Kontra S
Salam dari Borobudur
KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dibentuk untuk menangani persoalan penculikan beberapa aktivis yang diduga berhubungan
dengan
kegiatan politik yang mereka lakukan. Dalam perjalanannya KontraS tidak hanya menangani masalah penculikan dan penghilangan orang secara paksa tapi juga diminta oleh masyarakat korban untuk menangani berbagai bentuk kekerasan yang terjadi baik secara vertikal di Aceh dan Papua maupun secara horizontal seperti di Maluku, Sambas, Sampit dan Poso. Selanjutnya, ia
Salam redaksi Kekerasan kembali terjadi, korbannya warga kebanyakan dan pelakunya aparat TNI. Berita seperti ini seakan tak asing kita dengar. Namun, bila kekerasan itu berakhir dengan tercabut empat nyawa warga yang tak bersenjata, yang hanya terbiasa mengayuh pacul dilahan subur, atau ibu dan anak yang tengah berdekapan. Tentu peristiwa itu akan menjadi sorotan masyarakat, sebagai tragedi kemanusiaan. Tragedi Alastlogo, Pasuruan (30/05), kembali menghenyakan kita bahwa aparat kekerasan negara masih dengan enteng melepas peluru panas pada rakyatnya sendiri yang seharusnya dilindungi. Konflik antara warga Alastlogo dan pihak aparat TNI AU di Pasuruan ini bukan kali pertama yang memakan korban. Persoalan tanah sengketa menjadi cerita lama yang terulang. Cerita bagaimana aparat merasa berhak atas sejumlah hektar tanah yang sudah lama menjadi tempat rakyat menyadarkan keberlangsungan hidupnya. Ini bukan kali pertama, karena di sejumlah wilayah, konflik memperebutkan tanah juga terjadi. Buntutnya, jiwa-jiwa rakyat kecil harus melayang ketika senapan dan kekerasan menjadi pilihan yang dilakukan oleh aparat. Tragedi Alastlogo menjadi bahasan utama dalam buletin edisi kali ini.
berkembang menjadi organisasi yang independen dan banyak berpartisipasi dalam membongkar praktek kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuasaan.
Sementara itu di sejumlah daerah, kekerasan seakan sebuah cerita yang tak henti terulang. Di Medan, Tegal, Makassar, aparat melakukan bertindak bak jagoan dalam film-film seri Hollywood ketika berhadapan dengan rakyat kecil. Disisi lain, untuk para pembela HAM, jiwa tetap menjadi taruhan yang begitu mahal. Ironisnya setelah kedatangan Hina Jilani, kawan-kawan kita di Papua menerima teror dan intimidasi untuk apa yang mereka perjuangan. Kekerasan berekpresi juga masih terjadi di sejumlah daerah. Inilah sebagian berita yang ada di rubrik kabar daerah.
KontraS diprakarsai oleh beberapa organisasi non pemerintah dan satu organisasi mahasiswa, yakni: AJI, CPSM, ELSAM, KIPP, PIP-HAM, LPHAM, YLBHI dan PMII
Sembilan tahun reformasi, peringatan hari tanpa penyiksaan, perkembangan terbaru dari pemilihan anggota Komnas HAM jadi beberapa bagian dari rubrik rempah-rempah. Dan sejumlah berita lain juga kami tampilkan. Termasuk perkembangan terbaru dari kasus jejak sang pejuang, Munir, yang memunculkan sejumlah saksi-saksi baru dalam penyelidikan kepolisian. Kita berharap agar semua ini jadi pertanda baik untuk menuntaskan kasus ini. ***
Badan Pekerja: Usman, Edwin, Sri, Ndrie, Gian, Abu, Victor, Sinung, Ori, , Alam, Haris, Harits, Papang, Helmi, Chris, Silly, Yati, Nur’ain, Ade, Rintar, Ati, Guan Lee, Agus, Rohman, Heri, Daud.
Federasi Kontras: Oslan P dan Bustami. Asiyah (Aceh), Diah (Sumatera Utara), Pieter Ell (Papua). Edmond LS (Kontras Sulawesi) Badan Pekerja Kontras dibantu oleh relawan-relawan yang tersebar di seluruh Indonesia
Berita KontraS Diterbitkan oleh: KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Penanggung Jawab: Usman Hamid Pemimpin Redaksi: Edwin Partogi Redaktur Pelaksana: Hanny Sukmawati. Sidang Redaksi: Haris Azhar, Indria Fernida, Papang Hidayat, Abu Said Pelu, M. Harits, Sri Suparyati, Mouvty Makarim. Design layout: BHOR_14 Alamat Redaksi: Jl. Borobudur No. 14 Menteng Jakarta Pusat 10320, Indonesia. Telp: 62-21-3926983, 62-21-3928564 Fax: 62-21-3926821 Email:
[email protected]. website: www.kontras.org KontraS berdiri bersama para korban & keluarga korban untuk membela hak asasi manusia dan menentang segala bentuk kekerasan, menerima segala jenis bantuan yang bersifat tidak mengikat dan memiliki konsekuensi dalam bentuk apapun yang akan menghambat, mengganggu dan berakibat pada berubahnya substansi dan atau pelaksanaan visi dan misi organisasi. Bantuan dapat dikirimkan ke rekening atas nama KontraS di BII Cab. Proklamasi No. Rek. 2-072-267196. Atau dapat dikirim langsung ke alamat redaksi. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Edwin Partogi di 3926983 atau
[email protected]
Redaksi Berita KontraS menerima kritik, saran dan tulisan untuk Berita KontraS
2
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
BERITA UTAMA
Tragedi Berdarah 30 Mei Alas Tlogo, Pasuruan Tumpah Darah Untuk Tanah Hari itu 30 Mei 2007, di Desa Alas Tlogo, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur terjadi penembakan oleh aparat TNI Angkatan Laut yang mengakibatkan empat orang warga sipil tewas seketika, dan sekitar delapan orang warga sipil mengalami luka-luka. Selain itu terjadi pula kerusakan fisik pada beberapa bagian bangunan rumah, dan fasilitas umum desa.Tindakan itu dilakukan oleh 13 anggota TNI AL yang tengah menjaga lahan yang bersengketa dengan warga. Tindakan represif ini menimbulkan penderitaan mental dan psikologis pada korban dan keluarga korban, serta warga desa pada umumnya. Keempat warga tewas tersebut adalah seorang ibu Mistin (27), yang anaknya (Choirul, 4 tahun) juga menjadi korban penembakan, Sutam (45), Dewi Khotijah (20) yang sedang hamil, Rohman (41). Bocah Choirul bin Sutrisno meninggal di rumah sakit setelah dadanya tertembus peluru laras panjang SSI. Saat terjadi penembakan, ia digendong ibunya Mistin, yang berada di rumah. Sang ibu, yang juga tertembak di bagian kiri dadanya, langsung meninggal. Tiga korban lainnya juga tewas secara mengenaskan di kampung halamannya sendiri.
lokasi, anggota TNI AL tersebut kemudian mengeluarkan tembakan peringatan sebanyak dua kali dan setelah itu diarahkan ke warga dalam jarak sekitar 15 meter dan sepuluh orang jadi korban (empat di antaranya meninggal).Yang aneh tembakan tersebut justru menyasar korban yang tidak ikut dalam kerumunan massa tersebut. Seorang ibu, Mistin dan anaknya, Choirul tertembak di dalam rumahnya setelah berusaha lari menghindar dari halaman rumahnya sendiri.
Versi TNI AL Pihak TNI AL hingga kini masih mempertahankan versi mereka bahwa penembakan terjadi karena prajurit TNI AL merasa terancam dan bermaksud membela diri secara spontan menghadapi serangan massa yang menggunakan senjata tajam. Namun, jelas hal ini menimbulkan pertanyaan. Mengapa pilihannya peluru tajam, padahal aparat TNI AL saat itu juga diperlengkapi oleh peluru karet dan hampa. “Warga yang menyerang lebih dulu, “ kata Komandan Korps Marinir Mayor Jenderal Safzen Noredin. Setelah komandan patroli berhasil membujuk warga agar bubar, Safzen menjelaskan, tiba-tiba massa datang lagi dengan membawa senjata tajam. Dari arah massa katanya, muncul aba-aba menyerang. Mereka sempat berhenti ketika senapan seorang marinir menyalak. Sejenak kemudian, bentrokan pecah. Lemparan batu warga dibalas dengan tembakan. Lima marinir luka-luka.
Bekas Tembakan anggota TNI-AL (Dok. Tim Investigasi Insiden Pasuruan)
Kelima korban itu jadi tumbal sengketa tanah ratusan hektare antara warga Alas Togo dan TNI Angkatan Laut (AL). Tanah yang dikuasai 256 keluarga itu dipersengketakan sejak 1970-an. Ujungnya, Pengadilan Negeri Bangil memenangkan AL pada Maret lalu. Kendati kalah, warga meminta agar tanah itu tidak diutik-utik karena mereka sedang meminta banding. Keinginan warga rupanya tidak dipenuhi. Pusat Latihan Tempur TNI AL di Grati, Pasuruan, yang memenangi sengketa itu, mengizinkan PT Rajawali Nusantara menggarap tanah sengketa. Bentrokan pun terjadi ketika warga mendatangi lahan yang digarap oleh perusahaan itu hingga terjadi penembakan oleh pasukan AL yang sedang menjaga itu. Kejadian itu sendiri terjadi sekitar pukul 09.30 Wib. Sebuah traktor berada dilokasi, yang dikawal 13 anggota TNI AL yang menggarap lahan, yang sudah ditanami ketela pohon oleh warga (yang akan diganti dengan tanaman tebu). Anggota TNI AL tersebut terlihat diperlengkapi senjata laras panjang dan pistol. Warga yang berjumlah sekitar 50 orang kemudian mendatangi lokasi tersebut dan meminta tanah tersebut tidak digarap terlebih dahulu sebelum proses hukumnya final.
Safzen mengakui semua anak buahnya dibekali senjata tajam lengkap peluru tajam. Dari 13 anggota pasukan, 10 diantaranya memgang senjata tajam. Dan, di lokasi kejadian sendiri ditemukan sedikitnya 33 selongsong peluru yang berserakan. Sedangkan Panglima TNI, Marsekal Djoko Suyanto hingga kini masih mempertahankan argumen bahwa tidak ada tembakan langsung ke arah massa dan korban yang berjatuhan akibat peluru pantulan. Menurutnya bila tembakan langsung diarahkan ke kerumunan massa, maka jatuhnya jumlah korban seharusnya jauh lebih besar. Pernyataan serupa juga dikeluarkan oleh pengacara 13 marinir tersangka penembakan, Ruhut Sitompul yang menyatakan kliennya sedang berpatroli, kemudian mendapat hadangan dari warga yang membawa senjata tajam dan juga mendapat ancaman ingin dibunuh.
Pada pukul 12.00, setelah warga semakin banyak mendatangi
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
3
BERITA UTAMA Setahun terintimidasi Ternyata penderitaaan yang dialami oleh warga Alas Trogo sudah berlangsung lama, dimana hampir setahun warga terus berada dalam teror dan intimidasi. Dari hasil laporan atas penyidikan yang dilakukan Kontras, LBH Surabaya dan LSM lainnya, sebelum berpuncak pada tragedi hujan peluru tajam dari senjata prajurit marinir, sedikitnya ada lima peristiwa intimidasi sepanjang 2006 yang dialami oleh warga, yaitu mulai 29 Maret, 9 April, 6 Juli, 20 November dan 14 Desember. Sementara pada tahun 2007, tercatat dua kasus teror, yakni pada 10 Januari dan 5 Maret. Semua itu sangat mengelisahkan warga. Rangkaian kekerasan sejak setahun lalu berupa pengambilan paksa alat pertanian, perusakan kebun dan barang (batu bata) oleh tank-tank marinir, pematokan lahan, bahkan sampai pemukulan. Aksi itu sempat mengundang protes warga dengan memblokir jalan propinsi. Kemudian empat hari menjelang peristiwa penembakan maut, pada akhir bulan April, warga Alas Tlogo, mengalami intimidasi beruntun dan ancaman penembakan saat Marinir mengawal pengerjaan lahan oleh PT Rajawali Nusantara. “Saat itu warga meminta PT. Rajawali Nusantara menghentikan pengolahan lahan, namun dijawab Marinir bahwa perintah atasan harus terus dilakukan, “ Ujar Usman Hamid. Sedangkan dari kesaksian warga bernama Musniatu dan Munaji, yang berdiri 1,5 meter dari komandan Marinir saat peristiwa penembakan, terungkap marinir hanya mendapatkan ancaman verbal, bukan senjata tajam seperti yang dituduhkan TNI selama ini. Jumlah warga yang berkumpul di lokasi pun hanya 50-60, bukan 300. Yang lain hanya berdiri di halaman rumah. Arah penembakan ternyata ditujukan pada beberapa warga yang vokal. Dari awal kejadian, Marinir maju hingga 50-60 meter. Mayoritas luka diderita warga juga di belakang tubuh sehingga menegaskan bahwa mereka dikejar, dipukul, dan ditembaki dari belakang, bukan menyerang Marinir. Usman menyimpulkan, Marinir telah menggunakan kekuatan berlebihan. “ Ini dapat dikategorikan pelanggaran HAM berat, “ ujarnya.
Menuntut pertanggungjawaban Sementara itu, paska terjadinya peristiwa, warga Alas Tlogo menumpahkan kekecewaan, kemarahan dan rasa duka, dengan memblokir jalan propinsi Pantura jurusan Surabaya – Banyuwangi. Warga menutup jalan menuntut pertanggungjawaban TNI-AL atas peristiwa penembakan tersebut dan meminta pemerintah Kabupaten Pasuruan mengatasi persoalan ini. Penutupan jalan dilakukan mulai sekitar pukul 11.00-18.00 WIB. Pada pukul 17.30 WIB, perwakilan warga datang dari Pemerintah Kabupaten Pasuruan dengan M. Kholil disertai
4
pihak aparat kepolisian, membacakan pernyataan resmi Bupati Pasuruan yang pada intinya menyatakan, meminta agar PT. Rajawali tidak melakukan penggarapan sebelum sengketa selesai dan meminta agar letnan Budi Santoso untuk bertanggung jawab atas kekerasan tersebut. Saat itu Bupati berjanji akan memfasilitasi warga berdialog dengan Pangarmatim, BPN, Dephankam, dengan pejabat Pemkab Pasuruan besok hari (31/ 05). Sementara jalur hukum juga bakal ditempuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Ketua Dewan Syuro PKB Abdurrahman Wahid, menunjuk Mahfud MD sebagai kuasa hukum untuk menuntut para pelaku. “Ini negara hukum, bukan rimba belantara. Selesaikan semua masalah secara hukum. Jangan main tembak sendiri. Ini bukan zamannya, “ ujarnya.
Potensial sosiologis Insiden 30 Mei di Desa Alas Tlogo, Pasuruan, Jawa Timur, jelas menggambarkan sebuah kerumitan berbagai simpul masalah potensial sosiologis di Indonesia, yang dalam konteks tempat dan waktu lain mungkin menghasilkan kisah serupa. Insiden Alas Tlogo merupakan hasil dari problem sengketa/konflik agraria yang akut di Indonesia, yang sebagian lahir dari dinamika politik militer pasca kolonial, warisan sistem peradilan yang sangat tidak mandiri dan independen di masa lalu, residu/ warisan watak militer yang belum profesional, dan tidak adanya preseden yang meyakinkan bagaimana supremasi hukum bisa menjamah (menghukum) aparat militer secara memadai, yang secara konseptual dinyatakan sebagai impunitas. Kasus konflik agraria di Indonesia diperkirakan hingga tahun 2007 ini masih tercatat oleh KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) 1.753 buah dengan melibatkan 10 juta penduduk, sementara BPN (Badan Pertanahan Nasional) mencatat ada 2.810 kasus. Insiden Alas Tlogo sendiri juga berakar dari sengketa tanah sejak tahun 1960. Sengketa ini terus juga berlangsung, baik itu lewat proses peradilan maupun lewat proses politik. Publik sendiri baru menyaksikan kasus sengketa tanah lain yang tidak kalah rumitnya, yaitu kasus sengketa tanah antara warga Meruya Selatan, Jakarta Barat dengan PT Portanigra. Bahkan kasus sengketa tanah ini sudah diputus oleh putusan hukum tertinggi di tingkat Mahkamah Agung. Sayangnya kali ini di Alas Tlogo, sengketa tanah tersebut memakan korban jiwa. Kecaman juga dilontarkan oleh Ketua MPR, Hidayat Nurwahid. Menurutnya, pemerintah seharusnya dapat lebih tegas mengatur penggunaan lahan. Konflik terkait tanah selama ini terjadi, seperti di Desa Alas Trogo, yang mengakibatkan empat warga tewas, antara lain dipicu pemakain lahan yang tidak sesuai rencana. “Jika TNI AL segera memakai tanah di Desa Alas Trogo sesuai peruntukan awal, yaitu untuk pusat pendidikan, insiden ini mungkin tidak akan terjadi, “ kata Nur Wahid. Kesimpulan itu diambil sebab, menurut Hidayat, awalnya warga Desa Alas Trogo bersedia menjual tanahnya karena akan dipakai untuk Pusat Pendidikan TNI AL. Namun, mereka heran dan kecewa saat ternyata dipakai untuk menanam jarak dan
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
BERITA UTAMA
palawija. Apalagi saat itu tanah disewakan kepada pihak lain untuk menanam tebu. Padahal, disaat yang sama warga amat membutuhkan lahan itu untuk hidup. Agar peristiwa serupa tak terulang, lanjut Nur Wahid, seharusnya pemerintah, terutama BPN, dapat bertindak lebih tegas, khususnya mengatur penggunaan lahan. Hidayat juga berpendapat penyelesaian kasus ini tidak cukup hanya dengan permintaan maaf. “Minta maaf dan menanggung seluruh biaya bagi korban saja tidak cukup. Masalah ini harus diusut tuntas sesuai dengan proses hukum, “ katanya. Sementara Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Usep Setiawan menuturkan, Undang-Undang nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria sebenarnya mengatur dengan jelas perihal tata cara penggunaan lahan. Pasal 10 Ayat 1 UU itu menyatakan, setiap orang dan badan hukum yang memiliki hak atas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif. Juga disebutkan, mereka yang mendapatkan hak guna usaha atau hak guna bangunan wajib menggunakan lahan itu sesuai rencana semula. “Dalam konteks ini, tindakan TNI AL menyewakan lahan pada pihak lain melanggar Pasal 10 UU PA. Penggunaan lahan itu untuk pertanian juga harus dipertanyakan karena rencana sebelumnya diapaki untuk pusat pendidikan, “ papar Usep. Menurut Usep, BPN seharusnya dapat bertindak tegas sebab disinyalir ada pelanggaran dalam pemakaian lahan itu.
Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). Seharusnya,pengamanan asset diserahkan pada pemerintah daerah dan Polri, apalagi menyangkut tindakan hukum. Disisi lain, pasukan Marinir juga telah menggunakan kekuatan berlebihan (excessive use of force), yang tak sebanding dengan aksi protes warga secara verbal. Aparat marinir mengabaikan pertimbangan moral dan tidak memperhitungkan dampak yang ditimbulkan dari aksi penembakan, baik yang terarah pada target tertentu maupun yang diarahkan secara acak. Penggunaan kekuatan secara berlebihan tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran berat terhadap hak-hak asasi manusia. Jadi jelas terdapat pelanggaran HAM (arbitrary execution atau extrajudicial execution), yang merupakan pelanggaran atas Pasal 6 Kovenan Hak-Hak Sipil Politik, yang sudah diratifikasi Pemerintah lewat UU No. 12 Tahun 2005.
“Polisi harus dipastikan ikut dalam penyelidikan dan penyidikan kasus penembakan warga Alas Trogo. Hal itu untuk menjamin proses penyelidikan dan penyidikan yang adil” ujar Ketua Pansus DPR tentang RUU Peradilan Militer Andreas Pareira.
Dilakukan dengan sengaja Dari tragedi diatas terlihat jelas bahwa penembakan oleh pasukan Marinir/TNI AL terhadap warga sipil yang melakukan protes damai dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan kematian dan penderitaan bagi warga yang dianggap musuh oleh para pelaku. Hal lainnya, komandan Marinir/TNI AL dalam garis komando sampai ke unit pasukan para pelaku penembakan, patut menduga mengetahui bahwa peristiwa tersebut akan terjadi, tetapi tidak mengambil tindakan pencegahan. Sayangnya, seperti biasa, Panglima TNI dan Panglima Armada Timur cenderung menutupi kebenaran dengan berbagai alasan, antara lain alasan pembelaan diri, jatuhnya korban karena pantulan peluru, dan pendudukan warga atas tanah untuk membenarkan tindak pembunuhan tersebut. Padahal terlihat jelas pihak TNI AL telah melakukan kesalahan dalam mengamankan asset tanah-yang diklaim sebagai Negarayang dikelolanya, dengan mengambil tindakan sendiri, bahkan dengan menggunakan kekerasan dan penembakan. Kesalahan lainnya, TNI AL telah melakukan komersialisasi asset Negara kepada perusahaan PT. Kebun Grati Agung (KGA) dan PT
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
Agaknya persoalan tidak hanya berhenti sampai disini. Keinginan warga untuk mencari keadilan bisa jadi akan terjanggal dengan prosedur yang ada, yakni menyangkut tata prosedur hukum. Dimana seluruh proses penegakan hukum atas kasus Alas Tlogo ini, ditangani lewat mekanisme Peradilan Militer, yang selama ini dikenal tertutup dan tidak bisa bersifat mandiri atau independen. Hal ini patut disayangkan, karena proses reformasi sistem Peradilan Militer Indonesia masih sedang berjalan alot di tingkatan parlemen. Lagi-lagi insiden Alas Tlogo, menunjukkan penundaan reformasi sektor militer (peradilan militer) berakibat mahal. Kekhawatiran ini jelas masuk akal mengingat sejak awal hingga saat ini pihak TNI masih bersikukuh mempertahankan versi peristiwanya
sendiri.
