tanaman tersebut. Tentunya hal berdasarkan kemungkinan-kemungkinan yang ini kemudian mempengaruhi keanekaragaman akan terjadi. Oleh karena itu, majelis hakim hayati dan ekosistem di mana tanaman kapas memutuskan bahwa gugatan Penggugat harus tersebut berada. Hal ini dikarenakan pola hidup ditolak seluruhnya (lihat Putusan No. 71/G. tanaman kapas tersebut berubah maka tempat TUN/2001/PTUN.JKT halaman 174-185). hidupnya berpotensi untuk berubah. Usaha yang berpotensi risiko seperti inilah yang perlu Hal inilah yang kemudian menjadi latar didukung dengan dokumen AMDAL sebagai belakang kajian penulis karena dalam kasus ini prasyarat dikeluarkannya izin usahanya. dokumen AMDAL tidak hanya sebagai prasyarat Pada kenyataannya, surat keputusan yang menjadi objek gugatan dikeluarkan tanpa adanya dokumen AMDAL. Majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara ini menganggap bahwa surat keputusan tersebut telah dibuat sesuai dengan prinsip kehati-hatian, tidak perlu disertai dokumen AMDAL, dan tidak dimaksudkan untuk berlaku secara permanen. Majelis hakim melihat bahwa Tergugat telah menggunakan prinsip kehati-hatian sebelum mengeluarkan surat keputusan dan kewajiban untuk AMDAL bagi Tergugat tidak dipersyaratkan. Majelis hakim berpandangan bahwa surat keputusan ditujukan untuk uji coba penanaman di lapangan dan pemanfaatan secara terbatas kapas transgenik dalam jangka waktu satu tahun, dengan disertai pemantauan 244 |
dikeluarkannya suatu izin usaha melainkan juga sebagai wujud prinsip kehati-hatian dalam kegiatan yang memiliki kerugian potensial. Sifat kerusakan lingkungan yang sangat sulit dipulihkan (irreversible) menjadikan prinsip kehati-hatian dalam melihat kerugian potensial menjadi sangat penting untuk dipertimbangkan hakim dalam memutus perkara lingkungan. II.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam tulisan ini adalah bagaimana penerapan precautionary principle (prinsip kehati-hatian) dalam hukum lingkungan sebagai alasan gugatan berupa potential damage (kerugian potensial) dalam perkara tata usaha negara?
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 241 - 260
III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS
dapat dipulihkan kembali terhadap lingkungan hidup (Freestone dan Hey, 1996: 12). Prinsip ini A. Studi Pustaka berkembang begitu cepat di seluruh belahan bumi Dalam kajian putusan ini, diperlukan studi sebagai prinsip yang sudah jelas kebenarannya pustaka mengenai precautionary principle (prinsip (axiomatic) sebagai prinsip dalam menjaga kehati-hatian) dalam hukum lingkungan, potential kelestarian lingkungan hidup (Freestone dan Hey, damage (kerugian potensial) yang menjadi 1996: 12). dasar gugatan, dan kewajiban memiliki analisis Prinsip kehati-hatian menjadi prinsip yang mengenai dampak lingkungan (AMDAL). penting dan diadopsi dalam berbagai kebijakan setelah dituangkan dalam Deklarasi Rio 1992 1. Precautionary Principle (Prinsip Kehati- yang dihasilkan pada The United Nations hatian) Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro, Brazil tanggal Preventiative principle dan Precautionary 3-14 Juni 1992. Prinsip 15 Deklarasi Rio 1992 principle adalah prinsip yang pada awalnya menyatakan bahwa: diadopsi dalam deklarasi dan kemudian diadopsi dalam berbagai konvensi sebagai bentuk ”In order to protect the environment, the pengejawantahan dari prinsip pembangunan precautionary approach shall be widely berkelanjutan. Prinsip ini merupakan applied by States according to their perkembangan dalam kebijakan nasional maupun capabilities. Where there are threats of internasional yang bertujuan melindungi manusia serious or irreversible damage, lack of dan lingkungan hidup dari bahaya yang serius dan full scientific certainty shall not be used tidak bisa dipulihkan. Precautionary principle as a reason for postponing cost-effective atau prinsip kehati-hatian ini menekankan pada measures to prevent environmental bagaimana melakukan pencegahan agar tidak degradation” (Freestone, 1994: 193-218). terjadi penurunan kualitas lingkungan hidup Prinsip kehati-hatian menunjukkan bahwa akibat pencemaran. Lebih jauh lagi, prinsip ini juga mengatur mengenai pencegahan agar kehati-hatian perlu dilakukan oleh negara dalam tidak terjadinya kerusakan lingkungan hidup pembuatan kebijakannya. Kegiatan yang memiliki kemungkinan untuk menyebabkan dampak yang (Wibisana, 2008: 214). serius dan tidak dapat dipulihkan inilah yang Pencegahan tersebut dilakukan pada dalam prinsip ini haruslah dicegah. Dalam hal kegiatan dan/atau usaha yang belum diketahui ini, kurangnya kepastian ilmiah tidaklah dapat seberapa luas dan besar kerugian dan/atau dijadikan alasan untuk melakukan penundaan kerusakannya. Pencegahan dilakukan dengan bagi upaya pencegahan. melakukan langkah nyata, meskipun belum Secara eksplisit, laporan dari United Nation adanya bukti ilmiah mengenai seberapa luas dan besar akibat yang mungkin terjadi. Namun Economic and Social Comission for Asia and the prinsip ini hanya akan berlaku pada perkiraan Pasific (UN ESCAP) menyatakan bahwa “Believe yang berdampak serius dan kerusakan yang tidak that, in order to archieve sustainable development, policies must be based on the precautionary Prinsip Kehati-Hatian dan Kerugian Potensial (Liza Farihah & Femi Angraini)
| 245
principle” (United Nation Economic and Social Comission for Asia and the Pasific (UN ESCAP, 1990: 8). Konsep pencegahan dini ini memang telah diterima dan diterapkan secara luas dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam kaitannya dengan prinsip kehati-hatian ini, dikemukakan bahwa “Science does not always provide the insights needed to protect the environment effectively, and that undesirable effect my result if measures are taken only when science does provide such insights” (Freestone and Hey, 1996: 12).
mengukur kemungkinan akan akibat atau dampak yang akan terjadi. Sehingga terdapat uncertainty atau ketidakyakinan atas kepastian mengenai besar dan luasnya dampak yang akan terjadi. 2.
Potential Damage (Kerugian Potensial)
Kerugian potensial atau yang belum terjadi dibagi menjadi dua yaitu potential damage dan potential risk. Potential damage diartikan bahwa kerusakan atau kerugian pada lingkungan hidup belum terjadi. Kita bisa saja tidak memiliki pengetahuan atas seberapa besar dampak yang akan terjadi dan seberapa mungkin dampak tersebut akan terjadi. Tetapi kita dapat pula memiliki pengetahuan atas besaran dampak saja, atas kemungkinan (probabilitas) munculnya dampak saja, atau atas kedua-duanya.
Selanjutnya, Freestone dan Hey juga mengemukakan bahwa “The essence of precautionary concept, the precautionary principle, is that once a risk has been identified, the lack of scientific proof of cause and effect shall not be used as a reason for not taking action to protect the environment” (Freestone dan Hey, Apabila potensi besaran dampak dan 1996: 13). probabilitasnya diketahui, maka potential damage dapat dikategorikan sebagai potential risk, dan Dari penjelasan di atas, dapat diuraikan bagi kondisi ini berlaku pencegahan menurut unsur-unsur dalam penerapan prinsip kehatiprinsip pencegahan. Dalam potential risk meski hatian: kerusakan atau kerugian sama-sama belum terjadi 1. Once a risk has been identified. Apabila dan sangat berpotensi terjadinya hal tersebut, telah teridentifikasinya kerugian yang tetapi telah dapat diperkirakan seberapa besar mungkin timbul. dan luas dampaknya, sehingga di sini terdapat perbedaan yaitu pada pengetahuan manusia akan 2. Where there are threats of serious or luas dan besarnya dampak yang akan terjadi. irreversible damage. Apabila adanya Apabila kita uraikan kembali mengenai unsur ancaman yang serius atau ancaman potential damage adalah: tersebut tidak dapat dipulihkan kembali akibatnya sehingga berdampak selamanya 1. Belum terjadinya kerusakan dan/atau pada lingkungan. Serious dan irreversible kerugian; dan damage tidak menentu ukurannya dan 2. Kerusakan dan/atau kerugian tersebut harus dilihat kasus per kasus. berpotensi untuk terjadi. 3. Lack of scientific certainty. Apabila Perlu disoroti bahwa potential damage terdapat kurangnya kemampuan untuk adalah possible yang bermakna kerusakan dan/ 246 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 241 - 260
atau kerugian itu mungkin terjadi tetapi belum akurat seberapa besar dan luas akibatnya untuk terjadi. Potential damage bukan probable, yaitu kemungkinan dengan tingkat keakuratan akibat yang lebih jelas. Hal ini disebabkan dalam potential damage belum diketahui seberapa besar dan luas kerusakan dan/atau kerugian yang akan terjadi disebabkan keterbatasan pengetahuan, teknologi atau bukti ilmiah. Oleh karena itu, perlu adanya suatu penanganan khusus yang berbeda untuk potential damage dibandingkan dengan penanganan potential risk. 3. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
Definisi AMDAL dalam peraturan pemerintah ini sama dengan definisi dalam UU Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 3 ayat (1) PP AMDAL menyatakan bahwa usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi: a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam; b. eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharui; c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya;
Dalam UU Pengelolaan Lingkungan Hidup, pengaturan mengenai AMDAL terdapat dalam Pasal 1 angka 21. Dalam pasal ini dinyatakan d. proses dan kegiatan yang hasilnya bahwa AMDAL adalah “kajian mengenai dapat mempengaruhi lingkungan alam, dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau lingkungan buatan, serta lingkungan sosial kegiatan yang direncanakan pada lingkungan dan budaya; hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan e. proses dan kegiatan yang hasilnya keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/ akan dapat mempengaruhi pelestarian atau kegiatan.” kawasan konservasi sumber daya dan/atau Kemudian, dalam Pasal 15 ayat (1) perlindungan cagar budaya; undang-undang yang sama disebutkan bahwa f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis “setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang hewan, dan jenis jasad renik; kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati memiliki analisis mengenai dampak lingkungan dan non hayati; hidup.” h. penerapan teknologi yang diperkirakan Sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) UU mempunyai potensi besar untuk Pengelolaan Lingkungan Hidup, dinyatakan mempengaruhi lingkungan hidup; bahwa tata cara penyusunan dan penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup ditetapkan i. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi, dan atau mempengaruhi pertahanan negara. dengan peraturan pemerintah. Berdasarkan hal ini, dibentuklah PP Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (selanjutnya akan disebut sebagai PP AMDAL). Prinsip Kehati-Hatian dan Kerugian Potensial (Liza Farihah & Femi Angraini)
| 247
B.
Analisis
1.
Ketiadaan Dokumen AMDAL Sebelum Penerbitan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 107/Kpts/KB.430/2/2001
Inti dari surat keputusan yang digugat adalah mengatur pelepasan secara terbatas kapas Transgenik Bt dengan syarat dilaksanakan hanya pada kabupaten tertentu di wilayah Sulawesi Selatan, berlaku dalam jangka waktu satu tahun, kemudian dievaluasi, dan hasil penanaman varietas tersebut belum dapat digunakan untuk pangan pakan atau pakan. Prasyarat ini pada satu sisi dianggap sebagai bentuk prinsip kehati-hatian sedangkan di sisi lain persyaratan tersebut tidak dapat dianggap sebagai bentuk prinsip kehatihatian karena tidak didukung dengan dokumen AMDAL. Pada dasarnya, pihak yang diharuskan mengeluarkan AMDAL bukanlah Pemerintah yang dalam kasus ini adalah Menteri Pertanian, melainkan pemrakarsa kegiatan, yaitu PT. Mngro yang kemudian menjadi Tergugat II Intervensi 1. Surat keputusan tersebut kemudian digugat oleh gabungan beberapa yayasan yang bergerak di bidang perlindungan lingkungan dan konsumen atas dasar legal standing sebagaimana diatur dalam Pasal 38 Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu: 1.
2. 3. 4.
248 |
5. Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM). 6. Konsorsium Nasional Untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia (KONPHALINDO). 7. Yayasan Biodinamika Pertanian. Permasalahan kemudian timbul ketika gugatan perkara lingkungan ini masuk dalam Pengadilan Tata Usaha Negara karena adanya unsur kerugian dalam Pasal 53 ayat (1) jo Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) yaitu yang dapat menjadi pihak Penggugat di dalam perkara atau sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya keputusan tata usaha negara oleh badan atau pejabat tata usaha negara baik di tingkat pusat maupun daerah. Dalam ketentuan hak gugat legal standing pada Pasal 38 ayat (1) UUPLH diatur bahwa “untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan”.
Tujuan pelestarian lingkungan hidup ini tentunya tidak terbatas pada segi kerugian yang telah ditimbulkan di lingkungan hidup melainkan pula usaha untuk menyelamatkan lingkungan. Akan tetapi, hak gugat ini seolah tidak sejalan Yayasan lembaga pengembangan Hukum dengan syarat penggugat dalam pengadilan tata lingkungan Indonesia/ Indonesian Centre usaha negara sebagaimana diatur dalam Pasal for Environmental Law (ICEL). 53 ayat (1) jo Pasal 1 angka 4 UU PTUN karena Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia unsur kerugian dalam perkara lingkungan ini belum dirasakan para Penggugat. Satu hal yang (YLKI). dapat menjembatani hal ini adalah adanya prinsip Yayasan Biodinamika Pertanian Indonesia/ kehati-hatian dalam melihat adanya kerusakan Biotani Indonesia. potensial yang akan dibahas kemudian. Salah satu Yayasan Lembaga Konsumen Sulawesi bentuk diperhatikannya prinsip kehati-hatian ini adalah dengan membuat AMDAL sebelum usaha Selatan (YLKSS). Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 241 - 260
atau kegiatan yang berpotensi mempengaruhi lingkungan dilaksanakan. Ketiadaan dokumen AMDAL inilah yang menjadi permasalahan dalam kasus ini. Penggugat merasa bahwa surat keputusan a quo tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam UUPLH dan PP AMDAL. Penggugat mendasarkan alasannya pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 14, dan Pasal 15 Undang-undang No. 23 Tahun 1999 serta Pasal 3 ayat (1) dan (2), Pasal 7 ayat (1), dan Pasal 33 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999. Pada intinya, Penggugat merasa bahwa setiap usaha dan atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki AMDAL. Usaha dan atau kegiatan yang dimaksud khususnya adalah introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jasad renik.
tertentu. Toksin yang dapat membunuh seranggaserangga tersebut memiliki potensi besar untuk menimbulkan kerugian pada keanekaragaman hayati, perpindahan gen dari tanaman transgenik ke kerabat lainnya sehingga menimbulkan gulma super yang sulit diberantas, dan pembentukan senyawa yang menimbulkan alergi atau keracunan bagi manusia. Hal tersebutlah yang menjadi alasan para Penggugat bahwa kegiatan atau usaha yang akan dilakukan PT Mngro selaku Tergugat II Intervensi 1 harus dilengkapi dengan AMDAL. Ketiadaan AMDAL dalam pemberian izin usaha tersebut mengakibatkan para Penggugat mengajukan gugatan.
Melihat definisi AMDAL dalam UUPLH, tersebut frasa “dampak besar dan penting” yang berarti perubahan lingkungan hidup yang mendasar yang diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan. Bila kita melihat Pasal 3 ayat (1) huruf PP AMDAL, jelas bahwa salah Jenis usaha dan atau kegiatan tersebut satu usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan wajib memiliki AMDAL yang ditetapkan dapat menimbulkan dampak besar dan penting Menteri setelah mendengar dan memperhatikan terhadap lingkungan hidup adalah introduksi saran dan pendapat menteri lain dan atau jenis tumbuh‑tumbuhan, jenis hewan, dan jasad Pimpinan Lembaga Non Departemen yang renik. terkait. AMDAL tersebut merupakan syarat untuk mendapatkan izin melakukan usaha dana Bentuk dan jenis rencana usaha dan atau atau kegiatan yang diterbitkan oleh pejabat yang kegiatan yang wajib AMDAL juga dipertegas lagi berwenang. Sebelum menyusun AMDAL untuk dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan mendapatkan izin lingkungan, terlebih dahulu Hidup No. 39 Tahun 1996 yang diperbaharui harus diumumkan kepada masyarakat tentang dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan usaha dan atau kegiatan yang dimaksud. Hidup Nomor 3 Tahun 2000. Apabila dalam Penggugat merasa bahwa pelepasan kapas transgenik tersebut dapat memicu menimbulkan dampak lingkungan. Kapas Bt hasil rekayasa genetika varietas Delta pine (DP) 5690 telah disisipi gen Cry1A yang mengandung endotoxin Bt (Bacillus thuriengiensis) yang tahan hama karena dapat membunuh jenis serangga-serangga
pelaksanaannya, instansi yang bertanggung jawab mempunyai keraguan tentang jenis rencana usaha atau rencana kegiatan yang tidak terdapat dalam lampiran keputusan menteri lingkungan hidup tersebut maka instansi tersebut wajib meminta kepastian penetapan wajib AMDAL kepada Menteri Lingkungan Hidup secara tertulis.
Prinsip Kehati-Hatian dan Kerugian Potensial (Liza Farihah & Femi Angraini)
| 249
Dengan demikian tidak ada celah alasan bagi tidak dibuatkannya AMDAL atas usaha dan atau kegiatan yang berpotensi mempengaruhi lingkungan hidup termasuk juga pada perkara ini. Dalam kasus kapas transgenik, maka pemrakarsa usaha atau kegiatan wajib terlebih dahulu membuat AMDAL karena kategori kegiatan yang dilakukan adalah introduksi jenis tumbuhtumbuhan, jenis hewan, dan jenis jasad renik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) PP No. 27 Tahun 1999.
Dalam kasus kapas transgenik ini, PT Mngro sebagai pemrakarsa kegiatan kapas transgenik tidak membuat AMDAL dan Menteri Pertanian yang menjabat pada waktu mengeluarkan surat keputusan tentang pelepasan terbatas kapas transgenik tanpa AMDAL tersebut.
Hal ini tentunya tidak sejalan dengan prinsip pengelolaan dan pelestarian lingkungan karena kegiatan PT Mngro tersebut berpotensi mempengaruhi lingkungan sekalipun kerugian tersebut belum terjadi. Tanpa dipenuhinya AMDAL tidak hanya menjadi dokumen AMDAL tersebut maka sesuai Pasal 2 ayat (1) PP wajib pemrakarsa usaha dan atau kegiatan AMDAL, izin usaha yang dikeluarkan menteri yang memiliki dampak besar dan penting bagi pertanian tersebut menjadi tidak sah. Surat lingkungan hidup melainkan juga merupakan keputusan tersebut dapat digugat ke Pengadilan syarat terbitnya izin usaha yang bersangkutan. Tata Usaha Negara di mana objek sengketa adalah Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) PP AMDAL, sebuah keputusan tata usaha negara. AMDAL merupakan syarat yang harus dipenuhi Pertimbangan hakim yang menyatakan untuk mendapatkan izin melakukan usaha dan/ bahwa kegiatan pelepasan secara terbatas atau kegiatan yang diterbitkan oleh pejabat kapas transgenik tidak wajib dilengkapi dengan yang berwenang. Atas AMDAL yang disetujui dokumen AMDAL kurang dapat diterima. kemudian dikeluarkan Keputusan Kelayakan Alasan dari hal ini adalah jelas bahwa kegiatan Lingkungan sebagai syarat mendapatkan izin ini termasuk dalam kategori kegiatan yang wajib usaha dan atau kegiatan. dilengkapi dokumen AMDAL seperti dalam Pada rentang waktu berlakunya UUPLH, Pasal 3 ayat (1) huruf f PP AMDAL, yaitu tidak dikenal adanya izin lingkungan dan izin introduksi jenis tumbuh‑tumbuhan, jenis hewan, PPLH namun pada waktu berlakunya Undang- dan jasad renik. Pertimbangan majelis hakim undang No. 32 Tahun 2009, izin lingkungan dan yang melihat bahwa kegiatan introduksi tumbuhizin PPLH merupakan syarat yang harus dipenuhi tumbuhan, jenis hewan, dan jasad renik tidak setelah AMDAL untuk mendapatkan izin usaha. termasuk dalam kegiatan yang wajib dilengkapi Secara umum, AMDAL bertujuan untuk menjaga dokumen AMDAL, mengabaikan bukti tertulis dan meningkatkan kualitas hidup serta mengurangi berupa Surat Menteri Negara Lingkungan Hidup dampak negatif serendah mungkin. Hal pokok yang tanggal 29 September 2000 Nomor B.1882/ menjadi tujuan AMDAL adalah mengidentifikasi, MENLH/09/2000 yang ditujukan kepada Menteri memperkirakan, dan mengevaluasi dampak Pertanian dan Kehutanan, yang pada angka 2 yang mungkin terjadi terhadap lingkungan hidup surat tersebut menyatakan: sehingga dapat mengoptimalkan dampak positif “Rencana kegiatan transgenik yang dan mengurangi dampak negatif dari suatu usaha dilakukan oleh PT Mngro di Sulawesi dan atau kegiatan. 250 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 241 - 260
Selatan sesuai ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 masuk dalam kategori kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL” (lihat Putusan No. 71/G.TUN/2001/PTUN.JKT hal. 178). Meskipun terdapat bukti tertulis bahwa dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 39 Tahun 1996 yang diperbaharui dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 3 Tahun 2000, kegiatan introduksi tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jasad renik, tidak termasuk sebagai kegiatan yang wajib AMDAL, kita harus mempertentangkannya dengan pertimbangan majelis hakim yang lain pada poin 2.5. Dalam poin 2.5, majelis hakim menimbang bahwa menteri yang harus menentukan perlu atau tidaknya AMDAL dalam suatu usaha dan/atau kegiatan adalah Menteri Negara Lingkungan Hidup.
2.
Kedudukan Prinsip Kehati-hatian dan Kerugian Potensial
Saat perkara tata usaha negara ini diperiksa dan diputus pada tahun 2001, peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, dan UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pertama, kita melihat kedudukan dari prinsip kehati-hatian di Indonesia.
Dalam UU Nomor 23 Tahun 1997, tidak ada pengaturan secara spesifik mengenai prinsip kehati-hatian. Dalam Pasal 3 UU Nomor 23 Tahun 1997 mengenai asas, tujuan, dan sasaran pengelolaan lingkungan hidup, hanya disebutkan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan Hal ini sesuai dengan Pasal 1 butir 12 jo pembangunan berkelanjutan yang berwawasan Pasal 3 ayat (1) PP AMDAL sehingga Menteri lingkungan hidup. Dari sini, dapat dilihat bahwa Pertanian tidak berwenang menetapkan suatu dalam UU Nomor 23 Tahun 1997, prinsip kehatiusaha dan/atau kegiatan wajib dilengkapi hatian belum diatur secara jelas. AMDAL atau tidak. Dari sini, dapat terlihat Kita tidak bisa menyatakan bahwa bahwa seharusnya majelis hakim dapat melihat Indonesia tidak mengenal prinsip kehati-hatian bahwa berdasarkan pertimbangannya mereka hanya dengan melihat UU Nomor 23 Tahun sendiri dalam poin 2.5, kewenangan penentuan 1997. Indonesia telah meratifikasi 2 (dua) diperlukannya AMDAL atau tidak berada pada konvensi dalam Konferensi Rio de Janeiro Menteri Negara Lingkungan Hidup. yang mengandung prinsip kehati-hatian, yaitu Oleh karena itu, sesuai dengan surat Menteri melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1995 Negara Lingkungan Hidup tanggal 29 September tentang Pengesahan United Nations Convention 2000, kegiatan pelepasan secara terbatas kapas on Biological Diversity dan Undang-Undang transgenik wajib dilengkapi dokumen AMDAL. Nomor 6 Tahun 1996 tentang Pengesahan United Seharusnya, majelis hakim tidak mengabaikan Nations Framework Convention on Climate bukti tertulis ini dan tidak mempertentangkan poin Change. Ratifikasi yang dilakukan oleh Indonesia pertimbangan yang satu dengan yang lain karena menunjukkan bahwa Indonesia menganut prinsip kehati-hatian dalam perlindungan dan akan menimbulkan ketidakpastian hukum. pengelolaan lingkungan hidup.
Prinsip Kehati-Hatian dan Kerugian Potensial (Liza Farihah & Femi Angraini)
| 251
Selain itu, prinsip kehati-hatian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dapat dilihat dari kewajiban kepemilikan AMDAL bagi rencana usaha dan/atau kegiatan kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup. Pengaturan mengenai AMDAL ini menunjukkan pengaturan lebih lanjut mengenai prinsip kehatihatian di Indonesia. Selanjutnya, kita akan melihat mengenai kedudukan potential damage (kerugian potensial) dalam peraturan perundanganundangan Indonesia. Dalam UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN), Pasal 53 mengatur mengenai kepentingan yang dirugikan atas suatu keputusan tata usaha negara. Pasal 53 ayat (1) UU PTUN, menyatakan bahwa:
itu, kerugian potensial dalam gugatan tata usaha negara tidak dikenal karena kerugian harus sudah terjadi berdasarkan pengaturan dalam UU PTUN. 3.
Penerapan Prinsip Kehati-hatian dan Kerugian Potensial
Sebagai contoh, Australia adalah salah satu negara yang mengadopsi prinsip kehati-hatian dalam proses penegakan hukum lingkungan. Australia juga memiliki pengadilan khusus untuk menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan pertanahan dan lingkungan hidup, yaitu Land and Environment Court (LEC) di
negara bagian New South Wales. LEC memiliki kewenangan melakukan pemeriksaan atas keputusan izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Federal yang berkaitan dengan pertanahan dan “seseorang atau badan hukum perdata lingkungan. Salah satu putusan yang berkaitan yang merasa kepentingannya dirugikan dengan pembahasan ini adalah putusan Hakim oleh suatu keputusan tata usaha negara Paul Stein yang memeriksa, mengadili dan dapat mengajukan gugatan tertulis kepada memutus perkara antara Leatch v National Parks Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan and Wildlife Service pada tahun 1993. Putusan agar keputusan tata usaha negara yang ini sangat progresif karena Hakim Paul Stein di disengketakan itu dinyatakan batal atau sini mengabulkan gugatan Penggugat atas dasar tidak sah, dengan atau tanpa disertai precautionary principle (prinsip kehati-hatian). tuntutan gati rugi dan/atau rehabilitasi.” Kasus ini bermula dari dikeluarkannya izin Kepentingan yang dirugikan yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) UU PTUN ini adalah kepentingan yang telah terjadi secara faktual dan bukan merupakan perkiraan atas kerugian yang akan terjadi dari dikeluarkannya keputusan tata usaha negara. Dalam peradilan tata usaha negara, sifat penilaian yang dilakukan oleh badan peradilan adalah a posteriori, yaitu setelah terjadinya akibat yang secara faktual benar-benar terjadi dan bukannya berdasarkan kemungkinankemungkinan yang akan terjadi. Oleh karena
252 |
pembangunan jalan melintasi Taman Nasional New South Wales melewati North Nowra sampai ke Princes Highway termasuk jembatan melintasi Bomaderry Creek oleh Director General of the National Parks. Atas izin tersebut, memungkinkan pemerintah daerah untuk membangun jalan dengan konsekuensi rusaknya ekosistem di area pembangunan. Oleh sebab itu Lembaga Swadaya Masyarakat setempat mengajukan gugatan atas izin tersebut karena bukti-bukti menunjukkan bahwa pada pembangunan jalan tersebut tidak ada
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 241 - 260
keyakinan ilmiah mengenai perlindungan yang diberikan pada spesies yang tinggal di daerah tersebut sehingga dapat membahayakan spesies endemik yang dilindungi di daerah tersebut yaitu Giant Burrowing Frog. Nama latin dari spesies endemik ini adalah Heleioporus australiacus yang merupakan spesies kodok raksasa yang tinggal di pesisir tenggara New South Wales, Australia. Hakim Paul Stein mengatakan bahwa soal mungkin atau tidaknya menerapkan prinsip kehati-hatian dalam hukum nasional bukanlah masalah penting. Menurutnya lebih penting melakukan langkah pencegahan dengan berhatihati pada kegiatan dan/atau usaha yang mungkin akan berdampak serius dan tidak dapat dipulihkan akibatnya, meskipun dampak atau akibat tersebut masih mengandung ketidakpastian (uncertainty). Pada akhirnya Stein berkeyakinan bahwa prinsip kehati-hatian adalah pilihan yang sangat relevan dan harus diterapkan dalam menangani kasus ini bahwa: “relevant to have regard to the precautionary principle or what I refer to as consideration of whether a cautious approach should be adopted in the face of scientific uncertainty and the potential for serious or irreversible harm to the environment” (Leatch v National Parks and Wildlife Service, 1993: 6). Dalam pertimbangannya untuk menerapkan prinsip kehati-hatian, Hakim Stein tidak melihat bagaimana kekuatan mengikat dari prinsip ini. Hakim Stein fokus bahwa prinsip ini menyediakan langkah yang harus diambil ketika adanya ketidakpastian ilmiah akan akibat serius dan tidak dapat dipulihkan yang mungkin terjadi pada lingkungan hidup.
Hal yang disoroti oleh Hakim Stein adalah scarcity of scientific knowledge sehingga dalam pertimbangan hukumnya, Stein menyatakan bahwa tidak adanya taksiran yang cukup mengenai besar dan luasnya kerugian yang akan terjadi akibat pembangunan tersebut dan tidak menentukan jalan alternatif dalam menanggulangi akibat dari pembangunan tersebut sangatlah berbahaya dan tidak seharusnya dilakukan. Meskipun pada akhirnya pengadilan memutuskan untuk membatalkan proyek yang telah disetujui tersebut, tidak menutup kemungkinan apabila kemudian ada proyek yang sama tetapi dengan segala prediksi yang lebih akurat, alternatif pencegahan kerusakan lingkungan yang lebih baik dengan kemajuan teknologi yang dicapai dapat dijalankan. Namun, dalam kasus ini Hakim Stein telah mengambil langkah yang begitu progresif dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dalam putusannya dengan membatalkan kebijakan yang telah disetujui padahal kerugian proyek tersebut belum terjadi secara nyata. Hal itu dikarenakan ia menimbang bahwa terancamnya spesies yang dilindungi adalah suatu dampak yang akan terjadi ketika proyek tersebut tidak memberikan alternatif penanggulangan yang baik dan kurangnya kepastian dari akibat yang dihasilkan. Dengan hal ini, hakim telah membentuk preseden baru sebagai bentuk kontrol bagi pembuat kebijakan agar lebih hati-hati dalam membuat suatu keputusan. Putusan Hakim Stein menuai banyak komentar. Salah satu komentar yang dilontarkan adalah dari Brian Preston yang menyatakan bahwa: “First, the decision was the first judicial decision to refer to the precautionary
Prinsip Kehati-Hatian dan Kerugian Potensial (Liza Farihah & Femi Angraini)
| 253
principle, and in any detailed way. Secondly, it was also the first judicial decision tendeavour to translate soft law (from international and national law) into hard law. Thirdly, not only did the decision turn soft law into hard, but Stein showed by his reasoning how courts can do so, by proper interpretation of the applicable statutory provisions. Fourthly, Stein’s decision challenged the classical, declaratory theory of judicial decisionmaking of which Blackstone was the chief exponent. This held that judges do not, and cannot, make law; they merely discover and declare it. Under this theory, there would have been no scope for application of the precautionary principle, as the legislature had not expressly adopted it in the NPW Act or the Court Act. Fifthly, Stein’s decision in Leatch began a process of demystification and familiarization with the concept of the precautionary principle. Sixthly, Stein’s decision provided an illustration of how decision-makers can use, and legitimately use, the precautionary principle in exercising discretionary statutory powers, including those to determine applications for approval to carry out development that impacts on the environment” (Leatch v National Parks and Wildlife Service, 1993: 7). Keenam hal tersebut telah mengubah cara pandang hakim khususnya mengenai bagaimana prinsip kehati-hatian diterapkan dalam usaha perlindungan atas lingkungan hidup. Bila kita membandingkan kasus Leatch v National Parks & Wildlife Service dengan kasus kapas transgenik, kita dapat melihat kesamaan permasalahan yang menjadi pokok sengketa yaitu 254 |
gugatan atas keputusan pemerintah yang digugat ke pengadilan atas dasar kerugian potensial atau belum terjadi yang memiliki dampak besar dan serius. Penggugat dalam kasus kapas transgenik menyatakan bahwa kegiatan pelepasan bibit kapas transgenik berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan. Hal tersebut senada dengan kasus Leatch v National Parks di mana proyek pembangunan jalan melintasi taman nasional mengakibatkan hilangnya habitat spesies endemik tertentu yang mengakibatkan terancamnya kehidupan spesies tersebut. Artinya, dalam kedua kasus ini gugatan sama-sama didasari atas kerugian potensial. Adanya kerugian potensial menyebabkan penerapan prinsip kehati-hatian menjadi pertimbangan penting dalam memutus kasuskasus tersebut. Pelepasan bibit kapas transgenik dan pembangunan jalan yang menjadi isi masingmasing kebijakan tentu memiliki sisi positifnya masing-masing. Pelepasan kapas transgenik diyakini dapat meningkatkan hasil produksi, meningkatkan pendapatan petani dan akhirnya pada peningkatan kesejahteraan warga (lihat Putusan No. 71/G.TUN/2001/PTUN.JKT hal. 261). Pembangunan jalan juga memiliki sisi positif. Pembangunan infrastruktur dapat meningkatkan perekonomian dan mengurangi beban infrastruktur yang sudah ada. Artinya, kegiatan dan/atau usaha tersebut sama-sama memiliki keuntungan, namun, kesamaan adanya unsur uncertainty menyebabkan keuntungankeuntungan tersebut harus menunggu kepastian mengenai akibat negatif yang ditimbulkan. Sampai hal tersebut diketahui, penerapan precautionary action dengan menundanya menjadi jalan terbaik.
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 241 - 260
4.
Kritik Atas Pertimbangan Hakim
3. Pembentukan senyawa yang menimbulkan alergi atau keracunan bagi manusia (lihat Terdapat tiga kritik terhadap pertimbangan Putusan No. 71/G.TUN/2001/PTUN.JKT majelis hakim dalam putusan ini selain masalah hal. 25). ketiadaan dokumen AMDAL. Pertama, kritik terhadap pertimbangan hakim kurang Dari ketiga pernyataan tersebut ternyata komprehensif dalam menyatakan pelepasan tidak sepenuhnya benar. Pertama, apakah benar secara terbatas kapas transgenik aman untuk kapas transgenik ini menimbulkan terbunuhnya dilakukan. Kedua, kritik terhadap penerapan suatu jenis hewan atau menurunnya populasi prinsip kehati-hatian dalam kasus pelepasan tanaman yang bukan merupakan sasaran dari racun secara terbatas kapas transgenik ini. Ketiga, ini? Tergugat dalam menjawab hal ini menyatakan kritik terhadap pertimbangan hakim yang kurang bahwa Tergugat melakukan kajian toksin protein memandang perkara lingkungan secara khusus yang dihasilkan oleh gen Bt terhadap organisme dan berbeda dari perkara tata usaha negara bukan sasaran yang hasilnya menunjukkan bahwa lainnya. setelah diujikan pada 14 spesies serangga berbeda yang diberi makan toksin protein Cry1A dengan dosis 100 kali lipat dari yang ada pada tepung sari dan madu tanaman kapas transgenik hanya memiliki aktifitas biologi yang spesifik pada Lepidoptera. Hal ini menunjukkan bahwa Bt aman Dalam kasus ini, baik Penggugat, Tergugat dan tidak ada pengaruhnya pada manusia, tikus, dan Majelis Hakim pada dasarnya masih belum kelinci maupun domba. Dengan begitu Tergugat memahami mengenai dampak yang akan berkilah bahwa kegiatan ini aman (lihat Putusan diakibatkan oleh kapas transgenik ini. Hal ini No. 71/G.TUN/2001/PTUN.JKT hal. 43). dapat dilihat dari penjelasan berikut ini. Selain itu saksi ahli yang diajukan Penggugat dalam gugatannya menyatakan Penggugat menyatakan bahwa apabila bakteri bahwa kegiatan ini akan berdampak negatif pada tersebut sampai ke tanah akan merusak struktur lingkungan hidup karena kapas transgenik ini tanah dan mengganggu ekosistem antropda pada tanah. Selain itu juga akan merusak fauna akan menyebabkan dampak sebagai berikut: tanah. Pernyataan ini berlawanan dengan 1. Menimbulkan kerugian pada pernyataan Tergugat. Berdasarkan pendapat yang keanekaragaman hayati berupa terbunuhnya dikemukakan Ecological Society of America, suatu jenis hewan atau menurunnya seperti yang dikutip oleh Wibisana, “if Bt toxin populasi suatu jenis tanaman yang bukan kills pests insects, its also has the potential to merupakan sasaran dari racun ini; kill other insects” (Wibisana, 2008: 438). Hal ini 2. Terjadinya perpindahan gen dari tanaman menunjukkan bahwa bagaimana pun pernyataan transgenik ke kerabat lainnya sehingga aman dikemukakan oleh Tergugat, pendekatan menimbulkan gulma super yang sulit kehati-hatian sangat perlu untuk dilakukan. Karena hasil labolatorium mungkin saja berbeda diberantas; dan (a). Kritik terhadap Pertimbangan Hakim yang Kurang Komprehensif dalam Menyatakan Pelepasan Secara Terbatas Kapas Transgenik Aman untuk Dilakukan
Prinsip Kehati-Hatian dan Kerugian Potensial (Liza Farihah & Femi Angraini)
| 255
dengan keadaan di lapangan (Wolfenbarger dan phifer, 2000: 2090-2091).
merusak daun sampai ke batang” (lihat Putusan No. 71/G.TUN/2001/PTUN.JKT hal. 154), sedangkan Saksi Ahli yang diajukan baik oleh Tergugat maupun Tergugat II Intervensi 1 dan Tergugat II Intervensi 2 sama sekali tidak menyangkal atau membahas mengenai timbulnya toleransi terhadap hama maupun gulma. Hal tersebut juga terjadi pada pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Majelis Hakim. Majelis hakim tidak mempertimbangkan kemungkinan terjadinya dampak gulma super dan lebih mempertimbangkan bukti bahwa Tergugat telah melakukan serangkaian analisis risiko dari kegiatan.
Berbagai penelitian lain justru menunjukkan adanya kemungkinan pengaruh dari toksin Bt pada serangga lain (Ervin, 2003: 6). Dari penjelasan tersebut dapat kita lihat bahwa memang apa yang dikemukakan Penggugat adalah suatu yang mungkin terjadi. Meskipun sulit dalam memprediksikan kerugiannya, kita harus tetap hati-hati akan bahaya yang mungkin terjadi itu. Oleh sebab itu, apabila hal ini termasuk dalam kegiatan yang berpotensi menyebabkan kerusakan lingkungan. Di sisi lain, Tergugat telah menafikkan kemungkinan yang mungkin terjadi dan bertentangan dengan prinsip kehati-hatian (b). Penerapan Prinsip Kehati-Hatian dalam dengan secara yakin menyatakan aman tanpa Kasus Pelepasan Kapas Transgenik menganalisis kemungkinan negatifnya. Bila kita menelusuri putusan, penerapan Kedua, Penggugat menyatakan bahwa prinsip kehati-hatian yang dibawa Penggugat “kegiatan ini memungkinkan terjadinya dalam dasar gugatannya kurang jelas sehingga perpindahan gen dari tanaman transgenik ke terjadi ketidakjelasan gugatan yang menyatakan kerabat lainnya sehingga menimbulkan gulma Tergugat telah sewenang-wenang dengan tidak super yang sulit diberantas” (lihat Putusan No. menerapkan prinsip kehati-hatian. Ketidakjelasan 71/G.TUN/2001/PTUN.JKT hal. 25). Apakah hal tersebut mengakibatkan hakim kesulitan dalam tersebut telah sesuai? Atas pernyataan tersebut memahami apa yang Penggugat maksud dengan Tergugat menyatakan bahwa “perpindahan gen tidak menerapkan prinsip kehati-hatian. Hal ini dari kapas transgenik ke kerabat liarnya tidak dapat dilihat dari pertimbangan majelis hakim dimungkinkan karena di Sulawesi Selatan tidak ada bahwa Tergugat telah mempertimbangkan semua kerabat liar kapas dan juga kapas bukan tanaman kepentingan tersangkut sehingga prinsip kehatiasli Indonesia dan tidak mungkin menyerbuki hatian terbukti telah cukup dilakukan dalam tanaman yang bukan kerabatnya” (lihat Putusan melakukan uji coba lapangan secara terbatas kapas No. 71/G.TUN/2001/PTUN.JKT hal. 43). transgenik (lihat Putusan No. 71/G.TUN/2001/ PTUN.JKT hal. 183). Selain itu, majelis hakim Ketiga, apakah betul kapas transgenik menimbang bahwa Tergugat telah memenuhi tersebut dapat menimbulkan gulma super sehingga prinsip kehati-hatian sebelum menerbitkan surat sulit diberantas seperti yang dikemukakan oleh keputusan a quo, yaitu: Penggugat? Ahli dari Penggugat menyatakan bahwa “kapas transgenik akan menimbulkan “melakukan pengumuman pada masyarakat toleransi pada hama, sehingga menimbulkan sebelum diterbitkannya keputusan ini, kekebalan yang cepat pada serangga yang mendengarkan pendapat dari Ketua Komisi
256 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 241 - 260
Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetik dan dinyatakan aman, memperhatikan rekomendasi TP2V yang memberi rekomendasi pelepasan kapas transgenik, melakukan risk assessment berupa uji labolatorium dan uji daya hasil” (lihat Putusan No. 71/G.TUN/2001/PTUN.JKT hal. 182-183). Selanjutnya, kita akan melihat apakah hal tersebut telah sesuai dengan prinsip kehati-hatian yang dikenal dalam Pasal 15 Deklarasi Rio de Janeiro 1992. Merujuk pada Pasal 15 Dekarasi Rio, penerapan prinsip kehati-hatian harus memenuhi unsur sebagai berikut ini, yaitu:
serangga yang resisten terhadap racun. Kesemua risiko tersebut menjadi dampak kerugian yang mungkin terjadi apabila tidak ditangani dengan baik dan benar. Seperti misalnya menanam 30% lahan saja dengan tanaman transgenik dan sisanya dengan tanaman nontransgenik. Kurangnya pengetahuan dan teknologi akan menyebabkan risiko terjadinya kerugian semakin besar ketimbang telah teridentifikasi dampak apa saja yang akan timbul, sehingga dapat langsung dilakukan pencegahannya. Minimnya pengetahuan akan kegiatan pelepasan kapas transgenik ini, maka besar kemungkinan risiko yang ditakutkan tadi akan terjadi sehingga dapat dikatakan unsur ini terpenuhi.
