redisair Nomon 6Sl0$ff I/Kep./.200S
Voluuc ? Nrnror lr ll*rcmbcr !{10?
Dlterbitkan Oleh: pusAT I{A"JLAN SO$'AL DAn I{EI| ASYARAKATAII {pI($Kl BA}rDA AC&fi
I,lflf
ISSN :1412-5323
A
JT'RNAI ILD,TIAiI ITMLI-I],M' SOSIAA DAN
KEUASYARAKATA}T
Volume 2 Nomor 2, Dtstrnhr lG
Terakreditasi: Nomor: 55/DIKTI
t;
/8+ /ZW5
Personalia Jurnal Ilabh Dl{t Surat Kepuiusan Peflgurus Pusar Kajian Sosiai da Xemaslzra-karan
{?KSK) - Banda -{reir Nomor: 0:/PKSK-B.{
lI lr ',b
Penanggung Janeb Kerua PKSK
Ketur PeBgtrzh Prof. Dr. Ir' Hasanuddr;:
\l
S
PemimPin Rtdalsi Drs. lshak .{ssa'al. \l Si Sekretaris P€minPis Rcdtlsi Dr. Husni Jalil' S H . \l Htgr
Ketur Dcwrn Rcdlki
s.tt' lfd Anggota Dsi-rr R.drld Prof. Dr. H. M. HasbiAmiruddiq M.A., Dr. Fais.l A R.ai S.IL- I{ Hum.. r}ls. H. A. Karirn Syeikh, M.A, Dn. H M t& Prncb' \l Pd ' Dra. Hj. Raihan Pulry M.Pd., D.. Mahdi S1-abbo&. SIl - Il Hurn . Drs. Maimun Ibratrim, Ytrliza Zubil S-Ag, \l.Si.. r*'rarrS-l hrra S'E' Prol Dr H. Rusjdi Ali Nluhamrud'
Sirkulas l.aY Out
Arif
Rahmaq S.H..
\l.IJtIE
Tata Usaha Abdullah, S.Pd., N{.Si., Usman A Gad S Pd
-
u
Pd
Alamat R€daksi/Pcnedtil Jalan
Al-Kindi No. 31 Darussalam Banda AcetrTe1p. 081360434283
)iargre
-Aceh Dzrassalam
/ 081i6C'29'o€{P
No. Rek. BNI Cab. Urpad Bandung a.n. R€daksi r,teFA Z70
l04r9ll.g0l
Redaksi menerima sumbangan tulisan ilniah yang se$ai d€ogun mls Jurnal Wafa dan belum pernah dipublikasikan. Naskah dikqik 2 spasi di atas kmar ukuran kua o, antara lG15 halaman. Referensi sumber dicantwftan der4:n tbrnnt body nole. Redaksi berhak mernp€rbaiki tulisar yarg akan dinuat tanpa mengubah makmd dan isinYa
,
tSSN. l4t2-5323
,WAr.A
JURNAL ILMIAH ILMU-ILTAU SOSIAL DAN KEMASYAMKATAN .ferakreditasi Nomor: 55/DIKTI/Kep./2005 Volume 2 Nomor 2, Desember 2007
DAFTARISI '.
