MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NO. 005/PUU-IV/2006 PERIHAL PENGUJIAN UU NO 22. TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DAN UU NO. 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN TERHADAP UUD 1945
ACARA MENDENGAR KETERANGAN SAKSI DAN/ATAU AHLI DARI PEMOHON DAN KOMISI YUDISIAL
JAKARTA
SELASA, 6 JUNI 2006
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NO. 005/PUU-IV/2006 PERIHAL PENGUJIAN UU NO 22. TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DAN UU NO. 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN TERHADAP UUD 1945
PEMOHON Prof. Dr. PAULUS EFENDI L. S.H. dkk.
ACARA MENDENGAR KETERANGAN SAKSI DAN/ATAU AHLI DARI PEMOHON DAN KOMISI YUDISIAL Selasa, 06 Juni 2006 PUKUL 10.00 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI. Jl. Medan Merdeka Barat No. 7, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. H. ACHMAD ROESTANDI, S.H. Prof. H.A.S. NATABAYA, S.H., LL.M. I DEWA GEDE PALGUNA, S.H., M.H. Prof. H. ABDUL MUKTHIE FADJAR, S.H., M.S. MARUARAR SIAHAAN, S.H. Dr. HARJONO, S.H., M.C.L SOEDARSONO, S.H.
Cholidin Nasir, S.H.
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
1
Hadir : Pemohon : Harifin. A. Tumpa, S.H. Djoko Sarwoko Kuasa Hukum Pemohon : 1. Prof. Dr. Indrianto Senoadji, S.H. 2. Wimbiyono Senoadji, S.H. 3. O.C Kaligis, S.H., M.H. 4. Juan Felix Tampubolon, S.H., M.H. 5. Deny Kailimang, S.H., M.H. Ahli dari Pemohon : 1. Prof. Dr. Philipus. M.Hardjon, S.H. 2. Hobbes Sinaga, S.H., M.H. Pemerintah : 1. Mualimin Abdi, S.H., M.H. (Ka. Bag Litigasi Dept Hukum dan HAM) 2. Qomarudin, S.H., M.H. (Dirt. Litigasi Dept Hukum dan HAM) Pihak Terkait (Komisi Yudisial): 1. M. Thahir Saimima, S.H. (Wakli Ketua KY) 2. Prof. Dr. Mustafa Abdullah, S.H. (Anggota, K.Y) 3. H.M Irawadi Joenoes, S.H. ( Anggota K.Y. ) 4. Iskandar Sonhadji, S.H. Kuasa Hukum Pihak Terkait (Komisi Yudisial) 1. 2. 3.
Bambang Widjajanto, S.H. LL.M. Amir Syamsudin, S.H., M.H. Trimoelja. D. Soerjadi, S.H.
Ahli dari Pihak Terkait (Komisi Yudisial) : 1. Prof. Dr. H. Mahfud., M.D. 2. Prof. DR. Amran Halim 3. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D. Saksi dari Pihak Terkait (Komisi Yudisial) : Drs. Agun Gunanjar.
2
JALANNYA PERSIDANGAN SIDANG DIBUKA PUKUL 10.00 WIB 1.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik Saudara-saudara, Sidang Mahkamah Konstitusi dengan ini saya nyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 1 X
Assalamu’alaikum wr. wb.
Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Seperti biasa sebelum kita mulai dalam sidang lanjutan ini, kita mulai dengan perkenalan siapa saja yang hadir, saya mulai dari para Pemohon. 2.
KUASA HUKUM PEMOHON : O.C KALIGIS, S.H., M.H. Dari kami sendiri Yang Mulia, O.C. Kaligis, kemudian di sebelah kami Juan Felix Tampubolon, S.H., M.H., dan sebelah kanan lagi Prof. Dr. Indrianto Senoadji, S.H. kemudian Bapak Denny Kailimang, S.H., M.H. dan Wimbiyono Senoadji, S.H., M.H. Terima kasih Yang Mulia.
3.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Kita teruskan, sebelah kiri
4.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT TRIMOELJA. D. SOERJADI, S.H.
(KOMISI
YUDISIAL)
:
Terima kasih. Dari kami Pihak Terkait Komisi Yudisial, sebelah kanan saya Bambang Widjajanto, S.H., LL.M., sebelah kiri saya Saudara Amir Syamsudin, S.H., M.H. dan saya sendiri Trimoelja D. Soerjadi, S.H. 5.
PEMERINTTAH : MUALIMIN, S.H., M.H (KA.BAG. LITIGASI, DEPT HUKUM DAN HAM)
Assalamu’alaikum wr. wb.
Yang mulia, kami Mualimin Abdi, S.H., M.H. dari peserta tim dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, terima kasih.
3
6.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. DPR tidak ada ya dan ada Pemohon prinsipal? Belum atau memang (..)
7.
KUASA HUKUM PEMOHON : O.C KALIGIS, S.H., M.H. Belum hadir Yang Mulia, ada kemungkinan datang terlambat.
8.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Dari Komisi Yudisial juga hadir kan? Dua orang. Pihak terkait lainnya? KRHN? Tidak ada ya. Baik Saudara-saudara, hari ini kita akan mendengarkan keterangan ahli. Ada ahli yang diajukan oleh Pemohon, ada ahli yang diajukan oleh Pihak Terkait dalam hal ini Komisi Yudisial. Yang diajukan oleh Pihak Pemohon ada dua ya 1. Bapak Prof. Dr. Philipus M. Hardjon, S.H., sudah datang, selamat datang. 2. Bapak Hobbes Sinaga, S.H., M.H. Sementara itu ada ahli yang diajukan oleh Pihak Terkait
9.
KUASA HUKUM PEMOHON : O.C KALIGIS, S.H., M.H. Yang mulia, ada prinsipal dari kami yaitu Harmoko dan Harifin Tumpa, terima kasih Yang Mulia.
10.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Bapak Djoko atau Harmoko?
11.
KUASA HUKUM PEMOHON : O.C KALIGIS, S.H., M.H. Djoko Sarwoko.
12.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Itu agak jauh itu. Baik saya ulangi lagi, ada 5 (lima) orang ahli, nanti 1 (satu) di antaranya kita klarifikasi ya? 1. Bapak Prof. Dr. Mahfud MD 2. Bapak Prof. Dr. Amran Halim 3. Bapak Prof. Dr. Denny Indrayana, belum ya, baru doctor, Dr. Denny Indrayana.
4
4. Bapak Prof. Dr. Frans Limahelu, belum hadir, ke Amerika, tidak hadir atau belum hadir? 13.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT : AMIR SYAMSUDIN, S.H., M.H. Belum hadir, pada hari ini belum bisa hadir.
14.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Kita lihat perkembangan ya, dan kemudian yang terakhir Drs. Agun Gunandjar. Pada sidang yang lalu 5 (lima) orang ini sudah disumpah sebagai ahli. Sekarang saya ingin ulangi apakah ini tetap sebagai ahli karena sudah disumpah dan nanti keterangan berdasarkan keahliannya, berdasarkan pengalamannya, berdasarkan pengetahuannya, biar hakim yang menilai. Tapi kecuali kalau Pihak Terkait yang mengajukan itu bersungguh-sungguh ingin diubah statusnya ya tidak mengapa, tapi untuk sementara ini begitu kita sudah terima 5 (lima) orang ahli, yang hadir hari ini 4 (empat) orang. Bagaimana Pihak Terkait ?
15.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT TRIMOELJA. D. SOERJADI, S.H.
(KOMISI
YUDISIAL)
:
Bapak Ketua, jadi Saudara Agun Gunandjar itu sebagai Saksi. 16.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Begitu ya, sebagai Saksi. Kalau demikian berarti nanti Pak Agun Gunandjar akan diambil sumpah secara sendiri sebagai Saksi, sehingga statusnya berubah tidak sebagai ahli seperti yang sudah di sidang terdahulu, tapi berubah dengan saksi dengan pengambilan sumpah baru. Dan sementara itu 2 (dua) orang ahli yang diajukan oleh pihak Pemohon ini belum diambil sumpahnya dalam sidang yang lalu maka disumpah dalam sidang ini. Kita mulai, ya ini juga Bapak Hobbes Sinaga, oleh Pihak Pemohon diajukan sebagai ahli, saya ingin cek saja Pak Agun dulu anggota Tim RUU MK? maaf Undang-undang KY? O dua-duanya. Jadi kalau begitu tidak ada masalah dengan Pak Hobbes. Baik saya persilakan mulai dari ahli yang diajukan oleh Pemohon dulu untuk diambil sumpah. Petugas silakan, Pak Maru.
17.
HAKIM : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Bisa berdiri?
5
18.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Silakan ke depan.
19.
HAKIM : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Pak Hobbes berdiri. Untuk yang beraga Kristen, begitu ya Pak? Pak Philipus juga beragama Kristen, Pak? Kalau begitu, saya kira meski pun Katolik, saya kira bisa samasama kita berjanji, tapi nilainya adalah sumpah. Bisa diangkat tangan kanan, Pak! Ikuti!
Saya berjanji, bahwa saya, sebagai Ahli, akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong saya. 20.
AHLI DARI PEMOHON : Prof. Dr. PHILIPUS M. HARDJON, S.H., DAN HOBBES SINAGA, S.H., M.H.
Saya berjanji, bahwa saya, sebagai Ahli, akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong saya. 21.
HAKIM : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Silakan duduk, Pak.
22.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Sekarang saya persilakan Bapak Agun sebagai Saksi. Silakan, Pak.
23.
HAKIM : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Saudara diminta mengikuti lafal sumpah yang bakal dibacakan.
Demi Allah, saya bersumpah, akan sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya. 24.
yang
SAKSI DARI PIHAK TERKAIT(KOMISI YUDISIAL): Drs. AGUN GUNANJAR
Demi Allah, saya bersumpah, akan sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya. 25.
menerangkan
menerangkan
yang
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik Saudara-saudara.
6
Ini karena Ahli ada 4, 2 berarti 6 (enam) orang, 2 (dua) diajukan Pemohon, 4 diajukan oleh Pihak Terkait, 1 (satu) Saksi, ini supaya mudah. Bagaimana kalau kita selesaikan saksi dulu. Saksi. Nanti yang ahli ini, karena 6 (enam) orang dari pada kita minta satu-satu, kalau misalnya bisa dianggap mempermudah, maka ini kita terima, jadi kita saksi dulu, nanti ahli karena 6 (enam) orang, itu nanti bisa cross, jadi 6 (enam) orang nanti kita minta bicara, masing-masing 2 (dua) nanti ditanya oleh Pemohon, 4 ditanya oleh Pihak Terkait, tapi itu kita selesaikan yang Saksi dulu bagaimana? Karena cuma 1 (satu) orang, setuju ya. Kalau begitu saya persilakan dari Pihak Terkait untuk mengajukan pertanyaan, keterangan kesaksian seperti apa yang diharapkan dari Saksi ini, saya persilakan. 26.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT BAMBANG WIDJAJANTO, S.H., LL.M
(KOMISI
YUDISIAL)
:
Terima kasih Bapak Ketua. Saudara Saksi, sepengetahuan kami Saudara adalah tim dari Ad hoc. Dan di dalam tim Ad hoc itu kemudian Saudara Saksi juga mengikuti secara intensif seluruh proses pembuatan atau perubahan Undang-Undang Dasar ini, terutama perubahan yang ketiga. Betul ya, dan lebih khusus lagi sebenarnya saksi juga terlibat intensif di dalam perubahan Bab IX Kekuasaan Kehakiman. Bisakah diceriterakan oleh saudara saksi, proses, proses dari pembuatan itu, perubahan UUD itu? Saksi-saksi terdahulu mengatakan bahwa Komisi Yudisial gagasannya itu datang kemudian yang sebelumnya lebih banyak dikemukakan adalah Dewan Kehormatan. Itu yang pertama. 27.
KUASA HUKUM PEMOHON : O.C KALIGIS, S.H., M.H. Yang mulia, pertanyaan yang terdahulu itu tidak jelas bagi kami. Apa mesti di-cross dari saksi-saksi terdahulu? Jadi kami keberatan dengan saksi-saksi terdahulu mesti jelas, saksi mana Yang Mulia, itu miss leading kalau begitu kan, mohon dengan penuh hormat kami keberatan terhadap pernyataan saksi-saksi terdahulu, ini kan terhadap saksi yang de facto, saksi fakta. Terima kasih Yang mulia.
28.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Dicatat ya dan kalau bisa diperhatikan apa yang disebut, tetapi walau demikian biar nanti dinilai oleh hakim.
7
29.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT BAMBANG WIDJAJANTO, S.H., LL.M
(KOMISI
YUDISIAL)
:
Baik terima kasih Pemohon. Jadi di dalam proses terdahulu, dalam perubahan Undang-Undang Dasar itu nama KY (Komisi Yudisial) itu datang kemudian gagasan itu. Sebelumnya ada gagasan mengenai dewan kehormatan. Jadi pertanyaannya adalah tolong diceriterakan mengapa ini muncul kemudian? Apa yang menjadi dasarnya? Terus yang kedua, apakah betul atau tidak betul bahwa Komisi Yudisial ini hanya menitik beratkan pengawasan untuk hakim tertentu saja, atau ini bersifat generik untuk semua hakim? Jadi pengertian kata hakim dalam ayat (1) Pasal 24B itu sesungguhnya seperti apa? Dan juga kaitan ini dengan Pasal 25 pertanyaan lanjutannya. Sepengetahuan kami Pasal 25 adalah salah satu pasal yang tidak pernah dirubah. Jadi kalau kemudian. (…) 30.
KUASA HUKUM PEMOHON : O.C KALIGIS, S.H., M.H. Kami keberatan lagi Yang Mulia. Sepengetahuan kami ini kan pertanyaan kepada Saksi. Mohon supaya diarahkan itu pertanyaannya. Ini kan pertanyaan kepada, bukan sepengetahuan kami? Terima kasih Yang Mulia.
31.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT BAMBANG WIDJAJANTO, S.H., LL.M
(KOMISI
YUDISIAL)
:
Kami dalam pengertian saya adalah kelompok ini. Kalau kita, termasuk Pemohon. 32.
KUASA HUKUM PEMOHON : O.C KALIGIS, S.H., M.H. Jadi pertanyaannya itu apa?
33.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT BAMBANG WIDJAJANTO, S.H., LL.M
(KOMISI
YUDISIAL)
:
Jadi ini pertanyaan sedang disusun. Jadi agak pahamlah mengenai bahasa Indonesia. Kita dan kami itu berbeda, kami itu di sini ya. 34.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Kalau bisa begini ya.
8
35.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT BAMBANG WIDJAJANTO, S.H., LL.M
(KOMISI
YUDISIAL)
:
Tolong dimatikan dulu itunya Pak. 36.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ya. Bukan.
37.
KUASA HUKUM PEMOHON : O.C KALIGIS, S.H., M.H. Yang pimpin sidang itu Yang Mulia, bukan Saudara. Jadi kami tidak ikut sama Saudara. Terima kasih.
38.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ya. Inikan tidak usah, walaupun duduknya itu berhadapan tidak usah begitulah, selesaikan dulu.
39.
KUASA HUKUM PEMOHON : O.C KALIGIS, S.H., M.H. Ya, kalau agak sopan begitu, Pak. Terima kasih.
40.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Coba masing-masing dahulu. Selesaikan dulu.
41.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT BAMBANG WIDJAJANTO, S.H., LL.M
(KOMISI
YUDISIAL)
:
Terima kasih Yang Mulia atas petunjuknya supaya lebih sopan. Jadi pertanyaannya adalah bagaimana menghubungkan dengan Pasal 25 itu? Pasal 25 itu kan tidak pernah diubah. Tolong itu pertanyaan lanjutannya seperti itu. Terus yang ketiga yang juga cukup menarik, yang cukup menarik. Yang cukup menarik adalah tiba-tiba muncul Mahkamah Konstitusi. Tiba-tiba muncul Mahkamah Konstitusi dan itu letaknya sesudah Komisi Yudisial. Pertanyaannya adalah apakah Mahkamah Konstitusi itu juga menjadi obyek dari pengawasan yang disebut KY ini. Dari tiga pertanyaan dasar itu Pak Ketua, dan kami mohon Saudara Saksi ini bisa menjelaskannya. Terima kasih.
9
42.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Sebelum dijawab, harus jelas perbedaan antara Saksi dan Ahli. Di sini sengaja tidak disebut Saksi Ahli. Jadi di Mahkamah Konstitusi dalam undang-undang disebut dengan tegas sekali ini ahli bukan Saksi Ahli, ahli. Beda betul dengan saksi. Kalau Saksi keterangan yang diberikan itu kesaksian yang dilihat sendiri, dialami sendiri, fakta-fakta yang didengar sendiri. Kalau Ahli pengetahuan, pengetahuannya. Jadi nanti begitu basis, hakim akan menilai itu nanti keterangan, mana yang kesaksian, mana yang keahlian. Saya persilakan.
43.
SAKSI DARI PIHAK TERKAIT(KOMISI YUDISIAL): Drs. AGUN GUNANJAR Terima kasih Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, para pihak yang hadir pada kesempatan ini.
Assalamu’alaikum wr. wb. Dengan mengucapkan Bismillah saya berusaha memberikan
keterangan atas apa yang saya kerjakan atas apa saja yang sudah saya lakukan selama menjadi Anggota Panitia Ad hoc I di Badan Pekerja MPR. Menjawab apa yang disampaikan oleh Pihak Terkait dalam hal ini dari Komisi Yudisial, Kuasa Hukum Komisi Yudisial menanyakan hal-hal yang tidak perlu saya utarakan pertanyaan tersebut, tapi kami berusaha untuk menjawabnya sesuai dengan apa yang kami alami, kami lakukan bahwa Komisi Yudisial muncul dalam pembicaraan-pembicaraan Panitia Ad hoc I secara khusus itu baru ada katakanlah pada menjelang menghadapi masa sidang di tahun 2000-an. Perubahan UUD dilaksanakan pada tahun 1999. Pada waktu itu saya anggota DPR 1997-1999 ya memang secara sungguh-sungguh pada saat itu mengimplementasikan tuntutan reformasi untuk mengamandemen Undang-Undang Dasar. Pintu pertama yang kami lakukan pada saat itu adalah dalam Sidang Istimewa MPR tahun 1998 mencabut Tap tentang Referendum. Itulah pintu pertama perubahan UUD terjadi. Dalam sidang tahun 1999 yang berkenaan dengan keberadaan apa yang sedang disidangkan hari ini sesungguhnya pengawasan tentang para hakim itu sudah muncul di tahun 1999 dengan menyoroti secara khusus bahwa keberadaan Mahkamah Agung sepertinya menjadi sebuah lembaga yang tidak tersentuh terlebih-lebih pada saat itu DPR telah menetapkan bahwa kekuasaan kehakiman itu sudah berpucuk dan berpuncak di Mahkamah Agung pada saat itu dengan revisi Undangundang nomor 35 Undang-undang 1470 dengan 35 dimana saya juga menjadi salah seorang floor leader anggota pansus pada waktu itu, jadi reformasi di bidang hukum ini saya mengikuti secara cermat baik pada tataran perubahan Undang-Undang Dasar maupun pada perubahan
10
undang-undang organiknya kekuasaan kehakiman Mahkamah Agung tempat lingkungan peradilan Mahkamah Konstitusi dan sebagainya. Kemudian yang secara spesifik di tahun 1999 memang yang secara lantang waktu itu disuarakan oleh saudara Hamdan Zoelva yang menyatakan pentingnya, perlunya sebuah pengawasan bahkan secara eksplisit saudara Hamdan pada tahun 1999 menyebut sebuah dewan kehormatan istilah itu tahun 1999, kemudian di dalam menghadapi sidang MPR tahun 2000 fraksi partai golongan karya dan saya adalah pembicaranya menyampaikan pengantar musyawarah yang pada saat itu juga kami menyoroti tentang keberadaan Mahkamah Agung yang pada intinya ingin kami menegaskan bahwa kekuasaan Mahkamah Agung itu menjadi kekuasaan yang menegaskan dalam konstitusinya prinsip-prinsip yang pertama merdeka, menegaskan tentang kewenangannya melakukan judicial review pada pengalaman empirik selama berlangsungnya hukum tata negara kita tidak pernah ada yang namanya judicial review itu, hampir-hampir dikatakan seperti itu dan yang lebih terpenting lagi pada waktu itu kami menyampaikan dalam pengantar musyawarahnya betapa pentingnya pengawasan terhadap hakim Mahkamah Agung karena sadar pada saat itu kekuasaan yang merdeka itu pun tidak bisa tanpa adanya control bagaimana pengawasan dan pertanggungjawaban kekuasaan kehakiman demikian pidato saya diakhir pada tanggal 6 Desember tahun 1999 mengawali sidang tahun 2000. Kemudian pada tahun 2000 pada tanggal 17 Februari kami kedatangan tim dari Mahkamah Agung yang pada waktu itu juga sudah banyak memberikan masukan juga menyinggung tentang keberadaan dewan kehormatan tersebut yang pada akhirnya fraksi Partai Golkar pada tanggal 8 Juni tahun 2000 di dalam ayatnya yang ketiga di Pasal 25 justru kami mengusulkan pada Pasal 25 di ayat yang ketiga bisa dilihat di dokumen-dokumen yang ada bahwa pada Mahkamah Agung dibentuk Komisi Yudisial yang berfungsi melakukan recruitment memberikan rekomendasi terhadap pengangkatan Hakim Agung kepada MPR untuk mengangkat dan memberhentikan, jadi pada saat itu tentang kekuasaan kehakiman yang merdeka itu betul-betul kita ingin lepas dari cabang eksekutif, yudikatif, dan legislatif bahkan kita merekomendasikan kepada MPR untuk mengangkat dan memberhentikan para Hakim Agung dalam perjalanannya berikutnya fraksi Partai Golkar katakanlah saya ingin memberikan keterangan memang terjadi perbedaan-perbedaan pendapat pada saat itu antara yang setuju dan yang tidak setuju tapi paling tidak saya memberikan keterangan sesuai dengan apa yang kami kerjakan pada tanggal 29 Juli tahun 2000 dalam rapat pleno panitia Ad Hoc I kami membedakan pada akhirnya Komisi Yudisial itu yang khusus menangani masalah pengangkatan dan pemberhentian tapi sebuah dewan kehormatan yang memang bertugas untuk mengkontrol jadi sebetulnya usulan, gagasan, pemikiran tentang Komisi Yudisial itu berbarengan dengan yang namanya dewan kehormatan sehingga pada waktu itu Komisi Yudisial khusus menangani masalah pengangkatan,
11
pemberhentian hakim kemudian dewan kehormatan untuk pengawasannya dan ini berlanjut ketika persoalan-persoalan kemudian juga muncul dalam perjanannya menghadapi draft rancangan perubahan itu menjadi naskah untuk di bawa ke sidang MPR pada tahun 2000 tersebut adanya gagasan pemikiran dari Dr. maria yang tidak setuju bukan tidak setuju yang lebih pada posisi menempatkan dewan kehormatan itu tidak pada Undang-Undang Dasar tapi lebih baik ditempatkan pada Undang-undang terjadi perdebatan yang sangat kuat di dalam tubuh panitia Ad hoc I Fraksi Partai Golkar kembali kami menegaskan kami tetap mengusulkan agar dewan kehormatan itu tetap penting dan tetap perlu jadi tetap ada dua Komisi Yudisial dan ada dewan kehormatan, yang pada akhirnya di dalam sidang tahun 2000 tersebut pada akhirnya memang tidak bisa diputuskan pada perubahan yang kedua tersebut keluarlah Tap MPR Nomor 9 Tahun 2000 yang menugaskan kepada badan pekerja MPR untuk mempersiapkan rancangan perubahan berikutnya dengan melampirkan beberapa Pasal yang tidak terselesaikan itu dalam naskah rancangan draft perubahan untuk dikerjakan kembali yang bunyinya hasilnya adalah dari hasil perdebatan itu semua akhirnya ditempatkan pada Pasal 24B ayat (1) tentang penempatan Komisi Yudisial yang pengangkatan dan pemberhentiannya itu dilakukan oleh MPR atas usul Komisi Yudisial itu draft tahun 2000. Lalu di ayat keduanya ditegaskan Komisi Yudisial yang mandiri, pertanyaan berikutnya kalau tadi ditanyakan dimana posisi dewan kehormatan, dewan kehormatan ditempatkan di Pasal 25, jadi setelah Pasal 25 ada Pasal 25A yang menyatakan bahwa dewan kehormatan itu bertugas untuk menegakkan kehormatan martabat dan perilaku hakim artinya majelis yang kami hormati menjawab apa yang disampaikan oleh Kuasa Hukum dari Komisi Yudisial bahwa kami menempatkan bahwa yang dimaksud dengan pengawasan pada posisi itu sesungguhnya berangkat dari satu ide pemikiran yang sama sebuah dewan kehormatan yang mengusulkan yang melakukan pengawasan lalu terbelah menjadi Komisi Yudisial, Komisi Yudisial khusus menyangkut masalah pengangkatan dewan kehormatan plus pengawasan sehingga kalau dipertanyakan bagaimana sebetulnya kewenangan Komisi Yudisial dalam konteks pengawasan sesungguhnya menurut hemat kami kalau perdebatan tentang wewenang lain yang berkaitan dengan recruitment sebetulnya tidak lagi demikian, jadi dua hal yang berbeda, jadi Komisi Yudisial di satu sisi dia melakukan tugas pengusulan pengangkatan tapi wewenang lain bukan dalam konteks pengusulan pengangkatan tapi wewenang lain yang di maksud di sana adalah sebagai solusi dari penempatan pengawasan yang dilakukan oleh dewan kehormatan karena pada akhirnya dewan kehormatan tersebut tidak dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar. Di sini areal yang terjadi perdebatan, Yang Mulia di sini hadir rekan kami saudara Hobbes Sinaga beliau samasama dengan kami, kami ingin menyampaikan keterangan yang
12
sesungguhnya bahwa proses pengambilan keputusan sampai pada akhirnya dari draft seperti itu. Lalu akhirnya menjadi putusan sidang pada tahun 2001 menjadi perubahan yang ketiga. Memang secara jujur kami mengatakan bahwa tidak ada catatan yang sangat mendukung, tidak ada catatan-catatan rekaman-rekaman yang bisa membuktikan karena proses pengambilan keputusan untuk Pasal Kekuasaan Kehakiman itu diputuskan tidak dalam pada saat itu secara aklamasi dalam sebuah sidang paripurna, betul dalam sidang paripurna aklamasi, tapi sebetulnya, sesungguhnya proses itu ada proses lobi, yang dihadiri oleh pimpinan-pimpinan fraksi dan pimpinan majelis. Dimana posisi saya? Saya tidak terlibat di dalam ruangan itu, tapi saya mengikuti detik demi detik perubahan itu, karena saya sekretaris koordinator Panitia Ad hoc I untuk Fraksi Partai Golkar, dimana Saudara Andi yang berkenan dan berkesempatan bisa hadir di dalam kerja terus memantau dan memonitor untuk menyambungkan dengan kebijakan partai yang harus saya pertanggungjawabkan. Artinya kami sekali lagi menegaskan bahwa mungkin orang berkata, mengatakan bahwa itu pendapat Saudara, tapi saya memberikan kesaksian, keterangan tentang apa yang saya alami dan yang saya kerjakan, bahwa kewenangan Komisi Yudisial itu terkait dengan pengawasan, termasuk pengawasan para, bukan kepada para Hakim Agung semata, pada para hakim, tapi yang dimaksud dengan hakim sebetulnya kalau bisa kita lihat bagaimana kami konsisten terhadap penempatan Pasal 25a. Mengapa kami menempatkan di Pasal 25? Itu adalah syarat-syarat untuk diangkat dan diberhentikan sebagai hakim diatur dalam undang-undang. Oleh karena itu kami pun Dewan Kehormatan Hakim kami tempatkan pada posisi seperti itu. Ketika kami bertanya, mengapa rumusan Pasal 24b terjadi perbedaan antara Hakim Agung dan Hakim? Jawabannya adalah karena Hakim Agung harus secara eksplisit tertera disana, karena memang yang dimaksud itu adalah Hakim Agung, karena kalau dirumuskan hakim, itu akan berbenturan dengan proses pengangkatan hakim di tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang sesungguhnya adalah sistem tertutup, tidak terbuka menjadi Hakim Agung. Sehingga rumusan hakim yang dimaksud dalam Pasal 24B itu adalah hakim menjadi sebuah
genus.
Demikian Pak Ketua beberapa hal yang dapat kami sampaikan berkenaan dengan kesaksian kami. 44.
KETUA: Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, terima kasih, masih?
13
45.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT BAMBANG WIDJAJANTO, S.H., LL.M
(KOMISI
YUDISIAL)
:
Ada yang Saudara Saksi tadi menurut saya ada yang belum dikemukakan itu kaitannya dengan Pasal 24C, ya itu ada Mahkamah Konstitusi jadikan ada kesan kemudian bahwa Komisi Yudisial ini juga tidak mengawasi Mahkamah Konstitusi terus pertanyaan yang tadi agak saya masih agak kabur itu saudara saksi menyebut Pasal 25A itu artinya apakah Pasal 25A draft karena di sini Pasal 25 itu tidak a tidak ada a tadi saya menangkap masih tolong dijelaskan lagi hubungan pasal 24 tadi ayat (1) dengan 25 tidak ada 25A apakah 25A itu draft yang Saudara saksi konsisten mengajukannya tapi kemudian pada akhirnya yang itu ditolak sehingga hanya ada Pasal 25 saja, jadi ada dua hal itu saja terima kasih. 46.