Where there are threats of serious or 1. Once a risk has been identified. Apabila irreversible damage. Dampak negatif yang telah teridentifikasinya kerugian yang disebutkan sebelumnya dapat dikatakan sebagai mungkin timbul. ancaman serius dan tidak dapat dipulihkan apabila 2. Where there are threats of serious or hal tersebut terjadi. Kerusakan lahan pertanian irreversible damage. Apabila adanya atau perkebunan dapat dikategorikan sebagai ancaman yang serius atau ancaman ancaman yang serius. Selain itu apabila telah tersebut tidak dapat dipulihkan kembali terjadi kondisi di mana hama sudah kebal terhadap akibatnya sehingga berdampak selamanya pestisida apapun, maka kondisi tersebut adalah pada lingkungan. Serious dan irreversible kondisi yang tidak dapat dipulihkan kembali. damage ini tidak menentu ukurannya dan Hal inilah yang menjadi pemicu mengapa harus dilakukannya precautionary action atas suatu harus dilihat kasus per kasus. kerugian potensial dari kegiatan dan/atau usaha. 3. Lack of scientific certainty. Apabila terdapat Lack of scientific certainty. Unsur ini telah kurangnya kemampuan untuk mengukur kemungkinan akan akibat atau dampak yang terpenuhi melihat bagaimana Penggugat dan akan terjadi. Sehingga terdapat uncertainty Tergugat dalam hal ini tidak terlalu memahami inti permasalahan sehingga tidak banyak atau ketidakyakinan. perdebatan mengenai pembuktian bahwa kegiatan Once a risk has been identified. Seperti yang ini aman atau tidak. Ketidaktahuan tersebut telah dijelaskan sebelumnya bahwa GMO atau menyebabkan uncertainty pada kegiatan ini. transgenik dengan racun Bt pasti memiliki risiko Melihat hal ini, perlu dilakukan precautionary dampak kerugian. Seperti menyebabkan rusaknya action dalam menanggapi kasus ini. Tergugat ekosistem, dapat membunuh serangga lain yang sendiri menyatakan bahwa ia telah melakukan bukan sasaran atau menyebabkan munculnya serangkaian uji yang merupakan implementasi Prinsip Kehati-Hatian dan Kerugian Potensial (Liza Farihah & Femi Angraini)
| 257
dari prinsip kehati-hatian. Dan menurut hakim, hal tersebut telah cukup. Namun, yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian di sini adalah bukan saja dengan melakukan kehati-hatian dalam membuat keputusan. Prinsip kehati-hatian bukan hanya soal apa yang harus dilakukan sebelum mengeluarkan kebijakan agar kegiatan dan/atau usaha tersebut aman bagi lingkungan, namun juga mengambil langkah apabila terdapat ketidakyakinan akan dampak yang serius dan tidak dapat dipulihkan dari kegiatan tersebut dengan melakukan langkah pencegahan yaitu menghentikan kegiatan sampai jelas akan besar dan luas dari dampak yang ditimbulkan. (c). Kritik terhadap Pertimbangan Hakim yang Kurang Memandang Perkara Lingkungan Secara Khusus
dikeluarkannya suatu keputusan tata usaha negara untuk membuktikan apakah pelaku/pemrakarsa kegiatan telah menggunakan prinsip ini dalam pengelolaan lingkungan hidup. Bila prinsip ini telah terlanggar, jelas bahwa pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan tidak sesuai dengan tujuan pelestarian dan perlindungan lingkungan. Prinsip kehati-hatian yang telah terlanggar, mengindikasikan terjadinya kerusakan lingkungan atau dampak buruk lainnya. Seharusnya hakim dapat memperluas pandangannya akan kerugian yang akan ditimbulkan dari surat keputusan a quo dalam perkara ini. Gugatan tata usaha negara tentang lingkungan, sebaiknya dipandang secara khusus karena kasus mengenai lingkungan berbeda dengan kasus mengenai keputusan tata usaha negara biasa. Bila suatu keputusan tata usaha negara tentang izin lingkungan hanya bisa digugat saat kerugian telah terjadi, kerusakan lingkungan nyata terjadi di depan mata kita. Seperti yang kita ketahui bersama, kerusakan lingkungan bukan hal yang mudah untuk dipulihkan. Oleh karena itu, jika kita harus menunggu telah terjadi kerugian nyata baru mengajukan gugatan, tidak ada gunanya lagi karena telah terjadi kerusakan lingkungan. Bila telah terjadi kerusakan lingkungan yang
Pertimbangan majelis hakim menyatakan bahwa maksud dan tujuan yang melatarbelakangi diterbitkannya surat keputusan tersebut adalah untuk melakukan uji coba penanaman di lapangan dan pemanfaatan secara terbatas kapas transgenik. Hal ini dijadikan justifikasi bahwa belum ada kepentingan yang dirugikan setelah surat keputusan tersebut dikeluarkan. Seharusnya, majelis hakim dapat mengembalikan pemahaman kerugian potensial ini kepada prinsip kehati- merupakan kerugian yang nyata, masyarakat tentunya akan lebih memilih untuk mengajukan hatian yang dianut dalam hukum lingkungan. gugatan ganti rugi melalui jalur perdata. Namun, Majelis hakim seharusnya bisa melihat yang pasti ganti rugi atas kerusakan lingkungan ini perkara ini tidak hanya terbatas pada definisi tidak akan bisa memulihkan kondisi lingkungan kepentingan yang dirugikan dalam UU PTUN seperti sebelumnya (irreversible). dan sifat a posteriori dalam peradilan tata usaha negara tetapi juga melihat prinsip yang melandasi IV. SIMPULAN pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Simpulan yang didapat setelah melakukan Prinsip kehati-hatian digunakan analisis atas permasalahan yang ada adalah: dalam melihat suatu kerugian potensial atas
258 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 241 - 260
a. Penerapan prinsip kehati-hatian lingkungan hidup yang susah untuk (precautionary principle) dalam hukum dipulihkan (irreversible). lingkungan sebagai alasan gugatan berupa kerugian potensial (potential damage) dalam perkara tata usaha negara belum DAFTAR PUSTAKA dilakukan dengan baik oleh para Penggugat, Cameron, James & Juli Abouchar. 1996. The Tergugat maupun Majelis Hakim. Ketiga Status of the Precautionary Principle in pihak ini belum memahami dengan International Law, dalam The Precautionary baik mengenai prinsip kehati-hatian dan Principle and International Law, The penerapannya dalam melihat adanya suatu Challenge of Implementation. Hague: kerugian potensial atas diterbitkannya suatu Kluwer Law International. keputusan tata usaha negara. David Freestone. 1994. The Road from Rio: b. Dalam pertimbangannya, majelis hakim International Environmental Law after the menolak gugatan karena sifat peradilan tata Earth Summit. Journal of Environmental usaha yaitu a posteriori. Hal ini membuat Law 6. majelis hakim belum dapat melakukan penilaian terhadap kegiatan dan potensi Freestone, David & Ellen Hey. 1996. Origins dampaknya sebelum kegiatan tersebut and Development of the Precautionary dilakukan atau sebelum akibat merugikan Principle, dalam The Precautionary dari kegiatan tersebut benar-benar terjadi Principle and International Law, The secara nyata. Di samping itu, Majelis Hakim Challenge of Implementation. Hague: telah lalai melihat arti prinsip kehati-hatian Kluwer Law International. terhadap lingkungan karena hanya melihat Indonesia, Keputusan Menteri Negara serangkaian publikasi, rekomendasi, dan Lingkungan Hidup Nomor 3 Tahun risk assessment mengenai pelepasan secara 2000 tentang Jenis Usaha atau Kegiatan terbatas kapas transgenik. yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis c Gugatan tentang lingkungan hidup Mengenai Dampak Lingkungan. merupakan hal yang tidak bisa disamakan Indonesia, Keputusan Menteri Negara Lingkungan dengan gugatan tata usaha negara lainnya Hidup Nomor 39 Tahun 1996 tentang karena sifat kerugiannya jauh berbeda. Jenis Usaha atau Kegiatan yang Wajib Ketika terjadi kerusakan potensial terhadap Dilengkapi dengan Analisis Mengenai lingkungan maka hal tersebut harus Dampak Lingkungan. ditanggulangi dengan tindakan preventif sehingga kerusakan yang ditakutkan Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun tidak akan terjadi. Hal tersebut sama 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak dengan prinsip kehati-hatian dengan Lingkungan, Lembaran Negara Nomor 59 tujuan menghindari terjadinya kerusakan Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara pada lingkungan hidup mengingat sifat Nomor 3939.
Prinsip Kehati-Hatian dan Kerugian Potensial (Liza Farihah & Femi Angraini)
| 259
Indonesia, Undang-Undang Dasar NRI 1945. Indonesia, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Nomor 68 Tahun 1997, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699.
Soemaryono & Anna Erliyana. 1999. Tuntunan Praktik Beracara Di Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT Duta Prima. Syahrin, Alvi. Seminar Nasional mengenai “Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Untuk Pembangunan Berkelanjutan”, 24 Mei 2011.
Indonesia, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Wibisana, M.R.A.G. 2008. Law and Economic Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Analysis of the Precautionary Principle. Nomor 140 Tahun 2009, Tambahan Desertasi Doktor Maastricht University, Lembaran Negara Nomor 5059. Maastricht. Indonesia, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Lembaran Negara Nomor 77 Tahun 1986.
Wolfenbarger, L.L & P.R. Phifer. 2000. The Ecological Risks and Benefits of Genetically Engineered Plants, Science, Vol. 290.
Indroharto. 2003. Peradilan Tata Usaha Negara Buku II: Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Keanekaragaman Hayati, www.blhbu.net/ index.php?option=com_content&view =article&id=27%3 Akeanekaragamanhayati&catid=10&Itemid=18, diunduh pada 5 November 2012 pukul 11.16 WIB Preston, Brian J. 2009. Jurisprudence On Ecologically Sustainable Development: Paul Stein’s Contribution”, Makalah disampaikan pada Symposium in Honour of Paul Stein AM, Sydney. Putusan Leatch v National Parks & Wildlife Service tahun 1993 di Land and Environmental Court Act, New South Wales, Australia. Report of the United Nation Economic and Social Comission for Asia and the Pasific (UN ESCAP) Ministerial Meeting in the Environment.
260 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 241 - 260
DISPARITAS HUKUMAN DALAM PERKARA PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN Kajian terhadap Putusan Nomor 590/Pid.B/2007/PN.Smg dan Nomor 1055/Pid.B/2007/PN.Smg.
DISPARITY OF SENTENCING IN THE CRIMINAL CASE OF THEFT UNDER AGGRAVATING CIRCUMSTANCES Analyses on Decisions Number 590/Pid.B/2007/PN.Smg and Number 1055/Pid.B/2007/PN.Smg Wahyu Nugroho Fakultas Hukum Universitas Sahid Jl. Prof. Dr. Soepomo SH No. 84 Tebet, Jakarta Email:
[email protected] Diterima tgl 14 Mei 2012/Disetujui tgl 23 November 2012 Abstrak Disparitas
pemberatan dalam konteks kedua putusan tersebut hukuman
dalam
perkara
pidana
merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari terhadap vonis apapun. Namun hal tersebut akan menimbulkan masalah ketika perbedaan tersebut tidak beralasan. Penulis menemukan terjadi disparitas hukuman dalam tindak pidana pencurian dengan pemberatan atas putusan hakim No. 590/Pid.B/2007/PN.Smg dan putusan No.
tidak mungkin dapat dihilangkan, paling tidak diminimalisasi dengan cara mempertimbangkan pedoman yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat perbuatan lahiriah dan hal-hal yang bersifat subjektif seperti motivasi dan kesengajaan, juga memperhatikan akibat dari perbuatan, bobot kejahatan, cara melakukan, sikap batin (kesalahan), dan relevansi dengan hakikat delik. Hakim jangan
1055/Pid.B/2007/PN.Smg. Beberapa hasil kajian
hanya mengacu pada pertimbangan formal.
terhadap kedua putusan ini terungkap antara lain: (1)
Kata kunci: disparitas hukuman, pencurian dengan
kedua putusan menunjukkan hakim dalam perkara
pemberatan, sistem peradilan pidana.
pencurian dengan pemberatan atas kedua putusan ini kurang memperhatikan faktor-faktor kriminogen yang ada di masyarakat, tidak bersandarkan kepada tujuan pemidanaan yang mengarahkan narapidana sebagai sarana untuk memperbaiki perilakunya, dan masih kental pola pikir positivistis atau legistis, yaitu dengan digunakannya teori pencegahan khusus dan menerapkan sistem residivis; (2) dalam sudut pandang hakim dan kalangan akademisi, disparitas putusan hakim pada perkara pencurian dengan
Abstract Disparity of sentencing in criminal case is hardly to be avoided. The problem of disparity emerges when there is not supported with enough and appropriate reasons as revealed by the author in court decisions Number 590/Pid.B/2007/PN.Smg and Number 1055/Pid.B/2007/PN.Smg in the criminal case of theft under aggravating circumstances. The author of this article concludes that: (1) both verdicts show
Disparitas Hukuman Dalam Perkara Pidana Pencurian Dengan Pemberatan (Wahyu Nugroho)
| 261
that the judges did not pay enough attention to
possible to be minimized. The minimization can
criminogenic factors existing in society as well as
be done by considering the guidelines in terms of
to the punishment objective as a means to behavior
physical actions and subjective factors such as
rehabilitation. On the other hand, judges all
motivation and intention. Other considerations
appeared to contribute to a mind-set characterized
are the consequences of action, crime weighting,
by a desire to follow legal positivism or legism. They
crime modus operandi, attitude, and the nature of
preferred to impose special precaution theory and
crime. Hopefully, judges will never ponder formal
apply recidivist system. (2) In the perspectives of
consideration only.
those judges and some academics, the disparity on
Keywords:
the cases of theft under aggravating circumstances may not be eliminated, but at least, it is still
I.
PENDAHULUAN
Undang-undang Dasar 1945 menegaskan bahwa negara Republik Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum (rechtstaat). Sebagai negara hukum, maka Indonesia selalu menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (Waluyo, 2004: 33). Idealnya sebagai negara hukum, Indonesia menganut sistem kedaulatan hukum atas supremasi hukum yaitu hukum mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam negara. Sebagai negara hukum, Indonesia menganut salah satu asas yang penting yakni asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Asas yang demikian selain ditemukan di dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), juga dapat disimak dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dinyatakan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap (Sutarto, 2003: 19). 262 |
aggravating
disparity of sentence, theft under circumstances,
criminal
justice
system.
Putusan pengadilan akan berdimensi kemanusiaan apabila berpijak kepada asas equality before the law dan presumption of innocence, karena kedua asas ini mengandung nilai-nilai Hak Asasi Manusia yang juga harus dilindungi dan diperhatikan oleh penegak hukum khususnya bagi hakim yang wewenang memutus perkara. Putusan pengadilan merupakan tonggak yang penting bagi cerminan keadilan, termasuk putusan pengadilan yang berupa penjatuhan pidana dan pemidanaan. Hakim dalam menjatuhkan pemidanaannya, tentunya selain berdasarkan pada ketentuan perundang-undangan (positif), juga mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan, asas kemanfaatan, efektivitas dalam menjalankan pemidanaan dan perubahan perilaku yang menimbulkan efek jera pasca keluarnya dari lembaga pemasyarakatan. Hakim dalam putusannya tanpa mempertimbangkan aspek tersebut, akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan di dalam memberikan pidana. Hal tersebut nampak banyak terjadinya penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same offence) dalam prakteknya di Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 - 282
pengadilan. Kasus penerapan pidana tersebut menurut Molly Cheang sebagaimana dikutip oleh Muladi dinamakan disparitas putusan hakim atau dikenal dengan istilah disparitas hukuman (pidana) (disparity of sentencing) (Muladi, 1992: 119).
ringannya pidana kepada terdakwa, diantaranya hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan, baik yang terdapat di dalam maupun di luar undang-undang. Di antaranya yang terdapat di dalam undang-undang yaitu pada peringanan pemidanaan, yaitu: pembantuan (medeplichtige) dalam Pasal 56 KUHP dan halhal yang memberatkan, yaitu perbarengan tindak pidana (concursus) dalam Pasal 63 sampai 71 KUHP. Dari putusan-putusan tersebut nampak adanya disparitas pidana, yaitu Putusan No. 590/Pid.B/2007 dijatuhi pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan, sedang Putusan No. 1055/ Pid.B/2007 dijatuhi pidana penjara selama satu tahun enam bulan.
Disparitas putusan hakim ini akan berakibat fatal, bilamana dikaitkan dengan administrasi pembinaan narapidana. Terpidana setelah membandingkan antara pidana yang dikenakan kepadanya dengan orang-orang lain kemudian merasa menjadi korban (victim) dari ketidakpastian atau ketidakteraturan pengadilan akan menjadi terpidana yang tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum tersebut merupakan salah satu hasil yang ingin Sudah disinggung di atas bahwa disparitas dicapai di dalam tujuan pemidanaan. sendiri secara letterlijk sering diartikan dengan istilah perbedaan pidana. Namun ini bukan Optik dari tujuan pemidanaan akan terlihat menjadi persoalan dalam hukum pidana, karena suatu persoalan berat, sebab merupakan suatu pada hakekatnya hakim memutus perkara pasti indikator dan manifestasi kegagalan suatu disparitas. Hal itu merupakan suatu konsekuensi sistem untuk mencapai persamaan keadilan atau akibat mutlak karena pertama, kebebasan di dalam negara hukum dan sekaligus akan hakim dan kedua, melihat secara kasuistik yang melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap ditanganinya. Artinya dalam kasus yang sama, sistem penyelenggaraan hukum pidana (criminal orang yang melakukan delik berbeda, alasan justice system). Sistem tersebut akan berjalan melakukan delik berbeda dan dengan kondisi dengan efektif ketika terjadi koordinasi yang yang berbeda-beda pula. baik antar sub sistem-sub sistem dan memiliki visi yang sama di dalam penegakan hukum (law Disparitas yang dimaksud di sini ialah enforcement). perbedaan yang tidak berdasarkan landasan Tindak pidana pencurian dengan pemberatan di Pengadilan Negeri Semarang pada Putusan No. 590/Pid.B/2007/PN.Smg dan No. 1055/Pid.B/2007/PN.Smg merupakan sampel penelitian yang ditemukan adanya disparitas putusan hakim dari ratusan putusan dalam perkara yang sama. Pada dasarnya hakim mempunyai berbagai pertimbangan di dalam menjatuhkan berat
yang reasonable (beralasan), yaitu dengan tidak dilandasi dengan filosofi atau tujuan yang sama, kriteria yang sama, penilaian atau ukuran yang sama dan pertimbangan hakim yang sama pula. Di dalam perkara tindak pidana pencurian dengan pemberatan sangatlah berbeda dengan jenis-jenis pencurian yang lain. Menurut KUHP, Pencurian pada umumnya diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu: pencurian biasa, pencurian
Disparitas Hukuman Dalam Perkara Pidana Pencurian Dengan Pemberatan (Wahyu Nugroho)
| 263
dengan pemberatan, pencurian ringan dan Putusan Hakim No. 590/Pid.B/2007/ pencurian dengan kekerasan (Soerodibroto, PN.Smg dan Putusan No. 1055/Pid.B/2007/ 2006: 223). Masing-masing pencurian tersebut PN.Smg pada tindak pidana pencurian terdapat ketentuan yang berlainan dalam hal dengan pemberatan? pemidanaannya. Namun, di sini yang penulis fokuskan hanya satu jenis pencurian saja, yaitu III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS pencurian dengan pemberatan. a. STUDI PUSTAKA Disparitas pidana mencolok terjadi dalam putusan hakim di Pengadilan Negeri Semarang. 1. Pengertian Disparitas Pidana Putusan No. 590/Pid.B/2007/PN.Smg dan Putusan No. 1055/Pid.B/2007/PN.Smg. Seperti dikemukakan di awal bahwa penulis melakukan kajian terhadap dua putusan tersebut yang dianggap tampak terjadi disparitas. Artinya penerapan pidana yang tidak sebanding antar terdakwa dalam perkara yang sama. II.
RUMUSAN MASALAH
Molly Cheang dalam bukunya “Disparity of Sentencing sebagaimana disadur oleh Muladi, yang dimaksud dengan disparitas pidana adalah “the imposition of unequal sentences for the same offence, or for offences or comparable seriousness, without a clearly visible justification”, artinya penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak-tindak pidana yang sama atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan, tanpa dasar pembenaran yang jelas (Muladi, 1992: 119). Di samping itu menurut Jackson yang dikutip oleh Muladi, maka tanpa merujuk legal category (kategori hukum), disparitas pidana dapat terjadi pada pemidanaan yang tidak sama terhadap mereka yang melakukan bersama suatu tindak pidana.
Salah satu masalah yang menarik dari disparitas putusan hakim ini dalam perkara pencurian dengan pemberatan adalah beberapa putusan yang tidak beralasan (reasonable). Hal ini sangat mengganggu pula bagi criminal justice system (sistem peradilan pidana) dan mengundang perhatian lembaga legislatif (pembuat undangundang) serta lembaga-lembaga lain yang terlihat Pada dasarnya kita mengenal beberapa di dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana sistem hukum yang berbeda bahwa setiap negara untuk memecahkannya. mempunyai sistem hukumnya sendiri-sendiri. Sehubungan dengan hal tersebut perlu diadakan Permasalahan tersebut antara lain: klasifikasi sistem hukum yang ada di dunia dalam 1. Bagaimana disparitas putusan hakim beberapa keluarga hukum (legal families). Rene dapat terjadi atas tindak pidana pencurian David hanya membagi keluarga hukum menjadi dengan pemberatan pada Putusan No. 590/ empat, yaitu The Romano-Germanic family Pid.B/2007/PN.Smg dan Putusan No. 1055/ (sistem hukum yang didasarkan pada Civil Law Pid.B/2007/PN.Smg di Pengadilan Negeri Romawi), The Common Law family, The family of Semarang? Socialist Law, konsepsi-konsepsi hukum dan tata sosial lainnya (keluarga hukum agama dan hukum 2. Bagaimana persepsi dari praktisi dan tradisional) (Arief, 2003: 66-68). kalangan akademisi tentang disparitas 264 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 - 282
Konsekuensi logis akibat dijajah Belanda, maka Indonesia memakai Civil Law System. Pandangan hukum sistem ini dimulai dengan perumusan hukum yang abstrak, di mana hukum diidentikkan dengan undang-undang. Kemudian atas dasar perantaraan hakim rumusan-rumusan abstrak tersebut lalu diterapkan terhadap kasus konkrit, baru hukumnya muncul yang sering disebut kaedah konkrit. 2. Pengertian dan Unsur-Unsur Pencurian dengan Pemberatan
ini merupakan suatu ajaran sifat melawan hukum secara formil. Artinya bahwa apabila suatu perbuatan telah memenuhi semua unsur yang termuat dalam rumusan delik, dapat dikatakan perbuatan tersebut sebagai tindak pidana (delik) (Sapardjadja, 2002: 25). Tindak pidana pencurian yang masuk kategori pemberatan terdapat di dalam Pasal 363 KUHP yang bunyi Pasalnya: (KUHAP & KUHP, 2006: 121-122).
Ayat Pertama, Pidana dengan pidana a. Pengertian Delik Pencurian dengan penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun: Pemberatan 1. Pencurian ternak; Delik pencurian dengan pemberatan pada 2. Pencurian pada waktu kebakaran, peletusan, dasarnya berbeda dengan pencurian biasa (Pasal bencana banjir, gempa bumi atau gempa 362 KUHP). Istilah pencurian dengan pemberatan laut, peletusan gunung api, kapal karam, ini digunakan oleh R. Soesilo dalam bukunya kapal terdampar, kecelakaan kereta api, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Karena huru-hara, pemberontakan, pemberontakan sifatnya, maka pencurian itu diperberat ancaman dalam kapal atau bencana perang; pidananya. Pencurian jenis ini dinamakan juga pencurian dengan kualifikasi (gegualificeerd 3. Pencurian pada waktu malam dalam sebuah diefstal). rumah kediaman atau pekarangan yang tertutup di mana terdapat rumah kediaman Unsur-unsur yang memberatkan ancaman dilakukan oleh orang yang ada di situ tanpa pidana dalam pencurian dengan kualifikasi setahu atau bertentangan dengan kehendak disebabkan karena perbuatan itu ditujukan yang berhak; kepada obyeknya yang khas atau karena dilakukan dengan cara yang khas dan dapat 4. Pencurian dilakukan oleh dua orang atau terjadi karena perbuatan itu menimbulkan akibat lebih bersama-sama; yang khas (Sudarsono, 2001: 207). Sedangkan 5. Pencurian yang untuk dapat masuk ke tempat Wirjono di dalam Hermien Hadiati Koeswadji kejahatan atau untuk dapat mengambil menerjemahkannya dengan pencurian khusus, barang yang dicuri itu dilakukan dengan sebab pencurian tersebut dilakukan dengan carajalan membongkar (braak), mematahkan cara tertentu (Koeswadji, 1985: 28). (verbreking) atau memanjat (inkliming) b. Unsur-Unsur Delik Pencurian dengan atau memakai anak kunci palsu, perintah Pemberatan palsu atau pakaian jabatan palsu. Perbuatan tindak pidana dalam pemberatan
Ayat Kedua, Jika pencurian tersebut pada
Disparitas Hukuman Dalam Perkara Pidana Pencurian Dengan Pemberatan (Wahyu Nugroho)
| 265
no. 3 disertai dengan salah satu hal tersebut pada no. 4 dan 5 maka dijatuhi pidana penjara selamalamanya 9 (sembilan) tahun.
matahari terbenam dan matahari terbit.” Di negeri Belanda perumusannya agak lain (Pasal 311 WvS) yaitu: “pencurian pada waktu istirahat malam” (voor de nachtrust bestemde tijd).
Kemudian unsur-unsur dari tindak pidana pencurian dengan pemberatan sebagaimana bunyi pasal di atas adalah: (Koeswadji, 1985: 30). d. Unsur pemberatan keempat yaitu: apabila pencurian itu dilakukan bersama-sama oleh a. Pencurian ternak (vee). Di negeri Belanda dua orang atau lebih (twee of meerverenigde yang merupakan unsur yang memberatkan personen). Istilah “bersama-sama” adalah pencurian dari padang rumput, (verenigde personen) menunjukkan, bahwa tempat penggembalaan (weide). Berhubung dua orang atau lebih mempunyai kehendak di Indonesia ini ternak merupakan hewan melakukan pencurian bersama-sama. piaraan yang sangat penting bagi rakyat, Jadi di sini diperlukan unsur, bahwa para maka pencurian ternak sudah dianggap pelaku bersama-sama atau bersekutu dalam berat, tak peduli dicuri dari kandang kaitannya dengan “mededaderschap” yang ataupun dari tempat penggembalaan. mempunyai kesengajaan (gezamenlijk opzet) untuk melakukan pencurian. Menurut b. Dalam butir 2 dari Pasal 363 KUHP Pasal 55 KUHP “Mededaderschap” terdiri juga disebut pencurian pada waktu ada dari empat macam perbuatan yang dapat bencana, kebakaran, dan sebagainya. berupa: Alasan untuk memperberat ancaman pidana pada pencurian semacam ini adalah karena timbulnya kericuhan, kekacauan, kecemasan yang sangat memudahkan pencurian. Barang yang dicuri tidak perlu barang-barang yang terkena bencana, tetapi segala macam barang yang karena adanya bencana tersebut tidak atau kurang mendapat penjagaan. Si pelaku harus menggunakan kesempatan itu untuk mempermudah pencuriannya. c. Macam unsur pemberatan yang ketiga adalah pencurian pada malam hari di dalam sebuah rumah kediaman, dilakukan oleh orang yang ada di situ tanpa setahu atau bertentangan dengan kehendak yang berhak. Apa yang dimaksud dengan “malam hari” sudah jelas, yaitu sebagaimana dikatakan oleh Pasal 98 KUHP, yang mengatakan: “Malam berarti masa antara 266 |
i. ii. iii. iv.
Melakukan sendiri atau pelaku (pleger). Menyuruh orang lain untuk melakukan (doenpleger). Turut serta melakukan kejahatan (medepleger). Menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu kejahatan (uitlokker).
Tidak cukup apabila para pelaku itu secara kebetulan bersama-sama melakukan pencurian di tempat yang sama. Apabila seorang pencuri melakukan pencurian di suatu tempat, kemudian seorang pencuri lain ingin melakukan juga di tempat tersebut tanpa sepengetahuan pencuri yang pertama, maka hal ini tidak pula termasuk istilah mencuri bersama-sama sebagaimana
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 - 282
diisyaratkan oleh Pasal 363 (1) butir 4 KUHP. e. Unsur pemberatan kelima adalah dengan menggunakan cara-cara: i.
ii.
iii.
iv.
v.
Merusak Maksudnya di dalam melakukan pencurian tersebut disertai dengan perbuatan perusakan terhadap sebuah benda. Misalnya memecah kaca jendela. Memotong Maksud dari memotong yakni di dalam melakukan pencurian tersebut diikuti dengan perbuatan-perbuatan lain. Misalnya: memotong pagar kawat. Memanjat Mengenai perbuatan memanjat dapat ditafsirkan secara autentik pada Pasal 99 KUHP ialah: yang disebut memanjat termasuk juga masuk melalui lubang yang memang sudah ada, tetapi bukan untuk masuk atau masuk melalui lubang di dalam tanah yang dengan sengaja digali, begitu juga menyeberangi selokan atau parit yang digunakan sebagai batas penutup. Memakai anak kunci palsu Mengenai hal ini diterangkan dalam Pasal 100 KUHP ialah: “Yang dimaksud anak kunci palsu termasuk juga segala perkakas yang tidak dimaksud untuk membuka kunci”. Contoh: kawat, paku atau obeng digunakan untuk membuka sebuah slot itu adalah benar-benar sebuah anak kunci, namun itu bukan merupakan anak kunci yang biasa
vi.
dipakai oleh penghuni rumah untuk membuka slot itu. Memakai perintah palsu Menurut Yurisprudensi yang dimaksud dengan perintah palsu hanyalah menyangkut perintah palsu untuk memasuki tempat kediaman dan pekarangan orang lain. Perintah palsu tersebut berwujud perintah yang kelihatannya seperti surat perintah asli yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, tetapi sebenarnya bukan. Misalnya: seorang pencuri yang mengakui petugas dinas air minum yang memasuki rumah dengan alasan akan memperbaiki pipa-pipa ledeng dengan menunjukkan surat perintah resmi, akan tetapi sebenarnya ia bukan petugas Dinas Air Minum dan yang ditunjukkan bukan surat perintah resmi. Memakai pakaian jabatan palsu Pakaian jabatan palsu adalah seragam yang dipakai oleh seseorang yang tidak berhak untuk itu. Sering terjadi di dalam masyarakat bahwa seorang pencuri mengenakan pakaian jaksa atau polisi sehingga pakaian seragamnya tadi ia dapat memasuki rumah korban dengan mudah.
3. Aliran Pembentuk Pola Pikir Hakim Keberadaan sistem hukum di Indonesia yang menganut civil law menyebabkan beraneka ragam framework atau kerangka berpikir hakim di dalam memutus perkara. Hal ini dilandasi dengan beberapa aliran yang membentuk pola pikir hakim Indonesia dalam memeriksa dan memutus perkara antara lain:
Disparitas Hukuman Dalam Perkara Pidana Pencurian Dengan Pemberatan (Wahyu Nugroho)
| 267
1). Aliran Legisme
meskipun tampaknya lengkap, tetapi tidak pernah selesai, sebab ribuan permasalahan yang tidak Umumnya para ilmuwan (hukum) terduga akan diajukan kepada hakim. Undangberpendapat bahwa mula-mula ahli-ahli hukum undang yang sudah ditetapkan itu tidak akan Romawi yang menghendaki bahwa peraturanberubah, sedangkan manusia tidak pernah berhenti peraturan hukum itu hendaknya dituliskan. Bukan dan perkembangan itu selalu akan menimbulkan itu saja, malahan lebih jauh lagi hendaknya peristiwa baru. Oleh karena itu, beberapa himpunan peraturan hukum itu ditetapkan permasalahan akan diserahkan kepada kebiasaan, dengan pasti dalam kitab undang-undang dan para sarjana hukum dan pendapat hakim. hanya himpunan undang-undanglah yang hendak dianggap sebagai satu-satunya sumber hukum. Van Apeldoorn mengatakan bahwa tugas Tidak ada hukum, kecuali hukum undang- hakim pada abad ke-19 ialah semata-mata undang, hukum adat (adatrecht) hanya ada pekerjaan intelek. Hakim adalah subsumptieapabila ditunjuk atau diperbolehkan oleh hukum automaat, yakni tugasnya hanya melakukan undang-undang. subsumptie atas hal yang akan diputuskan ke dalam Menurut ajaran Trias Politica Montesquieu, dalam rangka pemindahan kekuasaan, tugas pembentukan hukum adalah semata-mata hak luar biasa dari pembentuk undang-undang. Teori kedaulatan dari rakyat adalah kekuasaan yang tertinggi, sedang undang-undang adalah sebagai pernyataan kehendak itu. Maka tidak ada sumber lain kecuali undang-undang tersebut. Sesuai dengan teori Montesquieu ataupun J.J. Rosseau, aliran legisme berpendapat, bahwa kedudukan pengadilan adalah pasif saja, hanya terompet undang-undang dan bertugas memasukkan hal yang konkrit dalam peraturan undang-undang dengan jalan silogisme secara deduksi logis. Dengan demikian, yang berkuasa untuk merubah hukum adalah pembentuk undang-undang. Hakim dan para anggota masyarakat harus berpikir dalam suatu sistem yang dianut oleh pembentuk undang-undang.
peraturan perundang-undangan yang sesuai untuk hal tersebut. Hakim sekedar mempelajari undangundang, mengadakan analisa, menemukan jalan untuk hal-hal yang tegas dengan jalan deduksi logis melalui silogisme (Apeldoorn, 1996: 382). 2). Aliran Begriffsjurisprudenz Rechtsvinding
dan
Menurut Soedjono seperti halnya telah dikutip oleh Sudarsono benar bahwa hakim terikat pada undang-undang, akan tetapi tidaklah seketat seperti pandangan aliran legisme. Hakim juga memiliki kebebasan apa yang dinamakan “kebebasan terikat” atau “keterikatan yang bebas”. Tugas hakim disebutkan sebagai upaya melakukan rechtsvinding yang artinya adalah menyelaraskan undang-undang pada tuntutan zaman (Sudarsono, 2001: 116-117).
Untuk dapat menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara atau sengketa, hakim harus terlebih Pandangan legisme ini berkuasa di Eropa dahulu mengetahui secara obyektif tentang duduk antara 1830-1880, dan menganggap undangperkara sebenarnya sebagai dasar putusan dan undang itu lengkap, merupakan pengecualian bukan a priori menemukan putusannya, sedang adalah portalis, perencana Code Civil (1804), pertimbangannya baru kemudian dikonstuir. yang berpendapat bahwa kitab undang-undang Peristiwa yang sebenarnya akan diketahui hakim 268 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 - 282
dari pembuktian. Jadi bukannya putusan itu lahir dalam proses secara a priori dan kemudian baru dikonstruksi atau direka pertimbangan pembuktiannya, tetapi harus dipertimbangkan lebih dahulu tentang terbukti tidaknya, baru kemudian sampai pada putusannya. Setelah hakim menganggap terbukti peristiwa yang menjadi sengketa, berarti bahwa hakim telah dapat mengkonstatir peristiwa yang menjadi sengketa, maka hakim harus menentukan peraturan hukum yang menguasai sengketa antara kedua belah pihak. Hakim harus menemukan hukumnya dan mengkualifikasi peristiwa yang telah dianggapnya terbukti (Mertokusumo dan Pitlo, 1999: 32-33). Hakim dianggap tahu akan hukumnya (ius curia nuvit). Soal menemukan hukumnya adalah urusan hakim dan bukan soal kedua belah pihak sehingga hakim dalam mempertimbangkan putusannya wajib karena jabatannya melengkapi alasan-alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh para pihak (Pasal 176 ayat 1 HIR dan Pasal 189 ayat 1 Rbg.).
sekali tidak membentuk hukum, bahkan hanya membuka tabir pikiran-pikiran yang terletak dalam undang-undang. Hakim hanya mengisi kekosongan tersebut dengan jalan membuat konstruksi hukum. Misalnya dengan jalan abstraksi, determinasi, argumentum a contrario dan lain-lain. Kelemahan dari aliran ini adalah bahwa ia terlalu mendewa-dewakan ratio dan logika dalam rangka meluaskan undang-undang sampai terbentuknya hukum. Kemudian sudah puas apabila dengan kepastian hukum dapat terjamin, dan memang inilah yang menjadi tujuan dari aliran ini. Sedangkan mengenai keadilan dan kemanfaatan sosial diabaikan. 3). Aliran Interessenjurisprudenz Freirechtsschule
atau
Aliran ini tidak dapat menerima dasardasar pikiran, legisme dan Begriffsjurisprudenz antara lain H. Kantorowicz, E. Erlich, O. Bulow, E. Stampe, E. Fuchs, menyatakan bahwa undangundang tidak lengkap dan bukanlah satu-satunya sumber hukum, sedang hakim dan pejabat Aliran ini berpendapat bahwa sekalipun lainnya mempunyai kebebasan yang seluasbenar undang-undang tidak lengkap, akan luasnya dalam menemukan hukum itu. Lebih tetapi tetap dapat memenuhi kekurangan- lanjut dikatakan oleh penganut aliran ini, bahwa kekurangannya sendiri. Oleh karena itu demi untuk mencapai keadilan hakim, bahkan mempunyai daya ekspansi. Lebih lanjut dikatakan menyimpang dari undang-undang. oleh aliran ini, bahwa meskipun undang-undang Menurut mereka hanya undang-undang mempunyai daya yang meluas, akan tetapi cara yang sesuai dengan kesadaran hukum dan memperluas hukum tersebut hendaknya norm perasaan keadilanlah yang harus dilaksanakan oleh logisch dan dipandang dari segi dogmatik, sebab para pejabat (termasuk hakim) yang dijadikan hukum itu merupakan satu kesatuan atau struktur parameter dari keyakinan hakim sendiri, yang tertutup logis, sebagaimana yang telah dirumuskan kedudukannya bebas semutlak-mutlaknya. oleh Brinz, bahwa ia adalah suatu Logische Geschlossenheit. Menurut pandangan aliran ini Dikatakan oleh aliran ini bahwa hakim tugas hakim ialah semata-mata pekerjaan intelek, mempunyai kebebasan, bukan saja untuk hakim adalah subsumtie otomat, hakim sama menambah kekosongan undang-undang, akan
Disparitas Hukuman Dalam Perkara Pidana Pencurian Dengan Pemberatan (Wahyu Nugroho)
| 269
tetapi juga untuk memperbaiki dan kalau perlu menghapuskan undang-undang, apabila dianggapnya bertentangan dengan apa yang mereka sebut Fretes Rechts. Kelemahan dari aliran ini akan menimbulkan ketidakhormatan terhadap undang-undang dan seterusnya kepada kepastian hukum, akan hilang karena faktor-faktor subyektif yang ada pada hakim sendiri. Sebab mau tidak mau hakim dan para alat-alat administrasi negara dalam prakteknya terpengaruh atau terikat oleh kepentingankepentingan terdekat yang mengelilinginya, baik kepentingan pribadi, maupun kepentingan keluarga, teman, golongan dan sebagainya. Apa yang disebut dengan kepentingan dan kesadaran atau rasa keadilan masyarakat akan merosot menjadi kepentingan, kesadaran atau rasa keadilan subyektif sang hakim.
recht der werkeljkheid). 5). Aliran Sistem Hukum Terbuka Eksponen dari aliran ini adalah Paul Scholten yang memberikan penjelasan pada pokoknya mengatakan “hukum itu merupakan suatu sistem”, ialah bahwa semua peraturan-peraturan itu saling berhubungan, yang satu ditetapkan oleh yang lain, bahwa peraturan-peraturan tersebut dapat disusun sistematik dan untuk yang bersifat khusus dapat dicarikan aturan-aturan umumnya, sehingga sampailah pada asas-asasnya. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.
