Saat menulis, apa pun, aku memulai semuanya dari Smarihasta… retreat yang sangat aneh. [6/12/2007]
novel
sebuah kenangan
ariyanto********
[email protected]** bukan-diary.blogspot.com*** 087859226563**
kongbi.multiply.com**
untuk adikku, Cipa... untuk Mas Aji Prasetyo, aku berharap bisa melakukan sesuatu yang lebih baik, Karena ucapan terima kasih dan permintaan maaf saja ...tidak akan pernah cukup.
ban ban kam sia-thx-danke-arigato mas-arigato kang
Bapak dan ibu [di rumah utara & di rumah selatan]…yang kesabarannya secara tidak langsung memberiku kesempatan untuk melakukan sesuatu yang berguna —dan semoga bisa dibanggakan... Thx 2 Pakdhe Muchid; KSB> Mas Aji + Mbak Ucil, yang terlalu sering aku ganggu saat aku mampir untuk ngetik (dan ngegame!!!)…tuei pu jie; Mas Pujo; Bang Q-pot; juga untuk Erwin + Mama Rina, yang aku prioritaskan sebagai korektor, dan yang selalu memberikan saran-saran untuk memperbaiki novelku; Grup Merongos> Mas Inam; Anshor; Mas Yudha; Mas Aam, dan para begundal TMP; TITD Eng An Kiong> Su’ Han, yang memberikan wawasannya tentang sejarah barongsai, liong, juga prinsip kungfu yang paling mendasar..."harimau menyerang; naga menghindar"; Dani take dan Ari take, terima kasih untuk sedikit peragaan wushu dan tendangan favoritku…sen fung cao dan sen cien ce; Wahyu [eks. wushu Lima Benua dan wushu SMAN 4 Malang]… terima kasih untuk peragaan jung ku fan dan Tai Chi…yang sampai sekarang masih tidak aku pahami, karena waktu itu dia mengatakan Tai Chi yang diperagakannya hanya menerapkan tenaga depan, dan dia belum menguasai tenaga belakang; Warung Sari> Bang Jack; Mas Yosa; Mas Novan [Tani Maju]; Mas Wibi [Tani Maju]; Pak Bagus [Bhawikarsu]; Teater Keluarga Pelangi> AndLe; Bantal Guling; Didin; Brooden; Aga; Nanang; Rijeli; Idhut; Culex… Thx juga pada> Feraena [SMAN 70, Jakarta], korespondensi selama lebih dari satu tahun ini menunjukkan banyak hal penting yang harus kupelajari, meskipun itu tidak gampang, aku tetap mendapat banyak motivasi yang sangat berharga; Christian Simamora; Mas Santoso; Mas Eko; keluarga di Genitri; Mas Hesy [Gereja Diaspora]; Romo Dhamatano [Vihara Teravadha]; Bante Kanti [Sekolah Tinggi Agama Budha], yang telah mengajarkan sebuah doa sederhana “sabe sata bavanthu sukhitata”, semoga semua makhluk berbahagia; warga Access MPG, Pak Harahap & Mas Kifli [Blok Wilis, Malang], yang memberikan kemudahan bila aku membutuhkan beberapa referensi; Mas Yudhista, thx untuk saran lamanya tentang prinsip penulisan novel, sebuah prinsip yang sampai sekarang tetap aku pegang, meskipun memang sulit; adik-adik di SMKN 8 Malang; Farah 'tembem' [Smarihasta]; Boby [Genitri]; Yose Rizal, teman seangkatan di smarihasta, yang pernah meminjamkan panduan Chang Chuan; Bang Qomar, yang secara tidak langsung sudah mengajariku cara menentukan batas kegilaan dengan kewarasan
Imakris & LPMI Malang> Bang Pandhu; Mas Dony; Welyna Anggraeni; Kak Dendy… Tuhan memberkati kalian semua; & special thx to SMARIHASTA * Novel ini aku kerjakan mulai September 2005 sampai Juni 2006; Juni-Juli 2007 [revisi pertama]; Mei-November 2008 [revisi ketiga] 4
Sinopsis Sebuah Kenangan
Issa, pemuda 23 tahun, memiliki masa lalu yang sangat kelam; masa lalu yang penuh dengan kekerasan brutal. Sejak peristiwa tragis 1998 di Jakarta, dia memutuskan untuk menjauh dari dunia itu; mencoba melupakan hubungannya dengan genk yang selama ini diikutinya. Dia melakukannya demi Nida, adiknya, satu-satunya yang bisa dia pertahankan.
Tetapi, pada saat dia merasa telah berhasil membangun ketenangan dalam proses retreat [semacam pengasingan diri], seseorang dari masa lalunya tiba-tiba muncul, untuk menyelesaikan sebuah urusan. Issa merasa tidak memiliki jalan untuk menghindar, dia harus menghadapi itu, tanpa pernah bisa menebak apa yang diinginkan orang itu…dan memang tidak seorang pun yang mengetahui urusan itu. Namun, Nida yakin dengan sepenuh hati bahwa kakaknya itu tidak akan pernah terlibat lagi dengan genk, karena dia memiliki seseorang untuk diandalkan.*** Saran, kritik… Ariyanto Jl. Sumbersari Gg.VI No.42-A RT 02 RW 03 Kelurahan Sumbersari Malang 65145
5
Bab 1 [1] 2002— "Kak, aku berangkat," kata Nida, tergesa-gesa, "kalau mau sarapan, aku sudah buatkan tumis tahu," lanjutnya sambil menuju pintu. Issa (23), kakaknya, sedari tadi duduk bersila dengan tenang, "uang sakumu masih ada?" Tanyanya dengan nada sedikit lirih, hingga Nida harus menoleh sebentar untuk memastikannya. "Masih. Kenapa? Kakak perlu?" "Tidak. Kamu jangan boros," kata Issa, tanpa menoleh. Nida mengangguk. Sedikit konyol, tapi sudah menjadi kebiasaan mereka sejak pindah ke Malang. Dia berangkat sekolah; pamit pada kakaknya —yang sering berada dalam posisi meditasi; dan bicara sepatah dua patah kata. Pertanyaan yang sama. Kadang-kadang, dengan iseng Nida berpikir kakaknya itu memiliki sepasang mata di bagian belakang kepala. Sampai di beranda depan, Nida mengenakan sepatunya. "Lambat," rutuk Rani, yang sudah hampir sepuluh menit menunggu Nida. "Cerewet," balas Nida. "Mikrolet itu barang langka, Non," kata Rani, saat mereka menuju jalan besar yang tidak seberapa jauh. "Oya...berarti dilindungi pemerintah dong," Rani menyikut lengan temannya itu, "awas kalau kita sampai terlambat." Nida, sepintas, memperhatikan Rani. Gadis itu cemberut, tapi di sisi tertentu, hal itu malah membuat Nida merasa senang dan semakin ingin menggodanya. "Datang bulan ya? Dari tadi kok uring-uringan terus...." "Kamu yang datang bulan," omel Rani. "Kamu nggak pernah ya?" "Nggak," Rani berlagak ketus. "Ya ampun...ternyata kamu bukan cewek..." Nida tertawa. Rani langsung mencubitnya lebih kuat. Rani tahu, kadang-kadang Nida bisa bersikap keras, tapi sampai sekarang dia menganggap temannya itu jarang benar-benar serius. Kadang-kadang juga, tanpa alasan yang jelas dia mencemaskan temannya itu. Setelah hampir seperempat jam berjalan, mereka sampai di jalan besar. Tidak jauh dari situ banyak juga yang menunggu angkutan: sekelompok pelajar SMP dan SMA; mahasiswa-mahasiswi, juga beberapa ibu-ibu pedagang. Rani mulai mengomel lagi. 6
"Dasar cerewet," kata Nida geli, "memangnya langit bakal runtuh kalau nggak ada mikrolet?" "Kamu mau memeriksa tumpukan buku absen?" Spontan, Nida menggeleng. "Makanya, serius dong," kata Rani. "Iya, Bu," Nida pura-pura patuh. Rani geleng-geleng; tidak tahu harus merasa geram atau gemas bila menghadapi temannya itu, "untung kakakmu pelatih wushu. Kalau nggak, dari tadi kamu sudah aku kasih tinju," rutuk Rani. "Wah, kamu kok jadi sadis begitu...persis Tita." "Kamu yang persis Tita," balas Rani. "Kamu lebih persis," Nida tidak mau kalah. "Sudahlah, aku menyerah," kata Rani. Saat itu dia melihat mikrolet mendekat. Dia buru-buru mencegatnya sambil berharap masih ada tempat kosong. Begitu mikrolet berhenti, Rani langsung meraih tangan Nida. "Sabar, Non," kata Nida, setelah mereka berada dalam mikrolet. Kendaraan biru itu melaju ke arah terminal di bagian timur, karena untuk mencapai sekolah, mereka masih harus oper setelah sampai di terminal. Dan saatsaat seperti itu membuat Rani agak gusar, dia selalu berusaha agar tidak sampai terlambat, karena sanksi keterlambatan biasanya menakutkan. [2] Masih jam enam lebih beberapa menit. Rani dan Nida turun di terminal, lalu ganti naik mikrolet yang menuju sekolah mereka. Tadinya mereka lebih memilih duduk di bagian dekat pintu, tapi ketika ada tambahan penumpang, si sopir yang bediri di luar menyuruh mereka agar bergeser. Rani dan Nida duduk berhadapan. Di samping Rani ada seorang perempuan paruh baya memangku keranjang berisi sayuran, dan di sampingnya lagi seorang laki-laki kurus bertampang sangar asik menghisap rokok. Sementara itu di samping Nida ada perempuan dengan dandanan menor dan tiga pelajar SMP. Hiruk pikuk terminal semakin meningkat. Rani mengipasi wajahnya dengan buku tipis. Dia mulai merasa pesimis bisa tiba di sekolah tepat waktu. Sebaliknya, Nida malah cengar-cengir melihat kegusaran Rani. Dengan kesal bercampur gemas, Rani menendang ujung sepatu Nida, "kalau aku harus hancur, aku pasti menyeret kamu," "Oo...itu kan kata-kata sang iblis," kata Nida. "Iya, kamu wakilnya," balas Rani. Nida berlagak melongo. Sebentar kemudian muncul satu penumpang lagi, seorang pemuda berbadan tinggi tegap; dan berambut kepang dua. Sesaat, Rani dan Nida menoleh ke arah pemuda itu. Mereka pikir dia mungkin semacam seniman eksentrik, dengan pakaian kusut serba kedodoran. Sesaat, pemuda itu menatap ke arah Nida, yang tidak menyadarinya, lantas duduk di dekat si perempuan menor. Selagi dua gadis di samping Rani kasak-kusuk, jantung Rani mulai berdegub 7
lebih kencang. Rasa gerah semakin merambatinya, dan dia ingin sekali berteriak keras-keras agar si sopir segera berangkat. "Jangan panik begitu, dunia masih berputar," kata Nida. Rani menghela nafas panjang. Kadang-kadang Nida membuatnya jengkel, tapi dia selalu saja bisa memakluminya. Sesekali, dia melemparkan pandangan ke arah hiruk pikuk terminal: para pedagang yang kebanyakan menggunakan bagian trotoar; orang-orang hilir mudik; dan arus kendaraan keluar masuk terminal. Baru sebentar, pandangannya bertatapan dengan pandangan si pemuda berkepang. Tiba-tiba saja, Rani tercekat melihat sorot mata pemuda itu, yang begitu beku. Rani cepat-cepat berpaling. Dia merasa sangat tidak nyaman, karena tatapan pemuda itu benar-benar sulit ditebak. "Ada apa?" Tanya Nida heran, karena Rani malah terlihat seperti patung. "Nggak..." Rani menggeleng-geleng. Saat itu si sopir sudah beranjak ke belakang kemudi dan menyalakan mesin. Rani menghela nafas lega. Sekali lagi Rani mencuri pandang ke arah si pemuda berkepang, dan tetap mendapati sorot mata yang sama. Rani berpaling. [3] Rani dan Nida turun di seberang jalan menuju sekolah. Setelah membayar ongkos angkutan, Rani segera meraih tangan Nida, begitu aman untuk menyeberang. Tepat saat mereka melewati gerbang sekolah, bel berbunyi, tanda masuk kelas. "Smarihastaku, surgaku..." gumam Rani lega. "Kamu ketempelan apa sih?" Tanya Nida, merasa Rani agak berlebihan. "Kamu yang ketempelan," Rani bergegas melintasi koridor; melewati deretan ruang TU. Nida cepat-cepat menyusulnya. Sampai di kelas, Rani langsung duduk dan mengipasi wajahnya. Benaknya seperti sedang diaduk-aduk. Tatapan beku si pemuda berkepang itu, entah kenapa semakin mengganggunya. "Hei, haloo," Nida menepuk pundak Rani, hingga temannya itu terkesiap seperti orang ling lung, "urusan belum selesai," lanjut Nida, lalu menoleh ke blok belakang...kawasan favorit anak-anak laki-laki. Rani ikut menoleh; memperhatikan anak-anak laki-laki yang bertingkah sedikit aneh. "Aku baru ingat...sekarang ada ulangan..." kata Nida. Rani menatap Nida, "kenapa kamu nggak mengingatkan aku?" Protesnya. "Salah sendiri, kamu sok sibuk ngurusi...ehm..." Nida masih memperhatikan anak-anak di blok belakang, "kaum terbelakang itu kenapa?" Tanya Nida pada Dini dan Tita. "Biasa, histeris," jawab Dini. "Yap...mereka nggak bisa menerima kenyataan," timpal Tita. "Apa?" Tanya Rani heran. "Kenyataan kalau hari ini ada ulangan fisika," jawab Tita, membuat Nida dan Dini tertawa; mengalahkan kegaduhan anak-anak di blok belakang. Mereka baru tenang setelah Pak Sardi, guru fisika, masuk kelas. 8
"Selamat pagi, anak-anak," katanya, dengan suara ringkihnya, karena usianya sudah mendekati masa pensiun. Tapi itu berlawanan dengan sikap dan gerakgeriknya yang terlihat masih sangat bersemangat. Seisi kelas menjawabnya dengan kompak, membuat Pak Sardi menganggukangguk, "bagus, kalian kelihatan sangat bersemangat. Berarti, tidak ada masalah...ulangan bisa sukses," katanya. Reaksi anak-anak di kelas itu terlihat kontras, para siswi tampak seperti menerima nasib, sementara anak-anak laki-laki malah terlihat tenang. "Raka tidak masuk?" Tanya Pak Sardi sambil membagikan lembar-lembar soal. "Masih diskors, Pak," sahut ketua kelas. Pak Sardi geleng-geleng kepala, lalu setelah membagikan semua lembaran soal, dia duduk dan mengeluarkan buku tebal berbahasa asing. Suasana hening meliputi kelas. Seperti biasanya, di menit-menit awal, soal-soal ulangan terasa seolah menusuk-nusuk organ tubuh —terlepas dari apakah mereka melakukan kecurangan atau tidak. Masing-masing mereka, tentu saja, tidak akan merasa bersalah. Dalam hal tertentu, mereka merasakan kesenangan yang khas. Dari sepuluh soal yang harus dikerjakan, Rani sudah menyelesaikan lima soal. Dia berusaha tetap konsentrasi, dan mengabaikan rumus-rumus yang terasa mempermainkan orang seperti bola ping-pong. Persis soal keenam, tentang prinsip kinetik diterapkan pada obyek tertentu. Dia harus menyimpulkan berapa detik yang dibutuhkan obyek itu sampai berhenti memantul. Sekilas, ilustrasi soal itu seolah benar-benar menunjukkan proses kinetik; jatuh dari ketinggian tertentu tanpa beban gaya awal, lalu memantul berturut-turut hingga mencapai titik diam. Hanya sebuah gambar...kata Rani dalam hati. Kegusaran kembali menyergapnya, dan dia jengkel juga karena perasaan tidak nyaman itu benar-benar konyol. Ketika hampir menyelesaikan soal itu, Dini mencolek punggungnya. Rani menoleh. Dini menyerahkan secarik kertas kecil. Dengan hati-hati, Rani menerimanya. Di kertas itu tertulis: rumus konversi suhu...conv di hpku eror (Aga). Rani menghela nafas panjang, lalu menulis di bawah tulisan itu: di buku kan ada rumusnya, knapa? bukunya eror juga? Kemudian dia menyerahkannya pada Dini, agar diteruskan ke Aga. Hampir mendekati akhir jam pelajaran, Pak Sardi memasukkan bukunya ke tas, "selesai?" Pertanyaan itu mirip mantra khusus yang membangunkan murid-muridnya dari kondisi terhipnotis. Tak urung, anak-anak itu mengumpulkan pekerjaan mereka. Setelah menerima seluruh lembar jawaban, Pak Sardi meninggalkan kelas. Anak-anak di belakang kembali membuat kegaduhan; tertawa, dan jelas sekali mereka girang. Tebakan mereka sama sekali tidak meleset. Soal-soal hari itu sudah pernah dipakai di kelas lain, beberapa hari yang lalu. "Cara primitif," rutuk Nida begitu mengetahui kenapa tingkah anak-anak itu terlihat berlebihan. [4] Jam pelajaran kedua diakhiri bel tanda istirahat. Siswa-siswi berhamburan keluar 9
dari kelas-kelas. Dan tentu, anak-anak laki-laki yang berada di bagian paling depan; mendahului, merekalah yang paling bernafsu terhadap jam istirahat. Bagi mereka, masa istirahat yang hanya sebentar, seperti barang berharga, yang tidak boleh disiasiakan. Rani dan Nida pergi ke kantin, di bawah deretan ruang kelas tiga. Untuk sementara, Rani bisa mengesampingkan kegusarannya, malah Nida yang merasa perlu melakukan interogasi. Meskipun Rani terlihat biasa-biasa saja, tapi Nida bisa merasakannya dengan cara yang lain. Pikirnya, kadang-kadang dirinya tertular kakaknya...punya sepasang mata di bagian tubuh lain. "Hari ini, kamu kelihatan agak aneh," kata Nida, setelah memesan dua gelas es jeruk. "Nggak juga," kilah Rani. "Bohong," kata Nida. "Hari ini kamu cerewet sekali," Rani masih berkelit. "Kamu ada masalah sama Aga?" Tanya Nida, sekedar memancing. Itu hanya tebakan asal-asalan. Sebenarnya, dia tidak bisa menerka apa yang mengusik Rani, dan ini yang membuatnya lebih penasaran. Sesaat kemudian, Dini, Tita dan Aga muncul. Mereka duduk berhadapan dengan Rani dan Nida. Mau tak mau, Nida berhenti menginterogasi Rani, dan mengalihkan pembicaraan. Tapi, sesekali mereka memperhatikan Rani dan Aga yang nyaris seperti patung. "Cek cok dalam rumah tangga, itu sudah biasa. Nggak usah dibesar-besarkan," kata Tita, ingin mencairkan suasana, dan Rani berlagak tidak mendengar. Usai istirahat, Aga menjajari Rani, "kamu marah ya?" Tanyanya pelan. Rani menggeleng-geleng; tersenyum singkat. "Terus...kenapa kamu kelihatan aneh begitu?" Tanya Aga, sedikit memelas. Mereka sampai di pintu kelas. Rani menoleh sejenak; berusaha menunjukkan tidak ada masalah apa-apa. "Biasa, urusan cewek..." kata Rani, lalu masuk kelas. Di tempat duduknya, Rani bersandar; berusaha meredakan kegusaran. Sesekali dia menoleh ke tempat Aga, hingga teman-temannya menyorakinya dengan sangat kompak. Rani langsung berpaling. Dia sudah mendapatkan kembali suasana nyaman yang diharapkannya. [5] Usai sekolah, beberapa anak masih tetap di tinggal di sekolah, termasuk Rani dan Nida. Hari itu Rani ikut latihan drama, sementara Nida menemaninya. Rani duduk bersandar ke pilar, sambil menunggu teman-temannya berkumpul. Tidak jauh dari situ, Aga berdiri menunggu Rani. Nida langsung menyikut lengan Rani, "kamu ditunggu Aga," kata Nida. Rani sedikit terkejut; tersadar dari lamunan. Dia menoleh ke arah Aga, lalu sebentar kemudian menghampiri anak itu. "Nggak pulang?" Tanya Rani. Aga menggeleng, "tadi...kamu memang marah kan?" 10
"Bukannya marah..." "Tapi, tulisan kamu itu nggak mirip lelucon," kata Aga. "Serius, aku nggak marah kok," kata Rani meyakinkan. Aga mengangguk-angguk lega, sejenak lamanya dia menatap Rani, "kalau begitu...aku pulang dulu," katanya, lantas menuju parkiran; mengambil motornya. Rani mengawasi anak itu sampai hilang dari pandangannya. Kemudian, dia kembali ke tempat latihan drama, di teras lapang di depan ruang guru. "Nah, kan..." gumam Nida. "Apa?" Nida menggeleng. Saat itu teman-teman Rani sudah berkumpul, latihan drama dimulai, selagi terik siang menerobos dari sisi ujung depan dan samping pelataran.***
11
Bab 2 [1] Sore— Tidak seperti biasanya, Rani merasakan kepenatan yang cukup mengganggu. Bahkan, setelah membantu ibu dan kakaknya di dapur; kemudian mandi; ganti pakaian, dan menemani kedua adiknya di ruang tamu, kepenatan itu masih saja mengganjalnya. "Mbak," kata Palupi (12), "tadi Mas Aga nelfon," "Eh...ada pesan?" "Nggak, Mas Aga cuma mau ngomong sama Mbak Rani," jawab Palupi. Rani beranjak ke meja di sudut ruangan, dekat tangga. Sementara itu Palupi dan Dani berebut remote tv. Palupi ingin nonton acara gosip, sedangkan Dani bersikeras ingin nonton film Zenki. "Eh, jangan ribut," sergah Rani, lalu mengangkat gagang telefon; menghubungi nomor rumah Aga. Sebentar kemudian tersambung, pembantu Aga yang mengangkat telefon. "Bi', Aga ada?" "Barusan keluar, Mbak," jawab pembantu Aga. "Ke gereja?" Tanya Rani. "Ndak, ke tempat latihan band, tadi Mas Aga disusul teman-temannya." "Oo...ya sudah." "Ndak titip pesan? Nanti saya sampaikan ke Mas Aga." "Nggak deh, Bi'," Rani menutup telefonnya, lalu kembali ke sofa. Kedua adiknya sudah tidak berebut remote. Mereka bergantian nonton, tapi itu malah membuat Rani agak pusing, karena Dani dan Palupi sebentar-sebentar ganti saluran. "Kalian nggak ngerjakan PR?" Tanya Rani. "Sudah selesai kok," jawab Dani. "Nggak kaya' Mbak Rani," timpal Palupi. "Apa?" "Sibuk pacaran..." kata Palupi, Dani cekikikan. "Sok tahu!" Rani pergi ke kamarnya, di lantai atas. Dia memeriksa beberapa catatan yang terpampang di foam: jadwal pelajaran; jadwal kegiatan; daftar tugas, juga jadwal kegiatan Aga. Dia tertegun. Seharusnya kegiatan Aga hari ini adalah mendampingi anak-anak SMP di gereja, kegiatan persekutuan rutin untuk kalangan remaja. Terlintas kembali sikap Aga di sekolah, dia merasa anak itu agak berlebihan; terlalu serius. Dan, sedikit banyak, Rani malah merasa bersalah. Dengan agak lesu, Rani beranjak ke jendela; mengarahkan pandangannya ke 12
pelataran, juga jalan di depan rumah. Kelesuannya itu berkurang, begitu dia melihat kakaknya, yang lima tahun lebih tua; berperawakan sedikit lebih tinggi dan sering berpenampilan tomboy. "Mbak Rara!" Seru Rani, membuat kakaknya itu berhenti sebentar; berbalik dan mendongak, "mau kemana?" Tanya Rani. "Ke kampus sebentar," jawab Rara. "Ke kampus apa ke kampus..." Rani tersenyum. Rara menjulurkan lidahnya, "ketularan Nida ya?" Balas Rara, lantas meneruskan langkahnya. Rani terus mengawasi kakaknya itu sampai tidak terlihat lagi. Dia pikir, kakaknya dan Nida sama-sama tipe orang yang bisa memberikan semangat tersendiri. Selagi kelesuannya bisa tersisihkan, Rani bergegas mengerjakan beberapa PRnya. Hingga, tanpa terasa, sayup-sayup terdengar adzan maghrib. Dia menghela nafas lega; meregangkan badannya yang terasa pegal, kemudian beranjak keluar kamar. Saat itu, ayah, ibu dan kedua adiknya sudah menunggunya untuk makan bersama. "Giliran siapa memimpin doa?" Tanya ayah Rani. Ibu Rani memandangi anakanaknya satu per satu. Palupi berpaling, dan Dani menunduk. Rani mendesah; menahan geli. Harusnya, hari itu giliran Dani, tapi adiknya itu berlagak lupa. Rani mengambil alih; memimpin doa. Selesai makan, Rani membantu ibunya mencuci peralatan makan-minum, sambil menunggu air matang. Kemudian, setelah airnya benar-benar matang, Rani membuat segelas kopi, dan mengantarkannya ke ruang bengkel di halaman belakang. Ruangan luas ini nyaris dipenuhi rak besi dan tumpukan kotak. Ayah Rani duduk di depan meja panjang; mengutak-atik sebuah mesin. Rani meletakkan kopi ayahnya di meja yang lain, yang di atasnya terdapat pesawat telefon dan setumpuk buku tentang seluk beluk mesin. "Ayah mau lembur?" Rani menarik sebuah kursi; duduk berhadapan dengan ayahnya. "Ya," jawab ayah Rani, sambil tetap dengan kesibukannya. Di bawah cahaya lampu yang sedikit redup, laki-laki berusia kepala empat ini terlihat lebih kurus. Rani memperhatikannya, lebih dari biasanya. Dia jarang melihat ayahnya itu lembur di rumah. "Ada apa?" Tanya ayah Rani, karena sedari tadi Rani lebih banyak diam. Rani terkesiap, "nggak..." "Bagaimana sekolahmu?" "Lumayan lancar," "Jepit rambutmu bagus sekali, dibelikan Rara?" "Bukan, ini dari Aga." Ayah Rani berhenti sebentar saat nama Aga disebut, "dia mulai jarang mengurusi persekutuan. Ayah tahu dari Romo. Kalian bertengkar ya?" "Enggak kok..." bantah Rani, "mungkin dia lebih sibuk latihan sama anak-anak band." 13
"Ya," ayah Rani melanjutkan pekerjaannya; membongkar mesin di depannya, "ingatkan dia, dia punya kewajiban di gereja." "Iya," angguk Rani. "Nida bagaimana?" Tanya ayah Rani. "Cerewet, seperti biasa." Ayah Rani tersenyum, "dia masih tidak mau pindah kesini?" "Nida nggak mau kakaknya sendirian," jawab Rani. "Ya...Issa juga jarang kesini lagi," gumam ayah Rani. Mereka terdiam agak lama, sampai kemudian Rani mulai mengantuk. "PRmu sudah selesai semua?" "Sudah," jawab Rani, "Yah, aku tidur dulu ya," Ayah Rani mengangguk. "Selamat lembur, Yah," kata Rani, lantas beranjak meninggalkan ruangan itu; membiarkan ayahnya larut dalam pekerjaannya, yang terlihat begitu mengasikkan. [2] Malam masih belum seberapa larut. Palupi dan Dani sudah tidur, sementara ibu mereka di ruang depan; menonton televisi. Rani sendiri tidak jadi tidur; berkutat di kamarnya; melihat situasi luar dari jendela, ketika satu dua kelompok pengamen melintas. Juga, penjual sate dan pangsit. Sesudah itu, dia belajar sebentar; mencoba memahami materi pelajaran besok. Tidak seperti kali itu, saat pelajaran fisika masih membahas gerak vektor, dia meluangkan lebih banyak waktu untuk belajar bersama teman-temannya: Nida, Tita, Dini, dan Rossi. Kegemasannya pada Nida cukup mampu meredam kerumitan rumus-rumus gerak vektor; aspek koordinat; kecepatan; percepatan, deret geometrik dan trigonometri. Setelah membaca sampai hampir satu bab, dia bersandar; meluruskan kedua kakinya yang terasa pegal. Sesekali dia mendesah kesal, karena semangat belajarnya mulai naik turun. Dan yang lebih menjengkelkan adalah saat menelusuri asal mulanya. Lagi-lagi dia teringat tatapan beku si pemuda berkepang waktu itu...sama persis dengan sorot mata Issa saat mereka pertama kali bertemu, tiga tahun yang lalu. "Ada ya orang seperti itu..." gumam Rani. Dia memikirkan Nida, dan Aga, dua orang yang sangat berarti. Seolah-olah, kalau saja dirinya memiliki kemampuan sihir, dia akan memindahkan mereka ke kamarnya sebagai pendorong semangat. Suara televisi sudah tidak terdengar lagi, mungkin ibu Rani tidur, atau mengerjakan kesibukan lainnya. Rani melihat jam di atas meja, hampir menunjukkan pukul 10. Tapi, karena malah merasa sulit tidur, dia mengenakan sweaternya, lalu pergi ke tempat ayahnya. "Tidak jadi tidur?" Tanya ayah Rani. "Belum ngantuk," jawab Rani. "Tolong ambilkan silinder itu," kata ayah Rani; menunjuk ke sebuah rak. Rani beranjak mengambilkannya. "Kalau tidak bisa tidur, nonton tivi saja," kata ayah Rani sambil memeriksa 14
kondisi silinder itu. "Kenapa sih? Ayah terganggu ya?" "Lho, kok ngambek begitu," sejenak, ayah Rani menatap putrinya itu, yang menunjukkan raut cemberut, "ada apa? Kamu kelihatan aneh begitu..." "Tadi, di sekolah Nida juga bilang begitu." Ayah Rani tersenyum, "kamu diinterogasi Nida? Kena pasal berapa?" "Nggak lucu," Lagi-lagi ayah Rani tersenyum, kali itu merasa geli; membiarkan putrinya tetap pasang tampang cemberut. Dia memakluminya sebagai sikap manja seorang anak, "mau cemberut terus? Bisa masuk MURI, rekor cemberut terlama di Indonesia," godanya. "Ayah..." protes Rani, "aku sedang sebel..." "Ya, jadi ayahmu ini dianggap pelampiasan?" "Nggak," Rani memperhatikan ayahnya, yang mulai membongkar sebuah mesin setelah membuka skema. "Kalau Nida menginap disini, ayah dicueki, sekarang kamu sok manja begitu, ayah jadi bingung nih," Rani terdiam, "aku cuma mau ngobrol, biar cepat ngantuk," Ayah Rani malah tertawa, "memangnya ayahmu ini mirip obat tidur?" "Uh, Ayah persis Nida," kata Rani, berlagak kesal, lantas beranjak bangkit, "Ayah jangan lupa istirahat," katanya, kemudian kembali ke kamarnya. Meskipun masih ada ganjalan dalam benaknya, dia sudah merasa cukup ringan dan lega. [3] Jam lima pagi, waker berdering. Rani terbangun; mengusap-usap wajahnya. Sebentar kemudian dia menyiapkan keperluan sekolahnya, lalu pergi mandi dan mengenakan seragam. Seperti biasanya, sejak kelas satu, lebih-lebih sejak ayahnya mengangkat Nida sebagai anak, Rani tidak lagi diantarkan ayahnya. Dia lebih senang naik mikrolet bersama Nida, atau kadang-kadang mereka bisa numpang mobilnya Tita. "Ini uang saku untuk kamu dan Nida," kata ayah Rani, menyodorkan dua lembar uang dua puluh ribuan. Meskipun uang saku Rani masih ada, dia menerimanya. Dia dan Nida sudah sepakat akan menyisihkan banyak untuk tabungan mereka. Rani meneruskan perjalanannya. Kebiasaan berjalan kaki, dari rumah ke tempat Nida, lalu ke jalan besar, membuat badan rampingnya itu cukup kebal terhadap hawa dingin. Hampir lima belas menit, dia sampai di tempat Nida. Dia mendorong pintu pagar; melintasi pelataran yang luasnya sama seperti lapangan basket, dan sampai di beranda. Hampir saja dia mengetuk pintu, ketika Issa muncul; mengejutkannya. "Nida masih mandi, kamu masuk saja, tunggu di kamarnya," kata Issa. "Eh...nggak, aku tunggu disini saja," jawab Rani, "oh ya, ayahku tanya kabar Kak Issa," katanya. "Begitu..." Issa mengangguk-angguk, "sampaikan saja salamku untuk beliau. Kalau sempat, aku akan mampir," lanjutnya, lalu beranjak ke bagian tengah 15
