PENGUJIAN PERATURAN KEBIJAKAN (BELEIDSREGEL) DI MAHKAMAH AGUNG (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2009)
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh: Ihsan Badruni Nasution NIM. 1 6 1 2 0 4 8 0 0 0 0 0 1
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM DOUBLE DEGREE ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M
i
PENGUJIAIT PERATURAN KEBIJAKAN (BELEIDSREGEL) DI MAHKAMAH AGTJNG (Studi Putuson MahkamahAgung Nomor 23 p/Hall0lhlg)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk Memenuhi salah satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (s.H.)
Oleh:
Ihsan Badruni Nasution
NIM.
1612048000001
Di Bawah Bimbingan:
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM DOUBLE DEGREE ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIT' HIDAYATULLAII
JAKARTA 1435W2014M:
PENGESAHAII PANITIA UJIAIY SKRIPSI
Skripsi berjudul "Pengujian Peraturan Kebijakan (Beleidsregel)
di Mahkamah Agung
(Studi Putusan Mahlramah Agtng Nomor 23 P/HUA,I/200L), telah diujikan dalam sidang munaqasyatr Fakultas Syariatr dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islarn
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 5
Mei
2014. Skripsi
ini telah diterima
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu
(S-l)
pada
Program Double Degree Ilmu Hukum. Jakarta, 6 Mei 2014 Mengesahkan Dekan,
r. H. J.M. Muslimin. MA. NIP. 1 96808t219990310t4
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
l.
Ketua
Dr. Djawahir Hejazziey. S.H.. MA. NIP. l95s 1015 197903 1002
2.
Sekretaris
Drs. Abu Thamrin. S.H.. M.Hum. NIP. 1 96s09081 99503 I 001
3.
Pembimbing
Dwi Putri Cahvawati. S.H.. M.H.
4.
Penguji I
Dr. Sodikin. S.H.. M.H.. M.Si.
5. PengujiII
Drs. Abu Thamrin. S.H.. M.Hum. 19650908199503 1001
MP.
iii
LEMBAR PER}TYATAATI
{
I
l
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1.
Slaipsi ini menrpakan hasil karya asli siyayang diajukan untqk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar stata
I
di Universitas Islam Negeri runrD Syarif
Hidayatullah Jakarta. 2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku
di
Universitas Islarn negeri
(m\D
Syarif
Hidayatullah Jakarta. 3.
Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya
ini
bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi I
yang berlaku di Universitas Islam negeri
(n\D
Syarif Hidayatullah Jakarta
l
Jakarta, 28
Januai2014
Ihsan Badruni Nasution
lv
ABSTRAK IHSAN
BADRUNI
NASUTION.
NIM
1612048000001.
PENGUJIAN
PERATURAN KEBIJAKAN (BELEIDSREGEL) DI MAHKAMAH AGUNG (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 23 P/HUM/2009. Program Double Degree Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M. x + 97 halaman. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan dari peraturan kebijakan (beleidsregel) dalam susunan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, bagaimana mekanisme dan lembaga mana yang berwenang melakukan uji materiil terhadap peraturan kebijakan, serta akibat hukum dari pengujian terhadap peraturan kebijakan tersebut. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan library reasearch yang mana melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral skripsi ini dan buku-buku dan jurnal-jurnal serta pendapat-pendapat para ahli yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Hasil penelitian menunjukan bahwa peraturan kebijakan tidak dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hal ini dikarenakan pejabat atau badan yang mengeluarkan peraturan kebijakan tidak memiliki kewenangan dalam pembuatan peraturan, selain itu peraturan kebijakan dimaksudkan hanya untuk memberi peluang dan keleluasaan bagaimana pejabat atau badan tata usaha negara menjalankan kewenangan pemerintahan. Sehingga secara yuridis normatif, pengujian atau uji materiil terhadap peraturan kebijakan bukanlah termasuk dalam ruang lingkup kewenangan Mahkamah Agung. Akan tetapi dengan mengedepankan asas ius curia novit dan adanya kepastian hukum, maka Mahkamah Agung tetap dapat melakukan uji materiil terhadap peraturan kebijakan. Hal ini dimaksudkan agar sengketa uji materiil terhadap peraturan kebijakan tidak berada pada wilayah yang tidak jelas (grey area). Kata Kunci
: Pengujian, Peraturan Kebijakan, Mahkamah Agung.
Pembimbing
: Dwi Putri Cahyawati, S.H.,M.H.
Daftar Pustaka
: 1957 s.d 2013
v
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis persembahkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan nikmat, rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat dan salam senantiasa penulis hadiahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW yang diutus untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam. Selama menjalani masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan skripsi ini, banyak pihak yang telah memberikan bantuan, keterlibatan, kontribusi, bimbingan dan motivasi kepada penulis. Sebagai rasa syukur atas terselesaikannya penulisan skripsi yang berjudul “Pengujian Peraturan Kebijakan (Beleidsregels) di Mahkamah Agung (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2009)”. Maka penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Dr. H. J.M. Muslimin, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, MA., Ketua Program Double Degree dan Ismail Hasani, S.H., M.H., Sekretaris Program Double Degree Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dwi Putri Cahyawati, S.H., M.H., Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, saran, dan masukan yang konstruktif dalam penulisan skripsi ini, serta Dr. Sodikin, S.H., M.H., M.Si. dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum., dosen penguji yang telah banyak memberikan saran dan masukan dalam sidang skripsi penulis. Semoga Allah SWT memberikan pahala atas kesabaran dan keikhlasan ibu dalam membimbing saya. vi
4. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang sangat amat mendalam kepada kedua orang tua penulis yang tercinta, ayahanda H. Zulkarnain dan ibunda Hj. Zaida BA., serta keluarga besar penulis yang senantiasa rela berkorban dalam
mendidik,
membimbing dan memotivasi penulis dengan tulus dan penuh kesabaran, serta selalu mendoakan penulis agar selalu sukses dalam segala hal. 5. Sahabat dan teman-teman dari keluarga besar Serumpun Mahasiswa Riau (SEMARI) Banten, IKAPDH Jakarta, serta sahabat dan teman seperjuangan selama penulis menjalani kuliah, khususnya Izhar Helmi, Uuf Rouf, Farhan Subhi, Masripatunnisa, Siti Marhamatun Najwa dan Andriansyah yang telah banyak membantu dan memotivasi penulis selama masa kuliah dan menyelesaikan skripsi ini. Semoga segala kebaikan dan sumbangsihnya dicatat oleh Allah SWT. Mudahmudahan semua yang telah penulis lakukan mendapat ridho dariNya, dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Amiin. Jakarta, 6 Mei 2014
Penulis
vii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .................................................................................................. i PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................... iii LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... iv ABSTRAK .................................................................................................................. v KATA PENGANTAR .............................................................................................. vi DAFTAR ISI ........................................................................................................... viii BAB I
PENDAHULUAN ................................................................................ 1 A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................ 11 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 13 D. Review Studi Terdahulu ................................................................ 14 E. Metodologi Penelitian .................................................................... 15 F. Sistematika Penulisan .................................................................... 19
BAB II
HAK MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI MAHKAMAH AGUNG .............................................................. 21 A. Pengertian Pengujian Peraturan Perundang-Undangan ................. 21 B. Kewenangan Mahkamah Agung Dalam Pengujian Peraturan Perundang-undangan ..................................................................... 25 C. Objek Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di Mahkamah Agung ............................................................................................ 31 viii
BAB III
PERATURAN KEBIJAKAN DALAM KETATANEGARAAN INDONESIA ....................................................................................... 35 A. Pengertian dan Ciri-Ciri Peraturan Kebijakan ............................... 35 B. Macam-Macam Bentuk Peraturan Kebijakan ................................ 40 C. Sumber Kewenangan dan Kekuatan Mengikat dari Peraturan Kebijakan ....................................................................................... 43
BAB IV
KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG DALAM PENGUJIAN PERATURAN KEBIJAKAN ........................................................... 49 A. Kedudukan Peraturan Kebijakan Dalam Sistim Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia ................................................ 49 B. Akibat Hukum Uji Materiil Surat Edaran Nomor 03.E/31/DJB/ 2009 ................................................................................................ 58 C. Analisis Putusan Mahkamah Agung .............................................. 65
BAB V
PENUTUP .......................................................................................... 78 A. Kesimpulan .................................................................................... 78 B. Saran .............................................................................................. 80
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 81 LAMPIRAN-LAMPIRAN: 1. Surat Permohonan Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi ......... 85 2. Surat Edaran Dirjen Mineral Batubara dan Panas Bumi ................ 86 3. Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2009 .................... 88
ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia adalah merupakan negara yang berdasarkan atas hukum, hal ini ditegaskan dalam pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Konsekuensi logis dari sebuah negara yang berdasarkan hukum salah satunya adalah semua tata aturan harus didasarkan dan mengacu pada hukum. Negara Hukum1 merupakan istilah yang meskipun terlihat sederhana, namun mengandung muatan sejarah pemikiran yang relatif panjang. Negara hukum adalah istilah Indonesia yang terbentuk dari dua suku kata, negara dan hukum. Padanan kata ini menunjukkan bentuk dan sifat yang saling isi mengisi antara negara disatu pihak dan hukum pada pihak yang lain. Tujuan negara adalah untuk memelihara ketertiban hukum (rechtsorde). Oleh karena itu, negara membutuhkan hukum dan sebaliknya pula hukum dijalankan dan ditegakkan melalui otoritas negara.2
1
Pengertian “negara hukum” adalah lawan pengertian “negara kekuasaan” (machtsstaat). Dasar pikiran yang mendukungnya ialah kebebasan rakyat (liberte du citoyen), bukannya kebesaran negara (gloire de I’etat). Lihat Raden Soewandi, Hak-hak Dasar dalam Konstitusi Demokrasi Modern, (Jakarta: PT Pembangunan, 1957), h. 12. 2
Majda El Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia dari UUD 1945 Sampai Dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2012), h. 19-20.
1
2
Negara hukum ialah negara yang susunannya diatur dengan sebaikbaiknya dalam undang-undang, sehingga segala pemerintahan dari alat-alat pemerintahannya didasarkan hukum. Rakyat tidak boleh bertindak sendirisendiri menurut semaunya yang bertentangan dengan hukum. Negara hukum itu ialah negara yang diperintahi bukan oleh orang-orang, tetapi oleh undangundang (state the not governed by men, but by laws), karena itu didalam negara hukum, hak-hak rakyat dijamin sepenuhnya oleh negara dan terhadap negara, sebaliknya kewajiban-kewajiban rakyat harus dipenuhi seluruhnya dengan tunduk dan taat kepada segala peraturan pemerintah dan undang-undang negara.3 Dalam kaitannya dengan negara hukum tersebut, tertib hukum yang berbentuk adanya tata urutan peraturan perundang-undangan menjadi suatu kemestian dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan. Karena dengan adanya hierarki tata urutan peraturan perundang-undangan akan lebih memudahkan dalam penegakan hukum (supremacy of law) dan adanya keteraturan atau ketertiban hukum (rechtsorde). Peraturan perundang-undangan merupakan salah satu elemen pokok dalam suatu sistim hukum nasional. Sebagai suatu sistim, kaidah aturan yang termuat dalam semua bentuk peraturan perundang-undangan yang tersusun secara hierarki dan berpuncak pada konstitusi sebagai hukum tertinggi. Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan 3
Mutiar’as, Ilmu Tata Negara Umum, (Jakarta: Pustaka Islam, TT), h. 20.
3
dengan peraturan yang lebih tinggi. Jika hal itu terjadi maka berlakulah asas hukum lex superior derogat legi inferiori, hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah.4 Tata urutan perundang-undangan dalam kaitannya dengan implementasi konstitusi negara Indonesia adalah merupakan bentuk tingkatan peraturan perundang-undangan. Sejak 1966 telah dilakukan perubahan atas hierarki (tata urutan) peraturan perundang-undangan di Indonesia. Tata urutan atau hierarki perundang-undangan tersebut perlu diatur untuk menciptakan keteraturan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejak
lahirnya
negara
Republik
Indonesia
dengan
proklamasi
kemerdekaannya, sampai berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat, Undang-undang Dasar Sementara 1950, Undang-undang Dasar 1945, dan Perubahan Undang-undang Dasar 1945 masalah hierarki peraturan perundangundangan tidak pernah diatur secara tegas.5 Berdasarkan
Undang-undang
Nomor
12
Tahun
2011
Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam pasal 7 disebutkan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, 4
Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung Republik Indonesia: Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 5. 5
Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, (Jakarta: Kanisius, 2007), h. 69.
4
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dalam pasal 8 ayat (1) juga disebutkan bahwa peraturan perundangundangan
juga
mencakup
peraturan
yang
ditetapkan
oleh
Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-undang, termasuk juga DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota serta Gubernur dan Bupati/Walikota. Cita-cita akan terwujudnya negara yang memiliki ketertiban dan keteraturan hukum hanya akan terwujud apabila ada kaidah aturan yang tersusun secara hierarkis, sehingga hukum sebagai suatu sistim dapat terbangun. Jika terdapat peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan antara yang satu dengan lainnya maka tidak dapat dilihat lagi sebagai sebuah kesatuan sistem yang dapat ditegakkan dan dilaksanakan. Oleh karena itu diperlukan suatu mekanisme yang dapat menjamin peraturan-perundang-undangan tidak saling bertentangan berdasarkan urutan atau hierarkinya yaitu melalui pengujian peraturan perundang-undangan. Pengujian
peraturan
perundang-undangan
dalam
ketatanegaraan
Indonesia diperkenalkan sejak tahun 1970 melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan selanjutnya
5
secara tegas diatur dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada perubahan ketiga, merupakan suatu proses untuk menyelesaikan konflik normatif melalui mekanisme hukum. Pengujian peraturan perundang-undangan merupakan kontrol normatif secara vertikal terhadap peraturan perundang-undangan yang dilahirkan agar tetap terjadi konsistensi dan harmonisasi normatif secara vertikal.6 Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan diberikan kepada dua lembaga yang berbeda kedudukan, tugas dan kewenangannya. Dalam pasal 9 ayat (1) dan (2) UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan disebutkan bahwa: 1. Apabila undang-undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 maka pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi; 2. Apabila suatu Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang maka pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Agung Republik Indonesia merupakan lembaga yang oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diberikan kewenangan langsung untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman. Dalam upaya untuk melaksanakan
6
Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung Republik Indonesia: Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan, h. 313.
6
kekuasaan kehakiman tersebut, Mahkamah Agung juga diberikan kedudukan dan kewenangan untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan yang derajatnya berada dibawah undang-undang.7 Kewenangan Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundangundangan dibawah undang- undang terhadap undang-undang kemudian di tegaskan dalam Pasal 20 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 31 Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2004, dan terakhir diubah dengan UndangUndang Nomor 3 Tahun 2009. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, selain kebijakan yang bersifat terikat (gebonden beleids) berdasarkan peraturan perundang-undangan seperti tata urutan peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, pemerintah atau pejabat administrasi negara juga dapat menetapkan kebijakan-kebijakan yang bersifat bebas (vrijbeleid). Kebijakan yang bersifat bebas ditetapkan oleh pejabat administrasi negara berdasarkan kewenangan kebebasan bertindak (freies ermessen). Didalam penyelenggaraan tugas-tugas administrasi Negara, pemerintah banyak mengeluarkan kebijakan yang dituangkan dalam berbagai bentuk seperti beleidslijnen
7
(garis-garis
kebijaksanaan),
het
beleid
(kebijaksanaan),
Lihat pasal 24 A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
7
voorschriften (peraturan-peraturan), richtlijnen (pedoman-pedoman), regelingen (petunjuk-petunjuk), circulaires (surat edaran), resoluties (resolusi-resolusi), aanschrijvingen
(instruksi-insruksi),
beleidsnota’s
(nota
kebijaksanaan),
reglemen ministriele (peraturan-peraturan menteri), beschikkingen (keputusankeputusan), en bekenmakingen (pengumuman-pengumuman).8 Menurut Philipus M. Hadjon, peraturan kebijakan pada hakikatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha negara yang bertujuan “naar buiten gebracht scrichftelijk beleid”, yaitu menampakkan keluar suatu kebijakan tertulis.9 Peraturan kebijakan hanya berfungsi sebagai bagian dari operasional penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan sehingga tidak dapat mengubah ataupun menyimpangi peraturan perundang-undangan. Eksistensi peraturan kebijakan tersebut merupakan konsekuensi atas negara hukum kesejahteraan yang membebankan tugas yang sangat luas yaitu menyelenggarakan kesejahteraan rakyat (welfare state).10 Kebijakan yang bersifat bebas ditetapkan dan dijalankan oleh pejabat administrasi negara dalam rangka menyelesaikan suatu keadaan (masalah konkret) yang pada dasarnya belum ada aturannya atau belum diatur dalam undang-undang (peraturan perundang-undangan).
88
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006), h. 183.
9
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993), h. 152. 10
Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan kebijakan, dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010), h. 101.
8
Untuk menegakkan asas konsistensi, kebijakan pejabat administrasi negara yang bersifat bebas tersebut perlu dituangkan dalam suatu bentuk formal atau suatu format tertentu yang lazim disebut peraturan kebijakan. Dengan demikian peraturan kebijakan merupakan produk kebijakan yang bersifat bebas yang ditetapkan oleh pejabat-pejabat administrasi negara dalam rangka menyelenggarakan tugas pemerintahan. Kebijakan pejabat administrasi negara tersebut kemudian dituangkan dalam suatu format tertentu supaya dapat diberlakukan secara umum (berlaku sama bagi setiap warga negara). Menurut Jimly Asshidqie, Bentuk peraturan kebijakan ini memang dapat juga disebut peraturan, tetapi dasarnya hanya bertumpu pada aspek “doelmatigheid‟
dalam
rangka
prinsip
“freies
ermessen”
atau
“beoordelingsvrijheid”, yaitu prinsip kebebasan bertindak yang diberikan kepada pemerintah untuk mencapai tujuan pemerintahan yang dibenarkan menurut hukum. Bentuk peraturan seperti ini biasa disebut sebagai “policy rules” atau “beleidsregel” yang merupakan bentuk peraturan kebijakan yang tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk peraturan perundang-undangan yang biasa. Misalnya, Instruksi Presiden, surat-surat edaran yang berisi kebijakan tertentu, rancangan-rancangan program, kerangka acuan proyek, “action plan” yang tertulis, dan sebagainya adalah contoh-contoh mengenai apa yang disebut sebagai “policy rules” yang bukan merupakan peraturan perundang-undangan.11
11
Jimly Asshidqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), h. 20.
