MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR : 2/PUU-V/2007 DAN PERKARA NOMOR : 3/PUU-V/2007 PERIHAL PENGUJIAN UU NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945
ACARA MENDENGAR KETERANGAN AHLI DARI PEMOHON, PEMERINTAH DAN PIHAK TERKAIT (BNN) (IV)
JAKARTA
RABU, 18 APRIL 2007
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR : 2/PUU-V/2007 DAN PERKARA NOMOR : 3/PUU-V/2007 PERIHAL Pengujian UU Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap UUD 1945
PEMOHON Edith Yunita Sianturi dkk Scott Anthony Rush
ACARA Mendengar Keterangan Ahli dari Pemohon, Pemerintah dan Pihak Terkait (BNN) (III) Rabu, 18 April 2007 WIB, Pukul 10.00 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 7, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
PROF. DR. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. H. ACHMAD ROESTANDI, S.H. Prof. H.A.S. NATABAYA, S.H., LL.M. I DEWA GEDE PALGUNA, S.H., M.H. Prof. H. ABDUL MUKTHIE FADJAR, S.H., M.S. MARUARAR SIAHAAN, S.H. Dr. HARJONO, S.H., M.C.L SOEDARSONO, S.H.
Cholidin Nasir, S.H.
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
1
HADIR: Kuasa Hukum Pemohon Perkara 2/PUU-V/2007 • • • • •
Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M Ir. Alexander Lay, S.H., LL.M Arief Susijanto, S.H., M.H. Arief Haryanto (Asisten) Meger
Kuasa Hukum Pemohon Perkara 3/PUU-V/2007 • • • • •
Deny Kailimang, S.H., M.H. Harry Pontoh, S.H., LL.M. J. Robert Khuana, S.H. Viktor Yaved Nano, S.H., M.H., M.A. Drs. I Ketut Ngastawa, S.H.
Pemerintah : • • • •
Abdul Rahman Saleh, S.H., M.H (Jaksa Agung) Prof.Dr. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.H. (Dirjen HAM, Departemen Hukum dan HAM) Alex Sato Bya (Jaksa Agung Muda Tata Usaha Negara) Mualimin Abdi, S.H., M.H. (Ka.Bag Litigasi Dept Hukum dan HAM)
Pihak Terkait (BNN) : • • •
Kombes Pol Arief Sumartono (Ka. Koordinasi Satuan Tugas BNN) Kombes Pol Sri Wahyudi (Kapoljabfung BNN) Kombes Drs Badarulzaman (Dirt V Narkoba Mabes Polri)
Ahli dari Pemohon : • • •
Prof. Philips Alston (New York University, USA) Prof. Dr. J.E Sahetapy, S.H., M.A. (Univ. Airlangga, Surabaya) Rachlan Nashidik (Direktur Eksekutif Imparsial Indonesian Human Rights Monitor)
2
AHLI DARI PIHAK TERKAIT (BNN)Langsung (BNN) : • • • •
Prof. Dr. Ahmad Ali, S.H., M.H. (Anggota Komnas HAM. RI) Dr. Rudi Satrio Mukantarjo, S.H., M.H. (Ahli Hukum Pidana, Fakultas Hukum Univ. Indonesia) Brigjen Pol (Purn) Jeane Mandagi, S.H. (Konsultan Utama BNN) KRH Henry Yosodiningrat, S.H.
3
SIDANG DIBUKA PUKUL 10.00 WIB 1.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDIQIE, S.H. Baik Saudara-saudara, sidang Mahkamah Konstitusi untuk pemeriksaan perkara ini dengan ini saya nyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X
Assalamu’alaikum wr. wb.
Selamat pagi dan salam sejahtera buat kita semua. Saudara-saudara sekalian, sidang Mahkamah Konstisusi pada hari ini akan memeriksa perkara pengujian undang-undang yang diajukan oleh Pemohon dalam rangka menguji konstitusionalitas pasal yang berkaitan dengan sanksi pidana mati yang tercantum dalam UndangUndang tentang Narkotika. Dan sebelum kita mulai karena nanti fokus pemeriksaan akan kita lakukan untuk memeriksa bukti-bukti khususnya mendengarkan keterangan Ahli yang diajukan oleh pihak Pemohon dan juga nanti akan ada ahli yang diajukan oleh pihak Pemerintah atau pihak yang terkait. Tapi sebelum kita mulai kita silakan dulu Saudara-saudara yang hadir dalam sidang ini untuk memperkenalkan diri, mulai dari Pemohon dulu, silakan. 2.
KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. TODUNG MULYA LUBIS, S.H., LL.M Terima kasih Yang Mulia. Kami kuasa Pemohon pertama, saya sendiri Todung Mulya Lubis, kemudian di sebelah kiri saya Saudara Arif, di sebelah kanan saya Saudara Alex, di belakang kami ada Saudara Heryanto Young, kemudian Saudara Arif asisten kami dan Saudara Meger, tidak kelihatan karena ada tembok, terima kasih Yang Mulia.
3.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDIQIE, S.H. Baik, saya ucapkan selamat datang, selanjutnya Pemohon kedua, silakan.
4.
KUASA HUKUM PEMOHON : HARRY PONTOH ,S.H., LL.M Baik terima kasih Yang Mulia, sebelah kiri saya adalah Denny Kailimang, sebelah kanan saya adalah Robert Kuana dan sebelah kanan
4
belakang saya adalah Ketut dan di tengah adalah Viktor Neno dan saya sendiri Hary Ponto, terima kasih. 5.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDIQIE, S.H. Baik, selamat datang, selanjutnya saya persilakan dari pihak Pemerintah.
6.
PEMERINTAH : ABDUL RAHMAN SALEH, S.H., M.H (JAKSA AGUNG) Terima kasih Majelis yang mulia. Dari pihak pemerintah kami sendiri Jaksa Agung Republik Indonesia. Sebelumnya saya minta memperkenalkan diri.
7.
PEMERINTAH : ALEX SANTO BYA (JAKSA AGUNG MUDA dan TATA USAHA NEGARA) Terima kasih Bapak Jaksa Agung, Yang kami hormati Majelis, saya Alexato Bia, Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara.
8.
PEMERINTAH : Prof. Dr. HARKRISTUTI HARKRISNOWO, S.H., M.H. (Dirjen HAM, DEPARTEMEN HUKUM dan HAM) Terima kasih Bapak Ketua, saya Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.H. mewakili Menteri Hukum dan HAM bersama semua jajaran di Dephukham, terima kasih.
9.
PIHAK TERKAIT : Kombes PoL ARIEF SUMARTONO (KA.KORD. SATUAN TUGAS BNN)
Assalamu’alaikum wr. wb.
Yang mulia Bapak Ketua, mohon izin, kami dari Badan Narkotika Nasional bersama dari Direktorat IV Narkoba Bareskrim Polri hadir, terima kasih. 10. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDIQIE, S.H. Baik, saya ucapkan selamat datang pada Saudara-saudara semua dan setelah itu saya persilakan juga untuk memperkenalkan diri Saudara calon Ahli. Pertama saya persilakan kepada Saudara Philip Alston, selamat malam, silakan.
5
11. AHLI DARI PEMOHON : Prof. PHILIPS ALSTON (New York University, USA)
My name is Philips Alston, I am a professor law at New York University. 12. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDIQIE, S.H. Baik, apakah nanti Saudara akan diambil sumpah menurut agama Kristen atau Katolik atau hanya berjanji tidak menurut agama? 13. AHLI DARI PEMOHON : Prof. PHILIPS ALSTON (New York University, USA)
I am going to pronounce my oath. 14. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDIQIE, S.H. Baik, terima kasih. Selanjutnya saya persilakan Saudara-saudara Ahli yang diajukan oleh Pemohon dan juga nanti Ahli yang diajukan oleh Pemerintah, mulai dari yang diajukan oleh Pemohon memperkenalkan diri saja dulu nanti baru pengambilan sumpah, silakan. 15. AHLI DARI PEMOHON : Prof. Dr. J.E. SAHETAPY, S.H., M.A. Nama saya J.E. Sahetapy, mantan pendidik di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, terima kasih. 16. AHLI DARI PEMOHON : RAHLAND NASIDIK Yang mulia, saya Rahland Nasidik, Direktur Eksekutif Imparsial di
Indonesian Human Rights Monitor.
17. AHLI DARI PIHAK TERKAIT YOSODININGRAT, S.H.
(BNN)
:
KRH.
HENRY
Assalamu’alaikum wr. wb.
Yang mulia, saya Henry Yosodiningrat, diajukan oleh pihak terkait, terima kasih. 18. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (BNN): Brigjen Pol. (Purn) JEANE MANDAGI, S.H. Yang mulia, saya Jeane Mandagi, konsultan utama dari Badan Narkotika Nasional, terima kasih.
6
19. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (BNN) : Prof. Dr. AHMAD ALI, S.H., M.H. Majelis yang mulia, saya Ahmad Ali, Guru Besar Ilmu Hukum dan juga kebetulan adalah anggota Komisi Nasional HAM RI, terima kasih. 20. AHLI DARI PIHAK TERKAIT MUKANTARJO, S.H., M.H.
(BNN)
:
Dr.
RUDI
SATRIO
Terima kasih.
Assalamu’alaikum wr. wb.
Yang mulia, nama saya Rudi Satrio Mukantarjo, staf pengajar hukum pidana pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, terima ksih. 21. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDIQIE, S.H. Baik Saudara-saudara sekalian, termasuk Saudara Alston di Amerika Serikat. Saya ucapkan selamat datang dalam persidangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan sebagaimana tadi sudah saya sampaikan fokus pemeriksaan kita hari ini adalah untuk memeriksa keterangan ahli baik yang diajukan oleh Pemohon maupun yang diajukan oleh Pemerintah atau pihak yang terkait. Sebelum kita mulai, karena pemeriksaan akan menggunakan bahasa Inggris, karena Saudara Alston berbahasa Inggris, maka kita memerlukan petugas penerjemah dan terlebih dahulu petugas penerjemah akan diambil sumpah, baru setelah itu Saudara-saudara Ahli akan juga diambil sumpah menurut agamanya masing-masing. Saya persilakan petugas penerjemah, silakan penerjemah! Saya persilakan Hakim Maruarar mengambil sumpah. 22. HAKIM KONSTITUSI KONSTITUSI : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Ikuti saya, “saya berjanji, sebagai penerjemah, akan menterjemahkan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya, semoga Tuhan menolong saya”. 23. PENERJEMAH : PRAHASTO W. PAMUNGKAS Saya berjanji, sebagai penerjemah, akan menterjemahkan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya, semoga Tuhan menolong saya.
7
24. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDIQIE, S.H. Selanjutnya saya persilakan Saudara Ahli yang nomor satu, saya persilakan Saudara Alston untuk berdiri untuk mengucapkan sumpah, saya persilakan. 25. HAKIM KONSTITUSI : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Saya bersumpah, sebagai Ahli, akan menjelaskan yang sebenarnya, sesuai dengan pengetahuan saya, dengan sebaik-baiknya, semoga Tuhan menolong saya. 26. AHLI DARI PEMOHON : Prof. PHILIP ALSTON (New York University, USA)
I am promise, as an expert, to tell the whole truth, in according to my knowledge and based on my expertise, so help me God. 27. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDIQIE, S.H. Terima kasih, silakan duduk. Baik Saudara-saudara kita lanjutkan, apakah sekarang diambil sumpah, tapi karena banyak saya rasa kita fokuskan ini dulu ya! Keterangan Saudara Alston dulu dan karena itu nanti pengambilan sumpah untuk Ahli yang lain kami harapkan kita lakukan sebelum pemberian keterangan dari ahli yang bersangkutan. Sekarang, sebagaimana tadi saya kemukakan kita akan mendengarkan Saudara ahli yang sudah diambil sumpahnya ini sesuai dengan apa yang diajukan dimohonkan oleh Saudara Pemohon dan untuk itu saya persilakan Saudara Pemohon mengajukan pertanyaan kepada Ahli apa gerangan keterangan yang diperlukan yang ingin dimohonkan, diharapkan oleh Pemohon agar disampaikan oleh Ahli berkaitan dengan pembuktian dalildalil permohonan Saudara, saya persilakan. 28. AHLI DARI PEMOHON : Prof. PHILIP ALSTON (New York University, USA) Okay. 29. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDIQIE, S.H. Saya persilakan pertanyaan diajukan oleh Pemohon.
8
30. AHLI DARI PEMOHON : Prof. PHILIP ALSTON (New York University, USA)
Should I make a statement first or will be questioned immediately? 31. KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. TODUNG MULYA LUBIS, S.H., LL.M Terima kasih Yang Mulia. Prof. Philip Alston (New York University, USA), Saudara juga seorang special rappourteur dari PBB. Saya ingin menanyakan mengenai Pasal 6 International Covenant on Civil and Political Rights. Ada yang mengatakan, Pasal 6 ayat (2) International Covenant on Civil and Political Rights untuk membenarkan pemberlakuan hukuman mati. Tetapi ada pula yang berargumen bahwa sekalipun Pasal 6 mengizinkan hukuman mati, Pasal 6 sesungguhnya menghendaki penghapusan dan tidak dapat digunakan untuk membenarkan pemberlakuan hukuman mati. 32. AHLI DARI PEMOHON : Prof. PHILIP ALSTON (New York University, USA)
My view of the provision is (…) 33. KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. TODUNG MULYA LUBIS, S.H., LL.M Bahkan pemberlakuan hukuman mati, 34. AHLI DARI PEMOHON : Prof. PHILIP ALSTON (New York University, USA)
My view of the provision is reflected in a statement made by the South African Constitutional Court which I would like to quote. Should I give you time to interpret? 35. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDIQIE, S.H. Silakan 36. AHLI DARI PEMOHON : Prof. PHILIP ALSTON (New York University, USA)
Can I go on now? Okay?
9
37. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDIQIE, S.H. Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan 38. AHLI DARI PEMOHON : University, USA)
Prof. PHILIP ALSTON (New York
The South African Constitutional Court stated that article six tolerates but does not provide justification for the dead penalty. In fact the provision of article 6 favors abolition but they leave open for political reason the fact that it will take time for government to eliminate the dead penalty. The provision of article six favors abolition of the dead penalty but it leaves open the possibility of the dead penalty in recognition of the fact that it will take time for any States to eliminate it. First the covenant clearly points in the direction of abolition of the dead penalty. At the same time it leaves open the possibility that some States will temporarily retain the dead penalty. My view is that article 6 needs to be examined primarily in term of the restriction that is imposes upon the dead penalty. Sorry, article 6 needs to be interpreted in light of the considerable limitation which is imposes upon the dead penalty. I think I would be happy to proceed to the next question ; 39. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDIQIE, S.H. Silakan Saudara Pemohon 40. KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. TODUNG MULYA LUBIS, S.H., LL.M Dalam Pasal 6, disebut apa yang dikenal the most serious crime, dimana hukuman mati itu masih dimungkinkan, pertanyaan saya adalah apakah the most serious crime itu? Apakah rumusan the most serious crime itu merupakan hak dan kebebasan setiap warga negara atau adakah otoritas internasional untuk menentukannya? 41. AHLI DARI PEMOHON : University, USA)
Prof. PHILIP ALSTON (New York
Thank you, the first point is that the objective of the provision is to limit as carefully as possible the range/number of crimes for which dead penalty can be imposed. The objective of this phrase is to impose a strict limitation, on the range of crimes for which the dead penalty can be imposed. 42. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDIQIE, S.H. Baik, lanjutkan!
10
43. AHLI DARI PEMOHON : University, USA)
Prof. PHILIP ALSTON (New York
It is a common technique of human right treaties to adopt general language which assumes that the detail meaning of the provision will be developed through the processes of interpretation adopted by international bodies as well as domestic court. So the used of the general phrase most serious crime was intentionally left open. What has been happened since 1966 when the covenant was adopted is what happens to all international human right norms. In other words the challenges before bodies such as the United Nation Commission on Human Right , and the Human Right Committee which operate under the covenant is to interpret what does provision means in practice. The Human Right Committee has effectively rejected every case in which a death has not been involved. In other words its requirements is fact a most serious crime must involve a death. The other technique which is always used at the international level is the adoption by the UN General Assembly of interpretive statement which reflects the emerging consensus of government. In 1984, the economic and social council and the general assembly of the UN, adopted what I called the United Nation Safeguard. The safeguard are to guarantee the protection of the right of those who facing the death penalties. Those safeguard include the following provision, the most serious crime should not go beyond intentional crime with lethal or other extremely grave consequences. With lethal that means involving death or other extremely grave consequences. The result of these safeguard combined with the jurisprudence generated by the United Nations committee is too arrived at objective statement of what are the most serious crime. The result of the safeguard and the work of human rights committee is the adoption and objective standard is important to acknowledge that individual state must be permitted to adopt their own approach. Only in so far as it is consistent with the international standard. Over the pass two decades, various individual state have tried to interpreted the most serious crime to include a very abroad range of offences. Some of those offences are moral, in other word the death penalty for homosexuality or for adultery, some of the standards have been economic in other words the death penalty for corruption or extortion, some of the crime have related to public order issues, the result is that if all of these different crimes were accepted as being among the most serious crime, we would be able to imposed the death penalty for literary hundred of different crimes. If all of that different reason were accepted, it would then be legitimate to impose the death penalty for literary hundred of different crimes. Therefore the international community has agreed that it is essential for that to be common standard which does not permit the 11
individual preferences of state to dictate the international standard. The result is the in urgent of the standard which required that the crime should result in the lost of life. I think that is my answers. 44. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDIQIE, S.H. Oke, sebelum dilanjutkan ke pertanyaan berikutnya nampaknya penerjemah ini bahasa Inggrisnya lebih bagus dari bahasa Indonesianya, jadi mungkin nanti kita fungsikan untuk menerjemahkan dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris untuk menjelaskan kepada Profesor Alston kalau ada yang tanya, namun untuk keterangan Saudara Alston dalam bahasa Inggris mungkin baik pemerintah, pemohon, maupun yang lain juga bisa menangkap pesannya sehingga oleh karena itu tidak usah diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia, nanti terjemahannya dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris saja kalau nanti ada pertanyaan dan lain-lain sebagainya, menimbang pertama ini untuk kelancaran komunikasi, sebab kalau nanti komunikasi tidak lancar bisa mengganggu pemberi pesan bisa mengganggu juga penerima pesan. Kedua pertimbangan kejelasan maksud, maksudnya lebih jelas dan yang ketiga efisiensi waktu. Jadi kalau saudara-saudara keberatan saya rasa Saudara Penerjemah difungsikan untuk menerjemahkan dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. Jadi saudara pemohon silakan ajukan pertanyaan selanjutnya dalam bahasa Indonesia, lalu nanti diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh penterjemah. Nanti Saudara Alston silakan menjelaskan bebas tidak terganggu lagi dengan interupsi di tengah jalan. Saya kira begitu ya? Baik, silakan. 45. AHLI DARI PEMOHON : Prof. PHILIP ALSTON (New York University, USA)
Okay?
Yes, you mean that I can just speak without your interpretation?
46. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDIQIE, S.H. Silakan Pemohon? 47. KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. TODUNG MULYA LUBIS, S.H., LL.M Kalau tadi dikatakan interpretasi subjektif negara itu bisa menimbulkan rangkaian kejahatan yang begitu luas, begitu banyak kejahatan. Saya ubah saja, apakah pengedaran obat-obat terlarang termasuk kategori the most serious crime?
12
48. AHLI DARI PEMOHON : Prof. PHILIP ALSTON (New York University, USA)
Now in my view, first let me say how much I appreciate the gesture of the court to permit me to speak in English. I very much wish that I could converse in Bahasa Indonesia. In responds to the question, my view is that many different states would nominate their own particular crime which in their view is the most serious and I gave the example before of adultery for example. Of economic crimes and in the case of Indonesia drug trafficking. If international law want to leave it to each state to identify what is the most serious crime the international standard would have no content and so statement in article 6 paragraph 2 would mean nothing because every state would be able to adopted its own interpretation and that would be no limit. It is for that reason, that the single international standard would have no content. And so the statement in article 6 paragraph 2 would mean nothing because every state would be able adopted its own interpretation and they would be no limit. It is for that reason that the single international standard requires the lost of life, it is clear that drug trafficking does not per says, not directly involved the lost of life. And therefore in my view, does not constitute one of the most serious crime. 49. KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. TODUNG MULYA LUBIS, S.H., LL.M Bisa saya lanjutkan? Kejahatan kemanusiaan dan genosida selalu dimasukkan dalam pengertian the most serious crime. Dalam pengadilan-pengadilan hak asasi internasional seperti yang terjadi bekas Yugoslavia, Rwanda, Sierra Lione termasuk juga International Criminal Court, kejahatan kemanusiaan dan genosida tersebut tidak diancam pidana mati, mengapa? Dapatkah Saudara menjelaskan hal ini? 50. AHLI DARI PEMOHON : Prof. PHILIP ALSTON (New York University, USA)
In the last fifteen years, during the time when the various international criminal tribunals has been established, there was generally a debate over whether the death penalty should be included. In the case of the tribunal for Yugoslavia and Rwanda it was agreed that the death penalty should not be applied. And there were very view state which objected to that decision. In 1998, however, at the Rome conference when the international criminal court statue was adopted, there was much more vigorous debate about the maintenance of the death penalty. It was agreed ultimately however that the inclusion of the death penalty would make it impossible for many state, the majority of the state in fact, to ratify the statue because they had clearly abolished or would not prepared to use the death penalty. As a result, none of the 13
international tribunal is able to impose the death penalty even for the most serious crime which does involved killing. 51. KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. TODUNG MULYA LUBIS, S.H., LL.M Pertanyaan terakhir dari saya majelis karena waktunya juga sangat pendek, bisakah Saudara Ahli menjelaskan perkembangan dinamika terakhir dari pembicaraan-pembicaraan mengenai hukuman mati di dalam badan-badan hak asasi manusia PBB? 52. AHLI DARI PEMOHON : Prof. PHILIP ALSTON (New York University, USA)
Thank you. I think the developments in United Nations itself are very clear. There is a strong trend toward the abolition of the death penalty in term of the policy statement consistently adopted by United Nation bodies. However, in some way that is less interesting than to observe what is happening among individual state and for Indonesia, what is of particular interest is what is happening in Asia. It is generally considered that Asia is the most tolerant region in term of permitting the death penalty. In Europe is finished—death penalty. In Latin America it is being largely eliminated. In Africa there is now a strong trend toward abolition that leave the middle east, Asia, and of course the United State as the region which tend to differ. It is however extremely important to look more closely at what is happening in Asia. First of all, there are 25 countries, from the Asia Pacific region which have abolished the death penalty. Secondly, there have been very important recent development, the most significant is the definitive abolition by the government of Philippines of the death penalty in June 2006. in South Korea there have been various proposal and it seems likely that they will abolish the death penalty. China is very often criticize because it execute more people than any other country, but it is very important to note first of all, that in correspondent with my pre assessors, the Chinese government has noted that the ultimate worldwide abolition of the death sentences will be the inevitable consequences of historical development. In other words, the official position expressed to me by China, is that of course one day the death penalty will be universally abolish. In China there is a very active debate among judges and law reformers about the need to adopt a much more restrictive approach to the concept of the most serious crime. And finally I would mention Singapore because Singapore is of course what I would call the heart liner in Asia. The Chinese government is open to discussion; the government of Singapore will listen to no discussion. Last week, the law society of Singapore made an official submission to the government urging that the 14
mandatory the death penalty should be abolish. They argue that it is necessary to humanize the law in Singapore and to reflect the evolving standard of decency in Singapore society. Now it is important to note that they are not drawing upon international standard because that is not what Singapore wants to do, it wants to make it own decision. But, they are clearly under very strong pressure to spite the denial of their government to move towards a significant change in their policy. So my conclusion Your Honor, would be that even within Asia there is now a strong push towards the abolition of the death penalty. I would like to add, if I may one other dimension which is important. When I met with the foreign minister of the Philippines just a few week ago, he emphasize that the Philippines was very conscious of the problem faced by its migrant workers in the gulf region in particular. There are many Philippinos just as there are many Indonesian who have been sentenced to death in the Middle East. The feeling in Philippines is that the government which asked that is own citizen should not be executed in the Middle East has no credibility if it maintain the death penalty at home. So we can see that there is a strong link between the standard that we would like to demand of other countries and the standard which we adopt for ourselves. And so the decision by the Indonesian court, in this case, will have very important implication for the possibility of trying to reduce the used of the death penalty imposed on Indonesian citizen overseas. Thank you. 53. KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. TODUNG MULYA LUBIS, S.H., LL.M Dari kami cukup sekian Yang Mulia. 54. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Baik, baiklah Saudara-saudara terutama Saudara yang mewakili Pemerintah dan Jaksa Agung dan Dirjen sekiranya mau mengajukan pertanyaan saya persilakan. 55. PEMERINTAH : ABDUL RAHMAN SALEH, S.H., M.H (JAKSA AGUNG RI) Terima kasih Yang Mulia, Kalau kami sendiri, saya tidak tahu dari tim Pemerintah yang lain karena ini semata-mata hanya pendapat dari yang bersangkutan dan pendapat itu sama sekali berbeda dengan pendapat kami, maka tidak akan mengajukan pertanyaan karena pada hemat kami beberapa preposisi alasan yang diberikan malah memperkuat karena beliau sendiri mengakui tetap ada hak pada negara-negara untuk memilih apakah akan
15
tetap mencabut hukuman mati atau tidak? Selebihnya himbauan moral dan itu kami berbeda Majelis yang mulia. Terima kasih. 56. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Atau ada dari Ibu Dirjen? 57. PEMERINTAH : Prof. Dr. HARKRISTUTI HARKRISNOWO, S.H., M.H (Dirjen HAM DEPARTEMEN HUKUM dan HAM) Kami sepakat dengan Pak Jaksa Agung, terima kasih. 58. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Apa dari BNN ada? 59. PIHAK TERKAIT : Kombes Pol KOODINASI SATUAN TUGAS BNN)
ARIEF
SUMARTONO
(KA.
Saya coba kami apa yang sampaikan oleh Bapak Jaksa Agung demikian, namun kami akan menambahkan satu kata saja Pak bahwa yang lebih tahu tentang Indonesia adalah bangsa kita sendiri. Terima kasih Pak. 60. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Baik, kalau tidak ada pertanyaan. Bagaimana ada yang mau tanya dari Majelis? Ada? Ibu Mandagi mau bertanya apa sebagai BNN atau sebagai Ahli? Kalau Ahli nanti saja, nanti akan dapat kesempatan untuk memberi kesempatan untuk memberi keterangan. Boleh berbeda pendapat, boleh juga sama. Kalau tidak ada yang mau ditanyakan dari Pemohon karena ini Pemohon yang mengajukan Ahli Prof Alston adalah Pemohon I maka tentu yang kami beri kesempatan mengajukan pertanyaan tadi adalah Pemohon I, nanti Pemohon II tentu ada Ahli yang diajukan nanti tanya sendiri. Sekarang saya persilakan kalau ada yang mau tanya silakan. Jadi Majelis Hakim meskipun ini hanya pertanyaan dalam rangka kami menggali keterangan sebanyak mungkin yang kami perlukan dalam memeriksa ini maka saya persilakan untuk bertanya mungkin dua saja; satu di kiri satu kanan, siapa? Silakan! 61. HAKIM KONSTITUSI : I DEWA GEDE PALGUNA, S.H, M.H Terima kasih, Bapak Ketua.
