BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pestisida Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 07/PERMENTAN/SR.140/2/2007 mendefinisikan bahwa pestisida adalah zat kimia atau bahan lain dan jasad renik serta virus yang digunakan untuk: 1) memberantas atau mencegah hama-hama tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian. 2) Memberantas rerumputan. 3) Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan tanaman yang tidak diinginkan. 4). Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagianbagian tanaman, tidak termasuk pupuk. 5). Memberantas atau mencegah hamahama luar pada hewanhewan piaraan dan ternak. 6). Memberantas dan mencegah hama-hama air; 7). Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasadjasad renik dalam rumah tangga, bangunan dan alat-alat pengangkutan; 8). Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah atau air (Depkes, 2003). Pestisida adalah bahan kimia untuk membunuh hama, baik insekta, jamur maupun gulma, sehingga pestisida dikelompokkan menjadi : Insektisida (pembunuh insekta), Fungisida (pembunuh jamur), dan Herbisida (pembunuh tanaman pengganggu/gulma). Pestisida adalah suatu substansi (zat kimia) yang digunakan untuk mencegah atau membunuh hama (pest), yakni organisme yang bersaing untuk mendapatkan
Universitas Sumatera Utara
makanan, menganggu kenyamanan atau berbahaya bagi kesehatan manusia. Pest sebagai target pestisida meliputi insekta, jamur, tikus, mites dan larva serangga (Achmadi, 2011). Pestisida telah secara luas digunakan untuk tujuan memberantas hama dan penyakit tanaman dalam bidang pertanian. Pestisida juga digunakan dirumah tangga untuk memberantas nyamuk, kepinding, kecoa dan berbagai serangga penganggu lainnya. Dilain pihak pestisida ini secara nyata banyak menimbulkan keracunan pada orang. Kematian yang disebabkan oleh keracunan pestisida jarang dilaporkan, hanya beberapa saja yang dipublikasikan terutama karena disalah gunakan (untuk bunuh diri). Dewasa ini bermacam-macam jenis pestisida telah diproduksi dengan usaha mengurangi efek samping yang dapat menyebabkan berkurangnya daya toksisitas pada manusia, tetapi sangat toksik pada serangga (Depkes, 2003). Menurut Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Direktorat Bina Perlindungan Tanaman (1993), pestisida adalah semua zat kimia dan bahan-bahan lain serta jasad renik dan virus yang digunakan untuk memberantas hama penyakit nematode dan lain-lain, sedangkan The United State Federal Enviromental Pesticide Control Atc (Green, 1979) mendefenisikan pestisida sebagai semua zat atau campuran zat yang khusus untuk memberantas, mencegah atau menangkis dari gangguan serangga, binatang pengerat nematode, cendawan, gulma yang dianggap hama kecuali virus, bakteri. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1983), pestisida mempunyai tiga macam nama yang terdiri dari nama umum (common name) adalah
Universitas Sumatera Utara
nama yang telah didaftarkan pada International Standard Organization, nama kimia (chemical name) yaitu nama unsur atau senyawa kimia dari suatu pestisida yang terdaftar pada International Union for Pure and Applied Chemistry dan nama dagang (trade name) yaitu nama dagang dari suatu produk pestisida yang biasanya telah terdaftar dan sudah mendapatkan semacam hak paten dari masing-masing negara. Pestisida dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara tergantung kepada kepentingannya antara lain menurut fisiknya, cara kerjanya, sasaran penggunaanya, tujuan penggunaannya, pengaruh terhadap toksokologinya dan sifat/susunannya. Adapun manfaat dari pengklasifikasian pestisida berdasarkan sifat/susunan kimianya dalam hubungan dengan hama sasaran. 2.1.1
Penggolongan Pestisida Menurut Wudianto (2010) sasaran pengelompokan pestisida sebagai berikut :
1. Insektisida Insektisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang bisa mematikan semua jenis serangga. 2. Fungisida Fungisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun dan bisa digunkan untuk memberantas dan mencegah fungi/cendawan pada umumnya cendawan berbentuk seperti benang halus yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Kumpulan benang ini disebut miselium. Miselium ini bisa tumbuh dia atas atau dalam tubuh inang.
Universitas Sumatera Utara
3. Bakterisida Bakterisida adalah senyawa yang mengandung bahan aktif beracun yang bisa membunuh bakteria. 4. Nematisida Nematisida adalah racun yang mengendalikan nematoda. 5. Akarisida Akarisida atau sering juga disebut dengan mitisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang digunakan untuk membunuh tungau, caplak, dan laba-laba. 6. Rodentisida Rodentisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang digunakan untuk mematikan berbagai jenis pengerat, misalnya tikus. 7. Moluskida Moluskida adalah pestisida untuk membunuh moluska, yaitu siput telanjang, siput setengah telanjang, sumpit, bekicot, serta trisipan yang banyak terdapat di tambak. 8. Herbisida Herbisida adalah bahan senyawa beracun yang dapat dimanfaatkan untuk membunuh tumbuhan pengganggu yang disebut gulma. 9. Pestisida lain Selain jenis pestisida di atas masih banyak jenis pestisida lain. Namun, karena kegunaannya jarang maka produsen pestisida pun belum banyak yang menjual. Sehingga di pasaran bisa dikatakan sulit ditemukan.