9
Bentuk formal peraturan kebijakan dalam hal tertentu sering tidak berbeda atau tidak dapat dibedakan dari format peraturan perundang-undangan. Menurut A. Hamid S Attamimi: “dilihat dari bentuk dan formatnya, peraturan kebijakan sama benar dengan peraturan perundang-undangan, lengkap dengan pembukaan berupa konsiderans “menimbang” dan dasar hukum “mengingat”, batang tubuh yang berupa pasal-pasal, bagian-bagian dan bab-bab serta penutup, yang sepenuhnya menyerupai peraturan perundang-undangan”.12 Selain memiliki persamaan dengan peraturan perundang-undangan, ada juga peraturan kebijakan yang berbeda dengan peraturan perundang-undangan dari segi bentuk formalnya. Oleh karena itu, peraturan-peraturan kebijakan tersebut dapat dengan mudah dibedakan dari peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, format peraturan kebijakan tersebut lebih sederhana daripada format peraturan perundang-undangan misalnya nota dinas, surat edaran, petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis, pengumuman dan sebagainya.13 Dengan adanya beberapa pandangan para ahli yang menyatakan bahwa peraturan kebijakan (policy rules atau beleidsregels) tidak dapat dikategorikan sebagai Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang maka konsekuensinya adalah asas-asas pembatasan dan pengujian terhadap peraturan
12
Abdul Hamid S. Attamimi, Perbedaan antara Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Kebijakan, pidato disampaikan pada dies natalis PTIK ke-46, Jakarta, 1992. Lihat juga Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan kebijakan, dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, h. 102. 13
Ibid, h. 102.
10
perundang-undangan tidak dapat diberlakukan pada peraturan kebijakan. Oleh karena itu suatu peraturan kebijakan tentu tidak akan dapat diuji secara materiil di Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung, karena tidak ada dasar peraturan
perundang-undangan
yang
memberikan
kewenangan
untuk
memutuskan pengujian terhadap peraturan kebijakan tersebut.. Sebagaimana pendapat dari Bagir Manan yang menyebutkan bahwa, salah satu ciri-ciri peraturan kebijakan adalah peraturan kebijakan tidak dapat diuji wetmatigheid (uji materiil), karena memang tidak ada dasar peraturan perundang-undangan untuk membuat keputusan peraturan kebijakan tersebut. Selain itu peraturan kebijakan dibuat berdasarkan freies ermessen dan ketiadaan wewenang
administrasi
bersangkutan
membuat
peraturan
perundang-
undangan.14 Jika demikian, maka akan timbul permasalahan apabila peraturan kebijakan (policy rules atau beleidsregel) yang dibuat melampaui batas-batas kebebasan bertindak dan merusak tatanan hukum yang berlaku. Dalam hal ini, Apakah Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dalam kapasitasnya untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang berwenang melakukan pengujian terhadap peraturan kebijakan tersebut?. Jika mencermati lebih lanjut putusan Mahkamah Agung, dapat ditemukan putusan yang menguji peraturan kebijakan (policy rules atau 14
Bagir Manan, Peraturan Kebijaksanaan, (Makalah), Jakarta, 1994, h. 16-17. Lihat juga Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, h.187.
11
beleidsregel) terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pengujian tersebut atas dasar Mahkamah Agung sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang atas undang-undang pada tingkat kasasi. Oleh karena itu, suatu peraturan
kebijakan
(beleidsregel)
disamakan
dengan
suatu
peraturan
perundangan-undangan yang secara hierarki berada dibawah undang-undang. Pengujian tersebut seperti terdapat pada putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2009, putusan Mahkamah Agung Nomor 15 P/HUM/2009, dan putusan Mahkamah Agung Nomor 36 P/HUM/2011. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis akan mengkaji lebih dalam masalah ini yang akan penulis tuangkan dalam skripsi dengan judul “Pengujian Peraturan Kebijakan (Beleidsregels) di Mahkamah Agung (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2009).” B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Berdasarkan uraian penulis dalam latar belakang masalah diatas, agar dalam pembahasan skripsi ini tidak melebar dan keluar dari pokok pembahasan, maka penulis membatasinya yaitu hanya pada masalah kewenangan Mahkamah Agung dalam hal menguji peraturan kebijakan (policy rules atau beleidsregels) melalui mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, juga dengan mengkaji putusan
12
Mahkamah Agung yakni Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2009 dan putusan terkait lainnya. 2. Perumusan Masalah Peraturan kebijakan merupakan produk kebijakan yang bersifat bebas yang ditetapkan oleh pejabat-pejabat administrasi negara dalam rangka menyelenggarakan tugas pemerintahan. Selain itu peraturan kebijakan dibuat berdasarkan
freies
ermessen
dan
ketiadaan
wewenang
administrasi
bersangkutan untuk membuat peraturan perundang-undangan, sehingga peraturan kebijakan tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang dapat diuji secara materiil (wetmatigheid) di Mahkamah Agung. Beberapa putusan dari Mahkamah Agung dapat ditemukan putusan yang menguji materiil peraturan kebijakan (policy rules atau beleidsregel) tersebut. Hal inilah yang ingin penulis teliti dalam penulisan skripsi ini. Dan untuk memudahkan pembahasannya, rumusan masalah tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1.
Apakah peraturan kebijakan dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia yang secara hukum dapat diuji pada Mahkamah Agung?
2.
Apa akibat hukum dari dikabulkannya permohonan hak uji materiil peraturan kebijakan oleh Mahkamah Agung dalam putusan nomor 23 P/HUM/2009?
13
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin penulis capai dari penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui kedudukan peraturan kebijakan dalam tata urutan (hierarki) peraturan perundang-undangan di Indonesia serta apakah secara hukum dapat diuji pada Mahkamah Agung. 2. Untuk mengetahui akibat hukum dari dikabulkannya permohonan hak uji materiil peraturan kebijakan oleh Mahkamah Agung dalam putusan nomor 23 P/HUM/2009. 2. Manfaat Penelitian Selanjutnya, manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut: 1. Dapat mengetahui dan lebih memahami kedudukan peraturan kebijakan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia serta bagaimana proses pengujian terhadap peraturan kebijakan tersebut 2. Dapat memberikan sumbangsih pemikiran yang bermanfaat dalam menjawab perkembangan disiplin ilmu hukum dan perundang-undangan di Indonesia.
14
D. Review Studi Terdahulu Pembahasan dalam penelitian ini penulis melakukan tela’ah studi terdahulu pada hasil penelitian yang pembahasannya menyerupai dengan pembahasan yang akan di angkat oleh penulis yaitu: No. Identitas 1 Muhammad Ulul
Subtansi Hasil penelitian
Pembeda Disini penulis akan
Azmi/ Eksistensi
berupa skripsi ini
membahas tentang
Pengujian Ketetapan
membahas tentang
bagaimana kedudukan
Majelis
pengujian ketetapan
peraturan kebijakan
Permusyawaratan
MPR menurut hierarki
dalam tata urutan
Rakyat Republik
peraturan perundang-
peraturan perundang-
Indonesia dalam
undangan. Bagaimana
undangan Indonesia
Hierraki Peraturan
kewenangan menguji
dan bagaimana
Perundang-Undangan
dan eksistensi
kewenangan
(Pasca Undang-
Ketetapan MPR
Mahkamah Agung
Undang Nomor 12
tersebut, dan yang
dalam kapasitasnya
Tahun 2011 Tentang
menjadi acuan adalah
sebagai lembaga yang
Pembentukan
hierarki peraturan
berwenang menguji
Peraturan Perundang-
perundang-undangan
peraturan perundang-
undangan)/ Fakultas
yang ditetapkan dalam
undangan dibawah
Syariah dan Hukum-
UU No. 12 Tahun
undang-undang
Ilmu Hukum. 2013
2011 Tentang
terhadap undang-
Pembentukan
undang untuk menguji
Peraturan Perundang-
peraturan kebijakan
undangan.
tersebut
15
E. Metodologi Penelitian Untuk memperoleh suatu hasil yang maksimal dari suatu karangan ilmiah, maka metode penelitian yang dijalankan akan memegang peranan yang sangat penting. Hal ini yang sangat mempengaruhi sampai tidaknya isi penulisan itu kepada tujuan yang ingin dicapai. Metode yang penulis gunakan dalam penelitian skripsi ini adalah: 1.
Jenis dan Pendekatan Penelitian Adapun jenis penelitian setelah melihat data-data yang dibutuhkan dan permasalahan yang diteliti dalam penulisan ini, maka termasuk metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif adalah metode atau cara yang digunakan dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.15 Penelitian Kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengkaji, menganalisa serta merumuskan buku-buku, literatur dan yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini. Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, yaitu: a. Pendekatan undang-undang (statute approach) b. Pendekatan kasus (case approach) c. Pendekatan historis (historical approach) d. Pendekatan komparatif (comparative approach) 15
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinajaun Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2009), h. 13-14.
16
e. Pendekatan konseptual (conceptual approach) Dari berbagai pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Penelitian yang dilakukan oleh penulis lebih ditujukan kepada pendekatan undang-undang (Statute Aproach) dan pendekatan kasus (Case Aproach). Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.16 Dalam hal ini penulis akan menelaah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah yang penulis kaji, diantaranya adalah Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Selain itu juga Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Hak Uji Materiil dan juga Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil. Sedangkan pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum
16
93.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009), h.
17
tetap.17 Dalam hal ini penulis akan menelaah dan mengkaji putusan Mahkamah Agung yang terkait dengan masalah ini yaitu putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2009 dan juga putusan-putusan lainnya yang terkait dengan pembahasan skripsi ini. Sumber Bahan Hukum
2.
Dalam penulisan ini akan digunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dibawah ini akan dirinci satu per satu apa saja yang termasuk ke dalam bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. a.
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang diurutkan berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kemudian Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Hak Uji Materiil. Selain itu juga putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yakni putusan Mahkamah Agung yang terkait dengan isu hukum yang sedang dibahas.
b.
Bahan hukum Sekunder, yaitu data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang
17
Ibid, h. 94.
18
berhubungan dengan masalah yang diajukan, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Dokumen-dokumen yang dimaksud adalah buku-buku (textbook) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de hersende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian skripsi ini 3.
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut: a.
Dokumentasi, adalah mencari hal-hal atau variabel berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda, dan sebagainya.18
b.
Interview (wawancara), adalah melakukan tanya jawab secara langsung antara peneliti dengan responden atau narasumber atau informan untuk mendapatkan informasi.19 Jika diperlukan untuk melengkapi bahan hukum, maka penulis akan melakukan wawancara dengan para pakar hukum, seperti hakim dan ahli hukum lainnya
18
19
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. h.201.
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h.161.
19
yang
kompeten.
Metode
interview
(wawancara)
ini
untuk
melengkapi bahan hukum yang telah dikaji dan dianalisis. 4.
Teknik Analisis Bahan Hukum Bahan hukum yang telah dikumpulkan akan diolah, dianalisis, dan diinterpretasikan. Analisis data dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data tersebut secara jelas untuk kemudian dianalisis isinya, kemudian menginterpretasikan dengan menggunakan bahasa penulis sendiri, dengan demikian akan nampak rincian jawaban atas pokok permasalahan yang diteliti.
5.
Teknik Penulisan Dalam penyusunan secara teknik penulisan sesuai dan berpedoman pada prinsip-prinsip yang diatur dan dibukukan dalam Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah 2012.
F. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang materi yang menjadi pokok penulisan dan memudahkan para pembaca dalam memahami tata aturan penulisan skripsi ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut: Bab pertama merupakan Pendahuluan, yang berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
20
Bab kedua merupakan tinjauan umum mengenai hak menguji peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung. Dalam bab ini menjelaskan tentang pengertian pengujian peraturan perundang-undangan, kewenangan mahkamah agung dalam pengujian peraturan perundang-undangan, dan objek pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung. Bab ketiga berisi tentang peraturan kebijakan dalam ketatanegaran Indonesia. Dalam bab ini menjelaskan tentang pengertian dan ciri-ciri peraturan kebijakan,
macam-macam
bentuk
peraturan
kebijakan,
serta
sumber
kewenangan dan kekuatan mengikat pada peraturan kebijakan. Bab keempat berisi tentang analisis terhadap kewenangan Mahkamah Agung dalam pengujian peraturan kebijakan. Didalam bab ini berisi tentang kedudukan peraturan kebijakan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, akibat hukum pengujian Surat Edaran Nomor 03.E/31/DJB/2009, serta analisis dan kajian terhadap putusan Mahkamah Agung. Bab kelima merupakan penutup, pada bab penutup ini berisi kesimpulan sebagai jawaban atas masalah yang dirumuskan, dan saran-saran. Penulis juga melampirkan daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang dianggap penting.
BAB II HAK MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI MAHKAMAH AGUNG A. Pengertian Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Pengujian peraturan perundang-undangan secara terminologi terdiri dari dua kata yaitu “pengujian” dan “peraturan perundang-undangan”. Pengujian berasal dari kata “uji” yang memiliki arti percobaan untuk mengetahui mutu sesuatu, sehingga “pengujian” diartikan sebagai proses, cara, perbuatan, menguji.1 Sedangkan Pengertian Peraturan Perundang-undangan berdasarkan pada pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pengertian dari peraturan perundang undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Dengan demikian pengujian peraturan perundang-undangan merupakan proses untuk menguji suatu peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum yang dibentuk oleh lembaga atau pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan.
1
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 1096-1097.
21
22
Pengujian peraturan perundang-undangan yang diartikan sebagai suatu proses menguji akan berkaitan dengan “siapa” (subjek) dan “apa” (objek) dalam proses pengujian peraturan perundang-undangan tersebut. Persoalan subjek dan objek dalam perspektif pengujian peraturan perundang-undangan dapat menimbulkan berbagai peristilahan yang sering terjadi kekeliruan dalam mengartikannya. Seperti istilah toetsingsrecht2 yang dipersandingkan maknanya dengan judicial review. Padahal kedua istilah ini memiliki perbedaan pengertian, karena toetsingsrecht memiliki arti lebih luas dan masih bersifat umum, sedangkan istilah judicial review cakupan dan ruang lingkupnya terbatas pada kewenangan pengujian yang dilakukan melalui mekanisme judicial dan lembaganya hanya dilekatkan pada lembaga kekuasaan kehakiman.3 Dengan demikian pengertian toetsingsrecht dalam perspektif judicial review dapat diartikan sebagai toetsingsrecht dalam arti sempit atau uji judicial yang subjeknya tertentu yaitu lembaga kekuasaan kehakiman dan objeknya juga tertentu yaitu peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur (regels). Sehingga dapat dibedakan dengan jelas bahwa toetsingsrecht dalam perspektif
2
Toetsingrecht berarti hak menguji, istilah ini digunakan untuk membicarakan kewenangan menguji peraturan perundang-undangan, yang dapat saja dimiliki oleh hakim, pemerintah, legislatif atau lembaga tertentu tanpa membedakan jenis peraturan perundang-undangan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Jika diberikan kepada lembaga parlemen sebagai legislator , maka proses pengujian demikian itu lebih tepat disebut sebagai legislative review, bukan judicial review. Demikian pula jika hak menguji (toetsingsrecht) itu diberikan kepada pemerintah, maka pengujian semacam itu disebut sebagai executive review, bukan judicial review ataupun legislative review. Lihat Jimly Asshidqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), h. 2. 3
Jimly Asshidqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), h. 4-7.
23
judicial review, legislative review, dan executive review dilihat dari segi subjeknya. Demikian pula dalam segi objeknya, maka toetsingsrecht dalam perspektif judicial review, objek yang diuji adalah peraturan perundangundangan yang bersifat mengatur.4 Konsep toetsingsrecht dalam arti judicial review selanjutnya akan disebut “judicial review” merupakan bagian dari prinsip kontrol secara judicial atas produk peraturan perundang-undangan agar tidak bertentangan dengan norma hukum secara hierarkis. Adapun pengertian judicial review itu sendiri, dalam beberapa literatur seperti dalam kamus Black’s Law Dictionary with Pronunciations, judicial review diartikan sebagai “A court’s power to review the actions of other branches or levels of government.”5 Rumusan pengertian ini menyatakan bahwa judicial review merupakan suatu kekuasaan lembaga pengadilan atau kekuasaan kehakiman untuk menguji produk hukum dari berbagai cabang atau tingkatan lembaga pemerintahan. Sementara itu, Erick Barent mengemukakan pengertian judicial review dengan redaksi yang lebih lengkap sebagai berikut, “judicial review is a feature of a most modern liberal constitutions. It refers to the power of the courts to
4
Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h. 41. 5
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Ninth Edition, (United States of America: West Publishing Co, 2009), h. 924.
24
control the compatibility of legislation and executive acts of the term of the costitutions.”6 Dalam pengertian ini, judicial review disebutkan sebagai salah satu keistimewaan dari konstitusi pada era modern ini, yang menunjukkan kekuatan dari lembaga peradilan sebagai kontrol dari setiap tindakan lembaga legislatif maupun eksekutif dalam menjalankan tugasnya berdasarkan konstitusi. Sedangkan Joseph Tanenhus merumuskan bahwa, judicial review is the process with his a body judicial specify unconstitutional from action what is done by legislative body and by executive head. Rumusan ini menjelaskan bahwa judicial review merupakan suatu proses untuk menguji tingkat konstitusionalitas suatu produk hukum badan legislatif atau badan eksekutif.7 Menurut Jimly Asshidqie, judicial review merupakan upaya pengujian oleh lembaga yudisial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif dalam rangka penerapan prinsip checks and balances berdasarkan sistem pemisahan kekuasaan negara (separation of power).8 Dengan demikian, dari beberapa pemaparan definisi dari para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa judicial review merupakan suatu proses upaya pengujian tingkat konstitusionalitas atau keabsahan suatu peraturan perundang6
Erick Barendt, An Introduction to Constitutional Law. Lihat juga dalam Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingsrecht) yang dimiliki Hakim Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 8. 7
Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, h. 41. 8
Jimly Asshidqie, Konstitusi dan Konstitualisme, (Jakarta: Konstitusi Press, 2004 ), h. 237.
25
undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi secara hierarkis oleh suatu badan kekuasaan kehakiman yang telah diberi kewenangan khusus oleh undang-undang dasar atau undang-undang. B. Kewenangan Mahkamah Agung dalam Pengujian Peraturan Perundangundangan Prinsip dan pelaksanaan pengujian peraturan perundang-undangan berkaitan erat dengan prinsip kekuasaan negara, baik pembagian kekuasaan negara (distribution of power), maupun pemisahan kekuasaan negara (separation of power).9 Pemikiran tentang kekuasaan negara telah berkembang cukup lama, dan yang paling monumental adalah pemikiran dari John Locke10 dan Baron de Montesquieu.11
9
Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, h. 71. 10
Jhon Locke membagi kekuasaan negara dalam tiga kekuasaan dengan pembagian yang berbeda, yaitu legislatif, eksekutif, dan federatif. Kekuasaan federatif sebenarnya masuk dalam kekuasaan eksekutif, karena kekuasaan federatif lebih pada kekuasaan tentang perang dan damai, membuat hubungan dengan badan-badan luar negeri. Lihat Ismail Sunny, Pembagian Kekuasaan Negara, (Jakarta: Aksara Baru, 1982), h. 1-3. 11
Menurut Montesquieu, dalam bukunya “L’Esprit des Lois” (1748), yang mengikuti jalan pikiran John Locke, membagi kekuasaan negara dalam tiga cabang, yaitu (i) kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang, (ii) kekuasan eksekutif yang melaksanakan, dan (iii) kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif. Dalam bidang legislatif dan eksekutif, pendapat kedua sarjana itu nampaknya mirip. Tetapi dalam bidang yang ketiga, pendapat mereka berbeda. John Locke mengutamakan fungsi federatif, sedangkan Baron de Montesquieu mengutamakan fungsi kekuasaan kehakiman (yudisial). Montesquieu lebih melihat pembagian atau pemisahan kekuasaan itu dari segi hak asasi manusia setiap warga negara, sedangkan John Locke lebih melihatnya dari segi hubungan ke dalam dan keluar dengan negara-negara lain. Lihat Jimly Asshidqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid II, (Jakarta: Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 14.