Perlu diketahui bahwa kebebasan hakim 4). Aliran Soziologische Rechtsschule bukanlah dimaksudkan sebagai hak istimewa dari para hakim untuk dapat berbuat sebebasPokok pikiran dari aliran ini adalah bebasnya. Dalam pengertian kebebasan hakim di terutama hendak menahan dan menolak sini adalah menyangkut masalah: kemungkinan kesewenangan dari hakim dalam rangka penerapan suatu aturan hukum menurut a. Sifat kebebasan hakim aliran Freirechtsschule tadi. Aliran tersebut pada Tugas hakim dalam menyelenggarakan dasarnya tidak setuju adanya kebebasan bagi para peradilan adalah menegakkan hukum, yang di pejabat hukum untuk mengenyampingkan undangdalamnya tersimpul bahwa hakim sendiri dalam undang sesuai dengan perasaannya, undang-undang memutuskan suatu perkara, harus juga berdasarkan tetap harus dihormati. Sebaliknya memang benar hukum. Artinya tidak boleh bertentangan dengan hakim mempunyai kebebasan dalam menyatakan hukum, sebab hakim bertugas mempertahankan hukum, akan tetapi kebebasan tersebut terbatas tertib hukum menetapkan apa yang ditentukan dalam rangka undang-undang. Berdasarkan aliran oleh hukum dalam suatu perkara yang diajukan ini, hakim hendaknya melandaskan putusankepadanya. Para pihak yaitu jaksa, penasehat putusannya pada peraturan undang-undang, tapi hukum, korban, terdakwa serta seluruh tidak kurang pentingnya, agar putusan tersebut masyarakat (dalam hal perkara yang sedang dapat dipertanggungjawabkan terhadap asas-asas diperiksa oleh hakim menarik perhatian umum). keadilan, kesadaran dan perasaan hukum yang Mereka mengharapkan bahwa hakim itu akan hidup dalam masyarakat (living law), dan demikian menjalankan hukum yang berlaku atas kasus yang inilah dikatakan “hukum yang sebenarnya” (het
270 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 - 282
ditanganinya, tidak hanya sesuai dengan hukum, dan keadilan berdasarkan Pancasila (Sudarto, namun juga sesuai dengan kesadaran hukum dan 1981: 37-37). rasa keadilan dalam masyarakat. Hal tersebut ditegaskan di dalam Bab IV B. ANALISIS mengenai Hakim dan Kewajibannya pada Pasal 5 1. Posisi kasus ayat (1) dan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No. a. Putusan 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman PN.Smg. sebagai berikut:
No.
590/Pid.B/2007/
Pengadilan Negeri Semarang yang Pasal 5 ayat (1): Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai- memeriksa dan mengadili perkara pidana pada nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam tingkat pertama telah menjatuhkan putusan terhadap AS setelah mendengar tuntutan pidana masyarakat. dari Penuntut Umum tertanggal 14 Agustus 2007 Pasal 8 ayat (2): Dalam mempertimbangkan yang pada pokoknya menuntut: berat-ringannya pidana, hakim wajib memerhatikan pula sifat-sifat yang baik dan jahat 1. Menyatakan terdakwa AS bersalah melakukan tindak pidana pencurian dari terdakwa. sebagaimana tersebut dalam surat dakwaan Dari Pasal di atas mengandung makna melanggar Pasal 363 ayat 1 ke-3, 4 dan 5 bahwa sifat kebebasan hakim itu merupakan KUHP. suatu keharusan yang diberi batas-batas oleh peraturan yang berlaku, sebab hakim diberi 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa AS dengan pidana penjara selama 1 (satu) kebebasan hanya seluas dan sejauh hakim tahun penjara dikurangi selama terdakwa dengan keputusannya itu untuk mencapai suatu berada dalam tahanan dengan perintah keadilan dalam menyelesaikan suatu perkara. terdakwa tetap ditahan. Dengan demikian, hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti 3. Menyatakan barang bukti berupa : dan memahami nilai-nilai living law dalam a. 1 (satu) buah layar monitor dan 1 (satu) masyarakat serta mempertimbangkan beratbuah tralis kaca nako dikembalikan ringannya pidana dan sifat-sifat dari terdakwa. kepada PT MS lewat SK. b. Seberapa jauh kebebasan hakim dalam b. 1 (satu) buah lampu senter, 2 (dua) menangani semua perkara buah obeng warna kuning, 1 (satu) Menurut Sudarto, bahwa ada pembatasan besi kunci roda, 2 (dua) bungkus kebebasan hakim dalam melaksanakan tugas plastik, 1 (satu) buah parang, dirampas peradilan dipandang dari segi lain bahwa dalam untuk dimusnahkan. suatu pelaksanaan tugas/wewenang judisialnya, sifat kebebasan hakim ini tidak mutlak, sebab 4. Menetapkan supaya terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum 1.000,- (seribu rupiah) Disparitas Hukuman Dalam Perkara Pidana Pencurian Dengan Pemberatan (Wahyu Nugroho)
| 271
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta dibantu oleh rekannya DD; yang terungkap di persidangan yaitu dari saksivi. Dengan cara merusak, terdakwa dibantu saksi yang bersesuaian satu dengan yang lainnya, oleh DD mengambil barang-barang dan dari keterangan terdakwa dan adanya barang tersebut, oleh terdakwa cara masuk ke ruang bukti dalam perkara ini, selanjutnya majelis hingga sampai barang ditangannya dengan hakim akan mempertimbangkan apakah faktacara merusak kaca nako dan merusak asbes fakta tersebut dapat memenuhi semua unsur dari dengan alat besi leter L milik terdakwa. pasal yang didakwa dan apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahannya. Menimbang, bahwa sebelum majelis menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, akan Menimbang, bahwa berdasarkan dipertimbangkan lebih dahulu hal-hal yang pertimbangan di atas, maka majelis memberatkan dan hal-hal yang meringankan berkesimpulan bahwa semua unsur untuk adanya pidana, sebagai berikut: perbuatan pidana dalam Pasal 363 ayat (1) ke-3, 4 dan 5 KUHP telah terpenuhi adanya, sehingga Hal-hal yang memberatkan: terdakwa akan ditanyakan terbukti secara sah a. Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat; dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana dalam pasal tersebut. b. Perbuatan terdakwa merugikan PT MS. Unsur-unsur Pasal 363 ayat (1) ke-3, 4 dan 5 KUHP yaitu: i. Barang siapa (subyek hukum), yaitu AS;
Hal-hal yang meringankan: a. Terdakwa merasa bersalah dan menyesali perbuatannya, dan berjanji tidak akan mengulangi lagi;
ii. Mengambil barang sesuatu, terdakwa telah mengambil barang-barang berupa satu buah b. Terdakwa belum menikmati hasil monitor merk. LG, satu buah keyboard kejahatannya; warna putih dan satu dos marimas berisi 500 biji, yang mana barang tersebut adalah c. Terdakwa belum pernah dihukum. milik saksi SK; Mengingat akan Pasal 363 ayat (1) ke-3, iii. Barang yang sebagian atau seluruhnya 4 dan 5 KUHP dan Pasal 191 ayat (1), (2) dan milik orang lain, barang-barang tersebut di Pasal 193 ayat (1) KUHAP, serta pasal lain dari undang-undang yang berkenaan. atas adalah milik SK; Majelis hakim mengadili:
iv. Dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, Terdakwa telah mengambil barang-barang tersebut tanpa seizin dari pemiliknya dan untuk dimilikinya;
1. Menyatakan terdakwa AS telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencurian.
v. Dilakukan di malam hari, terdakwa melakukannya pada hari Selasa, tanggal 17 April 2007 sekitar pukul 04.00 WIB
2. Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan penjara.
272 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 - 282
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa akan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. 4. Menetapkan terdakwa tetap ditahan.
SS dan terdakwa IT berupa pidana penjara selama 2 (dua) tahun, khususnya terhadap terdakwa SS dikurangi selama berada dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap ditahan;
5. Menyatakan barang bukti berupa: a.
3. Menyatakan barang bukti berupa : satu (1) unit play station 2 merk Sony, satu (1) unit 1 (satu) buah layar monitor dan 1 (satu) Laptop Compaq warna silver, dikembalikan buah tralis kaca nako dikembalikan kepada saksi JSN; kepada PT MS lewat SK.
1 (satu) buah lampu senter, dua buah 4. Menetapkan agar mereka terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.1.000, obeng warna kuning, 1 (satu) buah besi (seribu rupiah). kunci roda, 2 (dua) bungkus plastik, 1 (satu) buah parang, dirampas untuk Menimbang, bahwa terdakwa didakwa dimusnahkan. telah melakukan tindak pidana seperti diatur dan 6. Membebankan biaya perkara ini kepada diancam pidana dalam Pasal 363 (1) ke-3,4,5 terdakwa sebesar Rp.1.000,- (seribu KUHP, yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut: unsur orang, unsur mengambil benda/ rupiah). barang, unsur menguasai benda/barang secara melawan hukum, unsur waktu pada malam hari B. Putusan No. 1055/Pid.B/2007/PN.Smg. di atas pekarangan tertutup, dilakukan oleh dua Dalam putusannya, Pengadilan Negeri orang, dan membuka pintu rumah dengan cara Semarang yang memeriksa dan mengadili merusak/cara-cara kekerasan. perkara-perkara pidana pada peradilan tingkat Menimbang, bahwa dari hasil keseluruhan pertama dengan acara pemeriksaan biasa dengan hakim majelis telah menjatuhkan putusan kepada di persidangan, ternyata saling berhubungan satu sama lain sehingga perbuatan para terdakwa telah 2 (dua) terdakwa dengan nama SS dan IT. memenuhi unsur-unsur sebagaimana dimaksud Telah mendengar tuntutan Penuntut Umum dalam Pasal 363 (1) ke-3,4,5 KUHP; yang pada pokoknya menuntut agar Pengadilan Menimbang, bahwa oleh karena perbuatan Negeri Semarang memutuskan: para terdakwa telah memenuhi unsur-unsur 1. Menyatakan terdakwa SS dan terdakwa IT tersebut di atas, maka majelis berkeyakinan para telah terbukti secara sah dan meyakinkan terdakwa telah bersalah; menurut hukum telah melakukan tindak Menimbang, bahwa oleh karena para pidana “pencurian dengan pemberatan” sebagaimana yang diatur dan diancam terdakwa dihukum, maka harus pula dibebani pidana Pasal 363 ayat (1) ke 3, 4, 5 KUHP membayar ongkos perkara; dalam dakwaan tunggal; Namun sebelum pengadilan menjatuhkan b.
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa
putusan, harus dipertimbangkan hal-hal yang
Disparitas Hukuman Dalam Perkara Pidana Pencurian Dengan Pemberatan (Wahyu Nugroho)
| 273
meringankan dan memberatkan;
a.
b.
c.
a.
b.
c.
dan peringan bagi terdakwa, terkandung secara implisit filosofi penjatuhan pidana yang tiada lain Yang meringankan: merupakan tujuan dari pemidanaan yaitu pertama, Para terdakwa bersikap sopan dan berterus memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik terang di persidangan; dan berguna dan yang kedua, menyelesaikan Para terdakwa menyesal dan berjanji tidak konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, akan mengulanginya lagi di kemudian hari; memulihkan keseimbangan dan mendatangkan Mereka terdakwa masih mempunyai rasa damai dalam masyarakat. tanggungan keluarga; Tujuan di atas, dirumuskan dalam Konsep KUHP 2005 berlandaskan pada teori pemidanaan Yang memberatkan: relatif yang mempunyai tujuan untuk mencapai Perbuatan para terdakwa meresahkan manfaat guna melindungi masyarakat dan masyarakat; menuju kesejahteraan masyarakat. Tujuan ini Para terdakwa telah menikmati hasil diklasifikasikan oleh Helbert L. Paker yang dikutip Zainal Abidin dengan pandangan utilitarian yang perbuatannya; selalu berorientasi ke depan (forward-looking) Mereka terdakwa pernah di hukum; (Abidin, 2005: 16).
Mengingat ketentuan hukum dan undangDalam melakukan pemidanaan, terdapat undang yang bersangkutan, terutama Pasal 363 beberapa pertimbangan yang dilakukan oleh (1) ke-3,4,5 KUHP; hakim sebelum sampai kepada putusannya. Pertimbangan hakim terbagi menjadi dua, Mengadili menyatakan terdakwa SS dan yaitu pertama, pertimbangan yang bersifat terdakwa IT terbukti secara sah dan meyakinkan yuridis berupa dakwaan jaksa penuntut umum, bersalah melakukan tindak pidana: “pencurian keterangan terdakwa dan saksi, barang-barang dengan pemberatan”. bukti dan pasal-pasal yang mengaturnya. Kedua, Oleh karena itu, menghukum para terdakwa pertimbangan yang bersifat non yuridis, berupa dengan pidana penjara masing-masing selama 1 alasan pemberat di luar KUHP. (satu) tahun 6 (enam) bulan. Putusan tersebut memerhatikan ratio decidendi, yaitu alasan yang digunakan oleh hakim 2. Analisis Disparitas Putusan Hakim untuk sampai kepada putusannya, di antaranya Pidana Pencurian Dengan Pemberatan berupa pertimbangan yang memberatkan dan terhadap Putusan No. 590/Pid.B/2007/ meringankan para terdakwa secara implisit PN.Smg dan Putusan No. 1055/ mempunyai tujuan pemidanaan, yang merupakan Pid.B/2007/PN.Smg di Pengadilan Negeri filosofi dari penjatuhan pidana (philosophy of Semarang sentencing). Filosofi hakim tersebut adalah untuk memperbaiki, merawat atau mengobati Putusan hakim dengan No. 590/ Pid. B/ 2007 terpidana saat menjalani pemidanaan di PN.Smg melihat pertimbangan alasan pemberat 274 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 - 282
Lembaga Pemasyarakatan dan masyarakat perlu ayat (2): Maksimum pidana yang dijatuhkan adanya keseimbangan nilai yang terjamin untuk ialah jumlah maksimum pidana yang memulihkan konflik dari perbuatan kejahatan, diancamkan terhadap perbuatan itu, tetapi terutama tindak pidana pencurian tersebut (www. tidak boleh lebih dari maksimum pidana legalitas.org). yang terberat ditambah sepertiga. Menurut penulis, pemberatan pidana bagi pelaku pencurian biasa (Pasal 362 KUHP) dapat juga terjadi manakala memenuhi unsur-unsur yang ada dalam Pasal 363 (1) 1e, 2e, 3e dan 4e KUHP. Misalnya obyeknya adalah ternak; atau dilakukan dalam keadaan terjadi bencana alam seperti kebakaran, letusan, banjir dan sebagainya; atau dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah; atau dilakukan oleh dua orang bersamasama atau lebih; ataupun dilakukan dengan jalan membongkar, memanjat dan sebagainya. Dalam hal ini maksimum pidana dinaikkan dari lima tahun menjadi tujuh tahun penjara. Kalau pencurian pada waktu dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup (Pasal 363 ayat (1) ke 3e KUHP) disertai lagi dengan salah satu hal yang disebut dalam ayat (1) ke 4e dan 5e, maka maksimum pidananya dinaikkan menjadi sembilan tahun, yakni yang terdapat dalam Pasal 363 ayat (2) KUHP.
Dalam putusan hakim dengan No. 1055/ Pid.B/2007/PN.Smg, yang ternyata perbuatan terdakwa masuk dalam klasifikasi recidive atau pengulangan tindak pidana (Arief, 1993: 66). Hal ini dapat terjadi manakala seseorang melakukan suatu delik dan telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan yang in krach van gewijsde, kemudian melakukan suatu delik lagi, yaitu dari terdakwa SS dan IT. Menurut teori pemidanaan, recidive merupakan alasan untuk memperberat pemidanaan. Sistem pemberatan pidana di atas dengan jenis recidive khusus terhadap kejahatankejahatan tertentu yang masuk dalam “kelompok jenis” diatur dalam Pasal 486, 487 dan 488 KUHP. Adapun yang dimaksud dengan kelompok jenis adalah bahwa kejahatan yang diulangi harus termasuk dalam satu kelompok jenis dengan kejahatan yang pertama atau yang terdahulu.
Perbuatan terdakwa I SS dan terdakwa II IT merupakan kelompok jenis kejahatan mengenai kejahatan terhadap harta benda, terdakwa I pernah melakukan delik “pencurian dengan kekerasan” sedangkan terdakwa II juga melakukan delik “pencurian biasa”. Dalam hal ini hakim menjatuhkan pidana bersandar kepada teori pencegahan khusus untuk ditujukan kepada si ayat (1): Dalam hal perbarengan beberapa pelaku delik yang mempunyai sifat “membuatnya perbuatan yang harus dipandang sebagai menjadi tidak berdaya”. Sebab dalam hal perbuatan yang berdiri sendiri sehingga pemberatannya, ternyata terdakwa sebelumnya merupakan beberapa kejahatan, yang pernah di hukum yang itu tidak menimbulkan diancam dengan pidana pokok yang sejenis, efek jera, lagi pula meresahkan masyarakat. Para maka dijatuhkan hanya satu pidana. terdakwa sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Maka Secara teoritis, semua delik yang dimaksud di dalam Pasal 363 (1) ke 1e, 2e, 3e, 4e dan 5e serta ayat (2) merupakan delik yang berdiri sendiri. Jadi penuntut umum harus mendakwakan berupa dakwaan komulatif karena terjadi perbarengan perbuatan (concursus realis) yang menurut Pasal 65 KUHP berbunyi:
Disparitas Hukuman Dalam Perkara Pidana Pencurian Dengan Pemberatan (Wahyu Nugroho)
| 275
pidana yang dijatuhkan terhadapnya bersifat Berdasarkan unsur-unsur pidana atas dua membinasakan atau membuatnya tidak berdaya putusan di Pengadilan Negeri Semarang atas (Chazawy, 2007: 165-166). delik pencurian dengan pemberatan tersebut, perbuatan terdakwa tidak masuk dalam rumusan Hakim melihat pertimbangan alasan point ke-2 Pasal 363 (1) KUHP. Maka ketentuan pemberat dan peringan bagi terdakwa, terkandung tentang concursus realis tidak lagi diterapkan. secara implisit filosofi penjatuhan pidana yang tiada lain merupakan tujuan dari pemidanaan Pada tindak pidana pencurian dengan yaitu: pertama, memasyarakatkan terpidana pemberatan tersebut, Adami Chazawi dengan mengadakan pembinaan sehingga menyebutnya sebagai dasar pemberatan pidana menjadi orang yang baik dan berguna; kedua, khusus. Maksudnya ialah pada si pembuat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh dapat dipidana melampaui atau di atas ancaman tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan maksimum pada tindak pidana yang bersangkutan, mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. hal sebab diperberatnya mana dicantumkan secara Tujuan tersebut di atas, dirumuskan dalam Konsep KUHP 2005 berlandaskan pada teori pemidanaan relatif yang mempunyai tujuan untuk mencapai manfaat guna melindungi masyarakat dan menuju kesejahteraan masyarakat. Tujuan ini diklasifikasikan oleh Helbert L. Packer yang dikutip Zainal Abidin dengan pandangan utilitarian yang selalu berorientasi ke depan (forward-looking) (Abidin, 2005: 16).
tegas dalam dan mengenai tindak pidana pencurian dengan kualifikasi pemberatan tersebut. Selanjutnya jika dilihat dari berat ringannya ancaman pidana, tindak pidana pencurian dengan pemberatan ini masuk dalam jenis/kualifikasi yang diperberat. Sedangkan cirinya ialah harus memuat semua unsur yang ada pada bentuk pokoknya ditambah lagi satu atau lebih dari unsur khusus yang bersifat memberatkan.
Penegakan hukum dalam hukum pidana dapat tercapai apabila tujuan dari pemidanaan itu terpenuhi yang tidak sekedar menjatuhkan pidana terhadap seseorang (pandangan retributif), akan tetapi makna filosofi dari pemidanaan itu dapat dirasakan oleh terpidana dan berdampak positif saat terpidana selesai menjalani masa pemidanaannya yaitu setelah ia keluar dari rumah tahanan dan kembali di masyarakat (pandangan utilitarian) (Sholehuddin, 2004: 83).
Bervariasinya putusan pemidanaan oleh hakim antara putusan yang satu dengan lainnya, yaitu putusan No. 590/Pid.B/2007/PN.Smg, dengan putusan No. 1055/Pid.B/2007/PN.Smg kepada masing-masing terdakwa dalam perkara tindak pidana pencurian dengan pemberatan (kualifikasi) merupakan disparitas pidana, karena hakim kurang memerhatikan landasan, kriteria dan ukuran yang sama diantara para pelaku dalam tindak pidana yang sama, yang dapat menyebabkan ketidakadilan atas terpidana setelah Dalam hal ini, hakim yang memeriksa membandingkan dengan terpidana yang lainnya perkara pencurian dengan pemberatan ini dalam jenis perkara yang sama dan nantinya akan semestinya memerhatikan filosofi pemidanaan dan menjadikan terpidana itu sikap anti rehabilitasi menggunakan pemikiran yang progresif, sehingga dan demoralisasi di Lembaga Pemasyarakatan tidak terjebak dalam pola pikir yang legistik. dan Balai Pemasyarakatan.
276 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 - 282
Dari dua putusan tersebut, maka penyebab dari adanya disparitas pemidanaan pada perkara tindak pidana pencurian dengan pemberatan adalah pertama, secara umum dilihat dari aspek yuridis bahwa undang-undang (KUHP) secara umum mengandung sistem perumusan indefinite, artinya tidak ditentukan secara pasti. Dalam Pasal 363 ayat (1) KUHP dikatakan “Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.........”.
a.
Perbuatan para terdakwa meresahkan masyarakat
b.
Para terdakwa telah menikmati hasil perbuatannya
c.
Mereka terdakwa pernah dihukum
d.
Perbuatan para terdakwa telah merugikan korban / saksi korban
2. Dari sini pembuat undang-undang memberikan kebebasan kepada hakim untuk memilih rentang waktu antara minimal satu hari sampai dengan maksimal tujuh tahun penjara; kedua, pelakunya berbeda-beda, ada yang berperan sebagai pleger (pelaku utama), doenpleger (orang yang menyuruhlakukan), medepleger (orang yang turut serta) dan uitlokker (penganjur); ketiga, barang yang diambil bervariasi mulai dari barang dengan tingkat harga terendah sampai yang tertinggi; keempat, cara melakukan pencurian berbeda-beda. Ada yang dengan memanjat pagar besi atau naik pada lubang angin (jendela) samping rumah, merusak dengan memecah kaca jendela atau yang lain, mencongkel jendela dengan memakai anak kunci palsu yaitu besi leter L dan obeng; dan kelima, motif melakukan pencurian bervariasi, ada yang digunakan untuk keperluan sehari-hari, dimiliki secara pribadi dan dijual lalu dibelikan makanan dan minuman. Selain itu juga terdapat faktor 3. pemberatan dan peringanan pidana.
Hal-hal yang meringankan:
Berikut ini merupakan temuan dari hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan terdakwa di luar undang-undang (KUHP) dalam beberapa putusan, khususnya perkara pencurian dengan pemberatan di Pengadilan Negeri Semarang ialah sebagai berikut: 1. Hal-hal yang memberatkan:
a.
Para terdakwa bersikap sopan dan berterus terang di persidangan
b.
Para terdakwa menyesal dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi di kemudian hari
c.
Para terdakwa berterus terang (mengakui) akan perbuatannya
d.
Terdakwa merasa bersalah
e.
Mereka terdakwa masih mempunyai tanggungan keluarga
f.
Para terdakwa dihukum
g.
Terdakwa belum menikmati hasil kejahatannya
belum
pernah
Persepsi Praktisi dan Akademisi tentang Disparitas Putusan Hakim
Disparitas putusan hakim pada umum bukanlah merupakan suatu permasalahan besar di dalam hukum pidana. Hakim di dalam menjatuhkan putusan pidana pasti disparitas. Di sini yang menjadi permasalahan disparitas yang tidak beralasan. Memang secara yuridis, hukum itu bersifat kaku, tetapi sifat kekakuan hukum tersebut berubah manakala hukum itu diterapkan
Disparitas Hukuman Dalam Perkara Pidana Pencurian Dengan Pemberatan (Wahyu Nugroho)
| 277
oleh kekuasaan yudikatif (aplikatif), dalam hal ini karena disparitas tersebut tidak mempunyai hakim sebagai pemutus perkara di pengadilan. landasan yang reasonable. Disparitas dalam konteks penjatuhan pidana bukanlah dipahami sebagai perbedaan. Berdasarkan wawancara khusus penulis dengan Barda Nawawi Arief, disparitas putusan hakim yang dimaksud adalah disparitas yang tidak didasarkan kepada landasan yang beralasan (reasonable) berupa filosofi atau tujuan yang sama, kriteria dan ukuran yang sama (wawancara dengan Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H., 2012). Kemudian juga beberapa perkara yang ditangani oleh hakim sifatnya kasuistis, pelakunya berbeda, jenis kejahatannya berbeda, cara melakukannya pun berbeda. Jadi, di dalam menjatuhkan pidananya pun tidak boleh disamaratakan dengan terdakwa yang lain. Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa dampak dari disparitas putusan hakim itu ada beberapa kemungkinan. Tentunya bagi masyarakat, disparitas pidana dalam arti yang tidak memberi dasar, pertama, bisa menimbulkan ketidakpercayaan terhadap masyarakat. Kedua, terjadi rasa ketidakpuasan karena diperlakukan tidak sama dengan pelaku yang lainnya. Ketiga, kemudian memunculkan rasa ketidakadilan. Keempat, menimbulkan kebencian kepada sistem, khususnya di lembaga pengadilan. Dan terakhir, dapat menghasilkan ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum dalam Criminal Justice System (Wawancara dengan Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H., 2012).
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief bahwa terpidana akan membandingkan dengan terpidana yang lainnya, yang kemudian setelah membandingkannya merasa menjadi korban (victim) “the judicial caprice”, akan menjadi terpidana yang tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum tersebut merupakan salah satu target di dalam tujuan pemidanaan. (Muladi dan Arief, 2005: 56). Dari sini akan tampak suatu persoalan yang serius, sebab akan merupakan suatu indikator dan manifestasi daripada kegagalan suatu sistem untuk mencapai persamaan keadilan di dalam negara hukum dan sekaligus akan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan hukum pidana (Criminal Justice System). Dalam perkara tindak pidana pencurian dengan pemberatan, merupakan jenis perkara pencurian dengan kualifikasi atau diperberat ancaman hukumannya karena melihat adanya unsur-unsur yang memiliki sifat khas. Misalnya pencurian yang obyeknya adalah hewan ternak/ piaraan atau dilakukan pada waktu ada musibah/ bencana alam, atau unsur-unsur lainnya yang terdapat dalam Pasal 363 ayat (1) KUHP. Oleh karena itulah peran dari pelakunya berbeda-beda, barang yang dicuri beragam, motif, cara dan waktu melakukannya pun juga tidak sama (wawancara dengan Bp. Fatchurrachman, S.H., seorang hakim Pengadilan Negeri Semarang, 2012).
Selain itu, adagium di masyarakat yang juga azas dalam hukum pidana mengatakan “tiada pidana tanpa kesalahan”, artinya pidana harus Disparitas putusan hakim atas kasus sesuai dengan kesalahannya masing-masing. pencurian dengan pemberatan akan berakibat Apabila ini dirasa bertentangan, maka dapat fatal apabila dihubungkan dengan kepercayaan memunculkan perbuatan main hakim sendiri masyarakat pencari keadilan. Hal tersebut 278 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 - 282
apabila tidak segera diatasi atau paling tidak diminimalisir, akan berdampak luas yaitu muncul ketidakpercayaan terhadap lembaga peradilan, kemudian ketidakpuasan masyarakat karena ketidakadilan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana. Kasus pencurian dengan pemberatan yang kebanyakan pelakunya berasal dari kelas ekonomi bawah tidak akan menjadi efek jera ketika putusan hakim dalam perkara yang sama akan dijatuhkan sanksi pidana yang tidak seimbang, sesuai dengan bobot barang yang dicuri dan sarana serta cara bagaimana mengambil barang tersebut. Ketidakadilan hakim terhadap putusan para terdakwa sangat berpotensi menimbulkan distrust atau ketidakpercayaan masyarakat luas, terutama pada diri terpidana, yang merasa diperlakukan tidak adil dengan terpidana lainnya. Hal ini tentu saja lama-kelamaan akan menumbuhkan kebencian terhadap criminal justice system yang berujung kepada ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum. Jadi hemat penulis, perlu adanya kesatuan visi antar sub sistem di dalam penegakan hukum.
sangatlah dimungkinkan. Untuk mengatasi atau meminimalisir adanya disparitas putusan hakim itu, khususnya dalam perkara tindak pidana pencurian dengan pemberatan di atas, maka diperlukan pengintegrasian visi dan misi oleh aparat penegak hukum, yang tidak hanya hakim saja memutus perkara dalam peradilan pidana, tetapi juga lembaga kesatuan yang berperan di dalam criminal justice system atau sistem penyelenggaraan hukum pidana secara integrated/terpadu dalam melaksanakan tugasnya. Serangkaian sub sistem inilah yang akan berperan dalam penegakan hukum pidana. Sedangkan yang paling dominan menentukan masa depan baik tidaknya terpidana adalah di Lembaga Pemasyarakatan, bukan semata-mata dari putusan hakim (wawancara dengan Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H., 2012). Hakim hendaknya diberikan pedoman pemidanaan (straftoemetingsleidraad) yang sama untuk mempertimbangkan sebelum kepada putusannya. Misalnya pedoman yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat perbuatan lahiriyah dan hal-hal yang bersifat subyektif, yaitu: motivasi, kesengajaan, apa akibat dari perbuatannya, apa bobotnya, cara dia melakukan, sikap batinnya (kesalahannya), apakah memang perbuatannya itu relevan atau tidak dengan hakikat deliknya, jangan hanya pertimbangan formal dan kemudian apakah perbuatan tersebut melawan hukum secara materiil apa tidak, jangan hanya melihatnya secara formal.
Secara sosiologis, tindak pidana pencurian khususnya dengan pemberatan mudah terjadi kapan dan di manapun berada di lingkungan sekitar, sebab pada tindak pidana pencurian jenis pemberatan ini seringkali terjadi dengan adanya faktor-faktor kriminogen di masyarakat sekitar. Oleh karena itu fenomena dari tindak pidana ini paling banyak di masyarakat, di mana yang Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa paling dominan dilatarbelakangi oleh faktor dampak dari disparitas putusan hakim itu ada ekonomi dan mayoritas para pelakunya adalah beberapa kemungkinan, tentunya bagi masyarakat. tingkat kelas ekonomi menengah ke bawah atau Disparitas pidana dalam arti yang tidak memberi dapat dikatakan berstatus sosial rendah. dasar (reasonable), pertama, bisa menimbulkan Disparitas pemidanaan sulit untuk ketidakpercayaan terhadap masyarakat; kedua, dihilangkan, namun kalau diminimalisir terjadi rasa ketidakpuasan karena diperlakukan Disparitas Hukuman Dalam Perkara Pidana Pencurian Dengan Pemberatan (Wahyu Nugroho)
| 279
tidak sama dengan pelaku yang lainnya; ketiga, kemudian memunculkan rasa ketidakadilan; keempat, menimbulkan kebencian kepada sistem, khususnya di lembaga pengadilan; dan kelima, dapat menghasilkan ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum dalam Criminal Justice System (petikan wawancara dengan Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H., 2012). Adagium di masyarakat yang juga azas dalam hukum pidana Indonesia mengatakan “tiada pidana tanpa kesalahan”, artinya pidana harus sesuai dengan kesalahannya masingmasing. Apabila ini dirasa bertentangan, maka dapat memunculkan perbuatan main hakim sendiri karena disparitas tersebut tidak mempunyai landasan yang reasonable. Di dalam Rancangan KUHP Nasional Tahun 2008 terdapat pedoman pemidanaan, yaitu Pasal 55 ayat (1) yang memuat: a) Kesalahan pembuat tindak pidana; b) Motif dan tujuan melakukan tindak pidana; c) Sikap batin pembuat tindak pidana; d) Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana; e) Cara melakukan tindak pidana; f) Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana; g) Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana; h) Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana; i) Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; j) Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/ atau k) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan (www.legalitas.org.).
pertama perkara-perkara tindak pidana ringan banyak terjadi disparitas. Persoalan disparitas dalam hukum pidana selalu ada, namun yang perlu mendapat perhatian adalah disparitas yang kurang reasonable (beralasan). Dari hasil kajian penulis terhadap putusan No. 590/Pid.B/2007/ PN.Smg dengan putusan No. 1055/Pid.B/2007/ PN.Smg di Pengadilan Negeri Semarang dapat disimpulkan: Kedua putusan menunjukkan hakim dalam perkara pencurian dengan pemberatan atas kedua putusan ini kurang memerhatikan faktor-faktor kriminogen yang ada di masyarakat dan tidak bersandarkan kepada tujuan pemidanaan yang mengarahkan narapidana sebagai sarana untuk memperbaiki perilakunya, hanya berfungsi sebagai pembalasan atas perbuatan yang dilakukan. Selain itu, masih kental pola pikir hakim yang positivistik atau legistik. Dalam putusan No. 590/Pid.B/2007/ PN.Smg hakim menjatuhkan pidana bersandar kepada teori pencegahan khusus untuk ditujukan kepada si pelaku delik yang mempunyai sifat “membuatnya menjadi tidak berdaya”. Sedangkan dalam putusan No. 1055/ Pid.B/2007/PN.Smg, hakim menerapkan sistem recidivis, yakni sistem pemberatan pidana di atas dengan jenis recidive khusus terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang masuk dalam “kelompok jenis” diatur dalam Pasal 486, 487 dan 488 KUHP.
Dalam sudut pandang hakim dan kalangan akademisi, disparitas putusan hakim pada perkara pencurian dengan pemberatan dalam IV. SIMPULAN konteks kedua putusan tersebut tidak mungkin Disparitas hakim dalam memutus perkara dapat dihilangkan, paling tidak diminimalisir. yang sama bukanlah hal yang kurang penting Hal tersebut karena faktor pertimbangan hakim dalam hukum pidana indonesia, sebab praktiknya atas putusan tersebut dalam mengungkap faktadi beberapa pengadilan khususnya di tingkat fakta di persidangan. Disparitas yang menyolok
280 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 - 282
mengenai delik yang sama ataupun dapat I. Ed. I. Cet. III. Jakarta: PT RajaGrafindo disamakan perlu dihadapi dengan langkahPersada. langkah yang akan membatasi kemungkinanDjamali, R. Abdoel. 2003. Pengantar Hukum kemungkinan itu hingga garis minimum. Cara Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo memiminalisirnya yaitu salah satunya di dalam Persada. konsep KUHP dicantumkan pedoman pemidanaan (straftoemetingsleiddrad). Hood, Roger & Sparks, Richard. 1974. Key Issues in Criminologi. World University Library. Artinya pedoman yang sama untuk McGraw-Hill Book Company. New Yorkdipertimbangkan oleh hakim dengan diberi Toronto. pedoman yang sama. Misalnya pedoman yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat perbuatan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata lahiriyah dan hal-hal yang bersifat subyektif, yaitu (HIR). motivasi, kesengajaan, haruslah memerhatikan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana apa akibat dari perbuatan, apa bobotnya, apa (KUHAP). cara dia melakukan, kemudian sikap batinnya (kesalahannya), apa memang perbuatannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). itu relevan atau tidak dengan hakikat deliknya, Koeswadji, Hermien Hadiati dkk. 1985. Delik jangan hanya pertimbangan kepada formal. Harta Kekayaan, Asas-asas, Kasus dan Permasalahannya. Cet. I. Surabaya: PT Sinar Jaya. DAFTAR PUSTAKA Abidin, Zainal. 2005. Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP 2005. Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri # 3. Cet. I. Jakarta: ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.
Konsep KUHP Tahun 2008, Pasal 54 tentang ”Tujuan Pemidanaan” . www.legalitas.org.
Apeldoorn, Van. 1996. Pengantar Ilmu Hukum. Cet.26. Jakarta: Pradnya Paramita.
Muladi dan Arief, Barda Nawawi. 2005. TeoriTeori dan Kebijakan Pidana. Ed. I. Cet. 3. Bandung: Alumni.
Arief, Barda Nawawi. 1993. Sari Kuliah Hukum Pidana II. Semarang: Badan Penyediaan Bahan Kuliah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. ______________. 2003. Perbandingan Hukum Pidana. Ed. 2. Cet. V. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Chazawy, Adami. 2007. Pelajaran Hukum Pidana
Mertokusumo, Sudikno dan Pitlo, A. 1993. BabBab Tentang Penemuan Hukum. Cet. I. Yogyakarta: PT Citra Aditya Bakti.
Muladi. 1992. Lembaga Pidana Bersyarat. Cet. 2. Semarang: Alumni. Sapardjadja, Komariah Emong. 2002. Ajaran Sifat Melawan Hukum Material dalam Hukum Pidana Indonesia; Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi. Ed. I. Cet. I. Bandung: PT Alumni.
Disparitas Hukuman Dalam Perkara Pidana Pencurian Dengan Pemberatan (Wahyu Nugroho)
| 281
Sholehuddin, M. 2004. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System & Implementasinya. Cet. 2. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Soerodibroto, R. Soenarto. 2006. KUHP & KUHAP. Ed. 5. Cet. 12. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sudarsono. 2001. Pengantar Ilmu Hukum. Cet. III. Jakarta: PT Rineka Cipta. Sutarto, Suryono. 2003. Hukum Acara Pidana Jilid I. Cet. III. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Waluyo, Bambang. 2004. Pidana dan Pemidanaan. Ed. I. Cet. 2. Jakarta: Sinar Grafika. Wawancara dengan Bp. Fatchurrachman, S.H., (Hakim Pengadilan Negeri Semarang). 2012. Wawancara dengan Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H., M.H., (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang & Ketua Tim Perumus Konsep KUHP Tahun 2007-2008). 2012. Wawancara dengan Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H., (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang). 2012.
282 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 - 282
PENGUATAN ARGUMENTASI FAKTA-FAKTA PERSIDANGAN DAN TEORI HUKUM DALAM PUTUSAN HAKIM Kajian Putusan Nomor 181 K/Pid/2007/MA
STRENGHTENING THE ARGUMENT ON LEGAL FACTS AND LEGAL THEORIES IN JUDGE-MADE LAWS An Analysis on Decision Number 181 K/Pid/2007/MA Marwan Mas Fakultas Hukum Universitas 45 Makassar Jl. Urip Sumoharjo KM. 4, Makasar Email:
[email protected] Diterima tgl 5 Mei 2012/Disetujui tgl 23 November 2012
Abstrak
Abstract
Membangun citra dan wibawa hakim tidak terlepas
Improving the image and authority of judges has
dari kualitas putusannya yang harus dibarengi
something to do with the quality of their decisions
dengan pemahaman ilmu hukum yang luas. Hakim
that must be coupled with a broad understanding
harus mampu menilai dan menganalisis fakta-
of legal science. Judges must be able to assess
fakta yang terungkap dalam sidang mengenai
and analyze the facts as revealed during the trial
kesalahan terdakwa, kemudian dituangkan dalam
regarding defendant’s fault, then pour them in legal
pertimbangan hukum yang dilandasi teori hukum,
reasoning based on the right legal theories, doctrines,
doktrin, dan asas hukum. Untuk memenuhi harapan
and principles. To meet these expectations, judges
tersebut, hakim tidak boleh mengabaikan struktur
must not ignore the philosophical, juridical, and
filosofis, juridis, dan sosiologis dalam memeriksa
sociological structures in examining and deciding
dan memutus perkara, karena dapat menimbulkan
cases. Ignoring the above mentioned aspects will
kerusakan terhadap keseluruhan sistem yang akan
terribly affect to the functions of the overall legal
dijalankan. Kemandirian hakim dalam memeriksa
system. Independence of judges in the hearing and
dan menjatuhkan putusan tidak boleh hanya dinilai
passing decisions should not only be viewed from
dari aspek ketepatan penerapan hukumnya saja,
the aspect of accuracy in applying the legal basis,
tetapi juga harus memperhatikan dan memahami
but also from the full attention to and understanding
rasa keadilan, kebenaran, dan nilai-nilai hukum
of justice, truth, and living laws.