Polisi ikut penyidikan Ketua Pansus DPR tentang RUU Peradilan Militer Andreas Pareira mengemukakan, polisi harus dipastikan ikut dalam penyelidikan dan penyidikan kasus penembakan warga Alas Trogo. Hal itu untuk menjamin proses penyelidikan dan penyidikan yang adil. Menurutnya, RUU Peradilan Militer memang masih dalam proses perumusan. Jadi, prinsip bahwa tindakan pidana sipil oleh militer harus diadili di peradilan sipil belum bisa dilaksanakan. Namun, tambah anggota F-PDIP itu, prinsip proses hukum yang adil terhadap warga sipil harus tetap dipertahankan. Caranya dengan melibatkan unsur sipil, yakni kepolisian, dalam proses hukumnya. “Untuk menjamin adanya proses peradilan yang fair terhadap kasus penembakan warga sipil oleh militer ini, polisi harus dilibatkan dalam penyelidikan dan penyidikan. Itu cara yang paling mungkin dilakukan, “ tandas Andreas. Sedang untuk bentuk keterlibatan polisi,
5
BERITA UTAMA Andreas mengatakan soal olah TKP, visum, uji balistik, dan uji forensik, kemampuan polisi lebih baik daripada aparat hukum lainnya. Sedangkan menurut Hakim Garuda Nusantara Ketua Komnas HAM, dirinya mengkhawatirkan penerapan impunitas dalam peradilan militer. “ Dalam UU TNI tertuang prinsip pengadilan militer, yakni anggota yang melakukan tindak pidana umum di luar tugas kemiliteran seperti perang dapat disidangkan di pengadilan umum. Apabila pimpinan TNI mau mereformasi, kasus ini bisa dibawa ke pengadilan sipil dan disidik polisi sipil yang lebih netral, “ ujarnya. Sementara itu Komisi I DPR mengeluarkan lima kesimpulan, sekaligus rekomendasi, terkait insiden penembakan empat warga hingga tewas oleh prajurit Marinir TNI Angkatan Laut di Desa Alas Trogo.
bisa masuk pada kategori pembunuhan berencana, “ kata Abdul Hakim Garuda Nusantara. Menurutnya, penembakan yang dilakukan oleh marinir bukan rangka bela diri. “Karena masyarakat tidak melakukan penyerangan, “ ujarnya. Para anggota marinir yang menenbaki warga ini ternyata juga dilengkapi peluru karet dan hampa. “Salah seorang prajurit, Budi Santoso, mengaku setiap berpatroli (ke daerah), mereka (Marinir) membawa tiga jenis peluru. Peluru hampa, peluru karet, dan peluru tidak tajam. Agak aneh, situasi panas, kok pimpinannya ngasih ijin bawa peluru, “ kata Garuda. Ia menyayangkan penggunaan peluru tajam oleh anggota marinir saat mereka menghadapi warga. Padahal, mereka dibekali juga dengan peluru karet, bahkan peluru hampa.
“Kalau peluru hampa kan tidak mematikan sehingga jatuhnya jatuhnya korban sebenarnya bisa dihindari. Masalahnya yang Kelima hal itu, antara lain, kesimpulan penembakan sebagai digunakan peluru tajam sehingga mematikan. Kita masih bentuk pelanggaran hukum menelusuri kenapa yang digunakan dan harus diproses secara justru peluru tajam tersebut, transparan, penilaian bukan yang lainnya, “ jelas Garuda. (Dok. Tim Investigasi Insiden Pasuruan) penembakan melanggar fungsi dan peran pertahanan Menyerahkan tanah TNI sesuai UU, serta desakan agar TNI segera memutus Dari tragedi berdarah ini, Kontras seluruh kontrak kerja sama berharap Panglima TNI dengan pihak swasta. menyerahkan kasus ini ke Pengadilan di lingkungan peradilan umum, termasuk pengadilan HAM, sebagai terobosan momentum untuk mendorong reformasi TNI. Tuntutan serupa juga diungkapkan oleh mantan Presiden, Gus Dur, yang meminta ke-13 prajurit marinir, yang kini ditahan di Markas Polisi Militer TNI AL di Surabaya, diadili di Pengadilan Negeri Pasuruan.
Kelima kesimpulan tadi dihasilkan dalam rapat kerja Komisi I dengan Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto yang didampingi ketiga kepala staf angkatan dan seluruh jajaran Markas Besar TNI, (13/06). “Tindakan prajurit Marinir menembak warga desa Alas Trogo yang menewaskan Suasana penguburan korban empat orang adalah sesuatu yang tidak dapat diterima. Pelaku harus dihukum apa pun alasannya. Prajurit itu seharusnya tahu kalau mereka tidak sedang menghadapi separatis bersenjata atau serangan negara lain, “ ujar Sutradara Ginting dari F-PDIP. Yuddy Chrisnandi dari F-PG mempertanyakan komitmen Panglima TNI yang menjanjikan proses hukum kasus itu akan dilakukan secara transparan. Transparansi jangan hanya diartikan sebats proses persidangan yang dapat ditonton melalui liputan media massa. Sementara dari hasil penelusuran lapangan yang dilakukan, Komnas HAM menyimpulkan telah terjadi pelanggaran HAM pada persitiwa penembakan warga di Alas Trogo ini. “Ini
6
Pasuruan Sementara itu, Presiden dan Kepala BPN dapat menyerahkan tanah sengketa tersebut kepada warga 11 desa yang terletak di 3 Kecamatan Lekok (9 desa), Nguling (1 desa), Grati (1 desa), Kabupaten Pasuruan. Pemerintah harus membuat kajian dan kebijakan yang pro rakyat terkait dengan sengketa tanah antara warga dan TNI yang banyak terjadi di berbagai daerah. Kontras juga mengusulkan agar Presiden dan Kepala BPN menyediakan Tanah bagi tempat latihan tempur TNI AL di Pasuruan, ke lokasi di luar Pulau Jawa dan yang jauh dari wilayah penduduk. Lokasi yang berdekatan dengan pemukiman warga sipil amat berpotensi bagi terjadinya kekerasan militer terhadap warga sipil. Dalam kasus Pasuruan, kekerasan aparat militer terhadap warga sipil bukan pertama kalinya terjadi di sekitar lokasi tempat latihan militer, melainkan terjadi secara berulang. ***
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
BERITA UTAMA
Uji Balistik harus Ilmiah, Bebas Intervensi Politik
R
encana Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto untuk melakukan uji balistik atas senjata-senjata anggota marinir dalam penembakan warga Desa Alas Tlogo, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur (30/05) jadi sebuah hal yang baik. Rencana ini adalah perubahan sikap TNI yang positif. Bahkan merupakan langkah yang tepat bila dibandingkan dengan sikap awal petinggi TNI yang cenderung berat sebelah. Namun hendaknya, uji balistik tersebut dilakukan secara transparan, ilmiah dan bebas dari intervensi politik, demi terungkapnya kebenaran materiil. Kebenaran materiil ini setidaknya dapat menguak dua hal, menyangkut mengidentifikasi senjata dari selongsong atau proyektil yang ditemukan di tubuh korban dan TKP. Serta, mengetahui arah tembakan yang menyebabkan korban tewas dan luka-luka. Apakah benar karena tembakan pantulan atau ada yang langsung ditujukan pada target tertentu. Uji Balistik juga hendaknya dilakukan dengan mencakup uji balistik luar dan akhir. Uji Balistik juga harus dilanjutkan dengan pengujian senjata dan penggunaan senjata oleh pelaku di tempat kejadian perkara (TKP). Pengujian atas senjata api harus dengan senjata yang digunakan saat peristiwa. Pengujian tersebut juga harus melibatkan warga, saksi dan korban serta ahli balistik, ahli forensik dan institusi independen seperti Komnas HAM.
Tidak dilakukan di lokasi peristiwa Sementara, uji penembakan yang digelar Korps Marinir di Bhumi Marinir Cilandak. Patut kiranya disesalkan. Tindakan tersebut tidak bisa menggantikan kebutuhan adanya uji balistik yang independen. Sebab tidak dilakukan di lokasi peristiwa (locus delictie) dengan mengunakan jenis senjata dan amunisi yang ditembakkan saat kejadian, 30 Mei 2007. Pengujian tembak oleh Korps Marinir tersebut tidak memenuhi ketentuan dasar pengujian penggunaan senjata api. Untuk kasus Pasuruan, kondisi lapangan seharusnya diatur identik dengan tempat kejadian karena hal ini menyangkut pengujian apakah ini peluru langsung atau pantulan. Uji balistik harus diikuti dengan sebuah proses olah Tempat kejadian perkara (TKP) serta rekonstruksi yang menghadirkan saksi peristiwa, serta 13 tersangka pelaku penembakan. Hal ini untuk menentukan posisi pelaku yang menembak korban sehingga dicapai temuan obyektif tentang peluru memantul (ricochet) atau tembakan langsung yang diarahkan ke korban.
Segenap Redaksi Buletin KontraS Mengucapkan: Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1428 H Mohon Maaf Lahir dan Batin
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
7
TUTUR
Mereka Jadi Saksi Tragedi Alas Tlogo: “Sudah ini perintah dari atasan dan dari Bupati, yang macam-macam suruh tembak!” Saksi Jamaatun (48 tahun/Tani).
dikejar dan tertembak lagi dua orang, Rohman dan Erwanto.
P
Munaji masih di tempat semula, dalam posisi duduk sambil ditodong senjata, saksi melihat aparat Marinir maju mengejar warga dan menembak, termasuk ke arah rumah warga bernama Jamaatun. Begitu terdengar tembakan, saksi melihat Chotijah lari ke pintu dapur, terus ada tentara menutup pintu, lalu keluar sambil menangis.
agi hari sebelum terjadi penembakan, Jamaatun sempat melihat anaknya yang bernama Dewi Khotijah (25 tahun) sedang memarut singkong, dan sedang mengobrol dengan beberapa anggota Marinir di teras samping Musholla di depan rumahnya. Jamaatun sempat mendengar pembicaraan tersebut. Anggota Marinir menanyakan “Apa yang sedang dikerjakan? Korban menjelaskan, “Mau membuat rengginang.” Jamaatun kemudian menggendong cucunya yang merupakan anak dari korban tewas Dewi Chotijah, lalu mengajak cucunya untuk jalan-jalan ke arah timur jalan. Di depan langgar/mushalla yang berada di depan rumah H. Soleh, saksi mendengar suara tembakan dan melihat ada korban jatuh. Jaamatun menitipkan anaknya. Saksi melihat ada mayat (di bawah pohon) di sana ada yang meninggal. Jaamatun juga melihat ada seorang wartawan yang lari, mau ditembak oleh aparat Marinir. Jaamatun kemudian lari pakai sepeda motor ke arah timur. Wartawan itu lalu ikut Jaamatun pakai sepeda motor. Setelah itu Jamaatun melihat ada pak Wandi intel Kodim. Jamaatun minta tolong sama pak Wandi. Terus pak Wandi menghubungi seseorang pake HP. Setelah itu terus datanglah semua. Jamaatun pulang ke rumah dan melihat di dapur Dewi Chotijah tergeletak dan telah meninggal.
Saksi Munaji (30 tahun/Tani)
P
ada saat insiden terjadi, Munaji sedang duduk di bawah pohon Mengkudu, bersama Syaiful dan Samad, menyaksikan garapan sambil ngobrol dengan seorang tentara, yang Munaji tidak ketahui namanya. Munaji melihat ada tentara berjumlah sekitar 12 orang di sekitar musholla dan terlihat berbaris mengamankan pengoperasian buldoser.
Munaji melihat warga berjumlah sekitar 30 orang dijalan tidak jauh dari musholla. Munaji mendengar ada seorang warga yang berteriak, “Pak, jangan perang dengan saya, perang kamu di Timur – Timur.” Munaji tidak tahu siapa yang bicara. Aparat Marinir terlihat marah, lalu salah seorang di antaranya berteriak “Nah itu, baju putih itu siapa namanya, wah suruh sini saja, tak tembak itu. Tak lama kemudian, Munaji mendengar tembakan, ‘dor dor’ ke atas. Munaji menerangkan, setelah terdengar suara tembakan, warga berteriak lagi, “Wah jangan musuhi saya, pak, Timor - Timur itu.” Munaji lalu mendengar suara tembakan beruntun ‘dor, dor, dor, dor’. Munaji melihat seorang warga bernama Sutam tertembak di kepala dan langsung jatuh seketika itu, lalu Marinir bergerak maju, warga lari semua,
8
Munaji pindah tempat ke seberang, Munaji melihat terus, Munaji pura-pura mau kencing ke belakang rumah Saupir. Munaji melihat di belakang Nasum minta ampun, tapi tentara tetap menembak, Munaji balik lagi ke tempat sebelum kencing, tentara teriak ke Munaji, “Balik, kalau ndak balik, saya tembak kamu”. Kemudian, ada tentara yang meniup peluit, “Mundur semua”, tentara mundur dan berjejer lagi, ada yang bilang “kehabisan peluru pak”. Munaji dibawa bersama dua orang teman Saksi (Syaiful dan Samat), dibawa ke arah barat sambil Munaji terus ditodong pakai senjata. Munaji disuruh bawa karpet, karpet ini punya tentara yang dibuat untuk duduk – duduk. Dalam perjalanan tentara ada yang bilang, “Ada banyak korban, saya menyesal korban banyak”. Terus Munaji melihat ada tentara yang naik sepeda motor lewat, meninggalkan tentara yang lain. Terus tentara yang lain berteriak “jancok” kepada orang yang mengendarai motor. Menurut saksi, umpatan ini ditujukan pada yang meninggalkan lokasi dengan sepeda motor. Saat itu Munaji masih membawa karpet menuju arah barat sekitar 250 meter. Munaji memanggul karpet sendiri. Setelah dekat dengan mobil, tentara buru-buru naik mobil, terus tentara bilang “Cepat kamu lari, tak tembak kamu nanti”. Munaji lari ke utara, terus pulang.
Saksi Ari alias Pak Misni (59 tahun/Tani).
M
isni berada di lokasi, duduk dibawah pohon beringin, jarak antara Misni dan Marinir sekitar 15 meter. Misni melihat sejumlah aparat Marinir yang berada di lokasi peristiwa berjumlah 13 orang dengan senjata laras panjang. Sehari sebelum peristiwa (Selasa, 29/05), Misni mengetahui ada seorang Marinir yang belakangan diketahui oleh Misni adalah komandan regu mengancam dengan teriakan kepada warga “Bahwa siapa saja yang mencoba menghalang-halangi pembajak tanah akan ditembak mati, “ sambil berteriak anggota Marinir tadi menujukan surat didalam amplop dan menyatakan bahwa dia “Marinir” telah mendapat perintah tugas dari bupati. Sekitar pukul 10.00 Wib, Misni melihat dari jarak sekitar 15 meter Marinir menembak kearah warga dalam posisi datar. Misni menyaksikan sekitar 35 warga yang umumnya perempuan berkumpul dibawah pohon beringin, sekitar 25 meter dari konsentrasi Marinir. Misni mendengar perintah komandan regu
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
TUTUR (Budi Santoso) kepada prajurit Marinir untuk kokang senjata, tidak lama kemudian Misni menyaksikan rentetan tembakan diarahkan kearah warga yang berkumpul di bawah pohon beringin. Saat rentetan tembakan dari arah Marinir, warga yang tadinya berkumpul dibawah pohon beringin lari tungganglanggang mencari tempat yang aman, umunya warga berlari kearah rumah-rumah warga disekitar lokasi penembakan. Misni menyaksikan korban dikejar dan ditembak dari jarak sekitar 35 meter diarah timur, korban terjatuh setelah tertembak di bagian belakang tembus kebagian dada. Korban seorang ibu, Mistin yang saat itu mengendong anaknya Choirul Agung terjatuh dan peluru menembus dada korban Choirul. Korban Mistin tewas sedangkan anaknya Choirul langsung dilarikan oleh warga kerumah sakit.
Saksi Samat (49 tahun), laki-laki (Tani)
S
amat berada dilokasi persisnya di hadapan didepan Marinir. Posisi Samat berada di bawah pohon mengkudu. Samat melihat jam delapan pagi pembajakan di sumber Anyer. Saat itu Marinir sudah ada disitu. Setelah jam sembilan pindah ke Alas Tlogo.
Samat mengatakan dengan tegas bahwa tidak ada tembakan peringatan sebelumnya. Samat yang saat itu duduk didekat kaki Marinir berdiri dan mengangkat kedua belah tangan sambil berkata “Pak-Pak-Pak jangan emosi, seberapa kekuatan warga itu pak” Samat mengatakan, setelah berkata seperti itu, Marinir berkata : “Melawan kamu !”. Kepala Saksi langsung dipukul dengan menggunakan tangan. Samat mengatakan mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh lima orang anggota Marinir, ditendang dengan menggunakan sepatu lars, dipukul dengan menggunakan popor senjata pada rahang sebelah kiri.
Saksi Atini (31 tahun/Tani/Ibu Rumah Tangga).
A
tini mengatakan sebelum dan saat ketika kejadian terjadi, penembakan berdiri di depan di halaman rumah, berdiri bersama ibu yang lain sambil memomong anak dan (Dok. Tim Investigasi Insiden Pasuruan) berbincang diantara mereka. Atini mendengar ada suara tembakan dari Marinir, dan dirinya sangat terkejut dan takut.
Atini mengatakan ibu-ibu yang ada di halaman tersebut langsung membubarkan diri dan lari ketakutan mendengarkan suara tembakan tersebut. Atini Samat mendengar ada sempat mendengar ucapan pengumuman di musholla dan dari anggota Marinir : “Sudah masjid yang ada pengeras ini perintah dari atasan dan dari suara, mengajak warga untuk Bupati, yang macam-macam suruh berkumpul. Samat melihat tembak”! Atini mengaku hingga aparat Marinir menyebar ke Akibat luka tembak oleh TNI-AL di Pasuruan saat ini dirinya mengalami beberapa titik yang letaknya rasa takut sampai badan tidak jauh dari posisi dirinya. merasa meriang jika Samat melihat ada sejumlah warga berkumpul dan diantaranya mengatakan “Jangan dibajak, mengingat tentara yang menembaki warga secara langsung pak, itu lahan sengketa”. Aparat Marinir tak menghiraukan dan membabi buta. perkataan warga. Samat melihat ada seorang warga yang mengantarkan sepucuk surat (dari pengadilan Tinggi Surabaya) Saksi Saupir (35 tahun/Tani) yang isinya mengenai proses hukum di tingkat banding. Namun surat tersebut tidak dibaca oleh aparat Marinir. aupir berada di depan halaman rumah pada saat kejadian yang tidak jauh dari lokasi TKP. Saupir mendengar warga Samat mendengar ada aparat Marinir berkata “Mana yang ngantar yang protes. Saupir melihat sejumlah warga lain. Dirinya surat tadi itu? Sudah tembak saja.”. Samat mendengar seorang warga juga melihat korban Sutam datang membawa sepeda, berkata “Tembak apa, pak? Paling itu tidak ada pelurunya. Paling peluru kemudian Sutam berdiri di depan teras rumah warga Saipir. karet.” Kemudian saksi mendengar ada warga yang mengoceh lagi tapi tidak begitu jelas apa yang diocehkan itu. Saksi Pada saat itu Saupir melihat Sutam sedang mengenakan mendengar dari suara dari Marinir yang mengatakan “Sudah caping (topi petani), duduk sambil melinting rokok. Tiba-tiba yang ngoceh ditembak saja”. Samat melihat anggota Marinir yang Saupir mendengar suara tembakan dan Saupir seketika itu lain tetap diam saja. Samat mendengar warga mengoceh , juga langsung lari ke belakang rumah. Dalam upaya melarikan kemudian Samat mendengar Marinir tersebut berkata : “Pasang diri tersebut, Saupir melihat seorang warga bernama Nasum peluru tajam.” Samat melihat dan mendengar pemasangan peluru tertembak di depan Saupir. Tapi Saupir terus berusaha “trek-trek-trek-trek”. Setelah itu Samat mendengar perintah dari menghindar dari lokasi kejadian sampai situasi kembali Marinir “Sudah tembak” , dan terdengar rentetan suara “tret-tet- tenang dan kemudian akhirnya pulang ke rumahnya. tet-tet-tet.”
