ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM ACARA PIDANA MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 012-016-019/PUU-IV/2006
Abstract : Applying of ground of retroaktif in criminal law procedure is one of matter opposed by Lawcourt Constitution because assumed to oppose against legality ground and of inkonstitusional. In decision of MK Case of Number 012016-019/PUU-IV/2006 Jo Decision 069/PUU-II/2004 in the reality implicitly Lawcourt Constitution enable retroaktif in procedure of criminal context. This matter can be looked into as an equity but may not continue to be let endless, see in procedure of criminal there are tendency “ambivalensi'” where political payload will colour and tend to to overrule human right.
Keyword : ground retroaktif, criminal law procedure, Lawcourt Constitution
PENDAHULUAN Arus reformasi yang bergulir di Indonesia pada tahun 1998 yang ditandai dengan runtuhnya rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama kurang lebih 32 tahun, telah membuka koridor bagi penegakan hukum dan hak asasi manusia. Kondisi ini dimungkinkan dengan adanya era globalisasi yang melanda di berbagai negara di dunia. Salah satu ciri terjadinya globalisasi ini dapat dilihat dalam kondisi hubungan antar negara yang disebut sebagai borderless world atau dunia tanpa batas. Era globalisasi membawa konsekuensi adanya penghilangan sekat /batas antar negara, bahkan dengan menggunakan teknologi canggih seperti penggunaan Satelit Palapa sebagai sarana komunikasi dapat dipergunakan negara adidaya (USA) untuk menyadap percakapan penting yang terkait dengan situasi politik dan keamanan Indonesia. Dengan kata lain, segala perilaku pemerintah maupun rakyat Indonesia dapat dipantau oleh negara lain, termasuk penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia.
1
Berkaitan dengan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), baru-baru ini muncul dari putusan Mahkamah Konstitusi yang pada pokoknya menyatakan bahwa Pasal 53 UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD 1945 dan menyatakan bahwa pasal tersebut tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak putusan ini diucapkan yaitu selasa 18 Desember 2006.Putusan yang dimaksud adalah Putusan MK Perkara No. 012016-019/PUU-IV/2006 (selanjutnya disebut Putusan MK) yang diajukan oleh beberapa pemohon yang antara lain Mulyana W Kusumah, Nazaruddin Sjamsuddin, Ramlan Surbakti, Tarcius Walla, dkk. (jika ditotal berjumlah 11orang ). Pemohon dalam putusan ini terbagi atas tiga permohonan yang terpisah namun diperiksa sekaligus karena dianggap ada persamaan pada pokok permohonannya yaitu seputar pasal – pasal dalam UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disingkat UU KPK). Pasal-pasal dalam UU KPK yang dimaksud adalah Pasal 2, Pasal 3, Pasal 6, Pasal 11, Pasal 12 ayat 1 huruf a, Pasal 20, Pasal 20, Pasal 40, Pasal 53 jo Pasal 1 angka 3 dan pasal 72 UU KPK di mana pasal dalam UUD 1945 yang diminta untuk diujikan pada Pasal 1 ayat 3, yang pada pokok alasannya adalah dianggap melanggar konsep negara hukum, melanggar prinsip praduga tak bersalah, melanggar prinsip persamaan di muka hukum, menimbulkan ketidakpastian hukum dan bersifat deskriminatif. Berdasarkan pertimbangan MK maka hanya hanya satu pasal dalam UU KPK yang dikabulkan yaitu berkaitan dengan Pasal 53 UU KPK, sedangkan pasal yang lain dinyatakan dalam bahasa pertimbangan MK yaitu tidak beralasan.
PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) DI INDONESIA Sebagaimana telah disinggung dalam uraian tentang pendahuluan bahwa arus reformasi yang terjadi di Indonesia telah membawa pengaruh bagi terbukanya koridor pembaharuan hukum dan penegakan HAM. Terlebih lagi
2
dalam mewujudkan civil society (masyarakat madani)1). Penggunaan istilah masyarakat madani dalam ranah masyarakat yang demokratis lebih memiliki makna dalam, terlebih lagi dalam mengangkat harkat dan martabat manusia. Selain itu Civil Society sangat penting artinya dalam menggambarkan/ mendeskripsikan penegakan HAM di Indonesia. Isu tentang HAM di Indonesia sebenarnya bukan barang yang baru, karena sesungguhnya masalah HAM telah disinggung oleh para founding fathers di Indonesia walaupun tidak disebutkan secara eksplisit yakni di dalam Alinea 1 Pembukaan UUD 1945 yang isinya menyatakan : “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ….. dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan atas dan perikeadilan”. Dengan adanya penghargaan terhadap HAM, bangsa Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 dapat disebut sebagai negara yang berdasar atas hukum. Rasionya, bahwa dalam negara hukum harus ada elemen-elemen sebagai berikut : (1) asas pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, (2) asas legalitas, (3) asas pembagian kekuasaan, (4) asas peradilan yang bebas dan tidak memihak, dan (5) asas kedaulatan rakyat.2) Akan tetapi penghargaan terhadap HAM yang sudah dicanangkan oleh para founding fathers di Indonesia tidak berjalan sebagaimana mestinya, seiring dengan perjalanan panjang bangsa Indonesia dalam 3 (tiga) orde3), yakni : a. Penegakan HAM pada Orde Lama
1)
2)
3)
Lihat : Nico Schulte Nordholt, Menyokong Civil Society dalam Era Kegelisahan, dalam Sindhunata (Editor), Mengenang Y.B. Mangunwijaya, Pergulatan Intelektual Dalam Era Kegelisahan, Kanisius, Yogyakarta, 1999. Hlm. 93. Pengertian Civil Society sering dipergunakan sebagai istilah borongan, Misalnya saja dalam masyarakat Belanda, berbagai organisasi dan yayasan swasta yang aktif dalam kegiatan kepentingan umum atau kelompok tertentu, seperti misalnya rumah yatim piatu atau bahkan perkumpulan olah raga biasanya disebut maatschappleijk middenveld. Jika orang ingin bicara keren, istilah tersebut segera diganti dengan Civil Society. Lihat Rasjidi dan B. Arief Sidharta, Filsafat Hukum, Mazhab dan Refleksinya. Remadja Karya, Bandung, 1989, Hlm. 185 Muladi, Demokratisasi, hak asasi manusia dan reformasi hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002, hlm. 49. Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi memiliki karakteristik berbeda yang membenarkan adanya hipotesis bahwa suatu orde atau suatu tatanan politik akan mempengaruhi sistem hukum yang berlaku, baik secara substantif, struktural maupun kultural.
3
Orde Lama merupakan kelanjutan pemerintahan pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang lebih menitikberatkan pada perjuangan revolusi sehingga banyak peraturan perundang-undangan yang dibuat atas nama revolusi yang telah diooptasi oleh kekuasaan eksekutif, seperti UU No. 1964 yang memungkinkan campur tangan Presiden terhadap kekuasaan kehakiman dan UU No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi yang tidak sesuai dengan HAM. b. Penegakan HAM pada Orde Baru Orde Baru yang berdiri respon terhadap gagalnya Orde Lama telah membuat perubahan-perubahan secara tegas dengan membangun demokratisasi dan perlindungan HAM melalui Pemilu tahun 19714). Akan tetapi lebih dari 1 dasa warsa, nuasnya demokratisasi dan perlindungan HAM yang selama ini dijalankan Orde Baru mulai bias, yang ditandai dengan maraknya praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) serta berbagai rekayasa untuk kepentingan politik dan penguasa. Seringkali, pemerintah di masa Orde Baru melakukan
tindakan-tindakan
yang
dikategorikan
sebagai
crime
by
government atau top hat crimes seperti penculikan terhadap para aktivis pro demokrasi (penghilangan secara paksa) yang bertentangan dengan HAM, sekalipun pada tahun 1993 pemerintah sudah mendirikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Sebagai puncaknya, pada tahun 1998 Orde Baru jatuh dengan adanya multi krisis di Indonesia serta tuntutan adanya reformasi di segala bidang. c. Penegakan HAM pada masa Orde Baru reformasi Orde Reformasi yang dimulai pada tahun 1998 berusaha menegakkan HAM dengan jalan membuat peraturan perundang-undangan yang terkait dengan HAM sebagai rambu-rambu, seperti UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Ratifikasi terhadap instrumen internasional tentang HAM, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang memungkinkan dibukanya kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu serta pemberantasan praktek KKN.