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Keywords: argument, legal fact, legal theory, judge-
Kata kunci: Argumentasi, fakta hukum, teori
made law.
hukum, putusan hakim.
Penguatan Argumentasi Fakta-fakta Persidangan (Marwan Mas)
| 283
I.
PENDAHULUAN
PT. Bank Negara Indonesia sebagai badan hukum milik negara sebesar Rp.49.269.000.000,- (empat Kasus ini bermula terdakwa DI selaku puluh sembilan milyar dua ratus enam puluh Direktur PT BI baik bertindak sendiri-sendiri sembilan juta rupiah), dan dalam bentuk US$ maupun bersama-sama dengan SU, AJ, MA sebesar $2.999.990.00,- atau setidak-tidaknya alias AS, AH, dan MP, pada sekitar bulan April sekitar jumlah itu. 2003 sampai bulan Maret 2004 bertempat di Cabang Bank Negara Indonesia (BNI) Cabang Akibat tindakan tersebut, jaksa penuntut Kebayoran Baru Jakarta Selatan telah melakukan umum mendakwakan dakwaan pertama beberapa perbuatan melawan hukum. Mereka sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam memperkaya diri sendiri atau bersama orang Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 keuangan negara atau perekonomian negara. Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana Terdakwa bersama AH dan MP melakukan jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana. Kedua, jaksa juga pertemuan untuk membahas masalah investasi mendakwakan dakwaan kedua sebagaimana diatur dalam bentuk PMA (penanaman modal asing) dan diancam pidana dalam Pasal 3 ayat (1) Sub atau PMDN (penanaman modal dalam negeri). a, b, c Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo Pertemuan menyepakati untuk menggunakan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 jo Pasal PT GG, PT STC, PT APP, PT MGA dan PT BP 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) seolah-olah sebagai eksportir. KUHPidana. Pada kenyataannya, perusahaan itu hanya nama saja dan tidak pernah beroperasi atau fiktif. Perusahaan itu seolah-olah telah mengambil barang dari luar negeri dengan pembayaran menggunakan fasilitas kredit Letter of Credit (L/C) sehingga sepintas telah melakukan transaksi jual beli. L/C diterbitkan seolah-olah benar dari Bank Penerbit (Wastreet Bank, Cool Island Bank, Dubai Bank, Kenya Bank, dan Ross Bank) yang disetorkan ke Bank BNI Cabang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Lebih dari itu, dokumen kelengkapan Export Bill Of Loading (B/L) juga tidak pernah diterbitkan oleh perusahaan pelayaran dalam menjalankan kegiatan tersebut, Terdakwa bersama AW sepakat mengangkat SU selaku Direktur PT BI yang dituangkan dalam akta pendirian PT BI Nomor 18 Tanggal 27 Januari 2003 di hadapan Notaris Soe, S.H. Perbuatan Terdakwa bersama-sama dengan SU, AJ, dan MA yang mengakibatkan kerugian bagi negara cq. 284 |
Proses hukum kemudian berlanjut, Jaksa Penuntut Umum menuntut Terdakwa ke persidangan dan meminta Majelis Hakim agar memutuskan DI bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 2 ayat (2) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana, menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa DI dengan hukuman mati, dengan perintah terdakwa tetap ditahan, menghukum Terdakwa DI untuk membayar denda sebesar Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah), subsidair 6 (enam) bulan kurungan, dan menyatakan barang bukti sebanyak 56 bukti, dan 6 bukti yang dipergunakan untuk perkara lain, dirampas untuk negara, serta membebankan biaya perkara ini kepada terdakwa sebesar Rp.5.000,(lima ribu rupiah). Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 283 - 297
Pada tanggal 20 Juni 2006, hakim tingkat pertama setelah melakukan memeriksa pada akhirnya memutuskan Terdakwa DI terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut, menjatuhkan pidana oleh karena itu dengan pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun, menjatuhkan pidana denda sebesar Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) subsidair 5 (lima) bulan kurungan, menetapkan masa tahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari lamanya pidana yang dijatuhkan, memerintahkan terdakwa tetap dalam tahanan, menetapkan semua barang bukti (yang tercantum dalam putusan) dan perkara yang dipergunakan untuk perkara lain (yang tercantum dalam putusan) dirampas untuk negara, dan membebani terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.5.000,- (lima ribu rupiah);
kasasi di Mahkamah Agung. Mahkamah Agung memutuskan menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi terdakwa DI tersebut, dan membebankan Pemohon Kasasi/Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah). Putusan tertanggal 20 Pebruari 2007 itu dibacakan oleh Hakim Agung tertuang dalam putusan Nomor: 181 K/Pid/2007/MA.
Terhadap putusan tersebut, Terdakwa melalui kuasa hukumnya mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta. PT Jakarta berdasarkan Nomor: 175/Pid/2006/PT.DKI, memutuskan menerima permintaan Banding dari penuntut umum, dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 114/ Pid.B/2006/PN.Jak.Sel., dengan memperbaiki amar putusan menggabungkan butir kedua dan ketiga, penggantian kata “subsider” dengan kalimat, “Dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan,” mengurangkan masa penangkapan atas pidana yang dijatuhkan, penggantian kata, “memerintahkan” menjadi “menetapkan” yang berhubungan dengan penahanan terdakwa. Putusan PT ini dibacakan pada tanggal 2 Oktober 2006
2. Apakah pertimbangan hukum Majelis Hakim sudah memenuhi ketentuan hukum acara untuk menguatkan argumentasi terhadap fakta-fakta yang terungkap dalam sidang pengadilan?
II.
RUMUSAN MASALAH
Mengacu pada latar belakang perkara di atas, beberapa masalah diidentifikasi untuk dianalisis sebagai berikut ini: 1. Sejauhmanakah kelemahan Surat Dakwaan Penuntut Umum sehingga tidak semua tuntutannya dikabulkan oleh Majelis Hakim?
III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS A. Studi Pustaka 1.
Surat Dakwaan
Dakwaan Penuntut Umum (PU) sangat memegang peranan penting sebagai dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan. Menuntut seorang terdakwa di depan sidang pengadilan agar dijatuhi pidana, harus diawali dengan pemeriksaan melalui penyelidikan dan penyidikan yang Terdakwa menilai putusan tersebut tidak dituangkan dalam Berkas Acara Pemeriksaan tepat sehingga mengajukan upaya hukum (BAP) Penyidik.
Penguatan Argumentasi Fakta-fakta Persidangan (Marwan Mas)
| 285
BAP yang dinyatakan lengkap oleh PU, dilimpahkan oleh penyidik bersama terdakwa dan barang bukti (alat bukti). PU membuat surat dakwaan kemudian melimpahkan BAP ke pengadilan dengan permohonan agar hakim memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Pembuatan surat dakwaan oleh PU sebagai syarat pelimpahan berkas perkara ke pengadilan, diatur dalam Pasal 143 ayat (1) Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan permintaan agar segera mengadili perkara dimaksud. Pengertian surat dakwaan tidak diuraikan secara jelas dalam KUHAP, tetapi menurut M. Yahya Harahap (1988: 414-415) surat dakwaan dapat diartikan sebagai:
Materi surat dakwaan sebagai dasar pemeriksaan hakim dalam sidang pengadilan, tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan tindak pidana yang disangkakan oleh penyidik dalam berkas perkara penyidikan. Apabila surat dakwaan menyimpang dari hasil pemeriksaan surat penyidikan menurut M. Yahya Harahap (1988a: 415) maka: “hakim dapat menyatakan surat dakwaan tidak dapat diterima atas alasan isi rumusan surat dakwaan kabur (obscuur libel)”. Terdakwa hanya dapat dijatuhi pidana jika terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang diuraikan dalam surat dakwaan. Akan tetapi, M. Yahya Harahap (1988: 416) memberikan jalan keluar perihal surat dakwaan yang tidak boleh menyimpang dari pasal yang dilanggar terdakwa, sebagai berikut:
Surat atau akte yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa Jadi kadang-kadang hasil pemeriksaan yang disimpulkan dan ditarik dari hasil penyidikan bisa memberikan gambaran pemeriksaan penyidikan, dan merupakan peristiwa pidana yang bersifat ganda, dasar serta landasan bagi hakim dalam sehingga tidak selamanya upaya menarik pemeriksaan di muka sidang pengadilan. kesimpulan hasil pemeriksaan itu mulus dan mudah. Jika penuntut bertemu dengan M. Yahya Harahap (1988a: 415-416) hasil pemeriksaan penyidikan yang seperti menegaskan, ada dua hal yang penting diingat itu, dia diberi kesempatan menyusun surat dan diperhatikan dalam surat dakwaan, yaitu: (1). dakwaan yang berbentuk kumulasi atau perumusan surat dakwaan harus konsisten dan berbentuk alternatif dengan syarat, tidak sinkron dengan hasil pemeriksaan penyidikan, (2). boleh menyimpang dari data dan fakta surat dakwaan merupakan landasan pemeriksaan yang terkumpul dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan. penyidikan. Misalnya, hasil pemeriksaan penyidikan memberikan fakta bahwa Pengertian surat dakwaan di atas didasarkan terdakwa ikut menerima bagian hasil pada Pasal 143 ayat (2) KUHAP yang mengatur curian. Dari fakta ini, penuntut umum syarat-syarat surat dakwaan. Surat dakwaan mempunyai kebebasan dan kewenangan harus sinkron dengan hasil penyidikan, harus menarik kesimpulan fakta tersebut berupa benar-benar sejalan dan seiring dengan hasil surat dakwaan: berupa tindak pidana pemeriksaan penyidikan. Rumusan surat dakwaan penadahan (Pasal 480 KUHPidana), yang menyimpang dari hasil pemeriksaan atau bisa berupa tindak pidana turutserta penyidikan, merupakan surat dakwaan palsu dan melakukan pencurian. tidak benar untuk dibawa ke sidang pengadilan. 286 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 283 - 297
Apa yang dikemukakan di atas sejalan dengan pandangan Andi Hamzah (1996: 173), bahwa: Pemeriksaan yang dilakukan oleh polisi dengan mencantumkan pasal undangundang pidana yang menjadi dasarnya, tidak mengikat penuntut umum untuk mengikutinya. Penuntut umum dapat mengubah pasal undang-undang yang disebut oleh polisi untuk menyesuaikan dakwaan dengan fakta-fakta dan data, dan menyusun dakwaan berdasarkan perumusan delik tersebut. Misalnya, polisi mencantumkan Pasal 352 KUHPidana (penganiayaan ringan) dengan fakta-fakta dan data hasil pemeriksaan yang dibuat polisi dan visum et repertum, penuntut umum dapat mengubah pasal yang dicantumkan polisi menjadi Pasal 351 (penganiayaan biasa), dan menyusun dakwaan sesuai unsur-unsur Pasal 351 tersebut. Pandangan di atas sejalan dengan pertimbangan hukum putusan MA (yurisprudensi) dalam putusannya tanggal 28 Maret 1957 Nomor 47/K.Kr/1956 yang menyatakan bahwa: “… yang menjadi dasar tuntutan pengadilan adalah surat tuduhan (dakwaan), jadi bukan tuduhan (dakwaan) yang dibuat polisi”. Mencermati putusan (yurisprudensi) tersebut, sebetulnya tidak mengenyampingkan pendapat M. Yahya Harahap, karena juga berpendapat bahwa terdakwa dipidana didasarkan pada pasal-pasal pidana yang ditegaskan di dalam surat dakwaan, bukan pada pasal-pasal pidana yang disangkakan penyidik. Syarat-syarat surat dakwaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP, adalah:
a. Syarat formil: surat dakwaan diberi tanggal dan ditandatangani penuntut umum berisi, nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka. b. Syarat materiil, memuat dua unsur: a.
uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan;
2.
menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana dan tempat tindak pidana itu dilakukan (tempus delicti dan locus delicti).
Apabila syarat materiil surat dakwaan tidak terpenuhi, maka berdasarkan Pasal 143 ayat (3) KUHAP akan ”batal demi hukum”. Sedangkan, jika syarat formil yang tidak terpenuhi dalam surat dakwaan, akibatnya hanya ”dapat dibatalkan” sebagaimana dinyatakan M. Yahya Harahap (1988: 420). Di dalam praktik, kesalahan atau kekeliruan penuntut umum memenuhi syarat formil surat dakwaan memang dapat dibatalkan karena dianggap tidak terlalu prinsip seperti kekeliruan menulis umur atau tanggal lahir terdakwa. 2. Pertimbangan Hukum Begitu pentingnya peranan pertimbangan hukum bagi hakim dalam putusannya, sehingga konsekuensi dari profesi hakim secara substansial (Mas, Disertasi, 2005: 149) dapat ditafsirkan menjadi dua makna: a. Hakim merupakan profesi yang khusus, sehingga diberi perangkat khusus pula dalam bentuk kemandirian atau kemerdekaan
Penguatan Argumentasi Fakta-fakta Persidangan (Marwan Mas)
| 287
untuk menyelenggarakan peradilan yang jujur, adil, dan berwibawa. Pihak luar tidak dibenarkan campur tangan atas tugas-tugas peradilan yang diemban oleh hakim.
di Indonesia memang boleh mengikuti putusan hakim sebelumnya pada perkara sejenis, tetapi bukan suatu keharusan yang mengikat seperti dimaksud Pasal 1917 KUHPerdata bahwa ”putusan pengadilan hanya mengikat para pihak, tidak mengikat hakim lain”.
b. Kemandirian atau kemerdekaan, bukan berarti kebebasan tanpa batas, tetapi hakim harus memerankan nuraninya sebagai Tugas dan tanggung jawab hakim dalam tanggung jawab moral atas putusan yang sistem peradilan Eropa Kontinental adalah dijatuhkan yang sesuai dengan rasa keadilan memeriksa langsung materi perkaranya, masyarakat. menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa atau pihak yang berperkara sekaligus menerapkan Hakim dalam memeriksa dan memutus hukumnya. Metode berpikir hakim dilakukan perkara harus senantiasa membekali dirinya secara deduktif, yaitu berpikir dari yang umum dengan pemahaman ilmu hukum yang luas, ke yang khusus. Hakim berpikir dari ketentuan sebagaimana ditekankan oleh Soedikno umum untuk diterapkan pada kasus in-konkreto Mertokusumo (1993: 45-46), bahwa: (aturan khusus) yang sedang diadili (Ali, 1996: Pekerjaan hakim kecuali bersifat praktis 317). Indonesia yang secara teori menganut rutin juga ilmiah, sifat pembawaan sistem peradilan Eropa Kontinental, para hakim tugasnya menyebabkan ia harus selalu sering pula mengikatkan diri pada preseden, tetapi mendalami ilmu pengetahuan hukum untuk sebaliknya di Inggris, hakim sering melepaskan memantapkan pertimbangan-pertimbangan diri dari keterikatan terhadap preseden jika kebutuhan warga masyarakat menghendaki lain. hukumnya sebagai dasar dari putusannya. Untuk lebih mempertajam pertimbangan hukum dalam putusan hakim yang secara teoretis mengandung nilai-nilai keadilan dan kebenaran, setiap hakim perlu lebih mendalami bagaimana sistem peradilan Eropa Kontinental yang biasa disebut civil law system dan secara teori dianut di Indonesia.
Sebaliknya, metode berpikir hakim di negara Sistem Hukum Anglo Saxon (Common Law) pada prinsipnya menggunakan metode induktif (berpikir dari yang khusus ke umum), yaitu putusannya senantiasa didasarkan pada kasus in-konkreto atau aturan khusus yang kemudian dikonkretkan menjadi aturan umum. Putusan hakim berlaku sebagai preseden bagi hakim-hakim lain pada perkara sejenis, terutama pada bagian ratio decidendi dengan tujuan agar hakim lebih cepat menjatuhkan putusan atas perkara yang sedang ditanganinya (Ali, 1996: 317).
Dalam sistem peradilan Eropa Kontinental, hakim diikat oleh undang-undang (hukum tertulis) dan kepastian hukumnya dijamin melalui bentuk dan sifat tertulisnya undang-undang. Hakim tidak terikat secara rigit pada putusan hakim sebelumnya, seperti yang berlaku pada Dengan demikian, Sistem Hukum Anglo sistem peradilan common law melalui asas the binding of preseden atau keterikatan hakim pada Saxon lebih menekankan pada hukum kasus preseden (Ali, 1996: 317). Hakim-hakim lain (case law) dan menempatkan penekanan yang
288 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 283 - 297
khusus melalui pendekatan induktif (inductive reasoning) dan preseden (asas the binding forse of precedent). Pendekatan induktif berarti hakim menciptakan prinsip umum yang didapatkan dari peristiwa yang terjadi berulang-ulang dalam kondisi yang sama atas peristiwa tertentu. Sedangkan preseden merupakan bentuk (form) yang sistematik dari pelaporan kasus-kasus, struktur, dan organisasi yang jelas dari pengadilan. Saat pengambilan putusan, setiap anggota majelis hakim memberikan pertimbangan hukum (ratio dicendi) berdasarkan pendekatan induktif.
Dissenting opinion oleh anggota majelis hakim menurut penjelasan Pasal 182 ayat (6) KUHAP, harus dituangkan dalam berita acara sebelum putusan diambil yang bersifat rahasia. Pada negara-negara Sistem Hukum Anglo Saxon, pendapat para Juri yang bersifat ”dissenting” harus dipublikasikan kepada masyarakat, sehingga warga masyarakat dapat menilai secara objektif dan memberikan kritik secara bebas masukan yang informatif bagi lembaga peradilan. Keberadaan dissenting opinion memang tidak menentukan benar atau tidaknya pendapat hakim yang berbeda itu, tetapi paling tidak dapat dijadikan bahan kajian dan penilaian secara objektif oleh kalangan akademisi, praktisi hukum, dan warga masyarakat. Penerapan dissenting opinion juga merupakan ”pendekatan hukum progresif” dalam setiap pengambilan putusan sebagai bagian dari objektivitas dan pendidikan hukum terhadap masyarakat.
Pertimbangan hukum dapat dijadikan rujukan (reference) saat membuat putusan yang sama terhadap kasus yang sama berdasarkan tingkat hierarki pengadilan. Setiap pertimbangan hukum dapat dianalisis dan dikritik oleh warga masyarakat, kalangan akademik, dan praktisi hukum yang lain. Putusan yang berdasarkan pertimbangan tersebut, meskipun putusan sebelumnya atas kasus yang sama mengikat Dibolehkannya “pendapat lain” dari salah berdasarkan prinsip preseden, tetapi tetap dapat seorang anggota majelis hakim saat pengambilan dikoreksi oleh masyarakat (Mas, Disertasi, 2005: putusan, diatur dalam Pasal 182 ayat (6) KUHAP, 159). sebagai berikut: Pertimbangan hukum yang mengandung Pada asasnya putusan dalam musyawarah rasio dari anggota hakim majelis pada sistem majelis merupakan hasil permufakatan bulat, peradilan Eropa Kontinental seperti Indonesia, kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan dimuat dalam surat putusan. Setelah putusan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka yang didasarkan melalui musyawarah atau suara berlaku ketentuan sebagai berikut: terbanyak, tetapi ada anggota majelis hakim (minoritas) yang tidak setuju dengan pendapat a. putusan diambil dengan suara terbanyak; dan putusan mayoritas anggota majelis hakim, b. jika ketentuan tersebut huruf a tidak juga dapat mengajukan keberatan dan argumentasi, dapat diperoleh, putusan yang dipilih yang disebut prinsip pendaat berbeda (dissenting adalah pendapat hakim yang paling opinion). Prinsip ini merupakan kelanjutan menguntungkan bagi terdakwa. keberatan dan argumentasi yang konsisten dari Penjelasan Pasal 182 ayat (6) KUHAP: anggota majelis hakim yang memiliki pendapat berbeda atau tidak setuju dengan pendapat dan “apabila tidak terdapat mufakat bulat, pendapat lain dari salah seorang hakim majelis dicatat putusan mayoritas anggota majelis hakim. Penguatan Argumentasi Fakta-fakta Persidangan (Marwan Mas)
| 289
dalam berita acara sidang majelis yang sifatnya rahasia”. Pendekatan ”hukum progresif” yang ditekankan Satjipto Rahardjo telah dipraktikkan dalam putusan hakim, pendapat berbeda tidak lagi ”bersifat rahasia” karena dicantumkan dalam putusan hakim, bahkan dibacakan dalam sidang terbuka oleh anggota majelis hakim yang berbeda pendapat. Artinya, sifat rahasia (ketertutupan) pendapat berbeda tidak lagi berlaku dan harus c. diketahui oleh masyarakat.
melalui: 1)
membuat perbandingan antara peraturan yang satu dengan lainnya;
2)
mempelajari bagaimana hukum perundang-undangan itu beroperasi dalam masyarakat, serta bagaimana efek yang ditimbulkannya.
Melakukan telaah tentang bagaimana agar suatu peraturan hukum memiliki efektivitas yang tinggi.
Apabila dalam musyawarah tidak tercapai kata mufakat secara bulat atau suara terbanyak d. Mempelajari efek sosial dari yang tidak dipenuhi, maka putusan diambil berdasarkan ditimbulkan oleh doktrin-doktrin hukum “pendapat hakim” yang menguntungkan terdakwa pada masa lalu yang mampu menyesuaikan (in dubio proreo). Meski dalam putusan yang diri dengan kondisi-kondisi sosial, ekonomi, diteliti ini tidak ada Anggota Majelis Hakim dan psikologis. yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), tetapi cukup penting diapresiasi sebagai e. Hakim diberikan kebebasan yang lebih upaya memanifestasikan keterbukaan putusan banyak untuk menggunakan penalarannya hakim di masa datang. untuk mempersoalkan kasus yang diperiksanya, sehingga dapat memenuhi Salah satu hal yang juga penting tuntutan keadilan di antara pihak-pihak dimanifestasikan oleh hakim dalam menjatuhkan yang mencari keadilan di pengadilan. putusan, adalah bagaimana hukum difungsikan menjadi faktor penggerak untuk mengubah pola pikir dan sikap masyarakat. Konsep ini 3. Pembuktian dikemukakan oleh Roscoe Pound sebagai “law is Pembuktian kesalahan terdakwa sangat a tool of social engineering” atau “hukum sebagai memegang peranan penting, karena jika teknik alat perekayasa sosial”. Roscoe Pound (Ali, 1988: pembuktian tidak dilaksanakan dengan baik oleh 59) menjelaskan butir-butir penting yang perlu PU, hakim, dan penasihat hukum, terdakwa dapat diketahui dan diterapkan oleh pembuat undangbebas dari hukuman. Pengertian pembuktian undang dan hakim (juris) agar putusannya dapat menurut M. Yahya Harahap (1988: 793) adalah: menjadi sarana rekayasa sosial (law is a tool of a. Ketentuan-ketentuan yang berisi social engineering), sebagai berikut: penggarisan dan pedoman tentang caraa. Mempelajari efek kemasyarakatan yang cara yang dibenarkan undang-undang konkrit dari lembaga-lembaga serta doktrinmembuktikan kesalahan terdakwa. doktrin hukum. b. Ketentuan yang mengatur alat-alat bukti b. Melakukan telaah sosiologis dalam yang dibenarkan undang-undang dan yang mempersiapkan suatu perundang-undangan, 290 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 283 - 297
boleh dipergunakan hakim membuktikan peradilan betul-betul dituntut mengetahui dan kesalahan yang didakwakan. memahami hakikat pembuktian. PU yang harus membuktikan dakwaannya di depan sidang Lebih lanjut M. Yahya Harahap (1988: 793pengadilan, sedangkan terdakwa atau penasihat 794) menguraikan eksistensi pembuktian yang hukumnya yang melemahkan dakwaan PU, serta dianut pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, hakim yang akan menilai pembuktian tersebut, yaitu: diharapkan memiliki integritas moral dan a. Pembuktian adalah ketentuan yang wawasan pengetahuan ilmu hukum yang luas membatasi sidang pengadilan dalam dalam upaya mencapai tujuan-tujuan hukum. usahanya mencari dan mempertahankan Adapun alat bukti sah yang akan dinilai kebenaran. Hakim, penuntut umum, hakim untuk membuktikan kesalahan terdakwa terdakwa, dan penasihat hukum, masingditegaskan dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu: masing terikat pada ketentuan tata cara penilaian alat bukti yang ditentukan 1. Alat bukti yang sah adalah: undang-undang. a. keterangan saksi; b. Majelis hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang dijatuhkannya, maka di dalam putusan harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang secara “limitatif” sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 KUHAP. Dapat disimpulkan, pembuktian dalam hukum acara pidana pada hakikatnya merupakan ketentuan yang membatasi pelaksana peradilan dalam mencari dan menemukan kebenaran materiil. Hakim, PU, terdakwa atau penasihat hukum, terikat pada ketentuan dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Hakim dalam setiap putusannya harus didasarkan pada alat-alat bukti sah yang ditentukan secara limitatif dalam Pasal 184 KUHAP. Demikian pengertian pembuktian yang merupakan cara atau teknik yang harus diikuti atau dilaksanakan oleh PU, hakim, dan penasihat hukum. Untuk mewujudkan prinsip kebenaran materiil dalam memeriksa perkara korupsi di sidang pengadilan, para pelaksana
b.
keterangan ahli;
c.
surat;
d.
petunjuk;
e.
keterangan terdakwa.
2. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Sistem pembuktian yang dianut dalam peradilan pidana Indonesia (Mas, Disertasi, 2005: 123) adalah “pembuktian menurut undangundang secara negatif (negatief wettelijk stelsel)”, bahwa bersalah tidaknya terdakwa ditentukan oleh hakim yang didasarkan pada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Sistem pembuktian ini merupakan penggabungan antara “sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif” dengan sistem pembuktian “menurut keyakinan hakim (la-convention raiconne) atas alasan yang logis”. Untuk menentukan kesalahan terdakwa pada sistem pembuktian “menurut undang-undang secara negatif”, didasarkan pada kekuatan alatalat bukti sah yang ditentukan undang-undang dan
Penguatan Argumentasi Fakta-fakta Persidangan (Marwan Mas)
| 291
hakim harus meyakini kebenarannya. Penerapan sistem pembuktian ini merupakan perpaduan antara “aspek objektif” dari alat bukti sah dengan “aspek subjektif “dari penilaian hakim terhadap alat bukti. Prinsip pembuktian ini, juga disebut sebagai “prinsip minimum pembuktian”. Untuk menentukan kesalahan terdakwa agar dapat dijatuhi pidana, mengacu pada Pasal 183 KUHAP, yaitu harus ditunjang oleh sekurangkurangnya dua alat bukti sah yang terungkap dalam sidang pengadilan dan diyakini kebenarannya oleh hakim. Inilah dasar hukum penggunaan “sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif”. Sedangkan tujuan pembuktian ini tersurat dalam Penjelasan Pasal 183 KUHAP, yaitu untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, kepastian hukum bagi seseorang, serta menjamin terwujudnya kebenaran sejati atau kebenaran materiil. 4. Dasar Hukum Putusan Hakim
yang diterjemahkan dari vonis adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan”. Dapat dikatakan, lahirnya putusan hakim terhadap suatu perkara pidana, pada dasarnya dimaksudkan untuk mengakhiri atau menyelesaikan perkara yang diperiksa oleh hakim. Prosesnya dimulai dari penyelidikan dan penyidikan oleh penyidik, penuntutan oleh PU, serta pemeriksaan di sidang pengadilan sampai ada putusan hakim. Dasar hukum penjatuhan putusan hakim dapat dilihat dalam Pasal 191 dan Pasal 193 KUHAP, sebagai berikut: Pasal 191: 1. Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.
Pengertian putusan pengadilan (hakim) 2. Jika pengadilan berpendaat bahwa perbuatan secara tegas diatur dalam Pasal 1 Angka 11 yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, KUHAP, sebagai berikut: tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu Putusan pengadilan adalah pernyataan tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas hakim yang diucapkan dalam sidang dari segala tuntutan hukum. pengadilan terbuka, yang dapat berupa 3. Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam pemidanaan atau bebas atau lepas dari ayat (1) dan ayat (2), terdakwa yang ada segala tuntutan hukum dalam hal serta dalam status tahanan diperintahkan untuk menurut cara yang diatur dalam undangdibebaskan seketika itu juga, kecuali karena undang ini. ada alasan lain yang sah, terdakwa perlu Gatot Supramono (1991: 52) mengemukakan ditahan. tujuan penjatuhan putusan hakim yaitu: Pasal 193 “…untuk mengakhiri atau menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya”. 1. Jika pengadilan berpendapat bahwa Sedangkan Leden Marpaung (1995: 36) terdakwa bersalah melakukan tindak memberikan batasan bahwa: “Putusan idana yang didakwakan kepadanya, maka
292 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 283 - 297
2.
pengadilan menjatuhkan pidana.
B. Analisis
a.
1.
Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan cukup untuk itu.
Surat Dakwaan
Bentuk surat dakwaan PU adalah “Surat Dakwaan Alternatif”, yaitu antara dakwaan yang satu dengan dakwaan yang lain saling mengecualikan, dan memberi pilihan kepada hakim untuk menentukan dakwaan mana b. Dalam hal terdakwa ditahan, yang tepat dipertanggungjawabkan kepada pengadilan dalam menjatuhkan terdakwa sehubungan dengan tindak pidana putusannya dapat menetapkan yang dilakukannya. Saling mengecualikan terdakwa tetap ada dalam tahanan mengandung arti, jika dakwaan pertama telah atau membebaskannya, apabila terbukti, hakim tidak perlu lagi membuktikan terdapat alasan cukup untuk itu. dakwaan berikutnya. Dakwaan alternatif digunakan pada tindak pidana yang mempunyai Mengenai sahnya putusan hakim diatur kaitan atau persinggungan antara dua atau lebih dalam Pasal 195 KUHAP: ”Semua putusan pasal yang dilanggar sesuai dengan corak dan ciri pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan tindak pidana tersebut. hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum”. Putusan hakim ada yang berisi Surat Dakwaan dalam perkara yang pemidanaan dan yang berisi pembebasan bagi dianalisis ini sudah memenuhi ketentuan Pasal terdakwa. 143 ayat (2) KUHAP, baik syarat formil maupun Putusan pemidanaan sifatnya menghukum terdakwa, karena yang bersangkutan dalam sidang pemeriksaan pengadilan terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh PU. Terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum, meskipun perbuatannya terbukti di depan sidang pengadilan, tetapi perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana. Berkaitan dengan hal itu, Andi Zainal Abidin Farid (1995: 259), mengemukakan:
syarat materiil. Surat dakwaannya diberi tanggal dan ditandatangani, serta menguraikan identitas terdakwa, yaitu: nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa. PU juga menguraikan secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan, serta menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana dan tempat tindak pidana itu dilakukan (tempus delicti dan locus delicti).
Salah satu aspek yang perlu dikaji adalah munculnya ”tuntutan hukuman mati” Walaupun suatu perbuatan sesuai dengan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU uraian delik yang ditetapkan dalam perundangNomor 31 Tahun 1999 jo Pasal I Butir 1 UU undangan pidana, namun perbuatan itu tidak Nomor 20 Tahun 2001, yang ternyata pasal melawan hukum secara materiil maka perbuatan tersebut dapat diancam pidana mati, tetapi tidak itu bukan delik. dicantumkan dalam Surat Dakwaan. Hal tersebut
Penguatan Argumentasi Fakta-fakta Persidangan (Marwan Mas)
| 293
menjadi salah satu pertimbangan hukum dalam 2. Perbaikan kata-kata atau redaksi surat Putusan Majelis Hakim sehingga tuntutan PU dakwaan sehingga mudah dimengerti dan tidak dikabulkan. disesuaikan dengan perumusan delik dalam undang-undang pidana. Lantaran PU tidak mendakwakan sejak awal Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 3. Perubahan dakwaan yang tunggal menjadi jo Pasal I Butir 1 UU Nomor 20 Tahun 2001, dakwaan alternatif mengenai perbuatan sehingga PU mestinya mencermati ketentuan yang sama. ”perubahan surat dakwaan” yang diatur dalam Kelemahan surat dakwaan PU terletak Pasal 144 KUHAP, yang hanya dapat dilakukan pada tidak sinkronnya antara yang didakwakan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan tuntutan, sehingga Majelis Hakim tidak sebagai berikut: mengabulkan tuntutan pidana mati. Seandainya 1. Penuntut umum dapat mengubah surat didakwakan, maka Penuntut Umum harus dakwaan sebelum pengadilan menetapkan menguraikan secara cermat dan jelas maksud hari sidang, baik dengan tujuan untuk Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo menyempurnakan maupun untuk tidak Pasal I Butir 1 UU Nomor 20 Tahun 2001, bahwa melanjutkan penuntutannya. dalam hal tindak pidana korupsi seperti dimaksud 2. Perubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambatlambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai.
dalam Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 dilakukan dalam ”keadaan tertentu”, pidana mati dapat dijatuhkan. Terdakwa telah memenuhi salah satu unsur keadaan tertentu, yaitu ”pengulangan tindak pidana (residivis)” di mana terdakwa sudah
3. Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan, ia menyampaikan turunannya kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik.
pernah dinyatakan bersalah melakukan korupsi dan telah menjalani hukuman, sehingga hakim dapat mengabulkan tuntutan PU menjatuhkan pidana mati bagi terdakwa.
Pengaturan perubahan surat dakwaan memang tidak secara tegas diatur tentang apa yang boleh diubah, apakah perubahan hanya pada syarat materiil atau pada syarat formil, sehingga acapkali menimbulkan silang pendapat dalam praktik. Akan tetapi, dalam pertimbangan hukum Putusan MA Nomor 15K/Kr/1969 (yurisprudensi), dan diperkuat oleh beberapa pendapat ahli hukum pidana bahwa perubahan itu dapat dilakukan pada:
Langkah ini dapat digolongkan sebagai pendekatan ”hukum progresif” seperti telah diuraikan di atas. Korupsi merupakan ”kejahatan luar biasa (extraordinary crime)” yang harus ditangani dengan cara luar biasa pula, agar menimbulkan efek jera dan rasa takut bagi calon koruptor yang sudah antri di berbagai lembaga negara untuk mewujudkan niatnya. Hukum harus didesain agar lebih “bertenaga” melalui pendekatan hukum progresif yang mengutamakan “tujuan (keadilan subtansial)” ketimbang “prosedur (keadilan prosedural)”. Hakim tidak boleh terbelenggu oleh ketentuan prosedural dalam
1. Kesalahan mencantumkan waktu dan tempat terjadinya delik dalam surat dakwaan.
294 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 283 - 297
memeriksa dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa korupsi yang melakukan kejahatan luar biasa. Pendekatan hukum progresif menekankan agar hakim melepaskan diri dari cara berpikir legalistik-positivistik, apalagi keberadaan hukum tidak terpisah dari realitas kehidupan sosial dan akar moralitas masyarakat (Marwan Mas, Media Indonesia, 9 Januari 2012).
Meskipun tuntutan pidana mati tidak dikabulkan lantaran tidak didakwakan, tetapi PU mampu meyakinkan Majelis Hakim bahwa Terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersamasama dan berlanjut yang merugikan keuangan negara atau perekonornian negara. Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara 20 tahun dan denda sebanyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), dan jika tidak dibayar diganti 2. Tuntutan Penuntut Umum dengan pidana kurungan selama 5 (lima) bulan, Setelah tuntutan diajukan, Majelis Hakim serta terdakwa tetap ditahan. memberi kesempatan kepada Penasihat Hukum Pada aspek lain, mestinya PU mempertegas untuk mengajukan pembelaan yang pada intinya memohon agar terdakwa dibebaskan dari semua dalam Tuntutan mengenai “pidana tambahan” dakwaan PU, serta memulihkan harkat dan berupa “pembayaran uang pengganti” yang martabat terdakwa. Penasihat Hukum menilai, jumlahnya paling banyak sesuai harta benda yang judex facti (Pengadilan Tinggi) telah keliru diperoleh dari korupsi (Pasal 18 ayat (1) huruf b UU dan salah menerapkan hukum karena hanya Nomor 31 Tahun 1999). Untuk menguatkannya, mengambil-alih pertimbangan hukum putusan PU harus menguraikan bahwa penjatuhan pidana Pengadilan Negeri, tanpa memberikan alasan atau penjara atau kurungan sebagai “pidana pengganti”, argumentasi yuridis, sehingga putusan judex facti apabila terdakwa “tidak mampu membayar uang tidak cukup dan tidak lengkap dalam pertimbangan pengganti” dan untuk memenuhinya, harta benda terdakwa disita untuk negara. hukumnya (onvoldoende gemotiveed). Keberadaan tuntutan senantiasa terkait dengan Pembelaan Penasihat Hukum, karena keduanya merupakan proses dialogis atau jawabmenjawab sebelum putusan dijatuhkan oleh hakim (Pasal 182 ayat 1 KUHAP). Memang kelemahan yang prinsipil dalam Tuntutan PU karena tiba-tiba mengajukan “tuntutan pidana mati”, padahal tidak didakwakan seperti telah diuraikan di atas. Tetapi hakim mestinya tidak serta-merta mengabaikan tuntutan pidana mati dari PU, karena sifat korupsi termasuk kejahatan luar biasa yang perlu disikapi dengan cara luar biasa pula. Itulah salah satu cara memerangi dan mengikis habis perilaku korupsi di negeri ini, minimal mengurangi intensitasnya.
3.
Pertimbangan Putusan Hakim
Menyimak fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan yang diurai dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim, didasarkan pada fakta yang terungkap dalam sidang pengadilan sebagai dasar bagi hakim untuk menyatakan terdakwa bersalah atau tidak sesuai sesuai dakwaan. Hakim secara umum cukup cermat menguraikan fakta-fakta persidangan dalam pertimbangan hukumnya, bahkan aktif mencari dan menemukan kebenaran materiil dengan menilai secara objektif alat-alat bukti sah yang diajukan oleh Penuntut Umum. Mengenai hal-hal yang memberatkan dan meringankan yang dikemukakan Majelis Hakim,
Penguatan Argumentasi Fakta-fakta Persidangan (Marwan Mas)
| 295
merupakan implementasi dari Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menegaskan: “Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memerhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa”. Salah satu hal-hal yang memberatkan dikemukakan hakim, bahwa Terdakwa telah pernah dihukum dalam kasus korupsi perkara Bank Duta sebagai pengulangan tindak pidana korupsi. Sayang, pertimbangan yang memberatkan ini tidak diikuti dengan penjatuhan pidana berat berupa pidana mati sebagai salah satu syarat “keadaan tertentu” seseorang dapat dijatuhi pidana mati.
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Inilah kelemahan mendasar surat dakwaan PU yang menyebabkan tidak semua tuntutannya dikabulkan oleh Majelis Hakim Kasasi.