Universitas Sumatera Utara
Pestisida tersebut adalah sebagai berikut (wudianto R, 2004) yaitu: a. Pestisida adalah bahan senyawa kimia beracun untuk mengendalikan ikan mujair yang menjadi hama di dalam tambak dan kolam b. Algisida merupakan pestisida pembunuh ganggang. c. Avisida merupakan pestisida pembunuh burung. d. Larvisia merupakan pestisida pembunuh ulat. e. Pedukulisida merupakan pestisida pembunuh kutu. f. Silvisida merupakan pestisida pembunuh pohon hutan atau pembersih sisa-sisa pohon. g. Ovisida merupakan pestisida perusak telur. h. Piscisida merupakan pestisida pembunuh predator. i. Termisida merupakan pestisida pembunuh rayap. j. Arborisida merupakan pestisida pembunuh pohon, semak, dan belukar. k. Predasida merupakan pestisida pembunuh hama vertebrata. 2.1.2
Penanganan Pestisida Telah diketahui bahwa pestisida, karena sifat dan racunnya (fisik dan kimia)
adalah bahan kimia yang sangat berbahaya bagi kehidupan dan lingkungan. Oleh karena itu dalam penanganan pestisida, diperlukan fasilitas perlengkapan keselamatan kerja (APD) yang lengkap dan pengetahuan yang cukup bagi orang-orang yang terlibat dengan pestisida (Depkes, 2003). Pemerintah telah mengeluarkan PP No 7 tahun 1973 sebagai dasar hukum yang mengatur penanganan tentang peredaran, penyimpanan dan penggunaan
Universitas Sumatera Utara
pestisida. Pengawasan dalam hal penanganan pestisida dimaksudkan untuk mencegah terjadinya keracunan bagi para pekerja yang menangani pestisida. Setiap pekerja yang menangani pestisida diharuskan menggunakan pakaian kerja dan alat pelindung kerja berupa pakaian pelindung badan, topi sebagai pelindung kepala, googles sebagai pelindung mata, masker sebagai pelindung pernafasan dan mulut, serta sepatu boot dan sarung tangan. Penanganan keracunan yang pertama dan paling penting adalah berhenti bekerja dengan pestisida secepatnya (tinggalkan tempat kerja). Jika keracunan karena terkena pestisida melalui kulit, maka sebaiknya mengganti baju dan mencuci bahanbahan kimia tersebut dengan sabun dan air. Jika menderita keracunan akut, maka kita membutuhkan perawatan kesehatan darurat. Bahkan jika tidak yakin tentang penyebab gejala-gejala tersebut, sebaiknya mencari cara aman dan kunjungi petugas kesehatan. 2.1.3
Dampak Pestisida
2.1.3.1 Dampak Pestisida terhadap Konsumen Adapun dampak pestisida bagi konsumen umumnya berbentuk keracunan kronis yang tidak langsung dirasakan. Namun, dalam waktu lama mungkin bisa menimbulkan gangguan kesehatan. Meskipun sangat jarang, pestisida dapat pula menyebabkan keracunan akut, misalnya dalam hal mengonsumsi produk pertanian yang mengandung residu dalam jumlah besar (Djojosumarto, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.1.3.2 Dampak Pestisida terhadap Kesehatan Umumnya keracunan pestisida terjadi dengan adanya kontak dengan pestisida selama beberapa minggu. Orang tidak akan sakit langsung setelah terpapar pestisida, tetapi membutuhkan waktu sampai beberapa waktu kemudian. Pestisida masuk dalam tubuh manusia dengan cara sedikit demi sedikit dan mengakibatkan keracunan kronis. Bisa pula berakibat racun akut bila jumlah yang masuk dalam tubuh manusia dalam jumlah yang cukup (Wudianto, 2010). a. Keracunan Akut Keracunan akut biasanya terjadi pada pekerja yang langsung bekerja menggunakan pestisida atau terjadi pada saat aplikasi pestisida. Cara pestisida masuk kedalam tubuh : 1. Penetrasi lewat kulit (dermal contamination) 2. Terhirup masuk ke dalam saluran pernapasan (inhalation), serta 3. Masuk ke dalam saluran pencernaan makanan lewat mulut (oral). b. Keracunan Kronis Keracunan kronis terjdi apabila penderita terkena racun dalam jangka waktu panjang dengan dosis rendah. Gejala keracunan ini baru kelihatan setelah beberapa waktu (bulan atau tahun kemudian). Keracunan kronis lebih sulit dideteksi karena tidak segera terasa dan tidak menimbulkan gejala serta tanda yang spesifik. Dan beberapa dampak akibat keracuan kronis akibat pestisida. 1. Pada Syaraf Gangguan otak dan syaraf yang paling sering terjadi akibat terpapar pestisida selama bertahun-tahun adalah masalah pada ingatan, sulit berkonsentrasi, perubahan kepribadian, kelumpuhan, bahkan kehilangan kesadaran dan koma.