:sr Barat dan Realfirmasi lnterpretatif Pemahaman
Svamsul -
Al-Qur'an
1
25- 136
Rijal
:.;rnngan Global dan Responsibilitas Pendidikan Kini
137-150
Si Sulanta
Refungsionalisasi Lembaga Pemasyarakatan Pasca Gempa Bumi Dan Tsunami (Suatu Penelitinn di Banda Aceh dtn Aceh
rlahfud
Besar)
Ahli Waris Pasca Tsunami :uatu Penelitian di Kota Banda Aceh) Zahranl Idami
15l-162
?elaksanaan Penentuan
inalisis
163-176
Terhadap Peningkatan Gugatan Cerai oleh Pihak Istri Sultu Penelitiln pada Mahkamah Syar'iyah Kota Banda T. Saiful dan Nurhatifah
S
Acetl)
l7'/-lg0
iruktur Kepemilikan Terkonsentrasi dan Kinerja Keuangan
i:nraahaan :tudi pada l..miten Non Keuangan di Bursa lifbk Indonesia\ Said Musnadi
191-200
3ank Syariah :.tttttu Anttltsis Llistoris Llun l)rospek |)erke mhungann,a\ I!afasnudin
201-216
t
‘R gfungsiom G sasi LemSaga <£eimsyam%$ian...(9Aahfu£)
REFIJNGSIONALISASILEMBAGA PEMASYARAKATAN PASCA GEMPA BUM I DAN TSUNAMI (Suatu Penelitian di Banda Aceh dan Aceh JBesar) Oleh M ahfud
ABSTRACT The earthquake and tsunami disaster on December 26, 2004 in Nanggroe Aceh Darussalam destroyedfour prisons and killed 377 prisoners. Ironically, till 2006 the government did not rebuild such destroyed prisons. Therefore, the prison system as a part o f criminaljustice system in Aceh was not able to maximaze its function in order to guide the prisoners. The result defines that the destroyed prisons untill now have been rebuilt yet, resociali zation is done in Prison Branch o f Jantho. The constraints on guiding the pri soners are the number o f prisoners is overcapacity, lacking o f security and facilities in the prison, and lacking o f health budget and mental guide. The ef forts conducted to solve such problems by the government are rebuilding the prisons in Banda Aceh and Lhok Nga, improvising o f Jantho ’s prison guard discipline, repairing o f the prisons and campaigning fo r sport activities and mental guide.
Key Words: rebuilding of the prisons, prisoners ABSTRAK Bencana alam gempa burnt dan tsunami pada 26 Desember 2004 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah menghancuHcan empat Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan membunuh 377 narapidana. Ironisnya, hingga tahun 2006 pemerintah tidak membangun kembali Lapas yang hancur tersebut. Oleh karena itu, sistem Lapas sebagai bagian dari system peradilan pidana di Aceh tidak dapat memaksimalkan fungsinya dalam rangka membimbing narapidana. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Lapas yang han cur belum dibangun kembali hingga tahun 2006, pembinaan narapidana dilakulcan di cabang Rumah Tahanan Negara (Rutan) Jantho Aceh Besar. KenPenulis adalah staf pengajar tetap pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh, NAD.
151
'Wafa, Volume. 2 Uomor2,
dala-kendala yang dihadapi yaitu kelebihan kapasitas dari narapidana, kurangnya keamanan dan fasilitas Lapas yang tidak memadai dan kurangnya dana untuk pemeiiharaan kesehatan dan pembinaan mental. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ini yaitu pemerintah sedang membangun kembali Lapas di Banda Aceh dan Lhok Nga, peningkatan disiplin petugas Lapas, memperbaiki kondisi Rutan Jantho dan menggalakkan olah raga serta pembinaan mental para narapidana. K ata K u n d : refungsionalisasi lembaga pem asyarakatan, narapidana F endahuluan fiencana alara gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada tanggal 26 Desember 2004 telah menyebabkan dua Lembaga Pe masyarakatan (Lapas) dan dua Rumah Tahanan (Rutan) telah hancur total. Lapas yang hancur total tersebut yaitu Lapas Keudah di Banda Aceh dan Kajhu di Aceh Besar. Sedangkan Rutan yang hancur yaitu Rutan Lhok Nga di Aceh Besar dan Rutan Calang di Aceh Jaya. Sedangkan Lapas dan Rutan iainnya, meskipun di guncang gempa tapi tidak menimbulkan korban jiwa. Berdasarkan data dari penelitian awal di Kantor Wilayah Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi NAD, beacana gempa bumi dan gelombang tsunami yang terjadi di Provin si NAD pada tanggal 26 Desember 2004 telah menyebabkan 377 nara pidana dan tahanan meninggal dao hilang di dua Lapas dan dua Rutan di Provinsi NAD.