4
PELUANG MEMBUKA KEMBALI KASUS PENEGAKAN HAM BERAT YANG BELUM / TIDAK TERSELESAIKAN Pada tahun 1993, pemerintah Indonesia telah membentuk Komnas dengan Keppres No. 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia memiliki tugas sebagaimana diatur dalam pasal 5 yang isinya dinyatakan sebagai berikut : (a) menyebarluaskan wawasan nasional dan internasional mengenai hak asasi manusia baik kepada masyarakat Indonesia maupun kepada masyarakat internasional; (b) mengkaji berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak asasi manusia dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan / atau ratifikasinya; (c) memantau dan menyelidiki pelaksanaan hak asasi manusia serta pendapat, pertimbangan dan saran kepada badan pemerintahan negara mengenai pelaksanaan hak asasi manusia, (d) mengadakan kerja sama regional dan internasional dalam rangka memajukan dan melindungi hak asasi manusia. Di dalam realisasinya, keberadaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tidak memiliki power dalam melaksanakan tugasnya, yang terbatas pada pemantauan dan penyelidikan semata. Seiring dengan tumbangnya rezim Orde Baru menuju Orde Reformasi yang lebih menitikberatkan pada perlindungan hukum dan penegakan HAM, rakyat melalui MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) melakukan amandemen tentang UUD 1945 dengan memasukkan pasal yang khusus mengatur tentang HAM yaitu pasal 28 UUD 1945. Di samping itu, guna melaksanakan ketentuan dalam pasal tersebut di atas. Pemerintah juga mengundangkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Di dalam UU tentang HAM tersebut, job deskripsi dari Komnas HAM juga telah mengalami perubahan. Perubahan tersebut meliputi : (1) fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi tentang hak asasi manusia (Pasal 76 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999); (2) tugas penyelidikan tentang penegakan HAM yang berat (Pasal 18 ayat (1) UU No.26 tahun 2000).
4)
Ibid, hlm. 50
5
Perubahan job deskripsi dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia diharapkan dapat merealisasikan tugas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang sebenarnya. Di dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan HAM, seperti UU Pengadilan HAM tedapat salah satu ktn yang memberikan peluang dibukanya kembali kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM yang diatur dalam Pasal 43-44 tentang Pengadilan HAM Ad Hoc dan Pasal 46 tentang tidak berlakunya ketentuan kadaluwarsa dalam pelanggaran HAM yang berat. Dimasukkannya ketentuan-ketentuan tersebut di atas dimaksud agar kasus-kasus yang terjadi sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM dengan diadili. Ketentuan-ketentuan tidak dikenalnya kadaluwarsa dalam UU Pengadilan HAM diadposi dari Statuta Roma Tahun 1998, yakni ketentuan-ketentuan dalam Artikel 29 tentang “Tidak dapat diterapkannya ketentuan pembatasan”. Ada dua alasan dimasukkannya asas retoractive ke dalam UU Pengadilan HAM sebagaimana dikatakan oleh Muladi5), yakni : (1) jauh sebelum diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000 belum dikenal kejahatan “genosida” dan “kejahatan tentang kemanusiaan”; (2) asas retroactive dalam UU Pengadilan HAM merupakan
political
wisdom
(kebijaksanaan
politik)
dari
DPR
untuk
merekomentasikan kepada Presiden dengan pertimbangan bahwa kedua jenis kejahatan tersebut merupakan extraordinary crimes (kejahatan luas biasa) yang dikutuk secara internasional sebagai enemies of all mankind (hotis humani generis) dan dirumuskan sebagai kejahatan internasional (internasional crimes). Munculnya ketentuan pemberlakuan asas retroactive ini telah mengundang pandangan yang kontra tentang keberadaan asas tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief yang berpendirian bahwa pemberlakuan asas retroactive sangat bertentangan dengan ide perlindungan HAM yang diatur dalam Pasal 11 Declaration of Human Right (UDHR), pasal 15 ayat (1)
5)
Lihat:Muladi, Penerapan Asas Retroaktif dalam Hukum Pidana di Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Hotel Ciputra, Semarang, 26-27 April 2004, hlm. 12. Bandingkan juga dengan Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2003, hlm. 7.