16
62. KETUA :Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H Ya, Hakim Palguna silakan. 63. HAKIM KONSTITUSI : I DEWA GEDE PALGUNA, S.H, M.H Profesor Alston, saya ingin menanyakan kalau melihat penjelasan Saudara Ahli tadi bahwa masalah hukuman mati itu diserahkan kepada penafsiran masing-masing negara dengan pengertian bahwa sepanjang hal itu memenuhi standar internasional. Pertanyaan saya ada dua, pertama apa yang dimaksud standar internasional itu hanya sematamata yang ditentukan oleh norma hukum perjanjian internasional ataukah juga itu termasuk standar yang dimaksud dalam Customary International Law dan General Principle of Law? Pertanyaan saya yang kedua dengan penjelasan seperti itu bagaimana Saudara Ahli mengartikan pengertian arbitrary yang terdapat di dalam ayat (1) dari Pasal 6 ICCPR? Terima kasih. 64. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDIQIE, S.H.
Oke yang kedua, jadi jangan dijawab dulu silakan yang kedua
Hakim Natabaya!
65. HAKIM KONSTITUSI : Prof. HAS NATABAYA SH, LLM Prof Alston menurut ICCPR bahwa proses dalam rangka abolished daripada hukuman mati itu menurut Pasal 2 paragraf 2 bahwa proses itu harus dilakukan dengan secara oleh badan legislatif. Pertanyaan saya adalah, apakah menurut pengetahuan Profesor Alston apakah ada kasus mengenai abolished mengenai norma larangan hukuman mati di dalam rangka perubahan undang-undang di suatu negara diperiksa oleh suatu Mahkamah Konstitusi daripada negara-negara? Demikian. 66. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDIQIE, S.H.
Nah, sekarang pertanyaan terakhir hakim ketiga Hakim Harjono, saya persilakan. 67. HAKIM KONSTITUSI : Dr. HARJONO, SH, M.CL Terima kasih, Saudara Ahli di dalam keterangan anda tersimpul adanya kemungkinan bahwa pengenaan hukuman mati masih terbuka sejauh kejahatan itu menimbulkan kematian langsung apakah menurut Ahli bahwa kematian yang ditimbulkan oleh kejahatan yang
17
berhubungan dengan drugs tidak merupakan suatu persoalan yang serius di dalam suatu kemanusiaan? 68. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDIQIE, S.H. Baik, cukup. Saya persilakan dijawab oleh Saudara Alston. 69. AHLI DARI PEMOHON : Prof. PHILIP ALSTON (New York University, USA)
Okay, thank you very much. With the respect to the first question, international law in these area is determine in the same way as it is other area so the practice of state is very important the decision adopted by intergovernmental body are important and so to are the interpretation adopted by legal bodies such as the human rights committee. It is important however not to restrict international law to the category customary law or general principles of law. If we were to do that, we would arrive at extremely restrictive definition of what actions are not permitted at international law. Instead in a country like Indonesia, which has ratified the international treaty we don’t worry about customary law or general principles instead we relied directly on provision of applicable treaty and in those provision that we are now seek to interpret. In term of the being of the word arbitrary in article 6 paragraph 1 which state that no one shall be arbitrary deprived of his life that is a word which is designed to emphasized that the death probation of life need to take place on the basis of respect for the various principle which are reflected in the remain of the provision of article 6 and also in respect to the covenant as a whole. And so the emphasized on avoiding arbitrary death probation of life then refer us back to the definition of what is the most serious crimes. In other word, the probation on imposing the death penalty for a crime which is of a lower ranks than those most serious crimes. That is my view of the role played by the word arbitrary in this context. The third question was, I think mainly concern with the role played by the constitutional court in relation to the death penalty. There is actually a very substantial tradition of constitutional court particularly in democratic society such as Indonesia, adopting very clear approach, which seek to limit all perhaps abolished the death penalty. The most famous case perhaps is that of Magwanyani [sic!]—the South African constitutional court case of 1995 the constitution drafter in South Africa deliberately left opens the question of whether the death penalty was compatible with the human rights principles contain in the constitution. The court undertook a very detail examination of international standard,
18
but also particularly of South African standard and tradition and concluded that the death penalty was no longer permit able. Two years earlier, the Supreme Court in Zimbabwe which that time was functioning effectively also declared the death penalty to be unconstitutional. In European context—one of the most important decision by far has been the souring case adopted by the European court of human rights which held it is not permit able for European country to extradite a person to a country in which they would face the death penalty. All these judicial interpretation of the relevant international and domestic standard. Finally I am might note—again—that in China the trend towards significantly limiting the used the death penalty has been persuade primarily by giving overall responsibility to the Supreme Court in Beijing to review very case very carefully. It is now expecting that the Chinese Supreme Court will begin to develop a jurisprudence which is likely to be much more restrictive and limiting than that which has been persuade by the various regional court. The final question concern the situation in which death result from a crime involving drugs. In many ways, this is perhaps the most important non legal question at least, of course it has an important legal dimension, but when the viewed is express by the member of the public, the opinion would be that importation or the trafficking of drugs leads to a significant number of deaths, because are the individuals will consumed those drugs and will die as a result. I think it is extremely important to emphasize that non imposition of the death for drugs trafficking does not need in any way to understate the severity of the crime of drugs trafficking. In other words, drugs’ trafficking is a criminal offense which deserves a very strong punishment because of the effect that it has within in society. However, there are a number of different crimes which lead other people, other individual to do things of their own free will which will lead to their death, but we do not than said that the person who committed the original act is in some way directly responsible for action taken by other individual of their own free will. And so my view would be that drug trafficking while a crime which deserve to be heavily punish is not a crime which can reasonably be interpreted as one which literary involved the killing of a person by the accused. So my understanding is that drug trafficking needs to be punish severely but that it does not need the necessary test solely for the purposes of the death penalty of being the most serious crime because it does not directly to a death, but just to repeat that in no way suggest that a serious punishment is not appropriate. It is to suggest however that death is not an appropriate respond to the crime of drug trafficking, thank you.
19
70. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDIQIE, S.H. Baik, terima kasih. Cukup? Hakim cukup ya? Saudara Pemohon cukup? Baiklah, diterjemahkan Saya dengan demikian, saya mengucapkan atas nama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengucapkan penghargaan kepada Saudara Profesor Alston. Saya ucapkan terima kasih telah bersedia bertindak sebagai Ahli yang diajukan oleh Pemohon dan juga terima kasih atas keterangannya yang berguna bagi kami dalam memeriksa perkara ini. Sekali lagi, terima kasih. Baik, Saudara-Saudara (…) 71. AHLI DARI PEMOHON : Prof. PHILIP ALSTON (NEW YORK UNIVERSITY, USA)
Thank you very much Your honor, thank you. 72. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDIQIE, S.H. Baik, Saudara-Saudara sekalian sidang kita lanjutkan untuk mendengarkan keterangan dari Ahli yang diajukan oleh Saudara Pemohon kedua dan juga yang diajukan oleh Pemerintah. Saya persilakan pertama, yang diajukan oleh Pemohon I dan kemudian Pemohon I mengajukan Profesor Sahetapy begitu ya? Kemudian Pemohon II mengajukan Pak Rahlan Nasidik. Lalu dari Pemerintah dan BNN Prof. Dr. Ahmad Ali, kemudian Dr. Rudi Satrio, dan K.R.H. Henry Yosodiningrat, bagaimana orang Lampung ada KRH-nya? Kemudian Ibu Brigjen Polisi Purnawirawan Jeane Mandagi. Saya persilakan lebih dulu Pak Sahetapy untuk diambil sumpahnya. Saya persilakan petugas atau sekalian saya mohon yang beragama Nasrani atau Katolik berapa orang? Dua orang sekaligus saja boleh ya, supaya praktis, silakan petugas! 73. HAKIM KONSTITUSI : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Bisa Pak Sahetapy dan Ibu Mandagi berdiri? 74. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDIQIE, S.H. Silakan berdiri.
20
75. HAKIM KONSTITUSI: MARUARAR SIAHAAN, S.H. Untuk mewakili Ahli, saya kira Pak Sahetapy menaruh tangan kiri di atas Alkitab dan cukup Pak Sahetapy ya? 76. AHLI
DARI PEMOHON : Prof. Dr. JE SAHETAPI, S.H., MA. Saya biasa berjanji di pengadilan, bukan bersumpah.
77. HAKIM KONSTITUSI : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Ya, nanti berjanji dia punya teks, bisa tangan kirinya saja di atas. Ikuti dua-dua dengan tangan kanan di atas Pak. Ibu Mandagi silakan. “Saya berjanji bahwa saya sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong saya” 78. AHLI DARI PIHAK TERKAIT : Prof. Dr. JE SAHETAPI, S.H., MA dan Brigjen Pol (PURN) JEANE MANDAGI, S.H. (Disumpah) “Saya berjanji bahwa saya sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong saya” 79. HAKIM KONSTITUSI : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Silakan duduk Pak. 80. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDIQIE, S.H. Silakan duduk dan dilanjutkan empat Ahli lainnya. Saya persilakan berdiri. 81. HAKIM KONSTITUSI : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Saudara-Saudara diminta mengikuti lafal sumpah yang bakal dibacakan, “Demi Allah saya bersumpah sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya”. 82. AHLI DARI PIHAK TERKAIT: (Prof. Dr. ALI AHMAD, S.H., M.A., Dr. RUDI SATRIO, S.H., M.H. , KRH HENRY YOSODININGRAT, S.H. dan RACHLAN NASHIDIK) Disumpah Demi Allah saya bersumpah sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya tidak lain dari yang sebenarnya.
21
83. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDIQIE, S.H. Silakan. Baik, Saudara-saudara satu orang diajukan oleh Pemohon satu, satu orang diajukan oleh Pemohon dua, empat orang diajukan oleh Pemerintah atau pihak terkait. Pertama saya persilakan dulu kepada Pemohon satu untuk mengajukan pertanyaan kepada ahli yang diajukan oleh Saudara. Saya persilakan, nanti dilanjutkan Pemohon dua Pak Rahlan dan seterusnya dengan Pemerintah. Silakan. 84. KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. TODUNG MULYA LUBIS, S.H., LL.M Terima kasih Yang Mulia. Saudara Ahli, kalau saya tidak salah pada tahun 1958 Saudara Ahli menulis skripsi dengan judul Pidana Mati dalam Negara Pancasila. Di situ Saudara Ahli menjelaskan, bahwa pidana mati itu bertentangan dengan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Apakah Saudara Ahli dapat memberikan penjelasan yang lebih terang kepada kita semua? Mengapa Saudara Ahli mengatakan bahwa pidana mati bertentangan dengan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia? Silakan Saudara Ahli! 85. AHLI
DARI PEMOHON : Prof. Dr. JE SAHETAPI, S.H., MA.
Bapak Ketua Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan dan para anggota yang saya muliakan juga. Memang betul 49 tahun yang lalu saya kira sebagian di sini juga mungkin belum lahir pada waktu itu, kalau sudah lahir masih kecil. Waktu itu meskipun guru besar saya Prof. Mulyatno (alm) setuju pidana mati, saya sebagai orang yang berkeyakinan membaca buku Appeldoren sebagai pengantar tata hukum Indonesia pada waktu itu. Buku Appeldoren dipakai dimana-mana. Bahwa historisch onderzoek ef en bevrijden karakter, penelitian dari segi sejarah itu membebaskan kita dari berbagai prasangka, tidak sebagai sekarang ini ada yang dulu belum jadi birokrat, tidak setuju pidana mati. Setelah jadi birokrat, setuju pidana mati dan seterusnya. Ada yang dulu setuju korupsi, extra ordinary crime, sekarang balik lagi ke ordinary crime. Sekarang di Indonesia begitu, gejalanya—mohon maaf Bapak Ketua—tetapi itu fakta yang bisa kita baca di koran-koran. Jadi waktu itu Bung Karno selalu mengatakan bahwa dengan para sarjana hukum kita tidak bisa membuat revolusi. Saya terus terang saja tergerak, karena Pancasila waktu itu dikatakan tidak boleh dipreteli, meskipun pada waktu itu kalau saya tidak keliru, sudah ada putusan pengadilan, “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, itu
22
sudah dicopot. Kendatipun putusan itu orangnya tidak takut, karena melecehkan Tuhan dengan KKN dan sebagainya seperti yang sekarang terjadi ini. Jadi kalau Pancasila itu betul-betul sebagai yang mengayomi seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka Pancasila itu tidak boleh dipreteli. Kedua, sila kedua itu perikemanusiaan, itu sudah jelas. Jadi kalau saya membaca tokoh-tokoh baik dari PNI, Masyumi semuanya itukan semua setuju. Jadi saya pada waktu itu berpendapat bahwa pidana mati bertentangan dengan Pancasila. Ada memang beberapa ungkapan bahasa Jawa juga, tapi saya agak lupa itu. Karena skripsi saya itu, saya cari-cari sekarang baru ketemu akan mau dicetak lagi, meskipun pakai ejaan Ophuysen. Jadi saya tetap berkeyakinan sampai saat ini bahwa, meskipun saya tidak setuju dengan terorisme, tidak setuju dengan narkotika, semua, tetapi prinsip ialah saya tetap menentang pidana mati. Terima kasih. 86. KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. TODUNG MULYA LUBIS, S.H., LL.M Pertanyaan saya yang kedua, kalau tadi tahun 1958 Saudara menulis skripsi. Tahun 1978, Saudara Ahli menulis disertasi doktoral juga tentang pidana mati, jadi dua kali. Pada disertasi doktoral Saudara Ahli, Saudara Ahli tidak setujuan terhadap pidana mati ditinjau dari aspek kriminologis. Dapatkah Saudara Ahli menjelaskan hal ini? Terutama kalau kita melihat dari sudut pandang aspek penjeraan atau deterrent dan aspek retributive, supaya kita bisa mendapatkan gambaran yang jelas mengenai pandangan Saudara mengenai pidana mati dalam kaitannya dengan aspek kriminologis. Silakan. 87. AHLI
DARI PEMOHON : Prof. Dr. JE SAHETAPI, S.H., MA.
Jadi begini, kalau tahun 1958 saya menulis pidana mati itu bertalian dengan Pancasila, ketika saya menulis disertasi itu pada tahun 1978—jadi 29 tahun yang lalu, saya tertarik. Begini, di fakultas hukum itu pada umumnya sampai sekarang ini kalau diajar hukum ya itu-itu juga. Tidak ada kita diajarkan benologi baru, akhir-akhir ini mungkin viktimologi. Saya membaca sebuah tulisan dari Profesor Frei yang mengatakan begini, “kriminologi membangunkan hukum pidana”. Jadi teori retributive, teori deterrent itu semuanya itu hanya semuanya saya waktu itu minta dana dari yayasan Asia yang sekarang ada di Jakarta ini, saya meneliti di Singapura, meneliti di Belanda, dan meneliti di Amerika Serikat. Sebetulnya saya sudah tahu bahwa di Belanda itu tahun 1870 sudah dihapuskan pidana mati, kenapa Indonesia ini masih terus mempertahankan? Saya buka-buka debat terbuka—tidak seperti sekarang ini kalau debat berbeda, apalagi zaman Orde Baru bisa ditangkap kalau sekarang dimusuhi begitu, jadi bedanya tidak banyak,
23
itu sebetulnya Orde Baru dengan Orde Reformasi ini, bedanya tidak banyak hanya gradasi saja. Maka Piper, saya mohon maaf Bapak Ketua kalau saya nanti saya terjemahkan. Piper mengatakan, ini WVS yang sekarang ini yang selalu terutama dari penegak hukum ngototnya matimatian itu dia mengatakan, Piper mengatakan, itu sebetulnya seperti celana nenek yang sudah lapuk ditempel sana sini kemudian oleh anaknya dan sekarang oleh cucunya Republik Indonesia ini dipakai WVS ini. Jadi saya pikir ada sesuatu yang tidak beres, penelitian saya di Singapura pada waktu itu sebetulnya mereka yang dipidana mati itu juga pada saat terakhir bertobat, mengaku bersalah dalam arti tidak mau lagi tapi pidana mati sudah dijatuhkan. Di Belanda tidak ada 1870, bahkan dalam abad XVII di Inggris ketika orang waktu itu tukang copet digantung ekstra moral jadi digantung seperti di lapangan Merdeka begini supaya orang-orang semua lihat supaya ada deterrent effect-nya itu orang-orang banyak berkumpul, ternyata orang-orang itu paling senang kalau lihat orang mau dihukum mati, seperti institut penganiayaan yang dibiayai negara ini yang sekarang ini di Sumedang sana itu, maka sekarang itu orang semua senang melihat itu, sementara sedang melihat tukang copet tetap merajalela. Jadi deterrent effect-nya itu tidak ada kalau dibilang bohong, ya boleh dibaca aja sejarah dari buku-buku bahasa Inggris yang ditulis pada waktu itu. Perdebatan yang paling hebat itu yang dikatakan oleh Simon yaitu dari Kleinjes [sic!] itu menolak pidana mati karena di Indonesia ini menurut beliau—ini terlepas dulu daripada narkotika terorisme kalau pidana mati yang dipakai secara legalistik positivistik itu, itu sebenarnya karena menurut Kleinjes Indonesia ini sebuah negara yang luar biasa luasnya—mohon maaf—Polisi masih begitu-begitu saja, tidak bisa apaapa dan kalau sekarang polisi tetap setuju pidana mati saya tidak heran, dimana-mana di seluruh dunia tidak ada polisi yang menentang pidana mati, tidak ada itu. Saya tanya waktu ke Amerika kenapa begitu? Ya mereka selalu di-front line, di depan, kalau sudah masuk polisi ya jual kepala bisa ditembak oleh penjahat. Jadi tentu mana ada dia mau bela supaya orang tidak dipidana mati. Itu agak naif itu ada polisi bilang saya anti pidana mati, jadi itu menurut saya. Jadi pidana mati yang ada sekarang ini terlepas dari narkotika yang nanti secara mutatis mutandis saya akan menjelaskan juga terorisme. Kalau terorisme itu patah tumbuh hilang berganti menurut hemat saya, dibunuh besok ada lagi. Penyelesaiannya tidak boleh begitu, demikian pula dengan narkotika, jadi deterrent effect tidak ada. Di Amerika ketika saya meneliti tahun 1976, itu dua negara bagian yang satu setuju yang satu abolish—menentang. Itu tren pidana mati itu bertahun-tahun sama saja hampir tidak ada pengaruh antara yang satu mempertahankan pidana mati dan yang lain mengambil sikap abolisi. Saya kira mungkin kedutaan ada punya data tentang hal itu. Jadi kalau kita bicara pidana mati dari segi hukum pidana pasti ya begitu,
24
saya pernah dengar itu orang dari Kejaksaan Agung mengatakan itu ada di dalam hukum positif tapi dia tidak mau lihat di atasnya itu UndangUndang Dasar itu apakah lebih tinggi apa tidak? Ya saya mengerti saja memang kejaksaan itu satu komando. Jadi kalau di atas dulu Bapak Jaksa Agung kalau tidak salah waktu masih LBH tidak setuju pidana mati, tapi sekarang setuju kalau tidak salah, mungkin saya keliru tapi itu ada catatan mungkin saya cari lagi, tapi tidak apa-apa itu biasa itu kalau berbeda pendapat. Sekarang debat antara bekende juristen dan itu saya pikir, terutama Leo Pollack, retributive itu—juridische verhalding itu menurut dia itu tidak adil, tidak benar. Ada banyak sekali contoh Jan Kellen dan bahkan kalau saya inikan baru 49 tahun. Sebelumnya itu Bekaria sudah tulis tahun 1786, jadi masalah pidana mati ini bukan masalah apa yang terdapat di dalam undang-undang, itu ada ungkapan itu, kita tidak boleh baca undang-undang—sebagai dikatakan oleh Montesqiue hanya cuma baca dengan seperti kuda di Yogya begitu—jangan cuma melihat ke depan. Kalau kita cuma hanya membahas hukum pidana mati itu dari segi legalistik positivistic, ya tentu setuju tapi coba dilihat secara kriminologis, pidana mati saja dulu ditembak. Sekarang katanya itu sangat cruel and unusual, jadi disuntik saja, tidak tahu lagi bagaimana? Kalau kita dalam disertasi saya itu baca bagaimana seorang negro kecil itu dipidana mati melalui kursi listrik, saya kira kekerasan hati yang bagaimanapun akan lemah, bahkan dua penjaga yang paling terkenal, satu di Penjara Sing-sing dan itu pada akhirnya menentang pidana mati. Jadi begitulah Yang Mulia kalau saya menulis. Ada banyak sekali literatur yang menentang pidana mati. Saya bisa sebut itu semua, saya ingat bahkan orang-orang seperti Van Bemelen yang dulu setuju pidana mati sekarang berubah. Dulu setuju perbedaan antara moord dan douchlaach [sic!] itu berubah dan itu juga sekarang berubah, ya semua berubah. Kalau kita makin hari makin humanistik terlepas daripada kekecewaan yang terjadi di dunia ini karena pertimbangan politis, itu semuanya yang saya juga tidak sepakat. Saya kira menurut hemat saya kita harus membawa misi kedamaian, misi pengampunan, misi apapun hukum pidana itu menurut hemat saya pidana mati saya tetap berpendapat bukan saja cruel and punishment tapi juga tetap masih bertentangan dengan Pancasila dan saya yakin bahwa saya bukan seorang birokrat, saya sudah pensiun tapi dari dahulu kendatipun mau disertasi itu dibilang kalau kamu sekarang mempertahankan disertasimu sebentar lagi bulan itu Presiden akan berpidato, kamu nanti tidak lulus, tapi bagi saya soal lulus atau tidak itu bukan urusan, itu soal kemudian. Soal kemudian ialah prinsip, di Indonesia ini kerapkali muka lebih penting daripada keadilan, tapi bagi saya keadilan lebih penting. Saya selalu mengatakan apakah dengan mengatakan, “apakah dengan mengatakan kebenaran kepada mereka yang setuju pidana mati saya harus menjadi musuh Anda? Kalau saya menjadi musuh Anda kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa mengampuni Anda”.
25
Terima kasih. 88. KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. TODUNG MULYA LUBIS, S.H., LL.M Saudara Ahli, Saudara mengatakan bahwa pidana mati itu cruel, inhuman. Dia tidak menimbulkan deterrent, tidak menimbulkan efek jera
dan lebih jauh dia bertentangan dengan Pancasila, tapi saya ingin mengaitkan ini dengan filosofi pemidanaan karena filosofi pemidanaan kita juga berkembang. Apakah kalau misalnya Saudara Ahli melihat pidana mati ini dalam konteks filosofi pemidanaan, apakah pidana mati itu compatible dengan filosofi pemidanaan yang berlaku baik di Indonesia maupun di tempat-tempat lain? Yang tadi mungkin dikaitkan dengan keterangan Ahli Profesor Philip Alston, bagaimana pendapat Saudara Ahli?
89. AHLI DARI PEMOHON :Dr. JE SAHETAPI, S.H., M.A Bapak Ketua kalau saya setuju dengan Profesor Philip Alston nanti orang bilang itukan Barat kita Indonesia, ini lain lagi. Saya orangnya tidak suka begitu nanti diargumentasi begitu, tapi ambil sebagai contoh saja, waktu zaman Orde Baru saya tidak tahu—ya kemudian ada kita baca beberapa biografi—Petrus (penembakan misterius) yang kemudian diikuti dengan apa yang saya namakan Matius (mati misterius) itukan juga tidak membawa ketakutan apa-apa, mana ada itu? Kalau ada physiological effect sedikit sekali, sayang Pak Mulya, di Indonesia ini tidak ada orang yang mengembangkan hukum penintensier, apalagi benologi dan viktimologi. Kalau kita misalnya ambil sebuah contoh tentang korupsi, itu Herman Manhain pernah bilang, who steal the goose from the common? Sekarang di Indonesia kalau korupsi itu bukan who steal the goose from the common, siapa mencuri angsa dari masyarakat? Who steal the common from the goose? Sekarang siapa yang mencuri masyarakat dari angsa itu? Jadi soal extra ordinary crime. Dulu pernah juga zamannya Orde Baru itu adalah ancaman sampai hampir mau pidana mati, mana ada itu? Mestinya yang orang-orang yang sekarang sudah kaya raya itu yang itu harus dipidana mati, tapi biar saja nanti dipidana di surga, di sini tidak usah, itu menurut saya. Jadi menurut hemat saya deterrent effect, lalu terus kemudian retributive itu memang indah kalau dibaca di dalam literatur tapi it doesn’t make any effect on whatsoever di dalam praktik. Kalau betul apa yang saya baca itu, kebanyakan pertimbangan-pertimbangan di dalam pidana mati itu juga sangat tidak menyentuh esensi yang sebenarnya dan apakah betul? Itu yang saya selalu tanya, apakah betul kalau menjatuhi pidana mati andaikata sekarang ini kalau betul kita mau bikin pidana mati dan kita mau selamatkan republik ini dan tidak menjadi seperti di Roma itu, the decline and the fall of Roman’s empire. Coba kalau memang Pemerintah berani buat ancaman pidana mati bagi semua
26
pelaku korupsi, waduh saya tidak tahu dari dua ratus itu sisa berapa juta saja di Republik ini? Tapi apa nanti korupsi akan berkurang? Apakah juga mengenai narkoba? Saya kira kalau saya baca di koran, kecuali kalau koran itu tulisnya tidak benar, itukan sekarang ibu-ibu rumah tangga juga ikut jual, jadi ada faktor kemiskinan bukan faktor karena mereka ingin menghancurkan generasinya. Jadi kalau betul saya usulkan kepada Badan Narkotika, dari dulu waktu sudah mulai pertama kali dibentuk saya bilang, “ini harus kita tangani masalah narkotika ini jangan mainmain, apa betul ini orang-orang yang melakukan kecuali yang sekarang masuk ke Indonesia orang yang mau, we have to make a very extensive and intensive research, lalu melihat apakah betul, kalau ini memang ini deterrent mintalah izin dari RI-1 yang kadang-kadang bimbang untuk menggantung orang-orang itu di tanah Lapangan Merdeka. Undang semua, kita lihat apakah ada deterrent effect? Saya tidak yakin Bapak Ketua, jadi memang tadi saya dengar itu—memang ini masalah interpretasi. Jangan lupa, saya tidak tahu bahasa Inggris itu tidak ada tetapi kalau dalam bahasa interpretasi itu tidak sama—yang saya coba mengemukakan ini. Karena di dalam interpretasi selalu ada tambahan, sehingga itu selalu berwarna. Saya yakin kalaupun dijatuhi pidana mati lalu ada yang mungkin bertobat, maka itu—seperti dikatakan oleh Simon atau siapa itu, itu memang perkecualian tapi yang terpenting yang harus kita garap sekarang ini adalah adalah sistem stelsel-nya, bukan KUHPnya yang sekarang penting itu KUHAP-nya, bukan KUHP-nya. Itu juga yang ditulis oleh para kolonialis Belanda saya tidak tahu apakah saya sudah jawab itu, tapi itulah yang menurut hemat saya tetap tidak akan menyelesaikan persoalan. 90. KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. TODUNG MULYA LUBIS, S.H., LL.M. Ada suatu hal yang mungkin perlu dijelaskan lebih jauh Saudara Ahli, karena pertanyaan saya tadi ada kaitannya dengan filosofi pemidanaan. Apakah pidana mati itu compatible dengan filosofi pemidanaan di Indonesia atau tidak? 91. AHLI DARI PEMOHON : Prof., Dr. JE. SAHETAPY, S.H., M.A..3 Tidak Pak. 92. KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. TODUNG MULYA LUBIS, S.H., LLM. Alasannya apa? 93. AHLI DARI PEMOHON : Prof., Dr. JE. SAHETAPY, S.H., M.A. Waktu saya duduk di dalam panitia penyusunan rencana KUHP saya bilang, “kalau mau mempertahankan pidana mati, ganti dulu nama
27
lembaga pemasyarakatan!”. Ini yang sederhana sekali, lembaga pemasyarakatan berarti orang yang dimasukkan di situ untuk dimasyarakatkan, kalau mau dijatuhkan pidana mati mau dimasyarakatkan dimana? Di kuburan tidak bisa dimasyarakatkan. Jadi saya kira itu tidak compatible itu, itu aneh itu. Ini yang disebut kontradiksi bukan hanya kontradiksi interminis tetapi juga kontradiksi in ajekto. Jadi straat stelsel kita itu harus perlu kita kaji kembali, kalau memang betul itu pidato menteri yang saya agak lupa namanya waktu mengenai pemasyarakatan itu, Sahardjo, apakah itu betul itu? Pak Ketua, saya ini keluar masuk bukan berarti dipidana tapi saya masuk luar melihat di penjara itu, hati saya itu selalu trenyuh terlepas dari orangorang korupsi remisinya besar-besaran itu soal lain lagi, saya juga tidak mengerti itu. Tapi coba lihat itu apakah mereka itu kita jangan sampai menciptakan orang-orang yang mempunyai hati pahit terhadap keadaan ini. Kita justru harus menciptakan, sekarang sudah ada yaitu pidana yang sudah diintrodusir di Jerman itu, tetapi kita masih tetap pidana tutupan sebetulnya sekarang tidak lagi diterapkan, yang ada sebetulnya pidana denda dan pidana penjara dan mungkin kalau masih oleh masih sementara orang dianggap mati, tetapi di dalam rencana KUHP yang sekarang ini pidana mati itu sudah dicopot dari Pasal 10, sudah ditaruh di tempat lain. Dengan catatan itu merupakan suatu pertimbangan tersendiri. Apa maksudnya itu? Apakah ini angin baru atau apa? Terus terang saya tidak tahu, tetapi rupanya ada pemikiran begitu, terima kasih. Apakah itu sudah dijawab? Tapi saya pikir itu garis besarnya demikian. 94. KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. TODUNG MULYA LUBIS, S.H., LLM. Satu pertanyaan lagi Ketua Majelis yang kami muliakan, tadi Saudara Ahli mengatakan bahwa tahun 1870 pidana mati itu sudah dihapuskan di negeri Belanda? 95. AHLI DARI PEMOHON : Prof., Dr. JE. SAHETAPY, S.H., M.A. Betul. 96. KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. TODUNG MULYA LUBIS, S.H., LLM. Ini sekedar untuk flashback histories mungkin akan ada gunanya kalau kita dalam perpective histories kenapa pidana mati itu diadakan? Apakah pidana mati itu dalam konteks social histories Indonesia dewasa ini masih bisa kita sebut relevan?
