MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 18/PUU-V/2007 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945
ACARA MENDENGAR KETERANGAN AHLI DARI PEMOHON (III)
JAKARTA RABU, 31 OKTOBER 2007
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 18/PUU-V/2007 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia terhadap Undang-Undang Dasar 1945 PEMOHON Eurico Guterres ACARA Mendengar Keterangan Ahli dari Pemohon (III)
Rabu, 31 Oktober 2007 WIB, Pukul 10.00 – 11.18 WIB Ruang Sidang Utama Lt 2 Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat
SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5)
Prof. Dr. H.M Laica Marzuki, S.H. Prof. Dr.H.A. Mukthie Fadjar Prof. H.A.S Natabaya, S.H., LL.M Dr. Harjono, S.H., M.CL Soedarsono, S.H.
Sunardi,S.H.
Ketua Anggota Anggota Anggota
Panitera Pengganti
1
Pihak yang Hadir: Pemohon: •
Eurico Guterres
Kuasa Hukum Pemohon: • • • • • • •
H.M Mahendradatta, S.H., M.A., M.H., Ph.D Adnan Wirawan, S.H. Achmad Michdan, S.H. Irwan H. Siregar Guntur Heri Tejo
Pemerintah: • • • • • •
Johani Silalahi, S.H. (Dirt. TUN kejagung RI) Mualimin Abdi (Kabag Litigasi Dept Hukum dan HAM) Dita Parawita Ningsih (Kasubdit Bantuan Hukum Kejagung RI) Bambang Dwi Handoko (Kasi Pelayanan Hukum, Kejagung RI) Maria (Kasi. Bantuan Hukum Kejagung RI) Ayu Agung (Jaksa Fungsional)
DPR RI: • •
Dwi Trihartomo (Biro Hukum Setjen DPR RI) Hanggodo Suprio (Biro Hukum Setjen DPR RI)
Ahli dari Pemohon: •
Dr. Muhammad Sholehuddin, S.H., M.H. (Ahli Hukum Pidana Universitas Bhayangkara, Surabaya)
2
SIDANG DIBUKA PUKUL 10.00 WIB
1.
KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H. Sidang Panel yang diperluas dalam Perkara Nomor 18/PUUV/2007 dengan ini dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 1X Saudara yang hadir, utamanya kuasa, sebagaimana lazimnya Saudara diminta memperkenalkan diri mengemukakan identitasnya, silakan.
2.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA, M.H, Ph.D Terima kasih.
Assalamu alaikum Wr. Wb. Salam sejahtera untuk kita semua Insya Allah. Perkenankan hadir dari pihak Kuasa Pemohon, yang pertama dari sebelah kiri saya adalah Saudara H. Achmad Michdan, kemudian saya sendiri Muhammad Mahendradatta, kemudian sebelah kanan saya yang terhormat Prinsipal kami Pemohon asli, yaitu Saudara Eurico Guterres. Kemudian sebelah kanannya Saudara Adnan Wirawan, sebelah kanannya lagi Saudara Irwan Hermansyah Siregar dan di belakangnya ini adalah rekan-rekan advokat muda yang membantu kami; Saudara Guntur, Saudara Heri, dan Saudara Tejo. Kemudian hari ini kami membawa juga Saksi Ahli satu orang, terima kasih. 3.
PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI,S.H., M.H (KABAG LITIGASI DEPT HUKUM DAN HAM) Terima kasih.
Assalamu alaikum Wr. Wb. Yang Mulia, saya Mualimin Abdi dari Departemen Hukum dan HAM.
3
4.
PEMERINTAH : JOHANI SILALAHI,S.H. (DIRT TUN KEJAGUNG RI) Terima kasih Yang Mulia, Kami dari Kejaksaan Agung, saya sendiri Johani Silalahi S.H., Direktur Tata Usaha Negara (TUN), kemudian sebelah kiri kami Ibu Dita Parawita Ningsih dan Maria dan di belakang kami Ayu Agung, dan Bambang Handoko. Terima kasih.
5.
DPR-RI : DWI TRIHARTOMO (TIM BIRO HUKUM SETJEN DPRRI) Terima kasih Majelis Hakim yang mulia. Kami dari Biro Hukum Sekretariat Jenderal DPR-RI, saya Dwi Trihartomo dan di sebelah kanan saya Hanggodo Suprio. Terima kasih.
6.
KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H. Kepada Saudara Kuasa Pemohon dan Pemohon materil, sidang pada hari ini adalah Sidang Panel dalam rangka en hier process karena sedianya Saudara mengemukakan bakal mengajukan tiga ahli, ternyata hanya hadir satu. Hal dimaksud dipandang cukup dengan tanpa mengurangi persidangannya berjalan sesuai prosesnya. Baik, sebagaimana lazimnya Saudara Kuasa mengemukakan pokok-pokoknya saja sebelum kita mendengarkan calon ahli.
7.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA, M.H, Ph.D Mahkamah yang mulia, Yang pertama masalah teknis mengenai ahli, di luar kemampuan kami karena panggilan sidang, kebetulan waktu saat panggilan sidang hadir, beberapa ahli sudah membuat acara dua mingguan. Jadi mohon dengan segala maaf dua orang ahli itu tidak bisa hadir, namun disertai dengan permohonan diberikan waktu kembali untuk bisa hadir mendengarkan ahli-ahli yang berhalangan karena tidak berada di kota Jakarta, sehingga mohon waktu kembali mendengarkan ahli. Selanjutnya selain memohon diberikan waktu kembali untuk mendengarkan keterangan ahli yang dua itu, kami juga mohon pertimbangan ulang mungkin dapat ditambah satu di antara ahli yang pernah kami ajukan, khususnya yang bernama Doktor Bernard, itu mohon pertimbangan ulang bilamana sekali lagi ada celah atau ada tempat untuk pertimbangan tersebut.
4
Baik, pada hari ini ahli kami mohonkan keterangan sesuai dengan keahliannya perihal mengenai sistem peradilan pidana khususnya menerangkan mengenai masalah criminal justice system kemudian di dalamnya apa yang kami tidak tahu apakah bisa mendukung argumentasi-argumentasi maupun dalil kami, perihal mengenai berangkatnya permohonan kami ini adalah berdasarkan keyakinan kami terhadap criminal justice system atau pure criminal justice system, jadi criminal justice system yang murni berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada dan teori-teori hukum yang ada itu yang akan kami kemukakan hari ini, walaupun ada mungkin beberapa nanti kami mohon diperkenankan untuk juga menanyakan hal-hal yang mungkin diketahui oleh ahli sesuai, sekali lagi sesuai dengan keahliannya, jadi pokokpokoknya adalah mengenai criminal justice system, dimana pada saat ini untuk kepentingan tersebut Saudara Ahli Doktor M. Sholehuddin, S.H., M.H. sudah menyiapkan kertas kerjanya dengan judul Pengujian Pasal 43 ayat (2) dan penjelasannya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan seterusnya. Ini khususnya terhadap Pasal 24 tentang Kekuasaan Kehakiman, mohon petunjuk dari Mahkamah yang terhormat apakah ahli nanti akan menyampaikan dahulu kertas kerja ini diikuti dengan pertanyaan atau bagaimana teknis acara yang akan dilangsungkan oleh Mahkamah? 8.
KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H. Baiklah, menurut hukum, ahli yang bakal didengar akan disumpah. Adapun permintaan Saudara Kuasa untuk kemungkinan mengajukan lagi dua yang tidak hadir itu akan kami sampaikan ke RPH. Sebelum disumpah, kemukakan identitas dan agamanya Saudara dan bidang keahlian Saudara, walaupun sudah dikemukakan tadi.
9.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H. Terim kasih Majelis Hakim yang mulia. Saya nama Muhammad Solehuddin, pekerjaan Dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya. Latar belakang pendidikan S1 Fakultas Hukum Jurusan Hukum Kepidanaan, S2 jurusan atau konsentrasi di bidang hukum kepidanaan, dan S3 dari Universitas Diponegoro Semarang dengan konsentrasi hukum pidana dan kriminologi.
10.
KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H. Agama?
5
11.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H. Islam.
12.
KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H. Petugas juru sumpah? Dipersilakan Hakim Konstitusi Profesor Natabaya untuk menyumpahnya, terima kasih.
13.
HAKIM KONSTITUSI : Prof. H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M Ikuti lafal sumpah yang saya bacakan; Demi Allah saya bersumpah, sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
14.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H. Demi Allah saya bersumpah, sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
15.
KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H. Saudara Kuasa Pemohon atau Pemohon materil, Saudara diminta untuk mengajukan pertanyaan menggali keterangan Ahli.
16.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA, M.H, Ph.D Terima kasih. Sebelum kami menggali, dalam konteks menggali mungkin Doktor M. Solehuddin S.H.,M.H. telah memiliki suatu pandangan atau kertas kerja yang mungkin bisa disampaikan paparan terlebih dahulu mengenai criminal justice system ataupun mengenai pengujian Pasal 43 ayat (2) dan penjelasannya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia terhadap Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 24 tentang Kekuasaan Kehakiman khususnya dari tinjauan sistem peradilan pidana.
17.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H. Terima kasih. Mohon izin Majelis Hakim yang mulia. Saya hadir di sini untuk memenuhi panggilan profesi untuk diminta memberikan keterangan ahli yang terkait dengan masalah permohonan pengajuan pengujian Pasal 43 ayat (2) dan penjelasannya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, 6
khususnya terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 24 tentang Kekuasaan Kehakiman. Keahlian saya seperti yang saya sudah sebutkan tadi karena latar pendidikan saya di bidang hukum kepidanaan, maka dalam hal ini saya akan menjelaskan mengenai atau yang terkait dengan aspek ilmu hukum kepidanaan dan criminal justice system. Kita mungkin sudah tahu semua dan sudah membaca bahwa Pasal 43 ayat (2) dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 itu tentang Pengadilan HAM menyatakan bahwa “Pengadilan HAM Ad Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) itu dibentuk atas usul DPR-RI berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.” Kemudian Pasal 43 ini ada penjelasannya, “dalam hal DPR-RI mengusulkan terbentuknya pengadilan HAM, DPR mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM berat yang dibatasi pada locus dan tempus delicti, jadi ada pembatasan di sini yang sebelum di undangundang ini. Jadi tegas di situ dinyatakan bahwa Pengadilan HAM Ad Hoc itu dapat kita interpretasikan dari pasal dan penjelasannya ini bahwa DPR-RI diberikan kewenangan untuk mengusulkan, bukan pembentukan, bukan membentuk. Jadi mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc, sedangkan yang menetapkan melalui SK Presiden adalah Presiden, terhadap apa? Terhadap peristiwa tertentu, pada masa tertentu, dan tempat tertentu. Jadi objek yang dijadikan alasan untuk mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc di sini adalah peristiwa-peristiwa masa lalu yang diduga telah terjadi pelanggaran HAM berat sebelum berlakunya Undang-Undang Pengadilan HAM Ad Hoc. Ini yang menjadi objek alasan dari pengusulan oleh DPR untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. Kasus yang menjadi objek tersebut itu hanyalah peristiwa yang diduga telah terjadi pelanggaran HAM, dalam hal ini kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Jadi hanya dua jenis kejahatan saja yang diperinci dalam bentuk-bentuknya yang banyak terutama misalnya genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam penjelasannya di Pasal 43 seperti yang kita baca di situ, DPR di dalam mengusulkan untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc ini kepada Presiden itu tidak diperbolehkan untuk katakanlah melakukan pembentukan itu begitu saja atau sewenangwenang menduga begitu saja sehingga diajukan kepada Presiden untuk mengusulkan pembentukannya. Dari sinilah dapat saya pertanyakan dua hal, yang pertama apakah prosedur pembentukan Pengadilan HAM tersebut—Pengadilan HAM Ad Hoc sebagaimana disebutkan dalam pasal itu apakah termasuk dalam ruang lingkup tugas yuridis hukum pidana? Ini masalah yang pertama. Masalah yang kedua, apakah substansi Pasal 43 ayat (2) dan penjelasannya tersebut bertentangan dengan konsepsi criminal justice systems sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman? Dua masalah ini 7
yang perlu kita perhatikan dalam hal ini. Masalah pertama misalnya, kita semua tahu bahwa DPR-RI memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Yang terkait dengan fungsi legislasi itu adalah kekuasaan untuk membentuk undang-undang termasuk Undang-Undang Pidana, Undang-Undang Pengadilan HAM ini (Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000) secara substantif termasuk ke dalam Undang-Undang Pidana karena di dalamnya termuat hukum pidana materil maupun hukum pidana formilnya sekaligus. Jadi dapat kita katakan bahwa ini Undang-Undang Pidana. Terkait dengan hal itu, penjelasan dari pasal tersebut menegaskan bahwa untuk mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc ini DPR-RI mendasarkan pada dugaan. Dugaan di sini dalam penjelasan pasal tersebut, kata “dugaan” bukanlah sekedar kata, tetapi dia merupakan istilah yang sudah umum diterima kalangan teoritisi dan praktisi hukum pidana. Kata dan konsep itu berbeda, jadi kata dan istilah itu berbeda. Arti dari sebuah kata disebut dengan makna, sedangkan arti dari sebuah istilah itu disebut konsep. Kalau kata “dugaan” itu bermakna mengajuk atau mengirangira, itu maknanya. Jadi sangat naif kalau suatu pelanggaran HAM berat yang terjadi di Republik ini kemudian ada sebuah lembaga diberi kewenangan untuk mengusulkan itu berdasarkan perkiraan begitu saja, itu kalau kita mengacu kepada arti dari kata “dugaan” ini, karena artinya memang mengira dalam Kamus Bahasa Indonesia mengacu atau mengira, tetapi menurut istilah. Jadi saya katakan di sini bukan sekedar kata “dugaan” itu, tetapi sebuah istilah yang sudah umum dalam konteks hukum pidana. Istilahnya dari sebuah istilah adalah sebuah konsep, apa konsep dari dugaan itu? Konsepnya adalah terkait dengan persoalan penyelidikan. Jadi persoalan kata “dugaan” di sini konsepnya adalah menyangkut atau terkait dengan persoalan penyelidikan untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang merupakan pelanggaran pidana. Dengan demikian untuk sampai dugaan telah terjadinya suatu peristiwa pelanggaran HAM berat, DPR-RI dalam konteks pasal tersebut harus melakukan tindakan penyelidikan. Padahal sesungguhnya tindakan penyelidikan itu menurut Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Pengadilan HAM, itu sesungguhnya penyelidikan itu merupakan rangkaian dari tugas penyelidik, jadi rangkaian tugas-tugas dari penyelidik. Sedangkan yang ditunjuk dari Undang-Undang Pengadilan HAM ini, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 ini yang ditunjuk untuk melakukan penyelidik adalah Komnas HAM, di sini ada reasoning-nya mengapa kewenangan penyelidik tersebut hanya ditunjuk dan diserahkan oleh undang-undang kepada Komnas HAM? Meskipun di situ ada penjelasan yang dikatakan bahwa Komnas HAM itu diasumsikan sebagai lembaga yang bersifat independen sehingga diharapkan tercipta dan terjaga objektivitas hasil penyelidikannya, tetapi secara penal policy kebijakan hukum pidana sebagai bagian dari criminal policy, kebijakan kriminal. Penunjukan lembaga Komnas HAM ini sebagai penyelidik terhadap peristiwa8