SAKSI DARI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): Drs. AGUN GUNANJAR Baik kami jawab, jadi penegasan kami tentang hakim yang dimaksud itu adalah hakim memang di dalam Undang-Undang Dasar di Pasal 25 itu kita tidak pernah memilah-milah dalam sejarahnya pun bisa dilihat yang dimaksud dengan hakim ya, seluruh hakim, sehingga penempatan tentang pengawasan pun pada saat itu masuk di dalam naskah perubahan itu di draft itu di Pasal 25A, namun dalam perkembangan berikutnya dalam strukturnya itu dibahas kembali draft itu katakanlah dibuat sistematika saya masih ingat itu dikerjakan di bandung akhirnya Komisi Yudisial itu dimasukkan dalam Pasal 24B begitu, 24A mengatur tentang Mahkamah Konstitusi tapi prinsipnya sebetulnya hanya memindahkan saja supaya menjadi rumah yang baik, pertanyaan berikutnya kalau ini dipertanyakan seolah-olah bahwa Mahkamah Konstitusi itu lepas karena penempatan posisinya dibawah setelah Komisi Yudisial, sebetulnya itu lebih relevan kalau bisa dijawab karena penyebutan Komisi Yudisial itu sudah lebih dulu di Pasal 24A tentang usul Hakim Agung, sehingga lucu ketika Komisi Yudisial-nya tidak melanjutkan, sehingga di Pasal 24B karena Komisi Yudisial sudah disebut di Pasal 24A, maka ia masuk duluan. Jawaban berikutnya, kalau ditanyakan dengan keberadaan Mahkamah Agung, sejujurnya Bapak hakim, Majelis yang mulia, bahwa perdebatan masalah Komisi Yudisial memang sangat erat kuat dengan keberadaan Mahkamah Agung pada saat itu. Tapi, dalam benak pikiran kami memang tidak ada perdebatan pembicaraan secara spesifik tentang keberadaan Komisi Yudisial ini terkait-kait secara langsung dalam pembicaraan dengan keberadaan para hakim di Mahkamah Konstitusi. Namun kami ingin menegaskan sekali lagi bahwa pada saat pembicaraan-pembicaraan itu memang posisi keberadaan Mahkamah Konstitusi pada saat perdebatan itu bergulir itu belum muncul dalam
14
pembicaraan-pembicaraan, bahkan fraksi Partai Golkar masih tetap konsisten dalam usulannya menempatkan Mahkamah Konstitusi pada Mahkamah Agung. Kalau ditarik, paling tidak saya berpendapat, bahwa persoalan Mahkamah Agung berarti di dalamnya ada Hakim Konstitusi. 47.
KUASA HUKUM PEMOHON : O.C KALIGIS, S.H., M.H. Yang Mulia, tadi Saksi Fakta. Jadi, kami keberatan (mengatakan) ”saya berpendapat”. Berapa kali Saksi de facto ini (mengatakan) ”saya berpendapat”.
48.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ya, di catat.
49.
KUASA HUKUM PEMOHON : O.C KALIGIS, S.H., M.H. Ya, terima kasih.
50.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Bagaimana sudah?
51.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT BAMBANG WIDJAJANTO, S.H., LL.M kasih.
52.
(KOMISI
YUDISIAL)
:
Mungkin dilanjutkan dengan kolega kami, Ketua Hakim terima
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT TRIMOELJA. D. SOERJADI, S.H.
(KOMISI
YUDISIAL)
:
Terima kasih. Tolong Saksi sebagai Saksi Fakta menjelaskan, tadi disampaikan bahwa ada ide dewan kehormatan yang di dalam rumusannya di dalam draft itu Pasal 25A. Memang di dalam Undang-Undang Dasar kemudian ada Pasal 25A, tapi itu mengenai wilayah negara. Kemudian masalah dewan kehormatan itu ternyata tidak ada di dalam perubahan Undang-Undang Dasar. Pertanyaan saya, di dalam lobi-lobi ataupun di dalam pembicaraan, apakah dengan ditiadakannya dewan kehormatan dicantumkan didalam perubahan Undang-Undang Dasar itu kemudian tercapai suatu konsensus atau kompromi politik, di mana kewenangan dewan kehormatan itu kemudian dirumuskan di dalam Pasal 24B ayat (1). Jadi bahwa kewenangan dewan kehormatan yang tadinya untuk mengawasi Hakim Agung itu kemudian dirumuskan dalam Pasal 24B, sehingga pengertian pengawasan oleh Komisi Yudisial
15
dalam bentuk kompromi itu juga mencakup Hakim Agung. Apakah itu memang betul Pasal 24B itu, kewenangan Komisi Yudisial itu adalah suatu bentuk kompromi pengawasan Hakim Agung termasuk di situ, karena dewan kehormatan tidak dicantumkan di dalam Undang-Undang Dasar rupanya, terima kasih. 53.
SAKSI DARI PIHAK TERKAIT(KOMISI YUDISIAL): Drs. AGUN GUNANJAR Kami jawab. Kami ingin menyatakan bahwa, apakah itu kompromi atau tidak kami tidak bisa menjawab karena sesungguhnya kami tidak hadir pada waktu rumusan itu terakhir diputuskan. Tapi saya mengatakan bahwa, detik demi detik pengambilan keputusan, saya di ruang sebelah. Jadi dengan Saudara Andi itu yang hadir bisa hadir di dalam, saya senantiasa berinteraksi dan berkomunikasi. Jadi mohon maaf, Kuasa Hukum dari Pemohon kalau saya berpendapat, itu pada posisi saya ketika melakukan pengambilan-pengambilan keputusan dengan Saudara Andi. Karena saya tidak bisa mengatakan itu, karena yang sesungguhnya terjadi yang saya katakan itu, bahwa prosesnya itu sedemikian rupa tapi dari keterangan yang disampaikan dari di ruang katakanlah yang kami kerjakan, bahwa penempatan hakim pada posisi Pasal 24B itu tetap konsisten dan berangkat dari ide pemikiran tentang pentingnya pengawasan terhadap para Hakim Agung tentang kekuasaan kehakiman yang sudah amat membutuhkan perhatian. Artinya, terjadi perbedaan kenapa di sana lalu ada Hakim Agung dan di sini tidak? Karena memang sesungguhnya pengawasan hakim yang dimaksudkan itu, itu lebih pada posisi ingin perdebatan itu kalau dikatakan sudah clear seperti itu, saya mengatakan tidak. Karena sesungguhnya itu semuanya diserahkan dalam bentuk undang-undang.
54.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT TRIMOELJA. D. SOERJADI, S.H.
(KOMISI
YUDISIAL)
:
Kami boleh melanjutkan? Pertanyaan ini saya ajukan, karena tadi Saksi mengatakan tentang wewenang lain adalah wewenang berbeda, bukan dalam konteks pengusulan dan pengangkatan Hakim Agung. Tetapi sebagai solusi kewenangan dewan kehormatan yang tidak dirumuskan dalam perubahan Undang-Undang Dasar. Ini kira kira tadi kata-kata yang disampaikan Saksi, oleh karena itu timbul pertanyaan itu, jadi bagaimana ini?
16
55.
SAKSI DARI PIHAK TERKAIT(KOMISI YUDISIAL): Drs. AGUN GUNANJAR Betul seperti itu, jadi wewenang lain yang dimaksud dalam rumusan Pasal 24B itu adalah bukan pada posisi wewenang lain yang terkait dengan pengangkatan, tapi yang wewenang lain yang dimaksud itu adalah sebagai bentuk atas draft yang memang sudah sejak dari awal melakukan menegakkan kehormatan perilaku hakim yang ada di Pasal 25A dalam draft, akhirnya itu masuk ke dalam Pasal 24B di ayat (2).
56.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Cukup? Baik, sekarang saya beri kesempatan kalau Pemohon mau mengajukan pertanyaan?
57.
KUASA HUKUM PEMOHON : O.C KALIGIS, S.H., M.H. Terima kasih Majelis Hakim yang kami muliakan, Saudara Saksi yang kami hormati, tadi ada pernyataan atau kesaksian dari Saudara Saksi yang tidak jelas bagi kami. Aklamasi atau lobi, jadi lahirnya Pasal 24 ayat (1). Apa yang Saudara maksud, yang mana yang benar? Aklamasi atau lobi? Sepengetahuan Saksi saja.
58.
SAKSI DARI PIHAK TERKAIT(KOMISI YUDISIAL): Drs. AGUN GUNANJAR Jadi kami jawab, artinya bahwa seluruh putusan-putusan di sidang majelis, itu semua aklamasi. Hanya satu yang melalui mekanisme vote, yaitu tentang keanggotaan MPR, keanggotaan. Jadi sesungguhnya semuanya aklamasi, hanya proses sebelum aklamasi banyak sekali proses-proses pengambilan keputusan, perubahan dari draft itu yang akhirnya di bawa ke level lobi. Kesepakatan dari lobi dilaporkan ke sidang paripurna, itu yang akhirnya disepakati.
59.
KUASA HUKUM PEMOHON : O.C KALIGIS, S.H., M.H. Baik, jadi kami mohon ketegasan, Pasal 24B ayat (1) aklamasi atau bukan aklamasi? Pasal 24B ayat (1)?
60.
SAKSI DARI PIHAK TERKAIT(KOMISI YUDISIAL): Drs. AGUN GUNANJAR Pasal 24B ayat (1), aklamasi.
17
61.
KUASA HUKUM PEMOHON : O.C KALIGIS, S.H., M.H. Kemudian kalau kita baca mengenai Pasal 24B ayat (1), itu Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan itu ada kata penghubung yang sama derajatnya mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Untuk kata ”dan” mempunyai wewenang lain, apakah itu wewenang yang bersifat teknis, mekanistis, atau bagaimana? Mohon Saksi jelaskan menurut kesaksian yang Saudara tahu.
62.
SAKSI DARI PIHAK TERKAIT(KOMISI YUDISIAL): Drs. AGUN GUNANJAR Yang Mulia, Saya akan tetap memberikan keterangan dengan segala permohonan maaf, apabila saya tidak akan mengikuti secara penuh apa yang akan disampaikan oleh beliau. Karena saya akan terpancing berpendapat, oleh karena itu saya tetap mengatakan bahwa sesuai dengan kesaksian saya, apa yang saya alami, saya lakukan. Bahwa katakata ”dan” di sana itu menyatakan sesuatu yang memang berbeda, antara wewenang yang satu dengan wewenang yang lain.
63.
KUASA HUKUM PEMOHON : O.C KALIGIS, S.H., M.H. Kami tidak memohon pendapat Saudara Saksi, kami bertanya sepanjang yang Saudara ketahui, apakah itu wewenang yang bersifat teknis mekanistis atau bukan? Itu saja. Karena begini, mengenai ”dan” itu ada tiga pertanyaan, mohon dijawab. Waktu pembahasan pasal-pasal mengenai Komisi Yudisial, apakah benar yang Saudara saksikan pada waktu itu, jadi bukan apa yang Saudara dipermasalahkan untuk wewenang lain itu, bagaimana? Satu, cara Komisi Yudisial merekrut calon-calon Hakim Agung? Dua, calon bagaimana yang layak diusulkan menjadi Hakim Agung? Tiga, darimana calon Hakim-hakim Agung itu diperoleh? Ini sepanjang yang Saudara saksikan pada waktu itu, apakah memang ada pembahasan mengenai masalah itu? Jadi di PAH I BP MPR. Sehingga apa kesepakatan dari PAH I BP MPR pada waktu itu untuk memberi wewenang lain kepada Komisi Yudisial? Jadi yang saya mohon kepada Anda, fakta yang Anda lihat pada waktu itu.
64.
SAKSI DARI PIHAK TERKAIT(KOMISI YUDISIAL): Drs. AGUN GUNANJAR Fakta yang ada, kita tidak membicarakan secara spesifik tentang kriteria syarat-syarat tata cara seseorang itu untuk menjadi Hakim
18
Agung, tetapi kita lebih membicarakan tentang pentingnya Komisi Yudisial dihadirkan dalam rangka berlangsungnya mekanisme check and balances. Karena yang diperdebatkan dalam pembicaraan-pembicaraan itu, bagaimana menciptakan sebuah Mahkamah Agung sebagai sebuah kekuasaan kehakiman yang betul-betul merdeka lepas dari intervensi pengaruh pihak manapun. Sehingga betapa pentingnya rekruitmen ini, hadirlah Komisi Yudisial. 65.
KUASA HUKUM PEMOHON : O.C KALIGIS, S.H., M.H. Tadi Saudara Saksi mengatakan betapa pentingnya rekrutmen ini. Apakah Pasal 24B ayat (1) asal mulanya bukan dari pada rekrutmen hakim-hakim. Karena tadi Saudara garis bawahi betapa pentingnya rekruitmen ini. Apa yang Saudara maksud betapa pentingnya rekruitmen ini, apakah rekruitmen calon-calon Hakim Agung, hakim atau bukan? Itu saja.
66.
SAKSI DARI PIHAK TERKAIT(KOMISI YUDISIAL): Drs. AGUN GUNANJAR Jadi kembali kami mengatakan tentang pentingnya rekruitmen itu adalah produk dari komitmen kehendak keinginan yang berkembang kepada saat itu untuk membentuk sebuah kekuasaan kehakiman yang merdeka. Salah satunya bukan hanya Komisi Yudisial, tapi juga kewenangan secara limitatif melakukan judicial review.
67.
KUASA HUKUM PEMOHON : O.C KALIGIS, S.H., M.H. Ya, tetapi kalau kita lihat bunyinya, ”Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung”. Kenapa dimulai dengan kata-kata, ”yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung” dan dihubungkan dengan kesaksian di bawah sumpah Saudara mengenai rekruitmen. Apakah itu tidak kaitmengkait mengusulkan pengangkatan dan mempunyai wewenang lain. Jadi pertanyaan kami, apakah memang asal mulanya Pasal 24B ayat (1) itu, kalau kami baca di sini, karena memang kalau Konstitusi tidak ada memorie van toelichting, dari sini sudah jelas berwenang mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan, dihubungkan dengan kesaksian Saksi mengenai pentingnya perekruitan tersebut.
68.
SAKSI DARI PIHAK TERKAIT(KOMISI YUDISIAL): Drs. AGUN GUNANJAR Ya, jadi berdasarkan fakta yang ada, perdebatan itu bukan hanya soal pengusulan, tapi juga bicara soal pemberhentian. Bahkan berbicara juga soal pengawasan, jadi tidak spesifik membicarakan kewenangan
19
pada posisi itu soal masalah pengusulan pengangkatan, bahkan kembali kami menegaskan dalam perjalanannya secara faktual bisa dilihat dalam draft-draft rancangan perubahan, bahwa memang terjadi pembedaan pada waktu itu dalam rumusan yang dimaksud dengan pengangkatan dan pemberhentian itu dilakukan oleh Komisi Yudisial, tapi kontrol untuk mengawasi itu dilakukan oleh sebuah dewan kehormatan hakim. Jadi artinya bahwa kalau pertanyaannya wewenang lain itu muncul bermula dari usulan pengangkatan hakim, saya mengatakan tidak. Karena pada posisi yang sama Komisi Yudisial lebih pada diposisikan untuk mengusulkan pengangkatan, dewan kehormatan itu untuk menegakkan kehormatan, tapi pada pengambilan keputusan yang terakhir, yang saya katakan keputusannya aklamasi, sepakat semua melalui satu proses lobi akhirnya itu digabungkan. 69.
KUASA HUKUM PEMOHON : O.C KALIGIS, S.H., M.H. Saya mengerti ada perdebatan, ada dalam perjalanannya, tapi akhirnya pasal ini yang muncul. Mengusulkan pengangkatan, itu jelas dan setelah itu, jadi katakanlah the main issue mengusulkan pengangkatan. Kalau pengertian kami, mempunyai wewenang lain auxiliary issue. Jadi kepada main issue, tidak mungkin auxiliary itu melebihi main. Mohon maaf ini, kalau kami mengerti membaca Konstitusi.
70.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT BAMBANG WIDJAJANTO, S.H., LL.M
(KOMISI
YUDISIAL)
:
Pak Ketua. Saya pikir jawabannya sudah jelas. Jadi Saksi tidak bisa dipaksa, jadi ini bukan Ahli tapi Saksi dan dia sudah kemukakan. Jadi jangan di bolak-balik, pahamlah Pemohon mengenai itu, saya pikir. 71.
KUASA HUKUM PEMOHON : O.C KALIGIS, S.H., M.H. Mohon dicatat, di mana kata-kata paksa kami? Ya, itu asal ngomong saja Yang Mulia itu, mohon ditegur itu tidak tahu beracara.
72.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.
Okey, satu kali lagi poinnya yang jelas. 73.
KUASA HUKUM PEMOHON : O.C KALIGIS, S.H., M.H. Tadi sudah angguk-angguk kepala. Saya katakan the main issue adalah mengusulkan pengangkatan, mohon maaf dengan penuh hormat,
20
kemudian dan mempunyai wewenang lain pengertian kami itu auxiliary terhadap main issue. Makanya pertanyaan kami adalah wewenang lain itu, apakah tadi kami pertanyakan, kami perjelaskan. Apakah itu teknis mekanistis? Karena wewenang lain bukanlah pemberian wewenang yang bersifat penuh. Itu pertanyaan kami dan bagaimana kesaksian Saksi. Terima kasih Majelis yang kami hormati. 74.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik.
75.
SAKSI DARI PIHAK TERKAIT(KOMISI YUDISIAL): Drs. AGUN GUNANJAR Baik Yang Mulia, Jawaban kami sudah jelas, kami tidak ingin menafsirkan sendiri yang dimaksud dengan teknis mekanistis. Tapi berdasarkan fakta bahwa wewenang lain itu terlepas tidak concordant dengan recruitment hakim sebagai satu kesatuan, tapi dia muncul akibat dari Pasal 25A dewan kehormatan yang pada saat itu ada, lalu menjadi tiada masuk include dalam pasal ini. Dan menjadi kewenangan Komisi Yudisial.
76.
KUASA HUKUM PEMOHON : O.C KALIGIS, S.H., M.H. Mohon dicatat tadi Saksi merasa, jadi ini bertentangan dengan kesaksian. Cuma merasa-rasa. Jadi kami keberatan terhadap Saksi merasa. Tapi pertanyaan kami
77.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik. Atau mungkin cukup barangkali ?
78.
KUASA HUKUM PEMOHON : O.C KALIGIS, S.H., M.H.
(1). 79.
Masih ada satu Yang Mulia. Kalau itu lepas mengapa ditempatkan dalam satu pasal 24B ayat
SAKSI DARI PIHAK TERKAIT(KOMISI YUDISIAL): Drs. AGUN GUNANJAR Saya jawab, bukan saya rasa, saya menyatakan. Hakim terima kasih sudah dikoreksi, kami menghargai, karena juga saya kadangkadang lebih sering sebagai Ahli, begitu Pak. Jadi saya menyatakan saya
21
ralat bukan merasakan, kami mohon diulangi pertanyaan yang terakhir yang melalui Majelis. 80.
KUASA HUKUM PEMOHON : O.C KALIGIS, S.H., M.H. Ya terima kasih Saksi. Kami hormati koreksi Anda.
81.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Coba diulangi dari pertanyaan terakhir .
82.
KUASA HUKUM PEMOHON : O.C KALIGIS, S.H., M.H. Ya, baik. Kenapa mengenai mengusulkan pengangkatan hakim dan mempunyai wewenang diatur dalam satu pasal itu saja. Karena tadi Saksi mengatakan itu lepas sama sekali, merupakan dua kesatuan yang berbeda. Ya itu pertanyaan kami, terima kasih.
83.
SAKSI DARI PIHAK TERKAIT(KOMISI YUDISIAL): Drs. AGUN GUNANJAR Baik Yang mulia kami jawab, sebetulnya kalau bisa disimak, diikuti secara jelas dari runtutan perubahan yang sudah saya paparkan itu, bahwa dalam draft Dewan Kehormatan Hakim itu, itu ada dalam draft di Pasal 25, tapi ketika terjadi pembicaraan, pada akhirnya dia masuk ke dalam Pasal 24B jadi satu yang prosesnya saya mengatakan, saya tidak mau terjerat oleh sumpah saya, proses pengambilan keputusan tersebut lewat lobby yang saya juga tidak hadir dalam proses lobby hanya di sebelah membantu. Terima kasih.
84.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik. Saya kira cukup ya?
85.
KUASA HUKUM PEMOHON : O.C KALIGIS, S.H., M.H. Mohon dicatat oleh Panitera tidak menjawab pertanyaan kami. Terima kasih Yang Mulia.
22
86.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ya, ya. Baik, baik. Untuk Saksi saya rasa cukup ya ?
87.
KUASA HUKUM PEMOHON : DENY KAILIMANG, S.H., M.H. saja.
88.
Satu, karena ada perbedaan di sini yang saya ingin konfirmasi
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Oke, silakan.
89.
KUASA HUKUM PEMOHON : DENY KAILIMANG, S.H., M.H. Ya, karena Saksi mengatakan tadi, bahwa Dewan Kehormatan itu masuk di dalam draft di dalam Pasal 25A, benar ya ?
90.
SAKSI DARI PIHAK TERKAIT(KOMISI YUDISIAL): Drs. AGUN GUNANJAR Ya.
91.
KUASA HUKUM PEMOHON : DENY KAILIMANG, S.H., M.H. Tapi ini keterangan dari para anggota DPR yang kami dapat di sini yang ditandatangani oleh beberapa orang ini yaitu yang tersurat yang ditujukan ke Mahkamah Konstitusi tanggal 5 Mei 2006 itu diantaranya Trimedya, Ali Muckhtar berujuk kepada keterangan kepada anggota PAH, yaitu dikatakan di sini bahwa ada pun yang menjadi masalah di Pasal 25A berbunyi, “untuk menegakkan kehormatan dan menjaga keluhuran martabat dan perilaku hakim dilakukan oleh Komisi Yudisial” tidak ada dewan kehormatan. Dan ini coba jelaskan.
92.
SAKSI DARI PIHAK TERKAIT(KOMISI YUDISIAL): Drs. AGUN GUNANJAR Bisa, Pak.
93.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ya, silakan.
23
94.
SAKSI DARI PIHAK TERKAIT(KOMISI YUDISIAL): Drs. AGUN GUNANJAR Baik terima kasih. Jadi Komisi Yudisial itu ada di Pasal 24B ayat (1) mengatakan bahwa (...)
95.
KUASA HUKUM PEMOHON : DENY KAILIMANG, S.H., M.H. Ditanyakan Pasal 25A.
96.
SAKSI DARI PIHAK TERKAIT(KOMISI YUDISIAL): Drs. AGUN GUNANJAR Saya mengerti, Pak. Karena itu terkait Pak. Jadi kalau dikatakan Komisi Yudisial itu ada di Pasal 24 ayat (1) tentang pengangkatan, pemberhentian oleh MPR atas usul Komisi Yudisial. Tentang dewan kehormatan itu tidak di sana, tapi ada di Pasal 25A yang belum bicara tentang wilayah negara dan sebagainya.
97.
KUASA HUKUM PEMOHON : DENY KAILIMANG, S.H., M.H. Sedangkan karena Saksi mengatakan ada dewan kehormatan draft-nya.
98.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Silakan Pemohon Prinsipal?
99.
KUASA HUKUM PEMOHON : DENY KAILIMANG, S.H., M.H. Sedangkan di draft yang saya temukan yang diajukan oleh para anggota PAH yang jadi Saksi atas dasar kuasa dan surat dari DPR pada tanggal 5 Mei 2006 ke Mahkamah Konstitusi dikatakan di sini bahwa adapun Pasal 25A berbunyi “untuk menegakkan” setelah ada alternatifalternatif mengenai Komisi Yudisial bersiap mandiri. Itu alternatif pertama. Alternatif kedua, dan alternatif ketiga. Barulah dikatakan di sana Pasal 25A berbunyi, “untuk menegakkan kehormatan dan menjaga keluhuran martabat dan perilaku para hakim dilakukan oleh Komisi Yudisial” jadi kalau kelihatan di sini barulah masuk di Pasal 24B ini. Diswitch ke Pasal 24B, tapi tidak ada di dalam hal ini dipersoalkan mengenai dewan kehormatan. Ini yang saya ingin tanyakan kepada Saksi yang tadi mengatakan demikian, bahwa rancangan dari draf Pasal 25A ini. Terima kasih.
24
100. SAKSI DARI PIHAK TERKAIT(KOMISI YUDISIAL): Drs. AGUN GUNANJAR Yang mulia kami jawab, mohon dilihat TAP MPR No.9 /MPR/2000 tentang penugasan Badan Pekerja untuk mempersiapkan Rancangan Perubahan. Yang tecantum dalam draft perubahan mengenai Kekuasaan Kehakiman, khususnya yang terkait dengan Komisi Yudisial yaitu, saya bacakan Pasal 24B ayat (1), “Hakim Agung diangkat dan diberhentikan oleh MPR atas usul Komisi Yudisial”. Ayat (2), “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang susunan, kedudukan, dan keanggotaannya yang diatur dengan undang-undang”. Ayat (3), “ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih oleh Hakim Agung”, konstruksinya seperti itu. Lalu di Pasal 25A, “untuk menegakkan kehormatan dan menjaga keluhuran martabat dan perilaku para hakim dibentuk Dewan Kehormatan Hakim” Terima kasih. 101. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik. Nanti sudah dijawab nanti biar kami periksa. Boleh jadi ada dokumen yang berbeda dan nanti di-cross check dengan bukti-bukti yang lain, tapi saudara sudah mengingatkan bagus dicatat. Cukup saya kira ya? 102. KUASA HUKUM PEMOHON : DENY KAILIMANG, S.H., M.H. Jadi Saudara Saksi ya, sebagai anggota komisi dalam hal ini apakah memang ada yang dibahas di sana perbedaan antara hakim biasa, hakim tingkat I, tingkat II dan tingkat III sampai mengambil keputusan bahwa yang harus di ini adalah Hakim Agung harus diangkat oleh Komisi Yudisial. Kenapa tidak Hakim tingkat I, kenapa tidak Hakim tingkat II. Apakah ada di dalam pembahasan tersebut, kalau ada tolong dokumennya. Kemudian apakah ada perbedaan di sini antara siapa yang masuk kategori Hakim tingkat I, tingkat II dan Hakim Agung di dalam hal ini. Kenapa ada kekhususan di sini di Pasal 24 a disebutkan di sana, kenapa hanya hakim agung saja yang direkrut oleh Komisi Yudisial? Terima kasih. 103. SAKSI DARI PIHAK TERKAIT(KOMISI YUDISIAL): Drs. AGUN GUNANJAR Kami jawab Hakim Majelis yang mulia. Perdebatan tentang Hakim tingkat I, tingkat II, Hakim Agung tidak ada.
25
104. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik. Saya kira cukup ya, Saksi fakta cukup, ada enam yang kita harus dengar, nanti semua keterangan-keterangan pertanyaan yang sudah Saudara siapkan ini. Baik Pemohon maupun Pihak Terkait bisa ditujukan kepada para Ahli yang enam orang ini. Begitu ya? Baik. Kita lanjutkan sekarang, terima kasih Pak Agun. 105. SAKSI DARI PIHAK TERKAIT(KOMISI YUDISIAL): Drs. AGUN GUNANJAR Yang Mulia, kami mohon izin apakah saya berkenan bisa meninggalkan ruang sidang ini? 106. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Begini, baik kalau begitu dari Majelis Hakim satu orang yang akan mengajukan pertanyaan untuk Pak Agun sebagai Saksi. Saya persilakan. 107. HAKIM : Prof. H.A.S. NATABAYA, S.H., LL.M Itu di dalam Undang-Undang Dasar sesudah pasca amandemen ini, Pasal 25 tadi yang sudah disebut-sebut. Ini tidak mengalami perubahan dengan yang lama. Nah, bagaimana ini ceritanya? 108. SAKSI DARI PIHAK TERKAIT(KOMISI YUDISIAL): Drs. AGUN GUNANJAR Pasal 25 memang tidak mendapatkan perdebatan yang panjang, bahkan hampir-hampir tidak dibicarakan. 109. HAKIM : Prof. H.A.S. NATABAYA, S.H., LL.M Karena di dalam Pasal 25 ini saja yang ada kata “Hakim” sedangkan di dalam Pasal 24B. itu ada kata “Hakim” nah ini bagaimana? Hubungan kata “Hakim” di dalam Pasal 24B dengan pengertian “Hakim” dalam Pasal 25 ini. Sebab kalau kita lihat Undang Undang Dasar ini, secara sistematis maka yang muncul di dalam Pasal 24A itu selalu kata “Hakim Agung” Hakim Agung juga di ayat (3) dan di sinilah entry point daripada Komisi Yudisial. Sebab di sini dikatakan, “calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR. Dan kata ini secara itu diulang. Pasal 24B, “Komisi Yudisial bersifat mandiri berwenang mengusulkan”, ini kata usul ini tetap. Ini timbul datang-datang kata “Hakim” saja pada ujung ini bagaimana ceritanya pada waktu itu ?