28
97. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Pakai mike Pak, dipencet supaya masuk record. 98. AHLI DARI PEMOHON : Prof., Dr. JE. SAHETAPY, S.H., M.A. Belanda itu, orang selalu bilang negeri Belanda keliru, Belanda saja tidak ada pakai negeri Belanda itu bahasa Indonesia kolonial, Belanda saja begitu. Belanda itu hanya sebesar kira-kira provinsi Jawa Timur, tapi mereka di sana menghapuskan pidana mati, tahun berapa itu waktu di sini orang-orang PKI dikejar saya ke Belanda waktu itu sebagai ketua proyek di situ ditulis ditaruh di dindingnya itu ik liefhebben en communist, tidak ada masalah. Kita di sini berani tulis seperti itu langsung bisa hilang tak berbekas tidak tahulah dimana lagi ditemukan itu. Jadi saya kira itu buat kita di Indonesia memang kalau kita masih mempertahankan kalau bagi mereka yang masih mempertahankan, saya orang dari dunia perguruan tinggi dulu ya silakan, tapi berilah raison d’etre yang baru jangan mempertahankan, itu namanya over cook, sudah basi. Jadi harus diberikan alasan yang baru, itu menurut hemat saya. Jadi kembali lagi memang Belanda 1970 itu sudah dihapus, kenapa masih dipertahankan di Indonesia? Kalau baca Klences van Bemblen [sic!], lalu ada lagi beberapa sarjana yang lain, semua itu berdasarkan koloniaal motiefen, motif-motif kolonial untuk mempertahankan. Saya ambil sebuah contoh Bapak Ketua yang mulia, ketika saya duduk di dalam panitia penyusunan rencana KUHP, saya bilang sama almarhum promotor saya Profesor Sudarto,”Pak sudahlah KUHP kita ini jangan lagi dipertahankan tiga buku”. Dia mengatakan, “mengapa? Itukan tiga buku dari Belanda cukup baik”. “Lho Pak di Swiss saja cuma dua buku, maka saya ditugaskan ke Belanda untuk berbicara dengan Profesor Schaft Meister dan Profesor Nico Kaiser untuk membicarakan supaya dari tiga buku itu dari dua buku, mereka bilang sama saya, hoe kunnen dat—apa mungkin itu?” Saya bilang, “Anda ketika mengambil Code Penal dari Perancis empat buku menjadi tiga buku, hoe kunnen dat? Diam saja juga dia, jadi menurut hemat saya juga demikian dengan pidana mati, bukan hoe kunnen dat ya bisa saja, sekarang ini yang penting kalau seluruh aparat kita itu jujur dan bersih dan mau maka saya yakin bahwa sewaktu-waktu pidana mati itu akan menjadi masa lampau dan saya kira pada saat itu selain di dalam Undang-Undang Dasar kita saya yakin ini adalah just the beginning not the end, the beginning of the beginning Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan pendiriannya, terima kasih. 99. KUASA HUKUM PEMOHON : DR. TODUNG MULYA LUBIS, S.H., LLM. Dari kami cukup sekian Ketua Majelis, terima kasih.
29
100. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Baik, Saudara-saudara sekalian ini perkara sangat serius, sangat penting dan karena itu sekiranya tidak cukup kita mendengar keterangan Saudara-saudara para Ahli yang jumlahnya ada enam orang ini, dalam sidang ini saya rasa perlu kita lanjutkan sidang-sidang selanjutnya. Jadi supaya kita dengar seluruh argumen. Boleh jadi ada dua atau tiga mahzab berpikir kita harus dengar sekarang ini baru satu mahzab berpikir ini, tapi kita harus lanjutkan ini sementara ini sekarang sudah pukul dua belas. Menurut jadwal ini kita lanjutkan sampai pukul satu baru nanti jeda, skorsing, pukul empat belas kita masuk lagi, jadi satu jam. Dalam waktu satu jam ini tentu kita harus selesaikan beberapa lagi, tapi supaya tidak terganggu keluar saja dulu nanti misalnya cukup waktu kita lanjutkan sore, kalau tidak cukup lagi kita lanjutkan sidang berikutnya dan bila diperlukan komposisi para Ahli yang memang ragam ini biar saja kita teruskan, supaya ada barangkali ada diskusi dan ada perdebatan yang lebih substantif, tapi untuk urutan sekarang saya persilakan Pemohon dua mengajukan pertanyaan kepada ahli yang diajukannya yaitu Saudara Rahland Nashidik, saya persilakan Pemohon dua. 101. KUASA HUKUM PEMOHON : HARRY PONTOH, S.H. LL.M. Baik, terima kasih Yang Mulia. Pada kesempatan ini kami sebenarnya sudah berbicara menyampaikan permasalahan yang ada kepada Ahli dan kemudian Ahli sudah mempersiapkan statement-nya khususnya sehubungan dengan hak hidup yang merupakan hak yang paling dasar yang menurut UUD kita tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, jadi kalau boleh saya meminta Ahli untuk menyampaikan apa yang telah dipersiapkan? 102. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Baik, saya persilakan. 103. AHLI DARI PEMOHON : RACHLAND NASHIDIK. Terima kasih Yang Mulia, sebelumnya saya ingin diberikan memohon diberikan semacam pendapat karena saya berbicara setelah Profesor Alston saya ingin mendapat kesempatan untuk menyatakan pendapat saya mengenai apa yang telah disampaikan oleh beliau begitu. Jadi saya kira pertama-tama apa yang dikatakan oleh Profesor Alston itu memang sangat dibatasi oleh pertanyaan dari pihak Pemohon pertama yaitu mengenai otoritas dari negara di dalam mendefinisikan yang namanya serious crime begitu.
30
Dari situ saya kira memang adalah baik bila kita memahami ini bahwa pada persoalan tersebut sebetulnya mau menunjukkan dinamika yang terjadi di dalam transmisi nilai-nilai HAM di PBB kepada negaranegara penerimanya atau receiver-nya, kalau kita mengacu kepada teorinya Johan Galtung, human right norms itu di-submit oleh PBB ke negara-negara sebagai receiver-nya. memang ada dinamika dan bukanlah pekerjaan yang mudah untuk membuat norma-norma itu kemudian diterima secara penuh oleh negara-negara anggota PBB karena memang seperti kata Ben Anderson bahwa PBB itu sebetulnya bukan Persatuan Bangsa-Bangsa tapi Persatuan Negara-Negara di mana ada otoritas politik, ada kepentingan politik ada kepentingan masingmasing yang di dalam realisme internasional itu sangat menentukan dari penerimaan norma-norma HAM di negara-negara tersebut. Saya kira itu dari konteks dari pernyataan Profesor Alston menurut pendapat saya begitu. Saya ingin berbicara dalam kesempatan ini mengenai makna dan sejarah dari apa yang disebut non derogable rights. Bila kita bandingkan tiga perangkat HAM yaitu yang pertama tentu saja adalah International Covenant on Civil and Political Rights. Lalu yang kedua, kita ambil saja misalnya European Convention on Human Rights dan ketiga American Convention on Human Rights, kita bisa melihat bahwa sebetulnya jenis dari apa yang disebut sebagai non derogable rights itu berbeda-beda. Di dalam ICCPR ada tujuh jenis non derogable rights yang diakui. Di European Convention on Human Rights cuma ada empat dan empat itu yang sudah dimaktubkan di dalam International Covenant on Civil and Political Rights. Sementara di Amerika sendiri itu ada sebelas jenis hak yang diakui sebagai non derogable rights. Kenyataan ini menunjukkan bahwa agak sulit untuk mencoba mengindentifikasi karakter dari non derogable rights itu dari satu pemahaman yang bersifat unitaris begitu. Satu pemahaman yang tunggal, karena misalnya begini kalau kita mau indentifikasi non derogable rights dari perspektif ius cogent bahwa ini adalah norma yang memiliki status ius cogent di dalam International Customary Law, maka kita akan sangat sulit kita menerima konsekuensi logis dari hasil seperti ini terhadap satu hak yang diakui sebagai non derogable rights di dalam International Covenant on Civil and Political Rights, yaitu hak untuk bebas dari hukuman dalam perkara hutang piutang. agak sulit bagi kita negara-negara PBB untuk menerima konsekuensi bahwa hak tersebut memiliki status ius cogent. Pada saat yang bersamaan juga kalau kita ambil contoh misalnya di American Convention of Human Rights, ada jenis hak yang disebut hak untuk mendapatkan nama, hak untuk berkeluarga, dan hak untuk berpartisipasi di dalam pemerintahan yang tiga hak itu tidak dalam International Covenant on Civil and Political Rights. Ini memperlihatkan bahwa memang di dalam pendefinisian non derogable rights itu ada aspek history background dari setiap negara yang berdasarkan 31
pengalaman yang khas dalam sejarah peradabannya, kemudian urutan pengalaman buruk yang di dalam sejarah peradaban mereka itu kemudian memastikan tindakan-tindakan atau perbuatan-perbuatan apa yang dianggap sangat penting untuk dihindari dan tidak boleh terulang di masa depan. Right to a name itu sebetulnya berhubungan dengan sejarah rasial diskriminasi di Amerika. Tahun 1962 baru Presiden John F. Kennedy menyatakan bahwa tidak boleh ada secara nasional, seluruh negara bagian di Amerika harus memastikan racial discrimination. Tahun 1969, American Convention of Human Rights memastikan bahwa semua tindakan yang berhubungan dengan rasialisme itu harus dihapuskan termasuk misalnya African American pada saat itu tidak boleh punya nama asli dibawa dari Amerika. Contohnya ini tadi saya lihat ada kalender Mahkamah Konstitusi yang mengutip Malcom X begitu, Malcom X misalnya juga adalah kata “X” di belakangnya itu juga sebetulnya ada satu upaya perlawanan terhadap keharusan untuk mengikuti nama-nama yang berbeda dari tradisi Afrika ketika itu, sehingga dia buat Malcom X, padahal cuma satu kata. Jadi the right to name itu diakui sebagai non derogable rights di dalam American Convention of Human Rights. Juga right to family karena yang namanya perkawinan antar warna di Amerika pada saat itu sama sekali ditabukan, apalagi right to participate in government, saat itu tidak boleh ada hak suara sama sekali di kalangan kulit hitam Amerika. Jadi sekali lagi di sini kita harus katakan bahwa tidak bisa ada pemahaman yang ditaris di dalam memahami non derogable right karena seperti pengalaman dua negara yang saya sebut tadi itu pengalaman sejarah peradaban mereka itu menentukan pemaknaan yang masing-masing bisa berbeda. Apa hendak sampaikan dari paparan ini bahwa non derogable right di masing-masing negara bisa berbeda, tetapi ini kalau kita bandingkan lagi antara International Covenant on Civil and Political Rights, American Convention of Human Rights, dan European Convention ada empat dari perbedaan itu yang tetap diakui secara umum sebagai non derogable rights. Di penambahan bisa seperti dalam American Convention of Human Rights perbedaannya juga bisa tetapi tidak bisa mengurangi apa yang telah diterima oleh masyarakat internasional—international customary law sebagai the core of rights dari non derogable rights itu, yaitu empat hal tersebut yaitu bahwa right to life, hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat, lalu hak untuk tidak dianiaya, lalu hak untuk tidak diakui sebagai subjek hokum, setara di depan hukum dan hak untuk tidak diadili oleh post facto law—hukum yang berlaku surut. Kalau kita lihat yang empat ini Majelis Hakim yang mulia, sebetulnya ini adalah inti dari hukum Humanitarian International sebetulnya yang empat ini, ini adalah intisari atau kita bisa mengatakan bahwa sebetulnya seluruh hukum Humanitarian International itu bersifat non derogable rights. Empat ini datang dari pengalaman yang juga sangat spesifik yang memastikan bahwa di dalam keadaan perang, di
32
samping bahwa kenegaraan bagi kewenangan untuk melakukan pengurangan-pengurangan terhadap hak yang telah diakui oleh hukum internasional hak asasi manusia ada empat jenis yang sama sekali tidak boleh dikurangi di dalam keadaan apapun termasuk dalam keadaan perang yaitu yang empat tadi. Empat hak ini bisa diperiksa dari pengalaman Nurenberg sebetulnya, dari pengalaman Perang Dunia kedua, itukan tahun 1945, Nurenberg itu di situ di dalam perang, oh bukan yang ketiga itu sepertinya right to free from slavery—hak bebas dari perbudakan atau diperhambakan, itu sebenarnya terjadi dalam perang dunia yang kedua. Ada yang namanya pembunuhan, penyiksaan, perbudakan, dan saya kira Covenant Civil and Political Rights tahun 1966 itu juga mengekspresikan ketidaksetujuan terhadap Nurenberg Tribunal karena disebut sebagai Victor’s Justice ketika itu, karena itu yang disebut sebagai hak untuk bebas dari hukum yang berlaku surut, itu sebetulnya satu statement yang sangat khas apa yang dialami di dalam Nurenberg Tribunal yang disebut sebagai Victor’s Justice itu. Hal yang saya mau katakan adalah apabila di dalam satu keadaan perang saja empat core of right itu tidak boleh dilanggar, lalu apa yang kita punyai sebagai alasan untuk melakukan pengurangan di dalam keadaan damai dimana tidak ada keadaan khusus yang memungkinkan hak-hak itu ditunda. Jadi Indonesia misalnya bisa saja melakukan perbedaan dari jenis-jenis hak itu dari apa yang tercatat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 kita sesuai amandemen dengan apa yang tercatat di dalam Covenant Civil and Political Rights tetapi sekali lagi kitapun juga mengakui empat hak itu sebagai bagian dari core of right dari non derogable rights itu, itu hak-hak yang sama sekali tidak boleh ditunda pemenuhannya di dalam keadaan apapun karena itu sekali lagi merupakan satu statement terhadap peristiwa kekejaman yang terjadi di dalam perang, terutama perang dunia kedua yang kemudian juga dimana dimanifestasikan di dalam Nurenberg Tribunal itu. Poin saya adalah sampai hari ini kita tidak punya, kalau di dalam suatu keadaan perang saja kita tidak dibolehkan melanggar hak tersebut apalagi dalam keadaan damai dimana tiada satu alasan pemaksa sekalipun untuk melakukan penundaan terhadap hak-hak tersebut. 104. KUASA HUKUM PEMOHON : HARRY PONTOH, S.H., LL.M Baik, yang kedua adalah ada pendapat bahwa Pasal 28I ayat (1) dalam Undang-Undang Dasar 1945, itu dibatasi oleh Pasal 28J ayat (2) di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu yang kalau boleh saya kutip dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
33
Apakah ini memang berlaku khususnya sekali lagi dengan non derogable rights tersebut? 105. AHLI DARI PEMOHON : RACHLAN NARSHIDIK Interpretasinya mau menggunakan sejarah dan makna dari non derogable rights yang coba saya persingkat tadi jawabannya jelas tidak begitu, tidak bisa terhadap hak-hak yang dikualifikasikan sebagai non derogable rights dilakukan pembatasan. Di dalam Universal Declaration of Human Right memang juga ada semacam pernyataan umum mengenai itu yang mengatakan bahwa hak-hak itu bisa ditunda pemenuhannya di dalam keadaan tertentu, tapi berdasarkan kebutuhan dari penanganan keadaan tersebut. Saya mau kasih contoh misalnya right to freedom of traveling, dalam suatu keadaan bencana alam yang dalam penanganannya telah direalisasikan semacam keadaan darurat hak itu bisa ditunda. Hak itu bisa ditunda karena memang untuk kepentingan dari warga masyarakat tersebut dan juga untuk melancarkan tindakan-tindakan penyelamatan yang dilakukan oleh pemerintah. Demikian juga misalnya right to freedom of expression atau berkumpul itu juga bisa dibatasi oleh suatu keadaan darurat yang dideklarasikan secara demokratis berdasarkan hukum itu, itu bisa memang tetapi sekali lagi hak-hak yang saya sebut barusan itu dua contoh itu tidak termasuk di dalam apa yang disebut sebagai non
derogable rights.
Jadi memang itu bisa ditunda pemenuhannya oleh satu keadaan dan apabila memang diperlukan penundaan tersebut berdasarkan kebutuhan yang betul-betul mendesak. Namun terhadap non derogable rights hal itu tidak bisa dilakukan, kalau kita mau menggunakan pernyataan-pernyataan di dalam ICCPR sekalipun, memang Pak Alston tadi menyatakan ada semacam—bukan dispensasi—masih ada ketegangan begitu di beberapa negara tetap tidak bisa menerima sehingga di dalam klausa Covenant on Civil and Political Rights tidak secara tegas mengatakan bahwa hukuman mati mesti dibantah, tetapi pada dasarnya non derogable rights berdasarkan kehendak dari yang disebut gerakan hak asasi manusia internasional di PBB itu tidak bisa ditunda sama sekali pemenuhannya, tidak bisa dikurangi sama sekali. 106. KUASA HUKUM PEMOHON : HARRY PONTOH, S.H., LL.M Yang ketiga adalah sehubungan sekali lagi dengan dijaminnya hak hidup di dalam Undang-Undang Dasar 1945 kita, bagaimana pendapat Ahli atas adanya pembatasan terhadap orang asing untuk mengajukan pengujian atas undang-undang sehubungan dengan hak hidup ini terhadap Undang-Undang Dasar 1945?
34
107. AHLI DARI PEMOHON : RACHLAN NARSHIDIK Ya, sekali lagi saya katakan tadi karena non derogable rights itu mempunyai satu ius cogent dan sebagai norma tertinggi di dalam customary international law dia merupakan kewajiban negara-negara PBB untuk memerangi setiap pelanggaran terhadap hak-hak tersebut, jadi yang disebut obligati erga omnes itu. Di sini harus katakan bahwa setiap manusia terlepas dari kewarganegaraannya dia entitled terhadap yang namanya non derogable rights tersebut, sehingga dimanapun dia mengalami pelanggaran terhadap hak tersebut dia harus diperlakukan sebagai subjek dari hukum internasional ketimbang subjek dari kewarganegaraan dari satu bangsa karena sekali lagi yang namanya hak asasi manusia itu adalah bagian dari hukum internasional, hak asasi manusia menjadikan pribadi atau individu sebagai subjek dari hukum tersebut. Jadi dalam hal ini saya kira itu dibenarkan, itu dari pengertian tersebut. Saya juga ingin menambahkan sedikit sebagai penutup Majelis Hakim yang mulia mengenai pentingnya bagi kita untuk memastikan right to life diterima, dinikmati oleh setiap warga negara Indonesia tanpa dipengaruhi oleh stratifikasi sosial. Saya kira ada suatu kenyataan yang sangat penting untuk kita ketahui bahwa yang namanya right to life ini sampai saat ini masih dinikmati oleh sekelompok masyarakat tertentu saja kendati dia melakukan kejahatan-kejahatan yang disebut sebagai kejahatan yang serius. Kita tidak pernah berdebat mengenai apakah pantas para pelaku kejahatan di masa lalu, apakah pantas para pelaku korupsi, apakah pernah mereka didakwa dan dijatuhi hukuman mati? Tidak pernah ada persoalan yang serius karena pada faktanya semua menikmati hukuman lain kecuali hukuman mati. Jadi saya kira memang telah ada semacam praktik seleksi di dalam penerapan dakwaan hukuman mati ini dan itu berakibat bahwa the right to life itu cuma dinikmati sekelompok masyarakat tertentu saja. Pada sisi yang lain kita melihat bagaimana orang-orang yang melakukan kejahatan-kejahatan umum atau kejahatan kecil sebetulnya, itu baik secara langsung maupun tidak juga telah menghadapi hukuman mati, kematian bukanlah sesuatu yang dihukumkan kepada mereka yang telah divonis bersalah di dalam pengadilan dalam kasus-kasus narkotika, misalnya tetapi juga bagi para penjahat kecil petty criminal yang dikirim ke penjara dan kemudian mati pelan-pelan karena keadaan di sana demikian buruk. Kita tahu belakangan ini bagaimana berita-berita yang sangat mengagetkan tentang media massa tentang keadaan perlindungan minimal atau standar dari kesejahteraan di dalam penjara yang mengakibatkan banyak napi itu mengalami kematian karena penyakit yang segala macam. Saya kira sebagai the guardian of the constitution Mahkamah Konstitusi mesti mengambil langkah yang benar untuk memastikan bahwa right to life itu menjadi hak yang dinikmati semua orang dengan 35
memastikan bahwa itu adalah suatu hak yang betul-betul harus dipenuhi di dalam setiap pengambilan keputusan hukum di Indonesia. 108. KUASA HUKUM PEMOHON : HARRY PONTOH, S.H., LL.M. Baik, cukup. 109. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Cukup? Baik, nanti tentu akan ada juga pertanyaan dari Majelis Hakim, tapi kita selesaikan dulu enam-enamnya supaya seimbang juga pandangannya. Saya lanjutkan sekarang kesempatan pihak Pemerintah untuk mengajukan pertanyaan kepada Ahli yang diajukannya, terserah yang mana duluan, empat itu yang mana mau duluan silakan, siapa yang
leading?
Bapak Jaksa Agung, silakan.
110. PEMERINTAH : ABDUL RAHMAN SALEH, S.H., M.H (JAKSA AGUNG RI) Terima kasih Yang Mulia, ada beberapa klarifikasi dan statement, tadi Ahli mengatakan bahwa (…) 111. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Kalau bisa Pak Jaksa Agung kita mulai dulu dengan Ahli yang diajukan oleh Pemerintah, ditanya dulu urutannya, baru setelah itu dicross akan ada kesempatan, oh mau klarifikasi dulu? Bagaimana? Silakan. 112. PEMERINTAH : ABDUL RAHMAN SALEH, S.H., M.H (JAKSA AGUNG RI) Kami pikir kami diberi kesempatan untuk bertanya kepada Ahli dari (…) 113. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Ya, ya hanya maksud saya ditanya dulu Ahli yang empat ini, kalau sifatnya klarifikasi bolehlah tidak apa-apa. Jadi bukan mengajukan pertanyaan ke Pak Sahetapy, tapi mengajukan pertanyaan kepada yang empat ini, sekaligus juga menjawab pandangan dari Ahli yang diajukan oleh Pemohon. Tapi kalau sifatnya klarifikasi silakan.
36
114. PEMERINTAH : ABDUL RAHMAN SALEH, S.H., M.H (JAKSA AGUNG RI) Ya, jadi kami berpendapat apa yang dikemukakan oleh Saudara Ahli Prof. Sahetapy ini tidak ada yang baru, tapi perlu ada beberapa klarifikasi. Misalnya dikatakan bahwa Jaksa Agung dulu waktu di LBH tidak setuju terhadap hukuman mati. Saya ingin mengklarifikasi bahwa saya berubah dan bukan hanya saya yang berubah ada beberapa orang lain lagi. Pada waktu saya menjadi Hakim Agung saya sudah menjatuhkan hukuman mati dan perubahan itu soal biasa di dalam kehidupan masyarakat, mungkin saya bertambah arif dengan bertambahnya umur, waktu itu saya memang masih terlalu muda. Itu yang pertama. Kedua, tadi dikatakan juga apakah kalau saya mengatakan kebenaran, saya menjadi musuh Anda? Saya ingin katakan kalau Saksi menyatakan kebenaran tidak akan menjadi musuh kita, tapi soalnya apakah memang kebenaran yang dikatakan oleh Saksi? Jadi bukan di situ soalnya. Kalau dikatakan hukuman mati bertentangan dengan Pancasila, kami berpendapat tidak bertentangan dengan Pancasila, justru kita menghormati. Kalau sudah dikatakan di dalam undang-undang kalau Anda berbuat begini-begini Anda di hukum mati dan dia memilih—we
have to respect (…)
115. KUASA HUKUM PEMOHON : DENY KAILIMANG, S.H., M.H Interupsi, 116. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Sebentar-sebentar (…) 117. KUASA HUKUM PEMOHON : DENY KAILIMANG, S.H., M.H Interupsi, konteksnya apa ini Pak pimpinan? Mohon diluruskan, terima kasih. 118. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Kalu bisa dibatasi Pak Jaksa Agung, diajukan pertanyaan kepada empat ahli, tapi sebatas pada klarifikasi ya baiklah tidak apa-apa? Karena tadi juga Pak Sahetapy menyinggung sedikit, tapi sebatas itu saja jangan langsung menyampaikan beda pendapat dulu. Jadi jangan dalam rangka merespon ahli yang diajukan Pemohon, tapi justru sebaliknya perlu kami dengar keterangan ahli yang diajukan pemerintah yang punya pandangan lain. Nah, itu yang penting, silakan Pak.