Korban yang tewas di Lapas Keudah Banda Aceh mencapai 248 orang dari 278 narapidana dan ta hanan. Setelah musibah jumlah napi dan tahanan yang tersisa 30 orang. Sementara itu pada Cabang Rutan Lhoknga sebanyak 93 dari 100 nara pidana meninggal dunia atau hilang. Sedangkan di cabang Rutan Calang 36 narapidana meninggal dan hilang dari 56 narapidana yang dihuni di Rutan tersebut. Lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan yang telah rusak total akibat gempa bumi dan tsunami ter sebut sampai saat ini gedungnya belum diban gun kembali, walaupun bencana ini telah teijadi dua tahun lebih. Dengan demikian Lapas dan Rutan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem peradilan pidana tidak dapat menjalankan fungsinya secara maksimal dalam mendidik narapidana agar dapat sadar dan insyaf terhadap perbuatan yang pemah dilakukannya dan akan kembali ke jalan yang benar. 152
^ffungsiom Q sasi CemSaga &etnasyara(
Tinjauan Pustaka Sistem penjara di Indonesia sudah dikenal sejak zaman penjajahan Belanda yang disebut Gestichten Reglement (Staatsblad 1917 Nomor. 708) yang diundangkan pada tanggal 1 Januari 1918. Sistem pemenjaraan yang pemah berlaku di Indonesia sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan. Sistem tersebut secara berangsur-angsur mengalami perubahan karena tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang menghendaki agar narapidana menyadari kesalahannya dan tidak lagi beikehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri sendiri, keluarga, dan lingkungan. Dalam sistem penjara, pandangan narapidana tidak ubahnya seperti orang menebus dosa dan peiiakuan yang diberikan di luar batas kemanusiaan. Hal ini tercermin dari keadaan bangunan penjara, kondisi sel, kurangnya makanan, perawatan, kesehatan, tempat-tempat khusus bagi terpidana yang melanggar peraturan penjara, dan sebagainya. Setelah Indonesia merdeka, beberapa peraturan mengenai penjara produk pemerintahan penjajahan Belanda masih tetap diberlakukan. 1. Gestichten Reglement (Peraturan Penjara) Stb. 1917 Nomor 708.
2. Dwang Opvoedings Regeling (Peraturan Pendidikan Paksa) Stb. 1917 Nomor 741. 3. Voorwaardelijke Invrijheidstelling (Lepas Bersyarat) Stb. 1917 No. 749 (Rizanizarli, 1997: 19). Barulah pada tahun 199$ pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Sejak dikeluarkan Undang-undang tersebut maka pera turan di atas dinyatakan tidak berla ku lagi. Undang-undang tersebut berlaku sejak diundangkan pada tanggal 30 Desember 1995. Sistem pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan narapidana yang didasarkan atas asas Pancasila dan memandangkan terpidana sebagai makhluk tuhan, individu, dan anggota masyarakat, sekaligus da lam membina terpidana diperkembangkan hidup kejiwaannya, jasmaninya, pribadi serta kemasyarakatannya dan dalam penyelenggaraannya mengikutsertakan secara langsung dan tidak melepaskan hubungannya dengan masyarakat (Diijosisworo, 1972: 199). Sistem pemasyarakatan bertujuan untuk mengembalikan Warga Bi naan Pemasyarakatan sebagai warga yang baik yang bertujuan untuk me* lindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pida na oleh Warga Binaan Pemasyara153
'Wafa, Vofume 2 Nomor 2, (Desem6er2007:151-162
katan, serta merupakan pcnerapan dan bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Oleh karena itu, sistem pemasyarakatan Indonesia lebih ditekankan pada aspek pembinaan narapidana, anak didik pemasyara katan, atau klien pemasyarakatan yang mempunyai cirri-ciri preventif, kuratif, rehabilitatif dan edukatif. Menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyara katan Pasal 1 butir ke-1 menyebutkan bahwa pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupa kan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Kronoligis sistem pemasyarakat an di Indonesia mulai diterapkan sejak Sahardjo menjabat sebagai Menteri Kehakiman, yang mana beliau mengganti sebutan rumah penjara di Indonesia menjadi Lembaga Pema syarakatan yang berlaku sejak April 1964. Sahardjo di dalam pidato penerimaan gelar doktor honoris causa dalam ilmu hukum dari Universitas Indonesia pada tanggal 5 Juli 1963, beliau mengemukakan rumusan ten tang tujuan dari pidana penjara yakni di samping menimbulkan rasa derita dari narapidana karena hilangnya kemerdekaan bergerak, mem-