26
110. SAKSI DARI PIHAK TERKAIT(KOMISI YUDISIAL): Drs. AGUN GUNANJAR Itu rumusan akhir pada hakim seperti itu dengan pengertiannya seperti apa, kembali kami mengatakan bahwa perdebatan-perdebatan itu, itu diputuskan dalam forum lobby. Saya tidak dalam posisi untuk menjelaskan tentang kesepakatan yang terjadi, tetapi di sebelah saya bertanya kepada yang hadir. Kenapa rumusannya seperti ini ? kembali saya menjawab, saya menyatakan atas dasar fakta yang saya temukan walaupun dalam forum yang berbeda. Bahwa Komisi Yudisial memang sejak dari awal usul pengangkatan dan pemberhentian itu secara limitatif dalam pembicaraan itu berkenaan dengan Hakim Agung. Dewan Kehormatan Hakim, ide dasar pembentukannya itu terhadap Hakim Agung, sorotan terhadap Hakim Agung. Sehingga menyangkut perilaku hakim pada saat itu Saudara Andi juga tidak bisa menjawab ketika kenapa rumusan ini berbeda? Ini menjadi pertimbangan mungkin dalam Majelis yang mulia untuk memutuskan, karena saya tidak mau masuk pada koridor sebagai orang yang berpikir filsafat, obsesi, dan ide. Karena itu kewenangan tim Ahli, saya dibatasi untuk itu. Nah, sehingga katakanlah berdasarkan fakta yang saya temukan hakim yang dimaksudkan itu adalah hakim sebagaimana yang dimaksud menyandang predikat yang semuanya itu adalah hakim. Apakah itu pengadilan negeri, apakah itu pengadilan tinggi, apakah itu Mahakamah Agung? Karena itulah hakim yang dimaksud dalam Pasal 24B. Terima kasih. 111. HAKIM : Prof. H.A.S. NATABAYA, S.H., LL.M Tadi di dalam kesaksian Saksi mengatakan bahwa dewan kehormatan itu untuk mengadakan pengawasan dalam ini, apakah Saksi juga di dalam pembentukan Undang-undang Komisi Yudisial juga terlibat? 112. SAKSI DARI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): Drs. AGUN GUNANJAR Terlibat. 113. HAKIM : Prof. H.A.S. NATABAYA, S.H., LL.M Kalau Saudara Saksi juga terlibat di dalam Undang-undang Komisi Yudisial, saya akan bacakan “Pasal 22 daripada Undang-undang Komisi Yudisial mengenai: 1. Dia mengatakan bahwa semuanya bercerita mengenai kewenangan dan pengawasan perilaku hakim, tetapi di dalam ayat (3)-nya dikatakan “pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh
27
mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara? Nah, ini apa artinya? Jadi kalau Saudara mengatakan tadi tidak mau menjawab pertanyaan tadi di situ mengenai masalah pengertian teknis, Nah di sini di dalam ayat (3) ini apa maksudnya ini? Bahwa Komisi Yudisial itu tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, sesudah itu di dalam ayat (2)-nya juga menyatakan bahwa Komisi Yudisial itu wajib mentaati norma, hukum ketentuan-ketentuan perundang-undangan. 2. Menjaga kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia Komisi Yudisial yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota. Dan ayat (7), “Semua keterangan dan data sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat rahasia. Nah, bagaimana ini di dalam Undang-undang Komisi Yudisial ini di dalam menterjemahkan dari kewenangan yang ada di Pasal 24B wewenang lain ini? 114. SAKSI DARI PIHAK TERKAIT(KOMISI YUDISIAL): Drs. AGUN GUNANJAR Baik, jadi wewenang lain yang dimaksud dengan pengawasan yang pertama, tidak boleh menyentuh dari kemandirian hakim, artinya bahwa fungsi pengawasan yang dirumuskan dalam undang-undang Komisi Yudisial itu tidak masuk kepada teknis peradilan, pokok perkara. Yang berulangkali, ini mohon maaf mungkin saya lebih pada posisi hari ini Yang Mulia, ini sudah keluar lagi dari saksi ini saya ini mungkin. Apa tetap Saksi dalam posisi di Undang-undang Komisi Yudisial? Baik. Saya agar bergeser mohon maaf artinya bahwa pengawasan yang dimaksud oleh Komisi Yudisial yaitu pengawasan untuk menegakkan dan menjaga kehormatan, martabat dan perilaku hakim, apa yang dimaksud sesungguhnya kehormatan, martabat dan perilaku hakim perdebatan di dalam Undang-undang Komisi Yudisial kita ingin menjaga agar kekuasaan kehakiman itu betul-betul merdeka, lepas dari pengaruh dari intervensi manapun, namun dalam hal melakukan tugas-tugas dan pekerjaannya itu, itupun bisa terciderai oleh perilaku-perilaku yang juga akan berimplikasi kepada kehormatan, martabat institusi, mohon maaf Yang Mulia sampai perdebatan pada saat itu bahwa hakim tugasnya adalah membaca dan membaca dan pada akhirnya memutus. Hakim tidak pada posisi membentuk opini – opini hukum di luar yang akan menimbulkan persoalan-persoalan ke depan. Sehingga itulah yang dijaga bagaimana perilakunya kesehariharian hakim, apakah tetap konsisten untuk memegang sidang, artinya kembali itulah yang dimaksud dengan pengawasan, bahkan kalau disampaikan di sini yang berikutnya menjaga kehormatan itu berifat rahasia, itupun kami tegaskan karena tidak mungkin kehormatan perilaku hakim yang tugasnya sangat mulia atas nama Tuhan itu, atas nama Allah kalau belum ada hal-hal yang cukup jelas misalnya itu bukan
28
menjaga kehormatan, perilaku hakim kalau segala sesuatunya itu dipublikasikan. Yang terpenting adalah decision yang terpenting adalah keputusan, ini bagian-bagian yang mungkin pada posisi ini, kami ingin menegaskan bahwa Komisi Yudisial adalah sebuah lembaga yang memang dibentuk untuk melakukan recruitment juga dia melakukan pengawasan, tetapi pengawasan yang dimaksud itu adalah bukan pengawasan yang meng-intervensi kekuasaan kehakiman dalam konteks penanganan perkara, pokok perkara tetapi lebih kepada perilaku hakim. Demikian. 115. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, terima kasih Saudara Saksi atas nama Mahkamah Konstitusi saya ucapkan terima kasih keterangan Saudara berguna semua sudah dicatat dan untuk itu kita lanjutkan dengan Ahli dan pada Saudara Agun sekali lagi terima kasih, kalau mau terus di sini bagus, kalau mau tugas lain silakan. 116. SAKSI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL) : Drs. AGUN GUNANDJAR. Majelis yang kami muliakan, kami menyampaikan penghormatan dan penghargaan dan terima kasih bisa bersempatan menyampaikan pemikiran dan untuk itu kami juga menyampaikan permohonan maaf apabila dalam penyampaian ini ada kekurangan dan kami mohon izin untuk meninggalkan sidang, terima kasih. 117. KETUA : Prof.Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Terima kasih, silakan. 118. KUASA PEMOHON : O.C. KALIGIS, S.H. M.H. Yang Mulia, tolong dicatat, bukan menyampaikan pemikiran, menyampaikan kesaksian. Terima kasih Yang Mulia. 119. SAKSI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL) : Drs. AGUN GUNANDJAR. Kami ralat Pak, menyampaikan kesaksian terima kasih. 120. KETUA : Prof.Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Saya memang mau koreksi bagian itu, tetapi sudah didahului ya sudah, baik sekarang kita teruskan saya persilakan mulai dari Pemohon
29
sudah mengajukan dua orang Ahli, silakan ditanya nanti yang mana duluan, nanti setelah itu saya lanjutkan Pihak Terkait menanyai empat orang, walaupun nanti boleh cross, tetapi belakangan masing-masing menanyai Ahli yang diajukan oleh masing-masing pihak saya persilakan. 121. KUASA PEMOHON : O.C. KALIGIS, S.H. M.H. Terima kasih, Majelis Hakim yang kami muliakan, kami mulai dengan yang kami hormati Prof.Dr. Philipus M. Hadjon, S.H. Boleh kami mengajukan pertanyaan kepada Ahli? Terima kasih Yang Mulia. Melalui mejelis sesuai dengan kehendak pihak terkait bagaimana pendapat Ahli mengenai konsep hakim dalam konteks pasal 24 B ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mohon Ahli memberikan pendapatnya, terima kasih Yang Mulia. 122. AHLI DARI PEMOHON : Prof.Dr. PHILIPUS M. HADJON, S.H. Terima kasih. Kepada Saudara Kuasa dari Pemohon, ya lazimnya saya tampil dengan pendapat tertulis, supaya bisa diargumentasi balik. Karena Ahli itu berpendapat merujuk kepada sumber-sumber yang dikuasainya, jadi kita bukan mempertahankan saya benar dan tidak tetapi inilah pendapat saya, based on this, jadi mohon tolong saya minta diserahkan kepada hakim dan kepada para pihak. 123. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Petugas, silakan. 124. KUASA PEMOHON : O.C. KALIGIS, S.H. M.H. Mohon dibacakan saja, kemudian diserahkan. 125. AHLI DARI PEMOHON : Prof.Dr. PHILIPUS M. HADJON, S.H. Ada sembilan untuk Hakim Mahkamah Konstitusi dan sisanya untuk para pihak, ya mungkin ada sisa tidak satu-satu tetapi yang penting dapat dan adil. Baiklah jadi dengan pertanyaan tadi dengan titik tolak Pasal 24B ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka yang menjadi isu hukum adalah apa makna hakim dalam Pasal 24B ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 termasuk juga Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi ini pertanyaannya dan ini menjadi pertanyaan-pertanyaan karena kalau kita cermati Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu lahir dalam amandemen ke-3 Undang Undang
30
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dus kalau menurut dokumen resmi amandemen ke-3 itu disahkan pada tanggal 9 November tahun 2001. Dalam kaitan dalam Pasal 24B ayat (1) adalah dua undangundang yaitu Undang-undang nomor 4 Tahun 2004, tentang kekuasaan kehakiman dalam Undang-undang nomor 4 ini menurut dokumennya di sahkan tanggal 15 Januari 2004, dus berarti jelas dia setelah amandemen pasal 24B ayat (1) tadi, selanjutnya undang-undang Komisi Yudisial itu dokumennya di sahkan 13 Agustus 2004, kalau kita urut ketentuan hukum tadi, Pasal 24B ayat (1) yang berkaitan dengan wewenang lain itu hanya dengan rumus hakim. Kemudian Pasal 34 ayat (3) rumusannya bertambah perilaku hakim dan hakim agung sehingga inipun menggelitik saya untuk bertanya apakah rumusan 24B ayat (1) itu memang termasuk atau tidak termasuk hakim agung, kalau sudah termasuk kena apa di pasal 34 B ayat (3) kok tidak rumusannya hakim, baru kemudian dijelaskan bahwa hakim itu termasuk Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi, ternyata di Pasal 34B ayat (3) itu rumusannya jelas menjaga kehormatan dan lain-lainnya itu, perilaku Hakim Agung dan hakim, sehingga saya juga bertanya Hakim Mahkamah Konstitusi ini masuk atau tidak?, padahal undang-undang ke-4 itu Undang-undang kehakiman, Undangundang kekuasaan kehakiman itu menyangkut kekuasaan kehakiman di satu sisi Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya dan yang kedua adalah termasuk juga Mahkamah Konstitusi, sehingga juga apakah kini menjadi dasar hakim Mahkamah Konstitusi ini tidak termasuk, dari pasal 34 ayat (3) itu jelas rumusannya perilaku Hakim Agung dan Hakim, tetapi kemudian di Pasal 1 butir 5, Undang-undang Nomor 22 ini diperluas Hakim Agung, Hakim dan Hakim Mahkamah Konstitusi. Inilah yang menjadi isu utama oleh karena itu saya mencoba menganalisis dan analisis saya itu dengan suatu pendekatan yang dikatakan pendekatan contextual, pendekatan itu saya ambil dari tulisannya Mike Lerts Legal Mater, pada pendekatan ini kata yang saya kutip kita bicara konsep hukum lupakan kamus, kita bicara norma dalam konteks saja, ini prinsip, dan pendekatan ini bertumpu pada 3 asas yang pertama itu nusitur et socies [sic!] artinya suatu konsep harus dilihat dalam kaitannya socius makna asli, socius itu artinya teman jadi temannya apa, keterkaitannya apa?, baru yang kedua, ius et generic, genusnya apa dia?, berdasarkan itu kalau kita sudah menentukan satu maka masuklah prinsip asas yang ketiga exprecio unius explitio alterius, jadi kalau makna Hakim tidak termasuk Hakim Agung dengan sendirinya ketentuan yang kemudian dalam undang-undang itu inkonstitusional, tetapi kalau makna hakim dalam Pasal 24B ayat (1) tadi, dengan sendirinya termasuk Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi, maka yang lainnya itu konstitusional. Inilah yang saya menelaah dengan pendekatan kontekstual tadi, yang pertama coba kita cermati dengan asas yang pertama nusitur et socies [sic!, jadi konsep hakim dalam Pasal 24B ayat (1) itu harus kita 31
lihat dalam konteksnya bahwa di bagian depannya itu adalah mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, dan kemudian tugas lain itu menjaga dan menegakkan kehormatan serta dan seterusnya perilaku hakim, lalu pertanyaan kita apakah makna hakim itu juga termasuk pada hakim-hakim Mahkamah Agung, ini harus kita cermati benar, apakah demikian kalau kita memaknai hakim dalam konteks ini andaikata termasuk Hakim Agung, karena bagian depan ada kata Hakim Agung maka disini mestinya tegas dikatakan perilaku hakim dan Hakim Agung, ini perlu juga ditegaskan lagi karena apa, dalam konteks ketatanegaraan kita kita tidak mempunyai istilah yang spesifik untuk Hakim Agung, sehingga dengan kata Hakim Agung kita sepintas mengatakan ya sudah dia juga hakim, dengan interpretasi yang tadi disinggung maaf tadi disinggung saya duduk disini saya dengar surat masuk Pasal 25, tetapi tolong Pasal 25 itu disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, apakah maknanya termasuk juga 24 ayat (1) yang baru disahkan 9 November 2001 tadi, ini pertanyaan kita. Kalau kita cermati, sebab kita bandingkan Belanda tidak menggunakan istilah rector untuk Hakim Agung, dalam konstitusi Belanda saya poto copy karena bukunya terlalu besar pak, di dalam grond wet Belanda itu 48 mengenai recht spraak artikel 118 itu digunakan istilah de lijden van de Hooge Raad de Nederlanden. Jadi bukan rechter bukan hakim, tetapi de Lijd anggota istilah yang hampir sama-sama kalau kita bandingkan dengan konstitusi Philipina dan mereka juga punya Judicial and Bar Council Kita punya yudisial itu dalam section 8 kalau dalam artikel 8 dari konstitusi Philipina itu istilah yang mereka pakai itu adalah Member Of The Supreme Court, jadi bukan judge kalau kita lihat dalam Konstitusi Amerika itu ditegaskan kalau di dalam pasalnya memang ada istilah yang dipakai di sana justice of the supreme court and justice of the lower court, tetapi khusus di dalam penerapannya kalau saya kutip bukunya di sini dari Government of The United States untuk Hakim Agung istilah yang dipakai adalah justice bukan judge, jadi Ketua Mahkamah Agung bukan Chief Justice tetapi chief judge. Hingga ini kita juga perlu pertanyakan kejelasan dalam konsep Konstitusi kita dan memang inilah satu hal yang kelemahan kita, kita tidak mulai dengan suatu kejelasan konsep, sehingga menimbulkan suatu perdebatan. Sehingga saya katakan tadi, dari nusitur et socies [sic!] itu saya dalam konteks Pasal 24B ayat (1), jadi ini supaya dicatat. Bukan dalam konteks yang lain. Dalam konteks 24B ayat (1), maka makna hakim tidak termasuk Hakim Agung juga hakim pada Mahkamah Konstitusi. Kalau kita berpaling kepada asas yang kedua eus term generic, artinya mengandung makna of the same class pada genus yang sama, pada kelompok yang sama. Saya tadi sudah singgung kalau ini pada kelompok yang sama, pada genus yang sama, termasuk juga Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi, maka saya pertanyakan tadi, kenapa di dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 yang justru lahir
32
kemudian dalam rangka melaksanakan Undang-Undang Dasar dalam Pasal 34 ayat (3) merumuskan secara tegas di sana menjaga kehormatan Hakim Agung dan hakim? Berarti antara Hakim Agung dan hakim konsepnya berbeda. Lalu saya pertanyakan, ini Undang-undang Nomor 4 itu Kekuasaan Kehakiman bukan Undang-undang mengenai Mahkamah Konstitusi dan peradilan di bawahnya. Berarti di sana juga, bukan mengenai Mahkamah Agung dan Peradilan Umum ya, berarti di dalam Undang-undang Nomor 4 sudah termasuk hakim pada Mahkamah Konstitusi. Kenapa Pasal 34 ayat (3) itu hanya menyebut secara explicit Hakim Agung dan hakim, sedangkan hakim pada Mahkamah Konstitusi tidak disebut. Ini lebih dulu undang-undangnya, tadi saya katakan 15 Januari 2004. Undang-undang Komisi Yudisial baru tanggal 13 Agustus 2004, yang muncul kemudian justru pada Pasal 1 butir 5 mengartikan hakim termasuk juga Hakim Konstitusi. Jadi saya katakan dua kali diperluas jangkauannya. Perluasan pertama di Undang-undang Nomor 4, perluasan kedua di Undang-undang Komisi Yudisial. Dengan dasar tadi, kalau saya berpendapat, dalam konteks, sekali lagi saya catat, khusus hanya konteks Pasal 24B ayat (1). Kalau pendapat saya, makna hakim tidak termasuk Hakim Agung, maka dengan sendirinya asas yang ketiga berlaku exprecio unius exclucio alterius. Jadi yang dengan sendirinya menyingkirkan pendapat yang menyatakan makna hakim dalam (Pasal) 24B ayat (1) termasuk juga Hakim Agung dan hakim pada Mahkamah Konstitusi. Jadi inilah Majelis yang terhormat pendapat saya, sekian dan terima kasih. 126. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, silakan. Masih ada lagi yang mau diajukan pertanyaan? 127. KUASA HUKUM PEMOHON : O.C KALIGIS, S.H., M.H. Untuk Ahli yang pertama jelas sekali penjelasannya, jadi tidak ada lagi pertanyaan, ini namanya Ahli. Terima kasih Yang Mulia. 128. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Yang kedua, lanjut. 129. KUASA HUKUM PEMOHON : O.C KALIGIS, S.H., M.H. Kami bertanya Yang Mulia, jadi Saudara Ahli melalui Majelis, Saudara Ahli Hobbes. Tadi kami pertanyakan bagaimana pendapat Ahli
33
mengenai kedudukan dan kewenangan Komisi Yudisial khususnya Pasal 24B ayat (1) dengan di situ ada kata-kata wewenang lain. Jadi yang kami pertanyakan kepada Ahli. Pertama, mengenai Pasal 24B ayat (1), menurut pendapat Ahli dan kemudian pengertian wewenang lain dalam Pasal 24 ayat (1)? Mohon Ahli memberikan pendapatnya, terima kasih Yang Mulia. 130. AHLI DARI PEMOHON : HOBBES SINAGA, S.H., M.H. Majelis Hakim Konstitusi yang saya hormati, Bapak-Bapak dari Pemohon dan dari pihak Pemerintah yang kami hormati terima kasih atas kesempatan ini dan barangkali mungkin saya juga bertanya, apakah saya bisa meyampaikan pendapat sebagai Ahli dan juga pengalaman saya? Karena saya kira ini berkaitan, jadi barangkali nanti akan dengan pengalaman saya sebagai Anggota PAH I, barangkali itu akan lebih mempertajam pemahaman atau pendapat saya mengenai apa yang tertulis dalam Pasal 24 ini? Itu yang saya mau tanyakan dulu. 131. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Karena ini saya lagi cari pasal dalam peraturan Mahkamah Konstitusi tapi saya sudah sering saya sampaikan, bahwa Ahli itu didefinisikan sebagai keterangan Ahli adalah keterangan berdasarkan keahlian dan atau pengalaman. Jadi dua-duanya bisa, jadi Ahli bisa menyampaikan pengetahuannya tapi bisa juga menyampaikan fakta termasuk memberi tafsir kepada fakta yang dia lihat, jadi begitu. Jadi itu Ahli begitu, tentu dalam batas-batas bidang keahliannya, kalau Saudara nanti menyampaikan pengetahuan tentang listrik, misalnya tentu kami nilai ini bukan bidangnya. Jadi biar nanti hakim yang menilai, tapi Ahli lebih luas dari Saksi, Saksi hanya fakta saja Ahli boleh juga menyampaikan fakta, silakan. 132. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT BAMBANG WIDJAJANTO, S.H., LL.M
(KOMISI
YUDISIAL)
:
Pak Ketua, Saya tidak keberatan bahwa Ahli ingin menyampaikan fakta dan keahliannya, tapi sumpahnya hanya disumpah sebagai Ahli. Kalau memang Ahli berkeinginan seperti itu, mohonlah dia disumpah juga sebagai Saksi. Jadi dua-duanya, kalau tidak yang satunya tidak terikat sumpah dan mohon ini dicatat. Terima kasih.
34
133. KUASA HUKUM PEMOHON : O.C KALIGIS, S.H., M.H. Yang Mulia? 134. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Jadi saya persilakan, saya sudah jelaskan demikian yang sudah berlaku di sini, Ahli dalam batas-batas keahliannya, bidang-bidang yang diakui menurut kami, itu nanti boleh menyampaikan pendapatnya, boleh menyampaikan fakta-fakta dan juga termasuk menafsirkan fakta-fakta itu, boleh. Nanti terpulang pada Majelis nanti menilainya, begitu. 135. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT BAMBANG WIDJAJANTO, S.H., LL.M
(KOMISI
YUDISIAL)
:
Jadi kalau begitu Pak, tolong Pak Ketua tolong dicatat saja kami keberatan kalau Saksi tidak disumpah sebagai Saksi, tapi hanya sebagai Ahli tapi juga memberikan penjelasan sebagai Saksi. Artinya Saksi, keterangannya sebagai Saksi tidak di bawah sumpah. Terima kasih. 136. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Tapi aturannya itu, aturannya demikian. Ahli boleh menyampaikan fakta, nanti bagaimana penilaiannya kami akan menilai, sebab tingkat keahlian orang, lain-lain. Jadi biar kami yang menilainya. Jadi mau bicara apa silakan, sebab Ahli pun beda-beda pendapatnya. Ahli yang satu dengan perspektif A, Ahli yang kedua perspektif B, boleh bebas saja sepanjang Anda jujur dan kelihatan kejujuran itu dalam mengemukakan pendapat, pendirian itu terlihat. Jadi begitu Bapak Bambang ya, jadi silakan. 137. KUASA HUKUM PEMOHON : O.C KALIGIS, S.H., M.H. Apa kami mengulangi pertanyaan kami Yang Mulia? Karena tadi…oh, lanjut ya! Baik terima kasih Yang Mulia, karena memang ini Ahli yang berdasarkan sains. 138. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Jadi begini, Ahli sudah pahamkan pertanyaannya? Supaya Saudara tidak terpancing, nanti menanggapi lagi, terus saja dulu dijawab dulu.
35
139. AHLI DARI PEMOHON : HOBBES SINAGA, S.H., M.H. Terima kasih, Pertama, yang mau saya kemukakan, bahwa di dalam Bab IX mengenai kekuasaan kehakiman ada dua lembaga negara yang menjalankan kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung menjalankan kekuasaan kehakiman dan juga memimpin badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, yaitu dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara. Jadi secara limitatif dikatakan di situ, ada lima lingkungan peradilan yang ada, berada di bawah Mahkamah Agung. Sedangkan Mahkamah Konstitusi, dikatakan di sini bahwa Mahkamah Konstitusi itu mengadili pada tingkat pertama dan terakhir dan bersifat final, artinya Mahkamah Konstitusi itu hanya ada berada di tingkat pusat, dia tidak mempunyai tingkatan-tingkatan ke bawah. Saya mau mengatakan ini karena perlu ada kejelasan di antara dua lembaga negara sekarang yang menjalankan kekuasaan kehakiman. Kedua, mau saya jelaskan, bahwa cara pengisian dua lembaga negara ini berbeda. Mahkamah Konstitusi itu pengisiannya 3 (tiga) orang diusulkan oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang diusulkan oleh DPR, dan 3 (tiga) orang diusulkan oleh Presiden dan jumlahnya 9 (sembilan) orang, itu yang ditetapkan Presiden menjadi Mahkamah Konstitusi. Sedangkan Mahkamah Agung, ini Mahkamah Agung tadinya itu dipilih fit and proper test itu dilakukan oleh DPR. Sebenarnya pada waktu membahas dua lembaga negara ini, ini sebenarnya Komisi Yudisial ini belum muncul. Betul Saudara Agun (Gunanjar) tadi mengatakan, dulu yang banyak dibicarakan itu mengenai dewan kehormatan. Bahkan seingat saya dari Golkar sendiri sebenarnya tidak menginginkan adanya Komisi Yudisial ini, karena mereka menginginkan Mahkamah Agung itu diangkat oleh MPR, itu catatannya ada. Tapi pengalaman praktik yang ada di DPR pada waktu itu, sedang dibahasnya mengenai kekuasaan kehakiman ini, itu menarik, untuk apakah tidak perlu ada suatu badan atau suatu apa begitu bentuknya untuk merekrut hakim-hakim ini? Maka muncullah Komisi Yudisial, kalau tidak salah catatan saya, justru Komisi Yudisial itu muncul dari Fraksi PDI Perjuangan waktu itu. Memang tidak menarik lagi dibicarakan mengenai dewan kehormatan dan saya kira kata dewan kehormatan itu tidak muncul lagi di dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2001. Jadi saya mau koreksi tadi Saudara Agun (Gunanjar) sebenarnya kekuasaan kehakiman ini dibicarakan pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001 bukan tahun 2000. Jadi sebenarnya dewan kehormatan tidak muncul lagi di situ. Saya juga mempunyai catatan bahwa di konsep Pasal 25A itu tidak ada kata dewan kehormatan, tapi sudah muncul nama Komisi Yudisial. Kemudian saya akan menyampaikan pendapat saya mengenai ketentuan Pasal 24B, ”Komisi Yudisial bersifat mandiri yang
36
berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung”, sampai di situ dulu. Karena ada kaitannya ini kata ”dan” seterusnya ini mempunyai kaitan dengan pasal sebelumnya. Pasal 24A, ”Mahkamah Agung...., saya baca seterusnya supaya nanti kita melihat ada hal-hal yang memang harus dikaitkan sebelum kita melihat kata ”dan” mempunyai wewenang itu. ”Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang undang terhadap undang-undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”. Ayat (2) “Hakim Agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional dan berpengalaman di bidang hukum. Ini saya mau menaruh satu catatan penting mengenai ini, Tapi nanti ada kaitannya. Ayat (3) ”calon Hakim Agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapat persetujuan. Artinya Komisi Yudisial hanya merekrut calon. Calon yang mempunyai kekuasaan penuh atau kewenangan penuh adalah DPR dalam rangka memberikan persetujuan. Kemudian dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden, artinya kita lihat, artinya kedudukan Komisi Yudisial itu tidak sama dengan DPR yang menyetujui, tidak sama dengan Presiden yang menetapkan. Komisi Yudisial hanya sekedar melakukan rekrut, melakukan fit and proper test untuk mencari calon-calon hakim yang kembali kita ke ayat (2). ”Hakim Agung harus memiliki integritas.” Jadi calon Hakim Agung yang memiliki integritas, kepribadian yang tidak tercela, adil profesional, dan berpengalaman di bidang hukum, ini harus diingat. Makanya catatan penting saya adalah di Pasal 24 ayat (2) ini. Karena ini nanti kaitannya. Kemudian saya teruskan tadi di Pasal 24B ayat (1) itu “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan yaitu tadi yang direkrut, yang sudah di fit and proper test, sudah dilihat niat administrasinya, sudah memenuhi syarat, kemudian sudah terlihat ini hakim yang bagus, tidak tercela, adil, profesional, pengetahuannya mengenai hukum hebat, ini yang diusulkan oleh Komisi Yudisial untuk diangkat, nanti yang mengangkat calon Hakim Agung itu adalah disetujui oleh DPR, ditetapkan oleh Presiden. Sekali lagi Komisi Yudisial hanya berwenang mengusulkan pengangkatan. Kemudian dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim dan wewenang lain. Menurut pendapat saya, wewenang lain ini tidak boleh lebih besar daripada wewenang yang pokok. Tidak boleh diterjemahkan wewenang lain ini sebagai memberikan tugas pengawasan. Karena tujuannya sebenarnya hanya sekedar. Saya masih ingat waktu itu, jika Komisi Yudisial ini diberikan hak kewenangan untuk mencari hakim-hakim yang baik, bagaimana cara mereka untuk menemukan hakim-hakim yang baik itu, harus ada cara. Jadi artinya diberikan wewenang lain kepada Komisi Yudisial untuk mencari apa yang disebut dalam Pasal 24 ayat (2) itu. Jika
37
itu terdapat, jika itu sudah diperoleh yang dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) itu maka nanti Hakim-hakim Agung itu adalah hakim-hakim yang menjunjung kehormatan, bermartabat yang luhur dan berperilaku yang baik. Yang menegakkan keluhuran/kehormatan, keluhuran martabat bukan Komisi Yudisial tapi hakim itu sendiri, kaitkan sekali lagi kembali ke Pasal 24 ayat (2), itu satu dari sudut ilmu hukum tadi Prof. sudah bicara, jadi pasti lebih hebat. Tapi saya sederhana saja, tidak mungkin fungsi utama lebih kecil dari fungsi tambahan. Tidak mungkin fungsi tambahan atau kewenangan tambahan lebih besar dari kewenangan pokok. Barangkali saya bisa lanjut kepada hal-hal yang dipertanyakan tadi. Sebenarnya kalau kita lihat bunyi Undang-undang Nomor 22 dalam Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (5) sebenarnya yang dikutip di sini sebagai ”Hakim”, pengertian hakim di sini adalah ketentuan dalam Pasal 24 ayat (2), jadi bukan Pasal 25 yang dikutip di dalam Pasal 1 ayat (5) ini, ini didasarkan pada Pasal 24 ayat (2) bukan Pasal 25. Kita lihat kemudian Pasal 13. Pasal 13 menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Menurut pendapat saya bahwa yang diambil sebagai dasar dari Pasal 13 ini adalah Pasal 24B ayat (1) bukan Pasal 25. Kemudian, kalau kita lihat ketentuan Pasal 20 maka yang diambil dasar kekuasaan mengawasi oleh Komisi Yudisial adalah Pasal 13B UU Nomor, artinya yang tadi itu didasarkan pada Pasal 24B. Jadi saya kira ada catatan saya bahwa sebenarnya Undang-undang Nomor 22 ini telah melampaui batas wewenang. Pertama di sini dikatakan seperti dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945. Apakah memang itu maksudnya? Apakah itu tidak menjeneralisir pengertian hakim? Karena kita lihat, yang dimaksud hakim di sini justru yang diambil adalah mengenai Pasal 24 ayat (2), jadi bukan itu maksudnya, bukan Pasal 25. Kalau demikian, kalau itu yang dipersoalkan Pasal 24 ayat (2) itu sebabnya maka Komisi Yudisial bisa juga mengawasi Hakim Agung dan dibawahnya dan Hakim Konstitusi, itu menurut pengertian itu. Tadi kita mau lihat apa hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Konstitusi? Tidak ada hubungan sama sekali. Kalau tadi inti bahwa kewenangan Komisi Yudisial adalah merekrut calon Hakim Agung, Hakim Konstitusi sama sekali tidak ada urusan Komisi Yudisial terhadap Hakim Konstitusi. Tiba-tiba dia bisa mengawasi Hakim Konstitusi, saya kira itu sama sekali tidak relevan. Saya kira itu dulu yang bisa saya kemukakan menurut pendapat saya dan beberapa catatan yang saya ingat pada waktu membahas pasal ini di PAH I dulu. Terima kasih. 140. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Cukup, baik.