pelataran; berdiri tenang sambil menengadah ke langit. Rani duduk di pinggiran beranda; memperhatikan pemuda itu —seperti memperhatikan sesuatu yang aneh; langka, dan tiba-tiba saja benaknya dihujani berbagai tanda tanya. Sejenak dia melirik jam tangannya, hampir jam enam. "Apa di sekolah, Nida bertingkah aneh-aneh?" Tanya Issa, tetap dalam posisinya. "Aneh bagaimana?" Rani balik tanya. Issa berbalik; menghampiri gadis itu dan duduk tak jauh di sampingnya, "apa dia melakukan sesuatu yang mengganggu kegiatan belajarnya?" "Misalnya?" Rani sedikit bingung. Issa tersenyum, "kamu senang berbelit-belit ya?" "Nggak," Rani diam sejenak, "Nida baik-baik saja kok, nggak berkelakuan aneh, kecuali..." dia menoleh ke arah Issa. "Kecuali apa?" "Dia belum punya pacar," jawab Rani. "Itu aneh?" Tanya Issa. "Iya," angguk Rani, "aku tahu ada beberapa cowok yang naksir dia, tapi dia nggak pernah merespon." "Begitu maksudnya," Issa menarik nafas dalam-dalam, "kamu sudah punya pacar?" Rani terhenyak, malah terlihat salah tingkah, "kok tanya begitu?" "Ditanya malah balik bertanya..." Rani tertegun, "aku sudah punya pacar." "Berarti, kamu bukan tipe orang aneh ya?" Rani terdiam. Dia tidak pernah mengira akan berdebat dengan Issa. Meskipun dia sangat dekat dengan Nida, tapi selama ini keberadaan Issa hanya seperti sambil lalu saja. "Aku salah ngomong ya?" Tanya Rani. "Tidak usah terlalu dipikirkan..." Issa mengernyitkan dahi, tanpa perlu menoleh, dia bisa merasakan adiknya sedang menguping dari balik pintu, "bukan masalah besar, kecuali kalau ada tukang gosip bertindak untung-untungan," katanya, lalu beranjak bangkit; membuat Rani terheran-heran. Issa melangkah ke pintu, saat itulah Nida muncul sambil cengar-cengir, "sudah dapat bahan gosip?" Dia mengacak-acak rambut adiknya itu. Nida langsung berkelit. "Kakak paling menyebalkan," Nida duduk di samping Rani sambil mengenakan sepatu. Setelah itu dia bangkit; menarik Rani, "ayo," "Sebenarnya ada apa?" Tanya Rani dalam perjalanan menuju jalan besar. "Maksud 'ada apa' itu apa?" "Nggak usah pura-pura lemot," Nida malah tersenyum usil, "seingatku, yang suka uring-uringan itu Tita, sekarang gantian kamu yang uring-uringan," "Eh, cepat ngaku, kenapa tadi kamu cengar-cengir..." desak Rani. "Kamu pantas dicurigai," "Apa maksudnya?" 16
"Kamu...ada rencana selingkuh ya?" Nida langsung kabur. "Nidaa..." Rani cepat-cepat mengejarnya. ***
17
Bab 3 [1] Jam istirahat pertama— Aga menarik Rani, "aku culik sebentar," katanya pada Nida, lalu mengajaknya ke kantin. Seisi kelas langsung menyorakinya, tidak biasanya Aga bertingkah seperti itu. "Ada apa sih?" Tanya Rani setelah mereka sampai di kantin, dan Aga memesan dua gelas minuman. Tidak lama setelah itu, Nida, Dini dan Tita muncul juga. Mereka duduk di bagian yang lain. Rani mengajak mereka bergabung, tapi teman-temannya itu malah dengan kompak berpaling ke arah lain. Rani merutuk kesal, lantas perhatiannya kembali tertuju pada Aga. Sesekali dia masih sempat mendengar teman-temannya kasak-kusuk dan cekikikan. "Ada apa?" Tanya Aga. "Lho...harusnya kan aku yang tanya begitu," kata Rani. "Eh...iya," Aga buru-buru meniup-niup minumannya. Rani tersenyum geli, "cara baru ya? Minuman dingin ditiup-tiup," Aga baru sadar, hingga terlihat seperti orang ling lung. "Kemarin, kamu nelfon ke rumah. Ada apa?" "Itu juga aku yang harus tanya," Aga garuk-garuk kepala, benar-benar salah tingkah. Dia sendiri heran, kenapa sikap sekonyol ini masih sering terjadi, padahal dia dan Rani sudah pacaran sejak awal kelas satu, "kemarin, aku..." Aga menatap Rani. "Latihan musik?" Sahut Rani, sedikit lebih serius. "Bagaimana lagi...minggu depan kelompokku ikut festival band," jelas Aga. "Terus, kewajiban di gereja...kamu tinggal?" "Sekali-kali bolos kan nggak apa-apa? Anak-anak SMP itu masih bisa didampingi Kak Kristin dan Kak Viona," kata Aga. "Ya nggak boleh begitu," tegas Rani, "nanti malah jadi kebiasaan." Aga tertegun, bukannya jarang dia dan Rani berdebat, bahkan bertengkar, tapi kali ini protes gadis itu terdengar sangat berbeda, "maaf..." kata Aga. "Kamu juga mulai bolos kebaktian. Harusnya aku yang lebih dulu protes, bukannya ayahku," kata Rani. "Ha...Om Handika marah?" "Bukannya marah, cuma ngasih kamu nasehat. Mentang-mentang ayah dan ibu kamu di Semarang, terus disini kamu malas-malasan ke gereja." "Iya," Aga pasrah menghadapi protes Rani, "saya mengaku salah dan rela 18
dihukum," masih sempat bercanda. "Nggak lucu..." kata Rani, tanpa menyadari nadanya yang sedikit lebih lantang. Melihat kedua anak itu, Nida, Dini dan Tita membawa minuman mereka, pindah tempat. Nida duduk di samping Aga, sementara Dini dan Tita di samping Rani. "Nid, harusnya kamu disini," kata Dini. "Lho, aku kan harus profesional. Sesuai kode etik, aku nggak boleh mendampingi sahabat eratku," kata Nida. "Apa-apaan sih?" Sergah Rani, sekarang dia merasakan keadaan mulai mencair, dan dia berlagak jual mahal, "tadi aku ngajak kalian gabung, kenapa nggak mau? Sana, out, out..." katanya; mendorong Tita dan Dini. "Ih, jahat sekali," protes Tita. "Hari apes ya, dapat klien nggak ramah," kata Nida, berlagak congkak. "Kamu juga," Rani memelototi Nida, yang langsung berlagak terkejut. Tapi, sebentar kemudian Nida menyusul Tita dan Dini, kembali ke tempat mereka tadi. "Hari ini, kenapa kamu jadi galak begitu..." "Kamu nggak usah protes," jawab Rani. Aga langsung tertunduk; meneguk minumannya. Biasanya, bila gadis itu marahmarah, atau mogok bicara, dia malah semakin senang menggodanya. Tapi kali itu benar-benar terasa lain, dan dia merasa tidak berkutik. "Kamu belum jawab pertanyaanku," kata Rani. "Yang mana?" Rani menggeram gemas, hampir saja mencubit anak muda itu, "kemarin kamu nelfon ke rumah, Palupi bilang kamu mau ngomong sama aku," "Bukan apa-apa," kata Aga. Rani menatap anak muda itu lebih lama; tidak puas dengan jawabannya. "Kangen..." kata Aga pelan. Rani terpekik dalam hati. Dia pikir, kadang-kadang Aga suka bersikap aneh-aneh dan konyol, tapi itu sekaligus menjadi semangat tersendiri baginya, "gombal," gumam Rani. "Sumpah," kata Aga. "Nggak usah sok merayu," kata Rani. Aga tersenyum lega. Dia menghabiskan minumannya, "aku kembali ke kelas ya," katanya, lantas membayar minumannya, juga minuman Rani, kemudian kembali ke kelas. Melihat Rani sendirian, Nida, Dini dan Tita langsung menghampirinya; samasama melancarkan sorot mata menyelidik. "Apa-apaan sih?" Protes Rani, antara kesal dan gemas. "Pembalasan harus lebih kejam," kata Dini. "Sepakat," timpal Tita, "tadi kamu kan ngusir kami," "Lho...aku kan nggak serius," Rani membela diri. "Tapi kami kan punya perasaan," Nida bersikeras, sambil menunjukkan tampang serius. Ucapan Nida itu, entah bagaimana, terasa seperti tusukan tepat ke hati Rani. 19
Tanpa bicara apa-apa, Rani meninggalkan tempat itu, membuat ketiga temannya terheran-heran, lantas buru-buru menyusulnya. [2] Di kelas, pelajaran berlangsung. Bu Andini (30), guru bahasa Indonesia dan kesenian, dengan pembawaan yang ceria dan bersemangat, sedang membahas materi pelajaran sastra. Baru beberapa belas menit, Bu Andini berhenti, saat Raka masuk. Anak muda berbadan ceking itu menghampiri Bu Andini; menyodorkan selembar surat. "Kenapa baru masuk sekarang?" Tanya Bu Andini. Raka tidak menjawab, hingga Bu Andini menyuruhnya duduk. Raka beranjak menuju bangkunya, dan sempat sepintas tadi menatap ke arah Nida. Meskipun suasana kelas terasa berubah tiba-tiba, Bu Andini meneruskan pelajarannya. Dia mengajukan sebuah contoh puisi, yang sempat dilihatnya di mading, dan meminta agar anak-anak di kelas itu memberikan tanggapan. "Bu," Rani angkat tangan, ingin memberikan komentar. Bu Andini mengangguk. "Aturan puisi jenis haiku, tujuh belas silabel. Tapi puisi tadi lebih panjang, jadi tidak tepat diberi judul haiku," kata Rani. Bu Andini mengangguk-angguk, "ada komentar lain?" Raka mengacungkan tangan, hingga anak-anak di deretan depan menoleh ke arahnya. Setahu mereka, biasanya Raka akan berulah sekedar untuk mengacau atau melawak. Tapi kali itu kesannya sangat berbeda, bahkan mereka merasa penasaran. "Dalam pelajaran sastra, kita sudah dikenalkan dengan puisi-puisi asing, termasuk puisi-puisi Jepang. Anak yang menulis puisi itu pasti tahu aturan haiku. Menurut saya, dia punya maksud khusus kalau memberi judul haiku. Kalau itu dianggap tidak tepat, pendapat seperti itu ngawur dan kolot," kata Raka. Pendapat Raka itu membuat Rani jengkel. Dia yakin sekali Raka sengaja mengejeknya. Sebaliknya, Bu Andini malah tersenyum, dia jarang melihat Raka berkomentar seserius itu. "Bu," Aga ingin memberikan tanggapan. "Ya," angguk Bu Andini. "Aturan tetap aturan. Tiap jenis karya sastra punya aturan, kalau aturan-aturan itu boleh dilanggar seenaknya, kan percuma saja berkarya," kata Aga. Dan sebentar kemudian beberapa anak lainnya mendukung pendapat Aga. "Bu," sahut Raka, "daripada repot-repot, lebih baik anak yang menulis puisi itu diajak kesini, biar kita hajar ramai-ramai," katanya sinis. "Raka..." sergah Bu Andini, merasa sangat prihatin, karena dia merasa anak itu masih saja belum berubah, meskipun sudah beberapa kali menerima sanksi keras dari pihak sekolah. Tak urung, dia mencoba menengahi, sekaligus meredakan suasana yang tegang. Hingga jam pelajaran berakhir, Rani masih merasa jengkel. Setelah Bu Andini 20
meninggalkan kelas, dia beranjak ke tempat Raka, "apa sih maksudmu? Kamu sengaja mengejek aku kan?" Tanya Rani penuh kekesalan. Raka memandang gadis itu dengan malas, lalu memainkan balpointnya. Aga, yang duduk di belakang Raka, mulai merasa kesal juga melihat sikap angkuh seperti itu. Dia menendang kursi Raka. Seketika, suasana kelas kembali tegang. Tapi yang lebih mengejutkan mereka adalah reaksi Raka. Anak itu hanya menoleh sebentar; menatap Aga dengan tajam, "cuma menendang kursi...aku baru tahu kalau di kelas ini ada jagoan," katanya semakin sinis, lantas meraih tasnya dan meninggalkan kelas. Untuk sementara, anak-anak di kelas itu bisa menarik nafas lega, karena tadi mereka takut Raka akan menantang Aga berkelahi. Tapi, bahkan sampai jam pelajaran terakhir selesai, Raka tidak kembali lagi. [3] "Kamu nggak apa-apa kan?" Tanya Rani, usai sekolah. Dia dan Aga duduk di tempat teduh, di pinggir lapangan basket, sambil menunggu Nida latihan. Dia sengaja menahan Aga karena kecemasannya belum juga berkurang. "Nggak usah kuatir, aku baik-baik saja kok," kata Aga. "Kupikir, sebaiknya kita nggak usah cari masalah dengan Raka." "Maksud kamu...aku harus minta maaf?" Tanya Aga, "nggak sudi, jelas-jelas dia yang sok," Rani menatap anak muda itu, "maaf..." "Kok minta maaf?" Tanya Aga heran. "Tadi itu pasti gara-gara aku," kata Rani. "Konyol..." "Sudah jelas gara-gara aku, kamu nggak usah bohong," Rani bersikeras. "Kita lupakan saja ya?" Pinta Aga. "Aku takut..." gumam Rani. "Takut apa?" "Seisi sekolah ini sudah tahu Raka itu bagaimana. Dia kan suka sekali berkelahi," jawab Rani. "Ya...tapi kalau dia berulah lagi, dia akan dikeluarkan. Dia sudah tiga kali diskors. Aku nggak ngerti, kenapa Bu Andini selalu bisa membela dia," kata Aga. Rani terdiam. Untuk sementara dia menerima kata-kata Aga, dan pelan-pelan meredam kecemasannya. Sesekali dia dan Aga memperhatikan Nida, yang saat itu mencoba beberapa teknik oper bola. Meskipun sinar matahari semakin terik, gadis berambut ikal sebahu itu tetap tampak bersemangat. Sebentar kemudian, Nida minta istirahat sebentar. Dia beranjak ke tempat Rani dan Aga; mengeluarkan sebotol minuman dari tasnya; minum beberapa tegukan. "Duuh, kasihan temanku tersayang. Capek ya?" Goda Rani. "Nggak mungkin," sahut Aga, "dia kan cewek tangguh," lanjutnya. "Huh, dua makhluk egois," balas Nida, "kalian sih enak berteduh disini, aku yang kepanasan," "Yee, salah sendiri, kenapa milih ekskul basket. Kalau kamu mau ikut KIR kan 21
nggak perlu panas-panasan begini," kata Aga. Rani mengangguk setuju. "Awas kamu, kalau bukan demi Rani, kamu sudah lama aku buang ke Timbuktu." "Nid, sekalian mampir ke Libanon," seru seorang anak laki-laki berbadan tegap; berambut tipis, dan sejak awal kegiatan dialah yang paling santai. "Tuh, kakak kelas depresi," kata Rani. "Bukan depresi, tapi dehidrasi...kekurangan cairan" kata Nida, kemudian kembali latihan. Sementara itu, Aga menemani Rani agak lebih lama, setelah itu dia pulang. Rani menghela nafas panjang, kegusarannya mulai berkurang. Dia meraih tas Nida dan mendekapnya. Saat itu, terik mulai berkurang, beriringan dengan hembusan angin semilir yang membawa kesejukan. Rani meresapi suasana itu. Hingga jam tiga, latihan basket selesai. Nida menghampiri Rani; duduk berselonjor. "Eh, cepat ganti pakaian," kata Rani. "Sebentar, Non, masih capek nih," kata Nida lesu. "Keburu sore, Nidaku sayang," "Iya, iya," omel Nida, "sabar sedikit kenapa sih? Kamu yang enak, nggak ikut panas-panasan; lari kesana-kesini. Memangnya kamu pernah latihan drama di lapangan basket? Nggak pernah kan?" Nida meraih botol minumannya; meneguknya cukup banyak, "makanya, kalau sama aku, kamu harus sabar; baik; perhatian, dan nggak egois," "Dasar," Rani mencubit pipi gadis itu dengan gemas, "kamu kesurupan ya, nyerocos terus. Aku ngomong satu meter, kamu mbalasnya seratus kilo." "Waah, ngantuk," "Nggak usah sok manja," kata Rani, geleng-geleng kepala, "cepat ganti," desaknya; mendorong Nida agar bangkit. Nida pun berdiri; meraih tasnya, lalu pergi ke kamar mandi dan ganti pakaian. "Jadi, bagaimana?" Tanya Nida, selagi menunggu angkutan di depan sekolah. "Apanya?" Rani balik tanya. "Masalah sama Raka..." "Ya, aku sih nggak mau Aga membesar-besarkan masalah itu. Kalau aku nggak sok tersinggung, nggak akan ada kejadian seperti tadi." "Mulai kapan dia berubah..." gumam Nida. "Ha?" Rani menatap temannya itu, "siapa?" "Raka..." jawab Nida singkat, "eh, nanti kamu mampir ke rumah ya," Rani mengangguk. Beberapa saat kemudian, sebuah mikrolet berhenti. Begitu melihat masih ada tempat kosong, Rani segera menarik Nida.***
22
Bab 4 [1] Ketika sampai di rumah, samar-samar mendung mulai muncul. Rani bermaksud langsung pulang, tapi Nida merengek-rengek agar dia tetap mampir. Mau tak mau, Rani menuruti kemauan temannya itu. Begitu memasuki ruang depan, yang cukup lapang dan minim dekorasi, tampak Issa sedang dalam posisi meditasi; membelakangi Nida dan Rani. "Kakak sudah makan?" Tanya Nida. "Sudah," jawab Issa tanpa menoleh, "ajak temanmu itu makan," katanya, membuat Rani sedikit terkejut. Dia tidak merasa membuat suara sama sekali. Dan yang lebih mengherankan adalah sikap Nida yang biasa-biasa saja. Sebelum bertambah penasaran, Rani mengikuti Nida ke ruangan samping, yang dijadikan sebagai ruang makan dan dapur. "Ambil sendiri ya," kata Nida, "nggak usah sok sungkan," Nida mengambil nasi dan lauk-pauk, lalu duduk melahap makanannya itu. Rani sendiri mengambil sedikit, dia kuatir Issa tidak kebagian. "Uh...masakan terenak di dunia," kata Nida, selesai makan. "Memuji diri sendiri," Rani tersenyum. "Eh, kakakku yang masak. Tadi pagi kan aku nggak sempat masak," kilah Nida. "Sama saja, Non, memuji saudara sendiri." "Cuek," Nida beranjak, "kamu cuci piring, aku mau mandi dulu, daah," katanya, cepat-cepat pergi ke kamar mandi sebelum Rani mengomel. "Dasar nenek sihir," gumam Rani. Jarang-jarang seperti itu. Selesai mencuci, Rani memindahkan tasnya ke kamar Nida di lantai atas, kemudian turun; menuju beranda depan. Ternyata Issa sudah duduk di situ, di sebuah balai-balai. "Tidak menemani Nida?" "Dia sedang mandi," jawab Rani, duduk tak jauh dari anak muda itu. "Anak itu sering berbuat semaunya sendiri," kata Issa, sambil menerawang ke arah guyuran hujan yang semakin deras. "Ah, enggak juga," "Jangan terlalu memanjakan dia, bisa tambah bandel." "Nida bukan cewek seperti itu," kata Rani, "memang sih, kadang-kadang dia membuat orang lain kuatir, tapi itu masih bisa dimaklumi." "Sepertinya, kamu yang lebih mengenal Nida ya?" Rani tertegun, "aku sok tahu ya?" Issa menggeleng, "kamu sudah terbiasa dengan udara dingin?" Tanyanya. 23
"Ya, lumayan," Beberapa menit berlalu, mereka sama-sama diam. "Sebaiknya kamu masuk saja," kata Issa. "Eh...memangnya aku mengganggu Kak Issa?" Tanpa menjawab pertanyaan itu, Issa beranjak; pergi ke kamar adiknya. Dia mendapati anak itu sudah tertidur pulas. Issa menghela nafas panjang. Sebentar kemudian dia turun; meraih dua payung dan kembali ke beranda. "Ambil tasmu, aku antar kamu pulang." "Kok..." Rani merasa tidak enak. "Nida sudah tidur..." Rani tersentak. Dia bergegas pergi ke kamar Nida. "Dasar..." rutuknya gemas, melihat temannya itu terlelap sambil merangkul bantal. Dia menghampiri anak itu; mencium keningnya, lalu meraih tasnya dan turun ke beranda depan. "Sudah aku bilang, anak itu suka berbuat semaunya sendiri," kata Issa, dalam perjalanan mengantarkan Rani. "Nggak apa-apa," sahut Rani. "Aku antar sampai disini," kata Issa, ketika mereka melintasi sebuah gang sempit, membuat Rani terheran-heran. "Kenapa sih? Kak Issa nggak ingin mampir ke rumahku?" Tanya Rani. "Kamu mulai cerewet ya? Persis Nida," kata Issa. "Nggak...maksudku, payungnya..." "Kapan-kapan saja kamu kembalikan." Rani terdiam sejenak, lalu dia pun berbalik; meneruskan langkahnya. Issa masih berdiri mengawasinya, hingga lenyap di ujung gang. Setelah itu, Issa berbalik arah. Tapi, baru beberapa langkah, dia langsung berhenti. "Keluar!" Katanya tegas. Hingga sebentar kemudian seorang anak muda berseragam SMA muncul...Aga. Issa memperhatikannya lekat-lekat, "kenapa membuntuti kami?" Tanyanya. "Enggak kok..." bantah Aga, setengah gugup. "Kamu pacarnya Rani kan?" Tanya Issa setelah melihat nama anak itu di seragamnya. "Apa sih maksudmu?" Aga mulai geram. Issa tersenyum, "sayang sekali," gumamnya, lantas beranjak, tanpa menghiraukan Aga. Tapi, ternyata Aga begitu jengkel, hingga dia menghadang Issa dan mendorongnya ke dinding, sampai-sampai payung Issa terjatuh. "Orang macam kamu membuatku muak," kata Aga, jengkel bukan main. "Jadi, kamu memang pacarnya Rani..." Issa malah menahan diri agar tidak tertawa. Kedua anak muda itu basah kuyub. Aga, tanpa banyak bicara lagi langsung menghantam perut Issa dengan lututnya. Issa jatuh terbungkuk. Hanya sesaat dia merasa sakit. Dan, Aga hampir saja melancarkan pukulan lagi, tapi ketika 24
mendengar suara orang tak jauh dari situ, dia cepat-cepat pergi. Issa diam sebentar; meredakan rasa kagetnya, lalu mengambil payungnya dan kembali ke rumah. Sampai di rumah, Issa mandi sebentar; ganti pakaian, lalu menuang segelas teh jahe dan membawanya ke beranda depan. Saat itu deras hujan berkurang; memunculkan bau pelataran; bau yang yang khas. "Kak, Rani sudah pulang ya?" Tanya Nida, yang muncul beberapa menit kemudian. Kedua matanya masih terlihat sembab karena baru bangun tidur. "Iya, aku antarkan," jawab Issa. Nida duduk di samping anak muda itu, "kejutan nih," goda Nida. "Kamu itu keterlaluan," Issa mengacak rambut adiknya itu dengan gemas. "Kakak nggak marah kan?" "Iseng boleh saja, tapi jangan seperti itu, kasihan Rani," kata Issa. "Aku tahu Kakak marah..." Issa menatap Nida lekat-lekat, beberapa saat, "adik seperti kamu, mana bisa dimarahi." "Iya, harusnya aku lebih disayang; dimanja, dilindungi..." "Ya," potong Issa sebelum adiknya itu nyerocos lebih banyak, "daripada dibuang ke laut." "Jahat," "Cewek tidak laku," Issa tersenyum geli, lalu meneguk minumannya. Nida langsung menghujani kakaknya itu dengan cubitan, "jahat sekali, tega ngomong begitu." Issa tertawa, sampai Nida berhenti mencubit, "kadang-kadang kamu juga jahat," kata Issa serius. "Kak..." Nida tertegun. "Aku mengerti tujuanmu," kata Issa, "tapi aku sudah pernah bilang, kamu tidak usah terlalu memikirkan aku." "Kak...maaf..." Nida diam sejenak, memandang kakaknya itu dengan perasaan tidak tega, "aku pikir Kakak masih menyukai Rani," "Sudah bisa aku singkirkan," tegas Issa, "dengar, aku tidak mau terlibat urusan seperti itu. Biarkan saja apa adanya, setuju?" "Abstain," "Tidak boleh," "Kalau walk-out?" "Tidak boleh," "Kakak egois," "Adik yang bandel," "Kakak jahat," "Adik yang biadab," "Biar. Kakak harus terima kenyataan, punya adik seperti aku." "Iya, mimpi buruk..." Nida mencibir, "terserah deh, aku mau belajar dulu," katanya, lantas kembali ke 25
kamarnya. [2] Menjelang malam, Issa masih duduk di balai-balai. Sesekali Nida keluar, mengingatkan kakaknya itu agar makan dan jangan terlalu lama di luar. Issa hanya mengiyakan. Issa mengarahkan pandangannya ke tepian ufuk gelap. Dia memikirkan tindakan Aga tadi sore, dan itu membuatnya geli, sekaligus prihatin. "Anak itu benar-benar beruntung," gumam Issa, membayangkan jika tindakan seperti itu ditujukan pada Eka...bisa-bisa nyawa Aga melayang. Issa, sejak kelas dua SMP, saat masih tinggal di Jakarta, terlalu sering terlibat tawuran —mulai dari tawuran kecil-kecilan, tawuran antar kampung, juga tawuran dengan sekolah lain. Begitu beranjak SMA, dia bergabung dengan sebuah genk, Kelompok Harimau —yang bertujuan melindungi orang-orang Pecinan, meskipun dirinya sendiri bukan orang Tionghoa. Tapi waktu itu dia sangat mengagumi Kelompok Harimau. Dia meraba pundaknya, seolah-olah bisa merasakan tatonya sendiri. Sebentar kemudian dia beranjak ke dalam; menggelar matras dan berbaring; menggunakan tangan sebagai bantal. "Ada apa?" Tanya Issa ketika melihat adiknya muncul dari ruangan samping. "Kak...aku tahu Kakak masih tersinggung gara-gara keisenganku," kata Nida, duduk di sisi matras. Issa bangun, "kenapa masih dibahas?" "Aku memang salah, terlalu sok ikut campur," kata Nida. "Aku tidak menyalahkan kamu." "Kakak menyalahkan diri sendiri?" Issa mendesah, "dari dulu aku memang salah." "Aku nggak mau..." "Apa?" "Kakak nggak boleh menyalahkan diri sendiri," "Kalau begitu, tidak usah dibahas lagi," kata Issa sambil membelai kepala adiknya itu. "Kakak selalu memikirkan aku, tapi nggak mau mengurus diri Kakak sendiri," "Itu sudah kewajibanku." "Nggak boleh begitu," protes Nida, "aku ingin Kakak bahagia," "Kalau kamu bahagia, aku juga bahagia." "Tapi...aku nggak mau Kakak terus-terusan seperti ini," "Apa maksudmu?" Nida terdiam, kedua matanya mulai berkaca-kaca. Dia benar-benar tidak tega kakaknya itu memendam sendiri perasaannya. "Kenapa menangis?" Nida menggeleng-geleng, cepat-cepat menghapus air matanya. "Kenapa kamu begitu keras kepala?" Issa tiba-tiba saja menghantamkan tinju ke lantai; membuat Nida tersentak dan pucat. Nida baru ingat, kakaknya itu tidak tahan melihatnya menangis. 26
"Maaf, Kak..." Nida meraih tangan Issa dan mengusap-usapnya. Issa meredakan perasaanya sendiri, hingga berangsur tenang, "kamu kenal anak bernama Aga Yeremia?" Tanyanya, setelah diam sejenak. "Teman sekelasku..." Nida terheran-heran, bagaimana kakaknya tahu nama itu. "Dia pacarnya Rani kan?" Nida semakin penasaran, "kok Kakak tahu sih?" "Tadi, setelah mengantar Rani, aku bertemu anak itu. Aku tahu dia diam-diam mengikuti kami. Dia bukannya bicara baik-baik, malah menyerangku," Nida terbelalak, "Kak..." "Sudah mengerti?" "Kakak nggak...." Nida langsung memikirkan sesuatu yang buruk; sesuatu yang membuatnya benar-benar takut. "Tidak usah kuatir," kata Issa, "aku tidak bertindak apa-apa." "Jangan bohong...Kakak sudah bersumpah," "Iya, aku tidak melanggar sumpah." Nida menghela nafas lega, "kalau Kakak berkelahi lagi, aku nggak akan memaafkan Kakak." "Kamu bisa pegang kata-kataku," Issa meyakinkan Nida. Nida tersenyum, dia senang karena suasana sudah reda, "Kak, masih ingat Tita?" Issa tertunduk lesu, adiknya itu benar-benar bandel. Dan, Nida menunjukkan tampang cemberut. "Uh, dasar, nggak bisa menghargai kebaikan orang lain," omel Nida, kemudian beranjak kembali ke kamarnya. Issa menghirup nafas dalam-dalam, lantas, sebentar kemudian dia pergi ke beranda depan sambil membawa matras. Malam itu dia tidur di balai-balai, meskipun udara begitu dingin.***
27
Bab 5 [1] Pagi-pagi sekali, setelah solat, Nida memasak air dan menanak nasi, lalu mencuci setumpuk pakaiannya yang kotor. Setelah pekerjaan rutin itu selesai, bersamaan dengan airnya yang sudah matang, dia membuat teh jahe untuk kakaknya. Dia kuatir kakaknya itu sempat begadang, jadi dia membuat minuman itu untuk memulihkan kesehatan. "Kak..." kata Nida sambil membawa minuman untuk Issa, tapi kakaknya tidak ada di ruang depan. Lantas dia memeriksa ke beranda depan, dan mendapati kakaknya itu berbaring di balai-balai, dengan matras sebagai alas. "Kak.." kata Nida pelan, beberapa kali, hingga beberapa saat kemudian Issa terbangun. Anak muda itu duduk; menyelonjorkan kaki sambil mengusap-usap wajahnya, "ada apa?" "Semalaman Kakak tidur disini?" Tanya Nida kuatir. Dia meletakkan minuman kakaknya di pinggir balai-balai. "Jangan berpikir aneh-aneh," kata Issa, "aku tidak apa-apa." Nida duduk; menunggu kakaknya meneguk minuman buatannya. "Nggak biasanya Kakak tidur di luar," kata Nida. Issa mencermati adiknya itu sedikit lebih lama, hingga dia jadi merasa geli. "Apanya yang lucu?" Dengan kesal Nida menonjok lengan Issa. "Kenapa memakai seragam wushu?" Issa balik tanya. Dia baru tahu ternyata Nida masih menyimpan seragam itu; kenang-kenangan dari Perkumpulan wushu Neigong, saat Nida kelas 1 SMP. Dulu seragam itu kebesaran untuk Nida, tapi sekarang terlihat cukup pas. "Kalau nggak pernah dipakai, seragam ini bisa rusak," jawab Nida. "Butuh sparing?" Tanya Issa lagi. Nida menggeleng-geleng. "Anggap saja begitu," kata Issa, lalu bangkit; beranjak ke pelataran. Dia memperagakan beberapa teknik standar. "Masih ingat?" Tanya Issa. Nida mengangguk. "Sekarang kamu coba," kata Issa. Lagi-lagi Nida menggeleng, dia tidak yakin masih bisa melakukan gerakangerakan seperti itu. Issa mendesah, "cuma pemanasan," bujuknya. Sebentar kemudian, Nida menurut, sambil meyakinkan dirinya sendiri. 28
Kakak adik itu berhadapan; sama-sama pasang ancang-ancang, "kamu hanya perlu mengingat-ingat lagi, tidak terlalu sulit," kata Issa. Nida mengangguk, lalu mulai melancarkan beberapa serangan. Issa hanya menanggapinya dengan gerakan-gerakan menghindar. Dan, Nida mulai bersemangat, dia merasa bisa mengingat lagi teknik-teknik wushu yang pernah dipelajarinya sejak kelas lima SD. "Masih kelihatan ragu-ragu," kata Issa. "Uuh...aku nggak suka kalau Kakak mulai sombong begitu," protes Nida, kemudian kembali melancarkan serangan. Kali itu gerakan yang tadi dianggapnya sulit, sen fung cao beruntun. Issa mundur dengan sangat cepat, "tenang...tidak usah terburu-buru," godanya, membuat Nida semakin gemas. "Sudah ah..." kata Nida, "aku nggak mungkin menang," dia langsung berbalik, kembali ke dalam. Issa tersenyum lega, sambil menatap sejenak ke langit yang berangsur terang. Kemudian dia menghabiskan minumannya. Tidak seberapa lama, Rani muncul sambil membawa payung, "Kak," dia menyapa Issa, sambil mengembalikan payung itu, "Nida sudah bangun?" "Ya, kami barusan latihan," jawab Issa. "Latihan apa?" "Wushu, mana mungkin aku latihan basket," kata Issa, sekedar untuk meredam perasaan tidak enak yang tiba-tiba saja menyusup dalam benaknya. Rani merogoh sakunya, "ini," katanya, mengulurkan selembar uang lima puluh ribu. Issa tidak segera menerimanya. "Ini uang saku dari ayahku, untuk Nida. Aku titipkan Kakak saja," Akhirnya, Issa menerimanya, "apa tidak terlalu banyak?" "Nggak," Rani menggeleng, "ayah tahu aku sama Nida rutin menabung, jadi ayah nggak ragu-ragu," jelas Rani. Issa mengangguk-angguk. Dan, sebentar kemudian Nida keluar, sudah mengenakan seragam dan membawa tas kesayangannya, "pagi-pagi kok membina rumah tangga," goda Nida. Rani langsung menjewernya, penuh rasa gemas. "Ngomong sembarangan," kata Rani. "Kak, aku berangkat," kata Nida, setelah mengenakan sepatu, lalu menggandeng Rani. Issa mengawasi mereka sejenak, lantas beranjak ke dapur dan memasak. [2] Di mikrolet, Nida tidak banyak bicara. Setiap kali Rani melontarkan bahan obrolan, tanggapan Nida hanya "oh ya..." atau, "nggak apa-apa,"; "nggak tahu; "mungkin...". Sikapnya ini tidak seperti biasanya, membuat Rani benar-benar heran, bahkan merasa agak tidak enak. Sampai di sekolah pun Nida tidak seberapa menanggapi teman-temannya. Selama dua pelajaran pertama berlangsung, dia sepenuhnya mengarahkan 29
