irvanag
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NO. 023/PUU-IV/2006 PERIHAL PENGUJIAN PASAL 12 AYAT (2) UU NO. 49 Prp. TAHUN 1960 TENTANG PANITIA URUSAN PIUTANG NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945
ACARA MENDENGAR KETERANGAN PEMERINTAH (III)
JAKARTA
SELASA, 12 DESEMBER 2006
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NO. 023/PUU-IV/2006
PERIHAL Pengujian Pasal 12 ayat (2) UU No. 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara terhadap Undang-Undang Dasar 1945
PEMOHON Kasdin Simanjuntak, S.H., dkk (Tim Pembela dan Kedaulatan Advokat)
ACARA Mendengar Keterangan Pemerintah (III) Selasa, 12 Desember 2006 Pukul 10.00 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 7, Jakarta Pusat
SUSUNAN PERSIDANGAN 1) Dr. HARJONO, S.H., M.C.L 2) Prof. H. ABDUL MUKTHIE FADJAR, S.H., M.S 3) H. ACHMAD ROESTANDI, S.H. Eddy Purwanto, S.H.
(Ketua) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
1
HADIR: Pemohon : • • •
Kasdin Simanjuntak, S.H. Paustinus Siburian, S.H. Binoto Nadapdap, S.H.
Pemerintah : • • •
Mualimin Abdi, S.H., M.H. (Ka.Bag Litigasi Dept Hukum dan HAM) Hadianto (Dirt Kekayaan Negara Depkeu) Rahadianto (Dirt Piutang Negara Depkeu)
2
SIDANG DIBUKA PUKUL 10.00 WIB
1.
KETUA : Dr. HARJONO, S.H., M.C.L Baik, sidang Panel untuk melakukan pemeriksaan perkara 023/PUU-IV/2006 dengan ini saya nyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Bahwa sidang pagi hari ini dilakukan secara Panel karena sidang Pleno menugaskan kepada sidang Panel untuk melakukan pemeriksaan berlanjut. Tidak berarti bahwa ini pemeriksaan di degradasi, tidak. Karena dalam ketentuan setiap saat sidang Pleno bisa menugaskan kembali kepada Panel untuk melakukan pemeriksaan selanjutnya, termasuk di dalamnya adalah pemeriksaan pendahuluan. Pagi hari ini sebagaimana biasanya saya mohon untuk menyebutkan identitas masing-masing yang hadir, saya mulai dari Pemohon, silakan.
2.
PEMOHON : PAUSTINUS SIBURIAN, S.H. Terima kasih Yang Mulia, nama saya Paustinus Siburian, saya bekerja sebagai advokat dan dalam kasus ini berlaku sebagai Pemohon dalam pengujian ini. Terima ksih.
3.
PEMOHON : BINOTO NADAPDAP, S.H. Terima kasih Majelis. Nama Binoto Nadapdap, dalam permohonan ini bertindak selaku Pemohon, terima kasih.
4.
KETUA : Dr. HARJONO, S.H., M.C.L Dari sudut yang sana, diurut saja.
5.
PEMERINTAH : ETTO SUMARYANTO (DEPARTEMEN KEUANGAN) Kami Etto Sumaryanto, dari Departemen Keuangan
3
6.
PEMERINTAH : RAHADIANTO (DIRT. PIUTANG NEGARA DEPT KEUANGAN) Kami Keuangan.
7.
Rahadianto,
Direktur
Bidang
Negara,
Departemen
PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI, S.H., M.H (KA.BAG LITIGASI DEPT HUKUM DAN HAM)
Assalamu’alaikum wr. wb.
Yang Mulia, saya Mualimin Abdi dari Departemen Hukum dan HAM, terima kasih. 8.
DPR-RI : PUDJI PURWANTI (BIRO HUKUM SETJEN DPR-RI) Terima kasih Majelis, kami dari Biro Hukum Sekretariat Jenderal DPR RI, nama saya Pudji Purwanti.
9.
KETUA : Dr. HARJONO, S.H., M.C.L Seluruhnya ini ya? satu rombongan? Jadi pagi hari ini kita sidang dihadiri oleh Pemohon, kemudian oleh pemerintah diwakili Departemen Keuangan dan Departemen Hukum dan HAM. Kalau kita kembali kepada apa yang sudah kita capai pada persidangan yang lalu, maka ada acara yang mestinya kita minta konfirmasi dulu, karena pada persidangan yang lalu juga diberikan kesempatan kepada Pemohon selain menyampaikan permohonannya. Kalau ada dimaksudkan menghadirkan Ahli pada persidangan ini, kami minta konfirmasi apakah Pemohon nanti juga akan menghendaki dihadirkannya Ahli atau Saksi dalam persidangan ini.
10.
PEMOHON : PAUSTINUS SIBURIAN, S.H. Kami belum menghadirkan Ahli, tapi jika Yang Mulia berkenan kami mengharapkan yang mulia menyediakan Ahli untuk ini, jika berkenan. Kami mohon supaya kesediaan yang mulia menghadirkan Ahli, karena masalah ini memang sudah lama undang-undangnya, seperti apa dan bagaimana, kami mohon kesediaan dari Yang Mulia, terima kasih.
11.