bimbing terpidana agar bertobat, mendidik ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna, atau dengan perkataan lain tujuan dari pidana penjara itu ialah pemasyarakatan (Lamintang, 1984:181). Dengan pemyataan Sahardjo, penjara di Indonesia diganti menjadi Lembaga Pemasyarakatan, namun pelaksanaannya masih menghadapi beberapa masalah-masalah penting antara lain: - Gedung-gedung penjara peninggalan kolonial masih tetap dipergunakan karena untuk diubah sesuai dengan cita-cita pemasya rakatan memerlukan biaya yang besar sekali. - Petugas-petugas pemasyarakatan masih sedikit sekali yang memahami tujuan pemasyarakatan. - Masalah-masalah biaya, dan ma syarakat yang masih belum menerima narapidana setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan (Panjaitan, 1995: 33). Dalam membina narapidana dan anak didik pemasyarakatan, tujuan Direktorat Jenderal Bina Tuna War ga pada waktu itu agar mereka: 1. Tidak melanggar hukum lagi. 2. Menjadi peserta aktif serta kreatif dalam usaha pembangunan. 3. Memperoleh hidup bahagia di akhirat. 154
Menurut sistem pemasyarakatan yang berlaku tidak dikenal adanya kualifikasi narapidana berdasarkan jenis pidana pokok yang telah dija tuhkan bagi orang-orang yang ditempatkan di dalam lembaga pema syarakatan, akan tetapi yang berlaku adalah: a. Orang tidak mengenal perbedaan agama dan suku bangsa. b. Orang hanya mengenal perbedaan berdsarkan usia, jenis kelamin, dan lamanya pidana. c. Kualifikasi berdasarkan perbe daan usia hanya mengenal atau mengakui perbedaan antara na rapidana dewasa dan anak-anak. d. Kualifikasi berdasarkan lamanya pidana, dibuat perbedaan antara lain: 1. Narapidana dewasa dan anak-anak yang dijatuhkan pidana lebih dari 5 tahun. 2. Narapidana dewasa dan anak-anak yang dijatuhkan pidana antara 1 sampai dengan 5 tahun. 3. Narapidana dewasa dan anak-anak yang dijatuhkan pidana kurang dari 5 tahun. Penjatuhan pidana seharusnya bukan semata-mata sebagai balas dendam, akan tetapi untuk memberikan bimbingan dan pengayoraan. Pengayoman diberikan kepada masyarakat dan kepada terpidana sendi-
ri agar menjadi insyaf dan dapat menjadi anggota masyarakat yang baik. Demikian konsep bara fungsi pemidanaan yang bukan lagi sebagai penjeraan belaka tetapi juga sebagai upaya rehabilitasi dan reintegrasi (Dirjosisworo, 1972: 124). Hal ini sesuai dengan tujuan pemidanaan yang tercantum dalam rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pida na (KUHP) Barn Pasal 47 yang menyebutkan bahwa: (1) Pemidanaan bertujuan untuk: a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pe ngayoman masyarakat; b. Memasyarakatkan terpidana dengan tnengadakan pembinaan sehingga menjadikan o* rang yang baik dan berguna; c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tin dak pi dana, rnemulihkan keseimbangan, mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. (2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkedhnkan merendahkan martabat manusia.. Dalam penjelasan Pasal 47 Ran cangan KUHP Barn tersebut ditegaskan bahwa dalam tujuan pertama jelas tersimpul pandangan tentang 155
W afa, VoCume 2 7fom or2,
urgensi perlindungan masyarakat. Tujuan kedua, bermaksud bukan saja untuk merehabilitasi tetapi meresosialisasi terpidana dan mengintegrasikannya kedalam masyarakat. Tujuan ketiga, adalah dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan kehidupan sosial yang telah terguncang oleb karena kejahatan terpi dana, yaitu dengan cara membalas kejahatan terpidana dengan pemidanaan sehingga dibarapkan dapat memuaskan perasaan dendam si korban. Sedangkan tujuan keempat hakekatnya merupakan tujuan yang lebih bersifat spiritual dimana terbalasnya rasa bersalah pada diri terpi dana bam dapat dicapai apabila ia telah sampai pada sikap tobat yang sesungguhnya. Tujuan pembinaan narapidana dalam Lembaga Pemasyarakatan adalah untuk mengembalikan narapidana ke dalam masyarakat, agar menjadi warga masyarakat yang berguna dan tidak lagi melakukan tindakan yang merugikan orang lain, namun dapat beiperan secara aktif dalam pembangunan. Pembinaan narapidana dan anak didik ialah semua usaha yang ditujukan untuk memperbaiki dan meningkatkan akhlak (budi pekerti) para narapidana dan anak didik yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan dan Rumali Tahanan Negara.
