Aspek Eikolegal Pelayanan Kesehatan
27/09/2006 WP Greet Box icon Jika anda baru mengunjungi Astaqauliyah.com, maka ini adalah kesempatan berharga buat anda. Silahkan berlangganan arikel Astaqauliyah.com melalui email anda. Kami akan mengirimkan resume arikel kedokteran, ips berbisnis online atau tutorial make money blogging ke email anda seiap kali ada posingan baru di blog ini. Klik di sini di sini untuk mendatar!
Dewasa ini semakin muncul ke permukaan kasus-kasus kelalaian pelayanan kesehatan, baik yang dilakukan oleh tenaga medis, khususnya dokter dan dokter gigi, maupun rumah sakit secara insitusional. Semakin berkembangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat atas hak mereka khususnya dalam pelayanan kesehatan, menyebabkan jumlah kasus medik yang dilaporkan ke Lembaga Bantuan Hukum dan lembaga advokasi konsumen kesehatan lainnya meningkat. Hanya saja, dugaan kelalaian pelayanan kesehatan, yang menjadi sengketa medik keika telah dilaporkan ke yang berwajib, belum memiliki formula yang pas dalam penyelesaiannya.
Tarik menarik cenderung tergambar antara berbagai pihak yang masing-masing punya kepeningan di dalamnya, antara lain departemen kesehatan, anggota parlemen (DPR), dan kalangan lembaga swadaya masyarakat, khususnya untuk menempatkan posisi hukum proses peradilan sengketa medis jika terdapat pengaduan dari pasien yang merasa dirugikan.
Keberadaan Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 belum cukup memadai untuk dijadikan parameter penyelesaian sengketa medik. Dalam pada yang lain, keberadaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) Nomor 8 Tahun 1999 idak memiliki alasan yang rasional untuk digunakan sebagai acuan penyelesaian sengketa medik, karena dianggap bahwa hubungan dokter dengan pasiennya merupakan relasi yang unik, dan idak tepat kalau dikategorikan sebagai hubungan antara pelaku usaha dengan konsumennya.
Hubungan dokter-pasien, hakikatnya menyangkut kepercayaan kesehatan. Minimnya Peraturan Pemerintah dalam bidang kesehatan (baru 4 PP dari 29 PP yang seharusnya ada) , terutama PP yang menetapkan standar profesi kedokteran dan hak-hak pasien, turut memberikan kontribusi kacaubalaunya penanganan kasus “kejahatan dan pelanggaran hukum” dalam pelayanan medis. Hal ini diperparah oleh lambannya penetapan RUU Prakik Kedokteran oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dalam kondisi seperi ini, pasien semakin sulit untuk menuntut dokter secara hukum, sebab belum ada standar yang membedakan mana indakan malprakik, kecelakaan dan kelalaian dalam pelayanan medik. Sementara, belakangan kasus malprakik cenderung menunjukkan graik yang meningkat dari sebelumnya, menyebabkan banyaknya kerugian pada pihak pasien, pihak yang selama ini menjadi objek suboordinat pelayanan kesehatan.
Dalam iga tahun terakhir, berdasarkan data dari Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), terdapat 149 kasus, dan 75 persen dari yang melapor adalah tenaga kesehatan yang menjadi konsumen. Sebuah ironi yang cukup meyakinkan buruknya pelayanan kesehatan negara kita.
Profesi dokter memang banyak berhubungan dengan dilema eik yang dapat berpotensi menjadi sengketa medik. Seorang dokter yang profesional selalu idak boleh terlepas dari dua hal, yakni memiliki watak dan eika yang baik, dan kompeten di bidangnya.
Dalam akivitas profesinya, seorang dokter harus memegang teguh eika kedokteran berdasarkan sumpahnya sewaktu diangkat menjadi dokter; dimulai dengan kemurnian niat, kerendahan hai, kesungguhan kerja, integritas ilmu, integritas sosial, kesejawatan dan ketuhanan. Bertolak dari pandangan normaif inilah yang mendasari pemunculan wacana eikolegal sebagai sebuah paradigma baru penyelesaian sengketa medik, khususnya di negara kita.
Konsep eikolegal hendak menunjuk pada sebuah pandangan yang saling mempengaruhi antara eika dan hukum. Paradigma eikolegal adalah cara berpikir yang menganggap bahwa dalam pelayanan kedokteran dan kerumahsakitan, hukum merupakan kristalisasi dari eika, sehingga keika pembentukannya (kemudian juga keika penerapannya) tak boleh mengesampingkan eika karena masih merupakan suatu proses yang berkesinambungan dalam hukum (MKEK Pusat; 2003).
Dalam fokus tersendiri, paradigma eikolegal menempatkan integritas yang tak dapat terpisahkan begitu saja antara eika dan hokum, karena pelayanan kedokteran dan kerumahsakitan sejak dahulu telah dibingkai oleh eika yang kedudukannya lebih inggi. Meski merupakan sebuah kesatuan yang tak boleh terpisah begitu saja, eika tetap berbeda dengan hukum dalam pandangan norma. Norma eika bertujuan untuk kebaikan hidup pribadi atau kebersihan/kemurnian hai nurani, sehingga masuk dalam kaidah intra-pribadi. Sedangkan norma hukum bertujuan untuk kedamaian hidup bersama, karena itu tergolong kaidah antar-pribadi.
Paradigma eikolegal menjadi sebuah alternaif penyelesaian sengketa medik saat ini karena didasari oleh munculnya berbagai fenomena yang terjadi dalam prakik tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan yang mengecewakan pasiennya akan menghadapi kemungkinan untuk digugat atau dituntut yang sulit-sulit. Pada realitas seperi ini, pengklasiikasian masalah cenderung membantu dalam penyelesaiannya. Sehingga harus dapat dibedakan antara mana pelanggaran eik dan mana pelanggaran hukum.
