MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 2/PUU-V/2007 PERKARA NOMOR 3/PUU-V/2007 DAN PERKARA NOMOR 6/PUU-V/2007 PERIHAL PENGUJIAN UU NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA DAN PENGUJIAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945 ACARA MENDENGAR KETERANGAN TIM REVISI KUHP (V), (VI)
JAKARTA
RABU, 23 MEI 2007
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 2/PUU-V/2007 PERKARA NOMOR 3/PUU-V/2007 PERKARA NOMOR 6/PUU-V/2007 PERIHAL Pengujian UU Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika dan Pengujian Kitab UndangUndang Hukum Pidana terhadap UUD 1945
PEMOHON Edith Yunita Sianturi dkk Scott Anthony Rush Dr. R. Panji Utomo
ACARA Mendengar Keterangan Tim Revisi KUHP (VI), (V) Rabu, 23 Mei 2007 WIB, Pukul 14.00 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 7, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
PROF. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. H. ACHMAD ROESTANDI, S.H. Prof. H.A.S. NATABAYA, S.H., LL.M. I DEWA GEDE PALGUNA, S.H., M.H. Prof. H. ABDUL MUKTHIE FADJAR, S.H., M.S. MARUARAR SIAHAAN, S.H. SOEDARSONO, S.H.
Cholidin Nasir, S.H. Alfius Ngatri, S.H.
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (anggota) (Anggota) Panitera Pengganti Panitera Pengganti
2
HADIR: Kuasa Hukum Pemohon Perkara 2/PUU-V/2007 • • •
Ir. Alexander Lay, S.H., LL.M Heriyanto Yang, S.H. (Asisten Kuasa Hukum) Megan Tittensor (Asisten Kuasa Hukum)
Kuasa Hukum Pemohon Perkara 3/PUU-V/2007 • • • •
Deny Kailimang, S.H., M.H. Harry Pontoh, S.H., LL.M. J. Robert Khuana, S.H. Viktor Yaved Nano, S.H., M.H., M.A.
Kuasa Hukum Perkara 9/PUU-V/2007 • • •
A.H. Wakil Kamal, S.H. Suhaedi, S.H. M. Jusril, S.H.
Pemerintah : • •
Yosep Suadi, S.H., M.H. (Dirt Perdata Kejakgung) Mualimin Abdi, S.H., M.H. (Ka.Bag Litigasi Dept Hukum dan HAM)
Pihak Terkait (BNN) : • • •
Brigjen Pol. Drs. Djoko Satriyo, M.Si. Brigjen Pol (Purn) Jeane Mandagi, S.H. (Konsultan Utama BNN) KRH Henry Yosodiningrat, S.H. (Konsultan Ahli)
Ahli : • •
Prof. Dr. Nyoman Serikat Putrajaya, S.H. (FH Undip/Anggota Tim Revisi KUHP) Dr. Mudzakir, S.H, M.H. (FH UII/Anggota Tim Revisi KUHP)
3
SIDANG DIBUKA PUKUL 14.00 WIB
1.
KETUA : Prof.Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik Saudara-saudara Sidang Mahkamah Konstitusi untuk perkara ini saya nyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X
Assalamu’alaikum wr. wb. Selamat siang dan salam sejahtera, Sekarang ada tambahan Pemohon karena ada dua perkara, dua Pemohon untuk perkara pengujian Undang-Undang Narkotika. Kemudian ada juga tambahan perkara pengujian KUHP, tetapi karena keterangan yang diperlukan untuk kedua kelompok ini sama, yaitu kita perlu mendengar keterangan dari perancang KUHP baru, maka sengaja digabung khusus untuk pemeriksaan hari ini dan sebelum kita mulai saya persilakan dahulu Pemohon Perkara hatzaai artikelen memperkenalkan diri siapa yang hadir, silakan. 2.
KUASA HUKUM PEMOHON : A.H. WAKIL KAMAL, S.H.
Assalamu’alaikum wr. wb. Nama saya A.H. Wakil Kamal Kuasa Pemohon, terima kasih Yang Mulia. 3.
KUASA HUKUM PEMOHON : SUHAIDI, S.H.
Assalamu’alaikum wr. wb. Saya Suhaidi Kuasa Pemohon. 4.
KUASA HUKUM PEMOHON : M. JUSRIL, S.H.
Assalamu’alaikum wr. wb. Saya Muhammad Jusril Kuasa Pemohon, terima kasih. 5.
KETUA : Prof.Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, selamat datang Saudara-saudara sekalian dan Pemohon untuk perkara narkotika sama ya, tidak ada perubahan. Juga dari pihak Pemerintah sama, dari DPR, dari BNN, kecuali perlu saya sampaikan sebelum memperkenalkan diri, yang belum memperkenalkan diri calon Ahli atau silakan memperkenalkan diri dulu saja, dua orang silakan termasuk agamanya apa supaya untuk pengambilan sumpah.
4
6.
AHLI : Prof. Dr. NYOMAN SERIKAT PUTRAJAYA, S.H. Saya Nyoman Serikat Putra Jaya dari Fakultas Hukum Undip, agama saya Hindu.
7.
AHLI : Dr. MUDZAKIR, S.H., M.H.(ANGGOTA TIM REVISI KUHP) Saya Mudzakir dari Fakultas Hukum UII Yogyakarta datang atas nama tim RUU KUHP, terima kasih.
8.
KETUA : Prof.Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, berarti satu Islam satu Hindu diambil sumpah menurut agamanya masing-masing. Silakan berdiri, petugas! Mulai dari Mudzakir dahulu, silakan.
9.
HAKIM KONSTITUSI : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Saudara diminta mengikuti lafal sumpah yang bakal dibacakan, “demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya”.
10.
AHLI : Dr. MUDZAKIR, S.H., M.H.(ANGGOTA TIM REVISI KUHP) Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
11.
KETUA : Prof.Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Yang kedua, silakan Bapak Palguna.
12.
HAKIM KONSTITUSI : I DEWA GEDE PALGUNA, S.H., M.H. Silakan berdiri Bapak Nyoman, ikuti saya! “Ohm Ata Parama Wisesa, saya bersumpah bahwa saya sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya”.
13. AHLI : Prof. Dr. NYOMAN SERIKAT PUTRAJAYA, S.H. (ANGGOTA TIM REVISI KUHP)
Ohm Ata Parama Wisesa, saya bersumpah bahwa saya sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya. 14.
HAKIM KONSTITUSI : I DEWA GEDE PALGUNA, S.H., M.H. Silakan duduk Bapak!
5
15.
KETUA : Prof.Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik sebelum dimulai saya ingin sampaikan khusus untuk Bapak Doktor Mudzakir, di dalam persidangan terdahulu dalam statusnya sebagai Ahli yang diajukan oleh Pemohon memberi keterangan khususnya berkenaan dengan pasal-pasal yang berkaitan dengan hatzaai artikelen yang diuji oleh Saudara Pemohon. Sedangkan hari ini fokus perhatian adalah untuk melihat bagaimana KUHP baru seperti yang dipikirkan oleh para perancang kaitannya dengan hukuman mati dan juga termasuk mengenai hatzaai artikelen. Sekiranya nanti khusus untuk Bapak Mudzakir keterangan terdahulu juga kami anggap sudah berlaku dalam rangka persoalan hatzaai artikelen kecuali kalau ada hal-hal yang perlu ditambah dalam kapasitasnya sebagai tim. Jadi supaya dibedakan kapasitas Saudara sebagai ahli independen, sekarang sebagai ahli yang terkait dengan status sebagai tim KUHP baru. Baik, sebelum diajukan nanti pertanyaan-pertanyaan, saya silakan nanti para Pemohon untuk kalau ada yang mau ditanyakan dari Pemerintah juga, tapi sebelum itu karena perkara ini Saudara berdua sebagai ahli tentu sudah mempelajari sebelum hadir di sini, saya persilakan dulu siapa yang duluan untuk menyampaikan pendapat, informasi mengenai kebijakan pemidanaan, khususnya yang dipikirkan, yang berkembang dalam perdebatan, dan akhirnya yang dirumuskan di dalam Rancangan KUHP baru itu. Sampai meskipun belum resmi, tetapi sampai rumusannya yang sekarang seperti apa itu? Supaya ini juga diberitahukan juga kepada sidang ini, saya persilakan.
16.
AHLI : Dr. MUDZAKIR, S.H., M.H.(ANGGOTA TIM REVISI KUHP) Terima kasih Yang Mulia Ketua Majelis Hakim, Pertama-tama ingin saya sampaikan permohonan maaf dari Ketua Tim Bapak Profesor Muladi yang pada hari ini tidak bisa menghadiri panggilan dari Mahkamah Konstitusi dan kemudian menunjuk saya untuk bisa menyampaikan pokok-pokok pikiran yang berkembang di dalam penyusunan RUU KUHP khususnya terkait dengan persoalan yang dibahas di dalam sidang Mahkamah Konstitusi pada sore hari ini dan sesuai dengan apa yang dianjurkan oleh Bapak Ketua kami ingin menyampaikan beberapa hal khususnya yang terkait dengan persoalan ancaman pidana mati dan yang kedua adalah persoalan hatzaai artikelen. Perlu diketahui lebih dahulu bahwa posisi saya pada saat pembahasan RUU KUHP itu adalah saya buku kesatu dengan Prof. Nyoman Sarikat, yang dikomandani oleh Profesor Barda. Sedangkan buku kedua dikomandani oleh Profesor Muladi. Namun kemudian kala setelah itu digabung kita semua harus saling mengisi sehingga dengan demikian antara buku kesatu dan buku kedua sekarang sudah menjadi satu dan tim itu diperkecil sehingga tim terakhir itu tinggal lima orang dan salah satu di antaranya adalah saya dengan Profesor Nyoman. Saya mohon izin Bapak Ketua untuk menyampaikan melalui LCD atau (...)
6
17.
KETUA : Prof.Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Silakan.
18.