Pertimbangan hukum Majelis Hakim belum sepenuhnya memenuhi ketentuan hukum acara pidana, termasuk tidak didukung oleh teori ilmu hukum, doktrin, dan asas-asas hukum yang cukup untuk menguatkan argumentasi terhadap faktafakta yang terungkap dalam sidang pengadilan. Antara lain pada “sifat melawan hukum” belum diurai secara jelas tentang perbuatan Pertimbangan yang memberatkan juga yang dilakukan oleh Terdakwa telah melanggar cukup apresiasif diurai Majelis Hakim, paling hukum, dan hanya menimbang tentang alasan tidak sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana terdakwa bahwa tidak mengetahui dana tersebut “seumur hidup” sesuai ancaman pasal yang berasal dari pemohon L/C fiktif BNI Tbk. Cabang didakwakan PU dan terbukti di depan persidangan. Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, yang menurut Meskipun tetap mempertimbangkan hal-hal Majelis Hakim harus dikesampingkan. yang meringankan, tetapi dibandingkan dengan Majelis Hakim juga tidak konsisten dengan aspek yang memberatkan, sebetulnya jauh lebih pertimbangan hukumnya mengenai hal-hal beralasan jika Majelis Hakim menjatuhan pidana yang memberatkan bahwa: “Terdakwa pernah mati karena unsur “keadaan tertentu” sudah dihukum dalam kasus korupsi Bank Duta”. terpenuhi, yaitu terdakwa sudah yang kedua Idealnya, Majelis Hakim menjatuhkan “pidana kalinya terbukti melakukan korupsi. Hali ini mati” karena salah satu “keadaan tertentu” dalam dimaksudkan agar memberikan rasa takut bagi Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun yang lain atau calon koruptor untuk mewujudkan 1999 sudah terpenuhi. Pendekatan “hukum niatnya. progresif” mestinya sudah diapresiasi hakim, karena secara substansial rakyat memandang IV. SIMPULAN perilaku korupsi melanggar hak-hak mendasar Meskipun surat dakwaan PU memenuhi rakyat untuk memperoleh kehidupan yang lebih syarat formil dan materiil menurut Pasal 143 ayat baik, tetapi karena uang negara yang dikorup (2) KUHAP, tetapi Surat Dakwaan tidak sinkron menyebabkan pemenuhan hidup yang lebih baik dengan Tuntutan Pidana Mati yang menyebabkan itu tidak terpenuhi. Majelis Hakim tidak mengabulkannya lantaran sebelumnya tidak mendakwakan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal I butir 1 UU
296 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 283 - 297
DAFTAR PUSTAKA Ali, Achmad. 1988. Perubahan Masyarakat, Perubahan Hukum, dan Penemuan Hukum oleh hakim. Ujung Pandang: Lembaga Penerbitan UNHAS. ______________. 1996. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis). Jakarta: Chandra Pratama. Farid, A. Zainal Abidin. 1995. Hukum Pidana I. Jakarta: Sinar Grafika. Hamzah, Andi. 1996. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sapta Artha Jaya.
Supramono, Gatot. 1991. Surat Dakwaan dan Putusan Hakim yang Batal demi Hukum. Jakarta: Djambatan. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1991 Diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1980 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Harahap, M. Yahya. 1988. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jilid I. Jakarta: Garuda Mertropolitas Pers. ______________. 1988. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jilid II. Jakarta: Pustaka Kartini. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Marpaung, Leden. 1995. Putusan Bebas, Masalah, dan Pemecahannya. Jakarta: Sinar Grafika. Mas, Marwan. 2005. “Putusan Bebas dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Suatu Kajian Sosio-Yuridis)”. Disertasi (belum diterbitkan). Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar. ______________. 2011. Pengantar Ilmu Hukum. Cetakan Kedua (Revisi). Bogor: Ghalia Indonesia. ______________. Media Indonesia. Harapan Baru Pemberantasan Korupsi. Edisi, Senin 9 Januari 2012, Jakarta.
Penguatan Argumentasi Fakta-fakta Persidangan (Marwan Mas)
| 297
PEMIHAKAN HAKIM TERHADAP KEADILAN SUBSTANTIF DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH Kajian Putusan Nomor 44/PDT/2011/PTY
JUDGES’ UNFAIRNESS REGARDING THE SUBSTANTIVE JUSTICE IN A LAND OWNERSHIP DISPUTE An Analysis on Decision Number 44/PDT/2011/PTY Bambang Sutiyoso Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jl. Tamansiswa No. 158, Yogyakarta Email:
[email protected] Diterima tgl 20 September 2012/Disetujui tgl 23 November 2012
ABSTRAK
doktrin. Terakhir, hakim banding dalam sikapnya
Tulisan ini mengkaji putusan hakim tingkat
ternyata lebih berpihak pada keadilan substantif
banding di Pengadilan Tinggi Yogyakarta dalam perkara
perdata
Nomor
44/PDT/2011/PTY
terkait sengketa kepemilikan tanah.
Pengkajian
putusan dilakukan secara komprehensif, dengan mencermati kasus posisinya, dasar hukum yang digunakan, pertimbangan hukum, amar putusannya dan selanjutnya dilakukan analisis dengan merujuk
dibandingkan keadilan prosedural. Hal ini dapat terlihat ketika akta jual beli tanah dalam kasus ini dianggap tidak sah dan memiliki kekuatan hukum karena akta jual beli Nomor 299/2008 yang dibuat di hadapan Notaris/PPAT itu diperoleh dengan surat kuasa mutlak yang substansinya bertentangan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14
pada data primer dan sekunder. Berdasarkan
Tahun 1992.
hasil penelitian, dapat dikemukakan beberapa
Kata
kesimpulan. Pertama, putusan hakim secara umum
substantif.
kunci:
kepemilikan
tanah,
keadilan
telah mengikuti prosedur hukum acara perdata yang berlaku dan dapat membuktikan unsur-unsur
Abstract
yang ada dalam gugatan atau jawaban gugatan
This article discusses a land ownership dispute
dengan berpedoman pada bukti-bukti yang diatur dalam hukum acara perdata. Kedua, putusan hakim telah mencerminkan penalaran hukum yang logis dalam pertimbangan hukumnya dan telah berupaya menggali nilai-nilai nonyuridis yang ada dalam masyarakat. Meskipun demikian, harus diakui dalam putusan tersebut belum sepenuhnya
mengakomodasi
sumber-sumber
hukum secara lengkap, misalnya yurisprudensi dan 298 |
revealed in decision of the Yogyakarta’s Appealate Court Number 44/PDT/2011 PTY. The author scrutinizes all aspects of the decision ranging from the fundamentum petendi, legal basis, petitum up to the dictum and enriches his analyses by using both primary and secondary data. He concludes that: (1) in general, this decision has been in line with all essentials of civil procedural law and the panel of judges has been succesful to disclose all elements of Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 298 - 315
the arguments either those of the plantiff or of the
This preference can be seen as the panel of judges
defendant; (2) the decision shows the implementation
ignores the validity of the notary public’s deed
of appropriate legal reasoning and the ability to
Number 2999/2008 in which it was conveyed based
explore living values in our society. Unfortunately,
on the absolute power of attorney that is considered
the panel of judges still presents it based upon a lack
against the Home Affairs Minister’s Instruction
of references like precedential decisions and/or legal
Number 14 Year 1992.
doctrines. In this case, the panel takes the substantive
Keywords: land ownership, substantive justice.
justice into account rather than procedural justice.
I.
PENDAHULUAN
Penelitian ini berupaya mengkaji putusan hakim dalam perkara perdata No. 44/PDT/2011/ PTY yang terkait dengan kasus sengketa kepemilikan tanah. Putusan ini merupakan pemeriksaan perkara tingkat banding di Pengadilan Tinggi Yogyakarta dan diputuskan tepatnya pada tanggal 10 Januari 2012. Sebelumnya perkara tersebut telah diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Negeri Sleman, yaitu perkara nomer 133/Pdt.G/2010/PN.Slmn tertanggal 14 Februari 2011. Dari sisi waktu, putusan ini masih relatif baru dan sangat mungkin pihak-pihak terkait masih dalam proses upaya hukum lebih lanjut di tingkat kasasi MA. Meskipun sebenarnya kasus sengketa kepemilikan tanah merupakan kasus yang sering terjadi dalam masyarakat, tetapi faktor penyebabnya sangat kasuistis dan dikarenakan oleh beberapa hal, seperti masalah pewarisan, jual beli, hibah dan lain-lain. Dalam konteks itulah, dalam tulisan ini akan dipaparkan lebih lanjut berbagai hal yang terkait dengan putusan No. 44/ PDT/2011/PTY, mulai dari kasus posisinya, dasar hukum yang digunakan, pertimbangan hukum dan amar putusannya. Selanjutnya dilakukan analisis dengan seksama oleh peneliti dengan merujuk pada data primer dan sekunder untuk mendapatkan kesimpulan dan rekomendasi yang diharapkan.
Perkara ini melibatkan TS melawan JAH dan SH yang bermula TS membeli sebidang tanah milik IS seluas 593 m2 yang berstatus HGB di Kabupaten pada tahun 2004 dan sudah ditempati selama tujuh tahun. Pada tahun 2007 JAH memperoleh surat kuasa IR (untuk menjual obyek sengketa tanah Sertifikat dan dalam perkembangannya, ternyata akhirnya JAH sendiri yang ternyata sekaligus sebagai pihak pembelinya yang tertuang dalam Akta jual beli No. 299/2008 tanggal 25 Nopember 2008 di hadapan Notaris/ PPAT Sutrisno, SH. Oleh karena itu dalam perkembangannya TS kemudian mengugat rekonpensi keduanya. Gugatan yang telah diajukan tersebut, selanjutnya majelis hakim Pengadilan Negeri Sleman dalam putusannya No. 133/Pdt.G/2010/ PN.Slmn. tanggal 14 Februari 2011 dalam diktum/ amarnya menyatakan sebagai berikut: Menerima dan mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian, Menyatakan bahwa Penggugat I adalah pemilik sah atas sebidang tanah HGB seluas 593 m2 dan sebuah bangunan rumah di atasnya yang terletak di dusun Jambon, Desa Trihanggo, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman yang tercantum dalam sertifikat HGB No. 434, Desa/ Kelurahan Trihanggo, Kecamatan Gamping, Sleman, Prop. DIY, NIB 13.04.01.05..547, Nomor surat Ukur/Gambar Situasi 02263/ Trihanggo/1990, tertanggal 24-02-1996.
Pemihakan Hakim Terhadap keadilan Substantif (Bambang Sutiyoso)
| 299
Majelis hakim juga menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan Penggugat dan menghukum Tergugat untuk mengosongkan tanah obyek sengketa setelah putusan perkara ini mempunyai kekuatan hukum tetap, dan menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya. Terhadap putusan tersebut, pada TS mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Yogyakarta pada tanggal 27 April 2011 dengan menyatakan mengabulkan permohonan banding dari pemohon banding dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Sleman No. 133/ Pdt.G/2010/PN.Slmn tanggal 14 Februari 2011, dan mengadili sendiri dengan menerima eksepsi dari tergugat konpensi/Pembanding konpensi/ terbanding rekonpensi, menolak gugatan para penggugat konpensi dan mengabulkan gugatan rekonpensi dari penggugat rekonpensi. Dalam putusan PN Sleman maka hakim melihat akta jual beli No. 299/2008 tanggal 25 Nopember 2008 tidak sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku, maka akta jual beli atas obyek sengketa tersebut tidak berdasar hukum dan tidak sah, maka dengan demikian sertifikat HGB No. 434 dapat dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Berdasarkan hal tersebut, maka penggugat konpensi/terbanding tidak dapat disebut sebagai pemilik dari tanah HGB seluas 593 M2 beserta bangunan yang berdiri di atasnya yang terletak di dusun Jambon, Desa Trihanggo, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman yang tercantum dalam sertifikat HGB No. 434, Desa/Kelurahan Trihanggo, Kecamatan Gamping, Sleman, Prop. DIY, NIB 13.04.01.05..547, Nomor surat Ukur/ Gambar Situasi 02263/Trihanggo/1990, tertanggal 24-02-1996.
300 |
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat antara pihak penggugat konpensi/terbanding dengan pihak tergugat konpensi/pembanding. Para penggugat konpensi/para tergugat rekonpensi/para pembanding/para terbanding/ para pembanding berpendirian bahwa tanah dan bangunan obyek sengketa adalah miliknya karena tanah dan bangunan obyek sengketa tersebut telah dibelinya dari IS, pada tanggal 17 Januari 2007 dengan harga Rp.650.000.000,- tetapi tanah dan bangunan obyek sengketa tersebut ditempati tergugat konpensi/penggugat rekonpensi/ pembanding/terbanding. Sedangkan tergugat konpensi/penggugat rekonpensi/pembanding/ terbanding berpendirian bahwa tanah dan bangunan obyek sengketa adalah miliknya karena tanah dan bangunan obyek sengketa tersebut telah ditempati sejak tahun 2004 dan telah dibelinya sejak tahun 2004 dari IS. II.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian dan pendahuluan yang sudah dikemukakan sebelumnya, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah Hakim telah mengikuti prosedur hukum acara perdata yang berlaku dan dapat membuktikan unsur-unsur yang ada dalam gugatan atau jawaban gugatan dengan berpedoman pada bukti-bukti yang diatur dalam hukum acara perdata? 2. Apakah putusan hakim telah mencerminkan penalaran hukum yang logis (runtut dan sistematis) dalam pertimbangan hukumnya dan telah telah berupaya menggali nilai-nilai non yuridis yang ada dalam masyarakat? 3. Bagaimanakah keberpihakan Hakim dalam menentukan kebenaran yang dipilih dalam
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 298 - 315
memutuskan perkara tersebut, apakah sikap Hakim berpihak terhadap kebenaran substantif ataukah terhadap kebenaran prosedural?
Namun sangat disayangkan pembuktian dokumen legal melalui sertifikasi pun ternyata bukan solusi jitu dalam kasus sengketa tanah. Seringkali sebidang tanah bersertifikat lebih dari satu, pada kasus Meruya yang belakangan sedang mencuat, misalnya. Bahkan, pada beberapa kasus, sertifikat III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS yang telah diterbitkan pun kemudian bisa A. Studi Pustaka dianggap aspro (asli tapi salah prosedur). (Error! Hyperlink reference not valid. diakses tanggal 16 Dalam bagian studi pustaka ini, Maret 2012). dikemukakan beberapa kajian pustaka berdasarkan literatur yang relevan, terutama Dalam tulisan tersebut juga digambarkan membahas mengenai kepemilikan tanah, putusan setidaknya ada tiga faktor penyebab sering dalam perkara perdata dan upaya hukum yang munculnya masalah sengketa tanah, diantaranya dapat dipergunakan, serta pencarian format ideal yaitu: keadilan putusa. Kajian ini penting, karena semua penyelesaian sengketa keperdataan, termasuk di a) Sistem administrasi pertanahan, terutama dalam hal sertifikasi tanah, yang tidak dalamnya menyangkut penyelesaian sengketa beres. Masalah ini muncul boleh jadi kepemilikan tanah di pengadilan pada dasarnya karena sistem administrasi yang lemah dan juga melewati prosedur dalam hukum hukum mungkin pula karena banyaknya oknum acara perdata untuk mendapatkan keadilan yang yang pandai memainkan celah-celah hukum diharapkan. Dengan demikian diharapkan kajian yang lemah. pustaka ini dapat memberikan kontribusi terhadap bagian analisis nantinya. 1.
Kepemilikan Tanah
b) Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani atau penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik.
Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) sebenarnya termaktub satu ketentuan akan adanya jaminan bagi setiap warga negara untuk memiliki tanah serta mendapat manfaat dari hasilnya (pasal 9 ayat 2). Jika mengacu pada ketentuan itu dan juga merujuk pada PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (terutama Pasal 2) Badan Pertanahan Nasional (BPN) semestinya dapat c) Legalitas kepemilikan tanah yang sematamenerbitkan dokumen legal (sertifikat) yang mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), dibutuhkan oleh setiap warga negara dengan tanpa memperhatikan produktivitas tanah. mekanisme yang mudah, terlebih lagi jika warga Akibatnya, secara legal (de jure), boleh negara yang bersangkutan sebelumnya telah jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh memiliki bukti lama atas hak tanah mereka. perusahaan atau para pemodal besar, karena Pemihakan Hakim Terhadap keadilan Substantif (Bambang Sutiyoso)
| 301
mereka telah membelinya dari para petani atau pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja. Ironisnya ketika masyarakat miskin mencoba memanfaatkan lahan terlantar tersebut dengan menggarapnya, bahkan ada yang sampai puluhan tahun, dengan gampangnya mereka dikalahkan haknya di pengadilan tatkala muncul sengketa.
apabila tidak ditaati secara sukarela, maka berlakunya dipaksakan dengan bantuan alat-alat negara (“dengan kekuatan umum”). Putusan hakim dijatuhkan setelah melalui rangkaian proses pemeriksaan oleh hakim atas fakta-fakta yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang berperkara selesai dilakukan. Atas fakta-fakta tersebut hakim telah menetapkan (mengkonstatasi) kebenarannya dan mengetrapkan hukum yang berlaku atau menetapkan hubungan hukumnya antara kedua Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang belah pihak yang berperkara (mengkualifisir) Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber (Wardah dan Sutiyoso, 2007: 221). Daya Alam, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria dan Keppres No. Hal ini dalam praktek, dapat dibaca 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di dalam perumusan pertimbangan-pertimbangan Bidang Pertanahan, pada dasarnya memberi “mengenai duduk perkaranya” dan kemudian kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah pertimbangan-pertimbangan mengenai untuk menuntaskan masalah-masalah agraria. hukumnya”. Baru kemudian hakim memberi Adalah sudah selayaknya terlepas dari berbagai konstitusinya yang dirumuskan dalam diktum kekurangan yang tersimpan di dalam instrumen- putusan. Dalam dunia peradilan dibedakan instrumen hukum itu jika kewenangan tersebut antara “putusan” (dalam bahasa Belanda disebut dimplementasikan, dengan prinsip-prinsip yang “vonnis” untuk putusan yang belum memperoleh tidak melawan hukum itu sendiri tentunya. kekuatan hukum tetap, “gewijsde” untuk putusan 2.
Putusan Hakim
Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan perkara atau sengketa antara para pihak (Mertokusumo, 1998: 175). Pada umumnya tujuan suatu proses di muka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim yang baik dan berkekuatan hukum yang tetap, artinya suatu putusan hakim yang sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan yang tidak dapat diubah lagi. Dengan putusan ini, hubungan antara kedua belah pihak yang berperkara ditetapkan untuk selama-lamanya dengan maksud supaya, 302 |
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau inkracht) dan “penetapan” hakim (dalam bahasa Belanda disebut “beschikking”). Suatu putusan diambil untuk memutusi atau menyelesaikan suatu perselisihan atau sengketa (“perkara”) yang lazimnya terjadi dalam peradilan yang disebut “jurisdiksi contentiuse”, sedangkan suatu penetapan diambil berhubung dengan suatu permohonan, yaitu dalam rangka yang dinamakan “yurisdiksi voluntair”, seperti misalnya pengangkatan wali, permohonan penggantian nama, merubah atau menambah akta-akta catatan sipil, permohonan kelahiran, pengangkatan anak, permohonan wali atau pengampu, pengesahan pengangkatan anak, penetapan pembuatan grosse kedua dari akta-akta, penetapan conservatoir beslag, permohonan status Indonesia ataukah Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 298 - 315
asing, penetapan ahli waris dan lain-lainnya. Di samping dua jenis peradilan tersebut termasuk hukum acara perdata juga tugas-tugas yang sifatnya administratif yaitu tindakan dalam hal pengadilan (hakim) melakukan suatu tindakan yang tidak berdasarkan suatu pemeriksaan terhadap dua pihak yang saling berhadapan di mana yang satu dapat membantah apa yang diajukan oleh yang lain, misalnya penetapan hari sidang, suatu perintah melakukan penyitaan, panggilan saksi, eksekusi terhadap putusan yang inkracht, eksekusi bij voorraad, yang kesemuanya dituangkan dalam suatu penetapan hakim, pengukuhan putusan P4D/P4P atau yang sejenisnya, legalisasi tanda tangan, menelitian syarat kewarganegaraan, menguji permohonan pewarganegaraan dan menyumpahnya jika permohonan itu dikabulkan Presiden, menerima pernyataan mengikuti status suami-Indonesia atau istri-asing dan sebagainya. Dengan demikian dalam sistimatik peradilan volunter dapat dibedabedakan menjadi peradilan volunter yang murni dan peradilan volunter yang sifatnya administratif belaka. 3.
Jenis-Jenis Putusan Hakim
Jenis-jenis putusan dapat dibedakan dari segi prosedurnya dan isinya. Dilihat dari segi prosedurnya, putusan pengadilan dapat dibedakan menjadi putusan akhir dan putusan bukan akhir (Pasal 185 (1) HIR/196 (1) RBg).
principale) dan tangkisan (exeptief verweer), putusan banding, putusan kasasi, dan lain-lain. Jika dilihat menurut sifatnya, putusan akhir dalam amar atau diktumnya, dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu: a. Yang bersifat “condemnatoir”, yakni yang amarnya berbunyi “menghukum dan seterusnya”, misalnya putusan yang menghukum tergugat untuk membayar sejumlah uang kepada penggugat, untuk menyerahkan suatu barang atau mengosongkan sebuah persil, melakukan atau melarang tergugat melakukan suatu perbuatan/keadaan tertentu. b. Yang bersifat “declaratoir”, yakni yang amarnya menyatakan suatu keadaan sebagai keadaan yang sah menurut hukum, seperti misalnya putusan yang menyatakan penggugat sebagai pemilik sah atas tanah sengketa, atau yang menyatakan penggugat adalah ahli waris dari si pewaris X dan sebagainya. Juga putusan yang penolakan terhadap menolak gugatan tergolong dalam putusan yang bersifat declaratoir. c. Yang bersifat “constitutief”, yaitu yang amarnya meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum baru misalnya, putusan yang membatalkan suatu perjanjian, memutuskan ikatan perkawinan antara penggugat dan tergugat. Juga suatu putusan yang menyatakan seorang pailit, pengangkatan wali ataupun pengampu, dan sebagainya (Wardah dan Sutiyoso, 2007: 223).
Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu, (Mertokusumo, 1998: 192), seperti misalnya, Dari tiga macam sifat putusan tersebut putusan contradictoir, putusan verstek, putusan perlawanan (verzet), putusan serta merta, putusan apabila dilihat dari segi pelaksanaannya atau diterimanya tangkisan principaal (verweer ten eksekusinya, maka mengenai hal demikian ini
Pemihakan Hakim Terhadap keadilan Substantif (Bambang Sutiyoso)
| 303
hanya dapat ditujukan terhadap putusan yang mengadakan putusan akhir misalnya bersifat “condemnatoir” saja. Dengan putusan putusan hakim yang menolak pengunduran yang bersifat condemnatoir maka suatu prestasi saksi, atau putusan untuk menggabungkan dibebankan kepada pihak yang dikalahkan dua perkara. Putusan praeparatoir ini tidak (tergugat) yang artinya pihak yang kalah wajib mempengaruhi materi perkara. memenuhi prestasinya. Sebaliknya hak yang b. Putusan interlocutoir ialah putusan diperoleh pihak yang menang (penggugat) dapat yang memuat perintah untuk melakukan dilaksanakan dengan paksa melalui pengadilan pembuktian yang dapat mempengaruhi (execution force). materi perkara atau bunyi putusan Suatu putusan “declaratoir” tidak akhir, misalnya memerintahkan untuk memerlukan pelaksanaan atau eksekusi, karena pemeriksaan setempat, pemeriksaan saksi, tidak diperlukan sesuatu perbuatan dari salah pemeriksaan dokumen, pengambilan satu pihak. Keadaan yang dinyatakan sah dengan sumpah dan sebagainya. putusan tersebut, sudah menjadi sah pada saat c. Putusan insidentil ialah putusan yang putusan itu diucapkan oleh hakim. Begitu juga dijatuhkan berhubung dengan adanya halnya dengan putusan yang bersifat “constitutif”, insiden yaitu adanya kejadian yang yang juga tidak memerlukan sesuatu perbuatan menunda jalannya proses perkara. Misalnya dari sesuatu pihak. Begitu putusan diucapkan oleh sementara proses pemeriksaan sedang hakim, begitu ikatan perkawinan antara suami istri berlangsung salah satu pihak mengajukan telah putus atau begitu orang yang dimintakan permohonan bahwa seseorang saksi supaya kepailitannya, telah berada dalam keadaan pailit, didengar, seseorang pihak ketiga dipanggil dengan segala akibatnya. untuk ikut menyertai pemohon yang dikenal Putusan bukan akhir disebut juga putusan sela dengan proses acara vrijwaring atau adanya atau putusan antara ialah putusan yang fungsinya permohonan dari pihak ketiga untuk ikut untuk memperlancar proses pemeriksaan perkara. serta dalam proses yang dikenal dengan Menurut Pasal 185 (1) HIR/ 196 (1) RBG, voeging ataupun tussenkomst. sekalipun harus diucapkan dalam persidangan d. Putusan provisionil ialah putusan yang juga, tetapi tidak dibuat secara terpisah artinya berkenaan dengan tuntutan provisionil tidak dibuat dalam bentuk dokumen tersendiri yaitu permohonan agar sebelum hakim terlepas dari berkas perkaranya, melainkan hanya menjatuhkan putusan, atau proses dicatat dalam berita acara pemeriksaan sidang. pemeriksaan perkara berjalan, sementara Kecuali HIR/RBg membedakan putusan diadakan tindakan–tindakan pendahuluan akhir dan putusan bukan akhir, RV mengenal atau untuk melakukan tindakan tertentu pembedaan beberapa jenis putusan yang dapat mengenai hal yang bersifat mendesak digolongkan kedalam putusan bukan akhir yaitu: untuk kepentingan salah satu pihak atau kedua belah pihak. Misalnya dalam perkara a. Putusan preparatoir yaitu putusan perceraian, suami agar tetap membayar persiapan mengenai jalannya pemeriksaan nafkah yang tiba-tiba telah dihentikan. untuk melancarkan segala sesuatu guna 304 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 298 - 315
Putusan provisional ini selalu mengandung pelaksanaan serta merta. Sehingga jika dalam putusan akhir gugatan pokok perkara ditolak, atau putusan hakim yang lebih tinggi membatalkan, maka timbul kesulitan dalam pemulihannya (restitution in integrum) sama dengan pelaksanaan putusan serta merta (executie bij voorraad). Oleh karena itu pada tanggal 30 Desember 1965 Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 tahun 1965 yang menginstruksikan agar untuk melaksanaan putusan provisionil harus mendapat persetujuan dari Mahkamah Agung lebih dahulu. Ketentuan ini dicabut oleh SEMA No. 16 Tahun 1969 yang kemudian melimpahkan persetujuan pelaksanaan putusan provisional tersebut kepada Ketua Pengadilan Tinggi di wilayah hukum Pengadilan Negri yang memutus perkara tersebut. Sebagaimana putusan akhir, putusan sela juga tidak mengikat hakim, bahkan hakim yang menjatuhkan putusan sela wenang untuk merobah putusan sela tersebut jika ternyata terdapat kesalahan (Mertokusumo, 1998: 195). Dilihat dari segi isinya putusan pengadilan dapat dibedakan: putusan yang mengabulkan gugatan penggugat, gugatan tidak diterima dan gugatan ditolak. Gugatan dikabulkan jika gugatan beralasan ataupun tidak melawan hak misalnya gugatan telah memenuhi syarat formil maupun materiil. Gugatan ditolak jika gugatan tidak beralasan misalnya alasan atau dasar gugatan tidak mendukung materi tuntutannya. Sedangkan gugatan dinyatakan tidak diterima, jika gugatan melawan hak atau melawan hukum misalnya gugatan atas suatu piutang yang didasarkan atas perjudian atau pertarohan.
4.
Upaya Hukum dalam Perkara Perdata
Demi keadilan dan kebenaran putus hakim harus dapat diperbaiki atau dibatalkan jika dalam putusannya terdapat kekhilafan atau kekeliruan. Oleh karena itu hukum menyediakan sarana atau upaya perbaikan atau pembatalan putusan guna mencegah atau memperbaiki kekhilafan atau kekeliruan putusan. Upaya hukum merupakan hak dari pihak yang berkepentingan, karena itu pula pihak yang bersangkutan sendiri yang harus aktif dengan mengajukannya kepada pengadilan yang diberi kekuasaan untuk itu jika ia menghendakinya. Hakim tidak dapat memaksa atau menghalanginya. Upaya hukum dibedakan menjadi upaya hukum biasa dan upaya hukum istimewa. Upaya hukum biasa pada asasnya terbuka untuk setiap putusan selama masih dalam tenggang waktu yang ditentukan. Jika dalam tenggang waktu tersebut tidak diajukan, maka pihak yang berkepentingan tidak dapat mengajukan upaya hukum lagi, demikian juga jika yang berkepentingan menerima putusan hakim. Selama upaya hukum biasa dalam proses pemeriksaan, putusan yang bersangkutan tidak dapat dilaksanakan kecuali jika putusan itu mengandung putusan serta merta. Jenis upaya hukum biasa ialah : perlawanan (verzet), banding dan kasasi. Upaya hukum istimwewa hanya terbuka untuk putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum pasti (in kracht). Pada asasnya terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan pasti tidak mungkin lagi dapat diubah, sekalipun oleh pengadilan yang lebih tinggi. Namun dengan alasan-alasan yang dimuat dalam undang-undang, maka putusan yang telah in kracht dapat diperbaiki sepanjang mengenai kekeliruannya yaitu dengan mengajukan upaya hukum istimewa. Jenis upaya
Pemihakan Hakim Terhadap keadilan Substantif (Bambang Sutiyoso)
| 305
hukum luar biasa atau istimewa adalah: peninjauan kembali (request civil) dan perlawanan pihak ketiga (derden verzet). Upaya hukum istimewa tidak menghentikan pelaksanaan putusan hakim.
oleh Moh. Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Menurut Mahfud, menegakkan nilai-nilai keadilan lebih utama daripada sekadar menjalankan berbagai prosedur formal perundang-undangan yang acapkali dikaitkan dengan penegakan hukum ( http:// 5. Format Ideal Keadilan Putusan erabaru.net/opini/65-opini/10099-menegakkanDiskursus pentingnya pencarian format keadilan-jangan-sekedar-menegakkan-hukum, ideal keadilan putusan dalam peradilan masih diakses 10 Juni 2012). membuka ruang kajian yang lebih dalam, karena Tekad Mahkamah Konstitusi semacam kompleksitasnya masalah penegakan hukum di Indonesia, termasuk banyaknya konsep keadilan, itu bahkan ditegaskan dalam situsnya, yaitu implementasinya serta penentuan tolok ukur ”mengawal demokrasi dan menegakkan keadilan keadilan itu sendiri masih berbeda-beda. Terhadap substantif”. Beberapa terobosan hukum yang wacana penegakan substantif di lembaga dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi yang lebih peradilan, sepanjang tidak mengabaikan keadilan mengutamakan keadilan substantif dibanding proseduralnya adalah hal yang patut diapresiasi keadilan formal-prosedural di antaranya adalah saat Mahkamah Konstitusi membolehkan (Sutiyoso, 2010). penggunaan KTP dengan sejumlah syarat tertentu Penegakan hukum yang berjalan selama dalam pemilu oleh warga yang tidak terdaftar ini terkesan kuat masih berkutat dalam bentuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Di samping keadilan prosedural yang sangat menekankan itu Mahkamah Konstitusi dalam persidangan pada aspek regularitas dan penerapan formalitas judicial review pernah membuka rekaman hasil legal semata. Sejalan dengan itu rekayasa hukum penyadapan KPK terhadap percakapan Anggodo menjadi aroma yang cukup kuat dalam hampir yang kemudian membuka tabir adanya ”markus” setiap penegakan hukum di negeri ini. Keadilan dalam proses penegakan hukum. substantif sebagai sumber keadilan prosedural Dalam praktek penegakan hukum di masih bersifat konsep parsial dan belum menjangkau seutuhnya ide-ide dan realitas yang Indonesia, seringkali para penegak hukum sudah seharusnya menjadi bagian intrinsik dari konsep menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan main dan penegakan keadilan. Akibatnya, penegakan yang ada, dalam artian aturan main yang formal. hukum menjadi kurang atau bahkan tidak mampu Terhadap kasus tindak pidana korupsi misalnya, menyelesaikan inti persoalan sebenarnya. ( Abdul sesuai hukum yang berlaku, jaksa sudah melakukan Ala, Pembumian Keadilan Substantif, dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan ke http://www.sunan-ampel.ac.id, akses 5 Juni pengadilan. Pengacara sudah menjalankan fungsinya untuk membela dan mempertahankan 2012) hak-hak tersangka. Dan hakim sudah mendengar Menegakkan keadilan bukanlah sekadar kedua belah pihak, sehingga turunlah putusan menjalankan prosedur formal dalam peraturan pengadilan. Semua aturan hukum yang relevan hukum yang berlaku di suatu masyarakat, setidaknya sudah dipertimbangkan dan sudah diterapkan. itulah pernyataan yang kerap dicetuskan Akan tetapi mengapa terhadap penegakan hukum 306 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 298 - 315
yang demikian masih saja banyak masyarakat yang tidak puas. Inilah masalahnya, yaitu tidak terpenuhinya nilai keadilan, terutama keadilan masyarakat (social justice). Hakim tidak dengan sungguh-sungguh menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dengan alasan terikat dengan aturan hukum formal yang sebenarnya kaku bahkan dalam beberapa hal justru melenceng.
yang tidak dapat dikompromikan, keadilan substantiflah yang perlu didahulukan. Dengan demikian, mestinya penegakkan keadilan substantif juga harus bersifat selektif kasuistik dengan didukung argumentasi hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. B.
Analisis
Berdasarkan kajian dan analisis secara seksama terhadap putusan PTY No. 44/PDT/2011/ PTY dan hasil wawancara dengan hakim yang bersangkutan, yaitu Maria Anna Samiyati, SH. MH. pada hari Rabu, tanggal 14 Maret 2012 di ruang rapat Pengadilan Tinggi Yogyakarta, maka dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
Padahal Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman sudah mewajibkan kepada para hakim untuk menggali hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Karena itu agar penegakan hukum di Indonesia dapat lebih baik dan agar masyarakat percaya pada hukum yang berlaku, 1. Pemenuhan Prosedur Hukum Acara yang diperlukan adalah penegakan hukum yang Perdata berkeadilan, dan itulah yang didamba-dambakan Pada dasarnya putusan No. 44/PDT/2011/ oleh masyarakat banyak. PTY pada dasarnya sudah memuat hal yang harus Untuk itu dalam panggung penegakan ada dalam suatu putusan pengadilan sebagaimana hukum di Indonesia, dibutuhkan kehadiran ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 48 Tahun para penegak hukum yang bervisi keadilan, 2009 dan Pasal 184 HIR/195 RBG. Dalam hal ini dan penguasa yang bersikap adil, sebagaimana putusan tersebut sudah memuat tentang kepala dalam cita hukum tradisional bangsa Indonesia putusan, identitas para pihak, ringkasan nyata diistilahkan dengan “ratu adil” atau seperti yang gugatan dan jawaban, alasan atau pertimbangan diimpikan oleh filosof besar bangsa Yunani, hakim dalam putusan, amar putusan, hari/tanggal yaitu Plato dengan konsep “raja yang berfilsafat” musyawarah dan pembacaan putusan, dan biaya (filosopher king) ribuan tahun yang silam (Fuady, perkara. 2003: 53). Putusan hakim Pengadilan Tinggi Meskipun demikian antara keadilan Yogyakarta ini juga sudah berupaya mencermati prosedural dan keadilan substantif semestinya alat-alat bukti yang sah sesuai dengan Pasal 164, tidak dilihat secara dikotomi, tetapi ibarat dua sisi 153, dan 54 HIR atau 284, 180, dan 181 RBG, yang mata uang yang saling terkait erat satu sama lain. digunakan di dalam putusan hakim Pengadilan Oleh karena itu dalam keadaan normal, mestinya Negeri , di antaranya berupa bukti surat, saksi, keadilan prosedural dan keadilan substantif persangkaan, pengakuan, sumpah, pemeriksaan harus dapat disinergikan dan diakomodir secara setempat dan keterangan ahli. proporsional. Tetapi dalam hal terjadi benturan
Pemihakan Hakim Terhadap keadilan Substantif (Bambang Sutiyoso)
| 307
Majelis hakim PT tidak menggunakan alat bukti tambahan selain yang dimuat dalam putusan hakim PN. Meskipun demikian, ada perbedaan pendapat dalam hal bukti yang dipergunakan oleh hakim PN dan hakim PT. Hakim PN dengan mendasarkan alat bukti surat berupa akta jual beli No. 2299/2008 tanggal 25 Nopember 2008 menyatakan sebagai alat bukti yang kuat bagi pihak penggugat (JAH) sebagai pemilik sah atas sebidang tanah sertifikat HGB No. 434 NIB. 13.04.0105.04547 yang dibelinya dari IS pada tahun 2007. Sedangkan hakim PT berpendapat bahwa akta jual beli No. 2299/2008 tanggal 25 Nopember 2008 yang didasarkan pada surat kuasa mutlak No. 11 tanggal 17 Januari 2007 untuk menjual obyek sengketa tanah Sertifikat HGB No. 434 NIB. 13.04.01.05.04547 di mana JAH sebagai pemegang surat kuasa penjual untuk melakukan jual beli atas obyek sengketa, adalah tidak sah karena dinilai melanggar Instruksi Menteri dalam Negeri No. 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah.
memori banding yang berisi argumen penggugat/ para terbanding dan tergugat/ pembanding. Berdasarkan pencermatan dalam putusan, didapatkan data bahwa hari/tanggal dilakukan musyawarah majelis hakim PT dalam pengambilan keputusan ternyata berbeda dengan hari/tanggal putusan diucapkan, yaitu hari, tanggal musyawarah adalah Senin, 9 Januari 2012, sedangkan hari, tanggal putusan diucapkan pada hari Selasa, 10 Januari 2012. Dengan demikian berdasarkan uraian dan kajian di atas, dapat dikemukakan bahwa putusan hakim PT tersebut telah mengikuti prosedur hukum acara perdata yang berlaku. 2.
Pembuktian dalam Putusan Hakim
Dasar gugatan/jawaban yang digunakan para pihak adalah sengketa kepemilikan tanah yang didasarkan atas hubungan hukum jual beli, yaitu baik pihak penggugat maupun tergugat pada awalnya sama-sama membeli dari pihak penjual, IS. Tergugat telah melakukan transaksi Adapun penerapan hukum pembuktian jual beli terlebih dahulu, yaitu membeli tanah sudah sesuai dengan peraturan perundang- tersebut pada tahun 2004 dari pihak penjual (IS) undangan yang berlaku, yaitu dengan mengacu dengan bukti berupa kwitansi pembayaran yang pada Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 48 sudah dibayarkan lunas senilai Rp.215.000.000,Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, (Dua ratus lima belas juta rupiah). bahwa “Pengadilan mengadili menurut hukum Sedangkan pihak penggugat membeli dengan tidak membeda-bedakan orang”. Dalam hal ini putusan tersebut mendasarkan pada pada tahun 2007 dengan mendasarkan pada akta Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun jual beli No. 2299/2008 tanggal 25 Nopember 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak 2008 yang didasarkan pada surat kuasa mutlak No. 11 tanggal 17 Januari 2007 untuk menjual Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah. obyek sengketa tanah Sertifikat HGB No. 434 Hakim PT sudah memuat secara NIB. 13.04.01.05.04547 di mana JAH sebagai proporsional antara argument penggugat dan di pemegang surat kuasa penjual untuk melakukan dalam pertimbangannya. Hal ini terlihat dalam jual beli atas obyek sengketa, yang ternyata pertimbangan hukumya yang memberikan penggugat akhirnya menjadi pembelinya sendiri. penilaian terhadap memori banding maupun kontra 308 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 298 - 315
Berdasarkan atas gugatan/jawaban yang diajukan para pihak, majelis hakim PT memutuskan secara berbeda, yaitu dengan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Sleman, No. 133/Pdt.G/2010/PN.Slmn. tanggal 14 Februari 2011. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sleman sebelumnya mengabulkan gugatan para penggugat, yaitu bahwa perbuatan hukum memberikan kuasa untuk menjual kepada JAH selaku Penggugat konpensi adalah sah menurut hukum, sehingga proses jual beli yang telah dilakukan penggugat dengan penjual juga berarti sah menurut hukum. Sementara itu majelis Hakim PTY berpendapat bahwa tergugat konpensi TS adalah pemilik sah tanah obyek sengketa HGB No. 434 NIB. 13.04.01.05.04547, luas 593 M2 dengan batas-batas sesuai hasil pemeriksaan setempat (14 Januari 2011) adalah sebagai berikut:
dalam kehidupan masyarakat, yang digambarkan dengan semboyan: ”sedumuk batuk senyari bumi, ditohi pati”. Majelis Hakim PTY sudah mempertimbangkan semua unsur dasar gugatan yang digunakan dalam putusan PN, meskipun dalam putusannya majelis hakim PTY akhirnya membatalkan putusan PN. Hal ini dikarenakan hakim PTY lebih mengutamakan kebenaran substantifnya, dibandingkan kebenaran proseduralnya.