KETUA : Dr. HARJONO, S.H., M.C.L Jadi Pemohon sesuai dengan suratnya memang tidak akan menghadirkan Ahli lagi, tapi apakah kemudian nanti Majelis mempertimbangkan perlu ada Ahli yang didengar, itu adalah keputusan Majelis sendiri, dengan demikian saya bisa sampaikan, saya bisa
4
simpulkan Pemohon tidak akan menggunakan haknya untuk menghadirkan Ahli. Demikian juga untuk saksi saya kira ya, saksi juga tidak? Dan pada persidangan yang lalu, karena pihak pemerintah khususnya Departemen Keuangan masih di dalam tanda kutip “mendengar”, meskipun dalam posisi mendengar pun juga sudah memberikan keterangan tentang permohonan Pemohon menyangkut kedudukan pengacara di dalam proses penagihan utang negara. Tapi dalam kesempatan tersebut saya tidak tahu, kalau tidak salah juga Pemohon ini yang hadir dari pemerintah ya? Disampaikan juga bahwa apa yang dimohonkan oleh Pemohon itu sebetulnya sudah ada perubahan-perubahan peraturannya sehingga disampaikan bahwa hak atau pun kesempatan dari Pemohon untuk terlibat di dalam penagihan utang negara khususnya di dalam perbankan itu sekarang sudah menjadi urusan corporate, tidak lagi menjadi urusan pemerintah. Saya kira apakah kesempatan ini bisa dimanfaatkan secara formal, karena pada saat itu tidak, atau belum bisa disebut secara persis perubahanperubahan itu di mana, ketentuannya di mana, dan pada saat itu juga disampaikan bahwa perubahan itu justru dilakukan setelah permohonan dimasukkan. Kalau tidak salah ada persoalan waktu, waktu permohonan masuk di Mahkamah Konstitusi dan perubahan itu terjadi setelah permohonan masuk dalam Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu saya kira satu-satunya kesempatan yang kita harapkan adalah keterangan Pemerintah sekitar permohonan yang diajukan Pemohon terutama menyangkut ketentuan-ketentuan hukumnya. Apakah memang yang dimohonkan oleh Pemohon itu masih relevan seperti itu adanya? Ataukah sudah ada perubahan-perubahan? Sehingga mungkin bisa disimpulkan bahwa apa yang dimohonkan oleh Pemohon sudah tidak relevan lagi, saya kira itu yang kita dengar dari pemerintah. Kalau DPR, karena ini diwakili saya kira tugasnya hanya mendengarkan, mencatat lalu melaporkan kepada DPR, saya kira itu dari pemerintah ya? Kalau memang itu, satu-satunya kesempatan adalah satu-satunya acara yang penting mendengarkan pihak pemerintah, silakan. 12.
PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI, S.H., M.H. (KA.BAG LITIGASI DEPT. HUKUM DAN HAM) Terima kasih yang Mulia. Sesuai juga dengan surat dari Panitera Mahkamah Konstitusi yang agar pemerintah segera menyerahkan keterangan tertulis, baru saja di depan dengan petugas saya sudah sampaikan, Yang Mulia, 12 set sesuai dengan kelaziman di persidangan Mahkamah Konstitusi. Jadi apa yang diinginkan oleh Majelis, kami sudah serahkan 12 set keterangan pemerintah secara resmi yang ditandatangani oleh Ibu Menteri Keuangan dan Menteri Hukum dan HAM, terima kasih.
5
13.
KETUA : Dr. HARJONO, S.H., M.C.L Jadi sudah satu ya keterangannya berdua. Jadi sudah satu keterangan pemerintah secara resmi.
14.
PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI, S.H., M.H. (KA.BAG LITIGASI DEPT. HUKUM DAN HAM) Sudah
15.
KETUA : Dr. HARJONO, S.H., M.C.L Diserahkan kapan?
16.
PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI, S.H., M.H. (KA.BAG LITIGASI DEPT. HUKUM DAN HAM) Baru
17.
KETUA : Dr. HARJONO, S.H., M.C.L Baru, tidak ada jeleknya kalau coba dibacakan karena Pemohon pun hadir dalam persidangan ini. Meskipun secara resmi nanti kita juga akan serahkan, kalau bisa dibaca atau diringkas apa yang disampaikan oleh pemerintah, silakan. Berapa halaman itu? Banyak?
18.
PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI, S.H., M.H. (KA.BAG LITIGASI DEPT. HUKUM DAN HAM) 18 yang mulia
19.
KETUA : Dr. HARJONO, S.H., M.C.L , 18, cukup saya rasa dibaca ya? bertiga dibagi bolehlah membacanya.
20.
PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI, S.H., M.H. (KA.BAG LITIGASI DEPT. HUKUM DAN HAM) Yang Mulia mohon izin, barangkali sesuai dengan kelaziman persidangan, kami kan selalu membuat kuasa itu kuasa substitusi kepada eselon satu ya. Apakah kami ini punya kapasitas untuk memberikan keterangan resmi.
6
21.
KETUA : Dr. HARJONO, S.H., M.C.L Formilnya kan sudah diserahkan, jadi formil sudah kami anggap sudah diserahkan dan itu yang menjadi pertimbangan hakim, hanya saja di sini ini membacakan saja. Membacakan tidak lebih dari apa yang ditulis, karena Anda menyerahkan pagi hari ini dan ternyata masih belum sampai ke tangan kita di Panitera, silakan.
22.
PEMERINTAH : ETTO SUMARYANTO (DEPARTEMEN KEUANGAN) Kepada Yth. Ketua Majelis Hakim MK RI di Jakarta. Dengan hormat, yang bertanda tangan di bawah ini : 1. Nama 2. Nama
: Hamid Awaludin, Menteri Hukum dan HAM RI : Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan RI.
Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Presiden Republik Indonesia untuk mewakili Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan surat kuasa khusus bertanggal 8 November 2006. Perkenankan kami menyampaikan keterangan pemerintah Republik Indonesia baik lisan maupun tertulis yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan atas permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dimohonkan oleh Kasdin Simanjuntak, S.H., Yon Ricardo, S.H., Binoto Nadapdap, S.H., Darwis D. Marpaung, S.H., Paustinus Siburian, S.H., Abdul Razak Djaelani, S.H. yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Tim Pembela Konstitusi dan Kedaulatan yang beralamat di Jalan Cibulan No. 13A, Kebayoran baru – Jakarta Selatan 1270, untuk selanjutnya disebut para Pemohon. Sesuai registrasi di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Nomor 023 /PUU-IV/2006 tanggal 3 Oktober 2006 dengan perbaikan tanggal 14 November 2006. Selanjutnya perkenankanlah pemerintah menyampaikan keterangan tertulis terhadap permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara sebagai berikut. I. Umum. Bahwa UU Nomor 49/1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara dikeluarkan dengan pertimbangan hukum dan landasan filosofis pengurusan piutang negara oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) bukan melalui lembaga peradilan atau bukan dengan bantuan pengacara atau advokat termuat pada konsideran dan penjelasan umum maupun pada materi pasal-pasal dalam undang-undang tersebut. Bahwa dalam konsideran Undang-Undang Nomor 49 PRP Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara antara lain disebutkan; untuk kepentingan keuangan negara, hutang kepada negara atau badan-badan baik yang
7
langsung ataupun tidak langsung dikuasai oleh negara perlu segera diurus. Peraturan-peraturan biasa tidak memungkinkan untuk memperoleh hasil yang cepat dalam pengurusan piutang negara. Kemudian pada penjelasan umum Undang-Undang Nomor 49 PRP Tahun 1960 tentang Panitia Urusan piutang negara antara lain disebutkan; apabila prosedur biasa seperti HIR staatsblad 1941 Nomor 1941 Nomor 44 Pasal 195 dan seterusnya digunakan penaghian terhadap piutang yang oleh berbagai kesulitan sukar sekali ditagih tidak akan tercapai secara memuaskan. Terhadap para penahan utang atau debitur yang nakal dan dengan tindakannya yang terang-terangan merugikan negara perlu dilakukan penagihan piutang negara secara singkat dan efektif, dengan tetap memperhatikan jaminan hukum terhadap penagih utang dan untuk itu Panitia Urusan Piutang Negara diberi hak kekuasan untuk menagih piutang dimaksud dengan syarat-syarat tertentu yang diatur dalam undang-undang ini. Bahwa piutang negara yang bermasalah atau kredit macet timbul bukan karena adanya Pasal 12 ayat (2), karena pasal tersebut memberikan kewenangan khusus kepada PUPN hanya untuk mengurus piutang negara diantaranya kredit macet yang telah terjadi dan telah diserahkan oleh instansi pemerintah dan badan negara atau daerah. Padahal masalah kredit macet dapat terjadi akibat dari tidak dilaksanakannya proses dan prosedur pembuatan perjanjian kredit termasuk perjanjian tambahannya dengan benar seperti kredit tidak dijamin dengan barang jaminan yang benar atau fiktif, sehingga pada saat akan dilakukan penutupan atas kredit macet dengan penjualan barang jaminan tersebut tidak bisa dipenuhi. Bahwa piutang negara yang diserahkan pengurusannya kepada PUPN adalah piutang yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum. Cara penyelesaian piutang negara berdasarkan Undang-Undang 49 Prp Tahun 1960 dilakukan dengan membuat suatu pernyataan bersama yang berirah-irah. Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa antara Ketua PUPN dengan penanggung utang atau debitur yang memuat kata sepakat antara mereka tentang jumlah utang yang masih harus dibayar dan memuat pula kewajiban pula kewajiban penanggung utang untuk melunasi utangnya. Pernyataan bersama ini mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti putusan hakim dalam perkara perdata dan pelaksanaannya dijalankan dengan surat paksa yang mempunyai kekuatan hukum sama seperti putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap pada Pasal 10 berikut penjelasannya dan Pasal 11 angka 3 ayat (1 dan ) Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang PUPN. Dengan diberlakukannya Undang-Undang 49 Tahun 1960 tentang PUPN, maka urusan penyelesaian piutang negara terhadap penanggung hutang yang tidak kooperatif atau nakal dapat dilakukan secara cepat, efektif, efisien. Karena itu Panitia Urusan Piutang Negara diberikan kewenangan untuk menerbitkan surat paksa penyitaan bahkan dapat melakukan paksa badan atau bezegeling kepada penanggung hutang yang tidak 8
melunasi kewajibannya sebagaimana dituangkan dalam pernyataan bersama tersebut. 23.
PEMERINTAH : RAHADIANTO (DIRT. PIUTANG NEGARA DEPT KEUANGAN) II. Kedudukan hukum/legal standing Pemohon. Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang yaitu : a. Perorangan warga negara Indonesia, b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang, c. badan hukum publik atau privat atau, d. lembaga negara. Kemudian dalam penjelasannya dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Lebih lanjut berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi harus memenuhi lima syarat yaitu sebagai berikut : a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b. Bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji. c. Bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus, dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. d. Adanya hubungan sebab dan akibat antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohon untuk diuji. e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Menurut para Pemohon dalam permohonannya bahwa dengan berlakunya ketentuan Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 49 PRP Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara yang menyatakan dalam hal seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini maka dilarang menyerahkan pengurusan piutang negara kepada pengacara. Maka hak dan atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dan dianggap