37
119. PEMERINTAH : ABDUL RAHMAN SALEH, S.H., M.H (JAKSA AGUNG RI) Jadi ini memang masih dalam rangka klarifikasi, jadi kalau Saudara ahli tadi mengatakan apakah kalau saya mengatakan kebenaran saya menjdi musuh, itu kan tidak ada hubungannya dengan perkara ini, itu perlu diklarifikasi. Saya pikir itu beberapa hal Majelis yang Mulia, seterusnya kami persilakan dari pihak pemerintah yang lain, terima kasih. 120. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Silakan Pak. 121. PIHAK TERKAIT : Kombes Pol ARIEF SUMARTONO (KA. KOODINASI SATUAN TUGAS BNN) Terima kasih Bapak Ketua yang mulia, kami akan menanyakan kepada saksi ahli dari Pemerintah. 122. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Tolong mohon dicatat saja, jadi di Mahkamah Konstitusi istilah yang dipakai sesuai dengan ketentuan undang-undang, saksi dan ahli. Jadi bukan saksi ahli, jadi saksi kita dengar kesaksiannya, ahli kita dengar keahliannya. Jadi jangan pakai saksi ahli. 123. PIHAK TERKAIT : Kombes Pol ARIEF SUMARTONO (KA. KOODINASI SATUAN TUGAS BNN) Terima kasih Yang Mulia. Jadi kami akan menanyakan kepada Ahli, Bapak Hendry Yoso. Pertama-tama Bapak Hendry Yoso, Bapak pertama juga sebagai pelaku artinya salah satu korban dari bagaimana kerasnya, bagaimana ganasnya masalah narkotika di Indonesia ini, itu yang pertama. Kemudian yang kedua kami juga ingin menyampaiakan keahlian Saudara berkaitan dalam hal ini. Untuk kita ketahui bersama memang didalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika memang mengatur tentang ancaman hukuman mati, kami hanya menyampaiakan informasi kepada seluruh kita semua bahwa dari hasil pebelitian yang dilakukan oleh BNN bersama-sama dengan rekan-rekan dari UI pada tahun 2004-2005 dimana yang menjadi korban dari narkotika, dari para pelaku-pelaku narkotika ini, kurang lebih satu setengah persen dari jumlah penduduk Indonesia, sehingga jumlahnya berkisar tiga sampai empat juta anak bangsa kita menjadi korban. Dari empat juta tadi kita break down ada 572 ribu orang menjadi korban 38
yang setiap hari harus menyuntik dengan heroin, kalau dia tidak menyuntik matilah dia. Yang ketiga dari 572 ribu orang tadi kami bisa laporkan ada sebanyak 15 ribu orang mati sia-sia. 124. KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. TODUNG MULYA LUBIS, S.H., LL.M. Ketua Majelis boleh kami interupsi sebentar? Tadi yang diminta oleh Ketua Majelis adalah mengajukan pertanyaan bukan pernyataan-pernyataan. 125. PIHAK TERKAIT : Kombes Pol ARIEF SUMARTONO (KA. KOODINASI SATUAN TUGAS BNN) Ini sebagai awal Pak. 126. KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. TODUNG MULYA LUBIS, S.H., LL.M Ini ingin kami klarifikasikan dahulu, sebab permohonan ini sudah diajukan oleh Pemohon, jawaban Pemerintah sudah diajukan oleh Pemerintah sebelumnya. Sekarang ini sesinya mengajukan pertanyaan, itu yang pertama Ketua Majelis yang kami Muliakan. Kedua, kalau saya diperkenankan—karena ini untuk kepentingan bersama, apakah Ketua Majelis bisa menjelaskan juga pada kami—kalau kita bicara mengenai ahli, apakah credential ahli itu perlu dijelaskan dahulu? Sebab apakah karena dia menulis satu karya ilmiah, satu disertasi, atau mungkin dia melakukan penelitian mengenai bidangbidang tertentu atau bisa saja setiap orang bisa menjadi ahli dan keterangan yang mengikat? Buat saya ini penting karena saya kira perlu kejelasan mengenai apa yang disebut ahli ini. Terima kasih 127. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Baik-baik, jadi tidak apa-apa Saudara mengajukan pertanyaan, mungkin ini pengantarnya agak panjang, is okay saja, tidak ada masalah itu. Hanya memang jangan terlalu panjang, jangan terlalu lebih panjang dari jawabannya, itu satu. Hal yang kedua, perlu saya jawab yang tadi ya! Ahli, menurut Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, ahli adalah orang yang didengar keterangannya berdasarkan keahlian yang diperoleh dari pendidikan atau dari pengalaman. Jadi bukan hanya dari pendidikan secara formal begitu, tapi bisa juga dari pengalamannya itu. Nah, kemudian yang ketiga, nanti terpulang kepada seringkali kami juga tidak tahu, apakah orang ini dapat
39
diterima atau tidak diterima ketika Pemohon atau Pemerintah mengajukan calon ahlinya. Kami runding, kami sepakat kita terima saja nanti materi keterangannya kita nilai. Boleh jadi tidak ada relevansinya dengan materi perkara, boleh jadi tidak ada relevansinya dengan pengalaman dia atau pendidikan dia, sehingga dia bisa mengklaim dirinya sebagai ahli di bidang yang diberi keterangan. Nah, itu nanti biar nanti Majelis Hakim yang akan menilainya. Tapi lebih dari itu dalam sidang ini hasil musyawarah, kami sudah menetapkan untuk sementara ini kami terima sebagai ahli, sampai kami sendiri menetapkan Peraturan Mahkamah Konstitusi yang tersendiri mengenai ahli ini. Sekarang belum selesai, nanti setelah tiga tahun berjalan ini kita juga harus membuat penertiban-penertiban, tapi memang tahap-tahap awal agak longgar kriteria termasuk kriteria kuasa, kriteria saksi, agak longgar untuk memberikan kesepakatan kepada masyarakat kita terbiasa dulu dengan mekanisme peradilan konstitusional di Mahkamah Konstitusi. Jadi itu jawabannya untuk sementara, tapi pada saatnya nanti ada Peraturan Mahkamah Konstitusi yang khusus mengatur mengenai saksi, mengenai ahli dan mengenai kuasa yang sekarang ini biar diserahkan saja kepada penilaian kami nanti atas keterangan-keterangan yang disampaikan. Kemudian yang terakhir, ini perkara di Mahkamah Konstitusi ini kita menguji undang undang, jadi Undang undang ini adalah bukan milik DPR bukan milik Pemerintah. Jadi sebetulnya Pemerintah dan DPR bukan bertindak sebagai pembela undang undang. Oleh karena itu kedudukan Pemerintah dan DPR dalam persidangan Mahkamah Konstitusi bukan pihak. Pemerintah maupun DPR sebagai lembaga pembentuk undang undang menurut Undang Undang Dasar 1945 itu hanya diperlukan dalam pemeriksaan pengujian undang undang sebagai pemberi keterangan-memberi keterangan mengenai latar belakang undang-undang, mengenai logic yang ada di balik norma yang diperkarakan dan memberi keterangan mengenai legal policy yang mau dibangun oleh eksekutiflegislatif dan lain-lain sebagainya dalam rangka menjalankan UndangUndang Dasar. Hanya dalam praktik seringkali susah ini. Kita dalam praktik itu sering menemukan antara pihak Pemohon dengan Pemerintah terlibat dua kepentingan. Satu kepentingan untuk membatalkan satu pasal, ada kepentingan Pemerintah yang lain dan ada masuk akal juga karena memang kepentingannya menjamin kestabilan hukum, kepastian hukum, dan lain-lain sebagainya. Sehingga dalam praktik itu kadangkadang ada nuansa semacam itu. Jadi kadang-kadang penyelenggaraan persidangan ini kami atur semacam adversial begitu, ada perdebatan boleh saja. Hanya untuk sementara ini, in casu persidangan hari ini, mohon kita perhatikan dulu kepada fokus, fokus kita hari ini mendengar keterangan ahli. Nah, jadi ahli yang diajukan oleh Pemohon sudah kita harus dengar ini keterangan ahli yang diajukan oleh pemerintah. Nanti ada saatnya mungkin akan ada perdebatan antar ahli atau boleh jadi di sidang berikutnya bila memang kita perlukan boleh saja ada perdebatan antara Pemohon dengan Pemerintah dan DPR, oke saja. Karena memang 40
menyangkut persoalan yang sangat serius untuk kepentingan bangsa kita soal pidana mati ini. Jadi saya rasa begitu penjelasannya ya? Dan saya mohon nanti dimaklumi demikian, sehingga biarkan Pemerintah juga menyampaikan data-data melalui ahli ataupun juga dia punya data yang mungkin membenarkan logika yang perlu hukuman mati begitu, saya kira begitu ya? 128. KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. TODUNG MULYA LUBIS, S.H., LL.M Mohon maaf Ketua Majelis—terima kasih atas penjelasannya tapi ada satu pertanyaan lagi yang saya ingin ajukan, berkaitan dengan para ahli ini. Ibu Jeane Mandagi diajukan sebagai ahli di sini, tapi pada risalah sidang yang lalu, kami mendapatkan—ini dari Mahkamah Konstitusi dikatakan bahwa Jeane Mandagi ini adalah dari BNN sendiri. Apakah memang itu bisa qualified untuk menjadi ahli? Karena kita bicara mengenai independensi dari keahlian misalnya. Ini hanya pertanyaan, karena dalam profesi saya sebagai sarjana hukum. Kita bicara mengenai conflict of interest, benturan kepentingan. Saya tidak apriori terhadap Ibu Mandagi, tapi Ibu Mandagi adalah bagian dari BNN dan pada waktu itu duduk di samping Pak Mangku Pastika, apakah kualifikasi ahli ini memang bisa diberikan kepada Ibu Mandagi? Dengan segala hormat dan segala permohonan maaf. 129. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Jadi itu sudah termasuk sudah kami bahas, ahli bisa saja satu kali dia bekerja untuk departemen A, departemen B, bisa juga ahli bekerja nanti diminta sebagai staf ahli di DPR, bisa saja begitu. Jadi kualifikasi Ibu Mandagi karena diajukan oleh Pemerintah, diajukan oleh BNN sebagai ahli, kami terima demikian, begitu. Nanti materinya akan kami nilai, biar nanti kami menilai materinya, tokh BNN, apa Ibu sebagai pejabat di BNN? Konsultan? Jadi fungsinya bukan sebagai pejabat, bukan sebagai ketua, BNN ketua ya? Wakil ketua? Tidak ada itu? Jadi dia sebagai konsultan, sebagai ahli yang mempunyai pengalaman bidang ini. Jadi saya kira demikian ya, tapi terlepas dari masalah itu biar kami menilai dan Saudara Pemohon, pihak-pihak tetap boleh juga mempersoalkan netralitas dari ahli dan itu akan kami catat dalam waktu kita mempertimbangkan kita catat, ini ada pertimbangan dari Pemohon, fair, begitu ya? Oke, sekarang saya persilakan sekali lagi Pak BNN. 130. PIHAK TERKAIT : Kombes Pol ARIEF SUMARTONO (KA. KOODINASI SATUAN TUGAS BNN) Terima kasih Yang Mulia,
41
Jadi kami menyampaikan tadi sebagai awal untuk kita membuka mata bersama untuk hal ini. Saya katakan tadi 15 ribu meninggal kemudian juga setiap hari dihitung ada empat puluh. Pada saat sekarang kita duduk ini mungkin sudah tiga puluhan sudah meninggal akibat itu. Berkaitan dengan hal tersebut kami tanyakan mungkin kepada Saudara Ahli Hendriyoso di sini, berkaitan dengan ancaman hukuman mati yang ada dalam Undang-Undang Nomor 22 tadi tentang Narkotika, apakah ini masih kategori melanggar hak konstitusional? Atau sebagai hak asasi sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar 1945? Terima kasih. 131. AHLI DARI PIHAK YOSODININGRAT, S.H.
TERKAIT
(BNN)
:
KRH
HENRY
Terima kasih Majelis Konstitusi yang mulia, Saya merasa perlu terlebih dahulu menjawab pertanyaan rekan saya Saudara Todung Mulya Lubis, kaitannya bahwa saya diminta untuk menjelaskan kapasitas saya sebagai ahli dalam perkara ini. Pertama setidaknya saya adalah seorang ahli hukum, saya seorang advokat yang berpraktik sejak tidak kurang dari 29 tahun lalu, karena sejak mahasiswa saya sudah berpraktik sebagai pengacara praktik dan diangkat oleh Menteri Kehakiman tahun 1983 dan saya tergabung dalam Ikatan Advokat Indonesia. Sekarang saya duduk sebagai anggota Dewan Kehormatan Ikadin, dan juga di Peradi, saya sebagai anggota Dewan Kehormatan, dan saya juga terdaftar sebagai anggota Ikatan Advokat Internasional, dan juga sebagai anggota Ikatan Ahli Hukum se-ASEAN. Selanjutnya dalam kaitannya dengan masalah hak asasi manusia. Tahun 1979, ketika saya masih mahasiswa, saya sebagai pendiri dan ketua, dari Komite Pembela Hak Asasi Manusia di Yogyakarta. Kemudian tahun 1980, saya tergabung di dalam Himpunan Mahasiswa Pengembangan Hak Asasi Manusia. Kemudian pada tahun 1999, saya sebagai pendiri, salah satu dari 14 orang pendiri, dan sebagai ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat). Kaitannya dengan Undang-Undang tentang Narkotika, sejak tahun 2003, saya sebagai narasumber Pemerintah di dalam menyusun rancangan undang-undang tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Narkotika. Kemudian tahun 2004, saya sebagai anggota Panitia Penyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan undang-undang perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, yaitu berdasarkan keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor sekian, sekian, sekian, tahun 2004. Itulah kaitannya dengan keahlian. Menjawab pertanyaan dari pihak terkait dalam hal ini BNN, terlebih dahulu saya merasa perlu untuk menjelaskan fakta bahwa di dalam undang-undang tentang narkotika yang menyangkut hukuman
42
mati itu berupa ancaman, dan ancaman hukuman mati itu hanya diberlakukan, atau ditujukan kepada para pelaku yang terorganisir atau yang diawali dengan pemufakatan jahat. Kemudian kalau saya pelajari lebih dalam dari berbagai literatur atau berbagai buku bahwa ternyata ancaman itu dimaksudkan untuk, sebagai upaya untuk mencegah terjadinya peredaran gelap narkotika di Indonesia. Karena kenyataan bahwa akibat dari peredaran gelap narkotika yang telah dilakukan oleh para sindikat, maka saat ini setidaknya fakta, ini berdasarkan fakta, setidaknya empat juta orang anak bangsa ini yang mengalami ketergantungan akan narkotika, demikian juga fakta, bahwa setiap hari setidaknya 40 orang anak bangsa ini yang meninggal secara sia-sia. Kesemuanya itu disebabkan oleh peredaran gelap narkotika yang akhirnya penyalahgunaan, yang peredaran itu dilakukan oleh para sindikat narkotika. Selain daripada itu, dana masyarakat yang dibelanjakan, ini fakta dari hasil penelitian, dana masyarakat yang dibelanjakan untuk membeli narkotika dan uangnya dibawa oleh sindikat luar, tiap tahun 292 triliun rupiah, dengan perhitungan empat juta orang, rata-rata satu orang membelanjakan 200 ribu rupiah, maka satu hari 800 miliar rupiah jumlahnya, kalau kali satu tahun, 365 hari, maka 292 triliun. Semua ini atas keuntungan sindikat, kemudian kematian itu tadi, kemudian ketergantungan empat juta orang itu tadi disadari sebelumnya oleh pelaku-pelaku atau sindikat peredaran gelap narkotika, artinya para pelaku itu menyadari akan akibat yang terjadi, bahkan amat sangat menginsafi. Kemudian kalau kita lihat dan fakta sekarang, dari informasi saya peroleh dari pemerintah bahwa hampir seluruh lembaga pemasyarakatan serta rumah tahanan negara, sedikit-dikitnya 70%, itu terdiri dari atau dihuni oleh pelaku-pelaku kejahatan narkotik, baik sebagai pengedar maupun sebagai penyalah guna di seluruh Indonesia. Fakta lain bahwa saat ini tidak ada satupun kabupaten, bahkan saya berani mengatakan tidak ada satupun kecamatan di republik ini yang terbebaskan dari peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika, bahkan di seluruh penjuru tanah air, di seluruh pelosok tanah air, narkotika sudah diedarkan oleh para sindikat itu dengan cara yang sangat-sangat sistematis, dengan cara-cara yang sangat konsepsional, dengan modus operandi yang sangat-sangat selalu berubah-ubah dengan mobilitas mereka yang sangat tinggi, dan sekarang di Jakarta sekarang tidak ada satu pun RW, bahkan saya berani mengatakan masih adakah satu RT di Jakarta ini yang bebas dari pengedaran gelap dan peredaran narkotika? Masih adakah satu SMU di Jakarta ini yang bebas dari peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika? Saya berani mengatakan tidak ada lagi, semua ini disadari sepenuhnya oleh para pelaku sindikat narkotika. Kemudian ancaman hukuman mati yang ada dalam Undang-Undang tentang Narkotika, tujuannya atau maksudnya untuk menyelamatkan bangsa Indonesia dari kehancuran sebagai akibat dari peredaran gelap narkotika yang dilakukan oleh para sindikat itu tadi.
43
Kemudian menjawab pertanyaan apakah hak hidup yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana yang dimaksud di dalam Pasal 28A, terlanggar oleh ketentuan atau adanya ancaman pidana dalam Undang-Undang tentang Narkotika? Secara hukum saya katakan bahwa ketentuan Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945 itu tidak boleh kita pahami secara mandiri, tidak boleh kita anggap bahwa pasal itu berdiri sendiri, tapi sedemikian rupa harus kita hubungkan dengan ketentuan-ketentuan lain, seperti Pasal 28J ayat (2) kemudian ketentuan Pasal 28I ayat (5) dan sebagainya yang pada pokoknya bahwa dalam pelaksanaan atau di dalam melaksanakan asasi manusia itu dibatasi atau diatur sedemikian rupa dengan maksud untuk menjamin hak asasi manusia yang lain. Termasuk di antaranya Undang-Undang tentang Narkotika misalnya. Kemudian dengan pembatasan-pembatasan itu tadi, artinya dengan kita hubungkan dengan ketentuan dengan Pasal 28I ayat (5), kemudian kita hubungkan dengan Pasal 28J, kemudian kita juga harus memperhatikan ketentuan-ketentuan di dalam Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia misalnya. Dalam undang-undang tentang HAM sendiri mengakui adanya hukuman mati. Artinya ada pengecualian misalnya, dalam hal aborsi misalnya. Demi untuk keselamatan ibu, meskipun hak untuk hidup melekat untuk bayi yang masih berada dalam kandungan, tapi demi keselamatan ibu, maka hukuman mati masih dibenarkan, artinya itu tidak mutlak. Kemudian kalau kita dengar sendiri keterangan dari Profesor Alston yang dari Amerika tadi—dikaitkan dengan ICCPR—ahli itu sendiri itu mengatakan bahwa tidak mutlak, tergantung dari penafsiran atau kebutuhan dari masing-masing negara atau setiap bangsa. Kemudian kalau kita hubungkan dengan ketentuan-ketentuan di dalam ICCPR yang merupakan ketentuan hak asasi manusia, kalau kita kaitkan dengan pelaksanaannya sendiri, maka para Pemohon dalam hal ini mereka sudah diadili dalam ketentuan undang-undang yang berlaku, artinya tidak berlaku surut. Mereka diadili dalam persidangan yang terbuka untuk umum, mereka juga diberikan kesempatan untuk upaya banding, kasasi, dan sebagainya, sehingga putusan itu punya kekuatan hukum tetap, artinya mereka diadili berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia. Sehingga oleh karena itu saya berpendapat bahwa pelaksanaan—jangankan ancaman, pelaksanaan hukuman mati terhadap mereka sekalipun, sangat-sangat tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 demikian pula terhadap ICCPR. Terima kasih. 132. KUASA HUKUM PEMOHON : HARRY PONTOH, S.H., LL.M. Terima kasih kami akan menanyakan ahli, Ibu Jeane Mandagi, berkaitan dengan apa yang juga telah disampaikan oleh ahli Hendry
44
Yosodiningrat tadi. Bagaimana pendapat Ibu berkaitan dengan masalahmasalah yang tadi sudah dibicarakan dari ahli-ahli yang lain, dari pandangan Ibu dalam hal ini? Terima kasih. 133. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (BNN): Brigjen Pol (PURN) JEANE MANDAGI, S.H. Terima kasih Yang Mulia, Pertama-tama mungkin saya ingin memperkenalkan sedikit tentang pengalaman dan pendidikan saya. Pertama saya juga seorang sarjana hukum, lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Kemudian masuk polisi di samping pendidikan-pendidikan polisi sampai yang tertinggi, sekolah staf dan komando—ABRI waktu itu. Saya juga mendapat pendidikan khusus spesialisasi bidang narkotika dari United
Nation Regional Training Courses on the Control of Narcotic and Psychotropic Substances, kemudian Advanced International Drugs Enforcement School, specializing in Washington DC, kemudian Advanced Drug Enforcement Office Academy, di Glencool [tidak jelas!], Georgia
Amerika Serikat, itu pendidikan. Sekarang pengalaman, kami sejak masuk polisi bertugas di Maluku enam tahun, pengalamannya lain, berkaitan banyak dengan RMS dan lain-lain. Kemudian kami pindah ke Jakarta, di situ tahun 1969 sampai tahun 1976, kami diserahi tugas membina anak, pemuda dan wanita, di mana kebanyakan tugas kami akan berkisar pada tugas prevention, treatment, and rehabilitation daripada para penyalah guna sampai pencandu narkotika ini. Jadi tujuh tahun, kami mendirikan wisma Pamardisiwi yaitu treatment centre dari polisi untuk mereka yang kecanduan yang kemudian diserahkan ke polisi. Jadi tujuh tahun di bidang prevention, treatment, and rehabilitation secara langsung menangani ribuan kasus. Kemudian kami setelah spesialisasi dari Amerika, dipindahkan ke Markas Besar Kepolisian RI, di Direktorat Reserse Narkotika sebagai Wakil Direktur dengan tugas utamanya penegakan hukum atau law enforcement dan international cooperation dalam memberantas kejahatan narkoba, total sembilan tahun. Menangani berbagai kasus lingkup nasional, regional, dan operasi-operasi kepolisan internasional. Kami sering memimpin walaupun perempuan, operasi-operasi kepolisian dengan polisi-polisi negara lain dan cukup sukses, walaupun bilang sendiri. Kemudian kami dipilih oleh ASEAN Standing Committee menjadi ASEAN Narcotics Officer mewakili Republik Indonesia tercinta ini, selama tiga tahun. Di situ fokus kegiatan adalah Regional and International Cooperation, menangani semua aspek daripada semua permasalahan narkotika. Sesudah itu kami pensiun, kami diminta oleh Menteri Kehakiman waktu itu masih namanya Kehakiman untuk jadi staf ahli
45
beliau khusus menangani masalah yang menyangkut masalah-masalah kejahatan. Di situ kami sama-sama Profesor Sahetapy ke Roma waktu itu—mengikuti conference organ crime. Kemudian setelah itu kami diminta oleh Badan Narkotika Nasional sejak tahun 2000 sampai sekarang sebagai konsultan utama, itu sedikit perkenalan. Sekarang berbicara mengenai masalah yang kita hadapi sekarang. Kalau tadi kita sudah dibuat terkesima oleh orang Amerika yang memberikan keterangan pada forum internasional, saya rasa kitapun tidak boleh kecil hati karena kitapun sering berhadapan dengan mereka-mereka ini di forum internasional dan kamipun biasa memerintah orang Amerika kalau dalam operasi. Pokoknya kalau kita profesional mereka hormati Pak, sehingga kami ingin menjelaskan mengenai Undang-Undang Nomor 22 ini yang menjadikan sasaran pembicaraan kita sudah dua kali di Mahkamah yang terhormat ini dari aspek suatu konvensi internasional tadi kita sudah dibawa internasional-internasional, kami pun tidak kalah. Dalam hal ini adalah United Nation Convention Against the Illicit Traffic in Narcotics Drugs and Psychotropic Substantives tahun 1988. Karena masalah narkotika ini bukan saja masalah nasional suatu negara tetapi masalah internasional dari semua negara di dunia, maka negara-negara telah berkumpul di PBB untuk merumuskan suatu konvensi untuk mengatasi memberantas kejahatan ini, yaitu dengan lahirnya konvensi ini pada tahun 1988. Kalau tadi semua disebut artikelartikelnya kami ingin mengeluarkan pendapat anggota PBB yang terbanyak—jadi bukan pendapat seseorang—bukan pendapat seorang, Pendapat anggota PBB terbanyak yang dituangkan dalam Preamble daripada United Nation Convention tahun 1988 tadi. Kalau tadi juga pada bahasa Inggris semua saya juga tidak mau kalah, saya juga berbahasa Inggris. Saya kutip bagian penting saja yang merupakan pendapat dunia ini, bukan pendapat seorang pribadi; “the parties to this convention
deeply concern by the magnitude and rising trend of illicit production demand for and traffic in narcotic drugs and psychotropic substantive which posed serious threat to the health and welfare of human being and adversely affect the economic cultural and political foundation of society—ini pendapat dunia—deeply concern also by the steadily increasing into various social groups made by illicit traffic narcotic drugs and psychotropic substantive and particularly by the fact that children are used in many parts of the world, as an illicit drugs consumer market and for purposes of illicit production, distribution, and trade in narcotic drugs and psychotropic substantive which entails a danger of incalculable gravity”—tak bisa dihitung, tak bisa dibayangkan seriousness-nya. “Recognizing the links between illicit traffic and other related organized criminal activities, which undermined the legitimate economies and certain stability, security, and sovereignty of state”. Seperti umpamanya di Myanmar Utara itu jenderal pengusaha ladang candu dan laboratorium gelap heroin di perbatasan Muangthai. Begitu banyak penghasilannya
46
sehingga dia mendirikan the Sun United Army untuk berdiri sendiri lepas dari Myanmar. “Recognizing also that illicit traffic is an international criminal
activity. The suppression of which demand urgent attention and the highest priority”. Bagian terakhir—“aware that illicit traffic generate large of financial profit and wealth enabling trans national criminal organization to penetrate, contaminate, and corrupt the structure of government, legitimate commercial and financial business and society at all its level”. Dari preambule tersebut kita bisa menggambarkan berapa
dahsyat ancaman narkotika itu terhadap manusia, masyarakat, bangsa, dan suatu negara, bukan cuma negara Indonesia hampir semua negara di dunia. Sekarang kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 22 bagaimana? United Nations Convention tadi telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 dan UndangUndang Nomor 22 ini merupakan penjabaran lebih lanjut daripada konvensi itu. Sekarang dalam konvensi itu kalau bicara mengenai hukuman sebagaimana konvensi-konvensi lainnya tidak akan menyebut berapa hukuman dari suatu negara akan memberikan, tetapi rumusannya sebagai berikut, kami kutip article 3 paragraph 4A of the
United Nations Convention 1998, “each parties shall make the commission of the offences established in accordance with paragraph 1—yaitu yang trafficking, dan lain-lain—of this article liable to sanction which take into account the grave nature of these offences such as imprisonment (dipenjarakan), or other form of deprivation of liberty (bentuk-bentuk lain perampasan kemerdekaan), pecuniary sanction (hukuman denda), and confiscation (penyitaan), jadi di sini sudah ada embracement, other form of deprivation of liberty, pecuniary sanction, and confiscation. Kemudian article 3 dari paragraph 6, menyatakan— uraian panjang lebar—terakhir, there is a need to deter the commission of such offences. Kemudian article 24 dari konvensi itu ini yang paling membenarkan, “a party may adopt more strict or severe measure than those provided by this Convention if,—yang kami sebut tadi itu—in its opinion, such measures are desirable or necessary for the prevention or suppression of illicit traffic”. Berhubung dengan ini maka Pemerintah
Republik Indonesia dan DPR RI sepakat untuk mencantumkan hukuman mati dalam Pasal-pasal 80 ayat (1) huruf a, Pasal 80 ayat (2) huruf a, Pasal 80 ayat (3) huruf a, Pasal 81 ayat (3) huruf a, Pasal 82 ayat (1) huruf a, Pasal 82 ayat (2) huruf a, Pasal 82 ayat (3) huruf a dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dan karena undang-undang ini masih berlaku dengan sah maka hukuman mati yang dijatuhkan berdasarkan undang-undang ini tentu saja adalah sah. Sekarang bagaimana kaitan pengujian dengan Undang-Undang Dasar 1945 setelah diubah yang keempat kali? Seperti juga rekan kami tadi sudah uraikan, kita tidak boleh menafsirkan Undang-Undang Dasar itu secara sepotong-sepotong, tetapi membaca bahwa setiap orang mempunyai hak untuk hidup sebagaimana tertera dalam Pasal 28A dan
47
Pasal 28I ayat (1) dikaitkan atau dibaca dalam ditafsirkan dalam kesatuan dengan Pasal 28J, yang tadi sudah baca ayat (2), yang untuk menghemat waktu tidak saya baca lagi karena kita semua sudah maklum. Kalau tadi rekan kita bilang tidak perlu dikaitkan, ya untuk apa ada pasal itu di situ? Berarti Undang-Undang Dasar kita bertentangan? Kemudian International Covenant on Civil and Political Rights tadi juga sudah disinggung, ICCPR yang ayat (1) menjamin hak hidup itu, kemudian ayat (2) membolehkan adanya hukuman mati yang sudah kita sitir di situ. Sekarang yang menjadi masalah itu masih dibolehkan untuk the most serious crime tadi kita sudah dengar Profesor dari Amerika menafsirkan the most serious crime itu apa. Pertama dia sebut dalam uraiannya bagian akhir, “that the scope of crimes subject to the death
penalty should not go beyond intentional crime which lethal or other extremely grave consequences”. Dengan kata lain crime which lethal or other extremely grave consequences itu masuk, boleh dikenakan
hukuman mati kalau kita tafsirkan kalimat bahasa Inggris ini. Kita sudah tahu bahwa kejahatan narkotika itu merupakan kejahatan dengan extremely grave consequences, akibat buruk yang dahsyat dan lingkup hukuman mati bisa saja kita berikan mengenai akibat buruk yang dahsyat itu saya rasa sudah digambarkan secara tertulis dalam tanggapan daripada Badan Narkotika Nasional maupun Saudara Ahli Bapak Hendry ini. Kemudian kita kembali lagi kepada jiwa atau preambule konvensi yang menjadi salah satu dasar daripada Undang-Undang Narkotika ini bahwa menganggap peredaran gelap narkotika berakibat buruk terhadap pondasi masyarakat bidang ekonomi, budaya, dan politik dan serta mengancam stabilitas keamanan dan kedaulatan negara-negara. Kemudian tips Bapak rapporteur tadi juga menyatakan bahwa hukuman mati harus ditiadakan untuk drugs related crime atau drugs related offences. Sepanjang pengalaman kami 26 tahun bekerja di bidang ini secara langsung di lapangan, beliau mungkin pelajari kata-kata, tidak mengurusi satu kasus pun narkotika, saya yakin itu. Karena kebanyakan rapporteur PBB begitu, menafsirkan saja dia tidak pernah kerja di lapangan seperti kita mesti kejar-kejar segala likulikunya penjahat itu. Drugs related offences itu adalah tindak pidana yang berkaitan— related dengan tindak pidana narkoba seperti pencucian uang karena sebelumnya dia bicara economy crime dan lain-lainnya drugs related crimes atau offences itu adalah tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika seperti umpamanya tindak pidana pencucian uang, hasil dari kejahatan narkotika. Itu drugs related crime yang kita sekian tahun setiap kali bahas di konferensi-konferensi internasional tidak kalah dengan beliau, sedangkan tindak pidana narkotika disebut drugs offences crime tidak ada itu kata related, tindak pidana narkotika adalah drugs offences Bapak yang mulia. Jadi tindak pidana narkotika dapat saja dikenakan hukuman mati karena tidak masuk dalam pengertian drugs related offences. Saya mau 48
tantang siapa antara di sini yang pernah menangani itu di berbagai forum internasional menafsirkan kata related itu? Sekarang juga sedikit pengalaman disumbangkan, menghancurkan jaringan sindikat narkotika. Sindikat narkotika kita sudah tahu bekerja sangat tertutup dan rahasia dengan sistem sel terputus, sehingga sulit menangkap pimpinannya dan anggota-anggota lainnya. Setiap penugasan, seperti kurir begitu, seperti terpidana mati kita ini yang ada, mereka diawasi oleh seorang controller, pengawas yang dikirim oleh sindikat yang mereka tidak kenal. Jadi mereka tidak tahu bahwa mereka sedang diawasi oleh controller sindikat. Jadi setiap penyelewengan yang terjadi daripada kurir yang mereka kirim langsung akan diketahui oleh controller dan dilapor ke pimpinan. Dan mereka ini yang menyeleweng oleh sindikat langsung dimusnahkan tanpa ampun, sel itu dihapus, sehingga tidak membahayakan sindikat. Sekarang kita lihat dia akan merekrut dengan hati-hati anggota lain. Walaupun ancaman hukuman mati mereka tahu, mereka tokh mau saja. Kita tanya kepada yang ditangkap kalau kita periksa, kenapa sih kamu itu masih mau? Sedangkan sudah tahu ada hukuman mati. Jawab mereka begini, “sebelum kita tertangkap, kita semua berpendapat bahwa kita tidak bakal tertangkap. Kita merasa kita tidak akan tertangkap karena banyak sekali yang lolos”, dan itu benar. Banyak sekali yang lolos, so saya tidak akan termasuk kelompok yang tertangkap. Mereka itu bodoh, itu dalam pikiran orang-orang yang direkrut itu. Kemudian bayarannya tinggi, kurir kalau untuk satu trip dibayar $5000. Uang kita 45 juta untuk satu trip saja, sembunyi di koper dia pergi 45 juta sudah, dapat dia. Saya rasa lebih tinggi dari gaji kita-kita semua di sini. Di samping itu dia berpendapat hukuman mati ada yang membela, untuk menghapus hukuman mati itu seperti yang terjadi sekarang. Itu pengalaman kita, kita bicara terus terang saja, tidak usah di belakang-belakang. Jadi kita lihat kalau kami tadi bilang sindikat itu beroperasi sistem sel terputus Pak, berarti ini dilakukan oleh dua orang atau lebih yang melakukan permufakatan jahat, karena kejahatan narkotika itu adalah organized crime, tidak bisa dilakukan only one person. Kecuali mungkin dia dapat biji ganja, dia tanam di pot di rumahnya, dia pakai sendiri. Tetapi yang lain itu semuanya organized crime. Dua orang atau lebih dalam suatu permufakatan jahat atau konspirasi. Cuma sayang undangundang kita, Undang-Undang Nomor 22 dan sekarang memang sekarang dalam proses kita membuat Undang-undang Narkotika yang baru, permufakatan jahat itu dirumuskan secara sempit yaitu sebagai berikut, “permufakatan jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih dengan maksud bersepakat untuk melakukan tindak pidana narkotika”. Perumusan ini tidak akan bisa menjerat mereka dalam arti anggota selsel lain, dia organisasi, ada sel ini, sel sana. Dia akan menjerat sel-sel lain dan pimpinannya karena perumusan permufakatan jahat itu. Dengan demikian mereka pun akan tetap berjaya, sehingga kita perlu mengadakan perumusan permufakatan jahat yang jauh lebih luas yang
49
akan menghancurkan organized crime. Jadi untuk mempersingkat, kami akan membacakan kesimpulan bahwa penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika adalah ancaman yang dahsyat bagi manusia, masyarakat, bangsa, dan negara. Oleh karena itu hukuman mati dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 harus dipertahankan dan juga karena tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 setelah perubahan keempat. Demikian Yang Mulia apa yang dapat kami sampaikan. Terima kasih atas waktu yang diberikan kepada kami. 134. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Baiklah. Masih ada dua lagi dan Saudara masih bisa mengajukan pertanyaan, tetapi seperti tadi sudah diumumkan pukul satu kita mesti istirahat, sekarang sudah lewat sudah pukul satu lima belas, jadi kita masuk lagi pukul dua, tetapi karena ini sudah lewat kita mundur juga jadi pukul dua lima belas, begitu ya? Nanti kesempatan berikutnya kita dengarkan keterangan dari Profesor Ahmad Ali dan Profesor Rudi. Oh, paling tidak calon Profesor. Baik, dengan demikian sidang saya skors satu jam. KETUK PALU 1X
SIDANG DI SKORS PUKUL 13.15 WIB
135. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Baik Saudara-Saudara. Sidang skorsing sidang saya cabut, sidang saya buka kembali. KETUK PALU 1X
SIDANG DIBUKA KEMBALI PUKUL 14.15 WIB.