Meskipun akta jual beli No. 299/2008 yang dibuat di hadapan Notaris/PPAT H. Sutrisno secara prosedural memiliki kekuatan pembuktian yang kuat dan sempurna (Pasal 165 HIR), sehingga harus dipercaya dan dianggap benar menurut hukum, tetapi ternyata secara substantif/materiil perolehan haknya melanggar ketentuan diktum Sebelah utara : tanah kosong dan sawah ke-2 huruf b dari Intruksi Menteri Dalam Negeri Sebelah selatan : sawah No. 14 Tahun 1992 tanggal 6 Maret 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Sebelah timur : sawah pemindahan Hak Atas Tanah. Dengan demikian akta jual beli No. 299/2008 tanggal 25 Nopember Sebelah barat : rumah tetangga 2008 tidak sesuai dengan peraturan hukum yang Yang telah dibangun, ditempati, dan dihuni berlaku, maka akta jual beli atas obyek sengketa selama tujuh tahun dengan cara jual beli yang sah tersebut tidak berdasar hukum dan tidak sah, adalah dapat dibenarkan menurut hukum. maka dengan demikian sertifikat HGB No. 434 Majelis hakim PTY dalam memutuskan dapat dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai perkara tersebut tidak menggunakan yurisprudensi kekuatan hukum. maupun doktrin hukum sebagai salah satu sumber Amar putusan hakim Pengadilan Tinggi hukumnya, tetapi dengan mendasarkan pada Yogyakarta ada beberapa kategori, yaitu dalam ketentuan hukum positif yang berlaku. Meskipun bagian konpensi, dalam pokok perkara, dalam demikian berdasarkan pada hasil wawancara rekonpensi, dan dalam konpensi dan rekonpensi. dengan Hakim PTY, putusan hakim PTY Sehingga bunyi amar putusan juga ada beberapa menggunakan sumber berupa nilai-nilai hukum macam, yaitu menguatkan, menolak, mengabulkan, yang hidup dalam masyarakat, yaitu berupa maupun berupa pernyataan sesuai kategori dalam hukum adat atau hukum kebiasaan, di mana amar putusan di atas. Selengkapnya amar putusan bahwa tanah merupakan aset yang sangat penting hakim PTY sebagaimana dipaparkan di bawah ini.
Pemihakan Hakim Terhadap keadilan Substantif (Bambang Sutiyoso)
| 309
Dalam eksepsi, putusan hakim PTY bersifat menguatkan putusan Pengadilan Negeri Sleman No. 133/Pdt.G/2010/PN.Slmn tanggal 14 Februari 2011 yang dimintakan banding tersebut. Sedangkan dalam pokok perkara, putusan hakim PTY menyebutkan: •
Mengabulkan gugatan para penggugat konpensi/para tergugat rekonpensi/para terbanding/para pembanding untuk sebagian sepanjang mengenai: -
Sebelah selatan : sawah
Sebelah timur
: sawah
Sebelah barat
: rumah tetangga
Yang telah dibangun, ditempati dan dihuni selama 7 tahun dengan cara jual beli yang sah dan dapat dibenarkan oleh hukum.
-
Menyatakan secara hukum penggugat rekonpensi/tergugat konpensi/ pembanding/terbanding adalah pemilik bangunan rumah berlantai dua dan bangunan rumah berlantai satu dan garasi yang dibangun oleh penggugat rekonpensi /tergugat konpensi/pembanding/terbanding.
-
Menyatakan secara hukum jual beli yang dilakukan oleh tergugat rekonpensi dengan dasar akta kuasa menjual no. 11 dan akta jual beli no. 299 adalah cacat hukum dan tidak sah.
-
Menyatakan secara hukum sertifikat HGB No. 434 luas 593 M2 yang tercatat atas nama tergugat rekonpensi/ penggugat konpensi/ terbanding/pembanding adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.
-
Menolak gugatan penggugat rekonpensi/tergugat konpensi/ pembanding/terbanding untuk yang lain dan selebihnya.
Menyatakan bahwa para penggugat konpensi/para tergugat rekonpensi/ para terbanding/para pembanding adalah pasangan suami istri yang sah.
-
Menolak gugatan para penggugat konpensi/para tergugat rekonpensi/ para terbanding/para pembanding untuk selain dan selebihnya.
Dalam rekonpensi, putusan hakim PTY menyatakan: •
Mengabulkan gugatan penggugat rekonpensi/tergugat konpensi/pembanding/ terbanding untuk sebagian sepanjang mengenai: -
310 |
Menyatakan secara hukum penggugat rekonpensi/tergugat konpensi/ pembanding/terbanding dalah pemilik sah tanah obyek sengketa HGB No. 434 luas 59 M2 dengan batas-batas sesuai hasil pemeriksaan setempat tanggal 14 Januari 2011 adalah sebagai berikut: Sebelah Utara sawah
: tanah kosong dan
Selanjutnya dalam konpensi dan rekonpensi, majelis hakim PTY menyatakan sebagai berikut : ”Menghukum para penggugat
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 298 - 315
konpensi/para tergugat rekonpensi/para terbanding/para pembanding secara tanggung renteng untuk membayar biaya perkara di kedua tingkat peradilan, yang di tingkat banding sejumlah Rp.150.000,- (Seratus lima puluh ribu rupiah)”. Dasar pertimbangan hakim PTY pada dasarnya sudah relevan menjadi dasar dan ”reasoning” dari amar putusan yang sudah dipaparkan di atas. Hal ini nampak dari korelasi yang jelas antara masing-masing bagian pertimbangan hukum yang melatarbelakangi munculnya amar atau diktum putusan.
sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Fakta hukum judex factie yang diungkapkan dalam putusan hakim PT sudah disusun secara sistematis/runtut sehingga mudah dipahami. Hal ini dapat terlihat dalam bagian pertimbangan hukumnya yang memberikan penilaian mulai dari bagian dalam konpensi, pokok perkara, rekonpensi sudah dengan mudah dipahami. Meskipun demikian, mengingat dalam perkara tersebut juga ada gugatan rekonpensi dan baik penggugat maupun tergugat juga mengajukan banding, seringkali penyebutan pihak-pihak sering kurang jelas, karena di beberapa tempat hanya disebut pengugat/tergugat/pembanding/ terbanding.
Dengan demikian berkaitan dengan hukum perdata materiil, putusan hakim PT telah memperhatikan kelengkapan sumber hukum Majelis hakim PTY pada dasarnya telah terkait unsur-unsur substansial dari dasar gugatan/ melakukan penafsiran terhadap hukum dan jawaban yang dikemukakan para pihak kebsahan akta jual beli yang dibuat oleh Notaris /PPAT dengan menggunakan metode penemuan 3. Penalaran Hukum yang Logis dalam hukum penafsiran di luar penafsiran gramatikal dan otentik, yaitu dengan mendasarkan pada Putusan penafsiran komparasi (perbandingan) dan Majelis hakim PTY sudah memberikan penafsiran historis. Interpretasi komparatif analisis secara tuntas terhadap fakta dan digunakan untuk memperbandingkan aturan hukumnya sebelum menjatuhkan amar putusan. hukum satu dengan yang lain yang lebih tepat Hal ini tercermin dalam bagian pertimbangan penggunannya, dalam hal ini tidak hanya melihat hukumnya yang menganalisis baik aturan pada kekuatan pembuktian akta otentik yang hukum formilnya seperti mengenai eksepsi, menurut Pasal 165 HIR merupakan bukti yang kuat maupun hukum materielnya misalnya terkait dan sempurna, tetapi juga dengan melihat secara sah atau tidaknya perbuatan hukum penggugat materiil/substantive bagaimana peraturan hukum konpensi/tergugat rekonpensi, yaitu bahwa secara lainnya memberikan pengaturan, baik dalam hukum jual beli yang dilakukan oleh penggugat Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun konpensi/ tergugat rekonpensi dengan dasar akta 1992 maupun dalam PP No. 24 Tahun 1997 yang kuasa menjual no. 11 dan akta jual beli no. 299 ternyata memberikan larangan penggunaan surat adalah cacat hukum dan tidak sah. Kemudian kuasa mutlak terkait dengan pemindahan hak atas majelis hakim PTY juga menyatakan secara tanah. Sedangkan interpretasi historis digunakan hukum sertifikat HGB No. 434 luas 593 M2 yang untuk melihat melihat bagaimana sejarah tercatat atas nama tergugat rekonpensi/ penggugat terjadinya suatu fakta hukum terkait dengan jual konpensi/terbanding/pembanding adalah tidak beli yang dilakukan para pihak, karena faktanya Pemihakan Hakim Terhadap keadilan Substantif (Bambang Sutiyoso)
| 311
obyek sengketa tersebut dilakukan proses jual beli sampai dua kali dengan pihak yang berbeda, di mana jual beli yang kedua pada tahun 2007 antara JAH dengan IS dilakukan tanpa sepengetahuan pembeli pertama TS yang telah membeli dari IR pada tahun 2004. Dalam menjatuhkan putusan, hakim PThanya melakukan penemuan hukum berupa penafsiran (interpretation) tetapi tidak menggunakan metode konstruksi hukum (eksposisi). Karena metode konstruksi hukum digunakan kalau terjadi kekosongan hukum (recht vacuum), yaitu peristiwa konkritnya tidak dijumpai pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan, sehingga Hakim harus melakukan penciptakan hukumnya (rechtschepping). Dalam putusan PT ini, peristiwa konkritnya (sengketa kepemilikan tanah terkait dengan jual beli tanah) sudah ada pengaturan hukumnya, sehingga cukup dengan melakukan penafsiran saja apabila ada ketidakjelasan dalam peraturan hukumnya (Sutiyoso, 2009: 134).
faktor-faktor non-yuridis, terutama faktor sosial dan faktor ekonomi. Faktor sosial yang tampak dengan adanya nilai-nilai kemasyarakatan yang ditampung sebagai bahan pertimbangan majelis hakim pemeriksa perkara Nomor 44/ PDT/2011/PTY, di antaranya pembeli tanah, Teddy Sulistiono, tergugat konpensi, lebih dulu melakukan pembelian tanahnya dengan Ir. Suryanto, pada tahun 2004 dan telah memberikan sejumlah uang kepada penjual. Sedangkan JAH melakukan transaksi jual beli dengan IS baru pada tahun 2007. Sehingga kepentingan pembeli pertama harus mendapatkan perlindungan hukum terkait dengan jual beli yang telah dilakukannya. Sedangkan pertimbangan faktor ekonomi tampak bahwa tanah memiliki nilai ekonomi yang tinggi dalam masyarakat, sehingga harus dipertimbangkan secara sungguh dalam putusan agar obyek sengketa berupa tanah dapat diserahkan kepada pihak-pihak yang secara hukum dapat membuktikan secara sah kepemilikannya.
Faktor-faktor non yuridis, baik faktor sosial maupun faktor ekonomi yang disebutkan di atas sudah sejalan dengan bunyi amar putusan tersebut. Dalam salah satu amar putusan PT menyatakan bahwa secara hukum penggugat rekonpensi/ tergugat konpensi/pembanding/terbanding adalah pemilik sah tanah obyek sengketa HGB No. 434 luas 59 M2 dengan batas-batas sesuai hasil pemeriksaan setempat tanggal 14 Januari 2011, yang telah dibangun, ditempati dan dihuni selama 7 tahun dengan cara jual beli yang sah dan dapat dibenarkan oleh hukum. Kemudian dalam amar putusan PT juga menyatakan bahwa secara 4. Nilai-nilai yang hidup dalam hukum penggugat rekonpensi/tergugat konpensi/ Masyarakat pembanding/terbanding adalah pemilik bangunan Dalam menetapkan amar putusan hakim rumah berlantai dua dan bangunan rumah berlantai PT, dapat terindikasi majelis hakim PT telah satu dan garasi yang dibangun oleh penggugat konpensi/pembanding/ mempertimbangkan adanya pertimbangan rekonpensi/tergugat Berdasarkan kajian dan identifikasi dari Putusan Hakim PTY ini, maka dapat dikemukakan bahwa konklusi dalam putusan hakim PT ini sudah runtut dan sistematis yang didukung oleh pertimbangan fakta dan hukum, sehingga tidak ada konklusi yang dipaksakan atau dengan kata lain bahwa putusan hakim PTY tersebut sudah didukung dan sesuai dengan pertimbangan fakta dan hukumnya. Dengan demikian putusan tersebut telah mencerminkan penalaran hukum yang logis, runtut dan sistematis.
312 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 298 - 315
terbanding. Dengan demikian secara hukum jual beli yang dilakukan oleh tergugat rekonpensi dengan dasar akta kuasa menjual no. 11 dan akta jual beli no. 299 adalah cacat hukum dan tidak sah, serta menyatakan secara hukum sertifikat HGB No. 434 luas 593 M2 yang tercatat atas nama tergugat rekonpensi/ penggugat konpensi/ terbanding/pembanding adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.
di Ruang Rapat Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Adapun beberapa catatan penting yang ditemukan di antaranya adalah terkait kompleksitas perkara, dasar hukum yang digunakan, penalaran hukum dan penemuan hukum, pertimbangan non yuridis, serta kontribusi dari hakim tinggi yang bersangkutan. Perkara Nomor 44/PDT/2011/ PTY sebenarnya relatif cukup kompleks, karena menyangkut kasus masalah tanah, namun majelis hakim pemeriksa perkara Nomor 44/PDT/2011/ Berdasarkan uraian dan hasil analisis di atas, PTY tidak menemukan kerumitan dalam memutus putusan hakim PTY telah menggali nilai-nilai perkara tersebut, karena sejak mengkonstatasi yang hidup dalam masyarakat (aspek non-yuridis), peristiwa konkrit, mengkualifisir peristiwa terutama faktor sosial dan faktor ekonomi yang hukumnya dan mengkonstitusi hukumnya dapat sejalan dengan bunyi amar putusan tersebut. berjalan dengan baik. 5.
Profesional Hakim dan Kebenaran Substantif
Pemihakan
Berdasarkan uraian dan pemaparan yang sudah disampaikan sebelumnya, maka pada dasarnya hakim PTY telah berlaku profesional dalam menjalankan tugasnya dalam memutuskan perkara tersebut. Hal ini tampak antara lain bahwa dalam putusan tersebut sudah memenuhi kaidahkaidah baik dalam hukum materiel maupun hukum formiel. Bahkan hakim PTY sudah mendasarkan pada kebenaran substantif dalam menjatuhkan putusannya tersebut. Kebenaran substantif inilah yang diharapkan dapat menyentuh pada problematika yang sesungguhnya, tidak sekedar hanya mengacu pada aturan formal regularitas semata-mata. Penilaian terhadap putusan PT sebagaimana di atas juga sejalan dengan deskripsi umum dari hasil pengkajian data primer. Data primer dalam hal ini didasarkan pada hasil wawancara peneliti dengan nara sumber hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta, yaitu Ibu Maria Anna Samiyati, SH., MH. pada hari Rabu, tanggal 14 Maret 2012,
Peristiwa konkritnya sudah ada pengaturannya dalam peraturan perundangundangan yang berlaku, sehingga kalau ada ketidak jelasan, metode penemuan hukum yang digunakan adalah penafsiran (interpretation). Pengadilan Tinggi Yogyakarta (judex factie) dalam hal ini majelis hakim pemeriksa perkara Nomor 44/PDT/2011/PTY tidak memerlukan proses persidangan (pemeriksaan) ulang dengan menghadirkan para pihak yang berperkara. Pertimbangan tidak perlu menghadirkan para pihak lagi di persidangan Pengadilan Tinggi Yogyakarta, karena sudah adanya bukti surat yang cukup, misalnya adanya pemakaian/penggunaan surat kuasa mutlak yang tidak dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini, juga dilakukan adanya elaborasi (penelaahan lebih dalam) yang dilakukan oleh majelis hakim pemeriksa perkara Nomor 44/ PDT/2011/PTY, dengan penelaahan terhadap peraturan perundang-undangan yang ada, dan menemukan adanya pelanggaran/kesalahan di antaranya penggunaan surat kuasa mutlak yang bertentangan dengan peraturan perundang-
Pemihakan Hakim Terhadap keadilan Substantif (Bambang Sutiyoso)
| 313
undangan yang berlaku. Dasar hukum lain yang digunakan oleh majelis hakim pemeriksa perkara Nomor 44/PDT/2011/PTY di antaranya, adanya pelanggaran ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah. Dasar hukum lain yang perlu ditambahkan adalah karena salah satu pihak yang berperkara melakukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang penggunaan kuasa mutlak, yang pada persidangan tingkat pertama tidak dipertimbangkan. Pertimbangannya lebih menekankan kepada kebenaran substansial daripada kebenaran proseduralnya.
karir yang lebih tinggi nantinya sebagai Hakim Agung. Meskipun putusan dalam perkara No. 44/PDT/2011/PTY memang belum sepenuhnya mengakomodir sumber-sumber hukum secara lengkap, misalnya yurisprudensi dan doktrin, tetapi tidak berpengaruh terhadap logika dan penalaran hukum yang sudah runtut dan sistematis yang tertuang dalam bagian pertimbangan hukumnya. IV. SIMPULAN Berdasarkan uraian dan hasil analisis sebelumnya, maka dapat dirumuskan beberapa kesimpulan terkait Putusan Hakim PTY No. 44/ PDT/2011/PTY sebagai berikut:
a. Putusan hakim secara umum telah mengikuti prosedur hukum acara perdata yang berlaku dan dapat membuktikan unsur-unsur yang Dalam memeriksa, mengadili dan memutus ada dalam gugatan atau jawaban gugatan perkara Nomor 44/PDT/2011/PTY tidak dengan berpedoman pada bukti-bukti yang adanya intervensi dari pihak manapun yang diatur dalam hukum acara perdata. mempengaruhi kebebasan hakim dalam memutus perkara tersebut. Kesemua hakim pemeriksa b. Putusan hakim telah mencerminkan penalaran hukum yang logis (runtut dan perkara Nomor 44/PDT/2011/PTY berperan aktif sistematis) dalam pertimbangan hukumnya dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut dan telah telah berupaya menggali sehingga tidak ada salah satu majelis yang nilai-nilai non yuridis yang ada dalam berperan lebih dominan. Mengingat tidak ada masyarakat. Meskipun harus diakui dalam perbedaan pendapat dalam memeriksa, mengadili putusan PTY No. 44/PDT/2011/PTY dan memutus perkara Nomor 44/PDT/2011/PTY, memang belum sepenuhnya mengakomodir maka pengambilan keputusan untuk memutus sumber-sumber hukum secara lengkap, perkara tersebut dengan musyawarah mufakat misalnya yurisprudensi dan doktrin, tetapi dan keputusan yang bulat. tidak berpengaruh terhadap logika dan Setelah dilakukan elaborasi dalam penelitian penalaran hukum yang sudah runtut dan ini, maka rekomendasi yang dapat disampaikan sistematis yang tertuang dalam bagian adalah hakim tinggi yang memeriksa perkara No. pertimbangan hukumnya. Oleh karena 44/PDT/2011/PTY sudah bertindak professional itu, mengacu pada hasil kajian putusan dalam menjalankan tugas dan wewenang tersebut, dapat disimpulkan bahwa hakim yudisialnya, sehingga hakim yang bersangkutan PTY sudah bertindak professional dalam cukup layak untuk dipromosikan pada jenjang menyelesaiakan perkara tersebut. 314 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 298 - 315
c. Hakim PTY dalam sikapnya ternyata lebih berpihak pada kebenaran substantif di bandingkan dengan kebenaran prosedural. Hal ini dapat terlihat meskipun akta jual beli No. 299/2008 yang dibuat dihadapan Notaris / PPAT mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan sempurna, tetapi karena cara perolehan akta jual beli No. 299/2008 yang ternyata di dasarkan surat kuasa mutlak yang substansinya bertentangan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1992, maka akta jual beli tersebut dianggap tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum.
DAFTAR PUSTAKA Fuady, Munir. 2003. Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. http://erabaru.net/opini/65-opini/10099menegakkan-keadilan-jangan-sekedarmenegakkan-hukum.
Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Mertokusumo, Sudikno. 1998. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuatan Akta Tanah Subekti. 1989. Hukum Acara Perdata. Bandung: BPHN Departemen Kehakiman RI, Bina Cipta. Sutiyoso, Bambang. 2009. Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan hukum Yang Pasti dan Berkeadilan. Yogyakarta: UII Press. Sutiyoso, Bambang. 2010. Mencari Format Ideal Keadilan Putusan Dalam Peradilan. Yogyakarta: Jurnal Hukum FH UII.
http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/ analisis-hukum-terhadap-kasus-sengketatanah-proyek-pemukiman-tni-al-di- Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. pasuruan-dihubungkan-dengan-undangundang-nomor-5-tahun-1960-tentang-poko- Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang k-agraria/ diakses tanggal 16 Maret 2012. Ketentuan Pokok Agraria http://www.sunan-ampel.ac.id/publicactivity/ detail.php?id=28 Instruksi Menteri dalam Negeri No. 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah
Wardah, Sri & Sutiyoso, Bambang. 2007. Hukum acara Perdata dan Perkembangannya di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media.
Keppres No.34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan Pemihakan Hakim Terhadap keadilan Substantif (Bambang Sutiyoso)
| 315
DOKTRIN PATEN DALAM SENGKETA APPLE MELAWAN SAMSUNG Kajian Putusan Pengadilan Den Haag 396057/KG ZA 11-730
PATENT DOCTRINESIN THE APPLE VS SAMSUNG DISPUTE An Analysis on the Den Haag Court Number 396057/KG ZA 11-730 Riko Fajar Romadhon & M. Fathan Nautika Fakultas Hukum Universitas Indonesia Kampus Universitas Indonesia, Depok 16424 Email:
[email protected] Diterima tgl 14 November 2012/Disetujui tgl 23 November 2012 ABSTRAK
Abstract
Sangketa paten yang menyita perhatian publik
The patent case between Apple versus Samsung
di akhir tahun 2011 sampai 2012 adalah perkara
has attracted a lot of attention in late 2011 to 2012.
antara Samsung melawan Apple. Sangketa dua
This huge case between the two most well-known
perusahaan raksasa tersebut telah memasuki
companies occurred in some countries such as in
ranah persidangan di berbagai negara seperti di
the United Kingdom, South Korea, United States
Inggris, Belanda, Korea Selatan, dan Amerika
of America, the Netherlands, and many others. The
Serikat. Putusan pengadilan terhadap sengketa itu
verdicts also varied in respective countries, some
berbeda satu dengan yang lain, di beberapa negara
of them were won by Apple and others by Samsung.
memutuskan memenangkan Samsung, dan di
The focus of this article is about the patent claim
beberapa negara lain memenangkan Apple. Salah
as revealed in the verdict of The Hague’s Court
satu putusan pengadilan yang menjadi kajian dalam
Number 396957/KG ZA 11-730 that was won by
tulisan ini ialah putusan Pengadilan Den Haag
Apple. The issue is interesting since three claims of
396957/KG ZA 11-730 terkait klaim paten yang
Apple were incompatible for patent protection, i.e.
memenangkan Apple. Putusan ini menjadi kajian
novelty, inventive steps, and utility. Samsung was
yang menarik lantaran berdasarkan doktrin-doktrin
considered faulty because it has infringed Apple’s
yang ada ketiga klaim paten Apple tidak memenuhi
EP 868 so Samsung’s smartphones are prohibited
unsur kebaruan, langkah inventif, dan utilitas.
in the Netherland’s market.
Sebagaimana putusan hakim, Samsung dianggap
Keywords: patent doctrine, novelty, inventive steps,
telah melanggar EP 868 milik Apple sehingga ponsel pintar keluaran Samsung dilarang beredar di
utility.
pasaran Belanda. Kata kunci: doktrin paten, kebaruan, langkah inventif, utilitas.
316 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 316 - 330
I.
PENDAHULUAN
Apple dan Samsung merupakan produsen ternama yang memproduksi smartphone dan tablet computer. Keduanya produk itu menggunakan teknologi multi touch di mana Apple sendiri terkenal dengan produk andalannya yaitu iPhone (iPhone 4 dan iPhone 4s) dan iPad (iPad 1 dan iPad 2) sedangkan Samsung mengandalkan produk bernama Galaxy. Apple pertama kali mengenalkan generasi pertama iPhonenya pada tahun 2007 sedangkan untuk iPad pertama kali dikenalkan pada tahun 2010. Tidak hanya Apple, Samsung juga mengeluarkan produk yang tidak kalah canggih yaitu Samsung Galaxy S (Samsung Galaxy S I dan Samsung Galaxy S II) dan Samsung Galaxy Tabnya pada tahun 2010. Apple dan Samsung merupakan rival dalam hal penjualan Smartphone maupun Tablet computer namun sebenarnya keduanya memiliki hubungan kerjasama yang saling membutuhkan. Faktanya, Samsung merupakan penyedia semiconductor utama untuk Apple dan Operating System (OS) dari produk Apple. Selain rivalitas dalam hal penjualan smartphone maupun tablet computer, kedua produsen ternama itu merupakan rival dalam pemegang lisensi paten. Sengketa dalam bidang hak kekayaan intelektual antara Apple dengan Samsung dan ini terjadi di sembilan negara di seluruh dunia seperti Amerika Serikat (Distrik California), Belanda, Jepang, Jerman, Korea Selatan, Inggris, Australia, Perancis dan Itali. Sengketa dalam bidang HKI ini meliputi patent, design patent, trademark, serta industrial design. Sengketa antara keduanya diawali saat Samsung meluncurkan produk Galaxy-
nya (Galaxy S maupun Galaxy Tab). Apple menyebutkan bahwa Samsung (Galaxy S dan Galaxy Tab) secara jelas meniru design produk Apple (iPhone dan iPad). ( http://www.phonedog. com/videos/phonedog-live-recap-4-22-11apple-vs-samsung-/ diakses pada 5 Maret 2012). Selanjutnya pada april 2011 Apple menyerang Samsung karena mengkopi desain iPhone dan iPad. (http://www.pcworld.com/article/245493/ apple to samsung dont make thin diakses pada 6 Maret 2012.) pada waktu yang hampir bersamaan, Samsung juga menyerang balik dan menyatakan bahwa Apple telah melanggar 10 paten Samsung (seperti 3G dan teknologi wireless). Sengketa antara Apple dan Samsung di Belanda sendiri dimulai sejak Juni 2012 dan diputus pada 24 Agustus 2011, dan pertikaian keduanya terjadi di negara lain hingga tahun 2012 dimana Samsung sebagai pihak tergugat yaitu Samsung Electronic Co. Limited, Samsung Electronic Benelux B.V, Samsung Electronic Europe Logistic B. V, dan Samsung Electronic Overseas B. V. Pada proses persidangan yang berjalan, terdapat tiga klaim paten yang diajukan oleh Apple. Paten pertama adalah European Patent Portable Electronic Device For Photo Management (EP 868), kedua adalah European Patent for Touch Event Model (EP 948) dan European Patent for Unlocking a by Performing Gestures on an Unlock Image (EP 022). Selain tiga paten itu, Perkara antara Apple dengan Samsung ini tidak sebatas pada tiga paten saja, melainkan meliputi juga design patent seperti EC design patent for pocket computer; EC design patent for apparatus for recording and playback of sound or image; EC design patent for electronic devices; dan EC design patent for graphical user interface.
Doktrin Paten Dalam Sengketa Apple Melawan Samsung (Riko Fajar Romadhon & M. Fathan Nautika )
| 317
Apple menyatakan bahwa device buatan Samsung, baik Tablet computer maupun Smartphone, telah melanggar ketiga patent tersebut. Smartphone yang dianggap melanggar patent Apple adalah Galaxy S GT-19000; Galaxy Ace GT-S5830; dan Galaxy S II GT-19100. Sedangkan untuk tablet computer adalah Galaxy Tab GT-P1000; Galaxy Tab 10.1v GT-P7100; dan Galaxy Tab 10.1 GT-P7510.
date signing of this letter. Of course, we shall reimburse you for the price paid as well as the shipping costs. For the record we would like to mention the fact that by storing, offering and/or selling of the mentioned Galaxy tablet computers you are infringing the intellectual property rights of Apple Inc.” Selain itu, Samsung juga harus memberikan notifikasi dalam website mereka (www.samsung. nl) sebagai berikut:
Pada pokoknya, Apple meminta hakim untuk memutuskan bahwa kedua produk keluaran Samsung telah melanggar ketiga European Patent “Recently we offered the sale of tablet Apple sehingga Apple meminta kepada Hakim computers from the Galaxy range in the agar Samsung berhenti memproduksi masal, Netherland. In particular, this involves the mengimpor, menawarkan maupun menjual tablet computer of the type Galaxy Tab (GTkedua produk tersebut. Apple, dalam tuntutan P1000) and Galaxy Tab 10.1v (GT-P7100). tambahannya, menuntut agar pihak Samsung By judgement of [date judgement], the menarik kembali smartphone maupun tablet judge in interlocutory proceedings of the computer yang telah mereka jual dan memberikan Court The Hague has ruled that the sale of notifikasi kepada konsumen mereka sebagai these tablet computers infringes the patent berikut: rights, design patents and/or copyright of “Dear [name of buyer]. Apple Inc., in any cases that we have acted Some time ago we supplied you with unlawfully towards Apple Inc., an forbid us tablet computer from the Galaxy range. from dealing any further in these Galaxy In particular, this involves tablet computer tablet computers on the Dutch market.” of the type Galaxy Tab (GT-P1000) and Galaxy Tab 10.1v (GT-P7100) [fill in with Berikut tabel European Patent yang dilanggar other infriging tablet computers]. oleh Samsung: By judgement of [date of judgement], the Tab Tab 10.1v Tab 10.1 judge interlocutory proceedings of the Court EP 868 X X X of the Hague has ruled that manufacturing, X X warehousung, offering, selling and/or EP 948 X X X delivering of these products INFRINGES EP 022 the patent rights, design patents and/or S S II Ace copyright of Apple Inc., in any case that X X X we have acted unlawfully towards Apple EP 868 Inc. We ask you to return to us the Galaxy Tablets we supplied to you, if you still have any of them in stock, within 14 days of the 318 |
EP 948 EP 022
X X
X
X
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 316 - 330
Kasus ini disidangkan di berbagai negara dimana putusannya satu dengan yang lain berbeda. Di Inggris, Samsung memenangkan gugatan melawan Apple. Hakim pengadilan di Inggris, memerintahkan Apple mengakui secara terbuka bahwa Samsung tidak menjiplak desain iPad seperti yang dituduhkan selama ini. Putusan berbeda di Pengadilan Belanda yang memenangkan Apple. Pengadilan di Hague, Belanda, memutuskan Samsung melanggar paten Apple terkait teknologi untuk menghubungkan ponsel atau tablet ke internet. Putusan pengadilan Den Hag itu tertuang dalam putusan 396957/ KG ZA 11-730. Putusan yang sama berada di pengadilan Amerika Serikat. Dewan juri sembilan orang di pengadilan federal San Jose, California, AS, memutuskan Samsung telah melakukan pelanggaran paten dan harus membayar Apple sebesar USD 1.051 miliar atau sekitar Rp 9,5 triliun sebagai ganti rugi. Berdasarkan Maka dari itu, penulis akan mengkaji dan menelaah lebih mendalam mengenai syarat patentabilitas suatu invensi dengan studi kasus terhadap putusan 396957/KG ZA 11-730 mengenai sengketa paten antara Apple dengan Samsung. II.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan penjabaran dalam latar belakang yang telah dipaparkan tersebut, terdapat beberapa rumusan permasalahan yang menjadi pembahasan dalam jurnal ini adalah, sebagai berikut bagaimana doktrin paten patentabilitas produk komputer dalam sangeka Apple dan Samsung berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Deen Haag nomor 396957/KG ZA 11-730?
III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS Pokok pembahasan utama dalam jurnal ini terkait dengan tiga patent yang diklaim dimiliki olehApple, yaitu Patent terkait Portable Electronic Devices For Photo Management, Touch Gesture Event, dan Unlocking by Performing Gestures on an Unlock Image. Sebelum melakukan pembahasan lebih jauh, perlu diketahui bahwa ketiga paten yang diklaim Apple merupakan sebuah program komputer yang mana program komputer tersebut melekat pada Operating System dari smartphone maupun tablet computer. Perlu diingat juga bahwa perlindungan paten hanya dapat diberikan terhadap suatu invensi sesuai dengan syarat patentabilitas suatu invensi. Secara sederhana apabila suatu invensi telah mendapatkan perlindungan patent maka invensi tersebut diasumsikan telah lolos dalam tahap pengujian sehingga layak diberikan perlindungan paten. Patentabilitas Suatu Invensi Kaitannya dengan Program Komputer Esensi dari suatu program komputer sebenarnya adalah keberadaan “perintah” ataupun “instruksi” yang berfokus kepada proses agar suatu perangkat keras sehingga berfungsi sebagaimana yang ditentukan. Jadi sepatutnya yang menjadi kata kunci dari hal ini, adalah kejelasan dari instruksi itu sendiri sehingga jika suatu program tidak lengkap dan/atau tidak jelas instruksinya, ia bukan merupakan suatu program. Menurut WIPO menjelaskan mengenai program komputer sebagai For the purpose of the law: computer program means a set of instruction capable, when incorporated in a machineradable medium, of causing a machine having information-processing capabilities to indicate,
Doktrin Paten Dalam Sengketa Apple Melawan Samsung (Riko Fajar Romadhon & M. Fathan Nautika )
| 319
perform or achieve a particular function, task or result.” Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, program komputer didefinisikan sebagai sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema ataupun bentuk lain yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang instruksi-instruksi tersebut.”
disini adalah invensi tersebut “baru” dilihat dari sudut pandang apa? Secara subyektif maka jawaban dari pertanyaan tersebut adalah suatu invensi dapat dikatakan “baru” apabila ahli-ahli dalam bidang invensi terkait tidak bisa mengantisipasi invensi tersebut. Disisi lain suatu invensi secara obyektif dikatakan “baru” ketika invensi tersebut tidak bisa diantisipasi oleh prior art. Prior art disini diartikan sebagai suatu invensi yang sudah ada sebelumnya bukan yang sebelumnya tidak diketahui (previously unknown). Invensi sendiri didefinisikan sebagai ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses
Program komputer perlu untuk dilindungi oleh hukum khususnya rezim Hak kekayaan Intelektual. Perlindungan ini dimaksudkan untuk melindungi inovasi dalam program komputer tersebut. Terdapat dua elemen penting dalam sebuah program komputer, yaitu The Underlying Process dan Sistem dari Operasi Algoritma, dan 2. Tidak ada sistem yang memberikan Serangkaian instruksi yang menjelaskan proses perlindungan paten terhadap sistem secara detail. (Makarim, 2005; 291) invensi yang sudah diketahui. Sejalan dengan itu, peraturan paten yang sekarang Elemen yang pertama dapat dipersamakan berlaku mensyaratkan bahwa invensi yang dengan proses atau sistem sehingga akan dapat dipatenkan haruslah baru dalam pengertian dilindungi oleh paten. Sementara itu, elemen tidak hanya membentuk seni, di mana yang kedua merupakan ekspresi dari serangkaian invensi tersebut pada sat itu tidak ditemukan instruksi yang dituangkan dari bentuk tertulis jelas dalam bentuk-bentuk (baik produk, dapat dilindungi oleh hak cipta. (Smith; 2000; proses, informasi tentang keduanya, atau 57) Perlindungan terhadap program komputer yang lainnya) yang telah tersedia kepada sebaiknya diberikan dalam bentuk perlindungan masyarakat baik tertulis atau deskripsi tahap demi tahap. Tidak semua hal tentunya bisa lisan, dipergunakan, atau dengan cara lain. dilindungi dengan paten. Ada persyaratan yang harus dipenuhi yaitu sebagai berikut: 1. Novelty. Novelty memiliki arti kebaruan. Novelty merupakan sine qua non dari setiap invensi.( Rosenberg: 1977; 89) Novelty disini memiliki arti yang ambigu dan mencakup aspek aspek subyektif maupun obyekti. Pertanyaan mendasar dari Novelty 320 |
3. Inventive Step. Kadang-kadang suatu invensi disebut baru dalam artian invensi ini tidak pernah diumumkan sebelumnya. Kemudian muncul pertanyaan mendasar terkait dengan hal ini yaitu seberapa banyak atau perbedaan apa yang terdapat dalam suatu invensi sehingga invensi Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 316 - 330
tersebut berbeda dengan prior art? Perlu diketahui bahwa perbedaan haruslah ada dalam suatu invensi dan perbedaan itu haruslah mengandung langkah-langkah yang inventif walaupun perbedaan tersebut kecil. Berdasarkan hal ini walaupun perbedaan antara invensi yang sebelumnya dikenal dengan invensi yang diajukan mungkin kecil sekali namun kantor paten haruslah menganggap hal tersebut sebagai langkah inventif. Pemeriksaan untuk membuktikan apakah suatu invensi tersebut merupakan langkah inventif merupakan hal yang sulit dalam praktik karena pemeriksaan dibuat atas dasar apa yang dikenal umum dalam bidang kreasi tertentu, serta apakah anggapan dan sudah dikenali oleh para ahli dalam bidang tersebut. Utility. Utilitas disini artinya bahwa setiap invensi harulah dapat diterapkan dalam segala jenis industri. WIPO sendiri menyebutkan bahwa suatu invensi haruslah memberikan solusi teknis (offer a technical solution). Justice Story menuliskan pendapatnya mengenai utility sebagai:
inventor; and if it be triffling, it will be sink into utter neglect. The law, however, does not look to the degree of utility; it simply requires, that it shall be capable of use, and that the use is such as sound morals and policy do not discountenance or prohibit.” (Rosenberg,1977: 110) Berdasarkan pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa utility disini memiliki arti bahwa suatu invensi tersebut memiliki fungsi teknis dan bermanfaat. Syarat patentabilitas suatu invensi sebagaimana telah secara sederhana disebutkan di atas, didukung oleh adanya doktrin-doktrin yaitu: 1. Doctrine of Equivalents yang menyebutkan bahwa: “A product or process that does not literally infringe upon the express terms of a patent claim may nonetheless be found to infringe if there is equivalence between the elements of the zccused product or process and the claimed elements of the patented invention. (Merges: 2003: 231). Berdasarkan doktrin ini dapat disimpulkan bahwa suatu invensi atau proses yang secara harafiah tidak melanggar klaim patent (literal infringement) dapat dinyatakan melanggar apabila memiliki kesamaan elemen atau proses dari suatu invensi.
“by useful invention is meant such a one as may to be applied to some beneficial use in society, in contradistinction to an invention, which is injurious to the morals, the health, or the good order of society. It is not necessary to establish, that the invention is of such 2. Doctrine of Anticipation yang menyatakan general utility, as to supercede all other bahwa “if the differences between the inventions now in practice to accomplish subject matter sought to be patented and the same purpose. It is sufficient, that it the prior art are such that the subject matter has no obnoxious or mischievous tendency, as a whole would have been obvious at the that it may be applied to practical uses, and time the invention was made to a person that so far as it is applied, it is salutory. If having ordinary skill in the art to which its practical utility be very limited, it will said subject matter pertains.” (Merges: follow that it will be of little profit to the 2003: 231). Doktrin Paten Dalam Sengketa Apple Melawan Samsung (Riko Fajar Romadhon & M. Fathan Nautika )
| 321
Jika merujuk pada penjelasan tersebut maka terdapat dua poin utama dari doktrin ini, yaitu: (i) suatu invensi haruslah tidak dapat diantisipasi oleh ahli-ahli di bidang tersebut (claimed invention); (ii) invensi tersebut tidak dapat diantisipasi sebelumnya oleh prior art. 3. Doctrine of Best Mode. Doktrin ini pada dasarnya merupakan kewajiban dari seorang inventor. Amerika merupakan salah satu negara yang menganut doktrin ini dan disebutkan sebagai “A statutory bargainedfor-exchange by which a patentee obtains the right to exclude others from practicing the claimed invention for a certain time period, and the public receives knowledge of the preferred embodiements for practicing the claimed invention.” (Merges: 2003: 231). Artinya disini, inventor wajib membuka dokumen invensinya terhadap publik setelah invensi yang ia klaim mendapatkan perlindungan paten. Indonesia juga menganut doktrin ini. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten yang menyebutkan bahwa seorang inventor wajib untuk mencantumkan deskripsi tentang invensi secara lengkap; memuat tata cara melakukan invensi tersebut; menampilkan deskripsi-deskripsi gambat yang berkaitan untuk memperjelas invensi; memberikan abstraksi invensi. Ketentuan lebih detil terkait hal ini juga diatur dalam Peraturan Pemerintah
kegunaan teknis. Doctrine of Technical Action sudah diadopsi sejak tahun 1933. Tujuan utama dari adanya doktrin ini adalah untuk memastikan suatu invensi tetap menjunjung tinggi konsep utilitas. (Borking,1985: 160) Pengujian Paten Merujuk pada kasus Apple melawan Samsung, secara sederhana apabila suatu invensi telah mendapatkan perlindungan paten maka invensi tersebut diasumsikan telah lolos dalam tahap pengujian sehingga layak diberikan perlindungan paten. Namun bagaimana dengan faktanya? Berikut penjelasannya: 1. PortableElectronic Device Management (EP 868)
For
Photo
European Patent EP 2059868 (EP 868) terkait dengan userinterface untuk menggerakkan objek digital berupa foto atau elektronik dokumen lainnya dengan cara melakukan scrolling pada touchscreendisplay. EP 868 memungkinkan user untuk melakukan scrolling pada objek digital berupa foto yang terdapat pada foto galeri ataupun dokumen elektronik dengan gaya yang elegan dan menarik.
