MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NO. 7/PUU-V/2007 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945 ACARA PEMERIKSAAN PENDAHULUAN (I)
JAKARTA
JUMAT, 16 MARET 2007
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NO. 7/PUU-V/2007 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap Undang-Undang Dasar1945
PEMOHON Rahmat
ACARA Pemeriksaan Pendahuluan (I) Jumat, 16 Maret 2007 WIB, Pukul 9.30 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 7, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) Maruarar Siahaan, S.H 2) Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LL.M 3) I Dewa Gede Palguna, S.H.M.H.
Fadzlun Budi SN, S.H., M.Hum.
Ketua Anggota Anggota
Panitera Pengganti
1
HADIR: Kuasa Hukum Pemohon : • • • • • •
H.M. Mahendradatta, S.H.,M.A., M.H. H. Achmad Michdan, S.H. H.A Wirawan Adnan, S.H. H. Achmad Kholid, S.H. H. Qodhar Faisal, S.H. H. Fahmi Bahmi, S.H.
2
SIDANG DIBUKA PUKUL 09.30 WIB
1.
KETUA : MARUARAR SIAHAAN, S.H.
(Suara tidak terekam, ada kesalahan teknis) Ketua menyatakan sidang dibuka dan terbuka untuk umum. Ketua menyilakan kepada pihak-pihak yang hadir untuk memperkenalkan diri. Ketua mempersilakan Pemohon untuk menyampaikan pokok-pokok permohonan. 2.
KUASA PEMOHON : H.M. MAHENDRA DATTA, S.H., M.A., M.H. (Suara tidak terekam) Pemohon memperkenalkan tim kuasa
hukum.
Namun perlu juga kami jelaskan sekarang bahwa bagi kami, Saudara Rachmat ini juga mempunyai legal standing karena yang ingin melakukan suatu tindakan yang terhambat karena adanya suatu pasal di dalam undang-undang yang kami mohonkan pengujiannya adalah Saudara Rachmat. Jadi Saudara Rachmat ini berkepentingan langsung, jadi merasa dirugikan langsung hak konstitusionalnya. Kemudian perkenankanlah kami sampaikan legal standing dari Pemohon. Jadi yang utama adalah bahwa almarhum adik kandung sekaligus yang diwakili kepentingannya dan seterusnya, itu tadi yang saya katakan tadi almarhum Yusuf dia telah meninggal dunia dan tertembak mati dengan ada kemungkinan disiksa terlebih dahulu oleh aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam suatu operasi kepolisian pada hari Senin, 22 Januari 2007 di wilayah Gebang Rejo, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah. Jadi basic dari kejadian ini adalah dimana pada saat itu almarhum Yusuf sebetulnya bukan penduduk desa tersebut. Almarhum Yusuf bukan penduduk desa yang menjadi target operasi, yang penduduk desa adalah Saudara Rachmat, kakak kandungnya. Saudara almarhum Yusuf ini sedang ke Poso, ke Gebang Rejo dia dalam rangka untuk berobat, karena rumah sakit umum daerah yang ada adalah di Poso. Dan dalam rangka berobat itu dan sering juga dia berkunjung ke tempat kakak kandungnya itu, jadi dia menginap di tempat kakak kandungnya. Dan di pagi hari itu, di pagi hari yang menjadi dasar peristiwa adalah ia mengantar keponakannya yang tidak lain adalah anak dari Saudara Rachmat—kakak kandungnya ini—untuk mengantar sekolah di Madrasah Ibtidaiyah di Pondok Pesantren Amanah. Pondok Pesantren Amanah di kemudian jam—bukan di kemudian hari—di kemudian jam, menjadi target atau menjadi episentrum dari target operasi kepolisian.
3
Begitu Saudara almarhum Yusuf sudah selesai mengantar keponakannya, dia ingin pulang. Waktu pulang ternyata mendadak terjadi pengepungan oleh aparat kepolisian dan tembak menembak. Juga memang daerah itu dikepung besar-besaran dan terjadi tembak menembak. Almarhum Saudara Yusuf oleh beberapa saksi dilihat bersembunyi, menunggu sampai acara tanda kutif maaf “peristiwa tembak menembak” itu selesai. Ba’da Zuhur, setelah Zuhur itu tiba-tiba suasana tenang, cukup lama, antara pukul dua belas sampai pukul satu, suasana sangat tenang. Tenang artinya tidak terdengar lagi tembak menembak. Kemudian Saudara almarhum Yusuf itu bermaksud untuk pulang ke rumah Saudara Rachmat karena dia naik motor. Namun di tengah jalan waktu mau ke luar, itu ternyata rombongan aparat keamanan masih ada. Kami tidak bisa membuktikan entah karena apa Saudara Yusuf kemudian membelok membalikkan lagi motornya? Perkiraan kami adalah disebabkan karena pada saat itu mungkin dia tidak membawa suratsurat ataupun kelengkapan kendaraan yang membuat dia khawatir terhadap rombongan polisi tersebut. Kemudian dia berbalik dan waktu berbalik itu tidak ada sama sekali permintaan atau perintah untuk berhenti, namun rombongan kepolisian yang bertemu dia itu kemudian melakukan penembakan, diberondong, kalau ini kami ada saksinya. Jadi Saudara Yusuf almarhum dia ditembak mati saat itu juga. Mengenai mati dan tidak matinya