136.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Apa ada perubahan? Ada yang baru datang? Ada yang pulang? Dari Pemerintah? Pemohon tetap? Tidak bertambah? Baik, SaudaraSaudara tadi kita sudah mendengar keterangan empat Ahli; tiga diajukan
50
oleh Pemohon, dua diajukan oleh Pemerintah dan pihak terkait. Satu lagi rapporteur PBB dan rapporteur PBB satu lagi tadi sudah bicara juga— rapporteur local, tetapi setara tingkatnya. Jadi kita sudah mendengarkan lima Ahli, sekarang kita dengarkan dulu lagi dua. Yang tadi sudah diambil sumpahnya tetapi belum memberi keterangan. Saya akan persilakan kepada Pemerintah atau BNN terserah, mau mengajukan pertanyaan kepada yang mana dulu silakan, boleh jadi ini lebih ke aspek hukumnya begitu ya? Kalau tadi di samping hukum, tetapi juga hukum di bidang narkotika. Nah, sekarang saya persilakan nanti setelah selesai baru nanti kita buat kalau ada pertanyaan cross dari Pemohon kepada Ahli yang diajukan oleh Pemerintah ataupun dari Pemerintah mau mengajukan pertanyaan kepada Ahli dari Pemohon termasuk kalau ada Majelis Hakim yang mau tanya saya juga akan persilakan nanti. Sekarang saya akan persilakan dulu kepada Pemerintah. Silakan. 137. PIHAK TERKAIT : Kombes Pol ARIEF SUMARTONO (KA. KOODINASI SATUAN TUGAS BNN) Terima kasih Yang Mulia Ketua. Kami akan menyampaikan pertanyaan kepada Ahli—Profesor Ahmad Ali. Tadi mungkin sudah mendengar apa yang disampaikan Profesor Alston menyampaikan bahwa pada dasarnya penentuan bentuk kejahatan yang dikenai sanksi pidana mati sangat tergantung pada negara masing-masing, tentunya dengan syarat-syarat tertentu. Tentunya Ahli sebagai profesor dalam bidang filsafat dan sosiologi hukum, apakah hukuman mati ini bertentangan dengan falsafah dan nilai-nilai masyarakat Indonesia? Itu yang pertama. Kemudian Saudara Ahli juga sebagai anggota Komnas HAM di sini yang dipilih melalui suatu proses dan seleksi oleh publik. Apakah pendapat mengenai perspektif HAM terhadap pidana mati? Apakah pidana mati itu bertentangan dengan HAM dan juga berkaitan dengan Undang-Undang Dasar 1945? Terima kasih. 138. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Silakan. 139. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (BNN) : Prof. Dr. AHMAD ALI, S.H., M.H. Majelis yang mulia. Pertama-tama saya ingin menegaskan dulu bahwa judicial review ini, bukan dimaksud untuk menguji Undang-Undang Dasar, tetapi dimaksudkan untuk menguji undang-undang di bawah Undang-Undang 51
Dasar, apakah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau tidak? Oleh karena itu kita tidak usah lagi menguji Pasal 28J misalnya seperti apa yang dikemukakan tadi karena itu sudah jelas bahwa Pasal 28J merupakan kekecualian terhadap Pasal 28A dan Pasal 28I. Oleh karena itu saya berpendapat berdasarkan Pasal 28J maka tidak ada satu hakpun termasuk hak untuk hidup yang tidak mengenal pembatasan dengan syarat pembatasan seperti apa yang dicantumkan oleh Pasal 28J. Jadi pembatasan itu tidak usah dibacakan lagi, kemudian kaum abolitionist menurut saya ketika dia menentang pidana mati untuk kejahatankejahatan yang serius termasuk pengedar narkoba misalnya saya anggap mereka itu inkonsisten. Karena mereka mengatakan bahwa hak untuk hidup itu adalah hak yang tidak dapat diganggu gugat dalam keadaan apapun. Kalau mereka konsisten bahwa hak untuk hidup adalah hak yang tidak dapat diganggu gugat dalam keadaan apapun, maka mestinya hari ini mereka meminta supaya TNI RI dan Kepolisian dibubarkan. Dan juga meminta kepada PBB untuk membubarkan seluruh angkatan bersenjata yang di dunia dan memusnahkan seluruh senjata yang dimiliki, baik oleh tentara maupun polisi yang ada di dunia karena semuanya itu diperuntukkan untuk menghilangkan nyawa orang lain yang bisa dianggap sebagai mangambil hak untuk hidup, itu kalau dianggap absolut. Jadi kenyataannya memang ada kekecualian, jadi ada kekecualian dan memang kekecualian itu dimungkinkan. Begitu juga dokter-dokter, ketika dia harus memilih misalnya untuk menyelamatkan anak atau ibunya, kalau pemahaman seperti itu kita pahami, maka dokter tidak bisa memilih salah satunya, dua-duanya mati, misalnya ibunya dan anaknya misalnya. Begitu juga jika rumah kita disatroni penjahat bersenjata dan siap membunuh kita misalnya, maka Pasal 49 KUHP Pidana harus dihapuskan. Pasal 48 juga mengenai over macht juga harus dihapuskan. Jadi saya kira terjadi pemikiran-pemikiran yang inkonsisten yang harus kita luruskan. Sekarang kita ketahui bahwa di dalam Pembukaan UUD 1945, di situ melekat Pancasila, ada dua sila yang sangat mendukung pemberlakuan pidana mati untuk kejahatan-kejahatan yang sangat serius. Sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila yang kedua Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Kita mulai dari sila yang pertama. Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya kita mengakui ajaran agama yang dianut oleh rakyat Indonesia. Kita mulai dengan Islam yang dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia, mari kita baca surat Al-Maidah ayat (33) yang artinya, “adapun hukuman yang memerangi Allah dan utusannya serta berbuat kerusakan di muka bumi, mereka harus dibunuh, atau disalib, atau dipotong tangan mereka atau kaki mereka berselang-seling atau dipenjara. Inilah kehinaan bagi mereka di dunia dan di akhirat kelak. Mereka akan diganjar dengan siksaan yang dahsyat”. Dan banyak lagi ayat-ayat lain.
52
Mengapa Allah SWT memberikan hak kepada manusia untuk mempidana mati bagi pelaku kejahatan berat? Itu dijawab sendiri oleh Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 179 yang artinya, “dan dalam pidana qishash itu ada jaminan kelangsungan hidup bagimu hai orang-orang yang berakal agar kamu bertaqwa”. Kemudian di dalam ajaran agama Kristen banyak sekali surat, baik dalam Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru yang membenarkan pidana mati. Salah satu contohnya di dalam Bilangan 35 ayat 16-18. Di situ ditegaskan bahwa pembunuh sudah pasti harus dibunuh. Jadi dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya Injil pun memperkenankan pidana mati. Dan selain itu masih banyak sekali, misalnya di dalam Kejadian 9:6, Keluaran 21:12, Bilangan 35:1621 bahwa yang layak mendapatkan pidana mati adalah pembunuhan. Kemudian Keluaran 21:15 menyakiti ayah atau ibu, itu semua menurut Injil layak mendapat pidana mati. Mengutuk orang tua, menghina Allah, melanggar hari Sabat, mempraktikkan sihir, meramal nasib, dan seterusnya dan begitu banyak. Jadi dengan kata lain bahwa pidana mati bukan saja bertentangan dengan Pancasila khususnya Ketuhanan Yang Maha Esa tetapi bahkan merupakan penerapan dari Pancasila terutama Ketuhanan Yang Maha Esa menurut ajaran agama tadi. Kemudian kalau pidana mati dihapuskan dalam Undang-Undang Narkotika saya tidak bisa membayangkan betapa mengerikan keadaannya, karena apa? Sebagian besar negara ASEAN itu menganut pidana mati. Kemudian di antara negara ASEAN itu Indonesia adalah paling banyak penduduknya. Berarti Indonesia adalah yang paling banyak konsumennya di hadapan dalam pandangan sindikat pengedar narkoba internasional. Jadi apalagi kalau pidana mati itu dihapuskan untuk pengedar narkoba di Indonesia maka tentu saja sindikat pengedar narkoba internasional akan jauh memilih masuk mengedarkan di Indonesia yang konsumennya begitu banyak dan juga ancaman pidananya juga lemah dibanding mereka harus ke Malaysia. Sudah konsumen kecil, dihukum gantung lagi. Jadi ini semua mohon Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi benar-benar mempertimbangkan apa yang akan terjadi dalam bangsa kita kalau pidana mati dalam undang-undang kita itu dihapuskan. Kemudian sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, jadi dari segi keadilan. Dari segi keadilan jelas sekali bahwa kalau kita berada pada sebuah timbangan menempatkan para korban kejahatan yang serius dan pelaku kejahatan itu sendiri, apa yang harus ditempatkan di skala lain dengan tujuan untuk impas dan adil? Mungkin kita dapat menjawab pertanyaan ini lebih mudah kalau kita berhenti dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang karakter terburuknya terhadap diri kita sendiri. Pertanyaan-pertanyaan ini menyakitkan tetapi perlu diajukan. Andaikan bahwa Anda sendiri hari ini menjadi korban dari peredaran narkoba atau anak Anda, putra Anda yang sangat Anda sayangi menjadi korban dari pengedaran narkoba, jika memungkinkan bagi Anda untuk mengungkapkan keinginan Anda pidana apakah yang
53
Anda inginkan untuk diterima si pelaku kejahatan serius itu agar Anda merasa pemidanaan itu sepenuhnya memang adil. Jadi pentinglah bahwa kita berani dan mempunyai kekuatan untuk menempatkan diri kita sendiri di posisi korban, jangan selalu di posisi penjahat, jangan hanya hak asasi manusianya penjahat yang kita perhatikan. Sedangkan hak asasi dari pelaku kejahatan dari korban itu kita tidak perhatikan. Sebagai contoh saja misalnya ketika terjadi bom meledak di Bali, sekian ratus orang yang meninggal, apa kita tidak ada sedikit hati nurani untuk mengingat betapa hak untuk hidup dari sekian ratus orang itu direnggut secara kasar dan paksa oleh para teroris itu? Belum lagi anak-anaknya yang mungkin tidak punya biaya lagi karena orang tuanya meninggal dan sebagainya. Jadi saya kira kita harus memperhatikan secara berimbang. Jadi korban yang mati itu tidak akan dibiarkan ikut ambil bagian dalam kenyamanan kehidupan kalau pelaku kejahatan hanya dihukum seumur hidup, misalnya. Jadi sepanjang pemidanaan tidak mengandung kesetaraan dengan kejahatannya maka sepanjang itu pula akibatnya keadilan akan lemah dan sakit parah. Dengan demikian tidak ada alternatif pidana lain selain hanya pidana mati bagi pelaku kejahatan serius termasuk pengedar narkoba. Setiap tindakan terhadap si pelaku kejahatan serius dari sisi negara yang menggantikan pidana mati mengandung arti konkret sebagai telah tidak diterapkannya keadilan yang sempurna. Jadi adalah keliru kalau para kaum anti pidana mati menganalogikan pemerintah atau pengadilan memvonis pidana mati sama dengan pembunuhan. Itu sama saja dengan menganalogikan tindak pidana penjara dengan penculikan atau kemudian hukuman denda sebagai perampasan atau pencurian, saya kira itu dua hal yang tidak bisa dianalogikan karena satu dilakukan berdasarkan undangundang yang sah lainnya itu merupakan benar-benar merupakan kejahatan. Kemudian ada pandangan yang selalu dikumandangkan oleh yang anti pidana mati, yang mengatakan bahwa pidana mati tidak menurunkan kejahatan. Ini tergantung hasil penelitian apa yang dia mau gunakan, statistik apa tentu yang menguntungkan bagi kelompok mereka. Tapi coba kita lihat juga statistik yang menunjukkan bahwa kebalikannya memang terjadi bahwa memang pidana mati itu jelas menurunkan kejahatan. Beberapa contoh saya bisa kemukakan di sini, kita bisa mengatakan ketika Inggris menghapuskan pidana mati pada tahun 1965, kurva tingkat pembunuhan naik secara signifikan. Kita bisa mengatakan bahwa ketika Afrika Selatan menghapuskan pidana mati pada tahun 1995 pada saat damai kurva tingkat kejahatannya meluncur setinggi langit. Kita bisa menyebutkan juga Harris County berpenduduk lebih dari tiga juta di Texas yurisdiksi eksekusi yang paling aktif di Amerika Serikat. Dan tingkat kejahatan di sana telah turun 73% sejak eksekusi diterapkan kembali pada tahun 1982. Dari 44 per 100 ribu pada tahun 1981 menjadi
54
12 per 100 ribu pada tahun 2000. Penurunan tersebut tidak ada bandingannya di Amerika Serikat. Saya harus ingatkan bahwa Amerika Serikat, itu dari 50 state, 38 state masih mempertahankan pidana mati, hanya 12 state yang tidak mengenal pidana mati. Artinya masih lebih banyak yang pro pidana mati ketimbang yang anti pidana mati khususnya di Amerika Serikat. Kita bisa mengacu ke kurva tingkat kejahatan di Amerika Serikat yang merosot selama seluruh tahun 90-an pada saat yang sama dimana tingkat eksekusi meningkat. Kita bisa mengacu kepada masih banyak hal-hal lain lagi. Penelitian baru dari Profesor Gitting yang berkesimpulan bahwa setiap eksekusi di Amerika Serikat mencegah dan menghindari lima atau enam pembunuhan tambahan—sembilan banding satu. Kemudian penelitian Profesor David Philip yang dalam sebuah penelitiannya memperlihatkan bahwa pidana mati telah dalam pekan selepas eksekusi dan pekan-pekan berikutnya mempunyai efek pencegahan, dalam hal ini efek pencegahan umum. Di sini saya selalu teringat pada apa yang sangat sering dikutip oleh Bapak Profesor Laica Marzuki yaitu bahwa, “seorang pencuri kuda tidak digantung karena dia mencuri kuda itu, tetapi ia digantung agar orang lain tidak ikut mencuri kuda orang lain”. Jadi memang ini adalah teori preventif umum bukan preventif khusus. Saya kira untuk sementara itu yang bisa saya kemukakan, terima kasih. 140. KETUA : PROF. DR. JIMLY ASSHIDIQIE, S.H. Cukup? Kalau sudah cukup dilanjutkan yang terakhir, ahli yang satu lagi, silakan. 141. PIHAK TERKAIT : Kombes Pol ARIEF SUMARTONO (KA. KOODINASI SATUAN TUGAS BNN) Terima kasih Yang Mulia Ketua. Selanjutnya kami akan menyampaikan pertanyaan berkaitan dengan masalah ancaman hukuman mati ada di Undang-undang Narkotika. Kepada Ahli Dr. Rudi Satrio kami akan menyampaikan pertanyaan. Bagaimana pendapat Saudara tentang masalah ancaman hukuman mati yang saat ini masih berlaku di Indonesia terkait dengan efek pembalasan dan membuat rasa takut ataupun jera dari pemidanaan? Kemudian juga terkait dengan filosofi pemasyarakatan apakah termasuk untuk pidana mati? Kemudian yang ketiga juga terkait dengan masalah penempatan sanksi pidana mati di dalam Rancangan UndangUndang KUHP ini, terima kasih.
55
142. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDIQIE, S.H. Silakan. 143. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (BNN): Dr. RUDI SATRIO, S.H., M.H Terima kasih. Yang terhormat Majelis, ada tiga pertanyaan yang ditujukan kepada saya. Yang pertama terkait dengan persoalan efek dari pidana mati itu sendiri atau mungkin efek dari sanksi-sanksi pidana yang lainnya. Menurut pendapat saya kalau kemudian mengesampingkan hal yang berhubungan dengan efek pembalasan dan hal yang berhubungan dengan efek penjeraan dari satu sanksi maka ibaratnya kita hidup dalam dunia yang maya karena sudah dapat dipastikan kalau kemudian seseorang dihukum maka pasti sebagai bagian dari persoalan mewakili pembalasan dari pihak korbannya, pasti dikatakan demikian. Dan yang kedua, bahwa kemudian orang melihat orang lain kemudian sudah dihukum maka dapat dipastikan juga kemudian akan merasakan tentang masalah kalau kemudian saya melakukan janganjangan saya kemudian akan melakukan yang demikian. Jadi walaupun bicara soal kurang efektif tapi kemudian efek penjeraan dan efek untuk kemudian membuat dia sebagai satu pembalasan sudah pasti terjadi dalam hal persoalan pemidanaan, ini tidak hanya bicara soal pemidana pidana mati tapi kemudian untuk pidana-pidana yang lainnya pun akan kemudian mempunyai efek tentang dua hal tersebut. Sehingga kalau kemudian bicara soal pidana mati, di dalam Undang-Undang Narkotika— tidak bicara soal undang-undang yang lainnya—pidana mati dalam Undang-Undang Narkotika sudah pasti kita sangat berharap sekali dengan adanya sanksi pidana mati atau ancaman pidana mati yang ada dan kemudian ancaman tersebut dapat dilaksanakan efek penjeraannya pasti akan dirasakan pada masyarakat secara umumnya. Tidak terbayang buat kita semuanya—menyambung dari Pak Ali—kalau pidana mati kemudian dihilangkan. Betapa lemahnya penegakan hukum yang akan terjadi di Indonesia, lebih khusus lagi bicara soal sedemikian banyaknya korban-korban yang langsung atau tidak langsung yang berhubungan dengan persoalan narkotika itu. Pesan yang kedua, terkait dengan persoalan filosofi dari pemasyarakatan. Filosofi pemasyarakatan dengan lembaga pemasyarakatannya dalam literatur yang saya baca berkaitan dengan persoalan sanksi dalam bentuk pidana penjara, tidak terkait dengan persoalan sanksi pidana-pidana mati dalam hal ini, kalau kemudian mengaitkan filosofi pemasyarakatan dengan hal yang berhubungan dengan suatu pidana mati satu tempat yang kemudian harus dibedakan. Persoalan yang ketiga, disinggung-singgung soal rancangan KUHP yang kemudian di dalamnya sudah menempatkan ke tempat yang berbeda, tempat yang terpisah dari sanksi-sanksi pidana yang ada. Tidak harus
56
diartikan sebagai menghilangkan pidana mati dalam KUHP, tapi eksistensinya tetap ada cuma saja tentang masalah pelaksanaannya itu kemudian lebih diperjelas, lebih dipertegas dan kepastian masalah waktunya yaitu ditunda sampai dengan sekian tahun kalau-kalau dapat dinilai sebagai satu kebaikannya maka tidak menutup kemungkinan dia akan diubah tentang masa pemidanaannya dari pidana mati mungkin sampai dengan menjadi pidana seumur hidup. Jadi sekali lagi bukan dimaksudkan untuk kemudian menghilangkan eksistensi pidana mati dalam RKUHP, tidak tapi kemudian dibuatkan lebih pasti, tidak seperti sekarang ada yang kemudian 30 tahun, 35 tahun untuk kemudian menunda-nunda pelaksanaan pidana mati tersebut. Jadi di eksistensinya tetap ada, tetapi kemudian lebih dibuatkan suatu hal yang pasti. Persoalan yang berikutnya, terkait dengan persoalan hukuman mati dan kemudian adalah hukuman mati “Petrus dan Matius” (penembakan misterius dan membunuh secara misterius), suatu hal yang menarik. Memang kalau kita perhatikan persoalan hukuman mati, dengan persoalan “Petrus dan Matius” sama-sama berharap tentang masalah efek deterrent-nya atau efek-efek yang kemudian bisa meredam orang terhadap satu tindak pidana. Tapi suatu hal yang jelas berbeda, Petrus dan Matius, penembakan secara misterius dan membunuh secara misterius, jelas kedua-duanya suatu tindakan yang melanggar HAM dan yang kedua jelas-jelas suatu tindakan yang melanggar hukum karena tidak ada ceritanya mencoba untuk kemudian untuk kemudian mengurangi kejahatan dengan kemudian secara melawan hukum melakukan penembakan dan membunuh secara melawan hukum. Tetapi kalau kemudian tempat hukum pidana mati itu memang ada dasar hukum prinsip asas legalitas dalam undang-undang yang ada. Jadi tidak memungkinkan menyamakan orang mati karena hukuman pidana mati dengan orang mati karena penembakan secara misterius, suatu konsep yang jauh berbeda. Persoalan yang terakhir, kemudian kalau kita melihat di dalam manfaat sosiologis sosial dari persoalan pemidanaan, saya ambil dari Posumi, pertama adalah pemeliharaan tertib masyarakat, yang kedua perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian, atau bahayabahaya yang tidak dapat dibenarkan yang dilakukan oleh orang lain. Yang ketiga memasyarakatkan kembali para pelanggar hukum, ini kecuali untuk pidana mati. Keempat, memelihara dan mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan, dan keadilan individu, maka rasa-rasanya kalau kemudian melihat sedemikian banyaknya korban dan calon-calon korban dari kasus-kasus narkotika, maka yang dinamakan dengan aspek sosial tentang masalah pemidanaan perlindungan bagi masyarakat dari kejahatan suatu hal yang tidak mungkin dan untuk kita menolaknya. Sekali lagi sudah sedemikian mengancamnya tentang kejahatan yang berhubungan dengan persoalan narkotika ini. Ini kemudian dikatakan lihat juga kepada masalah efek samping dari kejahatan yang ada, bukan
57
bicara soal perubahan tidak langsung, memang suatu hal yang memang terjadi adalah suatu korban yang tidak langsung, tapi kemudian korban tersebut sudah sedemikian besarnya yang tidak memungkinkan untuk menutup mata tentang hal tersebut, terima kasih. 144. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Cukup? 145. PIHAK TERKAIT : Kombes Pol ARIEF SUMARTONO (KA. KOORDINATOR SATUGAS TUGAS BNN) Untuk BNN selesai. 146. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Baik, sebelum kita lanjutkan, jadi memang kalau kita urut Ahli yang belakangan menjawab pertanyaan sudah punya referensi yaitu mendengarkan keterangan ahli terdahulu, sehingga tanpa sadar ada saja yang direspon dari keterangan-keterangan Ahli terdahulu. Supaya fair saya ingin memberi kesempatan kepada Bapak Prof. Sahetapy kalau ada yang mau ditambahkan begitu juga Pak Rachland, silakan tetapi tidak usah terlalu jauh sepanjang setelah mendengar keterangan, silakan. 147. AHLI DARI PEMOHON : Prof., Dr. JE. SAHETAPY, S.H., M.A. Saya juga tahu betul. Saya beragama Kristen Protestan, tetapi saya tidak mau bicara tentang agama lain, itu namanya dalam dunia keilmuan diletantatisme. Kalau pakai bahasa Indonesia sini tidak pernah makan tempe. Itu semua kutipan dari Perjanjian Lama, itu sudah selesai. Ketika masuk dalam Perjanjian Baru apa kata Yesus? “Hendaklah kau mengasihi sesama manusia seperti dirimu sendiri”, saya bisa kutip itu Mathius 22 ayat 39, darimana? Ya mohon maaf saja, kebetulan dalam hati saya ini ada alkitab, jadi saya sudah baca itu supaya saya ngomongnya tidak ngawur, asbun saja begitu, kata orang. Yang kedua, mengenai “Matius dan Petrus”, sebetulnya agak tidak enak kalau guru melawan muridnya, tapi biarlah nanti saya keluar jurus saya sendiri. “Matius dan Petrus” itukan sudah against the law, semua orang sudah tahu. Kata orang Belanda itu semua orang sudah tahu. Lah kalau gaya koboi saja orang tidak deterrent, apalagi kalau gaya hukum, terima kasih Pak Ketua. 148. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Baik, Pak Rachlan.