S
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
9
TUTUR Saksi Misnatun (36 tahun/Tani)
S
ebelum kejadian, korban ada di lokasi menyaksikan pembajakan tanah. Rumah korban berada persis di depan tempat tentara ngumpul. Misnatun berada dalam jarak posisi yang cukup dekat dan mendengarkan pembicaraan Marinir. Misnatun mendengar suara warga yang datang dari arah timur mengatakan : “Pak kalau mau bertempur jangan disini, di Timor-Timur sana !”. Misnatun mendengar ada Marinir yang berkata “Nah itu perlu dicatat, nanti ditembak mati, baju apa itu!”. Misnatun mendengar Marinir berkata “Mana Kepala desa kalian, kalau datang bunuh duluan, nanti seret ke barak”. Saksi tidak mendengar adanya suara tembakan peringatan. Misnatun mendengar rentetan suara tembakan. Misnatun melihat sembilan orang tentara yang menggunakan senjata laras panjang semuanya melakukan penembakan. Misnatun mengenal salah satu anggota Marinir tersebut bernama Agus. Misnatun melihat saksi korban Samat dipukuli dengan menggunakan popor senjata setelah Samat mengatakan “Pak jangan emosi pak!” Misnatun berjalan pelan-pelan sambil mengangkat tangan dan kemudian lari kearah utara sampai kuburan.
ini, saya tembak di tempat karena saya mendapat komando pusat dari jakarta dan dari Bupati Pasuruan. Kalau kalian tidak percaya, ini bukti suratnya.” Saat itu Budi menunjukkan sebuah amplop surat , tapi tidak dibuka. Budi melanjutkan lagi, “Kalau kata komandan hitam ya, hitam, kalau merah ya merah. Kalau memang tidak percaya, lihat itu pelurunya”, “Tunjukkan pelurunya, ini peluru asli”. Rabu tanggal 30/05, dirinya bermaksud ke tempat pembajakan. Sebelum sampai ketempat tersebut lebih kurang 30 meter , ia melihat dan mendengar terjadi sebuah penembakan disitu. Muchtar lari memutar arah menjauhi sumber tembakan tersebut.
Saksi Solihin (38/Tani).
S
olihin mendengar dari beberapa orang warga, termasuk juga Muchtar, bahwa sebelum peristiwa kekerasan pada tanggal 30 Mei, pada hari Selasa/29 Mei, sejumlah warga telah meminta agar aparat penggarapan lahan dihentikan. Solihin menerangkan bahwa aparat Marinir meminta “Jika mau dihentikan panggil tokoh-tokoh dulu, nanti tak tembak.”
Solihin melihat penembakan dari jarak jauh, karena datang ke lokasi tempat kejadian perkara (TKP). Di tengah terjadinya Saksi Muchtar, (Tani). peristiwa kekerasan dan penembakan. Solihin merasa (Dok. Tim Investigasi Insiden Pasuruan) enggan untuk masuk dan berada uchtar mengatakan bahwa di lokasi TKP karena ia merasa satu hari sebelum kejadian Rekontruksi peristiwa Alastlogo Pasuruan masih menjadi TO (Target tersebut, yaitu pada hari Selasa/ Operasi) bersama Sutam yang 29/05, Ia melihat ada traktor yang juga menjadi TO. Solihin membajak di lokasi garapan, dan saat itu sudah ada tentara disana. Muchtar melihat ada warga menerangkan bahwa dirinya menjadi TO karena selama ini yang mendatangi lokasi tersebut. Muchtar mendengar ada dinilai cukup keras dalam masalah tanah yang ingin dikuasai seorang anggota TNI AL yang bertanya “Ada apa ini kok banyak oleh aparat dan perusahaan Rajawali. Dirinya pernah orang.” Lalu ada warga yang menjawab, “nggak apa-apa pak, mengalami intimidasi dari aparat, di mana warungnya pernah dirobohkan oleh aparat dengan menggunakan tali yang ditarik dia itu masih ada tanaman di lahan (yang digarap perusahaan) ini.” dengan tank militer. *** Muchtar mendengar pimpinan tentara yang bernama Budi mengatakan : “Siapapun yang menghalangi saya membajak tanah
M
“Negara pihak pada kovenan ini berjanji untuk menjamin hak yang sama laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang tercantum dalam konvenan ini” (Pasal 3: Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya)
“Negara pihak dalam konvenan ini mengakui hak setiap orang atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial” (Pasal 9: Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya)
10
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
OPINI
Meneropong Alas Tlogo Usman Hamid Koordinator Badan Pekerja Kontras
K
ita perlu memahami logika sistemik penyebab insiden Alas Tlogo, Pasuruan, Jatim, kemudian mencari cara penyelesaian yang tepat. Penyelesaian yang tepat punya makna strategis bagi korban dan kepentingan umum, khususnya dalam konteks penataan reforma agraria. Setidaknya ada tiga masalah fundamental yang terefleksikan dari insiden Alas Tlogo pada 30 Mei lalu. Pertama, terjadinya sebuah tindak kekerasan dan disertai penembakan terhadap warga sipil di Desa Alas Tlogo, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan, Jatim. Akibat insiden itu, empat warga sipil tewas seketika dan delapan lagi mengalami luka-luka. Selain itu peristiwa ini juga menimbulkan penderitaan mental dan psikologis pada korban luka dan keluarga korban, serta warga desa pada umumnya.
di Indonesia. Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat 2.810 kasus konflik agraria. Ketiga, ada kesan kuat TNI-AL selalu menyatakan warga sebagai pihak yang melanggar hukum dalam sengketa kedua belah pihak. Meski proses hukum sementara memihak kepada TNI-AL, banyak pihak masih mempersoalkan manajemen pertanahan TNI-AL.
TNI-AL kemudian melakukan komersialisasi aset dengan memberikan sertifikat hak pakai (hingga tahun 2018) seluas 2.600 ha (73% lahan) kepada PT Kebon Grati Agung yang merupakan anak perusahaan PT Rajawali Nusantara. Komersialisasi ini salah dilihat dari aspek legal formal. UU Nomor 5 Tahun 1960 (Pasal 10) tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Pasal 76 UU Nomor 34/ 2004 tentang Tentara (Dok. Tim Investigasi Insiden Pasuruan) Nasional Indonesia, yang mengharuskan negara Kedua, insiden Alas Tlogo Korban wafat peristiwa Pasuruan 30 Mei 2007 menghentikan bisnis berakar dari sengketa militer. Presiden perlu tanah antara warga dan segera mengeluarkan peraturan presiden (perpres) untuk TNI-AL sejak 1960. Sengketa ini berlangsung lewat proses peradilan maupun lewat proses politik. Ketika itu KKO meminta mengakhiri bisnis-bisnis militer di mana pun. warga Alas Tlogo menyerahkan lahan kepada KKO, dengan Jadi, pemerintah ditantang memberi jawaban atas masalah alasan akan dijadikan landasan pesawat terbang. fundamental itu. Menyerahkan masalah tanah ke pengadilan Pada masa Orde Baru, setidaknya hingga 1984, lahan tersebut bukan langkah tepat. Karena itu, jika pengadilan dikelola Puskopal, ditanami pohon jarak dan palawija. Tahun memenangkan warga, TNI-AL tetap perlu diberi tanah sebagai 1984, keluar SK KSAL Nomor Skep/675/1984 tanggal 28 Maret area latihan tempur. Begitu pula jika warga kalah di 1984 yang menunjuk Puskopal, dalam hal ini Yayasan Sosial pengadilan, negara tetap wajib menyediakan tanah untuk rakyat, khususnya petani miskin di Alas Tlogo. Bhumyamca (Yasbhum), sebagai pengelola. Namun Desa Alas Tlogo hanya satu dari sekitar 11 desa yang memiliki sengketa dengan TNI-AL. Lebih jauh lagi, wilayah Pasuruan hanya satu di antara banyak persoalan sengketa tanah
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
Soal kekerasan militer, sebaiknya tak lagi menggunakan pengadilan militer. Kita ingin lebih objektif agar kita dapat memenuhi amanat reformasi.***
11
JEJAK SANG PENJUANG JEJAK SANG PEJUANG
Saksi Kunci Ongen, Komitmen Jaksa Agung Baru dan Kedatangan Hina Jilani Penyelidikan kepolisian kian berkembang. Meski masih mengumpulkan bukti-bukti untuk membawa Indra Setiawan ke pengadilan, polisi juga tengah memeriksa Ongen Latuihamalo sebagai salah satu saksi kunci. Sementara Jaksa Agung yang baru menegaskan komitmennya untuk memperkuat bukti-bukti baru dalam pengajuan Peninjauan Kembali. Di sisi lain, Hina Jilani, Utusan Khusus PBB untuk Pembela HAM mengingatkan bahwa kasus Munir merupakan ujian bagi pemerintah untuk melindungi pembela HAM di Indonesia Pada awal Mei, tim penyidik kepolisian masih menyelidiki Indra Setiawan, mantan Direktur Garuda Indonesia yang mulai ditahan di Mabes Polri sejak April lalu. Dari beberapa rangkaian penyidikan yang telah dilakukan, tim penyidik mengalami kesulitan membuka satu dari dari handset telepon seluler milik Indra Setiawan. “Sofware-nya tidak kompatibel,” ujar Heru Susanto, salah satu pengacara Indra Setiawan, setelah mendampingi Indra di Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI (1/05). Sedangkan satu handset yang dapat dibuka adalah telepon seluler merek Nokia tipe 9300i. Dari handset ini, penyidik berhasil membuka data yang dimiliki Indra dari November 2006 hingga sekarang. Namun penyidik tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Sementara handset telepon seluler lainnya tidak bisa dibuka. Heru juga menjelaskan, selain handset, penyidik menyita 19 disket milik Indra. Dari jumlah itu, penyidik baru bisa membuka satu disket. “Isinya materi simposium di London,” ujarnya. Namun, juru bicara Mabes Polri, Inspektur Jenderal Sisno Adiwinoto, membantah tudingan pengacara Indra itu. Menurutnya, penyidikan kasus kematian Munir tidak terpaku pada satu barang bukti. Polisi terus mengembangkan penyidikan itu dengan mengumpulkan alat bukti yang akan dibawa ke pengadilan. “Penyidikan tidak selesai pada dua tersangka itu (Rohainil Aini dan Indra Setiawan). Penyidik mempunyai alat bukti lain,” ujarnya. Sisno mempersilakan pihak pengacara menyampaikan pendapatnya. Penyidik, kata dia, tidak akan terpengaruh dengan pernyataan mereka.
Pertanyaan tentang BIN Lebih lanjut pengacara tersangka Indra Setiawan dan Rochainil Aini mengatakan bahwa tim penyidik membuka telepon Indra Setiawan setelah dia mengaku tidak pernah berkomunikasi dengan orang dari BIN. “Seperti pertanyaan yang lalu, pertanyaan pada keduanya sama saja. Yakni, apakah mengenal orang-orang dari BIN. Dan dijawab yang sama pula, kenal dengan orang BIN karena sebagai dirut BUMN, tentu sering bertemu dalam acara-acara. Namun, tidak pernah berkomunikasi,” ujar Heru. Menurutnya, dalam proses itu juga ditanyakan kembali hubungan antara Kepala
12
BIN Hendropriyono dengan mantan deputi V BIN Mucdhi PR.”Jawabannya juga sama. Sebatas kenal, tapi tidak berkomunikasi, “ kata Heru. Terkait dengan proses hukum yang tengah dilakukan, kriminolog Universitas Indonesia Adrianus Meliala menilai kalau ada anggota intelijen tertangkap polisi, berarti ia gagal. Sebab, intelijen adalah sebuah aktivitas di luar hukum. Ia bekerja hanya dan untuk kepentingan politik negara. Namun, kata Andrianus, kegagalan sebuah operasi intelijen tidak dilakukan dalam kerangka pertanggungjawaban hukum, tapi pertanggungjawaban politik. Menurutnya, cara berpikir yang mengaitkan kematian Munir dengan operasi intelijen merupakan cara berpikir post hoc facto. “Kita bisa menduga tapi sulit menunjuk siapa,” kata Andrianus. Relasi antara kekuasaan politik dan operasi intelijen, terwujud dalam relasi antara presiden dan kepala BIN. Operasi intelijen, juga bisa memakai pihak lain di luar intelijen untuk melancarkan tujuan. Karena itu, menurut Andrianus, pengungkapan kasus Munir oleh polisi akan sangat sulit jika harus menyentuh sebuah skema operasi intelijen. “Polisi harus mengusut unsur barang siapanya, bukan ke intelijennya. Kalaupun polisi masuk ke intelijen, paling yang terungkap sebatas keterlibatan Indra Setiawan,” ungkap Andrianus. Polisi menurutnya, juga harus bisa mengonstrusikan sebuah bangunan pidana dengan mengungkap sejumlah fakta antara lain rekaman telepon antara Pollycarpus BP dan Mucdhi.
Putusan Garuda jadi pertimbangan Di sisi lain, putusan PN Jakarta Pusat yang mengabulkan sebagian gugatan perdata Suciwati terhadap PT Garuda Indonesia (03/05), ternyata juga akan menjadi bahan pertimbangan dan evaluasi penyidikan kasus Munir. “Apapun yang terkait dengan kasus Munir akan didalami oleh penyidik, termasuk evaluasi dan masukan dari hakim, menjadi bahan pertimbangan,” ujar Inspektur Jenderal Sisno Adiwinoto. Sisno mengatakan putusan yang menyatakan Garuda telah lalai menjadi bahan pertimbangan penyelidikan kasus ini. Ia menegaskan seluruh hal yang terkait dengan kasus terbunuhnya Munir akan diperiksa penyidik. Adapun, hal-hal yang bisa
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
JEJAK SANG PENJUANG JEJAK SANG PEJUANG memperkuat hasil penyelidikan, telah dievaluasi kepolisian agar hasilnya tidak keliru. Sementara itu, usai memimpin rapat koordinasi Kapolda seJawa-Bali di Jakarta, Kapolri Jenderal Sutanto, sudah menyatakan melakukan langkah-langkah penyidikan. Sutanto menegaskan, siapapun yang mengarah pada tersangka kasus Munir, pasti akan diperlakukan sama. Ditanya bagaimana jika tersangka baru mengarah pada petinggi di lingkungan BIN, Sutanto kembali menegaskan, “Siapa pun, si A atau si B pasti akan kami usut.”
Nota Kesepakatan Polri dan PT Telkom
Menurutnya, kejaksaan harus menyiapkan novum dengan alat bukti yang benar-benar kuat. Sebab, jika tidak yakin dengan novum, upaya PK dapat kandas di tengah jalan. “Kejaksaan kan hanya punya kesempatan PK satu kali. Nah, kalau gagal habis kita,” tegas Hendarman tanpa memperjelas persiapan novum. Yang jelas, upaya tersebut diilustrasikan seperti membangun fondasi bangunan yang tahan menghadapi terpaan angin ribut. Hendarman menambahkan, kejaksaan terus memantapkan persiapan pengajuan PK. Diantaranya, mengadakan pertemuan untuk memaparkan bahan-bahan pengajuan PK pada Senin (14/05). “Kami masih mempelajari bahan-bahan tersebut,” jelasnya. Hal senada diungkapkan oleh JAM Pidum Abdul Hakim Ritonga, yang menegaskan bahwa kejaksaan dan Polri tengah menyatukan pendapat, antara lain untuk menentukan alasan apa yang akan digunakan dalam pengajuan PK.
Untuk mendukung kinerja penyidikan, Polri melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman dengan PT Telkom (3/5). Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Makbul Padmanagara “Setiap Fakta atau mengatakan bahwa kemampuan teknologi peristiwa merupakan suatu yang dimiliki Telkom sangat dibutuhkan hal yang tidak dapat Polri dalam kinerjanya. “Kita butuh dukungan telekomunikasi yang baik karena ditiadakan, dengan tanpa jaringan Telkom saat ini tergelar sampai ke meniadakan kerugian itu pelosok-pelosok, hingga mencapai sendiri, sehingga dengan tingkatan polsek,” ujar Makbul.
Pada akhirnya, empat hari setelah penyataan diatas, terungkap bahwa Kejaksaan Agung akan menganut conditio sine qua non dalam pembuktian secara tuntas kasus ini. Hal ini ditegaskan oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji (14/05). demikian dapat dikatakan “Opsi conditio qua non merupakan opsi yang bahwa tanpa termaksud, paling bagus dari tiga opsi yang ada,” kata Untuk penyadapan dalam rangka Hendarman. Meski demikian, ia tidak penyidikan, Telkom siap membantu selama kerugian itu tidak akan menyebutkan dua model yang lainnya. tidak bertentangan dengan aturan hukum. terjadi.” “Satu model yang dipilih itu adalah “Selama itu memang secara undang-undang gabungan bentuk A dan B. Rencananya, kita diizinkan, diperbolehkan, ya kita mengikuti akan menambahkan model yang gabungan undang-undang,” ujar Direktur PT Telkom Rinaldi Firmansyah. Saat ditanya soal kemungkinan Telkom itu dengan keterangan saksi-saksi,” katanya. membantu Polri dalam kasus pembunuhan Munir terkait dugaan hubungan telepon antara Pollycarpus dengan mantan Conditio Sine Qua non : Setiap Fakta atau peristiwa merupakan suatu Kepala Deputi V BIN Mucdhi PR, Rinaldi hanya menjawab, “Saya hal yang tidak dapat ditiadakan, tanpa meniadakan kerugian itu sendiri, perlu cek dulu ya. Kalau semuanya direkam, itu akan berapa sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa tanpa termaksud, kerugian itu tidak akan terjadi. banyak,” ujarnya.
Komitmen Jaksa Agung baru Setelah dilakukan reshuflle kabinet oleh Presiden SBY (7/05), dalam acara serah terima jabatan Jaksa Agung, Abdul Rahman Saleh meminta Hendarman Supandji, Jaksa Agung yang baru agar tidak melupakan kasus Munir, selain kasus BLBI dan kasus Soeharto. “Jangan lupakan kasus Munir, tokoh penegak HAM yang diracun di maskapai penerbangan nasional. Skandal itu paling memalukan penegak hukum nasional. Saya mendesak Pak Sutanto (Kapolri) mencari novum dan pembunuh harus bertanggungjawab, “demikian ditegaskan oleh Abdul Rahman Saleh saat itu. Hendarman Supandji menyambut positif. Ia meminta Mabes Polri untuk melengkapi alat bukti petunjuk yang memungkinkan dapat memperkuat bukti baru (novum). Ini dilaksanakan sebelum kejaksaan agung mendaftarkan peninjauan kembali (PK) atas bebasnya Pollycarpus dalam kasus kematian Munir. “Permintaan itu diajukan JAM Pidum (pidana umum),” katanya.
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
Hendarman mengakui bahasa conditio sine qua non sangat teknis, sehingga kalau diungkapkan, anggota masyarakat belum tentu mengetahuinya. Ia menjelaskan, opsi itu pembuktian adanya satu peristiwa pembunuhan, dimana pembunuhan itu ada. “Mulai dari 41 kali telekomunikasi telepon, kemudian adanya hubungan antara terdakwa sampai posisi pembunuhan semua kita perinci, kemudian ada saksi yang menemukan adanya pertemuan di Changi, Singapura. Itu kita dalami, kemudian ada saksi sebelum peristiwa itu menjadi sebab terjadinya suatu tindakan pidana,” tegas Hendarman. Terkait dugaan adanya konspirasi atas terbunuhnya Munir, ia mengutarakan, bukan dalam arti komplotan, tapi yang harus dibuktikan dulu adalah bahwa pembunuhan itu ada, seseorang yang melakukan, kemudian dalam pengembangan selanjutnya itu tidak sendirian.” Itu harus dirumuskan semuanya. Kita berdiskusi terus dengan polisi untuk fokus pada conditio sine qua non itu,” katanya.
13
JEJAK SANG PENJUANG JEJAK SANG PEJUANG Jaksa Agung, mengharapkan akhir Mei ini Polri telah memeriksa para saksi itu. “Saya sudah meminta JAM Pidsum segera berkoordinasi dengan Bareskrim Mabes Polri guna mendapatkan beberapa saksi baru,” kata Hendarman. Sedang pada (14/05) secara tertutup, Jaksa Agung melakukan ekspos kasus Munir di lingkungan Kejasung. Ekspos yang dilakukan Hendarman adalah penjelasan konsep conditio sine qua non.
Ongen saksi kunci
April lalu. Setelah itu, ia yang berprofesi sebagai penyanyi sempat pentas ke Belanda dan kembali lagi ke Indonesia pada 20 April 2007. Dua penyidik polisi mengajak Ongen untuk menjalani prarekonstruksi di Bandara Changi, Singapura, tanpa didampingi penasehat hukumnya. Namun, saat itu mereka hanya berjalan-jalan dan melihat-lihat situasi bandara sebab lokasi Coffe Bean, yang disebut-sebut merupakan persinggahan Munir, telah berpindah lokasi. Ongen mengaku menyaksikan Munir dengan seseorang di Coffe Bean itu. Tetapi, ia mengaku tidak pernah berinteraksi dengan Munir saat itu. Keberadaannya di Changi dalam rangka kepergiannya ke Belanda.