AHLI : Dr. MUDZAKIR, S.H., M.H.(ANGGOTA TIM REVISI KUHP) Agar supaya materi tidak tersebar secara luas mudah-mudahan bisa untuk ditangkap maksudnya ini. Jadi ada beberapa elemen dalam pembentukan sistem hukum pidana nasional. Jadi ada nilai atau aspek kehidupan manusia yang hendak dilindungi dalam hukum pidana. Ada prinsip-prinsip asas hukum yang menjadi landasan pengaturan hukum pidana dan ada sistem pengaturan perbuatan yang dilarang atau yang disebut sebagai tindak pidana dan sistem pengancaman sanksi pidana. Jadi kita mencoba memolakan bagian di sini adalah sistem pengancaman sanksi pidana yang nanti akan saya uraikan ini yang lebih rigid, lebih jelas, lebih terukur, dan pendek kata apa yang praktik selama ini masih ada dalam tersebar dalam satu doktrin semuanya masuk di dalam buku kesatu sebagai Ketentuan Umum. Dan yang terakhir adalah tujuan hukum yang hendak dicapai yang ditegakkan melalui proses hukum pidana untuk masyarakat hukum Indonesia. Jadi prinsip di dalam penyusunan RUU KUHP itu polanya demikian. Jadi buku kesatu nanti akan dijadikan induk dari semua hukum atau ketentuan umum hukum pidana di masa yang akan datang sebagai asas umum, baik itu mengenai perbuatan, mengenai pemidanaan, baik itu pemidanaan terhadap anak, terhadap korporasi dan seterusnya. Jadi semua itu diadopsi dari atau disistematisasi atau direstrukturisasi dari peraturan perundang-undangan di luar KUHP dengan asas-asasnya dihimpun ke dalam buku kesatu. Sedangkan buku kedua, ini merupakan perubahan dari KUHP yang lama kepada yang baru adalah kalau dulu ada tiga buku sekarang menjadi dua buku dengan catatan bahwa isi dari buku kedua dan buku ketiga itu digabung dan setelah diadakan evaluasi atau kajian, yang tidak relevan itu dibuang dan dalam muatan dari isi buku kedua juga adalah merupakan kebijakan untuk memasukkan semua ketentuan pidana di luar KUHP itu ke dalam KUHP termasuk tindak pidana korupsi dan termasuk tindak pidana narkotika dan seterusnya, itu semua di dalam buku kedua, sehingga dengan demikian buku kedua itu memuat tindak pidana secara keseluruhan. Kebijakan tim dalam menyusun ini adalah di masa depan itu hukum pidana itu induknya KUHP untuk menghindari hukum pidana yang ada di luar KUHP. Namun demikian, itu agak sulit karena ada bagian-bagian perkembangan hukum maka di bagian sebelah kanan itu dituliskan ada memungkinkan toleransi itu adalah di dalam hukum pidana administratif. Tapi sejauh yang menyangkut hukum pidana inti atau generic crime-nya itu ada di dalam buku kedua sehingga dengan demikian semua ketentuan yang ada di dalam tindak pidana di luar KUHP sekarang sudah dimasukkan di dalam buku kedua tentang kejahatan HAM dan semuanya itu masuk di dalamnya sehingga asas-asas di dalam buku kesatu itu harus menjadi dasar umum terhadap semua tindak pidana yang ada dalam 7
buku kedua yang di dalamnya adalah merupakan himpunan atau formulasi dari semua aturan-aturan tindak pidana di luar KUHP. Di sini kemudian memang menurut Undang-Undang Nomor 10 itu Perda boleh mengatur tindak pidana atau hukum pidana atau memuat sanksi pidana, berarti di dalamnya juga nanti akan mendasari hukum Perda. Hal-hal yang khusus adalah terhadap otonomi khusus ini yang kemudian menjadi pokok persoalan adalah karena diberi kewenangan khusus, terutama daerah Aceh yang dia dapat memberlakukan hukum pidana Islam, tapi secara umum seperti ini gambaran yang ingin saya sampaikan. Atas dasar itu khusus menyangkut persoalan pemidanaan, maka kita mengembangkan apa yang disebut sebagai filsafat pemidanaan yang terkait dengan konteks Indonesia. Yang pertama adalah pengenaan sanksi pidana terhadap pelanggar hukum pidana itu sekarang diberi tujuan, yang sebelumnya tidak ada tujuan sekarang diberi tujuan. Tujuan pengenaan sanksi pidana dipengaruhi oleh filsafat yang dijadikan dasar pengancaman dan penjatuhan pidana, dalam konteks ini filsafat pemidanaan kemudian bagian yang lain saya menjelaskan tentang pembenaran pidana, yang saya kira ini sudah umum berlaku, yakni pembalasan, kemanfaatan, dan gabungan antara pembalasan yang memiliki tujuan atau pembalasan yang diberikan kepada pelaku dengan maksud dan tujuan tertentu. Filsafat pemidanaan merupakan landasan filosofis untuk merumuskan ukuran atau dasar keadilan apabila terjadi pelanggaran hukum pidana. Jadi kita mencoba mengembangkan apa yang disebut sebagai ukuran justice itu dalam konteks pidana. Filsafat keadilan dalam hukum pidana yang kuat pengaruhnya secara umum, itu kita mempertimbangkan dalam konteks ini ada dua, yakni retributive justice dan restorative justice. Dua hal yang berkembang di sini, tetapi kalau kita lihat kajian dari aturan hukum yang ada, terus kemarin kami akan pindah nanti dalam RUU KUHP. Hukum pidana umum yang ada sekarang ini berlaku adalah retributive. Kemudian hukum pidana khusus di luar KUHP ada yang bercorak retributive. Tindak pidana korupsi itu retributive, tapi juga ada yang bercorak restorative, misalnya ada HAM berat masa lalu dengan KKR yang sekarang dinyatakan tidak mengikat dan yang hukum pidana di luar KUHP adalah corak restorative ada sebagian di antaranya adalah retributive. Ketika kita mengkaji tentang beberapa ketentuan hukum pidana yang ada di dalam peraturan hukum tersebut, maka tim RUU KUHP mengambil kebijakan atau kebijakan pemidanaan. Pertama adalah dirumuskan tujuan pemidanaan, adanya pedoman penjatuhan pidana yang sebelumnya tidak ada. Jadi kriteria-kriterianya sudah diberikan, dimungkinkan adanya perubahan pidana dalam pelaksanaan pidana terhadap putusan-putusan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap. Jadi kalau ada terjadi perubahan dalam pelaksanaan pidana kemudian dia akan menggeser sifat dari pidana itu sendiri mungkin dari yang berat kepada yang lebih ringan dan seterusnya. Ditentukannya ketentuan pidana denda, pidana kerja sosial ini merupakan pidana baru dan pidana tindakan. Bagian yang lain kebijakan politik pemidanaan di sini adalah pidana mati sebagai pidana pokok yang bersifat khusus. Sekarang
8
saya akan jelaskan bagaimana politik hukum pidana atau politik pemidanaannya kaitannya dengan RUU KUHP. Tujuan pemidanaan itu dimuat dalam Pasal 54, mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan hingga menjadi orang yang baik dan berguna, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, dan yang keempat adalah membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Jadi sebenarnya ini perdebatan yang cukup panjang karena ini terakhir mengkristal, ada empat tujuan pidana yang disepakati dan sekarang ditetapkan di dalam Pasal 54. Tujuan dari pemidanaan sebagaimana dirumuskan Pasal 54 itu mengandung nilai-nilai yang di dalamnya adalah pidana—untuk yang pertama tadi adalah sebagai sarana perlindungan masyarakat. Jadi pidana itu bukan semata-mata ditujukan kepada pelaku saja, tapi juga dalam rangka proteksi terhadap masyarakat. Yang kedua rehabilitasi dan resosialisasi, ini khususnya ditujukan kepada pelanggar. Yang kedua, rehabilitasi dan resosialisasi, ini khususnya ditujukan kepada pelanggar. Yang ketiga, pemenuhan pandangan hukum adat. Jadi ada bagianbagian tertentu yang harus dipertimbangkan di dalam kejahatan pidana adalah hukum adat. Aspek psikologis untuk menghilangkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan, maka penghapusan rasa bersalah. Jadi bagian yang terakhir ini adalah bagaimana orang dijatuhi pidana dan menjalani pidana, itu kemudian perasaan dosa bersalah di dalam dirinya itu menjadi hilang. Bentuk pidana, yakni atas terdiri dari pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial, ini sebagai pidana pokok. Ingin saya sampaikan dalam konteks ini, ini tidak disebutkan di sini pidana pokok, pidana mati. Tetapi di sana pidana pokoknya adalah penjara, tutupan, pengawasan, denda, dan kerja sosial. Dan urutan ini menentukan berat ringannya pidana. Jadi dalam konstruksi ini, pidana penjara adalah termasuk pidana yang terberat. Kemudian mengenai pidana mati, pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Jadi pidana alternatif, jadi alternatifnya adalah penjara seumur hidup, paling lama 20 tahun, jadi nanti ada yang paling singkatnya, jadi paling lama 20 tahun. Jadi selalu akan ada alternatif, meskipun tidak dimasukkan sebagai pidana pokok, pidana mati itu tetap diakui sebagai bentuk pidana pokok yang bersifat khusus. Oleh sebab itu tempatnya tidak dijadikan satu, ditempatkan pada bagian yang lain. Baik ini tidak perlu, ini adalah yang tadi saya sebutkan dalam menjatuhkan pidana perlu dipertimbangkan beberapa hal seperti ini, paling tidak ada sebelas pertimbangan dimana hakim harus merespon tentang pertimbanganpertimbangan ini, karena ini persoalan penjatuhan pidana, saya kira perlu saya bacakan sekilas. Pertimbangan yang pertama adalah kesalahan pembuat tindak pidana, motif tujuan melakukan tindak pidana, sikap batin pembuat tindak pidana. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana? Cara melakukan tindak pidana atau modus operandi? Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan 9
tuindak pidana? Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana? Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana, pengaruh tindak pidana terhadap korban dan keluarga korban, jadi ini pengaruh perbuatan tindak pidananya, dampaknya terhadap korban dan masyarakat. Kemudian itu dijadikan dasar pertimbangan, pemaaafan dari korban dan atau keluarganya dan pandangan masyarakat tindak pidana yang dilakukan. Ini pertimbangan dalam pemidanaan. Sekarang mengenai pidana mati, di dalam perkembangan diskusi tentang pidana mati, itu paling tidak ada tiga pendapat tentang pidana mati. Pertama adalah pidana mati dihapuskan sebagai salah satu bentuk sanksi pidana, jadi ini ada yang berpendapat demikian. Pidana mati tetap menjadi salah satu bentuk sanksi pidana sebagai pidana pokok dan yang ketiga adalah pidana mati tetap salah satu bentuk sanksi pidana, tetapi bersifat khusus yakni dengan syaratsyarat khusus. Jadi kalau kita lihat rumusan tadi yang saya sampaikan tentang pidana mati dalam RUU KUHP berarti pidana mati dalam RUU KUHP mengambil posisi yang ketiga. Dan posisi ketiga adalah merupakan posisi kompromi antara dua aliran; yang satu menyetujui, yang satu menolak dan kemudian memberikan alternatif yang ketiga. Oleh sebab itu ini adalah pasal tentang ancaman pidana mati itu dirumuskan sebagai sesuatu yang bersifat atau ancaman pidana yang bersifat khusus. Pidana mati dan pelaksanaannya Pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat, jadi untuk memberi proteksi pada asas yang pertama tadi. Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak. Pelaksanaan pidana mati tidak dilaksanakan di muka umum. Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh. Pidana mati baru bisa dilaksanakan setelah Pemohon grasi sebagai terpidana ditolak oleh Presiden. Penundaan pidana mati Jadi ada kalau diskusi pada atau pemeriksaan pada pagi tadi telah kita membicarakan mengapa ada jeda waktu yang lama di dalam pelaksanaan hukuman mati, tim RUU KUHP mencoba merespon jangan sampai orang dijatuhi pidana mati terus menunggu terlalu lama dan kemudian tim itu mencoba merumuskan bagaimana yang secara bijak agar supaya penderitaan orang itu tidak ditambah karena disebabkan menunggu pelaksanaan pidana mati. Maka ketentuan disebutkan pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaaan selama sepuluh tahun, jika tindak perbuatan yang dilakukan itu adalah reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar. Terpidana menunjukkan rasa menyesal dan harapan untuk diperbaiki. Kedudukan terpidana dalam pernyertaan tindak pidana tidak terlalu penting, ini khususnya yang terkait dengan delik penyertaan, ada alasan yang meringankan. 10
Perubahan pidana mati Jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama dua puluh tahun dengan keputusan Menteri Hukum dan HAM. Ini perubahan yang luar biasa, karena kita mempertimbangkan praktik-praktik selama ini sehingga kita mencoba menghargai hak terpidana agar supaya dia menjadi apa yang disebut sebagai kalau ada kesalahan negara dalam hal ini, maka harus yang menguntungkan bagi terpidana. Eksekusi pidana mati Jika terpidana selama masa percobaan sepuluh tahun tidak menunjukkan sikap perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuki diperbaiki, maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung. Penundaan pelaksanaan pidana mati Jika Pemohon grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama sepuluh tahun, bukan karena terpidana melarikan diri, maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan keputusan Presiden. Jadi ini kalau bagian-bagian di dalamnya kalau permohonan grasi terpidana mati ditolak. Kesimpulan dari pengancaman pidana mati dalam RUU KUHP RUU KUHP menempatkan pidana mati sebagai pidana khusus atau istimewa. Pidana mati dapat diubah jadi pidana penjara seumur hidup atau penjara dalam waktu tertentu. RUU KUHP condong untuk tidak menggunakan pidana mati sebagai jenis pidana utama dan diutamakan. Penggunaan pidana mati harus selektif, hanya terhadap perbuatan pidana yang menimbulkan akibat kematian atau membahayakan nyawa manusia dan kemanusiaan, baik sekarang maupun di masa yang akan datang atau keamanan negara. Jadi faktor-faktor yang memperingan saya kira tidak perlu saya bacakan, mungkin bagian yang penting dalam konteks ini, bagaimana prinsip-prinsip di dalam pengaturan pemidanaan mati di sini. Mengapa itu muncul dan seterusnya dalam konteks filsafat pemidanaan yang dijadikan dasar untuk menyusun sistem pemidanaan. Jadi ada pemikiran-pemikiran seperti ini. Jadi orientasi hukum pidana dan pemidanaan ini hubungannya nanti dengan penjatuhan pidana. Hukum pidana itu ada yang berorientasi kepada perbuatan, itulah bahasa Belanda disebut sebagai daad straf recht. Yang kedua adalah hukum pidana yang berorientasi kepada pelaku, ada daader straf recht. Hukum pidana yang berorientasi baik kepada pelaku maupun kepada perbuatan, atau baik pada perbuatan maupun pada pelaku, maka disebut sebagai daad daader straf recht.