6
International Convention on Civil and Political Right (ICCPR), Pasal 22 ayat (1) dan pasal 24 ayat (1) Statuta Roma tentang International Criminal Court6). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemberlakuan atas retroactive yang memungkinkan dibukanya kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM merupakan penyimpangan terhadap asas legalitas dari sisi hukum positif Indonesia (KUHP). Akan tetapi, dari sisi lain, menurut Hukum Pidana internasional, pemberlakuan asas retroactive sangat dimungkinkan untuk mencapai keadilan yang diwujudkan dengan pembentukan pengadilan tribunal seperti ICTR (International Court Tribunal for Rwanda), ICTY (International Court Tribunal for Yugoslovakia) dan ICC (International Criminal Court) dalam Statuta Roma. Walaupun telah terjadi perbedaan pendapat tentang keberadaan asas retroactive sebagai celah dibukanya kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat akan tetapi tetap diperlukan adanya filter yang dapat menyaring kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lampau melalui “political wisdom” dari DPR sebagai wakil rakyat, sekalipun sifat dari filter seperti digelarnya pengadilan HAM ad hoc tentang kasus Tanjung Priok, DOM (Daerah Operasi Militer) Aceh dan Kasus Timor Timur Pasca pelanggaran HAM berat di masa lampau, yang memerlukan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc tersebut terdapat subyektifitas dalam realivitas dan tergantung pada kepentingan yang ada serta lebih tertumpu pada nilai politis yang tersembunyi.
PEMBERLAKUAN ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM PIDANA FORMIL Cara pandang hukum pidana terbagi atas hukum pidana materill dan hukum pidana formil. Menurut Moelyatno, hukum pidana dalam arti materill (dalam penyebutannya ’’hukum pidana material’’) disebut juga substansive criminal law berisi perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, 6)
Lihat juga : Barda Nawawi Arief, , Kapita Selekta Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2003, hlm. 1. Lebih lanjut dikatakan oleh Barda Nawawi Arief bahwa di era reformasi ini, asas retroactive muncul dalam kejahatan hak asasi manusia (HAM) dalam rangka perlindungan Hak Asasi Manusia.
7
dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut (criminal act) dan menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana yang sebagaimana yang telah diancamkan (criminal responsibility). Sedangkan untuk hukum pidana formil ditekankan pada prosedur atau cara dalam menegakkan hukum pidana materiilnya. Dalam pratiknya dalam dua hal pandang hukum pidana ini tidak bisa dipisahkan karena seperti pisau bermata dua umtuk membedah persoalan-persoalan hukum pidana dalam konkritnya. Hal inipun juga diakui oleh pembentukan KUHP, dengan memberika penjelasan huruf a. Pasal 2 KUHP yang menyatakan bahwa asas – asas dalam hokum pidana formil. Penjelasan huruf a Pasal 2 KUHP: Dengan adanya penjelasan ini maka asas legalitas yang ditegaskan pada pasal 1 ayat 1 KUHP (Hukum Pidana Materiil) secara otomatis juga berlaku pada KUHAP (Hukum Pidana formil). Meskipun sekilas mendalilkan sesuatu yang didasarkan suatu penjelasan dalam UU adalah lemah, namun dengan adanya UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang–Undangan ditegaskan bahwa suatu penjelasan dalam UU merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari permaknaan pasal yang bersangkutan (pentingnya suatu penjelasan dalam suatu perundang–undangan sampai membuat Mahkamah Konstitusi memutuskan menganulir suatu pengertian melawan hukum materiil yang positif dalam Penjelasan Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang–Undang Republik Indonesia No.31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi karena dianggap
bertentanggan dengan asas legalitas. Jadi penegasan dalam penjelasan ini dapat dianggap sebagai suatu bagian yang memberikan penegasan atas dianutnya asas– asas dalam KUHP ke dalam KUHAP. Penegasan dianutnya asas legalitas dalam KUHAP juga dapat dilihat dalam konsideran huruf a KUHAP yang mengatakan : “Bahwa negara hukum menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hokum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hokum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
8