Universitas Sumatera Utara
2. Pada Hati (Liver) Karena hati adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menetralkan bahanbahan kimia beracun, maka hati itu sendiri sering kali dirusak oleh pestisida apabila terpapar selama bertahun-tahun. Hal ini dapat menyebabkan Hepatitis. 3. Pada Perut Muntah-muntah, sakit perut dan diare adalah gejala umum dari keracunan pestisida. Banyak orang-orang yang dalam pekerjaannya berhubungan langsung dengan pestisida selama bertahun-tahun, mengalami masalah sulit makan. Orang yang menelan pestisida (baik sengaja atau tidak) efeknya sangat buruk pada perut dan tubuh secara umum. Pestisida merusak langsung melalui dinding-dinding perut. 4. Pada Sistem Kekebalan Beberapa jenis pestisida telah diketahui dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh manusia dengan cara yang lebih berbahaya. Beberapa jenis pestisida dapat melemahkan kemampuan tubuh untuk menahan dan melawan infeksi. Ini berarti tubuh menjadi lebih mudah terkena infeksi, atau jika telah terjadi infeksi penyakit ini menjadi lebih serius dan makin sulit untuk disembuhkan. 5. Pada Sistem Hormon Hormon adalah bahan kimia yang diproduksi oleh organ-organ seperti otak, tiroid, paratiroid, ginjal, adrenalin, testis dan ovarium untuk mengontrol fungsi-fungsi tubuh yang penting. Beberapa pestisida mempengaruhi hormon reproduksi yang dapat menyebabkan penurunan produksi sperma pada pria
Universitas Sumatera Utara
atau pertumbuhan telur yang tidak normal pada wanita. Beberapa pestisida dapat menyebabkan pelebaran tyroid yang akhirnya dapat berlanjut menjadi kanker tyroid. 2.1.3.3 Dampak Pestisida terhadap Lingkungan Menurut Soemirat (2007) Insektisida dapat berpengaruh terhadap lingkungan sebagai berikut : 1. Residu Insektisida dalam Tanah Penyemprotan pestisida akan berada di udara yang lama kelamaan akan jatuh ke tanah. Untuk jenis pestisida yang tidak mudah menguap akan berada di dalam di dalam tanah terutama dari golongan organoklorin karena sifatnya yang persisten. 2. Residu Insektisida dalam Air Pestisida yang disemprotkan dan yang sudah berada didalam tanah dapat terbawa oleh air hujan atau aliran permukaan sampai ke badan air, berupa sungai dan sumur. 3. Residu Insektisida di Udara Pestisida dapat berada di udara setelah disemprotkan dalam bentuk partikel air (droplet) atau partikel yang terformulasi jatuh pada tujuannya. 4. Residu Pestisida pada Tanaman Insektisida yang dismprotkan pada tanaman tentu akan meninggalkan residu. Residu insektisida terdapat pada semua tubuh tanaman seperti batang, daun, buah, dan juga akar. Khusus pada buah, residu ini terdapat pada permukaan maupun
Universitas Sumatera Utara
daging dari buah tersebut. Walaupun sudah dicuci, atau dimasak residu pestisida ini masih terdapat pada bahan makanan. 5. Residu Pestisida di Lingkungan Kerja Pestisida kebanyakan digunakan di pertanian, sehingga perlu sedikit diketahui bahwa insektisida ini dapat menimbulkan masalah kesehatan pekerja di pertanian atau petani termasuk juga pencampuran pestisida. Kebanyakan petani di Indonesia mengetahui bahaya pestisida, namun mereka tidak peduli dengan akibatnya. 2.1.3.4 Dampak Pestisida Bagi Lingkungan Pertanian Menurut Djojosumarto (2008), bahwa dampak pestisida bagi lingkungan pertanian yaitu : 1. Organisme pengganggu tanaman menjadi kebal terhadap suatu pestisida. (timbul resistensi organisme pengganggu tanaman terhadap pestisida). 2. Meningkatkan populasi hama setelah penggunaan pestisida (resurjensi hama) 3. Timbulnya hama baru, bisa hama yang selama ini dianggap tidak penting maupun hama yang sama sekali baru. 4. Fitotoksik (meracuni tanaman). 2.1.3.5 Dampak Insektisida Golongan Organofosfat terhadap Kesehatan Pestisida masuk kedalam tubuh manusia melalui kulit, mulut, saluran pencernaan, pernafasan. Di dalam darah manusia pestisida ini akan berikatan dengan enzim cholirenesterase yang berfungsi untuk mengatur kerja syaraf. Dan karena adanya pestisida dalam darah maka Acetilcholirenesterse (AChE) akan di ikat oleh
Universitas Sumatera Utara