Invensi yang diklaim pada EP 868 adalah perlindungan terhadap metode untuk membuat digital object kedua berupa foto atau dokumen elektrik muncul seketika setelah dilakukan scrolling pada objek digital pertama (walaupun dalam keadaan 4. Doctrine of Technical Action. Doktrin ini zoomed) serta efek bounce back yang terkait dengan syarat utilitas dari suatu terjadi seketika apabila terdapat distraksi invensi yang artinya suatu invensi apabila dalam melakukan scrolling pada objek ingin mendapatkan perlindungan paten, digital pertama baik berupa foto ataupun maka invensi tersebut haruslah memiliki
322 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 316 - 330
digital dokumen. EP 868, sebagaimana dijelaskan di atas, menurut klaim dari pihak Samsung dikatakan tidak valid karena sama dengan prior art yaitu WO 03/081458 (WO 458). Kesamaannya adalah WO 458 secara sederhana merupakan metode untuk melihat maupun menavigasikan dokumen elektronik dengan menggunakan sentuhan terhadap layar pada device yang memiliki layar kecil seperti PDA, telepon atau lainnya. Terdapat beberapa metode dalam WO 458 untuk menavigasikan dokumen elektronik yang ukurannya jauh lebih besar daripada layar pada device salah satunya adalah fitur “snap”. Perbedaan mendasar yang terdapat dari kedua fitur ini adalah:
of the art (WO 458), it was unknown to make first one swipe (first movement) and then to let the digital object bounce back, and only then to show the next photo as soon as second swipe (second movement) is performed. Judging at this time, this is not evident either for WO 458. That document reveals however swiping through columns. In this context applies that when a “horizontal motion threshold is exceeded, the next column is shown but when the threshold is not exceeded, the column will bounce back and “snap into alignment with the logical column”. The mandatory bounce back can not be found in WO 458 nor is there any indication to that effect. Consequently EP 868 considered being valid for
a.
EP 868 didalamnya terdapat fitur bounce back. Hal ini tentunya diklaim lebih canggih dari fitur snap yang terdapat dalam WO 458. Fitur bounce back juga diklaim sebagai solusi untuk mempermudah user dalam berinteraksi secara fleksibel dengan devicenya.
b.
EP 868 memungkinkan user untuk melakukan fungsi zoom in dan zoom out pada device hal ini berbeda dengan WO 458 yang tidak mengenal fungsi tersebut di dalamnya. Pengoperasian WO 458 sebatas menggunakan touch screen dan tracking motion tool.
Hakim dalam perkara ini menyebutkan bahwa EP 868 valid. Validitas suatu invensi ditentukan oleh tiga faktor yaitu kebaruan, nonobviousness, dan utilitas. Ketiga faktor ini memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya. Faktor kebaruan terkait dengan apakah invensi tersebut telah ada sebelumnya dan apakah terdapat hal baru (lompatan teknologi) yang terkandung dalam invensi tersebut. Terkait dengan hal baru (lompatan teknologi) ini haruslah sesuatu yang tidak dapat diprediksi sebelumnya (nonobviousness). Hal baru (lompatan teknologi) tersebut tentunya merupakan solusi atas permasalahan teknis (memiliki kegunaan teknis/ utilitas). Adapun EP 868 jika dilihat dari ketiga faktor ini adalah sebagai berikut:
c.
EP 868 tidak mengenal logical column sebagaimana WO 458.
Namun Hakim berpendapat lain dan menyatakan bahwa EP 868 adalah valid karena efek bounce back tidak ditemukan dalam prior art (WO 458). Hakim dalam putusannya menjelaskan bahwa: “To this respect, in the state
the time being.”
a.
Kebaruan atau Novelty. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, secara sederhana faktor kebaruan terkait dengan apakah suatu invensi tersebut sudah ada sebelumnya atau terdapat lompatan teknologi baru dalam invensi tersebut. EP 868 bukanlah merupakan
Doktrin Paten Dalam Sengketa Apple Melawan Samsung (Riko Fajar Romadhon & M. Fathan Nautika )
| 323
sesuatu yang baru, terdapat invensi setipe dengan EP 868 yaitu WO 458. Namun perlu diketahui disini bahwa EP 868 menawarkan hal baru yang sebelumnya,sebagaimana diklaim Apple, tidak terdapat dalam WO 458. Hal baru yang ditawarkan oleh Apple dalam klaimnya adalah fitur bounce back dan fungsi zoom dimana user dapat secara bebas melihat dokumen elektronik yang ukurannya jauh lebih besar daripada layar device bersangkutan.
324 |
Kedua hal baru sebagaimana klaim Apple ini tentunya perlu ditinjau dari dua sisi yaitu subjektif dan dan kedua objektif. Terkait dengan kebaruan yang sifatnya subjektif, muncul pertanyaan apakah fitur bounce back dan zoom dapat diantisipasi oleh ahliahli dalam bidang teknologi pada waktu itu. Selanjutnya terkait dengan sifat objektifnya muncul pertanyaan apakah fitur bounce back dan zoom telah diantisipasi oleh prior art, dalam hal ini WO 458.
b.
Inventive Steps. Faktor selanjutnya adalah mengenai inventive steps. Poin penekanan utama dalam inventive steps ini adalah seberapa banyak suatu invensi memiliki perbedaan dengan prior art. Perbedaan kecil walaupun mengandung langkah inventif dapat diberikan perlindungan paten. Jika mengacu pada kasus Apple melawan Samsung, perbedaan antara EP 868 dengan WO 458 adalah fitur bounce back. Jika mengacu pada pendapat
Learned hand menurut doktrin small structure, EP 868 dapat diberikan perlindungan paten. Namun perlu diingat bahwa perbedaan kecil tersebut haruslah tidak dapat diantisipasi sebelumnya oleh prior art. Terkait dengan hal ini dapat dilihat dalam penjelasan doctrine of anticipation dan doctrine of equivalents.
Secara sederhana doctrine of anticipation menyebutkan bahwa suatu invensi yang akan dipatenkan (should be patented) haruslah memiliki lompatan teknologi yang mana lompatan tersebut tidak dapat diprediksi oleh prior art. Jika mengacu pada kasus Apple melawan Samsung maka EP 868 haruslah memiliki lompatan teknologi yang tidak bisa diprediksi oleh prior art (WO 458). Untuk mengetahui terprediksi atau tidaknya suatu invensi oleh prior art tentulah harus melihat kedua dokumen paten yang bersangkutan, dalam hal ini dokumen paten EP 868 dan dokumen paten WO 458.
Dokumen paten WO 458, menurut pandangan hakim, tidak menjelaskan sama sekali atau indikasi adanya fitur bounce back jika input layar sentuh tidak menerima sentuhan (terdapat distraksi pada saat sentuhan pertama). Jika terjadi distraksi terhadap sentuhan pertama pada WO 458, maka dokumen elektronik akan otomatis menyesuaikan dengan logical column. Namun perlu diingat bahwa fitur bounce back sebagaimana
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 316 - 330
klaim Apple hanya sebatas animasi atau pemanis suatu UserInterface. Baik WO 458 maupun EP 868 sama-sama menjelaskan apabila sentuhan pertama terkena distraksi yang menyebabkan device tidak lagi menerima input berupa sentuhan. Perbedaan keduanya adalah dalam WO 458 menggunakan efek snap sedangkan EP 868 menggunakan efek bounce back. Atas basis doctrine inilah EP 868 dapat dikatakan tidak memiliki unsur langkah inventif. Doktrin kedua yang digunakan untuk menganalisis unsur langkah inventif dari EP 868 adalah Doctrine of Equivalent. Doctrine of equivalents menyebutkan bahwa: “A product or process that does not literally infringe upon the express terms of a patent claim may nonetheless be found to infringe if there is equivalence between the elements of the accused product or process and the claimed elements of patented invention.”
Merujuk pada definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu produk atau proses yang secara harafiah tidak melanggar paten (karena memiliki kegunaan yang berbeda) justru dapat dinyatakan melanggar paten juka ada kesamaan elemen dari produk atau proses dari paten penemuan sebelumnya. Berdasarkan doktrin ini perlu dilihat apakah WO 458 sebagai prior art memiliki kesamaan terhadap EP 868. Jika kita lihat secara seksama dalam patent claim kedua invensi ini, keduanya sama sama terkait dengan
metode untuk mengoperasikan elektronik dokumen yang ukurannya jauh lebih besar dibandingkan dengan ukuran layar suatu device. Baik WO 458 maupun EP 868 dapat menavigasikan dokumen elektronik dengan menggunakan sentuhan vertikal maupun horizontal. Oleh karena itu berdasarkan pada doctrine of equivalents antara WO 458 dengan EP 868 memiliki kesamaan pada pokoknya terkait dengan dua hal tersebut. c.
Utilitas
Penekanan utama dari utility disini adalah suatu invensi harus memiliki fungsi teknis. Poin penting dari fungsi teknis disini adalah invensi tersebut offers a technical solution. Fungsi teknis dari suatu invensi tentunya dapat dilihat dalam dokumen paten terkait (EP 868 maupun WO 458). EP 868 dalam dokumen patennya sebatas menyebutkan fungsi teknis dari invensi ini yaitu “The disclosed embodiement relates generally to portable electronic devices, and more particularly, to portable devices for photo management, such as digital photographing, photo editing and emailing photos.”
Fungsi teknis sebagaimana yang diklaim Apple dalam dokumen patennya sama sekali tidak menunjukkan adanya suatu permasalahan yang terpecahkan (technical solutions) atas adanya invensi EP 868. EP 868 sebatas
Doktrin Paten Dalam Sengketa Apple Melawan Samsung (Riko Fajar Romadhon & M. Fathan Nautika )
| 325
326 |
menyebutkan mengenai fungsi dari terhadap permasalahan yang ada. patennya itu sendiri. Lain halnya Namun sayangnya hal ini tidak dengan dokumen paten WO 458 yang dilakukan oleh pihak Apple. secara jelas menyebutkan bahwa: Berdasarkan penjelasan sederhana di atas, “The following description relates maka saya merasa keberatan terkait dengan generally to a viewing and navigation pernyataan hakim yang menyatakan bahwa EP aid for displaying information on 868 valid. EP 868 tidak dapat dikatakan valid an electronic device having limited karena invensi tersebut tidak memiliki nilai display capability.” kebaruan, dapat diantisipasi oleh prior art, dan Dapat dilihat bahwa di atas terdapat kata gagal untuk menunjukkan solusi teknis terkait “an electronic device having limited permasalahan yang dihadapi. display capability”. Hal tersebut 2. Touch Event Model (EP 948) menyebutkan mengindikasikan bahwa WO 458 merupakan solusi European Patent EP 2098948 (EP 948) teknis atas permasalahan suatu device merupakan paten yang dimiliki Apple terkait yang memiliki keterbatasan ukuran dengan userinterface untuk mengoperasikan layar. Kemudian terdapat doctrine device buatannya dengan menggunakan input of best mode yang menyatakan berupa sentuhan. Lompatan inovasi yang bahwa “A best mode is a statutory dilakukan oleh Apple disini adalah user tidak bargained for exchange by which a hanya dapat mengoperasikan device buatan patentee obtains the right to exclude Apple dengan satu sentuhan, melainkan dapat others from practicing the claimed mengoperasikannya dengan menggunakan lima invention for a certain time period, sentuhan sekaligus (multi-touch event). and the public receives knowledge Samsung dalam persidangan menyatakan of the preferred embodiements for bahwa pengoperasian device buatannya tidak practicing the claimed invention.” mengikuti apa yang dimaksudkan dalam EP 948. Artinya disini Apple sebagai pihak EP 948 dalam invensi Apple mengenal adanya pemohon paten apabila invensinya Exclusive Touch. Exclusive touch secara sederhana diberikan perlindungan paten maka disini artinya device akan berbeda fungsinya Apple memiliki kewajiban untuk apabila dioperasikan dengan menggunakan menunjukkan bagaimana invensi satu sentuhan atau dengan beberapa sentuhan mereka dalam dokumen paten. sekaligus. Hakim dalam putusannya juga Kembali lagi pada kasus Apple menyebutkan bahwa “Judging at this time, the melawan Samsung, artinya disini samsung products under attack do not fall under Apple sebagai patentee dalam the extent of protection of EP 948. The invoked dokumen paten EP 868 memiliki claims in fact prescribe that with “each view” an kewajiban untuk menunjukkan “exclusive touch flag” is associated. At this state kepada publik bahwa invensinya of affairs does not require further discussion.” merupakan technical solution Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 316 - 330
3. Slide to Unlock (EP 022) European Patent EP 1964022 (EP 022) terkait dengan fitur untuk membuka device yang terkunci dengan cara menggerakkan digital objek terhadap instruksi yang sudah tertera pada layar device. Apple mengklaim bahwa metode untuk membuka device dengan gesture merupakan hal yang baru dan berbeda. Namun Samsung menyatakan bahwa teknologi swipe to unlock milik Apple sama dengan yang dimiliki oleh Neonode Inc. Faktanya, terdapat perbedaan mendasar diantara keduanya yaitu dalam EP 022 instruksi untuk membuka suatu device dijelaskan dengan jelas/slide to unlock (menggerakkan digital objek sesuai dengan instruksi yang tertera pada layar). Apple dalam menegaskan dua perbedaan penting terkait dengan EP 022 yaitu pertama invensi slide to unlock lebih userfriendly (EP 022 providing a more user friendly procedure) dan kedua user harus menggerakkan digital objek pada predefined path yang artinya user memiliki interaksi dengan hardwaredevice Apple (User has interaction with the devices). Sebagaimana telah diketahui bahwa suatu invensi perlu memenuhi unsur kebaruan, memiliki langkah inventif dan memiliki kegunaan untuk dapat diberi perlindungan paten. Terkait dengan EP 022 maka untuk menyatakan valid tidaknya paten ini maka perlu dibedah dengan menggunakan ketiga unsur ini, yaitu: a.
Kebaruan atau Novelty
Kebaruan pada dasarnya memiliki arti invensi yang terdapat dalam EP 022 sebelumnya tidak pernah ada (previously unknown) atau tidak ada sistem yang memberikan perlindungan paten terhadap invensi tersebut. Perlu diketahui bahwa sebelum seseorang mendaftarkan invensinya untuk
mendapatkan perlindungan paten, maka orang tersebut harus mengecek terlebih dahulu apakah invensinya tersebut sudah ada yang serupa sebelumnya. Jika dalam kasus di atas maka seharusnya Apple melakukan pengecekan di European Patent Office. Kemudian barulah EPO akan melakukan eksaminasi terkait apakah invensi tersebut dapat diberikan perlindungan paten. Eksaminasi ini berbeda beda tiap negara dan masingmasing negara memiliki examination guidelines-nya sendiri.
Samsung dalam sengketa ini menyatakan bahwa EP 022 invalid karena telah ada invensi sebelumnya yang memiliki fitur serupa dengan slide to unlock yang diklaim oleh pihak Apple. Invensi tersebut dimiliki oleh Neonode Nim.Inc yang telah didaftarkan terlebih dahulu pada tahun 2003. Neonode Nim merupakan handphone yang dibuat secara khusus untuk dioperasikan dengan satu jari serta menggunakan sensor sentuhan. Neonode Nim dalam dokumen patennya telah menyebutkan mengenai fungsi slide to unlock yang setipe dengan EP 022. Berdasarkan alasan inilah pihak Samsung menyatakan bahwa EP 022 tidak valid.
b.
Inventive Steps
Unsur kedua yang perlu dipenuhi adalah bahwa suatu invensi haruslah mengandung langkah yang inventif. Artinya disini invensi tersebut haruslah memiliki lompatan invensi yang
Doktrin Paten Dalam Sengketa Apple Melawan Samsung (Riko Fajar Romadhon & M. Fathan Nautika )
| 327
2004, fitur slide to unlock sudah dijelaskan di dalamnya. Dokumen paten tersebut secara sederhana menjelaskan bahwa untuk melakukan aktivasi device dari Neonode Nim maka user perlu melakukan sentuhan horizontal pada predefined path. Hal ini jelaslah setipe dengan fitur slide to unlock yang terdapat dalam EP 022. Dikatakan setipe karena dalam EP 022 user haruslah menggerakan digital object terhadap predefined path. Berdasarkan basis inilah EP 022 dikatakan invalid.
besar yang tidak dapat diantisipasi sebelumnya (nonobviousness). Kata prediksi disini memiliki unsur subjektifitas yang sangat tinggi. Oleh karenanya terdapat dua parameter untuk menentukan apakah suatu invensi ini dapat diprediksi atau tidak yaitu yang pertama apakah invensi ini dapat diantisipasi oleh ahliahli di bidangnya dan yang kedua adalah apakah invensi ini tidak dapat diantisipasi oleh prior art.
328 |
Terkait dengan antisipasi terdapat doktrin yang dapat digunakan, yaitu doctrine of anticipation. Secara sederhana, doctrine of anticipation disini menyebutkan bahwa suatu invensi yang akan dipatenkan (should be patented) harus memiliki lompatan teknologi yang mana lompatan tersebut tidak dapat diprediksi oleh prior art. Mengacu pada kasus Apple melawan Samsung maka EP 022 harus memiliki lompatan teknologi yang tidak bisa diprediksi oleh prior art (Neonode Nim). Mengetahui terprediksi atau tidaknya suatu invensi oleh prior art tentu harus melihat kedua dokumen paten yang bersangkutan, dalam hal ini dokumen paten EP 022 dan dokumen paten Neonode Nim. Fitur slide to unlock yang terdapat dalam EP 022, untuk mengetahui apakah EP 022 terprediksi, haruslah disebutkan dalam dokumen paten Neonode Nim. Mengacu pada dokumen paten Neonode Nim (US 8095879 B2) yang dipublikasikan pada Juni
c.
Utilitas.
Poin penting dari utility disini adalah invensi tersebut haruslah memberikan solusi teknis (offer a technical solution). Terkait dari solusi teknis yang dipecahkan disini biasanya sudah terdapat dalam dokumen paten yang bersangkutan. EP 022 dalam dokumen patenya tidak menyebutkan secara jelas terkait dengan technical problems yang dapat diatasi oleh invensi mereka, berbeda halnya dengan Neonode Nim yang menyebutkan bahwa: “It is a problem to provide a userfriendly interface that is adapted to handle a large amount of information and different kinds of traditional computer-related applications on a small handheld computer unit. It is a problem to provide a user interface that is simple to use, even for inexperienced users of computers or handheld devices. It is a problem to provide a small handheld computer
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 316 - 330
unit with an easily accessible text input function. It is also problem to provide a simple way to make the most commonly used functions for navigation and management available in the environment of a small handheld computer unit.” Berdasarkan ketiga parameter di atas, maka EP 022 dapat dikatakan invalid. Hakim dalam putusannya beranggapan sama dengan menyatakan “the EP 022 cannot presently be deemed to be inventive, the claim relating to it must be unseccessful on that account, and no ruling is needed as to whether there is a case of infringement.” Putusan pada sengketa antara Apple dan Samsung di Belanda cukup mengagetkan banyak pihak. Putusan tersebut menunjukkan bahwa Samsung, khususnya untuk Smartphones, melanggar paten Apple (EP 868 saja). Padahal berdasarkan doktrin-doktrin yang ada ketiga klaim paten Apple tidak memenuhi unsur kebaruan, inventive steps, maupun utility. Samsung sebagaimana keputusan hakim, dianggap telah melanggar EP 868 milik Apple sehingga Smartphones keluaran Samsung tidak boleh lagi beredar di pasaran Belanda.
100,000 per violating products, whereby it can be granted to the defendants that the prohibitions such as taken up under 5.1 and 2.2 are not to be complied with either entirely or not throughly. IV. SIMPULAN Berdasarkan analisis di atas dapat disimpulkan bahwa Konsep dasar syarat patentabilitas suatu invesi dalam kaitannya dengan Hak Kekayaan Intelektual dalam perkara Apple melawan Samsung di Belanda belum diterapkan dengan baik oleh Majelis Hakim yang menangani kasus tersebut. dalam pertimbangannya majelis hakim menerima gugatan dari pihak Apple dan ini mengindikasikan bahwa Majelis Hakim belum memahami dengan baik mengenai syarat kebaruan, non-obviousness, dan utilitas. Putusan ini cukup mengagetkan banyak pihak jarena Samsung, khususnya untuk Smartphones, melanggar paten Apple (EP 868 saja), padahal berdasarkan doktrin-doktrin yang ada ketiga klaim paten Apple tidak memenuhi unsur kebaruan, inventive steps, maupun utility. Samsung sebagaimana keputusan hakim, dianggap telah melanggar EP 868 milik Apple sehingga Smartphones keluaran Samsung tidak boleh lagi beredar di pasaran Belanda.
Hakim dalam putusannya menyatakan bahwa Forbids the defendants from violating DAFTAR PUSTAKA the Dutch part of EP 868 after the passage of 7 weeks and one day after the serving of the Borking, John j. 1985. Third Party Protection of judgement in any manner, directly or indirect;y Software and Firmware. Elsevier Science by manufacturing, storing, offering, importing, Publisher:Netherlands. marketing, selling and/or otherwise dealing with smartphones Halaxy S, S II, and Ace. Orders the http://www.pcworld.com/article/245493/apple to samsung dont make thin diakses pada 6 defendants to pay an immediately payable penalty Maret 2012.) of EUR 100,000 to the plaintiffs for each day or part of a day or, to be chosen by plaintiffs, of EUR http://www.phonedog.com/videos/phonedogDoktrin Paten Dalam Sengketa Apple Melawan Samsung (Riko Fajar Romadhon & M. Fathan Nautika )
| 329
live-recap-4-22-11-apple-vs-samsung-/ diakses pada 5 Maret 2012). Makarim, Edmon. 2005. Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi Kajian. Jakarta:Badan Penerbit FHUI. Merges, Robert P. 2003. Intellectual Property in The New Technological Age. Ed. 3. Aspen Publisher:New York. Putusan Pengadilan Den Haag 396957/KG ZA 11-730 Antara Apple v. Samsung. Rosenberg, Peter. 1977. Patent Law Fundamentals. Ed. 3. c.l.: Clark Boardman Company. Smith, Graham J H. Internet Law and Regulation. Ed. 3. c.l.: Sweet&Maxwell, c.t. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta,
330 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 316 - 330
MENCARI JARUM ‘KAIDAH’ DI TUMPUKAN JERAMI ‘YURISPRUDENSI’ Kajian Putusan Nomor777 K/Pid.Sus/2009
LOOKING FOR A NEEDLE IN A HAYSTACK: A STRUGGLE TO FIND OUT ‘NORMS OF PRECEDENT’ An Analysis on Decision Number 777 K/Pid.Sus/2009 Shidarta Fakultas Humaniora Universitas Bina Nusantara Jl. Kemanggisan Ilir III No. 45, Jakarta 11480 Email:
[email protected] Diterima tgl 14 November 2012/Disetujui tgl 23 November 2012 ABSTRAK
Abstract
Ada demikian banyak putusan hakim yang diberi
There are so many judge-made laws regarded as
label ‘yurisprudensi’. Sebuah yurisprudensi harus
precedential decisions. Any precedential decision
memuat kaidah yang mengandung penemuan
should contain certain norms derived through a
hukum di dalamnya. Selain itu, kaidah yurisprudensi
law-making process (rechtsvinding). Such norms of
itupun harus memiliki nilai tambah bagi khazanah
precedent should contribute ‘added values’ to the
sumber-sumber formal hukum. Dalam tulisan ini,
collection of formal legal sources. In this article,
secara arbiter telah dipilih satu putusan Mahkamah
the author arbitrary chooses one of supreme-court
Agung yang di dalam situs resmi MA dinyatakan
decisions downloaded from the official website of
sebagai yurisprudensi. Oleh karena tidak ditemukan
the Indonesian Supreme Court (MA). The decision
rumusan kaidah yurisprudensinya, maka dalam
has been labelled as ‘precedential decision’ but
tulisan ini dilakukan upaya identifikasi terhadap
without any statement of the precedential norm.
kaidah tersebut. Hasil dari identifikasi tersebut
Having identified the decision, the author of this
paling tidak telah menemukan empat proposisi yang
article provides at least four propositions depicted
termuat dalam premis mayor sejumlah silogisme
from all major premises of four syllogisms. These
dan keempat proposisi ini dapat dianggap sebagai
propositions can be considered norms of precedent.
kaidah yurisprudensi tersebut. Sayangnya, kaidah-
Regrettably, all of them fail to demonstrate the
kaidah yang teridentifikasi inipun belum mampu
quality of a precedential decision since the lack
menunjukkan kualitas suatu yurisprudensi karena
of law-making contribution to the formal legal
ketiadaan penemuan hukum yang berkontribusi
sources.
signifikan bagi khazanah sumber formal hukum.
Keywords: precedential decision, norm of percedent,
Kata kunci: yurisprudensi, kaidah yurisprudensi,
law making.
penemuan hukum.
Mencari jarum ‘Kaidah’ di Tumpukkan Jerami ‘ Yurisprudensi’ (Shidarta)
| 331
I.
PENDAHULUAN
Dalam rangka mempelajari sumber-sumber formal hukum, setiap mahasiswa (peserta didik)di bangku kuliah pendidikan tinggi hukum biasanya akan diberi pengertian bahwa yurisprudensi adalah salah satu dari sumber hukum dalam arti formal. Memang harus disadari bahwa yurisprudensi di dalam sistem keluarga civil lawtidak menoreh garis kekuatan preseden yang mengikat (the binding force of precedent) sebagaimana layaknya yurisprudensi di dalam keluarga sistemcommon law. Kendati demikian, dari waktu ke waktu peranan yurisprudensi di dalam perkembangan sistem hukum di semua keluarga sistem hukum, dirasakan justru makin menguat. Alasan dari penguatan peranan yurisprudensi dapat mudah dimaklumi mengingat skeptisisme yang kian tumbuh terhadap kemampuan peraturan perundang-undangan dalam mengakomodasi peristiwa-peristiwa konkret yang terjadi di lapangan.Skeptisisme aturan (rule-skepticism) ini semula disuarakan paling lantang oleh penganut realisme hukum, termasuk gerakan-gerakan kaum realis yang lebih fokus pada isu-isu tertentu, seperti kaum penstudi hukum kritis (critical legal studies), teoretikus ras kritis (critical race theorist), dan penstudi femenisme.
putusan mereka. Padahal, harus disadari bahwa peraturan perundang-undangan yang diproduksi akhir-akhir ini makin terkesan sarat kepentingan politik tersembunyi (hidden political agendas), sebagaimana terlihat antara lain dari makin seringnya Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji material atas suatu undangundang yang notabene baru saja diberlakukan. Setiap dua tahun sekali Mahkamah Agung memang menerbitkan buku yang menghimpun putusan-putusan pengadilan dan menobatkannya sebagai yurisprudensi.Terlepas dari metode penyeleksiannya yang belum pernah diinformasikan secara terbuka ke publik dan ritme terbitnya yang terlalu lama, upaya publikasi buku himpunan seperi itu tetap patut dihargai. Untuk mengatasi kelemahan itu sebenarnya bisa dimanfaatkan situs resmi Mahkamah Agung, yang secara cepat mampu menayangkan putusanputusan pengadilan secara on-line.
Pada halaman pertama tiap putusan itu selalu dicantumkan kriteria apakah suatu putusan merupakan yurisprudensi atau bukan yurisprudensi. Persoalan muncul ketika pengakses situs mempertanyakan apa kaidah yurisprudensi yang ada di dalam putusan itu? Artinya, jika tidak dapat dipastikan apa yang menjadi kaidah yurisprudensinya, maka patut juga diragukan apakah putusan itu memang Dalam tradisi sistem hukum Indonesia, bernilai yurisprudensi? perhatian terhadap peran yurisprudensi ini tidak pernah benar-benar mendapat tempat istimewa. Dalam terminologi leksikal, kaidah Secara normatif, hakim memang dianjurkan yurisprudensi ini termasuk dalam ratio decidendi, untuk menggali nilai-nilai yang hidup dalam yaitu alasan penjatuhan putusan (the rationale masyarakat (lihat Pasal 5 Undang-Undang for the decision).Untuk menguji ketepatan Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan pengklasifikasian suatu putusan sebagai Kehakiman), akan tetapi dalam kenyataannya yurisprudensi, maka dalam artikel ini akan para hakim belum termotivasi untuk melahirkan dibahas satu putusan yang dipilih secara acak. yurisprudensi yang bernas di dalam putusan- Seperti halnya pada semua putusan yang berlabel
332 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 331 - 343
‘yurisprudensi’ dalam situs itu, ternyata tidak ditemukan rumusan tentang kaidah yurisprudensi yang terkandung di dalam putusan dimaksud. Putusan yang diambil sebagai contoh dalam tulisan ini adalah putusan Mahkamah Agung dengan No.777 K/Pid.Sus/2009, yang diunduh pada awal bulan Oktober 2012.
melakukan negosiasi harga dalam pelaksanaan perjanjian tersebut.Akhirnya, usulan ini disepakati oleh Terdakwa I dan II dengan penggunaan pola sewa sebesar US$ 7500/E1/bulan baik untuk panggilan ke fixed-telephone (PSTN) maupun seluler. Hal tersebut dilakukan tanpa mengubah melalui adendum terlebih dahulu.
Majelis hakim kasasi pada putusan No. 777 K/Pid.Sus/2009ini diketuai oleh H. MT, didampingi dua orang hakim anggota, yaitu H. AAAS dan DD. Tercatat bahwa hakim agung DD membuat dissenting opinion dalam putusan ini.
Pada akhir bulan Agustus 2001 dipasang instalasi terhadap peralatan milik PT KDN dalam perangkat PT TI dengan cara perangkat milik PT KDN berupa gateway disambungkan ke E1 yang disewa ke perangkat milik PT Telkom di sentral lokal Kaliasem. Kemudian pada tanggal 6 September 2001 sesuai perintah Terdakwa I telah dilakukan aktivitas E1 milik PT. Telkom jenis E1 primary rate access (PRA) oleh seseorang bernama MFP tanpa ada perintah tertulis (work order) dan tanpa ada permintaan tertulis dari PT KDN. Dengan dilakukannya instalasi dan aktivitas tersebut maka PT. KDN dapat menyalurkan suara (percakapan) dari luar negeri ke arah tujuan penerima telepon di seluruh wilayah Indonesia.
Perkara dalam putusan ini adalah tentang tuntutan tindak pidana korupsi di PT Telekomunikasi Denpasar terkait pelaksanaan perjanjian kerja sama penyediaan usaha jasa kartu panggil, dengan para terdakwa: Ir. IWH (Terdakwa I); SBP (Terdakwa II); GB (Terdakwa III) dan SWS (Terdakwa IV).Fundamentum petendi kasus ini bermula dari perjanjian kerjasama operasi (KSO) antara PT TI dan PT BSI pada tanggal 20 Oktober 1995.Perjanjian KSO ini dapat dikatakan merupakan embrio dari perjanjian-perjanjian berikutnya yang menjadi cikal bakal lahirnya Meskipun kerjasama jasa CDCC ini hanya perkara pidana dalam kasus ini. meliputi out going call dan in coming call, ternyata dalampelaksaannya Terdakwa I, III, dan Salah satu perjanjian dimaksud terjadi IV juga melakukan usaha penyaluran trafik dari pada tanggal 16 Agustus 2001, ketika Terdakwa luar negeri ke Indonesia (terminating) dengan I selaku Kakandatel Denpasar menandatangani menggunakan teknologi VOIP. Dalam penyaluran perjanjian kerjasama field trial project dan credit trafik yang menggunakan perangkat E1 milik debit calling card dengan PT KDN. Kerja sama PT Telkom itu, berarti PT KDN telah bertindak ini meliputi usaha jasa kartu panggil (CDCC) sebagai penyelenggara jasa Internet teleponi berupa out going call dan in coming call dengan untuk keperluan publik yang dapat menyalurkan menggunakan perangkat PT TI berupa E1, suara dengan menggunakan protokol internet yang dapat menyambungkan suara dari gateway secara komersial yang terhubung ke jaringan milik PT KDN ke jaringan tetap milik PT TI. telekomunikasi. Di dalam perjanjian telah disepakati mengenai pembagian pendapatan, akan tetapi Terdakwa IV Sesuai ketentuan Pasal 3 Keputusan tetap memerintahkan kepada Terdakwa III untuk Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi No.
Mencari jarum ‘Kaidah’ di Tumpukkan Jerami ‘ Yurisprudensi’ (Shidarta)
| 333
199/DIRJEN/2001 tanggal 6 September 2001 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Jasa Internet Teleponi untuk Keperluan PubIik (ITKP), peyelenggaraan jasa internet untuk keperluan publik diselenggarakan berdasarkan izin dari Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi (Dirjen Postel). Selain itu sesuaidengan ketentuan Pasal 16 Keputusan Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi No. 199/DlRJEN/2001, penyelenggara jasa internet teleponi untuk keperluan publik harus menyediakan fasilitas minimal yang lazim dikenal dengan istilah teknis: NOC, POP, jaringan data dengan protokol IP, dan beberapa kanal suara TDM (nxE1). Dalam menyelenggarakan usaha penyaluran trafik tersebut PT KDN tidak memiliki izin ITKP dan tidak memiliki fasilitas sebagai penyelenggara ITKP sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 Keputusan Dirjen Postel di atas, maka Terdakwa I meminta Terdakwa II selaku Ketua Koperasi Siporennu untuk bertindak seolah-olah sebagai pihak yang menyalurkan trafik dengan memanfaatkan izinInternet Service Provider (ISP) yang dimiliki oleh Koperasi Siporennu. Permintaan ini disetujui. Selanjutnya sekitar bulan Januari 2002 s.d Februari 2002 baru dibuat Perjanjian Kerjasama dengan dibuat tanggal mundur dan mengubah skema bisnis yang semula Perjanjian Kerjasama (PKS) antara PT. Telkom dengan PT KDN diubah menjadi perjanjian kerjasama antara PT Telkom dengan Koperasi Siporennu dan Perjanjian Kerjasama antara Koperasi Siporennu dengan PT.KDN.
oleh PT Telkom (vide keterangan ahli Samono dari BPKP Pusat, Judi Achmadi ahli tarif PT Telkom, dan Alexander Ketja Palit, ahli tarif di bidang retail). Selain soal hitung-hitungan angka, rupanya keberadaan peraturan juga menjadi titik perbedaan pandangan yang penting dalam kasus ini karena majelis hakim kasasi berpendapat aturan yang relevan untuk dikenakan pada peristiwa ini baru muncul tahun 2002, yaitu keputusan Menteri Perhubungan No.KM 23/2002, tanggal26 Maret 2002 tentang Internet Telepon Service Provider (ITSP). Atas dasar kasus posisi tersebut, maka JPU menuntut para terdakwa dengan primer Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No.20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 31 tahun1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi. jo Pasal 55 ayat (1)ke 1 KUHP. Subsidair adalah Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi. jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 22 Maret 2010 tersebut menyatakan menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum, mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan Terdakwa I dan II dan membatalkan putusan PT Denpasar. Majelis kasasi berpendapat majelis hakim tingkat Ada sejumlah angka yang disebut-sebut pertama dan kedua telah salah menerapkan sebagai perkiraan kerugian negara dalam kasus hukum serta telah pula melanggar hukum, dengan ini,yakni sekitar Rp.27.689.043.165. Angka pertimbangan sebagai berikut: lain yang muncul justru lebih besar yaitu 1. Penggunaan jasa telekomunikasi dengan Rp.36.122.211.839 yang timbul akibat biaya teknologi voice over Internet protocol airtime dan interkoneksi yang harus dibayar 334 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 331 - 343
(VoIP) untuk kepentingan publik pada waktu Sentradaya KandateI Denpasar MFP yang kejadian perkara ini tahun 2001 belum diatur menyatakan bisnis E1 yang ditawarkan PT (tiada hukum yang melarangnya). Baru KDN akan menguntungkan. Sesuai dengan tahun 2002 ada peraturan, yaitu keputusan misi perusahaan dan budaya ‘inovasi, Menteri Perhubungan No. KM 23/2002 kerjasama, adaptif dan teladan’ (IKAT) dan tentang Internet Telepon Service Provider tidak melawan hukum karena pada waktu itu (ITSP) yang pada pokoknya menyatakan tidak ada peraturan hukum yang melarang. bahwa VoIP untuk kepentingan publik Jadi, putusan Pengadilan Negeri Denpasar harus ada izin dari Dirjen. Oleh karena yang menyebutkan bahwa TerdakwaI telah pada waktu kejadian tidak ada hukum terbukti memenuhi unsur “dengan tujuan yang melarang perbuatan Terdakwa, akan menguntungkan diri sendiri, atau orang lain tetapi Pengadilan Negeri Denpasar telah atau suatu Korporasi” dalam arti melawan menghukum Terdakwa I yang dikuatkan hukum jo putusan Pengadilan Tinggi oleh Pengadilan Tinggi Denpasar Hal ini Denpasar adalah tidak benar karena tidak jelas salah menerapkan atau meIanggar terbukti sama sekali; hukum yang berlaku yaitu ketentuan hukum 3. Fakta bahwa Terdakwa I (pemohon Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang kasasi) pada mulanya tidak kenal dengan Hukum Pidana. Terdakwa IV dan Terdakwa III dari PT 2. Pengadilan Negeri Denpasar dan KDN. Jadi, tidak mungkin Terdakwa Pengadilan Tinggi Denpasar (judex I sebagai orang yang tidak kenal bisa facti) menyatakan Terdakwa bersaIah dikatakan menyalahgunakan kewenangan, sebagaimana didakwakan dalam dakwaan kesempatan atau sarana yang ada padanya subsidair, padahal saksi-saksi di bawah karena jabatan atau kedudukan. Dari sumpah, yaitu Sutia menerangkan bahwa keterangan saksi-saksi SPS, MFP, DM bisnis VoIP beIum ada dasar hukum yang dan KRP, terbukti bahwa Terdakwa I sama mengaturnya. Saksi SS menyatakan sekali tidak aktif mengadakan perhubungan Terdakwa I selaku Kandatel memang dengan PT KDN. Di sisi lain, terhadap saksi diperbolehkan menggunakan E1 yang ANA dari Divre VII Makassar, Terdakwa belum dimanfaatkan (idle)dan saksi DM I berkewajiban menaati atasannya antara lain menerangkan bahwa pada tahun yaitu Kepala Divre VII Makassar yang 2001 belum ada regulasi yang mengatur membawahi Kandatel Denpasar. Dengan bisnis VoIP, sehingga penentuan tarif sewa demikian, niat Terdakwa I untuk berbuat E1 cukup dilakukan dengan negosiasi atau melanggar hukum tidak terbukti. kesepakatan kedua belah pihak. Terbukti 4. Bahwa judex facti melanggar hukum yang bahwa pemanfaatan peluang bisnis ini berlaku karena menjatuhkan hukuman menguntungkan bagi perusahaan Wilayah kepada Terdakwa I (Pemohon Kasasi) KandateI Denpasar, sebagaimana padahal seharusnya membebaskanTerdakwa keterangan saksi-saksi di bawah sumpah, (Pemohon Kasasi) dari segala dakwaan, yaitu Kabag Pengembangan DM dan Kadin karena Terdakwa (Pemohon Kasasi) tidak Mencari jarum ‘Kaidah’ di Tumpukkan Jerami ‘ Yurisprudensi’ (Shidarta)
| 335
terbukti melakukan perbuatan pidana yaitu pada perbuatan Terdakwa I memanfaatkan teknologi VoIP belum ada peraturan hukum yang melarangnnya. Ternyata judex facti membebaskan Terdakwa III dan Terdakwa IV dari dakwaan primair dan subsidair. Putusan judex facti ini selain melanggar hukum yang berlaku juga tidak adil karena membeda-bedakan orang. Hal ini melanggar hukum yang berlaku yaitu Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang sudah diubah sebagaimana UndangUndang Nomor 49 Tahun 2009.
dalam jabatannya dimungkinkan pada waktu Terdakwa I (Pemohon Kasasi) menjabat KepaIa Kandatel Denpasar berupaya menguntungkan perusahaan (PT Telekomunikasi Indonesia) sesuai dengan misi perusahaan dan budaya IKAT (inovasi, kerjasama, adaptif dan teladan) dan tidak melanggar hukum karena pada saat itu tidak ada peraturan yang melarang. Hal ini jelas diterangkan oleh saksi Kabag Pengembangan DM dan Kadinsentradaya Kandatel Denpasar MFP di bawah sumpah dipersidangan perkara ini. Keterangan saksi-saksi ini bersesuaian satu sama lain tetapi tidak diterapkan oleh judex facti. Apabila diterapkan, maka Terdakwa I (Pemohon Kasasi) seharusnya dibebaskan dari segala dakwaan. Dalam hal ini judex facti tidak menerapkan ketentuan hukum Pasal 185 ayat (6) huruf a KUHAP;
5. Judex facti juga melanggar hukum yang berlaku yaitu Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu sudah terbukti dari keterangan saksi SA, saksi SU, dan saksi DM menerangkan bahwa pada 2001 itu (pada saat kejadian) belum ada peraturan yang 7. judex facti salah menerapkan mengatur tentang teknologi VoIP, sehingga hukum pembuktian yaitu dengan seharusnya Terdakwa I (Pemohon Kasasi) menyatakan:“Terdakwa I (Pemohon Kasasi) dibebaskan dari segala dakwaan. Akan tetapi bersalah dan dijatuhi hukuman, sedangkan Terdakwa (Pemohon Kasasi) telah dijatuhi di pihak lain membebaskan Terdakwa III hukuman. Hal ini jelas melanggar ketentuan dan Terdakwa IV dari dakwaan primair hukum PasaI 6 Undang-undang Nomor: 4 dan subsidair, padahal Penuntut Umum tahun 2004 tentang Kekusaan Kehakiman memakai pula Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP yang berbunyi: “Tidak Seorangpun dapat dalam dakwaannya. Di dalam perkara ini dihadapkan di depan pengadilan selain terbukti Terdakwa I (pemohon Kasasi) daripada yang ditentukan oleh Undangjuga tidak kenal dengan Terdakwa III dan undang” ; Terdakwa IV itu. Oleh karena itu sudah seharusnya Terdakwa I (Pemohon Kasasi) 6. judex facti salah menerapkan hukum dibebaskan dari segala dakwaan daIam pembuktian karena sudah jelas Terdakwa perkara ini.” terbukti tidak bersalah melakukan perbuatan dalam dakwaan primair II. RUMUSAN MASALAH maupun dalam dakwaan subsidair, karena Terdakwa I (Pemohon Kasasi), Fokus permasalahan dalam tulisan ini memanfaatkan teknologi VoIP karena lebih kepada upaya mencari justifikasi penetapan 336 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 331 - 343
putusan ini sebagai suatu yurisprudensi sebagaimana tertera dalam situs resmi Mahkamah Agung. Dalam konteks itu pula, ingin diidentifikasi rumusan-rumusan kaidah yurisprudensi yang mungkin dapat digali dari pertimbangan-pertimbangan majelis hakim kasasi. Untuk itu, berangkat dari tujuh butir pertimbangan majelis hakim kasasi di atas, dapat diangkat permasalahan sebagai berikut: 1. Apa saja proposisi yang berpotensi menjadi kaidah yurisprudensi dalam putusan hakim ini? 2. Apakah kaidah yurisprudensi yang diformulasikan tersebut memiliki kualitas sebagai penemuan hukum untuk disumbangkan kepada khazanah sumbersumber formal hukum? III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS Yurisprudensi adalah salah satu sumber hukum yang penting dalam khazanah sumbersumber formal hukum di dalam keluarga sistem hukum manapun. Perbedaan gradasi dalam penempatannya dalam daftar sumber-sumber formal hukum memang lebih mengemuka pada keluarga sistem common law daripada civil law, kendati kian hari dirasakan ada kecenderungan kedua keluarga sistem itu makin mendekat satu sama lain.
putusan-putusan kasuistik yang memiliki perseden mengikat (the binding force of precedent). Istilah ‘yurisprudensi’ diambil dari bahasa Belanda ‘jurisprudentie’ tetapi tampaknya tidak secara persis dapat dialihbahasakan menjadi ‘jurisprudence’ dalam bahasa Inggris. Istilah yang lazim dipakai untuk yurisprudensi dalam kosa kata Inggris adalah judge-made law, case law, precedent, atau precedential decision. Karakteristik yurisprudensi dalam literatur sistem civil law terbilang unik. Ia berasal dari putusan-putusan hakim yang berkarakter kasuistis, individual, dan konket (in concreto). Hakim-hakim dalam keluarga sistem ini sejak lama diajarkan untuk tidak menjadikan putusan konkret itu sebagai sebuah aturan umum (lihat Pasal 21 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesië). L.A.J. van Apeldoorn (1985: 171), misalnya, menyebutkan putusan pengadilan di negara-negara dengan tradisi civil law bukan sebagai sumber hukum, melainkan sekadar faktor yang membantu pembentukan hukum. Seperti disebutkan di atas, ternyata pandangan demikian mulai bergeser. Pengadilan juga mulai dibebani untuk menciptakan hukum melalui berbagai metode penemuan hukum. Bahkan, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi diberi otoritas untuk melakukan uji material, yang notabene putusannya terkait langsung dengan peraturan perundang-undangan yang berimplikasi sebagai aturan general.Artinya, ketentuan Pasal 21 AB sebenarnya harus dibaca secara berbeda saat ini.