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana pelanggaran HAM berat, itu merupakan salah satu bentuk kehati-hatian dan rasionalitas penggunaan dan penerapan hukum pidana, karena memang pengertian dari criminal policy, kebijakan kriminal itu harus rasional. Sebab kalau tidak rasional itu justru tidak sesuai dengan definisi criminal policy itu sendiri yang dikatakan oleh Huffnagel sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat tentang penanggulangan kejahatan. Jadi ada tiga alasan dari aspek criminal policy. Yang pertama, secara fungsional Komnas HAM itu memang suatu lembaga negara yang bertugas melakukan pengkajian, penelitian, penyuluhan, dan pemantauan terhadap persoalan-persoalan hak asasi manusia sehingga sinkron dengan wewenang penyelidikan yang diembannya seperti yang ditetapkan dalam Undang-Undang Pengadilan HAM. Kemudian alasan yang kedua, bahwa Komnas HAM itu beranggotakan tokoh masyarakat yang profesional, berdedikasi tinggi yang sistem rekrutmennya kita semua tahu sangat ketat sehingga dia dikatakan di dalam UndangUndang HAM itu berintegritas tinggi dan profesional. Kemudian yang ketiga, kedudukan Komnas HAM itu sendiri sebagai lembaga negara yang tidak dapat katakanlah dipengaruhi atau diintervensi oleh pihak manapun termasuk Pemerintah. Jadi ada tiga alasan ini secara—kalau kita tinjau dari aspek criminal policy ini merupakan usaha-usaha yang rasional, dengan sadar dan sengaja memang ditunjuk untuk itu. Kita tidak bisa membayangkan misalnya bagaimana berbagai efek negatif yang akan terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini kalau penilaian yang lebih bersifat judgement itu terhadap suatu peristiwa hukum pidana, apalagi hukum pidana itu masuk pada pelanggaran HAM yang berat diserahkan pada lembaga politik misalnya, kita tidak bisa membayangkan itu. Bentuk-bentuk kehatian di sini memang sering dan sudah diperingatkan oleh berbagai pakar hukum pidana dan kriminologi, baik di Indonesia maupun di berbagai negara-negara maju, hendaknya menggunakan hukum pidana itu harus selektif, tidak sembarangan, cermat, dan hati-hati. Karena seperti yang saya tulis di sini, saya mengutip pendapat Herbert Pecker dalam The Limit of Criminal Sanction, dinyatakan olehnya bahwa hukum pidana itu suatu ketika akan menjadi penjamin utama terhadap kesejahteraan dan kebebasan umat manusia. Tetapi suatu ketika hukum pidana itu akan menjadi pengancam utama terhadap kebebasan dan kesejahteraan umat manusia bila digunakan secara sembarangan dan paksa, ini artinya apa? Bahwa jika kita ingin menggunakan penal policy kebijakan hukum pidana itu hendaknya harus cermat dan tidak sembarangan, sehati-hati mungkin. Dari pendapat Herbert Pecker ini dan beberapa pendapat yang saya kutip hendaknya diharapkan bisa membuka mata hati kita atau membuka mata hati tiap pihak yang terkait dengan pembentukan Undang-Undang Pidana, agar dalam menggunakan Undang-Undang Pidana itu harus cermat dan hemat karena menyangkut persoalan9
persoalan nasib kemanusiaan. Siapa yang terkena hukum pidana? Ada yang memperingatkan, hukum pidana itu bagai mengiris dagingnya sendiri, artinya apa? Artinya sangat mengerikan. Siapa yang terkena hukum pidana dia tidak bisak enak tidur, tidak bisa enak makan, dan sebagainya. Yang terkena bukan pada tersangka atau terdakwa atau terpidana saja, tetapi semua keluarga dan koleganya itu menjadi sedih. Ada yang mengatakan bahwa hukum pidana itu bagai pedang bermata dua. Di satu sisi dia ingin menegakkan hukum yang dilanggar oleh manusia lain, tetapi di sisi lain hukum pidana justru dapat merendahkan martabat manusia melalui sanksi pidananya yang sangat keras dan menekan, ini artinya apa? Hendaknya setiap Undang-Undang Pidana ini termasuk Undang-Undang Pengadilan HAM ini semestinya harus hati-hati dan sesuai dengan konsep-konsep keilmuan dan criminal justice system yang sudah menjadi kesepakatan bagi bangsa-bangsa beradab, ini dari aspek-aspek hukum pidananya. Di dalam undangundang tersebut, di dalam Pasal 43 ayat (2)-nya itu, itu masuk ke dalam pengertian criminal justice system, itu masuk ke dalam criminal justice process, jadi proses peradilan pidana. Karena di situ menyangkut aturanaturan atau tata cara atau prosedur untuk membawa seseorang ke hadapan tahapan-tahapan pemidanaan. Ini yang dimaksud dengan criminal justice process yang dibedakan dengan pengertian criminal justice system. Kalau misalnya ada yang mengatakan atau membandingkan bahwa pengadilan HAM Ad Hoc itu dalam dunia internasional sudah ada, memang benar. Kalau kita bandingkan di situ sudah ada memang pengadilan HAM Ad Hoc, contoh-contohnya. ICTY, ICTR, Mahkamah Nurenberg dan sebagainya. Tapi kita harus ingat bahwa di situ ada statutanya, ada semacam aturannya, undang-undangnya yang tetap memperhatikan norma-norma, konsep-konsep keilmuan dari hukum pidana dan criminal justice system, saya contohkan di situ. Misalnya di article 1 ICTY atau ICTR, itu jelas di situ bahwa hukum pidana itu harus tidak boleh menyimpangi asas lex certa. Asas lex certa ini mengatakan bahwa rumusan norma-norma yang ada di dalam hukum pidana itu harus jelas dan tegas, tidak mempunyai pengertian ambigu yang menimbulkan multitafsir. Contoh ICTY misalnya, di situ dijelaskan bahwa statuta ini, pengadilan ICTY ini, pengadilan HAM Ad Hoc ini, pengadilan kejahatan internasional ini dibatasi, ada waktunya, sejak tahun 1991 misalnya yang ICTY. Kalau yang ICTR itu juga ada waktunya, ditegaskan dalam norma hukumnya itu. Sekarang kita bandingkan dengan UndangUndang Pengadilan HAM Ad Hoc, di situ dikatakan peristiwa tertentu, masa tertentu, dan waktu tertentu. Kata tertentu dalam aspek hukum pidana itu tidak sesuai dengan asas lex certa, asas kejelasan arti yang tidak boleh menimbulkan ambigu, yang tidak menimbulkan multitafsir kalau kita bandingkan dengan undang-undang kita Pengadilan HAM Ad Hoc itu. Peristiwa tertentu itu yang mana? Banyak peristiwa kejahatan yang diduga 10
melanggar pelanggaran HAM berat. Masa tertentu, masa yang mana? Masanya juga banyak, tidak jelas, norma rumusan norma ini tidak jelas. Karena ketidakjelasan ini tentunya dapat dimasuki oleh kepentingankepentingan di luar hukum, akhirnya apa? Yang berbicara adalah kehendak politik. Kita tidak bisa membayangkan rumusan tindak pidana umum terhadap persoalan perampasan kemerdekaan seseorang yang diancam pidana maksimum dua belas tahun begitu saja melalui kehendak politik DPR bisa berubah menjadi pelanggaran kejahatan terhadap HAM yang berat yang ancamannya sangat tinggi memakai sistem sanksi minimum khusus, yakni sepuluh tahun, minimal sepuluh tahun. Bagaimana kita bisa bayangkan hanya dengan dugaan yang mengira-ngira, dengan kehendak politik saja rumusan tindak pidana umum yang ancamannya maksimum dua belas tahun berubah seketika menjadi ancaman minimum sepuluh. Jadi dari aspek hukum pidana, dari aspek criminal policy jelas ini tidak bisa diterima di dalam bangunan ilmu hukum pidana. Jadi itu kira-kira yang mungkin bisa saya ungkapkan, mungkin dalam Panel ini lebih jelasnya akan kita diskusikan. Terima kasih. 18.
KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H. Saudara Kuasa Pemohon dan Pemohon materil masih adakah pertanyaan yang diajukan?
19.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA, M.H, Ph.D Masih ada Majelis.
20.
KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H. Silakan.
21.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA, M.H, Ph.D Kami hanya minta kejelasan saja dari Saudara Ahli, tadi dikatakan Saudara Ahli mencoba memperbandingkan antara pengadilan HAM Ad Hoc dengan pengadilan Ad Hoc internasional yang pernah ada, baik itu ICTR, ICTY, dan lain sebagainya. Pertanyaannya dari segi fakta hukum atau sejarah hukum Tribunal International Ad Hoc tadi, sebelum adanya ICC itu, itu dia ada, ada itu bersamaan dengan ICC atau pada saat itu belum ada ICC?
11
22.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN, S.H., M.H. Baik, terima kasih. ICC itu justru dibentuk tidak begitu saja, jadi International Criminal Court itu justru melalui persiapan-persiapan yang panjang dan pengalaman-pengalaman masa lalu, terutama melihat terbentuknya pengadilan ad hoc kejahatan internasional seperti ICTY atau ICTR ini, yang di dalamnya di dalam praktik kemudian ICTY dan ICTR ini konsepkonsep perkembangan hukum pidana internasional itu kemudian dicatat, dipelajari. Dari pelajaran masa lalu ini yang menimbulkan perkembangan-perkembangan hukum pidana internasional ini, maka dibentuklah ICC sebagai Mahkamah Kejahatan Internasional permanen. Sedangkan yang lain itu Ad Hoc. Jadi tidak begitu saja muncul, jadi jawabannya belum ada pada waktu itu ICC. Karena ICC tahun 2002 baru diberlakukan dan ini tidak diberlakukan secara surut, karena Statuta Roma sebagai “Konstitusi” dari ICC ini benar-benar menghargai dan menjunjung tinggi asas-asas fundamental dalam hukum pidana, terutama asas legalitas formal karena dia tidak memberlakukan secara surut untuk ICC ini. Kejahatan-kejahatan yang terjadi sebelumnya tidak menjadi yuridiksi dari ICC.
23.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA, M.H, Ph.D Apakah benar penafsiran kami, berarti Ad Hoc yang dimaksud Internasional Tribunal itu adalah karena Ad Hoc, karena belum ada lembaga permanen?
24.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H. Ya, betul. Karena memang belum ada lembaga permanen, kemudian karena ini menyangkut kejahatan terhadap pelanggaran berat, kejahatankejahatan serius yang kalau dibiarkan akan menjadi diimpolitikkan, ini juga dilarang keras dalam konsep-konsep hukum pidana, makanya dibentuklah pengadilan HAM Ad Hoc ini. Jadi kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida dan macam-macam itu. Lalu dibentuklah ICTY, ICTR. Itupun seperti yang saya katakan tadi tegas tetap memperhatikan asas-asas fundamental dalam hukum pidana. Misalnya yang saya katakan tadi asas lex certa tetap dihargai, kemudian ada statutanya, semacam aturan. Ada statuta, statuta ICTY, statuta ICTR, ada. Jadi ada landasan hukumnya. Hakim dalam memutuskan ada landasan hukumnya semua.
12
25.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA, M.H, Ph.D Baik, masih berkisar tentang International Tribunal Ad Hoc-nya, ICTR tetapi Ahli mengatakan bahwa ada statuta yang mengaturnya, statuta itu dibuat untuk setiap kasus atau satu kemudian untuk semua ICTY, ICTR itu satu statuta atau setiap International Tribunal satu statuta.
ICTY,
26.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H. Ya, memang pada waktu itu belum berdiri ICC ini, ICC belum berdiri sehingga setiap ada kasus yang memang itu dianggap sudah mengganggu atau mengancam ketertiban dunia internasional, maka dibentuklah Mahkamah Kejahatan Internasional Ad Hoc ini, tapi tetap ada statutanya, ada landasan hukumnya, ada undang-undangnya sebagai pijakan untuk mengadili, setiap kejadian. Kalau ICTY untuk Yugoslavia, kalau ICTR untuk Rwanda, kalau Nurenberg untuk Nazi di Jerman, Mahkamah Tokyo itu untuk dalam waktu perang dunia kedua. Jadi ada statutanya masing-masing, berbeda dengan pengadilan HAM Ad Hoc ini, apa undang undangnya? Tidak ada. Dia mendompleng kepada pengadilan HAM, Undang-Undang Pengadilan HAM. Kalau kita mengacu kepada dunia internasional untuk membentuk pengadilan HAM Ad Hoc. Semestinya dibuat tersendiri setiap kasus, kalau menurut pendapat saya, kalau mau mengacu kepada dunia internasional tiap untuk mengadili kejahatan yang sebelum terjadi, sebelum UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000 diundangkan, bagaimana mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan masa lalu di Indonesia? Ya buatlah undang-undangnya, statutanya kalau dunia internasional. Nah, ini tidak. Mendompleng kepada Undang-Undang Pengadilan HAM, berarti kita inikan tidak konsisten kalau kita ingin katakanlah mengacu kepada dunia internasional. Jadi ada setiap ingin mengadili Ad Hoc buat undang-undangnya, apa sulitnya membuat undang-undang? DPR memang kekuasaan untuk membuat undang-undang, tidak mendompleng kepada pengadilan HAM yang sudah permanen. Bangsa kita ini sebenarnya sudah hebat, lebih maju daripada dunia internasional, karena Undang-Undang Pengadilan HAM tahun 2000, sedangkan ICC tahun 2002, berarti kita lebih dulu dong, lebih maju. Tetapi pengadilan Ad Hoc-nya kenapa dompleng? Dunia internasional tidak dompleng, ada ICTY, saya membawanya di sini. Ini statutanya, ini statuta ICTY, ini statuta ICTR, ada semua di sini. Dalam bahasa Inggris, karena ada lima bahasa, bahasa Inggris, Bahasa Arab, bahasa Cina, bahasa Spanyol, Perancis, dan Rusia. Jadi semua ada aturannya, ada normanya yang diatur. Nah, kita tidak seperti itu.