Mabes Polri mengatakan bahwa Ongen Latuihamalo sebagai saksi kunci dalam kasus terbunuhnya Munir. Karena itu Orgen mendapatkan perlindungan khusus dari pihak kepolisian. “Terjadinya pembunuhan adalah di Changi (bandara di Singapura). Sehingga, ada beberapa saksi termasuk Ongen, yang “Berdasarkan hasil merupakan saksi yang betul-betul nantinya visum et repertum dapat membuka terjadinya peristiwa laboratorium, dapat terhadap Munir,” papar Kepala Bidang disimpulkan bahwa Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Mabes terjadinya intake arsen Polri, Komjen Pol Bambang Hendarso Dahuri. diduga pada saat
Terkait dengan hal itu, Kepala Bidang Penerangan Umum (Kabidpenum) Divisi Humas Mabes Polri Kombes Pol Bambang Kuncoro, membenarkan hasil pemeriksaan beberapa kali terhadp Ongen oleh Mabes Polri. Pemeriksaan itu menunjukkan adanya perkembangan yang signifikan bagi Polri dan Kejaksaan, terutama untuk kepentingan guna memperkuat novum, “ ujar Bambang. “Keterangan korban berada di Ongen menguatkan novum dalam rangka PK Penetapan saksi penting ini, termuat dalam Bandara Changi, melawan Pollycarpus yang telah dinyatakan bebas alat bukti baru (novum) dalam peristiwa S i n g a p u r a . ” oleh pengadilan karena dalam kasus tersebut hanya keterangan ahli terbunuhnya Munir. Dikatakannya, novum kedokteran forensik. didakwa memalsukan surat keterangannya. Ada itu didapat dari hasil laboratorium di Seattle, hitam di atas putih. Dia (Ongen), kita ambil Amerika Serikat, pemeriksaan saksi ahli, dan keterangannya guna memperkuat novum, “ ujar para saksi lainnya. Dalam hasil laboratorium disebutkan, arsen yang masuk ke dalam tubuh korban adalah Bambang. Tapi, ia menambahkan, polisi belum menetapkan tersangka baru selain Indra Setiawan dan Rohainil Aini. jenis AS+3 dan AS+5. Sedangkan, keterangan ahli toksikologi forensik menyimpulkan, intake arsen ke dalam tubuh korban, terjadi antara 8-9 jam sebelum kematian. Padahal, korban Munir diperkirakan meninggal dunia tiga jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schippol, Amsterdam, Belanda. Sedangkan, waktu tempuh penerbangan Singapura-Belanda 12 jam. “Dari keterangan ahli kedokteran forensik, berdasarkan hasil visum et repertum laboratorium, dapat disimpulkan bahwa terjadinya intake arsen diduga pada saat korban berada di Bandara Changi, Singapura.” Karena itulah, para saksi yang tampak bersama dengan Munir pada saat almarhum transit di Singapura, dalam perjalanannya ke Belanda, memegang kunci dalam menguak peristiwa tersebut. Saat itu, selain Pollycarpus, Ongen juga disebutkan terlihat di dekat Munir di Changi. Sementara itu, dalam konferensi pers yang diadakannya, Ongen yang didampingi pengacara Ozhak Emanuel Sihotang, menegaskan, ia tak mengenal Pollycarpus. Ia juga mengatakan tak pernah berinterkasi fisik atau berkomunikasi dengan Munir. Ongen merasa hanyalah orang sedang berada di tempat yang salah menjelang kematian Munir. “Saya memang seperti berada di tempat yang salah. Tetapi, itu saya tabah. Saya mencoba lebih dekat dengan Tuhan,” katanya. Ongen memutuskan muncul terbuka setelah ia beberapa kali memberi keterangan pada kepolisian sejak 2
14
Lengkapi Bahan PK Hingga minggu pertama bulan Juni, bahan-bahan yang dimiliki Kejaksaan Agung masih belum cukup bukti sebagai bukti baru untuk mengajukan PK atas keputusan Mahkamah Agung dalam perkara pembunuhan Munir. “Masih dibutuhkan lagi keterangan dari sejumlah saksi untuk melengkapi bahan-bahan yang dinilai masih tercerai-berai, menjadi satu kesatuan, “ kata Jaksa muda Tindak Pidana Umum Abdul Hakim Ritonga mengenai bahan-bahan yang saat ini dimiliki Kejaksaan agung dalam upaya mengajukan PK (9/05). “Dari pertama, keterangan sudah ada, tapi ini belum nyambung. Butuh kesaksian. Enggak tahu (saksinya) siapa menurut polisi yang pas. Kami hanya menilai sudah cukup alasan atau tidak,” katanya. Hari Kamis (7/06), polisi menyerahkan tambahan bukti baru berupa kesaksian Ongen yang sudah tertuang dalam berita acara pemeriksaan. Hingga saat ini, menurut Ritonga, jaksa tetap yakin Pollycarpus terlibat dalam pembunuhan Munir. “Namun hakim tidak yakin,” katanya. Sedangkan, polisi kembali (8/05) meminta keterangan dari Pollycarpus sebagai saksi. Polly diperiksa sebagai saksi untuk tersangka mantan Indra Setiawan. Kadiv Humas Polri Irjen Sisno Adiwinoto mengatakan, tidak tertutup kemungkinan penyidik polisi mengonfrontasikan hasil pemeriksaan terhadap Ongen
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
JEJAK SANG PENJUANG JEJAK SANG PEJUANG dengan keterangan dari Pollycarpus atau siapa pun yang terkait dengan perkara Munir. Sementara itu, Jaksa Agung Hendarman Supadji mengatakan kepolisian menemukan lebih dari 10 motif pembunuhan Munir. “Itu terungkap dalam rapat antara kejaksaan dan kepolisian,” ujar Hendarman. Penyebab kematian Munir yang tewas dalam perjalanan menuju Amsterdam, Belanda (07/ 09/2004), katanya, dipastikan karena diracun. “Tapi tidak ada orang yang melihat siapa yang memasukkan racun ke tubuh Munir,” ujar Hendarman (8/05). Hendarman enggan menjelaskan berbagai motif tersebut. Yang jelas, katanya, motif itu sedang didalami oleh penyidik Mabes Polri. “Ini untuk lebih menyakinkan apa penyebabnya (Munir dibunuh),” katanya. Hendarman, menambahkan, bukti baru untuk peninjauan kembali kasus Munir sudah ada, berupa kesaksian. Meskipun saksi tidak secara nyata melihat proses peracunan. “Rentetan sebab-sebab kematian Munir semakin jelas dan terang,” katanya. Kapolri Jenderal Sutanto pernah mengungkapkan sejumlah motif ini. Di antaranya, kasus ini terkait dengan pemilihan presiden tahap kedua pada September 2004 dan karena banyaknya kalangan yang tak suka terhadap perjuangan Munir membela HAM. Isteri Munir, Suciwati, mengungkapkan motif lain, yaitu perihal kebocoran dana operasi darurat militer Aceh senilai Rp 2 triliun, keberangkatan Munir ke Belanda yang dianggap dapat mempersulit pengadaan kapal korvet oleh TNI Angkatan Laut, serta pemalsuan uang oleh BIN yang hendak dibongkar Munir.
Kedatangan Hina Jilani Di sela-sela proses hukum yang tengah berlangsung, utusan khusus Sekjen PBB untuk Pembela HAM, Hina Jilani mengunjungi Indonesia (5/05-13/05). Ia datang untuk memantau perkembangan penghormatan HAM pembela HAM di Indonesia, termasuk penuntasan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir. Saat bertemu dengan Ketua Mahkamah Konstitusi (KY), Hina Jilani, meminta pemerintah pemerintah Indonesia memerhatikan perlindungan para pembela HAM. Perlindungan terhadap keselamatan semua pembela HAM adalah sesuatu yang sangat penting. Ia juga menjelaskan, meski ia membawa wacana HAM, ia memfokuskan pada perlindungan keselamatan aktivis pembela HAM, termasuk bagaimana mereka bekerja. Aktivis pembela HAM itu bisa wartawan, pengacara, dan pengiat LSM. Hina Jilani juga akan memberikan waktu khusus untuk bertemu dengan KASUM. “Dia ingin mengetahui seluk beluk penuntasan kasus Munir. Apa yang sesungguhnya terjadi, lalu (mengapa) sekarang belum selesai,” ujar Usman Hamid. Menurutnya, pertemuan dengan Hina Jilani akan dilakukan tertutup. Dia juga mengakui bahwa salah satu alasan kedatangan utusan khusus Sekjend PBB itu terkait dengan
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
lambannya penuntasan kasus Munir. Sebelumnya, Hina Jilani telah mengirimkan surat resmi kepada pemerintah Indonesia untuk mempertanyakan tindak lanjut kasus ini. Namun pemerintah Indonesia tidak memberikan tanggapan.
KASUM bertemu Hina Jilani Pada Sabtu (9/06) Hina Jilani mengadakan pertemuan tertutup dengan Suciwati dan KASUM di kantor sekretariat KASUM. Pada pertemuan yang dimulai pada pukul 18.00, Hina Jilani ditemani oleh stafnya, Guillaume, sementara KASUM diwakili Suciwati, Asmara Nababan, Usman Hamid, Choirul Anam, Rusdi Marpaung, Indria Fernida dan Indra L. Seusai pertemuan sekitar pukul 18.40 WIB, Hina yang memakai pakaian khas Pakistan dengan warna dominan hitam kepada wartawan hanya mengatakan, “Saya bermaksud mendapatkan data-data untuk melengkapi laporan saya tentang kasus Munir. Hal lain akan saya jelaskan kepada pres pada 12 Juni,” ujar Hina. Sedangkan Suciwati mengaku, pasca pertemuan itu ia memiliki harapan tinggi agar pemerintah lebih serius menangani kasus Munir. “Serius bisa sampai bisa ketemu motifnya. Pertemuan itu akan semakin menguatkan dukungan internasional terhadap penuntasan kasus ini,” ujarnya. Ketua KASUM, Asmara Nababan menyatakan, kedatangan Jilani memperkuat fakta bahwa dunia internasional memberi perhatian khusus pada kasus Munir. Karena itulah, komitmen pemerintah menuntaskan kasus Munir harus jelas bila dikaitkan dengan posisi Indonesia yang telah meratifikasi sejumlah konvenan HAM serta menjadi anggota Dewan HAM PBB. Karenanya, Asmara yakin kedatangan Hina Jilani akan membantu kasus Munir. Dia mencontohkan tekanan internasional dalam penyelesaian kasus pembantaian Santa Cruz 1991. Tekanan itu membuat Indonesia mengubah sikapnya terhadap HAM hingga membentuk Komnas HAM. “Itu karena tekanan internasional. Kasus Munir dengan Santa Cruz beda. Tapi tekanannya juga bisa lebih keras. Karena internasional akan mempertanyakan posisi kita sebagai anggota Dewan HAM PBB.” Sedangkan Usman Hamid menambahkan, dalam pertemuan itu pihaknya menginformasikan penilaian terhadap penyidikan kepolisian yang dianggap menunjukkan kemajuan. Namun ia juga mengungkapkan kendala yang muncul dalam proses ini. Hambatan itu, antara lain kecilnya akses informasi Suciwati terhadap hasil penyelidikan Polri. Dan rencana peninjauan kembali yang diajukan Kejaksaan Agung. Menurut Usman, hambatan terhadap akses itu sudah dialami Suciwati sejak Munir meninggal. “Sehingga kita menekankan setelah kunjungan Hina Jilani, ada akses yang lebih baik yang dimiliki Suciwati,” ujar Usman. Hambatan lain, adalah tertutupnya penyelidikan kasus itu saat proses membongkar hubungan telepon Mucdhi PR dengan Pollycarpus. Dalam siaran persnya (12/06), Hina Jilani menjelaskan soal kepedulian internasional terhadap kasus terbunuhnya Munir. Ia mengatakan, “Kasus itu secara pribadi merupakan kasus istimewa. Saya sudah menyampaikan pemikiran dan
15
JEJAK SANG PENJUANG
pandangan saya kepada pemerintah Indonesia. Saya berharap selama rangkaian masa tugas bisa mengemukakan persoalan ini kepada pejabat yang saya temui dan bisa mendapatkan masukan-masukan dari mereka.”
Dukungan masyarakat Kanada Tak henti mencari keadilan, selama seminggu pada bulan Mei, Suciwati bertandang ke Kanada. Dia diundang oleh Internasional Centre for Human Rights and Democratic Development (ICHRDD). Organisasi nonpartispan itu dibentuk Parlemen Kanada pada tahun 1988. Tujuannya adalah mempromosikan dan mendukung penegakan HAM di seluruh dunia. Selain unsur pemerintah, Suciwati juga bertemu dengan media. Rights & Democracy berserta anggota-anggota koalisi organisasi HAM Kanada yang bekerja untuk isu Indonesia bersama KASUM meminta perhatian khusus pemerintah terhadap kasus Munir. Lebih lanjut organisasi-organisasi ini mendorong Pemerintah Kanada membuat sebuah pernyataan publik untuk mendukung diumumkannya hasil laporan tim pencari fakta dan menguatkan investigasi polisi, serta memastikan bahwa isu tersebut dimasukan dalam pertemuan dialog bilateral tentang HAM dengan Indonesia di Vancouver.
Sedangkan kepala Asia ICHRDD, Mika Levesque menambahkan, kasus kematian Munir menunjukkan bahwa masalah utama di Indonesia saat ini adalah nihilnya kontrol sipil terhadap militer yang masih menikmati kekebalan atas hukum. Disinilah organisasi kami yang mempromosikan demokrasi ke seluruh dunia menaruh ke pedulian. Kasus Munir adalah test case,” tambahnya. Hal senada juga diungkapkan oleh Jean-Louis Roy, Presiden Rights & Democracy. Menurutnya, kasus pembunuhan Munir yang belum terselesaikan menunjukkan bahwa walaupun telah ada reformasi politik tapi militer tetap jauh dari jangkauan hukum di Indonesia. “Tanpa kontrol masyarakat sipil terhadap militer, budaya impunity akan tetap ada dan terus melemahkan penerapan demokrasi di Indonesia,” tegas Jean.
Dok.Kontras
“Diskusi apapun tentang hak asasi manusia di Indonesia menunjukkan fakta bahwa impunity terus meningkat untuk kejahatan seperti pembunuhan suami saya. Kasus pembunuhan Munir yang belum terselesaikan hanya satu dari sekian kasus yang ada di Indonesia, dan keadilan yang didapatkan untuk kasus Munir akan membuka pintu keadilan bagi seluruh kasus di negeri ini”, kata Suciwati.
Ongen Memberikan kesaksian di depan PN Jakarta Pusat
Gugatan Suciwati kepada Garuda : Ajukan Banding untuk Dorong Profesionalisme Penerbangan Sipil Putusan tak penuhi harapan Gugatan Suciwati terhadap PT Garuda Indonesia dan pihak terkait lainnya, sebagian telah dikabulkan oleh majelis hakim. Dalam petikan putusan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dipimpin oleh Andriyani Nurdin dengan anggota Sutiyono dan Kusriyanto, Kamis, (3/5), Pantun Matondang, pilot pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 974, yang ditumpangi oleh Munir dalam penerbangan Jakarta-Amsterdam, dan PT Garuda Indonesia dinyatakan terbukti lalai menjaga keamanan dan keselamatan salah satu penumpangnya. Pantun dan PT Garuda Indonesia diperintahkan membayar ganti rugi kepada Suciwati sebesar Rp 664,209 juta secara tanggung renteng. Pantun (tergugat IX) terbukti melakukan
16
perbuatan melawan hukum, yaitu melanggar kaidah kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian yang seharusnya dipegang pilot. Pantun mengetahui keadaan Munir, tetapi tidak segera berkonsultasi dengan petugas darat (ground of-ficer) untuk meminta izin pendaratan pesawat. Pilot dinilai melanggar hak subyektif Munir. Majelis juga berpendapat, Pantun melakukan tindakan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya yang ditentukan Basic Operator Manual (BOM) dan Pasal 23 Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 1992 tentang penerbangan juncto Pasal 40 Peraturan pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 2001. Ketentuan itu mengatur bahwa kapten pesawat udara berhak menentukan dan mengambil tindakan demi keselamatan penerbangan serta bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan penumpang. Dalam BOM 5.2.1. disebutkan, jika penumpang
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
JEJAK SANG PENJUANG mengalami sakit serius di pesawat, pilot in command harus berkonsultasi dengan dokter untuk menentukan perlu atau tidak meneruskan penerbangan atau mendarat. Bila ragu-ragu, ia harus minta saran medis dari darat.
terutama campur tangan pihak tertentu untuk kepentingan yang bukan penerbangan sipil. Dengan tidak dikabulkannya permintaan atas audit Indepentden ini maka spirit gugatan ini menjadi tiada.
Pantun bekerja di PT Garuda Indonesia. Karena itu, majelis hakim Yang kedua, tidak ada permintaan maaf atas kesalahan di menyatakan perusahaan itu, selaku tergugat I, otomatis juga media publik. Dalam putusan tersebut memang pihak melakukan perbuatan melawan hukum. Pantun dan PT Garuda Garuda dinyatakan bersalah. Namun kesalahan tersebut Indonesia diperintahkan membayar ganti rugi materiil dan tidak dibarengi dengan permintaan maaf atas perbuatannya imateriil sebebsar Rp 664,209 juta. Nilai yang telah merugikan Suciwati dan ini lebih kecil dari ganti rugi yang keluarga. Harusnya Majelis Hakim juga dituntut Suciwati, yakni Rp 14,329 Kuasa hukum Suciwati menilai mengabulkan permintaan maaf Garuda miliar. bahwa kontruksi fakta putusan PN yang dimuat dalam media publik. Hal Jakarta Pusat yang mengabulkan ini disebabkan karena pelayanan Besaran ganti rugi itu dihitung sebagian permintaan dalam gugatan Garuda selalu berhubungan dengan berdasarkan ganti gaji Munir selama dan menyatakan Garuda bersalah wilayah publik. Permintaan maaf yang tiga bulan Rp 21,390 juta, uang hanya dilandasi oleh kelalaian dilakukan di hadapan publik, akan pendidikan untuk anak Munir hingga Garuda dalam penanganan orang mendorong Garuda lebih baik dan jenjang sarjana Rp 557 juta, uang sakit. Padahal beberapa fakta yang bertanggung jawab atas semua kegiatan kesehatan Rp 35,7 juta, uang memang terjadi dan diakui kejadian yang telah dan akan dilakukan. pemakaman Rp 3 juta, serta uang tersebut ada dan merupakan pengganti biaya yang dikeluarkan perbuatan melawan hukum. Namun Kuasa hukum Suciwati menilai bahwa untuk pendidikan Munir sebesar Rp 6 tidak dimasukkan sebagai kontruksi kontruksi fakta putusan putusan PN juta. putusan. Fakta tersebut misalkan saja Jakarta Pusat yang mengabulkan keberadaan kru dengan surat resmi sebagian permintaan dalam gugatan Sedangkan terhadap tergugat lain, yaitu yang cacat hukum dan pemindahan dan menyatakan Garuda bersalah mantan Direktur Utama PT Garuda tempat duduk yang ilegal hanya dilandasi oleh kelalaian Garuda Indonesia (tergugat II), Vice President dalam penanganan orang sakit. Corporate Ramelgia Anwar (tergugat Padahal beberapa fakta yang memang III), Flight Operator Support Officer Rohainil Aini (tergugat IV), terjadi dan diakui kejadian tersebut ada dan merupakan Pollycarpus BP (tergugat V), dan awak GA 974 lain, majelis hakim perbuatan melawan hukum. Namun tidak dimasukkan menyatakan mereka tidak terbukti melakukan perbuatan sebagai kontruksi putusan. Fakta tersebut misalkan saja melawan hukum. keberadaan kru dengan surat resmi yang cacat hukum dan pemindahan tempat duduk yang ilegal. Menanggapi putusan itu, kedua belah pihak menyatakan banding. Pengacara PT Garuda Indonesia, Uki Indra, mengatakan Bagi Suciwati, fakta ini dapat menjadi titik masuk pertimbangan hakim tentang kelalaian pilot tak meminta saran pengungkapan kebenaran pembunuhan Munir dari aspek dari petugas medis di darat dinilainya tidak tepat. Sementara yang lebih luas. Begitu pula penting bagi penerbangan sipil, Suciwati menyatakan menilai putusan tersebut masih jauh dari terutama Garuda yang menjadikan fakta tersebut sebagai harapan keadilan dan tujuan gugatan itu sendiri. pengalaman yang tidak boleh terjadi lagi. Dua alasan inilah yang menjadi bagian alasan mengajukan banding terhadap Alasan pengajuan banding putusan PN Jakarta Pusat. Alasan pengajuan Suciwati untuk mengajukan banding didasarkan karena dua permintaan penting yang diajukan tidak dikabulkan oleh majelis hakim. Pertama, permintaan untuk melakukan Audit Independent. Padahal, permintaan ini merupakan tujuan dari gugatan, yaitu mendorong agar Garuda sebagai perusahaan BUMN yang menyediakan layanan jasa penerbangan sipil agar professional. Tidak dicampuri oleh kepentingan lain dalam pengelolaan perusahaan tersebut,
Gugatan PT Garuda Indonesia ini tenyata juga dilakukan oleh Yayasan lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). YLKI menilai awak pesawat Garuda lalai memberikan pertolongan, sehingga aktivis HAM Munir tewas di atas pesawat. Pengurus harian YLKI, Sudaryatmo menyatakan bahwa “materi gugatannya hampir sama dengan gugatan Suciwati terdahulu. Tapi, kini YLKI mengajukan berdasarkan hak legal standingnya.”
Penghargaan HAM Princen Munir, mendapatkan penghargaan Poncke Princen Human Rights Prize 2007. Penghargaan itu didasarkan pada kerja-kerjanya sebagai aktivis HAM dan dikategorikan sebagai Human Rights Lifetime Achievement. Selain Munir, panitia Penghargaan Poncke Princen Human Rights Prize juga menetapkan dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri Inu Kencana, sebagai Human Rights Promotor and Educator dan program pemberitaan Liputan 6 SCTV sebagai Human Rights Campaigner sebagai penerima anugerah itu.