9
bertentangan dengan ketentuan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Karena itu perlu dipertanyakan kepentingan para Pemohon apakah Saudara tepat? Apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap konstitusionalnya dirugikan oleh keberlakuan Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 49 tentang PRP Tahun 1960 tentang Panitia Piutang Urusan Negara. Juga apakah kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik, atau khusus dan aktual, atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Dan apakah ada hubungan sebab akibat causal verband antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. Pemerintah berpendapat permohonan para Pemohon tidak jelas dan kabur obschuur label karena Pemohon tidak menguraikan secara rinci apakah benar telah terjadi kerugian hak dan atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dan apakah benar kerugian konstitusional tersebut timbul karena keberlakuan undang-undang a quo utamanya terhadap penolakan proposal Pemohon untuk ikut menangani kredit macet kepada salah satu bank milik pemerintah, yaitu bank BUMN. Menurut pemerintah para Pemohon tidak dapat mengkonstruksikan penolakan proposal yang diadakan oleh bank milik negara bank BUMN, untuk ikut dalam menangani kredit macet non performing loan dianggap telah merugikan hak dan atau kewenangan konstitusional Pemohon. Pemerintah berpendapat bahwa penolakan oleh bank milik negara atas proposal yang diajukan adalah merupakan bentuk kerugian bisnis semata yang jika proposalnya sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan niscaya dapat diterima dan jika tidak maka Pemohon tersebut akan ditolaknya. Pada kenyataannya para Pemohon yang berprofesi sebagai advokat sampai saat ini tetap dapat menjalankan profesinya untuk memberikan bantuan hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan. Singkatnya para advokat dalam memberikan jasa hukum kepada para pihak yang membutuhkannya, klien yaitu berupa memberikan konsultasi hukum bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan klien sama sekali tidak terganggu. Dan terkurangi sedikit pun atas keberlakuan Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 49 tentang Prp Tahun 1960 tentang Panitia Piutang Negara. Karena itu pemerintah memohon kepada para Pemohon melalui kuasa atau melalui Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar memerintahkan kepada para Pemohon untuk membuktikan secara sah terlebih dahulu apakah benar para Pemohon sebagai pihak yang hak dan atau kewenangannya dirugikan? Pemerintah beranggapan bahwa tidak terdapat atau telah timbul kerugian kepada para Pemohon atas keberlakuan Pasal 12 ayat (2) undang-Undang Nomor 49 tentang Prp Tahun 1960 tentang panitia
10
piutang urusan Negara. Karena itu kedudukan hukum legal standing Pemohon dalam permohonan pengujian ini tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi maupun yurisprudensi yang telah dikembangkan oleh Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan uraian tersebut di atas, pemerintah memohon agar ketua majelis hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan para Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima, namun demikian apabila ketua/majelis hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain berikut ini disampaikan argumentasi Pemerintah tentang meteri pengujian Undang-Undang Nomor 40 tentang PRP tahun 1960 tentang Panitia Piutang Urusan Negara Terhadap Undang-Undang Dasar 1945. 24.
PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI, S.H., M.H. (KA.BAG LITIGASI DEPT. HUKUM DAN HAM) Terima kasih. Yang mulia berikut akan kami bacakan penjelasan resmi atas materi muatan yang dimohonkan diuji oleh para Pemohon. Bahwa dapat kami sampaikan pada intinya permohonan para Pemohon adalah para Pemohon merasa telah diberlakukan secara tidak adil dan diskriminatif sebagaimana diuraikan di dalam permohonannya yaitu utamanya karena adanya penolakan yang diajukan oleh para Pemohon terhadap salah satu bank milik negara atau bank BUMN yang dalam hal ini para Pemohon pada intinya ingin ikut serta di dalam menyelesaikan persoalan kredit macet, oleh karena itu berikut disampaikan penjelasan pemerintah : 1. bahwa ketentuan Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 49 PrpTahun 1960 tentang PUPN, rumusannya adalah tidak berdiri sendiri akan tetapi tidak terlepas dari pertimbangan hukumnya itu sendiri. Kemudian juga tidak terlepas dari landasan filosofis pembuatan undang-undang a quo. Singkatnya jika memahami ketentuan tersebut secara tidak lengkap dan sepotong-sepotong maka seolah-olah terkesan telah terdapat penafsiran yang bersifat diskriminatif seperti yang dikemukakan oleh para Pemohon, sehingga dengan demikian di dalam memahami ketentuan a quo maka perlu memperhatikan di samping Pasal 12 ayat (2) itu sendiri perlu memperhatikan Pasal 12 ayat (1), Pasal 4 angka 2, dan Pasal 8 undang-undang a quo. 2. sebagaimana diketahui bahwa sebagai salah satu tujuan utama dibentuknya Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang PUPN adalah agar terhadap para penanggung hutang atau debitur yang tidak kooperatif, atau dalam tanda kutip “debitur yang nakal”, dapat dilakukan langkah-langkah penagihan penanganan penagihan piutang negara secara singkat cepat dan efektif. Dengan perkataan lain
11