pestisida, sehingga enzim tidak dapat melaksanakan tugasnya dalam tubuh terutama meneruskan untuk mengirim perintah kepada otot-otot. Akibatnya otot-otot bergerak tanpa dapat dikendalikan (Sudarno, 1997). Pada masyarakat yang terkena racun insektisida organofosfat, tanda dan gejala keracunan adalah timbul gerakan otot-otot tertentu, penglihatan kabur, mata berair, mulut berbusa, banyak berkeringat, air liur banyak keluar, mual, pusing, kejangkejang, muntah-muntah, detak jantung menjadi cepat, mencret, sesak nafas, otot tidak bisa digerakkan dan akhirnya pingsan (Wudianto, 2010). Menurut Mukono (2011) akibat inhibisi Acetilcholinesterasae (AChE) di dalam sistem syaraf mengakibatkan gangguan keracunan seperti : a. Keracuanan Akut 1. Manifestasi muscarinik : a) Gejala pencernaan makanan seperti mual, muntah b) Aktifitas kelenjar keringat meningkat c) Aktifitas kelenjar ludah meningkat d) Aktivitas kelenjar air mata meningkat e) Ketajaman mata berkurang 2. Manifestasi nikotinik seperti sesak napas, kram pada otot tertentu dan cyanosis. 3. Manifestasi susunan saraf pusat seperti rasa cemas, sakit kepala, kesukaran tidur, depresi, tremor, kejang, gangguan pernapasan dan peredaran darah.
Universitas Sumatera Utara
b. Keracunan Kronis Ada beberapa jenis keracunan kronis yang disebabkan oleh pestisida organofosfat, yaitu : 1. Carsinogenik (pembentukan jaringan kanker). 2. Teratogenik (kelahiran anak cacat dari ibu yang keracunan insektisida). 3. Myopathi (penyakit otot). 2.1.4
Toksikologi Pestisida Mekanisme masuknya pestisida ke dalam tubuh melalui tiga cara, yaitu
melalui penghirupan, pencernaan dan kulit. Pestisida terdistribusi ke seluruh jaringan terutama sistem saraf pusat. Beberapa diantaranya mengalami biotransformasi, dirubah menjadi intermediet yang lebih toksik (paraoxon) sebelum dimetabolisir (Lu, 1995). Semuanya mengalami degradasi hydrolysis di dalam hati dan jaringanjaringan lain, biasanya dalam waktu hitungan jam setelah absorbsi. Waktu paruh organofosfat berkisar antara 1-2 hari. Produk degradasinya mempunyai toksisitas yang rendah dan dikeluarkan/diekskresikan dalam bentuk urin dan faeces. Toksisitas
atau
daya
racun
pestisida
adalah
sifat
bawaan
yang
menggambarkan potensi pestisida tersebut untuk membunuh secara langsung pada hewan atau manusia. Toksisitas dinyatakan dalam LD50 (lethal dose), yakni jumlahpestisida yang menyebabkan kematian 50% dari binatang percobaan yang umumnya digunakan adalah tikus. Dosis dihitung dalam mg per kilogram berat badan (mg/kg). Namun ada perbedaan antara LD50 oral dan LD50 dermal. LD50 oral adalah dosis yang menyebabkan kematian pada binatang percobaan tersebut diberikan
Universitas Sumatera Utara
secara oral atau melalui makanan, sedangkan LD50 dermal ialah dosis yang terpapar melalui kulit (Depkes, 2003). Pestisida meracuni manusia melalui berbagai proses seperti : 1. Kulit Hal ini dapat terjadi apabila pestisida terkena pada pakaian atau langsung pada kulit ketika petani memegang tanaman yang baru saja disemprot, ketika pestisida pada kulit atau pakaian, ketika petani mencampur pestisida tanpa sarung tangan, atau ketika anggota keluarga mencuci pakaian yang telah terkena pestisida. Untuk petani atau pekerja lapangan, cara keracunan yang paling sering terjadi adalah melalui kulit. 2. Pernafasan Hal ini paling sering terjadi pada petani yang menyemprot pestisida atau pada orang-orang yang ada di dekat tempat penyemprotan. Perlu diingat bahwa beberapa pestisida yang beracun tidak berbau. 3. Mulut Hal ini terjadi bila seseorang meminum pestisida secara sengaja ataupun tidak, ketika seseorang makan atau minum air yang telah tercemar, atau ketika makan dengan tangan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu setelah berurusan dengan pestisida. 2.1.5
Metode Penyemprotan Pestisida Saat pemakaian pestisida, umumnya perhatian para petani lebih tertuju pada
masalah pengendalian hama yang menyerang tanaman sehingga keselamatan petani
Universitas Sumatera Utara
jadi kurang diperhatikan. Pemakaian pestisida menjadi hal yang rutin sehingga dianggap tidak berbahaya. Metode atau cara yang dilakukan sewaktu penyemprotan pestisida akan berpengaruh terhadap tinggi rendahnya pemaparan terhadap petani. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar para petani terhindar dari pemaparan sewaktu menyemprotkan pestisida yaitu : a.