26
Prinsip kekuaaan negara dalam perspektif UUD 1945 (sebelum amandemen) menganut prinsip sistem pembagian kekuasaan (distribution of power).12 UUD 1945 menentukan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, sehingga sumber kekuasaan itu hanya ada pada rakyat dan pada hakikatnya MPR yang memegang kekuasaan tertinggi untuk dan atas nama rakyat. Hubungan antara MPR dan lembaga negara dibawahnya didasarkan pada prinsip “delegasi kekuasaan”.13 Dalam perspektif pengujian peraturan perundang-undangan, maka dalam prinsip pembagian kekuasaan yang mengedepankan “supremasi parlemen”, tidak dibenarkan lembaga negara yang sederajat menilai dan menguji segala produk hukum lembaga negara yang diberikan kewenangan oleh konstitusi sebagai pembuatnya. Oleh karena itu, dalam kurun waktu 1970-1998 pengujian peraturan perundang-undangan yang dianut UUD 1945, tidak mengenal pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar, melainkan hanya pengujian peraturan dibawah undang-undang yang dilaksanakan Mahkamah Agung.14
12
Konsep pembagian kekuasaan (distribution of power) dikaitkan dengan sistem supremasi MPR yang secara mutlak menolak ide pemisahan kekuasaan ala trias politica Montesquieu. Dalam sidang-sidang BPUPKI pada tahun 1945, Soepomo misalnya menegaskan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin trias politica dalam arti paham pemisahan kekuasaan ala Montesquieu, melainkan menganut sistim pembagian kekuasaan. Lihat Jimly Asshidqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid II, h. 23. 13
Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, h. 73-74. 14
Ibid, h. 75
27
Setelah perubahan UUD 1945, maka diatur pengujian peraturan perundang-undangan secara tegas, baik itu pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar yang kewenangannya dilekatkan pada Mahkamah Konstitusi, maupun pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undangundang terhadap undang-undang yang kewenangannya dilekatkan pada Mahkamah Agung. Kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang tersebut pada awalnya lahir dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dalam pasal 26 dan juga pasal 31 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Kedua pasal pada undangundang tersebut pada pokoknya mengatakan bahwa Mahkamah Agung berwenang untuk melakukan pengujian materiil terhadap peraturan perundangundangan yang berada di bawah undang-undang dan menyatakan tidak sah peraturan tersebut apabila ternyata bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berada di atasnya. Selanjutnya, MPR melalui Ketetapan MPR Nomor III Tahun 2000 Pasal 5 ayat (2), (3), dan (4) juga mengatur kewenangan Mahkamah Agung tersebut, begitu pula halnya dengan UUD 1945. Sebagaimana tercantum dalam pembukaan ketiga UUD 1945 yang disahkan pada November 2001, Mahkamah Agung berwenang untuk menguji peraturan perundangundangan yang berada di bawah undang-undang terhadap undang-undang di atasnya.
28
Pasal 24A ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa: “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.” Sementara itu Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman juga menyatakan bahwa pengujian peraturan perundangundangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang merupakan salah satu kewenangan dari Mahkamah Agung, yakni: “Mahkamah Agung berwenang: a. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentukan lain; b. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan c. Kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.” Setelah perubahan UUD 1945 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 direvisi dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang didalamnya juga mengatur mengenai perubahan pengaturan kewenangan Mahkamah Agung dalam menguji peraturan perundang-undangan di bawah
29
Undang-Undang. Pasal yang mengatur mengenai hal tersebut adalah Pasal 31 yang terdiri dari beberapa ayat sebagai berikut: Ayat (1): Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undangundang. Ayat (2): Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundangundangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Ayat (3): Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung. Ayat (4): Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Ayat (5): Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan. Dalam perkembangan selanjutnya, peraturan mengenai pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung diperkuat dengan dibentuknya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2004 tentang
30
Hak Uji Materiil, Perma 1 tahun 2004 ini dibentuk dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 31 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan untuk menyempurnakan Perma Nomor 1 Tahun 1998. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tersebut mengatur bahwa Mahkamah Agung memiliki kewenangan hak uji materiil yaitu hak Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan lebih tinggi. Perma 1 tahun 2004 ini kemudian disempurnakan oleh Perma Nomor 1 Tahun 2011 yang memberikan aturan lebih lengkap tentang peniadaan tenggang waktu pengajuan perkara dalam pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang di Mahkamah Agung. Ketentuan-ketentuan tersebut menunjukkan tingkat konsistensi untuk menempatkan
Mahkamah
Agung
sebagai
pelaksana
dengan
diberikan
kewenangan untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Dilihat dari segi objek yang diuji oleh Mahkamah Agung maka terdapat pembatasan yaitu hanya sebatas peraturan perundangundangan yang secara hierarki derajatnya dibawah undang-undang. Dengan adanya pembatasan terhadap objek yang akan diuji oleh Mahkamah Agung, secara langsung membatasi langkah Mahkamah Agung untuk mengontrol secara normatif setiap produk hukum.15
15
Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, h. 106.
31
C. Objek Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di Mahkamah Agung Objek pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung adalah peraturan perundang-undangan yang tingkatannya berada dibawah undang-undang, Berdasarkan definisi pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Dalam redaksi yang berbeda, Bagir Manan memberikan definisi tentang peraturan perundang-undangan yakni suatu keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum dimana aturan tingkah laku tersebut berisi ketentuan-ketentuan tentang hak, kewajiban, fungsi, status, dan suatu tatanan.16 Peraturan perundang-undangan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Peraturan perundang-undangan bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas;
16
1992), h. 3.
Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, (Jakarta: Indo Hill Co,
32
2. Peraturan perundang-undangan bersifat universal, ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk konkretnya. Oleh karena itu, ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja; 3. Peraturan perundang-undangan memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki
dirinya
sendiri.
Pencantuman
klausul
yang memuat
kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali.17 Kemudian,
Jimly
Asshidqie
memberikan
pengertian
peraturan
perundang-undangan yang dirumuskan dengan batasan yang jelas, yaitu: keseluruhan susunan hirarkis peraturan perundang-undangan yang berbentuk Undang-Undang ke bawah, yaitu semua produk hukum yang melibatkan peran lembaga perwakilan rakyat bersama-sama dengan pemerintah ataupun melibatkan peran pemerintah karena kedudukan politiknya dalam rangka melaksanakan produk legislatif yang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat bersama-sama dengan pemerintah menurut tingkatannya masing-masing.18 Sifat umum dan abstrak menjadi ciri-ciri atau elemen dari peraturan perundang-undangan. Sifat umum dan abstrak yang dilekatkan sebagai ciri dari peraturan perundang-undangan dimaksudkan untuk membedakan dengan
17
Nomensen Sinamo, Hukum Administrasi Negara, Suatu Kajian Kritis Tentang Birokrasi Negara, (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2010), h. 45-46. 18
Jimly Asshidqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, h. 256.
33
keputusan tertulis pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang bersifat individual dan konkrit yakni ketetapan atau beschikking.19 Berdasarkan penjelesan tersebut, antara perturan perundang-undangan yang bersifat mengatur (regeling) yang mengikat secara umum harus dapat dibedakan secara jelas dengan keputusan yang berupa ketetapan atau beschikking yang bersifat konkrit dan individual. Pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang merupakan bentuk pengujian yang objeknya adalah seluruh peraturan yang bersifat mengatur, abstrak, dan mengikat secara umum yang derajatnya dibawah undang-undang. Sehingga, objek yang diuji adalah segala peraturan dibawah undang-undang dan yang dijadikan tolok ukur pengujiannya adalah undang-undang.20 Berdasarkan ketentuan dalam pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka secara hierarkis objek peraturan perundang-undangan yang derajatnya ada dibawah Undang-Undang adalah Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Selain itu, peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang juga termasuk peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, 19
Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, h. 44. 20
Ibid, h. 54.
34
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-undang, termasuk juga DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota serta Gubernur dan Bupati/Walikota. Adanya pengaturan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang dimaksudkan sebagai kontrol normatif terhadap setiap tindakan atau produk hukum yang berbetuk peraturan dari pihak eksekutif, dalam hal ini Presiden dan lembaga negara lainnya. Hal ini disebabkan, Presiden memiliki kewenangan yang sangat besar untuk menerjemahkan materi muatan suatu undang-undang dalam bentuk peraturan pemerintah dan peraturan lainnya sebagai instrumen pelaksanaan undang-undang.
BAB III PERATURAN KEBIJAKAN DALAM KETATANEGARAAN INDONESIA A. Pengertian dan Ciri-Ciri Peraturan Kebijakan Dalam rangka penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan, pemerintah atau pejabat administrasi negara dapat mengambil kebijakan-kebijakan yang bersifat terikat (gebonden beleids).1
Pejabat administrasi negara dalam
menetapkan dan menjalankan suatu kebijakan tidak dapat menyimpang dari persyaratan yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Selain kebijakan yang bersifat terikat (gebonden beleids) berdasarkan peraturan perunang-undangan, pemerintah atau pejabat administrasi negara juga dapat menetapkan kebijakankebijakan yang bersifat bebas (vrijbeleid), kebijakan yang bersifat bebas tersebut ditetapkan oleh pejabat administrasi negara berdasarkan kewenangan kebebasan bertindak (freies ermessen).2 Istilah freies ermessen dalam bahasa Jerman berasal dari kata frei yang artinya bebas, lepas, tidak terikat, dan merdeka. Freies artinya orang bebas, tidak terikat dan merdeka. Sedangkan ermessen berarti mempertimbangkan, menilai, menduga dan memperkirakan.3 Freies ermessen berarti orang yang
1
Kebijakan-kebijakan yang bersifat terikat adalah kebijakan yang ditetapkan pejabat administrasi negara sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Lihat Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregels) Pada Pemerintahan Daerah, (Yogyakarta: UII Press, 2005),h .85. 2
Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregels) Pada Pemerintahan Daerah, (Yogyakarta: UII Press, 2005), h. 85. 3
Nomensen Sinamo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Permata Aksara, 2010), h. 55.
35
36
memiliki kebebasan untuk menilai, menduga dan mempertimbangkan sesuatu. Istilah ini kemudian digunakan dalam bidang pemerintahan, sehingga freies ermessen diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang. Untuk menegakkan asas konsistensi, kebijakan pejabat administrasi negara yang bersifat bebas tersebut perlu dituangkan dalam suatu bentuk formal atau suatu format tertentu yang lazim disebut dengan peraturan kebijakan. Dalam kepustakaan Belanda, ada berbagai istilah yang dipergunakan untuk menunjukkan eksistensi peraturan kebijakan tersebut, antara lain pseudowetgeving,4 spiegelrecht, dan beleidsregel.5 Peraturan kebijakan (beleidsregel)6 ini sebenarnya adalah jenis tindak administrasi negara dalam bidang hukum publik yang bersegi satu (eenzijdige
4
Dalam kamus hukum bahasa Belanda istilah Pseudowetgeving berarti regelstelling door een betrokken bestuursorgaan zonder dat dit op grond van een uitdrukkelijke wettelijke bepaling die bevoegdheid bezit. (Perundang-undangan semu adalah tata aturan oleh organ pemerintahan yang terkait tanpa memiliki dasar ketentuan undang-undang yang secara tegas memberikan kewenangan kepada organ tersebut). Lihat Andreae’s Fockema, Juridisch Woordenboek, (Tjeenk Willink, 1985), h. 396. Lihat juga Zafrullah Salim, Legislasi Semu (Pseudowetgeving), artikel diakses pada 12 Januari 2014 dari http://ditjenpp.kemenkumham.go.id. 5
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Alumni, 1997), h. 167. 6
Istilah beleidsregel digunakan pada tahun 1982, dalam risalah yang disusun oleh commisie wetgevingsvraagstukken, walaupun digunakan secara bersamaan dengan istilah-istilah “pseudowetgeving”, “bekang makingan van voorgenomen beleid, “algemene beleidsregels”. Dalam tahun 1982 pula, kelompok kerja (staartwerkgroep wet algemene regels van bestrecht (Wet ARB) juga menggunakan istilah beleidsregels dalam rancangan mereka. Lihat Abdul Razak, Hakikat Peraturan Kebijakan, Tulisan ini pernah dimuat dalam kumpulan tulisan “Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi” dalam rangka Ultah ke- 80 Prof Solly Lubis, artikel diakses pada 12 januari 2014 dari http://www.negarahukum.com.
37
publiek rechtelijke handelingen). Ia merupakan hukum bayangan (spiegelrecht) yang membayangi undang-undang atau hukum yang terkait pelaksanaan kebijakan (policy).7 Peraturan kebijakan merupakan produk kebijakan yang bersifat bebas yang ditetapkan oleh pejabat-pejabat administrasi Negara dalam rangka penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan. Kebijakan pejabat administrasi negara tersebut kemudian dituangkan dalam suatu format tertentu supaya dapat diberlakukan secara umum (berlaku sama bagi setiap warga negara). Dalam hal tertentu, bentuk formal peraturan kebijakan sering tidak berbeda atau tidak dapat dibedakan dari format peraturan perundang-undangan.8 Meskipun bentuk peraturan kebijakan memiliki persamaan dengan peraturan perundang-undangan, secara tegas Bagir Manan mengemukakan bahwa peraturan kebijakan bukan merupakan peraturan perundang-undangan. Salah satu aspek yang membedakan peraturan kebijakan dengan peraturan perundang-undangan adalah dari aspek kewenangan pembentukan peraturan kebijakan. Pembentuk peraturan kebijakan tidak memiliki kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan (kewenangan legislatif). Hal tersebut mengandung arti bahwa peraturan kebijakan tidak dilahirkan dari kewenangan legislatif, akan tetapi peraturan kebijakan bersumber dari
7
Safri Nugraha dkk. Hukum Administrasi Negara, (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), h. 93. 8
Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010), h. 101.
38
kewenangan eksekutif, dan pada umumnya tidak dapat dilahirkan aturan yang bersifat mengikat secara umum.9 Didalam praktik penyelenggaraan pemerintahan, suatu peraturan kebijakan dalam kerangka freies ermessen yang dibuat oleh pejabat administrasi negara adalah mencakup dalam hal-hal sebagai berikut: 1. Belum adanya perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian in concreto terhadap suatu masalah tertentu, padahal masalah tersebut menuntut penyelesaian yang segera; 2. Perundang-undangan yang menjadi dasar berbuat aparat pemerintah memberikan kebebasan sepenuhnya; 3. Adanya delegasi perundang-undangan, maksudnya aparat pemerintah diberi kekuasaan untuk mengatur sendiri yang sebenarnya kekuasaan itu merupakan kekuasaan aparat yang lebih tinggi tingkatannya.10 Adapun ciri-ciri dari peraturan kebijakan itu sendiri, J.H Van Kreveld mengemukakan bahwa peraturan kebijakan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Peraturan itu langsung ataupun tidak langsung tidak didasarkan pada ketentuan undang-undang formal ataupun UUD yang memberikan kewenangan mengatur, dengan kata lain peraturan itu tidak ditemukan dasarnya dalam undang-undang;
9
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, h.
169. 10
Muchsan, Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi di Indonesia, (Bandung: Alumni, 2000), h. 27-28.
39
2. Peraturan itu tidak tertulis dan muncul melalui serangkaian keputusankeputusan instansi pemerintahan yang bebas terhadap warga negara, atau ditetapkan secara tertulis oleh instansi pemerintahan tersebut; 3. Peraturan itu memberikan petunjuk secara umum, dengan kata lain tanpa pernyataan dari individu warga negara yang berada dalam situasi yang dirumuskan dalam peraturan itu.11 Selain itu, Bagir Manan juga mengemukakan enam ciri-ciri dari peraturan kebijakan, yaitu sebagai berikut: 1. Peraturan kebijakan bukan merupakan peraturan perundang-undangan; 2. Asas-asas pembatasan dan pengujian terhadap peraturan perundangundangan tidak dapat diberlakukan pada peraturan kebijakan; 3. Peraturan kebijakan tidak dapat diuji secara wetmatigheid karena memang tidak ada dasar peraturan perundang-undangan untuk membuat keputusan peraturan kebijakan; 4. Peraturan kebijakan dibuat berdasarkan freies ermessen dan ketiadaan wewenang administrasi bersangkutan membuat peraturan perundangundangan; 5. Pengujian terhadap peraturan kebijakan lebih diserahkan pada doelmatigheid sehingga batu ujinya adalah asas-asas umum pemerintahan yang layak;
11
J.H.Van Kreveld, Beleidsregel In Het Recht, (Kluwer: Deventer, 1983), Lihat juga Ronald S.Lumbuun, PERMA RI, Wujud Kerancuan Antara Praktik Pembagian dan Pemisahan kekuasaan, (Jakarta: Rajawali Press, 2011),h. 193-194.
40
6. Dalam praktik, diberi format berupa berbagai bentuk dan jenis aturan, yakni keputusan, instruksi, surat edaran, pengumuman, dan lain-lain, bahkan dapat dijumpai dalam bentuk peraturan.12 B. Macam-Macam Bentuk Peraturan Kebijakan Peraturan kebijakan (beleidsregel) dibuat oleh
pejabat administrasi
negara dalam rangka melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Kebutuhan akan peraturan kebijakan tersebut diperlukan karena merupakan konsekuensi dari negara hukum kesejahteraan yang membebankan tugas yang sangat luas, yaitu menyelenggarakan kesejahteraan rakyat (welfare state) kepada pemerintah. Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah akan dihadapkan dengan situasi dan kondisi faktual yang terkadang belum ada aturan atau peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah tersebut. Dalam menghadapi situasi dan kondisi seperti ini, pejabat administrasi negara diberi kebebasan untuk mengambil kebijakan sesuai dengan kondisi faktual tersebut. Kebijakankebijakannya kemudian dituangkan dalam bentuk peraturan kebijakan. Dalam praktik pemerintahan di Belanda, ada berbagai macam bentuk peraturan kebijakan. Menurut Van Kreveld, dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan (bestuurpraktijk) di negeri Belanda, terdapat berbagai sebutan antara lain beleids lijnen, het beleid, voorschriften, richkijnen, regelingen,
12
186-187.
Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2008), h.
41
circulaires,
resoluties,
aauschrijvingen,
beleidsnota’s,
reglementen
(ministeriele) beschikkingen, dan bekendmakingen.13 Dalam hukum administrasi pemerintahan Indonesia sendiri, eksistensi pseudowetgeving, spiegelrecht, dan beleidsregel juga bukan merupakan hal yang baru karena sudah dikenal sejak zaman kolonial. Dalam hubungan dengan eksistensi pseudowetgeving, spiegelrecht, dan beleidsregel tersebut, Abdul Hamid S Attamimi mengemukakan bahwa peraturan kebijakan dalam bahasa Belanda disebut beleidsregel bukanlah sesuatu yang baru dalam administrasi pemerintahan Indonesia yang memang banyak meniru administrasi HindiaBelanda. Administrasi pemerintahan Indonesia mengenal circulaires dan medeleingen yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan surat edaran dan pengumuman. Peraturan kebijakan memang dapat dibuat dalam berbagai macam bentuk dokumen tertulis yang bersifat membimbing, menuntun, memberi arahan kebijakan, dan mengatur sesuatu pelaksanaan tugas dan pekerjaan. Dalam praktik di Indonesia, peraturan kebijakan tersebut dapat dibuat dalam bentuk, seperti: 1. Surat edaran (circulair), seperti: Surat Edaran Mahkamah Agung RI; 2. Surat perintah atau instruksi, seperti: Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI; 13
Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, h. 106.