Secara umum pembinaan nara pidana bertujuan agar mereka dapat menjadi manusia seutuhnya sebagaimana yang telah menjadi arah pem bangunan nasional melalui jalur pendekatan-pendekatan: a. Memantapkan iman (ketahanan mental) b. Membina mereka agar mampu berintegrasi secara wajar didalam kelompok selama dalam Lembaga Pemasyarakatan dan kehidupannya yang lebih luas (masyarakat) setelah menjalani pidananya. Sedangkan pembinaan narapi dana secara khusus ditujukan agar selama masa pembinaan dan sesudah selesai raenjalankan masa pida nanya: a. Berhasil memantapkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya serta bersikap optimis akan masa depannya. b. Berhasil memperoleh pengetahuan, minimal keterampilan un tuk bekal mampu hidup mandiri dan berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan nasional. c. Berhasil menjadi manusia yang patuh hukum yang tercermin pa da sikap dan perilakunya yang tertib dan berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan nasional (Rahayu, Siti, dan Hamzah, Andi, 1983:34). 156
fyfu n g sio w G sa si CemBaga (pem asyara^aU itu..(M affud)
d. Berhasil memiliki jiwa dan semangat pengabdian terhadap bangsa dan negara.
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam wilayah Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Pemilihan lokasi tersebut atas pertimbangan bahwa Lembaga Pemasyarakatan maupun Runiah Tahanan yang hancur di kedua wilayah tersebut akibat gempa bumi dan tsunami hingga saat ini belum dibangun kembali. Responden yang diambil sebagai sampel penelitian terdiri atas Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi NAD, Kepala Rutan Jantho, Aceh Besar, 2 orang petugas Rutan Jantho. Se dangkan informan adalah l orang Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh, 1 orang Hakim Pengadilan Negeri Jantho, 1 orang Jaksa Penuntut Urnum Kejaksaan Negeri Banda Aceh, 1 orang Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jantho, dan Kepala Kepolisian Sektor Lhoknga. Penentuan sampel dan jumlahnya dalam penelitian ini dilakukan dengan cara purposive sampling. Pengumpulan dan Analisis Data Data sekunder berupa teori dan pendapat di bidang pemasyarakatan
diperoleh melalui penelaahan berbagai literatur (library research) seperti buku teks, jumal ilmiah, dan lainlain yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sedangkan yang menyangkut dengan berbagai ketentuan dan kebijakan pemerintah akan di peroleh melalui penelaahan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Sedangkan data primer dipero leh melalui penelitian langsung ke lapangan (field research). Data yang diperoleh dari hasil penelitian, dianalists dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Hasil Penelitian Fungsi Lembaga Pemasyarakatan Pasca Gempa Bumi dan Tsunami Akibat gelombang tsunami yang menghantam Provinsi NAD pada 24 Desember 2004 telah menyebabkan hancumya sejumlah sarana dan prasarana milik pemerintah maupun masyarakat. Salah satu sarana milik pemerintah yang hancur adalah Rumah Tahanan Negara (Rutan), yang selama ini dijadikan sebagai Lembaga Pemasyarakatan, yaitu tempat Pembinaan Warga Pe masyarakatan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor Wilayah Hukum dan HAM Provinsi NAD, Rutan yang hancur akibat gelombang tsunami antara Iain Rutan Banda Aceh, 157
‘W afa, VoCume 2 N om or 2, (Desem6e r 2007: 151-162