Membaca semua instruksi dan pengarahan yang ada pada label pestisida, menyangkut pemakaian konsentrasi dan dosis yang tepat, aturan keselamatan, serta pertolongan bagi penderita keracunan.
b. Tidak diperkenankan merokok, makan, dan minum selama menyemprotkan pestisida. Cucilah tangan dan muka dengan menggunakan sabun jika ingin makan, minum dan merokok. Tubuh dan pakaian harus terhindar dari tetesan pestisida. Jika terjadi, pakaian atau bagian tubuh yang terkena harus dicuci dengan air dan sabun. c.
Jangan membuka kemasan dengan cara memaksa atau mencongkel karena cairan pestisida akan tersembur keluar dan mengenai muka.
d. Jangan menggunakan alat penyemprotan yang bocor. Periksa selalu kondisi alat semprot sebelum menyemprotkan pestisida. e.
Gunakan selalu alat-alat pelindung pada saat menyemprotkan pestisida. Pelindung yang dipakai minimal adalah masker, celana panjang, kaca mata, dan topi.
Universitas Sumatera Utara
f.
Jangan menyemprotkan pestisida melawan arah angin. Pada saat menyemprot berjalanlah searah dengan arah tiupan angin, sehingga kabut semprot tidak tertiup ke arah badan.
g. Jangan meniup nozel yang tersumbat. Gunakanlah jarum yang halus untuk membersihkan nozel (Djojosumarto, 2008). 2.1.6
Jeda Waktu Penyemprotan Pemaparan pestisida pada tubuh manusia dengan frekuensi yang sering dan
dengan interval waktu yang pendek menyebabkan residu pestisida dalam tubuh manusia menjadi lebih tinggi. Secara tidak langsung kegiatan petani yang mengurangi frekuensi menyemprot dapat mengurangi terpaparnya petani tersebut oleh pestisida. Menurut Mariani dkk, (2005) istirahat minimal satu minggu dapat menaikkan aktivitas kholinesterase dalam darah pada petani penyemprot. Istirahat minimal satu minggu pada petani keracunan ringan dapat menaikkan aktivitas kholinesterase dalam darah menjadi normal (87,50%). Penelitian Sumekar, dkk (2006), menyebutkan bahwa kejadian paparan pestisida disebabkan oleh beberapa faktor determinan, yaitu selang waktu antara kontak terakhir dengan pengukuran kadar kolinesterase, disamping faktor lain seperti perilaku petani dalam menyemprot, frekuensi penyemprotan, pemakaian alat perlindungan diri, dosis pestisida dan lama penyemprotan. Hasil analisis regresi logistik pada tingkat kemaknaan 5% menunjukkan bahwa ada pengaruh selang waktu pengukuran terhadap resiko paparan pestisida.
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian Praptini, dkk (2002) tentang Faktor-faktor yang Berkaitan dengan Kejadian Keracunan Pestisida Pada Tenaga Kerja Teknis Pestisida Perusahaan Pemberantasan Hama (Pest Control) di Kota Semarang Tahun 2002, menyimpulkan bahwa rata-rata angka kejadian keracunan pestisida sebesar 69,91%, sehingga disarankan bagi tenaga kerja teknis pestisida, untuk mencegah terjadinya keracunan pestisida, melakukan penyemprotan tidak lebih 2 kali setiap minggu dan tidak melakukan penyemprotan secara berturut-turut lebih dari 12 jam dalam waktu 3 bulan. 2.1.7
Lama Penyemprotan Pestisida Lamanya penyemprotan pestisida yang dilakukan tenaga penyemprot sejalan
dengan lamanya penyemprot tersebut terpapar pestisida. Paparan yang berlangsung terus-menerus lebih berbahaya daripada paparan yang terputus-putus pada waktu yang sama. Jadi pemaparan yang telah lewat perlu diperhatikan bila terjadi risiko pemaparan baru. karena itu penyemprot yang terpapar berulang kali dan berlangsung lama dapat menimbulkan keracunan kronik. Telah dibuktikan bahwa penggunaan pestisida secara berlama-lama untuk pertanian dapat menyebabkan kanker seperti non Hodgkin’s lymphoma (Weisenburger, 1990). Penyalahgunaan insektisida pada pertanian merupakan salah satu faktor yang menyebabkan residu pada hasil pertanian dan berdampak terhadap konsumen yang mengkonsumsinya. Apalagi semakin tingginya permintaan cabai merah segar maupun cabai merah giling dalam satu hari. Semakin tinggi pula tingkat konsumsi masyarakat terhadap cabai. sehingga semakin banyak pula masyarakat yang terpapar oleh residu insektisida. Penelitian Iskandar tahun 2012 tentang aplikasi pestisida dan analisa residu pestisida menyebutkan bahwa penyemprotan terakhir sebelum panen
Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi tinggi rendahnya residu pestisida pada beras. Menurut wudianto (2010) menyebutkan bahwa penyemprotan pestisida sebaiknya dilakukan tidak kurang dari 2 minggu sebelum panen dengan maksud agar pestisida sudah terurai saat di panen. 2.2 Residu Pestisida Residu pestisida adalah sisa pestisida, termasuk hasil perubahannya yang terdapat pada atau dalam jaringan manusia, hewan, tumbuhan, air, udara atau tanah (Deptan, 2009). Beberapa yang mengindikasikan batas residu, digunakan untuk memprediksi pemasukan residu pestisida. Batas maksimum residu (BMR) adalah salah satu indeks konsentrasi maksimum dari residu pestisida (ditetapkan dalam mg/kg) yang direkomendasikan sebagai batasan yang diijinkan secara legal pada komoditas makanan dan daging hewan. Data BMR Profenofos berdasarkan FAO dan WHO (2010) dan Deptan dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini: Tabel 2.1. Batas Maksimum Residu Profenofos pada Makanan No Komoditas 1 Benih Kapas 2 Telur 3 Mangga 4 Manggis 5 Daging Mamalia 6 Susu 7 Cabai 8 Daging Unggas 9 Tomat 10 Kentang 11 Kubis 12 Paprika Sumber : FAO dan WHO (2010); Deptan (2009)
BMR (mg/kg) 3 0,05 0,2 10 0,05 0,01 5 0,05 10 0,05 1 0,5
Universitas Sumatera Utara
Selain BMR, Acceptable Daily Intake (ADI) atau batas yang dapat diterima tubuh dalam sehari juga merupakan parameter internasional untuk dievaluasi. Berdasarkan FAO and WHO, ADI untuk profenofos adalah 0-0,03 mg/kg berat badan (FAO dan WHO, 2010).
2.3 Tanaman Cabai Cabai merupakan tanaman perdu dari famili terong-terongan yang memiliki nama ilmiah Capsicum sp. Cabai berasal dari benua Amerika tepatnya daerah Peru dan menyebar ke negara-negara benua Amerika, Eropa dan Asia termasuk Negara Indonesia. Tanaman cabai banyak ragam tipe pertumbuhan dan bentuk buahnya. Diperkirakan terdapat 20 spesies yang sebagian besar hidup di Negara asalnya. Masyarakat pada umumnya hanya mengenal beberapa jenis saja, yakni cabai besar, cabai keriting, cabai rawit dan paprika. Secara umum cabai memiliki banyak kandungan gizi dan vitamin. Diantaranya Kalori, Protein, Lemak, Karbohidrat, Kalsium, Vitamin A, B1 dan Vitamin C. Selain digunakan untuk keperluan rumah tangga, cabai juga dapat digunakan untuk keperluan industri diantaranya, Industri bumbu masakan, industri makanan dan industri obat-obatan atau jamu. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan Pada umumnya cabai dapat ditanam pada dataran rendah sampai ketinggian 2000 meter dpl. Cabai dapat beradaptasi dengan baik pada temperatur 2427 derajat Celsius dengan kelembaban yang tidak terlalu tinggi. Tanaman cabai dapat ditanam pada tanah sawah maupun tegalan yang gembur, subur, tidak terlalu liat dan
Universitas Sumatera Utara
cukup air. Permukaan tanah yang paling ideal adalah datar dengan sudut kemiringan lahan 0 sampai 10 derajat serta membutuhkan sinar matahari penuh dan tidak ternaungi, pH tanah yang optimal antara 5,5 sampai 7. Tanaman cabai menghendaki pengairan yang cukup. Tetapi apabila jumlahnya berlebihan dapat menyebabkan kelembaban yang tinggi dan merangsang tumbuhnya penyakit jamur dan bakteri. Jika kekurangan air tanaman cabai dapat kurus, kerdil, layu dan mati. Pengairan dapat menggunakan irigasi, air tanah dan air hujan. Penelitian yang dilakukan oleh Tugijo (2003) menyatakan bahwa tenaga kerja penyemprot yang mempunyai jam kerja >5 jam mempunyai resiko keracunan pestisida lebih besar daripada tenaga penyemprot yang mempunyai jam kerja≤ 5 jam (OR = 5,22) lama waktu saat menyemprot harus di waspadai karena semakin lama petani kontak dengan pestisida maka akan semakin besar kemungkinan petani mengalami keracunan. 2.3.1
Penggunaan Pestisida pada Tanaman Cabai Tanaman cabai sangat rentan terhadap penyakit dan memiliki harga jual yang
tinggi,
sehingga
mengakibatkan
munculnya
kebiasaan
para
petani
untuk
menyemprotkan pestisida pada tanaman, meskipun tidak ada hama (Cover Blanket System) serta anggapan petani bahwa penggunaan pestisida pupuk yang berakibat banyak para petani menggunakan pestisida lebih dari dosis yang dianjurkan pada kemasan pestisida tersebut. Beberapa penggunaan pestisida yang dilakukan oleh para petani cabai antara lain:
Universitas Sumatera Utara