42
3. Pedoman kerja atau manual, seperti: Pedoman Pelaksanaan Pengawasan di Lingkungan Peradilan; 4. Petunjuk pelaksanaan (juklak); 5. Petunjuk teknis (juknis); 6. Buku panduan atau “guide” (guidance), seperti: Buku Panduan Pengelolaan dan Penyelenggaraan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI; 7. Kerangka acuan, Term of Reference (TOR), seperti Kerangka Acuan Kerja Sistim Informasi Ditjen Badilag Bagi Pengelola Situs Web Pengadilan Tinggi Agama se Indonesia Tahun 2009; 8. Desain kerja atau Desain proyek (project design), seperti: Cetak Biru (blue print) Pembaharuan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 20102034; 9. Dan lain-lain sebagainya.14 Selain itu, dalam praktik penyelenggaran pemerintahan di Indonesia, ada peraturan kebijakan yang berbentuk pengumuman, pedoman, petunjuk teknis (juknis), petunjuk pelaksana (juklak), dan sebagainya. Produk semacam peraturan kebijakan ini tidak terlepas dari kaitannya dengan penggunaan freies ermessen, yaitu badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan merumuskan kebijakaksanaannya dalam berbagai bentuk juridische regel seperti
14
Ronald S.Lumbuun, PERMA RI, Wujud Kerancuan Antara Praktik Pembagian dan Pemisahan kekuasaan, (Jakarta: Rajawali Press, 2011),h. 167-168.
43
halnya peraturan, pedoman, pengumuman, surat edaran, dan pengumuman kebijakan tersebut.15 C. Sumber Kewenangan dan Kekuatan Mengikat Peraturan Kebijakan Indonesia merupakan negara hukum, hal ini tercermin dalam pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Oleh karena itu, negara hukum merupakan negara yang berdasarkan hukum yang menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi warga negaranya. Dalam perspektif negara hukum, semua tindakan pejabat administrasi negara dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan harus memiliki sumbersumber kewenangan yang jelas dalam rangka memenuhi asas legalitas. Selain itu,
semua
tindakan
pejabat
administrasi
negara
juga
harus
dapat
dipertanggungjawabkan serta dapat diterima akal sehat sesuai dengan asas motivasi dalam penetapan keputusan.16 Untuk mengetahui sumber kewenangan pejabat administrasi negara dalam membentuk peraturan kebijakan, dengan sendirinya akan bersinggungan dengan teori tentang pendistribusian kekuasaan negara. Salah satunya adalah teori trias politica yang dikemukakan oleh Montesquieu. Dalam teori ini
15
Philipus M.Hadjon, Pengantar Hukum Adminstrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), h. 152. 16
Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, h. 108.
44
disebutkan bahwa pada dasarnya dalam setiap pemerintahan ada tiga jenis kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ruang lingkup kewenangan badan legislatf adalah sebagai kekuasaan pembentuk
undang-undang
atau
norma-norma
yang
berlaku
umum.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, “legislation (legis latio of Roman law) is the creation of laws (leges)”.17 Sehingga, kewenangan pembentukan peraturan kebijakan oleh pejabat administrasi negara tidak mungkin berasal dari kekuasaan legislatif, sebab tugas badan legislatf bukan untuk membuat suatu garis kebijakan dalam hubungan dengan penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan, tetapi untuk membentuk aturan-aturan yang berlaku umum (general norm) sebagai pedoman bagi organ pemerintah dan pejabatpejabat administrasi negara dalam penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan.18 Adapun ruang lingkup kewenangan kekuasaan yudisial adalah untuk menindak setiap perbuatan yang melanggar undang-undang. Menurut Maria Farida Indrawati Soeprapto, kekuasaan yudisial dalam perspektif teori Montesquieu adalah kekuasaan peradilan dimana kekuasaan ini menjaga agar undang-undang, peraturan-peraturan, atau ketentuan-ketentuan hukum lainnya benar-benar ditaati, yaitu dengan jalan menjatuhkan sanksi pidana terhadap
17
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Penerjemah: Raisul Muttaqien, (Bandung: Nusa Media, 2009), h. 382. 18
Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, h. 110.
45
setiap pelanggaran hukum/undang-undang dan memutuskan dengan adil sengketa-sengketa sipil yang diajukan.19 Kewenangan pembentukan peraturan kebijakan pada dasarnya juga tidak bersumber dari kekuasaan yudisial, sebab tugas utama kekuasaan yudisial bukan membuat kebijakan dalam rangka penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan. Ruang lingkup kekuasaan yudisial umumnya berkaitan dengan penyelesaian kasus-kasus tertentu yang bersifat individual. Adapun yang terakhir adalah kekuasaan eksekutif, dalam teori trias politica fungsi kekuasaan eksekutif adalah menjalankan (perintah) undangundang yang berlaku dalam suatu negara. Dalam perkembangan negara hukum modern (negara hukum kesejahteraan), tugas pemerintah untuk menjalankan perintah undang-undang hanya salah satu aspek dari tugas-tugas pemerintah. Selain menjalankan undang-undang, pemerintah juga menjalankan tugas-tugas lain seperti pengaturan, pembinaan masyarakat, kepolisian, dan peradilan.20 Dalam hal perkembangan kewenangan pemerintah pada bidang pengaturan, Jimly Asshidqie mengemukakan bahwa kewenangan untuk mengatur atau membuat aturan pada dasarnya merupakan domain kewenangan lembaga legislatif yang berdasarkan prinsip kedaulatan merupakan kewenangan eksklusif para wakil rakyat yang berdaulat untuk menentukan suatu peraturan 19
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukannya, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), h. 60. 20
Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, h. 115.
46
yang mengikat dan membatasi kebebasan setiap individu warga negara (presumption of liberty of the souverign people).21 Dalam peraturan
hubungannya
kebijakan
oleh
dengan pejabat
sumber
kewenangan
administrasi
negara,
pembentukan Abdul
Latief
mengemukakan bahwa selain dari peraturan perundang-undangan yang bersumber
pada
legislatif
negara
yang
memang
diperlukan
bagi
penyelenggaraan kebijakan pemerintahan yang terikat (gebonden beleids), dalam bidang penyelenggaraan kebijakan pemerintahan yang tidak terikat (vrijbeleid),
tentunya
akan
dikeluarkan
berbagai
peraturan
kebijakan
(beleidsregels) yang bersumber pada fungsi eksekutif negara yang jumlah dan bentuknya tidak mudah diperkirakan dan tidak mudah diikuti.22 Dalam redaksi yang berbeda, Abdul Hamid S Attamimi juga menyatakan mengenai sumber kewenangan pembentukan peraturan kebijakan yang berasal dari kewenangan mengatur pemerintah. Kewenangan pemerintahan dalam arti sempit atau ketataprajaan (kewenangan eksekutif) mengandung juga kewenangan pembentukan peraturan-peraturan dalam rangka penyelanggaraan fungsinya. Oleh karena itu, kewenangan pembentukan peraturan kebijakan yang bertujuan untuk mengatur lebih lanjut penyelenggaraan pemerintahan,
21
22
Jimly Asshidqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), h. 11.
Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregels) Pada Pemerintahan Daerah, h. 85.
47
senantiasa dapat dilakukan oleh setiap lembaga pemerintahan yang mempunyai kewenangan penyelenggaraan pemerintahan tersebut.23 Pembentukan peraturan kebijakan oleh pejabat administrasi negara memang bukan berdasarkan kewenangan legislatif, namun berdasarkan kewenangan pemerintahan (kewenangan eksekutif). Sehingga peraturan kebijakan tersebut tidak termasuk dalam golongan peraturan perundangundangan dari lembaga legislatif. Adapun mengenai kekuatan mengikat dari suatu peraturan kebijakan, hal ini masih menjadi perbedaan pendapat diantara para pakar hukum. Bagir Manan menyatakan bahwa sebagai peraturan yang bukan peraturan perundangundangan, maka peraturan kebijakan tidak secara langsung mengikat secara hukum tetapi mengandung relevansi hukum. Hal ini karena pembuat peraturan kebijakan tidak mempunyai kewenangan membuat peraturan perundangundangan.24 Walaupun peraturan kebijakan memiliki sifat mengikat secara tidak langsung dalam artian peraturan kebijakan pada dasarnya ditujukan untuk badan atau pejabat administrasi negara. Pada akhirnya peraturan kebijakan juga akan
23
Abdul Hamid S Attamimi, Perbedaan antara Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Kebijakan 1992, h.14.. Lihat juga Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, h. 120. 24
169.
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, h.
48
mengikat kepada warga masyarakat karena warga masyarakat harus melakukan ketentuan-ketentuan dalam peraturan kebijakan tersebut. Menurut Prajudi Atmosudirdjo, peraturan kebijakan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam praktiknya.25 Hal ini dikarenakan peraturan kebijakan mengikat dua pihak, yaitu: 1. Mengikat secara langsung pejabat administrasi negara. Dalam hal ini para pejabat administrasi negara diikat secara langsung berdasarkan prinsip hierarki jabatan, dimana pejabat bawahan harus menaati perintah dan instruksi dari atasan. 2. Mengikat secara tidak langsung anggota masyarakat. Walaupun peraturan kebijakan tidak mengikat warga masyarakat secara langsung, akan tetapi peraturan kebijakan mempunyai kekuatan mengikat secara hukum. Dengan demikian, walaupun peraturan kebijakan tidak mengikat secara langsung namun tetap mempunyai relevansi hukum dan juga mempunyai akibat-akibat
hukum.
Pejabat
administrasi
negara
berwenang
untuk
menerapkan konsekuensi terhadap segala perbuatan warga masyarakat yang tidak mematuhi suatu peraturan kebijakan.
25
100.
Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), h.
BAB IV KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG DALAM PENGUJIAN PERATURAN KEBIJAKAN A. Kedudukan Peraturan Kebijakan Dalam Sistim Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Indonesia Suatu sistim adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, dan hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan.1 Didalam suatu sistim yang baik, tidak boleh terjadi suatu duplikasi atau tumpang tindih diantara bagian-bagian sistim itu. Suatu sistim selalu terdiri atas sejumlah unsur atau komponen yang saling berkaitan dan pengaruhmempengaruhi, serta terikat oleh satu atau beberapa asas tertentu.2 Demikian pula dalam suatu sistim hukum, terdapat unsur atau komponen yang saling berkaitan dan pengaruh-mempengaruhi, serta terikat oleh satu atau beberapa asas tertentu. Terkait dengan sistim hukum tersebut, maka di Indonesia sejak lahirnya proklamasi kemerdekan republik Indonesia terbentuklah pula sistim norma hukum negara Republik Indonesia. Dalam kaitannya dengan sistim norma hukum dalam Negara Republik Indonesia ini, Hans Kelsen mengemukakan teori mengenai jenjang norma 1
R. Subekti, Beberapa Pemikiran Mengenai Sistim Hukum Nasional Yang Akan Datang, Makalah Seminar Hukum Nasional IV. 2
Ronald S.Lumbuun, PERMA RI, Wujud Kerancuan Antara Praktik Pembagian Dan Pemisahan Kekuasaan, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011), h. 125.
49
50
hukum (stufentheory), Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma dasar (grundnorm).3 Hans Nawiasky, salah satu murid Hans Kelsen, mengembangkan teori gurunya tentang teori jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Hans Nawiasky dalam bukunya “Allgemeine Rechtslehre”4 mengemukakan bahwa sesuai dengan teori Hans Kelsen, suatu norma hukum negara selalu berlapis-lapis dan berjenjang yakni norma yang di bawah berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma yang lebih tinggi dan begitu seterusnya sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar. Dari teori tersebut, Hans Nawiasky menambahkan bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang, norma hukum juga berkelompok-kelompok. Hans Nawiasky mengelompokkan menjadi 4 kelompok besar yakni : 1. Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara); 2. Staatsgrundgezets (aturan dasar negara); 3. Formell Gezetz (undang-undang formal);
3
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Penerjemah: Raisul Muttaqien, (Bandung: Nusa Media, 2009), h. 180. 4
Teori jenjang norma (stufentheorie) dari Hans Kelsen merupakan genus dari teori jenjang norma hukum (die theorie vom stufennordnung der rechtsnormen) dari Hans Nawiasky yang merupakan species-nya. Lihat Ronald S.Lumbuun, PERMA RI, Wujud Kerancuan Antara Praktik Pembagian Dan Pemisahan Kekuasaan, h. 127.
51
4. Verordnung dan Autonome Satzung (aturan pelaksana dan aturan otonom).5 Berdasarkan teori jenjang norma hukum dari Hans Nawiasky tersebut, maka dapat dikelompokkan norma hukum di Indonesia ini terdiri dari Pancasila sebagai statsfundamentalnorm, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia sebagai staatsgrundgezets, undang-undang sebagai formell gezetz, serta peraturan pelaksana dan peraturan-peraturan daerah sebagai verordnung atau autonome satzung. Ajaran tentang tata urutan peraturan perundang-undangan menurut Bagir Manan mengandung beberapa prinsip, yakni: 1. Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus bersumber atau memiliki dasar hukum dari suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi; 2. Isi atau materi muatan peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah tidak boleh menyimpangi atau bertentangan dengan peraturan perundangundangan tingkat lebih tinggi, kecuali apabila peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dibuat tanpa wewenang (onbevoegd) atau melampaui wewenang (deternement de pouvouir); 3. Harus diadakan mekanisme yang menjaga dan menjamin agar prinsip tersebut tidak disimpangi atau dilanggar.6
5
Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan, Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), h. 44. 6
h. 207.
Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Ind-Hill.Co, 1992),
52
Sejak
lahirnya
Negara
Republik
Indonesia
dengan
proklamasi
kemerdekaannya, sampai berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat, Undang-Undang Dasar Sementara 1950, Undang-Undang Dasar 1945 serta perubahan Undang-Undang Dasar
yang telah mengalami empat kali
amandemen, masalah tentang hierarki peraturan perundang-undangan tidak pernah diatur secara tegas dan selalu berganti-ganti, baik dalam ketetapan MPR maupun dalam undang-undang. Tabel 4.1 TAP MPR No. XX/MPRS/1966 1. UUD RI 1945 2. TAP MPR 3. UU / Perpu 4. Peraturan Pemerintah 5. Keputusan Presiden 6. Peraturanperaturan pelaksanaan lainnya,seperti: - Peraturan Menteri - Instruksi Menteri - Dan lainnya
TAP MPR No. III/MPR/2000 1. UUD RI 1945 2. TAP MPR RI 3. UU 4. Perpu 5. Peraturan Pemerintah 6. Keputusan Presiden 7. Peraturan Daerah
1. 2. 3. 4. 5.
UU Nomor 10 Tahun 2004 UUD NRI 1945 UU / Perpu Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden Peraturan Daerah a. Perda Provinsi dibuat DPRD Provinsi dengan Gubernur b. Perda kab/kota dibuat oleh DPRD kab/kota bersama Bupati/Waliko ta c. Peraturan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
UU Nomor 12 Tahun 2011 UUD NRI 1945 TAP MPR UU / Perpu Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden Perda Provinsi Perda Kab/Kota
53
Desa/ Peraturan yang setingkat dibuat oleh BPD atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya Masalah hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia diatur terakhir kalinya dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.7 Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 ini dikarenakan dalam undang-undang tersebut masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sehingga perlu diganti. 7
Materi baru yang tercantum dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ini antara lain: a. Penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan b. Perluasan cakupan perencanaan Peraturan Perundang-Undangan yang tidak hanya untukprolegnas,prolegda melainkan juga perencanaan Peraturan Pemerintah,Peraturan Presiden, dan Peraturan Perundang-undangan lainnya c. Pengaturan mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang d. Pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota e. Pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang-Undangan,Peneliti, dan tenaga ahli dalam tahapan pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. f. Penerjemahan Peraturan Perundang-Undangan kedalam bahasa asing. Lihat Naskah Akademik Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
54
Berdasarkan
Undang-Undang
Nomor
12
Tahun
2011
Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam pasal 7 disebutkan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri dari tujuh jenjang hierarki sebagaimana terdapat dalam tabel 4.1. Selain itu, dalam pasal 8 ayat (1) juga disebutkan bahwa peraturan perundang-undangan juga mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-undang, termasuk juga DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota serta Gubernur dan Bupati/Walikota. Berdasarkan ketentuan pasal 7 dan pasal 8 dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan diatas, apakah negara Indonesia hanya mengenal semata-mata peraturanperaturan yang telah disebutkan dalam pasal 7 dan pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan saja?. Pada dasarnya norma hukum (rechtsnorm) itu ada dalam bentuk peraturan-peraturan
(regels) dan ada pula dalam bentuk ketentuan lainnya
55
(andere bepalingen).8 Disamping adanya peraturan (hierarki dan non hierarki berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) terdapat pula berbagai bentuk ketentuan yang sebenarnya bukan merupakan peraturan, namun dianggap sebagai peraturan sehingga disebut dengan istilah legislasi semu.9 Berkaitan dengan legislasi semu tersebut, Jimly Asshidqie berpendapat bahwa sebagai aparat pelaksana, pada pokoknya, para pejabat pemerintah hanya berfungsi sebagai pelaksana peraturan perundang-undangan produk dari Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif). Memang benar bahwa setiap pemerintah perlu diberikan hak untuk mengatur (pouvoir reglementair), yaitu melalui apa yang disebut dengan “beleidsregels” atau “policy rules” selain bentuk undangundang yang dihasilkan oleh parlemen. Namun, policy rules itu hendaknya tetap dibuat atas dasar perintah ataupun kuasa undang-undang. Karena itu, perlu dibedakan antara materi-materi “policy rules” dengan materi-materi yang seharusnya dibentuk dalam undang-undang, tetapi karena keadaan tidak
8
Menurut Waaldijk, peraturan-peraturan (regelingen) itu terdiri atas peraturan (regels) dan peraturan lainnya (andere bepalingen). Yang dimaksud dengan peraturan adalah ketentuan yang dengan sendirinya memiliki suatu makna normatif; ketentuan yang menyatakan bahwa sesuatu harus dan tidak harus dilakukan, atau boleh dan tidak boleh dilakukan. Sedangkan berbagai bentuk ketentuan lain adalah karena berhubungan dengan peraturan, memiliki suatu makna normatif (andere soorten bepalingen, die slechts in samenhang met regels een normatieve betekenis hebben). Lihat Zafrullah Salim, Legislasi Semu (Pseudowetgeving), artikel diakses pada 14 Januari 2014 dari http://ditjenpp.kemenkumham.go.id. 9
Zafrullah Salim, Legislasi Semu (Pseudowetgeving), artikel diakses pada 14 Januari 2014 dari http://ditjenpp.kemenkumham.go.id.