Rutan Lhoknga, Rutan Calang, dan Rutan Meulaboh. Rutan yanghancur tersebut sarapai saat ini belum semuanya difungsikan kembali, walaupun tsunami telah berlalu selama dua tahun lebih. Rutan yang telah difungsikan kembali yaitu Rutan Meulaboh, seangkan Rutan Banda Aceh, Rutan Lhoknga, dan Rutan Calang sampai saat ini belum berfungsi sama sekali. Oleh karena itu, narapidana yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri di wilayah hukum dimana tempat Rutan yang hancur hams ditempatkan ke Rutan lainnya yang masih berfungsi. Rutan Banda Aceh dan Rutan Lhoknga yang belum difungsikan sama sekali, telah menyebabkan pihak Kanwil Hukum dan HAM haras menempatkan narapidana yang ada di wilayah hukum Pengadilan Nege ri Banda Aceh dan Pengadilan Ne geri Jantho ke Rutan Jantho. Walaupun sejak awal narapidana yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri Jantho memang telah ada. Sebagian yang ditempatkan di Rutan Jantho penempatan narapidana di Rutan Lhoknga, karena Rutan Lhoknga sebelumnya digunakan sebagai tempat narapidana Anak dan Perempuan baik narapidana yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri Jantho maupun Pengadilan Negeri Banda Aceh.
Dengan demikian, Warga Bina an Pemasyarakatan yang semulanya dibina di Rutan Banda Aceh dan Rutan Lhoknga, pasca gempa bumi dan tsunami mereka ditempatkan di Rutan Jantho sebagai satu-satunya Lembaga Pemasyarakatan yang ma sih berfungsi. Kendala dalam Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Rutan Jantho sebagai satu-satu nya Rutan yang masih berfungsi di wilayah Aceh Besar dan lokasinya merupakan Rutan terdekat dari Kota Banda Aceh. Sehingga menyebab kan seluruh narapidana yang seharusnya ditempatkan di Rutan Banda Aceh haras ditempatkan di Rutan Jantho sebagai tempat Warga Bina an Pemasyarakatan. Penambahan narapidana dari wilayah hukum Pengadilan Negeri Banda Aceh ke Rutan Jantho telah menimbulkan kendala-kendala barn dalam proses pembinaan Warga Bi naan Pemasyarakatan di Rutan Jantho. Adapun kendala-kendala ter sebut adalah: a. Daya Tampung Rutan yang Terbatas Rutan Jantho terdiri atas 6 blok (22 kamar), 1 blok (5 kamar) rusak, sehingga yang bisa difungsikan sekarang hanya 5 blok yang terdiri atas 17 kamar. Jumlah kamar yang 158
‘RgfungsionaGsasi LemBaga
tersedia, sangatlah tidak mencukupi untuk menampung 194 orang yang terdiri atas tahanan dan narapidana. Tahanan berjumlah 95 orang, yang terdiri atas 89 orang tahanan pria dan 6 orang tahanan wanita. Sedangkan narapidana beijumlah 99 orang, yang terdiri atas 90 orang pria dan 9 orang wanita. Jadi, satu kamar sel idealnya ditempati 6 orang narapida na, namun saat ini di Rutan Jantho ditempati sekitar 10-13 orang nara pidana perkamar dengan ukuran ka mar seluas 54 m2. b. Narapidana Anak dan Dewasa dalam Satu Rutan Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 tahun 1995, Anak Pidana ditempatkan di Lapas Anak. Akibat hancumya Ru tan Lhoknga yang berfungsi sebagai Lapas Anak, menyebabkan narapi dana anak yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri Banda Aceh maupun Pengadilan Negeri Jantho harus ditempatkan di Rutan Jantho yang bukan merupakan Lapas Anak. Anak pidana hanya dipisah blok saja dengan narapidana dewasa. Hal ini menyebabkan terganggunya pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, sosial secara serasi, selaras dan seimbang, sehingga menyulitkan petugas kemasyarakatan dalam memberikan bimbingan dan pembi-