11
Jadi kalau kita lihat politik hukum pidana yang ada di dalam RUU KUHP kita lebih menekankan atau ada berada dalam posisi yang ketiga, konsekuensinya tadi adalah pidana mati juga masuk yang spesial, yang ketiga juga. Kemudian, ada perkembangan yang menarik ketika diskusi mengenai proses penyusunan RUU KUHP ini adalah adanya perkembangan orientasi hukum pidana dalam pemidanaan, yakni dipengaruhi oleh viktimologi dan filsafat restorative justice. Hukum pidana itu menjamin dan memberi perlindungan hukum kepada setiap orang, konkret atau nyata tidak simbolik, tapi konkret atau nyata. Pelanggaran hukum pidana adalah melanggar hak orang dan pihak yang dirugikan dari perbuatan pelanggaran hukum pidana dalam konteks ini korban kejahatan, maka lahirlah perspektif atau orientasi dalam hukum pidana yang semula hanya pada perbuatan dan pelaku, tetapi juga di dalamnya terhadap korban, ini yang disebut sebagai daad daader slachtoffer straf recht. Jadi ini sebenarnya RUU KHUP pada posisi yang ketiga tadi, tapi beberapa bagian di antaranya kita sudah mempertimbangkan bagaimana itu dampak kejahatan itu kepada korbannya. Oleh sebab itu dalam beberapa bagian mengenai pengancaman pidana itu sudah dicantumkan juga tentang hak-hak korban, kemungkinan untuk menutup ganti kerugian. Tadi disebutkan juga, jika ada permaafan dari si korban. Itu menunjukkan bahwa ada tren, ada kecenderungan untuk juga mempertimbangkan persoalan korban. Saya kira ini tidak perlu saya sampaikan, khususnya terkait dengan RUU KUHP. Hukum pidana yang berorientasi baik kepada perbuatan maupun kepada si pelaku, maka ciri-ciri di dalam sistem hukumnya adalah modifikasi dari doktrin kebebasan kehendak, dipengaruhi oleh patologi ketidakmampuan penyakit jiwa atau keadaan yang lain yang dalam konteks ini diperhitungkan di dalam proses penjatuhan pidana, diterima berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan. Yang berikutnya adalah modifikasi doktrin pertanggungjawaban untuk meringankan pidana dan masuknya kesaksian Ahli dalam acara peradilan guna menentukan derajat pertanggungjawaban. Jadi misalnya ahli psikolog yang sekarang sudah mulai juga dikembangkan. Sebagai catatan dapat dikemukakan bahwa aliran yang klasik ini aliran yang paling banyak dianut oleh negaranegara di dunia termasuk juga yang dipakai di dalam pengembangan sistem pemidanaan di dalam RUU KUHP. Sekarang asas-asas di dalam penekanan dalam penyusunan perumusan tindak pidana, ini saya kira penting untuk memahami mengapa ada pidana mati yang seperti itu. 1. Menekankan kepada basic ideas Pancasila yang terkandung di dalamnya adalah nilai keseimbangan tingkat moralitas, yaitu moralitas individual, moralitas sosial, dan moralitas institusional. Saya kira ini sudah sering disosialisasikan oleh tim RUU KUHP. 2. Moral religious atau Ketuhanan Yang Maha Esa. 3. Kemanusiaan atau humanism. 4. Kebangsaan/nasionalisme. 5. Kerakyatan/demokrasi dan keadilan sosial.
12
Dalam penyusunan RUU KUHP itu, Pancasila ditempatkan sebagai margin of apreciation mempengaruhi perumusan tiga permasalahan pokok di dalam hukum pidana, pengaturan tindak pidana atau perbuatan pidana bersifat melawan hukum, pengaturan kesalahan dalam pertanggungjawaban pidana, dan pengaturan stelsel pidana dan tindakan. Di dalam mengembangkan kebijakan kriminalisasi termasuk mempertahankan tindak pidana tertentu yang telah ada, RUU KUHP mempertimbangkan prinsip yang umumnya diterima dalam pembentukan hukum pidana, yakni asas subsidiaritas, aspek viktimologis —persoalan korban, menjauhkan sifat ad hoc, kita akan mencoba menghilangkan ad hoc, prinsip cost and benefit analysist, dukungan masyarakat, efektifitas, asas lex certa dan precision dalam menggambarkan perbuatan yang dilarang. Prinsip diferensiasi terhadap kepentingan yang dirugikan dan unsur sub sosialitas. Jadi ini bagian yang lain ada semacam kualifikasi tindak pidana, kriteria tindak pidana yang bersifat umum atau generic crime yang diserap dalam RUU KUHP ini adalah merupakan perbuatan jahat yang bersifat independen, misalnya terjadi tindak pidana tidak tergantung pada pelanggaran hukum administrasi dalam undang-undang yang bersangkutan. Yang saya sebutkan sebagai sifat jahatnya perbuatan sudah melekat kepada perbuatan yang bersangkutan. Daya berlakunya relatif lestari, artinya tidak dikaitkan dengan berlakunya prosedur atau proses administrasi, ancaman hukumannya lebih dari satu tahun pidana perampasan kemerdekaan. Kemudian, materi RUU KUHP yang di dalamnya mengandung sistem hukum pidana materil beserta asas-asas hukum pidana yang mendasarinya disusun dan diformulasikan dengan berorientasi kepada berbagai pokok pemikiran dan ide dasar keseimbangan yang antara lain mencakup keseimbangan monodualistik antara kepentingan umum masyarakat dan kepentingan individu, saya kira itu bagian dari filsafat yang dikembangkan dalam penyelenggaraan negara. Keseimbangan antara perlindungan atau kepentingan pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana, keseimbangan antara faktor objektif atau perbuatan lahiriah dan subjektif orang batinnya, ini yang tadi dikatakan daad daader straaf recht sebagai policy dalam pengaturan hukum pidana. Keseimbangan antara kriteria formal dan material, keseimbangan antara kepastian hukum, kelenturan elastisitas atau fleksibilitas dan keadilan, dan keseimbangan nilai-nilai nasional, nilai-nilai global, international atau universal, jadi semua dipertimbangkan dalam suatu konteks ini. Yang Mulia Majelis Hakim yang saya hormati, Para hadirin sekalian, bahwa atas dasar uraian yang kami sebutkan tadi di dalam perumusan tentang tindak pidana dalam RUU KUHP khususnya tentang pengancaman pidana mati itu telah dibahas, mengapa ditempatkan dalam satu konteks sebagai hukum pidana pokok yang bersifat khusus, itu setelah dipertimbangkan instrumen internasional yang terkait dengan persoalan pidana mati dan juga apa yang disebut sebagai perbandingan dengan negara-negara lain yang telah juga mengembangkan hukum pidana mati dan juga
13
pertimbangan-pertimbangan lain dalam konteks masyarakat hukum Indonesia terutama dalam konteks hukum adat. Jadi kita mencoba merumuskan sedemikian rupa, sehingga dari filsafat hukum adat atau dari hukum pidana adat dan pertimbangan hukum pidana internasional, kemudian dimasukkan di dalam ini akhirnya jadilah rumusan sebagaimana yang telah ada dimuat di dalam pasal tentang ancaman pidana mati yang bersifat khusus tadi. Yang terkait dengan persoalan hatzaai artikelen. RUU KUHP telah mengambil satu kebijakan terutama yang terkait dengan persoalan kejahatan-kejahatan hatzaai artikelen, kita telah mengubah sistem rumusan. Jadi yang mulanya adalah pada Pasal-pasal 134 dalam KUHP dan seterusnya. Tim memandang perlu bahwa Pemerintah dan semua organ masyarakat yang ada di dalam penyelenggaraan negara itu semuanya harus dilindungi, hanya saja formal perumusan di dalam RUU KUHP itu menjadi berbeda karena kita mencoba memperhatikan jangan sampai RUU KUHP itu menghambat alam demokrasi dalam penyelenggaraan negara, maka rumusanrumusan terhadap tindak pidana yang terkait dengan hatzaai artikelen itu diganti dengan rumusan dalam bentuk delik materil. 19.
KETUA : Prof.Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Itu bisa Saudara agak dibesarkan sedikit? Bisa?
20.
AHLI : Dr. MUDZAKIR, S.H., M.H.(ANGGOTA TIM REVISI KUHP) Jadi ini saya ambil contoh ini adalah perubahan dari Pasal 134. Pasal 134 adalah ini penghinaan terhadap Pemerintah, di dalam RUU KUHP Pasal 284 dikatakan, “setiap orang yang di muka hukum melakukan penghinaan terhadap Pemerintah yang berakibat terjadinya keonaran masyarakat”. Jadi kita coba membatasi tertentu agar supaya yang semula dia hanya penghinaannya saja, kita mencoba karena ini jangan sampai mudah untuk ditafsirkan, maka diberilah apa yang disebut akibat terjadinya keonaran itu sebagai pembatasan dan juga pembatasan ini pada pasal-pasal yang hatzaai artikelen Pasal 154. Dalam Pasal 154 ini kemudian juga diubah juga, jadi dalam penghinaan itu juga dimaksudkan hal yang sama rumusannya. Ini kalau ini penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Ini yang masih rumusan bersama, masih sama di dalam konteks rumusan ini, ini kekuasaan umum, ini juga sama sudah diberikan kritum tentang keonaran terjadinya dalam masyarakat dan seterusnya. Jadi tim ini berusaha untuk bagaimana dalam kehidupan masyarakat kita, namanya penyelenggaraan negara sebagai apapun dia, sebagai pimpinan itu harus dihormati, tetapi penghormatan terhadap penyelenggara negara itu sedemikian rupa dan jangan sampai nanti dengan adanya rumusan-rumusan yang ada seperti dirumuskan di dalam RUU KUHP ini, tindakan-tindakan hanya menyampaikan kritik itu dipidana, maka dengan adanya rumusan yang bersifat materil ini akan menghindari terjadinya penafsiran-penafsiran yang secara luas. Kemudian mengenai kaitannya dengan persoalan makar ini saya kira dalam RUU KUHP ini belum ada perubahan karena kata-kata makar itu masih 14
disebutkan makar begitu saja, hanya saja di dalam RUU KUHP ini diubah katakata makar saja tidak ada, mesti makar dihubungkan dengan yang lainnya. Misalnya makar terhadap ideologi, makar terhadap wilayah, makar terhadap Presiden, dan seterusnya. Saya kira untuk sementara begitu mohon dilanjutkan oleh Pak Nyoman, terima kasih. 21.
KETUA : Prof.Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. , SH Silakan.
22.
AHLI : Prof. Dr. NYOMAN SERIKAT PUTRAJAYA, S.H. (ANGGOTA TIM REVISI KUHP) Ketua Majelis Mahkamah Konstitusi yang kami muliakan, Saya akan menambahkan beberapa pemikiran yang sudah disampaikan oleh rekan kami. Dapat kami tambahkan bahwa penyusunan RUU KUHP didasarkan pada tiga persoalan pokok dalam hukum pidana, perbuatan yang dilarang, pertanggungjawaban pidana, dan sanksi. Sekarang kita belum ke sana, karena pada sanksi itu ada yang namanya pidana dan tindakan. Berdasarkan itu RUU KUHP kita mengalami perubahan, kalau KUHP kita yang selama ini terdiri dari tiga buku; buku satu ketentuan umum, buku dua kejahatan, dan buku tiga pelanggaran. Di dalam RUU KUHP dijadikan dua buku; buku satu ketentuan umum dan buku dua mengenai tindak pidana. Khusus mengenai pidana seperti sudah diungkapkan tadi, pidana pokok berupa pidana penjara, pidana kerja sosial, pidana denda. Pidana-pidana pokok ini di dalam buku dua nanti dirumuskan yang diancamkan itu hanya pidana mati, pidana penjara, dan pidana denda. Jadi pidana pengawasan, pidana kerja sosial itu tidak pernah dirumuskan. Nanti dipandang sebagai alternatif dari tindak pidana mati atau pidana penjara atau denda sebagai alternatif, itu yang pertama. Pidana mati di dalam konsep seperti sudah dikemukakan tadi dikeluarkan dari paket pidana pokok seperti apa yang terdapat dalam Pasal 10 KUHP sekarang. Kalau di dalam Pasal 10 KUHP sekarang pidana pokok itu pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan satu pidana tutupan yang ditambahkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946. Di dalam konsep itu dikeluarkan, dijadikan jenis pidana yang sifatnya khusus—sudah dikemukakan tadi, bahkan di dalam Pasal 87 RUU itu ditentukan pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Jadi inti dari pidana mati sebenarnya juga untuk mengayomi masyarakat, dimasukkannya atau dipertahankannya pidana mati di dalam RUU KUHP sebenarnya tidak serta merta, tetapi pernah kita di Undip berkerjasama dengan Kejaksaan Agung mengadakan penelitian mengenai ancaman pidana mati dalam pemidanaan. Ternyata dari hasil penelitian itu pro dan kontra, setelah dipersentase ternyata 50% lebih menyatakan setuju pidana mati dipertahankan. 15
Seperti sudah dikemukakan tadi dalam hal tujuan pemidanaan secara pada tingkat akhir tujuan pemidanaannya itu adalah memberikan perlindungan kepada individu dan sekaligus memberi perlindungan pada masyarakat. Landasan teori sebenarnya yang bisa dipergunakan untuk mengapa pidana mati masih tetap dipertahankan walaupun sifatnya secara khusus? Ini untuk memberikan saluran kepada masyarakat yang mau membalas dendam, kalau seandainya tidak ada saluran melalui perundang-undangan melalui hukum pidana, dikhawatirkan masyarakat itu akan mengambil tindakan main hakim sendiri. Jelas ini ada saluran-saluran yang dapat dipergunakan oleh masyarakat untuk melampiaskan balas dendamnya, emosinya. Jelas melalui peraturan perundang-undangan. Mengenai pidana denda juga di dalam konsep KUHP kita ini, sekarang ini tidak diancamkan di dalam buku dua secara nominal, tetapi ancaman pidananya, dendanya itu dengan kategori; kategori satu, kategori dua, kategori tiga, dan sampai kategori enam. Itu tambahan saya mudah-mudahan, terima kasih. 23.