56
memungkinkan terpaksa dibuat dalam bentuk peraturan di bawah tingkat undang-undang.10 Ilmu hukum tata negara mengenal adanya prinsip freies ermessen atau kebebasan bagi pemerintah untuk memiliki ruang gerak yang leluasa dalam usahanya mencapai tujuan pemerintahan. Atas jalan pikiran ini, wewenang Pemerintah untuk menetapkan policy rules (beleidsregels) dibuat leluasa untuk mengatur segala sesuatu yang belum ditentukan dalam undang-undang. Karena itu, Jimly Asshidqie juga mengusulkan kiranya prinsip freies ermersen itu di masa depan hendaklah dibatasi, baik dalam materinya maupun dalam prosedurnya. Hal-hal yang perlu dibatasi itu diantaranya: 1. Materi yang dapat diatur melalui policy rules yang didasarkan atas prinsip freies Ermessen itu hendaknya dibedakan antara materi yang seharusnya dimuat dalam bentuk undang-undang, dan materi yang seharusnya dimuat dalam bentuk peraturan di bawah undang-undang. 2. Nomenklatur yang dipakai untuk bentuk peraturan yang memuat materi yang seharusnya dimuat dalam undang-undang itu adalah Peraturan Pemerintah atau yang dalam ketentuan UUD 1945 yang lama disebut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. 3. Prosedur penetapannya dilakukan oleh Presiden dan segera setelah itu dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Masa berlakunya 10
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, (Yogyakarta, FH-UII Press, 2005), h. 191.
57
Peraturan Pemerintah tersebut paling lama adalah 1 tahun. Apabila dalam masa itu, tidak diperoleh persetujuan DPR, maka peraturan tersebut tidak berlaku lagi karena hukum, meskipun tidak dicabut secara resmi oleh Presiden. 4. Selain bentuk peraturan pemerintah (sebagai pengganti undang-undang) tersebut diatas, semua bentuk peraturan yang lain haruslah dibuat atas dasar perintah undang-undang atau dalam rangka melaksanakan undang-undang. Para pejabat yang diberi hak untuk mengeluarkan produk peraturan dimaksud harus dibatasi hanya pejabat yang menduduki jabatan-jabatan yang bersifat politik, yaitu Presiden, Menteri atau Pejabat setingkat Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, dan Kepala Desa. Agar konsisten, nomenklatur untuk semua bentuk peraturan itu sebaiknya menggunakan sebutan “peraturan”, misalnya Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur Bank Indonesia dan sebagainya. Dengan demikian pejabat administratif seperti Sekretaris Jenderal dan Direktur Jenderal tdak lagi diperkenankan mengeluarkan peraturan untuk kepentingan publik atas nama jabatannya sendiri. Semua bentuk dokumen pengaturan kepentingan publik harus dituangkan dalam bentuk peraturan yang dikeluarkan oleh pejabat publik, dalam hal ini yaitu pejabat yang menduduki jabatan yang bersifat politis (political appointment).11 11
Zafrullah Salim, Legislasi Semu (Pseudowetgeving), artikel diakses pada 14 Januari 2014 dari http://ditjenpp.kemenkumham.go.id.
58
Selain itu, Bagir Manan juga mengemukakan bahwa bentuk peraturan kebijakan memang memiliki persamaan dengan peraturan perundangundangan,12 namun secara tegas beliau nyatakan bahwa peraturan kebijakan bukan merupakan peraturan perundang-undangan. Salah satu aspek yang membedakan
adalah
pembentuk
peraturan
kebijakan
tidak
memiliki
kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, peraturan kebijakan (beleidsregel) bukan merupakan peraturan perundang-undangan. Hal ini dikarenakan pejabat atau badan yang mengeluarkan peraturan kebijakan adalah in casu tidak memiliki kewenangan pembuatan peraturan (wetgevende bevoegdheid). Selain itu peraturan kebijakan juga tidak mengikat hukum secara langsung, tetapi hanya mempunyai relevansi hukum. Peraturan kebijakan dimaksudkan hanya untuk memberi peluang bagaimana pejabat atau suatu badan tata usaha negara menjalankan kewenangan pemerintahan
(beschikkingsbevoegdheid)
yang
harus
dikaitkan
dengan
kewenangan pemerintahan atas dasar penggunaan diskresi (discretionaire). B. Akibat Hukum Uji Materiil Surat Edaran Nomor 03.E/31/DJB/2009 Istilah
pengujian
peraturan
perundang-undangan
dapat
dibagi
berdasarkan subjek yang melakukan pengujian,obyek peraturan yang diuji, dan waktu pengujian. Dilihat dari segi subyek yang melakukan pengujian, pengujian dapat dilakukan oleh hakim (toetsingsrecht van de rechter atau judicial review),
12
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Penerbit Alumni, 1997), h. 169.
59
pengujian oleh lembaga legislatf (legislative review)13, maupun pengujian oleh lembaga eksekutif (executive review). Dalam praktek,dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji atau yang biasa disebut sebagai norm control mechanism. Ketiganya samasama merupakan bentuk norma hukum sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan hukum yang dapat diuji kebenarannya melalui mekanisme pengadilan, yaitu: 1. Keputusan normatif yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling); 2. Keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan administratif (beschikking); 3. Keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) yang biasa disebut vonis.14 Dilihat dari objek pengujiannya, Mahkamah Agung mempunyai kewenangan dalam menguji peraturan dibawah undang-undang terhadap undang-undang. Pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undangundang merupakan bentuk pengujian yang objeknya adalah seluruh peraturan yang bersifat mengatur, abstrak, dan mengikat secara umum yang derajatnya dibawah undang-undang. Bentuk dan tata urutannya sesuai dengan yang 13
Istilah legislative review dipersamakan dengan political review. Lihat dalam H.A.S. Natabaya, Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006), h. 187. 14
2006),h.1.
Jimly Asshidqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press,
60
ditentukan dalam Undang-Undang nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Objek yang diuji oleh Mahkamah agung adalah segala peraturan dibawah undang-undang dan yang dijadikan tolok ukur pengujiannya adalah undang-undang. Maka oleh Jimly Asshidqie disebut „legal review‟ atau „judicial review on the legality of regulation‟.15 Diaturnya masalah pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang oleh Mahkamah Agung dimaksudkan sebagai sarana kontrol normatif terhadap setiap tindakan atau produk hukum yang berbentuk peraturan dari pihak eksekutif, yang dalam hal ini adalah presiden dan lembaga pemerintahan lainnya. Adanya peraturan kebijakan di Indonesia dapat dilihat pada berbagai keputusan, surat edaran, surat edaran bersama, dan lain-lain, yang dibuat oleh badan atau pejabat tata usaha negara. Hanya saja produk peraturan kebijakan yang demikian masih belum bisa diterapkan seperti peraturan perundangundangan, mengingat ketiadaan wewenang pembuatan dari badan atau pejabat tata usaha negara yang membuat peraturan kebijakan itu Dalam hal kewenangan Mahkamah Agung dalam pengujian terhadap peraturan kebijakan. Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
15
Jimly Asshidqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta: Konstitusi Press,2005),h.8.
61
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka ruang lingkup kewenangan Mahkamah Agung memeriksa dan memutus hak uji materiil hanya terbatas pada pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undangundang. Secara yuridis normatif, peraturan kebijakan bukanlah termasuk suatu peraturan perundang-undangan. Demikian pula arus besar pemikiran hukum saat ini juga tidak mengkategorikan peraturan kebijakan sebagai peraturan perundang-undangan, sehingga peraturan kebijakan bukan termasuk dalam ruang lingkup kewenangan hak uji materiil oleh Mahkamah Agung.16 Penyelesaian sengketa atas terbitnya peraturan kebijakan masih menjadi sebuah permasalahan karena tidak ada lembaga yang berhak untuk menguji peraturan kebijakan. Dalam kerangka negara hukum yang mengedepankan adanya kepastian hukum tentunya tidak bijak jika membiarkan suatu sengketa atas peraturan kebijakan berada di wilayah yang tidak jelas (grey area). Untuk mengantisipasi terjadinya kasus seperti ini, maka Mahkamah Agung dapat mengedepankan suatu asas hukum acara yang berlaku universal yaitu asas ius curia novit.17 Dalam keadaan demikian itu hakim dapat menetapkan asas
16
Maftuh Efendi, Kewenangan Uji Materiil Peraturan Perundang-Undangan : Kajian Tentang Putusan Mahkamah Agung RI Tahun 2005-2011, Kesimpulan presentasi Seminar Focus Group Discussion hasil penelitian Puslitbang Litbangdiklatkumdil Mahkamah Agung yang dikoordinatori Maftuh Effendi, SH., MH., pada Selasa tanggal 17 September 2013. 17
Asas ius curia novit adalah suatu asas yang menyatakan bahwa hakim selalu difiksikan mengetahui akan semua hukum dari setiap kasus yang diadilinya. Dalam pengertian lain, asas ius curia novit merupakan asas yang asas yang mewajibkan bagi seorang hakim untuk mengadili dan memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya. Asas ini berasal dari zaman legitis,dimana menurut kaum legitis hukum itu identik dengan undang-undang,dan undang-undang mampu mengatur
62
tersebut untuk mengadili perkara yang masuk dalam lingkup peraturan kebijakan. Dalam kasus-kasus tertentu,18 bisa terjadi benturan antara asas nemo judex in rex sua19 dan asas ius curia novit, hakim karena jabatannya dapat mengesampingkan asas nemo judex in rex sua dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Secara yuridis tidak ada lembaga lain yang mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa tersebut dan apabila sengketa itu dibiarkan dapat mengganggu tertib hukum dalam masyarakat; 2. Hakim harus seselektif mungkin dan penuh kehati-hatian, artinya tidak begitu mudah untuk mengesampingkan asas tersebut; dan 3. Berpedoman pada ide dasar hukum yang tertinggi yaitu keadilan.20
keseluruhan aturan hukum. Lihat asas-asas hukum pembuktian, artikel diakses pada 14 januari 2014 dari http://pa.purwokerto.go.id. 18
Salah satu kasus yang cukup menyita perhatian adalah permohonan uji materiil Surat Keputusan Bersama tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) di Mahkamah Agung. Dalam perkara pengujian peraturan kebijakan tersebut, Mahkamah Agung bertindak sebagai tergugat bersama dengan Komisi Yudisial. Sehingga dikhawatirkan terjadi konflik kepentingan (conflict of interest) dari Mahkamah Agung selaku lembaga yang mengadili perkara tersebut. Lihat putusan Mahkamah Agung Nomor 36 P/HUM/2011. 19
Asas nemo judex in rex sua merupakan salah satu asas hukum acara yang digunakan dalam setiap proses peradilan di Indonesia karena asas ini merupakan perwujudan dari imparsialitas (ketidak-berpihakan/impartiality) hakim sebagai pemberi keadilan. Imparsialitas hakim harus terlihat pada gagasan bahwa para hakim akan mendasarkan putusannya pada hukum dan fakta-fakta di persidangan, bukan atas dasar keterkaitan dengan salah satu pihak yang berperkara, bukan pula menjadi pemutus perkaranya sendiri. Lihat Yanis Maladi, Benturan asas Nemo Judex Idoneus In Propria Causa dan Asas Ius Curia Novit, Jurnal Konstitusi Volume 7 Nomor 2, April 2010. 20
Maftuh Efendi, Kewenangan Uji Materiil Peraturan Perundang-Undangan : Kajian Tentang Putusan Mahkamah Agung RI Tahun 2005-2011, Kesimpulan presentasi Seminar Focus Group Discussion hasil penelitian Puslitbang Litbangdiklatkumdil Mahkamah Agung yang dikoordinatori Maftuh Effendi, SH., MH., pada Selasa tanggal 17 September 2013.
63
Adapun
akibat
hukum
dari
putusan
Mahkamah
Agung
yang
mengabulkan permohonan hak uji materiil, terdapat beberapa konsekuensi yang harus diterima oleh para pihak. Secara umum akibat hukum dari uji materiil pada tingkat Mahkamah Agung adalah sebagai berikut: 1. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan keberatan itu beralasan, yaitu karena suatu peraturan tersebut bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka permohonan hak uji materiil tersebut dapat dikabulkan dengan menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dimohonkan uji materiil tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat untuk umum, serta
memerintahkan
kepada
instansi
yang
bersangkutan
segera
mencabutnya; 2. Pemberitahuan isi putusan beserta salinan Putusan Mahkamah Agung dikirimkan dengan surat tercatat kepada para pihak, atau dalam hal permohonan diajukan melalui PN/PTUN, maka penyerahan/pengiriman salinan putusan melalui PN/PTUN yang bersangkutan; 3. Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah Putusan diucapkan Panitera Mahkamah Agung mencantumkan petikan Putusan dalam Berita Negara dan dipublikasikan atas biaya Negara; 4. Dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari setelah Putusan Mahkamah Agung
dikirim
kepada
Badan/Pejabat
Tata
Usaha
Negara
yang
mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut ternyata tidak
64
dilaksanakan, maka peraturan perundang-undangan yang bersangkutan demi hukum tidak mempunyai kekuatan hukum lagi; 5. Terhadap Putusan uji materiil, tidak dapat diajukan Peninjauan Kembali.21 Dengan memperhatikan akibat hukum dari uji materiil pada tingkat Mahkamah Agung diatas. Maka berdasarkan amar putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2009, Surat Edaran Direktur Jenderal Mineral, Baturaba, dan Panas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral RI Nomor 03.E/31/DJB/2009 sudah dinyatakan tidak sah dan sudah tidak berlaku lagi sehingga harus dicabut dan dibatalkan oleh instansi terkait yang telah menerbitkan surat edaran tersebut. Apabila tidak dicabut dan dibatalkan oleh instansi yang mengeluarkannya, maka secara otomatis Surat Edaran Nomor 03.E/31/DJB/2009 tidak mempunyai kekuatan hukum lagi setelah jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari putusan tersebut dikirimkan kepada Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan surat edaran tersebut. Putusan uji materiil terhadap Surat Edaran Nomor 03.E/31/DJB/2009 tersebut juga harus ditaati oleh para pihak, dikarenakan terhadap putusan uji materiil yang diadili oleh Mahkamah Agung tidak dapat lagi dilakukan upaya hukum peninjauan kembali karena putusan tersebut adalah putusan yang final dan mengikat serta telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
21
Ujang Abdullah, Hak Uji Materiil Dibawah Undang-Undang, Makalah disampaikan pada Diklat Calon Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara angkatan XIX. Hotel Purnama, Batu-Malang. 27 Nopember 2006.
65
Dengan demikian, isi dari surat edaran yang memerintahkan untuk menghentikan sementara penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) baru sampai dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara secara yuridis tidak berlaku lagi. Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara tetap dapat memberikan IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan di wilayah Kabupaten/Kota dan/atau wialayah laut sampai dengan 4 (empat) mil. C. Analisis Putusan Mahkamah Agung Perkara permohonan uji materiil peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang masuk ke Mahkamah Agung sangatlah banyak, dan sebagiannya merupakan pengujian yang terkait dengan peraturan kebijakan. Salah satunya adalah
permohonan keberatan hak uji materiil pada tingkat
pertama dan terakhir terhadap Surat Edaran Direktur Jenderal Mineral Batubara dan Panas Bumi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 03.E/31/DJB/2009 tanggal 30 Januari 2009, tentang Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara Sebelum Terbitnya Peraturan Pemerintah Sebagai Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Adapun isi dari permohonan keberatan hak uji materiil tersebut adalah sebagai berikut:
66
a. Para pihak dalam perkara Pihak-pihak dalam permohonan hak uji materiil ini adalah sebagai berikut: 1. Pemohon adalah Ir. H. Isran Noor, M.Si., (Bupati Kutai Timur), bertindak untuk dan atas nama Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur, berkedudukan di Komplek Pemerintahan Bukit Pelangi, Sengata, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur. 2. Termohon adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, yang berkedudukan di Jakarta. b. Alasan-alasan permohonan hak uji materiil Adapun yang menjadi alasan-alasan pengajuan permohonan hak uji materiil, secara garis besar adalah sebagai berikut: 1. Materi muatan bagian peraturan perundang-undangan di bawah undangundang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; 2. Bentuk dan pembentukan surat edaran tidak memenuhi ketentuan yang berlaku, Bentuk surat edaran tidak dikenal dalam sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu undang-Undang Nomor 10
67
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, karenanya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.22 Dengan alasan-alasan yang disebutkan, maka Pemohon keberatan hak uji materiil mengajukan permohonannya beserta bukti-bukti kepada Mahkamah Agung untuk diperiksa dan diputuskan pada tingkat kasasi. c. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Adapun pada permohonan hak uji materiil ini, berdasarkan alasanalasan yang diajukan Pemohon keberatan tersebut, Mahkamah Agung berpendapat terhadap alasan-alasan pemohon dengan pertimbangan sebagai berikut: 1. Bahwa
sebelum
Mahkamah
Agung
mempertimbangkan
tentang
substansi permohonan keberatan yang diajukan, maka dipertimbangkan dulu
apakah permohonannya memenuhi persyaratan formal, yaitu
adanya kepentingan dan kedudukan hukum (legal standing) pada Pemohon,serta apakah permohonan keberatan Hak Uji Materiil yang diajukan masih dalam tenggang waktu yang ditentukan. Dalam hal ini, terbukti Pemohon mempunyai kepentingan terhadap obyek permohonan keberatan Hak Uji Materiil, oleh karena itu secara yuridis Pemohon mempunyai kualitas atau standing untuk mengajukan keberatan Hak Uji Materiil, dan permohonan diajukan masih dalam tenggang waktu yang ditentukan; 22
Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2009.