38
Sekarang sudah Jam 12 kurang 17 menit, nanti tentu kita harus jeda kemudian sidang masuk lagi biasa jam 14.00 atau 13.30. Tapi ini kita teruskan dulu, kepada Saudara Pihak Terkait mengajukan pertanyaan untuk memberi kesempatan ahli yang tiga orang untuk menyampaikan mungkin berurut saja, tapi nanti pertanyaan kita tunda jam 14.00, saya silakan dulu, jadi bukan bertanya ahli yang diajukan Pemohon, memberi kesempatan kepada ini nanti cross-nya belakangan, silakan. 141. KUA HUKUM PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL) : TRIMOELJA. D. SOERJADI, S.H. Terima kasih, Kami ingin mengajukan pertanyaan terlebih dahulu kepada ahli Dr. Denny Indrayana. Pada Ahli Dr. Denny Indrayana, pertanyaan kami ada beberapa yang kami ajukan sekaligus nanti bisa disampaikan, karena Anda sudah mempersiapkan power point. 1. Bagaimanakah sebaiknya metode interpretasi konstitusi dari sisi Hukum Tata Negara. Apakah tepat interpretasi Pemohon atas Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Bahwa yang dapat diawasi Komisi Yudisial hanyalah Hakim tingkat pertama dan Hakim tingkat banding semata. Sedangkan Hakim Agung, Hakim Konstitusi dan hakim Ad hoc tidak dapat diawasi oleh Komisi Yudisial. 2. Mengapa tidak hanya Hakim tingkat pertama dan Hakim tingkat banding yang penting diawasi tetapi juga Hakim Agung, Hakim Konstitusi dan Hakim Ad hoc. 3. Apakah tepat pendapat yang mengatakan bahwa pengawasan atas hakim akan melanggar prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman. 4. Bagaimanakah perbandingan fungsi Komisi Yudisial di negara-negara lain terutama dalam hal pengawasan hakim. 142. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Silakan. 143. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): AMIR SYAMSUDIN, S.H. Ada tambahan sedikit. Saudara Ahli, dikaitkan dengan kemandirian pengawasan yang dilakukan ini akan mengganggu kemandirian, begitulah kira-kira dalil dari Pemohon. Apakah kemudian kewenangan yang diberikan kepada hakimhakim di bawah Hakim Agung, kewenangan Komisi Yudisial di dalam pengawasan tadi. Apabila pengawasan ini dianggap bisa mengganggu
39
kemandirian, apakah kemudian hakim-hakim tingkat pertama dan kedua boleh saja diganggu kemandiriannya denga pengawasan itu. 144. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Apa pertanyaan ini berlaku untuk yang lain? Untuk Pak Mahfud, berlaku juga kan. 145. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): AMIR SYAMSUDIN, S.H. Bisa, bisa kami anggap berlaku kepada yang lain. 146. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Kecuali Prof. Amran. 147. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): AMIR SYAMSUDIN, S.H. Kalau mereka berkenan mau menjawab ya kami persilakan. 148. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Atau kira-kira sudah menangkap maksudnya walaupun tidak perlu diulangi lagi, jadi nanti urutan saja, dimulai dari (…) 149. KUASA HUKUM PEMOHON : O.C. KALIGIS, S.H., M.H. Yang Mulia. Di dalam permohonan kami tidak ada kata-kata mengganggu, itu kan jelas di halaman 9. Tadi pertanyaannya apakah dan ini mengganggu, itu tidak ada dalam permohonan kami ralat pertanyaan itu. 150. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ya, dicatat. 151. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): DENNY INDRAYANA, S.H., LL.M., Ph.D Terima kasih. Sidang Mahkamah Konstitusi, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia, hadirin semua, Pemohon, Pihak Terkait.
40
pertama saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Komisi Yudisial yang memberikan kepercayaan untuk hadir di sini sebagai Ahli, ini momen yang bersejarah tidak pernah dalam sejarah ketatanegaraan ada masalah ketatanegaraan semacam ini sebegitu banyak Hakim Agung kemudian mengajukan sengketa atau pengujian undang-undang. Saya sudah menyiapkan juga bahan tertulis ada dua macam, pertama adalah yang lebih banyak kata-katanya itu dalam bentuk word ada 12 dan satu lagi dalam bentuk power point mungkin bisa dibagikan yang power point akan saya tampilkan nanti di-print out sendiri setelah ini, baik saya mulai. Yang bertanda tangan di bawah ini adalah saya Denny Indrayana mengajukan pendapat hukum dalam perkara pengujian undang undang. Selain pendapat hukum tertulis Ahli juga memberikan keterangan secara lisan serta melampirkan power point, presentasi yang mohon dianggap sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan pendapat hukum ini, perlu saya garis bawahi dalam menyusun pendapat hukum ini Ahli berpijak pada dua latar belakang sebagai staf pengajar hukum tata negara di Fakultas Hukum UGM dan pengalaman sebagai direktur Indonesian Court Monitoring keduanya mudah-mudahan dapat menjadi penunjang yang saling mengisi untuk dapat memberikan pertimbangan hukum yang lebih menyeluruh saya akan coba menjawab satu persatu pertanyaan yang tadi disampaikan. Pertama, tentang metode penafsiran Constitutional interpretation yang kedua, adalah tentang masalah urgensi konstitusionalitas pengawasan seluruh hakim. Yang ketiga, apakah pengawasan terhadap hakim itu akan melanggar men-disturb prinsip Independence Of Judiciary, dan yang terakhir, saya pikir kita belum banyak mengulas tadi ada beberapa tapi bagai mana sebenarnya kalau kita lihat comparative of constitutional law perbandingan hukum tatanegara terkait dengan resistensi dan fungsi Komisi Yudisial ini yang keempat. Saya mulai dengan yang pertama, ada banyak cara untuk menafsirkan konstitusi diantaranya adalah metode literal dan legalistik. Kedua adalah kaku dan dangkal progressive, stare decisive, purposive, umum atau liberal. Ini saya ambil sedikit ini ada 6 metode saya ambil dari buku chester james entio [sic!] dalam judul bukunya Adjudicating Constitutional Issues halaman 47 dan 61 berdasarkan keenam judul atau keenam metode itu tidak ada satupun kalau dilihat dari enam tadi, tidak ada satupun metode yang dapat dikatakan mendukung dalil Pemohon bahwa kata hakim pada ujung Pasal 24B ayat (1) tidak mencakup pengertian Hakim Agung, Hakim Konstitusi dan Hakim Ad hoc. Mengapa demikian izinkan saya menjelaskannya jika pun dipaksakan mungkin hanya metode yang kaku dan dangkal atau straight and narrow yang seakan-akan membenarkan dokumen bahwa kata hakim di ujung Pasal 24B ayat (1) tidak mencakup Hakim Agung, Hakim Konstitusi maupun Hakim Ad hoc namun itu berarti sama sekali tidak terjadi perluasan istilah yang digunakan oleh Pemohon atau ekstensifikasi pengertian atas kata hakim yang terjadi justru
41
penyempitan yang terjadi kalau kata hakim itu hanya diartikan pada hakim tingkat pertama dan tingkat kedua bukan terjadi ekstensifikasi tapi yang terjadi adalah penyempitan dari kata hakim. Berdasarkan metode literal dan legalistik terkadang disebut textually, hakim harus dilihat sebagai kata umum sedang kan Hakim Agung, Hakim Konstitusi dan Hakim Ad hoc, hakim kepailitan dan seterusnya harus dilihat sebagai hakim-hakim khusus artinya kata hakim akan mencakup semua jenis hakim sebagai profesi bukan sebagai hierarki tidak terkecuali Hakim Agung, Hakim Konstitusi, Hakim Ad hoc dan atau hakim apapun yang dimasa datang akan muncul berdasarkan peraturan perundangan. Menurut metode purposive atau kadang disebut metode original intent, original meaning sudah tegas jelas dikatakan oleh para the second founding parent ini anggota PAH yang merubah undang-undang pada tahun 1999 sampai 2002 dalam sidang sebelumnya saya hanya mengutip saja bahwa arti kata hakim dalam Pasal 24B ayat (1) adalah mencakup seluruh hakim tidak terkecuali Hakim Agung, Hakim Konstitusi, dan hakin Ad hoc, Bapak Harun Kamil dalam persidangan sebelumnya tegas menyimpulkan orginal intent Pasal 28B ayat (1) itu adalah pada akhirnya kami sampaikan bahwa kewenangan Komisi Yudisial untuk menjaga kehormatan dari pada hakim apa yang disimpulkan dari seluruh rangkaian pembicaraan yang ada pada kewenangan Komisi Yudisial adalah telah sampai pada tingkat Mahkamah Agung. Ini saya ambil dari risalah sidang pleno perkara ini tertanggal 2 Mei 2006 keterangan Bapak Harun Kamil di bawah sumpah sedangkan tentang Hakim Konstitusi memang tadi dijelaskan oleh Bapak Agun Gunanjar tidak secara jelas dibahas namum bukan berarti bahwa Hakim Konstitusi tidak termasuk kata hakim sebagai mana dimaksud Pasal 24B ayat (1) menurut Ahli tidak dibahasnya Hakim Konstitusi itu lebih pada persoalan sistematika problematika sistematika pembahasan amandemen Undang-Undang Dasar kita yang tidak runtut tidak pula terencana secara rapi. Ini adalah salah satu kesimpulan disertasi saya yang kebetulan meneliti tentang proses dan hasil amandemen UndangUndang Dasar Tahun 1999 dan tahun 2002 yang berjudul Indonesian
Constitutionals Law Reform 1999-2002 And Evaluation Of Constitution Making And Transition, saya selesaikan di University of Melbourne.
Meskipun ada banyak metode-metode mengartikan konstitusi pengertian demikian harus tidak boleh bertentangan dengan konsep moralitas konstitusional jadi kalaupun ingin di artikan lain saya ingin memagarinya dengan salah satu konsep yang kita sebut constitutional morality karena “constitution is reflection of larger moral truth” yang artinya “constitution cant not be properly understood without reference to those truth” ada kebenaran-kebenaran moralitas yang harus kita jaga pada saat kita mengartikan suatu konstitusi tidak bisa kita sembarangan mengartikan konstitusi berdasarkan original intent dan metode-metode 42
yang tadi saya sebutkan tanpa atau dengan menabrak konstitusional moraliti ini. Konsep constitutional morality ini saya ambil dari buku Cape Helwetington [sic!] dengan judul constitutional interpretation halaman 30, pada halaman salah satu pesan moral utama yang ada dalam Pasal 24B ayat (1) terkait erat dengan masalah kehormatan dan martabat perilaku seluruh hakim untuk mendukung upaya menegakkan peradilan yang handal dan realisasi paham indonesia adalah negara hukum ini saya kutip dari buku MPR yang merupakan panduan dalam memasyarakatkan hasil amandemen, kalau kita ingin mengacu Pasal 24B pada MPR yang mengubahnya jelas sekali dalam halamanaman 195, 196 dikatakan adalah seluruh hakim. Ditegaskan pula bahwa, adanya ketentuan konstitusi tentang Komisi Yudisial didasarkan pada pesan moral konstitusional bahwa, Hakim Agung yang duduk di Mahkamah Agung dan para hakim merupakan figur-figur yang sangat menentukan dalam perjuangan menegakkan hukum dan keadilan dalam buku yang sama. Makin ditegaskan bahwa peran penting itu ada diseluruh hakim tapi yang lebih penting ada dipundak Hakim Agung kita yang terhormat. Sehingga kalau berpijak pada konstutisional moralitas tadi mengartikan hakim hanya diluar Hakim Agung, Hakim Konstitusi dan Hakim Ad hoc menurut saya bertentangan dengan prinsip konstitusional moralitas itu. Selain bertentangan dengan moralitas konstitusional interpretasi bahwa Komisi Yudisial hanya berhak mengawasi hakim tingkat pertama dan banding adalah interpretasi yang tidak tepat, karena bersifat diskriminatif dan kolutif. Diskriminatif karena hanya memberlakukan pengawasan kepada Hakim Pengadilan Negeri dan pengadilan tinggi tetapi tidak kepada hakim yang lain termasuk tidak kepada Pemohon atau Hakim Agung, ini juga berkait dengan pertanyaan dari Pihak Terkait tadi kalau kemandirian kekuasaan kehakiman dianggap dilanggar kenapa juga tidak dianggap dilanggar kalau itu dilakukan pengawasan terhadap hakimhakim di luar Hakim Agung ini termasuk dikriminatif itu. Serta kolutif karena pengawasan Hakim Agung oleh Mahkamah Agung sendiri akan lebih mengundang potensi penyimpangan ketimbang pengawasan dari Komisi Yudisial yang lebih konsisten dengan prinsip dasar konstitusionalime atau sistem saling kontrol dan saling imbang, apalagi dengan mengartikan bahwa pengawasan Komisi Yudisial tidak berhak mengawasi Hakim Agung. Pemohon nyata-nyata tidak konsisten sudah sering diungkap di persidangan saya hanya ingin mengulang satu dua yang sangat jelas inkonsistensi itu cetak biru Mahkamah Agung dan rancangan Undang-undang Komisi Yudisial yang dibuat sendiri oleh Mahkamah Agung nyata-nyata menyatakan Komisi Yudisial berhak mengawasi Hakim Agung ketika mengartikan Pasal 24B ayat (1) cetak biru Mahkamah Agung menegaskan bahwa, memperhatikan pilihan kalimat dan penjelasan dari PAH I MPR maksud dari fungsi tersebut adalah pengawasan dan pendisiplinan hakim termasuk Hakim Agung ini
43
adalah kata-kata dalam cetak biru Mahkamah Agung sendiri di halaman 91. Berbicara urgensi pengawasan dalam rancangan Undang-undang Komisi Yudisial Mahkamah Agung berpendapat, melihat fungsi dan tugas Komisi Yudisial dan menyadari permasalahan di pengadilan Komisi Yudisial harus memprioritaskan pada tugas pengawasan dan pendisiplinan hakim lebih jauh skala prioritas lanjutan dalam pelaksanaan tugas tersebut adalah pengawasan dan pendisiplinan terhadap hakimhakim yang menduduki posisi penting dan yang berada di tingkat pengadilan yang paling menentukan. Mereka adalah pimpinan pengadilan di semua tingkat hakim yang memegang jabatan struktural tertentu dan Hakim Agung ini saya kutip dari naskah akademis rancangan Undang-undang Komisi Yudisial yang dibuat oleh Mahkamah Agung yang berikan pada saat rancangan undang-undang tersebut dibahas pada halaman 134. Berkait dengan Mahkamah Konstitusi blue print Mahkamah Konstitusi juga secara tegas menyatakan bahwa menjadi penting bagi Mahkamah Konstitusi untuk memberikan pengawasan terhadap integritas dan perilaku hakim kepada pihak eksternal yang memiliki kewenangan itu Komisi Yudisial secara yuridis memberikan kewenangan untuk mengawasi hakim baik di lingkungan peradilan umum maupun Mahkamah Konstitusi sangat jelas dalam blue print Mahkamah Konstitusi sendiri menyatakan tunduk terhadap pengawasan yang di lakukan oleh Komisi Yudisial dalam buku itu halaman 121. Saya ingin pindah setelah bicara tentang interpretasi konstitusi. Ke pertanyaan kedua tentang urgensi konstitusionalitas pengawasan terhadap semua hakim, urgensi konstitusionalitas 152. KETUA: Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Apakah bisa dipersingkat karena sudah ada tertulis, diperpendek, karena sudah pukul 12.00. 153. AHLI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): DENNY INDRAYANA, S.H., LL.M., Ph.D
Oke Pak, saya cuma meminta izn ini cuma ada 9 halaman sudah
separuh jalan dan karena perkara ini sangat penting menyangkut dengan sistem ketatanegaraan kita yang luar biasa saya memohon ijin setelah lembur sampai pukul 02.00 malam mohon izin diapresiasi untuk membacakannya saya akan percepat tapi mohon izin untuk tetap membacakannnya. 154. KETUA: Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Tapi kalau ada hal-hal yang tidak perlu terlalu dibaca, kan bisa dilewati, misal kalau ada yang sifatnya yang menyerang pihak,
44
menempatkan Anda sebagai pihak, itu dihindari. Karena Ahli sudah disumpah untuk, bukan hanya hakim, Ahli juga imparsial, hanya berpihak kepada kebenaran ilmiah menurut pengetahuan, begitu, jadi jangan berpihak, mengambil pihak. Berusaha, walaupun kadang-kadang kita sulit ya. Jadi tolong, kalau misalnya bisa, jangan dibaca, tapi ini dihargai karena Saudara sudah menulisnya, bagus sekali. Silakan diteruskan. 155. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): DENNY INDRAYANA, S.H., LL.M., Ph.D Terima kasih, saya akan perhatikan itu. Ketua Majelis Yang Terhormat. Saya teruskan, tentang urgensi konstitusionalitas dari pengawasan hakim, tidak dapat dinyatakan hanya berlaku pada Hakim Pengadilan Pertama dan Hakim Banding, tetapi tidak berlaku pada Hakim Agung, Hakim Konstitusi dan Hakim Ad hoc, sewajibnya semua hakim haruslah diawasi, hal itu karena beberapa alasan berikut: Bahwa alasan pengawasan adalah untuk mengurangi potensi terjadinya korupsi peradilan, padahal sudah menjadi pendapat umum, akan saya jelaskan bagaimana saya menyimpulkan itu, bahwa seluruh proses peradilan relatif terjangkiti potensi judicial corruption. Tidak terkecuali Mahkamah Agung. Beberapa contoh pendapat itu adalah, pendapat yang dikemukakan oleh International Commission of Juries, di situ disebutkan “Corruption has been institutionalize in the judiciary especially in the supreme court”. Menurut poling Kompas penilaian negatif publik dalam memandang sosok lembaga cenderung membesar sebanyak 62 persen responden memandang citra, dengan segala hormat, Mahkamah Agung buruk dan hanya 29 persen menilai baik, dan seterusnya. Ini adalah poling Kompas tertanggal 16 Januari 2006. Bahwa alasan untuk mengecualikan Hakim Agung dari Komisi Yudisial, dan menyerahkan pengawasan mereka terhadap Mahkamah Agung sendiri tidak tepat, karena, Mahkamah Agung sendiri dalam naskah akademisnya menyatakan ada masalah pengawasan internal. Saya pikir, saya baca beberapa saja, pertamanya kurang transparansi, adanya dugaan semangat membela corps, kelemahan SDM, pelaksanaan pengawasan kurang melibatkan partisipasi masyarakat (…) 156. KUASA HUKUM PEMOHON : Prof. Dr. INDRIANTO SENOADJI, S.H. Interupsi, Majelis Hakim Yang Terhormat, karena ini menyangkut keahlian yang bersangkutan, menyangkut ketatanegaraan, saya rasa yang dipresentasikan ini lebih banyak masalah-masalah yang tidak menyangkut keahlian yang bersangkutan. Terima kasih
45
157. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Nanti dicatat, tapi tidak apa-apa diteruskan saja. Hanya agak dipersingkat. 158. KUASA HUKUM PEMOHON : O.C. KALIGIS, S.H., M.H. Yang mulia untuk mempersingkat, dibacakan saja itu, karena kami juga sudah punya, karena dibacakannya kurangnya transparansi, dia punya keterangan lebih banyak daripada yang dibicarakan Yang Mulia, supaya ini mempersingkat waktu sesuai dengan kehendak dari pimpinan sidang. Dibaca sampai satu jam barangkali. 159. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): DENNY INDRAYANA, S.H., LL.M., Ph.D Bahwa alasan public distrust dan bermasalahnya pengawasan internal Mahkamah Agung itulah yang sebenarnya menjadi salah satu dasar utama lahirnya Komisi Yudisial. Jadi kalau bicara Raison D’ Etre atau semangat hadirnya Komisi Yudisial adalah karena public distrust terhadap Mahkamah Agung, terutama pada bagian wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan dalam martabat seluruh hakim. Alasan mana tidak akan terlaksana jika kemudian pengawasan tidak pula dilakukan pada Pemohon atau Hakim Agung. Saya pindah kepada pertanyaan ketiga, tentang apakah pengawasan tidak melanggar prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman. Ada pendapat bahwa pengawasan atas Hakim Agung akan melanggar prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman. Pendapat demikian menurut saya keliru, karena argumentasi-argumentasi sebagai berikut, Pemohon atau Hakim Agung tidak tepat untuk berargumen bahwa pengawasan Komisi Yudisial melanggar prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman, karena akan terkesan kuat tidak konsisten sebab kemandirian kekuasaan kehakiman itu tidak hanya dimiliki Pemohon, tapi oleh semua hakim. Artinya kalau memang pengawasan Komisi Yudisial dianggap melanggar prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman, maka pengawasan itu pun qua non tidak dapat dilakukan pada hakim tingkat pertama maupun hakim tingkat banding. Terlebih prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman bukanlah prinsip hukum yang berdiri sendiri. Prinsip tersebut harus berjalan seiring dengan prinsip hukum transparansi dan akuntabilitas, kedua prinsip transparansi dan akuntabilitas itulah yang diwujudkan dalam bentuk pengawasan para hakim oleh Komisi Yudisial. Mengenai pentingnya prinsip kemandirian bersama-sama dengan transparansi dan akuntabilitas itu, independensi bersanding dengan imparsialitas dan integritas disamping masih banyak lagi prinsip-prinsip hukum lainnya. Maaf salah baca Pak, prinsip akuntabilitas tersebut mengenai pentingnya prinsip akuntabilitas Warwig Sorden, seorang Kepala
46
Pengadilan Federal Australia berpendapat “If the issues of transparency
accountability and judicial independent operate effectively in the appreciate of justice”, the risk of corruption is greatly reduce”. Ini di
buku Warwig, makalah dia yang dipresentasikan tanggal 28-30 November 2002. Lebih jauh Warwig juga berargumentasi “Tranparency
accountability and independence are the ingredient of a successful judicial system”, dan seterusnya. Saya persingkat, Khusus tentang
pentingnya transparansi sebagai bentuk pengawasan proses peradilan, Rifky Assegaf dan Josica Tarina, telah mengutip pendapat Jeremy Bentham yang menegaskan bahwa transparansi itu penting untuk menghindari ketertutupan, selama tidak ada keterbukaan tidak akan ada keadilan, keterbukaan adalah alat untuk melawan serta penjaga utama dari ketidakjujuran. Keterbukaan membuat hakim diadili saat dia mengadili perkara. Sebagai perbandingan pasal 3 ayat 1, konstitusi Amerika Serikat amat jelas mengawinkan prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman dengan prinsip akuntabilitas. Di situ ada independence of judiciary, tapi juga ada, itu bertahan sepanjang dilakukan berjalan seiring dengan prinsip good behavior. Ini di Amerika Serikat, Kemudian secara hukum internasional, pun banyak konvensi yang menegaskan kemandirian kekuasaan kehakiman harus berjalan seiring dengan prinsip akuntabilitas atau integritas. Misalnya dalam The Bangalore Principal Of The Judicial Conduct, di situ disebutkan, prinsip independensi bersanding dengan prinsip imparsialitas dan integritas. Berdasarkan argumen-argumen di atas, maka nyatalah bahwa prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman tidaklah berjalan sendiri, tetapi harus dikawal dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas atau integritas yang dalam pelaksanaannya memerlukan pengawasan terhadap perilaku para hakim, agar tidak menyimpang dari asas good behavior. Saya sampai pada pertanyaan terakhir, yang berkait dengan Comparative Constitutional Law. Sebagai perbandingan , ketatanegaraan dapat disampaikan bahwa keberadaan Komisi Yudisial mulai menjadi tren di negara yang mencirikan demokrasi modern. Ini saya kutip dari buku Wims Worman juga. Hasyim Tohari mencatat hingga tahun 2004, ada 43 negara yang telah membentuk Komisi Yudisial, meski dengan penamaan yang beraneka ragam. Di banyak negara fungsi pengawasan atau pendisiplinan Hakim Komisi Yudisial sudah jamak dan tidak pernah terbatas berlaku hanya untuk level hakim tertentu. Sebaliknya berlaku untuk semua hakim. Di antara fungsi-fungsi tersebut, beberapa diantaranya justru lebih kuat, dibandingkan dengan pengawasan Komisi Yudisial yang ada di Indonesia, misalnya. Pasal 174 ayat (3), ayat (6) serta seterusnya dari konstitusi Afrika Selatan menegaskan bahwa Judicial Service Comission berhak memberikan rekomendasi dalam pemberhentian hakim, lebih kuat. Kalau kita, hanya pengawasan, di sana ada pemberhentian hakim. Mengajukan calon Ketua MA, Memberikan masukan dalam pengangkatan Ketua serta Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Jadi juga mencakup, tidak hanya Mahkamah Agung, tetapi
47
juga Mahkamah Konstitusi. Pasal 99, 114 konstitusi Argentina mengatur bahwa Council Of Magistercy, berhak mengajukan calon Hakim Agung, mengembangkan pemilihan Hakim Tingkat Bawah, melakukan usulan Hakim Tingkat Bawah, dan seterusnya. termasuk nomor tujuh memutuskan pemberhentian hakim, ini di Argentina. Pasal 123 konstitusi Kroasia, menegaskan bahwa National Judicial Council berfungsi mengangkat dan memberhentikan hakim. Sekali lagi ada kata-kata memberhentikan hakim, tidak hanya mengawasi, lebih kuat. Dan memutuskan segala hal yang berkaitan dengan pertanggungjawaban kedisiplinannya. Pasal 64, 65 dari konstitusi Perancis mengatur bahwa High Council of the Judiciary berwenang membantu Presiden dalam menegakkan kemerdekaan kekuasaan kehakiman, mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, merekrut hakim banding, dan hakim pada tingkat pertama, serta bertindak sebagai Dewan Pendisiplinan Hakim, sekaligus sebagai Dewan Pendisiplinan Hakim, di kita, Majelis Kehormatan Hakim itu tetap ada pada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Di Perancis itu jadi satu kesatuan dan langsung berada dalam sistim di Komisi Yudisial mereka. Pasal 273 konstitusi Thailand, mengatur bahwa Judicial Commission of The Court of Justice, berhak memberikan persetujuan dan pengangkatan Hakim Agung, memberikan persetujuan tentang promosi, kenaikan gaji dan menghukum Hakim Agung, justru di Thailand itu (…) 160. KUASA HUKUM PEMOHON : O.C. KALIGIS, S.H., M.H. Keberatan Yang Mulia, kata-kata “justru” itu tidak ada di situ, dipersingkat, jadi ditambah-tambah lagi, ini lebih merupakan pledoi partisan daripada pendapat imparsial, mohon dicatat itu. 161. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): DENNY INDRAYANA, S.H., LL.M., Ph.D Saya ingin menegaskan argumentasi justru di Thailand itu, yang diberikan kekuatan lebih besar dari Komisi Yudisial nya adalah penghukuman terhadap Hakim Agung, kalau kita mengatakan jangan diawasi Hakim Agung berarti kebalikan. Itu maksud saya kenapa saya mengatakan kata-kata “justru”. Dari perbandingan ketatanegaraan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, ini sudah halaman terakhir, mudah-mudahan bisa sedikit bersabar. Komisi Yudisial jamak mempunyai kewenangan konstitusional untuk mengawasi dan mendisiplinkan hakim. Bahkan Komisi Yudisial berhak menghukum dan memberhentikan hakim, yang di Indonesia kewenangan langsung hukum dan memberhentikan tersebut, justru tidak diadopsi. Kedua, Komisi Yudisial justru lebih fokus untuk menghukum Hakim Agung, bukan berkonsentrasi pada pengawasan hakim banding dan hakim tingkat pertama. Sebagaimana didalilkan oleh Pemohon.