KETUA : Prof.Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, terima kasih Saudara Mudzakir dan Pak Nyoman, saya persilakan kalau ada yang mau bertanya dari Pemohon?
24.
KUASA HUKUM PEMOHON : ALEXANDER LAY, S.H. Terima kasih Yang Mulia. Kami ada beberapa pertanyaan.
25.
KETUA : Prof., Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ya, silakan.
26.
KUASA HUKUM PEMOHON : ALEXANDER LAY, S.H. . Pertanyaan kami tujukan kepada Pak Mudzakir dan Prof. Nyoman. Yang ingin kami tanyakan pertama adalah ketika tim perumusan KUHP baru ini menemukan ide-ide pidana mati sebagai pidana pokok yang khusus dan sebagainya, apakah tim ini juga sudah mengevaluasi perubahan UndangUndang Dasar 1945 terutama terkait Bab XA tentang hak asasi manusia. Yang kami maksudkan di sini adalah Pasal 28A dan 28I apakah sudah ikut dipertimbangkan ketika melakukan perubahan dari KUHP lama menjadi KUHP baru? Itu satu pertanyaan kami. Dan pertanyaan kedua adalah terkait dengan metode eksekusi. Dalam beberapa persidangan yang lalu itu mengemuka Pak, tentang metode eksekusi, bahwa dianggap metode eksekusi melalui regu tembak itu tidak semerta-merta menyebabkan yang bersangkutan itu meninggal. Dan ini dianggap sebagai suatu bentuk perlakuan yang kejam dan dalam kasus-kasus, maksudnya perkaraperkara di beberapa negara lain misalnya di Afrika Selatan di Eropa salah satu 16
alasan dihapuskannya hukuman mati itu adalah metode eksekusi. Di sini kelihatannya kita masih mempertahankan metode eksekusi dengan regu tembak kami ingin tahu alasannya apa? Karena menurut Jaksa Agung yang lama, Jaksa Agung yang lama sempat menanyakan kepada Ikatan Dokter Indonesia untuk mencari kira-kira metode eksekusi yang mana yang katanya manusiawi begitu, dan waktu itu sedang diselidiki katanya sempat terpikir ide untuk suntik mati. Dan perlu kami sampaikan di Amerika, ada beberapa eksekusi yang ditunda karena suntik mati itu dianggap merupakan suatu metode yang juga sangat kejam, itu satu catatan tentang metode eksekusi. Kemudian kedua, tentang masa percobaan penundaan sepuluh tahun dan sebagainya. Salah satu alasan juga di samping metode eksekusi yang hukuman mati dianggap kejam karena ini menunda-nunda proses, karena ini menggantung harapan dari si terpidana, apakah akan berhasil lagi atau tidak? Setiap tahap yang dia lewati itu merupakan suatu penyiksaan secara psikologis bagi yang bersangkutan, ketika dia menunggu hasil pengadilan negeri, menunggu banding, menunggu kasasi, peninjauan kembali, menunggu belas kasihan dari Presiden dalam grasi, dan ini ditunggu lagi selama sepuluh tahun misalnya, apakah sudah dipertimbangkan hal ini, bahwa ini merupakan suatu bentuk penyiksaan secara psikologis. Dan sebenarnya Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 juga melarang suatu bentuk penyiksaan kepada siapapun juga termasuk terhadap narapidana yang bersangkutan, itu pertanyaan kami yang kedua. Pertanyaan saya ketiga, khusus kepada Pak Mudzakir. Tadi Pak Mudzakir sempat menyampaikan bahwa ketika melakukan perubahan dari pidana pokok, pidana hukuman mati maksudnya, menjadi pidana pokok yang bersifat khusus, di situ Bapak mengatakan bahwa tim telah mempertimbangkan instrumeninstrumen internasional. Yang ingin kami tanyakan adalah instrumen-instrumen nasional yang manakah dan apakah yang tidak sesuai dari instrumen-instrumen internasional tersebut dengan pidana pokok yang sekarang ini diterapkan di Republik ini? Demikian Yang Mulia, terima kasih. 27.
KETUA : Prof., Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Terus, dikumpul dulu, silakan.
28.
KUASA HUKUM PEMOHON : HARY PONTO, S.H. Terima kasih Yang Mulia. Saya mau minta lebih dielaborasi sedikit. Tadi ada dari Pak Nyoman kalau tidak salah ada disebutkan bahwa masih diakomodasinya hukuman mati itu merupakan bagian agar masih ada saluran bagi masyarakat untuk balas dendam, ini saya minta dielaborasi sedikit mengenai hal ini. Yang kedua, saya juga disebutkan tadi bahwa juga sudah mempertimbangkan instrumen-instrumen internasional. Saya hanya mau mempertajam sedikit, bahwa dengan diratifikasinya ICCPR sesungguhnya tujuannya adalah penghapusan hukuman mati, walaupun memang masih ada 17
protokol yang belum diratifikasi yang memang mengharuskan penghapusan tersebut. Sejauh mana ini diperdebatkan dan dipertimbangkan dalam penyusunan KUHP baru? Terima kasih. 29.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Saudara Pemohon tiga, perkara dua, silakan.
30.
KUASA HUKUM PEMOHON :A.H. WAKIL KAMAL, S.H. Terima kasih Yang Mulia. Tadi dijelaskan tentang politik hukum yang akan perubahan-perubahan terhadap pasal-pasal penghinaan dan pasal-pasal hatzaai artikelen pada RUU KUHP ke depan, tapi apakah tim revisi KUHP ini juga mempertimbangkan pertimbangan hukum atau pertimbangan dari Putusan Mahkamah Konstitusi, itu saya lihat masih berbeda secara diametral antara pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi kalau kita sepakat dengan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir tunggal Konstitusi dan lain sebagainya saya kira dalam RUU ke depan masalah penghinaan cukup dengan Pasal 310 yang kemudian mungkin diubah. Jadi tidak perlu ada priviledge tertentu pada Pemerintah ataupun Presiden dan lain sebagainya, kira-kira itu perlu komentar dari Pak Mudzakir dan Pak Nyoman, terima kasih.
31.
KETUA : Prof., Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ada pertanyaan dari BNN atau dari Kejaksaan? Pemerintah? Silakan Pak.
32.
PEMERINTAH : YOSEP SUADI (DIRT PERDATA KEJAKGUNG) Terima kasih Yang Mulia. Tadi dinyatakan bahwa pidana mati tidak menjadi pidana yang umum seperti diancamkan di Pasal 10, saya mau tanya bagaimana caranya pidana mati itu kemudian diancamkan atau saya minta contoh, pidana apa saja yang dapat diancam oleh pidana mati? Pernah saya tanyakan juga pidana pembunuhan berencana dalam RUU KUHP ini diancam dengan pidana apa maksimumnya? Dan pidana pengedaran narkoba dalam RUU KUHP ini diancam dengan pidana apa? Pertanyaan saya yang kedua, yaitu apakah RUU KUHP mengenal yang disebut pidana penjara seumur hidup tanpa parole atau life sentences without parole, jadi seperti yang pernah diusulkan oleh pihak Pemohon, apakah dikenal di dalam RUU KUHP? Terima kasih.
18
33.
KETUA : Prof., Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Lanjut, silakan. Tidak ada? Baik, kalau tidak ada dijawab dulu supaya jangan terlalu panjang, silakan.
34.
AHLI : Dr. MUDZAKIR, S.H., M.H.(ANGGOTA TIM REVISI KUHP) Terima kasih. Yang pertama ingin saya sampaikan adalah dari pertanyaan yang pertama ide pidana mati dihubungkan dengan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28A dan Pasal 28I, ingin saya sampaikan begini, bahwa rumusan yang terakhir dalam draft RUU KUHP yang sudah final itu adalah tahun 1985, itu bulan November setelah itu kemudian ada perbaikan sedikit yang terkait dengan perkembangan internasional terutama yang terkait dengan war crime pada saat itu dan kemudian kita bersinerji dengan teman-teman yang lain yang punya perhatian terhadap itu kemudian disempurnakanlah rumusan itu sehingga jadilah rumusan yang terakhir, yang itu ada di dalam rumusan tahun 2006. Dari rumusan pada tahun 2005 itu sebenarnya kita sudah mempertimbangkan banyak hal, karena apa? Karena pasal-pasal yang terkait dengan yang disebutkan di dalam Undang-Undang Dasar itu tiada lain adalah bagian dari instrumen internasional yang rumusannya hampir mirip sama, sehingga kita mendiskusikan bahan-bahan yang terkait dengan persoalan penjatuhan pidana ini kita pertimbangkan semuanya, sehingga dengan demikian ketika ada ketentuan ketentuan yang mengatur misalnya saja Undang-Undang tentang HAM dan seterusnya kemudian setelah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga kita mengambil kesimpulan bahwa ancaman pidana mati dalam konteks hukum pidana Indonesia masih diperlukan. Itu para prinsip, karena setelah dipertimbangkan beberapa hal dalam praktik hukum dan juga khususnya adalah nilai justice dalam kehidupan masyarakat. Bagi masyarakat-masyarakat di Indonesia dimana filsafatnya yang menyatakan bahwa utang pati saur pati, itu kalau tidak ada sarana untuk diatur dalam hukum pidana itu membahayakan, nanti akan terjadi kalau masuk pengadilan tidak dimatikan, dimatikan dulu baru di bawa ke pengadilan. Artinya akan melahirkan suatu reaksi-reaksi yang dia akan mematikan terlebih dulu daripada diproses ke pengadilan yang hukumannya lebih ringan. Kita mencoba di dalam RUU KUHP ini policy dari pemidanaan itu harus ada saluran untuk itu, agar supaya masyarakat bisa percaya bahwa kalau ini diproses ke sana nanti kemungkinan dijadi pidana mati ada, kalau tidak ada sama sekali buat apa harus dibawa ke sana. Dan harus diingat bahwa kita di dalam merumuskan tentang masalah tindak pidana itu juga merespon praktik-praktik hukum yang terjadi. Dalam konteks masyarakat adat itu kalau itu tidak seaspirasi dari pidananya tidak aspirasi justice menurut ukuran mereka, itu keluar dari penjara dicari, ”kamu pokoknya harus mati!”. Jadi ini yang harus kita hindari sedemikian rupa sehingga saluran untuk seperti yang dikemukakan oleh Prof. Nyoman tadi 19
adalah ada memungkinkan alternatif ini, tetapi tim mencoba bahwa ini tidak boleh kita menyalurkan aspirasi masyarakat sedemikian rupa tetapi harus dirasionalisasi kemudian disistematisasi sehingga dibungkus diberi filsafat agar supaya dia reaksi itu terkendali sedemikian rupa. Oleh sebab itulah di dalam Pasal 1 ayat (3) itu disebutkan juga kita mengakui hukum adat atau hukum yang tak tertulis yang hidup dalam masyarakat tetapi dibatasi. Itu sesungguhnya untuk mencegah kemungkinan terjadi kalau hukum yang hidup di masyarakat itu ancamannya berat dan dia luar biasa berat, taruhlah misalnya demikian, maka harus dibatasi sedemikian rupa sehingga harus dieliminir sedemikian rupa, dikurangi sedemikian rupa, sehingga harus sesuai dengan kebijakan nasional hukum pidana yang tadi saya katakan buku kesatu sebagai dasar umum hukum pidana nasional di Indonesia di masa depan dan dia harus memuat kriteria-kriteria asas-asas atau prinsipprinsip hukum pidana untuk yang akan datang, maka sudah diwadahi di dalamnya. Dalam kaitannya dengan itulah maka konstruksi hukuman mati yang dimasukkan di dalam buku kesatu ini sudah dipertimbangkan dari segala hal termasuk di antaranya adalah beberapa undang-undang yang terjadi yang berlaku selama ini. Kemudian mengenai persoalan metode eksekusinya bagaimana? Ini kita pembahasan mengenai metode eksekusi, jadi kalau orang itu dipidana atau dieksekusi ketika dia sedang tidur, misalnya dibikin dia pusing atau dibikin dia tidur, terus kemudian dieksekusi, itu tidak ada maknanya lagi sebagai sebuah penjatuhan pidana. Jadi kalau itu terjadi sama saja orang tidur dibunuh, itu tidak mengerti apa-apa pada proses itu karena ini pelaksanaan eksekusi supaya dia tahu bahwa akibat dari perbuatan itu adalah seperti ini, ini sesungguhnya berdasarkan prinsip bahwa pelaksanaan pidana itu adalah objektif. Kalau dia dilaksanakan dalam posisi dia tidak tahu atau dibuat enak sedemikian rupa itu juga sifat pidananya menjadi kurang begitu. Jadi ada bagian-bagian tertentu yang kita dilema pada saat itu dirumuskan bagaimana itu yang terbagus, apakah dikasih obat tidur setelah itu disuntik mati, sehingga dia tidak tahu bahwa itu sudah dilaksanakan pidana atau tidak? Saya takutnya di akhirat kelak ditanya saya itu dijatuhi hukuman mati, kapan saya dilaksanakan, supaya dia agak tahu bahwa ini eksekusi itu sudah dilaksanakan. Jadi itu bagian eksekusi memang itu perdebatan, apakah disuntik lebih manusiawi daripada ditembak? Jadi urusan manusiawi dalam konteks ini memang harus dipertimbangkan juga tetapi manusiawi dalam konteks ini yang penting tembak dia sampai mati. Kalau bisa tembak langsung dia mati, saya kira itu persoalan eksekusi saya kira bisa diperdebatkan di kemudian hari tapi filsafat dalam kontek pidananya itu bahwa dia harus tahu persis bahwa dia sedang dilaksanakan eksekusi, itu yang inti pokok dari konteks pidananya. Kemudian mengenai masa tunggu tadi itu bagaimana persoalannya? Apakah dia juga menimbulkan perasaan sedemikian rupa? Jadi itu tadi dalam kebijakan hukum pidana, di dalam kebijakan pencantuman pidana mati kita dalam posisi yang tengah tadi. Kalau itu sifat jahatnya yang luar biasa, barangkali tidak harus diberi masa percobaan. Tapi kalau dia dalam satu posisi dimana kejahatannya dalam satu misalnya saja satu kejahatan yang biasa yang 20