perhatian ke depan, seolah-olah di ruang kelas itu hanya ada dirinya dan guru. "Ada apa sih?" Tanya Rani, saat istirahat pertama. Dini, Tita dan Aga ikut memperhatikan Nida; mencoba menerka ada apa dengan teman mereka itu. "Ditembak kakak kelas ya?" Goda Dini. "Atau adik kelas?" Timpal Tita. Nida tidak menjawab, hanya saja sesekali dia menatap Aga dengan pandangan dingin, membuat anak muda itu merasa tidak nyaman. "Hei," Rani menyikut lengan Nida dengan pelan. Nida hanya menoleh sebentar, lalu berpaling lagi. Saat itu, kejengkelan dalam hati Nida semakin kuat, tapi dia masih berusaha menahan diri. Dia menganggap Aga terlalu kekanak-kanakan dan bertindak ngawur hanya karena urusan sepele. Dia bisa menebak Aga pasti merasa cemburu, tapi kesembronoan seperti itu yang membuatnya takut. Dia pikir, kalau kakaknya balik melabrak, sudah pasti Aga tidak akan lolos. Nida menghela nafas; meredam kekacauan dalam dirinya, kemudian kembali ke kelas. "Kalau ada masalah ngomong dong," kata Rani; menyusul Nida. "Nggak ada apa-apa," kilah Nida. "Bohong," Rani tidak percaya. Nida diam saja. Dia berharap gurunya segera datang, agar Rani berhenti menanyainya. Hampir sepuluh menit berlalu, Bu Maria, guru kimia, belum juga datang. Yang muncul malah seorang karyawan. Dia menyampaikan pesan dari Bu Maria, yang tidak bisa mengajar karena ada kegiatan penting di sekolah lain. Dan sebagai pengganti, Bu Maria menitipkan tugas yang harus dikerjakan hari itu juga. Setelah si karyawan pergi, sebagian anak di kelas itu bukannya serius mengerjakan tugas. Mereka malah bersantai-santai; ngobrol; dan beberapa malah bergerombol di blok belakang sambil main kartu. Tidak seberapa lama, Nida sudah menyelesaikan tugasnya, dia memaksakan diri mengerjakannya dengan cepat. Setelah itu dia meletakkan lembar jawabannya di meja guru, lantas beranjak menghampiri tempat Aga, "ikut aku sebentar," katanya pada Aga; hingga teman-temannya memperhatikan dengan sedikit penasaran. "Ada apa?" Tanya Aga, yang belum selesai mengerjakan tugasnya. "Nggak usah banyak omong!" Bentak Nida tiba-tiba, membuat seisi kelas kaget, lebih-lebih Rani yang mulai kuatir. "Nggak bisa lihat aku sedang sibuk ya?" Balas Aga, kesal karena dibentak seperti itu. "Pengecut! Nggak usah cari-cari alasan!" Kata Nida, masih sengit. "Apa sih masalahmu?" "Kamu nggak cuma jadi pengecut, tapi juga pecundang!" Aga tidak bisa bersabar lagi, karena baru kali ini dia dihina seperti itu, apalagi oleh temannya sendiri. "Aku nggak suka ribut-ribut sama cewek," kata Aga. 30
"Kasihan sekali," sindir Raka tiba-tiba, sambil tetap mengerjakan tugas. Aga, dengan geram, langsung memukul kepala anak itu. Raka hanya menoleh sebentar, lalu meneruskan pekerjaannya. Sebaliknya, malah Nida yang tidak bisa mengendalikan diri. Serta merta dia melayangkan pukulan, tepat ke arah wajah Aga. Beberapa teman mereka, termasuk Rani mencoba melerai, tapi Aga keburu membalas Nida; mendorong gadis itu. Nida hampir saja terjengkang, hingga Raka dengan sigap menahannya dari belakang. "Mulai kapan kamu jadi banci?" Sindir Raka. Aga nyaris membalasnya, tapi Rani berusaha menghalanginya. "Kapan, dimana?" Tantang Aga tanpa pikir panjang. "Nggak ada urusannya sama Raka, urusanmu sama aku," sahut Nida, membuat suasana kelas semakin tegang. "Dia cuma menggertak," kata Raka pada Nida. Sebentar kemudian, dia menarik gadis itu ke kantin. "Sudah merasa tenang?" Tanya Raka, sesampainya di kantin dan memesan dua minuman dingin. "Bukan urusan kamu," sentak nida. "Memang bukan..." kata Raka. Pandangannya sama sekali tidak beralih dari Nida. Sesekali Nida membalas tatapan itu, tapi dia segera berpaling lagi. Sebenarnya, kejengkelannya pada Aga sudah reda, dan sekarang yang menyusupi benaknya adalah rasa penasaran tentang sikap Raka. "Kenapa melihatku terus?" Tanya Nida, begitu dia merasa tidak tahan terusterusan dipandangi. "Bukan urusan kamu," Raka menirukan gaya Nida tadi. "Yang kamu lihat kan aku," "Aku kan lihat pakai mataku sendiri, kenapa kamu protes?" Nida terdiam agak lama, "tadi Aga memukul kamu. Masih sakit?" "Cuma segitu," "Sok kuat," kata Nida. "Sok preman," balas Raka. "Sok perhatian," "Memang..." gumam Raka, tapi masih sempat terdengar Nida. "Gombal," Nida menendang kaki anak itu. "Kita berteman..." Raka mengulurkan kelingking. Nida terpana, dia tidak pernah menduga hal seperti itu, meskipun selama ini dia sering memperhatikan Raka. Sebentar kemudian, masih penuh rasa penasaran, dia juga mengulurkan kelingkingnya hingga bertautan dengan jari Raka. Setelah itu, dengan gugup, dia cepat-cepat menarik jarinya. "Sebagai tanda kita berteman, mulai minggu depan kamu yang mengerjakan tugas-tugasku," kata Raka. "Hah...enak saja, jangan mimpi!" 31
"Nggak apa-apa, anggap saja mimpi jadi kenyataan," kata Raka. "Kerjakan sendiri," "Teman yang nggak setia," "Terserah," gumam Nida. Sekarang dia, entah kenapa, mulai merasa cukup lega karena Raka memang sudah berubah, tidak berangasan seperti saat kelas satu, "ke kelas yuk," katanya sambil beranjak bangkit. Tapi, Raka cepat-cepat menarik tangannya. "Ada apa lagi?" Tanya Nida, semakin gugup. "Disini saja. Sebentar lagi kan istirahat," jawab Raka. Nida menurut juga. Dia duduk kembali setelah Raka melepas genggamannya. "Maaf.." kata Raka. "Untuk apa?" "Aku nggak bermaksud ikut campur urusan kamu, tapi aku nggak suka melihat kamu kasar seperti tadi," jawab Raka. "Iya..." gumam Nida. Dia lega karena pertengkarannya dengan Aga tadi tidak sampai terlalu jauh. Kalau terjadi apa-apa pada dirinya, kakaknya pasti akan mengamuk, "aku yang terlalu konyol," katanya. "Kamu memang konyol," Nida mendelik, "kalau begitu jangan melihatku terus." Raka mengalihkan pandangannya ke arah lain. Saat itu dia melihat beberapa teman sekelasnya datang, termasuk Rani, Dini dan Tita. Sorot mata mereka tertuju pada dirinya dan Nida. "Aku yang traktir," kata Raka, lantas membayar kedua minuman itu dan meninggalkan kantin. Nida sendiri masih terpaku di tempatnya. Ketika melihat teman-temannya, dia tahu masih ada perasaan tidak enak yang sangat mengganjal. [3] Usai sekolah, Rani, Dini dan Tita sengaja menahan Nida di UKS. Mereka ingin tahu kenapa dia bertengkar hebat dengan Aga. Tadinya Nida mencoba menghindar, tapi teman-temannya itu tetap mendesak. "Sampai main pukul begitu, itu kan sudah kelewatan," kata Rani. "Kenapa kamu menasehati aku? Pacarmu itu yang lebih butuh nasehat," jawab Nida sengit. "Aku kan nggak tahu dia salah apa. Makanya, kalau ada masalah ngomong dong," "Tanya saja pacarmu itu, kenapa dia menyerang kakakku," kata Nida jengkel. Rani terkejut, bingung, "kenapa Kak Issa nggak ngomong masalah itu?" "Kamu kira siapa kakakku? Dia bisa diam saja, tapi aku nggak rela kakakku diperlakukan seenaknya. Pacarmu itu sudah nggak punya otak ya?" Perasaan Rani, seketika, seperti ditusuk. Dia tersinggung Aga diumpat sepedas itu, tapi dia berusaha menahan diri, "pasti ada salah paham..." "Ngomong saja sama pacarmu itu," kata Nida. Sebenarnya, jauh di lubuk hatinya, dia tidak tega bicara sekasar itu pada Rani, tapi dia merasa Rani lebih membela pacar daripada teman. 32
"Nid," Tita merangkul Nida, "kami nggak menyalahkan kamu, tapi salah paham seperti ini kan bisa diselesaikan baik-baik," lanjutnya. "Kalian nggak tahu perasaan kakakku. Kalian membela Aga, terus bagaimana kakakku?" "Nida," Dini mencoba menenangkan temannya itu, "bukan masalah siapa membela siapa," "Jelas-jelas begitu!" Bentak Nida, lalu dengan jengkel dia beranjak meninggalkan ruangan itu tanpa menghiraukan Tita yang memanggilnya. Sementara itu, Rani menangis. Tiba-tiba saja dia merasa Nida begitu jauh dan asing. Tita dan Dini tidak tahu harus bicara apa, yang bisa mereka lakukan dalam situasi seperti itu hanya menemani Rani, sambil berharap masalah tidak akan semakin parah. Hampir menjelang sore, setelah merasa cukup tenang, Rani pulang. Kebetulan hari itu Tita membawa mobil, jadi mereka bisa pulang sama-sama. Tita mengantarkan temannya itu sampai di depan komplek rumah, kemudian dia sendiri berbalik arah, langsung pulang. Rani menyusuri jalan dengan lesu, memikirkan apa yang harus dilakukannya dengan Nida. Saat melewati rumah Nida, dia berhenti sebentar. Tadinya dia ingin mampir, tapi setelah dipikirkan lagi, dia malah semakin ragu-ragu dan takut. Lantas dia pun meneruskan langkahnya. "Kok baru pulang?" Tanya Ibu Rani, yang sedang sibuk memeriksa deretan tanaman di halaman depan. "Ada kegiatan tambahan," Rani mengarang alasan. "Nida nunggu kamu di kamar," kata Ibu Rani. Rani merasa seperti mendapat kejutan, kemudian dengan tergesa dia pergi ke kamarnya, membuat ibunya terheran-heran, karena hari ini dia mendapati tingkah kedua anak itu benar-benar aneh. Tadi, begitu datang, Nida langsung menyerbu dapur dan makan sampai tiga porsi, sekarang Rani yang menunjukkan gelagat aneh. Sampai di kamar, Rani baru bisa menarik nafas lega begitu melihat Nida. Dia menarik kursi ke samping gadis itu dan menatapnya lekat-lekat. "Kenapa melihatku seperti itu?" Tanya Nida, "jangan bilang kamu naksir aku," Kata-kata Nida itu, cara bicaranya, sudah kembali seperti biasa. Rani langsung terpekik girang dan merangkul temannya itu, "kamu nggak pernah sekasar itu, aku benar-benar takut." Katanya. Nida balas merangkul Rani. Kejengkelannya sudah sejak tadi reda, "sejak pertama pindah ke Malang, yang ada di pikiran kakakku cuma aku, latihan wushu dan meditasi," kata Nida, "orang lain pasti akan menganggapnya gila." Rani tersenyum sambil melepaskan rangkulannya, "mau kamu carikan kibito?" "Bagaimana kalau Mbak Rara?" "Heh, sembarangan. Kakakku sudah ada yang punya." "Kalau Palupi?" 33
Rani langsung mencubit bibir Nida, "mulutmu itu tambah ngawur." "Iya ya...Palupi kan masih di bawah umur..." "Tita," kata Rani asal-asalan, tapi Nida malah tersentak. "Kok pikiran kita sama ya?" "Lho..." Rani terbengong. "Gagasan paling bagus," gumam Nida. "Kamu punya rencana?" Tanya Rani. "Nggak, kamu saja yang buat rencananya," jawab Nida, kemudian langsung beranjak ke tempat tidur dan berbaring. Rani geleng-geleng, meskipun sikap Nida benar-benar membuatnya bingung, dia tetap senang karena tidak perlu bertengkar lagi dengannya. Dan, dia tidak ingin hal itu terjadi lagi.***
34
Bab 6 [1] Selama beberapa hari, Issa mengerahkan perhatian untuk menyisihkan sebagian kenangan dari benaknya. Dan dia merasa cukup tenang karena Nida tidak berbuat usil seperti sebelumnya. “Nid,” katanya, memperhatikan adiknya yang sedang menjemur cucian di teras belakang. “Ya?” Nida menoleh sebentar, lalu meneruskan pekerjaannya. “Hari ini aku mau meditasi lebih lama,” kata Issa. “Iya.” “Jangan mengganggu aku, apa pun alasannya.” “Iya,” Nida selesai menjemur cucian, lalu masuk ke rumah. Sementara itu Issa melepaskan pakaiannya; beranjak ke teras dan duduk bersila; memulai meditasi —memusatkan pikiran; mengikuti pola ritmis aliran nafas. Nida menyempatkan waktu menengok kakaknya itu. Memang mengejutkan, dia belum pernah melihat kakaknya bermeditasi tanpa mengenakan baju. Hatinya benar-benar gusar, tato harimau dan bekas luka-luka sabetan senjata tajam di sekujur punggung kakaknya itu masih tampak jelas. Terngiang kembali di telinganya, “apa pun yang terjadi, tato ini tetap jadi bagian diriku; bagian dari hidupku,” kata Issa tiga tahun yang lalu. Nida selalu berharap kakaknya itu tidak akan pernah terdorong untuk kembali seperti dulu. Nida memandangi kakaknya lebih lama, kemudian dia kembali ke dalam; menyibukkan diri sendiri —bersih-bersih; memasak; mengerjakan beberapa PR dan belajar sebentar. Di teras belakang, selagi sinar matahari mulai terik, Issa masih dalam posisi meditasi. Kedua kakinya mulai seperti mati rasa, dan sekujur badannya tersengat terik. Berbagai gambaran melintasi benaknya, silih berganti. Perkelahian pertamanya dengan teman sekolah; dengan siswa-siswa sekolah lain, juga ulahnya menghajar seorang guru guru saat masih kelas dua, juga perkelahiannya yang brutal, melawan musuh bebuyutan sekolahnya, hingga dikeluarkan dari sekolah. Juga terlintas di benaknya pertama kali berkenalan dengan Eka. Saat-saat awal bergabung dengan Kelompok Harimau, dan yang tidak terlupakan adalah saat dia menjalani inisiasi; mendapat tato sebagai tanda dirinya diterima sebagai anggota Lingkaran Dalam, serta bersumpah setia pada kelompok dan bersumpah tidak akan mengkhianati sesama anggota kelompok. Masa lalu yang sangat suram, dan selama tiga tahun, lebih-lebih dua tahun belakangan ini tetap berkutat sebagai bayangan. Dia bersyukur, sejauh ini masih 35
ada Nida yang secara tidak langsung menuntunnya untuk mengendalikan diri. Tapi, dia menyadari prinsipnya sendiri —dia akan memetik buah atas segala sepak terjangnya di masa lalu. Dan yang bisa dilakukannya adalah menyiapkan diri menghadapi apa pun kemungkinannya. [2] Di kamar, sambil mendengarkan deretan lagu, Nida mengutak-atik beberapa soal termokimia. Iseng-iseng, dia mengambil satu contoh persamaan termokimia hidrogen dengan nilai perubahan entalpi standar, lalu menghitung hasil reaktan dalam kondisi suhu dan tekanan yang berbeda-beda. Satu jam berlalu, Nida menutup bukunya; meregangkan badan, lalu beranjak ke jendela yang terbuka lebar. Dari situ dia bisa memandang pelataran depan dan pintu pagar. Sinar matahari semakin terik, dan dia berharap tidak turun hujan. Kalau sampai turun hujan, dia tidak tahu harus bagaimana membantu kakaknya. Yang dia tahu, tadi kakaknya benar-benar serius tidak ingin diganggu. Gadis itu mendesah. Saat hampir berbalik, dia melihat Rani datang, disusul Dini, Tita, dan Aga. Sepertinya mereka baru kembali dari gereja. Nida bergegas turun, menyambut teman-temannya itu dan mengajak mereka ke ruang depan. Ini pertama kalinya Tita, Dini dan Aga mampir ke rumah Nida. “Eh, ini ruangan apa aula?” Tanya Tita. “Datang-datang langsung komentar,” protes Nida. “Kak Issa mana?” Tanya Rani, lalu sejenak memandang Aga yang tampak serba salah. “Masih meditasi, dia nggak mau diganggu,” jawab Nida. “Nid,” akhirnya Aga memberanikan diri, “aku mau minta maaf sama kakakmu,” katanya bersungguh-sungguh. Nida tersenyum, “lupakan saja, Kak Issa nggak sampai dendam kok.” “Serius?” Tanya Aga. Nida mengangguk, lalu pergi ke dapur; membuat minuman untuk temantemannya itu. Suasana kembali seperti semula, seolah-olah mereka tidak pernah saling berselisih. Nida dan Rani memandangi Tita sambil tersenyum-senyum. Sebentar kemudian, gadis bermata lebar memikat dan berambut kepang itu mulai merasakan tatapan Nida dan Rani agak mencurigakan, “apa lihat-lihat?” “Ih, cantik-cantik kok sok preman,” kata Nida. Rani, Dini dan Aga tersenyum geli. “Habis, tampang kalian mulai bau kriminal,” Tita ngotot. “Pertarungan dua cewek cerewet,“ kata Dini dalam hati. “Lho, aku kok dituding juga,” Rani berkilah, dan Nida langsung menatapnya dengan sorot mata galak. “Pengkhianat,” Nida berlagak bengis. “Apaan sih?” Tita mulai penasaran. “Jadi, benar ya, kamu resmi putus sama Mas Andri?” Tanya Nida. “Nggak ada hubungannya sama kalian,” kilah Tita, “sudah ah, ngomongin yang lain saja.” 36
Hampir satu jam mereka ngobrol, seperti tidak jelas juntrungannya. Hingga kemudian Rani pamit lebih dulu, dan Aga mengantarkannya. Sementara itu Nida mengajak Tita dan Dini makan, setelah itu kembali ke ruang depan; meneruskan obrolan mereka. Menjelang jam dua, Dini pulang, sementara Tita tetap tinggal, dia masih penasaran dengan gelagat Nida yang benar-benar harus dicurigai. “Sekarang,” katanya, “cepat mengaku!” Desak Tita. “Apa?” Tanya Nida. “Tadi tingkahmu benar-benar mencurigakan.” “Eh, aku kan nggak bertingkah macam-macam,” Nida berkelit, lalu mengajak temannya itu ke kamar. Di kamar Nida, Tita meletakkan al-Kitabnya di meja belajar, lalu melihat-lihat koleksi kaset Nida. Saat menemukan kaset Amy Grant, dia langsung memasangnya di combo-tape; mendengarkan lagu favoritnya, O Sacred Head. Setelah itu dia beranjak ke jendela, “terasnya luas juga,” katanya, “bisa untuk tanding three on three nih.” “Menyindir?” Nida membuka-buka majalah. “Enggak kok,” kata Tita. Sebentar kemudian pandangannya tertumbuk ke pintu pagar. Di sana tampak seorang pemuda sedang mengamat-amati sesuatu… kelihatannya mengamati rumah Nida. Tita buru-buru beralih pada Nida, “ada orang di luar,” katanya, menarik Nida ke jendela. Tapi, pemuda yang tadi dilihatnya sudah tidak ada. “Apa sih?” Nida tidak melihat orang yang dimaksud Tita, lalu kembali membaca majalah. Tita sendiri masih merasa kaget, juga tiba-tiba saja merasakan sesuatu yang sangat tidak nyaman. Dia beranjak duduk di tempat tidur. Nida memperhatikannya; terheran-heran. “Gelagat orang itu mencurigakan,” kata Tita. “Paling-paling cuma lewat, atau salah alamat,” kata Nida. “Perasaan cewek nggak mungkin meleset,” gumam Tita. “Kamu itu terlalu gampang curiga.” Melihat reaksi Nida yang biasa-biasa saja, Tita mencoba meredam kegusarannya; berharap itu sekedar perasaan yang berlebihan. “Eh, ngomong-ngomong, kamu mulai akrab sama Raka ya?” Tanya Tita, sekedar untuk mengatasi kegusaran anehnya tadi. “Kenapa? Dilarang ya?” “Siapa yang melarang? Aku kan cuma heran, kok bisa kamu akrab sama bahaya,” kata Tita. “Bahaya apanya? Dia kan bukan playboy,” tegas Nida. “Yang nuduh begitu siapa, Non,” Tita tersenyum geli, “kamu benar-benar kenal dia ya?” “Nggak bakal kujawab, bisa-bisa nanti kamu jadikan bahan gosip,” kilah Nida. Tita tersenyum, “kamu yang gampang curiga.” 37
“Bukan curiga, ini disebut pencegahan lebih baik dari pengobatan,” kata Nida. “Sok puskesmas.” “Kamu yang posyandu,” balas Nida. “Boleh, tapi kamu jadi timbangannya, mau?” Kata Tita. “Nggak!” Tita berbaring. Pikirannya masih terusik si pemuda mencurigakan tadi. Dia membayangkan, kalau Rani yang mendapati situasi itu pasti paniknya setengah mati. “Eh, kakakmu mulai meditasi jam berapa?” Tita tiba-tiba saja teringat kakaknya Nida. Dia baru dua kali bertemu dengan Issa, saat KSSH, dan di konser natal tiga bulan yang lalu. Tapi dia merasa aneh, selama mengenal Nida, dia jarang sekali menyinggung soal kakaknya. “Tadi pagi,” jawab Nida. “Belum selesai?” tanya Tita. “Mungkin,” Nida mulai kuatir, lalu beranjak, “tunggu sebentar,” katanya. “Mau kemana?” Tita bangun. “Turun sebentar,” Nida keluar kamar. Dia kuatir kakaknya benar-benar masih bermeditasi. Tapi, saat sampai di dapur, dia mendapati kakaknya itu sedang menuang teh, dan tampak baik-baik saja. Nida menghela nafas lega. “Jemuranmu sudah kering,” kata Issa, lalu pergi ke beranda depan, sementara Nida mengambil pakaian-pakaiannya dan membawanya ke kamar. Tita membantunya melipat pakaian-pakaian itu. “Masih meditasi?” Tanya Tita. “Sudah selesai,” sejenak, Nida menatap temannya itu lekat-lekat, “kamu kuatir ya? Tenang saja, kakakku baik-baik saja kok.” “Yee, siapa yang kuatir…akrab saja enggak,” bantah Tita. “Harus akrab dong, siapa tahu nanti kamu jadi kakak iparku,” goda Nida. “Ngaco ah, punya adik ipar macam kamu, itu namanya musibah tragis,” kata Tita. “Ah, sok malu, feelingku nggak mungkin meleset lo.” “Hah…” Tita berlagak kaget, “berarti, kamu benar-benar cewek dong,” katanya, tertawa geli. Nida bersungut-sungut; membuka-buka majalah; seperti ingin menyobeknyobeknya. “Duh, begitu saja langsung monyong,” Tita menepuk-nepuk pundak Nida. “Masa bodoh,” kata Nida. “Benar-benar marah ya?” Tita tahu Nida hanya pura-pura marah. Nida menggeleng. “Nah, begitu dong,” kata Tita, lantas beranjak ke tempat tidur, menarik selimut dan berbaring, “bangunkan aku jam tujuh ya,” katanya, lalu memejamkan mata. “Nggak minta izin sama ayahmu?” Tanya Nida. “Ayahku sih cuek. Lagian, dia kan lebih suka keluyuran,” jawab Tita. “Nggak sopan.” “Iya kan? Memangnya apa lagi pekerjaan wartawan, kalau bukan keluyuran, 38
lebih-lebih wartawan sekaliber ayahku.” “Cieh, sombong nih,” Nida tersenyum geli, membiarkan temannya itu sampai terlelap. [3] Di beranda, Issa menyelonjorkan kaki; melakukan beberapa gerakan ringan untuk mengurangi rasa sakit. Meditasi yang dilakukannya hari ini tidak seperti biasanya. Dia masih merasakan kesulitan yang sangat mengganggu, dan kelihatannya tidak mudah diatasi. Sekarang pun pikirannya masih seperti terseret oleh gambaran-gambaran yang sama sekali tidak menambah ketenangan. “Kak,” Nida muncul; duduk di samping Issa. Baru kali itu Issa agak kaget — biasanya, dia selalu bisa menyadari kehadiran adiknya. Dia menarik nafas dalamdalam, lalu menghembuskannya pelan-pelan. “Sudah makan?” Tanya Nida. “Sudah,” Issa baru ingat kalau ada orang lain di rumahnya —seolah-olah atmosfir di rumahnya sendiri sudah tampak dan terasa gamblang, namun, tentu saja, itu hanya sebuah intuisi tersendiri, “tidak menemani temanmu?” “Dia sedang tidur,” Nida malah berharap kalau saja saat ini Titalah yang ngobrol dengan kakaknya. “Rani?” Tanya Issa. “Tita,” jawab Nida. “Kamu tidak punya rencana aneh kan?” “Nggak,” bantah Nida cepat-cepat, “Kakak kok curiga begitu?” “Tingkahmu itu sering mencurigakan,” “Aku kan nggak berbuat apa-apa,” Nida merengut. Issa mencubit pipi adiknya itu dengan gemas. “Kak, ngomong-ngomong, Tita sudah putus sama pacarnya lo,” Issa menggeleng-geleng, “apa aku perlu tahu itu?” “Hmm…aku kan cuma mau menyebarkan kabar ini ke seluruh dunia.” “Tidak ada pekerjaan lain?” “Kenapa? Kakak keberatan ya? Takut dapat banyak saingan?” Nida tersenyumsenyum. Issa menatap adiknya itu, sekilas. Nida langsung membungkam mulutnya sendiri, beberapa saat, “bercanda kok,” katanya. Issa paham, adik satu-satunya itu benar-benar bandel. Dia diam, begitu pun Nida. Sampai di benak Issa terpintas gagasan untuk menjahili adiknya itu, pikirnya, sesekali boleh juga. “Kapan dia tampil lagi?” Tanya Issa. Nida hampir-hampir terkesima, mulai optimis rencananya akan berjalan mulus. “Dua minggu lagi,” jawab Nida. “Konser?” “Bukan, ultah perkawinan ayah dan ibunya Dini,” jawab Nida, “Kakak datang ya,” pintanya penuh harap. “Boleh, tapi kamu jangan menuduhku macam-macam,” kata Issa. 39
“Nggak bakalan deh, sumpah.” Issa menahan diri agar tidak tertawa —ternyata senang juga bisa menjahili adiknya. “Soal kado, Kakak saja yang pilih,” kata Nida. “Sudah siap kok.” “Hah? Bohong!” Nida tidak percaya, sekaligus penasaran. “Kan kamu bisa dijadikan kado, biar hidupku lebih damai.” “Dasar jahat!” Nida langsung melancarkan pukulan-pukulan, dan Issa menangkis sambil tertawa. “Nanti malam kita jalan-jalan ya?” Tanya Issa, setelah kekesalan adiknya reda. Nida mengangguk-angguk penuh semangat, “tapi, antarkan dulu Tita.” “Hm??” Issa menatap adiknya itu. “Cuma berjaga-jaga,” kata Nida. “Tidak ada syarat lain?” “Cuma itu,” jawab Nida. “Ya….” Nida, dalam hati, terpekik girang. [4] Hampir jam tujuh, Tita terbangun setelah Nida mengguncang bahunya dengan lembut. Dia menggeliat sebentar; mengusap-usap wajahnya, kemudian melipat selimut. Setelah itu beranjak mengambil al-Kitabnya, lalu turun; menyusul Nida. “Biar diantar kakakku,” kata Nida. Tita tersenyum, menyapa Issa. “Cuma sampai jalan besar,” kata Issa. “Nggak apa-apa,” kata Tita. Nida memberikan jaket Issa, dan juga payung, “kawal temanku baik-baik ya,” katanya. Sebentar kemudian Issa membarengi Tita. “Kadang-kadang Nida suka iseng. Kamu jangan tersinggung,” kata Issa dalam perjalanan, sesekali berpapasan dengan orang-orang di komplek itu. “Ah, enggak kok,” jawab Tita; mendekap al-Kitabnya. Issa melepas jaket dan mengulurkannya pada Tita, “sebaiknya kamu pakai,” katanya. Tita berhenti, dengan agak gugup memandang Issa. “Jangan kuatir,” Issa berhenti juga, “aku tidak punya maksud macam-macam,” katanya. “Bukan begitu,” akhirnya Tita mau menerima jaket itu dan memakainya, kemudian mereka melanjutkan perjalanan. Keduanya tidak saling bicara lagi, hingga sampai di jalan besar. Issa menemaninya sampai gadis itu naik angkutan. Sesudah mikrolet itu melaju, masih tampak Tita mengawasi Issa yang tidak segera kembali. Tapi, begitu kendaraan biru itu hilang dari jangkauan, Issa pun berbalik. 40
Dalam perjalanan pulang, Issa memperlambat langkahnya. Saat itu sesuatu yang sangat mengganjal berkecamuk di benaknya. Dia mencoba meredamnya dengan meresapi udara malam yang begitu dingin, hingga merasuk ke tulang. Tapi, dia tetap saja heran karena merasa sedang diawasi. Sejenak dia berhenti, menoleh ke setiap penjuru, dan hanya mendapati satu dua penjual bakso atau pangsit, juga beberapa orang yang nongkrong sambil ngobrol. Issa meneruskan langkahnya. Sesampai di rumah, Issa mandi; menyegarkan sekujur dirinya yang terasa seperti semburat. Sementara itu Nida berkutat di dapur; menghangatkan nasi dan lauk-pauk. Setelah semuanya beres, bersamaan dengan Issa selesai mandi, Nida bersiap-siap —mengenakan sweater, lalu menunggu kakaknya di beranda. “Jalan-jalan kemana?” Tanya Nida ketika melihat kakaknya muncul tanpa mengenakan jaket. “Lihat saja nanti,” jawab Issa. “Nggak pakai jaket?” “Aku pinjamkan sama Tita,” Issa beranjak. Nida menyusulnya dengan perasaan girang. Nida merasa sudah lama sekali mereka tidak keluar jalan-jalan. Dan, bisa dihitung, dalam dua tahun ini hanya sekali mereka pergi dalam suasana yang berbeda, itu pun karena Nida memaksa Issa untuk ikut melihat penampilan Tita di konser natal. Mereka naik mikrolet yang menuju terminal di daerah timur. Arus lalu lintas sudah tidak seberapa padat, dan hampir di sepanjang jalan masih terlihat keramaian. Daerah itu, terutama di bagian yang dekat dengan jalan besar, didominasi tempattempat usaha atau fasilitas-fasilitas umum: deretan toko; lapak-lapak para pedagang buah-buahan; masjid; hotel; juga gedung paguyuban pencak silat. Disana-sini cahaya sorot lampu tidak sekedar menerangi, tapi juga, bagi Issa, lebih terkesan sebagai bintik-bintik terang. Mendekati pertigaan jalan besar, mikrolet berhenti. Issa dan adiknya turun, lalu membayar si sopir. “Terus?” Tanya Nida. Issa mengamati sekitarnya. Dia tidak seberapa mengenali daerah itu, “ya jalanjalan,” katanya, lalu beranjak, disusul adiknya. Saat itu sudah hampir jam sembilan. Para pemilik lapak tampak bersiap-siap; mengemasi dagangan mereka, setelah itu pergi. Juga, beberapa toko mulai tutup, hanya beberapa saja yang masih buka, satu dua kios kecil, dan juga beberapa rumah makan atau kafe. Hingga setengah jam mereka menelusuri jalan. “Capek?” Tanya Issa. “Nggak,” Nida malah semakin tenang. Issa menariknya; berbelok ke sebuah kafe sederhana, yang masih tampak ramai. Dia mengajak adiknya itu duduk di dekat jendela terbuka, setelah memesan makan dan minuman. “Kenapa lebih banyak diam?” Tanya Issa. “Aku kan nunggu Kakak ngomong,” sesekali Nida menebarkan pandangan. 41
Sebagian besar pengunjung kafe itu adalah pasangan muda-mudi. “Biasanya kamu suka nyerocos,” kata Issa. “Gantian dong,” Nida membayangkan, pasti lebih menyenangkan kalau ada Tita juga. Issa tersenyum; menutupi kegusaran. “Kamu masih ingat Su’ Sinli?” Tanya Issa setelah terdiam agak lama. Saat itu karyawan kafe mengantarkan pesanan mereka, lalu kembali meladeni para pengunjung lainnya. “Masih,” jawab Nida, “beliau sehat-sehat saja kan?” “Ya…orang seperti beliau bisa hidup sampai dua ratus tahun,” kata Issa. “Amin,” sahut Nida. “Aku sempat berpikir kamu menggantikan aku,” kata Issa. “Kenapa?” Nida terkejut, terheran-heran. “Cuma gagasan iseng,” jawab Issa, “jangan dianggap serius,” dia melahap makanannya, begitu pun Nida. Selesai makan, mereka melanjutkan obrolan. Nida lebih banyak menyinggung tentang Raka, dan Issa mencermati cara bicaranya yang begitu menunjukkan keceriaan. “Teman yang bisa diandalkan,” kata Issa. Nida mengangguk. Pengunjung di kafe mulai berkurang, tinggal beberapa orang saja. Issa merasakan kenyamanan yang berbeda. Pikirnya, kadang-kadang suasana seperti ini memang sama saja dengan ketenangan. Tapi, tidak lama kemudian matanya tertumbuk pada seorang pengunjung yang baru saja datang…seorang pemuda berkepang. Pemuda itu duduk di bagian sudut, lima meja dari tempat Issa dan Nida. Sepintas dia membalas tatapan Issa, dengan raut beku. Issa sendiri cepat-cepat beralih pada Nida. Dalam sekejap saja, baginya, suasana berubah sangat drastis; udara dingin yang biasanya bisa diabaikan, tiba-tiba saja terasa menusuk-nusuk sekujur badannya. “Kak Eka…” gumam Issa dalam hati. Dia berusaha menenangkan sikapnya sendiri, supaya Nida tidak curiga. Tapi, jelas benaknya teraduk-aduk tidak karuan. Dia sama sekali tidak pernah mengira akan bertemu lagi dengan mentornya itu. “Kita pulang,” Issa beranjak ke kasir; membayar makanan dan minumannya, lalu dengan berusaha tenang menggandeng tangan Nida; meninggalkan kafe itu. Nida sama sekali tidak merasakan sesuatu yang aneh. Dia hanya tahu saat ini perhatian kakaknya lebih dari biasanya. Dia menggenggam tangan kakaknya lebih erat lagi.***