48
Ketiga, tidak ada satu negara pun yang membatasi fungsi
pengawasannya untuk tidak mengawasi Hakim Agung. Sebagai kesimpulan keseluruhan, saya ingin mengatakan ada lima. Pertama, berdasarkan konsep Constitutional interpretation, hakim menurut pasal 24B ayat (1) adalah seluruh hakim, tidak terkecuali Hakim Agung, Hakim Konstitusi dan Hakim Ad hoc. Kedua, berdasarkan constitutional importance, urgensi konstitusionalitas, untuk mengurangi potensi korupsi peradilan pengawasan Komisi Yudisial perlu dilaksanakan kepada seluruh hakim, tidak terkecuali Hakim Agung, Hakim Konstitusi dan Hakim Ad hoc. Ketiga, berdasarkan moralitas konstitusional, konsep Constitutional morality, interpretasi yang membatasi pengawasan Komisi Yudisial tidak konsisten dengan moralitas konstitusional karena cenderung diskriminatif dan koluktif. Keempat, pengawasan oleh Komisi Yudisial tidaklah melanggar prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman, atau Independence of the Judiciary, karena prinsip itu wajib berjalan seiring dengan transparansi, akuntabilitas dan integritas. Kelima, yang terakhir, berdasarkan Comparative Constitutional Law, pengawasan dan pendisiplinan kepada seluruh hakim oleh Komisi Yudisial adalah hal yang jamak bahkan berbeda dengan dalil Pemohon, para Hakim Agung yang terhormat. Titik beratnya justru ada pada pengawasan Hakim-Hakim Agung itu sendiri. 162. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Cukup ya, terima kasih banyak 163. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): DENNY INDRAYANA, S.H., LL.M., Ph.D Demikian penadapt hukum Ahli ini disusun sebagai upaya untuk membantu proses persidangan perkara a quo dalam menghasilkan putusan yang semakin menegakkan supremasi hukum dan supremasi konstitusi di tanah air, terima kasih. Selamat siang 164. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik terima kasih. Baiklah, tarik nafas dulu ini, Jadi Saudara-saudara sudah Pukul 12.20 WIB. Kalau misalnya, kita berikan kesempatan Pak Prof Mahfud Prof Amran, singkat saja dulu bagaimana, sampai jam 12.30, 10 menit ini, baru nanti jam dua kita lanjutkan, bagaimana kalau begitu?
49
165. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): BAMBANG WIDJAJANTO, S.H., LL.M Yang pertama, terima kasih, terus yang kedua, sebaiknya ini diserahkan kepada Saksi atau kepada Ahli, karena nanti, bagaimana mengatur mengenai jawaban-jawabannya atau keterangan sebagai Ahli, sehingga kemudian tanpa harus membatasi, tapi juga bisa membatasi dirinya sendiri. 166. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Kita manfaatkan sepuluh menit saja, jadi 12.30 kita istirahat kemudian nanti masuk lagi pukul 14.00, kalau, bisa tidak menjawab itu dalam 5 menit ini, tidak bisa ya? 167. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): BAMBANG WIDJAJANTO, S.H., LL.M Agak sulit, 168. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Silakan Pak Mahfud dulu. 169. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): BAMBANG WIDJAJANTO, S.H., LL.M Mungkin kalau Prof. Amran itu bisa karena beliau titik tolaknya, adalah bahasa, jadi pertanyaanya bisa singkat , sedangkan kepada Prof. Mahfud, pertanyaannya agak berbeda 170. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Kalau begitu untuk Pak Mahfud pukul 14.00, begitu ya. Pak Amran dahulu sekarang. Silakan 171. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT BAMBANG WIDJAJANTO, S.H., LL.M
(KOMISI
YUDISIAL)
:
Prof. Amran, Saudara Ahli, kami ingin menanyakan mengenai, karena Saudara adalah ahli bahasa. Kami ingin menanyakan mengenai kata-kata atau kata hubung di dalam Pasal 24B ayat (1) itu. Kalau dibaca agak lebih teliti ada beberapa kata hubung di situ. ”Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung ”dan” kata penghubung pertama mempunyai wewenang lain
50
dalam rangka menjaga, ”dan” yang kedua menegakkan kehormatan keluhuran martabat ”serta” perilaku hakim agung, bisakah dijelaskan apa makna kata “dan” dua ”dan” di situ dan kata ”serta”. Apakah menurut Saksi kata ”dan” yang pertama sebagai kata penghubung, itu bisa dimaknai sebagai bagian dari ketentuan yang ada atau kalimat pertama yang dikemukakan dalam konstitusi ini? Jadi ini majornya, istilahnya begitu, kata dan yang kedua itu minornya. Apakah seperti itu dalam konteks bahasa Indonesia yang baik dan benar? Jadi itu saja pertanyannya mudah-mudahan itu bisa dijawab dengan baik. Terima kasih. 172. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT : TRIMOELJO.D. SOERJADI, S.H. (KOMISI YUDISIAL) Kami ingin menambahkan pertanyaan. Saudara Ahli, sebagai ahli bahasa Indonesia, saya ingin menyambung pertanyaan kata-kata ”dan” yang tadi sudah ditanyakan oleh rekan saya, saya ingin juga dikaitkan dengan perkataan lain dalam kalimat ”dan mempunyai wewenang lain”, jadi apa kaitannya antara kata-kata “dan” dan kata “lain” supaya ditegaskan dari segi bahasa sesuai dengan keahlian ahli. Terima kasih. 173. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT : AMIR SYAMSUDIN, S.H., M.H. (KOMISI YUDISIAL) Maaf Saudara Ahli, satu lagi pertanyaan singkat. Berkaitan dengan apa yang kita dengarkan dari Prof. Hobbes tadi. Apakah benar dari kaidah bahasa di dalam kalimat di dalam Pasal 24B ayat (1) ini, pengusulan pengangkatan Hakim Agung itu merupakan fungsi utama, sedangkan kewenangan lainnya itu, lebih rendah, hanya merupakan fungsi tambahan. Oleh karena tadi dipersoalkan seakan-akan kewenangan lainnya itu lebih rendah kedudukannya daripada fungsi utama, yaitu mengusulkan pengangkatan Hakim Agung. Apakah dilihat dari kaidah bahasa benar kira-kira seperti itu? Terima kasih. 174. KUASA HUKUM PEMOHON : O.C. KALIGIS, S.H., M.H. Pak hakim. Ini adalah antara dua pendapat ahli, antara dua pendapat. Pertanyannya apakah benar pendapat Hobbes? Kami keberatan karena mereka beda pendapat itu adalah haknya dia. Tetapi pertanyaannya, apakah benar pendapat yang pertama itu?
51
175. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Oke, itu dicatat. Jadi begini Pak. Jadi tadi, makanya tadi saya kemukakan ahli bicara keahliannya saja, tidak usah menanggapi supaya nanti kesannya tidak anu ya? Misalnya menanggapi Pemohon, jangan. Jangan begitu. Inikan soal formulasi, walaupun maksud kita itu memang begitu tetapi tidak usah terlalu terang, ada yang sudah dimaklumi jangan terlampau terang, dikemas sedikit. Silakan-silakan Pak. 176. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL) : Prof. Dr. AMRAN HALIM Ketua Majelis, para Hakim yang saya muliakan, hadirin yang berbahagia.
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Apabila dilihat dari sudut ilmu bahasa, Pasal 24B ayat (1) merupakan sebuah kalimat yang disebut kalimat setara, karena ada kata “dan”. Itu berarti bahwa yang terdapat di sebelah kiri “dan’ yang terdapat di sebelah kanan “dan” yang pertama mempunyai kedudukan yang sama, setara artinya. Itu berarti bahwa kedua bagian ini mempunyai kedudukan yang sama dan mempunyai fungsi yang sama, yang pertama tidak mengatasi yang kedua, yang kedua tidak mengatasi yang kedua karena betul-betul ini setara. Kesetarannya itu berbentuk anak kalimat. Anak kalimat yang pertama Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, itu kalimat yang pertama. Anak kalimat yang kedua dipotong sedikit karena pokok kalimatnya sama jadi kalau dibaca lengkap Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang yang mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan seterusnya sampai ke ujung, itu adalah anak kalimat yang kedua. Kalau dilihat demikian akan kita ketahui bahwa dan yang kedua berada dalam anak kalimat yang kedua, wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan itu berada dalam kalimat yang, anak kalimat yang kedua yang menyetarakan menjaga dan menegakkan. Di dalam anak kalimat yang kedua ini ada sebenarnya dua kata “dan” tetapi supaya jangan membosankan dan yang kedua diganti dengan “karena” supaya itu kehormatan, keluhuran masyarakat, serta perilaku hakim ini juga berarti bermakna “dan”. Jadi di dalam anak kalimat yang kedua, sebenarnya ada dua kata “dan” dan ”dan” dua kali. Supaya jangan membosankan yang terakhir dipakai kata “serta” kalau diperhatikan isi kedua anak kalimat itu, maka di samping pokok kalimat ada predikatnya lalu ada ujungnya. Ujung yang pertama adalah mengusulkan pengangkatan hakim agung, yang
52
menjadi sasaran Hakim Agung, yang dikerjakan mengusulkan pengangkatan. Itu yang pertama, itu habis yang pertama. Dalam anak kalimat yang kedua, yang dipersoalkan menjaga dan menegakkan kehormatan keluhuran, martabat, serta perilaku. Siapa tujuannya hakim, hakim yang mana kita tidak tahu menurut segi bahasa untuk segala hakim masuk. Dari sudut bahasa Pak, saya bukan ahli hukum. Jadi dari sudut bahasa ini semua hakim masuk. Sehingga Komisi Yudisial mempunyai wewenang setiap ke lain dulu, dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim, semua hakim. Yang pertama tadi hanya Hakim Agung, yang kedua ini semua hakim. Kata lain berfungsi memperkeras makna kalimat ini yang menunjukkan bahwa Komisi Yudisial mempunyai dua wewenang. Wewenang yang pertama mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, itu satu wewenang. Di samping itu ada wewenang lain lagi, terlepas dari itu ada wewenang lain lagi. Wewenang lainnya itu apa? Wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Dengan demikian dapat kita lihat bahwa dalam kalimat ini tidak terdapat benturan antara Hakim Agung dan hakim, karena ini berada dalam dua anak kalimat yang setara. Jadi tidak dapat dikatakan yang pertama itu hanya menyangkut Hakim Agung, yang kedua tidak menyangkut Hakim Agung, tidak dapat begitu. Jadi benturan itu tidak ada karena kedua anak kalimat ini adalah anak kalimat yang setara, dari sudut semantik nilainya sama, fungsinya sama. Mudah-mudahan ada manfaatnya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
177. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baiklah Saudara-saudara cukup, nanti kita lanjutkan lagi yang kurang dan Pemohon belum mengajukan pertanyaan kepada termasuk Pak Amran dan juga Pihak Terkait belum mengajukan pertanyaan kepada Pemohon yang diajukan Pemohon, nanti kita cross, pukul 14.00 kita masuk lagi dengan ini sidang saya skors. KETUK PALU 2 X
Wassalamu’alaikum Wr.Wb. SIDANG DISKORS PUKUL 12.20 WIB.
SKORSING DICABUT PUKUL 14.00 WIB. 53
178. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, Saudara-saudara skorsing sidang saya cabut. KETUK PALU 3 X
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Selamat siang, selamat sore, salam sejahtera untuk kita semua. Tadi kita sudah mendengar keterangan ahli dari pihak Pemohon, ahli I dan II dari Pihak Terkait, sekarang ahli yang ketiga. Saya persilakan untuk dilanjutkan, tetapi sebelum itu sudah masuk semua ini ya? Apakah masih ada yang belum datang? Baik saya persilakan. 179. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT BAMBANG WIDJAJANTO, S.H., LL.M
(KOMISI
YUDISIAL)
:
Terima kasih Bapak Ketua, kali ini pertanyaan diajukan kepada Prof. Mahfud sebagai ahli. Saudara Ahli, untuk memberi interpretasi terhadap satu teks dalam konteks ini teks Undang-Undang Dasar lebih khusus pada Pasal 24B. Itu salah satu metodenya adalah dengan melihat politik hukum yang berkembang pada saat itu. Pertanyaannya adalah, apakah saudara Saksi bisa menjelaskan apa sesungguhnya politik hukum yang berkembang di balik pembuatan teks Pasal 24B ayat (1)? Dan mungkin juga untuk lebih menukik dan lebih mempertajam pertanyaan yang pertama, bisa juga dikaji dengan menggunakan metode historis dan teleologis. Jadi politik hukum dalam konteks historisnya seperti apa Pak? Pada saat itu suasana kebatinan politik seperti apa yang berkembang dan analisis atau pendekatan teleologis seperti apa yang berkembang pada saat itu? Saya pikir pertanyaannya untuk sementara seperti itu. Terima kasih. 180. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Silakan. 181. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL) : AMIR SYAMSUDIN, S.H., M.H. Masih ada Prof. Pertanyaan sekaligus kami sampaikan
54
182. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Silakan. 183. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT : AMIR SYAMSUDIN, S.H., M.H. (KOMISI YUDISIAL) Berkaitan dengan amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Komisi Yudisial kepada fungsi dan tempatnya, dan kemudian kalau kita dengarkan keterangan ahli, sebelumnya yang menggambarkan bahwa kedudukan Komisi Yudisial ini, kalau boleh saya sedikit ini seakan-akan tidak lebih daripada panitia seleksi Hakim Agung. Kalau dilihat bahwa, kalaulah Komisi Yudisial ini hanyalah semacam panitia seleksi di dalam recruitment Hakim Agung, sedangkan peran Komisi Yudisial secara khusus ditempatkan di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, apakah benar seperti itulah politik hukum bahwa politik hukum saat itu hanyalah menempatkan Komisi Yudisial ini sebagai semacam panitia seleksi? Itu pertanyaan yang pertama. Yang kedua, dari paparan ahli sebelum ahli yang sekarang, itu menggambarkan adanya perbandingan Komisi Yudisial, Komisi Yudisial di beberapa negara yang kalau kita lihat ternyata bahwa Komisi Yudisial di negara-negara yang dijadikan perbandingan itu sedemikian rupa kuatnya. Paling tidak gambarannya itu lebih kuat daripada Komisi Yudisial kita di sini. Apakah itu cerminan atau gambaran politik hukum yang serius dan peka terhadap rasa keadilan? Apakah maksud saya negara-negara lain itu mencerminkan bahwa politik hukum mereka itu lebih serius dan lebih peka terhadap rasa keadilan. Terima kasih. 184. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Silakan. 185.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL) : Prof. MAHFUD M.D. Majelis Hakim Konstitusi yang terhormat. Para Pemohon, Pemerintah, dan yang terkait serta para Kuasa Hukum. Jadi begini: Pertama, saya ingin menyampaikan bahwa politik hukum itu adalah arah yang dikehendaki oleh hukum atau arah tentang hukum yang akan diberlakukan. Jadi kalau dalam konteks Komisi Yudisial itu sebenarnya apa keinginan pembentuk undang-undang atau pembentuk Undang-Undang Dasar tentang Komisi Yudisial dan segala kewenangannya, itu politik hukum. Politik hukum itu bisa dipahami dari
55
kalimat yang ada sejauh kalimat itu jelas dan tidak diperdebatkan, kalau ternyata menimbulkan perdebatan, maka politik hukum itu bisa dicari dari latar belakang historis munculnya gagasan tentang pembentukan Komisi Yudisial ini. Di sinilah politik hukum bisa ditemukan, apa yang sebenarnya dikehendaki oleh pembuat Undang-Undang Dasar atau pembuat Amandemen ketiga tentang Komisi Yudisial ini, itu satu dari sudut pengertian. Kedua, saya ingin mengatakan bahwa hukum yang berlaku di suatu negara atau hukum tata negara kita itu, itu tidak harus ikut atau tidak harus tidak ikut teori-teori atau hukum yang berlaku di negara lain. Oleh sebab itu, bagi saya HTN itu tidak relevan. Misalnya orang mempersoalkan, “ini kalau di Belanda lain artinya, kalau di Amerika lain”, itu tidak ada bagi politik hukum itu tidak ada artinya. Karena politik hukum itu apapun, sesuai atau tidak sesuai dengan teori di Amerika. Sebab kalau sebutannya di Amerika begitu, di Belanda begitu, orang lain bisa menyebut tapi di Italia lain bukan begitu? Oleh sebab itu, maka yang dipakai adalah apa yang sebenarnya ditulis di dalam Konstitusi oleh negara atau bangsa yang bersangkutan, itulah politik hukum. Terkait dengan ini, maka saya ingin menjawab sekaligus semua pertanyaan itu tadi. Pertama, lahirnya Komisi Yudisial ini sejauh yang saya baca dari risalah yang saya bawa ini, dari MPR. Dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa pengawasan terhadap Mahkamah Agung, hakim-hakim agung, dan semua hakim itu secara internal lemah. Di situ ditulis, tercatat di sini bahwa pada waktu itu ada arus kuat pemikiran bahwa Komisi Yudisial harus dibentuk, karena tidak ada lagi lembaga pengawasan internal yang bisa dipercaya. Ini dasar yang melatarbelakangi Komisi Yudisial. Pertama, di situ ada juga di dalam risalah tanggal 8 Juni 2000. Di dalam buku kedua jilid tiga halaman 434 di situ tegas dikatakan bahwa, “Komisi Yudisial mengawasi Hakim Agung dan hakim pada semua tingkatan. Saya ingin katakan ini, karena sampai berakhirnya perumusan Pasal 24B itu tidak ada satu pun yang membantah di dalam sidang Panitia Ad hoc ini. Paling orang yang lain tidak menanggapi, tapi yang membantah bahwa termasuk mengawasi Hakim Agung itu tidak ada di dalam catatan itu. Kemudian tanggal 26 September, itu Zein Badjeber mengatakan di situ, bahwa Komisi Yudisial bukan hanya menyangkut Hakim Agung, tapi seluruh hakim. Artinya justru kalau dikatakan bukan hanya Hakim Agung, artinya yang utama itu Hakim Agung, yang lain itu sambilan, sebenarnya kalau ini. Tapi itu bukan yang final, masih ada lagi. Tanggal 26 September Hamdan Zoelva mengatakan, “tidak ada lembaga yang bisa mengawasi tingkah laku Hakim Agung, sehingga diperlukan lembaga seperti lembaga yudisial. Tanggal 6, Agun Gunanjar mengatakan bahwa, “Komisi Yudisial itu bukan hanya mengurus pengangkatan Hakim Agung, tetapi juga mengawasi dan mengontrolnya”. Pernyataan-pernyataan ini yang muncul dan tertulis di dalam risalah ini, sampai akhir persidangan tidak ada yang membantah.
56
Berarti juga pikiran-pikiran seperti itu kemudian disetujui, karena itu rumusan-rumusan yang dikristalisasikan oleh mereka pada akhirnya memang meng-cover itu. Ini yang kemudian bisa ditafsirkan politik hukum kita itu sebenarnya melihat latar belakang itu, sudah jelas bahwa Komisi Yudisial itu mengawasi Mahkamah Agung. Sekarang bagaimana teleologisnya? Apa benar penafsiran itu? Bahwa penafsiran itu benar, misalnya bahwa itu politik hukum yang digariskan. Majelis yang terhormat, Saya bisa menyebut banyak buku di sini, termasuk kita yang ada di ruangan ini banyak yang menulis buku tentang itu, sebelum kasus ini mencuat sudah mengatakan bahwa Komisi Yudisial itu berwenang mengawasi Mahkamah Agung. Tapi, baiklah, orang perorangan nanti fait accompli. Saya akan tunjuk saja, di sini saya membawa dua buku yang institusi. Pertama, buku Cetak Biru Mahkamah Agung ini, tadi sudah disebut, menyebut sampai empat kali di halaman 93, di halaman 99, di halaman 105, dan di halaman 238. Bahwa Komisi Yudisial itu termasuk mengawasi Mahkamah Agung. Di halaman 238 itu malahan itu program kerja Mahkamah Agung, bukan sekedar ini, sudah jelas bahwa programnya Mahkamah Agung akan mendorong lahirnya Komisi Yudisial yang mengawasi hakim termasuk Hakim Agung, eksplisit di sini. Naskah akademik, ini menyebut paling tidak yang saya temukan naskah akademis Rancangan Undang-undang Komisi Yudisial yang dibuat oleh Mahkamah Agung juga halaman 26, halaman 45, halaman 58 juga menyebut Hakim Agung. Ini kalau dibaca lagi mungkin masih banyak, tapi hanya untuk keperluan ini kalau sudah ditunjukkan lebih dari satu saya kira cukup meyakinkan bahwa itu sebenarnya apakah yang ditulis di dalam naskah akademik dan cetak biru ini menjadi politik hukum? Tentu bukan, tetapi ini memberi konfirmasi bahwa politik hukumnya itu dulu begitu dan Mahkamah Agung yang ikut dari awal, termasuk Pak Bagir Manan yang menjadi staf ahli di sidang MPR untuk amandemen itu tahu bahwa itu maksudnya sejak awal. Oleh sebab itu ketika membuat cetak biru dan rancangan naskah akademik, ini mengkonfirmasikan terhadap politik hukum yang digariskan itu. Pertanyaan berikutnya, “memang kenapa, kalau memang Hakim Agung itu termasuk dalam hakim? Kenapa disebut terpisah? Yang satu disebut Hakim Agung, satu disebut hakim? Tadi dari sudut bahasa sudah dijelaskan Pak Amron. Tapi ada politik hukum lain yang tadi belum disebut, yaitu Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999. Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 itu membedakan ada hakim karier dan hakim non karier. Untuk Hakim Agung itu terdiri dari dua jalur karier dan non karier, sedangkan hakim tinggi dan hakim muda itu karir. Oleh sebab itu mesti disebutkan secara terpisah. Sebab kalau jadi satu kabur, karena cara rekruitmennya berbeda, itu politik hukum yang kita buat tahun 1999 yang kemudian diabstraksi masuk di dalam perumusan Pasal 24 ini. Lalu dipertanyakan, apa bisa sebuah undang-undang lalu mendasari politik
57
hukum? Bisa, kenapa tidak? Yang sudah lebih dahulu diangkat masuk ke Konstitusi, dasar pikirannya itu bisa. Buktinya itu Pasal 18 tentang Pemerintahan Daerah. Itu seluruhnya mengambil dari Undang-undang Otonomi Daerah yang ada sebelumnya, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999. Pasal 28 (UUD 1945) itu mengambil dari yang sudah ada sebelumnya, yaitu Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia. Jadi itu tidak ada masalah, untuk memasukkan sebuah gagasan politik hukum yang sudah ada di sebuah aturan yang rela diangkat ke atas dijadikan politik hukum yang lebih tinggi. Dan itu sebabnya lalu rumusannya, karena Undang-undang Nomor 35 sesungguhnya itu mengatakan bahwa Hakim Agung itu jalurnya berbeda dengan jalurnya, maka penyebutannya tidak bisa dijadikan satu. Mesti harus dipisah, Hakim Agung rekruitmennya lewat seleksi oleh Komisi Yudisial, karena memang harus begitu. Sedangkan hakim termasuk Hakim Agung pengawasannya lewat Komisi Yudisial. Tidak usah menyebut Hakim Agung, karena untuk pengawasan itu sama, sedangkan untuk rekruitmen itu beda. Saya kira itu yang saya sampaikan. Saya kira pertanyaan Bapak Amir Syamsudin sudah saya jawab pertama tadi, tidak terlalu relevan bagi ilmu politik hukum untuk menyatakan di negara mana berlaku apa. Politik hukum itu adalah apa yang ditulis di dalam Konstitusi kita itulah. Soal di Amerika lain, itu bukan urusan kita. Terima kasih. 186. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT BAMBANG WIDJAJANTO, S.H., LL.M
(KOMISI
YUDISIAL)
:
Ahli, kalau interpretasi politik hukum seperti itu, di dalam Pasal 24B. Jadi ketika kemudian analisis atau metode politik hukum diletakkan di Undang-undang Komisi Yudisial, itu artinya interpretasi mengenai hakim itu menjadi seperti tadi yang Saudara Ahli kemukakan, untuk semua jenis tingkatan. Apa begitu jadinya ? 187. AHLI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): Dr. MAHFUD, M.D Ya, betul. Karena begini, pertama, Undang-undang Komisi Yudisial itu mengalir dari politik hukum Undang-Undang Dasar yang latar belakangnya sudah saya sebutkan tadi, tidak pernah ada satu pun yang membantah itu di dalam risalah yang tebal ini. Kedua, supaya diingat bahwa kita bicara tentang Kekuasaan Kehakiman. Tentang Pasal 24 dan Pasal 25 itu adalah Kekuasaan Kehakiman. Hakim itu adalah kesatuan sistim. Mulai dari hakim tingkat I, tingkat II, sampai ke Mahkamah Agung, itu satu sistem. Kalau yang atas dipotong, itu sistemnya rusak. Jadi harus dianggap sebagai suatu sistem pengawasan terhadap satu jenis, satu mahkluk yang bernama hakim ini. Bagi saya hakim tinggi,
58
hakim negeri, Mahkamah Agung, (Hakim) Konstitusi itu hanya perbedaan saja. Perbedaan struktural seperti di perguruan tinggi itu ada asisten, dosen, profesor itu sama saja, dosen semua. SK-nya dosen itu sebagai staf pengajar, tapi jabatannya berbeda. Sama halnya dengan hakim, ada Hakim Konstitusi, pokoknya yang termasuk di dalam bab tentang kekuasaan kehakiman itu semua masuk di situ. Karena kalau Anda buang satu, itu berarti Anda membuang dari satu bangunan yang sebenarnya menyatu semuanya, tidak ada jadinya. Terima kasih. 188. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Atau ini di-cross. Silakan, ada yang mau tanya? Sebelah kanan? Silakan. Sebut mau bertanya ke siapa ya! 189. HAKIM : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Saya kepada Denny, Pak Mahfud, Pak Hadjon. Saya kira yang ahli-ahli tata negara lah. Pak Denny tadi sudah bicara mengenai comparative study, tapi tampaknya agak kurang komprehensif ya, karena beliau ini, Saudara Denny hanya mengutip kewenangan, tapi salah satu Saudara kutip tadi, studinya Tohari di dalam keseluruhan, hampir. Saya tidak mempelajari juga undang-undangnya. Tapi di dalam Konstitusi, bahwa personalia Komisi Yudisial itu inter locking semua dengan Mahkamah Agung. Ex officio bahkan, Ketua Komisi Yudisial adalah Ketua Mahkamah Agung. Saya kira bisa lihat daftarnya itu, halaman 124-134. Pertanyaan saya kepada Bapak-bapak para Ahli, apakah original intent yang dikatakan Pak Mahfud tadi, politik hukum yang sudah tertulis di dalam konstitusi, telah dapat meramalkan sebenarnya bagaimana interplay daripada organisasi yang disusun, bisa tidak diramalkan itu? Pak Denny pernah mengatakan universal itu tidak bisa, bahwa selalu pembuat undang-undang itu menjadi sempurna dia. Oleh karena itu, pertanyaan pertama, apakah interpretasi terhadap bunyi Undang-Undang Dasar itu bukan hanya didasarkan kepada politik hukum tetapi juga fakta hukum yang dihadapi ketika bagaimana operasional daripada aturan yang dibentuk itu kemudian harus ditafsir menurut kenyataan yang ada itu sebagai suatu hal yang benar menurut Undang-Undang Dasar. Yang kedua, Pak Denny juga bicara mengenai independensi tadi apakah independensi hakim subtansinya sama tidak dengan indepedensi Komisi Yudisial kalau hakim itu memiliki indenpedensi secara kelembagaan juga secara individual hakim. Apakah Komisi Yudisial juga memiliki independensi kelembagaan saja atau juga individual? Sehingga bisa mengeluarkan putusan-putusan sendiri dan pendapat sendiri. Yang ketiga, kalau terjadi misalnya seperti politik hukum yang sudah di ungkapkan tadi oleh Pak Mahfud ternyata yang dihasilkan oleh
59
undang undang sebagai realisasi yang dianggap politik hukum itu berbenturan semua dengan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman yang mungkin terlalu semangat lupa menata yang disebutkan Pak Hajul tadi Undang-undang No 4, Undang-undang No 5 Undang-undang Mahkamah Konstitusi lupa menata sehingga kewenangan Komisi Yudisial itu yang menyangkut kehormatan yang disebutkan itu martabat tetapi ada juga dewan kehormatan bagaimana cara menafsirkan kewenangan Komisi Yudisial di dalam fakta yang terjadi katakanlah selalu berbenturan ini, bahkan konfrontatif barangkali. Dalam statement-statement yang mungkin bukan hanya Komisi Yudisial, Mahkamah Agung juga konfrontatif begitu pada awalnya begitu, saya kira ini pertanyaan saya tetapi yang terpenting kalau mau menafsirkan independensi hakim yang di dalam pelaksanaan tugas Komisi Yudisial dianggap bahwa itu bagian tugas kehormatan tetapi kemudian benturan dengan independensi yang justru dijaga oleh konstitusi bagaimana kira-kira menafsirkan kewenangan itu saya kira demikian pertanyaan saya Pak Ketua. 190. KETUA: Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ada satu lagi? Tidak? Pak Harjono? 191. HAKIM: Dr. HARJONO, S.H., M.C.L. Terima kasih Pak Ketua. Ada dua arah pertanyaan saya yang satu untuk ahli bahasa yang lain juga khususnya Saksi Ahli Pak Denny, tapi tentunya tidak menutup kemungkinan kalau Ahli yang lain dapat juga hal yang saya tanyakan. Pertama begini, untuk perumusan pasal yang dipersoalkan tadi disampaikan oleh Ahli Bahasa bahwa ini terstruktur dalam keadaan yang setara begitu ya Pak. Untuk menafsirkan kata ”dan” kemudian yang saya tanyakan adalah kalau itu dimaksudkan tidak setara kira-kira rumusan kalimatnya harus bagaimana? Karena ada katanya dan itu menjadikan setara kalau tidak setara harusnya bagaimana? Yang pertama itu. Kedua, adalah sebagai ahli yang tentunya juga Ahli Bahasa dan melihat perkembangan bahasa. Adakah sering terjadi kesenjangan antara intent dan rumusan di dalam merumuskan intent itu di dalam satu kalimat. Maksud saya A, tetapi menjadi B, pada saat rumusan kalimatnya seperti ini, ini saya pendapat Ahli bahasa. Pertanyaan yang kedua untuk Ahli yang lain, di dalam bicara persoalan Pasal 24B sebetulnya ada hal yang belum terungkap di dalam persidangan ini karena Pemohon juga memasalahkan di dalam perbaikan Pemohonnya itu permohonannya pada halaman 8 mengenai pengawasan Komisi Yudisial selama ini yang telah memanggil beberapa Hakim Agung dalam hubungannya perkara yang telah diadili, itu kalau di situ sebenarnya tidak memasalahkan tentang apa pengertian hakim itu? apakah itu termasuk hakim di bawah, ataukah Hakim Konstitusi juga
60
tidak memasalahkan di dalamnya, katakan saja ada dua hal tadi yang satu lagi saya sampaikan, apakah kalimat itu setara dan lain sebagainya ini tidak masalahkan itu tetapi belum ada hal yang dibicarakan dalam sidang di dalam menanggapi permohonan Pemohon itu. Dalam hubungan ini saya ingin bertanya kepada ahli adanya kalimat dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan keluhuran martabat serta perilaku hakim. Di dalam persoalan ini memang ada there are so many stakes in the pasal ini. Pertama, kebebasan peradilan, Dua, kebebasan hakim yang ada di sini kemudian menjaga martabat lalu muncullah penjagaan martabat ini dilakukan baru diderivasi bentuknya pengawasan jadi bunyi atau derivasi dari penjabaran menjaga dan menegakan kehormatan keluhuran martabat serta perilaku hakim munculnya di dalam undang undang itu utamanya pengawasan. Yang ingin saya tanyakan adalah begini; kebebasan hakim kebebasan yudisial kebebasan hakim itu tidak hanya saja menyangkut persoalan kebebasan dua institusi an sich, tapi juga lembaga peradilan ini perlu trust, perlu kepercayaan dibangun kepercayaannya, karena lembaga peradilan ini (dirawat) di luar lembaga lembaga lain paling lemah dikatakan no wallet and no gun tidak punya dompet dan tidak punya senjata, tapi dia harus dijamin kebebasan. Apa itu kebebasan yudisialnya atau kebebasan hakimnya. Muncul persoalan yang berhubungan dengan pengawasan apakah kira kira tidak dipikirkan atau tidak terpetik di dalam pikiran para ahli ini? Pengawasan itu juga terkait di dalam persoalan there are so many stakes itu. Harus ada kebebasan hakim, kebebasan peradilan dan kepercayaan itu pada peradilan, janganjangan ada semacam pengawasan yang kemudian tidak menyebabkan menjaga martabat tapi kontraproduktif dan ini percampurannya dan itu dijamin oleh konstitusi semua kontraproduktif. Saya meminjam tadi ada satu yang menggunakan kata membuat opini dan pada persoalan pengawasan yang dilakukan oleh hakim kepada hakim, praduga tak bersalah pasti juga harus dipegang. Kalau sampai suatu pengawasanpengawasan tertentu menyebabkan terbentuknya opini. Dan belum terbukti praduga tak bersalahnya tapi sudah membentuk opini. Apakah ini tidak menjadikan sebuah kontraproduktif terhadap usaha untuk menjaga martabat kira-kira bagaimana dengan kata pengawasan ini? Adakah batasnya? Adakah persoalanya dengan kata pengawasan ini? Saya kira bisa menangkap para Ahli apa yang saya maksudkan. Terima kasih Pak Ketua. 192. KETUA: Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Oke, ada lagi? Bagian kiri?