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
17
KABAR DARI DAERAH
Lindungi Kebebasan Sipil ! Intimidasi dan tindak kekerasan hingga kini masih saja dilakukan oleh sekelompok orang pada kelompok lainnya. Sementara aparat keamanan tak mengambil tindakan hukum untuk menindaknya, bahkan ikut melakukan intimidasi untuk membubarkan kebebasan sipil tersebut. Padahal dengan jelas negara menjamin tiap warga negaranya untuk bebas berekspresi dan mengeluarkan pendapat. Peristiwa pembubaran paksa terhadap forum sipil kembali terjadi di Solo, 21 Juni 2007. Dengan alasan mendapatkan ancaman dari LUIS (Laskar Umat Islam Surakarta), aparat Polses Colomadu Karanganyar dan Polres Karanganyar, Jawa Tengah membubarkan seminar yang digelar LPH YAPHI dan Insan Emas di Rumah Makan Taman Sari, Solo.
dibatalkan. Secara khusus, LUIS menolak kehadiran Dawan Rahardjo selaku salah satu pembicara karena dianggap telah menyebarkan ajaran-ajaran pluralisme yang mencampuradukan agama.
Acara bertajuk “Memperkuat Ketahanan Masyarakat Sipil Peristiwa serupa juga terjadi di Tasikmalaya. Pelarangan, Tanpa Kekerasan” tersebut sedianya dimaksudkan untuk intimidasi dan kekerasan terhadap jamaah Ahmadyah kembali membangun ruang komunikasi dan terjadi sejak 19 hingga 26 Juni 2007 oleh dialog masyarakat agar tidak melakukan kelompok tertentu yang mengatasnamakan kekerasan dalam menyelesaikan GERAK (Gerakan Etika Rakyat Anti Korupsi), masalah. Seminar ini juga berangkat “Seyogyanya Polri Taliban dan FPI. dari maraknya berbagai peristiwa memberikan perhatian pelarangan membangun tempat yang serius atas hal ini. Melanggar Hukum beribadah dan kekerasan di Solo, yang Kapolri harus segera antara lain terjadi di Gereja Penyebaran Pemasungan berekpresi ini jelas merupakan menginstruksikan Injil Rajawali (sejak 1995-2007), Gereja pelanggaran atas kemerdekaan seseorang jajarannya untuk Jemaat Kristen Indonesia “Kristus yang telah dijamin oleh negara. Negara wajib melindungi warga yang Gembala” (3 Juni 2007) dan Kapel St. menjamin hak-hak warganegara untuk bebas bermaksud menjalankan Antonius Gombang (September 2005menjalankan haknya untuk berkumpul, hak-hak dasarnya 2007), maupun aktifitas beribadah di mengeluarkan pendapat serta menjalankan sekaligus mencegah rumah Buntoro, Surakarta (29 Juni 2007). agama dan keyakinannya berdasarkan kembali terjadinya aksi Para pelaku pembubaran (pelaku konstitusi RI. Apalagi kebebasan beragama kekerasan masyarakat.” kekerasan) mengatasnamakan kelompok dan berkeyakinan merupakan salah satu hak agama tertentu. asasi manusia yang tidak bisa dikurangi, Saat itu Kapolsek Colomandu Karanganyar Jateng Kridho Baskara meminta agar kegiatan seminar dibatalkan dan melarang pemilik rumah makan Taman Sari untuk mengeluarkan makanan kecil (snack), sambil marah serta menggebrak meja. Karena ketakutan pemilik rumah makan tersebut menelepon panitia acara yang segera datang sesaat kemudian. Tak lama setelah itu anggota Polres Karanganyar Jateng kembali. Setelah terjadi dialog antara panitia acara seminar dengan pihak kepolisian, akhirnya disepakati bahwa pelaksanaan kegiatan seminar boleh dilaksanakan hanya sampai pukul 11.30 Wib.
dibatasi dan dilanggar dalam bentuk apapun (non derogable rights).
Baru saja acara berlangsung, tiba-tiba datang satu mobil kijang dan satu truk berisi anggota kepolisian lengkap dengan pentungan, siap siaga di sekitar tempat berlangsungnya acara. Mereka meminta acara dibubarkan. Karena situasi tegang, akhirnya panitia acara terpaksa menghentikan acara dan mempersilahkan peserta pulang. Pihak Polres Karanganyar membubarkan acara tersebut dengan alasan ada permintaan dari kelompok yang menamakan diri LUIS.
Seyogyanya Polri memberikan perhatian yang serius atas hal ini. Kapolri harus segera menginstruksikan jajarannya untuk melindungi warga yang bermaksud menjalankan hak-hak dasarnya sekaligus mencegah kembali terjadinya aksi kekerasan masyarakat. Di sisi lain Pemerintah harus memberikan dukungan yang penuh terhadap setiap inisiatif masyarakat yang hendak membangun ruang komunikasi dan dialog demi mencegah aksi-aksi sepihak yang justru menimbulkan keresahan dan memicu ketegangan hubungan antar masyarakat.***
Maka sudah sepantasnya Polri berani menindak para pelaku yang melakukan aksi-aksi yang sepihak melanggar hukum, dan bukan justru membiarkan aksi-aksi kekerasan terus berlangsung. Jika Polri tidak mengambil tindakan hukum terhadap pelaku, maka tak heran jika timbul persepsi di masyarakat tentang adanya sikap disriminasi aparat kepolisian terhadap kelompok-kelompok minoritas dalam menjalankan keyakinannya.
Sehari sebelumnya, pada pukul 23.30 Wib panitia mendapat teror via telepon dari LUIS. LUIS meminta acara seminar
18
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
KABAR DARI DAERAH
Buntut Bentrokan, TNI Tangkap Warga di Alue Dua, Aceh Kekerasan dibalas dengan kekerasan, begitulah yang dialami warga desa Alue Dua, Aceh. Pada kali pertama terjadi keributan antara warga dan anggota TNI yang mengakibatkan pemukulan terhadap anggota TNI tersebut (21/3) aksi pemukilan tersebut dibalas oleh aparat TNI beberapa hari kemudian (24/3).
kasus ini juga melibatkan TNI, maka sudah seharusnya polisi menunjukkan sikap profesional dan independen dalam mengungkap kasus ini. Sebelumnya, saat peristiwa pemukulan atas empat anggota TNI itu belum terjadi, keberadaan pasukan TNI di SD Alue Dua patut dipertanyakan. Apabila menyangkut dengan pengamanan seperti yang disampaikan Dandim Aceh Utara, Letkol Inf Yogi Gunawan (Rakyat Aceh, 23/3). Karena, hal tersebut bertentangan dengan UU TNI No. 34/2004 pasal 5, 6 dan 7 tentang peran, fungsi dan tugas TNI. Apalagi kondisi Aceh sudah damai. Maka tugas kepolisian-lah untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, TNI hanya terlibat jika diminta bantuannya.
Bak operasi khusus yang hendak menangkap seorang pelaku kejahatan besar, sekitar pukul 06.30 WIB sejumlah aparat polisi dan TNI (8/05), melakukan penggeledahan terhadap rumah Ramli (68), warga dusun Drien Kemuneng, Seumirah, Kec. Nisam yang diduga sebagai pelaku pemukulan terhadap anggota TNI di desa Alue Dua. Berdasarkan pengakuan dari pihak keluarga, Ramli Hamid ditangkap tanpa surat perintah penangkapan dan sampai saat ini masih ditahan di Polres Lhokseumawe. Padahal sebelumnya korban tidak pernah menerima surat pemanggilan dan juga tidak terdapat namanya dalam list DPO Upaya hukum untuk (daftar pencarian orang). menyelesaikan kasus tindak kekerasan terhadap ke-empat Padahal, jauh-jauh sebelumnya, KontraS anggota TNI tetap harus pernah menyatakan agar TNI tidak terlalu ditegakkan, lagi-lagi ini harus jauh masuk dalam urusan penegakan dilakukan oleh polisi bukan hukum, baik tugas-tugas penyelidikan dan tentara. Polisi harus mengusut penyidikan yang notabenenya merupakan tuntas kasus ini untuk wewenang penuh kepolisian. Adalah kepentingan hukum dan tidak sangat tidak bijak apabila TNI masih terus diskriminatif. Tidak seperti memburu pelaku pemukulan terhadap pengusutan kasus-kasus anggota TNI di desa Alue Dua, padahal sebelumnya, kasus Paya Bakong pihak TNI sendiri sudah menyatakan misalnya, dimana penyelidikan bahwa kasus ini telah diserahkan kepada polisi menjadi mentok bila kasus polisi untuk mengusutnya. tersebut dilakukan oleh aparat negara. Kompetensi kepolisian Jika benar seperti yang dikatakan oleh Danrem 011/LW, Kolonel Inf Muhammad Erwin Syahfitri bahwa keterlibatan TNI dalam proses hukum kasus Alue Dua telah dikoordinasikan dengan Polres Lhokseumawe karena penyelesaian kasus ini kurang berjalan (Serambi, 7/5/07). Seharusnya proses hukum terhadap kasus Alue Dua secara hukum merupakan kompetensi kepolisian. Jika ternyata ada faktor ketidakmampuan polisi dalam menganani kasus ini sehingga membutuhkan bantuan TNI, maka perihal tersebut harus dideklarasikan atau dijelaskan oleh pihak kepolisian atau atas permintaan otoritas pemerintahan sipil. Tentunya, dengan menyebutkan argumentasi yang tepat perihal kesulitan yang dialami oleh kepolisian tersebut. Menjadi tidak tepat jika TNI mendesak atau mengintervensi polisi dalam proses hukum terhadap kasus Alue Dua. Karena diketahui,
Upaya hukum untuk menyelesaikan kasus tindak kekerasan terhadap keempat anggota TNI tetap harus ditegakkan, lagi-lagi ini harus dilakukan oleh polisi bukan tentara. Polisi harus mengusut tuntas kasus ini untuk kepentingan hukum dan tidak diskriminatif. Tidak seperti pengusutan kasus-kasus sebelumnya, kasus Paya Bakong misalnya, dimana penyelidikan polisi menjadi mentok bila kasus tersebut dilakukan oleh aparat negara.
Untuk sebuah penegakan hukum yang tidak diskriminatif maka polisi harus bertindak lebih profesional dan transparan serta berlaku adil dengan memberikan perlakuan yang sama kepada setiap warga negara di hadapan hukum. Karenanya, Kapolda segera dapat menjelaskan kepada publik di Aceh mengenai pelibatan TNI dalam proses penegakan hukum kasus Alue Dua sekaligus menjelaskan peran perbantuan apa yang diminta oleh pihak kepolisian kepada TNI dalam membantu penanganan kasus tersebut. Kapolda hendaknya dapat pula bekerja layaknya polisi profesional dengan tetap mengedepankan independensi dan kemandirian sebagaimana yang diatur dalam perundangundangan. Selain itu, TNI seharusnya menerima dan menyerahkan sepenuhnya proses hukum kasus Alue Dua kepada pihak kepolisian sekaligus menjelaskan kepada publik Aceh bentuk koordinasi seperti apa yang telah mereka lakukan dengan pihak kepolisian dalam menindaklanjuti kasus tersebut.***
“ Tidak ada pengecualian apapun, apakah dalam keadaan perang atau ancaman perang, situasi politik dalam negeri yang tidak stabil atau situasi darurat lainnya, yang dapat diterima sebagai alasan pembenar tindakan penghilangan secara paksa “. (Pasal 1 (2) Konvensi Internasional tentang perlindungan semua orang dari tindakan penghilangan secara paksa)
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
19
KABAR DARI DAERAH
Bentrokan Dua Kubu di Kampus UISU Medan Konflik dualisme kepemimpinan rektorat antara Sahriani Siregar dan Helmi Nasution yang telah berlangsung sejak tahun lalu, akhirnya berujung pada tindak kekerasan antar dua kelompok bertikai dengan pengerahan massa (10/05). Peristiwa serangan subuh sekitar pukul 05.00 Wib itu, dilakukan oleh kelompok Sahriani terhadap kelompok Helmi yang menguasai kampus Universitas Islam Sumatera Utara (UISU). Keduanya mengklaim berhak atas kepemimpinan di perguruan tinggi yang terletak di Jalan Sisingamangaraja, Medan, itu. Mereka saling menyerang dengan batu serta mengacungacungkan senjata tajam. Kurang-lebih 400 orang dari kubu Sahrani menguasai kampus. Massa merazia mahasiswa, anggota satuan pengamanan, dan pengawai kampus yang mendukung Helmi. Mereka juga menggeledah sejumlah ruangan. Aksi ini mengakibatkan jatuhnya puluhan korban luka. Bahkan, sejumlah mahasiswa lainnya hingga kini belum diketahui nasibnya. Sekitar pukul 08.00 Wib, aparat kepolisian datang, yang disusul sejumlah warga yang ikut membantu melerai bentrokan. Tak lama kemudian anggota DPRD Sumatera Utara, diantaranya Abdul Hakim Siagian dan Nurdin Ahmad, tiba. Namun, kedatangan sejumlah pihak ini tak berhasil menyelesaikan dualisme kepemimpinan Yayasan UISU. Di tengah negosisasi, massa pendukung Sahriani dan Helmi kian membeludak. Suasana kampus pun memanas lagi. Sekitar pukul 12.30 Wib bentrokan yang kedua pecah. Perang batu berlangsung sekitar setengah jam. Satu unit mobil ambulans inventaris kampus rusak dan tiga unit sepesa motor hangus dibakar. Atap gedung dan jendela kaca kampus berantakan. Masjid As-sholihin di lingkungan kampus juga tak luput dari sasaran perusakan. Kekerasan yang terjadi akibat dualisme kepemimpinan ini bukanlah yang pertama. Pada 25 April lalu, sejumlah mashasiswa UISU yang melakukan aksi damai mempertanyakan kejelasan tentang kepengurusan rektorat juga mengalami tindak kekerasan. Tindak kekerasan itu dilakukan oleh satpam dan pengawai kampus terhadap lima mahasiswa peserta aksi. Tindakan penganiayaan yang dilakukan pihak kampus itu telah dilaporkan oleh para mahasiswa ke Mapoltabes Medan (26/04), namun hingga saat ini belum ada tindakan yang jelas terhadap para pelaku. Dualisme kepemimpinan di kampus ini, menurut dia, sudah beberapa kali memicu keributan di antara dua kelompok yang bertikai. Kubu Sahriani merasa paling berhak memimpin yayasan karena ditunjuk oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Adapun Helmi Nasution merasa lebih berhak memimpin UISU karena mendapat amanat melalui pemilihan anggota yayasan.
20
Diproses secara hukum Anggota Komisi II DPR, Arbab Paproeka, meminta kemelut yang di terjadi UISU diproses secara hukum. “Dari data dan fakta yang saya pelajari menunjukkan apa yang terjadi di UISU merupakan rekayasa yang sistematis. Siapapun yang mendesainnya harus dibongkar tuntas. Ada indikasi keterlibatan oknum di Kepolisian daerah Sumatera Utara di balik kekisruhan UISU, “ katanya, Rabu (23/05). Karena itu, ia meminta kepada pihak yang berwenang, terutama Kapolri, untuk mengungkap rekayasa sistematis yang diduga melibatkan oknum pensiunan dan aparat. Arbab mengatakan semestinya tugas polisi adalah menciptakan rasa aman dan kepastian hukum di masyarakat. Tapi, yang terjadi justru membiarkan sebaliknya; aparat justru membiarkan terjadinya kekisruhan. Seharusnya polisi bisa mengantisipasi bentrok fisik di kampus UISU. “Medan itu bukan sebuah desa terpencil yang susah dijangkau aparat kepolisian. Apalagi, sebelum memasuki kampus, pihak yayasan UISU yang sah sudah melayangkan permohonan tertulis kepada Kapoldassu, “ tegas Arbab, wakil rakyat yang berasal dari Fraksi Partai Amanat Nasional. Sementara itu, dari informasi yang berhasil dikumpulkan Kontras Medan di lapangan, memang terlihat adanya sesuatu yang janggal, khususnya berkenaan dengan profesionalisme kepolisian dalam menjaga keamanan masyarakat. Sejumlah pertanyaan-pun mengemuka. Antara lain, apakah benar polisi mempunyai hubungan bisnis (conflik of interest) dengan PT.Wira sebagai outsourcing jasa pengamanan yang digunakan oleh kelompok Helmi Nasution? Hal janggal lainnya, Pihak Sahriani mengklaim bahwa sebelum melakukan serangan subuh itu, mereka telah memberitahukan kepada pihak Polda. Polsek Medan Kota pun telah mempersiapkan diri dengan melakukan apel (sekitar pukul 04.15). Namun, baru pada pukul 06.30 polisi baru bergerak ke lokasi peristiwa. Padahal jarak Polsek dengan tempat perkara hanya 200 meter. Dari bentrokan ini, kita berharap agar Kapolri dapat bertindak profesional dan menjalankan mandatnya untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, dengan melindungi keselamatan jiwa, harta benda dan masyarakat dari gangguan ketertiban. Disamping itu, polisi harus mengembalikan kampus dalam suasana normal, dengan memberikan jaminan keamanan bagi berlangsungnya perkuliahan secara normal, serta meniadakan keberadaan para preman/jasa pengamanan yang digunakan oleh pihak yang bertikai. Ketiadaan jaminan akan tindakan polisi ini akan selalu membuahkan tindakan main hakim sendiri menjadi kian subur di masyarakat. Yang terpenting lainnya, aparat kepolisian segera bisa melakukan penyelidikan secara menyeluruh, termasuk memberikan jaminan peradilan yang fair (fair trial) terhadap pihak-pihak yang dianggap bertanggungjawab.***
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
KABAR DARI DAERAH
Polisi Medan: Sulit Bedakan Penjahat dan Polisi Di Medan, Sumatera Utara, polisi dengan dalih menangkap perampok malah berulah selayak yang ditargetkan. Dua orang korban aksi polisi tersebut merenggang nyawa, sementara harta benda yang mereka miliki diambil paksa polisi. Pihak keluarga korban yang mempermasalahkan hal ini malah dikriminalkan. Peristiwa terjadi pada 11 April sekitar pukul 03.00 Wib dini hari. Sekitar 30 orang anggota Poltabes Medan dipimpin Kasat Reskrim dan Kanit Jahtanras mendatangi rumah Hj. Supiah (kakak kandung Suherman). Karena mereka mencari Suherman, Hj Supiah mengatakan Suherman tidak berada di rumahnya. Hj Supiah lalu meminta aparat langsung mencari ke rumah Suherman yang hanya berjarak 400 meter dari rumah Hj Supiah. Mendengar jawaban tersebut, ke-30 anggota Poltabes Medan ini malah menggeledah rumah Hj Supiah sembari menodongkan senjata kepada Hj Supiah. Setelah itu, mereka mengambi dua unit Handphone dan satu pesawat telepon rumah tanpa menunjukkan penggeledahan, surat penyitaan dan tidak memberikan berita acara penyitaan. Dengan menodongkan senjata api ke suami Hj. Supiah, mereka memaksa menunjukkan rumah Suherman. Setibanya di sana, oknumaparat polisi ini langsung menangkap Suherman (yang saat itu tidak melawan), tanpa menunjukkan surat penangkapan. Tangan dan kaki Suherman diborgol dan dibawa ke dalam mobil. Setelah menangkap dan membawa Suherman, aparat juga menangkap isteri Suherman, dua orang anak Suherman (berumur 7,5 tahun dan 4 tahun), dua orang keponakan Suherman berikut seorang pembantu Suherman dan seorang tetangga Suherman yang kebetulan berada di rumah Suherman. Harta benda Suherman yang seluruhnya berjumlah sekitar 2,7 miliar (berupa uang tunai, emas berlian, dan 3 sertitifat tanah) juga dirampas oleh para aparat. Semua ini dilakukan tanpa menunjukkan surat penangkapan, surat penyitaan dan surat penggeledahan. Perbuatan ini juga jelas bertentangan dengan prosedur hukum. Di hari yang sama kejadian serupa dialami juga oleh Marsudi Triwijaya.
Merasa tidak diawasi dan diberi kesempatan untuk mengulangi perbuatannya, para pelaku yang diantaranya Pejabat di Poltabes Medan kembali menyalahgunakan kewenangannya untuk mengintimidasi dan mengkriminalisasi keluarga korban. Penyalahgunaan wewenang pertama dilakukan oleh Poltabes Medan. Keluarga korban dituduh telah memfitnah Poltabes Medan dan akan ditahan di Poltabes Medan karena telah menuntut pembunuhan dan perampokan yang dilakukan jajaran Poltabes Medan. Keluarga korban menuntut harta yang dirampok agar dikembalikan dan aparat pelakunya dihukum. Namun, Kapoltabes Medan mengatakan bahwa harta benda senilai 2,7 miliar yang telah dirampok anggotanya tersebut berasal dari hasil kejahatan. Selanjutnya Kapoltabes Medan memerintahkan penyidikan asal-usul/sumber harta tersebut dengan menggunakan Undang-undang No.25 tahun 2003 tentang Pencucian Uang. Hal ini seperti sengaja dilakukan agar dapat menahan dan menghukum isteri korban yang tidak ikhlas dengan pembunuhan suaminya dan perampokan yang dilakukan Poltabes Medan. Tak berhenti sampai disini, Poltabes Medan juga menangkap dan menahan kakak kandung Suherman yang selama ini sangat gigih menuntut keadilan adiknya. Supiah (kakak kandung Suherman) ditangkap tanggal 21 Juni 2007 dan hingga kini masih ditahan. Melihat kebrutalan dan penyalahgunaan kewenangan Poltabes Medan yang dibiarkan oleh Kapolda Sumut, Juliana (isteri almarhum Suherman) & Rusmini (isteri almarhum Marsudi) merasa terancam keselamatan dan keamanannya bila tetap berada di wilayah kekuasaan Poltabes Medan. Keduanya terpaksa mengungsi dari Sumatera Utara dan meminta perlindungan hukum kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Kapolri.