Sebagai insitusi yang bertanggung jawab melaksanakan pelayanan kesehatan, rumah sakit sekaligus tenaga medisnya memang kerap menuai masalah. Perkembangan teknologi, kebutuhan pembiayaan dan perubahan sikap masyarakat dan negara merupakan kekuatan-kekuatan yang akhirnya banyak mendorong lahirnya beragam model dan sifat rumah sakit. Kecenderungan perubahan evoluif dari orientasi “kedermawanan” rumah sakit ke fase “komersialisasi” pelayanan kesehatan menjadi iik rawan imbulnya sengketa medik. Awamnya sebahagian besar konsumen kesehatan di rumah sakit terhadap hak-hak mereka menjadi portal of entry semakin menjamurnya beragam modus operandi pemerasan dan praktek bulan-bulanan pasien.
Tercatat banyaknya kasus pelanggaran dalam pelayanan pasien di rumah sakit, misalnya kecenderungan “anjuran keras” bagi ibu-ibu hamil untuk melaksanakan secsio caesar(melahirkan melalui operasi) meskipun masih dapat melahirkan secara normal, tonsilektomi dan appendektomi yang belum seharusnya dilakukan tetap dipaksakan, serta berbagai paket diagnosis keroyokan pasien yang salah satunya dikenal dengan paket lima; begitu pasien masuk ke RS, langsung diperiksa oleh lima dokter spesialis sekaligus. Akibatnya tentu berakhir pada membengkaknya biaya yang harus dikeluarkan pasien.
Kesadaran untuk tetap memegang teguh eika menjadi pekerjaan yang sangat sulit dilakukan oleh seorang dokter di tengah tuntutan ekonomi dewasa ini. Profesi kedokteran perlahan menuju kearah proletar dan bukan lagi professional, maka yang diutamakan hanyalah kompetensi tanpa watak baik, sehingga sisi kemanusiaannya semakin terkikis. Dalam polemik ini, pelayanan kesehatan idak lagi berdasarkan kemanusiaan, tetapi berorientasi kepada bisnis.
Dalam eika profesi, menyelamatkan kehidupan adalah nilai eik yang baik dan sudah sepantasnya seiap dokter melakukan hal itu. Tetapi pada sisi ini pula telah imbul konlik tersendiri, menyangkut kualitas kehidupan yang bagaimana yang akan dipertahankan. Belum lagi dari segi biaya pelayanan kesehatan yang harus dikeluarkan pasien. Jika untuk mempertahankan kehidupan diperlukan biaya yang amat besar dan pasien idak mampu menyediakannya, apakah dokter akan memaksakan atau bagaimana jika pasien menolak perawatan dan penanganan medik untuknya? Semua hal di atas sepenuhnya jelas merupakan aspek eika dalam pelayanan kesehatan.
Pelanggaran eika dalam prakik kedokteran menjadi bagian dari tugas pengawasan Majelis Kehormatan Eika Kedokteran (MKEK). Seorang dokter dikatakan melanggar eika apabila melakukan perbuatan yang idak sesuai dengan mutu professional yang inggi maupun kebiasaan dan cara-cara atau “policies” seperi yang lazim digunakan. Dalam bidang kesehatan, melanggar eik termasuk melanggar prinsipprinsip moral, nilai dan kewajiban-kewajiban yang meminta diambilnya indakan sanksi, baik berupa teguran atau schorsing dari tempat kerja, atau organisasi profesinya.
Jika melihat deretan kasus pelanggaran eik dan sengketa medik di Indonesia pada beberapa waktu terakhir, maka akan didapatkan bahwa hampir semua dokter yang diadukan pasiennya adalah dokter spesialis yang langsung menangani pasiennya, bekerja di rumah sakit, dan rata-rata mereka termasuk igur dokter yang “banyak pasiennya” dan umumnya terjadi pada kasus-kasus yang “lama selesai/sembuh”. Sebagian besar pengaduan berisi pengabaian dan pelecehan hak-hak pasien atas informasi medik dan mahalnya pelayanan kesehatan dokter/RS.
Secara lebih spesiik, pengalaman organisasi profesi dan lembaga kesehatan di banyak negara lain di dunia menunjukkan bahwa sejumlah dokter “bermasalah” baik secara eis maupun hukum, antara lain disebabkan oleh kekurangpahaman dan atau tekanan kerja, konlik interpersonal/kepribadian, kecacatan dalam hal ini termasuk lansia, dan karena perilaku jahat atau kriminal.
Jika dikaitkan dengan kesalahannya, dokter bermasalah dapat dikelompokkan menjadi lima bagian, yaitu (1) kesalahan atau kecelakaan jelas namun dipandang masih kompeten secara professional; (2) kesalahan jelas dan dipandang inkompeten secara professional; (3) watak yang menyebalkan; (4) perilaku idak profesioanl dan (5) dokter yang bersangkutan cacat. Untuk membukikan secara hukum kesalahan-kesalahan “eis” yang telah dilakukan oleh para dokter bermasalah, maka mutlak dibutuhkan sebuah peradilan khusus untuk profesi medik, tetapi idak bertentangan dengan sistem peradilan yang berlaku umum.
Sebagai hukum alamiah yang teringgi sejak dulu, pedoman-pedoman professional secara eis sering melampaui batas-batas yang dikehendaki oleh hukum. Jika demikian, dalam konsep eikolegal, maka sebenarnya pada seiap pelanggaran hukum, sudah pasi merupakan pelanggaran eik, tetapi pelanggaran eik harus dicermai dulu dalam mengungkapkan kebenarannya secara material untuk diklaim sebagai pelanggaran hukum.
Please download full document at www.DOCFOC.com Thanks