kemudian diancam pidana mati, itu ada pertimbangan-pertimbangan yang seperti ini, maka sebagai asasnya, asas dalam pelaksanaan pidananya seperti itu. Jadi ada memungkinkan orang itu, bisa tidak dia bertaubat? Yang tadi dikatakan untuk mengadopsi prinsip dalam hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat kita, mungkinkah dia ada bagian-bagian lain yang bisa memperingan dia? Taruhlah permaafan dari korban, misalnya saja itu dapat meringankan dia, mestinya dia harus dihukum mati, ternyata kemudian ada permaafan di situ dan karena ini ada permaafan resmi dari keluarga korban, itu bisa juga hukuman mati yang sudah dijatuhkan diperhitungkan, “ini sudah dimaafkan, kamu mau menggunakan kesempatan maaf ini atau tidak?” Kalau tiba-tiba dia kemudian ada proses progress yang baik dia bisa diubah menjadi penjara seumur hidup atau dalam waktu tertentu. Jadi kita mencoba mengelaborasi dari yang strict dari pidana mati kepada pidana mati yang bersifat lunak dengan prinsip bahwa kita tidak menghapuskan pidana mati tetapi bagaimana pidana mati itu tetap juga menjadi bagian di dalamnya sehingga dengan demikian tadi kalau ada unsur justice dalam kehidupan masyarakat itu tetap. Dalam perkembangan perbandingan secara internasional adalah landasan kita menjatuhkan pidana mati. Ada banyak hal pidana mati itu tetap dipertahankan karena memang masyarakat menghendaki demikian. Ada juga karena faktor-faktor riset yang menunjukkan bahwa efek jera pidana mati mungkin juga ada sehingga pidana mati dipertahankan. Tetapi di antara pertimbangan-pertimbangan itu dalam konteks rumusan tindak pidana mati di dalam KUHP kita, itu dihubungkan dengan filsafat Pancasila, nilai-nilai agama dan seterusnya, sehingga kalau dalam hukum agama mengatur terpidana mati tetap juga dipertahankan tetapi pelaksanaan dihubungkan dengan perkembangan yagn hidup yang terjadi dalam kehidupan masyarakat kita. Jadi negara-negara yang menekankan pidana mati sebagai sebuah nilai yang itu bagian dari nilai agama, saya kira saya diskusi dengan Pak Nyoman, Pak Nyoman mengatakan dalam agama Hindu pun juga ada pidana mati begitu, sehingga pelaksanaannya itu ada semacam ini norma yang harus ditegakkan. Kalau tidak itu tadi yang tadi saya gambarkan ada kemungkinan orang itu mengeksekusi mati sebelum dieksekusi oleh hakim atau pihak eksekutor, karena apa? Karena nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat itu tidak teradopsi dengan perumusan RUU KUHP. Inilah pertimbangan di dalam RUU KUHP untuk memasukkan ancaman pidana mati. Sekarang pasal-pasal berapa yang dijatuhi dengan pidana mati? Di dalam pasal-pasal yang dirumuskan di dalam RUU KUHP ini. Tim ini praktis tidak mengubah apa yang sudah diuraikan, sudah dicantumkan di dalam pasal-pasal yang telah ada pidana mati. Misalnya Pasal 340 tentang pembunuhan yang direncanakan atau berencana, itu tetap diancam dengan pidana mati dengan konstruksi yang sudah saya sampaikan tadi. Jadi saya ulangi lagi, tim praktis tidak mengubah, menambah ancaman pidana mati kepada perbuatan-perbuatan yang sebelumnya sudah diancam dengan pidana mati, termasuk juga yang ditanyakan apakah narkoba juga masuk di dalamnya? Ya, narkoba dan psikotropika itu dimuat di dalam Pasal 505. Jadi Pasal 505 atau bab tentang tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan psikotropika. 21
Di dalam bab ini dimuat dua ancaman mati yang ditujukan kepada setiap orang yang tanpa hak dan secara melawan hukum memproduksi, menyediakan narkotika. Yang kedua adalah tanpa hak dan melawan hukum mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual dan seterusnya itu yang diancam pidana mati khusus untuk tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Dan kemudian untuk psikotropika juga hampir sama memproduksi dan atau menggunakan dalam proses produksi dan seterusnya itu yang diancam dengan pidana mati, kalau yang psikotropika hanya satu dalam pasal ini. Jadi tim ini berusaha untuk hanya yang ancaman terberat di dalamnya itu tidak menambah di dalam bagian di dalamnya. Kalaupun ada saya kira sangat kecil sekali, sangat sedikit sekali karena kita hanya mengadopsi dari pasal-pasal yang telah ada dan mereformulasi lagi sehingga jadilah dia pasal-pasal di dalam buku kedua RUU KUHP kita, itu tentang pidana mati. Kemudian apakah juga diatur dengan penjara seumur hidup yang tanpa ada parole. Jadi tidak ada, di dalam sistem kita tidak menganut karena sejauh itu adalah pidana penjara itu bisa berubah. Jadi ada kemungkinan dari pidana seumur hidup itu kemungkinan masih diubah juga tergantung pada proses perkembangan terpidana di dalam proses pembinaan itu. Kemudian mengenai pertanyaan yang terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi sehubungan dengan arahan dari Putusan Mahkamah Konstitusi yang meminta agar semua yang terkait dengan penghinaan terhadap instrumen atau lembaga negara—Presiden dan seterusnya itu adalah menggunakan Pasal 310, tim sampai hari ini karena itu Putusan Mahkamah Konstitusi baru diterbitkan kira-kira setahun yang lalu, jadi kita tidak melakukan perubahan-perubahan. Ada kemungkinan jika ada perubahan-perubahan, kita tim sudah sepakat bahwa kalau diubah-ubah terus sampai detik terakhir ini kapan RUU KUHP ini bisa selesai? Karena setiap hari ini dinyatakan selesai saat itu pula perkembangan hukum terjadi, saat itu pula harus ditinjau kembali. Sehingga tim berkesimpulan bahwa sudah apa yang ada seperti ini. Kalau berdebat lagi marilah kita di parlemen untuk menyampaikan aspirasi tentang perubahan-perubahan yang terjadi dalam kaitannya dengan RUU KUHP ini. Saya kira begitu pokok-pokok yang kepada saya sudah saya jawab. 35.
AHLI : Prof. Dr. NYOMAN SERIKAT PUTRAJAYA, S.H. (ANGGOTA TIM REVISI KUHP) Mungkin tambahan dari saya jawaban mengenai pidana bersyarat itu. Sebenarnya ini di dalam konsep khususnya di dalam Pasal 89 itu porsi untuk hakim. Jadi saya rasa pelaksanaan untuk pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama sepuluh tahun, jadi hakim pada waktu dia memilih pidana pokok ini pidana mati dengan melihat kondisi-kondisi yang terdapat dalam Pasal 89 boleh ditunda sampai sepuluh tahun. Kalau sepuluh tahunnya ini dia menjadi lebih baik, itu diubah. Kalau tidak menjadi lebih baik baru dilaksanakan, tapi harus tetap mendapat persetujuan dari Presiden (grasi). Mengenai pelaksanaan pidana mati apakah dengan ditembak itu lebih kejam? Sampai detik ini kita bersepakat, dari tim bersepakat bahwa dengan 22
ditembak sampai mati itu dirasakan lebih manusiawi daripada digantung, itu sampai detik ini. Kalau nanti ada persoalan-persoalan lain, mungkin kita akan mengubah. Begini tambahan sedikit, di dalam buku dua, pidana mati itu selalu dialternatifkan dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara jangka waktu tertentu, dua puluh tahun. Jadi polanya masih sama dengan KUHP kita sekarang memang kita menyebutkan tadi pidana penjara. Tapi pidana penjara itu ada dua untuk jangka waktu seumur hidup dan jangka waktu tertentu. Nanti yang fleksibilitasnya itu pidana mati dan pidana penjara seumur hidup ini ada modifikasinya sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan di dalam pedoman penjadwalan pidana dan pelaksanaan pidana, tapi itu tetap ada ancaman pidana. Ide sebenarnya di dalam konsep KUHP ini unifikasi semua perundang-undangan pidana di luar KUHP, bahkan ada ide untuk mengantisipatif sehingga ketentuan-ketentuan konvensi internasional yang menyarankan untuk mengadakan kriminalisasi juga sudah dimasukkan ke dalam buku dua KUHP. Jadi perundang-undangan di luar KUHP yang sifatnya court crime artinya normanya tidak digantungkan pada norma-norma hukum administrasi misalnya, kita masukkan ke dalam konsep KUHP. Jujur terus saja memang ancaman pidananya kita tetap mengikuti apa yang ada di dalam undang-undang di luar KUHP, kita tidak mengadakan revisi, itu saja jawaban saya. 36.
KETUA : Prof.Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, terima kasih. Jadi Saudara-saudara sekalian mudah-mudahan cepat selesai, kalau ada dua lagi dari Majelis Hakim yang mau tanya kita gabung saja dengan Ibu Jeane Mandagi, silakan. Setelah itu Bapak Maruarar Siahaan.
37.
PIHAK TERKAIT : JEANE MANDAGI (BNN) Terima kasih Yang Mulia. Tadi para ahli menerangkan baik Bapak Dr. Muzakir maupun Prof. Nyoman bahwa RUU KUHP atau nantinya KUHP yang baru akan mencakup juga tindak pidana-tindak pidana yang diatur di undang-undang lain di luar KUHP, seperti antara lain tentang narkotika dan psikotropika. Kemudian menjelaskan bahwa hukuman pidana mati yang diancamkan dalam pasal yang sudah ada seperti di (Pasal) 340 praktis tidak diubah maupun yang lain-lain. Kemudian Bapak membacakan contoh dari Pasal 505 KUHP tentang narkotika yang menyebutkan beberapa perbuatan yang diancam hukuman mati seperti memproduksi, sedangkan menurut Undang-Undang Narkotika yang ada maupun RUU Narkotika yang sekarang sudah kami bahas di DPR sudah pada tahap membahas daftar isian masalah, di situ ada tiga pasal yang mengatur hukuman mati dengan uraian sebagai berikut perbuatannya, artinya secara melawan hukum, memproduksi, mengolah, mengekstrasi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika golongan satu, pidana mati. Dilakukan dengan
23
permufakatan jahat, pidana mati. Dilakukan secara terorganisasi, pidana mati itu Pasal 80. Pasal 81 secara melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, men-transito narkotika golongan satu, pidana mati. Dilakukan secara terorganisasi, pidana mati. Kemudian Pasal 82 mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual-beli atau menukar narkotika golongan satu, pidana mati. Jika didahului juga dengan pemufakatan jahat juga pidana mati dan dilakukan secara terorganisasi juga pidana mati. Pertanyaan kami adalah, apakah dengan perumusan Pasal 505 KUHP tentang narkotika kemudian ada tentang psikotropika dengan hanya menyebutkan produksi tetapi tidak mencakup seluruh perbuatan yang kami sebut yang sudah ada dalam Undang-Undang Narkotika yang sekarang berlaku dan dalam RUU Narkotika yang sementara kita bahas di DPR, bagaimana dengan perbuatan-perbuatan itu? Karena justru dibuat secara khusus mengingat sifatnya yang khas yang perbuatannya begitu banyak macam dan berliku-liku modus operandinya tidak bisa dicakup dengan satu dua jenis perbuatan saja, bagaimana dengan hal ini? Apakah nanti tidak justru mempermudah kalau undang-undang yang khusus ini semua dianggap tidak berlaku, semua disatukan ke KUHP, apakah justru tidak membuat mempermudah para pengedar atau sindikat norkoba menjadikan Indonesia surga mereka dengan KUHP yang baru? Terima kasih. 38.