42
Bab 7 [1] Saat jam pelajaran pertama berlangsung, langit perlahan diliputi mendung. Pak Sardi membahas sistem pergerakan benda-benda langit: bintang-bintang; planetplanet; asteroid; komet; juga pola gerak galaksi. Tidak seperti biasanya, dia menjadikan pembahasan itu lebih mirip acara mendongeng, meskipun tetap saja sesekali dia menyinggung prinsip-prinsip fisika seperti hukum Kepler; teori geosentris; teori heliosentris, atau juga hukum gravitasi Newton untuk benda-benda antariksa. Pandangan Nida tertuju ke depan; tapi benaknya sedikit menyimpang. Di satu sisi dia merasa senang dan cukup berharap saat melihat Tita mengenakan jaket Issa, dan menyampirkannya dengan rapi di kursi. Jaket itu pemberian Su’ Sinli ketika Issa bergabung dengan Paguyuban Wushu Neigong tiga tahun lalu. Yang dia tahu, jaket itu sangat berarti bagi kakaknya, terutama jika memahami kalimat dalam aksara Tionghoa yang tersulam di lengan kanan —yang artinya: keselarasan, keseimbangan, ketenangan. Di sisi lain, dia masih penasaran dengan sikap kakaknya sejak kemarin — perhatian yang luar biasa, juga gagasannya waktu itu. Dia heran, kenapa tiba-tiba saja kakaknya mencetuskan gagasan seperti itu. Memang, bila ada kesempatan, dia bisa ikut kakaknya ke Neigong; melihatnya melatih beberapa belas anggota yang memilih kelas ortodoks —seperti Tai Chi, Bagua, dan metode-metode kuno lainnya, tapi dia tidak pernah berpikir untuk menggantikan kakaknya, itu jelas-jelas tidak mungkin. Dan sekarang terbersit dalam benaknya, kakaknya itu mungkin menyembunyikan sesuatu. Saat jam pelajaran kedua pun kepenasaran itu masih berkutat di benak Nida. Bahkan dia semakin terseret ke dalam dugaan-dugaan; menerka-nerka; seperti mencoba menghubung-hubungkan beberapa kejadian atau gelagat kakaknya yang menimbulkan tanda tanya. Dan, kemudian, dia sama sekali tidak mendapat kesimpulan apa pun. Jam istirahat pertama, setelah guru meninggalkan kelas, Raka cepat-cepat menghampiri Nida; menariknya menuju kantin. Teman-teman sekelas mereka hanya bisa melongo, terutama Rani, Dini, Tita dan Aga —seolah-olah itu sesuatu yang perlu dicegah, tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. “Ada apa sih?” Tanya Nida heran, sesampai di kantin. Raka, yang duduk di hadapannya, seperti sebelumnya, tidak melepaskan perhatian padanya. “Memangnya aku harus minta izin sama teman-temanmu?” Raka balik bertanya; 43
membuat Nida tertegun. “Kok ketus begitu?” “Habis, pertanyaanmu aneh,” jawab Raka. “Kamu itu yang aneh,” kata Nida. Saat itu Rani, Dini Tita dan Aga menyusul. Nida mengajak mereka bergabung, tapi teman-temannya itu lebih memilih duduk di tempat lain. Nida langsung merengut. “Maaf ,” kata Raka; menahan kejengkelan. “Kok tiba-tiba minta maaf? “ Nida bisa merasakan kejengkelan itu “Merepotkan kamu.” “Ngomong apa sih? “ Nida semakin heran. “Mereka pikir aku merebut kamu.” Nida baru mengerti, dan itu membuatnya tertegun, "jangan punya pikiran negatif.” "Teman-temanmu itu bisa ditebak.” "Kamu kok sinis begitu? Mereka kan teman-teman kamu juga,” “Aku tau situasi,” kata Raka. Nida menghela nafas, pada saat seperti itu dia pikir bisa membaca situasi — meskipun tidak seserius Raka, “sudah deh, masalah itu nggak usah dibahas, aku tambah bingung,” katanya. “Kan kamu yang mulai,” kata Raka. “Kamu ngajak bertengkar ya?” Raka terdiam; meneguk minumannya hingga tersisa setengah. Nida memperhatikannya lekat-lekat. “Kamu kenapa sih?” Tanya Nida lebih lembut. “Kamu nggak suka bersamaku?” Tanya Raka. Nida terhenyak; itu pertanyaan Raka yang paling aneh, “ya ampun, Raka… jangan membuatku bingung dong,” katanya. Raka tersenyum, sementara dadanya serasa terhimpit. Baginya, saat-saat memandang Nida adalah saat-saat yang menyenangkan —dan keinginannya untuk mengungkapkan itu hanya sampai di tenggorokan, perasaan yang disimpannya dengan rapi selama satu tahun. Dia berpaling, hingga beradu pandang dengan Aga. Aga yang lebih dulu menghindari tatapan itu. Raka kembali memandang Nida, “sepertinya aku salah pilih teman. Tapi, apa boleh buat,” katanya; beranjak, “aku yang traktir,” lanjutnya, kemudian kembali ke kelas. “Ka,” panggil Nida, tapi Raka tidak menoleh. Nida buru-buru menyusulnya. Sampai di kelas, Raka membuat sketsa di buku tulisnya. Nida duduk di sampingnya, “Ka…” “Ya…” Raka menoleh sebentar. “Kamu ingin membuatku kesal ya?” Tanya Nida. “Nggak…” “Jelas-jelas begitu.” “Jelas-jelas enggak,” Raka menggenggam tangan Nida, tanpa berani memandangnya. Nida sendiri terkejut; benaknya berkecamuk; dia semakin tidak 44
mengerti. Mereka tetap berpegangan tangan, hingga jam istirahat berakhir, dan teman-teman mereka masuk. Pemandangan yang semakin mengejutkan bagi anakanak kelas XI-5 itu…Nida dan Raka berpegangan tangan?!?!? Nida kembali ke bangkunya, sementara Rani menatapnya dengan sorot mata menyelidik. [2] Usai sekolah, Rani dan Nida duduk-duduk di depan ruang guru. Tadi mereka sempat melihat Raka duduk di taman, di depan laboratorium kimia. “Bukannya dia nunggu kamu?” Tanya Rani, memperhatikan Nida yang tampak gusar. “Siapa?” Nida pura-pura tidak peduli. “Raka.” Nida menghirup nafas dalam-dalam, berusaha meredam kegusarannya. Sampai latihan drama dimulai dan Rani ikut bergabung, Nida belum juga beranjak dari tempatnya. Sesekali, Rani memberi isyarat pada Nida agar dia segera menemui Raka. Lantas, Nida pun bergegas pergi ke taman —dengan perasaan berdebar-debar. Dan ternyata Raka sudah tidak ada disana. Tiba-tiba saja Nida merasa lesu, dia menelusuri koridor sampai bagian ujung, lalu bersandar ke dinding. Matanya menerawang, masih terlihat sekerumunan anak SMP di dekat tempat parkir. Perasaan itu sangat menghimpit, bahkan dia hampir saja menangis. Sekarang, dia tidak hanya penasaran, tapi juga agak cemas, dan dia tidak berani membayangkan lebih jauh. “Nid…” Raka muncul, mengejutkan Nida. Sorot mata mereka bertemu. Keduanya terdiam. “Kok belum pulang?” Tanya Nida, memecah kebisuan. Tapi itu sama sekali tidak bisa menampung perasaannya yang seperti teraduk-aduk. “Ada yang perlu aku sampaikan,” jawab Raka. “Apa sih?” Tanya Nida. Raka tidak segera menjawab, dia masih mencoba memastikan keberanian yang dikumpulkannya sudah cukup memadai. “Aku,” Raka menatap wajah Nida lekat-lekat, “aku…suka kamu,” katanya, langsung berpaling ke arah lain. Nida tersentak, selama beberapa saat dia merasa dirinya berubah jadi patung. Kemudian, dia kembali bersandar. Saat itu yang dia rasakan sepenuhnya berubah; sesuatu yang tadinya sangat mengganjal sekarang luruh. Raka kembali memandang Nida dan meraih tangan gadis itu, “aku benar-benar suka kamu. Selama satu tahun ini aku hanya bisa mencuri kesempatan untuk melihat kamu...kalau nggak aku katakan sekarang, aku nggak tahu apa akan ada kesempatan lain,” katanya. “Aku harus ngomong apa?” Tanya Nida gugup. “Terserah…” jawab Raka pasrah. Akhirnya, Nida tersenyum, “dasar,” 45
Raka melepaskan genggamannya. Tapi, tanpa disangka, Nida menarik tangannya; menggenggamnya erat-erat. Raka menghela nafas lega, “aku pulang dulu,” katanya. Nida menggeleng-geleng cepat. “Nanti sore aku mampir ke rumahmu,” kata Raka. Nida memandangnya, heran, “memangnya kamu tahu rumahku?” “Sejak kelas satu aku sudah tahu. Kamu tinggal sama kakakmu. Terus, Pak Handika itu ayah walimu. Kakakmu pelatih wushu di Neigong, betul kan?” “Ternyata kamu memang sudah lama memata-matai aku ya?” Nida terkesima. “Kenapa? Kamu nggak terima?” “Dasar jahat!” Nida memukul pundak anak muda itu. “Iyalah…aku pulang,” kata Raka. “Pulang sana!” Nida berlagak galak. “Lepaskan dulu tanganku,” kata Raka. Nida cepat-cepat melepas genggamannya, “jangan ge-er,” katanya. Raka tersenyum, lantas beranjak pergi. Sementara Nida dengan langkah riang kembali ke tempat latihan drama. [3] Di dalam mikrolet, Rani memperhatikan Nida yang terlihat lebih ceria dari biasanya. Temannya itu sedari tadi memandang ke arah lalu lintas di belakang mikrolet, sesekali tersenyum-senyum. Rani menebak itu pasti ada hubungannya dengan Raka, dan dia tidak pernah menyangka akan mendapati kejutan semacam ini. "Kamu nggak apa-apa kan?" Tanya Rani. "Rahasia." jawab Nida. “Disconnect… “ gumam Rani; merasa geli "Aku bisa dengar lo," kata Nida tanpa mengalihkan perhatiannya. "Menang kuis ya?" Tanya Rani. "Rahasia." "Atau kejatuhan durian?" Tanya Rani. “Rahasia.” “Kamu nggak punya kata-kata lain ya?" "Rahasia." Rani geleng-geleng kepala. Pikirnya, kalau setiap kali diajak bicara Nida hanya menjawab ‘rahasia’, itu sudah masuk kategori berbahaya. “Sama teman sendiri kok main rahasia-rahasiaan,” protes Rani setelah sampai di komplek tempat tinggal mereka. “Biar kamu penasaran,” kata Nida lalu menggandeng tangan Rani. Dia masih saja cengar-cengir. “Raka nembak kamu?” Tanya Rani, ragu-ragu. "Rahasia." "Ya ampun…kumat lagi deh," Sampai di pintu pagar rumah Nida, mereka berpisah. Rani meneruskan langkah, 46
sementara itu Nida masuk, melintasi pelataran dengan perasaan yang nyaris meluap-luap. Saat itu Issa baru saja selesai memasak. Melihat gelagat adiknya, dia jadi heran. Sebentar kemudian dia menuang teh, lalu membawanya ke beranda depan. Nida mandi, ganti pakaian, kemudian menata buku-bukunya, lantas pergi ke dapur; mencicipi masakan kakaknya. Setelah itu dia menuju beranda depan; duduk di samping kakaknya; masih saja cengar-cengir. “Kamu tidak mengalami ganguan kan?” Tanya Issa, melihat keceriaan yang berbeda pada diri Nida, dia bisa mencoba meredam kegusaranya sendiri. “Aku masih normal kok,” kilah Nida. “Terus kenapa disini, bukannya belajar.” “Cerewet,” Nida menyikut lengan kakaknya itu, “memangnya nggak boleh? Ini kan rumahku juga.” Issa mengacak-acak rambut adiknya itu, Nida cepat-cepat berkelit, perasaannya mulai berdebar —bertanya-tanya, apakah Raka benar-benar akan mampir. Hingga menjelang maghrib, Nida beranjak ke dalam; semangatnya mulai turun, dia mengambil air wudhu, lalu pergi ke kamarnya. Sementara itu di beranda depan, Issa masih duduk tenang, meskipun pikirannya belum terlepas dari kemunculan Eka. Berbagai pertanyaan membelitnya. Dia menarik nafas dalam-dalam; menghembuskannya pelan-pelan; dan mengulanginya beberapa kali. Sebentar kemudian pandangannya tertuju pada seorang anak muda yang datang dengan sikap tenang…Raka. “Halo,” sapa Raka. “Temannya Nida ya?” Tanya Issa, sangat ramah. Dia langsung menilai sosok anak muda itu, “duduklah, tidak usah sungkan,” lanjutnya. Raka pun duduk. “Teman sekelas?” Tanya Issa lagi. Raka mengangguk, “namaku Raka.” “Begitu…” Issa merasa tenang. Dia merasa anak muda itu bisa diandalkan, karena dia percaya pada penilaian Nida. “Kakak masih melatih wushu?” Tanya Raka. “Tidak ada yang lebih baik,” jawab Issa, “Nida sempat cerita tentang kamu.” “Yang jelek-jelek?” Issa tersenyum, “pantas saja dia bersemangat saat bicara tentang kamu,” katanya, memperhatikan sikap Raka yang tetap tenang. Kemudian dia beranjak ke tengah pelataran; melakukan beberapa gerakan pemanasan, lalu pasang kuda-kuda sambil mengacungkan tinju. Raka menghampirinya; pasang kuda-kuda yang sama, hingga tangan mereka saling bersilang. “Sambil menunggu Nida,” kata Issa. Raka tersenyum, “siapa yang mulai?” “Tamu mendapat kehormatan,” jawab Issa. Raka, serta merta, mencengkeram tangan Issa; bermaksud melakukan bantingan. Tapi Issa malah mengikuti arah gerakan itu, kemudian dengan cepat 47
melayangkan tendangan, tapi Raka berkelit mundur. “Masih giliran tamu,” kata Issa. Raka pasang ancang-ancang, lantas melakukan lompatan jauh dan langsung melancarkan beberapa pukulan. Issa berkelit kesana-kemari, meskipun itu membuatnya kaget —tidak menyangka anak muda itu bisa ginkang. Kini dia dan Raka hanya berjarak lima meter. Dan yang lebih mengejutkan Issa adalah pola serangan Raka tadi, sebuah pola yang setahunya tidak diajarkan di Indonesia, “Cha Chuan…” gumamnya. Dari sekian banyak orang wushu yang dikenalnya, hanya satu orang yang mempelajari Cha Chuan, yaitu Eka. Selagi Issa masih larut dalam kepenasaran, mendadak Raka menyerang lagi dengan teknik yang sama. Tapi, dengan sangat sigap, Issa menangkis berturut-turut, hingga kemudian dia berhasil mengunci gerakan Raka, dan melepaskannya setelah Raka tidak bisa bereaksi untuk melepaskan diri. “Bagus sekali,” Issa tersenyum girang, kembali ke beranda. Tepat saat itu Nida muncul dengan sikap cemberut. “Kalian ngobrol saja di dalam,” kata Issa. Raka tersenyum geli, “sama Nida saja takut,” katanya, membuat Issa tertawa. “Ngomong apa sih kamu?” Nida memelototi Raka. “Raka, kalau kamu tidak takut, bawa saja dia,” Issa tertawa. Nida langsung membalasnya dengan cubitan bertubi-tubi, sampai kakaknya itu minta ampun. Sebentar kemudian, setelah Nida menuang teh hangat untuk mereka bertiga, juga menyuguhkan sekotak biskuit, mereka berkumpul di balai-balai itu; ngobrol; bercanda, dan keakraban Raka dengan Issa begitu cepat timbul. Sesekali juga, Issa dan Raka beranjak ke pelataran, lalu saling beradu serangan. Melihat mereka berdua, Nida hanya bisa geleng-geleng kepala. Menjelang jam sembilan, Issa dan Raka sudah bertarung enam ronde —hampir melupakan Nida. “Kak, aku pulang dulu, lain kali kita bertanding lagi,” kata Raka. Issa menepuk pundak anak muda itu, “aku tunggu,” katanya, lalu sejenak menoleh ke arah Nida yang masih cemberut. “Aku tidak terlibat,” katanya pada Raka, kemudian beranjak masuk rumah. Raka menghampiri Nida, “aku pulang dulu,” “Terserah.” “Jangan ketus begitu, aku kan nggak salah apa-apa,” bujuk Raka. “Terserah.” Raka mencium tangan gadis itu. Nida terkesiap; pucat; gugup setengah mati, “hati-hati di jalan,” katanya. Raka mengangguk, lantas beranjak pergi, dan Nida mengantarkannya sampai pintu pagar. Nida mendapatkan perasaan lega yang luar biasa. Dia berbalik, kembali ke rumah. Selagi Issa di ruang depan, Nida menyibukkan diri di kamar; merapikan tempat 48
tidur dan buku-bukunya, lalu menyalakan radio. Sebentar kemudian terdengar pintu diketuk, “masuk,” kata Nida, masih bertopang dagu; mendengarkan alunan musik Kuttner. “Kamu beruntung sekali,” kata Issa. “Apa sih,” Nida berlagak cuek. “Dia itu pacarmu kan?” “Dia yang beruntung,” kata Nida. Issa tersenyum lega; menghampiri adiknya itu dan membelai-belai rambutnya, “kalian sama-sama beruntung,” katanya, lalu beranjak ke pintu. “Kak,” sergah Nida. Issa berhenti sejenak; memandang adiknya. “Kakak nggak keberatan kan?” Tanya Nida. “Aku menyukai anak itu. Dia bukan orang yang bisa diremehkan,” jawab Issa. “Iya, kalian sama-sama maniak wushu,” kata Nida. “Bukan karena itu. Dia bisa melepaskan kutukanku,” Issa tertawa. Nida langsung tahu maksud kakaknya itu, dengan kesal dia menyahut bantal dan melemparkannya, “dasar kakak jahat!” Issa masih tertawa, keluar dari kamar adiknya itu. [4] Satu beban pikiran Issa berkurang. Meskipun dia tidak bisa menilai Raka lebih jauh lagi, dia merasa bisa mempercayai anak muda itu. “Ada Pak Handika…ditambah Raka…” Issa duduk di balai-balai; bersandar; menghirup nafas dalam-dalam, “kamu benar-benar beruntung,” gumamnya. Di sisi lain hatinya, kegelisahan masih saja menggerogoti. Sebenarnya, sejak keluar dari kelompok Harimau dan meninggalkan Jakarta, dia tetap mengikuti perkembangan — terutama yang menyangkut Lingkaran Dalam. Yang dia tahu, menurut desas-desus, beberapa bulan kemudian sang bos besar —yang oleh kelompok Harimau disebut Baba Tua— melarikan diri ke luar negeri. Berikutnya, seluruh anggota Lingkaran Luar berturut-turut dibekuk kepolisian dengan bantuan dari pihak militer, sedangkan Lingkaran Dalam tetap tidak tersentuh. Tapi, dengan mengikuti berita, dalam dua tahun ini dia mendapati banyak berita kematian dengan pola yang sama —tidak ada bekas-bekas kekerasan, tapi organ-organ dalam para korban hancur. “Sekarang…” gumam Issa. Satu-satunya orang yang bisa membuatnya merinding adalah Eka. Dan, dia yakin, delapan puluh korban itu —yang semuanya anggota Lingkaran Dalam— adalah hasil perbuatan Eka…hanya Eka yang mampu melakukannya. Dengan rasa takut seperti itu, dia merasa usahanya selama ini benar-benar siasia. Segala bentuk ketakutan; setiap perasan remeh, dan setahap-setahap ketenangan bercampur baur dalam benaknya —seolah-olah menyeretnya dengan kasar ke masa lalu, dan dilemparkan kembali tanpa pilihan apa pun. Malam semakin larut. Issa merasakan desiran angin seperti menghunjam dirinya. Dia beranjak ke dalam; menuang teh panas, lalu kembali ke beranda. Saat itulah dia 49
melihat Eka berdiri di depan pintu pagar. Seketika, perasaan yang sangat tidak nyaman merambatinya. Dia meletakkan minumannya, tapi begitu melihat lagi ke arah tadi, Eka sudah tidak terlihat. Tiba-tiba saja, karena naluri, dia melesat cepat ke pintu pagar; membukanya dan menebarkan pandangan ke setiap penjuru…tidak ada siapa pun. Issa menutup kembali pintu pagar itu, lalu dengan gontai menuju balai-balai; meneguk sedikit minumannya. Sambil menatap pelataran, dia meredam keinginannya untuk menghancurkan sesuatu. Selepas tengah malam, Issa beranjak masuk; menggelar matras, lalu berbaring. Matanya terpejam, tapi pikiran dan kewaspadaannya tetap dia pertahankan dalam keadaan terjaga.***
50
Bab 8 [1] Beberapa hari berlalu, kegusaran masih berkutat di benak Issa. Tapi dalam beberapa hari itu dia selalu bisa menutupinya. Setidak-tidaknya, ada yang menjadi alasan baginya untuk menenangkan diri. Kadang-kadang, teman-teman Nida datang —Linda, Rossi, Rani, Dini, Tita, Aga dan Raka. Selagi yang lain belajar kelompok, Raka malah menghabiskan waktu bersama Issa — bertanding sampai beberapa ronde. Seperti hari itu, selepas maghrib, Rani, Dini dan Aga pulang lebih dulu, sementara Tita terpaksa tinggal; menuruti rengekan Nida yang uring-uringan karena Issa dan Raka masih saja melakukan sparing. “Mereka lupa sekarang sudah abad dua satu,” gumam Nida . “Ya biarkan saja, yang penting kan mereka nggak berbuat aneh-aneh. Lagi pula…kelihatannya Raka sudah berubah total,” kata Tita lalu menoleh pada Nida ,” kok bisa ya kamu merubah dia?” “Bukan aku,” kilah Nida . “Lho…bukanya kalian sudah jadian?” “Gosip.” “Terus, buat apa dia kesini?” “Ya bertarung sama kakakku, lihat sendiri kan,” kata Nida, setengah geram. Tita tersenyum geli, “dasar monyong,” katanya. Nida melotot galak,”kamu membela siapa sih?" Tita merangkul temannya itu, "ya ampun sayangku, jangan berlebihan dong, biasa saja kenapa sih?" "Harusnya di negara ini ada larangan wushu." Kata Nida . "Kok begitu? Itu kan namanya peraturan aneh.” “Biar tahu rasa.” "Marah sungguhan ya?” “Huh…“ “Sudah,” kata Tita, ”anggap saja masa kecil mereka kurang bahagia,” lanjutnya. Nida masih saja cemberut. Saat itu Issa dan Raka menyudahi pertarungan; sama-sama mengatur nafas. "Lain kali aku pasti mengalahkan Kakak," kata Raka; agak tersengal-sengal, sementara Issa sudah tampak lebih tenang. "Jangan seserius itu kita hanya main-main kan," Issa menepuk-nepuk pundak Raka, lalu mengajaknya ke beranda; minum teh yang sudah disiapkan Nida. "Sudah selesai?" Tanya Nida, berlagak ketus. 51
"Kedengaranya ada yang marah," kata Issa pada Raka. Seolah-olah tidak menghiraukan keberadaan Nida. Raka angkat bahu, “mungkin cuma perasaan Kakak.” “Awas kalian!” Issa dan Raka tertawa, selagi Tita menenangkan Nida . "Ya sudah, sebagai permintaan maaf, aku traktir kalian," kata Issa; memandang adiknya sambil menahan geli. Setelah melepas lelah beberapa lama, mereka pergi ke kafe yang pernah dikunjungi Issa dan Nida. Malam itu kafe tersebut lebih ramai daripada hari-hari biasanya. Nida dan Raka duduk di bagian dalam, sementara Tita dan Issa duduk di bagian teras. Di bagian lain teras itu sekompok pemusik unjuk kebolehan; memainkan lagu-lagu yang diminta para pengunjung kafe. Sesekali juga ada pejalan kaki berhenti sejenak untuk memperhatikan aksi mereka. Agak lama Issa memperhatikan Tita. Gadis itu tampak mulai kedinginan, meskipun sudah mengenakan baju rangkap. Issa melepas jaket dan memberikannya. Pikirnya, Tita tidak sekuat Rani bila menghadapi udara dingin, ”lain kali, sebaiknya kamu membawa jaket,”katanya Seperti sebelumnya, Tita agak gugup. Dia memakai jaket itu sambil menutupi salah tingkahnya, ”memangnya Kakak nggak merasa dingin?” “Jarang. Sekedar menuruti Nida. Kalau aku tidak menuruti anak itu, bisa-bisa dia ngomel sampai ke Timbuktu.” Tita tersenyum, lalu meneguk minumannya. Sesekali dia menengok ke tempat Raka dan Nida. Dia masih heran kedua anak itu bisa jadian, benar-benar di luar dugaan. Setahunya, Nida pernah menolak Ivan, kakak kelas mereka yang sekarang sudah kuliah. Lalu, dia juga menolak Randi, sekarang kelas tiga, yang jadi ketua ekskul karate. Dan beberapa orang lagi, semuanya memang sudah akrab dengan Nida sejak awal. Sekarang malah dia jadian dengan Raka, siapa yang tidak terkejut…itu seperti sesuatu yang langka. “Kakak akrab sama Raka ya?” tanya Tita . “Begitulah,” Issa memperhatikan ekspresi gadis itu —kelihatannya mencemaskan sesuatu, “kenapa?” “Dia itu siswa paling berbahaya di sekolah kami.” “Ya, Nida pernah cerita.” “Kakak nggak merasa aneh?” “Apa yang aneh, bukannya pertanyaanmu sediri yang aneh?” Tita tercenung. Dia melihat sikap Issa biasa-biasa saja, bahkan dia merasa pemuda itu membela Raka, “aku nggak punya maksud…” “Aku mengerti,” potong Issa, “kamu mencemaskan Nida kan?" Tita mengangguk. "Raka bisa diandalkan. Ada dia, aku tidak perlu mencemaskan Nida lagi.” “Kenapa?” tanya Tita bingung; penasaran. “Kamu kan sekelas sama dia, harusnya kamu yang lebih kenal.” “Aku sih nggak suka sama cowok yang gampang pakai cara kekerasan,” kata 52
Tita agak berhati-hati. “Kenapa tidak melihat dari sudut lain?” “Nggak ngerti ah,” Tita kembali memperhatikan para pemusik, yang saat itu sedang memainkan lagu Moon River, “eh…lagu itu…” gumam Tita. “Itu lagu kesukaan Su’ Sinli,” kata Issa. Tita menoleh, “siapa?" "Sesepuh di tempatku melatih wushu." "Kakak sendiri suka lagu apa?" "Yang dulu pernah kamu nyanyikan." Tita merasa dipuji, lagi-lagi salah tingkah —seolah-olah kepalanya hampir membesar, "itu lagunya Amy Grant." "Begitu ya, kamu mau menyanyikannya?" Tita terkesiap, "eh…sekarang?” “Sepuluh tahun lagi,” jawab Issa. "Yee, marah." "Cuma gagasan iseng, jangan tersinggung," Tita terdiam, tiba-tiba muncul perasaan berdebar-debar yang aneh. Hingga sebentar kemudian dia beranjak ke tempat para pemusik, minta kesempatan untuk menyanyikan sebuah lagu. Mereka menyambut dengan gembira, setelah Moon River berakhir. Mereka mengiringi Tita bernyanyi. There will never be another Who will love me like You. There will never be another Who could hold me, mold me. There will never be another Who could love me purely. No, there will never be another Who has loved me like You. And I know that there will never be another love Who could ever be the love that You are. 'Cause You had so much to lose, but still You gave it up For your scars. But that's the way You are. ….......... Setelah penampilan itu selesai, para penunjung bertepuk tangan meriah, dan tepuk tangan Nida yang paling kencang. Tita buru-buru kembali ke tempatnya; tersipu-sipu, lebih-lebih setelah melihat Issa tersenyum-senyum. “Jangan ge-er, itu lagu rohani,” Tita sok galak. “Aku tahu,” kata Issa lalu meneguk minumannya, “tidak apa-apa kamu keluar sampai malam?” “Nggak masalah, nggak ada yang protes kok.” 53
“Ayahmu?” “Nggak.” “Saudara?” “Aku anak tunggal.” “Atau, bekas pacar…” "Kok tanya gitu?” Tita kesal. “Atau pengemar rahasia?” “Kak, jangan tanya yang aneh-aneh dong,” Tita protes; bersungut-sungut, “dasar sok iseng, nggak ada kerjaan lain ya?” Issa tertawa geli, “lama-lama, kamu mulai mirip Nida. ” "Enak saja." "Kalau begitu jangan cemberut, " Issa menghela nafas panjang, "aku cuma cari bahan obrolan." "Iya, tapi jangan tanya yang aneh-aneh." Issa tersenyum lega saat menatap gadis itu lekat-lekat; dia mendapat tambahan semangat, “maaf.” “Kan bisa kakak cerita tentang diri kakak sendiri,” kata Tita lebih lembut. “Serius?” “Iya, tapi jangan ge-er.” “Begitu?” Issa diam sejenak, “aku ini kakaknya Nida.” Dengan gemas Tita langsung mencubit tangan pemuda itu, “sudah tau,” katanya kesal. “Hmm…Nida adikku,” kata Issa. Serta merta Tita mencubit lebih keras. Sebentar kemudian Issa bisa melepaskan diri dari cubitan itu. "Kak, aku serius." “Menurutmu aku tidak serius?” Tita tertegun, Issa memang tidak kelihatan sedang iseng. Tapi itu malah membuatnya merasa ada ganjalan aneh; sesuatu yang pelan-pelan menimbulkan rasa tidak nyaman. Lebih dari itu, dia benar-benar merasa Issa menyembunyikan sesuatu. “Nggak ada bahan lain ya? ” “Ada. Aku dan Nida saudara kandung.” “Ya ampun…“ Tita menghentak-hentak kesal, ”kakak ingin aku mati kesal ya?” Issa tersenyum, meskipun apa adanya, dia sadar remaja seusia Tita bisa saja salah paham, “kadang-kadang, kita perlu melakukan sesuatu dengan cara berbeda.” Tita mendesah, “iya, aku ngerti. Tapi jangan buat aku pusing dong." “Bukan begitu, kadang-kadang aku sendiri tidak bisa seperti itu.” “Sebenarnya Kakak mau ngomong apa sih?” “Pernah mengenang masa lalu?” “Sering sih, tapi nggak sampai kelewatan,” jawab Tita. “Bagus juga…” “Apanya?” Tita terheran-heran. “Yang seperti itu.” 54
“Memangnya Kakak nggak seperti itu?” “Tiap orang punya cara yang berbeda.” “Cara kakak seperti apa?" "Bertahan." "Maksudnya?" "Lupakan saja," Issa tersenyum, " Nida pernah bilang, kamu putus sama Andri, kenapa?" Tita nyaris terpekik, langsung mencubit tangan Issa sekeras-kerasnya. Issa hampir saja melonjak, lalu mengusap-usap tangannya. "Yang itu jangan dibahas dong," protes Tita, "kakak memang menyebalkan, super super menyebalkan." “Dia selingkuh ya?” “Masa bodoh!” Tita berpaling dengan kesal. “Atau ada alasan lain?" "Masa bodoh! Pokoknya masa bodoh!” Issa memandang gadis itu lekat-lekat, sebuah ketenangan yang berbeda mulai merambat di sekujur tubuhnya. Perasaan menyenangkan itu sama saja dengan yang dia dapatkan selama bersama adiknya. Di sisi lain, pada saat yang sama, dia pun mulai mewaspadai perasaanya sendiri —pikirnya, akan semakin berbahaya bila perasaan itu mulai berubah lebih dalam lagi. “Jangan tersingung aku hanya bercanda,” kata Issa. “Nggak lucu.” “Iya, mungkin aku tidak punya bakat melawak.” “Sekali nggak lucu tetap nggak lucu.” Issa tertawa, lalu menarik nafas dalam-dalam, dia malah semakin menyukai sikap gadis itu, dalam keadaan apa pun. Sepertinya gadis itu, dengan cara tertentu mendorong kegelisahannya; mendorong gambaran-gambaran masa lalu ke tempat yang tidak perlu dikuatirkan. “Ngobrol denganmu, seperti ngobrol dengan adikku sendiri. Sama-sama menyenangkan,” kata Issa, saat itu Tita berpaling ke arahnya; mereka saling pandang. “Jadi begitu? Kakak menganggapku seperti adik sendiri?” tanya Tita dengan perasaan yang tidak enak. “Kenapa? Tidak mau?” Tita tertunduk; menutupi kegugupan, “terserah Kakak deh,” katanya, menahan kesal. Mereka di kafe itu sampai menjelang jam sembilan, kemudian pergi. Sebelum berpisah arah, Issa meminta Raka untuk mengantarkan Tita sampai ke rumahnya. Melihat sikap Issa yang begitu perhatian pada Tita, Nida benar-benar senang dan berpikir tidak lama lagi rencananya akan berhasil. [2] Malam itu, setelah duduk-duduk sebentar di balai-balai, Issa menggelar matras; berbaring dengan berbantal tangan. Dia ingin segera terlelap agar perasaan tenang 55