belum bisa kami buktikan, namun setidak-tidaknya kemudian rombongan itu mengejar Yusuf yang sedang terjatuh. Dan ada beberapa saksi melihat di situ sempat juga entah itu jenazahnya, entah itu dia memang masih hidup? Kita tidak tahu tapi sempat ditendangtendang. Berarti di sini—menurut Saudara Rachmat—telah terjadi suatu tindakan excessive of power atau penyalahgunaan wewenang atau bahkan tindakan-tindakan yang katakanlah melawan, tidak memiliki alasan ataupun dasar hukum. Kejadiannya adalah tidak bisa teridentifisir siapa pelakunya. Namun yang dapat dipastikan adalah yang melakukannya berseragam Kepolisian Negara Republik Indonesia, itu yang pasti. Tetapi siapa dia dan lain sebagainya itu tidak teridentifikasi. Selanjutnya, Pemohon sebagai ahli waris dari almarhum bermaksud untuk membuat terang perkara ini, yaitu mengajukannya kepada pengadilan. Di dalam mengajukan ke pengadilan selama ini secara awam maupun dunia hukum masih mengenal hanya gugatan perdata. Padahal ini tindakan bukan tindakan perdata, selama ini menggugat perdata. Kemudian ternyata sejak tahun 1981 sudah dikenal apa yang disebut dengan suatu alat kontrol masyarakat terhadap tindakan kepolisian yang berlebihan atau tindakan aparat keamanan yang berlebihan, itu ada di Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, yaitu Pasal 95 ayat (1) KUHAP. Pasal 95 ayat (1) KUHAP itu berbunyi adalah, “tersangka atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang
4
berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan”. Jadi Pasal 95 ayat (1) tersebut sebetulnya sudah memberi suatu alat kontrol masyarakat terhadap tindakantindakan yang berlebihan terhadap aparat keamanan atau dalam bahasa undang-undang tersebut adalah yang tidak berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya. Ini sangat menjamin dan melindungi serta memberikan perlindungan pada warga masyarakat. Mengenai menang kalahnya atau diterima atau tidaknya peradilan nanti yang membuktikan. Berarti dengan sistem pasal ini, ini sangat cocok untuk kondisi masyarakat awam atau bawah, karena apa? Dengan melalui Pasal 95 ayat (1) masyarakat tidak perlu lagi untuk masuk ke dalam gugatan perdata yang notabene harus membayar mahal. Karena untuk menggugat orang secara perdata, itu dipastikan biayanya saja— untuk Jakarta—itu bisa sampai sekitar per gugat itu tiga ratus sampai lima ratus ribu rupiah dan harus digugat di mana domisili dari aparat keamanan tersebut. Selanjutnya Pasal 95 ayat (1) ini bisa dipakai dengan melalui pra peradilan maka masyarakat mendapatkan apa? Pengadilan gratis, karena tidak perlu membayar, karena ini dalam konteks pra peradilan, dalam konteks pengadilan pidana, itu sangat menguntungkan. Jadi semua warga masyarakat bisa melakukan uji terhadap terjadinya peristiwa tersebut. Yang kedua, cepat sekali, karena pra peradilan harus putus dalam waktu tujuh hari. Sedangkan gugatan perdata bisa lima tahun, enam tahun, dan lain sebagainya. Sehingga untuk kenyataannya dari tinjauan sosiologis hukum, kenyataannya gugatan perdata ini tidak mampu diikuti oleh masyarakat bawah. Tadi harus membayar tiga ratus sampai lima ratus, kalau Saudara Rachmat ini mungkin pendapatannya tidak sampai lima ratus ribu per bulan karena dia seorang petani di daerah, di desa di Poso sana. Kemudian yang kedua, untuk menunggu selama lima tahun, apalagi harus mengikuti proses banding, proses kasasi, dan lain sebagainya yang dibutuhkan adanya pandangan-pandangan hukum dari seorang pengacara misalnya, dia sudah tidak mampu menyewa pengacara atau meminta bantuan hukum dan lain sebagainya, katakanlah harus menunggu ada yang membantu dia. Tetapi melalui pra peradilan tujuh hari dan harus putus dan kesannya sementara ini masih diputuskan Mahkamah Agung pra peradilan itu final, jadi tujuh hari sudah ada keputusan, setidak-tidaknya ada kepastian hukum kalau melalui pra peradilan. Namun permasalahannya adalah sewaktu Saudara Rachmat ingin mengajukan itu berdasarkan Pasal 95 ayat (1) KUHAP, yaitu mengajukan ganti rugi berdasarkan Pasal 95 ayat (1) KUHAP, ternyata dia terhambat oleh penjelasan pasal itu sendiri. Jadi penjelasan Pasal 95 ayat (1) sendiri yang menghambatnya, yaitu dikatakan bahwa—penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP— menyatakan bahwa, “yang dimaksud dengan kerugian karena dikenakan
5