1. Pada saat pemeraman benih yang bertujuan untuk mengecambahkan benih. 2. Untuk mencegah gangguan cendawan pada persemaian. 3. Pencegahan Ulat Tanah dengan nama latin Agrotis ipsilon, ulat grayak, Lalat buah, Hama Tungau, hama thrips, Rebah semai, Layu Fusarium, Layu bakteri, Antraknose / patek, Busuk Phytophthora, Bercak daun Cercospora, Penyakit Virus dan Penyakit anthracnose buah. 4. Penyakit bercak daun cabai disebabkan oleh cendawan Cercospora capsici. Sampel produk tomat dan cabe merupakan produk pertanian paling sering ditemukan kandungan residunya. Residu yang dimaksud adalah propenopos pada cabe dan siper metrin pada tomat. Kandungan residu pestisida juga kerap terdeteksi pada padi, jagung, kedelai, dan kacang tanah. Namun, kandungan residu pada produk pertanian ini lebih sedikit dibanding dengan kandungan zat beracun itu pada tomat dan cabe (Afriyanto, 2008).
2.4 Analisis Residu Pestisida Analisis residu pestisida dapat dilakukan dengan berbagai metode dan alat antara lain Kromatografi Cair, Elektroporesis Kapiler, Metode Bioteknologi, dan Kromatografi Gas, dimana dari semua metode yang disebutkan Kromatografi Gas merupakan teknik penentuan yang paling sering digunakan untuk analisis pestisida terutama pestisida golongan organofosfat, yang terdiri dari halogen, sulfur dan fosfor. Dengan menggunakan kromatografi gas, pestisida dapat dideteksi pada tingkat konsentrasi yang sangat rendah dengan selektivitas yang tinggi, hal tersebut
Universitas Sumatera Utara
disebabkan oleh detektor selektif GC seperti Electron-Capture Detector (ECG), Flame Photometric Detector (FPD), dan Nitrogen Phosphorus Detector (NPD). Metode ini cepat dan menyediakan resolusi yang baik untuk dalam penentuan residu multikomponen, dan penggunaan dengan sensitivitas yang tinggi dan detektor yang spesifik, residu diukur dengan perbandingan presisi dan akurasi yang tinggi (Yolanda, dkk., 2004). Analisis residu pertisida diawali dengan membuat sampel menjadi homogen yaitu dengan cara memotong sampel menjadi bagian-bagian yang kecil. Setelah itu dilanjutkan dengan urutan langkah-langkah analisis residu pestisida berikut: (1) ekstraksi residu pestisida dari sampel matriks, (2) penghilangan air dari ekstrak, (3) pembersihan dari ekstrak (bila diperlukan), dan (4) analisis penentuan (Tadeo, 2008). Pada umumnya ekstraksi pestisida dari bahan makanan dilakukan dengan menggunakan pelarut organik. Pada bahan makanan buah dan sayuran ekstraksi pestisida golongan organofosfat dapat dilakukan dengan etil asetat dan Na2SO4, etil asetat saja, kombinasi (Etil asetat, Diklorometana, dan Na2SO4), asetonitril, atau aseton.
2.5 Perilaku 2.5.1
Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni, melalui indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan
Universitas Sumatera Utara
raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu yang merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia. Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung ataupun tidak langsung turut memperkaya kehidupan manusia. Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yakni : 1. Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu “tahu” ini adalah merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. 2. Memahami (Comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
Universitas Sumatera Utara
3. Aplikasi (Application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan pengaplikasian atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. 4. Analisis (Analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja : dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya. 5. Sintesis (Synthesis) Sintesis
menunjuk
kepada
suatu
kemampuan
untuk
meletakkan
atau
menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis itu kemampuan untuk menyusun formulasi-formulasi yang ada. Misalnya : dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada. 6. Evaluasi (Evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi ataun penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan
Universitas Sumatera Utara
suatu criteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Roger (1974) dalam Notoatmodjo 2010, menyatakan bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan dan dari penelitian tersebut juga terungkap, bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses berurutan yaitu : a.
Awarenes (kesadaran) yaitu orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap objek atau stimulus.
b.