yang didapatkannya dari Tita bisa dipertahankan. Memang, sesekali dia terbawa kembali ke masa remajanya yang kini disesalinya. Dia sadar waktu terus bergerak; hari-hari terus berganti, dan tidak ada kemungkinan untuk melenyapkanya. Tapi saat mengingat obrolannya dengan Tita, dia malah menganggap selama ini dirinya tidak melakukan apa-apa selain lari. “Bertahan…” katanya dalam hati, sambil mencela dirinya sendiri. Pandangannya tertuju pada langit-langit; terpaku pada garis-garis simetris, yang seolah-olah menghimpitnya pelan-pelan. Perasaan ini lantas berangsur surut begitu sosok Tita menyeruak di benaknya. Dia mencoba membiarkannya tak lebih dari alasan untuk menenangkan diri, tapi sosok itu malah merambat ke rongga-rongga dada. Sebentar kemudian dia bangkit; beranjak ke beranda depan. Saat itu mulai tampak kabut yang sangat tipis, dan bergerak begitu lembut. Dia bahkan bisa melihat kepulan setipis kabut setiap kali menghela nafas. Lalu, ketika menghirup nafas dalam-dalam, rasanya seperti menghirup es; menghirup kebekuan. Hanya saja, kali itu dia tidak merasakan gelagat yang aneh. Sambil mempertahankan ketenangan, dia beranjak ke pelataran. Beberapa peronda melintas, mereka menyapa Issa, kemudian melanjutkan tugas. Issa tertegun, teringat saat bersama-sama Eka menyatroni berbagai tempat. Hanya beberapa kali dia melihat Eka menghabisi orang-orang, tapi setelah itu dia hanya mendengarnya dari omongan-omongan di kalangan Lingkaran Luar. Situasi itu; kedekatannya dengan Eka, lantas membuatnya ditakuti juga di Kelompok Harimau. Pelan-pelan dia meredam gambaran-gambaran itu, yang tak urung mulai membuatnya merinding, beberapa kali dia menarik nafas dalam-dalam; dan menghembuskannya pelan-pelan. Setelah itu, sejurus kemudian, dia melakukan berbagai gerakan menyerang —pukulan; tendangan dengan cepat dan mengalir. Pada saat semacam itu, gambaran-gambaran masa lalu bukannya tersingkirkan, malah menggelayutinya. Tapi perasaan merinding yang tadi mengiringinya, berkurang sedikit demi sedikit. Dengan banyak bergerak; mengerahkan tenaga, tidak hanya sekujur tubuh yang terasa hangat, tapi merasuk juga ke dalam hati. Dia berhenti sebentar; meresapi kehangatan itu, lalu kembali melancarkan seranganserangan cepat, diselingi lompatan kesana-kemari. Keringatnya mulai bercucuran, hingga dia berhenti. Sejenak mengatur nafas, sambil menengadah ke arah jendela kamar Nida. Lampu kamar adiknya itu masih menyala. Dia menghela nafas lega. Lalu beranjak ke balai-balai; duduk berselonjor. Sedikit demi sedikit hawa dingin kembali masuk. Issa membiarkannya, sambil tetap mempertahankan kewaspadaanya. Pikirnya walaupun Eka tidak akan mengusik Nida, bagaimanapun juga sosok dan sepak terjang mentornya itu benarbenar telah membuat retreatnya sejauh ini sia-sia —jadi seperti langkah yang sepenuhnya membuang-buang waktu. Saat kesenyapan agak mencekat Issa tersentak kaget; merasakan desiran yang sangat mengganggu, dengan sigap dia melompat ke pelataran; menebar pandangan ke setiap penjuru, tapi tidak ada apa pun yang mencurigakan. Hingga kemudian 56
ketika berbalik, pandangannya tertumbuk ke atap rumah, disitu Eka duduk sambil menatap tajam. Keduanya saling pandang beberapa saat. Setelah menenangkan diri Issa pasang ancang-ancang, lalu mengerahkan tenaga, berkelebat ke atap rumah. “Masih bisa…” Kata Eka dengan suara datar, “aku pikir kau cuma bisa sembunyi,” lanjutnya. “Aku tidak bersembunyi,” kata Issa, lantas duduk. “Terserah.” “Kenapa kau menyatroni rumahku?" Tanya Issa. “Tidak basa-basi,” kata Eka sinis, "kau kira aku ingin membunuhmu?” “Anggota Lingkaran Dalam tinggal kita berdua, yang lain sudah kau habisi.” “Khayalanmu lumayan juga.” "Hanya kau yang bisa melakukannya,” kata Issa. “Baba Tua tidak goblok,” Eka menyulut sebatang rokok, “kita punya urusan yang sama.” “Aku sudah keluar dari Kelompok Harimau.” “Goblok, jalan keluar cuma satu. Lihat dirimu, kau tidak pernah keluar dari Kelompok Harimau,” kata Eka. Issa tidak mengerti, bahkan tidak bisa menebak maksudnya. “Ada pengkhianat di Kelompok Harimau,” lanjut Eka. “Aku tidak berkhianat.” “Apa gunanya membela diri seperti itu? Lingkaran Luar hancur, dan Lingkaran Dalam tidak ada gunanya lagi," Eka menghisap rokok dalam-dalam. Issa tertegun, dia tetap yakin Ekalah yang menghabisi para angota Lingkaran Dalam, "aku sudah tidak punya urusan dengan masalah Kelompok Harimau." "Kau bisa bicara begitu kalau kau anggota Lingkaran Luar. Pakai otakmu," kata Eka. “Tato memang tidak bisa aku hilangkan. Tapi itu bukan berarti aku masih anggota Kelompok Harimau.” Eka menatap Issa lebih tajam, lalu berpaling lagi, “sudah aku bilang, pakai otakmu. Kau pikir Kelompok Harimau kumpulan preman kelas teri? Kau tidak bisa mundur seenak perutmu.” “Apa yang kau inginkan?" "Sama seperti yang kau inginkan.” “Aku tidak berkhianat…” “Itu urusanmu sendiri,” Eka mengeluarkan sesuatu dari balik jaketnya —sebuah amplop yang cukup tebal. Dia meletakannya di samping Issa, “tiga minggu lagi kau ikut aku ke Jakarta,” katanya. “Untuk apa?” Tanya Issa. “Sudah aku bilang, sama seperti yang kau inginkan,” Eka membuang rokoknya, lalu berkelebat pergi; hingga lenyap di kegelapan. Issa menggenggam amplop itu, lantas melompat turun ke pelataran. Kemudian dia masuk ke rumah; memeriksa amplop itu, yang ternyata berisi setumpuk uang 57
dollar. Kemunculan Eka tadi malah membuatnya penasaran; bertanya-tanya. Dan saat itu juga dia tidak melihat peluang untuk menghindarinya. Setelah menghela nafas panjang, dia melakukan meditasi —berharap itu masih ada gunanya walaupun itu hanya secuil.***
58
Bab 9 [1] “Nid,” seru Tita, menyusul Nida dan Rani, menelusuri koridor menuju deretan ruang kelas dua. Mereka berhenti sebentar di ujung koridor, tak jauh dari perpustakaan. "Kok nggak sama-sama Dini?" Tanya Nida. “Dia absen, sakit,” jawab Tita sambil menunjukkan sepucuk surat, “oya, jaket Kak Issa baru aku cuci, paling nanti sore sudah kering,” lanjutnya. Nida dan Rani tampak terkesima, “dia harus dicurigai,” Nida pada Rani, lalu menarik temannya itu ke kelas. Tita menyusul mereka sambil menggerutu, “heh, dasar nggak sopan!” Sampai di dalam kelas, Nida dan Rani masih menahan senyum; membuat Tita semakin mendongkol dan penasaran. “Kelihatannya aku kehilangan satu pekerjaan,” kata Nida pada Rani. “Apa?” Tanya Rani. “Mencuci jaket kakakku,” jawab Nida, lebih dengan nada bangga. Rani tertawa, sebaliknya Tita malah geram. Dia langsung mencubit pinggang Nida hingga gadis itu terpekik. “Awas ya!” Ancam Tita. “Pagi, anak-anak,” Bu Andini memasuki kelas; membuat para muridnya serempak tenang. Dia meletakkan perlengkapannya di meja, lalu mencermati muridmuridnya satu per satu, “kelas ini kok kesannya lebih segar ya, apa saya yang salah masuk kelas?” Anak-anak kelas XI-5 itu tersenyum-senyum —berbaur dengan sedikit rasa heran. Bagaimanapun, pujian semacam itu membuat kepala mereka agak mengembang. Dan satu-satunya yang tidak merespon adalah Raka…seperti biasa. “Ya, ternyata saya tidak salah masuk kelas,” kata Bu Andini; tersenyum, setelah melihat sikap Raka yang begitu masa bodoh. Sebentar kemudian dia memulai jam pelajarannya; menuturkan sepintas tentang sebuah peristiwa, lalu meminta seisi kelas itu untuk memandangnya dari sisi proses belajar bahasa dan sastra. Tiap kali ada kesempatan, Raka selalu mencuri pandang ke arah Nida, meskipun gadis itu tidak juga menoleh. Justru Rani yang memergokinya. Dia mencoba memberi Nida isyarat, tapi temannya itu malah semakin cuek. Rani mendesah, sejenak menoleh ke arah Raka, lantas kembali menyimak pelajaran. Sepanjang jam pelajaran itu Rani merasakan sebuah keriangan yang agak 59
janggal —memikirkan Nida, Raka, dan akhirnya Tita. Yang menjadikannya agak janggal adalah karena tiba-tiba saja dia teringat sosok si pemuda berkepang. Dia merasakan ada keanehan. Namun perasaan ini segera disisihkannya agar fokus pada pelajaran tetap terjaga. Di tengah jam pelajaran —saat sudah berlangsung tiga puluh menit lebih— Raka beranjak maju ke depan. Dengan nada agak lirih dia minta izin keluar. “Jangan lama-lama,” kata Bu Andini, meskipun dalam hati dia malah bertanyatanya apakah jam pelajarannya membosankan. Dia sudah hafal tingkah laku Raka, terutama bila mengikuti pelajaran yang mulai membosankan. Nida sendiri begitu melihat sikap Raka merasa tidak enak. Dia yakin anak itu pasti sedang kesal. Tapi dia terpaksa menahan diri —menahan keinginannya untuk menyusulnya. “Tuh kan,” gumam Rani lirih, tapi masih terdengar oleh Nida. “Cuek,” Nida berpura-pura. Perhatiannya pada pelajaran mulai berkurang. Ganjalan-ganjalan yang tadinya bisa dia sisihkan, sekarang mencuat lagi. Di saat seperti itu, ada sisi tertentu dalam dirinya yang jengkel pada Raka. Lantas dia membuat tulisan semrawut di bindernya. Rani memperhatikan temannya itu dengan perasaan gusar. Hingga sebentar kemudian Nida bangkit; minta izin keluar. Bu Andini hanya mendesah; mengangguk-sangguk. Nida pun segera pergi keluar; mencari Raka. Dia mencari ke perpustakaan, tapi yang ada di situ hanya beberapa anak kelas lain. Lalu ditengoknya mushola, di seberang perpustakaan… jelas-jelas tidak mungkin Raka di mushola, dia penganut Budha Maitrea. Kantin juga sepi. Akhirnya dia pergi ke warung di bagian belakang komplek, di belakang deret gedung milik SMPN 4. Ternyata Raka memang ada di tempat itu, nongkrong di teras, di samping sebuah garasi tua sambil merokok. Nida menghampirinya; duduk di sebelahnya, “kamu kenapa sih?” Tanya Nida sambil menyahut rokok Raka dan membuangnya. Raka menatap gadis itu sebentar. “Nggak boleh merokok!” Tegas Nida. “Memangnya ada larangan?” Kata Raka. “Eh, dinasehati baik-baik,” Nida melotot galak. “Kenapa kamu kesini?” Tanya Raka. “Harusnya aku yang tanya begitu,” jawab Nida, “pertanyaanku belum kamu jawab.” “Yang mana?” Nida menjawabnya dengan cubitan. “Hari ini kamu kelihatan aneh...” kata Raka. “Aneh bagaimana?” Nida terheran-heran. “Kamu jadi agak menyebalkan,” kata Raka tanpa berani memandang Nida. “Enak saja,” spontan Nida mencubit Raka keras-keras, hingga anak muda itu berkelit sambil mengusap-usap lengannya, “kamu tuh yang menyebalkan, dasar...” omel Nida. 60
“Aku nggak apa-apa kok, tenang saja,” kata Raka. Nida meraih tangan Raka, “ke kelas yuk,” katanya lembut, “aku nggak suka kalau kamu bolos lagi,” lanjutnya. “Iya, nanti aku susul,” kata Raka. Nida melepaskan genggaman tangannya; beranjak berdiri, “aku kelas dulu ya...” katanya, masih menatap Raka yang sebentar kemudian balas memandangnya sambil tersenyum singkat dan mengangguk. Setelah itu Nida kembali ke kelas. [2] Jam istirahat“Lagi marahan ya?” Tanya Rani pada Nida, di kantin bersama Tita dan beberapa teman mereka. “Nggak kok,” kilah Nida, lalu memperhatikan teman-temannya yang membahas tugas. Tadi, di jam pelajaran kedua, Pak Sardi memberikan tugas kelompok. Masing-masing kelompok diminta membuat sketsa rangkaian seri dan paralel, lengkap dengan rincian pengukuran kuat arus; tegangan dan hambatan. Selain itu mereka juga diminta membuat percobaan yang rapi agar hasilnya bisa dimasukkan ke dalam grafik. “Jangan bohong,” desak Rani, dan Nida masih berkilah. “Eh, Ta,” Nida beralih pada Tita, “anggota kelompok kita siapa saja?” Tanyanya, membuat gadis itu terkesiap, karena sedari tadi melamun. “Ya?” Tita balik bertanya. “Ampuuun...kamu baru sampai di planet ini ya? Anggota kelompok kita siapa saja, sayangku…" "Ya cuma kita berlima," kata Tita. Rossi dan Linda mengiyakan. "Kita kerjakan di rumah kamu saja ya?” Tanya Rossi, “sekalian nginap juga,” lanjutnya. “Boleh,” kata Nida, “tapi fasilitasnya minim lo.” "Gampang, kalau ada apa-apa, rumahmu kan bisa dijual," kata Linda. "Sembarang, memangnya barang bekas," balas Nida, lalu sejenak memandang Tita, "satu lagi, jangan ganggu kakakku ya." Tita yang merasa diperhatikan langsung melotot galak, membuat Rani tersenyum geli. “Kenapa?” Tanya Rossi. “Ada deh,” jawab Nida, berlagak menyimpan rahasia besar. Tita menyadari itu, dirinyalah yang menjadi sasaran keisengan Nida, sampai-sampai, rasanya, dia ingin sekali mencubit temannya itu tanpa ampun. Tita, sambil menahan gemas, meneguk minumannya. Saat itu, tiba-tiba saja pandangannya tertumbuk ke arah teras, dekat ujung atas anak tangga. Di sana tampak seorang pemuda menatapnya sekilas, juga menatap ke arah Nida yang membelakanginya. Dia langsung ingat, pemuda itu yang pernah dilihatnya di depan pintu pagar rumah Nida, yang lantas lenyap begitu saja. 61
“Nid...orang itu...” suara Tita sedikit gemetar; menambah aneh raut wajahnya yang mendadak pucat. Spontan, Nida langsung menoleh ke arah yang ditunjuk Tita. Rani, Linda dan Rossi ikut melihat ke arah itu —penuh rasa heran. Sebentar kemudian mereka saling pandang, lalu memperhatikan Tita, “ada apa sih?” Tanya Rossi. “Cowok berkepang,” gumam Tita —berusaha menekan kegusarannya sendiri. “Terus, kenapa kamu jadi panik begitu?” Tanya Linda. “Aku masih ingat wajahnya. Dia yang pernah mengawasi rumah Nida,” jawab Tita. “Jangan berlebihan ah. Orang seperti itu kan ada dimana-mana, bisa muncul kapan saja,” kata Nida. Tita menghela nafas panjang, lalu menghabiskan minumannya. Saat jam pelajaran berikutnya berlangsung, kegusaran aneh itu masih saja mengganggu benak Tita, perasaan yang menjalar pelan ke bagian tertentu hatinya, dan menimbulkan rasa yang lebih aneh lagi. Bahkan Tita merasa itu adalah perasaan yang sangat tidak enak. Sementara itu, ternyata Nida memendam perasaan gusar yang sama. Tadi dia sempat melihat sosok yang dimaksud Tita. Satu-satunya tanda yang dia tangkap adalah bagian belakang jaket orang itu. Jaket berwarna dasar putih kusam; lalu ada lilitan kain biru tua di lengan sebelah kiri, dan akhirnya…tulisan di bagian punggung, dalam aksara Tionghoa. Dia tidak seberapa kenal aksara Tionghoa, tapi khusus empat kanji itu dia yakin tidak salah baca: Tien Lung Ti Hu. Nida tahu betul makna kalimat tersebut…naga hanya ada di langit, tapi hanya harimau yang merajai bumi. Dia mendesah lirih. Dia tahu betul, naga hanyalah sebuah mitos dunia, tapi harimau? Itu adalah sebuah kenyataan. Ya...itu adalah jaket yang hanya dimiliki anggota tertentu Kelompok Harimau, dan dia masih ingat kakaknya tetap menyimpan jaket yang sama persis. Pikiran Nida seperti kepingan mengambang di ruang hampa udara. Untuk sekejap —benar-benar sekejap— dalam wilayah benaknya tidak ada kelas; tidak ada teman-temannya; tidak ada Raka...yang ada hanya cuplikan ingatan yang selama ini sudah disingkirkannya. Seperti rentetan klip yang tersorot dari proyektor, di benaknya terlintas bagaimana Issa membentak dan menamparnya. “Cepat sembunyi!” Bentak Issa waktu itu, ketika mereka masih tinggal di Jakarta. Nida melihat kakaknya menghunus katana, selagi terdengar suara riuh di luar dan sepertinya ada yang berusaha mendobrak masuk. Dalam kepanikan, Nida cepat-cepat pergi ke kamarnya di lantai atas. Dan beberapa menit kemudian dia mendengar keributan; suara senjata-senjata tajam beradu; dan jeritan-jeritan sekejap. Hanya berlangsung sebentar. Setelah itu sunyi agak lama. Tapi dia mendengar suara kendaraan berhenti di depan rumah. Dengan hati-hati dia menuju jendela; melongok ke luar. Hingga dari situ dia bisa melihat sekumpulan laki-laki sangar menggontong mayat-mayat ke dalam truk, lalu pergi. Tidak ada yang bisa meramalkan kapan kericuhan akan reda. Jakarta saat itu 62
benar-benar diliputi kekacauan. Pertikaian masal di berbagai kawasan; perampokanperampokan brutal…dan banyak kalangan meragukan pihak aparat yang seolaholah enggan turun tangan. Yang jelas, dia mendapati kakaknya berlumuran darah. Rumah mereka berantakan dan disana-sini ada bercak-bercak, bahkan genangan darah. "Besok kita pergi," kata Issa waktu itu. Nida gemetaran bukan main, lalu menghambur memeluk kakaknya. “Kak...sudah cukup, aku nggak mau kehilangan Kakak.” Saat itu segalanya sudah berangsur gelap. “Nida, Nida...” suara ini mulanya terdengar seperti dengungan, lalu semakin jelas. Nida membuka mata; mendapati dirinya terbaring di kamar UKS. Di sampingnya ada Rani dan Tita. "Aku di UKS ya?" Tanya Nida agak ragu, sambil bangun. "Iya," angguk Rani. "Kamu sudah setengah jam pingsan," kata Tita. Rani mengusap-usap punggung Nida, “kalau sakit, mendingan kamu nggak usah masuk saja,” katanya cemas. “Aku nggak sakit kok,” kilah Nida. “Bohong, sampai pingsan begitu,” kata Tita. “Terserah aku kan,” Nida mencoba meredakan suasana, dia tidak ingin kedua temannya itu larut dalam kecemasan. “Dasar, masih sempat bercanda,” Rani mengacak-acak rambut Nida. "Raka nggak ikut pelajaran ya?" Tanya Nida. "Nggak," jawab Rani, "benar-benar egois," gumamnya. “Nggak apa-apa, dia kan punya urusan lain,” kata Nida. "Eh, bukannya kalian lagi marahan?" Tanya Tita. “Nggak ah, gosip,” bantah Nida. “Nggak bohong?” Desak Tita. “Sumpah,” kata Nida, memperlihatkan raut wajah seimut mungkin. “Ciee, begitu saja pakai sumpah-sumpahan. Sumpah pramuka?” Goda Rani. “Bukan, sumpah kopasus,” kata Nida. Rani dan Tita tersenyum, agak merasa lega. “Aku balik ke kelas ya,” kata Tita. Nida mengangguk. “Aku juga. Kamu istirahat saja disini,” kata Rani beberapa saat kemudian, lalu menyusul Tita. Nida menarik nafas dalam-dalam; menghembuskannya pelan-pelan, dan mengulanginya beberapa kali. Ini hanya sedikit meredam kekacauan yang merambati batinnya. Bagaimanapun, kalimat Tien Lung Ti Hu itu memicu segala macam perasaan yang sangat tidak nyaman. Bahkan dia takut bukan main. “Aku nggak akan memaafkan Kakak...” gumam Nida. Dan dengan sepenuh hati dia berharap kakaknya tidak melanggar sumpahnya sendiri. Meskipun begitu, di suatu titik hatinya dia tidak bisa menyangkal bahwa sekali terlibat dunia hitam, maka selamanya tidak akan bisa keluar —yang bisa dilakukan hanyalah bertahan atau 63
tanpa henti berusaha menghindar. Sama seperti tato di punggung kakaknya...yang akan terus di tempatnya, tidak mungkin dilenyapkan. Dia sama sekali tidak pernah menduga ketakutan itu akan muncul lagi. Baginya, Kelompok Harimau jauh lebih jahat daripada iblis, “nggak akan kumaafkan,” gumamnya berulang-ulang, lalu berbaring. Pandangannya menerawang ke langitlangit. Bayangan harimau tidak juga menyingkir —harimau dalam sub spesies yang sama sekali berbeda: harimau yang hanya memiliki dua macam insting, insting untuk diam dan insting untuk menyerang. Dia benar-benar membenci citraan itu, yang begitu tidak masuk akal, namun juga tidak bisa disangkalnya. Di saat seperti itu dia ingin sekali memukul kakaknya bertubi-tubi —kalau perlu tidak usah memberi ampun. "Nida," Bu Maria muncul di ruangan itu; menengok keadaan Nida. Dia tersenyum lega mendapati muridnya itu sudah siuman. Nida bangun lagi, "Maaf, Bu," kata Nida. Bu Maria menarik kursi ke dekat tempat tidur, "kenapa minta maaf?" Tanyanya penuh perhatian. "Gara-gara saya jam pelajaran Ibu jadi terganggu," kata Nida. Bu Maria membelai-belai gadis itu, "kamu membuat orang lain jadi panik. Sampai pingsan begitu...kenapa? Sedang memikirkan apa?” “Tidak memikirkan apa-apa kok,” jawab Nida. “Nid,” Bu Maria merengkuh lengan Nida, menatapnya lurus, “bicara saja terus terang. Mungkin Ibu bisa membantu kamu,” bujuknya. Nida menggeleng-geleng. Perasaan yang begitu membelit dan tidak mengenakkan itu tidak bisa terlontar keluar. Sepertinya, ganjalan itu lebih memilih untuk menusuk-nusuk batinnya. Dia lantas berpikir Kelompok Harimau pastilah tipe iblis yang benar-benar tidak terbayangkan. Dan saat itu juga, dalam hati dia mengutuk Kelompok Harimau. Bu Maria menghela nafas panjang, “baiklah, Ibu tidak akan memaksa kamu,” katanya, “tapi bukan berarti kamu bebas dari PR lo,” lanjutnya sambil tersenyum. Nida balas tersenyum, “tidak apa-apa kok, kalau tugasnya tidak berat,” katanya, sedikit manja. “Iya, iya. Nanti saja waktu istirahat, Ibu tunggu kamu di ruang guru.” Nida mengangguk. Setelah itu Bu Maria beranjak kembali ke kelas. Nida berbaring lagi; berusaha keras menenangkan dirinya sendiri, meskipun dia sadar usaha apa pun tidak akan bisa memusnahkan ganjalan itu. [3] Usai sekolah —selagi Rani mengikuti latihan drama— Nida, Tita, Linda dan Rossi membahas rencana penyelesaian tugas kelompok. Mereka memutuskan untuk menguji maket rangkaian listrik berdasarkan spesifikasi komponenkomponennya. “Kabel, tiga jenis,” Linda membaca daftar perlengkapan yang mereka perlukan. “Jatah Rani,” kata Tita mantap. “Aluminium foil,” lanjut Linda. 64
“Jatah Rani,” ulang Tita. Nida dan Rossi hanya bengong; menahan gemas. “Saklar, stekker, stop kontak, power suply ...” “Jatah Rani,” kata Tita santai. "Avometer," "Jatah Rani." "Eh, nggak ada aktris lain ya?" Tanya Linda gemas. "Nggak," Tita menggeleng, memperlihatkan raut muka paling lugu dan tidak berdosa. "Menurutku, untuk power suply-nya kita patungan saja," usul Rossi. “Boleh,” kata Tita, “berarti, urusan kabel cadangan plus kapasitor, jatah Rani,” lanjutnya, membuat teman-temannya geleng-geleng penuh kesabaran. “Nida,” suara Raka, muncul di belakang Nida dan teman-temannya, hingga mereka tersentak kaget. “Apa?” Nida menoleh. "Kamu nggak keburu pulang kan?" Raka balik tanya. Nida menggeleng. “Ikut aku sebentar,” kata Raka. Sebentar kemudian Nida mengikuti anak muda itu, “sebentar ya,” katanya pada teman-temannya, lalu beranjak begitu Raka menggandeng tangannya. Tita, Linda dan Rossi terbengong-bengong. Bagi mereka, sampai sekarang pasangan itu tetap saja terlihat aneh. Sementara itu, Raka dan Nida sudah meninggalkan sekolah —menelusuri trotoar di depan kawasan kampus UM (Universitas Negeri Malang). "Kita mau kemana sih?" Tanya Nida. “Jalan-jalan sebentar,” jawab Raka. Agak lama mereka terdiam, sambil tetap bergandengan tangan —seolah-olah kata-kata bisa mengalir disitu. “Penyakit bolosmu kambuh lagi. PR nya banyak lo,” kata Nida, memecah kesunyian antara dirinya dan Raka. Saat itu mereka sudah sampai di depan komplek gedung Universitas Terbuka. Dan tak jauh dari situ —setelah pertigaan— tampak Masjid, dan deretan sekolah: MAN 3; MTsN 1; MIN 1, juga sebuah Taman kanakkanak di bagian paling ujung. “Terus apa urusanku?” Raka cuek. Dengan geram bercampur gemas, Nida menjewer anak muda itu, “apa-apaan sih...ya jelas urusan kamu, dasar,” katanya galak. “Kamu saja yang kerjakan.” “Nggak mau. PRku juga banyak.” “Biar tau rasa,” gumam Raka. "Apa?" Nida langsung menjewernya lebih keras, sampai anak muda itu minta ampun. "Tadi, kamu pingsan di kelas ya?" Tanya Raka "Iya." “Kenapa?” 65
“Nggak kenapa-napa.” “Kamu hamil ya?” Tanya Raka seenaknya. Serta merta, Nida menonjok lengan Raka, sekali dua kali, “ngomong lagi kalau berani,” katanya lebih galak. Raka menahan pukulan-pukulan Nida sambil tertawa, “bercanda, bercanda…" "Nggak lucu!" Kata Nida kesal, sambil terus menonjok lengan Raka. Dia tidak peduli orang-orang yang lalu lalang disitu memperhatikan mereka sekilas sambil tersenyum geli. “Iya, iya...ampun,” kata Raka, dia merasakan pukulan-pukulan Nida makin keras. “Awas kalau ngomong begitu lagi!” Ancam Nida. Mereka kembali terdiam. “Ada masalah apa?" Tanya Raka beberapa saat kemudian. "Nggak ada apa-apa kok," jawab Nida. "Jangan bohong," desak Raka. Saat itu mereka sudah sampai di ujung trotoar. Mereka berhenti. Nida menatap Raka lekat-lekat, “kamu mau menginterogasi ya?” “Aku pikir, kita nggak perlu rahasia-rahasiaan,” kata Raka. “Nggak selalu begitu kan?” “Harus begitu,” Raka membalas tatapan gadis itu dengan serius. Nida menggeleng, baginya ada hal-hal tertentu yang sulit untuk dibagi dengan orang lain...meskipun dia sudah tidak menganggap Raka sebagai orang lain. Sebentar kemudian Nida menarik anak muda itu; berbalik arah —kembali ke sekolah. Sampai di sekolah, Nida mengambil bindernya dan meminjamkannya pada Raka, “PR kimia, fisika, sama Bahasa Indonesia. Catat sendiri. Kalau malas, difotokopi saja,” katanya. Raka mengangguk-angguk, lalu beranjak pergi. Nida kembali duduk di dekat Tita, Linda dan Rossi —yang menatapnya dengan pandangan tidak percaya. “Ada apa sih?" Tanya Nida, meskipun dia bisa menebak kenapa mereka menatapnya seperti itu. "Harusnya yang seperti itu masuk MURI, iya nggak?" Kata Linda pada Tita dan Rossi. Kedua temannya itu langsung mengangguk mantap. “Dasar perkumpulan nenek sihir,” rutuk Nida. “Iya, kamu embrionya,” balas Rossi. "Huh," Nida memasang tampang sinis, tapi malah membuat ketiga temannya tertawa geli. Sesekali juga Nida menoleh, tapi yang ditunggunya tidak muncul-muncul. "Duuh, yang lagi kangen berat," goda Tita. “Yee, siapa yang kangen,” kilah Nida, “Raka menculik binderku, Non,” “Oo, begitu ya? Kok nggak lapor polisi?” Kata Tita. Nida mendesah —kalau menghadapi Tita, dia lebih memilih menyerah, “ya Tuhan, kembalikan teman-temanku ke jalan yang benar,” gumamnya. “Amiiin,” sahut Tita, Linda dan Rossi dengan kompak. 66
Untuk sementara, Nida mempunyai kesempatan yang cukup hingga bisa mengabaikan kecemasannya. Lagipula dia sadar itu hanya sebuah ketakutan, dan sama sekali tidak ada bukti kalau kakaknya kembali terlibat urusan Kelompok Harimau. Ini sekaligus juga menjadi kesempatan terbaik baginya untuk memperkuat doa, dan saat itu dia berjanji pada dirinya sendiri tidak akan membiarkan Kelompok Harimau merenggut kakaknya. [4] Menjelang jam empat, latihan drama selesai. Rani istirahat sejenak. Setelah itu, dengan naik mobil Tita, mereka menuju pusat kota. Tita memarkir mobilnya di parkiran alun-alun, kemudian bersama Nida, Rani, Linda dan Rossi pergi ke sebuah toko yang menyediakan berbagai macam komponen elektronik. Mereka membeli bahan-bahan sesuai daftar yang sudah mereka susun di sekolah. Selesai membeli perlengkapan-perlengkapan yang mereka butuhkan, Tita mengajak mereka berjalan-jalan sebentar, karena sore itu terik masih tersisa dan tidak ada tanda-tanda akan hujan. “Nggak usah lama-lama ya,” kata Nida. Mereka melintasi alun-alun yang mirip tempat penjemuran ikan…hampir di setiap bagiannya tampak orang-orang dengan kesibukannya masing-masing: para pedagang, orang-orang yang lalu lalang, juga muda-mudi dalam kerumunan disanasini. Kemudian mereka menyeberang; menuju deretan pertokoan, yang lebih ramai daripada alun-alun. "Ke situ yuk," ajak Tita; memasuki lorong bagian sebuah pusat perbelanjaan. Keempat temannya mengikutinya. Nida yang terlihat tidak sabaran, karena lorong itu terasa sesak; penuh orang, hingga mereka tidak seberapa leluasa. “Ta, sebentar saja ya,” kata Nida. "Iya, cerewet," sahut Tita. "Dasar anak kecil," Nida mulai merengut. “Kamu lebih kecil,” balas Tita. “Dua anak kecil yang nggak akur...” gumam Rani. Lima sekawan itu sampai juga di bagian tengah gedung, setelah nyaris kehabisan nafas saat melewati sesaknya lorong. Tita berhenti sebentar di depan dinding etalase sebuah toko kaset. “Mau cari kaset apa sih?” Tanya Rossi. “Nggak, cuma lihat-lihat.” Jawab Tita. Kemudian mereka menyusul ketiga temannya yang berhenti di depan sebuah stan ramalan komputer. “Ehm,” Rossi menyikut tangan Nida, “mentang-mentang baru jadian,” "Cerewet," Nida menyodorkan uang 1000an pada perempuan muda yang menjaga stan itu, lalu mulai menjalankan program ramalan. Sebentar kemudian hasilnya tampil di monitor. Keempat temannya membaca hasil ramalan itu, dan tertawa. “Nggak cocok ya, anak seperti ini kok dibilang romantis,” goda Tita. Nida melotot galak, "terserah, yang penting kan faktanya aku baik hati,” katanya 67
membela diri. "Oyaa???" Sahut teman-temannya kompak. Nida bersungut-sungut. “Perlu print-outnya?” Tawar si penjaga stan. "Eh, nggak usah Mbak," jawab Nida, lalu menoleh pada Tita, “sekarang kamu,” katanya. "Kok aku sih?" Tita geleng-geleng, "nggak mau ah,” “Harus mau,” desak Nida sambil memperlihatkan raut sadis, “kamu nggak boleh nolak.” “Ta, turuti saja, kalau masih mau selamat,” kata Rani menahan geli. Tita menyerah, "kamu yang bayar," katanya, lalu menjalankan program yang sama. Tapi setelah menekan tombol untuk menampilkan hasil ramalan, program itu tidak merespon. Tita kembali menekan tuts enter, dan tetap saja tidak ada respon. “Mbak, komputernya hang,” kata Tita. Si penjaga stan beranjak, mencoba memperbaikinya, tapi setelah beberapa kali dicoba tetap tidak ada respon. Dengan terpaksa dia menekan tombol restart, “aduh, maaf ya...biasanya komputer ini tidak rewel kok,” katanya, lantas mengembalikan uang yang dibayarkan Nida. “Sabar, kehidupan memang bisa kejam,” goda Nida sambil menepuk-nepuk bahu Tita. Sekarang ganti Tita yang merengut. “Sok nenek-nenek,” rutuk Tita. Mereka meninggalkan tempat itu, kembali ke tempat Tita memarkir mobilnya. Saat itu sudah menjelang jam enam. Tita mengemudikan mobilnya dengan cepat menuju rumah Nida.***