58
149. AHLI DARI PEMOHON : RACHLAND NASHIDIK. Saya hanya mau klarifikasi kepada Prof. Ali—Ahmad Ali ini menampilkan dirinya sebagai orang yang demikian percaya apa yang namanya retributive justice, an eye for an eye begitu, nyawa dibayar nyawa, segala macam itu. Jadi itu semacam pendekatan yang diyakini betul kelihatannya oleh Pak Ahmad Ali. Pertanyaan saya adalah kalau demikian bagaimanakah Pak Ahmad Ali merekonsiliasikan pendiriannya itu dengan keberadaannya sebagai anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan yang notabene menolak retributive justice? 150. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H.
Oke, silakan kalau ada yang mau dijawab sedikit sebelum saya—
ya karena tadi disebut (…)
151. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (BNN): Prof., Dr. AHMAD ALI, S.H., M.H. Terima kasih Yang Mulia. Kalau memang sebagai seorang muslim saya tidak bisa langsung mengutip kitab suci orang lain, maka saya harus katakan sekarang saya mengutip dari seorang pakar yang beragama Kristen dan dalam kutipannya itu disebutkanlah berbagai dalil-dalil, antara lain misalnya ini dari David Anderson seorang penganut agama Kristen, memberikan contoh banyak tapi salah satunya saja di Lukas 19:27 dikatakan, “tetapi musuh-musuhku yang tidak menginginkan aku menjadi raja terhadap mereka bawalah mereka ke sini dan bunuhlah mereka di depanku”. Ini bukan kata saya, tetapi saya baca dari kutipan ini. Ini bisa dilihat di internet karena ini bukan dalam bentuk buku. Kemudian pertanyaan—mungkin dalam kaitan keanggotaan saya di dalam (...), ya silakan. 152. AHLI DARI PEMOHON : RACHLAND NASHIDIK. Boleh saya clear-kan sedikit? Ada dua pendekatan yang berbeda di dalam transitional justice, yang pertama adalah pendekatan retributive justice dengan menekankan keadilan hukum dimana semua kejahatan yang terjadi di masa lalu itu, itu harus diartikan sebagai salah satu kejahatan serius yang harus di bawa ke depan pengadilan, itu suatu mahzab yang dipimpin oleh Ariel Nayer [sic!] yang kemudian dia berkontradiksi dengan pendekatan transitional justice, restorative justice, komisi kebenaran dan persahabatan, komisi rekonsiliasi yang terjadi di Afrika Selatan, contohnya. Pendekatan yang restorative justice ini jelas-jelas menolak 59
retributive justice dengan alasannya masing-masing, tetapi yang jelas
mereka berdua tidak bisa direkonsiliasikan dalam suatu posisi. Orang yang anti rekonsiliasi atau yang menolak restorative justice yang lebih percaya kepada keadilan hukum dia akan mengambil posisi yang sangat tegas, sebagai penganut retributive justice dimana setiap kejahatan di masa lalu crime against humanity mesti dibawa ke depan pengadilan. Sementara pendekatan restorative justice karena dia mengandaikan adanya harmoni sosial dia meminta agar semua kejahatan di masa lalu itu direkonsiliasikan dengan cara pencarian kebenaran, dengan cara testimony dan segala macam sehingga kebenaran semacam rekonsiliasi di antara korban dengan victim. Pak Ahmad Ali begitu posisinya tentang restorative justice tapi dia berada dalam komisi kebenaran dan persahabatan, itu suatu pendirian yang saya kira tidak bisa direkonsiliasikan apabila ada scope integritas akademis atau moral di dalamnya. 153.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Silakan.
154. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (BNN): Prof., Dr. AHMAD ALI, S.H., M.H. Saya bisa jawab, jadi kita harus membedakan jenis-jeinis dari kejahatan yang sangat serius. Ada pengendalian narkoba, ada teroris, kemudian ada pelanggaran HAM berat. Mungkin yang dimaksudkan dengan Saudara ahli tadi itu khusus di dalam pelanggaran HAM berat memang dikenal yang namanya transitional justice yang mengenal apa namanya restorative justice, jadi rekonsiliasi. Tetapi yang kita bicarakan di sini dan fokus pada persidangan ini adalah pada Undang-Undang Narkoba yang sepanjang pengetahuan saya tidak ada satu negarapun yang melakukan rekonsiliasi dengan pengedar narkoba, jadi saya kira harus dipisahkan. Jadi posisi saya sebagai anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste itupun hanya untuk kasus 1999 dan apa yang kami rekonsiliasikan itu, ini yang banyak disalahpahami oleh teman-teman di luar, itu adalah apa yang sudah diputuskan oleh pengadilan. Jadi sebelumnya sudah ada pengadilan HAM ad hoc. Lalu kemudian dengan adanya putusan Pengadilan HAM ad hoc ternyata belum menyelesaikan masalah. Oleh karena itu kita menempuh jalan lain untuk menyelesaikan masalah itu dan itu di luar hukum dan itu memang Komisi Kebenaran dan Persahabatan Timor Leste Indonesia itu bukan komisi hukum, berbeda dengan Komnas HAM misalnya. Jadi memang komisi rekonsiliasi sama dengan keberadaan misalnya BANI tidak bisa diidentikkan dengan keberadaan pengadilan. Jadi keduaduanya berjalan bersama tetapi untuk kasus yang berbeda dan untuk
60
persoalan yang berbeda, jadi jangan dicampuradukkan hal yang seperti itu, saya kira itu jawaban saya Majelis yang mulia, terima kasih. 155. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Sebelum itu ada Dr. Rudi ada yang mau disampaikan? Tidak ada? Baik, sekarang saya persilakan Saudara Pemohon satu dan dua ada yang mau ditanyakan? Silakan. 156. KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. TODUNG MULYA LUBIS, S.H., LLM. Terima kasih Yang Mulia. Kami tidak ingin mengajukan pertanyaan, tapi kalau diizinkan kami hanya ingin membuat beberapa poin saja, setelah mendengar penjelasan dari ahli termasuk special rapporteur PBB Prof. Philips Alston tadi. Yang pertama kami mencatat dan (…) 157. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Saya rasa tidak apa-apa, nanti Pemerintah saya beri kesempatan, tapi jangan panjang-panjang. Silakan. 158. KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. TODUNG MULYA LUBIS, S.H., LL.M Kami mencatat dan seperti juga Majelis mencatat bahwa penterjemahan dari penjelasan Ahli Philips Alston itu sepenuhnya akurat, dan untuk kepentingan kita bersama kami nantinya akan memohon kesediaan Majelis untuk bisa diberikan izin mengajukan pernyataan tertulis dari yang bersangkutan. Satu dan lain hal untuk menghindari misinterpretasi yang mungkin saja terjadi, karena penterjemahan yang tidak akurat—saya mohon maaf Yang Mulia. Yang kedua, mungkin perlu juga dijelaskan bahwa judicial review yang kita ajukan ini bukan judicial review terhadap hukum Islam. Jadi walaupun tadi sudah ada pernyataan-pernyataan yang mengutip beberapa ayat, sekali lagi kami ingin meluruskan bahwa ini di luar konteks dan di luar domain judicial review yang kita ajukan sekarang ini. Yang ketiga, keterangan ahli banyak sekali mengungkapkan mengenai bahaya narkoba, kami seribu persen setuju dengan apa yang dikatakan oleh ahli semua ini. Kami anti narkoba dan kami setuju penjahat narkoba dihukum seberat-beratnya dan hukuman itu buat kami adalah hukuman seumur hidup tanpa remisi. Jadi bukan hukuman mati dan konteks inilah saya kira beberapa pembuktian dan data yang diajukan oleh salah satu ahli itu masih bisa kita uji. Kami punya data dari Death Penalty Information Centre yang sudah kami ajukan, jumlah pembunuhan di 61
negara-negara yang sudah menghapuskan hukuman mati dengan Amerika yang masih menganut hukuman mati di beberapa negara bagian, itu jauh lebih rendah ketimbang di Amerika yang masih menganut hukuman mati. Kemudian juga untuk data Amerika, saya tidak tahu data tahun berapa yang disampaikan oleh Ahli Prof Ahmad Ali tadi, kami punya data dari Death Penalty Information Centre bahwa laju pembunuhan di negara bagian yang menerapkan hukuman mati, itu lebih tinggi dari tahun 1990 sampai tahun 2004 jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan di negara bagian yang telah menghapuskan hukuman mati. Ini data dari Death Penalty Information Centre dan ini yang sudah kami sampaikan kepada Majelis, jadi kami hanya ingin menggarisbawahi ini karena kami tidak ingin terjebak untuk bicara mengenai kampanye anti narkoba yang kami memang setuju sepenuhnya karena ini adalah judicial review terhadap konstitusionalitas hukuman mati, itu saja supaya kita bisa kembali kepada rel yang sebenarnya, terima kasih. 159. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Baik, saya persilakan Bapak Jaksa Agung ada yang perlu disampaikan? 160. PEMERINTAH : ABDUL RAHMAN SALEH, S.H., M.H. (JAKSA AGUNG RI) Terima kasih Yang Mulia. Kami keberatan, kalau pihak Pemohon akan memberikan tambahan keterangan dari Profesor Alston, sebab meskipun kita akui beberapa terjemahan tidak akurat, tapi ada hal-hal jelas-jelas akurat dan kami Pemerintah juga tidak memakai terjemahan itu dari bahasa Inggrisnya pun bisa diketahui bahwa Prof Alston mengakui adalah hak tiap negara untuk mengatur sendiri menurut kepentingannya asal berdasarkan asas-asas yang diakui secara universal dan itu sudah dipenuhi oleh pemerintah Indonesia. Kemudian yang kedua mengenai data-data hukuman mati. Ini saya ada lagi data terbaru Maret 8-12 Maret 2006, ini dari internet, research dari View Reaserch Centre for The People and The Press Survey, conducted Princeton survey. Hasilnya adalah 65% mendukung hukuman mati dan hanya 19% menolak, sisanya tidak yakin, terima kasih. 161. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Baik, ini kami catat sebagai semacam kesimpulan sementara, setidaknya kesimpulan dari sidang hari ini. Sekiranya tidak ada lagi yang
62
perlu Saudara tanya, masih ada? Pemohon satu, Pemohon dua, silakan barangkali gantian tempat duduknya, bergeser dulu ke belakang. 162. KUASA HUKUM PEMOHON : Terima kasih Majelis yang kami hormati. Pertanyaan saya ini saya tujukan kepada Ahli Profesor Ahmad Ali. Kalau kita mendengar akan tanggapan daripada BNN ketika persidangan pertama yang disampaikan oleh Bapak Mangku Pastika, kemudian penjelasan ahli yang disampaikan oleh BNN yaitu Ibu Jeane yang baru saja disampaikan, ternyata dikatakan bahwa kejahatan narkotika itu semakin meningkat dan bahkan semakin banyak mengancam akan kehidupan umat manusia. Oleh karena itu di sini kita melihat bahwa kehadiran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 khususnya Pasal 80A, Pasal 81, dan Pasal 82A tentang hukuman mati, nampaknya sejak saat lahirnya undang undang ini tidak sedikitpun menurunkan angka kejahatan khususnya narkotik di Indonesia ini. bahkan semakin naik. Demikian halnya jika kita kaitkan kalau kita tinjau kembali dari aspek sosiologis, yuridis, dan filosofis apakah hukuman mati ini masihkah bisa kita pertahankan untuk menurunkan angka kejahatan kriminalitas khususnya narkotik kami mohon penjelasan. 163. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Silakan, mulai dari Bapak Henry barangkali? Silakan. 164. AHLI DARI PIHAK YOSODININGRAT, S.H.
TERKAIT
(BNN)
:
KRH
HENRY
Terima kasih Majelis Konstitusi yang mulia, pertama menanggapi pertanyaan itu bahwa secara logika masih ada ancaman saja tidak menurun, bisa Anda bayangkan kalau ancaman itu dihapuskan. Yang kedua, oleh karena pelaksanaan dari vonis mati itu yang sampai saat ini masih lebih banyak yang tidak dilaksanakan, jadi tidak merupakan suatu jaminan bahwa apabila ancaman pidana mati di dalam Undang-Undang Narkotika dihapuskan maka tindak pidana atau kejahatan narkotik akan menurun, pasti tidak ada jaminan, terima kasih. 165. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Ibu Jeane, silakan. 166. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (BNN) : BRIGJEN POL (PURN) JEANE MANDAGI, S.H Terima kasih Yang Mulia.
63
Kalau kita akan menurunkan hukumannya menjadi seumur hidup, kalau dilihat dari aspek manusia apakah tadi yang dibilang seumur hidup without remisi, tidak lebih kejam daripada langsung mati saja? Karena dia setiap hari menderita terus tanpa remisi. Siksa di dalam penjarapenjara kita yang masih payah daripada mati, sudah habis. Suatu saat everybody has to die including all of us here, itu satu. Kedua, tercatat sekitar 60 orang dijatuhi hukuman mati, baru tiga yang dieksekusi. Jadi banyak pun mungkin tidak tahu karena tidak baca Koran, merasa bisa ditunda-tunda dan sebagainya. Coba kalau 60 itu langsung diseret dor, dor, dor. Saya ingin tahu apa tidak pikir seratus kali? Sehingga kita tidak menjadi negara keranjang sampah. Kalau kita habis menurunkan atau meniadakan dari Undang-Undang Narkotika penjahat akan lari semua kemari dan berpesta ria di sini karena Indonesia mudah saja, bisa diatur. Hukuman mati saja tidak berani dia terapkan ke kita. Tapi dia berani mematikan kita, dalam operasi-operasi tidak segan-segan anggota kita ditembaki dan sebagainya, apalagi yang setiap kali dia jual itu, dia jual dapat duit, dia jadi kaya dia tidak peduli orang mati. Pengalaman kami saya ingin bertanya mohon jawaban secara jujur dalam hati saja, Bapak-bapak yang ada di sini. Kalau suatu saat dipanggil pulang bilang istri Bapak diinjak-injak oleh anaknya mau dibunuh dengan pisau dapur, karena minta uang sekian ribu untuk beli satu kali suntikan heroin. Apa Bapak tidak bilang ke nerakalah orang yang jual ini kepada anakku yang begitu saya sayang dan saya besarkan! Ataukah Bapak tidak bingung menghadapi anak Bapak yang bagus itu, yang sudah mahasiswa menjual Mercedes Bapak dengan harga hanya beberapa seratus juta, yang Mercedes begitu mentereng Bapak banggakan kemudian minta uang Bapak, Bapak tidak kasih lantas diambil kursi yang Bapak sedang duduk sama dia di meja makan, dia mau pukul Bapak dengan kursi, Bapak lari-lari dia kejar terus dengan kursi dia mau pukul Bapak? Apa Bapak tidak menyumpah-nyumpahi orang yang kasih narkotika kepadanya, biar dia mati saja? Itu saja yang ingin tanya Bapak jawab dengan jujur dalam hati Bapak, terima kasih. 167. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Mungkin nanti bisa juga dijawab, jangan dalam hati, dijawab benaran, silakan Bapak Ahmad Ali. 168. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (BNN) : Prof. Dr. AHMAD ALI, S.H., M.H Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi, saya mulai dulu dengan common sense saja dulu, sebelum jawabannya ilmiah. Common sense, hari ini ada dua ratus pengedar narkoba, besok dieksekusi mati seratus, apa kira-kira tidak berkurang? Jelas berkurang
64
seratus orang, akan sisa seratus orang. Andaikata dia tidak dieksekusi mati tetap dua ratus orang mungkin tambah lagi yang baru, itu common sense saja. Yang Mulia kaum abolisionist itu memang riang gembira selalu menunjuk ke berbagai hasil penelitian yang mereka anggap menegaskan hipotesis bahwa hukuman mati tidak bersifat mencegah kejahatan, harus saya katakan bahwa hasil penelitian tersebut tidak dapat memberi informasi pasti, tetapi berapa banyak kejahatan kekerasan dan kejahatan serius lainnya termasuk kejahatan narkoba yang telah dihindari disebabkan efek pencegahan umum yang ditimbulkan pidana mati. Sebab seseorang mungkin mengacu ke sebuah negara yang telah mengintroduksi pidana mati, tetapi tingkat kejahatannya masih tidak turun dan kemudian menarik kesimpulan bahwa pidana mati tidak begitu banyak mencegah orang lainnya lagi dapat mengacu ke sebuah negara lain dan mengklaim kebalikannya. Nah, gerakan kurva tingkat kejahatan tergantung pada ratusan faktor bukan hanya satu. Kesimpulankesimpulan yang handal secara ilmiah tidak dapat dicapai oleh kurva, oleh kurva-kurva tingkat kejahatan, diagram-diagram dan statistik. Hubungan kausalnya terlalu kompleks dan peluang-peluang interpretasinya sangat luas. Penelitian komprehensif yang dilakukan di Amerika Serikat antara lain yang dilakukan oleh Profesor Rubin dan kawan-kawan menunjukkan bahwa pidana mati mempunyai efek pencegahan kuat. Kesimpulan mereka khususnya eksekusi terhadap setiap pelanggar tampak menyelamatkan rata-rata nyawa 18 korban potensial. Taksiran ini mempunyai batas kesalahan plus dan minus sepuluh, saya kira itulah jawaban saya Yang Mulia. 169. AHLI DARI PIHAK YOSODININGRAT, S.H.
TERKAIT
(BNN)
:
KRH
HENRY
Saya masih ada tambahan Yang Mulia, bisakah diizinkan kepada saya? 170. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Dr. Rudi dulu, urutan. Nanti balik lagi boleh. 171. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (BNN) : RUDI SATRIO, S.H., M.H Terima kasih. Bicara soal tindak pidana pencurian atau pencurian sendiri, itu sudah terjadi sekian abad yang lalu. Kemudian ada aturannya kita turun dari Pasal 362 KUHP, apakah iya karena tidak berhasilnya dalam hal memberantas pencurian kemudian kita harus mengatakan tidak perlu pasal masalah pencurian? Terima kasih.
65
172.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE., S.H. Masuk akal semua ini, silakan Bapak Henry, sebentar-sebentar Bapak Henry dulu terima kasih.
173. AHLI DARI PIHAK YOSODININGRAT, S.H.
TERKAIT
(BNN):
KRH
HENRY
Majelis Mahkamah Konstitusi, saya memohon perhatian semua pihak bahwa persidangan di Mahkamah Konstitusi hari ini sedang disorot sedang diperhatikan ditunggu-tunggu putusannya oleh sindikat narkotika internasional. Kita sedang diuji melalui empat orang anggota sindikat internasional yang sudah divonis oleh pengadilan yang sah di Republik Indonesia, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang sah dengan tata cara yang sah, sehingga yang berkepentingan, yang paling berkepentingan yang paling berkepentingan dalam persidangan ini adalah sindikat yang sudah dipidana dan sindikat-sindikat narkotik di kemudian hari. Satu hal yang ingin saya tambahkan dalam kaitan dengan ini bahwa tadi sudah berbagai pendapat hukum dikemukakan, mungkin kita bias ambil kesimpulan sendiri sebelum kita tuangkan bahwa kenyataannya berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan dari keterangan ahli ternyata ancaman pidana mati dalam Undang-Undang Narkotik tidak bertentangan dengan Konstitusi. Yang kedua, juga tidak bertentangan dengan ICCPR sebagaimana dikemukakan sebagai salah satu dalil yuridis yang dikukuhkan oleh Pemohon, itulah tambahan yang perlu untuk saya sampaikan dan mohon perhatian dari persidangan yang kami muliakan, terima kasih yang Mulia. 174. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Baik, cukup? Terakhir ya, setelah itu nanti saya beri kesempatan ke Majelis Hakim untuk mengajukan pertanyaan juga, silakan. 175. KUASA HUKUM PEMOHON : HARRY PONTOH , S.H., LL.M Terima kasih Yang Mulia. Saya meminta Ahli Rachlan untuk mengklarifikasi, apakah hak hidup sebagai non derogable rights kemudian memang bisa diartikan supaya tentara, alat perang segala macam itu dimusnahkan? Terima kasih. 176. AHLI DARI PEMOHON : RACHLAN NARSIDIK Saya kira itu satu penafsiran yang terlalu sewenang-wenang karena pengguna kekerasan dengan senjata api oleh polisi misalnya,
66
kendati itu dibenarkan tetapi itu dibatasi oleh norma-norma yang telah ditetapkan oleh PBB. Saya kira polisi mengetahui apa yang disebut sebagai basic principle on the used of force and fire arms by law enforcement official. Apakah hakikat dari hal itu? Hakikatnya adalah selama kekerasan digunakan untuk melindungi hak orang lain maka dia harus digunakan dengan menghormati hak itu sendiri, karena itu di berbagai tempat penafsiran terhadap penegakan hukum dalam konteks pengguna senjata api ini misalnya amat berbeda-beda. Kita tahu di Inggris misalnya karena ada larangan untuk menggunakan senjata api, sebagian besar polisinya tidak pakai senjata api, kecuali unit-unit khusus misalnya. Saya kira kata bahwa tentara masih dibubarkan kelewatan penafsiran sewenang-sewenang seperti itu, karena food tentara itu tentu saja sudah tahu semua itu adalah untuk mem-protect kita, kedaulatan kita dari serangan pihak lain dan itupun juga diatur di dalam Geneva Convention tentang bagaimana kekerasan itu harus dilakukan dan hakhak manusia apa yang tidak pernah berdiri dilanggar di dalam konteks perang sekalipun. Jadi ada regulasi, jadi saya kira hal itu sangat amat bersewenangwenang penafsiran terhadap hal itu, hanya karena kita tidak setuju dengan pidana hukuman mati maka kemudian ditafsirkan bahwa semua hal yang bisa berhubungan dengan penggunaan kekuatan paksa dengan perkara hukum itu menjadi harus anulir semua. 177. PIHAK TERKAIT : Kombes Pol ARIEF SUMARTONO (KA. KOODINASI SATUAN TUGAS BNN) Mohon izin yang Mulia? Terima kasih Yang Mulia, pada kesempatan ini mungkin saya hanya akan menyampaikan sekelumit cerita, cerita tentang pengungkapan kasus yang baru-baru ini kita laksanakan pada tanggal 26 maret yang lalu. Kita berhasil menangkap seorang tersangka warga negara Nepal yang bernama Gopal Serpa dengan barang bukti shabu seberat 650 gram bruto. Dari hasil pemeriksaan terhadap tersangka ini kemudian terungkaplah bahwa yang mendramatisir penjualan narkoba tersebut adalah seorang narapidana yang saat ini berada di dalam lembaga permasyarakatan yang bernama Thomas. Kita meminta izin kepada Lapas untuk memeriksa Thomas, dari hasil pemeriksaan didapatkan pengakuan bahwa dia memang menjalankan, mengendalikan istrinya untuk berhubungan dengan Gopal dalam rangka penjualan barang yang datang dari luar negeri ini. Gopal datang ke Indonesia melalui Singapura dikendalikan dari India, datang ke suatu hotel untuk mengambil barang dengan kapal laut dia ke Batam, dari Batam ke Jakarta. Di Jakarta sudah diatur menginap di suatu tempat—di hotel— yang sudah ditentukan dari India. Di lembaga pemasyarakatan ada seorang warga negara Nepal juga yang sedang ditahan di sana, namanya Budi. Antara Budi dengan
67
India inilah tersangka yang di India berhubungan yang mampu menjual barang di sini adalah Thomas. Thomas sejak tahun 2000 hingga sekarang tidak pernah kembali ke negara Austria. Thomas dalam pengakuannya dengan kasus yang sekarang terbukti dia terlibat sudah tiga kali berurusan dengan pengadilan kita, terima kasih. 178. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Ya, kita catat. Pak Todung silakan terakhir, silakan. 179. KUASA HUKUM PEMOHON : TODUNG MULYA LUBIS, S.H., LL.M Tadi Yang Mulia mengatakan apakah pertanyaan Ibu Mendagi itu perlu dijawab atau tidak? Pertanyaan itu tentu sangat menyentuh hati kecil kita dan kita pasti sangat emosional kalau dihadapkan pada situasi semacam itu, tapi apakah sebaliknya kita juga tidak bisa melihat dan bertanya dalam hati kita masing-masing perdagangan narkoba adalah perdagangan mafia internasional yang melibatkan banyak sekali elemenelemen yang ada di tingkat nasional maupun global termasuk penguasa. Birma itu negara yang banyak diasosiasikan dengan narkoba, Colombia. Apakah perdagangan narkoba di Indonesia misalnya itu tidak mendapat backing misalnya? Apakah kita tidak bertanya juga dalam hati kecil kita siapa di belakang ini semua? Yang ditangkap ini siapa? Saya sekali lagi mengatakan, kita semua anti narkoba, tapi ini hanya ingin mencoba melihat bahwa this is the product of poverty and injustice, itu yang ingin kami kemukakan. Yang kedua, hasil penelitian kita tentu akan bisa datang dengan hasil penelitiannya yang berbeda. Saya datang dari data Death Penalty Center begini hasilnya. Di negara yang sudah menghapuskan hukuman mati angka kejahatan itu menurun dengan sangat drastis, dibandingkan dengan negara yang masih menganut hukuman mati, tapi Ahli Profesor Achmad Ali mengatakan ada data yang lain. Kemudian Jaksa Agung mewakili Pemerintah mengatakan ada hasil jejak pendapat, tapi hasil jejak pendapat bukan bukti empirik, itu bukan hasil penelitian empirik. Di Afrika Selatan ketika kasus judicial review penghapusan hukuman mati dilakukan, majelis hakim ini mengakui bahwa publik opini mayoritas mendukung hukuman mati, tapi majelis hakim mengatakan demi Konstitusi dia menghapuskan hukuman mati, itu yang dilakukan karena dia tidak melihat publik opini di sini. Jadi Majelis Hakim yang kami muliakan, kami hanya ingin menyatakan bahwa data memang bisa berubah tergantung kita melihatnya, tapi kami juga dalam permohonan kami sudah mengatakan ada satu isu lain yang sangat essential infalibility of the criminal justice system. Criminal justice system tidak pernah sempurna dan banyak orang dihukum bukan karena kesalahannya dan karena ini irreversible tidak bisa dirubah, adagium hukum pidana selalu mengatakan, ”lebih
68
baik membebaskan orang bersalah ketimbang menghukum orang yang tidak bersalah”. Ini yang ingin kami kembalikan sebagai catatan, karena kami tidak mau kita berdebat mengenai data karena data itu pasti akan bisa—tergantung kita melihat dari data yang mana, terima kasih. 180. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H.