naan bagi anak secara fisik, mental dan sosial masih bersifat labil. c. Minimnya Petugas dan Insentif Jumlah tahanan dan narapidana yang melebihi daya tampung tersebut sangat menyulitkan dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap narapidana dan tahanan, karena jumlah para penjaga/sipir yang bertugas tidak mencukupi. Saat ini di Rutan Jantho hanya ada tiga regu penjaga, tiap masing-masing regu terdiri atas 7 orang penjaga. Petugas polisi tidak berjaga setiap saat di Rutan Jantho. Polisi dibutuhkan apabila kondisi keamanan ti dak dapat diwujudkan lagi oleh pihak sipir Rutan Jantho. Menurut Kepala Lapas Jantho kehadiran petugas polisi sangat dibutuhkan mengingat sering kabur tahanan/narapidana. Namun menurutnya, ketidakhadiran petugas polisi secara rutin dikarenakan anggaran yang harus dikeluarkan kepada anggota polisi sangat terbatas. Jadi, petugas jaga malam hanya 5 orang dan biaya insentif Rp. 3500 (tahun 2005) dan pada tahun 2006 telah dinaikkkan Rp. 15.000/ malam, namun dana yang tersedia hanya mencukupi untuk 10 bulan. d. Kondisi Fisik Rutan Kondisi fisik Rutan Jantho tidak memenuhi persyaratan sebagai sebu159
'W afa, Vo(ume 2 N om or 2,
ah Lapas, seperti tembok pengaman yang sangat rendah hanya 2 meter, padahal seharusnya tinggi tembok pengaman 6 meter. Kamar sel yang atapnya sudah bolong, sehingga sa ngat memungkinkan tahanan untuk kabur, serta kamar sel juga sangat rendah dan dimungkinkan tahanan lari dari plafon. Di samping itu, pintu-pintu sel banyak kunci yang telah rusak, serta penyediaan air bersih sa ngat terbatas, suraur yang sekarang tersedia hanya 1 buah. e. Rendahnya Biaya Kesehatan dan Pembinaan Mental Biaya pengobatan narapidana anggarannya sebanyak Rp. 500.000/ tahun. Sedangkan biaya pembinaan mental melalui siraman rohani ang garannya Rp.640.000/tahun, yang dilakukan seminggu sekali setiap hari Jum’at. Rendahnya biaya tersebut menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan fisik maupun mental nara pidana dan melanggar hak-hak yang seharusnya dilindungi oleh negara. Solusi Mengatasi Kendala pada Pelaksanaan Pembinaan Narapidana a. Pembangunan Kembali Rutan Rencana pembangunan kembali Rutan Banda Aceh yang barn untuk menggantikan Rutan yang hancur, akan direlokasi ke desa Lambaro dengan luas area yang dibutuhkan 10
hektar. Memang lambannya proses pembangunan Rutan Banda Aceh yang baru, dikarenakan sulitnya pro ses pembebasan tanah warga setempat. Tahap pembebasan tanah warga telah mencapai 90% pada tahun 2006, dan diharapkan tahun 2007 ini pembangunan Rutan tersebut dapat dimulai dengan dana dari Badan Reintegrasi dan Rehabilitasi NADNias. Rutan tersebut akan dipergunakan sebagai Lapas Anak dan Wanita yang gedungnya dipisabkan dari narapidana dewasa pria. b. Peningkatan Eios Kerja Pegawai Jumlah narapidana yang melebihi daya tampung Rutan Jantho dibandingkan dengan jumlah pegawai yang sangat terbatas dapat menyebabkan pegawai Rutan tersebut ha ms bekerja semaksimal mungkin. Karena petugas jaga malam hanya berjumlah 5 orang. Oleh karena itu dengan jumlah petugas yang sangat minim tersebut diharapakan mereka dapat meningkatkan etos kerja. Kepala Lembaga Pemasyarakatan akan memberikan sanksi yang keras bagi petugasnya yang meninggalkan tugas dengan sengaja dan akan memberikan penghargaan yang sepatutnya bagi petugas yang berprestasi dan menjaga kedisiplinan kerja, mesktpun diakui oleh Ke pala Lapas baliwa insentif jaga ma160
< R $fungsiom (isasi CemBaga (Pemasyarakatan...(M afifud)