KETUA : Prof.Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, kita teruskan dulu ya, mudah-mudahan pukul 15.15 WIB atau pukul 15.20 WIB kita sudah tutup ini, saya persilakan Bapak Mukthie Fadjar, tadi belum sempat ya?
39.
HAKIM KONSTITUSI : Prof. ABDUL MUKTHIE FADJAR, S.H., MS. Terima kasih Pak Ketua, Saya ingin tanya ke Pak Muzakir dan Prof. Nyoman dari keterangan ahli tadi nampaknya Indonesia masih akan menganut hukuman mati ya? Meskipun tidak lagi sebagai pidana pokok tapi pidana khusus yang sifat alternatif. Apakah di dalam rancangan KUHP itu ada kriteria atau ukuran-ukuran kapan suatu perbuatan pidana atau tindak pidana itu diancam hukuman mati, misalnya hanya khusus untuk kejahatan-kejahatan yang serius? Sebagaimana termuat di dalam ICCPR. Kalau itu ada, tentu ada rumusan kejahatan-kejahatan mana yang dikategorikan serius itu. Yang kedua secara tidak langsung dengan memberikan outlet kepada masyarakat yang masih menganut prinsip ad philosophy balas dendam, apakah perancang KUHP tidak ingin membuat pencerahan sebetulnya bagi bangsa ini ke depan sehingga filosofi balas dendam itu bisa dihilangkan? Kalau ini sepertinya mentolerir apa yang ada di dalam masyarakat, padahal kita ingin menuju ke 24
depan yang tentu lebih cerah, lebih bagus. Ini dengan menerima itu sepertinya status quo saja sebetulnya. Mungkin di-cover dengan berbagai hal yang kelihatannya bagus dan terakhir apakah juga perancang KUHP nampaknya juga tidak atau belum mampu meninggalkan sepenuhnya berbagai warisan kolonial di dalam rumusan-rumusan di KUHP, khususnya yang terkait dengan hatzaai artikelen maupun dengan pasal-pasal penghinaan termasuk tadi yang disinggung oleh Pemohon ketiga yang berkaitan dengan penghinaan yang masih membedakan penghinaan terhadap pejabat publik—Presiden dengan penghinaan yang dilakukan secara umum oleh masyarakat yang hanya perbedaannya pada delik aduan atau tidak dan ancaman pidananya. Itu saja tiga hal yang kami tanyakan meskipun dari keterangan tadi sepertinya tidak terlalu banyak sebetulnya perubahan yang bisa kita harapkan dari rancangan baru yang kita tunggu-tunggu itu. Terima kasih. 40.
KETUA : Prof.Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Terakhir, Pak Maruarar, silakan.
41.
HAKIM KONSTITUSI : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Terima kasih Pak Ketua, Karena background saya sebenarnya, saya banyak tertarik betul dengan rancangan KUHP ini terutama di dalam pemidanaan. Saya tadi mendengar bahwa Pasal 1 KUHP itu pada ayat (3)-nya yang mengadopsi juga pengakuan terhadap pidana adat dan mungkin seperti dikemukakan oleh Pak Mukthie, ini merupakan satu katakanlah kalau bukan kemunduran suatu status quo. Saya langsung teringat kepada pidana adat yang ada di dalam adat Bugis ketika saya pertama kali jadi hakim, itu mencengangkan bagi saya dan saya mendapat kritik berat. Ketika ada perzinahan antara seorang menantu dengan mertua tuntutan yang dikemukakan masyarakat adalah sesuai hukum adat bahwa mereka harus ditenggelamkan dengan batu pemberat, saya kurang tahu nanti dikoreksi oleh Prof. Laica, tetapi kemudian ada aturan yang justru mengubah ini di dalam politik hukum, apakah itu di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 atau di undang-undang mana bahwa pidana adat itu akan dicari analoginya dalam KUHP dan kemudian dipergunakan ancaman pidana yang ada dalam KUHP, sehingga waktu itu kita jatuhkan ancaman khusus untuk perzinahan, tapi itu tentu merupakan suatu perubahan besar yang diharapkan karena memang kita juga melalui hukum itu sebagai katakanlah sebagai ke arah yang lebih beradab. Saya oleh karena itu berpendapat ingin ditambahkan penjelasan sehubungan dengan pertanyaan Pak Mukthie nanti apakah tidak ada semacam pencerahan ke arah itu dimana juga terlihat bahwa Pak Nyoman barangkali dan Pak Mudzakir belum menjelaskan tadi di dalam pengalaman kita sesungguhnya ada yang disebutkan stelsel pemidanaan itu yang sistem absorsi itu, itu juga merupakan hambatan tersendiri dalam memberikan suatu keadilan yang 25
dituntut oleh masyarakat. Karena adanya penggabungan di dalam beberapa pidana misalnya dan kemudian diancamkan yang maksimum kemudian hanya ditambah sepertiga. Oleh karena itu pertanyaan saya khusus tentang ini, apakah di dalam rangka, meskipun tadi ancaman pidana mati itu masih diterima dan diadopsi meskipun secara khusus. Saya juga kurang tahu itu apa kalau tidak disebutkan di dalam suatu ancaman pidana pokok ketika diterapkan di dalam buku dua misalnya landasan hukumnya menjadi persoalan juga bagi saya. Bagaimana caranya untuk menerapkan itu secara demikian, padahal di dalam pidana pokok yang disebutkan dalam Pasal 10 dia tidak ada. Bagaimana landasan teoritis untuk bisa menerapkan itu? Dan kalau ini bisa terjadi misalnya stelsel absorsi tentu menjadi sesuatu hal yang harus diubah. Apakah pemikiran daripada tim juga ada ke arah sana sehingga kita menganut apa yang disebutkan stelsel kumulatif. Misalnya dua pidana ancamanya bisa ditambahkan dua-dua, sehingga ancaman pidana maksimum di dalam Pasal 10 juga menurut saya menjadi suatu problematik. Kalau ancamannya dua puluh tahun maksimum tetap harus dianut lagi stelsel absorsi yang dianut tersebut. Oleh karena itu apakah ada pemikiran ke arah tersebut? Yang kedua pertanyaan saya kita telah mendengar waktu yang lalu seorang ahli dari Universitas Colombia, terlepas dari setuju atau tidak, dia mengatakan bahwa sebenarnya berat ringannya ancaman yang dijatuhkan tidak memiliki deterrent effect terhadap tindak pidana, tetapi yang terjadi adalah efektif tidaknya penangkapan, penahanan, dan kemudian pemidanaan daripada tindak pidana khusus mengenai narkoba itu, itu pengalaman di Amerika Pak. Menjadi pertanyaan saya di dalam ancaman pidana pokok yang juga dikenal di sistem negara-negara lain, salah satu ancaman yang dimuat yaitu perampasan seluruh harta sebagai hasil daripada tindak pidana itu merupakan suatu metode yang efektif juga untuk memberantas kejahatan-kejahatan tersebut. Hal yang ketiga pertanyaan saya, tadi yang sudah disinggung mengenai life sentences without parole tadi. Dalam pengalaman kita hakim telah menjatuhkan suatu tingkat pidana tertentu di dalam perjanan waktu perubahannya oleh Pemerintah dalam hal ini Departemen Kehakiman telah terjadi pengurangan-pengurangan pidana yang masyarakat tidak tahu bagaimana prosesnya, tidak ada akuntabilitas apa-apa, dan kemudian misalnya hakim menjatuhkan lima belas tahun dan kira-kira sekian tahun kita sudah bertemu dengan narapidana yang kita hukum dan kita agak kebingungan untuk melihat logikanya bagaimana? Apakah di dalam sistem KUHP yang baru, juga di dalam rangka menerapkan perombakan total tentunya dalam stelsel pidana ini yang berkaitan dengan apakah diterima atau tidak nanti hukuman mati? Ada suatu pemikiran untuk mengubah bahwa remisi atau pengurangan pidana itu adalah sesuatu yang terbuka, transparan, accountable. Saya melihat sendiri di Australia itu terbuka Pak, tidak ada pengurangan pidana tertutup dia, tidak ada alasan apa-apa kemudian seorang terpidana terkenal sudah berkurang demikian banyak, itu harus terbuka. Mungkin dihadiri oleh jaksa, dia harus memberi pendapat apakah benar ini cukup beralasan? Apakah di dalam sistem KUHP yang baru hal ini muncul? Sistem kita sekarang itu juga merupakan suatu pertanyaan bagi banyak hakim di dalam pengalaman. 26
Demikian Pak, terima kasih. 42.
KETUA : Prof.Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, Saudara-saudara. Ini tim ahli, di samping keahliannya juga keterlibatannya dalam merumuskan rancangan KUHP baru tapi inikan baru draft. Dia baru ius constituendum, itupun belum resmi. Boleh jadi tidak seperti itu nanti hasilnya, tapi tidak apa-apa terangkan saja supaya kita tahu juga apa jalan pikirannya meskipun kita sadar harus dimengerti bahwa ini belum mengikat, sama sekali belum mengikat ya? Tapi silakan dijawab.