13
27.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA, M.H, Ph.D Di dalam statuta tersebut prinsip-prinsip apa yang diatur? Apa hanya waktunya saja dan tempatnya?
28.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H. Bukan, lengkap di sini.
29.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA, M.H, Ph.D Apa saja?
30.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H. Jadi mulai dari aturan umum, terutama mengenai temporis delictinya. Jadi yuridiksi rasione temporis, yuridiksi persone, dan macammacam, jadi semua diatur termasuk bentuk-bentuk atau macam-macam kejahatannya, kemudian hakimnya, bagaimana sistem rekrutmen hakim, penuntut umumnya, panitera, semua kedudukannya diatur di sini, ya undang-undanglah, kesimpulannya ini undang-undang.
31.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA, M.H, Ph.D Baik.
32.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.
Nah, kita kalau kita mau mengadakan pengadilan HAM Ad Hoc apa ada di situ undang-undangnya? Berarti kita, katakanlah tidak konsisten untuk meniru, mengacu kepada dunia internasional, seperti itu. 33.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA, M.H, Ph.D Saudara Ahli, kata-kata tadi mendompleng kepada UndangUndang Pengadilan HAM, saya menemukan dalam legal research saya, ternyata pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc yang ada, terutama dalam kasus kami kasus Timor-Timur itu sendiri telah melanggar Undang-Undang Pengadilan HAM. Misalnya dalam Pasal 48 ketentuan peralihan dikatakan bahwa yaitu ayat (2), “daerah hukum pengadilan 14
HAM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di dalam pengadilan negeri di Jakarta Pusat.” Artinya Pengadilan Jakarta Pusat meliputi wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Banten, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Sedangkan untuk peristiwa yang terjadi di TimorTimur seharusnya masuk dalam Pengadilan Negeri Makasar, ini undangundangnya. Jadi kata mendompleng tadi, kata mendompleng sepenuhnya atau mendompleng dengan deviasi, dengan penyimpangan? Kalau menurut Saudara melihat kenyataan demikian. Karena Keppresnya kami pelajari demikian atau faktanyalah, klien kami ini diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk peristiwa atau TKP atau locus delicti yang terjadi di Timor-Timur. Padahal di sini jelas undang-undang ini mengatakan Pengadilan Jakarta Pusat hanya punya wewenang, berarti siapa yang menentukan kedudukan pengadilan ini? 34.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H. Karena itulah saya katakan tadi, kita ini kalau mau membentuk pengadilan HAM Ad Hoc dibentuklah undang-undangnya, setiap ada pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc bentuk saja undang-undangnya seperti ini, kalau tidak akan menimbulkan persoalan seperti ini. Kalau mau dompleng, dompleng sepenuhnya. Kalau itu dikatakan tadi jelas kalau masalah yurisdiksi pengadilannya dan di sini jelas di ICTY dan ICTR itu yurisdiksi pengadilannya jelas, jadi semua diatur, ada aturannya yang harus ditaati oleh semua pihak yang terlibat dalam aturan ini. Itu satu bukti bahwa aturan-aturan yang sudah tertera yang ditetapkan dalam undang-undang tidak, katakanlah dilanggar. itu dilanggar.
35.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA, M.H, Ph.D Saudara Ahli saya mohon bantuan, ketegasan, sesuai dengan keahlian Saudara dalam hukum pidana seberapa penting masalah yurisdiksi ini? Apakah masalah yurisdiksi itu hanya masalah tempat saja? Mau di situ kek mau di sana kek tidak masalah, seberapa penting? Karena dalam praktik kami, gara-gara masalah yurisdiksi sebuah dakwaan bisa batal, walaupun seseorang ini diancam hukuman mati sekalipun gara-gara masalah yurisdiksi untuk masalah eksepsi dakwaan bisa batal dan harus keluar dari tahanan, jadi seberapa penting yurisdiksi itu?
36.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H. Ya, jadi masalah yurisdiksi ini masalah kewenangan, kewenangan hakim, kewenangan suatu pengadilan yang terkait dengan criminal 15
justice administration, jadi administrasi peradilan pidana. Karena persoalan-persoalan apalagi kalau wilayah satu negara itu sangat luas sehingga ditetapkan di dalam undang-undangnya, dibagi-bagi yurisdiksinya ini. Karena itu sudah ditetapkan di dalam undang-undang, pelaksana dari undang-undang, semua pihak yang terkait dengan persoalan dari undang-undang itu tetap harus mengacu kepada normanorma yang diatur, jadi seperti itu. Jadi ada landasan-landasan yurisdiksinya yang tidak boleh dilanggar begitu saja, kalau itu dilanggar berarti tentunya akan menimbulkan cacat hukum yang bisa dipersoalkan secara hukum sesuai dengan tahapan-tahapan persoalan itu. 37.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA, M.H, Ph.D Saudara Ahli, saya masih ada pendapat ngeyel dari saya, mengenai masalah asas lex certa yang sudah dikatakan di sini tempat tertentu, waktu tertentu itukan sudah jelas di situ. Tadi Saudara Ahli katakan tidak jelas itukan sudah jelas, waktu tertentu, tempat tertentu, jelas.
38.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H. Dari apek hukum pidana, jadi hukum pidana di dalam Pasal 1 ayat (1) di KUHP itu sebenarnya mengandung empat asas yang dalam KUHP, asas yang pertama legalitas formal, kita semua sudah tahu. Kemudian asas lex temporis delicti, itu asas yang kedua di dalam kandungan Pasal 1 ayat (1) KUHP. Jadi suatu tindak pidana itu dipidana, diancam pidana atau dihukum pada saat kapan suatu perbuatan itu dilakukan dan saat itu hukum pidana itu diberlakukan, itu lex temporis delicti. Kemudian asas non retroaktif dan asas lex certa yang tadi ditanyakan, jadi bagian dari empat yang terkandung di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP asas lex certa itu gunanya apa? Supaya rakyat itu percaya kepada Pemerintah karena jelas dari suatu norma yang mengatur dari masyarakat karena tugas yuridis hukum pidana itu bukan sekedar mengatur masyarakat sebenarnya, tapi mengatur kewenangan atau kekuasaan Pemerintah, dalam hal ini aparat penegak hukum. Itu dikatakan oleh Profesor Peter dalam The Other Side of Criminology. Jadi the juridical task of criminal law is not policing society but policing the policy, ini artinya apa? Tugas yuridis hukum pidana itu sebenarnya bukan sekedar mengatur masyarakat tetapi mengatur kewenangan kekuasaan Pemerintah itu supaya jelas. Kalau di dalam undang-undangnya peristiwa tertentu, masa tertentu, waktu tertentu, tempat tertentu, tertentu yang mana? Tertentu dalam hukum pidana tidak jelas, sama dengan kata “segera”. Penyidik setelah memeriksa tersangka harus segera melimpahkan kepada penuntut umum, kata segera di sini dalam aspek lex certa tidak boleh. Harus dikatakan penyidik setelah memeriksa tersangka dalam 16
waktu 3x24 jam, 7x24 jam, itu jelas dalam hukum pidana. Tetapi kalau segera, tertentu, itu tidak jelas. Kejahatan pelanggaran HAM yang berat itu banyak, kenapa dikatakan tertentu? Ini akan menimbulkan sikap pemilihan dan pemilahan, dipilih saja kalau begitu yang masa tertentu, waktu tertentu, “oh yang ini sajalah yang tahun ini saja, atau yang tersangkut dengan PDI-P, misalnya atau yang tersangkut dengan partai tertentu, ini menimbulkan sikap memilih dan memilah kalau tertentu itu. Dalam hukum pidana ini dilarang keras, tidak boleh. Kalau tidak justru hukum pidana akan menimbulkan martabat manusia itu sendiri karena tidak jelas, hukum pidana itu sangat keras bagai mengiris dagingnya sendiri, ingat itu! Jadi harus hati-hati dan tidak sembarangan, harus rasional. Criminal policy itu harus rasional, begitu. 39.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA, M.H, Ph.D Saudara ahli, saya jadi ingin curhat kepada Saudara Ahli. Dalam kasus kami ini klien kami ini sebetulnya sebelumnya tidak masuk dalam tersangka, sampai dua kali tidak masuk. Begitu masuknya di DPR, sebelumnya tidak masuk. Di DPR itu klien kami ini merasa dia baru dimasukkan, sebelumnya oleh Komnas HAM itu tidak dimasukkan, dalam penelitian itu tidak dipanggil tapi di DPR dibentuk tim gabungan dia diperiksa, baru masuk tetapi ada juga yang keluar. Apakah ini bentuk dari memilah dan memilih sebagaimana yang dimaksud atau aplikasi memilah dan memilih memang seperti itu?