61
193. HAKIM: Prof. H.A.S. NATABAYA, S.H., LL.M. Ini kepada Saudara Denny yang di Mahkamah ini dihadirkan oleh terkait sebagai Saksi Ahli, sebagai Ahli walaupun saya sedikit bertanya sebetulnya ini di dalam akhir ini, apa maksud dari pada arti salam anti mafia peradilan ini? Sedangkan Saudara ini dihadirkan di sini sebagai ahli tapi bukan merupakan sesuatu pihak yang untuk melawan pihak yang lain, di dalam keterangan Saudara. Saudara mengatakan bahwa hakim itu profesi tadi, saya bertanya karena kita berbicara di dalam lapangan hukum tata negara apakah hakim itu profesi apakah merupakan jabatan karena si Pemohon itu mengajukan adalah karena dia merupakan pemangku jabatan dari pada hakim itu jadi bukan profesi, sebab hakim ini ada kaitannya dengan negara, kekuasaan negara, tidak ada kaitannya dengan profesi seperti ikatan sepak bola, bulu tangkis, dan segala macam, itu swasta. Kedua Saudara di dalam menggunakan sebagai sumber bahan sosialisasi MPR blue print Mahkamah Konstitusi, bagaimana kalau bahan yang ini tidak sama dengan keterangan yang resmi pada waktu pembahasan seperti pada panitia Ad hoc, ini sesuatu hal yang bahan sosialisasi itu bukan adalah merupakan menunjukkan intent dari pada pembentuk, intent pembentuk itu adalah merupakan laporan resmi dari panitia itu, begitu juga blue print Mahkamah Konstitusi itu hanya blue print, cetak biru tidak merupakan sesuatu hal yang mengikat Mahkamah Konstitusi. Ketiga, adalah di dalam mengenai Saudara mengajukan masalah komparatif konstitusi tadi mengulurkan beberapa undang-undang atau merupakan Komisi Yudisial dihadapan negara. Kita di sini adalah yang kita hadapi dalam kasus a quo ini adalah sesuatu yang given yang dikatakan oleh Ahli Pak Mahfud tadi, kita tidak ada urusan dengan apa yang di Amerika, tapi apa yang ada di sini yang harus kita lihat, itulah yang merupakan pilihan kita, politik hukum kita, kita memilih itu dan itulah yang tersurat, bahwa apa yang terjadi di Thailand yang terjadi di tempat lain itu urusan dia. Itulah pilihan kita. Yang kedua adalah kepada Ahli Pak Amran ini dari ilmu bahasa, tadi Pak Amran sudah mengatakan bahwa di dalam Pasal 24B ini adalah suatu kalimat setara. Jadi Komisi Yudisial bersifat mandiri, berwenang melakukan pengangkatan Hakim Agung I dan Komisi Yudisial mempunyai wewenang yang setara. Dari ilmu sebuah bahasa ada kata lain apakah di dalam ilmu bahasa juga di dalam menafsirkan kata Pasal yang di bawah tidak mempunyai kaitan juga dengan di atas di dalam penafsiran dari ilmu bahasa. Sebab kata lain kalau hanya dilihat daripada Pasal 24 itu mungkin kita melihat dia setara, tetapi kalau kita kaitkan Pasal 24 ada kaitannya dengan uraian di atas. Di dalam Pasal 24A ayat (3) yang mengatur mengenai calon Hakim Agung juga yang diusulkan juga sudah menentukan kewenangan daripada Komisi Yudisial yang
62
diulang dengan kalimat yang lain di dalam Pasal 24B bagaimana kedudukan kata lain ini. Apakah dia itu tetap setara. Nah ini dari segi ilmu bahasa tentu bagaimana ? 194. KETUA: Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.
Oke, cukup. Terakhir satu lagi. Empat biar tidak kelihatan semua.
Silakan.
195. HAKIM: I DEWA GEDE PALGUNA, S.H., M.H. Terima kasih. Ini tentang politik hukum Pak. Ahli Profesor Mahfud saya hanya bertanya singkat saja, dua isinya. Pertama, apakah politik hukum itu pertama apakah dia tidak harus ditafsirkan dalam konteks paradigma perubahan itu sendiri atau dia hanya menjadi sub bagian dari sebuah subjek pembahasan di dalam konstitusi atau dia menjadi bagian dari keseluruhan dari konstitusi itu, paradigma itu. Kemudian yang kedua, apakah selalu politik hukum itu takkala dia tidak ditemukan secara tekstual, secara jelas seperti tadi Saudara Ahli mengatakan bahwa apabila itu tidak terdapat pertama harus dilihat di dalam tertulis tetapi apa sepanjang itu tidak diperdebatkan maka kalau itu debatable maka harus dicari dalam sejarahnya dalam konteks historisnya. Kita banyak mengetahui bahwa konstitusi itu hidup justru ketika dia dalam tahap tertentu dia dilepaskan dari konteks historisnya sehingga dia menjadi the living constitution atau konstitusi yang hidup, dalam konteks demikian apakah tidak mungkin suatu konstitusi demi hidupnya konstitusi itu sendiri, politik hukum lalu berubah ditengah jalan tetapi dia tidak berubah dari paradigmanya. Terima kasih Bapak Ketua. 196. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ok, Saya persilakan dulu nanti giliran Pemohon dan Pihak Terkait untuk bertanya ya, sekarang ini dulu biar terlalu banyak catatannya sudah banyak sepertinya. Saya persilakan mana dulu dari atau dari Pak Hadjon dulu tapi pertanyaan kepada Pak Hadjon, barangkali ke situ dulu silakan urutan saja. 197. AHLI DARI PEMOHON : Prof. Dr. PHILIPUS. M. HADJON, S.H. Saya secara umum saja karena tidak secara khusus disampaikan pada saya yang pertama bahwa forum ini adalah forum pengujian konstitusionalitas, terus bukan forum membenarkan apa dulu dipikirkan
63
kalau hanya forum itu maka kita bubarkan Mahkamah Konstitusi, sebab Mahkamah ini akan menguji apa undang-undang sudah disahkan itu konstitusioal atau tidak, ini persoalannya. Jadi kalau kita mampir di sini dengan membawa cerita masa lampau ini saya minta para hakim barangkali perlu cermat untuk menilai konstitusionalitas, maka di sini tetap pada pikiran saya konsep hakim. Kalau dalam konteks Bahasa Indonesia hakim ini kita artikan bahasa kamus lain Bapak dengan bahasa hukum makanya saya katakan tadi kalau pendekatan kontekstual tinggalkanlah kamus, maaf Pak Profesor, karena ini hukum, dengan pendekatan kontekstual maka jangan lupa Pasal 24 ayat (1) huruf B bagian kedua, makna hakim itu berkaitan dengan prilaku bukan berkaitan dengan fungsi menghakimi bukan berkaitan dengan fungsi mengadili Pak, oleh karena itu makna hakim di sini, ini kita dengan satu pendekatan fungsionaris bukan pendekatan fungsional inilah yang saya katakan. Kalau dengan pendekatan fungsionaris maka kita bertanya hakim pada level mana dan kalau saya membandingkan, tanya ilustrasi kita, coba kita maknai. Kita tidak punya khazanah kosa kata khusus untuk Hakim Agung seperti di Amerika. Jadi bukan mengimpor, perbandingan hukum itu mempertajam konsep kita bukan mengimpor konsep luar, ini perlu barangkali saya hanya ingin menegaskan kembali pendapat yang sudah saya berikan tadi Pak, itu saja. Terima kasih. 198. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, terima kasih. Bapak Sinaga Hobbes. 199. AHLI DARI PEMOHON : HOBBES SINAGA, S.H., M.H. Terima kasih Majelis Hakim, Pertama, tadi saya mau menjawab pertanyaan dari Hakim Konstitusi Bapak Harjono. Itu waktu ditanyakan apakah jika di dalam inten itu maksudnya A tapi malah yang keluar B, barangkali itu yang perlu saya pertegas juga di sini. Di Pasal 24B kata-kata yang ada di sana adalah mempunyai wewenang yang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat serta perilaku hakim. Di Undang-undang Nomor 22 jadi maksudnya ini tapi yang keluar lain. Pasal 13 huruf B berbunyi menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim kalau dipakai ini dengan bahasa yang tegas seperti di daerah saya maka Komisi Yudisial menjadi penegak kehormatan dan menjadi penjaga perilaku hakim, rumusan ini hati-hati kita lihat justru kata pertama dalam rangka menjaga jadi tidak balik-balik ya, artinya yang dimaksud begini yang keluar ini itu yang pertama. Kedua, justru yang paling pokok di dalam Undang-Undang Dasar dikatakan mempunyai wewenang lain tapi di dalam undang-undang
64
diterjemahkan menjadi pengawas, mengawasi melakukan tugas pengawasan dengan didasari kata-kata seperti dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia. Saya kira siapa pun yang terlibat pada waktu ini maksudnya bukan seperti itu karena yang tertulis di sini tidak ada kata pengawasan, itu yang pertama. Yang kedua (…) 200. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Itu yang kedua sekarang yang ketiga. 201. AHLI DARI PEMOHON : HOBBES SINAGA, S.H., M.H. Pertanyaan dari Prof. Natabaya. Saya setuju bahwa mestinya Pasal 24B ini harus dihubungkan dengan pasal sebelumnya karena kalau mau kita katakan kesetaraan itu antara Komisi Yudisial bersifat mandiri dan berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, satu dan mempunyai wewenang itu setara maka yang pertama kembali kepada pertanyaan Pak Harjono bagaimana kalau tidak setara? Karena di dalam hukum tata negara kita tahu yang ditempatkan di atas itu adalah bagian yang terpenting dan dari sana mengalir dia ke bawah, teori Stuppen Bau [sic!] teori dari Hans Kelsen kita tahu seperti itu. semuanya berasal dari gurnout mengalir ke bawah, tidak mungkin bagian yang kecil diletakkan di atas bagian yang besar, pokok di bawah. Jadi artinya kita melihat, dilihat dari Pasal 24A ayat (2), (3) khususnya memang Komisi Yudisial itu adalah saya tidak mengatakan dia sebagai panitia dikatakan tadi seleksi, bukan ya, namanya Komisi Yudisial tugasnya adalah merekrut calon dan mengusulkan pengangkatan calon itu, itu juga tugas yang mulia. Tapi itulah tugas pokoknya, tidak mungkin tugas pokok lebih kecil dari tugas, ini soal tambahan jadi saya tidak mengatakan bahwa kata dan itu se mestinya harus setara. Di bidang hukum kita tahu kalimat pertama itu menjadi pokok dan selanjutnya tambahan misalnya anggota MPR terdiri dari DPR, ini bahasa yang dulu ditambah dengan utusan golongan dan utusan daerah dan utusan tambahan artinya yang pokok itu adalah DPR, selalu begitu kita merumuskan. Kalau kita melihat Bab I Undang-Undang Dasar pertama sekali dikatakan bahwa kita negara kesatuan, baru mengatakan bahwa kita negara yang berkedaulatan rakyat yang ketiga di urutannya itu adalah bahwa kita adalah negara hukum, itu urut pengurutan yang bukan berarti tidak bisa dikatakan misalnya Komisi Yudisial langsung bisa masuk di Pasal 1 tidak mungkin itu. jadi seperti itu pendapat saya, terima kasih. 202. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, Prof Amran.
65
203. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): Prof. Dr. AMRAN HALIM Kalau kalimat itu hendak kita jadikan tidak setara Pak, maka kata hubungnya bukan dan misalnya tetapi Pak, jadi Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan penempatan Hakim Agung tetapi dan seterusnya. Maka yang berikutnya ini adalah anak yang pertama Pak, jadi yang pertama itu yang besar tapi ujungnya ini tapi ini tidak bukan tetapi tapi dan. Dan itu artinya di kiri dan di kanan itu sama nilainya, fungsinya sama. Perbedaan laginya itu diperlukan untuk menegaskan dalam kaitan dengan Hakim Agung tugas pokoknya itu mengangkat, mengusulkan pengangkatan, sedangkan berkaitan dengan hakim tidak mengusulkan pengangkatan, tidak mengusulkan penilaian tetapi menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim tidak ada urusannya dengan secara teknis apa yang dilakukan oleh hakim. Jadi kalau kalimat itu tidak mau dijadikan setara maka kata hubungnya bukan dan tetapi karena boleh tetapi jadi dia menjadi terbalik Pak, ini A, ini B. isinya bertentangan yang pertama dapat dikatakan lebih besar dari yang kedua tapi ini tidak kata hubungnya itu dan Pak, dapatkah kita mengemukakan sesuatu dengan maknanya yang lain menurut ilmu bahasa tidak di dalam teks teknis Pak, kalau orang jatuh cinta dapat mengatakan A maksudnya B tapi di dalam teks teknis tidak karena teks teknis harus ditulis berdasarkan kaidah bahasa yang teratur yang menurut logika yang menurut aturan berpikir dan juga teratur. 204. HAKIM : Dr. HARJONO, S.H, M.C.L. Tolong Pak, Yang terakhir ini seringkali Bapak juga mengalami atau tidak saya tidak tahu, tapi saya seringkali membaca pada saat membaca kalimat pertama saya sudah punya persepsi, yang dimaksud A tapi setelah membaca berikutnya Oh, ternyata bukan A tadi ada yang lain yang dimaksud itu yang kemudian adalah bahwa ada bahasa yang ditulis di dalam rumusan, ternyata tidak secara lengkap mengekspresikan keinginan dari yang menyampaikan. Sebagai Ahli seringkah Bapak menjumpai itu juga, ini pertanyaannya. 205. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): Prof. Dr. AMRAN HALIM Ada Pak, tapi itu kalimatnya dua Pak, sekarang kalimatnya satu kalau kalimatnya dua dapat saja. Hari ini hari yang penuh dengan hujan lalu bawahnya sekarang musim hujan sudah lewat habis cerita tetapi
66
kalimatnya dua tapi ini kalimatnya satu, kalau kalimatnya dua ada Pak, jadi sekarang banyak sekali hujan titik, lalu cerita macam-macam di bawah musim panas sudah tiba, bisa berlawanan tetapi kalimatnya dua. Kalau mau digabung juga memakai tetapi boleh tetapi ini pakai dan sehingga bagian yang pertama itu dalam satu kalimat tidak boleh maknanya berbeda-beda seperti itu karena itu bukan kaidah teks teknis Bahasa Indonesia kalau itu kita langgar maka makna kalimat kita itu terbuai-buai antara apa yang kita inginkan dan apa yang kita maksudkan padahal inilah yang tertulis inilah yang kita maksudkan begitu dan tadi saya sudah katakan perbedaan yang pertama dan kedua itu merupakan isi wewenang yang berbeda karena yang satu mengurus pengusulan pengangkatan hakim dan yang kedua itu adalah menjaga dan menegakkan kehormatan. Apakah ini menjadi pengawal? Belum tentu, menjaga itu dapat dilakukan dengan bermacam-macam jadi bukan dicari mana hakim yang jelek mana yang tidak jelek tidak dilihat saja kalau ada yang jelek lalu nanti dipelajari kalau di media masa bertanya-tanya apa betul atau tidak tapi bukan berarti orangnya langsung dihukum jadi praduga tak bersalah tetap berlaku Pak, saya kira ini tidak berarti ini Komisi Yudisial dapat memanggil seorang hakim lalu memberikan hukuman tentu ada proses yang harus ditempuh untuk melaksanakan ini. Saya kira itulah jawaban saya, Pak Natabaya tadi dapatkah kita mengemukakan sesuatu dengan makna yang berbeda seperti ini? Dapat, dapat kita kemukakan tetapi isinya tidak sama dengan ini Pak, ini kalimat yang terikat dengan secara sintaksis dengan urutan kata-katanya seperti yang pertama itu Komisi Yudisial bersifat mandiri, bukan mandiri betul ini unsur Republik Indonesia sifatnya saja yang mandiri sehingga dari Republik Indonesia. Jadi bersifat mandiri, sifatnya yang mandiri oleh karena itu kalau kita kemukakan dengan cara lain dengan kalimat lain dapat saja isinya kita kemukakan tapi bentuk sintaksisnya tidak sama, maknanya tidak sama, fungsinya tidak sama dan efek akhirnya juga tidak sama. Terima kasih. 206. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Jadi kalau kalimat teknis, pengertiannya tidak boleh berubah, kalau kalimat cinta boleh berubah-rubah. 207. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): Prof. Dr. AMRAN HALIM Bukan, sinteksis itu ada lisan, ada teknis Pak,
67
208. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ya, jadi maksudnya ada perbedaan antara kalimat teknis dan kalimat cinta itu tadi. 209. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): Prof. Dr. AMRAN HALIM Oh ya Pak. 210. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Kalau begitu sudah benar itu. 211. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): Prof. Dr. AMRAN HALIM Kita dapat mengatakan tahi lalatmu bagus. Tapi itu ada maksudnya kucinta padamu. 212. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, Prof. Mahfud. 213. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): DENNY INDRAYANA, S.H., LL.M., Ph.D Sedang terjadi gentlement agreement, saya dulu pak, nanti terpengaruh pendapat Prof. saya. Terima kasih atas pertanyaan-pertanyaannya. Jadi saya merasa terhormat banyak ditanya para Hakim Konstitusi, saya mulai dengan Pak Natabaya dulu, nanti pertanyaan dari Pak Maruarar dengan pak Harjono kalau tidak salah saya jawab coba dikaitkan barangkali agak terkait menurut saya. Pertama tentang slide terakhir tadi, ya saya tidak menyebutkan sengaja. Saya tidak sebutkan untuk menghormati jalannya persidangan. Justru tadi saya secara memang niatkan untuk tidak sebut, tetapi karena sudah diangkat, saya ingin sampaikan di awal tadi menyampaikan pendapat memang saya sudah sampaikan bahwa saya adalah Dosen Hukum Tata Negara dan mempunyai juga pengalaman sebagai direktur Indonesian Court Monitoring yang core bussines-nya adalah memang memantau dunia peradilan. Jadi sepemahanan saya dari peraturan Mahkamah Konstitusi, ahli selain mempunyai kualifikasi akademis juga dapat menyampaikan pengalaman-pengalaman dia. Saya mencoba konsisten dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi itu sendiri tetapi tadi memang saya
68
niatkan untuk tidak menyebutkan slide terakhir itu, karena tidak ingin menimbulkan polemik yang tidak perlu. Walaupun menurut saya, sebenarnya salah satu roh dari pentingnya pengawasan adalah untuk mengurangi kemungkinan-kemungkinan terjadinya judicial curroption itu. Salah satu rohnya ada di situ. Tentang profesi dan jabatan, ini saya cuma membuat klasifikasi yang mungkin berbeda secara terminologi Pak. Jadi saya sedang tidak merujuk hakim sebagai jabatan, tetapi ingin membuat klasifikasi satu hakim ada hierarki, dan dua ada hakim sebagai profesi. Hanya dua perbedaan itu, untuk menegaskan bahwa kata hakim dalam Pasal 24B tidak dilihat sebagai hierarki. Karena kalau hierarki mungkin tidak terlalu analog, tidak terlalu sama tetapi Pasal 18 membuat hierarki kepala daerah misalnya ada Gubernur, Bupati, Walikota begitu. Jadi kalau memang mau dihierarkikan, itu saya pikir, ahli bahasa akan membuatnya dengan sangat jelas. Kalau memang ini diniatkan hanya hakim di bawah lingkungan peradilan pertama dan tingkat banding saya pikir kalau itu niat the second founding parents maka mereka akan eksplisitkan itu. Pengawasan, perilaku terhadap ini tetapi tidak itu, tetapi prinsipnya itu tidak ada dan saya hanya membedakan itu Pak, mengklasifikasi bahwa ini adalah hakim dalam artian profesi, bukan hakim dalam artian hierarki begitu. Itu kualifikasi yang coba saya bangun untuk memperkuat argumentasi bahwa Pasal 24B itu adalah seluruh hakim. Jadi mungkin agak berbeda dengan jabatan hakim yang tadi dimaksud oleh Pak Natabaya. Kita berbeda sedang bicara hal yang berbeda Pak. Kemudian masalah bahan sosialisasi dan blue print. Saya ingin coba angkat ini dengan original intent. Tadi dikatakan ini tidak bisa jadi panduan. Begini, original intent sependek pemahaman saya, adalah kesepakatan akhir sebelum suatu pasal dirumuskan. Jadi kalau dari awal tahun 1999 X bicara Y lalu B bicara Z dan seterusnya aneka ragam. Itu bukan original intent Pasal 24B. Original intent Pasal 24B, kalau dilihat dari perbedaan pendapat antara Hamdan Zoelva dengan Agun Gunandjar, itu tumpang tindih, itu histori. Tetapi original intent adalah sebelum Pasal 24B dibuat, apa maksud Pasal 24B itu yang disepakati? Saya dengan sangat tegas melihat itu dari pernyataan itu dari Pak Harun Kamil pada saat bersaksi sebagai anggota Forum Konstitusi. Beliau dengan tegas mengatakan yang dimaksud dengan Pasal 24B adalah intinya seluruh hakim. Itu menurut saya adalah original intent. Kaitannya dengan buku panduan, ya, inikan referensi, referensi yang coba dibangun dan menurut saya secara organisatoris bahwasanya buku panduan itu dikeluarkan oleh Setjen di MPR pun mestinya juga mempunyai bobot untuk dikatakan bisa dijadikan referensi, dan itu toh yang dipakai oleh anggota PAH pada saat mereka keliling-keliling daerah, buku panduan mereka itu ya itu.
69
Jadi saya tidak hanya menggunakan buku panduan itu sematamata karena itu cocok dengan pendapat saya tetapi juga itupun adalah buku yang digunakan, setahu saya oleh Pak Agun, para anggota PAH pada saat mensosialisasikan hasil perubahan itu mereka acuannya adalah buku itu. Dan masalah buku ini masalah blue print Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi kita ungkapkan di sini untuk menunjukkan bahwa selain masalah konsistensi, bahwa ada rujukanrujukan argumentasi-argumentasi akademis yang bisa kita gunakan, kalau kita menganggap buku-buku itu adalah buku akademis, kecuali kita menganggap buku itu tidak. Saya masih menghormati buku-buku blue print/cetak biru Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung yang sudah dibuat dengan anggaran proyek yang menurut saya tidak sedikit. Dan saya melihat bahwa itu buku yang bagus dan oleh karenanya patut untuk dijadikan referensi. Masalah HTN, perbandingan, tadi ada yang mengatakan pak Mahfud tepat mengatakan kita punya politik hukum sendiri dan saya menyampaikan itu sebenarnya menyambut bola yang pernah. Saya pernah membaca risalah rapat pada sidang-sidang awal saya mendengar Ketua mengatakan ini perkara penting mari kita gali semua pendapatpendapat termasuk saya garisbawahi di situ kata-kata “bagaimana sih Komisi Yudisial di banyak negara misalnya?”. Kita ingin dengar. Jadi sebenarnya saya sedang menyambut itu. Setelah baca risalah rapat per rapat saya mengatakan bahwa ini belum muncul, belum diulas secara komprehensif dan berdasarkan pengetahuan saya yang masih sedikit saya coba semampu saya mengungkapkan lima, enam negara diantara 44 yang punya Komisi Yudisial. Jadi sebenarnya saya sedang mencoba untuk memperkaya nuansa yang ada dalam persidangan kita. Masalah independensi dengan pengawasan. Ini memang masalah yang ada dimensi sengketa kewenangan tetapi ini juga yang menjadi dasar Pasal 24B. Kalau sedang dibaca keterangan ahli saya yang tertulis itu, saya sedang fokus hanya di bidang pengawasan itu harus mencakup seluruh hakim. Menurut saya, pendapat saya, masalah pengawasan selesai. Tidak bisa dipersoalkan, apakah pengawasan itu hanya kepada hakim-hakim tertentu? Yang menjadi masalah memang adalah standard operating procedure. Bagaimana turunannya dari itu? Dan itu berarti wilayah-wilayah yang bisa barangkali diberikan guidance oleh Mahkamah Konstitusi tetapi bahwasanya Pasal 24B, pasal yang mengenai pengawasan Undang-undang Komisi Yudisial, apakah bertentangan dengan Pasal 24B? Menurut saya tidak. Pada saat kalau itu dipertanyakan. Turunannya barangkali, turunannya bisa kita berikan guidance dari sini dari hasil sidang ini. Bagi saya, pada saat melihat independence of the judicially memang ada potensi harus diakui. Harus fair saya katakan, ada potensi adanya independensi yang mungkin tercederai. Tetapi, saya membedakan independensi itu ada dua, paling tidak. Independensi personal dan independensi institusional. Dari segi orangnya apa itu
70
indenpensi institusional? Independensi institusional, dia melekat pada lembaganya. Sekarang kita punya banyak independence bodies’ atau beberapa teman menyebut stack auxiliary agencies, stack auxiliary bodies, KPK, Komisi Yudisial, dan sejenisnya selalu dikatakan dalam undang-undangnya adalah lembaga-lembaga independen, yang secara institusional independen. Tetapi Pasal 24B itu bicara KY yang independen, di sisi lain bicara hakim yang independensi personalnya, perilakunya itu bisa diawasi. Komisi Yudisial memang punya independensi institusional atau lebih mudah saya masuk ke contoh biar kita lebih mudah mencerna. KPU, itu punya independensi institusional. Tegas dinyatakan dalam Undang-undang Pemilu. Tetapi independensi institusional itu tidak bisa menjadi tameng, tidak bisa menjadi pelindung pada saat personal-personalnya melakukan behavior yang menyimpang, good behaviornya dianggap koruptif misalnya, maka dia tidak bisa berlindung di balik independensi institusional. Independensi dalam Pasal 24 itu melekat pada independensi kekuasaan kehakiman, yang memang bisa menurun ke dalam anak cucunya pada hakim-hakim, pada saat dia melakukan tugas konstitusionalitasnya sebagai hakim. Tetapi kalau hakim sebagai personal, perilakunya itu ada yang menyimpang, maka ini dia tidak bisa berlindung di balik independensi institusional itu. Sekarang yang harus dipisahkan adalah antara dua itu dan itu memang tidak mudah. Kapan kita bicara independensi institusional kekuasaan kehakiman, kapan kita sedang mencoba melihat ini ada potensi penyimpangan, potensi judicial corruption ini yang harus dipertegas. Tetapi ini bukan berarti pasal-pasal undang-undang Komisi Yudisial yang mengatur pengawasan bertentangan dengan Pasal 24B. Ini adalah turunan standard operating procedure bagaimana kata perilaku itu dijabarkan, dan ini yang memang dihindari kalau dijelaskan kemarin oleh beberapa Tim Perumus Rancangan undang-undang ini mereka menghindari itu, barangkali karena merasa itu adalah bagian yang mungkin bisa. Kemarin saya mencatat itu adalah bagian yang coba diserahkan Komisi Yudisial, kalau Mahkamah Konstitusi ada peraturan Mahkamah Konstitusi, maka Komisi Yudisial mungkin akan membuat Peraturan Komisi Yudisial yang lebih menegaskan bagaimana SOP pengawasan hakim itu. Tetapi sekali lagi saya ingin menegaskan adanya SOP pengawasan itu satu hal. Tetapi bahwasannya seluruh hakim itu diawasi berkait dengan independensi personalnya yang memang bisa menyimpang perilakunya itulah amanat pasal 24B yang saya pikir diturunkan dengan tidak menyimpang dalam undang-undang Komisi Yudisial. 214. HAKIM : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Bisa saya potong Pak Denny?