43. AHLI : Prof. Dr. NYOMAN SERIKAT PUTRAJAYA, S.H. (ANGGOTA TIM REVISI KUHP) Di dalam buku dua mengenai tindak pidana ini saya berikan dulu dasar bahwa tindak pidana-tindak pidana yang termasuk misalnya Bab I, Bab II, digolongkan berdasarkan hukum yang dilanggar. Misalnya apakah sampai detik ini perancang konsep itu memandang kepala negara, lembaga negara suatu kepentingan hukum yang patut dilindungi? Kalau nanti pada suatu ketika misalnya tidak masalah tapi dasar pemikiran kita sampai detik ini dibagi, kita kelompokkan, kepentingan hukum apa yang akan kita mau lindungi? Yang mau kita atur dengan hukum pidana? Itu dulu, jadi sehingga bebannya banyak sekali dan juga termasuk kepada kepala negara dan sebagainya. Yang kedua memang kita itu sebenarnya tim itu sudah beberapa kali melalui Departemen Hukum dan Perundangan-undangan mengadakan resosialisasi, bahkan kita debat publik mengenai RUU KUHP ini. Kita mengadakan debat publik RUU KUHP kita sudah melakukan. Mungkin pencerahan-pencerahan kita yang secara jujur saya katakan mungkin untuk masyarakat-masyarakat kita yang Indonesia tidak di Jakarta saja, tidak Semarang saja. Tetapi maksud asal 1 ayat (3) sebenarnya karena perancang itu menganggap selama ini pidana-pidana yang dijatuhkan hanya berdasarkan Pasal 10 KUHP, perasaan keadilan masyarakat di daerah tertentu merasa tidak terakomodir. Oleh karena itulah ketentuan itu seperti misalnya hukum adat disertai dengan sanksi pemenuhan kewajiban adat. Tadi belum ditambahkan memang kita memuat pidana pokok tetapi ada pidana tambahannya yang persis dengan KUHP kita yang sekarang, tetapi ada tambahannya membayar ganti kerugian dan pemenuhan kewajiban adat. Jadi ada sanksi adat yang harus dijatuhkan, kalau memang di masyarakat adat tersebut, sanksi itu memang harus diutamakan. Jadi kalau memang harus dalam konsep kita seperti misalnya kebetulan mungkin salah satu hakim anggota Mahkamah Konstitusi dari Bali juga seperti saya di Bali. Di Bali itu terus terang saja kalau orang mau melakukan itu di dalam pidana adat, salah satu syarat ambil contoh yang di dalam KUHP kita itu tidak bisa menjerat. Laki-laki dan perempuan sama-sama belum terikat perkawinan dia pacaran, terus dia melakukan hubungan yang tidak semestinya, 27
perempuannya hamil, laki-lakinya tidak mau mengawini. Kalau di Bali ini namanya luki kesanggraha [sic!], ini dipidana menurut hukum adat Bali. Betul tadi Bapak mengatakan bahwa sebenarnya walaupun KUHP kita seperti asas legalitas, tetapi berdasarkan Pasal 5 ayat (3) sub B Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 ada tiga alternatif yang diberikan kepada hakim dalam menghadapi permasalahan hukum yang tidak ada bandingannya dengan KUHP. Bisa dianggap sebagai delik biasa, delik yang tidak ada bandingannya dalam KUHP, tapi kalau ada yang kemiripannya yang paling mirip. Seperti hasil penelitian saya di Aceh seperti yang saya katakan dianggap sebagai zinah dengan memilih istilah zinah. Ini yang kita gabungkan sehingga rumusannya seperti yang sekarang ini. Memang kita tidak bisa menutup kemungkinan penyaluran balas dendam dan sebagainya. Tetapi kita berusaha kalau masyarakat akan membalas dendam, kalau memang kita sepakat bahwa keadilan prasangka di dalam masyarakat setempat itu harus dipenuhi, tolong melalui hukum pidana, tolong melalui saluran-saluran ini. Secara teori kalau dikatakan apa ada jaminan kalau pidana mati itu dicantumkan orang tidak balas dendam? Sebaliknya juga tidak ada jaminan bagi kita kalau tidak dicantumkan pidana mati itu, pidana mati tidak akan dilaksanakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Sebenarnya salah satu juga kenapa kita tetap mencantumkan pidana mati untuk menghindari extra legal execution itu antara lain juga itu. Mengenai penjatuhan pidana secara kumulatif, memang kalau di dalam KUHP kita Pasal 65 kalau itu perbuatan berbarengan perbuatan di dalam konsep kaum suferialis. Di dalam konsep KUHP kita juga masih tetap menggunakan itu tetapi ada pedomannya di buku satu, jadi dibuat pedomannya. Bagaimana kalau kita mau menjatuhkan pidana yang kebetulan ancaman pidananya misalnya ancaman pidana penjara dan denda, bagaimana kita menjatuhkan? Itu ada pedomannya, diberi perinciannya. Masing-masing pidana mati begini pedomannya, pidana penjara begini pedomannya. Oleh karena itulah seperti saya katakan tadi di dalam konsep itu, di dalam buku kedua itu hanya ada ancaman pidana mati, pidana penjara seumur hidup, penjara, atau denda, sehingga yang lainnya misalnya pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana kerja sosial nanti itu sebagai alternatif yang bisa dijatuhkan oleh hakim. Mungkin itu saja dari saya, kemudian Bapak Dr. Mudzakir 44.
AHLI : Dr. MUDZAKIR, S.H., M.H.(ANGGOTA TIM REVISI KUHP) Majelis Hakim yang mulia. Yang pertama saya ingin menjawab pertanyaan tentang persoalan narkotika kaitannya dengan perubahan-perubahan yang terjadi sekarang. Di dalam penyusunan konsep tentang tindak pidana yang masuk dalam RUU KUHP, itu hanya dipilih bagian-bagian tertentu yang dianggap sebagai tindak pidana yang saya sebut sebagai yang mempunyai sifat crime. Kalau sekarang sudah ada perkembangan baru yang belum masuk saya kira itu kesempatan yang bisa dimasukkan, saya kira tidak menjadi masalah. Selama ini kita mencoba melihat di antara pasal-pasal yang dimuat di dalam tindak pidana narkotika itu kira-kira 28
mana yang bisa dimasukkan di sini, mana yang cukup diatur dalam undangundang yang bukan pidana mempunyai sifat crime-nya itu berbeda. Pasal ini dimuat dalam Pasal 505, khusus untuk narkotika ada Pasal 505 sampai dengan Pasal 514. Jadi di dalamnya itu termasuk juga misalnya setiap orang yang melakukan tindak pidana narkotika, perluasan dan seterusnya itu sudah masuk di dalamnya seperti Ibu katakan tadi; permufakatan jahat dan segalanya sudah masuk di dalamnya, sedangkan untuk psikotropika itu dimuat Pasal 515, itu agak banyak sedikit itu sampai dengan Pasal 523. Jadi sebagian di antaranya sudah masuk. Jadi misalnya ada sesuatu yang generic crime-nya belum masuk saya kira bisa dimasukkan tapi rumusan ini mencoba dari rumusan yang telah ada kita bawa ke sini dengan reformulasi ulang agar supaya sistematikanya tepat begitu, itu yang pertama. Kemudian persoalannya adalah apakah juga nanti masuk di sini itu bagaimana tentang hukum pidana khusus di luar KUHP, apakah kita nanti akan membawa Indonesia sebagai sarang atau pusat narkoba di dunia atau bagaimana pengaruhnya terhadap kalau masuk dalam KUHP? Sesungguhnya begini, tadi saya sudah kemukakan bahwa tim itu mencoba untuk merumuskan tindak pidana itu hanya di dalam buku kedua. Itu dengan harapan agar supaya kita mudah untuk mengetahui mana perbuatan yang dilarang? Mana perbuatan yang tidak dilarang? Kalau sekarang ini kalau ingin tahu perbuatan yang dilarang dimana, barangkali kita harus membawa setumpuk undang-undang karena itu tersebar dalam berbagai peraturan. Kalau sekarang itu barangkali sudah sampai 70 hingga 80 peraturan undang-undang yang di dalamnya memuat tindak pidana. Ini kurang bagus dalam politik hukum di masa depan sehingga kalau nanti ini dibiarkan seperti itu dan tim ternyata telah menemukan bahwa penyimpangan asas-asas di luar KUHP, hukum pidana di luar KUHP itu ternyata dipandang sebagai sesuatu penyimpangan yang serius terhadap hak-hak tersangka, karena apa? Asas umumnya saja tidak mengatur, kenapa diatur di sana? Sehingga ada kecenderungan legislatif untuk menempatkan sesuatu penyimpangan sebagai lex specialis. Ini dari sisi hukum pidana itu tidak baik. Di dalam perkembangan yang akan datang standar hukum harus sama. Orang itu diproses melalui proses yang sama, dasar hukumnya sama, kalau bisa melalui pengadilan yang sama, tapi kalau sekarang karena aturan lex specialis itu orangnya berbeda, pelanggarannya sama, orangnya berbeda diproses berbeda, lembaga memproses berbeda, berbeda pula hukumannya, berbeda prosedurnya, ukuran justice tidak ada, berbeda-beda. Ini berbahaya untuk penyelenggaraan negara hukum yang akan datang. Kita harapkan melalui kebijakan RUU KUHP ini semuanya standar itu ada di dalam buku kedua ini adalah merupakan hukum materiilnya, kalau ketentuan umumnya ada dalam buku kesatu. Kita berharap juga dari tim ini KUHAP pun juga sama, nanti KUHAP akan mewadahi saluran bagaimana menegakkan hukum melalui prosedur yang sama. Kekhawatiran Ibu tadi menurut saya begini, tekanan itu bukan kepada hukumnya. Kalau menurut saya tekanannya kepada aparat penegak hukum seberapa dia mampu untuk mencegah melakukan itu. Dia sudah dikasih alat semuanya alat, kalau dia menggunakan alat kemudian tidur jelas tidak bisa untuk menggunakan itu. Maksud saya adalah alatnya itu sudah ada, akhirnya terjadilah penyimpangan-penyimpangan 29
kalau dalam contoh kasus tadi adalah narkoba sesungguhnya hukumnya itu sejak dulu seperti itu, tapi karena tidak ditegakkan secara tegas, sehingga menyebabkan terjadilah fenomena narkoba yang banyak. Kalau itu dilakukan secara terus-menerus, tegas, dan sebagainya saya kira tekanannya itu bukan kepada hukum materiilnya. Menurut saya adalah kalau hukum materiil harus distandarisasi sebagai sebuah aturan hukum barulah kemudian greget untuk mencegah itu letaknya pada politik penegakan hukum pidana, itu pandangan tim seperti itu sehingga kritik terhadap hukum pidana khusus dimana? Kita menghindari sesuatu yang bersifat khusus dan sesuatu yang bersifat ad hoc. Kita akan menempatkan ini sebagai standar umum sehingga dengan demikian greget untuk menegakkan itu letaknya pada politik penegakan hukum dan itu ada pada wilayah eksekutif. Kemudian mengenai kaitannya dengan persoalan hukuman mati itu sudah dipertimbangkan juga dengan ketentuanketentuan yang ada di ICCPR. Ini sesungguhnya semuanya sudah masuk di dalamnya, hanya saja kita tidak taat tidak sepenuhnya mengikuti ini, karena ada pertimbangan-pertimbangan hukum nasional yang harus dihargai juga. Misalnya tadi saya katakan pembunuhan berencana tetap diancam dengan hukuman mati, karena memang justice masyarakat Indonesia meskipun itu ada di dalam Pasal 340 itu tetap dipertahankan karena masih dianggap cocok dalam perkembangan hukum yang terjadi di Indonesia, sehingga ada sebagian dipertimbangkan, ada sebagian tidak, sehingga dengan demikian kalau di tempat yang lain itu tidak diancam dengan pidana mati khususnya misalnya pembunuhan berencana, di Indonesia diancam hukuman mati. Ada beberapa naskah yang tadi saya tampilkan di situ adalah negaranegara lain sebagai sebuah perbandingan, itu ternyata berbeda-beda juga di dalam menempatkan ancaman pidana mati, tentang pengancaman pidana mati, pro kontra tentang pengancaman pidana mati. Ini saya ambil contoh bahwa ada negara-negara yang menekankan pada most serious crime itulah yang banyak diancam pidana mati dengan mengutip article 6 ayat (2) ICCPR, tapi ada juga negara lain dia menekankan kejahatan terhadap negara dan ketertiban umum. Ada juga yang mengancam pidana mati terhadap perdagangan narkoba secara gelap. Kemudian ada juga kaitannya dengan penolakan agama, dari agama itu diancam dengan pidana berat. Misalnya kita bisa mengutip negara-negara Muslim dalam konteks delik agama berat bisa diancam pidana mati. Mesir, Iran, Libya, Pakistan, atau juga tindak pidana lainnya yang diancam pidana mati ada yang penculikan ada yang pembunuhan dengan pemberatan, pembakaran, dan seterusnya. Jadi itu masing-masing punya policy untuk negara yang bersangkutan. Jadi ini sekali lagi itu tafsir terhadap serious crime dan seterusnya itu kita mencoba merumuskan ulang dalam konteks ini adalah apa yang telah ada saja yang diperkuat dalam hukum Indonesia. Mengenai persoalan balas dendam tadi, ini dianggap bahwa kita masih melanjutkan itu kita itu tidak membawa pencerahan. Jadi tidak lebih cerah, malah lebih suram. Mungkin kalimat balas dendamnya yang membuat kita adalah dalam konteks pidana mati itu menjadi tidak bagus. Sejauh filsafat yang saya perdalami dalam suatu konteks ini pidana mati itu sebetulnya tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang balas dendam, mati dibalas mati, tapi di filsafat 30