Berdasarkan pasal ini, maka jika ada kasus–kasus pidana yang tunduk pada hukum pidana formil umum yang terjadi sebelum KUHAP diundangkan maka sejauh mungkin diberlakukan ketentuan KUHP. Hal ini berarti KUHAP dapat berlaku surut kebelakang (retroaktif) dan berdasarkan asas legalitas yang ada pada Pasal 1 ayat 1 KUHP dilarang. Adanya larangan pemberlakuan surut karena makna yang terkandung dalam asas legalitas adalah sebagai berikut : (1). Bahwa hukum pidana yang berlaku di negara kita itu merupakan suatu hukum yang tertulis; (2). Bahwa undang–undang Pidana yang berlaku di negara kita itu tidak boleh diberlakukan surut; (3). Bahwa penafsiran secara analogis itu tidak boleh dipergunakan dalam menafsirkan Undang–Undang Pidana. Permasalahan mengenai asas legalitas dalam hukum pidana formil ini sudah ada sejak KUHAP diberlakukan dan sekarang muncul lagi dengan keadaan yang berbeda yaitu undang–undang yang berbeda (UU KPK sebagai Hukum Pidana Formil), adanya Mahkamah Konstitusi, dan penolakan pemberlakuan retroaktif dari hukum kebiasaan internasional (statuta Roma 1998) Berikut pandangan atau argumen pada Putusan MK Perkara Nomor 012016-019/PUU-IV/2006 adalah : 1. Asas retroaktif hanya dikenal dalam hukum pidana materil 2. Dampak pemberlakuan non retroaktif hanya pada pasal 1 ayat 2 KUHP (pendapat Romli Atmasasmita) 3. Bahwa Prof. Indriyanto Seno Adji S.H.,M.H., berpendapat di hadapan Majelis Hakim Konstitusi bahwa “masalah kewenanggan” baik proses penyelidikan, penyidikan , dan penuntutan masuk dalam hukum pidana formil. 4. Prof. Andi Hamzah, S.H., pada pokoknya berpendapat bahwa jika perkara tersebut terjadi sebelum 27 Desember 2002, hal tersebut sama sekali tidak diatur oleh Undang–Undang Nomor 30 Tahun 2002, masalahnya adalah bolehkah hukum acara pidana berlaku surut, Dan itulah masalah inti yang ditentang habis–habisan yakni berlaku surutnya hukum acara, karena hukum acara manganut asas legalitas. 9
Sedang dalam konteks hukum acara pidana sebagai hukum administrasi ditekankan
pada
peraturan
mengenai
wewenang
dan
tugas–tugas
alat
perlengkapan negara untuk menyelenggarakan usaha dari pemerintah di bidang penegakan hukum dan peradilan. Secara umum, hukum administrasi merupakan instrument yuridis bagi penguasa untuk secara aktif terlibat dengan masyarakat; dan pada sisi lain hukum administrasi merupakan hukum yang memungkinkan anggota masyarakat mempengaruhi penguasa dan memberikan perlindungan terhadap penguasa. Perbedaan antara hukum administrasi secara umum dengan hukum acara pidana sebagai hukum di mana dalam hukum administrasi secara umum dibedakan dengan tegas. Dalam konteks ini pandangan atau argumen yang tampak dalam putusan Mk adalah : 1. Asas retroaktif diperbolehkan dalam kaitannya dengan kondisi darurat. 2. Prinsip lex certa bahwa suatu produk ketentuan atau substansi dari peraturan perundang-undangan, jangan diartikan lain selain dari pada maksud diadakannya substansi peraturan perundang-undang tersebut, untuk menghindari apa yang dinamakan abuse of power atau penyalahgunaan wewenang dari penguasa. 3. Kesepakatan politik yang berkaitan kebijakan penerapan Pasal 68 UU KPK (pengakuan Indriyanto Seno Adjie) hanya dalam jangka satu tahun. 4. Pandangan yang menyatakan bahwa korupsi adalah extra ordinary crime jadi kebijakan pemerintah membutuhkan lembaga dengan kewenangan luas. 5. Penerapan retroaktif menimbulkan “balas dendam dalam politik”, asas retroaktif merupakan cerminan lex talinios karena indikasinya adalah hanyalah sarana untuk mencapai tujuan politik tertentu, bukan kehendak murni bagi pembeharuan hukum pidana. 6. Kemungkinan–kemungkinan penafsiran kebijakan retroaktif dapat dilihat dalam kebijakan ketatanegaraan seperti yang termaktub dalam keterangan penutup dalam UU MK (Pasal 87, Pasal 88 UU MK atau dalam seperti yang pernah terjadi pada saat dikeluarkanya Keppres No 34/2000 10
mengenai pembentukan pengadilan Kepanjen (dalam Pasal 5 Keppres No 34/2000). Dari contoh yang disebutkan maka ada pendirian bahwa kebijakan terhadap suatu lembaga penegak hukum yang baru dibentuk tidak dilarang untuk menerima limpahan perkara–perkara yang sedang ditangani oleh lembaga yang lama atau lembaga sejenis yang digantikannya. 7. Pasal 68 UU KPK termasuk dalam hukum administrasi, oleh karena itu tidak berkaitan dengan pasal ayat 1 KUHP (pendapat Emong Komariah S.)