Tak lama setelah penangkapan kedua orang ini, siang harinya, keluarga mendapat kabar kalau kedua orang tersebut telah meninggal dunia. Diketahui akhirnya, kedua orang ini tewas dengan luka tembakan di dada dan luka penganiayaan di tubuh.
Dari semua rangkaian kejadian sewenang-wenang diatas, Kontras, YLBHI, dan LBH Medan, menghimbau Kapolri dapat memberikan tindakan tegas kepada oknum Medan yang terlibat dalam pembunuhan dan perampokan Suherman dan Marsudi Triwijaya, serta melimpahkannya ke proses persidangan untuk dihukum.
Keluarga almarhum Suherman & Keluarga almarhum Marsudi menuntut Polri agar menghukum anggota Poltabes Medan yang melakukan tindak pidana pembunuhan yang juga telah melakukan tindak pidana perampokan harta benda senilai sekitar 2,7 miliar (berupa uang tunai, emas berlian, dan 3 sertitifat tanah). Namun, tuntutan ini malah disikapi Polri secara tidak konsisten dengan mengingkari paradigma barunya. Polri lebih cenderung melindungi Poltabes Medan yang nota bene anggotanya ketimbang berpihak kepada keluarga korban.
Kapolri harus memberikan perlindungan kepada keluarga korban dari upaya intimidasi dan kriminalisasi yang dilakukan oleh Poltabes medan. Mengupayakan pengembalian harta benda Suherman dan Marsudi yang telah dirampok oleh oknum Poltabes Medan. Yang terpenting pula, menjatuhkan tindakan tegas pada Kapoltabes Medan karena telah melindungi oknum Poltabes Medan yang terlibat pembunuhan Suherman dan Marsudi.
Pengaduan yang disampaikan ke Dit Reskrim Polda Sumut (16/04) dan (20/04) serta pengaduan di Divisi Propam Mabes Polri (26/04), hingga kini tetap tidak ada tindak lanjutnya. Selama kurun waktu dua bulan ini para pelaku dibiarkan bebas. Bebas untuk mengulangi perbuatannya, menghilangkan barang bukti serta mengintimidasi dan mengkriminalisasi keluarga korban yang menuntut keadilan.
Tak ada kata lain. Kasus kekerasan ini adalah kasus pelanggaran hak asasi manusia yang paling fundamental yaitu hak untuk hidup. Kontras juga berharap Komnas HAM bisa segera melakukan pemantauan dan penyelidikan langsung ke Medan. Hukum harus ditegakkan. Karena bukan zamannya lagi, seseorang termasuk aparat berhak dan mempunyai kekebalan melakukan perbuatan yang jelas melanggar hukum di negeri ini.***
Tewas dengan luka tembak
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
21
KABAR DARI DAERAH
Kekerasan Aparat Masih Terjadi Di Berbagai Daerah Kekerasan. Entah mengapa menjadi tontonan yang kerap, bahkan terlalu sering kita lihat. Ironisnya, segala bentuk kekerasan itu jadi “santapan rutin” bagi para penegak dan pengayom masyarakat. Mereka yang mengingkrarkan diri dan profesinya pada hukum dan kebenaran, malah menjadi para pelaku kekerasan itu sendiri. Cerita dari kekerasan di berbagai daerah jadi potret bagaimana “janji” untu membela hukum dan kebenaran telah dinodai oleh mereka sendiri. Cerita kekerasan di bulan Juni jadi awal dari dari begitu banyak cerita kekerasan lainnya. Pembunuhan terhadap Caci bin Tibu (40 th), warga Dusun Pakkeng, Desa Mamampang Kecamatan Tombolo Pao, diduga kuat dilakukan oleh anggota Kepolisian Sektor Tombolo Pao. Korban “sengaja dihabisi” dengan tuduhan melakukan tindakan kriminal. Korban awalnya ditangkap Selasa (26/06), sekitar pukul 11.00 WITA, oleh aparat kepolisian ketika hendak menuju ke Kota Makasar. Pada saat itu mobil yang ditumpanginya dihentikan oleh Kapolsek AKB Abidin WSC. Dari keterangan sopir angkot yang sedang makan di rumah makan Bonto Aji, korban dibawa oleh polisi (tidak diketahui korban dibawa kemana). Penangkapan tersebut tidak diinformasikan pada keluarga. Sedang kabar meninggalnya korban diketahui dari Kepala Rukun Kampung (RK). dari keterangan Kapolsek (lewat telepon yang dilakukan oleh keponakan korban), dikatakan bahwa Caci ditangkap dan ditembak karena berusaha melawan dan melarikan diri. Malam harinya, sekitar pukul 20.00 WITA, Jenasah korban tiba di rumah orang tuanya dengan diantar menggunakan mobil ambulance Puskesmas Tamaona. Di dalam mobil ini terdapat pula tiga orang perawat. Entah mengapa, jenazah korban juga diiringi satu mobil kijang pribadi yang digunakan aparat Polsek Tombolo Pao, berjumlah sekitar lima orang, turut pula kepala dusun (tiga orang aparat tersebut membawa senjata laras panjang). Korban diserahkan pada pihak keluarga. Dari tubuh korban terlihat bahwa korban mengalami luka tembak sebanyak lima kali (dua di bagian dada sebelah kanan tembus, satu di bagian perut sebelah kanan, satu di paha sebelah kanan tembus, dan satu di betis sebelah kanan). Pipi sebelah kiri bengkak (memar) warna biru. Selain itu tangan dan kaki korban remuk. Pihak keluarga menguburkan korban pada pukul 12.20 malam. penguburan ini dilakukan atas permintaan kepala dusun, yang meminta korban dikubur secara cepat dengan alasan takut membusuk akibat luka tembak. Esok harinya, Kepala Desa Mamampang membawa dua pucuk surat ke rumah orang tua korban dan meminta mereka menandatangani surat-surat tersebut. Surat pertama menyangkut bukti bahwa jenasah korban sudah diterima pihak keluarga, surat kedua menyangkut penolakan autopsi
22
oleh orang tua korban. Berada ‘dalam tekanan” kedua surat ditandatangani oleh meraka. Dua harinya setelah peristiwa (28/06), datang lagi, dua orang polisi ditemani salah seorang membawa surat pernyataan untuk ditandatangani oleh orang tua korban, berisikan pernyataan bahwa, orang tua korban tidak merasa keberatan atas meninggalnya korban dan menganggap korban meninggal akibat sudah ajal, dan juga karena kelalaian sendiri melarikan diri. Dalam surat tersebut, dinyaakan pula bahwa selaku orang tua tidak putus-putusnya menasihati untuk tidak berbuat salah, namun korban tidak menghiraukan hingga saya (korban) menganggap bahwa sudah sepantasnya meninggal dengan jalan seperti itu. Jumlah surat satu lembar rangkap lima, namun surat tidak ditandatangani oleh orang tua korban. Saat itu, keluarga korban yang ingin melihat isinya meminta satu rangkap surat tersebut. Satu lembar surat tersebut akhirnya diberikan kepada keluarga korban. Namun, sekitar pukul 01.30 dini hari, Kepala Desa datang kembali meminta surat yang diberikan, dengan alasan akan mencari tahu pembuat surat itu (mengatasnamakan Kapolsek Tombolo Pao). Kepala Desa berjanji akan mengembalikannya setelah mengetahui pembuat surat. Esok harinya, keponakan korban menghubungi Kepala Desa (telpon) meminta surat yang telah diambil. Namun kepala desa mengatakan, surat telah basah dan hancur lantaran ia malam itu terjatuh dengan motornya saat menuju kantor Polsek Tombolo Pao. Pasca peristiwa tersebut, aparat polsek dan kepala desa menggalang dukungan dari masyarakat agar menandatangani surat yang mengucapkan terima kasih kepada polisi karena sudah menangkap korban (Caci), serta menyukuri tewasnya Caci karena yang bersangkutan dianggap pelaku tindak kriminal/ kejahatan. Tindakan tak terhormat dan tak prikemanusiaan ini jelas adalah tindak pidana dan pelanggaran HAM. Semestinya aparat kepolisian bertindak profesional dan transparan dalam menegakkan hukum, termasuk menindak pihak-pihak yang dianggap bersalah dengan menerapkan azas praduga tak bersalah serta menghormati HAM. Semestinya pula aparat menghindari penggunaan kekerasan dalam upaya menggali bukti keterangan dan informasi dari siapapun, termasuk kepada pelaku kriminal.
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
KABAR DARI DAERAH Di Tegal Aksi “main hakim dan sok jagoan” para aparat juga dialami oleh Kurniawan (23), seorang tukang becak juga mengalami tindakan penyiksaan di Mapolresta Tegal (3/05). Peristiwa dimulai saat Kurniawan yang sedang melintas di jalan Brantas dengan menggunkan sepeda melihat seorang perempuan yang menggunakan sepeda di jalan Brantas. Lantaran menyakini perempuan itu adalah pacarnya yang bernama Dewi (belakangan diketahui perempuan itu bernama DewiAstuti/30 thn). Korban menghampiri dan mencolek badannya. Namun, ketika perempuan tersebut memalingkan muka, korban kaget karena perempuan itu ternyata bukan pacarnya. Ia berbalik arah tapi ditarik oleh perempuan tersebut. Buntutnya, sepeda yang digunakan korban jatuh dan badannya jatuh pula menimpa perempuan ini. Seketika perempuan ini berteriak hingga memancing perhatian warga. Sekitar sepuluh orang datang langsung memukul dan mengeroyok Kurniawan. Bersamaan dengan itu, patroli polisi sedang melintas, maka Kurniawan dan perempuan ini dibawa ke Mapolresta Tegal. Disinilah korban mulai mengalami tindak kekerasan. Dirinya dituduh melakukan pencabulan terhadap Dwi Astuti. Penyidik polisi lalu memaksa korban mengakui perbuatan ini dengan menyuruh korban menaruh jari kakinya di bawah kaki meja, kemudian mereka menduduki meja tersebut. Para oknum aparat ini juga menendang dada korban dengan menggunakan sepatu. Sayang, korban tak bisa mengenali para pelaku karena para aparat ini menggunakan kaos. Aparat kepolisian menuduh korban telah melanggar pasal 289 jo 281 KUHP dan menahan korban. Keluarga korban baru dapat menjenguk korban (7/05). Saat menjenguk, juga dibatasi hanya tiga kali dalam seminggu. Pada (22/05), keluarga korban menerima surat penahanan dari Kapolresta Tegal dan surat perpanjangan penahanan dari Kejaksaan Negeri Tegal. Hal ini kian membuat keluarga kian cemas, karena korban pasti kembali mengalami sejumlah tindakan penyiksaan jika ia dipindahkan ke LP.
Di Medan
Polonia Medan yang menunggu Ibrahim yaitu Pratu Gutoyo dan Hadi. Beberapa jam kemudian, sekitar pukul 20.00 Wib, keluarga menerima kabar dari warga sekitar kalau Ibrahim dipukuli oleh Serka Sulistiyo di Cafe Erna. Keluarga pun segera menuju Cafe Erna, tapi tidak menjumpai Ibrahim disana. Mereka lalu menuju klinik Bidan Syam di Jalan Bridjen Katamso Kp. Baru Medan. Sebelumnya keluarga menerima telepon dari korban yang meminta uang untuk biaya pengobatan. Korban meminta uang diserahkan pada Hartono yang akan datang ke rumah. Atas saran Hartono, keluarga membawa korban ke RS. Auri Abdul Muluk di jalan Ir. Juanda Medan. Ketika selesai berobat dan akan pulang, tiba-tiba di depan rumah sakit korban dibawa secara paksa oleh enam orang anggota Paska TNI AU dengan menggunakan mobil patroli (28/03 sektar pukul 01.00 Wib). Mereka juga mengancam keluarga korban yang menghalangi penangkapan paksa ini. Esok paginya keluarga melapor ke POM TNI AD, POM TNI UA Lanud Medan, Markas Paskas TNI AU Medan. Petugas sempat tidak melayani dengan baik. Saat melapor kedua kalinya barulah petugas membuatkan laporan tertulis namun laporan tersebut tidak diberikan pada keluarga korban. Setelah 17 hari dinyatakan hilang, pada (14/04) keluarga korban mendapat informasi berupa foto-foto hasil outopsi dari anggota Polres Aceh Tamiang dan seorang kerabat keluarga korban, bahwa Ibrahim telah tewas dan mayatnya dtemukan di wilayah Aceh Tamiang. Diperkirakan korban tewas beberapa saat sejak ia diculik. Hal ini dibuktikan dari berita beberapa harian terbitan Medan (31/03), yang memberitakan adanya penemuan mayat “Mr X” di Aceh Tamiang. Dari semua bukti yang ada jelas terlihat bahwa korban telah dianiaya dan dibunuh secara keji oleh para oknum yang menculiknya.
Di Simalungun
Tindak kekerasan berupa penculikan, penganiayaan berat dan pembunuhan juga terjadi di Medan. Korban, Ibrahim (37), sebelum dirinya dibunuh mengalami penganiayaan yang menyebabkan hidung pecah dan berdarah, kepala bagian belakang robek berdarah, tangan kanan patah, seluruh tubuh lebam akibat pukulan yang diduga dilakukan menggunakan rantai. Diduga pelaku pembunuhan dan tindak kekerasan berjumlah sekitar delapan orang, dari Paskah TNI AU Lanud Polonia Medan, antara lain Serka Sulistiyo, Pratu Gutoyo, Hartono, Hadi dan kawan-kawan.
Sementara itu, kinerja buruk dan perbuatan sewenangwenang para oknum polisi juga dapat dicermati di Resort Simalungun, Sumatera Utara. Para aparat pengayom masyarakat ini malah kerap kali melakukan kekerasan dan pembiaran terhadap kasus-kasus yang mengancam hak-hak asasi manusia. Pem-backing-an terhadap pemodal, tidak berjalannya role of law jadi indikasi kuat dugaan gagalnya Polres Simalungun melakukan tugas utamanya yaitu memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan terhadap masyarakat. Perbuatan ini jelas telah memburamkan citra polisi yang tengah berupaya mengubah paradigmanya menjadi “community police”.
Peristiwa kekerasan ini bermula (27/03) sekitar pukul 16.00 Wib. Ibrahim dijemput teman kerjanya, Buyung Waroka. Dari kesaksian Buyung, bahwa beberapa meter setelah keluar rumah ternyata sudah ada dua orang anggota Paska TNI AU Lanud
Tercatat enam kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Simalungun. Mulai dari pemerkosaan, penangkapan tanpa prosedur, dan penganiayaan yang dilakukan oleh anggota Polres Simalungun yang hingga kni tak jelas penyelesaiannya.
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
23
KABAR DARI DAERAH Tak ada ada akses dan transparansi pada masyarakat luas atas kasus-kasus yang mereka tangani ini. Sedang sampai pertengahan tahun 2007 ini telah tercatat dua kasus yang massif yaitu kasus pemukulan terhadap petani yang mempertahankan haknya dan penahanan 17 petani di Mariah Hombang yang dilakukan tanpa prosedur hukum. Aparat yang diyakini juga bersama para preman bayaran melakukan intimidasi dan kekerasan. Keberpihakan Polres Simalungun terhadap pemodal kembali dipraktekkan saat buruh harian lepas PTPN IV Dolok Sinumbah berunjuk rasa menuntut hak mereka yang belum terpenuhi. Kapolres Simalungun, Alex Mandalika membubarkan aksi buruh harian lepas PTPN IV Dolok Sinumbah di depan kantor PTPN IV dengan alasan massa aksi tidak mengantongi Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP). Padahal para buruh telah mengirim surat pemberitahuan aksi. Tindakan ini jelas mencerminkan represifitas negara dengan mengekang kebebasan berekspresi yang dijamin oleh UUD 1945 serta pembungkaman terhadap demokrasi.
Abu Dujana Sementara itu, penanganan terhadap aksi-aksi terorisme di Indonesia menjadi catatan kelam tersendiri bagi aparat kepolisian. Lihat saja, bagaimana maraknya protes dari sejumlah pihak terhadap upaya Polri menangkap para tersangka terorisme itu. Yang terakhir adalah kasus penangkapan dan penembakan terhadap Abu Dujana. Dari keterangan sang anak, Sidiq Abdullah (8 thn), Dujana ditembak dalam keadaan menyerah tanpa perlawanan. Ironisnya, peristiwa ini juga terjadi dan dilakukan di hadapan sang anak yang masih kecil. Sedangkan pernyataan Kapolri yang meminta agar penembakan Abu Dujana dimaklumi, justru membenarkan adanya kesalahan. Jelas, hal ini patut di pertanggungjawaban secara hukum. Patut dihargai upaya Polri khususnya Datesemen 88 Anti Teror Mabes Polri untuk menangkap para pelaku kejahatan
terorisme di Indonesia. Segala upaya memberantas aksi-aksi peledakan bom atau aksi kekerasan lainnya yang menimbulkan banyak korban jiwa tak bersalah, ketakutan serta rasa tidak aman kalangan masyarakat luas wajib kita dukung. Terlebih, upaya mengakhiri kejahatan terorisme merupakan upaya untuk melindungi dan menegakkan hak-hak asasi manusia. Namun, segala upaya yang dilakukan oleh negara dan setiap lembaga penegak hukum tetap harus memperhatikan kaidahkaidah yang berlaku dalam hukum nasional maupun internasional. Undang-undang nasional maupun konvensi PBB membolehkan aparat penegak hukum untuk menggunakan kekuatan, termasuk dengan senjata api. Namun penggunaan kekuatan itu tidak boleh digunakan secara eksesif (berlebihan). Penegak hukum boleh menembak jika keadaan jiwa atau keselamatan orang lain terancam. Alasan Polri bahwa kemungkinan nyawa aparat atau keselamatan orang lain terancam jelas masuk akal. Namun pertanyaannya, apakah ancaman itu bersifat nyata (imminent) atau masih potensial ? Penggunaan kekuatan hanya boleh jika ancaman itu bersifat nyata. Penegak hukum tidak boleh menembak pelaku kejahatan yang dalam keadaan tidak melawan. Dan, bila Kapolri mengabaikan kritik, maka sikap Kapolri sama saja membiarkan terjadinya penyalahgunaan senjata api dalam tugas. Sikap ini kurang tepat dan bijaksana. Ini bukan kali pertama Densus 88 dikritik. Gaya penangkapan Densus 88 yang lebih mirip aksi penculikan juga sempat diprotes keras masyarakat Poso. Apapun kesalahan para pelaku kriminal, termasuk terorisme, harus dihadapi dengan proses hukum yang benar agar dapat dipertanggungjawabkan pada di muka peradilan. Penangkapan secara brutal malah dapat menjadi stimulus bagi gerakan terorisme untuk melancarkan aksi balas dendam yang akan berakibat fatal bagi masyarakat umum. Densus 88 sebagai tim khusus anti teror yang didukung oleh Amerika Serikat dan Australia, harus tampil memberi contoh terbaik penghormatan HAM dalam upaya penegakan hukum. ***
“Setiap orang yang dirampas kemerdekaannya wajin diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia tersebut”. (Pasal 10 (1) Kovenan Hak Sipil dan Politik)
“Siapapun yang ditangkap harus diberitahu, pada saat penangkapan, alasan-alasan penangkapannya, dan harus segera diberitahu mengenai tuduhan yang dikenakan padanya”. (Pasal 9 (2) Kovenan Hak Sipil dan Politik)
24
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
REMPAH-REMPAH Sembilan Tahun Reformasi
“Jalan Masih Belum Berakhir” Sembilan tahun sudah reformasi bergulir, sejak rejim orde baru Soeharto ditumbangkan oleh gerakan pemuda dan mahasiswa, yang didukung oleh masyarakat (21 Mei 1998). Meski tampuk kepemimpinan dan kekuasan bangsa terus berganti, namun reformasi tetap belum menghasilkan perubahan yang berarti bagi kehidupan dan keadilan bagi masyarakat. Kasus-kasus pelanggaran HAM terus diabaikan lewat berbagai mekanisme formal. Namun perjuangan korban untuk terus mengajak masyarakat ‘mengingat’ tak pernah berhenti. Sembilan tahun pula negara belum mampu menuntaskan dan membawa para pelaku pelanggaran berat HAM untuk diadili. Sembilan tahun tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II serta tragedi Mei Tabur bunga untuk kasus TSS 1998, jadi saksi bagaimana negara telah lalai memberikan keadilan dan kebenaran bagi warganya. Pemerintahan SBY-JK maupun wakil rakyat yang berkursi di gedung DPR, juga tidak pernah pula bersungguhsungguh dalam penyelesaian hukum kasus- kasus pelanggaran HAM. Dok.Kontras
Kita mungkin tak akan bisa melupakan peristiwa berdarah tragedi Trisakti 12 Mei 1998 yang menewaskan empat mahasiswa kusuma bangsa muda, Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Hendriawan Sie dan Heri Hertanto, yang telah menjadi pemicu lengsernya Soeharto dari Presiden (21/ Mei/ 1998). Nyawa merekalah yang kemudian melapangkan jalan bagi demokrasi yang ada sekarang ini. Mungkin, tanpa pengorbanan para perintis perubahan, kita tetap dibekap junta militer, dipasung birokrasi dan digerus oligarki. Namun fakta perjalanan penuntasan kasus pelanggaran HAM menunjukkan bahwa pemerintah dan DPR seakan hendak melupakan sejarah reformasi. Sikap itu pemerintah SBY ditunjukkan melalui Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, yang menolak menindaklanjuti laporan Komnas HAM atas Kasus Trisakti, Semanggi I dan II, tragedi Mei 1998. Sedangkan Badan Musyawarah DPR menolak usulan Komisi III DPR agar pimpinan DPR meminta Presiden SBY segera membentuk pengadilan HAM adhoc untuk kasus ini (13/03/07). Fakta ini jelas merisaukan keluarga korban pelanggaran HAM. Untuk kasus Trisakti yang jelas-jelas turut mengantarkan jabatan yang dipangku Presiden dan anggota DPR saat ini saja mereka abai, apalagi kasus-kasus lain, seperti kasus pelanggaran HAM 1965, Tanjung Priok, Talangsari/Lampung, Tragedi Mei 1998, Penculikan Aktivis 1997-1998 dan Peristiwa 1965.