tindakan lain ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan, dan penyitaan yang tidak sah”. Artinya tindakan lain yang seharusnya bisa dipergunakan untuk sesuai dengan maksud pasal batang tubuh 95 ayat (1) yang menyatakan bahwa tindakan lain itu tindakan lain yang tidak sesuai dengan undang-undang dan hukum, kemudian dibatasi. Karena tetap merasa terhambat oleh penjelasan Pasal 95 ayat (1) ini yang berisi pembatasan terhadap pasal batang tubuh Pasal 95 ayat (1), maka Saudara Rachmat merasa hak konstitusionalnya dirugikan, yaitu tidak ada kepastian hukum dalam batang tubuh dan penjelasan tersebut. Artinya begini, Saudara Rahmat merasa dirugikan, yang satu diperbolehkan di dalam batang tubuh dikatakan tindakan lain. Namun oleh penjelasan jadi dibatasi, ibaratnya adalah ada kata-kata mari kita makan sepuas-puasnya, tetapi di penjelasan mengatakan tapi jangan lebih dari dua ribu lima ratus. Saudara Rahmat berpandangan atau Pemohon berpandangan bahwa tidak ada kepastian di sini, yang satu mengatakan silakan menggugat tindakan-tindakan lain yang tidak berdasarkan hukum dan undang-undang, tapi di satu lagi mengatakan tindakan lain itu hanya sebatas ini saja lho. Kenapa tidak masuk saja? Karena hanya dua, penyitaan dan penggeledahan tenyata, kenapa tidak dimasukkan saja di pasal batang tubuh? Kalau memang mau jelas, kenapa harus dikatakan tindakan lain dan dibatasi di penjelasan. Karenanya sesuai dengan hal tersebut, maka Pemohon merasa memiliki legal standing untuk mengajukan ini karena hak konstitusionalnya untuk memperoleh jaminan perlindungan dan terutama kepastian hukum sebagaimana Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 merasa dirugikan, tidak ada kepastian hukum antara batang tubuh dan penjelasan ini, itu adalah mengenai legal standing Pemohon. Kemudian dengan memberanikan diri dan mohon koreksi oleh Mahkamah Konstitusi, memang betul bahwa di sini Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 adalah diundangkan jauh sebelum adanya UndangUndang tentang Mahkamah Konstitusi atau lahir sebelum adanya Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. Namun kami sangat bergembira begitu Mahkamah Konstitusi telah mengkoreksi UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tersebut dengan dicabutnya Pasal 50 undang-undang a quo. Jadi dengan demikian maka kami berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili pengujian undang-undang ini. Kemudian alasan-alasannya, yang pertama, kami tidak mengulang lagi, namun kami sampaikan bahwa segala apa yang telah dikemukakan pada bagian-bagian awal mohon dimasukkan dan pula dipertimbangkan sebagai alasan permohonan sebagai bagian integral. Jadi tidak kami ulang lagi, jadi sudah dimasukkan sebagai bagian integral yang masuk dalam poin-poin alasan. Jadi sebagai mutandis mutandis mohon diberlakukan sebagai alasan-alasan juga.
6
Yang bagian dalam surat permohonan kami bila Majelis berkenan untuk sedikit memperhatikan yang pada bagian pertama III A, itu kronologi sudah kami jelaskan di depan untuk membahas legal standing tadi, namun kami masukkan kembali sebagai alasan permohonan ini, kemudian IIIB tindakan aparat polri dalam peristiwa a quo merupakan tindakan excessive of power tetapi tidak berada dalam lingkup kewenangan yang diberikan oleh negara. Jadi dengan memberhentikan orang dengan cara menembak mati itu tidak dikenal sebagai tindakan yang masuk wewenang Polri. Di dalam KUHAP Polri mempunyai, satu, antara lain hak untuk memberhentikan seseorang, tetapi tidak dengan cara ditembak mati—begitu. Jadi ini pembahasan pertama adalah tentang bahwa yang dilakukan itu— maksudnya kami ingin mengantarkan bahwa memaparkan bahwa ada tindakan—memang betul ada yang disebut dengan tindakan-tindakan lain dari aparat keamanan yang tidak berdasarkan hukum dan undang undang itu ada--bukan tidak ada dan itu masih dalam konteks bukan konteks terpisah, tetapi exesesive of power, jadi dia maksudnya landasannya selalu berlandaskan dasar hukum yang ada di KUHAP-memberhentikan orang, menahan orang, mencekal orang dan lainnya itu ada dasarnya. Namun terjadi excessesive berlebihan sehingga exceessive inilah yang melanggar, jadi kami ingin pisahkan alasan kami dengan ada oknum Polisi mencuri oh ada oknum Polisi menembak mati. 3.
KETUA : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Saya potong Saudara Pemohon.
4.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRATTA, S.H., M.A., M.H. Silakan.
5.
KETUA : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Artinya argumen untuk uji konstitusional—yang lain tadi tadi sudah kita pahami, kalau bisa dipersingkat itu. Tapi belum Saudara kemukakan argumen uji konstitusional terhadap pasal mana yang Saudara maksudkan saya belum mendengar dari tadi kalau bisa kita bisa memasuki itu.