yang baru itu dikembangkan. Pidana mati itu sesungguhnya pidana dalam konteks balancing justice. Jadi bukan membalas dalam arti balas dendam, tetapi dia adalah balancing justice. Artinya dia adalah sebagai keadilan yang seimbang. Oleh sebab itu pidana mati sebaiknya tidak akan dijatuhkan bagi orang-orang yang tidak menimbulkan akibat kematian kepada orang lain. Maka ini muncullah, dikembangkan seperti itu dalam konteks ini. Jadi tidak lagi sebagai sebuah balas dendam semata-mata, tetapi difilsafati menjadi adalah keadilan yang seimbang. Agar supaya orang itu mempunyai keseimbangan, bagaimana rasanya kalau orang itu misalnya saja dia punya kuping, kupingnya dipotong. Seorang korban punya hak terhadap kupingnya orang lain, di sinilah mulailah kalau orang memotong kuping orang, maka kuping orang lain itu harus dipotong juga. Dan pemotongan kuping orang lain adalah haknya orang yang kehilangan kuping, di sinilah mulai konsep rekonsiliasi masuk dan seterusnya dan seterusnya, tapi yang prinsip di sini adalah adanya hukuman mati, adanya balas dendam atau hukuman yang balas dendam, memang kita kurangi sedemikian rupa, tetapi ada tempat di mana ada orang seperti itu ada salurannya. Jadi kalau saya berpendapat bahwa—ini maaf, ini saya berpendapat—karena saya bagian di dalamnya sering menyampaikan konsep ini jangan dianggap bahwa itu balas dendam, tetapi itu adalah keadilan yang seimbang dalam konteks hukuman mati. Jadi keseimbangan menjadi persoalan yang penting. Persoalan efektifitas, saya ingin berkomentar mengenai hal ini. Saya sependapat memang di dalam teori itu efektifitas hukum pidana itu letaknya bukan pada pidananya itu sendiri. Menurut John S. Carol memang benar, efektifitas hukum pidana itu tergantung kepada apakah orang melanggar hukum itu ditegakkan atau tidak? Ada urutan-urutan, yang pertama apakah orang melanggar hukum itu ditangkap oleh aparat penegak hukum atau tidak? Di sini mulai ada bolong-bolong, kalau ada orang yang melakukan pelanggaran hukum pidana banyak yang tidak ditangkap, di sinilah mulai hukum pidana tidak akan efektif, tetapi kalau orang banyak pelanggaran hukum orang ditangkap itu mulailah pengaruhnya ada. Itupun belum punya pengaruh efektif manakala orang yang ditangkap tadi tidak ada kepastian akan dibawa ke pengadilan. Tingkat kepastian berikutnya adalah kepastian yang pertama adalah orang melakukan pelanggaran hukum ditangkap dan kepastian yang kedua adalah setiap orang yang ditangkap pasti diproses oleh hukum, diproses secara hukum ke pengadilan dan kepastian yang ketiga adalah apabila dibawa ke pengadilan itu pasti akan dijatuhi pidana. Jadi menurut John S. Carol tiga kepastian inilah sesungguhnya yang mempengaruhi orang itu melanggar hukum atau tidak. Urusan pidana memang nomor dua, tetapi begitu ini sudah dijatuhi pidana pengaruh pidana barulah mulai muncul, yakni adalah apakah pidana yang diancamkan dalam pasal-pasal pidana itu dijatuhkan atau tidak. Di sinilah mulai, kalau ancaman pidana mati hanya untuk menakut-nakuti saja, itu orang tidak akan takut, tapi kalau hukuman mati memang harus dijatuhi pidana mati orang akan takut. Saya kira perbandingan telah terjadi, kalau Indonesia korupsi itu adalah dalam situasi tertentu akan dipidana mati. Di tempat yang lain korupsi sekian miliar dijatuhi pidana mati, pasti dijatuhi pidana mati itu lebih takut daripada Indonesia, 31
karena Indonesia mungkin pidana mati mungkin tidak, lebih banyak tidak mungkinnya, begitu. Jadi kalau yang pasti pidana mati tadi letaknya menurut saya di situ, jika di kemudian hari kita ingin memperbaiki lagi—ini sebagai usulan barangkali—kita pertimbangkan juga pidana mati hanya hal-hal tertentu yang serius dan itu tidak ada alternatif yang lain, barangkali itu akan punya pengaruh. Saya kira itu persoalan pengaruh, saya kira itu menjadi menarik karena ini urusannya pidana itu bukan semata-mata pengaruh, tapi persoalan justice (keadilan) dalam konteks tadi adalah hukuman mati adalah keadilan yang seimbang. Kemudian saya tadi mengenai pengurangan pidana, saya kira sudah. Itu menjadi menarik, kalau usulan mengenai transparan saya kira kini ada check and balances, ini hakim nanti yang akan mengontrol tentang seberapa keputusan-keputusan yang dilakukan itu adalah hakim di dalam RUU KUHP itu demikian. Saya kira mengenai hukum adat itu supaya tidak salah paham saya ingin sampaikan lebih dahulu, bahwa di dalam yang saya maksud tadi bukan pada pidana adat. Yang ada tadi adalah tindak pidana menurut adat. Jadi selain yang ada ditulis dalam peraturan perundang-undangan yang tertulis, dimungkinkan juga adalah kalau jika hukum adat itu mengatakan bahwa itu tindak pidana itu bisa juga dimasukkan sebagai tindak pidana, saya ingin kembali kepada ini rumusan Pasal 1, supaya—menurut saya jangan sampai salah paham. Jadi kata-kata ayat (3) itu, ‘ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup di masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan. Jadi ini patut dipidana, bukan dipidanya harus mengadopsi kepada ketentuan umum yang ada di sini. Ini ayat yang keempat ini coba untuk mengharmonisasikan kepentingan internasional atau kepentingan lokal, regional dan seterusnya. Berlakunya hidup di dalam masyarakat sebagaimana dimaksud ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila—jadi kalau hanya berbuat sesuatu yang terlalu kejam tidak boleh, dan atau prinsip hukum umum yang diakui dalam masyarakat bangsabangsa. Jadi pemberlakuan hukum adat yang limitasi, kalau tadi Pak Nyoman katakan dengan Undang-Undang Darurat Nomor 51 Tahun 1951 sekarang dibakukan di dalam Pasal 1 ayat (4), sehingga dengan demikian pemberlakukan hukum tak tertulis itu dibatasi secara prinsip. Saya kira begitu penjelasan saya, terima kasih. 45.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ya, silakan.
46.
AHLI : Prof. Dr. NYOMAN SERIKAT PUTRAJAYA, S.H. (ANGGOTA TIM REVISI KUHP) Jadi begini, sebenarnya di dalam Pasal 1 itu secara keseluruhan tim berpendapat bahwa sumber hukum pidana yang jadi dasar untuk memidana, 32
dapat dipidananya perbuatan di samping berdasarkan undang-undang juga berdasarkan hukum tidak tertulis, itu intinya. Yang kedua mengenai pertanyaan Ibu tadi mengenai—di Undang-Undang Narkotika memang terus terang saja di Undang-Undang Narkotika itu dibedakan golongan 1 , golongan 2, golongan 3. yang golongan 1 itu yang khusus untuk ilmu pengetahuan, oleh karena itu ancaman nya terlalu berat. Itu kita di sini kita tidak membagi ke golongan 1, golongan 2, golongan 3 di dalam perumusanya itu diambil begitu saja yang ada ancaman pidana mati. Dapat saya tambahkan nanti di dalam buku satu nanti buku dua unsur kedua tidak pernah ada. Karena di dalam buku satu sudah ditentukan bahwa setiap tindak pidana dilakukan dengan sengaja, kecualmi ditentukan secara khusus. Nanti di dalam perumusan buku dua, tindak pidana dalam buku dua hanya akan kelihatan tindak pidana karena kealpaannya. Jadi kalau unsur kesengajaan sudah diadukan di dalam buku satu, itu saja tambahan dari saya. 47.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik saya kira cukup, sudah—bagaimana Bu Mandagi? Tidak panjang ya?
48.
PIHAK TERKAIT : JEAN MANDAGI (KONSLTAN AHLI BNN) Terima kasih Yang Mulia. Kami hanya ingin menambah informasi untuk Bapak-bapak kita yang merumuskan RUU KUHP. Kami rasa di suatu negara tidak mungkin tidak ada suatu undang-undang khusus untuk menghadapi suatu organized crime yang khusus, tidak mungkin itu dihilangkan. Kejahatan narkoba adalah suatu organized crime yang sangat specialized dilakukan oleh sindikat narkotika dengan cara-cara khusus dalam arti sistem sel tertutup. Ambil saja maslaah permufakatan jahat, di sini di dalam Pasal 13 RUU KUHP Cuma ditemukan “permufakatan jahat adalah kesepakatan dua orang atau lebih untuk melakukan tindak pidana.
49.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Apa bisa diberi masukan saja? BNN resmi begitu menyampaikan masukan karena ini soal yang sangat serius lagipula ini belum resmi. itu jadi belum resmi dia baru resmi kalau Presiden sudah kirim itu ke DPR. Nah mumpung belum resmi BNN kirim masukan karena ini soal yang sangat serius, lagipula rancangan KUHP ini sangat tebal, sangat teknis jangan-jangan nanti sampai ke DPR malas orang membahasnya tinggal ketuk palu saja. Karena itu sebelum dia menjadi rancangan resmi BNN harus segera itu menyampaikan masukan ke tim ini.
50.
PIHAK TERKAIT : JEAN MANDAGI (KONSLTAN AHLI BNN) Perlu kami tambah 2 menit saja?
33
51.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Silakan tapi jangan panjang-panjang.
52.
PIHAK TERKAIT : JEAN MANDAGI (KONSLTAN AHLI BNN) Jadi pengertian itu kita sudah menandatangani Yuan convention against the united traffic narcotics drugs and settle psicotropic substances yang rumusan permufakatan jahat itu sangat-sangat luas yang mana seluruh orangorang yang terlibat dalam sindikat mereka sebut dengan pengertian enterprise conspiracy, kalau ini hanya konspirasi biasa. Ada pengertian enterprise conspiracy itu bisa dijerat di dalam satu persidangan dan menghancurkan seluruh sindikat. Kedua, masalah kejahatan terorganisasi di sini tidak ada rumusan sama sekali dalam pengertian umum buku satu. Sedangkan kita menghadapi organized crime . apa yang diartikan oleh kejahatan terorganisasi, kami pernah berpengalaman silang pendapat dimana yang akhirnya ada salah satu pihak yang mengatakan “oh perdagangan yang terorganisasi”, coba Tanya kepada buku atau kamus Purwodarminto itu dirumuskan puluhan tahun lalu, belum ada itu organized crime atau coba Tanya ke Departemen Perdagangan. Sedangkan kita sudah tanda tangan yuan convention against transnational organized crime. Di situ ada rumusan apa yang disebut organized crime, apa transnational organized crime, di sini tidak ada sama sekali rumusan tentang organized crime. Itu baru dua pokok saja, sedangkan kami lihat banyak sekali yang Mulia. Terima kasih.
53.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Wah ini bagus sekali ini. Jadi tolong dicatat ini biasanya ini rancangan ini sudah lama sekali tahun 1963 jadi tidak jadi jadi. Karena niatnya mau sempurna. Jadi bagus juga ini tadi pendirian tidak usah menunggu sempurna dulu, sampaikan saja dulu ke DPR biar terbuka, semua bisa berpartisipasi. Tapi yang kedua memang kalau merancang begini, begini serahkan pada ahli. Kalau ahli asumsinya ya karena ini ahli KUHP ya ahli pidana saja lalu ini seolah-olah menjadi perbincangan di anatara ahli teknis, tanpa mempertimbangkan praktik ternyata BNN ada departemen lain ada yang mengalami dan ini koordinasi antar instansi itu menjadi sangat perlu. Tapi baiklah kita serahkan itu nanti pada proses yang sudah ada katanya ini sudah di Sekneg tinggal menunggu presiden saja syukur-syukur sebelum itu ada kesempatan untuk masuk dari instansi terkait dan sekali lagi ini belum resmi, karena itu dia belum mengikat sehingga semua kemungkinan bisa terjadi. Yang ingin kita lihat ini dalam persidangan Mahkamah Konstitusi ini adalah bagaimana jalan pikiran yang sudah muncul di sana supaya jangan pula ketinggalan ketika kita memeriksa dua perkara ini. Tapi nanti yang akan kami lihat di Mahkamah Konstitusi aspek konstitusional dari pidana mati yang dipersoalkan undang-undang yang Pemohon persoalkan
34
Pemohon satu dan dua serta aspek pasal-pasal serta hatzaai artikelen diajukan oleh Pemohon tiga. Jadi begitu ya? Hari ini saya rasa sudah cukup dan kami atas nama Mahkamah ini mengucapkan terima kasih pada Pak Mudzakir, Pak Nyoman tolong nanti bahanbahanya nanti yang terulis disampaikan, termasuk power pointnya nanti harus kita bagikan kepada semua pihak Pemohon, pihak BNN maupun Kejaksaan, Pemerintah DPR. Jadi tolong disampaikan Melalui Kepaniteraan, sekali lagi saya ucapkan terima kasih dan khusus untuk perkara narkotika kita sudah merancang satu kali lagi sidang tapi untuk yang HUHP saya rasa tidak ya? Sudah cukup, sehingga KUHP ini sudah boleh menyampaikan kesimpulan. Jadi saya persilakan Saudara menyusun kesimpulan tertulis dalam waktu satu minggu ini atau dua minggu silakan disusun. Kemudian untuk perkara narkotika kita akan adakan sidang satu kali lagi untuk mendengar keterangan ahli yang sengaja dari berbagai perguruan tinggi. Maksudnya adalah kita sudah dengar ahli dari luar negeri, kita juga harus dengar dari dalam negeri di samping tadi ahli yang terlibat dalam penyusunan ini. Bila perlu Saudara berdua juga kita persilakan untuk ikut dalam persidangan selanjutnya, persidangan terakhir. Baik Saudara-saudara sekalian dengan ini sidang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia saya nyatakan ditutup.
KETUK PALU 3X
SIDANG DITUTUP PUKUL 15.42 WIB
35