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
Amanat reformasi Pemerintahan di bawah SBY-JK tak bisa dipungkiri memang tak menunjukkan “hati” dan keseriuasan atas semua peristiwa ini. Hati nurani mereka seolah telah hilang di bawah tampuk kekuasaan yang mereka miliki kini. Sementara perombakan kabinet terbatas yang baru saja dilakukan Presiden, juga belum menampakkan kesungguhan menjalankan amanat reformasi, terutama penegakan hukum dan HAM. Terbukti kentalnya politik kekuasaan dalam perombakan tersebut, yang ditandai tarik-menarik antar parpol untuk menduduki kursi menteri. Sehingga jelas bahwa sumber masalah adalah pengkhianatan komitmen reformasi dengan menelantarkan korban atas nama kepentingan kekuasaan.
Sembilan Hari Peringatan Trisakti dan Mei 1998 Sementara dalam rangka memperingati sembilan tahun reformasi, serangkaian acara digelar oleh korban, keluarga korban yang didampingi oleh KontraS. Selama hampir sembilan hari pula acara ini dilakukan. Dimulai pada (6/05) diskusi korban dengan para pemuda dan masyarakat dalam rangka menuntut negara menuntaskan kasus Mei. Serangkaian aksi juga digelar (11/05) ke DPR. Aksi tersebut dilakukan untuk menuntut para Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mempertanggungjawaban penolakan enam fraksi membawa kasus TSS ke paripurna. Aksi ini meminta DPR untuk segera m e n g e l u a r k a n rekomendasi pembentukan pengadilan HAM adhoc untuk kasus Mei dan TSS. Dok.Kontras Acara dilanjutkan dengan “Malam refleksi aksi tabur bunga untuk penuntasan kasus korban tragedi Mei 1998 pelanggaran HAM” (12/05), dimana Usman Hamid, Romo Sandiyawan, Ibu Sumarsih menyampaikan bentuk perenungan bersama atas
25
REMPAH-REMPAH tragedi ini. Acara juga dilanjutkan dengan pemuntaran film dan paduan suara dari PMKRI. Keesokan harinya, bertepatan dengan peristiwa Mei 1998 (13/05) diadakan tabur bunga di Mall Klender, tabur bunga di depan istana Merdeka dan dilanjutkan dengan longmarch dari Istana menuju Hotel Indonesia.
Telah terlalu banyak pengabaian-pengabaian yang dilakukan khususnya oleh Presiden dan DPR. Namun, kita tak akan diam akan semua pengabaian ini. Apapun kendala yang ada, perjuangan belum berakhir. Kita percaya meski telang berlangsung selama sembilan tahun, namun semangat untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan untuk korban dan keluarga korban tak akan berakhir sebelum para pelakunya menerima hukuman setimpal dengan apa yang telah dilakukannya. Termasuk perjuangan untuk melawan ketidakadilan dan pelanggaran berat HAM lainnya ***
Rangkaian kegiatan memeperingati tragedi Trisakti
Sedang (14/05), diadakan audiensi ke Kejaksaan Agung. Audiensi ini diterima Kapuspenkum, Dirjen HAM (Zainuddin Arief ), dan para staf-staf Kejaksaan Agung. Terjadi perdebatan tentang penafsiran pasal 43 UU 26/2000. Kontras dan keluarga korban menolak argumentasi bahwa tidak seharusnya Jaksa Agung menunggu pencabutan rekomendasi DPR, karena DPR bukan lembaga yudikatif. DPR hanya merekomendasikan pengadilan HAM adhoc, bukan menunjukkan ada tidaknya pelanggaran HAM berat. Pada akhirnya, Dirjen HAM dan Kapuspenku Kejagung menjanjikan akan mencari jalan keluar perihal perbedaan pendapat tersebut.
Setelah audiensi acara dilanjutkan dengan ziarah ke Pondok Rangon. Puncak acara digelar (15/05) digelar di tempat tinggal sebagian korban Mei 1998, Klender, Jakarta Timur, lewat acara Panggung Solidaritas “Bersama Mengikat Solidaritas untuk Penuntasan Kasus Mei.” Turut hadir dalam acara itu, anggota Komisi III DPR RI Nursyahbani Katjasungkana, artis Rike Diah Pitaloka, Suciwati, Sri Suparyati dan Mugiyanto. Acara berisi renungan, musikalisasi puisi, paduan suara dan pemutaran film Mei (Memecah Kebisuan).
Doc.Kontras
26
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
REMPAH-REMPAH
Teror, paska kedatangan Hina Jilani Baru pertengahan Juni lalu, pemerintah Indonesia menerima kunjungan Wakil Khusus Sekjen PBB untuk Perlindungan Pembela HAM Hina Jilani (5-12 Juni) serta menegaskan komitmennya untuk memberikan perlindungan bagi para pembela HAM. Namun pasca kepulangan Hina Jilani, masih terjadi beberapa peristiwa kekerasan terhadap pembela HAM di berbagai daerah. Akhirnya pemerintah Indonesia mengundang Wakil Khusus Sekjen PBB untuk Perlindungan Pembela HAM, Hina Jilani untuk mencari, menerima, meneliti, dan menjawab informasi perlindungan bagi pembela HAM. Hina Jilani juga mengunjungi Papua (8/6) dan Aceh (9/6) untuk bertemu dengan aparat pemerintah setempat serta mendengar langsung kesaksian para pembela HAM yang mengalami intimidasi dan kekerasan saat menjalankan kerja-kerja kemanusiaan. Di Jakarta, secara khusus Hina Jilani bertemu dengan Komite Solidaritas Aksi untuk Munir untuk mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus ini. Sementara di Aceh, Hina Jilani menitikberatkan pada ketiadaan pencegahan serta penghukuman terhadap kasus-kasus kekerasan kepada pembela HAM pada saat darurat militer berlangsung. Saat bertemu dengan jajaran Muspida di Papua, Hina Jilani langsung mengkonfirmasikan kasus-kasus kekerasan terhadap para pembela HAM di Papua. Aparat Muspida di Papua, termasuk pihak kepolisian dan militer menjamin tidak adanya kebijakan untuk menyerang para pembela HAM dan bahkan berjanji untuk melindungi mereka. Ironisnya, pada hari yang sama kekerasan dan intimidasi justru diterima oleh Frederika Korain dan Pdt. Perinus Kogoya dari SKP Jayapura. Mobil mereka ditabrak oleh mobil yang dikendarai dua aparat yang mengaku sebagai Komandan Intel Kodam XVII Trikora dalam perjalanan dari bandara Sentani menuju Jayapura. Intimidasi juga diterima oleh Albert Rumbekwam Ketua Komnas Perwakilan di Papua, setelah bertemu dengan Hina Jilani di Papua. Albert menerima ancaman pembunuhan melalui telepon serta dibuntuti oleh orang-orang tak dikenal. Kantor Komnas HAM juga dikepung sementara rumahnya terus diawasi oleh orang-orang tersebut. Walaupun telah melaporkan kepada pihak kepolisian, namun intimidasi tersebut terus berlangsung sejak 11 Juni. Hal serupa juga diterima oleh Yan Christian Warinussy Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, yang terus dimata-matai aktifitasnya, baik ketika berada di rumah maupun ketika berada di kantor. Peristiwa terjadi setelah pertemuannya dengan Hina Jilani, masing-masing pada (9/06) pukul 20.00 wib dan pukul 23.00 wib (11, 16, 18, Juni ). Ancaman dan teror terhadap para pembela HAM juga diterima oleh dua orang staf LBH Medan Oktober Siahaan (Okto) dan
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
Ahmad Irwandi, di Pengadilan Negeri Pancur Batu – Sumatera Utara (5/06). Pada saat melakukan pembelaan terhadap kliennya, mereka diancam dengan menggunakan senjata api oleh enam orang aparat TNI AD dari Batalyon Kavaleri (Yon Kav) 6 Kodam I/Bukit Barisan yang dipimpin oleh Lettu Bina Satria Sembiring dan diancam akan ditikam jika LBH meneruskan pembelaan terhadap klien mereka. Sementara Lembaga Pengabdian Hukum (LPH) YAPHI dan Interaksi Solidaritas antar elemen Masyarakat (Insan Mas) Solo mengalami intimidasi dan tindak kekerasan berupa ancaman dan pembubaran acara seminar nasional oleh Kapolsek Colomadu Karanganyar dan Kasat Intelkam Polres Karanganyar, pada (21/06) di Rumah Makan Taman Sari, Solo. Seminar Nasional dengan tema “Memperkuat Masyarakat Sipil Tanpa Kekerasan” dibubarkan dengan alasan atas permintaan kelompok Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS). Di Jakarta, Jhonson Panjaitan dan kawan-kawan yang tergabung dalam Solidaritas Masyarakat untuk Karyawan (SEMARAK) RCTI, mengalami tindak kekerasan berupa pemukulan, dan perusakan barang dari aparat keamanan Security Group Artha (SGA) pada (22/07) di depan gedung BEJ, ketika mereka melakukan unjuk rasa berkaitan dengan launching penjualan saham PT. MNC ke publik. Tujuan Jhonson dkk melakukan unjuk rasa untuk melindungi masyarakat calon investor dari kebohongan yang dilakukan PT. MNC dalam prosperktusnya di harian Seputar Indonesia. KontraS melaporkan peristiwa kekerasan tersebut ke Komnas HAM dan aparat kepolisian untuk mendapatkan perhatian yang khusus. Namun, baik Komnas HAM maupun aparat kepolisian tidak memberikan respon yang cukup untuk mendorong berjalannya proses hukum terhadap para pelaku.
Makin marak Dari beberapa kejadian kekerasan dan teror yang diterima oleh para pembela HAM diatas, terlihat jelas bahwa sampai saat ini cara-cara kekerasan masih diberlakukan untuk membungkam kebebasan masyarakat sipil dan jaminan hakhak sipil masyarakat. Praktek-praktek intimidasi dan kekerasan makin marak dan dipertontonkan secara gamblang, baik secara fisik atau psikis. Ironisnya, tak satupun dari para pelaku kekerasan tersebut yang diadili secara transparan, sementara para korban pun tidak mendapatkan perbaikan kondisi secara layak. Kondisi ini yang membuat kekerasan terus berulang. Kekerasan dan ketiadaan
27
REMPAH-REMPAH penegakan hukum secara terang-terangan merupakan pelanggaran hukum dan konstitusi.
memang hanya bisa membujuk dan mendesak pemerintah Indonesia untuk melakukan perubahan, “ katanya.
Berkaitan dengan hal tersebut, Hina Jilani juga memberikan catatan-catatan khusus, termasuk selama dirinya mengetahui langsung kondisi tersebut di Indonesia. “Saya sangat prihatin mendengar kesaksian adanya intimidasi terhadap para pembela HAM masih terus berlanjut, “ katanya di Jakarta, Selasa (12/06).
Dalam pernyataannya setelah melakukan kunjungan di Indonesia sejak 5-12 Juni 2007, Jilani menyatakan pula bahwa ia Dok.KASUM menaruh perhatian khusus atas kasus pembunuhan Munir. Ia prihatin dengan munculnya kekhawatiran proses pengadilan dipengaruhi untuk melindungi pelaku pembunuhan. Jilani juga mengingatkan p e m e r i n t a h Jilani mengatakan Indonesia, bahwa intimidasi yang kasus Munir terjadi ini dilakukan menggambarkan oleh polisi, militer dan situasi HAM secara badan keamanan atau umum. Ini badan intelijen. Selain merupakan ujian mengintimidasi, kata bagi pemerintah dia, mereka juga untuk melindungi Pertemuan Hina Jilani dengan KASUM melecehkan dan pembela Hak Asasi membatasi akses Manusia di negeri pembela HAM kepada ini. para korban di daerah-daerah dimana terjadi pelanggaran HAM, seperti di Papua Barat. KontraS sendiri berharap, pihak Komnas HAM sebagai lembaga Ia menyatakan mendapatkan laporan dari pihak yang dapat dipercaya mengenai serangkaian peristiwa yang melibatkan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan intimidasi yang menghambat kebebasan pembela HAM untuk menyelidiki kasus pelanggaran HAM. Mereka yang berupaya untuk melindungi lingkungan hidup, hak atas tanah serta sumber-sumber alam juga tak mendapatkan perlindungan dari polisi. “Kondisi pembela HAM di Papua Barat merupakan isu yang akan saya tindak lanjuti, “ ujarnya. Jilani menyatakan, isu ini akan ia angkat di Dewan HAM PBB. Ia berharap pemerintah Indonesia memberikan perhatian lebih terhadap masalah yang terjadi di Papua Barat. “Dalam hal ini, saya
yang kompeten dalam hal ini, memberikan perhatian serius terhadap maraknya tindakan kekerasan, termasuk yang ditujukan kepada pembela HAM. Perhatian serius tersebut harus diupayakan berdasarkan kewenangan yang dimilikinya, termasuk mendorong kebijakan yang dapat mencegah terjadinya tindak kekerasan terhadap pembela HAM maupun penyelidikan atas kekerasan yang menimpa mereka. Karena segala bentuk tindak kekerasan aparat terhadap para Pembela HAM ini, jelas-jelas telah melanggar hukum pidana nasional dan Deklarasi Pembela HAM. Hal ini sangat merugikan, tidak hanya terhadap para Pembela HAM dan kerja-kerjanya melakukan promosi dan proteksi terhadap HAM, tetapi juga telah mencoreng muka Pemerintah Indonesia yang telah berupaya menunjukkan komitmennya dalam menghormati HAM dan melindungi para Pembela HAM.***
“Setiap orang mempunyai hak, secara sendiri sendiri maupun bersama-sama, untuk memajukan dan memperjuangkan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dan kebebasan dasar di tingkat nasional dan internasional”. (Pasal 1 , Deklarasi hak dan kewajiban individu, kelompok dan badan-badan masyarakat untuk pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang diakui secara universal)
28
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
REMPAH-REMPAH
Insiden Sutiyoso di Australia, ‘Mengejar’ Pelaku Pelanggar HAM Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso merasa dipermalukan, ketika polisi federal Australia memintanya memberikan keterangan di pengadilan untuk kasus Balibo. Respon keras muncul dari Indonesia. Mulai statement pejabat negara yang merasa dilecehkan, hingga demonstrasi kelompok-kelompok konservatif atas nama nasionalisme. Sikap berlebihan di tengah upaya bersama di tingkat internasional untuk mengadili para pelaku pelanggar HAM. Saat itu orang nomor satu di DKI Jakarta ini sedang berada di Australia. Tiba-tiba dua orang polisi federal Australia, sersan Steve Thomas dan detektif senior Constable Scrzvens, menerobos masuk ke kamar hotel tempat Sutiyoso menginap, Selasa (29/05) di Hotel Shangri-la, Sydney. Mereka meminta Sutiyoso menandatangani surat undangan untuk datang ke Pangadilan Sydney guna memberikan keterangan kasus Balibo. Merasa diperlakukan tidak sopan, sang gubernur marah besar. Dirinya menolak menandatangani surat tersebut. Bahkan, Sutiyoso langsung bergegas pulang dan kembali ke Jakarta.
Koordinator Human Right working Group Refendi Djamin, mengatakan,” Pemerintah Negara Bagian New South Wales sudah meminta maaf, tetapi tidak berarti perkara selesai. Pengadilan belum mencabut permintaan bersaksi kepada Sutiyoso.” Pengadilan New South Wales, kata Rafendi, masih mungkin mengirimkan surat permohonan ke Sutiyoso untuk bersaksi atas kasus terbunuhnya lima wartawan ini. Jika surat tidak ditanggapi, mereka dapat minta bantuan polisi internasional untuk mendatangkan Sutiyoso.
Insiden Sutiyoso ini langsung mendapat “simpatik” dari berbagai pejabat tinggi di Indonesia serta sejumlah demonstrasi yang digelar untuk memprotes aparat Australia terhadap Sutiyoso saat berada di Australia. Pada akhirnya Perdana Menteri Negara Bagian New South Wales (NSW) meminta maaf dan Sutiyoso pun “memaafkan”. Namun insiden ini membuktikan berlakunya universalitas HAM, dimana kewenangan mengadili pihak-pihak yang diduga melakukan pelanggaran HAM melewati jurisdiksi batas negara.
Peristiwa yang menimpa Sutiyoso ini bukanlah kasus pertama. Sebelumnya, Jend Wiranto pernah dicekal oleh pemerintah AS karena terlibat pelanggaran HAM di Timor Leste, 1999. Sementara Letjen Johny Lumintang, mantan WAKASAD semasa referendum 1999, digugat perdata oleh keluarga korban Timor Leste di pengadilan kota Washington, Amerika Serikat. Nasib serupa diterima Sintong Panjaitan, yang digugat di pengadilan kota Boston, Amerika Serikat karena dituduh bertanggung jawab atas pembunuhan di makam Santa Cruz, Dili, pada 12 November 1991.
Kasus pembunuhan jurnalis Australia di Balibo terjadi di Timor Leste pada tahun 1975, yang diduga melibatkan beberapa anggota Kopassus (dulu Kopashanda). Kasus ini adalah sebuah proses pencarian keadilan oleh keluarga korban di Timor Leste sejak lebih dari 30 tahun yang lalu.
Harus diadili Prinsip Internasional Hukum HAM menyatakan bahwa kejahatan berat HAM harus diadili dan setiap negara wajib mengambil langkah konkret untuk mewujudkan hal tersebut. Hal ini juga dipertegas Resolusi PBB 3074 yang disetujui pada 3 Des 1973 oleh Majelis Umum PBB, tentang “Principles of international cooperation in the detection, arrest, extradition and punishment of persons quilty of war crimes and crimes against humanity”. Dalam konteks ini, apa yang dilakukan Kepolisian Australia untuk kepentingan proses pengadilan Kasus Balibo merupakan implementasi dari berbagai prinsip hukum HAM internasional dan resolusi PBB di atas. Dan seharusnya pemerintah Indonesia yang menjadi bagian dari anggota PBB dan komunitas internasional juga mengambil langkah efektif untuk menjamin terselenggaranya proses pengadilan tersebut, bukan menjadikan proses hukum ini menjadi masalah politik.
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
Tak ada alasan Disisi lain, pemerintah semestinya mengambil langkah kooperatif dan menjamin kesediaan dan kerjasama siapapun untuk mengikuti proses pengadilan. Tak ada alasan bagi Pemerintah Indonesia untuk menggunakan pendekatan diplomatik dan menuntut jaminan kekebalan hukum atas seorang warga negara yang diminta menjadi saksi peristiwa kejahatan internasional. Sebagaimana diatur tegas dalam pembukaan UUD 45, Indonesia menyatakan diri sebagai negara yang berperan aktif dalam usaha perdamaian dunia. Dalam konteks ini, salah satu usaha perdamaian tersebut adalah melaksanakan semua instrumen hukum HAM internasional serta memerangi semua tindak kejahatan HAM berat yang terjadi di muka bumi. Sebagai anggota Dewan HAM dan sebagai bagian dari komunitas Internasional yang tunduk dan terikat dalam berbagai instrumen hukum HAM internasional, Indonesia wajib menunjukan implementasi berbagai prinsip hukum HAM internasional dalam kasus tersebut. Sikap yang ditunjukkan dengan memberi proteksi berlebihan terhadap Sutiyoso maupun Yunus Yosfiah atau para tertuduh lain, merupakan sikap yang bertentangan dengan prinsip no
29
REMPAH-REMPAH save heaven yang menentang impunitas terhadap kejahatan berat internasional. Sementara itu, pemberian jaminan immunity terhadap siapapun yang terlibat kejahatan itu menyalahi prinsip internasional. Immunity memang masih diakui hukum internasional namun dibatasi terhadap Kepala Negara yang masih menjalankan fungsi pemerintahan. Perkembangan ini sesuai dengan kemajuan Hukum HAM internasional. Apalagi dalam konteks kejahatan yang dianggap sebagai pelanggaran HAM berat, seperti penyiksaan, pembunuhan, penghilangan paksa. Kejahatankejahatan seperti ini yang dilakukan oleh siapa saja pasti
akan di hukum. Jika pelakunya masih menjadi Kepala Negara maka setelah masa jabatannya berakhir dia akan tetap di adili dan ini menjadi kewajiban seluruh Negara di dunia. Hal ini juga dipertegas dalam doktrin hukum internasional dengan istilah “Hostis Humanis Generis”, musuh seluruh umat manusia. Dalam konteks ini, siapapun yang diduga terlibat, tidak berhak mendapatkan immunity. Sebagai negara yang memiliki konstitusi yang berisi pernyataan keikutsertaannya dalam perdamian dunia seharusnya langkah yang diambil dalam kasus Sutiyoso cukup dengan memberikan bantuan hukum dengan menyediakan pengacara untuk Sutiyoso maupun para pelaku yang lain. Sekaligus membuktikan komitmennya sebagai Negara beradab dan tunduk pada kesepakatan PBB.***
Reshuffle Harus Bisa Perbaiki Penegakan Hukum & HAM Pada akhirnya, setelah terus “ditekan” hingga menjadi bahan perbincangan di hampir tiap lapisan masyarakat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan perombakan kabinet di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (7/ 05) pukul 15.00 Wib. Empat menteri dan satu pejabat setingkat menteri dicopot serta dua menteri dirotasi. Menurut Presiden, pencopotan menteri dan kabinet bukanlah suatu musibah. Empat menteri yang dicopot dari kabinet Indonesia bersatu dalam perombakan kabinet kedua adalah Menteri Sekretaris Negara Yusril Ilza Mahendra, Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin, Menteri Negara BUMN Sugiarto, dan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Saifullah Yusuf, serta Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. Dari empat menteri yang dicopot tersebut, dua menteri yakni Menteri Hukum dan HAM dipegang oleh Andi Mattalata, sedangkan Jaksa Agung dipercayakan pada Hendarman Supandji. Sementara saat serah terima jabatan dari Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, Jaksa Agung Hendarman Supandji menyatakan akan melanjutkan pembaruan kejaksaan melalui pembenahan internal. Ia juga akan bekerjasama dengan instansi penegak hukum lainnya agar lebih efisian dan efektif. Dalam kesempatan tersebut, mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh meminta Hendraman agar tidak melupakan kasus Munir, kasus BLBI dan kasus Soeharto. Sedangkan Menteri Hukum & HAM baru, Andi Mattalata berjanji akan menghilangkan korupsi di departemennya. Ia menegaskan Depkum & HAM sebagai lembaga yang mengurusi hukum harus memberi teladan yang baik bagi departemen lainnya.