penanganan piutang negara tidak dilakukan melalui prosedur sebagaimana yang ditentukan di dalam HIR, yaitu melalui peradilan umum sebagaimana lazimnya gugatan di peradilan umum. Karena itu agar tidak menemui kendala yang berbagai macam yang berbelit-belit maka dibentuklah atau dituangkan atau dibentuk Undang-Undang 49 Tahun 1960 tersebut. Bahwa pada prinsipnya piutang negara harus diselesaikan oleh para penanggung hutang atau debitur. Pada tingkat pertama pada umumnya atau biasanya diselesaikan oleh instansiinstansi atau badan-badan yang bersangkutan atau yang berkaitan atau yang memiliki piutang negara tersebut. Misalnya termasuk adalah bank milik negara, namun apabila piutang negara tersebut tidak dapat di selesaikan oleh instansi-instansi atau bank milik negara tersebut, maka akan diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960. Dalam konteks ini maka pemerintah mempertanyakan kepada para Pemohon yang sebenarnya terjadi, atau penolakan yang terjadi dalam pengajuan proposal kepada salah satu bank milik negara adalah dalam konteks pemberian jasa hukum pada umumnya, yaitu untuk turut serta menjadi anggota panitia atau memberikan bantuan hukum pada saat proses pemeriksaan di pengadilan. Maka hal ini saya tidak rinci juga tidak dijelaskan jadi penolakannya itu dalam konteks yang bagaimana. Kemudian selanjutnya piutang negara yang diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara adalah piutang yang adanya yang besarannya telah pasti menurut hukum, sebagaimana cara atau prosedur penyelesaian piutang negara yaitu dilakukan dengan membuat pernyataan bersama antara Ketua Panitia Urusan Piutang Negara atau KPUPN dengan penangguh hutang atau debitur yang berirah-irah demi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang isinya memuat kata sepakat antara Ketua PUPN dengan penanggung hutang atau debitur tentang jumlah hutang yang masih harus dibayar, atau diselesaikan, dan memuat pula kewajiban-kewajiban lain yang harus dilunasi oleh penanggung hutang atau debitur tersebut. Sebagaimana diketahui pernyataan bersama tersebut mempunyai kekuatan kekuatan pelaksanaan seperti putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap atau in kracht van gewijsde dalam perkara perdata yang pelaksanaannya dapat dilakukan dengan surat paksa, penyitaan dan pelelangan dan bahkan dapat dilakukan dengan upaya-upaya penyanderaan badan, atau bezegeling terhadap penanggung hutang tersebut. Sebagaimana dapat kita baca di Pasal 10 berikut penjelasannya, Pasal 11 dan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang PUPN. Dari penjelasan di atas Yang Mulia, pemerintah juga berpendapat bahwa apa yang dikemukakan oleh para Pemohon sebagaimana diuraikan pada permohonannya adalah merupakan bentuk kekhawatiran yang berlebihan, selain itu para Pemohon telah salah dan keliru di dalam
12
memberikan pemahaman terhadap rumusan Pasal 12 ayat (2) undang-undang a quo. Pemerintah berpendapat bahwa ketentuan tersebut dibentuk sebagai respon atas kebutuhan penanganan piutang negara yang sulit untuk diselesaikan yang tentunya akan berbeda dengan jika dilihat dari kebutuhan dan suasana kebatinan yang ada pada saat ini. Sehingga pasal atau ketentuan Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang PUPN, Pemerintah dapat memberikan penjelasan bahwa tidak merugikan hak dan kewenangan konstitusional para Pemohon dan Pemerintah juga berketetapan bahwa ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. 25.
PEMERINTAH : RAHADIANTO (DIRT. PIUTANG NEGARA DEPT KEUANGAN)
Kemudian Yang Mulia, berikut akan disampaikan bahwa telah terjadi perkembangan-perkembangan sistem penyelesaian piutang negara yang utamanya yang terjadi di bank milik negara atau bank BUMN sebagaimana disampaikan di bawah bahwa : 1. penjelasan Bank Indonesia dan Departemen Keuangan Republik Indonesia pada rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI tentang tata cara penghapusan piutang negara dalam rangka penyelesaian kredit bermasalah atau non performing loan yang intinya sebagai berikut: a. kelompok bank BUMN telah memberikan sumbangan yang terbesar terhadap kenaikan kredit perbankan yaitu dari triwulan I tahun 2006 sampai dengan akhir Mei 2006 yaitu naik sebesar 15,2 triliun atau 61% dari total kenaikan kredit perbankan. dengan tingkat inflasi yang terkendali dan suku bunga serta nilai tukar yang stabil secara umum, maka bank-bank dapat mengelola resiko yang dihadapi terutama resiko kredit dengan baik. Kemudian didukung oleh kondisi moneter yang kondusif serta pertumbuhan kredit yang cukup besar telah menyebabkan turunnya rasio non performing loan tersebut. Sehingga secara gross non performing loan, perbankan turun dari 9,4 persen pada triwulan I tahun 2006 menjadi 8,8 persen pada Mei 2006. Sedangkan secara net NPL atau non performing loan perbankan turun dari 5,6 persen menjadi 5,1 persen sementara NPL atau non performing loan yang terjadi di kelompok bank BUMN adalah didominasi oleh segment market corporate dan lebih banyak disumbang oleh sektorsektor industri. Ketiga, mengenai tata cara penyelesaian NPL perbankan, maka perbankan pada umumnya dilakukan dalam tiga tahap, yaitu: tahap restructuring, tahap hapus buku atau write off dan tahap hapus tagih atau hair cut. Tahapan penyelesaian NPL tersebut sangat ditentukan oleh bentuk badan hukum dari bank-bank nasional yang selama beroperasi selama ini. Yaitu apakah persero, perseroan terbatas, maupun koperasi.
13
Selanjutnya Yang Mulia, bahwa penyelesaian NPL yang dilakukan oleh bank swasta pada umumnya dilakukan secara berjenjang. Penyelesaian tahap satu, biasanya dilakukan oleh manajemen bank itu sendiri dalam hal ini jajaran direksi dan dewan komisaris. Apabila pada tahap pertama tersebut belum dapat menyelesaikan NPL non performing loan bank tersebut, maka dapat ditempuh ke tahap berikutnya yaitu tahap kedua, yaitu dengan melakukan hapus buku. Kegiatan hapus buku ini tidak menghilangkan hak tagih bank kepada debitur atau penanggung hutang, sehingga tahap ini pada dasarnya adalah bersifat administratif yaitu memindahkan pencatatan kredit tersebut dari account balance sheet kepada off balance sheet. Kredit bermasalah atau NPL yang dicatat dalam off balance sheet tersebut umumnya adalah kredit bermasalah yang sudah tidak memiliki prospek usaha, sehingga dilakukan eksekusi agunan yang dikuasai oleh bank sebagai sumber penerimaan bank, yaitu sebagai salah satu jalan untuk recovery credit. Bila agunan tersebut tidak meng-cover jumlah hutang debitur, maka dilakukan hair cut atau hapus tagih atas hutang debitur baik sebagian ataupun seluruhnya, mengingat hapus tagih ini mengakibatkan hilangnya sebagian atau seluruh aset atau tagihan bank kepada debitur, maka kewenangan yang memutuskan untuk hapus tagih tersebut diatur di dalam anggaran dasar bank yaitu harus mendapatkan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) 26.