6.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRATTA, S.H., M.A., M.H. Terhadap pasal mana di dalam Undang Undang Dasar 1945 sebagaimana kami jelaskan di awal, bahwa hak konstitusional tersebut tadi adalah kami anggap melanggar Pasal 28D ayat (1) Undang Undang
7
Dasar 1945 tentang Jaminan Perlindungan dan Kepastian Hukum. Tadi kami antarkan dalam bentuk bahwa Pemohon merasa tidak ada kepastian hukum—batang tubuhnya memperbolehkan, tetapi penjelasannya membatasi—padahal yang dibatasi. Jadi bagaimana ini— kami ingin uji itu boleh sepuas-puasnya tindakan lain, semua tindakan lain, tetapi kemudian dibatasi oleh penjelasan. Jadi penjelasan membatasi batang tubuh itu. Jadi dianggap tidak ada kepastian hukum, namun kami tambahkan pula bilamana Hakim Mahkamah Konstitusi yang terhormat memiliki pandangan-pandangan lain tentang jenis-jenis pelanggaran, ini kami sangat mohonkan untuk bisa memberikan pertimbangan-pertimbangan terhadap pasal-pasal lain juga. Karena tidak ada kami lihat tidak ada batasan bahwa Mahkamah Konstitusi harus hanya menilai berdasarkan pasal Undang Undang Dasar yang kami ajukan saja, karena Bapak-bapaklah the walking constitutions, yang selalu menjadi konstitusi berjalan. Jadi kami juga mohon petunjuk bukan mohon petunjuk mohon referensi, mohon pertimbangan lain bilamana ada pasal-pasal lain menurut atau setidak-tidaknya diperkirakan diduga atau disangka ikut dilanggar dalam pengujian ini, terima kasih 7.
KETUA : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Baiklah, jadi kita sudah mendengarkan pokok permohonan ini yaitu Pasal 95 ayat (1), tetapi penjelasannya yang diuji terhadap Pasal 28D ayat (1). Sebelum mendengarkan lebih lanjut, saya berikan kesempatan kepada Pak Palguna lebih dahulu.
8.
HAKIM KONSTITUSI : I DEWA GEDE PALGUNA, S.H., M.H. Terma kasih Bapak Ketua. Saudara Pemohon, sesuai dengan ketentuan Pasal 39 ayat (2) dari Undang Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Panel Hakim diwajibkan memberi nasihat kepada Pemohon, bahwa apa nanti nasihatnya itu akan Saudara pertimbangkan atau tidak itu tentu Saudara yang mempunyai hak, tetapi kami diwajibkan undang undang untuk memberikan nasihat dengan tujuan agar permohonan menjadi jelas. Maka sesuai dengan hal itu dan nasihat itu sesuai—karena yang di sini adalah disebut permohonan, maka yang dimaksud permohonan itu juga menyangkut substansi dari permohonan, maka yang hendak saya sampaikan adalah begini, permohonan ini adalah permohonan pengujian, ketentuan norma terhadap Undang Undang Dasar. Nah oleh karena itu tentu—itulah yang mesti explore lebih banyak mestinya. Bahwa kasusnya itu boleh itu boleh, saja—bahwa kasus itu terjadi demikian ya tentu saja sebagai fakta, itu demikian. Tapi bahwa yang dipentingkan kemudian di Mahkamah ini bukan fakta ini, kalau ini barangkali penting dalam pemeriksaan perkara pidana di peradilan umum ya? Tetapi di Mahkamah Konstitusi yang dipentingkan adalah ini
8
sebagai landasan—sebagai dasar, nah yang harus digali lebih dalam ada dua hal di sini yang pertama. Pertama adalah Saudara Rahmat ini Saudara Pemohon yang kepentingannya Saudara wakili selaku kuasa dalam hal ini yang harus digali lebih banyak, mengapa Saudara Rahmat ini bisa menggantikan standing dari Saudara Yusuf kan begitu—yang menurut Ketentuan Pasal 51 Undang Undang Mahkamah Konstitusi itu dijelaskan kan di situ bahwa yang dimaksud “Pemohon adalah pihak atau kewenangan konstitusional dirugikan oleh berlakunya undang undang,” itu salah satunya bisa perorangan warga negara Indonesia. Sebab hak seorang tentu tidak bisa digantikan—dalam hal konstitusional tentu tidak bisa digantikan orang lain. Nah itu mestinya harus digali lebih banyak di dalam permohonan ini, sehingga ketika persolan standing menjadi jelas, nah baru kemudian nanti akan memasuki materi permohonan. Sebab nanti kalau misalnya di legal standing ini tidak kuat, berarti kan materi permohonan tidak diperiksa oleh Mahkamah. Nah inilah—oleh karena itu penjelasan mengenai mengapa Saudara Rahmat ini bisa mendalilkan dirinya menggantikan legal standing dari Yusuf ini, ah ini yang perlu di— bahwa dia Saudara kandung tentu itu adalah fakta. Mengapa seorang Saudara kandung bisa menggantikan hak konstitusional dari si ini—nah ini yang perlu dijelaskan di dalam permohonan, itu Saudara nasihat saya yang pertama. Yang kemudian—yang kedua tentu saja berkenan dengan materi, cobalah dipertimbangkan apakah memang