68
Bab 10 [1] Masih jam lima pagi —satu jam setelah teman-temannya pulang. Nida masih mengantuk; suntuk, dan meski merasa agak penat, dia terpaksa menguatkan diri, sambil menyiapkan keperluan sekolah nanti. Setelah itu dia menanak nasi. “Kalau masih mengantuk, tidur saja,” kata Issa. Nida tersenyum; menggeleng, “nanggung,” katanya. Sejenak, Issa memandang adiknya itu lekat-lekat. Nida tampak berusaha menyibukkan diri sendiri —menghindari tatapan kakaknya. “Kamu tidak apa-apa kan?” Tanya Issa. “Aku baik-baik saja kok,” jawab Nida sambil merajang bumbu. “Tadi malam kamu mengerjakan tugas sampai jam berapa?” “Jam satu.” “Tumben,” kata Issa dengan nada bercanda. Tapi, reaksi Nida malah membuatnya kaget. “Kenapa sih tanya ini tanya itu? Memangnya aku mirip kriminal?” Nida berhenti merajang bumbu, lalu cepat-cepat cuci tangan, kemudian dengan jengkel pergi ke beranda depan. Issa masih terpaku di dapur. Untuk sekejap tadi dia jadi seperti patung, lalu berubah seperti orang yang baru saja terbebas dari hipnotis. Apa yang baru saja terjadi benar-benar membuatnya tercenung. Tiba-tiba saja, berkecamuk dalam benaknya, Nida seperti orang asing baginya. Bahkan, sebatas dalam alam pikiran pun dia dengan reflek menepisnya. Dia tidak akan pernah membiarkan itu terjadi. Setelah menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan beberapa kali, dia menyusul Nida. Adiknya itu duduk di pinggiran beranda, sementara tatapannya menerawang entah kemana. Issa mendekat, duduk di sampingnya. “Apa aku berbuat salah?” Tanya Issa. Nida membisu, hingga beberapa menit berlalu. Kemudian, dia memandang kakaknya —hampir sama lamanya. Dia menggeleng-geleng, memaksakan diri tersenyum, “aku sedang nggak mood,” katanya. Issa, sejenak, mendekap adiknya, “jangan membentakku seperti tadi, aku tidak tahan,” katanya lembut. Nida mengangguk, “maaf,” katanya —dia merasa akan menangis, tapi segera dihalaunya, karena sedikit saya tangisannya, Issa pasti akan mengamuk, “aku lagi sebel sama Raka,” katanya berbohong. Tapi, kali itu, Issa tidak menyadarinya —dia terlalu larut dalam rasa lega. “Begitu ya? Baru berapa hari jadian, kok sudah bertengkar?” 69
“Siapa yang jadian,” kilah Nida. “Yakin?” “Bohong…” perasaan Nida mulai tenang. Issa mengacak-acak rambut adiknya itu, “sudah, sana…” “Apa?” “Kamu belum selesai masak kan?” Nida beranjak kembali ke dapur. Sementara itu, Issa beralih ke tengah pelataran; kembali mengakrabkan diri dengan hawa dingin. Saat itu samar-samar terang di tepian ufuk, sedangkan di bagian lain langit masih diliputi warna kelabu. Dia melakukan rangkaian gerakan Tai Chi, sepenuhnya dilakukan dengan tenang dan mengalir —tanpa membiarkan ada jeda. Tapi, di sela-sela alur itu dia sempat melakukan gerakan cepat, keras dan penuh tenaga. Meski teknik itu tidak termasuk dalam aliran Tai Chi yang dilakukannya, gerakan ini sekedar untuk menetralisir terjangan hawa dingin. Hampir jam enam, Issa menyudahi latihannya. Saat itu adiknya sudah bersiap di beranda sambil mengenakan sepatu. “Uang sakumu masih ada kan?” Tanya Issa. “Masih.” “Nanti malam kita jalan-jalan lagi.” Nida mengangguk penuh semangat. Dia merasa ganjalannya luruh sedikit demi sedikit. Selain itu, bayangan Kelompok Harimau berubah menjadi sesuatu yang pelan-pelan bisa dihapus —meski bekasnya tetap ada. Jam enam lebih beberapa menit, sebuah mobil panther hitam mengkilat berhenti di luar pintu pagar. “Tuh, jemputanmu datang,” Issa mengenali itu mobil Tita. Sebentar kemudian, Tita turun dari panther itu, disusul Rani dan Dini. “Makasih,” kata Tita; mengembalikan jaket Issa. “Harusnya aku yang bilang begitu, jaket itu sudah tiga minggu tidak aku cuci,” kata Issa. “Dasar jorok!” Tita kesal, lalu cepat-cepat kembali ke mobilnya. Nida, Rani dan Dini menyusulnya sambil tertawa —yang di telinga Tita terdengar persis tawa gerombolan nenek sihir. Issa mengawasi mereka, sampai panther itu lenyap dari jangkauan matanya. “Turun saja!” seru Issa sambil beranjak duduk di pinggiran beranda. Sesaat kemudian Eka berkelebat turun dari atap. Lalu, dia duduk tak jauh dari Issa. “Apa kau tidak bosan menyatroni rumahku?” Tanya Issa —tanpa peduli apakah pertanyaannya akan dijawab atau tidak. “Tiga tahun membuatmu mulai linglung ya,” kata Eka sinis, “secara hukum kau tidak pernah memiliki rumah ini kan?” Issa menatapnya sejenak. Dia tidak bisa membantah. Rumah yang selama tiga tahun ini ditinggalinya bersama Nida, sebenarnya, hanyalah titipan Baba Tua — sebuah rumah yang seharusnya berfungsi sebagai salah satu tempat singgah bagi para anggota Lingkaran Dalam. Rumah ini adalah salah satu dari sekian banyak 70
aset milik Kelompok Harimau, yang tersebar di beberapa propinsi. “Aku yang bertanggung jawab atas rumah ini,” kata Issa. “Kurasa itu ungkapan lain untuk kata pengecut.” “Sindiranmu tidak mempan,” kata Issa. Eka tersenyum sinis, “itu memang bukan urusanku,” katanya. “Sebenarnya apa maumu? Kau ingin mengambil alih rumah ini?” Tanya Issa. “Cih, kau pikir aku ini sampah kumuh? Aku sama sekali tidak tertarik.” Sesaat, Eka memainkan rokoknya dengan cepat dan cekatan, di antara jemarinya. “Kalau begitu, berhentilah menyatroni rumah ini. Urusan kita sudah cukup jelas,” kata Issa dengan geram. “Benar-benar omong kosong,” gumam Eka. “Apa maksudmu?” “Pikirkan sendiri.” Hawa dingin mulai berkurang, bersamaan dengan meluasnya rona terang di cakrawala. Kedua anak muda itu sama-sama diam, seperti benda yang membeku. “Aku hanya ingin memastikan kau tidak akan kabur.” Kata Eka. “Kenapa aku harus kabur?” Sergah Issa, semakin geram. “Memangnya apa yang kau kerjakan selama tiga tahun ini…” “Bukan urusanmu.” Issa kembali menenangkan diri. “Kau benar-benar tolol.” Eka bangkit, lalu berkelebat pergi. Saat itu, yang dipikirkan Issa tentang Eka hanyalah sebuah kecurigaan —yang sama sekali tidak berbeda dengan rasa takut, dan dia mengakui hal itu. Satu hal lagi yang semakin jelas, retreatnya selama ini jadi sia-sia, dan dia merasa tidak ada gunanya lagi bila dipertahankan. Dia hanya menunggu saat yang tepat, agar dia bisa menguak belenggu masa lalu. Dan dia berharap pada saat itu masih ada kesempatan untuk kembali pada kehidupan yang normal —sebagaimana tiga tahun belakangan ini. Anak muda itu menghela nafas panjang, beranjak ke dalam. Dia ingin mandi air dingin untuk meredam gejolak tidak menyenangkan dalam dirinya. [2] Di sekolah, jam istirahat pertama— Di kantin, Nida menyalin tiga PR yang sudah dikerjakan Raka, ditemani Tita, Linda dan Rossi. “Oi, jangan merengut terus,” kata Linda pada Nida. “Cerewet,” omel Nida. Dia masih kesal, karena Raka bukannya minta maaf, malah cengar-cengir. “Kamu kasih hukuman apa?” Tanya Rossi. “Seminggu nggak boleh ngomong sama aku.” “Eh, apa nggak terlalu kejam?” Tanya Linda. Sejenak, Nida menghentikan pekerjaannya, “kamu kok membela dia sih?” Tanyanya galak, membuat ketiga temannya itu bengong. “Ta, kaya’nya disini ada cewek kelas dua SMP,” bisik Rossi pada Tita. “Baru tau ya?” Jawab Tita. 71
“Benar-benar nggak sopan,” omel Nida lagi, dan ketiga temannya malah kompak berlagak menganggapnya tidak ada. “Dasar pengkhianat! Semoga kalian nggak punya keturunan,” geram Nida. “Ya ampun, sayangku, biasa saja kenapa sih…” sejenak, Rossi merangkul Nida sambil menahan diri agar tidak tertawa. “Ini sudah biasa, kalau enggak, kalian sudah kubuang ke Timbuktu,” kata Nida; membuat ketiga temannya itu tersenyum. Sebentar kemudian, Nida menyelesaikan PR nya. Dia menghela nafas lega sambil memijat-mijat pergelangan tangan. “Ta, nanti malam kamu ada acara nggak?” Tanya Nida. “Nggak, kenapa?” Jawab Tita. “Kakakku ngajak jalan-jalan. Kamu ikut ya?” Pandangan Linda dan Rossi langsung beralih pada Tita, yang nyaris saja gelagapan. “Apa lihat-lihat? Memangnya aku pisang…dasar monyet.” Tita pasang raut muka galak. “Kenapa jadi uring-uringan begitu?” Linda terheran-heran. “Kamu harus dicurigai,” timpal Rossi. Nida merasa menang, bisa menggoda Tita. Dan dia tahu temannya itu berusaha keras agar tidak terlihat salah tingkah. “Nanti kita cari bukti-buktinya,” kata Rossi pada Linda. “Dasar tukang gosip kelas teri,” rutuk Tita; merasa terpojok. Dia benar-benar gemas menghadapi teman-temannya itu. “Enak saja, kami ini profesional kok,” kata Rossi. “Oh ya…” balas Tita. “Hoi, perangnya nanti saja,” sergah Nida, lalu menatap Tita, “pokoknya, kamu harus ikut. Ini keputusan final, nggak bisa ditawar.” “Kok membuat keputusan sepihak? Itu nggak adil…” protes Tita. “Kamu nggak usah protes.” Tegas Nida, berusaha terlihat setegas mungkin. Tita tertunduk lemas, baru kali ini dia tidak bisa melawan keusilan Nida. Bel berdering; mengakhiri jam istirahat. Untuk sementara, Tita terbebas dari keisengan teman-temannya —seperti judul serial lama, Saved by the Bell. Jam pelajaran ketiga berlangsung tenang. Saat itu sudah setengah jam berlalu, ketika terdengar pintu kelas diketuk-ketuk. Pak Sardi, yang sedang membuat sketsa pola aktifitas magnetik, meletakkan spidol; beranjak ke pintu kelas. Murid-muridnya tidak tahu siapa tamu yang datang, tapi sebentar kemudian Pak Sardi kembali. “Nida, ada yang ingin menemuimu,” kata Pak Sardi. Nida terheran-heran; penasaran, lalu beranjak, “permisi, Pak,” katanya sebelum pergi ke luar. Di luar, Nida terkejut melihat siapa yang dihadapinya, orang yang mengenakan jaket Kelompok Harimau…dan dia baru ingat pernah melihat orang itu di mikrolet. Saat itu juga sekujur dirinya dirambati perasaan tidak enak. Dia gugup, pucat. “Aku minta sedikit waktu,” kata Eka. 72
“Apa aku kenal kamu?” Tanya Nida; berusaha agar tidak terlihat gemetar. “Tidak, aku yang kenal kamu.” “Ada urusan apa?” “Kamu tidak akan mengerti. Tapi, paling tidak kamu masih bisa mengingat apa yang akan kamu dengar.” Nida menatap pemuda itu dengan perasaan was-was. “Seingatku, Issa orang yang tangguh, pemberani, dan tegas. Sekarang, dia berubah jadi dungu, pengecut, dan rapuh. Aku pikir, kamu pasti cukup hebat, sampai bisa merubah dia jadi seperti itu,” setelah melontarkan kata-kata datar dan dingin ini Eka langsung melangkah pergi, meninggalkan Nida yang masih tercenung —seperti terjebak antara sadar dan tidak. Gadis itu menenangkan diri, lantas kembali ke kelas. Dia berusaha menekan kegusarannya, agar teman-temannya tidak menyerbunya dengan pertanyaan. Bagaimanapun, dia tetap menyiapkan alasan —sekedar berjaga-jaga bila ternyata mereka nekat menginterogasinya. Menjelang akhir jam pelajaran, Pak Sardi meminta mereka untuk mengumpulkan tugas. Setelah semuanya terkumpul, dia meninggalkan kelas. “Nid, tadi itu siapa?” Tanya Rani. “Teman iseng. Dia ngundang aku ke acaranya, tapi ya terpaksa aku tolak,” jawab Nida, mengarang alasan yang nyaris sempurna, dan Rani tidak menyadarinya. Sepintas, Nida menoleh ke arah Raka. Anak muda itu terlihat sibuk menggambar. Dia terhenyak —Raka sama sekali tidak tampak cemburu. Dia mendesah lirih — merasa mengalami situasi yang sangat aneh. [3] Usai sekolahNida ganti pakaian; mengenakan seragam olah raga, lalu pergi ke lapangan basket, ditemani Rani. Di tempat itu, beberapa temannya yang sama-sama ikut ekskul basket sedang melakukan pemanasan. Dan, selagi Nida ikut latihan, Rani menunggu di tempat yang teduh. Siang itu, yang latihan sepuluh orang. Mereka berlatih berpasangan; passing sambil lari. Untuk urusan ini, Nida sudah cukup cekatan. Dua sesi berikutnya, dribel sambil lari zig-zag dan dribel sambil menghindari penghadang, latihan yang sedikit merepotkan. “Istirahat, lima belas menit,” kata pelatih. Saat itu satu jam sudah berlalu, Nida menghampiri Rani sambil menyeka keringatnya. “Ampun deh,” kata Nida; meraih botol minuman dan minum beberapa teguk. Rani mengeluarkan tissu, lalu mengusap wajah Nida. “Nggak usah mengeluh,” katanya. “Cerewet, seribu kali cerewet,” Nida mengatur nafasnya, yang nyaris kembang kempis, “oya, nanti malam kamu nggak sibuk kan?” “Nggak.” “Kak Issa ngajak aku jalan-jalan, kamu ikut juga ya?” 73
Rani menatap temannya itu, dan sebelum dia sempat menanggapi, Nida sudah keburu mendesak dengan rengekan andalannya, “please, ya…will you, pokoknya kamu harus mau.” “Kok maksa sih?” “Bukan maksa, tapi memohon dengan tegas. Dan, sebaiknya kamu jangan membantah,” Rani geleng-geleng kepala, “aku ngajak Aga ya?” “Harus,” kata Nida, lalu kembali ke lapangan —latihan dimulai lagi. Kali itu, Nida bisa mendapatkan kembali suasana hati yang penuh semangat. [4] Selepas jam enamMalam itu Nida berdandan agak serius; memaksakan diri memoles wajahnya dengan bedak —setipis mungkin, lalu, sedikit polesan lipgloss pada bibirnya yang mungil. Setelah itu, dengan perasaan sedikit berdebar, dia pergi ke beranda; duduk di balai-balai. Sebentar kemudian Issa muncul, hanya mengenakan kaos dan jaket, serta celana hitam seperti atlet pencak. Dia terkesima melihat adiknya —mengenakan sweater krem dan rok lebar panjang bermotif kelopak bunga matahari warna kelabu. Cewek tulen, katanya dalam hati. Akhirnya Nida sadar, dirinya sedang diperhatikan, “kenapa? Nggak pernah lihat cewek cantik ya?” “Aku baru sadar kalau punya adik yang begini cantik,” kata Issa. “Uh, memangnya kemarin-kemarin nggak cantik?” “Tetap saja jahat,” gumam Issa geli. “Apa?” Nida melotot galak. Issa duduk di sampingnya. “Kita bukannya mau pergi ke pesta.” Nida merengut. “Berangkat sekarang?” “Eh, belum…ada yang belum datang,” sergah Nida. “Ha…aku kan mengajak kamu saja?” Issa yakin adiknya itu pasti punya rencana usil lagi. “Cuma berdua kan nggak seru,” kata Nida. “Memangnya, siapa yang kamu ajak? Semua karyawan smarihasta?” “Ada deh, surprise buat Kakak,” Nida cengar-cengir. “Penyakit kriminalmu kambuh lagi ya?” “Lihat saja nanti.” Issa mendesah. Saat ini, baginya, lebih baik menuruti kemauan adiknya itu. Mereka duduk dengan tenang, hingga kemudian sebuah panther yang tak asing lagi berhenti di depan pintu pagar, disusul dua sepeda motor. Nida bergegas menarik kakaknya menghampiri mereka. “Kita naik mobilku saja, biar motornya Aga sama Raka diparkir disini dulu,” kata Tita setelah turun dari mobilnya. “No, no, no…” tegas Nida, “Rani sama Aga, aku sama Raka. So, kakakku saja 74
yang naik mobil kamu,” Tita dan Issa sama-sama terkejut, sepintas saling pandang. “Aku tidak tahu apa-apa,” kata Issa pada Tita, dia melihat gadis itu gugup. “Puji Tuhan, temanku ini mengalami kelainan,” Tita berusaha agar tidak terlihat salah tingkah. “Khusus malam ini, kamu nggak boleh protes. Kalau masih protes, aku akan membuatmu menyesal,” Nida sebisa mungkin menunjukkan tampang serius, yang malah membuat Rani dan Aga tertawa. “Ma comblang ini track recordnya sangat memalukan,” bisik Rani pada Aga. “Dasar Kazuya,” rutuk Tita. “Yakuza,” kata Nida. “Kazuya,” Tita bersikeras. “Ya ampun, Non…yang betul Yakuza.” “Kazuya kan lebih bagus,” Tita lebih ngotot lagi. “Ya ampun…” Nida menepuk keningnya sendiri, “aku ribut sama anak kecil.” Issa, Raka, Aga dan Rani hanya bisa terbengong melihat kedua gadis itu berdebat. “Kak Issa, lebih baik kita disini saja, mumpung ada pertunjukan bagus.” Kata Aga. “Bolehlah,” Issa mengangguk. Sebentar kemudian, Tita dan Nida menghentikan perang menggelikan itu, “memangnya kami tontonan?” Omel Nida. Lalu, setelah menentukan tujuan, mereka berangkat seperti kemauan Nida. Malam itu, Nida benar-benar sulit dibantah.***
75
Bab 11 [1] Hampir satu jam setelah Nida berangkat sekolah, Issa bersiap-bersiap pergi ke Neigong. selama beberapa minggu belakangan ini —sejak dia meminta cuti— rasanya seperti tidak ada komunikasi sama sekali dengan orang-orang Neigong, terutama dengan Su’ Sinli. Dan, tanpa bisa memperkirakan alasan yang jelas, dia merasa kunjungannya kali ini akan menjadi sesuatu yang sangat penting bagi dirinya sendiri. Sekitar jam setengah delapan, dia pun berangkat; naik mikrolet yang menuju arah barat, dan akan memakan waktu setengah jam. Setelah itu dia turun di seberang areal pertanian yang sangat luas. Dari tempatnya berdiri, dia bisa melihat bagian depan Neigong, dan terlihat samar-samar. Sebentar kemudian dia menyeberang jalan, lalu menelusuri pematang. Untuk mencapai Neigong, dia harus berjalan kaki hampir seperempat jam, dan dia menempuhnya dengan perasaan tenang. Sesekali dia berhenti, ketika berpapasan dengan beberapa petani yang dikenalnya. Hingga akhirnya dia sampai di depan gerbang Neigong, dan melihat sekelompok remaja sedang berlatih. Mereka remaja-remaja putus sekolah yang diasuh Su’ Sinli, dan dilatih terutama untuk memainkan atraksi barongsai dan liong. Issa beranjak masuk; menghampiri pelatih hari itu. “Hei, apa kabar?” Sapa si pelatih, sebaya dengan Issa. “Baik-baik saja,” jawab Issa, “Su’ Sinli ada?” “Ada, di aula Pa Hsien,” jawab si pelatih. Untuk sejenak, Issa menemani rekannya itu; memperhatikan remaja-remaja yang berlatih penuh semangat. “Kuda-kuda mereka sudah meningkat pesat. Bagus sekali, kamu pasti sangat serius melatih mereka,” puji Issa. “Bukan begitu. Merekalah penentunya. Semangat mereka sangat besar. Yah…itu modal yang paling penting,” kata rekan Issa. Issa mengangguk setuju, “aku tinggal dulu,” katanya, menepuk pundak rekannya itu, lalu beranjak meninggalkan pelataran —yang dengan bagian berikutnya dibatasi dinding, dengan pintu lengkung di sisi kanan dan kiri. Setelah melewati pintu lengkung, dia menelusuri koridor yang diapit deretan ruang altar serta kolam ikan. Aula Pa Hsien adalah aula terbuka yang cukup lapang, terletak di bagian belakang Neigong. Tempat ini digunakan untuk latihan barongsai dan liong. Saat itu, kebetulan sedang sunyi, hanya ada seorang pria tua bertubuh pendek; agak gemuk, dengan rambut dan janggut penuh uban. Dia sedang menjajagi deretan ting setinggi hampir dua meter —yang biasanya digunakan untuk atraksi barongsai. Issa mendekat, “Su’ Sinli,” sapanya. 76
Su’ Sinli tersenyum lebar melihat kemunculan Issa, “cuti yang memuaskan ya?” “Lumayan,” jawab Issa. Sebentar kemudian Su’ Sinli melompat turun, dan mendarat dengan posisi yang masih terlihat mantap, “olah raga yang agak berbahaya,” katanya, lalu menuju gazebo di pinggiran aula, dekat dengan dapur dan empat kamar mandi. “Bagaimana keadaanmu?” Tanya Su’ Sinli, duduk sambil menyulut rokok. “Seperti Su’ Sinli, masih sehat.” “Nida?” “Masih sok iseng.” Su’ Sinli tertawa, “anak itu…kangen juga rasanya,” katanya, “tiga bulan lagi aku akan mengirim kelompok ke Beijing. Kau berminat ikut?” “Sayang sekali…saya tidak bisa.” Su’ Sinli mengangguk-angguk, “kebetulan perkumpulan ini dapat rejeki lebih. Aku pikir, kunjungan ke Beijing akan sangat bermanfaat. Terutama bagi angota-anggota junior. Bagaimana menurutmu?” “Itu luar biasa. Saya hanya bisa mendukung dengan doa.” “Ya, masih butuh latihan yang keras. Kau tahu sendiri, sebagian besar anggota junior belum terbiasa melakukan atraksi di atas ting. Lagipula, standar ting disini dengan di Beijing jelas berbeda.” “Asalkan mereka berani, saling percaya dan kompak, saya rasa atraksi di atas ting akan sama saja dengan di atas bangku.” “Benar…” dia dan Issa melemparkan pandangan ke arah deretan ting. Memang, bagi yang belum terbiasa, deretan itu tampak menakutkan —karena resiko jatuh tidak bisa diabaikan, dan bisa berakibat sangat fatal bila yang jatuh tidak memiliki respon yang baik. “Aku berharap mereka bisa sedikit ginkang. Tapi, tiga bulan…tidak mungkin cukup kan?” “Setidak-tidaknya keyakinan mereka harus diasah. Bukankah Su’ sendiri pernah bilang, ginkang hanya persoalan teknis, dan yang paling penting adalah kekuatan internal.” “Hao,” Su’ Sinli tersenyum, “ya…ternyata aku ini mulai pikun ya,” “Mereka bisa diandalkan,” kata Issa. “Ya, semoga selalu seperti itu.” Beberapa menit lamanya mereka sama-sama diam. Su’ Sinli terlihat jauh lebih tenang, sedangkan Issa sebaliknya. “Bagimana retreatmu?” Tanya Su’ Sinli tiba-tiba. “Sebenarnya…saya agak bingung,” Issa tidak bisa berkilah. Sepanjang yang diketahuinya, laki-laki tua itu terlalu peka hingga tidak bisa dikelabui. Lagipula, Su’ Sinli sudah tahu bagaimana masa lalu Issa —bahkan sampai detailnya. “Saya merasa tiga tahun ini terbuang percuma,” kata Issa. “Kau sendiri yang menentukannya.” “Saya tidak mengerti.” “Kadang-kadang, kita tidak sadar sudah membuat keputusan. Saat kita berpikir 77
sedang membuat keputusan, kita tidak sadar itu bukan keputusan. Kau pasti mengerti itu kan?” Su’ Sinli menepuk-nepuk pundak Issa, “ilusi yang sangat sederhana ya.” Issa tercenung —sebenarnya, dia masih tidak mengerti, “apakah saya salah langkah?” Lagi-lagi Su’ Sinli tertawa, “tidak ada langkah yang salah. Ada sebab, ada akibat, dua-duanya sulit dibedakan. Tapi, kamma adalah sesuatu yang jelas. Kau masih ingat itu kan?” Issa mengangguk. “Ingat itu baik-baik. Selama kau memahami prinsip itu, maka apa pun langkahmu, tidak bisa dikatakan salah.” Issa terhenyak, dan berusaha menerka sesuatu yang bisa dipahaminya dari perkataan Su’ Sinli. Entah bagaimana, untuk sekejap dia tiba-tiba saja merinding — seperti tercekik. “Saya pernah cerita tentang Eka. Su’ pasti masih ingat.” Kata Issa. “Ya…” “Akhirnya saya bertemu lagi dengan dia.” Su’ Sinli menatap Issa dengan tajam, selama beberapa saat. Sekarang dia bisa memahami dengan jelas situasi anak muda itu. Dan dia benar-benar prihatin. “Kau bisa menghadapinya?” “Saya rasa begitu…” jawab Issa ragu-ragu. “Kalau itu benar, berarti kau tidak perlu takut.” Issa terdiam, dia sadar perasaan takutnya bisa luput dari mata siapa pun, kecuali mata Su’ Sinli. “Saya memikirkan Nida…” “Apa orang bernama Eka itu mengancam adikmu?” Issa menggeleng-geleng, “jika sesuatu yang buruk menimpa saya…bagaimana nasibnya?” Su’ Sinli menghela nafas panjang, “masih ada orang tua walinya, dan masih ada saudara-saudaramu disini.” “Ya…akhirnya seperti itu.” Setelah itu mereka terdiam lama, bahkan sampai para remaja di pelataran depan selesai berlatih. Dan seperti biasa, seusai latihan anak-anak muda itu pergi ke perkampungan tak jauh dari Neigong —untuk membantu pekerjaan para penduduk setempat, mengurus sawah dan ternak. “Ayo,” kata Su’ Sinli sambil berdiri, beranjak menuju salah satu ruangan di sisi aula itu. Issa mengikutinya, masuk ke sebuah ruangan yang hampir dipenuhi deretan rak berisi kerajinan keramik —yang semuanya bernuansa oriental. Su’ Sinli berhenti di sudut ruangan; di depan meja yang di atasnya terdapat beberapa gulungan kertas; beberapa kuas dan botol tinta, juga beberapa buku beraksara Tionghoa. Dia menarik laci atas, kemudian mengambil dua bola kaca kecil dan menunjukkannya pada Issa. “Bagus sekali,” Issa terhenyak melihat dua bola kaca itu, yang memiliki penopang 78
permanen, dan di bagian dalamnya terdapat figur harimau serta bintik-bintik merah bertaburan. “Aku berikan untukmu,” kata Su’ Sinli. “Dua-duanya?” “Ya, kau bisa merenunginya,” jawab Su’ Sinli. Lalu, setelah Issa menerima kedua bola kaca itu dia beranjak keluar. Issa segera menyusulnya —selagi di kepalanya timbul tanda tanya besar. “Terima kasih…saya benar-benar merepotkan Su’ Sinli.” “Sama sekali tidak,” Su’ Sinli kembali menuju ting. Dia melompat ke tumpuan awal, lantas beranjak menjajagi ting berikutnya. Issa terus memperhatikan gerak-gerik laki-laki tua itu, yang begitu gesit; lincah, dan kokoh, pindah dari satu ting ke ting berikutnya. [2] Di sekolah— Jam pelajaran matematika, bagi Tita, terasa lebih menyebalkan dari biasanya. Sejak pagi dia harus bertahan dari gelagat teman-temannya, terutama Nida, Rani dan Dini —yang menurutnya benar-benar pantas dicurigai. Dia menebak Nida pasti mulai iseng menyebar gosip. Kemarin malam, dia ditinggal berduaan dengan Issa. Dan dia yakin itu ulah Nida —tidak ada lagi yang pantas dijadikan tersangka. Waktu itu, dia merasakan situasi yang aneh —seperti sedang terjebak dalam ruangan sepi, yang tidak jelas dimana tepian-tepiannya. Selama hampir dua jam, Issa sama sekali tidak bicara. Saat itu Tita beberapa kali mencoba melontarkan bahan obrolan, tapi Issa selalu menanggapinya dengan senyum singkat. “Jangan-jangan dia takut sama aku…” gumam Tita. Dia membandingkan situasi itu dengan saat dia melihat bagaimana Issa berlatih wushu dengan Raka. Orang yang begitu mudah membuat Raka kewalahan, ternyata bisa bersikap seperti sosok terasing —seolah-olah terpisah dari dunia nyata. Tapi, bagaimanapun, dia juga heran pada dirinya sendiri, karena selama beberapa hari ini sosok anak muda itu selalu saja muncul dalam pikirannya. “Sudah,” kata Dini, saat istirahat di kantin, “acara melamunnya diistirahatkan juga dong.” Tita hampir saja tidak merasakan bedanya jam pelajaran dengan jam istirahat. Dia cepat-cepat tersenyum, meskipun Dini, Nida, Linda dan Rossi memandangnya dengan sorot mata menyelidik, “ini gara-gara kamu,” dia mendelik pada Nida, yang langsung berlagak lugu. “Eh, nggak ada banjir-longsor, kok tiba-tiba nyemprot aku?” Kilah Nida. “Pokoknya, mulai detik ini kamu resmi jadi tersangka,” kata Tita gemas. “Enak saja. Aku nggak mau jadi pelampiasan. Kalau kamu marahan sama Kak Issa, ya protes saja sama dia,” kata Nida, membuat Dini, Linda dan Rossi tertawa. “Dasar penggosip nggak berkelas,” rutuk Tita. “Kita satu kelas lo,” kata Nida, dengan lagak yang membuat Tita gemas setengah 79
mati. “Eror…data invalid,” gumam Tita. “Kamu juga,” balas Nida. Dini, Linda dan Rossi langsung bungkam; bersiap menonton perang konyol itu. “Oya? Darimana kamu tau? Kamu kan masih kelas dua SMP,” Tita tidak mau kalah. “Lihat seragamku dong,” Nida menunjuk-nunjuk saku bajunya. “Huh, kamu gambar sendiri kan? Dasar pengangguran.” Keduanya baru berhenti begitu menyadari Dini, Linda dan Rossi telah berubah jadi pemirsa paling baik dan manis. “Draw…” kata Dini pada Linda dan Rossi. “Lumayan,” timpal Rossi, berlagak seperti komentator profesional. Nida dan Tita sama-sama tertunduk. Saat itu, mereka diliputi perasaan yang saling bertolak belakang. Nida dihinggapi kegembiraan, yang memang dia anggap agak semena-mena. Sementara Tita merasa terseret dalam kecemasan paling aneh; perasaan yang belum pernah dialaminya bahkan ketika masih bersama Andri. “Puji Tuhan…” rutuk Tita dalam hati —kesal bercampur aduk dengan perasaan bingung. Lebih aneh lagi dirasakannya, dia merasa bersalah karena tiba-tiba saja membandingkan Issa dengan Andri. “Ta,” Linda menepuk-nepuk tangan Tita; membuatnya agak tersentak. “Nggak capek ya melamun terus?” Tanya Linda, agak kuatir. Tita tersenyum —sekedar berkelit. Sebentar kemudian dia mengalihkan obrolan. Dengan cara ini —yang kadang-kadang berhasil, perasaannya yang kacau tadi pelan-pelan reda. Hingga jam pelajaran terakhir, Tita bisa mempertahankan semangatnya —yang masih terbilang lumayan. Tapi, begitu sekolah usai, kesuntukan kembali menghinggapinya. Dengan langkah agak lesu, dia menelusuri koridor; melewati ruang guru dan ruang TU, lalu sampai di pelataran depan, tempat parkir mobil. Saat itu, seorang pemuda berbadan tinggi tegap; berkacamata, dan tampak rapi sedang berdiri tenang; bersandar pada bagian belakang mobil Tita. Dia tersenyum lebar melihat Tita, yang malah tampak kaget. “Mas Andri?” Tita menghampirinya. Beberapa saat mereka hanya saling pandang, lantas Tita ikut bersandar. “Dua minggu ini aku benar-benar sibuk,” kata Andri. “Oo, aku kira sedang melawan rasa bersalah,” sahut Tita, tanpa bermaksud menyindir. “Ternyata masih marah ya? Aku kan sudah berkali-kali minta maaf.” “Aku sudah nggak marah kok,” kata Tita. “Kita masih bisa berteman kan?” “Ya…asal Mas Andri nggak malu jalan bareng sama cewek SMA.” Andri mendesah lirih, juga sedikit heran. Dia merasa sikap Tita sangat berbeda. Meskipun kata-kata gadis itu terdengar ketus, tapi ini ketus yang lain, yang malah membuatnya penasaran. 80