lam bagi petugas hanya Rp. 15000/ malam. c. Perbaikan Fisik Rutan Kondisi fisik bangunan Rutan yang sudah tidak layak huni dan harus direnovasi dilakukan secara bertahap. Hal ini dilakukan mengingat anggaran yang tersedia sangat terbatas, dibandingkan biaya yang diperlukan untuk renovasi Rutan. Dana perbaikan fisik bangunan yang sa ngat terbatas tersebut terpaksa diambil dari pos lain, seperti dana pengadaan alat transportasi atau dana un tuk biaya konsumsi narapidana. d. Menggalakkan Kegiatan Olah Raga dan Pembinaan Mental Untuk menumbuhkan sikap sportifitas di kalangan narapidana setiap harinya dilakukan olah raga senam. Senam yang mereka lakukan bukanlah senam yang diwajibkan petugas tetapi senam yang dilakukan sesuka hati mereka untuk sekedar menggerakkan badan. Memang se nam tersebut sering dilakukan pada pagi hari akan tetapi tak jarang me reka lakukan juga pada siang dan so re hari. Untuk memupuk mental narapi dana, setiap 1 minggu sekali diberikan pembinaan mental baik melalui ceramah agama yang tenaganya di undang dari luar, seperti ustad atau
bimbingan kemasyarakatan dari pembimbing kemasyarakatan dari Departemen Kehakiman.
Penutup Lembaga Pemasyarakatan Banda Aceh dan Aceh Besar (cabang Rutan Lhoknga) sampai saat ini belum berfungsi, pelaksanaan pemasyara katan bagi narapidana untuk sementara dilaksanakan di Rutan Jantho. Kendala-kendala dalam rangka pengawasan terhadap orang asing, yakni jumlah narapidana melebihi daya tampung, narapidana anak dan dewasa ditempatkan dalam Rutan yang sama, sehingga tidak jarang teijadi gangguan ketertiban dan keamanan. Di samping kondisi fisik Rutan yang tidak memadai dan rendahnya biaya pemeliharaan kesehatan dan pembinaan mental. Usaha-usaha yang dilakukan oleh pihak yang berwenang untuk mengatasi kendala-kendala dalam rangka pelaksanaan pembinaan na rapidana di Banda Aceh dan Aceh Besar yaitu membangun kembali Rutan tersebut. Di samping peningkatan disiplin kerja pegawai, perba ikan fisik rutan dan menggalakkan kegiatan olah raga dan pembinaan mental. Diharapkan kepada pemerintah untuk mempercepat proses pembangunan Lembaga Pemasyarakatan 161
4.
'Wafa, Volume 2 N r n o r 2, OesemhertQO?: 151-162
Banda Aceh yang sedang dibangun di Lambaro Aceh Besar. Pihak Kanwil Hukum dan HAM perlu secepatnya melakukan pembenahan
sarana dan prasarana yang masih sangat kurang memadai dengan menganggarkan dana yang cukup.
DAFTAR PUSTAKA Departemen Kehakitnan Republik Indonesia, (1990), Keputusan Kfenteri Kehakiman Republik Indonesia No. M. 02-PK. 04.10. Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan, Jakarta. ___________ , (1995), Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Jakarta. Lamintang, P.A.F, (1984), Hukum Penetentier Indonesia, Armico, Bandung. Panjaitan, Petrus Irwan, dan Simorangkir, Pandapotan, (1995), Lembaga Pe masyarakatan {dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana), Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Rahayu, Siti dan Harnzah, Andi, (1983), Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pe rnidanaan Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta. Soedjono, D, (1972), Dasar-dasar Penologi (Usaha Pembaharuan Sistem Kepenjaraan dan Pembinaan Narapidana), Alumni, Bandung. Susanto, Salimin Budi, (1978), Kebijakan Pembinaan Narapidana dalam Pembangunan Nasional Berdsarkan Sistem Pemasyarakatan, Majalah Pemasyarakatan No. VIH, Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Jakarta. Waluyo, Bambang, (2000), Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta.
162
i