Putusan-putusan pengadilan di berbagai negara Eropa Kontinental sudah sejak lama diperkaya dengan kutipan referensi berupa putusan-putusan hakim terdahulu, di luar Dalam tradisi common law, pada hakikatnya peraturan perundang-undangan. Sebaliknya, putusan-putusan pengadilan di negara-negara semua putusan pengadilan berpotensi untuk bersistem common law juga makin sarat dengan menjadi yurisprudensi, atau paling tidak terikat di acuan-acuan legislasi, di samping tentu saja dalam rangkaian mata rantai yurisprudensi. Para hakim di sana selalu disibukkan pada pencarian Mencari jarum ‘Kaidah’ di Tumpukkan Jerami ‘ Yurisprudensi’ (Shidarta)
| 337
dasar preseden atas kasus-kasus yang tengah ditangani. Dalam hal tidak ditemukan alasan mendasar yang kuat (ratio decidendi) untuk menyimpang dari preseden, hakim-hakim tesebut akan tetap bertahan menjustifikasi preseden itu dan memasukkan putusan mereka sendiri ke dalam rangkaian pembenaran atas preseden tersebut. Dalam hal ini, tingkat prediktabilitas atau kepastian hukum akan terjaga. Hal yang sedikit berbeda terjadi dalam tradisi civil law.Di sini tingkat prediktabilitas putusan hakim tidak dibangun melalui rangkaian preseden, melainkan bersandar pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang diformulasikan secara abstrak (in abstracto). Hakim-hakim benalar dengan menerapkan silogisme yang memposisikan premis mayornya secara konsisten, berangkat dari pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan. Ada asumsi bahwa dengan menggunakan basis premis mayor yang sama, kepastian hukum akan lebih terjaga daripada menggunakan putusan hakim. Pemikiran seperti ini sesungguhnya tidak selalu benar.
yurisprudensi pada putusan-putusan pengadilan, khususnya yang ditemukan di Indonesia, menjadi sangat sumir (dangkal), seadanya, tanpa elaborasi, apalagi disertai tinjauan kritis. Salah satu penyebab yang dapat diidentifikasi adalah karena hakikat yurisprudensi itu sendiri ternyata sangat kabur dalam literatur para penegak hukum.Terminologi “yurisprudensi tetap” dan “yurisprudensi tidak tetap” misalnya, makin membuktikan kegamangan para aparat penegak hukum dalam memposisikan arti penting sumber hukum yang satu ini.Buku yurisprudensi terbitan Mahkamah Agung tidak secara serius diperlakukan sebagai referensi wajib, bahkan kerap kaidah-kaidahnya ditabrak oleh para hakim, tanpa disertai catatan apapun.
Fenomena yang lebih serius muncul dalam situs resmi Mahkamah Agung yang justru secara membingungkan memberi label yurisprudensi pada sekian banyak putusan tanpa pernah memperlihatkan di mana nilai lebih dari putusanputusan berpredikat yurisprudensi itu. Tidak ada informasi terkait indikator penilaian putusanMekanisme penjatuhan putusan dengan putusan berkategori yurisprudensi ini, termasuk penggunaan preseden jelas lebih detail karena siapa pejabat yang berwenang menetapkannya. dasar hukum dan fakta yang tercantum dalam tiapDalam beberapa paragraf di muka telah tiap putusan mendapat perhatian yang sama untuk disinggung tentang ratio decidendi. Perlu dicatat ikut dipertimbangkan. Di sini hakim-hakim akan bahwa ratio decidendi (plural: rationes decidendi) mencari titik berdiri yang sama antara kasus yang ini biasanya dibedakan dengan obiter dictum tengah ditanganinya dengan kasus-kasus serupa (plural: obiter dicta), yaitu fakta atau pernyataan sebelumnya. Sementara pada keluarga civil law, irelevan, yang terungkap atau disampaikan selama hakim-hakim tidak termotivasi untuk mempelajari proses di persidangan. Nilai suatu putusan tentu detail kasus-kasus terdahulu, dalam arti seberapa terletak pada ratio decidendi ini, bukan pada jauh fakta-faktanya memiliki perbedaan dan obiter dicta. Kendati demikian, tidak mudah persamaan satu sama lain. Bahkan ketika untuk mengungkapkan formulasi ratio decidendi muncul yurisprudensi, biasanya yang dicermati karena kerap tidak dituangkan secara eksplisit di hanyalah kaidah yurisprudensinya saja, tidak dalam putusan hakim. Perlu kejelian untuk dapat sampai menyentuh rangkaian fakta pada putusanmembongkar landasan pemikiran hakim itu dan putusan itu. Hal ini mengakibatkan pengutipan 338 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 331 - 343
menyajikannya kembali sebagai sebuah atau beberapa proposisi standar, yang pada gilirannya dapat dinilai derajat kebenarannya. Kaidah yurisprudensi sebagai formulasi atas hasil penemuan hukum termasuk dalam kriteria ratio decidendi. Kaidah yurisprudensi terkadang tidak secara sadar dirumuskan dan baru terpikirkan kemudian oleh orang lain yang membaca putusan itu di kemudian hari. Hanya saja, tidak mungkin ada hakim yang beritikad baik bersedia menyembunyikan ratio decidendi dalam putusannya. Sebagaimana dinyatakan oleh Sir Alfred Denning (1955: 178), “In order that a trial should be fair, it is necessary, not only that a correct decision should be reached, but also that it should be seen to be based on reason; and that can only be seen if the judge himself states his reason.” Apabila fokus tulisan ini dikembalikan ke objek kajian, yakni putusan Mahkamah Agung Nomor 777 K/Pid.Sus/2009, maka setelah melalui rangkaian pengkajian, berhasil ditemukan formulasi ratio decidendi yang diderivasi dari pertimbangan-pertimbangan hukum.Ada dua rangkaian silogisme yang dapat dijadikan tolok ukur menerapkan ratio decidendi tersebut. P e r m i s Semua perbuatan yang mayor dilakukan sebelum dilarang oleh peraturan perundang-undangan adalah tindakan di luar objek pemidanaan. P r e m i s Inisiatif Terdakwa I mengikat minor perjanjian dengan pihak lain untuk pemanfaatan teknologi VoIP pada tahun 2001 adalah perbuatan yang dilakukan sebelum dilarang oleh peraturan perundang-undangan.
Konklusi
Inisiatif Terdakwa I mengikat perjanjian dengan pihak lain untuk pemanfaatan teknologi VoIP pada tahun 2001 adalah tindakan di luar objek pemidanaan.
Premis mayor “Semua perbuatan yang dilakukan sebelum dilarang oleh peraturan perundang-undangan adalah tindakan di luar objek pemidanaan” adalah salah satu alasan atau dasar pertimbangan yang paling penting dalam putusan ini. Ini adalah sebuah ratio decidendi. Justru atas dasar proposisi dalam premis mayor inilah maka dapat dimunculkan konklusi yang menyatakan bahwa inisiatif Terdakwa I mengikat perjanjian dengan pihak lain untuk pemanfaatan teknologi VoIP pada tahun 2001 adalah tindakan di luar objek pemidanaan. Dalam doktrin hukum pidana, proposisi yang tertuang dalam premis mayor ini merupakan sebuah prinsip hukum yang dikenal dengan asas legalitas. Oleh karena struktur silogisme kategoris seperti di atas menggunakan logika deduksi yang memperagakan sistem logika tertutup (closed logical system), maka sekilas terkesan tidak ada yang salah dalam rumusan di atas. Skeptisisme terhadap aturan dalam premis mayor (rule-skepticism) barangkali tidak mampu menjawab kemungkinan adanya logika melompat (jumping to conclusion) dalam silogisme tersebut, tetapi bagaimana dengan skeptisisme terhadap fakta (fact-skepticism)? Sikap skeptis terhadap fakta ternyata menunjukkan bahwa dalam premis minor pun ada kemungkinan terjadi kesesatan irelevansi (ignoratio elenchi). Premis minor yang berbunyi “Inisiatif Terdakwa I mengikat perjanjian dengan pihak lain untuk pemanfaatan teknologi VoIP pada tahun
Mencari jarum ‘Kaidah’ di Tumpukkan Jerami ‘ Yurisprudensi’ (Shidarta)
| 339
2001 adalah perbuatan yang dilakukan sebelum dilarang oleh peraturan perundang-undangan” ternyata diberi pertimbangan yang berbeda, bukan berkenaan dengan ada tidaknya izin dari Dirjen Postel, melainkan lebih pada penetapan tarif. Terkait tentang hal di atas, majelis hakim kasasi mendasarkan asas legalitasnya tidak pada ketentuan mana yang lebih dulu berlaku, melainkan menilik pada materi muatannya. Menurut majelis, alasan bahwa perjanjian kerja sama (PKS No. 196/28/HK.801/RE7-DPR 00/2001) antara antara Kandatel Denpasar dengan Koperasi Siporennu adalah terminasi VolP (penyaluran traffic incoming dan traffic outgoing). Perbedaan penyaluran trafik percakapan (voice) atau percakapan telepon biasa, sehingga untuk itu tidak dapat diterapkan ketentuan tarif retail sebagaimana diatur KM.9/1999 tentang Tarif Jasa Telepon dan Birofax Dalam Negeri jo.KM.12/1999 Tentang Tarif Jasa Jaringan Digital Pelayanan Terpadu (JDPT). Tarif VolP baru diatur pada tahun 2002 melalui KM 23/2002 tertanggal 26 Maret 2002 dan setelah diaturpun ternyata dalam Pasal 14 dan Pasal 15 yang mengatur tentang Tarif dan Biaya, menyebutkan bahwa tarif jasa internet teleponi tersebut ditetapkan oleh penyelenggara jasa internet teleponi yang dihitung dengan mengacu pada dasar biaya (cost based). Lalu dinyatakan, bahwa besarnya biaya akses dan biaya sewa jaringan telekomunikasi ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama antara penyelenggara jaringan telekomunikasi dengan penyelenggara jasa internet telepon. Padahal, tarif JDPT/ISDN itu adalah tarif telepon biasa yang dipergunakan juga diwilayah Divre VII, karena ini trafik VolP maka tarifnya
340 |
berdasarkan mekanisme pasar.Dengan perkataan lain, tarifnya tidak dapat ditentukan dengan tarif berdasarkan KM 9/1999 dan KM 12/1999. Bahwa jika tidak ada aturan yang mengatur sebagaimana asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Fakta lain yang juga tidak ikut dipertimbangkan adalah adanya perjanjian antara Koperasi Siporennu dan PT KDN, yang dibuat untuk menyiasati ketiadaan izin Dirjen Postel yang seharusnya dikantongi oleh PT KDN. Artinya, terlepas dari urusan tarif yang lebih bersinggungan dengan tata cara perhitungan dan ada tidaknya kerugian negara dalam kasus ini, maka fakta lain menunjukkan para pihak secara sadar mengetahui adanya penyimpangan aturan ini dan ada upaya-upaya untuk menutupi penyimpangan ini. Persoalannya adalah apakah penyimpangan demikian merupakan kesalahan (schuld) di dalam hukum pidana? Untuk itu, ada satu silogisme kedua yang tidak secara eksplisit muncul dalam pertimbangan putusan, namun kuat diduga muncul sebagai ratio decidendi majelis hakim: P e r m i s Semua pelanggaran izin usaha yang mayor bebas dari ancaman pemidanaan adalah bentuk tindakan yang berada di luar hukum pidana. P r e m i s Luputnya PT KDN memenuhi minor ketentuanKeputusan Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi No. 199/DIRJEN/2001 adalah pelanggaran izin usaha yang bebas dari ancaman pemidanaan.
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 331 - 343
Konklusi Luputnya PT KDN memenuhi ketentuan Keputusan Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi No. 199/DIRJEN/2001 adalah bentuk tindakan yang berada di luar hukum pidana. Perspektif yang memisahkan secara tegas domain hukum administrasi dengan hukum pidana tampaknya secara dominan dipegang cukup erat oleh kebanyakan pakar hukum pidana di Indonesia.Kecenderungan pemikiran seperti ini diperkuat oleh pendekatan (ajaran) sifat melawan hukum pidana formal dalam tindak pidana korupsi yang telah dikukuhkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUUIV/2006 tanggal 25 Juli 2006. Dalam sejarah hukum Indonesia, Mahkamah Agung dalam putusan Nomor 572 K/Pid/2003, misalnya, juga telah membebaskan Terdakwa AT dengan menggunakan dasar pemikiran yang sama.
Di sini terlihat bahwa mayoritas anggota majelis hakim menilai kerugian negara haruslah riil, tidak termasuk potential lost. Apabila dibentangkan ke dalam format silogisme, akan tampak rumusan sebagai berikut: P e r m i s Semua besaran kerugian negara mayor yang riil dihitung di luar asumsiadalah jumlah kerugian negara menurut perhitungan yang sah sesuai dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. P r e m i s Besaran kerugian potensial minor sebesar Rp27 milyar yang diderita PT Telkomadalah bukan besaran kerugian negara yang riil dihitung di luar asumsi. Konklusi
Besaran kerugian potensial sebesar Rp27 milyar yang diderita PT Telkom adalah bukan jumlah kerugian negara menurut perhitungan yang sah sesuai dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Silogisme ketiga yang dapat diformulasikan dari putusan ini adalah pandangan hakim tentang perhitungan kerugian negara. Setelah melalui perhitungan ulang, pihak JPU meyakini bahwa seharusnya hak PT TI yang bisa didapat Majelis hakim kasasi sendiri tampaknya dari perjanjian kerja sama tersebut adalah tidak bersepakat bulat tentang dasar perhitungan sebesar Rp27.689.043.165,00. Kenyataannya, kerugian negara ini. Salah satu hakim anggota, DD uang yang masuk dari PT KDN hanya sekitar ketika memberikan pendapat berbeda (dissenting Rp1.736.015.500,00. opinion) malahan lebih suka memakai perhitungan Bahkan menurut keterangan yang terungkap kerugian negara sebesar Rp36.122.211.839. Ia di persidangan, uang inipun ternyata hanya juga tidak sependapat dengan penilaian bahwa digunakan untuk biaya operasional Kandatel judex facti tidak cukup dalam memberikan Denpasar dan untuk pembelian mobil Terdakwa I. pertimbangan dalam putusannya (onvoldoende Majelis hakim berpendapat, taksiran pendapatan gemotiveerd). Cara pandang yang menolak model Rp27 milyar lebih itu hanyalah asumsi, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai kerugian perhitungan potensial mulai ditinggalkan dalam beberapa jenis tindak pidana. Kerugian potensial negara. di dalam tindak pidana lingkungan hidup, Mencari jarum ‘Kaidah’ di Tumpukkan Jerami ‘ Yurisprudensi’ (Shidarta)
| 341
misalnya, biasanya juga mencakup dampak luas dari kerusakan lingkungan yang tidak mungkin hanya dinilai secara riil dari banyaknya tumpukan kayu yang berhasil disita. Rusaknya ekosistem dan perlunya sekian puluh tahun untuk memulihkan lingkungan serta dampak negatif yang terus mengancam selama ekosistem belum terpulihkan, adalah kerugian potensial yang harus ikut diperhitungkan. Pemberantasan tindak pidana korupsi tampaknya juga membutuhkan terobosan tentang tata cara perhitungan kerugian negara, sehingga asumsi kerugian potensial seyogianya tidak boleh ditutup kemungkinannya.
Konklusi
Putusan Judex Facti yang menghukumTerdakwa I sementara membebaskan Terdakwa III dan IV adalah bentuk pengecualian pemidanaan terhadap seorang pelaku pidana yang perbuatannya dilakukan bersama-sama dengan pelaku lainnya.
Pada silogisme di atas, premis mayor yang secara implisit diberi makna: “Semua bentuk pengecualian pemidanaan terhadap seorang pelaku pidana yang perbuatannya dilakukan bersama-sama dengan pelaku lainnya adalah putusan yang inkonsisten dan bertentangan Silogisme terakhir yang dapat diajukan dengan keadilan” adalah sebuah proposisi yang sebagai ratio decidendi adalah terkait dengan rasa lazim dikenal sebagai asas similia similibus, yang keadilan yang dicerna oleh majelis hakim. Dalam dipandang sesuai dengan amanat Pasal 5 ayat (1) perkara yang sama, Terdakwa III dan IV telah Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. diberikan kebebasan, sehingga mayoritas anggota Berangkat dari pasal ini, apabila majelis berpendapat seharusnya Terdakwa I dikonstruksikan secara a-contrario, maka jika pun diberi ganjaran yang sama. Silogisme yang ada sejumlah terdakwa telah dijatuhi pidana, muncul kurang lebih sebagai berikut: maka demi keadilan, terdakwa lain yang juga melakukan tindakan dalam kasus yang sama, P e r m i s Semua bentuk pengecualian juga seharusnya ikut dipidana. Lagi-lagi, alur mayor pemidanaan terhadap seorang pemikiran demikian justru tidak secara konsisten pelaku pidana yang perbuatannya dijaga oleh Mahkamah Agung sendiri. Sebagai dilakukan bersama-sama dengan contoh, dalam putusan Mahkamah Agung Nomor pelaku lainnya adalah putusan 572 K/Pid/2003 (kasus AT), tatkala Terdakwa II yang inkonsisten dan bertentangan H. DS selaku Ketua Yayasan Raudhatul Jannah dengan keadilan. dan Terdakwa III WS selaku Direktur PT. BLTB, P r e m i s Putusan Judex Facti yang telah dijatuhi pidana, ternyata Terdakwa I AT minor menghukum Terdakwa I sementara justru dibebaskan. membebaskan Terdakwa III dan IV adalah bentuk pengecualian IV. SIMPULAN pemidanaan terhadap seorang pelaku pidana yang perbuatannya Seandainya kita dapat membenarkan dilakukan bersama-sama dengan klaim dari situs resmi Mahkamah Agung yang pelaku lainnya. menyatakan bahwa putsuan Nomor 777K/
342 |
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 331 - 343
Pid.Sus/2010 ini adalah yurisprudensi, maka setidaknya ada empat proposisi yang layak untuk diidentifikasi sebagai ‘calon-calon’ kaidah yurisprudensi tersebut.
dapat menjadi metode yang lebih komprehensif dalam mencermati kualitas putusan-putusan yang terlanjur berlabelkan ‘yurisprudensi’. Semangat dan langkah untuk mencermati putusan-putusan hakim akan mendorong lahirnya 1. Semua perbuatan yang dilakukan sebelum putusan-putusan yang didukung pertimbangan dilarang oleh peraturan perundangyang bernas (motivering vonis). Jangan sampai undangan adalah tindakan di luar objek terjadi, pencarian kita terhadap kaidah-kaidah pemidanaan. yurisprudensi yang mencerahkan itu bagaikan 2. Semua pelanggaran izin usaha yang bebas mencari jarum di tumpukan jerami. dari ancaman pemidanaan adalah bentuk tindakan yang berada di luar hukum pidana. DAFTAR PUSTAKA 3. Semua besaran kerugian negara yang riil dihitung di luar asumsi adalah jumlah Apeldoorn, L.J. van.1985. Pengantar Ilmu Hukum. Terjemahan Oetarid Sadino. kerugian negara menurut perhitungan yang Jakarta: Pradnya Paramita. sah sesuai dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 4. Semua bentuk pengecualian pemidanaan terhadap seorang pelaku pidana yang perbuatannya dilakukan bersama-sama dengan pelaku lainnya adalah putusan yang inkonsisten dan bertentangan dengan keadilan.
Denning, Sir Alfred. 1955. The Road to Justice. London: Stevens & Sons. Peczenik, Aleksander. 1989. On Law and Reason. Dordrecht: Kluwer Academic Publisher. Savelos, Elias E. & Richard F. Galvin. 2000. Reasoning and the Law: the Elements. Stamford: Wadsworth.
Kaidah yurisprudensi pada hakikatnya mengandung penemuan hukum baru yang lahir Shidarta.2006. Karakteristik Penalaran Hukum melalui terobosan terhadap ketidaklengkapan dalam Konteks Keindonesiaan. Bandung: atau ketiadaan sumber-sumber formal hukum. Utomo. Lazimnya, kaidah yurisprudensi yang memiliki Vandevelde, Kenneth J. 1996. Thinking Like nilai tambah bagi khazanah sumber-sumber A Lawyer: An Introduction to Legal formal hukum adalah kaidah yang memperluas Reasoning. Oxford: Westview Press. makna, bukan mempersempit makna.Dari keempat proposisi di atas, tampak bahwa tidak ada satupun yang mengandung penemuan hukum baru, sekaligus juga memperluas makna sebuah konsep hukum. Teknik pencarian kaidah yurisprudensi sebagaimana ditawarkan dalam tulisan ini,
Mencari jarum ‘Kaidah’ di Tumpukkan Jerami ‘ Yurisprudensi’ (Shidarta)
| 343
BIODATA PENULIS
Liza Farihah, memperoleh gelar sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 2012. Penulis mengambil fokus studi Hukum Administrasi Negara dan Konstitusi. Selama masa kuliahnya, Penulis aktif dalam kegiatan organisasi internal kampus seperti Lembaga Kajian Keilmuan (LK2) FHUI dan menjabat sebagai Manajer Penelitian pada tahun 2010. Tidak hanya terlibat dalam dunia akademis dan organisasi, Penulis juga aktif dalam kegiatan menulis dan meneliti. Penulis merupakan pemimpin tim penelitian berjudul “Analisis Perkara Peninjauan Kembali Atas Putusan Kasasi dengan Alasan Kekhilafan Hakim atau Suatu Kekeliuran Yang Nyata di Mahkamah Agung”, sebuah penelitian yang bekerja sama dengan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP). Penulis juga mendapat banyak penghargaan dalam berbagai bidang kompetisi mahasiswa seperti runner up Lomba Debat Hukum Nasional Universitas Padjajaran pada tahun 2011, second runner up sebagai pembicara terbaik dalam kompetisi yang sama, anggota tim yang memperoleh medali emas pada cabang Quiz di Olimpiade Ilmiah Mahasiswa Universitas Indonesia pada tahun 2010. Kontak 08568417888. Femi Angraini, memperoleh gelar sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 2012. Penulis memilih program Hukum Acara/Praktisi sebagai fokus studinya. Fokus kajian Penulis dalam bidang penelitian adalah Hukum Acara Pidana baik teori maupun prakteknya. Penulis aktif dalam kegiatan organisasi dan penelitian selama masa kuliahnya. Pada tahun 2010, Penulis menjabat sebagai Sekretaris Umum Lembaga Kajian Keilmuan (LK2) FHUI. Di samping kegiatan organisasi, Penulis juga terlibat dalam berbagai penelitian dalam bidang hukum. Penulis merupakan salah satu anggota tim penelitian berjudul “Analisis Perkara Peninjauan Kembali Atas Putusan Kasasi dengan Alasan Kekhilafan Hakim atau Suatu Kekeliuran Yang Nyata di Mahkamah Agung”, sebuah penelitian yang bekerja sama dengan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP). Pada tahun yang sama Penulis juga terlibat sebagai anggota tim penelitian yang berjudul “Monitoring Legal Aid in Indonesia: The Rights of Suspect/Defendant to Access Legal Counsel”. Kontak 081317734652. Marwan Mas, lahir di Bulukumba Sulawesi Selatan tahun 1962. Saat ini dosen Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar. Pendidikan terakhir S3 Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin tahun 2005. Mengajar matakuliah Pengantar Ilmu Hukum (untuk S1), Teori Hukum di Pascasarjana, Sosiologi Hukum, Hukum Acara Pidana, Tindak Pidana Korupsi, dan Hak Asasi Manusia. Menulis buku “Pengantar Ilmu Hukum” yang diterbitkan Ghalia Indonesia. Mengikuti berbagai pertemuan ilmiah dan narasumber pada seminar, diskusi, dan lokakarya di tingkat nasional dan regional. Aktif menulis di Jurnal Ilmiah dan berbagai media cetak, baik lokal (Harian Fajar dan Tribun Timur Makassar) maupun koran nasional (Kompas, Seputar Indonesia, Media Indonesia, Suara Karya, dan Koran Tempo).Kontak 08164381641.
Wahyu Nugroho, lahir di Wonogiri, 20 Juni 1986. Hijrah dari Blora Jawa Tengah ke Jakarta untuk mengembangkan keilmuan sebagai dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta. Pengajar muda ini menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang pada tahun 2009 dan S2 melalui jalur program Beasiswa Kementerian Pendidikan Nasional konsentrasi Hukum Ekonomi & Teknologi pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, selesai tahun 2011. Mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Semarang ini tercatat pernah menjadi staff legal dan tim penyuluh hukum di Lembaga Bantuan Hukum Jawa Tengah tahun 2009 hingga sekarang. Kemudian dengan pikiran progresifnya, bersama-sama generasi satjipto muda program Pascasarjana Ilmu Hukum angkatan 2008 dan angkatan 2009, sepakat untuk mendirikan Satjipto Rahardjo Institute di Semarang sebagai staff peneliti yang konsen di bidang pengkajian hukum progresif dalam lingkaran penegakan hukum di Indonesia. Kontak 085741204128. Bambang Sutiyoso, lahir di Banjarnegara tanggal 20 Januari 1971. Menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum UII Tahun 1994, meraih gelar Magister Humaniora dalam bidang ilmu hukum dari Program Pasca Sarjana UGM tahun 2001 dan sekarang sedang menempuh program doktor Ilmu Hukum di FH UGM. Diangkat sebagai tenaga pengajar / dosen tetap mata kuliah hukum acara di Fakultas Hukum UII Yogyakarta sejak tanggal 1 April 1995 dan mengajar di program Magister Hukum UII mulai tahun 2005. Pada tahun 1996 dilantik sebagai pengacara praktek di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Yogyakarta dan sebagai Advokat sejak tahun 2004 (N.I.A. : A.96.11156). Selain aktif mengajar, juga produktif menulis buku-buku hukum dan jurnal. Pernah dipercaya menjadi Tim Eksaminator putusan gugatan “darah” Udin dari tingkat PN sampai kasasi MA pada tahun 2003 yang diselenggarakan oleh Indonesian Court Monitoring (ICM) dan pernah menjadi konsultan hukum di Ruang Sahabat Keluarga (RSK) Jogjakarta. Jabatan yang pernah dipegang antara lain sebagai Ketua Umum KKS (Kelompok Kerja Sosial) UPAKARA-Yogyakarta 1993-1994, Sekretaris pimpinan FH UII tahun 1996, Ketua Takmir Masjid Al Azhar FH UII tahun 1996-1998, Ketua IKAPURABanjarnegara 1996-1997, Kabid Kajian dan Penelitian Pusat Studi Hukum (PSH) FH UII tahun 19971998, Ketua Departemen Hukum Acara FH UII tahun 2001-2006 dan sekaligus menjadi anggota senat UII, dan diberi amanah sebagai Sekretaris Program Studi Fakultas Hukum UII (2006-2010), Wakil Direktur Corner Institut Yogyakarta (2008 s/d sekarang), Ketua KUB UPAKARA Sleman Yogyakarta (2008 s/d sekarang), serta Kabid. Litbang Peradi Kota Yogyakarta (2009-2013). Jabatan akademik Lektor Kepala diperolehnya sejak tanggal 1 Juli 2005 berdasarkan S.K. Mendiknas RI Nomor 40870/ A2.7/KP/2005 dan lulus sertifikasi dosen (serdos) pada gelombang pertama bulan November 2008. Kontak 08122705602. Riko Fajar Romadhon, selama masa kuliah merupakan mahasiswa yang aktif di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan fokus studi Hukum Bisnis. Penulis memperoleh gelar sarjana hukumnya pada tahun 2012. Fokus kajian Penulis dalam penelitiannya adalah Hak Kekayaan Intelektual dan Hukum Bisnis Internasional. Selama masa studinya, Penulis juga terlibat dalam kegiatan organisasi baik internal maupun eksternal seperti Lembaga Kajian Keilmuan (LK2) FHUI sebagai peneliti dan Badan Eksekutif Mahasiswa sebagai Kepala Departemen Pengabdian Masyarakat pada tahun 2011.
Penulis juga terlibat memiliki pengalaman penelitian sebagai volunteer di Legal Aid Institute. Di samping kegiatan akademis dan organisasi, Penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan penelitian yang salah satunya adalah Penelitian Besar Mahasiswa dalam Hambatan dan Kelemahan Sistem Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia yang bekerja sama dengan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP). Pada tahun 2011, Penulis mendapat penghargaan sebagai runner up dalam Contract Drafting Competition yang diselenggarakan oleh Bussiness Law Society, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Hingga saat ini, Penulis masih terlibat aktif dalam berbagai kegiatan penelitian. Kontak 085643380500. M. Fathan Nautika, memperoleh gelar sarjana hukum pada tahun 2012 dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan program studi Hukum Administrasi Negara dan Konstitusi. Fokus kajian dalam penelitiannya adalah Hukum Lingkungan baik segi administrasi maupun prakteknya. Akan tetapi, Penulis juga tertarik dalam bidang hukum lain seperti Hak Asasi Manusia dan Hukum Progresif. Selama masa kuliahnya, Penulis terlibat secara aktif dalam kegiatan organisasi baik internal maupun eksternal seperti Lembaga Kajian Keilmuan (LK2) FHUI sebagai Manajer Bidang Pengembangan Organisasi dan Sumber Daya Manusia pada tahun 2010 dan Badan Eksekutif Mahasiswa sebagai anggota Departemen Pengembangan Masyarakat pada tahun 2009. Kontak 081210640002. Shidarta, lahir di Pangkalpinang (1967). Saat ini ia adalah dosen program sarjana dan pascasarjana di sejumlah perguruan tinggi di Jakarta, Bandung, dan Semarang. Lulusan Universitas Gadjah Mada dan Universitas Katolik Parahyangan ini mengasuh beberapa mata kuliah, antara lain Filsafat Ilmu, Filsafat Hukum, Penalaran Hukum, dan Hukum Perlindungan Konsumen. Beberapa buku terkait bidang-bidang tersebut telah dipublikasikannya dalam ranah filsafat hukum, penalaran hukum, metode penelitian hukum, sosiologi hukum, dan perlindungan konsumen. Dalam beberapa tahun terakhir, ia menjadi anggota tim pakar penelitian dan salah seorang Mitra Bestari Jurnal Yudisial dari Komisi Yudisial Republik Indonesia. Komunikasi dengan yang bersangkutan dapat dilakukan melalui Kontak 0818861497.
PEDOMAN PENULISAN Jurnal Yudisial menerima naskah hasil penelitian atas putusan pengadilan (court decision) suatu kasus konkret yang memiliki kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia maupun luar negeri. FORMAT NASKAH 1. Naskah diketik dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku. Apabila ada kutipan langsung yang dipandang perlu untuk tetap ditulis dalam bahasa lain di luar bahasa Indonesia atau Inggris, maka kutipan tersebut dapat tetap dipertahankan dalam bahasa aslinya dengan dilengkapi terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. 2. Naskah diketik di atas kertas ukuran A-4 sepanjang 20 s.d. 25 halaman (sekitar 6.000 kata), dengan jarak antar-spasi 1,5. Ketikan menggunakan huruf (font) Times New Roman berukuran 12 poin. 3. Semua halaman naskah diberi nomor urut pada margin kanan bawah. SISTEMATIKA NASKAH Judul Naskah Judul ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Judul utama ditulis di awal naskah dengan menggunakan huruf Times New Roman 14 poin, diketik dengan huruf kapital seluruhnya, ditebalkan (bold), diletakkan di tengah margin (center text), dan maksimal 12 kata (anak judul tidak dihitung). Tiap huruf awal anak judul ditulis dengan huruf kapital, ditebalkan, dengan menggunakan huruf Times New Roman 12 poin. Contoh: PERSELISIHAN HUKUM MODERN DAN HUKUM ADAT DALAM KASUS PENCURIAN SISA PANEN RANDU Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN.BTG Nama dan Identitas Penulis Nama penulis ditulis tanpa gelar akademik. Jumlah penulis dibolehkan maksimal dua orang. Setelah nama penulis, lengkapi dengan keterangan identitas penulis, yakni nama dan alamat lembaga tempat penulis bekerja, serta akun email yang bisa dihubungi. Nama penulis dicetak tebal (bold), tetapi identitas tidak perlu dicetak tebal. Semua keterangan ini diketik dengan huruf Times New Roman 12 poin, diletakkan di tengah margin. Contoh: Mohammad Tarigan Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jalan S. Parman No. 1 Jakarta 11440, email
[email protected].
Abstrak Abstrak ditulis dalam dua bahasa sekaligus, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Panjang abstrak dari masing-masing bahasa sekitar 200 kata, disertai dengan kata kunci (keywords) sebanyak 3 s.d. 5 terma (legal terms). Jarak antar-spasi 1,0 dan dituangkan dalam satu paragraf. I.
PENDAHULUAN
Subbab ini berisi latar belakang dari rumusan masalah dan ringkasan jalannya peristiwa hukum (posisi kasus) yang menjadi inti permasalahan dalam putusan tersebut. II.
RUMUSAN MASALAH
Subbab ini memuat formulasi permasalahan yang menjadi fokus utama yang akan dijawab nanti melalui studi pustaka dan analisis. Rumusan masalah sebaiknya diformulasikan dalam bentuk pertanyaan. Setiap rumusan masalah harus diberi latar belakang yang memadai dalam subbab sebelumnya. III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS Subbab ini diawali dengan studi pustaka, yakni tinjauan data/informasi yang diperoleh melalui bahan-bahan hukum seperti perundang-undangan dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, juga hasil-hasil penelitian, buku, dan artikel yang relevan dan mutakhir. Paparan dalam studi pustaka tersebut harus menjadi kerangka analisis terhadap rumusan masalah yang ingin dijawab. Bagian berikutnya adalah analisis permasalahan. Analisis harus dikemas secara runtut, logis, dan terfokus, yang di dalamnya terkandung pandangan orisinal dari penulisnya. Bagian analisis ini harus menyita porsi terbesar dari keseluruhan substansi naskah. IV. SIMPULAN Subbab terakhir ini memuat jawaban secara lengkap dan singkat atas semua rumusan masalah. PENGUTIPAN DAN DAFTAR PUSTAKA Sumber kutipan ditulis dengan menggunakan sistem catatan perut (body note atau side note) dengan urutan nama penulis/lembaga, tahun terbit, dan halaman yang dikutip. Tata cara pengutipannya adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.
Satu penulis: (Grassian, 2009: 45); Menurut Grassian (2009: 45), ... Dua penulis: (Abelson & Friquegnon, 2010: 50-52); Lebih dari dua penulis: (Hotstede et.al., 1990: 23); Terbitan lembaga tertentu: (Cornell University Library, 2009: 10).
Kutipan tersebut harus ditunjukkan dalam daftar pustaka (bibliografi) pada akhir naskah. Tata cara penulisan daftar pustaka dilakukan secara alfabetis, dengan contoh sebagai berikut: Abelson, Raziel & Marie-Louise Friquegnon. Eds. 2010. Ethics for Modern Life. New York: St. Martin’s Press. Cornell University Library. 2009. “Introduction to Research.” Akses 20 Januari 2010.
. Grassian, Victor. 2009. Moral Reasoning: Ethical Theory and Some Contemporary Moral Problems. New Jersey: Prentice-Hall. Pengacuan pustaka 80% harus dari terbitan lima tahun terakhir dan 80% harus berasal dari sumber acuan primer. Pengacuan pustaka tidak boleh berasal dari blog pribadi, harus dari situs ilmiah yang kredibel. PENILAIAN Semua naskah yang masuk akan dinilai dari segi format penulisannya oleh tim penyunting. Naskah yang memenuhi format selanjutnya diserahkan kepada mitra bestari untuk diberikan catatan terkait kualitas substansinya. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam Jurnal Yudisial berhak mendapat honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut. CARA PENGIRIMAN NASKAH Naskah dikirim dalam bentuk digital (softcopy) ke alamat e-mail: [email protected] dengan tembusan ke: [email protected] dan [email protected]. Personalia yang dapat dihubungi (contact persons): Nur Agus Susanto (085286793322); Dinal Fedrian (085220562292); atau Arnis (08121368480). Alamat redaksi: Pusat Analisis dan Layanan Informasi, Gd. Komisi Yudisial Lt. 3, Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat 10450, Fax. (021) 3906215.