“Kamu tambah dewasa ya?” Kata Andri. “Ah, nggak juga. Masih jauh kok,” bantah Tita. Andri tersenyum; tidak ingin mengungkit-ungkit yang sudah berlalu, “tiga minggu lagi aku pergi ke Urumqi. Kamu ingin oleh-oleh apa?” Tita memandangnya beberapa saat, “memangnya Mas Andri mengurusi umroh?” Andri tertawa, “itu bukan di Saudi, Non.” Dengan kesal, karena merasa diledek, Tita menyikut pemuda itu. “Itu di wilayah Turkistan Timur,” kata Andri. “Oo, temannya Kazakstan sama Pakistan?” “Salah paham lagi,” Andri tersenyum geli, “nggak ada hubungannya sama stanstanan. Itu wilayah otonomi di Cina, nama Mandarinnya Xinjiang” Tita mengangguk-angguk, baru mengerti, “urusan apa?” “Ada yang menyewaku untuk jadi pemandu. Dia mengerti sedikit bahasa Mandarin, tapi nggak bisa bahasa minoritas. Kebetulan aku lumayan menguasai bahasa yang dipakai di Xinjiang. Untungnya orang itu nggak terlalu menuntut. Dia hanya memintaku memandu sampai Urumqi.” “Bagus deh, nanti Mas Andri bisa punya biro jasa sendiri.” Andri mengangguk-angguk. Dia merasa lega karena sikap Tita mulai melunak, “jadi, kamu ingin oleh-oleh apa?” “Minta Tienshan boleh nggak?” “Puji Tuhan…” Andri menepuk dahinya sendiri, “harus minta bantuan Doraemon nih,” katanya, “nggak apa-apa deh, sekalian aku bawakan Tembok Besar sama Masjid Id Kah, plus seratus unta sirkus,” “Gombaaall,” “Ya…aku pergi dulu,” kata Andri. Tita mengangguk, “Tuhan memberkati.” “God bless you too,” Andri beranjak pergi. Setelah pemuda itu hilang dari jangkauan matanya, Tita menghela nafas panjang, lalu masuk ke mobilnya, dan meninggalkan sekolah.***
81
Bab 12 [1] Sore itu, hujan turun sangat deras —sampai-sampai gemuruhnya terdengar sangat jelas. Kalau dihitung, sejak pagi sudah tiga kali turun hujan. Issa sendirian di rumah, sementara Nida sejak dua jam yang lalu pergi bersama teman-temannya. Dia duduk di balai-balai beranda sambil mencermati bola kaca pemberian Su’ Sinli. “Direnungi…” gumam Issa. Pikirannya masih dijerat berbagai pertanyaan. Dia sama sekali tidak bisa menangkap maksud Su’ Sinli. Sejauh itu dia hanya bisa melihatnya sebagai bola kaca yang masih terlihat baik. Sesekali dia menimangnya; juga sesekali menjungkirnya —mempermainkan taburan bintik merah yang ada di dalamnya. Dan dia tidak mendapatkan apa-apa, selain kejelasan bintik-bintik merah itu —yang bila dilihat dengan sangat jeli, ternyata, mirip kelopak-kelopak bunga…entah bunga apa. Issa tertegun, lalu meletakkan bola kaca itu di sampingnya. Pandangannya lurus; menerjang deras hujan, sementara pikirannya beralih seperti serabut akar; kesanakemari, dan ini membuatnya kesal. Kemudian, saat rasa kesal itu masih mengganggunya, dia melepas baju, lantas beranjak ke pelataran. Sebentar saja, sekujur badannya basah kuyub. Setelah itu dia melakukan rentetan teknik Cha Chuan, seperti yang pernah dilakukan Raka. Guyuran hujan yang menghunjam tubuhnya mulai terasa seperti butiran-butiran tajam. Issa menebarkan pandangan ke setiap penjuru. Kemudian, sambil menekan kegusarannya, dia beranjak masuk; mandi, dan ganti pakaian, lalu kembali ke beranda. Dia kembali mengamati bola kacanya. Beberapa kali dia menghela nafas panjang; mencoba menghalau kekacauan pikirannya. “Sekarang…” gumamnya —seperti dalam keadaan tidak berdaya, tapi bukan kecenderungan untuk putus asa. Yang dirasakannya adalah campur aduk antara kebuntuan; naluri dan, pasti, ketakutan. Dia bahkan tidak yakin harus menuding apa atau siapa. Bagaimanapun, dia sadar situasi saat ini tidak segenting seperti ketika dia memutuskan untuk meninggalkan Jakarta; meninggalkan pertarungan terakhir yang menelan banyak korban hanya dalam hitungan menit. Pikirnya, tanpa kesigapan Kelompok Harimau, dirinya akan berakhir dengan vonis mati. Karena itulah dalam hal tertentu dia tidak kuatir, tapi situasi sudah jauh berubah. Segala macam pertikaian bisa terelakkan, dan rasa takut makin kuat merambatinya. Issa mengangkat bola kacanya, hingga sejajar dengan arah pandangannya, “Tita…” gumamnya. Dan tetap saja benda itu tidak menunjukkan maksud Su’ Sinli. Rasa kesalnya berangsur jadi kemarahan, yang siap meledak. Tapi, dia langsung 82
mencoba meredamnya —dengan cara mengejek dirinya sendiri yang benar-benar konyol. “Aku benar-benar tolol…” dengan lesu, penat, dia membawa bola kaca itu ke dalam; menyimpannya di laci, lalu beranjak ke dapur; makan, dan menuang segelas teh. Sementara di luar hujan masih deras, membuatnya kuatir pada Nida serta teman-temannya. “Hujan lebat seperti ini…mana mungkin latihan basket…” gumamnya. Tidak lama setelah itu, telefon berdering. Issa mengangkat gagang telefon itu. “Halo,” kata Issa. “Kak Issa,” sahut suara di telefon, yang terdengar kecil, ringan, namun langsung menyelusup ke dalam kepala Issa, “aku Tita…” “Tumben nelfon, ada apa?” “Nida nginap di rumahku.” “Lho…kok bukan dia sendiri yang nelfon?” “Nggak tau, dia maksa aku sih.” Issa mengusap-usap kepala, “terima kasih, kamu rela mengalah sama anak kecil itu,” katanya. “Aku nggak keberatan kok,” Tita terdiam beberapa saat, “eh, Kak, kemarin aku….” Tita terdiam lagi. Issa menunggu, hingga beberapa saat, “ya? Kemarin kenapa?” “Eh…nggak jadi deh. Sudah dulu ya…” “Ta, sebentar…” sergah Issa. “Apa?” “Tolong jewer telinga anak kecil itu,” “Segera dilaksanakan, bye,” Issa meletakkan gagang telefonnya. Dia tidak bisa membantah perasaan lega yang baru saja didapatkannya —dan perasaan lega ini didapatkannya setelah mendengar suara Tita. Dia menghela nafas; mencela dirinya sendiri, lalu pergi ke beranda depan. Hujan masih belum reda, dan langit mulai gelap —diiringi sayupsayup azan. Saat dia hendak berbalik ke dalam, tiba-tiba saja terdengar suara tumbukan tak jauh di belakangnya. Ternyata itu Eka. Satu tangannya memegang payung, sementara yang satu lagi menjinjing sebuah sport-bag. Eka melangkah ke beranda yang teduh; meletakkan payungnya, lantas beranjak ke dalam. Tanpa berkata apa-apa, Issa mengikutinya. “Benar-benar khas kelompok harimau,” kata Eka sambil meletakkan sport-bag di dekat rak, lalu duduk bersandar pada dinding. Issa menatap pemuda itu, kemudian duduk di sisi lain, hingga posisi mereka berhadapan —dalam jarak hampir selebar lapangan basket. “Apa isi tas itu?” Tanya Issa. “Empat ratus juta…rupiah,” jawab Eka. “Darimana kau dapat sebanyak itu?” “Itu uangmu sendiri.” “Tidak masuk akal. Aku tidak merasa pernah mengumpulkan uang sebanyak itu.” 83
“Dengar, anggota Lingkaran Dalam tinggal kita berdua. Seluruh sisa aset milik para anggota lainnya, otomatis dipindahkan sebagai hak kita. Sekarang kau tahu aturan itu.” “Sudah aku bilang, aku bukan lagi anggota Kelompok Harimau,” kata Issa. “Kedunguanmu semakin bertambah,” sindir Eka sinis. Hingga bermenit-menit, mereka hanya saling pandang, bahkan sampai suara hujan tidak terdengar lagi. Kali itu, pikiran Issa kembali terarah, dia terfokus pada satu sasaran…Eka. “Sekarang…aku mengerti,” kata Issa, “aku memang sangat dungu. Tapi kau masih salah menilaiku,” dia tersenyum —sedikit menunjukkan kemenangan, “aku tidak punya kewajiban untuk menuruti kemauanmu.” “Kelihatannya kau tidak bisa membaca situasi ya?” Sorot mata Eka semakin tajam, “aku tidak pernah menilaimu. Tapi jangan berpikir kau bisa berkelit semudah itu,” katanya, lalu dengan sangat cepat dia menghentakkan tangannya ke arah Issa. Tanpa sempat mengelak, Issa terhantam hingga menabrak dinding. Tapi, sebentar kemudian dia cepat-cepat meredakan rasa sakitnya. “Apa maksudmu?” Tanya Issa geram. Eka beranjak bangkit, “pikirkan adikmu,” lantas dia melangkah menuju pintu. Issa, serta-merta, dan tanpa pikir panjang, langsung menghambur ke arah pemuda itu —bermaksud menghalanginya. Tapi Eka langsung menyambutnya dengan satu tendangan yang benar-benar telak. Issa terjengkang, jatuh bergulingan. “Jangan sentuh adikku!” Teriak Issa, tapi Eka sudah keburu pergi. Issa masih gemetaran. Dia buru-buru menuju telefon; membuka buku catatan, dan setelah menemukan nomer telefon Tita, dia segera menghubunginya. “Tita?” “Ya…Kak Issa?” “Panggilkan Nida.” “Ada apa sih Kak?” “Panggilkan Nida…” nada suara Issa mulai geram, tidak sabaran. Selama beberapa saat dia tidak mendengar tanggapan Tita, tapi sebentar kemudian dia bisa mendengar suara Nida. “Halo, Kak…jangan marah-marah sama Tita, dasar raja tega. Awas kalau Kakak marah-marah lagi sama Tita.” “Nid…” “Iya, ini aku, adik Kakak yang manis; baik, penuh perhatian…” “Iya…” potong Issa dengan perasaan lega, “rasa kangenku sudah terobati.” “Kangen sama aku, atau sama Tita?” “Putuskan sendiri,” kata Issa, lantas menutup telefon. Dia benar-benar merasa lega —seolah-olah baru kali itu dia mendengar suara adiknya. Saat itu, dia berjanji pada dirinya sendiri, selama dirinya masih bernafas, dia tidak akan membiarkan seorang pun mengusik adiknya. Issa meresapi saat-saat yang melegakan itu, seolah-olah memang hanya itulah yang penting —sesuatu yang membuatnya masih bisa bertahan. 84
Setelah rasa sakit akibat pukulan Eka reda, dia beranjak ke dapur; membuat minuman jahe. Dan setelah menghabiskan minuman itu, dia pergi ke kamar adiknya, tidur, meredakan ketegangan yang tersisa. [2] Rumah TitaHampir jam sepuluh. Nida dan Tita di ruang tengah; duduk berselonjor sambil bersandar ke sofa. Di meja depan mereka ada laptop; printer, setumpuk koran dan kertas folio. Terdengar lagu-lagu M2M dari laptop itu. Sejenak, Nida memijat-mijat pergelangan tangannya. Hampir satu setengah jam tadi dia mengetik artikel-artikel yang dibacakan Tita. “Masih banyak?” Tanya Nida. “Tinggal lima artikel,” jawab Tita, “eh, kakakmu nggak apa-apa kan?” Tanyanya. Suara Issa yang terdengar seperti bentakan tadi masih berdengung di kepalanya, yang membuatnya merasa tidak enak. “Kakakku nggak biasa ditinggal sendirian, kelakuannya jadi aneh ya,” “Bukannya kamu yang suka aneh-aneh?” Nida mengerutkan dahi; memandang Tita dengan sorot mata menyelidik, “tibatiba kamu berpihak pada kakakku. Kalian memang pasangan yang aneh,” katanya. “Enak saja. Siapa yang berpasangan? Dasar cewek kelas dua SMP.” “Dasar cewek lemah mental,” balas Nida, “kenapa sih kamu selalu bilang aku kelas dua SMP,” dia tidak mau kalah. Sebentar kemudian dia memasang beberapa lembar kertas ke printer, dan memulai proses mencetak beberapa artikel yang sudah dikoreksi. Sebenarnya, kesunyian malam itu membuat Nida mencemaskan kakaknya — lebih dari biasanya. Juga, kemunculan Eka dan sindirannya benar-benar membelit pikirannya. Dia sama sekali tidak mengerti kenapa orang itu muncul. Dan dia semakin takut karena dia merasa orang itu punya urusan tertentu dengan kakaknya. “Ta,” kata Nida, masih memandangi Tita yang sekarang sibuk mengetik. “Apa?” Tanya Tita tanpa menoleh. “Kamu mulai mirip kakakku,” jawab Nida. Tita langsung menoleh, sejenak menatap Nida dengan sorot mata galak, “ngaco, apanya yang mirip,” katanya, lantas kembali mengetik. “Kalian sama-sama membuatku pusing,” jawab Nida. “Bukan itu. Kamu memang mengalami kelainan,” kata Tita. Beberapa menit kemudian dia menoleh lagi, dan mendapati temannya itu sudah terlelap, “dasar penjajah, cepat sekali tidurnya…” dia beranjak sebentar ke kamar; mengambil selimut, lalu kembali ke ruang tengah dan menyelimuti Nida. Dia sendiri mengetik lagi, hingga menjelang jam sebelas. Tita menyudahi pekerjaannya. Setelah mematikan laptop, dia mengenakan sweater; menuang secangkir capucino, lantas pergi ke teras depan. Saat itu hawanya luar biasa dingin. Dia duduk di kursi yang terbuat dari anyaman rotan tebal dengan bantal tipis sebagai alas. Tidak seperti biasanya, malam minggu terasa tidak seberapa menyenangkan. Dan kali itu dia tidak tahu apa penyebabnya. 85
Sampai setengah jam lebih, dia masih duduk di tempat itu. Hingga sebentar kemudian suara Nida mengejutkannya. “Mau jadi penunggu rumah ya?” Nida berdiri di dekat pintu. “Kok sudah bangun?” “Dingin, selimutnya kurang tebal,” jawab Nida, lalu duduk di dekat Tita. “Maaf, aku lupa nutup pintu,” kata Tita. “Nggak apa-apa,” Nida mencicipi capucino Tita, “kamu nggak bisa tidur ya?” “Belum ngantuk.” “Kamu mulai suka melamun,” kata Nida. “Ah, itu biasa. Bukan kelauan aneh kan?” “Kamu memikirkan kakakku ya?” “Mulai lagi deh…” “Waktu masih tinggal di Jakarta, kakakku pernah punya pacar. Mereka jalan bareng sampai kelas dua SMA.” “Oh ya…” Tita mulai memperhatikan. “Mereka putus setelah kakakku dikeluarkan dari sekolah.” “Kenapa?” “Orang tuanya memaksa. Mereka benci sama kakakku.” “Memangnya, apa yang dilakukan Kak Issa?” “Kakakku berkelahi. Yang dia hajar, genk siswa dari sekolah lain. Kebetulan, salah satu anggota genk itu kakak pacarnya. Kakakku nggak peduli…dia nggak mau membuat pengecualian.” “Cuma kakakmu yang dikeluarkan?” “Iya…dia berkelahi sendirian,” jawab Nida, “sebenarnya…aku bersukur…” “Kok begitu?” Tita heran. “Kalau waktu itu kakakku mengajak rekan-rekannya, hasilnya akan lebih parah.” “Laki-laki suka sekali berkelahi,” gumam Tita. “Itu bisa diubah…” “Kenapa nggak?” Nida tersenyum, “tidur yuk, bobot mataku sudah lima ton,” katanya, lalu beranjak masuk. Tita menyusulnya. Malam itu mereka tidur di ruang tengah, setelah memastikan pintu dan jendela-jendela terkunci rapat, dan membiarkan satu lampu tetap menyala. [3] Selepas jam 4 dini hariIssa baru saja terbangun. Sejenak dia duduk, sekedar meredakan sakit kepala yang biasa dialaminya setiap kali bangun tidur. Setelah sakit kepalanya reda, dia merapikan tempat tidur adiknya, lalu pergi ke dapur; menanak nasi dan menjerang air. Kemudian, sambil menunggu, dia beranjak ke ruang utama; memindahkan sportbag ke tempat yang aman, lantas menuju pelataran depan; melakukan rangkaian pemanasan. Saat itu hawa dingin terasa sampai menusuk sumsum tulang. Setengah jam dia melakukan pemanasan; hingga bisa mengimbangi terjangan hawa dingin. Sesudah pemanasannya cukup, dia kembali ke dalam; menyapu dan 86
mengepel. Sesekali dia menengok ke luar —berharap Nida sudah pulang. Bukan kecemasan yang dirasakannya, melainkan rasa kangen yang sebenarnya terasa menggelikan. Untuk beberapa saat, setelah selesai bersih-bersih; dia berdiri mematung di ruang utama. Baru sekarang dia merasa ruangannya terlalu luas dan aneh…perasaan yang cepat-cepat diabaikannya, kemudian beralih mengambil bola kacanya. Issa menatap bola kaca itu lekat-lekat, “kita tidak punya banyak waktu kan?” Gumamnya, kemudian mengembalikannya ke laci. Setelah itu dia menuju dapur; menuang minuman jahe ke poci. Dia mulai merasa sedang menjalani penantian yang sangat lama. Dan dia mencela dirinya sendiri, karena baru sekarang menyadari selama ini dirinya begitu sok dan tidak benar-benar cermat. Dia mengakui, ternyata, dia tidak yakin pada dirinya sendiri. Dia membenarkan kata-kata Su’ Sinli —meskipun tetap saja itu menempatkannya dalam kebingungan. Sebenarnya, bahkan sampai saat itu, dia berpikir meditasi akan sedikit berguna. Tapi dia segera menepisnya. Dia anggap pikiran itu akan semakin mendorongnya pada sikap serba pesimis. Situasi yang benar-benar mengganjal. “Penghancuran yang benar-benar hebat…” Issa menghela nafas dalam-dalam, lalu dia mematikan kompor. Setelah itu dia mengambil toya lentur dan pergi ke pelataran depan. Sejenak, dia memainkan toya itu dengan tenang dan sangat cekatan. Saat dia bermain toya sambil bergerak lincah ke berbagai arah, langit berangsur terang, dan hawa dingin sedikit berkurang. Akhirnya, dia melakukan rangkain teknik toya beruntun dan menghantamkannya ke delapan penjuru. Tanpa tergesa-gesa, dia menarik nafas dalam-dalam; menghembuskannya pelan-pelan, hingga timbul perasaan lega. Tidak lama kemudian, Nida muncul; tampak suntuk. “Pulang sendiri?” Tanya Issa. “Diantar Tita sampai depan komplek, terus, dia langsung ke gereja.” “Kamu begadang ya?” Nida menggeleng; masih terlihat sangat mengantuk. “Lebih baik kamu tidur. Semua pekerjaan rumah sudah kubereskan.” ”Masak juga?” Tanya Nida. Issa mengangguk. Nida langsung mencubit pipi kakaknya itu dengan gemas, “hebat, hebat. Berarti Tita nggak salah pilih nih,” katanya, sambil cekikikan dia masuk ke dalam. Issa geleng-geleng. Sampai saat itu dia sama sekali tidak merasa terganggu keusilan adiknya. Dia justru heran karena Nida benar-benar tidak mengenal kata menyerah, “dasar serigala penyihir…” gumamnya. Sejurus kemudian pandangannya tertumbuk ke arah atap. Eka duduk disana deengan santai sambil menghisap rokok. Dia mendesah lirih; menekan kegeraman yang langsung meletup-letup. Dia meletakkan toyanya, lalu dengan sekali hentak melompat ke atap; duduk tak jauh di samping pemuda itu. 87
“Bisa-bisanya kau datang kesini saat adikku di rumah. Kau mulai sinting ya? Otakmu benar-benar tidak beres.” “Sambutan yang ramah,” kata Eka tenang, “tapi itu kurang kreatif.” “Aku tidak senang kau terus-terusan menyatroni rumahku.” “Aku tahu kau bodoh, tapi tidak perlu panik begitu kan? Belajarlah untuk bersikap tenang.” “Omong kosong!” Kata Issa —geram bukan main, “kau tidak pantas bicara begitu. Jelas-jelas kau merusak ketenangan yang sudah susah payah aku bangun.” “Oh ya…benar-benar kejutan. Aku baru tahu kalau pengecut bisa bersusah payah.” “Kau datang hanya untuk mengejekku? Silahkan buang-buang waktu.” “Aku hanya bersenang-senang, bukannya buang-buang waktu. Kurasa kau perlu sering membaca kamus.” “Kau benar-benar sakit,” balas Issa dengan sengit. “Hm…kenapa tidak kau katakan itu pada orang-orang yang sudah kau bunuh…” Issa terhenyak. Dia sama sekali tidak bisa membantah sindiran itu. Dia hanya bisa menertawai dirinya sendiri, sebab sekarang dia merasa prinsip bertahan yang selama ini dipegangnya tak lebih dari omong kosong. “Aku akan ikut ke Jakarta…apa lagi yang kau inginkan…” kata Issa dengan nada nyaris menyerah. Dia merasa tidak punya pilihan lain. “Sebenarnya, aku sendiri menyesali urusan bodoh ini,” Eka membuang rokoknya, lalu berkelebat pergi. Issa mendesah. Bukan main kejengkelan yang dirasakannya. Dan lagi-lagi dia merasa tidak berdaya. Kemudian dia melompat turun; mengambil toyanya, lantas masuk ke rumah; menggelar matras dan tidur.***
88
Bab 13 [1] Jam enam pagiTita dan Rani menunggu Nida di beranda depan, sementara Issa memeriksa sederetan tanaman di pot-pot yang berjajar rapi di pinggiran teras. “Nggak dibantu?” Tanya Rani. Dia melihat Tita sedari tadi memandang ke arah lain, tapi sesekali juga mencuri pandang ke arah Issa. “Apanya?” Tanya Tita. Rani menuding kearah Issa. Tita langsung merengut. “Kamu benar-benar sudah ketularan Nida,” kata Tita. “Aah, nggak usah malu-malu, berita sudah tersebar,” goda Rani. “Uh, berita sama gosip bedanya jauh lo,” kilah Tita. “Begitu ya? Tapi yang ini jelas bukan gosip kok,” kata Rani, tersenyum geli karena dia tahu Tita berusaha keras agar tidak tampak gugup. “Untung saja kita satu gereja. Kalau enggak, kamu pasti sudah kupaketkan ke Timbuktu,” rutuk Tita. “Nah, kan…kamu yang ketularan Nida.” Tita mendengus kesal, hingga Nida muncul sambil cengar-cengir. “Dasar lelet,” omel Tita. Dia dan Rani beranjak berdiri. “Dia kesurupan ya?” Tanya Nida pada Rani, setengah berbisik. Rani hanya geleng-geleng kepala. “Ayo berangkat,” kata Rani. Ketiga gadis itu menuju mobil Tita yang diparkir di depan pintu pagar. “Nid, sini sebentar,” panggil Issa. Nida menghampiri kakaknya itu, “ada apa Kak?” Tanyanya. “Hari ini aku mau menginap di Neigong. Jadi, pulang sekolah nanti kamu langsung ke rumah Rani,” kata Issa, lalu memberinya uang saku. Nida mengangguk, lalu beranjak pergi. Issa menarik nafas dalam-dalam; mengawasi sampai anak-anak itu berangkat, kemudian dia menyirami deretan tanamannya, dan bersiap-siap pergi ke Neigong. [2] NeigongSaat itu menjelang siang, ketika para anggota junior kembali —setelah mengerjakan pekerjaan rutin mereka. Pada saat yang hampir bersamaan, beberapa peserta kelas ortodoks baru saja selesai menjalani sanshou dengan Issa, yang menggunakan teknik non-ortodoks. Setelah istirahat dan makan bersama, para peserta kelas ortodoks itu berpamitan pergi. 89
“Kemajuan mereka sangat mengejutkan ya?” Kata Su’ Sinli pada Issa. “Sepertinya, saya sudah tidak mampu lagi mengajar kelas ortodoks,” jawab Issa. Sejenak Su’ Sinli mencermati anak muda itu, “begitu ya? Jadi, kau sudah benarbenar paham?” “Saya sendiri tidak yakin. Tapi, bagaimanapun juga saya tidak bisa mengulur-ulur waktu.” “Kau terlalu pesimis. Itu menghalangimu bersikap tegas.” “Saya tahu. Tapi harus bagaimana lagi, semuanya serba tidak jelas. Dan saya tidak punya pilihan lain.” “Ada yang belum kau ceritakan,” kata Su’ Sinli. “Dia memaksa saya ikut ke Jakarta. Dan saya sama sekali tidak bisa menebak apa yang dia rencanakan.” “Kenapa kau tidak menolak?” Tanya Su’ Sinli —sedikitpun tidak berniat mempengaruhi Issa. Sesaat lamanya Issa terdiam, “saya harus ikut. Mungkin, dengan begitu masih ada peluang untuk menghadapinya.” Su’ Sinli mengangguk-angguk, dia memahami kesulitan yang dihadapi anak muda itu. Dia mulai merasakan situasi yang buruk, namun tetap menunjukkan sikap yang begitu tenang. “Kita tidak bisa menjalani apa pun tanpa keyakinan,” kata Su’ Sinli. “Sekarang, untuk mendapatkannya benar-benar sulit.” Su’ Sinli tertawa, “ada yang luput dari perhatianmu.” “Maksud Su’ Sinli?” Su’ Sinli menepuk-nepuk pundak anak muda itu, “kau masih ingat opera Song Kang yang pernah dipentaskan disini?” Tanyanya. Issa mengangguk. “Kau tahu kenapa Lin Chung paling dikenang?” “Kemahirannya mengatasi masalah…” tebak Issa. Su’ Sinli menggeleng-geleng; tertawa kecil. “Ayo,” katanya sambil beranjak; menyulut sebatang kretek, lalu menuju pintu kayu di seberang aula. Issa mengikutinya. Pintu itu menghubungkan aula dengan tempat terbuka yang terhampar di belakang Neigong. Dari pintu ini mereka menelusuri jalan kecil yang diapit hamparan ladang jagung. Setelah setengah jam berjalan, mereka sampai di komplek pemakaman Tionghoa. Bau hio benar-benar terasa; seolah-olah hampir memenuhi udara. Su’ Sinli membakar sebatang hio, lantas menuju sebuah gazebo. Sementara itu Issa menebarkan pandangannya. Dia melihat berbagai macam sesaji, dan disanasini kertas kuning berserakan. Setelah itu dia menyusul Su’ Sinli. “Setiap tahun di bulan ini, selalu ada perayaan Qing Ming. Mereka yang hidup menghormati para leluhur. Orang-orang yang dimakamkan disini aku pandang seperti sosok Lin Chung,” kata Su’ Sinli, mendesah panjang, hingga Issa tertegun. “Su’ punya firasat buruk?” Tanya Issa kuatir, tapi lagi-lagi Su’ Sinli tertawa. “Hatimu masih kacau,” kata Su’ Sinli. 90
“Su’ senang sekali membuat orang lain penasaran.” “Ya…urusan ini, ternyata, kau masih ahli.” “Seahli apa pun, kenyataannya, itu tidak selalu berguna,” Issa masih berharap Su’ Sinli memberinya sedikit petunjuk. “Kau tidak bisa mengenali dirimu sendiri?” Tanya Su’ Sinli. Sejenak dia dan Issa beradu pandang. “Begitu? Sepertinya, saya mulai memahaminya,” kata Issa. “Jangan terburu-buru,” Su’ Sinli menghela nafas panjang, “anak muda tidak pernah memiliki kesabaran yang cukup,” lanjutnya. Issa tercenung, dia merasa melakukan kesalahan lagi, “maksud Su’ Sinli… selama ini saya tidak cukup bersabar?” “Kau sendiri yang lebih tahu,” kata Su’ Sinli; sekali lagi menepuk-nepuk pundak Issa. Agak lama mereka terdiam, sambil meresapi hembusan angin semilir; yang membuat aroma hio berkutat di tempat itu. Sesekali terlihat kertas-kertas kuning melayang kesana-kemari saat diterjang angin, lalu jatuh di sembarang tempat. “Kalau dilihat sekilas…itu seperti tanda keberuntungan,” kata Issa. Su’ Sinli mengikuti arah pandangannya. “Ya, jadi orang harus selalu waspada,” kata Su’ Sinli dengan nada prihatin. Mereka di komplek itu hingga menjelang sore. Saat hembusan angin menerjang hamparan ladang jagung, dan menimbulkan suara gemerisik, Su’ Sinli mengajak Issa kembali ke Neigong. Selagi Su’ Sinli beristirahat di ruangan yang biasa digunakan sebagai tempat meditasi, Issa dan rekan-rekannya berbagi tugas, ada yang menyapu; merawat tanaman-tanaman, dan sebagian lagi memasak; menyiapkan makan malam. Setelah semua pekerjaan selesai, Issa menyibukkan diri di aula Pa Hsien. Dia menjajagi deretan ting —dia sudah lama tidak melakukannya, bahkan memang dia tidak pernah bermain barongsai atau liong. Di saat-saat seperti itu, dia merasa salut pada para pemain barongsai. Pikirnya, atraksi seperti ini benar-benar beresiko, dan yang berhasil melakukannya tanpa cedera pastilah memiliki kondisi mental yang sangat baik. Dari ujung deretan ting, Issa meloncat turun dengan gerakan jungkufan. Dia merasa sedikit lebih nyaman, lalu melepas lelah di gazebo. Saat itu langit mulai gelap, dan taburan bintik bintang samar-samar terlihat. [3] Menjelang malamRani dan teman-temannya berkumpul di rumah. Hari itu Tita ulang tahun. Sebelumnya, saat di sekolah, dia sudah mendapat jatah guyuran seember air, jadi dia terpaksa meminjam pakaian Rani —kebetulan ukuran badan mereka sepadan. “Kalian pasti dapat balasan,” omel Tita, terutama pada Linda dan Rossi yang paling bersemangat menyiramnya. “Duuh, dari tadi masih marah ya? Kita kan nyiram kamu karena rasa sayang,” kata Linda. 91
“Sayang apanya. Kalau giliran ulang tahun kalian, aku pasti melempar kalian ke laut,” Tita bersungut-sungut, sambil mengeringkan rambutnya dengan hair-dryer. “Ros, pulsamu masih banyak?” Tanya Nida pada Rossi. “Masih,” Rossi menyodorkan handphonenya pada Nida, “mau nelfon siapa sih?” “Tebak deh…” kata Nida. “Paling-paling nelfon Raka,” sahut Tita, “gampang ditebak,” katanya. “Yee, salah tebak, Non. Aku mau nelfon Kak Issa,” kata Nida. Tita tersentak; cepat-cepat meletakkan hair-dryernya dan langsung menghambur ke arah Nida, “nggak usah,” katanya sambil berusaha merebut handphone itu. Rani, Linda dan Rossi hanya bisa geleng-geleng. “Terserah aku dong,” kata Nida, masih bertahan. “Pokoknya nggak boleh!” Tita ngotot, tapi sudah tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi kelincahan tangan Nida yang menghalau setiap geraknya. “Halo,” kata Nida. “Ya, siapa ini?” Tanya suara di seberang. “Aku Nida. Kak Issa masih di Neigong kan?” “Ya, perlu aku panggilkan?” “Eh…nggak usah. Aku cuma mau titip pesan. Tolong bilang sama Kak Issa, hari ini Tita ulang tahun,” “Begitu saja?” “Iya, terima kasih ya,” kata Nida, lalu sambil tersenyum-senyum memberikan handphone itu pada Tita, “silahkan, Kakak Ipar,” katanya, membuat Rani, Linda dan Rossi tertawa. Tita benar-benar terlihat salah tingkah. Tapi dia berusaha menutupinya dengan memasang tampang cemberut. “Benar-benar apes,” rutuk Tita. Dengan kesal beranjak ke komputer; membuka program jukebox dan memilih beberapa lagu. Lagu pertama yang terdengar, Emotion —kolaborasi Samantha Sang dengan Bee Gees. “Soundtracknya klop,” kata Nida. Serta merta, dengan gemas setengah mati Tita menyergapnya; menggelitiknya tanpa ampun. “Ampun…ampun,” kali itu Nida tidak sempat lolos. Baru beberapa saat kemudian Tita melepaskannya. “Kapok nggak?” Ancam Tita. “Kapok deh, Kakak Ipar…” jawab Nida, langsung menghindar; berlindung di belakang Rani. “Nidaaaa…” Tita mencoba menangkap temannya itu; menyiapkan serangan balasan. Tapi Nida sudah sangat siap; menjadikan Rani sebagai tameng. “Sudah, sudah…sesama anak kecil nggak boleh bertengkar ya,” sergah Rani. “Mbak Rani, Mbak Tita…semuanya ditunggu di bawah,” seru Dani dan Palupi dari luar kamar. Suara mereka begitu girang dan bersemangat. “Ayo,” kata Rani, beranjak. Dia dan teman-temannya turun ke ruangan tengah. Di situ sudah ada ayah dan ibu Rani, juga Rara. Sementara di meja tengah terdapat nampan berisi kue lingkaran berlapis campuran blackforest dan karamel, dan di tengahnya terpasang lilin berbentuk angka 16. 92