Ok tidak usah dijawab dulu, Pak Jaksa Agung ada yang mau ditambahkan? 181. PEMERINTAH : ABDUL RAHMAN SALEH, S.H., M.H (JAKSA AGUNG RI) Ya, kami juga mohon dapat kesempatan kalau pihak Pemohon selalu menggunakan kesempatan juga. Yang pertama memakai datadata itu sebetulnya Pemohon, saya baru saja kembali dari Afrika Selatan. Kedutaan Besar Indonesia dirampok, semua rumah orang kaya ditempeli pengumuman, badan security mana yang menjaga rumah itu? Semua rumah dipasangi kawat listrik, beraliran listrik. Itulah data yang berbicara, bagaimana satu birokrasi yang mencoba memberi hati kepada para kriminal, menuai hasilnya. Sekarang berpuluh-puluh orang di daftar yang ada di hukuman mati, tidak kita laksanakan, semua badan-badan yang mengklaim HAM, memperjuangkan itu. Saya sudah berkunjung ke dua puluh tempat perawatan narkotik di Tasikmalaya, ribuan itu orang korban di situ, semua orang tua sudah menangis, itu juga data. Jadi Pemerintah tetap berpendirian hukuman mati bisa menjerakan asal kita konsekuen. Saya baru saja bertemu juga dengan Jaksa Agung Singapura, penilaian dia sama. Kalau kita lemah, apalagi dihapus hukuman mati semua akan tumpah ruah ke negeri kita, terima kasih. 182. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Baik, terima kasih. Saya persilakan bagian terakhir ini untuk sidang kali ini, nanti sekalian saja akan ada kesempatan. Saya persilakan dulu mungkin duadua saja, mulai dari kiri yang terhormat Bapak Hakim Palguna, silakan.
183. HAKIM KONSTITUSI : I DEWA GEDE PALGUNA, S.H., M.H. Ya, ini memang bukan persoalan pertandingan data saya kira, perkara ini. Tapi yang menjadi soal adalah semuanya inikan menguras
69
sisi kemanusiaan kita semua ketika kita berbicara tentang hukuman mati, tapi yang menjadi soal tadi sesungguhnya adalah ini justru semakin meyakinkan kita bahwa perang yang sesungguhnya itu ada di dalam gagasan. Saya ingin menanyakan hal ini kepada Saudara Ahli dari Pemohon Saudara Rahlan yang tampaknya tidak percaya bahwa retributive justice itu akan membawa efek yang baik, maka perdebatannya tidak lagi di data saya kira kalau di sini. Tapi perdebatannya adalah sudah sampai ke tingkat filosofinya. Mengapa philosophy restorative justice menjadi pilihan dari Saudara Ahli dan itu dianggap sebagai suatu hal yang lebih melindungi basic right? Saya kira itu pertanyaannya, sehingga dari situ basic right yang kemudian dikutip oleh Saudara Ahli tadi yang dibandingkan kemudian sampai ke Konvensi Jenewa sebagai non derogable rights yang disebut dalam UndangUndang Dasar 1945 Saudara Ahli tiba pada kesimpulan, bahwa itulah yang konstitusional. Saya kira perdebatannya di situ tempatnya dan ini karena kalau perang data nanti di sana mengemukakan data itu Pak Jaksa Agung balas lagi dengan kawat berlistrik, nanti dari Pihak Pemohon akan mungkin mengajukan lagi data yang lebih hebat, kita tidak tahu. Tapi yang perlu kita gali adalah gagasan dari kedua ini karena kita tahu ini ada perdebatan berabad-abad sesungguhnya dan kebetulan saja masuknya ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sekarang. Saya minta penjelasan dari Saudara Rahlan sebagai Ahli, terima kasih. 184. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Yang kedua, yang berhormat Hakim Laica Marzuki, silakan. 185. HAKIM KONSTITUSI : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Saya ingin minta kejelasan kepada Ahli Doktor Rudy Satrio dan Ahli Profesor Achmad Ali, kalau saya mau minta kejelasan ini sama sekali belum menggambarkan keyakinan saya dan apa bakal diputus. Begini Saudara, bagaimana halnya apabila seseorang telah dieksekusi menjalani pidana mati dan kemudian ternyata tidak bersalah, bagaimana mengembalikan itu? Saudara satu contoh klasik, paruh abad ke-18 di Eropa Jean Galleu [sic!] seorang warga Italia dituduh membunuh anaknya sendiri, hakim menjatuhkan pidana mati. Kemudian Voltaire sesudah itu mendapatkan bukti-bukti bahwasanya Jean Galleu [sic!] itu tidak bersalah, tetapi kadung dia sudah meninggal. Itu dikemukakan oleh seorang penulis ahli hukum kenamaan Becaria, dalam bukunya De Delitti della Pain, yang sama saya adalah terjemahannya dalam Bahasa Belanda terbitan tahun 1764, bagaimana pendapat Saudara jalan keluarnya? Kemudian saya juga termasuk orang yang setuju dengan pengenaan pidana berat kepada in casu tindak pidana penggunaan 70
narkoba. apakah Saudara kedua Ahli ini tidak sependapat, bahwa pidana seumur hidup itu termasuk dari sudut generale prefenci, dari sudut prefensi umum itu merupakan pidana yang berat kalau tidak ada remisinya, perlu itu. Sehingga memang pelaku-pelaku itu harus dihukum berat. Bagaimana pendapat Saudara sejauh mana pidana seumur hidup itu dapat menjadi upaya penjeraan bagai pelaku-pelaku narkoba? Terima kasih. 186. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Ya, dicatat dulu. Ke kanan dua lagi, mudah-mudahan pertanyaannya satu-satu, yang berhormat Hakim Mukhtie fadjar, silakan. 187. HAKIM KONSTITUSI : Prof. H. ABDUL MUKTHIE FADJAR, S.H., M.S. Pertanyaan untuk—mungkin semua ahli—ini terkait dengan permohonan Pemohon satu yang sebetulnya judicial review UndangUndang Narkotika ini sebagai entry point saja untuk mempersoalkan isu fundamental yaitu adanya ketentuan pidana mati di dalam hukum kita— hukum di Indonesia. Untuk Prof. Sahetapy, tadi dari keterangan Bapak nampaknya kesan saya, Bapak tidak setuju hukuman mati untuk semua jenis kejahatan, tidak dibedakan antara yang serius dan tidak serius. Apa betul itu kesan saya? Termasuk Pak Rachlan belum nampak eksplisit. Sebab kalau merujuk keterangan ahli dari Amerika tadi, sebetulnya di International Covenant on Civil and Political Rights otonom itu dimungkinkan untuk kejahatan yang serius dan serius ini menurut Ibu Mandagi, narkotika termasuk serius. Apakah para ahli dari Pemerintah, Prof Ali dan Dr. Rudi Satrio, juga menganut pendapat ini hanya untuk kejahatan yang sangat serius saja sebetulnya hukuman mati itu atau untuk semuanya tetap akan dikenal hukuman mati di dalam hukum pidana kita? Tadi juga ada ungkapan yang sebetulnya itu akan menjadi vicious circle, ketika Prof Ali mengatakan coba bayangkan kalau keluarga Anda atau Anda yang menjadi korban narkotika, tapi bisa juga dibalik bagaimana kalau Anda atau Saudara Anda yang diancam hukuman mati atau dijatuhi hukuman mati? Ini pertanyaan–pertanyaan yang kalau ini dipakai sebagai ungkapan untuk menguatkan pendapat akan bisa menjadi vicious circle, karena kalau sudah dipertanyakan pada pribadipribadi seolah-olah itu terkait dengan konsekuensinya. Terakhir Pak Jaksa Agung ini, hukuman-hukuman mati ini kenapa eksekusinya tertunda-tunda? Sehingga orang asing saja harus mengajukan judicial review perundang-undangan Indonesia kalau sudah dieksekusikan selesai sebetulnya, terima kasih.
71
188. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Baik terakhir yang berhormat Hakim Maruarar Siahaan, silakan. 189. HAKIM KONSTITUSI : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Terima kasih Pak Ketua. Saya tertarik juga tadi rekan saya bertanya bahwa kelihatannya ini dari dua sisi ahli ada semacam clash of ideas. Tetapi mungkin clash of philosophy tapi mungkin barangkali juga harus ada semacam penghayatan terhadap filosofi ini. Jadi saya ingin bertanya dulu kepada Pak Ali dan Rudi Satrio yang pertama ini, bagaimana sebenarnya posisi Indonesia sekarang ini di dalam filosofi pemidanaan ini bukan dari sudut hukum positifnya tetapi dari sudut praktiknya. Apakah memang menganut retribusi seperti diberitahu ini tadi ataukah kita menganut seperti yang diajarkan? Barangkali Pak Sahetapy juga mengungkapkan tadi pemasyarakatan yang diungkapkan oleh Pak Saharjo itu. Kalau andaikan memang misalnya Ibu Mandagi juga dan Pak Ali sangat keras kelihatannya tadi 60 terpidana mati itu sampai sekarang tidak ada, sehingga tampaknya tidak ada satu kata dan sikap dalam melihat bagaimana posisi kita sekarang apakah pernah misalnya Pak Ali menegaskan dan Ibu Mandagi dari BNN mendesak, kenapa tidak dieksekusi-eksekusi itu? Kalau memang itu prinsip yang dianut filosofinya. Saya ingin juga melihat itu dari sudut Pak Rudi tadi itu bagaimana sebenarnya yang diajarkan filosofi pemidanaan itu, saya sejak belajar dulu sudah saya baca juga bukunya Pak Sahetapy, tapi tak berakhir-akhir ini sebenarnya perdebatan tentang hukuman mati itu. Hal yang kedua saya ingin bertanya juga ini kepada Ibu Mandagi barangkali juga bisa melengkapi karena korban itu disebutkan semakin meningkat, semakin meningkat bahkan sangat spektakuler tadi angkanya empat juta, tetapi sebenarnya kita juga menginginkan suatu data itu pada waktu sidang yang lalu, kami telah meminta juga, saya kurang tahu apakah sudah dikirimkan, bagaimana cara memverifikasinya? Karena kalau dia hanya retorika saja nanti agak sulit meskipun secara umum diketahui bahwa korban narkoba itu sudah sangat besar, tetapi bagaimana caranya untuk menyakinkan kita dari sudut data yang ada sekarang itu perkembangannya dari masa-ke masa bila dikaitkan nanti dalam kaitan dengan sentence yang kita anut ini? Kepada Pak Sahetapy, kalau misalnya Bapak menginginkan atau aliran daripada abolitionist ini menjadi mayoritas tetapi itu ada kaitan benar dengan stelsel pidana tadi yang Bapak ungkapkan juga seandainya pidana mati itu di dalam sistem pemidanaan kita tidak ada, bagaimana menyusun lagi? Karena ini saya kira berkaitan betul dengan keseluruhan stelsel pidana itu yang menganut sistem absorsica dan lain sebagainya yang jikalau misalnya dalam kondisi sekarang ini sehingga hanya hukuman seumur hidup dan kemudian penjara 20 tahun mungkin ada
72
beberapa hal yang harus diperbaiki dalam stelsel pidana itu? Bagaimana Bapak melihat itu seandainya pidana mati dihapus di dalam hukum pidana kita, bagaimana cara menyusun stelsel pidana itu? Sehingga kita misalnya tidak melihat bahwa satu kilo heroin hanya dihukum misalnya 18 tahun, padahal sudah beberapa itu, tetapi dengan stelsel pidana sekarang itu hanya sekitar 18 tahun misalnya. Kalau kita lihat pada sistem yang lain ada kemungkinan itu sampai 50 tahun, apakah bisa Bapak memberikan satu pandangan tentang ini? Terima kasih. 190. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Baik saya persilakan, karena urutan pertanyaan nampaknya tadi lebih banyak dari sini, saya silakan dari kiri dulu, silakan. 191. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (BNN) : DR. RUDI SATRIO, S.H., M.H. Terima kasih. Pertanyaan pertama dari Bapak Hakim Laica, seandainya itu terjadi maka jelas menjadi tanggung jawab buat negara untuk memberikan kompensasi, ganti kerugian dan rehabilitasi. Karena yang dinamakan masa pidana mati orangnya tidak akan pernah menjadi kembali, maka satu prinsip yang paling penting adalah kehati-hatian yang sedemikian rupa dalam menangani kasus-kasus yang kemudian ancamannya adalah pidana mati. Tidak kemudian menjadi sembarangan dalam hal pembuktiannya sehingga kemudian peradilan pun mengarah kepada peradilan yang sesat. Jadi, walaupun memang benar ada ancaman pidana mati di sana dan kemudian terealisir maka yang sudah harus diwanti-wanti terlebih dahulu adalah pelaksanaan dari sistem peradilan pidana itu sendiri. Mulai dari penyidikan, penuntutan, bahkan kemudian sampai dengan kejaksaan. Untuk itu betapa satu kemajuan pemikiran yang bagus sekali terkait dengan rancangan KUHP yang kemudian ada penundaan sampai dengan sepuluh tahun kalau tidak salah kalau seseorang akan dipidana mati, di sinilah kemudian kesempatan-kesempatan untuk kemudian bisa digunakan barangkali bisa dibina si narapidana mati tersebut. Yang kedua pidana seumur hidup. Kalau kemudian seseorang ditawarkan antara pidana seumur hidup dengan pidana mati jelas tidak perlu kemudian ditimbang-timbang lagi dia akan memilih seumur hidup karena dengan demikian masih ada kesempatan dia untuk hidup dan kemudian kalau pidana mati maka dengan sendirinya pun hilang akan kesempatan tersebut sehingga dari sisi penjeraannya baik pada diri si pelaku dan kemudian pada masyarakat tentunya yang dinamakan pidana seumur hidup kurang rasa jeranya kalau dikatakan pidana seumur hidup dengan pidana mati itu sendiri, sehingga dari sisi pemikiran saya maka
73
yang dinamakan masa penjeraan tentunya sampai dengan maksimal adanya pidana mati itu sendiri. Dari Hakim Bapak Fadjar, apakah untuk kemudian sanksi pidana mati diperuntukkan bagi semua tindak pidana? Tentunya adalah tidak, tentu harus kita lihat terlebih dahulu berat ringannya tindak pidana beserta dengan akibat dari tindakannya yang kemudian terjadi, jadi tidak bisa dikenakan untuk semua tindak pidana, tapi kemudian melihat pada masalah berat ringannya tindak pidana dan kemudian akibat yang terjadi sehingga kalau kemudian untuk tindak pidana, tindak pidana yang sangat serius tentunya ancaman pidana mati bisa dikenakan pada tindak pidana tersebut. Untuk Bapak Siahaan hal yang berhubungan masalah filosofi pemasyarakatan yang kemudian kami sampaikan pada mahasiswa. Dalam pelaksanaannya tidak bisa kita hanya mengandalkan satu tujuan dari pemidanaan apakah kemudian berorientasi pada pembalasan ataukah kemudian berorientasi pada masalah penjeraan? Baik dengan masalah penjeraan kemudian pembalasan, dua-duanya biasanya kemudian tercermin dari hukuman ynag diberikan oleh seorang hakim, karena namanya saja bicara soal pertanggungjawaban atas apa yang telah ia lakukan tentunya harus setimpal dengan apa yang telah ia lakukan. Jadi tidak kemudian dipilah-pilah apakah kemudian bicara soal pembalasan ataukah penjeraan, dua-duanya dalam aplikasi dan kemudian kami ajarkan dalam suatu policy kemudian akan kemudian ditemukan. Persoalan yang kedua tentang hal yang berhubungan dengan persoalan pemasyarakatan resosialisasi dan kemudian penjeraan dan kesejahteraan sosial. Dalam kajian tentang masalah sistem peradilan pidana tujuan dari dibentuknya sistem peradilan pidana maka kalau kemudian sampai kepada tahap eksekusi atau pelaksanaan hukuman atau mungkin sampai pada tahap pemutusan hukuman maka hukuman yang akan diberikan kepada seseorang atas kesalahan yang telah ia lakukan paling tidak ada tiga kandungan tentang kemudian orang tersebut dihukum. Hal yang pertama diharapkan dengan hukuman tersebut yang bersangkutan dapat kembali diterima oleh masyarakat, yang kedua diharapkan dengan hukuman yang ada kepada pelaku dan anggota masyarakat bisa kemudian menjadi jera, yang ketiga yang tidak kalah pentingnya adalah dengan pemidanaan yang diberikan itu baik anggota masyarakat maupun orang yang telah melakukan suatu tindak pidana bisa lebih hidup untuk lebih sejahtera. Jadi sekali lagi bicara soal pemidanaan yang diberikan bisa kemudian berarti kepada si pelakunya dan juga kepada anggota masyarakatnya terkait dengan persoalan pembentukan kesejahteraan sosial di masyarakat tersebut, terima kasih Bapak. 192. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.
74
Silahkan, Pak Ahmad Ali? 193. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (BNN) : Prof. Dr. AHMAD ALI, S.H., M.H Majelis Mahkamah Konstitusi yang saya hormati, menjawab persoalan pertama pidana mati tidak untuk semua tindak pidana tetapi hanya untuk tindak pidana yang sangat serius. Sebagai contoh, kalau pembunuhan misalnya kalau hanya pembunuhan biasa maka menurut saya belum layak untuk dipidana mati, pembunuhan berencana pun itu harus dengan modus operandi yang sadis, misalnya mutilasi dan sejenisnya. Jadi itu yang pertama, kemudian menjawab pertanyaan Profesor Laica yang mulia tentang pidana seumur hidup, sebagai juga suatu pidana yang sangat berat. Menurut saya, orang mungkin memang menyarankan pidana penjara seumur hidup sebagai suatu alternatif, tetapi hal itu juga tidak berarti keadilan. Pidana penjara seumur hidup akan berarti di negara-negara seperti di Swedia misalnya, bukan hanya sekedar dicabut kebebasannya, sebaliknya terdapat masa-masa untuk liburan di dalam penjara. Masa-masa yang baik dan enak, perhatian, dan rehabilitasi. Lebih jauh pidana penjara seumur hidup di Swedia misalnya dalam kenyataannya hanya sepuluh sampai 18 tahun terdapat harapan pembebasan yang menghibur. Suatu harapan yang hampir selalu terpenuhi, tetapi berapa banyak waktu yang baik dan enak yang dapat diharapkan untuk dipunyai korban yang sudah mati? Karena narkoba misalnya, kapan si mati akan dibebaskan? Harapan apa yang si mati miliki? Paling tidak harapan apa yang dimiliki oleh keluarga si mati? Bahkan seandainya pun si penjahat tadi benar-benar menajalani pidana seumur hidup tanpa keringanan atau pengampunan, si terpidana seumur hidup ini akan menjadi terbiasa dengan kehidupan barunya di penjara. Dia akan segera menyesuaikan diri dengan dunia baru ini yang mana dia dengan suatu cara terbatas dapat dia bentuk sendiri sehingga keadaannya masih menjadi sangat layak bagi dirinya dan sama sekali tidak lagi semenderita apa yang dibayangkan. Penjara tidak dapat dibuat menjadi sesuatu yang tidak tertahankan bagi terpidana seumur hidup tadi. Karena kalau seperti itu penjara menjadi suatu penderitaan yang menyakitkan, maka itu lagi-lagi merupakan pelanggaran hak untuk tidak disiksa, yang juga merupakan salah satu hak asasi manusia. Jadi sebenarnya, semua pemidanaan itu pada hakikatnya adalah pakai tanda petik, adalah “pelanggaran HAM”, tetapi sah karena berdasarkan undang-undang. Jika ada tempat dimana rasa keadilan harus ditangani dengan cermat dan dengan hormat, tentunya itu di ruang pengadilan, di sana keadilan harus dihormati dan dihargai lebih, ketimbang di tempat lain di manapun di muka bumi. Dan jika itu dimungkinkan maka mudahlah untuk menyadari bahwa putusannya akan sependapat, dan menerapkan bahwa pidana mati
75
merupakan satu-satunya pidana yang sepenuhnya adil untuk kejahatan serius. Keadilan menuntut nyawa penjahatnya. Juga penting untuk ditunjukkan bahwa keadilan mempunyai nilai di dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain kita tidak dapat hanya sekedar mencari efek-efek yang menguntungkan dari keadilan. Sebagai contoh bahwa keadilan harus mengarah ke sejumlah kejahatan, agar sesedikit mungkin dilakukan atau merupakan pencegahan umum atau bahwa si penjahat menjadi manusia yang lebih baik, rehabilitasi, dan seterusnya. Keadilan sebenarnya tidak menuntut hal-hal seperti itu, keadilan berada di atas semua hal tersebut. Keadilan duduk sendirian di atas singgasananya dan meminta penghormatan kita didasarkan pada keadilan itu sendiri. Pidana mati yang dijalankan dengan benar, menyanyikan pujian keadilan dengan suara yang paling jernih dan paling kuat dan itu merupakan alasan yang pertama dan terpenting untuk mendukung pidana mati. Saya ingin mengutip apa yang dikemukakan dikemukakan oleh Profesor Heisenberg, beliau mengatakan, “saya mendukung pidana mati sebagai persoalan keadilan dan martabat manusia, bahkan terpisah dari pencegahan. Pidana mati pasti sebanding dengan keseriusan kejahatan bersangkutan”. Juga dari Profesor van Derhaal, mengatakan, “saya berpendirian bahwa kehidupan adalah suci dan karena saya berpendirian kehidupan itu suci, sehingga saya merasa bahwa siapapun yang mengambil nyawa seseorang, karenanya seharusnya mengetahui bahwa ia telah melecehkan kehidupannya sendiri dan tidak hanya menderita ketidaknyamanan dimasukkan ke penjara untuk sesaat tetapi harus dipidana mati”. Kemudian menjawab pertanyaan dari Yang Mulia Prof. Laica, tentang bagaimana dengan fakta adanya orang yang tidak bersalah yang tereksekusi? Pertama-tama kalau menurut saya, pidana mati itu hanya dijatuhkan setelah memenuhi syarat; pertama bahwa hakim yang menjatuhkan vonis pidana mati itu harus betul-betul yakin, seyakinyakinnya bahwa dengan alat-alat bukti yang sah yang ada, yakin tidak ada keraguan sedikitpun, bahwa yang terpidana itu memang bersalah. Kemudian si terdakwa yang dipidana mati harus benar-benar disediakan penasihat hukum atau advokat yang betul-betul handal menurut sistem hukumnya. Kemudian harus ada upaya seperti yang berlangsung di Indonesia tetapi memerlukan perbaikan yang lebih sempurna, harus ada upaya banding, upaya kasasi, dan upaya peninjauan kembali untuk bisa betul-betul meyakinkan bahwa si terpidana itu betul-betul bersalah dan kemudian selain itu harus ada masa pidana penjara yang lama bagi mereka yang melakukan sumpah palsu, karena kadang-kadang seorang itu dieksekusi mati akibat adanya saksi yang memberikan sumpah palsu misalnya. Tetapi tidak peduli berapa banyak kehati-hatian yang diambil oleh negara yang diatur oleh hukum, sama sekali sangat masuk akal untuk berasumsi bahwa beberapa orang yang tidak berdosa mungkin bukan hanya divonis mati
76
tapi bahkan dieksekusi, tetapi ini merupakan resiko yang dikenal yang harus siap diambil oleh sebuah negara modern dan demokratis. Keadilan merupakan basis sebuah negara yang beradab yang diperintah oleh hukum, tapi ketika itu ditangani oleh manusia akan terjadi bahwa kesalahan akan dilakukan, tapi karena keadilan kadang gagal untuk terjadi pada orang yang benar, tidak boleh berarti bahwa kita harus meninggalkan keadilan ini, karena keadilan di beberapa kasus dan beberapa kejahatan tidak bisa memberikan alternatif apapun untuk pidana mati maka kita harus menerima bahwa keadilan final, pidana mati, mempunyai tempat yang terpilih dan kokoh di dalam kitab undangundang. Pidana mati sama tidak bisa ditariknya sebagaimana kematian dari korban kejahatan. Dengan demikian tidak seorang pun bisa membantah bahwa pidana mati merupakan pidana yang paling adil dan paling tinggi bagi hukum, penghilang nyawa orang lain. Menjadi tidak bisa diterima kalau ratusan penjahat, kekerasan dan penjahat serius lainnya terhindar dari pidana mati demi tujuan tidak adanya seseorang yang tidak berdosa dieksekusi secara kebetulan. Ini akan berarti bahwa kita selamanya dipaksa untuk meninggalkan keadilan demi penjahatpenjahat seperti itu. Ada yang berpikir tentang para korban, ini juga akan berarti mengorbankan rasa hormat, belas kasih dan nilai nyawa manusia, yang tidak bisa dilanggar di atas altar. Pengorban-pengorbanan ini akan melangkahi batas toleransi dengan langkah-langkah besar. Oleh karena itu, saya tetap berkeyakinan bahwa pidana mati adalah hal yang paling adil bagi para pelaku kejahatan serius. Sekian dan terima kasih. 194. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Terima kasih, Ibu Jeane? 195. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (BNN) : Brigjen Pol. (Purn) JEANE MANDAGI, S.H. Terima kasih Yang Mulia, Pertama kami ingin tanggapi pernyataan Pak Todung Mulya Lubis tadi, bahwa peredaran narkoba dikendalikan oleh mafia internasional, itu memang betul sekali. Oleh karena itulah kita semua harus bersatu, mempersatukan segala kekuatan kita, manusia, pikiran, dana dan seluruh perangkat hukum yang ada, untuk melawan mafia internasional ini, karena kita harus menyelamatkan lebih dari 220 juta manusia Indonesia yang sekarang belum menjadi korban. Kalau kita perkirakan sudah diperkirakan hasil penelitian BNN 3,2 juta sudah menjadi korban narkotika, masih ada 220 juta manusia Indonesia yang belum terkena, dan inilah kewajiban kita bersama untuk melindungi mereka itu termasuk kita-kita di sini ini. Walupun sudah tua, narkotika tidak mengenal umur.