karena ini kan Pasal 95 ini masih berbicara pada tingkat penyidikan, artinya bukan—dia berbicara dalam rangka KUHAP yang tidak jauh-jauh kiranya berkaitan dengan tugas Polisi sebagai Penyelidik atau Penyidik begitu ya, di situ. Nah oleh karena itulah maka yang menjadi soal kemudian adalah, apakah lebih menimbulkan kepastian hukum kalau itu dijelaskan ataukah itu kalau tanpa penjelasan? Mengapa ini perlu juga diulas lebih banyak, karena misalnya kita tidak tahu kalau ini sampai pada sidang Pleno nanti, ada misalnya Pemerintah ataukah DPR—Pemerintah sih biasanya atau pihak terkait langsung misalnya dalam hal ini kepolisian misalnya. Mengajukan ahli, umpamanya yang mengatakan bahwa justru dengan diberikan pembatasan itu kepastian hukum yang Saudara dalilkan itu justru sebagai dasar dari pengujian ini untuk di-challenge terhadap ketentuan Pasal 95—itu yang lebih memberikan kepastian hukum dengan adanya penjelasan, daripada kalau tidak ada penjelasan. Nah, ini tentu harus ada argumen dari Saudara Pemohon di sini ya yang untuk men-challenge itu nanti itu Pak. Nah itu yang berkaitan dengan materi. Jadi saya menasihatkan 2 hal karena setidaknya kalau sepanjang menyangkut fakta sudahlah itu sudah terjadi bahkan di Media pun sudah kita baca ya mengenai soal ini, tapi itu sebagai dasar iya tetapi yang lebih penting untuk diuraikan karena ini menyangkut pengujian norma adalah justru itu yang tadi itu, mengapa Kakak kandung dari—mengapa seseorang atau kalau di dalam hal ini kita katakanlah secara umum general— mengapa seseorang bisa menggantikan legal standing dari orang yang 9
seharusnya mempunyai legal standing—itu yang perlu di-explore lebih banyak nanti di dalam permohonan, supaya permohonan ini menjadi terang betul bahwa orang yang mengajukan permohonan ini mempunyai legal standing, demikian Pak Ketua, terima kasih 9.
KETUA : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Baik saya berikan waktu lagi dicatat saja pak kalau nanti mungkin perlu di respon, Pak Natabaya kami beri waktu.
10.
HAKIM KONSTITUSI : Prof. H.A.S NATABAYA, S.H., LL.M Pemohon, sesuai dengan acara yang pada hari ini adalah pemeriksaan pendahuluan. Pemeriksaan pendahuluan ini seperti bagaimana dikatakan oleh saudara Ketua tadi ialah untuk memperjelas apa yang merupakan permohonan dari Pemohon ini. Nah, jadi kami wajib menurut ketentuan Pasal 39 hakim itu wajib memberikan penjelasan, sehingga pokok permohonan yang Saudara ajukan ini akan lebih terang. Saya bacakan ya. “Dalil dalam permohonan dimaksud pada ayat (1) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan nasihat kepada Pemohon untuk melengkapi dan memperbaiki permohonan.” Jadi ini terserah. Nah, tadi sudah dijelaskan oleh Saudara Hakim Palguna bahwa untuk seperti jelasnya ini adalah bagaimana Pemohon mengkonstruksi bahwa di dalam sidang Mahkamah Konstitusi ini yang dipersoalkan adalah norma yang merugikan warga negara, jadi bukan kerugian sebagaimana yang di tentukan Pasal 95 ini sendiri sebetulnya. Kedua adalah karena di dalam Pasal 51 yang diuji ini adalah undang undang bagaimana Saudara menjelaskan merekonstruksi bahwa penjelasan itu adalah merupakan sesuatu hal yang merupakan objek daripada pengujian di dalam Mahkamah ini. Nah, selanjutnya ini harus dikaitkan dengan permohonan Saudara Pemohon bahwa hal-hal demikian ini bertentangan dengan Pasal 28D sebab yang diuji di sini adalah sebenarnya akan dilihat apa yang termaktub di dalam pengertian Pasal 28D, sehingga kita melihat bahwa undang undang ini yang meterinya demikian bertentangan dengan 28D, ini jadi kita ini normanya jadi bukan kerugian yang dimaksudkan di dalam Pasal 95 ya, sebab kerugian di dalam (Pasal) 95 ini jelas kerugian itu. Nah, ketiga bagaimana Saudara Pemohon mengkualifikasi bahwa si Rahmat ini adalah ahli waris, sebab kalau Pasal 95 itu yang berhak itu adalah ahli waris, apalagi yang disebut Pasal 95 ayat (3) itu. Sekarang Rahmat sebagai Saudara laki-laki daripada Saudara Yusuf bahwa dia itu ada ahli waris dan dia itu adalah merupakan ahli waris, sehingga nanti bagaimana mengkonstruksikan pernyataan saya pertama tadi bahwa dia itu adalah juga merupakan semacam reinkarnasi daripada Saudara Yusuf—nah inilah sebagai nasihat saya tambahan barangkali dapat dipertimbangkan oleh Saudara Pemohon dan ini sebetulnya sukarela ya tapi kami wajib, tapi Saudara
10
Pemhon mau menuruti atau tidak itu adalah semua tergantung kepada Pemohon, sekian. 11.