Menyisakan pekerjaan rumah Pada akhirnya, dengan terpilihnya Jaksa Agung dan Menteri Hukum dan HAM yang baru, kita berharap akan ada banyak perubahan. Khusus untuk Jaksa Agung baru, Hendarman
30
Supandji, dituntut agar dirinya pro aktif dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Hal ini adalah sebuah parameter utama, apakah pejabat Jaksa Agung hasil reshuffle membawa perubahan dibanding sebelumnya. Hal tersebut dikarenakan lantaran dua setengah tahun perjalanan Kabinet Indonesia Bersatu Pemerintahan SBY-JK, kinerja Jaksa Agung menyisakan pekerjaan rumah yang selama ini diendapkan. Diantaranya, Jaksa Agung belum menyidik kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Padahal ini adalah janji SBY saat kampanye Pilpres 2004 lalu, yaitu komitmen menyelesaikan kasus korupsi dan pelanggaran HAM berat. Kasus pelanggaran HAM berat yang harus segera disidik adalah tragedi Trisakti Semanggi I dan II, tragedi Mei 1998 serta kasus Wasior dan Wamena. Jaksa Agung baru ada baiknya merubah sikap akhir tahun lalu yang menolak menindaklanjuti kasus penculikan aktivis 1997/1998. Sikap yang akhirnya digunakan DPR untuk mempolitisasi kasus-kasus pelanggaran HAM berat dalam lembaga rakyat. Baik Jaksa Agung maupun DPR abai terhadap pemenuhan keadilan bagi korban dan keluarganya. Begitu pula dengan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, Jaksa Agung sebaiknya membuat terobosan. Sementara, Menteri Hukum dan HAM yang baru, Andi Mattalatta, sebaiknya segera mereview semua produk rancangan perundang-undangan yang bertentangan dengan HAM. Review ini digunakan sebagai patokan kebijakan yang dibuat sendiri oleh Pemerintah yaitu, Keputusan Presiden tentang RAN HAM 2003-2008. RUU-RUU itu antara lain RUU Rahasia Negara, RUU Peradilan Militer, RUU Intelijen, RUU KUHP hingga Perda-perda yang bertentangan dengan konstitusi. Yang paling penting adalah, Jaksa Agung dan Menhukham yang baru, harus dapat membebaskan diri dari kepentingan politik. Keduanya harus menegaskan komitmennya terhadap hukum dan HAM. Agar hasil reshuffle tak sia-sia, keduanya harus mengambil langkah-langkah hukum yang progresif. Terobosan hukum, pertemuan antar lembaga negara, termasuk Mahkamah Agung dan para ahli hukum internasional menjadi hal yang penting untuk segera dilakukan.***
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
REMPAH-REMPAH
Korban Penculikan Belum Kembali, Tim Mawar Sudah Bebas Negara kembali menunjukkan ketidaktegasan dan ketidakjelasan sikap politiknya dalam kasus-kasus pelangaran HAM berat yang terjadi sepanjang 1997-1999. Pernyataan Jaksa Agung Hendarman Supanji yang akan menggunakan mekanisme penyelesaian tindak pidana biasa untuk penyelesaian kasus TSS, Mei dan Penculikan Aktivis, telah menyakiti perasaan korban dan keluarga korban yang telah menanti keadilan selama bertahun-tahun. Pernyataan ini juga jelas mendelegitimasi kerja instansi hukum lainnya, yakni penyelidikan Komnas HAM yang menyatakan adanya dugaan tindakan pelanggaran berat HAM untuk kasus-kasus tersebut. Sementara itu, KontraS mendapat informasi yang cukup mengejutkan, yang mengungkapkan beberapa orang terdakwa (Kopassus) pelaku penculikan aktifis yang dikenal sebagai Tim Mawar, mereka justru mendapatkan promosi dan menempati jabatan yang strategis dalam lingkungan TNI. Mereka adalah; 1. Letkol Fausani Syahrial Multhazar, Dandim 0719 Jepara. 2. Letkol Untung Budi Harto, Dandim 1504 Ambon. 3. Letkol Dadang Hendra Yuda, Dandim 0801 Pacitan. 4. Letkol Djaka Budi Utara, DanYon 115 Macan Leuser.
KontraS dan keluarga korban (22/05/2007), sebelumnya menanyakan perkembangan kasus ini kepada Mahkamah Agung melalui Juru Bicara Mahkamah Agung, Djoko Sarwoko. Namun, pihak Mahkamah Agung justru menyatakan tidak mengetahui putusan peradilan militer tersebut. Ketertutupan seluruh proses ini membuat kontrol publik terhambat. Paska pertemuan (22/05/2007), Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan menyampaikan dalam siaran persnya bahwa kasus penculikan sembilan aktivis pro demokrasi yang dilakukan Tim Mawar itu, hanya sampai ditingkat banding yakni Mahkamah Militer Agung dan tidak sampai kasasi di tingkat MA.
Malah promosi
dapat
Dari awal, kita dapat menebak bahwa penerapan hukum pidana biasa termasuk pidana militer hanya untuk membatasi pelaku sebatas pelaku di lapangan. Selain itu, akses publik terhadap peradilan militer, sejauh ini dapat dikatakan tertutup bahkan ditutuptutupi. Pemberian jabatan strategis dalam lingkungan TNI kepada empat orang Dok.Kontras terdakwa di atas, mempertegas soal untuk kasus penculikan ketertutupan itu. Apalagi sejak 1999 keluarga korban yang mencoba untuk mendapatkan informasi perkembangan kasus lewat surat maupun permohonan pertemuan tidak pernah direspon.
Sebelumnya Putusan Tingkat I Mahkamah Militer menjatuhkan Persidangan Tim Mawar Kopassus pidana dan pemecatan pada lima dari 11 terdakwa tim mawar Kopassus TNI AD tersebut. Enam lainnya hanya dikenai sanksi penjara. Selanjutnya, pada tingkat banding, 10 anggota terdakwa tersebut hanya mendapat hukuman pidana. Sedangkan yang dijatuhi sanksi tambahan berupa pemecatan hanya dikenakan terhadap komandan tim, Mayor Inf Bambang Di sisi lain, hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Dewan Kristiono. Kehormatan Perwira (salah anggotanya, Letjen Susilo Bambang Yudhoyono-Kassospol ABRI, ketika itu) pada Dari penjelasan Panglima TNI melalui media, dinyatakan bahwa Agustus 1998 hanya menghukum Letjen Probowo dengan karier militer anggota Tim Mawar sempat terhambat beberapa pengakhiran masa tugas, sementara Mayjen Muchdi PR dan tahun. “Akan tetapi, itu sudah dihitung dalam perjalanan karier Kolonel Inf Chairawan K. Nusyirwan hanya mendapat sanksi mereka. Memang ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi pembebasan tugas dari jabatan. Panglima Kodam Jaya ketika sehingga mereka bisa diperlakukan sama dengan yang lainnya, itu Syafrie Syamsudin yang juga diakui keterlibatannya oleh “ ungkap Djoko tanpa merinci persyaratannya. “Jadi, mereka Prabowo tidak tersentuh. Letjen Syafrie Syamsudin justru bisa saja aktif lagi. Dihukum, kan, bukan berarti lalu...(tak mendapatkan jabatan sebagai Sekjen Dephan, Muchdi PR diteruskan). Kecuali, jika mereka memang dipecat.” (Kompas, 16 sebagai Deputi V BIN dan Brigjen Chairawan, sebagai mantan Mei 2007).
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
31
REMPAH-REMPAH Korem Lilawangsa dan sekarang menjabat Kaposwil NAD BIN. Terlepas dari apapun sanksi yang diputus oleh pengadilan, masih aktifnya para pelaku bahkan memperoleh jabatan strategis ini menunjukkan bahwa kejahatan serius yang mereka lakukan hanya dipandang sebagai pelanggaran ringan oleh TNI. Semestinya ada ukuran yang jelas untuk promosi atau kenaikan jabatan strategis TNI, termasuk tidak terlibat dalam tindak pidana apalagi pelanggaran HAM berat.
‘Terlepas dari apapun sanksi yang diputus oleh pengadilan, masih aktifnya para pelaku bahkan memperoleh jabatan strategis ini menunjukkan bahwa kejahatan serius yang mereka lakukan hanya dipandang sebagai pelanggaran ringan oleh TNI”
Pemberian jabatan strategis bagi para pelaku tindak pelanggaran HAM berat ini justru mencoreng reformasi TNI. Situasi ini menunjukkan ketiadaan efek jera yang turut menyumbang peran dalam terjadinya kasus pelanggaran HAM lainnya, misalnya pada kasus Munir
yang diduga kuat melibatkan Muchdi PR diantara pelakunya. Bila tiada penghukuman yang maksimal bagi para pelaku kejahatan itu, maka sesungguhnya masyarakat luas dalam ancaman hidup bersama diantara para penjahat kemanusiaan.
Oleh karenanya, KontraS bersama korban dan keluarga korban kembali mendesak Jaksa Agung segera membentuk tim penyidik untuk melakukan penyidikan kasus kasus pelanggaran berat HAM. Sedangkan kenaikan pangkat dan pengangkatan anggota Tim Mawar sebagai perwira dan pejabat strategis di lingkungan TNI, KontraS meminta DPR untuk memanggil Panglima TNI mengklarifikasi promosi terhadap mereka itu.***
Jaksa Agung Harus Merujuk Pada Pengadilan HAM Bila ditelaah lebih dalam laporan hasil penyelidikan KPP HAM untuk kasus penculikan aktivis 1997/1998, maka terdapat beberapa penekanan terpenting pada adanya perbedaan kelompok korban yaitu kelompok korban yang telah kembali dan kelompok korban yang belum diketahui nasib dan keberadaannya. Terhadap 13 orang korban yang hingga sekarang belum kembali harus dipandang berbeda dengan para korban yang telah kembali. Status para korban yang belum kembali adalah bahwa “mereka masih hilang hingga sekarang, belum diketahui dimana nasib dan keberadaannya. “ Dalam kondisi seperti ini, statue of limitation (batas kadaluarsa) tidak berlaku, mengingat nasib dan keberadaan korban belum diketahui. Sehingga terhadap 13 orang korban tersebut, status kasusnya masih berlangsung hingga sekarang atau biasa disebut sebagai kejahatan berkelanjutan (continuing crime). Sebuah analisis instrumen intemasional tentang “Orang Hilang”, Nunca Mas, dalam Human Rights Quarterly, vol. 19, 1997 dalam Amsterdam Law Clinic menyebutkan bahwa: “ Praktek penghilangan orang secara paksa khususnya bagi beberapa korban yang belum kembali, dan tidak diketahui keberadaan dan nasibnya sejak kasus penghilangan paksa tersebut berhenti, maka kondisi seperti itu, menyebabkan kasus penghilangan paksa tidak mengenal batasan waktu (statue of limitation) mengingat tidak diketahuinya penahanan, keberadaan dan nasib para korban. Karena hal ini merupakan bagian yang cukup penting dari kejahatan itu sendiri. “ Begitu pun penjelasan dalam Deklarasi Perlindungan terhadap Penghilangan Orang Secara Paksa - dimana Indonesia juga terikat secara moral sebagai anggota PBB dan sebagai anggota dewan HAM PBB untuk melakukan penyelidikan sepanjang nasib korban penghilangan orang secara paksa belum diklarifikasi. Pendapat Jaksa Agung Hendarman Supandji, yang akan menyelesaikan kasus Trisakti, Semanggi I dan II, Peristiwa Mei 1998 dan Penculikan & Penghilangan aktivis 1997-1998, dalam kerangka pidana biasa, merupakan pencederaan perjuangan keluarga korban-yang telah berjuang sekian lama mencari keadilan dan kebenaran. Selain itu, penyelesaian dengan pidana biasa tidak akan berbeda jauh kualitas penghukumannya dengan proses pengadilan Tim Mawar melalui mahkamah militer, yang gagal membongkar kebijakan, rantai komando kejahatan penghilangan orang serta gagal mengungkap ke 13 orang yang masih tidak diketahui nasib dan keberadaannya. Kegagalan negara menuntaskan kasus pelanggaran berat HAM, seperti penculikan dan penghilangan orang secara paksa 1997-1998, seakan memberi jalan bagi para pelaku untuk menikmati impunity bahkan memperoleh promosi. Akhirnya keadilan masih berupa nyanyian sunyi. ***
32
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
REMPAH-REMPAH
Tabel Hasil Pengadilan Tim Mawar No 1.
Mayor Inf Bambang Kristiono (Komandan Tim Mawar)
2.
Kapten Inf Fausani Syahrial Multhazar (Wakil Komandan Tim Mawar) Kapten Inf Nugroho Sulistiyo Budi
1 tahun 8 bulan penjara dan dipecat dari dinas ABRI cq TNI AD
4.
Kapten Inf Yuius Selvanus
1 tahun 8 bulan penjara dan dipecat dari dinas ABRI cq TNI AD
5.
Kapten Inf Untung Budi Harto
1 tahun 8 bulan penjara dan dipecat dari dinas ABRI cq TNI AD
6.
Kapten Dadang Hendra Yuda Kapten Inf Djaka Budi Utama Kapten Inf Fauka Noor Farid Serka Sunaryo Serka Sigit Sugiarto Sertu Sukadi
1 tahun 4 bulan
Putusan Tingkat II INKRACHT Dipidana 1 tahun 10 bulan penjara dan dipecat dari dinas ABRI cq TNI AD Dipidana 3 tahun penjara dan tidak dipecat dari dinas TNI AD Dipidana 2 tahun 10 bulan penjara dan tidak dipecat dari dinas TNI AD Dipidana 2 tahun 6 bulan penjara dan tidak dipecat dari dinas TNI AD Dipidana 2 tahun 6 bulan penjara dan tidak dipecat dari dari dinas TNI AD 1 tahun 4 bulan
1 tahun 4 bulan
1 tahun 4 bulan
1 tahun 4 bulan
1 tahun 4 bulan
1 tahun 1 tahun 1 tahun
1 tahun 1 tahun 1 tahun
3.
7. 8. 9. 10. 11.
Nama
Putusan Tingkat I Semuanya mengajukan Banding Dipidana 1 tahun 10 bulan penjara dan dipecat dari dinas ABRI cq TNI AD
1 tahun 8 bulan penjara dan dipecat dari dinas ABRI cq TNI AD
“Praktek penghilangan secara paksa yang dilakukan secara meluas atau sistematis adalah kejahatan terhadap kemanusiaan seperti dimaksud dalam hukum internasional yang berlaku dan harus memperoleh konsekwensi seperti yang berlaku di bawah hukum internasional” (Pasal 5 Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Terhadap Semua Orang dari Tindakan Penghilangan Paksa)
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
33
REMPAH-REMPAH
Dendang-Dendang Kebringasan (Josef B.Kalengkongan) Dendang-dendang kebringasan Gubahan komponis-komponis sadis Iringi kematian tak wajar berjuta anak banga Dendang-dendang kebringasan Torehkan sejarah hitam pekat Bangsa ranah dan santun jadi bar-bar Rekayasa gestok enam lima Didendangkan Dalam pengingkaran bait-bait supermar Bau busuk mayat-mayat terbantai Lebih merangsang gairah sang komponis Ada dendang khusus di Serambi Mekah Aceh Disana juga banyak darah membasahi bumi Di Papua ujung timur tanah pertiwi Ada Theis dibunuh Di pinggiran utara Kota Metropolitan Di Tanjung Priuk Jamaah dibantai Mengikuti alunan dengan-dendang klasik Juga korban berjatuhan di Talangsari Ada rekayasa kerusuhan Mei Sembilan Delapan Penjarahan perampokan Penganiayaan pembunuhan dan perkosaan Mengisi kalimat-kalimat bait lagu Dendang-dendang lewat moncong bedil Digelar di Trisakti dan Semanggi Disana putera terbaik bangsaku mengerang sakit dan gugur Kata orang Republik-ku negara hukum Eh, Petrus sang eksekutor melanglang nusantara Mengikuti dendang lagu menyebar maut Aktivis pro demokrasi diculik dan hilang tak berbekas Ada wartawan Udin yang juga merenggang nyawa Dihabisi karena tekadnya mengungkap kakaen Srikandi Marsinah pahlawan kaum pekerja Dengan tabah dan gagah berpacu dengan maut Akhirnya tewas oleh konspirasi yang misterius Dendang-dendang kebringasan dengan aksara-aksara bait yang beda ada tangan-tangan berdarah dingin hadir di pesta saling bantai bermotif sara Ambon Maluku tidak lagi manise Dan damai rukun jadi langkah di bumi Poso Dendang kebringasan Masihkah hilang hati nuranimu?
34
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
KABAR DARI SEBERANG KABAR DARI SEBERANG
Peringatan Week Of The Disappeared Di Filipina Pada peringatan Week of the Disappeared atau sepekan anti penghilangan paksa pada tahun ini, Asean Federation Against Involuntary Disappearances (AFAD) memusatkan peringatannya di Philipina. Bentuk kegiatan yang dilakukan yaitu penanaman pohon oleh masing-masing anggota AFAD di Manila dan pelatihan dokumentasi di Provinsi Ilocos Norte, Philipina. Kegiatan ini diikuti oleh Anggota AFAD yang berasal dari Kashmir, Nepal, India, Srilangka, Thailand, Philipina dan Indonesia. Peserta dari Indonesia diwakili oleh dua orang yaitu, Edwin Partogi (KontraS) dan Agnes T. Gurning (IKOHI). Pada kegiatan penanaman pohon yang dilakukan pada 30 Mei di tugu Bantayog ng Mga Bayani (semacam tugu proklamasi di Jakarta, namun tugu ini ditujukan sebagai penghormatan terhadap perjuangan menumbangkan rejim Marcos), kegiatan ini dihadiri oleh sejumlah duta-duta besar seperti Perancis, Nepal, Belanda, dan lainnya. Selain itu juga dihadiri oleh keluarga korban orang hilang di Philipina dan pers setempat. Pada kesempatan ini turut memberikan sambutan yaitu Duta Besar Perancis, diplomat yang pernah ditugaskan di Indonesia pada era 70-an ini memprihatinkan masih terjadinya praktek penghilangan paksa dan meminta agar negara-negara anggota PBB yang khususnya (negara-negara anggota AFAD, red.) dimana praktek itu masih berlangsung, untuk meratifikasi
konvensi anti penghilangan paksa yang diterbitkan oleh PBB. Dalam kesempatan itu juga dipertunjukan teaterikal yang menggambarkan fenomena orang hilang. Dalam kegiatan penanaman pohon, semua anggota AFAD menanam tunas pohon yang telah disiapkan dengan nama negara atau wilayah masing-masing didepannya. Penanaman pohon ini dimaksudkan sebagai bentuk harapan yang terus dipupuk untuk tumbuh dan berbuah bagi perlindungan dari tidakan penghilangan paksa maupun pemulihan hak-hak korban. Usai acara Tree Planting, penanaman pohon, para anggota AFAD beserta undangan dari 5 perwakilan NGO Philipina, mengikuti kegiatan Seminar-Workshop tentang Pencarian Fakta dan Dokumentasi dengan tema “Reclaming Stolen Lives.” Pelatihan ini dilaksanakan selama 5 hari di Fort Ilocandia Resort, di propinsi Ilocos Norte, Philipina. Peringatan pekan orang hilang dilaksanakan oleh AFAD ini sangat bermanfaat bagi forum tukar pengalaman dan peningkatan kapasitas antar anggota. Pertemuan semacam ini menghadirkan spirit baru bagi perjuangan melawan penghilangan paksa.
Dok.Kontras Ketua AFAD Aileen Bacalso saat memberi sambutan
Aksi teaterikal oleh peserta Week of Disappeared
Berita Kontras No.03/V-VI/2007
Dok.Kontras
35