77
Kemudian, apakah pelanggaran narkotika harus dikenakan pidana mati? Tidak demikian Pak, kalau kita baca Pasal 80, 81, dan 82 kita lihat bahwa pidana mati itu hanya dijatuhkan untuk narkotika golongan I. Jadi narkotika ini dibagi menjadi tiga golongan, golongan I yang paling berat, yaitu antara lain heroin, yang kasus yang diwakili oleh beliau-beliau di sini. Kemudian golongan II morfin, golongan III umpamanya codein obat batuk, kalau kita batuk suka beli itu juga, yang kalau tidak pakai resep sebenarnya sudah bisa melanggar, karena harus pakai resep. Penggolongan ini berdasarkan besar-kecilnya daya merusak tubuh dan jiwa manusia dan itu dibikin oleh ahli-ahli bidang kesehatan dari PBB maupun Indonesia. Jadi untuk golongan I saja yang ada hukuman mati yaitu antara lain heroin di situ, dan itupun hakim punya kebebasan untuk menentukan apakah hukuman mati atau seumur hidup, penjara maksimum 20 tahun, atau hukuman minimal empat tahun, tergantung pada besar kecilnya perkara. Umpamanya dia hanya mengirim sepuluh gram, tentu saja beda dengan dia menyelundupkan dengan membawa sepuluh kilo, seperti kasus Bali Nine itu hampir sepuluh kilo. Itu bisa menghasilkan 50 ribu suntikan. Kalau tadi kita sudah bicara miliar-miliar duit, sekarang kita bicara suntikan. Sepuluh kilo, kalau satu kali suntik dia pakai 200 miligram, menghasilkan 50 ribu suntikan. Lima puluh ribu suntikan ini Pak akan membuat 50 ribu pecandu yang baru, karena menurut para dokter, begitu disuntik heroin itu, dia mulai bekerja menuju kepada addiction—kecanduan. Heroin ini kenapa golongan I, karena daya merusak 6-10 kali daripada morfin. Itulah pembagian dengan ancaman hukuman mati Pak. Sekarang bagaimana kalau Saudara sendiri punya Saudara yang kena hukuman mati? Mkalau kalau kami jawab ini dijawab sok aksi betul itu, Jeane Mandagi itu, tapi saya rasa kita harus keras kalau kita bekerja di bidang ini Pak. Kami bukan mau sombong-sombong, waktu menjadi polisi bekerja di sini dengan terang-terangan memberitahu kepada semua keluarga, “berani-berani siapa saja yang memakai narkotika, kalau saya tahu saya yang akan tangkap atau kalau kamu ketangkap, jangan pernah minta tolong pada saya untuk membebaskan kamu dari tahanan polisi”, itu langkah pertama. Kalau ternyata dia merusak banyak orang dan dia harus mati, ya matilah. Betul, life is a choice, you have to make a choice. Kemudian kenapa tidak dieksekusi saja? Artinya diminta dieksekusi oleh BNN dan yang lain-lain? Bapak yang kami muliakan, kami sudah berkali-kali meminta ini antara lain bahkan melalui BNN menulis surat ke Mahkamah Agung untuk mempercepat umpamanya perkara yang masih dalam kasasi, PK, dan lain-lain, dan supaya cepat ada perintah untuk eksekusi. Tapi kenyataannya masih lain. Kemudian, masalah korban meningkat. Bagaimana cara verifikasi? Yang kita lakukan pertama mengenai jumlah korban itu adalah berdasarkan hasil riset dari BNN dan Litbang Universitas Indonesia.
78
Sayang kami bukan ahli bidang riset Pak, jadi tidak bisa saya terangkan bagaimana risetnya itu. Saya cuma bisa quote hasilnya, kalau bicara soal mengungkap perkara narkotika yang harus kita buntuti sampai enam bulan, boleh Pak, tapi Bapak tidak punya waktu. Kemudian hasil verifikasi kedua adalah dari hasil penangkapan polisi dalam jumlah barang bukti yang bisa kita sita, maupun pelaku yang kita tangkap. Tapi ini juga kita harus akui, bahwa ada kaitan antara biaya yang diturunkan untuk operasi polisi, kalau biayanya cukup banyak. Operasi lebih sering, bisa lebih banyak. Tapi yang paling baik untuk verifikasi itu hasil riset, dari BNN dengan Litbang UI. Terima kasih Pak. 196. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Silakan, masih ada yang perlu disampaikan? Tadi Pak Hendri sudah barangkali ya Pak atau masih ada? Sedikit saja! 197. AHLI DARI PIHAK YOSODININGRAT, S.H.
TERKAIT
(BNN)
:
KRH
HENRY
Saya hanya menambahkan apa yang dikatakan oleh Jeane Mandagi bahwa kita tidak boleh sekedar bertanya seandainya keluarga Anda—tadi itu pertanyaan Ibu Mandagi, menjadi korban atau pecandu narkotika dimana rumah tangga sudah seperti neraka, masa depan anak kita hilang, dan sebagainya, pedihnya luar biasa. Kemudian di balik pertanyaan, bagaimana apabila keluarga Anda ternyata sebagai pelaku sindikat narkotik dijatuhi hukuman mati? Jawaban saya, hidup ini pilihan. Pelaku tahu ancaman pidana mati ada di Indonesia, tetapi itu dilakukan. Saya katakan, laksanakan hukman mati itu terhadap keluarga saya ini, sebagaimana saya selalu mendesak kepada Jaksa Agung agar segera dieksekusi terhadap narapidana yang sudah dijatuhi hukuman mati, yang sudah in kracht. Jadi tidak ada pilihan, selain laksanakan. Anak kandung saya sekalipun kalau dia sindikat narkotik, demi Allah saya ikhlas, tapi anak kandung saya menjadi korban akibat peredaran gelap yang dilakukan oleh sindikat narkotik, hanya saya dan keluarga besar saya yang mengalami dan jutaan keluarga lain. Keluarga hancur, masa depan anak hilang, ada yang meninggal, ada yang kena hepatitis, ada yang kena HIV, ada yang jadi pelaku kriminal, ada yang mereka sudah membunuh ibunya sendiri, siapa penyebab utamanya? Sindikat-sindikat narkotik yang dibela ini sekarang. Jadi saya katakan, saya sepakat dengan Pemerintah, pertahankan ancaman hukuman mati tentang Undang-Undang Narkotik dan laksanakan eksekusi itu, terima kasih. 198. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. :
79
Pak Rachlan? 199. AHLI DARI PEMOHON : RACHLAND NASHIDIK Hakim Palguna Yang Mulia, Berbeda dengan dugaan Bapak barusan, saya sebetulnya adalah seorang retributivist sebetulnya, tetapi karena saya memilih untuk bekerja dalam bidang monitoring dan HAM saya menghargai kehidupan. Jadi posisi saya adalah saya percaya bahwa keadaan hukum itu sangat penting untuk membangun peradaban, tetapi minus hukuman mati, itu adalah posisi saya selama ini. Itu sebabnya pula mengapa saya tidak percaya pada apa yang disebut sebagai komisi-komisi kebenaran dan rekonsiliasi misalnya, karena ada hipokrasi besar sekali di situ. Apa yang diurus di situ sebetulnya satu serious crime, apa yang telah ditetapkan oleh dunia internasional sebagai extra ordinary crime, serious crime; genosida, crime against humanity, tetapi mau diselesaikan dengan cara rekonsiliasi antara korban dengan pelakunya. Bagi saya, orang yang sangat peduli, orang yang sangat menganjurkan hukuman mati terhadap kejahatan narkotika misalnya, tetapi pada saat bersamaan dia berada pada posisi yang menolak kejatuhan hukuman mati terhadap para pelaku kejahatan perikemanusiaan, buat saya itu tidak memiliki suatu integritas atau posisi moral yang jelas dalam hal seperti itu. Saya menolak asas retroactive justice. Saya tidak percaya, saya menganjurkan ada suatu keadilan hukum ditegakkan untuk setiap pelaku-pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun sekali lagi dan saya rasa kita semua adalah seorang, saya kira kita bisa bicara di dalam Mahkamah Konstitusi dan Konstitusi kita telah mengatakan right to life adalah suatu hak yang diakui di dalam dan menjadi bagian dari hak konstitusional warga negara, maka saya mau tidak mau juga harus mengatakan semakin kuat pikiran saya bahwa hukuman mati itu harus dihapuskan, karena dia bertentangan dengan right to life. Akan sangat sulit untuk membangun ini sekaligus juga untuk menjawab Pak Mukthie karena hampir sama pertanyannya. Akan sangat sulit untuk mengatakan bahwa melakukan interpretasi terhadap right to life atau non derogable right tanpa sekali lagi atau dengan mencabut interpretasi tersebut dari konteks pembentukan yang disebut non derogable right. Tadi saya mungkin tidak terlalu jelas ketika mengungkapkan, tetapi saya ingin mengatakan sekali lagi bahwa yang disebut non derogable right itu berbeda-beda, ada di dalam traktat internasional mengenai HAM. Di dalam European Convention Human Rights cuma ada empat. Di dalam International Covenant on Civil and Political Right ada tujuh, di dalam American Convention on Human Right ada sebelas di situ. Namun pada masing-masing traktat itu ada empat yang selalu disebut bersama-sama, yaitu yang namanya right to life, lalu kemudian right to free from torture, lalu hak untuk bebas dari perbudakan dan hak 80
untuk tidak diadili oleh ex post facto law, kenapa empat ini? Empat ini merupakan suatu statement bersama dari peradaban dunia terhadap hal-hal yang telah terjadi dalam perang dunia. Perbudakan misalnya, pembunuhan, penganiayaan, dan diadilinya para pelaku perang dunia kedua di pengadilan dunia dengan cara menerapkan suatu hukum yang sebetulnya berlaku surut, maka kemudian disebut sebagai Victor’s justice. Empat itulah the very core of human right dari non derogable right. Karena empat jenis hak itu adalah merupakan resultante dari pengalaman pengalaman buruk yang pernah dialami terhadap peradaban dunia ketika itu. Maka itu tidak pernah boleh dikurangi dalam keadaan apapun, itu yang disebut sebagai non derogable right itu. Ada berbagai perbedaan Anda bisa bikin variasi berdasarkan pengalaman bangsa sendiri mengenai apa hak yang tidak boleh dilanggar di negara kita misalnya. Dalam soal hukuman narkotika ini, kita bisa saja misalnya, kalau memang betul bahwa ini kita sepakati bersama bahwa ini suatu ancaman yang luar biasa terhadap peradaban kita, mungkin dalam amandemen mendatang kita bisa bilang bahwa ada hak untuk bebas dari kejahatan narkotika, sehingga ada kewajiban bagi negara yang diperintahkan oleh Konstitusi untuk melakukan suatu perhatian yang sangat serius dan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh aparat hukum yang mengakibatkan pengedaran narkotika tersebut menjadi semakin meluas atau membantu secara langsung dan tidak langsung, itu harus mendapatkan hukuman yang lebih berat misalnya, itu bisa dilakukan. Pengalaman bangsa kita bisa menghasilkan pendefinisian terhadap apa yang disebut non derogable right kita sendiri dan kita bisa memasukkan ke dalam Konstitusi kita kemudian begitu. Tetapi sekali lagi Anda tidak bisa mengurangi yang empat tersebut dan dari empat tersebut right to life selalu disebut sebagai hak yang pertama yang tidak pernah boleh diganggu dalam keadaan apapun. Bapak Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia. Saya sebetulnya datang kemari dengan perasaan sedikit tidak genah begitu, karena saya harus bicara mengenai gerakan penghapusan hukuman mati melalui Undang-Undang Narkotika yang saya tahu persis bahwa itu memang telah mengakibatkan suatu penderitaan yang luar biasa juga terhadap orang-orang Indonesia. Tetapi ini saya tekankan di sini, adik saya pernah mengalami menjadi korban dari kejahatan narkotika, dia pernah menjadi korban, sempat sakit, sempat masuk rumah sakit, dan sebagainya. Ada keluarga lain, keluarga ipar saya juga menjadi korban yang sama, dia bercerai dari adik saya, dia kehabisan semua hal begitu. Tetapi sekali lagi yang ingin saya sampaikan di sini adalah betapapun serius, betapapun bagus alasan yang diberikan pada hari ini kepada kita mengenai seriusnya kejahatan narkotika di Indonesia, itu tidak cukup untuk membuat kita melanggar Konstitusi kita sendiri.
81
Saya kira itu perkembangan. Terima kasih.
adalah
hal
yang
perlu
diingat
di
dalam
200. KETUA : Prof. DR. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Baik, terakhir Pak Profesor Sahetapy. 201. AHLI DARI PEMOHON : Prof., Dr. J.E. SAHETAPY, S.H., M.A. Terima kasih. Bapak ketua Majelis Mahkamah Konstitusi dan para hakim yang saya hormati khususnya Bapak Hakim Siahaan yang ingin minta penjelasan. Apa yang saya jelaskan ini tidak mengubah posisi saya mengenai pidana mati. Sebetulnya kalau yang saya dengar ini, inikan lebih banyak bukan retorika, kalau itu retorika antara tanda kutip, tapi inikan dari segi legalistik positivistik hukum pidana. Apakah mereka juga sudah pernah mengkaji itu dari segi kriminologi dan fiktimologi? Dua ilmu yang baru saja akhir-akhir ini muncul di persada fakultas hukum. Sebagai orang yang lama berkecimpung di dunia pendidikan sejak tahun 1959 saya temui, banyak murid saya. Saya tanya itu, itu kenapa yang dulu itu yang diajarkan? Pak tunggu dulu, yang diajarkan itu bisa diajarkan. Praktiknya lain, praktiknya tidak seperti itu. Jadi kalau Bapak tanya saya mengenai masalah pemidanaan ini, maka saya terpaksa mohon maaf harus kembali kepada kriminologi yang merupakan ilmu kedua saya setelah hukum pidana. Tidak bisa kita lepaskan kondisi di Indonesia ini dari kultur yang ada di Indonesia ini, itu tidak mungkin. Saya ambil sebuah contoh, ini bukan contoh yang isapan jempol, ini fakta, saya bisa kasih tunjuk tulisan dari buku. Di Norwegia penjara Both Vanslag [sic!] itu selalu pintunya terbuka, narapidanya tidak lari, karena kulturnya lain Pak. Kalau di Amerika dan di Indonesia pintu dibuka lari semua. Itulah sebabnya dikatakan Both Vanslag [sic!] is just like a Sunday school. Jadi di sana, kata prison culture itu lain, lain sekali dengan keadaan di Indonesia. Saya kadang-kadang bertanya, kita kutip sana, kita kutip sini, tetapi apakah kita juga mencoba melihat dengan mata kepala kita sendiri tentang keadaan di Indonesia ini? Jadi kalau berbicara mengenai stelsel pemidanaan seperti Yang Mulia Bapak minta, dan saya coba, jelaskan, bukan interpretasi Pak, sebab kalau interpretasi harus ada en lijk, kalau het lijk itu tidak ada. Maka siapa yang mengatakan bahwa pidana seumur hidup itu lebih enak dari pidana mati? Tembak saja lalu selesai, itukan cuma hanya ngomong, coba masuk di penjara. Saya mau lihat, tidak usah lama-lama, satu minggu tidur saja apa bisa tahan, tidak usah sampai di penjara, di rumah sendiri iya tokh? Kita semua bicara ini cuma atas preposisi saja begitu, tidak ada sesuatu yang bisa kita buktikan.
82
Jadi saya mau kutip yang tadi yang terhormat pengacara Bapak Todung Mulya Lubis umumkan apa itu pidana seumur hidup saja tanpa remisi, saya mau tambah sedikit di luar, orang-orang yang korupsi itu jangan juga dikasih remisi, saya kira itu betul itu. Jangan yang seperti sekarang ini tiba-tiba berapa tahun remisi keluar. Loh, kenapa sudah di luar? Kemudian terlibat lagi dalam money laundering, tapi baiklah itu bukan urusan saya di sini. Dalam literatur mengenai stelsel pemidanaan para hakim selalu menolak untuk diberi pendidikan mengenai cara bagaimana menjatuhkan pidana yang tepat, itu sama saja seperti mengajar dokter, mengajar bagaimana melakukan operasi yang tepat. Mereka merasa mereka punya naluri, mereka punya pengalaman yang tidak bisa seorangpun mengajar mereka. Saya baru saja di daerah-daerah yang terhormat Bapak Ketua, semua orang kritik hakim ad hoc. Terus saya tanya Ketua Mahkamah Agung juga hakim ad hoc, hanya namanya ketua, bagaimana itu? Jadi banyak orang ini juga yang mencla-mencle. Jadi kalau itu mau disetujui pidana penjara seumur hidup itu ada pemikiran pada waktu itu di komisi penyusunan rencana KUHP. Dan sekarang ini rencana KUHP ada minimal stelsel, bahkan ada pidana kategori sekian, sekian itu sehubungan dengan inflasi dan seterusnya. Maka ada pemikiran, bukan punya saya, tetapi ada pemikiran. Bagaimana kalau dijatuhi pidana seumur hidup kalau ternyata sepuluh tahun, saya rasa sepuluh tahun terlalu singkat. Lima belas tahun kelakuannya baik dijadikan penjara seumur hidup, sekarang dijadikan 20 tahun, 20 tahun lagi, sekian tahun lagi akhirnya baru bisa. Jadi orang itu harus juga diberi kesempatan untuk bisa bagaimana menikmati hidup ini yang diberikan oleh Tuhan ini. Kalau kita baca sejarah dari para penjahat itu, mereka tidak jahat bagaimana orangorang yang berpretensi tidak jahat, anggap mereka itu jahat. Saya terus terang saja, saya mau mengingat kepada yang terhormat Profesor Bapak Achmad Ali, saya anggap itu pelecehan kalau kutip ayat yang tidak betul. Beliau itukan tidak tahu, itu hanya kutip dari orang, saya ini belajar teologi empat tahun. Jadi saya merasa itu kutip sana, kutip sini. Saya sendiri tidak berani kutip ayat Al-Quran kendatipun itu saya baca. Apalagi Pak Achmad Ali yang heft een kast er van gegeven, maaf Profesor Laica itu terus bisa kutip ayat itu. Saya anggap itu pelecehan, sebab itu tidak betul ayat itu. Saya sudah lihat lagi kembali di dalam Alkitab saya. Jadi kita bisa juga mengambil contoh seperti di Belgia yang mulia para hakim. Itu yang dinamakan abolisi de facto. Jadi memang dijatuhi pidana mati tidak dieksekusi, setelah sepuluh, dua puluh tahun diubah menjadi dua puluh tahun. Saya tidak bisa bayangkan empat puluh tahun di dalam penjara, itu sudah babak belur. Gotnya sudah buntu, tidak bisa apa-apa lagi. Demikianlah saya ingin kemukakan sedikit atas permintaan dari yang terhormat Bapak Siahaan, mungkin saya kira suatu waktu saya
83
sudah ingin menulis lagi mengenai masalah pidana mati. Ini bukan masalah saya, ini hanya masalah apakah kita di dalam abad yang sekarang begini sudah kacau balau? Apakah sudah tidak ada hati nurani yang bersih lagi buat kita menghormati sesama kita manusia kita ini? Terima kasih. 202. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Baik Saudara-saudara rasanya sudah cukup ya? Baik Pemohon I, II, Pemerintah. Paling tidak untuk sidang sekarang boleh jadi kita masih memerlukan ini sidang berikutnya apalagi memang Dewan Perwakilan Rakyat belum secara resmi diberi kesempatan atau memberikan keterangan karena kemarin sidang yang lalu masih reses dan masih ada kemungkinan misalnya ahli yang lain yang juga sudah diajukan oleh para Pemohon itu belum ada yang didengar keterangan sehingga pada giliran selanjutnya, sidang berikutnya kita akan dengar. Di samping itu mungkin ada perlunya juga kami nanti mempertimbangkan misalnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai komisi negara yang memang secara khusus dibentuk oleh republik, oleh negara yang di bidang hak asasi manusia ini perlu juga kita dengar, sudah ada keterangan tertulisnya, tapi mungkin bisa juga kita beri kesempatan kalau mau memberi keterangan dalam sidang berikutnya. Di samping itu juga kami menganggap penting untuk sekali mendengar barangkali tim Pemerintah bersama dengan DPR RI atau tim pemerintah yang memang sudah punya draft rancangan KUHP baru yang berisi legal policy, politik hukum pidana kita ke depan yang dirancang oleh Pemerintah barangkali perlu juga untuk kita beri kesempatan untuk diterangkan di sini khususnya menyangkut apanya yang berkaitan dengan soal hukuman mati dan mungkin juga perlu diterangkan bagaimana kapannya? Kapan itu rencananya sehingga cukup lengkap keterangan yang terkait dengan kebijakan negara kita mengenai hukuman mati ini sehingga dengan demikian nanti ketika persidangan seluruhnya sudah selesai kita sudah yakin semua keterangan yang diperlukan dalam memeriksa perkara ini sudah kita dengar dalam persidangan dan sementara itu saya persilakan kalau Pemohon dan juga Pemerintah untuk mengadakan konsolidasi lagi siapa lagi ahli yang Saudara-saudara anggap masih perlu kita dengar dalam rangka meyakinkan kita mengenai sekarang sudah terungkap dua jalan pikiran atau mungkin ada jalan pikiran ketiga yang perlu kita dengar juga silakan supaya nanti betul-betul sebelum perkara ini diputus semua keterangan betul-betul sudah kita dengar, saya kira demikian ya? Di samping itu, terhadap keterangan-keterangan yang sudah disampaikan dalam sidang ini baik dari Pemohon maupun dari Pak Jaksa Agung dan BNN begitu juga dari para ahli saya persilakan seperti biasa di samping keterangan lisan yang sudah disampaikan dalam sidang kalau ada yang mau ditambahkan dalam bentuk tertulis kami persilakan juga
84
termasuk tadi dari Profesor Phillip Alston untuk tambahan keterangan tertulisnya itu silakan disampaikan ke Kepaniteraan pada kesempatan berikutnya. Sedangkan untuk jadwal waktu untuk sidang berikutnya kita tentukan belakangan tergantung masukan dari Saudara Pemohon dan Pemerintah mengenai siapa yang mau diajukan, jadi yang relevan saja, saya rasa ini sudah mengerucut ke persoalan hukum pidana dan lebih khusus lagi masalah-masalah yang berkaitan dengan interprestasi Konstitusi kita dalam hubungannya dengan hukuman mati, saya kira begitu. Begitu ya? Pak Jaksa Agung ada yang perlu disampaikan? 203. PEMERINTAH : ABDUL RAHMAN SALEH, S.H., M.H (JAKSA AGUNG RI) Terima kasih Yang Mulia, tadi kami ditanya kenapa kalau bisa dijawab, jadi memang dalam daftar kami ada data terpidana mati perkara narkotika itu terakhir 45, itu tanpa bermaksud menyalahkan pendahulu saya memang itu lama, sisa-sisa lama. Jadi perkara-perkara yang baru sikap saya sudah lebih tegas karena ternyata setelah saya cek itu ada 3-4 kali mengajukan grasi. Jadi tadi yang disebut 40 tahun oleh Pak Profesor Sahetapy itu memang kerjaan dia. Jadi orang ini mengajukan diterima belas kasih, belas kasih Pancasila terus begitu akhirnya dia salahkan kita. Oh, sudah menderita 40 tahun kalau dia tidak mengajukan grasi dia sudah lewat bukan? Sekarang policy kita tidak akan lagi memberi kesempatan bermain-main dengan grasi-grasi yang berkali-kali itu, jadi itu penjelasannya, terima kasih. 204. AHLI DARI PEMOHON : Prof., Dr. JE. SAHETAPY, S.H., M.A. Interupsi, saya kira ada sedikit miss comunication. 205. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Ya Pak, silakan. 206. AHLI PEMOHON : Prof., Dr. JE. SAHETAPY, S.H., M.A. Saya maksudkan bukan itu bukan contoh yang dikemukakan yang terhormat Bapak Jaksa Agung sama sekali tidak ada korelasi, terima kasih.
207.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H.
85
Baik kami catat Pak ya! Baiklah Saudara-saudara cukup ya? Jadi untuk sidang kali ini ada yang perlu disampaikan oleh Saudara Pemohon? 208. KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. TODUNG MULYA LUBIS, S.H., LL.M Kami akan konsolidasi saja Yang Mulia karena kami akan ada dua ahli lagi Profesor Vagant dari Colombia University dan Profesor Sabas dari Irlandia. 209. PEMERINTAH : ABDUL RAHMAN SALEH, S.H., M.H (JAKSA AGUNG RI) Yang Mulia kalau boleh kami usul, cukuplah profesor-profesor itu, kita sudah tahu akan berputar-putar juga alasannya. Jadi masing-masing buku sudah terbuka. Jadi nanti kalau ada dua profesor lagi kita kemukakan lagi profesor domestik dua lagi, itukan tidak habis-habis. Terima kasih. 210. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , S.H. Ya, kita pertimbangkan tapi baik juga, karena supaya barangkali ada keterangan yang belum kita dengar dan ada pentingnya siapa yang diajukan oleh Pemohon dan kebetulan ini adalah hak Pemohon dalam rangka pembuktian punya hak untuk mengajukan ahli. Ada pentingnya untuk mengukur kurang lebih seperti apa ini pandangan pendapatnya dan untuk itu pemerintah mudah untuk mengadakan konsolidasi juga menyiapkan. Biarlah forum ini tidak menghasilkan menang kalah begitu saja, bukan by product tapi prosesnya ini menjadi sesuatu yang penting untuk kita sampai kepada putusan yang tepat di samping proses ini juga akan mempunyai fungsi pendidikan tersendiri—pendidikan hukum dan pendidikan HAM bagi kita semua. Dan Saudara-saudara ini bukan hanya kita saksikan dalam sidang ini ada saat-saat tertentu di mana sidang di Mahkamah Konstitusi ini juga langsung ditayangkan secara nasional, langsung juga disiarkan secara nasional melalui radio karena memang masyarakat luas sangat merasa punya kepentingan dengan apa yang terjadi di ruangan ini. Saya rasa begini saja supaya tidak usah di dalam sidang ini silakan diajukan tertulis dan nanti Pemerintah juga punya hak untuk tahu supaya juga bisa mempersiapkan timnya yang kuat. Saya kira begitu Pak Jaksa Agung ya? Dan terakhir atas nama Mahkamah Konstitusi meskipun mungkin di sidang-sidang berikutnya Saudara-saudara ahli masih boleh hadir atau mungkin dihadirkan lagi oleh Pemerintah maupun Pemohon tapi mungkin sidang-sidang berikutnya fokus akan diberikan kesempatan pada ahli yang akan diajukan berikutnya, tapi Bapak-bapak, Ibu-ibu
86
boleh hadir di sini karena ini menyangkut concern kita semua, tapi untuk sementara ini izinkanlah saya selaku Ketua Mahkamah ini mengucapkan terima kasih pada Anda semua bersedia sudah duduk di sini lama iyakan? Untuk bertindak sebagai ahli dan sekaligus juga keteranganketerangan menurut keahlian masing-masing itu berguna sekali bagi kami memeriksa perkara ini. Baik dengan demikian Sidang Mahkamah Konstitusi RI untuk hari ini saya nyatakan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 16.05 WIB
87