PEMERINTAH : ETTO SUMARYANTO (DEPT KEUANGAN) Permasalahan kredit macet yang diberikan bank-bank pemerintah atau yang lazim disebut bank BUMN termasuk dalam kategori piutang BUMN sehingga penyelesaiannya tunduk pada peraturan yang berlaku antara lain Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang PUPN, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara serta berbagai peraturan pelaksanaannya yang dirasakan telah menjadi penyebab bank BUMN tidak memiliki kewenangan untuk melakukan hapus tagih terhadap pokok kredit dalam penyelesaian kredit bermasalah sebagaimana lazimnya yang dimiliki dan dilakukan oleh bank-bank swasta. Dimana berdasarkan peraturan yang ada pada tingkat pertama piutang negara BUMN dapat diselesaikan oleh BUMN yang bersangkutan sesuai ketentuan yang berlaku yang kemudian bila tingkat pertama tidak berhasil, maka BUMN yang bersangkutan wajib menyerahkan Pengurusan Piutang Negara kepada PUPN. Ketujuh, mengingat tingginya NPL, bank BUMN saat ini maka dalam rangka membantu melakukan penyehatan terhadap struktur aset bank BUMN serta meningkatkan daya saing bank BUMN. Pemerintah kiranya perlu mempertimbangkan untuk menciptakan iklim yang kondusif dengan memberikan kewenangan penyelesaian NPL pada tingkat pertama yang lebih luas kepada bank BUMN dengan mengatur secara tegas bahwa kewenangan bank BUMN pada penyelesaian tingkat
14
pertama, mencakup tindakan eksekusi jaminan, lelang, atau pemberian hair cut dalam restrukturisasi kredit. Hal ini penting karena kewenangan yuridis yang diberikan kepada bank selama ini hanya sampai pada hapus buku dan atau hair cut atas tunggakan bunga dan denda kredit. Kedelapan, bahwa berdasarkan penjelasan BI tanggal 10 Juli 2006 tersebut, terlihat bahwa tingginya NPL pada bank BUMN disebabkan karena adanya hambatan berupa peraturan-peraturan yang membatasi kewenangan bank BUMN dalam penyelesaian kredit bermasalahnya atau NPL yang menyebabkan tidak adanya akselerasi yang sama dengan bank swasta dalam penyelesaian kredit bermasalah. Kesembilan, hambatan-hambatan tersebut telah mengakibatkan bank BUMN tidak memiliki akselerasi yang sama dengan bank swasta dalam penyelesaian NPL yang pada akhirnya menyebabkan relatif tingginya NPL bank BUMN. Sepuluh, perlu dilakukan perbaikan peraturan hukum yang dinilai menghambat penyelesaian NPL bank BUMN. Penekanan dari aturan hukum tersebut adalah pada batasan aset negara yang dipisahkan sebatas modal negara yang ditempatkan, sehingga definisi piutang negara kepada BUMN hanya sebatas nilai penyertaan modal pemerintah kepada badan hukum tersebut, sehingga piutang perusahaan negara menjadi piutang koperasi yang tunduk pada hukum privat. Perbaikan aturan hukum ini diperlukan sebagai terobosan hukum untuk mempertegas landasan hukum penyelesaian aset bermasalah bank BUMN yang harus lebih tunduk pada hukum perseroan, sehingga kewenangan tertinggi untuk penyelesaian NPL tersebut cukup diputuskan dalam prove bank yang bersangkutan. Sebelas, Kesimpulan; a. mengenai perlunya terobosan hukum tersebut, pada dasarnya adalah untuk menciptakan bank-bank BUMN yang memliki level of playing field yang sama dengan bank swasta dalam penyelesaian kredit bermasalah serta mendorong bank BUMN memberikan kontribusi yang optimal untuk dalam pembiayaan kredit di sektor riil. b. berkaitan dengan pelaksanaan pengurusan piutang negara tersebut telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 33 Tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah yang mulai berlaku tanggal 6 Oktober 2006 antara lain mengatur tentang: 1. Pengurusan Piutang Perusahaan Negara atau Daerah untuk selanjutnya dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku di bidang Perseroan Terbatas dan Badan Usaha Milik Negara beserta peraturan pelaksanaannya. 2. Pengurusan Piutang Perusahaan Negara atau Daerah yang telah diserahkan Panitia Urusan Piutang Negara cq. Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara dan usul Pengawasan Piutang Perusahaan Negara yang telah diajukan kepada Menteri Keuangan tetap dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960
15
dan PP Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara atau Daerah beserta peraturan pelaksanaannya. c. sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah RI Nomor 33 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara atau Daerah telah diberlakukan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 87/BMK.07/2006 tentang Pengurusan Piutang Perusahaan Negara atau Daerah yang boleh berlaku tanggal 9 Oktober 2006 yaitu, sebagai berikut: 1. bahwa dengan peraturan menteri keuangan tersebut, maka mekanisme pengurusan piutang negara yang bermasalah atau kredit macet, pada bank-bank pemerintah diserahkan sepenuhnya kepada bank BUMN itu sendiri. 2. bahwa dengan demikian pengelolaan kekayaan negara yang telah dipisahkan pada bank BUMN tersebut menjadi kewenangan perusahaan negara yang bersangkutan sesuai dengan mekanisme korporasi. Dikaitkan dengan permohonan a quo, maka setiap pengambilan keputusan bank-bank BUMN dilakukan atas persetujuan RUPS, sementara posisi pemerintah akan diwakili oleh menteri negara BUMN sebagai pemegang saham. 3. bahwa dengan adanya Permenkeu ini, maka telah tercapailah level of playing field yang sama antara bank BUMN dengan bank-bank swasta sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan Bank Indonesia tanggal 10 Juli 2006. Untuk menindaklanjuti upaya restrukturisasi NPL di bank-bank BUMN, Pemerintah segera membentuk Komite Pengawas Bank BUMN atau Oversight Committe dimana pada saat ini masih dibahas komposisinya, sehingga job description-nya bisa spesifik dan tidak tumpang tindih dengan komisaris. 4. dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 dan Permenkeu Nomor 87/PMK/07/2006 maka secara hukum sudah ada kepastian bagi bank-bank BUMN untuk melakukan percepatan restrukturisasi NPL dengan mengacu kepada UndangUndang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN beserta peraturan pelaksanaannya untuk mendorong peningkatan kinerjakinerja. 27.