Dani dan Palupi langsung menyerobot; menyanyikan lagu ulang tahun, sementara yang lain mengiringi dengan bertepuk tangan. Selesai nyanyian itu, Tita meniup lilinnya. Rara sudah menyiapkan beberapa tatakan, dan Dani serta Palupi kelihatan tidak sabaran lagi. “Mbak Tita, cepat potong kuenya,” desak Dani. “Iya, iya,” Tita mengambil pisau kecil, lalu membagi roti itu jadi enam belas potong; berturut-turut memberikan pada ayah dan ibu Rani, Rara, Rani, Rossi, Linda, Nida dan khusus untuk Dani dan Palupi masing-masing tiga potong. Setelah itu, Rani, Tita, Rossi, Nida dan Linda kembali ke kamar. Saat itu hampir jam sepuluh. Mereka mengerjakan beberapa tugas sekolah. Dan, sesekali, Nida menatap Tita. Hingga kemudian dia terhenyak. Dia mulai dihinggapi perasaan tidak mengenakkan, yang membuatnya berdebar-debar. Pelan-pelan, matanya mulai berkaca-kaca; air matanya bergulir. Tadinya, teman-temannya tidak menyadari itu, tapi kemudian isakan lirihnya itu terdengar juga. Tentu saja mereka terkejut dan cemas bukan main. Linda yang duduk di sampingnya buru-buru merangkulnya, “kamu kenapa sih? Tiba-tiba nangis,” tanya Linda. “Aku takut,” jawab Nida, suaranya agak serak. “Takut apa?” Tanya Rani bingung. Nida menggeleng-geleng, dia sendiri benar-benar bingung. Di satu sisi, dia takut kakaknya masih berurusan dengan Kelompok Harimau, sementara di sisi yang lain dia berusaha menyingkirkan rasa takut itu. Teman-temannya mencoba membujuknya, hingga dia bisa meredam tangisannya. “Jangan bilang Kak Issa kalau aku nangis,” kata Nida. “Kenapa?” Tanya Rani, semakin heran. “Kalau tahu aku nangis, dia pasti akan ngamuk. Aku nggak mau melihat kakakku seperti itu…nggak lagi…” kata Nida, “kalian harus janji,” desaknya. “Iya, kami janji.” Kata Rani. Malam itu mereka menggelar karpet tambahan; meletakkan beberapa bantal berjajar, lalu berbaring berdampingan. Rani, Linda dan Rossi sudah terlelap. Sementara Nida dan Tita masih terjaga. “Nggak bisa tidur?” Tanya Tita. “Belum,” jawab Nida. “Kamu nggak apa-apa kan?” “Nggak,” Tita mencium kening Nida, “ya sudah, cepat tidur.” “Ah, asik sekali, punya kakak ipar yang perhatian.” Tita memiringkan badan; menatap temannya itu. Sekarang dia yakin, Nida selama ini tidak sok iseng, “Kak Issa pantas diacungi jempol gajah, bisa betah punya adik seperti kamu.” “Memang.” “Posisi kita sama,” kata Tita. “Apa?” 93
“Dia kan nganggap aku sebagai adiknya sendiri.” “Bohong,” kata Nida. “Aku nggak bohong.” “Maksudku, Kak Issa yang bohong,” kata Nida lebih serius. Spontan, Tita menoleh, hingga pandangannya bertatapan dengan Nida. Dia sama sekali tidak mendapati tanda-tanda kejahilan, “kamu yang bohong.” “Ya Tuhan…temanku ini tiba-tiba jadi lemot.” “Iya, si lemot ini mau ngasih saran.” “Apa?” “Mendingan kamu cari teman lain, yang sama-sama kelas dua SMP,” kata Tita, tersenyum senang. “Mulai lagi deh,” desah Nida. Perasaannya yang tadi kacau mulai reda. “Selamat tidur, cewek SMP, have a nice dream,” kata Tita. “Iya, Kakak Ipar.” “Yaah, belum tidur kok sudah dapat mimpi buruk ya…” “Cerewet,” balas Nida. “Nenek.” “Kamu lebih nenek.” Keduanya terus berbantahan; dengan suara lirih, sampai akhirnya diam terlelap. Malam terus merambat, dan komputer Rani masih menyala. Lagu-lagu itu diulangulang, karena mode repeatnya aktif; diiringi suara guyuran hujan.***
94
Bab 14 [1] Issa sampai di rumah saat adiknya sudah berangkat sekolah. Semua pekerjaan rumah, tampaknya sudah beres, bahkan di atas rak kecil di ruang utama telah siap seteko teh kental. Dia menuang segelas, sambil membaca secarik pesan yang ditinggalkan Nida. Di kertas berwarna kuning daun itu tertulis: Kak, kemarin ulang tahun Tita. Kakak wajib ngasih kado, hari ini juga! [nggak ada tawar menawar!]. “Benar-benar pantang menyerah,” gumam Issa, lalu menyimpan catatan itu dalam saku. Dia membuka laci; mengambil salah satu bola kaca dan membawanya ke kamar Nida. Di kamar adiknya itu dia duduk di depan meja belajar sambil mendengarkan radio. Bola kaca itu diletakkannya di atas meja. Dia sendiri mencari-cari kertas yang pantas untuk dijadikan pembungkus, hingga dia menemukan kertas linen dan kertas kado yang masih tergulung rapi. Beberapa saat lamanya Issa menatap lekat-lekat bola kaca itu. Tadinya dia merasa cukup memahami maknanya yang tersembunyi. Tapi, sekarang dia sadar itu tetap menjadi sebuah misteri —dan setiap kali dia berpikir bisa menyingkapnya, yang dia dapati malah tabir misteri lainnya; sesuatu yang sebenarnya membuatnya merinding. Lantas, tanpa tergesa-gesa dia membuat kotak kecil dari kertas linen — yang cukup sebagai tempat bola kacanya. Lalu, setelah memasukkan bola kaca itu, dia membungkusnya dengan kertas kado. Keraguan merambati benaknya, saat memandangi kado kecil itu. Yang membuatnya geram, sosok Tita semakin sulit disisihkan —hingga dia tahu pikirannya memang masih kacau. Sebentar kemudian, dengan beberapa tarikan nafas panjang, dia mencoba meredam kekacauan itu. Lama dia terpaku. Pandangannya tidak lepas dari kotak kado, sementara ingatannya terseret menuju masa SMAnya. Lima tahun yang lalu, di bulan yang sama, dia memberanikan diri pergi ke rumah Frida. Saat itu tanggal 25, Frida ulang tahun. Dia ingin memberi sebuah kado, meskipun situasi masih sangat runyam. Dia tahu, di mata keluarga Frida dirinya tak lebih dari berandalan yang pantas dikutuk. Dan keinginannya itu tidak pernah terwujud. “Tita…” Issa tertunduk lesu. Pelan-pelan, ada rasa takut tersendiri yang mulai merambatinya. Dia sadar, ini bukan lagi keisengan untuk menyenangkan adiknya. Hampir satu jam dia terpaku dalam posisinya; melebihi patung. Lalu, setelah merasa cukup tenang, dia pergi mandi; ganti pakaian dan mencicipi masakan Nida. [2] Di sekolah95
Ruang kelas XI-5, saat pelajaran matematika berlangsung, pikiran Nida bukannya tertuju ke whiteboard yang nyaris dipenuhi persamaan-persamaan trigonometri. Dia malah sibuk komat-kamit dalam hati, “Kak Issa, datanglah, disini ada Tita. Datang nggak dijemput, pulang nggak diantar…” dia jadi merasa geli sendiri, menyamakan kakaknya dengan jailangkung. Meskipun itu menggelikan, dia percaya selama ini antara dia dengan kakaknya ada suatu benang merah yang sangat khas; sesuatu yang hanya bisa melewati jalur keanehan —semacam telepati, tapi tentu saja benang merah ini lebih dari sekedar telepati. “Nida, kamu masih di kelas?” Tegur Bu Maria tegas, membuat Nida nyaris gelagapan. “Masih, Bu,” jawab Nida cepat. “Begitu ya?” Bu Maria mengernyitkan dahi, “nilai sinus antara pengamat dengan obyek makin besar. Coba kamu rumuskan jaraknya,” Sejenak Nida terdiam; mengingat-ingat kembali fungsi trigonometri dan phytagoras, “pengamat semakin menjauhi obyek,” jawabnya; ragu-ragu. Bu Maria mengangguk-angguk, “kamu keluar dulu sebentar, cuci muka —biar tidak lesu,” katanya. Nida terhenyak, jawabannya yang untung-untungan itu ternyata meleset. Sebentar kemudian dia beranjak keluar. Saat itu hampir mendekati jam istirahat. Dia cuci muka sebentar, lalu pergi ke kantin. Dan, tidak disangkanya, kakaknya ada disitu; duduk sendirian di salah satu bangku. Dengan girang dia cepat-cepat menghampirinya. “Tumben Kakak kesini,” kata Nida bersemangat. “Bukannya kamu yang memaksa?” “Lho…aku kan nggak mengharuskan Kakak kesini…” Nida cengar-cengir —lebihlebih saat melihat raut muka kakaknya berubah. “Berarti aku salah paham,” kata Issa. “Salah paham…atau salah paham? Dasar, bilang saja kalau mau cepat-cepat ketemu Tita.” Issa menghela nafas panjang —percuma saja berkelit. Sebentar kemudian dia mengeluarkan kado kecil dari saku jaket, dan meletakkannya di meja, “aku titip untuk Tita,” katanya, sambil beranjak, tapi Nida cepat-cepat menariknya agar duduk lagi. “Mau kabur ya? Enak saja! Berikan sendiri dong,” kata Nida. “Dasar setan kecil,” rutuk Issa. Nida beranjak sebentar —memesan dua gelas minuman dingin, lalu kembali duduk di samping kakaknya, “sabar ya, jam istirahat sebentar lagi kok,” kata Nida. “Apa boleh buat,” Issa menyerah. “Jangan pesimis begitu dong. Semangat! Jia you!” Issa mengalihkan pandangannya ke arah lain, hingga beberapa menit kemudian terdengar bunyi bel —tanda jam istirahat. Perasaannya mulai berdebar-debar, sementara adiknya berdendang dengan suara lirih. “Tuh, Tita...” kata Nida. 96
Issa menoleh; melihat teman-teman Nida di antara kerumunan siswa-siswi lainnya. Yang paling membuatnya berdebar-debar, tentu saja Tita. Dia merasa terjebak dalam situasi yang aneh dan membingungkan, dan tidak ada jalan untuk meloloskan diri. “Kak,” teman-teman Nida menyapa Issa. “Hai,” Issa mengangguk. Teman-teman Nida, termasuk Tita, duduk di sisi yang lain, hingga mereka berhadap-hadapan dengan Nida dan Issa. Saat itu, hanya Tita dan Issa yang tampak seperti patung, sementara yang lain menatap mereka berganti-ganti. Nida menyikut tangan kakaknya, lalu berbisik, “jangan seperti orang idiot.” Issa berusaha keras agar tidak terlihat gugup, lantas, tanpa bicara sedikitpun menyodorkan kadonya ke depan Tita. “Buat aku ya?” Tanya Tita ragu-ragu. “Kalau tidak mau, ya sudah…” Issa menarik kembali kado kecil itu. Nida langsung menonjok lengan kakaknya itu, “apa-apaan sih?” Issa kembali menyodorkan kado kecilnya ke depan Tita, “aku dipaksa,” katanya —membuat teman-teman Nida tersenyum geli. Sebaliknya, Tita malah tampak cemberut, dan Issa bertambah gugup. “Aku nggak mau pemberian terpaksa,” kata Tita kesal. “Ta, jangan sadis begitu dong,” kata Dini. “Kalau kamu tidak suka, buang saja,” kata Issa, lalu beranjak pergi, membuat Nida dan teman-temannya terhenyak. “Kok dia marah?” Tita gugup, dan merasa tidak enak. “Kamu sih, sok sadis begitu,” kata Rani. Sejenak lamanya Tita terdiam; menatap kadonya lekat-lekat. Sebentar kemudian dia cepat-cepat menyusul Issa. “Kak,” panggil Tita, bergegas menghampiri Issa di depan gerbang sekolah. Issa menghentikan langkahnya, “ada apa?” Tanyanya. “Kenapa Kakak marah?” “Aku tidak marah,” bantah Issa. “Bohong, jelas-jelas Kakak marah,” Tita menatap anak muda itu. “Maaf…” kata Issa, cepat-cepat menghindari tatapan itu —yang mebuat degub jantungnya makin kencang. “Aku yang salah…” kata Tita, “aku nggak bermaksud menolak hadiah Kakak.” “Aku hanya ingin menyenangkan hati setan kecil itu,” kata Issa, “jadi, kamu tidak usah curiga.” Tita tercenung, kata-kata itu membuatnya kecewa, “iya, aku ngerti kok. Buat Kak Issa, aku ini nggak lebih dari adik sendiri kan?” katanya, sambil menahan rasa jengkel yang berbaur dengan kekecewaan yang menusuk, “makasih, sudah repotrepot ngasih aku kado.” Katanya ketus, lalu berbalik, hampir saja beranjak pergi. Issa segera menahannya; meraih tangannya penuh perasaan gusar. Dan ketika gadis itu tidak jadi pergi, dia cepat-cepat melepaskan genggamannya sambil minta maaf. 97
“Kita sama-sama jadi korban si setan kecil. Lebih baik kita berdamai saja, bagaimana?” Agak lama Tita terdiam, sesekali menatap anak muda itu, lantas dia mengangguk —kejengkelannya pelan-pelan surut, “sekarang, Kakak mau kemana?” “Pulang.” “Nggak betah ya disini?” Tanya Tita. “Tergantung.” “Apa?” Issa tidak segera menjawab, dia hanya memandangi gadis itu —dan ini membutuhkan keberanian yang cukup besar, “bukan apa-apa.” “Tuh kan…nggak jelas,” rutuk Tita. Issa tersenyum, “sudahlah, jangan lama-lama disini,” katanya. “Kok ngusir?” “Bukan begitu, aku hanya kuatir si setan kecil itu sudah menggosip sampai level tiga puluh.” Tita mengangguk-angguk, “susah juga ya punya adik jahat,” katanya. “Tidak apa-apa. Aku punya adik cadangan kok.” “Siapa?” Tanya Tita cepat. Issa tersenyum, “kamu tidak perlu tahu,” katanya, lalu beranjak pergi. “Aku juga nggak mau tahu!” Bentak Tita penuh kejengkelan. Issa berhenti sebentar; melihat Tita berlalu. Dia merasa bersalah, tapi dia terpaksa membiarkannya. Dia meneruskan langkahnya; menelusuri trotoar. Perasaannya seperti sebuah wadah kosong yang retak disana-sini. Sementara itu Tita kembali ke kantin, dan teman-temannya langsung bisa melihat kejengkelannya. “Nggak jadi berbaikan ya?” Tanya Rani penasaran. Tita tidak menjawab, hanya mendesah sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain. Teman-teman Tita —termasuk Nida— tahu, di saat seperti itu mereka tidak bisa menggodanya. “Sudah ya, anggap saja Kak Issa bersalah. Nanti, biar aku paksa dia minta maaf sama kamu,” kata Nida. “Nggak usah. Kamu masih kecil, nanti urusannya tambah ruwet,” kata Tita — membuat teman-temannya jadi bingung; bertanya-tanya, sebenarnya Tita benarbenar marah atau hanya pura-pura? Sejenak kemudian mereka terbenam dalam benak masing-masing; suasana terasa kaku dan terlalu serius, sampai jam istirahat berakhir. [3] Menjelang siangIssa tidak langsung pulang. Dia pergi ke alun-alun kota, dengan menahan kegusaran yang benar-benar membuatnya tidak nyaman. Dan sepanjang perjalanan ini dia, mau tak mau, mengakui itu karena masalah dengan Tita. Dia teringat kembali pada perkataannya beberapa waktu lalu —tentang perasaan senang jika ngobrol dengan Tita. Sekarang dia tahu, dirinya terjerat oleh kata-katanya sendiri. 98
Sampai di alun-alun kota, dia beristirahat di salah satu tempat duduk yang sepi; agak jauh dari hiruk-pikuk orang-orang di areal itu. Dia menyandarkan punggung, lantas menghirup nafas dalam-dalam; menahannya sebentar, kemudian menghembuskannya pelan-pelan dan mengulanginya beberapa kali. Dari tempatnya duduk, hiruk-pikuk yang terlihat seperti sesuatu yang semrawut: orang-orang yang lalu lalang; arus kendaraan memadati lalu lintas, juga keramaian di deretan-deretan pertokoan di seberang alun-alun. Dan di saat seperti itu dia merasa sedang mendapati pemandangan yang nyaris terasa asing. Sementara yang berkutat di benaknya benar-benar tidak searah. Lagi-lagi ingatannya terseret pada sosok Frida. Waktu itu, usai sekolah, Frida menyodorkan potongan artikel koran. Melihat pola potongannya yang tidak rapi, Issa mengira Frida melakukannya dengan jengkel. “Untuk apa?” Tanya Issa. “Baca sendiri,” jawab Frida, tetap dengan nada lembut, tapi Issa bisa merasakan sesuatu yang sangat mengganjal. Issa pun membaca artikel itu, yang berisi berita tentang tawuran di Pasar Baru —antara anak-anak STM dengan anak-anak SMA. “Aku tidak ikut-ikut tawuran ini,” kata Issa sambil meremas artikel itu dan membuangnya. “Kalau abangku turun tangan, urusan bisa tambah runyam,” kata Frida; menunjukkan kecemasan, “aku nggak mau kamu terlibat.” “Dari dulu, sekolah kita dengan sekolah kakakmu musuh bebuyutan. Aku tidak bisa berjanji apa-apa,” kata Issa. Dia benar-benar tidak berani memandang Frida. Dan dia memang tidak bisa menjanjikan apa pun. Nyatanya, beberapa hari kemudian dia melabrak serombongan anak STM, teman-teman sebasis kakak Frida. Bahkan kakak Frida juga tidak punya kesempatan melawan. Issa menghajar mereka semua sampai babak belur. Sekarang sosok itu beralih menjadi sosok Tita. Sekali lagi dia mengatur pernafasan —sekedar meredam kekacauan yang merambatinya. Sejenak dia mendongak, mendapati sinar matahari semakin terik. Lalu sebentar kemudian dia beranjak pergi. [4] Sampai di rumah, kegelisahan yang menjalari Issa belum juga reda. Meskipun dia mencoba menyibukkan diri, ganjalan itu tetap saja mengusiknya. Hingga kemudian dia memaksakan diri melakukan meditasi; melawan kekacauan yang mengaduk-aduk benaknya. Bahkan, saat itu dia berharap cepat-cepat jadi gila, karena hanya dalam kondisi seperti ini dia bisa mengambil pisau panjang dan menyayat tatonya sendiri. “Nida, maafkan aku…” gumamnya berulang-ulang. Meskipun dia memiliki sedikit alasan untuk tenang, terutama karena ada Pak Handika, Raka, dan orang-orang Neigong —yang bisa diandalkan untuk menjaga Nida, tetap saja terasa berat. Dalam proses meditasi itu dia membiarkan semua kegelisahannya bercampur aduk dan saling bertumbukan. Bagaimanapun, dia sudah memastikan batasan kemampuannya. Dan, memang, yang menancap kuat di benaknya adalah 99
kenyataan dirinya tidak punya pilihan lain. Satu-satunya yang tersedia adalah jalan serba tidak jelas yang harus dia lewati —dan begitu menempuh jalan ini, resiko terburuk yang bisa dia perkirakan adalah tidak adanya kemungkinan untuk kembali. “Nida, maafkan aku…” katanya dalam hati; berulang-ulang seperti sebuah rapalan yang berputar-putar tanpa henti. Dia semakin jauh tenggelam dalam meditasinya, sampai-sampai tidak menyadari berapa lama dan dalam posisi apa. Saat itu menjelang setengah empat. Nida baru saja pulang. Dia tidak berani mengusik kakaknya. Dia mandi sebentar; ganti pakaian, lalu memasak dan menyiapkan seteko teh jahe. Tidak lama setelah itu Issa menyudahi meditasinya. Perasaannya mulai membaik, seolah-olah segalanya terlihat dengan pandangan yang benar-benar baru dan menenangkan. Lebih-lebih ketika dia mendapati adiknya duduk menunggu sambil membaca buku. “Tumben,” kata Issa. “Apanya?” Tanya Nida heran. “Tidak biasanya kamu menunggui aku.” “Nggak boleh ya?” Nida sok ketus, membuat kakaknya tertawa. Nida meletakkan bukunya, “apa sih yang lucu?” Issa mengangguk-angguk, dan pandangannya tetap lekat pada sosok adiknya. Nida sendiri tidak tahan dipandangi seperti itu. Dengan penasaran dia langsung mendekati kakaknya. “Aku hitung sampai tiga,” kata Nida sambil bersiap-siap melancarkan cubitan bertubi-tubi, “satu, satu setengah…tiga,” Issa cepat-cepat berkelit, sekaligus meraih tangan Nida dan menggenggamnya erat-erat, “kadang-kadang aku sendiri kaget.” “Kaget kenapa?” “Ternyata aku punya adik yang begini manis.” “Dasar…” Nida menarik tangannya, “sama Tita berani ngomong begitu?” Issa tersenyum tanpa sekejap pun mengalihkan perhatian dari adiknya itu, “aku serius.” Nida tercenung, “Kakak kesurupan ya?” “Selama beberapa hari kedepan, ada urusan yang perlu aku selesaikan. Aku harap kamu tidak keberatan menginap di rumah Pak Handika, sampai aku pulang,” kata Issa tanpa banyak pertimbangan lagi. “Urusan penting ya?” Nida ikut larut dalam keseriusan kakaknya. “Iya.” “Jangan macam-macam,” tegas Nida. “Tidak usah kuatir,” Issa kembali ke posisi meditasi, sementara Nida meneruskan bacaannya, dan setelah itu beranjak ke kamar. [5] Hampir jam tujuhSelesai bermeditasi, Issa istirahat sebentar —memulihkan sekujur badannya yang nyaris mati rasa. Sosok Tita kembali menyeruak dalam benaknya. Sejauh ini, 100
sekuat kemampuannya dia berusaha membantah perasaan yang muncul, terutama karena perasaan ini tertuju pada Tita. Bagaimanapun, dia merasa tidak cukup mampu menepisnya. Hingga setengah jam lebih, kondisinya kembali pulih. Dia pergi ke dapur; mencicipi masakan adiknya; minum segelas teh jahe, lalu mandi. “Nida, aku keluar sebentar!” Serunya dari ujung tangga, kemudian mengenakan jaket dan pergi keluar. Suasana di komplek itu masih cukup ramai, terutama di beberapa rumah. Tampak kerumunan anak-anak muda berlatih musik dan vokal; melantunkan lagulagu pujian. “Sebentar lagi Paskah…” gumam Issa, seolah lantunan lagu-lagu itu terus membuntutinya. Dia meneruskan langkahnya; meninggalkan komplek dan menuju rumah Tita —di komplek perumahan arah barat. Setelah berjalan hampir satu jam, dia sampai di rumah Tita. Rumah besar bertingkat, dengan pelataran depan yang lapang dan taman kecil di kedua sisinya. Dia melihat lampu ruang depan masih menyala, tapi dia masih terpaku di depan pintu pagar; mengumpulkan keberanian untuk menekan bel. Hingga beberapa menit berlalu, hampir seperti orang nekat dia menekan bel. Sebentar kemudian Tita keluar. Mereka sama-sama terpaku —seperti patung kayu. Lalu, akhirnya Tita beranjak ke pintu pagar; menggesernya. “Tumben datang kesini,” kata Tita, sekaligus berusaha agar tidak terlihat kikuk. “Terlalu malam ya?” Tanya Issa. “Enggak…” jawab Tita, “masuk,” katanya, beranjak ke tempat duduk di beranda. Issa mengikutinya. “Kamu sedang repot ya?” “Nggak…cuma ngutak-atik PR.” “Susah juga ya,” gumam Issa. Kali itu dia tidak punya cukup keberanian untuk memandang Tita. “Apanya yang susah?” “Bukan apa-apa.” “Dasar orang nggak jelas.” “Sama-sama.” “Enak saja,” Tita memukul lengan Issa, “aku jelas, Kakak yang nggak jelas.” Issa terdiam, pandangannya masih tertuju ke arah lain. “Lihat apa sih?” Tanya Tita penasaran. “Tidak tahu…” “Tuh…benar-benar nggak jelas.” “Kamu masih marah?” Tanya Issa. “Soal apa?” “Tadi siang, di sekolah.” “Masih. Kenapa? Mau ngajak ribut lagi?” “Aku minta maaf.” Tita terhenyak, nada bicara Issa terdengar sangat serius dan dingin. Sedikit demi 101
sedikit, kekuatiran aneh mulai merambati hatinya. “Mau minum apa?” Tanya Tita. “Tidak usah repot-repot.” “Kalau begitu, terserah aku ya…” Tita beranjak masuk. Dan, beberapa menit kemudian dia kembali lagi sambil membawa dua gelas coklat hangat, “nggak boleh nolak,” katanya. Setelah itu, mereka sama-sama larut dalam kesunyian; saling menunggu siapa yang lebih dulu bicara. Akhirnya, Tita yang tidak tahan diam terus, “Kakak kenapa sih?” Tanyanya. “Tidak apa-apa.” “Terus, kenapa dari tadi diam?” “Tidak apa-apa.” “Bohong.” “Maaf…” “Kakak ingin aku mati penasaran ya?” Issa menggeleng, “maaf,” katanya, masih saja tidak berani memandang Tita. “Sekali lagi bilang maaf, aku kasih payung.” Issa tersenyum, lalu —setengah nekat— dia menatap gadis itu. Dalam sekejap, perasaannya langsung tidak karuan, “kamu tidak terganggu kan?” Tanyanya. “Enggak, kecuali kalau Kak Issa diam terus.” Issa meneguk minumannya, sekedar untuk meredam kegugupan, “aku beruntung, adikku dikelilingi orang-orang yang bisa diandalkan,” katanya; mengalihkan pandangan ke arah lain. Sebenarnya, jauh dalam hatinya, Tita merasakan kata-kata Issa itu agak menakutkan, “kenapa sih Kakak jadi begitu aneh?” Tanyanya, sambil melawan kecemasannya sendiri. “Kamu pernah ketakutan setengah mati?” Sesaat lamanya Tita terhenyak —sambil berharap Issa tidak sedang mengalami masalah serius, “pernah.” “Kenapa?” “Tahun kemarin ayahku dapat tugas survey ke Aceh. Tahu sendiri kan situasi disana? Disana kan sedang genting, salah-salah bisa kena peluru nyasar,” Tita berhenti sejenak; menatap Issa yang mendengarkannya dengan serius, “untungnya, Dini, Linda sama Rossi mau nginap disini, jadi aku nggak merasa seperti di rumah hantu.” Issa mengangguk-angguk, lalu meneguk minumannya, “kadang-kadang tidak segampang itu kan?” “Maksud Kakak?” “Pikirkan saja PRmu.” “Tuh kan, mulai lagi,” rutuk Tita. “Apa?” “Dasar orang menyebalkan…super menyebalkan.” “Iya…sama,” 102
“Enak saja!” Tita melotot; langsung mencubit anak muda itu keras-keras, “aku nggak seperti itu!” “Iya, iya…” Issa meloloskan tangannya dari cubitan Tita. Dia mengalihkan pandangannya ke tepian langit malam. Saat itu kerlip-kerlip kawanan bintang mulai bermunculan, dan membuatnya merasakan kekosongan yang lain. Kekosongan yang sama sekali berbeda. Beberapa saat kemudian Issa beranjak bangkit, “lanjutkan PRmu, aku pulang dulu,” katanya, sementara Tita malah terdiam. “Ada apa?” Tanya Issa. Tita menggeleng-geleng, lantas berdiri; membarengi Issa sampai ke pintu pagar. Disitu, Issa bukannya langsung pergi, malah berbalik, hingga dia dan Tita berhadapan cukup dekat. Rasa gugup yang merambati Tita bukan main, “ada lagi yang perlu Kakak omongkan?” Tanyanya, hanya sebentar membalas tatapan Issa, setelah itu dia berpaling ke arah lain. “Tidak ada.” “Terus?” “Aku cuma ingin melihat kamu. Kenapa? Kamu keberatan?” Tita tertunduk, perasaannya semakin tidak keruan, dan dia merasa tidak mampu menutupinya. Mereka sama-sama terdiam agak lama, hingga kemudian tiba-tiba Issa menggenggam tangan Tita erat-erat, setelah itu tanpa bicara lagi dia beranjak pergi. Tita langsung bersandar ke pintu pagar, sambil terus mengawasi sosok Issa. Dia sendiri tidak mengerti, karena saat itu —entah kenapa— dia merasa ada sesuatu yang terenggut darinya. Begitu Issa lenyap dari jangkauan mata, Tita kembali ke dalam. Dia duduk lesu; bersandar pada sofa sambil memainkan remote televisi; memindah-mindah saluran. Dia merasa sangat penat; jenuh dan tidak memiliki cukup kemampuan untuk meredamnya dengan cepat. [6] Beberapa hari berlaluTidak seperti biasanya, begitu keluar dari kelas, Tita langsung menuju perpustakaan; tanpa menunggu teman-temannya. Dia merasa seolah-olah sekujur tubuhnya dihimpit dengan sangat kuat, perasaan yang dialaminya selama beberapa hari ini, sejak Nida mengatakan Issa pergi ke Jakarta. Tanpa pilih-pilih, dia menyahut bundel majalah; duduk dengan lesu dan bundel majalah itu hanya dibukanya sepintas-sepintas. Sesekali terdengar keriuhan di ruangan itu —anak-anak yang mengobrol tidak jelas juntrungannya. Hanya dalam situasi seperti itu dia bisa kesal melihat anak-anak yang memilih-milih buku sambil cekikikan. Dia menarik nafas dalam-dalam, tapi kesuntukannya masih saja tidak berkurang. Hingga kemudian suara Raka mengejutkannya. “Ada apa?” Tanya Tita. 103
Raka duduk di depan gadis itu, “kamu baik-baik saja kan?” Tanyanya, yang malah membuat Tita terheran-heran. “Nggak sama Nida?” “Dia di kantin,” jawab Raka. “Sendirian?” “Sama genknya.” “Kamu ada perlu sama aku ya?” “Anggap saja begitu…” jawab Raka, lantas mengeluarkan sepucuk surat kecil dan menyodorkannya pada Tita. “Dari kamu?” Tita tidak langsung meraih surat itu. “Dari Kak Issa.” Tita langsung menyahut surat itu dan membukanya. Disitu hanya tertulis permintaan maaf dan nama Issa di sudut. Seketika, dia tertunduk lemas, tapi dia masih cukup kuat menahan dirinya agar tidak menangis. “Kamu nggak apa-apa kan?” “Nggak apa-apa,” kata Tita, “kapan Kak Issa nitip surat ini?” “Lima hari kemarin.” “Kok baru kamu kasih sekarang?” “Aku hanya menuruti pesan Kak Issa…maaf,” “Dia nggak ngomong apa-apa lagi?” Desak Tita. “Cuma itu pesannya,” jawab Raka, kemudian dia beranjak pergi. Tita membenamkan wajahnya pada kedua tangan. Dia tidak bisa lagi menahan air matanya. Dia tidak hanya merasakan butiran-butiran air matanya bergulir, tapi juga merasakan rasa takut yang aneh; yang berbaur dengan rasa kecewa, juga sedikit kebencian. Semua itu membuat dadanya terasa sesak. Saat perasaan itu belum reda, teman-temannya datang. Dan begitu melihat Tita seperti itu, mereka langsung cemas bukan main. “Ta,” Nida merangkul gadis itu. Tita cepat-cepat mengusap wajahnya —meskipun sudah jelas ketahuan menangis. “Kamu sakit ya?” Tanya Rani. “Enggak kok…” kilah Tita —suaranya masih terdengar gemetar. Sebenarnya, Nida merasakan perubahan Tita yang drastis itu ada hubungannya dengan kakaknya. Tapi dia tidak berani sok memastikan. Melihat kedua mata Tita yang sembab, dia semakin merasa tidak nyaman. “Terus, kenapa menangis?” Tanya Rossi. “Terserah aku kan, memangnya ada larangan menangis?” Tita masih mencoba berkelit. “Kangen sama seseorang ya?” Rani merangkul tangan Tita. “Nggak…seratus ribu kali enggak…” bantah Tita. Akhirnya, teman-temannya itu tersenyum, sedikit merasa lega. “Nida saja nggak bingung. Kok malah kamu yang panik,” kata Dini. “Ngomong apa sih?” Kilah Tita. 104
“Kita ngobrol di kantin saja ya…” ajak Nida sambil beranjak. Tita menurut. Mereka pun pergi ke kantin. Saat menelusuri koridor, Tita berharap Issa muncul tiba-tiba, dan pada saat yang sama dia sadar itu benar-benar konyol. Tapi, bagaimanapun juga dia berjanji pada dirinya sendiri, bila Issa tidak segera kembali, dia akan membencinya seumur hidup. Hari itu, bagi Tita, apa pun di sekitarnya tampak dan terasa seperti kumpulan wadah kosong —yang asal-usul dan fungsinya sama sekali tidak jelas. Sebaliknya, Nida merasakan sesuatu yang sangat berbeda, saat menoleh pada Tita, dia langsung bisa mengikis ketakutannya tentang Kelompok Harimau, dan dia yakin genk itu tidak akan mampu merenggut kakaknya. "Kakak ipar..." bisik Nida pada Tita. "Nggak!" Tita mengacak-acak rambut temannya itu, gemas setengah mati.*** slesai!!!
105
106