71
215. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): DENNY INDRAYANA, S.H., LL.M., Ph.D. Silakan Pak. 216. HAKIM : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Potensi pelanggaran seperti itu yang bisa pengawasan bisa menabrak independensi yang dijamin konstitusi tidakkah memerlukan satu konsep dan konsep itulah barangkali ada di dalam struktur personalia, apakah bisa demikian? 217. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): DENNY INDRAYANA, S.H., LL.M., Ph.D. Struktur? 218. HAKIM : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Struktur personil daripada KY itu. 219. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): DENNY INDRAYANA, S.H., LL.M., Ph.D. Bapak sedang mencoba bicara di beberapa negara anggota Hakim Agung juga menjadi anggota Komisi Yudisial. Ya, itu salah satu jalan keluar way out yang bisa ditawarkan. Tetapi itu adalah future arah kita ke depan pada saat melihat, apakah bisa begitu, bagaimana bentuknya? Tetapi sekali lagi saya ingin katakan sekarang yang sedang kita punya adalah bangunan konstitusi yang sudah diubah dan tidak semacam itu. Maka untuk menjaga independensi itu menurut saya memang harus ada SOP yang jelas, detail, tetapi tidak kemudian juga menutup peluang progresivitas untuk meminimalisir kemungkinan praktik-praktik judicial corruption. Jadi status kita memang sedang berada membuat ramuan, masakan yang jangan keasinan, tetapi juga jangan kekurangan garam. Ini yang sulit memang di situ. Tetapi bagi saya, ketidakadaan komposisi hakim agung dalam Komisi Yudisial pun dalam satu wilayah yang permisi minta maaf bisa diselesaikan oleh putusan Mahkamah Konstitusi. Itu kalau pun ingin disampaikan sebagai way out adalah wilayah kewenangan dari Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk ke depan barangkali menelaah apakah bisa demikian, sebagai way outnya. Untuk sekarang, menurut saya, pengawasan yang dilakukan terhadap para hakim seluruh hakim adalah semangat yang coba diturunkan dari tingkat konstitusi sampai tingkat undang-undang Komisi Yudisial dan saya tidak melihat ada inkonstitusionalitas di situ, yang saya lihat kata-kata
72
menjaga, menegakkan martabat kehormatan perilaku hakim, itu katakata yang strong itu sangat strong. Saya membaca beberapa Konstitusi di dunia dan tidak ada good behaviour, perilaku yang baik. Tapi menjaga, menegakkan kehormatan, martabat, serta perilaku itu ada di Undang-Undang Dasar kita dan saya menangkap itu sebagai pesan konstitusionalitas. Saya tadi mengatakan ada konsep constitutional morality, moralitas konstitusional, part of the second founding parent untuk mencoba meminimalisir kemungkinan praktik-praktik peradilan yang menyimpang. Dan kalau pengawasan dari Komisi Yudisial dibatasi, menurut saya itu justru adalah argumentasi yang inkonstitusional dengan semangat kata-kata Pasal 24B itu sendiri. 220. HAKIM : Dr. HARJONO, S.H., M.C.L Saya masuk di sini, sebentar ya Pak! Karena dengan adanya kalimat menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim yang dikatakan strong itu, itu adalah tujuan di mana Komisi Yudisial itu salah satunya punya andil. Di dalam derivasinya undang-undang itu bentuknya pengawasan. Pengawasan itulah mekanisme untuk menjaga seperti itu. Tapi kalau Anda mengatakan itu bagaimana tidak terlalu asin, tapi juga perlu garam, lalu bicara tentang standar operasional, berarti ini perlu suatu standar operasional yang jangan-jangan kalau tidak ada itu tidak malah menegakkan martabat tapi counter produktive, malah tidak ada martabatnya, karena tidak adanya soft yang jelas ini. Apalagi kalau dihubungkan dengan praduga tak bersalah. Contohnya saja, setiap ada kasus kemudian, “oh iya ini begini”, ternyata tidak ada kelanjutannya. Padahal putusan pengadilan even hakimnya yang memutus atau terlibat dalam kasus korupsi putusannya tidak serta merta itu kemudian fatal, ini persoalan yang harus dijaga juga di dalam kebebasan dan martabat peradilan. Ini persoalan-persoalan yang kompleks di dalam persoalan stick mengatur pengawasan itu. 221. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Mungkin nanti dibagi, kita perlu sekali lagi sidang khusus nanti bicara mengenai penerapan norma. Barangkali sidang sekarang kita fokus kepada pengujian normanya. Mengapa norma ini jadi begini? Mengapa begitu? Apa kehendak yang ada dibaliknya? Nanti sidang yang terakhir kita khusus bicara mengenai pelaksanaannya. Sebab pelaksanaannya itu nampak seperti bukan urusan konstitusionalitas. Tapi kadang-kadang terkait, jadi misalnya salah satu perkara, misalnya pengujian Undang-undang Sumber Daya Air, itu terbukti konstitusional, tapi bersyarat. Bersyarat kami sebut di situ conditionally constitutional, dia konstitusional sepanjang dia itu dilaksanakan begini. Terbukti di dalam sidang pelaksanaannya harus begini. Kalau pelaksanaannya 73
begini, konstitusional dia. Tapi kalau suatu hari kedapatan ternyata pelaksanaannya tidak begini, pelaksanaannya seperti yang lain boleh jadi
itu berakibat kalau begitu rumusan ini mengundang salah tafsir dalam pelaksanaan dan itu bisa mengganggu kesatuan system konstitusi, itu yang disebut conditionally constitutional, tapi ini topik selanjutnya. Nanti kita bahas dalam sidang khusus saja itu. Jadi sekarang ini kita menilai normanya. Nampaknya kalau ini sudah terjawab semua, sudah selesai. 222. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): DENNY INDRAYANA, S.H., LL.M., Ph.D.
Ada sedikit Pak, barangkali belum selesai tadi sebenarnya. Masalah SOP (Standard Operating Procedure) dan masalah perlunya pengawasan yang lebih detail tadi sudah saya sampaikan. Tetapi kita sedang membahas permohonan yang mengatakan, pengawasan itu hanya kepada hakim tingkat bawah tidak kepada Hakim Agung. Menurut saya kalau argumentasinya adalah yang dipersoalkan adalah masalah pengawasan terhadap hakim, maka seperti tadi sudah saya sampaikan, tidak hanya Hakim Agung yang kemudian harus dihormati independensinya, tetapi seluruh hakim termasuk hakim-hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Jadi kembali ke permohonan, saya pikir saya tetap pada argumentasi bahwa Pasal 24B kata ”hakim” yang didalilkan oleh Pemohon adalah menurut pendapat saya menyangkut seluruh hakim, terima kasih. 223. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.
Okey, Pak Mahfud. 224. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): Prof. MAHFUD M.D. Saya singkat saja, karena sudah banyak yang dijawab. Pertama, kalau misalnya terjadi benturan antara satu undangundang dengan undang-undang lainnya dalam menerapkan atau melaksanakan politik hukum, misalnya Undang-undang Komisi Yudisial dengan Undang-undang Kehakiman dan sebagainya, itu bagaimana? Menurut saya itu lalu tidak ada kaitannya dengan perkara ini, karena ini soal Komisi Yudisial, Undang-undang Komisi Yudisial dengan UndangUndang Dasar, bukan Komisi Yudisial dengan Kehakiman, itu soal lain, bisa legislative review, bisa apa nanti. Dan mungkin tidak bertentangan kalau diproporsionalkan. Oleh sebab itu, menurut saya tidak ada kaitannya. Sekarang persoalan kita Komisi Yudisial ini bertentangan apa tidak, itu saja soalnya.
74
Kedua, pengawasan bisa counter productive jika membuat opini
yang merugikan. Itu juga soal lain bagi saya, itu tidak ada kaitannya dengan persoalan ini, ini persoalan pelaksanaan pengawasan. Tapi apakah isi Undang-undang Komisi Yudisial dan Undang-undang Nomor 4 itu bertentangan apa tidak? Ini soal kita sekarang. Kalau soal pengawasannya melampaui batas, dampaknya begini menimbulkan masalah karena opini itu, itu soal lain, ini bukan soal uji materi. Kemudian cetak biru, itu tidak mengikat kita, itu betul. Tadi saya katakan cetak biru itu bukan politik hukum, tetapi cetak biru ini memberi konfirmasi terhadap politik hukum. Bahwa politik hukum yang ada itu, itu memang benar seperti itu. Buktinya cetak biru Mahkamah Agung, naskah akademik, cetak biru Mahkamah Konstitusi itu begitu, dan tidak ada mempersoalkan sebelum timbul perkara ini, karena itu memang mengalir dari situ. Jadi politik hukumnya itu sudah ketemu sebetulnya, ini konfirmasi saja. Karena yang di atas, ini baru timbul sekarang saja, setelah ada konflik. Kemudian yang terakhir Pak Palguna saya sudah lama kenal, sering seminar dengan beliau, lebih akademis pertanyaannya. Apakah politik hukum itu bisa berubah di tengah jalan di dalam pelaksanaan? Itu bisa kalau kita menganut atau mengikuti sepenuhnya mazhab sejarah, bahwa apa yang hidup di tengah masyarakat itu yang berlaku, dan itu yang harus berlaku sebagai hukum. Tapi soalnya kita ini, ini ada masalah tertulis, politik hukum kita itu seperti apa dari hukum yang tertulisnya. Berbelok di tengah jalan boleh kalau tidak dipersoalkan. Ini karena dipersoalkan lalu kita harus cari akarnya. Kemana politik hukumnya? Jadi Bapak benar itu, bisa apa lagi kalau kita menganut konvensi seperti di Inggris, sudah berjalan saja, nanti belok sendiri kalau tidak ada persoalan, tapi kalau ada persoalan di Inggris pun jadi masalah Pak, ke pengadilan, bisa. Kalau belok-belok sendiri begitu, itu saja. 225. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Belok-belok sendiri itu bagaimana itu? Baik Saudara-saudara, sekarang sudah pukul 15.15 WIB, tapi tadi saya sudah menjanjikan mau memberikan kesempatan Pemohon mau mengajukan pertanyaan juga di-cross, tapi itu tidak mutlak, kalau misalnya merasa sudah cukup, ya tidak usah. Bagaimana mau mengajukan pertanyaan? 226. KUASA HUKUM PEMOHON : JUAN FELIX TAMPUBOLON, S.H., M.H. Yang Mulia sedikit saja.
75
227. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Silakan, tapi menanya ke Ahli yang diajukan oleh (Pihak) Terkait? Nanti juga (Pihak) Terkait, begitu ya! 228. KUASA HUKUM PEMOHON : JUAN FELIX TAMPUBOLON, S.H., M.H. Kami sebetulnya tadi ada dua pertanyaan untuk Ahli yang kami ajukan. Satu belum sempat diajukan karena ini, tapi sedikit saja Yang Mulia. Pertanyaan ini untuk Pak Hobbes. Dalam Undang-Undang Dasar dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman, itu sebelum ke Pasal 24 mengenai Mahkamah Agung, 24B mengenai Komisi Yudisial dan C mengenai Mahkamah Konstitusi, itu di dalam Pasal 24 sebelumnya berarti dalam Pasal 24 ayat (3) itu ada disebutkan, saya bacakan, ”badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Sedangkan dalam ayat (2)nya secara tegas dan jelas, itu disebutkan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Pertanyaan saya, bagaimana ini dengan yang dimaksud dengan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman di atas tadi, dalam konteksnya dengan keberadaan Komisi Yudisial sebagaimana Pasal 24B? Dalam kaitannya itu juga, pertanyaan saya lembaga mana yang sebenarnya yang menjalankan kekuasaan yudikatif? Apakah dalam tugas dan kewenangan dari Komisi Yudisial juga menjalankan kekuasaan yudikatif? Terima kasih. 229. AHLI DARI PEMOHON :HOBBES SINAGA, S.H., M.H Terima kasih atas pertanyaan Bapak Juan. Pasal 24 ayat (2) itu secara tegas ditentukan ada di bawah Mahkamah Agung itu ada badan peradilan lain yang berada di bawahnya itu, yaitu peradilan umum, peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara. Ini adalah juga kekuasaan peradilan yang menjalankan kekuasaan kehakiman. Sedangkan ayat (3) ini adalah bukan suatu badan yang menjalankan kekuasaan kehakiman, tapi fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Kalau misalnya, badan ini yang disebut di sini adalah juga menjalankan kekuasaan kehakiman, maka tentu akan disejajarkan itu dengan lingkungan peradilan yang disebut secara limitatif tadi.
76
Jadi bisa kita katakan bahwa ada memang badan-badan yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman itu. Tadi saya mengatakan ada dua lembaga negara di lingkungan kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Tapi saya mau tegaskan Komisi Yudisial tidak ada urusan dengan Mahkamah Konstitusi. Mau disambung dari mana-mana dan teori-teori apa, menurut pendapat saya itu tidak ada hubungan, lihat dari letak penyusunan pasal-pasalnya. Di sini di Pasal 24 ayat (3) ini bisa saja kita katakan, bahwa Komisi Yudisial bisa seperti badan yang mempunyai fungsi berkaitan dengan, tapi bukan melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman, saya kira itu pendapat saya, terima kasih. 230. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Cukup? 231. KUASA HUKUM PEMOHON Prof. Dr. INDRIANTO SENOADJI, S.H. Boleh saya tambah, terima kasih. Untuk Ahli saudara Denny, beberapa waktu lalu saya juga membaca tulisan-tulisan Saudara Denny mengenai independency of judiciary di KOMPAS itu ada, mungkin ini secara tidak langsung akan berkaitan dengan permasalahan fungsi pengawasan dari Komisi Yudisial. Panjang lebar Saudara Denny menyebutkan tadi serta menjelaskan bahwa pengawasan itu pada dasarnya tidak akan melanggar apa yang dinamakan independency of judiciary itu. Pada tulisan di KOMPAS mengenai hal yang sama, Saudara menjelaskan beberapa strategi dari pendekatan-pendekatan yang waktu itu dipermasalahkan mengenai apa yang dinamakan “reshuffle” dari Hakim Agung, ada beberapa pendekatan. Bagus saya tertarik sekali, bagus sekali di situ, bahwa pertama ada pendekatan secara progresif dan revolusioner, masih ingat Saudara, pendekatan yang pertama adalah progresif itu, Saudara mengatakan bisa dilakukan secara aktif, misalnya dengan menambah jumlah Hakim Agung, yang dari 48 menjadi 60. Bisa dilakukan secara persuasif dengan golden shake hands, waktu itu. Jadi diberikan kesempatan untuk mengundurkan diri dari para Hakim Agung itu ya. Lalu yang ketiga, represif dilakukan tindakan-tindakan penyelesaian secara hukum terhadap hakim-hakim melakukan apa yang dinamakan mafia peradilan. Yang kedua pendekatan-pendekatan yang revolusioner, disini masuk pendapat Saudara Denny yang saya katakan ada kaitannya dengan fungsi pengawasan, Saudara memberikan kontribusi berupa pengajuan apa yang dinamakan Perpu KY (Komisi Yudisial), di sini saya bicara masalah fungsi pengawasan. Dari kesimpulan yang Saudara jelaskan di situ, di KOMPAS, Saudara berpendapat bahwa baik pendekatan yang progresif maupun revolusioner itu sama-sama akan
77
menabrak prinsip-prinsip kemandirian dari Kekuasaan Kehakiman. Kalau KOMPAS kalau tidak salah ini, baik cara yang progresif maupun yang revolusioner berpotensi menabrak prinsip kemandirian Kekuasaan Kehakiman, namun di antara keduanya pilihan revolusioer adalah yang berpotensi menimbulkan tabrakan lebih mematikan bagi prinsip independency of judicial ke depan. Tidak mustahil di masa datang hadir rezim otoriter yang menjadikan rujukan atau precedent purposes, seleksi ulang Hakim Agung demikian untuk merombak susunan Hakim Agung yang tidak mengabdi pada Kekuasaan Kehakiman. Ini saya kaitkan dengan fungsi pengawasan. Sebenarnya pertanyaannya pendek sekali Pak, bagaimana Saudara sebagai Ahli memaknai pengertian fungsi pengawasan yang di dalam Undang-undang Komisi Yudisial itu sebagai implementasi di Pasal 24B konstitusi kita mengenai wewenang lain di implementasikan sebagai pegawasan. Apakah pemaknaan yang Saudara katakan disini bahwa ini akan menabrak prinsip-prinsip kemandirian dari Kekuasaan Kehakiman, itu pengawasan terhadap fungsi peradilan, pengawasan terhadap teknis peradilan. Itu saja yang saya mau tahu Pak, apakah pemaknaan yang di dalam fungsi dari Komisi Yudisial itu yang dimaksudkan dengan pengawasan? Mungkin bisa di jawab Pak, karena saya tegaskan lagi mungkin di sini, saya masukkan ini sebagai bukti juga kami, ini dalam rangka fungsi pengawasan dari Perpu Komisi Yudisial yang sampai sekarang masih tidur-tiduran ini Pak, mengenai pengertian. Karena di dalam konstitusi kita maupun Undang-undang Komisi Yudisial tidak pernah ada penjelasan apa yang dinamakan kehormatan, perilaku dan sebagainya. Akhirnya menurut implementasinya ini jadi agak sedikit berpolemik. Di sini disebutkan kehormatan adalah kemuliaan atau nama baik yang senantiasa harus di jaga dan dipertahankan dengan sebaik-baiknya oleh para hakim dalam menjalankan fungsi pengadilan. Kehormatan hakim itu terutama terlihat dalam putusan yang dibuatnya, putusan dan pertimbangan yang melandasi atau keseluruhan atau proses pengambilan keputusan dan seterusnya. Pertanyaan saya kepada Ahli, apakah fungsi pengawasan terhadap para Hakim, saya tidak mempermasalahkan, karena ini memang jadi polemik, hakim ini termasuk Hakim Agung atau hakim apa. Dari PAH sendiri juga ada perbedaan pendapat, kita serahkan nanti kepada Majelis. Tapi kembali kepada pengertian ini, apakah pengawasan ini dari Komisi Yudisial termasuk pengawasan yang dimaksud dalam Perpu ini, yaitu terhadap fungsi peradilan dari para hakim, teknis peradilan? Terima kasih, mungkin saya akan menanya juga kepada Ahli Bahasa juga nanti. 232. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Apa sekalian saja? Sekalian saja, tapi kalau bisa dipersingkat ya, sudah setengah empat ini.
78
233. KUASA HUKUM PEMOHON: Prof. Dr. INDRIANTO SENOADJI, S.H. Setengah empat, ini karena saya kurang mengerti tadi Pak ada penjelasan dari Ahli Bahasa, bahwa Pasal 24B ini dianggap setara, mohon maaf Pak kalau saya ada kekeliruan tolong dibenarkan karena saya bukan Ahli Bahasa Pak. Ada dua di sini diartikan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan dan seterusnya, dan mempunyai wewenang semua dalam satu kalimat itu Pak. Tadi diartikan oleh Ahli bahwa karena dia ini satu kalimat, ini memiliki pemaknaan yang setara Pak. Pertanyaan saya apabila konteks yang berbunyi ini di buat atau di penggal dalam dua bagian, apakah ini dapat dianggap tidak setara? Sebaliknya, jadi saya artikan secara kontrario, begitu Pak, itu saja Pak. Karena apa saya menanyakan itu? Karena di dalam Undang-undang Komisi Yudisial, perihal yang sama itu mengenai kewenangan itu di penggal, tidak jadi satu, apakah saya bisa mengartikan secara kontrario bahwa ini yang diatur dalam Undangundang Komisi Yudisial adalah persoalan kewenangan-kewenangan yang tidak setara, itu Pak. Terima kasih. 234. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Silakan Pak Denny. 235. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): DENNY INDRAYANA, S.H., LL.M., Ph.D. Terima kasih Pak. Saya, supaya kita sama-sama bisa melihat itu saya coba tampilkan, tapi tidak tahu lampunya tidak terlalu jelas, tapi ini adalah tulisan di KOMPAS Sabtu 7 Januari 2006, dengan judul, “Urgensi Reshuffle Hakim Agung”. Sebelum menjawab pertanyaan dari Pemohon, izinkan saya mengatakan bahwa ini katakan di situ saya sebagai Dosen Hukum Tata Negara dan juga Direktur Indonesian Court Monitoring. Jadi bagi saya mengangkat ini juga berarti mengakui bahwa poin Direktur Indonesian Court Monitoring penting untuk menjadi masukan dalam waktu saya membahas perkara ini. Yang kedua, kalau di baca sepotong-sepotong barangkali akan salah menafsirkan tulisan saya, tapi dari judul saja, judul tulisan itu adalah “Hand shake Reshuffle Hakim Agung”. Kata reshuffle itu saya ambil dari ide Perpu kocok ulang, jadi tulisan ini mengatakan adalah urgen untuk melakukan kocok ulang Hakim Agung. Bagian yang disampaikan tadi itu memang adalah pertanggung jawaban akademik saya sebagai Dosen Hukum Tata Negara untuk mengatakan, betul bahwa ada potensi, saya garis bawahi kata-kata potensi. Ada potensi
79
menabrak prinsip kemandirian Kekuasaan Kehakiman kalau Perpu ini dilaksanakan, tetapi saya mengatakan juga pada bagian akhir apakah yang akan dilaksanakan adalah pilihan progresif atau revolusioner kocok ulang Hakim Agung wajib dilakukan, permisi, ini kata-katanya agak anu, untuk membongkar habis praktek nista mafia peradilan. Jadi memang saya kembali ke konsep constitutional morality (Moralitas Konstitusional), bagi saya pengertian progresif, pengertian yang sekarang harus dikedepankan pada saat bicara pengawasan itu harus bertalian dengan upaya kita untuk menciptakan kemandirian Kekuasaan Kehakiman, itu bukan dalam artian madiri merdeka, tapi bersih dan bermartabat. Selama ini kita selalu dihadapkan pada argumen ini Kekuasaan Kehakiman harus mandiri, mandiri, mandiri. Tetapi kita jarang dihadapkan pada argumentasi ada masalah integritas di situ. Saya hanya ingin bersifat balances saja, bahwa betul ada potensi menabrak kemandirian Kekuasaan Kehakiman, tapi salah satu masalah besar bangsa ini adalah masalah judicial corruption. Saya ingin tampilkan satu Power Point di tahun 2004, yang dikeluarkan transparansi internasional, yang mengatakan bahwa masalah peradilan kita itu betul-betul sedang dalam posisi emergency. 236. KETUA: Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.
anu?
Ini tidak ada hubungan dengan listrik ini, fokusnya itu tidak bisa di
237. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): DENNY INDRAYANA, S.H., LL.M., Ph.D. Saya tidak tahu ini, barangkali ada teknis yang bisa bantu? Lampunya tidak terlalu jelas, tapi yang jelas ini 32,8 Pak. Ini adalah nilai judicial corruption lembaga peradilan. 32,8 ini adalah paling tinggi. Artinya kalau kita menurut transparansi internasional, korupsi kita itu nomor 6 kadang-kadang nomor 7, tapi untuk masalah judicial corruption. Mengapa saya harus memaparkan? 238. KUASA HUKUM PEMOHON : Prof. Dr. INDRIANTO SENOADJI, S.H. Saya interupsi Majelis Hakim yang terhormat, sebenarnya inti pertanyaan saya pendek sekali, saya hanya mau, jawabannya pendek sekali. Fungsi pengawasan tadi, fungsi pengawasan Komisi Yudisial yang diatur itu apakah termasuk dalam konteks pengawasan terhadap fungsi peradilan, itu saja, jawabnya iya atau tidak.
80
239. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Coba difokuskan itu. 240. KUASA HUKUM PEMOHON : Prof. Dr. INDRIANTO SENOADJI, S.H. Itu saja. 241. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Tapi yang ini nanti ada disini ya, sudah masuk? 242. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): DENNY INDRAYANA, S.H., LL.M., Ph.D. Belum ada ini Pak Ketua. 243. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Nanti ditambahkanlah. 244. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): DENNY INDRAYANA, S.H., LL.M., Ph.D. Boleh, boleh. 245. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Bagus juga itu. 246. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): DENNY INDRAYANA, S.H., LL.M., Ph.D. Jadi ini tahun 2004 Prof, yang tahun 2005 permisi kepada Pak Mahfud dan kawan-kawan, yang paling corrupt Partai Politik dan DPR, yang ketiganya itu saya lupa, nomor empat baru lembaga peradilan. Tapi begini, saya mengapa harus paparkan ini, saya ingin mengatakan tadi bahwa harus ada melihat independensinya ibarat satu keping logam, dua sisi satu keping logam. Sisi yang pertama betul kita bicara independensi, tapi sisi yang lain kita bicara integritas. Konstitusi Amerika Serikat bicara Hakim Agung itu seumur hidup as long as they have good behavior. Jadi ada independensi Kekuasaan Kehakiman, ada integritas di situ. Pengawasan Komisi Yudisial tentunya adalah mengawasi perilaku, mengawasi independensi-independensi personal yang tidak boleh berlindung di balik independensi kekuasaan kehakiman. Saya hanya ingin
81
menegaskan bahwa kalau ini di potong, bahwasanya pengawasan itu hanya kepada hakim-hakim tertentu, maka kita barangkali akan justru secara nyata justru tidak berupaya keras untuk memperbaiki masalah real bangsa ini yang salah satunya ada di dunia hukum kita. Saya pikir itu pertimbangan yang harus secara jernih, secara bijak coba kita letakkan pada saat membaca kasus a quo. Terima kasih, assalamu'alaikum, wr.wb. Prof, pesawat saya pukul 18.00 wib, jadi kalau pun akan diteruskan saya pikirkan mungkin maksimal saya bisa hadir sampai pukul 16.00 wib. 247. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ya sebelum pukul 16.00 wib kita tutup. 248. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): DENNY INDRAYANA, S.H., LL.M., Ph.D. Terima kasih. 249. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Sekarang pertanyaan, kalau pertanyaan Pak Bambang ini hanya satu, sebelum pukul 16.00 wib jauh kita bisa selesai ini. 250. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT(KOMISI YUDISIAL): BAMBANG WIDJAJANTO, S.H., LL.M. 1a, 1b, 1c, saya akan singkat Prof, Ketua. Urut kacangnya dari Pak Hobbes runtut Prof. Hadjon. Ada argumen yang menarik yang dikemukakan oleh Ahli, yang mengatakan bahwa Pasal 24B itu hendak dimaknai bagian pertamanya Saudara Ahli Komisi Yudisial bersifat mandiri. 251. KUASA HUKUM PEMOHON: JUAN FELIX TAMPUBOLON, S.H., M.H. Mohon maaf interupsi, tadi Yang Mulia belum di jawab oleh Ahli Bahasa, ada satu pertanyaan dari kami. 252. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Maaf, maaf ini keliru, ya hakim juga manusia, bisa keliru. Jadi maaf dulu Pak ya, kita jawab dulu Pak Amran silakan.