PEMERINTAH : RAHADIANTO (DIRT PIUTANG NEGARA, DEPT KEUANGAN) Kesimpulan. Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada yang terhormat ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi RI yang memeriksa dan memutus permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia dan
16
Piutang Negara terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 dapat memberikan keputusan sebagai berikut: 1. menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing). 2. menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan, permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima. 3. menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan. 4. menyatakan Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 49 PRB Tahun 1960 tentang Panitia dan Piutang Negara tidak bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. 5. menyatakan bahwa Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 49 PRB Tahun 1960 tentang Panitia Piutang Negara tetap mempunyai kekuatan hukum dan berlaku mengikat di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun demikian apabila Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain mohon putusan bijaksana dan seadil-adilnya. Atas perhatian bapak ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang kami hormati kami ucapkan Terima kasih. Jakarta, 24 November 2006. Kuasa Hukum Presiden Republik Indonesia 1. Menteri Hukum dan HAM (ditandatangani), 2. Menteri Keuangan RI (ditandatangani). Terima kasih
Wa billahi taufiq wal hidayah, Assalamu’alaikum Wr.Wb. 28.
KETUA : Dr. HARJONO, S.H., M.C.L Terima kasih. Pihak Pemerintah sudah membacakan keterangannya dan dari pihak Pemohon sudah secara langsung mendengarkan di samping juga sudah kita sampaikan apa yang dibacakan oleh Pemerintah. Apakah pihak Pemohon ada pendapat setelah disampaikan keterangan Pemerintah mengenai yang berhubungan dengan permohonannya, meskipun dalam waktu singkat artinya sekaligus mendengarkan, sekaligus juga mencerna apa yang dimaksudkan oleh Pemohon? Saya kira bisa disampaikan kalau ada pendapatnya dan ini tidak menghilangkan hak Pemohon untuk menyampaikan kesimpulan kalau
17
memang nanti akhirnya akan menyampaikan kesimpulan terhadap apa yang disampaikan oleh Pemerintah. Silakan. 29.
PEMOHON : PAUSTINUS SIBURIAN, S.H. Yang Mulia, berhubung karena baru sekali ini dibacakan dan kami belum sempat perlu merenungkan saya pikir, sehingga kami meminta waktu mau memberikan tanggapan tertulis mengenai pendapat dari Pemerintah ini. Dalam waktu singkat ini saya pikir kami belum dapat menelaah dengan benar apa yang jawaban dari Pemerintah.
30.
KETUA : Dr. HARJONO, S.H., M.C.L Mungkin dari hakim ada pertanyaan, baik kepada Pemerintah maupun Pemohon?
31.
HAKIM KONSTITUSI : Prof. ABDUL MUHTIE FADJAR, S.H., M.S Terima kasih Pak Ketua. Saya tidak tanya pada Pemerintah, karena penjelasan tadi cukup jelas dan saya juga tidak tahu apakah Pemerintah atau wakil Pemerintah mempunyai kapasitas untuk memberikan jawaban bahwa ada pertanyaan. Tapi di situ memang nampaknya untuk BUMN, khususnya bank-bank BUMN ada perkembangan yang signifikan yaitu lebih diserahkan kepada korporat itu sendiri setelah melalui mekanisme yang ada di dalam korporasi itu melalui RUPS dan sebagainya. Nah, ini bisa saja timbul pertanyaan apakah dengan demikian melalui mekanisme yang diatur oleh anggaran dasar BUMN itu melalui RUPS? Ada kemungkinan RUPS itu memutuskan akan diserahkan kepada advokat atau pengacara. Ya kalau RUPS-nya mengatakan demikian apa itu juga mungkin? Juga demikian halnya in casu permohonan Pemohon yang mendalilkan pengalamannya dengan penolakan oleh sebuah bank BUMN di dalam ini menjadi tidak signifikan lagi mempersoalkan kalau terpaku kasusnya pada kasus penolakan yang dialaminya, tapi ini tergantung dari apakah dengan diserahkan pada corporate pada tahap pertama itu, dimungkinkan bank BUMN itu juga bisa menyerahkan itu, karena sudah ada penyerahan sebelumnya yang berarti agak ada penyimpangan sebetulnya dari Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 mungkin tidak tahu ini apa bisa diberikan.
32.
KETUA : Dr. HARJONO, S.H., M.C.L Saya tambahi pertanyaannya dicatat dulu ya? Apakah panitia piutang ini sekarang masih ada? Dan melaksanakan tugasnya sesuai
18
dengan undang-undang itu? Karena ini menyangkut juga siapa yang menjadi anggota panitia piutang negara itu? Karena disebutkan di situ ada angkatan perang dan lain sebagainya, ini yang pertama. Yang kedua, Pemohon tidak memasalahkan panitia piutang negaranya secara keseluruhan, tapi yang dimasalahkan adalah tadi oleh pemerintah ditanyakan, apakah ikut menagih itu boleh kalau kemudian pihak BUMN itu memberi kuasa? Ataukah yang kedua ikut serta dalam panitia piutang negara itu? Ini yang ditanyakan tadi belum jelas, Pemohon besok di dalam keterangannya supaya juga dijelaskan mana yang sebetulnya diinginkan, apakah dia mandiri? Oleh karena itu di samping Prp bisa melakukan ataukah pengacara ini dibuka kemungkinannya masuk di dalam anggota panitia piutang negara itu? Jadi meskipun PUPN ini adalah hal-hal yang khusus, karena ini semacam gading begitu ya? Dengan si yang punya utang membuat perjanjian lalu dibuat hirah-hirah dan ini memang menyimpang dari HIR, tapi Pemohon tidak memasalahkan itu yang dimasalahkan adalah dimana Pemohon bisa masuk di dalam skema BPN itu. Ini juga Pemohon yang mempunya kewajiban untuk menjawab itu di dalam kesimpulannya nanti, kemudian juga dua pertanyaannya tadi kalau mungkin bisa disampaikan tolong disampaikan. Yang berikutnya adalah, kalau saya ingatkan saja pada pemohon kalau penjelasan pemerintah ini sudah demikian gamblang lalu bahwa terbuka kemungkinan bagi Pemohon untuk bisa mengajukan proposal dan tidak ditolak karena Pasal 12 ini, tapi ditolak karena ini terlalu mahal ini proposalnya atau yang lain karena sudah dibuka kemungkinan seperti itu, apakah Pemohon juga masih tetap di dalam perkara ini untuk meneruskan perkara ini? Kalau memang sudah dipenuhi itu karene di Mahkamah Konstitusi dimungkinkan Pemohon menarik perkara ini kalau memang sudah dari keterangan pemerintah bisa terbuka, ini dipertimbangkan oleh Pemohon ya? 33.