40.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H. Ya, salah satunya begitu. Ini karena akibat apa? Karena normanya tidak diatur sesuai dengan konsep-konsep criminal justice system dan doktrin-doktrin dalam ilmu hukum pidana karena tadi itu, tidak sesuai. Jadi undang-undangnya seperti itu, kita mau mengacu kepada dunia internasional tapi tidak konsisten. Mau membuat peraturan perundangundangan tidak konsisten sesuai dengan ilmu pengetahuan hukum pidana. Proses politik itu pada pembentukan undang-undangnya, jadi pembentukan hukumnya, itu proses politik. Tetapi pada saat proses penegakan hukum politik tidak boleh masuk di sini, maksudnya seperti itu. Karena di dalam pembentukan undang-undang pidana harus benarbenar diperhatikan semua aspek-aspek yang mempengaruhi perundangundangan pidana itu supaya dalam pelaksanaannya nanti pelaksana undang-undang ini, para teoritisi, hakim, jaksa, juga semua pengacara, dan polisi semua itu tidak ambigu, tidak mempunyai multi tafsir seperti itu, itu gunanya asas lex certa, seperti itu.
17
41.
KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Saudara Kuasa Pemohon dengan tidak mengurangi hak Saudara supaya dialog ini perlu dipertajam, adapun Panelis sudah mengikutinya dalam tanya jawab tadi sudah mencermati supaya dialog ini dipertajam karena masih ada acara berikut tanya jawab dari para hakim, tapi ini tidak mengurangi hak Saudara.
42.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA, M.H, Ph.D Terima kasih Majelis, memang sangat penting kami ditegur, supaya kami tetap pada koridor waktu dan koridor tempat, hanya ini saya ingin petunjuk kali ini, di dalam jawaban Dewan Perwakilan Rakyat dikatakan begini, halaman 16, “dalam hal ini berlaku ketentuan sebagaimana—halaman 6 ya! “Dalam hal ini berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Kitab Undang-Undang Acara Pidana—KUHAP, bahwa dugaan tersebut didasarkan pada bukti permulaan yang cukup, padahal Pasal 17 itu tentang penangkapan. Artinya di sini yang berhak untuk melakukan dugaan berdasarkan bukti permulaan yang cukup sekenal saya, sepengetahuan saya adalah seorang penyidik apakah demikian Dewan Perwakilan Rakyat ini memang mengakui duduk sebagai penyidik?
43.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H. Ya, kalau itu terdapat di dalam (...)
44.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA, M.H, Ph.D Jawaban DPR?
45.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H. Tentang pengajuan ini.
46.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA, M.H, Ph.D Dalam hal ini berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana—KUHAP, bahwa dugaan tersebut harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Jadi mengaju kepada KUHAP dan kemudian berdasarkan bukti permulaan yang cukup setahu saya itu adalah tindakan penyidik.
18
47.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN, S.H., M.H. Ya, itu memang suatu pengakuan yang formal sudah, bahwa Pasal 43 ayat (2) dari Undang-Undang Pengadilan HAM ini diakui sendiri oleh DPR bahwa dia di dalam melakukan dugaan itu harus melakukan upaya-upaya yang terkait dengan criminal justice process, ini sudah sangat jelas bahwa sebenarnya lembaga pembentuk undang-undang tidak boleh masuk kepada lembaga pelaksana undang-undang, tugastugas dan kewenangan lembaga pelaksana. Tetapi kalau memang sudah diakui seperti itu berarti lembaga pembentuk undang-undang sudah masuk kepada lembaga pelaksana undang-undang, dalam hal ini criminal justice process. Untuk menilai, saya tidak bisa menilai karena bukan kewenangan saya.
48.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA, M.H, Ph.D Terakhir, saya tidak tahu karena terus terang baru kemarin sore belajar HAM, statuta itu siapa yang buat? Statuta untuk ICTY, ICTR?
49.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H. Sudah, tadi ini (...)
50.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA, M.H, Ph.D Tidak, yang membuat.
51.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H. Yang membuat?
52.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA, M.H, Ph.D Yang menetapkan prosesnya?
53.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.
Oh, yang menetapkan? Jadi begini, statuta ICTY, ICTR ini memang Dewan Keamanan yang katakanlah sebagai pelopornya karena menganggap bahwa kasus-kasus kejahatan serius di daerah Yugoslavia dan Rwanda ini sudah sangat mengancam perdamaian dunia, tetapi Dewan Keamanan tidak sembarangan, dia membentuk Komisi Ahli, ahli tentang apa? Ya, ahli tentang hukum dikembalikan lagi sebenarnya 19
kepada hukum, lalu terbentuklah ini statuta, tidak digarap sendiri karena tidak ahli, Dewan Keamanan tidak ahli. Jadi dikonsepkan oleh ILC (International Law Committee), Komisi Hukum Internasional, oleh ILC. Memang ada pemrakarsanya, pemrakarsanya Dewan Keamanan, jadi seperti itu.
54.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA, M.H, Ph.D Kalau di Indonesia statuta itu bisa setingkat apa?
55.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H. Setingkat undang-undang, karena di dalamnya kalau kita bandingkan ini bentuk-bentuknya sama dengan undang-undang.
56.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA, M.H, Ph.D Undang-Undang Pidana ya?
57.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H. Ya, Undang-Undang Pidana karena ini Mahkamah Kejahatan Internasional Ad Hoc, tetapi bentuk-bentuknya kalau kita bandingkan memang seperti undang-undang.
58.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA, M.H, Ph.D Mahkamah yang terhormat melalui Ketua Majelis, sementara cukup namun kalau lebih takutnya kami akan mohon minta waktu bertambah.
59.
KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H. Saudara Kuasa apakah keterangan Ahli ini sudah dibuat atau digandakan secara tertulis dan dalam dua belas rangkap?
60.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA, M.H, Ph.D Sudah Majelis, tapi hanya paparan yang pertama namun dalam dialog tadi tentunya akan masuk dalam Berita Acara, namun kami sudah 20
siapkan dua belas rangkap, insya Allah dua belas rangkap dari kertas kerja yang akan disampaikan. 61.
KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H. Petugas supaya menjemput! Dua belas rangkap Saudara Kuasa.
62.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA, M.H, Ph.D Mohon maaf, masih ada kekurangan dua lagi sedang di-foto copy.
63.
KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H. Apa yang ada saja dulu sebentar menyusul.
64.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA, M.H, Ph.D Terima kasih.
65.
KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H. Sekarang kami ingin memberi kesempatan kepada Hakim Panelis untuk mengajukan pertanyaan, Hakim Panelis Profesor Natabaya, silakan Pak.
66.
HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M Saudara Ahli, sebelum memasuki mengenai masalah materi saya mau bertanya sedikit, bahwa tadi Saudara Panelis menyinggung mengenai Pasal 24 daripada Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 24 ayat (5), bahwa dalam rangka criminal justice system. Saya bertanya apakah Pasal 24 ayat (5) yang dijadikan sebagai dasar permohonan oleh Pemohon itu mengatur mengenai hak konstitusional?
67.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H. Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 Pak?
68.
HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M Iya, saya bacakan Pasal 24 ayat (5), “susunan kedudukan keanggotaan dan Hukum Acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang”, apakah ini mengatur mengenai hak konstitusional daripada Pemohon? 21
69.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H. Tidak berkait secara langsung.
70.
HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M Ya, sebab ini merupakan salah satu permohonan dia mengatakan demikian. Nah, sekarang memasuki mengenai masalah yang ada kaitannya dengan pokok permohonan. Dalam pokok permohonan ini yang menjadi persoalan adalah mengenai pembentukan daripada HAM Ad Hoc pengadilan ya? Apakah Saudara Ahli mengetahui bahwa sebelum adanya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 itu ada ketentuan yang menyangkut mengenai penyelesaian mengenai kejahatan HAM berat?
71.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H. Di Indonesia?
72.
HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M Ya, di Indonesia. Ada tidak?
73.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H. Ada di Undang-Undang HAM.
74.
HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M Bukan, mengenai Pengadilan HAM berat, sebelum adanya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 mengenai penyelesaian sengketa mengenai HAM berat, apakah Saudara Ahli mengetahui ada ketentuanketentuan mengenai penyelesaian itu?
75.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H. Ketentuan menyangkut apa?
76.
HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M Penyelesaian HAM berat di Indonesia.
77.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.
22
Diatur di dalam Undang-Undang Komnas HAM, misalnya melalui rekonsiliasi, penyelesaian seperti itu. 78.
HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M Saya jelaskan, Saudara Ahli tidak mengikuti. Bahwa sebelum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 itu ada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini apakah Saudara tahu bagaimana sejarah nasibnya?
79.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H. Nasibnya tidak tahu.
80.
HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M Artinya Saudara tidak mengikuti perkembangan, bahwa Perpu ini ditolak oleh DPR. Akibat ditolak oleh DPR, maka disiapkan oleh Pemerintah dan DPR itu Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 itu, mengenai masalah HAM berat itu itu kan? Sekarang, undang-Undang Pengadilan HAM Nomor 26 Tahun 2000 itu berlakunya kapan?
81.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H. Undang-Undang Pengadilan HAM?
82.
HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 itu.
83.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H. Saya harus melihat.
84.
HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M Saya bacakan! Disahkan di Jakarta pada tanggal 23 November 2000, berlakunya ini surut tidak?
85.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H. Kalau Undang-Undang Pengadilan HAM itu secara prinsipal tidak menganut berlaku surut.
86.
HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M 23
Sebab bunyi Pasal 51—saya bacakan—undang-undang ini mulai berlaku tanggal diundangkan, artinya ke depan bukan? 87.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H. Ya, ke depan.
88.
HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M
Nah, sekarang timbul permasalahan bagaimana menyelesaikan pelanggaran HAM berat sebelum undang-undang ini? Maka UndangUndang Nomor 26 itu sendiri mengenai keberadaan Pengadilan HAM berat itu, Pasal 43. Untuk menyelesaikan perkara sebelum UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000 itu berlaku, diberlakukan ada kejadian. Bagaimana cara menyelesaikannya ini? Maka menyelesaikannya ini harus dibentuk Pengadilan HAM Ad Hoc itulah Pasal 43 itu, di dalam Bab VII itu. Tadi ada Saudara mengatakan bahwa mengenai penyelidikan dan semacamnya itu harus dilakukan oleh penyelidik? Menurut Saudara hasil penyelidikan siapa yang dilakukan oleh Pengadilan HAM berat yang telah dilaksanakan itu? Yang untuk Tim-Tim itu? Apakah itu pekerjaan DPR ataukah siapa yang melakukan? 89.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H. Sesuai dengan Undang-Undang Pengadilan HAM-nya harus dilakukan oleh Komnas HAM penyelidik itu.
90.
HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M Komnas HAM-nya belum terbentuk, belum bisa mempunyai kewenangan karena undang-undang ini berlaku ke depan.
91.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H. Semestinya untuk membentuk Undang-Undang Pengadilan HAM
Ad Hoc dibuatlah aturannya. 92.
HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M Saudara harus baca Pasal 48! Pasal 48 mengatakan penyelidikanpenyidikan dan penuntutan pelangaran HAM yang berat, yang sudah atau yang sedang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang HAM tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini. Artinya apa yang dilakukan oleh Pengadilan HAM berat yang sebelum ini 24
yang di Timor-Timur itu sudah hasil penyelidikan dari Komnas HAM yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, undangundang yang mengatur. Jadi DPR tidak mengadakan penyelidikan, DPR hanya melakukan pembentukan dia tidak adakan penyelidikan karena ini sudah ada. Jadi dia tidak melanggar ketentuan-ketentuan itu, jadi hal-hal itu adalah mengenai masalah itu. Sekarang kenapa pembentukan Pengadilan HAM berat itu harus ada? Karena ini ada masalah adanya ketentuan UndangUndang Dasar yang tidak boleh retroaktif, Pasal 28E ayat (1) ayat (2), sekarang bagaimana caranya untuk menembus ini? Inilah Pengadilan HAM Ad Hoc itu dibentuk dan harus mempunyai kewenangan oleh DPR, karena yang mempunyai kewenangan di dalam hal itu adalah DPR bersama dengan Pemerintah, ini masalahnya bukan? Sekarang menurut Ahli bagaimana cara penyelesaian HAM berat sebelumnya kalau tidak diatur dari sini? Di dalam undang-undang itu sendiri, karena Undang-Undang Dasar itu melarang. Ini persoalan yang dihadapi di dalam masalah-masalah ini. Jadi yang dimaksud Saudara mengenai criminal justice system itu bagaimana menurut Anda? 93.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H. Jadi begini, criminal justice merupakan bagian sistem kekuasaan kehakiman yang mempunyai konsep-konsepnya dan berlaku di Indonesia itu sekitar baru tahun 70-an. Karena sebelumnya peradilan pidana kita ini memakai konsep law enforcement. Karena itu dari kajian dan pengamatan saya selaku menurut keilmuan saya yang saya tekuni banyak sekali konsep-konsep criminal justice system ini belum dipahami secara benar dan baik.
94.
HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M Saya mau tanya, apakah KUHAP itu tidak merupakan criminal justice system?