KETUA : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Jadi, sebelum saya berikan waktu untuk merespon saya kira tanpa mengurangi penghargaan kita dan keprihatinan kita akan apa yang terjadi, tetapi barangkali yang dikemukakan oleh rekan-rekan kami tadi adalah sekedar untuk lebih fokus barangkali kepada pengujian konstitusionalitas daripada norma, baik itu tadi dari sudut kerugian konstitusional yang dirumuskan dengan berlakunya undang undang itu apa kira-kira—tidaknya bukan kerugian yang lebih faktual dalam soal dari peristiwa yang terjadi tapi, kerugian secara konstitusional artinya yang dijamin oleh Konstitusi—dan yang kedua barangkali explorasi terhadap batu ujian yang ada yaitu Pasal 28D yang dimaksud ayat (1), kira-kira substansinya apa sehingga dia bisa kita simpulkan dia bertentangan penjelasan itu, tetapi tadi yang dikemukakan Bapak Nata juga apakah penjelasan itu dalam pendirian saudara mungkin sudah tepat juga dengan kita, tetapi konstruksinya bagaimana bahwa penjelasan itu menjadi juga objek pengujian—begitu, apakah dia merupakan bagian dari pada undang undang itu atau dia menentukan isi daripada undang undang itu sendiri. Kami beri waktu untuk memberikan respon.
12.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M. MAHENDRATTA, S.H., M.A., M.H. Pertama-tama saya dengan sangat patuh terhadap UndangUndang Mahkamah Konstitusi terutama beracara di Mahkamah Konstitusi, kami sangat berterima kasih atas segala nasihat-nasihat yang telah diberikan. Tentunya respon kami tidak akan menanggapi nasihat, nasihat kok ditanggapi kan tidak mungkin. Namun kami ingin justru ingin memperjelas memohon penjelasan mengenai nasihat tersebut, karena ada beberapa legal question yang muncul di kepala kami adalah sebagai berikut. Yang pertama adalah, tentunya pastinya kami akan semua nasihat yang ada, namun terjadi kebingungan di sini yaitu—kebingungan sudah awal jadi dari awal sudah kebingungan yaitu—sebetulnya hak yang mau mengajukan gugatan ini atau yang mau mengajukan pra peradilan ini— yang mau melakukan pra peradilan ini adalah Saudara Rachmat sendiri, jadi yang terhambat itu dia, walaupun mewakili adiknya yang meninggal, jadi di situ tidak mewakili di situ dia sendiri punya hak konstitusional, si Rachmat ini punya hak menurut Pasal 95 ayat (1) adalah warga dari pihak tersangka, terdakwa atau keluarga korban, terutama buat mereka yang meninggal dunia tentunya secara tidak perlu adagium dia bahwa dia langsung harus digantikan. Jadi si Rachmat ini yang merasa di satu
11
segi punya hak konstitusional yang dilanggar, atau bahasa awamnya— mohon maaf dengan segala maaf bahasa kami adalah “ini mau saya kok mau menggugat kok tidak boleh” itu gara-gara ada (Pasal) 95 ayat (1)— maaf saya ulangi penjelasan (Pasal) 95 ayat (1), namun seandainya Yusuf masih hidup pun, tetapi karena penyiksaan pasti si Yusuf akan maju sendiri. Jadi Yusuf punya hak konstitusional, si Rahmat-nya sendiri juga dalam in casu juga punya, oleh karena itu kami mohon nasihat tambahan bagaimana menghadapi situasi dimana si ahli waris “tanda kutip” ini juga mempunyai legal standing, mempunyai hak konstitusional ini bagaimana? Apakah dengan memilih salah satu, apakah dengan komulatif mengambil kedudukan kedua-duanya—tentunya kami inginnya diperiksa kedua-duanya—dipertimbangan kedua-duanya, baik Rahmat sebagai pribadi, warga negara Indonesia yang mau melakukan tuntutan hukum, baru mau melakukan itu—dan ini normal dalam kaidah normal— baru mau tetapi terhambat oleh penjelasan pasal, atau Rahmat sebagai ahli waris. Dia berkepentingannya itu adalah membawa kepentingannya si almarhum Yusuf ini, jadi ada dua menurut kami yang oleh karenanya kami mohon nasihat tambahan, bagaimana apakah kami harus pilih salah satu atau menurut Hakim Konstitusi bapak I Dewa Gede Palguna, dan Bapak Hakim Natabaya, apakah diperbolehkan—mengajukan secara kumulatif—kalau di dalam perdata diperbolehkan mewakili diri sendiri maupun bertindak perusahaan apa, itu dikenal. Tetapi kalau dalam acara Konstitusi ini tentunya kami mohon nasihat Bapak. Kemudian yang—mengenai tadi, karena kami tertarik semua hakim yang terhormat hari ini adalah sangat menyoroti agar kami tidak terjegal di legal standing. Kami—terus terang, kami sendiri bingung untuk membawa dua subyek ini, dua ini dan yang satu juga punya si Rachmat sekali lagi dia punya hak konstitusional yang merasa dilanggar juga, tetapi si Yusuf juga punya. Dimana dilanggarnya hak si Rachmat, dilanggarnya adalah ada seorang warga negara mau menggunakan satu pasal yang memang memberikan kepada dia suatu hak, tetapi pasal itu kemudian secara normative terjegal oleh penjelasan. Kemudian yang kedua, kami terima kasih sekali mengenai bahwa kami harus memperkuat mengenai alasan bahwa penjelasan itu pastinya visa versa, (bolak-balik) akan