PEMOHON : PAUSTINUS SIBURIAN, S.H. Kita tetap maju.
34.
KETUA : Dr. HARJONO, S.H., M.C.L Ya? Oh, tetap maju meskipun sudah dibaca ya? Ini dia pertanyaan tadi yang dari pemerintah kita harapkan untuk bisa dijawab apa yang disampaikan oleh. Tambah satu lagi oleh Hakim Pak Mukhtie dan saya sendiri mengenai Prpn.
19
35.
HAKIM KONSTITUSI : Prof. ABDUL MUHTIE FADJAR, S.H., M.S Ini untuk pemerintah pada halaman 11 di alenia atas itu, ada dikatakan “pemerintah berpendapat bahwa ketentuan tersebut dibentuk sebagai maksud kami Undang-Undang No 49 Tahun 1960 dibentuk sebagai respon atas kebutuhan penanganan piutang negara yang sulit untuk diselesaikan yang tentunya akan berbeda jika dilihat dari kebutuhan dan susana kebatinan saat sekarang, apakah ini bermakna bahwa sebetulnya reason pasal itu sudah tidak relevan kira-kira, ini pertanyaannya.
36.
KETUA : Dr. HARJONO, S.H., M.C.L Silakan pemerintah.
37.
PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI, S.H., M.H (KA.BAG LITIGASI DEPT HUKUM DAN HAM) Terima kasih yang Mulia. Sebelum rekan kami dari Departemen Keuangan menjawab, Apakah kami diberikan kewenangan untuk memberikan keterangan?
38.
KETUA : Dr. HARJONO, S.H., M.C.L Kalau demikan, bagaimana kalau kita harapkan ada keterangan tertulis lagi untuk menjawab pertanyaan tiga poin dari hakim tadi. Bisa?
39.
PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI, S.H., M.H (KA.BAG LITIGASI DEPT HUKUM DAN HAM) Saya kira demikian, karena itukan kita harus konsultasikan dengan pemangku kuasa subtitusinya.
40.
KETUA : Dr. HARJONO, S.H., M.C.L Ok ya, kita bisa menerima bahwa keterangan itu akan disampaikan secara tertulis. Cuma begini ini karena kita juga terburu, bukan terburu karena kita mau tidak anu itu kan harus menjelang akhir ini dan masuk tahun baru kan begitu. Mahkamah Konstitusi dengan jadwal kerjanya menjadwalkan di dalam kinerjanya untuk tidak menunda perkara perkara tahun ini ke tahun depan. Oleh karena itu mohon baik kepada Pemohon maupun pemerintah secepat mungkin untuk dapat menyerahkan apa yang dijanjikan secara tertulis tadi, kalau mungkin tiga hari karena jadwal yang terbuka itu masih sampai dengan tanggal 20 ke atas secara real kegiatan sudah terhambat oleh natal dan tahun baru.
20
Oleh karena itu sekitar tanggal 20,21 itulah atau 19 kira-kira putusan ini nanti direncanakan akan dibacakan. Ya, jadi kalau Pemohon tadi tiga hari bisa menyampaiksn akan lebih baik, kalau pemerintah juga dalam waktu paling lambat hari Jum’at, maka kita semua akan, Anda akan terbebas dari kewajiban untuk tidak ditunda ke tahun baru, Pemohon juga akan ingin mendapatkan putusan secara lengkap Mahkamah Konstitusi juga dinilai kinerjanya bagus karena tidak menunda putusannya sampai tahun baru begitu, bisa dipahami ini kira-kira? 41.
PEMOHON : PAUSTINUS SIBURIAN, S.H.
42.
Bisa KETUA : Dr. HARJONO, S.H., M.C.L Bisa pemerintah bisa ya?
43.
PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI, S.H., M.H (KA.BAG LITIGASI DEPT HUKUM DAN HAM) Yang Mulia, apa boleh nawar sampai hari senin begitu pagi
44.
KETUA : Dr. HARJONO, S.H., M.C.L Ok, Senin pagi terakhir ya?
45.
PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI, S.H., M.H (KA.BAG LITIGASI DEPT HUKUM DAN HAM) Terima kasih.
46.
KETUA : Dr. HARJONO, S.H., M.C.L Jangan diundur lagi, kalau ini pakai irah-irah, senin ini supaya mengikat. Ok kita ambil deal bahwa Senin akan serahkan terakhir baik pemerintah maupun Pemohon. Saya kira bisa saya kita akhiri sidang ini setelah kita mendengar keterangan pemerintah dan dengan demikian sidang Panel Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa perkara No 023/PUU-IV/2006 dengan ini saya nyatakan ditutup. . KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 10.55 WIB
21