68
2. Bahwa obyek keberatan Hak Uji Materiil berupa Surat Edaran Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral RI Nomor: 03.E/31/DJB/2009 walaupun tidak termasuk urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, akan tetapi berdasarkan penjelasan Pasal 7 tersebut dapat digolongkan sebagai bentuk perundangundangan yang sah, sehingga tunduk pada ketentuan tata urutan dimana peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (asas lex perriori derogat lex superriori); 3. Bahwa faktanya pada huruf A angka 2 surat edaran berisi larangan penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang baru sampai terbitnya Peraturan Pemerintah yang baru sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009; 4. Bahwa jelas muatan surat edaran bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 karena kewenangan Bupati untuk memberikan Izin Usaha Pertambangan/Kuasa Pertambangan, apabila dilarang/dicabut seharusnya dengan/dalam bentuk Peraturan Pemerintah juga bukan dengan Surat Edaran sebagaimana obyek keberatan hak uji materiil;
69
5. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut terbukti bahwa Surat Edaran Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral RI Nomor: 03.E/31/DJB/2009 tanggal 30 Januari 2009, tentang Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara Sebelum Terbitnya Peraturan Pemerintah Sebagai Pelaksanaan UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 yang menjadi obyek keberatan hak uji materiil, bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi in casu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, sehingga harus dibatalkan, dan oleh karenanya permohonan keberatan hak uji materiil dari pemohon haruslah dikabulkan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka menurut Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon keberatan atas nama Ir. H. Isran Noor, M.Si. dan membatalkan Surat Edaran Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral RI Nomor: 03.E/31/DJB/2009 tanggal 30 Januari 2009, tentang Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara Sebelum Terbitnya Peraturan Pemerintah Sebagai Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. d. Amar Putusan Majelis Hakim Setelah majelis hakim menemukan fakta-fakta dan alasan-alasan pengajuan permohonan hak uji materiil yang diajukan oleh Pemohon
70
keberatan, maka majelis hakim mengadili permohonan hak uji materiil tersebut dengan amar putusan sebagai berikut: 1. Mengabulkan permohonan keberatan Hak Uji Materiil dari Pemohon : Ir. H. Irsan Noor, M.Si, (Bupati Kutai Timur) tersebut; 2. Menyatakan Surat Edaran Direktur Jenderal Mineral, Batubara, dan Panas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral RI Nomor 03.E/31/DJB/2009
tanggal
30
Januari
2009
tentang
Perizinan
Pertambangan dan Batubara Sebelum Terbitnya Peraturan Pemerintah Sebagai
Pelaksanaan
Undang-Undang
Nomor
4
Tahun
2009
bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dan lebih tinggi yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, dan karenanya tidak sah dan tidak berlaku umum; 3. Memerintahkan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI untuk membatalkan dan mencabut Surat Edaran Direktur Jenderal Mineral, Baturaba, dan Panas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral RI Nomor 03.E/31/DJB/2009 tanggal 30 Januari 2009 tentang Perizinan Pertambangan dan Batubara Sebelum Terbitnya Peraturan Pemerintah Sebagai Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009; 4. Memerintahkan Panitera Mahkamah Agung RI mencantumkan petikan putusan ini dalam Berita Negara dan dipublikasikan atas biaya Negara;
71
5. Menetapkan biaya perkara dibebankan kepada Termohon yang besarnya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).23 Demikianlah putusan hak uji materiil yang diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari rabu tanggal 9 Desember 2009 dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari rabu tanggal 9 Desember 2009 oleh ketua Majelis beserta hakim-hakim anggota dan dibantu oleh panitera pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak. Menurut Abdul Latief, kebutuhan untuk melakukan uji materiil peraturan kebijakan didasarkan pada dua alasan, yaitu: 1. Masyarakat mengharapkan adanya jaminan perlindungan hukum dari tindakan badan atau pejabat pemerintah. Sebaliknya bagi badan atau pejabat pemerintah uji materiil tersebut menjadi batasan atau dasar untuk bertindak secara bebas dalam membentuk peraturan kebijakan. 2. Alasan teoretis yang didorong oleh perkembangan hukum administrasi, khususnya konsep besluit (keputusan) yang mendapat pengertian baru dan luas
serta
merupakan
instrumen
utama
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan suatu negara hukum.24 Disisi lain, Bagir Manan berpendapat bahwa suatu peraturan kebijakan tidak dapat diuji secara hukum (wetmatigheid) karena peraturan kebijakan tidak
23
24
Amar putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2009.
Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada Pemerintahan Daerah, (Yogyakarta: UII Press, 2005), h. 239.
72
didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Selain itu peraturan kebijakan itu sendiri bukanlah peraturan perundang-undangan.25 Begitu juga dengan Philipus M. Hadjon yang berpendapat bahwa pengujian langsung terhadap peraturan kebijakan tidaklah perlu dilakukan.26 Terkait dengan pokok perkara yang diuji dalam putusan Mahkamah Agung, menurut penulis ada beberapa hal yang perlu dikaji lebih dalam untuk memperjelas dan sebagai bahan pembelajaran untuk kasus-kasus lain yang serupa dimasa yang akan datang. Dalam perkara permohonan keberatan hak uji materiil tersebut, salah satu hal yang menjadi sorotan adalah dalil pemohon yang mengandung kontradiksi. Disatu sisi pemohon mendalilkan Surat Edaran No.03/31/DJB/2009 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, namun disisi lain pemohon juga mendalilkan Surat Edaran No. 03/31/DJB/2009 tidak dikenal dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia dengan mengacu pada pasal 7 ayat (1) dan ayat (4) undang-undang Nomor 10 Tahun 2004.27 Dengan demikian, dengan adanya kontaradiksi dalam permohonannya. pemohon seharusnya tidak perlu mendalilkan Surat Edaran No.03/31/DJB/2009 25
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Penerbit Alumni, 1997), h. 170-171. 26
Philipus M. Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), h.153. 27
Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2009, h. 4.
73
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, karena kedudukan Surat Edaran No.03/31/DJB/2009 yang dianggap tidak diakui keberadaannya. Selanjutnya, dalam pertimbangan hukum majelis hakim dalam putusan Mahkamah Agung nomor 23 P/HUM/2009 tersebut. Majelis menganggap Surat Edaran No.03/31/DJB/2009 merupakan peraturan perundang-undangan yang sah sehingga perlu diuji terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Adapun yang menjadi pertimbangan majelis hakim dalam menyatakan Surat Edaran No.03/31/DJB/2009 merupakan peraturan perundang-undangan adalah penjelasan pasal 7 undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pada dasarnya penjelasan pasal 7 tersebut tidak memberikan alasan yang membenarkan bahwa surat edaran dapat dianggap sebagai peraturan perundang-undangan yang sah. Penjelasan Pasal 7 ayat (4)28 UU No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundangundangan hanya mengatur bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan lain yang diakui namun tidak secara eksplisit menunjukkan bahwa surat edaran yang dikeluarkan Dirjen dapat dikatakan sebagai peraturan perundang-undangan. 28
Selengkapnya Penjelasan Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 menyatakan sebagai berikut: Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undangundang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
74
Penjelasan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tersebut serupa dengan isi Pasal 8 ayat (1) pada Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jika mengacu pada unsur-unsur peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, surat edaran bukanlah termasuk kategori peraturan perundang-undangan. Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 dalam mendefinisikan peraturan perundang-undangan dapat dikategorikan dengan unsur-unsur, yaitu: peraturan tertulis, dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang, dan mengikat secara umum. Surat edaran sendiri jika dilihat dari format penulisannya, haruslah dianggap sebagai surat dan bukan peraturan. Mengacu pada Penjelasan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, Dirjen dalam suatu departemen/kementerian tidak memiliki kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan. Surat edaran pada hakikatnya juga bukan ditujukan mengikat secara umum walaupun pada praktiknya seringkali dipaksakan untuk mengikat masyarakat umum di luar instansi yang mengeluarkannya.29
29
Victor Immanuel W. Nalle, Kewenangan Yudikatif dalam Pengujian Peraturan Kebijakan, Jurnal Yudisial, Vol. 6 Nomor 1, April 2013, h. 43.
75
Putusan Mahkamah Agung ini menunjukkan tidak konsistennya Mahkamah Agung dalam menguji peraturan kebijakan berdasarkan undangundang yang mengatur tata peraturan perundang-undangan dan hak uji materiil. Mahkamah Agung menginterpretasikan kewenangannya dalam menguji peraturan kebijakan hanya dengan mengacu pada substansi peraturan kebijakan tersebut. Jika substansinya bersifat mengatur sebagaimana peraturan perundangundangan, maka Mahkamah Agung berhak untuk mengujinya. Padahal kewenangan uji material Mahkamah Agung terhadap peraturan perundangundangan dibawah undang-undang bukan hanya mengacu pada substansi tetapi juga pada bentuk peraturan tersebut. Acuan utama suatu peraturan disebut peraturan perundang-undangan adalah dengan melihat bentuknya atau unsur pengenalnya sebagai peraturan perundang-undangan.30 Penyelesaian sengketa uji materiil peraturan kebijakan memang masih menjadi hal yang problematic, namun dengan mengacu pada asas hukum acara yang berlaku universal yaitu asas ius curia novit. Hakim dengan menggunakan asas tersebut tetap dapat dan bisa mengadili serta memutuskan perkara hak uji materiil yang masuk dalam lingkup peraturan kebijakan. Hal ini untuk menegakkan asas kepastian hukum dan sebagai kontrol normatif terhadap setiap tindakan atau produk hukum yang berbentuk peraturan kebijakan dari pihak 30
Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto, agar memenuhi fungsinya sebagai sumber pengenal peraturan perundang-undangan suatu peraturan harus memiliki 4 (empat) bagian esensial yaitu Penamaan, Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penutup. Lihat Maria Farida Indrati Suprapto, Ilmu Perundang-Undangan, Proses dan Teknik Pembentukannya, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), h. 103.
76
eksekutif, sehingga tidak membiarkan sengketa atas peraturan kebijakan berada di wilayah yang tidak jelas (grey area). Selain itu, merujuk pada pendapat Jimly Asshidqie agar untuk kedepannya bisa konsisten, nomenklatur untuk semua bentuk peraturan itu sebaiknya menggunakan sebutan “peraturan”, misalnya Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur Bank Indonesia dan sebagainya. Dengan demikian pejabat administratif seperti Sekretaris Jenderal dan Direktur Jenderal tdak lagi diperkenankan mengeluarkan peraturan untuk kepentingan publik atas nama jabatannya sendiri. Semua bentuk dokumen pengaturan kepentingan publik harus dituangkan dalam bentuk peraturan yang dikeluarkan oleh pejabat publik, dalam hal ini yaitu pejabat yang menduduki jabatan yang bersifat politis (political appointment).31 Dengan demikian, karena Surat Edaran Direktur Jenderal Mineral Batubara dan Panas Bumi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 03.E/31/DJB/2009 merupakan peraturan kebijakan (beleidsregel) dan bukan merupakan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka asas-asas pembatasan dan pengujiannya lebih
31
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, (Yogyakarta, FH-UII Press, 2005), h. 191.
77
diarahkan pada doelmatigheid dan batu ujinya adalah asas-asas umum penyelenggaraan pemerintah yang layak.32 Kemudian untuk menghindari adanya peraturan kebijakan (beleidsregel) yang kewenangan dan peraturannya melampaui batas-batas kebebasan betindak dan dapat merusak tatanan hukum yang berlaku, maka sangat perlu untuk ditetapkan asas-asas yang dapat menjadi kendali bagi peraturan kebijakan. Asasasas tersebut seperti: asas-asas negara berdasarkan hukum, asas-asas perlindungan terhadap masyarakat dan asas-asas umum penyelenggaraan administrasi negara yang layak sebagaimana yang terdapat dalam UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
32
Asas-asas tersebut tercantum dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Asas-asas umum penyelenggaraan negara itu meliputi: (1) Asas kepastian hukum, (2) Asas tertib penyelenggaraan negara, (3) Asas kepentingan umum, (4) Asas keterbukaan, (5) Asas proporsionalitas, (6) Asas profesionalitas, dan (7) Asas akuntabilitas. Lihat Arif Christiono Soebroto, Kedudukan Hukum Peraturan/Kebijakan Dibawah Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, (Makalah), Jakarta, TT, h.15
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari pembahasan dan uraian yang penulis kemukakan pada bab sebelumnya, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Peraturan kebijakan (beleidsregel) bukan merupakan peraturan perundangundangan berdasarkan tata urutan hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia. Hal ini dikarenakan pejabat atau badan yang mengeluarkan peraturan kebijakan tidak memiliki kewenangan dalam pembuatan peraturan (wetgevende bevoegdheid). Dibentuknya peraturan kebijakan dimaksudkan hanya untuk memberi peluang dan keleluasaan bagaimana pejabat atau suatu badan tata usaha negara menjalankan kewenangan pemerintahan. Dalam hal ini, pembentukan peraturan kebijakan (beleidsregels) harus dikaitkan dengan kewenangan pemerintahan atas dasar penggunaan diskresi (discretionaire). Secara yuridis normatif pengujian peraturan kebijakan bukan termasuk dalam ruang lingkup kewenangan hak uji materiil oleh Mahkamah Agung, akan tetapi dengan mengedepankan asas hukum ius curia novit. Hakim dengan menggunakan asas tersebut tetap dapat dan bisa mengadili serta memutuskan perkara hak uji materiil yang masuk dalam lingkup peraturan kebijakan. Hal ini untuk menegakkan asas kepastian hukum dan sebagai kontrol normatif, ehingga tidak membiarkan sengketa atas peraturan kebijakan berada di wilayah yang tidak jelas (grey area).
78
79
2. Akibat hukum dari dikabulkannya permohonan hak uji materiil terhadap suatu peraturan kebijakan (beleidsregels) oleh Mahkamah Agung adalah peraturan kebijakan yang dimohonkan uji materiil tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk umum, serta instansi atau lembaga pemerintahan yang menerbitkan peraturan kebijakan tersebut harus segera mencabutnya, dan apabila dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari setelah Putusan Mahkamah Agung dikirim kepada Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan kebijakan tersebut ternyata belum atau tidak dicabut dan dibatalkan, maka peraturan kebijakan yang bersangkutan demi hukum tidak mempunyai kekuatan hukum lagi dengan sendirinya. Dengan demikian, surat edaran yang isinya memerintahkan untuk menghentikan sementara penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) baru
sampai
dengan
diterbitkannya
Peraturan
Pemerintah
sebagai
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara secara yuridis tidak berlaku lagi. Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara tetap dapat memberikan IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat
dan
pengawasan
usaha
pertambangan
di
wilayah
Kabupaten/Kota dan/atau wialayah laut sampai dengan 4 (empat) mil. B. Saran Berdasarkan kenyataan yang sudah diuraikan diatas, maka saran yang dapat penulis sampaikan adalah sebagai berikut:
80
1. Dalam menerbitkan suatu peraturan kebijakan, hendaknya materi yang diatur melalui peraturan kebijakan itu hendaknya dibedakan dengan materi yang seharusnya dimuat dalam bentuk undang-undang dan materi yang seharusnya dimuat dalam bentuk peraturan di bawah undang-undang agar tetap konsisten dan tidak menimbulkan kerancuan dalam membedakannya. 2. Mahkamah Agung dalam memutuskan perkara permohonan hak uji materiil harus selektif dan konsisten dalam membedakan antara peraturan kebijakan dan peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang agar tidak terjadi kerancuan dalam pertimbangan hukum suatu putusan dalam perkara hak uji materiil peraturan kebijakan (beleidsregel). 3. Untuk mengakhiri problematika sengketa atas peraturan kebijakan (beleidsregel), secepatnya perlu disahkan Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Salah satu isi dari pasalnya melimpahkan kewenangan kepada peradilan administrasi untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa onrechtmatig overheidsdaad yang bersifat feitelijke handelingan, termasuk sengketa peraturan kebijakan.
DAFTAR PUSTAKA Asshiddiqie, Jimly, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, Yogyakarta, FH-UII Press, 2005. __________, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2012. __________, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid II, Jakarta: Konstitusi Press, 2006. __________, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi Press, 2006. __________, Konstitusi dan Konstitualisme, Jakarta: Konstitusi Press, 2004. __________, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Jakarta: Konstitusi Press, 2005. __________, Perihal Undang-undang, Jakarta: Konstitusi Press, 2006. Asshidqie,Jimly, dan Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta: Konstitusi Press, 2012. Atmosudirdjo, Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986. Black, Henry Campbel, Black’s Law Dictionary, Ninth Edition, United States of America: West Publishing Co, 2009. Bryan A. Garner, Black’sLaw Dictionary, Seventh Edition, St. Paul, Minnesota: West Group, 1999. Christiono Soebroto, Arif, Kedudukan Hukum Peraturan/Kebijakan Dibawah Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, (Makalah), Jakarta, TT. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta: Balai Pustaka, 1996. Efendi, Maftuh, Kewenangan Uji Materiil Peraturan Perundang-Undangan : Kajian Tentang Putusan Mahkamah Agung RI Tahun 2005-2011, Kesimpulan presentasi Seminar Focus Group Discussion hasil penelitian Puslitbang
81
82
Litbangdiklatkumdil Mahkamah Agung yang dikoordinatori Maftuh Effendi, SH., MH., pada Selasa tanggal 17 September 2013. Fajar, Mukti, dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingsrecht) yang dimiliki Hakim Dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. Hadjon, Philippus M., Pengantar Hukum Adminstrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002. Hoesein, Zainal Arifin, Judicial Review di Mahkamah Agung Republik Indonesia: Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Jakarta: Rajawali Press, 2009. Kelsen, Hans, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Penerjemah: Raisul Muttaqien, Bandung: Nusa Media, 2009. Latief, Abdul Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregels) Pada Pemerintahan Daerah, Yogyakarta: UII Press, 2005. Lukman, Markus, Freies Ermessen dalam Proses Perncanaan dan Pelaksanaan Rencana Kota di Kotamadya Pontianak, Bandung: Universitas Padjajaran, 1989. Lumbuun, Ronald S., PERMA RI, Wujud Kerancuan Antara Praktik Pembagian Dan Pemisahan Kekuasaan, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011. Maladi, Yanis, Benturan asas Nemo Judex Idoneus In Propria Causa dan Asas Ius Curia Novit, Jurnal Konstitusi Volume 7 Nomor 2, April 2010. Manan, Bagir, dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alumni, 1997. Manan, Bagir, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Jakarta: Indo Hill Co, 1992. __________, Peraturan Kebijaksanaan, (Makalah), Jakarta, 1994. Martoesoewigno, Sri Soemantri, Hak Menguji Material di Indonesia, Bandung: Penerbit Alumni,1986.
83
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009. Muchsan, Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung: Alumni, 2000. Muhtaj, Majda, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia dari UUD 1945 Sampai Dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2012. Mutiar’as, Ilmu Tata Negara Umum, Jakarta: Pustaka Islam,TT. Nalle, Victor Immanuel W., Kewenangan Yudikatif dalam Pengujian Peraturan Kebijakan, Jurnal Yudisial, Vol. 6 Nomor 1, April 2013 Natabaya, H.A.S. , Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,2006. Nugraha, Safri, dkk. Hukum Administrasi Negara, Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2008. Sibuea, Hotma P. , Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010. Sinamo, Nomensen, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Jala Permata Aksara, 2010. Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinajaun Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2009. Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisius, 1996. __________, Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Jakarta: Kanisius, 2007. Soewandi, Hak-hak Dasar dalam Konstitusi Demokrasi Modern, Jakarta: PT Pembangunan, 1957. Subekti, R., Beberapa Pemikiran Mengenai Sistim Hukum Nasional Yang Akan Datang, Makalah Seminar Hukum Nasional IV.
84
Sunny, Ismail, Pembagian Kekuasaan Negara, Jakarta: Aksara Baru, 1982. Ujang Abdullah, Hak Uji Materiil Dibawah Undang-Undang, Makalah disampaikan pada Diklat Calon Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara angkatan XIX. Hotel Purnama, Batu-Malang. 27 Nopember 2006. Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung. Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Perundang-undangan. Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Hak Uji Materiil. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil. Data Dari Media Internet Abdul Razak, Hakikat Peraturan Kebijakan, Tulisan ini pernah dimuat dalam kumpulan tulisan “Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi” dalam rangka Ultah ke- 80 Prof Solly Lubis, artikel diakses pada 12 januari 2014 dari http://www.negarahukum.com. Asas-asas hukum pembuktian, artikel diakses pada 14 januari 2014 dari http://pa.purwokerto.go.id. Efendi, Maftuh, Kewenangan Uji Materiil Peraturan Perundang-Undangan : Kajian Tentang Putusan Mahkamah Agung RI Tahun 2005-2011, artikel diakses pada 12 Januari 2014 dari http://mahkamahagung.go.id Zafrullah Salim, Legislasi Semu (Pseudowetgeving), artikel diakses pada 12 Januari 2014 dari http://ditjenpp.kemenkumham.go.id.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
KEMENTERIAN AGAMA UNM,RSITAS ISLAM NEGERI (UIig SYARIF' I{IDAYATfILLAH JAI(ARTA FAKULTAS SYARIAII DAN HUKUM
Nomor : Un.01/F4lPP.00.9.7/
:-
Lamp
Hal
4k |
tZOte
Jakarta, 18'November 2013 M 14 Muharam 1435 H
: Mohon kesedlaan menjadipemblmbing skripsi
Program Double Degree
Yang Terhormat
BapaUlbu
1.