KESIMPULAN Deskripsi tentang penegakan HAM di Indonesia masih melukiskan adanya ketidakseimbangan antara kepastian hukum tentang aturan-aturan penegakan HAM dengan pelaksanaan penegakan HAM, baik yang dilakukan oleh individu (anggota masyarakat) maupun pemerintah dalam hal ini aparat penegak hukum. Peluang yang disediakan oleh peraturan perundang-undangan tentang HAM untuk membuka kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lampau terdapat ketidakharmonisan antara asas legalitas (menurut hukum positif) yang berlaku, dalam hal ini KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan hukum pidana Internasional yang mengijinkan berlakunya asas retroactive. Upaya penyelesaian melalui jalur hukum (pidana) dipandang masih belum memenuhi rasa keadilan masyarakat, sedangkan untuk mewujudkan penyelesaian melalui jalur alternatif terdapat berbagai kendala, baik yang berasal dari pelaku pelanggaran HAM berat dalam hal mengakui pembuatannya secara terus terang, maupun dari korban pelanggaran HAM berat dalam hal menyampaikan kebenaran karena adanya trauma pribadi yang dialami. Untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM berat harus ditumbuhkan budaya hukum dalam masyarakat sebagai sarana
kontrol
terhadap bekerjanya hukum dan lembaga-lembaga yang terkait dengan penegakan hukum dan penegakan HAM.
11
DAFTAR PUSTAKA
Arief , Barda Nawawi. 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. __________. 2004, Pokok-pokok Pemikiran (Ide Dasar) Asas-Asas Hukum Pidana Nasional, makalah disampaikan pada Seminar Tentang Asas-asas Hukum Pidana Nasional. Diselenggarakan oleh BPHN Depkeh dan HAM RI bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, tangal 26-27 April 2004. Davis, Peter. 1994, Hak-Hak Asasi Manusia, sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Kasim, Ifdhal & Eddie Riyadi Terre (Ed.). 2003, Kebenaran Versus Keadilan, Pertanggunganjawaban Pelanggaran HAM di masa lampau, Jakarta: ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat). Lopa, Baharuddin. 1999, Pertumbuhan Demokrasi Penegakan hukum dan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Jakarta: PT. Yarsif Watampone. Muladi. 2002, Demokratisasi, hak asasi manusia dan reformasi hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta __________. 2004, Penerapan Asas Retroaktif dalam Hukum Pidana di Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Hotel Ciputra, Semarang, 26-27 April 2004. Nordholt, Nico Schulte. 1999, Menyokong Civil Society dalam Era Kegelisahan, dalam Sindhunata (Editor), Mengenang Y.B. Mangunwijaya, Pergulatan Intelektual Dalam Era Kegelisahan. Yogyakarta: Kanisius. Rahardjo, Satjipto. 2004, Ilmu Hukum, Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, khudzaifah Dimyati (Ed). Surakarta: Muhammadiyah University PressUMS. Rasjidi, Lili & B. Arief Sidharta. 1989, Filsafat Hukum, Madzab dan Refleksinya. Bandung: CV. Remadja Karya.
12