terjadi pihak pemerintah ataupun DPR nanti akan mengatakan justru penjelasan itulah yang menjamin kepastian hukum, itu sangat kami terima dan kami akan coba menambahi referensi-referensi sehingga insya Allah bisa mendudukkan bahwa penjelasan ini tidak bisa dikatakan memperjelas pasal, tetapi justru malah mengebiri dan menghilangkan kepastian hukum. Kemudian mengenai norma, Bapak Majelis yang terhormat, kami memang bermain sekitar itu. Fakta di awal itu hanya memerlukan introdusir, tetapi kami mencoba untuk di bagian poin B dan seterusnya, kami mencoba untuk bicara seluruhnya dalam pengujian ini adalah normatif—jadi kami perbandingkan antara hak-hak normatif yang ada— maaf sekali lagi hak norma—jadi masih mengenai penjelasan pasal itu
12
yang kami urut. Memang yang sangat menarik bahwa kami harus memperkuat ini dengan—kalau saja ada sanggahan justru penjelasan itu justru menjamin kepastian hukum, kalau tidak ada penjelasan malah tidak ada lagi kepastian hukum. Di sini memang argumentasi kami terus terang secara dalam konteks normatif agak kurang karena referensi kami juga sangat terbatas. Oleh karenya prinsip satu, segala nasihat dan saran-saran dari Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi kami nyatakan kami terima dengan sepenuhnya, yang kedua, mohon tambahan penjelasan mengenai kedudukan tadi yang bukan ambivalen—maaf, terjadi satu kebingungan kami atau legal question kami bisa maju harus memilih hak konstitusi si Rahmat atau hak konstitusional si Yusuf atau kami bisa majukan secara kumulatif. Yang lain-lain nasihat tersebut sudah kami nyatakan dalam poin pertama tadi, kami terima dengan bulat dan insya Allah bisa kami lakukan secepat mungkin atau petunjuk-petunjuk formil dari maksudnya formil prosedurnya bagaimana? Dari perbaikanperbaikan yang bisa kami lakukan, terima kasih. 13.
HAKIM KONSTITUSI : I DEWA GEDE PALGUNA, S.H., M.H. Terima kasih. Ini persoalannya kumulatif atau tidak ya? Ini soal kejelasan yang dimaksud oleh Pasal 51, sebab yang dimaksud di sini adalah tadi menjelaskan tentang Pemohon. Coba kita hilangkan dulu atau coba Pemohon hilangkan dulu bahwa Pemohon mengajukan permohonan ini berawal dari kasus adanya kematian dari Saudara Yusuf tadi—coba hilangkan itu lalu kita baca Pasal 51. “Pemohon adalah yang menganggap dan atau kewenangannya konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang yaitu, perorangan warga negara Indonesia,” jadi dalam hal ini adalah Pemohon adalah Saudara Rachmat yang merasakan—begitu kalau dibaca—yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang dalam hal ini penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP bukan begitu? Itulah bagian yang harus dijelaskan begitu, jadi si Saudara Rahmat ini menggantikan ketentuan umum dalam satu subyek yang konkret yang dalam hal ini Pemohon, itu maksudnya yang harus dijelaskan. Bahwa nanti ada ketersinggungannya dengan Saudara Yusuf atau tidak, itu justru bagian yang memerlukan tambahan penjelasan itu maksud saya tadi. Bagaimana sebagai seorang Pemohon yang menurut Pasal 51 dirugikan hak konstitusionalnya, dia menurut Saudara juga bisa membawa anu hak konstitusionalnya “orang lain” begitu lho yang mengajukan permohonan ini, jadi bukan sebagai itu, tetapi dia sebagai diri sendiri yang mempunyai hak konstitusional yang— ini yang diperkuat, itu maksud saya. Jadi demikian Saudara jadi kira-kira sudah jelas ya?
13
14.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRATTA, S.H., M.A., M.H. Jadi sangat jelas, jadi mohon maaf, saya tafsirkan saja—silakan mau dikoreksi atau tidak—saya tafsirkan dengan demikian Mahkamah Konstitusi hanya melihat subyeknya saja siapa yang main ini saja. Terserah dia mau membawa hak konstitusi orang lain, tetapi yang akan diperiksa adalah Si Rahmat ini atau legal standing si Rahmat ini, oleh karenanya melihat dari kami akan pertegas saja adalah hak konstitusional si Rachmat saja yang, terima kasih.
15.
HAKIM :I DEWA GEDE PALGUNA, S.H.,M.H Ya itu yang harus dijelaskan dari itu.
16.
KETUA : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Baiklah, jadi mengenai ini nanti itu kami serahkan kepada Saudara—namanya nasihat perlu diabaikan juga boleh, tetapi kami sudah melaksanakan tugas kami. Sebelum itu kita tutup ini—meskipun sudah sampai kepada bagian akhir kami akan mengecek alat bukti yang diajukan yaitu ada 5 buah. Pertama, fotokopi daripada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP itu benar Pak? KETUK PALU 1 X
17.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRATTA, S.H., M.A., M.H. Benar.
18.
KETUA : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Yang kedua, khususnya Pasal 95 Bab XII itu penjelasannya ya? Benar ya? KETUK PALU 1 X.
19.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRATTA, S.H., M.A., M.H. Benar Pak.
14
20.