DwiPutriCahyani, S.H., M.A
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta Assal amualaikum warahmatullah wabarakatuh Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengharapkan kesediaan saudara untuk menjadi pembimbing skripsi mahasiswa:
Nama
lhsan BadruniNasution
NIM
1613048000020
Jurusan/Prodi
llmu Hukum/ Hukum Kelembagaan Negara Pengujian Peraturan Kebijakan (Belerdsregels) Di Mahkamah Agung (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 23l p/HUIvt/2009) Beberapa hal yang dapat dipertimbangkan adalah sebagai berikut: Topik bahasan dan out line dimana perlu dapat diadakan perubahan dan penyempumaan. Teknik penulisan supaya merujuk kepada buku "PeComan Penulisan Karya llmiah di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta' Judul Skripsi
l.
2.
Demikianlah atas kesediaan saudara kami ucapkan terima kasih. W as salam
u al aiku
m warahm atull ahi w ab arakatuh
Tembusan Disampaikan dengan hormat kepada: Sekretads Program Double Degree
1. 2. Arsip
86
OIREKISRAT JENDffiAL t*ll{ERAL HTI,}*ASIA BAtl P*t'tAS
Bt
Sfi
ESARA$
r*r0s*o*:
S"$#t $$slso$
TESTTANG
P ERE I t-L,AN P ERTAi{ BAN GAt{ }ul I NE RAL DAN BATU BARA SEBELUhfr TERAITNYA PERATURAN PHMERII'TTA}I SH$AGAI PEIAK&qNAAN
UNnANG{JNUANG N*tvIoR 4 TA|{UN ?0gg $etrubungan derqan tetah dirindangkannya Undarg-Undang Nn. { Tahun 2009 tpntra*g Pertambangan Mineral dan Bafubara tUU PMA 2009), U* m Tahun 200g llo. 4 dan TtN Rl No'495t, d-alam penyeler$garaar.l urusan dl bldang'perlalribangan mlnarsl dsn batubara tebelum terbittya p*mturan psrnerlntah sebagal petalEeanian r UU PfrB A00edongan
ketdntuan' '
A.
Gubsrnur dan Bupaffi#alitr
badkut
1. Kuasa Pertarnbang?n fq) yanq tela! ada sebelurn berlaKunya UU PMS 4009, termasuk peningkatan tahapan kegiatannya .tetap dibertakukan samDal lanokd walttu berakhlrnya KP dan waJib disesuaikan rirenjadi IUF berdasa*in ilU PMB ?00s pallni lambat t6satuftahun nejar aeriiliuiyi riu'rn,trifriti;i'
--
2. Menghentikan aglnqhJgra penerbitan lein Usaha Pertambanga.n (lUP) baru $np?l^{Engan diterbitkannya peraturan pemerlnhh sebagal &tafdrnaiin UU PMB 2OOg
r. ssrkqordlnasi
dengan Dlrektorst Jenderal Mlnerel, Batubara, dan Fanas Burni aras semua permohonan penlnskalan tahap tcEdfatan pdrdfibrrd;; termasuk perpanjansannya unturr ciproses -isuai?iiilil
fu*l{
uiltrnafr
in*
4, ii*sry*rtqrritau tu*rpada Menterl Energi dan &*frber Daye [,tlr-€fqt rsetatUi DJrel*st€t ,lwda*l &lineral, Bafirbare dan Panq Buml *xrrua pcrrralronin lluwa f!fiatitb*figisn WtW t6laf'r diaju*an, dryr telah nurdapet pgr*e,t{uat par#arryn $ayah **fE1tutfi.bertattunya UU PMB 2&,9, r@rti SsrBk afi 'daha dan r*rrgta" memFrslaptgan wqal€h flHury sesuat deruan ketdfirarl rerawur
w^-*_bmte . ?awrw
w
wn@
-I
88
tNsrsan
s ll{ars &s neng nsw|_
Fa$ns
Bbmrf$dMtffin befl*unna
I
{*{ft$ bulfin sqak
**fiW-,ffiffi&m miGEpi*Ii.n
;ffis uu
S. *fenrbafltatrr**n L"puda pam pernegang Kp
ks'en
Hffi
a€$' PJIB 200e. fiarus
wno telah rnptqrtrdrln rir.
i ilt'#X;ffi #,,iffi X#i.nrnnsd;^-.'ii.ffii,ffi an temb usan iiiir :q.,Iff or oi;ktr; anorx[ fu,n ifo-, sstL*a rr
u
den
r.
*1ffi
e
rE
,d
6. Surat Keputusan Kuasa Peftambaflgan qng,dtterbltkan MentErl, GuEmun Bupau/waskola oetelah tarrggal ta iinuirt-iooti?-n,lrtakan barat dan $dalr hB&[u.'---'t-*rY98,rl
7' DireHonat JEndenat trrheral, Ba&bara, dan Panas B$rri aten rnqr.lgeluarlcan ,*sr{r, format peneoltan IUp Et<sptbnar, a*niuF
op;ffiilfiiri^*:
8. Fernohonan baru $urat Eln Pertambangan ilaarEll bahan gafian gotongan'O u! perpanJans qn qlra ils diaiuxan saueturn fe gnas le{dilnF u u }u g Hliru, leqp dlFro$.ei menJadl luP *eiual dengan eocis" *etslah :*--'-uu pMii ' "'F a-Yv .v"
GubernqF.
bsrfioodinAtldengan
B" Pesnohanan Knntrsk lGnra daq peng-ueahaan p+rk*rbartgan T€ila-nJFn rGrya Batubara'sebagarrnana uimarsua oakirn'pas aiTiii uu' FMb s {enam} bukn bertarrunya urr p[iB ,ot6 Tni rar*s rnnrnbentuB hmbat ilukur* Imrone*H herdasarka n ritennq ryrraturin r**na*ng-yndarp-an ,*begal bahan prtirubangan dslarfi #te,rritrroses lfip *ost af UU pME gmS.
i*','fiil
Tilt
'
j*L*
Demlkian Hdamn lnt dibua* unhlk DitetEpkan
dik tahul dan dipatrtri.
* Jakaik
!.ngeal rn
.Io Jsnuart 20og
energi dan Sumber DayaMineral ur J*ndrxat Mkaral, *uluf{an'offii*ru
Euml
Ir. SambangFdlmran . 100m5#r2' Tg,ittb/'#8ln; 1, Menlerl Energl .,an Surnb€r Dala Mirpral Msntarl Dalsm Hamrt q. 6akr*larjs JendEd baparteman Energl dsn
A
!:ffiffi,f$ i, rwffiiu;*ffi;;W 3,
D,tetdurTitrrru(
dst UruEffi1ffi,
&rnber ltava
I
MinEra,
#ffi
Direktori Putusan Mahkamah;Agung Republik lndonesia putusan.mahkamahagung.go.id ,, " ..'.. P. U''T I'U
SA
89
N
Nomor:23 P/HUM/2009 DEMI KEADILAN BERDASIRxaN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH AGUNG memeriksa dan:memutus perkara permohonan keberatan Hak Uji Materiil pada tingkat pertama dan terakhir terhadap surat Edaran Direktur Jenderat
Mineral'Balubara dan Panas Bumi, Departemen Energi dan Sumber Daya ,Mineraf , Nomor
:
03.E/31/DJB/2009 tanggal
30 Januari 2009, tentang
dan Batubara Sebelumr Terbitnya Peraturan Pemerintah Sebagai Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4
P,erizinan Pertambangan Mineral
i:, ,
Tahun 2009, telah mengambil putusan sebagai berikut dalam permohonan keberatan yang diajukan oleh
:
lr. H. TSRAN NOOR,
M.Sa., (BUpATt KUTAT TTMUR),
bertindak untuk dan atas nama pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur, Piopinsi Kalimantan Timur, berkedudukan
di
Komplekl Pemerintahan Bukit pelangi,
Sengata, Kabupq_ten KutaiTimur, Propinsi Kalimantan Timur
;
sebagai PEMoHoN KEBERATAN ;
MENTERTI.ENENEI OEX SUMBER DAYA MINERAL, bErKE. ':
dudukan,diJakdrta
;
SeblSai TERMOHON KEBERATAN
,,t, ,,, '
;
Tentang permohonannya
'r, , Mehimb.ang, bahwa Pemohon Keberatan permohonannya tertangg al 22 Juli 2009 yang diterima ,,Mahliamah Agung Rl pada tanggat
'l
'Noror
27
dengan s-urat oi xepanite[an
Juti 2009 dan dirggister adngan
:23 PlHUldl2009 telah mengajukan permohonan keberatah dengan
alasan-alasan pada pokoknya sebagai berikut:
A. Materi muatan bagian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang tebih tinggi
1.
:
Materi muatan bagian Surat Edaran yang menyatakan : "Sehubungan dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor
4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU PMB 2009), LN Rt Tahun 20Og Nomor 4 dan TLN Rt Nomor 4959,
dalam penyelenggaraan urusan di bidang pertambangan mineral dan
Hal. 1 dari 11 hal. Put. No.23 P/HUttitl//2009
Di*tu KepilMil Uahkffiah Agung Repibfrk tffesia beNeh nth s*t mfnlfka Ma nenerukan inekfrd iilmad yaE ten@t pda gB iil atdu blwi Em d : keW it e b a n@ N hk am a h agu n g.go -H Dalam hal
Te\:at3u3u|(en.3to)
iomasi yahg
pefng
kf
dan
atd
sebagai
ki*
tiM
M*ked
Agtirg
M*
pdeyanan prhrk,
tspfi
di ekfbfh*
*harusya da, nmh btuh te@db, m*e hfrp s6geh hututai Kepilibaai Uahkh* NutE H Mdti :
p*keri
tB,ri pdbi.
Halaman
1
t
Direktori Putusan Mahkamah,Agung Republik lndonesia
90
putusan.mahkamahagung.go.id
batubara sebelum lerbitnya peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan UU PMB 2OOg dengan ketentuan
A. Gubemur. dan BupatiMalikota
di
mempethatikan hal-hal sebagai berikut
1.
:
seluruh lndonesia agar :
...:.... dSt; ::
,
lzin
,l,.r.nnnentikan sementara penerbitan
Usaha
Pertambangan (lUP) baru sampai dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan UU pMB 200g
r:'
, 'i,,
3. ..............dst; B. .....
dst;
,,,,
.
Demikian Edaran ini dibuat untuk diketahui dan dipatuhi
;
''
'
;
(vide bukti P-1 : Surat Edaran Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral R.l.
Nomor
:
03.U31/DJB/2009, tanggal
30 Januari 2009,
tentang
Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara Sebelum Terbitnya Peraturan Pemerintah Sebagai Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
4Tahun2009);
,,
,,,
,,t,
2. Materi muatan bagian A butir 2 Surat Edaran tersebut
dengan
,,,
bertentangan
'"''':,
a. Sepanjang.nillitngkut kewenangan Bupati yang diberikan oteh Undanqp-n |i$.1;k6tentuan pasal 8 ayat (1) huruf b UU pMB 200€:i:y_..-ahg.
tegas menyatakan
:'
Kewenangan pemerintah
dalam pengelolaan Pertambangan Mineral dan _
'
.;:iB,j..qryljra,
antara lain
adalah
:
a.'........dst;
b.
:i,:,
Pemberian IUP dan lPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan di wilayah
Kabupaten/Kota dan/atau wilayah laut samfiai idengan 4 (empat) mil
;
,
,;;1
'r:,.
b. Sepanjang menyangkut peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan UU PMB 2009, ketenlqan pisat 113 ayat (2) UU PMB 2009 yang secara tegas menyatakan : " pada saat undangundang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan
yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1g'67 tentang Ketentuan-Ketentuan pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun
1967 Nomor 22.: Tambahan Lembaran Negara
Hal.2 dari
Didahet KeNiMdMdtkfiilAgu,,gReituffitnfu,E*tuahautu*latuffirto,t4,tpetixgbtda.rM*e,gtiB,,*,ffihilrahk hM hdANa mwMilituhdiffisiyangtutpad.tuh* tuittdt@tiydtg*nt$ya da, M Ef, ail : kepil fta B
[email protected] h kil ah ag u ng. go. i d
rdp:o2t4u3aaaen318) ,
bfiibtdb,
neka rilap
1
t
q"-
Republik
hat. Put. No. 23 P/HUM//2009
ffiAguEM@yMpublkbilwjdilekdiiiBNsxwe*fr$$pedlan.t tmA x"p.ni-* M;;e/gugRl @tN:
Halaman 2
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik lndonesia
91
putusan.mahkamahagung. go.id
lndonesia Nom6r, ,2831) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UndangUndang ini
'
;
(vide buk$,,P:2.,: Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2009
tentang
Pertambangein Mineral dan Batubara, LN Rl Tahun 200g Nomor 4,
TI\lrR[,Nomor4959 (UU PMB 2OO9) ;
l:ttadiliya
il.tpinapl, ,.,;
Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal
Batubara dan Panas Bumi, Departemen Energidan Sumber
r' "DaVa Mineral Rl ('Dirien MBPB') (atas nama Menteri Energi dan
'*
Sumber Daya Mineral sekalipun) tidak dapat menghentikan (untuk
sementara sekalipun) kewenangan Bupati untuk memberikan/ menerbitkan
lzin Usaha Pertambangan (lUp) yang
merupakan
kewenangan yang diberikan oleh dan berdasarkan undang-undang, i.e. UU PMB 2009;
- penghentian sementara penerbitan lzin Usaha Pertambangan (lUP), yakni : '*, sampai dengan diterbitkannya
Alasan/dasar
peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan UU pMB 2009 ',, juga bertentangan dengan (maksud dan tujuan) Ketentuan penutup,
Pasal 173 ayat (2)UU PMB 2009 karena memberi kesan bahwa:
'sampai dengah diterbitk"nnya peraturan pemerintah sebagai pelaksanaap UtllpgB ;2909" ada kekosongan hukum (recht vacuum) padahal'ti,U.Ff,lle 2009, seperti halnya semua undang-undang baru, tidalq.menrghendaki adanya kekosongan hukum dan karenanya
.
seperti ketentuan Pasal 173 ayat (2), yang .secara tegas menyatakan'semua peraturan perundang-undangan
1,,,,,,f'e,.[*-1i1,$uiketentuan, ,
.=
yang merupakan peraturan pelaksanaan dari undang-undang yang digantikan (dalam hal UU PMB 2OOg, Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan pokok pertambangan) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang
ini'
;
selanjutnya dapat disampaikan bahwa materi muatan bagian A butir 2 surat Edaran tersebut telah menimbulkan stagnasi kegiatan usaha
pertambangan
di daerah
d.a-n,,(kaienanya) bertentangan dengan
(maksud) ketentuan Pasal 3 huruf e UU pMB 2009 untuk mendukung
pembangunan nasional
yang berkesinambungan dengan
meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah dan negara,
Hal. 3 dari 11 hat. put. No. 23 p/HUM//2009
frslahq Agut'g tleiuw he,E* Ma Mebtu @tukdt rnot@lt p*E ffi da *84 *.bagsi bnfr* t@lrfln Milbnah Agutg tuk pebyanipi6r, wsoa@g dan adabtfas pdekewi \tFffi-1|Milk@h t>atunhdANeMkdidhdinldnecyerqbMpdesltutifrdtui{otmcya,ggeatsyad4ffi&tunteM:E,n*aha@ngon ur{,i-t<rp"aii*u*tr".*ns,r!o*",rt, Em il : kepil ib 6 at@ w Ma h a gwg. g a _il
tut$sipdtan.
t
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik lndonesia
92
putusan.mahkamahagung.go.id
serta menciptakan lapangan kerja untuk
sebesar-besamya
kesejahteraan rakyat;
B. Bentuk dan pembentukan Surat Edaran tidak memenuhi ketentuan yang berlaku
3.
:
Bentuk: 'Surat ::;. .::.
Edaran tidak dikenal dalam sistem peraturan
perupdang-undangan yang berlaku, i.e., Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2OO4 tentang Pembentukan Peraturan perundangan
::
'i.::,,,,r.,,1(U1 ng-Undang
,,,,
t;''
10 Tahun 2OO4), karenanya
Nomor
memenuhi ketentuan yang berlaku
tidak
;
Pasal 1 dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa: 'Dalam undang-undang iniyang dimaksud dengan
1. .... dst; 2. Peraturan perundang-undangan
-
:
adalah peraturan tertulis yang
dibentuk oleh Lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum"
;
Sedangkan Pasal 7 ayat (1) dqri, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menyatakan
bah*a,:
,
"Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut a. Undang-Undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 'a':4.. :.:
1945;
b.,U61| -Undang/Peraturan Pemerintah pengganti ,ii';n,.. '
|1rr,..Vil^n9
i'
i.,.'.'.:t,,:',r,
,';:it';L;:-
i, '+. .:,'i'
':';';
Undang-
i
e."' cdr atu ran Pem
eri nta
h
;
d' Peraturan Presiden ; e. Peraturan Daerah;
,
(vide bukti P-3
:
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundangan, LN Rl Tahun 2004 Nomor 53, TLN Rl Nomor 4389)
;
4. Pembentukan Surat Edaran tidak pula memenuhi ketentuan yang berlaku;
Pasal
7 ayat (4) dari
Undang-Undang Nomor
10 Tahun
2004
menyatakan bahwa:
"Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai
Hal. 4 dari 11 hal. Put. No. 23 P/HUM//2009
Di*i@r
rapaMuafi'q'dt@tampnxnaasiefutdaMdafuMfuitugpdrrghffitu*udgbgdbilt*t@ntntshu*k bw'hdMtMfr*aMilmay?lorfrildFd/rlitu,'dtuifutmiysrg*trl@ya*, msMbffi, Email : *epiltuhd@DbhkatuhaEung-goff Tetp:o21.381s48(e318) ,' ,.',,..
ma*a
hadp
mhAgutgddNayetunpubtk,uanqmsidilakffiilgFbkwditrttgsipedfen.t hubungi tbpilifuil Matuil guq Rtmhfui:
*}ea
Halaman 4
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik lndonesia
93
putusan.mahkamahagung.go.id :
kekuatan hukum mengikat,sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi "
(vide bukti P-3
:
;
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundangan, LN Rl Tahun 2004 Nomor 53, TLN Rl Nomor 4389)
;
Agar Surat Edaran diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum' mengikat maka (pembentukan) Surat Edaran harus
r, ,, ,, :.
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Temyata tidak ada peraturan perundang-undangan yang lebiti tinggi
(dari pada Surat Edar:an) yang memerintahkan pembentukan (ataupun pengeluaran/penerbitan) Surat Edaran. Surat Edaran sendiri tidak memuat elemen pengingatan (unsur "Mengingat") yang
merupakan
dan sebagai landasan hukum pembentukan
Edaran tersebut
Surat
;
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut
di atas
Pemohon mohon
kepada Mahkamah Agung Rl agar memberikan putusan keberatan Hak Uji Materiil sebagai berikut
permohonan
:
a. Permohonan dikabulkan ; b. Surat Edaran Direktur Jenderal
Mineral, Batubara dan Panas
Bumi, Departemen,Energi dan Sumber Daya Mineral Rl Nomor: O3.EBUAJW2009;, tanggal 30 Januari 2009, tentang Perizinan
Pe(afibangan Mineral dan Batubara Sebelum Terbitnya turan Pemerintah Sebagai Pelaksanaan Undang-Undang
..P,.,
4 Tahun 2009, khususnya materi muatan bagian A butir 2 .,..l... 'rrNomqr i.,,,,,, ,::: rSurat Edaran tersebut, tidak sah atas alasan :
.,:,.,;,.
,',..
.
,'i,., " ,
,,,
(i) Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi, i.e., Undang-Undang Nomor 4:,Tahun
yang
2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (LN Rl Tahun 2009 Nomor4, TLN Rl Nomor4959), dan
(ii) Bentuk dan/atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku, i.e. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan (LN Rl Tahun 2004 Nomor 53, TLN Rl Nomor4389)
;
c. Surat Edaran
Direktur .Jenderal Mineral, Batubara dan panas Bumi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Rl Nomor :
03.E/31/DJB/2009, tanggal 30 Januari 2009, tentang perizinan'
Pertambangan Mineral
dan Batubara Sebelum
Terbitnya
Hal. 5 dari l1 hal. Put. No. 23 P/HUM//2009
Dl*laitu fePdn,6/@ilatff€f,Ns,rgReh)tikliat,brfalritdem,-dt@Mii@'iFalit.€fdan{f*gdtbenh*kfnMiRaDdtAgu,Euwp*
[email protected]*pdakeEanhnEdpedtn Dabh hdMeM tuM intffiircya?g wmatpsde tlh)sk i tu ilfdtutiya g *harlwy. d4 M@trllm teffi, fid.a htup segea hubungt Kepa1ibnan MaM Agu,E Em il : kefi nipfr .r@@hkamehagong,gaw Telp :021-3,, 3318 (d.318t
I Rt
md4d :
Halaman 5
Direktori Putusan Mahkamah,Agung Republik lndonesia ,, ,
94
putusan.mahkamahagung.go.id
,
Peraturan Pemerinlah'sebagai Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, khususnya materi muatan bagian A butir 2
Surat Edaran tersebut, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat ;, ; ,, r
Menimbang, bahwa atas permohonan keberatan Pemohon tersebut pihak Terqghon titatr diberitahukan sesuai ketentuan yang berlaku, namun samRatri'U,g]aC 111v'1Pan;'
l'
waktu yang ditentukan Termohon tidak menyampaikan
Tentang ,'
,, '
;
Hukumnya
' " ''
',
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan keberatan Hak
Uji Materiil dari Pemohon adalah sebagaimana tersebut di atas
;
Menimbang, bahwa yang menjadiobyek permohonan keberatan Hak
Uji Materiil Pemohon adalah Surat Edaran Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral
Rl Nomor : O3.El31lDJBl2009, tanggal 30 Januari 2009, tentang Perizinan Pertambangan Mineral
dan Batubara SeUelum Terbitnya Peraturan
Pemerintah Sebagai Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2009
Menimbang, bahwa sebelum Mahkamah Agung mempertimbangkan
tentang substansi permotgngn keberatan yang diajukan, maka terlebih
dahulu akan dipertimbangkan apakah permohonan keberatan
a
quo
memenuhi pg1syqlgtan formal, yaitu adanya kepentingan dan kedudukan
hukum
(!
',,ttxinairg) pada Pemohon untuk mengajukan permohonan,
seft,1 aoiheliip-ennohonan keberatan Hak Uji Materiil yang diajukan masih dalapltCnggang waktu yang ditentukan, sebagaimana diatur dalam. pasal l ,,,,,,ayat'i(4) dan Pasal
:1.,
2
ayal (4) Peraturan Mahkamah Agung Rl Nomor
1
'fahun2oo4; .,,"t,,',',,,) t ,", Menimbang, bahwa untuk mengetiahui apakah Pemohon mempunyai kepentingan dan kedudukan hukum (legat standing/ maka dapat diuji dari hubungan hukum antara Pemohon dengan obyek permohonannya
;
Menimbang, bahwa Pemohon adalah ,!r,:H-: TRSAN NOOR, M.Si, selaku Bupati Kutai Timur, oleh karenanya bertindak unfuk dan atas nama Pemerintah Daerah Kabupaten KutaiTimui, Propinsi Kalimantan Timur
;
Menimbang, bahwa dalam permohonannya, pemohon pada pokoknya mendalilkan bahwa obyek Hak Uji Materiil yaitu Surat Edaran Nomor :03.E1311DJPI12009, tanggal 30 Januari 2009 yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi, Departemen Energi
Hal. 6 dari 11 hal. Put. No. 23 PiHUM//2009
,GPfribadwkfrah Agurq Repulrfik l,llh*b@ha un* *btu mffikw reMa iMM htdmag ya,E lemd pada dtus ini atil intM kepililffi an@m*tuagmg-9o.fr felp: At381 3318 (ert.318)
DaWi tld ANa
itlffisi pilhg xitidd,i/,6*bagdibqffikffin *htusn da, MM dum bffi, ffi
yat g
M*hMAgurgwd eltaylffipufi*,tryd Mnp *geh htunli KepdiM, M*t@art Ailrg
R,
N*i
diek&&tt* :
@kwfnfgliFdM.t
Emait :
Halaman 6
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik lndonesia ,', ,,
95
putusan.mahkamahagung.go.id
dan Sumber Daya Minerat,,Rtll(ataa njma Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sekalipun) tidak dapat menghentikan walaupun untuk sementara,
kewenangan Bupati untuk memberikanlmenerbitkan
lzin
Usaha
Pertambangan (lUP) yang merupakan kewenangan yang diberikan oleh dan
berdasarkan Undang:gn6ang, i.e., Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 :
].
]
.:
tentang Pe-rtailnbingan Mineral dan Batubara, oleh karenanya obyek permghriiian'keberatan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 4 ,rTahurir2009: khususnya Pasal 8 ayat (1) huruf b dan pasal 173 ayaft (2),
iang'ierkiit tentang kewenangan Bupati dalam pemberian lzin Usaha
,
Menimbang, bahwa Pemohon sebagai Bupati Kutai Timur yang wilayah/daerah pemerintahannya mempunyai banyak lahan pertambangan mempunyai kepentingan untuk mengajukan permohonan keberatan atas
Surat Edaran Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Rl Nomor : 03.E/31/
, yang materinya melarang pemohon sebagai Bupati menerbitkan lzin Usaha Pertambangan (lUp) sampai DJB/2009, tanggal 30 Januari 200
dengan diterbitkannya Peraturan,rP- emerintah sebagai pelaksana UndangUndang Nomor4 Tahun 2009;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum
di
atas,
terbukti Pemohon.mempdnyai kepentingan terhadap obyek permohonan keberatan naf,i,Uji Utateriil, oleh karena itu secara yuridis pemohon mempunyal,kUalitds atau standing untuk mengajukan keberatan Hak Uji Materiil (vid_qi P. asal
1
ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Rl Nomor
1
Tahun 2004);
,),
',::
Menimbang, bahwa selanjutnya berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat
'(4)
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2004, ditentukan bahwa ,. '' -permohonan keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus ,,rr
'
delapan puluh) hari sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa obyek Hak Uji Materiil yaitu Surat Edaran Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi, Departemen Energi
: 03.E/31/DJB/2009, berlaku sejak ditetapkan tanggal 30 Januari::2-009, sedangkan permohonan keberalan dan Sumber Daya Mineral Rt Nomor
diajukan dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah Agung Rl pada tanggal
27 Juli 2009, dengan demikian permohonan keberatan aquo diajukan masih
Hal. 7 dari 11 hal. Put. No. 23 P/HUM//2009
Asdans
repiliM uar*tudr4utg RePuHii ttful€Eb bM duk*tu meffihrdtucNit4Mdilakd Mtue hakffid iilmedyarEleM Pd.situsini 4tu it tffisi yang #tusya d4 d : l@ Me,@N h ma h ag@ g.go.b Tde:0214ar$$@n3fi)
Dal$t hd ANa Em
*bagaiEd* kffiwn hffiun bdum ENia,
m*
Mahkamh Ag@ MFbysmpffifr. turpmddenekil,Dnds hedp s.8ea tututvt Kepafr.@n Mail(ffih Agurg N metelai:
pehMwmqslper*i*,n.,
ke
Halaman l
Direktori Putusan Mahkamah:Agung Republik lndonesia
96
dalam tenggang waktu tAO lSeratus delapan puluh) hari sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (4) PeraturanlMah[amah Agung No. 1 Tahun 2004 ; Menimbang, bahwa karena permohonan keberatan terhadap obyek keberatan Hak
Uji{afgriit diajukan oleh Pemohon yang mempunyai kualitas
llegal standing),aan permohonan diajukan masih dalam tenggang waktu yang diten(rykqn, maka permohonan aguo secara formal dan prosedural
oanalp@;
:
bahwa selanjutnya Mahkamah Agung
akan ,.'Ii4e,11imbang, rnempertimbangkan substansi materi permohonan keberatan Hak Uji
;'.f
:.,i
i:.,,
Materiildari Pemohon yaitu apakah benar obyek keberatan Hak Uji Materiil berupa Surat Edaran Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi,
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral DJB/2009 tanggal 30 Januari
Rl
Nomor
2009, tentang Perizinan
: 03.E/31/
Pertambangan
Mineral dan Batubara Sebelum Terbitnya Peraturan Pemerintah Sebagai
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
4
Tahun
2009
(vide Bukti p.1)
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi rn casu Undang-Undang Nomor 4 Tahun tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (vide Bukti
P-Z\; Menimbang, bahwa obyek keberatan Hak Uji Materiil berupa Surat Edaran Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi, Departemen Energi dan Sumber Dayi Mineral Rl Nomor : 03.E/31/DJB/2009 wataupun
tidak termasuii,,urutan peraturan perundang-undangan
sebagaimana
dimaksud dali'rn,Fasat 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang eqtTrbentu,f aii,r.Peraturan Perundang-undangan,
n"iipaon ri.,.
akan tetapi berdasarkan i56af Z tersebut dapat digolongkan sebagai bentuk perundang-
undangan yang sah, sehingga tunduk pada ketentuan tata urutan dimana pgraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengah peraturan
. ":' yang lebih tinggi (asas l* perriori derogu lex superriori) t' Menimbang, bahwa faktanya pada huruf A angka 2 Surat Edaran in ;
/ifs berisi larangan penerbitan lzin Usaha Pertambangan (lUp) yang baru sampai terbitnya Peraturan Pemerintah yang baru sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor4 Tahun 2009
;
Menimbang, bahwa terhadap alasan pemohon tentang masih berlakunya ketentuan tentang usaha Pertambangan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor Undang-Undang Nomor
32 Tahun 1g6g sebagai
11 Tahun 196T tentang
pelaksanaan
Ketentuan pokok
Hal. 8 dari 11 hat. Put. No. 23 p/HUM//2009
Di*iM f@,oiwan ,}tdtt hd ANa MMil iEMd ffidyangtemw Eh ail : kepil tuaen@m h kama ha ghg-go.td Tdp : 021-391 3348 (an3t8)
d* *lafu MMkao hldmd pdi,4 ffi dil akd *Mgai bnfi* tffin Mahkand, Agut.ry d* NayMFnx, hnspeant de akdebils IEra,@fu{,si padatuslil tuu hldwd yang *htusya .da, Mmun lIJfunMb, @t6 tphp sqe6 hbungi Kepnilera* Mahhffi Agw H M :
Halaman
I
4/adila^,
Direktori Putusan Mahkamah .Agung Republik
lndonesia
9T
Pertambangan, Mahkamah Agung berpendapat alasan pemohon tersebut dapat dibenarkan/berdasar hukum
;
Menimbang, bahwa jelas muatan Surat Edaran rn /Ifl.s bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1g6g karena kewenangan Bupati untuk memberikan tzin Usaha Pertambangan/Kuasa pertambangan,
apabila dil?rang/dicabut seharusnya dengan/dalam bentuk peraturan Pem=erthtah ji.rga bukan dengan Surat Edaran sebagaimana oUyei :keheratah Flak Uji Materiil
,,,,' '
;
'
'
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut ierbukti bahwa Surat Edaran Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan panas Bumi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral DJB/2009 tanggal 30 Januari
2009,
Rl
Nomor
:
03.E/31/ pertambangan tentang Perizinan
Mineral dan Batubara Sebelum Terbitnya Peraturan pemerintah Sebagai Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
200g yang menjadi obyek
keberatan Hak Uji Materiil (vide Bukti P.1), bertentangan dengan peraluran
yang lebih tinggi rn casu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2O0g tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (vide Bukti P-2), sehingga harus dibatalkan, dan oleh karenanya permohonan keberatan Hak Uji Materiil dari Pemohon haruslah dikabulkan ;
l
Menimbang, bahwa dengan dikabulkannya permohonan keberatan
Hak Uji Materiil dari Pemohon, maka biaya pe*ara akan dibebankan kepada Termohon;
Menimbbng, bahwa berdasarkan Pasal
8
ayat (1)
peraturan
Mahkamah Aggng Rl Nomor 1 Tahun 2004, panitera Mahkamah Agung mencantumkah petikan putusan ini dalam Berita Negara dan dipublikasikanl tt:':,
atas biaya negarc;
r
.,
': Mahkamah Agung Rl No. 1 Tahun 2004 telah ditentukan bahwa dalam hal 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan Mahkamah Agung tersebut dikirim
kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut, temyata pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum peraturan
perundang-undangan
yang bersangkutan tidak mempunyai
kekuatan
hukum; Menimbang, bahwa batal demi hukum tersebut dapat dihindari apabila Termohon sebelum habisnya batas tenggang waktu tersebut, mencabut sendiri Peraturan aquo (spontane vemietiging);
Hal.
A*laimd xepertbdfrNilkamil Agu4gR;Nffihe@*MMhMdatum.MMklffidpab|lfr.t Ddd,t hd Ada @Mil inek@i iDtffiedyangMud pad. dbs ini dil tulffit Em ail : bpa n ilMar@tu Mffi ah agu ng. go.id tetp : 021-3013348
(ef,.310)
yang ehetusryG ada
I
dari 11 hat. Put. No. 23 P/HUM//2009
nakudebagaihil*komilfnMehid,AgurtpbyMptbti.,hng,a@qdiafDff@oefikwh*tgttpradtan., Mun bdum EMb. m* h*qt *gen tutuhgi kpaliM nahkdmill{,ung H reffi:
Halaman g
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik lndonesia 4
Memperhatikan paSal-pasal dari Undang-Undang Nomor
98
Tahun
2004, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor Peraturan Mahkamah Agung
'. ",:;.. ::::
peraturan
;
MENGADILI
;r.',,..:, "t.r,.,Mengabulkan permohonan keberatan Hak
',ii,
Tahun 2009 dan
Rl Nomor.l Tahun 2004 serta
perundang+ndangan lain yang bersangkutan ,,
3
Pemohon
: lr. H. IRSAN
Uji Materiil dari
NOOR, M.Si, (Bupati Kutai Timur)
tersebut;
,,
2.
Menyatakan Surat Edaran Direktur Jenderal Mineral, Batubara,
dan Panas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral RI Nomor 03.E/31/DJB/2009 tanggat 30 Januari 2009 tentang
Perizinan Pertambangan
dan Batubara Sebelum
Terbitnya
Peraturan Pemerintah Sebagai Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor
4
Tahun 2009 bertentangan dengan ketentuan yang
berlaku dan lebih tinggi yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, dan karenanya tidak sah dan tidak berlaku umum
;
3. Memerintahkan kepada Menteri Energidan Sumber Daya Mineral Rl untuk membatalkan dan mencabut Surat Edaran Direktur Jenderql, lylineral;rB"1ur"Or, dan Panas Bumi Departemen Energi
da,1€.Umber Daya Mineral Rt Nomor 03.E/31/DJB/2009 tanggal .,,,3Q.oJEnu"ri
a
.'::gn
Nomor 4 Tahun 2009 ; ,, , , "ng-Undang 'i,','4. Memerintahkan Panitera Mahkamah Agung Rl mencantumkan
" :::.:; :::. : ,,j, '
2009 tentang Perizinan Pertambangan dan Batubara
,.
',
'
petikan putusan inidalam Berita Negara dan dipublikasikan atas biaya Negara
5. Menetapkan
;
biaya perkara dibebankan kepada Termohon yang
besamya Rp. 1.000.000,- (satu.iuta rupiah)
;
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah
Agung pada hari Rabu, tangggal 9 Desember 2009 oleh prof. DR. H. Ahmad Sukardja, S.H., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, H. lmam Soebechi, S.H., M.H., dan Marina Sidabutar, S.H., M.H., Hakim-Hakim Agung sebagaiAnggota,
dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu
Hat. 10 dari 11 hat. Put. No. 23 P/HUM//2009
A*imer Kery'ib@n Mahkamil, Agary Raliuuit ltldmsia Mga blam lBl A,da mtumukil iduas inlme$ yatg teM Emil : k epan ile E a n@m h k m il agu ng. N j o
Tetp:o2t-3u334a@rt318)
uduk pada
*ttu mMnMil hld@tt pdirp ff t *M tus ffi atu intofrfrri yiltg ss/brueya d., @
*begei bdok kMMA Mahbth AgutE uif* d€yw pt&*. uispfhri df adef* b@dia, n*a harcp eg# huburr
betum
od,a,f
fng-d Frdlan.
Halaman 10
t
Direktori Putusan MahkamahrAgung Republik lndonesia putusan.mahkamahagung.go.id , , iuga oleh Ketua Majelis be""rt" Hakim-Hakim Anggota tersebut dan
99
t:
dibantu oleh Subur MS,"S.H., M.H., Panitera Pengganti, dengan tidak dihadiri oleh para pihak;
Hakim
-
.
Hakim Anggota : ,,:ttd.:
Ketua: ttd.
,,
,tir, :::: :l
H. lmain,S<xibechi, S.H., M.H. .:
r:
,,irti:i..
Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja, S,H.
t1tl,C.
Miirina Sidabutar, S.H., M.H.
- Biaya : 1.Meterai................. Rp. 2.Redaksi................ Rp. Biaya
3. Administrasi
................ Rp.
Jumlah
-
Panitera Pengganti
,'ttd.
6.000,-
,
5.000,-
Subur MS. S.H., M.H.
",,,
:
989.000.-
Rp.1.000.00-0,-
--------;-;---'---:t---.-
Uhtuk Salinan MAHKAMAH AGUNG R.I.
.,,,',,,, a.n.Panitera PaniterC Muda Tata Usaha Negara, t:
rti;qii, a;
i.;,,
ASHADI. SH.
I
l.l',|&,,J,
NrP.220000754
Hal. 11 dari
1t hal. Pd. No.23 P/HUlvy/2009
Asdaifr*
K..€tfud L*rxtuh oatun
Agur|, fupu!,/a
M
EfiT: Telp
:021-3U 33lO (en318)
h,t*,t*ia ,Efitadr. urtu* datu
Munkil
infd@C p,,,t g
*irn
dil ahtatgf6gti M* ,orilrfrn
Mdrkand,
Agw M
da*s@hnBtt,erd,En.,
Halaman
17