82
253. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): Prof. Dr. AMRAN HALIM. Kalau Pasal 24B ayat (1) ini tidak dijadikan kalimat setara, maka hubungan logikanya mungkin berubah, sebab kalimat berikutnya itu mungkin juga kalimat induktif, mungkin juga kalimat deduktif, kita tidak tahu, tapi karena ada kata ‘dan’, maka pilihan tidak banyak, tinggal satu itu, setara, karena terdapat dalam satu kalimat dengan hubung ‘dan’. 254. KUASA HUKUM PEMOHON : Prof. Dr. INDRIANTO SENOADJI, S.H. Apabila kalimat itu dipenggal jadi dua bagian apakah bisa dikatakan bahwa ini tidak setara masalah kewenangan ini? 255. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): Prof. Dr. AMRAN HALIM Saya tidak dapat mengatakan tidak dapat, tapi tidak selalu dikatakan setara Pak, kalimatnya ”dan”-nya itu dibuang, maka kesetaraannya menjadi kabur Pak, mungkin iya mungkin tidak, itu yang dapat diperdebatkan. Ini tidak dapat diperdebatkan ada kata ”dan”. 256. KUASA HUKUM PEMOHON Prof. Dr. INDRIANTO SENOADJI, S.H. Ini Pasal 24B ayat (1) ini kan dibaca sebaris terus Pak ya, ‘dan’ wewenang lain, tapi sebaris. Pemahaman saya dengan penjelasan Ahli bahwa dengan pemaknaan yang sebaris seperti itu disambung dengan kata ”dan” wewenang lain itu memiliki, kewenangan ini memiliki kesetaraan, ya Pak antara satu dua, apa kalau saya tanya. 257. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): Prof. Dr. AMRAN HALIM) Dengan catatan, bukan dengan membacanya Pak, jadi maknanya, fungsinya. 258. KUASA HUKUM PEMOHON : Prof. Dr. INDRIANTO SENOADJI, S.H. Ya maknanya, fungsinya, jadi kewenangan yang ada di situ memiliki kesetaraan Pak, maknanya. Saya awam Pak, karena awam saya melihat begini, kalau misalnya kalimat itu yang selesai itu, yang ada dua pemaknaan, ada dua kesetaraan yang sama dengan satu kalimat yang panjang itu kita penggal. Apakah itu bisa diartikan bahwa dua kewenangan itu memiliki dua hal yang tidak setara?
83
259. AHLI DARI PIHAK TERKAIT: Prof. Dr. AMRAN HALIM (KOMISI YUDISIAL) Tidak dapat dikatakan iya Pak, kalau dipenggal itu kemungkinan tafsirnya bermacam-macam. 260. KUASA HUKUM PEMOHON Prof. Dr. INDRIANTO SENOADJI, S.H. Jadi bisa dikatakan ini tidak setara? 261. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): Prof. Dr. AMRAN HALIM Kalau dipenggal? 262. KUASA HUKUM PEMOHON : Prof. Dr. INDRIANTO SENOADJI, S.H. Ya. 263. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): Prof. Dr. AMRAN HALIM Bukan tidak setara, belum tentu tidak setara. Sebab kalau dipenggal, kemungkinan pertama dia tetap setara, kemungkinan yang pertama dia tetap setara, kemungkinan yang kedua ini ada pikiran induktif, pemikiran yang kedua deduktif. 264. KUASA HUKUM PEMOHON : Prof. Dr. INDRIANTO SENOADJI, S.H. Bisa setara dan atau bisa juga tidak setara? 265. AHLI DARI PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): Prof. Dr. AMRAN HALIM Tidak setara, kalau dipenggal. 266. KUASA HUKUM PEMOHON Prof. Dr. INDRIANTO SENOADJI, S.H. Baik Pak, terima kasih Pak. 267. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ya, bisa iya bisa tidak, tergantung konteksnya.
84
Baik, sekarang saya persilakan. 268. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: BAMBANG WIDJAJANTO, S.H., LL.M.(KOMISI YUDISIAL) Terima kasih Bapak Ketua. Dari berbagai pernyataan yang dikemukakan oleh Ahli, pertanyaan saya kepada Ahli Pak Hobbes Sinaga, itu tadi ada yang menarik pernyataannya Pak dari keterangan Ahli tadi. Bahwa kata pertama atau kalimat pertama dalam Pasal 24B ayat (1) itu adalah kalimat pokok, begitu ya Pak? Saya ingin menggunakan logika itu, kalau logika itu dipakai dan saya menggunakan Pasal 24, itu artinya yang pokok adalah Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi tidak pokok, apakah bisa seperti itu? Itu pertanyaan pertama. Pertanyaan kedua, sepengetahuan kami Bapak itu adalah anggota DPR, Komisi II, anggota badan legislatif dan ikut sebagai Pansus untuk membahas rancangan undang-undang, tadi disebut tidak, saya tidak tahu, tapi badan legislatif mungkin Pak ya? Kalau tidak di Pansus mungkin saya di badan legislatifnya, badan legislasinya. Jadi pertanyaannya adalah, apakah pikiran-pikiran yang Bapak ajukan tadi itu memang sudah di bahas di sana? Atau jangan-jangan pikiran itu baru muncul kemudian? Saya tidak tahu makanya saya ingin bertanya, atau pikiran-pikiran ini sebenarnya sudah didiskusikan di sana, hanya biasanya kalau ada vote ini termasuk pikiran yang kalah, sehingga kemudian yang muncul adalah yang seperti sekarang ini, yang di Undang-undang Komisi Yudisial? Saya tidak tahu mohon informasinya karena tadi sebagai Ahli juga sebagai Saksi. Ketiga, pertanyaannya adalah, apakah mungkin Bapak mengajukan karena Bapak ini Ahli, teori apa yang dipakai oleh Bapak untuk bisa menjelaskan argumen-argumen yang tadi dikemukakan? Saya tidak sebut, kalau yang lain-lain ada sebut, kaidah bahasa, Prof. Hadjon ada menyebut, mungkin kami bisa belajar dari Bapak, teori yang bisa juga dipakai untuk mengajukan itu. Itu yang dari Pak Hobbes. Kemudian kepada Prof. Hadjon, Ahli yang lain. Profesor saya ingin belajar, Ahli di sini, dikemukakan bahwa pendekatan yang diajukan adalah pendekatan kontekstualisme dan kemudian dengan pendekatan ini digunakanlah beberapa asas. Ketika kemudian membahas asas pertama, locicitur associate [sic!], itu kemudian Prof. Hadjon masuk kepada, menggunakan argumen bahwa hakim berbeda dengan Hakim Agung. Di kalimat, dengan demikian istilah hakim digunakan untuk Komisi Yudisial yaitu selain mengusulkan Hakim Agung. Pertanyaannya saya balik, kalau menggunakan asas ini, jadi yang dimaksud hakim itu siapa? Kalau dijawab hakim yang lain-lainnya adalah hakim pengadilan negeri, pengadilan tinggi, Mahkamah Konstitusi, tidak juga. Jadi hakim di sini siapa? Apa maksudnya? Bagaimana menjelaskan kata hakim
85
menggunakan asas ini? Jadi bukan sekedar Hakim Agung, bukan bagian dari hakim, mungkin itu bisa dielaborasi sedikit. Lalu saya juga ingin tanya mengenai asas yang kedua. Asas yang kedua ini dimaknai sebagai of the same class. Untuk menunjuk pada of the same class yang digunakan sebagai ukuran adalah subyeknya, kata Hakim Agung, kata hakim. Apakah bisa juga digunakan bukan subyeknya tapi predikatnya, kata kerjanya. Yang satu the same class itu dalam bentuk kesetaraan, yang satu rekrutmen, yang satu mengawasi untuk menjaga kehormatan. Apakah juga bisa dipakai itu, prinsip itu atau asas itu untuk menjelaskan apa yang tadi saya kemukakan? Terima kasih. 269. AHLI DARI PEMOHON : Prof. Dr. PHILIPUS.M. HADJON, S.H. Kalau bisa saya dulu, Pak. 270. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISAL): TRIMOEJA. D. SOERJADI, S.H. Kami belum selesai bertanya. 271. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Sedikit lagi Pak, yang penting sebelum pukul 16.00 WIB, jadi ini kesempatan kalau bisa lima menit, nanti jawabnya bisa 10 menit. 272. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT : TRIMOEJA. D. SOERJADI, S.H.
Begini, pertanyaan saya, perkataan “dan” dalam Pasal 24B ayat (1) yaitu mengenai kewenangan lain, dikatakan bahwa itu tidak termasuk Hakim Agung tetapi perkataan hakim, tetapi terkait di dalam tugas atau fungsi Komisi Yudisial dalam melakukan rekrutmen Hakim Agung. Pertanyaan saya, apabila memang perkataan setelah “dan” itu terkait dalam rekrutmen Hakim Agung, apakah kalimat setelah “dan” ini bukan berlebihan, redundant tidak perlu sebetulnya, karena di dalam melakukan rekrutmen Hakim Agung, otomatis dilihat, dikaji track record calonnya yang ingin dijadikan Hakim Agung. Oleh karena itu, ada pemasangan iklan di koran, itu pun terjadi sebelum adanya Komisi Yudisial, minta masukan dari masyarakat. Apa tujuan minta masukan dari masyarakat? Untuk melihat track record itu bagaimana kehormatan dia waktu menjadi hakim, bagaimana perilaku hakim. Jadi pertanyaan saya, apakah kalimat setelah “dan” ini perlu? Kalau memang itu hanya sebatas dalam kaitan dengan merekrut hakim, karena itu otomatis akan dilakukan dengan sendirinya tanpa kalimat ini pun itu akan dilakukan, ini pertanyaan saya. 86
Kemudian, kepada kedua Ahli dari Pemohon, masih dalam kaitan dengan perkataan “dan”. Kalau itu perilaku hakim terbatas pada proses rekrutmen Hakim Agung, kata-kata ini tidak tepat, karena apa? Karena yang direkrut itu bukan dari hakim karir, tapi yang non hakim pun direkrut, ada notaris, ada pengacara. Jadi kalau itu terkait dengan kewenangan Komisi Yudisial untuk merekrut Hakim Agung, perkataan hakim di sini tidak pada tempatnya, karena Komisi Yudisial berwenang merekrut dari yang non karier. Jadi pertanyaan saya dalam kaitan tadi dikatakan tentang Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 itu lebih dulu daripada amendemen ketiga yang November tahun 2001, ini tidak masuk di situ kalau penafsiran semacam itu, karena yang di rekrut bukan hanya dari hakim karir. Kemudian kepada Prof. Hadjon, saya ingin bertanya, di situ dikatakan bahwa interpretasi adalah dalam kaitan kontekstualisme or purposivism or enlightened literalism. Saya ingin bertanya apakah ketiganya itu kontekstualisme, purposivism, atau enlightened literalism itu istilah yang pengertiannya sama. Kalau pengertiannya yang sama, saya ingin tanya di sini ada purposivism, apakah itu dari kata dasar purpose (tujuan)? Kalau itu kata dasarnya tujuan, jadi menafsirkan suatu undang-undang atau Undang-Undang Dasar, itu dari tujuan diadakannya Undang-Undang Dasar, mengapa itu dulu diadakan Amandemen Undang-Undang Dasar, mengapa diadakan Undang-undang Komisi Yudisial kalau itu memang purposivism itu tujuan. Sehingga kalau itu dilakukan, tentunya interpretasinya kalau purposive, kita harus bicara tentang original intent, kita harus bicara tentang politik hukum, seperti yang dijelaskan oleh Prof. Mahfud. Jadi pertanyaan saya, kalau bicara tentang purpose (tujuan), tentu harus dikaji, dulu mengapa dirumuskan semacam itu. Kalau itu dilakukan semacam itu, apakah tepat interpretasi dari Prof. Hadjon, bahwa pengertian hakim tidak termasuk Hakim Agung? Terima kasih. 273. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Dijawab dulu sesama pemain Persebaya ini. 274. AHLI DARI PEMOHON : Prof. Dr. PHILIPUS.M. HADJON, S.H. Saya dulu, karena pesawat saya pukul 18.00 WIB juga Pak, jadi tidak fair kalau tidak menjawab pertanyaan, dianggap WO (Walk Out) nanti. Baiklah, jadi kira-kira kita mulai dulu yang pertama mengenai kontekstualisme atau juga dikatakan enlightened literalism. Itu yang barangkali juga disinggung oleh Pak Denny tadi, jangan kita pada literal legalisme dan sebagainya, itu berbeda sekali. Jadi begini ya, yang dimaksudkan meskipun ada kata purposivism itu jangan diartikan, 87
jangan selalu dengan istilah purpose itu maksud, tidak. Jadi begini makna dari norma, itu harus kita lihat konteksnya, jadi jangan melepaskan kata itu berdiri sendiri. Jadi kalau sekarang saya ditanya, hakim itu termasuk Hakim Agung apa tidak? Saya bisa mengatakan termasuk, tapi dalam konteks Pasal 24 saya mengatakan tidak. Inilah perbedaan dari pendekatan ini. Saya katakan, kembali ke pertanyaan Pak Widjajanto tadi, locicitur associate [sic!], ini bahasa Latin Pak! Jangan socius Pak, jangan sociate. Socius itu kata dasarnya temannya begitu, rangkaiannya di sini. Jadi kalau pada Pasal 24B ayat (1) kata “hakim” di situ dalam rangkaian perilaku Pak. Karena rangkaian pada perilaku, maka fungsi KY yang kedua ini, ini berkaitan dengan perilaku. Dalam kaitan dengan perilaku, makna hakim di sini bukan pada fungsi menghakimi, tetapi makna hakim di situ fungsionaris. Kalau hakim itu fungsionaris, maka kata hakim itu tidak menyentuh Hakim Agung maupun Hakim MK. Kalau andaikata itu dimaksudkan, semestinya di dalam undang-undang itu tegas, sehingga tadi juga saya singgung, mengapa di Undang-undang Nomor 4 itu ditegaskan pengawasan perilaku hakim, Hakim Agung, dan hakim. Ini berarti disadari ada kekurangan di sini Pak, Pasal 24B ini, sadar kekurangan ini terlambat, Pak. Repotnya apa? Di sini wewenang pembentuk Undang-Undang Dasar, di sana wewenang pembentuk undang-undang, di sini persoalannya, Pak. Jadi kita harus bedakan antara makna hakim dalam konteks fungsionaris dan makna hakim dalam konteks fungsi. Jadi kalau saya bandingkan, di hukum tata negara, belum terlalu tajam pendekatan fungsionaris yang juga berkaitan dengan behavioralism itu, belum terlalu, tapi kalau Anda masuk di sini soal perilaku hakim, ini persoalan fungsionaris, ini persoalan behavior, sehingga nanti kalau kita berkembang lagi. Parameter mengawasi itu apa, perilaku ini? Kalau saya bandingkan di bidang hukum administrasi, pengawasan, pendekatan hukum administrasi, pendekatan fungsionaris bukan pada persoalan rechtmatigheid atau legalitas tindakan, tapi pada behoorlijkheid, kepatutan perilaku dari aparat. Kepatutan perilaku itu di dalam hukum administrasi yang sekarang dikembangkan oleh Komisi Ombudsman itu juga di beberapa negara itu parameter adalah prakteknya mal administrasi, perilaku pelayanan yang buruk. Di sini sekarang kita pertanyakan, untuk pengawasan perilaku hakim ini, bukan forum di sini, tetapi saya pertanyakan tadi, parameternya itu apa? Persoalan parameter tinggalkan, jadi saya memaknai kata hakim di sini dalam konteks perilaku, maka hakim dalam makna fungsionaris. Hakim dalam makna fungsionaris maka dia adalah hakim yang tidak termasuk Hakim Agung dan MK. Saya ilustrasikan, seorang anggota Majelis Hakim yang terhormat, wakil ketua MK, Hakim Agung Prof. Dr. Laica Marzuki. Dia akan tersinggung kalau saya katakan Pak Laica itu hakim, Pak Laica itu adalah Hakim Mahkamah Konstitusi. Ini fungsionaris, bukan dalam melakukan fungsi mengadili. Ini bisa saja Anda pemahaman itu, tapi
88
saya katakan tadi kalau Anda tanya sosius-nya dimana? Ini maaf saya terburu-buru mengetik itu, associate itu mana? Associate itu kata penunjuknya adalah pada perilaku hakim. Jadi makna hakim tidak dalam arti fungsi. Kalau makna hakim itu adalah arti fungsi, berarti tidak termasuk Hakim Agung dan Mahkamah Konstitusi. Tadi makanya saya membandingkan di luar bukan untuk impor. Amerika Serikat menggunakan istilah justice untuk Hakim Agung bukan judges, ini sekedar perbandingan saja. Kemudian yang kedua eus generis, genus-nya itu yang mana sekarang itu? Kalau dengan pendekatan yang saya katakan tadi, bahwa pengertian hakim di sini dalam konteks fungsionaris, maka Hakim Agung tidak bisa dikatakan sebagai spesies dari hakim dalam pengertian (Pasal) 24B ayat (1) tadi. Inilah yang mendasarkan pada penjelasan saya tadi. Jadi saya mengatakan, inilah dasar saya untuk menjelaskan itu tadi. Bahwa persoalan hakim perlu diawasi, itu persoalan lain. Kita semua setuju bahwa hakim perlu diawasi. Tapi persoalan sekarang, makna hakim dalam konteks ini, fungsi atau fungsionaris? Saya mengatakan fungsionaris, kalau itu fungsionaris tidak termasuk Hakim Agung dan tidak termasuk Hakim Mahkamah Konstitusi, ini Pak Widjajanto. Demikian juga untuk sejawat saya, juga dari Surabaya. Terima kasih. 275. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): BAMBANG WIDJAJANTO, S.H., LL.M Pak Prof, yang asas on the same class? 276. AHLI DARI PEMOHON : Prof. Dr. PHIIPUS. M. M. HADJON. Sudah tadi, eus em generis itu, isinya on the same class tadi, Pak. 277. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): BAMBANG WIDJAJANTO, S.H., LL.M Kalau begitu, saya ingin bertanya satu lagi, berkaitan dengan jawaban itu, tapi ini belum jam empat Prof. 278. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Anda punya waktu 1 (satu) menit. 279. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): BAMBANG WIDJAJANTO, S.H., LL.M Di dalam satu kalimat, ada pendekatan asas yang menggunakan fungsi untuk menunjuk kalimat pertama Hakim Agung dan pendekat
89
atau asas fungsionaris untuk kalimat kedua. Sekarang pertanyaannya adalah, menurut Profesor Hadjon, apakah teman-teman pembuat undang-undang kita? Tadi soalnya ada kalimat penutup di pertanyaan awal, yang saya ingat persis, pernyataan Profesor Halim itu yang jadi soal itu adalah apakah asas ini dimengerti oleh pembentuk undangundang? Sekarang saya balik pertanyaannya, menurut Profesor Hadjon, kira-kira, yang membentuk Undang-Undang Dasar paham tidak yang begini, begini? Jangan-jangan hanya Profesor Hadjon saja yang paham dan baru dikemukakan pada saat ini, begitu. Saya ingin tanya seperti itu saja. Terima kasih. 280. AHLI DARI PEMOHON : Prof. Dr. PHIIPUS. M. M. HADJON. Baik Pak, kalau itu yang dipermasalahkan kembali lagi saya katakan, apa gunanya lembaga Mahkamah Konstitusi itu? Jadi tugas Mahkamah Konstitusi itu adalah meluruskan, menegakkan UndangUndang Dasar. Dus, biarkanlah Bapak-bapak itu yang meluruskan, bukan saya Pak. Terima kasih. 281. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Pintar dia, pikirannya sudah di airport. Okey, terakhir. Terakhir, Pak Hobbes, Anda punya empat menit. 282. AHLI DARI PEMOHON : HOBBES SINAGA, S.H., M.H. Mudah-mudahan tidak sampai empat menit, terima kasih Pak Bambang. Pasal 24 ayat (2) itu berbeda, kekuasaan kehakiman itu dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, tidak ada di situ antara atas dengan bawah. Itu adalah satu pernyataan, tapi di Pasal 24B, ini masalah kewenangan, ada kewenangan pertama, dan disebut dengan mempunyai kewenangan yang lain. Jadi ada tingkatan, ini dari sudut, artinya, kalau orang hukum melihatnya begitu, kalau yang tadi itu tidak ada yang mempersoalkan, tidak lebih tinggi Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi, sama itu, di situ hanya mengatakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan ini, ini, ini dan Mahkamah Konstitusi, selesai. Kemudian mengenai pikiran dibalik, saya ini kebetulan tidak ikut, sama sekali tidak ikut, karena pada waktu itu saya sangat sibuk dengan membahas Undang-undang Nomor 32 itu mengenai Pemerintahan Daerah, yang sangat panjang itu. Jadi memang saya tidak ikut ini, yang terlibat langsung itu adalah Pak Zein Badjeber, tapi karena Pak Zein Badjeber belum datang, bagus juga sebenarnya ditanya, apa persoalan
90
beliau waktu muncul kata pengawasan ini? Kemudian teori apa? Begini, saya pikir untuk ini, saya tidak perlu mengemukakan teorilah, nanti terlalu panjang, nanti kalau dari teori, muncul lagi grand theory, muncul lagi ke filsafat, sangat panjang ya! 283. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Dan itu tidak bisa tiga menit ya, tidak bisa. 284. AHLI DARI PEMOHON : Prof. Dr. PHIIPUS. M. M. HADJON. Saya hanya ingin mengatakan satu, asas dalam hukum tata negara. Bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih atas, lebih tinggi. Dan peraturan yang lebih tinggi harus menjadi dasar dalam peraturan yang lebih rendah. Dari sudut itu, saya mau mengatakan, kalau di Pasal 24B, di sini dikatakan, mempunyai wewenang lain. Lantas di undang-undang diterjemahkan menjadi pengawasan. Begini Pak, Pasal 20 dilihat fungsi DPR itu dikatakan fungsi menjalankan fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Itu tiga-tiganya mempunyai kekuatan yang sama dan mempunyai akibat hukum kalau tidak dilaksanakan, ada akibat hukumnya, ini pengawasan ini, apa ini? Pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial itu punya akibat hukum tidak? Tidak ada, orang yang diawasi diserahkan lagi ke Mahkamah Agung, kepemimpinan Mahkamah Agung.Tidak jelas, saya melihat (…) 285. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): BAMBANG WIDJAJANTO, S.H., LL.M Sebelum dilanjutkan, tadi bagus contohnya itu Pak, bahwa DPR mempunyai tiga kewenangan. Yang mana yang paling disebut duluan? 286. AHLI DARI PEMOHON : HOBBES SINAGA, S.H., M.H. Legislasi. 287. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): BAMBANG WIDJAJANTO, S.H., LL.M Legislasi, artinya dua yang lain berarti tidak pokok? 288. AHLI DARI PEMOHON : HOBBES SINAGA, S.H., M.H. Pokok.
91
289. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): BAMBANG WIDJAJANTO, S.H., LL.M Bagaimana dengan logika berpikir Bapak yang tadi pakai (Pasal) 24B Bapak bisa menggunakan itu, pokok dan tidak pokok. Tapi menjelaskan undang-undang itu, tapi Bapak bilang semuanya pokok. 290. AHLI DARI PEMOHON : HOBBES SINAGA, S.H., M.H. Artinya saya mau mengatakan begini Pak, di sini disebut kewenangannya itu adalah mengusulkan pengangkatan dan mempunyai kewenangan lain, tidak jelas nih, apa pengawasannya ini? Apa kewenangan lain ini? Lantas di dalam undang-undang, berdasarkan pasal, lanjutan dari Pasal 13B, itu di Pasal 20 disebut pengawasan. Saya menunjukkan, okey, tidak usah kita persoalkan apakah legislasi, anggaran, dan pengawasan itu. Tapi itulah fungsi-fungsi pokok yang dipunyai oleh DPR, dan semua fungsi ini mempunyai akibat. Lantas di sini bagaimana melakukan pengawasan, tidak ada akibatnya? Tertangkap, misalnya begini, laporkan ke sini, bukan dia. Lha, apa gunanya pengawasan itu? Apakah itu yang dimaksud dalam (…) 291. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Dan sekarang persis pukul 16.00. Jadi Saudara-saudara sekalian ini salah satu sidang, salah satu perkara yang sangat resourceful ya! Banyak sekali keteranganketerangan dan Saudara-saudara para Ahli dan juga satu orang Saksi tadi sudah mengeluarkan semua jurus. Ada jurus kontekstualisasi, jurus revolusioner. Itu semua berharga sekali bagi kami, dan nanti tinggal satu kali sidang lagi, seperti yang sudah saya sampaikan tadi. Nanti dalam sidang terakhir, karena itu bagian dari proses pembuktian. Nampak seperti hal lain-lain, tapi itu sangat penting, untuk melihat juga bagaimana norma itu dilaksanakan, sebab itu bagian jadi alat bukti kita nanti untuk memahami. Sebab bisa saja semua orang berpendapat A tapi perumusnya bilang B, sehingga yang dilaksanakan di lapangan bukan B, tapi A. Ini juga persoalan yang perlu kita lihat. Jadi tidak terkait langsung dengan seperti yang disebut oleh Pak Mahfud tadi, tapi dalam perkara-perkara yang sudah-sudah sering ketemu yang seperti itu. Oleh karena itu, kita perlu juga secara khusus nanti satu sidang terakhir, dalam sidang terakhir itu diharapkan Pemohon Prinsipal, yaitu agak menonjol. Nanti tetap didampingi oleh kuasa, begitu juga KY-nya kita harapkan nanti, kita ada semacam tukar-tukar keterangan mengenai soal ini. Mudah-mudahan itu nanti mengenai sidang yang terakhir, setelah itu kita putus. Tidak boleh terlalu lama ini perkara, menunggununggu, tidak ada penyelesaian. Karena Saudara-saudara semua yang dilakukan oleh pejabat, itu dilihat dan ditonton oleh rakyat, kalau rakyat
92
tambah bingung, wah bagaimana ini? Jadi perlu ada penyelesaian. Syukur-syukur dalam Putusan MK itu nanti, hasilnya itu penyelesaian. Kalau tidak bisa apa boleh buat, kita serahkan kepada sejarah nanti bagaimana perkembangan selanjutnya, tapi kita berusaha untuk ada penyelesaian. Jadi sidang selanjutnya itu (…) 292. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): BAMBANG WIDJAJANTO, S.H., LL.M Pak Ketua, saya hanya ingin mengingatkan Pak Ketua, ada satu Saksi dari kami yang sudah disumpah, Profesor Frans Limahelu, Profesor Frans tidak bisa datang karena sedang di Amerika, jadi ini untuk mengingatkan bahwa itu sudah disumpah soalnya. Terima kasih, Pak Ketua. 293. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Betul, satu lagi yang dari Pemohon masih ada? Tidak jadi? Bagaimana kalau, satu lagi Zein Badjeber, dia sudah menyampaikan jawaban secara tertulis, asal ada sidang, dia selalu di Gorontalo, saya tidak tahu apa sengaja dia ke Gorontalo itu, tapi itu kenyataannya sudah dua kali dia berkirim surat, tidak bisa hadir karena di Gorontalo. Satu lagi Pak Frans, apa bisa itu diatasi dengan keterangan secara tertulis saja, bagaimana? Sebab kami menilai ini dari semua keterangan-keterangan keahlian, kesaksian sudah cukup ini, sudah lengkap sekali. Tinggal nanti kita melihat hal-hal yang berkaitan dengan praktik-praktik itu tadi. Bagaimana menurut Anda? 294. AHLI DARI PIHAK TERKAIT : BAMBANG WIDJAJANTO, S.H., LL.M (KOMISI YUDISIAL) Prinsip utama memang kami tidak ingin menghambat proses sidang, tapi sebaiknya mungkin kami tanyakan dulu, Profesor Frans, karena beliau juga sudah disumpah dan sudah dipanggil lagi untuk hadir lagi. Jadi kalau kami yang memutuskan seperti itu, rasanya kok tidak elok. 295. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Sudah kita panggil secara patut dan sidangnya hari ini.
93
296. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): BAMBANG WIDJAJANTO, S.H., LL.M Tapi memang beliau tidak bisa hadir, karena alasan yang sah. 297. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Sahnya bagaimana? 298. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT (KOMISI YUDISIAL): BAMBANG WIDJAJANTO, S.H., LL.M Ada di luar negeri, ada di Amerika. Saya ingin mengatakan bahwa, saya tidak menolak pendapat dari hakim atau usulan, tapi mohon kami diberikan keleluasaan untuk memberitahu Profesor Frans, ini ada usulan seperti ini, apakah beliau bisa menerimanya? 299. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Begini saja, jadi pada prinsipnya sidang ini kita anggap selesai, tinggal nanti sidang sekali lagi, dua kali lagi ya! Nanti terakhir pembacaan putusan. Dalam sidang berikutnya itu, sekiranya Pak Prof Frans bersikukuh ingin didengar juga keterangannya secara lisan, ya kita sediakan, waktu itu. Tapi seandainya dia bersedia cukup tertulis, saya rasa sudah cukup, tapi itu kami serahkan kepada Pihak Terkait untuk menanyakan sendiri, apakah Beliau menganggap penting dan kami terbuka saja, karena darimana pun datang keterangan berdasarkan keahlian itu sungguh kami sangat membutuhkannya, dan supaya tidak tanya-tanya, saya dari tadi mencari kesempatan untuk membacakan ini, untuk mengingatkan kita semua saja. Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Pedoman Beracara dalam rangka Pengujian Undang-Undang, di Pasal 1 ayat (13) itu ada ketentuan yang menyebutkan, “keterangan Ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang karena pendidikan dan atau pengalamannya, memiliki keahlian atau pengetahuan mendalam, yang berkaitan dengan permohonan berupa pendapat yang bersifat ilmiah, teknis, atau pendapat khusus lainnya tentang suatu alat bukti atau fakta yang diperlukan untuk pemeriksaan permohonan”. Jadi semua keterangan tadi memenuhi syarat sebagai keterangan Ahli. Saya kira demikian kita ketemu lagi dalam sidang berikutnya, dalam waktu yang akan ditentukan sendiri. Atas nama Mahkamah Konstitusi, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak-Bapak semua, para Ahli, betul-betul terima kasih, Anda dari jauh sudah memberikan keterangan yang sangat berguna bagi kami.
94
Terima kasih, dengan ini Sidang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk perkara ini saya nyatakan ditutup.
Wassalamu’alaikum wr. wb. KETUK PALU 3X
SIDANG DITUTUP PKL 16.08 WIB
95