KETUA : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Dan P.4 ini merupakan suatu denah daripada P.3, di sini P.4— saya kira tapi dari urutan—saya kira P.3 ini denah daripada peristiwa barangkali putusan dan amarah kejadian ya, baik kita sahkan saja. KETUK PALU 1 X
21.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRATTA, S.H., M.A., M.H. Benar Pak.
22.
KETUA : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Dan yang terakhir ini disebutkan bukti P.5 tetapi dalam urutan menjadi dari alat bukti yang ada berarti P.4 oh, P.3
23.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRATTA, S.H., M.A., M.H. Untuk P. nama-namanya.
24.
HAKIM KONSTITUSI : I DEWA GEDE PALGUNA, S.H., M.H. Mungkin yang P.3, itu Saudara yang membuat nama-nama korban ini siapa?
25.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRATTA, S.H., M.A., M.H. Ini petugas dari rumah sakit, tetapi memang kondisinya agak berbeda Majelis, jadi kondisinya tidak dalam keadaan normal di sana dan kita tahu bahwa korban tidak bisa dilihat oleh siapapun termasuk anggota DPR. Kami memantau sehingga kami meminta supaya hasil visum itu memang ditulis tangan, jadi andaikata itu nanti diperlukan
26.
KETUA : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Baiklah kita terima saja, tetapi ini semacam keterangan yang mungkin kita anggaplah tidak ada identitas, jadi semacam keterangan saja. Dan yang kelima ini mengenai bukti-bukti.
15
27.
KUASA HUKUM PEMOHON : H. ACHMAD MICHDAN, S.H. Apa nanti keterangan yang tanpa identitas ini boleh kami memperkuatnya dengan saksi.
28.
KETUA : MARUARAR SIAHAAN, S.H Saya kira bukan sekarang nanti bisa kita lihat, semua pembuktian ada hak pada Saudara (...)
29.
KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRATTA, S.H., M.A., M.H. Sementara lima, Majelis.
30.
KETUA : MARUARAR SIAHAAN, S.H. P.5, juga kita sahkan itu gambar. KETUK PALU 1 X Tetapi, berkaitan dengan apa yang dikemukakan rekan-rekan kami, saya tidak melihat atau belum melihat kaitan antara Saudara Rachmat dengan Yusuf dalam artian naskahnya yang bisa gambarkan Saudara sebagai lawyer itu mengerti apa yang kami maksudkan. Tentu penyelesaian perkara ini atau pemeriksaan dari Panel ini sebagai pemeriksaan pendahuluan terlebih dahulu akan kita laporkan kepada Pleno, apakah kita cukup alasan untuk suatu pemeriksaan Pleno dengan mendengar Pemerintah atau DPR, oleh karena itu dengan selesainya pemeriksaan pendahuluan dan Saudara akan memiliki hak untuk memperbaiki dan jangka waktu empat belas hari baru kemudian kita akan menentukan apakah kita sidang berlanjut ke Pleno dengan kehadiran Pemerintah dan DPR yang akan ditentukan oleh Pleno atau ada mekanisme yang lain—saya pikir sampai pada akhir, kita akan mentukan sidang secara tertulis maka dengan ini sidang pemeriksaan pendahuluan, ya silakan.
31.
KUASA HUKUM PEMOHON : H. ACHMAD MICHDAN, S.H. Ini pertanyaan, mohon saran informasi dan nasihat tambahan yang di luar masalah ini, kami informasikan mendengar bahwa yang akan diuji ini tidak saja berguna atau melanggar hak konstitusionalnya si Rahmat sendiri tetapi juga penting untuk warga masyarakat dalam menciptakan alat kontrol terhadap excessive of power dari aparat keamanan, maka banyak pihak yang ingin ikut serta dan dalam perkara
16
ini. Mohon apakah sebagai pihak terkait bagaimana tatacara atau prosedurnya, karena banyak sekali yang bertanya kepada saya mereka hak konstitusionalnya mereka terganggu seperti Rahmat ini juga, jadi mau pra peradilan tak akan ada penjelasan Pasal 95 ayat (1) ini bagaimana mohon maaf. 32.
KETUA : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Sebenarnya kalau para lawyer sudah tahu bagaimana untuk memasuki proses sudah berjalan, analoginya intervensi. Jadi pihak itu tentu mengajukan dulu terlebih dahulu kepada Ketua Mahkamah Konstitusi dengan menyebutkan apa kepentingannya yang terkait dengan itu jadi relevansinya saya kira harus juga mengacu kepada hak konstitusionalnya yang dirugikan dan lain-lain sebagainya, saya kira hampir miriplah dengan apa yang terjadi dengan Saudara, jadi kalau dia bisa menggabung tentunya mengajukan permohonan dulu untuk nanti ditetapkan apakah dia akan ikut sebagai pihak terkait langsung, kalau dia terkait langsung tentu memiliki hak-hak prosedural, tapi kalau dia, tapi kalau dia tidak terkait langsung tentu dia tidak memiliki, tapi dia bisa memberikan keterangan saja tetapi tidak bisa beberapa hak prosedural dalam pengajuan bukti ahli. Saya kira demikian Saudara Pemohon. Baiklah dengan penjelasan ini, sidang pemeriksaan pendahuluan dalam Perkara 7/PUU-V/Tahun 2007 ini—dengan ini kita akhiri dan kita nyatakan ditutup.
KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 10.25 WIB
17