95.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H. Kalau hukum acara itu masuk ke dalam criminal justice process, jadi ada bedanya antara criminal justice system dan criminal justice process. Kalau criminal justice system itu dimulai sejak pembentukan undang-undang—Undang-Undang Pidana dalam hal ini—sampai kepada narapidana itu dibina di LP—Lembaga Pemasyarakatan.
96.
HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M Apakah KUHAP itu salah satu bentuk daripada criminal justice system? 25
97.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H. Salah satu bentuk, tetapi beda.
98.
HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M Ya, betul! Di dalam hal ini, di dalam pelaksanaan pelanggaran HAM berat ini dia tetap mengacu ke sana. Karena seluruh mengenai ketentuan mengenai hukum acara yang diperlakukan di dalam proses Pengadilan HAM berat itu adalah proses di dalam KUHAP plus yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26. Dia tetap criminal justice system, mulai daripada penyedik, penyelidik, penuntut, pengadilan, dan lembaga permasyarakatan adalah satu sistem, tetap digunakan oleh ini. Jadi Pengadilan HAM berat itu tetap mengacu kepada ini, apa yang sudah diatur dalam undang-undang itu. Yang kata Anda bahwa tidak ada statuta, itu merupakan statuta bagi pengadilan HAM berat, dia tidak perlu lagi membuat suatu ketentuan yang baru karena undang-undang itu sudah diperlakukan untuk pelaksanaan pemeriksaan pelanggaran HAM itu.
99.
KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI, S.H. Selanjutnya kalau dari pihak Pemerintah termasuk Jaksa Agung kalau mungkin akan ajukan pertanyaan?
100. PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI, S.H., M.H. (KABAG LITIGASI DEPT HUKUM DAN HAM) Terima kasih Yang Mulia. Kami dari Pemerintah hanya ingin memberikan statement bahwa Pemerintah pada dasarnya sangat menghargai informasi tentang criminal justice system itu, kaitannya tindak pidana yang dilakukan oleh Pemohon. Kami hanya ingin menyampaikan bahwa apa yang disampaikan oleh Ahli seyogianya hal ini menjadi bahan atau masukan terhadap DPR di dalam menyusun perundang-undangan atau paling tidak itu dalam rangka perubahan atau amandemen Undang-Undang Pengadilan HAM, karena kalau kita lihat dengan permohonan yang dimohonkan oleh Pemohon itukan kaitannya dengan pengujian formil. Jadi kalau pengujian formil itu tentunya berkaitan dengan proses pembentukan peraturan perundang-undangan itu. Literatur yang kami baca di sana mengatakan bahwa kalau pengujian formil itu apakah di dalam prosesnya mengandung unsur-unsur korupsi, penyuapan, atau tidak terkait atau tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan 26
yang berlaku. Jadi oleh karena itu Pemerintah berpendapat bahwa apa yang disampaikan oleh Ahli dalam hal ini adalah seyogianya disampaikan kepada pembentuk undang-undang dalam kaitannya legislative review. Yang kedua adalah, barangkali kalau ini pertanyaan kami ingin mendapat gambaran dari Ahli dimana sebagaimana tadi Hakim Konstitusi sampaikan, dimana letak kerugian konstitusionalitas dari Pemohon itu sendiri? Karena kalau kita membaca Undang-Undang Mahkamah Konstitusi maupun Undang-Undang Dasar, “Pemohon adalah yang merasa hak dan atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh keberlakuan undang-undang ini.” Kami ingin mendapatkan gambaran yang jelas dari Ahli, barangkali untuk memperkaya Pemerintah di dalam mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dalam pengujian undang-undang ini. Terima kasih Yang Mulia. 101. KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H. Apa yang dikemukakan oleh yang mewakili Pemerintah adalah bersifat pernyataan belaka dan itu direkam, saya kira tidak perlulah Saudara Ahli menjawabnya. Saudara Kuasa sudah selesai? 102. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA, M.H, Ph.D Ada sedikit yang saya agak bingung kalau DPR dikatakan tidak melakukan penyelidikan dalam kasus ini, faktanya yang bersangkutan melakukan penyelidikan, ini yang mengalami bahwa dia diperiksa oleh DPR oleh tim gabungan. Kalau dikatakan DPR tidak melakukan penyelidikan dia diinterogasi, kemudian DPR juga mencari bukti-bukti ke Timor-Timur dan lain sebagainya, apakah itu bukan bentuk dari penyelidikan dan penyidikan? Terima kasih. 103. KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H. Mau ditanggapi atau tidak usah? 104. HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M Yang menjadi objek pemeriksaaan di sini adalah apakah Pasal 43 itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau tidak? Kalau masalah bahwa DPR melakukan penyelidikan atau tidak itu bukan urusan Mahkamah. Bahwa DPR menggunakan ketentuan seperti di KUHAP, itu urusan DPR. Tapi yang menjadi objek daripada Mahkamah ini adalah apakah Pasal 43 itu pembentukannya bertentangan dengan UndangUndang Dasar atau tidak. Bahwa di dalam prosesnya ada ini ada itu, itu 27
sebetulnya harus dikemukakan dalam persidangan dalam pengadilan HAM berat kemarin itu, sehingga dapat dikatakan bahwa pengadilan HAM berat tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa perkara si Pemohon di situ, bukan di sini.
105. KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H. Demikian Pemohon.
jawaban
Hakim
Panelis
kepada
Saudara
Kuasa
106. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA, M.H, Ph.D Cukup jelas, yang penting ada kejelasan saja maksud daripada tidak melakukan, cukup jelas. Terima kasih. 107. KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H. Baiklah, saya kira sudah selesai sampai di sini, sudah tidak ada yang bakal dikemukakan lagi ya? 108. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA, M.H, Ph.D Tanpa rasa mengurangi rasa hormat kami, pasti Hakim Mahkamah Konstitusi sangat memperhatikan, tetapi perkenankan kami hanya untuk keyakinan kami mengulangi permohonan kami untuk meminta waktu lagi mengajukan dua ahli yang sangat berhalangan di hari ini dan tambahan satu saksi lagi di antara daftar itu karena penting untuk menunjang keterangan saksi-saksi lainnya. Pertanyaan teknisnya, apakah setelah kami ajukan secara lisan di dalam persidangan ini perlu ditambah dengan pengajuan surat permohonan? 109. KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H. Saudara Kuasa yang saya hormati, jadi permintaan Saudara itu diperhatikan oleh panelis dan akan dilaporkan kepada RPH. Jadi penentuannya apakah permintaan Saudara dikabulkan atau tidak untuk mengajukan yang berhalangan ini sangat bergantung kepada putusan RPH dan suratnya sudah maju ya? 110. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA, M.H, Ph.D 28
Surat sudah kami masukkan. 111. KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H. Ya, nanti akan dibalas setelah Kemungkinan diganti orang ada tidak?
dilaporkan
kepada
RPH.
112. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA, M.H, Ph.D Menambah, tapi menambah dari daftar yang sudah pernah kami ajukan, satu saja Doktor Bernard. 113. KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H. Diajukan saja nama-nama baru tadi. 114. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA, M.H, Ph.D Baik, terima kasih banyak. 115. KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H. Selanjutnya, sebelum Panelis menutup Sidang Panel ini dengan ini Panelis mengemukakan apresiasi atas kehadiran Saudara Ahli guna turut beracara di Mahkamah Konstitusi. Baiklah, Sidang Panel pada siang hari ini dinyatakan selesai. KETUK PALU 3X
SIDANG DITUTUP PUKUL 11.18 WIB
29