Interest (merasa tertarik) yaitu orang tersebut mulai tertarik terhadap stimulus atau objek.
c.
Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik atau tidaknya stimulus tersebut terhadap dirinya. Dalam tahap ini sikap seseorang terhadap suatu objek sudah lebih baik.
d.
Trial, dimana subjek mulai mencoba perilaku yang baru.
e.
Adaptation, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikap terhadap stimulus.
2.5.2 Sikap Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap merupakan salah satu aspek psikologis individu yang penting, karena sikap merupakan kecenderungan untuk berperilaku sehingga akan banyak mewarnai perilaku seseorang (Wawan, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya). Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yakni (Notoatmodjo, 2003) : 1.
Menerima (Receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).
2.
Merespon (Responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti yang menerima ide tersebut.
3.
Menghargai (Valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
4.
Bertanggung jawab (Responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi. Menurut Notoatmojdo (2010), sikap terbentuk dari adanya interaksi sosial
yang dialami oleh individu. Interaksi sosial mengandung arti lebih daripada sekedar adanya kontak sosial dan hubungan antar individu sebagai anggota kelompok sosial. Dalam interaksi sosial terjadi hubungan saling mempengaruhi diantara individu yang
Universitas Sumatera Utara
satu dengan yang lainnya, terjadi hubungan timbal balik yang turut mempengaruhi pola perilaku tiap individu sebagai anggota masyarakat. 2.5.3
Tindakan Tindakan adalah suatu kegiatan yang berhubungan dengan urat-urat syaraf
dan otot (neuromuscular) yang lazimnya tampak dalam kegiatan jasmaniah seperti menulis, mengetik, olah raga dan sebagainya. Meskipun sifatnya motorik, namun tindakan itu membutuhkan koordinasi gerak teliti dan kesadaran yang tinggi. Dengan demikian objek yang melakukan gerakan motorik dengan koordinasi dan kesadaran yang rendah dapat dianggap kurang atau tidak terampil. Semakin lama petani menjadi penyemprot, maka semakin lama pula kontak dengan pestisida sehingga resiko keracunan terhadap pestisida semakin tinggi. Penurunan aktifitas kholinesterase dalam plasma darah karena keracunan pestisida akan berlangsung mulai seseorang terpapar hingga 2 minggu setelah melakukan penyemprotan. Menurut Notoatmodjo (2010), praktik atau tindakan ini dapat dibedakan menjadi 3 tingkatan menurut kualitasnya, yaitu : a.
Praktik Terpimpin (Guided Response) Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan.
b.
Praktik secara Mekanisme (Mechanism) Apabila subjek atau seseorang telah melakukan atau mempraktikkan sesuatu hal secara otomatis maka disebut praktik atau tidakan mekanis.
Universitas Sumatera Utara
c.
Adopsi (Adoption) Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang. Artinya, apa yang sudah dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang berkualitas.
2.6 Landasan Teori Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2010) menganalisis faktor perilaku ditentukan oleh 3 faktor utama yaitu : faktor predisposisi (Predisposing Factors), terdiri atas faktor pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan dan nilai. Kedua faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik seperti ketersediaan sarana/fasilitas, informasi. Ketiga faktor pendorong (reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap dan perilaku kelompok referens, seperti petugas kesehatan, kepala kelompok atau peer group. Predisposing Factors - Kebiasaan - Kepercayaan - Tradisi - Pengetahuan - Sikap Enobling Factors - Ketersediaan fasilitas - Ketercapaian fasilitas
Perilaku
Reinforcing Factors - Sikap dan perilaku petugas - Peraturan Pemerintah Gambar 2.1. Kerangka Teori (Precede Lawrence W. Green)
Universitas Sumatera Utara
Didalam proses pembentukan dan atau perubahan perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam dan dari luar individu itu sendiri. Faktorfaktor tersebut antara lain : susunan saraf pusat, persepsi, emosi, proses belajar, lingkungan dan sebagainya. Perilaku diawali dengan adanya pengalaman-pengalaman seseorang serta faktor-faktor diluar orang tersebut (lingkungan), baik fisik maupun non fisik. Kemudian pengalaman dan lingkungan tersebut diketahui, dipersepsikan, diyakini dan sebagainya sehingga menimbulkan motivasi, niat untuk bertindak dan akhirnya terjadilah perwujudan niat yang berupa perilaku (Notoatmodjo, 2010).
2.7. Kerangka Konsep Adapun kerangka konsep penelitian ini secara skematis dapat digambarkan pada bagan berikut ini : Variabel Independen Karakteristik Petani Lama Kerja
Variabel Dependen
Residu Pestisida dalam Cabai
Karateristik Petani Usia Petani Jenis Kelamin Perilaku Petani terhadap Penggunaan Pestisida : 1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Tindakan
Karakteristik/Jenis Pestisida - Profenofos
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara